MODUL PERKULIAHAN
PANCASILA
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Fakultas
Program Studi
MKCU
MARCOM
Tatap Muka
05
Kode MK
Disusun Oleh
MK90003
Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Abstract
Kompetensi
Pancasila as the State is often called the basic philosophic State of the country, the State ideology. In this case the Pancasila was used as a basic set of countries. In other words, Pancasila was used as a base to set up the Organization of the State.
Mahasiswa memiliki pendalaman yang memadai untuk melihat Pancasila sebagai dasar negara. Itu artinya, baik hukum, pemikiran, dan juga praktek hidup bernegara bersumber pada Pancasila. Diharapkan mahasiswa bisa mengimplementasikannya.
Materi Pengayaan BAB IV PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA Kokoh dan tidaknya sebuah bangunan sangat ditentukan oleh pondasinya. Pondasi ini dasar yang menopang bangunan di atasnya. Makanya, sebuah bangungan yang baik harus sangat jeli memperhatikan pondasi ini. Pondasi menjadi pertaruhan sebuah bangunan. Pondasi harus dibangun berdasarkan kondisi tanah yang ada dan faktor kekuatan yang dibutuhkan untuk menghadapi lingkungan. Dengan demikian, sebuah pondasi tidak bisa dibuat terpisah dari tempat di mana bangunan itu dibuat. Lingkungan yang berpasir membutuhkan pondasi yang berbeda dari lingkungan yang bertanah liat atau lingkungan yang berbatu. Demikian juga dengan sebuah negara. Ia baru bisa dibangun kokoh kalau punya pondasi yang kokoh dan memperhatikan tempat (kearifan masyarakat) di mana negara itu dibangun. Pada dua pembahasan yang lalu kita sudah melihat bagaimana para founding fathers berusaha menggali dasar negara ini dan merumuskannya. Sekarang kita akan melihat bagaimana Pancasila dipahami sebagai dasar negara.
4.1. Latar Belakang Kurun sebelum ‘kemerdekaan’ Indonesia (sebelum 17 Agustus 1945) belum ada Negara Kesatuan Republik Indonesia -kawasan itu lazim disebut wilayah Nusantara. Batas-batas wilayah Nusantara itu tidak sama dengan batas-batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau kita bicara tentang wilayah Nusantara, ingatan kita harus kembali ke jaman kerajaan, kasultanan, kasunanan, yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Dari kondisi itulah sebenarnya terdapat berbagai etnis atau suku bangsa yang mempunyai keanekaragaman. Tentu saja, keanekaragaman budaya. Bicara budaya, tak dapat lepas dari mengenal unsur-unsur kebudayaan, yakni: sistem mata pencaharian, ilmu pengetahuan dan sistem teknologi, sistem komunikasi, organisasi sosial, kesenian, sistem kepercayaan (agama atau sejenisnya), pendididikan, kesehatan, tata boga dan tata busana. Masing-masing etnis mempunyai sumber kesusilaan1. Terdiri dari sumber kesusilaan perseorangan dan sumber kesusilaan umum. Sumber kesusilaan perseorangan berupa cara-cara (bentuk) perbuatan. Suatu bentuk perbuatan yang dilakukan tiap individu, dapat menjadi kebiasaan yang merupakan dasar dari kesusilaan umum. Kebiasaan berkembang lebih lanjut menjadi tata kelakuan, lalu menjadi adat istiadat dan bahkan menjadi hukum adat. Kesusilaan perseorangan yang menjadi kesusilaan umum, kemudian ‘dilembagakan’: untuk diketahui, dimengerti, ditaati, dihargai yang kemudian terinternalisasi semakin kuat menjadi lembaga sosial. Dengan penjiwaan dan internalisasi yang makin kuat, menjadi membudaya. 1
Kees Bertens menyebut kata susila untuk diperbandingkan dengan etika. Kata su sila berasal dari kata su artinya baik dan sila artinya dasar atau perbuatan. Kata susila yang berarti dasar perbuatan yang baik dikatakan masih bersifat sangat umum. Hal ini berbeda dengan etika yang mengacu pada ilmu tentang moral yang lebih punya arti spesifik dibandingkan dengan kata susila. 2016
2
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Sumber kesusilaan yang terinternalisasi sehingga membudaya tersebut, berasal dari peraturan yang dikeluarkan raja-raja, sultan-sultan di seluruh Nusantara. Ada juga yang berasal dari kitab-kitab kuno. Ada pula yang berasal dari kehidupan masyarakat (rakyat) juga. Sumber dari rakyat ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Sumber kesusilaan selalu mengandung nilai atau gagasan yang paling ideal, yaitu segala yang didambakan sebagai yang paling ideal yang
melekat pada objek, gagasan, dan
pengalaman manusia dalam bercipta, berasa dan berkarya. Nilai yang ada pada setiap suku bangsa, menyangkut masalah dasar.yaitu tentang hakikat hidup, hakikat karya, persepsi waktu, pandangan terhadap alam, dan hubungan dengan sesama. Dari situlah nilai-nilai Pancaila menjadi dasar, setelah berdiri negara Republik Indonesia, atau setelah Indonesia ‘merdeka’.
Oleh perumus, nilai-nilai dalam berkehidupan suku
bangsa yang ada dalam masyarakat, diperas menjadi lima sila di dalam rumusan Pancasila. Sejak
itulah Pancasila dijadikan dasar Negara Republik Indonesia.
Dasar adalah
merupakan fondasi atau landasan sebuah negara. Bahkan merupakan dasar filosofis yang tertinggi. 4.2. Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering disebut dasar falsafah negara (dasar filsafat negara/philosophische grondslag) dari negara, ideologi negara (staatsidee). Dalam hal ini Pancasila dipergunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan negara. Dengan kata lain, Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara. Pengertian Pancasila sebagai dasar negara seperti dimaksud tersebut sesuai dengan bunyi Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang secara jelas menyatakan. "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat
dengan
berdasarkan kepada
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Norma hukum pokok dan disebut pokok kaidah fundamental daripada negara itu dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat, dan tak berubah bagi negara yang dibentuk. Dengan perkataan lain, dengan jalan hukum tidak dapat diubah. Fungsi dan
2016
3
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
kedudukan Pancasila sebagai pokok kaidah yang fundamental. Hal ini penting sekali karena UUD harus bersumber dan berada di bawah pokok kaidah negara yang fundamental itu. Sebagai dasar negara Pancasila dipergunakan untuk mengatur seluruh tatanan kehidupan bangsa dan negara Indonesia, artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan RepublikIndonesia (NKRI) harus berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti juga bahwa semua peraturan yang berlaku di negara Republik Indonesia harus bersumberkan kepada Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara, artinya Pancasila dijadikan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara. Pancasila menurut Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 merupakan "sumber hukum dasar nasional". Dalam kedudukannya sebagai dasar negara maka Pancasila berfungsi sebagai sumber dari segala sumber hokum (sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan
asas
kerohanian
tertib
hukum
Indonesia;
suasana
kebatinan
(geistlichenhinterground) dari UUD; cita-cita hukum bagi hukum dasar negara; norma-norma yang mengharuskan UUD mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur; sumber semangat bagi UUD 1945, penyelenggara negara, pelaksana pemerintahan. MPR dengan Ketetapan No. XVIIV MPR/1998 telah mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara RI. Sebagai dasar Negara, Pancasila merupakan suatu asas kerokhanian yang meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum, sehingga merupakan suatu sumber nilai, norma serta kaidah, baik moral maupun hukum Negara, dan menguasai hukum dasar baik yang tertulis atau Undang-Undang Dasar maupun yang tidak tertulis atau Dalam kedudukannya sebagai dasar Negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Sebagai sumber dari segala hukum atau sebagai sumber tertib hukum Indonesia maka Pancasila tercantum dalam ketentuan tertinggi yaitu Pembukaan UUD 1945, kemudian dijelmakan atau dijabarkan lebih lanjut dalam pokok-pokok pikiran, yang meliputi suasana kebatinan dari UUD 1945, yang pada akhirnya dikongkritisasikan atau dijabarkan dari UUD1945, serta hukum positif lainnya . kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara tersebut dapat dirincikan sebagai berikut : Pancasila sebagai dasar Negara adalah merupakan sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum) Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan asas kerokhanian tertib hukum Indonesia yang dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan lebih lanjut ke dalam empat pokok pikiran. Meliputi suasana kebatinan (Geistlichenhintergrund) dari Undang-Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita hukum bagi hukum dasar Negara (baik hukum dasar tertulis maupun tidak tertulis) 2016
4
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Mengandung norma yang mengharuskan Undang-Undang Dasar mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara (termasuk para penyelenggara partai dan golongan fungsiona) memgang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pokok pikiran keempat yang berbunyi sebagai berikut : “….. Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Merupakan sumber semangat bagi Undang-Undang Dasar 1945, bagi penyelenggara Negara, para pelaksana pemerintah (juga para penyelenggara partai dan golongan fungsional). Hal ini dapat dipahami karena semagat adalah penting bagi pelaksanaan dan penyelengaraan Negara, karena masyarakat dan Negara Indonesia senantiasa tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat dan Negara akan tetap diliputi dan diarahkan asas kerokhanian Negara. Dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945 alenia IV yang berbunyi sebagai berikut:”….. maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat,dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia ,kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarahan/perwakilan , serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia”. Pengertian kata “…..Dengan berdasar kepada….” Hal ini secara yuridis memiliki makna sebagai dasr negara. Walaupun dalam kalimat terakhir Pembukaan UUD 1945 tidak tercantum kata’Pancasila’ secara eksplisit namun anak kalimat”…denagn berdasar kepada….” Ini memiliki makna dasar Negara adalah pancasila. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis sebagaimana ditentukan oleh BPUPKI bahwa dasar Negara Indonesia itu disebut dengan istilah Pancasila. Sebagaimana
telah
ditentukan
oleh
pembentukan
Negara
bahwa
tujuan
utama
dirumuskannya Pancasila adalah sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu fungsi pokok Pancasila adalah sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Hal ini sesuai dengan dasar yuridis sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945,ketetapan No. XX/MPRS/1966. (Jo Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan No. IX/MPR/1978). Dijelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum Indonesia yang ada pad hakikatnya adalah merupakan suatu pndangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kebatinan serta dari bangsa Indonesia. Selanjutnya dikatakan bahwa cita-cita mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan Negara, cita-cita moral mengenai 2016
5
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawatan dari budi nurani manusia. Dalam proses reformasi dewasa ini MPR melalui sidang Istimewa tahun 1998, mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Tap. No. XVIII/MPR/1998. oleh karena itu segala agenda dalam proses reformasi , meliputi berbagai bidang lain mendasarkan pada kenyataan aspirasi rakyat (Sila IV) juga harus mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Reformasi tidak mungkin menyimpang dari nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan, bahkan harus bersumber kepadanya.
4.3. Pancasila Memenuhi Syarat sebagai Dasar Negara Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dasar Negara Pancasila perlu difahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung di dalamnya agar dapat dengan tepat mengimplementasikannya. Namun sebaiknya perlu diyakini terlebih dahulu bahwa Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan beragam suku, agama, ras dan antar golongan yang ada. Pancasila memenuhi syarat sebagai dasar negara bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan alasan sebagai berikut. 1) Pancasila memiliki potensi menampung keadaan pluralistik masyarakat Indonesia yang beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan. Pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menjamin kebebasan untuk beribadah sesuai agama dan keyakinan masing-masing. Kemudian pada Sila Persatuan Indonesia, mampu mengikat keanekaragaman dalam satu kesatuan bangsa dengan tetap menghormati sifat masing-masing seperti apa adanya. 2) Pancasila memberikan jaminan terealisasinya kehidupan yang pluralistik, dengan menjunjung tinggi dan menghargai manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan secara berkeadilan yang disesuaikan dengan kemampuan dan hasil usahanya. Hal ini ditunjukkan dengan Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. 3) Pancasila memiliki potensi menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, yang terdiri atas ribuan pulau sesuai dengan Sila Persatuan Indonesia. 4) Pancasila memberikan jaminan berlangsungnya demokrasi dan hak-hak asasi manusia sesuai dengan budaya bangsa. Hal ini, selaras dengan Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. 5) Pancasila menjamin terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera sesuai dengan Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai acuan dalam mencapai tujuan tersebut. Pancasila sebagai kaidah negara yang fundamental berarti bahwa hukum dasar tertulis (UUD), hukum tidak tertulis (konvensi), dan semua hukum atau peraturan perundang2016
6
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
undangan yang berlaku dalam negara Republik Indonesia harus bersumber dan berada dibawah pokok kaidah negara yang fundamental tersebut2. Menurut Harun Alrasid kedudukan Undang-undang Dasar bagi suatu negara analog dengan kedudukan anggaran dasar bagi suatu partai politik atau organisasi lainnya, yaitu merupakan pegangan pokok bagi tindakan operasional dari organisasi yang bersangkutan3. Segala aktivitas dan fungsi ormas itu diselaraskan seperti yang telah tertulis dalam anggaran dasar tersebut.
4.4. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum a. Pengertian Sumber Hukum Sumber hukum dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil adalah bentuk hukum yang menyebabkan hukum itu berlaku sebagai hukum positif dan diberi sanksi oleh penguasa negara, misalanya undang-undang, traktat, yurisprodensi, pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi suatu norma hukum. Ada pula yang membedakan sumber hukum sebagai kenborn, yaitu sumber hukum untuk mengetahui atau mengenal (kennen) sesuatu dan sumber hukum sebagai welborn, yaitu sumber hukum yang sebenarnya. Mengenai sumber hukum juga terdapat bermacammacam anggapan. Ahli sejarah berbeda pandangannya tentang sumber hukum dengan ahli sosiologi dan antropologi. Demikian pula ahli ekonomi akan berbeda pendapatnya dengan ahli agama atau filsuf. Menurut pandangan ahli sejarah, sumber hukum adala undang-undang atau dokumen lain yang bernilai undang-undang. Bagi ahli sosiologi dan antropologi, sumber hukmum justru adalah masyarakat seluruhnya. Sumber hukum menurut ahli ekonomi adalah apa yang tampak di lapangan penghidupan ekonomi dan ini berbeda dengan ahli agama yang menganggap sumber hukum tidak lain adalah kitab-kitab suci. Pandangan tersebut ukuran yang digunakan untuk menentukan bahwa suatu hukum itu adil, mengapa orang mentaati hukum dan sebagainya. Apabila kita memperhatikan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat, maka ada alasan pula untuk mengatakan bahwa sumber hukum adalah masyarakat. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah hubungan antar individu dalam suatu kehidupan 2
Lihat Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentng Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ibid., Pasal 1 ayat (3), hal 1613. 3 Undang-undang dasar yang berisi norma-norma ideal haruslah menjadi living constitution atau konstitusi yang hidup dan dekat dengan segenap warga. Setiap warga negara haruslah merasa akrab dengan undang-undang dasar dan merasa dilindungi hak-haknya sebagai warga negara oleh undang-undang dasar, serta menjadikannya pegangan dan referensi tertinggi dalam setiap urusan kenegaraan. Sebagai satu kesatuan sistem rujukan ketatanegaraan, undang-undang dasar dapat juga dipercaya sebagai alat pemersatu bangsa dalam kegiatan bernegara. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Ed. 1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 135. 2016
7
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
bersama (bermasyarakat). Sumber hukum sebenarnya adalah kesadaran masyarakat tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup kemasyarakatan yang tertib dan damai. Jadi sumber hukum tersebut harus mengalirkan aturan-aturan (norma-norma) hidup yang adil dan sesuai dengan perasaan dan kesadaran hukum (nilai-nilai) masyarakat, yang dapat menciptakan suasana damai dan teratur karena selalu memperhatikan kepentingan masyarakat. Aliran Positivisme Hukum, khususnya Legisme, menganggap bahwa undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum, karena hukum disamakan dengan undang-undang. Jadi hanya ada sumber hukum formil saja. Apa yang dirasakan adil dan sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, tidak atau belum semuanya diserap dalam undang-undang yang telah ada, sering dijumpai undang-undang yang mencerminkan rasa kaedilan masyarakat. Berhubung dengan itu, disamping hukum yang berwujud undang-undang (formal) masih diperlukan sumber hukum yaitu sumber hukum materiil. Bahkan dibutuhkan sumber dari segala sumber hukum sebagai alat penilai, ukuran, atau batu ujian terhadap hukum yang berlaku itu benar-benar sesuai dengan rasa keadilan serta dapat menciptakan suasana damai dan ketertiban dalam masyarakat. a.1. Sumber Hukum Formal Sumber hukum formal adalah faktor yang menjadikan suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum. Sumber hukum formal itu adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum. Dengan kata lain sumber hukum formal adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum positif (Positiveringsporces). Proses ini ada dua, yakni perundang-undangan (legislation) dan kebiasaan. Perundang-undangan adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum yang dilakukan melalui prosedur yang ditentukan. Termasuk perundang-undangan ini, dalam hukum nasional Indoensia misalnya pembentukan Undangundang, penetapan Peraturan Pemerintah dan penetapan Peraturan Daerah. Kebiasaan adalah proses yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum yang tidak memenuhi persyaratan yang berlaku bagi perundang-undangan, yakni ditetapkan bukan oleh penguasa masyarakat yang berwenang atau ditetapkan oleh penguasa masyarakat yang berwenang tetapi tidak dilakukan melalui prosedur yang ditentukan. Proses ini tidak dilakukan melalui prosedur yang ditentukan. Proses ini biasanya harus disertai dengan pengulangan dan penerimaan umum ketentuan tersebut sebagai suatu keharusan. Dibandingkan dengan perundang-undangan, kebiasaan lebih sukar diketahui awal dan akhir prosesnya.
2016
8
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Dalam kepustakaan sering dicampur-adukan pengertian sumber hukum sebagai proses, yang membuat suatu ketentuan menjadi ketentuan hukum yang berlaku umum dengan pengertian ketentuan hukum yang merupakan produk dari proses tersebut. Pencampuradukan ini terjadi dalam kepustakan hukum nasional Indonesia dan kepustakaan hukum Internasional. a.2. Sumber Hukum Material Sumber hukum material ialah faktor yang menentukan isi ketentuan hukum yang berlaku. Sumber hukum material itu ialah prinsip-prinsip yang menentukan isi ketentuan hukum yang berlaku. Diantara prinsip-prinsip yang diterima umum dalam masyarakat itu terdapat prinsip-prinsip hukum. Prinsip hukum ini tidak berbeda menurut hakikatnya dengan ketentuan hukum. Prinsip hukum dan ketentuan hukum sama-sama merupakan ketentuan yang mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat secara umum, sedangkan ketentuan hukum mengatur tingkah laku orang dalam masyarakat secara rinci. Prinsip hukum itu di Indonesia misalnya ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam perwakilan permusyawaratan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Sumber dari Segala Sumber Hukum (Sumber Tertib Hukum) Sumber tertib hukum, yang biasanya disebut sumber dari segala sumber hukum (maha sumber hukum) adalah sumber hukum yang terakhir dan tertinggi. Sumber tertib hukum inipun berbeda-beda, bergantung kepada masyarakat, bangsa, dan negara masing-masing. Bagi negara yang mengikuti paham negara teokrasi, yang menjadi sumber dari segala sumber hukum adalah ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa dengan itu. Untuk negara yang mengikuti paham negara kekuasaan (menurut teori Hobbes), yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan atas kekuatan. Jadi, kekuasaan negara yang diutamakan. Sumber dari segala sumber hukum Negara yang mengikuti paham kedaulatan rakyat adalah kedaulatan rakyat (teori Kontrak Sosial dari Rousseau). Teori kedaulatan rakyat dari Rousseau tidak sama dengan teori kedaulatan rakyat Negara Pancasila, karena kedaulatan rakyat kita dijiwai dan diliputi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila-sila lain dari Pancasila. Demikian pula, teori kedaulatan rakyat kita berbeda dengan teori Hobbes (yang mengarah ke absolutisme) dan John Locke (yang berpengaruh ke arah demokrasi parlementer). Menurut Hans Kelsen, dalam dua bukunya Allgemetre Straatslehre dan Reine Rechtslehre, setiap norma hukum berlaku atas dasar kekuatan norma yang lebih tinggi kedudukannya, demikian seterusnya. Walaupun demikian, dasar validitas itu pada suatu saat harus 2016
9
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
berhenti, yakni pada satu norma yang paling tinggi, yang disebut Grundnom atau Ursprungnorm. Sebagai suatu norma, tentu perwujudan Grundnorm ini tidak dapat dilihat atau diraba seperti halnya benda. Norma tersebut belum sesuatu yang nyata (Sein), tetapi masih sesuatu yang ideal (sollen). Berlakunya norma itu dapat dirasakan sebagai kenyataan. Kelsen juga menyatakan bahwa berlakunya hukum (Geltung des Rechts) sama halnya dengan kekuasaan negara. Meskipun hal tersebut tidak konkert, namun tertib hukum yang tertinggi adalah kedaulatan rakyat. Bagaimana halnya dengan negara kita mengenai tertib hukum yang tertinggi ini? Tertib hukum yang tertinggi dan sekaligus sumber dari segala sumber hukum itu, berasal dari rakyat. Kedaulatan rakyat itu menurut sejarah pembentukan negara kita, semula diwakili kepada suatu badan istimewa yang disebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini memiliki keistimewaan yaitu: (1) Karena badan ini mewakili seluruh bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai pembentuk negara Republik Indonesia; (2) Karena menurut sejarah perjuangan kemerdekaan, badan ini adalah badan yang melahirkan atau membentuk negara Republik Indonesia. (3) Karena badan seperti itu menurut teori hukum mempunyai wewenang menetapkan dasar negara yang paling fundamental, yang disebut dasar falsafah negara atau norma dasar hukum negara.
Jadi dasar negara kita, Pancasila telah disahkan oleh suatu badan yang memang berwenang untuk itu. Dasar negara Pancasila itu dinyatakan secara tegas dalam pokokpokok pikiran dari Pembukaan UUD 1945. dengan demikian, jelas pula bahwa Pancasila itu yang menjadi sumber dari segala sumber hukum negara kita. Apabila kita menggunakan teori Kelsen untuk menjelaskan pengertian Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum (sumber tertib hukum, bukan berarti pandangan Kelsen adalah penganut Positivisme Hukum dan dapat pula dimasukkan ke dalam Neokantianisme. Dalam pandangan Positivisme Hukum, terutama Legisme, hukum identik dengan undangundang sehingga tiada hukum diluar undang-undang. Disamping hukum yang tertulis dalam undang-undang masih terdapat hukum lain yang tidak tertulis, seperti hukum adat. Harus diakui bahwa hukum adat dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk hukum tidak tertulis yang mencerminkan kepribadian bangsa, mengandung nilai-nilai bangsa, dan lebih dalam lagi meminjam istilah von Savigny memuat volksgetst Indonesia. Dengan demikian, apabila kita ingin menemukan hukum yang dirasakan adil oleh bangsa Indonesia, hendaklah memperhatikan juga hukum tidak tertulis itu, terutama asasasasnya yang sesuai dengan tujuan pembangunan nasional. Kata ”memperhatikan” mengandung unsur pertimbangan yang hati-hati, karena dapat saja terjadi nilai-nilai dalam hukum adat itu ternyata tidak sesuai apabila diangkat ke tingkat 2016
10
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
nasional, yang berarti berlaku untuk semua golongan penduduk Indonesia. Apalagi, sebagaimana disampaikan oleh Sunaryati Hartono Sunario, karena pluralisme hukum tidak lagi
ingin
dipertahankan,
maka
unsur-unsur
hukum
adat
dan
hukum
agama
ditransformasikan atau menjadi bagian dari bidang-bidang hukum sistem hukum nasional, yang di akhir abad ke-20 ini diperkirakan tidak lagi hanya akan terbagi-bagi dalam hukum tata negara, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara dan hukum administrasi negara, tetapi yang akan mengenal jauh lebih banyak bidang hukum lagi seperti hukum lingkungan, hukum ekonomi, hukum kesehatan dan hukum komputer. Dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, dinyatakan, “Sumber tertib hukum suatu negara atau yang biasa dinyatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah pandangan hidup, kesadaran dan citacita hukum serta cita-cita moral yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonesia,
ialah
cara
mengenai
kemerdekaan
individu,
kemerdekaan
bangsa,
perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamian nasional dan mondial, cita-cita politik mengenai sifat
bentuk
dan tujuan negara,
cita-cita moral mengenai kehidupan
kemasyarakatan dan keagamaan. Dalam kutipan diatas juga tertulis “cita-cita hukum” sebagai suatu terjemahan yang kurang tepat dari kata “rechtsidee”, lebih tepat ditulis “cita hukum” saja. Ketetapan ini menurut Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 masih berlaku sampai sekarang, walaupun diakui perlu dilakukan penyempurnaan. Pada tanggal 18 Agustus 1945 telah dimurnikan dan di padatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila. Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dijelaskan bahwa Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan memuat Pancasila sebagai dasar negara, merupakan satu rangkaian dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan oleh karena itu tidak dapat diubah oleh siapapun juga, termasuk MPR hasil pemilihan umum yang berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945 berwenang menetapkan dan mengubah undang-undang dasar, karena mengubah isi Pembukaan berarti pembubaran negara. c. Perwujudan Sumber dari Segala Sumber Hukum bagi Republik Indonesia Perwujudan sumber dari segala sumber hukum bagi Republik Indonesia adalah sebagai berikut: c.1) Proklamasi kemerdekaaan 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan titik kulminasi dari sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia setelah selama 2016
11
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
berabad-abad dengan didorong oleh Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) yang berjiwakan Pancasila. Untuk mewujudkan tujuan Proklamasi tersebut, maka pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan Undang-undang Dasar Kesatuan Republik Indonesia, yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya. Kemudian atas dasar aturan Peralihan UUD 1945 itu, PPKI telah pula memilih Soekarno sebagai Presiden pertama Republik Indonesia dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Dengan demikian Negara dan Hukum Nasional kita lahir pada saat ”Declaratoin of Independence” yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.
c.2) Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 menetapkan tiga hal: (1) pembubaran Konstituante; (2) berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950; dan (3) pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekrit tersebut dikeluarkan atas dasar hukum darurat negara
(staatsnoodrecht),
mengingatkan keadaan ketatanegaraan yang membudayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
c.3) Undang-Undang Dasar, Proklamasi, termasuk Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya Pernah terjadi suatu polemik mengenai dua naskah UUD 1945 yang berbeda, yakni antara naskah yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 tanggal 15 Pebruari 1946 dan naskah yang dilampirkan pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 (Lembaran Negara RI No. 75 tahun 1959). Perlu ditegasakan disini bahwa apabila disebutkan „Undangundang Dasar 1945”, maka yang dimaksudkan seharusnya adalah UUD 1945 sebagaimana naskahnya dimuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 tanggal 15 Pebruari 1946. dasar pertimbangannya adalah sebagai berikut: a) Setelah sekian tahun ditinggalkan, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959. Isi dekrit tersebut diumumkan dalam Lembaran Negara RI No. 75 tahun 1959, tanggal 5 Juli 1959. Lembaran Negara tersebut memuat pula lampiran naskah UUD 1945 yang isinya ternyata terdapat banyak kesalahan cetak, sehingga sangat mengganggu pengertian. Lebih jauh lagi naskah UUD 1945 dalam lampiran itu tidak sesuai dengan naskah yang memuat dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7 tanggal 15 Pebruari 1946. b) Dalam acara Pemandangan Umum Babak II Sidang konstituante RI tanggal 21 Mei 1959, Pemerintah RI telah memberikan keterangan yang mendukung alasan pertama diatas. Pada kesempatan itu, Perdana Menteri Djuanda memberikan keterangan (sebagai jawaban pemerintah dalam rangka kembali ke UUD 1945), yang kutipan lengkapnya adalah sebagai berikut: “Saudara Ketua, Pemerintah perlu menegaskan pertama-tama,bahwa menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, pemerintah berpegang pada naskah yang dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II no 7, tanggal 15 Pebruari 1946, yang harus dipandang sebagai pemberitaan resmi oleh pemerintah”. 2016
12
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
c) Dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tidak disebutkan adanya lampiran naskah UUD 1945 yang telah diadakan perubahan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perbedaan naskah UUD 1945 pada lampiran itu semata-mata karena kesalahan pengetikan, bukan sesuatu yang disengaja.
UUD 1945 terdiri atas Pembukaan (4 alenia), Batang Tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan), serta Penjelasannya. Pembukaan UUD 1945 adalah penuangan jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yakni jiwa Pancasila. Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan yang terinci, yang mengandung cita-cita luhur Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber dari segala hukum yang meliputi pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum, cita moral yang mengenai kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional dan mondial, cita politik mengenai sifat, bentuk, dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan sebagai pengejawantahan dari budi nurani manusia telah dimumikan dan dipadatkan menjadi dasar negara Pancasila. Pancasila yang menjiwai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, diuraikan terinci dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengandung nilai-nilai Pancasila, selanjutnya dijabarkan dalam Pasal-Pasal dari Batang Tubuh UUD 1945.
c.4) Surat Perintah 11 Maret 1966 Inti pokok dari Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) adalah perintah kepada Letjen Soeharto Mentri/Panglima Angkatan Darat, untuk atas nama Presiden/Panglima Tinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi (PBR) Soekarno, agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalanya pemerintahan dan revolusi, termasuk menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Pangti ABRI/PBR Mandataris MPR, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran PBR. Apabila kurangnya stabilitas ini tidak diatasi, maka akan terjadi perpecahan bangsa dan negara dan adanya kesalahan dalam penerapan ajaran-ajaran PBR. Supersemar ini memberi legitimasi kepada Letjen Soeharto untuk mulai mengambil segala tindakan yang dianggap perlu agar pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dapat berlangsung secara murni dan konsekuen.dalam sejarah telah tercatat, bahwa Letjen Soeharto kemudian melakukan berbagai tindakan strategis, seperti pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) bersama dengan organisasi massa dibawah naungannya serta memberi laporan pertanggung jawaban pada Presiden/PBR. Tanggal 31 Maret 1966 disebut sebagai tonggak pelaksanaan orde Baru karena dengan keluarnya Supersemar, maka bagi pemegang Supersemar, terbukanya jalan untuk
2016
13
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
melaksanakan cita-cita Orde Baru, karena sumber utama dari segala kekacauan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), maka tindakan pertama dalam mewujudkan cita-cita Orde Baru adalah membubarkan PKI dan organisasi massa di bawah naungannya, serta mengamankan 15 orang menteri yang mempunyai indikasi terlibat G-30 S/PKI. Sidang MPRS IV tahun 1966 menerima dan memperkuat Supersemar ini dengan mengangkatnya menjadi Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. hal ini berarti bahwa semenjak itu kekuasaan pemegang Supersemar tidak lagi bersumber pada hukum tata negara yang tidak tertulis, tetapi bersumberkan pada kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh MPR/MPRS (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945). Dalam sidang V MPRS tahun 1968, MPRS memberikan penafsiran yang lebih luas atau penjelasan resmi terhadap Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 untuk lebih disesuaikan dengan perkembangan Orde Baru, yang dituangkan dalam Ketetapan MPRS No. XLIII/MPRS/1968. dengan penafsiran resmi tersebut, maka pengemban Supersemar diberi wewenang untuk: (1) mengambil semua tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah kembalinya G-30S/PKI; (2) mengambil tindakan-tindakan untuk membersihkan aparatur negara dari semua bentuk penyelewengan-penyelewengan; (3) mengamankan kebijaksanaan pengembalian pelaksanaan UUD 1945; dan (4) memelihara persatuan bangsa dan tegaknya negara persatuan Republik Indonesia atas landasan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam perkembangan berdasarkan Ketetapan MPR No X/MPR/1973, isi ketetapan MPRS tahun 1968 diatas memuat kembali dan diperluas/ditambah dengan tiga wewenang lain kepada Presiden/Mandataris MPR, yaitu: (1) melanjutkan pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun dan menyusun serta melaksanakan Rencana Lima Tahun II dalam rangka GBHN; (2) membina kehidupan masyarakat agar sesuai dengan demokrasi Pancasila; dan (3) melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan orientasi pada kepentingan nasional.
d. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Satu hal yang erat kaitannya dengan pembahasan mengenai sumber dari segala sumber hukum ini adalah tentang tata urutan peraturan perundang-undangan. Hal ini telah diatur pula dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Menurut ketetapan itu, tata urutan peraturan perundang-undangan (dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 disebut “peraturan perundangan) adalah sebagai berikut: (1) (2) (3) (4) (5) (6)
2016
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Ketetapan MPR. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya, seperti: Peraturan Menteri; Instruksi menteri dan lainlain.
14
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Menurut Stufentheorle dari Hans Kelsen, setiap norma itu mendasarkan validitasnya dari norma lain yang lebih tinggi, Groundnorm tersebut harus diterima secara aksiomatis (kenyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa perlu pembuktian lebih lanjut). Teori Kelsen ini sesungguhnya masih bersifat umum karena tidak ditujukan khusus kepada norma hukum. Artinya, norma apapun (agama, kesusilaan, sopan santun, dan hukum) mengalami lapisan-lapisan dari yang terendah sampai yang tertinggi. Teori jenjang kelsen ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, Hans Nawlasky dengan teorinya Die Stufenordnung
der
Rechtsnormen
atau
Die
Lehre
von
dem
Stufenoufbau
der
Rechtsordnung. Berbeda dengan Kelsen, teori Nawiasky lebih bersifat khusus, karena ia sudah diterapkannya terhadap norma hukum sebagai aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara. Nawiasky memberi norma hukum dalam empat kelompok norma, yaitu: (1) Staatsfundam entalnorm (2) Staatsgrundgestze (3) Formelle Gesetze dan (4) Verordnungen dan Autonome Satzungen. Ia sengaja menggunakan istilah Staatsfundam entalnorm bukan Grundnom
atau
Staatsgrundnorm,
untuk menyebutkan
norma
yang
tertinggi
itu.
Pertimbangannya, norma hukum dasar dari suatu negara mungkin saja untuk diubah, sedangkan norma tertinggi Grundnom yang pada hakikatnya tidak mudah diubah-ubah. Jika Staatsfundam entalnorm adalah norma dasar negara, yakni sebagai norma tertinggi, maka Staatsgrundgesetze merupakan aturan-aturan dasar/pokok negara. Biasanya, aturanaturan dasar negara ini apabila dituangkan dalam suatu dokumen negara disebut dengan undang-undang dasar atau Verfassung, dan apabila ditungkan dalam beberapa dokumen akan disebut sebagai aturan dasar atau Grundgesetze. Aturan dasar negara antara lain menentukan tata cara membentuk peraturan perundang-undangan lainnya yang mengikat umum, sifatnya masih merupakan aturan-aturan pokok dan belum mengundang suatu sanksi dan sifatnya masih umum. Formelle Gesetze atau undang-undang (formal), yang biasanya sudah dapat dilekatkan ketentuan memaksa, baik berupa paksaan pelaksanaan (Vollsstreckungszwang) maupun berupa hukuman (Strafe). Memang baru pada sistem undang-undang ini kita memperoleh suatu tata norma hukum yang mengikat (verbinlich) secara nyata. Terakhir adalah Verordnungen dan Autonome Satzungen atau peraturan pelaksanaan dan peraturan-peraturan otonom. Dalam hal ini merupakan peraturanperaturan yang sifatnya delegasian atau atribusian.
4.4. Penutup: Kedudukan Pancasila dan relevansinya di era reformasi Saya ingin menawarkan salah satu yang menarik dari sebuah tulisan di Kompasiana sebagai salah satu media warga yang cukup objektif. Tulisan ini ditulis oleh Hendri Atmoko. Seperti yang telah kita ketahui bersama, Pancasila adalah dasar negara kita. Ini berarti bahwa Pancasila merupakan jiwa bangsa Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya
2016
15
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
masyarakat Indonesia pun menjadi cerminan perkembangan Pancasila. Tuntutan demokratisasi –pemerintah bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme-, otonomi dan kebebasan berpendapat pada masa reformasi perlu untuk terus dijaga dan dikembangkan dengan baik. Di zaman ini, banyak sekali peristiwa-peristiwa yang menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya mampu membawa bangsa pada taraf demokratisasi seperti halnya yang menjadi tuntutan di era reformasi. Sampai saat ini masih banyak terjadi korupsi yang justru dilakukan oleh para pejabat negara, padahal mereka adalah wakil-wakil rakyat yang diharapkan mampu dan kompeten untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi rakyat dan membawa kepada kesejahteraan. Selain itu, masalah kemiskinan, kekerasan atas nama agama dan kebebasan beraspirasi pun masih terjadi di zaman ini. Franz Magnis Suseno, dalam tulisannya mengungkapkan bahwa akar dari permasalahan kesejahteraan rakyat, kekerasan atas nama agama, dan sikap kurang demokratis adalah perilaku korupsi yang semakin hari semakin menggerogoti bangsa ini. Korupsi itu merusak kejujuran bangsa, sehingga demokrasi dan kesediaan mengakui perbedaan tidak bisa tercapai. Keadaan seperti itulah yang mencoreng nilai-nilai dan asas dasar Pancasila. Keberadaan dan kedudukan Pancasila di zaman ini seakan disepelekan dan tak punya arti lagi. Kesucian dan kesaktian Pancasila pun semakin tercemar. Tuntutan era reformasi pada akhirnya tidak terwujud. Relevansi Pancasila masih sangat diperlukan pada zaman ini karena Pancasila adalah dasar negara dan yang menyatukan, seperti yang dimaksudkan pada semboyan Bhineka Tunggal Ika. Harapan saya, nilai-nilai dan asas dasar Pancasila bisa dihidupi, dihayati dan diamalkan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, ”kembali pada Pancasila” sangat penting. ‘Kembali pada Pancasila’ berarti kembali memurnikan jiwa bernegara sehingga nantinya dapat membawa rakyat pada kesejahteraan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
2016
16
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka 1. Syahrial Syarbaini, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004 2. P. J. Suwarno, Pancasila budaya bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1993 3. Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011 4. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2002 5. R. Soeprapto, Pancasila Menjawab Globalisasi, Yayasan Taman Pustaka, Tangerang, 2004 6. Panji Setijo, Pendidikan Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010 7. St. Sularto dkk., Rindu Pancasila: Merajut Nusantara, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010
2016
17
Pancasila Herulono Murtopo S.S.,M.Hum
Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id