Pasung Oleh Galuh Dwi Anindyawati Matahari tergelincir ke barat, menyisakan redup yang tak sedikitpun mencekam. Suara deburan ombak menggodaku untuk bertelanjang kaki di antara deburan ombak di luar sana. Siang tadi, matahari berusaha membakar kulitku di dalam rumah tak beratap ini. Aku cukup lama melawan ketakutan yang tak pernah kuciptakan sendiri. Membiarkan jiwa dan ragaku terbelenggu dalam jerat yang menyiksa selama aku berpetualang. Aku perempuan, tapi aku tak harus tinggal di rumah seperti harapan mereka. Perempuan menjadi seorang bagpacker, adalah hal yang umum menurutku. Namun tidak dengan orang tuaku. Aku selalu menghormati mereka, dua insan yang ditakdirkan menjadi orang tuaku. Mereka lahir dan tumbuh dari rahim perempuanperempuan berdarah seni dan menjunjung tinggi tradisi. Memang, aku tak mengerti silsilah yang akhirnya bermuara pada penerus sepertiku. Hanya saja, aku seakan menjadi tumbal setelah mereka kehilangan satu di antara kami. Aku harus menjadi apa yang mereka inginkan tanpa mendengar apa yang ku inginkan. Aku ingat betul, Ayah selalu menasehatiku tentang pentingnya berbudaya. Karena aku lahir di tanah Jawa dan tentu tumbuh di lingkungan serupa. Juga tentang ketabuan yang yang tak boleh kulanggar. Ibu pun sama. Hanya saja Ayah lebih terlihat sabar menghadapiku yang keras kepala ini. Kupikir, tradisi kejawen telah mendarah daging pada diri mereka. Ibu selalu bilang, “Ibuku adalah pesinden terbaik, jadi wajar saja darah seninya yang kental mengalir juga pada Ibumu ini. Seharusnya kamu itu bisa mengangkat kebudayaan kita lewat kesenian daerah, bukannya jalan-jalan tidak tentu arah.” ucapnya bangga. Saat itu, aku menolak di ajak berlatih menembang. “Kalau begitu kamu ke rumah Eyang Putri, latihan menari gambyong di sana, bulan depan Pak Gubernur datang ke Wonogiri, siapa tahu kamu bisa menari di sana. Menyambut Pak Gubernur.” ucapnya lagi. Aku menggeleng. Matanya menghunus
1
tepat di bola mataku. Masih dapat kuingat, waktu itu riasan mata Ibu mulai luntur akibat peluh yang mengucur dari dahinya. Aku tak masalah dengan profesi orang tuaku. Mereka telah meninggalkanku sejak masih dalam gendongan. Kira-kira sejak usiaku satu tahun, aku telah di titipkan pada Eyang Putri. Ibu dari Ayahku, mantan penari tradisional yang terkenal di zamannya. Aku sama sekali tak protes dengan ritual-ritual kejawen yang di lakukannya. Pada malam satu suro misalnya, mereka ke sebuah tempat di Wonogiri bernama Kayangan, untuk memandikan keris dan pusaka keluarga lainnya. Mereka memegang teguh tradisi, namun bukan berarti tak beragama. Akan tetapi, keinginan terbesarku tak pernah disambut baik. Mereka selalu mengaitkan perempuan dengan hal-hal yang di anggap tabu. Tempatku terlalu terbuka hingga mataku tertumbuk pada beberapa perempuan paruh baya yang melarung sesaji ke tengah laut. Aku diam memperhatikan mereka dengan seksama. Sesaat kemudian pikiranku sedikit menarik cerita masa kecilku juga dengan segala tradisiku. “Kamu itu kalau makan secukupnya saja…” satu lagi teguran itu ku dengar darinya. Kala itu kami menghadiri acara pernikahan salah satu keluarga kami. Aku mengangguk pelan ketika Ibu memperingatkanku untuk kedua kalinya. Aku berdiri beberapa meter dari meja prasmanan. Ku kira hanya ibuku yang memegang prinsip demikian, nyatanya hampir seluruh tamu undangan memiliki persepsi yang serupa dengannya. Aku di antrian terakhir. Usia baru 12 tahun ketika itu. Ibu mengajarkanku rasa sungkan pada orang yang lebih tua. Satu hal lagi yang membuatku semakin heran. Ibu memintaku untuk menyisakan makanan milikku. Alasannya, perempuan itu tidaklah sopan menghabiskan seluruh makanannya di hadapan tuan rumah. Bahkan Ibu juga menahanku memakan baso terakhir yang tersisa di mangkokku ketika kami makan di luar sehari sebelumnya. Aku pun pernah melihat ibu dan beberapa temannya waktu arisan keluarga, satupun tak ada yang menghabiskan makanan di piring mereka. Pasti ada saja yang tersisa, entah lauk ataupun nasi walau sebenarnya mereka belum kenyang.
2
“Jangan di habiskan, tak sopan? Itu lihat mereka sudah berhenti, taruh sendokmu..” bisiknya ditengah-tengah aktivitasku. “Lhoh, kenapa Ibu mulai lagi ketika aku benar-benar sedang lapar?” rengekku kala itu. “Mereka sudah berhenti, kenapa kamu masih nekat makan, Ajeng?” Ibu menyikutku, suaranya setengah berbisik. “Ibu guru bilang, kalau makanannya tidak dihabiskan, nanti ayamku mati…” jawabku kala itu meredam emosi Ibu. “Lagi pula aku tak mau jadi mubadzir, satu butir nasi yang tersisa di piring akan jadi rezeki yang terbuang sia-sia, Bu.” Ibu hanya diam saja. “Apa peraturan semacam ini hanya berlaku untuk perempuan seperti kita saja bu?” tanyaku. “Jelas tidak. Semuanya pun sama…” “Tapi kenapa orang itu mengambil makanan dengan lauk yang menggunung dan tidak ada yang melarang?” Ibu diam sejenak. “Itu juga, malah perempuan seperti kita.” Ibu tersudut oleh pernyataanku. “Mereka hanya belum memahami saja. Atau mungkin mereka memang tidak pernah diajarkan orang tuanya.” Kilahnya. “Ah, apa iya bu? Sudah tua begitu…” protesku. “Nah, mulai protes ya?” Ibu menegur protesku. “Ajeng. Ibu memberi nama itu untuk kebaikanmu. Ibu berharap kamu jadi perempuan santun, tidak seenaknya sendiri. Apalagi main sampai jauh, seperti mbak mu itu…” Ibu mulai mengungkitnya. Aku di biarkan sendirian sementara Ibu bersua dengan teman-teman lamanya. Semuanya sama, penuh dengan perempuan-perempuan yang bersembunyi di balik jati dirinya. Mungkin jauh di dalam hati, mereka mengumpat satu sama lain. Tertawa 3
dengan tangan di depan mulut, mereka katakan sebagai bentuk kesopanan. Tetapi siapa yang tahu ikhlas atau tidaknya tawa yang diperdengarkan. Sementara ayah berkerumun dengan lelaki seusianya, entah membicarakan apa. Salah satu di antara mereka adalah Paman Rejo, seorang penabuh gong yang dulunya sempat menyukai Ibuku. Tapi aku tak tertarik menggali romansa mereka dan seperti apa cerita tentang ayah ibuku sebelum aku hadir. Dunia memang sempit. Tapi bagi mereka. Tidak untukku. Telah jauh kuarungi kenangan masa kecilku. Beruntung laut tak pasang, kalau pasang, bisa saja aku basah oleh air laut. Bulan purnama yang entah berapa kali hadir dalam perjalananku mulai ku rindukan. Walau dulunya sempat ku benci karena suatu hal. Aku merebahkan diri di atas pasir. Jauh di atas sana, awan tipis membelai langit. Aku ingin pulang. Jujur. Aku rindu mereka. Aku telah berusaha menjadi perempuan meski rupaku tak menunjukkan paras ayu perempuan Jawa. Kulitku tak lagi kuning langsat, kini berubah kecoklatan ketika aku selalu membiarkan matahari menghujaniku dengan teriknya. Ransel besar yang kumal itu ku titipkan di salah seorang rumah nelayan yang ku singgahi. Entah bagaimana reaksi ibu ketika aku kembali setelah aku membuatnya menangis saat itu? Bisakah menerima anak bungsunya kembali dengan rupa yang bahkan tak lagi terlihat seperti putrinya yang telah dikenalnya sejak dalam kandungan. Aku mendikte langit, menanyakan hal-hal yang tak ku ketahui tentang hidup. Aku telah menipu diriku dengan kata ‘tidak’. Kata yang sempat ku ucapkan ketika Paman Rejo menemuiku beberapa tahun sebelum aku tinggal di sini. “Apa kamu tidak rindu pada orang tuamu, nduk?” aku diam. “Tidak…” dak hanya kata itu yang dapat menjawab pertanyaannya “Dia mencemaskanmu…” aku tahu dia berbicara tentang ibuku. “Untuk apa?” ucapku. “Untuk segalanya. Kamu anak perempuan satu-satunya yang tersisa..”
4
“Aku telah mengecewakannya, dan ibu juga telah kecewa padaku, Paman. Jadi mana mungkin Ibu mencemaskanku?” ucapku. “Ibumu tidak ingin kamu pergi, nduk. Mereka. Kedua orang tuamu sayang padamu…” “Kalau iya, kenapa hanya aku, Paman? Mana rasa khawatir mereka pada kakak yang tiada?” “Kamu tidak mengerti, nduk. Mereka menyayangi kakakmu sama seperti menyayangimu?” “Juga dengan segala stigma yang mereka berikan kepada kami?” Aku menjawabnya dengan lugas, aku masih cukup kecewa ibu mengatakan hal yang sama seperti yang di katakannya pada kakakku tentang perempuan malam. Aku mengerti itu emosi sesaatnya, tapi aku tak bisa memaafkan diriku sendiri karena emosi juga yang telah menyeretku dari rumah. Tak ada usaha untuk mencegahku ketika aku memilih berkelana dengan sisa uang tabunganku selama bekerja. Yang ku lihat hanya punggungnya yang bergetar karena tangis. Atau mungkin dengan kegeramannya padaku. Entahlah. “Aku akan pulang. Suatu hari nanti…” Paman Rejo pergi meninggalkanku. Percikan ombak menyadarkanku, lamunan itu kian dalam ketika ku katakan aku rindu keluargaku. Aku rindu kakakku. Selama aku dalam perjalanan, aku mempertimbangkan ucapannya. Ketika dia ingin aku belajar menari pada Eyang Putri, aku turuti tanpa sepengetahuan ibu. Ketika aku mengunjungi berbagai etnis di Indonesia melalui perjalananku, aku belajar banyak hal. Rasa cintaku mulai tumbuh, tak hanya pada tarian tradisional Jawa yang aku pelajari. Juga tari pendet yang menurutku memiliki tingkat kesulitan paling tinggi ketika aku mempelajarinya di tanah Bali. “Aku telah belajar, Bu..” Aku ingin katakan itu padanya.
5
Aku telah temukan apa yang aku cari, dan mungkin apa yang kakak cari saat itu. Hanya saja, takdir menyisakan harapan yang pupus padanya. Aku berpikir bahwa takdir serupa terjadi padaku, hingga Ibu sering mengatakan hal-hal di luar nalarku. “Kalau kamu menikah nanti, jangan sama lelaki yang rumahnya di utara bagian barat. Tidak baik…” ini salah satunya. “Ayo nduk kamu harus puasa weton.” Ini juga. Namun kini aku mengerti tentang anjuran ini setelah aku tahu manfaatnya. “Jangan duduk di atas bantal..” karena bantal digunakan untuk kepala dan memang tidak pantas digunakan duduk, begitu pikirku. “Anak perempuan itu harus bangun pagi.” Ini karena perempuan memiliki kewajiban untuk memasak dan sebagainya. Aku merindukan wejangan Ibu ketika aku jauh darinya. Sejauh apapun jarak yang ku tempuh untuk mengurai ketidaktahuanku yang membatu selama ini, pada akhirnya aku harus kembali. Seperti laut yang bersua dengan pasir di bibir pantai, aku harus menghapus keegoisanku sama halnya dengan deburan ombak yang menggulung langkahku menjadi tiada. Langit tetaplah sama seperti biasanya. Hanya sesekali Tuhan memperindahnya dengan bintang dan tirai-tirai suci awan. Selalu ku katakan pada diriku untuk sendiri tanpa ada satupun orang yang tahu tujuanku kecuali Tuhan yang Maha mengetahui. Biarkan kakak yang tenggelam oleh purnama, di lautan itu. Tapi aku tidak. Aku ingin kembali dengan jati diri yang telah ku miliki. Aku bisa menari. Sungguh aku bisa. Aku ingin tunjukkan ini pada ibuku. Pada Eyang Putri yang masih tetap sehat di usianya yang senja. Pada kakakku yang tak pernah ku lihat wujudnya kecuali foto dalam album lawas yang ada di lemari kamar ibu. Terakhir ku lihat, fotonya masih tersimpan rapi di lemari itu, dan mungkin saja juga tetap tersusun rapi dalam hati ibu. Ayah juga, seseorang yang kuat dibalik kesabarannya.
6
Malam tak jua padam ketika aku mendengar segerombolan anak kecil itu berlarian di bibir pantai. Memperebutkan bola plastik yang di belinya siang tadi. Ini selalu menjadi hiburan tersendiri untukku. Meski tiada darah yang menyatukanku dengan mereka. Tapi mereka telah menjadi keluarga baru bagiku. Tak hanya mereka, namun juga beberapa orang yang menerimaku di rumah mereka dalam perjalanan. Aku memiliki mama, ambu, abah, kakak, uni, uda, teteh dan beberapa panggilan yang ku sematkan di depan nama-nama mereka. Aku ingin kembali ke rumah. Memasakkan mereka makanan khas daerah yang telah ku pelajari dari ahlinya. Sesuatu yang dulu tak ku pelajari saat di rumah, meski ibuku selalu bilang perempuan harus bisa memasak. “Kehidupan sebuah keluarga dimulai dari dapur.” Begitulah katanya. Bila aku sanggup, aku ingin pulang sekarang. Hampir lima belas tahun aku selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari satu keluarga ke keluarga lain. Dari satu daratan ke daratan lain. Hidup sebagai seorang bagpacker. Tapi kini aku membayar atas apa yang aku pilih. Kehormatanku terenggut oleh tangan-tangan kotor ketika aku dalam perjalanan dari Palembang. Harta bendaku sudah habis tak tersisa. Juga keluarga yang akhirnya tak lagi ku miliki. Jiwaku sempat terbelenggu dalam harapan orang tuaku. Namun ragaku benar-benar terpenjara di tempat ini. Aku ingin kembali. Tapi semua peristiwa itu telah membuatku tak lagi di segani seperti ketika Ayah dan Ibu ada di sampingku dulu. Lautan akan bersaksi jika mampu, bahwa aku di buang ke tempat ini. Sebuah pantai di Wonosari bersama orang tua angkatku. Tapi mereka baik, sangat baik karena selalu mendengar keluh kesahku. Dengan jejak terbelenggu dalam sangkar raksasa yang sudah dua tahun menjadi rumahku ini. Aku senang di sini. Aku ingin ibu di sini dan menasihatiku lagi. Tinggal bersamaku lagi. Mengajariku tata krama dan sopan santun lagi. Tapi hingga saat ini tak satupun orang mau berbicara padaku. “Apakah kau membuangku???” dan aku berakhir di sini, berbicara pada mereka, bebatuan yang ku panggil Ayah dan Ibu, kedua orang tua angkatku. Selesai 7