OPTIMALISASI SI FERMENTASI Rhizopus oryzae DALAM PEMBENTUKAN CURD DAN ANALISIS KUALITAS KEJU MENTAH YANG TERBENTUK
TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Sains Program Studi Biosains
Oleh Makhabbah Jamilatun NIM: S900908008
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Upaya peningkatan kecerdasan masyarakat dapat dicapai dengan terpenuhinya kebutuhan akan gizi. Sehubungan dengan gizi masyarakat, terdapat dua tujuan utama dari penggunaan makanan. Pertama, menyediakan material untuk pertumbuhan tubuh dan regenerasi jaringan tubuh, yang diperoleh dari protein dan tidak dapat digantikan dengan elemen gizi lainnya. Kedua, untuk menyediakan bahan bakar berupa energi yang diperlukan tubuh yang diperoleh dari protein, karbohidrat, dan lemak (Daulay, 1991). Sehubungan dengan hal tersebut, keju yang terbuat dari susu yang sudah dikenal bernilai gizi tinggi mampu memenuhi kedua tujuan utama penggunaan makanan. Keju adalah makanan sumber protein dengan protein utama kasein dan mengandung lemak yang relatif tinggi sehingga dapat menyediakan semua kebutuhan energi bagi tubuh terutama yang dihasilkan dari lemak keju (Daulay, 1991). Keju disukai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena aromanya yang khas. Pemanfaatan keju dalam konsumsi sehari-hari dapat meningkatkan nilai gizi serta citarasa makanan tambahan tersebut. Keju bermanfaat bagi kesehatan karena berperan sebagai perantara bagi probiotik menuju saluran pencernaan (Corbo et al., 2001). Dalam hal pengolahan susu menjadi keju, akan menguntungkan bagi peternak susu karena menjadikan susu lebih tahan lama sehingga nutrisi dalam susu dapat dipertahankan serta akan meningkatkan nilai ekonomi susu (Murti, 2004). Berkaitan dengan keadaan tersebut, maka peluang perkembangan industri keju dalam memproduksi dan menganekaragamkan jenis keju akan semakin besar sehingga pemenuhan dan penyediaan keju dapat dilakukan secara berkesinambungan. Pada umumnya keju dibuat dengan menggunakan koagulan/penggumpal susu berupa rennet anak sapi (Lampert, 1975). Menurut Cogan (1985) rennet menyebabkan kasein (protein
susu) menggumpal. Namun, terdapat kendala utama dalam pengembangan industri keju, yang bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia yaitu kurangnya rennet sebagai penggumpal susu. Hal ini disebabkan karena menurunnya pemotongan anak sapi untuk memperoleh lambung sebagai sumber rennet, sehingga tidak ekonomis (Green, 1977; Shamsuzzaman dan Haard, 1983). Dan dalam hal citarasa, penggunaan rennet sebagai koagulan akan menyisakan sedikit rasa pahit (Fallico et al., 2005). Dengan adanya keterbatasan rennet tersebut telah mendorong dilakukannya penelitianpenelitian untuk mengganti sumber rennet yang cocok, baik berasal dari hewan, tumbuhan, maupun mikroba (Wahba dan El-Abbassy, 1981). Enzim yang pernah digunakan sebagai pengganti rennet antara lain adalah bromealin, papain, protease dari getah widuri dan rennet dari babi. Kelemahan yang paling umum dengan penggumpal nabati adalah apabila berlebihan akan timbul rasa pahit. Penggunaan getah widuri dengan dosis 0,2-0,8 cc getah/liter susu memberikan rasa yang gurih akan tetapi akan timbul rasa pahit bila dosisnya mencapai 1,6 cc/liter susu (Wulandani cit Wulandani, 2003). Kelemahan lain dari tanaman sebagai sumber protease adalah kesulitan untuk melakukan ekstraksi enzim secara efisien karena membutuhkan peralatan berat untuk menghancurkan jaringan tanaman yang besar dan keras, serta pertumbuhan tanaman terlalu lama untuk produksi enzim dalam skala besar (Fowler, 1998). Sementara itu, penggunaan rennet dari babi akan menimbulkan permasalahan bagi kaum muslim. Produksi protease dari hewan pun sangat terbatas, membutuhkan jumlah hewan dan biaya yang besar karena proses ekstraksi enzim dari jaringan hewan sulit dilakukan (Taylor dan Leach, 1995). Melihat kondisi yang seperti itu maka protease pengganti rennet yang dianggap paling cocok adalah dari mikroba. Mikroba merupakan sumber penghasil enzim terbaik, karena pertumbuhan mikroba relatif mudah diatur sehingga mutu enzim yang dihasilkan lebih seragam, dan mampu untuk memproduksi enzim dalam jumlah besar (Standbury dan Whitaker, 1984).
Pada proses pembuatan keju, selain koagulasi kasein juga diperlukan fermentasi susu. Selama ini fermentasi dilakukan oleh bakteri asam laktat. Kedua komponen ini dilakukan secara terpisah. Penerimaan keju oleh konsumen sangat berkaitan dengan flavor (Akalin et al., 2002), maka peningkatan citarasa keju penting dilakukan. Peningkatan citarasa keju biasa dilakukan dengan penambahan lipase. Dalam proses produksinya, pembuatan keju akan lebih efisien jika kebutuhan ini dapat dipenuhi dari satu jenis mikroba. Dengan demikian maka perlu dicari suatu jenis mikroba yang mampu memenuhi seluruh kebutuhan yang diperlukan dalam produksi keju. Rhizopus oryzae yang di Indonesia dikenal sebagai jamur tempe (Nout et. al., 2005; Yoshio, et al., 2004), merupakan jamur yang mampu memenuhi kriteria yang telah disebutkan di atas. R.oryzae diketahui mampu menghasilkan asam laktat (Mirdamadi, 2002), protease (Banerjee and Bhattacharyya, 2004) dan lipase (Hiol et al., 2000). Asam laktat akan membantu mengasamkan susu, protease berfungsi memecah kasein susu serta lipase berfungsi sebagai pemecah lemak yang akan meningkatkan flavor keju. Akan tetapi, hingga saat ini belum didapatkan informasi mengenai penggunaan R.oryzae untuk fermentasi susu dalam pembuatan keju. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan optimalisasi fermentasi oleh R.oryzae yang meliputi variasi konsentrasi inokulum, suhu, dan waktu fermentasi. Terdapat tiga tahapan penelitian. Pertama, penghitungan laju pertumbuhan R.oryzae dan pengukuran nilai pH pada starter dan selama fermentasi dalam pembentukan curd. Kedua, pembuatan keju yang dilanjutkan dengan analisis kualitas fisik, kimia, dan uji kesukaan. Ketiga, uji kualitas mikrobiologi dan analisis profil asam amino esensial pada keju mentah yang terbentuk pada kondisi optimum fermentasi. B. Perumusan Masalah Permasalahan yang dikaji dalam penelitian meliputi : 1. Bagaimana kondisi optimum konsentrasi inokulum, suhu, dan waktu fermentasi R.oryzae dalam pembentukan curd ?
2. Bagaimana pengaruh kondisi optimum konsentrasi inokulum, suhu, dan waktu fermentasi yang berbeda terhadap kualitas keju mentah yang terbentuk ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk : 1. Mendapatkan kondisi optimum konsentrasi inokulum, suhu, dan waktu fermentasi R.oryzae dalam pembentukan curd. 2. Mengetahui pengaruh kondisi optimum konsentrasi inokulum, suhu, dan waktu fermentasi yang berbeda terhadap kualitas keju mentah yang terbentuk.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain : 1. Memberi informasi kepada masyarakat mengenai perkembangan ilmu dan teknologi pengolahan susu khususnya pembuatan keju. 2. Meningkatkan
potensi
jamur
Rhizopus
oryzae
dalam
pengolahan
makanan
terfermentasi. Memberi informasi tentang kondisi optimum konsentrasi inokulum, suhu, dan waktu fermentasi R.oryzae dalam pembentukan curd dan pengaruhnya terhadap kualitas keju mentah yang terbentuk.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Keju a. Definisi Keju Keju merupakan salah satu produk fermentasi susu dengan menggunakan protease sebagai koagulan dan merupakan penyatuan komponen-komponen susu terutama protein dan lemak. Pada dasarnya keju adalah protein susu yang dijendalkan. Dalam pembuatan keju, untuk memisahkan protein susu tidak dapat dikerjakan dengan separasi melainkan dengan cara penambahan asam, misalnya asam laktat dan asam khlorida, atau dengan penambahan enzim protease misalnya rennet, mucor-renin, dan sebagainya (Purnomo, 1996). b. Klasifikasi Keju Keju dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Menurut Kosikowski dan Mistry (1997), keju dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan komposisinya, yaitu keju alami, keju proses, dan keju imitasi. Keju alami adalah keju sebenarnya. Keju proses adalah keju buatan yang di dalamnya mengandung 50-90% keju alami. Keju imitasi adalah keju buatan yang terbuat dari bahan selain susu dan aroma keju diperoleh dari aroma buatan atau keju alami. Menurut Sumarjono (1987), keju dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan teksturnya, yaitu keju keras dan keju lunak. Keju keras masih dapat dikelompokkan lagi menjadi sangat keras dan agak keras. Keju sangat keras ada yang dengan lubang (keju cheddar) dan ada yang tanpa lubang (keju swiss). Sedangkan keju agak keras ada yang
6 dimatangkan oleh jamur (keju requofort) dan ada yang dimatangkan oleh bakteri (keju brick). Untuk keju lunak, pengelompokkan dilakukan menjadi tiga, yaitu keju yang
5
dimatangkan oleh bakteri (keju limburger), oleh jamur (keju camembert), dan keju yang tanpa dimatangkan (keju cottage). Berdasarkan kematangan, keju dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu keju mentah dan keju matang. Keju mentah merupakan keju yang diperoleh dari pembuatan keju sampai proses perendaman garam. Keju mentah dibedakan menjadi 3, yaitu keju cottage, keju cream, dan keju cooking/no-melt. Keju matang merupakan keju mentah yang diperam selama beberapa bulan (Sumarjono, 1987). c. Sifat Fisik Keju Pada proses pembentukan keju akan terbentuk dua golongan protein yaitu protein menggumpal yang disebut curd yang akan menjadi keju melalui proses pembuatan selanjutnya dan protein terlarut yang disebut whey (Murti, 2004). Curd adalah gumpalan yang terbentuk oleh aktivitas koagulan yaitu campuran enzim yang mempunyai aktivitas proteolitik (Marth dan Steele, 2001). Whey merupakan protein yang tidak mengalami presipitasi karena asam, dan mencerminkan sekitar 20% dari total kandungan protein (Murti, 2004). Whey merupakan hasil samping (by product) dari pembuatan keju. d. Komposisi Kimia Keju Komposisi kimia keju juga sama sebagaimana komposisi kimia susu, yaitu lemak, protein, dan garam yang tidak larut bersama dengan air, laktosa, dan albumin (Daulay, 1991). Komposisi kimia keju yang penting untuk diketahui dan bermanfaat bagi konsumen antara lain kadar lemak dan kadar proteinnya. Berikut ini tabel kadar air, kadar lemak, dan kadar protein dari berbagai keju : Tabel 1. Kadar air, lemak, dan protein berbagai macam keju (%) Jenis Keju Camembert Cheddar Edam Permesan
Kadar air (%) 50,3 37,5 39,5 31,0
Kadar lemak (%) 26,0 32,8 23,8 27,5
Kadar protein (%) 19,8 24,2 30,6 37,5
Requofort
39,5
33,0
22,0 (Lampert, 1975)
e. Tahapan Pembuatan Keju Tahap pembuatan keju melibatkan dua fase yang saling berhubungan, yang pertama yaitu pembentukan komposisi dan pH, yang kedua yaitu membangun karakteristik fisik dan citarasa (Marth dan Steele, 2001). Pembuatan keju meliputi lima tahap, yaitu pengasaman, penggumpalan, pengaliran cairan whey, penggaraman, dan pemeraman. Berikut ini adalah tahap-tahap proses pembuatan keju menurut Sumarjono (1987): 1) Pengasaman Sebelumnya susu dipasteurisasi dengan tujuan untuk membunuh bakteri patogen
dan
mengurangi
sejumlah
besar
bakteri
lainnya
yang
akan
dapat
mempengaruhi dalam pembuatan keju. Kondisi pasteurisasi biasanya dikerjakan dengan suhu pemanasan sekitar 65-72
o
C selama +30 detik. Selanjutnya, dilakukan
pengasaman agar susu bersifat sedikit asam. Sifat susu yang sedikit asam sangat diperlukan untuk membantu mempercepat penggumpalan protein susu. Pengasaman dikerjakan dengan menyimpan susu dengan penambahan starter dari bakteri asam laktat. Bakteri-bakteri yang digunakan dalam pembuatan keju untuk starter adalah bakteri yang dapat menghasilkan asam laktat dari laktosa, yaitu Streptococcus lactis, Leuconostoc sp. dan Lactobacillus sp. (Sumarjono, 1987). 2) Penggumpalan/koagulasi Penggumpalan bertujuan untuk menggumpalkan protein susu. Proses ini dikerjakan dengan asam atau enzim protease. Hasil terbaik akan diperoleh apabila menggunakan rennet, yang merupakan salah satu enzim protease.
Penggumpalan protein susu juga dapat dilakukan tanpa menggunakan enzim. Beberapa agensia yang menyebabkan perubahan sifat alamiah dari protein, seperti panas, asam, basa, solven organik, dan garam (Sudarmadji, 1996). 3) Pengaliran cairan whey (whey syneresis) Pada tahap ini dilakukan penyaringan dengan kain yang bersih. Penyaringan ini dimaksudkan untuk memisahkan curd dan whey. Curd yang dihasilkan dari penyaringan kemudian diambil, sedangkan wheynya dibuang. Selanjutnya dilakukan pengepresan yang bertujuan untuk memberikan kekompakan bentuk pada keju, disamping itu sisasisa whey atau air dapat dikeluarkan seluruhnya. 4) Penggaraman dan pemeraman keju Pada tahap ini, garam ditambahkan sebanyak kurang lebih 2-6% dari total pembuatan keju agar keju mempunyai rasa asin. Garam ditambahkan dalam bentuk kristal yang telah dihaluskan. Beberapa jenis keju dikonsumsi langsung (fresh cheese), namun sebagian besar keju diperam (dimatangkan) selama beberapa periode yaitu 3 minggu sampai 2 tahun untuk membentuk karakteristik flavor dan tekstur. Selama pemeraman, terjadi banyak sekali perubahan mikrobiologi, kimia, dan biokimia pada keju yang menyebabkan perubahan pada komposisi utama keju tersebut, seperti protein, lemak, dan residu laktosa yang biasanya menurun (Law, 1997). f.
Citarasa Keju Citarasa berbagai jenis makanan merupakan kombinasi dari aroma dan rasa. Citarasa dan tekstur terbentuk pada periode waktu yang lama, dimulai saat pembuatan keju sampai periode pemeraman. Citarasa dibangun oleh kultur starter, dan modifikasi enzimatik dari berbagai komponen susu. Proteolisis mempengaruhi tekstur, juga membuat formasi citarasa dari peptida dan asam amino bebas yang merupakan prekusor pembentukan komposisi aroma. Lipolisis sangat penting dalam pembentukan citarasa keju peram, dimana
starter bakteri mempunyai efek langsung pada citarasa fresh cheese, contoh keju cottage (Law, 1997). 2. Asam Laktat dalam Produksi Keju Dalam industri makanan termasuk keju, asam laktat berperan sebagai pembentuk flavor dan sebagai agen antimikrobial (Raber cit Skory, 2000). Asam laktat berperan terhadap komponen flavor, aroma dan tekstur keju (Samarzija et al., 2001). Asam laktat dihasilkan oleh mikroorganisme pembentuk asam laktat yang terdapat di dalam susu yang disebut dengan starter. Starter merupakan susu segar yang telah ditumbuhi oleh mikroorganisme nonpatogen yang ditambah dari luar sebagai pembentuk asam dan membentuk karakteristik serta mutu tertentu berbagai jenis produk susu (Daulay, 1991). Fungsi penting dari karakter kultur starter adalah mampu memproduksi asam laktat secara konsisten, sebagai perantara dalam perkembangan bentuk keju, dan menjaga keseimbangan rasa yang terbentuk (Muchtadi, 1989). Mikroorganisme yang paling banyak digunakan adalah BAL (Bakteri Asam Laktat), yang menghasilkan asam terutama asam laktat dengan fermentasi laktosa. Asam ini memberikan citarasa asam yang segar pada tahu keju, membantu terjadinya penggumpalan oleh protease, menyebabkan terjadinya pemerasan tahu keju, membentuk karakteristik tekstur spesifik selama pembuatan keju. Nilai pH rendah membantu menekan pertumbuhan bakteri patogen dan bakteri pembusuk sehingga bersifat mengawetkan keju (Daulay, 1991; Law 1997). Dalam batas-batas tertentu, fermentasi laktosa dalam susu untuk pembuatan keju dapat dilakukan oleh BAL yang mengkontaminasi susu secara alami. Namun demikian, pada industri keju, dimana sejumlah besar susu diolah menjadi keju, hal tersebut tidak efektif lagi karena diperlukan suatu proses fermentasi yang terpercaya dan berlangsung cepat. BAL yang secara alami terdapat dalam susu terbunuh pada waktu proses pasteurisasi dan untuk menggantikannya digunakan BAL yang terdapat dalam starter yang
diinokulasikan ke dalam susu. Galur-galur terpilih yang mampu meningkatkan keasaman dan menghasilkan senyawa-senyawa citarasa yang diharapkan digunakan sebagai starter untuk memperoleh kecepatan pengasaman sebagai starter yang mantap selama proses pembuatan keju (Daulay, 1991; Samarzija et al., 2001). Salah satu penggunaan jamur dalam pembuatan keju adalah sebagai starter. Menurut Moerira et al. (2001), jamur yang sering digunakan dalam pembuatan keju adalah Penicillium sp. Beberapa faktor yang menyebabkan jamur dapat digunakan dalam pembuatan keju adalah kemampuannya untuk tumbuh dalam temperatur rendah, dalam kadar oksigen rendah, resisten terhadap bahan pengawet, dan bersifat lipolitik (Muchtadi, 1989). Penggunaan starter akan mempengaruhi sifat keju baik fisik, kimia, biokimia, dan sensori. Hal itu disebabkan kultur starter mengkontribusikan proteolisis pada tingkat yang berbeda (Hayaloglu et al., 2005). 3. Protease dalam Produksi Keju Protease adalah enzim yang mampu menghidrolisis ikatan peptida. Enzim protease mempunyai dua pengertian yaitu proteinase yang mengkatalis hidrolisis molekul protein menjadi fragmen-fragmen besar dan peptidase yang menghidrolisis fragmen-fragmen polipeptida menjadi asam amino. Enzim protease termasuk dalam golongan enzim hidrolase sehingga dalam menghidrolisis substrat harus dengan pertolongan air (Frazier dan Westhoff, 1983). Protease dimanfaatkan untuk menggumpalkan protein susu dalam pembuatan keju (Fowler, 1988). Protease dihasilkan dari tiga sumber utama yaitu tanaman, hewan dan mikroba. Sumber protease komersial berasal dari binatang ternak, sejumlah tanaman besar maupun ragi, kapang dan bakteri (Bailey dan Olis, 1988). Enzim papain, bromealin, dan fisin merupakan protease yang dihasilkan dari tanaman. Sedangkan tripsin, pepsin, dan rennet merupakan protease yang berasal dari hewan. Enzim dari hewan yang paling banyak digunakan dalam industri pangan
adalah khimosin yaitu pada industri keju. Sedangkan enzim tanaman yang paling banyak digunakan dalam industri pangan adalah papain dan bromealin. Pada tahun 1950-1960, pemanfaatan enzim dari hewan dan tanaman mulai digantikan oleh enzim mikrobial (Nagodawithana dan Reed, 1993). Menurut Brown dan Enstrom (1998), United States Standards of Identity for Cheese telah mengijinkan penggunaan rennet dari protease lain yang berasal dari hewan, dan tumbuhan. Pada tahun 1974, dua pertiga perusahaan keju di Amerika Serikat telah menggunakan pengganti rennet yang telah diperoleh dari sumber lain seperti Mucor miehei, Endothia parasitica, atau Mucor pussilus (Garcia, 2005). Rennet yang mengandung protease berperan untuk menggumpalkan susu sehingga membentuk matriks tersebut. Selain berperan membentuk curd, rennet juga berperan dalam pengembangan flavor keju selama pemeraman. Protease yang tersisa dalam curd selama pemeraman akan menghidrolisis kasein menghasilkan peptida dengan rantai kecil, sedang dan besar, tetapi sedikit asam amino bebas. Peptida tersebut kemudian didegradasi lebih lanjut oleh bakterial flora yang terdapat dalam keju (Cheeseman, 1981; Johnson, 1988). Perubahan hidrolitik yang disebabkan oleh proteolitik rennet, selama pematangan tidak hanya penting dalam hal pengembangan flavor tetapi juga berpengaruh terhadap perubahan body dan tekstur keju (Tarakci dan Kucukoner, 2006). Koagulan adalah yang paling bertanggung jawab tehadap proteolisis primer yaitu pemecahan protein menjadi peptide-peptida. Proteolisis berperan terhadap pembentikan komponen volatil (Hayaloglu et al., 2007). Proteolisis berperan secara langsung terhadap flavor maupun sabagai prekusor pembentuk flavor (Singh et al., 2003; Visser cit Awad, 2005). Enzim proteinase dan peptidase berperan penting dalam perubahan peptidase dan asam amino yaitu akan menjadi prekusor dalam pembentukan flavor (Urbach, 1997; Broome, 1998).
Penggumpalan susu merupakan proses yang komplek, yang melibatkan tahap enzimatik dan non enzimatik. Pada tahap enzimatik, yang merupakan tahap pertama, k-kasein diubah dan kehilangan kemampuannya untuk menstabilkan komplek kaseinat yang lainnya. Tahap kedua, yang merupakan tahap non enzimatik, terjadi agregasi kasein yang kemudian misel kasein membentuk suatu struktur gel yang kokoh (Brown and Enstrom, 1998). Enzim protease mengawali penggumpalan susu dengan memotong k-kasein pada permukaan misel kasein untuk membentuk para k-kasein dan suatu makropeptida. Rennet memotong ikatan Phe105- Met106 pada k-kasein dan sedikit pemotongan pada ikatan lain, sehingga menghilangkan kemampuan menstabilkan alpha dan beta kasein yang lebih sensitif terhadap kalsium. Hasilnya para k-kasein mengendap dengan adanya ion kalsium. Bagaimana kalsium-para-k-kasein, yang bersama-sama dengan kasein yang sensitif dengan kalsium lainnya, membentuk suatu agregat tidak diketahui dengan jelas. Enzim penggumpal susu selain rennet, kurang spesifik tetapi mempunyai pengaruh umum sama (Brown and Ernstrom, 1988). Tahap enzimatik dipengaruhi oleh semua faktor yang mempengaruhi reaksi enzim. Perbedaan jumlah enzim mempunyai pengaruh yang paling besar. Temperatur meningkatkan kecepatan pemotongan k-kasein sampai temperatur tersebut, kecepatan reaksi menurun dengan cepat dan aktivitasnya tidak dapat dikembalikan (Brown and Ernstrom, 1998). 4. Lipase dalam Produksi Keju Enzim lipase merupakan golongan enzim hidrolase yang bekerja pada lemak dan minyak (Joseph et al., 2007). Penggunaan lipase semakin meningkat karena aplikasinya yang semakin berkembang di dalam berbagai industri baik industri pangan maupun industri nonpangan (Gandhi, 2007). Enzim lipase ini merupakan enzim yang dapat menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas, gliserida serta gliserol (Winarno, 1995; Benjamin, 1998). Lipase juga mampu mengkatilasasi hidrolisa dari asilgliserol dan ester asam lemak lainnya pada kondisi air dan mampu mensintesa ester pada pelarut organik (Ueda et al., 2002). Enzim lipase dapat diperoleh dari beberapa sumber seperti tanaman, hewan dan mikroorganisme (Rapp,
1992). Enzim lipase bersumber dari hewan oleh Svenden (1994) dikelompokkan berdasarkan sumbernya yaitu : lipase pada sistem pencernaan, lipase yang terdapat pada jaringan seperti hati, paru-paru dan ginjal serta lipase dalam air susu. Lipase dari tanaman oleh Mukherjee dan Hills (1994) dikelompokkan menjadi lipase triasilgliserol, asilhidrolase, fosfolipase dan lisofosfolipase. Enzim lipase dari mikroorganisme dapat diperoleh dari bakteri, kapang dan khamir Svenden (1994) dan ditemukan sebagai enzim intraseluler dan enzim ekstraseluler. Enzim ekstraseluler merupakan enzim yang dihasilkan sel kemudian dikeluarkan melalui dinding sel ke dalam medium sekitarnya dan bereaksi memecah bahan organik tanpa tergantung pada sel yang melepaskanya. Enzim intraseluler dihasilkan di dalam sel yaitu pada bagian membran sitoplasma. Enzim tersebut melakukan metabolisme di dalam sel (Frost and Most, 1987). Pada berbagai produk, enzim lipase sudah banyak digunakan terutama dalam pengolahan susu, pembuatan keju, pembuatan mentega, serta dalam pembuatan produk-produk pangan yang lain (Muchtadi et al., 1992). Dalam industri keju, lipase berfungsi untuk menambah aroma. Lipolisis akan membantu terbentuknya komponen pembentuk flavor melalui asam lemak bebas yang biasanya banyak dilakukan oleh kapang. Lipase dari M.miehei mempengaruhi sama lemak rantai panjang pada keju sedangkan lipase dari A.niger mampu memotong asam lemak rantai panjang dan rantai pendek (Law, 1997). 5. Keuntungan Mikroba sebagai Penghasil Enzim Keunggulan mikroba lainnya dibandingkan enzim dari tanaman dan hewan adalah mikroba dapat berkembangbiak lebih cepat, tidak membutuhkan tempat yang luas untuk tumbuh dan berkembang biak, tidak tergantung musim, pengontrolan faktor lingkungan lebih mudah dan dapat diproduksi sewaktu-waktu, biaya produksi lebih murah (Standbury dan Whitaker, 1984). Serta sebagian besar enzim mikroba yang dihasilkan secara komersial adalah enzim ekstraselular yang diproduksi di dalam sel dan dikeluarkan ke cairan lingkungan sekitar
tempat sel tersebut tumbuh, yang menurut Fowler (1998) bahwa hal ini merupakan salah satu kelebihan
mikroba
dibandingkan
hewan
dan
tanaman
yang
membutuhkan
proses
penghancuran sel untuk mendapatkan enzim yang diinginkan.
6. Rhizopus oryzae a. Morfologi dan Kehidupan R.oryzae R.oryzae termasuk mikroba aerob yang pertumbuhannya memerlukan oksigen. R.oryzae mempunyai miselium yang berwarna putih, kemudian semakin lama menjadi abuabu kecoklatan dengan tinggi
+ 16 mm. Permukaan stolonnya halus atau agak kasar
dengan rhizoid yang berwarna kecoklatan dan sporangiofor tunggal ataupun kelompok. Sporangianya globosa, kolumelanya ovoid atau globosa, sedangkan sporangiosporanya globosa, ovoid, atau tidak beraturan berbentuk poligonal. Pertumbuhan R.oryzae cepat dan membentuk miselium seperti kapas dengan warna putih dan berwarna gelap ketika dewasa. R.oryzae dapat tumbuh pada suhu 7 0C hingga 45 0C dan optimum pada suhu 37 0C (Pitt and Hocking, 1997). Morfologi R.oryzae menurut Wikipedia (2007) seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Morfologi R.oryzae
Klasifikasi R.oryzae menurut Wikipedia (2007):
Kingdom Divisio Class Ordo Familia Genus Spesies
: Fungi : Zygomycota : Zygomycetes : Mucorales : Mucoraceae : Rhizopus : Rhizopus oryzae
b. R.oryzae dalam Bahan Pangan R.oryzae termasuk kapang yang dimanfaatkan dalam industri makanan. Salah satu pemanfaatannya adalah dalam pembuatan bahan pangan melalui proses fermentasi seperti tempe (Lennartsson, 2007). R.oryzae aman dikonsumsi karena tidak menghasilkan toksin. R.oryzae mempunyai kemampuan mengurai lemak kompleks menjadi trigliserida dan asam lemak (Septiani, 2004). R.oryzae merupakan salah satu jamur nonpatogen dan tidak beracun serta tidak mengandung aflatoksin. Karbohidrase yang dihasilkan R.oryzae aman digunakan dalam produksi dekstrosa dari pati (Food and Drug Administration, 2008). Enzim Lipase yang dihasilkan oleh R.oryzae dari proses fermentasi tidak menunjukkan adanya racun dan tidak berpotensi sebagai mutagen (Coenen et al., 1997). Hasil penelitian Flood dan Mitsuru (2003), menunjukkan bahwa Lipase D yang menghidrolisa triasilgliserol menjadi asam lemak aman digunakan untuk fermentasi dalam industri pangan. Lipase intraseluler yang dihasilkan oleh R.oryzae tidak aktif pada suhu 30 0
C (Essamri et al., 1998).
c. Peran R.oryzae dalam Produksi Keju Peran R.oryzae dalam produksi keju berkaitan dengan kemampuan R.oryzae dalam menghasilkan asam laktat, protease dan lipase. Menurut Prescott dan Dunn (1959) R.oryzae merupakan jamur yang paling banyak digunakan untuk produksi asam laktat sampai saat ini. Penggunaan R.oryzae mempunyai keuntungan yang berupa asam laktat yang dihasilkan hanya berbentuk isomer L(+) asam
laktat saja (Midarmadi et al., 2002). Penelitian Saito et al. (2004), R.oryzae strain NBCR 4707 memproduksi asam laktat lebih efisien daripada strain NRRL 395 dalam substrat kentang. Ditambahkan oleh Zhang et al. (2007) bahwa strain R.oryzae hanya memproduksi L-asam laktat yang bermanfaat bagi industri makanan karena D-isomer berbahaya bagi manusia. Dalam bidang farmasi dan makanan, hanya L(+) asam laktat yang digunakan karena dapat dicerna oleh usus manusia. Berdasarkan asam laktat yang dihasilkan, R.oryzae termasuk dalam mikroba heterofermentatif, yaitu proses fermentasi yang menghasilkan laktat sebagai produk utama dan etanol, CO2, asetat sebagai produk sekunder yang biasanya diproduksi melalui jalur fosfoketolase (Kuswanto dan Slamet, 1989). R.oryzae adalah salah satu fungi yang mampu menghasilkan protease. Produksi enzim proteolitik dari R.oryzae pada bioreaktor secara optimum dilakukan pada aerasi 8 jam dan inkubasi 2 hari (Prasad et al., 2004). Pada penelitian Tunga et al. (2004), R.oryzae menghasilkan protease alkalin ekstraseluler pada kondisi optimum dengan temperatur 32 0
C. R.oryzae adalah fungi yang mampu menghasilkan lipase. Penelitian Saleh (1993),
telah menggunakan kapang R.oryzae termofilik untuk menghasilkan enzim lipase intraseluler dan ekstraseluler menunjukkan bahwa sumber karbon yang digunakan seperti glukosa, fruktosa arabinosa, sorbitol dan maltosa umumnya meningkatkan produksi enzim lipase intraseluler R.oryzae. Nuraida et al. (2000) telah mempelajari aktivitas lipase 10 kapang Rhizopus dan 10 kapang Mucor. Enzim lipase dari kapang-kapang tersebut baik yang intraseluler maupun ekstraseluler menunjukkan aktivitas hidrolisis dan aktivitas esterifikasi. Lipase dari kapang Rhizopus oryzae TR 32 mempunyai aktivitas hidrolisis dan aktivitas esterifikasi yang tinggi dibanding kapang-kapang yang di uji. Hasil seleksi Hou dan Johnston (1992), pada media padat menunjukkan organisme penghasil lipase tertinggi adalah kapang, diikuti bakteri dan khamir. Kapang penghasil lipase yang paling baik adalah Rhizopus spp.
Rapp dan Backhaus (1992) telah menyeleksi 17 kapang Rhizopus dan
diantaranya terdapat 12 galur yang dapat menghasilkan lipase ekstraseluler yang cukup tinggi. Pada media kultur biasa, R.oryzae hanya membentuk satu macam lipase, ROL32. Namun jika disimpan dalam suhu 0 0C selama beberapa bulan atau dijaga pada suhu 6 0C selama beberapa hari akan menampakan bentuk yang lebih pendek yaitu ROL29 dengan kehilangan N-terminalnya. Hal ini penting dalam spesifitas aktivitas enzim dan ikatan antara enzim dan substrat (Sayari et. al., 2005).
7. Fermentasi Proses fermentasi adalah suatu proses yang mendayagunakan suatu mikroba tertentu atau campuran dari beberapa spesies mikroba untuk menghasilkan senyawa tertentu (Rahman, 1992). Fermentasi ialah proses baik secara aerob maupun anaerob yang menghasilkan berbagai produk yang melibatkan aktivitas mikroba atau ekstraknya dengan aktivitas mikroba terkontrol (Darwis dan Sukara, 1989). Fermentasi merupakan proses yang telah lama dikenal manusia. Fermentasi merupakan proses untuk mengubah suatu bahan menjadi produk yang bermanfaat bagi manusia, seperti fermentasi susu kambing, unta yang terjadi di Sumaria dan Babilonia pada jaman Mesopotamia. Hingga saat ini, proses ferementasi telah mengalami perbaikan-perbaikan dari segi proses sehingga dihasilkan produk fermentasi yang lebih baik (Tamime dan Robinson, 1999). Terdapat tiga macam proses fermentasi cair yaitu fermentasi batch, fermentasi kontinyu, dan fermentasi fed-batch. Pada fermentasi batch, setelah inokulasi tidak dilakukan penambahan substrat ke dalam media. Proses fermentasi ini umumnya dijumpai empat fase pertumbuhan mikrob, yaitu fase lag, fase log, fase stasioner dan fase kematian. Pada fermentasi kontinyu, ada penambahan dan pengurangan kultur selama proses fermentasi, sehingga volume tetap dan kondisi fisiologi sel cenderung konstan. Sedangkan pada fase fermentasi fed-batch, ada penambahan substrat pada fase pertumbuhan tertentu yang bertujuan untuk memperpanjang fase pertumbuhan yang diinginkan (Rahman,1992)
B. Kerangka Berfikir
Susu, minuman kaya nutrisi
Fermentasi
Optimalisasi: konsentrasi, suhu, waktu
Rhizopus oryzae Asam laktat, protease, lipase
Curd
Analisis
Kualitas fisik (rendemen curd, kadar air) Kualitas kimia (nilai pH, kadar lemak, kadar protein) Uji tingkat kesukaan (rasa, aroma, warna, tekstur)
Keju mentah Kualitas mikrobiologi Analisis profil asam amino esensial
Gambar 2. Kerangka Berfikir Optimalisasi Fermentasi Rhizopus oryzae dalam Pembentukan Curd dan Analisis Kualitas Keju Mentah yang Terbentuk
BAB III METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu bulan Oktober 2008 sampai dengan Januari 2009 bertempat di Sub Lab. Biologi Laboratorium MIPA Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
B. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : Kompor listrik, panci, magnetic stirrer, hot plate, timbangan analitik, oven, inkubator, erlenmeyer, gunting, gelas beker, gelas ukur, pH-meter, jarum ose, tabung reaksi, rak tabung, pipet ukur, bunsen burner, termometer, alat press, beban, baskom, botol kaca, kain saring, plastik, aluminium foil, autoklaf, soxhlet, desikator, peralatan HPLC, BD Phoenix.
2. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Bahan untuk pembuatan starter Kultur kerja Rhizopus oryzae diperoleh dari Fakutas Pertanian UNS Surakarta, media PDA agar, dan susu skim.
23 b. Bahan untuk pembuatan keju
Susu sapi segar yang diperoleh dari peternak sapi Kabupaten Boyolali, starter, rennet, dan NaCl jenuh c. Bahan khemikalia Pelarut petroleum eter, alkohol 70%.
C. Rancangan Percobaan Rancangan Percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan dengan demikian diperoleh 39 satuan ulangan. Formula yang digunakan disajikan pada Tabel 2. Formula yang digunakan dalam optimalisasi fermentasi Rhizopus oryzae dalam pembentukan curd dan analisis kualitas keju mentah yang terbentuk adalah sebagai berikut: Tabel 2. Formula perlakuan optimalisasi fermentasi Formula P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 K
Variasi Perlakuan Konsentrasi; Suhu; Waktu 10%; 370C; 6jam 10%; 370C; 9jam 10%; 400C; 6jam 10%; 400C; 9jam 15%; 370C; 6jam 15%; 370C; 9jam 15%; 400C; 6jam 15%; 400C; 9jam 20%; 370C; 6jam 20%; 370C; 9jam 20%; 400C; 6jam 20%; 400C; 9jam Rennet; 400C; 8jam
D. Cara Kerja Penelitian ini meliputi beberapa tahapan kerja, yaitu sebagai berikut : 1. Persiapan
Tahapan pertama adalah penyiapan bahan-bahan dan alat-alat yang akan digunakan. Selanjutnya dilakukan sterilisasi alat dan bahan serta pembuatan media. a. Sterilisasi Bahan dan alat yang akan digunakan dalam penelitian dicuci bersih dan disterilisasi. Sterilisasi merupakan suatu proses untuk mematikan semua mikroba yang terdapat pada suatu benda. Cara sterilisasi yang digunakan yaitu metode sterilisasi kering dengan menggunakan oven pada suhu 160°C selama 2 jam dan metode sterilisasi basah dengan menggunakan autoklaf dengan suhu 121°C pada tekanan 1 atm selama 30 menit. b. Pembuatan Media Proses pembuatan media diawali dengan mencampurkan bahan-bahan media PDA (Potato Dextrose Agar), yang merupakan media untuk pertumbuhan Rhizopus oryzae, dan aquades ke dalam labu erlenmeyer kemudian dipanaskan di atas hot plate dan dihomogenkan dengan magnetic stirrer. Setelah campuran mendidih, media PDA dituang ke dalam tabung reaksi kemudian dilanjutkan dengan proses sterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C pada tekanan 1 atm selama 30 menit selanjutnya tabung reaksi diletakkan dalam posisi miring agar terbentuk media PDA miring. 2. Pembuatan Kultur Kerja Kultur kerja adalah kultur Rhizopus oryzae yang telah siap digunakan untuk pembuatan starter. Kultur kerja didapatkan dengan meremajakan kultur murni R.oryzae yaitu dengan menginokulasikan 1 ose kultur murni R.oryzae ke dalam media PDA miring kemudian diinkubasi pada suhu 37 0C selama 3-4 hari, sedangkan sisanya disimpan pada suhu 4 0C sebagai kultur stok dan diremajakan setiap 6 bulan. Inokulasi dilakukan secara aseptis dengan terlebih dahulu membakar ujung ose sampai membara dan cepat didinginkan. Proses inokulasi juga dilakukan di dekat bunsen burner (dimodifikasi dari Wijaya, 2002 dan Suharyanto dkk., 2006) 3. Pembuatan Starter
Starter merupakan susu segar (susu skim cair) yang telah ditumbuhi oleh mikroorganisme pembentuk asam yang ditambah dari luar. Starter yang digunakan adalah starter biakan Rhizopus oryzae dari media PDA yang berumur 3-4 hari, biakan R.oryzae diambil sebanyak 3 ose untuk diinokulasikan ke dalam 250 ml susu skim cair steril dan diinkubasi pada suhu 37 0C selama 11 jam (dimodifikasi dari Nurhidayati, 2003). 4. Pertumbuhan R.oryzae Penghitungan pertumbuhan kapang dilakukan dengan cara Standard Plate Count setiap 3 jam mulai dari jam ke-0 hingga jam ke-9 (Modifikasi dari Yeganehzad, 2007; Rehman et al., 2007). Jumlah total kapang ditentukan dengan cara Standard Plate Count, dengan prosedur sebagai berikut 1 ml starter diencerkan secara desimal, yaitu 10-1 sampai 10-6 dengan menggunakan tabung reaksi yang masing-masing diisi 9 ml aquades steril. Lalu sebanyak 1 ml starter biakan R.oryzae pada seri pengenceran ke 10-4, 10-5, 10-6 dipipet ke dalam cawan petri steril yang sebelumnya telah dituangkan di dalamnya medium PDA steril sebanyak kira-kira 15 ml dan telah didinginkan sampai sekitar 44 0C. Dilakukan secara duplo. Segera setelah penuangan, starter biakan R.oryzae pada setiap seri pengenceran dihomogenkan dengan cara digerakkan menggunakan batang drigalsky di seluruh permukaan media untuk menyebarkan sel-sel mikroba secara merata. Setelah itu, cawan-cawan tersebut diinkubasi pada suhu kamar selama 2 hari (48 jam). Cawan yang digunakan dalam perhitungan ialah cawan yang mengandung 30 – 300 koloni. Jumlah mikroba per mililiter atau per gram contoh, yaitu: jumlah koloni x 1/faktor pengenceran. Faktor pengenceran = pengenceran x jumlah yang ditumbuhkan (modifikasi dari Alexopoulos, 1962 dan Fardiaz cit Muhiddin, 2001). 5. Pembuatan Keju Tahap pembuatan keju ini mengacu pada penelitian Legowo dkk. (2003), yang meliputi pasteurisasi
dan
pengasaman,
pengepresan dan penggaraman.
penggumpalan
(koagulasi),
pengaliran
cairan
whey,
a. Pasteurisasi dan Inokulasi R.oryzae / Penambahan Rennet Susu sapi segar sebanyak 2400 ml dipateurisasi sampai suhu 70 0C selama 30 detik. Setelah dipasteurisasi, susu tersebut didinginkan sampai suhu mencapai 37 0C kemudian dimasukkan ke dalam 12 buah gelas beker dengan volume masing-masing 200 ml. Setiap gelas beker diberi perlakuan yang berbeda. Empat gelas beker yang pertama ditambahkan starter 10% atau 20 ml biakan Rhizopus oryzae. Selanjutnya empat gelas beker kedua masing-masing ditambah starter 15% atau 30 ml starter biakan Rhizopus oryzae. Dan empat gelas beker lainnya ditambah 20% atau 40 ml starter biakan R.oryzae. Selanjutnya masing-masing gelas beker diinkubasi dengan kombinasi suhu dan waktu fermentasi yang berbeda. Untuk kontrol, setelah pasteurisasi susu didinginkan kemudian ditambahkan rennet sebagai koagulan dan disimpan pada suhu 40 0C selama 8 jam b. Penggumpalan (Koagulasi) Masing-masing gelas beker diinkubasi dengan suhu dan waktu fermentasi yang telah ditentukan dan diakhiri setelah terbentuknya gumpalan. Penggumpalan ditandai dengan terbentuknya dua lapisan, curd dan whey secara terpisah. c. Pengaliran Cairan Whey (Whey syneresis) Lapisan yang terdiri dari gumpalan protein (curd) dan cairan whey dipisahkan menggunakan kain saring. Setelah kedua bagian terpisah, cairan whey dibuang dan gumpalan protein (curd) tersebut diproses menjadi keju. d. Pengepresan dan Penggaraman Gumpalan curd yang diperoleh dimasukkan ke dalam alat, kemudian penutupnya ditekan, sehingga air akan keluar melalui pori. Setelah dipres gumpalan akan jadi padat. Selanjutnya penggaraman dilakukan dengan menabur NaCl 3%, dari berat curd, diseluruh permukaan curd. Setelah proses penggaraman selesai, terbentuklah keju. 6. Penghitungan Rendemen Curd
Rendemen adalah rasio antara keju yang terbentuk dengan susu yang digunakan sebagai bahan dasar (Daulay, 1991). Pengujian rendemen curd dilakukan dengan menghitung efisiensi keju yang dihasilkan. Rumus perhitungan rendemen curd yaitu : % Rendemen =
b x 100 % a
Keterangan : a = berat susu yang digunakan b = berat keju yang terbentuk 7. Penghitungan Kadar Air Prinsip penghitungan kadar air adalah air yang terkandung dalam suatu bahan akan menguap seluruhnya apabila dipanaskan pada suhu 105 0C (Oser, 1976). Cara kerjanya adalah sampel keju ditimbang sebagai berat basah kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105 0C selama 24 jam. Setelah dikeluarkan dari oven, sampel keju didinginkan di dalam desikator selama 1 jam. Kemudian sampel keju yang telah kering ditimbang sebagai berat kering. Rumus perhitungan kadar air adalah sebagai berikut :
% Kadar Air =
( a - b) x 100% a
Keterangan : a = berat basah b = berat kering 8. Pengukuran Nilai pH Penghitungan nilai pH dilakukan pada susu yang difermentasi R.oryzae dan pada keju mentah. Nilai pH diukur menggunakan pH meter digital. Sensor (elektroda) pH meter dibersihkan dengan aquades dan dikeringkan dengan kertas hisap, kemudian dikalibrasi dengan buffer pH 7. Sensor ditancapkan pada permukaan susu yang difermentasi R.oryzae yang telah menjadi keju. Nilai pH diamati pada layar. Angka yang sudah konstan dicatat sebagai nilai pH.
Penghitungan nilai pH pada susu yang difermentasi R.oryzae dilakukan
setiap
penambahan 3 jam mulai dari jam ke-0 hingga jam ke-9 untuk mengetahui peningkatan asam yang dihasilkan dari aktivitas fermentasi tersebut (Modifikasi dari Yeganehzad, 2007).
9. Analisis Lemak Pengukuran kandungan lemak dilakukan dengan mengambil sampel keju sebanyak 1,5 gram lalu dimasukkan ke dalam timbel kemudian di oven dalam suhu 105 0C hingga berat konstan selama 24 jam. Sebelum diekstraksi timbel dimasukkan dalam desikator selama 1 jam, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat awal. Timbel dimasukkan ke dalam soxhlet, kemudian labu lemak dihubungkan dengan soxhlet dan ditambahkan pelarut petroleum eter 150 ml melewati soxhlet. Labu lemak dan soxhlet dihubungkan dengan penangas dan diekstrak selama 6 jam. Setelah ekstraksi selesai, timbel dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 0C selama 24 jam. Setelah dingin, timbel dimasukkan ke dalam desikator selama 1 jam sebagai berat akhir (Modifikasi dari Danuwarsa, 2006). Untuk mengetahui kandungan lemak keju, dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
% Kadar Lemak =
c-b x 100% a
Keterangan : a = berat sampel keju b = berat akhir (sampel dan timbel setelah di oven) c = berat awal (sampel dan timbel sebelum di oven) 10. Analisis Protein Kandungan protein dianalisis dengan menggunakan metode Lowry-Folin secara spektrofotometri (Sudarmadji dkk., 1984). Pengukuran dimulai dengan pembuatan larutan standar BSA (Bovine Serum Albumin). Seri pengenceran dibuat dari larutan standar dengan masing-masing konsentrasi 0,00; 0,06;
0,12; 0,18; 0,24 dan 0,30 (mg/ml H2O) dan dimasukkan ke dalam masing-masing tabung reaksi. Satu ml larutan D ditambahkan ke dalam tabung reaksi kemudian divortek selama 5 menit. Setelah itu dilakukan penambahan reagen E sebanyak 3 ml lalu didiamkan selama 10 menit. Pengukuran OD dilakukan pada panjang gelombang 590 nm menggunakan spektrofotometer. Tahap berikutnya adalah pengambilan sampel keju sebanyak 1 g dan dilarutkan dalam 100 ml aquades kemudian dilakukan pengadukan menggunakan magnetik stirrer. Kemudian larutan sampel disaring dan ditambahkan 100 ml aquades. Satu ml larutan sampel diambil kemudian ditambahkan larutan D sebanyak 1 ml lalu divortek selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan penambahan reagen E sebanyak 3 ml lalu didiamkan selama 10 menit. Pengukuran OD pada panjang gelombang 590 nm menggunakan spektrofotometer. Rumus perhitungan konsentrasi sampel yaitu : % Protein =
Keterangan:
bxc x 100% a
a = banyak sampel (g) b = konsentrasi c = faktor pengenceran 11. Uji Kesukaan
Uji tingkat kesukaan yang dinilai meliputi warna, rasa, aroma, dan tekstur keju. Penilaian dilakukan oleh 20 panelis tidak terlatih. Uji kesukaan ini mengacu pada Leksono dan Syahrul (2001); Zulaekah dan Widiyaningsih (2005). Skala dibuat lima tingkat (taraf 1-5), dimulai dari 1 (sangat suka), 2 (suka), 3 (agak suka), 4 (tidak suka), 5 (sangat tidak suka).
12. Uji Mikrobiologis Uji Mikrobiologi meliputi penghitungan total mikroba dan identifikasi mikroba. Penghitungan total mikroba dilakukan dengan menimbang keju 25 g kemudian dihomogenkan
dengan 225 ml aquades (Modifikasi dari Rosa et al., 2003; Ceylan et al., 2003; Mennane, et al.; 2007). Penghitungan total mikroba berdasarkan Standard Plate Count. Pemupukan dilakukan dengan menggunakan media Plate Count Agar (PCA) dengan cara 1 ml inokulan dipipet ke dalam cawan petri steril dan selanjutnya medium PCA yang telah dingin dituangkan ke dalam cawan petri steril tersebut sebanyak 12-15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cawan petri digerakkan dengan arah membentuk angka delapan. Setelah agar mengeras, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 37 0C selama 24-48 jam. Kemudian koloni yang terbentuk dihitung. Identifikasi dilakukan dengan mengisolasi koloni mikroba kemudian menumbuhkan pada media PDA untuk kapang dan media MRSA untuk bakteri. Identifikasi kapang berdasarkan ciri morfologinya. Identifikasi bakteri menggunakan BD Phoenix. 13. Analisis Asam Amino Preparasi sampel keju. Sampel keju ditimbang sebanyak 10 gram dan dimasukkan dalam tabung reaksi tertutup. Ditambahkan HCL 6 N 15 ml kemudian dihomogenkan. Hidrolisis dilakukan pada suhu 110 0C selama 12 jam. Kemudian didinginkan dan disaring dengan kertas whatman, pH diatur hingga normal (pH 7). Ditambahkan aquades sebanyak 100ml ke dalamnya. Diambil 3 ml dari larutan tersebut dan disaring dengan millex 0,45 µm.Untuk injeksi ke HPLC, diambil larutan yang telah di millex sebanyak 10 µL+ 990 µL OPA dan divortex. Direaksikan selama 3 menit. Selanjutnya diinjeksikan ke HPLC. Pembuatan larutan standar. Standar stok terdiri dari L-Threonin=1050 ppm; LMethionine=1000 ppm; L-Valine=1010 ppm; L-Thriptophan=1010; L-Phenylalanine=1000; LIsoleucine=1060;
L-Leucine=1010;
L-Lycine=1000;
Masing-masing
diambil
dengan
perbandingan 1:1:1:1:1:1:1:1 menjadi 10 µL + 990 µL OPA diinjeksikan ke HPLC. Kondisi HPLC. Asam amino keju dideteksi dengan seperangkat alat HPLC. Sampel yang telah dipreparasi diambil sebanyak 20 µl dengan menggunakan injektor. Asam amino
dideteksi seperangkat alat HPLC kolom Eurospher 100-5 C18, 250x4.6 mm dengan precolumn P/N: I115Y535. Eluen: A= Buffer Asetat 0.01 M pH 5.9; B=(MeOH:Buffer Asetat 0.01 M pH 5.9).
E. Analisis Data Data yang diperoleh dari analisis kualitas fisik (rendemen curd, kadar air), kimia (nilai pH, lemak, protein) dan uji kesukaan (rasa, aroma, warna, tekstur) serta pengaruh konsentrasi inokulum Rhizopus oryzae terhadap kualitas fisik dan kimia keju mentah dianalisis dengan Analisis variansi (Anava) untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf signifikansi 5% untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan. Pengaruh suhu dan waktu fermentasi terhadap kualitas fisik dan kimia keju mentah dianalisis menggunakan T-Test. Data HPLC dianalisis secara deskriptif
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum fermentasi Rhizopus oryzae dalam pembentukan curd dan analisis kualitas keju mentah yang terbentuk. Terdapat tiga tahapan dalam penelitian ini. Pertama, penghitungan laju pertumbuhan R.oryzae dan pengukuran nilai pH pada starter dan selama fermentasi dalam pembentukan curd. Kedua, pembuatan keju yang dilanjutkan dengan analisis kualitas fisik, kimia, dan uji kesukaan. Ketiga, uji kualitas mikrobiologi serta analisis profil asam amino esensial pada keju mentah yang terbentuk pada kondisi optimum fermentasi. Kondisi optimum fermentasi diperoleh melalui kombinasi dari tiga variasi perlakuan yaitu konsentrasi inokulum (10%, 15%, 20%), suhu fermentasi (37 0C, 40 0C) dan waktu fermentasi (6 jam, 9 jam). Dari kombinasi variasi perlakuan fermentasi tersebut diperoleh 12 Formula Perlakuan dan Kontrol. P1 (10%, 370C, 6 jam), P2 (10%, 370C, 9 jam), P3 (10%, 400C, 6 jam), P4 (10%, 400C, 9 jam), P5 (15%, 370C, 6 jam), P6 (15%, 370C, 9 jam), P7 (15%, 400C, 6 jam), P8 (15%, 400C, 9 jam), P9 (20%, 370C, 6 jam), P10 (20%, 370C, 9 jam), P11 (20%, 400C, 6 jam), P12 (20%, 400C, 9 jam) dan Kontrol (Rennet, 400C, 8jam).
A. Pertumbuhan R.oryzae dan Pengukuran Nilai pH 1. R.oryzae pada Starter Starter yang digunakan untuk pembuatan keju adalah susu yang diinokulasikan dengan R.oryzae dan difermentasi selama 11 jam. Starter berperan sebagai pemula fermentasi untuk substrat susu yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan keju. Hasil penghitungan 34 menunjukkan bahwa jumlah koloni jamur R.oryzae pada starter siap pakai adalah 3,7x105 cfu/ml. Pada saat pembuatan starter terjadi perubahan pH dari 6,65 turun menjadi 5,47. Penurunan pH terjadi karena terbentuknya asam organik, salah satunya adalah asam laktat,
akibat
penggunaan
substrat
fermentasi
oleh
R.oryzae
yang
merupakan
mikroba
heterofermentatif. Pada fermentasi yang dilakukan oleh mikroba heterofermentatif, selain asam laktat juga dihasilkan etanol, karbondioksida, dan sedikit asam-asam lain (Schlegel dan Scmidt, 1994). Jenis karbohidrat yang terdapat dalam susu adalah laktosa yang merupakan oligosakarida. Oligosakarida dapat dihidrolisis menjadi glukosa oleh enzim glukoamilase (amiloglukosidase) (Jin et.al., 1999). R.oryzae adalah kapang yang mampu menghasilkan glukoamilase (Hesseltine et al. 1985; Nout et al. 1987). Oleh karena itu, laktosa dapat dihidrolisis oleh R.oryzae menjadi glukosa yang selanjutnya dikatabolisme menjadi asam laktat, etanol, karbondioksida, dan sedikit asam-asam lainnya. Menurut Purwandhani dan Suladra (2003), asam laktat merupakan hasil dari metabolisme glukosa yang digunakan selama pertumbuhan sel dengan jumlah semakin meningkat seiring bertambahnya waktu. Meningkatnya produksi asam laktat tersebut ditandai dengan menurunnya pH atau meningkatnya asam akibat timbulnya ion H+ yang terjadi karena dekomposisi laktosa yang menghasilkan asam-asam yang mudah menguap dan pecahnya phosphat organik yang terdapat di dalam kasein, sehingga menghasilkan asam (Mc.Kay et al., 1971).
Gambarr 3. Metabolisme glukosa pada Rhizopus oryzae (Longacre et.al.,, 1997). 2. Laju Pertumbuhan R.oryzae dan Pengukuran Nilai pH selama Fermentasi dalam Pembentukan Curd Penghitungan laju pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui fase fase-fase fase pertumbuhan mikroba yang meliputi eliputi fase lag, fase eksponensial, fase stationer, dan fase kematian. Laju pertumbuhan R.oryzae dihitung menggunakan metode standard plate count karena miselium kapang dalam media fermentasi berbentuk serabut serabut-serabut serabut panjang sehingga sel sel-sel kapang tidak tersuspensi secara merata dalam media. Metode ini didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel dapat tumbuh dan berkembang menjadi satu koloni (Hadioetomo, 1990). Metode ini sangat tepat bila digunakan untuk mengetahui jumlah sel hidup dalam suatu kultur ka kapang. Metode standard plate count dilakukan dengan membuat seri pengenceran dari biakan cair kapang. Suspensi kapang disebar dengan metode spread plate. Dengan cara ini seluruh sel akan tumbuh di permukaan media sehingga lebih mudah dihitung (Black, 1999).
Laju pertumbuhan R.oryzae dan pengukuran nilai pH dilakukan setiap 3 jam mulai jam ke-0 hingga jam ke-9 selama fermentasi dalam pembentukan curd pada 6 formula perlakuan yaitu P2 (10%, 370C, 9 jam), P4 (10%, 400C, 9 jam), P6 (15%, 370C, 9 jam), P8 (15%, 400C, 9 jam), P10 (20%, 370C, 9 jam), P12 (20%, 400C, 9 jam) (Lampiran 3.). Pola pertumbuhan R.oryzae dan perubahan nilai pH selama fermentasi dalam pembentukan curd dapat dilihat pada Gambar 4.
7.1 9.04 2.1 4
4.1 4.1 7.1
P4
5.01 5.3 1.1 13.3
26.2 4.1 2 4.2 0
P2
2.11 5 0
0.01 3.3 1.2 7
CFU
50 40 30 20 10 0
46.41
Pola pertumbuhan R.oryzae
P6 P8 P10 Perlakuan Fermentasi
jam ke-0 jam ke-3
P12
Nilai pH
6.3 5.52 5.13 4.82
6.27 5.53 5.13 4.89
P4
6.39 5.44 5.11 4.79
P2
6.35 5.64 5.18 4.87
6
6.43 5.78 5.14 4.81
8
6.52 5.4 4.95 4.51
Perubahan Nilai pH
4 2
jam ke-0 jam ke-3 jam ke-6 jam ke-9
0 P6 P8 P10 Perlakuan Fermentasi
P12
Gambar 4. Histogram Laju pertumbuhan dan perubahan nilai pH R.oryzae selama fermentasi dalam pembentukan curd
Gambar 4. menunjukkan bahwa laju pertumbuhan R.oryzae dari seluruh formula perlakuan mengalami penurunan. R.oryzae tidak mengalami fase penyesuaian maupun fase eksponensial, namun langsung menuju fase stationer yang diikuti dengan fase kematian seiring
dengan penurunan nilai pH. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan R.oryzae dibatasi oleh kondisi asam. Fase stationer dimulai ketika sel-sel kapang tidak lagi menunjukkan pertambahan jumlah yang signifikan, jumlah sel relatif sama dengan sel yang mati. Sel yang mati akan mengalami lisis dan zat metabolitnya digunakan oleh sel yang masih hidup, sementara itu substrat yang masih tersisa dikonversi menjadi produk sekunder (Saraswati, 2003). Saat fase stationer ini, pertumbuhan kapang sangat singkat dan kemudian mengalami kematian. Selama fase stationer pH media cenderung asam. Menurut Simanjuntak et al. (2002), pH menurun karena proses katabolisme sumber karbon oleh kapang yang menyebabkan terakumulasinya sejumlah asam dalam media. Penurunan pH pada penelitian ini disebabkan karena R.oryzae menghasilkan asam laktat hasil dari fermentasi glukosa (Park et al., 1998). Asam laktat yang dihasilkan pada fermentasi R.oryzae adalah L(+)-asam laktat (Hang, 1989; Soccol, 1994, Oda et al., 2002; Liu, et al., 2005). Hal ini berbeda dengan fermentasi yang dilakukan oleh bakteri Lactobacillus yang menghasilkan campuran D(-)-asam laktat dan L(+)asam laktat (Mirdamadi et al.,2002) Bertambahnya waktu fermentasi menyebabkan pH semakin menurun dan menandakan semakin banyaknya asam yang dihasilkan. Hal tersebut mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan R.oryzae.
B. Analisis Kualitas Fisik, Kimia, dan Uji Kesukaan I.
Analisis Fisik
Analisis sifat fisik keju mentah meliputi rendemen curd dan kadar air. Tabel 3. Sifat fisik keju mentah pada beberapa kondisi fermentasi yang berbeda Formula Var.Perlakuan Sifat Fisik (Konsentrasi;Suhu;Waktu) Rendemen Curd Kadar Air (%) (%)
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 Kontrol
10%;370C;6jam 10%;370C;9jam 10%;400C;6jam 10%;400C;9jam 15%;370C;6jam 15%;370C;9jam 15%;400C;6jam 15%;400C;9jam 20%;370C;6jam 20%;370C;9jam 20%;400C;6jam 20%;400C;9jam Rennet;400C;8jam
10,07ab 9,79ab 9,83ab 8,85a 9,91ab 9,95ab 10,05ab 9,54ab 10,63bc 10,76bc 10,39 bc 9,61ab 11,44c
48,77a 51,45a 49,57a 49,48a 49,37a 51,17a 46,17a 49,03a 49,50a 47,23a 43,17a 47,48a 44, 42 a
Ket: Superskrip berbeda pada rerata menunjukkan adanya perbedaan nyata pada uji DMRT 5%. Rendemen curd dan kadar air dihitung dalam berat basah
1. Rendemen Curd Rendemen curd keju mentah yang difermentasi R.oryzae dengan variasi kondisi fermentasi ditampilkan pada Tabel 3. Hasil analisis variansi rerata rendemen curd ditampilkan dalam Lampiran 5a. Berdasarkan uji statistik, variasi kondisi fermentasi terhadap rendemen curd menunjukkan perbedaan nyata. Rendemen curd tertinggi diperoleh pada P10 (20%, 370C, 9 jam) sebesar 10,76%. Rendemen curd terendah diperoleh pada P4 (10%, 400C, 9 jam) sebesar 8,85%. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa rendemen curd yang terbentuk dipengaruhi oleh kombinasi perlakuan fermentasi yang meliputi konsentrasi inokulum, suhu, dan waktu fermentasi. Sedangkan perlakuan fermentasi secara terpisah tidak mempengaruhi rendemen curd (Lampiran 4a.,4b.,4c.). Rendemen curd tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan fermentasi
P10
yakni
banyaknya
konsentrasi
inokulum R.oryzae mampu
memproduksi protease dan asam laktat dalam jumlah banyak pada suhu 370C seiring dengan pembentukan curd selama 9 jam. Enzim protease yang dihasilkan R.oryzae berperan dalam pemotongan ikatan peptida kasein dan asam laktat yang dihasilkan R.oryzae menyebabkan pH susu turun sehingga mencapai titik isoelektrik kasein. Menurut Adnan (1984), titik isoelektrik protein kasein susu
adalah pada pH 4,5 sampai 4,7. Pada titik ini, struktur protein mengalami presipitasi secara irreversibel, kemudian menyebabkan koagulasi protein susu yang diinduksi oleh asam laktat secara terus menerus (Marshall et al., 1997 cit Samarjiza et al., 2001). Dan pada penelitian ini fermentasi oleh R.oryzae diketahui mampu menurunkan pH mendekati titik isoelektrik kasein pada akhir fermentasi (Lampiran 3.). Suhu yang digunakan pada penelitian ini tidak mempengaruhi rendemen curd, karena curd dapat terbentuk baik pada suhu 370C maupun 400C. Suhu fermentasi hanya mempengaruhi aktivitas mikroorganisme melalui pengaruh pergerakan membran sel (Tao et al., 2008). Rendemen curd yang dihasilkan dari fermentasi R.oryzae secara keseluruhan lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol, yaitu sebesar 11,44%. Ini bisa terjadi karena menurut Banerjee dan Bhattacharyya (2004), R.oryzae merupakan kapang yang menghasilkan protease basa (alkaline protease) yang meskipun stabil pada kisaran pH 3-11, namun optimal pada pH 8. Oleh karena itu, pada pembentukan curd ini aktivitas protease tidak bisa optimal karena adanya asam laktat yang dihasilkan oleh R.oryzae sendiri. Berbeda dengan kontrol, rennet merupakan enzim yang dapat bekerja optimal pada suhu 40 0C selama 8 jam sehingga curd yang dihasilkan lebih banyak. 2. Kadar Air Air merupakan komponen yang penting dalam bahan makanan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa makanan, dengan daya ikat yang berbedabeda pada setiap bahan pangan (Winarno cit Achyadi, 2004). Dengan mengetahui kadar air dalam suatu bahan makanan, maka dapat dijadikan patokan untuk mengetahui mutu standar terkait dengan keawetan bahan pangan tersebut (Ernie dan Lestari, 1992). Kadar air keju mentah yang difermentasi R.oryzae dengan variasi kondisi fermentasi ditampilkan pada Tabel 3. Hasil analisis variansi rerata kadar air ditampilkan dalam lampiran 5b. Berdasarkan uji statistik, variasi kondisi fermentasi terhadap kadar air tidak menunjukkan
perbedaan nyata. Kadar air tertinggi diperoleh pada P2 (10%, 370C, 9 jam) sebesar 51,45%. Kadar air terendah diperoleh pada P11 (20%, 400C, 6 jam) sebesar 43,17%. Begitu juga dengan perlakuan fermentasi secara terpisah tidak mempengaruhi kadar air keju mentah (Lampiran 4a.,4b.,4c.) Kombinasi perlakuan fermentasi tidak berpengaruh terhadap kadar air yang dihasilkan, hal ini disebabkan karena metode yang digunakan saat pengepresan keju. Pengepresan bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa air yang masih terdapat dalam curd (Pearse and Mackinlay, 1989). Menurut Fox (1993), saat pengepresan keju kadar air bisa turun dalam kisaran dari 55% menjadi 42%. Kadar air keju berbeda-beda sesuai dengan jenis keju yang diinginkan. Metode pengepresan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara manual dan tidak menggunakan alat pengepres khusus. Proses pengepresan diakhiri ketika sudah terlihat tidak terdapat air yang keluar. Peristiwa ini menyebabkan kadar air dalam keju mentah yang terbentuk tidak berbeda dan tidak dipengaruhi oleh kombinasi perlakuan fermentasi. Jadi kadar air dipengaruhi oleh metode pengepresan. Berdasarkan kadar air keju, maka keju mentah yang terbentuk dalam penelitian ini termasuk keju setengah keras. Sesuai dengan klasifikasi produk keju yang didasarkan pada komponen kandungan air, ada keju keras (hard) dengan kadar air 20-42%, keju setengah keras (semi hard) dengan kadar air 44-55%, dan keju lunak (soft) dengan kadar air lebih dari 55% (Scott cit Early, 1988). II. Analisis Kimia Analisis kimia keju mentah meliputi nilai pH, kadar protein dan kadar lemak. Tabel 4. Komposisi kimia keju mentah pada beberapa kondisi fermentasi yang berbeda Formula Var.Perlakuan Sifat Kimia (Konsentrasi;Suhu;Waktu) Nilai pH Kadar Kadar Lemak (%) Protein (%) P1 10%;370C;6jam 5,46 ab 47,93b 2,87 a
P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 Kontrol
10%;370C;9jam 10%;400C;6jam 10%;400C;9jam 15%;370C;6jam 15%;370C;9jam 15%;400C;6jam 15%;400C;9jam 20%;370C;6jam 20%;370C;9jam 20%;400C;6jam 20%;400C;9jam Rennet;400C;8jam
5,32 a 5,24 a 5,05 a 5,64 ab 5,72 ab 5,41 ab 5,26 a 6,04 bc 5,56 ab 5,63 ab 5,24 a 6, 37c
47,23b 47,07b 44,22b 44,69b 44,72b 42,69b 43,96b 42,12b 40,70b 41,33b 30,26a 49, 74 b
3,47 a 3,03 a 3,36 a 1,89 a 3,26 a 2,85 a 2,74 a 2,89 a 2,23 a 2,91 a 2,05 a 2, 21 a
Ket: Superskrip berbeda pada rerata menunjukkan adanya perbedaan nyata pada uji DMRT 5%. Nilai pH, kadar protein dihitung dalam berat basah dan kadar lemak dihitung dalam berat kering
1. Nilai pH Penghitungan nilai pH pada keju penting dilakukan, karena pH berpengaruh terhadap aroma dan pemeraman keju. Nilai pH juga mempengaruhi pertumbuhan mikroba yang ada di dalamnya. Beberapa bakteri patogen tidak dapat tumbuh pada kondisi asam dan pH rendah (dibawah 5,4). Nilai pH menentukan kualitas dan keamanan keju (Johnson, 2002). Nilai pH keju mentah yang difermentasi R.oryzae dengan variasi kondisi fermentasi ditampilkan pada Tabel 4. Hasil analisis variansi rerata nilai pH ditampilkan dalam lampiran 5c. Berdasarkan uji statistik, nilai pH menunjukkan perbedaan nyata. Nilai pH tertinggi diperoleh pada P9 (20%, 370C, 6 jam) sebesar 6,04 dan pH terendah diperoleh pada P4 (10%, 400C, 9 jam) sebesar 5,05. Berdasarkan perlakuan fermentasi secara terpisah yang tidak mempengaruhi nilai pH keju mentah (Lampiran 4a., 4b., 4c.) dan saat penghitungan perubahan nilai pH selama pembentukan curd (Lampiran 3.), maka diketahui bahwa perbedaan nilai pH keju mentah tidak dipengaruhi oleh kombinasi perlakuan fermentasi. Perubahan nilai pH ini mungkin dipengaruhi oleh beberapa tahapan dalam pembuatan keju. Beberapa tahapan dalam pembuatan keju yang mempengaruhi nilai pH meliputi whey syneresis dan penggaraman (Fox, 1993). Asam laktat yang terbentuk setelah fermentasi oleh R.oryzae akan larut dalam whey, dimana saat whey syneresis yang bertujuan untuk
mengurangi kadar air curd yang terbentuk, asam laktat ikut hilang bersama whey yang mengalir. Ditambahkan oleh Jaroe et al. (1997), pengeluaran whey akan mengikutkan sebagian besar laktosa dan termasuk asam laktat sehingga akan mempengaruhi nilai pH. Dan menurut Tarakci et al., (2004), penggaraman dalam proses pembuatan keju dapat mempengaruhi keasaman keju. Proses penggaraman mampu mempengaruhi jumlah total mikroba yang tumbuh di dalamnya sehingga akan mempengaruhi produksi asam. Hal inilah yang menyebabkan nilai pH pada keju tidak dipengaruhi oleh kombinasi perlakuan fermentasi. Dibandingkan dengan kontrol, nilai pH pada keju yang difermentasi oleh R.oryzae lebih asam karena dalam fermentasinya R.oryzae menghasilkan asam. 2. Kadar Lemak Kadar lemak keju mentah yang difermentasi R.oryzae dengan variasi kondisi fermentasi ditampilkan pada Tabel 4. Hasil analisis variansi rerata kadar lemak ditampilkan dalam lampiran 5d. Berdasarkan uji statistik, variasi kondisi fermentasi terhadap kadar lemak menunjukkan perbedaan nyata. Dari perlakuan fermentasi secara terpisah, hanya konsentrasi inokulum R.oryzae yang berpengaruh terhadap kadar lemak keju mentah (Lampiran 4a., 4b., 4c.). Kadar lemak tertinggi diperoleh pada P1 (10%, 370C, 6 jam) sebesar 47,93 %. Kadar lemak terendah diperoleh pada P12 (20%, 400C, 9 jam) sebesar 30,26%. Baik tidaknya keju dengan kadar lemak tinggi tergantung jenis asam lemaknya. Berdasarkan ikatannya, terdapat dua jenis asam lemak, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Lemak yang mengandung asam lemak jenuh diketahui meningkatkan kadar kolesterol dalam darah dan lemak yang mengandung asam lemak tak jenuh menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pariza and Gayda cit Orrashid, (2008), asam lemak pada keju mengandung CLA (Conjugated Linoleic Acid) yang termasuk asam lemak tak jenuh yang berpotensi sebagai zat antikarsinogenik. Kadar lemak dalam keju mentah yang terbentuk pada penelitian ini dihitung setelah koagulasi dalam proses pembentukan curd, yakni lemak yang terperangkap di dalamnya. Curd
terbentuk dari pemecahan kasein oleh protease R.oryzae dan memperangkap lemak ke dalamnya. Pada pembuatan keju, protein yang ada di dalam keju mengalami flokulasi dan mengikutkan 90% lemak susu yang ada di dalam proses pengolahannya (Fox, 1993), sehingga aktivitas lipase R.oryzae tidak dipengaruhi tahapan dalam pembuatan keju dan hanya dipengaruhi oleh kombinasi perlakuan fermentasi yang meliputi konsentrasi inokulum, suhu dan lama fermentasi.
Gambar 5. Diagram pembentukan curd oleh enzim protease. Curd memperangkap lemak, air, dan ion (Fox, 1993). R.oryzae merupakan kapang yang diketahui mampu menghasilkan lipase (Yamane, 1987). Oleh karena itu, konsentrasi inokulum yang tinggi maka akan menghasilkan lebih banyak lipase akibatnya semakin banyak lemak yang didegradasi sebagai sumber nutrien bagi pertumbuhan kapang tersebut. Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah total lemak karena telah terhidrolisis seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Lipase merupakan kelompok enzim yang secara umum berfungsi dalam hidrolisis lemak, mono-, di-, dan trigliserida untuk menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol (Suzuki et al,. 1988; Kosugi et al. 1990). Ikatan ester trigliserida pada keju mentah dihidrolisis oleh enzim lipase R.oryzae menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Secara umum, kadar lemak yang tinggi pada penelitian ini disebabkan karena bahan baku pembuatan keju mentah merupakan susu segar tanpa pengurangan krim yang
mempunyai kadar lemak yang tinggi. Namun, tingginya kadar lemak tersebut bermanfaat dalam proses pemeraman keju, karena dalam fermentasi selanjutnya akan berperan sebagai pembentuk aroma keju (Gambar 6.). Lebih jauh lagi, matrik dan kandungan lemak yang tinggi pada keju melindungi organisme selama melalui saluran pencernaan (Stanton et al. cit Corbo et al., 2001). Keju diketahui dapat digunakan sebagai sistem lewatnya probiotik menuju saluran pencernaan yang merupakan organ targetnya.
Gambar 6. Jalur metabolisme trigliserida dan asam lemak (Singh, 2003).
3. Kadar Protein Kadar protein keju mentah yang difermentasi R.oryzae dengan variasi kondisi fermentasi ditampilkan pada Tabel 4. Hasil analisis variansi rerata kadar protein ditampilkan dalam lampiran 5e. Penghitungan kadar protein ini bertujuan untuk mengetahui kadar protein akhir setelah fermentasi oleh R.oryzae. R.oryzae merupakan kapang yang mampu menghasilkan protease sehingga mampu memecah protein menjadi molekul penyusunnya yaitu asam amino-asam amino yang lebih mudah diserap oleh tubuh. Pemecahan protein menjadi asam amino tersebut menyebabkan kadar protein berkurang namun kadar asam amino meningkat.
Berdasarkan uji statistik, variasi kondisi fermentasi terhadap kadar protein tidak menunjukkan perbedaan nyata. Begitu juga dengan perlakuan fermentasi secara terpisah tidak mempengaruhi kadar protein keju mentah (Lampiran 4a., 4b., 4c.). Kadar protein tertinggi diperoleh pada P2 (10%, 370C, 9 jam) sebesar 3,47%. Kadar protein terendah diperoleh pada P5 (15%, 370C, 6 jam) sebesar 1,89%. R.oryzae yang diketahui sebagai kapang penghasil protease, dalam penelitian ini perlakuan kombinasi fermentasi tidak mempengaruhi kadar protein keju mentah yang terbentuk. Hal ini mungkin disebabkan proses whey syneresys yang menyebabkan sejumlah protein hilang. Pada penelitian ini protein yang dihitung adalah protein terlarut dari keju mentah yang terbentuk. Penghitungan protein terlarut menggunakan metode Lowry Folin-ciocalteu. Metode ini diukur dengan spektrofotometer dengan tujuan untuk menghitung jumlah protein yang terlarut dalam air yang berada di permukaan luar dari suatu protein (Sudarmadji, 1984). Prinsip Kerja metode Lowry adalah reduksi Cu2+ dari CuSO4 (Reagen B) menjadi Cu+ oleh asam amino yang terdapat dalam protein. Ion Cu+ bersama-sama dengan fosfomolibdat dan fosfotungstat yang terkandung dalam reagen Folin membentuk warna biru yang dapat ditera dalam spektrofotometer (Tranggono dan Setiaji, 1989). Pada penelitian ini proses whey syneresys dilakukan dengan menggantungkan curd pada alat penggantung selama beberapa waktu tertentu dan diakhiri setelah curd tampak kering sehingga tidak ada kesamaan dalam waktu. Pada saat whey syneresis tersebut, protein ikut mengalir bersama whey (Gupta and Reuter, 1992). Peristiwa ini menyebabkan kombinasi perlakuan fermentasi tidak mempengaruhi kadar protein yang terhitung setelah keju mentah terbentuk. III. Uji Kesukaan Uji kesukaan pada penelitian ini pada dasarnya merupakan pengujian dari panelis dengan mengemukakan responnya yang berupa suka atau tidaknya terhadap sifat yang di uji.
Pada pengujian ini dilakukan oleh 20 panelis yang belum terlatih dan tanpa membandingkan dengan sampel standar. Uji tingkat kesukaan yang dilakukan meliputi rasa, aroma, warna, dan tekstur keju mentah dengan variasi kondisi fermentasi. Panelis memberikan kisaran nilai 1-5 yaitu 1 (sangat suka), 2 (suka), 3 (agak suka), 4 (tidak suka), 5 (sangat tidak suka). Lembar untuk pengujian tingkat kesukaan disajikan pada Lampiran 7. Hasil analisis statistik (Lampiran 6.) diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap keju mentah berada pada skala 2-3, yaitu nilai kesukaan suka dan agak suka. Hasil pengujian keju mentah pada beberapa variasi kondisi fermentasi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Uji kesukaan (rasa, aroma, warna, fermentasi yang berbeda Formula Var.Perlakuan (Konsentrasi;Suhu;Waktu) P1 10%;370C;6jam P2 10%;370C;9jam P3 10%;400C;6jam P4 10%;400C;9jam P5 15%;370C;6jam P6 15%;370C;9jam P7 15%;400C;6jam P8 15%;400C;9jam P9 20%;370C;6jam P10 20%;370C;9jam P11 20%;400C;6jam P12 20%;400C;9jam Rennet;400C;8jam Kontrol
tekstur) keju mentah pada beberapa kondisi
Rasa* 2,45ab 2,65abc 3,35d 3,50d 3,10cd 2,85bcd 3,25cd 3,40d 2,05a 2,45ab 2,95bcd 3,25cd 3,45d
Uji Kesukaan Aroma* Warna* 2,60ab 2,30a a 2,45 2,30a ab 2,75 2,35a b 3,20 2,70a ab 3,10 2,50a a 2,45 2,35a ab 3,10 2,70a ab 2,95 2,70a ab 2,65 2,40a 2,80ab 2,50a ab 2,75 2,55a ab 2,55 2,65a ab 2,95 2,75a
Tekstur* 2,55a 2,85abc 3,25bc 2,90abc 3,20bc 2,80ab 3,20bc 3,40c 3,00abc 2,75ab 3,15bc 3,00abc 2,85abc
Ket: *Hasil rata-rata dari 20 panelis. Nilai 1=sangat suka; 2= suka; 3=agak suka; 4=tidak suka; 5=sangat tidak suka. Superskrip berbeda pada rerata menunjukkan adanya perbedaan nyata pada uji DMRT 5%.
Berdasarkan uji statistik (Tabel 5.), variasi kondisi fermentasi dari panelis terhadap rasa, aroma, warna, dan tekstur keju mentah seluruhnya berada pada kisaran suka hingga agak suka. Hasil ini menunjukkan bahwa keju mentah hasil fermentasi R.oryzae bisa diterima. Variasi kondisi fermentasi terhadap rasa menunjukkan perbedaan nyata yang berada pada kisaran 2,05 (suka) hingga 3,50 (agak suka). Variasi kondisi fermentasi terhadap aroma menunjukkan perbedaan nyata yang berada pada kisaran 2,45 (suka) hingga 3,20 (agak suka). Variasi kondisi fermentasi terhadap warna tidak menunjukkan perbedaan nyata. Penilaian panelis terhadap warna ini berada pada kisaran 2,30 (suka) hingga 2,75 (suka). Variasi kondisi fermentasi terhadap tekstur menunjukkan perbedaan nyata yang berada pada kisaran 2,55 (suka) hingga 3,4 (agak suka). Namun berdasarkan hasil analisis statistik (Lampiran 6a.,6b.,6c.,6d.) diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa, aroma, warna, dan tekstur keju mentah menyebar pada formula perlakuan fermentasi baik konsentrasi inokulum, suhu, dan waktu fermentasi R.oryzae dalam pembuatan keju. Hal ini berarti bahwa tingkat kesukaan terhadap keju mentah lebih ditentukan oleh panelis bukan berdasarkan variasi kondisi fermentasi. Panelis pada penelitian ini adalah panelis yang belum terlatih yang belum berpengalaman dalam menilai citarasa suatu produk makanan sehingga lebih bersifat subjektif. Pada umumnya rasa dan aroma keju muncul disebabkan oleh komponen volatil yang terbentuk setelah inokulasi mikroba starter yang dapat mengakibatkan perubahan biokimia, meliputi proteolisis, lipolisis, dan fermentasi laktosa (Khalid dan Marth, 1989). Dalam penelitian ini perubahan biokimia dilakukan oleh R.oryzae, yang merupakan salah satu kapang yang menghasilkan lipase, protease dan amiloglukosidase (Maeda, 2003). Warna keju dipengaruhi oleh warna susu yang digunakan (Rahman, 1992). Tekstur keju merupakan struktur kekompakan keju (Daulay, 1991). Keju mentah yang terbentuk dengan variasi kondisi fermentasi ini memiliki warna putih kekuningan dan tekstur padat berongga. Variasi kondisi fermentasi tidak berperan sebagai penambah zat warna dalam pembuatan keju,
sehingga warna yang terbentuk hanya berasal dari warna susu yang berwarna putih kekuningan. Warna kekuningan tersebut berasal dari pigmen karoten yang larut di dalam lemak (Buckle et al., 1987). Tekstur berongga atau terbuka merupakan tekstur yang terdapat lubang dipermukaan keju, yang disebabkan aktivitas mikroba saat fermentasi menghasilkan CO2, dalam penelitian ini dilakukan R.oryzae yang merupakan mikroba heterofermentatif. Sedangkan pada keju mentah kontrol, penilaian panelis berada pada tingkat kesukaan agak suka. Hai ini disebabkan pada keju kontrol muncul sedikit rasa pahit yang disebabkan ketidakseimbangan proteolisis dan peptidolisis dari protease rennet dan tekstur yang lembek (Fallico et al., 2005). Berdasarkan analisis fisik, kimia, dan uji kesukaan, diketahui keju mentah yang terbentuk pada kondisi optimum fermentasi yang disukai panelis adalah keju mentah yang terbentuk pada P10 (20%, 370C, 9 jam) dengan jumlah rendemen curd 10,76%, kadar air 47,23%, nilai pH 5,56, kadar lemak 40,70% dan kadar protein 2,23%.
C. Uji Mikrobiologis dan Profil Asam Amino Esensial Keju Kontrol dan Keju Mentah yang Terbentuk pada Kondisi Optimum Fermentasi Uji mikrobiologis dan analisis profil asam amino dilakukan pada keju mentah kontrol dan keju mentah P10 (20%, 370C, 9 jam). 1. Uji Mikrobiologis Kandungan Total Mikrobia dan Keragaman Jenis Mikroba Pada umumnya bahan makanan memiliki kandungan nutrisi yang lengkap, hal ini menyebabkannya
menjadi
media
pertumbuhan
yang
baik
bagi
berbagai
macam
mikroorganisme (Prescott et al., 1999). Keju merupakan makanan hasil olahan susu, yang merupakan minuman bergizi tinggi karena mengandung hampir semua zat gizi yang diperlukan tubuh sehingga selain baik dikonsumsi juga dapat digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba (Wahyudi, 2006).
Setiap bahan pangan tidak hanya terdapat satu jenis mikroba saja, tetapi sekumpulan mikroba mampu tumbuh di dalamnya. Bahan pangan yang sama dapat mempunyai keragaman jenis mikroba yang berbeda, tergantung kondisi bahan (Makfoeld, 1993). Kandungan total mikrobia mengindikasikan level mikrobia pada produk yang terkadang digunakan untuk mengindikasikan kualitas makanan dan kontaminasi proses pengolahan. Oleh karena itu untuk mengetahui bahwa bahan pangan tidak mengalami perubahan sifat serta bebas dari kontaminasi mikroba maka diperlukan uji mikrobiologis.
Berbagai macam uji mikrobiologis
dapat dilakukan terhadap bahan pangan, meliputi uji kuantitatif mikroba untuk menentukan daya tahan suatu makanan dan uji kualitatif mikroba untuk menentukan tingkat keamanan. Penghitungan total mikroba pada penelitian ini dilakukan dengan dengan metode Standar Plate Count (SPC) pada media Plate Count Agar (PCA) yang dilakukan dengan pengenceran. Metode ini merupakan metode analisis kuantitatif yang paling umum untuk menentukan jumlah sel-sel yang hidup (Colony Forming Unit/CFU) dalam bahan pangan. Pada penelitian ini, isolasi dan identifikasi mikroba diambil dari sampel keju mentah kontrol dan P10. Isolasi dilakukan dengan metode cawan gores untuk menghasilkan isolat murni. Selanjutnya, jenis mikroba diketahui dengan menumbuhkan isolat murni ke dalam media identifikasi. Untuk jenis kapang, isolat ditumbuhkan pada media PDA. Dan untuk bakteri ditumbuhkan pada media MRSA. Identifikasi kapang dilakukan dengan pengamatan mikroskopis. Identifikasi bakteri dilakukan dengan alat identifikasi mikroba ‘BD Phoenix’, berdasarkan karakter biokimianya. Sistem Mikrobiologi Otomatis BD PhoenixTM digunakan untuk mengidentifikasi genus dan spesies dari suatu mikroorganisme (bakteri) bardasarkan kemampuan fermentasi gula-gula. Sistem ini terdiri dari substrat florogenik dan khromogenik. Ketika bakteri bersinggungan dengan substrat, maka bakteri tersebut akan bereaksi dengan substrat (reaksi positif (+)) atau tidak bereaksi (reaksi negatif (-)). Ketika reaksi positif dan reaksi negatif dikombinasikan maka bakteri tersebut akan teridentifikasi secara otomatis oleh BD PhoenixTM dengan membandingkan pada data basenya.
Hasil penghitungan total mikroba dan identifikasi keragaman jenis mikroba pada keju mentah kontrol dan P10 dapat dilihat pada Tabel 6. dan Tabel7. Tabel 6. Total Plate Count (TPC) dan jumlah mikroba pada media Potato Dekstrosa Agar (PDA) dan de Man Ragosa Sharpe Agar (MRSA) pada keju mentah kontrol dan perlakuan (P10). Penghitungan
Keju kontrol
Total mikroba pada media TPC (cfu/ml)
Keju P10
10,5x10
6
8,1x10
6
Jumlah kapang pada media PDA (cfu/ml) (Aspergillus sp)
4,1x10
6
1,2x10
6
Jumlah bakteri pada media MRSA (cfu/ml) (Enterococcus hirae dan Bacillus subtilis)
4,4x10
6
3,7x10
6
Dari Tabel 6. tersebut dapat diketahui bahwa pada keju P10 (menggunakan inokulum R.oryzae) memiliki jumlah total mikroba yang lebih rendah, hal ini bisa terjadi karena saat fermentasi oleh R.oryzae dihasilkan asam organik yang bersifat antimikroba sehingga mampu mengurangi jumlah mikroba yang ada, jika dibandingkan dengan keju mentah kontrol. Secara keseluruhan, jumlah mikroba dalam keju mentah pada penelitian ini lebih rendah daripada jumlah mikroba pada penelitian Tayar cit Hayaloglu (2005) yaitu jumlah mikroba yang ditemukan pada keju berkisar pada jumlah 1.3x108- 7.8x109 cfu/ml untuk bakteri dan 1.0x1012.0x107 cfu/ml untuk kapang dan yeast.
Tabel 7. Keragaman jenis mikroba pada keju mentah kontrol dan perlakuan Keju kontrol
Keju P10
Enterococcus hirae (Enterococcus faecalis) Bacillus subtilis Aspergillus sp.
Enterococcus hirae Bacillus subtilis Aspergillus sp.
Dari hasil identifikasi jenis mikroba pada keju mentah P10 maupun kontrol sesuai dengan Tabel 7., ditemukan tiga jenis mikroba yang sama yaitu 1 jenis kapang, Aspergillus dan 2 jenis bakteri, Enterococcus hirae dan Bacillus subtilis. Sedangkan R.oryzae tidak ditemukan
pada keju P10 karena pertumbuhannya yang terbatas oleh asam dan diketahui dari pola pertumbuhannya (Gambar 4.), bahwa dengan semakin meningkatnya asam laktat yang dihasilkan maka akan menghambat pertumbuhan kapang tersebut. Jenis mikroba yang ditemukan pada keju mentah ini bukan merupakan mikroba patogen. Menurut Little and Sagoo dalam European Commission Recommendation (2004), bakteri pembatas kontaminasi pada keju
adalah
Listeria
monocytogenes,
Staphylococcus
aureus,
and
Escherichia
coli.
Ditambahkan oleh Wirtanen et al. (2002), bakteri patogen yang sering ditemukan pada produk olahan susu antara lain adalah Staphylococcus aureus, Listeria sp., Clostridium botulinum. Pada penelitian ini jenis-jenis tersebut tidak ditemukan. Identifikasi mikroba yang terdapat pada keju penting dilakukan untuk mengetahui kontribusi mikroba pada kualitas keju (Beresford et al., 2002). Bakteri yang ditemukan pada penelitian ini adalah Enterococcus hirae dan Bacillus subtilis, keduanya termasuk bakteri asam laktat (BAL) yang merupakan mikroorganisme alami dalam air susu. BAL hampir selalu ada, kelompok ini kebanyakan dari famili Lactobacteriae, BAL ini akan mati saat pasteurisasi susu di awal pembuatan keju kecuali bakteri yang bersifat termofilik dan mampu membentuk spora. Habitat alaminya adalah saluran pencernaan pada membran mucus manusia atau hewan (Anggarwal, 2006). Bakteri dari genus Enterococcus dan Bacillus adalah bakteri yang sering terdapat dalam bahan pangan yang bersifat termodurik yang mampu bertahan pada suhu pasteurisasi. Selain itu, Enterococcus merupakan bakteri yang mampu hidup pada pH rendah dibawah 4,0 termasuk aciduric bacteria. Sedangkan Bacillus merupakan bakteri yang mampu hidup pada konsentrasi kadar garam tinggi (10%) termasuk halotolerant bacteria. Genus Bacillus mampu membentuk spora. Kelompok Bacillus adalah bentuk termofilik yang paling umum dalam susu. Pada makanan Bacillus merupakan bakteri yang bersifat proteolitik (mampu mengidrolisis protein dalam makanan, oleh enzim ekstraselular proteinase) dan sakarolitik (mampu menghodrolisis karbohidrat yang kompleks). Bacillus subtilis merupakan bakteri gram-
positif yang berbentuk batang. Jenis ini memiliki endospora yang letaknya di tengah dan secara alami sering ditemukan di tanah. B.subtilis tumbuh di berbagai mesofiilik suhu berkisar 25-35 0
C. B.subtilis juga telah berevolusi sehingga dapat hidup walaupun di bawah kondisi ekstrim
dan lebih cepat mendapatkan perlindungan terhadap stres situasi seperti kondisi pH rendah (asam), bersifat alkali, osmosa, atau oksidatif, dan panas atau etanol (Madigan dkk., 2000). B.subtilis bukan merupakan bakteri patogen. B.subtilis menghasilkan α-amilase dengan konsentrasi yang lebih tinggi pada media laktosa daripada pada media pati (Grassano and Balatti cit Wirtanen et al., 2002). B. subtilis juga mampu menghasilkan vitamin B2 (DSM, 2008). B.subtilis dikenal mampu menghasilkan chymosin (rennet mikroba) sebagai koagulan dalam pembuatan keju, sehingga dimungkinkan bakteri ini turut berkontribusi dalam pembentukan curd di awal pembuatan keju. Genus Enterococci adalah bakteri asam laktat yang sering ditemukan pada makanan hasil olahan susu dan jenis makanan lainnya. Walaupun sebelumnya, keberadaan bakteri ini dalam makanan digunakan sebagai indikator kondisi higienis, namun sekarang dalam industri bioteknologi, bakteri probiotik ini penting digunakan karena komponen-komponen yang dihasilkan dari hasil metabolisme bakteri ini penting dalam perkembangan flavor keju. Berdasarkan penelitian Mannu et al., (2004); Paparella et al., (2004); Brasca et al., (2004); Cakmakci et al., (2007), meskipun penggunaan Enterococcus sebagai starter pembuatan keju jarang digunakan, namun penggunaan bakteri ini penting dalam pematangan keju karena kemampuannya untuk tumbuh pada kondisi dengan kadar garam tinggi, dapat beradaptasi pada kondisi asam serta mampu menghasilkan antimikroba. Enterococcus hirae dahulunya dikenal sebagai Streptococcus faecalis atau faecium (Edinburgh, 1947 dalam www.ikp.unibe.ch/lab1/gram.gif, 2009). Secara tradisional, BAL terdiri dari empat genus yaitu Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus dan Streptococcus. Saat ini beberapa genus baru telah dimasukkan ke dalam kelompok BAL untuk revisi taksonomi baru. Hal ini disebabkan adanya beberapa perkembangan dalam beberapa sifat fisiologi, perbedaan
dan persamaan dalam produksi metabolit. Genus Streptococcus telah direorganisasi menjadi Enterococcus (Yang, 2000). Pada penelitian yang dilakukan oleh Soda et al. (2006), ditemukan Enterococcus sebagai BAL yang diisolasi dari ‘Egyptian Ras Cheese’ berdasarkan karakter biokimianya. Enterococcus faecalis termasuk bakteri asam laktat yang berperan sebagai probiotik (Conway, 1996). Pada penelitian yang dilakukan oleh Pimentel et al.(2004), dilaporkan bahwa beberapa spesies Enterococcus telah diisolasi dari keju Serra da Estrela dan keju Terrincho, keju yang berasal dari Portugis yaitu Enterococcus faecium, E. durans. Dari penelitian Beresford et al., (2000), dilaporkan bahwa penambahan E. faecium pada keju sebagai kultur starter meningkatkan flavor keju dan mempercepat pemeraman keju. Enterococcus faecalis merupakan bakteri homofermentatif yang murni menghasilkan 90% laktat dalam fermentasinya (Schlegel, 1997). BAL berpotensi sebagai probiotik yaitu mikroba hidup yang digunakan sebagai suplemen yang mempunyai pengaruh menguntungkan pada tubuh manusia karena meningkatkan keseimbangan mikroba dalam usus (Fuller, 1989). Makanan yang mengandung bakteri probiotik termasuk ke dalam makanan fungsional karena berpengaruh positif terhadap kesehatan tubuh (Fueller cit Pato, 2003). Enterococcus merupakan probiotik nonpatogen yang yang juga sering digunakan dalam makanan fermentasi selain dari genus Bifidobacterium and Lactobacillus (Sanders and Huis, 1999). BAL dalam industri keju penting untuk menentukan kualitas keju. Peran asam laktat dalam industri keju adalah mengubah laktosa menjadi asam laktat. Asam laktat bertanggung jawab dalam flavor asam pada keju mentah dan penting dalam pembentukan dan teksturisasi curd. Selain itu, juga berperan penting dalam sintesis enzim proteolitik dan lipolitik yang terlibat dalam pematangan keju dan menekan mikroba patogen maupun spoilage. Produksi asam dalam susu dan perkembangan flavor selama pematangan tergantung pada aktivitas proteolitik BAL. Aktivitas proteolitik dari BAL bertujuan untuk menghasilkan asam amino untuk
pertumbuhannya. Sehingga BAL juga berperan dalam pembentukan curd dan flavor dalam pembuatan keju. Kapang adalah kelompok mikroba yang tergolong dalam fungi. Fungi dapat mensintesis protein dengan mengambil sumber karbon dari karbohidrat, sumber nitrogen dari bahan organik atau anorganik, dan mineral dari substratnya. Sumber karbon yang terbaik adalah glukosa yang merupakan penyusun laktosa susu. Isolat kapang Aspergillus ditemukan pada keju kontrol dan keju optimum fermentasi. Aspergillus dikenal sebagai kapang dalam industri fermentasi. Isolat kapang dimasukkan ke dalam genus Aspergillus karena karakter sesuai dengan ciri umum morfologi yaitu hifa bersepta, konidiofor jelas pada ujung berbentuk gelembung seperti botol. Cabang konidia terbentuk langsung pada sterigmata (Malloch, 1997). Aspergillus merupakan kapang yang sering ditemukan sebagai kapang yang mengkontaminasi pada keju Belanda (Tuma et al., 2004). Akan tetapi, keberadaan kapang ini bermanfaat dalam mengasilkan asam organik (Jon et al.,2004; Domsch, 1980). Sehingga berkontribusi juga dalam pembentukan curd serta flavor keju. Keberadaan kapang dan bakteri asam laktat ini penting dalam mempengaruhi flavor keju. Kapang ini akan meningkatkan flavor keju karena mampu menghasilkan asam organik. Bakteri asam laktat mempengaruhi flavor keju melalui beberapa mekanisme, yaitu: 1). Hidrolisis protein menjadi peptida dan asam amino bebas; 2). Metabolisme asam amino bebas; 3). Hidrolisis lemak susu menjadi asam lemak bebas dan konversinya menjadi ester (Steel et al., 2004). Flavor adalah atribut yang paling penting dalam keju. Pemecahan komponen susu memberikan peningkatan dalam komponen volatil dan non-volatil yang memiliki kontribusi dalam pembentukan flavor keju. Pemecahan secara enzimatik, baik oleh mikroba starter maupun bukan starter, penting dalam produksi komponen flavor volatil, seperti komponen sulfur dan komponen yang merupakan derivat dari rantai cabang dan asam amino aromatic (Smith et al., 2004). Enzim yang dhasilkan oleh starter baik proteinase maupun peptidase berperan
penting dalam pembentukan peptida kecil dan asam amino yang akan menjadi prekusor komponen pembentuk flavor (Urbach, 1997; Broome and Limsowtin cit Hayaloglu et al., 2005).
2. Profil Asam Amino Esensial Asam amino merupakan komponen utama penyusun protein. Asam amino dibagi dua kelompok yaitu asam amino esensial dan non-esensial. Asam amino esensial tidak dapat diproduksi dalam tubuh sehingga sering harus ditambahkan dalam bentuk makanan, sedangkan asam amino non-esensial dapat diproduksi dalam tubuh. Asam amino umumnya berbentuk serbuk dan mudah larut dalam air, namun tidak larut dalam pelarut organik nonpolar (Suharsono cit Sitompul, 2004). Analisis profil asam amino esensial dilakukan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dengan delapan target asam amino esensial yang terdiri dari LThreonin, L-Methionine, L-Valine, L-Thriptophan, L-Phenylalanine, L-Isoleucine, L-Leucine, dan L-Lycine. High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan sistem pemisahan komponen larutan dengan akurasi yang cukup tinggi. Dasar pemisahan kromatografi adalah kesetimbangan komponen-komponen campuran diantara fase gerak dan fase diam.
Hasil
analisis berupa kromatogram. Kromatogram berfungsi sebagai analisis kualitatif dan kuantitatif. Posisi puncak (peak) pada sumbu waktu berfungsi untuk mengidentifikasi komponen cuplikan, sedangkan luas area (area %) atau tinggi peak merupakan ukuran kuantitatif tiap komponen. Waktu retensi (RT= Retention Time) merupakan petunjuk kualitatif suatu senyawa. Waktu retensi adalah waktu yang dibutuhkan oleh suatu senyawa untuk mencapai detektor. Jumlah peak yang terdapat dalam kromatogram menunjukkan jumlah komponen yang terdapat dalam cuplikan. Hasil analisis asam amino esensial keju mentah kontrol dan P10 (20%, 370C, 9 jam) dapat dilihat pada Tabel 8. RT dan area masing–masing asam amino esensial pada lampiran 8. Tabel 8. Komposisi senyawa asam amino keju mentah kontrol dan perlakuan
Senyawa Asam Amino Esensial L-Threonine L-Methionine L-Valine + L-Thriptophan L-Phenylalanine L-Isoleucine L-Leucine L-Lycine
Kadar asam amino esensial Keju Mentah Kontrol (ppm) P10 (ppm) 0,72 1,15 0,29 0,47 0,44 0,70 0,42 0,66 0,30 0,48 0,81 1,28 1,02 1,64
Hasil analisis HPLC menunjukkan bahwa jumlah peak yang terbentuk baik pada kromatogram asam amino standard, kontrol, dan P10 adalah sebanyak 7 RT, hal ini dikarenakan peak untuk RT asam amino L-Valine + L-Thriptophan sama. Uji kualitatif asam amino meliputi identifikasi delapan jenis asam amino esensial berdasarkan tinggi peak yang muncul, kemudian diregresikan dengan standar. Uji kuantitatif asam amino dihitung berdasarkan luas area peak yang muncul. Rerata kandungan asam amino esensial keju mentah ditampilkan pada Tabel 8. Dari hasil penelitian diketahui bahwa kadar masing-masing delapan asam amino esensial keju mentah P10 lebih tinggi daripada keju mentah kontrol, hal ini berarti bahwa aktivitas protease R.oryzae pada keju mentah P10 lebih baik daripada aktivitas protease rennet. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keju mentah P10 memiliki kadar gizi yang lebih tinggi daripada keju kontrol yang dikoagulasikan dengan rennet. Aktivitas proteolitik pada pembuatan keju ini juga dilakukan oleh bakteri asam laktat yang juga mampu menghasilkan protease. Menurut
Muhiddin dkk. (2001), fermentasi menyebabkan kandungan protein berubah
(meningkat) karena adanya mikroba yang tumbuh diatasnya. Protein tersusun oleh ikatan peptida yang tersusun oleh beberapa asam amino, sehingga kadar asam amino juga akan meningkat. Nutrisi yang tinggi dalam keju dikarenakan keju terbuat dari susu dengan kasein sebagai protein yang memiliki asam amino esensial lengkap (Hughes and Willenberg, 1993). Kandungan asam amino terutama asam amino esensial penting bagi tubuh manusia, selain asam amino esensial tidak dapat disintesis oleh tubuh, juga karena protein yang terdapat
dalam bahan pangan akan diserap oleh usus dalam ben bentuk tuk asam amino (Winarno, 1995). 1995 Selain itu, dalam industri keju, asam amino yang telah dikonversi oleh enzim yang dihasil dihasilkan starter berfungsi sebagai pembentuk flavor (Broome et al.,1998). Keseimbangan pada pemecahan kasein menjadi peptide kecil dan asam amino penting untuk perkembangan flavor keju (Singh et al., 2003). Produk-produk produk ini memiliki kontribusi secara langsung terhadap flavor keju atau sebagai prekusor ekusor dalam komponen pemb pembentuk flavor (Visser cit Awad et al al., 2005).
Gambar 7.. Ringkasan jalur konversi protein yang berkaitan dengan pembentukan flavor keju (Smit, 2004).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Berdasarkan analisis fisik, kimia, dan uji kesukaan, diketahui keju mentah yang terbentuk pada kondisi optimum fermentasi yang disukai panelis adalah keju mentah yang terbentuk pada kondisi optimum konsentrasi inokulum, suhu, dan waktu fermentasi formula perlakuan 20%, 370C, 9 jam. 2. Perbedaan kondisi fermentasi berpengaruh terhadap rendemen curd, nilai pH, kadar lemak, dan tidak berpengaruh terhadap kadar air, kadar protein keju mentah yang terbentuk. Keju mentah yang terbentuk pada kondisi optimum fermentasi memiliki kualitas sebagai berikut : a. Jumlah rendemen curd 10,76%, kadar air 47,23%, nilai pH 5,56, kadar lemak 40,70%, dan kadar protein 2,23%. b. Jumlah total mikroba sebanyak 8,1x106, bakteri sebanyak 3,7x106 dan kapang sebanyak 1,2x106. Hasil identifikasi mikroba meliputi Enterococcus hirae (Enterococcus faecalis), Bacillus subtilis, dan Aspergillus sp. c. Analisis profil delapan asam amino esensial meliputi : L-Threonine (1,15 ppm), LMethionine (0,47 ppm), L-Valine + L-Thriptophan (0,70 ppm), L-Phenylalanine (0,66ppm), L-Isoleucine (0,48ppm), L-Leucine (1,28ppm), L-Lycine (1,64 ppm).
63
B. Saran
1. Pada penelitian pembuatan keju berikutnya perlu diciptakan suatu kondisi yang dapat mempertahankan pertumbuhan R.oryzae hingga akhir fermentasi.
2. Identifikasi mikroba pada keju menggunakan metode analisis tingkat molekuler sehingga didapatkan hasil yang lebih tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Achyadi, N., A. Hidayanti. 2004. Pengaruh Konsentrasi Bahan Pengisi dan Konsentrasi Sukrosa Terhadap Karakteristik Fruit Leather Cempedak (Artocarpus champeden Lour). Infomatek. 6 (3): 127-142. Adnan, M. 1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Aggarwal, S. 2006. Isolation and Characterization of Strach Degrading Lactic Acid Bacteria. Thesis. Dept.of Biotechnology and Env.Sciences Thapar Institute of Eng.&Technology, Deemed University, Patiala. Akalin, A. S., S. Gonc., Y. Akbas. 2002. Variation in Organic Acids Content during Ripening Picled White Cheese. J. Dairy Sci. 85: 1670-1676. Awad, S., A.N. Hassan and F. Halaweish. 2005. Application of Exopolysaccharide-Producing Cultures in Reduced-Fat Cheddar Cheese: Composition and Proteolysis. J. Dairy Sci. 88: 4195–4203. Bailey J. E., D.F. Ollis. 1998. Dasar-Dasar Rekayasa Biokimia. Diterjemahkan oleh Darwis AA., Liesbetini, Sailah I, Herlina. PAU IPB, Bogor. Banerjee, R. and B. C. Bhattacharyya. 2004. Purification and Characterization of Protease from a Newly Isolated Rhizopus oryzae. J. Bioprocess and Biosystems Engineering. 7 (8): 369-374. Benjamin, S. dan A. Pandey. 1998. Candida rugosa lipases: Molecular biology and versatility in biotechnology, Yeast.14:1069–1087. Beresford T.P., Fitzsimons N.A., Brennan N.L., Cogan T.M., 2002. Recentn Advances in cheese microbiology, Int. Dairy J. 11: 259-274. Black, J.G. 1999. Microbiology Principles and Exploration. Prentice Hall, New Jersey. Brasca, M., S. Morandi, R. Lodi. 2004. Technological of Lactic Acid Bacteria Isolated from ‘Formagela Valseriana ‘A Traditional Italian Cheese. IDF Symposium on Cheese: Ripening, Characterizaton & Technology. Broome, M.C., Limsowtin G.K.Y.1998. Starter Peptidase Activity in Maturing Cheese. Aust. J. Dairy Technol. 5: 79–82. Brown, R. J. dan C. A. Enstrom. 1998. Milk Clotting Enzymes di dalam Fundamental of Dairy Chemistry. 3rd ed. Var Nostrand Reinhold, New York. Cakmakci, S., E. E. Dagdemir, A. A. Hayaloglu, M. Gurses and E. Gundogdu. 2007. Influence of ripening container on the lactic acid bacteria population in Tulum cheese. World Journal of Microbiology and Biotechnology, 24 (3): 293-299.
Ceylan, Z., H. Turgoklu, K.S. Dayisoylu. 2003. The Microbiological and Chemical Quality of Sikma Cheese Produced in Turkey. Pakistan Journal of Nutrition, 2 (2): 95-97. Cheeseman, G.C. 1981. Rennet and Cheesemaking. Di dalam Enzymes and Food Processing. C.G. Birch, N Blakebrough dan K.J. Parker (eds). Applied Sci. Publisher, Lt. London. Coenen T. M., Aughton P, Verhagen H. 1997. Safety evaluation of lipase derived from Rhizopus oryzae: summary of toxicological data. Food Chem Toxicol. 35(3-4): 315-22. Cogan T.M. 1985. The Leuconostoc: Milk Products. Di dalam Bacterial Starter Culturs for Foods. CRC Press Inc., Boca Raton. Conway, P.L., 1996. Selection criteria for probiotic microorganisms. Asia Pacific J. Clin. Nutr., 10-14 Corbo, M.R., M. Albenzio, M. De Angelis, A. Sevi, and M. Gobbetti. 2001. Microbiological and Biochemical Properties of Canestrato Pugliese Hard Cheese Supplemented with Bifidobacteria. J. Dairy Sci. 84:551–561. Danuwarsa. 2006. Analisis Proksimat dan Asam Lemak pada Beberapa Komoditas Kacangkacangan. Buletin Ilmu Pertanian. 11(1): 5-8. Daulay, D. 1991. Fermentasi Keju. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Darwis, A.A. dan E. Sukara. 1989. Teknologi Mikrobial. PAU Bioteknologi, IPB, Bogor Domsch, K.H., W. Gams dan T.Anderson. 1980. Compendium of Soil Fungi. Academic Press, London. DSM and their applications. 2008. Current overview of the micro-organisms used. Early, R. 1998. The Technology of Dairy Products. 2nd. Blackie Academic and Professional. An Imprint of Thomson Science. 2-6 Boundary Row, London, UK. Edinburgh, 1947 dalam www.ikp.unibe.ch/lab1/gram.gif [ 2 Februari 2009]. Ernie A. B., dan Lestari N., (1992), Pengembangan Pemanfaatan Buahbuahan Tropis untuk Pembuatan Olahan Eksotis (Leather Fruit). BBIHP, Bogor. Essamri, M., V. Deyris dan L. Comeau. 1998. Optimization of lipase production by Rhizopus oryzae and study on the stability of lipase activity in organic solvents. J. Biotechnology. 60(1-2): 97-103. Fallico, V. P. L. H. McSweeney, J. Horne, C. Pediliggieri, J.A. Hannon, S. Carpino, and G.Licitra. 2005. Evaluation of Bitterness in Ragusano Cheese. J. Dairy Sci. 88: 12881300. Femena, O.R. 1976. Principles of Food Science. Marcel Dekker. Inc. New York. Flood, M. T. dan Mitsuru K. 2003. Safety evaluation of lipase produced from Rhizopus oryzae: summary of toxicological data. Regulatory Toxicology and Pharmacology. 37 (2): 293304.
Food and Drug Administration. 2008. American Type Culture Collection, Parklawn Drive, Rockville, MD 20852. Fowler, M. W. 1988. Enzyme Technology. Di dalam Engineers. Ellis Horwood Ltd., England.
A. Scragg (ed). Biotechnology for
Fox, P.F. 1993. Cheese: Chemistry, Physics and Microbiology 2nd. Chapman and Halll, London. Frazier W. L., dan D. C. Westhoff 1983. Food Microbiology. Mc Graw Hill Publishing Company, Ltd. NewDelhi. Frost G. M., and Moss. 1987. Production Enzyme by Fermentation. In Biotechnology. Volume 70, Germany. Fuller, R. 1989. Probiotics in man and animals. J. Appl. Bacteriol. 66:365–378. Gandhi, N. 2007. Application of Lipase. J. of The American Oil Chemists’ Society. 74 (6): 621634. Garcia, G., G. Monteiro dan E. Julio. 2005. Microbial Rennet Produced by Mucor miehei in Solid-State and Submerged Fermentation. Brazilian Archives of Biology and Technology. An International Journal. 48 (6): 931-937. Green M. L. 1977. Review of The Progress of Dairy Science Milk Coagulant. J. Dairy Research. 44:159. Gupta, V.K. and H. Reuter. 1992. Processed cheese foods with added whey protein concentrates Lait .72: 201-212. Hadioetomo, R.S. 1990. Mikrobiologi Dasar Dalam Praktek: Teknik dan Prosedur Dasar dalam Laboratorium. PT Gramedia, Jakarta. Hang, Y., 1989. Direct fermentation of corn to L(+)-lactic acid by Rhizopus oryzae. Biotechnology Letter 11: 299-300. Hayaloglu, A.A., M. Guven, P. F. Fox, and P. L. H. McSweeney. 2005. Influence of Starters on Chemical, Biochemical, and Sensory Changes in Turkish White-Brined Cheese During Ripening J. Dairy Sci. 88:3460–3474. Hayaloglu, A. A., S. Cakmakci, E. Y. Brechany, K. C. Deegan and P. L. H. McSweenwy. 2007. Microbiology, Biochemistry and Volatile Composition of Tulum Cheese Ripened in Goat’s Skin or Plastic Bags. J. Dairy Sci. 90: 1102-1121. Hesseltine CW. 1983. Microbiology of oriental fermented foods. Ann Rev Microb 37:575–601. Hiol, A., M.D. Jonzo, N. Rugani, D. Druet, L.Sarda, L.C. Coemau. 2000. Purification and Characterization of An Extracellular Lipase from A Thermophilic Rhizopus oryzae Strain Isolated from Palm Fruit. Enzyme and Microbial Technology. 26 : 421-430.
Hou, C. T., dan T. M. Jonhston. 1992. Screening of Lipase activities with Cultures from Agricultural Research Service Culture Collection. JAOCS. 69 : 1088-1097. Hughes, K.V. and B.J. Willenberg, 1993. Using and McSweeney, P.L.H. and P.F. Fox, 2004. Metabolism of Storing Cheddar Cheese. Department of Food Science and Human Nutrition, University of Missouri Columbia. Human Environmental Science Publication GH1287. Jaroe, D., W. Ginzinger, E. Tschager, H.K. Mayer, H. Rohm. 1997. Effects of water addition on composition and fracture properties of Emmental cheese. Lait. 77: 467-477. Jin, B., J. van Leeuwen, B. Patel, H. Doelle, Q. Yu, 1999. Production of fungal protein and glucoamylase by Rhizopus oligosporus from starch processing wastewater, Process Biochem. 34: 59–65. Johnson, M.E., 1988. Part II-Cheese Chemistry. Di dalam Fundamental of Dairy Cemistry. N.P. Wong (ed). Van Nostrand Reinhold. New York. Johnson, M. 2002. Cheese pH. What’s behind the rise and fall? Dairy Pipeline. 14: 4. Jon K. Magnuson and Linda L. Lasure. 2004. Organic Acid Production by Filamentous Fungi Advances in Fungal Biotechnology for Industry, Agriculture, and Medicine. Edited by Jan and Lene Lange, Kluwer Academic/Plenum Publishers. Justa, M. Poveda, Lourdes C. and Paul L. H. Mc. Sweeney. 2004. Free amino acid content of Manchego cheese manufactured with different starter cultures and changes throughout ripening. Food Chemistry. 84(2): 213-218. Khalid, N.M and E.H. Marth. 1989. Enzym Activities of Lactic Streptococcy and Their role in Maturation of Cheese. J. Dairy Scie. 73: 2669-2684. Kosikowski, F.V. and V.V. Mistry. 1997. 3rd ed. Cheese and Fermented Milk Foods. Origin and Principles Westport. Conn. Kosugi Y., H. Tanaka & N. Tomizuka. (1990). Continuous hydrolysis of oil by immobilized lipase in a countercurrent reactor. Biotechnol. & Bioengin., 36 (6), 617-622. Kurniati, T. 2007. Rendemen Curd Komposisi Kimia dan Citarasa Keju Peram dengan Penambahan Yogurt Probiotik pada Level Konsentrasi Rennet yang Berbeda. Skripsi. Fak. Peternakan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kuswanto, K.R. dan S. Slamet. 1989. Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi. UGM, Yogyakarta. Lampert, M. L. 1975. Modern Dairy Product. 3rd. Ed. Chemical Publication. Co.Inc. New York. Law, B. A. 1997. Microbiology and Biochemistry of Cheese and Fermented Milk. 2nd Edition. Backle and Professional. Chapman and Hall, London. Legowo, A., Nurwantoro, A.N. Albaari. 2003. Kadar Protein, Lemak, Nilai pH dan Mutu Hedonik Keju Cottage dengan Bahan Dasar Susu Kambing dan Susu Sapi Skim. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. p: 272277. 29-30 September 2003. Leksono, T. dan Syahrul. 2001. Studi Mutu dan Penerimaan Konsumen Terhadap Abon Ikan. Jurnal Natur Indonesia III (2): 178– 184. Lennartsson, P. 2007. Antimicrobial Effect of Zygomycetes Cell Wall on Nonwoven Textiles. Thesis. Institutionen Ingenjorshogskolan Hogskolan Boras, Lars Edebo. . Little, CL and Sagoo, SK. 2004. European Commission Co-ordinated Programme for the Official Control of Foodstuffs for 2004: Microbiological Examination of Cheeses made from Raw or Thermised Milk from Establishments of Production and Retail in the United Kingdom, Colindale Avenue, London. Liu, Y., Wen, Z., Liao, W., Liu, C., Chen, S., 2005. Optimization of L-(+)-lactic acid production process from cull potato by Rhizopus oryzae. Engineering in Life Sciences 5: 343–349. Longacre, A., J.M. Reimers, J.E. Gannon, B.E. Wright. 1997. Flux analysis of glucose metabolism in Rhizopus oryzae for the purpose of increasing lactate yields, Fungal Genet. Biol. 21: 30–39. Maeda. 2003. “Effects of Mutant Thermostable α-Amylases on Rheological Properties of Wheat Dough and Bread”. Cereal Chemistry. 80(6): 722-727. Mahdawi, A. H. H. R. Rahmani and J. Pourezze. 2005. Effect of Probiotic Supplement on Egg Quality and Laying Hen’s Performance. Journal of Asian Network for Scientific Information. Makfoeld, D. 1993. Mikotoksin Pangan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Malloch, D. 1997. Mould Isolation, Cultivation, Identification. Micology. Univ. of Toronto. Mannu, L., E. Daga, R. Comunian, A. Paba. 2004. Biodiversity of Lactic Acid Present in The Natural Microflora of Traditional Ewe’s Raw Milk Flora Sardo Cheese. IDF Symposium on Cheese: Ripening, Characterizaton & Technology. Marth, H.E. and J.L. Steele. 2001. Applied Dairy Microbiology. 2nd Edition. Revised and Expanded Marcel Dekker, Inc. New York. Martin, P.G. 1979. Manual of Food Quality Control 3nd. FAO, Rome. Mc. Kay, L.L., W.E. Sandine and P.R. Elliker. 1971. Lactose Utilization by Lactic Acid and Bacteria. J. Dairy Science. 37: 493. Mennane, Z., Faid, M., Lagzouli, M. 2007. Physico-Chemical, Microbial and Sensory Characterisation of Moroccan Klila. Middle-East Journal of Scientific Resarch 2 (3-4): 9397. Mirdamadi, S., H. Sadeghi., N.Sharafi., M.Falahpour., F.A. Mohseni, dan M.R. Bakhtiari. 2002. Comparison of Lactic Acid Isomers Produced by Fungal and Bacterial Strains. Iran Biomed J 6(2&3): 69-75.
Mishra,C. and J. Lambert, 1996. Production of antimicrobial substances by probiotics. Asia Pacific J. Clin. Nutr., 5:20- 24. Moreira, S. R., R. Schwanl, Eliana. 2001. Isolation and Identification of Yeast and Filamentous Fungi from Yoghurts in Brazil. Brazilian Journal of Microbiology. 32: 117-122. Muchtadi, T. R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Muchtadi D., Palupi N.S., Astawan M., 1992. Enzim dalam Industri Pangan. PAU IPB, Bogor. Muhiddin, N., N. Juli, P. Aryantha. 2001. Peningkatan Kandungan Protein Kulit Umbi Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi. JMS. 6 (1): 1 – 12. Mukherjee K. D., Hills M. J. 1994. Lipases from Plant. In Lipase: Their Structure, Biochemistry and Aplication. Woolley P, Peterson S.B. ed. Cambridge University Press. P. 49-75. Murti, T.W. 2004. Aneka Keju. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Nagodawithana, T. dan G. Reed. 1993. Enzymes in Food Processing 3rd ed. Academic Press Inc, California. Nout, M.J.R dan J.L. Kiers. 2005. Tempe fermentation, innovation and functionality: update into the third millennium. J. Applied Microbiology. 98: 789-805. Nout MJR, Bonants-van Laarhoven TMG, de Jongh P, de Koster PG. 1987. Ergesterol content of Rhizopus oligosporus NRRL 5905 grown in liquid and solid substrates. Appl Microbiol Biot 26:456–461. Nuraida L., Dewanti R., Hariyadi P., Budijanto S. 2000. Eksplorasi, Karakterisasi, dan Produksi Lipase dengan Aktivitas Esterifikasi Tinggi dari Kapang Indigenus. Laporan tahun Pertama Penelitian Hibah Bersaing VIII. IPB, Fa Teknologi Pertanian, Bogor. Nurhidayati, T. 2003. Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain dan Suhu Fermentasi Terhadap Kualitas Keju Cottage. Kappa. 4 (1): 13-17. Oda, Y., Saito, K., Yamauchi, H., Mori, M., 2002. Lactic acid fermentation of potato pulp by the fungus Rhizopus oryzae. Current Microbiology 45: 1-4. Orrashid, M. M., N. E. Odongo., B. Subedi. 2008. Fatty Acid Composition of Yak (Bos grunniens) Cheese Including Conjugated Linoleic Acid and trans-18:1 Fatty Acids. J. agric. Food Chem. 56 : 1654-1660. Oser, B. L. 1976. Hawk’s Psisiological Chemistry. Tata McGraw. Hill Publishing Company Limited. New Delhi. Paparella, P., A. Serio, G. Martino, T. Casacchia, C. Chaves Lopez, M. Bellocci, M. Martuscelli, G. Suzzi. 2004. Ripening and Seasonal Change in Microflora and Physico-chemical Characteristics of The Ewe’s Cheese Pecorino a Bruzzese. IDF Symposium on Cheese: Ripening, Characterizaton & Technology.
Park, E. Y., Y. Kosakai, and M. Okabe. 1998. Efficient production of l(_)- lactic acid using mycelial cotton-like flocs of Rhizopus oryzae in an air-lift bioreactor. Biotechnol. Prog. 14:699–704. Pato, U. 2003. Potensi Bakteri Asam Laktat yang diisolasi dari Dadih untuk Menurunkan Resiko Penyakit Kanker. Jurnal Natur Indonesia 5(2): 162-16. Pearse, M.J. and A.G.Mackinlay. 1989. Biochemical Aspects of Syneresis: A Review. J Dairy Sci. 72: 1401-1407.Pellet, P.L., Young, V.R. 1980. Nutrition Evaluation of Protein Foods. The United Nations University. Japan. Pimentel, L.L, J.C. Soares, M.M.E. Pintado, A.I.E. Pintado, A.M.P. Gomes, A.C. Ferreira, F.X. Malcata. 2004. Acicifying and Aromatic Properties of Enterococcus Strains in Ovine and Bovine Milks. IDF Symposium on Cheese: Ripening, Characterizaton & Technology. Pitt, J.I. and A.D. Hocking. 1997. Fungi and Food Spoilage. An Imprint Chapman & Hall, New York. Prasad, S., R. Banerjeeand B. C. Bhattacharyya. 2004. Production of Proteolytic in A Bubble Column Bioreactor. J.Bioprocess and Biosystem Engineering. 13: 41-43. Prescott, M.C. dan C.G. Dunn. 1959. Industrial Microbiology. Mc Graw Hill Book Company Inc., London. Prescott, L.M., J.P. Hartley and D.A. Klein, 1999. Microbiology. McGraw-Hill Publishing, New York, 96. Purnomo, H. 1996. Rekayasa Paket Teknologi Produksi Starter dan Enzim Mikrobia dan Paket Aplikasinya Pada Pengolahan Susu. UMM Press, Malang. Purwandhani, S.N. dan M. Suladra. 2003. Optimasi Produksi Biomassa Bakteri Asam Laktat Lacobacillus acidopiphilus SNP 2 pada Media Air Kelapa dengan Berbagai Konsentrasi Ekstrak Tauge. Prosiding Seminar Nasional PATPI : 256-262. Rahman, A., Srikandi F., Winiati P.R. dan C.C Nurwitri. 1992. Teknologi Fermentasi susu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Rapp P. dan Backhaus. 1992. Formation of Extraselluler Lipases by Filamentous Fungi, Yeast and Bacteris. Enzyme Microb. Technol. 14: 938-943. Rehman, S., S. Hussain, H. Nawaz. 2007. Inhibitory Effect of Citrus Peel Essential Oils on The Microbial Growth of Bread. Pakistan Journal of Nutrition. 6 (6): 558-561. Rosa, T., C.F. Volken, M. Antonio. 2003. Changes in The Microbiological and Physicochemical Characteristics of Serrano Cheese during Manufacture and Ripening. Brazilian Journal of Microbiology 34: 260-266. Sanders, M. E., and J. Huis in’t Veld. 1999. Bringing a probiotic containing functional food to the market: microbiological, product, regulatory and labelling issues. Antonie van Leeuwenhoek 76:293–315.
Saito, K. Naoya T. and Yuji O. 2004. Purification of the extracellular pectinolytic enzyme from the fungus Rhizopus oryzae NBRC 4707. J. Microbiology. 159. 1: 83-86. Saleh A.B. 1993. Extra- and intrasellularlipase from Rhizopus oryzae and factors affecting their production. Can J Microbiol 39: 978-981. Samarjiza, D., J. Lukac, N. Sikora. 2001. Characteristics and Role of Mesophilic Lactic Cultures REVIEW. Agriculturae Conspectus Scientificus, Vol. 66 No. 2: 113-120. Samsuzzaman, K. dan N.F. Haard. 1985. Milk Clotting and Cheese Making Properties of A Chymosin-like Enzyme from Harp Seal Mucosa. J of Food Biochem., 9, 173. Saraswati, F., K. Syamsu, D.N. Susilowati, B. Laila dan R.S. Andhayani. 2003. Produksi Masal Sel Rhizobium dengan Teknologi Bioproses. J.Mikrobiol. Ind. 3 (2): 47-52. Sayari, A., Fakher F., Nabil M., Hounaida M., Yassine B., Robert V. and Youssef G. 2005. Nterminal peptide of Rhizopus oryzae lipase is important for its catalytic properties. J. Botechnology. 579(5): 976-982. Schlegel, H.G. dan K.Schimdt. 1994. Mikrobiologi Umum. Diterjemahkan oleh: Prof. Dr. R.M. Tedjo Baskoro. UGM Press, Yogyakarta. Septiani, Y. 2004. Studi Kadar Karbohidrat, Lemak, dan Protein pada Kecap dari Tempe. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Simanjuntak, P., R. Melliawati, A. Soeksmanto, T.Parwati dan Bustanussalam. 2002. ’Pengembangan Bahan Baku Zat Bioaktif Antimalaria dari Mikroba Endofit Tumbuhan Obat Indonesia”. Laporan Teknik Penelitian Puslit Bioteknologi-LIPI, Cibinong-Bogor. Singh, T. K., M. A. Drake, and K. R. Cadwallader. 2003. Flavor of Cheddar cheese: A chemical and sensory perspective. Comp. Rev. Food Sci. Food Safety 2:139–162. Sitompul, S.2004. Analisis Asam Amino dalam tepung ikan dan bungkil kedelai. Buletin Teknik Pertanian. 9: 1. Skory,
C.D. 2000. Lactic Acid Production by Rhizopus oryzae with Increased LactateDehydrogenase.http://www.Ars.usda.gov/research/publications/publication.htm? Seq_no_115=151614 [5 September 2007].
Skory, C. D. 2000. Isolation and Expression of Lactate Dehydrogenase Genes from Rhizopus oryzae. Appplied and Enviromental Microbiology. Vol: 2343-2348. Smith, B.A., W.J.M. Engels, G. Smit. 2004. Characteriation of A Decarboxylase Involved in The Formation of The Potent Flavour Component 3-Methylbutanal. IDF Symposium on Cheese: Ripening, Characterizaton & Technology. Smit, B.A. 2004. Flavour Formation from Amino Acids in Fermented Dairy products. Thesis. Wageningen University, The Netherlands.
Soccol, C. R., Martin, B., Raimault, M., 1994. Potential of solid state fermentation for production of L (+)-lactic acid by Rhzipopus oryzae. Journal of Applied Microbiology and Biotechnology 41:286-290. Soda, L., Eman H.E., Nadia O. 2006. Characterisation of lactic acid bacteria isolated from artisanal Egyptian Ras Cheese. Lait 86 : 317–331. Stanbury, P.F dan A. Whitaker. 1984. Principles of Fermentation Technology. Fergamon Press ltd., Oxford. Steele, J.L. and , J.R. Broadbent, J.R. 2004. Biochemistry of Cheese Flavor Development: New Insights From The Genetics and Physiology of Lactic Acid Bacteria. IDF Symposium on Cheese: Ripening, Characterizaton & Technology. Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhandi. 1984. Analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi II. Penerbit Alumni, Bandung. Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi, 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty, Yogyakarta. Suharyanto, T. Panji, Abdullah dan K. Syamsu. 2006. Biokonversi CPO dengan Desaturase Amobil Sistem Kontinu pada Skala Semipilot untuk Produksi Minyak mengandung GLA. Menara Perkebunan. 74(2) : 97-108. Sumarjono, H. 1987. Kapita Selekta II Susu dan Hasil Olahannya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suzuki, T., Y. Mushiga, T. Yamane & S. Shimizu. 1988. Mass production of lipase by fedbatch culture of Pseudomonas fluorescens. Appl. Microbiol.Technol., 27, 417-422. Svenden A. 1994. Sequence Comparison Within The lIpase Family. In Woolley P, Peterson S.B., (eds). Lipases, Their Stucture, Biochemistry and Aplication. Cambridge University. Tamime, A.Y. and R.K. Robinson. 1999. Yoghurt: Science and technology. 2nd Edition. CRC Press. Boston. Tao, L., Yang Y., Liu D., F. Yonghong, Z. Zhiming. 2008. Optimization of L(+)-Lactic Acid Fermentation Without Neutralisation of Rhizopus Oryzae Mutant RK02 by Low-Energy Ion Implantation. Plasma Science and Technology, Vol.10, No.2. Tarakci, Z., E. Sagun , H. Sancak and H. Durmaz. 2004. The Effect of Salt Concentration on Some Characteristics in Herby Cheese. Pakistan Journal of Nutrition 3 (4): 232-236. Tarakci, Z., E. Kucukoner. 2006. Changes on Physicochemical, Lipolysis and Proteolysis of Vacuum-Packed Turkish Kashar Cheese during Ripening. J. Central Euro. Agric. 7 (3): 459-464. Taylor, A. J. dan E. M. Leach. 1995. Enzymes in The Food Industry. In Tucker dan L. F. J. Woods (eds). Enzymes in Food Processing 2nd ed. G. A. Blackie Academic and Professional, Glasgow.
Tranggono dan Setiaji B. 1898. Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas Panagn Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tuma, M. Giesová, J. Chumchalova, M. Plockova. 2004. Antifungal Effectiveness of Lactobaciluus rhamnosusu VT1 In L. Houdek and N. Galen (eds.). Model Cheese System. IDF Symposium on Cheese: Ripening, Characterizaton & Technology. Tunga, R., R. Banerjee, B. C. Bhattacharyya. Optimizing some Factors Affecting Protease Production under Solid State Fermentation. J.Bioprocess and Biosystem Engineering. 19(3): 187-190. Ueda, M., S. Takahashi, M. Washida. 2002. Expression of Rhizopus oryzae lipase gene in Saccharomyces cerevisiae. J. Mol.Catal. B. Enzym. 17: 113-124. Urbach, G. 1997. The Flavour of Milk and Dairy Product. II. Cheese: Contribution of volatile Compound. Int. J. Dairy technol 50:79-89. Wahba, A. dan F.El-Abbassy.1981. Milk Clotting Activity of Rennet and of Rabit Sheep and Porcine Pepsins. Egyptian J. Dairy Sci., 9: 5. Wahyudi, M. 2006. Proses Pembuatan dan Analisis Mutu Yoghurt. Buletin Teknik Pertanian. 11: 1. Wijaya, S. 2002. Isolasi Kitinase dari Scleroderma columnare dan Trichoderma harzianum. Jurnal Ilmu Dasar. 3(1): 30-35. Wikipedia, 2007. http://en.wikipedia.org/ wiki/Rhizopus [ 2 Oktober 2007]. Winarno, F.G. 1995. Enzim Pangan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wirtanen, G., S. Langsrud, S.Salo, U.Olofson. 2002. Evaluation of Sanitation Procedures for Use in Dairies. Espo VTT Publication 481. Wulandani, R.D. 2003. Kombinasi Penggunaan Getah Widuri (Calotropis gigantea) dan Bakteri Asam Laktat Pada Pembuatan Keju Lunak. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Yamane, T. 1987. Enzyme technology for the lipids industry: An Engineering overview. In Applewhite, T. H. (ed.). Proceeding of World Conference on Biotechnology for the Fats and Oils Industry. AOAC. Champaign, p. 17-22. Yang, Z. 2000. Antimicrobial compounds, and extracellular polysaccharides produced by lactic acid bacteria structures and properties. Dissertation, University of Helsinki, Faculty of Agriculture and Forestry. Helsinki. Yeganehzad, S., M.Tehrani dan F. Shahidi. 2007. Studying Microbial, Physiochemical and Sensory Properties of Directly Concentrated Probiotic Yoghurt. African Journal of Agricultural Research. 2 (8): 366-369. Yoshio O., T. Seiji, T. Keisuke. 2004 An Original Habitat of Tempeh Molds. Mycoscience. 45 (4): 271-276.
Zhang, Z.Y., Bo Jin, and J.M. Kelly. 2007. Production of Lactic Acid from Renewable Materials by Rhizopus Fungi. J. Biochemical Engineering. 35: 251-26. Zulaekah, S. Dan E.N. Widiyaningsih. 2005. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Teh Pada Pembuatan Telur Asin Rebus Terhadap Jumlah Bakteri dan Daya Terimanya. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi. 6 (1): 1-13.