PARTISIPASI PUBLIK DALAM KEGIATAN ADMINISTRATIF PUBLIK DI ERA DESENTRALISASI DEMOKRATIS: Kemauan Birokrasi Mempartisipasikan Warga dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik Oleh: Dr. Ulber Silalahi, MA. Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan Bandung e-mail:
[email protected] Abstrak Partisipasi publik merupakan satu dimensi utama dari demokrasi. Oleh karena itu tingkat partisipasi publik menjadi satu ukuran untuk mengamati apakah satu local public administrative order merupakan satu sistem yang demokratis atau tidak. Partisipasi publik adalah kemauan birokrasi untuk mempartisipasikan warga dalam kegiatan administratif publik. Dengan demikian local public administrative order disebut demokratis jika birokrasi berkemauan tinggi untuk memberi peluang kepada warga untuk terlibat dalam dan memengaruhi kegiatan administratif publik yang mereka buat seperti pemberian pelayanan publik. Kemauan birokrasi untuk mempartisipasikan warga tanpak dari usaha-usaha yang dilakukan yang tersusun dalam tangga partisipasi warga (ladder of citizen participation) yang terdiri dari public awarnes, public education, public sharing, public input, public consultation, public engagement, public partnership. Masalah dalam kajian ini fokus pada seberapa tinggi kemauan birokrasi untuk mempartisipasikan warga dalam pelayanan publik di era desentralisasi demokratis (bukan seberapa tinggi kemauan warga untuk berpartisipasi atau seberapa tinggi tingkat partisipasi warga seperti banyak penelitian dilakukan). Kajian ini menggunakan metode penelitian survei deskriptif dimana data diperoleh dari 100 responden (anggota Kamar Dagang dan Industri Pemerintah Kota Bandung), data dikumpulkan melalui kuesioner dan data dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif univariat untuk mencari distribusi frekuensi dan central tendency. Dari hasil analisis ditemukan bahwa di era desentralisasi demokratis tendensi kemauan birokrasi untuk melibatkan warga dalam pelayanan publik berada pada kategori tinggi (dalam kategori tinggi, cukup tinggi, rendah). Kemauan birokrasi yang tinggi untuk mempartisipasikan warga tampak dalam usaha mereka untuk secara intens melakukan. public awarnes, public education, public sharing, public input, public consultation, public engagement, public partnership. Kata Kunci: Demokrasi, administrasi publik demokratis, partisipasi publik, pelayanan publik, kemauan manajer publik, warga.
Pendahuluan Partisipasi publik dalam kegiatan-kegiatan administrasi publik merupakan satu dimensi utama dari administrasi publik demokratis. Oleh karena itu partisipasi publik dapat digunakan untuk mengukur apakah local public administrative order merupakan sistem yang demokratis atau tidak. Disebut demokratis jika kegiatan administratif publik partisipatoris. Dalam administrasi
publik
partisipatoris,
administrator
publik
bersama-sama
dengan
warga
memecahkan masalah-masalah umum dalam satu kerjasama dengan cara saling menguntungkan (King dan Stivers. 1998; Denhardt & Denhardt. 2003; Box & Sagen. 1998). Dengan melibatkan warga dalam setiap kegiatan administratif publik maka bias kegiatan administratif yang sering tidak sesuai dengan kepentingan dan harapan publikdapat diminimasi, serta menghasilkan kegiatan administratif publik yang merefleksikan kebutuhan dan nilai-nilai warga. Partisipasi warga (citizenship participation) merupakan the cornerstone dalam kegiatan administratif publik demokratis (Nancy Roberts. 2004) dan menjadi kekuatan warga (citizen power) (Sherry R. Arnstein. 1967) untuk memengaruhi berbagai kegiatan administratif publik yang memengaruhi kehidupan mereka agar sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan mereka. Lagi pula cara terbaik untuk mencapai public purpose ialah to create opportunities for participation and collaboration (Denhardt dan Denhardt. 2003:103-104). Oleh karena itu partisipasi warga dalam kegiatan administratif publik harus ditingkatkan dengan membuka keran sebesar-besarnya dan seluas-luasnya. Terkait dengan partisipasi, ada dua hal penting yang dibicarakan sekarang ini yaitu bagaimana membuat administrator (manajer) publik mau memberi ruang bagi warga untuk ikut terlibat atau mau mempartisipasikan warga dalam berbagai kegiatan administratif publik; dan bagaimana warga mau terlibat dan secara nyata tertlibat dalam berbagai kegiatan administratif publik seperti pembuatan kebijakan publik atau pemberian layanan publik. Kemauan administrator public untuk mempartisipasikan atau melibatkan warga serta meningkatkan keterlibatan atau kesertaan warga dalam kegiatan administrtif publik adalah sangat penting dan menjadi salah satu prinsip fundamental dari kegiatan administratif publik demokratis (deLeon & deLeon. 2002; Beetham. 1994; Parker. 2003). Dengan mempartisipasikan warga sesungguhnya memberi pemerintah akses untuk informasi penting tentang the needs and priorities of individuals, communities and private businesses. Pemerintah yang melibatkan publik will be in a better position to make good decisions, and decisions will enjoy more support
once taken”. (Diunduh dari http://www.gdrc.org/u-gov/doc-oecd_ggov.html#Organisational pada tanggal 31 Oktober 2013). Sejatinya
administrator
publik
dan
juga
front-line
public
managers
dapat
memempartisipasikan warga dengan membuat kegiatan administratif mereka lebih partisipatoris. Sejatinya administrator (manajer) publik demokratis berkewajiban untuk menjadi aktor atau agen partisipatoris dalam setiap kegiatan administratif publik yang mereka buat. Sejatinya administrator (manajer) publik harus berkemauan untuk memberi ruang bagi keterlibatan warga lebih besar karena warga adalah prinsipal yang harus dilayani oleh birokrasi.
Rumusan Masalah Masalah yang ada dalam administrasi publik adalah ketidakmauan administrator publik mempartisipasikan warga dalam kegiatan-kegiatan administratif publik. Pintu dan ruang partisipasi dalam kegiatan administratif publik belum terbuka lebar untuk warga. Fenomena ini masih ditemukan di awal era otonomi daerah. Temuan The Asia Foundation lewat program Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA) di 40 kabupaten/kota di 27 propinsi seluruh Indonesia menunjukkan bahwa di era otonomi daerah peran birokrat daerah ternyata tetap lebih dominan dalam penetapan sebuah kebijakan di berbagai bidang, tidak terkecuali dalam kebijakan pelayanan publik (Kompas. 1 Mei 2003). Temuan IRDA lebih jauh menunjukkan kurangnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam sistem pembuatan kebijakan menjadikan ada kesenjangan antara rumusan program dengan kebutuhan masyarakat. Temuan Dwiyanto, dkk (2002:2) di tiga daerah di Indonesia juga menunjukkan kesempatan dan ruang yang dimiliki oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan publik selama ini juga amat terbatas. Dari temuan tersebut mengindikasikan bahwa sekalipun otonomi daerah telah berlangsung kira-kira tiga tahun tetapi formulasi kebijakan tetap tidak berbeda dengan era sebelumnya. Negara masih bersifat dominan, hanya terjadi pergeseran prosesnya dari pusat ke daerah. Sementara masyarakat tetap tidak memiliki cukup kemampuan memengaruhi pengambilan keputusan. Akibatnya, acapkali terlontar keluhan bahwa birokrasi publik daerah lebih banyak menganggarkan pembangunan fisik dan pembiayaan rutin ketimbang pelayanan publik.
Di Kota Bandung juga terindikasi administrator (manajer) publik kurang berkemauan untuk membuka keran partisipasi warga. Rosjid Wargadiwidjaja, Ketua BPC Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kota Bandung mengatakan, “Sebagai pelaku usaha, pihaknya merasa kurang dilibatkan dalam penyusunan peraturan daerah. Padahal seringkali peraturan itu justru akan mengikat para pelaku usaha. Beliau memberi contoh tentang Perda No. 31 Tahun 2001 tentang Usaha Kepariwisataan. Berdasarkan perda tersebut, retribusi dan ijin harus diperbaharui setiap tahun., padahal dulunya cukup satu kali saja. Itu bukan hanya hotel dan restoran besar, tapi dari hotel bintang hingga hotel melati. Karena itu pihaknya melayangkan keberatan. “Saya keberatan dengan perda tersebut. Bulan Februari, saya mengajukan keberatan kepada walikota dan DPRD. Bahkan saya pernah beraudiensi dengan DPRD Kota Bandung. Ke Walikota pun saya datang berkali-kali. Tapi responnya kurang. Karena itulah, PHRI Kota Bandung mengajukan surat keberatan ke Departemen Dalam Negeri. Ternyata Depdagri merespon dengan mengeluarkan Surat Keputusan No. 114/2002 yang ditandatangani sekretaris jenderal yang menyatakan bahwa perda itu harus direvisi karena bertentangan dengan UU No. 18/1997 dan UU No. 34/2000” (BUJET. Edisi 03/Tahun II/April 2004, h. 37). Ketika Pemerintah Kota Bandung ingin melakukan regulasi tentang pelayanan ijin usaha dalam rancangan peraturan daerah, seperti minuman beralkohol, sebagaimana dikemukakan oleh Syafrial, Kepala SubDinas Perdagangan Dalam Negeri, pemerintah yang dalam hal ini adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan melakukan usaha collecting information dan two-way communication dengan mengundang dunia usaha untuk melakukan pembahasan bersama. Namun ketika membuat keputusan masih menunjukkan pendekatan top-down. Artinya, pelaku usaha memberi masukan, namun masukan tersebut bukan saja tidak optimal melainkan juga tidak diakomodasi oleh birokrat pemerintah dalam membuat keputusan yang dilakukan di ruang tertutup. Birokrasi publik daerah cenderung mengabaikan aspirasi publik. Era desentralisasi dan demokratisasi pemerintahan dan administrasi publik menjadi peluang bagi birokrasi untuk mempartisipasikan warga dan peluang bagi warga untuk dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan administratif publik. Memfasilitasi dan mengakomodasi partisipasi warga dalam kegiatan administratif publik konsonan dengan demokratisasi administrasi publik. Harapan warga di era desentralisasi demokratis adalah birokrasi berkemauan untuk melibatkan warga dalam kegiatan-kegiatan administratif publik. Harapan yang sama juga ada pada masyarakat Kota bandung.
Sehubungan dengan masalah yang dikemukakan di atas, maka dua pertanyaan penelitian diajukan dalam studi ini yaitu: 1. Di era otonomi daerah, seberapa tinggi kemauan manajer publik untuk mempartisipasikan warga dalam kegiatan-kegiatan administratif publik di Kota Bandung?. 2. Di era otonomi daerah, apa ada perubahan peningkatan kemauan manajer publik untuk mempartisipasikan warga dalam kegiatan-kegiatan administratif publik di Kota Bandung?.
Tujuan Penelitian Tujuan dari kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui jawaban atas masalah yang dirumuskan atau dipertanyakan Berdasarkan rumusan masalah atau pertanyaan penelitian maka tujuan kajian ini adalah: 1. Menggambarkan tingkat kemauan manajer publik untuk mempartisipasikan warga dalam kegiatan-kegiatan administratif publik di Kota Bandung. 2. Menjelaskan perubahan kemauan manajer publik untuk mempartisipasikan warga dalam kegiatan-kegiatan administratif publik di Kota Bandung.
Kerangka Teoritik tentang Partisipasi Publik Definisi Ada dua perspektif ketika hendak mengkaji partisipasi dalam administrasi publik. Pertama, partisipasi dengan perspektif warga sebagai fokus; dan kedua partisipasi dengan perspektif administrator publik sebagai fokus. Dari perspektif warga, partisipasi adalah kemauan warga untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan administratif publik. Selanjutnya disebut citizen participation. Kemauan warga untuk terlibat dalam kegiatan administratif publik dimaksudkan untuk memengaruhi administrative decisions of policy-implementing agencies maupun public service-implementing agencies (Timney. 1998: 94) yang berdampak pada kehidupan mereka. Umumnya, partisipasi warga dikaji dalam dua hal yaitu tentang willingness to participate dan actual participation. Pembedaan kajian tentang willingness to participate dan actual participation penting karena “willingness to participate … doses not always translate into actual participation” (Roefs & Liebenberg. 2000: 289). Sementara itu, dari perspektif administrator publik, partisipasi adalah kemauan administrator (manajer) publik untuk mempartisipasikan warga dalam kegiatan administratif
publik. Selanjutnya disebut public participation. Administrator publik partisipatoris adalah administrator yang melibatkan warga dalam kegiatan administratif publik. Kajian ini ini fokus pada wajah partisipasi publik sebagai mana studi yang dilakukan oleh Nyhan (2000:91) terhadap partisipasi pegawai dalam organisasi dalam pembuatan keputusan. Menurut Nyhan, partisipasi dalam pembuatan keputusan adalah keinginan dari manajer untuk melibatkan pegawai dalam pembuatan keputusan dan satu persepsi oleh warga bahwa keterlibatan mereka adalah bermakna (meaningful). Dibandingkan dengan studi tentang partisipasi warga maka partisipasi publik relatif lebih jarang dilakukan Konsep partisipasi publik menunjukkan administrator publik (dalam tulisan ini dipertukarkan dengan manajer publik) adalah pihak yang melibatkan (participator) dan warga adalah pihak yang terlibat (participant). Jika administrator publik berkemauan untuk mempartisipasikan warga maka terbuka dan tersedia ruang bagi partisipasi warga. Tetapi jika manajer publik tidak memiliki kemauan untuk mempartisipasikan warga maka tidak ada ruang atau tempat bagi partisipasi warga. Kemudian jika warga berkemauan untuk terlibat dan keterlibatannya dirasakan bermakna maka partisipasi berkualitas. Jika warga tidak mau terlibat karena keterlibatannya dirasakan tidak bermakna berarti partisipasi tidak berkualitas. Jadi, kemauan administrator publik untuk melibatkan dan kemauan warga untuk terlibat merupakan dua wajah dari partisipasi publik berkualitas. Tanpa kemauan administrator publik untuk melibatkan warga maka partisipasi adalah hampa, dan tanpa kemauan warga untuk terlibat maka partisiapsi adalah siasia.
Desentralisasi, Demokrasi dan Partisipasi Publik Pelayanan publik partisipatoris ditentukan oleh dua aktor yaitu kemauan administrator publik untuk mempartisipasikan warga dan kemauan warga untuk berpartisipasi dalam kegiatan administratif publik. Kemauan administrator publik untuk melibatkan warga serta kemauan warga untuk terlibat menjamin bahwa satu demokrasi bekerja dalam kegiatan administratif publik
(www.hsrcpress.ac.za/user_uploads/tblPDF/1947_11_Democracy_and_governance_
Review.pdf). Oleh karena itu dua issu administratif kunci yang dibicarakan sekarang ini adalah bagaimana membuat administrator (manajer) publik mau mempartisipasikan atau memberi ruang bagi warga untuk terlibat dan bagaimana membuat warga mau terlibat dalam berbagai tindakan administratif publik seperti pembuatan kebijakan publik atau pemberian layanan publik.
Kemauan manajer publik untuk mempartisipasikana warga dan kemauan warga untuk berpartisipasi merupakan dua wajah yang menentukan kualitas demokrasi dalam tindakan administrtif publik. Keduanya sangat penting dan menjadi prinsip fundamental dan komponen utama dari tindakan administratif publik demokratis (deLeon & deLeon. 2002; Beetham. 1994; Parker. 2003). Baik penganut administrasi publik baru (new public administrationists) maupun penganut layanan publik baru (new public services) menekankan pada nilai partisipasi dalam kegiatan administratif publik (Denhardt. 1982:113). Partisipasi dalam kegiatan pemberian layanan publik menjadi satu komponen penting untuk menentukan democratic public service sementara partispasi dalam pembuatan keputusan menjadi satu komponen penting untuk menentukan the democratic decision-making. Partisipasi adalah penting karena memperbaiki kualitas kegiatan administratif publik dan mendapat dukungan untuk kegiatan administratif publik (Tannenbaum & Massarik dalam Matteson dan Ivancevich. 1996:208) serta meningkatkan citizen interest in government, empower citizens, develop sense of community, build trust in government, improve decision making, gain support for decisions, educate the public, delay decisions, co-optation, reduce conflict, satisfy legal requirement (Diunduh dari http://web.utk.edu/-dhouston/psc550/chal1b.pdf). Wamsley dan Wolf (1996) maupun King dan Stivers (1998) mengatakan betapa pentingnya administrator publik melibatkan warga dalam kegiatan administrasi publik bukan sekedar mereka sebagai pelanggan (customers) melainkan dalam posisi mereka sebagai warga (citizens). Pelayanan publik partisipatoris atau manajer publik yang mau melibatkan warga hanya ditemukan dalam administrasi publik demokratis. Betapa pentingnya democratic administration untuk membuat administrator publik lebih partisipatoris dalam kegiatan administratif publik. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah membuka jalan untuk membuat administrasi publik demokratis. Kegiatan administratif publik demokratis yang melibatkan warga didasarkan pada asumsi bahwa semua yang dipengaruhi oleh satu kegiatan administratif publik tertentu berhak untuk berpartisipasi dalam kegiatan administratif publik tersebut. Baik kemauan birokrasi untuk melibatkan warga maupun kemauan warga untuk terlibat dalam kegiatan administratif publik lebih mungkin terjadi dalam administrasi publik didesentralaisasi dan demokratis. Desentralisasi demokratis memberi kesempatan yang lebih luas bagi partisipasi publik dalam kegiatan administratif publik yang memengaruhi kehidupan mereka (The Asia Foundation. 2003:8). Karena itu tuntutan bagi administrator publik demokratis untuk memperluas peran
ruang publik dalam tindakan-tindakan administratif publik yang mereka kerjakan. Jika warga tidak dipartisipasikan akan menimbulkan rasa diasingkan dan menjadi apatis dalam penyelengaraan pemerintahan dan administratif publik. Apati warga (citizen apathy) adalah berbahaya. Satu metode untuk memberantas apati warga adalah the encouragement and facilitation of public participation …. citizens are directly involved in government and administration to the maximum extent (Hilliard dan Kemp. 1999: 354).
Mengukur Partisipatori Publik Partisipasi warga merupakan kunci untuk konstruksi dari satu birokrasi yang demokratis. Birokrasi demokratis merupakan birokrasi partisipatoris yaitu birokrasi yang berkemauan memberi peluang bagi untuk partisipasi pada semua kegiatan administratif publik, terutama yang memengaruhi kehidupan mereka. Dalam dministrasi publik demokratis kepada warga sebagai anggota dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan organisasi publik (Rosenbloom, 1992: 222; Harmon dan Mayer, 1982: 172). Kemauan administrator publik untuk melibatkan warga tampak dalam usaha-usaha yang dilakukan oleh administrator publik untuk membuka ruang bagi partisipasi warga (Koles, et al. 2004:10; OECD. 2001:15). Menurut Koles, et al (2004:11), administrator (baik pejabat-pejabat dipilih maupun diangkat) dalam usahanya untuk mempartisipasikan warga dapat dilakukan melalui empat cara dasar yaitu raise public awareness, educate the public, gather input, dan engage the public in decision-making Empat kegiatan untuk melibatkan atau mempartisipasikan warga menunjukkan suatu kontinum partisipasi dari derajat yang paling rendah (awarenes) hingga paling tinggi atau sophisticated (decision making ). Menurut OECD (2001:15-16; 2002:204), alternatif bentuk partisipasi yang disediakan administrator atau birokrat publik kepada warga adalah disseminates information, consultation (government asks for and receives citizens’ feedback) dan active participation. Sementara Cogan (dalam Bob Parker,. 2002:8) mengidentifikasi lima tindakan partisipatif yaitu building public support, disseminating information, collecting information, two-way communication, public partnership. Setelah menelaah pendapat Koles, et al . 2004:11; OECD. 2001:15-16; 2002:204; Cogan dalam Bob Parker. 2002:8, studi ini mengonstruksi usaha-usaha pelibatan publik yang dapat digunakan yang secara grafis dipresentasi sebagai tangga partisipasi dari tangga passive participation ke tangga active participation (Bagan 1).
Bagan 1 Tangga partisipasi publik 7
4 3
1
Public Input
Public sharing
Public Education
Public Awareness
Sumber:
PASSIVE Participation
2
Public consultation
ACTIVE Participation
5
Public 6 Partnership Public engagement
berdasarkan Koles, et al . 2004:11; OECD. 2001:15-16; 2002:204), Cogan dalam Bob Parker,. 2002:8.
Penjelasan dari tiap teknik yang digunakan untuk memp[artispasikan warga adalah sebagai berikut. 1.
Public awareness(building public support) . Raise public awareness of the planning project and related planning issues. Awareness raising efforts are intended to inform and update the public about the planning effort. Building awareness must occur prior to citizens providing input. Simply, the public must first know about a meeting before they can attend. Effective awareness tools not only state the ‘when,’ ‘where,’ and ‘what’ of the event, but also stimulate citizen interest (Koles, et al . 2004).
2.
Public education. Educate the public about these issues so that an informed opinion can be given. Education efforts are intended to increase the public’s capacity to provide informed input and make informed decisions. Input can certainly be given and decisions made absent education, but they would be characterized as uninformed. Just as a general prefers to have
his or her soldiers properly equipped and trained for battle, community leaders prefer to receive informed input and have knowledgeable decisions made. (OECD. 2001). 3.
Public sharing (disseminating information). Government disseminates information on policymaking on its own initiative – or citizens access information upon their demand. In both cases, information flows essentially in one direction, from the government to citizens in a one-way relationship. Examples are access to public records, official gazettes, and government web sites. (OECD. 2001).
4.
Public input (collecting information). Public input techniques solicit ideas and opinions from citizens. They are most effective when combined with feedback mechanisms which inform participants of the extent to which their input has influenced ultimate decisions. (Cogan dalam Bob Parker. 2002).
5.
Public consultation (public interaction). Government asks for and receives citizens’ feedback on policy-making. In order to receive feedback, government defines whose views are sought on what issue during policy-making. Receiving citizens’feedback also requires government to provide information to citizens beforehand. Consultation thus creates a limited two-way relationship between government and citizens. Examples are comments on draft legislation, and public opinion surveys. OECD. 2001; Cogan dalam Bob Parker. 2002).
6.
Public engagement (active participation). Citizens actively engage in decision-making and policy-making. Active participation means that citizens themselves take a role in the exchange on policy-making, for instance by proposing policy-options. At the same time, the responsibility for policy formulation and final decision rests with the government. Engaging citizens in policy-making is an advanced twoway relation between government and citizens based on the principle of partnership. Examples are open working groups, laymen’s panels and dialogue processes. (OECD. 2001; Koles, et al. 2004).
7.
Public partnership (securing advice and consent). Public partnerships offer citizens a formalized role in shaping the ultimate decisions (Cogan dalam Bob Parke,. 2002).
Metode Penelitian
Rancangan Penelitian Untuk mendeskripsikan sejauhmana kemauan manajer publik untuk mempartisipasikan warga dalam kegiatan-kegiatan administratif digunakan metode penelitian deskriptif dengan rancangan penelitian survei.
Pengukuran Variabel yang diukur adalah partisipasi publik yang didefinisikan sebagai kemauan administrator publik untuk melibatkan warga dalam pemberian pelayanan publik. Kemauan administrator publik untuk melibatkan warga diukur dari usaha-usaha yang dilakukan yang meliputi limah hal yaitu publicity (building public support), public education (disseminating information),
public
input
(collecting
information),
public
interaction
(two-way
communication), public partnership (securing advice and consent). Variabel diukur dalam skala ordinal karena kemauan menunjukkan ada klasifikasi dan klasifikasi tersebut dapat diurutkan. Adapun penskalaan menggunakan teknik penskalaan Likert.
Populasi dan Sampling Populasi adalah anggota KADIN Kota Bandung yang dipilih secara nonprobabiliti dengan metode jugmental-purposif-sampling. Karena menggunakan sampel nonprobabilitas maka tidak ada upaya untuk melakukan generalisasi berdasarkan sampel kecuali generalisasi untuk sampel yang diplih. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah asidental-kuota ((accidental-quota sampling). Jumlah sampel yang dipilih adalah 100 anggota Kadin yang secara proporsional mewakili selur jenis usaha yang tergabung dalam KADIN Kota Bandung.
Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara terstruktur. Tipe kuesioner yang digunakan adalah kuesioner tertutup dengan lima kategori respon yaitu sangat sering (diberi skor 5), sering (diberi skor 4), kadang-kadang (diberi skor 3), jarang (diberi skor 2), sangat jarang (diberi skor 1).
Analisis Data
Karena penelitian bertujuan untuk mendekripsikan dan yang ingin diseskripsikan adalah satu variabel maka analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif-univariat dengan teknik distribusi frekuensi dan pusat kecenderungan modus. Dalam analisis data dan interpretasi tentang derajat kemauan manajer publik atau derajat usaha manajer publik untuk mempartisipasikan warga, maka kategori respon sangat sering, sering, kadang-kadang, jarang, sangat jarang diganti menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah sangat rendah.
Hasil dan Pembahasan Hasil Seperti halnya dengan tingkat partisipasi warga dalam kegiatan administratif publik, maka kajian tentang tingkat kemauan administrator publik untuk melibatkan atau menyertakan warga adalah penting dalam administrasi publik demokratis. Sebab jika ruang atau keran partisipasi tidak dibuka oleh administrator, maka tidak akan ada partisipasi warga. Studi ini mengkaji tingkat kemauan administrator publik untuk mempartisipasikan atau melibatkan warga dalam kegiatan administratif publik dengan fokus pada pemberian pelayanan publik. Dari hasil studi menunjukkan terdapat kemajuan tentang partisipasi pelayanan publik. Di Kota Bandung, misalnya, administrator cenderung telah melakukan usaha-usaha partisipatif dalam penyelenggaraan pelayanan publik seperti dalam pemberian layanan ijin usaha. Kemauan administrator Pemerintah Kota Bandung untuk mempartisipasikan pelaku usaha dalam penyelenggaraan pelayanan ijin usaha cenderung berada pada kategori tinggi (tinggi dan sangat tinggi) (45%). Namun demikian dalam kategori menengah ada 26% dan kategori rendah 23%. Itu menunjukkan bahwa administrator Pemerintah Kota Bandung telah berkehendak untuk melakukan sharing power dengan warga dalam pemberian layanan publik.
Tabel 1. Distribusi prosentasi kemauan manajer publik mempartisipasikan warga A Respon
OB
OR OB OR OB OR OB OR OB OR OB OR OB OR OB
OR
Tinggi
37
44
28
40
46
48
33
48
29
45
35
44
30
42
29
34
Sedang
25
25
24
28
25
26
26
17
31
30
25
27
31
29
34
42
Rendah
35
28
47
31
27
25
40
34
38
24
38
30
37
28
36
24
Total
97
97
99
99
98
99
99
99
98
99
98
99
98
99
99
100
Berdasarkan distribusi frekuensi dalam tabel di atas dapat dikemukakan tendensi pusat dari tiap teknik atau bentuk pelibatan warga yang digunakan oleh administrator publik sebagai berikut.
Tabel 2 Tendensi prosentasi kemauan manajer publik mempartisipasikan warga menurut tendensi pusat dari dimensi Tendesni dari tiap dimensi
OB
OR
1. Public Awareness
Tinggi
Tinggi
2. Public Education
Rendah
Tinggi
Tinggi
Tinggi
4. Public Input
Rendah
Tinggi
5. Public consultation
Rendah
Tinggi
6. Public engagement
Rendah
Tinggi
7. Public Partnership
Rendah
Tinggi
3. Public sharing
Bagan 2 Tangga partisipasi publik: orde baru vs orde reformasi
Tendensi OB/OR R/T
2 Public Education
Public Awareness
Nilai skor OB/OR 267/302
Nilai skor OB/OR 286/303
Public sharing Nilai skor OB/OR 292/317
Public 5 Tendensi engagement OB/OR Nilai skor Public R/T OB/OR consultation 4 313/325 Nilai skor OB/OR Public 286/316 Input Nilai skor OB/OR 281/320
Public Partnership Nilai skor OB/OR 382/312
PASSIVE Participation
1
3
6
7
ACTIVE Participation
Tendensi OB/OR T/T
Tendensi OB/OR R/T
Tendensi OB/OR T/T
Tendensi OB/OR R/T
Tendensi OB/OR R/T
Pembahasan Usaha-usaha partisipatif yang dilakukan oleh administrator publik atau birokrat pelayan bublik di Kota Bandung cenderung bervariasi dari usaha-usaha partisipatif bernilai rendah seperti public awareness, public education, public sharing, public Input, hingga usaha-usaha partisipatif bernilai tinggi seperti public consultation, public engagement, dan public partnership. Usahausaha yang dilakukan terhadap seluruhnya telah berada dalam kategori tinggi. Dengan demikian kata lain, kemauan administrator (manajer) publik untuk mempartisipasikan warga cenderung tinggi. Meskipun demikian jumlah prosentasi kecenderungan kemauan administrator publik mempartisipasikan warga lebih tinggi terjadi dalam rentang passive participation atau partisipasi bernilai rendah dibandingkan dengan active participation atau partisipasi bernilai tinggi. Dibandingkan dengan era orde baru (OB) tampak dengan jelas ada peningkatan kemauan manajer publik untuk mempartisipasikan warga di era orde reformasi (OR). Indek skor kemauan
manajer publik untuk mempartisipasikan warga di era OR atau era otonomi daerah atau era desentralisasi demokratis lebih tinggi daripada era orde baru. Di era OB, kecenderungan kemauan administrator publik untuk mempartisipasikan atau melibatkan warga dalam tindakan administratif cenderung rendah kecuali dalam hal public awareness dan public sharing. Walaupun tinggi kemauan manajer publik untuk mempartisipasikan warga di era OR namun aspirasi yang disampaikan oleh warga tidak dijadikan sebagai pertimbangan dalam pembuatan keputusan kebijakan pelayanan. Ada MusRenBang, namun ruang tersebut hanya ruang dimana warga “memberi pendapat” ketika birokrasi publik “meminta pendapat”, sedangkan keputusan menjadi otoritas mutlak dari birokrasi publik tanpa keikutsertaan warga secara langsung. Musrenbang hanyalah sebuah sinetron atau panggung sandiwara dimana para aktor memainkan peranannya masing-masing. Ketika publik (pelaku usaha) “berpartisipasi berkenaan dengan pelayanan publik dalam ijin usaha, mereka kecewa karena apa yang diputuskan oleh birokrasi publik tidak sesuai dengan masukan yang mereka ajukan. Kebijakan pelayanan ijin usaha yang dirumuskan belum benar-benar sesuai dengan harapan atau keinginan pelaku usaha karena dihasilkan melalui proses “the agreation of individual self-interests”, bukan “result of a dialogue about shared values”. Karena itu warga sering mengklaim “public officials often dont’ appear to be listening to their concerns” (Foley. 1998:154). Agar makna partisipasi terwujud sebagai sarana bagi warga untuk menyampaikan aspirasi dan sebagai sarana bagi administrator publik mendapat aspirasi warga, maka menurut Villiers: •
Public participation should encompass a sense that the public's contribution will influence the final outcome.
•
The public participation process must communicate the interests of and meet the process needs of participants.
•
The process must seek out and facilitate the involvement of those potentially affected. That means that consideration must be given to how unorganised communities or interest groups can be brought together as participants.
•
Participants should be involved in defining the manner in which they wish to participate.
•
Participants should be provided with the information they need to make their contribution meaningful.
•
Participants need to be informed as to the manner in which their submissions were accounted for and how they are reflected in the decisions made (Villiers. 2001:45).
Kesimpulan dan Rekomendasi Derajat kemauan manajer public untuk melibatkan warga dalam kegiatan-kegiatan administrative di tingkat lokal seperti dalam pemberian layanan publik cenderung tinggi. Ini menunjukkan bahwa, otonomi daerah telah berhasil memacu semangat bbirokrasi Pemerintah Kota Bandung untuk berkemauan membuka ruang bagi partisipasi publik dalam pelayanan publik. Otonomi daerah telah mampu menjadi motivator bagi birokrat daerah untuk bertindak partisipatif atau mempartisipasikan atau melibatkan warga dalam kegiatan administratif publik. Partisipatori administrasi publik, utamanya partisipatori pemberian pelayanan publik tinggi karena birokrasi sudah melakukan usaha-usaha mengangkat kesadaran, mendidik, menyebar informasi, mengumpulkan masukan, konsultasi, melibatkan dan bermitra. Memberi kesempatan kepada publik untuk berpartisipasi dalam kegiatan administratif publik merupakan metode yang dapat digunakan oleh birokrasi publik antara lain untuk information distribution, responsiveness to public, advocacy of public interests, building trust, process and power sharing (Tonn & Pebrich. 1997:78-81). Karena tinggi kemauan birokrasi untuk melibatkan atau menyertakan warga dalam kegiatan administratif publik maka tinggi juga information distribution, responsiveness to public, advocacy of public interests, building trust, process and power sharing dalam kegiatan administratif publik.
Rekomendasi Agar lebih meningkat kemauan birokrasi untuk mempartisipasikan warga dalam kegiatan administratif publik atau agar semakin meningkat partisipatori pelayanan publik disarankan dua hal: 1. Dilakukan reformasi administrasi publik utamanya reformasi mindset dan perilaku birokrasi (Brillantes, Jr. and Fernandez. 2011). Reformasi minsed menunjuk pada the moulding of the individual and collective perspectives or paradigms of public officials in line with the demand of the changing context. It is also called reforming the “culture” (Pant. 2007: 82). Reformasi mindsset ini diharapkan dapat mengubah mindset perilaku eksklusif dari birokrat yang monocentric loyalty dan yang memosisikan dirinya sebagai penguasa otonom di daerah menjadi perilaku inklusif yang polycentric loyalty dan yang memosisikan diri sebagai penguasa yang memberi kemakmuran dan kesejahteraan bagi warga; mengubah mindset “towards states/governments” menjadi “towards citizens” (Haque, 1999: 315)
sehingga terbangun hubungan-hubungan kolaboratif antara birokrasi dengan warga (King dan Stivers. 1998:196). Reformasi manajemen rekrutmen dan seleksi dan penempatan serta manajemen pelatihan dan pengembangan aparatur pelayan sipil negara merupakan satu strategi mereformasi minsed dan perilaku birokrasi khususnya birokrasi pelayan publik. 2. Dibuat regulasi peraturan daerah untuk memformalkan dan melembagakan partisipasi warga yang memberi jaminan partisipasi warga dalam kegiatan administratif public dengan pencantuman bahwa partisipasi merupakan hak-hak publik.
Daftar Pustaka Buku dan Jurnal, Peper Beetham, David ed. 1994. Defining and Measuring Democracy. London: SAGE Publications. Box, Richard C. and Deborah A Sagen. “Working With Citizens: Breaking Down Barriers to Citizen Self-Governance”. Dalam Cheryl Simrell King and Camilla Stivers ed. 1998. Government is Us: Public Administration in an Anti-Government Era. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc. Brillantes, Jr., Alex B and Maricel T. Fernandez, “Restoring Trust and Building Integrity in Government: Issues and Concerns in the Philipines and Areas for Reform”. Dalam International Public Management Review, Vol. 12, Iss. 2, 2011. deLeon, Linda and Peter deLeon. 2002. “The Democratic Ethos and Public Management”. Administration and Society. 34/2:229-250. Denhardt, Janet V and Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service. Armonk: M.E. Sharpe. Dwiyanto, Agus; dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Harmon, Michael M. and Richard T. Mayer. 1986. Organization Theory For Public Administration. Boston: Little, Brown and Company. Haque, M. Shamsul. 1999. Relationship between citizenship and public administration: a reconfiguration”. International Review of Administrative Sciences. 65. Hilliard, Victor G. dan Norman D. Kemp. “Citizen participation indispensable to sustainable democratic governance and administration in South Africa. Dalam International Review of Administrative Sciences [0020–8523(199909)65:3] Copyright © 1999 IIAS. SAGE Publications (London, Thousand Oaks, CA and New Delhi), Vol. 65 (1999), 353–370; 009630 King, Cheryl Simrell and Camilla Stivers ed. 1998. Government is Us: Public Administration in an Anti-Government Era. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc. King, Cheryl Simrell and Camilla Stivers, “Introduction: The Anti-Government Era”. Dalam Cheryl Simrell King and Camilla Stivers ed. 1998. Government is Us: Public
Administration in an Anti-Government Era. Thousand Oaks, California: SAGE Publications, Inc. Koles, Mike., Dave Thiel., Becky Roberts., and Doug Miskowak. 2004. “Public Participation and Education Plan”. Diunduh dari http://www.wcedc.org/CP/ Public%20Participation%20Plan%20- %20Final.pdf. Nyhan, Ronald C. 2000. Changing the Paradigm: Trust and Its Role in Public Sector Organizations. Jurnal The American Review of Public Administration, March 2000, Vol. 30 No. 1: 87-109. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). 2001. Citizens as Partners: Information, Consultation and Public Participation in Policy Making. Paris: OECD Publication Parker, Bob. 2003. Planning Analysis: The Theory of Citizen Participation. Diunduh dari http://darking.uoregon.edu/~rgp/ PPPM613/class10theory. htm. Roef, Marlene and Ian Liebenberg. Public Participation in South Africa as we Enter the 21st Century. Dalam Yvonne G. Muthien, Meshack M. Khosa, Bernard M. Magubane (eds). 2000. Democracy and Governance Review: Mandela's legacy 1994-1999. Diunduh dari http://www.hsrcpublishers.co.za/download. asp?filename=1947_11_Democracy_and_Governance_Review.pdf. Robert, Nancy C. ed. 2008. The Age of Direct Citizen Participation. M.E. Sharpe. Inc. New York. Rosenbloom, David H. 1992. Public Administration: Understanding Management, Politics, and Law in the Public Sector. Singapore: McGraw-Hill Book Company. The Asian Foundation. 2003. Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA). Laporan Ketiga, Juli, 2003. Ton, Bruce and Carl Pebrich. 1997. Environmental Citizenship: Problems and Prospects. Prepared by National Center for Environmental Decision Maing Research. Technical Report NCED/97-16. Oak Rodge National Laboratory Tennesse Valley Authority. University of Tennesse. Villiers, Susan de. 2001. A Review of Public Participation in the Law and Policy-Making Process in South Africa. European Union Parliamentary Support Programme. Diunduh dari http://www.parliament.gov.za/eupsp/ newsletters/participation/chap12. html. Wamsley, Gary L. and James F. Wolf, ed. 1996. Refounding Democratic Public Administration: Modern Paradoxes, Postmodern Challenges. Thousand Oaks, California: SAGE Publications.
Surat Kabar Kompas. 1 Mei 2003 Elektronik Anonim http://www.gdrc.org/u-gov/doc-oecd_ggov.html#Organisational
www.hsrcpress.ac.za/user_uploads/ tblPDF/1947_11_Democracy_and_governance_Review. pdf). http://web.utk.edu/-dhouston/psc550/chal1b.pdf).
Biografi Penulis