Peluang Blotong untuk Meningkatkan Ketersediaan Phospor pada Kacang Tanah Rizka F. Ramadiana Alumni Fakultas Pertanian UTM Email :
[email protected]
ABSTRACT Peanut (Arachis hypogeae. L) has a high value in economy, but the production is still low. It is because the soil factor which is less of organic materr and lack of phosporus because fixation by the soil. This research aim to know the effect of blotong as the substitution of phospor fertilization input to peanut product. This research performs in Agroekoteknologi research garden, Faculty of Agriculture, University of Trunojoyo, in the Telang village, that is located 3 m above sea level elevation, whith grumosol soil type, on December 2011 Until march 2012. Research represent the non factorial attempts with the environmental complete randomize design, whith 4 replication. The treatment consist of: without blotong and phosphorus (P0), phosphorus 34,2 kg/ha (P1), phosphorus 16,2 kg/ha, blotong 10 ton/ha (P3), phosphorus 34,2 kg/ha + blotong 10 ton/ha (P4), phosporus 16,2 kg/ha + blotong 10 ton/ha (P5). The result showed that the treathment of blotong 10 ton/ha (P3) has a significant effect on fill up pod 32,25 pod, seed weight 19,04 g , the content of P soil 14,7 mg/l, P plant absorbtion 25,57 mg/l. The treatment of phosphorus 34,2 kg/ha (P1) has a significant effect on flowering time 24,75 days after planting.While the variables biomass wet weight, biomass dry weight, number of flowers per plant, and vocuous pod , the treatment does not give effect. Keywords: peanut, phosphorus, and blotong PENDAHULUAN Masyarakat Indonesia menggunakan kacang tanah sebagai bahan pangan dan industri, sebab biji kacang tanah banyak mengandung lemak dan protein. Kacang tanah memiliki kandungan protein 25-30%, lemak 40-50%, karbohidrat 12% serta vitamin B1, dan menempatkan kacang tanah sebagai tanaman palawija kedua dalam hal pemenuhan gizi setelah tanaman kedelai. Manfaat kacang tanah pada bidang industri antara lain sebagai bahan dalam pembuatan margarin, sabun, minyak goreng dan lain sebagainya (Suwardjono, 2003). Produksi kacang tanah secara nasional masih tergolong rendah disbanding hasil percobaan yang ada sedangkan permintaan produksi kacang tanah secara nasional dari tahun ke tahun terus meningkat (RUKMana, 1998). Setidiredja (1997 dalam Suwardjono, 2003) menyatakan rendahnya produksi kacang tanah disebabkan oleh faktor tanah yang padat akibat rendahnya bahan organik, kurang tersedianya hara phospor dan kekeringan yang cukup lama.
Kebutuhan hara phospor yang diserap oleh tanaman kacang tanah sebesar 39 kg P2O5 kg/ha (Hening et al., 1982 dalam Sumarno, 1986). Sebagian besar petani di Indonesia menggunakan pupuk kimia untuk peningkatan kesuburan tanah namun sejalan dengan waktu sumber phosphor makin menurun, disamping dampak terhadap tanah. Marsono (2009) mengatakan bahwa penggunaan pupuk kimia juga mengakibatkan resiko kerusakan ekologi dan penurunan produksi yang membuat biaya produksi pertanian semakin meningkat, selain itu harga pupuk kimia cukup mahal. Salah satu cara untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia adalah penggunaan bahan organic. Bahan organik berperan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik berasal dari sisa-sisa tanaman dan hewan. Bahan organik juga dapat bersumber dari berupa limbah dari kegiatan industri. Penelitian limbah padat di Indonesia menunjukkan 80% adalah bahan organik yang didaur ulang menjadi kompos (Outerbride, 1997 dalam Sagala, 2009). Limbah hasil 14
pengolahan tebu menjadi gula sebenarnya adalah bahan potensial sebagai bahan pembenah tanah yang dapat digunakan untuk meningkatkan ketersediaan hara tanah Salah satu bahan organik dari limbah tebu adalah blotong. Limbah blotong sebagian besar diambil petani untuk digunakan sebagai pupuk dan memiliki kandungan phospor yang cukup tinggi. Penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik (Anonimous, 2009a). Namun demikian pemanfaatan limbah hasil pengolahan tebu menjadi gula oleh masyarakat masih rendah hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan tentang unsur hara yang terkandung dalam blotong dan belum dikelolanya secara massal limbah blotong sebagai pupuk kompos. Kompos blotong mengandung unsur phospor yang tinggi yaitu 6, 142% (Anonimous, 2009a). Tanaman kacang tanah membutuhkan pupuk phospor yang cukup sehingga dengan pemberian kompos blotong diharapakan meningkatkan ketersediaan phospor dan peningkatan kesuburan tanah, sehingga dapat dijadikan sebagai pupuk organik pengganti phosphor, guna pengurangan penggunaan pupuk kimia. METODE Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2011 sampai dengan bulan Maret 2012.di Kebun percobaan Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura di Desa Telang, Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan yang berada pada ketinggian + 3 m dpl, suhu + 28o C, dan RH + 78 %. Alat yang digunakan anatara lain: tugal (kayu), cangkul, oven, timbangan, timbangan analitik, gunting, penggaris, kertas, amplop, alat tulis, seng, tali rafia, gunting, bor tanah, kamera, dan peralatan pendukung lainnya. Bahan yang digunakan meliputi tanaman kacang tanah, air, lahan untuk media tanam, pupuk phosphor SP 36 dan pupuk organik Blotong. Tahapan Penelitian dimulai dari persiapan lahan, pemberian pupuk blotong saat pengolahan tanah, pemasangan etiket, penanaman dengan membuat lubang tanam menggunakan tugal, aplikasi perlakuan pupuk
kimia phosphor saat tanam dengan cara disebar merata dalam larikan dengan jarak 5 cm dari lubang tanam, setelah penanaman, dilakukan penyulaman pada benih yang mati atau tidak tumbuh saat umur 12 HST, kemudian penjarangan dilakukan pada umur 12 HST, pemupukan tambahan yaitu Urea= 80 kg/ha, KCl=50 kg/ha pada umur 2 MST dengan cara dimasukkan ke lubang didekat tanaman, selain itu juga dilakukan penyiangan dan penyemprotan fungisida dan pestisida yang dilakukan sejak umur 2 MST dengan interval peyemprotan 2-3 kali perminggu, pembumbunan saat tanaman mulai berbunga yaitu pada 4 MST, penyiraman ketika tidak ada hujan atau saat kondisi tanah kering pada pagi dan sore hari dan pemanenan ketika ciriciri tanaman batang mulai mengeras, warna polong coklat kehitam-hitaman, sebagian besar daun menguning dan gugur ( rontok ), sebagian besar polongnya ( 80 % ) telah tua, kulit biji tipis dan mengkilap, rongga polong telah berisi penuh dengan biji, dan biji keras. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan pada beberapa variabel meliputi: tinggi tanaman, bobot basah biomassa, bobot kering biomassa, umur berbunga, jumlah bunga setiap tanaman, polong isi setiap tanaman, polong cipo setiap tanaman, bobot biji kering setiap tanaman, kadar phospor tanaman, dan kadar phospor tanah. Data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka dari jurnal dan artikel ilmiah lainnya yang mendukung studi penelitian. Rancangan yang digunakan adalah rancangan Rancangan Acak Kelompok Kelompok (RAK) non faktorial empat ulangan, yaitu: P0 : Tanpa pupuk phosor dan blotong P1 : Pupuk phospor 32,4 kg/ha P2 : Pupuk phopor 16,2 kg / ha P3 : Pupuk blotong 10 ton/ha P4 : Pupuk phospor 32,4 kg/ha + pupuk blotong 10 ton/ha P5 : Pupuk phospor 16,2 kg/ha + pupuk blotong 10 ton/ha Setiap petak perlakuan terdiri dari 65 tanaman kacang tanah sehingga diperoleh jumlah tanaman 4 x 6 x 65 = 1560 tanaman. Jumlah petak perlakuan sebanyak 24 petak. Data dianalisis menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan BNJ 5% apabila terdapat pengaruh nyata dari perlakuan. 15
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 1. Tinggi Tanaman Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan blotong sebagai substitusi pemupukan phospor tidak berpengaruh terhadap variabel tinggi tanaman pada umur 2, 3, 4, 5, tetapi berpengaruh nyata pada umur 12 MST (Tabel 1). Tabel 1. Rata-rata Tinggi Tanaman (cm) dari semua perlakuan pada umur 12 MST. Perlakuan Tinggi Tanaman 12 MST (cm) P0 51,17 ab P1 58,92 ab P2 47,38 a P3 59,38 ab P4 60,13 b P5 49, 75 ab BNJ 5 % 12,69 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama untuk setiap perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ 5%. Tabel 1. menunjukkan bahwa perlakuan P2 berbeda nyata ( p=0,05) dengan perlakuan P4. Perlakuan P4 menunjukkan rata-rata tinggi tanaman tertinggi yaitu 60,13 cm, sedangkan rata-rata tinggi tanaman terendah pada perlakuan P2 yaitu 47,38 cm. 2. Bobot Basah Biomassa Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan blotong sebagai substitusi pemupukan phospor tidak berpengaruh terhadap variabel bobot basah biomassa pada umur 2, 3, 4, 5 dan 12 MST. Bobot basah biomassa sejak umur 2 sampai 12 MST cenderung meningkat pada semua perlakuan. Secara deskriptif menunjukkan bahwa pada umur tanaman 2 dan 3 MST perlakuan P4 menunjukkan rata-rata bobot basah biomassa paling tinggi yaitu 7, 266 g dan 18, 527 g. Pada umur 4 dan 5 MST perlakuan P5 menunjukkan nilai rata-rata bobot basah biomassa paling tinggi yaitu 46,013 g dan 60,183 g. Pada umur 12 MST perlakuan P2 menunjukkan nilai ratarata bobot basah
biomassa paling tinggi yaitu 105,907 g. Pada umur 2, 4, dan 5 MST perlakuan P1 menunjukkan nilai rata-rata bobot basah biomassa terendah yaitu 5,625 g, 33,17 g dan 46,794. Nilai rata-rata bobot basah biomassa terendah pada umur 3 MST yaitu pada perlakuan P3 sebesar 16,243 g. Pengamatan pada saat panen umur 12 MST perlakuan P0 menunjukkan nilai rata-rata bobot basah biomassa paling rendah yaitu 96,95 g. 3. Bobot Kering Biomassa Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan blotong sebagai substitusi pemupukan phospor tidak berpengaruh terhadap variabel bobot kering biomassa pada umur 2, 3, 4, dan 12 MST. Bobot kering biomassa mulai umur 2 sampai 12 MST cenderung meningkat pada semua perlakuan. Secara deskriptif menunjukkan bahwa pada umur tanaman 2 dan 3 MST perlakuan P4 menunjukkan rata-rata bobot kering biomassa paling tinggi yaitu 1,009 g, dan 3,207 g. Pada umur 4 dan 5 MST perlakuan P5 menunjukkan nilai rata-rata bobot kering biomassa paling tinggi yaitu 6,600 g dan 10,420 g. Pada panen umur 12 MST perlakuan P1 menunjukkan bobot kering biomassa tertinggi yaitu 38,004 g. Pada umur 2 dan 3 MST perlakuan P3 menunjukkan nilai rata-rata bobot kering biomassa terendah yaitu 0,844 g dan 2,715 g. Pada umur 4 dan 5 MST perlakuan P2 menujukkan bobot kering biomassa terendah yaitu 4, 985 g, dan 8,458 g. Pada pengamatan saat panen umur 12 MST perlakuan P5 menunjukkan bobot kering biomassa terendah pada yaitu 31,883 g. 4. Umur Berbunga Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan blotong sebagai substitusi pemupukan phospor berpengaruh terhadap variabel umur berbunga tanaman. Perbedaan rata-rata umur berbunga tanaman setiap perlakuan disajikan pada Tabel 2.
16
Tabel 2. Rata-rata umur berbunga tanaman dari setiap perlakuan (hari setelah tanam). Perlakuan Umur Berbunga (HST) P0 27,00 b P1 24,75 a P2 25,75 ab P3 26,00 ab P4 25,00 a P5 25,00 a BNJ 5 % 1,94 Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf sama untuk setiap perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ 5% Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan P0 berbeda nyata (p=0,05) dengan perlakuan P1, perlakuan P4 (pemupukan phospat 32,4 kg/ha + blotong 10 ton/ha) dan perlakuan P5. Hasil rata-rata umur berbunga tercepat yaitu pada perlakuan P1 berbunga pada umur (24,75 HST), perlakuan P4 dan perlakuan P5 berbunga pada umur (25 HST). Hasil rata-rata umur berbunga terlama tanaman dihasilkan oleh perlakuan P0 (tanpa pupuk phospat dan blotong) berbunga pada umur (27,00 HST). 5. Jumlah Bunga Total Setiap Tanaman Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan blotong sebagai substitusi pemupukan phospor tidak berpengaruh terhadap variabel jumlah bunga setiap tanaman (helai). Secara deskriptif menunjukkan bahwa pada perlakuan P2 menunjukkan nilai ratarata jumlah bunga total setiap tanaman paling tinggi yaitu 72,6 helai. Jumlah bunga total setiap tanaman tertinggi kedua yaitu pada perlakuan P5 dengan rata-rata jumlah bunga sebanyak 71,5 helai. Pada perlakuan P3 menunjukkan rata-rata jumlah bunga total setiap tanaman sebanyak 70,4 helai. Pada perlakuan P4 dan perlakuan P1 menunjukkan rata-rata jumlah bunga total setiap tanaman sebanyak 70,3 helai dan 68,9 helai. Rata-rata jumlah bunga total setiap tanaman yang jumlahnya paling kecil adalah pada perlakuan P0 yang menunjukkan rata-rata jumlah bunga sebanyak 68,3 helai.
6. Polong isi setiap tanaman. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan blotong sebagai substitusi pemupukan phospor berpengaruh terhadap variabel polong isi setiap tanaman. Tabel 3. Rata-rata polong isi setiap tanaman (polong) pada setiap perlakuan. Pelakuan Polong Isi (Polong) P0 20,58 a P1 22,42 a P2 23,17 ab P3 32,25 b P4 27,50 ab P5 25 92 ab BNJ 5 % 9,58 Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf sama untuk setiap perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ 5% Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan P3 dengan perlakuan P0 dan pelakuan P1 (pemupukan phospor 32,4 kg/ha). Perlakuan P3 menunjukkan hasil ratarata polong isi setiap tanaman tertinggi yaitu sebanyak 32,25 polong. Perlakuan P0 menunjukkan hasil rata-rata polong isi terendah yaitu 20,58 polong. Perlakuan dengan pemberian pupuk blotong cenderung memberikan jumlah polong isi lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa pemberian pupuk blotong. 7. Polong Cipo Setiap Tanaman Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan blotong sebagai substitusi pemupukan phospor tidak berpengaruh terhadap variabel polong cipo (polong). Secara deskriptif pada perlakuan P2 menunjukkan nilai rata-rata polong cipo paling tinggi yaitu 12,08 polong. Jumlah polong cipo tertinggi kedua yaitu pada perlakuan P3 dengan jumlah polong cipo sebanyak 11,42 polong. Pada perlakuan P0 menunjukkan rata-rata jumlah polong cipo sebanyak 10,58 polong. Pada perlakuan P4 menunjukkan rata-rata jumlah polong cipo sebanyak 10 polong. Pada perlakuan P1 menunjukkan rata-rata jumlah cipo sebanyak 7,58 polong. Rata-rata polong cipo paling kecil adalah pada perlakuan P5 yaitu 7,50 polong. 17
8. Bobot Biji Setiap Tanaman Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan blotong sebagai substitusi pemupukan phospor berpengaruh tehadap variabel berat biji setiap tanaman (Tabel 4). Tabel 4. Rata-rata bobot biji setiap tanaman (g) pada setiap perlakuan . Perlakuan Berat biji (g) P0 11,31 a P1 13,20 ab P2 14,11 ab P3 19,04 b P4 15,49 ab P5 17,83 ab BNJ 5 % 7,63 Keterangan : - Angka yang diikuti dengan huruf sama untuk setiap perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ 5%. Tabel 4 menunjukkan bahwa perlakuan P3 berbeda nyata (p=0,05) dengan perlakuan P0. Hasil rata-rata bobot biji setiap tanaman tertinggi yaitu pada perlakuan P3 dengan jumlah rata-rata bobot biji seberat 19,04 g. Hasil rata-rata bobot biji terendah dihasilkan oleh perlakuan P0 dengan berat biji sebanyak 11,31 g. 9. Kadar Phospor Tanah Hasil uji kadar phospor pada tanah dengan menggunakan metode spektro pharo disajikan pada tabel 4.1.5 Tabel 5. Hasil Uji Kadar Phospor pada Tanah dari Setiap perlakuan Sampel Hasil Uji mg/l P0 10,65 P1 11,74 P2 11,08 P3 14,72 P4 13,85 P5 14,66 Keterangan : mg/l = miligram per liter Berdasarkan hasil uji diperoleh pada perlakuan P3 menunjukkan kandungan phospor pada tanah paling tinggi yaitu (14,72 mg/l). Perlakuan P0 menunjukkan kandungan phospor pada tanah paling rendah yaitu (10,65 mg/l).
10. Kadar Phospor Tanaman Hasil uji kadar phospor yang diserap tanaman dengan menggunakan metode spektro pharo disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil uji kadar Phospor pada Tanaman dari Setiap Perlakuan Sampel Hasil Uji mg/l P0 23,86 P1 20,07 P2 25,11 P3 25,57 P4 23,71 P5 20,86 Keterangan : mg/l = miligram per liter Berdasarkan hasil uji diperoleh pada perlakuan P3 menunjukkan nilai serapan phospor paling tinggi yaitu (25,57 mg/l). Perlakuan P1 memiliki nilai serapan phospor paling rendah yaitu (20,07 mg/l). Pembahasan Pengamatan variabel tinggi tanaman pada fase vegetatif yaitu pada umur 2, 3, 4, dan 5 MST menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata hal ini diduga karena perlakuan pemberian pemupukan phospor dengan blotong unsur phospor belum tersedia bagi tanaman. Penyerapan unsur phospor bagi tanaman membutuhkan waktu yang lama. Seperti yang diungkapkan oleh Leiwakabessy (1988 dalam Sudrajad 2004) unsur P dalam tanah sifatnya sukar larut, sehingga sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman. Ketersediaan P dalam tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Pada tanah masam P terikat dengan Al dan Fe membentuk Al-P dan Fe-P yang tidak larut sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Syarief (1986 dalam Sutrisno 2004) juga menambahkan pada kenyataannya bahwa unsur P tidak mudah tersedia untuk tanaman akibat difiksasi oleh tanah Tanaman kacang tanah menyerap phospor dalam jumlah yang kecil, namun unsur phospor sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan pembentukan biji kacang tanah. Pada umur pengamatan 12 MST pemberian pemupukan phospor dengan blotong memberikan pengaruh yang nyata terhadap variabel tinggi tanaman. Perlakuan pemupukan P4 (pemupukan phospor 32,4 kg/ha dan blotong 10 ton/ha) mengakibatkan nilai rata-rata tinggi tanaman tertinggi yaitu 18
60,13 cm. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk phospat dan blotong dengan dosis tersebut telah memenuhi kebutuhan tanaman terhadap unsur hara phospor, sehingga unsur phospor yang diserap tanaman untuk proses fotosintesis telah mencapai keseimbangan. Phospor diduga memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tanaman pada umumnya mempunyai jaringan yang dibangun dari karbohidrat, lemak dan nukleoprotein. Unsur hara yang sangat penting untuk membentuk jaringan tanaman antara lain adalah unsur phospor. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Havlin et al.,(2005 dalam Munawar 2011) phospor merupakan bagian essensial proses fotosintesis dan metabolisme karbohidrat sebagai fungsi regulator pembagian hasil fotosintesis antara sumber dan organ reproduksi, pembentukan inti sel, pembelahan dan perbanyakan sel, pembentukan lemak dan albumin, organisasi sel dan pengalihan sifatsifat keturunan. Selanjutnya Suprapto (1994) mengatakan bahwa hara phospor akan mendorong pertumbuhan akar permulaan sehingga akan meningkatkan penyerapan unsur hara dan air oleh tanaman kacang tanah. Dengan meningkatnya serapan hara dan air akan meningkatkan laju fotosintensis, selanjutnya hasil fotosintesis berupa karbohidrat diubah menjadi organ-organ tanaman seperti batang, daun dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Hartatik et al. (1995) bahwa tinggi tanaman meningkat dengan meningkatnya takaran phospor. Sedangkan hasil penelitian Pasaribu dan Suprapto (1985), pemberian phospor dapat meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah cabang. Pemberian blotong sebagai bahan organik juga mampu membantu ketersediaan unsur phospor di dalam tanah sesuai dengan (Tabel 5). Hal ini seperti diungkapkan Williams et al. (1993 dalam Munawar 2011) pemberian bahan organik mampu memperbaiki agregat tanah yang akhirnya akan meningkatkan perkembangan akar sehingga penyerapan unsur hara serta air menjadi lebih baik. Dengan kondisi lingkungan yang lebih baik maka didapatkan pula kondisi pertumbuhan tanaman yang maksimal ditunjukkan pada (Tabel 1).
Pemberian bahan organik mempunyai pengaruh terhadap ketersediaan phospor baik secara langsung melalui proses mineralisasi atau secara tidak langsung dengan membantu pelepasan phospor yang terfiksasi, sehingga ketersediaan phospor meningkat. Meningkatnya ketersediaan hara ini menyebabkan proses serapan hara berjalan lancar (Blair, 1993 dalam Munawar, 2011). Perlakuan P2 menunjukkan rata-rata tinggi tanaman terendah yaitu 47,38 cm. Hal ini diduga karena kurangnya pemberian unsur phospor sehingga pertumbuhan tanaman terhambat, serta tidak adanya bahan organik yang mampu memperbaiki tanah dan memepermudah pergerakan akar. Seperti yang diungkapkan Suntoro (2002) kahat phospor mengakibatkan pertumbuhan terhambat, perakaran tidak sempurna, pembungaan dan pemasakan buah terhambat, pembentukan protein terganggu. Gejala defisiensi tampak pada daun tua yang mulamula berwarna hijau tua karena banyak khorofil menjadi kemerahan, tanaman kerdil, mudah patah dan akhirnya mati. Phospor merupakan unsur yang mobil di dalam tanaman, apabila tanaman kekurangan phospor maka akan diambil dari jaringan tua ke jaringan meristem yang sedang aktif. Suatu ukuran yang telah diterima secara umum untuk melihat pertumbuhan suatu tanaman adalah bobot kering biomassa, baik dari tanaman seluruhnya ataupun bagianbagiannya. Bobot basah biomassa atau bobot segar suatu tanaman pada suatu waktu mengalami perubahan yang besar dalam status airnya, yang berubah-ubah dalam waktu sehari. Sementara jaringan yang lebih tua mengering, terjadi kehilangan berat basah yang besar hanya karena kehilangan air. Sekitar 90 % bahan kering tanaman adalah hasil fotosintesis, analisis pertumbuhan yang dinyatakan dengan berat kering terutama adalah mengukur kemampuan tanaman sebagai penghasil fotosintat (Fisher, 1996 dalam Munawar, 2011). Perlakuan pemberian blotong sebagai substitusi pemupukan phospor tidak berpengaruh pada variabel pengamatan bobot basah biomassa dan bobot kering biomassa. Pengamatan bobot basah biomassa dan bobot kering biomassa dilakukan pada fase vegetatif yaitu 19
pada umur 2, 3, 4, 5 dan pada saat panen umur 12 MST untuk mengetahui pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman ditunjukkan oleh pertambahan ukuran dan berat, pengamatan biomassa tanaman sejak umur 2 hingga 12 MST cenderung meningkat hal ini diduga meningkatnya biomassa tanaman dikarenakan meningkatnya jumlah dan volume sel tanaman seperti yang di ungkapkan (Budianto, 2011) . Perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap variabel bobot basah biomassa dan bobot kering biomassa, Hal ini diduga pertumbuhan dan perkembangan lebih dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar tanaman yang terdiri dari cahaya, udara, air dan tanah. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang berasal dari tanaman itu sendiri (faktor genetik). Faktorfaktor internal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman berkaitan dengan proses fisiologi. Faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap hasil yang akan diperoleh. Apabila salah satu faktor tersebut tidak tersedia bagi tanaman dan ketersediaannya tidak dalam seimbang dengan faktor lainnya, maka faktor tersebut dapat menghentikan pertumbuhan tanaman itu sendiri (Sugito 1995, dalam Sudrajad1995). Pengamatan variabel umur berbunga tanaman menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada perlakuan P0 dengan perlakuan P1, perlakuan P4 perlakuan P5. Perlakuan P1, P4, dan P5 memiliki waktu pembungaan yang lebih cepat yaitu P1 pada 24,75 HST, P4 pada 25 HST, dan P5 pada 25 HST. Hal ini diduga dengan pemberian pupuk phospor dengan dosis maksimum dapat mempercepat umur pembungaan. Unsur phospor yang terdapat pada blotong yang dikombinasikan dengan pupuk kimia phospor dapat mempercepat pendewasaan pada tanaman sehingga dapat mempercepat pembungaan tanaman kacang tanah. Sejalan dengan pendapat Sopher et al. (1982 dalam Munawar 2011) bahwa phospor berfungsi merangsang pembentukan akar, pembungaan, meningkatkan jumlah polong dan pembentukan buah. Penggunaan pupuk organik blotong diduga mampu membantu pasokan hara phospor bagi tanaman sehingga
mampu mempercepat pembungaan seperti yang diungkapakan Soedardjo dan Mashuri, (2000) Bahan organik menghasilkan asamasam organik yang dapat membantu penyerapan phospor. Tanaman kacang tanah mempunyai sifat pertumbuhan bunga yang tidak terbatas. Bunga pertama kira-kira muncul pada hari ke 27 sampai ke 32 yang ditandai dengan munculnya bunga pertama (Trustinah, 1993). Pada penelitian ini perhitungan jumlah bunga dimulai pada tanaman umur 22 HST karena sudah ada tanaman yang mulai berbunga. Perhitungan jumlah bunga terus bertambah seiring umur tanaman dan ahirnya menurun menjelang masa pengisian polong. Hal ini sesuai dengan pernyataan Trustinah (1993) bahwa jumlah bunga yang dihasilkan setiap harinya akan meningkat sampai maksimum dan kemudian menurun mendekati nol selama masa pengisian polong. Perlakuan pemberian blotong sebagai substitusi pemupukan phospor pada tanaman kacang tanah tidak memberikan pengaruh terhadap variabel jumlah bunga setiap tanaman. Hal ini diduga jumlah bunga setiap tanaman pada tanaman kacang tanah dipengaruhi oleh faktor genetis dan faktor lingkungan jumlah bunga yang dihasilkan tanaman kacang tanah juga dipengaruhi oleh varietas, suhu dan kelembaban (Ambar, 2008). Pembentukan ginofor terjadi setelah pembuahan ketika selsel tepat di dasar bunga (receptable) membelah cepat dan terutama dalam bidang membujur. Ginofor yang terbentuk oleh suatu bunga kemudian tumbuh miring ke atas sepanjang 1 cm sebelum akhirnya membelok ke bawah secara tajam. Ginofor memanjang dan apabila menembus tanah akan menempatkan diri dalam kedudukan mendatar. Bakal buah terminal dan bakal biji mulai menggembung (Jacobs, 1947 dalam Ashley, 1995). Perlakuan pemberian blotong sebagai substitusi pemupukan phospor dalam penelitian ini berpengaruh terhadap produktivitas. Produktivitas tanaman kacang tanah pada pada penelitian ini diwakili oleh variabel polong isi setiap tanaman dan bobot biji kering setiap tanaman. Pengamatan variabel polong isi setiap tanaman dan bobot biji setiap tanaman menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Perlakuan P3 menunjukkan 20
hasil polong isi pertanaman tertinggi yaitu 32,75, dan berbeda nyata dengan perlakuan P0 (tanpa pupuk phospor dan blotong), dan perlakuan P1. Perlakuan P3 juga memiliki nilai tertinggi pada variabel bobot biji setiap tanaman yaitu 19,04 g dan berbeda nyata dengan perlakuan P0 yaitu 11,31 g. Pemberian bahan organik blotong perlakuan P3 dari hasil uji spektropharo (Tabel 5) menunjukkan kandungan unsur hara phospor pada tanah cenderung tertinggi yaitu 14,72 mg/l begitu juga dengan perlakuan P4 dan perlakuan P5 memiliki kandungan phospor pada tanah yang tinggi. Hal ini diduga dengan penambahan blotong pada tanaman kacang tanah dapat meningkatkan kandungan unsur phospor yang tersedia pada tanah. Diduga blotong sebagai bahan organik memperbaiki sifat fisik tanah sehingga mempermudah perakaran untuk menyerap unsur hara dari tanah. Selain itu baiknya kondisi tanah akibat pemberian bahan organik blotong mempermudah ginofor untuk menembus permukaan tanah dan membentuk polong. Blotong memiliki kandungan unsur phospor yang tinggi, perlakuan P3 telah meningkatkan ketersediaan phospor pada tanah juga meningkatkan serapan hara phospor pada tanaman. Penambahan blotong dengan pupuk kimia yaitu perlakuan P4 dan perlakuan P5 justru tidak semakin meningkatkan penyerapan unsur phospor pada tanaman, hal ini diduga karena dengan pemberian unsur blotong 10 ton/ha telah menunjukkan konsentrasi hara didalam tanaman sudah memasuki fase cukup, sehingga meskipun dilakukan penambahan unsur hara tidak akan meningkatkan konsentrasi hara yang diserap tanaman. Unsur phospor yang cukup yang terkandung pada tanaman juga dapat meningkatkan jumlah polong isi pada tanaman kacang tanah. Meningkatnya jumlah polong isi setiap tanaman kacang tanah mengakibatkan semakin tingginya berat biji setiap tanaman kacang tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan syarif (1984 dalam Sutrisno 2004) senyawa phospor yang berenergi tinggi (ATP, ADP, UTP, dan UDP) dapat mempunyai potensi menyimpan dan melepaskan energi untuk proses metabolisme didalam tanaman, sehingga jika phospor cukup tersedia maka
hasil metabolisme didalam meningkat. Menurut Dwijosaputro (1978) unsur phospor dalam tanaman setelah bergabung dengan zat pembawa phospat menjadi adenosin tripospat (ATP), adenosin dipospat (ADP), uridin tripospat (UTP) dan uridin dipospat (UDP) dapat berperan sebagai zat penghasil energi kimia untuk proses metabolisme misalnya dalam pembentukan karbohidrat dan perubahanperubahan karbohidrat menjadi bentuk lainnya. Setyati (1988 dalam Sutrisno 2004) juga menambahkan pada fase generatif hampir sebagian besar hasil metabolisme berupa karbohidrat disimpan. Jumlah karbohidrat terbanyak terdapat pada tempattempat penyimpanan cadangan makanan. Tempat penyimpanan cadangan makanan pada tanaman kacang tanah adalah biji, oleh karena itu apabila unsur phospor didalam tanah cukup tersedia bagi tanaman maka hasil metabolisme yang disimpan dalam biji meningkat, akibatnya menambah berat dan ukuran biji, berarti meningkatkan hasil kacang tanah perpetak (Isbandi, 1983 dalam Sutrisno, 2004). Ketersediaan unsur hara phospor akibat perlakuan pemberian blotong 10 ton/ha diduga dapat meningkatkan jumlah bunga jadi polong, sehingga meningkatkan jumlah polong isi setiap tanaman dan akan meningkatkan pula berat biji kering setiap tanaman. (Anonimous, 2009b) mengungkapkan phosphor merupakan hara yang sangat penting bagi tanaman, karena sebagai salah satu bagian pokok dalam sel hidup, yang berperan dalam pertumbuhan tanaman, memperkuat tubuh tanaman, meningkatkan jumlah bunga menjadi polong, mempercepat polong menjadi tua. Syariffuddin (1990 dalam Sutrisno 2004) menyatakan kecukupan unsur hara phospor di dalam tanah akibat pemupukan phospor dapat meningkatkan jumlah polong, jumlah biji, berat biji tiap tanaman dan berat 100 biji. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Sanjaya (1982 dalam Sutrisno 2004) kecukupan unsur phospor dalam tanah dapat meningkatkan bakal polong pada tanaman kacang tanah. Pengamatan variabel polong cipo setiap tanaman menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini diduga bunga yang bisa menjadi polong isi terutama adalah bunga yang muncul pada periode awal dan letaknya 21
tidak terlalu tinggi, sehingga memiliki periode pengisian polong yang lebih panjang dan mempunyai daya saing yang lebih besar daripada pengisian polong pada periode berikutnya. Bunga yang muncul pada periode yang lebih lama merupakan bunga yang berada pada ketiak batang yang lebih muda dan letaknya lebih tinggi daripada bunga yang muncul saat awal, sehingga panjang ginofor tidak mampu menembus tanah. Keadaan ini akan mengakibatkan pada saat panen akan terdapat banyak polong yang belum masak. Polong-polong yang terbentuk lambat mempunyai laju pertumbuhan yang lebih lambat daripada polong-polong yang terbentuk awal. Hal ini cenderung menyebabkan pada periode pemasakan ada polong polong yang masih berkembang dan menjadi polong cipo. Hal ini sesuai dengan pernyataan Maria (2000 dalam Ambar 2008) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah polong tidak selalu berarti semakin banyak jumlah polong isi yang didapat. Ini terjadi karena pada saat panen tidak semua polong berada dalam fase pengisian biji, terutama pada polong yang berkembang dari bunga yang antesisnya paling akhir. Trustinah (1993) menyatakan bahwa pembentukan biji dimulai ketika ujung ginofor mulai membengkak yaitu pada 40 hingga 45 hari setelah penanaman. Ujung ginofor tersebut akan membesar hingga mencapai ukuran maksimum untuk pengisian polong (polong penuh). Polong penuh dicapai pada hari 44 hingga 52 hari setelah tanam. Pada keadaaan ini polong masih berwarna putih dan guratan pada kulit polong belum nampak. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Secara umum perlakuan pemberian pupuk phospor pada tanaman kacang tanah meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman kacang tanah. Perlakuan P3 cenderung memberikan pengaruh yang terbaik terhadap variabel polong isi setiap tanaman dengan nilai tertinggi 32,25 polong, bobot biji setiap tanaman dengan nilai 19,04 g, kandungan phospor pada tanah yaitu 14,72 mg/l dan kandungan pospor tanaman yaitu 25,57 mg/l. Perlakuan P4 cenderung
memberikan pengaruh terbaik pada variabel tinggi tanaman 12 MST yaitu 60,13 cm. Perlakuan P1 cenderung memberikan pengaruh terbaik pada variabel umur berbunga tanaman yaitu 24,75 HST. Pemberian blotong dapat dijadikan pupuk tambahan yang dikombinasikan dengan pupuk kimia phospor sebagai peningkatan terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang tanah. Saran Perlu diadakannya penelitian lanjutan mengenai penggunaan pupuk blotong dengan dosis lebih rendah dari 10 ton/ha pada tanaman kacang tanah guna mengetahui pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kacang tanah dan mengurangi biaya produksi. DAFTAR PUSTAKA Anonimous.2009a. Analisis Kimia Blotong. Sumber:http://komposorganik.blogspo t.com/2009/03/blotong-sebagai-bahankompos.html (Diakses tanggal 12 Oktober 2011) _________2009b. Kacang Tanah (Arachis hypogeae L.) Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi http://www.ristek.go.id\ (Diakses tanggal 12 Oktober 2011). _________. ?.Tinjauan Pustaka . Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/bitstream/12 3456789/16428/4/Chapter%20II.pdf (Di akses 5 juli 2012) Anwar Ispandi dan Lawu J. Santoso. 2002. Tanggap Tanaman Kacang Tanah Terhadap Pemupukan P,K,S, di Lahan Kering Tanah Alfisol dalam Membangun Sistem Produksi Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 22
Ariko, Meilinda Fitriani. 2009. Pemanfaatan Limbah Blotong Pabrik Gula Cinta Manis Menjadi Pupuk Kompos Dengan Menggunakan Aktivator Effective Microorganisme 4. http://digilib.polisriwijaya.ac.id/gdl.ph p?mod=browse&op=read&id=ssptpols ri-gdlmeilindafi-1763, (Diakses tanggal 09 Oktober 2011. Arsana. IGK.D. 2007. Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandiarian Pangan. Pengkajian Shuttle Breeding Kacang Tanah di Lahan Kering Beriklim Kering Dataran Rendah GerokgakBuleleng. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bali. Ashley, J.M. 1992. Kacang Tanah, dalam Goldsworthy, P.R dan N.M. Fisher (edr.) Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Diterjemahkan oleh Tohari. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Cibro, A.M.2008. Respon beberapa varietas kacang tanah (Arachis hypogeae L.) Terhadap pemakaian mikoriza Pada berbagai cara pengolahan tanah Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara. Dewi
Ika Kusuma. 2009. Efektivitas Pemberian Blotong Kering Terhadap Pertumbuhan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) pada Media Serbuk Kayu.Tesis. Sekolah Sarjana S1 Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Dwijoseputro. 1987. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia Jakarta. Marsono dan Lingga P. 2009. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penerbit Penebar Swadaya. Depok. Munawar. Ali. 2011. Kesuburan Tanah Dan Nutrisi Tanaman.Penerbit IPB press. Bogor.
Oentari Ambar P. 2008. Pengaruh Pupuk Kalium Terhadap Kapasitas Source And Sink Pada Enam Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Skripsi. Program studi agronomi Fakultas Pertanian Intitut Pertanian Bogor. Poerwowidodo. 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa. Bandung. Premono, M. Edi. dan Wiwik E. Widayati. 1999. Kompos dan Biofertilizer Sebagai Pupuk Organik : Diskusi Teknis II/1999 Masalah Pemupukan. P3GI. Pasuruan. Purnomo, J, Trustinah , Novita, M. 2007. Tingkat Kehilangan Kacang Tanah Tipe Spanish dan Valencia Akibat Kekeringan. Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan, Balai Penelitian Tanaman Kacang kacangan dan Umbi-umbian. RUKMana, R. l998. Kacang Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sagala, Anggiat. 2009. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tomat (Solanum licopersicum Mill.) Dengan Pemberian Unsur Hara Makro-Mikro Dan Blotong Skripsi. Universitas Sumatra Utara. Medan. Setiawan, Koko. 2006. Pengusahaan Tebu (Saccharum officinarum. L) di Pabrik Gula Tjoker PTPN X Surabaya Dengan Aspek Khusus Peberian Kompos Blotong Pada Tanaman Pertama. Skripsi. Institut pertanian Bogor. Siregar, M. 2006. Respon Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogeae L.) Terhadap Waktu Pemangkasan dan Perebahan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara.
23
Somaatmadja, S. 1991. Kacang Tanah (Arachis hypogeae L.). Penerbit C.V. Yasaguna.
hypogeae L), pemerintah Kabupaten Pati Kantor Penelitian Pengembangan 2004.
Sumarno dan Slamet, P. 1993. Fisiologi dan Pertumbuhan Kacang Tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Malang.
Suwardjono, 2003. Pengaruh Beberapa Jenis Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah, Jurnal Matematika, Sain dan Tehnologi.
Suntoro. 2002. Pengaruh Pemberian Bahan Organik, Dolomit, dan KCl terhadap Kadar Khlorofil, Dampaknya pada Hasil Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Biosmart. Sedjati, Subur. 2004. Kajian Pemberian Bokashi Jerami Padi Dan Pupuk P pada kacang tanah http://eprints.umk.ac.id/109/1/kajian_p emberian_bokashi_jerami_padi.pdf. (diakses 11 januari 2011). Suprapto, H.S, 2000. Bertanam Kacang Tanah. Penerbit Sinar Baru Bandung. Suprapto. H.S, 1997. Bertanam Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.). Penebar Swadaya. Jakarta.
Trustinah, A. Kasno, N. Nugrahaeni. 2007. Peningkatan Produksi Kacangkacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandiarian Pangan. Pengelompokan Plasma Nutfah Kacang Tanah Varietas Lokal dengan Teknik Peubah Ganda. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Zuraidah, R dan R. Qomariah. 2007. Peningkatan Produksi Kacangkacangan dan Umbi Umbian Mendukung Kemandiarian Pangan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan.
Sutrisno. 2004 Study dosis pupuk dan jarak tanam kacang tanah (Arachis
24