Rp.
3 7 .5 0
p e n g a n ta r hukum
tatausaha i*
NEGARA INDONESIA Oleh
Mr. Drs. E. UTRECHT
TJETAKAN KEDUA (jang diperbaiki dan ditambah)
''¡W
\I
s
*
. *V*
N.V. PE N E R B IT A N DAN BALAI BUKU IN D O N E S I A ? DJAKARTA
lan Kartohadiprodjo FHUl balikan pada:
Pengarang termasuk go longan para sardjana hu kum Indonesia jang muda. Lahir pada tanggal 30 Ok tober 1922 di kota Suraba ja. Pada bulan Mai 1941 ia menamatkan peladjaran di Gouvernements Lyceum bagian B di kota Malang dengan beridjazah. Pada bulan Djuni 1941 ia men daftarkan namanja pada Technische Hogeschool di kota Bandung, tetapi kare na petjah peperangan du nia terachir dan karena ia wadjib masuk militie, maka peladiaran dalam djurusan itu tidak dapat diteruskan. Setelah Perang Dunia II, pada tahun 1946, ia mene ruskan peladjaran pada Rijksuniversiteit Leiden di Negeri Belanda, dalam dju rusan hukum. Pada bulan Pebruari 1951 ia lulus da lam udjian doktoral Indolo gie dan pada bulan Desem ber 1951 ia lulus dalam udjian doktoral Hukum In donesia.
embalian pada tanggal dibawah RpuSetT- (perhari/buku)
PENGANTAR HUKU
>• J • •£- / r ?
'
+ ' 1 1 , * : ■■■' ..
TATAUSAHA %j§¿ *¡ NEGARA IN J * '/V ''
O le h
‘Í i
"• i'.
Mr. Drs. E. U T R E C H T (P e n g a tja ra d i ’ D ja k a rta d a n d i M a k a s a r) t-» t r
j.-: -¿V
n* e ,
j
»
_
i>j a
N o.
TJETAKAN KEDUA B
' i A
■i ‘ V ') 0 / /
L !P
7P
.
¿ '- ¿ ¿ j
N. V. PENERBITAN DAN BALAI BUKU INDONESIA D ja la n
M a d ja p a h it 6
DJAKARTA
Kc l e v i
1957
F^
q r ^_H U K U M
U .i
i
’"TFT"
PERPUSTAKAAN f >\ i i nsw i,K!.'vi i i. UNGGAu
\K
N om or S il A sal B
uku
V ' ^
|f ( ( t
J$h
Buku ini kami baktikan kepada: Saudara ARWOKO (Bupati Kepala Daerah Swatantra di Magelang, bekas-pemimpin kami)
PERPUSTAKAAN TAKAAN U i Tanggil :.
l o
Ro. Silsilah ; d
< 0
FAK. HUK
HPifïH 0. 1. . w
'S o l i
a z i
S o
N o.
i—------ K&ta—Pengantar------
.
PADA TJETA KA N PERTAMA Jang disadjikan dalam buku ini sebuah diktat peladjaran jang kami berikan pada Kursus Dinas Bagian C Kementerian Dalam Negeri di kota Malang dalam tahun kursus Maret 1953 — Pebruari 1954 (Angkatan ke-III) dan tahun kursus Oktober 1953 — September 1954 (Angkatan ke-IV). Sebabnja maka kami menjampaikan diktat ini kepada suatu penerbit ada dua perkara : , Beberapa orang bekas-murid kami minta, supaja kami bukukan peladjaran kami itu sehingga mereka mempunjai pegangan dalam pekerdjaan prakteknja. ' Karena perpindahan kami ke Makassar, kami diminta untuk meninggalkan sebuah diktat hukum administrasi pada Kursus tersebut. Oleh sebab setahu kami — di samping buku Prof. P r i n s jang diterdjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh R. K o s i m A d i s a p o e t r a „Pengantar Ilmu Hukum Tatausaha Negara”, penerbit J. B. W olters 1953 — belum ada buku tentang hukum administrasi (hukum tatausaha negara) dalam bahasa nasional dan supaja apa jang disadjikan ini dapat dibatja dalam suatu lingkungan lebih luas, maka kami memberanikan diri membukukannja biarpun kami sadari djuga masih banjak kekurangannja. Bahwasanja jang kami sadjikan ini sebuah diktat, maka akan segera diketahui para pembatja. Ada beberapa hal jang kami bitjarakan dalam-dalam, ada djuga jang hanja kami singgung sepintas-lalu sadja (summier). Balikan ada beberapa perkara jang sama sekali tidak kami kemukakan. Maka dari itu jang kami sadji kan ini tidak boleh dianggap sebagai pembimbing penuh. Sumber-sumber keterangan jang kami pakai dalam menjusun diktat ini ialah hanja buku-buku mengenai hukum administrasi jang terkenal lagi umum dipakai dan beberapa buah karangan jang kebetulan dikumpulkan dalam sebuah himpunan (misalnja, „Nederlandsch bestuursrecht”, jang dikeluarkan oleh penerbit Samsoo, Alphen a.d. Rijn 1934). Sebabnja, karena di kota Malang tidak ada madjalah melulu mengenai hukum administrasi seperti jang ada di perpustakaan-perpusta kaan besar di kota-kota Djakarta, Bandung dan Jogjakarta (sedjak herdirinja Universitit Negara Gadja Mada). Kami beranggapan bahwa buku
Prins-Kosim
dan diktat kami ini
dapat „elkaar aanvullen”. Sebagai penutup kata pengantar ini maka kami disini mengakui bimbingan pertama jang telah kami peroleh dari Sdr. A r w o k o, bekas-Direktur Kursus D i nas Bagian C Kementerian Dalam Negeri di kota Malang dan kini Bupati Kepala Daerah Swatantra di Magelang, dalam lapangan administrasi negara jang sangat berbilit-bilit itu. Maka sudah sewadjarnjalah apabila buku ini kami baktikan
kepadanja jang senantiasa akan mendjadi teladan bagi kami sebagai seorang pengabdi sungguh-sungguh pada nusa dan bangsa kita dan jang mempunjai suatu perasaan peri-kemanusiaan jang sangat luhur. Malang, 1 Oktober 1954 E. U.
PADA T JE T A K A N KED UA Mengenai tjetakan kedua buku ini dapat dikatakan dua hal jang chusus. P ertama : —• Dalam kata pengantar pada tjetakan pertama, buku ini digambarkan sebagai suatu „diktat” jang tidak disusun berdasarkan dokumentasi lengkap. D juga tje takan kedua inipun belum berhasil melenjapkan sepenuh-penuhnja kekurangan tersebut, karena pengarang belum berkesempatan waktu sungguh-sungguh untuk mengadakannja. Tetapi nanti, setelah dibandingkan dengan tjetakan pertama, maka akan kelak ternjata bahwa sebagian kekurangan dalam tjetakan pertama itu telah dipenuhi dalam tjetakan kedua ini.
Kedua: Nama buku ini mendjadi „pengantar hukum tatausaha negara Indonesia” . Istilah „hukum tatausaha negara” untuk menterdjemahkan istilah dalam bahasa Belanda „administratiefrecht” rupanja telah diterima umum. Walaupun penga rang sendiri tidak dapat menjetudjui dipakainja istilah „hukum tatausaha negara” itu dan lebih suka menggunakan istilah „hukum administrasi” (seperti dalam tjetakan pertama), masih djuga pengarang tidak sanggup menjimpang dari apa jang rupanja telah didjadikan kelaziman. Mudah-mudahan djuga tjetakan kedua akan membawa manfaat jang diharap kan ! Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masjarakat di Makassar, 1 April 1957 E. U.
6
BAB OBJEK § 1:
HUKUM
Lapangan
I
TA TA U SA H A
tatausaha
negara
N EG A RA ( a d mi ni s trasi )
Hukum tatausaha negara (hukum administrasi, hukum pem erin tahan i ) mengudji perhubungan-perhubungan hukum istimewa jan g diadakan akan memungkinkan para pendjabat (am btsdragers) (tata usaha negara, administrasi) melakukan tugas mereka jang istimewa 2. Dari definisi tersebut ternjata bahwa hukum tatausaha negara adalah hukum jang mengatur sebagian lapangan pekerdjaan tatausaha negara. Bagian lain lapangan pekerdjaan tatausaha negara diatur oleh hukum tatanegara (hukum negara dalam arti kata sem pit), hukum privat, dsb. 1
2
Terdjemahan dari istilah „bestuursrecht” (bahasa Belanda). Lihatlah „verzamelwerk” jang diterbitkan oleh S a m s o n pada tahun 1934 (tjetakan kedua pada tahun 1953) di bawah nama „Nederlandsch bestuursrecht” ; Prof. Mr. G. A. v a n Poelje „Inleiding tot het bestuursrecht”, 1937 dan „Algemene inleiding tot de bestuurskunde”, 1953, dan pidato inaugurasi Prof. M r G. J . i a r d a „D e wetenschap van het bestuursrecht en de spanning tussen gezag en gerechtigheid”, Utrecht 1948. Dalam kalangan Universitas N egeri „Gadja Mada” dipakai istilah „hukum tata-pemerintahan”. Definisi jang kami kutip dari buku Prof. D r J.H .A . L o g e m a n n „Staatsrecht van Nederlands Indie”, 1947 hal. 5 . Sebagai sebuah definisi jang memperlihatkan kepada kita anggapan tentang isi hukum tatausaha negara pada abad ke- 19, dapat kami sebut definisi dari d e l a B a s s e c o u r C a a n (diam bil dari buku v a n P o e l j e „Beginselen van Nederlandsch administratiefrecht”, 1927 hal. X X I I ) : „D oor administratief regt verstaat men de verzameling van die wetten en reglementen, ingevolge. w.elke de staat is daargesteld of bestuurd wordt, en die dus de betrekkingen regelen, waarin zich ieder burger tegenover de regeering geplaatst ziet. HLeronder worden echter niet gerekend de burgerlijke en strafregtsmagt, als zijnde takken van geheel anderen aard en werking. Deze worden namelijk enkel ingeroepen ia bijzondere gevallen, niet gestadig maar afgebroken : de burgerlijke regtsmagt bij een betwist regt, de straf regtsmagt waar de door de wet bedreigde en vooraf bepaalde straf wordt gevorderd. Alle overige takken van bestuur werken gestadig door eigene beweging” (Jang dimaksud dengan hukum tatausaha negara ialah himpunan peraturan-peraturan tertentu jang mendjadi sebab maka negara berfunksi (beraksi). Maka peraturan-peraturan itu mengatur perhubungan-perhubungan antara tiap-tiap warga (-negara) dengan pemerintahnja. Tetapi tidak ter masuk himpunan tersebut peraturan-peraturan mengenai pengadilan sipil (perdata) dan pengadilan pidana, kedua-.dua matjam pengadilan itu mendjadi bagian-bagian jang mempunjai sifat dan lapangan pekerdjaan jang sekali-kali berlainan. Pengadilan sipil dan pengadilan pidana itu diadakan dalam halhal istimewa, djadi, tidak untuk senantiasanja, melainkan hanja kadangkadang sadja : pengadilan sipil diadakan dalam hal ada perselisihan tentang sesuatu hak, dan pengadilan pidana diadakan dalam hal didjatuhkan hu kuman jang sehelumnja telah diantjamkan oleh undang-undang. Bagianbagian lain dalam lapangan pemerintahan tetap dan terus beraksi karena itu telah mendjadi maksudnja).
7
D j adi, pengertian „hukum tatausaha negara” dan pengertian „hukum jang mengatur pekerdjaan tatausaha negara” itulah tidak identik ! Timbul dua pertanjaan : a. b.
apakah jang dimaksudkan dengan „tatausaha negara” („adminis trasi”) itu ? apakah jang mendjadi lapangan pekerdjaan „tatausaha negara” itu ?
a.
Berdasajrkan „trias política” M o n t e s q u i e u maka pertanjaan pertama dapat didjawab -setjara membuat definisi sempit : Jang dimaksud dengan tatausaha negara (administrasi) ialah ga bungan dj abatan-dj abatan (complex van ambten) 3 jang di bawah pimpinan Pemerintah melakukan sebagian dari pekerdjaan pemerintah (tugas pemerintah, overheidstaak) jang t i d a k ditugaskan kepada badan-badan pengadilan, badan legislatif (pusat) dan badan-badan pemerintah dari persekutuan-persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen) jang lebih rendah dari pada negara (sebagai persekutuan hukum tertinggi) (jaitu badan pemerintahan dari persekutuan hukum seperti propinsi, daerah istimewa, kabupatèn, kota besar, kota dan desa (negeri, dusun) jang masing-masing diberi kekuasaan untuk — berdasarkan inisiatif sendiri (otonomi, swatantra) atau berdasarkan suatu delegasi dari pemerintah pusat („medebewind”) — memerintah sendiri daerahnja) 4. Tetapi dalam memperhatikan definisi ini kita tidak boleh lupa hal adanja badan-badan pemerintah jang diserahi tugas lebih dari pada satu matjam sadja (lihatlah di bawah). ' b.
Agar dapat mendjawab sedjelas-djelasnja pertanjaan kedua maka perlu orang memndjau perkembangan dalam sedjarah Pada D j aman Pertengahan (abad ke-4 sampai abad ke-15) maka
3
4
8
Mengenai pengertian „djabatan” (ambt) lihatlah Bab III s 2 Dalam buku im hanja dibitjarakan hukum tatancnl™ 0 • kinkan tatausaha negara „pusat” ( centnl„” ,an.a .ne8 a5a jang memungpekerdjaannja dan tidak dibitjarakan’’hukum t a t ™ ^ 1Stmie^ ,mendialankan kinkan tatausaha negara masing-masine f]™,,u negara jang memungdjalankan tugasnja. g daerah ^ atan tra (otonoom) menProf. Mr A.M. D o n n e r dalam Nederl™,! u „Algemeen deel”, 1953 hal. 1, memberi suatu J ? . bestuursredW”, bagian negara (bestuur) dan tentang lapangan tataus-ihn n •tentangtatausaha dasarkan „trias politica”. Katanja : WannPPr J? gara’ )ang 4 ¿ d a k berkrxjgen op de eigen aard van het bestuur <"¡n Z " / l'! heldere kijk wil men er goed aan doen zieh even de veel .beIe z¡n>. dan zal hoofd te zetten. Deze gaat weliswaar uit van , u^las >’oUtica « ¡t het in de vorm der verschillende overheid^nn/l >• belan8 »)ke verschillen yerschillen naar de vorm; tot het weze„ r T Het blijven echter längs die weg maar ten dele door. VrurhtK- ™erk.zaamheden dringt men het feit, dat alle overheidswerkzaamheid ^ 61 IS be* te gaan van op twee verschillende vlakken
voltrekt. Het vlak van de doel- of van de taakstelling enerzijds; het vlak van de doelverwezenlijking of taakvervulling anderzijds. Deze vlakken corresponderen met de twee fasen waarin zich de overheidsactiviteit afspeelt. In de eerste fase wordt bepaald, welke de richting zal zijn, welke het staatsleven heeft te nemen. Men bevindt zich dan in het vlak van de politiek, van de regering in de hoogste zin van dat woord. De tweede fase is die van de tenuitvoerlegging van de in het politieke vlak genomen beslissingen. Men is dan op het vlak van het bestuur, dat niet heeft te beslissen over de vraag, welke richting de ontwikkeling van het staatsleven heeft te nemen, maar dat uitgaande van de dienaangaande genomen beslis singen alles in het werk heeft te stellen om deze te verwezenlijken en uit te voeren. Het bestuur is daarbij niet aan handen en voeten gebonden ; het geniet dikwijls een zeer ruime vrijheid. Maar het beleid dat wordt gevoerd is b e s t u u r s beleid en valt qualitatief te onderscheiden van het echte r e g e r i n g s beleid”. (D jikalau orang hendak memperoleh suatu gambaran djelas tentang sifat sendiri pemerintahan dalam arti kata sempit (tatausaha negara dan lapangan pekerdjaan tatausaha negara), maka tidak salahnja untuk sementara waktu orang itu lupa akan trias politica. Biarpun trias politica itu suatu pandangan jang berdasarkan perbedaan penting jang ada di antara bentuk masing-masing perbuatan pemerintah, masih djuga tjara penjelidikan menurut trias politica tersebut tidak sepenuh-penuhnja dapat membawa orang kedalam inti pekerdjaan masing-masing alat (orgaan) pemerintah. Lebih bermanfaatlah, kalau pandangan orang berpangkal pada hal segala usaha pemerintah dilakukan dalam dua lapangan jang berbeda. Lapangan jang pertama adalah lapangan jang menentukan tudjuan atau tugas. Lapangan jang kedua adalah lapangan merealisasikan tudjuan atau tugas jang telah ditentukan itu. Gambaran tentang kedua lapangan ini se suai dengan adanja dua fase (tingkatan) jang biasanja dilalui oleh tiap usaha pemerintah. Dalam fase jang pertama ditentukan djalan mana jang harus ditempuh oleh penghidupan negara Dalam mendjalankan usaha ini orang ada di lapangan politik, jaitu di lapangan pemerintahan dalam arti kata jang tertinggi (luas). Fase jang kedua adalah fase menjelenggarakan keputusan-keputusan jang telah dibuat di lapangan politik. Fase jang kedua membawa orang ke dalam lapangan t a t a u s a h a n e g a r a . Dalam fase jang kedua ini orang tidak menentukan djurusan perkembangan penghidupan- negara, tetapi orang berusaha merealisasikan keputusan-keputusan jang telah diambil mengenai djurusan perkembangan penghidupan negara itu. Dalam mendjalankan usaha itu tatausaha negara tidak terikat, melainkan dalam mendjalankan usaha tersebut tatausaha negara sering diberi keLeluasan jang agak besar. Tetapi kebidjaksanaan jang didjalankan adalah kebidjaksanaan pemerintahan dalam arti kata sempit (bestuur). Setjara kwalitadf kebidjaksanaan tadi dapat dibedakan dari kebidjaksanaan pemerintahan dalam arti kata tertinggi (luas) (regeren) jang benar-benar). Gambaran jang dibuat D o n n e r (jaitu pemerintahan dalam dua ting katan) sesuai dengan susunan (inrichting) alat-alat pemerintah (regeerorganen) dalam negara. Memang, dalam garis besar alat-alat pemerin tah itu — menurut sifat funksi (tugas) jang diserahkan kepada masingmasingnja — dapat dibagi dalam dua golongan (tingkatan): alat-alat peme rintah jang menentukan politik negara dan alat-alat pemerintah jang me njelenggarakan politik negara jang telah ditentukan itu. Jang tergolong dalam golongan pertama, misalnja, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakjat, sedangkan jang tergolong dalam golongan kedua, misalnja, Pemerintah pula, Pamong Pradja dan pengadilan (rechterlijke macht). Tetapi kami tidak dapat menerima gambaran D o n n e r , karena menurut anggapan kami dalam gam baran D o n n e r ini kurang ditegaskan kemungkinan diadakan delegasi, misalnja, delegasi perundang-undangan jang dapat diserahkan kepada alat pemerintah jang tugas primer (primair)-nja bukan perundang-undangan. Bukankah, djuga kepada tatausaha negara (administrasi) (sebagai suatu gabungan alat-alat pemerintah tertentu „in de sfeer van het besturen”) —
di Eropah Barat seluruh pemerintahan dalam arti kata luas 5 disentra lisasikan (dipusatkan) dalam satu tangan, jaitu dalam tangan ra d ja ; kemudian dalam tangan bureaukrasi (alat pemerintah, regeerapparaat) keradjaan jang pada waktu itu belum mengenal apa jang pada djaman sekarang disebut pembagian kekuasaan (funksi) (functie-verdeling), jaitu dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan judikatif (kehakiman) jang masing-masing mempunjai lapangan pekerdjaan sendiri dan jang p a d a a z a s n j a (in beginsel) terpisahpisah jang satu dari jang lain. Djadi, pada waktu itu radja serentak (tegelijkertijd) mendjadi pembuat peraturan pengeksekutif (mendjalankan dan mempertahankan peraturan) serta hakim (mengadili dalam perselisihan).
5
6
10
berdasarkan delegasi — dapat diserahkan tugas menentukan politik negara, biarpun menentukan politik negara itu bukan tugas primer dari tatausaha negara ? Lebih bermanfaatlah kalau dipakai „trias politica”. Berdasarkan „trias politica”, maka bagi masing-masing alat pemerintah dapat kita tentu kan sifat funksi (tugas) primer dari alat pemerintah jang bersangkutan. Oleh sebab itu dengan sendirinja dapat kita tentukan pula sifat pokok dari alat pemerintah jang hersangkutan tadi. Selandjutnja, dapat kita tentukan funksi sekunder (secundair) mana jang masih djuga dapat diserahkan kepada masing-masing alat pemerintah di samping funksi primer. Tetapi sifat sekunder itu tidak mengubah sifat pokok dari alat pemerintah jang. bersangkutan jang telah ditentukan oleh sifat funksi primernja ! Dalam gam baran D o n n e r kurang ditegaskan „doorbraak” (pematahan) tingkatantingkatan („sferen”) tertentu, karena delegasi. Djuga „trias politica” jang murni (zuivere trias politica) tidak dapat memberi „doorbraak” tersebut, tetapi peladjaran „trias politica” lebih memberi „aanknopingspunt” (lihatlah kritik kami terhadapnja). Pemerintahan dalam arti kata luas — dalam bahasa Belanda „bewindvoering”, „regeren” ( v a n V o l l e n h o v e n „Staatsrecht overzee”, 1934 hal. 104) — meliputi : membuat peraturan („r.egel-geven”) , pemerintahan dalam arti kata sempit („bestuur”) serta mengadili dalam perselisihan („geschilbeslechting”). Pemerintahan dalam arti kata sempit meliputi segala hal jang tidak termasuk membuat peraturan atau mengadili dalam perselisihan. Apakah „peraturan" („regeling”, „verordening”) itu ? Agar pembatja dapat mengerti sedjelas-djelasnja apa jang akan dibitjarakan dalam bab ini, maka perlu kami buat uraian singkat mengenai pengertian „peraturan” itu (lihatlah djuga buku kami „Pengantar dalam Hukum Indo nesia”, 1956, hal. 69-73). Jang dimaksud dengan pengertian ,,peraturan” ialah tiap keputusan pemerin tah (overheidsbesluit) jang langsung mengikat tiap penduduk di wilajah negara atau tiap penduduk di sebagian wilajah negara. Peraturan itu dibuat oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakjat (D .P.R .), jaitu undang-undang (pasal 89 U .U .D .S .)o le h Pemerintah, jaitu peraturan Pemerintah (pasal 98 U.U.D.S.) dan undang-undang darurat (pasal-pasal 96 dan 97 U.U .D .S.); oleh pemerintah daerah swatantra (otonoom) bersa ma-sama dengan perwakilan rakjat daerah swatantra, jaitu peraturan daerah (swatantra); oleh Dewan Pemerintah Daerah, jaitu peraturan D .P.D .; oleh seorang menteri, jaitu peraturan menteri; oleh kepala djawatan atau bagian, jaitu peraturan kepala djawatan atau peraturan kepala bagian. Sifat suatu peraturan ialah m e n g i k a t semua penduduk di sesuatu wilajah. Pera turan itu berlaku u m u m . Peraturan dibuat untuk menjelesaikan beberapa
Susunan pemerintahan sematjam ini masih terdapat dalam perse kutuan-persekutuan hukum adat (adatrechtsgemeenschappen) di negeri kita (terutama di daerah-daerah diluar tanah Djaw a) : pemimpin per sekutuan hukum adat mendjadi pembuat hukum, pengeksekutif serta hakim dari masjarakatnja 7. Tetapi lama-kelamaan diadakan d e sentralisasi s ; kekuasaan keha kimanlah jang mula-mula — jaitu kira-kira pada achir Djaman Perte ngahan — diambil dari kekuasaan pusat (sentral) jang dipegang radja, selandjutnja, diserahkan kepada suatu badan kenegaraan (staatkundig hal jang (dalam garis besarnja) mengandung kesamaan dan jang a k a n dan m u n g k i n terdjadi (hal-hal jang masih abstrak dan hypotetis). Tetapi tidak tiap keputusan pemerintah mengikat semua penduduk sesuatu daerah. Di samping keputusan pemerintah jang mengikat semua penduduk sesuatu wilajah, ada djuga keputusan pemerintah jang hanja mengikat satu atau beberapa orang t e r t e n t u (jang namanja disebut dengan tegas dalam keputusan itu). Keputusan pemerintah sematjam ini t i d a k berlaku umum, hanja berlaku bagi orang jang tertentu itu. Keputusan pemerintah sematjam ini biasanja disebut ketetapan („beschikking”). Tentang ketetapan lihatlah lebih landjut Bab II buku ini. Ketetapan itu berupa : undang-undang, keputusan Presiden, keputusan Dewan Menteri, keputusan seorang menteri atau beberapa orang menteri, keputusan kepala daerah swatantra, keputusan D.P.D., keputusan kepala djawatan atau kepala bagian, keputusan hakim. Ketetapan dibuat untuk menjelesaikan suatu hal konkreto, dan biasanja setelah penjelesaian itu dengan sendirinja tidak berlaku lagi. Dalam ilmu pengetahuan hukum, kita mengenal dua pengertian „undangundang”, jaitu „undang-undang dalam arti kata materiil” dan „undang-undang dalam arti kata formil”. Jang dimaksud dengan suatu „undang-undang dalam arti kata materiil” ialah tiap keputusan pemerintah — tidak perduli bentuknja (tjara terdjadinja) — jang — menurut i s i nja — langsung me ngikat para penduduk sesuatu wilajah, djadi, suatu peraturan, Misalnja, peraturan daerah swatantra. Jang dimaksud dengan suatu „undang-undang dalam arti kata formil” ialah tiap keputusan pemerintah jang karena b e n t u k nj a ( t j a r a t e r d j a d i nja) dapat disebut „undang undang”, djadi — menurut hukum tatanegara kita — tiap keputusan pemerintah jang dibuat oleh Pemerintah bersamasama dengan D.P.R. /pasal 89 U .U .D .S.). Lihatlah a.l. Mr B. t e r H a a r Bzn „Het adatproces der Inlanders”, disertasi Leiden 1915, hal. 33 dan 34. Tentang perkembangan ini di Inggris lihatlah A.F. P o 11 a r d „The Evolution of Parliament”, 1926. Perkembangan- di Inggris ini dapat dianggap mendjadi suatu gambaran umum tentang perkembangan serupa di Eropah Barat. Sebagai „standaardwerk” mengenai perkembangan kenegaraan dapat kami seb u t: F.W . M a i 1 1 a n d „Constitutional History of England”, 1908 dan L.O. P i k e „Constitutional History of the House of Lords from original sources”, 1894. Untuk Perantjis : B e r t r a n d d e J o u v e n e 1 „Du Pouvoir”, 1945 dan G u g l i e l m o F e r r e r o „Pouvoir : les genies invisibles de la Cite”, 1945. Untuk Djerman : H. B r u n n e r „Grundziige der deutsche Rechtsgeschichte”, 1908. Untuk Negeri Belanda : Prof. M r A.M. D o n n e r „De geschiedenis van het bestuur” dalam „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Algemeen deel”, 1953 hal. 14-46; Prof. Mr W .G . V e g t i n g „Het algemeen Nederlands Administratiefrecht”, I, 1954.
II
orgtum) jang berdiri tersendiri dan jang tidak dapat dipengaruhi radja tersebut, jaitu kepada badan pengadilan. Pemerintahan radja jang absolut (mutlak), pada abad ke-16 sampai dengan abad ke-18, masih mengenal suatu kekuasaan pusat dalam tangan radja jang meliputi kekuasaan membuat peraturan serta kekuasaan mendjalankan dan mempertahankan peraturan (sifat mempertahankan per aturan lainlah dari pada sifat mengadili perkara !). Tetapi pada abad ke-17 dan abad ke-18 timbul aliran-aliran jang mengemukakan bahwa dari tangan radja harus diambil kekuasaan mem buat peraturan dan, selandjutnja, kekuasaan itu harus diserahkan kepada suatu badan kenegaraan jang berdiri tersendiri dan jang tidak dapat dipengaruhi radja, jaitu kepada perwakilan rakjat. Teori sematjam ini di Inggris dibuat oleh seorang ahli filsafat jang bernama J o h n L o c k e (th. 1632 — th. 1704) dalam bukunja „Two Treatises on Civil Government” (th. 1690) 9. Menurut L o c k e maka kekuasaan negara itu terdiri atas tiga kekuasaan lain, jaitu kekuasaan legislatif,. kekuasaan eksekutif dan ke kuasaan federatif (disebutnja „federative power of the commonwealth”) jang masing-masing terpisah-pisah jang satu dari jang lain. Kekuasaan legislatif meliputi membuat peraturan, kekuasaan eksekutif meliputi mempertahankan peraturan serta mengadili perkara ( L o c k e melihat mengadili sebagai „uitvoering” ) dan kekuasaan federatif meliputi se gala sesuatu jang tidak termasuk lapangan kedua kekuasaan jang disebut pertama itu. Hubungan dengan luar negeri termasuk kekuasaan fe deratif 10. Pengaruh teori L o c k e tidak bsgitu besar seperti pengaruh teori seorang ahli hukum bangsa Perantjis jang kemudian membuat djuga suatu pembagian kekuasaan negara dalam tiga kekuasaan lain. Orang itu C h. d e M o n t e s q u i e u (th. 1689 — th. 1755), bekas-ketut Parlement (pengadilan) de Bordeaux. Dalam bukunja ”L’ Esprit des Lois” (th. 1748) (djiwa dari undang-undang) M o n t e s q u i e u — jang sebelum membuat teorinja pernah mengundjungi Inggris dan disiüa mendengar tentang teori L o c k e - mengemukakan suatu pem bagian kekuasaan (funksi) negara dalam tiga kekuasaan lain jang masing-masing mempunjai lapangan pekerdjaan sendiri lagi terpisah pisah jang satu d ariJa n g lain. Dikatakannja („ L> Esprit des Lois”, Buku X I, Bab V I) bahwa „II y a dans chaque état trois fortes dei 9 10
12
Lihatlah penerbitan Everymans Library, 1949 hal inn A' k Lihatlah tjatatan-tjatatan D o n n e r dalam N e i.ri 1 „Algemeen deel”, 1953 hal. 9 . »Nederl. **«uursrccht”, bagian
pouvoirs, la puissance législative, la puissance, exécutrice des choses qui dépendent du droit civil. Mais les juges de la nation ne font, comme nous avons dit, que la bouche qui prononce les paroles de la loi ; des êtres inaminés qu n’ en peuvent moderer ni la force ni la rigueur” u . Jang dikemukakan disini ialah suatu „ p e m i s a h a n kekuasaan” ( „ s é p a r a t i o n des pouvoirs” ) dalam tiga kekuasaan lain : kekua saan legislatif („la puissance législative” ), kekuasaan eksekutif („la puis sance exécutrice” ) dan kekuasaan judikatif („la puissance de juger” ). Masing-masing kekuasaan itu mempunjai lapangan pekerdjaan sendiri jang harus dipisah-pisahkan jang satu dari jang lain. Ketiga kekuasaan tersebut — ketiga f u n k s i 12 tersebut — dipegang oleh tiga badan kenegaraan jang berlain-lainan. Jang mendjalankan funksi (kekuasaan) legislatif ialah perwakilan rakjat, jang mendjalankan funksi eksekutif ialah radja dan jang mendjalankan funksi judikatif ialah badán penga dilan (hakim ). Teori M o n t e s q u i e u mengemukakan suatu „t r i a s p o 1 i t i c a” 13.
Apakah maksud M o n t e s q u i e u dengan memberi teorinja ? M o n t e s q u i e u mengingini djaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari mereka jang berkuasa didalam negara. M o n t e s q u i e u mengemukakan bahwa kemerdekaan individu hanja dapat didjamin kalau kekuasaan pusat di tangan radja didesentralisasikan, jaitu dibagi antara tiga badan kenegaraan jang ber il
Terdjemahan : D i tiap-tiap negara ada tiga kekuasaan : kekuasaan legislatif, kekuasaan jang mendjalankan hal-hal tentang hukum sipil (mendjalankan undangundang). Tetapi para hakim bangsa — seperti telah kami katakan di atas — hanja mulut jang mengutjapkan perkataan-perkataan jang tertjantum dalam undang-undang ; mereka adalah machluk jang tidak- berdjiwa dan jang tidak dapat mengubah kekuasaan atau kekuatan undang-undang itu. 12 Dalam praktèk, teori M o n t e s q u i e u pernah menimbulkan kekatjauan dan kesalahan faham, karena M o n t e s q u i e u menggunakan istilah „puissance” (kekuasaan) baik untuk menjatakan funksi maupun untuk me njalakan badan kenegaraan (orgaan) jang mendjalankan funksi itu. Misalnja, dengan „kekuasaan legislatif” dapat dimaksudkan baik funksi untuk membuat peraturan maupun badan kenegaraan jang diserahi funksi itu (perwakilan rakjat). Hal ini telah menimbulkan kekatjauan dalam beberapa undangundang dasar negara asing, misalnja, dalam undang-undang dasar Keradjaan Belanda (lihatlah pasal-pasal 112, 157, 160, 162, 172 dan 173) (Prof. Mr C.W. v a n d e r P o t „Handboek van het Nederlandse staatsrecht”, 1950 hal. 283 ). Dalam U.U.D.S. tidak termasuk kesalahan faham tersebut. Baik pasal 89 maupun pasal 102 menggunakan perkataan „kekuasaan” dalam arti kata : funksi. 13 Nama „trias política” itu tidak berasal dari M o n t e s q u i e u sendiri, tetapi berasal dari I m m a n u e l K a n t ' (lihatlah buku Prof. D r J.J. , v o n S c h m i d „Grote denkers over staat en recht (van Plato tot K ant)”, V.U.B.-serie 1948 hal. 230).
13
r
diri tersendiri dan jang lapangan pekerdjaannja sama sekali terpisah jang satu dari jang lain. Jang dikemukakan M o n t e s q u i e u « ialah suatu pemisahan m u t l a k antara tiga funksi dan tiga badan kenega raan itu. Hanja kalau ada pemisahan mutlak itu, maka tentulah tidak ada kemungkinan bagi mereka jang berkuasa didalam sesuatu negara untuk bertindak sewenang-wenang terhadap para warga-negara. Djika tiga kekuasaan dan tiga badan kenegaraan tersebut tidak sekali-kali di pisahkan, maka dengan sendirinja para penguasa didalam negara dapat bertindak sewenang-wenang. Menurut pendapat M o n t e s q u i e u ma ka tudjuan pertama dari negara ialah membuat h u k u m dan memper tahankan h u k u m sehingga para warganja mempunjai kemerdekaan terdjamin dan masjarakat mendjadi tetap teratur. Tudjuan pertama dari negara bukanlah negara mendjadi suatu alat kekuatan (machtsapparaat) melainkan mendjadi suatu alat h u k u m (r e c h t s apparaat) ! D i negara-negara modern di Eropah Barat, hanja sebagian dari peladjaran M o n t e s q u i e u mendjadi dasar tata-negara. Demikian djuga di Indonesia, bagian terbesar tata-negara kita didasarkan atas sistim-sistim kenegaraan jang terdapat di Eropah Barat. Di suatu negara modern telah ternjata teori M o n t e s q u i e u seluruhnja tidak dapat dipraktekkan. Pada djaman sekarang teori M o n t e s q u i e u seluruh nja dipraktekkan di Amerika Serikat. Tetapi disitupun telah timbul kesukaran. Sekarang timbul pertanjaan: apakah sebabnja maka teori M o n t e s q u i e u itu tidak dapat dipraktekkan seluruhnja ? Pada umumnja dapat dikemukakan dua keberatan terhadap teori M o n t e s q u i e u itu. Keberatan
pertama:
Pemisahan mutlak seperti j a n g dikemukakan
Montesquieu, mengakibatkan adanja badan kenegaraan jang tidak dapat ditempatkan di bawah pengawasan (controle) (suatu badan kenegaraan lain). Tidak ada pengawasan itu berarti kemungkinan bagi sesuatu badan kenegaraan untuk melampaui batas kekuasaannja dan oleh sebab itu para penduduk dapat dirugikan. Sebetulnja, tiap subjek hukum sebagai pendukung ke kuasaan (hak) dengan sendirinja tjenderung melampaui batas kekua saannja, terutama bila kekuasaan jang diberikan kepadanja tidak tjukup luas agar dapat memperhatikan seluruh kepentingannja. Itulah apa jang disebut para ahli hukum jang berbahasa In g g ris: „the encroaching nature of power”. Maka dari itu di tiap-tiap negara, badan-badan ke negaraan jang masing-masing diberi kekuasaan (funksi) berlain-lainan D jadi’ jang satu dan jang lain perlulah s a l i n g m e n g a w a s i 14
tidak mungkin diadakan suatu pemisahan mutlak sehingga antara ma sing-masing bidan kenegaraan itu tidak lagi ada hubungan. Suatu pem bagian kekuasaan (lihatlah anggapan K e 1 s e n di bawah ini) memang perlu, tetapi pembagian kekuasaan itu tidak boleh mendjadi suatu pemisahan mutlak. Pembagian kekuasaan itu perlu supaja ada pemba gian pekerdjaan antara masing-masing badan kenegaraan, dan pembagiar pekerdjaan tersebut perlu agar kepentingan umum dapat diselenggara kan setjara efisièn (efficient, bermanfaat). Tetapi pembagian kekuasaan itu tidak boleh diadakan serupa hingga tidak lagi ada pengawasan dan kemungkinan untuk mengadakan koordinasi. Dapat dikatakan bahwa di tiap-tiap negara modern tidak ada badan kenegaraan jang tidak ada di bawah pengawasan sesuatu badan kene garaan lain. Inilah suatu azas jang sangat-sangat penting bagi hukum tatausaha negara ! Hanja kalau ada pengawasan antara masing-masing badan kenegaraan dan antara masing-masing kekuasaan (funksi), maka kemerdekaan individu sungguh-sungguh terdjamin. Tidak ada penga wasan berarti kemungkinan supaja bertindak setjara sewenang-wenang. Kekurangan ini dalam teorinja telah dirasa oleh M o n t e s q u i e u sendiri. Tetapi tidak dibuatnja penjelesaian (oplossing) kekurangan ini. Dikatakannja bahwa praktek sendiri akan membuat penjelesaian itu apabila pada sesuatu waktu dirasa perlu ! („Mais comme, par le mouvement nécessaire des choses, elles sont contraintes d’ aller, elles seront forcées d’ aller de concert” — perkembangan hal-hal itu jang tidak dapat dihindarkan, dengan sendirinja akan memaksa mereka kerdjasama). . Di Amerika Serikat — seperti telah kami katakan —■teori M 0 11 * t e s q u i e u dipraktekkan seluruhnja. Kekuasaan legislatif diberikan kepada suatu Congress (perwakilan rakjat) jang terdiri atas dua tingkatan, jaitu The House of Représentatives dan T he Senate; kekuasaan eksekutif diberikan kepada suatu Presidèn (para menten bsrtanggungdjawab ke pada Presidèn dan tidak bertanggungdjawab kepada perwakilan rakjat) dan kekuasaan judikatif diberikan kepada Supreme Court (mahkamah agung ). Tetapi ketiga badan kenegaraan tersebut jang diberi tiga funksi jang berlain-lainan itu, jang satu dan jang lain dapat djuga saling mengawasi. Sistim pengawasan itu — jang diperkembangkan oleh p r a k t è k — sangat berbilit-bilit dan terkenal dengan nama „checks and balances” 14. Tudjuan sistim pengawasan itu supaja ketiga funksi tersebut mendjadi s e i m b a n g dalam tiap-tiap keadaan 14
Mengenai sistim „checks and balances” (mentjotjokkan dan mengimbang) lihatlah a.l. buku Prof. R.M. M a c I v e r „The Modern State”, 1950
15
t e r t e n t u (in evenwicht voor elk bepaald geval). Untuk tiap keadaan tertentu diadakan pengawasan tertentu. Sistim pengawasan tersebut bersifat casuistis. D i Eropah Barat kekuasaan legislatif itu diberikan kepada suatu perwakilan rakjat bersama-sama dengan jang berkuasa mendjalankan funksi eksekutif, dan pengeksekutif itu langsung bertanggungdjawab kepada perwakilan rakjat. D i sistim Eropah Barat pengawasan bersifat lebih erat dari pada sifat pengawasan dalam sistim „checks and balances” itu. Tetapi sistim jang disebut terachir kadang-kadang memberi kepada pengeksekutif keleluasan lebih besar untuk bertindak setjara tjepat dan bermanfaat dalam keadaan luar biasa atau dalam kedaan darurat. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa sistim „checks and balances” itu kadangkadang lebih efektif (effectief, berguna), sebabnja pada pokoknja untuk t i a p - t i a p keadaan tertentu dapat dipertimbangkan funksi mana dan pengawasan matjam apa jang perlu. Sedangkan pengeksekutif sering — akibat „checks and balances” — tidak terikat pada suatu pembagian funksi jang telah ditentukan terlebih dahulu dan jang tidak lagi dapat diubah 15. Lagi pula, teori M o n t e s q u i e u jang mengemukakan suatu pemisahan mutlak antara tiga funksi tersebut, tidak dapat disesuaikan
15
16
(1 9 2 8 ), hal. 364-375 : „The division of power”, dan hal. 375-390 : „Balances and checks” . Lihatlah J o h n N. H a z a r d dalam buku F.M . M a r x „Foreign Governments. The Dynamics of Politics Abroad”, 1949 hal. 447 : „Soviet writers express an aversion to the separation of powers, especially in the form of checks and balances hetween the legislative, executive, and judicial branches of government as found in the constitution of the United Setates. The Soviet argument is that this principle was developed in accordance with the theory of Montesquieu as a means of limiting the absolute power of the King of France. Soviet political scientists contend that in a state where only one class survives, there can be no class conflict, and hence there is no need to limit one branch of government by another. All branches are thought to work in the same interest”. V a n V o l l e n h o v e n „Staatsrecht overzee”, 1934, hal. 111-112 dan hal. 168 : ................... practische oplossing: houdt de soortelijk onderscheiden functies uiteen, — draagt ze op aan dat orgaan of die organen, die er in het concrete geval en voor de concrete samenLeving van een rijkverscheiden volk en land het best voor deugen, — en poog tegen overmaat van moeilijk te controleren macht te waken door wat de Amerikanen zoo gelukkig noemen : een stelsel van checks and balances” ( ..................... penjelesaian praktis : djanganlah tjampurkan masing-masing matjam funksi itu, — serah kanlah funksi-funksi itu kepada badan kenegaraan jang paling tjakap menjeesaikan sebaik-baiknja hal-hal konkreto itu dan jang pada umumnja paling tjakap untuk menjelenggarakan kepentingan sesuatu masjarakat nusa dan bangsa jang konkreto, — dan djanganlah timbulkan suatu kelebihan ke kuasaan jang sukar diawasi. Penghindaran timbulnja kelebihan kekuasaan itu dapat diadakan dengan menggunakan sistim Amerika jang bermanfaat dan jang terkenal dengan nama checks and balances).
dengan p elad jaran ked au latan ra k ja t (le e r v an de v o lk sso u v erein ite it) dari R o u s s e a u ja n g m en d jad i dasar sistim „rep resen tativ e g o v ern m en t” dan ja n g — dju g a — d iterim a sebagai dasar p em erin tah an di negara k ita (lih a tla h pasal 35 U .U .D .S . : „K em au an R a k ja t ad alah da sar kekuasaan penguasa” ) . A g a r ked au latan ra k ja t dapat d id jad ik an (g erea liseerd ) dan terd jam in sungguh-sungguh, m aka p erlu ra k ja t se nantiasa diberi kem u n gkin an — dengan peran taraan suatu p erw ak ilan ra k ja t — u ntuk m engaw asi tind akan para penguasa ja n g h a n ja m en d jad i w akil dari ra k ja t itu. K em u n g k in an tersebu t tid ak ada b ila p erw akilan ra k ja t itu dilaran g m engaw asi, m isa ln ja , p ek erd jaan hakim . A tau den gan k ata lain : kem u n gkin an tersebu t tid ak ada b ila diadakan suatu p em i sahan m u tlak an tara p ara penguasa (b ad an k en eg araan ) dan an tara fun k si-fu n ksi m ereka. T a ta -n eg a ra k ita m en gen al apa ja n g terk en a l da lam ilm u hukum tatan eg ara di In g g ris dan di A jiierik a S e rik a t dengan nam a „lég islativ e suprem acy” (d i A m erika Se rik a t ada suatu „ ju d icia l suprem acy”, hakim m en gu d ji u n d an g -u n d an g ). P elad jaran M o n t e s q u i e u itu tid ak dapat disesuaikan dengan azas „lé g isla tiv e suprem acy” itu. Keberatan kedua: D i suatu negara hukum m od ern telah tern ja ta h a l tid ak m u n gkin diterim a sebagai azas tegu h (v ast b eg in se l) bahw a tig a fu n k si tersebu t m asing-m asing h a n ja b oleh diserahkan kepada s a t u badan k en egaraan terten tu sad ja; atau dengan p erkataan lain : tid ak m u n gkin d iterim a se bagai azas tetap bahw a tiap-tiap badan ken egaraan itu h a n ja dapat dise rahi satu funksi terten tu (fu n k si le g isla tif, fu n k si ek sek u tif a t a u fu n k si ju d ik a tif) sadja. D i suatu negara hukum m odern (m o d ern e rech tsstaat) ada b an jak badan kenegaraan ja n g diserahi fu n k si leb ih dari pada satu m atjam (k em u ng kin an u ntuk m en gkoord in asi beberapa fu n k si-fu n k si). M u n g k in p elad jaran M o n t e s q u i e u dapat d ip raktèkkan selu ru hn ja di suatu n egara hukum ja n g p ernah d igam barkan o leh I m m a n u e l K a n t 16, ja itu d ip raktèkkan di suatu negara hukum dalam arti kata sem p it (rech tsstaat in en gere z in ) ja n g tu gasn ja tid ak lain dari pada m em pertahankan dan m elin d u n gi ekonom i lib eral ja n g b er dasarkan azas „laissez faire, laissez a lle r” (d ja d i, adalah „staatsonthoud in g ” ) . D i suatu n egara sem atjam itu p ek erd jaan p em erin tah dengan sen d irin ja tidak luas, oleh karen a suatu n egara sem atjam itu bertugas h an ja m end jaga k e a m a n a n d a l a m a r t i k a t a s e m p i t ( = k e a m a n a n s e n d j a t a ) sadja. 16
„M etaphysische Anfangsgründe der R echtslehre” , 1798.
17
•
Suatu negara sematjam itu bertindak sebagai suatu „pendjaga malam” („nachtwaker” ) , merupakan suatu „nachtwakerstaat”. Pada pokoknja tugas primer suatu „nachtwakc-staat” adalah mendjamin dan me lindungi kedudukan ekonomis dari mereka jang menguasai alat-alat pemerintah (an dalam arti kata luas) „nachtwakerstaat” itu, jaitu „ruling class” jang merupakan suatu golongan ekseklusif benar-benar. Nasib dari mereka jang bukan „ruling class” tidak dihiraukan oleh alat-alat pemerintah dalam suatu „nachtwakerstaat”. Oleh sebab itu lapangan pekerdjaan alat-alat pemerintah tersebut djuga tidak luas. Adalah „pe misahan antara negara dan masjarakat”. Tetapi suatu negara hukum modern jang mengutamakan kepen tingan s e l u r u h rakjat, jaitu suatu „welfare State”, tidak dapat ber pegangan lagi pada peladjaran K a n t itu 17. Lapangan pekerdjaan pemerintah suatu negara hukum modern sangat-sangat luas. Pemerintah suatu negara hukum modern bertugas mendjaga k e a m a n a n d a l a m a r t i k a t a s e l u a s - l u a s n j a , jaitu k e a m a n a n s o s i a l da lam segala lapangan masjarakat. Dalam suatu „welfare State” masa eko nomi liberal telah lampau dan ekonomi liberal itu telah diganti oleh suatu ekonomi jang dipimpin oleh pusat (centraal geleide economie). Pada bagian kedua abad ke-19, aliran-aliran sosialistis di Eropah Barat menimbulkan apa jang terkenal dengan nama „soal sosial” („sociale kwestie” ). Kedudukan sosial dan ekonomis kaum buruh jang telah mendjadi buruk oleh karena perbudakan ekonomis jang dilakukan jnadjikannja — akibat dari sistim ekonomi liberal jang sama sekali tidak mengenal pembatasan apapun djuga — tidak boleh diteruskan oleh karena bertentangan dengan peri-kemanusiaan dan keadilan sosial. Nasib buruh tidak boleh semata-mata bergantung pada kemauan madjikannja. Lagi pula ditindjau dari sudut teori ekonomi, maka tidak dapat dipertanggungdjawabkan hal pendapatan nasional (nationaal inkomen) ada didalam satu tangan sadja (pendapat teori ekonomi modern). Hal-hal tersebut mendjadi sebab maka pemerintah di suatu negara hukum modern, jaitu suatu „welfare State”, dipaksa turut-serta setjara a k t i f dalam pergaulan sosial sehingga kesedjahteraan sosial bagi s e m u a orang, tetap terpelihara. Maka pemerintah „welfare State” di beri lapangan pekerdjaan jang sangat luas. Pemerintah suatu „welfare State” diberi tugas menjelenggarakan kepentingan umum, seperti ke-
/ 17
18
Pembatjaan tentang „welfare State” : Prof. Mr C. W e s t s t r a t e „Beschrijvende Economie”, 1951 hal. 154^163 dan „Ordening van het economische leven”, 1947; W .H. B e v e r i d g e „Full Employment in a Free SocLety”, 1946. „W elfare State” disebut djuga „service State”.
sehatan rakjat, pengadjaran, perumahan, pem bagian tanah, dsb. B an jak kepentingan jan g dahulu diselenggarakan orang partekelir, sekarang diselenggarakan pem erintah, karena kepentingan-kepentingan itu telah mendjadi kepentingan u m u m. Sedjak negara turut-serta setjara ak tif dalam pergaulan kèmasjà* rakatan, maka lapangan pekerdjaan pem erintah (tatausaha negara) ma kin lama makin luas is . Pem erintah itu diserahi apa jan g disebut D s L e m a i r e „bestuurszorg” 19 — dalam bahasa Indonesia : penjelenggaraan kesedjahteraan umum jan g dilakukan pem erintah. „Bestuurszorg’' itu m eliputi segala lapangan kem asjarakatan di mana-mana turut-serta pem erintah setjara ak tif dalam pergaulan manusia, dirasa perlu. „Bestuurszorg” itu m endjadi tugas pem erintah „w elfare State”, jaitu suatu negara jan g telah m eninggalkan sistim ekonom i liberal. M aka dari itu dapat dikatakan bahwa adanja „bestuurszorg” tersebut mendjadi suatu tanda jan g m enjatakan adanja suatu „w elfare State”. A gar dapat m endjalankan tugas „bestuurszorg” itu (menjelengga-r rakan kesedjahteraan umum : m enjelenggarakan kesehatan rakjat, monjelenggarakan pengadjaran bagi semua warga-negara, m enjelenggara18
19
Pembatjaan : M r M . v a n d e r G o e s v a n N a t e r s „D e leiding van de staat”, 1947; Prof. D r F .J.H .M . v a n d e r V e n „Arbeidsrechtelijke en sociaalpolitieke opstellen” , 1945 dan ringkasan dalam „Inleiding tot het arbeidsrecht”, 1946, hal. 9 dan jang berikutnja ; S t e 1 1 i n g a „Grondtrekken v.h. Nederl. admin. recht”, 1951 hal. 23-27; H .J. H o f s t r a „Socialistische belastingpolitiek”, 1946; D o n n e r , hal. 35 d.j.b. dan karangan M r. J . i n ’t V e 1 d „Burger en overheid” dalam „Bestuurswetenschappen” , 1953, hal. 82-94. „Het recht in Indonésie, Hukum Indonesia”, 1952, hal. 103. Lihatlah tentang pengertian „bestuurszorg” itu djuga buku A .D .A . d e K a t A n g e l i n o „Staatkundig beleid en bestuurszorg in Nederlandsch Indië”, 2 d jilid , 19291930. Walaupun dalam buku ini dilukiskan „bestuurszorg” jang didjalanJkan atau jang seharusnja didjalankan pemerintah Hindia Belanda dahulu, jang bersifat suatu pemerintah kolonial, masih djuga penting dibatja, oleh karena didalam buku tersebut terdapat beberapa anggapan tentang peme rintahan jang pada djaman sekarang masih tetap penting dan bermanfaat. „Bestuurszorg” adalah suatu pengertian m o d e r n . Dalam praktek tatausaha negara dan ilmu hukum tatausaha negara di Perantjis terkenal pengertian „ser vice public” . D i N egeri Belanda, D o n n e r (hal. 2 ) mengemukakan suatu pengertian jang sama, jaitu pengertian „openbare dienst” . Dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah „dinas publik” atau „dinas umum”. Jang dimaksud dengan „service public” ialah tiap p e n j e l e n g g a r a a n k e p e n t i n g a n u m u m jang dilakukan suatu badan pemerintah. ,S crv ice public” itu hanja terdapat di suatu n e g a r a h u k u m m o d e r n (L i hatlah a.l. M a r c e l W a l i n e „M anuel élémentaire de droit administra tif”, 1946 hal 271; A n d r é L a u b a d è r e „Manuel de droit administra tif”, 1947 hal. 19; untuk N egeri Belanda : Prof. M r A.M . D o n n e r „N e derlands bestuursrecht”, bagian „Algemeen deel”, 1953 hal. 2 d .j.b .). „Bestuurszorg” dan „'service public” — menurut pendapat kami — adalah dua pengertian modern jang sama.
kan perumahan baik, menjelenggarakan pembagian tanah (sangat penting bagi negara kita jang masih bertjorak suatu negara agraris)) setjara baik, maka pemerintah — jang kami maksud tatausaha negara __ m e m e r l u k a n k e m e r d e k a a n 20; jaitu kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam penjelesaian soalsoal genting jang timbul dengan sekonjong-konjong dan jang peraturan penjelesaiannja belum ada. Dalam hal demikian tatausaha negara tidak dapat menunggu perintah dari badan kenegaraan jang diserahi funksi Legislatif. Dalam hal demikian t a t a u s a h a n e g a r a l a h jang mem buat peraturan penjelesaian jang diperlukan itu. Dalam hal demikian tata usaha negara tidak dapat diikat oleh peraturan-peraturan perundangundangan jang telah dibuat oleh badan-badan kenegaraan jang diserahi funksi legislatif. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa tatausaha negara dengan begitu sadja dapat melanggar undang-undang. Kemerdekaan tatausaha negara berarti bahwa tatausaha negara dapat m entjari kaidahkaidah baru d a l a m lingkungan undang-undang atau sesuai dengan d j i w a undang-undang. 20
20
Lihatlah karangan Prof. Mr W .F. P r i n s „Rechtsstaat en administratiefrecht” dalam „Gedenkboek Rechtswetenschappelijk Hoger Onderwijs in Indonésie 1924-1949”, 1949. D r L e m a i r e „Het redit in Indonesië”, hal. 103: „Kenmerkend voor „„besturen”” i s, dat het zich niet laat voorschrijven omdat het zich mengen in de vloeiende samenleving vlotheid en dus vrijheid vergt. Bestuur-voeren laat zich dus niet aan een stelsel van wettelijke bepalingen — die immers ruime voorzienbaarheid van gebeurtenissen veronderstellen — onderwerpen. Het kan dus onmogelijk aan uitvoering van wetten worden gekoppeld. Bestuur is een niet door de wet gebonden taak: niet te bepalen is, wanneer en hoe moet worden opgetreden. Iets anders is, dat taakafbakening tussén diensten en waarborgen van rechten en geregeerden — uitsluiten van excessen in het algemeen — regels eisen” (In ti kata-kata itu : Jang dapat dikemukakan sebagai tanda (sifat) „bestuur” ialah hal „bestuur” itu tidak dapat diikat oleh suatu himpunan peraturanperaturan jang telah dibuat, karena turut-serta pemerintah dalam suatu per gaulan manusia jang berbilit-bilit memerlukan suatu djalan jang tak terikat, djadi, memerlukan kemerdekaan. Sebelumnja tidak dapat dikatakan bila dan setjara bagaimana pemerintah jang mendjalankan „bestuur” itu, harus ber tindak. Hanja pembagian pekerdjaan antara masing-masing penguasa dan djaminan-djaminan hak dari jang diperintah -—■ supaja keperkosaan dapat dihindarkan — ditentukan dalam peraturan-peraturan (jang 'telah dibuat terlebih dahulu)). D o n n e r (hal. 190) menegaskan: „Het gaat bij de hier bedoelde vrijheid dus niet om een vrijheid van de wet want aan de wettelijke voorschriften blijft men steeds gebonden. Er is vrijheid van regel. D e wet specificeert niet, wat nu i n c o n c r e t o dient te gebeuren; dat moet het bestuur zelf uitzoeken” (Jang dimaksud dengan kemerdekaan itu bukan kemerdekaan terhadap undang-undang, karena tatausaha negara tetap tunduk pada undang-undang. Adalah kemerdekaan membuat penjelesaian. Undang-undang tidak membuat spesifikasi; penjelesaian hal-hal konkreto diserahkan kepada tatausaha negara). Orang Djerman menjebut kemerdekaan tatausaha negara itu „freies Ermessen” ; orang Perantjis memakai istilah „pouvoir discrétionnaire” .
A gar dapat membuat peraturan a t a s i n i s i a t i f s e n d i r i , maka sudah tentu tatausaha negara m em erlukan antara lain kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat peraturan). Kekuasaan m em buat peratu ran atas inisiatif sendiri jan g diberi kepada tatausaha negara, terda pat dalam pasal 96 U .U .D .S. jan g m engatakan bahwa „Pem erintah berhak atas kuasa dan tanggung-djaw ab sendiri m enetapkan undangundang darurat untuk m engatur hal-hal penjelenggaraan-pem erintahan jan g karena keadaan-keadaan jan g mendesak perlu diatur dengan sege ra”. D jad i, ‘ menurut pasal 96 U .U .D .S. m aka Pem erintah (tatausaha negara) berdasarkan in isiatif sendiri dapat membuat peraturan. T e ta p i kekuasaan itu han ja diberikan kepada Pem erintah „untuk m engatur hal-hal penjelenggaraan-pem erintahan jan g karena keadaan-keadaan jan g m e n d e s a k ( d a r u r a t ) perlu diatur dengan segera” . K ekuasa an membuat undang-undang darurat m em berikan kepada Pem erintah kemerdekaan bertindak atas in isiatif sendiri — djadi, m engenai in isiatif membuat peraturan maka Pem erintah tidak bergantung pada pem buat undang-undang pusat (centrale w etgever) — ; tetapi han ja dalam penjelesaian beberapa soal tertentu, jaitu soal-soal darurat jan g penjelesaiann ja tidak dapat ditunda setelah D .P .R . dapat m enindjaunja. A ch irn ja, dapat dikemukakan bahwa in isiatif Pem erintah tersebut tidak dikeluar kan dari pengawasan D .P .R ., lihatlah pasal 97 U .U .D .S . (pengawasan repressif = pengawasan jan g diadakan setelah n ja). Suatu pengawasan jang lebih penting memanglah terletak dalam sistim tanggung-djaw ab m enteri (m inisteriële verantw oordelijkheid) terhadap D .P .R . (dan se bagai sanksinja : sistim parlem entèr — parlem entaire stelsel). D i sam ping kekuasaan membuat peraturan atas in isiatif sendiri, seperti jan g terdapat dalam kekuasaan membuat undang-undang darurat maka Pem erintah (tatausaha negara) diberi kekuasaan membuat peratu ran organik (organieke regelingen) pada undang-undang. Hukum tatanegara kita, seperti hukum tatanegara beberapa negara m odern lain, mengenal djuga lembaga hukum tatanegara (staatsrechtelijk institu ut) jang terkenal dengan nama d e l e g a s i p e r u n d a n g - u n d a n g a n ( d e l e g a t i e v a n w e t g e v i n g ) . K arena pembuat undang-undang pusat tidak mampu m em perhatikan tiap-tiap soal jan g tim bul di masingm asing daerah kita dari Sumatra U tara sampai dengan M aluku 21 (soal-soal i s t i m e w a untuk daerah-daerah jan g bersangkutan) dan oleh sebab itu pembuat undang-undang pusat hanja dapat m enjelesaikan 21
Masih disesalkan bahwa tuntutan bangsa kita sedjak tahun 1945 : Indonesia dari Sabang ke Merauke, belum dapat didjadikan realitèt. Pada tahun 1956 telah dibentuk propinsi Irian Barat.
21
soal-soal jang bersangkutan dalam garis besarnja sadja, maka Pem erin tah (tatausaha negara) diberi tugas menjesuaikan peraturan-peraturan jang diadakan pembuat undang-undang pusat, dengan keadaan sungguhsungguh di masing-masing daerah atau menjesuaikan peraturan-peraturan itu dengan keadaan umum jang telah berubah setelah peraturan-pera turan tersebut diadakan (tetapi perubahan itu tidak boleh berupa peru bahan azasi). Berdasarkan delegasi perundang-undangan tersebut maka Pemerintah (tatausaha negara) dapat membuat peraturan Pemerintah untuk menjelenggarakan undang-undang (pasal 98 U .U .D .S .) dan dapat membuat peraturan-peraturan lain untuk mengatur „selandjutnja” bebe rapa pokok-pokok jang telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan lebih tinggi (pasal 99 U .U .D .S.). Harus diingat disini bahwa kekuasaan delegasi jang disebut dalam pasal-pasal 98 dan 99 U.U.D.S. tidak memberikan kekuasaan inisiatif sendiri kepada jang menerima delegasi itu; inisiatif tetap didalam tangan jang, mendelegasikan, jaitu dalam tangan pembuat undang-undang pusat. Djadi, perbedaan antara kekuasaan membuat undang-undang darurat dengan kekuasaan membuat peraturan Pemerintah serta kekua saan membuat peraturan jang untuk „selandjutnja” mengatur pokokpokok jang telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan lebih tinggi, ialah kekuasaan jang disebut pertama itu kekuasaan jan g berdasarkan inisiatif sendiri sedangkan kekuasaan-kekuasaan jang disebut kedua itu kekuasaan berdasarkan delegasi sadja. Inisiatif te tap dalam tangan jang mendelegasikan. , Kekuasaan membuat peraturan diberi djuga kepada pemerintah aerah-daerah swatantra (otonoom) — sebagian kekuasaan itu mendjadi asaan berdasarkan inisiatif sendiri (otonom i), sebagian adalah ke^uasaan berdasarkan delegasi („medebewind”) — , supaja pemerintah daera -daerah itu dapat menjelenggarakan sendiri rumah tangganja, sesuai engan hak otonomi jang diberikan kepada pemerintah daerah-daerah itu berdasarkan pasal-pasal 131-133 U.U.D.S. dan peraturan-peraturan ; organik pada U.U.D.S. Menjerahkan kekuasaan membuat peraturan kepa a pemerintah daerah swatantra ' itu disebut d e s e n t r a l i s a s i , se angkan menjerahkan kekuasaan membuat peraturan kepada alat-alat tatausaha negara p u s a t jang lebih rendah (dari pada Pem erintah) dise ut d e k o n s e n t r a s i (pasal 99 U .U .D .S.) 22.
22 dcn,ga? di;ko,nSentrasi ialah penjerahan sebagian pekerdjaan Earaan f « 10»!, ar‘ n ^an ^e^ih tinggi dalam suatu persekutuan kenekennrii k T tk" ndlSe Sfneenschap) tertentu — negara, propinsi, dsb. — M isiln !, ^ L \ rendah dalam persekutuan kenegaraan i t u . Ja : D. Kabupaten Malang menjerahkan kekuasaan untuk menje-
22
D i suatu negara hukum modern ada banjak badan kenegaraan jan g mempunjai funksi lebih dari pada satu matjam. Tatausaha negara, djika perlu, dapat djuga mengatur, seperti suatu badan jan g diserahi kekuasaan legislatif — jaitu seperti, menurut peladjaran Montesquieu, suatu perwakilan rakjat. H al ini oleh karena delegasi kekuasaan membuat peraturan kepada tatausaha negara itu. Dalam beberapa hal tatausaha negara berkuasa djuga mengadili. Para pem batja diingatkan akan peradi lan tatausaha. Bila pengadilan (hakim ) menundjuk seorang wali (aanwijzen van een v oogd ), maka pengadilan melakukan suatu perbuatan „m em erintah” (dalam arti kata sem pit) („bsstuursdaad” ) (jurisdiksi voluntèr, voluntaire jurisdictie, o n e i g e n l i j k e rechtspraak, penga dilan jan g pada hakekatnja bukan pengadilan oleh karena bukan penjelesaian p e r s e l i s i h a n 23).
23
lenggarakan kooperasi kepada kepala bagian kooperasi Kabupatèn Malang. Bilamana sebagian pekerdjaan pemerintahan dari pemerintah p u s a t dise rahkan kepada suatu persekutuan kenegaraan lebih rendah jang — berdasarkan hak otonominja — memerintah sendiri daerahnja, m isalnja, kota Surabaja, maka penjerahan ini dinamakan desentralisasi. M isalnja, kota Surabaja diberi kekuasaan untuk mengatur padjak speda (Lihatlah L o g e m a n n „Staatsrecht van Ned.-Indië”, hal. 114, noot 2 ). Lihatlah analysa jang dibuat D o n n e r (dalam „N ederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 9-13) tentang perbedaan sifat antara „bestuur” dan „rechtspraak” . D o n n e r tidak dapat menjetudjui perumusan v a n d e r P o t bahwa „rechtspraak” itu „beslissing van g e s c h i l l e n ” (penjelesaian p e r s e l i s i h a n ) . Setelah dibuatnja suatu ringkasan historis maka oleh D o n n e r ditarik kesimpulan sebagai b erik u t: ............................ dat het bestuur bevordering van de openbare zaak is. Het is een doorgaand, continu handelen en optreden, met een bepaald object op het oog, met een project, hoe dat object moet worden bereikt, en een beleid ten aanzien van de middelen en wegen. Daartegenover beweegt zich de rechtspraak van geval tot geval, niet wetend waar zij uit zal komen, ingesteld op onderzoek, niet op handelen. W il men hier van twee functies spreken ? H et zou een woordspel zijn, want het gaat niet om verschillende werkzaamheden, ' maar om verschillende methoden en mentaliteiten, al mag toegegeven worden dat de ene methode en m entaliteit zich voor bepaalde werkzaamheden beter leent dan de andere. D at verschil in methode vloeit echter niet in de eerste plaats voort uit een verschil in w'erkzaamheid, maar uit een verschil van organisatie en bevoegdheid” (bahwa pemerintahan (dalam arti kata sempit) itu bertudjuan menjelenggarakan kepentingan umum. Pemerintahan berarti tindakan jang terus-menerus, untuk mentjapai suatu tudjuan tertentu, dengan memakai suatu rentjana untuk dapat mentjapai tudjuan tertentu itu. Pemerintahan adalah djuga kebidjaksanaan mengenai akal dan djalan jang hendak ditempuh. Sebaliknja, pengadilan berarti tindakan jang berputusputus, jaitu mengalih dari perkara jang satu k e ’ perkara jang lain. Jang mendjalankan pengadilan sebelumnja tidak dapat mengetahui apa jang akan mendjadi hasil usahanja^ Pengadilan berdasarkan penjelidikan hal-hal satu per satu, tidak berdasarkan tindakan terus-menerus dengan suatu tudjuan jang sebelumnja telah diketahui. Dapatkah dikatakan bahwa disini ada dua funksi ? D jikalau dapat dikatakan bahwa disini ada dua funksi, maka hal itu berarti suatu permainan kata. D isini soalnja bukanlah perbedaan peker djaan, tetapi disini soalnja perbedaan metode dan mentalitèt. Benar sekali lah bahwa bagi suatu pekerdjaan tertentu metode dan mentalitèt jang satu
23 r
D jad i, dari apa jang dikatakan di atas ini, ternjata bahwa di suatu negara hukum modern tidak mungkinlah diadakan suatu „pemisahan kekuasaan” seperti jang dikehendaki M o n t e s q u i e u , oleh karena ada banjak badan kenegaraan jang diserahi funksi lebih dari satu matjam. Maka dari itu oleh H a n s K e l s e n 24 dikemukakan bahwa pada djaman sekarang tidak dapat dipraktèkkan suatu „pemisahan kekuasaan” , melainkan hanja suatu p e m b a g i a n kekuasaan. „N ot Séparation but Distribution of Powers” 25. Kami dapat menjetudjui anggapan K e l s e n itu sepenuh-penuhnja. Baiknja teori M o n t e s'q u i e u ialah pembagian funksi (p em bagian funksi tersimpul dalam pemisahan funksi) jang dikemukakannja, tetapi pembagian funksi itu tidak boleh demikian rupa sehingga mendjadi suatu pemisahan funksi. Pembagian funksi itu, jang mengada kan pembagian pekerdjaan, sangat-sangat bermanfaat. H anja kalau ada pembagian pekerdjaan, maka pemerintah dapat m enjelenggarakan kesedjahteraan umum setjara sebaik-baiknja. Tetapi pembagian itu tidak dapat bersifat suatu pemisahan sehingga tidak lagi ada pengawasan dan kemungkinan mengadakan koordinasi antara masing-masing badan ke negaraan. Kam i mengachiri kritik atas peladjaran M o n t e s q u i e u ini dengan mengemukakan kemerdekaan s e o r a n g p e g a w a i tatausaha negara jang tidak berdasarkan suatu delegasi jang ditetapkan dengan tegas, dalam menentukan penjelesaian suatu persoalan konkreto (de vrijheid van een administratief a m ib t e n a a r, die niet gebaseerd is op een uitdrukkelijke delegatie, om te beslissen in het concrete geval). Kemerdekaan itupun merupakan djuga suatu matjam pengawasan jang mematahkan (doorbreken) „trias politica”. Kemerdekaan tersebut per lu untuk mendjalankan pekerdjaan tatausaha negara setjara lantjar dan sesuai dengan memenuhi sepenuh-penuhnja keperluan masing-masing individu. Sebuah tjontoh : Pasal 1 ajat 1 „Hinderordonnantie” (Ordonansi Larangan Ganggu an ), L.N .H .B. 1926 N r 226, setjara enumeratif (opsommend) menjebut lebih sesuai dari pada metode dan mentalitèt jang lain. Perlu djuga ditegas kan bahwa perbedaan antara metode itu bukan akibat chusus suatu perbekomp a(ntar.a Pekerdjaan, tetapi akibat suatu perbedaan antara organisasi dan
■ya 25
24
Djadi, perbedaan antara „bestuur” dan „pengadilan” adalah perbedaan „sreren , seperti djuga halnja dengan perbedaan antara „regeren” dan ”“iesturen” (lihatlah di atas noot 4 ). »General Theory of Law and State”, 1949. anJ^’ 272. Bahkan, oleh K e l s e n disangkal (ontkend) adanja suatu perbedaan azasi antara masing-masing funksi, chusus antara „bestuur” dan »rechtspraak”.
objek-objek mana tidak boleh didirikan tanpa idjin dari fihak pem erin tah. Ketentuan ini berachir dengan kata-kata : „zoomede alle andere inrichtingen, welke gevaar, schade o f hinder kunnen veroorzaken” (dan semua bangunan-bangunan lain jang dapat menimbulkan bahaja, kerugi an atau gangguan). Kata-kata ini memberi kepada pendjabat (ambtsdrag er) jang berkuasa mengeluarkan idjin suatu kemerdekaan untuk m enen tukan (vrijheid van beslissen). Pendjabat tersebut merdeka untuk menen tukan bahwa objek jang hendak didirikan itu tidak termasuk salah satu m atjam objek jang disebut pada sub-sub I sampai dengan X X maupun „alle andere inrichtingen, welke gevaar, schade o f hinder kunnen veroorzaken”. D jad i, objek jang hendak didirikan itu sama sekali tidak memerlukan suatu idjin dari fihak pemerintah. D i samping itu, pen djabat tersebut merdeka djuga untuk..menentukan bahwa sesuatu „smed erij” (bengkel besi) jang hendak didirikan (sub X I ) tidak akan m e nimbulkan „bahaja, kerugian atau gangguan”, biarpun letak tempat di mana „sm ederij” itu hendak didirikan tidak djauh dari letak suatu rumah sakit ! Sebaliknja, pendjabat tersebut dapat djuga menolak per m ohonan idjin, biarpun letak tempat di mana „sm ederij” itu hendak didirikan sangat djauh dari letak suatu rumah sakit ! Dengan keputusannja, pendjabat tersebut dapat m engoreksi (corrigeren) pekerdjaan pembuat undang-undang. H al ini tidak perlu meng herankan, karena dengan kata-kata jang gelap „zoomede alle andere inrichtingen, welke gevaar, schade o f hinder kunnen veroorzaken” pembuat undang-undang sendiri dengan sendirinja (autom atisch) telah memberi suatu keleluasan besar kepada pendjabat jang berkuasa me ngeluarkan idjin. Lihatlah pasal-pasal 5 dan 6 , chusus ajat-ajat 4 (dari pasal 5 ) dan 2 (dari pasal 6 ), dari „H inderordonnantie”. T e r serah kepada pendapat (dan kedjudjuran !) p e n d j a b a t jan g ber kuasa mengeluarkan idjin bagaimana kata-kata gelap pada achir pasal 1 ajat 1 dan sjarat-sjarat jang ditjantumkan dalam pasal 6 ajat 2 „H inder ordonnantie” ditafsirkan ! Tetapi kemerdekaan pendjabat -tatausaha negara tersebut tidak boleh didjalankan demikian rupa sehingga merugikan kepentingan individu tanpa alasan jang „redelijk” (adil, la ja k ). Pendjabat tidak boleh m endjalankan kekuasaannja untuk menjelenggarakan suatu ke pentingan jang lain dari pada jang dimaksud oleh peraturan jang mendjadi dasar kekuasaan itu. Kekuasaan jang diberi kepada pendjabat tatausaha negara adalah suatu d r o i t - f o n c t i o n . K ita harus berhatihati supaja „freies Ermessen” jang diberi kepada tatausaha negara tidak mengakibatkan „détournement de pouvoir” (lihatlah Bab II, § 3 ). 25
Achirnja, kami mengemukakan pembagian kekuasaan jang dibuat oleh dua pengarang jang terkenal. ^eh v a n
Vollenhoven
26 dikemukakan bahwa „bewind-
itu dapat dibagi dalam empat funksi (la in ): „bestuur” (pemerindalam arti kata sempit), polisi, mengadili dan membuat peraturan. kar tUUI k '1 ^arUS ^ se^*ut P ertama, „bestuur” itu harus diutamakan „bestuur itu dalam suatu negara modern mempunjai tugas jang bih luas dari pada hanja melakukan undang-undang sadja — ^p
ti jang dikemukakan M o n t e s q u i e u .
ter
Tugas „bestuur” pada
Se^arang meliputi menjelenggarakan segala sesuatu jan g tidak k IT|empertahankan ketertiban hukum setjara preventif (pre-
. membu
rec^ltszorg ),
mengadili
(menjelesaikan
perselisihan)
atau
State” 'i t ^eratUtan' ^ a^am suatu negara hukum modern („w elfare sosial Pemer‘nta^nj a turut-serta setjara aktif dalam pergaulan (rest) j a^an^an Pe^er<^jaan funksi „bestuur” — jang dapat disebut „sisa” 'ngan it ^ n^an Pe^erc^jaan „bewindvoeren” setelah diambil dari lapamengadT rl^ van) lapangan pekerdjaan funksi-funksi polisi, lapanga ^ mem^uat Pefaturan — adalah lebih-lebih luas dari pada van
V o H 6r^ aan ketiga kekuasaan lain
vrii ovp V,
“ k° ven
itu bersama-sama.
Oleh
sifat „bestuur” itu dinjatakan sebagai „een
gekluisterd V S ^ at^ a^erminst aan wettelijke voorschriften belan» va / S\ ’ ^3n ”^et sPontaan en zelfstandig behartigen van het
^ Vollenh ^ ^ p o l i s i itu ° n
*1»« faoogere en lagere overheden". menurut pentingnja — jaitu menurut v a n daPat disebut kedua ialah funksi polisi. Funksi
duduk sesuat"1 ”Preventleve rechtszorg”, jaitu memaksa penpendjagaan « K T 1 menufut ketertiban hukum serta mengadakan terpelihara 27 £ Umi^ a (P reventif), supaja tatatertib masjarakat tetap .
Pembagian f u n k ^ ^ a n g ^ l ^ u k S !' W)4' 125 dan 243 dan jang berikutnja. tentangan dari D o n n e r v a n V o l l e n h o v e n mendapat
..bestuur”, Katania • \v/:„ \ a »Preventieve rechtszorg” itu tersimpul scheidt twee z a k e n d f e t a en —Politie”” uit elkaar haalt, y i^ e v e n en ook ^ t élklar h ^ f '',ks le^ n . ten nauwste met elkaar zijn jang memisahkan .bestuur” d a n ” > te b liiv e n verweven” (Barangsiapa hubungannja antara iani» ”polltl.e ’. maka memisahkan dua hal jang dupan sehari-hari dan iane huhnnng3n- Jang lain sangat erat dalam penghi,ang hubungann,a itu h a r u s djuga tetap erat).
26
Funksi membuat peraturan, disebut sebagai funksi terachir. Eukankah, pembuat peraturan dalam pekerdjaannja sering terbelakang pada perkembangan sosial ? ! Oleh L e m a i r e (lihatlah di atas) dikemukakan suatu pembagian „bewindvoeren” dalam lima funksi (la in ); „bestuurszorg”, „bestuur”, polisi, mengadili dan membuat peraturan. Funksi „bestuurszorg” itu meliputi penjelenggaraan kesedjahteraan umum dan mempunjai tanda istimewa, jaitu memberikan kepada tatausaha negara keleluasan untuk menjelenggarakan dengan tjepat dan dengan djalan jang memberi ke gunaan (doeltreffend) kepentingan-kepentingan guna kesedjahteraan umum. Kami sendiri berpegangan pada suatu „t r i a s politica”, tetapi dengan sjarat bahwa „trias politica” itu bersifat suatu p e m b a g i a n kekuasaan, dan ,,bestuur itu meliputi segala sesuatu jang tidak meru pakan mengadili atau membuat peraturan. Menurut pendapat kami, maka „bestuur itu mempunjai suatu lapangan pekerdjaan jang hanja dibatasi oleh lapangan pekerdjaan funksi mengadili (membuat peraturan untuk hal k o n k r e t o — regel voor het concrete geval — pasal 1917 K .U .H . Perdata) dan lapangan pekerdjaan funksi membuat peraturan (umum). Lapangan tatausaha negara di Indonesia mulai mendjadi luas sedjak apa jang dinamakan „ethische politiek” dilakukan pemerintah Belanda. Akan tetapi baru pada djaman krisis ekonomis dari tahun 1929 sampai tahun 1939 maka pemerintah Hindia Belanda sungguhI sungguh turut-serta setjara aktif dalam pergaulan sosial di Indonesia 28. Dapat dikatakan bahwa turut-sertanja pemerintah tersebut agak terpaksa. K oloni Hindia Belanda tidak pernah merupakan suatu „welfare State”. Lagi pula walaupun ada turut-sertanja pemerintah itu, di mana-mana djuga banjak hal penting tetap ditinggalkan dalam tangan partikelir. „Kemakmuran” hanja terdapat di tempat-tempat orang Belanda, jang mendjadi „ruling class”, memerlukan tenaga buruh orang bumiputera, jaitu di sekitar tempat perkebunan dan perindusterian Barat 29. Kemudian Republik Indonesia lahir sebagai suatu negara jang bertudjuan mengutamakan kepentingan rakjatnja. H al ini ternjata dari banjak ketentuan dalam tiga undang-undang dasar negara kita jang berturut28 29
Lihatlah buku Prof. D r J.H . B o e k e „Economie van Indonesie”, 1951 , hal. 265 dan jang berikutnja. Lihatlah Mr T h. A. F r u i n „Het economische aspect van het indonesische vraagstuk”,, 1947.
27
turut diadakan sedjak waktu Proklamasi. Sebagai ketentuan-ketentuan terpenting dalam U .U .D .S. (tahun 1950) dapat disebut pasal-pasal 36-43 (jan g termasuk azas-azas dasar negara k ita ), 26 ajat 3 („H ak m ilik itu adalah suatu funksi sosial” 3 0 ) . Tugas pemerintah kita dapat diketahui dari pasal 82, tugas itu „menjelenggarakan kesedjahteraan Indonesia”. Tatausaha negara di suatu „welfare State” jang diserahi tugas „bestuurszorg” ( L e m a i r e dan d e K a t A n g e l i n o ) itu, didjalankan dalam suasana merdeka („ freies Ermessen” ), tetapi — walaupun demikian — tetap terikat. W alaupun merdeka, tatausaha negara masih djuga harus berpegangan pada a z a s l e g a l i t e t dan tidak dapat bertindak setjara sewenang-wenang terhadap hak-hak dan kemerdekaankemerdekaan pokok manusia seperti jang ditjantumkan dalam pasalpasal 7-34 U.U.D.S.. Kemerdekaan tatausaha negara tidak boleh mendjadi sebab maka negara bukan lagi negara hukum. Hanja dalam hal diper lukan sesuatu penjelesaian setjara setjepat-tjepatnja, maka tatausaha ne gara dapat menggunakan kemerdekaan tersebut. Adanja kemerdekaan tatausaha negara itu hanja dapat dipertanggungdjawabkan bila kemer dekaan itu digunakan bagi kepentingan umum. Maka dari itu, sebagai suatu azas, dapat dikatakan bahwa funksi legislatif itu membuat pera turan umum (menentukan kaidah, umum, stelt de algemene norm vast) angkan funksi „bestuur” menjelenggarakan kepentingan umum deg n selalu mengindahkan peraturan umum tersebut. Atau dengan kata . unksi „bestuur tidak dapat mendjalankan pekerdjaan setjara jang ertentangan dengan peraturan-peraturan umum. Indonesia
sampai djaman sekarang — bagian penting dari
”b 's“ " " 2< * r ( L e m a i r e dan d e K a t ,
Selenggarakan
oleh
gabungan
A n g e l i n o ) di daerah-
djabatan-djabatan
jang
di
k o a r / " ” mong Pradia”- Tugas istimewa Pamong Pradja itu meng iri j *1 an Pekerdjaan mas*n8 "masing djawatan di daerah-daerah j 6 e^sten) 31- Tetapi pekerdjaan Pamong Pradja itu lebih dari P a mengkoordinasikan sadja. 30
u S f D r A e ™ ^ djuga buku kami Pon™ ,
M r D r S u p o m o „U ndangP\ . k Indonesia", 1950, hal. 33, dan lihatlah dalam ? ukum Indonesia”, 1956 hal. 181.
31
«i umum itu dilakukan r.lPh i3™2" g a r a n g penjelenggaraan kesedjahteraan diawatan-diawatan mf t,am »»bungan djabatan-djabatan, jakni gabungan diabatan diahnt •*nS ^ ementerian (ministeriele diensten) dan dienst ) jan^ ditambatkan d/ab^v linat^a^an ”Pam° " S Pradia” Tentang pekerdjaan Pamong P r a ja Pi t T l T ,K.emeTnterian Dalam ^ egeri’ « c h t van Ned.-Indie”, hal l?- Het R R /■h,? tlah L o g e m a n n „Staats°P een beoaalde certAr u ” , • ( oude naam) is met gespecialiseerd Depaalde sector van het maatschappelijk leven. Z ijn typische functie
§ 2: H u k u m t a t a u s a h a n e g a r a , i l m u p e m e r i n t a h a n (bestuurskunde) dan pu blic a d m in is tr a t i o n . D ari apa jang dikemukakan tadi, maka telah njata apa jan g mendjadi perbatasan (om trek) lapangan „tatausaha negara” („adm inistrasi” ). D juga telah disinggung bahwa „hukum tatausaha negara adalah hukum jan g mengatur sebagian lapangan pekerdjaan tatausaha negara”. T etapi belum setjara konkrit ditentukan tugas hukum tatausaha negara atau tugas ilmu hukum tatausaha negara. Tugas tersebut setjara djelas sekali dinjatakan dalam kata-kata Prof. W i a r d a 32; „Taak van de wetenschap ( = ilmu hukum tatausaha negara), hetzij vooropgesteld, is n i e t de beoordeling van de wenselijkheid van bemoeiingen m et en het ingrijpen van de overheid op al meer gebieden van het maatschappelijk en economische leven. Z ij heeft deze over te laten aan de p o 1 i t i e k e, e c o n o m i s c h e en s o c i a l e wetenschappen. Taak van de wetenschap van het bestuursrecht i s d e s t u d i e v a n e n d e b e z i n n i n g o p d e n a a r d d e r r e c h t s r e g e l e n , e n r e c h t s v o r m e n , w a a rin d i e b e m o e i i n g e n z i j n g e v a t en op de r e c h t s b e g i n s e l e n , w e l k e d e z e b e h e e r s e n ; de vervulling van deze taak is meer nodig dan ooit, wil ook op dit gebied het recht tôt zijn recht blijven kom en” 33.
32
33
is juist om het levend verband tussen die sectoren p 1 a a t s e 1 i j k waar te nemen en te verzorgen : de locale samenhang der belangen” (Pamong Pradja itu tidak memperhatikan sesuatu bagian tertentu sadja dari pergaulan sosial. Tugasnja ialah terutama memelihara hubungan antara masing-masing bagian dari pergaulan sosial itu di daerah-dareah : P.P. bertugas memelihara perhubungan lokal (kedaeralian) antara kepentingan-kepentingan). Lebih luas „rectorale oratie” L o g e m a n n „De functie van de bestuursdienst”, Batavia (D jakarta) 1936. Sebetulnja di samping' badan-badan pemerintah ada djuga badan-badan „partekelir” jang menjelenggarakan sebagian dari kepentingan umum. M isalnja, rumah sakit partekelir jang terbuka untuk umum, sekolah partekelir jang terbuka untuk umum seperti jang diadakan oleh Geredja Katolik, Muhammadijah, dll. Walaupun arti badan-badan „partekelir” ini sangat besar bagi masjarakat, bagi h u k u m tatausaha negara badan-badan ini irrelevant ( = tidak berarti). Lihatlah Mx D r S.W . C o u w e n b e r g „Het particulière stelsel. De behartiging van publieke belangen door particulière lichamen”, 1953 (dengan „boekbespreking” Prof, v a n d e r P o t dalam „Ned. Jur. Blad” tertanggal 4 September 1954 N r 29 hal. 636). Prof. M r G .J. W i a r d a „De wetenschap van het bestuursrecht en de spanning tussen gezag en gerechtigheid”, pidato inaugurasi Utrecht 1948. Mengenai pembatjaan tentang lapangan „bestuursrecht” terhadap lapangan „bestuurskunde” batjalah djuga prae-advies Prof. M r D . S i m o n s dan Prof. M r S.F.L. baron v a n W i j n b e r g e n di muka Alg. Verg. der Ver. v. Administr. Recht tahun 1955. Terdjemahan : Teriebih dahulu perlu dikatakan bahwa tugas ilmu hukum tatausaha negara itu bukan mempertimbangkan perlu tidaknja turut-serta pemerintah dalam
29
M enurut kata-kata W i a r d a ini maka hukum tatausaha negara mempeladjari hanja sebagian sadja dari lapangan „bestuur”, jaitu ba gian tentang „rechtsregels”, „rechtsvotmen” dan „rechtsbeginselen” jang menjelenggarakan turut-serta pemerintah dalam pergaulan sosial dan ekonomis. Turut-serta pemerintah dalam pergaulan sosial dan ekonomis itu harus disalurkan menurut suatu sistim tertentu. Sistim itu terdiri atas petundjuk-petundjuk, jaitu kaidah-kaidah, jang dapat membimbing turut-serta pemerintah dalam pergaulan sosial dan ekonomis. Kaidahkaidah jang membimbing turut-serta pemerintah dalam pergaulan so sial dan ekonomis Itu kaidah-kaidah h u k u m , jaitu kaidah-kaidah jang oleh p e m e r i n t a h s e n d i r i diberi sanksi dalam hal pelanggaran. Kaidah-kaidah hukum tersebut mengatur perhubungan-perhubungan antara alat-alat pemerintahan (bestuursorganen) dengan individu dalam masjarakat. Demikian djuga perhubungan-perhubungan antara masingmasing alat-alat pemerintahan jang satu terhadap jang lain 34. Se mua perhubungan-perhubungan itu mendjadi perhubungan h u k u m (r e c h t s betrekkingen), karena dipertahankan dan diberi sanksi oleh pemerintah sendiri (negara sebagai negara hukum tunduk djuga pada hukum)-. Oleh sebab itu Prof. L o g e m a n n dapat menjebut hukum tatausaha negara itu suatu peladjaran tentang perhubungan hukum (jan g istimewa) (een leer van de (bijzondere) rechtsbetrekking) 35. Tetapi a p a s e b a b n j a maka pemerintah turut-serta dalam suatu sektor (bagian) tertentu dari pergaulan sosial dan ekonomis, dan oleh karena turut-serta pemerintah tersebut ditimbulkan pethubungan-perhubungan hukum itu, itulah bukan persoalan jang dipeladjari oleh hukum tatausaha negara. Kata W i a r d a : „taak van de wetenschap ................. is niet de b e o o r d e l i n g v a n d e w e n s e l i j k h e i d van de bemoeiingen met en het ingrijpen van de overheid op al meer gebieden van het maatschappelijk en economische leven”. Dengan kata lain: hukum tatausaha negara tidak berlaku di tingkatan politik pemerintahan (de sfeer van de bestuurspolitiek), tetapi di tingkatan perhubunganperhubungan hukum jang terlebih dahulu telah ditentukan oleh ting-
34 35
30
pergaulan sosial dan ekonomis. Pertimbangan sematjam tadi diserahkan kepada ilmu politik, ekonomi dan ilmu sosial. Tugas ilmu hukum tatausaha negara adalah mempeladjari tentang sifat peraturan-peraturan hu kum, dan bentuk-bentuk hukum, jang memuat turut-serta'pemerintah dalam pergaulan sosial dan ekonomis, dan djuga dipeladjari azas-azas hukum jang membimbing turut-serta pemerintah itu. Mendjalankan tugas tersebut perlu sekali, sehingga djuga dalam lapangan tatausaha negara ini ilmu hukum dapat berkembang ba^k. D o n n e r dalam „Niederl. bestuursrecht”, bagian „Algemeen deel”, 1953 hal. 49. „Staatsrecht van Ned. Indie”, 1947 hal. 21 .
katan politik pemerintahan itu (in de sfeer van de rechtsbetrekkingen die tevoren reeds door de sfeer van de bestuurspolitiek is vastgesteld). Hukum tatausaha negara mempeladjari bentuk j u r i d i s dari p e n j el e n g g a r a a n politik pemerintahan. Hukum tatausaha negara meru pakan bentuk juridis jang menangkap penjelenggaraan turut-serta peme rintah dalam pergaulan sosial dan ekonomis. Peladjaran bagian lain lapangan „bestuur”, jaitu „sfeer van de be stuurspolitiek”, diserahkan kepada suatu ilmu jang umurnja masih sangat muda. Ilm u itu i l m u p e m e r i n t a h a n ( b e s t u u r s k u n d e ) . Ilm u pemerintahan itu dilahirkan dan diperkembangkan di N egeri Belanda antara tahun 1920 dan tahun 1930 36. Jang mendjadi pendasar (grondlegger) ilmu jan g baru itu P rof. G. A. v a n P o e 1 j e, jang pada tahun 1928 diangkat mendjadi gurubesar luar biasa pada Economische Hogeschool di kota Rotterdam untuk mata-peladjaran ilmu pe merintahan itu. Pada tahun 1942 oleh v a n P o e l j e ditulis bukunja „Algem eene inleiding tot de bestuurskunde”. Tjetakan kedua diterbit kan pada tahun 1953. V a n P o e l j e , jang membuat suatu perbandingan (vergelijking) antara tugas ilmu pemerintahan dengan tugas ilmu perusahaan (bedrijfsle er), merumuskan tugas ilmu pemerintahan itu sebagai berikut 37 ; „D e bedrijfsleer leert, hoe men een bedrijf het beste kan leidea; de b e s t u u r s k u n d e leert, hoe me . n de openbare d i e n s t h e t b e s t e i n r i c h t e n l e i d t . Beide wetenschappen lopen dus ten dele parallel” (ilm u perusahaan mengadjar tjara jang ter baik untuk memimpin suatu perusahaan; i l m u p e m e r i n t a h a n meflgadjar tjara jang terbaik untuk m e n j u s u;n d a n m e m i m p i n d i n a s p u b l i k . M engenai beberapa bagian, maka kedua ilmu itu sedjurusan). Jan g mendjadi pokok (ob ject) peladjaran ilmu pemerintahan itu dinas p u"b l i k dalam arti kata s e l u a s - l u a s n j a 38. Ada dua hal jang chusus menarik perhatian ilmu pemerintahan itu : \
a.
organisasi terbaik jang dapat mendjalankan selantjarlantjarnja hubungan-hubungan antara masing-masing alat-alat pemerintahan (bestuursorganen) jang bersama-sama merupakan di
36
Lihatlah v a n P o e l j e „Algemene inleiding tot de bestuurskunde”, 1953 hal. 8 d.j.b. : „Vorming en ontwikkeling van de bestuurskunde”. Sebagai salah satu pelopor ilmu pemerintahan, jaitu pelopor jang paling pertama, dapat disebut Kameralwissenschaft di Djerman pada Abad ke-18. „Bestuurskunde”, hal. 1 „Bestuurskunde”, hal. 5 : „D e bestuurskunde heeft dus als haar onderwerp de openbare dienst in de meest ruime zin”.
• 37 38
31
b.
nas publik sebagai suatu kesatuan, dan jang dapat mendjalankan selantjar-lantjarnja hubungan antara dinas publik dengan masjarakat. a n a s i r p e r s e o r a n g a n ( p e r s o o n l i j k e l e m e n t) da lam dinas, publik, seperti pendidikan, peraturan tugas dan penggadjian pendjabat-pendjabat. Hanja suatu „corps” pendjabat jang mempunjai dasar penghidupan jang terdjamin dapat mendjalankan dinas publik itu sebaik-baiknja dan bermanfaat bagi masjarakat.
Oleh v a n P o e l j e djuga dilukiskan perbatasan antara lapangan ilmu pemerintahan dan lapangan (ilm u) hukum negara ( = hukum tatanegara + hukum tatausaha negara). Dikatakannja bahwa i l m u h u k u m m e m p e l a d j a r i isi f o r m i l h u k u m t a t a u s a h a n e g a r a jang memuat „de rechtsregelen, die bepalen, aan welke organen het bestuur is toevertrouwd, welke hun plaats is in de staat, tegenover elkander en tegenover de burgerij, en welke rechtsregelen het handelen van die organen beheersen” (peraturan-peraturan hukum jang m enen tukan kepada alat-alat mana pemerintahan dalam arti kata sempit itu diserahkan, jang menentukan tempat jang diduduki alat-alat itu dalam negara, jang menentukan kedudukan masing-masing alat-alat tersebut jang satu terhadap jang lain dan terhadap masjarakat. Ilmu hukum mempeladjari djuga peraturan-peraturan hukum jang mengatur per buatan-perbuatan alat-alat itu.) D i samping gambaran tentang tugas ilmu hukum itu, oleh v a n P o e l j e setjara negatif dirumuskan lapangan pekerdjaan ilmu pemerintahan. Dikatakannja bahwa ilmu pemerintahan tidak menjelidiki „hoe een bepaalde maatregel tot stand komt, maar waarom juist die bepaalde en niet een andere maatregel moet worden genomen, niet w e l k e de organen zijn van het bestuur, maar waarom in een bepaald land, in een bepaalde tijd een gegeven bestuursorganisatie de voorkeut boven een andere verdient, wat haar voordelen, en wat haar onvermijdelijke zwakheden zijn” 39. Ilmu pemerintahan me njelidiki „de w e r k i n g van het staats- en administratief recht” 40. 39
40
32
„Bestuurskunde”, hal. 6. Terdjemahan : ......................... tjara terdjadinja suatu tindakan pemerintahan dalam arti kata sempit, apakah sebabnja maka djustru perbuatan tertentu itu jang harus diadakan dan tidak dapat diadakan suatu perbuatan lain. Ilmu pemerintahan tidak menjelidiki alat-alat (organen) mana jang mendjadi alat-alat pemerin tahan, tetapi oleh ilrpu pemerintahan diselidiki apakah sebabnja maka bagi sesuatu negeri tertentu dan bagi sesuatu djaman tertentu orang harus me milih suatu matjam tertentu organisasi pemerintahan dan tidak dapat memilih suatu matjam lain organisasi pemerintahan. Ilmu pemerintahan menjelidiki keuntungan matjam organisasi jang dipilih itu dan apa jang mendjadi kelemahannja jang tidak dapat dilenjapkan. Sama dengan noot 39 .
D o n n e r - n berkeberatan terhadap perbatasan antara lapangan ( i l m u) hukum tatausaha negara dan lapangan ilmu pem erintahan seperti ja n g dibuat v a n P o e l j e itu. K a ta n ja : „D a t de bestuursrechtsweterischap zich als zodanig niet zou hebben in te laten m et de vragen, o f de regels van het adm inistratief recht zinvol zijn en aannem elijke resultaten opleveren en of de bestaande bestuursorganisatie voor de doeleinden welke haar zijn gesteld, geschikt is, valt alleen voor de meest verstokte positivist te aanvaarden. Er werd reeds even aan herinnerd dat rechtm atigheid en doelmatigheid in elkaars verlengde liggen en dat ook voor de juridische waardering van bestuurspraktijk en bestuurs organisatie de resultaten allerm inst irrelevant zijn. M et de onderschikkin g van het bestuur aan wat in de inleiding politieke organen werden genoemd, en de binding van beider activiteit aan h et recht, is reeds gegeven, dat de vragen van w etm atigljeid en rechtm atigheid het gehele b e s t u u r s h a n d e l e n bestrijken en bij een beoordeling van de resultaten nooit uit het oog verloren mogen worden” 42. Apakah penghargaan D o n n e r terhadap perumusan v a n P o e l j e mengenai batas-batas lapangan ilmu pemerintahan itu tepat ? Kalau kita hanja m engingat kata-kata v a n P o e l j e : „hoe een bepaalde maatregel tot stand kom t .............. ” dsb., maka ketjam an D o n n e r tersebut adalah benar. B u k a n k a h , pendapat v a n P o e l j e itu m engingatkan kita pada teori hukum H a n s K e l s e n jang terkenal dengan nama „reine Rechtsleh re”, jaitu peladjaran hukum jan g hendak m elihat hukum sebagai suatu sollen” jang dibersihkan dari anasir-anasir sosial jan g tidak ber 41 42
„N ed erl. bestuursrecht”, bagian „A lg . d eel”, 1953 hal. 50. T erd jem ah an : Bahw asanja ilm u hukum tatausaha negara sebagai ilm u hukum tatausaha negara tidak dapat m en jelid ik i berguna tid ak n ja p eratu ran-peratu ran hukum tatausaha negara jan g tertentu dan tidak dapat m en jelid ik i berguna tid ak n ja o rg anisasi pem erintahan jan g telah diadakan un tuk dapat m en tjapai suatu tudjuan pem erintahan ja n g telah d itetapkan, itu lah suatu pendapat jan g h an ja d a p a t d iterim a oleh seorang po sitiv ist benar-benar ( k o lo t). D i atas tadi setjara sepintas-lalu telah dikem ukakan bahw a soal-so al „ le g a lite t” dan „bern ian faatn ja” perbuatan-perbuatan pem erintah adalah dua h al jan g tid ak dapat d i p i s a h k a n . D ju g a telah disinggung setjara sep intas-lalu bahw a h asil-hasil u s a h a praktek pem erintahan dan usaha o rg anisasi pem erintahan adalah djuga p enting bagi p ern ilaian (p en g h arg aan ) ju rid is terhadap p rak tek dan o rg an i sasi pem erintahan itu. D alam kata pengantar kam i telah dikem ukakan bahw a pem erintahan (d alam arti k ata sem p it) itu ditem patkan di baw ah k eb id jak s a n a a n dari apa jan g disebut alat-alat p o litik . D ju g a telah kam i tegaskan bahw a b aik usaha pem erintahan (d alam arti k a ta sem p it) m aupun usaha alatalat p o litik tersebut d iikat hukum . D u a k en jataan itu m em buktikan bahw a dua pengertian „ le g a lite t” dan „sesuainja dengan hukum ” adalah pengertianpengert*an m engenai seluruh lapangan tindakan-tindakan pem erintahan. K a la u k ita hendak m em pertim bangkan h asil-hasil pem eritahan m aka h al tad i tid ak bo leh dilupa.
33
sifat kaidah hukum ? Tetapi rupanja D o n n e r kurang memperhatikan kata-kata v a n P o e l j e bahwa ilmu pemerintahan m enjelidiki „de W e r k i n g van het staats- en administratief recht”. Apakah jang dimak sud dengan kata „werking” itu ? M ungkin sekali kata tersebut dapat ditafsirkan setjara jang mengentjerkan (verwateren) perbatasan antara lapangan (ilm u) hukum tatausaha negara dan lapangan ilmu pemerin tahan jang oleh v a n P o e l j e dilukiskan begitu tadjam (scherp). Kami dapat menjetudjui sepenuh-penuhnja perbatasan jang digam barkan oleh Prof. W i a r d a . W i a r d a menjinggung a z a s - a 2 a s hukum (rechts b e g i n s e l e n ) jang mengatur turut-serta pemerintah dalam pergaulan sosial dan ekonomis. A z a s - a z a s hukum bukan kaidah-kaidah hukum. D jadi, menindjau a z a s - a z a s hukum itu berarti „zich inlaten met de vragen, o f de regels van het admini stratief recht zinvol zijn en aannemelijke resultaten opleveren en o f de bestaande bestuursorganisatie voor de doeleinden welke haar zijn gesteld, geschikt is”. Sebetulnja, persoalan apa jang mendjadi lapangan hukum tatausaha negara dan apa jang mendjadi lapangan ilmu peme rintahan, itulah persoalan mengenai titik-berat (zwaartepunt) peladjaran. Untuk hukum tatausaha negara titik-berat peladjaran ialah perhubungan-perhubungan hukum jang memungkinkan tatausaha negara mendjalankan tugasnja, sedangkan untuk ilmu pemerintahan titik-berat p e la d ja ra n ad alah „ p o litie k b e le id ” tatau saha negara. Tetapi pCrbiUiMI] antara dua la p a n g a n p e la iljiiia n itu b u k a n la h suatu perbatasan jang tidak dapat dilintasi. Agar dapat mengerti sebaik-baiknja perhubunganperhubungan hukum, maka sering peladjar jang m e n je lid ik i perhubungan-perhubungan hukum itu harus djuga menjelidiki apa jang men djadi „latar-belakang politik” perhubungan-perhubungan hukum terse but ! Sebaliknja : supaja dapat merentjanakan suatu tindakan pemerintah jang bermanfaat, maka sering perentjana tindakan itu harus djuga mengetahui sifat tersendiri perhubungan-perhubungan hukum jang ber sangkutan !
Kami mengachiri paragrap ini dengan menguraikan sedikit tentang suatu ilmu pengetahuan jang pada waktu sekarang makin lama makin terkenal di Indonesia. Ilmu pengetahuan ini „P u b 1 i c A d m i n i s t r at i o n ” 43.
„Public Administration” tersebut suatu ilmu pengetahuan menge nai pemerintahan negara jang pertama-tama dilahirkan dan diperkem bangkan di N egeri Inggris, kemudian di Amerika Serikat dan di negara43
Dipersoalkan apakali „Public Administraion” itu „a r t” atau „s c i e n c e '.
negara jan g mempunjai suatu sistim pemerintahan jan g sama dengan sistim pemerintahan di N egeri Inggris dan di Am erika Serikat itu. M isalnja di Asia : India, Pakistan, Seilan, Birm a dan Filipina, di A frika : Uni A frika Selatan, Rhodesia, Gold Coast (G h an a) ; di Australia ; di Kanada. Chusus di Amerika Serikat „Public Adm inistration” itu m en dapat suatu perkembangan jang telah menghasilkan suatu mutu peladjaran jang luar biasa tinggi. Perkembangan itu berhubung dengan antara lain perkembangan „Political Science” di A jnerika Serikat jan g telah mentjapai suatu mutu peladjaran jang „outstanding” 44. Perkembangan permulaan „Public A dm inistration” di Amerika Serikat itu dilakukan oleh „City M anagers’ A ssociation” jan g didirikan pada tahun 1914. Sekarang „Public Adm inistration” dikuliahkan di hampir semua univer sitas jang terkenal. D i Indonesia pada djaman sekarang perhatian terhadap „Public A dm inistration” makin lama makin besar. Tiap-tiap tahun Pem erintah mengirim keluar negeri sedjumlah pegawai untuk m enindjau dan mempeladjari beberapa segi „Public A dm inistration”, baik dalam praktèk maupun dalam lingkungan fakultas di mana „Public A dm inistration” itu dikuliahkan. D juga dari fihak luar negeri disampaikan banjak un dangan bagi pegawai kita untuk datang m enindjau dan m em peladjari „Public Adm inistration” itu jang ada di negeri jan g menjampaikan undangan
b e r s a n g liiita n .
S e d ja l c
t ii l m i i
1956
di b eb erap a
u n iv e rs ita s
p a r t e Ic u l i r telah chbulca suatu fakultas atau cljurusan „Public Ad= m inistration”. Fakultas atau djurusan sematjam ini belum dibuka dalam kalangan universitas negeri, biarpun dalam kalangan tersebut telah ada
perhatian terhadap „Public A dm inistration” . Dalam rentjana-peladjaran suatu lembaga pendidikan negeri jan g bertingkatan semi-universitèr, jaitu Akademi Pemerintahan D alam N egeri di kota M alang, „Public ; Adm inistration” telah mendjadi suatu mata-peladjaran jan g terwadjib. Apakah sebabnja maka „Public A dm inistration” itu mendapat per hatian begitu besar di Indonesia ? M enurut pendapat kami maka ada dua sebab. Dua sebab itu : a.
sistim pemerintahan jang oleh pem erintah H india-Belanda dahulu diwariskan kepada kita, jan g bersifat sangat „bureaueratiseh” (d a lam arti kata jang buruk) dan „centralistisch”, tidak lagi dapat menjalurkan dan mem beri bentuk kepada perkembangan-perkembangan ketatanegaraan dan politik ja n g baru, dan harus diganti oleh suatu sistim baru.
44
Lihatlah U n e s c o
„Contemporary P olitical Science”, 1950.
35
b.
tjara mendekati persoalan-persoalan jang dilakukan „Public A dm i nistration” adalah banjak serupa tjara mendekati persoalan-persoalan dalam ekonomi perusahaan, dan oleh sebab itu lebih efisien ( e f f i cient). Tetapi perlu ditegaskan pula bahwa persoalan mengganti sistirrt
pemerintahan jang telah ada dengan suatu sistim pemerintahan jan g baru, itulah bukan suatu persoalan jang mudah. Penggantian sistim jan g telah ada berarti penggantian hukum tatanegara positif jang m enentu kan kompetensi masing-masing djabatan-djabatan negara sekarang, dan penggantian alam fikiran, pendidikan dan pengalaman dari „ambtenaren corps” jang telah ada. Apakah „Public Administration” itu ? Oleh Prof. W a l d o 45 dikemukakan dua matjam definisi jang biasanja dibuat, jaitu „Public administration is the organization and management o f men and materials _ to achieve the purposes of government” dan „ Public administration is the art and science o f management as applied to affairs o f state” . Definisi pertama melukiskan „Public Administration” itu sebagai orga nisasi dan sistim jang menjelenggarakan kepentingan umum („a process or activity”) sedangkan definisi kedua melukiskan „Public Administra tion” itu sebagai suatu „art and science” („a discipline or study” ) . Djadi, istilah „Public Administration” itu dipakai dalam dua arti. K ita tidak boleh lupa bahwa suatu definisi tidak dapat memberi gambaran lengkap tentang objek peladjaran jang bersangkutan. Suatu definisi hanja suatu pegangan pertama sadja. Dibandingkan dengan ilmu pemerintahan, maka „Public Adminis tration” itu lebih lagi melihat usaha pemerintah sebagai suatu usaha peru sahaan (bed rijf). Oleh sebab itu, maka djuga tjara-tjara penjelidikan jang dipakai „Public Administration” itu lebih lagi bersifat tjara-tjara penjelidikan jang dipakai ilmu,(ekonomi) perusahaan. Jang mendjadi pe ngertian-pengertian utama (centrale begrippen) „Public Adm inistration” ialah „ o r g a n i z a t i o n ” dan „m a n a g e m e , n t”. „Organization” itu dapat dirumuskan sebagai „t h e s t r u c t u r e o f a u t h o r i t a t i v e and h a b i t u a l p e r s o n a l i n t e r r e l a t i o n s in an a d m i n i s t r a t i v e s y s t e m ”. „Management” adalah „ ( t h e ) a c t i o n i n t e n d e d to a c h i e v e r a t i o n a l c o o p e r a t i o n in an a d m i n i s t r a t i v e s y s t e m”. Jang dimaksud dengan „action” ia45' D w i g h t
36
Waldo
„The Study of Public Administration”, 1955 hal. 2-3
lah „ a n y c h a n g e i n t e n d e d t o a c h i e v e r a t i o n a l c o ope ra tion ” 46. D ibandingkan dengan l a p a n g a n ilmu pem erintahan, maka da pat dikatakan bahwa lapangan „Public A dm inistration” itu lebih luas. „Public A dm inistration” itu m em peladjari djuga soal-soal d i 1 u a r la pangan pem erintahan belaka (n iet zuivere bestuursvragen), asal sadja soal-soal itu ada hubungan dengan pem erintahan belaka tersebut 47 . § 3:
Hukum tatausaha negara peraturan-peraturan
sebagai himpunan istimewa.
D ari definisi hukum tatausaha negara (lihatlah di atas) kita m e ngetahui bahwa dalam lapangan hukum ada perhubungan-perhubungan hukum „istim ewa” ja n g m em ungkinkan para pendjabat (tatausaha negara) m elakukan tugas „istim ewa” mereka. D engan kata lain : hukum tatausaha negara itu terdiri atas peraturan-peraturan hukum istimewa. Apakah sebabnja maka hukum tatausaha negara itu dapat disebut hukum „istimewa” ? Apakah jan g dimaksud dengan perkataan „istim ewa” itu ? Seperti semua subjek hukum lain, maka tatausaha negarapun tunduk djuga pada hukum privat, jan g dapat kam i sebut hukum b i a s a (gemene recht, H a m a k e r , S c h o 1 1 e n ) 4 8 . A gar dapat m enjelenggarakan sebagian tugasnja, maka tatausaha negara dapat djuga — seperti semua subjek hukum lain — menggunakan perhubungan-perhubungan hukum jan g dipakai subjek-subjek hukum lain itu — manusia, firm a, perseroan-bertanggung-terbatas (N .V .) — , m isalnja, peraturan-peraturan 46 47
48
Sama, hal. 6-7. Pembatjaan tentang „Public Administration” : Sebagai „general textbook” : L e o n a r d D. W h i t e „Introduction to the Study of Public Administration”, 1956; M .E. D i m o c k dan G l a d y s O. D i m o c k „Public Administration”, 1953 ; J o h n M. P f i f f n e r dan R. V a n c e P r e s t h u s „Public Administration”, 1953 ; J o h n D. M i l l e t „Management in the Public Service”, 1954. Suatu ringkasan jang sistematis : D w i g h t W a 1 d o „The Study o f P u b lit Administra tion”, 1955. ' Mengenai „Public Administration” di N egeri Inggris dapat dibatja E. N . G l a d d e n „An Introduction to Public Administration”, 1952, dan „The Essentials o f Public Administration”, 1953. Penting dibatja djuga karangan M r J . i n ’t V e l d „Amerikaanse litteratuur met betrekking tot Public Administration” dalam „Bestuurswetenschappen”, 1957 nr 1 dan 2 . Lihatlah Prof. D r J.H .A . L o g e m a n n „Over de theorie van een stellig staatsrechtv, 1948, hal. 79: „ ...................... dat staatsrechtelijke personen naar nederlands en nederlands-indisch recht meermalen ook bevoegd zijn tot het verrichten van rechtshandelingen van het gemene recht, onrechtmatige daden kunnen verrichten als gewone burgers, tot nakoming "van rechtsregels gehouden kunnen zijn en rechten kunnen handhaven als gewone burgers” (bahwa baik menurut hukum Belanda maupun menurut hukum Hindia B e landa subjek-subjek hukum tatanegara itu sering berkuasa djuga mengadakan
37
jang terdapat dalam K.U.H. Perdata tentang djual-beli, sewa, dsb. Tetapi agar dapat menjelenggarakan (sebagian) tugas i s t i m e w a nja — jakni suatu tugas tertentu (istimewa) jang hanja diserahkan kepada tatausaha negara dan tidak diserahkan kepada subjek-subjek hukum lain (oleh. L e m a i r e dan d e K a t A n g e l i n o tugas ini dinamakan „bestuurszorg” = penjelenggaraan kesedjahteraan umum 40) — maka tata usaha negara memerlukan k e k u a s a a n i s t i m e w a . Tatausaha negara memerlukan kekuasaan istimewa itu oleh karena dalam hal didjalankannja hukum biasa, maka belum tentu semua penduduk wilajah negara akan tunduk pada perintahnja. Hal itu oleh karena tidak semua penduduk di wilajah negara tjenderung atau dengan sukarela mau tun duk pada peraturan-peraturan hukum biasa. Atau dengan kata lain: agar dapat mendjalankan (sebagian) tugas „bestuurszorg” itu setjara sebaik-baiknja dan agar dapat menundukkan s e m u a penduduk pada perintah-perintahnja (jang perlu dikeluarkan oleh karena tugas „be stuurszorg” itu), maka tatausaha negara — berdasarkan kekuasaan isti mewa — dapat menggunakan suatu hukum jang lebih m e m a k s a dari pada peraturan-peraturan hukum privat jang sering tidak memberi tjukup djaminan bahwa semua penduduk akan tunduk. Djadi, bila hukum privat (hukum biasa) tidak dapat memberi tjukup djaminan sehingga tugas istimewanja dapat dilakukan sebaik-baiknja, maka tata usaha negara dapat menggunakan hukum istimewa. Hukum tatausaha negaralah jang merupakan hukum istimewa itu, sedangkan hukum privat — jang berlaku bagi tiap subjek hukum (termasuk djuga tatausaha ne gara) — adalah hukum biasa 5°.
49
perbuatan-perbuatan menurut hukum biasa, dapat djuga mengadakan perbua tan-perbuatan jang bertentangan dengan hukum seperti orang-orang biasa, dapat djuga dipaksa mentaati peraturan-peraturan dan dapat djuga memper tahankan haknja seperti orang-orang biasa). D o n n e r (hal. 4 ): „Aan dit verschil doet niet af de omstandigheid, dat het bestuur zich met opzet meermalen op één lijn stelt met de burger. In tal van situaties heeft het voor de vervulling van zijn taak aan exorbitante bevoegdheden geen behoefte of bezit deze niet. Dan maakt het bijv. van het gemene recht gebruik om zijn doeleinden te bereiken langs de wegen, die voor iedere burger openstaan” (Perbedaan ini tidak dikurangi oleh hal tatausaha negara sering kali dengan sengadja menempati kedudukan sederadjat dengan kedudukan orang biasa. Dalam banjak hal tatausaha negara itu agar dapat mendjalankan tugasnja — tidak merasa perlu mendjalankan kekuasaan luar biasa atau tidak memiliki kekuasaan luar biasa. Dalam hal sematjam itu dipakai hukum biasa dan ditempuh djalan jang djuga dapat ditempuh orang biasa). Badan-badan „partekelir” jang mendjalankan sebagian penjelenggaraan ke sedjahteraan umum pada umumnja mendjalankannja atas i n i s i a t i f
sendi ri . 50
38
Perbedaan antara hukum tatausaha negara dan hukum privat jang kami sing gung tadi adalah identik dengan persoalan dalam ilmu hukum mengenai per-
Tatausaha negara dapat menggunakan peraturan-peraturan tertentu jang tidak dapat digunakan subjek hukum „partekelir”. M isalnja, pei> aturan-peraturan jang disebut dalam pasal 27 U .U .D .S. (hak untuk mentjabut, onteigeningsrecht), dalam pasal-pasal 37 dan 38 (kekuasaan pemerintah untuk mentjampuri dalam perekonom ian), dalam pasal 117 U .U .D .S. (hak untuk-memungut padjak jang hanja dapat didjalankan oleh pem erintah). Tatausaha negara dapat m e m i l i h antara per aturan-peraturan istimewa itu jang bersama-sama merupakan hukum tatausaha negara dan peraturan-peraturan hukum biasa jang dinamakan hukum privat. Atau dengan kata lain : tatausaha negara dapat memilih antara peraturan-peraturan istimewa dan peraturan-peraturan biasa. Badan-badan „partekelir” — terketjuali badan-badan „partekelir” jang oleh pemerintah diserahi delegasi kekuasaan istimewa dan oleh sebab delegasi ini turut-serta langsung dalam pemerintahan — serta manusia (sebagai individu) tidak dapat memilih hukum istimewa itu. D i samping hukum tatausaha negara, djuga hukum pidana mendjadi suatu hukum „istimewa”. Tetapi antara hukum tatausaha negara dan hukum pidana ada perbedaan penting. Hukum tatausaha negara memuat petundjuk-petundjuk hidup (levensvoorschriften) sedangkan hukum pidana tidak memuat petundjuk-petundjuk hidup itu. Hukum pidana memuat sanksi-sanksi jang didjalankan dalam hal pelanggaran terhadap petundjuk-petundjuk hidup itu. Sanksi jang termuat dalam hukum pi dana itu sanksi istimewa, karena memaksa istimewa (jaitu lebih keras) orang tunduk pada peraturan-peraturan hukum jang telah ada. Sebagai suatu hukum sanksi istimewa, maka hukum pidana itu mendjatuhkan suatu p e n d e r i t a a n i s t i m e w a ( b i j z o n d e r l e e d ) atas diri masing-masing pelanggar hukum, termasuk pelanggar hukum tatausa ha negara. Peraturan-peraturan hukum tatausaha negara dipertahankan oleh baik sanksi biasa maupun sanksi istimewa. T jo n to h tentang per aturan hukum tatausaha negara jang dalam hal pelanggaran dipertahan kan oleh suatu sanksi istimewa, chusus suatu penderitaan istimewa, ada lah banjak sekali. M isalnja, pasal 11 ajat 2 Undang-undang Darurat Paspor, L.N . 1950 N r 82; pasal 6 Undang-undang pengawasan per buruhan tahun 1948 N r 23 dari Republik Indonesia (didjadikan ber laku bagi seluruh wilajah Republik Indonesia menurut L.N . 1951 N r 4 ) . bedaan antara hukum publik dan hukum privat (lihatlah ringkasan D o n n e r, hal. 57-66). Kami mengikuti dalam garis besar pendapat Prof. E.M. M e i j e r s („Algemene leer van het burgerlijk recht”, 1948, hal. 2 0 ). Dalam suatu perhubungan hukum p r i v a t , maka jang bersangkutan diberi k e b e b a s a n untuk mendjalankan kekuasaan (hak) jang diberikan oleh hukum kepadanja, setjara menurut kehendaknja sendiri. Hukum p u b l i k -
39
g 4:
Hukum tatausaha negara h u k u m tatanegara.
dan
Hukum tatausaha negara termasuk hukum negara dalam arti kata luas 51 Tentang pembagian hukum negara dalam arti kata luas (hukum mengenai negara) dalam dua bagian, jakni bagian jang mendjadi hukum negara dalam arti kata sempit (hukum tatanegara) dan bagian jang mendjadi hukum tatausaha negara, dalam kalangan ahli hukum telah timbul banjak perselisihan faham 52. lah (hukum tatausaha negara termasuk hukum publik) jang m e m b a t a s i kebebasan ini. Tentang perbedaan antara hukum privat dan hukum publik lihatlah djuga buku kami „Pengantar dalam Hukum Indonesia”, Bab I
51
par. 11.
Lihatlah buku kami „Pengantar dalam Hukum Indonesia”, Bab I par. 11. Prof. Mr C. v a n V o l l e n h o v e n karangan „Thorbecke en het administratiefrecht” dalam Prof. Mr J. O p p e n h e i m - bundel („Nederlandsch administratiefrecht”), 1912, hal. 1 (djuga ditempatkan dalam „Verspreide Geschriften”, djilid I hal. 605) dan „Omtrek van het administratief recht” dalam „Verhandelingen voorgedragen in de Koninklijke Academie van Wetenschappen”, bagian kesusasteraan, djilid 62, seri B Nr 3 (djuga ditem patkan dalam „Verspreide Geschriften”, djilid I, terutama hal. 88). Prof. D r J.H.A. L o g e m a n n „Staatsrecht”, 1947 hal , -5 dan hal. 21 dan „Over de theorie van een stellig staatsrecht”, 1948, hal. 17-81. Prof. Mr W .F. P r i n s „Inleiding in het administratiefrecht van Indonésie”, 1950, hal. 9-13. D r J.R . S t e l l i n g a „Grondtrekken van het Nederlands Adminsitratiefrecht”, 1951, hal. 1-14 (memberi ichtisar tentang pendapat-pendapat terpen ting mengenai pembagian tersebut). Prof. Mr C.W . v a n d e r P o t „Nederlandse staatsrecht”, 1950, hal. 5-8 . Prof. Mr R. K-r a n e n b u r g - Prof. Mr W .G . V e g t i n g „Inleiding in het Nederlands Administratiefrecht”, 1955, hal. 1-7 . Prof. Mr A.M. D o n n e r dalam „Nederl. hestuursrecht”, bagian „Algemeen deel”, 1953 hal. 53-57. Prof. M r W .G . V e g t i n g „Het algemeen Nederlands Administratiefrecht” I, 1954 : „Staats- en administratiefrecht hebben een gemeenschappelijk gebied van te bestuderen regelen, die echter bij de ene studie anders benaderd worden dan bij de ander (hukum tatanegara dan hukum tatausaha negara mempeladjari suatu lapangan peraturan-peraturan jang sama. Tetapi tjara mendekati (menjelidiki) lapangan tersebut jang dipakai peladjaran jang satu adalah berlainan dari pada tjara mendekati jang digunakan peladjaran jang lain). Mr D r H .J. R o m e i j n „De strijd om het administratiefrecht” dalam „Rechtsgeleerd Magazijn Themis”, jaargang 1943, hal. 248 dan 297. Prof. Mr G.A. v a n P o e 1 j e „Inleiding tot het bestuursrecht, 1937, hal. 76 dan jang berikutnja. Pembatjaan dalam bahasa Perantjis : H. N é z a r d „Eléments de droit public”, 1946, hal. 1; L. R o l a n d „Précis de droit administratif”, 1947, hal. 1. (Pengaruh ilmu hukum tatausaha negara di Perantjis sangat besar dalam ilmu hukum tatausaha negara di Negeri Belanda. Maka dari itu — oleh karena pengaruh ilmu hukum tatausaha negara di Negeri Belanda masih » sangat besar dalam ilmu hukum tatausaha negara di Indonesia — pentinglah diketahui djuga pendapat pengarang bangsa Perantjis tentang hukum tata usaha negara itu. Bahwasanja pengaruh ilmu hukum tatausaha negara di
52
40
Sebagai anggapan-anggapan terpenting dapat kami kemukakan : A n g g a p a n v a n V o l l e n h o v e n . Dalam karangannja jang bernama „Thorbecke en het administradefrecht” dikatakan ahli hukum ini bahwa „Ter eener zijde vindt men, aïs staatsrecht, dat complex van rechtsvoorschriften, dat organen instelt en dàaraan bevoegdheden toekent, dat de werkzaamheden van een moderne overheid distribueert over tal van hoogere en lagere organen; het houdt zich bezig, naar Oppenheim’s woord, met den staat in rust. Anderzijds staat — als administradefrecht — dat complex van bepalingen, waaraan hoogere en lagere organen gebonden zijn, zoodra ze van hun reeds vaststaande staatsrechtelijke bevoegdheid gebruik gaan maken ; het betreft naar Oppenheim’s verdere woord, den staat in beweging” 53. Djadi, hukum tatanegara ialah hukum jang memberi gambaran tentang n e g a r a d a lia m k e a d a a n j a n g t a k b e r g e r a k (staat in rust), sedang kan hukum tatausaha negara jnempertundjukkan kepada kita n e g a r a dalam keadaan b e r g e r a k (staat in beweging). Kemudian dalam karangannja „Omtrek van het administratiefrecht” maka v a n V o l l e n h o v e n mengadakan suatu pembagian jang berdasarkan suatu ukuran (critérium ) jang agak berlainan dari pada ukuran jang mendjadi dasar anggapannja dahulu. Dikatakannja Perantjis sangat besar dalam ilmu hukum tatausaha negara di Negeri Belanda, dapat kita rasa dalam buku K r a n e n b u r g - V e g t i n g . Dalam buku ' Mr Ir M.M. v a n P r a a g „Algemeen Nederlands Administratief Recht”, 1950, dimasukkan banjak pandangan teoretis jang berasal dari mazab hukum W inia jang didirikan H a n s K e l s e n . Sebetulnja pandangan-pandangan teoretis tersebut menggelapkan gambaran tentang lembaga-lembaga hukum tatausaha negara positif jang telah ada). Dalam bahasa Djerman : F r i t z F l e i n e r „Institutionen des deutschen Verwaltungsrecht”, 1928, hal' 1 : „Wenn die Verfassung im staatlichen Leben das ruhende, beharrende Moment darstellt, so tritt uns in der Verwaltung der aktive Staat entgegen” (Dapat dikatakan bahwa undang-undang dasar (konsitusi) mempertundjukkan kepada kita penghidupan negara dalam keadaan jang tak bergerak, sedang tatausaha negara („bestuur”, pemerintahan) mempertundjukkan kepada kita negara dalam keadaan bergerak). Anggapan ini terdapat djuga dalam karangan v a n V o l l l e n h o v e n „Thorbecke en het administratiefrecht” jang kami sebut di atas. 53 Terdjemahan : Pada fihak jang satu terdapatlah hukum tatanegara sebagai suatu gabungan peraturan hukum jang mengadakan badan-badan (kenegaraan), jang mem berikan kekuasaan kepada badan-badan itu, jang membagi pekerdjaan pemerintah serta memberikan bagian-bagian itu kepada masing-masing badan tersebut jang tinggi maupun jang rendah. Hukum tatanegera itu — me nurut kata Oppenheim — memperhatikan negara dalam keadaan jang tak bergerak. Pada fihak lain terdapat hukum tatausaha negera sebagai suatu gabungan ketentuan-ketentuan jang mengikat badan-badan jang tinggi mau pun jang rendah bila badan-badan itu menggunakan kekuasaannja jang
41
bahwa „Alle recht, dat niet sinds eeuwen geijkt is als materieel staatsrecht, materieel privaatrecht o f materieel strafrecht (k rijg t) op natuurlijke wijze een welgevoegd onderdak in het administratiefrecht” S-4. Djadi, semua hukum jang sudah berabad-abad lamanja tidak ter masuk golongan hukum tatanegara materiil, golongan hukum privat materiil atau golongan hukum pidana materiil, dapat di masukkan kedalam golongan hukum tatausaha negara. V a n V o l l e n h o v e n mengadakan suatu ukuran luas untuk dapat menentukan hu kum mana jang merupakan hukum tatausaha negara itu. Menurut anggapan v a n V o l l e n h o v e n maka hukum tatausaha negara itu meliputi seluruh l a p a n g a n a k s i (activiteitsveld) badan-badan pemerintah. Maka dari itu hukum tatausaha negara itu tidak hanja ter dapat dalam lapangan pekerdjaan „bestuur” (pemerintahan dalam arti kata sempit) sadja, melainkan djuga dalam lapangan pekerdjaan funksi polisi, funksi mengadili dan funksi membuat peraturan. Dalam sistim v a n V o l l e n h o v e n hukum atjara pidana dan hukum atjara sipil termasuk djuga hukum tatausaha negara 55. telah diberikan kepadanja oleh hukum tatanegara itu. Hukum tatausaha negara berg , ™enurut kata Oppenheim — memperhatikan negara dalam keadaan 54
Terdjemahan : Semua hukum jang sudah berabad-abad lamanja tidak diterima sebagai nukum tatanegara materiil, hukum privat materiil atau hukum pidana maernl, dapat dengan sendirinja diberi tempat jang baik dalam golongan nukum tatausaha negara. R ^ v a n P r a a g „Algemeen Nederlands Administratief u nal. 4 : „Administratief recht is niet procesrecht” (Hukum lnhnSa a ne^ara *tu bukan hukum atjara). Tetapi pengarang mengakui : a antara peraturan-peraturan hukum tatausaha negara itu ada djuga J ■^ merupakan hukum atjara, bagian terbesar hukum tatausaha negara ini u"! ” f , n ! Lihatlah ketjaman S t e 11 i n g a terhadap anggapan mi pada hal. 14 bukunja. n e ^ n r ^ J’ . Menu r. j
tidak ,diikuti umum’ adalah Pembagian hukum tatausaha bagian chusus, jang dibuat v a n V o l l e n h o v e n .
m beberapa
Pat dibagi^alam at>.
oven
maka hukum tatausaha negara itu da-
„bestuursrecht” „justitierecht”, jang terdiri atas :
12. 34. cd-
n
„staatsrechtelijke rechtspleging” „burgerlijke rechtspleging” „administratieve rechtspleging” „strafrechtspleging”.
»politierecht” »regelaarsrecht”.
MengeMi pembagian ini lihatlah ketjaman
42
Kranenburg-Vegting,
Anggapan v a n V o l l e n h o v e n dianut dan dibela sepenuhpenuhnj.a oleh muridnja, jaitu D r S t e l l i n g a dalam bukunja „Grondtrekken van het Nederlands Administratiefrecht” 56. Seperti v a n V o l l e n h o v e n , djuga Prof. L o g e m a n n me ngadakan suatu pembagian azasi (principieel) antara hukum tatanegara dengan hukum tatausaha negara. Dapat dikatakan bahwa ukuran jang di pakai Prof. L o g e m a n n mengandung sesuatu kesamaan dengan uku ran jang dipakai v a n V o l l e n h o v e n dalam karangannja „Thorbecke en het administratiefreclii”. Tetapi oleh L o g e m a n n garis perba tasan (grenslijn) antara dua golongan hukum tersebut dinjatakan lebih djelas. Dikemukakan L o g e m a n n bahwa hukum tatanegara adalah suatu p e l a d j a r a n t e n t a n g k o m p e t e n s i (kekuasaan) (competentie-leer), sedangkan hukum tatausaha negara itu dapat dikemukakan sebagai suatu p e l a d j a r a n t e n t a n g p e r h u b u n g a n - p e r h u b u n g a n h u k u m i s t i m e w a (leer van de bijzondere rechtsbetrekkingen). Kata L o g e m a n n : „H et naspeuren van karakter, vorm, draagkracht van al die rechtshandelingen is de taak van het administratief recht. H et staatsrecht leert, tot de bevoegdheden van welk arnbt zij behoren. D it in details na te gaan doet geen algemene schets van het staatsrecht” 57 . Hukum negara dalam arti kata sempit (hukum tatanegara) mempeladjari (a ) djabatan-djabatan apa jang ada didalam susunan sesuatu negara, (b ) siapakah jang mengadakan djabatan-djabatan itu, (c ) tjara bagaimanakah djabatan-djabatan itu ditempati oleh para pendjabat, (d ) funksi ( = lapangan pekerdjaan) djabatan-djabatan itu, 56
Sebagai pangkal peladjarannja (uitgangspunt van zijn studie), maka D r . S t e l l i n g a menggunakan pembagian funksi jang dibuat v a n V o l l e n h o v e n . Maksud pengarang dengan menggunakan pangkal tersebut ialah memberi suatu gambaran selengkap-lengkapnja tentang hukum tata usaha negara jang terdapat dalam s e l u r u h lapangan pekerdjaan pemerin tah, djadi, tidak hanja memberi suatu gambaran tentang hukum tatausaha ne gara jang terdapat dalam lapangan pekerdjaan badan-badan jang mendjalankan funksi „bestuur sadja, melainkan mempeladjari djuga hukum tatausaha negara jang terdapat didalam lapangan-lapangan pekerdjaan badan-badan jang diserahi funksi-funksi lain (lihatlah kata pengantar bukunja dan hal. 27-28). Hal ini oleh karena — jaitu menurut pendapatnja — buku-buku jang telah ada hanja memperhatikan hukum tatausaha negara jang terdapat dalam lapangan pekerdjaan badan-badan kenegaraan jang diserahi funksi „bestuur” sadja. S t e l l i n g a menegaskan djuga adanja h u k u m t a t a u s a h a n e g a r a j a n g b e r l a k u b a g i p a r a i n d i v i d u sebagai anggauta masjarakat jang diperintah oleh negara itu (lihatlah hal. 321-327 dan • definisinja tentang hukum tatausaha negara pada hal. 13 ). 57 L o g e m a n n „Staatsredit van Ned.-Indie”, hal. 21 . Terdjemahan : Menjelidiki sifat, bentuk, kekuasaan (hukum) segala perbuatan hukum ialah tugas hukum tatausaha negara. Hukum tatanegara mengatakan djaba tan-djabatan mana jang berkuasa mendjalankannja. Penjelidikan itu tidak terdapat dalam suatu gambaran umum tentang hukum tatanegara.
43
(e ) kekuasaan hukum djabatan-djabatan itu, ( f ) perhubungan antara masing-masing djabatan itu dan (g ) dalam batas-batas manakah orga nisasi kenegaraan dapat melakukan tugasnja. Hukum tatausaha negara mempeladjari sifat, bentuk dan akibat perbuatan hukum istimewa sekaliannja jang dilakukan para pendjabat dalam mendjalankan tugas mereka 5 s. Anggapan L o g e m a n n mendapat tentangan, a.l. dari Prof. P r i n s, dan tidak sesuai dengan pendapat Prof. K r a n e n b u r g dan R o m e i j n. Mereka jang menentang anggapan L o g e m a n n me ngemukakan bahwa hukum tatanegara itu bukan suatu peladjaran kom petensi semata-mata, sebab hal tentang kewarga-negaraan dan hal tentang wilajah negara termasuk djuga lapangan hukum tatanegara itu. Ketjaman ini kurang memperhatikan apa jang dikemukakan L o g e m a n n di pertanjaan pada sub (g ): dalam batas-batas manakah organisasi kenegaraan dapat melakukan tugasnja ( = „gebied”, jang dapat dibagi dalam : „personen”-, „grond”-, dan „zaken- („rest ) gebied” — K e 1 s e n ). Pada umumnja dapat kami katakan bahwa hukum tatanegara itu suatu peladjaran kekuasaan, sedangkan hukum tatausaha negara mendjadi suatu peladjaran tentang perhubungan-perhubungan hukum istimewa (lihatlah di atas) jang memungkinkan para pendjabat i mendjalankan tugas istimewa mereka. Jang menundjuk badan kenegaraan I mana jang dapat mengeluarkan sesuatu idjin (vergunning) adalah per aturan hukum tatanegara, sedangkan jang menundjuk peraturan-per aturan (istimewa) jang memungkinkan badan kenegaraan tersebut me ngeluarkan idjin tersebut adalah hukum tatausaha negara 5£). ■^■n8 8 apan-anggapan jang kami kemukakan di atas ini adalah ang gapan jang mengemukakan suatu perbedaan a z a s i (prinsipiil) antara hukum tatanegara dengan hukum tatausaha negara. Tetapi ada djuga pengarang jang mengadakan suatu perbedaan jang b u k a n perbedaan azasi. Pengarang jang menganggap perbedaan antara hukum tatanegara dengan hukum tatausaha negara bukan perbedaan azasi ialah a .l .: V a n d e r P o t (jang menganut anggapan Prof. S t r u y c k e n ) . Menurut ahli hukum ini perbedaan antara hukum tatanegara dengan hukum^tatausaha negara itu bukan suatu perbedaan azasi oleh karena perbe daan itu tidak menimbulkan suatu akibat hukum (onderscheiding heeft 58
44
L o g e m a n n „Staatsrecht van Ned.-Indie”, hal. 5. Sangat sering sesuatu peraturan memuat baik peraturan-peraturan hukum tatanegara maupun peraturan-peraturan hukum tatausaha negara. Misalnja, „Fabriekenordonnantie” L.N.H.B. 1899 N r 263, pasal 1 ajat 1 dan ajat 2 memuat suatu peraturan hukum tatanegara, sedangkan pasal-pasal 3, 4, dll. memuat peraturan-peraturan hukum tatausaha negara.
geen rechtsgevolg). Perbedaan tersebut hanja penting bagi ilmu penge tahuan hukum sadja sehingga para ahli hukum dalam peladjarannja mendapat suatu sistim jang berguna. K r a n e n b u r g - V e g t i n g mengatakan bahwa „de onderscheiding staatsrecht en administratiefrecht (is) alzo niet principieel, maar enkel een kwestie van doelmatige arbeidsverdeling” 60. D ari apa jang dikatakan di atas telah ternjata bahwa kami sendiri memilih fihak L o g e m a n n . § 5:
Sumber-sumber
hukum
tata usaha
n e g a r a 61.
Telah umum diterima bahwa mengenai sumber hukum dapat dike- ’ mukakan dua pengertian jang berlain-lainan, ja itu : v a. b.
sumber hukum dalam arti kata m a t e r i i l sumber hukum dalam arti kata f o r m i l .
Penghargaan (pernilaian) tentang suatu kaidah, chusus suatu ka idah jang hendak memperoleh kwalifikasi kaidah hukum, dibuat dalam perasaan hukum (kejakinan hukum) individu atau terdapat dalam pen dapat umum jang mendjadi resultante perasaan-perasaan hukum jang sa ma individu-individu. Dalam perasaan hukum individu dan pendapat umum itu diadakan penghargaan terhadap peristiwa-peristiwa (feiten ) jang timbul dalam pergaulan kemasjarakatan jang dapat mempengaruhi dan menentukan sikap manusia. Penghargaan itu bersifat menentukan petundjuk-petundjuk hidup apa dan mana jang akan diterima dan harus diberi perlindungan sepenuh-penuhnja dari fihak pemerintah. Penghar gaan itu menentukan i s i dari petundjuk-petundjuk hidup tersebut. Sum ber hukum (hukum = petundjuk hidup jang diberi sanksi dari fihak pemerintah) jang menentukan isi kaidah hukum (dalam hal konkrit = tindakan manusia jang sesuai dengan apa jang dianggap seharusnja) di beri nama sumber hukum m a t e r i i l . Akan tetapi sebelum dapat berlaku umum di masjarakat, jaitu sebe lum ditaati djuga oleh mereka jang tidak (setjara sukarela m enerim anja), 60
61
Terdjemahan : Djadi, perbedaan antara hukum tatanegara dengan hukum tatausaha negara itu bukan suatu perbedaan azasi, melainkan hanja suatu soal mengenai suatu pembagian pekerdjaan jang bermanfaat. Tentang sumber-sumber hukum pada umumnja lihatlah buku kami „Pe ngantar dalam Hukum Indonesia”, Bab II. Tentang sumber-sumber hukum tatausaha negara lihatlah D o n n e r dalam „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 79-106 : „De rechtsbronnen van het bestuursrecht” .
45
maka penghargaan juridis (juridisch waardeoordeel) tentang suatu peristiwa sosial tertentu harus diberi suatu b e n t u k (vorm ) tertentu. Selama belum mendapat suatu bentuk tertentu, maka penghargaan ju ri dis tersebut hanja merupakan „suatu bajangan dalam perasaan hukum atau dalam fikiran orang” sadja. Bentuk itulah jang memungkinkan suatu kaidah (peraturan) hukum mendjadi berlaku umum dan ditaati djuga oleh mereka jang tidak menerimanja, bahkan, jang menentangnja. Biasanja, bentuk itu disebut sumber hukum f o r m i l . Dalam sumber hukum formil, maka penghargaan-penghargaan juridis itu dipositifkan (in de formele rechtsbronnen worden de juridische waardeoordelen gepositiveerd), jaitu didjadikan hukum positif. Sebagai sumber-sumber formil hukum tatausaha negara dapat disebut: ab-
undang-undang (hukum tatausaha negara tertulis) praktek tatausaha negara (hukum tatausaha negara jang merupakan
cd.
hukum kebiasaan) jurisprudensi anggapan para ahli hukum tatausaha negara.
Undang-undang, jaitu peraturan-peraturan perundang-undangan, mendjadi bagian terbesar hukum tatausaha negara. Tetapi sampai hari ini belum ada suatu kodifikasi sistimatis hukum tatausaha negara, se perti telah adanja suatu kodifikasi sistimatis hukum privat dan hukum pidana 62. Oleh D o n n e r 63 dikemukakan dua sebab maka sangat 62
63
46
Lihatlah K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 8 : „De stof van de administratiefrechtswetenschap is ongeordend; er heeft niet, gelijk bij het burgerlijk recht, het handelsrecht, het strafrecht, het burgerlijk- en strafprocesrecht, ordening door codificatie, door samenstelling in een wet b o e k, plaatsgevonden. Dat is voor de wetenschap een bezwaar” (bahan-bahan jang dipeladjari ilmu hukum tatausaha negara tidak mengenal suatu sistim. Berlainan halnja dengan hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum atjara privat dan pidana, maka tidak dibuat kodifikasi hukum tatausaha negara, jaitu tidak diadakan pengumpulan peraturan-peraturan hukum tatausaha negara dalam kitab undang-undang, jang membawa suatu sistim dalam lapangan hukum tatausaha negara itu). Djuga di Negeri Belanda belum ada suatu kodifikasi hukum tatausaha negara walaupun pernah diandjurkan (Lihatlah prae-advies Prof, v a n P o e 1 j e, Prof. D o n n e r dan Prof. D r j u l e s L e s p e s di muka Alg. Verg. der y er v Admin. Recht „Codificatie van de algemene beginselen betreffende het administratief recht”, tahun 1948). Lihatlah buku K r a n e n b u r g - V e g t i n g pada hal. 8 noot 2. Oleh S t e l l i n g a . ( h a l . 20) dikemukakan bahwa tidak-adanja suatu pe ngadilan tatausaha negara (administratieve rechter) (jang berdiri tersendiri) mendjadi suatu halangan besar bagi perkembangan hukum tatausaha negara di Negeri Belanda. Apa jang dikatakan D r S t e l l i n g a untuk keadaan di Negeri Belanda, dapat kami katakan djuga bagi keadaan di Indonesia. „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 84-85.
sukarlah untuk membuat suatu kodifikasi sistimatis hukum tatausaha negara. Dua sebab it u : 1.
2.
peraturan-peraturan hukum tatausaha negara berubah lebih tjepat dan sering setjara mendadak, sedangkan peraturan-peraturan hukum privat dan hukum pidana hanja berubah setjara berangsur-angsur sadja. pembuatan peraturan-peraturan hukum tatausaha negara tidak da lam satu tangan. Diluar pembuat undang-undang pusat (centrale wetgever) ( = Pemerintah bersama-sirna dengan Dewan Perwa kilan R akjat) hampir semua kementerian dan pemerintah daerah swatantra (otonoom ) membuat djuga peraturan-peraturan hukum tatausaha negara sehingga lapangan hukum tatausaha negara itu sangat-sangat beraneka warna dan tidak bersistim.
Apa jang dikemukakan D o n n e r itu dapat kami terima djuga bagi keadaan di Indonesia. Apalagi di negeri kita pada waktu sekarang sedang dilakukan suatu perubahan tjorak negara, jaitu pada waktu sekarang negara kita mengalami suatu perubahan dari negara kolonial jang bersifat „autoritair” mendjadi „welfare State”. Tugas „bestuurszorg” (d e K a t A n g e l i n o , L e m a i r e) makin lama makin luas. Hukum tatausaha negara tumbuh dengan tjepat, dan oleh sebab itu rupanja belum ada waktunja dan tidak mudah memasukkan hukum ta tausaha negara kedalam suatu kodifikasi lengkap dan sungguh-sungguh bermanfaat (doelm atig). Mengenai praktek tatausaha negara sebagai sumber hukum formil, dapat dikatakan bahwa praktek itu membentuk hukum tatausaha negara kebiasaan (tidak tertulis). Hukum tatausaha negara kebiasaan tersebut dibentuk dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan para pendjabat tatausaha negara. Sebagai suatu sumber hukum form il, maka sering kali praktek tatausaha negara itu berdiri tersendiri (zelfstandig) di samping undang-undang. Bahkan, tidak djarang praktek tatausaha ne gara mengesampingkan (opzijzetten) peraturan-peraturan perundangundangan jang telah ada. Hal ini makin lama makin sering diadakan pada waktu sekarang, karena makin lama makin njata bahwa pembuat peraturan perundang-undangan (wetgever) kurang mampu mengubah bagian tatahukum positif jang masih berasal dari djaman kolonial dan jang tidak lagi sesuai dengan keadaan sosial pada waktu sekarang. Tetapi tidak semua keputusan-keputusan para pendjabat tatausaha negara membentuk hukum tatausaha negara (mendjadi sumber hukum 47
form il). Keputusan-keputusan para pendjabat tatausaha negara ada dua matjam, jaitu keputusan jang memberi kesempatan kepada jang dikenai keputusan itu untuk memohon bandingan (beroep) pada pengadilan, dan keputusan jang tidak memberi kesempatan sematjam tadi. Dalam hal pertama, maka jang membentuk hukum tatausaha negara bukanlah keputusan pendjabat tatausaha negara tetapi keputusan h a k i m , jakni jurisprudensi, sedangkan dalam hal kedua jang membentuk hukum tatausaha negara adalah keputusan pendjabat tatausaha negara jang bersang kutan. Sangat penting dibatja karangan Prof, v a n P o e 1 j e „Gewoonte en bestuurspractijk in het administradefrecht” dalam madjalah „Bestuurswetenschappen”, 1952 hal. 359 d.j.b. dan 1953 hal. 1 d.j.b. Tidak semua pengarang sanggup menerima jurisprudensi sebagai suatu sumber hukum formil jang berdiri tersendiri. Misalnja, H a n s K e 1 s e n dalam „Stufentheorie”nja dan v a n A p e l d o o r n . Didalam buku kami „Pengantar dalam Hukum Indonesia”, 1956 Bab II, telah kami buat suatu uraian tentang apa sebabnja maka jurisprudensi itu dapat diterima sebagai suatu sumber hukum formil jang berdiri terI sendiri.
(
Dalam buku kami tersebut kami terangkan pula apa sebab nja maka djuga doktrina dapat diterima sebagai suatu sumber hukum formil jang berdiri tersendiri. Pendapat ini tidak diterima oleh banjak pengarang. Misalnja, v a n A p e l d o o r n dan D o n n e r . D o n n e r hendak menerima sebagai sumber hukum formil hanja undang-undang dan peradilan (termasuk praktek tatausaha negara). §6:
Susunan
peladjaran
i ni .
D i atas telah kami kemukakan bahwa dalam hukum tatausaha negara pada djaman sekarang belum kelihatan dengan njata suatu sistim. Pela djaran kami ini hanja berkehendak menggambarkan garis-garis besar jang — mungkin — ada didalam lapangan hukum tatausaha negara itu dan apa jang mendjadi dasarnja — jaitu bila dasar itu kelihatan dengan terang ! Sebagai
dasar
menjusun
peladjaran
ini,
kami
pakai
susunan
jang digunakan oleh K r a n e n b u r g - V e g t i n g . Djadi, setelah penindjauan pertama (eerste orientatie) jang kami masukkan dalam Bab I ini maka akan kami bitjarakan 64; 64
48
Kranenburg-Vegting,
hal. 12- 13 .
bentuk-bentuk hukum dari perbuatan-perbuatan pemerintahan (Bab I I) hukum kepegawaian (hukum mengenai subjek hukum dalam la pangan tatausaha negara, ambtenarenrecht, administratief personen recht) (Bab I I I ) hukum mengenai kepunjaan (dom ein) publik (hukum benda administratip, administratief zakenrecht, het recht betreffende de rechtstoestand van het publieke domein) (Bab IV ) peradilan tatausaha negara (administratieve rechtspraak) dan bertanggungdjawab juridisnja negara atas perbuatan-perbuatannja (de juridische aansprakelijkheid van de Staat voor zijn handelingen) (Bab V ).
BAB BENTUK-BEN TUK § 1:
II P E M E R I N T A H A N i.
Bermatjam-matjam perbuatan t at au sa ha negara.
Agar dapat mendjalankan tugasnja maka tatausaha negara mela kukan bermatjam-matjam perbuatan 2. Perbuatan-perbuatan tatausaha 1
2
50
Dalam tjetakan pertama buku ini, maka kami mendasarkan bab ini atas karangan Prof. M r C.W . v a n d e r P o t „De vormen van het besturen” dalam „Nederlansch bestuursrecht”, himpunan karangan-karangan jang dike luarkan oleh penerbit N. Samson, Alphen a.d. Rijn tahun 1934 (tjetakan kedua), hal. 201-230. Dalam persiapan tjetakan kedua, maka telah ternjata bahwa sebagian jang dahulu dikemukakan v a n d e r P o t tidak dapat dipertahankan dengan begitu sadja. Oleh sebab itu, maka^isi bab ini kami susun kembali dengan memperhatikan pembatjaan „recerit”, a.l. D o n n e r dalam „Ned. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 213-262 : „De Beschikking” dan M r D. v a n d e r W e l „Administratiefrechtelijke milliteicen”, disertasi Leiden 1950. Tetapi sistim penjelidikan tidak kami ubah. Sistim itu masih tetap setjara v a n d e r P o t . D ari bab pertama kita tahu bahwa tatausaha negara menjelenggarakan ke pentingan umum (kepentingan kolektif). Penjelenggaraan kepentingan ko lektif itu dapat diadakan menurut beberapa matjam tjara : 1. jang bertindak ialah tatausaha negara s e n d i r i 2 . jang bertindak ialah subjek hukum ( = badan hukum)lain jang tidak termasuk tatausaha negara dan jang mempunjai hubungan istimewa atau hubungan biasa dengan pemerintah. Hubungan istimewa atau hubu ngan biasa itu diatur oleh hukum publik atau hukum privat. Misalnja, pekerdjaan jang dilakukan oleh K.P.M. (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) bagi pemerintah berdasarkan „Groot-Archipel-Contract” (hu bungan istimewa) 3 . jang bertindak ialah subjek hukum lain jang tidak termasuk tatausaha negara dan jang mendjalankan pekerdjaannja berdasarkan suatu kons£si (concessie) atau berdasarkan suatu idjin (vergunning) jang diberi kan oleh pemerintah. 4. jang bertindak ialah subjek hukum lain jang tidak termasuk tatausaha negara dan jang diberi subsidi (subsidie) pemerintah (misalnja, banjak sekolah partekelir) 5. jang bertindak ialah pemerintah hersama-sama dengan suatu subjek hukum lain (atau beberapa subjek hukum lain) jang tidak termasuk tatausaha negara dan kedua belah fihak itu tergabung dalam suatu bentuk kerdja-sama (vorm van samenwerking) tertentu jang diatur oleh hukum (privat), misalnja, tergabung dalam suatu N.V. (perseroan-bertanggung-terbatas); atau pemerintah mempunjai kekuasaan dalam pe ngurusan sesuatu subjek hukum lain jang tidak termasuk tatausaha ne gara (djadi, pemerintah bukan pemegang saham tetapi dalam direksi ada beberapa wakil pemerintah); atau pemerintah mendirikan suatu N .V . dan mendjadi pemegang saham satu-satunja (lihatlah Undangundang darurat untuk memberi ketentuan kedudukan hukum kepada Bank Industri Negara, L.N. 1952 N r 21 ) 6. jang bertindak ialah jajasan jang didirikan oleh pemerintah atau di awasi oleh pemerintah 7. jang bertindak ialah kooperasi jang dipimpin oleh pemerintah atau diawasi oleh pemerintah
negara dapat kami golongkan dalam dua golongan besar, jakni golongan perbuatan-perbuatan h u k u m ( r e c h t s handelingen) dan golongan perbuatan-perbuatan jang b u k a n perbuatan hukum ( f e i t e l i j k e handelingen). Bagi h u k u m tatausaha negara hanja penting golongan perbuatan-perbuatan hukum; bagi hukum tatausaha negara golongan perbuatan-perbuatan jang bukan perbuatan hukum itu irrelevant ( = tidak berarti) 3. • Berdasarkan hal hukum dibagi dalam dua golongan, jakni dalam hu kum privat (sipil) dan hukum publik, maka perbuatan hukum itu ada dua matjam : a.' b.
perbuatan menurut hukum p r i v a t perbuatan menurut hukum p u b l i k .
(sipil)
Tatausaha negara sering djuga mengadakan perhubungan hukum (rechtsbetrekking) dengan subjek-subjek hukum lain berdasarkan hukum privat. Dalam hal tatausaha negara menjewakan atau menjewa ruangan (lokalitèt) (pasal 1548 K .U .H . Perdata), mendjual tanah „eigendom” (pasal 1457 K .U .H . Perdata), mengadakan perdjandjian-kerdja (dengan pelajan rumah tangga) berdasarkan titel 7 dan 7 A Buku I I I K .U .H . Per data, maka digunakannja peraturan-peraturan hukum privat dalam mendjalankan tugasnja 4. 8.
3
4
jang bertindak ialah subjek hukum lain jang tidak termasuk tatausaha negara tetapi diberi suatu kekuasaan memerintah (delegasi perundangundangan). Lihatlah djuga K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 14-15, dan prae-advies D r J.W . N o t e b o o m dan M r L.R .J. ridder v a n R a p p a r d d i muka Alg. Verg. der Ver. v. Admin. Recht „Samenwerking van overheid en particulier”, tahun 1953. Ichtisar jang diberi oleh K r a n e n b u r g V e g t i n g agak berlainan dari pada ichtisar jang kami beri. Achirnja, penting djuga : „De publiekrechtelijke bedrijfsorganisatie in Nederland”, djilid 3 dari serie „Geschriften van de Prof. M r B.M . Teldersstichting”, 1957. Suatu penindjauan dari sudut ekonomi dapat kita batja ringkasan dalam buku Prof. M r C. W e s t s t r a t e „Beschrijvende economie”, 1951 , hal. 183-186. Lihatlah djuga D r B. v a n d e T e m p e l „Publieke en semie-publieke ondernemingen”, 1935 dan Mr D r S.W . C o u w e n b e r g „Het parti culière stelsel. De behartiging van publieke belangen door particulière lichamen”, 1953Tjontoh-tjontoh tentang perbuatan jang bukan perbuatan hukum : tatausaha negara membuat djambatan (jang dimaksud ialah perbuatan konstruksi (constructie-handeling)), tatausaha negara melebarkan suatu djalan, tata usaha negara membuat suatu lapangan olah raga, dsb. Oleh D o n n e r (hal. 214-215) dikemukakan bahwa perbuatan „feitelijk”, seperti memasang papan nama djalan, mengukur tanah partekelir jang hendak dipakai untuk pembangunan gedung-gedung pemerintah, dsb. adalah perbuatan-perbuatan jang setjara tidak langsung menimbulkan akibat hukum. Oleh beberapa iihli hukum (a.l. oleh Prof. H u a r t „Misbruik van burgerlijk recht door de administratie” dalam „Staatsrechtelijke opstellen” jang
51
Perhubungan-perhubungan hukum jang terdapat dalam hukum pri vat tidak kami bitjarakan dalam buku ini karena peladjaran perhubungandipersembahkan kepada Prof. K r a b b e, 1927, djilid II, hal. 176 dan jang berikutnja, K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 43; D o n n e r „Ned. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 65-66; lihatlah djuga Mr G .J. W i a r d a „Overeenkomsten met overheidslichamen”, disertasi Amterdam 1939) dikemukakan bahwa bila untuk menjelesaikan sesuatu soal istimewa dalam lapangan tatausaha negara telah tersedia (D o n n e r) atau diperlukan ( K r a n e n b u r g - V e g t i n g ) peraturan-peraturan hukum publik, maka tatausaha negara hanja dapat menggunakan pearturan-peraturan hukum publik itu dan tidak dapat menggunakan peraturan hukum privat. Kata K r a n e n b u r g - V e g t i n g (hal. 43) — jang berdasarkan ang gapan H u a r t — : „De bestuursorganen mogen gebruikmaken van de gewone burgerrechtelijke rechtsvormen, wanneer de specifieke belangen, welke zij hebben te behartigen, geen specifieke normen van staats- en administratiefrechtelijke aard vereisen, die een ju iste'en rechtvaardige behandeling der geadministreerden waarborgen. Maar is dit laatste wel het geval, dan heeft de overheid zich van het gebruik der burgerrechtelijke rechtsvor men te onthouden,, en een contract, dat met dit beginsel in strijd zou komen, zou onverbindend zijn als strijdig met de openbare orde (artt. 14 A.B. en 1373 B .W .)” (alat-alat pemerintahan dapat menggunakan pe raturan-peraturan hukum privat jang berlaku bagi semua subjek hukum, bilamana penjelenggaraan kepentingan-kepentingan chusus ( = kepentingankepentingan jang hanja terdapat dalam lapangan „bestuur” dan „bestuurszorg”) tidak memerlukan kaidah-kaidah chusus jang hanja terdapat dalam lapangan hukum tatanegara dan dalam lapangan hukum tatausaha negara dan jang memuat djaminan bagi jang diperintah. Bilamana penjelenggaraan kepentingan-kepentingan chusus tersebut memerlukan kaidah-kaidah chusus itu, maka tatausaha negara tidak boleh menggunakan hukum privat ; dalam hal demikian tiap perdjandjian menurut hukum privat jang telah diadakan tatausaha negara itu bertentangan dengan azas ini dan dapat dianggap tidak berlaku karena bertentangan dengan ketertiban umum (pasal-pasal 23 A.B. dan 1335 K.U.H. Perdata)). Alasan anggapan ini : „ ......................... het (is) niet geoorloofd om in die situaties door het gebruik van andere rechtsvormen, n.l. die van het burgerlijk iiecht, de in het staats- en administratiefrecht gestelde waarborgen te omgaan” (dalam hal-hal demikian tidak dapat di perkenankan bahwa tatausaha negara menggunakan peraturan-peraturan hu kum lain — jaitu peraturan-peraturan jang terdapat dalam lapangan hukum privat — dengan maksud membebaskan diri dari pada sjarat-sjarat jang telah ditentukan dalam hukum tatanegara dan hukum tatausaha negara). Kami tidak dapat menerima anggapan ini. Masjarakat berkembang dengan tjepat dan sering terdjadi hal peraturan-peraturan hukum jang telah dibuat kemudian tidak sesuai lagi dengan keadaan sungguh-sungguh didalam ma sjarakat itu. Hal tersebut baik mengenai peraturan hukum privat maupun mengenai peraturan hukum publik (hukum tatausaha negara). D jadi, tata usaha negara harus merdeka dalam pilihan hukum mana akan didjalankan, karena dalam hal konkreto hanja tatausaha negaralah jang tahu penjelesaian mana mendjadi penjelesaian sebaik-baiknja. Lagi pula kita harus berani pertjaja pada kedjudjuran hati (goede trouw) pendjabat-pendjabat tatausaha negara. Hanja bilamana pemakaian hukum privat itu d e n g a n t e g a s s e k a l i d i l a r a n g , maka tatausaha negara tidak dapat memilih (Lihat lah anggapan Prof. S c h o l t e n „Zakenrecht” (serie A s s e r ), 1945, hal. 26: djuga hukum privat berlaku bagi tatausaha negara terketjuali dalam hal dinjatakan dengan tegas b.erlakunja hukum publik. Demikian djuga Prof. S c h e l t e m a dalam karangan „De zaken der openbare lichamen” dalam bundel Samson 1934, hal. 116 ). Anggapan H u a r t ( D o n n e r dan K r a n e n b u r g - V e g t i n g ) men-
52
perhubungan hukum privat itu tidak termasuk lapangan ilmu hukum tatausaha negara 5. Tentang perhubungan-perhubungan hukum privat — jakni perhubungan-perhubungan jang diatur oleh hukum „biasa” — li hatlah buku-buku standar (standaardwerken) mengenai hukum privat 6. Perbuatan hukum publik ada dua m atjam : a. b.
perbuatan hukum publik jang b e r s e g i publiekrechtelijke handeling) perbuatan "hukum publik jang b e r s e g i publiekrechtelijke handeling).
dua satu
(t w e e z i j d i g e (e e n z i j d i g e
Ada pengarang jan g hanja mau mengakui adanja perbuatan hukum publik jang bersegi satu. Menurut mereka tidak ada perbuatan hukum publik jan g bersegi dua. D jadi, menurut mereka tidak ada perdjandjian (overeenkom st) jang diatur oleh hukum publik 7. Bilam ana antara pe-
5
6
7
dapat tentangan dari Prof, v a n d e r P p t („Nederlandse staatsrecht”, hal. 341) dan Prof. P r i n s („Inleiding”, hal. 14). Tetapi pertanjaan alat negara manakah berkuasa melakukan perbuatan hukum privat itu, didjawab oleh hukum publik, jakni hukum negara dalam arti kata sempit (hukum tatanegara). M isalnja, D t L.C. H o f m a n n -M r S.N. v a n O p s t a l „Het Nederlands verbintenissenrecht”, 1948; M r A. P i t l o „Verbintenissenrecht”, 1952; penindjauan-penindjauan umum dalam buku Prof. M r E.M. M e i j e r s „Algemene leer van het burgerlijk recht” 1948. A.l. M r S. S y b e n g a karangan dalam madjalah „Themis” tahun 1918 hal'. 32 dan jang berikutnja dan praeadviesnja di muka Nederlandsche Juristen Vereeniging tahun 1927, hal. 1 1 ; M r F.G . S c h e l t e m a kara ngan dalam „Rechtsgeleerd Magazijn” tahun 1927 hal. 233 dan jang ber ikutnja. M r Ir M .M . v a n P r a a g „Algemeen Nederlands Administratief Recht”, 1950, hal. 40 mempunjai suatu anggapan istimewa. Pengarang ini menggu nakan pengertian „Overheidshandeling” (perbuatan pemerintah). „D e vergunning is een Overheidshandeling, en dit zonder meer. Immers, een Over heidshandeling is uit de aard der zaak, d.w.z. per definitionem ieenzijdig; anders ware het geen Overheidshandeling. Een Overheidshandeling toch is de handeling, waarbij rechtsregels worden uitgevaardigd of opgeheven. Ook daarom reeds kan men hier m oeilijk van m e d e w e k i n g der Overheid spreken” —■ lainlah anggapan K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 15 dan jang berikutnja. „Heeft men te doen met een tweezijdige handeling, welnu dan is dit geen Overheidshandeling” (Id jin itu bukan sesuatu lain dari pada suatu perbuatan pemerintah. Bukankah menurut sifatnja — jakni per defi nitionem — perbuatan pemerintah itu suatu perbuatan jang bersegi satu ; djika tidak demikian maka sudah tentu bukan perbuatan pemerintah. M e mang, suatu perbuatan pemerintah ialah suatu perbuatan jang mengeluarkan atau memberhentikan berlakunja sesuatu peraturan. Oleh karena hal ini sudah tentu, bahwa dalam hal idjin tidak dapat dikatakan ada kerdja-sama dari fihak pemerintah. Dalam hal perbuatan jang bersegi dua maka tidak ada perbuatan pemerintah). Alasannja : „het is dan niet de Overheid, die medewerkt ...................... Hetgeen dan men op het oog heeft, is het college of het individu, dat t e v e n s, doch andermaal, fungeert als orgaan van vaststelling. Maar waneer er sprake is van medewerking, d.w.z. van tweezijdigheid, dan heeft men te doen met
53
merintah dengan seorang partekelir diadakan suatu perdjandjian maka hukum jang mengatur perdjandjian itu senantiasalah hukum privat (K .U .H . Perdata). Perdjandjian itu suatu perbuatan hukum jang bersegi dua karena diadakan oleh d u a kehendak_ (jang ditentukan dengan sukarela), jakni suatu p e r s e s u a i a n k e h e n d a k ( w i 1 s o v e r e e n s t e m m i n g ) antara dua fihak. Maka dari itu suatu „perdjandjian menurut hukum publik” sebetulnja tidak ada karena dalam perhubungan jang diatur oleh hukum publik hanja satu fihak sadja jang (dengan sukarela) dapat menentukan kehendaknja, jaitu fihak pemerintah. Bertentangan dengan anggapan ini adalah anggapan beberapa pe ngarang lain, a.l. v a n d e r P o t 8, v a n P r a a g 9, K r a n e n b u r g V e g t i n g i o , W i a r d a 11, D o n n e r >2, j ang menerima adanja per buatan hukum publik jang bersegi dua (perdjandjian menurut hukum publik). Sebagai tjontoh tentang suatu perbuatan hukum publik jang bersegi dua dapat kami kemukakan „kortverband contract” (perdjan djian kerdja jang berlaku selama djangka pendek) jang diadakan oleh seseorang partekelir, sebagai pekerdja, dengan pemerintah, sebagai pemeen handeling van een individu of college, fungerende a l s ( s p a t i e e r i n g dari kami) orgaan van een openbare rechtspersoon. Dit is d'an een handeling van contractueel karakter, welke men ger.echtigd is vari een speciale benaming te voorzien” (dalam hal ini, jang kerdja-sama bukanlah pemerintah ................ Jang dalam hal ini bertindak ialah badan atau individu jang di samping itu — dengan mengadakan suatu perbuatan jang sama sekali berlainan — hertindak sebagai badan jang menetapkan hukum. Tetapi dalam hal kerdjasama, jakni dalam hal perbuatan jang bersegi dua, maka sudah tentu ada perbuatan individu atau perbuatan badan jang bertindak sebagai alat sesuatu badan hukum publik. Dalam hal ini ada suatu perbuatan jang bersifat perdjandjian dan jang berhak diberi nama istimewa). Kami tidak dapat menerima anggapan jang sempit itu. Bagi kami suatu „perbuatan pemerintah” ialah tiap perbuatan jang dilakukan pemerintah dengan maksud menjelenggarakan kepentingan umum, termasuk baik perbuatan mengadakan peraturan maupun perbuatan mengadakan ketetapan atau perdjandjian, bahkan, terma suk djuga perbuatan hukum privat jang bersegi satu maupun bersegi dua. Menurut pendapat kami maka pemakaian pengertian „perbuatan pemerintah” itu untuk meniatakan suatu perbuatan jang dilakukan pemerintah jang mempunjai sifat tertentu (hanja perbuatan jang bersifat m e m e r i n t a h ? ) , tidak bermanfaat dan hanja menjulitkan peladjaran hukum tatausaha negara jang sudah ternjata sangat berbilit. Tentang konsesi — jang mendjadi dasar penindjauan Mr Ir v a n P r a a g itu — lihatlah di bawah. 8 „Nederlansch bestuursrecht , 1934 hal. 203 dan „Nederlandse staatsrecht”, hal. 341. 9 D r L. v a n P r a a g „Op de grenzen van publiek- en privaatrecht”, 1923 , hal. 46. 10 „Administratiefrecht”, a.l. pada hal. 15. 11 G .J. W i a r d a „Overeenkomsten met overheidslichamen”, disertasi Am sterdam 1939 . 12 Prof. M r A.M. D o n n e r dalam „Ned. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 263-276. Lihatlah djuga J.L.H . C l u y s e n a a r „Publiekrechtelijke overeenkomsten” dalam „Rechtsgeleerd Magazijn Themis”, 1942 hal. 513 d.j.b.
54
beri pekerdjaan, untuk, misalnja, selama tiga
tahun. „Kortverband
contract” itu diadakan oleh karena suatu perbuatan hukum jan g bersegi dua (perdjandjian, overeenkomst) ( = disini ada persesuaian kehendak antara pekerdja dan pemberi pekerdjaan) dan perbuatan hukum itu di atur oleh suatu hukum „istimewa”, jaitu oleh peraturan hukum publik, dan tidak diatur oleh hukum „biasa”, jaitu oleh hukum privat (K .U .H . Perdata) 13. Pekerdja itu biasanja diangkat pegawai („kortverband” ) selama djangka berlakunja „kortverband contract”. Perbuatan hukum publik jang bersegi satu (jan g dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan suatu kekuasaan istimewa) diberi na ma „beschikking” 14; dalam bahasa Indonesia telah dipakai umum istilah „k e t e t a p a n” . Perbuatan jan g mengadakan suatu ketetapan dapat di sebut perbuatan penetapan (beschikkingshandeling). 13
14
D ari tadi telah kami ketahui bahwa pemerintah dapat djuga mengadakan perdjandjian-kerdja jang diatur oleh hukum privat, jakni perdjandjian-kerdja jang diadakan berdasarkan titel 7 dan titel 7A Buku I I I K .U .H . Perdata. Beberapa tjontoh lain mengenai perdjandjian menurut hukum publik, „Groot-Archipel-Contract” jang dahulu diadakan antara pemerintah Hindia Belanda dengan K .P.M ., perdjandjian-perdjandjian jang didasarkan atas pasal 5a Undang-undang Tambangan Indonesia („Indische M ijnwet” ) , L.N .H .B. 1899 N r 214 (lihatlah Prof. P r i n s „Inleiding”, hal.28 dan jang berikutnja). Menurut beberapa ahli hukum maka Tconsesi(lihatlah di bawah) itu merupakan suatu perdjandjian hukum privat, terketjuali bila suatu peraturan istimewa tidak mengidjinkan pemakaian hukum privat itu (lihatlah „Handelingen Nederlandsche Juristenvereeniging” tahun 1927 (d jilid I I ) ) . Beberapa ahli hukum lain melihat konsesi itu sebagai suatu perdjandjian tetapi bukan perdjandjian jang diatur oleh hukum privat. Istilah „beschikking” dipakai umum oleh karena pengaruh v a n V o l l e n h o v e n dan pengaruh v a n d e r P o t . Prof, v a n P o e l j e memakai istilah „besluit” (keputusan). Kami tidak dapat menjetudjui istilah v a n P o e l j e oleh karena istilah „besluit” itu telah dipakai untuk tiap tin dakan pemerintah jang berupa peraturan maupun ketetapan (lihatlah djuga v a n d e r P o t „Nederlandsch hestuursrecht”, hal. 204 noot 2 ). Oleh beberapa pengarang dibuat definisi tentang ketetapan : Menurut P r o f . P r i n s („Inleiding”, hal. 1 4 ) ketetapan itu „de eenzijdige rechtshandeling op bestuursgebied, door een overheidsorgaan verricht uit krachte van zijn bijzondere bevoegdheden” (perbuatan hukum jang ber segi satu J^ng didalam lapangan pemerintahan (dalam arti kata sempit, bestuur) dilakukan oleh sesuatu alat pemerintah (an dalam arti kata luas) berdasarkan kekuasaan istimewa alat itu ). Menurut v a n d e r P o t („Nederlansch bestuursrecht”, 1934 hal. 203) ketetapan adalah „de rechtshandelingen der bestuursorganen, hun wilsverklaringen voor het b i j z o n d e r e g e v a l ( s p a t i e e r i n g dari ka m i), gericht op een wijziging in de wereld der rechtsverhoudingen” (per buatan-perbuatan hukum jang dilakukan alat-alat pemerintahan, pernjataanpernjataan kehendak alat-alat pemerintahan itu dalam menjelenggarakan hal istimewa, dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan perhubungan-perhubungan hukum). Dalam definisi v a n d e r P o t tersebut ada kekurangan. Ketetapan itu tidak hanja diadakan oleh suatu alat p e m e r i n t a h a n ( b e s t u u r s orgaan) sadja. Misalnja, ketetapan dapat djuga dibuat oleh hakim atau oleh
55
pembuat undang-undang (misalnja, undang-undang persetudjuan (goedkeuringswet) jang memberikan kepada kepala negara kekuasaan untuk meratifikasi traktat — pasal 120 ajat 2 U.U.D.S. ; undang-undang naturalisasi jang memberikan kepada seorang asing kewarga-negaraan Indonesia — pasal 5 ajat 2 U .U .D .S.). Ada suatu ketjaman lagi. Kalau kami tidak salah (lihatlah djuga S t e 1 1 i n g a „Grondtrekken”, hal. 157) maka menurut v a n d e r P o t (batjalah „Nederlandsch bestuursrecht” terutama hal. 104 dan 105) ketetapan itu perbuatan pemerintahan mengenai perhubungan-perhubungan hukum publik. D jika hakim menundjuk seorang wali (benoemen van een voogd) maka tidak dapat dikatakan bahwa ketetapan ini suatu perbuatan mengenai suatu perhubungan hukum publik, melainkan suatu perbuatan mengenai suatu perhubungan hukum privat ! Sebuah definisi jang menarik perhatian ialah definisi jang dibuat Prof. M r A.M. D o n n e r dalam disertasinja „De rechtskracht der administratieve beschikking”, Amsterdam 1941, hal. 12 : ketetapan itu „een rechtshandeling, waardoor een bestuursorgaan als zodanig en/of kraditens algemeen verbindend voorschrift in het bijzondere geval eenzijdig de wederzijdse rechten en plichten der betrokken rechtsgenoten vaststelt” (suatu perbuatan hukum jang dalam hal istimewa dilakukan oleh suatu alat pemerintahan sebagai alat pemerintahan dan/atau berdasarkan suatu ketentuan jang me ngikat dan berlaku umum, dengan maksud menentukan hak-kewadjiban mereka jang tunduk pada sesuatu tatatertib hukum, dan penentuan tersebut diadakan oleh alat pemerintahan itu dengan tidak memperhatikan kehendak mereka jang dikenai penentuan itu (eenzijdig)). Oleh S t e l l i n g a („Grondtrekken”, hal. 158) dikemukakan ketjaman me ngenai definisi D o n n e r tersebut. Ketjaman S t e l l i n g a dapat kami setudjui. Bahwasanja pemerintah dalam tindakan-tindakannja tidak boleh meninggalkan azas legalitet, hal itu telah terang bila negara merupakan suatu negara hukum. Djadi, tegasan „berdasarkan suatu ketentuan jang me ngikat dan berlaku umum” itu merupakan kelebihan. Bahkan, suatu kelebi han jang membatasi kemerdekaan tatausaha negara, oleh karena pekerdjaan tatausaha negara modern — lihatlah apa jang kami kemukakan dalam Bab I — lebih luas dari pada hanja menjelenggarakan (M o n t e s q u i e u : mendjalankan) undang-undang sadja. Dalam buku „Ned. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 217-218, oleh D o n n e r dibuat suatu definisi lain. Katanja bahwa ketetapan itu _x.„de ambtelijke bestuurshandeling, waardoor eenzijdig en opzettelijk in een bepaald geval een be.staande rechtsverhouding of rechtstoestand wordt vastgesteld of een nieuwe rechtsverhouding of rechtstoestand in het leven wordt geroepen dan wel het een of het ander wordt geweigerd” (perbuatan pemerintahan jang didjalankan oleh suatu djabatan pemerintah jang dalam suatu hal tertentu setjara bersegi satu dan dengan sengadja meneguhkan suatu perhubungan hukum atau suatu keadaan hukum jang telah ada, atau jang menimbulkan suatu perhubungan hukum atau suatu keadaan hukum jang baru, atau menolaknja). Dalam definisi ini kelebihan tadi tidak diada kan. Kata „opzettelijk” harus dibatja „willens” (B o h 1 1 i n g k, lihatlah dibawah noot 35). D efinisi S t e l l i n g a („Grondtrekken”, hal. 159): ketetapan itu, „de beslissing van een Overheidsorgaan, waarvan de inhoud niet ligt op het terrein van wetgeving, politie en rechtspraak” (keputusan sesuatu alat pemerin ta h a n dalam arti kata luas) jang isinja tidak terletak didalam lapangan pembuatan peraturan, polisi dan pengadilan). S t e l l i n g a berpegangan pada pembagian kekuasaan •(functie-verdeling) jang dikemukakan oleh v a n V o l l e n h o v e n (lihatlah Bab I di atas). Pada azasnja (in principe) kami dapat menjetudjui anggapan S t e l l i n g a ; / tetapi kami tidak berpegangan pada pembagian kekuasaan jang dikemukakan van V o l l en h o v en . Kami hanja dapat menjetudjui definisi Prof. D o n n e r jang paling djelas dan tepat.
56
Ketetapan itu dibuat untuk baik menjelenggarakan perhubunganperhubungan d a - l a m alat negara (staatsorgaan) jang membuatnja ( k e t e t a p a n i n t e r n , interne beschikking) maupun menjelengga rakan perhubungan-perhubungan a n t a r a alat negara jang membuat nja dengan seorang partekelir atau antara dua atau lebih alat negara ( k e t e t a p a n e k s t e r n , externe beschikking). Perbuatan pemerintahan (bestuursdaad) jang kami bitjarakan da lam buku ini hanja perbuatan hukum publik jang bersegi satu jang dibuat untuk menjelenggarakan perhubungan antara pemerintah dengan seorang partekelir atau perhubungan antara dua atau lebih alat negara, jakni ketetapan ekstern. Bagi praktek tatausaha negara maka ketetapan ekstern itu mendjadi perbuatan tatausaha negara jang terpenting. Apa bila kami katakan ketetapan maka jang senantiasa kami maksud ialah ketetapan ekstern. Dapat dikatakan bahwa ketetapan itu suatu perbuatan pemerintahan dalam arti kata luas jang chusus bagi lapangan pemerintahan dalam arti kata sempit (de specifieke bewindshandeling op het terrein van het bestuur). Seperti halnja dengan undang-undang, jang merupakan per buatan pemerintahan dalam arti kata luas jang chusus bagi lapangan perundang-undangan, sedangkan keputusan hakim merupakan perbuatan pemerintahan dalam arti kata luas jang chusus dalam lapangan me ngadili. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa ketetapan itu suatu perbuatan jang hanja dilakukan oleh suatu alat pemerintahan dalam arti kata sempit (bestuursorgaan) sadja. Melainkan, kadang-kadang ketetapan itu djuga dibuat oleh suatu alat pemerintah (regeerorgaan) jang termasuk kalangan kehakiman misalnja, dalam hal hakim mengangkat seorang wali (benoemen van een voogd, jurisdiksi voluntèr) 15 _ atau oleh suatu alat pemerintah jang termasuk kalangan badan-badan perundangundangan misalnja, dalam hal pembuat undang-undang sentral mem buat suatu undang-undang persetudjuan (goedkeuringswet) jang mem berikan kekuasaan kepada Presidèn meratifikasi traktat (pasal 120 ajat 2 U .U .D .S.), dalam hal suatu hak kepunjaan seorang partekelir ditjabut (onteigening) maka oleh pemerintah dibuat suatu „nutswet” (lihatlah pasal 6 „Onteigeningsordonnantie”, L.N .H .B. ordonnnantie” ). 15
1920 N r 574, „nuts-
Mengenai perhedaan antara „rechterlijke beslissing van geschillen” dan „be schikking” lihatlah D o n n e r , hal. 217. Kami tidak dapat menjetudjui anggapan D o n n e r itu.
57
Maka dari itu bentuk dari ketetapan bermatjam-matjam : ketetapan termuat dalam keputusan Pemerintah (menteri bersama-sama dengan Presiden), dalam keputusan menteri, dalam keputusan kepala djawatan, dalam keputusan kepala bagian, dalam keputusan kepala daerah (swa tantra), dalam keputusan D.P.D ., dalam keputusan kepala ressort administratip (residen), dalam keputusan hakim (rechterlijke beschikk in g ), dalam undang-undang. § 2:
Peraturan
dan ketetapan.
Agar dapat mendjalankan tugasnja maka di samping ketetapan itu tatausaha negara dapat djuga membuat peraturan (undang-undang da lam arti kata m ateriil). Membuat peraturan itu mendjadi perbuatan hu kum jang dilakukan tatausaha negara pula. Kekuasaan tatausaha negara membuat peraturan terdapat dalam kekuasaan membuat undang-undang darurat (pasal 96 dan 97 U .U .D .S.) dan berdasarkan delegasi perundang-undang (pasal 98 dan 99 U .U .D .S.). Dalam praktek tatausaha negara, bagian terbesar dari kekuasaan membuat peraturan jang didele gasikan kepada Pemerintah itu diserahkan terus kepada para ahli peme rintahan ( bestuursspecialisten), jakni kepada kepala djawatan, kepala bagian, kepala direksi (pasal 99 U .U .D .S.), bahkan, kepada badan jang tidak termasuk kalangan tatausaha negara (badan „partekelir” jang di beri kekuasaan memerintah) (delegasi istimewa). Agar dapat mendjalan kan tugasnja sebaik-baiknja maka pemerintah memerlukan dekonsentrasi dan desentralisasi 16. 16
58
Lihatlah K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 150 dan jang berikutnja ; Mr Ir M.M. v a n P r a a g „Algemeen Nederlandsch Administratief Recht”, hal. 71-98 dan „Methoden van decentralisatie” dalam „Bestuursrechtwetenschappen , 1949, hal. 361-381; D o n n e r „Ned bestuursr.”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 116-117. Pembagian alat-alat pemerintahan (bestuursorganen) dalam golongan alat pemerintahan jang didekonsentrasikan dan golongan alat pemerintahan jang didesentralisasikan, seperti jang kami adakan di atas (Bab I ) , berdasarkan sistim jang dikemukakan v a n P o e l j e dalam bukunja „Beginselen van Nederlandsch administratiefrecht” ( 1927). Pembagian jang dikemukakan v a n P o e l j e itu berdasarkan azas : sebagian dari alat pemerintahan tetap termasuk suatu sentralisasi dan bagian lain alat pemerintahan terpaksa ter masuk suatu desentralisasi, oleh karena beberapa kepentingan kolektif dapat diselenggarakan lebih baik oleh suatu persekutuan hukum swatantra jang f . rendah (dari pada negara sebagai persekutuan hukum jang tertinggi) aan jang diberi kekuasaan tertentu. Tetapi djuga persekutuan hukum jang tetap tinggal tersentralisasi tidak iPenjelenggarakan kepentingan-kepentingan kolektif itu dari pusat sadja, djuga d a 1 a m persekutuan hukum jang tetap tinggal tersentralisasi arus diperhatikan azas : dalam beberapa hal pemerintahan dari dekat lebih bermanfaat dari pada pemerintahan dari djauh. Djuga d a l a m persekutuan hukum jang tetap tinggal tersentralisasi itu harus diadakan delegasi kekua-
Timbul pertanjaan : bagaimanakah perbedaan antara peraturan (jan g ■ dibuat oleh tatausaha negara) dengan ketetapan ? v Pada umumnja dapat dikatakan bahwa ketetapan itu dibuat untuk menjelesaikan suatu hal konkreto jang telah diketahui terlebih dahulu oleh tatausaha negara. Misalnja, pengangkatan sdr. A sebagai anggauta staf Biro Rekonstruksi Nasional (dalam surat pengangkatan itu disebut dengan tegas n a m a sdr. A dan sebab itu surat pengangkatan tersebut memberikan hak-kewadjiban hanja kepada sdr. A tersebut) (lihatlah per aturan Pemerintah tahun 1952 N r 1, L.N . 1952 N r 3 ), didirikannja suatu Panitya Penjelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah di kota Surabaja (lihatlah pasal 3 ajat 1 Undang-undang darurat tahun 1951 N r 16, L.N. 1951 N r 8 8 ), pentjabutan hak kepunjaan (onteigening) sdr. B atas persilnja (persil (perceel) = tanah jang tunduk pada hukum Eropah (pasal 570 K .U .H . Perdata)) jang terletak di djalan D jakarta N r 10 ( n a m a p e r s i l disebut dengan tegas). Peraturan dibuat untuk menjelesaikan hal-hal jang belum dapat di ketahui terlebih dahulu dan jang mungkin akan terdjadi (hal umum). Peraturan ditudjukan kepada hal-hal jang masih abstrak. M isalnja, ke tentuan seperti „Anggauta Dewan Pengawas Keuangan ' diberikan gadji menurut golongan Vl/f P.G.P. 1948” (pasal 1 sub c Peraturan Pe merintah tentang gadji pendjabat Thesaurir Djenderal dan perubahan kedudukan anggauta Dewan Pengawas Keuangan, L.N . 1953 N r 15) ; disini tidak disebut siapa ( = pendjabat dengan namanja) jang diberi gadji menurut golongan Vl/f P.G .P. 1948. Pengkonkritan (concretisering) terdjadi nanti dalam suatu ketetapan, jang mengangkat (dengan menjebut nama) sdr. A atau sdr. B. T jontoh lain : ketentuan seperti „Pa nitya Penjelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah diadakan dikota-kota jang ditetapkan oleh Menteri Perburuhan” (pasal 3 ajat 1 undang-undang darurat dalam L.N. 1951 N r 88 jang kami sebut di atas) ; disini tidak disebut sebuah panitya tertentu (konkreto). Suatu tjontoh la g i: „Onteisaan dari alat-alat lebih tinggi kepada alat-alat jang lebih rendah. Delegasi kekuasaan ini diberi nama dekonsentrasi vertikal. Apabila dalam persekutuan ' hukum jang tetap tinggal tersentralisasi itu satu kekuasaan dibagi antara dua atau lebih alat-alat jang kedudukannja dalam persekutuan hukum tersebut adalah sederadjat, maka dekonsentrasi itu disebut dekonsentrasi horisontal. Sebetulnja dekonsentrasi itu suatu matjam bentuk sentralisasi (een vorm van centralisatie) ! Beberapa matjam dasar pembagian lain j nng tidak dapat dibitjarakan disini — dikemukakan oleh Prof. Mr J.H .P.M . v a n d e r G r i n t e n („D.e inrichting van het bestuur” dalam „Nederlandsch bestuursrecht”, hal. 1-114); Prof. Mr A.M. D o n n e r („Ned. bestuursr.”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 107 d.j.b.); dan H .J. R o m e i j n dan J.M .C. R o m e i j n („Administratief Recht”, 1934).
59
geningsordonnantie” L.N .H.B. 1920 N r 574 adalah suatu peraturan, de mikian djuga halnja dengan pasal 27 U.U.D.S. 17. Tetapi kadang-kadang perbedaan antara ketetapan dengan peraturan itu tidak njata dengan terang. Kami mengingatkan para pembatja akan adanja peraturan jang diberi nama „slapende regeling”, jaitu peraturan jang pada waktu setelah pengundangan (afkondiging) belum berlaku di beberapa daerah tertentu. D jadi, walaupun telah diundangkan, berlakunja peraturan tersebut di beberapa daerah tertentu ditunda dan penentuan waktu berlakunja itu diserahkan kepada tatausaha negara. Peraturan ter sebut baru berlaku di daerah-daerah tertentu itu pada suatu tanggal tertentu di kemudian hari, dan agar peraturan itu berlaku maka tatausaha .— negara membuat suatu keputusan jang bersifat ketetapan. Keputusan ini mendjadi sebab maka pada tanggal tertentu itu ditimbulkan suatu keada an hukum umum (algemene rechtstoestand) jang baru, atau ditimbulkan suatu keadaan hukum jang baru berhubung dengan suatu objek terten tu 18. Misalnja, keputusan menteri kehakiman jang berdasarkan pasal 1
)
ajat 2 Undang-undang darurat tahun 1951 N r 1 (L.N . 1951 N r 9 ) me nentukan bahwa mulai sesuatu tanggal pengadilan swapradja dan pe ngadilan adat di sesuatu daerah dihapuskan seperti penghapusan penga dilan swapradja di Bali (Tambahan L.N. N r 231), pengadilan swapradja dan pengadilan adat di Sulawesi (N r 276), pengadilan adat di Lombok (N r 4 6 2 ), pengadilan swapradja di Sumbawa, Sumba, Timor dan Flores (N r 6 0 3 ), pengadilan swapradja dan pengadilan adat di seluruh Kaliman tan (N r 641 jo N r 6 4 2 ); keputusan menteri pertahanan (atau perdana menteri) jang berdasarkan „Territoriale zee en maritieme kringenordonnantie 1939”, L.N .H .B. 1939 N r 442, menundjuk sesuatu daerah sebagai „maritieme kring”; keputusan menteri keuangan jang menjatakan bahwa untuk sesuatu daerah ditunda berlakunja suatu peraturan padjak, 17
18
60
Kami harus mengingatkan para pembatja akan hal walaupun suatu peraturan dibuat untuk menjelesaikan soal-soal jang masih abstrak dan hypotetis (lihat lah buku kami „Pengantar dalam Hukum Indonesia”, Bab I par. 11), sering sesuatu perkara konkrit jang telah terdjadi sebelumnja, mendjadi sebab maka peraturan dapat lahir. Tetapi setelah perkara konkrit tersebut disele saikan, maka peraturan itu dipertahankan dan berlaku bagi semua perkara jang sifat dan tjoraknja sama dengan sifat dan tjorak perkara pertama ter sebut, dan jang mungkin terdjadi di kemudian hari. Achirnja, para pembatja dapat djuga diingatkan akan adanja peraturan „einmalig” ( = peraturan jang dibuat untuk menjelesaikan sesuatu perkara konkrit dan setelah penjelesaian itu berhenti berlaku) ( e e n m a l i g e r e g e l i n g ) , misalnja, Undang-undang darurat tahun 1951 N r 10 tentang pentjabutan kembali Peraturan Gadji M iliter 1950. Peraturan jang ditjabut itu diganti dengan peraturan Pemerintah tahun 1951 N r 50. Lihatlah P r i n s „Inleiding”, hal. 48-54.
misalnja, pada djaman kolonial keputusan Gubernur Djenderal berda sarkan pasal 54 ajat 2 „Ordonnantie op de loonbelasting”, L.N .H .B. 1934 N r 611 jo L.N .H .B. 1949 N r 342, jang berlaku di seluruh wilajah Indonesia berdasarkan L.N . 1952 N r 43, keputusan Gubernur Djenderal (lihatlah L.N .H .B. 1908 N r 15) berdasarkan pasal 46 „Ordonnantie op de personele belasting 1908”, L.N .H .B. 1908 N r 13 jang pada dja man kolonial diubah terachir dengan ordonnansi dalam L.N .H .B. 1949 N r 316, jang sekarang berlaku di seluruh wilajah Indonesia berdasarkan I
L.N . 1952 N r 43. Keputusan jang kami sebut di atas ini (sebagai tjontoh) adalah keputusan jang memuat ketetapan, walaupun akibat keputusan itu sama
l dengan akibat suatu peraturan, jaitu mengadakan suatu keadaan hukum umum jang baru. Tetapi keputusan tersebut bukan peraturan, oleh karena hanja mengikat para p e n g u a s a jang wadjib mendjalankan peratu ran jang bersangkutan di daerah jang bersangkutan. Kekuasaan untuk dapat berlaku umum timbul dari peraturan jang bersangkutan s e n d i r i dan tidak timbul dari ketetapan jang menjatakan berlakunja untuk sesuatu daerah. Tjontoh jang kami sebut di atas ini belum dapat dinamakan „grensgeval”, oleh karena, walaupun pada rupanja (ogenschijnlijk) ti dak njata, masih djuga kita dapat mengatakan dengan pasti bahwa ke putusan jang kami sebut di atas adalah ketetapan. Kam i mengambil tentang „grensgeval” suatu tjontoh dari buku Prof. P r i n s i» . Dalam L.N .H .B. 1930 N r 427 diundangkan suatu „nutsordonnantie” jang me nerangkan bahwa „guna kepentingan umum maka kotapradja M r Cornelis (sekarang Djatinegara) dapat mentjabut tanah (kepunjaan orang) jang terletak dalam daerah kotapradja sehingga D jalan W edana dapat dilebarkan”. Dalam „nutsordonnantie” ini tidak ditundjuk — dengan inenjebut namanja — persil-persil mana akan ditjabut. Maka dari itu menurut pendapat Prof. P r i n s keputusan pemerintah ini pada „ hakekatnja tidak lain berbunji dari pada : „Gubernur Djenderal ber kuasa menentukan bahwa beberapa persil jang terletak dalam daerah kotapradja M r Cornelis dan jang akanditundjuk,akan ditjabut supaja kotapradja itu dapat melebarkan D jalan W edana”(lihatlah pasal 11 „Onteigeningsordonnantie” ). Sebuah tjontoh lain (jan g djuga diambil dari buku Prof. P r i n s 20) : suatu keputusan pemerintah jang dibuat untuk mendjadikan berlaku „Epidemie ordonnantie” (L .N .H .B . 1911 19 20
„Inleid ing”, hal. 16-17. „Inleid in g”, hal. 17.
61
N r 2 99) untuk menghapuskan bahaja jang telah atau akan ditimbulkan oleh karena suatu penjakit jang t i d a k disebut dalam pasal 8 ajat 2 ordonansi tersebut — jang dimaksud P r i n s ialah L.N .H.B. 1938 N r 594 — adalah pada hakekatnja suatu keputusan jang mengadakan suatu perubahan peraturan. Lihatlah p e r a t u r a n Pemerintah tahun 1951 N r 73 (jang menjatakan berlakunja „Epidemie ordonnantie” ter hadap poliomyelitis anterior acuta (penjakit lumpuh kanak-kanak). §3: S j a r a t - s j a r a t jan g harus dipenuhi agar k e t e t a p a n a d a l a h k e t e t a p a n sah ( v o o r w a a r d e n v o o r d e r e c h t s g e 1 d i g h e i d d e r b e s c h i k k i n g ) 21. Dalam pembuatan ketetapan tatausaha negara harus memperhatikan ketentuan-ketentuan tertentu. Ketentuan-ketentuan itu terdapat dalam hukum tatanegara (mengenai kompetensi dan tudjuan) maupun dalam hukum tatausaha negara (mengenai „procedure” ). Bilamana ketentuanketentuan itu tidak diperhatikan maka ada kemungkinan dibuat suatu ketetapan jang mengandung kekurangan (gebreken). Kekurangan dalam suatu ketetapan d a p a t
mendjadi sebab maka ketetapan itu tidak-sah
( niet-r echtsgeldig). Kami mengatakan „ d a p a t mendjadi sebab” oleh karena tidak tiap ketetapan jang mengandung kekurangan mendjadi ketetapan jang tidak-sah. Adalah djuga ketetapan jang mengandung kekurangan jang masih djuga dianggap ketetapan sah. Menerima atau tidaknja suatu ketetapan jang mengandung kekurangan sebagai ketetapan sah (rechtsgeldig), pada umumnja bergantung pada hal. apakah sjarat jang tidak dipenuhi itu merupakan „ b e s t a a n s v o o r w a a r d e ” atau tidak untuk adanja ketetapan itu („bestaansvoorwaarde” = sjarat jang harus dipe nuhi agar sesuatu ada; apabila sjarat itu tidak dipenuhi maka sesuatu itu (dianggap) tidak ada). Oleh S t e 11 i n g.a ditegaskan bahwa suatu ketetapan jang mengandung kekurangan masih djuga dapat diterima sah oleh karena „van de zwaarte dezer gebreken zal afhangen, of de rechtsgeldigheid niettemin kan worden aangenomen” (sah tidaknja sesuatu ketetapan jang mengandung kekurangan bergantung pada beratnja kekurangan itu ). 21
62
Lihatlah v a n d e r P o t „Nederlandsch bestuursrecht”, 1934 hal. 204-214; D o n n e r „Nederlands bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 224-250.
Ketetapan itu dapat dibagi dalam dua matjam : k e t e t a p a n s a h (rechtsgeldige beschikking) dan k e t e t a p a n t i d a k - s a h (nietrechtsgeldige beschikking) 22. Ketetapan tidak-sah itu dapat berupa : ketetapan b a t a l (nietig, batal absolut, absoluut nietig) ketetapan jang d a p a t - d i b a t a l k a n (vermetigbaar). Sebelum melandjutkan peladjaran kami, maka perlu diberi uraian tentang pengertian „batal” dan „dapat-dibatalkan” itu. Kami mengang gap uraian itu penting chusus karena buku kami ini djuga: dibatja oleh mereka jang bukan sardjana hukum dan jang djuga mengingini mempeladjari hukum tatausaha negara. Bahan-bahan uraian kami ambil dari hukum privat. Batal, d a p a t - d i b a t a l k a n , d i b a t a l k a n n i s b 1 23.
batal
nisbi
dan
dapat-
jang diterima umum oleh ilmu pengetahuan hukum mau pun praktek 24 : b a t a l (nietig) berarti bagi h u k u m perbuatan jang d il a k u k a n tidak ada. Bagi hukum perbuatan itu akibatnja dianggap tidak p e r n a h ada. A mengadakan suatu perdjandjian dengan B. Perdjandjian itu diadakan pada tanggal 1 Pebruari 1954. Pada tanggal 1 A pril 1954 o l e h hakim diadakan pembatalan (vernietiging) perdjandjian itu, ka r e n a mengandung beberapa kekurangan (pasal 1320 K .U .H . Perdata), p e r d j a n d j i a n itu bagi hukum dianggap t i d a k pernah ada, djadi, a k i b a t P end apat
h a l . 205; y a n d e r W e l „Adm. rechtelijke nulliteiten” 1950 hal. 7. 23 P e l a d j a r a n umum tentang pokok (onderwerp) ini terdapat dalam buku : M r E. B e l i n f a n t e „Ongeldigheid van rechtshandelingen”, dis. Leiden 1901 ; Prof. Mr J. E g g e n s „Vormen van nietigheid en vernietigbaarheid van rechtshandelingen dalam W .P.N .R. N r 3629 dan N r 3630, „De vormen ¿er vernietigbaarheid van overeenkomsten bij onbekwaamheid en wilsgebreken” dalam W .P.N .R. N r 3637 dan N r 3638 dan preadvies, di muka Broederschap van Candidaat-Notarissen” tahun 1947 („Vormen van nietig heid en bekrachtiging van rechtshandelingen” ) ; M r J.A . v a n H a m e l D e leer de nulliteiten in het burgerlijk recht”, dis. Amsterdam 1902 dan ringkasan pada Mr P.J. V e r d a m „Nietigheid van besluiten”, dis. Leiden 1940, hal. 33 -82. Chusus bagi hukum tatausaha negara : Mr D . v a n d e r W e 1 „Administratiefrechtelijke nulliteiten”, disertasi Leiden 1950 ; laporan panitya jang didirikan oleh „Vereniging v. Admin. Recht” untuk menjelidiki p e r s o a l a n „nulliteit” ketetapan, jang bernama „Nietigheid en vernietigbaar heid van beschikkingen”, 1946 ; D o n n e r „Administratiefrechtelijke nul liteiten” dalam „Bestuurswetenschappen”, 1947. 24 V e r d a m, hal. 53-54.
22
S t e l l i n g a ,
63
perdjandjian itu dengan sendirinja bagi hukum dianggap tidak pernah ada. Segala sesuatu jang karena p e r d j a n d j i a n itu diadakan antara tanggal 1 Pebruari 1954 dan tanggal 1 April 1954 harus dihapuskan, atau de ngan kata lain : status hukum kedua belah fihak pada tanggal 1 April 1954 harus dikembalikan pada keadaan sebelum tanggal 1 Pebruari 1954, seakan-akan perdjandjian itu tidak pernah diadakan, d a p a t - d i b a t a l k a n (vernietigbaar) berarti : bagi h u k u m per buatan jang dilakukan dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim (pembatalan itu diadakan karena perbuatan tersebut mengandung sesuatu kekurangan). Bagi hukum, perbuatan tersebut ada sampai waktu pembatalannja dan segala akibat jang ditimbulkan antara waktu mengadakannja sampai waktu pembatalannja, mendjadi sah (terketjuah dalam hal undang-undang menjebiit akibat itu tidak-sah). Setelah pembatalan maka perbuatan itu tidak ada dan bila mungkin akibat jang telah terdjadi itu semuanja atau sebagiannja dihapuskan. Sampai tanggal 1 April 1954, bagi hukum, perdjandjian antara A dan B, dan akibat perdjandjian itu, mendjadi sah. Ternjata b'ahwa pengertian „batal” dan „dapat-dibatalkan” itu pen ting bagi a k i b a t sesuatu perbuatan jang oleh hakim dibatalkan, karena mengandung kekurangan. Bilamana sesuatu perbuatan jang mengandung kekurangan dibatalkan oleh hakim, maka timbul pertanjaan: bagaimana kah saknja akibat perbuatan itu ? Ada perbuatan jang akibatnja bagi hukum dianggap tidak pernah ada, djadi, batal sama sekali, dan ada per buatan jang akibatnja oleh hukum diakui walaupun hendaknja — bila mungkin — akibat itu semuanja atau sebagiannja dihapuskan. Ada pengarang (a.l. K r a n e n b u r g - V e g t i n g pada hal. 62, 64, dan D o n n e r pada hal. 228) jang menggunakan pengertian „batal k a r e n a h u k u m” (nietig v a n r e c h t s w e g e ) . Perlu dikemukakan disini bahwa pengertian ini tidak boleh ditafsirkan setjara seolah-olah sesuatu perbuatan, jang mengandung suatu kekurangan tertentu, untuk pembatalannja tidak memerlukan suatu keputusan hakim. Pembatalan sesuatu perbuatan jang mengandung kekurangan hanja dapat diadakan oleh h a k i m . Maka dari itu kami tidak suka menggunakan pengertian „batal karena hukum” tersebut, oleh karena penggunaan itu membawa kekatjauan sadja. Kami harus menegaskan disini bahwa pengertian „batal” dan „dapat-dibatalkan” itu terutama mengenai a k i b a t sesuatu perbuatan jang tidak-sah 25. 25
Dalam ilmu pengetahuan hukum di Perantjis dipakai pengertian „inexis tence” („onbestaanbaar”, „tidak-ada”, „ketidak-adaan”). Tentang pengertian ini kami” dapat menjetudjui apa jang dikatakan Mr V e r d a m (hal. 58) :
Sekarang timbul pertanjaan : siapakah jang dapat menuntut fbe roep doen op, eisen) di muka hakim pembatalan sesuatu perbuatan > Ada perbuatan jang pembatalannja dapat dituntut oleh t i a p orang ada perbuatan jang pembatalannja hanja dapat dituntut oleh beberapl orang t e r t e n t u sadja. Maka dari itu dalam ilmu pengetahuan hu kum dan praktèk diterima pengertian : b a t a l n i s b i (relatif nietig). Sesuatu perbuatan bagi hukum dapat dikatakan batal nisbi, bilamana pembatalan perbuatan itu — jang bagi hukum batal sama sekali — hanja dapat dituntut oleh beberapa orang tertentu sadja. Bilamana pembatalan perbuatan itu — jang bagi hukum batal sama sekali — dapat dituntut oleh tiap orang, maka perbuatan itu suatu per buatan jang batal mutlak (absoluut nietig). Kam i menambah pengertian ini dengan pengertian : dapat-dibatalkan n i s b i (relatief vernietigbaar). Sesuatu per buatan bagi hukum dapat dikatakan dapat-dibatalkan nisbi, bilamana pembatalan perbuatan itu — jang bagi hukum sah sampai waktu pem batalan — dapat dituntut oleh beberapa orang tertentu. Undang-undang berpendapat bahwa „dapat-dibatalkan” itu hanja dapat dituntut oleh beberapa orang tertentu sadja. Maka pengertian „dapat-dibatalkan nisbi” itu pada hakekatnja suatu pengertian teoretis sadja. Pada achirnja, dapat kami kemukakan bahwa kadang-kadang akibat sesuatu perbuatan dianggap batal untuk sebagian sadja ( b a t a l u n t u k s e b a g i a n , gedeeltelijk nietig) dan bagian lain akibat itu dianggap sah. „Batal untuk sebagian” itu pada hakekatnja suatu matjam (vorm ) „dapat-dibatalkan” (lihatlah di atas). Pengertian-pengertian jang kami sebut diatas ini adalah pengertian jan g diperkembangkan dalam ilmu dan praktèk hukum privat, tetapi dapat dipakai di seluruh lapangan hukum. „En is dan zoo liet begrip „„inexistence”” niet een'begrip dat • ôf samen valt met metigheid, ôf buiten-juridisch is gevat ? Immers ; het critérium ligt eigenlijk in een gradueel veschil : het min o f meer essentiëele van het ontbnekend element. Onbestaanbaar is dan hyper-nietig, maar met dat al : nietig, een sterker begrip is er niet en behoeft men ook’ niet te hebben omdat îets wat geacht wordt niets te zijn toch moeilijk nog minder ’ deenng vinden kan. En aïs men dan toch het begrip der ^ volhoudt, dus buiten de nietigheid, die toch het m e « t t ; begrip is, komt men dan met d.e „„onbestaanbaarheid”” niet op een terrein dat met juridiscli meer is; immers men ontkent dan niet alleen L , u w il d ,„ het fe,;«U jt b .„» a n ^ J " ™ heeft men toch geen apart jundisch begrip noodig aaarvoor I Zoo kan men tôt de conclusse komen dat het begrip der „„inexistence”” moet worden verworpen omdat het of geen juridisch begrip is, en dan raakt he de juridische wetenschap stnkt genomen niet, ôf wel juridisch is bedoeld,
65 \
Kami menutup uraian kami dengan meringkaskan : pengertian „batal” dan „dapat-dibatalkan” itu terutama mengenai akibat sesuatu perbuatan jang tidak-sah dan pembatalan sesuatu perbuatan hanja dapat diadakan oleh hakim atau tatausaha negara. Kami tidak dapat menerima pengertian „batal karena hukum” 26. Sjarat-sjarat jang harus dipenuhi tapan adalah ketetapan s a h 27.
agar
kete
D o n n e r 28 mengemukakan bahwa kekurangan dalam ketetapan dapat mengakibatkan bahwa : 1. 2.
ketetapan itu harus dianggap batal sama sekali berlakunja ketetapan itu dapat digugat : a. dalam bandingan (beroep) b. dalam pembatalan oleh djabatan (amtshalve vernietiging) ka_ rena bertentangan dengan undang-undang
doch dan gevoeglijk in de absolute nietigheid kan opgaan”. ( ................... bukankah pengertian „inexistence” itu suatu pengertian jang : a t a u sam-i dengan pengertian „batal”, a t a u ada diluar lapangan pengertian-pengertian hukum? Menurut pendapat kami maka perbedaan antara pengertian , inexi tence” dan pengertian „batal” itu mendjadi suatu perbedaan nisbi” sadi^ jaitu perbedaan tersebut bergantung pada hal kekurangan dalam perbuat jang dilakukan itu mendjadi kekurangan essensiil atau kekurangan Iev u essensiil. Djadi „tidak-ada” itu seharusnja „paling-batal” ! Tetapi bagaiman pun djuga : „batal”. Dan suatu pengertian jang lebih kuat dari pada 3 ngertian „batal” itu — menurut pendapat kami — tidak ada, sebetulnja d‘ ^ tidak perlu, oleh karena tidak ada gunanja menghargai sesuatu jang ada, lebih batal dari pada batal. Dan bilamana seseorang tetap hendak perhatikan pengertian „inexistence” itu, djadi, ia tetap hendak memÎf111' suatu pengertian lain di samping pengertian „batal” itu jang __ mp u at« pendapat kami — telah mendjadi pengertian terluas, muka bukankah™* memasuki suatu lapangan jang bukan lapangan hukum lagi ? Bilamana 1 orang tetap hendak mempertahankan pengertian „inexistence” tersebut hal itu berarti bahwa ia tidak hanja mau tidak-mengakui perbuatan • a dilakukan sebagai perbuatan hukum, tetapi menurut pendapatnja perb itu sekali-kali tidak ada. Menurut pendapat kami dalam hal demikian t ^ t perlu dibuat suatu pengertian hukum jang chusus. * Maka dari itu kami dapat membuat kesimpulan bahwa pengertian in tence” itu dapat dilemparkan, oleh karena bukan suatu pengertian hukX1S" jakni pengertian itu tidak mendapat tempat di lapangan ilmu pengetahUm’ hukum. Andainja dengan pengertian itu dimaksud suatu peneert^*1 hukum, maka pengertian tersebut dapat dimasukkan kedalam aen^prf'30 „batal mutlak”). s<-rcian 26 Lihatlah S t e l l i n g a , hal. 207-208. 27 V a n d e r P o t „Nederl. bestuursrecht”, 1934 hal. 204-214; D o n n e „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 224-250 ’ K r a n p f b u r g - V e g t i n g , hal. 57-71; S t e 1 1 i n g a, hal. 185-204. 28 „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 228.
66
c. dalam penarikan kembali (intrekking) oleh kekuasaan jang ber hak (com petent) mengeluarkan ketetapan tersebut. 3.
4.
dalam hal ketetapan tersebut sebelum dapat berlaku memerlukan persetudjuan (peneguhan) suatu badan kenegaraan jan g lebih tinggi, maka persetudjuan itu tidak diberi * ketetapan itu diberi suatu tudjuan lain dari pada tudjuan permulaannja (konversi, conversie).
Ada djuga kemungkinan bahwa kekurangan tersebut sama sekali tidak ' mempengaruhi berlakunja ketetapan itu (irrelevantie van het gebrek). D i samping kemungkinan ini masih ada lagi kemungkinan, jaitu „reconvalescentie”. Karena suatu tambahan atau suatu peneguhan (bekrachtiging) kemudian, maka ketetapan masih djuga berlaku. Sah tidaknja suatu ketetapan setjara mudah dapat diperiksa dalam hal bandingan (beroep). Tetapi dalam hal tidak ada kemungkinan untuk memohon bandingan, maka pemeriksaan itu sukar ! V a n d e r P o t berpendapat bahwa „bestaat deze mogelijkheid van vernietiging niet ...................... dan zal men eerder dan anders tot volstrekte nietigheid moeten besluiten” 29 . Begitu djuga anggapan D o n n e r 30. H u a r t dan S t e l l i n g a 31 tidak menerima anggapan tadi. Menurut kedua pengarang ini maka suatu perbuatan pemerintah selalu tidak boleh di anggap batal. S t e l l i n g a : „een beschikking mag nimmer als van rechtswege nietig worden opgevat, noch in de gevallen, waarin een zodanige beschikking bij de administratieve rechter o f in administratief beroep kan worden aangetast, noch in de gevallen, waarin deze mogelijkheden onbenut zijn gelaten, noch tenslotte in de gevallen, waarin deze mogelijkheden ontbreken” 32. V a n d e r W e 1 33 membuat suatu kesimpulan (konklusi) seba gai berikut : suatu ketetapan jang menetapkan sesuatu jang sungguh29 30
31 32
3^
Terdjemahan : apabila kemungkinan untuk membatalkan tidak ada, maka orang lebih tjenderung menganggap ketetapan jang bersangkutan batal sama sekali. „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 233. Lihatlah S t e l l i n g a , hal. 207-208. Terdjemahan : suatu ketetapan selalu tidak boleh dianggap batal karena hukum, baik dalam hal ketetapan itu dapat digugat di muka hakim tatausaha negara atau dalam bandingan maupun dalam hal kemungkinan untuk menggugat dan untuk memohon bandingan itu tidak digunakan. Demikian djuga dalam hal kedua kemungkinan tersebut tidak ada. „Adminsitratiefrechtelijke nulliteiten”, 1950 hal. 109-110. Peladjaran v a u d e r W e 1 ini sangat dalam dan „up to date”.
67
sungguh tidak mungkin dilaksanakan dapat dianggap batal sama sekali. Mengenai ketetapan-ketetapan lain, kita harus melihat apakah kekura ngan-kekurangan jang bersangkutan adalah kekurangan „essentieel” atau kekurangan bukan-„essentieel” . Kekurangan b u k a n-„essentieel” t i d a k dapat mempengaruhi berlakunja ketetapan. Mengenai kekurangan „ e s s e n t i e e l ” harus dilihat beratnja kekurangan. Apabila kekurangan begitu berat sehingga ketetapan jang bersangkutan sebetulnja tidak berupa ketetapan, maka ketetapan jang bersangkutan itu dapat di anggap batal sama sekali. Apabila kekurangan tidak begitu berat, maka ketetapan jang bersangkutan dapat dianggap batal terhadap subjek hu kum jang tidak mempunjai alat untuk menggugat berlakunja ketetapan itu (misalnja, dalam bandingan). Pendapat v a n d e r W e 1 ini mendapat tentangan hebat dari fihak S t e l l i n g a . Bahkan, S t e 11 i n g a menuduh bahwa v a n d e r W e 1 dalam mengemukakan pendapatnja mengatjaukan (verwarren) „het oordeel over de rechtsgeldigheid” dengan „het aanwezig achten van formele rechtskracht”. Kami tidak mendalami pertentangan pendapat antara v a n d e r W^ e 1 dan S t e l l i n g a itu. Kami mempersilakan pembatja mempeladjari buku S t e l l i n g a pada hal. 208— 211. Kami sendiri dapat menerima pembagian kekurangan jang diada kan v a n d e r W e l , jaitu pembagian kekurangan dalam kekurangan jang „essentieel” dan kekurangan jang bukan-„essentieel”. Menurut pendapat kami maka pertimbangan sah tidaknja ketetapan jang me ngandung kekurangan (jaitu pertimbangan apakah suatu kekurangan mendjadi kekurangan „essentieel” atau bukan-„essentieel”) selalu harus didjalankan setjara kasuistis (casuistisch, hal per hal) ! Kita tidak bo leh lupa bahwa chusus dalam hal keputusan tatausaha negara (administratieve beslissing) „doelmadgheid” mendjadi suatu persoalan lebih penting dari pada „rechtmatigheid” ( = sesuai dengan hukum positif). Oleh sebab itu, maka pembagian v a n d e r W e l tersebut adalah suatu pembagian jang penting sekali. Pendapat-pendapatnja tidak hanja diudji pada pembatjaan dalam bahasa Belanda, tetapi djuga pada pembatjaan dalam bahasa Djerman dan bahasa Perantjis. Sebagian pendapat itu dipengaruhi peladjaran Prof. J. d e S o t o „Contribution à la théorie des nullités des actes administratifs unilatéraux”, disertasi Paris 1941. Pembatjaan penting dalam bahasa Djerman dan bahasa Perantjis (ilmu hukum tatausaha negara mengenai persoalan „nulliteit” di Djerman dan di Perantjis adalah paling madju): P. A n d e r s e n „Undgiiltige Verwaltungsakte”, 1927 (terdjemahan disertasi Kopenhagen 1924), Prof. D r 'A. M e r k 1 dalam ¿Allgemeines Verwaltungsrecht”, 1927 dan J.M . A u b y „L’ inexistence des actes administratifs”, disertasi Leiden 1951.
Prof. v a n d e r P o t 3 4 menjebut empat sjarat jang harus dipenuhi agar ketetapan dapat berlaku sebagai ketetapan sah, jaitu : 1. 2.
ketetapan harus dibuat oleh alat (orgaan) jang berkuasa (bevoegd) (m em buatnja). karena ketetapan suatu pernjataan kehendak (w ilsverklaring) 35} maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan juridis (geen juridische gebreken in de wilsvorm ing).
34 35
V a n d e r P o t , hal. 206. Oleh D o n n e r (hal. 218) dikemukakan bahwa pandangan perbuatan hukum (ketetapan = perbuatan hukum) sebagai pernjataan k e h e n d a k (beschikking ( = rechtshandeling) als w i 1 s verklaring) berasal dari hukum privat. Dapatkah kita melihat ketetapan itu sebagai suatu pernjataan ke hendak, jaitu suatu pernjataan kehendak a l a t k e n e g a r a a n jang me ngeluarkan ketetapan tersebut ? D o n n e r mengatakan bahwa dalam perbandingan antara perbuatan dalam lapangan hukum privat dengan ke tetapan itu kita harus berhati-hati. Adalah dua hal jang menimbulkan dua perbedaan penting antara perbuatan dalam lapangan hukum privat dan ketetapan. P e r t a m a : dasar hukum privat adalah kemerdekaan penuh para individu dalam pergaulan, djadi, individu hanja dapat diikat oleh suatu kewadjiban hukum, jaitu oleh akibat suatu perbuatan hukum, jang d i k e h e n d a k i nja sendiri. O r a n g h a n j a diikat apabila orang itu .me n gh e nd a ki supaja d i i k a t . D jad i, k e h e n d a k nja mendjadi d a s a r p e r b u a t a n h u k u m jang dilakukannja. Akibat perbuatan hukum itu dikehendakinja. Tetapi dalam hal ketetapan berlainan. Pendjabat — sebagai wakil alat kenegaraan jang didudukinja — tidak me ngeluarkan ketetapan itu untuk mengikat diri sendiri. Jang diikat oleh ke tetapan itu chusus jang diperintah. Dalam hal ketetapan, tatausaha negara , lebih mewadjibkan jang diperintah dari pada mewadjibkan diri sendiri. \K e d u a : kehendak pendjabat (ambtsdrager) adalah „juridisch irrelevant” (untuk hukum tidak penting). Apakah djabatan (am bt) mempunjai suatu kehendak ? Paling banjak dapat dikatakan bahwa djabatan itu mewakili „kehendak negara”. Tetapi, bukankah, apa jang dinamakan „kehendak ne gara” itu selalu suatu fiksi sadja ? Pada hal. 2 44 D o j i n e r menegaskan bahwa „Afgezien daarvan lijkt het niet juist om bepalingen, welke zeer sterk zijn ingesteld op de beschouwing van de burgernechtelijke rechtshandeling als w i l s v e r k l a r i n g toe te passen — zij het ook slechts analogisch — op de beschikking, die bepaald geen wilswerklaring” (D i samping hal itu, masih djuga perlu ditegaskan bahwa tidak tepat untuk mendasarkan pandangan-pandangan tentang ke tetapan atas pandangan-pandangan tentang perbuatan hukum dalam hukum privat, jang mendjadi suatu pernjataan kehendak. D juga tidak tepat untuk menerima pandangan-pandangan tentang perbuatan hukum privat itu setjara analogi. Ketetapan itu bukan pernjataan kehendak dalam arti kata pernja taan kehendak menurut hukum privat). Anggapan D o n n e r bahwa ketetapan itu bukan pernjataan kehendak, mendapat tentangan hebat dari fihak M r F.R. B ô h t l i n g k dalam diser, tasinja (Leiden 1954) „Het leerstuk der vertegenwoordiging en zijn toepas• sing op ambtsdragers in Nederland en in Indonésie”, hal. 103-105. Pada hal. 146 bukunja oleh B ô h t l i n g k dibuat dalil (stelling) : „Een „„overheidshandeling”” is steeds een handeling van een mens, waarin gezien wordt een handeling van de „„overheid”” (ambtengroep o f am bt)” (Suatu perbuatan pemerintah selalu suatu perbuatan manusia jang dianggap perbuatan pemerintah (gabungan djabatan-djabatan atau djabatan)).
69
3.
4.
ketetapan harus diberi bentuk (vorm ) jang ditetapkan dalam per aturan jang mendjadi dasarnja dan pembuatnja harus djuga mem perhatikan tjara (procedure) membuat ketetapan itu, bilamana tjara itu ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut. isi dan tudjuan ketetapan harus sesuai dengan isi dan tudjuan peraturan dasar.
Sekali lagi kami mengingatkan para pembatja akan hal bilamana salah satu sjarat itu tidak dipenuhi, belum tentulah ketetapan jang ber sangkutan mendjadi ketetapan tidak sah. Lihatlah apa jang dikatakan di atas. Ketetapan
harus
dibuat
oleh
alat
jang
berkuasa:
Telah kami ketahui bahwa ketetapan itu suatu perbuatan „bestuur”, tetapi bukan perbuatan jang dilakukan tatausaha negara sadja, melain kan perbuatan „bestuur” diadakan djuga oleh alat-alat jang termasuk kalangan badan kehakiman dan kalangan badan perundang-undangan (misalnja, pasal 359 K.U .H . Perdata: hakim mengangkat seorang wali, pasal 120 ajat 2 U .U .D .S .: undang-undang persetudjuan (goedkeuringsw et)). Bilamana alat (djabatan) jang membuat sesuatu ketetapan dengan terang kelihatan tidak berkuasa membuatnja, maka ketetapan itu dapat mendjadi batal mutlak. Baik v a n d e r P o t 36 maupun P r i n s 37 me. njebut sebuah tjontoh kelasik (klassiek voorbeeld) tentang suatu keteta pan jang batal mutlak karena alat jang membuatnja sama sekali tidak berkuasa. Pada tahun 1906 di kota Köpenick (sebuah kota ketjil dekat pada kota Berlin di D jerm an), seorang tukang sepatu jang berpakaian kapten tentara Djerman menjuruh dua belas pradjurit Djerman jang kebetulan m elantjong di sekitar gedung kotapradja, mentjulik walikota dan pegawai jang bertugas memungut padjak (belastingontvanger). Per buatan tersebut suatu perbuatan jang batal sama sekali (m utlak). Tjontoh ini mengenai suatu soal jang dengan mudah dapat dise lesaikan, oleh karena disini dengan terang kelihatan bahwa pembuat ketetapan (alat negara jang mengeluarkan ketetapan) sama sekali tidak berkuasa. Tetapi pada umumnja berkuasa atau tidaknja sesuatu alat ne gara tidak dapat ditentukan dengan miidah. Pada umumnja tidak mudah 36 37
70
Hal. 207. „Inleiding”, hal. 24.
untuk menentukan apakah pembuatan sesuatu ketetapan sungguh-sung guh terletak dalam lingkungan kekuasaan alat negara jang bersangkutan. Dalam hal sesuatu alat negara mengira batas kekuasaannja lebih luas dari pada batas jang ditentukan oleh undang-undang, dan alat itu tidak insjaf akan salah mengira (dwaling in de bevoegdheid) itu, maka timbul suatu persoalan jang tidak dapat diselesaikan dengan begitu sadja. Djadi, alat negara jang membuat ketetapan itu tidak berkuasa membuatnja, tetapi tidak-berkuasa itu tidak njata dengan terang. Tidak-berkuasa itu dapat berupa t i d a k - b e r k u a s a ratione m a t e r i a e, jakni suatu alat negara l a i n jang berkuasa, atau dapat berupa t i d a k b e r k u l a s a r a t i o n e l o c i , jakni, misalnja, sesuatu djawatan pe merintah pusat jang hanja berkuasa di daerah Propinsi Djawa Timur membuat suatu ketetapan jang menurut pendapat djawatan itu dapat berlaku djuga di sesuatu daerah diluar batas daerah Propinsi Djawa Tim ur 3S 39. Ketetapan jang dibuat oleh alat negara jang tidak berkuasa mem buatnja dan tidak-berkuasanja alat itu tidak njata dengan terang, belum tentu tidak sah. Kadang-kadang ketetapan sematjam itu sah, seolah-olah dibuat oleh suatu alat jang berkuasa membuatnja 40. Menentukan sah atau tidak-sahnja dan menentukan batal atau dapat-dibatalkannja dari akibat sesuatu ketetapan jang dibuat oleh suatu alat negara jang tidak berkuasa membuatnja, bergantung dan berukur pada besarnja ke pentingan jang diselesaikan ketetapan itu. Dalam ilmu dan praktek hukum tatausaha negara belum ada azas-azas umum jang dapat dipakai sebagai pegangan dalam penentuan tersebut. Tidak-adanja azas-azas umum itu, oleh karena terutama — sampai sekarang — tidak-adanja suatu peradilan tatausaha negara tetap (lihatlah Bab V ). Penentuan tersebut masih diadakan setjara kasuistis (masing-masing soal ditindjau satu per satu dan diselesaikan menurut tjara-tjara jang berlain-lainan). 38
39
40
D o n n e r (hal. 234-237) membuat perbedaan antara „plaatselijke onbevoegdheid” dan „zakelijke onbevoegdheid”. Katanja : „Plaatselijke onbevoegheid bestaat, wanneer een bestuursinstantie beschikkingen geeft voor personen of zaken buiten zijn ressort liggende”. „Zakelijke onbevoegdheid” terdapat dalam dua hal, jaitu hal „waarin een beschikking is gegeven, welke nimmer van bestuurswege of althans vanwege de tak van bestuur, waartoe het beschikkend orgaan behoorde, had kunnen uitgaan” dan hal „waarin niet het besdiikkend orgaan, maar een hierardiisch hoger of lager orgaan tot het geven van de beschikking bevoegd was”. Oleh v a n d e r P o t (hal 208) dikemukakan suatu matjam tidak-berkuasa (vorm van incompetentie) lain lagi, jang terdapat dalam pembuatan suatu ketetapan dengan tidak memperhatikan quorum jang perlu agar rapat dapat memutus (quorum = djumlah hadlirin jang harus dipenuhi agar rapat dapat memungut suara). Lihatlah tjontoh-tjontoh di buku Prof. P r i n s „Inleiding”, hal. 25.
71
D an „tenslotte is er dan een bepaalde instantie, welke het laatste woord in deze heeft. Acht deze de onbevoegdheid aanwezig, dan is er in dit opzicht een gebrek aan de beschikking”, kata S t e l l i n g a 41. Apa jang kami uraikan tadi mengenai pembuatan suatu ketetapan jang tidak terletak dalam lingkungan kekuasaan alat negara (djabatari negara) jang membuat ketetapan itu. Tetapi bagaimanakah halnja apa bila pendjabat (ambtsdrager) jang membuat ketetapan menduduki djabatan (am bt)nja setjara tidak legal ? 42. Disini adalah persoalan menge nai „legitimiteit der ambtsvervulling”. -Pembuatan ketetapan jang ber sangkutan terletak dalam lingkungan kekuasaan djabatan (termasuk salah satu kekuasaan djabatan), tetapi pendjabat tidak menduduki djabatannja setjara. legal. Persoalan ini terdjadi dalam hal pendjabat jang membuat ketetapan telah diberhentikan atau di „schors”, dan dalam hal pendjabat itu menduduki djabatannja sebelum diangkat resmi, misalnja, dalam keadaan darurat (pada waktu sekarang di Indonesia „ke adaan darurat” itu bukan sesuatu jang djarang terdjadi !). Kesulitan tersebut dapat diselesaikan sebagai berikut : dalam hal pendjabat itu oleh umum d i a n g g a p menduduki djabatannja setjara legal dan bagi umum sama sekali tidak ternjata bahwa pendjabat itu sebetulnja bukan pendjabat legal (di samping itu pendjabat tersebut melakukan pekerdjaannja sebagai suatu pendjabat jang baik), maka kesulitan tadi dapat diselesaikan berdasarkan peladjaran f o n c t i o n n a i r e 'd e f a i t . Menurut peladjaran fonctionnaire de fait ini, maka dalam k e a d a a n i s t i m e w a ( = d a r u r a t ) pendja bat jang tidak legal atau pendjabat jang pengangkatannja mengandung kekurangan masih djuga dapat d i a n g g a p pendjabat legal atau pen djabat jang pengangkatannja tidak mengandung kekurangan, apabila masjarakat umum m e n e r i m a n j a sebagai suatu pendjabat legal atau suatu pendjabat jang pengangkatannja tidak mengandung kekurangan. Perbuatan-perbuatan jang dilakukan pendjabat itu dianggap s a h . Tetapi, 41
42
72
Hal. 189. Terdjemahan : pada achirnja masih ada suatu alat tertentu jang dalam hal jang bersangkutan berkuasa menentukan kata terachir. Bila alat ini berpendapat bahwa alat jang membuat ketetapan jang bersangkutan tidak berkuasa, maka dalam hal itu ketetapan tersebut mengandung kekurangan. Terutama pada djaman sekarang, oleh karena kekurangan „kader”, di lapa ngan tatausaha negara agak sering dibuat ketetapan oleh badan jang tidak berkuasa membuatnja, terutama bila badan itu dikepalai seorang pegawai (pendjabat) jang mendapat kedudukannja oleh karena djasa politik sadja dan tidak mempunjai keahlian tehnis seharusnja. Pegawai sematjam itu terdapat djuga antara para pegawai tertinggi ! Lihatlah disertasi Mr F.R. B ô h t l i n g k „Het leerstuk der vertegenwoordiging en zijn toepassing op ambtsdragers in Nederland en in Indonesië”, Leiden 1954, hal. 127-133; K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 66-67 dan D o n n e r , hal. 239-240.
apabila bagi umum terang bahwa pendjabat tersebut bukan pendjabat legal dan djuga umum tidak mau menerimanja, maka perbuatan-per buatan jang dilakukan pendjabat itu b a t a l s a m a s e k a l i 43. Mengenai persoalan-persoalan jang dapat diselesaikan menurut peladjaran fonctionnaire de fait, di Indonesia pada waktu sekarang ada banjak tjontoh-tjontoh ! Dalam jang ada
pembentukan
mengeluarkan kekurangan
kehendak suatu
dari
ketetapan,
alat tidak
negara boleh
j uridis:
Kekurangan juridis dalam pembentukan kehendak alat negara jang mengeluarkan suatu ketetapan dapat disebabkan oleh karena : s a l a h - k i r a (dwaling) p a k s a a n (dwang) t i p u a n (bedrog). Sebelum meneruskan peladjaran kami ini maka terlebih dahulu perlu kami beri uraian tentang tiga pengertian tersebut, jang terdapat dalam K.U.H . Perdata pasal-pasal 1321-1328. Pengertian tersebut diper kembangkan dalam ilmu dan praktèk hukum privat 44. S a l a h - k i r a terdjadi bilamana seseorang (subjek hukum) meng hendaki sesuatu dan mengadakan suatu pernjataan jang sesuai dengan kehendak itu, tetapi kehendak tersebut didasarkan atas suatu bajangan (voorstelling) (tentang sesuatu hal) jang salah 45. Bajangan jang salah itu mengenai p o k o k m a k s u d p e m b u a t (zelfstandigheid der zaak) — salah-kira mengenai pokok maksud pembuat 46, atau mengenai (kedudukan atau ketjakapan (keahlian)) s e s e o r a n g (subjek hu kum) — salah-kira mengenai orang (subjek hukum) 47, atau mengenai 43 44
45
46 47
hal. 67 ; D o n n e r , hal. 240 d a n B ô h t l i n g k dalam disertasi pada hal. 128-130. Lihatlah Mr A. P i t l o „Het verbintenissenrecht”, 1952 hal. 159 dan jang herikutnja atau H o f m a n n - v a n O p s t a l „Het Nederlands verbintenis senrecht”, 1948 hal. 277 dan jang berikutnja. Dalam ilmu dan praktèk hukum privat di samping „salah-kira”, „paksaan” dan „tipuan” ada djuga „tidak-tjakap-membuat” (onbekwaamheid) (pasalpasal 1329-1331 K.U.H. Perdata) jang mendjadi sebab maka suatu per buatan (bagi hukum) tidak dapat diterima sebagai perbuatan sah. Pengertian jang terachir ini analog (analoog) dengan pengertian „tidak-berkuasa” dalam hukum publik. Lihatlah definisi P i t l o pada hal. 160 bukunja. P i t l o , hal. 160-164. P i t l o , hal. 164.
K r a n e n b u r g - V e g t i n g ,
- '
73
h a k orang (subjek hukum) lain — salah-kira mengenai hak orang (subjek hukum) lain (dwaling in een subjectief recht) 4S, atau mengenai suatu (peraturan) h u k u m — salah-kira mengenai hukum (dwaling in het objectieve recht) 49, atau mengenai k e k u a s a a n s e n d i r i — salah-kira mengenai kekuasaan sendiri (dwaling in eigen bevoegdheid) 50. Kami menguraikan^ pengertian-pengertian itu dengan menjebut tjo n to h : A hendak membeli sebidang tanah jang harus ditanami dengan kl. 40.000 pohon djati. Maksudnja mengadakan suatu perusahaan kaju. A berhasil memperoleh dari B sebidang tanah jang telah ditanami de ngan kl. 20.000 pohon djati. Tetapi ketika perdjandjian djual-beli jang bersangkutan diadakan, maka A tidak tahu bahwa bidang tanah itu tidak ditanami dengan kl. 40.000 pohon. Ketika perdjandjian djual-beli di adakan A sungguh-sungguh kira ia kelak akan mempunjai sebidang tanah jang ditanami dengan kl. 40.000 pohon djati. Bahwasanja tanah itu hanja ditanami dengan kl. 20.000 pohon djati, baru kemudian di ketahui A. Disini terdjadi suatu salah-kira mengenai pokok maksud pembuat. Sebuah tjontoh la in : A hendak membeli di toko B, seorang tu kang harlodji, sebuah harlodji emas. A membeli harlodji besi jang diemaskan (verguld), tetapi kira mempunjai harlodji emas sungguhsungguh. Dalam penentuan apakah sesuatu merupakan pokok maksud pembuat atau tidak, kita harus melihat apa jang mendjadi kehendak sungguhsungguh dari pembuat, djadi, harus dipakai u k u r a n s u b j e k t i f (lihatlah keputusan Hoge Jtaad Belanda tertanggal 17 Maret 1921 dalam „Nederlandse Jurisprudentie” tahun 1921 — 675 dan keputusan penga dilan itu tertanggal 25 April 1947 dalam „Nederl. Jurisp.” tahun 1947 270). Tetapi pokok maksud pembuat itu tidak boleh mengenai s i f a t (hoedanigheid) jang a k a n ada(toekomstig)pada sesuatu hal (lihat lah keputusan Hoge Raad Belanda tertanggal 10 D juni 1932 dalam „Nederl. Jurisp.” tahun 1933 __ 5). A, seorang wakil suatu perhimpunan jang bermaksud memadjukan seni-njanji, mengadakan suatu perdjandjian dengan B dengan mak sud supaja B mengadakan beberapa pertundjukan seni-njanji di muka anggauta perhimpunan. A kira bahwa B seorang penjanji jang sangat 48 49 50
74
P i t I o, hal. 224. P i t l o , hal. 225, 572. P i t l o , hal. 224.
pandai. Jang mendjadi termasjhur di seluruh daerah bukan B in i, tetapi seorang lain jang kebetulan bernama B pula. Disini terdjadi suatu salah-kira mengenai (ketjakapan) seseorang. Salah-kira mengenai seseorang hanja dapat mendjadi alasan tuntutan pembatalan suatu perbuatan, bilamana salah-kira itu mengenai kedu dukan atau ketjakapan (keahlian) orang tersebut. A membatja dalam „Encyclopaedie W inkler Prins”, sebuah ensi klopedi jang sungguh-sungguh dapat dipertjaja oleh karena disusun de ngan keahlian besar, bahwa B, seorang pengarang berbangsa Belanda, meninggal pada tahun 1900. Karena B telah meninggal 50 tahun lebih, maka pada tahun 1953 A memberanikan diri menterdjemahkan buku B dalam bahasa Indonesia dengan tidak terlebih dahulu meminta idjin dari ahli-waris B tersebut. Kemudian A digugat oleh ahli-waris B itu, oleh karena melanggar hak pengarang B . B tidak meninggal pada tahun 1900 tetapi pada tahun 1910. D i „Encyclopaedie W inkler Prins” itu ada kesalahan tjetak. A dapat membebaskan diri dari kewadjiban membajar kerugian kepada B oleh karena ia dapat membuktikan salah-kira mengenai hak orang lain. Dalam hukum ada suatu azas (sebetulnja suatu fiksi !) : tiap orang boleh dianggap mengetahui undang-undang. Djadi, alasan A bahwa ia tidak pernah dengar tentang Ordonansi melarang gangguan („H inder-ordonnantie” ) tidak dapat membebaskan diri dari kewadjiban terlebih dahulu meminta idjin kepada pemerintah kota, apabila ia hendak men dirikan suatu perusahaan. Salah-kira mengenai hukum pada umumnja tidak dapat membebaskan seseorang dari kewadjiban hukumnja 51. A salah mengira mengenai batas kekuasaan jang oleh B diberikan kepadanja dalam suatu surat-kuasa (volm acht). D isini ada salah-kira mengenai kekuasaan sendiri (lihatlah djuga di atas). „Salah-kira” jang kami bitjarakan di atas ini ialah „salah-kira” jang biasanja djuga disebut „ s a l a h - k i r a s u n g g u h - s u n g g u h ” (eigenlijke dwaling). D i samping itu ada djuga „ s a l a h - k i r a t i d a k s u n g g u h - s u n g g u h ” (oneigenlijke dwaling). Salah-kira tidak sungguh-sungguh terdjadi apabila, oleh karena se hal, pernjataan sesuatu kehendak tidak sesuai dengan kehendak itu. Misalnja, A mengirim kepada B, seorang komisioner saham, suatu tilgram dengan perintah supaja B mendjual sedjumlah saham jang mendjadi kepunjaan A, oleh karena sangat mungkin kelak saham-saham itu akan tidak berharga lagi. Tetapi karena kantor telegrap mengadakan kesalasu a tu
51
P i 1 1 o,
hal. 225.
75
han dalam menilgramkan — ditilgramkan perkataan „membeli” — maka B tidak mendjual melainkan membeli. Djadi, kehendak dan pernjataannja tidak sama. Didalam ilmu hukum privat dibuat tiga matjam teori untuk menjelesaikan akibat suatu perbuatan jang diadakan berdasarkan salah-kira tidak sungguh-sungguh. Teori itu t e o r i k e h e n d a k (wilstheorie), t e o r i p e r n j a t a a n (verklaringstheorie) dan t e o r i k e p e r t j a j a a n (vertrouwenstheorie).Tentang tiga matjam teori ini lihatlah a.l. buku Prof. P i 1 1 o „Het verbintenissenrecht” 52. Kami menjetudjui teori kepertjajaan (lihatlah di bawah). P a k s a a n . Pasal 1321 K.U.H. Perdata menggunakan istilah „paksaan keras” („geweld”). Tetapi jang dimaksud disini bukan „pak saan keras”, jang dimaksud disini ialah „paksaan (biasa)” („dwang” ). Hal ini dapat diketahui dari redaksi pasal 1324 K.U .H . Perdata. Lihatlah djuga pasal-pasal 893, 1053 ajat 1, 1065 dan 1112 K.U .H . Perdata. Akibat perbuatan jang diadakan dengan menggunakan paksaan ke ras (vis absoluta) adalah batal mutlak, oleh karena pada fihak jang di paksa sama sekali tidak ada suatu kehendak. Misalnja, A diikat di atas kursinja dan tangannja dipegang. Dapat dikatakan bahwa keterangan jang ditulis A itu bukan pernjataan kehendaknja, walaupun tangannjalah jang menulis keterangan itu. Keterangan tersebut adalah semata-mata pernjataan kehendak dari jang memaksa. Akibat perbuatan jang diadakan dengan menggunakan paksaan (biasa) adalah dapat-dibatalkan (jaitu batal untuk sebagiannja), oleh ka rena pada fihak jang dipaksa ada suatu kehendak, walaupun pembentukan kehendak itu dipengaruhi oleh suatu antjaman. Misalnja, A diantjam oleh B dengan sebuah pistol. A masih dapat memilih antara dibunuh atau membuat sesuatu keterangan jang dikehendaki oleh pengantjam. A memilih membuat keterangan, djadi, pada A ada suatu kehendak. Menurut ajat 2 pasal 1324 K.U.H . Perdata maka dalam pembatalan suatu perbuatan jang diadakan dengan menggunakan paksaan, hakim harus memperhatikan umur, djenis kelamin dan kedudukan sosial dari jang dipaksa. T i p u a n terdjadi bilamana jang mengadakan perbuatan meng gunakan beberapa muslihat (kunstgrepen) sehingga pada fihak lain ditimbulkan suatu bajangan palsu (valse voorstelling) tentang sesuatu hal. Agar ada tipuan maka perlu ada beberapa muslihat, ada g a b u n g a n muslihat-muslihat ( c o m p l e x van kunstgrepen) ; satu bohong 52
76
H al. 151.
belum mendjadi tipuan. Lihatlah pasal 1328 K .U .H . Perdata, dan keputusan Hoge Raad Belanda tertanggal 28 D ju ni 1929 dalam „W eekblad van het Recht” (madjalah Belanda) N r 12033. Dalam ilmu dan praték hukum privat diterima umum pendapat bah wa akibat suatu perbuatan jang diadakan berdasarkan salah-kira, berda sarkan tipuan atau dengan menggunakan paksaan adalah d a p a t - d i b a t a l k a n dan tidak batal mutlak 53. W alaupun undang-undang menjebut salah-kira, paksaan dan tipuan itu hanja sebagai alasan pembatalan suatu perdjandjian dan alasan pembatalan suatu perbuatan menurut hukum warisan (handeling in het erfrecht) sadja, kita dapat menerima yalah-kira, paksaan dan tipuan itu sebagai alasan pembatalan t i a p perbuatan 54. Di atas telah beberapa kali dikatakan bahwa pengertian „salah-kira”, „paksaan” dan „tipuan” itu pengertian jang diperkembangkan dalam hukum privat. Ketentuan-ketentuan mengenai tiga pengertian itu jang umumnja dipakai adalah pasal-pasal K .U .H . Perdata. Sekarang timbul pertanjaan: dapadcah kita memakai tiga pengertian dan pasal-pasal K.U.H . Perdata jang bersangkutan itu dalam hukum tatausaha negara ? Kata v a n d e r P o t : „W aar het administratieve recht een eigen regeling van de gevolgen eener door deze elementen belnvloede wilsverklaring mist, zal men, naar het mij voorkomt, de regeling van het Burgerlijk Wietboek ten aanzien van de wilsverklaring bij overeenkomsten (artt. 1357-1364) analogisch mogen toepassen” 55. Anggapan sematjam ini padá pokoknja terdapat djuga dalam buku K r a n e n b u r g V e g t i n g pada hal. 68. Tetapi apabila kita membatja anggapan K r a n e n b u r g - V e g t i n g pada hal. 68 itu, maka kita harus djuga ingat akan apa jang dikemukakan mereka pada hal. 43 buku mereka ter s e b u t , jaitu bahwa alat-alat pemerintahan dapat menggunakan peraturanperaturan hukum privat jang berlaku bagai semua subjek hukum, bila mana penjelenggaraan kepentingan-kepentingan chusus tidak memerlu kan kaidah-kaidah chusus jang hanja terdapat dalam lapangan hukum
53 54 55
Lihatlah H o f m a n n - v a n O p s t a l „Het Nederlands verbintenissenrecht”, I, 1948, hal. 277; P i 1 1 o, hal. 159. P i t 1 o, hal. 159. „Nederlansch bestuursrecht”, 1934 hal. 208. Terdjemahan : Karena hukum tatausaha negara sendiri tidak mengenai penjelesaian akibat sesuatu perbua tan jang mengandung kekurangan karena dalam kehendak pembuatnja ada kekurangan, maka — menurut pendapat kami — peraturan mengenai pernjataan kehendak dalam mengadakan perdjandjian jang terdapat dalam K.U.H. Perdata (pasal-pasal 1321-1328), boleh didjalankan setjara analogi.
77
Anggapan v a n
d er
Pot
tersebut mendapat kritik dari Prof.
M r A.M. D o n n e r 56. Menurut D o n n e r, maka dalam mendjalankan setjara analogi pengertian hukum privat dalam hukum tatausaha negara (hukum publik) haruslah diperhatikan tiga hal istimewa: 1. dalam hu kum privat, salah-kira, misalnja, hanja mendjadi sebab maka sesuatu perdjandjian tidak-sah, bilamana salah-kira itu terdapat pada kedua belah fihak. Dalam pembuatan sesuatu ketetapan tidak ada dua fihak jang kedudukannja sederadjat, melainkan hanja satu fihak sadja jang dapat menentukan kehendaknja, jaitu pemerintah ; 2. maka dari itu dalam me nafsirkan sesuatu ketetapan, tidak pentinglah ditjari maksud alat negara jang membuat ketetapan itu. Jang mendjadi penting ialah maksud hukum (hukum objectief) jang mendjadi dasar ketetapan itu, oleh karena kita boleh pertjaja akan hal ketika pemerintah membuat ketetapan itu maka maksud pemerintah tidak lain dari pada menjelenggarakan apa jang di perintah oleh undang-undang; 3. bilamana kita hendak mentjari hal-hal jang analogis didalam hukum privat maka kita tidak dapat mentjari halhal itu dalam bagian hukum privat mengenai perdjandjian (perbuatan hukum jang bersegi dua) tetapi dalam bagian hukum privat mengenai perbuatan hukum jang bersegi s a t u ,
misalnja, pembuatan testamen.
Seperti halnja dengan pembuatan ketetapan maka pembuatan testamen itu suatu perbuatan hukum jang definitif dan kalau bisa tidak diubah lagi. 56
Lihatlah uraian dalam buku S t e l l i n g a , hal. 198-199 ; djuga D o n n e r dalam „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Algemeen deel”, 1953 hal. 105-106. Pendapat jang tidak dapat menjetudjui anggapan v a n d e r P o t itu, a.l. pendapat H u a r t dalam „Verspreide Geschriften”, 1949, hal. 162 d.j.b. dan pendapat S c h e l t e m a „De zaken der openbare lichamen dalam „Nederl. bestuursrecht”, 1934. Oleh H u a r t ditegaskan bahwa dalam hukum tatausaha terdapat tjukup bahan („aanknopingspunten”) untuk mem perkembangkan suatu teori „nulliteit” chusus untuk hukum tatausaha sendiri jang dapat menghasilkan pendapat-pendapat sendiri tentang salah-kira, pak saan dan tipuan. Usaha H u a r t itu dipudji oleh D o n n e r, jang djuga selalu menegaskan perlunja dan mungkinnja peladjaran sendiri persoalanpersoalan hukum tatausaha negara dan ditolaknja sebanjak-banjaknja pema kaian setjara langsung atau setjara analogi peladjaran-peladjaran dan penger tian-pengertian jang diperkembangkan dalam dan untuk hukum privat. Hukum tatausaha negara mempunjai suatu sifat sendiri. Kami sendiri tidak begitu tjenderung mentjari suatu „kedudukan sendiri” hukum tatausaha negara. Makin banjak diberi „kedudukan sendiri” makin sukar tatausaha negara dibawa di bawah pengawasan hakim biasa. Menurut pendapat kami, maka memang perlu tatausaha negara dan hukum tatausaha negara itu diberi „kedudukan istimewa”, tetapi hanjalah dalam hal-hal jang sungguh-sungguh perlu sadja. Suatu „kedudukan sendiri” tatausaha negara dan hukum tatausaha negara selalu mengandung bahaja akan dilahirnja suatu negara kekuatan (machtsstaat) ! „Kedudukan sendiri” itu dapat disalah-gunakan oleh „ruling class” dalam masjarakat ! x
i 78
Kami tidak dapat menerima seluruh anggapan D o n n e r tersebut, karena pendapat itu tidak membawa penjelesaian menurut realitet. Sebagai suatu badan hukum, (rschtspersoon) maka djabatan (atau ga bungan djabatan-djabatan) itu merupakan suatu personifikasi (L o g e m a n n : „bestendigheid”) beberapa hak-kewadjiban tertentu. Tetapi agar hak-kewadjiban itu dapat didjalankan, maka djabatan itu memerlukan perwakilan. Perwakilan itu pendjabat (ambtsdrager). Pendjabat itu ma nusia. Djadi, pada hakekatnja kehendak tatausaha negara itu kehendak manusia, jakni kehendak pendjabat jang bertugas mendjalankan pera turan ( B o h t l i n g k ) . Oleh karena dalam hal ketetapan djugalah ma nusia jang berbuat, maka — ditindjau dari sudut tertentu — antara ketetapan dan perbuatan hukum privat tidak ada perbedaan azasi. Djadi, kami menggunakan setjara analogi pengertian „salah-kira”, „paksaan” dan „tipuan” serta pasal-pasal K .U .H . Perdata jang bersang kutan dalam penjelesaian hal-hal konkreto sematjam jan g timbul didalam lapangan hukum tatausaha negara. Ketetapan
jang
jang
sungguh-sungguh.
tidak
dibuat
berdasarkan
salah-kira
A mengadjukan permintaan kepada pemerintah supaja diperkenan kan memasukkan (invoeren) kedalam wilajah Indonesia 20 mobil Che vrolet. Kemudian ia diberi idjin oleh pemerintah untuk memasukkan 200 (dua ratus !) mobil Chevrolet itu. Sudah tentu dalam ketetapan jang memuat idjin ini diadakan kesalahan tik (tik fo u t); disini ada suatu salahkira jang tidak sungguh-sungguh jang akibatnja — menurut pendapat ka mi — harus diselesaikan dengan menggunakan teori kepertjajaan (vertrouwensleer). Karena peminta dahulu mengadjukan permintaan supaja diperkenankan memasukkan 20 mobil Chevrolet, maka ia h a r u s menganggap djumlah 200 tersebut suatu kesalahan tik. Ia harus mengang gap pernjataan pemerintah bahwa ia diberi idjin untuk memasukkan 200 mobil Chevrolet itu, suatu pernjataan jang tidak sesuai dengan kehendak pemerintah. Sudah tentu tidak mungkin bahwa pemerintah memperkenankan A memasukkan 200 mobil Chevrolet, bilamana A itu dahulu hanja meminta supaja diberi idjin memasukkan 20 mobil sadja. Akibat ketetapan jang dibuat berdasarkan salah-kira jang tidak sungguh-sungguh itu s a h u n t u k s e ib a g i a n s a d j a , jaitu sah me ngenai 20 mobil Chevrolet jang boleh dimasukkan, tetapi batal mengenai 180 mobil Chevrolet jang sudah tentu tidak dapat dimasukkan. Akibat ketetapan itu batal untuk sebagian (gedeeltelijk nietig).
Ketetapan jang
I i
'■
jang
dibuat
berdasarkan
salah-kira
sungguh-sungguh.
Oleh Prof, v a n d e r P o t 5 7 dikemukakan bahwa apabila tatausaha negara, dalam melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan,. hen dak mengangkat (benoemen) seseorang, oleh karena orang itu mempunjai suatu ketjakapan (keahlian) tertentu, tetapi diangkat seorang lain jang oleh tatausaha negara dikira mempunjai ketjakapan jang dikehen daki, dan orang jang diangkat sama sekali tidak mempunjai ketjakapan jang dikehendaki itu — djadi, ketjakapan tertentu itu menurut peraturan perundang-undangan mendjadi sjarat pengangkatan — maka ketetapan jang bersangkutan — jang dibuat berdasarkan salah-kira mengenai sese orang — adalah batal (nietig). Bilamana ketjakapan tertentu itu menurut peraturan perundang-undangan t i d a k mendjadi sjarat pengangkatan, maka ketetapan jang bersangkutan tidak batal. Kami menerangkan hal itu dengan menjebut sebuah tjo n to h : Tatausaha negara hendak mengangkat sdr. Sumarsono, seorang a h l i agraria, sebagai sekertaris suatu panitya agraria. Jang dikehendaki tatausaha negara — sesuai dengan peraturan perundang-undangan jang mendjadi dasar ketetapan — ialah djabatan sekertaris itu akan ditempati se orang ahli, djadi, keahlian dalam lapangan agraria mendjadi sjarat pengangkatan. Tetapi jang diangkat bukan sdr. Sumarsono jang mempunjai keahlian jang dikehendaki itu, melainkan seorang lain jang bukan ahli agraria dan jang kebetulan djuga bernama Sumarsono. Menurut v a n d er P o t maka ketetapan jang mengangkat orang jang bukan ahli agraria itu jang kebetulan bernama djuga Sumarsono adalah suatu ketetapan jang batal. Bilamana untuk djabatan sekertaris panitya agraria itu menu rut peraturan perundang-undangan tidak diperlukan seorang ahli agraria dan diangkat seseorang lain dari pada jang dikehendaki tatausaha negara maka salah-kira mengenai orang itu tidak menjebabkan ketetapan jang ' bersangkutan mendjadi ketetapan jang batal. Kami menjetudjui anggapan v a n d e r P o t bahwa suatu ketetapan jang dibuat berdasarkan salah-kira mengenai orang adalah ketetapan jang tidak-sah, bilamana keahlian orang jang hendak diangkat menurut pera turan perundang-undangan mendjadi sjarat pengangkatannja. T etapi kami tidak dapat menjetudjui anggapan y a n d e r P o t bahwa ketetapan itu batal. Menurut anggapan kami ketetapan itu hanja dapat-dibatalkan (vernietigbaar, D o n n e r : intrekbaar) sadja. H anja kalau orang jang 57
80
„N ederlandsch bestuursrecht”, 1934 hal. 208.
diangkat itu berakal buruk (te kwader trouw) —■ djadi, ia tahu bahwa keahlian tertentu itu mendjadi sjarat pengangkatan dan ia tahu djuga bahwa ia sendiri tidak dapat memenuhi sjarat tersebut — maka ketetapan itu boleh dianggap batal. Menganggap ketetapan itu pada umumnja ba tal — seperti v a n d e r P o t — ialah tidak adil terhadap seorang jang djudjur hati (te goeder trouw) oleh karena „batal” itu berarti bahwa orang itu harus menggantikan kerugian kepada negara (misalnja, membajar kembali honorarium jang telah diterim a), (disini ada pembatalan ex tunc) walaupun ia tidak bersalah ! Pembatalan suatu ketetapan jang dibuat berdasarkan salah-kira me ngenai orang hanja dapat dituntut oleh jang mendapat kerugian. Tetapi pembatalan itu — seperti halnja dengan tiap-tiap pembatalan suatu per buatan jang mengandung kekurangan — harus diadakan dalam suatu djangka (term ijn) tertentu (djangka penuntutan bandingan (suatu per buatan) = beroepstermijn), misalnja, dalam waktu satu bulan setelah ketetapan dibuat. Bilamana jang bersangkutan tidak menggunakan djangka penuntutan bandingan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa alat negara jang membuat ketetapan, dengan diam-diam (stilzwijgend) tidak mempunjai keberatan akan kekurangan jang ada didalam ketetapan itu. Setelah lewatnja djangka penuntutan bandingan tersebut, maka ketetapan itu — walaupun mengandung kekurangan — dapat dianggap ketetapan sah dan mempunjai kekuasaan hukum (rechtskracht) (lihat lah di bawah). Bagaimanakah bilamana suatu alat negara salah mengira tentang pokok maksudnja ? Umpamanja suatu alat negara jang bertugas mengurus perumahan di kota memerintah pendiam sebuah rumah jang terletak di djalan Madura N r 10 mengosongkan (m eninggalkan)-nja oleh karena rumah itu — menurut keterangan jang diperoleh alat negara tersebut — telah begitu buruk sehingga tidak lagi dapat didiami orang. Tetapi sebenarnja jang oleh alat negara tersebut dimaksud akan dikosongkan, ialah sebuah rumah jang terletak di djalan D jakarta N r 10. Djadi, ditim bulkan salah-kira tentang nama djalan. Jang buruk bukan rumah jang terletak di djalan Madura, melainkan rumah jang terletak di djalan D ja karta. Menurut v a n d e r P o t 58 maka perintah itu batal. Kami dapat menjetudjui anggapan v a n d e r P o t , karena kekurangan tersebut mendjadi kekurangan „essentieel”. Tetapi tidak tiap ketetapan jang dibuat berdasarkan salah-kira me ngenai pokok maksud pembuatannja, adalah batal. M isalnja, A diberi pe rintah mengosongkan rumahnja jang terletak di djalan Madura N r 10, 58
„N ederlandsch bestuursrecht”, 1934 hal. 209.
'
81
N.
oleh karena rum ah itu akan didjadikan asrama pegawai negeri. Sebenarnja ja n g dim aksud akan didjadikan asrama pegawai negeri, bukan rumah ja n g terletak di d jalan M adura N r 10 tersebut, tetapi sebuah ru m ah ja n g terletak di djalan D j akar ta N r 10. Bilam ana rumah jang terle tak di d jalan M adura N r 10 itu memenuhi sjarat-sjarat tertentu agar sesu atu rum ah dapat didjadikan asrama pegawai negeri seperti jang dike hendaki, m aka perintah tersebut dapat-dibatalkan (vernietigbaar). K e kurangan tersebut bukan kekurangan „essentieel” . Tetapi bilamana rumah jan g terletak di djalan M adura N r 10 tidak memenuhi sjaratsjarat tertentu tersebut, maka perintah itu batal (n ie tig ). Kekurangan in i m endjadi kekurangan „essentieel”. Bagaim anakah bilam ana suatu alat negara salah m engira tentang hal-hal ja n g tidak merupakan pokok maksudnja. Umpamanja seorang pedagang (im p o rtir) m engadjukan permintaan kepada pemerintah supaja diperkenankan memasukkan kedalam w ilajah Indonesia barang konsum si tertentu. Dalam perm intaan itu disebut Tandjong Perak (Surabaja) sebagai pelabuhan tem pat barang itu akan dimasukkan. Idjin jang diminta itu diberi, tetapi sebagai pelabuhan tempat barang akan dimasukkan, ditundjuk T an d jon g P riok (D ja k a rta ). Salah-kira mengenai pelabuhan itu tidak mempengaruhi sah tidaknja idjin tersebut oleh karena hal pe labuhan itu bukan pokok dari idjin. D jadi, kekurangan jang diadakan itu bukan kekurangan „essentieel”. Jan g mendjadi pokok dari idjin ialah memasukkan tidaknja barang konsumsi itu. Salah-kira mengenai hal-hal jan g bukan pokok maksud pembuat suatu ketetapan, bukanlah sebab maka ketetapan itu tidak sah. Tetapi jang bersangkutan dapat meminta penindjauan kem bali (herziening) 59. D ari tjontoh-tjontoh jang kami sebut di atas tadi, maka ternjata bahwa kekurangan jang disebabkan salah-kira itu dapat mempengaruhi berlakunja ketetapan h a n j a d a l a m h a l s a l a h - k i r a t e r s e b u t bertentangan dengan undang-undang atau b e r t e n tangan dengan kedjadian-kedjadian jang benarb e n a r a d a ( f e i t e n ) 60. Ketetapan p a k s a a n 61. 59 60 61
82
jang
diadakan
dengan
menggunakan
V a n d e r P o t , sama, hal. 209. D o n n e r, hal. 245-246, 247-250. Jang dimaksud dengan «undang-undang” adalah djuga hukum kebiasaan. V a n d e r P o t („Nederlandsch bestuursrecht”, 1934 hal. 209) meng gunakan perkataan „geweld” (paksaan keras), jang seharusnjalah „dwang” (paksaan). Lihatlah apa jang kami katakan tentang hal ini di atas.
l
Paksaan dapat mendjadi sebab maka ketetapan dapat-dibatalkan, paksaan keras dapat mendjadi sebab maka ketetapan batal. Dalam hal ada paksaan, maka dapat dikatakan bahwa pada fihak jang dipaksa ma sih ada kehendak, sedangkan dalam hal ada paksaan keras, maka dapat dikatakan bahwa pada fihak jang dipaksa sama sekali tidak ada kehendak (lihatlah di atas). Mengenai akibat ketetapan jang dengan menggunakan paksaan atau paksaan keras diadakan oleh suatu tentara jang dalam waktu peperangan menduduki wilajah negara musuh (d i Indonesia kita mengalami pendu dukan tentara Djepang dan kemudian pendudukan pemerintah HindiaBelanda danjatau pendudukan tentara Belanda serta tentara HindiaBelanda di atas bsberapa bagian daerah R . I. Jogjak arta), dan kemung kinan untuk meminta penuntutan bandingan atas ketetapan itu pada kemudian hari setelah wilajah jang diduduki itu dimerdekakan, lihatlah hukum antara negara bagian hukum peperangan (oorlogsrecht) 62. Mengenai paksaan dan suapan (om koperij), maka oleh D o n n e r 6 3 dikemukakan bahwa „daarbij niet zozeer gaat om de invloed op de wil van een ambtenaar uitgeoefend als wel om de poging het uitgebalauceerde stelsel van regelingen en inrichtingen, waarbij de verantwoordelijkheden binnen het bestuur 2ijn verdeeld en afgewogen, te doorbreken, zodat een ambtshandeling, welke onder dwang o f door omkoping plaats vond, reeds uit dien hoofde, als niet meer zuiver ambtelijk, voor ongeld'gheid in aanmerking komt” (dalam hal ini jang mendjadi penting bu kanlah pengaruh terhadap kehendak pegawai jang bersangkutan, tetapi jang mendjadi penting ialah usaha untuk mendobrak sistim peraturanperaturan dan lembaga-lembaga hukum jang telah seimbang dan jang telah membagi dan menjeimbangkan kewadjiban-kewadjiban dalam lapangan pemerintahan dalam arti kata sempit. Usaha mendobrak sistim tersebutlah jang menjebabkan bahwa perbuatan jang dilakukan djabatan itu tidak dapat diterima sebagai suatu perbuatan djabatan jang murni, dan oleh sebab itu perbuatan tersebut tidak dapat diterima sebagai suatu perbuatan jang sah). Pendapat D o n n e r ini sesuai sekali dengan pendapatnja bahwa ketetapan bukanlah suatu pernjataan kehendak (w ilsverklaring) seper ti pernjataan kehendak (jaitu perbuatan hukum) dalam hukum privat (lihatlah noot 35 di atas). 62 63
V a n d e r P o t , sama, hal. 209. Lihatlah Prof. F r a n c o i s van het volkenrecht”, II (1950). „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 247.
„Handboek
83
K etetapan tipuan.
jang
diadakan
dengan
m enggunakan
Bagaimanakah akibat suatu ketetapan jang dibuat suatu alat ne gara jang ditipu (tipuan = „complex van kunstgrepen” ) ? Kami mendjawab pertanjaan ini dengan menjebut sebuah tjontoh. Umpamanja Bagian Pendidikan Kementerian Dalam Negeri me ngangkat A sebagai pegawai-peladjar Kursus Dinas Bagian C di kota Makassar. A diangkat oleh karena a.l. — menurut keterangan jang di peroleh — umurnja 20 tahun dan umur itu di bawah umur jang oleh peraturan telah ditentukan sebagai batas, jaitu 23 tahun. Tetapi umur A jang sungguh-sungguh, telah 25 tahun. Sudah tentu bahwa andainja Bagian Pendidikan mengetahui umur jang benar itu, maka A tidak di angkat. Dalam hal demikian —■ jaitu dalam hal andainja Bagian Pen didikan mengetahui tipuan, maka sudah tentu ketetapan tidak dibuat — pengangkatan batal. Umpamanja umur A 22 tahun. Andainja Bagian Pendidikan me ngetahui umur jang benar itu, maka A masih djuga diangkat karena umurnja di bawah batas. Dalam hal ini — jaitu dalam hal andainja Bagian Pendidikan mengetahui tipuan, maka masih djuga ketetapan dibuat — pengangkatan sah. Djadi, ketetapan hanja batal (atau dapat-dibatalkan), apabila sifat tipuan begitu rupa sehingga dapat dikatakan, bahwa dengan tidak meng gunakan muslihat-muslihat itu sudah tentu ketetapan tidak dibuat 64. Dalam hal ini ada kekurangan jang „essentieel”. Seperti halnja dengan salah-kira, maka djuga kekurangan jang di sebabkan tipuan itu dapat mempengaruhi berlakunja ketetapan hanja dalam hal tipuan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan (feiten) 65. K e t e,t a p a n dalam dan
dengan
hiarus
kedjadian-kedjadian
diberi
undang-undang
pembuiatnja
peraturan
harus
mengenai
bentuk jang
jang
jang
dasarnja, peraturan-
pembuatannja:
Bentuk ketetapan itu ada dua matjam : 64 65
84
ada
ditetapkan
m e n d j a d .i
memperhatikan tjara
benar-benar
V a n d e r P o t „Nederl. bestuuisrecht”, 1934 hal. 209„Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 246.
a. b.
ketetapan dikeluarkan setjara l i s a n (mondelinge beschikking). ketetapan dikeluarkan setjara t e r t u l i s (schriftelijke atau geschreven beschikking).
Ada: Pada umumnja dalam dua hal suatu ketetapan dikeluarkan setjara lisan : 1. dalam hal
a k i b a t k e k a l dan bagi tatausaha negara, se hingga tidak diperlukan suatu ketetapan tertulis. 2. dalam hal bilamana oleh jang mengeluarkan suatu ketetapan di kehendaki suatu a k i b a t j a n g t i m b u l d e n g-a n s e g e r a . jang
jang
t i 'd a 'k
tidak
membawa
begitu
penting
Ad i : ' Tiap pegawai negeri — terketjuali mereka jang maha-guru atau guru jang mendapat liburan menurut peraturan liburan jang berlaku untuk sekolah-sekolah negeri, dan mereka jang mendapat liburan menu rut peraturan istimewa — berhak atas istirahat (tju ti) libur dalam ne geri selama 12 hari-kerdja setiap tahun, pasal 12 ajat 1 peraturan Peme rintah tahun 1953 N r 15, L. N. 1953 N r 26 (lihatlah pasal 17). Istirahat libur ini biasanja diberi setjara lisan, pasal 11 ajat 1. Istirahat libur ter sebut dapat ditolak dalam hal kepergian pegawai negeri itu akan meng ganggu sungguh-sungguh kepentingan djabatan, pasal 13 ajat 2. Peno lakan tersebut diberikan setjara tertulis dan menjebut alasan-alasannja, pasal 13 ajat 3. Istirahat libur itu — kalau lamanja tidak lebih dari pada 12 harikerdja — pada umumnja bagi tatausaha negara tidak begitu penting, oleh karena tidak „mengganggu kepentingan djabatan”, djadi, dapat diberikan setjara lisan. Tetapi lain halnj.a bilamana diberi istirahat sakit jang lamanja lebih dari pada 14 hari, pasal 2 ajat 1, atau diberi istirahat karena alasan penting, pasal 7 ajat 1. Istirahat sematjam itu diberi se tjara tertulis, pasal 4 dan 5 (setelah- ditafsirkan) dan pasal 7 ajat 2 (dalam „hal jang mendesak” dapat diberi idjin sementara dan idjin itu dikeluarkan setjara lisan. Lihatlah djuga ajat 4 ). 85
\
Sebuah tjontoh la in : A, seorang bukan pegawai Kementerian Da lam Negeri, oleh B , seorang pegawai jang bertanggung-djawab atas lalu-lintas di halaman Kementerian Dalam Negeri, diberi idjin menem patkan m obilnja di halaman Kementerian Dalam Negeri itu. Pengangkatan, pemindahan, kenaikan pangkat dan pemberhentian pegawai negeri dan pekerdja pada pemerintah jang lain, harus diadakan dengan ketetapan tertulis. Bilamana tidak ada keputusan pengangkatan, dsb. jang setjara tertulis dikeluarkan oleh jang bertanggungdjawab (pe nguasa jang bersangkutan) (djadi, tidak ada surat pengangkatan, dsb.), maka K antor Pusat Perbendaharaan (K .P .P .) tidak sanggup memberi perintah membajar (mandat) gadji, honorarium, dsb.
Ad 2 : Sebuah tjo n to h : misalnja, seorang annja memberi perintah kepada suatu vergadering), supaja rapat itu dengan dikeluarkan setjara lisan oleh karena rapat — dikehendaki akan ada dengan
anggauta polisi dalam perondarapat jang dilarang (verboden segera dibubarkan. Perintah itu akibatnja — jaitu pembubaran segera.
I Ad b: Bentuk tertulis suatu ketetapan bermatjam-matjam. Bermatjammatjam bentuk itu oleh karena ada bermatjam-matjam alat negara jang membuat ketetapan. Ketetapan jang dibuat oleh menteri diberi nama: keputusan menteri, ketetapan jang dibuat kepala djawatan diberi nama: keputusan kepala djawatan, ketetapan jang dibuat Pemerintah bersamasama dengan D .P.R. diberi n am a: undang-undang (undang-undang jang memuat ketetapan adalah suatu undang-undang jang formil sadja), dsb. Tidak tiap undang-undang jang mendjadi dasar suatu ketetapan menjebut bentuk jang harus diberikan kepada ketetapan itu. Dalam hal demikian praktek dan pentingnja soal jang diselenggarakan oleh keteta pan, menentukan bentuk mana harus dipakai. Misalnja, peraturan Pe merintah tahun 1952 JSTr 3, L.N . 1952 N r 13, mengenai pemberhentian pegawai negeri dari pekerdjaannja untuk sementara waktu dan pember hentian pegawai negeri dari djabatan negeri sambil menunggu keputusan lebih landjut. W alaupun peraturan tersebut tidak mengatakan bentuk dari 86
ketetapan jang memuat pemberhentian itu, kita dapat menganggap pem berhentian itu harus diberitahukan kepada jang bersangkutan setjara tertulis. Pemberhentian seorang pegawai negeri dari djabatannja meru pakan suatu perbuatan jang penting sekali (perbuatan jang „essentieel” ), jang hanja dapat diadakan setjara tertulis. Demikian djuga halnja dengan suatu ketetapan jang memuat kenaikan pangkat seseorang .pegawai negeri. W alaupun peraturan Pemerintah tahun 1952 N r 9, L.N . 1952 N r 14 ti dak menjebut bentuk dari ketetapan jang memuat kenaikan pangkat seseroang pegawai negeri, kita boleh menganggap kenaikan itu harus diberitahukan kepada jang bersangkutan setjara tertulis oleh karena per buatan menaikkan pegawai dalam pangkatnja adalah suatu perbuatan jang amat penting. Tjontoh-tjontoh mengenai undang-undang jang meridjadi dasar suatu ketetapan dan jang menjebut dengan tegas bentuk jang harus diberikan kepada ketetapan itu : pasal 5 ajat 2 U .U .D .S. — naturalisasi dilakukan oleh atau dengan kuasa undang-undang- pasal 120 ajat 2 U .U .D .S. — masuk dalam dan memutuskan perdjandjian dan persetudjuan lain dilakukan oleh Presiden hanja dengan kuasa undang-undang (undang-undang persetudjuan = goedkeuringswet); pasal 5 ajat 1 per aturan Pemerintah tahun 1952 N r 11, L.N . 1952 N r 16 — hukuman djabatan jang didjatuhkan kepada pegawai negeri diberitahukan kepada; nja setjara tertulis dengan menjebut alasan-alasannja. Sekarang timbul pertanjaan: bagaimanakah akibat suatu ketetapan jang tidak dibuat dengan bentuk jang telah ditentukan oleh peraturan jang mendjadi dasar ketetapan itu ? Dapat dikatakan pada umumnja bahwa sah tidaknja ketetapan sematjam itu bergantung pada hal apakah bentuk itu merupakan „bestaansvoorwaarde” atau tidak bagi ketetapan jang bersangkutan 66. Dengan kata la in : apakah kekurangan dalam bentuk itu kekurangan „essentieel” atau tidak. M isalnja, suatu pengang katan pegawai negeri jang tidak dimasukkan kedalam suatu ketetapan tertulis adalah suatu perbuatan jang bagi hukum tidak ada. Tetapi suatu pemberian istirahat karena alasan penting, jang tidak diadakan setjara tertulis, belum tentu suatu perbuatan jang bagi hukum tidak-sah. 66
- V e g t i n g , hal. 68 : „T.a.v. vormgebreken ..................... wordt veelal nietigheid slechts aangenomen, wanneer het geconstateerde gebrek op de inlioud van de beschikking van invloed k a n zijn geweest of de betrokkene benadeeld k a n hebben” (Tentang kekurangan-kekurangan dalam bentuk dari ketetapan .............................. dapat dikatakan bahwa akibat ketetapan itu hanja batal, bilamana kekurangan jang dinjatakan itu m u n g k i n mendjadi sebabnja maka isi ketetapan tersebut lain dari pada jang seharusnja, atau m u n g k i n mendjadi sebabnja maka jang bersangkutan mendapat kerugian). K r a n e n b u i g
87
Bukan hanja suatu bentuk jang salah dapat mendjadi sebab maka ketetapan jang bersangkutan adalah ketetapan jang tidak-sah. Pembuat suatu ketetapan harus djuga memperhatikan peraturan-peraturan jang menundjuk tjara (procedure) pembuatan ketetapan itu. Kadang-kadang tjara pembuatan suatu ketetapan mendjadi „bestaansvoorwaarde” (anasir „essentieel” ) bagi ketetapan itu, kadang-kadang bukan „bestaansvoorwaatde”. Sebuah tjontoh tentang tjara pembuatan jang mendjadi „be staansvoorwaarde” bagi suatu ketetapan : pasal 4 peraturan Pemerintah tahun 1952 N r 11, L.N . 1952 N r 16 mengenai hukuman djabatan jang didjatuhkan kepada pegawai negeri berbu n ji: „sebelum hukuman (dja batan) didjatuhkan, maka pegawai jang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dengan tertulis dalam waktu 14 hari sesudah mene rima pemberitahuan tentang hukuman jang a k a n ( s p a t i e e r i n g da ri kam i) didjatuhkan”. Pendapat kami : suatu ketetapan jang memuat hukuman djabatan jang dibuat dengan tidak terlebih dahulu kepada pegawai jang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri, ada lah suatu ketetapan jang batal. Sebuah tjontoh lain : ketetapan jang dibuat oleh suatu rapat jang tidak terbuka, walaupun menurut peraturan tatatertib rapat itu ketetapan tersebut harus dibuat dalam suatu rapat terbuka. Ketetapan itu batal 67. Masing-masing ketetapan — jaitu hanja djika perlu menurut pera turan — ditempatkan dalam suatu berita atau warta pemerintah atau dalam suatu surat kabar jang terkenal (surat kabar lokal atau surat kabar jang dibatja di seluruh wilajah Indonesia), sehingga isinja dapat diketahui oleh jang bersangkutan. Ketetapan jang berbentuk undangundang diundangkan (afgekondigd) dalam Lembaran Negara, ketetapan jang dibuat penguasa pemerintah pusat jang lain (Presiden, menteri, Dewan Menteri) diberitahukan (bekendgemaakt) dalam Tambahan Lembaran Negara atau dalam Berita Negara, ketetapan jang dibuat pemerintah kota besar Surabaja diberitahukan dala^n warta kota besar Surabaja atau dalam suatu surat kabar jang terkenal di kota Surabaja. Bilamana pembuat ketetapan tidak menempatkannja dalam tempat pe ngundangan (plaats van afkondiging) (dalam hal undang-undang) atau dalam tempat pemberitahuan (plaats van publicatie) jang telah ditentu kan oleh peraturan, maka salah-penempatan atau tidak-penempatan itu tidak memberi alasan penuntutan penindjauan kembali atau penuntutan bandingan ketetapan itu, dalam hal orang jang bersangkutan masih dapat mengetahui adanja ketetapan itu dari suatu sumber lain. Jang bsrsang67
88
V an
d er
Pot
„Nederlandsch bestuursrecht”, 1934 hal. 213.
kutan tidak dapat menggunakan salah-penempatan atau tidak-penempatan ketetapan itu sebagai alasan ketidak-tahuannja tentang adanja ketetapan itu, apabila ternjata bahwa ia masih dapat mengetahuinja dari, misalnja, siaran berita oleh radio, siaran berita oleh surat kabar, dsb. gs. Achirnja, dapat dikemakakan bahwa „Schrijffouten, verkeerde spelling van een eigennaam of onjuiste vermelding van titels, praedicaten o f voorletters, indien zij niet tot tw ijfel omtrent de identiteit der bedoelde personen aanleiding geven, onjuiste aanhalingen van wetsteksten, van wetsartikelen of staatsbladen, e.d. doen aan de geldigheid van een beschikking niet a f” e9. K e t e t a p a n j a n g isi dan t u d j u a n n j a t i d a k s e s u a i d e n g a n isi dan t u d j u a n d a r i p e r a t u r a n j a n g m e n djadi dasar ketetapan itu: Tiap ketetapan jang dibuat, harus berdasar pada undang-undang, dan isi dan tudjuannja harus sesuai dengan isi dan tudjuan dari undangundang jang mendjadi dasar ketetapan itu. Oleh K r a n e n b u r g - V e g t i n g 70 disebut empat matjam hal suatu alat negara memberi kepada ketetapan suatu isi jang — menurut peraturan jang bersangkutan (peraturan jang mendjadi dasar ketetapan itu) — sebenarnja tidak dapat diberikan kepada ketetapan itu : a.
b.
68 69
70
suatu al^t negara membuat ketetapan, tetapi peristiwa hukum atau peristiwa jang bukan peristiwa hukum (juridische atau feitelijke omstandigheid) jang menurut peraturan jang bersangkutan harus ada agar ketetapan itu dapat dibuat, sekali-kali tidak ada. Dalam hal demikian alasan untuk membuat ketetapan itu sebenarnja tidak ada ( t i d a k a d a a l a . s a n , g e e n o o r z a a k ) suatu alat negara membuat ketetapan, tetapi peristiwa-peristiwa jang disebut dalam ketetapan itu dan jang menurut peraturan jang ber sangkutan adalah benar, sebetulnja alasan-alasan bagi pembuatan suatu ketetapan lain dari pada jang telah dibuat. Dalam hal demi V a n d e r P o t , sama, hal. 212. D o n n e r, hal. 234. Terdjemahan : Salah-tulis, salah-edjaan nama, sebutan jang salah dari gelar, pangkat dan huruf-muka apabila sebutan jang salah itu tidak menimbulkan keragu-raguan mengenai identitet orang-orang jang dimaksud, sebutan jang salah dari teks undang-undang, nomor-nomor pasal undang-undang atau nomor-nomor lem baran negara, dsb. tidak mengurangi berlakunja ketetapan. Hal. 52.
c.
d.
kian suatu a l a s a n s a l a h ( v a l s e o o r z a a k) mendjadi dasar suatu ketetapan. suatu alat negara membuat ketetapan jang menurut peraturan jang bsrsangkutan adalah benar, tetapi peristiwa-peristiwa jang disebut sebetulnja tidak dapat mendjadi alasannja. Peristiwa-peristiwa lain dari pada jang disebut, seharusnja mendjadi alasannja. Dalam hal demikian dibuat suatu ketetapan berdasarkan a l a s a n - a l a s a n j a n g t i d: ak d a p a t d i p a k a i ( o n g e o o r l o o f d e o o r zaak) suatu alat negara membuat ketetapan, tetapi alat negara itu tidak mempergunakan kekuasaannja setjara jang sesuai dengan tudjuan jang telah diberi oleh peraturan jang bersangkutan kepada kekua saan itu. Dalam hal demikian alat negara jang membuat ketetapan, mempergunakan kekuasaannja setjara jang tidak sesuai dengan tu djuan kekuasaan itu, dan salah menggunakan kekuasaan itu diberi nama istimewa jang berasal dari bahasa Perantjis, jaitu „ d é t o u r n e m e n t de p o u v o i r ”.
„Détournement de pouvoir”-lah jang perlu kami uraikan lebih landjut disini oleh karena terutama tentang sifat „détournement de pouvoir”, telah ditimbulkan banjak perselisihan faham. Apakah sebenarnja „détournement de pouvoir” itu? Menurut pendat pat kami maka definisi Prof. P r i n s 71 adalah definisi jang paling tej rang. Dikatakannja: „Er schijnt bij de huidige stand der jurisprudentie inzake het begrip „„misbruik van macht”” geen reden meer te bestaan voor een „„ruime”” opvatting van het begrip „„détournement de pou voir””, die mede allerlei vormen van ongerechtvaardige discriminatie zou omvatten. W il men deze terni handhaven teraanduiding van een eigen, b i j z o n d e r e ( s p a t i ë e r i n g dari kami) vorm van machtsmisbruik, dan lijk t het gewenst van détournement ‘ de pouvoir alleen te spreken, w a n n e e r de a d m i n i s t r a i ie v a n e e n h a a r v e r l e e n de b e v o e g d h e i d g e b r u i k m a a k t t e r b e h a r t i g i n g v a n e e n a n d e r p u b l i e k b e l a n g dan dat me t h e t oog wa a r op die b e v o e g d h e i d h aar werd verl e end” ( s p a t i ë e r i n g dari kami) 72. „Détournement de pouvoir” itu ter71 72
90
„Inleiding”, hal. 1Ï4. Terdjemahan : Bilamana kita menindjau jurisprudensi pada djaman sekarang mengenai pengertian „salah menggunakan kekuasaan”, maka rupanja tidak ada alasan lagi menggunakan suatu pengertian „détournement de pouvoir” j ang’ „luas”, jang dapat meliputi bermatjam-matjam bentuk diskriminasi jang bertentangan dengan keadilan. Bilamana seseorang tetap hendak
djadi, bilamana suatu alat negara menggunakan kekuasaannja untuk menjelenggarakan suatu kepentingan umum jang lain dari pada kepen tingan umum jang dimaksud oleh peraturan jang mendjadi dasar ke kuasaan itu. „Détournement de pouvoir” itu bukan suatu gedjala (verschijnsel) jang hanja terdapat dalam lapangan membuat ketetapan, melainkan suatu gedjala jang dalam seluruh lapangan pemerintah da lam arti kata luas (terdapat djuga dalam lapangan perundang-undangan dan dalam lapangan pengadilan). „Détournement de pouvoir” dapat kami terdjemahkan sebagai „pemindahan kekuasaan”, dalam bahasa Belanda : „afwenteling van macht”. Tjontoh tentang „détournement de pouvoir” : Seorang walikota memberi perintah bahwa semua tempat dansa (dancing) di kota harus didaftarkan, dan pada pendaftaran itu harus dipenuhi bsberapa sjarat istimewa. Oleh walikota sjarat-sjarat itu di susun setjara istimewa sekali sehingga hanja tempat dansa jang men djadi kepunjaan sendiri walikota, dapat memenuhinja. Kekuasaannja dipergunakan walikota itu untuk mentjegah persaingan jang telah bebe rapa waktu lamanja dilakukan oleh tempat-tempat dansa orang lain terhadap tempat dansa sendiri 73. Walaupun tidak ada peraturan kota jang dapat dipakai untuk menutup rumah-rumah tempat perdjudian dan tempat pelatjuran, masih djuga sebuah rumah jang tidak begitu besar dan jang disangka mendjadi tempat pelatjuran, ditutup walikota dengan alasan bahwa rumah itu akan dipakai sebagai asrama pegawai negeri 7 4 . Pemerintah kota sanggup memberikan idjin untuk mendirikan se buah gedung, tetapi dengan sjarat bahwa jang diberi idjin itu akan me njerah sebagian dari tanahnja kepada kota, sehingga djalan umum dapat dilebarkan. Maksud pemerintah menentukan sjarat itu, ialah mendapat tanah dengan tidak melalui djalan (procédure) pentjabutan (onteigening). Bukankah, tiap pentjabutan milik seorang partekelir hanja boleh diadakan dengan menggantikan kerugian ? (Pasal 27 U .U .D .S.). Disini ada suatu mentjampurkan-sehingga-mendjadi-satu dari dua kepentingan mempertahankan pengertian „détournement de pouvoir” ini untuk menjatakan suatu matjam bentuk istimewa „salah menggunakan kekuasaan”, maka __ menurut pendapat kami — pengertian „détournement de pouvoir” ini hanja dapat dipakai untuk menjatakan suatu kekurangan dalam sesuatu perbuatan jang diadakan tatausaha negara. Oleh karena tatausaha negara itu menggunakan kekuasaan jang diberi kepadanja untuk menjelenggarakan s u a tu kepentingan umum lain dari pada kepentingan umum jang seharusnja diselenggarakan menurut uuljuan kekuasaan itu. 73 K r a n e n b u r g - V e g t i n g , h a l. 53. 74 Lihatlah P r i n s „Inleiding”, hal. 114.
91
umum — jakni penjelenggaraan perumahan baik dan penjelenggaraan lalu-lintas baik — , jang tidak boleh diadakan 75. Perlu ditegaskan disini djuga bahwa „détournement de pouvoir” se ring mendjadi akibat suatu „freies Ermessen” jang disalahgunakan. Dalam ilmu hukum tatausaha negara telah ditimbulkan suatu perse lisihan faham tentang djawaban atas pertanjaan: dapatkah suatu „détour-, nement de pouvoir” dianggap sebagai suatu perbuatan jang b e r t e n t a n g a n . d e n g a . n u n d a n g - u n d a n g (i n s t r i j d m e t d e w e t)
(atau lebih luas :
b e r t e n t a rug a n
dengan
hukum,
in
s t r i j d m e t h e t r e c h t) ? Djawaban atas pertanjaan ini penting, oleh karena suatu perbuatan tatausaha negara jang mengandung kekurangan dapat dibantah berda sarkan dua matjam alasan : a. karena bertentangan dengan hukum, dan b. karena b e r t e i n t a n g a n d e n g a n k e p e n t i n g a n u m u m (i n s t r i j d m e t h e t a 1 g e m e e n b e 1 a n g) 76. Baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia dalam hukum tatanegara diterima azas, bahwa pertimbangan bertentangan tidaknja dengan kepentingan umum sesuatu perbuatan tatausaha negara tidak dapat diserahkan kepada hakim, tetapi tetap tinggal dalam tangan tatausaha negara sendiri. Pertimbangan bertentangan tidaknja dengan kepentingan umum sesuatu perbuatan tatausaha negara adalah pertimbangan bidjaksana tidaknja sesuatu tindakan tatausaha negara (pemerintah) („bidjaksana” adalah terdje.m ahan dalam bahasa Indonesia dari istilah Belanda „doelmatigheid”). Pengawasan
atas
bidjaksana
tidaknja
sesuatu
tindakan pemerintah (doelmatigheidscontrôle) t i d a 'k d a p a t diserahkan kepada hakim tetapi tinggal
dalam
s e da n g ' k an nja
dengan
tangan
pengawasan hu' kum
tatausaha atas
sesuatu
negara
sendiri,
bertentangan tindakan
tidak
pemerintah
(rechtmatigheidscontrôle) diserahkan kepada tatausaha negara (termasuk djuga pengadilan tatausaha 75 76
92
negara)
maupun
k e p a 'd a
hai ki m
' biasa
Lihatlah K r a n e n b u r g - V e g t i n g, hal. 53 dan P r i n s „Inleiding”, hal. 114. Di Negeri Belanda sedjak beberapa tahun telah diterima pengertian „algemene beginselen van behoorlijk bestuur”. Mengenai pengertian ini lihatlah D o n n e r „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Algemeen deel ”, 1953 hal. 200 d.j.b. Lebih luas prae-advies Prof. D r I. S a m k a l d e n dan Prof. Mr G .J. W i a r d a di muka Alg. Verg. der Ver. v. Admin. Recht „Algemene beginselen van behoorlijk bestuur”, tahun 1950.
(g e w o n e r e c h t e r ) 77. Perlu djuga para pembatja harus diingatkan akan hal batas antara himpunan perbuatan-perbuatan pemerintah jang bertentangan dengan hukum dan himpunan perbuatan-perbuatan peme rintah jang bertentangan dengan kepentingan umum, itu tidak terang ! D jikalau suatu perbuatan jang dibuat berdasarkan „détournement de pouvoir” termasuk himpunan perbuatan-perbuatan jang kedua, maka sudah tentu perbuatan sematjam itu diluar kompetensi hakim biasa. Per soalan ini penting ! Oleh M r H. V o s 7S dikemukakan, bahwa bilamana ditindjau dari sudut batas kekuasaan f o r m i l jang diberi oleh undang-undang kepada tatausaha negara, form il „détournement de povoir” itu bukan suatu per buatan jang bertentangan dengan undang-undang, oleh karena ketika tatausaha negara mengadakannja maka tatausaha negara (fo rm il) tidak bertindak diluar batas tersebut, sedangkan, bilamana ditindjau dari sudut maksud pembuat undang-undang ketika memberi kekuasaan itu kepada tatausaha negara, maka „détournement de povoir” tersebut sudah tentu suatu perbuatan jang bertentangan dengan undang-undang ! Maka dari itu — menurut pendapat V o s — „détournement de pouvoir” tersebut tidak dapat dibantah dengan menggunakan alasan : bertentangan dengan kepentingan umum — seperti jang mendjadi kebiasaan dalam praktèk tata usaha negara — , melainkan harus dibantah dengan menggunakan alasan: bertentangan dengan undang-undang. Pendapat M r V o s tidak mendapat penganut 79. Usaha M r V o s / "ad alah pertjobaan membuat suatu teori jang dapat menempatkan „dé tournement de pouvoir” di bawah pengawasan hakim biasa. Usaha ini dapat kami pudji. Bukankah, maksud usaha V o s tidak lain dari pada menempatkan pertimbangan ada tidaknja „détournement de pouvoir” itu di bawah kekuasaan suatu alat negara jang menurut tradisi boleh di anggap sungguh-sungguh objektif. Tetapi biarpun usaha terpudji, masih djuga hasil usaha itu tidak dapat diterima. Biarpun suatu ketetapan ber77
78
79
Lihatlah K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 211 dan jang berikutnja (ter utama hal. 216 ) , karangan K r a n e n b u r g „D e bescherming tegen onrechtmatig bestuur” dalam „Nederlansch bestuursrecht”, 1934 hal. 255 dan jang berikutnja (terutama hal. 280 — 2 8 1 ) ; D o n n e r „Nederl. bestuurs recht”, bagian „Algemeen deel”, 1953 hal. 296 d.j.b. (terutama hal. 304 d .j.b.); Prof. L o g e m a n n „Staatsrecht van Ned. Indië”, 1947, hal. 170. Azas ini djuga diterima oleh jurisprudensi di Indonesia, lihatlah a.l. „per kara Yiap Po T jan " dalam madjalah „Hukum” tahun 1953 N r 1 — 21, „perkara Saptheno” dalam madjailah „Hukum” tahun 1953 N r 3/4 (atau ( 4/5 ?) __ 81, „perkara Sie Tiang Djwan” dalammadjalah „Hukum” tahun 1953 Nr 3/4 — 10i: Diambil dari buku D r S t e 1 1 i n g a, hal. 194. Lihatlih djuga ketjaman S t e I 1 i n g a.
93
tentangan dengan maksud p e m b u a t undang-undang jang mendjadi dasar ketetapan itu, masih djuga kita belum dapat mengatakan dengan 1
begitu sadja bahwa ketetapan tersebut bertentangan dengan undang-un dang jang mendjadi dasarnja itu. Bertentangan dengan maksud pembuat i undang-undang tidak dengan sendirinja (automatisch) berarti bertenf tangan dengan undang-undang. Apalagi — inilah chusus terdjadi dalam , hal peraturan-peraturan perundang-undangan jang sudah lama berlaku — maksud pembuat undang-undang bukanlah faktor jang satu-satunja jang menentukan tudjuan undang-undang dalam pergaulan sosial. Hu kum jang tertjantum d a l a m undang-undang (sebetulnja sistim m a t e r i i l dari hukum) tetap meneruskan perkembangannja djuga pada waktu s e t e l a h penetapannja dalam undang-undang itu. Oleh sebab itu di kemudian hari dapat terdjadi hal maksud p e m b u a t undang-undang berlainan sekali dengan tudjuan (sosial) jang baru dari u n d a n g - u n d a n g (perbedaan ini dapat dibuktikan dengan penaf siran so). Gedjala tersebut membawa akibat penting dalam lapangan hukum tatausaha negara. Apalagi kalau kita ingat akan hal tiap perbuatan tatausaha negara sering lebih suatu perbuatan „beleid” jang berdasarkan atas kebidjaksanaan pemerintah dari pada suatu perbuatan hukum jang sungguh-sungguh. Bahkan, kadang-kadang tatausaha negara dengan sengadja (karena terpaksa) mengadakan suatu perbuatan jang tidak se suai dengan maksud pembuat undang-undang, tetapi belum tentulah ketidak-sesuaian dengan maksud pembuat undang-undang itu berarti bah wa perbuatan tersebut „bertentangan dengan hukum”. Terutama dalam hal bilamana menjimpang dari maksud pembuat undang-undang itu diadakan berdasarkan suatu kebidjaksanaan jang baik. Misalnja, dalam hal seorang walikota menutup sebuah rumah jang disangka mendjadi tempat pelatjuran, walaupun tidak ada peraturan kota jang mengidjinkan penutupan itu. Tetapi walikota terpaksa menutup tempat pelatjuran itu, karena telah ternjata tempat tersebut merupakan suatu sumber kedjahatan (crim inaliteit). Dapatkah kita masih menjebut perbuatan me nutup rumah itu sebagai suatu perbuatan jang „bertentangan dengan h u k u m ? Malahan, oleh Prof, v a n P o e l j e S i dikemukakan, bahwa ditindjau dari sudut etik pemerintahan — „détournement de pouvoir” tidak senantiasa dapat dianggap sebagai suatu perbuatan jang tidak 80 81
94
Lihatlah buku kami „Pengantar dalam Hukum Indonesia”, 1956 hal. 153-154. „Algemeene inleidirig tot de bestuurskunde”, 1942 (1953) hal. 99. Djuga disebut oleh S t e l l i n g a (hal. 195).
lajak (onbetam elijk, afkeurenswaardig). Qleh D r S t e l i i n g a S 2 dikemukakan bahwa: „H e t o p t r e d e n t e g e n p o u v o i r is d e r h a 1 v e e e r d e r e e n
d é t o u r n e m e n t de taak van rechts-
v e r v o l m a k i n g of r e c h t s v e r f i j n i n g d a n h e t w e r e n v a n s t r i j d m e t d e w e t” 83. Membantah suatu „détournement de pouvoir” sebagai suatu perbuatan jang bertentangan dengan k e p e n t i n g a n u m u m itu pada hakekatnja suatu perbuatan jang me nambah hukum (daad van rechtsvorming), terutama jang ditambah ia lah hukum tatanegara, sedangkan membantah suatu „détournement de pouvoir” sebagai suatu perbuatan jan g bertentangan dengan u n d a n g u n d a n g itu belum tentulah suatu tindakan jang menambah hukum, melainkan lebih berupa suatu perbuatan mendjalankan hukum jang telah ada. Achirnja, dapat dikemukakan dua hal : a. batas antara „bertentangan dengan hukum” dan „bertentangan dengan kepentingan umum” tidak terang, dan b. tatausaha negara memerlukan suatu „kemerdekaan” (freies Etmessen” ), jakni suatu „kemerdekaan” jang pada azasnja mengidjinkan tatausaha negara mengutamakan „doelmatigheid” dari pada , „wetmatigheid”. Djustru „kemerdekaan” inilah jang menggelapkan perbatasan antara „hukum” dan „kepentingan umum” seperti jang dise but dalam sub a. Sangat penting dibatja karena „leerzaam” ( = mengan dung peladjaran); keputusan Hoge Raad Belanda tertanggal 19 Nopember 1936 dalam „Nederl. Jurisprudentie” tahun 1936 — 182 („M i licien D e Boer” ) dan keputusan Hoge Raad Belanda tertanggal 29 Maret 1940 dalam „Nederl. Jurisprudentie” tahun 1940 N r 1128 („Helden'
;kerm is” ) 84, di Indonesia suatu perkara jang terkenal, jaitu „perkara Yap”, dalam madjalah „Hukum” tahun 1953 N r 1 — 21, „perkara Trocadero” dalam madjalah „Hukum” tahun 1953 Ni; 3/4 (atau 4/5 ? ) __64, dan keputusan Pengadilan Tinggi di Surabaja tertanggal 31 D ju li 1952 dalam madjalah „Hukum” tahun 1952 N r 4/5 — 62. Djadi, „détournement de pouvoir” itu suatu soal mengenai bidjaksana tidaknj.a „beleid pemerintah dan dapat dibantah dengan meng alasan : bertentangan dengan kepentingan umum.
gunakan
82 83
84
Hal. 195. Terdjemahan : Maka dari itu membantah détournement de pouvoir adalah suatu perbuatan jang lebih berupa suatu tugas untuk menjempumakan hukum atau meng haluskan hukum, dari pada suatu perbuatan jang berupa meniadakan suatu bertentangan dengan undang-undang. K r a n e n b u r g - V e g t i n g, hal. 247; P r i n s „Inleiding”, hal. 111.
Sekarang timbul pertanjaan: dapatkah dengan mudah kam, mengatakan „dengan mndah”, oleh karena d.sm, ada soal mengena, bidjaksana tidaknja „beleid" pemerintah — adanja sesuatu „deto nem ent de pouvoir" dipakai oleh jang dikenai „détournement de pouvoir itu sebagai alasan pembantahan ketetapan jang bersangkutan, atau de ngan k a t. lain : dapatkah „détournement de pouvo.r „u d.paka, seb,, im; njstratip(admiiiistragai alasan tuntutan bandingan a d m i n i v t i e f beroep) ? D i N egeri Belanda ada suatu ketentuan perundang-undangan ,a„g mengakui „détournement d . pouvoir ’ sebagai alasan tuntutan bandtngan administratip sesuatu perbuatan pemerintah. Kemungkman tersebu, ter dapat dalam pasal 58 „A m btenarenw et” (Belanda) ,a„g memuat rumus : dat een bestuursorgaan van 21, n bevoegdheid k e n i i ' e i i i -k (s p 'a t,i ë e r i n g dari kam i) een ander gebruik heeit gemaakt dan tôt de doeleinden, waarvoor de bevoegdhe.d .s gegeven (apab.la t e rn j a t . suatu «la, negara m enggunakan kekuasaan»,» untuk menielenggarakan s u a « kepentingan lain dati pada ,a„g d,maksud oleh undang-tuidang jang memberi kekuasaan itu kepadan,.). Walaupun h ,n|a disebu, dalam pasal 58 „ A m b , e n a r e n » e t ” kemungkman untuk membancah „détournement d . pouvoir- itu ditenm . untuk seluruh lapangan
LJ
pekerdjaan tatausaha negara. Oleh jurfaprudensi
di Negeri Belanda -
„détournement de
pouvoir” itu diakui sebagai alasan tuntutan bandingan sesuatu perbuatan pemerintah, oleh K r a n e n b u r g - V e g t i n g s e dikemukakan bah wa djarang sekali suatu tuntutan jang didasarkan atas tuduhan „détour nement de pouvoir”, membawa hasil jang dikehendaki oleh jang mela85 86
96
Kranenburg-Vegting, Hal. 54 noot 2.
hal. 52-53-54.
V
kukan tuntutan itu. H al ini oleh karena djarang sekali penuntut dapat membuktikan bahwa pemerintah dalam pembuatan suatu ketetapan te- * lah mengadakan suatu „détournement de pouvoir”. Tidak mudah adanja suatu „détournement de pouvoir” dibuktikan, oleh karena batas pe ngertian „kepentingan umum” itu tidak ditentukan dengan terang. Lagi pula, bilamana suatu alat negara jang membuat ketetapan tetap mengemukakan bahwa ketetapan itu diadakan karena „kepentingan umum” memerlukannja, maka sangat sukarlah untuk membuktikan bah wa apa jang diperhatikan itu bukan „kepentingan umum”, tetapi suatu kepentingan lain. Oleh karena kebidjaksanaan politik pemerintah tidak dapat dipertimbangkan dengan begitu sadja oleh seorang partekelir atau sesuatu badan partekelir. Setahu kami 87 maka di Indonesia sampai sekarang dalam perundang-undangan „détournement de pouvoir” itu menurut hukum tatausaha negara belum diakui umum sebagai suatu alasan tuntutan bandi ngan atas sesuatu ketetapan. D i atas kami beri uraian tentang kekurangan-kekurangan juridis jang dapat mendjadi sebab maka sesuatu ketetapan tidak diterima sah (rechtsgeldig). Ketetapan jang tidak-sah dapat membawa akibat jang bagi hukum tidak pernah ada, djadi, kedudukan hukum dari jang ber sangkutan dibawa kembali kedalam keadaan s e b e l u m ketetapan itü dibuat — dalam bahasa hukum : tidak-sah e x t u n c (ongeldigheid ex tunc), jaitu tidak-sah djuga untuk waktu sebelum pembatalan (tidaksah sedjak waktu ketetapan dibuat) — atau ketetapan jang tidak-sah dapat membawa akibat jang bagi hukum ada sampai waktu pembatalan, djadi, kedudukan hukum dari jang bersangkutan t i d a k dibawa kem bali kedalam keadaan sebelum ketetapan itu dibuat — dalam bahasa hukum : tidak-sah e x n u n c (ongeldigheid ex nunc), jaitu tidak-sah untuk kemudian sadja. Dalam paragrap jang berikut di bawah ini akan kami tindjau ke kuasaan hukum (rechtskracht) sesuatu ketetapan jang sah. Hanja ke tetapan jang sah mempunjai apa jang dinamakan „kekuasaan hukum”. / Oleh karena belum tentu suatu ketetapan jang mengandung kekurangan juridis seperti jang disebut di atas, adalah suatu ketetapan jang tidaksah, maka ada djuga ketetapan jang tidak „sempurna” jang mempunjai kekuasaan hukum 88. 87 58
Lihatlah Lihatlah
Pr i n s „Inleiding”, hal. 115. S t e 1 1 i n g a, hal. 131.
*
97
§4:
/
Kekuasaan hukum ketetapan
( r e c h t s k r a c h t) s a h 89.
dari
Bagaimanakah kekuasaan hukum sesuatu ketetapan sah ? Sebelum mendjawab pertanjaan ini, maka harus kita ingat akan hal djuga suatu ketetapan jang mengandung kekurangan juridis dapat berlakti sebagai suatu ketetapan sah. Lagi pula, bukankah suatu ketetapan jang mengan dung kekurangan juridis itu sedikit-dikitnja berlaku sah sampai waktu pembatalannja atau sampai waktu penarikan kembalinja 90 ? Setelah pembatalan atau penarikan kembali, maka ketetapan itu tidak lagi mempunjai akibat, karena tidak ada lagi. Bahkan, ada djuga ketetapan jang t i d a k mengandung kekurangan juridis — ketetapan jang „sempurna” — jang berlaku sah hanja untuk sementara waktu sadja. Alat negara jang wadjib mengadakan bandingan tidak hanja menjelidiki juridis sempurna tidaknja sesuatu ketetapan* tetapi dapat djuga mempertim bangkan bidjaksana tidaknja pembuatan ketetapan itu (mempertim bangkan „doelmatigheid” ) 91. Kadang-kadang djuga suatu ketetapan jan g tidak mengandung kekurangan juridis, dibatalkan atau ditarik kem bali karena pembuatannja telah ternjata tidak bidjaksana. Djadi, belum tentulah, suatu ketetapan jang tidak mengandung kekurangan juridis mempunjai suatu kekuasaan hukum jang definitif (definitieve rechtsk rach t), melainkan ada banjak ketetapan sematjam ini jang mempunjai kekuasaan hukum hanja untuk sementara waktu sadja, jaitu sah selama belum ditarik kembali atau dibatalkan. Apalagi djika subjek hukum jang dikenai sesuatu ketetapan, menggunakan djangka untuk menuntut bandingan atas ketetapan itu dan tuntutan bandingan tersebut membawa hasil jang dikehendakinja, maka ketetapan itu mendjadi tidak-sah dan kekuasaan hukumnja hilang. Tetapi djika djangka untuk menuntut ban dingan tidak dipakai atau tuntutan bandingan ditolak, maka ketetapan itu mendapat suatu kekuasaan hukum jang definitif („kekuasaan hukum form il” („form ele rechtskracht” ), lihatlah di bawah in i). Kam i dapat menarik kesimpulan bahwa hanja suatu ketetapan jang sah mendapat kekuasaan hukum. Timbul pertanjaan : adakah dan apa kah perbedaan antara pengertian „sah” („rechtsgeldig”) dan pengertian 89
M r A.M. D o n n e r „De rechtskracht van administratieve beschikkingen”, disertasi Amsterdam (V rije Universiteit 1941 dan dalam „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 251 262 ; dalam bahasa Djerman sangat bernilai : A. M e r k 1 „D ie Lehre von der Rechtskraft”, 1923. 90 „Pembatalan” sesuatu perbuatan pemerintah diadakan oleh suatu alat negara ' )ang lebih tinggi, sedangkan „penarikan kembali” diadakan oleh alat negara jang membuatnja. „Pembatalan” dapat djuga 'diadakan oleh hakim. 91 Lihatlah K r a n e n b u r g - V e g t i ng, hal. 72.
98
„kekuasaan hukum” („rechtskracht” ) ? Menurut pendapat kami, maka pertanjaan ini didjawab sangat djelas oleh D r S t e l l i n g a : „ ............. dat de rechtsgeldigheid een o o r d e e l is over de Overheidsverrichting, terwijl de rechtskracht haar w e r k i n g betreft. Rechtsgeldigheid bezit de Overheidsverrichting, wanneer zij als onderdeel der rechtsorde kan worden aanvaard; rechtskracht vertoont zij, als zij haar invloed in het rechtsleven kan doen gelden. Het onderscheid is duidelijk te zien bij de aan goedkeuring o f beroep onderworpen verrichting. W ordt zij goedgekeurd of in beroep bevestigd, omdat zij als rechtsgeldig kan worden aangemerkt, dan staat dus vast, dat die rechtsg e l d i g h e i d er van de aanvang af was. Zij moest echter nog uitdrukkelijk geconstateerd worden. Eerst door die constatering kan de verrichting in deze gevallen rechtsk r a c h t verkrijgen” ( ............ bahwa sah itu suatu p e n d a p a t tentang sesuatu perbuatan pemerintah, sedangkan kekuasaan hukum itu sesuatu jang mengenai ( l i n g k u n g a n ) k e r d j a (pengaruh)nja. Suatu perbuatan pemerintah adalah sah, bilamana dapat diterima sebagai bagian dari ketertiban hukum ; suatu perbuatan pemerintah mempunjai kekuasaan hukum, bilamana dapat mempengaruhi pergaulan hukum. Perbedaan ini sungguh-sungguh terang dalam hal suatu perbuatan pe merintah harus disetudjui atau dibandingkan (oleh suatu alat negara jang lebih tinggi) sebelum dapat berlaku (sebagai bagian dari keter tiban hukum). Bilamana perbuatan pemerintah itu disetudjui atau di teguhkan (dikuatkan) dalam bandingan — oleh karena dapat diterima seb3gai perbuatan sah — maka sudah tentu bahwa sahnja perbuatan tersebut telah ada sedjak permulaan. Hanjalah sahnja itu masih perlu dinjatakan dengan tegas. Baru setelah dinjatakan dengan tegas (oleh persetudjuan suatu alat pemerintah jang lebih tinggi atau dalam suatu bandingan) maka perbuatan jang bersangkutan mendapat k e k u a s a a n hukum) 92. D ari kutipan jang kami ambil dari buku D r S t e l l i n g a , dapat ditarik kesimpulan bahwa „sah” itu berarti tidak lain dari pada : per buatan pemerintah jang bersangkutan dapat diterima sebagai bagian dari ketertiban hukum umum (als een onderdeel van de' algemene rechtsorde). „Sah” itu tidak mengatakan sesuatu tentang isi atau keku rangan dalam sesuatu perbuatan pemerintah, melainkan hanja b e ra rti: diterima sebagai sesuatu jang berlaku pasti. D an oleh karena „diterima sebagai sesuatu jang berlaku pasti” („diterim a sebagai bagian dari ke tertiban hukum umufn” ) maka perbuatan pemerintah itu mempunjai 92
H al. 131-132.
99
„kekuasaan hukum”, jaitu „dapat mempengaruhi ketertiban hukum itu”. Sebelum dinjatakan „sah”, maka perbuatan pemerintah itu belum mempunjai „kekuasaan hukum”, djadi, belum dapat mempengaruhi ketertiban hukum jang berlaku (geldende rechtsorde). Terang djuga, bahwa selama ketetapan belum mendapat suatu ke kuasaan hukum jang definitif, maka baik pada fihak pemerintah mau pun pada fihak jang diperintah selalu ada keragu-raguan ° 3. Oleh sebab itu djangka untuk memohon bandingan harus dipertahankan dengan te guh, dan tidak boleh dilampaui (diliwati) setjara mudah. Bahkan, D o n n e r menganggap djangka untuk memohon bandingan itu sebagai sesuatu „van openbare orde” (ketertiban umum) (pasal 23 A .B .) 9-*. Pada sesuatu ketika, jaitu pada ketika ketetapan mendapat kekuasaan hukum definitifnja, maka kedua belah fihak dengan pasti harus menge tahui kedudukannja. Membawa kepastian-hukum, itulah tugas hukum ! K ita dapat membedakan antara dua pengertian „kekuasaan hukum”, jaitu : a. b.
A d
„kekuasaan hukum f o r m i l ” („ f o r m e 1 e rechtskracht” ) „kekuasaan hukum m a t e r i i l ” („m a t e r i e 1 e rechtskracht”).
a:
Jang dimaksud dengan „kekuasaan hukum form il” suatu ketetapan ialah pengaruh jang dapat diadakan oleh karena a d a n j a ketetapan itu 95. Suatu ketetapan mempunjai „kekuasaan hukum form il”, bila| mana ketetapan itu tidak lagi dapat dibantah oleh suatu alat-hukum (rechtsm iddel) 96. Dalam hal demikian ketetapan itu sah. Kami mendjelaskan hal ini dengan menjebut sebuah tjontoh : Suatu alat negara tertentu membuat suatu ketetapan. Sebelum dapat berlaku maka kete tapan ini memerlukan suatu persetudjuan dari suatu alat negara jang 93
94 95
96
100
D o n n e r „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 251-253. „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 253. K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 73 : „ .............................. verstaat men de werkingen, welke uitgaan'van het b e s t a a n van een beschikking ............ Lihatlah D o n n e r „Rechtskracht”, hal. 17. D r S t e 1 1 i n g a, hal. 130 dan jang berikutnja, 217 dan jang berikutnja. Lihatlah djuga v a n d c r P o t dalam „Nederl. Bestuursrecht”, 1934 hal. 214 alinea terachir : „Is dan de beroepstermijn verstreken, zoo is de beschik king niet alleen voor den betrokkene niet meer aanvechtbaar, maar hebben ° ° k andere organen, met name de gewone rechter, deze te aanvaarden” (B ila mana djangka untuk menuntut bandingan telah liwat, maka ketetapan itu t ’dak hanja tidak dapat dibantah oleh jang dikenainja, tetapi djuga tidak dapat dibantah oleh alat-alat negara lain, termasuk djuga hakim).
lebih tinggi. Setelah mendapat persetudjuan itu, maka bamlah ketetapan tersebut mempunjai kekuasaan hukum. Sebuah tjontoh lain : suatu alat negara tertentu membuat suatu ketetapan. Subjek hukum jang dikenai ketetapan itu diberi kemungkinan untuk menuntut bandingan. Ketetapan tersebut barulah mempunjai kekuasaan hukum setelah djangka untuk menuntut bandingan — j ang tidak digunakan oleh jang dikenai kete tapan tersebut — liwat atau setelah tuntutan bandingan — jang diada kan oleh jang dikenai ketetapan tersebut — ditolak. Dalam hal kepada jang dikenai suatu ketetapan tidak diberi hak untuk menuntut bandi ngan, atau dalam hal suatu ketetapan tidak memerlukan terlebih dahulu persetudjuan suatu alat negara jang lebih tinggi agar ketetapan itu dapat berlaku, maka ketetapan tersebut telah dari permulaan ( = dan waktu dikeluarkan oleh alat negara jang membuatnja) mempunjai kekuasaan Hukum formil. Bilamana suatu ketetapan telah dilaksanakan, tetapi ke mudian dalam bandingan dibatalkan — jaitu dalam hal jang dikenai ketetapan itu dibeu hak menuntut bandingan dan djuga menggunakan haknja — , atau kemudian ketetapan itu tidak disetudjui oleh alat negara jang wadjib menjetudjuinja agar dapat berlaku sah, maka segala sesuatu jang telah diadakan karena pelaksanaan ketetapan itu, p a d a a z a s n j a batal 97, Pembatalan dapat dinjatakan ex tunc atau ex nunc. Pada tjontoh jang kami sebut terachir ini, maka perlulah kami buat beberapa tjatatan (opm erkingen). Sudah tentulah, pembatalan suatu ketetapan jang t e l a h dilaksanakan membawa akibat jang besar. Hal ini ditegaskan oleh D o n n e r . n S ; ,,Het beroep, dat op zichzelf immers nog geen directe aantasting van de beschikking is, heeft, zolang het hangt, geen invloed op de werking der beschikking, m.a.w. het heeft geen s c h o r s e n d e k r a c h t”. ............................ dat het bestuur vrij kan zijn met de tenuitvoerlegging van zijn beschikking nog eens even te w a c h t e n, t o. t d a t o p e e n ingesteld beroep is b e s l i s t , e n d a t het , w a n n e e r de o m s t a n d i g h e d e n het toelaten, van die v r i j h e i d ook geregeld g e b r u i k z a l m a k e n”. Berhubung dengan „de behandeling van beroepen soms zeer veel tijd kan vergen”, maka sering kali diingini „een soort van kort geding, waardoor onherstelbare schade kan worden voorkomen” 99. 97 98 99
Lihatlah dengan saksama penindjauan S t e l l i n g a dalam bukunja pada hal. 217-219. ,.Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 254. Terdjemahan-terdjemahan : Selama suatu bandingan — jang belum berupa gugatan langsung terhadap ketetapan — belum diputuskan, maka bandingan itu tidak mempunjai pe-
101
Agar supaja timbulnja kesukaran-kesukaran jang kami gambarkan itu dapat dielakkan (voorkomen) sebanjak-banjaknja, maka harus di tegaskan kepada pembuat undang-undang supaja, d j i k a i a u m u n g k i n , dalam peraturan perundang-undangan jang mendjadi dasar kete tapan ditentukan suatu penundaan pelaksanaan ketetapan selama masih dilangsungkan suatu bandingan jang belum diputuskan (diselesaikan). Achirnja, chusus dalam keputusan-keputusan pengangkatan pendjabat dan pegawai, biasanja oleh tatausaha negara dibuat suatu „veiligheidsclausule” (djuga terkenal dengan nama „intrekkingsvoorbehoud” ) jang berbunji : „dengan ketentuan, barang sesuatunja akan diubah dan diperhitungkan lagi, djika kemudian terdapat kekeliruan dalam peneta pan ini”. „Veiligheidsclausule” ini lebih membawa djaminan bagi tata usaha negara dari pada membawa djaminan bagi pendjabat 'atau pegawai jang diangkat itu. Sudah tentu „veiligheidsclausule” ini mengurangi djaminan bagi pendjabat atau pegawai jang timbul dari didapatnja suatu kekuasaan hukum definitif oleh ketetapan ! D jika kami mengatakan bahwa suatu ketetapan memperoleh ke kuasaan hukum formil bilamana ketetapan itu tidak dapat dibantah lagi oleh suatu alat-hukum, maka jang kami maksud dengan „alat-hukum” ialah alat-hukum „biasa” („gewoon” rechtsmiddel). Senantiasa ada ke mungkinan bahwa suatu ketetapan jang telah mempunjai kekuasaan hukum formil, kemudian dibantah oleh suatu alat-hukum „luar biasa” („buitengewoon” rechtsmiddel). Seperti halnja dengan suatu keputusan pengadilan (rechterlijk vonnis), maka djuga suatu ketetapan dapat di bantah oleh suatu alatrhukum „luar biasa”, misalnja, hak (kekuasaan) untuk membatalkan dari suatu alat negara jang lebih tinggi (vernietigingsrecht van een hoger orgaan 100) 101. Menurut kata D r S t e 11 i ngaruh terhadap (lingkungan) kerdja ketetapan, jaitu dengan kata lain : bandingan itu tidak mempunjai kekuatan untuk menunda. Bahwa tatausaha negara bisa merdeka menunda pelaksanaan ketetapannja sampai saat telah didjatuhkan suatu keputusan dalam bandingan jang sedan diadakan terhadap ketetapan itu, dan bahwa pula tatausaha negara, djika keadaan mengidjinkan, sebanjak-banjaknja memakai kemerdekaan tersebut. Pemeriksaan bandingan sering memakan banjak waktu. Suatu matjam atjara kilat supaja akan terdjadinja suatu kerugian jang tidak lagi dapat dikembalikan, dapat dihindarkan. 100 P e m b a t a l a n itu diadakan oleh suatu alat negara jang lebih tinggi diluar suatu bandingan (buiten beroep), djadi, dapat diadakan s e t e l a h djangka untuk menuntut bandingan telah liwat. Oleh karena negara (tatausaha negara) merupakan suatu organisasi djabatandjabatan (ambtenorganisatie, L o g e m a n n ) jang tersusun setjara hierarchis, maka dengan s.endirinja dapat terdjadi „aantasting der beschikking door ander gezag” (penggugatan ketetapan oleh suatu kekuasaan lain). Lihatlah D o n n e r „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 255-256. 101 Alat-alat hukum luar biasa jang dapat digunakan untuk membantah suatu
102
n g a io -, maka perbedaan antara suatu alat-hukum „biasa” dengan suatu alat-hukum „luar biasa” dapat diterangkan sebagai b eriku t: Alat-hukum „biasa” hanja dapat digunakan dalam suatu djangka tuntutan bandingan tertentu (bepaalde beroepstermijn) setelah ketetapan dikeluarkan, dan sesudah djangka itu liwat atau sesudah alat-hukum „biasa” tersebut digunakan di muka alat negara tertinggi jang berhak mempertimbang kan tuntutan bandingan, maka ketetapan jang bersangkutan mendapat kekuasaan hukum formilnja. Alat-hukum „luar biasa” tidak terikat oleh suatu djangka tuntutan bandingan tertentu (niet gebonden aan een bepaalde beroepstermijn) — djadi, djangka untuk menggunakan suatu alat-hukum „luar biasa” (pada umumnja !) tidak terbatas — dan djuga dapat digunakan s e t e l a h ketetapan jang bersangkutan mendapat kekuasaan hukum formilnja, jaitu dalam tiap-tiap hal ternjata bahwa ketetapan itu mengandung kekurangan jang dapat membahajakan ke tertiban umum, atau ketetapan itu tidak lagi sesuai dengan keadaan sungguh-sungguh'. Misalnja, oleh Pemerintah — sebagai instansi ter tinggi jang berhak membatalkan — pembuatan ketetapan itu dianggap tidak bidjaksana. % Kekuasaan hukum formil sesuatu ketetapan dapat djuga dibantah oleh alat negara jang membuatnja, bilamana di kemudian hari ternjata ketetapan itu mengandung kekurangan. Hal ini membawa kita pada suatu pertanjaan um um : dapatkah suatu alat negara jang membuat suatu ketetapan, kemudian membantah kekuasaan hukum form il kete tapan itu ? Dengan kata lain : dapatkah suatu alat negara jang mem buat suatu ketetapan, kemudian menarik kembali (intrekken) ketetapan itu dan dapatkah penarikan kembali tersebut menghapuskan segala aki bat jang telah diadakan karena adanja ketetapan itu ? 103. keputusan hakim adalah penindjauan kembali (herziening) dan rekes-sipil (request civiel). Kekuasaan hukum formil ketetapan dapat disamakan dengan „gezag van gewijsde” (kekuasaan terputus) keputusan hakim. 102 Hal. 219 -220. 103 Lihatlah tentang djawaban atas pertanjaan ini terutama K r a n e n b u r g V e g t i n g, hal. 73-75. Lebih landjut D o n n e r „D e rechtskracht der administratieve beschikkingen”, hal. 91 dan jang berikutnja (terhadap ang gapan D o n n e r dibuat ketjaman oleh S t e 1 1 i n g a, hal. 220) dan D o n n e r dalam „Niederl. bestuursrecht”,. bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 257 -262. D o n n e r membagi ketetapan itu dalam dua golongan, jaitu „ver klärende” atau „oordelende beschikkingen” dan „creatieve” atau „rechtscheppende beschikkingen”. Mengenai „verklärende” atau „oordelende beschik kingen” (jang mengandung banjak persamaan dengan keputusan hakim), maka dikemukakan D o n n e r (hal. 258) bahwa „tenzij zieh nieuwe feiten voordoen, welke ten tijde van de vaststelling aan het bestuur niet bekend konden zijn, of waardoor de situatie, waarop de heschikking naar wettelijk voorschrift steunt, wijziging ondergaat, zijn deze beschikkingen n i e t intrekbaar”. Mengenai „creatieve” atau „rechtscheppende beschikkingen” dikatakan
103
Berhubung dengan hal ini maka kita mengadakan perbedaan antara dua matjam ketetapan (jang mempunjai kekuasaan hukum form il), jaitu ketetapan jang mengandung kekurangan dan kekurangan itu baru di ketahui pada kemudian hari; di samping ketetapan sematjam ini ada ketetapan jang juridis sempurna (juridisch gave beschikking). Kekuasaan hukum formil suatu ketetapan jang mengandung ke. kurangan dan kekurangan itu baru diketahui kemudian, pada umunmja dapat dibantah oleh alat negara jang membuatnja. Tetapi penarikan kembalinja hanja dapat diadakan setelah beberapa sjarat dipenuhi. Misalnja, tentang sifat ketetapan itu, tentang pentingnja, tentang pentingnja kekurangannja, dsb. Mengenai kekuasaan hukum formil suatu ketetapan jang juridis sempurna, telah diterima umum azas: alat negara jang membuat suatu »ketetapan jang juridis sempurna tidak dapat membantahnja, terkeltju a li 104 dalam hal djangka untuk menuntut bandingan belum liwat. ( Dengan kata lain : pada umumnja kekuasaan hukum formil suatu keteta pan jang juridis sempurna, tidak dapat dibantah oleh alat negara jang membuatnja. Oleh Prof. P r i n s dikemukakan, bahwa azas ini berda sarkan kepertjajaan baik jang harus ada antara kedua bslah fihak dalam ' pergaulan mereka 105. Dasar jang dikemukakan Prof. P r i n s tersebut, oleh K r a n e n b u r g - V e g t i n g i°6 ditambah dengan satu dasar D o n n e r (hal. 259) bahwa untuk ketetapan matjam ini harus ditentukan „de regel van de v r i j i n t r e k b a a r h e i d v o o r d e t o e k o m s t”. Terhadap „regel” ini ada perketjualian, misalnja, mengenai „gunstige beschik king”, jang tidak dapat ditarik kembali (hal. 231). 104 Lihatlah D o n n e r „Rechtskracht”, hal. 109. K r a n e n b u r g - V e g t i n g beranggapan bahwa djuga dalam hal djangka untuk menuntut ban dingan belum liwat, maka penarikan kembali suatu ketetapan jang j u r i d i s s e m p u r n a , oleh alat negara jang membuatnja, itu suatu perbuatan jang tidak begitu benar. Lihatlah hal. 73 : „Ook hier is intrekking als zij inderdaad geschiedt zonder dat het overheidsorgaan zich daarvoor op enig gebrek der beschikking kan beroepen, naar het mij voorkomt weinig op haar plaats”. 1X)5 Prof. Mr W .F. P r i n s „Inleiding”, hal. 71: „de eisen van de verkeerstrouw”. Oleh P r i n s dikemukakan bahwa penindjauan kembali (herziening) suatu ketetapan, oleh alat negara jang membuat ketetapan itu, itulah bukan suatu perbuatan hukum jang mengubah segala akibat ketetapan ter sebut jang ditimbulkan sebelum penindjauan kembali tersebut diadakan. Melainkan, penindjauan kembali itu hanja membawa perubahan untuk ke mudian (kekuasaan penindjauan kembali adalah e x n u n c sadja). Tetapi dalam hal ketetapan dibuat oleh suatu alat negara jang d i t i p u (lihat di atas tetang ketetapan jang diadakan dengan menggunakan tipuan), maka suatu penindjauan kembali jang diadakan alat negara jang ditipu itu, mem bawa djuga perubahan dalam segala akibat jang ditimbulkan sebelum pe nindjauan kembali tersebut diadakan (dalam hal tipuan maka kekuasaan penindjauan kembali adalah e x t u n c ). Lihatlah djuga buku P r i n s tersebut hal. 72-74 ! 106 Hal. 74. .
104
lagi. Bilamana pemerintah dengan begitu sadja dapat menarik kembali suatu ketetapan juridis sempurna jang dibuatnja sendiri, maka sudah ten tu tiada seorangpun jang hendak menghormati dan dapat pertjaja pim pinan (beleid) pemerintah. Bukankah „het minste dat van de overheid gevraagd kan worden is toch wel, dat zij haar eigen handelingen au serieux neemt en dus niet daarop terugkomt als niet ernstige redenen dit gedrag motiveren” (jang paling sedikit dapat diminta dari pemerintah ialah pemerintah itu menganggap au serieux — setjara sungguh-sungguh — perbuatan-perbuatan jang telah diadakannja dan perbuatan-perbuatan itu hanja ditindjau kembali oleh pemerintah tersebut, bilamana ada alasan-alasan jang sungguh-sungguh dapat membenarkan penindjauan kembali itu). Bagi jang dikenai sesuatu ketetapan, maka ketetapan itu mempunjai kekuasaan hukum formil mutlak (absolute formele rechtskracht). K r a n e n b u r g - V e g t i n g menjebut empat alat-hukum jang dapat digunakan oleh jang dikenai sesuatu ketetapan untuk membantah keteta pan itu 107 : aT'
b.
c
d.
jang dikenai suatu ketetapan dapat menuntut pembatalan ketetapan itu, jaitu dalam hal kemungkinan untuk memohon bandingan di beri kepadanja. jang dikenai suatu ketetapan dapat mengadjukan permohonan ke pada Pemerintah (atau kepada suatu alat negara lain jang berkuasa) supaja ketetapan itu dibatalkan (pembatalan jang diadakan diluar suatu bandingan). jang dikenai suatu ketetapan dapat mengadjukan soalnja kepada hakim biasa sehingga ketetapan itu dinjatakan batal karena berten tangan dengan hukum, jang dikenai suatu ketetapan tidak menjelenggarakan apa jang ditjantumkan dalam ketetapan itu, dan setelah perkara jang bersang kutan dibawa di muka hakim, maka diusahakannja supaja hakim itu menjatakan ketetapan tersebut batal karena bertentangan dengan hukum. Kami mengingatkan para pembatja akan hal sampai kini di Indonesia
belum ada hakim tatausaha negara jang tetap (lihatlah Bab V ) ; maka djalan bagi jang dikenai suatu ketetapan untuk memperoleh pembatalan, penindjauan kembali atau penarikan kembali ketetapan itu, sangat-sangat sukar, terutama bilamana ketetapan itu juridis sempurna ! 107 H al. 74-75.
105
D i atas — lihat sub c dan sub d — dikatakan, bahwa jang dikenai sesuatu ketetapan dapat membawa suatu perselisihan tentang ketetapan itu di muka hakim. Timbul pertanjaan: bagaimanakah kekuasaan hakim — hakim „biasa” — terhadap kekuasaan hukum formil sesuatu keteta pan ? Kekuasaan hakim jang wadjib memberi keputusan dalam suatu perselisihan antara pemerintah dengan jang dikenai suatu ketetapan jang dibuat pemerintah itu,' dibatasi oleh •dua hal: (a) hakim tidak boleh mempertimbangkan kebidjaksànaan pemerintah (geen oordeel over de doelmatigheid) (lihatlah di atas) dan (b ) hakim tidak dapat membatal kan setjara langsung suatu ketetapan. Berdasarkan pasal 2 „Rechterlijke Organisatie” (R .O .) L.N .H .B. 1847 N r 23 jo L.N .H.B. 1848 N r 57 ios hakim tidak dapat menjatakan setjara langsung, bahwa ketetapan tidak berlaku. Hakim hanja dapat menentukan bertentangan tidaknja dengan hukum dari ketetapan itu, dan selandjutnja menentukan besarnja keganti-rugian (schadevergoeding) jang harus dibajar oleh pemerintah kepada jang mendapat kerugian oleh ketetapan tersebut (akibat suatu aksi berdasarkan pasal 1365 K .U .H . Perdata — lihatlah Bab V ) ion. Tetapi hakim tidak dapat membatalkan ketetapan itu. Paling banjak |dapat dikatakannja bahwa ketetapan tersebut tidak mengikat (nietverbindend). Djadi, hakim hanja dapat menentukan b e r t e n t a n g a n t i d a k n j a d e n g a n h u k u m (oordeel over de r e c h t m a t i g h e i d) suatu ketetapan. Dalam penentuan tersebut hakim tidak hanja memper hatikan kekurangan-kekurangan juridis jang ada didalam ketetapan itu, tetapi dalam penentuan tersebut hakim wadjib pula memperhatikan apa jang mendjadi tudjuan dari hukum, jaitu k e p a s t i a n h u k u m 11Q. Hakim wadjib mengadakan suatu keseimbangan (evenwicht) antara „de eisen van de r e c h t m a t i g h e i d en de r e c h t s z e k e r h e i d. De beschikking moet aan de regels van het recht voldoen; zou men echter op elke onrechtmatigheid, hoe gering ook, willen aanslaan, dan is, gelet op het feit, dat welhaast elke beschikking als mensenwerk gebrekkig is, een samenleving niet meer mogelijk. Daarom moet de rechtmatigheid dan ook veren laten ten behoeve van de rechtszekerheid” (hal suatu ketetapan harus sesuai dengan hukum, dan hal ketetapan itu harus pula membawa kepastian-hukum. Ketetapan harus sesuai dengan peraturan-peraturan 108
101 U U D S -> ki" i masih berlaku pasal 2 R.O. Lihatlah buku Fror. D r J.H .A . L o g e m a n n „Het staatsrecht van Indonésie (het forme le systeem)”, 1954, hal. 138-142. Lihatlah Bab V buku ini. 109 Lihatlah D r S t e l l i n g a , hal. 223-224. 110 Lihatlah buku kami „Pengantar' dalam Hukum Indonesia", 1956 hal. 20 d.j.b.
106
t
hukum. Tetapi bilamana hakim memperhatikan tiap-tiap kekurangan, djuga kekurangan-kekurangan jang sangat-sangat ketjil sadja dan jang sekali-kali tidak berarti, maka sudah tentu suatu pergaulan hidup antara manusia tidak mungkin ada. Bukankah, ketetapan itu hanja buatan manusia sadja, dan bukankah, tiada perbuatan manusiapun jang tidak mengandung kekurangan ? Maka dari itu kadang-kadang hakim ter paksa melalaikan kekurangan-kekurangan itu dan mengkorbankan sjarat, bahwa suatu ketetapan harus sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, guna kepastian-hukum) m . Kewadjiban hakim jang dapat kami batja dari kutipan (citaat) tersebut, adalah djuga kewadjiban tiap-tiap alat negara lain jang ber kuasa mempertimbangkan sah tidaknja suatu ketetapan. Djadi, belum tentulah suatu ketetapan jang mengandung kekurangan adalah ketetapan jang tidak dapat diterima sebagai ketetapan sah (lihatlah apa jang kami katakan di atas). Achirnja, dapat ditimbulkan pertanjaan: dapatkah hakim mengudji peraturan jang mendjadi dasar ketetapan jang telah diserahkan kepada pertimbangannja ? Menurut pendapat kami, maka hakim dapat mengudji setjara materiil maupun form il tiap-tiap peraturan jang mendjadi dasar suatu ketetapan, tetapi dengan perbatasan (restriksi, restrictie) bahwa mengenai suatu peraturan jang berbentuk u n d a n g - u n d a n g
ha
kim harus menghormati pasal 95 ajat 2 U.U.D.S. (larangan mengudji materiil
112 — materieel toetsingsverbod — jang berlaku dalam
hal undang-undang). Kami dapat menegaskan (onderstrepen) kata S t e l l i n g a : „ ....................... in de rechtsstaat m ag het niet voorkomen,
dat men zou worden gebonden door onwettige o f onbevoegd genomen verordeningen. De onschendbaarheid van de w e t ” — jang disebutkan dalam pasal 124 ajat 2 undang-undang dasar Keradjaan Belanda (bunjinja sama dengan pasal 95 ajat 2 U .U .D .S.) • — „moet men dan ook als een u i t z o n d e r i n g
( s p a t i e e r i n g dari kami) zien, welke zeker
niet mag worden uitgebreid” ( ................. di suatu negara hukum tidak boleh terdjadi hal tatatertibnja ditentukan oleh peraturan-peraturan jang dibuat oleh alat-alat jang tidak berkuasa atau jang dibuat tidak berda sarkan undang-undang. Ketidak-dapat-diganggugugatan dari undang111 Kata S t e l l i n g a , hal. 221. 112 Prof. L o g e m a n n „Staatsrecht van Indonesie (het formele systeem)”, 1954 hal. 140) melihat dalam redaksi pasal 95 ajat 2 djuga suatu larangan me ngudji f o r m i l . Kami tidak dapat menjetudjui anggapan ini „Undang-un dang” dalam ketentuan tersebut adalah suatu pengertian formil !
107
f undang harus kita lihat sebagai suatu perketjualian dan perketjualian ini tidak boleh diperluas) H3,
Ad
b:
Jang dimaksud dengan „kekuasaan hukum materiil” suatu keteta pan ialah pengaruh jang dapat diadakan oleh karena i s i ketetapan itu 114. Suatu ketetapan mempunjai „kekuasaan hukum materiil”, bila mana ketetapan itu tidak lagi dapat ditiadakan oleh alat negara jang membuatnjaus. Dapatkah kekuasaan hukum materiil suatu ketetapan dibantah ? Dari apa jang dibitjarakan di atas telah kami ketahui, bahwa dalam beberapa hal tertentu kekuasaan hukum formil suatu ketetapan dapat dibantah. Bagaimanakah halnja dengan kekuasaan hukum materiil ke tetapan itu ? Dalam bukunja „De rechtskracht van administratieve beschikkingen , maka D o n n e r beranggapan bahwa — apabila perlu — p a d a a.z as n j a .(in beginsel) tiap ketetapan dapat ditarik kembali oleh alat negara jang membuatnja. Oleh karena ketetapan itu suatu perbuatan hukum jang bersegi satu jang dilakukan pemerintah, maka kemudian ketetapan itu dapat djuga ditarik kembali oleh alat negara jang mem buatnja dengan tidak perlu ada persetudjuan dari jang dikenainja (eenzijdig). Maka alat negara jang membuat suatu ketetapan mempu njai kemerdekaan penuh untuk kemudian menarik kembali ketetapan itu, apabila perlu. Tetapi kemerdekaan tersebut tidak dapat didjalan113 Hal. 144. 114 Lihatlah disertasi M r A.M. D o n n e r, hal. 17 dan jang berikutnja. D o n n e r adalah pengarang pertama jang pernah menulis suatu peladjaran dalam bahasa Belanda (maka dari itu djuga penting bagi hukum tatausaha negara di Indonesia) tentang kekuasaan hukum materiil dari ketetapan (lihatlah P r i n s „Inleiding”, hal. 70 dan S t e 1 1 i n g a, hal. 211-212). Lihatlah djuga K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 73 dan 75. 115 Dr S t e l l i n g a , hal. 132; Prof, v a n d e r P o t dalam „Nederl. Bestuursrecht”, 1934 hal 215: ................... of een beschikking door het bsstuursorgaan, dat haar gaf, gewijzigd of ingetrokken kan worden en of er dus reden kan zijn, dat een belanghebbende om die wijziging of intrekking verzocht. Men noemt dit wel de materiele rechtskracht in tegenstell ng tot formeele ..................... " ( ...................... apakah suatu ketetapan oleh alat pemerintahan jang membuatnja dapat diubah atau ditarik kembali dan apa kah ada alasan untuk mengabulkan permohonan dari jang bersangkutan f T * etetaP|ln *tu diubah atau ditarik kembali. Hal ini disebut kekuasaan hukum materiil ; pada ketetapan ada kekuasaan hukum materiil di samping kekuasaan hukum formil tersebut ................................ ).
108
I
kan dengan begitu sadja. Oleh sebab itu dapat digunakan kata-kata „pa da azasnja” dapat ditarik kembali n c . Oleh K r a n e n b u r g - V e g t i n g
117 diragu-ragukan apakah
azas tiap ketetapan dapat ditarik kembali oleh alat negara jang membuatnja apabila perlu, itu bsnar. Djuga alasan D o n n e r mengenai kemerdekaan penarikan kembali — jaitu oleh karena ketetapan adalah suatu perbuatan hukum jang bersegi satu — itulah kurang tepat. Jang mendjadi alasan penarikan kembali suatu ketetapan ialah sifat dan tjorak akibat hukum jang ditimbulkan oleh isi ketetapan itu dan jang ditimbulkan oleh peraturan-peraturan perundang-undangan jang ber sangkutan. Bukankah, ada djuga perdjandjian (perbuatan hukum jang bersegi dua) jang dapat diachiri oleh kehendak satu fihak sadja ? Tetapi rupanja ketjaman K r a n e n b u r g - V e g t i n g tadi telah mempe ngaruhi pendapat D o n n e r jang mula, karena rupanja dalam buku „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Algemeen deel”, 1953, pendapat jang mula itu telah ditinggalkan D o n n e r. P r i n s lis
dapat menjetudjui kemerdekaan penarikan kembali
suatu ketetapan oleh alat negara jang membuat ketetapan itu, tetapi kemerdekaan tersebut harus1 sesuai dengan (dibatasi oleh) „de eisen van de verkeerstrouw” (kepettjajaan baik jang — seharusnja — ada antara para fihak suatu pergaulan hukum). Pemerintah — jaitu peme rintah suatu negara hukum — tidak dapat menarik kembali suatu ke tetapan, bilamana penarikan kembali itu sungguh-sungguh tidak perlu. Menurut P r i n s mengenai kemerdekaan menarik kembali suatu keteta pan jang telah dibuat, harus diperhatikan enam buah azás-azas (terketjuali kalau undang-undang dengan tegas melarang penarikan kembali itu ) n o :
1.
Suatu ketetapan jang dibuat karena jang berkepentingan meng gunakan tipuan, senantiasa dapat ditiadakan ab ovo ( =
dari per
mulaan tidak ada). 116 Hal. 130. Lihatlah djuga v¡an d e r P o t dalam „Nederl. Bestuursrecht”, 1934 hal. 215 : „Anders dan het rechterlijk vonnis heeft de beschikking van een bestuursorgaan i n b e g i n s e l (s p a t i e e r i n'g dari kami) geen materiele r.echtskracht” (lain dari pada halnja dengan suatu keputusan hakim maka suatu ketetapan p a d a a z a s n j a tidak mempunjai kekuasaan hukum m ateriil). 117 Hal. 76. 118 „Inleiding”, hal. 70-71. 119 „Inleiding”, hal. 72-73.
109
2.
3.
suatu ketetapan jang isinja belum diberitahukan kepada jang ber sangkutan — djadi, suatu ketetapan jang belum mendjadi perbuatan sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum — dapat ditiadakan ab ovo. suatu ketetapan jang bermanfaat bagi jang dikenainja dan jang diberi kepada jang dikenai itu dengan beberapa sjarat tertentu, dapat ditarik kembali pada waktu jang dikenai tersebut tidak me menuhi sjarat-sjarat jang ditentukan itu.
4.
suatu ketetapan jang bermanfaat bagi jang dikenainja tidak boleh ditarik kembali setelah sesuatu djangka tertentu (sudah) liwat, b i l a m a n a oleh penarikan kembali tersebut, suatu keadaan jang lajak di bawah kekuasaan ketetapan jang bermanfaat itu (setelah penarikan kembali tersebut) mendjadi keadaan jang tidak lajak (lihatlah di bawah ini tentang „bouwvergunning” ).
5.
oleh karena suatu ketetapan jang tidak benar, diadakan suatu ke adaan jang tidak lajak. Keadaan ini tidak boleh ditiadakan, b i l a m a n a penarikan kembali ketetapan jang bersangkutan membawa kepada jang dikenainja suatu kerugian jang sangat lebih besar dari pada kerugian jang oleh negara diderita karena keadaan jang tidak lajak tersebut.
6.
penarikan kembali atau pengubahan suatu ketetapan, harus diada kan menurut atjara (form aliteit) jang sama sebagai jang ditentu kan bagi pembuat ketetapan itu (azas : contrarius actus, D o n n e r, „Rechtskracht”, hal. 8 0 ).
Kam i m enjetudjui anggapan P r i n s tersebut. Oleh D o n n e r (dalam bukunja „Rechtskracht” ) dikemukakan pembagian antara ketetapan jang m e n j a t a k a n h u k u m (menjatakan mana jang mendjadi hukum mana jang tidak) ( r e c h t v a s t s t e l l e n d e beschikking) dan ketetapan jang m e m b u a t h u k u m ( r e c h t s c h e p p e n d e beschikking) 120. M engenai matjam ketetapan jang disebut pertama, oleh D o n n e r / dikatakan bahwa tentang dapat tidaknja menarik kembalinja, tatausaha negara sangat terikat oleh peraturan-peraturan perundang-undangan jang m endjadi dasar ketetapan jang bersangkutan. „Slechts wanneer blijkt, I dat de ter beschikking staande gegevens onvolledig o f onjuist zijn * 120 Lihatlah noot 103 di atas tadi. Dalam noot itu kami sebut pendapat D o n n e r dalam „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953. Pembagian „rechtvaststellende beschikking” dan „rechtscheppende beschikking” terdapat djuga pada hal. 219 „Nederl. bestuursrecht” tersebut.
110
geweest, is wijziging dan wel navordering m ogelijk” (H anja bilamana ternjata keterangan-keterangan jang mendjadi sebab maka ketetapan , jan g bersangkutan dibuat adalah kurang lengkap atau tidak benar, maka barulah ada kemungkinan untuk mengadakan perubahan) 121. Dalam pembuatan ketetapan sematjam itu tatausaha negara sungguh-sungguh bertindak sebagai suatu „bouche de la loi” (M o n t e s q u i e u , lihat lah Bab I ) . Ketetapan sematjam itu biasanja tidak dapat ditarik kembali. M engenai ketetapan jan g membuat hukum, h a ln ja berlainan. D isini tatausaha negara bukan semata-mata suatu „bouche de la lo i”. D isini funksi tatausaha negara tidak banjak berbeda dari pada funksi suatu pembuat peraturan. Disini oleh tatausaha negara dibuat suatu ketetapan jang djuga berdasarkan hal-hal jang ada diluar peraturanperaturan perundang-undangan jang mendjadi dasarnja. D isini tatausaha negara terpaksa lebih memakai kebidjaksanaannja. D isini tatausaha ne gara lebih berinisiatif. Disini tatausaha negara menggunakan „freies E rm essen”nja. Oleh sebab itu kemungkinan untuk menarik kembali suatu ketetapan sematjam ini, lebih besar. Bahkan, pada azasnja harus ada. '• Adakah kemungkinan untuk menarik kembali suatu ketetapan jang telah dibuat, berdasarkan azas: hak-hak jang telah diperoleh tidak lagi dapat ditjabut kembali (eenmaal verkregen rechten kunnen niet meer worden ongedaan gemaakt) ? M enurut pendapat kami maka hak-hak jang telah diperoleh hanja dapat didjalankan sesuai dengan keadaan sungguh-sungguh didalam pergaulan sosial (maatschappelijke w erkelijkheid). D jadi, bilamana ke a d a a n s u n g g u h - s u n g g u h didalam sesuatu pergaulan sosial telah d iu b a h , maka dengan sendirinja hak-hak jang telah diperoleh, tetapi tidak sesuai dengan keadaan s u n g g u h - s u n g g u h itu, harus ditjabut kembali ( r e b u s sic
s t a n t i b u s). Kekuasaan hukum materiil dari bermatjam-matjam ketetapan itu tidak sama kuatnja. Beberapa matjam ketetapan mempunjai suatu ke kuasaan hukum materiil jang sangat kuat (besar), sedangkan beberapa m atjam ketetapan jang lain mempunjai suatu kekuasaan hukum materiil
jan g sangat ketjil sadja. Beberapa matjam ketetapan t i d a k - d a p a t - d i t a r i k - k e m b a 1 i - 'k a r e n a - s i f a t n j a (naar hun aard onherroepelijk) 122. 121 Lihatlah disertasi D o n n e r „Rechtskracht”, hal. 136. 122 Lihatlah v a n d e r P o t „Nederl. Bestuursrecht”, 1934 hal. 216 dan hal 226, D o n n e r „Rechtskracht”, hal. 138 dan jang berikutnja, S t e 1 l i n g a , hal. 212, P r i n s , hal. 80-83.
111
Term asuk golongan ketetapan ini a.l. surat pengesahan (goedkeuringen) dan surat kuasa (m achtigingen). Setelah surat-surat tersebut diberi kepada jang b eran g k u tan maka tugas dan kekuasaan alat negara jan g . m em buatnja, berachir. Suatu alat ,negara jang la in ’ (jan g lebih tin g g i) dapat membatalkan surat-surat tersebut. O leh P r i n s dikemukakan bah wa suatu surat pengesahan atau suatu surat kuasa dapat dimasukkan kedalam golongan ketetapan jan g tidak-dapat-ditarik-kembali-k a r e n a s i f a t n j a, apabila tugas dari alat-alat negara jang membuatnja tidak lain dari pada hanja m e n j a t a k a n p e l a ' k s a n a a n n j a suatu keputusan (uitvoerbaar verklaren van een besluit) jan g telah diadakan oleh suatu alat 'negara lain 123. Dalam hal demikian alat negara jang membuat surat pengesahan jan g bersangkutan, tidak bertanggung-djawab atas isinja. Jan g bertanggung-djawab ialah alat negara jan g mem buat keputusan utama (hoofdbeschikking). D jik a tugas dari alat negara ja n g membuat suatu surat pengesahan lebih luas dari pada hanja me njatakan pelaksanaannja, maka surat pengesahan itu bukanlah ketetapan jan g tidak-dapat-ditarik-kembali-k a r e n a - s i f a t n j a ! Kata D o n n e r 124, maka jang djuga termasuk golongan keteta pan jang tidak-dapat-ditarik-kembali-k a r e n a - s i f a t n j a ialah k ete tapan „eenm alig” 125 dan ketetapan jan g „photografisch”. Dalam pembuatan suatu ketetapan jan g „photografisch”, maka tatausaha ne gara mengadakan suatu „momentopname”, jakni keadaan pada waktu tatausaha negara hendak membuat ketetapan jan g bersangkutan semata® a fa mendjadi alasan untuk pem buatannja 126. M isalnja, sebuah idjazah jan g diberi kepada seorang kandidat (tja lo n ) setelah udjiannja, dan pem berian idjazah itu samata-mata berdasarkan pengetahuan kandidat ter sebut pada waktu udjian itu. Idjazah jang telah diperoleh, kemudian tidak dapat ditjabut kembali, walaupun kemudian pengetahuan tentang bahan udjian telah dilupa. Kata P r i n s 127, maka ketetapan jang „photografisch” itu t i d a k karena sifatnja oleh alat negara jang mem buatnja tidak lagi dapat ditarik kembali. Sebagai suatu ketetapan jang sungguh-sungguh tidak-dapat-ditarikkembali-k a r e n a - s i f a t n j a , oleh P r i n s disebut „hypotheekver123 „Inleiding”, hal. 81-82. 124 ,,Rechtskracht”, hal 138 dan jang berikutnja. 125 Lihatlah ketjaman (k ritik ) P r i n s dalam „Inleiding”, hal. 82. Menurut P r i n s maka ketetapan „eenmalig” itu t i d a k karena-sifatnja, oleh alat negara jang membuatnja tidak lagi dapat ditarik kembali. 126 D o n n e r „Rechtskracht”, hal. 140-141. 127 „Inleiding”, hal. 82.
112
klarin g” (pernjataan hypotik) jang kita djumpai dalam pergaulan padjak (belastingsverkeer) i 2S. Sesudah ja n g diberi suatu „bouwvergunning” (id jin untuk m enga dakan pem bangunan) mulai dengan membangun objeknja, m aka „bouw vergunning” itu tidak-lagi-dapat-ditarik-kembali 1 2 9 . P r i n s m enggo longkan „bouw vergunning” itu kedalam golongan ketetapan jan g diberi dengan sjarat (voorwaardelijke beschikking) 1 3 0 ,
§5:
Matjam
ketetapan
131.
Ketetapan itu ada banjak m atjam nja. K ita dapat membagi ketetapan itu dalam beberapa m atjam g o lo n g a n : 1. n e g a t i f
Ketetapan
jang
positif
dan
ketetapan
jang
132.
Suatu ketetapan jang untuk jang berm anfaat menimbulkan hak atau/ dan kewadjiban adalah suatu ketetapan jan g p o s i t i f . T iap ketetapan jan g positif menimbulkan suatu keadaan hukum (rechtssituatie) jang baru. D juga suatu ketetapan jan g m embatalkan suatu ketetapan jan g lain — suatu ketetapan jang baru membatalkan suatu ketetapan jang lama — adalah suatu ketetapan jang positif, karena disini suatu keadaan hukum jang lama diganti oleh suatu keadaan hukum jan g baru (ja n g timbul oleh sebab ketetapan jang lama dibatal). Suatu ketetapan jang n e g a t i f tidak mengadakan perubahan dalam suatu keadaan hukum tertentu jang telah ada. M aka suatu ketetapan jang negatif adalah tiap penolakan atas suatu permohonan untuk me ngubah suatu keadaan hukum tertentu jan g telah ada. M isalnja, A mengadjukan suatu permohonan supaja diperkenankan membangun se buah rumah baru di halamannja. Perm ohonan tersebut oleh tatausaha negara ditolak. Karena penolakan ini tidak ditimbulkan suatu perubahan keadaan dalam kekajaan A. Suatu ketetapan jan g negatif dapat berbentuk : suatu p e r n j a t a a n - t i d a k - b e r k u a s a (onbevoegdverk larin g), suatu p e r n j a t a a n - t i d a k - d i t e r i m a (niet-ontvangkelijk verklaring) atau suatu p e n o l a k a n (afw ijzin g ).
I 128 „Inleiding”, hal. 80-81. -129 D o n n e r „Rechtskracht”, hal. 138. 130 „Inleiding”, hal. 77. 131 Lihatlah P r i n s „Inleiding”, hal. 30-47. Lihatlah djuga D o n n e r „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 219 . 132 P r i n s „Inleiding”,-h a l. 23-24.
dalam
113
2. K e t e t a p a n j a n g d e k l a r a t u r ( d e c 1 a r a t o i r) d a n k e t e t a p a n j a n g k o n s t i t u t i f ( c o n s t i t u t i e f ) 133. O leh P r i n s dikemukakan bahwa ada peraturan jang tidak me merlukan suatu ketetapan (jan g menjelenggarakan peraturan itu) agar dapat menjelesaikan suatu soal jang konkreto. Peraturan sematjam itu l a n g s u n g menjelesaikan tiap-tiap soal konkreto, dan tatausaha negara tidak beraksi. M isalnja, pasal 31 sub I I Zegelverordening tahun 1921 (L .N .H .B . 1921 N r 498 jo N r 6 2 1 ). Ada beberapa peraturan lain jang — walaupun djuga setjara l a n g s u n g memberi hak kepada jang bersangkutan — masih memerlukan suatu ketetapan (jan g menjelenggarakan peraturan itu) agar dapat menjelesaikan hal jang konkreto. Tetapi pekerdjaan dari jang membuat ketetapan itu tidak lain dari pada hanja mentjatat (constateren) bahwa jang bersangkutan memenuhi sjarat-sjarat jang telah ditentukan. Apa bila sjarat-sjarat tersebut oleh jang bersangkutan dipenuhi, maka d e ngan
sendirinja
haknja diberi kepadanja. Misalnja, pasal 12
ajat 1 dari peraturan Pemerintah tahun 1953 N r 15, L.N. 1953 N r 26: kepada tiap pegawai N egeri dapat diberi istirahat libur setiap tahun selama 12 hari-kerdja. Disini tugas tatausaha negara tidak lain dari pada hanja m entjatat bahwa pegawai jang bersangkutan belum meng gunakan 12 hari-kerdja itu. Pemberian tjuti ini bersifat suatu ketetapan jang d e k l a r a t u r (declaratoir), jaitu suatu ketetapan jang hanja me ngatakan bahwa jang bersangkutan dapat diberi haknja karena meme nuhi sjarat-sjarat jang telah ditentukan. Ketetapan tersebut termasuk golongan ketetapan jang menjatakan hukum (rechtsvaststellende beschikking) (lihatlah di atas). Tetapi suatu ketetapan jang menjelenggarakan pasal 9 ajat 2 pera turan Pemerintah tersebut dalam hal konkreto, bukan ketetapan jang (h an ja) deklaratur. Disini tatausaha negara dengan teliti harus menjelidiki benar tidaknja alasan jang dikemukakan oleh jang bersangkutan (suatu „alasan penting”). Disini tatausaha negara perlu lebih meng gunakan baik kemerdekaannja maupun kebidjaksanaannja (lihatlah pa sal 8 ). Ketetapan jang memberi istirahat karena „alasan penting” ber sifat k o n s t i t u t i f scheppend).
(constitutief), jakni membuat hukum (recht-
133 P r i n s „Inleiding”, hal. 35-37.
114
3. K e t e t a p a n jang kilat (,,v 1 u c h t i g ” ) dan ke tetapan jang tetap ( „ b l i j v e n d ”) 134. Oleh P r i n s disebut empat matjam ketetapan jang kilat 13r> ; a.
suatu ketetapan jang bermaksud mengubah redaksi (tek st) suatu ketetapan jang lama;
b.
suatu ketetapan jang negatif. Ketetapan sematjam ini hanja memuat suatu keputusan jang bermaksud tidak mengadakan sesuatu, dan ketetapan sematjam ini bukan halangan bagi tatausaha negara untuk pada kemudian hari masih djuga bertindak, bilamana keadaan atau pendapat tatausaha negara itu telah berubah ; suatu penarikan kembali atau suatu pembatalan. Seperti suatu ke tetapan jang negatif- maka suatu ketetapan sematjam inipun tidak membawa suatu hasil jang positif, dan suatu ketetapan sematjam inipun bukan halangan bagi tatausaha negara untuk mengadakan suatu ketetapan lain jan g sama (id entik) dengan ketetapan jang ditarik kembali atau jang dibatalkan i t u ; suatu pernjataan pelaksanaan (uitvoerbaarverklaring).
c.
d.
Tentang pernjataan pelaksanaan lihatlah di atas. M engenai tjontoh tentang matjam ketetapan jang disebut pada sub-sub a, b dan c lihatlah buku Prof. P r i n s pada hal. 39-42. 4. D i s p e n s a s i ( d i s p e n s a t i e ) , i d j i n ( v e r g u n n i n. g) , lisensi (licentie) dia n i k o n s e s i ( c o n c e s s i e ) 136. Apakah dispensasi, idjin, lisensi dan konsesi itu ? Prof, v a n d e r P o t mengadakan suatu pembagian dalam tiga pengertian : dispensasiidjin-konsesi. Jang dimaksud dengan suatu „dispensasi” 137 ialah ke 134 P r i n s „Inleiding”, hal. 37-42. 135 „Inleiding”, hal. 38. 136 Mr G .J. N o l s t T r e n i t e „Het recht van dispensatie”, disertasi Utrecht 1894, „Handelingen Nederlandsch Juristenvereeniging”, tahun 1927 (,,praeadvies dari M r S y b e n g a dan M r V .H ; R u t g e r s ) ; v a n d e r P o t „Nederl. Bestuursrecht”, 1934 hal. 222 dan jang berikutnja; M r C.F. D i e s c h „De bedrijfsconcessie”, . disertasi Leiden 1939; M r G .J. W i a r d a „Overeenkomsten met overheidslichamen”, disertasi Amsterdam (V .U .) 1939, hal. 179-212; karangan Nona M r A.P. S c h i l t h u i s „D e administratieve vergunning” dalam „Publiekrechtelijke opstellen” jang dipersembah kepada Prof, v a n d e r P o t , 1950, hal. 266-280 ; P r i n s „Inlei ding”, hal. 43-47 ; K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 14-49; D o n n e r „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 204 d.j.b., 220 d.j.b. 259 d.j.b. 137 Lihatlah definisi P r i n s „Inleiding”, hal. 43: „Onder d i s p e n s a t i e verstaat men de bestuurshandeling, waarbij een wettelijke regel voor een
115
putusan tatausaha negara jang membebaskan suatu perbuatan dari ke kuasaan sesuatu peraturan jang m e n o l a k perbuatan itu. Sebuah tjo n to h : pasal 29 K .U .H . Perdata menerangkan bahwa seorang lelaki jang umurnja belum 18 tahun dan seorang perempuan jang belum ber umur 15 tahun tidak boleh menikah. Tetapi karena alasan-alasan penting, Menteri Kehakiman dapat memberi d i s p e n s a s i (memperkenankan diadakan suatu perketjualian) terhadap larangan tersebut. Bilamana pembuat peraturan t i d a k u m u m n j a melarang suatu perbuatan, tetapi masih djuga memperkenankannja asal sadja diadakan setjara jang ditentukan untuk masing-masing hal konkreto (sikap pem buat peraturan „indifferent” 13S), maka keputusan tatausaha negara jang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu i d j i n (vergunning) 139. Kadang-kadang pembuat peraturan beranggapan bahwa suatu per buatan jang penting bagi umum, sebaik-baiknja dapat diadakan oleh suatu subjek hukum partekelir, t e t a p i dengan turut-tjampur dari fihak pemerintah. Suatu keputusan tatausaha negara jang memperkenan kan jang bersangkutan mengadakan perbuatan tersebut, memuat suatu konsesi (concessie) 140. Pembagian jang dibuat oleh v a n d e r P o t tidak didasarkan atas hukum, tetapi didasarkan atas sikap dari pembuat peraturan terhadap bijzonder geval wordt ontbonden (relaxatio legis)” (Jang dimaksud dengan dispensasi itu suatu perbuatan pemerintahan („bestuur”) jang meniadakan berlakunja suatu peraturan perundang-undangan guna suatu soal istimewa). Lihatlah djuga v a n d e r P o t „Handboek van het Nederl. staatsrecht”, 1953, hal. 356-357: „Is een verbod neergelegd in een algemene regeling en wordt daar voor een concreet geval afwijking van toegestaan, dan kan de beschikking zijn een ontheffing of dispensatie, een vergunning of een con cessie” (D jika peraturan umum melarang sesuatu, tetapi dalam hal konkreto tatausaha negara memperkenankan kepada jang bersangkutan suatu perke tjualian, maka ketetapan jang dibuat dapat bersifat suatu pembebasan atau dispensasi, suatu idjin atau suatu konsesi). 138 K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 23. 139 V a n d e r P o t „Nederl. Bestuursrecht”, 1934 hal. 222. Mr A.P. S c h i I t h u i s (hal. 26 7 ): „Het is uiterst moeilijk voor het begrip „„vergunning”” een definitie te vinden, ......................... ” (sangat sukarlah membuat definisi untuk menjatakan pengertian „idjin” itu, ......................... ). S c h i l t h u i s menjinggung beberapa pengarang. P r i n s „Inleiding”, hal. 44 mempunjai suatu anggapan istimewa: „In de regel gaat het hier niet om gemeengevaarlijke handelingen, die in beginsel verboden behoren te worden, maar om allerlei op zichzelf onschuldige bedrijvigheid, die raen om een of andere reden aan toezicht van de administratie wenst te onderwerpen” (Biasanja soal ini tidak mengenai siratu perbuatan jang pada umumnja berbahaja, jakni suatu perbuatan jang pada hakekatnja harus dilarang, tetapi soal tersebut mengenai suatu perbuatan jang menurut sifatnja tidak dapat merugikan dan perbuatan itu dapat diadakan asal sadja di bawah pengawasan tatausaha negara). Lihatlah djuga D o n n e r hal. 221 . 140 Lihatlah anggapan P r i n s jang berlainan („Inleiding”, hal. 46).
116
sesuatu perbuatan m . K r a n e n b u r g - V e g t i n g U 2 menentang anggapan v a n d e r P o t , terutama mengenai apa jan g dikatakannja tentang sifat dispensasi. Dispensasi itu bukan suatu perbuatan pemerin tahan dalam arti kata sempit (bukan „bestuurshandeling” ) , melainkan suatu perbuatan membuat peraturan (suatu perbuatan legislatif). Pada hakekatnja dispensasi itu suatu perbuatan jang mengoreksi (corrigeren, memperbaiki) pekerdjaan pembuat peraturan. Karena tiap peraturan hanja dapat memuat kaidah-kaidah umum, maka ada kemungkinan be berapa hal konkreto jang i s t i m e w a diselesaikannja setjara jang tidak memuaskan dan bertentangan dengan maksudnja. D jadi, maksud dari dispensasi itu meniadakan akibat-akibat suatu peraturan jang oleh pem buat peraturan tidak diharapkan. Maksud dari pemberi idjin dan pemberi konsesi lainlah dari pada maksud dari pemberi dispensasi. Pekerdjaan dari pemberi idjin dan pemberi konsesi tidak lain dari pada hanja me njelenggarakan peraturan dalam hal konkreto. Pekerdjaan mereka ter sebut bukan mengoreksi pekerdjaan pembuat peraturan. O leh karena suatu idjin dan suatu konsesi, maka peraturan jang bersangkutan di selenggarakan — disini diadakan suatu perbuatan „bestuur” — dalam hal konkreto. Maka dari itu K r a n e n b u r g - V e g t i n g menentang pembagian dalam tiga pengertian jang dibuat oleh v a n d e r P o t itu (menurut pembagian tersebut dispensasi itu suatu perbuatan „be stuur” ). K r a n e n b u r g - V e g t i n g mengadakan suatu pembagian da lam dua pengertian : idjin-konsesi 143. Bagaimanakah perbedaan antara idjin dan konsesi? Perbedaan ini telah dibitjarakan dalam „Nederlandsche Juristen Vereeniging” pada tahun 1927 (lihatlah „H andelingen”n ja ), dan rupanja sampai sekarang perbedaan ini belum diterangkan oleh para ahli setjara jang memuaskan 144. Menurut P r i n s 145 perbedaan antara idjin dan konsesi itu suatu perbedaan nisbi (rela tif) sadja. Pada hakekatnja antara idjin dan kon sesi itu tidak ada suatu perbedaan jang juridis. „Een vergunning tot ontginning van steenkolen o p kleine s c h a a l en voor eigen rekening, zoals in Zuid- en Oost-Borneo op de voet van S. 1922 no. 480 verleend wordt aan leden van de bevolking, zal men geen concessie noemen, maar de vergunning tot opsporing, die verleend wordt op de 141 Lihatlah Nona M r A.P. S c h i l t h u i s pada hal. 268 karangannja. 142 Hal. 24 dan jang berikutnja. Anggapan ini mendapat tentangan dari M r A.P. S c h i l t h u i s (hal. 270). 143 Hal. 25. 144 Sama dengan noot 119. 145 „Inleiding”, hal. 46.
117
i » t i „ ^ o i ' i r p h r u i k een concesvoet van de Indische Mijnwet, i s a a a r s p r a a K g e u i sie, omdat zij e e n we r ' k v a n g r o t e o m v a n g betre t, waar lj h e t p u b l i e ' k b e l a n g in sterke mate betrokken is” (Suatu ldjin untuk mendapatkan batu bara menurut suatu rentjana jang se erhana sadja dan akan diadakan atas ongkos sendiri (individuil) seperti idjin jang pernah diberikan kepada anggauta rakjat Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tim ur berdasarkan L.N .H.B. 1922 N r 480 tidak dapat disebut suatu konsesi. Tetapi suatu idjin j ang diberi menurut Undang-undang Tambang Indonesia untuk mendapatkan batu bara ada lah — menurut kata umum — suatu konsesi, oleh karena idjin tersebut mengenai suatu pekerdjaan jang besar dan pekerdjaan j ang besar itu bermaksud (akan) membawa manfaat bagi umum) (s p a t i e e r i n g dari kam i). Djadi, konsesi itu suatu idjin pula, tetapi suatu idjin jang
mengenai hal-hal jang penting bagi umum. K r a n e n b u r g - V e g t i n g 146 hampir bersependapat dengan P r i n s. „Naar mijn oordeel verdient het aanbeveling de term „„concessie”” te gebruiken, in die gevallen, waarin de o v e r h e i d haar mede■ werking verleent voor een w e r k z a a m h e i d t e n d i e n s t e v a n h e t publiek met een m o n o p o l i s t i s c h 'karakter. (Menurut pendapat kami, itu lebih pada tempatnja bilamana istilah „konsesi” tersebut digunakan berhubung dengan hal-hal pemerintah memberi bantuan kepada suatu pekerdjaan jang penting bagi umum serta bersifat monopolistis). Bagaimanakah s i f a t h u k u m (rechtskarakter) dari suatu idjin dan suatu konsesi ? Menurut K r a n e n b u r g - V e g t i n g 147 di Negeri Belanda ada aliran jang agak kuat jang hendak melihat idjin itu sebagai suatu perbuatan hukum jang bersegi satu jang dilakukan oleh pemerintah, sedangkan konsesi adalah suatu perbuatan hukum jang bersegi dua, jakni suatu perdjandjian jang diadakan antara jang memberi konsesi de ngan jang diberi konsesi (concessionaris). Menurut v a n d e r P o t dalam hal idjin tidak mungkin diadakan suatu perdjandjian, oleh karena tidak mungkin diadakan suatu persesuaian kehendak. Dalam hal konsesi b i a s a n j a diadakan suatu perdjandjian, jakni suatu perdjandjian jang mempunjai sifat sendiri dan jang tidak diatur oleh seluruh peraturanperaturan K.U.H . Perdata mengenai hukum perdjandjian. Oleh K r a n e n b u r g - V e g t i n g dikemukakan bahwa sifat ber kontrak (overeenkomstkarakter) itu terdapat pada baik konsesi maupun 146 Hal. 26. 147 Hal 27. Lihatlah djuga pendapat D o n n e r (hal. 263 d.j.b.).
118
idjin. Tetapi bilamana suatu idjin atau suatu konsèsi berupa suatu perdjandjian, maka harus kita ingat akan hal akibat perdjandjian itu tidak diatur oleh seluruh peraturan-peraturan K .U .H . Perdata mengenai hukum perdjandjian. Perhubungan-perhubungan hukum jang ditimbulkan oleh karena suatu idjin atau suatu konsèsi bersifat istimewa n s . Apakah lisensi itu ? K ata P r i n s 149 : „D e naam 1 i c e n t i e lijkt aangewezen voor de vergunning, die vrijheid geeft tot uitoefening van een bedrijf” (Istilah „lisensi” semestinja digunakan untuk menjatakan suatu idjin jang memperkenankan jang bersangkutan mendjalankan sua tu perusahaan). D jadi, lisensi itu suatu idjin untuk dapat mendjalankan suatu perusahaan (suatu matjam idjin jang „istimewa” ).
148 Lihatlah ringkasan pada hal. 48-49. Lihatlah djuga D o n n e r, hal. 263 d.j.b. Bagi hukum tatausaha negara di Indonesia sangat penting konsesi tambang dan apa jang dinamakan „landbouwconcessie”. Tentang konsesi-konsesi ter sebut batjalah buku Prof. M r P h . K l e i n t j e s „Staatsinstellingen van Ned.-Indie”, djilid II (1933) dan D r J.C .W . L e k k e r k e r k e r „Concessies en erfpachten voor landbouwondernemingen”, dis. Amsterdam 1928. 149 „Inleiding”, hal. 45-46.
119
B A B
III
HUKUM KEPEGAWAIAN (AMBTENARENRECHT) §1:
Sumber-sumber
hukum
kepegawaian.
D i Indonesia — lain halnja di Negeri Belanda l — sampai sekarang belum ada suatu undang-undang kepegawaian (ambtenarenwet). Hukum kepegawaian masih diatur dalam peraturan-peraturan „incidenteel”, peraturan-peraturan hukum tatausaha negara kebiasaan (administratief gewoonterechtsregels) dan surat-surat edaran (rondschrijven) dari K e pala Kantor Urusan Pegawai (dari tahun 1951 sampai tahun 1953 diadakan suatu Kementerian Urusan Pegawai 2). Pada djaman kolonial hukum kepegawaian diatur dalam a.l. „Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren 1938” -(B.B.L. 1938) L.N .H .B. 1938 N r 106 (beberapa kali diubah, perubahan terachir dalam L.N .H.B. 1947 N r 35, N r 119 dan N r 147); „Betalingsregeling Ambtenaren en Gepensioneerden 1949” (B.A .G . 1949) L.N .H .B. N r 2 — dua peraturan tersebut adalah peraturan terpenting dan sekarang masih berlaku mengenai penggadjian (bezoldiging) pegawai negeri bangsa asing (lihatlah peraturan Pemerintah (R .I.S.) 1950 N r 17 (L.N . R.I.S. 1950 N r 47)'. Bilamana P.G.P.N . 1955 (dahulu P.G.P. 1948/1950) tidak menjebut suatu soal tertentu, maka B.B.L. dan B.A.G. itu didjalankan setjara analogis, (lihatlah a.l. peraturan Pemerintah 1951 N r 57) — ; peraturan jang termuat dalam L.N .H.B. 1912 N r 198 jo L.N .H.B. 1934 N r 479; peraturan jang termuat dalam L.N .H.B. 1926 N r 550; peraturan jang termuat dalam L.N .H .B. 1928 N r 35 (diubah menurut L.N.H.B. 1939 N r 3 7 2 ); peraturan jang termuat dalam L.N .H.B. 1931 N r 473 jo L.N .H.B. 1940 N r 449; peraturan jang termuat dalam L.N .H.B. 1933 N r 474; peraturan jang termuat dalam L.N .H.B. 1935 N r 441 dan beberapa „Bijbladen” (tambahan lembaran negara), misalnja, „Bijblad” N r 11403, 13405, 13664 dan 14429. Kedudukan-hukum (rechtspositie) para pegawai negeri pada djaman kolonial belum diatur semestinja. X 2
120
D i Negeri Belanda berlaku „Ambtenarenwet 1929” dan „Rijksambtenarenreglement”. Lihatlah L.N. 1954 Nr 21 (dengan pendjelasan dalam Tambahan L.N. Nr 522). Mengenai pembentukan Kantor Urusan Pegawai (K .U .P.) lihatlah L.N. 1950 N r 75 (peraturan Pemerintah 1950 N r 32 dengan pendjelasan dalam Tambahan L.N. N r 67 ).
Oleh pemerintah Republik Indonesia Proklamasi (tahun 1945) dibuat a.l. suatu peraturan penting jang terkenal dengan nama „Pera turan G adji Pegawai 1948” (P .G .P . 1948), jaitu peraturan Pemerintah 1948 N r 21 3. Peraturan tersebut kemudian diubah menurut peraturan Pemerintah 1949 N r 5 dan peraturan Pemerintah 1949 N r 17 4. Setelah penjerahan kedaulatan kepada Republik kita, maka P.G.P. 1948 tersebut — sesudah mendapat beberapa perubahan — didjadikan berlaku di seluruh wilajah R .I. Lihatlah peraturan Pemerintah 1950 N r 2, peraturan Pemerintah 1950 N r 16, peraturan Pemerintah 1950 N r 23 (penglaksanaan peraturan Pemerintah 1950 N r 16), peraturan Pemerintah 1950 N r 25 5, peraturan Pemerintah 1951 N r 16 dan pera turan Pemerintah 1951 N r 51. Tentang kedudukan-hukum pegawai negeri, oleh pemerintah pada tahun 1952 dibuat beberapa peraturan, a.l. peraturan Pemerintah 1952 N r 8 (L .N . 1952 N r 13 ), peraturan Pemerintah 1952 N r 9 (L.N . 1952 N r 14 ), peraturan Pemerintah 1952 N r 10 (L.N . 1952 N r 1 5 ), pera turan Pemerintah 1952 N r 11 (L .N . 1952 N r 16) (diubah menurut L.N. 1952 N r 4 5 ), peraturan Pemerintah 1952 N r 12 (L .N . 1952 N r 17) 6. Sebagai peraturan-peraturan penting dapat djuga disebut Undangundang 1952 N r 20 (L.N . 1952 N r 74) (pensiun pegawai negeri sipil), Undang-undang 1952 N r 21 (L.N . 1952 N r 78) (penetapan Undangundang Darurat 1950 N r 25 (R .I.S.) dan Undang-undang Darurat 1950 N r 34 (R .I.S .) sebagai undang-undang), Undang-undang 1954 N r 11 (L .N . 1954 N r 3 3 ), peraturan Pemerintah 1951 N r 59 (L.N . 1951 N r 8 9 ), peraturan Pemerintah R .I. Proklamasi tahun 1947 N r 14 jo tahun 1948 N r 30, tahun 1949 N r 34, tahun 1949 N r 35, tahun 1950 N r 23, peraturan Pemerintah 1951 N r 57, peraturan Pemerintah 1952 N r 19 (L .N . 1952 N r 25) (pensiun kepada djanda dan tundjangan anak jatim-piatu pegawai negeri sip il), peraturan Pemerintah 1953 N r 15 (L .N . 1953 N r 26) (diubah menurut L.N. 1954 N r 3 9 ), peraturan Pemerintah 1951 N r 53, peraturan Pemerintah 1954 N r 27 (L.N . 1954 3 4
5
6
Lihatlah himpunan peraturan-peraturan R.I. Proklamasi jang disusun oleh K o e s n o d i p r o d j o, djilid tahun 1948, hal. 216 dan jang berikutnja. Lihatlah K o e s n o d i p r o d j o , djilid tahun 1949, hal. 36-41 dan hal. 73. Semua peraturan Pemerintah tersebut adalah buatan Pemerintah R.I.S. Tentang tambahan 20% gadji pokok jang diberi kepada pegawai ijegeri karena ongkos-ongkos penghidupan sehari-hari telah naik sangat tinggi, lihatlah peraturan Pemerintah 1952 N r 24 dan surat-edaran Menteri Urusan Pegawai N r A 5-10-40/Aw 95-30 (tertanggal 30 Mai 1952). Dalam „serie” peraturan Pemerintah ini dibuat djuga peraturan Peme rintah 1952 N r 13 (L.N . 1952 N r 18). Sebagai „bapak djiwa” (geestelijke vader) „serie” tersebut harus kami sebut Menteri Urusan Pegawai R.P. S o e r o s o.
121
N r 4 6 ), peraturan Pemerintah 1954 N r 28 (L.N . 1954 N r 4 7 ), peratu ran Pemerintah 1954 N r 29 (L.N . 1954 N r 4 8 ), peraturan Pemerintah 1954 N r 51 (L.N . 1954 N r 9 2 ) dan peraturan Pemerintah 1954 N r 52 (L .N . 1954 N r 9 3 ). Pada tahun 1955 Pemerintah membuat suatu peraturan gadji pe gawai negeri jang baru, jaitu peraturan Pemerintahh 1955 N r 23, L.N. 1955 N r 48. Peraturan ini terkenal dengan nama „P.G.P.N . 1955 . Sebelumnja Pemerintah telah membuat suatu peraturan pemberian upah kepada pekerdja pada negeri jang bukan pegawai negeri, jaitu L.N. 1954 N r 51. § 2: P e n g e r t i a n „d j a b a t a n ”, „p e n d j a b a t”, „ p e g a w a i ” d a n „ p e r h u b u n g a n d i n a s p u b l i k ” 7Pengertian-pengertian tersebut sebetulnja dipeladjari oleh hukum tatanegara, jang merupakan suatu peladjaran tentang kompetensi (competentieleer) (lihatlah Bab I ) . Maka suatu uraian tentang pengertianpengertian itu dapat dibatja dalam tiap buku lengkap tentang hukum tatanegara jang positif. Tetapi oleh karena orang tidak dapat mengerti hukum kepegawaian djika pengertian-pengertian tersebut tidak didje laskan terlebih dahulu, maka perlu kami menguraikannja setjara singkat disini — jaitu dalam sebuah buku mengenai hukum tatausaha negara — sebelum meneruskan atjara kami. a.
d jabatan
( a m b t) .
Sebagai suatu kenjataan sosial, negara itu suatu organisasi djabatandjabatan (ambtenorganisatie). Jang dimaksud dengan „djabatan ialah 7
122
Pem batjaan: „ Prof. D r J.H.A. L o g e m a n n „Over de theorie van een stellig staatsrecht , 1948, hal. 84 dan jang berikutnja ; K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 79 dan jang berikutnja; Mr Ir M.M. v a n P r a a g „Algemeen Nederlands Administratief Recht”, 1950, hal. 219 dan jang berikutnja ; Prof. Mr C.W . v a n d e r P o t „Handboek van het Nederlandse staatsrecht”, 1953, hal. 283 dan jang berikutnja ; karangan Prof. Mr J.H.P.M . v a n d e r G r i n t e rt dalam himpunan „Nederl. bestuursrecht” (penerbitan Samson), 1934,^ hal. 62 dan jang berikutnja ; Prof. Mr A.M. D o n n e r „Ambtenarenrecht” da lam himpunan „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Algemeen deel” (penerbitan Samson), 1953, hal. 116-185; Mr F.R. B o h t l i n g k „Het leerstuk der vertegenwoordiging en zijn toepassing op ambtsdragers in Nederland en in Indonesie”, disertasi Leiden 1954 ; W .P. B e r g h u i s „Het rechtskarakter der ambrenaarsverhouding”, disertasi Amsterdam (V .U .) 1937; Mr H .j. v a n U r k „Ambtenarenrecht”, 1938 dan Prof. Mr F.M. baron y a n A s b e c k „Onvrijheid en luister in de ambtelijke dienst" dalam madjalah „Bestuurswetenschappen”, 1949, hal. 325 d.j.b.
suatu lingkungan-pekerdjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) jan g diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan um um ). Tiap djabatan adalah suatu lingkungan-pekerdjaan tetap jang dihubungkan dengan organisasi sosial kita, jang diberi nama negara. Bilam ana dalam hukum negara kami mengatakan „djabatan”, maka jang senantiasa kami maksud ialah suatu djabatan n e g a r a . Djabatan itu berm atjam -m atjam : djabatan presiden, jakni lingkungan-pekerdjaan tetap jang pada waktu ini dilakukan oleh Ir S o e k a r n o guna ke pentingan negara (rakjat) Indonesia; djabatan kepala Djaw atan Kereta Api, jakni lingkungan-pekerdjaan tetap jang pada waktu ini dilakukan oleh I r E f f e n d i S a l e h guna kepentingan negara (rak jat) Indone sia ; djabatan komis kepala, jakni lingkungan-pekerdjaan tetap jang pada waktu ini dilakukan oleh sdr. A, pegawai di K antor Gubernur Djaw a Tim ur, guna kepentingan Republik Indonesia ; djabatan pesurat, jakni lingkungan-pekerdjaan tetap jang pada waktu ini dilakukan oleh sdr. B, pelajan di K antor Keresidenan Surabaja, guna kepentingan ne gara (rak jat) Indonesia; dsb. Jang dimaksud dengan lingkungan „tetap” ialah suatu lingkunganpekerdjaan jang sebanjak-banjaknja dapat dinjatakan dengan tepat-teliti (zoveel m ogelijk nauwkeurig omschreven) dan jang bersifat „duurzaam”. Tetapi tidak tiap lingkungan-pekerdjaan dapat dinjatakan dengan tepatteliti. Kami mengingatkan para pembatja akan tugas Pemerintah jang dirumuskan dalam pasal 82 U .U .D .S .: „Pemerintah menjelenggarakan k e s e d j a h t e r a a n Indonesia . ............ ” (s p a t i e e r i n g dari ka m i). Pengertian „djabatan sementara” hanja mengenai kedudukan-hukum dari jang melakukan djabatan itu. Tiap djabatan — djuga suatu djabatan jang diadakan untuk waktu satu bulan sadja — bersifat „duur zaam”. „Duurzaam” berarti „tidak dapat diubah dengan begitu sadja” 8. D jabatan itu subjek hukum (persoon), jakni pendukung hak dan kewadjiban (suatu personifikasi). Seorang agen polisi dapat menahan tiap orang berkendaraan sepeda jang tidak memasang lampu setelah d jam 18.30, oleh karena d j a b a t a n ( = lingkungan-pekerdjaan tetap) mendukung kekuasaan (hak) untuk menahan itu. Orang agen polisi tesebut hanja dapat bertindak demikian pada waktu ia melakukan djabatannja. Oleh hukum tatanegara kekuasaan tersebut tidak diberikan kepada pendjabat ( o r a n g agen polisi), tetapi diberikan kepada dja batan ( l i n g k u n g a n - p e k e r d j a a n agen polisi). Sebagai subjek hukum, jaitu badan hukum, maka djabatan itu dapat mendjamin konti8
Logemann
„T h eorie”, hal. 89.
123
nuitet (continuiteit) hak dan kewadjiban. Pendjabat ( = jang menduduki djabatan) selalu (continu) 9.
berganti-ganti,
sedangkan
djabatan
terus-menerus
Oleh karena djabatan itu suatu pendukung hak dan kewadjiban, maka dengan sendirinja djabatan itu dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandelingen). Perbuatan hukum itu dapat diatur oleh baik hukum publik maupun hukum privat (lihatlah Bab II di atas). Djabatan itu dapat mendjadi fihak dalam suatu perselisihan hukum (procespartij). Hal ini diakui djuga dalam peradilan tatausaha negara (administratieve rechtspraak). Lihatlah L o g e m a n n hal. 552.
„Theorie”, hal. 86 dan T . 146,
D i atas sering kali kami menggunakan istilah-istilah „ a l a t negara” (staats o r g a a n ), „ a l a t pemerintah(an dalam arti kata lu as)” (regeer- atau overheids o r g a a n ), „ a l a t pemerintahan” (bestuurso r g a a n ) . Semua i s t i l a h itu digunakan untuk menjatakan s a t u pengertian jang s a m a , jaitu „djabatan”. Istilah-istilah jang beranekawarna itu tidak mengandung suatu pengertian lain dari pada pengertian „djabatan”. „Alat” adalah „djabatan”. Kami menggunakan istilah „alat” itu dengan maksud hanja mengikuti pembatjaan (literatuur) hukum tatausaha negara dan penggunaan bahasa sehari-hari (dagelijks spraakgebruik) io. b.
pendjabat
(ambtsdrager).
Agar dapat berdjalan ( = mendjadi konkrit (concreet) = men djadi bermanfaat bagi negara), maka djabatan (sebagai personifikasi hak dan kewadjiban) memerlukan suatu perwakilan (vertegenwoordiging) n . Jang mendjalankan perwakilan itu, ialah suatu pendja bat, jaitu manusia atau badan hukum. Oleh karena diwakili pendjabat, maka djabatan itu berdjalan. Jang mendjalankan hak dan kewadjiban jang didukung oleh djabatan, ialah pendjabat. Djabat an bertindak dengan perantaraan pendjabatnja. Djabatan walikota berdjalan ( = mendjadi konkrit = mendjadi bermanfaat bagi kota) oleh karena ^
10
11
124
^ °, ® e m a n n „Theorie”, hal. 85 : „De bevoegdheden gaan niet van ambtsvoorganger op ambtsopvolger over, de plichten evenmin” (Kekuasaan itu tidak dipindahkan dari pendjabat lama kepada pendjabat baru, demikian Juga halnja dengan kewadjiban). Lihatlah djuga D o n n e r, hal. 112 (jang menganut L o g e m a n n ) . Lihatlah uraian B o h t l i n g k tentang „orgaan-terminologie” dalam bukunja „Het leerstuk der vertegenwoordiging”, hal. 34-36. L o g e m a n n „Theorie”, hal. 86, 95 dan jang berikutnja.
diwakili seorang walikota, jakni oleh karena diwakili pendjabatnja. Biasanja orang mengatakan „walikota berkuasa”. Perkataan ini sebetulnja tidak benar oleh karena sebetulnja d j a b a t a n (lingkungan pekerdjaan tetap) walikota berkuasa. Tetapi jang mewakili kekuasaan itu, ialah walikota. Lihatlah apa jang kami katakan di atas tentang „djabatan”. Ir S o e k a r n o , Ir E f f e n d i S a l e h , sdr. A dan sdr B tersebut adalah pendjabat jang mewakili suatu djabatan, jakni mendjalankan suatu lingkungan-pekerdjaan tetap guna kepentingan negara. W akil suatu badan hukum adalah m a n u s i a atau badan hukum lain. Tetapi badan hukum lain itu djuga diwakili oleh m a n u s i a pula. D jadi, wakil pada achirnja adalah m a n u s i a . c.
pegawai
(a m 'b t e n a a r ) .
Sebagian dari para pendjabat adalah pegawai. Tidak tiap pendjabat adalah pegawai. Sebaliknja, tidak tiap pegawai adalah pendjabat, misalnja, pegawai jang diberhentikan dari djabatannja dan diberi istirahat lama karena sakit. Apakah „pegawai” itu ? Peraturan-peraturan jan g berlaku pada waktu kolonial tidak memberi suatu definisi umum. B .B.L. 1938 me makai istilah „landsdienaar” (pengabdi negeri), tetapi tidak memberi pendjelasan tentang istilah itu. B .A .G .. 1949 menggunakan istilah „ambtenaar” (pegawai)* tetapi tidak menerangkan istilah itu. Peraturanperaturan jang berlaku pada waktu sekarangpun tidak memberi suatu definisi umum. Peraturan Pemerintah-peraturan Pemerintah tahun 1952 jang mengatur kedudukan-hukum pegawai negeri hanja memberi pen djelasan tentang apa jang dimaksud dengan istilah „pegawai negeri” dalam peraturan jang bersangkutan sadja. M isalnja, peraturan Pemerin tah tahun 1952 N r 8 pasal 1 : „Pegawai N egeri menurut peraturan ini, ialah mereka jang bekerdja sebagai pegawai pada suatu badan Pemerin tah, baik tetap maupun sementara” 12. Peraturan Pemerintah tahun 1952 N r 11 pasal 1 huruf a : „jang disebut pegawai, ialah mereka jang diangkat tetap atau untuk sementara dalam djabatan N egeri” 13. Keten12
Dalam pendjelasan peraturan Pemerintah tahun 1952 N r 8 jang termaktub dalam Tambahan L.N. N r 199 (tahun 1952) dapat dibatja : „Dalam per aturan ini termasuk pekerdja-harian”. D jadi, segala sesuatu jang berlaku bagi pegawai negeri berlaku djuga bagi pekerdja-harian. Pekerdja-harian _ itu pendjabat, tetapi belum tentu pegawai negeri. Redaksi ketentuan ini menimbulkan keragu-raguan oleh karena mungkin pembuatnja mempersama kan pengertian „pegawai” dengan pengertian „pendjabat” ? ! Lihatlah noot jang berikut. 13 Rumus ini sangat mengatjau. Disini rupanja pengertian „pegawai” disama kan dengan pengertian „pendjabat” . Apakah maksud peraturan ini meng-
125
tuan-ketentuan ini tidak memberi pendjelasan tentang apakah „pegawai negeri” itu pada umumnja. Rupanja pendjelasan pengertian „pegawai negeri” itu diserahkan kepada ilmu pengetahuan dan praktek. Menurut „Ambtenarenwet 1929” di Negeri Belanda (pasal 1 ajat 1), maka „Ambtenaar in den zin dezer wet is hij, die is aangesteld in openbaren dienst om hier te lande werkzaam te zijn” (Pegawai menurut undang-undang ini ialah tiap orang jang diangkat dalam dinas publik untuk bekerdja di negeri ini ( = di Negeri Belanda)). Mereka jang bekerdja untuk negara berdasarkan suatu perdjandjian-kerdja menurut hukum privat, bukan pegawai negeri (ajat 3) 14. Djadi, „Ambtenaren wet” Belanda itu mengadakan suatu pembagian pendjabat dalam dua golongan besar, jakni golongan pegawai dan golongan mereka jang bekerdja untuk negara berdasarkan suatu perdjandjian-kerdja (menurut hukum privat). Oleh K r a n e n b u r g - V e g t i n g dikemukakan bahwa rumus jang disebut dalam pasal 1 ajat 1 „Ambtenarenwet” Belan da tidak memberi suatu definisi lengkap tentang pengertian „pegawai”. Rumus ini hanja memberi beberapa batas. Jang mendjadi ukuran (kriterium) ialah p e n u n d j u k a n (aanstelling) — djadi, t j a r a men —
djadi pendjabat 13 dalam suatu d i n a s p u b l i k . Pegawai adalah pendjabat jang d i t u n d j u k, djadi, tidak termasuk „pegawai” itu mereka jang memangku suatu djabatan m e w a k i l i (vertegenwoordigende functie), seperti seorang anggauta suatu dewan perwakilan rakjat, se orang menteri, seorang presiden, dsb 16. Menurut ajat 2 pasal 1 „Amb tenarenwet 1929” tersebut, maka djuga termasuk „dinas publik” itu se gala perusahaan jang dikuasai (beheerd) oleh negara atau badan peme rintahan lain 17. Ukuran-ukuran jang disebut dalam pasal 1 ajat 1 dan 3 „Ambhukum djuga pendjabat jang bukan pegawai negeri ? Menurut pendapat kami maka menurut djiwanja, peraturan ini berlaku bagi semua p e n d j a b a t negeri baik jang mendjadi pegawai negeri maupun jang bekerdja untuk negara berdasarkan suatu perdjandjian-kerdja (arbeidsovereenkomst) menu rut hukum privat. 14 Pasal 1603 y K.U.H. Perdata mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Titel V II A Buku III K.U.H. Perdata t i d a k berlaku terhadap seorang jang bekerdja dalam dinas negeri, daerah atau bagian daerah, kotapradja, subak (waterschap) atau sesuatu badan hukum publik lain, t e r k e t j u a 1 i da lam hal, sebelum atau ketika diadakan perhubungan dinas, ditentukan oleh kedua belah fihak atau atas nama kedua belah fihak, atau ditentukan oleh undang-undang, bahwa ketentuan-ketentuan tersebut didjalankan. 15 V a n d e r P o t „Nederl. staatsrecht”, hal. 284. Mengenai „aanstelling” ini batjalah uraian D o n n e r, hal. 170 d.j.b. 16 K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 85. Djuga anggauta Angkatan Perang bukan pegawai dalam arti kata biasa. 17 Sama dengan noot 16.
126
tenarenwet” Belanda adalah ukuran f o r m i l sadja is^ jaitu b e n t u k (vorm ) dari hubungan antara pendjabat dan negara menentukan apa kah pendjabat itu pegawai atau „arbeidscontractant” (pekerdja berda sarkan perdjandjian-kerdja). Ukuran-ukuran tersebut belum membedakan setjara materiil antara „pendjabat-pegawai” dan „pendjabat-bukan-pegawai”. Menurut pendapat kami maka ukuran jang dibuat oleh L o g e m a n n 19 adalah ukuran jang terbaik, oleh karena ukuran itu suatu ukuran jang materiil. „Pegawai” adalah tiap pendjabat jang mempunjai suatu p e r h u b u n g a n d i n a s dengan negara. Apakah „per hubungan dinas” itu akan kami bitjarakan di bawah ini. d. perhubungan b e t r e k k i n g) 20.
dinas
publik
(openbare
dienst-
Kata Prof. L o g e m a n n 21 : „De openbare dienstbetrpkking dan is daar aanwezig, waar iemand zich verbindt om zich de aanstelling in ambten van een min of meer bepaalde soort te laten welgevallen tegenover bezoldiging en verdere persoonlijke voordelen” (Adanja per hubungan dinas publik itu ternjata bilamana seseorang mengikat dirinja menunduk pada perintah dari pemerintah untuk melakukan suatu atau beberapa matjam djabatan tertentu. Melakukan suatu atau beberapa matjam djabatan itu dihargai dengan pemberian gadji dan beberapa keuntungan lain). Inti (esensialia) dari perhubungan dinas publik itu __ jang diatur oleh peraturan-peraturan hukum publik 22 — „bestaat daarin, dat hij (de ambtenaar) v e r p 1 i c h * ( s p a t i e e r i n g dari kam i) is de aanstelling in bepaalde ambten zich te laten welgevallen” (kewadjiban dari jang bersangkutan untuk tunduk pada pengangkatan 18
19
20
21
22
K r a n e n b u r g - V e g t i n g, hal. 85, 88-89. „Theorie”, hal. 99. Pembatjaan (literatuur) dalam bahasa Belanda tentang hukum tatausaha ne gara dan hukum kepegawaian menggunakan istilah „ambtenaarsverhouding” (perhubungan kepegawaian). „Theorie”, hal. 99. Lihatlah djuga „Staatsrecht van Ned. Indie”, 1947, hal. 18: „Z ij ( = ambtenaren) staan in dienstbetreking tot het land, k r a c h t e n s welke dienstbetreking zij de plicht hebben zich ambten te laten opdragen". (M ereka ( = para pegawai) mempunjai suatu perhubungan dinas dengan negeri, menurut perhubungan dinas itu mereka wadjib melakukan djabatan- ^ djabatan jang ditugaskan kepada mereka). L o g e m a n n „Staatsrecht van Ned. Indie”, hal. 18 : „Deze openbare dienstbetrekking wordt beheerst door eigen publiekrechtelijke regels en niet door de regels van het burgerrechtelijk arbeidscontract (Perhubungan dinas publik itu diatur oleh peraturan-peraturan hukum publik dan tidak diatur oleh peraturan-peraturan mengenai perdjandijan-kerdja menurut hukum privat).
127
dalam beberapa matjam djabatan tertentu). Perhubungan dinas publik itu mewadjibkan pegawai jang bersangkutan .tidak menolak (djadi me nerima dengan tiada sjarat) pengangkatannja dalam suatu djabatan jang telah ditentukan oleh pemerintah. Berdasarkan perhubungan dinas pu blik itu pemerintah berhak (setjara) „eenzijdig” (dengan tiada perse suaian kehendak dari fihak pegawai = suatu perbuatan hukum jang bersegi satu) mengangkat seseorang dalam djabatan jang ditentukan. Tim bul dan achirnja perhubungan dinas publik itu tidak bergantung pada suatu pengangkatan atau suatu pemberhentian dalam/dari suatu djabatan tertentu. Pegawai jang diberi „wachtgeld” (gadji non-aktif, uang tunggu) tidak memangku djabatan, tetapi tetap mempunjai suatu perhubungan dinas publik dengan pemerintah. Sebaliknja, seorang pen djabat jang bekerdja untuk'pemerintah berdasarkan suatu perdjandjiankerdja menurut hukum privat, tidak mempunjai suatu perhubungan dinas dengan pemerintah tersebut (walaupun telah diangkat dalam suatu djabatan). Bagaimanakah timbulnja suatu perhubungan dinas publik ? Pertanjaan ini telah menimbulkan polemik besar dalam ilmu hukum tata usaha negara 23. M enurut beberapa pengarang maka perhubungan dinas publik itu berdasarkan suatu p e r d j a n d j i a n status (statusovereenkom st). Perhubungan dinas publik itu timbul oleh karena suatu per sesuaian kehendak antara pendjabat (pegawai) dengan pemerintah. Beberapa nama : L o g e m a n n 24, K r a n e n b u r g - V e g t i n g 25, v a n P r a a g 26; K r a b b e 27, P r i n s 28. Menurut beberapa pe ngarang lain — K l e i n t j e s 29, V a n d e r P o t 3°, v a n d e r G r i n t e n 31, v a n U r k 32 D o n n e r 33 —. maka perhubungan dinas publik itu akibat suatu perbuatan hukum jang bersegi satu jang dilakukan 23 24
25
26 27 28
oleh pemerintah,
jakni p e n u n d j u k a n
(aanstelling)
Lihatlah ichtisar dalam buku M r Ir M.M. v a n Pf r a a g hal. 228. „Staatsnecht van Ned. Indie”, hal. 19 : ,,.......................... dat de openbare dienstbetrekking ontstaat door aanbod en aanname, dus uit overeenkomst” (bahwa perhubungan dinas publik itu akibat suatu pelamaran dan suatu peneri maan, djadi, akibat suatu perdjandiian') Hal. 93. ■ Lihatlah noot 23. „De burgerlijke Staatsdienst in Nederland”, dis. Leiden 1883, hal. 31. „Inleiding”, hal. 30. hal 392 ^ * e * n t j e s »Staatsinstellingen van Ned. Indie”, 1932, djilid I
30 31 32 33
128
„Nederl. staatsrecht”, hal. 288. „Nederl. Bestuursrecht”, 1934 hal. 64. „Ambtenarenrecht”, 1938, hal. 51 . „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 170.
orang jang bersangkutan dalam djabatannja. Kami tidak dapat menjetudjui anggapan jang terachir ini. Memanglah, penundjukan itu suatu perbuatan hukum jang bersegi satu (lihatlah P r i n s pada hal. 3 0 ), tetapi suatu akibat dari perhubungan dinas publik itu dan bukan peristiwa hukum (rechtsfeit) jang menimbulkannja. Sebelum penundjukan, telah diadakan suatu perdjandjian antara pelamar dan pemerintah dan sebagai a k i b a t perdjandjian ini selandjutnja pelamar itu diangkat (benoemd) dalam suatu djabatan, bahkan, ia terpaksa menerima pengangkatan itu. §3: a.
Kedudukan-hukum
dari
pegawai
Pengangkatan.
P a d a a z a s n j a tiap w a r g a - n e g a r a I n d o n e s i a da pat diangkat (benoemd) dalam tiap-tiap djabatan pemerintah (pasal 23 ajat 2 kalimat 1 U .U .D .S.). Azas umum ini tidak berlaku bagi seorang asing. Orang asing boleh diangkat dalam djabatan-djabatan pemerintah menurut aturan-aturan jang ditetapkan oleh undang-undang (kalim at 2 ketentuan tersebut). Pasal 86 U.U .D.S. mengatakan bahwa „Pegawai-pegawai Republik Indonesia diangkat menurut aturan-aturan jang ditetapkan dengan un dang-undang”. Tetapi sampai sekarang belum ada undang-undang jang_ setjara lengkap mengatur t j a r a (procedure) mengangkat seorang pe gawai (pendjabat pada umumnja) dalam suatu djabatan negara. Djuga P .G .P.N . 1955 pun tidak setjara lengkap mengatur pengangkatan se orang pegawai negeri. Bagian dari tjara itu masih diatur oleh praktek. Oleh P.G .P.N . 1955 ditentukan dalam batas-batas mana pengangkatan dapat diadakan. Undang-undang 1952 N r 21 (L .N . 1952 N r 78) (pe netapan Undang-undang Darurat 1950 N r 25 (R .I.S .) dan Undangundang Darurat 1950 N r 34 (R .I.S .) sebagai Undang-undang R .I.) menjebut penguasa (pembesar) mana jang berhak mengangkat pegawai (pasal 1). Mengenai beberapa niat jam pengangkatan, penguasa jang berhak mengangkat terlebih-dahulu memerlukan persetudjuan dari K an tor Urusan Pegawai (K .U .P .) (pengangkatan berdasarkan „kortverbandcontracten” ) dan dari Dewan Menteri (mempekerdjakan seorang asing untuk pertama kali dan mengangkat kembali seseorang jang pernah diberhentikan sebagai pegawai dengan tjatatan „tidak dengan hormat”, atau mengangkat seseorang jang pernah dihukum karena melakukan suatu kedjahatan (m isd rijf)). 129
Pengangkatan seseorang pegawai dalam suatu djabatan adalah aki bat suatu perhubungan dinas dengan negara (pengangkatan seseorang bukan-pegawai dalam suatu djabatan adalah akibat dari umpamanja suatu perdjandjian-kerdja) — lihatlah apa jang kami bitjarakan di atas. Pengangkatan dalam djabatan pertama terdjadi setelah atau pada waktu (sewaktu dengan = gelijktijdig m et) penerimaan pelamar sebagai pe gawai. Pada umumnja tanggal „ambtsaanvaarding (mulai bekerdja) adalah tanggal pengangkatan — lihatlah L.N .H .B. 1944 N r. 9. Pengang katan dengan „terugwerkende kracht” tidak dapat diadakan. Lihatlah surat-edaran Kepala K .U .P. N r 2036/A tertanggal 11 Nopember 1949. Seseorang jang akan diangkat sebagai pegawai (pendjabat pada umumnja) harus memenuhi beberapa sjarat tertentu. Negara harus men dapat djaminan bahwa jang akan diangkat akan melakukan djabatannja setjara baik. „Sjarat-sjarat umum untuk pengangkatan pertama dalam sesuatu djabatan” (idjazah, pendidikan, pengalaman) telah diatur dalam P.G .P. 1948/1950 (pasal 3 ajat 1). „Kedudukan pegawai selandjutnja ditentukan oleh ketjakapan dan keradjinan, serta sjarat-sjarat lain jang diperlukan untuk djabatan jang akan dipangkunja (ajat 3 ). „Sjaratsjarat pengangkatan dapat ditambah dengan sjarat-sjarat ketjakapan praktek dan teori, djika perlu dengan mengadakan udjian djabatan” (a ja t 4 ) . Untuk pengangkatan pada waktu sekarang harus diperhatikan sjarat-sjarat jang ditentukan dalam P.G.P.N . 1955, pasal 3. D aftar su sunan pangkat dan kenaikan pegawai negeri, untuk lebih landjutnja telah diatur dalam peraturan Pemerintah 1952 N r 9, L.N. 1952 N r 14. Pasal 2 a ja t 1 P .G .P .N . 1955 mengatakan bahwa „djumlah tempat jang dapat diduduki dalam pangkat-pangkat itu masing-masing tidak boleh lebih j dari pada djumlah jang ditetapkan dalam anggaran-belandja”, djadi, tidak boleh diadakan pengangkatan diluar formasi dalam anggaranbelandja. „Idee” ini diperdalam dalam ajat 2, 3 dan 4 pasal tersebut. Pegawai dapat diangkat sebagai pegawai s e m e n t a r a (ambtenaar in tijdelijke dienst) dan sebagai pegawai t e t a p (ambtenaar in vaste dienst). Kedudukan-hukum seseorang pegawai tetap lebih baik dari pada kedudukan-hukum seseorang pegawai sementara. Pengangkatan seseorang sebagai pegawai tetap diatur dalam peraturan Pemerintah 1951 N r 59. T iap orang jang hendak bekerdja pada negeri sebagai pegawai ( = bekerdja pada negeri berdasarkan suatu perhubungan dinas publik) pada permulaan diangkat sebagai pegawai sementara. Pasal 2 menjebut sjarat-sjarat jang harus dipenuhi agar seseorang pegawai sementara da pat diangkat sebagai pegawai tetap. Lihatlah djuga pasal 8. Pasal 7 me ngatur hal seseorang pegawai menolak pengangkatan sebagai pegawai .130
tetap. D jika penolakan itu berdasarkan alasan-alasan jan g tidak dapat diterima oleh Pemerintah, maka penguasa jan g bersangkutan dapat mem berhentikan pegawai tersebut setelah mendapat permufakatan dari K antor Urusan Pegawai (Pendjelasan atas peraturan Pem erintah 1951 N r 5 9 ). Pasal 11 m enjebut mereka jang mempunjai kedudukan pegawai tetap selain dari pada mereka jan g mendapat kedudukan itu menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan Pemerintah 1951 N r 59 tersebut. Lihatlah djuga ketentuan peralihan (overgangsbepaling) dalam pasal 12. Pasal 2 ajat 1 jo pasal 3 L .N .R .I.S. 1950 N r 41 (telah diubah me nurut L.N . 1950 N r 4 7 ) m enjebut penguasa mana jang dapat m engang kat seseorang pegawai (sem entara) sebagai pegawai tetap. Lihatlah djuga Pendjelasan atas peraturan Pemerintah 1951 N r 59. b.
Penggadjian,
pensiun
dan
keuntungan
lain.
Penggadjian pegawai diatur dalam P .G .P .N . 1955 (sebelum nja P .G .P . 1948/1950), jan g telah kami sebut beberapa kali di atas. Pegawai b e r h a k (hak itu sebagai penghargaan djasa) atas pembajaran gadji, djuga dalam hal ia — oleh sebab-sebab jang bukan kesalahannja — tidak memangku suatu djabatan. Tetapi pemerintah (te tap) berhak mengubah tingginja penggadjian itu, bilamana keadaan memerlukan suatu perubahan. Bukankah, pemerintah tetap berhak menreorganisasikan dinas publik dan formasi pegawai ? Reorganisasi dinas publik dan formasi pegawai itu dapat membawa perubahan dalam penggadjian 34. Tentang reorganisasi formasi pegawai lihatlah pasal 2 P .G .P .N . 1955 (sebelumnja pasal 2 P.G .P . 1948/1950). M engenai (d af tar) susunan pangkat lihatlah peraturan Pemerintah 1952 N r 9 (L .N . 1952 N r 14). Penghasilan jang seseorang pegawai memperoleh karena memangku suatu djabatan negara, terdiri atas gadji-pokok (basis-salaris) dan be berapa tundjangan. Sebagai tundjangan terpenting dapat d isebu t: t u n d j a n g a n k e m a h a l a n d a e r a h (daerah Indonesia dibagi dalam beberapa rayon), t u n d j a n g a n a n a k — lihatlah peraturan Pemerintah (R .I.S .) 1950 N r 16 (pasal 4 ) , peraturan Pemerintah 1951 N r 17 (ja n g mengubah peraturan Pemerintah (R .I.S .) 1950 N r 16) (peraturan Pemerintah 1951 N r 17 itu kemudian diubah oleh peraturan Pemerintah 1951 N r 6 4 ) dan surat-edaran Kepala K .U .P . N r A 54-3-49 tertanggal 26 D juni 1951 — . t u n d j a n g a n d j a b a t a n — lihatlah 34
Kranenburg-Vegting,
hal. 96.
131
peraturan Pemerintah 1951 N r 22 pasal 1 — , t u n d j a n g a n p e r _ w a k i 1 a n — lihatlah pasal 14 P.G.P. 1948/1950, keputusan Kepala K .U .P. N r 1629/A tertanggal 19 Oktober 1949 dan surat-edaran Kepala K .U .P. N r A 14-2-7 tertanggal 23 Maret 1950 (untuk Polisi Negara masih penting „Gouvernementsbesluit” (Hindia-Belanda) tertanggal 14 Agustus 1924 N r 25 ). Tundjangan djabatan itu biasanja disebut „uang representasi” atau „tundjangan representasi”. Semua tundjangan tersebut dan beberapa tundjangan lain ditjantumkan dalam P.G.P.N . 1955 : pasal 14 mengenai tundjangan-keluarga, pasal 15 mengenai tundjangan-anak, pasal 16 mengenai tundjangan-kemahalan setempat, pasal 17 mengenai tundjangan-kemahalan umum, pa sal 18 mengenai tundjangan-tanggungdjawab-keuangan 3», pasal 19 me ngenai tundjangan-perwakilan, pasal 20 mengenai tudjangan bagi udjian dinas, pasal 21 mengenai tundjangan djabatan, pasal 22 mengenai tundjanganjaahaja, pasal 23 mengenai tundjangan-tundjangan lain. Dari gadji (penghasilan) pegawai dipungut beberapa potongan jang diwadjibkan (verplichte inhoudingen), ja k n i: p a d j a k (padjak peralihan, padjak upah, padjak penghasilan, dsb.), i u r a n p e n s i u n (pasal 17 Undang-undang 1952 N r 20 (L.N . 1952 N r 74) mengatakan bahwa „Pegawai Negeri d i w a d j i b k a n membajar iuran-pensiun, tiap-tiap bulan sebanjak 2% dari gadji atau uang-tunggunja” (ajat 1 kalimat 1) ( s p a t i e e r i n g dari kam i), d e n d a s e b a g a i h u k u m a n d i s i p l i n e r (disciplinaire straf), d e n d a s e b a g a i k e p u t u s a n h a k i m , p e m b a j a r a n ' k e g a n t i - r u g i a n (schadevergoeding), u a n g p e r s e k o t . Pada tahun 1954, menurut peraturan Pemerintah 1954 N r 29 (L.N . 1954 N r 4 8 ) tentang penanggungan padjak peralihan dan padjak upah bagi pegawai negeri oleh negara, maka bagi semua pegawai diadakan peringanan beban padjak (verlichting van belastingdruk). Dasar pera turan ini adalah sebagian djumlah padjak jang harus dibajar pegawai ditanggung ( = dibajar) oleh negara. Kepada pegawai jang melakukan pekerdjaan bagi negara diluar waktu-kerdja resmi, diberi u a n g l e m b u r . Lihatlah surat Kepala K.U.P. N r A 57 4-20/L 1-14 tertanggal 5 September 1951 dan keputusan Menteri Urusan Pegawai N r P 3-1700/51 2/52 tertanggal 6 Mai 1952. Uang t u n g g u („wachtgeld” ) diatur dalam peraturan Peme rintah 1951 N r 15. Menurut pasal 1 peraturan tersebut maka „Uang35
132
Perhatikanlah sjarat: „sedang dalam pangkatnja sendiri ia tidak mempunjai pertanggung-djawab itu” . Ketentuan ini dibuat untuk mentjegah korupsi.
tunggu diberikan kepada pegawai negeri t e t a p (s p a t i e e r i n g dari kami) jang diperhentikan dengan hormat dari pekerdjaannja karena : a.
b. c.
perubahan susunan kantor atau penghapusan kantor atau perubahan djumlah pegawai, sehingga tenaganja untuk sementara waktu tidak diperlukan ; tidak tjakap, akan tetapi masih pula memenuhi sjarat-sjarat untuk sesuatu djabatan Negeri jang lain ; sakit”.
Perkataan „diperhentikan dengan hormat dari pekerdjaannja” harus dibatja „diperhentikan dengan hormat dari djabatannja”. Pasal 5 me ngatur tingginja uang tunggu itu. Lihatlah djuga pasal 6 dan pasal 7. Pasal 8 menjebut kewadjiban pegawai jang diberi uang tunggu itu. Lihatlah djuga pasal 9. Tiap bekas-pegawai jang memenuhi beberapa sjarat tertentu b e r h a k atas pembajaran p e n s i u n . Djanda b e r h a k atas pembajaran pensiun, anak piatu b e r h a k atas tundjangan, bilamana pegawai jang telah meninggal pada waktu meninggalnja memenuhi beberapa sjarat tertentu. Mengenai pensiun lihatlah Uindang-undang 1952 N r 20 (L.N . 1952 N r 74) 36, peraturan R.I. Proklamasi tahun 1947 N r 14 jo tahun 1948 N r 30, tahun 1949 N r 34, tahun 1949 N r 35, tahun 1950 N r 23, peraturan Pemerintah 1951 N r 57, peraturan Pemerintah 1952 N r 19 (L .N . 1952 N r 2 5 ), peraturan Pemerintah 1954 N r 64, surat-edaran Perdana Menteri tertanggal 14 D juli 1954 N r 18848/54. Dari waktu kolonial berasal „Indisch Burgerlijk Pensioenreglement”, L.N .H .B. 1926 N r 550. Tiap-tiap tahun pegawai b e r h a k atas 12 hari-kerdja liburan. Tentang pemberian istirahat dalam negeri lihatlah peraturan Pem erintah 1953 N r 15 (L.N . 1953 N r 26, diubah menurut peraturan Pemerintah 1954 N r 22, L.N. 1954 N r 3 9 ). Beberapa Kementerian, djawatan dan ‘ pemerintah daerah swatantra telah mengadakan untuk pegawainja pe mondokan liburan (vacantietehuizen) di tempat-tempat jang mempunjai hawa baik dan pemandangan jang indah-permai. Pegawai ft.K .A . diper kenankan mengadakan perdjalanan liburan (vacantiereis) atas beaja D .K .A . („vrijkaart” ). 36
„Undang-undang Pensiun, Undang-undang No. 20 Tahun 1952”, dengan pendjela'san oleh Mr S. D j a t m i k a, 1955. Peraturan R.I. 1949 N r 34 dan L.N.H.B. 1926 N r 550 sedjak ■tanggal 21 Oktober 1954 tidak didjalankan lagi, walaupun resmi belum ditjabut.
133
Tiap pegawai diberi hak meminta kembali dari Pemerintah sebagian ongkos jang telah dikeluarkan guna pembajaran pertulungan dokter (tabib), pengobatan dan perawatan di rumah sakit, oleh karena ia atau keluarganja sakit. Tentang hal ini lihatlah L.N.H.B. 1944 N r 300, L.N .H.B. 1948 N r 104, „Bijblad” 15177, surat-edaran Menteri Kese hatan N r 22758/U.U. tertanggal 17 Oktober 1950, surat-edaran Menteri Kesehatan N r 59370/U.U./R. tertanggal 23 Desember 1952, keputusan Menteri Kesehatan (dengan lampiran) N r 21978/U.U.jR. tertanggal 21 Mai 1953. Ongkos jang telah dikeluarkan untuk membeli katja-mata, tangan-tiruan, kaki-tiruan, dlL dapat diminta kembali dafi Pemerintah. -Lihatlah surat Secretaris van Staat, Hoofd Departement van Gezondheid N r 27968/A.Z. tertanggal 1 Nopember 1948 dan surat Menteri Kese hatan N r 13562/U.U. tertanggal 20 Djuni 1950. Pengembalian ongkos pertulungan dokter, pengobatan, dsb. sepenuh-penuhnja diberi kepada pegawai jang mempunjai gadji-pokok di bawah Rp. 340.— menurut P.G.P. 1948/1950 atau pegawai jang mem punjai gadji-pokok di bawah Rp. 420.— menurut B.A.G. Beberapa djawatan (dinas) memberikan kepada pegawainja atau mewadjibkan pegawainja memakai p a k a i a n d i n a s . Misalnja, pe gawai Polisi Negara (lihatlah „Bijblad” N r 124040 (jang kemudian diubah) dan surat-keputusan Directeur van Binnenlands Bestuur ter tanggal 3 D juli 1924 N r A.P. 24/1/17 (jang kemudian diubah)), pegawai Pamong Pradja (lihatlah peraturan Pemerintah 1949 N r 16 (R .I. di Jogjakarta) 37) j pegawai Djawatan Imigrasi (lihatlah surat-keputusan Menteri Kehakiman tertanggal 10 Agustus 1950 N r J.P . 18/12/6), pe gawai Djawatan Pendjara (lihatlah surat-keputusan Menteri Kehakiman tertanggal 25 Mai 1950 N r G. 2/595). Pegawai berhak atas perhatian pemerintah mengenai perumahan, tetapi tidak berhak memaksa pemerintah membuat rumah atau mengo songkan rumah (jang telah didiami orang lain dan bukan kepunjaan pemerintah), bilamana — oleh karena beberapa sebab jang terletak diluar kemampuan pemerintah — tidak ada perumahan tersedia 38. Be berapa djawatan (dinas) menjediakan rumah dinas (misalnja, D.K.A., Polisi Negara, Djawatan Pendjara, dll.). Pada tahun 1954, oleh Pemerintah dibuat suatu peraturan tentang upah pekerdja pada pemerintah, jaitu pendjabat-bukan-pegawai. Pera37 38
134
K o e s n o d i p r o d j o, djilid tahun 1949, hal. 70-72. Pemerintah mengembalikan sebagian ongkos-ongkos pemondokan di hotel dari pegawai-pegawai jang gadjinja tidak tjukup untuk membajar ongkosongkos hotel tersebut.
turan ini adalah peraturan Pemerintah 1954 N r 31, L.N. 1954 N r 51. Pasal 1 mengatakan barangsiapa jang termasuk „pekerdja” itu, jakni „mereka jang, terutama berhubung dengan kebutuhan akan tenaga djasmani dan/atau ketangkasan mereka dalam suatu djenis pertukangan, di terima untuk dipekerdjakan untuk waktu tidak terbatas pada pelbagai usaha Pemerintah dan jang diberi upah tidak menurut peraturan gadji jang berlaku bagi Pegawai Negeri, sedangkan pengeluaran-pengeluaran guna membajar upah itu termasuk dalam biaja usaha-usaha Pemerintah tersebut dan dibebankan atas anggaran belandja Negara”. Dari redaksi ketentuan ini ternjata bahwa L.N. 1954 N r 51 hanja mengenai pendjabat-bukan-pegawai jang menjediakan „tenaga djasmani dan/atau ketang kasan mereka dalam suatu djenis pertukangan”, dan dari redaksi pasal 4 ajat 1 ternjata bahwa „pekerdja” tersebut adalah pekerdja-harian (dagloners) („Pekerdja berhak atas upah untuk hari-hari ia sungguh-sungguh mendjalankan pekerdjaannja” — lihatlah perketjualian dalam pasal 6: pembajaran upah pada waktu tidak bekerdja). Mengenai penggadjian — jang berupa „honorarium”, dsb. — para pendjabat-bukan-pegawai jang lain, jaitu chusus mereka jang menje diakan tenaga rohani (penasehat, gurubesar luar biasa, dll.) dan mereka jang mendjadi anggauta suatu badan perwakilan, telah diadakan beraneka-matjam peraturan. c.
K e w a d j i b a n - p e n d j a b a t 39.
Pendjabat mempunjai hak, tetapi mempunjai kewadjiban pula. Kewadjibanlah jang harus diutamakan ! O leh Prof. L o g e m a n n dikemukakan lima matjam kewadjiban p e n tin g ; menurut pendapat kami maka kewadjiban tersebut adalah kewadjiban terpenting dan merupakan pokok (essentialia) dari kepega waian (ambtenaarschap). Kewadjiban itu : 1.
pendjabat harus mendjadi seorang pendjabat jang baik. „Eerste plicht is, dat de ambtsdrager in redelijkheid ernaar streeft de arbeid van het ambt geheel te verrichten” (Kewadjiban pertama ialah pe gawai harus berusaha sebanjak-banjaknja ( = menurut dan sesuai dengan kemampuan-kerdja (werkcapaciteit)-nja mendjalankan pe kerdjaannja
39
s e p e n u h - p e n u h n ja ) .
L o g e m a n n , . hal. 97-98 ; K r a n e n b u r g - V e g t i n g, jang berikutnja.
hal. 104 dan
135
2-
„de ambtsdrager (is) in redelijkheid gehouden arbeid van goede hoedanigheid te leveren” (pendjabat wadjib menjelenggarakan pekerdjaannja setjara baik menurut dan sesuai dengan kemampuankerdjanja).
3.
perbuatan-perbuatan jang diadakan oleh seorang pendjabat harus sesuai dengan peraturan-peraturan dan azas-azas hukum jang telah ditentukan untuk djabatannja. Djadi, pendjabat tidak boleh bertindak setjara sewenang-wenang. Ia wadjib mempertahankan negara hukum (lihatlah J i atas tentang „détournement de pou voir” !).
4.
penghidupan pendjabat diluar lingkungan pekerdjaannja harus baik pula. L o g e m a n n : „Daarom eisen aan zijn particulier gedrag, zelfs aan dat van zijn gezin en ook zelfs eisen aan maatschappelijk aanzien’ (Maka dari itu sjarat-sjarat mengenai kelakuannja dalam penghidupan partekelir, bahkan, sjarat-sjarat me ngenai kelakuan keluarganja dalam pergaulan umum dan djuga sjarat-sjarat mengenai penghargaan dari masjarakat terhadap dirinja ). Pendjabat harus tetap ingat akan hal kelakuannja dalam pergaulan umum dapat mempengaruhi kehormatan masjarakat ter hadap kekuasaan negara 40. pendjabat harus mengutamakan sebanjak-banjaknja kepentingan ja atan (jaitu kepentingan negara, atau lebih tepat:, kepentingan jat) , pendjabat wadjib mendjalankan pekerdjaannja menurut s azas (hukum) jang telah ditentukan bagi pekerdjaan itu, dan H'H' T Sen<^r* serta kepentingan sendiri sebanjak-banjaknja ha.rus J u kan^ dari suasana pekerdjaan tersebut, jakni dalam hal penpat sendiri serta kepentingan sendiri itu tidak dapat disesuaikan ters^b
4^aS 3ZaS ^ ukum) Jang telah ditentukan bagi pekerdjaan
d; •^,end|ab!;t dltemPatkan di bawah d i s i p l i n
d j a b a t a n (ambts-
wad"h ✓ ■ ° ° ° koh disiPlin ja b a ta n itu ditentukan oleh lima kewadjiban ( SJarat) jang kami sebut di atas tadi. 40 41
K r a n e n b u r g - V e g t i n g, hal. 105 Wal ini harus dnneat oIf»K politik ! emua pendjabat jang beranggauta suatu partai gauta suatu ^partai* poUdk^tau" dapat dilarang mendjadi angpasal-pasal 19 dan 20 TJ TTr> c seçikat sekerdja (vakbond). Lihatlah Nr 15, peraturan Pemerintah’ I O S - T m ^ PTei? f rintah R I- Proklamasi 1950 djelasan dalam Tambahan L.N N r S n I Nr ^ tertanggal 19 Pebruari 1953 Nr su1ra,'-edaran Perdana Menteri 330//53. letapi bilamana seorang pendjabat
^
136
Pelanggaran disiplin djabatan itu dapat mengakibatkan hukuman djabatan, bahkan, pemberhentian (dengan tjatatan „tidak dengan hor mat” ) dari djabatan. Berhubung dengan hal pelanggaran disiplin dja batan itu, dalam perundang-undangan di Indonesia terdapat dua pera turan penting, jaitu peraturan Pemerintah 1952 N r 8 (L.N . 1952 N r 13, dengan pendjelasan dalam Tambahan L.N. N r 199) dan peraturan Pe merintah 1952 N r 11 (L.N . 1952 N r 16, dengan pendjelasan dalam Tambahan L.N. N r 202). Peraturan jang disebut pertama ialah peraturan jang mengenai „pemberhentian dari pekerdjaan untuk sementara waktu dan pember hentian dari djabatan "Negeri sambil menunggu keputusan lebih landjut bagi Pegawai Negeri Sipil”. Pemberhentian untuk sementara dari pe kerdjaan (djadi, bukan pemberhentian dari djabatan,!) 42 biasanja ter kenal dengan istilah Belanda „ s c h o r s i n g ”. „Schorsing” diadakan „untuk kepentingan djawatan danlatau Negara” (pasal 2 ). Pendjabat jang diberi „schorsing” dilarang bekerdja. Ada dua matjam „schorsing”, jakni „schorsing” jang f a k u I t tait i f (tidak diwadjibkan kepada jang berhak mengangkat dan memberhentikan pendjabat) dan „schorsing” jang i m p e r a t i f (diperintah • — diwadjibkan — kepada jang berhak mengangkat dan memberhentikan pendjabat). „Schorsing” jang fakul tatif disebut dalam pasal 3 ajat 2 sub a (perkataan „ d a p a t diperhentikan untuk sementara waktu”) dan „schorsing” jang imperatif disebut dalam sub b (perkataan „ h a r u s diperhentikan untuk sementara wak tu” ). „Schorsing” dapat membawa suatu „pemberhentian dari djabatan N egeri” (pasal 3 ajat 3 43). „Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri
42 43
mendjadi anggauta suatu partai politik jang mengoposisi Pemerintah, maka pendjabat tersebut tidak berhak mengadakan oposisi dalam melakukan djabatannja. Kalau ia tidak dapat menjetudjui „beleid” Pemerintah sah dan perasaan tidak-puas itu dapat mempengaruhi tjara mendjalankan pekerdjaannja, maka harus ia meletakkan pekerdjaan itu (dan bila perlu memohon supaja diberhentikan dari djabatannja). Berhubung dengan bahaja dapat ditimbulkan suatu „gezagsvacuum” atau suatu anarchi, maka pendjabat negeri (sebagai pendjabat aktif) seharusnja dilarang menggunakan hak mogok jang tertjantum dalam pasal 21 U.U.D.S. Larangan itu akibat dari „kedu dukan istimewa” dari negara dalam pergaulan sosial. Anggauta Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Polisi Negara (lihatlah surat Perdana Menteri tertanggal 3 Nopember 1952 Nr 23434/52) dilarang mendjadi anggauta suatu partai politik. Achirnja, perlu kami kemukakan bahwa pada djaman sekarang aliran jang hendak melarang pegawai negeri mendjadi anggauta partai politik makin lama makin kuat. Jang dimaksud dengan „pekerdjaan” itu ialah pekerdjaan a k t i f . Ketentuan tersebut mengatakan „maka pegawai itu dapat diperhentikan dari d j a b a t a n Negeri, djika ia pegawai t e t a p , atau diperhentikan dari pekerdjaannja dalam hal ia pegaw-ai s e m e n t a r a ” ( s p a t i e e r i n g dari kami). Disini adalah kekatjauan mengenai pengertian „djabatan” („D ja-
137
................. tidak disertai sebutan „„dengan hormat””, ketjuali djika ada kemungkinan-kemungkinan bahwa hasil pemeriksaan atau penjelidikan jang dilakukan oleh Djawatan atau oleh Pengadilan Negeri jang ber sangkutan akan dapat memberi alasan-alasan untuk melakukan pember hentian itu „„dengan hormat”” (ajat 4 ). Bilamana menunggu hasil pe meriksaan atau penjelidikan tersebut maka pendjabat diberhentikan de ngan sebutan „menunggu ketentuan lebih landjut” (ajat 4 kalimat terachir). Jang diberi „schorsing” hanja dibajar sebagian dari gadjinja, jakni „50% dari gadji pokok jang terachir akan tetapi paling rendah Rp. 45.;— (empat puluh lima rupiah) dan paling tinggi Rp. 450.— (empat ratus lima puluh rupiah) sebulan” (pasal 4 ajat 1). Tundjangan keluarga dan tundjangan kemahalan dihitung berdasarkan gadji pokok „schorsing” itu (pasal 5). Bilamana kemudian ternjata bahwa jang diberi „schorsing” itu tidak bersalah, maka diadakan suatu rehabilitasi materiil (pasal 7 sub a). Bilamana kemudian ternjata ia salah, maka gadji jang telah dibajar t i d a k akan dipungut kembali (sub b). Kami tidak dapat menjetudjui ketentuan tersebut. Pembajaran sebagian sadja dari gadji ber arti mendahului keputusan dari jang berhak menjelesaikan pemeriksaan tentang salah tidaknja dari jang diberi „schorsing” (mendahului keputusan dari panity.a pemeriksaan jang diadakan oleh tatausaha negara sendiri atau mendahului keputusan hakim). Bukankah, pendjabat jang diberi pembajaran sebagian sadja dari gadjinja dapat djatuh dalam ke sukaran ekonomis jang sangat besar ? Hal itu sudah tentu tidak adil terhadap suatu pendjabat jang (kemudian ternjata) tidak bersalah, wa laupun pendjabat itu diberi rehabilitasi menurut pasal 7 sub a setelah tidak-salahnja dibuktikan. Mungkin rehabilitasi itu hanja mendjadi sua tu obat untuk suatu luka jang tidak dapat sembuh lagi ! Penting diketahui isi pasal 6 dan pasal 8. „Schorsing” bukan hu kuman djabatan. Tetapi pemberhentian dari djabatan adalah suatu hu kuman djabatan (lihatlah peraturan Pemerintah mengenai hukuman „ djabatan, pasal 3 ajat 1 sub b) (Pada hakekatnja tidak perlu lagi me ngingatkan para pembatja akan adanja djuga pemberhentian dari 'dja batan jang bukan hukuman djabatan, jaitu pemberhentian dari djabatan karena pemindahan ke suatu djabatan lain, pemberhentian karena diberi pensiun, pemberhentian karena meninggal, pemberhentian karena pengbatan adalah lingkungan pekerdjaan tetap). Bukankah, dari redaksi ini orang dapat menarik kesimpulan bahwa pegawai sementara tidak dapat memangku suatu djabatan ? Tiap orang jang melakukan pekerdjaan dalam lingkungan negeri bagi negeri memangku suatu djabatan (adalah pendjabat). Apakah istilah „pekerdjaan" disini memuat suatu pengertian istimewa ? 1 3 8
hematan (bezuiniging) dan/atau „overcompleet” dan pemberhentian atas permintaan sendiri). Peraturan Pemerintah 1952 N r 11 (LJN. 1952 N r 16) disebut „Peraturan Pemerintah tentang hukuman djabatan”. Pasal 2 menjebut hal-hal mana mengakibatkan seseorang pendjabat dapat diberi hukuman djabatan. Pasal 3 ajat 1 menjebut hukuman djabatan mana jang dapat didjatuhkan kepada seseorang pendjabat 44. Pasal 4 menerangkan : „Se belum hukuman didjatuhkan, maka pegawai jang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dengan tertulis dalam waktu 14 hari sesudah menerima pemberitahuan tentang hukuman jang akan didja tuhkan itu”. Pasal 5 ajat 1 menerangkan bahwa „hukuman jang didja tuhkan diberitahukan dengan tertulis kepada pegawai jang bersangkutan dengan menjebutkan alasan-alasannja”. A jat 2 pasal itu menerangkan bahwa „terhadap tiap-tiap hukuman jang didjatuhkan, pegawai jang bersangkutan dapat menjatakan perlawanan dengan tertulis dalam waktu 14 hari seterimanja pemberitahuan tersebut diatas kepada pembesar .......................... j ang berhak membentuk satu panitya jang akan meme riksa perlawanan terhadap hukuman jang didjatuhkan”. A jat 3, ajat 4 dan pasal 6 ajat 1 bagian pertama kalimat mengatur pembentukan dan susunan panitya pemeriksaan itu. Oleh pendjabat jang telah diberitahu tentang hukuman djabatan jang didjatuhkan kepadanja, perlawanannja diberitahukan djuga kepada jang mendjatuhkan hukuman djabatan itu (ajat 5 ). Kesempatan untuk mengadakan perlawanan terhadap hukuman djabatan jang telah didjatuhkan tidak diberi bilamana didjatuhkan hu kuman djabatan jang berupa tegoran, bilamana pendjabat jang ber sangkutan telah dihukum oleh hakim karena „hal-hal sedemikian djuga” dan keputusan hakim itu „sudah mendapat kekuatan pasti” ( = „kracht van gewijsde” ?) dan bilamana pendjabat jang bersangkutan melarikan diri (ajat 6 ). Redaksi ajat 7 memuat kesalahan. Menurut pendapat kami maka redaksi seharusnja b erbu n ji: „Terketjuali dalam hal pendjabat jang diberi hukuman djabatan mengadakan suatu perlawanan terhadap hukuman djabatan itu dan penjelesaian perlawanan tersebut belum diachir, maka keputusan dari jang berhak mendjatuhkan hukuman dja batan harus ditaati”. Jang menimbulkan kekatjauan ialah perkataan „sampai dengan a j a t ( 6 ) ” ( s p a t i e e r i n g dari kam i). 44
Hukuman jang disebut pada huruf g, jaitu „dilepas dari pekerdjaannja”, adalah sama dengan hukuman jang disebut pada huruf f, jaitu „dilepas dari djabatan Negeri”. Bukankah, „djabatan” itu suatu lingkungan- p e k e r d j a a n tetap ? Kalau dengan „dilepas dari pekerdjaannja” dimaksud suatu „schorsing”, maka ketentuan pada sub g itu salah. „Schorsing” bukan hukuman djabatan !
139
1
Panitya jang bertugas memeriksa (pasal 5 ajat 2 ) berhak mene tapkan sendiri tempat dan tjara pemeriksaan (pasal 6 ajat 1 bagian terachir kalimat). Dalam menetapkan tjara pemeriksaan itu, panitya harus mengindahkan apa jang ditjantumkan dalam pasal 7 dan pasal 8 ajat 1 . Pemeriksaan tidak terbuka untuk umum (pasal 6 ajat 2 ). Ketentuan ini tidak bersifat demokrasi. Ataukah ketentuan ini dibuat dengan diingat akan dapat dibotjorkan rahasia negara ? Kalau tidak, ma ka kami mengandjurkan redaksi ketentuan ini disamakan dengan redaksi pasal 104 ajat U.U.D.S. 45. Keputusan panitya jang bertugas memeriksa dapat berupa : mem batalkan, menetapkan, mengurangi, menambah atau mengganti hukuman jang didjatuhkan itu (pasal 8 ajat 2 ). Dalam waktu 14 hari sesudah keputusan panitya jang bertugas memeriksa dibuat, maka oleh jang dihukum atau oleh jang menghukum -±6 dapat diadjukan suatu permin taan kepada Ketua Pengadilan Tinggi jang mempunjai wilajah kekuasa an di mana pegawai jang dihukum bertempat tinggal, supaja diadakan suatu pemeriksaan ulangan. Ketua Pengadilan Tinggi dengan segera membentuk suatu panitya jang terdiri atas seorang hakim Pengadilan Tinggi jang ditundjuk oleh Ketua Pengadilan Tinggi (hakim itu mendjadi anggauta merangkap ketua), seorang jang ditundjuk oleh „Pa nitya tersebut dalam pasal 3 ( ? ? ) ” (tanda pertanjaan dari kami) dengan persetudjuan dari jang dihukum dan seorang jang ditundjuk oleh K.U .P. (pasal 9 ajat 1 ). Panitya tersebut „memilih salah seorang ¿ain sebagai penulis atau mengangkat seorang penulis dari salah seorang Pegawai Pengadilan Tinggi dengan persetudjuan Ketua Pengadilan Tinggi” (ajat 2 ). Kami bertanja: kwalifikasi apakah jang harus ter dapat pada „persoon” dari „salah seorang lain” atau dari „salah seorang Pegawai Pengadilan Tinggi” itu, agar ia dapat dipilih (diangkat) se bagai penulis panitya jang dibentuk oleh Ketua Pengadilan Tinggi tersebut ? Dan kekuasaan apakah jang dapat diberi kepada penulis itu ? Ketentuan ini memerlukan tambahan ! Baik jang menghukum 45
„Lain dari pada pengetjualian-pengetjualian jang ditetapkan oleh undangundang, sidang pengadilan terbuka untuk umum. Untuk ketertiban dan kesusilaan umum, hakim boleh menjimpang dari per aturan ini”. 46 Lihatlah redaksi pasal jang bersangkutan (pasal 9 ajat 1) „oleh pegawai jang dihukum atau p e n d j a ba t jang menghukum .................................. ” (s p a t i e e r i n g dari kami) ! Redaksi ini memanglah dan memperlihatkan bahwa pembuatnja mempunjai kurang pengetahuan tentang pengertian „pega wai dan pengertian „pendjabat” Pada umumnja dapat dikatakan bahwa pembuat peraturan mengenai kedudukan-hukum pendjabat (pegawai) tidak mempunjai pengertian terang tentang „djabatan”, „pendjabat” dan „pegawai”.
140
maupun jang dihukum harus taat pada keputusan jang dibuat oleh panitya jang dibentuk oleh Ketua Pengadilan Tinggi tersebut. Pasal 11 mengatakan bahwa peraturan Pemerintah tentang huku man djabatan tidak berlaku bagi Polisi Negara. Polisi Negara mempunjai hukuman disipliner sendiri jang ditentukan dalam peraturanperaturannja sendiri. Demikian djuga halnja mengenai hukuman disi pliner jang dapat didjatuhkan kepada anggauta Angkatan Perang. Selandjutnja kami beranggapan bukan kelebihan, bilamana disini dite gaskan bahwa dua peraturan Pemerintah jang baru kami bitjarakan di atas ini berlaku bagi s e m u a pendjabat (djabatan sipil), walaupun hanja disebut perkataan „pegawai” sadja. Alasan kami ialah djiwa (geest) dua peraturan tersebut dan hal ketentuan mengenai kedjahatan djabatan (ambtsmisdrijven) dan ketentuan mengenai pelanggaran djabatan (ambtsovertredingen) jang terdapat dalam K.U.H. Pidana (lihatlah di bawah), berlaku bagi semua pendjabat 47. Dua peraturan tersebut mengenai p e r t a n g g u n g d j a w a b a n d i s i p l i n e r (disciplinaire verantwoordelijkheid) dari pendjabat. Di samping pertanggungdjawaban disiplinernja, pendjabat mendukung dua matjam pertanggungdjawaban lain, jakni suatu p e r t a n g g u n g djawa'ban pidana (strafrechtelijke verantwoordelijkheid) dan suatu p e r t a n g g u n g d j a w a b a n antwoordelijkheid).
keuangan
(financiele ver
Pertanggungdjawaban pidana dari pendjabat bagian terbesarnja di atur dalam K.U.H . P idana: Buku II T itel X X V I II (pasal 413-437) mengenai kedjahatan djabatan dan Buku III Titel V III (pasal 552-559) mengenai langgaran undangan batan dan
pelanggaran djabatan. Sanksi pidana (strafsanctie) atas pe djabatan diatur djuga dalam beberapa peraturan perundangjang lain dari pada K.U.H. Pidana. Tentang kedjahatan dja pelanggaran djabatan batjalah „handboeken” mengenai hu
kum pidana dan buku M r F. R. B ö h t l i n g k „Het leerstuk der vertegenwoordiging en zijn toepassing op ambtsdragers in Nederland en in Indonesie”, disertasi Leiden 1954, hal. 131 dan 143-145. Pertanggungdjawaban keuangan dari pendjabat diselidiki oleh sua tu bagian istimewa dari hukum tatausaha negara, jaitu bagian jang ter kenal dengan nama h u k u m tatausaha negara perben daharaan (comptabel administratiefrecht). Menurut sebuah Nota 47
Prof. Mr J.M .J. S c h e p p e r „Het begrip „„Ambtenaar”” in het strafrecht” dalam „Tijdschrift van Strafrecht”, X L IV , hal. 73 d.j.b.
141
jang disusun oleh Dewan Pengawas Keuangan di Bogor 48 maka jang dimaksud dengan „Perbendaharaan” itu „satu himpunan peraturan-pera turan jang mengendalikan baik azas-azas maupun pelaksanaannja- hal pengurusan, pertanggungdjawaban dan keuangan Negeri”. Agar pelaksanaan kepentingan djabatan pemerintah tidak dirugi kan oleh pelaksanaan kepentingan (sendiri) pendjabat dalam lapangan partekelir maka oleh pemerintah dibuat peraturan Pemerintah 1952 N r 12 (L .N . 1952 N r 17) mengenai „penghasilan dan usaha Pegawai N e geri dalam lapangan partekelir”.
48
142
Nota Dewan Pengawas Keuangan, Djakarta 1951, hal. 13. Ringkasan tentang hukum tatausaha negara perbendaharaan dapat dibatja dalam buku Prof. Mr P h . K l e i n t j e s „Staatsinstellingen van Nederlandsch Indie”, 1933, II, hal. 307. Suatu „handboek” dalam bahasa Indonesia : A.P. v a n G o g h (diterdjemahkan oleh Rd. S. S o e *n i n t a r d j a) „Perben daharaan Negara Indonesia”, 1953. Menurut pendapat kami maka ilmu hukum tatausaha negara perbendaharaan itu tidak hanja mempeladjari pertanggungdjawaban keuangan para b e n d a h a r a w a n (comptabelen) sadja, tetapi mempeladja.ri pertanggungdjawaban keuangan pendjabat pada umumnja. Misalnja, pertanggungdjawaban keuangan seorang pendjabat jang merugikan negara karena ia berbuat sesuatu jang tidak berdasarkan peraturan-peraturan hukum jang telah ditentukan bagi djabatannja. Sampai manakah pendjabat tersebut bertanggungdjawab „persoonlijk” atas kerugian jang diderita oleh negara ? Sebagai azas umum dapat kita terima : pada seorang pendjabat dapat diletakkan suatu pertanggung djawaban keuangan, bilamana dapat dibuktikan bahwa ia mempunjai k e s a 1 a h a n s u b j e k t i f (subjectieve schuld). Bilamana kesalahan subjek tif dari pendjabat tidak dapat dibuktikan — djadi disini ada suatu k e t i d a k - l a j a k a n o b j e k t i f (objectieve onrechtmatigheid) — maka jang bertanggungdjawab keuangan ialah djabatan (negara) (K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 123-124).
B A B
IV
K E PU N JA A N PUBLIK (NEGARA) (PUBLIEK D O M E I N , S T A A T S D O M E I N ) i. Badan-badan pemerintahan —- seperti semua subjek hukum jang lain — dapat mempunjai kekajaan (verm ögen), misalnja, mempunjai tanah 2, gedung (gedung Mahkamah Agung, gedung Kementerian D a lam N egeri), mobil (mobil dinas), kapal (kapal A iri), djambatan, instalasi pelabuhan, dsb. Agar dapat mendjalankan tugas „bewindvoeren” sebaik-baiknja, maka badan-badan pemerintahan sering memerlukan kepunjaan sendiri. Sering lebih efisien (bermanfaat) kalau pemerintah mempunjai sendiri sebuah gedung (misalnja, gedung stasiun) dari pada menjewa dari seorang partekelir. Tentang sifat-hukum (rechtskarakter) dari kepunjaan publik (publiek domein) telah ditimbulkan perselisihan faham. Menurut suatu pendapat jang sedjak dahulu (sedjak bagian per tama abad ke-19) diterima umum di negeri Perantjis dan di beberapa negeri lain 3, maka mengenai kedudukan-hukum dari kepunjaan publik itu harus diadakan pembagian dalam : k e p u n j a a n privat 1
Pembatjaan : M r F.G. S c h e l t e m a „De zaken der openbare lichamen” dalam „Nederl. Bestuursrecht”, 1934, hal. 115-134, dan karangan dalam W .P.N .R. N r 2533/4 (mengenai „zaken buiten de handel”) ; Mr C.G. v o n R e e k e n „Uitoefening van private rechten op zaken met eene publieke bestemming” dalam madjalah „Themis” th. 1893, hal. 1 dan jang berikutnja ; M r J. v a n G e l e i n V i t r i n g a „Onteigening van publiek domein” dalam madja lah „Rechtsgeleerd Magazijn” th. 1903, hal. 1 dan jang berikutnja dan hal. 171 dan jang berikutnja, „Publiekrechtelijk karakter van een openbare weg” , dalam „Rechtsgeleerd Magazijn” th. 1907, hal. 1 dan jang berikutnja; Mr J.B . S e n s „Eigendom van zaken voor den publieken dienst bestemd”, dis. Nijmegen 1934; A s s e r - S c h o l t e n serie djilid „Zakenrecht”, 1947, hal. 26; Prof. Mr W .G . V e g t i n g „Publiek domein en zaken buiten de handel”, 1946 (telah mendjadi „standaardwerk”) ; ringkasan dalam K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 161-211, ringkasan oleh Prof. M r A.M. D o n n e r „De zaken van het openbare bestuur” dalam „Nederl. bestuurs recht1’, bagian „Alg. deel”, 1953, hal. 140-165, ringkasan dalam buku Mr lr M.M . v a n P r a a g , hal. 266-312. Disini kami hanja (dengan sangat singkat) membitjarakan sifat-hukum (rechtskarakter) dari kepunjaan publik (publiek domein) dan sedikit tentang pentjabutan (onteigening). Kami tidak menjadjikan uraian-uraian ten tang „beheer”, „onderhoudsplicht”, „gebruik en genot”, dsb. dari kepunjaan publik itu. Sebagian dari hal-hal itu diselidiki oleh hukum tatausaha negara perbendaharaan. 2 Para pembatja diingatkan akan „domeinbeginsel” jang tertjantum dalam pasal 1 „Agrarisch Besluit”, L.N.H.B. 1870 N r 118. Untuk kami „domeinbeginsel” itu mendjadi suatu fiksi (L o g e m a n n ) . Lihatlah di bawah. 3 • Lihatlah Prof. V e g t i n g „Publiek domein en zaken buiten de handel , 1946, jang tentang hal ini memberi suatu penjelidikan historis.
143
(privaat dom ein) dan k e p u n j a a n p u b l i k (publiek dom ein). Jan g pertama membuat teori sematjam ini ialah seorang guru besar bangsa Perantjis jang bernama P r o u d h o n ■*. Jan g termasuk kepunjaan privat (menurut P r o u d h o n ) ialah benda-benda seperti tanah (sawah, kebon kopi, kebon karet), rumah dinas bagi pegawai, gedung perusahaan (garam, perkebunan pemerin ta h ). Hukum jang mengatur kepunjaan privat ini sama sekali tidak berbeda dari hukum jang mengatur kepunjaan partekelir (privaat eigen dom, particulière eigendom) (jan g tertjantum dalam K .U .H . Perdata pasal 570 dan jang berikutnja) ». Jan g termasuk kepunjaan publik ialah segala benda jang disediakan (oleh pem erintah) untuk dipakai oleh (pergaulan) umum, seperti djalan umum, djambatan, pelabuhan, dsb. M enurut beberapa pengarang maka jan g termasuk kepunjaan publik ialah segala benda jang dengan lang sung dipakai (oleh pem erintah) untuk menjelenggarakan kepentingan umum, seperti gedung-gedung kementerian, gedung-gedung pengadilan, gedung-gedung sekolah, dsb. Tetapi kedudukan-hukum dari kepunjaan publik itu sama sekali tidak di bawah hukum jang mengatur kepunjaan partekelir jang tertjantum dalam K .U .H . Perdata. Kepunjaan publik itu diatur oleh peraturan-peraturan hukum sendiri, benda-benda jang termasuk kepunjaan publik itu mempunjai suatu kedudukan-hukum sen diri. T entang i s i kedudukan-hukum dari benda-benda jang termasuk kepunjaan publik itu, dikemukakan beberapa pendapat jang tidak sama. K ata P r o u d h o n : oleh karena peraturan-peraturan mengenai kepu njaan partekelir (pasal 570 dan jang berikutnja K .U .H . Perdata) tidak berlaku bagi benda-benda jang termasuk kepunjaan publik, maka p e m erintah bukan „eigenaar” (jan g mempunjai, pem ilik) benda-benda jan g termasuk kepunjaan publik itu. Negara hanja m e n g u a s a i (beheren) dan m e l a k u k a n p e n g a w a s a n (toezichthouden) atas benda-benda jan g termasuk kepunjaan publik itu 6. 4 5
6
J.B .V . P r o u d h o n „Traité du domaine public ou de la distinction des biens considérés principalement par rapport au domaine public”, 1843-1845. Menurut D u g u i t maka kepuniaan orivatpun tidak diatur oleh hukum perdata. Lihatlah redaksi pasal 38 ajat 3 U.U .D .S. : „Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung didalamnja d i k u a s a i oleh Negara dan diperguna kan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat” ( s p a t i ë e r i n g dari kam i). K ata Prof. M r D r R. S u p o m o („Undang-undang Dasar Sementara Repu blik Indonesia”, 1950, hal. 43 ) : „didalam artikata „„dikuasai”” termasuk pengertian mengatur dan/atau menjelenggarakan terutama untuk memperbaiki dan mempertimbangkan produksi, dengan mengutamakan bangunan koperasi” . Hal ini memerlukan suatu penjelidikan lebih dalam ! *
144
M enurut Prof. V e g t i n g 7 maka rupanja P r o u d h o n jakin bahwa sistim jang dikemukakannja seratus prosèn sesuai dengan sistim jang ada didalam „Code Civil” Perantjis serta kedudukan-hukum dari kepunjaan publik itu, seperti jan g dilukiskannja, djuga sesuai dengan kedudukan-hukum dari „kepunjaan publik” dalam hukum Rom awi maupun dalam hukum Perantjis jang berlaku sebelum kodifikasi dari tahun 1804. Tetapi rupanja pula, P r o u d h o n tidak in sjaf bahwa ia dalam membuat pendapatnja telah m enjim pang dari pendapat-pendapat tentang hukum, jang oleh pengarang-pengarang terkenal dikemukakan dalam sedjarah hukum, dan telah menjimpang dari sistim jan g sungguhsungguh ada didalam „Code C ivil” Perantjis tersebut. Pada permulaan abad ini (abad ke- 20 ) diadakan lagi penjelidikanpenjelidikan tentang sifat hukum dari kepunjaan publik itu. Penjelidikan-penjelidikan baru itu berhasil membuktikan kelemahan dasar-dasar teori P r o u d h o n s. Tetapi anggapan P r o u d h o n , bahwa bagi kepunjaan publik itu berlaku suatu „rechtsregiem ” (tatahukum ) sendiri serta istimewa, oleh jurisprudensi dan ilmu hukum di Perantjis dan di beberapa negara lain telah diterima begitu kuat, sehingga penjelidikan jang baru tersebut tidak berhasil mempengaruhinja. H anja dasar dan pendapat tentang isi kedudukan-hukum dari kepunjaan publik jang istimewa itu, mendapat perubahan. Menurut seorang pengarang jang namanja terkenal, jaitu H. B e r t h e 1 e m y 9, maka hak peme rintah atas benda-benda jang termasuk kepunjaan publik bersifat „droit de garde et de surintendance” (seperti apa jang dikatakan P r o u d h o n ) 10; menurut M . H a r i o u n dan A. L a u b a d è r e 12, maka kepunjaan publik itu suatu „ p r o p r i é t é adm inistratif” 13; menurut M a r c e l W a l i n e 14, maka negara itu „eigenaar” dari benda-benda jang termasuk kepunjaan publik, tetapi dalam m endjalankan hak-hak jan g oleh K .U .H . Perdata diberi kepada suatu „eigenaar”, kekuasaan negara itu terbatas sadja 15. Jurisprudensi di Perantjis pada waktu se karang tetap beranggapan bahwa hak negara atas benda-benda jang ter7 8 9 10
11 12 13 14 15
Lihatlah noot 3. ..... u D Sangat terkenal penjelidikan H. B a r c k h a u s e n ,,Etude sur la théorie générale du domaine public” dalam madjalah „Revue du droit public”, th. 1902, hal. 401 dan th. 1903, liai. 31. „D roit administratif” (tjetakan ke-11). Diam bil dari K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 163-164. „Précis de droit administratif et de droit public” (tjetakan ke-12). „Karangan dalam „Revue du droit public et de la science politique”, th. 1950. K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 164. „Traité élémentaire de droit administratif” (tjetakan ke-6 ). Sama dengan noot 13.
145
masuk kepunjaan publik itu, bukan hak „eigendom” menurut K.U.H. Perdata i<>. Tetapi hal hukum privat tidak berlaku bagi kepunjaan pu blik, t i d a k berarti bahwa pengaruh hukum privat itu tidak terasa dalam mendjalankan hak-hak mengenai kepunjaan publik tersebut. Misalnja, dalam pertahanan dan pembelaan haknja atas benda-benda jang termasuk kepunjaan publik, negara — walaupun bukan „eigenaarnja dapat menggunakan aksi-aksi hukum (rechtsacties) jang terdapat dalam hukum atjara perdata (burgerlijk procesrecht) (seperti semua subjek hukum jang lain) 1?. D i Negeri Belanda anggapan P r o u d h o n dianut dan dibela oleh T h o r b e c k e dan murid-muridnja, a.l. W .C.A. O 1 i v i e r i 8, J. J. d e l a B a s s e c o u r C a a n i o . Anggapan T h o r b e c k e (bukankah, T h o r b e c k e seorang jang pengaruhnja sangat besar dalam ilmu hukum publik di Negeri Belanda ?) diterima umum hingga kira-kira tahun 1890. D i Negeri Belanda, mereka jang beranggapan bahwa negara tidak mendjadi „eigenaar” benda-benda jang termasuk kepunjaan publik, mendasarkan teorinja atas beberapa pasal tertentu dalam K.U.H . Perdata. Jakni pasalpasal 537 ajat 1 („Benda-benda jang tidak dalam perniagaan tidak dapat mendjadi pokok besit” ), 1164 sub 1° („Jang dapat dibebani dengan hypotik hanjalah benda-benda tidak bergerak jang dalam perniagaan ..................... ”), 1332 („H anja benda-benda didalam perniagaan dapat mendjadi pokok suatu perdjandjian” ), 1953 („Berdasarkan lewat waktu orang tidak dapat memperoleh hak kepunjaan atas benda-benda jang diluar perniagaan” ). Benda-benda jang termasuk kepunjaan publik di anggap „ b e n d a d i l u a r p e r n i a g a a n ” (zaken buiten de handel). Oleh karena — berdasarkan apa jang ditjantumkan dalam ketentuan-ketentuan tersebut — benda-benda jang diluar perniagaan tidak dapat mendjadi pokok besit, maka dengan sendirinja benda-benda tersebut tidak dapat mendjadi pokok hak „eigendom”. Djadi, negara tidak dapat mendjadi „eigenaar” benda-benda jang termasuk kepunjaan publik. 16
Sama dengan noot 13. Akibat dari pendapat bahwa negara bukan „eigenaar” menurut K.U.H. Perdata, adalah anggapan bahwa pentjabutan suatu benda jang termasuk kepunjaan publik (misalnja, dalam hal pemerintah pusat mentjabut kepunjaan suatu kabupaten) tidak mungkin. Pemindahan tangan (misalnja, dari tangan suatu kabupaten kedalam tangan pemerintah pusat) bersifat suatu pengubahan tudjuan publik (publieke bestemming) (m u t a tiondomaniale). 17 K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal. 164-165. 18 „Proeve over de beperkingen van den eigendom door het politie-regt” 1847. 19 Lihatlah penjelidikan Prof. V e g u n g jang kami sebut dalam noot 3.
146
Anggapan ini mendapat tentangan besar R e e k e n 20. Oleh pengarang ini dikemukakan :
dari
Mr
von
1.
benda-benda jang ditudjukan kepada penjelenggaraan kepentingan umum, bukan benda diluar perniagaan ( = bukan benda jang di keluarkan dari pergaulan biasa).
2.
negara adalah „eigenaar” benda-benda jang termasuk kepunjaan publik. Hukum privat menurut K.U.H. Perdata berlaku djuga bagi benda-benda tersebut, asal sadja tidak bertentangan dengan tudjuan publiknja. Bilamana benda-benda itu ditudjukan kepada penggunaan oleh umum (voor het publiek gebruik bestemd), maka benda-benda itu untuk sebagian diluar perniagaan.
Anggapan v o n R e e k e n tersebut pada umumnja diterima baik oleh pengarang modern dan jurisprudensi. Di Negeri Belanda pada waktu sekarang, badan-badan pemerintahan dianggap „eigenaar” bendabenda jang termasuk kepunjaan publik, dan hukum privat dianggap berlaku djuga bagi benda-benda itu dalam hal benda-benda tersebut mendjadi pokok suatu h a k ' k e b e n d a a n (zakelijk recht) seorang partekelir. Tetapi anggapan v o n R e e k e n bahwa benda-benda jang ditudjukan kepada penggunaan oleh umum — berhubung dengan tu djuan itu — ditarik kembali dari kekuasaan hukum privat dan harus dianggap sebagai benda-benda jang untuk sebagian diluar perniagaan, tidak diterima umum 2i. Anggapan modern ini sesuai dengan apa jang ditjantumkan dalam pasal-pasal 520, 521 dan 523 K.U.H. Perdata jang menundjuk bendabenda mana dapat mendjadi „eigendom” dari negara. Anggapan modern ini sesuai djuga dengan „domeinbeginsel” jang tertjantum dalam pasal 1 „Agrarisch Besluit”, L.N.H.B. 1870 N r 118 22. 20
,Uitoefening van private recliten op zaken met eene publieke bestemming” dalam madjalah „Themis”, tahun 1893. Lihatlah djuga Prof. V e g t i n g
21
K r a n e ^ n b u t g - V e g t i n g , hal. 168. Lihatlah keputusan Hoge Raad Belanda tertanggal 15 Pebruari 1918, „Nederl. Jurisprudentie” 1918-385 atau „Weekblad van het Recht” (Belanda) Nr 10242. .Domeinbeginsel” tersebut diterima oleh praktek agraria di Indonesia. Bagi kami — ditindjau dari sudut lain — „domeinbeginsel” itu suatu fiksi.
22
P r c ^ v T n V o 11 ie n h o v e n „De Indonesier en zijn grond” dan „Adatrecht” I hal. 764 ; „Advies van de agrarische commissie ingesteld bij het gouvernementsbesluit van 16 Mei 1928 Nr 17”, Weltevreden 1930. Oleh panitya tersebut diusulkan supaja pemerintah meninggalkan „domeinbeginsel” itu dan menggantikannja dengan pengakuan hak pertuanan Indonesia (Indonesisch beschikkingsrecht, hak patuanan Indonesia, hak ulajat Indonesia). „Advies” itu mendapat bantahan dari suatu panitya jang didirikan
147
I Achirnja, kami menjebut pendapat Prof. V e g t i n g jang dapat j dianggap sebagai anggapan jang termodern dalam ilmu hukum tatausaha j negara tentang kedudukan-hukum dari kepunjaan publik. Hasil suatu ' penjelidikan historis — penjelidikan ini diadakan oleh Prof. V e g t i n g sendiri membuktikan bahwa benda-benda jang termasuk kepunjaan publik termasuk golongan benda-benda jang diluar perniagaan. T e tapi penjelidikan historis itu membuktikan pula, bahwa ketentuanketentuan K.U.H. Perdata jang bersangkutan sama sekali tidak mendjadi halangan untuk menerima suatu anggapan jang hendak melihat negara sebagai „eigenaar” benda-benda jang termasuk kepunjaan publik. Tudjuan pengertian „benda-benda diluar perniagaan” hanjalah membatal kan tiap perdjandjian djual-beli jang diadakan antara dua fihak jang berkehendak mengasingkan suatu benda jang telah mendjadi kepunjaan (m ilik) negara (fihak ketiga). Benda jang telah mendjadi kepunjaan negara ( = benda jang diluar perniagaan) tidak boleh mendjadi pokok suatu perdjandjian djual-beli antara dua fihak lain 23. Kesimpulan Prof. V e g t i n g ialah : „De overheidslichamen ..................... zijn eigenaren van het publiek domein en hebben ..................... aile bevoegdheden met betrekking tot de daartoe behorende zaken, welke uit de eigendom m het algemeen voortvloeien. Zij mögen op de bestemming terugkomen, oleJ? Vereeniging Indie-Nederland dan jang diberi tugas mempeladjari ’’. es tersebut. Mengenai peladjaran dari panitya jang didirikan oleh ereeniging Indie-Nederland itu lihatlah „Koloniaal Tijdschrift” tahun 1932, rt • („Kantteekeningen”) dan tahun 1933, hal. 27-38; bantahan j * “”" K i e l s t r a (dalam „Koloniaal Tijdschrift” tahun 1932, hal. 5-263) dan bantahan dari Mr G .J. N o l s t T r e n i t e („Vierslag Indisch enoots ap > tahun 1930, hal. 8 4). Anggapan N o l s t T r e n i t e ditentang dengan keras oleh Prof. L o g e m a n n dalam „Verslag Indisch Genootj-.p P ’ tahun 1930, hal. 95. Lihatlah djuga ,,Indisch Tijdschrift van het Recht ’ I-1*»! j 25’ ( L o g e m a n n dan t e r H a a r „Het beschikkingslvi^ Ü, , 5 Indonesische rechtsgemeenschappen”) , djilid 128, hal. 107 dan ‘ Achirnja, t e r H a a r (pendjelasan „Advies” — t e r H a a r menajadt- anggauta „commissie 1928”) dalam „De Gids”, April 1932, «Ptöi u t> ome,n“eginseI ’ dibitjarakan lagi dalam suatu polemik pada waktu I , n i c , u eperangan, P Unia IL -h a lla h disertasi Prof. E.H. s’ J a c o b sebacai 16" r (Utrecht 1945), jang menundjukkan dirinja
£& &
£ " & & £ $ T£'rKoh'n dan l!k
nean Mr H w/ t c elnnctie , 194g, sebagai anti. Achirnja, batjalah kara194 $ ' o n i u s „Het toekomstig grondenrecht van Indonesie”, d i h T r d ^ n S dengan kemudian hari : lihatlah S i n g g i h P r a p t o dibatia deni»™’ um tanah di Indonesia”, 1952 (Buku ini harus pendapat ¡ans? rirhlPen8 arang memasukkan kedalamnja banjak zonken ) ) . d.fikirkannja dengan masak-masak („onvoldoende be-
23
148
neertian 1 2<* ^an ^al. 138) tidak mau menerima pemembawa’ kekatjauana sadja?r perniagaan”> oleh karena Pengertian itu hanja
de zaak met of zonder handhaving der bestemming, vervreemden of met een beperkter zakelijk recht bezwaren” 24. Ada beberapa tjara jang dapat digunakan oleh negara untuk mem peroleh kepunjaan. A.l. djalan dengan mengadakan pentjabutan (onteigening) 25. Hak pentjabutan negara ditjantumkan dalam U .U .D .S. pa sal 27. Maksud lembaga hukum (rechtsinstituut) pentjabutan adalah me maksa suatu „eigenaar” partekelir menjerahkan „eigendom”nja kepada negara, bilamana „eigenaar” partekelir itu tidak dengan sukarela mau melepaskan „eigendom”nja, sedangkan negara sangat-sangat memerlukan „eigendom” tersebut supaja dapat menjelenggarakan suatu kepentingan umum tertentu. Atau bilamana „eigenaar” partekelir itu hanja mau mele paskan „eigendom”nja kalau dibajar suatu djumlah uang jang luar biasa besar. Pentjabutan hanja boleh diadakan dengan membajar „schadevergoeding”. Oleh Prof. L o g e m a n n 26 dikemukakan bahwa „pentjabutan” itu suatu pengertian f o r m i l . Hampir tiap „eigenaar” dalam mendjalankan hak-hak atas „eigendom”nja, dibatasi oleh hak-hak orang lain. Hampir tiap „eigendom” dibebani dengan „duldplichten” (kewadjibankewadjiban untuk mengidjinkan orang l a i n memungut „genot” (k e nikmatan) dari „eigendom” jang bersangkutan). Kadang-kadang „duld plichten” itu (umpamanja „erfdienstbaarheid” (servitu ut)) sangat besar, sehingga „eigenaar” sendiri tidak lagi dapat memungut „genot” („verkapte onteigening” ). Tetapi antara „eigenaar” dan „eigendom”nja ma sih ada suatu perhubungan hukum ! Dalam hal demikian lebih adillah kalau pemerintah mengadakan suatu pentjabutan dengan membajar kegantian kerugian (schadevergoeding) (pengertian m a t e r i i l ) . Sebetulnja „pentjabutan” itu suatu tjara mengganggu „eigendom” . 24
25
26
K r a n e n b u r g - V e g t i n g , hal 172. Terdjemahan : Badan-badan peme rintah ..................... adalah pemilik kepunjaan publik dan ..................... mempunjai segala kekuasaan jang oleh hukum diberi kepada suatu pemilik berhu bung dengan hak kepunjaannja atas benda pada umumnja. Badan-badan pemerintah itu dapat mengubah tudjuan benda-benda jang termasuk ke punjaan publik itu, mehgasingkannja atau membebaninja dengan suatu hak kebendaan jang lebih terbatas, setjara jang mengubah atau tidak mengubah tudjuannja. Lihatlah tentang „onteigening” ini Prof. M r A.M. D o n n e r „Nederl.bestuursrecht” bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 142-147 ; K r a n e n b u r g V e g t i n g , hal. 196 d.j.b. ; M r A.G. L u b b e r s „D e berekening der schadeloosstelling in de onteigenings-procedure”, dis. Amsterdam 1918 ; Mr Dr J.H . J o n k e r s N i e b o e r „Onteigeningsrecht”, 1 9 3 1 ; M r W .J.I. v a n W i j m e n „Het onteigeningsproces” dis. Nijmegen 1943 ; M r S .J. H a m m i n g „D e schadeloosstelling bij onteigening”, dis. Groningen 1948. „Staatsrecht van Nederlands Indie”, 1947, hal. 153. Lihatlah djuga „Indisch Tijdschrift van het Recht”, djilid 139 hal. 515 dan djilid 140 hal. 439.
149
(aantasten van de eigendom) seorang partekelir, tetapi mendjadi pula suatu p e m b a t a s a n (beperking) atas mengganggu „eigendom se orang partekelir setjara sewenang-wenang . Pentjabutan itu untuk selandjutnja masih diatur dalam suatu pera turan jang dibuat dalam djaman kolonial, jaitu „ nteigeningsor onnantie”, L.N.H.B. 1920 N r 574. „Onteigeningsordonnantie ini mengatur „onteigening in
w
e
11 e 1 i j
k
e
z i n” (pentjabutan menurut undang-
undang), jaitu : a.
b.
pemindahan benda setjara terpaksa dari tangan titularis (jang mempunjai titel (hak kepunjaan) atas benda jang bersangkutan) kedalam tangan jang mentjabut benda itu, supaja titu aris aru ini dapat menguasai ( b e s c h i k k e n) benda tersebut (titularis baru memperoleh „zaaksgenot”) guna kepentingan umum. membinasakan suatu hak setjara terpaksa supaja jang mentja ut ben da jang bersangkutan memperoleh „zaaksgenot jang apat diguna _kannja
(b
e
s c h i k k e n)
bagi kepentingan umum.
Dalam hal „verbeurdverklaring” (perampasan) maka benda jang bersangkutan dipindahkan kedalam tangan suatu titularis aru, tetapi tidak dengan maksud supaja diperoleh suatu „zaaksgenot jang ditudjukan kepada kepentingan umum. „Verbeurdverklaring tidak diadakan dengan mengganti kerugian dan berupa suatu hukuman (lihatlah pasal
10 sub b K.U.H. Pidana).
I
/
150
B A. B
V
PERADILAN TATAUSAHA NEGARA (A D M IN ISTRA TIEVE RECHTSPRAAK) § 1: K o m p e t e n s i
(kekuasaan)
hakim
i.
tatausaha
n e g a r a 2. Sampai sekarang (lihatlah di atas) pembagian kompetensi antara hakim (sip il) biasa dan hakim tatausaha negara, masih diatur oleh pasalpasal 134 I.S. dan 2 R.O . (L .N .H .B . 1847 N r 23 jo L .N .H B . 1848 N r 5 7 ). Kedua pasal tersebut dikonkordansikan 3 dengan pasal-pasal 160 „Grondw et” Belanda dan 2 R.O . Belanda. Jurisprudensi Indonesia tentang pembagian kompetensi antara hakim biasa dan hakim tatausaha negara, mengikuti jurisprudensi Belanda ten tang pembagian ini di Negara Belanda. Tetapi ada suatu perbedaan (ket jil) , jaitu jurisprudensi Indonesia mengindahkan baik pasal 134 I.S. mau pun pasal 2 R .O ., sedangkan jurisprudensi Belanda hanja mengindahkan pasal 2 R .O . sadja dan tidak mengindahkan pasal 160 „Grondw et” 4.Beberapa pengarang jang namanja terkenal telah mengeluarkan suatu pendapat. Menurut T h o r b e c k e maka hanja perkara-perkara jang se mata-mata diselesaikan oleh hukum privat sadja (zuiver civielrechtelijke gevallen) tidak dapat diserahkan kepada hakim tatausaha negara. 1 2
3 4
Hal ini akan kami bitjarakan dalam garis besar sadja. Bukankah tentang hal ini telah ditulis banjak karangan jang amat baik ? Pembatjaan : Buku-buku terkenal tentang hukum tatanegara, seperti buku v a n d e r P o t , K r a n e n b u r g , L o g e m a n n („Staatsrecht van Ned. Indie, 1947, hal. 36 -38 , „Het staatsrecht van Indonesie (het formele systeem)”, 1954, hal. 136-142), v a n V o l l e n h o v e n („Staatsrecht Overzee”, hal. 304 dan 3 3 8 ), K l e i n t j e s („Staatsinstellingen”, II, hal. 286 dan 2 9 0 ); bukubuku terkenal tentang hukum tatausaha negara, seperti buku-buku K r a n e n b u r g - V e g t i n g , v a n P r a a g (Bab I X ) , P r i n s („Inleiding”, hal. 9 3-94); D o n n e r „Niederl. hestuursrecht bagian „Alg. deel” 1953 hal. 296384; praeadvies Prof. M r H. W i e s t r a di muka „Indische Juristen Congres”, tahun 1929; karangan-karangan dalam „Indisch Tijdschrift van het Recht”, djilid 149 (hal. 569) dan djilid 150 (hal. 6 1 6 ); karangan M r Dr G o u w G i o k S i o n g „Pengertian tentang negara hukum”, 1956; Mr S.J.R . d e M o n c h y „Administratie of rechter” dalam „Bestuurswetenschappen”, 1953, hal. 65-81; dan karangan M r W i r j o n o P r o d j o d i k o r o „Peradilan dalam tata-usaha pemerintahan” dalam madjalah „Hukum” tahun 1952 N r 1-5 dan jang berikutnja (lukisan jang dibuat M r W i r j o n o — menurut pendapat kami — agak „verward” dan tidak begitu „wetenschappelijk” („populair”) ) . Lifiatlah untuk pengertian ini buku kami „Pengantar dalam Hukum Indo nesia”, Bab III. P r i n s „Inleiding”, hal. 93.
151
1
Perkara-perkara sematjam ini harus diserahkan kepada hakim biasa. Jang mendjadi ukuran (criterium) bagi T h o r b e c k e ialah di mana p o k o k - s e n g k e t a (geschilpunt, f u n d a m e n t u m p e t e n d i ) ter letak. Bilamana fundamentum petendi terletak d i d a 1 a m lapangan hukum privat, maka sudah tentulah hanja hakim biasa jang berkuasa (ber kompetensi). Bilamana fundamentum petendi terletak dalam lapangan hukum publik, maka sudah tentulah hakim tatausaha negara jang berku asa. Tjontohnja: A menggugat B, tetangganja, dengan alasan bahwa B tersebut menempati sebagian dari tanahnja ( = A ) setjara j;in^ tidak sah (onwettige occupatie). B membela tindakannja dengan alasan .bahwa ia masih dalam batas tanah „eigendom”nja. Disini fundamentum petendi adalah batas tetap antara „eigendom” A dan „eigendom” B. Su dah tentulah fundamentum petendi ini semata-mata terletak dalam lapa ngan hukum privat. Djadi, jang berkuasa ialah hakim biasa. Tjontoh lain (jang diambil dari praktek) : A telah memperluas gedung rumahnja dengan mengadakan bangunan baru di halamannja di muka gedung lama, dan bangunan baru tersebut dipakai sebagai kantor perusahaannja. Sebe lum pembangunan baru itu dimulai, A telah mendapat idjin untuk mem bangun (bouwvergunning). Tetapi kemudian A mendapat perintah dari kotapradja untuk membongkar bangunan baru itu, oleh karena bangu nan baru itu berdiri di muka „rooilijn”. A membantah perintah itu de ngar* alasan, bahwa oleh kotapradja sendiri „bouwplan” jang b e rs a n g kutan disetudjui pada waktu sebelum „bouwvergunning” diberi kepadanja. Dan bangunan baru tersebut didirikan 100% menurut „bouwplan” jang telah disetudjui itu. Fundamentum petendi adalah salah tidaknja bouwvergunmng jang telah diberi kepada A, dan sudah tentulah haa ausa a negara jang berkuasa, oleh karena fundamentum petendi ini terletak dalam lapangan hukum publik. m “ 'i™ '1' ' P" j f ' Bu/ i s maka " k “» " jang harus dipakai dalam m n e n m k » berkuasa t.daknja hakiln tatausaha ^ dalam
p »r se1,s ,h , „
(pokok
^
*
voorwerp
in
geschil, 0 ib ] eC 'tu m I i i i s). Bilamana jang bersangkutan dirugikan dalam h a k privatn a (aeschaad i« . 6 ■ s recht), dan oleh karena itu meminta ke “ '' “ ‘ bur« “ l,' l‘ (biasanja menurut pasal 1365 R U H P t “ “ ' 100“ “ 11“ »* adalah suatu hak privat (jang tertindis^ djadl, objectum Ims harus diselesaikan oleh hakim biasa B u i
“ i.“ 8 bersan«kUt>n
minta perlindungan dalam hak privatn h T h ““ L ’ ° S - b" ? “ g.k ut“ recht), maka dengan sendi, (beSch“ 8 ■» » i » 1» ™ « t • . j j , T J perlindungan jang diberi oleh hakim itu hanja terdapat dalam hukum ^ . j r am nukum privat (objectieve burgerlijk recht) 152
sadja. Jang mendjalankan hukum privat ini, hakim biasa. Djadi, dengan menggunakan ukuran Prof. B u y s, maka perkara jang kami sebut di atas sebagai tjontoh kedua, harus diselesaikan oleh hakim biasa dan tidak diselesaikan oleh hakim tatausaha negara (seperti dalam hal kita meng gunakan ukuran T h o r b e c k e ) . A dirugikan oleh pemerintah kota da lam hak „eigendom’ nja, djadi, oleh karena objectum liris adalah suatu hak privat, maka jang menjelesaikan perkaranja ialah hakim biasa. Pendapat jang pada djaman sekarang diterima umum oleh ilmu pe ngetahuan hukum dan jurisprudensi, ialah pendapat B u y s (lihatlah L o g e m a n n , K r a n e n b u r g , „perkara Yap” dalam madjalah „Hukum” tahun 1953 N r 1-21 ). Tetapi bilamana fundamentum petendi terletak dalam lapangan hukum publik — fundamentum petendi adalah soal sah tidaknja suatu ~ perbuatan pemerintah, inisalnja, sah tidaknja suatu „bouwvergunning” — maka hakim tidak berhak membatalkan perbuatan jang telah diada kan pemerintah itu. Hakim hanja dapat menerangkan bahwa perbuatan pemerintahan tersebut tidak mengikat (nietverbindend), tidak berlaku bagi soal jang bersangkutan. Inilah apa jang dinamakan hak hakim untuk mengudji (r e c h t e r 1 i j k t o e t s i n g s r e c h t). Hakim tidak bo leh mempertimbangkan „doelmatigheid” dari suatu perbuatan pemerin tah (lihatlah di atas). Bagaimanakah sekarang keadaan di bawah kekuasaan U.U.D.S. ? Ketentuan-ketentuan jang bersangkutan ialah pasal-pasal 101 (ajat 1) dan 108. Pasal 101 ajat 1 mengandung azas utama (hoofdbeginsel), bahwa „perkara perdata, perkara pidana sipil dan perkara pidana militèr s e m a t a - m a t a (s p a * i ë e r i n g dari kami) masuk perkara jang diadili oleh pengadilan-pengadilan jang diadakan atau diakui dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang . Djadi, pengadilan perdata maupun pidana tidak boleh dilakukan oleh badan-badan jang diserahi kekuasaan lain dari pada kekuasan kehakiman itu (jakni tidak boleh diserahkan kepada kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif) ( M o n t e s q u i e u ) . Tetapi tidak semua penjelesaian „perselisihan” (geschilbeslechting) merupakan „perkara perdata” (pasal 101 ajat 1 dan pasal 108). Ada djuga penjelesaian „perselisihan” jang merupakan „perkara administratif”, oleh karena objectum litisnja bukan hak privat (jan g tertindis). Berdasarkan penafsiran argumentum à contrario — jaitu oleh karena tidak disebut dalam pasal 101 ajat 1 tersebut — dapat dikatakan bahwa pengadilan tatausaha negara tidak diserahkan kepada badan-badan jang biasanja diserahi kekuasaan kehakiman, melainkan tetap dilakukan sendiri oleh badan-badan jang biasanja diserahi kekua153
saan eksekutif, jaitu oleh badan-badan pemerintahan dalam arti kata sempit (tatausaha negara, administrasi). Inilah suatu azas hukum jang telah bertradisi 5. Tetapi atas azas jang telah bertradisi ini, diadakan perketjualian dalam pasal 108 U.U.D.S. jang mengatakan bahwa „pe mutusan tentang sengketa jang mengenai hukum tatausaha diserahkan kepada p e n g a d i l a n j a n g m e n g a d i l i p e r k a r a p e r d a t a (s p a t i e e r i n g dari kami) ataupun kepada alat-alat perlengkapan lain, tetapi djika demikian seboleh-bolehnja dengan djaminan jang se rupa tentang keadilan dan kebenaran” (Lihatlah djuga pasal 132 ajat 3 U .U .D .S.). Perketjualian jang harus ditjantumkan dalam suatu undangundang, tetapi bukan suatu „grondwettelijke eis” G. Berdasarkan perkataan „perkara perdata” — j ang menurut penda pat kami harus dibatja „perkara menurut hukum perdata” (zaken volgens burgerlijk recht) — dapat kami duga (veronderstellen), bahwa pembuat pasal 101 ajat 1 U .U.D.S. menerima sistim jang dibentangkan oleh B u y s. Tetapi bagi kami hal ini belum pasti. Apalagi berdasarkan pasal 142 U .U .D .S., dan oleh karena suatu perketjualian seperti jang disebut dalam pasal 108 U.U.D.S. belum ada, maka masih tetap berlaku pasal-pasal 134 I.S. dan 2 R.O. (menurut penafsiran B u y s). M r W i r j o n o P r o d j o d i k o r o membentangkan empat ke mungkinan mengenai pembagian kompetensi antara hakim biasa dan hakim tatausaha negara pada kemudian hari (madjalah „Hukum” tahun 1952 N r hal. 16-17): „Oleh karena pasal 108 U .U .D . membuka dua matjam kemungkinan, maka diberikan kesempatan kepada Pembentuk undang-undang untuk menempuh salah suatu dari empat djalan, jaitu ke -1 menentukan, bahwa segala perkara tatausaha pemerintahan setjara peraturan umum diserahkan kepada Pengadilan Perdata, ke -2 menen tukan bagi suatu matjam soal sengketa tertentu, bahwa pemutusannja diserahkan kepada Pengadilan Perdata, ke-3 menentukan, bahwa segala perkara tata-usaha pemerintahan setjara peraturan umum diserahkan kepada suatu badan Pemutus, bukan Pengadilan Perdata, jang dibentuk setjara istimewa, ke-4 menentukan bagi suatu matjam soal sengketa ter tentu, bahwa pemutusannja diserahkan kepada suatu badan Pemutus, bukan Pengadilan Perdata, jang dibentuk setjara istimewa”. Djalan pertama pernah ditjantumkan dalam suatu peraturan perundang-undanS an> jaitu dalam Undang-undang R .I. tahun 1948 N r 19 pasal 66 . i'
154
j' e m a * r e »Het recht in Indonesie (Hukum Indonesia)”, 1952, hal. 225. Kemungkinan untuk menjerahkan kepada pengadilan sipil umum sebagian dan peradilan tatausaha negara, telah terdapat dalam Undang-undang R.I. tahun 1948 N r 19 pasal-pasal 66 dan 67. Kita mengetahui bahwa undangundang tersebut tidak mendjadi berlaku.
T eta p i undang-undang ini tidak didjadikan berlaku (lihatlah sebabnja dalam karangan M r W i r j o n o , hal 1 7 ). D jalan kedua dan keempat telah terkenal dalam perundang-undangan Indonesia sedjak djaman kolonial. Sampai sekarang di Indonesia belum diadakan suatu hakim tatausaha negara tetap dan jan g berdiri tersendiri (on afh an k elijk). T entang ha kim tatausaha negara ja n g sekarang ada lihatlah buku P r i n s - K o s i m „Pengantar Ilm u Hukum Tata-usaha N egara”, 1953, hal. 140-154. § 2:
Perbuatan
pemerintah
jang
tidak
l a j a k r.
Sedjak achir abad ke -19 kita tidak lagi menerima teori kedaulatan negara (leer van de staatssouvereiniteit), jang hendak m elihat negara sebagai sesuatu jan g ada di atas hukum (H e g e 1, J e 11 i n e k ). Sekarang telah umum diterima azas jang mengatakan bahwa djuga negarapun di bawah hukum. Azas tersebut antara lain akibat dari suatu teori jang terkenal dengan nama teori kedaulatan hukum (leer van de rechtssouv erein iteit), jan g pada achir abad ke -19 dan permulaan abad ini telah di bentangkan oleh beberapa ahli hukum terkenal (di N egeri Belanda Prof. H . K r a b b e ) . O leh karena hukum ada di atas segala organisasi sosial, maka djuga negarapun dapat dituntut di muka pengadilan apabila telah m elanggar peraturan atau merugikan kepentingan salah satu orang jang ada dilingkungan kekuasaannja. Tetapi walaupun ada pengakuan hukum di atas negara, masih djuga pemerintah tidak dapat dituntut dengan begi tu sadja. H al ini oleh karena negara itu mendjadi suatu organisasi jang m em punjai kedudukan istimewa. Negara adalah organisasi jang memper tahankan dan m enjelenggarakan kekuasaan tertinggi dalam masjarakat. Tim bu l p erta n ja a n : sampai batas manakah pemerintah dapat dituntut ? Pada permulaan abad ini pemerintahan dilihat dari dua sudut: pe m erintah sebagai pemimpin negara (staat-overheid) dan pemerintah se bagai fiskus (staat-fiscus). Pemerintah sebagai pemimpin negara menga7
.
K r a n e n b u r g „Studien over Recht en Staat”, 1953, hal. 325-357 („D e ontwikkeling der rechtspraak betreffende de staatsaansprakelijkheid”) ; bukubuku terkenal tentang hukum tatanegara ( v a n d e r P o t , K r a n e n b u r g ) ; P r in s „Inleiding”, hal. 108 dan jang berikutnja; M r R .J. P o 1 a k „Aanspraak en aansprakelijkheid uit onrechtmatige daad”, dis. Amsterdam .1949; karangan M r G .J. S c h o l t e n „D,e onrechtmatige overheidsdaad” dalam W .P .N .R . 4071/4072 dan Prof. M e i j e r s „De rechtspraak van de H oge Raad omtrent de onrechtmatige overheidsdaad” dalam W .P.N .R. 4144/ 4145; W o l f s b e r g e n „Onrechtmatige daad”, 1947; D o n n e r „De rechtsbescherming tegen onrechtmatig hestuur” dalam „Nederl. bestuursrecht”, bagian „Alg. deel”, 1953 hal. 296-348; J. D r i o n „Administratie contra rechter tot de intrekking van het conflictenbesluit”, dis. Leiden 1950; karangan G o u w G i o k S i o n g „Pengertian tentang negara hukum” 1956.
155
dakan perbuatan pemerintahan (bewindsdaden), sedangkan pemerintah sebagai fiskus mengadakan perbuatan hukum privat sungguh-sungguh (zuivere privaatrechtelijke handelingen). Hanja pemerintah sebagai fis kus dapat dituntut S. Pada tahun 1919 oleh Mahkamah Agung Belanda — djuga dianut di Indonesia — diterima rumus tentang perbuatan jang bertentangan dengan azas-azas hukum (onrechtmatige daad) jang telah mendjadi ter sohor („Drukkersarrest” ) 9. Dengan rumus ini hakim diberi kesempatan jang sangat luas untuk menjatakan adanja suatu perbuatan jang bertenta ngan dengan azas-azas hukum. A rti rumus ini bagi tatausaha negara diperbesar oleh karena „Ostermann-arrest” pada tahun 1924. Menurut keputusan Hoge Raad Belanda ini, maka negara mengadakan djuga suatu perbuatan jang bertentangan dengan azas-azas hukum apabila melanggar suatu perbuatan hukum pu blik, walaupun dengan tindakan itu tidak menindis suatu hak privat. Apa jang dikatakan dalam „Ostermann-arrest” itu, diperkuat lagi dalam „arrest Milicien de Boer” pada tahun 1936 . Pemerintah dapat dituntut oleh karena „grove onevenredigheid in de afweging van de aan de behartiging der overheid toevertrouwde belangen (pertimbangan jang sangat buruk dalam penjelenggaraan kepentingan-kepentingan jang diserahkan kepada pimpinan pemerintah). Azas ini telah mendjadi pegangan teguh dalam beberapa keputusan Hoge Raad Belanda, a.l. dalam „arrest Voorste Stroom” pada tahun 194% „arrest Degens” pada tahun 1946, terachir „arrest Doetinchem woonruimte auaestie’’ pada tahun 1949. 1 1 Pemerintah dapat dituntut bilamana melanggar peraturan hukum t a k tertulis maupun tMak tertulis, baik peraturan menurut hukum privat maupun peraturan menurut hukum publik, atau mengadakan mudah f Cment C Pouvoir •Tetapi dalam praktek djalannja atjara tidak
8 9
156
K r a n e n b u r g , hal 327. Jang dimaksud dengan suatu perbuatan u * hukum ialah „membuat sesuatu atau° erte.ntan8 an den8 an azas-azas sesuatu) ja n g : (a ) melanggar hak orang lain ^n e b Ia ^ an wadjiban-hukum dari jang melaknk*« f t 9 ' ' bertentangan dengan kengan baik kesusilaan maupun ¿ a s W 1iu’ (c ) be« “ tangan depenghormatan orang lain atau barang dari SQrang ^j ae™as)arakatan mengenai
I S I Hal.
5
KA TA PEN G A N TA R .............................................................................. BAB
BAB
O BJEK H UKUM TATAUSAHA NEGARA ..... 7 § 1 : Lapangan tatausaha negara (administrasi) ... 7 § 2 : Hukum tatausaha negara, ilmu pemerintahan (bestuurskunde) dan public administration ... 29 § 3 : Hukum tatausaha negara sebagai himpunan peraturan-peraturan istimewa ............................. 37 § 4 : Hukum tatausaha negara dan hukum tatanegara 40 § 5 : Sumber-sumber hukum tatausaha negara ........ 45 § 6 : Susunan peladjaran ini ........................................... 4s
I:
II :
BEN TU K-BEN TU K PEM ERINTAHAN ..................... § 1 : Bermatjam-matjam perbuatan tatausaha negara § 2 : Peraturan dan ketetapan ...................................... § 3 : Sjarat-sjarat jang harus dipenuhi agar keteta pan adalah ketetapan sah (voorwaarden voor de rechtsgeldigheid der beschikking) ................. § 4:
§ 5:
50 50
58
62
K ekuasaan hukum (rechtskracht dari ketetapan sah .....................................................................................
98
Matjam ketetapan ....................................................
113
H UKUM KEPEGAW AIAN (AMBTENAREN-
BA B I I I :
REC H T) ............................. ..................................................
120
§ 1 : Sum ber-sum ber hukum kepegaw aian ....................
120
§ 2 : P en gertian „d jab a tan ” , „p e n d jab a t” , „p e g aw ai”
BA B I V :
dan „p erh ubu n gan dinas p u b lik ” ......................
122
§ 3 : K edudukan hukum d ari pegaw ai ......................
129
K EPU N JA A N
PU BLIK
(N EG ARA)
(PUBLIEK
DO M EIN, STAATSDOM EIN ) ...................................... BA B
V:
143
PERA DILA N TATAUSAHA NEGARA (ADM IN ISTRA TIEV E §
1:
RECHTSPRAAK) ..................................
151
K om peten si (kekuasaan ) hakim tatausaha ne g ara ....................................................................................
§ 2:
Perbuatan pemerintah jang tidak lajak ..........
155 I
DAFTAR NAMA A. Andersen, Dr P. 68 Apeldoorn, Prof. Mr L.J. van 48 Arwoko 3, 5 Asbeck. Prof. Mr F.M. baron van 122 Asser, Prof. Mr C. 52, 143 Auby, Dr J.M . 68 B. Barckhausen, H. 145 Bassecour Caan, Prof. Mr J.J. de la 7, 146 Belinfante, Mr E. 63 Bergliuis, Mr W.P. 122 Berthelemy, H. 145 Beveridge, W.H. 18 Boeke, Prof. Dr J.H. 27 Böhtlingk, Mr F.R. 56, 69, 72, 73, 79, 122, 124, 141 Brunner, H. 11 Buys, Prof. Mr T .J. 152, 153, 154
Cluysenaar, Mr J.L.H. 54 Couwenberg, Mr Dr S.W. 29; 51 D. Diesch, Mr C.F. 115 Dijk, Prof. Dr R. van 148 Dimock, Gladys O. 37 Dimock, M.E. 37 Donner, Prof. Mr A.M. 8, 9, 10, 11, 12 19 20, 23, 26, 30, 33, 38, 39, 40,’ 45,’ 46, 47, 48, 50, 51, 52, 54, 56 57, 58, 59, 62, 63, 64, 66, 69, 71 72, 73, 78, 79, 80, 82, 8^, '92, 93, 98, 100, 101, 102, 103, 104, 108, 109, 110 H I, I 12- 113’ 11^’ 116, 118, 119, 122, 124, 126, 128, 143, 149, 151, 155 Drion, Prof. Mr J. 155 Duguit, L. 144 E. Eggens, Prof. Mr J. 63 Ferrero, G. 11 Fleiner, F. 41 Francois, Prof. M r J.P.A. 83 Fruin, Mr Th. A. 27 G. Gelein Vitringa, Mr J. van 143 Gladden, E.N. 37 Goes van Naters, M r M. van der 19
Gogh, A.P. van 142 Gouw Giok Siong, Mr Dr 151, 155 Grinten, Prof. Air J.H.P.M. van der 59, 122, 128 H. Haar Bzn, Prof. Mr B. ter 11, 148 Hamaker, Prof. Mr H.J. 37 Hamei, Mr J.A. van 63 Hamming, Mr S.J. 149 Hariou, M. 145 Hazard, John N. 16 Hegel, G.W.F. 155 Hofmann, Prof. Dr L.C. 53, 73, 77 Hofstra, H.J. 19 Huart, Prof. Mr F.J.A. 51, 52, 67 , 78 J-
Jacob, Prof. Mr E.H. s’ 14S Jellinek, G. 155 Jonkers Nieboer, Dr J.H . 149 Jouvenel, B. de 11 K. Kant, I. 13, 17, 18 Kat Angelino, Dr A.D.A. de 19, 28, 38, 47 Kelsen, H. 15, 24, 33, 41,' 44, 48 Kielstra, Prof. Mr J.C. 148 Kleintjes, Prof. Mr Ph. 119, 128, 142, 151 Koesnodiprodjo 121, 134 Korn, Prof. D r V.E. 148 Kosim Adisapoetra, R. 5, 155 Krabbe, Prof. Mr H. 52, 128, 155 _ Kranenburg, Prof. Mr R. 40, 41, 42, 44, 45, 46, 48, 51, 52, 53, 54, 58, 64, 66, 72, 73, 77, 87, 89, 91, 92, 93, 95, 96, 98, 100, 103, 104, 105, 108, 109, 115, 116, 117, 118, 122, 126, 127, 128, 131, 135, 142, 143, 145, 146, 147, 149, 151, 153, 155, 15 6 L. Laubadére, A. 19, 145 Lekkerkerker, Dr J.C.W . 119 Lemaire, Prof. Dr W.L.G. 19, 20, 27, 28, 38, 47, 154 Lespes, Prof Dr J. 46 Lockc T* 12 Logemann, Prof. Dr J.H.A. 7, 23, ? 8, 29 37 40, 43, 44, 45, 79, 93, 10.., 106 107, 122, 123, 124, 127, 128, 135 ’ 136, 143, 148, 149, 151, 153 Lubbe’rs, Mr A.G. 149
III
M. MacIver, Prof. R.M. 15 Maitland, F.W . 11 Marx, F.M. 16 Meijers, Prof. Mr E.M. 39, 53, 155 Merkl, Prof. D r A. 68, 98 Millet, John D. 37 Monchy, Mr S.J.R. de 151 Montesquieu, Ch. de 8, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 23, 24, 26, 56, 153
N. Nézard, H. 40 Nolst Trenité, Prof. Mr G .J. 115, 148 Noteboom, D r J.W . 51
O. Olivier, Mr W.C.A. 146 Oppenheim, Prof. Mr J. .40 Opstal, Prof. Mr S.N. van 53, 73, 77
Schepper, Prof. Mr J.M .J. 141 Schilthuis, Nona Mr A.P. 115, 116 , 117 Schölten, Mr G .J. 155 Schölten, Prof. Mr P. 37, 52, 143, 148 Sens, Mr J.B . 143 Simons, Prof. Mr D. 29 Singgih Praptodihardjo 148 Soekarno, D r Ir 123, 125 Soemintardja, Rd. S. 142 Soeroso, R.P. 121 Sonius, Mr H .W .J. 148 Soto, Prof. D r J. de 68 Stellings, D r 'J.R . 19, 26, 40, 42, 43, 56, 62, 63, 66, -67, 68, 72, 78, 93, 94, 95 , 97, 99, 100, 101, 102-103, 103, • 106, 107, 108 Struycken,- Prof. Mr A.A.H. 44 Supomo, Prof. Mr D r R. 28, 144 Sybenga, Mr S. 53, 115
P. T. Pfiffner, John M. 37 Tempel, D r B. van de 51 Pike, L.O. 11 Thorbecke, Prof. Mr J.R . 146, Pitlo, Prof. Mr A. 53, 73, 74, 75, 76, 77 152, 153 Poelje Prof. Mr G.A. van 7, 31, 32, 33 , 40, 46, 48, 55, 58, 94 U. Polak, M r R .J. 155 Urk, Mr H .J. van 122, 128 Pollard, A.F. 11 Pot Prof. Mr C.W . van der 13,23, 29, 40, 44, 50, 53, 54, V. 55, 56,62, 66, 67, 69, 70, 71, 77, Vegting, 78, 80,81,Prof. Mr W .G . 11 , 40, 82, 83, 84, 88, 89, 100, 109, 111, 46, 48, 51, 52, 53, 54, 42, 45, 115, 116, 117, 118, 122, 126, 128, 64, 66, 72, 73, 77, 87, 89, 91, 151, 155 95, 96, 98, 100, 103, 104, 105, Praag, D r L. van 54 . 109, 115, 116, 117, 118, 122, Praag, Mr Ir M.M. van 41, 42, 53, 127, 128, 131, 135, 136, 142, 54, 58, 122, 128, 143, 151 145, 146, 146, 147, 149, 151 Presthus, R. Vance 37 Veld, Mr J. in ’t 19, 37 Prins, Prof. Mr W .F. 5, 20, 40, 44, Ven, Prof. D r F.J.H .M . van der 53, 55, 60, 61, 62, 70, 71, 90, 91, Verdam, Mr P .J. 63, 64 92, 95, 97 104, 109, 110, 111, 112, Vollenhoven, Prof. Mr C. van 10, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119’ 26, 40, 41, 42, 43, 55,. 56, 147 128, 129, 151, ,155 Vos, Mr H. 93 Proudhon, J.B .V . 144, 145, 146 R. Rappard, Mr L.R.J. ridder van 51 Reeken, Mr C.G. von 143, 147 Roland, L. 40 , Romeijn, Mr D r H .J. 40, .44, 59 Romeijn, Mr J.M.C. 59 Rousseau, J .J . 17 S. Saleh, Ir Effendi 123, 125 Samkalden, Prof. Dr I. 92 Samson, penerbit 7 Scheltema, Prof. Mr F.G. 52, 53, 78 ,
151,
41, 58, 93, IOS, 126, 143, 19
16,
W. Waldo, D. 36, 37 Waline, M. 19, 145 W el, Mr D. van der 50, 63, 67, 68 W estra, Prof. M r H. 151 Weststrate, Prof. Mr C. 18 W hite, Leonard D . 37 , Wiarda, Prof. Mr G .J. 7, 29, 30 , 54, 92, 115 Wijmers, Mr W .J.I. van 149 Wijnbergen, Prof. M r S.F.L. barón van 29 , W irjono Prodjodikoro, M r 151, 15 Wolfsbergen, M r A. 155
Setelah penjerahan ke daulatan maka pengarang memilih kewarga-negaraan Indonesia. Dari bulan Sep tember 1951 sampai bulan Djuni 1952 ia mendjadi pembantu pada Direksi Urusan Ekonomi dari Ko misariat Agung R.I. di Ne geri Belanda. Pada tanggal 21 Djuni 1952 pengarang kembali di Indonesia dan pada bulan jang berikut ia diangkat sebagai dosen untuk mata-peladjaran-mata-peladjaran pengantar il mu hukum dan hukum administrasi pada sekolah pamongpradja (Kursus Di nas Bagian C Kementerian Dalam Negeri) di kota Malang. Sedjak tang gal 1 September 1954 pengaranq mendjadi Lektor pada Universitas Indonesia Tjabang Fakultas Hukum di Makasar. Selandjutnja mulai tang gal 1 Djanuari 1956 penga rang keluar dari kepegawai an Negari dan mend’adi pengatjara di Djakarta. T e tapi, di samping pekerdjaan pengatjara, maka penga rang tetap pengadjar (luar biasa) di Makasar. Nama pengarang telah terkenal dari beberapa ka rangan jang ditempatkan dalam madjalah „Indoné sie" (penerbit W . v. Hoeve) dan dalam „Madjalah Hukum dan Masjarakat” (I.S.H .L). Djuga terkenal bukunja „Pengantar dalam Hukum Indonesia , jang djuqa diterbitkan oleh Pe nerbitan dan Balai Buku In» donesia, N.V., di Djakarta.