Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis Using VIIRS Imagery and Spatial Analysis to Decide Potential Site for Astronomical Tourism Development Mousafi Dimas Afrizal1, Ruwanda Prasetya1, Febrina Ramadhani Yusuf1, Wahyu Nurbandi1*), dan Muhammad Kamal1 1
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
*)
E-mail:
[email protected]
ABSTRAK - Wisata astronomis merupakan wujud pariwisata ramah lingkungan dimana langit gelap yang bebas dari polusi cahaya menjadi sumberdaya utama. Wisata astronomis tidak dapat dilakukan di semua lokasi hanya pada lokasi tertentu pengamatan dapat dilakukan secara optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lokasi potensial untuk pengembangan wisata astronomis di Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Parameter yang digunakan yaitu polusi cahaya, tutupan awan, penutup lahan, dan aksesibilitas. Informasi polusi cahaya dan tutupan awan diperoleh dari Citra VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) DNB Free Cloud Composites. Informasi penutup lahan dan aksesilibilitas diperoleh melalui peta Rupabumi Indonesia. Analisis spasial menggunakan sistem informasi geografis berupa overlay/tumpang-susun digunakan untuk memperoleh lokasi potensial dengan parameter penelitian sesuai kriteria yang telah ditentutkan. Kriteria setiap parameter dalam menentukan lokasi potensial untuk wisata astronomis yaitu tingkat polusi cahaya rendah, tutupan awan minim, dan penutup lahan berupa vegetasi atau lahan kosong. Hasil overlay berupa peta sebaran lokasi potensial dan tidak mempertimbangkan aspek aksesibilitas. Parameter aksesibilitas diperoleh dengan analisis buffer/keterjangkauan sejauh < 3 km dari jalan arteri atau kolektor. Hasil buffer jalan di-overlay dengan peta potensial sehingga menghasilkan peta sebaran lokasi potensial dan direkomendasikan untuk pengembangan wisata astronomis. Uji lapangan dilakukan terhadap beberapa titik sampel untuk mengetahui kondisi di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi potensial untuk pengembangan wisata astronomis sebagian besar di daerah Kabupaten Rembang, Blora, Grobogan, Wonogiri, dan Gunungkidul. Sedangkan lokasi yang potensial dan direkomendasikan dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas sebagian besar berada di daerah Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Blora. Kata kunci: wisata astronomis, citra VIIRS, analisis spasial ABSTRACT - Astronomical tourism is an eco-friendly tourism which light-pollution free skies become the main resource. Astronomical tourism can’t be held in every place, observation can only be held in particular place to get optimal results. This study aims to determine location which potential for developing astronomical tourism in Central Java and Daerah Istimewa Yogyakarta provinces. Parameters which used are light-pollution, clouds cover, land cover, and accessibility. Information of Light-pollution and clouds cover are obtained from VIIRS imagery (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) DNB Free Cloud Composites, while information of land cover and accessibility are obtained from Peta Rupabumi Indonesia. Spatial analysis by overlay with geographic information systems is used to get the potential locations that fulfill these criteria: minimum light-pollution level, minimum cloud cover, and land cover belongs to vegetation or bare ground. Result of overlay is the distribution of potential locations for astronomical tourism map. Accessibility is determined by buffer analysis of street network that has to be at a distance of less than 3 kilometers from arterials and collector road. The buffer analysis result is overlayed with the potential map to get the potential and recommended locations of astronomical tourism map to be developed. Field work was performed in several sample sites to know the circumstances to consider whether the location could be recommended or not. This study results show that most of potential locations for developing astronomical tourism (without using parameter of accessibility) are located in Rembang, Blora, Grobogan, Wonogiri, and Gunungkidul, while most of potentially recommended and accessible location (with parameter of accessibility) are located in Gunungkidul, Wonogiri, and Blora. Keywords: astronomical tourism, VIIRS imagery, spatial analysis
1
Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, Mousafi D., dkk)
1.
PENDAHULUAN
Wisata astronomis didefinisikan sebagai suatu wujud pariwisata ramah lingkungan dimana langit gelap yang bebas dari polusi cahaya menjadi sumberdaya utama (Collison & Poe, 2013). Kegiatan utama didalamnya berupa pengamatan benda-benda luar angkasa. Pengamatan dapat dilakukan menggunakan binokular, teleskop ringan, maupun dengan mata telanjang. Pengembangan wisata astronomis menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan perkembangan ilmu astronomi di Indonesia. Perlunya peningkatan pendidikan astronomi dikarenakan kualitas pendidikan astronomi Indonesia yang masih rendah terbukti dengan jumlah total publikasi ilmiah di bidang astronomi dan astrofisika dari peneliti Indonesia hanya sebanyak 5 dokumen di tahun 2014 (SCImago Journal & Country Rank, 2015). Adanya wisata astronomis dapat meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam aktivitas yang memberi pengalaman langsung dengan objek yang menjadi kajian astronomi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan daya tarik masyarakat terhadap bidang astronomi yang berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan di bidang astronomis dan astrofisika. Pengamatan benda-benda luar angkasa sangat dipengaruhi oleh kondisi lokasi pengamatan. Berbagai sumberdaya atau syarat kondisi suatu lokasi diperlukan agar dapat melihat benda-benda luar angkasa dengan jelas sehingga tidak semua lokasi dapat memberikan hasil yang optimal dalam pengamatan astronomis. Lokasi yang sesuai menjadi faktor utama dalam pengamatan. Terdapat sejumlah parameter yang mempengaruhi pemilihan lokasi untuk wisata astronomis dengan kondisi yang optimal (Jia et al., 2012). Salah satu aspek penting yang mempengaruhi pengamatan astronomis yaitu polusi cahaya. The International Dark-Sky Association (2009) mendefinisikan polusi cahaya sebagai berbagai perlawanan efek dari cahaya tiruan termasuk pijaran langit (sky glow), cahaya silau (glare), berbagai penerangan (light trespass), penurunan visibilitas di malam hari, dan limbah energi. Polusi cahaya secara umum terbagi menjadi dua kategori yaitu secara astronomi dan ekologi. Secara astronomi polusi cahaya mencakup seberapa banyak cahaya pancaran yang menutup kenampakan bintang di langit malam, yang menghalangi pengamatan objek astronomis. Polusi cahaya secara ekologi biasanya merujuk pada dampak keberadaan cahaya yang terlalu banyak terhadap kondisi lingkungan termasuk manusia (Longcore, 2004). Campaign for Dark Skies (2010) menyebutkan bentuk utama polusi cahaya berupa skyglow atau uplight yaitu sebuah fenomena yang terjadi ketika pencahayaan yang dipancarkan menyebabkan iluminasi dipancarkan di atas horison langit dalam jumlah yang banyak. Peningkatan polusi cahaya terutama dipengaruhi oleh perubahan penutup lahan yang secara umum sejalan dengan peningkatan penggunaan cahaya buatan. Permasalahan yang muncul terkait wisata astronomi yaitu dalam menentukan lokasi yang sesuai untuk pengamatan astronomis. Berbagai pertimbangan diperlukan untuk menentukan lokasi yang potensial untuk pengembangan wisata astronomis. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai tempat wisata astronomis di area kajian melalui pemanfaatan citra VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer Suite) DNB Free Cloud Composites dan analisis spasial berdasarkan parameter yang telah ditentukan. Integrasi antara penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam penelitian ini sangat penting dimana pendekatan penginderaan jauh digunakan untuk perolehan data sedangkan sistem informasi geografis sebagai sarana dalam melakukan analisis spasial. Selain penggunaan data penginderaan jauh, digunakan pula data spasial lain yang nantinya antar data saling terintegrasi. Analisis spasial merupakan teknik analisis data spasial yang menghubungkan berbagai objek dalam suatu lokasi secara keruangan. Analisis spasial merujuk pada fenomena spasial dan proses, metode matematik atau geometrik, maupun metode yang tidak mencakup diantara keduannya (Yaolin et al., 2008). Berbagai parameter yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data-data yang memilki grafis beserta atribut geografis, sehingga untuk menghubungkan antar parameter dapat menggunakan teknik analisis spasial untuk menentukan lokasi potensial pengembangan wisata astronomis. Citra VIIRS merupakan salah satu data spasial berupa citra penginderaan jauh yang dapat memberikan informasi polusi cahaya dan tutupan awan pada suatu wilayah.
2.
METODE
2.1 Area Kajian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyarta (DIY). Jawa Tengah secara astronomis terletak antara 5o40’ – 8o30’ LS dan 108o30’ – 111o30’ BT memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 24,8oC – 31,8oC dan curah hujan tahunan rata-rata 2.618 mm. Daerah dengan curah hujan tinggi terutama di daerah Kabupaten Kebumen sebesar 3.948 mm/tahun. Daerah dengan curah hujan rendah
2
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
dan sering terjadi kekeringan di musim kemarau berada di daerah Blora, Rembang, sebagian Grobogan dan sekitarnya serta di bagian selatanKabupaten Wonogiri (Pemda Jawa Tengah, 2016). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memilki luas 3.185,80 km yang secara astronomis terletak di 70 o33’ – 8o12’ LS dan 110o00’ – 110o50’BT. DIY terletak di bagian selatan Pulau Jawa yang dibatasi oleh Samudera Hindia di bagian selatan. Kondisi Iklim di Provinsi DY tergolong iklim tropis dimana curah hujan rata-rata tahunan sebesar dengan 3.000 mm/tahun suhu rata-rata 25-31oC (Pembda DIY, 2016). 2.2 Perolehan Data 2.2.1 Citra VIIRS Citra VIIRS (Visible Infrared Imaging Radiometer) DNB free cloud composites merupakan salah satu data penginderaan jauh yang dapat memberikan informasi polusi cahaya dan jumlah tutupan awan diperoleh dari website NOAA. National Oceanography Atmospheric Administration (NOAA) dan United Nation Aeronautics and Space Administration (NASA) bekerja sama dalam peluncuran Suomi National Polar Satelite yang di dalamnya membawa program instrumen berupa VIIRS. Data citra yang digunakan memiliki cakupan wilayah perekaman sebesar 3000 km dengan spektrum panjang gelombang yang digunakan berada diantara 0.5 – 0.9 µm. Selain itu resolusi radiometrik yang dimiliki oleh citra ini mencapai 14 bit dan mampu mendeteksi batas cahaya limit mencapai ֊2E Watt/cm2 *sr. Sehingga citra VIIRS memiliki kapabilitas untuk mendeteksi api dan cahaya di malam hari terutama menggunakan saluran VNIR (Elvidge et al., 2013). Data citra yang digunakan dalam analisis ini terdiri dari dua data utama yakni informasi mengenai polusi cahaya bulan September 2015 dan informasi mengenai liputan tutupan awan bulan Januari 2014 hingga Februari 2016. Pemilihan data informasi polusi cahaya pada bulan September 2015 dikarenakan asumsi di bulan tersebut menjadi bulan terkering di Indonesia sehingga memiliki tutupan awan yang minimum. Apabila tutupan awan minimum maka pencahayaan buatan dari permukaan bumi yang menyebabkan polusi cahaya dapat terekam secara optimal. Kenampakan visual citra VIIRS terdapat pada Gambar 1. (a)
(b)
Gambar 1. Citra VIIRS (a) Informasi Polusi Cahaya (b) Informasi Tutupan Awan Sumber: www.noaa.gov, 2016
3
Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, Mousafi D., dkk)
Tutupan awan secara langsung berpengaruh terhadap kualitas lokasi pengamatan objek astronomi (Jia et al., 2012). Walker (1983) mengatakan lokasi untuk pengamatan astronomis harus memilki tutupan awan yang minimum. Tutupan awan minimum menjadi parameter yang penting karena berpengaruh terhadap tampak tidaknya benda-benda astonomi yang diamati. Tutupan awan yang semakin minimum meningkatkan kemungkinan objek astronomi lebih mudah terlihat. Selain awan aspek atmosferik yang perlu dipertimbangkan yaitu turbulensi atmosfer. Turbulensi berkaitan dengan fluktuasi mikrotermal atmosfer yang menyebabkan efek sintilasi, hilangnya koherensi spasial, dan distorsi (Lynds & Goad, 1984). Turbulensi yang rendah akan menghasilkan efek yang lebih baik untuk pengambilan foto astonomi. 2.2.2 Data Penutup Lahan Data penutup lahan dengan skala 1:25000 diperoleh dari website resmi Ina-Geoportal Indonesia yang dikelola oleh Badan Informasi Geospasial Indonesia. Penggunaan data penutup lahan diklasifikasikan dalam 4 kelas utama yakni vegetasi, lahan terbangun, tubuh air serta lahan kosong. Pengklasifikasian dilakukan untuk mengetahui parameter penutup lahan yang berpengaruh terhadap polusi cahaya. 2.2.3 Aksesibilitas Data aksesibilitas berupa jalan dengan skala pemetaan 1 : 25.000 diperoleh dengan sumber yang sama dengan data penutup lahan dari website resmi Ina-Geoportal milik Badan Informasi Geospasial RI. Aksesibilitas digunakan sebagai parameter dari suatu wilayah yang menyatakan kemudahannya untuk diakses baik secara biaya, waktu dan tenaga. Sehingga wilayah yang memiliki aksesibilitas baik akan menjadi potensi rekomendasi. 2.3 Pengolahan dan Analisa Data
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian (Sumber: Hasil Analisis, 2016)
Citra VIIRS DNB terkalibarasi atau terkoreksi baik secara radiometrik maupun geometrik (Baugh, 2015). Pada Citra VIIRS DNB Free Cloud Composites wilayah Indonesia masuk ke dalam wilayah 1/6 belahan bumi bagian selatan, sehingga dalam pemrosesannya dilakukan pemotongan/masking sesuai wilayah kajian menggunakan software Envi 5.0 Classic. Citra yang dihasilkan dari proses masking mencakup Provinsi Jawa tengah – DIY selanjutnya dilakukan klasifikasi yang didasarkan pada klasifikasi lightpollutionmap.info seperti pada Tabel 1.
4
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
Tabel 1. Klasifikasi Polusi Cahaya Kelas 1 2 3 4 5 6 7 8
Nilai (Watt/cm2*sr) < 0,25 0,25 – 0,40 0,40 – 1,00 1,00 – 3,00 3,00 – 6,00 6,00 – 20,00 20,00 – 40,00 > 40,00 Sumber : lightpollution.info, 2016
Data tutupan awan yang terdiri dari 26 citra dari bulan Januari 2014 - Februari 2016 dilakukan penjumlahan untuk mendapat akumulasi tutupan awan. Akumulasi tersebut yang kemudian diklasifikasikan secara equal interval menjadi 5 kelas seperti pada Tabel 2. Nilai DN (Digital Number) piksel menunjukkan jumlah langit jernih tanpa tutupan awan suatu wilayah. Semakin rendah nilai kelas suatu lokasi menunjukkan suatu wilayah sering tertutupi oleh awan sedangkan yang memiliki nilai kelas tinggi menunjukkan jarang tertutup awan. Tabel 2. Klasifikasi Tutupan Awan Kelas 1 2 3 4 5
Nilai DN 6 - 45 46 – 84 85 – 123 124 – 162 163 – 202 Sumber: Analisis Data, 2016
Data penutup lahan dari Ina-Geoportal BIG Indonesia memuat 21 kelas penutup/penutup lahan dilakukan clip/pemotongan sesuai wilayah kajian Jateng-DIY menggunakan software ArcMap 10.2. Kelas penutup slahan yang awalnya sebanyak 21 disederhanakan menjadi 4 kelas utama sesuai Tabel 3. yakni vegetasi, lahan terbangun, tubuh air dan lahan kosong. Sedangkan untuk jaringan jalan yang memuat kelas dari jalan utama, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lain. Pemilihan jalan arteri dan kolektor dilakukan untuk proses buffer/keterjangakauan < 3 km untuk memperoleh wilayah yang berada pada jangkauan aksesibilitas yang baik. Asumsi yang digunakan bahwa jalan arteri dan jalan kolektor merupakan jenis jalan yang memungkinkan semua kendaraan dapat melewatinya sehingga aksibilitas baik. Tabel 3. Klasifikasi Penutup Lahan
Vegetasi
Tubuh Air
Agrikultur ladang Waduk Non Agrikultur alang alang, sabana, dan padang Tambak Non agrikultur hutan lahan basah Sungai Non agrikultur hutan lahan kering Rawa Non agrikultur lahan basah Danau Non agrikultur lahan kering Empang Non agrikultur rumput rawa Non agrikultur semak belukar Perkebunan Sawah Sumber: Analisis Data, 2016
Lahan Kosong Beting
Lahan/area terbangun Permukiman Tempat tinggal Landasan pacu Pelabuhan
Pengolahan data untuk mendapatkan lokasi rekomendasi wisata astronomis menggunakan analisis spasial dengan sistem informasi geografis. Operasi overlay/tumpang-susun digunakan untuk menghasilkan lokasi potensial dengan parameter polusi cahaya, tutupan awan, dan penutup lahan sesuai berdasarkan kriteria yang telah ditentukan seperti pada Tabel 4. Hasil overlay/tumpang-susun tersebut menghasilkan peta sebaran
5
Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, Mousafi D., dkk)
lokasi potensial pengembangan wisata astronomis. Selanjutnya peta tersebut di-overlay dengan peta buffer jalan sebagai pertimbangan parameter aksesibilitas jalan pada jangkauan < 3 km yang menghasilkan peta sebaran lokasi potensial dan direkomendasikan. Sehingga pada peta tersebut terdapat 2 jenis lokasi potensial, yang membedakan keduanya terletak pada parameter aksesibilitas. Lokasi potensial menunjukkan lokasi yang berpotensi namun tidak mempertimbangkan parameter aksesibilitas. Lokasi potensial dan direkomendasikan menunjukkan lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai wisata astronomis yang memiliki aksesibilitas baik. Pengamatan astronomis akan baik jika dilakukan pada wilayah yang memiliki polusi cahaya yang rendah, sehingga kelas polusi cahaya yang dianggap potensial untuk pengembangan wisata astronomis yakni kelas 1 dan 2 dengan polusi cahaya yang minim. Sedangkan untuk parameter tutupan awan yang baik untuk pengamatan astronomis yaitu jika suatu wilayah jarang tertutupi oleh awan yang akan dilihat dari dari hasil penjumlahan citra dengan temporal 26 bulan. Semakin tinggi kelas tutupan awan, maka semakin sering suatu lokasi tertutupi oleh awan atau jumlah langit cerah pada lokasi tersebut semakin sedikit, begitu juga sebaliknya. Kelas penutup lahan yang digunakan dalam penentuan lokasi potensial untuk wisata astronomis yaitu lokasi yang yang tidak memilki polusi cahaya tinggi sekaligus tidak menghalangi pengamatan astronomis. Kelas yang dianggap sesuai yaitu vegetasi dan lahan kosong. Kelas permukiman diasumsikan memiliki polusi cahaya yang tinggi sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan lokasi rekomendasi wisata astronomis, begitu pula dengan penutup lahan berupa tubuh air yang akan banyak membutuhkan sarana pendukung seperti kapal dan sejenisnya untuk proses pengamatan. Tabel 4. Kriteria Lokasi Potensial untuk Wisata Atronomis
Kelas 1, 2
Potensial dan Direkomendasikan Kelas 1, 2
Kelas 4, 5, 6, 7, 8
Kelas 5
Kelas 5
Kelas 1, 2, 3, 4, 5
Parameter
Potensial
Polusi cahaya Liputan tutupan awan Penutup lahan
Vegetasi, Lahan Kosong
Buffer jalan < 3 km
Vegetasi , Lahan Kosong Berada pada Tidak masuk jangkauan jangkauan Sumber: Analisis Data, 2016
Tidak potensial
Lahan/area terbangun Tidak masuk jangkauan
2.4 Uji Lapangan Peta sebaran lokasi potensial yang dihasilkan belum diketahui kondisi sebenarnya di lapangan sehingga diperlukan uji lapangan. Uji lapangan dilakukan di beberapa titik sampel pada area yang potensial dan direkomendasikan. Titik sampel tersebut yaitu area Waduk Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri dan area Pantai Depok di Kabupaten Bantul. Kegiatan uji lapangan dilakukan dengan melakukan pengamatan objek astronomis pada kondisi langit malam. Dilakukan pula identifikasi beberapa kenampakan objek astronomis seperti jenis planet, kenampakan debu angkasa, dan rasi bintang mayor yang dapat diamati. Selain itu, dilakukan pengambilan foto langit malam pada pukul 00.00-03.00 WIB yang mana pada jam tersebut merupakan waktu yang efisien untuk pengamatan astronomis. Kamera yang digunakan yaitu Canon EOS 600D dengan pengaturan f-stop: f/3.5; exposure time 30 sec; ISO speed ISO-1600; Focal lenght 10 mm; Metering mode : Partial. Untuk perbandingan, uji lapangan tidak hanya dilakukan di lokasi-lokasi yang potensial, namun juga dilakukan uji lapangan di lokasi yang tidak potensial yaitu di Pusat Kota Yogyakarta. Digunakan pula checklist lapangan yang memuat informasi titik koordinat, deskripsi wilayah, deskripsi penutup/penutup lahan, kondisi saat pengambilan foto, kenampakan astronomis yang teridentifikasi, dan sketsa lokasi digunakan untuk memudahkan analisis wilayahnya.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebaran lokasi potensial untuk pengembangan wisata astronomis ditunjukkan oleh Gambar 3. Area berwarna merah merupakan area potensial untuk wisata astronomis namun tidak masuk dalam rekomendasi. Hal ini dikarenakan aksesibilitas menuju lokasi tersebut tidak masuk dalam jangkauan <3 km dari jalan kolektor maupun areteri. Area berwarna kuning menunjukkan area potensial dan direkomendasikan untuk pengembangan wisata astronmis. Baik area potensial maupun potensial dan direkomendasikan terdapat secara luas dan mengelompok pada bagian tenggara dan timur laut area kajian. Pada bagian timur laut, sebagian besar area tercakup dalam daerah Kabupaten Blora, Rembang, Grobogan, dan Pati. Pada bagian tenggara, wilayah potensial tersebut banyak terdapat pada pesisir selatan kabupaten Gunungkidul dan
6
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
sebagian wilayah dari kabupaten Wonogiri dan Karanganyar. Sebagian wilayah potensial lainnya memiliki ukuran yang lebih sempit dan memiliki pola distribusi yang tidak mengelompok.
Gambar 3. Sebaran Peta Wisata Astronomis Sumber: Analisis Data, 2016
Berdasarkan hasil uji lapangan, kondisi langit malam pada lokasi sampel memilki kondisi yang baik dan sesuai untuk pengamatan astronomis. Tidak banyak ganggan polusi cahaya pada ketiga titik tersebut, selain itu galaksi Bimasakti juga dapat terlihat dengan jelas. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah kondisi atmosfer pada saat pengamatan sangat menentukan kualitas langit untuk pengamatan astronomis. Kondisi atmosfer yang dinamis dapat mengakibatkan suatu area pengamatan memiliki kualitas langit yang berbeda yang disebabkan adanya gangguan tutupan awan maupun gangguan partikel lain yang dapat menurunkan tingkat kejernihan atmosfer. Terdapat perbedaan signifikan antara lokasi potensial dengan lokasi tidak potensial. Perbedaan tersebut tmapak dari kenampakan langit malam dimana pada lokasi potensial objek astronomis mudah untuk diamati. Kondisi lingkungan gelap sehingga polusi cahaya sangat minim. Kondisi langit malam di lokasi tidak potensial tampak kondisi lingkungan dengan pencahayaan buatan/listrik yang tinggi sehingga langit malam tampak tidak gelap yang mengakibatkan kenampakan astronomis tidak jelas. Perbandingan tersebut tersaji pada Gambar 4. Kenampakkan langit malam di tepi Waduk Gajah Mungkur seperti Gambar 4a. menujukkan kenampakan astronomis yang jelas, namun terdapat efek skyglow akibat adanya cahaya dari permukaan bumi. Efek tersebut diakibatkan adanya cahaya dari lampu malam yang digunakan oleh para pemancing ikan di sekitar waduk. Kenampakan langit malam di beting Pantai Depok tampak pada Gambar 4b. Keberadaan polusi cahaya sangat minim sehingga kenampakan objek astronomis di Pantai Depok tampak lebih jelas dibandingkan di tepi Waduk Gajah Mungkur. Gambar 4c. merupakan sampel lokasi uji lapangan yang memilki tingkat polusi cahaya yaitu Kota Yogyakarta. Tampak bahwa objek astronomis terlihat tidak jelas dimana efek skyglow mendominasi kondisi langit malam di wilayah tersebut. Hasil identifikasi kenampakan astronomis di Pantai Depok ditunjukkan oleh Gambar 5. Kondisi langit malam dengan keberadaan polusi cahaya yang sangat minimum menyebabkan objek astronomis dapat teridentifikasi dengan mudah menggunakan mata telanjang. Beberapa rasi bintang mayor dapat teridentifikasi seperti rasi Indian, Peacock, Altar, dan Sea Goat. Planet mayor yang teridentifikasi seperti planet Mars, Saturnus, Regel Kentarus, Hadar.
7
Pemanfaatan Citra VIIRS dan Analisis Spasial untuk Penentuan Lokasi Potensial Pengembangan Wisata Astronomis (Afrizal, Mousafi D., dkk)
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Foto Langit Malam. (a) Tepi Waduk Gajah Mungkur (b) Pantai Depok (c) Kota Yogyakarta Sumber: Hasil Uji Lapangan, 2016
(a)
(b)
Gambar 5. Identifikasi Kenampakan Astronomis di Pantai Depok. (a) Rasi Indian, Peacock, Altar (b) Rasi Sea Goat, Planet Mars, Saturnus, Regel Kentarus, Hadar Sumber: Analisis Hasil Uji lapangan, 2016
4.
KESIMPULAN
Citra VIIRS dan data spasial pendukung berupa penutup lahan dan jaringan jalan dapat digunakan untuk menentukan lokasi potensial pengamatan objek astronomis. Berdasarkan parameter polusi cahaya tutupan awan, dan penutup lahan dengan polusi cahaya < 0.4 W/cm2*sr, tutupan awan rendah, dan penutup lahan berupa vegetasi atau lahan kosong dapat disimpulkan bahwa lokasi potensial untuk pengembangan wisata astronomis sebagian besar di daerah Kabupaten Rembang, Blora, Grobogan, Wonogiri, dan Gunungkidul. Sedangkan lokasi yang potensial dan direkomendasikan untuk pengembangan dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas sebagian besar berada di daerah Kabupaten Gunungkidul, Wonogiri, dan Blora.
8
Seminar Nasional Penginderaan Jauh -2016
5.
UCAPAN TERIMAKASIH
Rasa terimakasih kami persembahkan kepada Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas Program Kreativitas Mahasiswa Tahun 2016 yang telah memberikan dana hibah penelitian. Tak lupa terimakasih kami persembahkan untuk segenap Civitas Akademika Fakultas Geografi yang telah mendukung penelitian ini. Ucapan terimakasih khusus kami persembahkan untuk Dosen Pembimbing kami Muhammad Kamal, S.Si., M.GIS., Ph.D. yang telah sabar membimbing proses penelitian ini. Terkhusus buat rekan-rekan sejawat jangan pernah lelah untuk berkarya.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Baugh, K. (2015). VIIRS Day-Night Band Cloud-free Composites. Colorado, USA. Campaign for Dark-Skies. (2010). Words And Phrases It Might Be Useful to Know When Discussing Light Pollution. Glossary of Lighting Terms, diunduh 05 Juni 2016 dari http://www.britastro.org/darkskies/glossary.html?1O. Collison, F.M. & Poe, K. (2013). Astronomical Tourism : The Astronomy and Dark Sky Program at Bryce Canyon National Park. Tourism Management Perspectives 7 (2013) 1–15. Elvidge, Christoper D., Zhizhin, M., Hsu, Feng C., Baugh, K., (2013). What is So Great About Nighttime VIIRS Data for The Detection and Characterization of Combustion Source?. Asia-Pasific Advance Network, (35), 33-48. International Dark-Sky Association. (2009). IDA Mission and Goals, diunduh 02 Juni 2016 dari http://www.darksky.org/mc/page.do?sitePageId=56411&orgId=idsa International Dark-Sky Association & Illuminating Engineering Society. (2009). Model Lighting Ordinance, diunduh 08 Juni 2016 dari http://www.darksky.org/mc/page.do?sitePageId=58880 Longcore, T., & Rich, C. (2004). Ecological Light Pollution. Frontiers in Ecology and the Environment, 2(4), 191-198, diunduh 08 Juni 2016 dari http://dx.doi.org/10.1890/15409295(2004)002[0191:ELP]2.0.CO;2 Pemda Yogyakarta. (2010). Kondisi Geografis Yogyakarta, jogjaprov.go.id/pemerintahan/situs-tautan/view/kondisi-geografis
diunduh
05
Juni
2016
dari
R. Lynds and J. Goad. (1984). Observatory Site Reconnaissance , Publication Of The Astronomical Society of The Pasific, Vol. 96, pp. 750-766, September 1984. SCImago. (2007). SJR-SCImago Journal & Country Rank, diunduh 01 Juni 2016 dari http://scimagojr.com Walker, Merle F., (1983). Hight Quality Astronomical Sites Around The World. Lick Observatory, University of California, Santa Criz. Yaolin, L., Yanfang, L., Jianhua, H. (2008). Techniques Based on data field and its applicatins in land gradation. The international arvhieves of photogrammetry, remote sensing and spatial information sciences, Vol. 37. Part b2. Beijing.
9