PARTISIPASI PESERTA DALAM PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH ORGANIK DI KOMUNITAS KUMUH PERKOTAAN BANTARAN SUNGAI CILIWUNG
YUNITA PURBO ASTUTI I34070024
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT This research aims to identify the factors that determine the level of marginal community participation in urban areas along the River Ciliwung on organic waste management programs. The second objective, to analyze the relationship between the factors that determine the participation level of participation. The third objective, knowing the extent of community participation in the program. This research uses a quantitative approach and qualitative data supported. Analysis of data in the form of descriptive analysis and explanatory analysis. This research uses 42 respondents obtained by using the method of purposive. The results showed a decisive factor is the participation of institutional effectiveness of Ciliwung Merdeka. All factors associated weakly with the level of participation. level of community participation in urban slums tokenisme stage. Stage indicates the level of information leading to the consultation. The community is only as beneficiaries of the program while Ciliwung Merdeka as a facilitator of the program. Ciliwung Merdeka only convey information and topdown direction of the community. Keywords: marginal community, level of participation , degree of power
ii
RINGKASAN YUNITA PURBO ASTUTI. Partisipasi Komunitas Kumuh Perkotaan di Bantaran Sungai Ciliwung dalam Program Pengelolaan Sampah Organik Berbasis Komunitas. Di bawah bimbingan TITIK SUMARTI. Program pengelolaan sampah organik merupakan salah satu upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh sebuah organisasi masyarakat bernama Ciliwung Merdeka terhadap komunitas marginal di Kota Jakarta. Rangkaian kegiatan dalam program pengelolaan sampah organik melibatkan komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung dalam mengidentifikasi permasalahan dan potensi yang dimiliki komunitas. Dengan demikian proses pembelajaran yang diterapkan mengarah pada prinsip buttom up. Tujuan penelitian adalah (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi komunitas kumuh perkotaan terhadap program pengelolaan sampah organik; (2) Mengkaji hubungan antara tingkat kemauan, tingkat kemampuan, dan tingkat kesempatan yang dimiliki komunitas kumuh perkotaan terhadap tingkat partisipasi dalam program pengelolaan sampah organik; dan (3) Mengetahui sampai sejauh mana tingkat partisipasi (tipologi Arnstein) komunitas kumuh perkotaan dalam program pengelolaan sampah organik. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Metode yang digunakan adalah survei dengan instrumen pengumpulan data berupa kuesioner, wawancara mendalam, analisis dokumen, serta observasi. Responden berjumlah 42 orang yang diperoleh dengan metode pemilihan sampel secara purposif (purposive sampling) atau sengaja, yaitu warga yang mengetahui bahwa di RT nya terdapat program pengelolaan sampah organik yang difasilitasi Ciliwung Merdeka. Lokasi penelitian adalah RT 06 dan 07 RW 12 Kelurahan Bukit Duri dan RT 10 RW 03 Kelurahan Kampung Melayu dengan pertimbangan ketiga RT tersebut terdapat program pengelolaan sampah organik yang difasilitasi Ciliwung Merdeka. Jadi, dapat dikaji tingkat partisipasi komunitas kumuh perkotaan di bantaran sungai yang termarginal dalam program pemberdayaan di bidang pengelolaan lingkungan. Teknik analisis data menggunakan (1) Analisis deskriptif untuk memaparkan faktor-faktor yang menentukan tingkat partisipasi dan tingkat partisipasi komunitas sebagai variabel tunggal; dan (2) Analisis eksplanatori untuk melihat hubungan antara faktor-faktor pendorong partisipasi dengan tingkat partisipasi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan signifikan dengan tingkat partisipasi adalah tingkat efektivitas kelembagaan. Secara keseluruhan, tingkat kemauan berhubungan signifikan terhadap tingkat partisipasi,
iii
sedangkan tingkat kemampuan dan tingkat kesempatan tidak berhubungan signifikan terhadap tingkat partisipasi. Tingkat partisipasi komunitas dalam program jika dikaji dari derajat kekuasaan dalam pengambilan keputusan, berada pada tahap tokenisme yaitu tingkat information yang mengarah ke tingkat consultation. Metode pemberdayaan yang diterapkan Ciliwung Merdeka masih bersifat top down. Derajat kekuasaan komunitas dalam program masih lemah. Komunitas hanya sebagai penerima program yang disampaikan Ciliwung Merdeka secara searah, yakni sebatas pemberitahuan.
iv
PARTISIPASI PESERTA DALAM PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH ORGANIK DI KOMUNITAS KUMUH PERKOTAAN BANTARAN SUNGAI CILIWUNG
Oleh: YUNITA PURBO ASTUTI I34070024
SKRIPSI Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
v
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Yunita Purbo Astuti
NRP
: I34070024
Judul
: Partisipasi Peserta Program Pengelolaan Sampah Organik di Komunitas Kumuh Perkotaan Bantaran Sungai Ciliwung
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Titik Sumarti, MS NIP. 19610927 198601 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus:_____________
vi
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PARTISIPASI SAMPAH
PESERTA
ORGANIK
DI
DALAM
PROGRAM
KOMUNITAS
PENGELOLAAN
KUMUH
PERKOTAAN
BANTARAN SUNGAI CILIWUNG” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN BAIK OLEH PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA BERTANGGUNGJAWAB ATAS PERNYATAAN INI.
Bogor, Februari 2011
Yunita Purbo Astuti NRP. I34070024
vii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 8 Juni 1989. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Suparwi dan Ibu Sarmi. Penulis menamatkan pendidikan
di TK Trisula 1 tahun 1995, SD Negeri 1
Kebonsawahan tahun 2001, SLTP Negeri 1 Juwana tahun 2004, SMA Negeri 1 Pati tahun 2007. Masuk universitas pada tahun 2007 ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Prestasi yang pernah diraih yaitu lolos seleksi pemberian dana hibah Dikti satu Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengembangan Masyarakat (PKMM) dan lolos menuju Pekan Ilmiah Mahasiswa Tingkat Nasional (PIMNAS XXIII) tahun 2010 yang berjudul “Pengembangan Metode Partisipatif Berbasis Masyarakat Dalam Rangka Implementasi Agroforestri Di Dataran Tinggi Dieng Melalui LEISA (Low External Input for Sustainable Agriculture)”. Pernah bergabung di organisasi secara aktif selama duduk di bangku perkuliahan, diantaranya dalam Forum Scientist IPB (FORCES) pada tahun 2007-2009 dan Koran Kampus IPB pada tahun 2008-2010. Penulis juga memiliki minat pada isuisu pertanian dan ekologi manusia.
viii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat dan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Partisipasi Peserta dalam Program Pengelolaan Sampah Organik di Komunitas Kumuh Perkotaan Bantaran Sungai Ciliwung”. Penulis sangat bersyukur karena penyusunan skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya dan sesuai dengan yang direncanakan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran, motivasi, dan segala bantuan selama penelitian hingga skripsi ini dapat terselesaikan 2. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS dan Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS sebagai dosen penguji yang memberikan masukan untuk kesempurnaan skripsi ini 3. Martua Sihaloho, SP. MSi sebagai dosen penguji petik skripsi ini 4. Dr. Ir. Amir Djahi sebagai dosen pembimbing akademik yang membantu penulis apabila mendapat masalah di bidang akademik 5. Ciliwung Merdeka, warga RT 06 dan 07 RW 12 Kelurahan Bukit Duri, serta warga RT 10 RW 03 Kelurahan Kampung Melayu yang berpartisipasi dalam proses pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian 6. Keluarga tersayang, ayahanda dan ibunda, ketiga kakak kandung penulis, serta orangorang tercinta yang telah memberikan kasih sayang, doa, serta dukungan kepada penulis 7. Semua teman seperjuangan program akselerasi dan semua teman se-Departemen KPM tercinta yang selalu memotivasi penulis sampai terselesaikannya skripsi ini tepat waktu 8. Semua teman di Koran Kampus dan kakak senior di UKM Seroja Putih yang memberikan dukungan kepada penulis 9. Ibu kost dan semua teman satu kost yang telah memberikan doa dan dukungan sampai terselesaikannya skripsi ini 10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Bogor, Februari 2011
ix
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI...........................................................................................................x DAFTAR TABEL ................................................................................................xv DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xix DAFTAR LAMPIRAN……………………..……………………………….....xix BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................1 1.1. Latar Belakang.....................................................................................1 1.2. Masalah Penelitian...............................................................................3 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................4 1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................................4 BAB II. PENDEKATAN TEORITIS ...................................................................5 2.1. Tinjauan Pustaka .................................................................................5 2.1.1. Pemberdayaan Masyarakat ............................................................5 2.1.2. Partisipasi ......................................................................................6 2.1.3. Komunitas....................................................................................12 2.1.4. Kemiskinan ..................................................................................14 2.1.5. Pengelolaan Sampah ....................................................................15 2.2. Kerangka Pemikiran ..........................................................................16 2.3. Hipotesis ............................................................................................18 2.4. Definisi Operasional ..........................................................................19 BAB III. PENDEKATAN LAPANG ..................................................................24 3.1. Metode Penelitian ..............................................................................24 3.2. Lokasi dan Waktu ..............................................................................24 3.3. Metode Pengambilan Sampel ............................................................25 3.4. Metode Pengumpulan Data ...............................................................26 3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ..............................................26 BAB IV. GAMBARAN UMUM..........................................................................29 4.1. Gambaran Wilayah Pemukiman ........................................................29 4.1.1. Letak Geografis ...........................................................................29 4.1.2. Tingkat Kepadatan.......................................................................29 4.1.3. Kondisi Perumahan Perkampungan ............................................30 x
4.1.4. Kondisi Fasilitas Umum ..............................................................31 4.1.5. Kesejahteraan Warga ...................................................................32 4.1.6. Kebersamaan Warga ....................................................................32 4.2. Ciliwung Merdeka .............................................................................33 4.2.1. Profil Organisasi ..........................................................................33 4.2.2. Ruang Lingkup Program Pengelolaan Sampah Organik .............34 BAB V. KARAKTERISTIK RESPONDEN......................................................37 5.1. Jenis Kelamin ...................................................................................37 5.2. Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan ..............................................37 5.3. Status Perkawinan ............................................................................37 5.4. Jumlah Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah ..........38 5.5. Asal Usul Tempat Tinggal................................................................39 5.6. LamaTinggal....................................................................................40 5.7. Status Kepemilikan Tempat Tinggal ................................................40 5.8. Status Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) .........................41 5.9. Usia Angkatan Kerja ........................................................................41 5.10. Jenis Pekerjaan ................................................................................42 5.11. Status Pekerjaan...............................................................................42 5.12. Jumlah Penghasilan .........................................................................43 5.13. Lama Bekerja...................................................................................43 5.14. Sumber Informasi tentang Program.................................................44 5.15. Lama Terlibat dalam Program .........................................................45 5.16. Ikhtisar .............................................................................................46 BAB VI. FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PARTISIPASI .......................47 6.1. Tingkat Kemauan ..............................................................................47 6.1.1. Persepsi terhadap Pengelolaan Lingkungan ................................47 6.1.2. Sikap terhadap Program Pengelolaan Sampah Organik ..............51 6.1.3. Motivasi untuk Terlibat dalam Program Pengelolaan Sampah Organik .......................................................................................52 6.2. Tingkat Kemampuan .........................................................................53 6.2.1. Tingkat Pengetahuan di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik ...............................53
xi
6.2.2. Tingkat Ketrampilan di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik ...............................54 6.2.3. Tingkat Pengalaman di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik ...............................54 6.2.4. Tingkat Ketersediaan Waktu .......................................................55 6.3. Tingkat Kesempatan ..........................................................................55 6.3.1. Tingkat Efektivitas Kelembagaan ...............................................55 6.3.2. Tingkat Kemudahan Birokrasi ....................................................57 6.3.3. Tingkat Ketersediaan Regulasi ....................................................58 6.4. Ikhtisar ...............................................................................................59 6.4.1. Tingkat Kemauan ........................................................................59 6.4.2. Tingkat Kemampuan ...................................................................59 6.4.3. Tingkat Kesempatan ....................................................................60 BAB VII. HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PARTISIPASI DENGAN TINGKAT PARTISIPASI ..............................................61 7.1. Hubungan Antara Tingkat Kemauan dengan Tingkat Partisipasi .....61 7.1.1. Hubungan Antara Persepsi tentang Lingkungan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 .....................................................61 7.1.2. Hubungan Antara Sikap tentang Pengelolaan Lingkungan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 ......................................63 7.2. Hubungan Antara Tingkat Kemampuan dengan Tingkat Partisipasi ..................................................................................................................64 7.2.1. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 ....................64 7.2.2. Hubungan Antara Tingkat Ketrampilan Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 ....................66
xii
7.2.3. Hubungan Antara Tingkat Pengalaman Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 ....................67 7.2.4. Hubungan Antara Tingkat Ketersediaan Waktu dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 .....................................................68 7.3. Hubungan Antara Tingkat Kesempatan dengan Tingkat Partisipasi .69 7.3.1. Hubungan Antara Tingkat Efektivitas Kelembagaan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 ......................................69 7.3.2. Hubungan Antara Tingkat Kemudahan Birokrasi dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 .....................................................70 7.3.3. Hubungan Antara Tingkat Ketersediaan Regulasi dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 ......................................71 7.4. Ikhtisar ...............................................................................................73 7.4.1. Hubungan Antara Tingkat Kemauan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 .................................................................73 7.4.2. Hubungan Antara Tingkat Kemampuan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 .....................................................74 7.4.3. Hubungan Antara Tingkat Kesempatan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 .....................................................75 BAB VIII. ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI ............................................77 8.1. Tingkat Partisipasi dalam Program ...................................................77 8.1.1. Perencanaan .................................................................................77 8.1.2. Pelaksanaan .................................................................................81 8.1.3. Evaluasi .......................................................................................84 8.1.4. Menikmati hasil ...........................................................................86
xiii
8.2. Ikhtisar ...............................................................................................88 BAB IX. PENUTUP .............................................................................................90 9.1. Kesimpulan ........................................................................................90 9.2. Saran ..................................................................................................91 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................93 LAMPIRAN …………………………………………………………………….93
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Tingkat Partisipasi (Tipologi Arnstein)………………………….............. 9
Tabel 2.
Economic-Environmrntal Typology of Cities………………………………..
Tabel 3.
Pedoman Pengumpulan dan Analisis Data……………………………… 28
Tabel 4.
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan
13
Kelurahan Bukit Duri Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan, Tahun 2010……………………………………………………………… Tabel 5.
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Status Perkawinan, Tahun 2010 ……
Tabel 6.
37 38
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Jumlah Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah, Tahun 2010…………………………………
Tabel 7.
38
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Asal Usul Tempat Tinggal, Tahun 2010………………………………………………………………………
Tabel 8.
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut LamaTinggal, Tahun 2010……………..
Tabel 9.
39 40
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Status Kepemilikan Tempat Tinggal, Tahun 2010………………………………………………………………. 40
Tabel 10.
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Usia Angkatan Kerja, Tahun 2010……..
Tabel 11.
41
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Jenis Pekerjaan, Tahun 2010……….......
42
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Status Pekerjaan, Tahun 2010…………. Tabel 13.
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Jumlah Penghasilan, Tahun 2010….......
Tabel 14.
42 43
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Lama Bekerja Per Bulan, Tahun 2010…. 44
xv
Tabel 15.
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Sumber Informasi tentang Program Pengelolaan Sampah Organik yang Difasilitasi Ciliwung Merdeka…......
Tabel 16.
44
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri, Tahun 2010 Menurut Lama Terlibat dalam Program Pengelolaan Sampah Organik …………………………………. 45
Tabel 17.
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi Cara Mengatasi Sampah……… 47
Tabel 18.
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi Tindakan Bagi Pelaku Membuang Sampah di Sungai…………………………………………… 48
Tabel 19.
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi Program Pengelolaan Sampah Organik………………………………………………………………......
Tabel 20.
49
Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi Keterlibatan dalam Tahapan Program Pengelolaan Sampah Organik………………………………….
Tabel 21.
49
Jumlah dan Presentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Tingkat Aksesibilitas dalam Program Pengelolaan Sampah Organik……………………………………………
Tabel 22.
56
Jumlah dan Presentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Tingkat Kemauan untuk Berpartisipasi dalam Program Pengelolaan Sampah Organik…………………………..
Tabel 23.
59
Jumlah dan Presentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan
Bukit
Duri
Menurut
Tingkat
Kemampuan
untuk
Berpartisipasi dalam Program Pengelolaan Sampah Organik…………… 59 Tabel 24.
Jumlah dan Presentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan
Bukit
Duri
Menurut
Tingkat
Kesempatan
untuk
Berpartisipasi dalam Program Pengelolaan Sampah Organik…………… 60 Tabel 25.
Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010…………………………………………………………………….
xvi
61
Tabel 26.
Hubungan Persepsi tentang Lingkungan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010………………………………………………………………. 62
Tabel 27.
Hubungan Sikap terhadap Pengelolaan Lingkungan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010…………………………………………………… 63
Tabel 28.
Hubungan Tingkat Pengetahuan dalam Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010…………..
Tabel 29.
64
Hubungan Tingkat Ketrampilan dalam Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010……………
Tabel 30.
66
Hubungan Tingkat Pengalaman dalam Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010…………..
Tabel 31.
67
Hubungan Tingkat Ketersediaan Waktu dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010………………………………………………………………. 68
Tabel 32.
Hubungan Tingkat Efektivitas Kelembagaan Ciliwung Merdeka dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010…………………………………………..
Tabel 33.
69
Hubungan Tingkat Kemudahan Birokrasi dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010………………………………………………………………. 71
Tabel 34.
Hubungan Tingkat Ketersediaan Regulasi tentang Pengelolaan Sampah dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010…………………………………
Tabel 35.
72
Hubungan Tingkat Kemauan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 73
Tabel 36.
Hubungan Tingkat Kemampuan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 74
xvii
Tabel 37.
Hubungan Tingkat Kesempatan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 75
Tabel 38.
Jumlah dan Persentase Responden Menurut Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010……………………………………………………………………..
xviii
77
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Kerangka Analisis Deskriptif Partisipasi………………………..
7
Gambar 2.
Kerangka Pemikiran……………………………………………..
17
Gambar 3.
Rumah Susun Milik Warga………………………………………
30
Gambar 4.
Kegiatan Sarasehan Warga Bersama Ciliwung Merdeka di Jalan Utama Kampung………………………………………………...
31
Gambar 5.
Posko Bantuan Korban Kebakaran RT 05 RW 12 Bukit Duri…..
32
Gambar 6.
Posisi Perilaku terhadap Lingkungan …………………………..
47
Gambar 7.
Persepsi tentang Pengelolaan Lingkungan………………………
50
Gambar 8.
Sikap terhadap Pengelolaan Sampah Organik…………………..
51
Gambar 9.
Model Hierarki Kebutuhan Maslow…………………………….
52
Gambar 10. Motivasi Komunitas untuk Berpartisipasi dalam Program Pengelolaan Sampah Organik……………………………………
52
Gambar 11. Tingkat Pengetahuan Responden di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik…………...
53
Gambar 12. Tingkat Ketrampilan Responden di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik…………..
54
Gambar 13. Tingkat Pengalaman Responden di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik…………..
54
Gambar 14. Tingkat Ketersediaan Waktu Responden untuk Mengikuti Program Pengelolaan Sampah Organik………………………….
55
Gambar 15. Tingkat Efektivitas Kelembagaan Ciliwung Merdeka…………..
57
Gambar 16. Tingkat Kemudahan Birokrasi…………………………………..
57
Gambar 17. Tahap-Tahap Pengolahan Informasi……………………………..
65
Gambar 18. Tingkat Partisipasi Komunitas dalam Perencanaan Program…....
80
Gambar 19. Tingkat Partisipasi Komunitas dalam Pelaksanaan Program……. 82 Gambar 20. Tingkat Partisipasi Komunitas dalam Evaluasi Program………...
84
Gambar 21. Keterlibatan Komunitas dalam Menikmati Hasil Program……...
86
Gambar 22. Tangga Partisipasi Komunitas.......................................................
88
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lokasi Penelitian Lampiran 2. Struktur Organisasi Ciliwung Merdeka Lampiran 3. Tahapan Program Pengelolaan Sampah Organik Lampiran 4. Diagram Spiral Pendidikan Pemberdayaan Masyarakat Lampiran 5. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Lampiran 6. Kuesioner Lampiran 7. Panduan Wawancara
xx
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Banjir di Jakarta terjadi hampir setiap tahun. Pendangkalan sungai menjadi salah satu faktor penyebab banjir yang melanda hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Banjir Jakarta tidak hanya disebabkan oleh faktor alam dengan tingginya curah hujan, tetapi juga perilaku masyarakat dalam memperlakukan alam baik di hulu, maupun di hilir DAS. Perilaku menebang pohon di hulu dan tengah DAS dan perilaku membuang sampah sembarangan khususnya di sungai, sampai saat ini masih dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat. Faktanya, Sungai Ciliwung saat ini sangat keruh akibat terjadinya degradasi lahan di bagian hulu dan tengah DAS Ciliwung. Selain itu, di bagian hilir diperparah dengan banyaknya sampah di dalamnya. Sampai saat ini di sepanjang bantaran sungai di Jakarta terdapat tumpukan sampah dan sampah-sampah tersebut hanyut terbawa aliran air sungai. Oleh karena itu, Sungai Ciliwung diibaratkan sebagai selokan terbesar karena tingginya pembuangan limbah yang merusak kelestarian DAS. Menurut Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2007) produksi sampah di DKI Jakarta per harinya mencapai 26.945 m3 atau setara dengan 6.000 ton per hari, yang terdiri dari 55 persen sampah organik dan 45 persen sampah anorganik.1 Hal ini menunjukkan bahwa masalah sampah di Jakarta secara tersebar telah menjadi permasalahan nasional. Keberadaan sampah yang dituding sebagai pemicu banjir, memerlukan pengelolaan komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir, agar memberikan manfaat bagi masyarakat maupun lingkungan. Pengelolaan sampah tentunya dapat bersifat sustainable apabila masyarakat berpartisipasi dalam pengelolaan sampah. Inisisasi berbagai pihak seperti akademisi, LSM, wartawan, pemerintah, turut andil dalam membangun kapasitas komunitas lokal untuk bangkit mengatasi permasalahan banjir yang setiap tahun melanda Jakarta. Sebagaimana pendampingan yang dilakukan oleh Ciliwung Merdeka terhadap komunitas di Kampung Melayu dan Bukit Duri dekat bantaran sungai yang identik dengan 1
Sumber: http://bplhd.jakarta.go.id/ diakses pada 22 Mei 2010
1
image Komunitas Kumuh Perkotaan atau kawasan slum area. Hal ini menunjukkan bahwa ada ”pihak luar” yang masih peka terhadap permasalahan yang dihadapi kaum termarginal (disadventaged groups) di negeri ini yang tak lepas dari tudingan sebagai pihak yang turut andil menyebabkan banjir. Tempat tinggal komunitas yang berada di bantaran sungai seringkali dianggap sebagai penyebab menyempitnya lebar sungai yang memicu pada luapan air sungai saat musim penghujan. Kondisi ini dipengaruhi semakin tingginya pertumbuhan penduduk Kota Jakarta sebagai daerah urban dengan keterbatasan lahan kosong dan sumber daya lainnya sebagai penyokong kehidupan komunitas golongan lemah yang mencoba mengadu nasib di kota perantauaan. Semakin padatnya pemukim di bantaran sungai berimpilkasi semakin susah ditemukannya lahan sebagai tempat pembuangan sampah. Selain itu, sempitnya jalan perkampungan turut menghambat akses kendaraan petugas kebersihan untuk mengangkut sampah dari pemukiman. Akibatnya, komunitas slum area di bantaran Sungai Ciliwung lebih mudah mengakases sungai sebagai tempat pembuangan sampah. Ciliwung Merdeka melakukan penguatan kapasitas komunitas melalui program pemberdayaan di bidang pengelolaan sampah organik. Hal ini ditujukan agar masyarakat yang tidak berdaya tersebut memiliki posisi tawar (bergaining position) yang setara dengan masyarakat lainnya. Dengan demikian, komunitas menjadi berdaya dengan mampu mengidentifikasi permasalahan yang dihadapinya serta mampu mencari solusi dari permasalahan pengelolaan sampah. Kebijakan dan peraturan seperti larangan tinggal di sekitar bantaran sungai, tidak membuang sampah di sungai, dan lain sebagainya telah dikeluarkan oleh pemerintah dengan harapan tata kelola kota menjadi lebih baik. Namun, hal ini tidak membawa perubahan yang signifikan. Kenyataanya, kebijakan yang ditetapkan tersebut justru memarginalkan kaum minoritas yang tinggal di bantaran sungai dengan keterbatasan kapasitas diri mereka. Dapat diibaratkan, bahwa kebijakan sampai saat ini masih ”menyembunyikan komunitas slum area di bawah karpet merah”. Artinya, kebijakan bersifat top down dan belum berupaya meningkatkan kapasitas golongan marginal melainkan menutupi keberadaan mereka supaya yang terlihat hanya masyarakat yang sejahtera. Padahal dalam
2
Pasal
34
Ayat
2
Undang-Undang
Dasar
1945
menyatakan
”Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Ketidakberdayaan yang dialami kaum marginal di negeri ini salah satu faktornya dipengaruhi adanya ketimpangan. Hal ini terlihat dari ketidakmerataan redistribusi sumber daya berupa akses dan kontrol, khususnya dalam pengambilan keputusan yang terkesan sepihak dan top down. Berdasar hasil analisis para ekonom, menghitung bahwa 20 persen rakyat Indonesia menguasai 80 persen kekayaan, sementara 80 persen rakyat Indonesia hanya menikmati 20 persen kekayaan2 . Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selama ini merupakan implementasi kebijakan “top-down” dengan tidak adanya keberlanjutan program. Hal ini dikarenakan dalam penyusunan rencana sampai proses evaluasi program masih kurang memperhatikan dan mengabaikan partisipasi masyarakat.
1.2. Masalah Penelitian Menurut latar belakang yang telah dipaparkan, adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah faktor-faktor yang menentukan tingkat partisipasi komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung terhadap program pengelolaan sampah organik? 2. Bagaimana hubungan antara tingkat kemauan, tingkat kemampuan, dan tingkat kesempatan yang dimiliki komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung terhadap tingkat partisipasi dalam program pengelolaan sampah organik? 3. Sejauh mana tingkat partisipasi komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung dalam program pengelolaan sampah organik?
2
Krisdyatmiko, S. Eko. 2006. Kaya Proyek Miskin Kebijakan. Yogyakarta: Institut Research and Empowerment.
3
1.3. Tujuan Penelitian Sehubungan dengan rumusan permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini bertujuan: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan tingkat partisipasi komunitas kumuh perkotaan terhadap program pengelolaan sampah organik; 2. Mengkaji hubungan antara tingkat kemauan, tingkat kemampuan, dan tingkat kesempatan yang dimiliki komunitas kumuh perkotaan terhadap tingkat partisipasi dalam program pengelolaan sampah organik; dan 3. Mengetahui sampai sejauh mana tingkat partisipasi (tipologi Arnstein) komunitas kumuh perkotaan dalam program pengelolaan sampah organik.
1.4. Kegunaan Penelitian Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang tertarik serta terkait dengan program-program pemberdayaan masyarakat, khususnya kepada: 1. Peneliti dan Civitas Akademika Penelitian ini merupakan proses belajar bagi peneliti dalam menganalisis program pemberdayaan masyarakat. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi bagi penelitian sejenisnya serta dapat mencetuskan strategi yang paling tepat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat marginal di negeri ini. 2. Masyarakat Hasil penelitian ini semoga mampu meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat akan kapasitas diri yang dimiliki dan peranan mereka dalam pengelolaan lingkungan. Hal ini tak terlepas dari akses dan kontrol yang dapat dimiliki masyarakat dalam program pembangunan. 3. Instansi Terkait Semoga
hasil
penelitian
ini
dapat
menjadi
masukan
dalam
merumuskan pedoman dan kebijakan untuk implementasi program-program pemberdayaan masyarakat dalam upaya pengentasan kemiskinan.
4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pemberdayaan Masyarakat Secara konseptual, pemberdayaan (empowerment) berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Menurut Ife dalam Krisdyatmiko (2006), pemberdayaan mengandung dua pengertian kunci yaitu kekuasaan dan kelompok lemah. Dilihat dari perspektif kekuasaan, pemberdayaan bertujuan meningkatkan kemampuan dari kelompok lemah. Jadi, pemberdayaan adalah proses membuat orang cukup kuat untuk berpartisipasi dalam pengontrolan atas dan mempengaruhi tindakan dan lembaga yang mempengaruhi kehidupannya.” Suharto (2005) menyimpulkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah kegiatan memperkuat kekuasaan dan keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat (khususnya golongan yang tidak beruntung/tertindas baik oleh kemiskinan maupun diskriminasi kelas sosial, gender). Sebagai tujuan, maka pemberdayaan merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan tidak menempatkan masyarakat sebagai obyek (penerima manfaat yang tergantung “pihak luar”) melainkan subyek (partisipan yang bertindak secara mandiri). Kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan menurut Suharto (2005) tergantung pada dua hal (1) Kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi apapun (2) Kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis. Pengembangan masyarakat menurut Sumarti (2008) bertumpu pada dua elemen pokok, yaitu kemandirian dan partisipasi. Masyarakat mandiri karena mempunyai daya menentukan pembangunannya dan berpartisipasi seutuhnya pada seluruh prosesnya. Tanpa pemberdayaan, masyarakat akan selalu tergantung, dan tanpa pemberdayaan, hanya partisipasi semu yang terjadi. Oleh karena itu, pemberdayaan merupakan jalan menuju partisispasi “empowerment is road to participation”.
5
2.1.2. Partisipasi 2.1.2.1.Definisi Parisipasi akan muncul ketika masyarakat mulai sadar akan masalah yang dihadapi dan mampu mengidentifikasi kebutuhan mereka. Kesadaran yang muncul dari diri sendiri itulah yang nantinya mendorong kepedulian masyarakat untuk tergerak mencari penyelesaian masalah tersebut dan akhirnya kebutuhan masyarakat bisa terpenuhi oleh upaya dan semangat mereka sendiri dan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait. ”Partisipasi ialah proses aktif, inisiatif yang diambil oleh warga komunitas, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) di mana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif ”, Adiwibowo dkk. (2007). Cohen dan Serageldin (1994) mendefinisikan partisipasi dalam empat hal “… participation in decision making, participation in implementation, participation in benefit, and participation in evaluation.” Berkaitan dengan pernyataan Cohen, Oakley dalam Hasim dan Ramiswal (2009) menambahkan bahwa partisipasi juga menunjukkan keterlibatan masyarakat secara bersama-sama untuk mendapatkan keuntungan dari program pembangunan.
2.1.2.2. Aspek Partisipasi Menurut Oppenheim dalam Sumardjo (2009), ada dua hal yang mendukung
terjadinya
partisipasi
yaitu
person
inner
determinant
dan
environmental factors. Hal ini diperjelas oleh Sumardjo (2009) bahwa ada tiga prasyarat terjadinya partisipasi yakni faktor kemauan (sikap positif terhadap sasaran partisipasi), kemampuan (inisiatif untuk bertindak dengan komitmen dan menikmati hasilnya), dan kesempatan (peluang berpartisipasi). Sependapat dengan pernyataan Sumardjo (2009), dikemukakan juga oleh Saharuddin (1987) agar masyarakat berpartisipasi dalam program, ada tiga syarat (1)
Adanya
kesempatan
untuk
membangun;
(2)
Adanya
kemampuan
menggunakan kesempatan; dan (3) Adanya kemauan untuk berpartisipasi.
6
1. Kemauan (aspek emosi dan perasaan/reaksi psikis yang dapat memotivasi untuk bertindak, melaksankan sesuatu sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang ada). 2. Kemampuan (kesanggupan karena adanya ‘bekal’) 3. Kesempatan (peluang yang ada untuk dapat memanfaatkan kemampuan dan kemauan yang dimiliki). Kerangka analisis deskriptif terhadap fenomena partisipasi yang dijelaskan oleh Uphoff, Cohen, dan Goldsmith (1979) sebagai dimensi partisipasi yang menyangkut tiga pertanyaan pokok yaitu (1) What kind of participation (partisipasi macam apa) (2) Who participates (siapa yang berpartisipasi) (3) How participation occurs (bagaimana timbulnya partisipasi). Secara garis besar kerangka analisis deskriptif terhadap fenomena partisipasi sebagai berikut: Pengambilan keputusan Apa
Implementasi Manfaat Evaluasi Penduduk setempat
Siapa
Pemimpin setempat Pegawai pemerintah Petugas asing Dasar partisipasi
Bagaimana
Bentuk partisipasi Lingkup partisipasi Akibat partisipasi
Sumber: Uphoff, Cohen, dan Goldsmith (1979)
Gambar 1. Kerangka Analisis Deskriptif Partisipasi
2.1.2.3. Bentuk Partisipasi Krisdiyatmiko
(2006)
menyebutkan
secara
substantif,
partisipasi
mencakup tiga hal. Pertama, suara (voice) setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan. Kedua, akses yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi
7
pembuatan kebijakan, termasuk akses pada layanan publik dan akses pada arus informasi. Ketiga, kontrol yakni setiap warga atau elemen-elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap jalannya pemerintahan maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah. Keterlibatan atau keikutsertaan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berupa tenaga, material (fisik) ataupun sumbangan pikiran (fisik fisik) demi kelancaran pelaksanaan kegiatan, Hasim dan Ramiswal (2009).
2.1.2.4. Tingkat Partisipasi Partisipasi masyarakat merupakan arti sederhana dari kekuasaan masyarakat (citizen power).
Hal ini ditunjukkan oleh terjadinya pembagian
kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok masyarakat. Arnstein menggambarkan partisipasi adalah suatu pola bertingkat (ladder patern) dengan delapan tingkatan partisipasi3 sebagai berikut: Tabel 1. Tingkat Partisipasi (Tipologi Arnstein) No.
Tangga/tingkatan partisipasi
Hakekat kesertaan
Manipulation Permaian oleh penyelenggara (Manipulasi) program 2. Therapy Sekedar agar masyarakat tidak (Terapi) marah/mengobati 3. Information Sekedar pemberitahuan (Pemberitahuan) searah/sosialisasi 4. Consultation Masyarakat didengar, tapi tidak (Konsultasi) selalu dipakai sarannya 5. Placation Saran masyarakat diterima tetapi (Penenangan) tidak selalu dilaksanakan 6. Partnership Timbal balik dinegosiasikan (Kemitraan) 7. Delegated power Masyarakat diberi kekuasaan (Pendelegasian kekuasaan) (sebagian atau seluruh program) 8. Citizen control Sepenuhnya dikuasai oleh (kontrol masyarakat) masyarakat Sumber: Arnstein dalam Wicaksono (2010)
Tingkatan pembagian kekuasaan
1.
Tidak ada partisipasi
Degree of tokenism4 (Tokenisme/sekedar justifikasi)
Degree of citizen power (Tingkat kekuasaan di masyarakat)
3.
4
Menurut J. Pretty et all. dalam Sumardjo (2009) menyebut tipologi partisipasi menjadi tujuh tingkatan, yakni pasif, informatif, konsultatif, insentif, fungsional, interaktif, dan mandiri. Tokenisme dapat diartikan sebagai kebijakan sekadarnya, berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian suatu tujuan. Jadi sekadar menggugurkan kewajiban belaka dan bukannya usaha sungguh-sungguh untuk melibatkan masyarakat secara bermakna. Masyarakat telah aktif melaksanakan kegiatan dengan posisinya sebagai objek atau penerima program. Belum ada penghargaan terhadap ide karena pelaksanaanya hanya bersifat menyampaikan informasi, konsultasi dan peredaman emosi, Hasim dan Remiswal (2009)
8
Arnstein (1969) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is citizen power). Partisipasi masyarakat bertingkat sesuai dengan gradasi kekuasaan yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi di mana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada pola distribusi kekuasaan dan peran dominan stakeholder. 1. Manipulatif, yakni partisipasi yang tidak perlu menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak. Pengelola program akan meminta anggota komunitas yaitu orang yang berpengaruh untuk mengumpulkan tanda tangan warga sebagai wujud kesediaan dan dukungan warga terhadap program. Pada tangga partisipasi ini relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog. 2. Terapi (therapy), yakni partisipasi yang melibatkan anggota komunitas lokal untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan tetapi jawaban anggota komunitas tidak memberikan pengaruh terhadap kebijakan, merupakan kegiatan dengar pendapat tetapi tetap sama sekali tidak dapat mempengaruhi program yang sedang berjalan. Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari penyelenggara program dan hanya satu arah. Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. 3. Pemberitahuan (informing) adalah kegiatan yang dilakukan oleh instansi penyelenggara program sekedar melakukan pemberitahuan searah atau sosialisasi ke komunitas sasaran program. Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back).
9
4. Konsultasi (consultation), anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi dari semua pihak (stakeholder terkait program) sehingga pandangan-pandangan diberitahukan dan tetap dilibatkan dalam penentuan keputusan. Model ini memberikan kesempatan dan hak kepada wakil dari penduduk lokal untuk menyampaikan pendangannya terhadap wilayahnya (sistem perwakilan). Komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi. 5. Penenangan (placation),
komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada
negosiasi antara masyarakat dan penyelenggara program. Masyarakat dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun penyelenggara program tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Pada tahap ini pula diperkenalkan adanya suatu bentuk partisipasi dengan materi, artinya masyarakat diberi insentif untuk kepentingan perusahaan atau pemerintah, ataupun instansi terkait. Seringkali hanya beberapa tokoh di komunitas yang mendapat insentif, sehingga tidak mewakilkan komunitas secara keseluruhan. Hal ini dilakukan agar warga yang telah mendapat insentif segan untuk menentang program. Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. 6. Kerjasama (partnership) atau partisipasi fungsional di mana semua pihak baik (masyarakat maupun stakeholder lainya), mewujudkan keputusan bersama. Suatu bentuk partisipasi yang melibatkan tokoh komunitas dan atau ditambah lagi oleh warga komunitas , “duduk berdampingan” dengan penyelenggara dan stakeholder program bersama-sama merancang sebuah program yang akan diterapkan pada komunitas. 7. Pendelegasian wewenang (delegated power), suatu bentuk partisipasi yang aktif di mana anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi, dan monitoring. Anggota komunitas diberikan kekuasaan untuk melaksanakan
10
sebuah program dengan cara ikut memberikan proposal bagi pelaksanaan program bahkan pengutamaan pembuatan proposal oleh komunitas yang bersangkutan dengan program itu sendiri. 8. Pengawasan oleh komunitas (citizen control), dalam bentuk ini sudah terbentuk independensi dari monitoring oleh komunitas lokal. Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pihak penyelenggara program.
2.1.2.5. Hambatan Partisipasi Oakley dalam Hasim dan Ramiswal (2009) mengemukakan tiga hal yang dapat menghambat partisipasi, yaitu (1) Hambatan struktural, terkait dengan redistribusi kekuasaan ekonomi politik, sistem politik terpusat sehingga hanya mengarahkan masyarakat untuk melaksanakan keputusan yang telah diputuskan. (2) Hambatan administrasi, ini erat kaitannya sengan hambatan struktural, dimana sistem administrasi yang menguasai pengendalian pengambilan keputusan, alokasi sumber, informasi dan pengetahuan yang dperlukan masyarakat untuk dapat berperan dalam pembangunan secara efektif. (3) Hambatan sosial, berkaitan dengan mental sebagai akibat dari pengalaman sejarah, seperti kesenjangan sosial, relais gender yang timpang, pembiasaan untuk hanya melaksanakan inisiatif atasan dan tidak pernah kreatif membuat keputusan. Schrool dalam Saharuddin (1987) menjelaskan partisipasi timbul dari kepincangan struktural yang terdapat dalam sistem sosial yakni kepincangan antara kemampuan menyerap informasi dan kesempatan yang diharapkan untuk menggunakan informasi, kepincangan tersebut timbul dari: 1. Kemampuan menyerap informasi bertambah, tetapi kesempatan relatif untuk menerapkannya tidak ada. 2. Kemampuan dan kesempatan relatif keduanya bertambah tetapi tambahnya kemampuan lebih cepat daripada tambahnya kesempatan 3. Kemampuan bertambah dan bersamaan dengan itu kesempatan relatif berkurang.
11
Rusli dkk. (1995) menjelaskan “Semakin jauh suatu masyarakat terlibat dalam penetrasi ‘pasar dan kenegaraan’ maka akan semakin jauh pula perbedaan peluang partisipasi dalam kelembagaan-kelembagaan yang tersedia bagi tiap warga masyarakatnya.” Menurut Hasim dan Remiswal (2009) pengetahuan adalah kekuasaan. Pengetahuan tumbuh dari proses dan hasil penelitian melalui partisipasi, bersumber dari yang dimiliki oleh penduduk lokal. Melalui monopoli informasi maka dapat digunakan untuk membuat perencanaan, mengelola keputusan.
2.1.3.
Komunitas Masyarakat dapat diartikan menurut dua konsep menurut Mayo dalam
Suharto (2005), yaitu (1) Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Misal, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah perkotaan. (2) Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasar kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas. Komunitas menurut Cohen dan Serageldin
(1994) mempunyai empat
komponen utama, yakni people, place of territory, social interaction, dan psychological identification. Secara garis besar komunitas diartikan sekelompok orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah dengan membentuk kehidupan sosial yang di dalamnya ditandai derajat hubungan sosial tertentu menurut lokalitas, perasaan sewarga, dan solidaritas. Menurut Sumardjo (1991) ”Karakteristik para pemukim di pemukiman kumuh sebagian besar menyesuaikan dengan tingkat kemampuan ekonomi (pendapatannya) yang relatif rendah, sebagian besar bekerja di sektor informal dan domisili mereka bersifat sementara sebagai tempat usaha dan pasar juga. Menurut Adiwijaya dkk. (1991) perkampungan miskin dapat dianalisis dari kondisi fisik kampung, pola kehidupan sosial, kondisi ekonomi keluarga. miskin yaitu perkampungan yang memiliki kondisi lingkungan yang relatif rendah. Cirinya diantaranya rumah-rumahnya tidak permanen, relatif buruk dan sempit serta tidak teratur, tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi, fasilitas pemukiman kurang memadai, sumur sebagai sumber air bersih tetapi belum tentu dimiliki
12
setiap rumah, jamban (WC) keluarga darurat dan sering berpindah-pindah karena diantaranya banyak rumah tidak memiliki jamban, selokan pembuangan air limbah sangat jarang. Permasalahan di lingkungan kumuh antara lain bersumber dari sampah, pembuangan air besar, kepadatan ruang dan kurangnya air bersih. Menurut Cohen dan Serageldin (1994), karakteristik ekonomi dan lingkungan di daerah perkotaan dijelaskan sebagai berikut: Tabel 2 . Economic-Environmrntal Typology of Cities Urban environment problem Access to basic services • Water supply and sanitation • Drainage • Soild waste collection Pollution • Water pollution • Air pollution • Salid waste disposal • Hazardous waste management Rosource losses • Land management
Lower-income countries (<$650/capital) Low coverage and poor quality, especially for urban poor Low coverage, frequent flooding Low coverag, especially for urban poor Problems from inadequate sanitation and raw domestic sewage Severe problems in some cities using soft coal: indoor exposure for poor Open dumping, mixed wastes Non-existent capacity Uncontrolled land development and use: pressure from squatter settlements
Environment hazards Natural and hazards Recurrent disaster with severe damage and loss of life Sumber: Cohen daan Serageldin (1994)
Kondisi lingkungan perkotaan mengalami penurunan carrying capacity setiap terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk di perkotaan. Hal ini mengakibatkan banyak munculnya permasalahan yang ada di perkotaan khususnya dalam hal daya dukung lingkungan dan perekonomian masyarakat. Berdasar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, dijelaskan bahwa pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Prasarana lingkungan pemukiman diartikan kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan pemukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Prasarana utama meliputi jaringan jalan, jaringan air hujan, jaringan pengadaan air bersih, jaringan listrik, jaringan pembuangan limbah sampah, telepon, gas, dsb.
13
2.1.4. Kemiskinan Kemiskinan disebut Sayogyo dalam Rusli dkk. (1995) adalah sebagai ciri dan dan akibat ketidaksamaan dalam masyarakat yang menjadikan sebagian golongan tak mampu mencapai tingkat hidup layak, sesuai harapan dan cita-cita hidup dalam masyarakat berdasar swadaya golongan itu. Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Analisis terkecil dalam kemiskinan adalah keluarga dan bukan individu, menurut Rusli dkk. (1995). Alasanya adalah keluarga merupakan satuan sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat. Rusli dkk. (1995) menjelaskan pemahaman masalah kemiskinan perlu membedakan indikator kemiskinan dalam kelompok (a) ‘input’ bagi proses terjadinya kemiskinan. Merupakan faktor-faktor yang berpengaruh pada kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dapat dilihat dari ketersediaan sarana, penguasaan aset, kondisi aksesibilitas (tingkat isolasi daerah) dll. (b) ‘proses’ terjadinya kemiskinan itu sendiri, isalnya orientasi usaha, tingkat teknologi, dll. (c) ‘output’ yang berupa tingkat kemiskinan, menyangkut tingkat pendapatan atau pengeluaran, daya beli, komposisi pengeluaran, kondisi rumah, dll. Kemiskinan dapat dikategorikan menjadi dua, yakni kemiskinan struktural dan kultural. ”Kemiskinan struktural ialah kemiskinan yang diderita oleh golongan dari masyarakat karena struktur sosial, masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka”, Sumardjan (1984). Teori budaya kemiskinan yang dicetuskan Lewis dalam Krisdyatmiko (2006) memaparkan kemiskinan budaya muncul dari teralienasinya orang-orang di lingkungan slum dari kehidupan kota yang dikendalikan oleh kelas menengah di perkotaaan. Berdasar hasil penelitian Rusli dkk. (1955), “…penyelenggaraan proyek di perkotaan pada daerah kumuh (slum) yang dihuni orang-orang miskin dapat diterapkan tanpa perlu bekerja melalui elit lokal, karena biasanya kelembagaan sosial kelompok masyarakat kumuh relatif tidak terintegrasi dengan kelembagaan formal perkotaan. Masyarakat seperti ini benar-benar mewakili suatu ciri kelompok orang yang mengalami marginalisasi secara utuh.”
14
Untuk memahami permasalahan kemiskinan dapat juga menggunakan analisis “pohon kemiskinan” menurut Rusli dkk. (1995), sebagai berikut: Daun : gambaran ekosistem wilayah dimana kemiskinan itu ditemukan (kumuh, terisolir, kritis, dll.) Bunga : ciri-ciri kemiskinan yang dapat dikenali (rumah tak layak huni, kurang pangan, pendidikan rendah, dan sebagainya). Buah : akibat kemiskinan (gizi buruk dan dampak sosial ekonomi lainnya). Batang : stuktur sosial (pola hubungan berbagai pihak/lapisan) yang menyebabkan timbulnya masalah kemiskinan (tingkat upah, ketimpangan penguasaan tanah, kelangkaan asset produksi, kesulitan modal, ijon, dll.). Akar : penyebab kemiskinan, meliputi kondisi fisik/alam, sosial, ekonomi, politik, pola budaya, infrastruktur, dll.
2.1.5. Pengelolaan Sampah Sampah merupakan zat-zat atau benda-benda yang sudah tidak lagi digunakan lagi baik berupa bahan bangunan yang berasal dari rumah tangga, “Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan”, Murbandono (1993). Kebijakan pemerintah tentang Pengelolaan Sampah terdapat dalam UU No. 18/2008. Tujuan dari pengelolaan sampah adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan, serta menjadikan sampah sebagai sumberdaya. Pengelolaan sampah Nainggolan dan Safrudin dalam Sasmita (2009), meliputi: 1. Pengomposan sampah, cara mengolah bahan padatan organik untuk menjadi kompos melalui proses degradasi materi organik melalui reaksi biologi mikroorganisme. Ketersediaan bahan organik dalam sampah kota 70-80% 2. Pembakaran sampah, pengurangan sampah mencapai 80% dari sampah yang masuk, sedangkan sisanya yakni 20% dibuang ke TPA. 3. Daur ulang sampah, komponen sampah yang mempunyai nilai tinggi untuk dimanfaatkan kembali. Menurut Newman dan Paoletto (1999), pendekatan regulasi dan teknologi untuk sistem daur ulang, sistem pasar yang mendukung daur ulang sampah,
15
dorongan inisiatif daur ulang yang berbasis masyarakat, perubahan sikap publik terhadap konsumsi dan pembuangan sampah melalui informasi dan pendidikan publik merupakan beberapa metodologi yang mengkombinasikan pendekatan “atas ke bawah/top down” dan “ dan bawah ke atas/komunitarian/buttom up”.
2.2.Kerangka Pemikiran Partisipasi merupakan elemen penting yang diharapkan terbentuk melalui upaya pemberdayaan (empowerment is road to participation). “Munculnya partisipasi komunitas dalam kegiatan pemberdayaan dapat dipengaruhi oleh faktor eskternal maupun internal individu sebagai pelaku dan pelaksana program”, Oppenheim dalam Sumardjo (2009). Ada tiga faktor utama yang menjadi pendorong partisipasi yakni adanya kemauan, kemampuan, dan kesempatan. Ketiga faktor dijabarkan menjadi sepuluh aspek yang menjadi prasyarat pendorong partisipasi. Pertama, tingkat kemauan meliputi persepsi tentang lingkungan dan sikap terhadap pengelolaan lingkungan, serta motivasi untuk berperan serta dalam program pengelolaan sampah organik. Kedua, tingkat kemampuan meliputi tingkat pengetahuan, tingkat ketrampilan, tingkat pengalaman di bidang pengelolaan sampah sebelum adanya pendampingan program, dan ketersediaan waktu untuk terlibat dalam program. Ketiga, tingkat kesempatan yang merupakan faktor luar diantaranya tingkat efektivitas kelembagaan, tingkat kemudahan birokrasi untuk terlibat dalam program pengelolaan sampah organik, serta tingkat ketersediaan regulasi tentang pengelolaan sampah. Komunitas kumuh perkotaan memiliki posisi termarginal di negeri ini maka partisipasi komunitas dalam program pengelolaan sampah organik erat kaitannya dengan derajat kekuasaan dalam proses pengambilan keputusan. Berdasar konsep tingkat partisipasi yang dijelaskan oleh Arnstein (1969) dan kerangka deskriptif analisis partisipasi yang dijelasakan oleh Uphoff, Cohen, dan Goldsmith (1979) mengenai “Kerangka Analisis Deskriptif Partisipasi”. Dalam penelitian ini, tingkat partisipasi komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung dalam program pengelolaan sampah organik akan diketahui dengan menganalisis derajat kekuasaan komunitas melalui
16
tiga aspek (1) Proses
partisipasi dalam tahapan program; (2) Pihak-pihak yang terlibat dalam program; dan (3) Bentuk partisipasi komunitas. Dengan demikian, akan diketahui sejauh mana derajat kekuasaan komunitas menggunakan tipologi Arnstein, mulai dari tingkat manipulatif, terapi, pemberitahuan, konsultatif, penenangan, kemitraan, pendelegasian, sampai kontrol masyarakat. Untuk lebih jelasnya alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini tersaji pada Gambar 2.
Faktor-faktor
Tingkat Partisipasi
Partisipasi
Pendorong Partisipasi Tingkat Kemauan • Persepsi tentang lingkungan • Sikap terhadap pegelolaan lingkungan • Motivasi untuk terlibat dalam program pengelolaan sampah organik Tingkat Kemampuan • Tingkat pengetahuan di bidang pengelolaan sampah • Tingkat ketrampilan di bidang pengelolaan sampah • Tingkat pengalaman di bidang pengelolaan sampah • Tingkat ketersediaan waktu
Analisis Derajat Kekuasaan dalam Pengambilan Keputusan pada Program Pengelolaan Sampah Organik Proses Peran Bentuk Partisipasi Pihak Partisipasi Perencanaan Komunitas Pikiran Pelaksanaan Stakeholder Tenaga Evaluasi Waktu Menikmati Uang hasil Barang
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Manipulatif Terapi Pemberitahuan Konsultatif Penenangan Kemitraan Pendelegasian 8. Kontrol Masyarakat
Tingkat Kesempatan • Tingkat efektivitas kelembagaan • Tingkat kemudahan birokrasi • Tingkat ketersediaan regulasi
Keterangan : : mempengaruhi : dianalisis
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
17
2.3.Hipotesis 1. Ada hubungan nyata antara tingkat kemauan yang dimiliki komunitas terhadap tingkat partisipasi dalam program pengelolaan sampah organik. a. Ada hubungan signifikan antara persepsi tentang lingkungan terhadap tingkat partisipasi b. Ada hubungan signifikan antara sikap terhadap pengelolaan lingkungan menentukan tingkat partisipasi 2. Ada hubungan signifikan antara tingkat kemampuan yang dimiliki komunitas terhadap tingkat partisipasi dalam program a. Ada hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan dalam bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program terhadap tingkat partisipasi b. Ada hubungan signifikan antara tingkat ketrampilan dalam bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program terhadap tingkat partisipasi c. Ada hubungan signifikan antara tingkat pengalaman dalam bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program terhadap tingkat partisipasi d. Ada hubungan signifikan antara tingkat ketersediaan waktu terhadap tingkat partisipasi 3. Ada hubungan signifikan antara tingkat kesempatan yang disediakan dari “lingkungan luar” terhadap tingkat partisipasi komunitas dalam program. a. Ada hubungan signifikan antara tingkat efektivitas kelembagaan terhadap tingkat partisipasi b. Ada hubungan signifikan antara tingkat kemudahan birokrasi dalam program terhadap tingkat partisipasi c. Ada hubungan signifikan antara tingkat ketersediaan regulasi tentang pengelolaan sampah terhadap tingkat partisipasi.
18
2.4. Definisi Operasional Definisi operasional dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini mengenai faktor pendorong partisipasi dan tingkat pertisipasi untuk mengukur sejauh mana partisipasi komunitas terhadap program pengelolaan sampah organik. A. Faktor pendorong partisipasi ialah faktor-faktor yang mempengaruhi responden sehingga berparanserta dalam program, diantaranya: 1. Tingkat kemauan adalah keinginan responden untuk berpartisipasi dalam program pengelolaan sampah organik. Tingkat kemauan diukur melalui akumulasi skor dari aspek psikologis individu, meliputi persepsi dan sikap responden terhadap program. Sedangkan motivasi berpartisipasi digunakan untuk melihat alasan keterlibatan komunitas dalam program. a. Persepsi tentang lingkungan adalah cara pandang terhadap pelestarian lingkungan melalui program pengelolaan sampah organik dengan mengenali dan memahami stimulus yang diterima responden. Pengukuran : 1. Tidak tepat
= skor 1
2. Tepat
= skor 2
b. Sikap terhadap pengelolaan sampah organik adalah pernyataan evaluatif yang mengindikasikan kecenderungan responden dalam menanggapi program, berupa penerimaan atau penolakaan. Dapat diukur dengan menggunakan skala likert dari 1 (respon paling negatif) sampai 5 (respon paling positif). Skala likert tersebut mencakup pilihan: 1. Sangat Tidak Setuju
= skor 1
2. Tidak Setuju
= skor 2
3. Ragu-ragu
= skor 3
4. Setuju
= skor 4
5. Sangat Setuju
= skor 5
c. Motivasi terhadap program pengelolaan sampah organik adalah dorongan dari dalam diri responden untuk terlibat dalam program pengelolaan sampah organik. Motivasi mencakup faktor-faktor yang melatarbelakangi responden untuk berpartisipasi dalam program.
19
Motivasi diukur dengan menggunakan metode rangking dari faktor yang memotivasi warga untuk terlibat dalam program, mulai dari faktor motivasi tertinggi dengan skor (5) sampai terendah dengan skor (1). Penilaian terhadap tingkat kemauan yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari persepsi dan sikap. Penentuan selang skor menurut rumus sebagai berikut: Rentang Kelas =
Sehingga tingkat kemauan dapat dikategorikan menjadi: 1. Rendah, yaitu skor
24 < X ≤ 72
2. Tinggi, yaitu
72 < X ≤ 120
skor
2. Tingkat kemampuan adalah daya yang dimiliki responden sehingga sanggup berpartisipasi dalam program pengelolaan sampah organik karena adanya bekal pengetauan, ketrampilan, pengalaman dalam bidang pembuatan kompos serta ketersediaan waktu yang dimiliki untuk berpartisipasi dalam program. a. Tingkat pengetahuan adalah pemahaman responden tentang pengelolaan sampah organik menjadi pupuk kompos sebelum adanya program. Pengukuran: 1. Tidak punya = skor 1 2. Punya
= skor 2
b. Tingkat ketrampilan adalah keahlian yang dimiliki responden dalam proses pembuatan pupuk kompos sebelum dicanangkannya program. Pengukuran: 1. Tidak punya = skor 1 2. Punya
= skor 2
c. Tingkat pengalaman adalah responden pernah mengalami mengolah sampah organik hingga menjadi pupuk kompos sebelum terlibat dalam program. Pengukuran: 1. Tidak punya = skor 1 2. Punya
= skor 2
d. Tingkat ketersediaan waktu adalah responden mempunyai waktu untuk berpartisipasi dalam program pengelolaan sampah organik.
20
Pengukuran: 1. Tidak punya = skor 1 2. Punya
= skor 2
Penilaian terhadap tingkat kemampuan yaitu dengan mengakumulasi jumlah skor dari tingkat pengetahuan, tingkat ketrampilan, tingkat pengalaman, dan tingkat ketersediaan waktu. Tingkat kemampuan dapat dikategorikan menjadi: 1. Rendah, yaitu skor
4<X≤6
2. Tinggi, yaitu skor
6<X≤8
3. Tingkat kesempatan adalah faktor luar yang berasal dari lingkungan yang mempengaruhi responden sehingga mempunyai peluang untuk berpartisipasi dalam program pengelolaan sampah organik. a. Tingkat efektivitas kelembagaan adalah sejauh mana akesibilitas yang diberikan Ciliwung Merdeka kepada komunitas untuk mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan dalam program, berupa penyampaian saran dan kritik, mengakses informasi terkait dengan program dan kesempatan untuk turut berperan dalam proses pengambilan keputusan. Pengukuran: 1. Tidak efektif = skor 1 2. Efektif
= skor 2
b. Tingkat kemudahan birokrasi adalah adanya sistem yang mengatur persyaratan responden untuk terlibat dalam program. Pengukuran: 1. Tidak ada
= skor 1
2. Ada
= skor 2
c. Tingkat
ketersediaan
regulasi
adalah
responden
tahu
peraturan/kebijakan pemerintah yang mengatur pengelolaan sampah. Pengukuran: 1. Tidak ada
= skor 1
2. Ada
= skor 2
21
adanya
Penilaian terhadap tingkat kesempatan yaitu dengan menjumlah skor dari tingkat efektivitas kelembagaan, tingkat kemudahan birokrasi, dan tingkat ketersediaan regulasi. Sehingga tingkat kesempatan dapat dikategorikan menjadi: 1. Rendah, yaitu
skor
5 < X ≤ 7,5
2. Tinggi, yaitu
skor
7,5 < X ≤ 10
B. Tingkat partisipasi ialah tingkat keterlibatan anggota komunitas dalam tahapan program pengelolaan sampah organik. Pengukuran: 1. Tidak terlibat = skor 1 2. Terlibat
= skor 2
Untuk menganalisis lebih lanjut tingkat partisipasi berdasar gradasi derajat kekuasaan, maka tingkat partisipasi dalam seluruh rangkaian kegiatan program pengelolaan sampah organik digolongkan sebagai berikut: 1. Tahap manipulasi, dinyatakan sebagai bentuk partisipasi yang tidak menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak dalam suatu kegiatan dan Ciliwung Merdeka yang aktif karena ingin kepentingannya tercapai melalui program. 2. Tahap terapi ialah dengar pendapat, tetapi pendapat dari partisipan sama sekali tidak dapat mempengaruhi kedudukan program yang sedang dilaksanakan. 3. Tahap pemberitahuan, sekedar pemeberitahuan searah atau sosialisasi dari Ciliwung Merdeka kepada partisipan program yang bersifat top down. 4. Tahap konsultasi, komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi dengan Ciliwung Merdeka sehingga komunitas dilibatkan dalam penentuan keputusan (dialog dua arah), tetapi dalam proses dialog hanya melibatkan “wakil warga”. 5. Tahap penenangan, dicirikan dalam komunikasi sudah ada negosiasi antara pihak yang terlibat, dicirikan dengan pemberian insentif kepada warga tetapi sebatas untuk meredam keinginan warga menolak program. (partisipasi semu). 6. Tahap kemitraan, dimana partisipan dan Ciliwung Merdeka bersama stakeholder lainnya bertindak sebagai mitra sejajar sehingga dapat mewujudkan keputusan bersama melalui negosiasi (partisipasi fungsional). 7. Tahap pendelegasian kekuasaan merupakan Ciliwung Merdeka sudah memberikan kewenangan kepada warga untuk mengelola program mulai dari
22
perencanaan, implementasi dan mentoring terhadap program tetapi tetap dipantau oleh Ciliwung Merdeka. 8. Tahap kontrol masyarakat, sudah terbentuk independensi dari warga untuk mengelola program tanpa intervensi dari Ciliwung Merdeka. Penilaian pada tingkat partisipasi yaitu akumulasi skor pertanyaan partisipasi. Tingkat partisipasi dari keseluruhan rangkaian program (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasil) diperoleh dari jumlah dari akumulasi skor pertanyaan partisipasi dan dapat dikategorikan: 1. Manipulasi (manipulative)
skor
8 < X ≤ 14
2. Terapi (therapy)
skor
14 < X ≤ 21
3. Pemberitahuan (informing)
skor
21 < X ≤ 28
4. Konsultasi (consultation)
skor
28 < X ≤ 35
5. Penenangan (placation)
skor
35 < X ≤ 42
6. Kerjasama (partnership)
skor
42 < X ≤ 49
7. Pendelegasian wewenang (delegated power) skor
49 < X ≤ 56
8. Pengawasan oleh komunitas (citizen control)skor
56 < X ≤ 64
23
BAB III PENDEKATAN LAPANG
3.1. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data primer. Penelitian bersifat eksplanatori karena bertujuan untuk menguji hipotesis hubungan antara variabel yang diteliti.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi RT yang terletak di dua kotamadya yang berbeda. Pertama, di RT 10 RW 03 Kelurahan Kampung Melayu (biasa disebut Kampung Pulo), Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Kedua, di RT 06 RW 12 Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Ketiga, di RT 07 RW 12 Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Pemilihan ketiga lokasi RT sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan merupakan daerah pemukiman kumuh perkotaan di bantaran sungai Ciliwung. Selain itu, merupakan lokasi dilaksanakannya program pengelolaan sampah organik yang difasilitasi oleh organisasi masyarakat bernama Ciliwung Merdeka Bidang Lingkungan Hidup. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember 2010. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan daerah tersebut merupakan salah satu daerah pemukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung yang selalu terkena bencana banjir tahunan Jakarta dan terdapat program penyelamatan lingkungan. Dengan demikian, komunitas tersebut termasuk dalam komunitas marginal dan terdapat upaya pemberdayaan di dalamnya. Oleh karena itu, dikaji aspek yang menentukan partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan di bidang lingkungan yang dicanangkan khususnya dalam pengelolaan sampah organik.
24
3.3. Metode Pengambilan Sampel Unit analisis dalam penelitian
ini adalah individu. Metode pemilihan
sampel dilakukan secara purposif (purposive sampling) karena sampel yang dipilih sesuai dengan kriteria. Artinya, sampel yang dipilih hanya warga yang mengetahui bahwa di RT nya terdapat program pengelolaan sampah organik yang difasilitasi Ciliwung Merdeka. Singarimbun dan Efendi (2008) mengidentifikasi populasi menjadi dua yaitu populasi sampling dan populasi sasaran. Populasi sampling dalam penelitian ini yaitu seluruh warga RT di Kelurahan Bukit Duri dan Kampung Melayu yang terdapat program pengelolaan sampah organik yang difasilitasi oleh Ciliwung Merdeka. Populasi sasaran ialah seluruh warga yang mengetahui bahwa di RT nya terdapat program tersebut. Tidak semua warga mengetahui adanya program pengelolaan sampah organik di RT nya sejak awal program. Hal ini dikarenakan ada beberapa pendatang yang menjadi penduduk baru di lokasi penelitian. Oleh karena itu, untuk mengetahui partisipasi warga mulai dari proses perencanaan program sampai menikmati hasil dari program hanya diketahui warga yang sudah tinggal sejak tahun 2008 di lokasi penelitian. Lokasi penelitian yang dipilih termasuk daerah urban dimana dinamika penduduk tergolong tinggi dengan jumlah yang berubah-ubah karena tingginya tingkat mobilitas penduduk. Hal ini menyebabkan nama-nama seluruh warga dari pemerintahan setempat tidak lengkap karena tidak up to date. Artinya, ketika dicari peneliti, nama responden yang bersangkutan ternyata sudah tidak tinggal di lokasi penelitian. Oleh karena itu, peneliti menentukan sampel tidak menggunkan kerangka sampling melainkan secara langsung di lapang dengan jumlah responden sebanyak 42 orang yang diperoleh secara sengaja dari warga yang mengetahui bahwa di RT nya terdapat program pengelolaan sampah organik yang difasilitasi oleh Ciliwung Merdeka. Meskipun pemilihan sampel secara purposif dan tidak dapat diperoleh generalisasi dari data populasi penelitian, tetapi data dari sampel yang dipilih dapat memberikan penjelasan yang mendalam untuk membahas tujuan penelitian ini. Hal ini dikarenakan, responden yang dipilih mengetahui keberadaan program pengelolaan sampah organik dari awal program sampai saat ini.
Oleh karena itu, dapat diperoleh informasi akurat tentang partisipasi
25
komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung dalam program pengelolaan sampah organik. Informan dalam penelitian ini terdiri dari para pejabat pemerintahan desa tingkat RT, warga masyarakat dan fasilitator dari Ciliwung Merdeka yang mendampingi komunitas dalam melakukan pengelolaan sampah organik.
3.4. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner, wawancara dan pengamatan/observasi. Data sekunder didapatkan melalui studi literatur yang berasal dari dokumen dari instansi terkait, laporan penelitian, dan beberapa situs yang terkait. Kuesioner berupa pertanyaan tertutup dan didukung dengan pertanyaan terbuka melalui wawancara mendalam kepada responden. Hal ini dilakukan untuk melengkapi data hasil pengisian kuesioner. Kuesioner terdiri dari empat bagian, yaitu (1) Identitas responden; (2) Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi partisipasi; (3) Tingkat partisipasi responden; dan (4) Bentuk partisipasi responden dalam program pengelolaan sampah organik.
3.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner ditabulasi, kemudian dianalisis secara deskriptif dan uji Rank Spearman untuk disajikan dalam bentuk tabel frekuensi, grafik, matriks, dll. yang selanjutnya dianalisis. Hasil analisis diinterpretasikan untuk memperoleh kesimpulan. Teknik analisis yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Analisis deskriptif, memaparkan masing-masing variabel penelitian terdiri dari karakteristik responden, faktor-faktor pendorong partisipasi, dan tingkat partisipasi responden sebagai variabel tunggal tanpa melihat korelasi di antara variabel-variabel
tersebut.
Pemaparan
data
secara
umum
dengan
menggunakan presentase yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan kutipan pernyataan responden maupun informan. Perangkat lunak yang digunakan adalah microsoft excel 2007 Selanjutnya, data diinterpretasikan dengan dukungan dari hasil observasi di lapangan.
26
2. Analisis eksplanatori, menjelaskan hubungan antara variabel penelitan untuk menguji hipotesis. Untuk melihat korelasi antara faktor-faktor pendorong partisipasi terhadap tingkat partisipasi dalam program. Hal ini dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman karena pengukurannya menggunakan skala ordinal. Perangkat lunak yang digunakan adalah SPSS versi 15. Kaidah pengambilan keputusan tentang hubungan antar variabel dalam uji korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut: 1. Signifikansi / probabilitas / α digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang diteliti. Signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar α (0,05) maka artinya hasil penelitian mempunyai kesempatan untuk benar atau tingkat kepercayaan sebesar 95% dan tingkat kesalahan sebesar 5%. Dasar pengambilan keputusan, dirumuskan sebagai berikut: a. Jika angka signifikansi hasil penelitian < 0,05 maka Ho ditolak. Jadi, hubungan kedua variabel signifikan; dan b. Jika angka signifikansi hasil penelitian > 0,05 maka Ho diterima. Jadi, hubungan kedua variabel tidak signifikan. 2. Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan arah hubungan antara variabel. Angka korelasi untuk Spearman berkisar pada 0, yang berarti tidak ada korelasi sama sekali, tetapi kalau angka 1 terdapat korelasi yang sempurna. Korelasi mempunyai kemungkinan pengujian hipotesis dua arah (two tailed) yaitu searah atau berlawanan arah. Dasar pengambilan keputusan, dirumuskan sebagai berikut: a. Kekuatan hubungan, jika angka koefisien korelasi di atas 0,5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedangkan di bawah 0,5 menunjukkan korelasi yang lemah. Arti hubungan kuat adalah jika terjadi perubahan nilai pada suatu variabel (X) cenderung diikuti perubahan nilai variabel lain (Y). b. Arah hubungan, jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi
27
negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah Untuk lebih lengkapnya pedoman pengumpulan data dan analisis data dapat dilihat di Tabel 3. Tabel 3. Pedoman Pengumpulan dan Analisis Data No.
Tujuan
1.
Mengetahui latar belakang komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor pendorong partisipasi komunitas terhadap program Mengidentifikasi tingkat partisipasi komunitas terhadap program
3.
4.
Mengkaji derajat kekuasaaan komunitas dalam program
5.
Profil Ciiwung Merdeka
6.
Mengetahui dan menganalisis aksi pemberdayaan yang dilakukan Ciliwung Merdeka
Sumber data
Metode pengumpulan data
Karakteristik komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung
Data primer: komunitas kumuh perkotaan Data sekunder: dokumen
Kuesioner Wawancara Studi Literatur Observasi
• Tingkat kemauan • Tingkat kemampuan • Tingkat kesempatan
Data primer: komunitas kumuh perkotaan Data sekunder: dokumen
Kuesioner Wawancara Studi Literatur
Keterlibatan komunitas dalam program
Data primer: komunitas kumuh perkotaan Data sekunder: dokumen
Kuesioner Wawancara Studi Literatur
• Proses partisipasi dalam setiap tahapan program • Peran pihak yang terlibat • Bentuk partisipasi
Data primer: komunitas kumuh perkotaan Data sekunder: dokumen
Kuesioner Wawancara Studi Literatur
• Latar belakang dan tujuan Ciliwung Merdeka • Program pengelolaan sampah organik
Data primer: pengurus Sanggar Ciliwung Data sekunder: dokumen
Studi literatur Wawancara Observasi
Data yang dibutuhkan
Strategi dan pendekatan pendampingan dalam program
Data primer: fasilitator Ciliwung dan komunitas kumuh perkotaan Data sekunder: dokumen
28
Studi literatur Wawancara Observasi
Metode pengolahan dan analisis data • Analisis deskriptif • Penyajian data: distribusi frekuensi , kutipan wawancara • Analisis eksplanatori dengan menggunaka n uji korelasi Rank Spearman • Penyajian data: tabulasi silang, kutipan wawancara • Analisis deskriptif • Penyajian data: distribusi frekuensi , kutipan wawancara Analisis deskriptif Pengumpulan data Reduksi data • Analisis deskriptif • Penyajian data: kutipan wawancara
BAB IV GAMBARAN UMUM
4.1. Gambaran Wilayah Pemukiman 4.1.1. Letak Geografis Lokasi dalam penelitian ini secara geografis terpisahkan oleh Sungai Ciliwung dan berada dalam dua Kotamadya yang berbeda. Lokasi RT 06 dan 07 RW 12, Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet terletak di Jakarta Selatan. Sedangkan RT 10 RW 03 Kelurahan Kampung Melayu (Kampung Pulo), Kecamatan Jatinegara terletak di Jakarta Timur. Keberadaan Sungai Ciliwung inilah yang menjadi batas geografis antara Jakarta Timur dan Jakarta Selatan (lihat Lampiran 1) Perkampungan penduduk di wilayah RT 06 dan 07 RW 012 Bukit Duri berada di ”ruang sisa” di antara Sungai Ciliwung dan bengkel kereta api (Dipo) Bukit Duri-Tebet. Sedangkan RT 10 RW 03 Kampung Melayu berada di seberang sungai, tepatnya berada di bibir Sungai Ciliwung. Lokasi ini berada di tengah Sungai Ciliwung sehingga lebih dikenal dengan sebutan “Kampung Pulo” karena lokasinya berada di tengah sungai.
4.1.2. Tingkat Kepadatan Lokasi perkampungan yang terbatas dihuni oleh sekitar 232 KK dengan 759 jiwa untuk RT 06,07, dan 08 RW 12 Bukit Duri. Sedangkan RT 10 RW 03 Kampung Pulo dihuni oleh sekitar 100 KK yang tergolong lebih padat dibanding lokasi penelitian di Bukit Duri. Namun, keduanya mempunyai karakteristik warga dan pemukiman yang hampir sama. Kepadatan penduduk tidak hanya dilihat dari penampakan lingkungan pemukiman yang dipadati bangunan hunian tetapi juga manusia penghuninya. Jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah pada pemukiman kumuh di bantaran sungai Ciliwung berkisar antara dua sampai sepuluh orang yang terdiri dari satu bahkan lebih dari satu keluarga inti. Oleh karena itu, banyak didapati rumah-rumah yang asalnya merupakan satu unit hunian kemudian menjadi dua, tiga, atau bahkan lebih yang ditempati oleh beberapa keluarga inti. Perbedaaanya hanya pada pembagian area rumah. Beberapa diantaranya ada yang satu keluarga
29
bertempat tinggal di lantai atas dan keluarga lainnya menempati lantai bawah. Selain itu juga ada yang dalam satu rumah disekat-sekat menjadi beberapa bagian yang ditempati oleh keluarga besar yang terdiri dari keluarga inti yang menempati satu bagian rumah. Tingginya kepadatan penghuni rumah cukup tinggi. Hal ini juga berpengaruh besar terhadap kesehatan mereka, terutama balita. Penyakit yang banyak berjangkit adalah penyakit kulit, ISPA, dan kekurangan gizi.
4.1.3. Kondisi Perumahan Perkampungan Kondisi rumah warga sebagian dibangun secara permanen sedangkan sebagian lagi terbuat dari bambu atau papan. Khusus di RT 07, sebagian besar bangunannya disewa oleh warga dari PT. KAI milik pemerintah sehingga bangunan rumahnya sebagian besar sudah permanen meski berukuran kecil. Rumah-rumah papan dan bambu milik warga Bukit Duri bantaran kali pada umumnya berukuran antara 2x3 meter sampai 3x5 meter dengan tipe bangunan susun (2-3 lantai) sebagai upaya adaptasi terhadap lingkungan yang sering kebanjiran selain dapat dimuat lebih banyak orang dalam satu rumah.
Sumber: Data Primer (2010)
Gambar 3. Rumah Susun Milik Warga Setiap tahun, lokasi ini selalu terkena terjangan banjir akibat meluapnya sungai Ciliwung. Jika terjadi banjir dengan kisaran waktu lima tahunan atau sepuluh tahunan, rumah warga dan lingkungan menjadi rusak berat diterjang banjir dengan arus deras yang mencapai ketinggian sampai di atas genteng (tenggelam, artinya ketinggian air bisa mencapai tujuh sampai delapan meter dari
30
permukaan sungai). Hal ini sesuai dengan pemaparan warga setempat yang menceritakan pengalaman banjir masa lalunya sebagai berikut: “Di sini warganya sudah terbiasa dengan adanya banjir. Banjir terbesar yang saya rasakan di tahun 1997, sampai kami harus diungsikan dengan perahu karet oleh petugas ke tempat-tempat yang aman untuk mengungsi.”(SRT, 72 tahun)
Warga korban banjir pada umumnya bukan hanya mengalami kehancuran rumah sebagai tempat tinggal, tetapi juga kehancuran/kehilangan pekerjaan. Hal ini dikarenakan jenis pekerjaan dilakukan di rumah masing-masing, sehingga setelah diterjang banjir rumah menjadi hancur dan pekerjaan pun hancur.
4.1.4. Kondisi Fasilitas Umum Fasilitas umum yang tersedia di sekitar RT 06, 07, dan 08 RW 12 Bukit Duri antara lain satu unit mushola, enam MCK, satu Posyandu, tiga sekretariat RT (tetapi hanya dua yang digunakan). Sebagian sarana dibangun secara gotong royong oleh warga dan sebagian lagi mendapat bantuan dari donatur melalui Ciliwung Merdeka. Terbatasnya lahan milik umum yang bisa dimanfaatkan bersama maka jalan (gang) utama kampung menjadi ruang bersama termasuk ruang bermain dan pertemuan-pertemuan formal maupun informal warga.
Sumber: Data Dokumentasi Ciliwung Merdeka (2008)
Gambar 4. Kegiatan Sarasehan Warga Bersama Ciliwung Merdeka di Jalan Utama Kampung Selain itu, warga juga tidak canggung berjalan hilir mudik sambil membawa peralatan mandi, pakaian kotor, atau peralatan rumah tangga yang kotor untuk dicuci atau memasak di pinggir jalan layaknya sebuah rumah.
31
4.1.5. Kesejahteraan Warga Tingkat kesejahteraan rumah tangga di Kampung Bukit Duri RT 06 dan07 RW 12 secara umum masih rendah. Hal ini terlihat pada indikator pengeluaran yang sebagian besar masih tertuju pada kebutuhan pangan. Selain itu, juga terlihat dari minimnya kondisi rumah. Hampir sebagian penduduk dewasa di perkampungan ini menganggur atau bekerja di sektor informal yang tidak tetap. Bahkan warga di RT 10 RW 03 Kampung Pulo, banyak anak di usia sekolah dasar sudah bekerja dengan menjajakan keliling makanan di lingkungan kampungnya. Sebagian besar perempuan dewasa berpekerjaan sebagai ibu rumah tangga yang kadang-kadang juga melakukan usaha kecil-kecilan dengan membuka warung makanan atau minuman ringan, menerima pesanan pembuatan makanan, menjual pakaian dengan cara kredit, menjadi buruh cuci dan setrika, atau membantu usaha suaminya baik usaha itu di lakukan di rumah maupun di pasar. Namun, hal ini tidak disebut oleh mereka sebagai pekerjaan karena tidak dilakukan setiap hari atau karena yang memegang perana utama dalam melakukan usaha bersama suami. Sedangkan kepala keluarga yang menganggur juga bukan sepenuhnya menganggur, melainkan mereka kerja serabutan dan tidak setiap hari mendapat order. Sedangkan pengangguran lainya adalah yang sudah tua usianya.
4.1.6. Kebersamaan Warga Kebersamaan warga terlihat jelas dan budaya saling membantu satu sama lain ketika ada yang membutuhkan bantuan atau saat bersama-sama menghadapi banjir yang setiap tahun menghampiri pemukiman warga.
Sumber: Data Primer (2010)
Gambar 5. Posko Bantuan Warga Korban Kebakaran RT 05 RW 12 Bukit Duri 32
Warga tidak hanya peduli dengan tetangga sekitar, meskipun mereka menjadi korban banjir dan stigma buruk yang melekat, rasa kepedulian warga di daerah lain yang yang sedang tertimpa bencana, sebagaimana yang terlihat pada Gambar 5. Ketika warga RT 05 RW 12 Bukit Duri tertimpa bencana kebakaran, warga dari RT lain turut membantu dengan mendirikan posko bantuan. 4.2. Ciliwung Merdeka 4.2.1. Profil Organisasi
Ciliwung Merdeka (CM) meupakan organisasi masyarakat yang didirikan pada tanggal 13 Agustus 2000 dan secara resmi menjadi badan hukum pada tanggal 13 Mei 2008 sebagai Yayasan Ciliwung Merdeka. Ciliwung Merdeka adalah sebuah wahana gerakan kemanusiaan yang diselenggarakan oleh komunitas kerja yang terdiri dari anak, remaja, dan warga bantaran Sungai Ciliwung bersama para pendamping Jaringan Kerja Kemanusiaan Ciliwung Merdeka. Ciliwung Merdeka diselenggarakan untuk menghadapi tantangan utama kehidupan mmasyarakat marginal dari hambatan, kepungan, dan ketidakadilan struktural-vertikal dalam bidang sosio-ekonomi-politik-budaya yang berwujud pembodohan, pemiskinan, dan ketidakpastian hidup di bidang pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan hidup. Sejak tahun 2008, wilayah dampingan Ciliwung Merdeka meliputi lima RT yaitu RT 05, 06, 07, 08 RW 12 Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan dan RT 10 RW 03, Kelurahan Kampung Melayu (sering disebut Kampung Pulo), Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Pada tahun 2009 wilayah dampingan ditambah dua RT yaitu RT 09 dan RT 11 RW 03, Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Sekretariat Sanggar CM itu sendiri berada di salah satu wilayah Bukit Duri, tepatnya di RT 06 RW 12. Jadi, sampai saat ini wilayah dampingan Ciliwung berjumlah tujuh RT. Visi CM ialah menjadi saksi penuh simpati dengan memfasilitasi tumbuh kembangnya proses penyadaran, solidaritas, dan swadaya komunitas-komunitas basis anak, remaja dan warga pingggiran Bukit Duri bantaran sungai Ciliwung, sebagai gerakan kebudayaan masyarakat yang menghormati martabat dan hak-hak asasi manusia secara merdeka dan otonom. 33
Misi Ciliwung Merdeka mengutamakan pembangunan survival system (tata-bangkit) kehidupan dari masyarakat sektor informal yang tinggal di antara rel kereta api dan bantaran sungai Ciliwung dalam bidang (1) pembangunan sistem pendidikan alternatif masyarakat terutama anak dan remaja; (2) pembangunan (fisik dan non fisik) sistem lingkungan /hunian/tempat tinggal; (3) pembangunan sistem swadaya ekonomi untuk penciptaan kesempatan kerja; dan (4) pembangunan sistem kesehatan masyarakat. Untuk lebih jelasnya, jenis-jenis program yang difasilitasi Ciliwung Merdeka dapat dilihat di Lampiran 2. Ciliwung Merdeka mempunyai tujuan untuk membantu proses diseminasi warga dalam membangun Kampung Bukit Duri dan di Kampung Pulo bantaran Sungai Ciliwung secara bersama-sama menjadi sebuah “Perkampungan Rakyat Alternatif”, sebuah basis warga masyarakat terbuka, kreatif, dan mandiri di lingkungan masyarakat miskin urban Kota Jakarta.
4.2.2. Ruang Lingkup Program Pengelolaan Sampah Organik 4.2.2.1. Latar Belakang Program
Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang difasilitasi oleh Ciliwung Merdeka di bidang lingkungan salah satunya adalah “Program Pengelolaan Rumah Kompos”. Program ini menekankan pada pengelolaan rumah kompos yang dibangun pada Juni 2008 untuk mengelola sampah organik dari komunitas untuk diolah menjadi pupuk kompos. Program ini menerapkan sistem pengumpulan sampah warga melalui konsep “bank sampah”. Munculnya program kompos bermula setelah kedatangan Paulin pada tahun 2006. Paulin merupakan seorang peneliti berkebangsaan Perancis yang meneliti selama empat bulan kehidupan sosial masyarakat di pemukiman kumuh Jakarta, tepatnya warga binaan Ciliwung Merdeka. Setelah selesai penelitian di kedua kampung tersebut Paulin mempunyai inisiatif tentang solusi dari permasalahan sampah yang melanda di pemukiman kumuh yang mempunyai kebiasaan membuang sampah di sungai. Hal ini disampaikan kepada pihak Ciliwung Merdeka selaku pendamping masyarakat di bantaran Sungai Ciliwung. Awalnya, pihak dari Ciliwung Merdeka menganggap bahwa ide Paulin tentang pengelolaan sampah akan sulit diterapkan di masyarakat dan dianggap
34
tidak realistis, dengan melihat kondisi masyarakat perkotaan yang menilai kepraktisan dalam berbagai hal. Namun, setelah kepergian Paulin ke negara asalnya, disadari bahwa sampah yang dibuang ke sungai semakin parah. Terjangan banjir setiap sepuluh tahunan Jakarta yang menenggelamkan perkampungan kumuh di bantaran sungai sampai atap rumah, menimbulkan munculnya anggapan oleh masyarakat bahwa sampah turut ambil bagian menjadi penyebab terjadinya banjir tersebut, karena aliran Sungai Ciliwung yang tersendat oleh sampah. Dapat dikatakan bahwa sungai pada waktu itu menjadi tempat pembuangan sampah terbesar bagi warga di bantaran sungai yang merupakan pemukiman kumuh dengan kondisi jalan kampung yang susah dijangkau oleh dinas kebersihan (truk-truk pengambil sampah) karena jalan kampung terlalu sempit akibat tergerus jejalan rumah penduduk yang padat. Fasilitator
Ciliwung
Merdeka
mendiskusikan
rancangan
konsep
pengelolaan sampah yang telah dibuat Paulina sebelum meninggalkan tempat penelitiannya. Akhirnya rancangan konsep tersebut di diskusikan dalam bentuk sarasehan dengan masyarakat dampingan Ciliwung Merdeka di bantaran sungai untuk mendapat tanggapan dari masyarakat. Sarasehan dilakukan di ruas jalan utama kampung Bukit Duri dan dipasang tenda memanjang. Hal ini dilakukan karena keterbatasan tempat untuk berkumpul di kedua kampung.
4.2.2.2. Tujuan Program Tujuan program adalah untuk meningkatkan kesadaran warga supaya tidak membuang sampah di sungai sehingga mengurangi pencemaran yang diakibatkan oleh sampah. Mengorganisir sampah karena tidak terjangkau oleh petugas kebersihan dan menambah nilai guna sampah itu sendiri. Awal dicanangkannya program ini, diharapkan hanya sebatas menghasilkan pupuk kompos untuk kebutuhan warga yakni sebagai pupuk tanaman. Namun, seiring berjalannya waktu, program menjadi bisnis yang dapat meningkatkan pendapatan warga.
4.2.2.3. Daerah Jangkauan Program Pertama kali kegiatan, yakni tahun 2008, pengelolaan sampah dilakukan lima RT dampingan yaitui RT 05, 06, 07, 08 (Kelurahan Bukit Duri) dan RT 10
35
(Kelurahan Kampung Pulo). Sebagai RT yang dijadikan percontohan program ialah RT 06, 07, dan 08 selanjutnya, diperluas
meliputi RT 09 dan RT 11
Kampung Melayu sehingga jumlah RT jangkauan program menjadi tujuh RT. Hal ini dilakukan karena alokasi dari RT 10 yang diapit oleh RT 09 dan RT 11, sehingga kedua RT tersebut menjadi daerah jangkauan program juga.
4.2.2.4. Model baru pogram yang akan diterapkan Pengembangan kegiatan pengelolaan sampah organik dilakukan berupa intensifikasi usaha dengan cara pemberian pinjaman ke warga berupa mesin pencacah sampah (sebelumnya, mesin hanya dimiliki dan diletakan di Sanggar Ciliwung Merdeka). Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat memproduksi sampahnya secara mandiri dan mudah untuk diorganisasikan oleh Ciliwung Merdeka. Diharapkan nantinya warga menyetorkan pupuk kompos yang sudah jadi dan pupuk kompos yang sudah terkumpul tersebut akan dibantu didistribusikan oleh Ciliwung Merdeka.
36
BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN
5.1. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan identitas biologis responden yang dikategorikan menjadi laki-laki dan perempuan. Responden dalam penelitian ini terdiri dari 21 orang responden laki-laki dan 21 orang responden perempuan.
5.2. Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan Tingkat pendidikan diartikan jenjang sekolah formal terakhir yang pernah ditamatkan oleh responden. Berdasar ketentuan dari program Wajib Belajar Sembilan Tahun yakni sampai taraf SMP. Tingkat pendidikan yang ditamatkan respoden dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Tingkat Pendidikan yang Ditamatkan, Tahun 2010 Tingkat pendidikan yang Ditamatkan Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Diploma Tamat Sarjana Jumlah
Jumlah N 3 4 16 18 1 0
% 7,1 9,5 38,1 42,9 2,4 0
42
100
Tingkat pendidikan formal yang ditamatkan oleh responden sebagian besar (83,4%) sampai pada tingkat tamat SMP ke atas. Jadi, dapat diketahui bahwa komunitas kumuh perkotaan yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung telah ikut serta menyukseskan program Wajib Belajar Sembilan Tahun.
5.3. Status Perkawinan Menurut BPS (2010), status perkawinan dikategorikan menjadi empat macam, yaitu belum kawin, kawin, cerai hidup, dan cerai mati. Status perkawinan responden dapat dilihat pada Tabel 5.
37
Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Status Perkawinan, Tahun 2010 Jumlah
Status Perkawinan
N 11 28 2 1
% 26,19 66,67 4,76 2,38
Jumlah
42
100
Belum kawin Kawin Cerai hidup Cerai mati
Sebagian besar (66,67%) responden berstatus kawin. Namun, kenyataanya dalam kalangan komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung masih dijumpai sebanyak 7,14 persen responden berstatus cerai, baik cerai mati maupun cerai hidup. Dengan demikian, perceraian terutama cerai hidup juga dialami masyarakat golongan ekonomi lemah tidak hanya dialami masyarakat golongan ekonomi atas.
5.4. Jumlah Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah Anggota rumah tangga adalah semua orang yang bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada di rumah pada waktu dilakukan wawancara maupun yang sementara tidak ada. Kepadatan penduduk dapat diidentifikasi dari jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Menurut BKKBN, keluarga dibagi menjadi tiga ketegori yaitu (1) keluarga kecil yang terdiri kurang dari empat anggota keluarga; (2) keluarga sedang yang terdiri dari lima sampai enam anggota keluarga; dan (3) keluarga besar yang terdiri dari lebih dari sama dengan tujuh anggota keluarga. Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Jumlah Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah, Tahun 2010 Jumlah
Jumlah Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah (jiwa)
N
%
≤4 5-6 ≥7 Jumlah
21 12 9 42
50 28,6 21,4 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 50 persen komunitas termasuk dalam ketegori keluarga kecil dengan dua anak. Dengan demikian dalam satu rumah dihuni oleh kurang dari sama dengan empat orang. Namun, ada
38
sebanyak 50 persen responden menghuni tempat tinggalnya lebih dari empat orang. Artinya, tingginya tingkat kepadatan komunitas kumuh perkotaan yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung turut serta menambah kepadatan penduduk Kota Jakarta
5.5. Asal Usul Tempat Tinggal Komunitas kumuh perkotaan yang tinggal di bantaran sungai terdiri dari penduduk asli dan pendatang dari luar Jakarta, diantaranya dari Jawa dan Sumatra. Asal usul tempat tinggal responden dapat dilihat di Tabel 7. Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Asal Usul Tempat Tinggal, Tahun 2010 Jumlah
Asal Usul Tempat Tinggal
N 28 14 42
Asli Pendatang Jumlah
Pemukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung
% 66,7 33,3 100
merupakan daerah
urban. Namun, sebagian besar (66,7%) masih dihuni oleh penduduk asli sedangkan 33,3 persen dihuni oleh pendatang dari daerah di luar Kota Jakarta. Keberadaan pendatang menjadi “magnet” bagi sanak saudara yang tinggal di kampung halaman untuk turut mengadu nasib di ibukota. Oleh karena itu, tidak heran dalam satu rumah terdiri dari lebih satu keluaga. Saat ini semakin banyak masyarakat yang tinggal di kawasan pingggiran karena semakin sedikitnya ruang di Jakarta yang dapat dijadikan tempat tinggal. Apalagi bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki. Mobilitas penduduk yang tinggi juga terlihat dalam komunitas yang diteliti dalam penelitian ini. Fenomena ini menyebabkan aparat pemerintahan desa tingkat RT tidak memiliki daftar Kepala Keluarga terbaru yang saat ini bertempat tinggal di wilayah RT tersebut. Berikut pemaparan salah satu aparat pemerintahan desa tingkat RT: “ Masyarakat di sini susah diitaksir jumlahnya karena di sini tergolong daerah urban. Artinya cepat datan, juga cepat pergi.” (MLY, 38 tahun )
39
5.6. LamaTinggal Lama tinggal diartikan sebagai jumlah tahun sejak pertama tinggal di pemukiman kumuh perkotaan bantaran Sungai Ciliwung sampai saat di lakukan wawancara. Komunitas kumuh perkotaan tinggal di pemukiman dalam selang waktu antara 1 tahun sampai 57 tahun. Hasil perhitungan rata-rata lama tinggal komunitas di pemukiman kumuh bantaran Sungai Ciliwung adalah 33 tahun. Tabel 8. Distribusi Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut LamaTinggal, Tahun 2010 Jumlah
Lama Tinggal (tahun) < 33 ≥ 33
N 16 26
% 38,10 61,90
Jumlah
42
100
Sebagian besar (61,9 %) responden
sudah bertempat tinggal selama 33
tahun bahkan lebih. Oleh karena itu, komunitas yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung mempunyai kemampuan beradaptasi yang baik terhadap karakteristik lingkungan yang sangat rentan diterjang banjir. Terbukti bahwa komunitas lebih memilih tinggal di bantaran sungai daripada direlokasikan di rumah susun.
5.7. Status Kepemilikan Tempat Tinggal Status kepemilikan bangunan tempat tinggal dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu bangunan sendiri, (bersertifikat),
menumpang (tanpa bayar),
kontrak atau kost (bayar). Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Status Kepemilikan Tempat Tinggal, Tahun 2010 Jumlah Status Kepemilikan Bangunan Tempat Tinggal Bangunan sendiri Menumpang Kontrak/kost Jumlah
N
%
23 6 13
54,76 14,29 30,95
42
100
Sebagian besar warga yang tinggal di lokasi penelitian adalah penduduk asli yang sudah tinggal lebih dari 33 tahun. Hal ini menjadi salah satu faktor yang meyebabkan responden sebagian besar (54,76%) sudah memiliki bangunan sendiri beserta sertifikat tanah tempat tinggalnya. Namun, masih ada yang menumpang di 40
sanak keluarga atau kerabatnya karena belum mampu membangun rumah sendiri ataupun berencana hanya tinggal sementara. Khusus untuk responden yang tinggal di RT 07 RW 12 Kelurahan Bukit Duri sebagian besar mengontrak bangunan dan tanah dari pihak PT. KAI.
5.8. Status Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Responden sebagian besar memiliki KTP setempat. Responden di RT 06 semuanya (100%) mempunyai KTP, di RT 07 responden yang memiliki KTP sebanyak 78,57 persen , dan di RT 10 responden yang mempunyai KTP sebanyak 92,86 persen. Warga yang tidak mempunyai KTP seringkali merupakan penduduk pendatang yang belum lama tinggal atau hanya akan tinggal sementara di pemukiman bantaran Sungai Ciliwung.
5.9. Usia Angkatan Kerja Usia angkatan kerja diartikan umur responden yang secara ekonomi aktif mendapatkan pekerjaan, baik yang sudah bekerja maupun yang sedang mencari kerja (belum bekerja). Dalam penelitian ini diperoleh sebaran usia responden yang berkisar antara 24 tahun sampai 74 tahun. Bila lebih dispesifikan melalui penggolongan usia angkatan kerja dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 . Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Usia Angkatan Kerja, Tahun 2010 Jumlah
Kelompok Umur (tahun) < 15 15-60 > 60
N 0 41 1
% 0 97,62 2,38
Jumlah
42
100
Mayoritas responden dalam penelitian ini tergolong usia produktif yang berkisar antara 15 tahun sampai 60 tahun yakni sebanyak 97,62 persen dan sisanya sebanyak 2,38 persen tergolong usia non produktif. Komposisi responden yang sedemikian rupa dapat menjadi potensi dalam upaya pengelolaan lingkungan.
41
5.10.
Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan yang
dilakukan responden dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Jenis Pekerjaan, Tahun 2010 Bibi cuci Buruh Ibu rumah tangga Cleaning service Pedagang Penjahit Karyawan Sopir Serabutan
Jumlah N % 1 2,4 1 2,4 10 26,2 1 2,4 11 23,8 2 4,8 2 4.8 3 7,1 1 2,4
Sukarelawan Sanggar Tukang urut Wiraswasta Jumlah
4 1 5 42
Jenis Pekerjaan Utama
Jenis Pekerjaan Sampingan Bisnis motor Dagang Ibu rumah tangga Penjahit Kredit barang kelontong Sablon Service instalasi listrik Sukarelawan Sanggar Tidak mempunyai usaha pekerjaan sampingan
9,5 2,4 11,9 100
Jumlah
Jumlah N % 1 2,4 1 2,4 1 2,4 1 2,4 1 2,4 1 2,4 1 2,4 1 2,4 34 80,8
42
100
Mayoritas komunitas pemukiman kumuh di bantaran Sungai Ciliwung bekerja di sektor informal dapat dilihat di Tabel 11. Rata-rata pekerjaan responden mengandalkan tenaga dan ketrampilan dibandingkan kemampuan akademis. Sebagian besar (80,8%) responden tidak mempunyai pekerjaan sampingan karena hanya mengandalkan pekerjaan utama sebagai pemenuh kebutuhan hidupnya. Jadi, hanya sedikit responden yang menerapkan strategi nafkah ganda.
5.11.
Status Pekerjaan BPS (2010) mendefinisikan status pekerjaan adalah jenis kedudukan
seseorang dalam pekerjaan, status pekerjaan diklasifikasikan menjadi lima macam, dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Status Pekerjaan, Tahun 2010 Jumlah
Status Pekerjaan Bekerja sendiri tanpa rekan kerja/bantuan orang lain Berusaha sendiri dibantu oleh anggota keluarga/karyawan sementara Pengusaha dengan pekerja tetap Karyawan Pekerjaan tidak dibayar Jumlah
42
N 7 11 4 10 10 42
% 16,7 26,2 9,5 23,8 23,8 100
Komunitas pemukiman kumuh di bantaran sungai identik dengan lapisan masyarakat bawah, tetapi ada juga (9,5%) yang menjadi pengusaha dengan pekerja tetap. Usaha yang digeluti responden salah satunya adalah dagang makanan di tempat tinggalnya sendiri. Sebanyak 23,8 persen responden mempunyai pekerjaan yang tidak dibayar hanya saja mencurahkan tenaga, fikiran dan waktunya untuk mencukupi kebutuhan keluarga, yaitu pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Berdasar sudut pandang gender, ibu rumah tangga merupakan pekerjaan domestik. Hal ini berbeda dengan konsep pekerjaan produktif yang diartikan bekerja dengan satuan yang dihasilkan dalam bentuk uang atau materi.
5.12.
Jumlah Penghasilan Per Bulan Jumlah penghasilan adalah tingkatan jumlah uang yang diterima oleh
responden sebagai imbalan atas pekerjaan utama selama satu bulan. Ukuran pengupahan ditentukan Menurut Upah Minimum Rata-Rata (UMR) Kota Jakarta. Menurut BPS tahun 2010 sebesar Rp. 1.069.865,00 Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Jumlah Penghasilan, Tahun 2010 Jumlah
Jumlah Penghasilan Per Bulan (rupiah) < 1.069.865 ≥ 1.069.865
N 30 12
% 71,4 28,6
Jumlah
42
100
Berdasar hasil penelitian diperoleh sebagian besar (71,4%) responden berpenghasilan di bawah UMR per bulan. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas kumuh perkotaan merupakan masyarakat golongan ekonomi lemah yang mengakibatkan posisinya semakin termarginalkan dari kehidupan Kota Jakarta.
5.13.
Lama Bekerja Lama bekerja didefinisikan jumlah hari yang digunakan untuk bekerja
selama satu bulan. Menurut hasil penelitian, rata-rata responden menggunakan 27 hari untuk bekerja selama kurung waktu satu bulan (30 hari).
43
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Lama Bekerja Per Bulan, Tahun 2010 Jumlah
Lama Bekerja Per bulan (hari) < 27 ≥ 27
N 16 26
% 38,1 61,9
Jumlah
42
100
Sebagian besar (61,9%) responden bekerja selama lebih dari 27 hari dalam kurung waktu satu bulan. Dengan demikian, sebagian besar responden menggunakan hampir sebulan penuh untuk bekerja. Namun, penghasilan dari sebagian besar responden masih di bawah UMR Kota Jakarta (lihat Tabel 13.). Jadi, tingkat lama bekerja yang tinggi ternyata tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima responden.
5.14.
Sumber Informasi tentang Program Sumber informasi tentang program artinya asal mula responden mengetahui
program pengelolaan sampah organik yang difasilitasi oleh Ciliwung Merdeka. Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Sumber Informasi tentang Program Pengelolaan Sampah Organik yang Difasilitasi Ciliwung Merdeka Sumber Informasi tentang Program Membaca selebaran/melihat langsung Diajak saudara/tetangga Diajak penyelenggara program Jumlah
Jumlah N 5 10 27 42
% 11,9 23,8 64,3 100
Menurut Tabel 15. sebagian besar (88,1%) responden pasif dalam mencari informasi tentang program. Responden mengikuti program karena diajak oleh tetangga, saudara yang sudah mengetahui terlebih dahulu tentang program maupun diajak oleh pihak Ciliwung Merdeka secara langsung. Dengan demikian, pihak Ciliwung Merdeka telah aktif melakukan sosialisasi program secara door to door (sengaja) maupun tidak sengaja ketika bertemu warga di jalan. Sedangkan responden yang secara aktif berinisiatif mencari informasi program dengan membaca selebaran pengumuman hanya sebanyak 11,9 persen responden.
44
5.15.
Lama Terlibat dalam Program Lama terlibat dalam program diartikan jangka waktu responden berperan
serta dalam program pengelolaan sampah organik baik pada kegiatan perencanaan, pelaksanaan, menikmati hasil program dan evaluasi program. Menurut hasil perhitungan rata-rata, selama 13 bulan responden terlibat dalam program pengeolaan sampah organik. Ada yang hanya terlibat dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi program, bahkan terlibat dalam semua tahapan program. Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri, Tahun 2010 Menurut Lama Terlibat dalam Program Pengelolaan Sampah Organik Lama Terlibat dalam Program (bulan) < 13 ≥ 13 Jumlah
Jumlah N 28 14 42
% 66,7 33,3 100
Program pengelolaaan sampah organik baru dilaksanakan selama dua tahun. Meskipun demikian, responden dalam penelitian ini ada yang sudah tidak mengikuti program. Terlihat pada Tabel 15. sebagian dari responden terlibat dalam program kurang dari 13 bulan dan sisanya yaitu 33,3 persen terlibat dalam program lebih dari 13 bulan, diantaranya masih ada yang terlibat sampai sekarang.
45
5.16.
Ikhtisar Secara keseluruhan, karakteristik responden dalam komunitas kumuh
perkotaan yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung tahun 2010 adalah sebagai berikut: 1. Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan tamat SMP; 2. Ada responden yang mengalami perceraian baik cerai mati maupun cerai hidup; 3. Sebagian responden termasuk keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari sama dengan empat orang dalam satu rumah; 4. Sebagian responden merupakan penduduk asli yang tinggal sejak lahir di bantaran Sungai Ciliwung; 5. Sebagian responden telah tinggal di pemukiman kumuh
bantaran Sungai
Ciliwung selama lebih dari 33 tahun; 6. Sebagian responden mempunyai bangunan tempat tinggal bersertifikat; 7. Sebagian besar responden mempunyai KTP; 8. Sebagian besar responden termasuk dalam usia angkatan kerja; 9. Semua responden mempunyai pekerjaan di sektor informal; 10. Sebagian kecil responden menerapkan strategi nafkah ganda; 11. Sebagian besar responden mempunyai penghasilan di bawah UMR; 12. Sebagian responden menghabiskan lebih dari 27 hari dalam satu bulan untuk bekerja; 13. Sebagian responden terlibat dalam program pengelolaan sampah organik selama kurang dari 13 bulan; dan 14. Sebagian responden mengetahui informasi tentang program pengelolaan sampah organik dari penyelenggara program langsung (Ciliwung Merdeka).
46
BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PARTISIPASI
6.1. Tingkat Kemauan 6.1.1. Persepsi terhadap Pengelolaan Lingkungan
Litterer dalam Handayani (2008) menyatakan bahwa persepsi adalah proses memilih, menyusun, menyusun atau mengorganisasikan, dan menfsirkan stimuli inderawi ke dalam berbagai pengertian yang memungkinkan seseorang menyadari lingkungannya. Rangkaian proses persepsi tersebut akan membentuk sikap selanjutnya menjadi perilaku. Hubungan persepsi sampai terbentuknya perilaku terhadap lingkungannya dapat digambarkan dalam urutan berikut: Kondisi lingkungan fisik
Persepsi terhadap lingkungan fisik
Pengenalan ide dan sikap terhadap lingkungan
Harapan/keinginan tindakan terhadap lingkungan
Mempengaruhi proses berikutnya (pengulangan proses) Sumber: Handayani (2008)
Gambar 6. Posisi Perilaku terhadap Lingkungan Keseluruhan proses pemahaman lingkungan pada akhirnya akan menghasilkan apa yang disebut sebagai persepsi mengenai kualitas lingkungan Jadi, persepsi lingkungan adalah interpretasi tentang suatu ruang oleh individu, didasarkan latar belakang budaya, nalar, pengalaman individu tersebut yang berkaitan dengan aspek psikologis dan sosio kultural. Persepsi masing-masing orang terhadap suatu lingkungan yang sama tidak selalu sama. Ada yang memiliki persepsi yang tepat dan ada yang tidak tepat karena persepsi bersifat subyektif. Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi tentang Cara Mengatasi Sampah Jumlah
Persepsi
N 0 4 1 14 23 42
Dibuang ke sungai Dibakar langsung Ditimbun langsung tanpa dipilah Diangkut petugas Dikelola menjadi pupuk dan barang kerajinan Jumlah
47
% 0 9,5 2,4 33,3 54,8 100
Menurut Tabel 17. sebanyak 54,8 persen warga menganggap bahwa mengelola sampah menjadi kompos dan barang kerajinan merupakan upaya mengatasi sampah yang paling tepat dilakukan di wilayah pemukimannya. Responden sudah tidak ada yang beranggapan bahwa membuang sampah di sungai adalah tindakan yang tepat. Berikut ini pemaparan aparat pemerintahan desa tingkat RT yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung: “Masyarakat sudah tahu bahwa membuang sampah di sungai itu tidak baik. Tetapi melarang masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai susah. Karena alternatif lain sudah buntu. Sudah tidak ada lahan untuk bisa menimbun sampah. Jika dibakar, polusinya akan mengganggu karena jarak antar rumah berdekatan. Jika diangkut petugas, sudah tidak bisa lagi karena jalan kampung sekarang sudah sempit tidak bisa dilalui angkutan pengangkut sampah. Pernah suatu ketika dikumpulkan di ujung gang untuk ternyata petugas tidak datang mengangkut. Alhasil sampah menumpuk, bau, dan berserakan yang keberadaanya mengganggu warga yang tinggal didekatnya. Ujung-ujungnya sampah dilemparkan lagi ke sungai.” (LTF,48tahun)
Sebagaimana dipaparkan oleh Bapak LTF, salah satu warga lain menambahkan: “… hal ini terjadi karena petugas sampah enggan mengambil sampah . Pekerjaan sebagai petugas pengangkut sampah dianggap dan mendapat image sebagai pekerjaan yang rendahan/buruk. Mungkin juga ini karena pemerintah tidak memberikan perhatian khusus seperti yang dilakukan di luar negeri yang menggaji petugas kebersihan dengan gaji yang layak sesuai dengan tugasnya yang berat. Sehingga di luar negeri, petugas pengangkut sampah tidak mendapat image sebagai pekerjaan yang rendahan/buruk.” (HSN, 57 tahun)
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi Tindakan bagi Pelaku Membuang Sampah di Sungai Jumlah
Persepsi
N 4 15 2 6 15 42
Hukuman penjara Denda uang Dikucilkan dari masyarakat (dicemooh) Dibiarkan saja Diminta memungut sampah kembali Jumlah
% 9,5 35,7 4,8 14,3 35,7 100
Sanksi sosial dengan mengucilkan pelaku yang membuang sampah di sungai adalah sanksi yang paling dihindari karena tingginya rasa kebersamaan sesama warga yang tinggal di bantaran sungai. Menurut sebagian kecil responden
48
(4,8%) merupakan sanksi sosial adalah sanksi yang paling efektif. Sanksi sosial dapat membuat pelaku menjadi malu sehingga termotivasi untuk introspeksi diri. Menurut sebagian besar (80,9%) responden dalam penelitian ini menganggap bahwa sanksi sosial adalah sanksi yang tidak efektif dibandingkan sanksi ekonomi (didenda), sanksi formal (dipenjara), dan sanksi fisik (diminta mengambil lagi sampah yag sudah dibuang). Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi Program Pengelolaan Sampah Organik Jumlah
Persepsi
N 2 1 1 7 31 42
Kotor dan jorok Tidak praktis (prosesnya sulit) Menyita banyak waktu Peluang menambah pendapatan Penyelamatan lingkungan Jumlah
% 4,8 2,4 2,4 16,7 73,8 100
Menurut Tabel 19. diketahui bahwa responden sadar akan pentingnya upaya penyelamatan lingkungan. Sebagian besar (73,8%) responden menganggap program
pengelolaan
sampah
organik
mampu
berperan
dalam
upaya
penyelamatan lingkungan. Artinya, responden lebih mengutamakan manfaat program untuk penyelamatan lingkungan dibanding memperhatikan image program yang jorok, kotor, menyita banyak waktu, maupun ketidakpraktisan dalam mengelola sampah. Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Persepsi Keterlibatan dalam Tahapan Program Pengelolaan Sampah Organik Jumlah
Persepsi Penyususunan rencana program Pelaksanaan program Evaluasi program Menikmati hasil Semua rangkaian kegiatan (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan menikmati hasil Jumlah
N 9 6 0 2 25
% 21,4 14,3 0 4,8 59,5
42
100
Menurut hasil penelitian yang terlihat dalam Tabel 20. dapat dilihat bahwa responden mempunyai perhatian yang tinggi untuk terlibat dalam seluruh tahapan kegiatan mulai dari perencanaan sampai menikmati hasil dari program pengelolaan sampah organik itu sendiri. 49
Keseluruhan responden penelitian, tidak ada responden yang menjawab pentingnya keterlibatan komunitas dalam pengevaluasian program. Responden beranggapan bahwa evaluasi program merupakan area dari pihak Ciliwung Merdeka secara internal. Oleh karena itu, komunitas tidak berhak ikut serta dalam kegiatan evaluasi program. Warga cukup menerima hasil dari musyawarah internal Ciliwung Merdeka mengenai hasil evaluasi program. Secara keseluruhan, kesimpulan dari persepsi komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung tentang lingkungan disajikan pada Gambar 7.
40 30
90,5%
20 9,5%
10 0 Tepat
Tidak tepat
Gambar 7. Persepsi Responden tentang Pengelolaan Lingkungan Sebagian besar (90,5%) responden memiliki cara pandang yang tepat dan dapat mengarah pada respon positif terhadap program pengelolaan lingkungan. Namun, tidak dipungkiri terdapat perbedaan persepsi pada hal ini menjadikan indikator kekumuhan lingkungan pemukiman cenderung bersifat paradoks. Komunitas yang tinggal di lingkungan pemukiman di bantaran Sungai Ciliwung, kekumuhan adalah kenyataan sehari-hari yang tidak mereka permasalahkan. Hal ini karena sudah menjadi kebiasaan komunitas setempat untuk hidup di lingkungan tersebut. Namun, dari sudut pandang pihak lain, masalah kumuh adalah suatu permasalahan yang secepatnya harus segera diatasi. Oleh karena itu, penanganan pemukiman kumuh tidak dapat diselesaikan secara sepihak, tetapi harus sinergis melibatkan potensi dan eksistensi seluruh stakeholder.
50
6.1.2. Sikap terhadap Program Pengelolaan Sampah Organik Sikap adalah evaluasi responden, yang mengindikasikan penerimaan atau penolakaan terhadap program. Sikap responden mengenai program pengelolaan sampah organik di kawasan slum area ditentukan menurut penilaian 20 indikator dari empat sub aspek yang menjadi objek sikap dengan jenjang nilai antara 1 (respon negatif) sampai 5 (respon positif). Empat aspek sikap adalah (1) Sikap responden terhadap cara mengatasi sampah; (2) Sikap responden terhadap tindakan untuk pelaku membuang sampah di sungai; (3) Sikap responden terhadap kesan dari keberadaan program pengelolaan sampah organik; (4) Sikap responden terhadap keterlibatan dalam program pengelolaan sampah organik. Untuk mengetahui sikap komunitas terhadap program pengelolaan sampah organik, terlihat pada Gambar 8.
30 20
61,9% 38,1%
10 0
Respon positif
Respon negatif
Gambar 8. Sikap Responden terhadap Pengelolaan Sampah Organik Sebagian responden (61,9%) mempunyai respon positif tentang program pengelolaan sampah organik. Artinya, komunitas menerima keberadaan program. Sedangkan 38,1 persen responden memberikan respon negatif terhadap program. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai alasan baik dari faktor internal yaitu aspek psikologis individu atau faktor eksternal berupa pengaruh lingkungan sekitarnya.
51
6.1.3. Motivasi untuk Terlibat dalam Program Pengelolaan Sampah Oeganik Menurut teori Maslow, manusia berusaha memenuhi kebutuhan tingkat rendahnya terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, sesuai dengan model hirarki kebutuhan berikut ini: Aktualisasi diri Ego Sosial Rasa aman Fisiologis Sumber: Maslow dalam Sumarwan (2004)
Gambar 9. Model Hierarki Kebutuhan Maslow Motivasi pertama komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung untuk terlibat dalam program pengelolaan sampah organik sebagian besar (71,4%) adalah karena terdorong kebutuhan fisiologis
(menciptakan
lingkungan bersih dari sampah dan sehat dari penyakit). Berdasar teori Maslow hal ini menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan komunitas masih rendah karena masih di kebutuhan fisiologis. Responden yang memiliki motivasi pertama karena kebutuhan rasa aman (mencegah banjir) sebanyak 11,9 persen, kebutuhan sosial (‘ruang’ untuk bersosialisasi) sebanyak 9,5 persen, kebutuhan ego (meningkatkan pendapatan) sebanyak 2,4 persen, dan kebutuhan aktualisasi diri (melatih
Jumlah responden
kemampuan berorganisasi dan mengemukakan pendapat) sebanyak 4,8 persen.5
30
71,4%
20 10
11,9%
9,5%
2,4%
4,8%
0 Kebersihan
Bebas banjir
Pergaulan
Pendapatan
Berorganisasi
Motivasi pertama 5
Bila dianalisis dengan menggunakan model kebutuhan Mc Clelland, maka kebutuhan akan ego memiliki kesamaan dengan kebutuhan sukses, kebutuhan sosial (kebutuhan afiliasi), dan kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kekuasaan), Sumarwan (2004)
52
Gambar 10. Motivasi Responden untuk Berpartisipasi dalam Program Pengelolaan Sampah Organik Namun, bertolak dari teori kebutuhan Maslow, responden kenyataanya memposisikan kebutuhan aktualisasi diri lebih penting dibanding kebutuhan ego. Responden merasa kegiatan pengelolaan sampah organik tidak memberikan manfaat yang cukup signifikan dalam upaya meningkatkan pendapatan, berikut penuturan warga: “Pendapatan yang diperoleh dari sistem bank sampah hanya sebesar Rp 10 per kg dari sampah organik yang terkumpul dan dibayarkan tidak secara langsung, melainkan setiap tiga bulan sekali.” (CCN, 42 tahun)
6.2. Tingkat Kemampuan 6.2.1. Tingkat Pengetahuan di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik Tingkat pengetahuan dalam penelitian ini diartikan sebagai tingkat pemahaman responden tentang pengelolaan sampah organik menjadi pupuk kompos sebelum adanya program. Pengetahuan merupakan ranah kognitif yang mengindikasikan paham atau tidaknya responden tentang cara membuat pupuk kompos dari sampah organik.
31%
Punya Tidak punya
69%
Gambar 11. Tingkat Pengetahuan Responden di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik Sebagian responden (69%) menyatakan pembuatan pupuk kompos merupakan hal yang baru diketahui setelah adanya pendampingan dari Ciliwung Merdeka. Sisanya, sebanyak 31 persen menyatakan sudah mengetahui proses pembuatan kompos dari sampah organik meskipun belum diadakan program. Pengetahuan ini diperoleh baik dari mengikuti penyuluhan atau membaca 53
informasi dan melihat sendiri orang lain yang sedang membuat pupuk kompos yang berbahan baku sampah organik. 6.2.2. Tingkat Ketrampilan di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik Tingkat ketrampilan adalah tingkat keahlian yang dimiliki responden dalam proses pembuatan pupuk kompos sebelum dicanangkannya program. Ketrampilan merupakan ranah psikomotor yang menunjukkan mampu tidaknya responden untuk membuat pupuk kompos berbahan dasar sampah organik. 10% Punya Tidak punya 90%
Gambar 12. Tingkat Ketrampilan Responden di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik Berdasar Gambar 12. sebagian besar responden (90%) tidak mempunyai ketrampilan dalam mengelola sampah organik menjadi pupuk kompos sebelum adanya program. Hal ini sesuai kenyataannya bahwa responden juga tidak mempunyai bekal pengetahuan tentang pembuatan kompos.
6.2.3. Tingkat Pengalaman di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik Tingkat pengalaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah responden pernah mengalami mengolah sampah organik hingga menjadi pupuk kompos sebelum terlibat dalam program. 10% Punya Tidak punya 90%
54
Gambar 13. Tingkat Pengalaman Responden di Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program Pengelolaan Sampah Organik Sebagian besar (90%) responden menyatakan bahwa pembuatan pupuk kompos dari sampah organik merupakan hal baru karena sebelum ada program sebagian besar responden tidak mempunyai pengalaman di bidang tersebut. Hal ini dapat menjadi tantangan bagi para fasilitator program. Supaya dapat melakukan strategi pemberdayaan yang tepat untuk meningkatkan minat responden agar terlibat dalam program pengelolaan sampah organik.
6.2.4. Tingkat Ketersediaan Waktu Tingkat ketersediaan waktu diartikan ada tidaknya waktu yang dimiliki responden untuk berpartisipasi dalam program pengelolaan sampah organik.
31% Punya Tidak punya 69%
Gambar 14. Tingkat Ketersediaan Waktu Responden untuk Mengikuti Program Pengelolaan Sampah Organik Menurut Gambar 14. ternyata ada responden sebanyak 31 responden yang merasa tidak mempunyai waktu untuk terlibat dalam program. Responden yang merasa tidak mempunyai waktu untuk terlibat karena telah memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk bekerja dibanding meluangkannya untuk terlibat dalam program pengelolaan sampah organik.
6.3. Tingkat Kesempatan 6.3.1. Tingkat Efektivitas Kelembagaan Efektivitas kelembagaan terkait dengan aksesibilitas warga dalam program. Aksesibilitas kelembagaan diartikan kesempatan warga dalam mendapatkan sumber daya yang dibutuhan dalam program. Aksesibilitas 55
dikategorikan dalam tiga hal yakni dalam penyampaian saran dan kritik (voice), mengakses informasi terkait dengan keberlangsungan program (akses), dan kesempatan untuk turut berperan dalam proses pengambilan keputusan (kontrol). Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Tingkat Aksesibilitas dalam Program Pengelolaan Sampah Organik Tingkat aksesibilitas warga dalam program Kesempatan menyampaikan saran dan kritik Kesempatan mengakses informasi Kesempatan mengambil keputusan
Ya N 37 20 24
% 88,1% 47,6% 57,1%
N 5 22 18
Tidak % 11,9% 52,4% 42,9%
Jumlah N % 42 100 42 100 42 100
Menurut Tabel 21. diketahui bahwa responden mempunyai akses penyampaian saran dan kritik yang cukup tinggi. Sebagian besar responden (88,1%) merasa memiliki akses menyampaikan masukan untuk keberhasilan program kepada Ciliwung Merdeka. Menurut hasil wawancara dengan salah satu warga yang sering mengikuti kegiatan di Ciliwung Merdeka, sebagai berikut: “Dalam sarasehan atau pelatihan yang diselenggarakan Ciliwung Merdeka, warga tidak sungkan untuk menyampaikan pendapat, meskipun pendapatnya terkesan spontan tapi seperti itulah masyarakat di sini karena sekali apa yang disampaikan tidak bisa diterima, masyarakat akan langsung menolaknya.” (RHT, 39 tahun)
Fakta ini diketahui oleh peneliti ketika melakukan observasi dalam kegiatan penyuluhan air bersih yang diselenggarakan Ciliwung Merdeka kepada warga RT 07 RW 12 Kelurahan Bukit Duri tanggal 21 November 2010. Pelatihan dihadiri sekitar 15 orang berlangsung aktif karena hampir seluruh warga berpendapat. Ciliwung Merdeka memberikan akses kepada masyarakat slum area di bantaran Sungai Ciliwung untuk mendapatkan informasi terkait program. Namun, untuk hasil dari pendistribusian kompos tidak semua warga diberikan informasi karena hal ini dianggap masalah internal Ciliwung Merdeka. Dapat diketahui dalam Tabel 21. sebanyak 47,6 persen responden yang mendapat informasi tentang hasil penjualan pupuk kompos dan mereka terdiri dari perwakilan RT. Mengenai kesempatan untuk terlibat pengawasan program, sebagian responden
56
(51,7%) memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Secara garis besar, tingkat efektivitas kelembagaan disajikan dalam Gambar 15.
30 20
61,9% 38,1%
10 0 Baik
Tidak baik
Gambar 15. Tingkat Efektivitas Kelembagaan Ciliwung Merdeka Sebagian (61,9%) responden menyatakan efektivitas kelembagaan Ciliwung Merdeka dalam memfasilitasi kegiatan pengelolaan sampah organik tergolong baik. Hal ini dikarenakan responden merasa mempunyai hak untuk menyampaikan masukan, dapat mengakses informasi dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
6.3.2. Tingkat Kemudahan Birokrasi Birokrasi diartikan suatu ketentuan atau sistem yang mengatur persyaratan untuk terlibat dalam program. Tingkat kemudahan birokrasi untuk menjadi peserta program pengelolaan sampah organik disajikan dalam Gambar 16.
40 30 20
81% 19%
10 0 Mudah
Tidak mudah
Gambar 16. Tingkat Kemudahan Birokrasi Sebagian besar (81%) responden menyatakan untuk terlibat dalam program tidak ada persyaratan khusus yang harus dimiliki. Kegiatan pengelolaan
57
sampah organik adalah kegiatan swadaya masyarakat untuk kepentingan bersama sehingga tidak diperlukan birokrasi yang pelik yang membuat masyarakat menjadi enggan untuk terlibat dalam program. Sisanya, sebanyak 19 persen menyatakan untuk terlibat dalam program ada ketentuannya. Mereka yang menyatakan ini menjadi koordinator program dari RT yang dipilih karena memiliki persyaratan khusus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh fasilitator Ciliwung Merdeka yang menjabat sebagai koordinator program bidang lingkungan, sebagai berikut: “Warga yang menjadi perwakilan RT untuk program pengelolaan sampah organik merupakan orang terpilih yang memenuhi persyaratan menjalankan tugasnya dengan baik, diantaranya ulet, memiliki perhatian lebih untuk melestarikan lingkungan, mempunyai cukup waktu untuk terlibat dalam program, dan mengharapkan tambahan pendapatan dari penjualan pupuk kompos untuk menyokong perekonomian keluarganya.”
6.3.3. Tingkat Ketersediaan Regulasi Regulasi diartikan adanya peraturan/kebijakan pemerintah yang mengatur pengelolaan lingkungan yang mempengaruhi responden untuk dapat berperan serta dalam program pengelolaan sampah organik. Menurut hasil penelitian, sebagian (50 %) responden tidak mengetahui adanya kebijakan pemerintah secara jelas yang mengatur tentang hak warga negara untuk terlibat dalam pengelolaan lingkungan tepatnya pengelolaan sampah. Hal ini terjadi, karena pemerintah tidak pernah “turun” langsung ke masyarakat untuk melakukan penyuluhan akan pentingnya pelestarian lingkungan khususnya tentang pengelolaan sampah. Sepengetahuan warga, pemerintah dalam sepuluh tahun belakangan ini hanya pernah melakukan penyuluhan tentang biopori untuk resapan air tanah di wilayah perkampungan mereka.
58
6.4. Ikhtisar 6.4.1. Tingkat Kemauan
Tingkat kemauan responden dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu persepsi tentang pengelolaaan lingkungan, sikap terhadap pengelolaan sampah organik, dan motivasi berperan serta dalam program pengelolaan sampah organik. Tingkat kemauan responden disajikan dalam Tabel 22. Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Tingkat Kemauan untuk Berpartisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik Tingkat Kemauan
Interval Kelas
Rendah Tinggi
24 < X ≤ 72 72 < X ≤ 120 Jumlah
Jumlah N 10 32 42
% 23,8 76,2 100
Tingkat kemauan masyarakat untuk terlibat dalam program pengelolaan sampah organik tergolong tinggi. Sebagian besar (76,2%) responden memiliki tingkat kemauan yang tinggi. Tingkat kemauan yang melatarbelakangi warga untuk berpartisipasi dalam program juga dipengaruhi oleh motivasi selain persepsi dan sikap.
6.4.2. Tingkat Kemampuan Tingkat kemampuan responden dapat dilihat dari empat aspek, yaitu tingkat pengetahuan, ketrampilan, pengalaman di bidang pengelolaan sampah dan ketersediaan waktu untuk telibat dalam program pengelolaan sampah organik. Tingkat kemampuan responden disajikan dalam Tabel 23. Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Bukit Duri Menurut Tingkat Kemampuan untuk Berpartisipasi dalam Program Pengelolaan Sampah Organik Jumlah
Tingkat Kemampuan
Interval Kelas
Rendah
4<X≤6
N 38
% 90,5
Tinggi
6<X≤8
4
9,5
42
100
Jumlah
Sebagian besar (90,5%) responden mempunyai tingkat kemampuan yang rendah untuk terlibat dalam program. Fakta ini menunjukkan bahwa fasilitator 59
program pengelolaan sampah organik harus bekerja keras untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan responden sehingga responden lebih memahami dan mampu mempraktekan cara membuat pupuk kompos dari sampah organik. Upaya peningkatan kesadaran penyelamatan lingkungan juga dapat dilakukan demi meningkatkan kesediaan responden untuk meluangkan waktunya dalam program pengelolaan sampah organik.
6.4.3. Tingkat Kesempatan Tingkat kesempatan responden dapat dilihat dari tiga aspek aspek, yaitu tingkat efektivitas kelembagaan, tingkat kemudahan birokrasi dan tingkat ketersediaan regulasi dalam pengelolaan sampah. Tingkat kesempatan responden disajikan dalam Tabel 24. Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden di Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan
Bukit
Duri
Menurut
Tingkat
Kesempatan
untuk
Berpartisipasi dalam Program Pengelolaan Sampah Organik Tingkat Kesempatan
Interval Kelas
Rendah Tinggi
5 < X ≤ 7,5 7,5 < X ≤ 10 Jumlah
Jumlah N 23 19 42
% 54,8 45,2 100
Sebagian (54,8%) responden menyatakan tingkat kesempatan yang diberikan untuk berpartisipasi dalam program masih rendah. Dengan demikian terlihat bahwa faktor lingkungan yang berasal dari luar diri individu masih tergolong rendah untuk mendorong komunitas agar berpartisipasi dalam program pengelolaan sampah organik.
60
BAB VII HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PARTISIPASI DENGAN TINGKAT PARTISIPASI
Program lingkungan hidup merupakan salah satu ranah perempuan untuk terlibat di dalamnya. Secara sekilas, dalam penelitian ini melihat tingkat partisipasi perempuan dalam program pengelolaan sampah organik di bantaran Sungai Ciliwung sebagai berikut: Tabel 25. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Jenis Kelamin
Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
Laki-laki N 18 3 21
% 85,7 14,3 100
Perempuan N 20 1 21
% 95,2 4,8 100
Berdasar Tabel 25. terlihat bahwa perempuan lebih banyak terlibat dalam program dibanding laki-laki dan laki-laki lebih banyak yang tidak terlibat dibanding perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan lebih berperan dalam upaya pengelolaan lingkungan dibanding laki-laki.
7.1. Hubungan Antara Tingkat Kemauan dengan Tingkat Partisipasi 7.1.1. Hubungan Antara Persepsi tentang Lingkungan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 Berikut hipotesis dalam penelitian ini : Ho = Tidak ada hubungan signifikan antara persepsi tentang lingkungan dengan tingkat partisipasi dalam program H1 =
Ada hubungan signifikan antara persepsi tentang lingkungan dengan tingkat partisipasi dalam program Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed)
hitung sebesar 0.507 > α (0.05) sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Jadi, tidak ada hubungan signifikan antara persepsi tentang lingkungan dengan tingkat partisipasi.
61
Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar (-0.105) < α (0.5). Hal ini menunjukkan lemahnya hubungan antara persepsi tentang lingkungan dengan tingkat partisipasi. Hubungan bernilai bernilai negatif. Artinya, responden yang mempunyai persepsi yang tepat tentang lingkungan justru tidak terlibat dalam program. Tabel 26. Hubungan Persepsi tentang Lingkungan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Persepsi
Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
Tepat N 34 4 38
% 89,5 10,5 100
Tidak Tepat N 4 0 4
% 100 0 100
Berdasar Tabel 26. responden yang cenderung memiliki persepsi tidak tepat tentang lingkungan maka cenderung terlibat dalam program. Meskipun tidak memiliki persepsi yang tepat, seringkali responden ikut program karena terpengaruh oleh ajakan dari orang lain, baik tetangga, saudara, teman yang telah terlibat dalam program sebelumnya, atau dari fasilitator program secara langsung . Responden yang cenderung memiliki persepsi tepat maka cenderung tidak terlibat dalam program pengelolaan sampah organik. Hal ini dikarenakan bahwa masing-masing responden terdesak keadaan yang membuatnya tidak bisa berpartisipasi dalam program, diantaranya karena keterbatasan waktu untuk berpartisipasi. Responden lebih mementingkan waktunya untuk bekerja dan pekerjaannya yang termasuk dalam pekerjaan di sektor informal telah menyita banyak waktu. Berikut pernyataan responden yang tidak terlibat dalam program tetapi memiliki persepsi yang baik tentang pengelolaan lingkungan: “ Kita tidak ikut dalam karena kita bekerja. Mereka yang ikut program biasanya mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan banyak waktu nganggurnya.” (SPR, 32 tahun)
Alasan lainnya, adalah keterbatasan kondisi perkampungan karena langkanya lahan untuk membuang sampah dan sempitnya jalan kampung untuk dilalui kendaraan pengangkut sampah dari petugas kebersihan. Hal ini menjadi kesulitan warga slum area di bantaran sungai
62
dalam mengakses upaya
pembuangan sampah yang baik. Akhirnya, komunitas setempat membuang lagi sampah di sungai dan tidak terlibat dalam program.
7.1.2. Hubungan Antara Sikap tentang Pengelolaan Lingkungan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010
Berikut hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ho = Tidak ada
hubungan signifikan antara sikap
terhadap pengelolaan
lingkungan dengan tingkat partisipasi H1 = Ada hubungan signifikan antara sikap terhadap pengelolaan lingkungan dengan tingkat partisipasi Arti dari respon positif terhadap pengelolaan lingkungan adalah responden memiliki penilaian yang baik atau setuju dengan upaya pengelolaan lingkungan yaitu program pengelolaan sampah organik. Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed) hitung sebesar 0.115 > α (0.05) sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Jadi, tidak ada hubungan signifikan antara respon positif terhadap pengelolaan lingkungan dengan tingkat partisipasi. Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar 0.247 < α (0.5). Hal ini menunjukkan lemahnya hubungan antara sikap terhadap pengelolaan lingkungan dengan tingkat partisipasi. Tabel 27. Hubungan Sikap terhadap Pengelolaan Lingkungan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Sikap
Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
Respon positif N 25 1 26
% 96,2 3,8 100
Respon Negatif N % 13 81,2 3 18,8 16 100
Berdasar Tabel 27. responden yang cenderung memiliki respon positif terhadap pengelolaan lingkungan maka cenderung terlibat dalam program pengelolaan sampah organik dibanding responden yang memiliki respon negatif. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas slum area yang tinggal di bantaran Sungai
63
Ciliwung sudah memiliki kesadaran akan pelestarian lingkungan khususnya kebersihan sungai dari pencemaran sampah rumah tangga
7.2. Hubungan Antara Tingkat Kemampuan dengan Tingkat Partisipasi 7.2.1. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 Berikut hipotesis dalam penelitian ini: Ho = Tidak ada
hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan di bidang
pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program dengan tingkat partisipasi H1 = Ada
hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan di bidang
pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program dengan tingkat partisipasi Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed) hitung sebesar 0.399 > α (0.05) sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Jadi, ada hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan di bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program dengan tingkat partisipasi. Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar (-0.134) < α (0.5). Hal ini menunjukkan lemahnya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat partisipasi. Hubungan bernilai negatif. Artinya, hubungan
antara
kedua
variabel
berkebalikan.
Responden
mempunyai
pengetahuan dalam bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan justru tidak terlibat dalam program. Tabel 28. Hubungan Tingkat Pengetahuan dalam Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Tingkat Pengetahuan
Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
Punya N 11 2 13
% 84,6 15,4 100
Tidak Punya N 27 2 29
% 93,1 6,9 100
Berdasar Tabel 28. responden yang cenderung tidak mempunyai pengetahuan dalam bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan maka
64
cenderung terlibat dalam program dibanding responden yang sudah mempunyai pengetahuan. Responden yang baru mengetahui cara pembuatan kompos mempunyai ketertarikan lebih dibanding responden yang sudah mengetahui cara pembuatan kompos sebelum ada pendampingan. Oleh karena itu, mereka cenderung terlibat dalam program pengelolaan sampah organik. Namun, responden yang cenderung mempunyai pengetahuan dalam bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan maka cenderung tidak terlibat. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya responden mengalami penurunan keinginan untuk terlibat. Setelah mengetahui cara pembuatan kompos yang tidak praktis dan membutuhkan waktu lama menimbulkan keengganan untuk terlibat dalam program pengelolaan sampah organik. Dengan demikian, berarti terjadi proses penguatan stimuli yang kurang berjalan dengan lancar karena adanya stimuli yang kurang menyenangkan bagi responden sehingga responden enggan untuk mengulanginya. Pemaparan
Perhatian Pemahaman
Stimulus
Memori
Penerimaan
Retensi Sumber: Engel, Blackwell dan Miniard dalam Sumarwan (2004)
Gambar 17. Tahap-Tahap Pengolahan Informasi Pada tahap perhatian sampai pada tahap penerimaan, terekam dalam memori responden suatu stimuli yang kurang menyenangkan terkait dengan pengetahuan pembuatan kompos dari sampah organik. Sehingga pada tahap selanjutnya responden enggan untuk megulanginya dan tidak terlibat dalam program pengelolaan sampah organik.
65
7.2.2. Hubungan Antara Tingkat Ketrampilan Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 Berikut hipotesis dalam penelitian ini: Ho = Tidak ada
hubungan signifikan antara tingkat ketrampilan di bidang
pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program dengan tingkat partisipasi H1 = Ada hubungan signifikan antara tingkat ketrampilan di bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program dengan tingkat partisipasi Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed) hitung sebesar 0.507 > α (0.05) sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Jadi, tidak ada hubungan signifikan antara tingkat ketrampilan di bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program dengan tingkat partisipasi. . Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar 0.105 < α (0.5). Hal ini menunjukkan lemahnya hubungan antara tingkat ketrampilan dalam bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan dengan tingkat partisipasi. Tabel 29. Hubungan Tingkat Ketrampilan dalam Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Tingkat Ketrampilan
Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
Punya
Tidak Punya
N 4 0 4
% 100 0 100
N 34 4 38
% 89,5 10,5 100
Berdasar Tabel 29. responden yang cenderung mempunyai ketrampilan dalam bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program maka cenderung terlibat dalam program pengelolaan sampah organik dibanding responden yang sudah mempunyai ketrampilan sebelum ada pendampingan program. Sebaliknya, responden yang cenderung tidak mempunyai ketrampilan cenderung tidak terlibat dalam program pengelolaan sampah organik. Hal ini dikarenakan responden yakin akan mampu membuat pupuk kompos dengan bekal ketrampilan yang dimiliki sehingga ketrampilan menentukan tingkat partisipasi.
66
7.2.3. Hubungan Antara Tingkat Pengalaman Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 Berikut hipotesis dalam penelitian ini: Ho = Tidak ada
hubungan signifikan antara tingkat pengalaman di bidang
pengelolaan sampah sebelum ada program dengan tingkat partisipasi H1 = Ada hubungan signifikan antara tingkat pengalaman di bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program dengan tingkat partisipasi Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed) hitung sebesar 0.507 > α (0.05) sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Jadi, tidak ada
hubungan signifikan antara tingkat pengalaman di bidang pengelolaan
sampah sebelum ada pendampingan program dengan tingkat partisipasi. Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar 0.105 < α (0.5). Hal ini menunjukkan lemahnya hubungan antara tingkat pengalaman dalam bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan dengan tingkat partisipasi. Tabel 30. Hubungan Tingkat Pengalaman dalam Bidang Pengelolaan Sampah Sebelum Ada Program dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Tingkat Pengalaman
Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
Punya N 4 0 4
% 100 0 100
Tidak Punya N % 34 89,5 4 10,5 38 100
Berdasar Tabel 30. responden yang cenderung mempunyai pengalaman dalam bidang pengelolaan sampah sebelum ada pendampingan program maka cenderung terlibat dalam program pengelolaan sampah organik dibanding responden yang sudah mempunyai pengalaman. Sebaliknya, responden yang cenderung mempunyai pengalaman sebelum ada pendampingan program maka cenderung tidak terlibat dalam program. Pengalaman yang pernah dialami responden dalam mengelola sampah organik menjadi pupuk kompos menjadi bekal ketrampilan yang dimiliki responden untuk terlibat dalam program pengelolaan sampah organik yang difasilitasi Ciliwung Merdeka.
67
7.2.4. Hubungan Antara Tingkat Ketersediaan Waktu dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 Berikut hipotesis dalam penelitian ini: Ho = Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat ketersediaan waktu dengan tingkat partisipasi H1 = Ada hubungan signifikan antara tingkat ketersediaan waktu dengan tingkat partisipasi Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed) hitung sebesar 0.399 > α (0.05) sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Jadi, tidak ada
hubungan signifikan antara tingkat ketersediaan waktu dengan tingkat
partisipasi. Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar 0.134 < α (0.5). Hal ini menunjukkan lemahnya hubungan antara tingkat ketersediaan waktu dengan tingkat partisipasi. Tabel 31. Hubungan Tingkat Ketersediaan Waktu dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
N 27 2 29
Tingkat Ketersediaan waktu Punya Tidak punya % N % 93,1 11 84,6 6,9 2 15,4 100 13 100
Berdasar Tabel 31. responden yang cenderung mempunyai waktu maka semakin terlibat dalam program dibanding responden yang cenderung tidak mempunyai waktu untuk terlibat. Sebaliknya, responden yang cenderung tidak mempunyai waktu maka semakin tidak terlibat dalam program. Ketersediaan waktu merupakan sumber daya imateriil yang mempengaruhi keterlibatan komunitas untuk turut serta dalam setiap rangkaian
program
pengelolaan sampah organik. Hal ini bisa menjadi tantangan akan keberlanjutan program. Bila komunitas merasa tidak mempunyai waktu untuk terlibat karena memanfaatkannya untuk bekerja mencari penghasilan, maka keterlibatan komunitas dalam program pengelolaan sampah organik akan cenderung berkurang.
68
7.3. Hubungan Antara Tingkat Kesempatan dengan Tingkat Partisipasi 7.3.1. Hubungan Antara Tingkat Efektivitas Kelembagaan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010
Berikut hipotesis dalam penelitian ini: Ho = Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat efektivitas kelembagaan Ciliwung Merdeka dengan tingkat partisipasi H1 = Ada hubungan signifikan antara tingkat efektivitas kelembagaan Ciliwung Merdeka dengan tingkat partisipasi. Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed) hitung sebesar 0.006 < α (0.05) sehingga H1 diterima dan Ho ditolak. Jadi, ada hubungan signifikan antara tingkat efektivitas kelembagaan Ciliwung Merdeka dengan tingkat partisipasi. Responden yang menganggap kelembagaan Ciliwung Merdeka efektif maka terlibat dalam program pengelolaan sampah organik. Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar 0.414 < α (0.5). Hal ini menunjukkan kuatnya hubungan antara tingkat efektivitas kelembagaan dengan tingkat partisipasi. Tabel 32. Hubungan Tingkat Efektivitas Kelembagaan Ciliwung Merdeka dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
N 26 0 26
Tingkat Efektivitas Kelembagaan Efektif Tidak efektif % N % 100 12 75 0 4 25 100 16 100
Berdasar Tabel 32. responden yang merasa kelembagaan Ciliwung Merdeka efektif maka cenderung terlibat dalam program pengelolaan sampah organik dibanding responden yang merasa kelembagaan Ciliwung Merdeka tidak efektif. Keefektifan kelembagaan ditunjukkan dari sejauh mana derajat kekuasaan dan peran yang dimiliki komunitas untuk dapat terlibat dalam program melalui kelembagaan Ciliwung Merdeka yang memfasilitasi berlangsungnya program. Hal ini terlihat dari tingkat aksesibilitas komunitas terhadap program. Ada tida hal yang ditekankan dalam melihat tingkat aksesibilitas.
69
Pertama, suara (voice) setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam rangkaian program pengelolaan sampah organik. Sebagaiamana yang terlihat pada Tabel 21 tentang tingkat aksesibilitas dalam program. Sebagian besar anggota komunitas telah mempunyai hak untuk menyampaikan saran dan kritik terhadap program dalam kegiatan rapat, sarasehan, dan kegiatan musyawarah lain yang diselenggarakan untuk mendiskusikan program pengelolaan sampah organik. Ketika komunitas mempunyai hak untuk menyampaikan ide dan masukan maka komunitas akan merasa dihargai sebagai manusia yang mempunyai potensi dan potensi. Hal ini akan menumbuhkan kesadaran untuk berpartisipasi karena adanya rasa ”memiliki” terhadap program pengelolaan sampah organik. Kedua, akses yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses informasi terkait dengan keberlangsungan program pengelolaan sampah organik. Adanya akses untuk mendapatkan informasi menunjukkan bahwa adanya transparansi dari kelembagaan Ciliwung Merdeka. Dengan demikian akan terjalin kepercayaan (trust) yang kuat antara komunitas dengan Ciliwung Merdeka yang mendorong keterlibatan komunitas dalam program. Ketiga, kontrol yakni setiap warga mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap keberlangsungan program termasuk dalam
proses pengambilan keputusan. Keterlibatan komunitas dalam proses
pengambilan keputusan, secara psikososial telah memaksa mereka untuk turut bertanggungjawab dalam melaksanakan hasil keputusan tersebut karena adanya rasa ”memiliki” hasil keputusan. Oleh karena itu, melibatkan komunitas dalam pengawasan program dapat meningkatkan partisipasi. 7.3.2. Hubungan Antara Tingkat Kemudahan Birokrasi dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010
Berikut hipotesis dalam penelitian ini: Ho = Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat kemudahan birokrasi dengan tingkat partisipasi H1 = Ada hubungan signifikan antara tingkat kemudahan birokrasi dengan tingkat partisipasi
70
Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed) hitung sebesar 0.757 < α (0.05) sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Jadi, tidak tidak ada hubungan signifikan antara tingkat kemudahan birokrasi dengan tingkat partisipasi. Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar (-0.049) < α (0.5).
Hal ini menunjukkan lemahnya hubungan antara tingkat
kemudahan birokrasi dengan tingakat partisipasi. Hubungan bernilai negatif. Artinya, responden merasa birokrasi untuk bisa terlibat dalam program memudahkan justru tidak terlibat dalam program. Tabel 33. Hubungan Tingkat Kemudahan Birokrasi dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
N 33 1 34
Tingkat Kemudahan Birokrasi Mudah Tidak mudah % N % 97,1 5 62,5 2,9 3 37,5 100 8 100
Berdasar Tabel 33. responden yang cenderung merasa birokrasi untuk terlibat dalam program mudah maka cenderung terlibat dalam program dibanding responden yang merasa birokrasi untuk terlibat dalam program tidak mudah mudah. Responden yang tidak terlibat dalam program merasa birokrasi untuk terlibat dalam program tidak mudah. Birokrasi yang mudah ditandai dengan tidak adanya persyaratan khusus yang mempersulit komunitas untuk terlibat dalam program. Dengan demikian birokrasi tidak menghambat upaya penyelamatan lingkungan.
7.3.3. Hubungan Antara Tingkat Ketersediaan Regulasi dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 Berikut hipotesis dalam penelitian ini: Ho = Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat ketersediaan regulasi dengan tingkat partisipasi H1 =
Ada
hubungan signifikan antara tingkat ketersediaan regulasi dengan
tingkat partisipasi
71
Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed) hitung sebesar 0.305 < α (0.05) sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Jadi, tidak ada
hubungan signifikan antara tingkat efektivitas kelembagaan Ciliwung
Merdeka dengan tingkat partisipasi Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar (-0.162) < α (0.5).
Hal ini menunjukkan lemahnya hubungan antara tingkat
ketersediaan regulasi dengan tingkat partisipasi. Hubungan bernilai negatif. Artinya, responden yang merasa tersedianya regulasi tentang pengelolaan sampah maka responden justru tidak terlibat dalam program. Tabel 34. Hubungan Tingkat Ketersediaan Regulasi tentang Pengelolaan Sampah dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
N 18 3 21
Tingkat Ketersediaan Regulasi Ada Tidak ada % N % 85,7 20 95,2 14,3 1 4,8 100 21 100
Berdasar Tabel 34. responden yang cenderung merasa tidak adanya regulasi yang mengatur tentang pengelolaan sampah maka semakin terlibat dalam program pengelolaan sampah organik dibanding responden yang merasa ada regulasi yang mengatur pengelolaan sampah. Begitu juga responden yang tidak terlibat dalam program cenderung mengetahui adanya regulasi yang mengatur tentang pengelolaan lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi atau kebijakan yang selama ini pemerintah tetapkan secara top down tidak berjalan dengan efektif di kalangan masyarakat akar rumput sekalipun. Jika regulasi tersebut efektif dan jelas maka komunitas slum area di bantaran Sunagi Ciliwung akan cenderung berpartisipasi dalam program untuk mensukseskan upaya penyelamatan lingkungan melalui program pengelolaan sampah.
72
7.4. Ikhtisar 7.4.1. Hubungan Antara Tingkat Kemauan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 Berikut hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ho = Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat kemauan dengan tingkat partisipasi H1 = Ada hubungan signifikan antara tingkat kemauan dengan tingkat partisipasi Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed) hitung sebesar 0.115 > α (0.05) sehingga H1 diterima dan Ho ditolak. Jadi, ada hubungan signifikan antara tingkat kemauan dengan tingkat partisipasi. Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar 0.390 < α (0.5). Hal ini menunjukkan lemahnya
hubungan antara tingkat
kemauan dengan tingkat partisipasi. Tabel 35. Hubungan Tingkat Kemauan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Tingkat Kemauan
Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
Tinggi N 31 1 32
Rendah % 96,9 3,1 100
N 7 3 10
% 70 30 100
Berdasar Tabel 35. responden yang cenderung memiliki tingkat kemauan tinggi maka cenderung terlibat dalam program pengelolaan sampah organik dibanding responden yang memiliki tingkat kemauan rendah. Begitu juga dengan responden yang cenderung memiliki tingkat kemauan rendah maka cenderung tidak terlibat dalam program pengelolaan sampah organik. Komunitas slum area yang tinggal di bantaran sungai Ciliwung memiliki keinginan untuk turut serta dalam menjaga kelestarian lingkungannya melalui program pengelolaan sampah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunitas sudah memenuhi persyaratan pada tahap awal untuk terlibat dalam program pengelolaan sampah organik. Karena dari ranah kognitif saja sudah menunjukkan adanya tingkat kemauan yang tinggi. Terlihat dari pemahaman
73
komunitas akan kesadaran menjaga lingkungan dan respon positif terhadap upaya pengelolaan lingkungan melalui program pengelolaan sampah organik.
7.4.2. Hubungan Antara Tingkat Kemampuan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 Berikut hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ho = Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat kemampuan dengan tingkat partisipasi H1 = Ada
hubungan signifikan antara tingkat kemampuan dengan tingkat
partisipasi Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed) hitung sebesar 0.507 > α (0.05) sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Jadi, tidak ada hubungan signifikan antara tingkat kemampuan dengan tingkat partisipasi. Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar 0.105 < α (0.5). Hal ini menunjukkan lemahnya hubungan antara tingkat kemampuan dengan tingkat partisipasi. Tabel 36. Hubungan Tingkat Kemampuan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Tingkat Kemampuan
Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
Tinggi N 4 0 4
Rendah % 100 0 100
N 34 4 38
% 89,5 10,5 100
Berdasar Tabel 36. responden yang cenderung memiliki tingkat kemampuan tinggi maka semakin terlibat dalam program pengelolaan sampah organik dibanding responden yang memiliki tingkat kemauan yang rendah. Begitu juga dengan responden yang cenderung memiliki tingkat kemampuan rendah cenderung tidak terlibat dalam program pengelolaan sampah organik. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas slum area yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung memiliki kemampuan tinggi dengan bekal pengetahuan, ketrampilan, pengalaman dalam bidang pembuatan kompos yang dimiliki sebelum mendapat pendampingan program serta ketersediaan waktu yang dimiliki untuk
74
berpartisipasi dalam program. Dengan demikian, dari ranah kognitif dan psikomotor dan sumber daya waktu yang dimiliki komunitas, dapat disimpulkan bahwa komunitas sudah memenuhi persyaratan untuk terlibat dalam program pengelolaan sampah organik.
7.4.3. Hubungan Antara Tingkat Kesempatan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung Tahun 2010 Berikut hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ho = Tidak ada hubungan signifikan antara tingkat kesempatan dengan tingkat partisipasi H1 = Ada
hubungan signifikan antara tingkat kesempatan dengan tingkat
partisipasi Hasil uji korelasi Rank Spearman diperoleh nilai Asymp Sig. (2-tailed) hitung sebesar 0.058 < α (0.05) sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Jadi, tidak ada hubungan signifikan antara tingkat kesempatan dengan tingkat partisipasi. Nilai koefisien korelasi (Correlation Coefficient) hitung diperoleh sebesar 0.295 < α (0.5). Hal ini menunjukkan lemahnya hubungan antara tingkat kesempatan dengan tingkat partisipasi. Tabel 37. Hubungan Tingkat Kesempatan dengan Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Tingkat Kesempatan
Tingkat Partisipasi Terlibat Tidak terlibat Total
Tinggi N 19 19 38
Rendah % 50 50 100
N 0 4 4
% 0 100 100
Berdasar Tabel 37. responden yang cenderung memiliki tingkat kesempatan tinggi maka semakin terlibat dalam program pengelolaan sampah organik dibanding responden yang cenderung memiliki tingkat kemauan rendah. Begitu juga dengan responden yang cenderung memiliki tingkat kesempatan rendah maka semakin tidak terlibat dalam program pengelolaan sampah organik. Tingkat kesempatan merupakan faktor “luar” yang datangnya bukan dari individu peserta program ternyata dapat dimanfaatkan untuk mendukung
75
keterlibatan komunitas dalam program. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keterlibatan komunitas dalam program perlu diciptakan kondisi ”lingkungan” yang
kondusif,
diantaranya
kelembagaan
yang
memudahkan, dan tersedianya regulasi yang jelas.
76
efektif,
birokrasi
yang
BAB VIII ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI
8.1. Tingkat Partisipasi dalam Program Tingkat partisipasi komunitas dalam program pengelolaan sampah organik ditunjukkan dengan adanya keterlibatan dalam setiap tahapan program ataupun hanya pada salah satu tahapan program. Keterlibatan responden dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Jumlah dan Persentase Responden Berdasar Tingkat Partisipasi Program Pengelolaan Sampah Organik di Bantaran Sungai Ciliwung, Tahun 2010 Jumlah
Tingkat Partisipasi
N 38 4 42
Terlibat Tidak terlibat Total
% 90,5 9,5 100
Sebagian besar (90,5%) responden terlibat dalam program. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat partisipasi komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung dalam pelestarian lingkungan. Tingkat partisipasi responden pada setiap tahapan dapat dilihat pada pembahasan selanjutnya. Berdasar konsep tingkat partisipasi yang dijelaskan oleh Arnstein pada Tabel 1. dan kerangka deskriptif analisis partisipasi yang dijelaskan oleh Uphoff, Cohen, dan Goldsmith pada Gambar 1. mengenai “Kerangka Analisis Deskriptif Partisipasi”. Dalam penelitian ini, tingkat partisipasi komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung dalam program pengelolaan sampah organik dapat dianalisis derajat kekuasaan komunitas melalui tiga aspek (1) Proses partisipasi dalam tahapan program; (2) Pihak-pihak yang terlibat dalam program; dan (3) Bentuk partisipasi komunitas.
8.1.1. Perencanaan 8.1.1.1. Pihak yang terlibat
Komunitas Komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung berpartisipasi dengan memberikan pendapat dalam penyusunan struktur program (sistem
77
kepengurusan dan pembagian kerja) dan rancangan teknis pelaksanaan program (lihat Lampiran 3). Komunitas yang terlibat dalam program pengelolaan sampah organik dapat digolongkan menjadi dua yaitu kelompok perwakilan RT atau koordinator RT dan anggota program yaitu seluruh warga RT binaan program. Koordinator RT di dalam program lebih berperan dibandingkan anggota, karena dalam kegiatan rapat setiap koordinator mendapat undangan khusus dari pihak Ciliwung Merdeka baik secara tertulis maupun secara lisan. Koordinator program juga aktif dalam menyampaikan pendapat dalam rapat penyusunan rencana program dibandingkan warga. Berikut penuturan warga terkait dengan kebiasaan warga dalam rapat program: “..kita sebagai warga tidak perlu berpendapat secara langsung di rapat. Biasanya kita menyampaikan terlebih dulu pendapat kita kepada Pak RT ataupun perwakilan RT di luar forum rapat. Baru kemudian, Pak RT ataupun perwakilan tersebut yang menyampaikannya dalam rapat bersama Ciliwung Merdeka. Jadi kita sebaiknya mendengarkan saja ketika rapat berlangsung.”(HSN, 57 tahun)
Pemilihan perwakilan dari warga sendiri yang mengajukan selanjutnya Ciliwung menyetujuinya dengan pertimbangan pemilihan wakil tersebut memenuhi persyaratan diantaranya: harus sadar akan kelestarian lingkungan, sungguh-sungguh dan mempunyai semangat untuk mengembangkan program, mempunyai kemampuan solidaritas tinggi, telaten, mempunyai kepentingan terhadap kegiatan pengelolaan sampah itu sendiri misalnya memiliki kebutuhan untuk meningkatkan pendapatannya melalui program pengelolaan sampah. Ciliwung Merdeka Pada tahap menyusun rencana program, Ciliwung Merdeka mendampingi warga dalam membuat manejemen program yang terdiri dari pembuatan susunan kepengurusan dan pembagian kerja mulai dari pengambilan sampah, kegiatan produksi pupuk kompos sampai pada tahap pendistribusiannya. Kepengurusan yang terbentuk menerapkan sistem perwakilan dimana perwakilan RT bertindak sebagai koordinator dari masing-masing RT. Selain itu, Ciliwung Merdeka juga menjadi penghubung antara komunitas dengan para donator dari pihak luar yang ingin memberikan bantuan baik secara
78
materiil maupun non materiil kepada komunitas slum area di bantaran Sungai Ciliwung, khususnya bagi warga bianaan Ciliwung Merdeka itu sendiri. Aparat pemerintah (Pemimpin formal) Pemerintah desa Kampung Melayu Memberikan dukungan berupa perijinan pencanangan program dan pembebasan lahan untuk tempat produksi kompos yang selanjutnya disebut sebagai “Rumah Kompos”. Lahan dulunya berupa lahan kosong yang dipenuhi tumpukan sampah warga di bantaran sungai. Berbeda halnya dengan pemerintahan Kampung Melayu, pemerintahan Bukit Duri hanya memberikan sebatas dukungan saja tanpa ditindaklanjuti dengan tindakan nyata. Opinion Leader (Pemimpin informal) Upaya memperkenalkan program pengelolaan sampah organik kepada komunitas slum area di bantaran Sungai Ciliwung tidak terlepas dari peran salah seorang opinion leader kampung yang bernama Pak Dhe yang tinggal di RT 07 RW 12 Kelurahan Bukit Duri. Dimana Pak De dianggap sebagai tokoh masyarakat yang disegani masyarakat. Pendekatan yang dilakukan Ciliwung Merdeka kepada komunitas setempat membutuhkan waktu yang cukup lama. Strategi pemberdayaan yang dilakukan oleh Ciliwung Merdeka melalui program lingkungan hidup, dilakukan secara pelan-pelan kepada komunitas setempat. Karena pada dasarnya, program pengelolaan
sampah
organik
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesadaran
komunitasnya. Oleh karena itu, pendekatan ke masyarakat untuk memunculkan kesadaran tidak membuang sampah lagi di sungai dan bersedia terlibat dalam program pengelolaan sampah organik dilakukan secara perlahan-lahan dan melibatkan opinion leader setempat. Pihak asing Pihak asing secara tidak langsung turut memberikan andil dalam menginisiasi ide munculnya program pengelolaan sampah baik sampah organik maupun sampah anorganik. Pihak asing yang dimaksud adalah Paulin, seorang peneliti dari Perancis yang sedang melakukan penelitian di kawasan slum area di bantaran sungai Ciliwung pada tahun 2006.
79
Paulin mempunyai inisiatif tentang solusi dari permasalahan sampah yang melanda di pemukiman kumuh, dengan kebiasaaan warganya yang suka membuang sampah di sungai. Hal ini disampaikan kepada pihak Ciliwung Merdeka selaku pendamping masyarakat di bantaran Sungai Ciliwung.
8.1.1.2. Proses keterlibatan Menurut teori tangga partisipasi Arstein, derajat kekuasaan komunitas
Jumlah Responden
pada tahap perencanaan masih tergolong lemah. Hal ini terlihat dalam Gambar 18. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
35,7% 26,2%
21,4%
7,1% 0
2,4%
4,8%
2,4%
Tingkat Partisipasi
Gambar 18.Tingkat Partisipasi Responden dalam Perencanaan Program Tingkat partisipasi responden masih sebatas therapy. Penyelenggaraan rapat penyampaian rencana program dilakukan Ciliwung Merdeka kepada komunitas bantaran Sungai Ciliwung dalam bentuk sarasehan. Kegiatan ini dimaksudkan agar komunitas memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan tetapi jawaban komunitas tidak berpengaruh terhadap kebijakan program. Hal ini dilakukan hanya sebatas formalitas pengenalan program karena inisiatif program berasal dari penyelenggara program dan disampaikan secara satu arah kepada komunitas yang akan menjadi sasaran program. Pada Lampiran 3. dapat diketahui bahwa dalam rapat yang pertama kali dilaksanakan bersama komunitas, hanya berupa penyampaian maksud tujuan program. Selanjutnya komunitas diminta oleh Ciliwung Merdeka untuk melaksanakan rapat sendiri di setiap RT untuk membentuk perwakilan yang menjadi koordinator dari setiap RT.
80
Rapat penyusunan progam terkesan top down, tetapi inilah kenyataanya. Komunitas slum area dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki sudah terbiasa dengan upaya pembangunan
yang sifatnya top down sejak masa
pemerintahan Orde Baru. Oleh karena itu, budaya yang sudah terpupuk dan mungkin sudah mendarah daging tersebut sedikit demi sedikit dirubah melalui upaya pemberdayaan yang melibatkan komunitas itu sendiri untuk menyusun manajemen program sendiri di RT nya masing-masing dengan membentuk sistem perwakilan yang memantau berlangsungnya program di wilayah RT nya tersebut.
8.1.2. Pelaksanaan 8.1.2.1. Pihak yang terlibat
Komunitas Komunitas yang terbagi menjadi anggota dan koordinator/perwakilan RT. Anggota berperan dalam hal pengumpulan sampah, pemisahan sampah organik dan anorganik di rumahnya masing-masing. Perwakilan dari masing-masing RT berjumlah sembilan orang yang terbagi menjadi dua bagian kerja. Empat orang bertindak selaku pengambil sampah organik dan lima orang bertindak sebagai pengambil sampah anorganik. Selain bertindak sebagai pengambil sampah, juga berpartisipasi dalam produksi pupuk kompos meliputi kegiatan pencacahan sampah organik, pencampuran bahan-bahan pembuat kompos, pengadukan, sampai pengemasan pupuk kompos. Ciliwung Merdeka Ciliwung Merdeka bertindak selaku fasilitator program yang memfasilitasi warga dalam hal pemberian informasi dan pelatihan tentang cara pegolahan sampah organik menjadi pupuk kompos dan sampah anorganik (terutama bungkus kopi) menjadi barang kerajinan misalnya tas. Selain bertindak sebagi pendamping masyarakat dalam hal pemberian informasi, Ciliwung Merdeka juga berperan sebagi penyedia peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembuatan pupuk kompos. Ciliwung memfasilitasi warga dalam hal penyediaan tong sampah, grobak motor sebagai sarana pengangkut sampah dari rumah ke rumah, dan sebagian tenaga pengangkutan. Ciliwung Merdeka memberikan bantuan ke warga binaan berupa tong sampah
81
plastik sebanyak 2 jenis di setiap rumah untuk mengumpulkan sampah organik dan anorganik.
8.1.2.2. Proses keterlibatan Tingkat partisipasi responden berdasar derajat kekuasaan yang dimiliki dalam tahap pelaksanaan program pengelolaan sampah organik dapat dilihat pada
Jumlah Responden
Gambar 19. 14 12 10 8 6 4 2 0
28,6% 21,4% 16,7% 7,1%
16,7% 4,8%
4,8% 0
Tingkat Partisipasi
Gambar 19.Tingkat Partisipasi Responden dalam Pelaksanaan Program Tingkat partisipasi responden dalam pelaksanaan program sampai pada tahap placation. Dalam tahap pelaksanaan, sudah terjadi komunikasi dua arah antara Ciliwung Merdeka dengan komunitas setempat. Namun, pada tahap ini pula komunitas telah diperkenalkan dengan adanya insentif. Secara tersirat dengan adanya sistem “Bank Sampah” menstimulus komunitas untuk mengharapkan insentif dari program pengelolaan sampah organik. Satu tahun belakangan jumlah peserta program semakin berkurang karena insentif berupa hasil penjualan pupuk kompos mengalami permasalahan pembayarannya kepada komunitas. Oleh karena itu, kondisi sekarang sudah tidak seperti di awal pelaksanaan program yang masih banyak partisipan programnya. Kondisi program saat ini yang lebih terlihat adalah pemberian kesempatan dan hak untuk berpartisipasi hanya kepada wakil dari masing-masing RT. Saat ini hanya para wakil RT yang memperoleh insentif dari keberadaan program pengelolaan sampah organik.
82
Berikut proses pelaksanaan dalam program pengelolaan sampah organik di komunitas slum area di bantaran Sungai Ciliwung. Awal program, tahun 2008 diadakan sosialisasi tentang pembedakan jenis sampah organik dan anorganik dan melatih komunitas untuk memisahkan sampah organik dan anorganik pada tempat sampah yang berbeda. Upaya ini dilakukan dengan pembagian dua jenis tempat sampah secara gratis yaitu warna hijau (organik) dan warna merah (anorganik). Sampah yang terkumpul, setiap hari diambil oleh perwakilan dari masingmasing RT baik sampah organik maupun anorganik. Sampah anorganik yang terkumpul disortir dan yang masih bisa dimanfaatkan seperti bungkus kopi di sisihkan untuk diolah menjadi barang kerajinan sedangkan sampah lain yang lolos proses penyortiran, diangkut menuju TPA di lapangan Ros Tebet. Sistem pengumpulan sampah organik di warga menganut sistem “Bank Sampah”. Artinya, sampah yang terkumpul dari masing-masing rumah tetapi yang masih bisa diolah,
ditimbang dan diberikan harga senilai Rp 10 rupiah per
kilogram. Namun, pembayaran ini tidak langsung diberikan oleh Ciliwung Merdeka kepada warga melainkan hanya ditulis dalam buku tabungan sampah. Sampai sekitar 3 bulan baru dibayarkan sejumlah uang kepada warga senilai penjumlahan jumlah sampah yang dikumpulkannya. Hal ini dilakukan karena kegiatan pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang ” tidak langsung jadi” yang berarti melalui proses yang membutuhkan warktu sekitar 21 hari untuk mengubah sampah organik menjadi pupuk kompos. Proses produksi pupuk kompos yang dilakukan di sekretariat Sanggar Ciliwung Merdeka, yang setiap harinya sekitar ada 3-4 orang warga yang ikut membantu. Awalnya, pupuk kompos yang dihasilkan disebut “Kompos Biasa” selanjutnya pada tahun 2009 terjadi perubahan menjadi “ Kompos Super” karena dari hasil kompos yang dapat dipanen sejumlah dua kai lipat lebih dari jumlah bahan baku dari sampah organik itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya pencampuran bahan baku (kotoran sapi, sekam bakar, tanah super, dan batu kapur/kalsit) jadi, tidak hanya berasal dari sampah organik saja sebagaimana kompos biasa. Bahan baku pembuatan pupuk kompos tidak hanya berasal dari warga masyarakat tetapi diperoleh dari berbagai tempat yaitu sampah organik tambahan
83
dari pasar Mester, pasar Atas, pasar Kampung Pulo, dan pasar puteran, kotoran sapi dari peternakan di Pengadekan (Cikopo), sekam bakar dari toko bunga, tanah super dari galian tanah merah di penggalian BKT (Banjir Kanal Timur).
8.1.3. Evaluasi 8.1.3.1. Pihak yang terlibat
Komunitas Komunitas pernah dilibatkan dalam rapat evaluasi program yang diselenggarakan di sekretariat Ciliwung Merdeka. Namun, dalam rapat sebagian besar dihadiri perwakilan RT dan para fasilitator program dari CIliwung Merdeka. Ciliwung Merdeka Ciliwung Merdeka hampir mendominasi peran dalam tahap evaluasi program. Pengambilan keputusan mengenai hasil evaluasi program menjadi hak Ciliwung Merdeka yang selanjutnya diberitahukan kepada komunitas secara langsung, tetapi tidak menutup kemungkinan Ciliwung Merdeka mendapat masukan dari komunitas. Namun, untuk pengambilan keputusan tetap di tangan Ciliwung Merdeka. 8.1.3.2. Proses keterlibatan Evaluasi adalah kegiatan pemantauan selama program pengelolaan sampah organik berlangsung. Kegiatan evaluasi biasa dilakukan oleh Ciliwung Merdeka dengan melaksanakan rapat internal dengan para perwakilan RT dan kadangkala
Jumlah Responden
juga dihadiri oleh beberapa warga RT. 12 10 8 6 4 2 0
21,4%
26,2%
23,8%
14,3%
11,9%
0
2,4%
0
Tingkat Partisipasi
Gambar 20. Tingkat Partisipasi Responden dalam Evaluasi Program
84
Berdasar
Gambar 20. dapat diketahui bahwa derajat kekuasaaan
responden dalam evaluasi program pengelolaan sampah organik sampai pada tahap placation. Sudah terjadi komunikasi dua arah Ciliwung Merdeka dan komunitas meskipun hanya koordinator RT yang terlibat dalam rapat evaluasi internal program. Hasil evaluasi dihasilkan dalam rapat internal Ciliwung Merdeka. Jadi, pengambil keputusan dalam rapat evaluasi adalah Ciliwung Merdeka. Selanjutnya hasil evaluasi disampaikan secara searah kepada komunitas secara luas. Dengan demikian, koordinator RT yang menjadi perwakilan komunitas dalam melakukan evaluasi program. Hal ini dirasa efektif karena komunitas biasanya sudah menyampaikan kepada koordinator RT tentang apa saja permasalahan dan perkembangan program. Komunitas
masih
awam
untuk
berpartisipasi
dalam
program
pemberdayaan yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan. Oleh karena itu, komunitas masih mendapat pendampingan secara intensif dari Ciliwung Merdeka dan komunitas belum bisa melepaskan ketergantungan dengan organisasi kemasyarakatan ini. Berdasar hasil evaluasi sampai saat ini, kendala dalam program ialah masih ada sebagian warga yang belum sadar akan pemilahan sampah. Sekitar 75 persen warga sudah sadar memilah sampah antara sampah organik dan anorganik yang diletakan dalam tempat sampahnya masing-masing. Selain itu juga kesadaran warga yang mau mengumpulkan sampah masih belum 100 persen. Warga beranggapan ketidakpraktisan melalui sistem tabungan sampah yang tidak dapat langsung mendapatkan hasilnya karena harus menunggu pembayarannya sampai sekitar 3 bulan. Dalam teknis pelaksanaannya warga semakin berkurang jumlahnya yang mengikuti kegiatan produksi karena alasan kesibukan masing-masing. Selain itu ialah kesadaran dari setiap RT yang enggan untuk mengumpulkan uang sebesar Rp 100 ribu setiap bulannya untuk biaya pengangkutan sampah yang sudah tidak bermanfaat lagi ke TPA di Tebet. Kurang lebih selama dua bulan ini (SeptemberOktober) pengangkutan sampah ke TPA terhenti.
85
8.1.4. Menikmati hasil 8.1.4.1. Pihak yang terlibat
Komunitas Manfaat dari program pengelolaan sampah yang dilaksanakan pada daerah slum area di bantaran Sungai Ciliwung dirasakan secara nyata oleh masyarakat ketika di awal program dicanangkan. Tidak hanya perwakilan RT saja yang merasakan tetapi juga anggota dari program tersebut. Ciliwung Merdeka Ciliwung Merdeka dalam menikmati hasil memegang kontrol. Karena proses pendistribusian pupuk kompos yang dipegang oleh Ciliwung Merdeka. Hal ini merupakan masalah internal Ciliwung Merdeka. Komunitas tidak dilibatkan sama sekali dalam proses ini sehingga jumlah pendapatan materiil dari hasil penjualan kompos tidak diketahui. Menurut penuturan dari Ciliwung Merdeka, hasil dari penjualan kompos diakumulasikan dengan hasil dari usaha kewirausahaan lainnya, sehingga tugas mengatur pendistribusian pupuk kompos diambil alih oleh Ciliwung Merdeka. Dalam program diterapkan sistem bagi hasil antara pihak Ciliwung Merdeka dan komunitas yang terlibat dalam program pengelolaan sampah organik.
8.1.4.2. Proses keterlibatan
Jumlah Responden
Berikut tingkat keterlibatan responden dalam menikmati hasil dari program, baik dalam aspek ligkungan bersih maupun dari aspek ekonomi 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
40,5%
14,3% 4,8%
16,7% 9,5%
7,1%
2,4%
4,8%
Tingkat Partisipasi
Gambar 21. Tingkat Keterlibatan Responden dalam Menikmati Hasil Program
86
Komunitas hanya merasakan manfaat di awal program. Tidak hanya perwakilan, tetapi juga anggotanya. Manfaat tersebut dirasakan komunitas dari semakin terkelolanya sampah di perkampungan mereka sehingga lingkungan menjadi lebih bersih dan komunitas juga tidak lagi membuang sampah di sungai. Selain itu, dari sisi ekonomis, hasil penjualan sampah organik yang terkumpul dari masing-masing keluarga menambah pendapatan keluarga, meskipun tidak seberapa nilainya. Pupuk kompos yang sudah jadi juga dapat dijadikan pupuk bagi tanaman pekarangan. Namun, hal ini tidak bertahan lama sampai setahun karena komunitas semakin jarang mendapatkan hasil penjualan pupuk kompos tersebut dan dirasa hasil penjualan sampah organik yang terkumpul hanya sedikit, maka warga enggan mengumpulkan sampah organik di rumahnya. Ada beberapa warga yang secara sukarela menyerahkan sampah organik ke Ciliwung Merdeka untuk diolah menjadi pupuk kompos tanpa bersedia menerima hasil penjualan sampah organik tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh warga RT 06 RW 12 Bukit Duri sebagai berikut: “…hasil penjualan sampah organik dengan sistem bank sampah hanya sedikit dan uang yang dibayarkanpun lama, harus menunggu pupuk kompos tersebut panen. Jadi saya berikan saja samah organik rumah tangga saya secara sukarela kepada Ciliwung Merdeka.”(CCN,42 tahun)
Untuk saat ini, manfaat dari hasil penjualan pupuk kompos hanya sampai pada beberapa perwakilan RT yang masih terlibat dalam kegiatan pengangkutan dan produksi kompos. Hal ini seolah-olah sebagai upah bagi mereka yang bersedia mengeluarkan tenaganya untuk terlibat dalam program. Berdasar Gambar 21. terlihat bahwa keterlibatan komunitas dalam program pengelolaan sampah organik di kawasan slum area yang berada di bantaran sungai Ciliwung hanya sampai sebatas teraphy. Di mana upah diberikan pada perwakilan RT yang masih terlibat hanya dianggap sebagai reward yang sifatnya formalitas, ada perwakilan komunitas yang menerima manfaat program.
87
8.2. Ikhtisar Arnstein menyatakan bahwa partisipasi masyarakat bertingkat sesuai dengan gradasi kekuasaan yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Secara keseluruhan tingkat partisipasi komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung selama mengikuti program pengelolaan sampah organik adalah sebagai berikut: 0% 0% 7,1% 11,9% 26,2% 40,5%
8. Kontrol Masyarakat
7. Pendelegasian
Degree of citizen power = 7,1%
6.Kemitraan
5. Penenangan
4. Konsultatif
Degree of tokenism = 78,6 %
11,9% 3. Pemberitahuan 2,4 % 2. Terapi
Tidak ada
1. Manipulatif
partisipasi = 14,3%
Sumber: Arnstein dalam Hasim dan Remiswal (2009)
Gambar 22. Tangga Partisipasi Komunitas Tingakat partisipasi komunitas dalam program pengelolaan sampah organik berada pada tingkat information mengarah ke tingkat consultation. Komunitas telah mendapat pendampingan dari Ciliwung Merdeka dan mempunyai ruang untuk menyampaikan pendapat serta mengakses informasi terkait dengan program. Namun, dalam rapat penyusunan program, Ciliwung Merdeka cenderung berkomunikasi secara satu arah dalam bentuk pemberian informasi kepada komunitas. Meskipun melalui rapat komunitas dilibatkan, tetapi hal ini terkesan sebatas formalitas. Karena akhirnya pihak Ciliwung Merdeka yang membuat keputusan. Ciliwung Merdeka menyampaikan ide atau inisiatif tentang upaya pengelolaan sampah organik yang sudah digodhog secara internal dan juga sudah melalui perijinan pemimpin formal maupun informal setempat. Dengan demikian terlihat bahwa Ciliwung Merdeka lebih mendominasi peran dalam tahap perencanaan program pengelolaan sampah organik
88
Satu tahun belakangan sejak dilaksanakannya program, terlihat hanya para perwakilan dari RT yang cenderung mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam rapat. Selain itu, perwakilan RT juga yang mendapatkan manfaat dari program khususnya di bidang ekonomi dari hasil penjualan pupuk kompos. Oleh karena itu, dalam satu tahun belakangan banyak anggota komunitas sudah tidak terlibat lagi dalam program pengelolaan sampah organik. Tahap partisipasi ini masih di dalam area tokenisme dimana komunitas telah aktif melaksanakan kegiatan dengan posisinya sebagai objek atau penerima program. Hal ini dipengaruhi pula oleh lamanya program pengelolaan sampah organik yang dilaksanakan. Mengingat baru sekitar dua tahun program dicanangkan di komunitas slum area di bantaran sungai Ciliwung. Komunitas juga masih beradaptasi dari pola pembangunan yang dulunya dengan sistem top down dengan pola pemberdayaan dengan sistem baru menuju buttom up. Di mana komunitas diberdayakan dari kalangan ”akar rumput” untuk mampu mengidentifikasikan sendiri permasalahan yang dihadapi komunitas dan mencari solusinya secara bersama-sama dengan para stakeholder dalam upaya penyelamatan lingkungan dan peningkatan taraf hidup golongan marginal ini. Uphoff menyatakan jenis partisipasi dapat dikelompokkan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan menikmati hasil. Pada tahap perencanaan dan evaluasi, partisipasi komunitas ditunjukkan dalam bentuk menyisihkan waktu untuk mengikuti rapat, mengajukan usul, menyepakati keputusan tetapi belum sampai pada tahap pengembilan keputusan, serta meyebarluaskan hasil keputusan rapat kepada warga lain. Pada tahap pelaksanaan, partisipasi diwujudkan dalam bentuk menyisihkan waktu untuk pelibatan sebagai tenaga pengumpul sampah sampai produksi pupuk kompos serta memberikan bantuan lain (uang untuk biaya iuran pengangkutan sampah, makanan/minuman, peralatan, dan lahan). Pada tahap menikmati hasil, partisipasi diwujudkan dalam bentuk menerima manfaat program, baik manfaat di bidang lingkungan (lingkungan sehat dan bersih dari sampah) maupun di bidang ekonomis (hasil penjualan pupuk kompos).
89
BAB IX PENUTUP
9.1. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Tingkat partisipasi komunitas kumuh perkotaan dalam program pengelolaan sampah organik ditentukan oleh (1) persepsi tentang lingkungan; (2) sikap terhadap pengelolaan lingkungan; (3) motivasi terlibat dalam program; (4) tingkat pegetahuan dalam bidang pengelolaan sampah; (5) tingkat ketrampilan dalam bidang pengelolaan sampah; (6) tingkat pengalaman di bidang pengelolaan sampah; (7) tingkat ketersediaan waktu untuk terlibat dalam program (8) tingkat efektivitas kelembagaan; (9) tingkat kemudahan birokrasi; dan (10) tingkat ketersediaan regulasi. Namun secara uji statistik, yang terdapat berhubungan signifikan dengan tingkat partisipasi hanya tingkat efektivitas kelembagaan. Secara keseluruhan tingkat kemauan berhubungan signifikan dengan tingkat partisipasi sedangkan tingkat kemampuan dan tingkat kesempatan tidak berhubungan signifikan dengan tingkat partisipasi. 2. Semua faktor pendorong partisipasi mempunyai hubungan yang lemah dengan tingkat partisipasi karena nilai coefisien korelasi hitung berada di bawah nilai α (0,5) Namun, dari ketiga faktor pendorong partisipasi, tingkat kemauan mempunyai hubungan paling kuat dengan tingkat partisipasi sedangkan tingkat kemampuan mempunyai hubungan paling lemah dengan tingkat partisipasi. Jadi, aspek psikologis dari responden berperan besar dalam menentukan tingkat partisipasi komunitas kumuh perkotaan di bantaran Sungai Ciliwung dalam program pengelolaan sampah organik. Dengan memiliki persepsi yang tepat tentang lingkungan dan sikap yang positif terhadap upaya pengelolaan lingkungan akan memunculkan motivasi untuk terlibat dalam program pengelolaan lingkungan. Tingkat kemampuan dibutuhkan dalam berpartisipasi supaya komunitas dapat memahami upaya nyata dalam mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Ketika komunitas memiliki tingkat kemauan
90
dan tingkat kemampuan yang tinggi untuk terlibat dalam program pengelolaan sampah organik, maka dibutuhkan kondisi “lingkungan luar” yang kondusif. Faktor ekternal individu ini menjadi tingkat kesempatan yang dapat menentukan tingkat partisipasi dalam program pengelolaan sampah organik. 3. Tingkat keterlibatan komunitas dalam program pengelolaan sampah organik tergolong tinggi. Namun, derajat kekuasaan yang dimiliki komunitas masih pada tahap tokenisme yaitu berada pada tingkat information mengarah ke tingkat consultation. Ciliwung Merdeka selaku organisasi masyarakat yang memfasilitasi komunitas dalam program pengelolaan sampah organik cenderung memberikan pengarahan tentang program secara langsung dan satu arah kepada komunitas. Komunitas dilibatkan dalam rapat tetapi hanya sebatas formalitas karena pihak Ciliwung Merdeka yang mengambil keputusan.
9.2. Saran Adapun saran yang yang dihasilkan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Diperlukan strategi pemberdayaan yang tepat untuk meningkatkan tingkat kemauan, tingkat kemampuan, dan tingkat kesempatan. a. Strategi pemberdayaan yang tepat untuk meningkatkan kesadaran dalam melestarikan lingkungan pada komunitas kumuh perkotaan yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. Dengan demikian, tingkat kemauan komunitas untuk terlibat dalam upaya meyelamatan lingkungan meningkat; b. Strategi
pemberdayaan
yang
tepat
untuk
meningkatkan
pemahaman/pengetahuan, dan melatih ketrampilan dalam mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos. Dengan demikian, tingkat kemampuan komunitas meningkat; dan c. Strategi pemberdayaan yang tepat untuk meningkatkan peranan faktor “lingkungan” sehingga tercipta kondisi yang kondusif dan medukung keberlanjutan program pengelolaan lingkungan.Upaya yang dapat dilakukan diantaranya dengan meningkatkan efektivitas kelembagaan, meningkatkan kemudahan birokrasi untuk berpartisipasi dalam program, dan menyediakan dan mensosialisasikan secara intens kepada komunitas-komunitas sasaran
91
sehingga komunitas bahkan masyarakat secara luas mengetahui dan memahami keberadaan regulasi tentang upaya penyelamatan lingkungan. 2. Diperlukan kesetaraan peranan dan derajat kekuasaan antara komunitas dan stakeholder terkait program sehingga memunculkan sinergisitas antara semua pihak yang terlibat dalam program. a. Tahap pertama, dalam perencanaan program. Jika ide prakarsa program berasal dari kesadaran komunitas sendiri karena didorong oleh tuntutan situasi dan komunitas dilibatkan dalam proses perencanaan akan cenderung merasa dihargai sebagi manusia yang memiliki potensi. Selain itu, keterlibatan komunitas dalam pengambilan keputusan secara psikososial telah memaksa komunitas untuk turut bertanggung jawab melaksanakan program serta menjaga keberlanjutan program pengelolaan sampah organik; b. Tahap kedua, dalam pelaksanaan program. Komunitas dilibatkan dalam pelaksanaan program bertujuan (1) agar komunitas mengetahui dengan baik cara melaksanakan program sehingga nantinya dapat melanjutkan dan meningkatkan program (2) menghilangkan ketergantungan komunitas dengan ”pihak luar”; c. Tahap ketiga, mengevaluasi
dalam mengevaluasi program. Komunitas dilibatkan dalam program
agar
mampu
menilai
dirinya
sendiri
dan
mengungkapkan apa yang diketahui, apa saja yang menjadi kelebihan, kekurangan, manfaat, hambatan, dan faktor pelancar dalam operasionalisasi program; dan d. Tahap keempat, dalam menikmati hasil. Ditekankan pada pemanfaatan program diperoleh seluruh komunitas secara merata. Bukan hanya untuk sebagian besar atau segelintir pihak-pihak tertentu saja.
92
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, Suryo dkk. 2007. Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Adiwijaya, Rasman dkk. 1991. Perkampungan di Perkotaan Sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial. Jakarta. Arnstein, Sherry R. 1969. A Ladder Warga Negara Partisipasi. http://lithgowschmidt.dk/sherry-arnstein/ladder-of-citizen-participation.html
diakses
pada 26 Januari 2011. Ciliwung Merdeka. 2008. “The Humanity Movement of Marginal Community the educational Center of Children and Youth of Bukit Duri and Kampung Pulo” dalam Organisation Profile. Jakarta. Cohen, Michael A. dan Serageldin, Ismail. 1994. The Human of The Urban Environment: A Report to The Development Community. Washington : The National Academy of Sciences and The World Bank. Handayani,
Sri.
2008.
Partisipasi
Masyarakat
Kampung
Kota
untuk
Meningkatkan Kualitas Lingkungan Perkotaan. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Hasim dan Remiswal. 2009. Community Development Berbasis Ekosistem. Jakarta: Diadit Media. Krisdiyatmiko, S. Eko. 2006. Kaya Proyek Miskin Kebijakan. Yogyakarta: IRE. Murbandono. 1993. Membuat Kompos. Jakarta: Penebar Swadaya. Newman, Edward and Glen Paoletto.1999. Cities and Environment: New Approaches for Eco-Societies diterjemahkan oleh Rasti Suryandani. Kota dan Lingkungan, Pendekatan Baru terhadap Masyarakat Berwawasan Ekologi. Tokyo, New York, dan Paris: United National University Press. Rusli, Said dkk. 1995. Metodologi Identifikasi golongan dan Daerah Miskin. Jakarta: Gramedia Widiasarana. Saharuddin.1987. Partisipasi Kontak Tani dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Program Penyuluhan. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
93
Sasmita Wulan Tri Eka. 2009. Evaluasi Program Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat. Skripsi. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 2008. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Refika Aditama. Sumardjan, Selo dkk. 1984. Kemeskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Jakarta: PT Sangkala Pulsar. Sumardjo dkk. 1991. ”Perilaku Manusia dan Lingkungan Hidup dalam Upaya Perbaikan Kualitas Lingkungan Kumuh” dalam Laporan Akhir Penelitian. Institut Pertanian Bogor. Sumardjo. 2009. “Teknologi Partisipatif Pengembangan Masyarakat” dalam Bahan Ajar Kuliah. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Sumarti,Titik dkk. 2008. “Model Pemberdayaan Petani Dalam Mewujudkan Desa Mandiri dan Sejahtera (Kajian Kebijakan Sosial dan Ekonomi tentang Ketahanan Pangan pada Komunitas Desa Rawan Pangan)”. dalam Laporan akhir. Institut Pertanian Bogor. Sumarwan, Ujang. 2004. Perilaku Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia dan MMA-IPB. Syarbaini S., Rahman, dan Monang D. 2002. Sosiologi dan Kekuasaan. Jakarta: Galia Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 Amanden I,II,III,IV. Jakarta: Bintang Indonesia. Uphoff, NT.,Cohen, JM., dan Goldsmith, AA. 1979. Rural Development Committee:
Feasibility
and
Application
of
Rural
Development
Participation: A. State-of-the-Arth Paper. New York: Cornell University. Wicaksono, M. Arya. 2010. Analisis Tingkat Partisipasi Warga dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Skripsi. Departemen Sains Komunikasi Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
94
http://bplhd.jakarta.go.id/ diakses pada 22 Mei 2010. http://www.bps.go.id/ diakses pada 15 Oktober 2010. http://ciliwungmerdeka.blogspot.com/ diakses pada 2 Januari 2011. http://www. google earth.com/ diakses pada 13 Januari 2011.
95
LAMPIRAN
96
Lampiran 1 LOKASI PENELITIAN 1. Letak Geografis
Sumber: Data sekunder (2005)
97
2. Kenampakan Kelurahan Kampung Melayu dan dan Kelurahan Bukit Duri melalui Satelit
Sumber: http://www. google earth.com/ diakses pada 13 Januari 2011
3. Gambaran Wilayah Kampung Melayu atau “Kampung Pulo”
Sumber: Dokumen Ciliwung Merdeka (2008)
98
Lampiran 2. STRUK TUR ORGANISASI CILIWUNG MERDEKA Yayasan Ciliwung Merdeka F. Danuwinata Faisal Basri Muslim Abdurahman Francis Lay
Koordinatur Umum I Sandyawan Sumardi
Koordinator Proyek Ade Purwastuti
Humas Eksternal (Lucia, Ken, Ratman) Internal (Abdul Muis)
PA
GLH
Keuangan kas Santi N Anom
PSKM
PLDP
PSEM
Sumber: Dokumen Ciliwung Merdeka tahun 2010
Keterangan Program: 1. Alternatif Educational Program (PA-CM) 2. Green Environment Program (GLH-CM) terdiri dari : a. Pengelolaan kompos b. Tanaman obat/vertikultur c. Menanam pohon di bantaran kali d. Air bersih e. Biopori f. Tanggap darurat lingkungan 3. Self Relience Public Health Education (PSKM-CM) 4. Periphery Power Training (PLDP-CM) 5. Self Releince Economic Education Program (PSEM-CM) 6. Self Relience Spatial Village Program (TRKS-CM) 7. Cultural Art Performance Ciliwung (PIKAR-CM) 99
Bendahara Aniek Maryani
Skretaris Listia Hasibuan
TRKS
PIKAR
Lampiran 3 TAHAPAN PROGRAM PENGELOLAAN SAMPAH ORGANIK A. Perencanaan No.
Waktu
Lokasi
Pertemuan Umum Perdana 1 12 Sanggar • Tokoh warga Januari Ciliwung • Perangkat RT 5, 2008 Merdeka 6, 7, 8 (RW 12 Bukit Duri) dan RT 10 (RW 3 Kampung Pulo) • Kapospol Bukit Duri • Tim Ciliwung Merdeka Pertemuan Warga RT 10 RW 3 Kampung Pulo 2. 16 Rumah • Dewan Kelurahan Januari warga • Sekretaris RW 03 2008 • Wakil RW 03 • Ketua RT 10 • Warga • Perwakilan Ciliwung Merdeka • Remaja Bukit Duri Pertemuan Warga RT 08 RW 12 Bukit Duri 3. 17 Pos RT 8 • Ketua RT 08 Januari • Pengurus RT 2008 • Warga • Perwakilan Ciliwung Merdeka Pertemuan Warga RT 06 RW 12 Bukit Duri 4. 18 Pos RT 6 • Ketua RT 6 Januari • Sekertaris RT 6 2008 • Bendahara RT 6 • 2 Tokoh Masyarakat • Warga • Perwakilan Ciliwung Merdeka
100
Penyampai Pendapat
Peserta
Hasil
• • • •
Ketua RT 5 • Pengelompokan masalah bersama : Ketua RT 6 Ketua RT 10 1. Pengolahan sampah dan lingkungan Kapospol 2. Air bersih: saluran Bukit Duri, air dan MCK dan 3. Kesehatan • Perwakilan 4. Pendidikan Ciliwung 5. Penambahan Gizi Merdeka • Rencana pertemuan di • 11 warga setiap RT • Ketua RT 10 • Sekertaris RW 03 • Wakil ketua RW 03 • Dewan Kelurahan • Perwakilan Ciliwung Merdeka • 2 Warga
Pembentukan tim kerja sebagai perwakilan RT 10
• Ketua RT 8 • Perwakilan Ciliwung Merdeka • Seorang warga
Pembentukan tim kerja sebagai perwakilan RT 08
• Ketua RT 6 • Sekertaris RT • 2 Tokoh Masyarakat • Perwakilan Ciliwung Merdeka • 2 Warga
Pembentukan tim kerja sebagai perwakilan RT 06
Pertemuan Warga RT 05 RW 12 Bukit Duri 5. 0518 Rumah • Pengurus RT Januari Ketua RT • Warga 2010 (Tanpa dampingan dari Ciliwung Merdeka)
Tidak ada data
Kesediaan warga RT 05 untuk berpartisipasi dan mendukung program yang diinisiasi oleh Ciliwung Merdeka. Belum terbentu Tim Kerjasebagai Perwakilan RT (menyusul) Pertemuan Tim Wakil Warga dari Setiap RT dengan Ciliwung Merdeka Sanggar • Perwakilan Wakil • Perwakilan • Penyampaian Tim 6. 20 Ciliwung Januari Warga setiap RT Wakil Wakil Warga di setiap Merdeka • Perwakilan 2010 Warga dari RT untuk setiap setiap RT bidang Ciliwung • Perwakilan • Rencana pembentukan Merdeka Ciliwung struktur lembar kerja Merdeka Sumber: http://ciliwungmerdeka.blogspot.com/ diakses pada 2 Januari 2011
B. Pelaksanaan No. 1.
Jenis Kegiatan Pemisahan
Lokasi Rumah warga
Waktu Setiap hari
2.
Pengumpulan
Rumah warga
Setiap hari
3.
Pengangkutan
Seminggu tiga kali
4.
Penimbangan
Rumah warga ke “Rumah Kompos” “Rumah Kompos”
5.
Produksi • Pencacahan • Pengadukan • Pencampuran • Pengeringan • Pengemasan Pendistribusian
6.
“Rumah Kompos”
Sanggar Ciliwung Merdeka
Seminggu tiga kali • • • •
Sehari Dua hari sekali 21 hari Satu jam
Tiga bulan sekali
Peserta Setiap warga
Hasil Sampah organik dan anorganik Setiap Sampah warga organik dan anorganik Perwakilan Sampah warga organik Perwakilan Tabungan warga sampah Perwakilan Kompos warga dan perwakilan Ciliwung Merdeka Perwakilan Uang Ciliwung Merdeka
Sumber: Hasil wawancara dengan Mbak Tari (Koordinator Program Pengelolaan Sampah) pada tanggal 5 dan 12 November 2010
101
Dokumentasi pelaksanaan program pengelolaan sampah organik 1. Pemisahan sampah organik dan anorganik
2. Pengangkutan sampah lewat darat dan sungai
3. Pencacahan sampah
102
4. Pencampuran bahan-bahan
5. Pengeringan
6. Pengemasan
103
C. Evaluasi Tidak ada dokumentasi D. Menikmati Hasil Dokumentasi manfaat kompos untuk tanaman pot pekarangan
104
Lampiran 4
DIAGRAM SPIRAL PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT HAM, Undang2, Perda, Kesepakatan Bersama..
Ilmu sosial, ekonomi, budaya politik, hukum, arsitektur, manajemen..
Analisis Kesadaran
Perencanaan PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
(2)
Rumusan Keprihatinan
(4)
Rencana Kegiatan
CILIWUNG MERDEKA Analisis Sosial
Pelaksanaan Kegiatan
(1)
Ilmu Sosial, Pendataan/ Riset, Total
Quality Analysis
Pengalaman/ pengamatan situasi yang dialami sendiri/bersama
Sumber: Dokumen Ciliwung Merdeka tahun 2008
105
Manajemen Organisasi Komunitas Basis
Lampiran 5
HASIL UJI KORELASI RANK SPEARMAN NONPAR CORR /VARIABLES=Partisipasi Persepsi Sikap Pengetahuan Ketrampilan Pengalaman KetersediaanWaktu E.Kelembagaan K.Birokrasi K.Regulasi /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE .
Nonparametric Correlations Correlations
Spearman's rho
Partisipasi
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Persepsi
N
.247
Sig. (2-tailed)
.115 42
Correlation Coefficient N
42
Sig. (2-tailed)
.507 42
Correlation Coefficient
.105
Sig. (2-tailed)
.507 42
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Eektifitas Kelembagaan
N
N
.414(**) .006 -.049 .757 42
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
-.162 .305 42
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
106
.399
42
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Ketersediaan Regulasi
.134
42
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Kemudahan Birokrasi
.399 .105
N Ketersediaan Waktu
-.134
Correlation Coefficient N
Pengalaman
.507 42
Sig. (2-tailed) Ketrampilan
-.105
Correlation Coefficient N
Pengetahuan
. 42
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Sikap
Partisipasi 1.000
KESIMPULAN NONPAR CORR /VARIABLES=T.Kemauan T.Kemampuan T.Kesempatan Partisipasi /PRINT=SPEARMAN TWOTAIL NOSIG /MISSING=PAIRWISE .
Nonparametric Correlations Correlations T.Kemauan
Spearman's rho
T.Kemauan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
T.Kemampuan
T.Kesempatan
1.000
-.200
.171
.390(*)
.
.205
.279
.011
42
42
42
42
-.200
1.000
.357(*)
.105
.205
.
.020
.507
42
42
42
42
.171
.357(*)
1.000
.295
.279
.020
.
.058
42
42
42
42
.390(*)
.105
.295
1.000
.011
.507
.058
.
42
42
42
42
N T.Kemampuan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
T.Kesempatan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Partisipasi
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Keterangan:
= Hipotesis ditolak Asymp Sig (2‐tiled) > α (0,05)]
= Hipotesis diterima [Asymp Sig (2‐tiled) < α (0,05)]
107
Partisipasi
Lampiran 6
KUESIONER
Partisipasi Komunitas Kumuh Perkotaan di Bantaran Sungai Ciliwung dalam Program Pengelolaan Sampah Organik Berbasis Komunitas (Responden: Anggota Komunitas Kumuh Perkotaan di Bantaran Sungai Ciliwung dalam lingkup RT 06 dan 07 RW 12 Kelurahan Bukit Duri-Kecamatan Tebet-Jakarta Selatan dan RT 10 RW 03 Kelurahan Kampung Melayu Kecamatan Jatinegara-Jakarta Timur) Saya, Yunita Purbo Astuti, mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Sehubungan dengan penelitian yang akan saya lakukan, saya mohon kesediaan saudara/i untuk mengisi kuesioner ini dengan keadaan yang sebenar-benarnya. Kerahasiaan jawaban saudara/i akan dijamin dan tidak berkaitan dengan kepentingan lain kecuali untuk penenlitian ini. TERIMA KASIH. Nama pewawancara
:
Tanggal wawancara
:
No Responden:
I. Identitas Responden Isilah identitas pribadi Saudara/Saudari dan berilah tanda Centang (√) pada salah satu jawaban yang anda pilih. 1. 2.
Identitas Pribadi Nama Jenis kelamin
Keterangan …………………..................................... 1. Laki-laki 2. Perempuan
3.
Usia
4.
Agama
…………………………………… tahun 1. Islam 2. Kristen 3. Katolik
4. Budha
5. Hindu
5.
Pendidikan terakhir
1.
SD
4. Diploma
5. Sarjana
6.
Status perkawinan
1.
Belum kawin
7.
Jumlah anggota keluarga/rumah
8.
Alamat lengkap
9. 10. 11.
Asal daerah Lama tinggal Kepemilikan KTP
12.
Status tempat tinggal
13.
Jenis pekerjaan
14.
Status pekerjaan utama
15. 16.
Lama bekerja Jumlah penghasilan/bulan
17.
Status dalam program
18.
Lama terlibat dalam program
19.
Sumber informasi tentang program (pertama kali diperoleh)
2. SMP
2. Kawin
3. Cerai hidup
4. Cerai mati
………………………………jiwa/rumah RT: RW: No: Kelurahan………………………………. …………………………………………. ………………………………….tahun 1. Punya 2. Tidak punya 1. Bangunan sendiri (bersertifikat) 2. Menumpang 3. Kontrak/kost Utama : …………………………… Sampingan: ….………………………… 1. Berusaha sendiri tanpa rekan kerja atau tanpa bantuan orang lain. 2. Berusaha sendiri dibantu oleh anggota keluarga atau karyawan sementara. 3. Pengusaha dengan pekerja tetap 4. Karyawan 5. Pekerjaan tidak dibayar ……Hari/Minggu 1. Kurang dari Rp 1.069.865 2. Lebih dari Rp 1.069.865 1. Koordinator RT (Perwakilan RT) 2. Anggota …………………………… 1. 2. 3. 4.
Membaca selebaran/pengumuman Diajak saudara/tetangga Diajak penyelenggara program Lainnya…………….
108
3. SMA
…...Minggu/Bulan
II. Faktor Pendorong Partisipasi Tulisakan pendapat saudara/saudari dengan memberi tanda Centang (√) pada salah satu pilihan jawaban yang tersedia. 1.
a. b. c. d. e.
Sesuai dengan kondisi tempat tinggal saya yang padat penduduk dan di sekitar bantaran sungai, menurut saya cara mengatasi sampah yang terkumpul adalah…………….. Dibuang ke sungai Dibakar langsung Ditimbun tanpa dipilah Diangkut petugas kebersihan Dikelola lagi menjadi pupuk dan barang kerajinan
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
2.
a. b. c. d. e. 3.
Menurut saya, tindakan yang tepat untuk orang yang membuang sampah di sungai adalah……………….……….. Hukuman penjara Denda uang Dikucilkan dari masyarakat (dicemooh) Dibiarkan saja Dinasehati Kesan tentang program pengelolaan sampah di lingkungana saudara adalah….
a. b. c. d. e. 4.
Kotor dan jorok Tidak praktis Menyita banyak waktu Peluang penghasilan tambahan Penyelamatan lingkungan Menurut saya, partisipasi warga dibutuhkan dalam proses ..……... a. Penyusunan rencana program b. Pelaksanaan program c. Evaluasi program d. Menikmati hasil e. Semua benar
Skor Jawaban Sangat Pernyataan Tidak Ragutidak Setuju setuju ragu setuju Sikap responden terhadap perilaku membuang sampah sampah Sampah yang terkumpul lebih baik dibuang ke sungai (1) (2) (3) (4) Sampah yang terkumpul lebih baik dibakar (1) (2) (3) (4) Sampah yang terkumpul lebih baik ditimbun (1) (2) (3) (4) Sampah yang terkumpul di daerah saya lebih baik diangkut (1) (2) (3) (4) oleh petugas kebersihan Sampah yang terkumpul lebih baik dipilah kemudian sampah (1) (2) (3) (4) organik (sampah basah) diolah menjadi pupuk kompos Sikap responden terhadap peraturan membuang sampah Orang yang membuang sampah di sungai pantas dipenjara (1) (2) (3) (4) Orang yang membuang sampah di sungai pantas didenda (1) (2) (3) (4) uang sejumlah tertentu Orang yang membuang sampah di sungai pantas dikucilkan (1) (2) (3) (4) Orang yang membuang sampah di sungai dibiarkan saja (1) (2) (3) (4) Orang yang membuang sampah di sungai sebaiknya disuruh (1) (2) (3) (4) mengambil lagi sampah yang sudah dibuangya Sikap responden terhadap keberadaan program Program kompos tepat dilakukan di pemukiman padat (1) (2) (3) (4) penduduk Pembuatan kompos ialah kegiatan yang jorok dan kotor (1) (2) (3) (4) Pembuatan kompos adalah kegiatan yang tidak praktis (1) (2) (3) (4) Pembuatan kompos menyita waktu lama (1) (2) (3) (4) Program kompos penting dalam menyelamatkan lingkungan (1) (2) (3) (4) Sikap responden terhadap peran serta warga dalam program pengelolaan sampah Peran warga untuk memberikan ide/pendapat dalam (1) (2) (3) (4) perencanaan program tidak penting. Warga sebaiknya terlibat dalam pelaksanaan program saja (1) (2) (3) (4) (pengumpulan, pengolahan sampah) Warga tidak perlu ikut mengevaluasi program karena hanya (1) (2) (3) (4) Ciliwung Merdeka yang berhak Warga berhak menikmati hasil dari program kelola sampah (1) (2) (3) (4) Warga terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, (1) (2) (3) (4) mengevaluasi dan menikmati manfaat dari program
109
Sangat setuju (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5) (5)
Urutkan faktor yang memotivasi Saudara/Saudari dalam mengikuti program pengelolaan sampah, dengan memberikan nilai tertinggi (5) pada motivasi tertinggi sampai nilai terendah (1) pada motivasi terendah. No. 1. 2. 3. 4. 5.
Faktor Motivasi Menjadikan lingkungan bersih dari sampah dan sehat dari penyakit Mencegah terjadinya banjir Mensosialisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat Meningkatkan pendapatan dari penjualan kompos Melatihan kemampuan dalam berorganisasi dan penyampaian pendapat
Rangking
Tuliskan pendapat Saudara/Saudari dengan memberikan tanda Centang (√) pada salah satu kolom yang tersedia. No.
Pertanyaan
Skor Jawaban Tidak Ya
Apakah saudara/saudari sudah mengetahui proses pembuatan pupuk (1) (2) kompos sebelum adanya program? Apakah saudara/saudari pernah mempraktekan pembuatan pupuk kompos 2. (1) (2) sebelum adanya program? Apakah saudara/saudari pernah berkecimpung dalam usaha pembuatan 3. (1) (2) pupuk kompos sebelum adanya program Jika Ya, berapa lama?…………………………………………………………………………... Apakah saudara/saudari mempunyai waktu untuk turut serta dalam 4. (1) (2) rangkaian kegiatan dari program pengelolaan sampah? Jika Tidak, jelaskan…………………………………………………………………………….. 1.
Tuliskan pendapat Saudara/Saudari dengan memberikan tanda Centang (√) pada salah satu kolom
yang tersedia. Skor Jawaban Tidak Ya 1. Apakah Ciliwung Merdeka memberikan pelayanan yang baik dalam pendampingan program terkait hal-hal berikut ini: a. Memberi kesempatan ke warga untuk menyampaikan saran dan kritik (1) (2) b. Memberikan kesempatan ke warga untuk mengambil keputusan (1) (2) c. Memberikan informasi ke warga dari hasil penjualan pupuk kompos (1) (2) 2. Apakah ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi warga supaya bisa (1) (2) terlibat dalam program pengelolaan sampah? Jika Ya, sebutkan:……………………………………………………………………………… 3. Apakah saudara/saudari mengetahui adanya peraturan yang mengatur hak masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan (1) (2) sampah Jika Ya, sebutkan:……………………………………………………………………………….
No.
Pertanyaan
110
III. Tingkat Partisipasi Tulislah pendapat saudara/saudari dengan memberikan tanda Silang (X) pada satu pilihan yang paling tepat 1. Apa yang saudara/saudari ketahui dari proses penyusunan rencana program? a. Tidak tahu, karena tidak pernah ada rapat b. Ada rapat, sebatas formalitas tidak ada tindak lanjut dari hasil rapat c. Ada rapat, berupa penyampaian langsung program oleh Ciliwung Merdeka d. Ada rapat, dan hanya perwakilan dari setiap RT yang boleh berpendapat e. Dalam rapat, warga hanya boleh berpendapat berupa dukungan ke program f. Warga dan Ciliwung Merdeka berunding bersama untuk membuat keputusan g. Warga rumuskan sendiri rancangan program dengan pantauan Ciliwung Merdeka h. Warga rumuskan sendiri rancangan program tanpa pantauan Ciliwung Merdeka
4. Siapa yang terlibat dalam pelaksanaan program a. Ciliwung Merdeka dan aparat pemerintah desa (ketua RT, RW, lurah) b. Ciliwung Merdeka dan warga yang tertarik program c. Ciliwung Merdeka dan warga sasaran program (warga RT 5,6,7,8,dan 10) d. Ciliwung Merdeka dan perwakilan dari setiap RT 5,6,7,8, dan 10 e. Ciliwung Merdeka dan warga yang diberi bantuan oleh Ciliwung Merdeka f. Semua pihak (Ciliwung Merdeka, aparat pemerintah desa, warga, dll) g. Warga sendiri dengan pengawasan dari Ciliwung Merdeka h. Warga sendiri secara mandiri tanpa campur tangan pihak lain
2. Siapa yang terlibat dalam perencanaan program a. Ciliwung Merdeka dan aparat pemerintah desa (ketua RT, RW, lurah) b. Ciliwung Merdeka dan warga yang diundangan rapat c. Ciliwung Merdeka dan warga sasaran program (warga RT 5,6,7,8,dan 10) d. Ciliwung Merdeka dan perwakilan dari setiap RT 5,6,7,8, dan 10 e. Ciliwung Merdeka dan warga yang diberi bantuan oleh Ciliwung Merdeka f. Semua pihak (Ciliwung Merdeka, aparat pemerintah desa, warga, dll) g. Warga sendiri dengan pengawasan dari Ciliwung Merdeka h. Warga sendiri secara mandiri tanpa campur tangan pihak lain
5. Apa yang saudara/saudari ketahui dari evaluasi/menilai program? a. Tidak tahu karena tidak pernah ada rapat pengevaluasian program b. Tidak tahu karena dalam rapat saya pasif (tidak memperhatikan) c. Hasil evaluasi dari Ciliwung Merdeka langsung diberitahukan ke warga d. Hanya perwakilan RT yang mengevaluasi e. Warga hanya boleh menyampaikan evaluasi positif tentang program f. Ciliwung Merdeka maupun masyarakat mengevaluasi g. Dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan pengawasan dari Ciliwung Merdeka h. Masyarakat mengevaluasi secara mandiri tanpa campur tangan pihak lain
3. Apa yang saudara/saudari ketahui dari pelaksanaan program? a. Tidak tahu karena tidak terlibat b. Kurang tahu karena hanya ikut-ikutan terlibat dalam kegiatan c. Warga melaksanakan program sesuai perintah Cliwung Merdeka d. Hanya dilaksanakan oleh perwakilan RT e. Warga terlibat karena nantinya mendapat upah/digaji oleh Ciliwung Merdeka f. Ciliwung Merdeka dan warga saling membantu melaksanakan program g. Warga melaksanakan sendiri dengan pantauan Ciliwung Merdeka h. Warga mampu bertindak sendiri tanpa campur tangan Ciliwung Merdeka
6. Siapa saja yang terlibat dalam evaluasi program? a. Ciliwung Merdeka dan aparat pemerintah desa (ketua RT, RW, lurah) b. Ciliwung Merdeka dan warga yang diundangan rapat evaluasi c. Ciliwung Merdeka dan warga sasaran program (warga RT 5,6,7,8,dan 10) d. Ciliwung Merdeka dan perwakilan dari setiap RT 5,6,7,8, dan 10 e. Ciliwung Merdeka dan warga yang diberi bantuan oleh Ciliwung Merdeka f. Semua pihak (Ciliwung Merdeka, aparat pemerintah desa, warga, dll) g. Warga sendiri dengan pengawasan dari Ciliwung Merdeka h. Warga sendiri secara mandiri tanpa campur tangan pihak lain
111
7. Siapa saja yang merasakan manfaat dari program? a. Ciliwung Merdeka saja b. Ciliwung Merdeka dan warga yang terlibat di dalam program saja c. Ciliwung Merdeka dan warga sasaran program (warga RT 5,6,7,8,dan 10) d. Ciliwung Merdeka dan perwakilan dari setiap RT 5,6,7,8, dan 10 e. Ciliwung Merdeka dan warga yang diberi bantuan oleh Ciliwung Merdeka f. Semua pihak (Ciliwung Merdeka, aparat pemerintah desa, warga,) yang terlibat g. Warga dan Ciliwung Merdeka dengan sistem bagi hasil h. Warga seutuhnya
8. Apakah alasan saudara/saudari mengikuti program? a. Terpaksa karena diwajibkan bagi seluruh warga di bantaran sungai b. Terpaksa karena para tetangga juga ikut c. Karena ditunjuk penyelenggara program langsung d. Karena saya merupakan perwakilan dari RT yang ditunjuk warga e. Karena akan mendapatkan insentif berupa upah dari Ciliwung Merdeka f. Karena dapat kerjasama dengan banyak pihak demi menyelesaikan masalah sampah di daerah tempat tinggal saya g. Karena saya diserahi tanggung jawab dari Ciliwung Merdeka untuk mengembangkan program h. Karena ingin mewujudkan pengelolaan sampah yang swadaya dan mandiri
IV. Bentuk Partisipasi Tuliskan pendapat Saudara/Saudari dengan memberikan tanda Centang (√) pada kolom jawaban yang tersedia (jawaban boleh lebih dari satu).
No. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7. 8.
Jenis Kegiatan Rapat penyusunan program Pemisahan sampah Pengumpulan sampah Pengangkutan sampah Penimbangan sampah Produksi • Pencacahan • Pengadukan • Pencampuran • Pengeringan • Pengemasan Pendistribusian Rapat penilaian keberhasilan dan kendala dari program
Tidak ada
Uang
112
Bentuk partisipasi Barang Tenaga
Pikiran
Waktu
Lampiran 7 PANDUAN PERTANYAAN 1. Apa latar belakang dicanangkannya program pengelolaan sampah? 2. Darimana inisiatif ide tentang dicanangkannya program berasal ? 3. Bagaimana proses perencanaan program? 4. Siapa saja yang dilibatkan dalam proses perencanaan program? 5. Bagaimana kronologi proses pelaksanaan program? 6. Siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan program? 7. Bagaimana proses evaluasi dan monitoring yang dilakukan terhadap program? 8. Siapa saja yang terlibat dalam proses evaluasi dan monitoring? 9. Siapa saja yang berhak menikmati hasil yang diperoleh dari program ini? 10. Apakah manfaat yang diperoleh dari stakeholder dari program ini? 11. Apakah manfaat yang dapat diperoleh masyarakat dari program ini? 12. ∗Apakah peranan Sanggar Ciliwung dalam program? 13. **Apakah pernan aparat pemerintah desa dalam program ini? 14. ** Apakah ada kebijakan dari pemerintah berkaitan dengan program ini atau program pengelolaan lingkungan lainnya yang diberlakukan di daerah ini? Jika Ya, sebutkan! 15. Bagaimana metode yang dilakukan dalam sosialisasi program? 16. Apakah ada kriteria/persyaratan khusus bagi calon peserta program? 17. Jelaskan alasan Mr X menjadi koordinator program untuk RT X! 18. Apakah ada rapat rutinan yang dilakukan untuk membahas program dalam satu tahun terakhir ini? 19. Bagaimana menurut saudara tingkat partisipasi dari warga terhadap program? 20. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasI?
∗
Pertanyaan hanya untuk fasislitator dari Sanggar Ciliwung Pertanyaan hanya untuk aparat pemerintahan desa
**
113
1