Orang Kamoro: Perubahan Kehidupan dan Lingkungannya 1 Parsudi Suparlan (Universitas Indonesia) Abstract In this article, the author describes the history of changes among the Kamoro in Mimika. Some of the changes—due to changes in their physical, social, and cultural environment— were unexpected and surprising, so that they were not ready to cope with. Consequently, there were two prominent implications in their life: the increase of consumerism behavior, and the occurrence of more frequent conflicts among themselves. In the final part, the author examines the Kamoro relationship with outsiders, of how they categorize the latter, and with whom they used to generate conflicts. Recently, conflicts mainly occur on the problems of land dispute with outsiders, and in the competition to get the ‘onemillion-dollars’ funds from PT Freeport.
Pendahuluan Tulisan ini ingin menunjukkan perubahanperubahan yang terjadi dalam kehidupan Orang Kamoro di Mimika yang disebabkan oleh berbagai perubahan dalam lingkungan fisik, sosial, dan budaya mereka. Sebagian besar dari perubahan-perubahan dalam lingkungan kehidupan mereka itu adalah perubahanperubahan yang mengagetkan, yang sebenarnya tidak siap mereka hadapi untuk dapat hidup sesuai dengan perubahan-
1
Tulisan ini merupakan makalah yang disajikan dalam Seminar Pra-Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-2, 2001: ‘Eksploitasi Sumberdaya Alam dalam Konteks Kebudayaan Lokal dan Otonomi Daerah’. Acara ini diselenggarakan oleh Jurnal Antropologi Indonesia, Laboratorium Antropologi FISIP UI, Jaringan Kerja MIGAS dan Pertambangan, dan The Jakarta Consulting Group, Kampus FISIP UI, Depok 26-27 April 2001.
84
perubahan yang terjadi. Kesemuanya itu membentuk pola-pola kelakuan dan orientasi nilai budaya yang nampak menonjol dalam kehidupan orang Kamoro. Secara khusus, hal itu nampak pada orientasi mereka yang konsumtif, dan pada konflik-konflik internal dalam desa dan taparu di antara mereka itu sendiri; dan bukannya pada konflik dengan kelompok suku bangsa lain, atau dengan pemerintah dan pihak asing (PT Freeport).
Lingkungan dan kehidupan Orang Kamoro Orang Kamoro (dalam kepustakaan antropologi dikenal dengan nama orang Mimika) hidup di kabupaten Mimika yang wilayah administrasinya memanjang dari teluk Etna di barat laut ke sungai Otokua di bagian tenggara dan pegunungan Charstenz di bagian utara. Lingkungan hidup orang Kamoro adalah
ANTROPOLOGI INDONESIA 64, 2001
wilayah dataran Mimika yang penuh dengan hutan, rawa-rawa dan banyak sungai. Orang Kamoro tinggal di dataran rendah Mimika yang kering sampai ke tepi-tepi pantai. Secara tradisional mereka tinggal di tepi-tepi aliran sungai besar, terutama di hulu-hulu sungai, dan dekat dengan hutan-hutan sagu. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok permukiman kecil yang terdiri atas sebuah, atau beberapa rumah besar yang dihuni oleh kelompok-kelompok kerabat yang mereka namakan taparu (kelompok kerabat yang terbentuk untuk hidup bersama dalam sebuah wilayah permukiman dan penguasaan hak atas hutan-hutan sagu dan tanah). Orang Kamoro mengenal adanya dua macam taparu, yaitu taparu besar yang terdiri atas sejumlah taparu kecil (lihat Suparlan 1997). Sistem kekerabatan mereka merupakan gabungan dari sistem bilateral (kekerabatan diurut menurut garis bapak dan garis ibu, seperti pada orang Jawa dan orang Sunda), dan sistem kekerabatan matrilineal (kekerabatan dihitung menurut garis ibu, seperti pada orang Minangkabau). Mereka hidup dengan cara setengah mengembara yang dari waktu ke waktu berulang secara rotasi, yaitu dalam satu musim mereka hidup di dekat hutan sagu dan kebun-kebun pisang mereka, dan pada musim lainnya mereka hidup di muara-muara sungai atau tepi pantai untuk mencari ikan. Pada saat-saat lain yang lowong, mereka berburu dan menjerat hewan di hutan. Kehidupan setengah mengembara atau mengembara berotasi ini sesuai dengan sistem ekonomi dan sistem sosial mereka, dan kesemuanya ini berkaitan erat dan fungsional dengan keyakinan keagamaan mereka dan upacar-upacara yang harus mereka lakukan. Keyakinan keagamaan yang merupakan inti dari kebudayaan (ndaita ) mereka, merupakan pedoman bagi kehidupan yang diyakini kebenarannya dalam menghadapi dan
ANTROPOLOGI INDONESIA 64, 2001
memanfaatkan lingkungannya. Dalam konsepsi mereka, ndaita diturunkan oleh nenek moyang, yang ajaran dan petunjuk-petunjuknya diungkapkan dalam berbagai upacara ritual dan kegiatan kehidupan sehari-hari melalui amako, atau spesialis-spesialis dan fungsionaris keahlian dalam berbagai bidang. Kemampuan amako—yang mencakup kemampuan rasional dan teknologi maupun kemampuan gaib dengan menggunakan magi—diwariskan dari orang tua kepada anak-anak mereka. Hubungan antara mereka dengan hutan dan pohon-pohonnya, hutan sagu, sungai, dan rawa-rawa, tanah, atau bekas-bekas kebun mereka amat dekat. Hubungan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu hubungan emosional, karena pohon, tanah, semak belukar, hutan sagu, sungai dan rawa-rawa dipersonifikasi sesuai dengan keyakinan keagamaan mereka. Karena itu, konflik-konflik di antara orangorang yang berbeda taparu, ataupun di antara orang-orang yang berasal dari desa-desa kecil atau kelompok-kelompok permukiman, sering terjadi karena penghinaan atas keyakinan dan kehormatan mereka. Konflik itu bukan sematamata terjadi berkenaan dengan hak penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumberdaya dari lingkugan yang mereka anggap hak mereka. Di masa lampau, perang di antara orang-orang Kamoro yang berasal dari taparu dan desa yang berbeda biasa terjadi. Peperangan biasanya dipimpin oleh we ayku atau orang besar, yang menjadi tokoh karena kemampuan kejiwaan, sosial, dan fisik tubuh, serta kemampuan menggunakan kekuatan magi yang dimilikinya. Seorang we ayku biasanya berasal dari salah seorang taperamako atau amako tanah. Seorang amako tanah yang harus mempertahankan tanah milik mereka (hutan sagu, hutan atau pohon-pohon di hutan, wilayah sungai, atau kebun) dapat menjadi seorang panglima perang atauwe ayku.
85
Tanah yang menjadi milik mereka biasanya milik sebuah taparu. Tetapi, tanah itu dapat juga dimiliki oleh dua atau lebih taparu. Bahkan, ada tanah-tanah yang menjadi milik perorangan yang diwarisi oleh orang tua (bapak atau ibu) kepada seorang anak yang mereka sayangi. Yang diwariskan sebenarnya bukan tanahnya, melainkan pohon-pohon yang ada dan hidup di tanah tersebut (pohon sagu, pohon kayu besi, pohon kayu perahu, atau lainnya). Hubungan seorang anggota taparu dengan tanahnya adalah hubungan penggunaan. Bila seseorang meninggalkan taparunya untuk waktu yang lama, misalnya kawin atau bertempat tinggal di tempat lain mengikuti pasangan kawinnya, maka hak untuk menggunakan atau memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya yang ada dalam tanah yang menjadi milik taparunya akan hilang. Hak tersebut akan dapat diperoleh lagi bila dia kembali ke tempat tinggal taparunya yang lama. Taparu , sebagai sebuah satuan permukiman, ada di sepanjang tepi sungai. Sekelompok taparu yang mempunyai huungan kekerabatan biasanya menempati tepi-tepi sungai yang saling berdekatan. Kelompok taparu-taparu ini membentuk dirinya sebagai sebuah struktur (tribe) yang fungsional dalam kegiatan-kegiatan upacara keagamaan dan dalam perang melawan suku (tribe) lainnya. Seringkali, taparu -taparu yang tergolong dalam satu suku juga saling bermusuhan dan memerangi. Menurut Pouwer (1950), penduduk orang Mimika yang berjumlah 8.000 orang terdiri atas 160 taparu atau 50 suku. Untuk kemudahan administrasi, pada tahun 1920-an, pemerintah Belanda telah memukimkan orang-orang Kamoro yang hidupnya tersebar-sebar ke dalam desa yang permanen. Satuan kehidupan Orang Kamoro yang semula ada dalam kelompok kekerabatan– teritorial taparu, yang setengah mengembara,
86
diganti menjadi satuan kehidupan dan teritorial desa. Desa-desa bagi orang Kamoro tersebut dibangun di tepi-tepi pantai atau muara-muara sungai yang kondisi lingkungannya lebih sehat. Sebuah desa dihuni oleh dua taparu atau lebih. Untuk itu, wilayah hunian sebuah desa dibagi menjadi wilayah-wilayah taparu yang dipisahkan satu sama lain oleh bangunan sekolah, gereja, kantor balai desa, rumah guru, dan rumah pos untuk tempat menginap petugas yang mengadakan inspeksi atau patroli. Bersamaan dengan upaya pemerintah Belanda tersebut, gereja Katolik juga melakukan kegiatan pengristenan, diikuti oleh kegiatan pembukaan toko-toko dan perdagangan. Di antara semua ini, yang paling besar dirasakan dampaknya di dalam dan bagi kehidupan Orang Kamoro adalah masuk dan diterimanya agama Katolik. Karena, bersamaan dengan itu, orang-orang Kamoro dilarang untuk percaya pada agama nenek moyang dan berbagai upacara keagamaan mereka; dan harus meninggalkan ndaita sebagai pedoman utama dalam kehidupan mereka. Menurut keterangan beberapa orang tua di desa Mwapi dan Kaugapu, tempat penelitian saya, larangan dilakukan dengan menggunakan pasukan tentara (mungkin maksudnya veld politie atau brimob) yang menakutkan mereka, sehingga mereka betul-betul menaati. Dampak dari pelarangan kegiatan upacaraupacara keagamaan dan cara-cara hidup menurut ndaita telah menyebabkan kebudayaan Orang Kamoro mengalami disorganisasi (Trenkenschuh 1972). Mereka tidak lagi mempunyai rasa yakin diri dalam menghadapi lingkungan yang dihadapi dan kehidupan yang harus dijalani. Mereka mudah frustasi dan mengungkapkan frustasi-frustasi mereka dalam pertengkaran di antara sesamanya atau yang berbeda taparu nya
ANTROPOLOGI INDONESIA 64, 2001
untuk berbagai masalah yang kecil-kecil. Mereka melarikan diri dari kehidupan nyata dengan cara mabuk-mabukan, dan menekankan hubungan keterikatan emosional yang sangat dalam di antara orang tua dan anak-anak mereka. Keluarga batih menjadi sanctuary dalam ketidakpercayaan diri.
Orang Kamoro masa kini Dewasa ini, Orang Kamoro bukan hanya hidup dalam lingkungan pedesaan dan lingkungan kebudayaan Orang Kamoro saja. Sebagian dari mereka tinggal di kota Timika atau di pinggirannya, walau sebagian di antaranya masih hidup di daerah pedesaan, hutan rawa-rawa, dan di tepi-tepi pantai. Sejumlah desa yang dibangun oleh pemerintah Belanda telah ditinggalkan. Mereka tinggal di desa-desa yang dibangun oleh Departemen Sosial RI yang terletak di tepi-tepi jalan. Pola permukiman tersebut sama prinsipnya dengan pola permukiman desa yang dibangun pemerintah Belanda, yaitu sebuah desa dihuni oleh dua taparu atau lebih. Tetapi, di desa tersebut tidak ada pemisahan antara rumahrumah anggota satu taparu dengan taparu lainnya. Begitu pula tidak ada rumah-rumah guru, gereja, dan sekolah yang mengantarai permukiman dari taparu-taparu yang berjejer. Sama halnya dengan pola-pola hubungan di antara taparu yang berbeda, konflik di antara mereka itu sering terjadi. Konflik terjadi karena kehilangan barang berharga, cemburu, merasa dihina, perkelahian di antara anak-anak, atau karena ketidaksesuaian pendapat mengenai hak-hak ulayat mereka. Konflik dalam bentuk bentrokan fisik hanya mungkin terjadi pada saat mereka mabuk. Seringkali mabuk dilakukan dengan sengaja oleh seseorang, agar berani berkelahi atau mampu menghadapi seseorang yang lebih dominan kedudukan sosialnya. Sebuah konflik perorangan dapat merembet
ANTROPOLOGI INDONESIA 64, 2001
menjadi konflik antarkeluarga, dan menjadi konflik antartaparu. Anggota-anggota taparu yang merasa kalah biasanya keluar dan meninggalkan desa untuk bertempat tinggal di tempat lainnya. Mereka membentuk desa baru yang anggota-anggotanya terdiri atas taparu yang sama. Bila terjadi pertengkaran di antara mereka di tempat yang baru, maka mereka itu akan saling memisahkan diri lagi, dan membentuk taparu dan desa baru. Di kota Timika, orang-orang Kamoro hidup di kampung-kampung yang bertetangga dengan sesama mereka, dengan orang-orang asal Irian Jaya yang datang bermukim di Timika (Orang Amungme, Dani, Ekagi, Damal, Meibrat, dan dari berbagai suku bangsa lainnya), dan orang-orang asal luar Irian Jaya (Orang Kei, Jawa, Bugis, Buton, Makasar, Toraja, dan berbagai suku bangsa lainnya). Di luar kota Timika, secara relatif mereka hidup homogen di antara sesama orang Kamoro di kampungkampung atau desa-desa yang mereka huni. Di antara mereka itu hidup sejumlah kecil orangorang Bugis, Buton, Makasar, Toraja, dan Jawa. Mereka itu adalah para pedagang yang membuka kios-kios barang kebutuhan seharihari dan warung makan. Di kota Timika, orang-orang Kamoro hidup dari bekerja sebagai pegawai negeri, swasta, guru, dan berbagai kegiatan jasa lainnya. Sebagian lainnya dalam status menganggur atau setengah menganggur. Di antara mereka, ada yang membuka kios atau warung, tetapi hal itu biasanya tidak bertahan lama, karena kerabat-kerabat mereka datang untuk membeli barang yang dijual dengan cara berhutang, yang tidak pernah dilunasi. Di antara orangorang Kamoro yang hidup di kota Timika, masih ada yang pergi mengambil sagu di hutan-hutan sagu yang menjadi milik taparu nya. Pendapatan mereka sebenarnya tidak mencukupi untuk hidup di kota Timika.
87
Sebagian dari mereka menutupi biaya hidup dengan menyewakan tanah-tanah milik yang mereka tempati kepada para pendatang. Mereka yang hidup di luar kota Timika, yang hidup di desa-desa, masih tetap hidup seperti nenek moyangnya; yaitu hidup dari mengumpulkan sagu, menangkap ikan, berburu dan menjerat hewan liar, dan sebagian berkebun. Hasil-hasil perolehan mereka sebagian besar dimakan sendiri; sedangkan sisanya dijual, terutama hasil tangkapan ikan, sagu, dan hasil kebun. Secara garis besar, kehidupan ekonomi mereka masih pada taraf subsistensi. Yang mereka makan hari ini adalah apa yang mereka peroleh hari ini. Mereka merasa beruntung mendapat tambahan penghasilan bila ada yang ingin membeli kayu yang mereka tebang di hutan, atau menjadi pekerja pengangkut kayu bila ada pengusaha proyek pembangunan yang memborong kayu di hutan. Masalah yang mereka hadapi adalah ketidakmampuan teknologi dan ekonomi dalam memanfaatkan sumber-sumberdaya yang ada dalam lingkungan mereka. Rata-rata, mereka tidak memiliki visi mengenai kehidupan hari esok dan upaya-upaya mengatasi kemiskinan. Mereka itu terbelenggu oleh kemiskinan, karena cara-cara hidupnya yang subsisten, dan kesulitan untuk mengubah cara-cara hidup subsisten yang setengah mengembara itu. Mereka tidak berani menangggung resikonya bila gagal.
Hubungan dengan dunia luar Kamoro Dalam kehidupan Orang Kamoro, hanya anggota keluarga dan kerabat yang tergolong sebagai taparu merekalah yang dapat dipercayai, yang mereka mintai tolong dalam kesulitan, dan hidup dengan prinsip saling memberi (aopao). Mereka ini digolongkan
88
sebagai orang dalam, sedangkan mereka yang berada di luar golongan tersebut digolongkan sebagai orang luar. Dalam mitologi mereka, Orang luar (kulit putih) adalah keturunan dari saudara nenek moyangnya yang mengembara, dan kemudian kembali dengan berbagai kelebihan dan keunggulan. Dalam kehidupan nyata, penggolongan mengenai orang luar dan kedekatannya— secara berturut-turut—adalah orang-orang dari taparu lain, Orang Kamoro dari desa lain, pendatang asal dari Irian Jaya, pendatang dari luar Irian Jaya, dan orang-orang kulit putih. Mereka juga melihat pemerintah sebagai orang luar, bukan sebagai suatu organisasi; karena yang mereka lihat adalah pejabat-pejabatnya. Kalau pejabat-pejabat yang sering berhubungan dengan mereka adalah Orang Jawa, maka pemerintah dilihat sebagai Orang Jawa. Kalau pejabat-pejabat itu Orang Kei, maka pemerintah dilihat sebagai Orang Kei. Kedekatan hubungan dengan orang luar sesuai dengan sistem penggolongan tersebut tidak berlaku dalam kehidupan yang nyata, karena tergantung pada corak dan intensitas hubungan-hubungan pribadi dengan kepentingan. Seringkali, karena adanya kepentingan yang saling menguntungkan, hubungan jauh secara golongan dapat menjadi dekat secara pribadi. Sebaliknya, jarak sosial dengan orang dari sesuatu golongan dapat menjadi lebih jauh daripada yang seharusnya, dan bahkan menjadi saling bermusuhan. Orang Kamoro hanya mampu bermusuhan dan konflik dengan golongan yang kira-kira setara posisi dan kekuatan sosialnya dengan mereka. Bila mereka itu mempunyai posisi yang lebih rendah atau lebih lemah dibandingkan dengan lawan, mereka cenderung untuk berdiam, mengalah, atau melarikan diri dari ajang konflik. Bila mereka berani melawan sesuatu kelompok dari golongan yang lebih
ANTROPOLOGI INDONESIA 64, 2001
kuat, hal itu terjadi karena selalu ada yang mendorong untuk melakukannya, dan merangsang mereka untuk berpikir dan merasa bahwa lawan tersebut dapat dikalahkan. Konflik-konflik yang sering terjadi dalam kehidupan orang-orang Kamoro dewasa ini terpusat pada masalah-masalah pertanahan dengan para pendatang, pemerintah, dan Freeport. Konflik-konflik masa kini juga terjadi di antara sesama mereka dalam memperebutkan uang dana ‘satu juta dollar’ dari Freeport, berbagai dana kompensasi kerusakan lingkungan, dan kompensasi-kompensasi lainnya. Permasalahan uang dana ini bukan hanya dihadapi oleh Orang Kamoro saja, melainkan juga oleh berbagai sukubangsa lain yang hidup di kota Timika dan sekitarnya. Patut dicatat, dampak sosial budaya dari pemberian uang dana ‘satu juta dollar’ kepada sukubangsa-sukubangsa yang hidup di Timika dan sekitarnya dalam kegiatan utama mereka sehari-hari adalah memikirkan bagaimana membuat proposal untuk proyek-proyek yang dapat dibiayai uang dana tersebut. Sebagian besar proyek-proyeknya adalah proyek-proyek yang bersifat konsumtif, seperti membangun rumah tembok yang bagus. Berbagai kegiatan produktif yang sebelumnya mereka kerjakan sehari-hari mereka abaikan, karena dianggap tidak terlalu menguntungkan dibandingkan dengan kucuran uang dana dari Freeport.
kucuran uang dana untuk peningkatan kemampuan produktif tidak pernah dipikirkan. Dalam pengertian ini, pengertian peningkatan ilmu pengetahuan, teknologi, dan bisnis tidak pernah terpikirkan dalam upaya pembuatan proyek-proyek yang menggunakan dana dari Freeport. Karena itu, kemampuan untuk mengeksploitasi sumber-sumberdaya alam yang mereka punyai masih tidak jauh berbeda dari apa yang digunakan oleh nenek moyang mereka. Akibatnya, berbagai eksploitasi sumber-sumberdaya alam di Mimika selalu dilakukan oleh para pendatang yang mempunyai kemampuan teknologi yang lebih canggih daripada yang dipunyai oleh orangorang Kamoro, dan yang sesuai dengan prinsip-prinsip rasional secara ekonomi. Orang Kamoro hanya penonton dan cukup hidup dari belas kasihan kucuran dana. Upaya-upaya harus dilakukan oleh pemerintah, swasta, dan LSM untuk memikirkan strategi terbaik dalam memberikan pencerahan mengenai penggunaan dana Freeport bagi masa depan mereka, karena dana tersebut tidak akan selamanya ada. Upaya-upaya ini dapat dikatakan sebagai serangkaian upaya untuk mengubah kebudayaan Kamoro yang terdisorganisasi, untuk dapat kembali menjadi fungsional bagi kesejahteraan hidup mereka, sementara dana dari Freeport masih mengucur untuk pembiayaannya.
Penutup Sebagai penutup tulisan ini patut dinyatakan bahwa kebudayaan Orang Kamoro yang telah mengalami disorganisasi di dalam menghadapi perubahan lingkungan pada masa kini—yang diakibatkan oleh pembangunan dan modernisasi—tidaklah berpotensi untuk dapat mengeksploitasi sumber-sumberdaya yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka. Kemampuan untuk mengantisipasi pengunaan
ANTROPOLOGI INDONESIA 64, 2001
89
Kepustakaan Pouwer, J. 1955 Enkele Aspecten van de Mimika Cultuur (Nederlands Nieuw Guinea). ‘s-Gravenhage: Staatsdrukerij. Suparlan, P. 1997 ‘Kesukubangsaan dan Primordialitas: Program Ayam di Desa Mwapi, Timika, Irian Jaya’, Antropologi Indonesia 24(54):38-61. Trenkenschuch, F. 1972 ‘Border of Asmat: The Timika’, Asmat Sketchbook (1). Museum Asmat. Hlm. 77-82.
90
ANTROPOLOGI INDONESIA 64, 2001