perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PEMAKAIAN BAHASA JAWA OLEH SANTRI PONDOK PESANTREN DARUSY SYAHADAH KABUPATEN BOYOLALI (SUATU KAJIAN SOSIOLINGUISTIK)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh : WIRATNO C0105052
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PEMAKAIAN BAHASA JAWA OLEH SANTRI PONDOK PESANTREN DARUSY SYAHADAH KABUPATEN BOYOLALI (KAJIAN SOSIOLINGUISTIK)
Disusun oleh:
WIRATNO C0105052
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Dra. Sri Mulyati, M.Hum. NIP 195610211981032001
Prof. Dr. Sumarlam, M. S. NIP 196203091987031001
Mengetahui, Ketua Jurusan Sastra Daerah
Drs. Imam Sutardjo, M.Hum. NIP 196001011987031004 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PEMAKAIAN BAHASA JAWA OLEH SANTRI PONDOK PESANTREN DARUSY SYAHADAH KABUPATEN BOYOLALI (KAJIAN SOSIOLINGUISTIK) Disusun oleh:
WIRATNO C0105052 Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal: ………………..…
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Ketua
Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum NIP 195710231986012001
………………
Sekretaris
Drs. Sujono, M.Hum NIP 195504041983031002
………………
Penguji I
Dra. Sri Mulyati, M.Hum. NIP 195610211981032001
………………
Penguji II
Prof. Dr. Sumarlam, M.S. NIP 196203091987031001
.………………
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A. NIP 195303141985061001 commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Karakteristik waktu adalah keras dan tidak kenal menunggu, ia akan mengerus siapa saja yang ada di dalamnya.” (Amron Yuflaeli Widyanto). “Jika berada diwaktu pagi jangan menunggu datangnya waktu sore, kerjakanlah sekarang jangan menunggu nanti, sesunguhnya kematian amat dekat dengan kita.” (Anonim). “Barang siapa memudahkan urusan muslim di dunia, maka Allah akan memudahkan urusanya di akhirat (hadits).
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama NIM
: Wiratno : C0105052
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Pemakaian Bahasa Jawa oleh Santri Pondok Pesantren Darusy Syahadah Kabupaten Boyolali (Kajian Sosiolinguistik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 1 Maret 2011 Yang membuat pernyataan,
Wiratno
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk :
• •
Keluarga, Ibu, Bapak, Kakakku (Winendro), Adikku (Capung).
Olisches, trimakasih selalu sabar, memberi kasih sayang, cinta, doa, dan semangat.
•
Sahabat-sahabat Ponpes Darusy Syahadah Boyolali (Nawawi) dan Ustads.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul Pemakaian Bahasa Jawa oleh Santri Pondok Pesantren Darusy Syahadah Kabupaten Boyolali (Kajian Sosiolinguistik) ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang memberikan kesempatan untuk menyusun skripsi ini.
2.
Drs. Imam Sutardjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah FakultasSastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan dan ilmunya dalam penyusunan skripsi ini.
3.
Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum., selaku Sekretaris Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan nasihat, semangat, dan member ilmu dalam menyusun skripsi ini.
4.
Dra. Sri Mulyati, M.Hum., selaku pembimbing pertama yang telah berkenan untuk mencurahkan perhatian, memberikan nasihat, dan membimbing penulisan skripsi ini sampai selesai. commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
5.
digilib.uns.ac.id
Prof. Dr. Sumarlam, M.S., selaku pembimbing kedua yang telah berkenan memberikan
waktu
dan
ilmunya,
serta
memberikan
masukan
dan
penyempurnaan pada penulisan skripsi ini. 6.
Ibu Siti Muslifah, S.S, M.hum., selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dari awal kuliah sampai akhir kuliah, dengan penuh perhatian dan kebijaksanaannya.
7.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen Jurusan Sastra Daerah dan dosen-dosen Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
8.
Kepala dan staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa maupun Pusat Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kemudahan dalam layanan.
9.
Rekan-rekan Sastra Daerah, Ustad, dan sahabat-sahabat di Pondok Pesantren Darusy Syahadah.
10.
Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbatasan ilmu
dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, 1 Maret 2011
commit to user
viii
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Wiratno. C0105052. 2011. Pemakaian Bahasa Jawa oleh Santri Pondok Pesanten Darusy Syahadah Kabupaten Boyolali. (Suatu Kajian Sosiolinguistik), Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu: 1) Bagaimanakah bentuk pemakaian bahasa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah, 2) Faktor apa saja yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah?, 3) Bagaimanakah fungsi pemakaian bahasa Jawa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah? Tujuan penelitian adalah 1) Mendeskripsikan bentuk ragam bahasa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah meliputi, alih kode, campur kode, interferensi, ragam bahasa Jawa. 2) Menentukan faktor apa saja yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa Ponpes Darusy Syahadah. 3) Mendeskripsikan fungsi pemakaian bahasa Jawa oleh Santri Ponpes Darusy Syahadah. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan data-data lisan kebahasaan berdasarkan bentuk dan maknanya. Data dalam penelitian ini berupa kalimat yang mengandung Alih kode, campur kode, dan interferensi. Sumber data berasal dari informan yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Penyediaan data dengan metode simak, teknik dasar dengan memakai teknik sadap.Teknik lanjutan: 1) Teknik Simak Libat Cakap 2) Teknik Bebas Libat Cakap, 3) Teknik Rekam, 4) Teknik catat. Dari hasil rekam kemudian data di transkrip kedalam bentuk tulisan. Teknik analisis dengan menggunakan metode distribusional dan metode padan. Dari hasil analisis ditemukan: 1. Bentuk pemakaian bahasa Jawa yang berupa 1). Alih kode external dari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab dan sebaliknya. Alih kode internal berupa bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia dan sebaliknya, serta antar ragam bahasa Jawa (ngoko ke krama dan sebaliknya). 2). Campur kode bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa; “lima waktu”. Campur kode bahasa Arab dalam bahasa Jawa; “dinul Islam”. Campur kode bahasa Inggris dalam bahasa Jawa; “global warming”. 3). Interferensi dari bahasa Indonesia; “dithuthoklah” Interferensi dari bahasa Arab; “syariat”. Interferensi dari Bahasa Inggris; “moderen”. Wujud tingkat tutur bahasa Jawa ragam ngoko,madya dan krama. 2. Faktor yang menjadi sebab pemakian bahasa Jawa dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, (1) penutur atau orang pertama, (2) mitra tutur atau orang kedua, (3) pokok pembicaraan atau topik, (4) untuk membangkitkan rasa humor, (5) keinginan untuk menjelaskan, (6) sebagai rasa hormat dan kesantunan berbahasa. 3. Fungsi dari pemakaian bahasa Jawa antara lain, (1) untuk menghormati mitra tutur, (2) untuk menunjukkan status sosial atau menempatkan dalam hierarkhi status sosial penutur, dan (3) mengubah dari ragam resmi menjadi ragam santai.
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
JUDUL .............................................................................................................
i
PERSETUJUAN ..............................................................................................
ii
PENGESAHAN ...............................................................................................
iii
MOTTO ...........................................................................................................
iv
PERNYATAAN...............................................................................................
v
PERSEMBAHAN ............................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vii
ABSTRAK .......................................................................................................
ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................
x
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA .........................................................
xiii
BAB I. PENDAHULUAN ...............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................
1
B. Pembatasan Masalah .......................................................................
10
C. Rumusan Masalah ...........................................................................
10
D. Tujuan Penelitian ............................................................................
11
E. Manfaat Penelitian ...........................................................................
11
1. Manfaat Teoretis .....................................................................
11
2. Manfaat Praktis .......................................................................
12
F. Sistematika Penulisan ......................................................................
12
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ..........................................................................
14
A. Sosiolinguistik .................................................................................
14
B. Masyarakat Bahasa ..........................................................................
15
C. Variasi Bahasa ................................................................................
16
D. Kontak Bahasa ...............................................................................
20
1.Alih Kode ....................................................................................
20
2.Campur Kode ..............................................................................
22
3.Interferensi ..................................................................................
25
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Bilingualisme ...................................................................................
27
F. Diglosia ............................................................................................
28
G. Tingkat Tutur Bahasa Jawa ............................................................
29
1. Ragan Ngoko ..............................................................................
31
2. Ragan Madya .............................................................................
32
3.Ragam Krama .............................................................................
33
H. Komponen Tutur .............................................................................
34
I. Pondok Pesantren Darusy Syahadah................................................
36
J. Kerangka pikir ..................................................................................
48
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................
50
A. Jenis Penelitian ................................................................................
50
B. Lokasi Penelitian ............................................................................
50
C. Data ................................................................................................
50
D. Sumber Data ....................................................................................
51
E. Populasi ...........................................................................................
51
F. Sampel .............................................................................................
52
G. Alat Penelitian .................................................................................
52
H. Metode dan Teknik Penyediaan Data..............................................
53
I. Metode dan Teknik Analisis Data ...................................................
55
J. Metode Penyajian Hasil Analisis Data ............................................
61
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA .............................
62
A. Bentuk Pemakaian Bahasa ..............................................................
62
1. Bentuk Alih kode .......................................................................
62
2.Bentuk Campur kode................................................................... 113 3.Bentuk Interferensi ...................................................................... 162 4.Bentuk Tingkat Tutur Bahasa Jawa ............................................ 200 B. Faktor yang Melatar Belakangi Pemakaian Bahasa Jawa .............. 210 C. Fungsi Pemakaian Bahasa Jawa ..................................................... 214 BAB V. PENUTUP ......................................................................................... 218 A. Simpulan ......................................................................................... 218 commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Saran ............................................................................................. 220 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 221 LAMPIRAN……… ......................................................................................... 228
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN
A. Daftar Tanda ‘…’
: glos sebagi penjepit terjemahan
“…”
: tanda petik menandakan kutipan langsung : tanda panah artinya berubah menjadi
[…]
: tanda titik-titik maksudnya ada kalimat yang dihilangkan
[ ]
: penganti kata
/
: garis miring adalah menyatakan atau
/…/
: pengapit fonetis
B. Daftar Singkatan ACI
: Alih kode, Campur kode, Interferensi
BUL
: Bagi Unsur Langsung
DS
: Darusy Syahadah
KMA
: Kuliyyatul Mu’allimat (SMA Putri)
KMI
: Kuliyyatul Mu’allimin (SMA Putra)
MDI
: Madrasah Diniyah Islamiyah
MDA
: Madrasah Diniyah Awwaliyah
MDU
: Madrasah Diniyah Ulya
MDW
: Madrasah Diniyah Wustho
MI
: Madrasah Ibdidaiyah
MP3
: Musik Player 3 (Tiga)
MTs
: Madrasah Tsanawiyah (SMP) commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
OSIS
: Organisani Siswa Intra Sekolah
PDS
: Pondok Pesantren Darusy Syahadah
Ponpes
: Pondok Pesantren
SAPALA
: Santri Pecinta Alam
SD
: Sekolah Dasar
SLTA
: Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SMP
: Sekolah Menengah Pertama
SMU
: Sekolah Menengah Umum
SMS
: Short Massage Service (Pesan Singkat)
dkk
: dan kawan kawan
Swt.
: Subhanahu wata`ala
Saw
: Sallalahhu a’llahi wasalam
TID
: Takhasshush I’dad Du’at / Da’iyat (Paska SMA)
TKS
: Takhasshush (Persiapan masuk setigkat SMA)
TPA
: Taman Pendidikan Al Qur’an
WIB
: Waktu Indonesia Bagian Barat
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir-hampir tidak dapat terlepas dari peristiwa komunikasi. Dalam berkomunikasi manusia memerlukan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan, isi pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya. Sarana yang paling utama dan vital adalah untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah bahasa. Dengan demikian fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Setiap anggota
masyarakat dan komunitas
selalu terlibat dalam
komunikasi bahasa, baik dia bertindak sebagai komunikator (pembicara atau penulis) maupun sebagai komunikan (mitra bicara, penyimak, pendengar, atau pembaca) (Sumarlam, 2005:1). Bahasa Jawa merupakan bagian dari bahasa nusantara dan termasuk rumpun bahasa austronesia yang ada di dunia ini. Secara linier bahasa Jawa memiliki sejarah yang panjang, area pemakaian yang amat luas dan jumlah penutur yang banyak, sebanyak orang Jawa yang ada (Wakit Abdullah dan Sri Lestari Handayani, 2007:11). Bahasa Jawa digunakan dibeberapa wilayah di Indonesia, yang terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sebagian daerah di Jawa Barat, maupun di luar negeri. Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan secara khas dan memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Untuk itu, terdapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
banyak permainan bahasa dalam kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan tidak terbatas, dan antara tataran permainan bahasa satu dengan lainnya tidak dapat di tentukan dengan suatu aturan yang bersifat umum. Namun demikian, walaupun terdapat perbedaan ada kalanya terdapat suatu kemiripan, dan hal ini sulit ditentukan secara definitif dan pasti. Meskipun orang tidak mengetahui secara persis sebuah permainan bahasa tertentu, namun manusia mengetahui apa yang harus diperbuat dalam suatu komunikasi. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hakikat bahasa dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu deskripsi serta memberikan contoh-contoh dalam kehidupan manusia yang digunakan secara berbeda. Sebagian orang berpendapat bahwa bahasa sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang dunia dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi tentang realitas. Hal tersebut, menggacu pada pemikiran bahwa dengan bahasa mendapat arti jauh lebih tinggi dari pada sistem bunyi atau fonem. Masyarakat Indonesia mempunyai banyak ragam bahasa, antara bahasa satu dengan yang lain mempunyai ciri yang berbeda, perbedaan tersebut merupakan kekayaan hasil budaya. Beberapa bahasasa yang digunakan oleh masyarakat di Indonesia berasal dari bahasa suku-suku di Indonesia juga dari bahasa dari Negara lain yang membudaya dalam masyarakat bahasa. Jika salah satu bahasa hanya difahami oleh masyarakat minoritas tertentu atau kelompok, jika digunakan dalam masyarakat umum maka akan timbul komunikasi yang tidak baik. Hal ini disebabkan karena bahasa sebagai sistem bunyi gagal mengendap dalam kantong-kantong commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
budaya, maka masyarakatpun gagal untuk memahami dan dipahami dalam konteks komunikasi antarbudaya. Dalam kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara tradisional dapat dikatakan sebagai
alat
komunikasi
verbal
yang
digunakan
oleh
masyarakat
untuk
berkomunikasi. Akan tetapi fungsi bahasa tidak hanya semata-mata sebagai alat komunikasi, bagi sosiolinguistik konsep bahasa adalah alat yang fungsinya menyampaikan pikiran saja dianggap terlalu sempit (Abdul Chaer, 2004:15). Hal tersebut merupakan fungsi bahasa sebagai expresi atau buah pikiran manusia. Jika dalam suatu kelompok masyarakat terdiri dari berbagai daerah-daerah dan penguasaan bahasa yang perbeda-beda akan menimbulkan bahasa yang unik, apalagi jika suatu kelompok masyarakat tersebut merupakan pengguna lebih dari satu bahasa (multi lingual) akan timbul pencampuran bahasa atau sering disebut campur kode dan alih kode. Dalam sistem pendidikan formal maupun nonformal bahasa sangat berperan penting dalam penyampaikan ilmu dari pendidik kepada orang yang mencari ilmu. Bahasa merupakan modal utama agar terjadi proses pencapaian ilmu untuk difahami dan dimengerti oleh para pencari ilmu. Dalam proses belajar menggajar dalam instansi resmi bahasa yang digunakan cenderung bahasa formal nasional atau Internasional, tetapi dalam proses belajar-mengajar nonformal bahasa yang digunakan sesuai dengan kebutuhan, tidak harus formal tetapi dapat dimenggerti oleh para penuntut ilmu. Tetapi dalam menyampaikan ilmu, terutama pengajar berasal dari daerah lain yang dimungkin penguasaan bahasanya terbatas dengan para penuntut ilmu yang merupakan asli daerah setempat. Dari hal itu dimungkinkan banyak terjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
percampuran bahasa yang dikuasai oleh pengajar dalam menyampaikan ilmu. Sehingga dalam penelitian bahasa yang mengkaji tentang sosiolinguistik, terutama meneliti pemakaian bahasa yang mengandung alih bahasa sangat menarik untuk dilakukan. Penelitian yang terdahulu tentang tingkat tutur bahasa Jawa, alih kode, campur kode antara lain penelitian yang dilakukan oleh; Mulyani dalam tesis dengan judul “Alih Kode dan Campur Kode Dalam Kegiatan Belajar-Mengajar di Pesanttren Moderen Arrisalah Kabupaten Ponorogo” (Kajian Sosiolinguistik). Penelitian ini menampilkan data alih kode dan campu kode dari empat bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Jawa. Dalam analisinya meninjau (1) Wujud alih kode yang ditemukan dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, di pesantren moderen “Arrisalah” serta kapan munculnya. (2) Campur kode yang ditemukan dalam kegiatan belajar-mengajar. (3) Faktor-faktor penentu peristiwa alih kode dan campur kode. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut (1) Terjadi alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, Arab, dan Jawa. (2) kegiatan alih kode muncul pada kegiatan belajar-mengajar pada awal (meliputi; salam, tegur, sapa, dan memberikan motifasi), kegiatan inti (meliputi; memberikan penjelasan, merespon pemahaman santri, dan menarik kesimpulan topik pelajaran), kegiatan akhir (meliputi; menutup pelajaran, salam, dan motivasi). (3) Terjadi campur kode ke-luar (counter code mixing) dan campur kode ke-dalam (inner code mixing) dari base language (bahasa dasar), bahasa Indonesia. (5) Wujud campur kode berupa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyisipan kata, frasa, idiom atau ungkapan, kata ulang, dan klausa antar bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, bahasa Arab, serta bahasa Jawa. Skripsi “Pemakaian Bahasa Jawa dalam Ludruk” (Tinjauan Sosiolinguistik) (1986) oleh Siti Zuhriyah, yang membahas tentang aspek kebahasaan yaitu alih kode, interferensi bahasa, bahasa slang, undha usuk, kosakata, lafal, dan bentuk kata. Inti dari pembahasanya dalam kajian bahasa Jawa dalam Ludruk memiliki perbedaanperbedaan dengan bahasa baku dalam hal lafal kata, bentuk kata, dan kosakata serta banyak ditemukanya alih kode, interferensi bahasa Indonesia, pemakaian slang, dan penggunaan ragam krama desa. Skripsi pada tahun 2001 dengan judul “Kajian Bahasa Jawa di Desa Ketandan Kecamatan Klaten Utara” (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik) oleh Arisanti Suwarso. Dalam skripsi tersebut mengkaji tentang bentuk bahasa Jawa dan ragam bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat desa ketandan, kelurahan Klaten Utara. Salah satu faktor yang menentukan penggunaan ragam bahasa Jawa masyarakat Desa Ketandan. Penggunaan bahasa Jawa di daerah tersebut mengunakan jenis wacana berdasarkan pemaparanya. Meliputi wacana historis dan wacana eksposisi. Tingkat tutur yang digunakan masyarakat tersebut adalah (1) penutur, (2) mitra tutur, (3) situasi tutur, (4) tujuan tutur, (5) hal yang dituturkan. Peneliti tertarik terhadap salah satu kelompok masyarakat sebagai pengguna lebih dari satu bahasa adalah lembaga pendidikan pesantren atau lebih popular disebut dengan Pondok Pesantren (selanjutnya disingkat: Ponpes). Terutama Ponpes yang ada di wilayah Jawa Tenggah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Karesidenan Surakarta yang merupakan salah satu daerah yang banyak lembaga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pendidikan Ponpes. Lebih spesifik Boyolali merupakan bagian dari Karesiden Surakarta yang mempunyai lembaga pendidikan Islam Ponpes yang sampai sekarang masih ada bahkan semakin berkembang sistem pendidikanya. Salah satu Kecamatan Boyolali yang memiliki lembaga pendidikan Ponpes adalah Kecamatan Simo, Desa Gunungmadu. Lembaga tersebut benama Ponpes Darusy Syahadah (selanjutnya disingkat: PDS). Bahasa yang umum digunakan di PDS adalah bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa Inggris, sedangkan bahasa Jawa tidak dipakai dalam aktifitas di PDS, tetapi dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitar ponpes, bahasa Jawa sering digunakan dan memegang peranan penting dalam tercapainya suatu komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar. Secara geografis ponpes tersebut berlokasi di pedesaan sehingga masyarakat sekitar merupakan pengguna bahasa Jawa. Dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar, santri PDS menggunakan beberapa bahasa salah satunya adalah bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan sedikit bahasa Inggris. Sehingga dalam komunikasi dengan masyarakat, santri PDS mengunakan beberapa bahasa secara bersama dan ada percampuran bahasa yang digunakan. Disamping itu, para santri yang kebanyakan berasal dari luar daerah setempat, bahkan santri berasal dari luar pulau Jawa. Sehingga dipastikan ada perbedaan ciri kebahasaan yang dikuasai oleh para santri khususnya bahasa Jawa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan penduduk setempat. Walaupun bahasa Jawa tidak dibolehkan digunakan dalam situasi formal dalam pondok, tetapi diperbolehkan dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar, sehingga bahasa Jawa masih sering digunakan bagi santri yang mampu berbahasa Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Salah satu wadah komunikasi dengan masyarakat di wilayah sekitar PDS adalah kajian yang dilakukan oleh para santri. Kajian tersebut atau istilah yang digunakan oleh santri PDS disebut dengan kegiatan Ta’lim, kegiatan tersebut merupakan pengabdian santri PDS terhadap masyarakat sekitar. Kegiatan ta’lim tersebut dilakukan di wilayah sekitar PDS, yaitu wilayah kecamatan Simo. Ta’lim dilakukan oleh para santri PDS putra selama duakali dalam sepekan, yaitu hari selasa dan hari ju’mat. Kegiatan ta’lim tersebut dimulai sekitar pukul lima belas tiga puluh atau jam setengah empat sore dan selesai sekitar pukul tujuh malam. Kegiatan ta’lim (belajar) tersebut berupa pengajaran ilmu agama Islam, kajian Islam, atau tausyiah untuk para masyarkat. Ta’lim tersebut dilakukan di masjid dan mushola sekitar PDS atau dalam wilayah Kecamatn Simo.
Masyarakat sekitar
merupakan pemakai bahasa Jawa sehingga dalam penyampain materi harus menyesuaikan dengan bahasa yang dikuasai masyarakat sekitar. Sehingga dimungkinkan akan banyak alih kode, campur kode dan interferensi bahasa yang digunakan oleh santri dalam menyampaikan ilmu. Melihat kenyataan diatas, jika beberapa bahasa tersebut digunakan untuk berkomunikasi dengan masyarakat maka akan timbul percampuran bahasa atau penggunaan bahasa lebih dari satu. Peneliti mengangap bahwa objek tersebut sesuai dengan bidang linguistik terutama dalam kajian sosiolinguistik, maka penelitian ini mengambil judul Pemakaian Bahasa Jawa oleh Santri Pondok Pesantren Darusy Syahadah Kabupaten Boyolali.
Penelitian tersebut untuk meneliti tentang
pemakaian bahasa Jawa oleh sanri PDS dengan kajian sosiolinguistik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari hasil survai lapangan yang biasa dipaparkan dalam kaitanya dengan peristiwa alih kode, campur kode, dan interferensi yang terjadi santri PDS dalam kegiatan pengapdian masyarakat yang berupa kegiatan rutin ta’lim di masjid dan mushola di wilayah sekitar kecamantan Simo adalah sebagai berikut. a. Alih kode 1. Mboten sah diterangke mawon empun jelas nggih buk niki. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat. (279) ‘Tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya bu ini. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat.’ 2. Menawi Rasaullullah ngelaksanaaken ngeten niki nggih kita ngelaksanaaken, ananging yen menawi Rasullullah mboten ngelaksanaake, nggih kita mboten ngelaksanaake. Amargi napa, man amilla ammallaisa allahwama asmummah falya’ rabbun. (255) ‘Terus ada, Rassul Allah (utusan Allah) ya pernah bicara. Barang siapa yang mempercayai dukun atau tukang sihir maka selama empat puluh hari sholatnya tidak diterima.’ b. Campur kode 1. Dados nek dicuri niku ukurane napa namine seper empat dinar, seper empat dinar niku nek dirupiahke berapa buk? Satu dinar niku berapa? (59) ‘Jadi kalau (yang) dicuri itu ukuranya apa namanya satuper empat dinar (mata uang emas) satuseper empat dinar itu kalau dirupiahkan berapa Bu? Satu dinar itu berapa?’ 2. Nek misale iqab wonten ndonya nggih kathah sanget buk. Iqab ndonya nggih ibuk sampun ngerthosi ananing yen iqob wonten akhirat kita sedhaya boten ngertosi magkih di antar kita sedaya wonten ingkang mlebet suwarga nggih boten ngertos, wonten ing neraka nggih boten ngertos sedhaya. (151) ‘Kalau misalnya balasanadadi dunia ya banyak sekali. Balasan dunia ya ibu sampun ngertosi tapi kalau balasan di akhirat kita semua tidak mengetahui nanti diantara kita semua ada yang masuk syurga ya tidak mengetahui, di dalam neraka ya tidak mengetahui semua.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. Interferensi 1. Kemudian napa malih buk? Ketika sujud. Kletika terdholimi, jenengan tersakiti oleh orang lain. Nggih misale napa namine? Bu Sini niki dithutuklah kalih buk takmirlah. (12) ‘Kemudia apa lagi Bu? Ketika sujud, ketika tertindas. Anda tersakiti oleh orang lain . ya misanya apa namanya? Bu Sini itu dipukul oleh bu Takmir lah.’ 2. Pemerintahan niku di rancang kalian islam didadhekke hukum-hukum Islam kalian pemimpin niku hanya bertaqwa kepada Allah, mboten wonten korupsi, mboten wonten. Bahwasane niku malah seperti sakniki jamane pemilu demokrasi, pemilu niki sing nyalonke nggih butuh ragat gedhe, dadhos ngeh mangkih wonten maksud liyane. (110) ‘Pemerintahan itu dirancang dengan Islam dijadikan hukum-hukum Islam oleh pemerintah itu hanya bertaqwa kepada Allah, tidak ada korupsi, tidak ada. Bahwasanya itu malah seperti sekarang jamanya pemilu demokrasi pemilu ini yang mencalonkan ya butuh biyaya besar, jadi ya nanti ada maksud lainya.’
Dalam paparan tersebut merupakan model bahasa yang digunakan oleh santri PDS dalam berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Ihwal kode merupakan hal yang penting untuk diteliti dalam bidang linguistik, terutama dalam pendekatan sosiolinguistik. Dalam penelitian ini membahas alih kode, campur kode, interferensi serta ragam bahasa Jawa pada masyarkat multilingual, yaitu kelompok masyarakat pengguna beberapa bahasa. Berupa Pemakaian bahasa oleh santri Pondok Pesantren Darusy Syahadah. Penelitian ini berfokus pada alih kode, campur kode, interferensi, dan bahasa Jawa yang digunakan oleh Santri PDS dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Terjadinya ACI (Alih kode, Campur kode, dan Interferensi) karena bahasa Santri PDS merupakan pengguna beberapa bahasa yang digunakan secara Kondisional.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Pembatasan Masalah Penelitian ini mengkhususkan pada pemakaian bahasa Jawa oleh santri putra Ponpes Darusy Syahadah, yaitu untuk menentukan, alih kode campur kode, interferensi, ragam bahasa Jawa atau pilihan kata dalam berkomunikasi. Terutama komunikasi dalam masyarakat pada kegiatan ta’lim yang diselengarakan oleh PDS secara rutin dua kali dalam sepekan, pada hari selasa dan jum’at di lingkup Kecaman Simo.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini mengajukan tiga masalah, yaitu. 1. Bagaimanakah bentuk
pemakaian bahasa oleh santri Ponpes Darusy
Syahadah? (rumusan ini mencakup alih kode, campur kode, interferensi, dan ragam /tingkat tuturbahasa Jawa). 2. Faktor apa saja yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah? (rumusan ini mengkaji faktor-faktor yang mepengaruhi pemakaian bahasa Jawa). 3. Bagaimanakah fungsi pemakaian bahasa Jawa oleh santri Ponpes Darusy Syahadah? (rumusan ini membahas fungsi bahasa Jawa dalam alih kode, campur kode, interferensi, dan ragam bahasa).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Tujuan Penelitian Tujuan ahli bahasa adalah untuk mempelajari selengkap mungkin tentang segala sesuatu yang sistematis dalam pemakaian bahasa (Uhlenbeck, 1982:15). Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini meliputi. 1. Mendeskripsikan bentuk pemakaian bahasa oleh santri
Ponpes Darusy
Syahadah meliputi, alih kode, campur kode, interferensi, dan ragam bahasa Jawa. 2. Menentukan faktor apa saja yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa Ponpes Darusy Syahadah. 3. Mendeskripsikan fungsi pemakaian bahasa Jawa oleh Santri Ponpes Darusy Syahadah.
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari suatu penelitian adalah menggambarkan nilai dan kualitas penelitian. Adapaun manfaat penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis, maupun secara praktis 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan mengenai sosiolinguistik . Terutama menberikan pemahaman dan pengetahuan tentang wujud alih kode, campur kode, interferensi, dan pemakaian bahasa Jawa oleh santri PDS dalam komunikasi lisan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Manfaat Praktis 1) Bagi peneliti, selanjutnya diharapkan dapat memberikan informasi tentang alih kode, campur kode, dan interferensi dalam pandangan sosiolinguistik. Selain itu dapat dipakai sebagai model penelitian berikutnya. 2) Bagi masyarakat, penelitian ini dapat membantu memberi informasi kebahasaan serta mengetahui penggunaan bahasa Jawa oleh santri dalam berkomunikasi dengan masyarakat. 3) Bagi santri, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan contoh pemakaian bahasa Jawa untuk melaksanakan ta’lim dengan baik dan benar.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan laporan atau hasil penelitian ini terdiri dari lima bab yaitu sebagai berikut. Bab I
Pendahuluan. Meliputi latar belakang masalah, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
Bab II
Kajian Pustaka dan kerangka pikir. Untuk kajian pustaka mencakup pengertian sosiolinguistik, masyarakat bahasa, variasi bahasa, kontak bahasa, bilingualisme, diglosia, tingkat tututr bahasa Jawa, komponen tutur, serta informasi keadaan ponpes Darusy Syahadah. Sedangkan untuk kerang kapikir merupakan tahapan- tahapan alur kerja penelitian.
Bab III Metode Penelitian. Bab ini berisi tentang jenis penelitian, lokasi penelitian, data penelitian, sumber data, populasi, sample, alat penelitian, metode dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
teknik penyediaan data, metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data. Bab IV Hasil Analisis Data dan Pembahasan. Bab ini merupakan hasil analisis dan pembahasan dari keseluruhan data mengenai pemakaian bahasa Jawa oleh Santri Ponpes DS Kabupaten Boyolali. Bab V
Penutup. Bab ini adalah bagian akhir yang memuat tentang kesimpulan dan saran yang didapat dari penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Sosiolinguistik Pengertian sosiolinguistik dari berbagai pakar bahasa tidak jauh berbeda, diantaranya adalah menurut Abdul Chaer, sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguitik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor sosial di dalam masyarakat tutur (Abdul Chaer, 2004:4). Menurut Kridalaksana, sosiolingusistik merupakan ilmu yang mempelajari ciri bahasa, beberapa variasi bahasa dan hubungan antara pengguna bahasa dengan ciri fungsi variasi bahasa dalam suatu masyarakat tutur (Kridalaksana, dalam Abdul Chaer 2004:3 197). Sosiolinguistik menurut pendapat lain merupakan kajian interdisipliner yang mempelajari pengaruh budaya terhadap cara suatu bahasa digunakan. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku berbahasa sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain. Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi disekitarnya. Disimpulkan oleh I Dewa Putu Wijana dan Muhammmad Rohadi bahwa (2006:7), commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sosiolinguistik sebagai ilmu interdisipliner yang menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam hubunganya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan kultural.
B. Masyarakat Bahasa Dalam kamus linguistik masyarakat bahasa (speech community) adalah kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standar yang sama (Harimurti krida laksana, 2001:134). I Dewa Putu Wijana dan muhammad Rohadadi (2006:46) menyebut masyarakat bahasa dengan istilah masyarakat tutur. Mereka berpendapat bahwa masyarakat tutur adalah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat yang lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan. “Masyarakat Bahasa (Speech Community) menurut para pakar antara lain, John Gumperz (1968) Masyarakat bahasa adalah sebuah bangsa, masyarakat subwilayah, asosiasi sekelompok orang dalam pekerjaan, atau geng suatu lokasi yang mencirikan keganjilan bahasa. Dell Hymes (1972/1973) Masyarakat bahasa adalah semua anggota masyarakat yang tidak hanya menggunakan satu aturan yang sama secara bersama-sama dalam berbicara, tetapi juga menggunakan setidak-tidaknya satu variasi bahasa. Glyn Williams (1992) Masyarakat bahasa adalah sekumpulan individu dalam interaksi. Bernard Spolski (2003) Masyarakat bahasa adalah semua orang yang menggunakan satu bahasa dengan pengucapan dan gramatika yang sama atau berbeda”. (http://www.sigodang.blogspot.com / 27 / 11 / 2008). Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki oleh penutur beserta keterampilan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya. Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu maupun kelompok disebut verbal repertoire. Verbal repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu verbal repertoire yang dimiliki individu dan yang dimiliki masyarakat. Jika suatu masyarakat memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama terhadap pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat bahasa. Menurut Ferdinan De jsarangih, Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, dibedakan menjadi tiga masyarakat bahasa, antara lain (1) Masyarakat monolingual (masyarakat penguna satu bahasa), (2) Masyarakat bilingual (masyarakat penguna dua bahasa), (3) Masyarakat multilingual atau masyarakat penguna lebih dari 2 bahasa dalam berkomunikasi (di kutip dalam http://www.sigodang.blogspot.com/27/11/ 2008).
C. Variasi Bahasa / Ragam Bahasa Variasi bahasa atau ragam bahasa merupakan bahasa pokok dalam studi sosiolinguistik (Abdul Chaer, 2004:5). Sebagai sebuah langue sebuah bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang dipahami sama oleh semua penutur bahasa itu. Namun karena penutur bahasa tersebut meski berada dalam masyarakat tutur tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa yang kongret disebut parole, menjadi tidak seragam. Sehingga bahasa menjadi bervariasi, terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Dalam hal variasa atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Atau dengan kata lain, variasi bahasa pertama-tama dibedakan berdasarkan penutur dan penggunanya. Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:62) mengklasifikasikan variasivariasi bahasa sebagai berikut. a) Variasi dari Segi Penutur Pertama, variasi dari segi penutur adalah Idiolek, yaitu variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Hal ini berkenaan dengan suara, pilihan kata, gaya bahasa, dan susunan kalimat. Kedua, Dialek yaitu variasi bahasa dari sekelompok penutur yang yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah, atau area tertentu. Ketiga, Kronolek atau dialek temporal yaitu variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Keempat, Sosiolek atau Dialek sosial yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkatan, golongan status, dan kelas sosial biasanya dikemukakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot dan ken. Adajuga yang menyebut dengan bahasa prokem.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Variasi dari Segi Pemakaian Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakainya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam atau register (Nababan:1984, dalam Abdul Chaer:2004). Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi ini menyangkut bahasa itu digunakan untuk apa. Misalnya dalam bidang agama, pendidikan, dan lain sejenisnya. c) Variasi dari Segi Keformalan Berdasarkan keformalan, (Martin Joos:1967, dalam Abdul Chaer:2004) membagi bahasa menjadi lima macam gaya (selanjutnya disebut ragam), yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsulatif). Gaya atau ragam Santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate). 1) Ragam beku Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi. Misalnya dalam khutbah di masjid, upacara kenegaraan, dan lain sejenisnya. 2) Ragam resmi Ragam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran dan lain sejenisnya. 3) Ragam usaha atau ragam konsulatif Ragam usaha adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam pembicaraan disekolah, dalam rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
produksi. Atau dengan kata lain ragam ini adalah ragam bahasa yang paling oprasional. Wujud ragam ini berada diantara ragam formal dan ragam informal. 4) Ragam santai atau ragam kasual Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang. Bentuk santai ini banyak menggunakan bentuk alegro, yaitu bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. Kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah, begitu juga dengan struktur morfologi dan sintaksis yang normatif tidak digunakan. 5) Ragam akrab atau ragam intimate Ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubunganya sudah akrab, seperti teman yang sudah akrab. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang tidak jelas. Hal ini terjadi karena diantara partisipan sudah ada saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama.
d) Variasi dari Segi Sarana Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis atau juga ragam dalam bahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misalnya bahasa dalam telepon atau bahasa dalam SMS (short massage service) layanan pengiriman data via Handphone. Adanya ragam bahasa ini memiliki wujud atau struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan wujud struktur ini karena dalam berbahasa lisan atau dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu oleh unsur-unsur nonsegmental commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau unsur nonlinguistik yang berupa nada atau suara gerak-gerik tanggan dan sejumlah gejala-gejala lainnya, tetapi dalam bahasa tulis hal tersebut tidak ada dan diekspresikan secara verba.
D. Kontak Bahasa Dalam masyarakat sosial, artinya masyarakat yang angotanya dapat menerima kedatangan anggota
dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu
masyarakat akan terjadi kontak bahasa (Abdul Chaer, 1984:65). Kontak bahasa itu merupakan bentuk-bentuk yang mungkin saja tidak sesuai dengan standar yang berlaku pada masyarakat yang mengalami kontak bahasa. Bahasa Indonesia tentu saja memiliki karakter khusus karena berakar dari tradisi etnik lokal yang kemudian
dimodifikasi dan diadopsi menjadi bahasa
persatuan yang berfungsi sebagai perekat keberagaman etnik. Bahasa Indonesia bersifat fleksibel dan ini tampak dalam berbagai dialek misalnya bahasa Indonesia dialek Betawi, dialek Banyumas, dialek Surakarta, dialek Yogyakarta, dialek Sulawesi Selatan, dialek Palembang, dialek Papua dan lain sebagainya, dan menurut Saussure dalam Chaer (2004), hal ini adalah aspek parole dari bahasa. Dari kontak bahasa
tersebut
akan
dengan
menggunakan
dwibahasa
tersebut
sehingga
menimbulkan alih kode, campur kode, dan interverensi.
1. Alih Kode Menurut Appel dalam Abdul Chaer (2004:114) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan bahasa karena perubahan situasi. Tetapi menurut Dell commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hymes, dalam Kunjana Rahardi (2001:20) menyatakan bahwa alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antar ragam-ragam atau gaya-gaya yang berbeda dalam suatu bahasa. Apabila seseorang berkomunikasi semula menggunakan bahasa Jawa, kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia, atau berubah dari ragam santai menjadi ragam resmi atau kebalikanya, maka peralihan pengunaan bahasa seperti itu disebut alih kode (code switching) di dalam sosiolinguistik peristiwa alih kode biasa berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya, atau alih register (Soewito, 1983:68). Alih kode dapat berupa alih kode tetap dan alih kode sementara atau tidak tetap. Alih kode tetap merupakan alih kode jika penutur semula menggunakan bahasa X kemudian tidak lagi menggunakan bahasa X akan tetapi menggunakan bahasa Y. Untuk alih kode sementara peralihan penggunaan bahasa X ke dalam bahasa Y yang sifatnya hanya sementara dapat berubah lagi menggunakan bahasa sebelumnya (bahasa X) hal tersebut karena dipengaruhi faktor-faktor tertentu. Pendapat Soewito (1983: 69) alih kode terdiri dari dua, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern. Yang dimaksud alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri, sedangkan alih kode ekstrn terjadi antara bahasa sendiri dengan bahasa asing. Alih kode interen nampak misalnya ketika orang semula menggunakan bahasa Jawa kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia, bisa juga orang semula menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko kemudian mengunakan bahasa Jawa ragam krama, disebabkan sesuatu hal. Sedangkan alih kode ekstern nampak jika seorang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penutur semula menggunakan bahasa Jawa tetapi atas suatu hal penutur tersebut beralih menggunakan bahasa Arab. Menurut Suwito (1983: 72), wujud alih kode intern maupun ekstern dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: 1) Penutur atau orang pertama, dilakukan dengan maksud mengubah situasi dari situasi resmi ke situasi tak resmi. 2) Mitra tutur atau orang kedua, pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tutur. 3) Hadirnya orang ketiga, hal tersebut karena ingin berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. 4) Pokok pembicaraan atau topik, biasanya berupa pokok pembicaran formal informal. 5) Untuk membangkitkan rasa humor, agar tidak merasa bosan atau tegang. 6) Untuk sekedar gengsi, bahwa penutur mampu mengunakan bahasa lain.
2. Campur Kode Hampir rancu pengertian alih kode dan campur kode, kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah orang yang mengunakan dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai nilai keduanya namun, yang jelas kalau dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonom masingmasing, dilakukan dengan sadar, dengan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan campur kode dilakukan untuk mempermudah menyampaikan suatu hal dan tidak serta-merta dilakukan dengan sadar, tetapi dilakukan secara spontanitas. Menurut Thender (1976) seperti yang dikutip oleh Abdul Chaer (2004:115) dalam membedakan campur kode dengan alih kode apabila dalam suatu peristiwa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke bahasa lain, maka peristiwa tersebut adalah alih kode. Tetapi di dalam suatu peristiwa tutur baik klausa-klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa atau frasa campuran (hybrid clauses, hybrid pharase), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa tersebut merupakan peristiwa campur kode. Menurut Kachru dalam Suwito (1983: 76) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu kedalam bahasa yang lain secara konsisten. Campur kode dipengaruhi oleh beberapa hal, faktor yang menjadi sebab terjadinya campur kode menurut Suwito dalam Mulyani (tesis tahun 2004) berlatar belakang pada sikap dan kebahasaan. Sehingga atas dasar tersebut, faktor penyebab alih kode adalah: 1) Identifikasi peranan, yaitu berkenaan dengan sosial, registral, dan edukasional. (2) identifikasi ragam, dimana seseorang ingin menempatkan dalam hierarkhi status sosialnya. 3) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dari hal di atas ketiga faktor tersebut saling bergantung dan tumpang tindih. Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini bisaanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Bisaanya ciri menonjolnya berupa keadaan santai atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu; (1) campur kode ke dalam (innercodemixing) adalah
campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala
ragamnya, (2) campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing. Ditinjau wujud lingualnya, sebagian bahasa yang diperoleh dari bahasa lain dapat berupa kata-kata, tetapi dapat juga berupa frasa atau unit-unit bahasa yang lebih besar. Wujud campur kode dapat dibedakan berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya (Suwito, 1983: 78) yaitu: 1) Unsur yang berwujud kata yang disisipkan. A B
: Nggih pak nderekke ‘ Ya pak mengikuti’ : Antum mau ikut? ‘Kamu (laki-laki) mau ikut?’
2) Frasa yang disisipkan. Nggih napa naminipun ukuwah ihwah, saudara bersaudara jenengan niku saudara kula. ‘Ya apa namanya rasa persaudaraan, saudara bersaudara anda itu saudara saya’
3) Bentuk baster yang disisipkan. Dilanjutkan dengan pengaosan ataupun ta’lim rutin hari selasa dan jum’at dalam keadaan sehat wal’afiah. ‘Dilanjutkan dengan pengkajian atau pertemuan rutin hari selasa dan jum’at dalam keadaan sehat dan selamat’.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Pengulangan kata yang disisipkan. Wasilah-wasilah utawi napa namine niku perantara-perantara kersane iman kita tambah, kersane iman kita niku baru, iman kita niku napa jadi kuat niku sing sepinda napa mbah? ‘Hal-hal atau apa namanya itu perantara-perantara agar keyakinan kita bertambah, agar keyakinan kita baru, keyakinan kita itu apa jadi kuat itu yang pertama apa embah?’
5) Ungkapan atau idiom yang disisipkan. Kemudian sing nomer tiga niku nggih punika mencuri, haa. Syirik, durhaka kepada orang tua, kemudian mencuri. Rasullullah niku bersabda assarikku wasarikoh fatau uadiaadiahuma. ‘Kemudian yang nomor tiga itu ya itu mencuri, haa. Menyekutukan, durhaka kepada orang tua, kemudian mencuri. Rosullullahitu bersabda pencuru itu potonglah tanganya.’
6) Klausa yang disisipkan. Napa buk kira-kira? Qira’atul e.. dzikrullah fi ayamillah, yaitu dzikir dhumateng Allah dimanapun kita berada. Dzikir nggih buke. Dzikir ndek mbiyen punika buk napa namine? ‘Apa buk kira-kita? Membaca e.. mengingat Allah dimanapun, yaitu mengingat kepada Allah dimanapun kita berada. Dikir ya buk. Dikir kala dulu itu buk apa namanya?’ Dari hal tersebut campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang tertentu ingin menduduki fungsi tertentu yaitu menunjukkan status sosial dan identitas pribadi dalam masyarakat, menurut pendapat Suwito (1983:78).
3. Interferensi Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) dalam Abdul Chaer (2004:120) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, dan penutur multi lingual, masyarakat pengguna bahasa-bahasa secara bergantian. Mackey dalam paul ohoiwutun (2007), menyebut gejala interferensi dapat dilihat dalam 3 (tiga) dimendi kejadian : (1) dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. (2) dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. (3) dimensi pembelajaran bahasa. Dimensi tingkah laku individu penutur dapat disimak dari berbagai praktek campur kode yang dilalukan penutur yang bersangkutan. Interferensi ini murni merupakan rancangan atau model buatan penutur itu sendiri yaitu menyampur atau mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa yang satu untuk dirakit dalam konteks bahasa lainya. Interferensi dapat masuk dalam masyarakat karena sistem kedua bahasa yang kedua bahasa atau lebih merupakan bahasa yang digunakan secara umum dalam masyarakat. Sehingga interferensi muncul untuk suatu tujan tertentu oleh individu penguna bahasa. Interferensi jenis ke-tiga yaitu dalam dimensi pembelajaran. Dalam hal ini proses pembelajaran bahasa ke-dua atau Asing, pembelajar tentu menjumpai unsurunsur yang mirip atau mungkin sama dengan bahasa pertama (bahasa induk). Kondisi demikian dianggap dapat mempermudah proses pembelajaran. Pembelajaran menyesuaikan unsur-unsur yang mirip dan sama itu dalam mengenai dan menggunakan sistem bahasa yang baru. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Proses ‘transfer’ ini diidentifikasi sebagai transfer positif. Sebaliknya bahasa pertama dengan bahasa asing sangat berlainan sehingga hampir tidak memiliki komponen yang mirip, maka proses pembelajaran akan semakin rumit. Transfer dalam bisnis pembelajaran bahasa yang kurang menguntungkan ini dikategorikan sebagai transfer (pembelajaran) negative. Transfer positif dapat dapat dijadikan alat oleh guru untuk membantu keberhasilan pembelajaran. Sebaliknya guru dapat berupaya mengurangi sedapat mungkin terjadinya transfer negatif pada siswa. Baik transfer positif maupun negatif tergolong interferensi, karena keduaduanya melibatkan pengalihan unsur-unsur bahasa dari satu bahasa yang satu kedalam bahasa yang lainnya. Interferensi terjadi dalam pembelajaran bahasa secara resmi di kelas dan dapat juga terjadi dalam proses pemerolehan bahasa ke-dua atau bahasa asing di luar program kelas, misalnya adalah hal pidato, kajian agama atau ta’lim atau dalam pergaulan kita dalam masyarakat yang bilingual atau multi lingual. Jika interferensi dalam masyarakat berlangsug dalam waktu yang lama sehingga unsure serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri dengan system bahasa penyerapnya, sehingga menjadi umun karena tidak lagi terasa asing oleh suwito disebut dengan integrasi (Suwito, 1983:59).
E. Bilingualisme Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah bilingualisme merupakan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulanya dengan orang lain secara bergantian (Abdul commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Chaer 2004:84).
digilib.uns.ac.id
Pendapat Blomfield mengenai bilingualisme, yaitu kemampuan
seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa secara sama baiknya, menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode (Blomfield dalam Abdul Chaer, 1933:87). Pakar lain berpendapat bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur (Mackey dalam Abdul Chaer 2004:87). Pergantian dalam pemakaian bahasa dilatarbelakangi dan ditentukan oleh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh penutur itu dalam tindak tutur (bdk.Sumarsono dalam Kunjana Rahardi, 2001:14). Macnamara, seperti yang dikutip oleh Kunjana Rahardi (2001:14), mengatakan bahwa batasan bilingualisme pemilikan penguasan (mastery) atas paling sedikit bahasa pertama dan bahasa kedua.
F. Diglosia Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing memiliki peranan tertentu (Ferguson dalam Abdul Chaer, 2004:92). Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa : variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R). Menurut Fishman seperti yang dikutip oleh Kunjana Rahardi (2001:14), melihat diglosia sebagai adanya perbedaan fungsi, mulai adanya perbedaan stilistik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari sebuah bahasa sampai adanya perbedaan fungsi dari dua buah bahasa yang berbeda yang terdapat antara dialek, register, atau fariasi bahasa secara fungsional. Fasold, dalam (Abdul Chaer, 2004: 98) konsep diglosia dikembangkan menjadi apa yang disebut broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau juga dua dialek secara biner, melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada perbedaan tingkat fungsi kebahasaan, sehingga muncul apa yang disebut oleh Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut doubel overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda. Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multi lingual, yang terdapat dua bahasa yang diperbedakan yaitu, satu sebagai bahasa tinggi dan yang lain sebagai bahasa rendah. Sedangkan linear polyglosia dimana dalam masyarakat multi lingual terdapat bahasa yang mempunyai dua kedudukan.
G. Tingkat Tutur Bahasa Jawa Ketika seseorang berbicara selain memperhatikan kaidah-kaidah bahasa, juga harus memperhatikan siapa orang yang diajak bicara. Berbicara dengan orang tua berbeda dengan berbicara pada anak atau yang seumur. Tingkat tutur merupakan sistem ragam bahasa menurut hubungan antara pembicara, secara kasar dari bentuk ngoko, madya dan krama (Harimurti Kridalaksana, 1993:223). Sry Satriya Tjatur Sasangka (1997:1), menggunakan istilah unggah-ungguh bahasa untuk menyebut istilah tingkat tutur bahasa yang digunakan oleh Harimurti Krida Laksana. Begitu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
juga Aryo Bimo Setiyanto (2007:26), menyebut tingkat tutur bahasa Jawa dengan istilah unggah-ungguhing basa. Dalam Parama Sastra Bahasa Jawa tingkat tutur bahasa Jawa pada dasarnya dibagi menjadi tiga, yaitu ngoko, madya, dan krama. Selain itu orang-orang Istana/Kedhaton menggunakan bahasa Kedhaton
atau sering disebut bahasa
bagongan, sehingga tingkat tutur bahasa Jawa dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu ngoko, madya, krama, dan kedhaton. Ngoko dibagi menjadi dua, (1) ngoko lugu, (2) ngoko andhap. Madya dibagi menjadi tiga, (1) madya ngoko, (2) madya krama, dan (3) madyaantara. Krama dibagi menjadi lima, yaitu (1) mudha krama, (2) krama antara, (3) wredha krama, (4) krama inggil, dan (5) krama desa. Bahasa kedhaton tidak dibagi tetapi hanya disebut dengan bahasa bagongan (Aryo Bimo Setiyanto, 2007:26). Karti Basa dalam Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2007:12-13) disebut bahwa tindak tutur bahasa Jawa dengan istilah undha-usuk bahasa Jawa terdiri dari (1) ngoko,(2) madya, (3) krama, (4) krama inggil, (5) kedhaton, (6) krama desa, dan (7) kasar. Tingkat tutur ngoko dibedakan menjadi dua, yaitu ngoko lugu dan ngoko andhap. Ngoko andap dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ngoko antyabasa dan basaantya. Tingkat tutur madya dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) madya ngoko, (2) madya antara, dan (3) madya krama. Tingkat tutur Krama Juga dibedakan lagi menjadi tiga, yaitu (1) mudha krama, (2) krama antara, dan (3) wredha krama. Poerbatjaraka dalam Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2007:17) berpendapat bahwa tingka tutur bahasa Jawa pada prinsipnya hanya terdiri dari empat macam, yaitu ngoko, krama, ngoko krama, dan krama ngoko. demikian juga halnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan Hadiwijana, menbagi tingkat tutur Jawa menjadi basa baku, basa krama, basa madya, dan bahasa hurmat. Sudaryanto juga membagi tingkat tutur menjadi empat, yaitu, ngoko, krama alus, krama, dan krama alus. Eko Wardono dalam Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2007:18) mengelompokkan tingkat tutur bahasa Jawa menjadi dua yaitu ngoko dan krama. Jika tingkat tutur ngoko ditambah krama inggil, tingkat tutur tersebut akan menjadi ngoko alus. Jika tingkat tutur krama ditambah krama inggil, tingkat tutur tersebut akan menjadi krama inggil, tingkat tutur tersebut hanya berupa ngoko lugu atau krama lugu. Jadi ada kesamaan antara pendapat Sudaryanto dengan Eko Wardonono. Berdasarkan uraian diatas tingkat tutur bahasa Jawa atau unggah ungguhing basa yang dipakai dalam penelitian membagi tingkat tutur BJ menjadi tiga seperti dalam buku parama sastra jawa oleh Antun Suhono (1953); (1) ragam Ngoko, (2) ragam Madya, (3) ragam Krama. Ragam Ngoko dibagi menjadi 2 (dua), Ngoko Lugu dan Ngoko Andap. Ragam madya dibagi menjadi 3 (tiga); Madya Ngoko, Madya Krama, dan Madyantara. Sedangkan ragam Krama di bagi menjadi lima, Muda Krama, Kramaantara, Wredakrama, Krama Inggil, dan Krama Desa.
1. Ragam Ngoko Yang dimaksud dengan ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi inti ragam ngoko adalah leksikon ngoko bukan leksikon yang lain. Tingkat tutur ini merupakan tingkat tutur yang menunjukkana kesopanan rendah. Dalam ragam ini ada dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko andap.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a) Ngoko Lugu adalah semua kata dalam tingkat ini bentuk ngoko dan netral tanpa ada leksikon yang lain. Biasa ditandai dengan afiks [-e] (dak, ko, di), dan kata aku (ku), kowe (mu) serta [-ake]. Ragam ini digunakan untuk; orang tua kepada anak, untuk urang sedrajat, status sosial tinggi kepada status sosial rendah. b) Ngoko Andap adalah percampuran leksikon ngoko, netral dan krama tetapi yang dominan adalah leksikon ngoko, leksikon krama (krama inggil atau krama andap) yang muncul dalam ragam ini hanya digunakan untuk penghormat mitra tutur (menyebut mitra tutur) . Digunakan untuk orang yang sudah akrab.
2. Ragam Madya Ragam ini merupkan tingkatan sedang, leksikon terdapat dalam tingkat tutur ini adalah leksikon ngoko dan leksikon krama yang kadar kehalusanya relatif rendah. Ragm ini dibagi menjadi 3 (tiga) seperti di bawah ini. a) Madya Ngoko, leksikon yang muncul adalah leksikon madya dan ngoko. Misalnya /aku/ menjadi /kula/, /kowe/ menjadi /dika/. Digunakan oleh orang desa atau orang pegunungan. b) Madya Krama, terdiri dari leksikon madya tercampur leksikon krama. Misalnya /aku/ menjadi /kula/, /kowe/ menjadi /sampeyan/. Digunakan oleh orang desa dengan orang desa lainya. c) Madyantara, terdiri dari leksikon madya, leksikon krama, dan leksikon krama inggil. Digunakan untuk orang istri (tingakt sosial rendah) kepada suwaminya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Ragam Krama Tingkat tutur krama merupakan ragam atau tingkat tutur bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama bulan leksikon yang lain. Afik yang sering muncul dalam ragam ini adalah afik berbentuk krama. Ragam krama mencerminkan penuh rasa sopan santun. a) Muda Krama adalah semua kata dalam tingkat ini bentuk krama, meskipun begitu yang menjadi leksikon inti adalah dalam ragam krama dan terdapat krama inggil digunakan untuk lawan bicara. Ragam ini cocok untuk siapa saja, misalnya orang muda kepada orang tua b) Kramantara adalah merupakan bentuk ungah-unguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya merupakan kosakata krama tidak tercampur krama inggil. c) Wreda Krama, sama seperti kramantara tetapi megandung afiks [di-] dan [-e] d) Krama Inggil, tingkat tutur tingkatan paling tinggi. bentuk tingkat tutur yang terdiri dari leksikon krama smua dan krama Inggil (misalnya, dipun-, -ipun, dan –ake). e) Krama Desa, ragam krama dan mendapat leksikon krama desa (bahsa desa). Misalnya, /wani/ menjadi /wantun/, /kwali/ menjadi /kwangsul/, /belo/ menjadi /belet/ dan lain sejenisnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagan 1 Tingkat Tutur Bahasa Jawa Menurut Antun Suhono
Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Ngoko
Ngoko Lugu Ngoko Andap
Madya
Madya Ngoko Madya Krama Madyantara
Krama
Muda Krama Kramantara Wredakrama Krama Inggil Krama Desa
H. Komponen Tutur / Speaking Suatu komunikasi antara orang satu dengan orang lain yang bentuk kebahasaannya berbeda, menurut Dell Hymes (1972) dalam Abdul Chaer (2004:48) bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen sebagai unsur berbahasa (component of speech) yang dihasilkan berdasarkan analisisnya dalam suatu akronim bahasa Inggris dengan huruf [S], [P], [E], [A], [K], [I], [N], [G] yang menyangkup antara lain (a) Setting and Scene, (b) Participants, (c) Ends, (d) Act sequence, (e) Key, (f) Instrumentalities, (g) Norm of interpretation, (h) Genres. Penjelasan komponen di atas antara lain sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Setting and scene Seting berkenaan denga waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada latar psikolagis pembicaraan. Waktu, tempat dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi yang berbeda. Dalam penelitian ini mengambil tempat ta’lim PDS, di masjid atau mushola sekitar kecamatan Simo, Boyolali. 2. Participants (Partisipan) Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam petuturan, bisa pembicara dengan pendengar, penyapa dengan pesapa, atau pengirim dengan penerima (pesan). Dalam penelitian ini pihak-pihak yang terlibat adalah santri (murid) dengan santri, santri orang lain atau masyarakat. 3. Ends (Tujuan) Ends, merujuk pada maksud dan tujuan petutur. Peristiwa tutur santri dalam kegiatan ta’lim dengan masyarakat bermaksud untuk menyampaikan materi atau ilmu agama dengan tujuan agar masyarakat mendapat pencerahan ilmu agama (Islam). 4. Act sequence (Urutan Tindak) Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana pengunaanya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Pembicaran pada situasi belajar mengajar berbeda dengan situasi pada saat olah raga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Key (Kunci) Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong dan lain sejenisnya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. 6. Instrumentalities (Alat) Instrumentalis, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis melalui surat atau SMS. Hal ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, dan register. Dalam penelitian ini lebih dominan adalah bahasa lisan yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari dalam kegiatan ta’lim. 7. Norm of interpretation (Norma Interprestasi) Norm of interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. 8. Genre (Jenis) Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sejenisnya.
I. Pondok Pesantren Daruss Syahadah (PDS) Pondok Pesantren adalah sebuah lembaga yang multi fungsi, dalam arti bahwa disamping pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan dan sebagai pengajaran agama Islam, sekaligus juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan umum, lembaga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sosial, politik dan lembaga kebudayaan. Sebagai lembaga keagamaan, lembaga Ponpes merupakan pusat pendidikan, pembinaan, pengkajian, pengembangan ajaranajaran agama Islam, dan sebagai tempat untuk mencetak atau menggodok kader-kader ulama Islam. Sejarah juga membuktikan peranan pesantren dalam menentang penetrasi dan dominasi kolonial dibidang politik, sosial, budaya, ekonomi, dan agama (Ahmad Yunus, 1995). Selain Sebagai lembaga pendidikan keagamaan, Ponpes dewasa ini juga sekaligus berfungsi sebagai lembaga pendidikan umum.
Modernisasi menurut
ketrampilan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan itu, maka para santri tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mendalami ilmu-ilmu agama saja, melainkan juga dituntut untuk ketrampilan dan penguasaan IPTEK. Oleh sebab itu, dewasa ini banyak pondok pesantren yang sekaligus juga menyelengarakan pendidikan umum dan tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sisi lain dari sebuah lembaga pesantren adalah sebagai wadah interaksi dan komunikasi orangorang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Ponpes Darusy Syahadah merupakan salah satu Ponpes di wilayah Boyolali, ponpes tersebut didirikan oleh yayasan Yasmin Surakarta pada tahun 1994. Ponpes Darusy Syahadah terdiri dari dua wilayah, yaitu Ponpes Darusy Syahadah Putra yang berlokasi di Dukuh Gunungmadu, Kelurahan Kedunglengkong, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tenggah. Ponpes Darusy Syahadah Putri yang berlokasi di Dukuh Kauman, Kelurahan Blagung, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali. Akan tetapi dewasa ini PDS putri akan di pindah dikarenakan kapasitas pondok yang dirasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sempit disebabkan semakin banyak santri putri yang menuntut pendidikan di PDS, sehinga lokasi PDS putri di tempatkan pada lokasi baru. Visi PDS adalah Terwujudnya insani yang memiliki keseimbangan spiritual, intelektual, dan moral menuju generasi ulul albab yang berkomitmen tinggi terhadap kemaslahatan umat dengan berlandaskan pengabdian kepada Allah. PDS memiliki misi ialah Menyelenggarakan proses pendidikan Islam yang berorientasi pada kualitas untuk mewujudkan kader umat yang menjadi rahmatan lil’alamin. Mendidik dan menyiapkan kader ‘alim mu’ttaqi yang siap berperan aktif dalam amal iqomatuddin. Sedangkan Tujuan PDS yaitu membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berilmu, berakhlak mulia, dan mampu mengaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafusshaleh. Juga untuk mencetak generasi robbani (yang selalu mencari keridhoan Allah) dan ulama’ ’amilin fisabillillah (seorang ulama’ yang siap berkhitmat di jalan Allah). Unit yang dibuka MDI (Madrasah Diniyah Islamiyah), TKS (Takhasshush) dan KMI (Kuliyyatul Mu’allimin), untuk putra / KMA (Kuliyyatul Mu’allimat) untuk putri dan TID, Takhasshush I’dad Du’at (untuk putra), Takhasshush I’dadaud Da’iyat yaitu untuk pasca SLTA santri putri. MDI (Madrasah Diniyah Islamiyah) syaratnya santri tidak tinggal di komplek pesantren, mendidik putra putri yang ada di wilayah sekitar pesantren, usia SD / MI, SMP / MTs dan yang sederajatnya. Waktu belajar sore hari mulai pukul 14.30-17.00. unit ini dibagi menjadi 3 jenjang : unit madrasah diniyah awwaliyah (MDA), wustho commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(MDW), dan ulya (MDU) lama pendidikan 3 (tiga) tahun, dengan target sebagai berikut : 1. Memiliki rasa cinta terhadap Al-Qur’an dan As Sunnah 2. Disiplin Ibadah 3. Berakhlak karimah 4. Memiliki dasar-dasar ulumuddin 5. Memiliki dasar-dasar bahasa arab
TKS dan KMI (Putra) / KMA (putri) atau setara dengan SMA, Santri wajib tinggal di komplek pesantren, mendidik lulusan SLTP / MTs dan yang sederajadnya dengan lama pendidikan 4 (empat) tahun, 1 (satu) tahun TKS dan 3 (tiga) tahun KMI / KMA. Unit TKS merupakan jenjang persiapan sebelum memasuki jenjang KMI / KMA dengan target pendidikan sebagai berikut : 1. Mampu memahami Islam secara lebih mendalam 2. Menguasai ilmu alat dalam Fiqih dan lughah 3. Berakidah salimah dan berakhlak karimah 4. Disiplin ibadah dan berjuang 5. Siap terjun (pakai) dalam Masyarakat 6. Terampil dan sensitive terhadap perkembangan zaman 7. Dapat melanjutkan study di pesantren-pesantren tinggi (ma’had ‘aly) baik di dalam maupun luar negri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TID (Takhasshush I’dad Du’at) untuk pasca SLTA santri putra, sedangkan (Takhosshuas I’dadaud Da’iyat), yaitu untuk pasca SLTA santri putri atau setara dengan D2 (Diploma Dua). Santri wajib tinggal di komplek pesantren mendidik tamatan SLTA keatas lama pendidikan 2 tahun, unit ini dibuka khusus bagi para dai / calon da’i dakwah dan para mu’allim / calon mu’allim yang menuntut peningkatan kualitas ilmiah dalam jenjang pendidikan yang tidak terlalu lama, karena di dalamnya mempelajari ilmu’ilmu dinniyyah saja denga target pendidikan sebagai berikut : 1. Santri menguasai bahasa arb dan secara lisan dan tulisan. 2. Santri mampu memahami kitab-kitab al UMM (induk). 3. Santri mampu memahami ilmu-ilmu alat seperti : ‘ulumul Qur’an, ilmu Hadits, Ushul Fiqh, dan lain sebagainya. 4. Santri mampu memahami fiqh Da’wah dan didaktik methodic. 5. Alumnus TID siap terjun di tenggah-tenggah umat sebagai Du’aat illallah.
Guna mewujudkan tujun tersebut PDS juga mempunyai program-program, dari program yang diadakan adalah sebagai berikut : a) Program ekstrakurikuler 1. Muhadhoroh pidato 3 bahasa (Arab, Inggris, dan Indonesia). 2. Muhawaroh percakapan bahasa Arab dan bahasa Inggris. 3. Sapala atau Santri pecinta alam (kepanduan). 4. Lifeskill computer, kalligrafi, dan karya tulis. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Program Khusus (khususu di kelas-kelas akhir) 1. Karya ilmiah paper (bahasa Arab dan bahasa Indonesia). 2. Workshop dan amaliyah tadris (ilmu didiktik dan praktik mengajar). 3. Fathul kutub (praktek takhrij hadits). 4. Diklat Iqro, tsaqifa & TPA (training belajar mengajar bahasa Al Qua’an bagi pemula). 5. Tajhizul janaiz (diklat penyelenggaraan jenazah). 6. Manasik haji (diklat manasik haji). 7. Tibbun nabawi (diklat ruqyah dan bekam). 8. Tazwidud du’at (pembekalan calon da’i).
c) Kegiatan Harian Kegiatan pokok yang menjadi rutinitas para santri setiap harinya adalah belajar di kelas. Semua ini dimaksudkan untuk membekali para santri dengan ilmu agama yang sangat diperlukan dalam kehidupan. Kegiatan belajar mengajar dimulai pada jam tujuh pagi. Sepuluh menit sebelum jam tujuh diadakan apel pagi guna mengontrol kesiapan santri dalam mengikuti mengikuti kegiatan belajar. Untuk materi pelajaran yang diajarkan di dalam kelas (sesuai kurikulum) terdiri atas ilmu-ilmu agama aplikatif (aqidah, fiqih, tahfiz, tahsin, bahasa Arab, dan lain sebagainya) ataupun ilmu-ilmu alat untuk memahami ilmu agama (nahwu, shorof, ilmu hadits, ilmu qur’an, dan lain sebagainya). Sedangkan pelajaran yang lainya disesuaikan dengan kebutuhan seperti bahasa Inggris, bahasa Indonesia, sosiologi kemasyarakatan, dan tata Negara Islam. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Guna mempermudah dan merealisasikan tujuan yang ada, semua materi diasuh oleh pengajar yang sangat berkompeten dan menguasai materi dengan sangat baik. Diantara tenaga pengajarnya adalah lulusan pondok tahfidzul qur’an (pengampu materi tahfidz dan tahsin). Untuk materi bahasa Arab oleh lulusan LIPIA Jakarta, dan pengajar dari Sudan (native speaker), sehingga diharapkan kualitas berbahasa santri di pondok dapat maksimal. Untuk hari libur sekolah pesantren mengambil hari jum’at sebagi hari libur pengganti hari minggu, sehingga hari minggu tidak termasuk hari libur. Selain kegiatan rutin belajar mengajar setiap harinya, untuk mendukung pembentukan karakter dan belajar yang lebih maksimal, maka dibentuklah halaqoh (study club). Masing-masing kelompok halaqoh selain ditangani oleh kakak kelas yang notaben telah lama di pondok, juga dibimbing langsung oleh asatidzah yang ada. Selain jenis kegiatan tersebut di atas, juga memaksimalkan dalam masalah ta’abbudiyah (peribadatan). Oleh karena itu lima belas menit sebelum adzan seluruh santri sudah harus siap di masjid guna melaksanakan sholat berjama’ah. Selain itu mereka dapat mengisinya dengan jenis ibadah yang lainya seperti dzikir maupun membaca dan menghafal Al-Quran. Itu semua dimaksudkan untuk memberikan rasa selalu diawasi dan selalu diawasi dan selalu terhubung dengan Allah. Selain itu setelah sholat ashar dibacakan satu atau dua hadits nabi, dengan tujuan agar para santri selalu mendengar sabda Rossul. Untuk mengontrol kegiatan setiap hari juga diadakan apel malam pukul setenggah sepuluh malam.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Adapun aktifitas keseharian sesuai jadwal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
03.00-04.00 bangun/sholat malam/persiapan 04.00-04.45 sholat shubuh berjama’ah 04.45-05.15 membaca Al Qur’an 05.15-06.00 kerja pagi/mandi/olah raga 06.00-07.00 makan pagi persiapan sekolah 07.00-11.30 masuk sekolah 11.30-12.25 shalat dhuhur berjama’ah 12.25-13.15 masuk sekolah siang 13.15-14.00 makan siang 14.00-14.45 istirahat/tidur siang 14.45-15.25 shalat ashar berjama’ah 15.25-15.50 persiapan masuk sekolah 15.50-17.15 masuk sekolah sore 17.15-17.30 mandi/istirahat /refresing
d) Kegiatan Pekanan Selain kegiatan yang menjadi rutinitas harian, juga ada jenis kegiatan yang dilaksanakan setiap pekan. Diantara kegiatan tersebut adalah: Muhawaroh jama’i (praktek berbahasa secara bersama sama) dilakukan dua kali dalam sepekan, yaitu pada hari senin dan kamis. Untuk hari senin muhawaroh dengan bahasa Iggris, sedang hari kamis muhawaroh dengan bahasa Arab. Untuk program ini diampu oleh lembaga pengembangan bahasa (qismu lughoh al markazi). Selain didukung tenaga pengajar dari Sudan (native speaker) untuk bahasa Arab, dan bahasa Inggris diampu oleh pengajar dan pembimbing yang telah lama belajar sekaligus mengajar disebuah lembaga pendidikan bahasa Inggris di Pare, Jawa Timur. Pada hari selasa dan jum’at sore, santri kelas akhir dan kelas satu KMI, diberi kesempatan untuk mengajar di masjid-masjid yang ada di wilayah sekitar pesantren. Dari tahun ketahun jumlah masjid yang mengajukan tenaga pengajar selalu meningkat. Pada tahun ajaran ini jumlah masjid dan musholla yang menjalin commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kerjasama dengan pesantren untuk mengadakan ta’lim (pembelajaran Islam untuk masyarakat) ada sekitar 43 masjid dan musholla. Peserta ta’lim meliputi semua golongan umur dan gender, serta dengan latar belakang pengatahuan yang berbeda beda. Mulai dari anak-anak (TPA), remaja, dewasa, bapak-bapak, dan ibu-ibu. Kegiatan ini diemban dan dibawah tangung Jawab organisasi santri bagian dakwah. Untuk membiasakan parasantri dalam berinteraksi dengan buku-buku utama (kitab-kitab induk / ummahatul kutub), setiap hari senin sore diadakan kegiatan yang diampu oleh bagian maktabah dengan ragam dan jenis kegiatan yang berbeda-beda. Diantaranya nahtsul masail di haditssah (pembahasan permasalahan kontemporer), berbeda buku, al munaqosah al ilmiyah (dialog ilmiyah) dan lain sebagainya. Selain kegiatan tersebut guna meningkatkan dan melatih kemampuan santri dalam berorasi dan menyampaikan materi, diadakan kegiatan muhadhoroh (pidato) dengan bahasa Arab, Inggris, dan Indonesia. Dengan jenis pidato umum khutbah jum’at, khutbah Idul Fitri an lain sebagainya. Kegiatan ini di bawah tanggung jawab bagian ta’mir (pemakmuran masjid) dan bekerja sama dengan pengurus IST (OSIS) lainya.
e) Kegiatan Bulanan Diantara jenis kegiatan bulanan
adalah munaqosyah ’ammah
(pertemuan terbuka) antara pengurus dengan santri ataupun antar sesama santri (pengurus IST dengan adik kelas). Hal ini dimaksudkan untuk mendengarkan aspirasi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada secara terbuka. Selain itu, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang diajukan oleh santri. Pengurus ponpes juga memperbolehkan santri keluar komplek untuk memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan, pada salah satu hari libur (jum’at) dengan ketentuan dan aturan yang telah disepakati sebelumnya.
f) Kegiatan Tahunan Diantara kegiatan yang menjadi agenda dalam setiap tahunya adalah pergantian dan pengangkatan pengurus IST baru, yang mana semua santri yang duduk di kelas dua KMI diberi kepercayaan untuk memimpin dan menjalankan sebuah organisasi yang besar. Karena organisasi IST menjadi ujung tombak dari semua kegiatan harian yang telah dicanangkan oleh pesantren. Dengan pengalaman ini diharapkan semua santri mampu untuk bekerja sama dalam sebuah organisasi. Diharapkan dari organisasi tersebut kedepanya ketika telah membaur dengan masyarakat dapat berperan aktif dalam kegiatan bermasyarakat. Out bond juga merupakan agenda akhir tahun bersama dengan jenis dan fariasi kegiatan yang bermacam-macam, diantaranya adalah mendaki gunung, long mach, mukhoyyamah (perkemahan) dan lain sebagainya. Kegiatan ini setiap akhir tahun setelah ujian sebelum ujian kenaikan kelas, diantara rekor yang pernah dilakukan adalah long mach dari pantai selatan Yogyakarta sampai PDS dengan jarak kurang lebih 150 (seratus limapuluh) kilo meter, dan long mach ini telah dilakukan sebanyak dua kali. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selain itu juga pernah mendaki gunung merbabu yang ada di sisi bagian barat Boyolali dilanjutkan dengan long mach ke pesantren, dengan jarak kurang lebih 65 (enam puluh lima) kilo meter. Untuk mengimbangi dan meningkatkan kemampuan ilmiah santri, setiap tahun diadakan al muthorodah al lughowiyah (perlombaan bahasa) maupun karya ilmiah. Selain internal sesama santri yang ada di PDS juga pernah diadakan dengan ponpes lainya.
g) Kegiatan Insidental Diantara kegiatan insidental yang menjadi agenda pesantren adalah studi banding ke pesantren-pesantren yang ada di Jawa, kegiatan tersebut dimaksudkan agar kualitas meningkat dan daya tawar tersendiri untuk pesantren. Selain
itu
juga
diadakan
persahabatan
beladiri
dengan
pesantren
yang
memungkinkan, bahkan dewasa ini PDS mengagendakan persahabatan beladiri antar pesantren dan perguruan yang ada di pulau Jawa. Hal tersebut guna menjalin kerjasama dengan lembaga lain sesama muslim dan untuk mensosialisasikan PDS pada khalayak. Selain kegiatan yang menjadi rutinitas harian, pekanan, bulanan, maupun tahunan tersebut santri PDS juga membuat organisasi SAPALA ( Santri Pecinta Alam), sejenis pramuka atau kepanduan. Kegiatan tersebut juga termasuk kegiatan ekstrakulikuler. Kegiatan ini ditawarkan pada kelas 1 (satu) KMI dan 2 (dua) KMI, agar para anggota SAPALA mempunyai kelebihan dari segi fisik yang kuat, ahlak dan pengetahuan yang unggul. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari kesemua program pesantren diatas, salah satu program rutin yang dijalankan oleh PDS adalah kegiatan Ta’lim, seperti diungkap di atas. kegiatan Ta’lim merupakan pengapdian santri terhadap masyarakat sekitar. Sehingga kegiatan tersebut merupakan obyek penting dari penelitian ini, karena kegiatan tersebut dilakukan di tenggah masyarakat, sehingga diharapkan banyak pengunaan bahasa yang menjadi data untuk penelitian ini. Adapun pengertian ta’lim secara bahasa adalah belajar, sedangkan pengertian menurut PDS merupakan kegiatan yang diselengarakan oleh santri PDS yang bertujuan untuk latihan berdakwah dan menyampaikan materi Islam yang diperoleh dari ponpes untuk masyarakar sekitar PDS, sehingga berguna bagi masyarakat. Waktu penyelengaraan ta’lim dimulai setelah sholat magrib, sekitar pukul 06.00 (enam petang) sampai pulul 07:00 (tuju malam) atau sebelum sholat isya’ pada hari selasa dan jum’at. Khusus minggu pertama ta’lim hari jum’at diajukan hari kamis. Karena hari jum’at pada minggu pertama digunakan oleh santri putri untuk kegiatan keluar pondok. Sebelum ta’lim dimulai, santri mengajar TPA (Taman Pembelajaran Al-Qur’an) untuk anak-anak yang dimulai sekitar pukul 04:00 (empat sore) sampai sebelum magrib, sekitar pukul 05:45. Lingkup wilayah kegiatan ta’lim hampir seluruh kecamatan Simo, yang tersebar di masjid-masjid dan mushola. Menurut PDS terdapat 43 tempat (masjid dan mushola), tetapi santri yang berani menggunakan bahasa Jawa hanya beberapa santri. Karena sebagian besar santri berasal dari luar pulau Jawa (pengguna bahasa Jawa) sehingga santri yang menggunakan bahasa Jawa dalam kegiatan ta’lim sangat sedikit. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
J. KERANGKA PIKIR Bagan 2 Kerangka Pikir Penelitian Kegiatan interaksi, komunikasi oleh santri
Kegiatan Ta’lim
Santri
Masyarakat
Peristiwa komunikasi lisan
Faktor penentu yang menonjol peristiwa alih kode, campur kode, interferensi, ragam bahasa Jawa.
Pilihan kode (Bahasa) Jawa, Indonesia, Arab, Inggis, dan ragam bahasa Jawa.
Wujud alih kode, campur kode, interferensi, dan ragam bahsa Jawa
Faktor yang melatar belakangi pemakaian bahasa Jawa
commit to user
Fungsi pemakaian bahasa Jawa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara sederharna kerangka berfikir tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pesantren DS merupakan bentuk komunitas pemakai bahasa (dalam hal ini adalah santri) yang masih menjadi siswa di PDS sebagian besar mempunyai penguasaan lebih dari dua bahasa, sehingga PDS merupakan
salah satu
bentuk masyarakat multi lingual. 2. Kegiatan Ta’lim merupakan kegiatan formal dari PDS dan rutin. 3. Dalam kegiatan Tak’lim terjadi peristiwa komunikasi lisan formal, non formal yang dilakukan oleh santri PDS dan masyarakat. 4. Santri PDS merupakan merupakan komunitas yang sebagian besar memiliki kemampuan memakai dan menguasai lebih dari dua bahasa (multy lingual). 5. Dalam melakukan kegiatan Ta’lim santri dan masyarakat memanfaatkan pilihan kode atau bahasa agar komunikasi yang dilakukan bisa bermanfaat untuk kepentingan bersama. 6. Wujud alih kode, campur kode, interferensi, tingkat tutur dipengaruhi oleh pengetahuan yang dikuasai oleh santri dan masyarakat ketika mereka berkomunikasi. Ketika penutur berada dalam konteks domain situasi yang bersesuaian dengan tuntutan makna dan konteks. 7. Untuk mengetahui makna dan konteks dalam peristiwa alih kode, campur kode, interverensi, dan tingkat tutur perlu ditemukan juga faktor yang menonjol yang memperngaruhi peristiwa tersebut, termasuk juga komponen tutur.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Secara umum metode kualitatif merupakan metode pengkajian atau metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak didesain atau dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik (Edi Subroto, 1992:5). Jenis Penelitian ini deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan pengunaan bhasa Jawa leh Santri PDS yang berupa kata dan tidak mengunakan statistik.
B. Lokasi Penelitian Sesuai dengan keadaan situasi kebahasaan maka lokasi penelitian di lingkup masyarakat atau di tempat ta’lim (di masjid atau lingkup masyarakat sekitar kecamatan Simo, kabupaten Boyolali, Jawa Tenggah). Lokasi tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian karena, lokasi tersebut merupakan tempat dimana santri dapat berkomunikasi dengan masyarakat secara leluasa, sehingga dimungkinkan banyak terjadi penggunaan bahasa lebih dari satu terutama bahasa Jawa yang menjadi data kebahasaan yang lebih diutamakan dalam penelitian ini.
C. Data Data dalam penelitian ini berupa data lisan, data lisan merupakan data kebahasaan yang hidup dalam masyarakat pemakai bahasa yang akan diteliti. Dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penelitian ini data lisan berupa bahasa dari semua aktivitas kebahasaan yang digunakan oleh santri PDS dalam kegiatan ta’lim serta meneliti bahasa yang mengandung alih kode, campur kode, interferensi, dan ragam bahasa Jawa. Data ini berupa fenomena kebahasaan dengan segala aspeknya dari penutur pengguna bahasa yang akan diteliti secara wajar dan alami, maksudnya tanpa dibuat-buat.
D. Sumber Data Sumber data lisan berasal dari informan yang terpilih sebagai Pengguna bahasa dalam komunikasi di Ponpes DS. Adapun kriteria informan: (1) Santri Ponpes DS yang masih tinggal di Ponpes tersebut, (2) penutur bahasa Jawa, (3) memiliki alat ucap yang baik, (4) memiliki waktu yang cukup untuk diteliti, dan (5) bersedia memberikan informasi kebahasaan secara jujur. Informasi yang tepat maka akan diperoleh data: (1) alamiah, maksudnya bahasa yang dipakai tidak direkayasa / diciptakan secara mendadak tetapi sudah ada dalam kehidupan masyarakat, (2) lisan, kehadiranya yaitu unsur yang dihadirkan berupa bunyi, (3) normal, maksudnya bahasa tersebut kehadiranya secara normal baik dalam pemakaian maupun kejiwaan pemakaianya sehingga sempurna kemaknaanya, dan (4) wajar, maksudnya situasi pemakaian dipakai wajar oleh penuturnya.
E. Populasi Populasi adalah seluruh objek penelitian. Populasi pada umumnya ialah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Subroto, 1992:32). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan pemakai bahasa para santri Ponpres Darussy commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Syahadah yang digunakan untuk berkomunikasi dengan masyrakat. Terutama pada sa’at kegiaatan ta’lim yang memungkinkan untuk saling berkomunikasi antara Santri Pondok Pesantren Darusy Syahadah dengan masyarakat sekitar. Sehingga populasi tersebut merupakan Santri KMI (Kuliyyatul Mu’allimin) dan TID (Takhasshush I’dad Du’at) yang masih aktif menuntut ilmu di PDS.
F. Sampel Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang dijadikan objek penelitian langsung, yang mewakili atau dianggap mewakili populasi secara keseluruhan (Subroto, 1992:32). Teknik pengambilan sampel sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian. Teknik purposive sampling, yaitu pengambilan secara selektif dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan penelitian berdasarkan data yang ada (D. Edi Subroto, 1985:28). Teknik tersebut mampu menangkapan kelengkapan dan keadaan di dalam menghadapi realitas yang tidak tunggal (Sutopo, 2002:36). Peneliti mengambil sampel pemakaian bahasa (Jawa) oleh santri yang mengandung alih kode, campur kode, interferensi, dan ragam bahasa Jawa pada kegiatan ta’lim (hari selasa dan jum’at) di masjid dan musola sekitar PDS, pada tanggal 20 Maret 2009, 27 Maret 2009, 31 Maret 2009, dan 3 April 2009.
G. Alat Penelitian Alat penelitian ada dua macam, yaitu alat utama dan alat bantu. Alat utama yaitu peneliti sendiri, Peneliti dalam penelitian kualitatif dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. (Fatimah Djajasudarma, 1993:11). Alat bantu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berupa alat rekam (MP3, atau walkman), alat tulis (kertas, pena, pensil, seperangkat komputer), dan alat-alat yang lain yang mendukung penelitian.
H. Metode dan Teknik penyediaan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dengan mengunakan metode simak , dengan menyimak penggunaan bahasa santri Ponpes DS. Disebut metode simak karena pengumpulan data dengan menyimak pengunaan bahasa. Teknik dasar dengan mengunakan teknik sadap, yaitu mendapat data dengan cara menyadap (Sudaryanto, 1993: 133). Penyadapan terhadap bahasa yang digunakan santri pada kegiatan ta’lim. Teknik lanjutan: (1) Teknik Simak Libat Cakap, Peneliti terlibat langsung dalam pengambilan data, maksudnya peneliti terlibat dengan mitra tutur. (2) Teknik Bebas Libat Cakap, maksudnya pengambilan data tanpa mengikut sertakan penelitian untuk terlibat lagsung dalam percakapan. Peneliti hanya sebagai pengamat yang berada di luar pembicaraan. (3) Teknik Rekam, teknik ini bisa secara terbuka yaitu perekaman diketahui oleh pihak perekam dan secara tertup yaitu perekaman yang tidak diketahui oleh pihak informan untuk mendapat data secara wajar. (4) Teknik catat, Selain perekaman dilakukan pencatatan data yang diperkirakan perlu perhatian atau keterangan khusus, seperti waktu dan tempat terjadinya tindak tutur, identitas penutur, situasi, tutur, dan tujuan tutur. (5) Dari hasil rekam kemudian data ditranskrip kedalam bentuk tulisan. Adapun langkah-langkah kongkret untuk pengumpulan data adalah sebagai berikut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1) Peneliti menyimak dan merekam semua data lian yang muncul dari sampel yang sudah ditentukan dengan baik peneliti terlibat dalam komunikasi (saat keadaan santai) atau peneliti tidak terlibat lagsung dalam percakapan. Untuk teknik simak libat cakap diambil saat situasi santai, sedangkan untuk teknik bebas libat cakap diambil dalam kegiatan ta’lim, dimana peneliti tidak terlibat langsung dalam kommunikasi. 2) Peneliti mencatat sesuatu yang penting untuk melengkapi data, misalnya waktu, tempat, dan suasana. 3) Data hasil rekam ditranskrip ke dalam bentuk tulisan, kemudian dipisahpisahkan dan diberi nomor data. 4) Data yang sudah diberi nomor kemudian dibedakan antara bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa Asing (jika ada) dengan cara member garis bawah (underline), miring (italic), dan yang lain. Hal ini guna membedakan antara bahasa satu dengan bahasa yang lain. 5) Mengklasifikasi data yang merupakan wujud alih kode, campur kode, dan interferensi. 6) Menganalisis data sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan yaitu bentuk, faktor, fungsi dari alih kode, campur kode, dan interferensi. 7) Jika data menunjukkan kesamaan dalam hal wujud baik itu alih kode, campur kode maupun interferensi, maka data tersebut direduksi sesuai kebutuhan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
I. Metode dan Teknik Analisis Data Penelitian ini mengunakan metode distribusional dan metode padan untuk menganalisis data. Metode distribusional untuk perumusan masalah pertama, untuk perumusan masalah kedua dan ketiga mengunakan metode padan. 1. Metode Distribusional Metode distribusional yaitu metode yang menganalisis satuan lingual tertentu berdasarkan perilaku atau tingkah laku kebahasaan, satuan itu dalam hubunganya dengan satuan lain. Metode distribusional digunakan untuk menganalisis bentuk serta ragam bahasa Jawa yang digunakan dalam PDS. Metode distribusional terurat atas beberapa teknik; 1) teknik urai unsur terkecil, 2) teknik urai unsur langsung, 3) teknik oposisi pasangan minimal dan teknik oposisi dua-dua, 4) teknik pengantian atau subtitusi, 5) teknik perluasan atau exspansi, 6) teknik pelepasan atau delisi, 7) teknik penyisipan atau interupsi, 8) teknik pembalikan urutan atau permutasi, dan 9) teknik parafrasis (D.Edi Subroto, 1992:65-82). Dalam penelitian ini teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik urai unsur langsung (immediate constituentu analysis)
untuk mengurai suatu konstruksi
morfologi atau sintaksis tertentu kedalam unsur-unsur langsung berdasarkan intuisi yang didukung oleh penanda lahir (intonasi) sehingga dapat menentukan unsur langsung suatu konstruksi, teknik tersebut untuk menentukan wujud alih kode dan tingkat tutur bahasa Jawa dalam data yang ada. Kemudian teknik lanjutan dengan teknik parafrasis (ubah wujud). Untuk menentukan campur kode dan interferensi dengan mengunakan teknik urai unsur terkecil (ultimate constituen analysis) maksudnya adalah mengurai suatu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
satuan lingual tertentu atas unsur-unsur terkecil. Unsur terkecil tersebut merupakan ‘morfem’ atau yang mempunyai makna. Kemudian dianalisis dengan lanjutan yaitu teknik pengantian atau subtitusi, terwujud dalam dalam kemungkinannya menggantikan satuan lingual atau unsur tertentu dari konstruksi morfologis atau fraseologis tertentu oleh satuan lingual lain, Satuan lingual atau unsur yang saling mengantikan, itu termasuk dalam kelas struktural yang sama. Fungsi teknik ganti ini untuk mengetahui kadar kesamaan kelas atau katagori unsur terganti dengan unsur penganti, khususnya bila tataran penganti sama dengan tataran terganti. Penerapan analisis di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Mboten sah diterangke mawon empun jelas nggih buk niki. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat. (75) ‘Tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya bu ini. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat.’ Dari data kalimat di atas di analisi dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi dua unsur langsung (untuk membedakan pemakaian bahasa Jawa dengan bahasa lain) terlihat sebagai berikut ini. 1a)
Mboten sah diterangke mawon empun jelas nggih buk niki. ‘Tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya bu ini.’
1b)
Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat.
Dari tuturan tersebut terjadi alih kode dari bahasa Jawa (1a) ke bahasa Indonesia (1b) data tersebut merupakan wujud dari alih kode. Alih kode tersebut merupakan alih kode kedalam (internal), karena dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia yang merupakan bahasa serumpun (austonesia). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 1c)
Mboten sah dipun terangngake mawon empun jelas nggih buk niki. Tuladha-tuladha tumindak dosa-dosa ageng ingkang Pundi Allah niku mboten badhe ngapurani kajaba ngange tobat. ‘Tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya bu ini. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat.’
1d)
Ora sah diterangke wae uwis jelas ya buk iki. Tuladha-tuladha tumindak dosa-dosa gedhe ling endi Allah kuwi ora arep ngampuni kajaba ngawa tobat. ‘Tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya bu ini. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat.’
Hasil analisis pada data (1c) dan (1d) dengan teknik ubah wujud dari bahasa Indonesia menjadi bahasa Jawa ragam krama (1c) dan ragam ngoko (1d) ternyata dapat diganti. Akan tetapi untuk untuk diubah menjadi ragam ngoko tidak sesuai dengan kaidah tingkat tutur bahasa Jawa, karena mitra tutur atau peserta tutur merupakan orang yang harus dihormati (orang Tua) dengan mengunakan bahasa Jawa krama. Untuk menentukan campur kode dan interferensi dengan mengunakan teknik urai unsur terkecil (ultimate constituen analysis), adapun teknik tersebut dapat dilihat sebagai berikut : 2) Dados nek dicuri niku ukurane napa namine seper empat dinar, […] (59) ‘Jadi kalau (yang) dicuri itu ukuranya apa namanya satuper empat dinar […]’ Data tersebut merupakan data campur kode. Jika data tersebut diurai menurut unsur terkecil, maka akan seperti berikut, di bawah ini. 2a)
“Dados nek” ‘Jadi kalau’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2b)
“dicuri”
2c)
“niku ukurane napa namine” ‘itu ukuranya apa namanya’
2d)
“seper empat”
Untuk menunjukkan campu kode atau interferensi bisa langsung menunjuk unsure
terkecil yang mengandung campur kode atau interferensi tanpa harus
mengurai unsur langsung menjadi beberapa bagian kecil. Dari kalimat tersebut terjadi peristiwa campur kode dari bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa. Peristiwa campur kode terlihat pada uraian unsur terkecil “dicuri” dan “seper empat”. Kemudian teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 2e)
Dados nek dicolong niku ukurane napa namine seprapat dinar. ‘Jadi kalau (yang) dicuri itu ukuranya apa namanya satuper empat dinar.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia tidak perlu terjadi, karena dapat mengunakan bahasa Jawa secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Hal tersebut dengan mengunakan kata “dicolong” atau “dimaling” untuk menganti kata “dicuri”, sedangkan “seprapat” penganti dari “seper empat” (bahasa Indonesia). Sedangkan untuk wujud interferensi, analisis data dengan mengunakan teknik urai unsur terkecil menjadi sebagai berikut ini. 3) Lha saking nikilah, nikilah Islam, nikilah agamane Allah ingkang sangat indah nek kita sedhaya ngelaksanaaken kebaikan lan kesemuanya punika dipun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kalikan, ananging yen kita melakukan kejelekan niku boten dikalikan. Niku agama Islam. (160) ‘Lha dari inilah, inilah Islam, inilah agamanya Allah yang sangat indah kalau kita semua melaksanakan kebaikan dan kesemuanya itu dikalikan, tetapi kalau kita melakukan kejelekan itu tidak dikalikan. Itu agama Islam.’. Unsur terkecil yang merupakan Interferensi terdapat pada data di atas berupa akhiran atau morfem /lah/ yang terdapat pada kata “nikilah” ‘inilah’, karena kata tersebut dari kata dasar dari bahasa Jawa “niki” ‘ini’ yang mendapat akhiran /lah/ dari bahasa Indonesia. Hal tersebut merupakan interferensi jenis morfologi karena dalam pembentukan kata terjadi terjadi penyerapan afiks bahasa lain. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Kemudian teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 3a)
Lha saking punika, niki Islam, niki agamane Allah ingkang sae sanget nek kita sedhaya ngelaksanaaken kabecikan lan sedhanten punika dipun lipe-lipetaken, ananging yen kita ngelaksanaaken tumindhak ala niku boten dilipet-lipetaken. Niku agama Islam.
Dari ubah wujud tersebut dapat diubah wujud menjadi bahasa Jawa, tanpa tersisipi interferensi maupun bahasa lain. Sehingga interferensi /lah/ tidak perlu muncul dalam kalimat.
2. Metode Padan Adapun metode padan dalam penelitian ini dipakai untuk mengkaji faktor dan fungsi pemakaian bahasa Jawa. Metode Padan atau metode Identitas yaitu metode untuk menentukan identitas satuan lingual tertentu dengan memakai alat penentu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang berada diluar bahasa yang berupa konteks sosial dalam peristiwa penguanaan bahasa dalam masyarakat, telepas dari bahasa, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (D. Edi Subroto, 1992:55) Menurut Edi Subroto (1992:55-60), metode padan berdasarkan alat penentunya dibagi 5 (lima) yaitu: 1. Metode padan alat penentunya referensial dengan kenyataan yang ditunjuk bahasa (benda, barang, objek, tindakan, peristiwa, perbuatan, dan lain sejenisnya) dan benar-benar berada diluar bahasa. 2. Metode padan alat penentunya alat ucap (fonetis artikulatoris). 3. Metode padan alat penentunya bahasa lain (translational). 4. Metode padan alat penentunya bahasa tulisan (ortografis). 5. Metode padan alat penentunya lawan bicara (pragmatis). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode padan dengan alat penentunya referensial untuk mengetahui faktor dan fungsi pemakaian bahasa Jawa. Berikut contoh penerapannya. Adapun analisis teknik metode padan sebagai berikut ini. 4) Boten sah diterangke mawon empun jelas nggih buk niki. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat. (279) ‘Tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya buk ini. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat’ Untuk menentukan faktor dan fungsi dari alih kode maupun tingkat tutur bahasa Jawa, dianalisis dengan teknik padan dengan alat refensial yang dari luar bahasa. Adapun analisi dengan metode tersebut terlihat sebagai berikut di bawah ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Komponen tutur adalah santri dan masyarakat. Tujuan dari tuturan berbentuk ujaran berupa penjelasan. Nada penutur cenderung santai kemudian menjadi serius, dengan mengunakan bahasa lisan dalam kajian ta’lim. Faktor
dari alih kode di atas disebabkan karena topik pembicaraan
semula penutur berkomunikasi aktif, dengan bertanya menggunakan bahasa Jawa kepada peserta tutur kemudian penutur melanjutkan dengan menggunakan bahasa Indonesia karena penutur masuk dalam materi yang disampaikan. Fungsi dari bahasa Jawa krama yang digunakan penutur dalam kalimat tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap peserta tutur yang kebanyakan orang tua sebagai pengguna bahasa Jawa aktif. Sedangkan fungsi dari alih kode dari bahasa Jawa menjadi kode bahasa Indoneia adalah untuk mengubah dari ragam santai berbahasa Jawa, kemudian menggunakan bahasa Indonesia yang merupakan ragam resmi dalam acara ta’lim tersebut.
J. Metode Penyajian Hasil Analisis Data Metode penyajian analisis dalam penelitian ini, menggunakan metode penyajian informal. Maksudnya rumuskan hasil analisis dengan bentuk uraian berwujud kalimat-kalimat biasa. (Sudaryanto, 1993:145). Teknik informal untuk mendeskripsikan adanya ragam bahasa dan bentuk-bentuknya. Hasil analisis data berupa kaidah kebahasaan yang berkaitan dengan rumusan masalah serta disertai data pengunaan bahasa Jawa oleh santri di Ponpes DS, dehingga dapat mempermudah pemahaman terhadap hasil-hasil penelitian yang didapat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Bentuk Pemakaian Bahasa Dari penemuan penelitian di lapangan menunjukkan pemakaian bahasa Jawa oleh santri PDS pada kegiatan ta’lim di masjid sekitar kecamatan Simo kabupaten Boyolali. Terdapat alih kode, campur kode, serta interferensi yang muncul oleh dalam komunikasi antara santri dengan masyarakat. Dalam berkomunikasi
selain bahasa Jawa, santri kadang menggunakan
bahasa Indonesia, dan bahasa Arab, juga ada beberapa menggunakan leksikon dari bahasa lain. Adapun temuan alih kode, campur kode, interferensi, serta tingkat tutur bahasa Jawa termasuk juga faktor dan fungsi dari ACI serta tingkat tutur bahasa Jawa dipaparkan sebagai berikut.
1. Alih Kode Santri PDS merupakan bentuk masyarak multilingual yang terbiasa menggunakan dua bahasa atau lebih, dalam berkomunikasi. Sehingga dalam pemakaian Bahasa banyak muncul perpindahan bahasa, yang semuka menggunakan bahasa X beralih menggunakan bahasa dan/atau bahasa Z, begitu pula sebaliknya. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah Alih Kode (code switching). Jika dalam peristiwa komunikasi muncul alih kode bukanlah selalu menjadi kesalahan berkomunikasi, tetapi hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya alih kode pada peristiwa komunikasi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Adapun wujud alih kode dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain; 1) alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, 2) dari bahasa Jawa ke bahasa Arab, 3) dari bahasa Arab ke bahasa Jawa, 4) dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa.
1) Alih kode Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia Berikut merupakan wujud Alih kode Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia, data yang dianalisis dengan metode urai unsur langsung seperti dibawah ini. 1)
Nggih kula nggih boten saget bayanke, dadi nek banyak berdusta seperti itu jadi kita harus banyak berhati-hati. (64) ‘Ya saya ya tidak bisa membayangkan, jadi kalau banyak berdusta seperti itu jadi kita harus banyak berhati-hati.’
Data di analisis dengan metode urai unsur langsung menjadi dua bagian seperti dibawah ini. 1a)
Nggih kula nggih boten saget bayangke, dadi nek. ‘Ya saya ya tidak bisa membayangkan, jadi kalau.’
1b)
Banyak berdusta seperti itu jadi kita harus banyak berhati-hati.
Wujud bahasa pada (1a) “Nggih kula nggih boten saget bayangke, dadi nek.” Data tersebut merupakan wujud bahasa Jawa, leksikon pembentuk kalimat tersebut adalah leksikon krama dan ngoko “dadi”, serta terdapat afik [-e] pada kata “bayangke”. Sehingga tergolong dalam bentuk tingkat tutur bahasa Jawa Ragam madya ngoko. Kemudian penutur berbicara dengan memakai bahasa Indonesia (1b) “Banyak berdusta seperti itu jadi kita harus banyak berhati-hati.”. Kemudian data ubah wujud atau parafrasis, dengan merubah tuturan yang yang mengandung bahasa Indonesia dijadikan bentuk tuturan menjadi bahasa Jawa ragam krama (karena penutur lebih muda dari peserta tutur), seperti di bawah ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
1c)
digilib.uns.ac.id
Nggih kula nggih boten saget bayangngaken, dados menawi kathah blenjani (ngapusigarah) kadhos punika dados kita kedhah katah ngatos-atos. ‘Ya saya ya tidak bisa membayangkan, jadi kalau banyak berdusta seperti itu jadi kita harus banyak berhati-hati.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode adalah faktor dari penutur yang merasa gengsi, sehingga penutur menggunakan alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. Fungsi dari penggunaan bahasa Jawa untuk menghormati peserta tutur. Sedangkan fungsi dari alih kode tersebut adalah untuk menambah ragam bahasa oleh penutur.
Alih kode selanjutnya terdapat dalam data di bawah ini. 2)
Senes niku nggih jenengan niku niate yakin, bahwasanya yang memberikan kesembuhan itu Allah tapi melalui perantara dokter. (246) ‘Bukan itu ya anda itu niatnya bahwasanya yang memberikan kesembuhan itu Allah tapi melalui perantara dokter.’
Data di atas didistribusi menjadi 2 (dua) unsur, seperti di bawah ini. 2a)
Senes niku nggih jenengan niku niate yakin. ‘Bukan itu ya anda itu niatnya.’
2b)
Bahwasanya yang memberikan kesembuhan itu Allah tapi melalui perantara dokter.
Wujud alih kode terlihat pada (2a) “Senes niku nggih jenengan niku niate yakin.” Merupakan bahasa Jawa krama kemudian penutur menggunakan bahasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Indonesia, terlihat pada (2b) “Bahwasanya yang memberikan kesembuhan itu Allah tapi melalui perantara dokter”. Selanjutnya data dianalisis dengan parafrasis, dengan merubah tuturan menjadi bahasa Jawa ragam, seperti di bawah ini. 2c)
Senes menika nggih jenengan punika niatipun yakin, estun ingkang nyaosi kasarasan menika Allah nanging saking perantaranipun dokter. ‘Bukan itu ya anda itu niatnya. Bahwasanya yang memberikan kesembuhan itu Allah tapi melalui perantara dokter.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor yang menjadi sebab terjadinya alih kode karena penutur, untuk merubah situasi. Sehingga penutur menggunakan alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. Fungsi dari penggunaan bahasa Jawa untuk menghormati peserta tutur dan menyetarakan pemahaman bahasa oleh peserta mitra tutur. Sedangkan fungsi dari alih kode tersebut adalah untuk merubah situasi nonformal menjadi situasi formal ta’lim.
Alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia yang lain dapat dilihat pada data di bawah ini. 3)
Lha niku mumpung dereng kebacut niki, niki napa namine hati-hati dengan-dengan tipu daya dukun atau tukang sihir. (31) ‘Lha ini mumpung belum terlanjur ini ini apa namanya hati-hati dengan-dengan tipu daya dukun atau tukang sihir.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data di analisis dengan distribusional menjadi dua unsur, untuk memisahkan antara kode bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia. Dua unsur tersebut nampak seperti dibawah ini. 3a)
Lha niku mumpung dereng kebacut niki, niki napa namine. ‘Lha ini mumpung belum terlanjur ini ini apa namanya.’
3b)
Hati-hati dengan-dengan tipu daya dukun atau tukang sihir.
“Lha niku mumpung dereng kebacut niki niki napa namine.” (3a) merupakan bahasa Jawa kemudian penutur menggunakan bahasa Indonesia (3b) “Hati-hati dengan-dengan tipudaya dukun atau tukang sihir.”. Inti dari kalimat tersebut merupakan himbauan agar supaya berhati-hati dalam tipu daya dukun atau tukang sihir. Kemudian diuji dengan teknik ubah wujud dengan bahasa Jawa Krama. 3c)
Lha punika mumpung dereng kebacut, menika napa asmanipun atosatos kalian dukun utawi tukang sihir. ‘Lha ini mumpung belum terlanjur ini, ini apa namanya. Hati-hati dengan-dengan tipu daya dukun atau tukang sihir.’
Uji dengan ubah wuju menjadi bahasa Jawa, secara makna dapat mewakili dari alih kode, sehingga alih kode bisa tidak digunakan diganti dengan menggunakakan bahasa Jawa. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode adalah penutur. Penutur dalam kalimat tersebut merubah situasi santai menjadi situasi formal. Fungsi dari bahasa Jawa adalah untuk mengimbangi dan menghormati mitra tutur yang terdiri dari para orang tua dan sedikit pemuda. Sedangkan fungsi dari alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia untuk mempermudah penutur dalam merubah situasi santai menjadi formal. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud alih kode berikutnya, muncul pada tuturan kalimat di bawah ini. 4)
Dados dongga-dongga niku napa namine? akan mengurangi siksanya. (50) ‘Jadi do’a-do’a itu apa namanya? akan mengurangi siksanya.’
Data di atas didistribusi menjadi dua unsur, seperti di bawah ini. 4a)
Dados dongga-dongga niku napa namine? ‘Jadi do’a-do’a itu apa namanya.
4b)
Akan mengurangi siksanya.
Alih kode dari terlihat setelah data diurai menjadi 2 (dua) yaitu pada (5a) “Dados dongga-dongga niku napa namine?” merupakan pemakain ragam bahasa Jawa krama menjadi bahasa Indonesia “Akan mengurangi siksanya”. Penutur dalam kalimat di atas menyampaikan pada mitra tutur bahwa do’a dapat menguranggi siksa kubur. Selanjutnya di analisis dengan teknik lanjutan berupa ubah wujud menjadi bahasa Jawa, menjadi serti dibawah ini, 4c)
Dados dongga-dongga menika napa asmanipun? supadhos ngirangi siksanipun. ‘Jadi do’a-do’a itu apa namanya? Akan mengurangi siksanya.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode adalah penutur. Dimana penutur dalam kalimat tersebut menggunakan bahasa alih kode guna merubah situasi santai menjadi situasi formal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fungsi dari bahasa Jawa adalah untuk mengimbangi dan menghormati mitra tutur yang terdiri dari para orang tua dan sedikit pemuda. Sedangkan fungsi dari alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia untuk mempermudah penutur dalam menyampaikan materi ta’lim, yaitu merubah situasi santai menjadi formal.
Wujud alih kode yang selanjutnya terlihat pada kalimat di bawah ini. 5)
Indonesia niku boten wonten bencana yen ngoteniku, karena keridhaan Allah kepada pemimpin. (251) ‘Indonesia itu tidak ada bencana, kalau begitu karena keridhaan Allah kepada pemimin.’ 5a)
Indonesia niku boten wonten bencana yen ngoteniku. ‘Indonesia itu tidak ada bencana, kalau begitu.’
5b)
Karena keridhaan Allah kepada pemimpin.
Alih kode dari bahasa Jawa seperti pada (5a) “Indonesia niku boten wonten bencana yen ngoteniku.” kemudian penutur melanjutkan dengan memakai bahasa Indonesia (5b) “Karena keridhaan Allah kepada pemimpin.”. Bentuk analisis dengan teknik lanjutan ubah wujud menjadi seperti berikut ini. 5c)
Indonesia menika boten wonten bencana ingkang ngateniku, amargi keridhaanipun Allah dhumateng pamimpin. ‘Indonesia itu tidak ada bencana, kalau begitu, karena keridhaan Allah kepada pemimin.’
Data uji dengan teknik ubah wujud (5c) secara makna dapat ditrima atau mewakili dari maksud. Kalimat tersebut menerangkan bahwa Indonesia tidak akan ditimpa bencana apabila para pemimpin Negara beriman dan bertaqwa kepada Allah, sehingga Allah memberikan keridhaan kepada pemimpin pemimpin tersebut. Data commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
asli (251) mengandung unsur bahasa Arab pada kata “keridhaan” hal tersebut termasuk dalam interferensi. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode adalah faktor dari penutur yang merasa gengsi, sehingga penutur menggunakan alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. Fungsi dari penggunaan bahasa Jawa untuk menghormati peserta tutur dan menyetarakan pemahaman bahasa oleh peserta mitra tutur. Sedangkan fungsi dari alih kode tersebut adalah untuk menambah ragam bahasa untuk merubah situasi tutur, dari ragam non formal menjadi bahasa formal.
Alih kode yang lain berupa tuturan data dibawah ini. 6)
Lha terus kita saget ngubah asset-aset bahwasane dokumen teng Allah niku bahwasane ampun ngantos kemaksiatan kita sahingga merubah dengan iman ketaqwa’an. (120) ‘Lha terus kita bisa merubah-aset-aset bahwasanya dokumen dari Allah itu bahwasanya jangan sampai kemaksiatan kita sahingga merubah dengan iman ketaqwa’an.’
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 6a)
Lha terus kita saget ngubah asset-aset bahwasane dokumen teng Allah niku bahwasane ampun ngantos. ‘Lha terus kita bisa merubah-aset-aset bahwasanya dokumen dari Allah itu bahwasanya jangan sampai.’
6b)
Kemaksiatan kita sahingga merubah dengan iman ketaqwa’an.
Setelah diurai menjadi 2 unsur untuk memisahkan antara bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia. Data tersebut terdapat alih kode dari bahasa Jawa (6a) “Lha terus kita saget ngubah asset-aset bahwasane dokumen teng Allah niku bahwasane ampun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ngantos.”, untuk istilah “asset-aset” “dokumen” “kemaksiatan” dan “ketakwaan” merupakan interferensi. Kemudian penutur menggunakan bahasa Indonesia (6b) “Kemaksiatan kita sahingga merubah dengan iman ketaqwa’an.”. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud diuji pada data tersebut menjadi wujud bahasa Jawa ragam Krama, seperti di bawah ini. 6c)
Lha lajeng kita saget ngantos asset-aset estu dokumen saking Allah menika estu ampun ngantos kemaksiatan kita sahingga ngantos kalian iman ketaqwa’an. ‘Lha terus kita bisa merubah-aset-aset bahwasanya dokumen dari Allah itu bahwasanya jangan sampai. Kemaksiatan kita sahingga merubah dengan iman ketaqwa’an.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode adalah faktor dari tujuan yang ingin dicapai penutur, sehingga penutur menggunakan alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. Fungsi dari penggunaan bahasa Jawa untuk menghormati peserta tutur dan menyetarakan pemahaman bahasa oleh peserta mitra tutur. Sedangkan fungsi dari alih kode tersebut adalah untuk merubah dari ragam santai menjadi ragam resmi kegiatan ta’lim.
Alih kode yang berikutnya berupa kalimat di bawah ini. 7)
Anangging nek kita pengen do’ane kita pahalane, bertambah banyak sehabis sholat kita berwudhu. (190) ‘Tetapi kalau kita pengen do’a kita pahalanya, bertambah banyak sehabis sholat kita berwudhu.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 7a)
Anangging nek kita pengen do’ane kita pahalane. ‘Tetapi kalau kita pengen do’a kita pahalanya.’
7b)
Bertambah banyak sehabis sholat kita berwudhu.
Alih kode terlihat pada uraian (7a) dengan kalimat “Anangging nek kita pengen do’ane kita pahalane.” Merupakan bahasa Jawa kemudian penutur menggunakan bahasa Indonesia pada tuturan (7b) berupa kalimat “Bertambah banyak, sehabis sholat kita berwudhu.”. terjadi interferensi berupa kata “do’ane” dan “pahalane” berasal dari bahasa Arab. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud diuji pada data tersebut menjadi wujud bahasa Jawa ragam Krama, seperti di bawah ini. 7c)
Anangging menawi kita pengen dongga kita ganjaranipun, tambah kathah saksampunipun sholat kita wudhu maleh. ‘Tetapi kalau kita pengen do’a kita pahalanya. Bertambah banyak, sehabis sholat kita berwudhu.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode di atas adalah karena tujuan yang ingin dicapai penutur. Fungsi dari bahasa Jawa yang digunakan oleh penutur sebagai bentuk hormat serta untuk mengimbangi bahasa yang digunakan oleh mitra tutur, yaitu dengan bahasa Jawa. Sedangkan fungsi dari alih kode tersebut sebagai mempermudah dalam merubah situasi santai menjadi situasi serius (formal). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Alih kode yang lain dapat dilihat pada data lisan yang dikutip dalam tulisan di bawah ini. 8)
Oo niku sukuran, misale belih kebo, misale kita tiyang sukuran. Peletakan batu pertama yang ada. (207) ‘Oo itu syukuran, misalnya menyembelih kerbau, misalnya kita orang syukuran peletakan batu pertama yang ada.’
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 8a)
Oo niku sukuran, misale belih kebo, misale kita tiyang sukuran. ‘Oo itu syukuran, misalnya menyembelih kerbau, misalnya kita orang syukuran.’
8b)
Peletakan batu pertama yang ada.
Peralihan bahasa terlihat (8a) penutur menggunakan bahasa Jawa “Oo niku sukuran, misale belih kebo, misale kita tiyang sukuran.” kemudian menggunakan bahasa Indonesia pada (8b) yaitu pada kata “Peletakan batu pertama yang ada.”. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud, diuji pada data tersebut menjadi wujud bahasa Jawa ragam Krama, seperti di bawah ini. 8c)
Oo menika sukuran, tuladhanipun belih kebo, tuladhanipun kita tiyang sukuran. Peletakan batu pertama (wiwitananipun bangun)ingkang wonten. ‘Oo itu syukuran, misalnya menyembelih kerbau, misalnya kita orang syukuran. Peletakan batu pertama yang ada.’.
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode tujuan yang ingin dicapai oleh penutur, untuk mempermudah dalam merubah dari ragam santai menjadi ragam resmi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fungsi dari bahasa Jawa yang digunakan penutur untuk kelancaran komunikasi antara penutur dan peserta tutur dan rasa hormamat kepada peserta tutur. Sedangkan fungsi alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia berguna untuk merubah situasi nonformal menjadi formal.
Berikut di bawah ini merupakan wujud alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. 9)
Terus wonten napa namine niku palang-palang partai niku ambruk. Gambar-ganbar partai calek-calek niku lho, niku akhire nibani, pengenara motor dan sampainya akhirnya meninggal. (242) ‘Terus ada apa namanya itu spanduk-spanduk partai itu roboh. Gambar-gambar partai itu calek-calek (calon legislative pemerintahan) itu lho, itu akhirnya menjatuhi, pengenara motor dan sampainya akhirnya meninggal.’
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 9a)
Terus wonten napa namine niku palang-palang partai niku ambruk. Gambar-ganbar partai calek-calek niku lho, niku akhire nibani ‘Terus ada apa namanya itu spanduk-spanduk partai itu roboh. Gambar-gambar partai itu calek-calek (calon legislative pemerintahan) itu lho, itu akhirnya menjatuhi’
9b)
Pengenara motor dan sampainya akhirnya meninggal.
Alih kode terjadi pada data (9a) berbahasa Jawa, “Terus wonten napa namine niku palang-palang partai niku ambruk. Gambar-ganbar partai calek-calek niku lho, niku akhire nibani” kemudian beralih dengan bahasa Indonesia pada data (9b) dengan perkataan “Pengenara motor dan sampainya akhirnya meninggal.”. Terdapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
interferensi dari kalimat tersebut muncul berupa kata “partai” dan “calek/calon legislative”. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud, diuji pada data tersebut menjadi wujud bahasa Jawa ragam Krama, seperti di bawah ini. 9c)
Lajeng wonten napa naminipun punika palang-palang partai punika ambruk. Gambar-ganbar partai calek-calek menika, menika akiripun nibani, tiyang nite montor lan lajeng akhiripun sedha. ‘Terus ada apa namanya itu spanduk-spanduk partai itu roboh. Gambar-gambar partai itu calek-calek itu lho, itu akhirnya menjatuhi pengendara motor dan sampai akhirnya meninggal.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode tujuan yang ingin dicapai oleh penutur, untuk mempermudah dalam merubah dari ragam santai menjadi ragam resmi. Fungsi dari bahasa Jawa yang digunakan penutur untuk kelancaran komunikasi antara penutur dan peserta tutur dan rasa hormat kepada peserta tutur. Sedangkan fungsi alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia berguna untuk merubah situasi nonformal menjadi formal.
Aliah kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia terakhir terdapat pada tuturan kalimat di bawah ini. 10)
Boten sah diterangke mawon empun jelas nggih buk niki. Contohcontoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat. (279) ‘Tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya buk ini. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 10a)
Boten sah diterangke mawon empun jelas nggih buk niki. ‘Tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya buk ini.’
10b)
Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat.
Wujud alih kode dari muncul pada data yang diurai, (10a) berupa kalimat berbahasa Jawa “Boten sah diterangke mawon empun jelas nggih buk niki” kemudian penutur alih dengan bahasa Indonesia pada (10b) yaitu pada kata “Contohcontoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat”. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud, diuji pada data tersebut menjadi wujud bahasa Jawa ragam Krama, seperti di bawah ini. 10c)
Boten sah dipunterangake mawon empun jelas nggih buk menika. Thiladha-thuladha tumindhak dosa-dosa ageng ingkang pundi Allah punika boten badhe ngampuni kajaba ngange tobat. ‘Tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya buk ini. Contoh-contoh perbuatan dosa-dosa besar yang mana Allah niku tidak akan mengampuni kecuali dengan taubat.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor dari alih kode di atas disebabkan karena topik pembicaraan semula penutur berkomunikasi aktif, dengan bertanya menggunakan bahasa Jawa kepada peserta tutur kemudian penutur melanjutkan dengan menggunakan bahasa Indonesia karena penutur masuk dalam materi yang disampaikan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fungsi dari bahasa Jawa madya yang digunakan penutur dalam kalimat tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap peserta tutur yang kebanyakan orang tua sebagai pengguna bahasa Jawa aktif. Sedangkan fungsi dari alih kode dari bahasa Jawa menjadi kode bahasa Indonesia adalah untuk merubah dari ragam santai berbahasa Jawa, kemudian menggunakan bahasa Indonesia yang merupakan ragam resmi dalam acara ta’lim tersebut.
2) Alih kode Bahasa Jawa ke Bahasa Arab Pemakaian bahasa Jawa dalam kalimat yang mengadung alih kode bahasa Jawa ke Bahasa Arab di bawah ini. Wujud alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab terdapat pada datadata di bawah ini. 1)
Kala ndek biyen nika kae. Man akatahinan faqathadhabimayyaku faqatkhafaradaminanjaila Rosullahi salalahiwasalam. (28) ‘Kala waktu dulu itu. Barang siapa yang mendatanggi dukun/tukangtukang sihir kemudian mempercayai yang dikatakanya tersebut, yaitu telah mengkhafiri apa yang diberikan oleh Rosullullah Saw.’
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 1a)
Kala ndek biyen nika kae. ‘Kala waktu dulu itu.’
1b)
Man akatahinan faqathadha bimayyaku faqatkha faradaminanjaila Rosullahi salalahi wasalam. ‘Barang siapa yang mendatanggi dukun/tukang-tukang sihir kemudian mempercayai yang dikatakanya tersebut, yaitu telah mengkhafiri apa yang diberikan oleh Rosullullah Saw.’
Wujud alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab yang pertama terlihat pada data di atas pada (1a) “Kala ndek biyen nika kae” kemudian menggunakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahasa Arab pada data (1b) “Man akatahinan faqathadha bimayyaku faqatkha faradaminanjaila Rosullahi salalahi wasalam.”. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud, diuji pada data tersebut menjadi wujud bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 1c)
Kala ndek biyen menika, sinten tiyangipun ingkang tindhak dateng dukun, tukang-tukang sihir lajeng percaya ingkang dipun ucapaken menika, inggih punika sampun medhal punapa ingkang dipun wenehi saking Rosullullah Saw.’ ‘Kala waktu dulu itu. Barang siapa yang mendatanggi dukun / tukangtukang sihir kemudian mempercayai yang dikatakanya tersebut, yaitu telah menghianati apa yang diberikan oleh utusan Allah.’
Uji alih kode unsur bahasa Arab menjadi bahasa Jawa seperti di atas, tidak sesuai dari tujuan, agar mitra tutur mengetahui dasar ilmu yang berupa qur’an dan hadits. Sehingga untuk teknik ubah wujud tidak bisa diterapkan dalam alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Arab. Akan tetapi untuk menyebutkan arti bahasa Arab yang di gunakan bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode karena topik atau pokok pembicaraan dimana penutur semula berkomunikasi dengan masyarakat sebagai pengguna bahasa Jawa kemudian penutur menerangkan ilmu dengan berpedoman dari hadits (perkataan Rossul) dan menyebutkan hadits tersebut. Sehingga penutur menggunakan bahasa Arab untuk menyampaikan kutipan hadits. Fungsi dari alih kode menjadi bahasa Arab merubah topik, semula santai kemudian formal untuk menyampaikan sumber asli dari hadits. Sedangkan Fungsi dari bahasa Jawa krama yang digunakan penutur adalah untuk menghormati kepada peserta tutur, hal tersebut wujud kesantunan dari penutur.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Alih kode yang lain sebagai berikut dibawah ini. 2)
Terus wonten, Rosullullah nggih pernah ngendhika. Man ata arafan faqathadhabimayyakul llatuba shalattanhu argbaina yauman. (245) ‘Terus ada, Rassul Allah (utusan Allah) ya pernah bicara. Barang siapa yang mempercayai dukun atau tukang sihir maka selama empat puluh hari sholatnya tidak diterima.’
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 2a)
Terus wonten, Rosullullah nggih pernah ngendhika. ‘Terus ada, utusan Allah ya pernah bicara.’
2b)
Man ata arafan faqathadhabimayyakul llatuba shalattanhu argbaina yauman. ‘Barang siapa yang mempercayai dukun atau tukang sihir maka selama empat puluh hari sholatnya tidak diterima.’
Alih koede terjadi terlihat dari data (2a) yang merupakan wujud bahasa Jawa “Terus wonten, Rosullullah nggih pernah ngendhika.” Kemudian penutur menggunakan bahasa Arab untuk menyampaikan hadits kepada peserta tutur, terlihat pada data (2b) “Man ata arafan faqathadhabimayyakul llatuba shalattanhu argbaina yauman.”. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode karena topik atau pokok pembicaraan dimana penutur semula berkomunikasi dengan masyarakat sebagai pengguna bahasa Jawa kemudian penutur menerangkan ilmu dengan berpedoman dari hadits (perkataan Rossul) dan menyebutkan hadits tersebut. Sehingga penutur menggunakan bahasa Arab untuk menyampaikan kutipan hadits. Fungsi dari alih kode menjadi bahasa Arab merubah topik, semula santai kemudian formal untuk menyampaikan sumber asli dari hadits. Sedangkan Fungsi dara bahasa Jawa dari kalimat diatas adalah untuk berkomunikasi sesuai dengan mitra commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tutur agar faham. Fungsi dari bahasa Jawa krama yang digunakan penutur adalah untuk menghormati kepada peserta tutur, hal tersebut wujud kesantunan dari penutur. Hal tersebut juga berfungsi agar bahasa yang digunakan dalam menyampaikan ilmu mudah untuk dimenggerti, sehingga peserta tutur faham terhadap materi yang disampaikan dalam kegiatan ta’lim tersebut.
Alih kode yang lain dari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab terdapat pada kalimat di bawah ini. 3)
Wasilah kersane iman kita bertambah iku ingkang nomer kalih kiroatul bii maysiri salafu salaf ash-hsalih. (10) ‘Usaha agar keyakinan (pada Allah) kita bertambah itu yang nomor dua meneladani perjalanan-perjalanan pendahulu kita yang ta’at (pada Islam).’
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 3a)
Wasilah kersane iman kita bertambah iku ingkang nomer kalih. ‘Usaha agar keyakinan (pada Allah) kita bertambah itu yang nomor dua.’
3b)
Kiroatul bii maysiri salafu salaf ash-shalih. ‘Meneladani perjalanan-perjalanan pendahulu kita yang ta’at (pada Islam).’
Alih kode nampak pada data (3a) yang merupakan bahasa Jawa krama, pada kata “Wasilah kersane iman kita bertambah iku ingkang nomer kalih.” Kemudian menjadi bahasa Arab pada data (3a) yang berbunyi “Kiroatul bii maysiri salafu salaf ash-shalih.”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor yang mempengaruhi terjadinya alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab karena topik pembicaraan, penutur dalam menyampaikan ilmu yang bersumber dari hadits. Hal tersebut merupakan bentuk pembelajaran bagi masyarakat yang bersumber Hadits sehingga penutur mengetahui bagaimanna bunyi bahasa arab dari hadits. Fungsi dari alih kode adalah untuk merubah topik pembicaraan. Dari bahasa Jawa kemudian menyampaikan hadist atau ilmu secara langsung dari sumbernya, hal tersebut sebagai pembelajaran bahasa Arab secara tidak langung. Sedangkan fungsi dari bahasa Jawa merupakan bentuk dari ketepatan penggunaan bahasa oleh santri (penutur), karena penutur merupakan pengguna bahas Jawa pada umumnya.
Alih kode juga terdapat pada tuturan dibawah ini. 4)
Nabi sulaiman nggih pak, lha niku contone, niku ayat bissmillahirahmanirahim laqodkanalisabain fiimaskanihim aayadun, jannataani ‘ayyamiiwwasyimalin kulumirrizqirobbikum waskurulahu. (92) ‘Nabi Sulaiman ya pa, lha itu contohnya, itu seperti ayat. Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah dan penyayang. Sesungguhnya bagi kaum saba’ adalah tanda (kekuasaan) Allah di tempat kediaman mereka, dua buah kebun di sebelah kanan dan sebelah kiri. Makanlah olehmu dari rezeki yang Tuhanmu dan bersyukurlah kepadaNya.’
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 4a)
Nabi Sulaiman nggih pak, lha niku contone, niku ayat . ‘Nabi Sulaiman ya pa, lha itu contohnya, itu seperti ayat.’
4b)
Bissmillahirahmanirahim. laqodkanalisabain fiimaskanihim aayadun, jannataani ‘ayyamiiwwasyimalin kulumirrizqirobbikum waskurulahu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Dengan menyebut nama Allah yang maha pemurah dan penyayang. Sesungguhnya bagi kaum sabak adalah tanda (kekuasaan) Allah di tempat kediaman mereka, dua buah kebun di sebelah kanan dan sebelah kiri. Makanlah olehmu dari rezeki yang Tuhanmu dan bersyukurlah kepadaNya.’ Alih kode dari bahasa Jawa terlihat pada (4a) pada kalimat “Nabi Sulaiman nggih pak, lha niku contone, niku ayat” kemudian penutur menggunakan bahasa Arab sebagai
berikut
“Bissmillahirahmanirahim.
laqodkanalisabain
fiimaskanihim
aayadun, jannataani ‘ayyamiiwwasyimalin kulumirrizqirobbikum waskurulahu.”. Kalimat tersebut berasal dari kitab suci al-qur’an surat saba’, atau ayat ke 34 (tiga puluh empat). Komponen tutur adalah santri dan masyarakat. Tujuan dari tuturan berbentuk ujaran berupa penjelasan. Nada penutur cenderung santai kemudian menjadi serius dalam pemakaian dengan bahasa Arab, dengan menggunakan bahasa lisan dalam kajian ta’lim. Faktor yang menjadi penyebab alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab adalah topik pembicaran. Penutur yang ingin menyampaikan kutipan surat dalam al-qur’an sehingga mitra tutur lebih mengetahui bacaan tersebut, lebih bisa memahami maksud dari ayat tersebut sehingga fungsi dari al-qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam dapat lebih difahami dan dilaksanakan. Fungsi alih kode menjadi bahasa Arab guna kepentingan topik pembelajaran dalam arti mengkaji makna dan tafsir al-qur’an sebagai penerang bagi umat Islam. Karena menuntut ilmu itu wajib bagi orang Islam. Sedangkan fungsi dari bahasa Jawa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam tuturan tersebut sebagai bahasa yang lebih mudah untuk digunakan dalam berkomunikasi dengan mitra tutur.
Alih daari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab terdapat dalam kalimat di bawah ini. 5)
Wonten gesang, wonten ing ndonya. Saking annabihurairrah radhianhu kola Rosullullah Saw minhusni islam mar’i sarkuhum mala’i yaqihi. (254) ‘Ada hidup ada di dunia. Dari saya abuhurairrah radhianhu berkata, Rasullullah Saw berbicara sebagian dalam Islam itu meninggalkan halhal yang tidak berguna.’
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 5a)
Wonten gesang, wonten ing ndonya, saking. ‘Ada hidup ada di dunia, saking.’
5b)
Annabihurairrah radhianhu kola Rasullullah Saw minhusni islam mar’i sarkuhum mala’i yaqihi. ‘Dari saya abuhurairrah radhianhu berkata, Rasullullah Saw berbicara sebagian dalam Islam itu meninggalkan hal-hal yang tidak berguna’
Alih kode berupa bahasa Jawa berwujud (5a) sebagai berikut “Wonten gesang, wonten ing ndonya, saking.” Penutur melanjutkan dengan bahasa Arab yang mengutip dari perkataan Nabi. Adapun alih kode bahasa Arab berwujud kalimat berikut “Anabihurairrah radhianhu kola Rasullullah Saw minhusni islam mar’i sarkuhum mala’i yaqihi.”. Faktor yang menjadi penyebab dari alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab adalah adalah karena topik guna pembelajaran. Dimana dalam menyampaikan ilmu yang bersumber dari hadits yang harus disampaikan agar redaksi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari hadits tersebut dapat dipelajari ataupun dapat dimengerti. Hal tersebut merupakan bentuk pembelajaran bagi masyarakat yang bersumber Hadits sehingga penutur mengetahui bagaimanna kalimat bahasa arab dari hadits yang dikupas atau di kaji. Fungsi dari alih kode adalah untuk merubah topik. Penutur menyampaikan hadist atau ilmu secara langsung dari sumbernya, hal tersebut sebagai pembelajaran bahasa Arab secara tidak langung bagi peserta tutur. Sedangkan fungsi dari bahasa Jawa merupakan bentuk dari ketepatan penggunaan bahasa oleh santri (penutur), karena penutur merupakan pengguna bahas Jawa pada umumnya.
Alih kode yang berikutnya terdapat pada data di bawah ini. 6)
Lha kaping sepindhah inggih punika judi. Istiqalu bima’nihi taziku wa’annu dhaiful iman. (144) ‘Lha yang pertama ya itu judi. Jika diantara kalian melakukan hal yang tidak berguna bertanda bahwa iman kalian lemah’.
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 6a)
Lha kaping sepindhah inggih punika judi. ‘Lha yang pertama yaitu judi.’
6b)
Istiqalu bima’nihi taziku wa’annu dhaiful iman. ‘Jika diantara kalian melakukan hal yang tidak berguna tanda bahwa iman kalian lemah’
Terlihat pada (6a) penutur menggunakan bahasa Jawa dengan kalimat “Lha kaping sepindhah inggih punika judi.” Kemudian penutur menggunakan bahasa Arab yaitu pada (6b) yang berbunyi “Lha kaping sepindhah inggih punika judi. Istiqalu bima’nihi taziku wa’annu dhaiful iman.”. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penutur dalam kalimat tersebut semula menggunakan bahasa Jawa ragam krama, kemudian penutur beralih dengan menggunakan bahasa Arab. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab karena penutur gengsi, sehingga penutur menggunakan bahasa Arab yang bersumber dari hadits. Fungsi dari alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab sebagai ragam bahasa bahwa santri mampu berbahasa Arab. Sedangkan fungsi dari bahasa Jawa sebagai penghormat kapada peserta tutur.
Alih kode yang lain dapat dilihat dalam tuturan sebagai berikut di bawah ini. 7)
Lan saking gesang-gesang sampun kita gunaaken dhamel-dhamel maos al-quran, dhamel liya-lianipun benjeng badhe ditangletake dhumateng Allah Swt lan, wa’ankuli kalimattan yuanaquli biha. (252) ‘Dan dari hidup-hidup sudah kita gunakan buat-buat membaca alqur’an, untuk yang lain-lainya besok akan ditanyakan oleh Allah dan setiap kalimat yang terucap akan mendapat balasan.’.
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 7a)
Lan saking gesang-gesang sampun kita gunaaken dhameldhamel maos al-quran, dhamel liya-lianipun benjeng badhe ditangletake dhumateng Allah Swt lan. ‘Dan dari hidup-hidup sudah kita gunakan buat-buat membaca al-qur’an, untuk yang lain-lainya besok akan ditanyakan oleh Allah.’
7b)
Wa’ankuli kalimattan yuanaquli biha. ‘dan setiap kalimat yang terucap akan mendapat balasan’
Terjadi alih kode dari bahasa Jawa terdapat pada (7a) yaitu “Lan saking gesang-gesang sampun kita gunaaken dhamel-dhamel maos al-quran, dhamel liya-
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lianipun benjeng badhe ditangletake dhumateng Allah Swt lan.” Kemudian penutur menggunakan bahasa Arab pada kalimat “Wa’ankuli kalimattan yuanaquli biha”. Penutur dalam kalimat tersebut menerangkan kepada peserta tutur bahwa setiap kalimat yang pernah terucap dari bibir kita akan mendapatkan balasan di ahkirat. Jika mulut kita digunakan untuk hal-hal yang mendatangkan kebaikan yang tujuanya adalah ibadah maka akan mendapat balasan yang baik, sedangkan kita mulut kita berucap yang buruk yang tidak bermanfa’at atau perkataan yang tidak benar maka akan mendapatkan siksa di akhirat. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode menjadi bahasa Arab karena penutur gengsi hanya menggunakan bahasa Ibu (Jawa), penutur inggin langsung menggunakan bahasa Arab sebagai rujukan bahasa Ilmu pengetahauan Islam. Sehingga penutur menggunakan kutipan hadits yang asli dari bahasa Arab. Fungsi dari alih kode sebagai ragam bahasa yang menambah pengetahuan terhadap bahasa Arab sebagai bahasa Internasional di Negara-negara Timur Tenggah dan bahasa ilmu pengetahuan terutama pengetahuan tentang jalan hidup atau agama. Sedangkan fungsi dari bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi yang efektif dan santun. Alih kode berikut ini juga merupakan wujud dari alih kode dari bahasa Jawa menjadi bahasa Arab. 8)
Niku ingkag sepindhah, lan ingkang kaping kalih iq’ radhu an’amalli yaknutharik wal majah. (152) ‘Ini yang pertama, dan yang ke-dua. meningalkan perbuatan yang buruk dan tidak bermanfa’at.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 8a)
Niku ingkang sepindhah, lan ingkang kaping kalih ‘Ini yang pertama, dan yang ke-dua.’
8b)
Iq’ radhu an’amalli yaknutharik wal majah. ‘meningalkan perbuatan yangburuk dan tidak bermanfa’at’
Kalimat di atas wujud alih kode yang semula berbahasa Indonesia pada (8a) yang berupa “Niku ingkang sepindhah, lan ingkang kaping kalih” kemudian menjadi bahasa Arab “Iq’ radhu an’amalli yaknutharik wal majah.”. Dari data tersebut penutur melanjutkan materi kedua. Sehingga penutur setelah menggunakan bahasa Jawa kemudian beralih dengan menggunakan bahasa Arab. Faktor dari alih kode tersebut merupakan topik pembicaraan. Topik tersebut berupa transfer ilmu yang bersumber dari buku hadits. Sehingga penutur menyampaikan dengan mengutip bahasa sesuai dengan apa adanya, yaitu bahasa Arab. Fungsi dari alih kode menjadi bahasa Arab guna menyampaikan ilmu agama Islam yang berbahasa Arab, dari buku hadits yang berlatar belakang topik pembicaraaan. Sedangkan fungsi dari bahasa Jawa ragam krama untuk menghormati dan menyampaikan materi kajian agama terhadap peserta tutur yang sebagian besar merupakan masyarakat pengguna bahasa Jawa. Kalimat di bawah ini juga merupakan wujud alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Arab. 9)
Dados Buqori niku ngendhika saking Rosulullah Saw ida aksana ah’hadukum islammahu wakuli hasanatin yakmaluha tuktafulahu bi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
asra anfaliha, ilatu anmu ditfin wakuli syaitadin yak maluha tuktafulahu bi musliha. (158) ‘Jadi Buqori itu berkata dari utusan Allah. Jika telah benar ke-Islaman kita semua maka setiap kebaikan dicatat Allah sepuluh sampai seratus kebaikan tetapi jika melakukan keburukan dicatat keburukan yang dilalukannya saja.’ Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 9a)
Dados Buqori niku ngendhika saking Rosulullah Saw. ‘Jadi Buqori itu berkata dari utusan Allah.’
9b)
Ida aksana ah’hadukum islammahu wakuli hasanatin yakmaluha tuktafulahu bi asra anfaliha, ilatu anmu ditfin wakuli syaitadin yak maluha tuktafulahu bi musliha. ‘Jika telah benar ke-Islaman kita semua maka setiap kebaikan di catat Allah sepuluh sampai seratus kebaikan tetapi jika melakukan keburukan dicatat keburukan yang dilalukannya saja’
Wujud alih kode dari bahasa Jawa terdapat dengan kalimat “Dados Buqori niku ngendhika saking Rosulullah Saw.” Kemudian menjadi bahasa Arab pada kalimat “Ida aksana ah’hadukum islammahu wakuli hasanatin yakmaluha tuktafulahu bi asra anfaliha, ilatu anmu ditfin wakuli syaitadin yak maluha tuktafulahu bi musliha.”. Penutur dalam kalimat tersebut ingin menyampaikan hadits yang diriwayatkan oleh Buqori, isinya tentang jika seorang yang memeluk agama Islam dengan baik perbuatan baik yang dilakukan orang tersebut akan dicatat sepuluh sampai dengan seratus kebaikan. Akan tetapi setiap perbuatan buruk hanya dicatat keburukan yang dilalukan oleh orang tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor yang menjadi penyebab dari alih kode di atas karena topik pembicaraan. Penutur yang ingin menyampaikan sumber ilmu yang dari buku hadits yang berbahasa Arab, untuk kepentingan pembelajaran ilmu Islam. Fungsi alih kode untuk merubah dari ragam santai menjadi ragam resmi. Sedangkan fungsi dari bahasa Jawa merupakan bahasa santun dan bahasa yang santai.
3) Alih Kode Bahasa Arab ke Bahasa Jawa Wujud alih kode dari bahasa Arab ke bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 1)
Innalhamdalillah nahmaduhu wanasta’iinuhu wanasta’firuhu, wana’uudhubillahi minsyuruuri anfusina, wamin say’ati ‘amalina, manyahdihihufaamudhillah waman yadhlil falahadiy’lah. Ashaduanlaillahaillah wahdahula syarikalahu wa ashaduannamuhammadan ‘abduhu warasullu lanabbi warassullah ba’dah. Kallahuta’ala ya ayyuhaladina ‘amanuttaqullah kaqqatuqtihi wala tamu tunnilla wa antum muslimun. Allhamdulillah ing kesempatan punka kula saget ngisi kalian bapak-bapak, ibu-ibu. (78) ‘Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan mencari bantuan-Nya dan pengampunan dan kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejahatan kita, dari petunjuk Allah tidak menyesatkan dia dan tidak disesatkan. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, sendirian tanpa pasangan, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul. Wahai manusia, aku menasihati kamu dan aku takut akan Allah telah memenangkan orang-orang benar. Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah harus ditakuti dan tidak mati kecuali sebagai Muslim. Segala puji bagi Allah. Di kesempatan ini saya bisa memberi (ilmu) kapada bapak-bapak, ibu-ibu.’
Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 1a)
Innalhamdalillah nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastag’firuhu, wana’uudhubillahi minsyuruuri anfusina, wamin say’ati ‘amalina, manyahdihillahhu fala mudhillah waman yudhlilahu falahadiy’lah. Ashaduanlaillahaillah wahdahula syarikalahu wa ashaduannamuhammadan ‘abduhu warasullu lanabbiyi warassullah ba’dah. Kallahuta’ala ya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ayyuhaladina ‘amanuttaqullah kaqqatuqtihi wala tamu tunnilla wa antum muslimun. Allhamdulillah. ‘Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan mencari bantuan-Nya dan pengampunan dan kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejahatan kita, dari petunjuk Allah tidak menyesatkan dia dan tidak disesatkan oleh Hadi. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, sendirian tanpa pasangan, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul. Wahai manusia, aku menasihati kamu dan aku takut akan Allah telah memenangkan orang-orang benar. Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah harus ditakuti dan tidak mati kecuali sebagai Muslim. Segala puji bagi Allah.’ 1b)
Ing kesempatan punika kula saget ngisi kalian bapak-bapak, ibu-ibu. ‘Di kesempatan ini saya bisa memberi (ilmu) kapada bapakbapak, ibu-ibu.’
Wujud dari alih kode dari bahasa Arab menjadi bahasa Jawa terlihat pada data terlihat setelah data diurai atau dipisahkan menjadi 2 (dua) bagian. Bagian pertama merupakan kalimat dengan menggunakan bahasa Arab seperti data di atas (1a) yaitu “Innalhamdalillah nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastag’firuhu […]”. Kemudian penutur beralih dengan menggunakan bahasa Jawa pada data (1b) yang berbunyi “Ing kesempatan punika kula saget ngisi kalian bapak-bapak, ibu-ibu.”. Karena alih kode yang mengandung unsur bahasa Arab tidak bisa di ubah wujud menjadi bahasa Jawa secara utuh, karena akan mengurangi arti, makna, dan retorika dakwah. Maka alih kode yeng mengandung bahasa Arab tidak bisa dihilangkan dan diganti dengan bahasa lain. Data tersebut merupakan data yang diambi dari kegiatan ta’lim pada awalawal dimulainya kajian tersebut, dimana penutur menggunakan kalimat pembuka
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan bahasa Arab mengajak kepada peserta tutur bersyukur dan meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan. Hal tersebut merupakan tatacara berdakwah secara teratur dalam kajian atau ta’lim, tatacara tersebut merupakan retorika dakwah. Kemudian penutur menggunakan bahasa Jawa. Sehingga dari hal tersebut di atas yang menjadi faktor penutur menggunakan alih kode dari bahasa Arab menjadi bahasa Jawa karena topik atau pokok pembicaraan. Kalimat pembuka disesuaikan dengan retorika dakwah kemudian penutur beralih dengan bahasa Jawa untuk menanyakan kabar kepada peserta tutur. Fungsi dari alih kode dari bahasa Arab menjadi bahasa Jawa karena untuk merubah situasi dari ragam beku menjadi situasi yang komunikatif yaitu termasuk ragam non formal. Sehingga suasana santai lebih mewarnai kegiatan pembelajaran tentang Pemahaman ilmu Islam tesebut. Fungsi dari bahasa Jawa (krama) adalah sebagai bahasa yang diangap santun dan lebih komunikan dalam menghadapi peserta tutur yang notabenya merupakan pengguna bahasa Jawa aktif, serta mengimbangi bahasa yang dikuasai peserta tutur.
Alih kode dari bahasa Arab menjadi bahasa Jawa terdapat juga pada tuturan di bawah ini. 2)
Yaayuhaladinaamanu itaqqullah hahadhukhadi wallatamuttuna wa antum muslimun. Wakallah rassullahi sallallahhu’alayhi wassalam bihadifiahtarif innaifqatif hadits wal qitabbullah wal qairul hadil hajji Muhammad sallallah huallay wassalam wa syarull umurri muhadad uqha allla wa innaqulam fisiddini bid’ah wa qulla bid’ahtun dhalallalah wa qalaradhatun binnar. Ibu-ibu ingkang dipun rahmati Allah inggkang ing wedhal dalu punika kita sedaya boten lepat lan kita sedaya boten lali manjataken raos syukur dhumateng Allah. (137) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah harus ditakuti dan tidak mati kecuali sebagai Muslim. Berkata Rasullullah. Dia yang menaati Allah dan Rasul-Nya telah memenangkan kemenangan besar. Al-Qur’an dari Allah, dan yang terbaik dari bimbingan adalah bimbingan Nabi Muhammad dan semua hal yang jahat yang baru ditemukan sebuah penambahan dan setiap penambahan adalah sesat dan setiap kesesatan dalam api.’ Data di atas dianalisis dengan metode distribusional dengan teknik dasar urai unsur langsung menjadi 2 bagian, seperti dibawah ini. 2a)
Yaayuhaladinaamanu itaqqullah hahadhukhadi wallatamuttuna wa antum muslimun. Wakallah rassullahi sallallahhu’alayhi wassalam bihadifiahtarif innaifqatif hadits wal qitabbullah wal qairul hadjil hadjil Muhammad sallallah huallay wassalam wa syarull umurri muhadad uqha allla wa innaqulam fisiddini bid’ah wa qulla bid’ahtun dhalallalah wa qalaradhatun binnar. ‘Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah harus ditakuti dan tidak mati kecuali sebagai Muslim. Berkata Rasullullah Saw. Dia yang menaati Allah dan Rasul-Nya telah memenangkan kemenangan besar. Al-Qur’an dari Allah, dan yang terbaik dari bimbingan adalah bimbingan Nabi Muhammad dan semua hal yang jahat yang baru ditemukan sebuah penambahan dan setiap penambahan adalah sesat dan setiap kesesatan dalam api. Ibu-ibu yang di rahmati Allah yang di waktu malam hari ini kita semua tidak lupa dan kita semua tidak lupa memanjatkan rasa syukur kepada Allah.’
2b)
Ibu-ibu ingkang dipun rahmati Allah inggkang ing wedhal dalu punika kita sedaya boten lepat lan kita sedaya boten lali manjataken raos syukur dhumateng Allah Swt. ‘Ibu-ibu yang di rahmati Allah yang di waktu malam hari ini kita semua tidak lupa dan kita semua tidak lupa memanjatkan rasa syukur kepada Allah’
Alih kode selanjutnya yang merupakan peralihan dari bahasa Arab menjadi bahasa Jawa terlihat dari data di atas yang diurai menjadi 2 (dua) bagian untuk memisahkan antara bahasa Arab dan bahasa Jawa. Untuk bahasa Arab terdapat pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
uraian (2a) yang berbunyi “Yaayuhaladinaamanu itaqqullah hahadhukhadi wallatamuttuna wa antum muslimun […]”. Foktor yang mempengaruhi terjadinya alih kode dari bahasa Arab menjadi bahasa Jawa seperti data sebelumnya yaitu karena pokok atau topik pembicaraan dimana kata pembuka disesuaikan dengan retorika dakwah kemudian penutur beralih dengan bahasa yang komunikatif dengan bahasa Jawa untuk berkomunikasi dan mengajak peserta tutur untuk memanjatkan rasa syukur. Fungsi dari alih kode dari bahasa Arab menjadi bahasa Jawa karena untuk merubah situasi dari ragam beku menjadi situasi yang komunikatif yaitu termasuk ragam non formal. Seadangkan fungsi dari bahasa Jawa (krama) adalah sebagai bahasa yang diangap santun dan lebih komunikan dalam menghadapi peserta tutur yang merupakan pemakai bahasa Jawa.
4) Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa
1)
Kemudian langsung saja, kalau begitu kita masuk materi dan seperti biasanya. Sakdherenge napa namine mlebet materi, kula tanglet ingkang sampun kula sampekne ngek biyen nggih. (7) ‘Kemudian langsung saja, kalau begitu kita masuk materi dan seperti biasanya. Sebelum apa namanya masuk materi, saya tanya yang sudah saya sampaikan kala dulu ya.’
Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, sehingga mengetahui bagian dari kedua bahasa tersebut. 1a)
Kemudian langsung saja, kalau begitu kita masuk materi dan seperti biasanya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
1b)
digilib.uns.ac.id
Sakdherenge napa namine mlebet materi, kula tanglet ingkang sampun kula sampekne nggek biyen nggih. ‘Sebelum apa namanya masuk materi, saya tanya yang sudah saya sampaikan kala dulu ya.’
Dari data tersebut merupakan data diambil dari santri TID (Takhasshush I’dad Du’at) yang berlokasi di masjid desa Candran Kecamatan Simo, dalam pembelajaran ilmu Islam (ta’lim), kegiatan tersebut merupakan kegiatan formal dari PDS, sehingga termasuk ragam resmi. Penutur merupakan santri PDS, sedangkan mitra tutur merupakan jama’ah sholat magrib yang terdiri dari usia tua, orang tua, dan pemuda. Untuk Anak-anak berada diserambi (luar) masjid jadi tidak ikut dalam komponen tutur. Data diambil setelah shalat magrib, sekitar pukul 18.10 WIB. Data tersebut menunjukkan munculnya alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa. Alih kode tersebut tampak pada kalimat (pada data 1a) “Kemudian langsung saja, kalau begitu kita masuk materi dan seperti biasanya” yang merupakan kode dengan kalimat bahasa Indonesia, kemudian beralih kode dengan menggunakan bahasa Jawa (pada 1b) “Sakdherenge napa namine mlebet materi, kula tanglet ingkang sampun kula sampekne nggek biyen nggih.”. Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 1c)
Lajeng mawon, ingkang mekaten kita mlebet materi lan kadhos biasanipun, sakdherenge napa namine mlebet materi, kula nyuwun pirsa ingkang sampun kula sampekne kala biyen nggih. ‘Kemudian langsung saja, kalau begitu kita masuk materi dan seperti biasanya Sebelum apa namanya masuk materi, saya tanya yang sudah saya sampaikan kala dulu ya.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari uji ubah wujud menjadi bahasa Jawa seperti data di atas, ternyata dapat mewakili makna yang terkandung dalam tuturan tersebut serta menambah rasa hormat dengan pemakaian bahasa Jawa. Fungsi dari alih kode dari bahasa Indonesia menjadi bahasa Jawa adalah merubah ragam resmi berbahasa Indonesia menjadi ragam santun berbahasa Jawa. Juga agar komunikasi lebih efektif atau mengimbanggi bahasa yang dikuasai peserta tutur, mengingat peserta tutur merupakan pemakai bahasa Jawa aktif. Sedangkan alih kode bahasa Jawa tersebut termasuk jenis ragam krama, tetapi masih ada leksikon yan merupakan jenis krama desa pada kata “tanglet” ‘tanya’ seharusnya menggunakan kata “nyuwun pirsa” atau “dherek pirsa” yang lebih sesuai dengan kaidah bahasa Jawa. Terdapat juga interferensi pada kata “materi”. Fungsi ragam bahasa Jawa merupakan untuk menghormati mitra tutur yang sebagian besar merupakan usia tua. Wujud alih kode oleh santri PDS juga muncul pada kalimat di bawah ini. 2)
Mereka syirik ini orangnya meninggal, Dados dosane niku boten diampuni Allah. (26) ‘Mereka syirik ini orangnya meninggal. Jadi dosanya itu tidak diampuni Allah.’
Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa indonesia dengan bahasa Jawa, sehingga mengetahui bagian dari kedua bahasa tersebut. 2a)
Mereka syirik ini orangnya meninggal.
2b)
Dados dosane niku boten diampuni Allah. ‘Jadi dosanya itu tidak diampuni Allah.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud alih kode tejadi pada (2a) merupakan kode bahasa Indonesia beralih menjadi kode bahasa Jawa pada (2b). Penutur (Santri PDS) dalam data tersebut berbicara dengan mitra tutur (masyarakat) mengenai topik tentang orang yang menyekutukan Allah dan akibat yang didapat dari perbuatan tersebut. Materi yang disampaikan merupakan ilmu yang diambil dari buku kemudian penutur menyampaikan materi tersebut. Alih kode bahasa Jawa yang digunakan merupakan ragam madya, terlihat dalam kalimat “Dados dosane niku boten diampuni Allah”. Terdapat interferensi berupa kata “syirik”. Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 2c)
Piyambakipun syirik punika tiyangipun sedha. Dados dosannipun menika boten dipun ampuni Allah. ‘Mereka syirik ini orangnya meninggal. Jadi dosanya itu tidak diampuni Allah.’
Uji ubah wujud menjadi bahasa Jawa seperti di atas, secara makna dapat mewakili dari tuturan aslinya. Fungsi dari alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa untuk merubah dari situasi resmi menjadi situasi santai dengan bahasa Jawa yang lebih imbang dengan keadaan peserta tutur.
Kemudian data yang lain yang menunjukkan alih kode dengan latar belakang penutur yang sama, berupa alih kode sebagai berikut: 3)
Pengorbanan yang kita berikan kepada orang tua kita itu tidak ada apaapanya. Dibandingke ibu kita sedaya boten wonten napa-napane buk. (46) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Pengorbanan yang kita berikan kepada orang tua kita itu tidak ada apaapanya dibandingkan ibu kita, semua tidak apa-apanya buk.’ Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa indonesia dengan bahasa Jawa, sehingga mengetahui bagian dari kedua bahasa tersebut.
Data
3a)
Pengorbanan yang kita berikan kepada orang tua kita itu tidak ada apa-apanya.
3b)
Dibandingke ibu kita, sedaya boten wonten napa-napane buk. ‘Dibandingkan ibu kita, semua tidak apa-apanya buk.’
(3) merupakan
wujud alih
kode dari bahasa Indonesia (3a)
“Pengorbanan yang kita berikan kepada orang tua kita itu tidak ada apa-apanya.” kemudian menjadi bahasa Jawa (3b) “Dibandingke ibu kita, sedaya boten wonten napa-napane bu”. Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 3c)
Pangorbanan ingkang kita caosaken dhumateng tiyang sepuh kita menika boten wonten napa-napa. Dipunbandingaken ibu kita sedaya boten wonten napa-napanipun buk. ‘Pengorbanan yang kita berikan kepada orang tua kita itu tidak ada apa-apanya dibandingkan ibu kita, semua tidak apa-apanya buk.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia bisa diganti dengan bahasa Jawa. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya alih kode karena topik pembicaraan, dari bahasa Indonesia yang merupakan wujud dari ragam formal menjadi bahasa Jawa berupa ragam nonformal. Juga karena oleh mitra tutur atau lawan tutur yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan masyarakat pengguna bahasa Jawa Aktif (masyarakat pedesaan). Sehingga guna berkomunikasi dan mengimbanggi bahasa yang dikuasai peserta tutur. Fungsi dari alih kode dari tersebut untuk menjelaskan atau menegaskan maksud dari ucapan penutur agar lebih memahami maksud dari apa yang disampaikan penutur. Alih kode bahasa Jawa di atas termasuk jenis ragam madya, berguna sebagi bahasa yang santai mencerminkan situasi nonformal.
Terlihat juga alih kode berupa kalimat sebagai berikut ini. 4)
Contohnya meminta rezeki ataupun kesehatan kepada selain Allah, mengantungkan diri dan bersujud selain Allah. Dados nggih niku nggih syirik buk, Jenengan. (20) ‘Contohnya meminta rezeki ataupun kesehatan kepada selain Allah, mengantungkan diri dan bersujud selain Allah. Jadi ya itu ya menyekutukan buk, anda.’
Jika di atas diurai menjadi dua bagian (4a dan 4b,) seperti di bawah ini. 4a)
Contohnya meminta rezeki ataupun kesehatan kepada selain Allah, mengantungkan diri dan bersujud selain Allah.
4b)
Dados nggih niku nggih syirik buk, Jenengan. ‘Jadi ya itu ya menyekutukan buk, anda.’
Terjadi alih kode dari bahasa Indonesia (4a) “Contohnya meminta rizeki ataupun kesehatan kepada selain Allah, mengantungkan diri dan bersujud selain Allah.”. kemudian menjadi bahasa Jawa (4b) “Dados nggih niku nggih syirik buk, Jenengan.”. Penutur dalam kalimat di atas bermaksud memberikan contoh tentang perbuatan
menyekutukan
Allah
adalah
meminta
menggantungkan diri kepada selain Allah.
commit to user
rizeki,
bersujud,
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 4c)
Thuladhanipun nyuwun rejeki utawi kasarasan dhumateng senesipun Allah, ngantungaken piyambakipun lan sujud dhumateng senesipun Allah. Dados nggih menika nggih syirik buk, Jenengan. ‘Contohnya meminta rezeki ataupun kesehatan kepada selain Allah, mengantungkan diri dan bersujud selain Allah. Jadi ya itu ya menyekutukan buk, anda.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Munculnya alih kode disebabkan karena topik yang menerangkan ilmu yang bersumber dari buku berbahasa Indonesia kemudian beralih dengan bahasa Jawa yang lebih komunikatif terhadap lawan bicara. Fungsi dari alih kode ke bahasa Jawa untuk merubah dari
ragam resmi
menjadi ragam santai. Bahasa Jawa sebagi penyeimbang dari bahasa yang dikuasai penutur dan merupakan bahasa yang bernilai kesopanan terhadap peserta tutur.
Alih kode selanjutnya berupa tuturan di bawah ini. 5)
Selanjutnya dosa besar tadi setelah mencuri banyak berdusta, niku napa tha? Kathah-kathah ngapusi, yen ngomong menclamencle, boten pas ditakoni ngetan ngulon ngalor ngidul, sing penting boten pas lah, boten pas. (62) ‘Selanjutnya dosa besar tadi setelah mencuri banyak berdusta. Ini apa sih? Banyak-banyak menipu kalau bicara seenaknya, tidak pas ditanya timur jawabnya selatan, yang penting tidak pas lah, tidak pas.’
Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, sehingga mengetahui bagian dari kedua bahasa tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5a)
Selanjutnya dosa besar tadi setelah mencuri banyak berdusta.
5b)
Niku napa tha? Kathah-kathah ngapusi, yen ngomong menclamencle, boten pas ditakoki ngetan ngulon ngalor ngidul, sing penting boten pas lah, boten pas. ‘Ini apa sih? Banyak bohongnya, sering menipu kalau bicara seenaknya, tidak pas ditanya timur jawabnya selatan, yang penting tidak pas lah, tidak pas.’
Alih kode terjadi pada data setelah dianalisis dengan diurai yaitu (5a) “Selanjutnya dosa besar tadi setelah mencuri banyak berdusta” yang berupa bahasa Indonesia kemudian menjadi bahasa Jawa (5b) “Niku napa tha? Katah-katah ngapusi, yen ngomong menclamencle, boten pas ditakok ngetan ngulon
ngalor
ngidul, sing penting boten pas lah, boten pas.”. Penutur dalam data tersebut ingin menyampaikan pada mitra tutur, bahwa dosa besar setelah mencuri adalalah berdusta atas apa yang diucapkan. Kemudian penutur Alih kode menjadi bahasa Jawa disebabkan karena penutur yang semula berbicara dengan membaca buku kemudian berganti bahasa yang lebih komunikatif dengan bahasa Jawa. Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 5c)
Saklajengipun dosa ageng wau saksampunipun nyolong katah apusapus, menika napa tha? Kathah-kathah ngapusi, yen ngendhika mencla-mencle, boten pas dipunsuwuni pirsa ngetan ngulon ngalor ngidul, ingkang penting boten pas, boten pas. ‘Selanjutnya dosa besar tadi setelah mencuri banyak berdusta. Ini apa sih? Banyak-banyak menipu kalau bicara seenaknya, tidak pas ditanya timur jawabnya selatan, yang penting tidak pas lah, tidak pas.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Munculnya alih kode disebabkan karena topik yang menerangkan ilmu yang bersumber dari buku berbahasa Indonesia kemudian beralih dengan bahasa Jawa yang lebih komunikatif terhadap lawan bicara. Fungsi dari alih kode ke bahasa Jawa untuk merubah dari
ragam resmi
menjadi ragam santai. Bahasa Jawa sebagi penyeimbang dari bahasa yang dikuasai penutur dan merupakan bahasa yang bernilai kesopanan terhadap peserta tutur, serta bahasa yang santai.
Alih kode yang lain terdapat pada kalimat serikut ini. 6)
Di taruh di panti jompo walaupun dikasih uang banyak itu saya yakin itu napa namine embah-embah niku boten ayem, kersane tepang kalih putune, kalih anake boten saget, pengen njenguk boten saget. (40) ‘Di taruh di panti jompo walaupun dikasih uang banyak itu saya yakin itu, Apa namanya embah-embah itu tidak tenang, agar bertemu dengan cucu-cucunya, sama anaknya tidak bisa, kepengen menjenguk tidak bisa.’
Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, sehingga mengetahui bagian dari kedua bahasa tersebut. 6a)
Di taruh di Panti Jompo walaupun dikasih uang banyak itu saya yakin itu.
6b)
Napa namine embah-embah niku boten ayem, kersane tepang kalih putune, kalih anake boten saget, pengen njenguk boten saget. ‘Apa namanya embah-embah itu tidak tenang, biar bertemu dengan cucu-cucunya, sama anaknya tidak bisa, kepengen memjenguk tidak bisa.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data di atas setelah diurai menjadi dua bagian telihat alih kode yang muncul dari (6a) “Di taruh di panti jompo walaupun dikasih uang banyak itu saya yakin itu” kemudian menggunakan bahasa Jawa (6b) “Napa namine embah-embah niku boten ayem, kersane tepang kalih putune, kalih anake boten saget, pengen njenguk boten saget.”. terdapat interferensi pada kata “njenguk” Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 6c)
Dipun lebetaken wonten Panti Jompo badhe diwenehi artha kathah menika kula yakin menika napa naminipun embah-embah menika boten ayem, kersane tepang kalih putunipun, kalih anakipun boten saget, pengen soan boten saget. ‘Di taruh di panti jompo walaupun dikasih uang banyak itu saya yakin itu, Apa namanya embah-embah itu tidak tenang, agar bertemu dengan cucu-cucunya, sama anaknya tidak bisa, kepengen menjenguk tidak bisa.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor penyebabterjadinya alih kode karena topik yang menerangkan ilmu yang bersumber dari buku berbahasa Indonesia kemudian beralih dengan bahasa Jawa yang lebih komunikatif terhadap lawan bicara. Fungsi dari alih kode ke bahasa Jawa untuk merubah dari
ragam resmi
menjadi ragam santai. Bahasa Jawa sebagi penyeimbang dari bahasa yang dikuasai penutur dan merupakan bahasa yang bernilai kesopanan terhadap peserta tutur, serta bahasa yang santai. Alih kode selanjutnya muncul sebagai berikut ini. 7)
Itu karena hukuman kita masih hukum-hukum orang-orang kafir. Dados hukumane Islam niku dereng ditegakke buk. (55) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Itu karena hukuman kita masih hukum-hukum orang-orang kafir, Jadi hukuman Islam itu belum ditegakkan buk.’ Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, sehingga mengetahui bagian dari kedua bahasa tersebut. 7a)
Itu karena hukuman kita masih hukum-hukum orang-orang kafir.
7b)
Dados hukumane Islam niku dereng ditegakke buk. ‘Jadi hukuman Islam itu belum ditegakkan buk.’
Data ke-9 untuk wujud alih kode seperti di atas setelah dibagi unsur langsung yang menunjukkan perbedaan bahasa. Bagian data yang bertanda (7a) “Itu karena hukuman kita masih hukum-hukum orang-orang kafir” penutur menggunakan bahasa Indonesia dan beralih dengan bahasa Jawa, terlihat pada data (7b) “Dados hukumane Islam niku dereng ditegakke buk”. Terdapat interferensi berupa kata “kafir” ‘orang yang keluar dari Islam’. Penutur menyampaikan bahwa hukuman yang dipakai oleh Negara adalah hukum orang kafir, karena jika hukum Islam apabila ada orang yang mencuri dipotong tanganya sesuai dengan batas materi yang dicuri. Batas minimal untuk hukuman potong (jari, tangan, kali) oleh penutur diterangkan bahwa jika yang dicuri senilai seperempat dinar (mata uang emas).
Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 7c)
Menika amargi hukuman kita tasih hukum-hukum tiyang-tiyang kafir. Dados hukumanipun Islam menika dereng dipuntegakake buk. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Itu karena hukuman kita masih hukum-hukum orang-orang kafir, Jadi hukuman Islam itu belum ditegakkan buk.’ Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor penyebab terjadinya alih kode karena penutur, yang menerangkan ilmu yang bersumber dari buku berbahasa Indonesia kemudian beralih dengan bahasa Jawa yang lebih komunikatif terhadap lawan bicara. Fungi dari alih kode bahasa Jawa adalah untuk merubah dari ragam resmi menjadi ragam santai dengan bahasa Jawa. Alih kode dalam kalimat di bawah ini ada hubunganya dengan data sebelunya. 8)
Seperempat dinar ya sekitarnya, dirupiahkan ya sekitar dua ratus lima puluh sampai tiga ratus ribuan buk. Dados telungatus sewu nganti ronggatus seket niku yen dirupiahke sekitar niku buk. (247) ‘Seperempat dinar ya sekitarnya, dirupiahkan ya sekitar dua ratus lima puluh sampai tiga ratus ribuan buk. Jadi tiga ratus ribu sampai dua ratus lima puluh itu kalau dirupiahkan sekitar itu buk.’
Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, sehingga mengetahui bagian dari kedua bahasa tersebut. 8a)
Seperempat dinar ya sekitarnya, dirupiahkan ya sekitar dua ratus limapuluh sampai tiga ratus ribuan buk.
8b)
Dados telungalatus sewu nganti ronggatus seket niku yen dirupiahke sekitar niku buk. ‘Jadi tigaratus ribu sampai dua ratus lima puluh itu kalau dirupiahkan sekitar itu buk.’
Menurut data di atas diterangkan bahwa seperempat dinar jika dirupiahkan setara dengan dua ratus lima puluh ribu sanpai dengan tiga ratus ribu rupiah. Jika seorang mencuri minimal dua ratus lima puluh ribu rupiah dihukum dengan dipotong commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bagian tangan, entah itu jari atau tangan. Hukuman tersebut hanya dapat dilakukan oleh pengadilan syari’ah, dimana pengadilan atau pemerintahan setempat menerapkan hukum Islam yang bersumber dari Tuhan. Dari hukuman tersebut dipastikan pencuri akan jera terhadap perbuatan yang merugikan tersebut serta orang yang mencuri mendapat balasan yang setimpa di dunia sehingga di akhirat orang yang mencuri tersebut dapat masuk syurga dengan timbangan amal baik yang pernah dilakukan. Alih kode untuk data setelah diurai (8a) “Seperempat dinar ya sekitarnya, dirupiahkan ya sekitar dua ratus lima puluh sampai tiga ratus ribuan buk” merupakan kalimat berbahasa Indonesia kemudian menggunakan kalimat berbahasa Jawa seperti diurai dalam uraian (8b) “Dados telungalatus sewu nganti ronggatus seket niku yen dirupiahke sekitar niku buk.”. Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 8c)
Seprapat dinar nggih kinten-kinten, dipunrupiahaken nggih sekitaripun kalih atus gangsal ngantos tigang atus ewu buk. Dados tigang atus sewu ngantos kalihatus seket menika menawi dipun rupiahaken sekitar menika buk. ‘Seperempat dinar ya sekitarnya, dirupiahkan ya sekitar dua ratus limapuluh sampai tiga ratus ribuan buk. Jadi tigaratus ribu sampai dua ratus lima puluh itu kalau dirupiahkan sekitar itu buk.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor penyebab terjadinya alih kode karena penutur, yang menerangkan ilmu yang bersumber dari buku berbahasa Indonesia kemudian beralih dengan bahasa Jawa yang lebih komunikatif terhadap lawan bicara. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fungi dari alih kode bahasa Jawa adalah untuk merubah dari ragam resmi menjadi ragam santai dengan bahasa Jawa.
Alih kode selanjutnya berupa tuturan sebagai berikut ini. 9)
Ada berjudi, kemudian zina, kemudian meninggalkan sholat. Nggih niki boten sah diterangke mawon empun jelas nggih buk niki. (248) ‘Ada berjudi, kemudian zina, kemudian meninggalkan sholat. Ya ini tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya bu ini.’
Setelah data urai menjadi beberapa bagian, menjadi berikut ini. 9a)
Ada berjudi, kemudian zina, kemudian meninggalkan sholat.
9b)
Nggih niki boten sah diterangke mawon empun jelas nggih buk niki. ‘Ya ini tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya bu ini.’
Alih kode tersebut merupakan data contoh-contoh perbuatan dosa besar yang bisa langar oleh manusia. Setelah diurai menjadi beberapa bagian, muncul alih kode pada uraian setelah diurai wujud alih kodemuncul pada (9a) “Ada berjudi, kemudian zina, kemudian meninggalkan sholat” kemudian menggunakan bahasa Jawa krama (9b) “Nggih niki boten sah diterangke mawon empun jelas nggih buk niki”. Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 9c)
Wonten judi, lajeng zina, lajeng ningalaken sholat. Nggih menika boten sah dipunterangake mawon empun jelas nggih buk menika. ‘Ada berjudi, kemudian zina, kemudian meninggalkan sholat. Ya ini tidak usah diterangkan saja sudah jelas ya bu ini.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor penyebab alih kode di atas karena pokok pembicaraan, semula menerangkan dari
membaca buku, kemudian beralih bahasa Jawa untuk
berkomunikasi dengan mitra tutur. Fungsi dari alih kode bahasa Jawa pada kalimat di atas untuk merubah dari ragam resmi menjadi ragam usaha atau konsulatif, karena membicarakan tentang penawaran atau hasil bahwa sebagian poin materi tidak dibahas secara luas. Selanjutnya data untuk bernomor (78-136) merupakan penutur KMI (Kuliyyatul Mu’allimin) setara dengan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) kelas 1 (satu). Walaupun berbeda dengan kelas yang diatasnya dalam memberi materi ilmu, tergolong masih pemula. Namun meskipun pemula santri tersebut sudah terjun dalam masyarakat dalam menyampaikan ilmu kapada masyarakat sekitar PDS. Dilihat dari asal mula tempat tinggal, santri tersebut berasal dari Sukoharjo, Jawa tenggah. Jika ditarik historis penutur tersebut merupakan pengguna bahasa Jawa aktif.
Alih kode yang muncul pada yaitu berupa kalimat di bawah ini. 10)
Penyakit malah semakin bertambah. Amargi saking tindhakan kita sami ingkang boten kita ngertosi. (119) ‘Penyakit malah semakin bertambah. Karena dari tindakan kita semua yang tidak kita ketahui.’
Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, sehingga mengetahui bagian dari kedua bahasa tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10a)
Penyakit malah semakin bertambah.
10b)
Amargi saking tindhakan kita sami ingkang boten kita ngertosi. ‘Karena dari tindakan kita semua yang tidak kita ketahui.’
Alih kode terwujud dalam data (10a) “Penyakit malah semakin bertambah.” Kemudian beralih dengan berbahasa Jawa (10b) “Amargi saking tindhakan kita sami ingkang boten kita ngertosi.”. Inti kalimat diatas merupakan akibat dari berbuatan dosa yang diperbuat oleh manusia dimuka bumi maka Allah akan menimpa azab berupa penyakit yang tidak pernah ditemui sebelumya dan semakin bertambah banyak segala macam penyakit yang menimpa masyarakat. Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 10c)
Penyakit malah samsaya tambah. Amargi saking tumindhak kita sami ingkang boten kita ngertosi. ‘Penyakit malah semakin bertambah. Karena dari tindakan kita semua yang tidak kita ketahui.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga tanpa menggunakan bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa. Faktor penyebab alih kode di atas karena pokok pembicaraan, semula menerangkan dari
membaca buku, kemudian beralih bahasa Jawa untuk
berkomunikasi dengan mitra tutur. Fungsi dari alih kode bahasa Jawa pada kalimat di atas untuk merubah dari ragam resmi menjadi ragam santai.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Alih kode dari bahasa Jawa antar ragam yang muncul pada penelitian ini, dapat dilihat pada kalimat di bawah ini. 5) Alih Kode dari Bahasa Jawa Ragam Krama ke Ragam Ngoko 1)
Nanging sakniki kita ngertosi napa ing Indonesia niki boten saget napa ngolah, gur gacho penting apa sak enggo-enggone dewe.(117) ‘Tapi sekarang kita mengetahui apa di Indonesia ini tidak bisa apa mengolah, cuma iseng penting apa dipake-pake sendiri.’
Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa ragam krama dengan ragam ngoko, sehingga mengetahui bagian dari kedua ragam tersebut. 1a)
Nanging sakniki kita ngertosi napa ing Indonesia niki boten saget napa ngolah. ‘Tapi sekarang kita mengetahui apa di Indonesia ini tidak bisa apa mengolah.’
1b)
Gur gacho penting apa sak enggo-enggone dewe. ‘Cuma iseng penting apa dipake-pake sendiri.’
Alih kode terwujud dari ragam krama dalam data (1a) “Nanging sakniki kita ngertosi napa ing Indonesia niki boten saget napa ngolah.” Kemudian beralih dengan ragam ngoko (1b) “Gur gacho penting apa sak enggo-enggone dewe”. Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 1c)
Nanging sakmenika kita ngertosi napa ing Indonesia menika boten saget napa ngolah, namung gacho penting napa dipun damel kiambak. ‘Tapi sekarang kita mengetahui apa di Indonesia ini tidak bisa apa mengolah, cuma iseng penting apa dipake-pake sendiri.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga dapat diubah dengan bahasa Jawa ragam karma, semua. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor penyebab alih kode di atas karena pokok pembicaraan. Fungsi dari alih kode bahasa Jawa pada kalimat di atas untuk merubah dari ragam resmi dalam bahasa Jawa menjadi ragam santai dalam bahasa Jawa.
Alih kode berikutnya terdapat dalam kalimat dibawah ini. 2)
Boten wonten ingkang ajeng dizakati, malah padha-padha pengen njakati. (96) ‘Tidak ada yang akan beri zakat, malah sama-sama inggin membayar zakat.’
Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa ragam krama dengan ragam ngoko, sehingga mengetahui bagian dari kedua ragam tersebut. 2a)
Boten wonten ingkang ajeng dizakati. ‘Tidak ada yang akan beri zakat.’
2b)
Malah padha-padha pengen njakati. (96) ‘Malah sama-sama inggin membayar zakat.’
Alih kode terwujud dari ragam krama dalam data (1a) “Boten wonten ingkang ajeng dizakati.” Kemudian beralih dengan ragam ngoko (1b) “Malah padha-padha pengen njakati”. Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 2c)
Boten wonten ingkang badhe dipunzakati, malah sami-sami kepengen njakati. (96) ‘Tidak ada yang akan beri zakat, malah sama-sama inggin membayar zakat.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga dapat diubah dengan bahasa Jawa ragam karma, semua. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor penyebab alih kode di atas karena pokok pembicaraan. Fungsi dari alih kode bahasa Jawa pada kalimat di atas untuk merubah dari ragam resmi dalam bahasa Jawa menjadi ragam santai dalam bahasa Jawa.
6) Alih Kode dari Bahasa Jawa Ragam Ngoko ke Ragam Krama 1)
Wis saiki koe nyembahna laler siji wae, satungal mawon laler boten purun akibate napa buk? Akibate nggih ya dipenggal. Laler wau saget mlebetke swarga, kiambake dipun nyembahaken laler boten purun saget mlebet dhumateng swarga. (202) ‘Sudah sekarang kamu mempersembahkan lalat satu saja, satu saja lalar tidak mau akibatnya apa buk? Akibatnya ya dipenggal. Lalat tadi bisa memasukkan syurga, dirinya disuruh menyembahkan lalat tidak mau bisa masuk ke dalam syurga.’
Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa ragam ngoko dengan ragam krama, sehingga mengetahui bagian dari kedua ragam tersebut. 1a)
Wis saiki koe nyembahna laler siji wae. ‘Sudah sekarang kamu mempersembahkan lalat satu saja.’
1b)
Satungal mawon laler boten purun akibate napa buk? Akibate nggih ya dipenggal. Laler wau saget mlebetke swarga, kiambake dipun nyembahaken laler boten purun saget mlebet dhumateng swarga. ‘satu saja lalar tidak mau akibatnya apa buk? Akibatnya ya dipenggal. Lalat tadi bisa memasukkan syurga, dirinya disuruh menyembahkan lalat tidak mau bisa masuk ke dalam syurga.’
Alih kode terwujud dari ragam ngoko dalam data (1a) “Wis saiki koe nyembahna laler siji wae.” Kemudian beralih dengan ragam krama (1b) “Satungal mawon laler boten purun akibate napa buk? Akibate nggih ya dipenggal. Laler wau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
saget mlebetke swarga, kiambake dipun nyembahaken laler boten purun saget mlebet dhumateng swarga”. Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 1c)
Empun sakmenika panjenengan nyembahaken laler satunggal mawon, satungal mawon laler boten purun akibatipun napa buk? Akibatipun nggih ya tugel. Laler wau saget mlebetaken swarga, kiambakipun nyembahaken laler boten purun saget mlebet dhumateng swarga. (202) ‘Sudah sekarang kamu mempersembahkan lalat satu saja, satu saja lalar tidak mau akibatnya apa buk? Akibatnya ya dipenggal. Lalat tadi bisa memasukkan syurga, dirinya disuruh menyembahkan lalat tidak mau bisa masuk ke dalam syurga.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga dapat diubah dengan bahasa Jawa ragam krama, semua. Faktor penyebab alih kode di atas karena pokok pembicaraan. Fungsi dari alih kode bahasa Jawa pada kalimat di atas untuk merubah dari ragam santai dalam bahasa Jawa menjadi ragam resmi dalam bahasa Jawa.
Alih kode selanjutnya dapat dilihat dalam kalimat dibawah ini. 2)
Dikei kepenak kok malah nglimpekake malah padha ngerogoh rempela. Nggih Allah nggih nesu, bahwasane Allah sampun ridha kok malah dikecewakake. (103) ‘Diberi kesenangan kok malah menyembunyikan malah sama inggin mengambil kekayaan (rempela). Ya Allah ya marah, bahwasanya Allah sudah ikhlas kok malah di kecewakan.’
Data di atas dianalisis dengan teknik urai unsur langsung untuk memisahkan antara bahasa ragam ngoko dengan ragam krama, sehingga mengetahui bagian dari kedua ragam tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2a)
Dikei kepenak kok malah nglimpekake malah padha ngerogoh rempela. ‘Diberi kesenangan kok malah menyembunyikan malah sama inggin mengambil kekayaan (rempela).’
2b)
Nggih Allah nggih nesu, bahwasane Allah sampun ridha kok malah dikecewakake. ‘Ya Allah ya marah, bahwasanya Allah sudah ikhlas kok malah di kecewakan.’
Alih kode terwujud dari ragam ngoko dalam data (1a) “Dikei kepenak kok malah nglimpekake malah padha ngerogoh rempela.” Kemudian beralih dengan ragam krama (1b) “Nggih Allah nggih nesu, bahwasane Allah sampun ridha kok malah dikecewakake”. Kemudian data di atas diuji dengan teknik lanjutan yaitu teknik ubah wujud atau parafrasis, menjadi sebagai berikut ini. 2a)
Dipun wenehi kepenak kok malah nglimpekaken malah sami ngerogoh rempela. Nggih Allah nggih nesu, estunipun Allah sampun ridha kok malah dipunkuciwani. ‘Diberi kesenangan kok malah menyembunyikan malah sama inggin mengambil kekayaan (rempela). Ya Allah ya marah, bahwasanya Allah sudah ikhlas kok malah di kecewakan.’
Dari ubah wujud di atas, secara arti dapat mewakili dari kalimat aslinya. Sehingga dapat diubah dengan bahasa Jawa ragam krama, semua. Faktor penyebab alih kode di atas karena pokok pembicaraan. Fungsi dari alih kode bahasa Jawa pada kalimat di atas untuk merubah dari ragam santai dalam bahasa Jawa menjadi ragam resmi dalam bahasa Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Campur Kode Dari penelitian ini terdapat beberapa campur kode, wujud campur kode di bagi menjadi 3 (tiga) baian, antara lain; (1) campur kode bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa, (2) Campur Kode Bahasa Arab dalam Bahasa Jawa, dan (3) Campur Kode Bahasa Inggris dalam Bahasa Jawa. Adapun wujud campur kode tersebut sebagai berikut di bawah ini. 1) Campur Kode Bahasa Indonesia dalam Bahasa Jawa Dibawah ini merupakan wujud campur kode bahasa Indonesia dalam tuturan kalimat berbahasa Jawa. Untuk menentukan campur kode dan interferensi dengan menggunakan teknik urai unsur terkecil (ultimate constituen analysis), adapun teknik tersebut dapat dilihat sebagai berikut dibawah ini. 1)
Wasilah-wasilah utawi napa namine niku perantara-perantara kersane iman kita tambah, kersane iman kita niku baru, iman kita niku napa jadi kuat niku sing sepindhah napa mbah? dhek biyen punika. (8) ‘Cara-cara atau apa namanya itu perantara-perantara agar iman kita bertambah, agar iman kita itu baru, iman kita itu apa jadi kuat itu yang pertama apa embah? Kala dulu itu.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas adalah; /perantara-perantara/, /baru/, dan /jadi kuat/. Kalimat yang digunakan penutur dalam data yang mengandung campur kode di atas merupakan kalimat bahasa Jawa ragam madya. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 1a)
Wasilah-wasilahipun utawi napa namine menika Cara-caranipun kersane iman kita tambah, kersane iman kita menika anyar, iman kita commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menika napa dados kiat niku sing sepindhah napa mbah? kala biyen punika. ‘Cara-cara atau apa namanya itu perantara-perantara agar iman kita bertambah, agar iman kita itu baru, iman kita itu apa jadi kuat itu yang pertama apa embah? Kala dulu itu.’ Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia tidak perlu terjadi, karena dapat menggunakan bahasa Jawa secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Pengantian tersebut pada kata /perantaraperantara/
/Cara-caranipu/, /baru/
/anyar/, dan /jadi kuat/
/dados kiat/.
Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan identitas ragam sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata, penyisipan frasa, dan pengulangan kata. Fungsi dari campur kode di atas adalah untuk mempermudah dalam mencari kata yang sulit diucapkan dan sebagai penjelas terhadap makna kata.
Wujud campur kode yang lain nampak juga dalam kalimat berikut ini. 2)
Jenengan misale menghadapi Allah niku napa njing ajeng, Gusti Allah niku kula paringgi arta niki pinten yuta, kula boten bali teng neraka dilebetke syurga. […] Boten tha lha dados nggih sangune niku amal-amal ibadah kita amal shaleh kita, nggih ngaji kita sholat kita, sholat lima waktu, ee zakat kita puasa kita. (15) ‘Anda misalnya menghadapi Allah itu apa nati mau, Tuhan Allah ini saya beri uang ini berapa juta, saya tidak dikembalikan ke neraka dimasukkan ke syurga. Tidak kan lha jadi ya bekalnya itu amal-amal ibadah kita amal shaleh kita, ya amallan al-qur’an kita, sholat kita, sholat lima waktu, ee zakat kita puasa kita.’
Unsur terkecil yang mengandung campur kode yaitu berupa kata; /menghadapi/, /lima waktu/, dan /puasa /, data di atas bahwa penutur menerangkan yang dinilai Allah, apakah orang tersebut di masukkan neraka atau syurga yaitu amalcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
amal ibadah dan amal-amal shalih. Jenis kalimat tersebut tergolong bahasa Jawa ragam madya. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 2a)
Jenengan thuladhanipun ngadepi Allah menika napa njing ajeng, Gusti Allah niku kula paringgi arta niki pinten yuta, kula boten bali teng neraka dilebetke syurga. […] Boten tha lha dados nggih sangune menika amal-amal ibadah kita amal shaleh kita, nggih ngaji kita sholat kita, sholat gangsal wedal, ee zakat kita siam kita menika ingkang dipun biji deneng Allah Swt. ‘Anda misalnya menghadapi Allah itu apa nati mau, Tuhan Allah ini saya beri uang ini berapa juta, saya tidak dikembalikan ke neraka dimasukkan ke syurga. Tidak kan lha jadi ya bekalnya itu amal-amal ibadah kita amal shaleh kita, ya amallan al-qur’an kita, sholat kita, sholat lima waktu, ee zakat kita puasa kita.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata, penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut karena kata yang dicampur lebih perperan dalam mewakili pikiran yang ingin diucapkan.
Wujud campur kode yang lain nampak juga dalam kalimat berikut ini. 3)
Yang pertama nggih, ingkang sepindhah niku dosa besar inggih punika syirik buk. Syirik ndek emben nika syirik napa? Apa mbah, syirik ndek emben? Menyekutukan Allah, masksute menyekutukan Allah niku gimana tha? Menyembah selain Allah, dados jenengan misale nyembah matahari, menyembah kuburan, menyembah wit, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
napa, napa namine menyembah napa waelah selain Allah niku termasuk syirik. Syirik niku dosane besar mbah. (18) ‘Yang pertama ya, yang pertama itu dosa besar yaitu adalah syirik buk. Syirik dulu itu syirik apa? Apa embah, syirik dulu itu? Menyekutukan Allah, masksudnya menyekutukan Allah niku gimana tha? Menyembah selain Allah, jadi anda misalnya menyembah matahari, menyembah kuburan, menyembah pohon, apa, apa namanya menyembah apa sajalah selain Allah itu termasuk syirik. Syirik itu dosanya besar embah.’ Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas antara lain, /yang pertama/, /dosa besar/, /apa/, /menyekutukan/, /gimana/, /menyembah selain/, /termasuk/, dan /besar/. Penutur dalam tuturan di atas menerangkan tentang dosa besar. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 3a)
Ingkang sepindhah nggih, ingkang sepindhah menika dosa ageng inggih punika syirik buk. Syirik kala emben menika syirik napa? napa mbah, syirik kala emben? nyekutuaken Allah, masksutipun nyekutuaken Allah menika pripun tha? nyembah senesipun Allah, dados jenengan cononipun nyembah matahari, menyembah kuburan, menyembah wit, napa, napa namine nyembah napa waelah senesipun Allah niku kalebet syirik. Syirik niku dosane ageng mbah. ‘Yang pertama ya, yang pertama itu dosa besar yaitu adalah syirik buk. Syirik dulu itu syirik apa? Apa embah, syirik dulu itu? Menyekutukan Allah, masksudnya menyekutukan Allah niku gimana tha? Menyembah selain Allah, jadi anda misalnya menyembah matahari, menyembah kuburan, menyembah pohon, apa, apa namanya menyembah apa sajalah selain Allah itu termasuk syirik. Syirik itu dosanya besar embah.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia tidak perlu terjadi, karena dapat menggunakan bahasa Jawa secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut sebagai kata yang lebih mudah dalam mengungkapkan pesan.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 4)
Sing lagi panas-panas niki napa ponari? Ponari nggih. Ponari nika nek jenengan jenengan nilai niku syirik napa boten buk? Syirik napa boten niku? Jenengan misale sakit mbah, kemudian jenengan nyuwun dhawak, nyuwun obat dhumateng ponari niku termasuk syirik napa boten mbah? (19) ‘Yang lagi panas-panas ini apa ponari? Ponari ya. Ponari itu kalau anda anda nilai itu syirik apa tidak buk? Syirik apa tidak itu? anda misalnya sakit embah, kemudian anda minta dhawak, nyuwun obat kepada ponari itu termasuk syirik apa tidak embah.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas antara yaitu /besar/, /nilai/, /sakit/, /kemudian/, dan /termasuk/. Data di atas penutur berbicara tentang dosa syirik dan contohnya. Kalimat yang digunakan pentur merupakan leksikon krama, jika di tulis dalam bahasa Indonesia menjadi. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 4a)
Sing lagi panas-panas menika napa ponari? Ponari nggih. Ponari menika nek jenengan jenengan biji niku syirik napa boten buk? Syirik napa boten menika? Jenengan thuladhanipun gerah mbah, lajeng jenengan nyuwun tombo, nyuwun obat dhumateng ponari menika kalebet syirik napa boten mbah? ‘Yang lagi panas-panas ini apa ponari? Ponari ya. Ponari itu kalau anda anda nilai itu syirik apa tidak buk? Syirik apa tidak itu? anda misalnya sakit embah, kemudian anda minta dhawak, nyuwun obat kepada ponari itu termasuk syirik apa tidak embah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata. Fungsi dari campur kode tersebut karena kata yang dicampur lebih mudah terucap dan lebih perperan dalam mewakili pikiran yang ingin diucapkan.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 5)
Nggih kita lihat buk, kita lihat metode carane pengobatane niku masuk akal boten buk? Watu nggih, watu dicelupke. Kan ceritane kesamber bledek tha? Terus niku watu terus dicelupke banyu niku mengko sok lara ngombe diminum-minum lan akhirnya sembuh. (21) ‘Ya kita lihat buk, kita lihat metode carannya pengobatannya itu masuk akal tidak buk? Batu ya, batu dicelupkan. Kan ceritanya tersambar petir kan? Terus itu batu terus dicelupkan air itu nanti yang sakit minum diminum-minum dan akhirnya sembuh.’
Campur kode dari bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa dapat dilihat pada data di atas yaitu pada kata /lihat/, /kita lihat/, /masuk akal/, /diminum-minum/, dan /akhirnya sembuh/. Data di atas penutur berbicara mengenai pengobatan dukun cilik ponari. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
5a)
digilib.uns.ac.id
Nggih kita Pirsa buk, kita pirsa metode caranipun pengobatanipun niku masuk akal boten buk? Watu nggih, watu dicelupaken. Kan ceritanipun kesamber bledek tha? lajeng menika watu enika dipuncelupake banyu menika mengko sok gerah ngunjuk dipununjukdipununjuk lan akhiripun saras. ‘Ya kita lihat buk, kita lihat metode carannya pengobatannya itu masuk akal tidak buk? Batu ya, batu dicelupkan. Kan ceritanya tersambar petir kan? Terus itu batu terus dicelupkan air itu nanti yang sakit minum diminum-minum dan akhirnya sembuh.’
Dari analisis tersebut campur kode unsur bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna dapat mengantikan dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur tersebut. Sehingga tanpa ada campu kode dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Sehingga kalimat yang tersusun semua berbahasa Jawa tanpa mengurangi makna yang terdapat dalam kalimat tersebut. Faktor penyebab campur kode adalah keterbatasa bahasa (identifikasi ragam) dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata, penyisipan frasa, dan pengulangan kata. Fungsi dari campur kode tersebut sebagai ragam dari ragam resmi dan berfungsi untuk menerangkan sesuatu hal kepada peserta tutur.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 6)
Misale ndek emben jenengan kula isyarataken misale mbahe iki lara, lara untu nggih, jenengan mendatanggi dukun, nggih mengkih insya Allah untune mbah Siam sembuh, tapi syarate napa mangkih jam rolas ngawa banyu kembang adus ngawa pitik, pitike warnane ireng, terus napa namine betha, betha wedus lha niku misale. (29) ‘Misalnya kala dulu anda saya ibaratkan misalnya embah ini sakit, sakit gigi, anda mendatanggi dukun, ya nanti atas kehendak Allah giginya mbah Siam sembuh, tapi syaratnya apa nanti jam dua belas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membawa air kembang masih membawa ayam, ayam warnanya hitam, terus apa namanya membawa, membawa kambing lha itu misalnya.’ Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas antara lain yaitu /mendatanggi/, /sembuh/, dan /tapi/. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 6a)
Misalipun kala emben jenengan kula isyarataken misale mbahe iki gerah, gerah untu nggih, jenengan ngrawuhi dukun, nggih mengkih insya Allah untunnipun mbah Siam saras, nanging syaratipun napa mangkih jam kalih welas mbetha banyu kembang siram ngange pitik, pitikipun warnannipun ireng, lajeng napa naminnipun betha, betha wedus lha menika misalipun. ‘Misalnya kala dulu anda saya ibaratkan misalnya embah ini sakit, sakit gigi, anda mendatanggi dukun, ya nanti atas kehendak Allah giginya mbah Siam sembuh, tapi syaratnya apa nanti jam dua belas membawa air kembang masih membawa ayam, ayam warnanya hitam, terus apa namanya membawa, membawa kambing lha itu misalnya.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Data tersebut juga ada kekliruan dalam menyebut /lara/ ‘sakit’ seharusnya dengan kata /gerah/ untuk menghormati mitra tutur dengan leksikon krama. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi ragam bahasa dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan katadan pengulangan kata. Fungsi dari campur kode tersebut untuk ragam ragam dan lebih berperan dalam mewakili pikiran yang ingin diucapkan serta untuk menerangka terhadap sesuatu hal. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 7)
Dados nek misale empun diantara ibuk-ibuk misale mawon nggih buk melakukan syirik niku segera bertaubat kersane amale ditrima deneng Allah Swt. Kemudian syirik niku wonten kalih nggih buk, syirik niku wonten kalih napa namine, syirik besar lan syirik kecil. (32) ‘Jadi kalu misanya saudah diantara ibu-ibu misalnya saja ya melakukan syirik itu segera bertaubat agar amal anda ditrima oleh Allah. Kemudian syirik itu ada dua ya buk, syirik itu ada dua apa namanya, syirik besar dan syirik kecil.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /diantara/, /melakukan/, /segera bertaubat/, /Kemudian/, /besar/, /kecil/, dan /atau/. Campur kode diatas sebagian berupa kata penghubung (/kemudian/ dan /atau/) dan ukuran (/besar/ dan /kecil/). Kalimat yang digunakan penutur dari kalimat di atas merupakan bahasa Jawa ragam madya. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 7a)
Dados menawi contonipun empun saking ibuk-ibuk contonipun mawon nggih buk tumindhak syirik menika cepet taubat kersane amal panjenengan dipun trima deneng Allah. Lajeng syirik menika wonten kalih nggih buk, syirik menika wonten kalih napa namine, syirik ageng lan syirik alit. ‘Jadi kalu misanya saudah diantara ibu-ibu misalnya saja ya melakukan syirik itu segera bertaubat agar amal anda ditrima oleh Allah. Kemudian syirik itu ada dua ya buk, syirik itu ada dua apa namanya, syirik besar dan syirik kecil.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan penyisipan frasa. Sedangkan fungsi dari campur kode yang muncul dari kalimat tersebut kata yang lebih berperan dalam tuturan dan sebagai penjelas dan himbauan terhadap peserta tutur.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 8)
Kathah tha, lha nek nek jaman sekarang nggih buk napa, napa namine orang-orang kota niku kalau udah embah-embah ngoten niku, tau orang-orang kota nggeh buk? (37) ‘Banyakan, lha kalau jaman sekarang ya buk apa, apa namanya orangorang kota itu kalau sudah kakek-nenek seperti itu, tau orang-orang kota ya bu?’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /sekarang/, /orang-orang kota/, /kalau udah/, dan /tau/, campur kode tersebut tejadi dalam tuturan berbahasa Jawa krama, campur yang muncul sebagai penunjuk orang (orang kota) dan waktu (jaman sekarang). Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 8a)
Katah tha, lha nek nek jaman sakniki nggih buk napa, napa naminipun tiyang-tiyang kutha menika yen empun embah-embah ngoten niku, ngerthos tiyang-tiyang kutha nggeh buk? ‘Banyakan, lha kalau jaman sekarang ya buk apa, apa namanya orangorang kota itu kalau sudah kakek-nenek seperti itu, tau orang-orang kota ya bu?’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan penyisipan frasa. Sedangkan fungsi dari campur kode yang muncul dari kalimat tersebut kata yang lebih berperan dalam tuturan dan sebagai penjelas dan himbauan terhadap peserta tutur.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 9)
Jenengan diumpamane di taruh panti jompo purun napa boten niku buk, mbah, mbah Painah? Umpamine jenengan di taruh di panti jompo purun napa boten mbah? (38) ‘Anda dimisalkan di taruh panti jompo mau apa tidak itu buk, embah, embah Painah? Seandainya anda di taruh di panti jompo mau apa tidak embah?’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu yaitu; /di taruh/ dan /dikasih/, kalimat tersebut merupakan kalimat tanya yang diajukan oleh penutur kepada mita tutur (nenek). Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 9a)
Jenengan diumpamiaken di dheleh panti jompo purun napa boten menika buk, mbah, mbah Painah? Umpamine jenengan di dheleh wonten panti jompo purun napa boten mbah? ‘Anda dimisalkan di taruh panti jompo mau apa tidak itu buk, embah, embah Painah? Seandainya anda di taruh di panti jompo mau apa tidak embah?’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi ragam karena keterbatasan bahasa sehingga mengunakan ragambahasa lain. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode yang muncul dalam kalimat tersebut adalah sebagai ragam bahasa, penutur sering menggunakan bahasa Indonesia dalam aktifitas keseharian di ponpes.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 10)
Tapi tetep yakin apa namine niku tetep tersiksa buk. Umpamine tebih kalih anake kalih mantune niku tetep hatine tetep hatine tersiksa. (42) ‘Tapi tetap yakin apa namanya itu tetap tersiksa buk. seandainya jauh dengan anaknya sama memantunya itu itu tetap hatinya tetap tersiksa.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /tapi/, /apa/, dan /tersiksa/. Kalimat tersebut menjelaskan kepada peserta tutur khususnya para Ibu bahwa bahwa orang yang sudah tua jika jauh dengan anak dan dengan menantunya hatinya tersiksa tidak tentram. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 10a)
Nanging tetep yakin napa namininpun menika tetep rekaos buk. Umpaminipun tebih kalih putranipun kalih mantunipun menika tetep atinnipun tetep manahipun rekaos. ‘Tapi tetap yakin apa namanya itu tetap tersiksa buk. seandainya jauh dengan anaknya sama memantunya itu itu tetap hatinya tetap tersiksa.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan identifikasi ragam, terlihat pada penutur yang
kesulitan mencari leksikon bahasa Indoneisa
dalam menjelaskan sesuatu kepada peserta tutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan jenis campur kode penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut adalah untuk ragam bahasa dan alih kode tersebut lebih berperan dalam penyampaian kalimat dengan kondisi penutur yang sesulitan dalam menggunakan bahasa Jawa. Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 11)
Misale kita membayangkan misale ibu niki nggih buk. […] Dados ibu melahirkan niku katanya nggih nyawane kanggo taruhan, yen boten mati nggih hidup. (44) ‘Misalnya kita membayangkan misalnya ibu ini ya buk. Jadi itu melahirkan itu katanya ya nyawanya buat taruhan, kalau tidak mati ya hidup.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu; /membayangkan/, /melahirkan/, /katanya/, dan /hidup/. Penutur menerangkan bahwa pengorbanan ibu terhadap anak pada waktu melahirkan diantara hidup dan mati. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11a)
digilib.uns.ac.id
Misalipun kita bayangaken Misalipun ibu menika nggih buk. […] Dados ibu nglairaken menika sanjengngipun nggih nyawane kanggo taruhan, menawi boten seda nggih gesang. ‘Misalnya kita membayangkan misalnya ibu ini ya buk. Jadi itu melahirkan itu katanya ya nyawanya buat taruhan, kalau tidak mati ya hidup.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi ragam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut adalah sebagai ragam bahasa yang dipengaruhi oleh kemampuan dan kebahasaan menggunakan bahasa Indonesia setiap harinya.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 12)
Inkang jamane sahabat niku wonten namine, namine Abdhullah Bin Syayid niku napa namine ngendong ibue buk, ngendong ibue niku saking mekah teng madinah niku ngendong teng kota nek biyen nek digendong niku jaraknya niku sekitar nggih puluhan meter buk, puluhan ribu meter niku buk. (47) ‘Pada jamanya sahabat itu ada orang namanya, namanya Abdhullah anak dari Syayid itu apa namanya mengendong ibunya buk, mengendong ibunya dari Mekah ke Medinah itu mengendong ke kota kalau dulu kalau mengendong itu jaraknya itu ya puluhan meter buk, puluhan ribu meter itu buk.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /sahabat/, /jaraknya/, dan /puluhan ribu/.
Penutur dalam kalimat di atas
menyampaikan tentang sahabat Nabi sayang terhadap ibunya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 12a)
Ingkang jamanipun sahabat menika wonten asmanipun Abdhullah Bin Syayid menika napa namine ngendong ibue buk, ngendong ibue menika saking mekah dateng madinah menika ngendong dateng kutha menawi biyen menawi digendong menika jarakipun punika sekitar nggih puluhan meter buk, puluhan ewu meter punika buk. ‘Pada jamanya sahabat itu ada orang namanya, namanya Abdhullah anak dari Syayid itu apa namanya mengendong ibunya buk, mengendong ibunya dari Mekah ke Medinah itu mengendong ke kota kalau dulu kalau mengendong itu jaraknya itu ya puluhan meter buk, puluhan ribu meter itu buk.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Kecuali “sahabat” tidak bisa diganti dengan bahasa Jawa karena makna akan rancu, “sahabat” dari kalimat tersebut artinya ‘orang pengikut Nabi Muhammmad yang hidup semasa dengan beliau’. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut adalah sebagai ragam yang lebih berperan dalam penyampaian kalimat tersebut.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 13)
Mbah kersane kula diparinggi panen sing kathah, kula diparinggi beras, kula diparigi kersane dinten selasa kula angsal entuk, angsal arisan. Lha niku malah kewalikan tha. (52)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Embah agar saya diberi panen yang banyak, saya beri beras, saya di beri agar hari selasa saya dapat, dapat arisan. Lha itu malah kebalik kan.’ Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu ‘kebalik’ atau ‘terbalik’. Dari kalimat di atas penutur menjelakan kapada mitra tutur contoh perbuatan yang keliru. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 13a)
Mbah supayanipun kula diparinggi panen sing katah, kula diparinggi beras, kula diparigi kersanipun dinten selasa kula angsal arisan. Lha menika malah kosok wangsulipun tha. ‘Embah agar saya diberi panen yang banyak, saya beri beras, saya di beri agar hari selasa saya dapat, dapat arisan. Lha itu malah kebalik kan.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi ragam karena penutur mengalami keterbatasan bahasa. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata.
Funsi dari campur kode tersebut sebagai kalimat yang mudah
terucap oleh penutur, menginggat penutur dalam keseharian sering menggunakan bahasa Indonesia. Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 14)
Lha sing dipotong niku nggendine tha niku? Wonten riwayat niku sing dipotong niku mbah pergelangan mriki dipotong, nek tasih nyuri meleh niku wonten riwayat niku kemudian kakinya, kakinya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kiri, kaki kiri haa. Kemudian masih nyuri lagi niku dipotong tanggannya kiri haa. Terus nyuri lagi dipotong tangan kanan, kaki kanan terus nyuri lagi niku di asingkan, dados dicing lah. Napa namine diasingkan kon minggat napa pripun, niku buk menawi ngoten niku niku nek pelaku pencuri mbah. (56) ‘Lha yang dipotong itu dimana sih itu? Ada riwayat itu yang dipotong itu embah pergelangan ini dipotong, kalau masih mencuri lagi itu ada riwayat itu kemudian kaki, kaki kiri pencuri, kaki kiri haa. Kemudian masih mencuri lagi itu dipotong tangan kiri terus mencuri lagi dipotong tangan kanan, kaki kanan terus mencuri lagi diasingkan, jadi dikucilkan apa namanya diasingkan suruh pergi apa gimana, itu kalau seperti itu kalau pelaku pencuri embah.’ Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /dipotong/, /pergelangan/, /nyuri/, /kakinya kiri/, /kaki kiri/, /Kemudian masih nyuri lagi/, /dipotong tanggannya kiri/, /nyuri lagi dipotong tangan kanan/, /di asingkan/, dan /pelaku pencuri/. Penutur dalam data tersebut menerangkan kepada mitra tutur tentang hukum bagi orang yang mencuri bernilai banyak. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 14a)
Lha ingkang dipuntugel menika ingkang pundi tha niku? Wonten riwayat menika ingkang dipuntugel menika mbah ugel-ugel mriki dipuntugel, menawi tasih nyolong meleh menika wonten riwayat menika lajeng sukunipun, sukunipun kiwa, haa. lajeng tasih nyolong meleh menika dipuntugel asthanipun kiwa haa. Terus nyolong meleh dipuntugel asthanipun tengen, sukunipun tenggen lajeng nyolong melih menika dipun negake, dados dicing. Napa namine dicing ken minggat napa pripun, menika buk menawi ngoten niku niku menawi tiyang nyolong mbah. ‘Lha yang dipotong itu dimana sih itu? Ada riwayat itu yang dipotong itu embah pergelangan ini dipotong, kalau masih mencuri lagi itu ada riwayat itu kemudian kaki, kaki kiri pencuri, kaki kiri haa. Kemudian masih mencuri lagi itu dipotong tangan kiri terus mencuri lagi dipotong tangan kanan, kaki kanan terus mencuri lagi diasingkan, jadi dikucilkan apa namanya diasingkan suruh pergi apa gimana, itu kalau seperti itu kalau pelaku pencuri embah.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata, penyisipan frasa, dan penyisipan klausa. Fungsi dari campur kode tersebut untuk menjelaskan dan menafsirkan kepada peserta tutur yang diangap lebih mudah dengan bahasa yang dicampur.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 15)
Nek ngoten niku insya Allah kapok tha buk. Nek wonten pencuri terus, terus dingoten nikukan boten kapok maleh, boten nyoba-nyoba meleh yen ngoten tha tapi niki nggih wonten batesane. (57) ‘Kalau seperti itu atas kehendak Allah (inya Allah) kapok kan buk. Kalau ada pencuri terus, terus dilakukan seperti itu kan tidak kapok lagi, tidak mencoba-coba kembali kalau seperti itu tapi ini ya ada batasanya.’
Wujud campur kode pada data di atas merupakan lanjutan dari data sebelunya yang berbicara tentang hukuman seorang pencuri. Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu ‘pencuri’ dan ‘tapi’. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 15a)
menawi ngoten niku insya Allah kapok tha buk. menawi wonten tiyang maling lajeng dipunngotennikukan boten kapok meleh, boten nyobanyoba meleh menawi ngoten tha nanging menika nggih wonten batesanipun. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Kalau seperti itu atas kehendak Allah (inya Allah) kapok kan buk. Kalau ada pencuri terus, terus dilakukan seperti itu kan tidak kapok lagi, tidak mencoba-coba kembali kalau seperti itu tapi ini ya ada batasanya.’ Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata. Funsi dari campur kode tersebut sebagai kalimat yang lebih berperan dalam menyebut seorang yang diceritakan dalam kalimat tersebut dan sebagai mempermudah kalimat. Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 16)
Batesane sing diambil niku ukurane sak napa tha? Mosok nek nyuri pelem, nyuri rambutan mawon kok dikethok niku ketoe kejem banget agama Islam niku. Kok mosok nyuri pelem, nyuri pitik kok dikethok tangane, kok kejem sekali. (58) ‘Batasannya yang diambil itu ukuranya seberapa sih? Masak kalau mencuri mangga, mencuri rambutan saja kok dipotong itu kelihatanya kejam sekali agama Islam itu. Kok masak mencuri mangga, mencuri ayam kok dipotong tanganya, kok kejam sekali.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /diambil/, /Masak/, /nyuri/, /kejem/, /banget /, dan /kejem sekali/. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 16a)
Batesanipun ingkang dipun pendhet menika ukuranipun sepinten? Mosok menawi nyolong pelem, nyolong rambutan mawon kok dipunkethok menika kadhose ngenes banget agama Islam menika. Kok mosok nyolong pelem, nyolong pitik kok dipunkethok astonipun, kok ngenes banget. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Batasannya yang diambil itu ukuranya seberapa sih? Masak kalau mencuri mangga, mencuri rambutan saja kok dipotong itu kelihatanya kejam sekali agama Islam itu. Kok masak mencuri mangga, mencuri ayam kok dipotong tanganya, kok kejam sekali. Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga jika tidak mengunakan bahasa lain selain bahasa Jawa kalimat tersebut dapat ditrima oleh orang lain. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan identifikasi ragam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata, dan penyisipan frasa. Fungsi campur kode tersebut adalah sebagai ragam bahasa yang mudah diucapkan oleh penutur.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 17)
Dados nek dicuri niku ukurane napa namine seper empat dinar, seper empat dinar niku nek dirupiahke berapa buk? Satu dinar niku berapa? (59) ‘Jadi kalau dicuri itu ukuranya apa namanya satu seper empat dinar satu seper empat dinar itu kalau dirupiahkan berapa buk? Satu dinar itu berapa?’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /dicuri/, /seper empat/ ‘satuper empat’, /berapa buk/, /satu/, dan /berapa/. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 17a)
Dados menawi dipuncolong menika ukuranranipun napa namine seprapat dinar, seprapat dinar menika menawi dirupiahake pinten buk? setunggal dinar menika pinten? commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Jadi kalau dicuri itu ukuranya apa namanya satu seper empat dinar satu seper empat dinar itu kalau dirupiahkan berapa buk? Satu dinar itu berapa?’ Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan penyisipan frasa. Fungsi campur kode tersebut sebagai kata yang lebih berperan dalam menebut sesuatu dan inggin bertanya terhadap mitra tutur dengan kode yang mudah diucapkan.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 18)
Nggih niku setuju napa boten nek hukum ngoteniku, setuju tha? […] Katah-katah bohongge, sering ngapusi yen ngomong menclamencle, boten pas di takok ngetan ngulon ngalor ngidul, sing penting boten pas lah, boten pas. (62) ‘Ya itu setuju apa tidak kalau hukuman seperti itu, setuju kan? Banyak-banyak berbohong, sering menipu kalau berbicara asal bicara, tidak pas ditanya sering berbolak-balik arah, yang penting tidak pas lah, tidak pas.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /setuju/, /hukuman/, dan /sering/. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
18a)
digilib.uns.ac.id
Nggih menika sarujuk napa boten menawi ukuman ngoteniku, sarujuk tha? […] Katah-katah ngapusi, gaweanipun ngapusi menawi ngendhika mencla-mencle, boten pas dipun suwuni pirsa ngetan ngulon ngalor ngidul, sing penting boten pas. ‘Ya itu setuju apa tidak kalau hukuman seperti itu, setuju kan? Banyak-banyak berbohong, sering menipu kalau berbicara asal bicara, tidak pas ditanya sering berbolak-balik arah, yang penting tidak pas lah, tidak pas.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata. Fungsi dari campur kode tersebut karena peranan dari kata yang mudah terucap dan lebih berperan dalam menyampaikan hal tersebut. Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 19)
Nggih mbah niki nggih hampir sama. Sihir niku nggih nggih sihir misale nek nggih ngomong napa melet niku nggih termasuk dosa besar. […] Dados napa namine nyembelih sesuatu niku boten untuk Allah, nek biasane nek ngen kula niku nek dinten sura, bulan sura niku katah ngotenniku buk. (66) ‘Ya embah ini ya hampir sama. Sihir itu ya sihir misalnya kalau ya berbicara apa pelet itu termasuk dosa besar. Jadi apa namanya menyembelih sesuatu itu tidak untuk Allah, kalau biasanya kalau ditempat saya itu kalau hari syura, bukan syura itu banyak seperti itu buk.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu, /hampir sama/, /sihir/, /termasuk dosa besar/, /nyembelih sesuatu/ ‘menyembelih sesuatu’, dan /untuk/. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 19a)
Nggih mbah niku nggih mirip. Sihir niku nggih nggih sihir misalipun menawi nggih ngendhika napa melet menika nggih kalebet dosa ageng. […] Dados napa naminipun belih napa menika boten kangge Allah, nek biasanipun nek ngen kula menka nek dinten sura, bulan sura niku katah ngotenniku buk. ‘Ya embah ini ya hampir sama. Sihir itu ya sihir misalnya kalau ya berbicara apa pelet itu termasuk dosa besar. Jadi apa namanya menyembelih sesuatu itu tidak untuk Allah, kalau biasanya kalau ditempat saya itu kalau hari syura, bukan syura itu banyak seperti itu buk.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Kecuali sihir jika makna dalam bahasa Jawa cenderung rancu, tidak perlu diganti. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata, penyisipan frasa, dan penyisipan klausa. Fugsi dari campur kode tersebut sebagai kata yang lebih berperan dalam situasi sosial dan berfungsi sebagai menjelaskan tentang perbuatan dosa.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 20)
Boten nggih, dados nggih kula niku wonten Magetan niki wonten Perguruan beladiri niku pakaianya item sedhaya, item-item niku. Niku nek pas sura niku mesthi beleh pitik mbah. (68) ‘Tidak ya, jadi ya saya itu ada di Magetan ini ada perguruan beladiri itu pakaianya hitam semua, hitam-hitam itu. Itu kalau pas (bulan) syura itu pasti menyembelih ayam embah.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /perguruan beladiri/, /pakaianya item/ ‘pakaanya hitam’, dan /item-item/ ‘hitamhitam’. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 20a)
Boten nggih, dados nggih kula niku wonten Magetan punika wonten Perguruan beladiri niku pakaianya ireng sedhaya, ireng-ireng niku. Niku nek pas sura niku mesthi beleh pitik mbah. ‘Tidak ya, jadi ya saya itu ada di Magetan ini ada perguruan beladiri itu pakaianya hitam semua, hitam-hitam itu. Itu kalau pas (bulan) syura itu pasti menyembelih ayam embah.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata, penyisipan frasa, dan pengulangan kata. Fungsi dari campur kode tersebut adalah sebagai peranan edukasi untuk menyebut sesuatu hal tersebut.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 21)
Niku percaya sekali niku mbah, niku nggih tiyang-tiyang nem-neman niku, nggih seumuran saya ngeteniki. (69) ‘Itu percaya sekali itu embah, itu ya orang-orang muda-muda itu, ya seumuran saya seperti ini.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /percaya sekali/, dan /seumuran saya/. Penutur dalam kalimat tersebut menjelaskan dengan menunjuk obyek berupa pemuda. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 21a)
menika percaya sanget menika mbah, punika nggih tiyang-tiyang nem-neman niku, nggih saumuran kula ngeteniki. ‘Itu percaya sekali itu embah, itu ya orang-orang muda-muda itu, ya seumuran saya seperti ini.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan identifikasi ragam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut adalah sebagai ragam bahasa yang digunakan penutur dan sebagai peranan yang menunjukkan keadaan penutur sebagai siswa yang menuntut ilmu di ponpes.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 22)
[…] mangkih nek dinten sura niku ditandingkan, diadu kemudian nek bar diadu niku napa namine dibeleh, dibeleh niki terus napa sing saget mendet napa mendet atine, kan dibelah nek mendet atine atine pitik juga terus diuntal terus dipangan niku tanpa dimasak. (70) ‘Nanti kalau hari syura itu dipertandingkan, diadu kemudian kalau diadu itu apa namanya dipotong, dipotong ini terus apa yang bisa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengambil apa hati ayam, kan di potong kalau mengambil hati ayam juga terus ditelan terus dimakan itu tanpa dimasak.’ Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu, /diadu/, /kemudian/, /dibelah/, /juga terus/, dan /dimasak/. Campur kode yang terjadi berupa tuturan berbahas Jawa. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 22a)
[…] mangkih menawi dinten sura menika ditandingaken, didhu lajeng nek bibar didhu niku napa namine dibeleh, dibeleh niki lajeng napa ingkang saget mendet napa mendet manahipun, kan dibeleh nek mendhet atinipun pitik lajeng diuntal dupun dhahar niku tanpa dipunmasak. ‘Nanti kalau hari syura itu dipertandingkan, diadu kemudian kalau diadu itu apa namanya dipotong, dipotong ini terus apa yang bisa mengambil apa hati ayam, kan di potong kalau mengambil hati ayam juga terus ditelan terus dimakan itu tanpa dimasak.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Kecuali kata “dimasak” jika digandi di ‘ghodhok’ maka tidak akan sesuai karena artinya, sedangan “dimasak” beraneka ragam caranya. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi ragam dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut adalah sebagai campuran kode yang mudah terucap oleh penutur dan fungsi untuk menjelaskan tentang sesuatu yang bertahap. Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23)
digilib.uns.ac.id
Niku katanya niku mangkih sangar ngaten, gelute bagus ngaten kaya Jacky Chan nggih nggen tipi ngoteniku. Menangan mbah dadose wong pira dilawan, nek jare nek isoh napa niku nggih percaya tiyang-tiyang niku percaya buk. Niku jelas-jelas syirik jelas-jelas syirik namine niku. (71) ‘Itu katanya itu nanti garang begitu, berkelahi bagus begitu seperti Jack Chan ya ditelevisi seperti itu. Selalu menang embah jadi orangnya berapa dilawan, kalau katanya kalau bisa apa itu ya percaya orang-orang itu percaya buk. Itu jelas-jelas syirik jelas-jelas syirik namanya itu.’
Unsur terkecil dari data di atas yang merupakan wujud campur kode bahasa Indonesia dalam kalimat berbahasa Jawa yaitu, /katanya/, /bagus/, dan /dilawan/. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 23a)
Niku sanjangipun niku mangkih sangar ngaten, gelute sae ngaten kaya Jacky Chan nggih nggen tipi ngoteniku. Menangan mbah dadose tiang pinten dipunlawan, sanjangipun menawi saget napa niku nggih percaya tiyang-tiyang niku percaya buk. Niku jelas-jelas syirik jelasjelas syirik namine niku. ‘Itu katanya itu nanti garang begitu, berkelahi bagus begitu seperti Jack Chan ya ditelevisi seperti itu. Selalu menang embah jadi orangnya berapa dilawan, kalau katanya kalau bisa apa itu ya percaya orang-orang itu percaya buk. Itu jelas-jelas syirik jelas-jelas syirik namanya itu.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata. Fungsi dari campur kode tersebut adalah sebagai kata yang berperan dalam mewakili fikikran dari penutur. Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24)
digilib.uns.ac.id
Sing merah-merah niku, niku tapak suci namine buk. Nek niku insya Allah boten wontenlah unsur-unsur seperti itu. (74) ‘Yang merah-merah itu? Itu tapak suci namanya buk, kalau itu insya Allah tidak ada unsur-unsur seperti itu.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode yang nampak pada kalimat tersebut adalaha ‘merah-merah’ dan ‘seperti itu’. Kalimat tersebut menjawab pertanyaan peserta tutur tentang kelompok bela diri, apakah ada unsur syirik. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 24a)
Sing abang-abang punika? menika tapak suci naminipun buk, menawi niku insya Allah boten wonten unsur-unsur kadhos niku. ‘Yang merah-merah itu? Itu tapak suci namanya buk, kalau itu insya Allah tidak ada unsur-unsur seperti itu.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan identifikasi ragam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata, penyisipan frasa, dan pengulangan kata. Fungsi dari campur kode tersebut adalah sebagai kata yang berperan dalam situasi sosial yang lebih memasyarakat dan sebagai ragam yang mudah untuk menyebut untuk sesuatu hal. Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 25)
Nggih boten napa-napa istiqomah sing semangat inggih insya Allah mangkih dapat balasanya sendiri nggih. […] Niki kula akhiri nggih commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mbah mangkih nek wonten ditangletke pertemuan depan nggih bisa disambung. (77) ‘Ya tidak apa-apa istiqomah (teguh pendirian) yang semangat ya insya Allah nanti dapat balasanya sendiri ya. Ini saya akhiri ya embah nanti kalau ada ditanyakan pertemuan depan ya bisa disambung.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu, /semangat/, /dapat balasanya sendiri/, pertemuan depan/, dan /bisa disambung/. Kalimat tersebut merupakan himbauan dan penutup dari kegiatan ta’lim. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 26)
Saget niku mangkih diubah kalian pribadinipun piamba-piyambak. (88) ‘Bisa itu nanti diganti dengan diripribadi sendiri-sendiri.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /diubah/ ‘dirubah’. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, dari bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 26a)
Saget niku mangkih dipunganthos kalian pribadinipun piyambakpiyambak. ‘Bisa itu nanti diganti dengan diripribadi sendiri-sendiri.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Indonesia dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Sehingga tanpa ada campuran dari bahasa Indonesia, kalimat tersebut bisa menggunakan bahasa Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata. Fungsi dari campur kode tersebut adalah untuk menujukkan peranan dalam percampuran bahasa yang mudah diucapkan.
2) Campur Kode Bahasa Arab dalam Bahasa Jawa Di bawah ini merupakan wujud campur kode bahasa Arab dalam tuturan kalimat berbahasa Jawa. 1)
Maksute pacaran niku nggih cuma berdua-duaan kalian Allah diwaktuwaktu yang mustajab, […]. (11) ‘Maksudnya pacaran itu ya cuma berdua-duaan dengan Allah diwaktuwaktu yang terkabul.’
Wujud campur kode yang digunakan oleh penutur (santri PDS) yaitu, kata /mustajab/ ‘terkabul’. Penutur dalam kalimat tersebut menjelaskan tentang cara mendekatkan diri dengan Allah. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, diubah menjadi bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 1a)
Maksutipun pacaran niku nggih namung kalian Allah wonten wedal dipunkabulaken, […]. ‘Maksudnya pacaran itu ya Cuma berdua-duaan dengan Allah diwaktu-waktu yang terkabul.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Arab dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata. Fungsi dari campur kode tersebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan campur kode yang lebih berperan atau lebih popular dalam tigkat sosial umat Islam dan lebih mudah terucap oleh penutur.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 2)
Lha terus sakniki nggih dibagi cabang-cabang, sakjane niku boten wonten manfa’at yen niku tertegak iman lan taqwa kalian ammar ma’ruf nahi munkar. Pada wae yen Muhammadiyah tasih wonten ndangndutan ngajakke ndangndutan padahal muhammadiyah, tasih ngadakke kaya klenikan kaya napa niku sejenise. (133) ‘Lha terus sekarang ya dibagi cabang-cabang, semestinya itu tidak ada manfa’at kalau itu ditegakkan oleh keimanan dan ketaqwaan. Mengerjakan amal yang baik dan mencegah perbuatan buruk. Sama saja kalau Muhammadiyah masih ada dangdutan mengajak berdangdut padahal Muhammadiyah, masih mengadakan seperti syirik seperti apa itu sejenisnya.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu, /ammar ma’ruf nahi munkar/ ‘mengerjakan amal yang baik dan mencegah perbuatan buruk’. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, diubah menjadi bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 2a)
Lha lajeng sakmenika nggih dipunpara cabang-cabang, estu menika boten wonten manfa’atipun menawi niku jejekipun iman lan taqwa kalian tumindhak sae lan brantas tumindhak ala. Pada wae yen Muhammadiyah tasih wonten ndangndutan ngajak ndangndutan padahal Muhammadiyah, tasih wontenake kaya klenik kaya napa menika sakjenisipun. ‘Lha terus sekarang ya dibagi cabang-cabang, semestinya itu tidak ada manfa’at kalau itu ditegakkan oleh keimanan dan ketaqwaan. Mengerjakan amal yang baik dan mencegah perbuatan buruk. Sama saja kalau Muhammadiyah masih ada dangdutan mengajak berdangdut padahal Muhammadiyah, masih mengadakan seperti syirik seperti apa itu sejenisnya.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Arab dapat diganti dengan bahasa Jawa, tetapi akan menimbulkan makna yang agak rancu karena dalam ta’lim menerangkan tentang ilmu agama Islam yang bersumber dari bahasa Arab. Sehingga untuk selanjutnya, teknik lanjutan ubah wujud tidak digunakan dalam campur kode bahasa Arab. Faktor penyebab campur kode adalah menjelaskan dan penafsiran. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan idiom. Fungsi dari campur kode tersebut sebagai penjelasan terhadap sikap yang dilarang dan anjurkan oleh Tuhan dengan unkapan berupa campur kode tersebut.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 3)
Tapi nek ahlusunnah wal jamma’ah mengikuti sahabat lan Rosullulah, insya Allah niku adalah Islam yang benar. (134) ‘Tetapi kalau mengikuti sunah dan berjama’ah mengikuti sahabat dan Rosullullah (utusan Allah), atas kehendak Allah itu adalah Islam yang benar.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu, /ahlusunnah wal jamma’ah/, ‘mengikuti sunah nabi dan berjama’ah’. Penutur dalam kalimat tersebut merbicara tentang Islam yang benar. Faktor penyebab campur kode adalah untuk menjelaskan sesuatu hal. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan idiom. Fungsi dari campur kode tersebut sebagai penjelasan dan penerjemahan dari ungkapan yang bersumber dari ilmu hadits yang berahasa Arab.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 4)
[…]ingkang sampun betha kita saking jaman jahilliyah dhumateng jaman islamiah menika dinulislam. (138) ‘yang ke-dua tidak henti-hentinya kita panjatkan puji syukur kepada kita anda semua apa, sholawat dan salam kepada Rosullullah Saw, yang sudah membawa kita dari zaman kebodohan, kepada zaman islam yaitu agama Islam.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu /dinulislam/ ‘agama / jalan hidup Islam’. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi ragam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata. Fungsi dari campur kode tersebut sebagai peranan dalam kepentingan untuk menyebut persamaan dalam kata yang sebelumnya “islamiah” dengan “dinul Islam”. Kata tersebut lebih sesuai karena arti dinul Islam tidak hanya sebagai agama atau peribadatan tetapi sebagai jalan hidup sebagai pedoman, penggatur, dan hukum agar tidak tersesat dalam hidup di dunia.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 5)
Saking Abu Hurairrah Radhianhu ngendhika, Rosullulah Saw punika ngendhika dhumateng kita sedaya minhusni islam dari Alamat napa dari alamat seorang muslim punika meningalkan dari dari kesempurnaan, seorang muslim punika niku meningalkan hal-hal ingkang boten berguna. (141) ‘Dari Abu Hurairrah Radhianhu berkata, Rosullulah Saw ngendhika kepada kita semua sebagian dalam Islam dari Alamat apa dari alamat seorang muslim itu meningalkan dari dari kesempurnaan, seorang muslim itu meningalkan hal-hal yang tidak berguna.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu, /minhusni islam/ ‘sebagian dalam Islam’. Penutur dalam kalimat tersebut menerangkan tentang hadits.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor penyebab campur kode adalah untuk menjelaskan sesuatu hal. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan idiom. Fungsi dari campur kode tersebut berguna sebagai penjelasan atau penafsiran dari suatu ilmu yang bersumber dari hadits, hal tersebut sebagai penempatan seseorang penutur yang mengetahui atau memahami bahasa Arab.
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 6)
Bahwasanya tiyang muslim punika mas’ul napa bertanggung jawab, bertangung jawab atas pekerjaan-pekerjaan inkang sampun kita lakokaken. (146) ‘Bahwasanya orang muslim itu bertanggung jawab apa bertangung jawab, bertangung jawab atas pekerjaan-pekerjaan yang sudah kita lakukan.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu /mas’ul/ ‘bertanggung jawab’. Penutur dalam kalimat di atas menerangkan tentang tanggung jawab apa yang dikerjakan orang Islam. Faktor penyebab campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata. Fungsi dari wujud campur kode tersebut sebagai penjelasan terhadap peserta tutur dari suatu pengetahuan serta menunjukkan bahwa penutur selain bahasa Jawa dan bahasa Indonesia juga menguasai bahasa Arab. Bahasa Arab yang muncul dipengaruhi juga karena penutur terbiasa mengunakan dan menguasai bahasa tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 7)
Saking omonge kita sedhaya nek kita omonge mungkin sak bendintenne ngomongake tentang kebaikan, mugkin dzikir dhumateng Allah Swt, insya Allah benjang ing yaumul qiyamah kita badhe dimasokake dhumateng Allah Swt, lan ananging tiyang-tiyang inkang boten saget njaga lisanipun benjeng nggih ajeng disenggeni ajeng dikei inggih punika neraka jahanam. (147) ‘Dari perkataan kita semua kalau kita berkata mungkin setiap hari berkata tentang kebaikan, mungkin dzikir kepada Allah Swt, insya Allah (atas kehendak Allah) nanti dihari kiamat kita akan di masukkan oleh Allah Swt, dan tetapi orang-orang yang tidak bisa menjaga lisan nati juga harus dimarahi akan diberi yaitu neraka jahanam.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu, /yaumul qiyamah/ ‘hari, kiamat’. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi ragam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan frasa. Fungsi dari wujud campur kode di atas berperan sebagai ragam dari bahasa arab yang mudah atau sering digunakan dalam kegiatan dakwah sehinga peserta tutur mengetahui arti dari wujud campur kode bahasa Arab tersebut.
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 8)
Nek misale iqab wonten ndonya nggih kathah sanget buk. Iqab ndonya nggih ibuk sampun ngerthosi ananing yen iqob wonten akhirat kita sedhaya boten ngertosi magkih di antar kita sedhaya wonten ingkang mlebet suwarga nggih boten ngertos, wonten ing neraka nggih boten ngertos sedaya. (151) ‘Kalau misalnya balasan ada di dunia ya banyak sekali. Balasan dunia ya ibu sampun mengetahui tapi kalau balasan di akhirat kita semua commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak mengetahui nanti diantara kita semua ada yang masuk syurga ya tidak mengetahui, di dalam neraka ya tidak tau semua.’ Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu, /iqab/ ‘balasan / teguran’. Jika ditulis dalam bahasa Indonesia menjadi. Faktor penyebab campur kode adalah identitas ragam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan penempatan penutur dalam status sosial sebagai santri yang memahami leksikon bahasa Arab, sehinga dalam dakwah sering menggunakanya bahasa Arab guna menerangkan ilmu.
Wujud campur kode bahasa Arab selanjutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 9)
Anangging nek tiyang muslim punika boten ngertos kewajibane napa, yen mungkin kula niki dados tholabul ilmi, boten ngertos kewajibane kula sebagai tholabul ilmi lha niku pripun. (154) ‘Tetapi kalau orang Islam (muslim) itu tidak mengetahui kewajibanya apa, kalau mungkin saya ini jadi menuntut ilmu, tidak tau kewajibanya saya sebagai penuntut ilmu lha itu gimana.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu, /tholabul ilmi/ ‘menuntut ilmu’. Penutur dalam kalimat tersebut menerangkan hadits tentang menuntut ilmu, yang wajib dilakukan oleh umat Islam. Faktor penyebab campur kode adalah identitas ragam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan penempatan penutur dalam status sosial sebagai santri yang memahami leksikon bahasa Arab, sehinga dalam menyebut status penutur dalam sosial sebagai orang yang menuntut ilmu di Ponpes. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 10)
Lan ingkang kaping kalih punika wadait amanah, ngelaksanaaken amanah. (163) ‘Dan yang ke-dua itu melaksanakan amanah, melaksanakan amanah.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu, /wadait amanah/ ‘melaksanakan amanah. Penutur dalam kalimat tersebut menlanjutakan tentang hadits yang diterengkan oleh penutur. Faktor penyebab campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut sebagai penjelasan dan penafsiran sebagai ilmu yang berasal dari Tuhan melalui utusan-Nya dalam bahasa Arab, sehinga dalam menyebut penyampaian kajian sering muncul campur kode dari bahasa Arab sebagai bahasa dunia Timur Tenggah pada umumnya Islam pada Khususnya.
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 11)
Nggih ingkang sepindhah nggih kita nggih wajib napa ibadah dhumateng Allah Swt, qiroatuk qur’an. (164) ‘Ya yang pertama ya kita ya wajib apa ibadah kepada Allah Swt, membaca qur’an.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu, /qiroatuk qur’an/ ‘membaca qur’an’. Penutur dalam kalimat tersebut menerangkan tentang kewajiban seorang muslim.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi ragam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa Arab dalam ritual dakwah yang sering menggunakan memahami leksikon bahasa Arab yang mudah difahami dan Islami. Sehinga dalam menyebut leksikon bahasa Arab peserta tutur sedikit lebih akrab dengan leksikon bahasa Arab.
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 12)
Kan nek rasa bersyukur nuku kan kathah sanget nggih buk? Nek nggih, Abu zaid punika ngendhika nek tiyang ingkang bersyukur punika lan tiyang ingkang zuhud punika niku nek boten wonten niku bersyukur dhumateng Allah Swt. (169) ‘Kan kalau rasa bersyukur kan banyak sekali ya buk? Kalau ya Abu zaid itu berkata kalau orang bersyukur itu dan orang ingkang meningalkan keduniawian itu kalau tidak ada itu bersyukur dhumateng Allah Swt.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu /zuhud/ , zuhud secara bahasa atau etimologi berati ‘kurang kemauan terhadap sesatu’ sedangkan secara istilah atau terninologi artinya suatu polahidup yang menghindari dan meningalkan keduniawian karena ibadah kepada Allah Swt. Sehingga orang zuhud biasanya mengisi dunia semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah yaitu mencapai akhirat berupa syurga. Orang zuhud terlihat dengan kesederhanaanya dalam menjalani hidup di dunia. Faktor penyebab campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata. Fungsi dari campur kode tersebut sebagai penjelasan dan penafsiran sebagai ilmu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
agama Islam dalam bahasa Arab, sehinga dalam menyebut penyampaian kajian sering muncul campur kode dari bahasa Arab sebagai bahasa dunia Islam. Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 13)
Lha Sakniki kita mlebet pembahasan ndek winggi sampun telas nawaqidhu syahadat, nggih pembatal-pembatal […]. (199) ‘Lha sekarang kita masuk pembahasan waktu kemarin sudah habis pembatal keislaman, ya pembatal-pembatal.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu /nawaqidhu syahadat/, ‘pembatal syahadat (keislaman). Penutur dalam kalimat tersebut merupakan bagian awal pembahasan. Faktor penyebab campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut sebagai penjelasan dan penafsiran sebagai ilmu yang sesuai di sampaikan dengan menggunakan istilah dari bahasa Arab, menginggat sehinga dalam menyebut kajian tersebut sering muncul campur kode dari bahasa Arab sebagai bahasa ilmu pengetahuan.
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 14)
Lha ingkang kaping satunggal niku syarate napa? Amal ingkang saget dipun trima satunggal inggih punika becik ikhlas billahi ridha marang dhumateng Allah Swt. (204) ‘Lha yang pertama itu syaratnya apa? Amal (perbuatan) yang bisa diterima pertama yaitu baik iklas menerima karena Allah untuk kepada Allah Awt.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /ikhlas billahi ridha/ ‘ikhlas karena Allah dan menerima ketetapan-Nya (Allah)’. Kalimat tersbut merupakan penjelasan tentang amal yang ditrima oleh Tuhan. Faktor penyebab campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan klausa. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa yang sering di ambil dari leksikon bahasa Arab untuk kepentigan dakwah, sehinga penutur merasa pas dan serta merta terucap dengan sendirinya dari kebisaan menguasai dan menggunakan bahasa Arab.
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 15)
Innalallaha layassyikru, Allah niku boten ngampuni dosa syirik, hanangging ngampuni dosa-dasa selainipun syirik. (212) ‘Allah tidak mengampuni dosa syirik (Innalallaha layassyiru), Allah itu tidak mengampuni dosa menyekutukan Allah, tetapi mengampuni dosa-dosa selain menyekutukan-Nya.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /Innalallaha layassyikru / ‘Allah tidak mengampuni syirik’. Penutur dalam kalimat tersebut membicarakan tentang dosa yang tidak akan diampuni dan dosa yang diampuni Allah. Faktor penyebab campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa yang sering di ambil dari ilmu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang berbahasa Arab untuk kepentigan pemahaman Islam, penutur merasa terbiasa menggunakan bahasa Arab dalam situasi berbahasa.
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 16)
Ingkang kaping kalih inggih menika syarat ingkang ditrima syarat amale niku napa buk, pak? Ingkang kaping kalih inggih punika istiba’u arrabbu. (216) ‘Yang ke-dua yaitu syarat yang ditrima syarat amal itu apa Buk, Pak? Yang ke-dua yaitu mengukuti Allah (utusan).’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu, /istiba’u arrabbu/ ‘mengikuti Allah’. Kalimat tersebut berupa pertanyaan dan jawaban dari pertanyaan tersebut, untuk pengingatkan kepada peserta tutur. Faktor penyebab campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa yang sering di ambil dari ilmu yang berbahasa Arab untuk kepentigan pengetahuan Islam, penutur merasa terbiasa menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi.
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 17)
Menawi badhe amalan, hanangging yen menawi Rasullullah niku boten ngelaksanaake falya’ rabbun, tertolak amalipun. (217) ‘Kalau akan beramal tetapi kalaupun Rosullullah itu tidak melaksanakan tidak ditrima almalnya tertolak amalnya.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /falya’ rabbun/ ‘tidak ditrima amalnya’. Kalimat tersebut merupakan penjelasan tentang amal yang ditolak yaitu amal yang tidak contohkan oleh Nabi. Faktor penyebab campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan idiom. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa yang sering di ambil dari ilmu yang berbahasa Arab untuk kepentingan pemahaman Islam, penutur merasa terbiasa menggunakan bahasa Arab dalam situasi berbahasa.
Wujud campur kode bahasa Arab terlihat juga dalam kalimat, seperti di bawah ini. 18)
Qulhujahali bid’ah, Sesuatu ingkang engal, lha dados niki dados ditampi boten niki, badhe ditampa misale maos al-quar’an, sebulanipun khatam. (218) ‘Fitnah sesat’sesuatu yang pertama, lha jadi jadi ditrima tidak ini, akan ditrima misalnya membaca al-qur’an sebulan selesai.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu /Qulhujahali bid’ah/ ‘fitnah sesat’. Penutur dalam kalimat tersebut berbicara tentang contoh amal yang ridak ditrima oleh Allah. Faktor penyebab campur kode adalah keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa yang sering di ambil dari ilmu yang berbahasa Arab untuk kepentigan pemahaman Islam, penutur merasa terbiasa menggunakan bahasa Arab dalam situasi berbahasa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 19)
Mersani gambaripun tiyang alit sementen iki tasih alit sanget maringgi safa’at nyembuhaken tiyang ingkang sakit, amargi napa? Anggsal suatu niku kenek bledek niku dipercaya mariggi madharat manfaat lha niku tiyang alit artanipun satunggal dinten niku sak milyar, padahal paling sitik niku mung gangsal welas ewu kalih dasa, hananging ingkang dugi pinten? (224) ‘Melihat gambaran orang kecil seperti ini masih kecil sekali memberi pertolongan menyembuhkan orang yang sakit, karena apa? mendapatkan sesuatu itu terkena petir itu dipercaya memberi pertolongan manfaat lha itu orang kecil uangnya satu hari itu satu milyar, padahal paling sedikit itu cuma lima belas ribu sampai dua puluh ribu, tetapi yang hadir berapa.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu, /safa’at/, ‘pertolongan’ /madharat/ ‘menolong’. Kalimat tersebut menerangkan tentang brita dukun cilik “Ponari” yang berita tersebut sedang hangat dibicarakan masyarakat. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan pada kata /safa’at/ dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur pada kata /madharat/. Campur kode tersebut lebih dikenal oleh peserta tutur yang telah lama mengikuti kegiatan ta’lim yang dilakukan sudah bertahun-tahun. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata. Fungsi dari campur kode tersebut sebagai penjelasan dan penafsiran sebagai ilmu agama Islam dalam bahasa Arab, sehinga dalam menyebut penyampaian kajian sering muncul campur kode dari bahasa Arab sebagai bahasa dunia pada umumnya Islam pada Khususnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 20)
Lha niki kalallu ta’ala wayukfirluna, Piyambak ipun ihklas dhumateng tiyang ingkang napa, membutuhkan bantuannipun. (236) ‘Lha ini karena Allah saya membantu kepada orang yang membutuhkan, dirinya ihklas kepada orang yang apa, membutuhkan bantuan.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu, /kalallu ta’ala wayukfirluna/ ‘Karena Allah saya membantu kepada orang yang membutuhkan’. Penutur dalam kalimat tersebut menjelaskan tentang ilmu. Faktor penyebab campur kode adalah ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan klausa. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa yang di ambil dari ilmu yang berbahasa Arab untuk kepentigan pemahaman Islam, penutur merasa terbiasa menggunakan bahasa Arab dalam situasi komunikasi.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 21)
Tiyang musibah ingkang ngaku saudara kula niku saudara nipun dhumateng pajenengan, nggih napa naminipun ukuwah ihwah, saudara bersaudara jenengan niku saudara kula. (137) ‘Orang musibah yang mengaku saudara saya itu saudaranya kepada anda, ya apa namanya rasa tali persaudaraan bersaudara anda itu saudara saya.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /ukuwah ihwah/ ‘tali pesaudaraan (Islam)’. Penutur dalam kalimat tersebut menerangkan bentuk rasa persaudaraan sesama Islam.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan dan ingin menjelaskan sesuatu agar mitra tutur faham maksud ucapan penutur, karena campur kode tersebut sering diucapkan dalam ceramah keagamaan (Islam). Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan idiom. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa dalam ritual dakwah yang sesuai guna kepentingan memahami ilmu Islam, sehinga dalam menyebut leksikon bahasa Arab peserta tutur sedikit lebih mudah dengan leksikon bahasa Arab.
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 22)
Lha nek sakniki, amargi niki napa namine, niki wau dalilipun Rasulullah Saw nggih niki wonten bukune, bukune nggih sae sanget, fikih, kitab fikih wonten tuntunane sholat komplit. Rasullullah sampun nyonthoke kita teng Islam, niki sampun komplit nayahhidu mayahdilllah, petunjuk dhumateng Allah. (140) ‘Lha kalau sekarang, amargi ini apa namanya, ini tadi dalilnya Rosullullah ya ini ada bukunya, bukunya ya baik sekali, pemahaman, buku pemahaman ada tuntunanya sholat komplit. Rasullullah sudah mencontohkan kita dalam Islam, ini sudah komplit petunjuk Allah tidak menyesatkan petunjuk kepada Allah.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari data di atas yaitu /nayahhidu mayahdilllah/, ‘petunjuk Allah tidak menyesatkan’. Dari kalimat tersebut penutur menjawab dan menerangkan kepada peserta tutur. . Faktor penyebab campur kode adalah penutur ingin menjelaskan sumber ilmu yang berasal dari hadits, sehingga peserta tutur mengetahui istilah yang diterangkan tersebut. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa yang sering di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ambil dari ilmu yang berbahasa Arab untuk kepentigan pemahaman Islam, penutur merasa terbantu dengan menggunakan bahasa Arab dalam situasi pembelajaran ta’lim.
Wujud campur kode bahasa Arab berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 23)
Nek boten wonten pertanyaan kita tutup dengan do’a kafaratul majelis. (241) ‘Kalau tidak ada pertanyaan kita tutup dengan do’a penutup majelis.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode bahasa Arab dari data di atas yaitu, /kafaratul majelis/ ‘penutup majelis’. Kalimat tersebut merupakan bagian sebelum kalimat penutur kegiatan ta’lim. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan karena istilah /afaratul majelis/ lebih berperan dalam kegiatan pembelajaran agama Islam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa Arab dalam ritual dakwah yang sering menggunakan memahami leksikon bahasa Arab yang mudah difahami dan Islami, sehinga dalam menyebut leksikon bahasa Arab peserta tutur sedikit lebih akrab dengan bahasa Arab.
Wujud campur kode bahasa Arab terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 24)
Amargi napa, tiyang jamane, lha sakniki ngeten mawon sakniki. Jamanipun Jafar Abu Muthaib niku jamanipun Rasulullah Saw uswatun khasanah kita sedanten ingkang kita nut. (234)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Karena apa, orang jamanya, lha sekarang gini saja sekarang. Jamannya Jafar Abu Muthaib itu jamanya Rasullullah contoh teladan yang baik kita semua yang kita contoh.’ Wujud campur kode bahasa Arab yang muncul dari tuturan di atas yaitu /uswatun khasanah/ ‘contoh teladan yang baik’. Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan karena istilah /uswatun khasanah/ lebih berperan dalam kegiatan pembelajaran agama Islam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa Arab dalam ritual dakwah yang sering menggunakan memahami leksikon bahasa Arab yang mudah difahami dan Islami, sehinga dalam menyebut leksikon bahasa Arab peserta tutur sedikit lebih akrab dengan leksikon bahasa Arab.
Wujud campur kode bahasa Arab terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 25)
Nggih boten napa-napa istiqomah sing semangat inggih insya Allah mangkih dapat balasanya sendiri nggih. (77) ‘Ya tidak apa-apa trus menerus yang semangat atas kehendak Allah nanti dapat balasanya sendiri ya.’
Campur kode berupa kata /istiqomah/ ‘tenang/terus menerus’, Faktor penyebab campur kode adalah identifikasi peranan karena istilah /istiqomah/ lebih berperan dalam kegiatan pembelajaran agama Islam. Campur kode di atas termasuk jenis campur kode penyisipan kata dan penyisipan frasa. Fungsi dari campur kode tersebut merupakan bahasa Arab dalam ritual dakwah yang sering menggunakan memahami leksikon bahasa Arab yang mudah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
difahami dan Islami, sehinga dalam menyebut leksikon bahasa Arab peserta tutur sedikit lebih akarab dengan leksikon bahasa Arab.
3) Campur kode bahasa Inggris dalam bahasa Jawa
Campur kode dari bahasa Inggris pada pelitian ini hanya ditemukan satu bentuk, yaitu pada wujud kalimat di bawah ini. 1)
Menawi pembahasan ingkang ndek winggi kita bahas dipun cancel rumiyen ngoten nggih. (199) ‘Kalau pembahasan yang kala dulu kita bahas dibatalkan dulu begitu ya.’
Munculnya campur kode dari bahasa Inggris dapat dilihat pada kata /cancel/ ‘batalkan’. Hal tersebut merupakan campur kode karena kata tersebut karena dari segi pelafalan serta bentuk (tulisan) merupakan asli dari bahasa Inggris yang dipakai oleh penutur dengan menyisipkan kata “cansel” pada kalimat diatas. Pada data di atas juga terdapat campur kode dari bahasa Indonesia pada kata wujud “pembahasan” dan “bahas”.Jenis campur kode dari bahasa Inggris termasuk jenis penyisipan kata. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, diubah menjadi bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 1a)
Menawi pembahasan ingkang kala winggi kita bahas dipun batalaken rumiyen ngoten nggih. ‘Kalau pembahasan yang kala dulu kita bahas dibatalkan dulu begitu ya.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Inggris dapat diganti dengan bahasa Jawa, secara makna sama dengan makna dari campur kode yang digunakan penutur. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor yang menjadi sebab dari campur kode tersebut adalah identifikasi ragam. Sedangkan fungsi dari campur kode tersebut sebagai wujud rasa gengsi, bahwa penutur juga menguasai bahasa Inggris.
Wujud campur kode berikutnya nampak juga dalam kalimat di bawah ini. 2)
Bahwasane sebagai hutan niku sakjane beberapa tahun yang lalu adalah sebagai penampung napa untuk menghalangi banjir, napa global warming. (117) ‘Bahwasanya sebagai hutan itu seharusnya beberapa tahun yang lalu adalah sebagai penampung apa untuk menghalangi banjir, apa pemanasan menyeluruh.’
Unsur terkecil yang merupakan wujud campur kode dari bahasa Inggris pada tuturan di atas berupa frasa /global warming/ ‘pemanasan menyeluruh’. Jenis campur kode dari bahasa Inggris termasuk jenis penyisipan kata. Teknik lanjutan dengan teknik ubah wujud atau parafrasis, diubah menjadi bahasa Jawa menjadi sebagai berikut ini. 2a)
Bahwasanipun kangge alas menika estu pinten-pinten taun ingkang kala biyen kangge tampungan napa kange ngalangi banjir, napa global warming. ‘Bahwasanya sebagai hutan itu seharusnya beberapa tahun yang lalu adalah sebagai penampung apa untuk menghalangi banjir, apa pemanasan menyeluruh.’
Dari analisis tersebut campur kode bahasa Inggris tidak dapat diganti dengan bahasa Jawa, karena makna akan rancu. Faktor yang menjadi sebab dari campur kode tersebut adalah identifikasi peranan. Sedangkan fungsi dari campur kode tersebut sebagai wujud ragam yang lebih berperan dalam komunikasi, bahwa penutur juga mampu mengunakan bahasa Inggris.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. INTERFERENSI Interferensi sering terjadi dalam system tuturan masyarakat multi lingual, munculnya interferensi disebabkan karena beberapa hal, diantaranya adalah; (1) Dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat, (2) Dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat, (3) Dimensi pembelajaran bahasa. Interferensi merupakan gejala tutur (speech dan parole), sehinga interferensi bisa dikatakan gejala penyimpangan bahasa. Interferensi terjadi pada penutur multy linggual yaiu santri PDS. Sehingga dalam berkomunikasi dengan beberapa bahasa yang dikuasai oleh santri, khususnya dalam kegiatan ta’lim terjadi apa yang disebut dengan sisa model (residue of the model) pada kata serap (loan words), dimana dari perpindahan kode terjadi kata yang tidak terserap semua, hal tersebut merupakan salah satu melatar belakanggi terjadinya interferensi. Adapun wujud interferensi yang muncul dalam penenitian ini diantaranya terdapat dalam kalimat di bawah ini. 1. Interferensi unsur pengikat/terikat bahasa Indonesia Dari hasil reduksi data, wujud interferensi dapat dilihat sebagi berikut. 1)
Istilahe gelisah boten sah binggung nggih buk, insya Allah benjeng badhe dipun ganti Allah Swt. (140) ‘Istilahnya gelisah tidak usah binggung ya Buk, inya Allah nanti akan diganti Allah Swt.’
Seperti yang sudah dibahas sebelunya, wujud interferensi dari kata dasar /Istilahe/ seperti pembahasan yang sebelunya berasak dari kata dasar “istilah” (Indonesia) mendapatkan akhiran /-e/ (Jawa). Interferensi tersebut termasuk jenis commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
interferensi pelafalan (pranasalisasi), karena berfungsi hanya utuk mempermudah pengucapan dalam bahasa Jawa. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Arti dalam dari tuturan di atas yaitu. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 1a)
Dipun sebat mboten ayem boten sah binggung nggih buk, insya Allah benjeng badhe dipun gantos Allah Swt. ‘Istilahnya gelisah tidak usah binggung ya Buk, inya Allah nanti akan diganti Allah Swt.’
Jika diuji dengan teknik ubah wujud, seperti di atas, interferensi ubah dengan kata bahasa Jawa “dipun sebat”, kata tersebut kurang begitu cocok dalam mengantikan interferensi yang muncul.
Wujud interferensi yang lain seperti di bawah ini. 2)
Menyembah selain Allah dados jenengan misale nyembah matahari, menyembah kuburan, menyembah wit, napa, napa namine menyembah napa waelah selain Allah niku termasuk syirik. Syirik niku dosane besar mbah. (18) ‘Menyembah selain Allah jadi anda misalnya menyembah matahari, menyembah kuburan, menyembah pohon, apa, apa namanya menyembah apa saja selain Allah itu termasuk syirik. Syirik itu dosannya besar mbah.’
Interferensi yang terdapat dalam data di atas yaitu /misale/ ‘misalnya’, interferensi /misale/ berasal dari bahasa Indonesia [misalnya]
[missal (contoh)]’
dan mendapat akhiran yang berupa frasa dari bahasa Jawa [-e]. Interferensi tersebut bisa diganti dengan kata [thuladhanipun/thuladha]. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Interferensi tersebut merupakan interferensi morfolagi. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 2a)
Nyembah senesipun Allah dados panjenengan thuladhanipun nyembah matahari, menyembah kuburan, menyembah wit, napa, napa namine menyembah napa waelah senesipun Allah menika kalebet syirik. Syirik menika dosanipun ageng mbah. (18) ‘Menyembah selain Allah jadi anda misalnya menyembah matahari, menyembah kuburan, menyembah pohon, apa, apa namanya menyembah apa saja selain Allah itu termasuk syirik. Syirik itu dosannya besar mbah.’
Diuji dengan teknik ubah wujud untuk interferensi ubah dengan kata bahasa Jawa, kata tersebut dapat mengantikan interferensi yang muncul.
Wujud interferensi bahasa terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 3)
Lha niku nek napa tiyang-tiyang sing naruh orang tuane teng Panti Jompo niku termasuk durhaka pada orang tua niku buk, dados boten boten, kasih sayangipun keliru. Magkih pikirane bener-bener, oh mungkin di napa namine makane ikan terus kok malah tersiksa. (41) ‘Lha itu kalau apa orang-orang yang menaruh orang tuanya di Panti Jompo itu termasuk durhaka pada orang tua itu buk, jadi tidak tidak, kasih sayangnya keliru. Nanti fikiranya benar-benar, oh mungkin di apa namanya makanya ikan terus kok malah tersiksa.’
Interferensi yang terjadi dalam tututran di atas berupa /orang tuane/ ‘orang tuanya’, /sayangipun/ ‘kasih sayangnya’, dan /makane/ ‘makanya’. Interferensi tersebut merupakan pemakaian kata-kata yang mendapat penambahan pada akhir kata yang merupakan adopsi dari bahasa Jawa. Pada kata /orang tuane/ dari kata dasar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
/orang tua/ mendapat akhiran /-ne/ yang artinya menunjukkan milik leksikon bahasa Jawa ngoko, jika keduanya tersebut digabung menjadi interferensi /orang tuane/ yang artinya orang tuanya. Kalimat tersebut dapat diganti dalam bahasa Jawa dengan kata [tiyang sepuhipun]. Sedangkan kata /sayangipun/ dari kata dasar /sayang/ mendapat akhira /-ipun/ leksikon bahasa Jawa krama yang ber arti kepunyaan, sehingga jika digabung menjadi interferensi berupa kata /sayangipun/ yang artinya ‘(kasih) sayangnya’n dalam bahasa Jawa dapat diganti dengan [tresnanipun]. Untuk kata /makane/ bersal dari dua bahasa Indonesia dan bahasa Jawa, yaitu dari kata dasar [makan] mendapat akhiran /-e/, sehingga gabungan kedua bahasa tersebut menjadi interferensi yang berwujud /makane/ yang artinya ‘makanya’, dalam bahasa Jawa bias diganti [dhaharipun]. Interferensi tersebut merupakan hasil dari pembentukan dalam suatu bahasa yang menyerap afiks bahasa lain, terpengauh dari afiks bahasa Jawa. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 3a)
Lha menika menawi napa tiyang-tiyang ingkang menehaken tiyang sepuh ipun dateng Panti Jompo menika kalebet duraka dhumateng tiyang sepuh ipun menika buk, dados boten, tresnanipun klentun. Magkih pikiranipun estu, oh mungkin dipun napa namine dhaharipun iwak nanging kok malah rekaos. ‘Lha itu kalau apa orang-orang yang menaruh orang tuanya di Panti Jompo itu termasuk durhaka pada orang tua itu buk, jadi tidak tidak, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kasih sayangnya keliru. Nanti fikiranya benar-benar, oh mungkin di apa namanya makanya ikan terus kok malah tersiksa.’ Diuji dengan teknik ubah wujud untuk interferensi diganti dengan bahasa Jawa, dapat mengantikan kalimat interferensi yang muncul.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 4)
Tapi tetep yakin apa namine niku tetep tersiksa buk. Umpamine tebih kalih anake kalih mantune niku tetep hatine tetep hatine tersiksa. (42) ‘Tapi tatap yakin apa namanya tatap tersiksa buk. Seandainya jauh dari anaknya dengan menantunya itu tetap hatinya tetap hatinya tersiksa.’
Interferensi yang muncul dari data di atas berupa kata /hatine/ ‘hatinya’, hal tersebut menunjukkan interferensi karena kata dasar barbahasa Indonesia [hati] mendapat akhiran /-ne/ dari bahasa Jawa, sehingga menjadi kata /hatine/ yang artinnya ‘hatinya’. Tetapi jika diganti dengan /manahipun/ merupakan bahasa Jawa, sehingga kalimat tersebut lebih tepat. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Interferensi tersebut merupakan hasil dari pembentukan dalam suatu bahasa yang menyerap afiks bahasa lain, terpengaruh dari afiks bahasa Jawa. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 4a)
Nanging tetep yakin napa naminipun menika tetep rekaos buk. Umpaminipun tebih kalih putranipun kalih mantunipun menika tetep manahipun tetep manahipun rekaos. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Tapi tatap yakin apa namanya tatap tersiksa buk. Seandainya jauh dari anaknya dengan menantunya itu tetap hatinya tetap hatinya tersiksa.’ Diuji dengan teknik ubah wujud, kalimat tersebut dapat mengantikan kalimat yang mengandung interferensi sehingga menjadi kalimat berbahasa Jawa.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 5)
Niku wonten napa boten niku buk sakniki? Katah tha niku, kebalikane. (53) ‘Itu ada apa tidak buk sekarang? Banyakkan kan itu, kembalikanya.’
Interferensi yang muncul dalam data tersebut berupa kata /kebalikane/ ‘kebalikanya’ seperti yang sebelumnya bahwa dari interferensi tersebut disebabkan karena kata /kebalikan/ mendapat penambahan akhiran berupa afik /-ne/, sehingga menjadi interferensi /kebalikane/ yang artinya ‘kebalikanya’. Dalam bahasa Jawa bisa mengunakan kata [kualikane], [kualik], atau [kosok wangsulipun]. Interferensi tersebut merupakan hasil dari pembentukan dalam suatu bahasa yang menyerap afiks bahasa lain, terpengauh dari afiks bahasa Jawa. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 5a)
Menika wonten napa boten punika buk sakniki? Katah tha niku, kosok wangsulipun. ‘Itu ada apa tidak buk sekarang? Banyakkan kan itu, kembalikanya.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 6)
Maluku itu pernah di terapkan dinapa praktekkne tumindak ngoten niku buk. (61) ‘Maluku itu pernah diterapkan apa dipraktekkan perbuatan seperti itu buk.’
Wujud interferensi berupa kata /praktekkne/ ‘praktekkan’, dari kata /praktik/ mendapat akhiran /-ne/. Dalam bahasa Jawa bisa mengunakan kata [trapke] tau [trapaken]. Interferensi tersebut merupakan hasil dari pembentukan dalam suatu bahasa yang menyerap afiks bahasa lain, terpengauh dari afiks bahasa Jawa. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 6a)
Maluku menika tau dipun terapaken dipun napa trapaken tumindak ngoten niku buk. ‘Maluku itu pernah diterapkan apa dipraktekkan perbuatan seperti itu buk.’
Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 7)
Katah-katah bohonge, sering ngapusi yen ngomong mencla-mencle, boten pas di takok ngetan ngulon ngalor ngidul, sing penting boten pas lah, boten pas. (62) ‘Banyak-banyak bohongnya, sering menipu kalau berkata tidak jelas, tidak pas ditanya berbolak balik arah,yang penting tidak pas lah, tidak pas.’
Dari data di atas yang menunjukkan interferensi berupa /bohonge/ ‘kebohonganya’, dari kata dasar /bohong/ mendapat akhiran dari bahasa Jawa berupa /-e/ sehingga menjadi kata /bohonge/ yang berarti ‘kebohonganya’. Dalam bahasa Jawa bisa diganti dengan kata [gorohe], atau [ngapusi]. Interferensi tersebut merupakan hasil dari pembentukan dalam suatu bahasa yang menyerap afiks bahasa lain, terpengauh dari afiks bahasa Jawa. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 7a)
Katah-katah garah, asring ngapusi menawi ngendika mencla-mencle, boten pas dipun pitaken ngetan ngulon ngalor ngidul, sing penting boten pas lah, boten pas. ‘Banyak-banyak bohongnya, sering menipu kalau berkata tidak jelas, tidak pas ditanya berbolak balik arah,yang penting tidak pas lah, tidak pas.’
Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut ini. 8)
Bahwasane menika tujuan Allah menciptaake hanyalah hamba yang untuk menyembah Allah, bahwasane meskipun diciptakane mahkluk banyak, tapi boten wonten sing nyembah Allah, Allah boten rugi, makane kita butuh pajenengan sami. (80) ‘Bahwasanya itu tujuan Allah menciptakan hanyalah hamba yang untuk menyembah Allah, bahwasanya meskipun diciptakan mahkluk banyak, tapi tidak ada yang menyembah Allah, Allah tidak rugi, makanya kita butuh anda semua.’
Interferensi terjadi pada kata /menciptaake/ ‘menciptakan’, /bahwasane/ ‘bahwasanya’, dan /makane/ ‘makanya’. Kata /menciptaake/ berasal dari kata awalan /me-/ mendapat kata dasar /cipta/ dan mendapat akhiran /-ake/, dalam bahasa Jawa bisa diganti dengan kata [nyiptake] atau [nyiptaaken]. Untuk kata /bahwasane/ dari dapat diganti dengan bahasa Jawa dengan kata [saktemenipun], sedangkan /makane/ dari kata dasar /maka/ mendapat akhiran /-ne/. Dalam bahasa Jawa bisa diganti dengan kata [mula]. Hal tersebut merupakan interferensi jenis morfologi karena dalam pembentukan kata terjadi terjadi penyerapan afiks bahasa lain. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 8a)
Estunipun menika kersanipun Allah nyiptaaken namung hamba ingkang kangge nyembah Allah, saktemenipun ajeng dipunciptaaken mahkluk kathah, nanging boten wonten sing nyembah Allah, Allah boten rugi, mula kita butuh pajenengan sami. ‘Bahwasanya itu tujuan Allah menciptakan hanyalah hamba yang untuk menyembah Allah, bahwasanya meskipun diciptakan mahkluk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
banyak, tapi tidak ada yang menembah Allah, Allah tidak rugi, makanya kita butuh anda semua.’ Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 9)
Bahwasanya kemakmuran niku hanyalah, syarate hanyalah di negri niku tercipta iman lan taqwa seluruhnya, niku semuane niku mangkih makmur. (85) ‘Bahwasanya kemakmuran itu hanyalah, syaratnya hanyalah bila di negeri itu tercipta iman dan taqwa seluruhnya, semuanya itu nanti makmur.’
dua. Yen mangkih dua. Apa itu nanti
Interferensi terlihat dari kata /semuane/ ‘semuanya’, kata stersebut berasal dari kata dasar /semua/ yang mendapat akhiran dalam bahasa Jawa /-ne/. Dalam bahasa Jawa bisa diganti dengan kata [sedhanten]. Hal tersebut merupakan interferensi jenis morfologi karena dalam pembentukan kata terjadi terjadi penyerapan afiks bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 9a)
Estunipun kemakmuran menika namung, syaratipun namung kalih. Menawi wonten negri punika kaciptaaken deneng iman lan taqwa sedhantenipun, punika mangkih sedhanten menika mangkih makmur. ‘Bahwasanya kemakmuran itu hanyalah, syaratnya hanyalah dua. Apa bila di negeri itu tercipta iman dan taqwa seluruhnya, itu nanti semuanya itu nanti makmur.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi.
Wujud interferensi selanjutnya seperti dibawah ini. 10)
Haneng nggih sakjane ngei bantuan penduduk-penduduk, ha niku gen padangane apik, tapi mangkih ngerogoh rempela, ngerogoh njero Negara. Asset-asset Negara niku mangkih saget dijual kalian Negara liya. Sami ngertosi ndek winggi ajeng njual asset-asset Negara pada Amerika, lha niku manggkih Amerika sampun nduduki Indonesia. (111) ‘Tetapi ya sebenarnya memebari bantuan penduduk-penduduk, ha itu agar dipandangan baik, tetapi nanti meminta hati, meminta kekayaan Negara. Asset-asset Negara itu nanti bisa dijual dengan Negara lain. Mengetahui kemarin akan menjual asset-asset Negara pada Amerika, lha itu nanti Amerika sudah menduduki Indonesia.’
Interferensi yang terdapat tuturan tersebut berwujud kata /padangane/ ‘pandanganya’. Untuk kata /padangane/ berasal dari kata /pandangan/ dan mendapat akhiran /-e/, dalam bahasa Jawa bisa diganti dengan kata [kethoke]. Hal tersebut merupakan interferensi jenis morfologi karena dalam pembentukan kata terjadi terjadi penyerapan afiks bahasa lain. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 10a)
Haneng nggih estu wenehi bantuan menika penduduk-penduduk, ha menika kersanipun kethoke sae, nanging mangkih ngerogoh rempela, ngerogoh jero Negara. […] commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Tetapi ya sebenarnya memebari bantuan penduduk-penduduk, ha itu agar dipandangan baik, tetapi nanti meminta hati, meminta kekayaan Negara.[…]’ Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 11)
Contohe umpamane wonten pertemuan Presiden kalian niku mangkih, lha terus mbicarak-mbicarakaken napa hibah, ngoten mangkih negarane sampun rusak lan Presiden rusak niku mangkih boten wonten anane kemakmuran. (113) ‘Contohnya seumpama ada pertemuan presiden dengan itu nanti, lha terus berbicara membicarakan apa hibah, seperti itu nanti Negara sudah rusak dan persiden rusak itu nanti tidak ada adanya kemakmuran.’
Interferensi dapat dilihat pada kata /Contohe/ ‘contonnya’ dan /mbicarakmbicarakaken/ ‘bicara-membicarakan’. Kata /Contohe/ berasal dari kata dasar /contoh/ dan mendapat akhiran /-ne/, dalam bahasa Jawa bisa diganti dengan kata [thuladhanipun]. sedangkan /bicarak-mbicarakaken/ berasal dari kata dasar /bicara/ mendapat imbuhan [m] dalam pengucapan dan mengalami pengulangan kata dan mendapat akhiran /-aken/. Dalam
bahasa
Jawa
bisa
diganti
dengan
kata
[ngomongke]
atau
[ngendhikaaken]. Hal tersebut merupakan interferensi jenis morfologi karena dalam pembentukan kata terjadi terjadi penyerapan afiks bahasa lain. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 11a)
Thuladhanipun umpaminipun wonten makempalanipun Presiden kalian niku mangkih, lha lajeng ngendhikaaken napa hibah, ngoten mangkih negaranipun sampun rusak lan Presiden rusak menika mangkih boten wonten kemakmuran. ‘Contohnya seumpama ada pertemuan presiden dengan itu nanti, lha terus berbicara membicarakan apa hibah, seperti itu nanti Negara sudah rusak dan persiden rusak itu nanti tidak ada adanya kemakmuran.’
Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 12)
Yen kita ngelaksanaaken kejelekan boten dikali, dhados kejelekan wonten ing ndonya kita lakukan menika, niki boten dikaliaken saking kejelekan-kejelekan yang lainne. (159) ‘Kalau kita melaksanakan keburukan tidak dikalikan, jadi kejelekan yang berada di dunia kita lakukan itu, ini tidak dikalikan dengan kejelekan-kejelakan yang lainya.’
Interferensi yang terdapat dalam kalimat di atas yaitu, /dikaliaken/ ‘dikalikan’, dan /lainne/ ‘lainya’. Interferensi mendapat akhiran /-aken/ /dikaliaken/ yang berasal dari “kali”, perkalian/ mendapat akhiran /-aken/, dalam bahasa Jawa bisa diganti dengan kata [dipingke/pengaken]. Sedangkan interferensi /lainne/ dari kata /lain/ mendapat akhiran /-ne/, dalam bahasa Jawa bisa diganti dengan kata [liyanipun/liyane/senesipun]. Dari semua interferensi tersebut terjadi karena kata dasar dari bahasa Indonesia mendapat akhiran dari bahasa Jawa. Hal tersebut merupakan interferensi jenis morfologi karena dalam pembentukan kata terjadi terjadi penyerapan afiks bahasa lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 12a)
Menawi kita ngelaksanaaken tumindhak ala boten diping, dhados tumindhak ala wonten ing ndonya kita tindhakaken menika, niki boten dipingke saking tumindhak ala ingkang senesipun. ‘Kalau kita melaksanakan keburukan tidak dikalikan, jadi kejelekan yang berada di dunia kita lakukan itu, ini tidak dikalikan dengan kejelekan-kejelakan yang lainya.’
Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 13)
Lha nikukan permisalane kita nembe daging nggih, tahu, tempe, krupuk nggih boten napa-napa nggih. Nek kita ajeng nika putra ibuk ajeng betha apa. (173) ‘Lha itukan permisalanya kita baru daging ya, tahu, tempe krupuk yang tidak apa-apa ya. Kalau kita akan itu anak ibu akan membawa apa.’
Kata /permisalane/ ‘permisalanya’ merupakan wujud interferensi yang muncul dari data di atas, yang berasal dari kata [permisalan] mendapat penambahan dari bahasa Jawa berupa akhiran [-ne], dalam bahasa Jawa bisa diganti dengan kata [thuladhane/thuladhanipun]. Hal tersebut merupakan interferensi jenis morfologi karena dalam pembentukan kata terjadi terjadi penyerapan afiks bahasa lain. Interferensi juga terlihat pada afiks [-lah] pada kata dalam bahasa Jawa /nikulah/, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
afiks [-lah] merupakan unsur dari bahasa Indonesia. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individuindividu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknik lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 13a)
Lha menika thuladhanipun kita nembe daging nggih, tahu, tempe, krupuk nggih boten napa-napa nggih. Menawi kita badhe nika putra ibuk ajeng beta apa. ‘Lha itukan permisalanya kita baru daging ya, tahu, tempe krupuk yan tidak apa-apa ya. Kalau kita akan itu anak ibu akan membawa apa.’
Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 14)
Nek kaet niki, nek kita tenggok sa’at niki wonten ing jaman punikapunika, jaman ingkang sampun tua sing germelape ajeng kiamat niki. (181) ‘Kalau dari ini, kalau kita tenggok sa’at ini ada dizaman itu-itu, zaman yang sudah tua yang gemerlapnya akan kiamat ini.’
Interferensi berupa kata /germelape/ ‘gemerlapnya’ merupakan kata jadian dari [gemerlap] yang mendapat akhiran [-e], pengertian /germelape/ dengan kata bahasa Jawa [gumebyaripun]. Jika diartikan menjadi. Hal tersebut merupakan interferensi jenis morfologi karena dalam pembentukan kata terjadi terjadi penyerapan afiks bahasa lain. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 14a)
Menawi saking punika, menawi kita pirsa wedal menika wonten ing jaman punika-punika, jaman ingkang sampun sepuh ingkang gumebyaripun badhe kiamat menika. ‘Kalau dari ini, kalau kita tenggok sa’at ini ada dijaman itu-itu, jaman yang sudah tua yang gemerlapnya akan kiamat ini.’
Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi. Tetapi arti kurang begitu sesuai dengan kalimat aslinya.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 15)
Nek kalian anake nggih pripun kewajibane ibuk niku dhumateng anake, nggih ndidik suatu hal ingkang sae, napa kalian putu-putune, kalih cucu-cucune. (183) ‘kalau dengan anaknya ya gimana kewajibanya ibu itu kepada anaknya, ya mendidik suatu hal yang baik, apa dengan cucu-cucunya dengan cucu-cucunya.’
Pengulangan kata /cucu-cucune/ merupakan interferensi yang muncul pada data tersebut, yang merupakan pengulangan yang mendapat akhiran[-e]. Dalam bahasa Jawa bisa diganti dengan kata [putu-putunipun/putune]. Hal tersebut merupakan interferensi jenis morfologi karena dalam pembentukan kata terjadi terjadi penyerapan afiks bahasa lain. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
15a)
digilib.uns.ac.id
Menika panjenengan putranipun nggih pripun kajibahanipun ibuk menika dhumateng putranipun, nggih mulang kalian ingkang sae, punapa kalih putu-putunipun. (183) ‘kalau dengan anaknya ya gimana kewajibanya ibu itu kepada anaknya, ya mendidik suatu hal yang baik, apa dengan cucu-cucunya dengan cucu-cucunya.’
Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 16)
Mungkin masalah sholat masalah sehari-hariane, napa masalah do’a, wonten buk? Napa? (193) ‘Mungkin masalah sholat masalah sehari-harinya, apa masalah do’a, ada buk? Apa?’
Wujud interferensi dari data tersebut di atas berupa pengulangan kata yang mendapat akhiran [-e] yaitu pada kata /sehari-hariane/ ‘sehari-harinya’, dalam bahasa Jawa bisa diganti dengan kata [sabendhintenipun/sabendhinte]. Hal tersebut merupakan interferensi jenis morfologi karena dalam pembentukan kata terjadi terjadi penyerapan afiks bahasa lain. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 16a)
Mungkin masalah sholat masalah sabendhintenipun, napa masalah do’a, wonten buk? Napa? ‘Mungkin masalah sholat masalah sehari-harinya, apa masalah do’a, ada buk? Apa?’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Diuji dengan teknik ubah wujud unsur yang mengandung interferensi dapat diubah menjadi kalimat tanpa mengandung unsur interferensi. Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini 17)
Kemudian napa malih buk? Ketika sujud. Kletika terdholimi. Jenengan tersakiti oleh orang lain. Nggih misale napa namine? Bu Sini niki dithuthoklah kalih buk takmirlah. (12) ‘Kemudia apa lagi buk? Ketika sujud, ketika tertindas. Anda tersakiti oleh orang lain . ya misanya apa namanya? Bu Sini itu dipukul oleh bu Takmir lah.’
Wujud interferensi berupa afiks
[-lah] kata tersebut berasal dari kata
berbahasa Indonesia. Merupakan interferensi pengabungan dari bahasa pertama dengan bahasa kedua (berupa akhiran). Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 17a)
Lajeng napa malih buk? pas sujud. pas dipundholimi. Jenengan dipun sakiti kalian tiyang sanes. Nggih tuladhanipun napa namine? Bu Sini niki dipunthuthuk kalih buk takmir. ‘Kemudia apa lagi buk? Ketika sujud, ketika tertindas. Anda tersakiti oleh orang lain . ya misanya apa namanya? Bu Sini itu dipukul oleh bu Takmir lah.’
Diuji dengan teknik ubah wujud untuk interferensi dengan meghilangkan unsur afik [-lah] dapat menghilangkan unsur interferensi tanpa merubah makna kalimat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud Campur kode terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 18)
Berziarah kubur menika dados nyenguk mengunjunggi kuburan niku tujuane sing utama niku napa buk? Mengingataken rumah kita, rumah masa depan. (13) ‘Mengunjunggi kubur itu jadi menjengguk mengunjunggi kuburan itu tujuan yang utama itu apa buk? Mengingatkan rumah kita, rumah masa depan.’
Wujud interferensi berupa kata /Mengingataken/ ‘mengingatkan’, merupakan interferensi
pengabungan
dari
bahasa
pertama
dengan
bahasa
kedua.
sabendhintenipun [ngelengke] atau [ngemutaken]. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individuindividu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 18a)
Berziarah kubur menika dados soan kuburan menika tujuanipun ingkang utama menika napa buk? Ngemutaken griya kita, griya ingkang badhe dateng. ‘Mengunjunggi kubur itu jadi menjenggukmengunjunggi kuburan itu tujuan yang utama itu apa buk? Mengingatkan rumah kita, rumah masa depan.’
Diuji dengan teknik ubah wujud untuk interferensi diganti dengan kata bahasa Jawa, kata tersebut dapat mengantikan interferensi yang muncul.
2. Interferensi unsur pengikat bahasa Arab
Interferensi bahasa Arab yang muncul dari data yang disajikan sebagai berikut dibawah ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
1)
digilib.uns.ac.id
Dalam syariat Islam tapi niki jarang buk, jarang dinapa namine dilaksanaake. Ini pernah dinapa praktekne niku. (60) ‘Dalam aturan Islam tapi ini jarang buk, jarang diapa namanya dilaksanakan. Ini pernah dinapa praktekkan itu.’
Interferensi berupa kata /syariat/ dari kata [syar’i] (bahasa Arab) ‘aturan, hukum (Islam)’. Merupakan jenis interferensi leksikal ferlasif karena bermakna agak khusus, serta definisi dalam bahasa Indonesia agak panjang, padan kata secara bentuk dan makna tidak sesuai. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa sumber atau bahasa donor. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, seperti di bawah ini. 1a)
Wonten ukum Islam nanging menika jarang buk, jarang dipun napa syariat naminipun dipuntrapaken. Menika pernah dipun napa dipuntrapaken menika. ‘Dalam aturan Islam tapi ini jarang buk, jarang diapa namanya dilaksanakan. Ini pernah dinapa praktekkan itu’
Diuji dengan teknik ubah wujud untuk interferensi diganti dengan kata bahasa Jawa, kata tersebut kurang dapat mengantikan makna interferensi yang muncul. Sehingga untuk kepentingan pembelajaran interferensi bahasa Arab kurang bisa digantikan dengan bahasa Jawa, maka akan selanjutnya tidak diuji dengan teknik ganti.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 2)
Ing jaman nika jaman kegelapan lan kesesatan, tidak ada akidah, boten wonten namine ajaran-ajaran sing ditata rapi seperti ajaranajaran ing ajaran di bawa nabi Muhammad, Sahingga nabi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Muhammad niku merubah jaman jahiliah hingga islamiah, sahingga saget kentun sakniki. (81) ‘Di jaman itu jaman kegelapan dan kesesatan, tidak ada keyakinan, tidak ada namanya ajaran-ajaran yang ditata rapi seperti ajaran-ajaran diajarkan dibawa nabi Muhammad, Sahingga nabi Muhammad itu merubah jaman kebodohan hingga Islamiah, sahingga bisa seperti sekarang ini.’ Interferensi yang muncul pada data di atas berupa kata /akidah/ [aqidah] ‘keyakinan’,
/jahiliah/,
‘kebodohan/kerusakan’,
/islamiah/
‘Islam’.
/aqidah/
merupakan jenis interferensi leksikal ferlasif karena bermakna agak khusus, serta definisi dalam bahasa Indonesia agak panjang. Untuk kata /jahiliah/ dan /islamiah/ merupakan kata dasar dari bahasa Arab mendapat akhiran [-iah] yang merupakan interferensi leksikal penambahan (aditif). Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 3)
Bahwasane rejeki mawon teng mrika enten menjadikan negriniku buah-buahan masyarakat nika boten wonten negri miskin, boten wonten ingkang ajeng diyakati, malah padha-padha pengen njakati. Amarga di samping-sampinge niku mangkih tumbuh buah-buahan sing saget bermanfaat kalian piyambake niku, karena keta’atan kepada Allah semata. (96) ‘Bahwasanya rezeki saja di sana ada menjadikan negeri itu buahbuahan masyarakat itu tidak ada negeri miskin, tidak ada yang akan diberi zakat, malah sama ingin mengeluarkan zakat. Karena di samping-sanpingnya itu nanti tumbuh buah-buahan yang sangat bermanfa’at dengan orang tersebut, karena keta’atan kepada Allah semata.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Interferensi berupa /diyakati/ dan /njakati/, kata dasar dari dari interferensi tersebut berupa kata ‘zakat’ yang arti secara bahasa adalah ‘mensucikan’ sedangkan secara istilah merupakan kegiatan mengeluarkan sebagian harta untuk diberikan kepada oaring miskin atau lembaga pengelola zakat dengan tujuan untuk mensucikan harta pemberian Allah. Karena seriap harta yang kita peroleh 2,5% (dua setenggah persen) merupakan milik orang miskin dan sejenisnya. Interferensi tersebut merupakan interferensi kata depan /di/ pada istilah /dizakati/ dan jenis interferensi morfologi alomorf /n-/ pada kata/njakati/. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai unsur serapan atau importasi.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 4)
Lha terus negri niku dinapa? Difayadh kalian toyanne sing ageng niku. Lha niku menghapus kenikmatan Allah niku dihapus dari negri niku, amargi negri niku boten percaya kalian Allah malih, sampun lalai kalian nikmate Allah. (101) ‘Lha terus negeri itu diapa? dibanjirkan dengan airnya yang besar itu. Lha itu menghapus kenikmatan Allah itu dihapus dari negeri itu, karena negeri itu tidak percayaa dengan Allah lagi, sudah lalai dengan nikmat Allah.’
Interferensi berupa /Difatnadh/ dari bahasa Arab ‘banjir’ mendapat awalan [di-]. Interferensi tersebut merupakan interferensi kata depan /di/.
Faktor yang
melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa sumber atau bahasa donor dan unsur serapan atau importasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 5)
Niku contohe azape Allah, bahwasane yen berpaling lha niku mengkih. Umpamine dukuh Silak niku hanya iman lan taqwa thok kepada Allah, niku seluruh boten ing maksiat, boten ingkang berpaling kalian Allah, insya’ Allah niki mangkih dirahmati kalian rejeki Allah. Allahhumma Amiin. (102) ‘Itu contohnya siksa Allah, bahwasanya kalau berpaling lha itu nanti. Seandainya desa Silak itu hanya percaya (pada Allah) dan patuh saja kepada Allah, itu seluruhnya tidak ada maksiat, tidak ada yang berpaling dengan Allah, atas kehendak Allah itu nanti didapat kemurahaNya dengan rezeki Allah. Ya Tuhanku semoga terkabul.’
Wujud interferensi berpa kata, /azape/ ‘siksa’, dan /dirahmati/ ‘dimurahkan’. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa sumber atau bahasa donor dan unsur serapan atau importasi. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 6)
Biyen lha terus milyar-milyaran tapi napa tambah taqwane napa imane sakedek ing taqwa kaliane imane niku hamba-hamba yang beruntung, amargi sing masuk syurga niku inggih tiyang sekedhek kalian Muhammad niku. Hanya orang terpilih kalian tetep istiqomah kalian jalan nipun Allah. (108) ‘Dulu lha terus milyar-milyaran tapi apa bertambah kepatuhan apa imanNya sedikit yang patuh dengan percaya pada Allah itu hambahamba yang beruntung, karena yang masuk syurga itu ya orang sedikit dengan Muhammmad itu. Hanya orang terpilih dengan tetap tenang dengan jalan Allah.’
Wujud interferensi pada kalimat di atas adalah pada kata /taqwane/ ‘patuh pada Allah’, dan /imane/ ‘percaya pada Allah’. Interferensi untuk istilah /taqwane/ dan /imane/ merupakan jenis interferensi fonologi karena penutur mereproduksi bunyi dari bahasa pertama pada waktu mereproduksi bahasa kedua. Sedangkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
/istiqomah/ tergolong dalam interferensi perluasan (replasif) dari arti secara istilah. Juga karena masyakarat umum lebih popular menggunakan istilah tersebut. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Hal tersebut merupakan bentuk interferensi karena jika kalimat tersebut diartikan akan semakin rancu dari makna kalimat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa sumber atau bahasa donor dan unsur serapan atau importasi.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 7)
Lha terus kula pajenengan sami termasuk ummate nabi Muhammad, menika saget diparinggi syafa’at kalian nabi. Lha terus kita saget masuk kalian jannahe Allah saking nikmat-nikmat Allah sagking menunggu kalian nikmate napa […] (135) ‘Lha terus anda sekalian termasuk kaumnya nabi Muhammad, itu bisa diberi pertolongan oleh nabi. Lha terus kita bisa masuk syurganya Allah dari nikmat-nikmat Allah dari menungu dengan nikmatnya apa.’
Interferensi berupa kata /ummate/ ‘kaumnya’ dan /jannahe/ ‘syurgaNya’, interferensi tersebut mendapat akhiran [-e] yang artinya milik (bahasa Jawa). Hal tersebut merupakan interferensi fonologi karena penutur mereproduksi bunyi dari bahasa pertama pada waktu mereproduksi bahasa kedua, bahasa Arab di sisipi afiks bahasa Jawa. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tenggah masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa sumber atau bahasa donor dan unsur serapan atau importasi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 8)
Mungkin wonten ing kadang kutbah jum’at, wonten ing kutbah kados niki, salah satu ceramah niku katah sanget ingkang nyataaken kita niku wajib bersyukur dhumateng Allah Swt. (167) ‘Munkin ada yang kadang ceramah, ada diceramah seperti ini, salah satu ceramah itu banyak sekali yang menyatakan kita itu wajib bersyukur kepada Allah Swt.’
Interferensi yang muncul dari kalimat tersebut yaitu /kutbah/ ‘ceramah’ dari kata “Qutbah”. Interferensi jenis ini digolongkan dalam kelas interferensi aditif, penambahan yang lebih populer dikenal masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa sumber atau bahasa donor.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 9)
Lha nek sakniki, amargi niki napa namine, niki wau dalilipun Rasulullah Saw nggih niki wonten bukune, bukune nggih sae sanget, fikih, kitab fiqih wonten tuntunane sholat komplit. (140) ‘Lha sekarang,karena ini papa namanya, ini tadi tuntunan Rasul ya ini ada bukunya, bukunya bagus sekali, fiqih, kitab fiqih ada tuntunan sholat lengkap.’
Fikih tergolong kedalam interferensi karena jika kata /fikih/ dari kata “fiqih” diartikan dalam bahasa Indonesia maka definisi akan panjang tetapi jika diartikan secara bahasa tidak akan sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh penutur. Masyarakat lebih popular dengan kata fikih dari pada menyebut arti dari fiqih, yaitu salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Atau asecara secara harfiah fiqih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa sumber atau bahasa donor. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 10)
[…] ingkang sampun betha kita saking jaman jahilliyah dhumateng jaman islamiyah menika dinulislam. (138) ‘Yang sudah membawa kita dari jaman kebdohan) kepada jaman Islam.’
Interferensi tersebut merupakan wujud dari bahasa Arab yang mendapat afiks dari bahasa lain [-iyah], sehingga termasuk interferensi morfologi. Fungsi dari interferensi untuk memudahkan suatu system jaman yang dituangkan dalam kalimat. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system kedua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 11)
Wujud
Rasullulah niku pengobatan kalih madu, habatussauda, bekam, ruqyah niku.(225) ‘Rosullullah itu pengobatan dengan madu, habatussauda, bekam, ruqyah itu.’ interferensi
yaitu
/habatussauda/,
/bekam/,
dan
/ruqyah/.
Habatussauda merupakan obat herbal dari tumbu-tumbuhan alam yang berasal dari Negara-negara timur tenggah. Bekam
merupakan pengobatan menurut tuntunan
Rasullullah dengan cara mengeluarkan kotoran di titik-titik tertentu pada bagian badan, sedangkan ruqyah merupakan terapi kejiwa’an dari ganguan bisikan jin. hal tersebut merpakan interferensi karena tidak ada padan katanya dan jika diartikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengertinanya sangat panjang. Interferensi tersebut termasuk dalam interferensi leksikal. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa sumber atau bahasa donor.
3. Interferensi Unsur pengikat Bahasa Inggris
Interferensi dari bahasa Barat atau bahasa Inggris yang muncul dalam penelitian ini yaitu seperti terlihat di bawah ini. 1)
Ndek emben kula empun, empun napa njelaske nggih ini sebagai penginggat aja. Sebagai memo, napa pengingatan aja materi kemaren nggih mbah. (16) ‘Kala dulu saya sudah, sudah apa menjelaskan ya ini sebagai pengingat saja. Sebagai memo, apa pengingat saja materi kemarin ya embah.’
Interferensi data di atas yaitu /memo/ berasal dari kata ‘memory’ ‘pengingat’. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, yang mengambil dari istilah asing yang maknanya lebih diketahui dengan istilah tersebut serta popular dalam masyarakat. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai penyerap atau resipien. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, yaitu dengan menganti interferensi dengan leksikon bahasa Jawa dengan kata yang mendekati makna dari interfeensi. Interferensi tersebut ubah dengan kata [emut/pangemut/pepeling] seperti di bawah ini. 1a)
Rikala biyen kula sampun, sampun napa jelasaken nggih menika kangem pepemut mawon. kagem pangemut, napa pepeling mawon materi winggi nggih mbah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Kala dulu saya sudah, sudah apa menjelaskan ya ini sebagai pengingat saja. Sebagai memo, apa pengingat saja materi kemarin ya embah.’ Jika diuji dengan teknik ubah wujud menjadi seperti di atas, kata tersebut kurang begitu cocok dalam mengantikan interferensi yang muncul.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 2)
Nggih dados napa namine defisine syirik punika, menyembah selain Allah. (17) ‘Ya jadi apa namanya pengertian syirik itu, menyembah selain Allah.’
Interferensi yang muncul dari data di atas yaitu /defisine/ yang merupakan serapan dari kata ‘definition’ dari bahasa Inggris yang artinya ‘pengertian’. Kalimat tersebut bisa diubah dengan dengan bahasa Jawa dengan kata [artinipun] atau [artosipun]. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, yang mengambil dari istilah asing yang maknanya lebih diketahui dengan istilah tersebut serta popular dalam masyarakat. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, yaitu dengan menganti interferensi dengan leksikon bahasa Jawa dengan kata yang mendekati makna dari interfeensi. Interferensi tersebut ubah dengan kata [artosipun] seperti di bawah ini. 2a)
Nggih dados napa naminipun artosipun syirik punika, nyembah senesipun Allah. (17) ‘Ya jadi apa namanya pengertian syirik itu, menyembah selain Allah.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jika diuji dengan teknik ubah wujud menjadi seperti di atas, kata tersebut bisa mewakili dari interferensi yang muuncul. Sehingga tanpa ada interferes pada kalimat tersebut bisa mengunakan kata dalam bahasa Jawa tersebut, yaitu dengan kata [artosipun]. Menginggat peserta tutur adalah pemakai bahasa Jawa aktif, hal tersebut untuk mempermudah penutur dalam memahami arti yang disampaukan penutur.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 3)
Nggih kita lihat buk, kita lihat metode carane pengobatane niku masuk akal boten buk? (21) ‘Ya kita lihat buk, kita lihat metode caranya pengobatannya itu masuk akal tidak buk?’
Wujud interferensi yang muncul adalah /metode/ serapan dari bahasa Inggris yaitu ‘method’ bisa diartikan ‘cara’. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, yang mengambil dari istilah asing yang maknanya lebih diketahui dengan istilah tersebut serta popular dalam masyarakat. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, yaitu dengan menganti interferensi dengan leksikon bahasa Jawa dengan kata yang mendekati makna dari interferensi. Interferensi tersebut di ubah dengan kata [cara] seperti di bawah ini. 3a)
Nggih kita pirsa buk, kita pirsa cara carane pengobatane niku masuk akal boten buk? commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Ya kita lihat buk, kita lihat metode caranya pengobatannya itu masuk akal tidak buk?’ Jika diuji dengan teknik ubah wujud menjadi seperti di atas, kata tersebut kurang begitu cocok dalam mengantikan interferensi yang muncul.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 4)
Otomatis tetep milih di rumah nggih, di rumah dapet ketemu calone sing cantik-cantik, calone sing ganteng-ganteng sing napa putrane, ketemu menantunya. (39) ‘Otomatis tetap milih di rumah ya, di rumah dapet ketemu calonnya yang cantik-cantik, calonya yang ganteng-ganteng yang apa anaknya, bertemu menantunya.’
Interferensi berupa kata /Otomatis/ yang merupakan serapan dari bahasa Inggris ‘automatically’. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, yang mengambil dari istilah asing yang maknanya lebih diketahui dengan istilah tersebut serta popular dalam masyarakat. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien. Padan kata bahasa Jawa dari kata /Otomatis/ tidak ada, sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 5)
Lha boten nggoten niku, niki perlu pemahaman yang detil, niki pajenengan boten salah ngartekke. (58) ‘Lha tidak seperti itu, ini perlu pemahaman yang detil ini anda jangan salah mengartikan.’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud interferensi berupa /detil/ atau serapan dari bahasa Inggris “detail” jika dalam bahasa Indonesia dengan istilah ‘detil’. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, yang mengambil dari istilah asing yang maknanya lebih diketahui dengan istilah tersebut serta lebih popular dalam masyarakat. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien. Padan kata bahasa Jawa dari kata /detil/ tidak ada, sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud
Wujud interferensi selanjutnya terdapat dalam kalimat berikut ini. 6)
Bahwasane saking Sukarno ngantos S.B.Y sakniki boten wonten sing makmur. Setiap pemerintahane, setiap pemerintahane niku mesthi dipenuhi dengan kemaksiatan, bencana, ndekwinggi S.B.Y bencana tsunami […]. (84) ‘Bahwasanya dari Sukarno sampai S.B.Y sekarang tidak ada yang makmur. Setiap pemerintahanya, setiap pemerintahanya itu pasti dipenuhi dengan kemaksiatan, bencana, kala dulu S.B.Y bencana tsunami.’
Interferensi yang muncul berupa kata /tsunami/. Tsunami merupakan bencana yang disebabkan karena gempa dan mengakibatkan luapan air laut yang mengarah ke darat dengan ketingian yang cukup tinggi. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, yang mengambil dari istilah asing (Jepang) tetapi istilah tersebut lebih popular dan maknanya lebih diketahui dengan istilah tersebut. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa sumber atau bahasa donor. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Padan kata bahasa Jawa dari kata /tsunami/ tidak ada, sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 7)
Lha terus professor, sakniki katah professor nemokke teknologi. (88) ‘Lha terus professor, sekarang banyak professor menemukan teknologi.’
Interferensi berupa kata /professor/ dan /teknologi/ yang merupakan serapan dari kata ‘technological’. Terjamahan dari kalimat di atas adalah. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, karena mengambil morfem dari istilah bahasa asing (Inggris) digunakan dalam kalimat bahasa Jawa. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, yang berupa interferensi penambahan (aditif) karena bentuk baru mendampinggi bentul lama tetapi dengan makna yang agak khusus. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system kedua bahasa atu lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien. Padan kata bahasa Jawa dari kata /professor/ dan /teknologi/ tidak ada, sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 8)
Terus wonten dokter, dokter niku katah spesialis bedah napa-napa niku. Katah sakniki kalian penyakit kecil-kecil niku boten saget diatasi. (89) ‘Terus ada dokter, dokter itu banyak khusus bedah apa-apa itu. Banyak sekarang denga penyakit-penyakit kecil-kecil itu tidak bisa di atasi.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Interferensi dari kalimat di atas berupa kata /spesialis/
yang merupakan
serapan dari kata ‘specialist’ yan artinya ‘khusus’. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, yang berupa interferensi penambahan (aditif) karena bentuk baru mendampinggi bentul lama. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien. Padan kata bahasa Jawa dari kata /spesialis/ tidak ada, sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 9)
Bahwsane sampun menyebabkan akibatkan hubungan niku mangkih nanging nggih napa pemerintahan niku dirancang kalian Islam didadekke hukum-hukum Islam kalian pemimpin niku hanya bertaqwa kepada Allah, boten wonten korupsi, boten wonten. Bahwasane niku malah seperti sakniki jamane pemilu demokrasi, pemilu niki sing nyalonke nggih butuh ragat gedhe, dadhos ngeh mangkih wonten maksud liyane. (110) ‘Bahwasanya sudah menyebabkan akibatkan hubungan itu nanti tetapi ya apa pemerintahan itu dirancang dengan Islam dijadikan hukumhukum Islam oleh pemerintah itu hanya bertaqwa kepada Allah, tidak ada korupsi, tidak ada. Bahwasanya itu malah seperti sekarang jamanya pemilu demokrasi pemilu ini yang mencalonkan ya butuh biaya besar, jadi ya nanti ada maksud lainya.’
Wujud interferensi dari tuturan di atas yang muncul yaitu /korupsi/ dan /demokrasi/. Kata /korupsi/ merupakan kata serapan dari bahasa Inggris yaitu ‘corruption’ sedangkan istilah /demokrasi/ berasal dari kata ‘democracy’.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, termasuk dalam klas interferensi perluasan (exspansif) karena bahasa pertama menyerap konsep kultur beserta namanya. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien. Padan kata bahasa Jawa dari kata /korupsi/ dan
/demokrasi/ tidak ada,
sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 10)
Lha terus niki yen presidene niku mangkih sae, ingkang Islam, lha terus dewekke ngertos perintah Allah, (112) ‘Lha terus ini kalau pemimpin negara itu nanti baik, yang Islam lha terus beliau mengetahui perintah Allah, Indonesia itu tidak ada bencana, kalau seperti itu karena keridhaan Allah kepada pemimpin.’
Interferensi yang terlihat dari kalimat diatas yaitu kata /presidene/. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi morfologis, karena menggunakan morfem yang mendapat penambahan [-e] (dari bahasa Jawa) yang berarti milik. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien dan unsur serapan atau importasi. Padan kata bahasa Jawa dari kata /presidene/ tidak ada, sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 11)
Lha terus kita saget ngubah asset-aset bahwasane dokumen teng Allah niku bahwasane ampun ngantos kemaksiatan kita sahingga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merubah dengan iman ketaqwa’an niku mangkih saget insya Allah Negara niki saget tentrem ayem. (120) ‘Lha terus kita bisa merubah kepemilikan bahwasanya dokumen dari Allah itu bahwasanya jangan sampai kemaksiatan kita sehingga merubah dengan iman ketaqwa’an itu nanti bisa atas hehendak Allah Negara ini bisa tentam.’ Interferensi dari kalimat tersebut berupa kata /asset-asset/ atau ‘kepemilikan’ dan /dokumen/ yang merupakan serapan dari bahasa Inggris ‘document’. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, karena mengambil kata dari istilah bahasa asing (Inggris) digunakan dalam kalimat bahasa Jawa. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai penyerap atau resipien. Padan kata bahasa Jawa dari kata /asset-asset/ dan /dokumen/ tidak ada, sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 12)
Lha terus sakniki kita ngertosi namine kristenisasi niku sampun nyebar, niku ngangge berbusana muslim tapi isine punika ngajak kepada orang untuk mengiguti yesus. Niku enten bahwasane kula niku pengalaman teng Ngantiwarna. (126) ‘Lha terus sekarang ketahui namanya mengkristenkan (pemurtadtan) itu sudah menyebar, itu berbusana Islam tapi isinya itu mengajak kepada orang untuk mengikuti yesus. Itu ada bahwasanya saya itu pengalaman di Gantiwarna.’
Interferensi berupa kata /kristenisasi/, terjamahan dari kalimat di atas yaitu. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, yang berjenis interferensi penambahan (aditif). Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Padan kata bahasa Jawa dari kata /kristenisasi/ tidak ada, sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 13)
Nek tiyang sampun diklaim oleh Allah Swt boten ajeng masuk syurga, niku nggih binggung nggih buk, nek kita niku sak bendintene boten dijaga oleh Allah mangkih katah sangget dosa-dasa ingkang katah kita lakoaken. (166) ‘Kalau orang sudah diakui oleh Allah Swt tidak akan masuk syurga, itu ya binggung ya Buk, kalau kita itu setiap harinya tidak di jaga oleh Allah nanti banyak sekali dosa-dosa yang banyak kita lakukan.’
Dari kalimat di atas interferensi berupa kata /diklaim/ yang merupakan serapan dari kata ‘claim’ dari bahasa Inggris yang artinya ‘diakui’. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, karena mengambil morfem dari istilah bahasa asing (Inggris) digunakan dalam kalimat bahasa Jawa. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien. Kemudian diuji dengan teknil lanjutan berupa teknik ubah wujud menjadi bahasa Jawa, yaitu dengan menganti interferensi dengan leksikon bahasa Jawa dengan kata yang mendekati makna dari interfeensi. Interferensi tersebut ubah dengan kata [diakui/dicap/ditetepke] seperti di bawah ini. 13a)
Menawi tiyang sampun ditetepke deneng Allah Swt boten ajeng mlebet syurga, niku nggih binggung nggih buk, menawi kita niku sak bendintenipun boten dijagi deneng Allah mangkih katah sangget dosadasa ingkang katah kita lakoaken. ‘Kalau orang sudah diakui oleh Allah Swt tidak akan masuk syurga, itu ya binggung ya Buk, kalau kita itu setiap harinya tidak di jaga oleh Allah nanti banyaksekali dosa-dosa yang banyak kita lakukan.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jika diuji dengan teknik ubah wujud menjadi seperti di atas, kata tersebut kurang begitu cocok dalam mengantikan interferensi yang muncul.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 14)
Anangging nek kita ngertosi fenomena sakniki punika jarang sekali tiyang ingkang napa menghormati tetangane. (169) ‘Tetapi kalau kita mengetahui fenomena sekarang itu jarang sekali orang yang apa menghormati tetanganya.’
Dari tuturan di atas interferensi ber wujud kata /fenomena/ yang merupakan serapan dari bahasa Inggris dari kata ‘phenomenon’ bisa diartikan dengan istilah ‘penampakan, kejadian, atau gambaran’. Jika kalimat tersebut menggunakan arti dari kata /fenomena/ akan rancu dan istilah /fenomena/ lebih popular dalam masyarakat. Jenis interferensi tersebut terolong interferensi leksilal jenis interferensi perluasan (ekspansif) karena menyerap konsep kultur dari bahasa lain. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system ke-dua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai penyerap atau resipien. Padan kata bahasa Jawa dari kata /fenomena/ tidak ada, sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 15)
Katah sakniki boten sadar matinipun ziarah, badhe ndongga terus, buk kula nyuwun restu jenengan, mugi-mugi kula saget lulus, biji kula apik, mugi-mugi sae saget rengkeng satunggal, dhumateng tiyang sedha setuju boten?(208) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Banyak sekali tidak sadar matinya ziarah, akan ber do’a terus, Buk saya minta restu anda, moga-moga saya bisa lulus, nilai saya baik, moga-moga baik sekali peringkat satu, kepada orang mati setuju tidak?’ Wujud interferensi terlihat pada kata /rengkeng/ ‘rangking / peringkat’, karena istilah ‘rangking’ lebih popular dalam masyarakat dari pada istilah ‘Peringkat’. Jenis interferensi tersebut adalah interferensi leksikal, karena mengambil morfem dari istilah bahasa asing (Inggris) digunakan dalam kalimat bahasa Jawa. Faktor yang melatar belakangi terjadinya interferensi tersebut adalah dari system kedua bahasa atau lebih yang berbaur dalam satu masyarakat. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa penyerap atau resipien. Padan kata bahasa Jawa dari kata /rengkeng/ tidak ada, sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud.
Wujud interferensi terdapat dalam kalimat berikut di bawah ini. 16)
Sakdherenge tiyang Jawi masuk Islam nenek moyang niku nyembah napa? Animisme lan dinamisme. Niki ing tiyang Jawi niku enten kepercayaan dhumateng uwit dhumateng keris saget menehi madharat dhumateng tiyang. Tasih boten mriki? (ponari) (222) ‘Sebelumnya orang Jawa masuk Islam nenek moyang itu menyembah apa? Animisme (Roh Nenek moyang) dan dinamisme (berhala). Ini orang Jawa itu ada kepercayaan kepada pohon kepada keris bisa memberi manfa’at kepada orang. Masih tidak di sini?’
Interferensi terjadi pada kalimat di atas berupa kata /Animisme/ ‘percaya terhadap roh nenek moyang yang dapat memeberikan kekuatan, perlindungan dan lain sebagainya’, dan /dinamisme/ ‘kepercayaan terhadap berhala atau benda yang dapat memeberi rejeki, kekuatan dan lain sebagainya’. “Animisme” dan “dinamisme” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan interferensi karena kata tersebut jika diartikan akan sangat panjang dan padan kata dalam tidak bisa mewakili makna yang terkandung dalam kata tersebut. Interferensi tersebut tergolong interferensi leksikal, karena mengambil morfem dari istilah bahasa asing (Inggris) kedalam kalimat bahasa Jawa. Fungsi dari interferensi tersebut sebagai bahasa sumber atau bahasa donor. Padan kata bahasa Jawa dari kata /Animisme/ dan /dinamise/ tidak ada, sehingga tidak bisa dianalisis dengan teknik lanjutan ubah wujud.
4. TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA
Tingkat tutur bahasa Jawa hanya terdiri atas tiga ragam yaitu, ragam ngoko, ragam madya, dan ragam krama. Tingkat tutur bahasa Jawa yang dipakai oleh santri PDS dapat dilihat sebagai berikut dibawah ini. 1. Ragam Ngoko Tingkat tutur atau unggah-ungguh bahasa Jawa ragam ngoko merupakan tingkat tutur yang menunjukkan kesopanan rendah. Biasanya digunakan oleh orang yang sudah akrab atau petutur yang lebih tinggi kedudukan sosial dengan mitra tutur lebih rendah atau menceritakan orang yang ada diluar komponen tutur. Afiks yang muncul dalam ragam ini semuanya berbentuk ngoko (misalnya, afik di-, dan ake). Ragam ngoko umumnya digunakan oleh orang yang tingkat tutur lebih tinggi status sosial, orang yang lebih tinggi tingkat umurnya, dan orang yang sudah akrab. Dalam ragam ini ada dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
A. Ngoko Lugu Dalam tingkat tutur bahasa Jawa ini terbentuk dari leksikon ngoko (/aku/ ‘saya’, /kowe/ ‘kamu’) dan leksikon netral, tanpa ada leksikon yang lain (leksikon krama, krama inggil, krama andap). Juga mengandung afiks [-e] (dak, ko, di, ku, mu, dan ake). 3)
Iki dadane bengkong mengko kethok bengkong mengko ora entuk dienggo iki terus nek cenggere mlungker jarene mengko wonge jireh, jare mengko wonge mengko ora patek wani gelut ngono pokoke akih sing aneh-aneh. (69) ‘Ini dadanya bengkok, nanti kelihatan bengkonk nanti tidak dapat dipakai ini terus kalau bagian atas kepala melengkung nanti dikatakan nanti orang itu takut, katanya nanti orang tersebut bengkok tidak begitu berani berkelahi seperti itu pokoknya banyak yang aneh-aneh.’ Butir kata /iki/ ‘ini’, /dadane/ ‘dadanya’, /mengko/ ‘nanti’, /kethok/
‘kelihatan’, /ora/ ‘tidak’, /etuk/ ‘boleh’, /dienggo/ ‘dipakai’, /terus/ ‘terus’, /cenggere/ ‘paruhnya’, /jarene/ ‘katanya’, /wonge/ ‘orangnya’, /jare/ ‘katanya’, /wani/ ‘berani’, /ngono/ ‘seperti itu’, /akih/ ‘banyak’, dan /sing/ ‘yang’ merupakan leksikon ngoko. Sedangkan leksikon netral terlihat pada butir /bengkong/, /nek/, /aneh-aneh/, /gelut/, /pokoke/ ‘pokoknya’dan /mlungker/. Faktor yang melatar belakangi penutur menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko lugu karena penutur merasa akrab dalam menyampaikan informasi terhadap peserta tutur, sehingga penutur lebih memilih ragam ngoko lugu dalam komunikasi. Faktor historis dan pengetahuan bahasa Jawa juga mempengaruhi pengunaan ragam bahasa Jawa ngoko lugu. Secara historis penutur berasal dari Magetan Jawa timur. Fungsi dari bahasa Jawa ragan ngoko tersebut berguna untuk menunjukkan bentuk suasana akrab sehinga menunjukkan situasi komunikasi non formal. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengunaan tingkat tutur ini kurang sesuai dengan fungsi dari ragam ngoko lugu, karena fungsi dari ragam ini digunakan untuk orang tua kepada anak, orang sesama (umur, pangkat, dan status sosial), status sosial tinggi dengan status sosial di bawahnya, dan digunakan untuk berbicara dalam hati.
B. Ngoko Andap Ragam ini terdiri dari leksikon ngoko, leksikon netral, leksikon madya dan leksikon krama (krama ingil atau krama andap). Tetapi yang dominan dalam ragam Ngoko andap adalah leksikon ngoko, leksikon krama (krama inggil, madya, atau krama andap) yang muncul dalam ragam ini hanya digunakan sebagai penghormat mitra tutur (misalnya: [panjenengan]). 1)
Jenengan ngertos perguruan Setia Hati Teratai buk? Perguruan beladiri ngotenniku lho buk. S.H niku lho buk, ngertos? (67) ‘Anda tau perguruan Setia Hati Teratai buk? Perguruan bela diri seperti itu lho buk. S.H niku buk, ngertos?
2)
Niku nek pas Sura niku mesthi beleh pitik mbah. Beleh pitik terus pitike niku napa tha? Pitike niku sing digoleki niku dadane kudu lurus, mengko jarene nek ra lurus mengko sing nduwe melu-melu bengkong jarene ngono. (68) ‘Itu kalau pas Sura itu pasti menyembelih ayam embah. Menyembelih ayam terus ayam tersebut itu apa tha? Ayam tersebut yang dicari itu dadanya harus lurus, nanti kata orang tersebut kalau tidak lurus nanti yang punya ikut-ikut bengkok katanya seperti itu.’
Dari data di atas yang termasuk leksikon ngoko adalah /sing/ ‘yang’, /digoleki/ ‘dicari’, /kudu/ ‘harus’, /pitike/ ‘ayamnya’, /dadane/ ‘dadanya’, /jarene/ ‘katanya’, /mengko/ ‘nanti’, /terus/ ‘terus’, /ra/
“ora” ‘tidak, /nduwe/ ‘punya’, /melu/ ‘ikut’,
dan /ngono/ ‘seperti itu’. Dari data di atas yang termasuk leksikon netral adalah /Beleh/ ‘menyembelih’, /Sura/ ‘(bulan) syura’, /mesthi/ ‘pasti’, /mbah/ ‘embah’, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
/lurus/ ‘lurus’, /pas/ ‘pas’, /pitik/ ‘ayam’, dan /nek/ ‘kalau’. Dari data di atas yang termasuk leksikon madya adalah /napa/ ‘apa’. Sedangkan Dari data di atas yang termasuk leksikon krama adalah /jenengan/ ‘anda’, leksikon karam hanya untuk mnghormati penutur saja. Faktor yang melatar belakangi penutur menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko andap karena penutur merasa akrab dalam menyampaikan informasi terhadap peserta tutur, sehingga penutur lebih memilih ragam ngoko andap dalam komunikasi. Faktor historis dan pengetahuan bahasa Jawa juga mempengaruhi pemakaian ragam bahasa Jawa ngoko andap. Fungsi dari bahasa Jawa ragan ngoko andap tersebut berguna untuk menunjukkan bentuk suasana akrab sehinga menunjukkan situasi komunikasi non formal tanpa harus menghilangkan rasa hormat kepada peserta tutur, dengan mengunakan leksikon krama untuk menyebut peserta tutur. Fungsi dari ragam ngoko andap pada kalimat tersebut sebagai penghormatan terhadap peserta tutur, tanpa harus mengubah situasi santai. Hal tersebut merupakan bentuk komunikasi non formal, sehingga agar komunikasi lebih akrab.
2. Ragam Madya A. Madya Ngoko Ragam ini terdiri leksikon madya (/kula/ ‘saya’dan /dika/ ‘anda’) tercampur leksikon ngoko. Pemakaian bahasa Jawa ragam madya ngoko seperti di bawah ini. 4)
Nggih kita lihat buk, kita lihat metode carane pengobatane niku masuk akal boten buk? Watu nggih, watu dicelupke. Kan ceritane kesamber bledek tha? Terus niku watu terus dicelupke banyu niku mengko sok lara ngombe diminum-minum lan akhirnya sembuh. (21) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
‘Ya kita lihat buk, kita lihat metode caranya pengobatannya itu masuk akal tidak buk? Watu ya, watu dicelupkan. Kan ceritanya trsengat petir kan? Terus itu bat uterus dicelupkan air itu nanti yang sakit minum dimimum-minum dan akhirnya sembuh.’ Faktor yang melatar belakangi penutur menggunakan bahasa Jawa ragam madya ngoko karena penutur menempatkan dirinya dalam status yang hampir sama dengan peserta tutur, hal tersebut untuk meghilangkan rasa formal atau asing terhadap mitra tutur. Sehingga penutur merasa akrab tetapi masih dalam koridor santun dalam berbicara dengan ragam madya ngoko. Faktor historis dan pengetahuan bahasa Jawa juga mempengaruhi pemakaian ragam bahasa Jawa madya ngoko. Fungsi dari bahasa Jawa ragan madya ngoko tersebut berguna untuk menunjukkan bentuk suasana akrab, tetapi juga mempunyai nilai kesantunan berbahasa.
B. Madya Krama Ragam madya Krama terdiri dari leksikon madya tercampur leksikon krama (/kula/ ‘saya’, /sampeyan/,/samang/ ‘kamu’). Bahasa ini sering digunakan oleh orang desa dengan orang desa yang lainya yang disegani. Wujud pemakaian ragam ini Nampak seperti di bawah ini. 1)
Nggih misale napa namine? Bu Sini niki dithuthoklah kalih buk takmir lah. Boten nggertos sebape ko langung dithuthok. Niku termasuk terdholimi buk. Sampean niku tersakiti. (12) ‘Ya misalnya apa namanya? Bu Sini ini dipukul oleh ibu Takmir. Tidak tau sebapnya kok langsung dipukul. Itu termasuk terdholimi buk. Anda itu tersajiti.’ Leksikon krama inggil pada butir, /nggertos/ ‘mengetahui’, /dhumateng/
‘kepada’. Leksikon krama pada butir / /boten/ ‘tidak’ dan /nggih/ ‘ya’. Leksikon commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
krama andap pada butir /namine/ ‘namanya’, /kalih/ ‘dengan’, /Sampaian/ ‘anda’, dan. Leksikon madya terdapat pada bentuk /napa/ ‘apa’, niku/ ‘itu’, dan /niki/ ‘ini’, Leksikon ngoko terdapat pada bentuk /sebabpe/ ‘sebabnya’, /dongane/ ‘do’anya’, dan /langung/ ‘langsung’. Leksikon netral terdapat pada /dithuthok/ ‘dipukul’. Faktor yang melatar belakangi penutur menggunakan bahasa Jawa ragam madya Krama karena penutur menempatkan dirinya dalam status geografi yang sama dengan peserta tutur, yaitu masyarakat pedesaan. Serta peserta tutur merupakan kelompok masyarakat yang dihormati oleh penutur. Sehingga dalam kalimat tersebut mengunakan ragam madya krama Fungsi dari bahasa Jawa ragan madya krama tersebut berguna untuk menunjukkan identitas penutur secara asal (daerah), serta untuk wujud bahasa dengan tingkat hormat yang sedang sehingga komunikasi lebih terjalin lebih akrab tetapi juga mempunyai nilai kesantunan.
C. Madyantara Pemakaian bahasa Jawa ragam madyantara tidak temukan dalam penelitian ini. Karena ragam ini digunakan untuk suami istri. Ragam madyanatara terdiri dari leksikon madya tercampur leksikon krama (/kula/ ‘saya’, /sampeyan/,/samang/ ‘kamu’) tetapi dalam komunikasi sering pemakai leksikon krama.
3. Ragam Krama Tingkat tutur krama merupakan ragam atau tingkat tutur bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama bulan leksikon yang lain. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
A. Muda Krama Dalam tingkat ini dibentuk oleh leksikon krama, madya, netral, dan / atau ngoko serta dapat krama inggil atau krama andap. Meskipun begitu yang menjadi leksikon inti adalah dalam ragam krama lugu adalah krama, madya, dan / atau netral sedangkan krama inggil atau krama andap yang muncul dalam ragam ini hanyalah digunakan untuk menghormati lawan bicara. Wujud ragam krama lugu yang muncul dalam penelitian ini sebagai berikut ini. 1)
Gusti Allah niku kula paringgi arta niki pinten yuta , kula boten bali teng neraka, dilebetke surga. Niku ditrima napa boten buk? Boten tha. (15) ‘Tuhan Allah ini saya beri uang berapa juta, saya tidak kembali di neraka, di masukkan syurga. Itu ditrima apa tidak buk? Tidak kan.’
Leksikon krama terdapat pada bentuk /niku/ ‘itu’, /niki/ ‘ini’, dan /boten/ ‘tidak’. Leksikon krama inggil terdapat pada bentuk /kula/ ‘saya’, /arta/ ‘uang’. Leksikon krama andap terdapat pada bentuk, /paringgi/ ‘diberi’, dan /dilebetke/ ‘dimasukkan’. Leksikon madya terdapat pada bentuk /napa/ ‘apa’, /teng/ ‘ke’ Leksikon ngoko terdapat pada bentuk /pirang/ ‘berapa’, /bali/ ‘kembali’. Leksikon netral terdapat pada bentuk /Gusti/ ‘pangeran’, /yuta/ ‘juta’, /neraka/ ‘neraka’, dan /surga/ ‘syurga’. Faktor yang mempenaruhi penutur menggunakan ragam krama lugu dianaranya karena dilator belakangi penutur yang merupakan santri pengguna bahasa ibu bahasa Jawa. Disamping itu karena komponen tutur yang terdiri dari sedikit pemuda dan banyak dari kalangan orang tua yang berdomisili di pedesaan serta merupakan pengguna bahasa Jawa Aktif. Situasi tutur juga mempengaruhi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penggunaan bahasa Jawa Ragam Krama, karna disamping bahasa mudah dan lebih akrab dengan peserta tutur. Fungsi dari penggunaan ragam bahasa Jawa krama lugu sebagai bahasa santun tetapi juga mudah dan lebih efektif agar suasana tidak terlalu formal.
B. Kramaantara Ragam ini terdiri dari leksikon krama tanpa tercampur leksikon krama inggil. Ragam
ini jarang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Umumnya ragam ini digunakan oleh orang tua kepada pemuda. 1)
Laler niku saget mlebetaken tiyang dhumaten syurga, hanangging wonten laler ning saget mlebettaken tiyang dhumateng neraka. (201) ‘Laler itu bisa memasukkan orang kepada syurga, tetapi ada laler tapi bisa memasukkan orang kepada neraka.’
Faktor yang melatar belatar belakanggi pemakaian bahasa Jawa ragam kramaantara karena penutur menempatkan status sosioal sama dengan peserta tutur. Pemakaian ragam krama lugu pada data di atas berfungsi sebagi bahasa yang mempunyai nilai hormat kepada peserta tutur yang sebagian besar terdiri dari para orang tua
C. Wredhakrama 1)
Ha boten kok kesandung niku kok ngucapne napa niku namine kewankewan sing wonten kebun bin niku, niku medal sedaya boten nggih? (9) ‘Ha tidak kok tersandung itu kok mengucapkan apa namanya hewanhewan yang ada kebun binatang itu, itu keluar semua tidak ya?’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Unsur yang menjadi ciri dari ragam Wredhakrama adalah penambahan afik [di-], [-e], dan [-ake]. Ragam tersebut umumnya digunakan oleh orang tua kepada pemuda. Ragam ini terdiri dari leksikon krama tanpa tercampur leksikon krama inggil. Faktor yang mempengaruhi pengunaan ragam tersebut merupakan faktor dari penutur sendiri. Fungsi dari ragam ini lebih menempatkan penutur dalam status sosial lebih tinggi dibandingkan dengan peserta tutur.
D. Krama Inggil Merupakan bentuk ungah-unguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya merupakan kosakata krama, tetapi dapat ditambah dengan leksikon krama inggil dan krama andap. Meskipun begitu, yang menjadi leksikon inti adalah leksikon krama. Penggunaan krama ingil dan krama andap merupakan wujud penghormatan terhadap mitra tutur, sedangkan leksikon ngoko dan leksikon madya tidak pernah muncul dalam tingkat tutur jenis ini. Ragam ini tidak ditemukan dalam penelitian ini.
E. Krama Desa Ragam karama desa yang muncl dari penelitian ini, berwujud eperti kalimat berikut ini. 1)
Kula tanglet ingkang sampun kula sampekne ngek biyen nggih. (7) ‘Saya tanya yang sudah saya sampaikan kala dulu ya.’
Leksikon krama pada butir /nggih/ ‘ya’dan /ingkang/ ‘yang’. Leksikon krama inggil pada butir /sampun/ ‘sudah’, dan /kula/ ‘saya’. Leksikon krama andap /sampekne/ ‘sampaikan’, . Leksikon krama desa pada butir /tanglet/ ‘tanya’. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Leksikon ngoko terdapat pada bentuk /ngek/ ‘kala (dulu)’. Dari data tersebut muncul leksikon dari krama desa yang bukan berasal dari bahasa ngoko atau krama, yaitu pada kata /tanglet/ ‘tanya’. 2)
Menawi kula tanglet tiyang ing desa-desa punika. Pak ngoteniku telas pinten, kinten-kinten pak? Satus ewu nggih telas. Ngantos pinten dinten? Niku nek ditaglet niatipun nge napa nggih? Shodakoh diparengke pitung dalu nyuwunke arwahe terus saget maringi manfa’at kalih keluarganipun niku. (228) ‘Kalau saya tanya orang di desa-desa itu. Pak seperti itu habis berapa, kira-kira pak? Seratus ribu ya habis. Sampai berapa hari? Itu kalau ditanya niatnya buat apa ya? Shodakoh diberikan tuju malam memintakan arwahnya terus bisa memberi manfa’at oleh keluarganya itu.
leksikon krama pada butir /telas/ ‘habis’, /ngantos/ ‘sampai’, /pinten/ ‘berapa’, /dinten/ ‘hari’, /saget/ ‘bisa’, /kalih/ ‘dengan / dua’, /ing/ ‘di’, /kinten-kinten/ ‘kira-kira’, /maringi/ ‘memberi’, /niku/ ‘itu’, /nggih/ ‘ya’, /ngoteniku/ ‘seperti itu’. Leksikon krama inggil pada butir, ‘itu’, /Menawi/ ‘seandainya’, /kula/ ‘saya’, /tiyang/ ‘orang’, /punika/ ‘seperti itu’, /pinten/ ‘berapa’, /niatipun/ ‘niatnya’, /keluarganipun/ ‘kelurganya’, /dalu/ ‘malam’, /Pak/ ‘Bapak’. Leksikon krama andap pada butir /nyuwunke/ ‘memintakan’, /diparengke/ ‘diberikan’. Leksikon madya terdapat pada bentuk /napa/ ‘apa’, dan /jenengan/ ‘anda’, /Nge/ ‘untuk’. Leksikon ngoko terdapat pada bentuk /arwahe/ ‘arwahnya’, /Satusewu/ ‘seratus ribu’, /terus/ ‘terus’, /desadesa/ ‘desa-desa’. Leksikon netral terdapat pada /nek/ ‘kalau’, /pitung/ ‘tujuh’. Leksikon krama desa pada butir /tanglet/ ‘tanya’. Faktor yang mempengaruhi pemakaian ragam ini karena faktor historis penutur yang berasal dari kalangan pedesaan. Sehingga sesuai dengan kemampuan berbahasa Jawa. Fungsi ragam ini digunakan oleh orang desa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Faktor yang Mempengaruhi Pemakaian Bahasa Jawa Untuk menentukan faktor yang melatar belakangi pemakaian bahasa Jawa
dianalisis dengan metode padan dengan alat referen di luar bahasa yaitu dengan komponen tutur. Komponen tututr terdiri dari delapan unsur (component of speech) yang dihasilkan berdasarkan analisisnya dalam suatu akronim bahasa Inggris dengan kata SPEAKING yang menyangkup antara lain (a) Setting and Scene, (b) Participants, (c) Ends, (d) Act sequence, (e) Key, (f) Instrumentalities, (g) Norm of interpretation, (h) Genres. Adapun analisis dengan metode padan seperti dibawah ini. 1)
Apa mbah, syirik ndek emben? Menyekutukan Allah, masksute menyekutukan Allah niku gimana tha? Menyembah selain Allah dados jenengan misale nyembah matahari, menyembah kuburan, menyembah wit, napa, napa namine menyembah napa waelah selain Allah niku termasuk syirik. Syirik niku dosane besar mbah. (18) ‘Apa embah, syirik kala dulu? Menyembah selain Allah jadi anda misalnya menyembah matahari menyembah apa saja selain Allah itu termasuk syirik, syirik itu dosa besar embah.’
Dalam penelitian ini mengambil tempat ta’lim PDS di masjid dan mushola kecamatan Simo, Boyolali pada waktu sehabis sholat magrib sekitar pukul 18.10 atau jam 6 (enam) sore lebih. Partisipan atau penelitian ini pihak-pihak yang terlibat adalah santri dengan santri, santri orang lain atau masyarakat. Penutur adalah santri TID PDS dan mitra tutur adalah masyarakat yang hadir dalam sholat Magrib yaitu masyarakat jama’ah sholat magrib, mayoritas masyarakat penguna bahasa Jawa aktif. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ends, merujuk pada maksud dan tujuan petutur. Peristiwa tutur santri dalam kegiatan ta’lim dengan masyarakat bermaksud untuk menyampaikan materi atau ilmu agama dengan tujuan agar masyarakat mendapat pencerahan ilmu agama (Islam). Tujuan dari tuturan dari kalimat tersebut bertanya dan untuk menerangkan perbuatan syirik yang tergolong dosa besar, agar masyarakat menetahui dan tidak melakukan perbuatan itu. Nada penutur dalam berbicara cenderung santai, dengan bahasa lisan. Bentuk ujaran pada situasi dalam kalimat tersebut merupakan ujaran dalam kegiatan kajian keagamaan disampaikan, dengan bentuk pertanyaan dan pernyataan dari materi yang disampaikan. Nada atau cara penyampain kalimat dengan santai bertanya dan menerangkan kepada peserta tutur trntang bahasa yang didapat dari perbuatan yang disampaikan tersebut. Jalur bahasa yang digunakan adalah jalur lisan, Norm of interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi, mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Bentuk penyampaian merupakanpenyampaian dengan jenis komunikasi biasa.
2)
Menyembah selain Allah dados jenengan misale nyembah matahari, menyembah kuburan, menyembah wit, napa, napa namine menyembah napa waelah selain Allah niku termasuk syirik. Syirik niku dosane besar mbah. (18) ‘Menyembah selain Allah jadi anda misalnya menyembah matahari, menyembah kuburan, menyembah pohon, apa, apa namanya menyembah apa sajaselain Allah itu termasuk syirik. Syirik dosanya besar embah’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3)
digilib.uns.ac.id
Lha nek jenengan percaya niku latiska arbaina yaumam, dados sholate sampean boten ditrima patang puluh dinten mbah. Jenengan sujud bendinten sujud-sujud kemudian boten ditrima niku mbah, dados patang puluh dina niku sia-sia. (30) ‘Lha kalau anda percaya itu sholat ditak ditrima selama empat puluh hari, jadi sholat anda tidak ditrima empat puluh hari embah. Anda sujud tiap hari sujud-sujud kemudian tidak ditrima itu embah, adi empat puluh hari itu sia-sia.’
Dalam penelitian ini mengambil tempat ta’lim PDS di masjid dan mushola kecamatan Simo, Boyolali pada waktu sehabis sholat magrib sekitar pukul 18.10 atau jam 6 (enam) sore lebih. Partisipan atau penelitian ini pihak-pihak yang terlibat adalah santri dengan santri, santri orang lain atau masyarakat. Penutur adalah santri TID PDS dan mitra tutur adalah masyarakat yang hadir dalam sholat Magrib yaitu masyarakat jama’ah sholat magrib, mayoritas masyarakat penguna bahasa Jawa aktif. Ends, merujuk pada maksud dan tujuan petutur. Peristiwa tutur santri dalam kegiatan ta’lim dengan masyarakat bermaksud untuk menyampaikan materi atau ilmu agama dengan tujuan agar masyarakat mendapat pencerahan ilmu agama (Islam). Tujuan dari tuturan dari kalimat tersebut untuk menerangkan perbuatan syirik dan akibat dari perbuatan tersebut, agar masyarakat menetahui dan tidak melakukan perbuatan itu. Nada penutur dalam berbicara cenderung santai, dengan bahasa lisan. Bentuk ujaran pada situasi dalam kalimat tersebut merupakan ujaran dalam kegiatan kajian keagamaan disampaikan, dengan bentuk pernyataan dan kesimpulan dari materi yang disampaikan. Nada atau cara penyampain kalimat dengan serius menerangkan kepada peserta tutur trntang bahasa yang didapat dari perbuatan yang disampaikan tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jalur bahasa yang digunakan adalah jalur lisan, Norm of interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi, mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Bentuk penyampaian merupakanpenyampaian dengan jenis komunikasi biasa.
4)
Kalih niki pondasine awal, Bapak saget ngertosi iman lan taqwa menika nggih Pak, Buk? Bahwasane fatawqadadu faimanqairuhuzad taqwa, sebagai bekal itu adalah taqwa boten wonten bekal niku pantun napa-napa, bonten napa-napane kalian taqwa niku. (82) ‘Dua ini pondasi awal, Bapak bisa mengetahui percaya dan patuh (pada Allah) itu ya Pak, Buk? Bahwasanya sebaik-baik bekal adalah taqwa, sebagai bekal itu adalah patuh, tidak ada bekal itu padi apa-apa, tidak apa-apa dengan patuh itu.’
Dalam penelitian ini mengambil tempat ta’lim PDS di masjid dan mushola kecamatan Simo, Boyolali pada waktu sehabis sholat magrib sekitar pukul 18.10 atau jam 6 (enam) sore lebih. Partisipan atau penelitian ini pihak-pihak yang terlibat adalah santri dengan santri, santri orang lain atau masyarakat. Penutur adalah santri TID PDS dan mitra tutur adalah masyarakat yang hadir dalam sholat Magrib yaitu masyarakat jama’ah sholat magrib, mayoritas masyarakat penguna bahasa Jawa aktif. Ends, merujuk pada maksud dan tujuan petutur. Peristiwa tutur santri dalam kegiatan ta’lim dengan masyarakat bermaksud untuk menyampaikan materi atau ilmu agama dengan tujuan agar masyarakat mendapat pencerahan ilmu agama (Islam). Tujuan dari tuturan dari kalimat tersebut untuk menerngkan sebaiknya bekal dalam hidup yaitu dengan iman dan takwa kepada Allah, agar masyarakat menetahui bekal dalam hidup. Nada penutur dalam berbicara cenderung santai, dengan bahasa lisan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bentuk ujaran pada situasi dalam kalimat tersebut merupakan ujaran dalam kegiatan kajian keagamaan disampaikan, dengan bentuk pernyataan dan kesimpulan dari materi yang disampaikan. Nada atau cara penyampain kalimat dengan santai menerangkan kepada peserta tutur trntang bahasa yang didapat dari perbuatan yang disampaikan tersebut. Jalur bahasa yang digunakan adalah jalur lisan, Norm of interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi, mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Bentuk penyampaian merupakanpenyampaian dengan jenis komunikasi biasa.
E. Fungsi Pemakaian Bahasa Jawa Fungsi dari pemakaian bahasa Jawa seperti dibawah ini. 1)
Lha dados dikir niki mbah, dikir niki nggih napa namine. Harus kita ucapkan disetiap waktu, disetiap dimanapun kita berada. (243) ‘Lha jadi mengingat (Allah) ini nek, mengingat (Allah) ini ya apa namanya. Harus kita ucapkan disetiap waktu, disetiap dimanapun kita berada’
Selanjutnya data di analisis dengan metode padan dengan alat referensial, yang berada diluar bahasa. Komponen tutur adalah santri dan masyarakat, santri merupakan penutur dan masyarakat merupakan peserta tutur. Tujuan dari tuturan adalah menerangkan tentang bab mengingat Tuhan. Bentuk ujaran tersebut merupakan bentuk pertanyaan, pernyataan dan ajakan. Nada penutur cenderung santai, dengan bahasa lisan. Bahasa Jawa dalam tuturan tersebut merupakan wujud dari suasana santai kemudian mulai menggunakan alih bahasa Indonesia untuk menerangkan materi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fungsi dari bahasa Jawa adalah untuk mengimbangi dan menghormati mitra tutur yang terdiri dari para orang tua dan beberapa pemuda. Fungsi bahasa Jawa dalam kalimat tersebut juga berguna situasi nonformal yang santai.
2)
Namine amal sing paling utama niku sing diutamahaken Rosullullah niku napa buk? Ilmu yang ilmunya diamalkan kemudian, kemudian anak yang saleh. (51) ‘Namanya amal yang paling utama itu yang diutamakan Rosullullah itu apa buk? Ilmu yang ilmunya diamalkan kemudian, kemudian anak yang sholeh.’
Selanjutnya data di analisis dengan metode padan dengan alat referensial, yang berada diluar bahasa. Komponen tutur adalah santri dan masyarakat. Tujuan dari tuturan berbentuk ujaran berupa pertanyaan dan pernyataan. Nada penutur cenderung santai, dengan menggunakan bahasa lisan dalam kajian ta’lim. Fungsi dari penggunaan bahasa Jawa sebagai bahasa yang nilai penghormatan kepada peserta tutur dan bahasa yang lebih berperaserta dalam bertanya kepada peserta tutur. Menempatkan penutur dalam status sosial sebagi penutur atau orang Jawa.
3)
Innalhamdalillah nahmaduhu wanasta’iinuhu wanasta’firuhu, wana’uudhubillahi minsyuruuri anfusina, wamin say’ati ‘amalina, manyahdihihufaamudhillah waman yadhlil falahadiy’lah. Ashaduanlaillahaillah wahdahula syarikalahu wa ashaduannamuhammadan ‘abduhu warasullu lanabbi warassullah ba’dah. Kallahuta’ala ya ayyuhaladina ‘amanuttaqullah kaqqatuqtihi wala tamu tunnilla wa antum muslimun. Allhamdulillah ing kesempatan punka kula saget ngisi kalian bapak-bapak, ibu-ibu. (78) ‘Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan mencari bantuan-Nya dan pengampunan dan kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan kejahatan kita, dari petunjuk Allah tidak menyesatkan dia dan tidak disesatkan. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sendirian tanpa pasangan, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul. Wahai manusia, aku menasihati kamu dan aku takut akan Allah telah memenangkan orang-orang benar. Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah harus ditakuti dan tidak mati kecuali sebagai Muslim. Segala puji bagi Allah. Di kesempatan ini saya bisa memberi (ilmu) kapada bapak-bapak, ibu-ibu.’ Data di analisis dengan metode padan dengan alat referensial, yang berada diluar bahasa. Komponen tutur adalah santri dan masyarakat. Tujuan dari tuturan berbentuk ujaran berupa penjelasan. Nada penutur cenderung santai kemudian menjadi serius dalam pemakaian dengan bahasa Arab, dengan menggunakan bahasa lisan dalam kajian ta’lim. Fungsi dari bahasa Jawa sebagai merubah topik pembicaraan, dari bahasa menjadi Jawabahasa Arab dalam menyampaikan ilmu agama ditenggah masyarakat pengguna bahasa Jawa Aktif. Sehingga dalam kegiatan ta’lim tersebut materi yang disampaikan lebih terserap dan mudah difahami oleh peserta tutur yang sebagian besar para orang tua.
4)
Maluku itu pernah diterapkan, dinapa praktekkne tumindak ngoten niku buk. Niku insya Allah pun kapok boten nyolong melih buk, boten napa niku kapok lombok thok, pedes nek wis anu nggih baleni. (61) ‘Maluku itu pernah diterapkan Diapa praktekkan perbuatan seperti itu buk. Itu atas kehendak Allah sudah kapok tidak mencuri lagi buk, tidak apa itu kapok lombok, pedas kalau sudah apa ya mengulangi.’
Data di analisis dengan metode padan dengan alat referensial, yang berada diluar bahasa. Fungsi dari bahasa Jawa dalam kalimat tersebut untuk merubah situasi dari ragam beku menjadi situasi yang santai dan komunikatif yaitu termasuk ragam non formal. Bahasa Jawa juga menunjukkan nilai sebagai bahasa yang santun dan lebih commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
komunikan dalam menghadapi peserta tutur yang notabenya merupakan pengguna bahasa Jawa aktif, serta mengimbangi bahasa yang dikuasai peserta tutur.
5)
Mendingan diem saja, mendingan nek wong Jawa nggih napa tutup mawon napa meneng mawon kersane boten, boten salah ngomong, nggih mbah. (65) ‘Mendingan diem saja, mendingan kalau orang Jawa ya apa tutup saja apa diam saja biar tidak, tidak salah bicara, ya nek.’
Data di analisis dengan metode padan dengan alat referensial, yang berada diluar bahasa. Topik pembicaraan yang semula berupa ragam resmi menjadi santai atau yang semula menjelaskan ilmu menjadi memberikan contoh dalam bahasa. Fungsi dari bahasa Jawa menjelaskan sesuatu hal agar mudah dimengerti oleh mitra tutur, juga merubah suasana dari ragam resmi menjadi ragam bahsa santai.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah dilakukan analisis data yang mengacu pada beberapa rumusan masalah dan pembatasan masalah dari hasil analisis pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan terhadap objek kajian yang berupa pemakaian bahasa santri yang membahas alih kode, campur kode, dan interferensi pada jenis penelitian sosiolinguistik sebagai berikut. Data yang didapat dari penelitian sosiolimguistik tersebut merupakan data lisan yang diambil dari kegiatan ta’lim (pembelajaran Islam untuk Masyarakat) yang kebanyakan berupa data monolog. Bahasa yang digunakan santri dalam kegiatan ta’lim adalah bahasa Jawa, akan tetapi mengalami alih kode, campur kode, serta interferensi. Ragam bahasa Jawa yang muncul dalam penelitian ini adalah ragam krama , ragam madya, serta ragam ngoko. Munculnya alih kode, campur kode dan interferensi sebagai berikut, dibawah ini. 1. Alih kode yang muncul dalam penelitian ini berupa; (1) alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa, (2) Alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Arab, (3) Alih kode dari bahasa Arab kebahasa Indonesia, (4) Alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, dan (5) alih kode antar ragam bahasa Jawa (dari ngoko ke krama dan sebaliknya).
commit to user 218
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 219
2. Campur kode Campur kode yang muncul dalam penelitian ini berupa; (1) Campur kode bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa, (2) Campur kode bahasa Arab dalam bahasa Jawa, (3) Campur kode bahasa Ingris dalam bahasa bahasa Jawa. 3. Interferensi Interferensi yang muncul dalam penelitian ini berupa; (1) interferensi morfem terikat dari bahasa Indonesia, (2) interferensi morfem terikat dari bahasa Arab, (3) interferensi morfem terikat dari bahasa Asing (Inggris). Wujud tingkat tutur bahasa Jawa 4. Tingkat tutur bahasa Jawa Tingkat tutur bahasa Jawa yang muncul dalam penelitian ini terdiri dari ragam ngoko, ragam madya, dan ragam krama. Ragam ngoko terdiri dari ngoko lugu dan ngoko alus. Ragam madya terdiri dari madya ngoko dan madya krama. Sedangkan ragam krama terdiri dari muda krama, kramantara, wredakrama, dan krama desa. Faktor yang menjadi sebab pemakian bahasa Jawa dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, (1) penutur atau orang pertama, (2) mitra tutur atau orang kedua, (3) pokok pembicaraan atau topik, (4) untuk membangkitkan rasa humor, (5) keinginan untuk menjelaskan, (6) sebagai rasa hormat dan kesantunan berbahasa. Sedangkan fungsi dari pemakaian bahasa Jawa antara lain, (1) untuk menghormati mitra tutur, (2) untuk menunjukkan status sosial atau menempatkan dalam hierarkhi status sosial penutur, dan (3) mengubah dari ragam resmi menjadi ragam santai.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 220
B. Saran Penelitian pemakaian bahasa Jawa oleh santri PDS kabupaten Boyolali ini membahas aspek-aspek kebahasaan yang digunakan oleh santri ponpes dalam masyarakat khusunya dalam kegiatan dakwah yaitu berupa alih kode, campur kode, interferensi, serta tingkat tutur bahasa Jawa yang muncul dalam pengunaan bahasa dalam masyarakat. Oleh karena itu, peneliti menyarankan kepada peneliti berikutnya untuk mengkaji masalah yang belum diteliti dengan pendekatan yang lain. Misalnya pragmatik atau semantik, sehingga ada penelitian lain dengan pembahasan yang berbeda untuk menambah penelitian bahasa dan memperluas ilmu pengetahuan.
commit to user