OPTIMALISASI PENGENDALIAN HAMA PENGISAP POLONG KEDELAI (Riptortus linearis) DENGAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Verticillium lecanii Yusmani Prayogo dan Suharsono Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Kotak Pos 66, Malang 65101
ABSTRAK Riptortus linearis merupakan salah satu hama pengisap polong kedelai yang dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 79%. Berbagai cara pengendalian hama tersebut terus dilakukan untuk menekan kerugian hasil, antara lain dengan pengendalian biologis. Salah satu cara pengendalian biologis yang mudah, murah, dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan adalah dengan memanfaatkan cendawan entomopatogen Verticillium lecanii. Pengendalian R. linearis dengan menggunakan cendawan V. lecanii akan optimal bila dilakukan tepat waktu dan sasaran, karena cendawan tersebut mampu menginfeksi berbagai stadia R. linearis, yaitu efektif terhadap imago, nimfa instar I dan II, dan mampu mengkolonisasi telur. Populasi R. linearis di lapangan beragam bergantung pada stadia pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, aplikasi dianjurkan berulang kali. Cendawan V. lecanii juga kompatibel dengan cara pengendalian lainnya, yaitu dengan predator Oxyopes javanus dan beberapa jenis fungisida antara lain mankozeb, iprodion, dan kaptan. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang optimal, agen hayati tersebut disarankan dipadukan dengan komponen pengendalian hama yang lain melalui pengelolaan hama terpadu (PHT). Kata kunci: Riptortus linearis, pengendalian hama, Verticillium lecanii, cendawan entomopatogen
ABSTRACT The optimum control of soybean pod sucking bug Riptortus linearis by entomopathogenic fungus Verticillium lecanii Riptortus linearis is the most destructive pod sucking bugs on soybean. In severe damage the insect causes 79% yield loss. A biological control using an entomopathogenic Verticillium lecanii is the most promising biological agent due to environmental safety. The success of pod sucking bug R. linearis control is achieved if it is applied in proper way. The fungus infects various insect developmental stages, from egg to adult. Repeated applications of the fungus is recommended. The entomopathogenic fungus is also compatible with other biological control agents such as the predator Oxyopes javanus and several fungicides such as mancozeb, iprodion, and lime. The use of V. lecanii as one of the biological control agents can be integrated into the integrated pest management program of pod sucking bug R. linearis on soybean. Keywords: Riptortus linearis, pest control, Verticillium lecanii, entomopathogenic fungi
D
i Indonesia terdapat tiga jenis hama pengisap polong kedelai, yaitu Nezara viridula, Piezodorus hybneri, dan Riptortus linearis (Tengkano et al. 1991). Kehilangan hasil akibat serangan hama pengisap polong mencapai 79% (Tengkano 1985; Tengkano et al. 1992). Hasil survei di Jawa Timur (Prayogo dan Tengkano 2003, tidak diterbitkan) dan Lampung (Tengkano et al. 2003, tidak diterbitkan) menunjukkan bahwa R.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
linearis mempunyai daerah penyebaran dan serangan yang paling luas dibandingkan dengan hama lainnya. Berbagai upaya pengendalian hama pengisap polong kedelai terus dikembangkan, antara lain dengan: 1) bercocok tanam yang baik dan benar seperti sanitasi, tanam serempak, pergiliran tanaman, dan penanaman tanaman perangkap, 2) menanam varietas tahan, dan 3) cara mekanis (Tengkano et al. 1992). Namun,
kenyataan di lapang menunjukkan bahwa lebih dari 90% petani masih mengandalkan insektisida kimia untuk pengendalian R. linearis karena praktis dan hasilnya cepat diketahui (Marwoto 1992; Marwoto dan Neering 1992). Namun, penggunaan insektisida kimia relatif mahal dan dapat menyebabkan timbulnya berbagai masalah seperti resistensi dan resurjensi hama, terbunuhnya serangga bukan sasaran, dan pencemaran lingkungan khususnya 123
terhadap kesehatan manusia (Palm et al. 1970; Sosromarsono et al. 1988). Pada era globalisasi, kesadaran masyarakat akan kesehatan makin meningkat, yang ditandai dengan makin tingginya tuntutan akan kualitas komoditas pertanian antara lain bebas dari pestisida (Junianto 2000). Berkaitan dengan itu maka pengendalian hama perlu dilakukan dengan cara yang aman, antara lain dengan cendawan entomopatogen. Di Indonesia, pemanfaatan cendawan entomopatogen untuk mengendalikan hama khususnya pada tanaman pangan lebih rendah dibandingkan pada tanaman perkebunan dan sayuran (Hardaningsih dan Prayogo 2001). Kondisi ini disebabkan oleh: 1) tanaman pangan bersifat semusim sehingga agen hayati sulit berkembang karena iklim mikro yang dibutuhkan agen hayati kurang stabil, 2) nilai ekonomi tanaman pangan kurang komersial dibanding tanaman perkebunan dan sayuran, 3) pengetahuan tentang identifikasi serangga hama sasaran serta bioekologinya relatif kurang sehingga sulit menentukan stadia hama yang paling rentan terhadap cendawan entomopatogen, 4) kurangnya informasi tentang peran agen hayati dalam pengendalian biologis, seperti cara perbanyakan, aplikasi, mekanisme kinerja, dan potensinya.
Gambar 1.
124
BIOEKOLOGI Riptortus linearis Siklus hidup R. linearis meliputi stadium telur, nimfa yang terdiri atas lima instar, dan stadium imago. Imago (Gambar 1a) berbadan panjang dan berwarna kuning kecokelatan dengan garis putih kekuningan di sepanjang sisi badannya (Tengkano dan Dunuyaali 1976). Imago datang pertama kali di pertanaman kedelai saat tanaman mulai berbunga dengan meletakkan telur satu per satu pada permukaan atas dan bawah daun. Seekor imago betina mampu bertelur hingga 70 butir selama 4– 47 hari. Imago jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk perutnya, yaitu imago jantan ramping dengan panjang 11– 13 mm dan betina agak gemuk dengan panjang 13–14 mm. Telur R. linearis berbentuk bulat dengan bagian tengah agak cekung, ratarata berdiameter 1,20 mm. Telur berwarna biru keabuan kemudian berubah menjadi cokelat suram (Gambar 1b). Setelah 6–7 hari, telur menetas dan membentuk nimfa instar I selama 3 hari (Gambar 1c). Pada stadium nimfa, R. linearis berganti kulit (moulting) lima kali. Setiap berganti kulit terlihat perbedaan bentuk, warna, ukuran, dan umur. Rata-rata panjang tubuh nimfa
Hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis; (a) imago, (b) telur, (c) nimfa instar I, dan (d) nimfa instar V (Prayogo dan Tengkano 2003, tidak diterbitkan).
instar I adalah 2,60 mm, instar II 4,20 mm, instar III 6 mm, instar IV 7 mm, dan instar V 9,90 mm (Tengkano dan Dunuyaali 1976). Nimfa maupun imago mampu menyebabkan kerusakan pada polong kedelai dengan cara mengisap cairan biji di dalam polong dengan menusukkan stiletnya. Tingkat kerusakan akibat R. linearis bervariasi, bergantung pada tahap perkembangan polong dan biji. Tingkat kerusakan biji dipengaruhi pula oleh letak dan jumlah tusukan pada biji (Todd dan Turnipseed 1974). Serangan R. linearis pada fase pembentukan polong menyebabkan polong kering dan gugur. Serangan pada fase pertumbuhan polong dan perkembangan biji menyebabkan polong dan biji kempes kemudian polong mengering dan akhirnya gugur. Serangan pada fase pengisian biji menyebabkan biji berwarna hitam dan busuk, sedangkan pada fase pematangan polong mengakibatkan biji keriput. Serangan pada polong tua menjelang panen menyebabkan biji berlubang (Todd dan Turnipseed 1974; Tengkano 1985).
KARAKTERISTIK CENDAWAN Verticillium lecanii V. lecanii termasuk dalam devisi Deuteromycotina: Hyphomycetes. Cendawan dalam kelas ini mempunyai paling banyak spesies yang mampu menyebabkan penyakit pada serangga hama (Ferron 1985). Cendawan V. lecanii dapat digunakan untuk mengendalikan serangga hama terutama dari ordo Homoptera (Hoddle 1999; Cloyd 2003) dan Hemiptera (Charnley 2003; Prayogo 2004). Cendawan V. lecanii mudah tumbuh pada berbagai media, terutama pada medium potato dextrose agar (PDA) dan beras. Di dalam cawan petri, diameter koloni dapat mencapai 4–5,50 cm pada 3 hari setelah inokulasi (Gambar 2, kiri). Koloni cendawan berwarna putih pucat. Dua hari setelah inokulasi, cendawan sudah mampu memproduksi konidia. Kumpulan konidia ditopang oleh tangkai konidiofor yang membentuk pialid (whorls) seperti huruf V (Gambar 2, tengah). Setiap konidiofor menopang 5− 10 konidia yang terbungkus dalam kantong lendir. Konidia berbentuk silinder hingga elip, terdiri atas satu sel (Gambar 2, kanan), tidak berwarna (hialin), berukuran 2,30−10 x 1−2,60 µm. Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
Gambar 2.
Karakteristik cendawan Verticillium lecanii; koloni pada medium PDA umur 3 HSI (kiri), kumpulan konidia didukung oleh konidiofor (tengah), dan konidia (kanan) (Prayogo 2005). Gambar 3.
Cendawan V. lecanii tumbuh baik pada suhu 18–30 oC dan kelembapan minimal 80%. Pada kelembapan lebih dari 90% cendawan tumbuh sangat baik (Cloyd 2003). Cendawan V. lecanii bersifat parasit, namun akan berubah menjadi saprofit bila kondisi tidak menguntungkan, misalnya dengan hidup pada serasah atau sisa-sisa hasil pertanian. Cendawan V. lecanii mampu hidup pada bahan organik yang mati dalam rentang waktu yang sangat panjang (Tanada dan Kaya 1993).
Mekanisme Infeksi V. lecanii pada Serangga Terdapat empat tahap etiologi penyakit serangga yang disebabkan oleh cendawan (Ferron 1985). Tahap pertama adalah inokulasi, yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga inang, Propagul cendawan V. lecanii berupa konidia. V. lecanii berkembang biak secara tidak sempurna (imperfect fungi) (Ferron 1985). Selain konidia, organ lain seperti hifa juga berfungsi sebagai alat infeksi pada serangga inang. Pada proses tersebut senyawa mukopolisakarida memegang peranan sangat penting. Tahap kedua yaitu proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga (Ferron 1985; Butts 2003; Kanga et al. 2003). Kelembapan yang tinggi dan bahkan kadang-kadang air sangat diperlukan untuk perkecambahan propagul cendawan (Silva dan Messias 1985; Chamdler et al. 1993; Glare et al. 1995). Pada tahap ini, konidia cendawan akan memanfaatkan Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
senyawa-senyawa yang terdapat pada lapisan integumen serangga. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi pada tubuh serangga. Pada waktu melakukan penetrasi dan menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah (appresorium) (Tyrrell dan MacLeod 1975; Perry et al. 1982; Bidochka et al. 2000). Pada tahap ini, proses tersebut sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen dengan titik penetrasi kecambah cendawan (Santoso 1993). Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Keempat adalah destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Tanada dan Kaya 1993; Lee dan Hou 2003; Strack 2003). Sekitar 48 jam setelah infeksi, serangga sudah mengalami kematian sebelum proliferasi blastospora (Tanada dan Kaya 1993). Beberapa jenis cendawan entomopatogen mempunyai kurang lebih lima jenis enzim, yaitu khitinase, amilase, proteinase (Lee dan Hou 2003), pospatase, dan esterase (Freimoser et al. 2003). Namun, cendawan V. lecanii memproduksi dua senyawa metabolit, yaitu dipicolonic acid dan cyclodepsipeptide (Cloyd 2003). Serangga juga mengembangkan sistem pertahanan diri dengan cara fagositosis atau enkapsulasi dengan membentuk granuloma (Gillespie dan Claydon 1989; Huxham et al. 1989; Gillespie et al. 1997; Charnley 2003). Pada waktu serangga mati, fase perkembangan saprofit cendawan dimulai dengan cara menyerang jaringan dan berakhir dengan pembentukan organ
Imago Riptortus linearis yang terkolonisasi Verticillium lecanii (Prayogo 2004).
reproduksi baru kemudian menyebar ke seluruh tubuh serangga (Hall 1976, 1979). Pada umumnya semua jaringan dalam tubuh serangga dan cairan tubuh habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi (Gambar 3). Pertumbuhan cendawan diikuti dengan pengeluaran pigmen atau toksin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain, terutama bakteri. Pertumbuhan cendawan tidak selalu menembus ke luar jaringan integumen serangga. Apabila keadaan kurang mendukung perkembangan saprofit maka pertumbuhan hanya berlangsung di dalam tubuh serangga. Oleh karena itu, cendawan membentuk struktur khusus yang dapat bertahan yaitu arthrospora (Ferron 1985).
Keefektifan V. lecanii terhadap R. linearis Pengendalian R. linearis akan mencapai hasil yang maksimal apabila dilakukan tepat waktu dan sasaran. Siklus hidup R. linearis terdiri atas beberapa stadia instar sehingga perlu diketahui stadia serangga yang rentan terhadap aplikasi cendawan V. lecanii. Walaupun V. lecanii mampu menginfeksi berbagai stadia R. linearis, aplikasi beberapa kali sangat membantu menurunkan populasi hama sampai pada batas yang tidak merugikan (Hoddle 1999; Cloyd 2003). Dengan demikian, aplikasi V. lecanii dianjurkan dilakukan beberapa kali. 125
Keefektifan V. lecanii terhadap Imago R. linearis Keefektifan agen hayati untuk mengendalikan suatu hama dapat dilihat dari mortalitas serangga uji dan tingkat kerusakan hasil setelah dilakukan aplikasi. Kinerja suatu agen hayati umumnya tidak dapat dilihat dalam waktu singkat seperti halnya insektisida kimia. Namun, aplikasi cendawan V. lecanii dapat menyebabkan kematian imago R. linearis hingga 81% (Gambar 4) (Prayogo 2004), karena cendawan mampu memproduksi senyawa metabolit seperti cyclodepsipeptide dan dipicolinic acid yang sangat virulen terhadap beberapa jenis serangga hama (Cloyd 2003). Di samping menyebabkan mortalitas R. linearis yang cukup tinggi, kerusakan biji akibat tusukan imago juga rendah, hanya 2,60 tusukan tiap biji (Gambar 5) (Prayogo 2004). Tusukan pada biji menyebabkan kualitas dan kuantitas hasil berkurang hingga 79% serta daya kecambah biji rendah (Jansen dan Newsom 1972; Tengkano et al. 1988). Rendahnya tingkat kerusakan biji karena perlakuan cendawan V. lecanii mengindikasikan bahwa agen hayati tersebut berpeluang sebagai salah satu alternatif pengendalian hama pengisap polong kedelai.
Keefektifan Cendawan V. lecanii terhadap Telur R. linearis Suatu agen hayati seperti cendawan entomopatogen dikatakan efektif apabila mampu menginfeksi semua stadia serangga, seperti imago, nimfa, dan telur. R. linearis mempunyai siklus hidup yang meliputi imago, telur, dan nimfa dengan populasi di lapangan yang tumpang tindih. Cendawan V. lecanii mampu menginfeksi berbagai stadia R. linearis sehingga populasi hama tersebut di lapangan selalu terkendali. Di samping itu, V. lecanii mampu hidup dalam jangka waktu lama dengan bertahan sebagai saprofit pada serasah atau sisa-sisa hasil pertanian sehingga eksistensi cendawan cukup berarti (Hall 1973). Cendawan V. lecanii mampu menginfeksi telur R. linearis dan menyebabkan telur yang tidak menetas mencapai 59%, sehingga diharapkan dapat menekan populasi hama di lapangan (Prayogo 2004, 2005). Walaupun telur mampu 126
Mortalitas R. linearis (%) 100 80 60 40 20 0
Gambar 4.
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123
V. lecanii
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234
B. bassiana
12 12 12 12 12 12 12
12 12 12 12 12 12
1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234 1234
N. rileyi
123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123
P. fumosoroseus
123 123 123
12 1212 12 12 12 12 12
123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123 123
M. anisopliae
3 HSA 6 HSA 9 HSA 12 HSA
12
Kontrol
Mortalitas Riptortus linearis yang terinfeksi berbagai jenis cendawan entomopatogen pada beberapa hari setelah aplikasi (HSA).
Jumlah tusukan/biji 35 30 25 20 15 10 5 0 Kontrol
Gambar 5.
V. lecanii B. bassiana
N. rileyi
P. fumoso- M. anisop- Deltametrin roseus liae
Jumlah tusukan imago Riptortus linearis pada biji kedelai akibat aplikasi beberapa jenis cendawan entomopatogen (Prayogo 2004).
Telur menetas dan nimfa hidup (%) 100
Telur menetas
90
Nimfa I hidup
80 70 60 50 40 30 20 10 0
Gambar 6.
Kontrol
V. lecanii
B. bassiana
N. rileyi
P. fumoso- M. anisoproseus liae
Telur Riptortus linearis yang menetas dari nimfa instar I yang mampu hidup setelah infeksi beberapa jenis cendawan entomopatogen (Prayogo 2005). Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
menetas membentuk nimfa instar I, kelangsungan hidup nimfa hanya 21% (Gambar 6).
Keefektifan Cendawan V. lecanii terhadap Nimfa R. linearis Sebelum melakukan pengendalian suatu hama, perlu dipahami biologi serangga hama sasaran sehingga dapat ditentukan saat pengendalian yang tepat. Meskipun hama stadium awal umumnya rentan terhadap berbagai cara pengendalian (Hoddle 1999; Prayogo dan Tengkano 2002), pada ulat api (Setora nitens) kerentanan ulat terhadap cendawan Beauveria bassiana dan Paecilomyces fumosoroseus justru terjadi pada instar yang lebih tua (Widayat dan Rayati 1993). Cendawan V. lecanii lebih efektif terhadap nimfa R. linearis instar I dan II daripada instar lainnya (Prayogo et al. 2005). Mortalitas nimfa instar I dan II berkisar antara 72−80%, sedangkan pada instar lainnya mortalitas paling tinggi hanya 28% (Gambar 7). Tingginya mortalitas instar I dan II akan memudahkan pengendalian karena mobilitas serangga pada instar tersebut kurang aktif dibandingkan dengan instar yang lebih tua, sehingga peluang suspensi konidia cendawan V. lecanii menempel pada integumen jauh lebih banyak. Selain itu, lapisan kulit integumen serangga muda lebih tipis dan lunak sehingga memudahkan konidia cendawan masuk ke dalam tubuh inang. Dengan demikian, pengendalian hama pengisap polong kedelai R. linearis dianjurkan dilakukan pada stadia muda, yaitu nimfa instar I dan II, apabila populasi serangga di lapangan masih tinggi akibat aplikasi sebelumnya kurang berhasil.
patogen. Suatu agen hayati dapat dianggap kompatibel dalam program PHT apabila agen tersebut dapat digunakan bersamaan dengan cara pengendalian lainnya termasuk dengan fungisida. Beberapa penyakit utama kedelai adalah penyakit karat yang disebabkan oleh Phakopsora pachyrhizi, rebah kecambah Rhizoctonia solani, hawar daun dan batang Sclerotium rolfsii, dan bercak kuning Peronospora manshuria (Hardaningsih 1991; 2004). Umumnya petani mengendalikan penyakit-penyakit tersebut dengan fungisida (Sudjonoet et al. 1985; Hardaningsih dan Sumartini 1991; Hardaningsih 1992, 1994). Namun penggunaan fungisida yang mengandung logam berat seperti Cu dan Pb akan mempengaruhi kinerja cendawan V. lecanii (Ropek 2002). Penggunaan fungisida dalam pengendalian penyakit kedelai khususnya karat diharapkan tidak mempengaruhi perkembangan V. lecanii karena cendawan tersebut mampu menghidrolisis dinding sel spora penyakit sehingga perkembangan penyakit tertekan (Tanada dan Kaya 1993). Dengan demikian, peran V. lecanii akan semakin tinggi apabila kompatibel dengan beberapa jenis fungisida. Beberapa fungisida yang diketahui kompatibel dengan cendawan V. lecanii adalah mankozeb, iprodion, dan kaptan (Prayogo dan Marwoto 2005). Kompatibilitas fungisida dengan cendawan terlihat dari pertumbuhan koloni cendawan yang ditumbuhkan pada medium yang mengandung fungisida. Di samping itu, jumlah konidia yang terbentuk juga masih tinggi,
90
KOMPATIBILITAS CENDAWAN V. lecanii DALAM PHT KEDELAI
70 60 50 40
Kompatibilitas Cendawan V. lecanii dengan Fungisida
30 20
Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
Kompatibilitas Cendawan V. lecanii dengan Predator Oxyopes javanus Artropoda predator yang banyak ditemukan pada ekosistem kedelai tergolong dalam beberapa ordo, antara lain Hemiptera (famili Pentatomidae, Reduviidae, Nabidae); Coleoptera (famili Staphylinidae, Carabidae, dan Coccinelidae); Orthoptera (famili Gryllidae); Odonata, serta laba-laba famili Oxyopidae (Daud dan Dai 1992; Mahrub et al. 1992). Salah satu spesies dari famili Oxyopidae adalah Oxyopes javanus yang banyak ditemukan pada pertanaman kedelai di Indonesia (Tengkano dan Bedjo 2002), khususnya di Jawa Timur (Prayogo dan Tengkano 2003, tidak diterbitkan) dan Lampung (Tengkano et al. 2003). Jenis mangsa O. javanus sangat luas, antara lain Spodoptera litura, Piezodorus hybneri, R. linearis, Nezara viridula, Helicoverpa armigera, Etiella zinckenella, dan Ophiomyiia phaseoli. Kemampuan predasi O. javanus terhadap hama utama kedelai khususnya R. linearis sangat tinggi, mencapai 3 ekor/hari (Tengkano dan Bedjo 2002). Semua stadia R. linearis, yaitu nimfa instar I-V serta imago dan telur, merupakan mangsa dari O. javanus.
Mortalitas R. linearis
80
Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan perpaduan dari berbagai cara pengendalian dengan tujuan untuk menekan populasi hama agar tidak melampaui batas ambang kerugian. PHT dapat memanfaatkan mikroorganisme sebagai agen hayati termasuk cendawan entomo-
walaupun tidak setara dengan kontrol (Gambar 8). Namun cendawan V. lecanii tidak dapat dipadukan dengan fungisida yang mengandung bahan aktif karbendazim, tiofanat metil, dan triadimefon.
10 0
Gambar 7.
121234 1234 121234 1234 1234 121234 1234 121234 1234 121234 1234 121234 1234 1234 121234 1234 121234 1234 121234 1234 1234 121234 1234 121234 1234 121234 1234 121234 1234 1234 121234 1234 121234 1234 121234 1234 1234 I
123 1234 1234 1234 123 1234 1234 123 1234 1234 123 1234 1234 123 1234 1234 1234 123 1234 1234 123 1234 1234 123 1234 1234 1234 123 1234 1234 123 1234 1234 123 1234 1234 123 1234 1234 1234 123 1234 1234 123 1234 1234 123 1234 1234 II
1236 HSA 12 9 HSA HSA
1234 1234 1234 12 HSA
123 12 123 123 12 123 123 12 123 123 123 12 123 123 12 123 123 12 123 123
121234 121234 1234 1234 121234 1234 121234 1234 121234 1234 1234
III IV Stadia nimfa R. linearis
121234 1234 1234 121234 1234 121234 121234 1234 1234 V
Mortalitas nimfa Riptortus linearis yang terinfeksi cendawan Verticillium lecanii pada beberapa hari setelah aplikasi (HSA) (Prayogo 2004). 127
Jumlah konidia V. lecanii (x 1.000/ml)
Diameter koloni V. lecanii (cm) 8 7 6
12
Diameter koloni Jumlah konidia
10
5
8
4
6
3
4
2 2
1 0
0 Mankozeb Iprodion
Kaptan
Karben- Triadidazim mefon
Tiofanat metil
Kontrol
Jenis fungisida
Gambar 8.
Diameter koloni dan jumlah konidia cendawan Verticillium lecanii pada medium yang mengandung berbagai jenis fungisida (Prayogo dan Marwoto 2005).
Dilihat dari kemampuan predasinya, O. javanus mempunyai potensi yang tinggi dalam menekan R. linearis pada tanaman kedelai. Dengan demikian, kelangsungan hidup predator tersebut perlu dilestarikan agar dapat berperan secara optimal. Pengurangan penggunaan insektisida dalam pengendalian hama dan menggantinya dengan agen hayati seperti cendawan entomopatogen, diharapkan dapat mengurangi pengaruh buruk insektisida terhadap lingkungan. Dengan demikian, kelangsungan hidup serangga predator khususnya O. javanus dapat terjaga. Kompatibilitas cendawan V. lecanii dengan predator O. javanus diketahui dengan tidak adanya predator yang mati pada 30 hari setelah aplikasi cendawan V. lecanii (Prayogo 2004). Oleh karena itu, cendawan V. lecanii dapat diintegrasikan dalam program PHT kedelai, karena dampak negatifnya terhadap kelangsungan hidup musuh alami jauh lebih rendah dibandingkan dengan insektisida kimia (Lacey dan Goettel 1995; Powprawski et al. 1998).
PERBANYAKAN CENDAWAN Verticillium lecanii Suatu agen hayati akan mudah diadopsi pengguna apabila agen tersebut memiliki
128
beberapa kelebihan, antara lain efektif terhadap hama sasaran, mudah dan cepat diperbanyak, murah, mudah menyesuaikan dengan lingkungan setempat, kompatibel dengan cara pengendalian yang lain, dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Pada umumnya agen hayati sulit memenuhi semua kriteria tersebut. Cendawan V. lecanii, walaupun tidak seefektif insektisida kimia, memenuhi beberapa kriteria tersebut. Oleh karena itu, V. lecanii memiliki peran yang cukup penting dalam PHT kedelai, baik di masa sekarang maupun yang akan datang. Cendawan ini dapat diperbanyak pada berbagai media, terutama beras. Beras dimasukkan ke dalam kantong plastik kemudian disterilisasi dalam autoclave atau dimasak hingga steril. Selanjutnya isolat cendawan diinokulasikan pada medium tersebut. Koloni jamur akan tumbuh pada 2 minggu setelah inokulasi (Gambar 9). Biakan cendawan lalu diencerkan dengan air dan disaring dengan kain kasa. Suspensi konidia cendawan dihitung dengan haemocytometer hingga kerapatan konidia 10 7/ml, atau setara dengan 200 g biakan cendawan umur 2 minggu setelah inokulasi dalam 5 liter air. Selanjutnya cendawan siap diaplikasikan pada hama sasaran. Sebelum diaplikasikan, ke dalam suspensi cendawan ditambahkan bahan
Gambar 9.
Biakan cendawan Verticillium lecanii pada medium beras (Prayogo 2005).
perekat untuk melindungi konidia dari pengaruh air hujan atau angin. Aplikasi pada sore hari lebih efektif daripada pada pagi maupun siang hari.
KESIMPULAN Cendawan entomopatogen V. lecanii dapat digunakan untuk mengendalikan hama pengisap polong kedelai R. linearis. Cendawan mampu menginfeksi semua stadia perkembangan hama. Untuk memperoleh hasil yang optimal, aplikasi perlu dilakukan berulang kali. Cendawan V. lecanii dapat digunakan sebagai salah satu agen hayati pada program PHT kedelai karena perbanyakannya murah dan mudah serta kompatibel dengan cara pengendalian lainnya.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian Dr. Yusdar Hilman, Dr. Titis Adisarwanto, dan Dr. Nasir Saleh, atas saran dan koreksi pada naskah ini.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
DAFTAR PUSTAKA Bidochka, M.J., A.M. Kamp, and J.N.A. Decroos. 2000. Insect pathogenic fungi: from genes to populations. Fungal. Pathol. 171−193. Butts, E. 2003. Metarhizium anisopliae strain F52 biopesticide fact sheet. US Environmental Protection Agency. http://www. epa.gov/pesticides/biopesticides.htm [20 Maret 2005]. Chamdler, D., J.B. Heale, and A.T. Gillespie. 1993. Germination of entomopathogenic fungus Verticillium lecanii on scales of the glasshouse whitefly Trialeurodes vaporariorum. Biol. Sci. Tech. (3): 161−164. Charnley, K. 2003. Fungal pathogens of insects from mechanisms of pathogenicity to host defense. Department of Biology and Biochemistry, University of Bath. http:// www.bath.ac.uk/expertise/showperson. php? employee number = 573 [20 Maret 2005]. Cloyd, R. 2003. The entomopathogen Verticillium lecanii. Midwest Biological Control News. University of Illinois. http://www. extension.umn. Edu/distribution/horticulture /DG7373.html [22 Maret 2005]. Daud, D.I. dan N. Dai. 1992. Inventarisasi musuh alami hama penting tanaman kedelai. Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama Terpadu, Cisarua, 7−8 September 1992. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Universitas Hasanudin Ujung Pandang. Ferron, P. 1985. Fungal control. Comprehensive Insect Physiology. Bioch. Pharmacol. (12): 313−346. Freimoser, F.M., S. Screen, S. Bagga, G. Hu, and R.J. St. Leger. 2003. Expressed sequence tag (EST) analysis of two subspecies of Metarhizium anisopliae reveals a plethora of secreted proteins with potential activity in insect hosts. http://mic.sgmjournals.org/ cgi/ontent/abstract/149/1/239.htm Microbiology (149): 239−247.[20 Desember 2004]. Gillespie, A.T. and N. Claydon. 1989. The use of entomogenous fungi for pest control and the role of toxin in pathogenesis. Pesticide Sci. (27): 203−215. Gillespie, J.P., M.R. Kanost, and R. Trenczek. 1997. Biological mediators of insect immunity. Ann. Rev. Entomol. (42): 611−643. Glare, T.R., R.J. Townsend, and S.D. Young. 1995. Temperature limitations on field effectiveness of Metarhizium anisopliae against Costelytra zealandica (White) (Coleoptera: Scarabidae) in Canterbury. The New Zealand Plat Protection Society Incorporated. http://www.hornet.co.nz/publications/nzpps/proceeding/94/94 266.htm [20 Maret 2005]. Hall, T.M. 1973. Use of microorganism in biological control. p. 610−628. In P. Debach
Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005
(Ed.). Biological Control of Insects Pest and Weeds. Chapman and Hall Ltd., London. Hall, R.A. 1976. A bioassay of the pathogenicity of Verticillium lecanii conidiospores on the aphid, Macrosiphoniella sanborni. J. Invertebr. Pathol. (27): 41−48. Hall, R.A. 1979. Pathogenicity of Verticillium lecanii conidia and blastospores against the aphid, Macrosiphoniella sanborni. J. Invertebr. Pathol. (24): 191−198. Hardaningsih, S. 1991. Penyakit-penyakit baru yang disebabkan jamur pada tanaman kacangkacangan di Jawa Timur. hlm. 45−49. Dalam M. Dahlan, Sudaryono, A. Kasno, Suyamto, H.K. Hendroatmodjo, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1990. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Hardaningsih, S. dan Sumartini. 1991. Pengendalian penyakit karat pada kedelai secara kimiawi. Dalam A. Kasno, K. Hartojo, M. Dahlan, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 154−158. Hardaningsih, S. 1992. Efektivitas beberapa fungisida dalam mengendalikan penyakit karat dan meningkatkan hasil kedelai. Dalam A. Kasno, K. Hartojo, M. Dahlan, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1992. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 72−76. Hardaningsih, S. 1994. Pengaruh pemberian KCl dan fungisida pada tanaman kedelai terhadap serangan jamur karat. Dalam Supriyatin, S.W. Indiati, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1994. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 135−146. Hardaningsih, S. dan Y. Prayogo. 2001. Identifikasi dan patogenisitas jamur entomopatogen untuk mengendalikan hama pengisap polong (Riptortus linearis) dan hama boleng (Cylas formicarius). Dalam B. Prastowo, H. Semangun, N. Widijawati, D. Rahardjo, A. Prasetyaningsih, dan C. Amarantini (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Strategi Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati dalam Era Otonomi Daerah. Yogyakarta, 8−9 Juni 2001. Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. hlm. 145−150. Hardaningsih, S. 2004. Beberapa penyakit penting tanaman kedelai dan upaya pengendaliannya. Seminar Nasional Teknologi Inovatif Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbi-umbian untuk Mendukung Ketahanan Pangan, Malang, 16–17 September 2003. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. hlm. 381−389.
Hoddle, M.S. 1999. The biology and management of silverleaf whitefly Bemisia argentifolii Bellows and Perring (Homoptera: Aleyrodidae) on greenhouse grown ornamentals. http://www.biocontrol.ucr.edu/bemisia.html# verticillium [5 April 2004]. Huxham, I.M., A.M. Lackie, and N.J. Mccorkindale. 1989. Inhibitory effects of cyclodepsipeptides, destruxins, from the fungus Metarhizium anisopliae, on cellular immunity in insects. J. Insects Physiol. (35): 97− 107. Jansen, R.L. and L.D Newsom. 1972. Effect of stink bug damage soybean seeds on germination, emergence and yield. J. Econ. Entomol. (65): 261−264. Junianto, Y.D. 2000. Penggunaan Beauveria bassiana untuk pengendalian hama tanaman kopi dan kakao. Workshop Nasional Pengendalian Hayati OPT Tanaman Perkebunan. Cipayung, 15−17 Februari 2000. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember. Kanga, L.B.B., W.A. Jones, and R.R. James. 2003. Field trials using fungal pathogen, Metarhizium anisopliae (Deuteromycetes: Hyphomycetes) to control the ectoparasitic mite, Varroa destructor (Acari:Varroidae) in honey bee, Apis mellifera (Hymenoptera:Apidae) colonies. J. Entomol. (96): 1.091−1.099. http://www.bioone.org/bioone/ ?request=get-abstract&issn=0022 0493&volume = 096 &1ssue=048&page =1091.htm [20 Maret 2005]. Lacey, L.A. and M.S. Goettel. 1995. Current developments in microbial control of insect pests and prospects for the early 21 st century. Entomophaga (40): 3−27. Lee, P.C. and R.F. Hou. 2003. Pathogenesis of Metarhizium anisopliae var. anisopliae in the smaller brown planthopper Laodelphax striatellus. Chinese J. Entomol. (9): 13−19. http://www.entsoc.org.tw/english/journal/ 9vol/nol/2.htm [20 Maret 2005]. Mahrub, E., F.E. Wagiman, dan Wijanarko. 1992. Jenis dan potensi musuh alami hama penting kedelai dalam berbagai ekosistem di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama Terpadu, Cisarua, 7−8 September 1992. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Marwoto. 1992. Masalah pengendalian hama kedelai di tingkat petani. Dalam Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai, Malang 8−10 Agustus 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm 37−43. Marwoto dan K.E. Neering. 1992. Pengendalian hama kedelai dengan insektisida berdasarkan pemantauan. Dalam Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah
129
Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai, Malang 8−10 Agustus 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 59−65. Palm, C.E., W.W. Dykstra, G. Ferguson, E. Hansberry, W.Y. Hayes, J.R.L.W. Hazleton, J.C. Horstall, E.K. Knipling, L.D. Leach, L.R. Lovvorn, and G.A. Swanson. 1970. Insect pest management and control. Principles of Plant and Animal Pest Control (3): 508 pp. Perry, D.F., D. Tyrrell, and A.J. Delyzer. 1982. The mode of germination of Zoophthora radicans zygospores. Mycologia (74): 549− 554. Powprawski, T., J.C. Legaspi, and P.E. Parker. 1998. Influence of entomopathogenic fungi on Serangium parcesetosum (Coleoptera: Coccinellidae) an important predator of whiteflies (Homoptera: Aleyrodidae). Environ. Entomol. (27): 785−795. Prayogo, Y. dan W. Tengkano. 2002. Pengaruh umur larva Spodoptera litura terhadap efektivitas Metarhizium anisopliae isolat Kendalpayak. Majalah Ilmiah Biologi Biosfera, Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman 19(3): 70−76. Prayogo, Y. 2004. Keefektifan lima jenis cendawan entomopatogen terhadap hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis L. (Hemiptera: Alydidae) dan dampaknya terhadap predator Oxyopes javanus Thorell (Araneida: Oxyopidae). Tesis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 51 hlm. Prayogo, Y. 2005. Cendawan entomopatogen Verticillium lecanii dan Paecilomyces fumosoroseus sebagai salah satu alternatif untuk mengendalikan telur hama pengisap polong kedelai. Berita Puslitbangtan (32): 10. Prayogo, Y. dan Marwoto. 2005. Kerentanan cendawan entomopatogen Verticillium lecanii terhadap beberapa jenis fungisida. AGRIVITA, Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Brawidjaya 27(1): 271−279. Prayogo, Y., Santoso, dan Widodo. 2005. Kerentanan stadia nimfa hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae) terhadap jamur entomopatogen Verticillium lecanii. Jurnal Agrikultura
130
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran 16(2): 125−132.
ber 1988. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.
Ropek, D. 2002. The effect of heavy metal ions and their complexons up the growth sporulation and pathogenicity of the entomopathogenic fungus Verticillium lecanii. J. Invertebr. Pathol. (79): 123−125.
Tengkano, W., B. Untearianto, A. Rauf, dan E.S. Ratna. 1991. Preferensi pengisap polong, Piezodorus hybneri F. (Hemiptera: Pentatomidae) pada berbagai tahap pertumbuhan tanaman kedelai varietas Orba. Prosiding Seminar Biologi Dasar II. Bogor, 14 Februari 1990. Biologi Dasar dalam Menunjang Produktivitas dan Kualitas Hayati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, Bogor. hlm. 108−115.
Santoso, T. 1993. Dasar-dasar patologi serangga. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, dan Y. Trisetyawati (Ed.). Risalah Simposium Patologi Serangga I, Yogyakarta,12−13 Oktober 1993. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor. Silva, J.C. and C.L. Messias. 1985. Virulence of Metarhizium anisopliae to Rhodnius prolixus. Cienc. Cult. (7): 37−40. Sosromarsono, S., J. Soejitno, A. Mukelar, S. Soedarwohadi, dan Suhardi. 1988. Peranan pestisida dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman pangan. Simposium Penggunaan Pestisida secara Bijaksana. Himpunan Perlindungan Tumbuhan Indonesia, Jakarta. 51 hlm. Strack, B.H. 2003. Biological control of termites by the fungal entomopathogen Metarhizium anisopliae. http://www.utoronto.ca/forest/ termite/metani_1.htm [20 Maret 2005]. Sudjono, M.S., M. Amir, dan R. Martoatmodjo. 1985. Penyakit kedelai dan penanggulangannya. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, Yuswadi (Ed.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 331−355. Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology. Academic Press, Inc., California. Tengkano, W. dan M. Dunuyaali. 1976. Biologi dan pengaruh tiga macam umur polong kedelai terhadap produksi telur Riptortus linearis F. Laporan Kemajuan Penelitian Seri Hama/Penyakit (4): 19−34. Tengkano, W. 1985. Tingkat kerusakan ekonomi pengisap polong, Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae) pada tanaman kedelai Orba. Tesis, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 105 hlm. Tengkano, W., T. Okada, dan A.M. Tohir. 1988. Pengaruh serangan pengisap polong terhadap daya kecambah benih kedelai. Seminar Hasil Penelitian Hama Kedelai, Malang 6 Desem-
Tengkano, W., M. Arifin, dan A.M. Tohir. 1992. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pengisap dan penggerek polong kedelai. Dalam Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto (Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai, Malang 8−10 Agustus 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hlm. 117−153. Tengkano, W. dan Bedjo. 2002. Potensi Oxyopes javanus Thorell (Oxyopidae: Araneae) Memangsa Hama Utama Kedelai. Seminar Nasional Perkembangan Terkini Pengendalian Hayati di Bidang Pertanian dan Kesehatan, Institut Pertanian Bogor, 5 September 2002. Tengkano, W., Supriyatin, Suharsono, Bedjo, Y. Prayogo, dan Purwantoro. 2003. Status hama penyakit kedelai dan musuh alami di lahan kering masam. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Todd, J.W. and S.G. Turnipseed. 1974. Effect of Southern green stink bug damage on yield and quality of soybean. J. Econ. Entomol. (3): 421−426. Tyrrell, D. and D.M. MacLeod. 1975. In vitro germination of entomophthora aphidis resting spores. Can. J. Bot. (53): 1.188− 1.191. Widayat, W. dan D.J. Rayati. 1993. Pengaruh Frekuensi Penyemprotan Jamur Entomopatogenik terhadap Ulat Jengkal (Ectropis bhurmitra) di Perkebunan Teh. hlm 91−103. Dalam E. Martono, E. Mahrub, N.S. Putra, Y. Trisetyawati (Ed.). Simposium Patologi Serangga I, Universitas Gadjah Mada, 12− 13 Oktober 1993.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(4), 2005