Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
PANGAN ORGANIK ASAL TERNAK DAN PERTANIAN ORGANIK WASITO, KHAIRIAH dan SORTHA SIMATUPANG Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara Jl. Jend. Besar A.H. Nasution No. 1B, Medan (20143)
ABSTRAK Pangan organik asal ternak saat ini merupakan salah satu alternatif makanan sehat, karena tidak banyak mengandung residu hormon, antibiotika, pestisida, atau cemaran mikroorganisme patogen. Pestisida Dusban dapat mempengaruhi reproduksi dan populasi burung puyuh, juga pestisida organoklorin karena bahaya yang ditimbulkan bersifat kronik. Residu antibiotik Spiramisin dan enrofloksasin ada di daging dan hati ayam. Bakteri Salmonella, E. Coli dan Campylobacter jejuni ditemukan pada telur dan daging ayam. Bakso ayam yang dijajakan 100 persen mengandung boraks. Sistem keamanan pangan asal ternak dari RPA, atau pasar tradisional masih belum efektif dan aman terhadap kontaminasi mikroorganisme. Pangan organik asal ternak dihasilkan dari sistem pertanian organik. Sistem pertanian organik yang dijalankan dalam praktek budidaya menurut standard CODEX berbeda dengan sistem pertanian nenek moyang kita. Potensi, peluang dan pemanfaatan pertanian organik pada sektor peternakan, dengan menggunakan obat-obatan tradisional tanpa diberi pupuk anorganik, pakan tanpa cemaran pestisida. Kondisi agroekologi atau ekosistem kurang mendukung usaha pertanian organik, karena dampak negatif program intensifikasi pada kurun waktu yang panjang. Kata kunci: Keamanan pangan, pertanian organik
PENDAHULUAN Pangan organik asal ternak saat ini merupakan salah satu alternatif makanan sehat, sebab tidak banyak mengandung residu hormon, obat-obatan terutama antibiotika, pestisida, serta cemaran mikroorganisme patogen. Pangan organik erat kaitannya dengan keamanan pangan. Untuk meningkatkan pengamanan bahan pangan asal ternak, maka perhatian kita harus dimulai sejak awal dalam proses budidaya yang berkaitan terutama dengan pemberian pakan dan obat-obatan. Gerakan-gerakan hidup kembali ke yang alami (back to nature) juga semakin banyak diminati masyarakat. Makanan yang kurang gula, garam, minyak, lemak, kolesterol, residu ”pestisida, antibiotik, hormon”, dan bukan makanan yang diradiasi digemari dan diinginkan. Pangan organik dihasilkan dari sistem pertanian organik. Pertanian organik sebenarnya bukan hal baru bagi manusia. Nenek moyang kita zaman dahulu beternak, membudidayakan padi, atau tanaman lain tanpa bahan kimia, yang saat ini diistilahkan sebagai pertanian organik. Produk pertanian organik saat ini dikatakan sebagai hal
176
baru, setelah puluhan tahun belakangan ini usaha ternak atau usahatani lainnya hanya dibudidayakan secara non organik. Namun pengertian pertanian organik saat ini (USDA, IFOAM dan CODEX) tidak sama dengan pertanian organik yang telah dilakukan nenek moyang kita zaman dahulu. Kesadaran akan pentingnya kesehatan dan kelestarian lingkungan sudah mendorong masyarakat untuk kembali ke sistem pertanian organik, karena produk yang dihasilkan bebas bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan manusia. Selain ramah lingkungan, biaya untuk pertanian organik pun sangat rendah karena bahan input produksi yang digunakan berasal dari alam sekitar petani. Andaikata harus dibeli, harganya pun relatif murah. Walaupun banyak keuntungan, tetapi masih banyak petani peternak yang tidak tahu caranya, atau kurang berminat melakukannya. Berdasarkan fenomena di atas, kami mencoba mengkaitkan antara pangan organik, keamanan pangan dan kesehatan; pangan organik asal ternak dan pertanian organik; peluang dan kendala pengembangan pangan organik asal ternak untuk mendukung pertanian organik menjadi bagian dari tulisan
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
review hasil penelitian, pengkajian dan pengembangan berjudul: Pangan Organik Asal Ternak dan Pertanian Organik. Tulisan ini mudah-mudahan bermanfaat dan memberi masukan untuk pengembangan pertanian organik yang ramah kesehatan dan lingkungan. PANGAN ORGANIK ASAL TERNAKKEAMANAN PANGAN – KESEHATAN Akhir-akhir ini masyarakat cenderung berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan, sejak diketahui dari hasil penelitian dan pengkajian mengenai makanan yang tidak layak dikonsumsi. Misalnya penggunaan boraks untuk bakso, mie dan kerupuk; formalin untuk pembuatan ikan asin; zat warna tekstil untuk makanan, tercemarnya produk pangan asal ternak oleh mikroorganisme patogen; penularan penyakit dari ternak (Antrak dan Flu Burung) ke manusia. Keamanan pangan (food safety) merupakan hal yang komplek dan sekaligus merupakan dampak dari hasil interaksi antara toksisitas mikrobiologik, kimiawi, status gizi dan ketenteraman bathin. Perlu dipilih suatu sistem dalam menangani pangan sejak di produksi, diolah, ditangani, diangkut, disimpan, didistribusikan, dan dipasarkan, serta dihidangkan pada konsumen. Untuk itu ada tiga unsur utama, yaitu (1) sistem/proses produksi, (2) infrastruktur, (3) tenaga dan kelembagaan. Pangan organik merupakan salah satu alternatif makanan sehat, terdapat lima hal yang menjadi dasar pertimbangan, yaitu (1) menghindari residu pestisida, (2) menghindari residu antibiotik, (3) mencegah penyakit penyakit yang timbul sebagai ekses dari proses
produksi (Salmonelosis, Listeriosis, Camphylobakteriosis, dll) yang dapat menyebabkan keracunan, (4) menghindari makanan yang diradiasi dalam proses pengawetan dan (5) kepedulian terhadap lingkungan alam (IWANTORO, 2002). Masalah besar yang dihadapi akibat penggunaan pestisida secara berlebihan adalah resurgences dan secondary pest outbreaks yang sangat cepat resisten terhadap pestisida. Pestisida juga sangat potensial menyebabkan efek sampingan kepada manusia dan kesehatan lingkungan. Sejarah penggunaan DDT yang demikian luas pada tahun 1940 dan 1950-an, yang mempunyai resistensi yang panjang akan terakumulasi dalam lemak tubuh manusia dan semua hewan lain, termasuk burung dan binatang liar lain, meskipun mereka sangat jauh dari titik dimana pestisida itu diemisikan. Abate maupun Dusban mempengaruhi reproduksi dan populasi burung puyuh dengan cara menurunkan kadar kalsium dalam cangkang telur, telur akan pecah sebelum waktunya menetas, sehingga dengan sendirinya populasi burung puyuh akan menurun sebab reproduksi terganggu. Secara rinci, Dursban telah mempengaruhi fisik telur termasuk warna cangkang, besar kemungkinan Dursban mempengaruhi metabolisme komponen cangkang telur sehingga mengubah warna cangkang telur. Secara fisik telur tersebut terasa sangat lembek sampai 3 minggu setelah telur dikumpulkan. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pestisida mempengaruhi populsi burung dengan cara menurunkan kadar kalsium (Tabel 1), komponen penting yang berfungsi sebagai penguat cangkang telur.
Tabel 1. Dampak pestisida terhadap kadar kalsium cangkang telur burung puyuh selama 7 minggu Minggu ke I II III IV V VI VII
Tanpa pestisida
Pemajanan abate
Pemajanan dursban
48,2 48,1 48,2 48,2 48,2 48,1 48,0
46,14 46,09 46,12 45,87 45,69 45,30
41,70 41,42 38,40 34,56 32,16 25,84 21,02
Sumber: HARAHAP dan MUCHLISYAM, 2000
177
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
Penurunan yang cukup signifikan khususnya diinduksikan oleh pestisida Dursban diikuti oleh Abate. Penurunan kadar kalsium yang terjadi pada cangkang telur diduga terjadi karena efek pestisida yamg dapat mengganggu penyerapan kalsium sebagai unsur penguat cangkang telur. Diduga pestisida membentuk ikatan kompleks sehingga menjadi makromolekul yang tidak bisa diserap. Secara farmakokinetis hanya bahan-bahan terlarut dalam mikromolekul saja yang dapat diserap dan distribusikan keseluruh tubuh atau organ target tertentu. Semakin lama pemajanan burung dengan pestisida cenderung akan lebih menurunkan kadar kalsium, karena pestisida yang masuk kedalam tubuh burung mengalami akumulasi, dan dengan sendirinya akan lebih banyak mengikat kalsium dalam bentuk kompleks sehingga semakin kecil kalsium dalam cangkang telur, akhirnya menipis dan rapuh (HARAHAP dan MUCHLISYAM, 2000). Perlu juga diwaspadai akibat yang ditimbulkan dari residu pestisida golongan organoklorin, mengingat bahaya yang ditimbulkan bersifat kronik baik pada ternak, atau manusia (INDRANINGSIH dan WIDIASTUTI, 1998). Residu antibiotik Spiramisin (97,30%) ditemukan dari sampel daging ayam, 70,27% dari peternakan ayam di Kabupaten Sukabumi, Tangerang dan Bogor, serta 27,03% dari pasar
tradisional yang ada di Bogor, dan 13,51% dari residu Spiramisin tersebut sudah melewati maksimum residu limit (MRL) (YUNINGSIH dan MURDIATI, 2003). Residu total enrofloksasin (0,03 – 3,67 ppb) terdeteksi pada 28% sampel daging dan 20% hati ayam ras pedaging dari daerah Sukabumi dan Cianjur, sedangkan residu siprofloksasin (0,06 – 11,63 ppb) terdeteksi pada 8% sampel daging dan 10% sampel hati (WIDIASTUTI, et. al., 2004). Adanya residu antibiotika dalam pangan asal ternak dapat menyebabkan reaksi alergi, resistensi, dan kemungkinan keracunan. Efek karsinogenik dan mutagenik sebagai akibat mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung residu logam berat, residu pestisida, atau residu cemaran kimia lainnya (SCHLATTER, 1990 dalam MURDIATI dan BAHRI, 1995). Bakteri Salmonella ditemukan pada 5 butir telur ayam ras (33,33%) sampel dari pasar tradisional di kota Medan (Tabel 2), ada kecenderungan berasal dari telur yang kotor (HARIANTO dan HIZRAH, 2002). Sumber infeksi Salmonella berasal dari kontaminasi bakteri patogen pada bahan pangan, misalnya karkas ayam yang dapat terjadi selama penanganan, pengolahan, transportasi maupun kontaminasi silang pada saat pemasaran.
Tabel 2. Pemeriksaan Salmonella dari cangkang telur ayam ras di pasar tradisional Medan Pasar tradisional Sukaramai Simpang Limun Pusat Pasar
Keadaan kulit telur (%) Bersih Kotor 80 20 60 40 80 20
Pemeriksaan Salmonella (%) Positif Negatif 20 80 60 40 20 80
Sumber: HARIANTO dan HIZRAH, 2002
Salmonella ini dapat menyebabkan keracunan makanan, dan menimbulkan keracunan pada manusia. Kematian akibat Salmonella biasanya terjadi pada bayi, orang tua, dan individu yang kondisinya lemah (SOEPARNO, 1998). Tingkat kontaminasi Campylobacter jejuni (22,61%) pada sampel ayam dari 13 pasar tradisional dan supermarket di Jakarta Selatan, Tangerang, Bogor dan Sukabumi. Tingkat kontaminasi Campylobacter jejuni di pasar tradisional (10,44%) lebih rendah
178
dibandingkan dari supermarket (12,17%) (POELOENGAN et al., 2003). Tingginya tingkat cemaran bakteri E. Coli atau coliform pada daging ayam (bloiler, layer jantan, buras dan persilangan) di RPA atau pasar tradisional (12,99 – 292,20 x 107 jumlah kuman per gram) di Jakarta, Bandung, Bekasi, Tangerang, Semarang dan Surabaya yang sudah melebihi ambang batas maksimal yaitu 5 x 105 per gram (BUDINURYANTO et. al., 2002). Karena faktor karakteristik aktivitas pemotongan, penanganan dan sistem keamanan di RPA atau
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
pasar tradisional masih sederhana, maka hanya sekitar 50% hasil grading mutu karkas ayam termasuk mutu I SNI. Sistem keamanan pangan pada karkas/daging ayam dari RPA atau pasar tradisional masih belum efektif dan aman terhadap kontaminasi mikroorganisme (ABUBAKAR dan NURYANTO, 2003; WASITO et. al., 2004). Tingginya tingkat cemaran bakteri E. Coli atau coliform dapat menghambat pertumbuhan Campylobacter jejuni karena tertutup bakteri tersebut. Konsumsi daging ayam sebagai faktor resiko utama terjadinya Campylobacteriosis (gastroenteritis) pada manusia. Sepertiga sampai setengah daging ayam mentah yang dijual di Amerika terkontaminasi Campylobacter spp. (CDC, 1998). Bakso ayam yang dijajakan di lingkungan sekolah Kelurahan Cinta Damai (Medan) ternyata 100 persen mengandung boraks, tetapi tidak satupun mengandung formalin. Boraks sejenis zat pengawet yang digunakan pada industri kayu, produk antiseptik, toilet, bahan baku industri kaca, dan juga untuk mengendalikan kecoa. Boraks ini berfungsi sebagai anti bakteri dan antijamur untuk pemakaian di luar tubuh. Karena efek antiseptik dan sifat fisiknya yang dapat menimbulkan efek kenyal yang khas pada adonan, zat ini sering disalahgunakan untuk mengawetkan makanan, misalnya mi, bakso, dan kerupuk. Penggunaan boraks dengan dosis rendah dapat terakumulasi di otak, hati, lemak, dan ginjal. Penggunaan dengan dosis lebih banyak dapat mengakibatkan demam, koma, kerusakan ginjal, pingsan, dan kematian (ANONIMOUS, 2003 dalam NOVA, 2004). Gejala keracunan akibat boraks muncul 3-5 hari. Gejala awalnya antara lain mual, muntahmuntah, diare berlendir dan berdarah, kejang, bercak-bercak pada kulit, dan kerusakan ginjal. Bahkan bisa mengakibatkan kematian pada anak kecil dan bayi bila dosis dalam tubuh mencapai 5 gr/kg berat badan atau lebih (WINARNO dan RAHAYU, 1994 dalam NOVA, 2004). PANGAN ORGANIK ASAL TERNAK DAN PERTANIAN ORGANIK Pangan organik asal ternak, salah satu alternatif makanan sehat, sebab tidak banyak
mengandung residu hormon, antibiotika, pestisida, serta cemaran mikroorganisme patogen, tentunya dihasilkan dari sistem pertanian organik. Berdasarkan definisi USDA, IFOAM dan CODEX, ada tiga kata kunci yang harus ada pada pertanian organik, yaitu : (1) merupakan suatu sistem pertanian menyeluruh, (2) membatasi bahan/input nonorganik, dan (3) menjaga kelangsungan agroekosistem. Departemen Pertanian mengadopsi sistem standard CODEX (AVIVI, 2001, SIMATUPANG, et. al., 2005) menjadi Pedoman Mutu Nomor 08, 09, 10, dan 11 tahun 2000, dijalankan dalam praktek budidaya meliputi: a) Pencatatan, diperlukan untuk tujuan sertifikasi dan labelisasi produk organik, yang diakui oleh dunia internasional. Harus dibuat dokumen sesuai dengan standard pertanian organik, mulai dari proses produksi di lahan petani sampai ke tangan konsumen. Dokumen berupa: good farming practices, standard operating procedure, rencana kerja jaminan mutu, dan dokumen pendukung, dalam satu bundel, tidak terpisah-pisah. b) Lahan tidak boleh terpapar oleh bahan nonorganik, kalau sudah tercemar tidak boleh digunakan selama 2 - 3 tahun. Selama masa konversi tersebut di label dengan label go organic. Lahan harus dipetakan dan harus jelas batas organik dan anorganik. c) Kesuburan dan aktivitas biologi tanah, harus dijaga dan ditingkatkan, misal dengan cara ditanami tanaman legum, diberi kompos, kotoran ternak yang berasal dari peternakan organik, ditambahkan mikroorganisme, atau bahan lain yang diperbolehkan CODEX. d) Air yang digunakan harus memenuhi standard air organik, dibuktikan dengan dokumen insfeksi dan hasil uji laboratorium yang telah terakreditasi. e) Bibit dan benih, harus dari pertanian organik, dan tidak boleh bibit atau benih hasil rekayasa genetika atau yang dimodifikasi. Teknik-teknik rekayasa genetika yang tidak diperkenankan meliputi rekombinasi DNA, fusi sel, injeksi mikro dan makro, enkapsulasi, delesi gen dan penggandaan gen. f) Pengendalian hama dan penyakit, dengan salah satu atau kombinasi dari cara-cara
179
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
berikut: (1) program rotasi yang tepat, (2) pengolahan tanah secara mekanis, (3) proteksi dengan menggunakan musuh alami, dan zona bufer ekologi, (4) penggembalaan ternak, (5) pengendalian mekanis, (6) sterilisasi dengan uap, jika rotasi tak dapat. g) Aturan pascapanen sampai produk diterima konsumen, berupa tatacara/teknik penyiapan, penyimpanan, pengangkutan, pelabelan dan pemasaran. h) Bahan aditif, penggunaan bahan aditif pada pengolahan pascapanen harus yang menggunakan yang diperkenankan untuk pengolahan pangan organik. Bahan aditif yang diperkenankan ada dalam pedoman mutu nomor 10 Deptan. Isinya antara lain : Kalsium karbonat, CO2, Malic acid, Alginic acid, asam sitrat, Potasium alginat, agar, Kalsium klorida, Sodium hidroksida. i) Inspeksi oleh lembaga yang berkompoten untuk melakukan pelabelan, inspeksi, penyuluhan sehingga masyarakat terjamin memperoleh produknya. Praktek budidaya jagung organik yang belum mengikuti kaedah sistem pertanian organik CODEX, terutama pada point b dan d telah dilakukan INDRANINGSIH et. al. (2002) di Desa Astomulyo, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah. Hasilnya pestisida masih terdeteksi pada sampel tanah dan limbah jagung yaitu lindan dan heptaklor, serta lindan (2,5 ppb) pada jagung. Lahan/tanah telah terkontaminasi dengan lindan (2,4 ppb) dan heptaklor (0,1 ppb) sebelum tanam jagung. PELUANG DAN KENDALA PENGEMBANGAN PANGAN ORGANIK ASAL TERNAK MENDUKUNG PERTANIAN ORGANIK Sistem pertanian organik dapat dipandang sebagai peluang agribisnis untuk meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani produsen. Sistem pertanian ini menghindari penggunaan bahan agrokimia buatan/sintetis, termasuk penggunaan tanaman hasil rekayasa genetika, tanaman transgenik dengan input cukup tinggi. Sebenarnya cukup banyak potensi pertanian organik yang dapat digali.
180
Masih banyak produk-produk pertanian yang oleh petani atau pemiliknya tidak pernah diberi pangan organik, layak ekspor dengan label organik. Pada sektor peternakan, pemeliharaan ayam buras, itik, sapi, kambing dan domba di pedesaan dengan menggunakan obat-obatan tradisional dari tanaman tanpa diberi pupuk anorganik, pakan rumput tanpa cemaran pestisida, insektisida, dan pupuk anorganik. Intensifikasi pertanian yang berlebihan untuk mencapai swasembada pangan, dengan program Bimas, Inmas, Insus, dan Supra Insus, dan tetap dilanjutkan sampai Gemapalung, ternyata telah menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem, yang kurang menguntungkan terhadap lingkungan hidup. Intensifikasi untuk tujuan memaksimumkan produksi dengan cara menerapkan teknologi tinggi telah membawa dampak negatif. Kendala yang bersifat mikro, antara lain: (a) pemahaman petani yang kurang, pengertian yang benar perlu disebarluaskan, meliputi filosofi, tujuan, penerapan, perdagangan, dan lain-lain; (b) kelompok pertanian organik di tingkat mikro sampai makro belum ada; (c) kemitraan petani dan pengusaha atau koperasi belum terjalin baik; (d) pangsa pasar belum kondusif, masih lambat, indikatornya produk pertanian organik dijual di toko khusus; (e) label dan sertifikasi label ”organik” dari suatu lembaga yang berwenang dan dibarengi dengan sertifikasi oleh suatu lembaga sertifikasi yang terakreditasi; (f) dukungan penelitian dan pengembangan, seperti kopi organik di tanah Gayo Aceh, penelitian dan mengembangkan teknologi yang sesuai sebagai komponen dalam sistem pertanian organik; (g) ketersediaan saprodi/sapronak organik; serta (h) kondisi iklim tropis, menguntungkan bagi perkembangan jasad pengganggu, antara lain jamur maupun bakteri (IWANTORO, 2002). Kendala di atas cukup kami rasakan, karena sosialisasi, pengkajian tentang pertanian organik, atau sistem usahatani terpadu yang ramah lingkungan telah cukup banyak dilakukan di Sumatera Utara. WASITO et. al., (2001.; 2002; 2004); SEMBIRING dan WASITO (2004) telah melakukan kajian di daerah Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Langkat terhadap fenomena-fenomena tersebut di atas.
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
KESIMPULAN DAN SARAN • Pangan organik asal ternak salah satu alternatif makanan sehat, karena tidak mengandung residu hormon, antibiotika, pestisida, dan cemaran mikroorganisme patogen. • Pestisida Dusban dapat mempengaruhi reproduksi dan populasi burung puyuh, juga bahaya yang ditimbulkan residu pestisida golongan organoklorin bersifat kronik baik pada ternak, atau manusia. Residu antibiotika Spiramisin (97,30%) ditemukan dari sampel daging ayam, dan 13,51% sudah melewati maksimum residu limit (MRL). Residu total enrofloksasin (0,03 – 3,67 ppb) terdeteksi pada 28% sampel daging dan 20% hati ayam ras pedaging. Bakteri Salmonella ditemukan pada telur ayam ras (33,33%) sampel dari pasar tradisional di kota Medan. Tingkat kontaminasi Campylobacter jejuni (22,61%) pada sampel ayam dari 13 pasar tradisional dan supermarket. Bakso ayam yang dijajakan di sekolah Kelurahan Cinta Damai Medan 100 persen mengandung boraks. Sistem keamanan pangan pada karkas/daging ayam dari RPA, atau pasar tradisional masih belum efektif dan aman terhadap kontaminasi mikroorganisme. • Pangan organik asal ternak akan dihasilkan dari sistem pertanian organik. Sistem pertanian organik dalam praktek budidaya menurut standard CODEX (pencatatan, lahan, kesuburan dan aktivitas biologi tanah, air, benih dan bibit, pengendalian hama, penyakit, dan gulma, aturan pasca panen sampai produk diterima konsumen, bahan aditif, serta inspeksi) berbeda dengan sistem pertanian nenek moyang kita. Pangan organik asal ternak memiliki potensi, peluang dan pemanfaatan untuk pengembangannya. • Kondisi agroekologi, atau ekosistem kurang mendukung untuk pertanian organik, karena dampak negatif program intensifikasi pada kurun waktu yang panjang. Kendala lain meliputi pangsa pasar belum baik, belum memiliki lembaga berwenang untuk labelisasi dan sertifikasi, belum cukup banyak hasil penelitian dan pengembangan, saprodi organik belum banyak tersedia, kondisi iklim, pemahaman
dan minat petani, kelompok masyarakat yang kurang, serta belum ada kemitraan. DAFTAR PUSTAKA AVIVI, SHOLEH. 2001. Sistem pertanian organik berdasarkan standard CODEX dan prosedur sertifikasinya. J. Agribisnis 5 (2) : 1 – 7. ABUBAKAR dan D.C. BUDINURYANTO. 2003. Kinerja sistem keamanan, karakteristik aktivitas pemotongan dan penanganan karkas ayam di RPA tradisional dalam kaitannya dengan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003, hal. 481–489. BUDINURYANTO, D.C., M.H. HADIANA, BALIA R.L., ABUBAKAR dan E. WIDOSARI. 2002. Profil keamanan daging ayam yang dipotong di pasar tradisional dalam kaitannya dengan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Lembaga Penelitian UNPAD Bekerjasama dengan ARMP-II Badan Litbang Pertanian. CDC
(CENTER for DISEASE CONTROL and PREVENTION). 1998. Healthtouch online at htpp://www. Healthtouch com.
HARAHAP, URIP dan MUCHLISYAH. 2000. Dampak penggunaan pestisida terhadap kerapuhan telur burung puyuh sebagai salah satu indikator menurunnya populasi burung secara reproduktif. Pusat Penelitian Lingkungan Lembaga Penelitian USU Medan. 19 halaman. HARIANTO, dan HIZRAH S. 2002. Analisa kandungan Salmonella pada produk telur ayam ras yang dipasarkan pada pasar tradisional di Kota Medan. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU – Medan. 35 halaman. IWANTORO S. 2000. Kebijakan Departemen Pertanian dalam pengembangan produk pertanian organik dan sistem perawatannya. Pusat Standarisasi dan Akreditasi Departemen Pertanian Jakarta. INDRANINGSIH dan R. WIDIASTUTI. 1998. Residu pestisida organoklorin serta kemungkinan bahayanya pada ternak dan manusia. Wartazoa : 7 (2) p. 55 – 60. INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI, Y. SANI, YUNINGSIH dan E. MASBULAN. 2002. Strategi penyediaan pakan ternak asal jagung organik. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Palawija (Buku 2) hal. 686 - 691.
181
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
MURDIATI, T.B. dan S. BAHRI. 1995. Residu dan cemaran dalam bahan pangan asal ternak. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak, Balitvet Bogor : hal. 74 – 81. NOVA, ROSARI, S.S. 2004. Pemeriksaan boraks, formalin pada bakso ayam dan rhodamin B pada saos tomat jajanan anak-anak di lingkungan sekolah Kelurahan Cinta Damai Kecamatan Helvetia Tahun 2004. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU – Medan. 42 halaman. POELOENGAN, MASNIARI dan SUSAN M. NOOR. 2003. Isolasi Campylobacter jejuni pada daging ayam dari pasar tradisional dan supermarket. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003, hal. 522 – 526. SEMBIRING, HASIL dan WASITO. 2004. Peluang sistem integrasi padi ternak dalam pemberdayaan kelompok tani untuk peningkatan kualitas lahan dan pendapatan petani di Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman – Ternak, 20 – 22 Juli 2004 (Puslitbang Peternakan) SIMATUPANG, SORTHA, WASITO dan HASIL SEMBIRING. 2005. Prospek perkembangan pertanian organik di Sumatera Utara Lima Tahun ke Depan. Makalah akan dipublikasi pada Seminar Nasional Sosialisasi Hasil Penelitian dan Pengkajian di Sumatera Utara, di BPTP Sumatera Utara. SOEPARNO. 1998. Ilmu dan teknologi daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta WINARYO. 2002. Inspeksi dan sertifikasi pertanian organik, serta pengajuan aplikasinya. Warta Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 18 (2) : 58 – 70.
182
WIDIASTUTI, R., YUNINGSIH dan T.B. MURDIATI. 2004. Residu enrofloksasin pada daging dan hati ayam ras pedaging. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004, hal. 515 – 518. YUNINGSIH dan T.B. MURDIATI. 2003. Analisis residu antibiotika spiramisin dalam daging ayam secara khromatografi cair kinerja Tinggi (KCKT). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003, hal. 527 – 531. WASITO, KHAIRIAH dan RINALDI. 2001. Laporan kajian pembinaan kelompok tani dalam penerapan teknologi baru di areal INBIS Kecamatan Sei Bingei (Kabupaten Langkat). 46 hlm. WASITO, KHAIRIAH dan RINALDI. 2002. Laporan kajian penerapan teknologi baru melalui pemberdayaan kelompok tani swadaya pada areal INBIS Kecamatan Sei Bingei (Kabupaten Langkat). 42 hlm. WASITO dan KHAIRIAH. 2004. Keragaan proksi INBIS pada sistem usahatani padi di Sumatera Utara. Kebijakan perberasan dan inovasi teknologi padi (Buku 3 Pekan Padi Nasional I, 4 – 7 Maret 2002) (Puslitbang Tanaman Pangan). WASITO, S. SUGIAH M., dan M.O. ADYANA. 2002. Dissonansi inovasi fenomena pengambilan keputusan introduksi paket teknologi SUTPA di Subang, Langkat dan Deli Serdang. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, vol. 5 no. 1, 2002 (Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian). WASITO, KHAIRIAH, NOVA P., LERMANSIUS HALOHO, MULNI ERFA, PERDIN SIRINGORINGO dan DARMAWATI N. 2004. Dampak berita Flu Burung terhadap agribisnis ayam ras di Sumatera Utara. Laporan Pengkajian BPTP Sumatera Utara.