Orang Ambon dan Perubahan Kebudayaan1 Jacob W. Ajawaila (Universitas Pattimura)
Abstract The Ambonese is a community that underwent changes from time to time as a result of the influence of religion, government’s policies and global culture. The changes have further implications. A considerable ‘in group’ solidarity of village as totality (supported by villagers and their special rights, excluding the newcomers) became segregated because of religion. Religion has taken over the traditional rites. The village as an entity of traditional laws based upon genealogy has undergone changes into a public village. The village has become multi profiled with its activities based on needs, e.g. the ceremonial needs for the benefits of traditions. Traditional institutions that strengthened social relations between villages have weakened as a result of the government’s policies, and so is the traditional institutions that fulfill the needs of the traditional community.
Pendahuluan Orang Ambon merupakan kelompok masyarakat penduduk asli yang mendiami Pulau Ambon, Pulau-Pulau Lease, wilayah Seram bagian Tengah dan wilayah Seram bagian Barat. Kelompok masyarakat ini menyatakan dirinya sebagai pendukung kebudayaan Ambon yang merupakan hasil akulturasi dari beberapa kebudayaan berasal dari luar seperti Melayu, Polynesia dan Melanesia. Jansen menggolongkan Orang-orang Ambon ke dalam 4 kelompok yaitu: • kelompok Tuni yang bermigrasi ke Pulau Seram dan sekitarnya untuk kemudian melanjutkan migrasi ke Pulau Ambon dengan menggunakan perahu secara 1
Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang disajikan dalam Sesi tentang ‘Kesukubangsaan dan Negara’ dalam Seminar ‘Menjelang Abad ke-21: Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya’, 6-8 Mei 1999, Pusat Studi Jepang, Kampus Universitas Indonesia, Depok.
16
bergelombang; • kelompok Wakan yang datang dari Kepulauan Banda dan Kei; • kelompok Moni, yang berasal dari Halmahera, Ternate dan Tidore; dan • kelompok Mahu, yang berasal dari Jawa khususnya dari wilayah sekitar Tuban (Effendi 1987). Terdapat juga mitos yang menceriterakan bahwa penduduk asli Ambon berasal dari Nunusaku, sebuah gunung di Pulau Seram tempat tumbuh sebuah pohon beringin yang mempunyai tiga dahan. Di tempat itu, hidup tiga orang kakak beradik. Ketika air bah meluap, mereka kemudian memencar sesuai arah tiga dahan pohon beringin dan mengikuti aliran sungai: Eti, Tala dan Sapalewa. Kakak tertua menurunkan kelompok ulisiwa, adiknya menurunkan kelompok ulilima dan si bungsu menurunkan kelompok uliasa (Duyvendak 1926). Kepustakaan lain hanya mengenal dua ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
kelompok yaitu ulisiwa dan ulilima. Migrasi bergelombang ke Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease tidak serta merta mengubah struktur sosial masing-masing kelompok. Pola struktur sosial yang terdapat di Seram dijumpai pula di Ambon dan di Pulaupulau Lease. Sebagai contoh, masyarakat Seram berkelompok dalam persekutuan desa/negeri yang disebut ulisiwa atau patasiwa (kelompok sembilan), dan ulilima atau patalima (kelompok lima). Struktur pengelompokan sosial ini tersusun secara hierarkis sedemikian rupa, sehingga masing-masing tingkatan mencerminkan luasnya cakupan teritorial maupun genealogis. Kelompok patasiwa terdiri dari sembilan uku, sedang patalima terdiri dari lima uku. Masing-masing uku terbagi lagi atas persekutuan-persekutuan lebih kecil yang disebut aman atau hena. Aman atau hena ini terpecah lagi atas beberapa kelompok keluarga berdasarkan keturunan yang sama menurut garis ayah atau ibu yang disebut rumatau atau lumatau. Angka sembilan pada patasiwa dan angka lima pada patalima ini pada dasarnya menjadi patokan dalam kosmologi dan pengelompokan masyarakat, sehingga ada sistem tandingan dalam masyarakat dan cara mereka memandang diri dan lingkungannya (Leirissa 1982). Suatu desa/negeri masuk dalam kelompok patasiwa atau patalima, jika jumlah bendabenda yang digunakan dalam ritual masingmasing berjumlah sembilan atau kelipatan sembilan untuk patasiwa, dan jumlah lima atau kelipatan lima untuk patalima. Hal yang sama terlihat pula pada arsitektur baileu, sebuah tempat pertemuan yang dianggap sakral tempat upacara-upacara negeri sering dilakukan, misalnya upacara pengangkatan dan pelantikan Raja.2 Informasi lain dari Duyvendak 2
Baileu merupakan tempat pertemuan tradisional yang merepresentasi totalitas negeri secara fisik.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
(1926) menyebutkan bahwa posisi batu pemali yang lazim diletakkan di sampingbaileu menjadi pembeda antara patasiwa dan patalima. Apabila batu pemali menghadap ke gunung atau ke darat, maka negeri tersebut termasuk dalam kelompok patalima. Sebaliknya, jika batu pemali yang menghadap ke laut atau ke pantai mencerminkan ciri negeri patasiwa. Kelompok patasiwa terbagi lagi atas patasiwa putih (patasiwa putile) d a n patasiwa hitam (patasiwa metene). Patasiwa hitam inilah yang dikenal mempunyai kelompok persekutuan laki-laki dengan ritus pengayauan yang dilakukan secara rahasia. Berkembangnya agama Kristen dan larangan untuk melakukan pengayauan oleh Pemerintah Belanda, berdampak pada surutnya perkembangan persekutuan kakean ini. Sejak akhir abad XIX dan permulaan abad XX, organisasi ini tidak teridentifikasi lagi. Menurut Keuning (1973), di Pulau Ambon terdapat dua kelompok yang membagi Pulau Ambon menjadi dua paruh masyarakat sosial, yaitu kelompok ulisiwa yang sebagian besar mendiami wilayah Semenanjung Leitimur dan kelompok ulilima yang menempati semenanjung Leihitu. Pernyataan ini memberi indikasi bahwa pada umumnya desa/negeri Kristen yang menempati jazirah Leitimur berorientasi pada patasiwa (kelompok sembilan); sedangkan negeri-negeri Islam yang sebagian besar berada di Leihitu mengelompok dalam patalima (kelompok lima). Pembagian ini tidak saja terdapat di Maluku Tengah, tetapi juga di Maluku Tenggara yang dikenal dengan istilah ursiu dan urlim. Ada teori yang menjelaskan bahwa kelompok patasiwa berada di bawah pengaruh kekuasaan Kesultanan Tidore, sedangkan patalima tunduk di bawah kekuasaan Kesultanan Ternate, saat kedua kerajaan melakukan ekspansi ke wilayah Maluku Tengah. Ada pendapat yang menyatakan 17
bahwa kedua kelompok tersebut merupakan musuh abadi. Duyvendak (1926) membantah pendapat ini dengan alasan, hal tersebut tidak dijumpai dalam kenyataan sosial, karena adanya hubungan pela . Walaupun desa/negeri d i Ambon berorientasi pada salah satu kelompok patasiwa atau patalima, pada desa/negeri tertentu diperlihatkan eksistensi kedua kelompok pada upacara perbaikan baileu. Kehadiran kedua kelompok tersebut tidak jelas, apakah sebagai gambaran keutuhan, atau hal ini berhubungan dengan sejarah migrasi kelompok yang datang dari Seram. Mungkin juga hal ini merupakan suatu konstruksi sosial untuk memperoleh sebuah lawan tanding atau rival. Pada suatu negeri/desa di Pulau Haruku, keberadaan kedua kelompok ini diperlihatkan lewat tari perang yang dianggap sebagai peperangan antara yang gelap dan yang terang.
Negeri: desa tradisional Negeri adalah suatu persekutuan masyarakat adat berdasarkan teritorial genealogis. 3 Sejarah pembentukan negeri sendiri berasal dari Pulau Seram. Masyarakat di Pulau Seram mengelompok dalam uli. Kemudian pengelompokan berdasarkan u k u yang terbagi lagi atas aman atau yamane (Wemale) dan hena (Alune) dengan pemimpin bergelar latu atau latu nusa (raja tanah). Sistem pengelompokan masyarakat ini kemudian dibawa oleh para migran ke pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Pulau Ambon dan Kepulauan Lease. Para migran menghuni daerah pegunungan di pulau-pulau tersebut untuk melindungi diri dari para perompak dan kegiatan mengayau dari negeri-negeri tetangga. Penguasa Belanda memindahkan penduduk pegunungan ini ke tepi pantai untuk 3
Berdasarkan persekutuan teritorial genealogis, asal muasal seseorang dapat dilihat dari nama belakangnya.
18
memudahkan pengontrolan aktivitas perdagangan cengkeh (Chauvel 1990). Pemindahan paksa terjadi pula di Seram ketika terjadi peperangan antarsuku, atau ketika penduduk terserang wabah. Berdasarkan ketentuan Pemerintah Belanda saat itu, dibentuklah negeri dengan sistem pemerintahan yang diatur tersendiri dalam urusan yang berhubungan dengan pengangkatan pejabat pemerintahan (Leirissa 1982). Lokasi yang mula-mula ditempati oleh penduduk di pegunungan kemudian disebut negeri lama atau negeri tua yang dianggap sebagai tempat kediaman leluhur. Pada dasarnya, negeri-negeri dibentuk berdasarkan segregasi agama, yaitu Islam atau Kristen. Negeri Islam oleh orang Ambon disebut negeri salam, sedangkan negeri Kristen disebut negeri sarani. Terdapat juga negeri yang penduduknya mempunyai hubungan kerabat yang kuat, karena berasal dari nenek moyang yang sama; tetapi, karena agama berbeda lalu memisahkan diri dan membentuk negeri sendiri-sendiri, seperti Sirisori Salam dan Sirisori Sarani. Negeri mempunyai wilayah atau daerah petuanan sendiri dengan batas teritorial yang jelas terhadap negeri-negeri tetangga. Ketika dimulai Ekspedisi Hongi, Pemerintah Belanda merekrut penduduk negeri untuk mendukung pelaksanaan ekspedisi itu. Sebagai imbalan, diberikan sebidang tanah yang kemudian disebut tanah dati. Tanah-tanah dati adalah milik klen atau mataruma yang tidak dapat diperjualbelikan. Pemimpin klen yang memiliki tanah dati disebut Kepala Dati, sedangkan anggota-anggota klen disebut Anak Dati. Perempuan yang telah menikah dianggap telah ke luar dari kelompok klen, sehingga tidak diperbolehkan menikmati hasil tanah dati milik keluarganya. Sebaliknya, ia berhak menikmati hasil tanah dati milik mataruma suaminya. Apabila salah satu mataruma punah dan tidak ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
ada satupun anggota mataruma yang mewarisi, untuk melanjutkan penggarapan dan pemeliharaan tanah dati, maka tanah dati itu akan kembali kepada negeri. Kini tanah-tanah dati yang berada di wilayah pinggiran kota telah banyak diperjualbelikan. Tanah-tanah dati tersebut kemudian menjadi sumber konflik di antara anak-anak dati, karena mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Di samping tanah dati, tiap-tiap mataruma memiliki bidang tanah yang ditanami pepohonan buah-buahan dan tanaman perdagangan yang disebut dusung. Berbeda dengan tanah d a t i , seorang perempuan yang telah menikah dapat memperoleh bagian dari dusung milik mataruma yang disebut dusung atiting 4 (Cooley 1987). Penduduk negeri disebut sebagai anak negeri dan mempunyai hak-hak dan kewajiban di dalam masyarakat adat. Anak negeri dibedakan dari kaum pendatang yang disebut orang dagang. Pengertian orang dagang ini tidak hanya dimaksudkan sebagai orang asing yang berdagang, tetapi juga pendatang yang menggarap tanah milik negeri. Tanah-tanah garapan yang merupakan tanah negeri, dapat dikelola oleh pendatang dengan sistem kontrak berjangka atau sewa. Hanya anak negeri sajalah yang dapat mengalihkan kepemilikan tanah negeri menjadi tanah milik pribadi. Hubungan anak negeri dengan lingkungannya dan dengan leluhur pendiri negeri tersebut sangat kuat. Implikasinya terlihat dalam kentalnya sentimen dan solidaritas kelompok masyarakat negeri tersebut. Masalah sejengkal tanah yang tidak mempunyai nilai ekonomis dapat memicu konflik antarnegeri yang kadang-kadang menimbulkan korban jiwa serta harta benda. Masalah tanah 4
Istilah atiting menunjuk pada sejenis bakul yang terbuat dari kulit pelepah pohon sagu untuk meletakkan hasil-hasil pertanian. Biasanya, perempuan yang menggunakan atiting dan meletakkannya di atas kepala.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
sangat peka dan rawan, karena berkaitan dengan keberadaan negeri. Kuatnya solidaritas kelompok berhubungan dengan keterikatan penduduk dengan leluhur pendiri negeri atau gunung-tanah yang melahirkan kelompokkelompok kekerabatan satu negeri di berbagai kota di Indonesia, termasuk di Kota Ambon sendiri. Konsep gunung-tanah menunjuk pada totalitas negeri, bukan saja bagi penduduk di negeri asal, melainkan juga mereka yang tinggal di perantauan yang asal-usulnya dari negeri yang sama. Kelompok kekerabatan mataruma merupakan basis dari semua hubunganhubungan sosial. Sangat kuatnya relasi kekerabatan di antara anggota mataruma diperlihatkan lewat kewajiban-kewajiban sosial dalam acara-acara tertentu, seperti upacara perkawinan dan kematian. Di samping mataruma, dikenal juga soa yang merupakan kumpulan dari mataruma. Pada masa lampau, soa biasanya terkait dengan mataruma dan wilayah teritorial. Kini, karena alasan perkawinan dan kebutuhan ruang untuk permukiman, maka sistem teritorial untuk soa tidak dapat diterapkan lagi, sehingga soa hanya mencerminkan aspek genealogis saja. Peran-peran di dalam masyarakat terbagi habis menurut klen atau mataruma yang ada di dalam negeri sesuai fungsi masing-masing mataruma. Peran-peran yang disandang oleh suatu mataruma bersifat turun-temurun dan tidak dapat dialihkan pada orang lain. Peranperan yang dimainkan itu dapat dilihat ketika masyarakat suatu negeri akan mendirikan atau memperbaiki baileu,. Dalam mendirikan atau memperbaiki baileu, masing-masing mataruma berhak dan berkewajiban untuk mengerjakan bagian tertentu dari baileu misalnya mendirikan tiang, mengatapi dan sebagainya. Dengan demikian, baileu memperlihatkan keutuhan dari suatu negeri . Di dalam baileu biasanya diletakkan benda-benda pusaka milik negeri 19
antara lain meja, kursi, tempayan kuno, meriam kuno, tombak dll. seiring dengan adanya kepercayaan bahwa leluhur pendiri negeri menghuni baileu. Pada bagian samping baileu diletakkan batu pemali yang dianggap keramat, dan yang memberikan indikasi mengenai orientasi suatu negeri terhadap salah satu kelompok sosial patasiwa atau patalima. Pada negeri-negeri tertentu, batu pemali tersebut dinamakan juga batu teon, yang menunjuk pada klen leluhur pendiri negeri tersebut. Pada masa lampau, setiap baileu memiliki nama khusus yang setiap kali diucapkan dalam upacara oleh orang tertentu yang telah diberi kuasa untuk itu. Kesakralan kedudukan baileu sering disamakan dengan tempat-tempat ibadah seperti gereja dan masjid. Baileu yang tidak dipelihara dengan baik dan tidak diperbaiki ketika mengalami kerusakan, diyakini akan mendatangkan malapetaka bagi seisi negeri. Kenyataan ini menunjukkan bahwa peranan leluhur dalam kehidupan klen dan negeri diposisikan kedua setelah Tuhan, yang disembah oleh penganut Islam maupun Kristen. Itulah sebabnya, salah satu ungkapan yang lazim terdengar di kalangan masyarakat adat di Maluku adalah ‘pertama Tuhan, kedua nenek moyang’. Dalam struktur pemerintahan negeri, Raja mempunyai kedudukan paling tinggi. Dia dianggap pemimpin negeri sekaligus kepala adat. Dalam hubungan dengan peradilan negeri, Raja bertindak sebagai hakim kepala. Kedudukannya sebagai kepala adat menempatkan Raja sebagai figur sentral dalam setiap ritual yang diselenggarakan oleh negeri. Menurut ketentuan Pemerintah Belanda, Raja dan penguasa-penguasa negeri diangkat dari antara calon-calon yang dipilih oleh kepalakepala soa (Leirissa 1982). Demikian pula halnya dengan Pati dan Orang Kaya. Kedua gelar yang terakhir ini diberikan oleh pemerintah Belanda pada masa penjajahan sesuai tingkat 20
keberhasilan pemimpin negeri. Mereka yang berhasil memuaskan kepentingan Belanda diangkat sebagai Raja, yang kurang berhasil sebagai Pati dan yang tidak berhasil sebagai Orang Kaya. Kedudukan istimewa ini hanya dimiliki oleh klen-klen tertentu. Apabila Raja berhalangan, maka peranan sebagai kepala pemerintahan negeri dipegang oleh salah seorang Kepala Soa yang bertugas secara periodik dan disebut Kepala Soa jaga bulan. Dengan demikian, para Kepala Soa mempunyai kedudukan di bawah Raja dan berfungsi sebagai dewan menteri (pembantu Raja). Dalam struktur pemerintahan negeri dikenal juga lembaga saniri, marinyo, kewang, kapitan dan mauwen. Saniri negeri adalah lembaga musyawarah rakyat sekaligus sebagai lembaga peradilan yang menetapkan aturan-aturan dan memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah-masalah adat. Raja adalah Kepala Saniri. Pada beberapa negeri, terdapat dua lembaga saniri, yaitu saniri kecil dan saniri besar. Saniri kecil terdiri dari Raja, KepalaKepala Soa dan wakil-wakil rakyat; sedangkan saniri besar terdiri dari saniri kecil ditambah dengan anak negeri lelaki dewasa yang berumur 18 tahun ke atas. Di Seram Barat peranan saniri dihubungkan dengan persekutuan Kakean (Duyvendak 1926). Saniri yang dikenal sekarang ini di Seram disebut Saniri Batang Air. Pertemuan-pertemuan saniri biasanya dilaksanakan apabila terjadi pelanggaran atas batas-batas tanah dari ketiga wilayah Daerah Aliran Sungai Eti, Tala dan Sapalewa. Untuk keperluan pelestarian lingkungan, diangkat Kewang yang bertugas mengawasi semua sumberdaya alam, baik di laut maupun di darat dalam wilayah petuanan negeri . Kewang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan sasi, pranata adat yang mengatur pelaksanaan larangan pengambilan ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
hasil sebelum waktunya untuk dipanen, termasuk melaksanakan ritus-ritusnya. Kapitan adalah panglima perang, dan Mauwen adalah seorang pemuka agama tradisional yang bertindak sebagai penghubung antara dunia nyata dan dunia supra-natural. Di samping lembaga-lembaga tersebut, dikenal juga lembaga Latupati yang terdiri dari gabungan beberapa kepala pemerintahan negeri. Tugas dan fungsi lembaga ini untuk menyelesaikan konflik-konflik antarnegeri dan menetapkan aturan dalam hubungan kepentingan serta kesejahteraan negeri-negeri yang bersangkutan yang dilakukan melalui rapat saniri Latupati.
Dinamika kebudayaan Ambon: sebuah proses perubahan? Sifat kebudayaan adalah berubah dari waktu ke waktu. Perubahan kebudayaan dapat disebabkan oleh adanya warga masyarakat yang tidak puas dengan peran-peran yang dipunyainya atau keberhasilan sosial ekonomi dan politik yang telah dicapainya. Di samping itu, kebudayaan juga cenderung berubah karena terpengaruh oleh nilai-nilai (‘kebudayaan’) yang datang dari luar. Pengaruh ini berakibat pada perbaikan atau naiknya derajat sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat. Kebudayaan juga cenderung berubah karena isi dan corak dari lingkungan sebuah masyarakat yang juga cenderung berubah (Suparlan 1997). Adanya ‘pemaksaan’ yang datang dari luar melalui regulasi-regulasi yang diciptakan oleh penguasa (kebijakan publik), merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan dalam konteks perubahan kebudayaan. Perubahan-perubahan kebudayaan dengan sendirinya membawa implikasi luas terhadap tatanan dan pola kehidupan masyarakat yang dianggap telah baku. Kebudayaan Ambon sebagaimana halnya ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
dengan kebudayaan yang lain, apabila diamati dan dicermati, telah mengalami suatu perubahan mendasar. Pergeseran-pergeseran berbagai pranata sosial tradisional di daerah pedesaan telah mengakibatkan pranata-pranata kehilangan fungsinya. Pada masa lampau, pranata-pranata sosial itu telah behasil berfungsi sebagai mekanisme pengaman untuk mendukung seluruh warga masyarakat pedesaan. Dalam sistem pemerintahan, sejarah mencatat telah terjadi beberapa kali perubahan, dimulai dari sebelum penjajahan hingga diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Kontak-kontak budaya dengan dunia luar telah mengubah struktur pemerintahan adat semula. Latu nusa sebagai penguasa tertinggi dari suatu wilayah teritorial genealogis beralih pada peranan Raja, Pati dan Orang Kaya sesuai ketentuan yang diberlakukan oleh pemerintahan penjajah Belanda. Apabila Latu nusa dipilih sebagai pemimpin karena dianggap sebagai pemilik wilayah teritorial tersebut, maka Raja, Pati atau Orang Kaya dipilih oleh KepalaKepala Soa sesuai status negeri berdasarkan kepentingan Belanda. Raja membawahi beberapa lembaga Saniri, Kepala-Kepala Soa, Kewang, Marinyo Kapitan dan Mauwen. Struktur pemerintahan tersebut kemudian diterima sebagai struktur pemerintahan adat sekarang ini. Sejak diberlakukannya sistem pemerintahan desa yang bersifat umum sesuai UU Nomor 5/1979, telah terjadi sebuah perkembangan baru. Secara substansial, pemberlakuan UU ini telah menciptakan suatu kondisi anomie di kalangan masyarakat. Di satu pihak, masyarakat kurang familiar untuk menerapkan UU tersebut, sementara di pihak lain masyarakat ‘dipaksa’ untuk harus menerapkan undang-undang tersebut tanpa reserve. Konsekuensi dari penerapan UU tersebut adalah timbulnya dualisme dalam 21
sistem pemerintahan desa yang berbasis pada regulasi nasional dan tradisional. Dampak implementasi dari sistem nasional ini terlihat pada pengelompokan masyarakat. Masyarakat lokal yang mengenal s o a —di bawah kepemimpinan Kepala Soa dengan pola jabatan herediter—menghadapi kenyataan bahwa sistem itu tidak dipakai lagi. Dampak lain dengan diberlakukannya UU tersebut adalah menyempitnya peran Kepala Desa yang semula—dalam pemerintahan adat—adalah seorang Raja yang berfungsi sebagai kepala administrasi pemerintahan, dan sekaligus sebagai kepala adat. Dengan berlakunya UU tersebut, peran kepala adat tidak melekat lagi pada seorang Kepala Desa. Perubahan yang lain terjadi dalam hal pengangkatan kepala pemerintahan. Pada pemerintahan adat, Raja diangkat di antara kelompok yang memerintah, yang menurut van Hovell berasal bangsa raja atau bangsa perintah (Chauvel 1990). Kini ‘Raja’ (Kepala Desa) diangkat dari kalangan masyarakat biasa yang mempunyai hak dipilih dan memilih. Pada sebagian desa-desa di Seram, Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease, Kepala-Kepala Desa umumnya berasal dari anak negeri yang tidak ada hubungannya dengan kelompok mataruma yang secara adat berhak memerintah. Hal ini berpengaruh terhadap stabilitas desa yang bersangkutan. Setiap kali pencalonan kepala desa dilaksanakan, terjadi konlik antarpendukung calon-calon Kepala Desa yang melibatkan juga calon-calon tradisional. Konflik-konflik ini akan meruncing apabila kedudukan Kepala Desa diberikan kepada semua orang yang memenuhi syarat, termasuk orang dagang sesuai ketentuan yang berlaku. Pada desa-desa/negeri biasanya terdapat orang dagang yang bekerja sebagai penggarap tanah dalam petuanan negeri. Mereka termasuk penduduk desa, tetapi tidak mempunyai hak untuk dipilih. Walau demikian, ada sebagian 22
desa yang masih mempertahankan pengangkatan Raja dari kelompok mataruma yang memerintah. Dengan demikian eksistensi negeri sebagai persekutuan hukum adat masih tetap dipertahankan dan dipelihara. Undangundang ini pun membatasi peranan Kepala Desa pada fungsi-fungsi seremonial saja. Pada beberapa negeri masih diberlakukan saniri negeri terutama saniri kecil, walaupun perannya sebatas untuk membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan adat, sedangkan peranan ‘politik’-nya diambil alih oleh Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Meskipun demikian, Kepala-Kepala Soa diangkat sebagai anggota LMD, dan mereka terkadang dipanggil Bapa Jou, suatu panggilan akrab bagi Kepala Soa. Fungsi lembaga Kewang untuk menjaga lingkungan petuanan negeri dari ancaman perusakan, diterapkan berbeda-beda di tiap desa. Pada beberapa desa tidak lagi ditemukan Kewang. Demikian halnya dengan Marinyo yang berfungsi menyampaikan berita dari Raja. Di desa-desa Islam dan Kristen, informasi atau pemberitahuan dari Kepala Desa kepada masyarakat biasanya disampaikan pada saat ibadah minggu bagi mereka yang beragama Kristen, atau Shalat Jumat bagi yang beragama Islam. Peran Mauwen yang menjalankan tugas sebagai penghubung antara manusia dan kekuatan supra-natural telah digantikan oleh para pemimpin agama, baik Islam maupun Kristen. Dalam bidang kehidupan religi, masyarakat di Pulau Ambon dan Seram membagi roh-roh yang dipercaya ke dalam 2 (dua) golongan menurut statusnya yaitu upu lanite (dewa langit) dan upu umi atau upu ume (dewa bumi). Di Ambon dan Seram, dikenal pula roh orang mati yang disebut nitu yang dianggap mempunyai kekuatan untuk melindungi. Di Seram Barat, dikenal 3 (tiga) jenis nitu yaitu 1) ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
roh orang biasa yang telah meninggal, 2) roh dari pendiri soa, dan 3) roh dari orang-orang yang sangat luar biasa dalam mataruma yang disebut kahbasa (Suharno 1997). Kahbasa juga adalah nama lain dari rumah kakean dan oleh karena itu, kakean seringkali dianggap pula sebagai suatu agama. Ada 2 (dua) ciri kakean. Pertama, kakean berhubungan dengan roh-roh besar seperti nitu elake, ilah (roh) yang besar dalam kultus kakean. Kedua, kakean berhubungan dengan upacara penenerimaan melalui ritus inisiasi. Di Seram Barat, semua anggota patasiwa hitam menjadi anggota kakean. Pada hakekatnya, agama-agama asli dalam prakteknya mempunyai hubungan dengan Saniri dan Mauwen. Walaupun masyarakat di daerah pedalaman masih belum meninggalkan ajaran nenek moyang, mereka berangsur-angsur menjadi pemeluk Kristen atau Islam yang taat. Bagi sebagian masyarakat, adat tetap dianggap penting walaupun hanya dilakukan sekedar bersifat seremonial, seperti upacara adat pelantikan Kepala Desa. Sebagian masyarakat lainnya merasa adat perlu dipertahankan karena menunjukkan ketaatan mereka terhadap leluhurnya. Sebagai contoh: upacara Cuci Negeri, pemberian mas kawin dan kewajiban memberikan kain berkat yang diletakkan di baileu (bila seorang gadis menikah ke luar desanya) merupakan salah satu ekspresi ketaatan kepada leluhur. Upacara tersebut pada desa-desa tertentu tidak lagi dilaksanakan. Baileu sebagai tempat pertemuan saniri dan dianggap tempat yang sakral, pada beberapa desa sudah digantikan dengan gedung Balai Desa. Adanya kesadaran akan pentingnya fungsi agama di masing-masing desa membuat aktivitas agama berlangsung semarak. Di setiap desa terdapat berbagai perkumpulan sosial berbasiskan agama yang dibentuk untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan. Di ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
desa-desa Islam, pengajian dan dakwah dilakukan dari rumah ke rumah. Hal yang sama juga berlaku di desa Kristen, tempat diadakannya kegiatan agama setiap minggu dalam kelompok-kelompok seperti Sekolah Minggu, Kelompok Tunas Pekabaran Injil, Kelompok Pelayanan Pemuda, Kelompok Pelayanan Wanita dan Pria, Pelayanan Unit dan Sektor. Aktivitas agama ini juga membuahkan kentalnya sentimen dan solidaritas kelompok yang dibangun di desa-desa yang tersegregasi menurut agama. Pengaruh agama juga terlihat pada pelaksanaan sasi, yaitu larangan untuk memanen hasil sebelum waktunya. Sasi ini berlaku untuk sasi laut (labuang), sasi kali untuk menangkap ikan dan sasi tatanamang (tanaman) untuk memperoleh produksi tanaman. Pelaksanaan sasi ditandai dengan tanda-tanda tertentu dalam bentuk daun, rumput atau buah yang diletakkan atau digantung pada beberapa tiang di sekitar lokasi yang akan di-sasi. Pada masa lampau, Kewang dan Mauwen mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan sasi adat, baik pada waktu sasi ditutup (tutup sasi) maupun ketika sasi dibuka (buka sasi). Kebiasaan ini berakhir pada tahun 1960 sewaktu diterapkan sasi gereja pada desa-desa/negeri Kristen. Waktu buka sasi maupun tutup sasi dilakukan oleh pendeta. Sasi adat yang semula diumumkan di baileu kini diumumkan di gereja. Walau demikian, pada beberapa negeri di Haruku, Kepulauan Lease, sasi adat masih diterapkan dan Kewang masih berperan dengan baik. Pada desa/negeri Islam, diterapkan sasi negeri. Kepala desa/raja berperan dalam upacara pembukaan dan penutupan sasi negeri ini. Pengaruh agama juga terlihat pada beberapa aktivitas masyarakat, antara lain ketika pelantikan Kepala Desa yang dilakukan oleh pemerintah berlangsung. Acara pelantikan ini diikuti dengan upacara adat, dan terakhir 23
upacara keagamaan yang berlangsung di gereja. Pengaruh agama yang kuat dalam kehidupan masyarakat telah menempatkan adat dalam posisi sub-ordinasi seperti yang terucap dalam ekspresi ‘pertama, Tuhan; kedua, Nene(k) Moyang’. Masuknya kebudayaan luar juga berpengaruh terhadap pranata sosial tradisional lainnya antara lain pela. Pela yang dikenal sebagai hubungan atau aliansi antarnegeri dan diharapkan berfungsi sebagai katup pengaman bagi hubungan-hubungan sosial, ternyata melemah. Panas pela sebagai institusi pendukung yang diharapkan memperkuat kembali hubungan-hubungan pela yang sudah ‘mendingin’, tidak pernah dilaksanakan lagi selama satu generasi sampai mendekati dua generasi, walaupun diketahui ada sebagaian kecil desa/negeri y a n g melaksanakannya.
Penutup Dari perubahan-perubahan yang dikemukakan di atas dapat dicatat beberapa hal. Pertama, menguatnya sentimen dan solidaritas kelompok yang dimaksudkan untuk memper-
tahankan teritorialnya sebagai upaya memelihara kelangsungan hidupnya, walau disadari bahwa perubahan-perubahan di dalam masyarakat tetap berlangsung dari waktu ke waktu. Kedua, konsep gunung-tanah memperlihatkan masih kuatnya hubungan antara penduduk negeri dengan leluhur pendiri negeri atau orang Ambon di rantau dengan negeri asalnya baik secara lokal (negeri itu sendiri) maupun secara global, yakni Ambon sebagai suatu kesatuan budaya. Ketiga, perkembangan agama yang begitu pesat bukan saja berakibat terhadap perubahan pola tatanan masyarakat yang telah terbina sejak dahulu kala, melainkan juga berpengaruh terhadap penguatan sentimen dan solidaritas kelompok. Pada dasarnya, kelompok-kelompok itu sudah tersegregasi menurut agama tertentu. Karena itu, diperlukan adanya katup pengaman dalam bentuk revitalisasi pranata-pranata tradisional yang telah ada. Keempat, segregasi yang ada di pedesaan terjadi juga di kota, karena kuatnya solidaritas dan sentimen kelompok yang menimbulkan adanya jarak sosial antara berbagai kelompok, baik karena perbedaan agama maupun kebudayaan.
Kepustakaan Chauvel, R. 1990 Nationalists, Soldiers and Separatists - The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt 1880-1950. Leiden: KITLV Press. Cooley, F.L. 1987 Mimbar dan Takta (terjemahan oleh Tim Satya Karya). Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Duyvendak, J.P. 1926 Het Kakean Genootschap van Seran. Drukkerij, N.V. W Hilarius Wzn Almelo. Effendi, Z. 1987 Hukum Adat Ambon Lease . Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita. Keuning, J. 1973 Sejarah Ambon sampai pada akhir abad ke 17 (terjemahan oleh S Gunawan). Jakarta: Penerbit Bhratara.
24
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Leirissa, R.Z. dkk. 1982 Maluku Tengah di Masa Lampau - Gambaran Sekilas Lewat Arsip Abad Sembilan Belas. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia. Suharno, D.M.W. 1997 Representation de L’invironnement Vegetal et Praqtiques Agricoles ches les Alune de Lumoli, Seram de L’ouest (Moluques Centrales, Indonnesie de L’Est). Thesis Ph.D. tidak dipublikasikan. Paris: L’Universite Paris VI. Suparlan, P. 1997 ‘Paradigma Naturalistik dalam Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kwalitatif dan Penggunaannya’, Antropologi Indonesia(21)53:91-115.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
25