3
Selanjutnya, telur dikumpulkan setiap hari dalam satu cawan petri kecil yang berbeda untuk setiap induk betina fertil. Oviposisi dihitung sejak peletakan telur hari pertama hingga hari terakhir bertelur. Pemeliharaan Larva Pengamatan terhadap jumlah telur yang menetas (viabilitas) dilakukan sejak telur menetas di hari pertama hingga hari terakhir. Lamanya waktu (periode) sejak telur diletakkan imago betina hingga telur tersebut menetas dicatat sebagai βlamanya masa telurβ atau βperiode telurβ. Setelah telur menetas, segera diberi pakan sesuai perlakuan yang telah ditentukan, yaitu daun jarak pagar dan sirsak. Waktu pengambilan daun di pagi hari pukul 06.00-07.00 WIB untuk menjaga kesegaran daun yang masih berembun. Daun yang baru dipetik cukup dibersihkan bagian permukaan atas dan bawah daun (tidak perlu dicuci). Pemberian pakan dilakukan setiap pagi pukul 07.00-08.00 WIB secara adlibitum dengan mengganti daun yang lama (sudah dimakan larva) dengan daun segar yang baru dipetik langsung dari pohon jarak pagar dan sirsak. Larva instar I-III diberi daun muda (bagian pucuk yaitu daun ke 3-6), sedangkan larva intar IV-VI diberi daun tua dari daun ke 7-12. Oleh karena penetasan larva tidak seragam, maka pemeliharaan disesuaikan dengan hari telur menetas. Larva instar I-III dipelihara dalam cawan petri sedang berdiameter 15 cm dengan tinggi 2,5 cm sebanyak 30 buah cawan. Setiap cawan diisi 10 ekor larva. Larva instar IV-VI dipelihara dalam cawan petri besar berdiameter 20 cm dengan tinggi 5,5 cm sebanyak 18 buah cawan. Setiap cawan diisi maksimum 5 ekor instar IV. Ketika instar V maksimum diisi 3 ekor, saat mengokon (instar VI) hanya cukup 1 ekor dalam 1 cawan. Pemanenan Kokon Kokon dipanen seminggu setelah larva mengokon (setelah pupasi) agar kokon lebih kuat, kering dan tidak mengganggu proses organogenesis (pembentukan organ imago: sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi). Identifikasi aksesi & analisis proksimat jarak pagar Terdapat 3 plot pengambilan daun jarak yaitu parkiran FKH, rumah kaca Departemen Biologi dan rumah kaca PAU. Oleh karena belum terlalu jelas asal usul aksesi dari ketiga tempat tersebut, maka dilakukan identifikasi
dengan membandingkan karakter daun terhadap aksesi standar yang terdapat di Kebun Induk Jarak Pagar, Pakuwon, Sukabumi. Analisis proksimat sampel daun jarak pagar yang berasal dari parkiran FKH dan rumah kaca Departemen Biologi dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB. Parameter yang Diamati: Suhu, Kelembaban dan Intensitas Cahaya Ruang Pemeliharaan Pengukuran dilakukan 3 kali sehari pada pukul 07.00; 12.00; 16.00 WIB. Suhu diukur dengan termometer, kelembaban diukur dengan hygrometer dan intensitas cahaya diukur dengan luxmeter. Siklus hidup Siklus hidup diamati dengan mencatat waktu yang dibutuhkan mulai dari stadia telur, larva, pupa dan imago. Jumlah telur fertil yang dihasilkan per individu betina yang kawin. Larva yang diberi daun jarak pagar (n=50) dan sirsak (n=50) mulai dari instar I hingga instar VI. Lamanya stadia pupa dihitung dari hari pertama mengokon hingga keluar menjadi imago. Lamanya stadia imago dihitung dari hari pertama keluar kokon hingga mati. Keberhasilan Hidup Keberhasilan hidup (viabilitas) dan tingkat kematian (mortalitas) larva pada tiap stadia dihitung dengan rumus sebagai berikut : ππππ‘ππππ‘ππ =
βπ0 β βππ‘ Γ 100% βπ0
Keterangan N0 : Populasi awal Nt : Populasi terhitung Faktor Penekan Pertumbuhan Identifikasi spesies parasit pada kokon asal perkebunan teh Purwakarta, parasit yang mematikan larva, dan predator pada fase larva dan pupa selama penelitian berlangsung. Selain itu, mencari tahu kegagalan pupasi dan ketidakberhasilan imago keluar dari kokon. HASIL Sex Ratio Sinkronisasi keluarnya imago jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 1.
4
40 35 30 25 20
β
15
β
10 5 -
Gambar 1 Grafik sex ratio
Grafik di atas menunjukkan bahwa kemunculan imago jantan lebih banyak diawal, sedangkan kemunculan imago betina lebih banyak dipertengahan hingga hari terakhir keluarnya imago, hingga terjadi kekosongan dimana terdapat banyak imago jantan yang tidak memiliki pasangan, karena imago betina yang keluar baru sedikit. Banyak ditemukan imago betina tidak memiliki pasangan dikarenakan imago jantan sudah mati terlebih dulu (Lampiran 1). Oleh karena itu sinkronisasi keluarnya imago jantan dan betina menjadi pembatas bagi keberhasilan perpasangan serangga A. atlas, dengan demikian telur yang diperoleh akan sangat bergantung pada keberhasilan tahap ini. Sinkronisasi jumlah ngengat jantan dan betina hampir tercapai pada hari ke-9 hingga hari ke13 yaitu pada tanggal 2 April - 6 April 2010.
Jumlah ngengat yang keluar dikatakan seimbang pada hari ke-12 yaitu pada tanggal 5 April 2010 dengan jumlah ngengat jantan 12 ekor dan betina 12 ekor. Produktivitas Telur Produktivitas telur dari induk betina fertil berkisar antara 27 - 342 telur/induk. Dari jumlah ini rata-rata yang menetas menjadi larva instar I antara 23% - 92 %. Periode bertelur selama oviposisi berkisar antara 3-7 hari. Sedangkan periode inkubasi telur berkisar antara 8-10 hari. Siklus Hidup Kisaran siklus hidup larva instar I-VI pada pakan daun jarak pagar dan sirsak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kisaran siklus hidup larva A. atlas Stadia
Jarak Pagar (n=50)
Sirsak (n=50)
Instar I Instar II Instar III Instar IV Instar V Instar VI
4-5 4-5 4-5 4-5 5-8 9-12
5-8 5-7 4-6 4-6 6-8 10-12
Total
30-40
34-47
Tabel 1 menunjukkan total waktu stadia larva pada daun jarak pagar lebih singkat dibandingkan daun sirsak. Stadia pupa pada daun jarak berlangsung selama 30 hari (jantan). Sedangkan pada daun sirsak berlangsung selama 30-32 hari (jantan) dan 33 hari (betina). Total siklus hidup A. atlas pada pakan jarak pagar berlangsung selama 68-78 hari, sedangkan pada pakan sirsak
berlangsung selama 72-85 hari. Siklus hidup A. atlas pada daun jarak pagar divisualisasikan dalam alur siklus hidup (Lampiran 2) dan sirsak (Lampiran 3). Keberhasilan Hidup Tingkat kematian (mortalitas) larva instar I-VI pada pakan daun jarak pagar dan sirsak dapat dilihat pada Tabel 2.
5
Tabel 2 Tingkat mortalitas larva A. atlas Jarak Pagar Stadia β Mortalitass Instar I 50 46,00% Instar II 27 29,63% Instar III 19 57,89% Instar IV 8 37,50% Instar V 5 40,00% Instar VI 3 66,67% Pupa 1 Mortalitas larva daun jarak pagar yang relatif rendah terjadi pada instar II dan IV. Sedangkan mortalitas relatif besar terjadi pada instar VI. Sementara mortalitas rendah pada daun sirsak terjadi pada instar II dan VI, dan mortalitas tinggi terjadi pada instar III yang disebabkan oleh faktor abiotik (suhu dan kelembaban) yang menyebabkan banyak larva terserang cendawan (mumifikasi). Terdapat 3 larva instar VI pada daun jarak pagar yang memasuki tahap mengokon. Larva pertama gagal mengokon. Hal ini disebabkan karena luas permukaan daun jarak pagar yang terlalu lebar menyebabkan larva mengeluarkan banyak energi untuk mengokon sehingga tidak ada tenaga untuk pupasi. Larva kedua gagal pupasi dengan struktur dinding kokon tipis. Larva ketiga berhasil pupasi dan menjadi seekor ngengat jantan. Terdapat 4 kokon pada daun sirsak, 3 di antaranya berhasil keluar menjadi 2 imago jantan dan 1 imago betina, sedangkan 1 kokon
Sirsak β 50 27 24 12 7 4 3
Mortalitass 46,00% 11,11% 50,00% 41,67% 42,86% 25,00%
gagal keluar. Kegagalan ini disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi dengan kelembaban yang rendah menyebabkan dormansi (masa istirahat pupa, dimana organogenesis mengalami penghentian yang tercermin pada konsumsi O2 berkurang) sehingga pupa butuh waktu lebih lama untuk keluar menjadi imago. Identifikasi Aksesi dan Analisis Proksimat Jarak Pagar Berdasarkan hasil identifikasi dan konsultasi dengan pakar di Kebun Induk Jarak Pagar Pakuwon, Sukabumi, daun jarak pagar yang digunakan adalah aksesi IP2P (Improve Population generasi ke-2 asal Pakuwon, Sukabumi) yang di tanam di rumah kaca PAU dan rumah kaca Departemen Biologi. Sementara daun yang berasal dari parkiran FKH adalah aksesi Bogor 1. Hasil analisis proksimat daun jarak pagar parkiran FKH dan rumah kaca (RK) Departemen Biologi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis proksimat daun jarak pagar dan sirsak Jarak Pagar (FKH) Jarak Pagar (RK) Parameter Analisis Berat Berat Berat Berat Segar Kering Segar Kering Kadar (%) 81,42 83,12 Air Abu (%) 1,49 8,02 1,16 6,87 Lemak (%) 0,39 2,10 1,25 7,41 Protein (%) 3,71 19,97 3,37 19,96 (%) 2,29 12,33 2,20 13,03 Serat BETN (%) *) Septi Dewi (2009)
10,70
11,63
Suhu, Kelembaban dan Intensitas Cahaya Ruang Pemeliharaan Suhu pagi hari rata-rata sekitar 24,56oC ; kelembaban 97,91% ; intensitas cahaya 294 lux. Suhu siang hari rata-rata sekitar 29,67oC ; kelembaban 66,02% ; intensitas cahaya 316,23 lux. Suhu sore hari rata-rata sekitar 26,98oC ; kelembaban 75,88% intensitas cahaya 279,07 lux.
8,90
9,56
*Sirsak Berat Segar Muda Tua 82,9 69,31 0,95 2,26 0,77 1,98 3,74 3,72 2,81 6,33 8,83
16,4
Faktor Penekan Pertumbuhan Hasil identifikasi parasitoid pada kokon asal perkebunan teh Purwakarta didapatkan 3 jenis parasitoid yaitu Xanthopimpla gampsura (Ichneumonidae), Sarchopaga sp. (Sarcophagidae) dan Chrysis sp. (Chrysididae) dapat dilihat pada Gambar 2.
6
Gambar 2 Xanthopimpla gampsura (Ichneumonidae) (A) Sarchopaga sp. (Sarcophagidae) (B) Chrysis sp. (Chrysididae) (C)
Hasil pengamatan terhadap kokon yang tidak berkembang, diketahui adanya beberapa faktor lain selain faktor parasitoid, yaitu pupa dormansi, larva gagal pupasi, ngengat gagal keluar dan dalam posisi terbalik, serta pupa
gagal organogenesis akibat faktor abiotik (suhu dan kelembaban) yang tidak sesuai. Keadaan kokon yang tidak berkembang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Keadaan kokon tidak berkembang Ξ£ Kokon Total
608
100%
Ξ£ Kokon Berkembang Baik
339
56%
Ξ£ Kokon yang Tidak Berkembang
269
44%
Ξ£ Pupa Terparasit
81
30%
Ξ£ Pupa Dormansi
32
12%
Ξ£ Larva Gagal Pupasi (abnormal)
37
14%
Ξ£ Ngengat Gagal Keluar (eklosi)
45
17%
Ξ£ Pupa gagal organogenesis
74
28%
Persentase jumlah kokon yang tidak berkembang disebabkan oleh kokon dan pupa yang terparasit sebanyak 81 kokon (30%). Adanya parasitoid dalam kokon yang menyebabkan pupa menjadi busuk, kopong dan berlubang karena parasit ini menjadikan pupa A. atlas sebagai inang dengan cara meletakkan telur ketika fase larva. Memasuki fase dewasa parasit keluar dari kokon yang sudah dirusak pupanya karena parasit mendapatkan nutrisi dari tubuh pupa A. atlas. Data tersebut (Tabel 4) menunjukkan kokon
yang tidak berkembang bukan oleh parasit jauh lebih besar (70%) dari yang terparasit. Selain parasitoid terdapat predator yang memakan pupa A. atlas di ruang penelitian yaitu tikus rumah (Rattus rattus diardii) yang berhasil ditangkap sebanyak 3 ekor. Daun jarak pagar yang telah terinfeksi cendawan embun tepung Oidium sp. akan berbahaya bagi kelangsungan hidup larva A. atlas karena larva akan menjadi sakit. Hasil identifikasi penyakit tanaman jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 3.
7
Gambar 3 Embun tepung (powdery mildew) Oidium sp. (A) Morfologi daun jarak pagar yang terserang Oidium sp. (B) Mumifikasi larva A. atlas (C) Kutu putih pada tanaman jarak pagar (D)
PEMBAHASAN Potensi A. atlas dapat dikembangkan melalui pemeliharaan (rearing) sangat bergantung pada faktor-faktor: sex ratio, sinkronisasi keluarnya imago jantan dan betina, keberhasilan kopulasi, dan jumlah telur yang dihasilkan dari setiap induk betina sebagai bibit yang akan menetaskan larva. Keberhasilan rearing selanjutnya ditentukan oleh keberhasilan hidup dan pertumbuhan larva A. atlas. Pemeliharaan larva membutuhkan tempat pemeliharaan (cawan) yang bersih, lingkungan abiotik yang cocok (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya), kualitas daun baik, serta densitas jumlah larva dalam cawan pemeliharaan (Mulyani 2008 dan Dewi 2009). Suhu dan kelembaban merupakan faktor lingkungan abiotik yang sangat mempengaruhi budidaya ulat sutera. A. atlas dapat hidup pada suhu 25-28oC dengan kelembaban 46-80% (Mulyani 2008). A. atlas termasuk hewan poikiloterm sehingga fluktuasi suhu dan kelembaban sangat menentukan keberhasilan hidup larva selama rearing. Suhu pemeliharaan juga mempengaruhi durasi molting (waktu yang dibutuhkan untuk pergantian kulit). Intensitas cahaya selama pemeliharaan tidak penting asalkan tidak melampaui nilai ambang batas. Menurut Chapman (1998), intensitas terendah kurang dari 170 lux, namun demikian untuk setiap spesies nilainya bervariasi.
Suhu dan kelembaban juga berpengaruh pada serangan patogen terhadap larva (Listiarani 2009). Jika kelembaban tinggi maka larva akan lebih rentan terhadap serangan patogen seperti bakteri dan cendawan. Tubuh larva yang diserang bakteri akan berlendir dan lunak disertai feses yang cair. Serangan cendawan dapat dilihat dari tubuh larva yang ditumbuhi miselium cendawan (mumifikasi). Kondisi pakan juga dipengaruhi oleh fluktuasi suhu dan kelembaban musiman. Suhu yang lebih tinggi menyebabkan pakan daun yang disiapkan lebih cepat kering. Jika suhu lebih dari 30oC menyebabkan pakan cepat layu dan tidak disukai larva. Sebaliknya jika suhu lebih rendah dari 20oC kelembaban menjadi tinggi dan dapat menimbulkan patogen penyakit meskipun pakan tetap segar. Mulyani (2008) melaporkan bahwa suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stress pada larva, sehingga tidak mau makan, energi menjadi terbuang dan kecepatan respirasi bertambah. Pakan yang dicerna semakin sedikit sedangkan proses metabolisme meningkat, sehingga pada akhirnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva menjadi terganggu. Pengaturan sirkulasi udara dan kebersihan lingkungan pemeliharaaan perlu diperhatikan. Kualitas daun merupakan salah satu faktor yang menentukan berhasilnya suatu pemeliharaan ulat sutera dan kualitas kokon yang dihasilkan di samping faktor-faktor lain seperti bibit, teknik pemeliharaan dan sarana
8
pemeliharaan (Samsijah dan Kusumaputra 1976). Kualitas daun yang baik dikonsumsi larva A. atlas harus mengandung berbagai nutrisi seperti air, lemak, protein, serat kasar (karbohidrat tak larut), BETN (Karbohidrat terlarut) dan abu (mineral). Kadar air daun ditentukan oleh varietas tanaman, lokasi tumbuh, cara budidaya dan pertumbuhan tanaman. Protein dibutuhkan oleh ulat sutera selain untuk pertumbuhan dan perkembangannya, juga digunakan untuk pembentukan serat sutera (Tazima 1978). Lemak berfungsi sebagai sumber energi, struktur membran dan komponen kulit pelindung. Chapman (1998) menyatakan sterol merupakan salah satu bentuk lemak sebagai prekursor hormon molting ekdison (hormon juvenil). Menurut Mulyani (2008), kriteria tanaman inang alternatif yang dapat digunakan sebagai pakan ulat sutera di antaranya: ketersediaan melimpah, jumlah daun banyak, kandungan gizi baik, tanaman mudah dibudidayakan dan dikembangkan serta sesuai bagi larva. Dalam industri sericulture, ketersediaan pakan menjadi salah satu faktor utama yang harus diperhatikan. Pohon-pohon perdu yang cepat tumbuh dan daun yang dapat segera dipanen menjadi prioritas utama yang digunakan sebagai tanaman pakan alternatif. Tanaman mudah ditangani dan dikembangbiakkan diberbagai kondisi tanah seperti tanah kering (lahan kritis), sehingga sericulture dapat dilakukan di berbagai tempat. Tanaman jika dipangkas cepat tumbuh kembali daun dan jumlahnya bertambah banyak. Jarak pagar yang digunakan sebagai tanaman inang (host plant) baru bagi larva A. atlas memiliki potensi sebagai pakan alternatif bagi sericulture A. atlas dapat sejalan dengan program penghijauan (reboisasi) lahan kritis dengan penanaman pohon jarak pagar yang tahan terhadap stress cekaman air. Namun, hasil rearing di laboratorium menunjukkan bahwa tekstur daun aksesi jarak pagar yang digunakan sangat menentukan keberhasilan rearing. Oleh karena belum terbiasa memakan daun jarak pagar, maka lamanya fase larva lebih singkat daripada daun sirsak. Lamanya fase larva pada pakan daun sirsak disebabkan kandungan air yang lebih rendah dibandingkan daun jarak pagar, sehingga menyebabkan tertundanya peristiwa ganti kulit (molting) (Ekastuti 2005). Tempat mengokon sangat mempengaruhi jumlah serat-serat penyangga (floss) yang dikeluarkan larva saat mengokon, sehingga larva mengeluarkan sedikit atau banyak serat sutera untuk menempelkan floss pada daun.
Kenyamanan larva yang akan mengokon dipengaruhi oleh bentuk dan kekakuan daun. Daun sirsak tua memiliki struktur lebih kaku dibandingkan daun jarak pagar, sehingga kualitas kokon pada daun sirsak lebih baik, lebih kuat, lebih cepat kering dan lebih banyak menghasilkan filamen sutera karena kulit kokon lebih tebal. Larva pada daun sirsak lebih efektif dan efisien saat pembuatan floss karena larva lebih nyaman pada saat mengokon, efektif dalam penggunaan energi, sedangkan pada daun jarak pagar kurang optimal karena daunnya terlalu lebar, lemas dan tipis. Menurut Mulyani (2008) tingginya produksi serat sutera berkaitan dengan lamanya siklus hidup larva. Semakin panjang siklus hidup larva, maka semakin banyak pakan yang dikonsumsi. Lamanya siklus hidup juga disebabkan oleh faktor kandungan air dan protein pada pakan. Pembentukan cairan sutera dipengaruhi kemampuan larva dalam mencerna pakan yang diberikan. Daya cerna larva terhadap pakan daun jarak pagar masih rendah akibat kandungan getah dan senyawa flavonoid yaitu vitexin dan isovitexin yang belum dapat diketahui sejauh mana pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan larva A. atlas (Mahmud et al. 2007; Campa et al.; Vishnu et al. 2010). Hal ini disebabkan karena larva masih dalam proses adaptasi dan habituasi terhadap pakan baru (pakan alternatif) tersebut. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk domestikasi agar larva mampu beradaptasi terhadap pakan baru, misalnya melalui breeding secara berkelanjutan, untuk mendapatkan galur murni yang dapat meningkatkan fitness A. atlas. Hal ini membuka peluang untuk melakukan sericulture A. atlas seiring dengan program Pemerintah, dimana daun jarak pagar digunakan sebagai pakan larva, sedangkan bijinya sebagai bahan baku biodisel.
SIMPULAN Domestikasi pada pakan alternatif daun jarak pagar skala laboratorium dapat berkembang, namun untuk skala lapang belum berhasil karena tangkai daun jarak pagar terlalu panjang, daun lebar dan tipis. Demikian pula pada pakan daun sirsak yang mestinya memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi, belum menunjukkan hasil yang optimal pada skala laboratorium. Namun skala lapang jauh lebih baik daripada daun jarak pagar.