PENGARUH LAMA FERMENTASI MENGGUNAKAN Rhizopus oryzae TERHADAP PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR AMPAS SAGU (Metroxilon rumphii)
SKRIPSI NURUL HASNIAH HAMDAT
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN Nurul Hasniah Hamdat. D24063630. 2010. Pengaruh Lama Fermentasi menggunakan Rhizopus oryzae terhadap Protein Kasar dan Serat Kasar Ampas Sagu (Metroxilon rumphii). Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis. MSc. : Ir. Abdul Djamil Hasjmy, MS
Metroxilon rumphii adalah salah satu jenis sagu yang paling banyak tumbuh di Papua dan cepat beradaptasi dengan lingkungannya. Seiring dengan meningkatnya permintaan akan tepung sagu maka semakin banyak limbah yang dihasilkan. Salah satu limbah dari pengolahan tepung sagu yang berpotensi sebagai pakan ternak adalah ampas sagu. Ampas sagu belum digunakan secara optimal karena kandungan proteinnya yang rendah. Untuk itu dibutuhkan teknologi yang dapat meningkatkan kandungan protein. Salah satu teknologi yang umum digunakan adalah teknologi fermentasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh lama fermentasi ampas sagu dengan Rhizopus oryzae terhadap kandungan protein kasar dan kandungan serat kasar dalam kaitannya untuk mencari alternatif pengadaan bahan pakan ternak yang murah dan berkualitas baik. Pada fermentasi ampas sagu (Metroxilon rumphii) ini ada penambahan urea sebesar 3 % dan mineral zeolit sebesar 2,5 %. Urea berguna untuk menjadi sumber N kapang dan zeolit berfungsi untuk mengikat N agar lebih efisien serta memberi asupan beberapa mineral untuk kebutuhan kapang. Perlakuan yang dicobakan meliputi (R0= 0 hari atau tanpa fermentasi, R1=lama fermentasi 4 hari, R3= lama fermentasi 8 hari dan R4= lama fermentasi 12 hari). Parameter yang diamati meliputi pengamatan intensitas pertumbuhan kapang, kandungan nutrien ampas sagu, yaitu: kandungan protein kasar dan serat kasar. Rancangan yang digunkan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Hasil penelitian ini menunjukkan fermentasi ampas sagu-urea-zeolit menggunakan Rhizopus oryae pada lama fermentasi 8 hari mempunyai kandungan protein kasar paling tinggi dibandingkan dengan hasil fermentasi hari ke 4 dan ke 12. Kandungan serat kasar tertinggi terjadi pada lama fermentasi 12 hari. Fermentasi ampas sagu-urea-zeolit menggunakan Rhizopus oryzae selama 8 hari memiliki kandungan protein lebih baik dari fermentasi hari ke 4 dan 12. Lama fermentasi 4 hari terbaik bila didasarkan pada kandungan serat kasarnya. Kata kunci : ampas sagu, protein kasar, Rhizopus oryzae, serat kasar.
ABSTRACT Effect Of Different Length of Fermentation of Sago Waste Product (Metroxilon rumphii) by Rhizopus oryzae on Crude Protein and Crude Fibre Contents N. H. Hamdat, A. D. Lubis and A. D. Hasjmy The objective of this research was to determine the effect of fermentation process by Rhizopus oryzae with different times of fermentation teratments on quality of sago waste, product especially on crude protein and crude fibre quality. Sago waste fermentation (Metroxilon rumphii) added by urea at 3% and zeolite at 2,5%. Urea is useful as a source of mold Nitrogen and zeolite to bind the nitrogen to be more efficient and provide intake of some minerals to the needs of mold. Treatments of this research were differences time fermentation (R1 = 0, R2 = 4, R3 = 8, R4 = 12 days). Parameters were crude protein and crude fiber contents. The result of the research showed that the effect of fermentation process by Rhizopus oryzae could increase the crude protein content and crude fiber. The result showed that the fermentation process using Rhizopus oryzae sago waste can improve quality through increasing levels of crude protein. Length of fermentation using Rhizopus oryzae significantly influence (P<0,05) crude protein and crude fiber content of sago waste (Metroxilon rumphii). 8 days of sago waste-urea-zeolite fermentation processed by Rhizopus oryzae is the best length of fermentation because it has higher crude protein. 4 days of fermentation is the best length of fermentation if based on the crude fiber. Keywords: sago waste, crude protein, crude fiber, Rhizopus oryzae.
PENGARUH LAMA FERMENTASI MENGGUNAKAN Rhizopus oryzae TERHADAP PROTEIN KASAR DAN SERAT KASAR AMPAS SAGU (Metroxilon rumphii)
NURUL HASNIAH HAMDAT D24063630
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Skripsi : Pengaruh Lama Fermentasi menggunakan Rhizopus oryzae terhadap Protein Kasar dan Serat Kasar Ampas Sagu (Metroxilon rumphii) Nama
: Nurul Hasniah Hamdat
NIM
: D24063630
Menyetujui :
Pembimbing Utama
(Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, MSc) NIP. 19670103 199303 1 001
Pembimbing Anggota
(Ir. Abdul Djamil Hasjmy. MS) NIP. 19460626 197412 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat G. Permana, MSc.) NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 2 Agustus 2010
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Merauke pada hari Minggu tanggal 23 April 1989, sebagai anak ke enam dari enam bersaudara, dari pasangan bapak Hamdat dan ibu Suminten. Latar belakang pendidikan penulis dimulai dari TK Pertiwi 11 pada tahun 1992 sampai 1994. Kemudian pada tahun 1994, penulis melanjutkan pendidikan di SD Inpres Polder, Merauke sampai dengan tahun 2000. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2003, penulis meneruskan pendidikan di SLTP Negeri 2 Merauke Tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, penulis melanjutkan sekolah di SMUN 2 Merauke Setelah dinyatakan lulus SMUN 2 penulis kemudian diterima di IPB melalui Jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD), penulis melanjutkan pendidikan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi kedaerahan Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA) serta aktif dalam BEM D (Badan Eksekutif Mahasiswa Fapet) sebagai anggota divisi Seni dan Budaya serta menjadi Sekretaris Gradziono Symphonia (Paduan Suara Fakultas Peternakan). Penulis juga banyak mengikuti seminar-seminar yang dilaksanakan di dalam kampus maupun di luar kampus, diantaranya Seminar Nasional Papua, Seminar Penulisan Karya Ilmiah. Seminar Pakan Nasional dan lain-lain. Selain itu penulis sering berpartisipasi menjadi panitia beberapa kegiatan di dalam maupun luar kampus. Diantaranya sebagai Ketua panitia Drama Musical Fapet 2008, Ketua divisi Medis D’farm Festival 2008, Anggota Seksi Konsumsi Dekan Cup 2008 dan lainlain. selain itu penulis juga aktif dalam kegiatan dalam dan luar kampus yaitu MAX dan sebagai Vocalis Vanila Band.
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat, dan hidayahNya yang telah diberikan Allah SWT, Shalawat serta salam untuk junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya sehingga penulis mendapat kemudahan dan kelancaran menyelesaikan skripsi ini. Penelitian ini berjudul Pengaruh Lama Fermentasi menggunakan Rhizopus oryzae terhadap Protein Kasar dan Serat Kasar Ampas Sagu (Metroxilon rumphii). Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Fakultas Peternakan IPB dan merupakan studi yang dilakukan penulis dengan tujuan untuk meneliti dan mengetahui peningkatan kandungan serat kasar dan protein kasar ampas sagu (Metroxilon rumphii) yang difermentasi dengan Rhizopus oryzae. Ampas sagu merupakan salah satu produk sampingan atau ikutan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi pakan ternak, karena selain harganya relatif murah juga persediaannya terus meningkat seiring dengan perkembangan industri tepung sagu. Ampas sagu dalam hal kegunaannya sebagai pakan ternak belum bisa dimanfaatkan secara optimal karena kandungan proteinnya yang rendah. Salah satu jenis sagu yang mendominasi di Papua adalah jenis sagu berduri atau Metroxilon rumphii. Jenis sagu ini mampu beradaptasi dengan mudah dan produksi setiap tahunnya cukup tinggi. Di Papua, ampas sagu biasa digunakan sebagai pakan ternak ruminansia namun penggunaannya dibatasi karena kandungan proteinnya yang rendah. Dalam penelitian ini juga ditambahkan urea dan zeolit. Urea bermanfaat untuk menyediakan N untuk mikroba sedangkan zeolit berguna untuk membantu mikroba dalam penyerapan N serta menyediakan beberapa mineral untuk mikroba. Untuk itu dengan teknologi fermentasi menggunakan Rhizopus oryzae diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein dari ampas sagu tersebut. Pada akhirnya penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian-penelitian yang akan dilakukan selanjutnya dan juga dapat diaplikasikan secara nyata dan kontinyu di lapangan mengingat Metroxilon rumphii memiliki potensi yang sangat besar sebagai pakan ternak. Penulis juga menyadari masih
banyak
kekurangan
dan
ketidaksempurnaan
dalam
penulisan
skripsi
ini.
Sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah S.W.T. Terimakasih. Wassalam.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..................................................................................................
i
ABSTRACT.....................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP .........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vii
DAFTAR ISI....................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL............................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xi
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan ....................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
3
Tanaman Sagu ....................................................................................... Potensi Ampas Sagu sebagai Pakan Ternak .......................................... Sifat Urea dan Pemanfaatannya dalam Pakan Ternak ........................... Zeolit dan Pemanfaatannya .................................................................... Fermentasi ............................................................................................. Fermentasi Media Padat......................................................................... Kapang sebagai Inokulum Fermentasi ................................................... Rhizopus oryzae .................................................................................... Kondisi Lingkungan Fermentasi ............................................................ Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kualitas Pakan............................ Perubahan-perubahan selama Fermentasi .............................................. Protein Kasar.......................................................................................... Serat Kasar .............................................................................................
3 4 5 6 7 8 10 10 11 11 12 13 13
MATERI DAN METODE ...............................................................................
15
Waktu dan Tempat ................................................................................. Materi ..................................................................................................... Bahan yang Digunakan .............................................................. Alat yang Digunakan ................................................................. Rancangan Percobaan .............................................................................. Model dan Perlakuan .................................................................. Peubah yang Diamati .................................................................. Analisis Data............................................................................... Prosedur Percobaan ................................................................................. Fermentasi Bahan ....................................................................... Analisa Bahan Kering (AOAC, 1995) ........................................ Analisa Kadar Abu (AOAC, 1995) ............................................
15 15 15 15 15 15 16 16 16 16 17 17
Analisa Protein Kasar (AOAC, 1995) ....................................... Analisa Serat Kasar (AOAC, 1995) ...........................................
18 18
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
19
Keadaan Umum ..................................................................................... Temperatur Lingkungan ........................................................................ Ampas Sagu sebelum Fermentasi .......................................................... Pertumbuhan Kapang ............................................................................. Pengaruh Lama fermentasi terhadap Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar ............................................................................................. Pengaruh Perlakuan terhadap Protein Kasar ............................. Pengaruh Perlakuan terhadap Serat Kasar ................................. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
19 19 20 21 23 24 26 29
Kesimpulan ........................................................................................... Saran .....................................................................................................
29 29
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
31
LAMPIRAN.....................................................................................................
34
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kandungan Nutrien Ampas Sagu sebelum Fermentasi...........................
21
2. Hasil Pengamatan Intensitas Pertumbuhan Kapang pada Media Fermentasi ....................................................................................
22
3 Rataan Perubahan Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar Ampas Sagu Fermentasi…………………………………………
24
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Metroxilon rumphii…………………………………………………
4
2. Proses Pembuatan Tepung Sagu (Flach, 2005)…………………
5
3. Urea…………………………………………………………….
5
4. Zeolit…………………………………………………………
7
5. Rhizopus oryzae (Nuryono et al, 2006)…………………………
11
6. Suhu Lingkungan Ruang Inkubasi ...............................................................
20
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Sidik Ragam Protein Kasar (PK) .................................................................
35
2. Uji Lanjut Duncan Protein Kasar (PK)……………………… ....................
35
3. Sidik Ragam Serat Kasar (SK)……………………………… ....................
35
4. Uji Lanjut Duncan Serat Kasar (SK)……………………….. .....................
35
5. Metroxilon rumphii Siap Panen………………………… ...........................
36
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan peternakan di Indonesia sedang dihadapkan pada masalah penyediaan bahan pakan, baik dari segi jumlah maupun mutunya. Dari segi jumlah, pakan ternak bersaing dengan pemenuhan kebutuhan manusia, sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk lahan yang tersedia untuk tanaman pakan ternak juga semakin terbatas. Dari segi mutu, pakan ternak yang digunakan pada umumnya mengandung nilai gizi yang rendah. Pakan yang bermutu baik harganya relatif mahal, karena kurang tepatnya teknologi yang ada untuk meningkatkan kandungan gizi pakan. Sumber pakan ternak sebenarnya dapat diperoleh dengan cara memanfaatkan limbah industri pertanian. Perkembangan industri pertanian di Indonesia semakin pesat sehingga limbah yang dihasilkan juga semakin meningkat. Limbah selain dapat mengatasi kelangkaan sumber pakan ternak juga dapat mengatasi pemborosan sumber daya yang ada dan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah industri pertanian yang penanganannya tidak tepat. Menurut Laporan Pemerintah Kabupaten Merauke (2010), total hutan sagu di Merauke adalah 1.214.000 ha dan ternak sapi sekitar 25.000 ekor. Industri pengolahan tepung sagu menghasilkan limbah sagu sebesar 81,5% dari total isi batang sagu (Yumte, 2008). Ketersediaan limbah ini sebanding dengan banyaknya permintaan akan tepung sagu terutama di daerah penghasil utama sagu yaitu Papua dan Maluku. Ampas sagu berpotensi untuk dikembangkan menjadi pakan ternak, karena selain harganya relatif murah juga ketersediaannya terus meningkat seiring dengan perkembangan industri tepung sagu (50% penduduk asli mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok). Potensi ampas sagu belum dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai pakan ternak karena kandungan proteinnya rendah. Usaha untuk meningkatkan kandungan protein ampas sagu, salah satunya adalah dengan teknologi fermentasi. Lama fermentasi merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi lama hidup dan jumlah mikroorganisme yang berkembangbiak dan selanjutnya mempengaruhi kualitas biomassa. Untuk memperoleh hasil fermentasi yang baik diperlukan kondisi fermentasi yang optimum (pH, suhu dan kelembaban). Kondisi 1
yang kurang cocok bagi perkembangan mikroba akan menghambat proses fermentasi bahkan dapat merangsang mikroba lain untuk tumbuh. Ketersediaan N dan mineral lainnya juga sangat mempengaruhi fermentasi, sehingga dilakukan penambahan urea dan zeolit. Urea bermanfaat untuk menyediakan N untuk mikroba sedangkan zeolit berguna untuk membantu mikroba dalam pemanfaatan N serta menyediakan beberapa mineral untuk mikroba. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan kandungan protein kasar dan serat kasar ampas sagu (Metroxilon rumphii) yang difermentasi menggunakan Rhizopus oryzae dengan lama fermentasi yang berbeda.
2
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman sagu Tanaman sagu merupakan tumbuhan monokotil yang termasuk ordo Sapindiciflorae, sub famili Calamoideae dan family Palmae. Sagu digolongkan dalam dua golongan yaitu yang hanya berbunga atau berbuah satu kali dan yang berbunga atau berbuah dua kali atau lebih. Golongan pertama sangat penting nilai ekonomi karena kandungan patinya yang tinggi. Golongan ini terdiri dari lima jenis yaitu M. rumphii (Gambar 1), M. sagus, M. silvester, M. longispinum, M. microcantum (Flach, 2005). Berdasarkan data Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI, 2004), produksi sagu nasional mencapai 200.000 ton per tahun. Sagu yang tumbuh di Papua dan sekitarnya termasuk jenis-jenis sagu yang berbunga sekali seumur hidupnya. Jenis tersebut mengandung pati yang lebih tinggi dibandingkan jenis Metroxilon yang berbunga dua kali. Tanaman sagu tumbuh di negara-negara Asia Tenggara, Oceama dan Kepulauan Pasifik serta pada semua hutan daerah khatulistiwa pada 10 oLS dan 10o LU, 90 oBT sampai 180 oBT dan altitude sampai 1000 m diatas permukaan laut (Flach, 2005). Umumnya sagu tumbuh di daerah dataran rendah yaitu di rawa, di sekitar daerah sumber air, di sekitar sungai dan di dataran rendah yang lembab. Tanaman sagu juga memiliki kemampuan tumbuh dengan sedikit atau tanpa pemeliharaan serta memiliki kemampuan tumbuh di daerah berair dengan derajat keasaman tanah (pH) antara 3,7 sampai 6,5. Sagu tumbuh baik pada suhu diatas 25 oC dengan kelembaban mencapai 90% dan radiasi matahari 900 J/cm/hari. Tanaman sagu yang tumbuh secara alami dapat dipanen pada umur 12 tahun. Awal pembentukan bunga merupakan saat yang paling baik untuk dipanen karena kandungan pati dalam pohon sagu tersebut sedang optimal. Ciri-ciri pohon sagu siap panen pada umumnya dilihat dari perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk dan batang. Pati sagu diperoleh dari hasil ekstraksi empulur batang sagu. Kandungan pati pada empulur batang sagu berbeda-beda tergantung dari jenis, umur dan tempat tumbuh. Daerah penghasil sagu terbesar adalah Papua (Sentani, Merauke, Asmat, Bovendigul, Nabire, Paniai, Waropen) dan Maluku. 3
Gambar 1. Metroxilon rumphii Potensi Ampas Sagu sebagai Pakan Ternak Seiring dengan banyaknya industri pembuatan tepung sagu maka limbahnya semakin meningkat. Ketersediaan limbah ini sebanding dengan banyaknya permintaan akan tepung sagu terutama di daerah penghasil utama sagu yaitu Papua dan Maluku. Ampas sagu dihasilkan dari proses pembuatan tepung sagu seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2. Kandungan pati yang terdapat dalam empelur sagu hanya 18,5% dan sisanya 81,5% adalah merupakan ampas sagu. Kandungan empelur tanaman sagu per pohon mencapai 1 ton (1000 kg), sehingga bisa didapatkan 815 kg ampas sagu. Banyak penelitian telah dilakukan dalam melihat pemanfaatan ampas sagu (Metroxilon sp) sebagai komponen pakan ternak, baik dalam pakan ruminansia maupun monogastrik. Ampas sagu dapat mencemari lingkungan bila tidak dimanfaatkan. Salah satu upaya pemanfaatan limbah ampas sagu adalah sebagai pakan ternak, karena selain harganya yang relatif murah juga persediaannya pun terus meningkat. Pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan sebaiknya melalui suatu penanganan dan pengolahan lebih lanjut karena kandungan zat makanan ampas sagu yang secara umum kurang baik. Hal ini ditunjukan oleh protein kasarnya yang hanya sekitar 2% dan serat kasarnya yang bisa mencapai 39 % (Flach, 2005).
4
Gambar 2. Proses Pembuatan Tepung Sagu (Flach,2005) Sifat Urea dan Pemanfaatannya dalam Pakan Ternak Urea merupakan salah satu sumber nitrogen bukan protein (NPN) yang berbentuk kristal putih (Gambar 3), bersifat mudah larut dalam air dan mengandung 45% nitrogen (Parakkasi,1995). Urea dibuat dengan mereaksikan ammonia dan karbondioksida seperti reaksi berikut: NH4 +C02→NH4-O-C-O-NH4
Gambar 3. Urea Urea dalam proses fermentasi akan diuraikan kembali oleh enzim urease menjadi ammonia dan karbondioksida, selanjutnya ammonia akan digunakan untuk 5
membentuk asam amino. Menurut Fardiaz (1992) nitrogen dalam media fermentasi mempunyai fungsi fisiologis bagi mikroorganisme, yaitu sebagai bahan untuk mensintesis protein, asam nukleat dan koenzim. Penggunaan urea dalam proses fermentasi mempengaruhi kandungan protein kasar, protein murni, serat kasar, lemak kasar, BETN, dan bahan kering (Lubis, 1996). Pantjawidjaja et al. (1984) melaporkan bahwa subtitusi rumput lapang dengan ampas sagu (Metroxilon sp) sampai pada level 45% dengan urea 3% dari bahan kering ampas sagu tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata dalam efisiensi penggunaan makanan dan pertambahan bobot badan sapi peranakan ongole (PO). Menurut Lubis (1996) penggunaan urea 3% dan zeolit 2,5% dalam pembuatan kompleks biologis onggokurea-zeolit menggunakan Aspergillus niger menghasilkan protein kasar 12,97% dan serat kasar 12,73%. Parakkasi (1995), mengemukakan bahwa pada penambahan urea sebagai sumber nitrogen bukan protein (NBP) ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu ketersediaan karbohidrat yang mudah dicerna dalam jumlah yang cukup, urea harus dicampur dengan baik, diberikan waktu adaptasi sekitar 2-3 minggu, jangan memakai urea untuk mensuplai kebih dari 1/3 N protein ekuivalen dalam ransum penggemukkan, jangan memakai urea lebih besar dari 1% dari ransum lengkap atau lebih besar dari 5% konsentrat, serta pemberian urea seharusnya disertai dengan pemberian mineral. Zeolit dan Pemanfaatannya Zeolit merupakan salah satu mineral yang terdiri dari kristal aluminosilikat terhidrasi yang mengandung kation alkali atau alkali tanah dalam kerangka tiga dimensi. Zeolit akan berbuih bila dipanaskan pada 100 oC. Kerangka dasar struktur zeolit terdiri dari unit-unit tetrahedral AIO4 dan SiO4 yang saling berhubungan dengan atom O didalam struktur tersebut Si4+ dapat diganti dengan Ai3+ sehingga rumus empiris zeolit menjadi M2nO. AlO3 .x SiO2 .yH2O. Zeolit terdiri dari tiga komponen yaitu kation yang dipertukarkan, kerangka aluminosilikat, dan fase air (Leung et al., 2006). Zeolit berwarna hijau tua keabu-abuan, kekuningan, merah muda, cokelat kemerahan, hijau atau cokelat kekuningan (Gambar 4). Warna yang berbeda 6
dipengaruhi oleh kadar air dan jenis mineral pengotor yaitu liat, kuarsa, dan feldspar didalam zeolit. Zeolit merupakan kelompok senyawa berbagai jenis mineral aluminosilikat hidrat dengan logam alkali. Mineral-mineral yang termasuk dalam kelompok zeolit umumnya dijumpai dalam batuan tufa, terbentuk dari hasil sedimentasi abu vulkanik. Agar dapat dimanfaatkan, zeolit harus mempunyai spesifikasi tertentu. Berkaitan dengan hal tersebut, kualifikasi zeolit ditentukan oleh daya serap dan daya tukar kation (KTK) maupun daya katalis.
Gambar 4. Zeolit Zeolit mempunyai struktur berongga yang biasanya rongga ini diisi oleh air dan kation yang bisa dipertukarkan dan memiliki ukuran pori tertentu. Zeolit dapat dimanfaatkan sebagai penyaring molekuler, penukar ion, penyerap bahan dan katalisator. Dibidang peternakan, zeolit digunakan untuk penggemukan ternak, kesehatan kandang, penambahan ketahanan terhadap penyakit, dan penyerap kontaminan (Harben dan Kuzvart, 1996). Rohmah (2009) menyatakan bahwa kristal zeolit yang terdehidrasi merupakan absorben yang selektif dan mempunyai efektivitas absorpsi yang tinggi. Di samping sebagai feed additive dalam ransum untuk meningkatkan produksi ternak, juga ditaburkan dikandang untuk mengurangi kandungan air, ammonia dan asam belerang dari kotoran ternak (Leung et al., 2006). Garraway dan Evans (1984) menyatakan bahwa dalam proses fermentasi urea akan diurai menjadi amonia dan karbondioksida. Kecepatan perubahan amonia menjadi sel tubuh mikroorganisme empat kali lebih lambat dari perubahan urea menjadi amonia maka digunakanlah zeolit yang berperan menjaga konsentrasi amonia selama fermentasi.
7
Fermentasi Fermentasi adalah suatu reaksi oksidasi reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi dan sebagai donor dan akseptor elektron menggunakan senyawa organik. Senyawa organik yang biasa digunakan adalah karbohidrat dalam bentuk glukosa. Pada fermentasi senyawa tersebut akan diubah oleh reaksi reduksi dengan katalis enzim menjadi suatu bentuk lain misalnya aldehid dan dioksidasi menjadi asam (Winarno et al., 1986). Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dimana enzim dari mikroorganisme melakukan oksidasi reduksi hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu. Proses fermentasi terhadap bahan pangan menghasilkan beberapa keuntungan diantaranya meningkatkan mutu bahan pangan tersebut baik dari aspek gizi maupun daya cernanya, selain itu juga meningkatkan daya simpannya (Buckle et al., 1987). Makanan–makanan yang difermentasi biasanya mempunyai nilai gizi lebih tinggi daripada bahan asalnya. Hal ini disebabkan karena mikroba bersifat katabolik atau memecah komponen-komponen yang kompleks menjadi lebih sederhana dan lebih mudah dicerna. (Winarno et al., 1986). Kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral bahan mengalami perubahan setelah fermentasi. Hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas dan perkembangan mikroorganisme selama fermentasi (Syarief dan Halid, 1991). Winarno et al. (1986) menyatakan pada fermentasi terjadi perubahan pH, kelembaban, aroma serta perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan protein, vitamin dan beberapa zat gizi lainnya walaupun vitamin B1 dan mineral phosphor mengalami penurunan. Perubahan yang terjadi selama fermentasi disebabkan oleh enzim yang dihasilkan kapang. Kapang menghasilkan enzim alpha amylase, betha amylase, phosphorilase, iso-amilase, maltase dan amiloglukosidase (Frazier dan Westhoft, 1997). Untuk memperoleh hasil fermentasi yang baik diperlukan kondisi fermentasi yang optimum. Kondisi yang kurang cocok bagi perkembangan mikroba akan menghambat proses fermentasi dan juga merangsang tumbuhnya mikroba lain yang tidak dikehendaki (Winarno, 1993). 8
Fermentasi Media Padat Fermentasi adalah segala macam proses metabolisme dengan bantuan enzim dari mikroorganisme untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa, dan reaksi lainnya sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu biasanya terjadi dalam keadaan anaerob dan diiringi dengan pembebasan gas (Wang et al., 2007). Menurut jenis medianya, proses fermentasi dibagi menjadi dua, yaitu fermentasi medium cair dan fermentasi medium padat. Fermentasi medium cair adalah proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi didalam fase cair. Fermentasi medium padat merupakan proses fermentasi dengan medium yang digunakan tidak larut tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroorganisme (Pepler, 1973). Keuntungan fermentasi medium padat yaitu tidak memerlukan bahan tambahan lain kecuali air, karena bahan yang dibutuhkan telah tersedia dalam substrat. Persiapan inokulum sederhana, dapat menghasilkan produk dengan kepekatan lebih tinggi, kontrol terhadap kontaminan lebih mudah, kondisi medium mendekati keadaan tempat tumbuh lebih alami, produktifitas tinggi dengan hasil yang sama dapat diulang pada kondisi yang sama, aerasi optimum dan sistem lebih mudah karena banyak ruangan yang terdapat antara setiap partikel dari substrat. Keuntungan lain dari fermentasi media padat adalah dapat dilakukan pengadukan atau pembalikan antara bagian bawah atau bagian atas serta biasanya tidak diperlukan kontrol pH maupun suhu yang teliti seperti yang dilakukan pada fermentasi medium cair (Fardiaz, 1992). Fermentasi medium padat secara alami umumnya berlangsung pada media dengan kadar air air 60-80% (berat basah), karena pada keadaan ini medium mengandung air yang cukup untuk pertumbuhan mikroorganisme. Pada hakekatnya kadar air substrat dalam fermentasi medium padat tergantung dari sifat alamiah substrat, jenis organisme dan tipe produk akhir yang dikehendak (Wang et al., 2007). Secara umum substrat yang digunakan dalam fermentasi medium padat harus menyediakan semua zat nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk memperoleh energi, pertumbuhan, bahan bentuk sel dan biosintesa produk-produk metabolisme (Rachman, 1989). Bahan-bahan yang biasa digunakan menjadi media 9
fermentasi padat adalah onggok, dedak padi, gandum, jagung dan sorgum (Prescot dan Dunn, 1982). Kapang sebagai Inokulum Fermentasi Inokulum adalah kultur mikroba yang diinolasikan kedalam media fermentasi pada saat kultur mikroba tersebut berada pada fase pertumbuhan eksponensial. Kriteria penting kultur mikroba untuk dapat digunakan dalam proses fermentasi adalah sehat dan berada dalam keadaan aktif sehingga mempersingkat fase adaptasi, tersedia cukup sehingga menghasilkan inokulum dalam takaran yang optimum, berada dalam bentuk morfologis yang sesuai dan bebas kontaminasi (Rachman, 1989). Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen. Kapang terdiri dari
miselium
Pertumbuhannya
dan
hifa
mudah
serta dilihat
memproduksi karena
enzim
penampakannya
sebagai
biokatalis.
yang
berserabut.
Pertumbuhan mula-mula berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk warna sesuai dengan jenis kapang (Fardiaz,1992). Menurut Winarno (1993) fermentasi kapang membutuhkan waktu dua sampai lima hari. Fermentasi kapang selama tiga hari akan menghasilkan enzim yang paling optimum (Frazier dan Westhoff, 1997). Keterbatasan penggunaan kapang sebagai inokulum
fermentasi
adalah
memiliki
kadar
protein
lebih
rendah
dari
mikroorganisme lainnya yaitu 31-50% dan sifatnya yang membutuhkan suatu lingkungan pertumbuhan benar-benar steril. Meskipun demikian kapang memiliki beberapa keuntungan yaitu pertumbuhannya yang relatif mudah dan cepat, kadar asam nukleat kapang yang relatif rendah dibandingkan bakteri, ganggang dan khamir, tekstur flavor lebih mudah diterima konsumen. Rhizopus oryae Kapang genus Rhizopus oryzae adalah kapang yang sering digunakan untuk pembuatan tempe ataupun oncom (Gambar 5). Rhizopus oryzae termasuk dalam genus Rhizopus, famili Mucoraceae, ordo Mucorales, subdivisi Zygomycotina, divisi Eumycota. Kapang ini bersifat heterolitik, yaitu reproduksinya dapat berupa seksual dengan membentuk zigospora, oospora atau aseksual dengan membentuk sporangiospor dan kadang dengan kondisi konidia, habitat alamiahnya di air, tanah 10
dan hewan. Kapang ini mampu menghasilkan enzim proteolitik, urease dan lipase. Nuryono et al. (2006) menyatakan bahwa Rhizopus oryzae biasa digunakan dalam fermentasi berbagai macam tempe dan oncom hitam. Pertumbuhannya cepat membentuk miselium seperti kapas. Rhizopus mempunyai stolon dan rhizoid yang warnanya gelap jika sudah tua, dan hidupnya bersifat saprofit.
Gambar 5. Rhizopus oryzae (Nuryono et al., 2006) Kondisi Lingkungan Fermentasi Pribadi (2005) menyatakan bahwa untuk memperoleh hasil fermentasi yang baik diperlukan kondisi fermentasi yang optimal. Kondisi yang kurang cocok bagi perkembangbiakan mikroba akan menghambat fermentasi dan merangsang tumbuhnya mikroba lain yang tidak diharapkan untuk tumbuh. Untuk itu perlu suhu fermentasi tertentu, pH media, kecukupan air, oksigen dan nutrien untuk tumbuhnya mikroorganisme yang diharapkan (Fardiaz, 1992). Laju
pertumbuhan
mikroorganisme
dipengaruhi
oleh
suhu.
Suhu
mempengaruhi efisiensi konversi media menjadi massa sel, yaitu konversi maksimum dicapai pada suhu sedikit dibawah suhu optimal pertumbuhan kapang (Wang et al., 2007).
Ennie dan Hasibuan (1986) menyatakan bahwa kapang
termasuk golongan mesofilik yang dapat tumbuh pada suhu 25-45 oC dan tumbuh baik pada suhu 30-37 oC. Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kualitas Pakan Berdasarkan laju pertumbuhan, pertumbuhan mikroorganisme dibagi menjadi empat fase, yaitu fase adaptasi, eksponensial, stasioner dan fase kematian. Jika mikroorganisme diinokulasikan kedalam suatu media, mula-mula akan mengalami 11
fase adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan sekitarnya. Fase eksponensial adalah fase sel membelah diri dengan kecepatan konstan. Setelah fase eksponensial tercapai, laju petumbuhan terus menurun sampai nilainya nol (fase stasioner). Pada fase ini jumlah sel konstan sehingga sel yang hidup sama dengan sel yang mati. Bila fermentasi dilanjutkan, tidak akan menambah jumlah massa sel, melainkan jumlah sel yang hidup akan berkurang karena adanya lisis dan hal ini akan menyebabkan penurunan massa sel (Fardiaz, 1992). Menurut Syarief dan Halid (1991) perlakuan 2, 4, 6 hari berpengaruh terhadap komposisi zat nutrisi media, waktu fermentasi lebih lama menghasilkan onggok fermentasi dengan kadar protein kasar, serat kasar dan acid detergent fiber semakin tinggi. Sebaliknya nilai N-Amonia, pH, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik semakin turun. Produksi onggok fermentasi yang dihasilkan dari fermentasi selama 6 hari memiliki kecernaan bahan organik semakin rendah dibandingkan 4 hari tetapi kadar protein kasar, serat kasar dan acid detergent fiber tidak berubah. Perubahan-perubahan selama Fermentasi Pada proses fermentasi terjadi perubahan-perubahan terhadap komposisi kimia bahan. Vandenberghe et al. (1999) menyatakan bahwa kandungan asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral bahan mengalami perubahan akibat aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi, selain itu juga terjadi perubahan bau dan tekstur. Wang et al. (2007) mengatakan terjadinya perubahan pH, kelembaban, aroma serta perubahan nilai nutrisi yang mencakup terjadinya peningkatan protein dan vitamin walaupun vitamin B1 dan mineral phosphor mengalami penurunan. Selama proses fermentasi berlangsung terjadi peningkatan kadar air akibat aktivitas enzim yang dihasilkan mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1992) mikroorganisme menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi setelah terlebih dahulu dipecah menjadi glukosa. Pemecahan glukosa selanjutnya dilakukan melalui jalur glikolisis sampai akhirnya dihasilkan energi. Pada proses tersebut, selain energi juga dihasilkan molekul air dan karbondioksida. Sebagian air akan keluar dari produk sehingga berat kering produk cenderung berkurang setelah fermentasi. 12
Menurut Pribadi (2005), hampir semua peneliti menemukan bahwa kadar serat tempe meningkat selama fermentasi berlangsung. Meningkatnya kadar serat tersebut disebabkan oleh pertumbuhan miselium kapang yang mengandung serat karena terjadinya kehilangan dari sejumlah padatan lainnya. Protein Kasar Protein adalah zat organik yang mengandung karbon, hydrogen, nitrogen, oksigen, sulfur dan fosfor. Kualitas protein tergantung dari kelengkapan dan keseimbangan asam amino esensialnya. Protein merupakan salah satu unsur nutrisi yang dibutuhkan ternak dan tersusun dari 22 asam amino, sepuluh diantaranya merupakan asam amino essensial bagi unggas, yaitu arginin, lisin, histidin, leusin, isoleusin, valin, etionin, treonin, triptofan dan fenilalanin (Scott et al., 1982). Protein dipisahkan dari karbohidrat dan lipid karena kandungan nitrogen (N) pada protein tersebut secara umum mengandung 16% N. Pemisahan ini memungkinkan peneliti untuk mengestimasi kandungan protein dari sebuah bahan pakan dengan cara melakukan pengukuran terhadap kandungan N-nya untuk kemudian dikalikan dengan bilangan 6.25 (perbandingan terbalik dari 16%). Meskipun demikian, tidak semua N di dalam bahan pakan adalah protein, N yang bukan protein disebut Non Protein Nitrogen (NPN). Non Protein Nitrogen dapat ditemukan dalam komponen pakan seperti urea, garam ammonium dan asam amino tunggal. Oleh sebab itu, nilai yang didapat dari hasil perkalian total N dengan 6.25 disebut protein kasar. Serat Kasar Serat kasar didefinisikan sebagai bahan organik yang tidak larut setelah dimasak berturut-turut dalam larutan 0, 225 N H2SO4 dan 0, 313 N NaOH (Scott et al., 1982). Serat kasar dalam pakan asal tanaman merupakan komponen dinding sel yang sulit terfermentasi. Van Soest (1982) mendefinisikan bahwa serat merupakan komponen tanaman yang tidak dapat larut dalam deterjen netral dan dinyatakan sebagai NDF (Neutral Detergent Fiber). Komponen utama NDF adalah polisakarida, hemiselulosa dan selulosa. Komponen lain yang ditemukan sebagai komponen serat adalah lignin, silika dan kutin. Menurut Wahyu (1988) serat kasar sebagian besar terdiri dari selulosa dan lignin yang hampir seluruhnya tidak dapat dicerna oleh unggas. Serat kasar yang 13
tidak dapat dicerna dari bahan-bahan makanan lain keluar bersama dengan feses. Serat kasar dalam ransum diperlukan sebagai pengenyang, tetapi ransum yang berserat kasar tinggi dapat menekan pertambahan bobot badan. Kandungan serat kasar dalam ransum ayam pedaging periode starter sebaiknya tidak lebih dari 5 %. Menurut Nur (1993), hampir semua peneliti menemukan bahwa kadar serat tempe meningkat selama fermentasi berlangsung. Peningkatan tersebut disebabkan oleh pertumbuhan miselia kapang yang mengandung serat serta terjadinya kehilangan sejumlah padatan lainnya.
14
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2009 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Bahan yang Digunakan Bahan yang digunakan adalah sagu jenis Metroxilon rumphii atau biasa dikenal dengan nama sagu berduri, stater Rhizopus oryzae, zeolit, urea, aquades. Alat yang Digunakan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan digital, oven 60 oC, oven 105 oC, plastik, plastik tahan panas, gelas ukur, corong, tanur, gilingan, mortar, autoclave, cawan petri, eksikator, inkubator, ruang fermentasi, pipet volumetric, bulp, erlenmeyer, dan gelas piala. Rancangan Percobaan Model dan Perlakuan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan yaitu lama fermentasi 0, 4, 8 dan 12 hari dengan 3 ulangan. Adapun model matematikanya sebagai berkut: Yij Yij
: Hasil
: µ + αi + εij
pengamatan kualitas Ampas sagu-urea-zeolit dengan lama
fermentasi yang berbeda µ
: Nilai rataan umum
αi
: Pengaruh lama fermentasi ke-i
εij
: Eror akibat pengaruh lama fermentasi ke-i dan ulangan ke-j terhadap protein kasar dan serat kasar 15
i
: Perlakuan hari ke (0,4,8,12)
j
: Ulangan (1,2,3)
Peubah yang Diamati Beberapa peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah: 1.
Pengamatan fisik. Selama fermentasi berlangsung dilakukan pengamatan secara visual
terhadap perubahan tekstur, warna dan bau media. 2.
Pertumbuhan kapang. Pertumbuhan kapang selama fermentasi diukur berdasarkan persentase media
yang tertutup kapang. 3.
Temperatur lingkungan fermentasi. Pengukuran suhu dilakukan dengan cara thermometer diletakkan pada sekitar
tempat fermentasi, didiamkan sampai suhu stabil dan dibaca suhu yang tertera pada thermometer. Pengukuran suhu dilakukan pada saat siang hari yaitu pada jam 01.00 siang setiap harinya selama fermentasi berlangsung. 4.
Analisa proximat. Analisa proximat yang dilakukan adalah analisa protein kasar dan analisa
serat kasar. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam mengikuti prosedur Steel dan Torrie (1997), dan apabila hasil analisis berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan. Prosedur Percobaan Fermentasi Bahan 1) Bahan ampas sagu yang diperoleh dari Papua dikeringkan kemudian digiling dengan menggunakan hammer mill sehingga berbentuk tepung ampas sagu 2) Zeolit kasar dihaluskan menggunakan mortar sehingga berbentuk zeolit halus. 3) Ampas sagu dan zeolit sebanyak 2,5% dari bahan kering ampas sagu dicampurkan hingga homogen, kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoclave dengan suhu 120 oC dan tekanan 250 psi selama 15 menit. 16
4) Setelah dingin, campuran ampas sagu dan zeolit dicampur dengan urea sebanyak 3% dari bahan kering ampas sagu. Seluruh bahan tersebut dicampur secara merata dan kemudian ditambahkan larutan aquades untuk mencapai kadar air sekitar 75%. 5) Selanjutnya starter Rhizopus oryzae ditambahkan sebanyak 0,2% dari kandungan bahan kering ampas sagu
dan diinkubasikan pada suhu 28-32 oC sesuai
perlakuan (0, 4, 8 dan 12 hari). Setelah waktu inkubasi selesai, dilakukan pemanenan yaitu aktifitas kapang dihentikan dengan cara dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 48 jam. Hasil fermentasi kemudian dianalisa kandungan serat kasar (SK), dan protein kasar (PK). Analisa Bahan Kering (AOAC, 1995) Penentuan kadar air adalah sebagai berikut: cawan dikeringkan dalam oven 105 oC selama 1 jam, kemudian dimasukkan ke dalam esikator dan ditimbang (x) gram, setelah itu sampel ditimbang (y) gram dan dimasukkan kedalam cawan dan sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 4-6 jam, kemudian didinginkan dalam esikator lalu ditimbang (z) gram. Bahan kering dapat dietahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut: [(x + y – z)] % Kadar air
=
X 100% y
Bahan kering = 100 % - % Kadar air. Analisis Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan Porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama beberapa jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (x). Sampel ditimbang kira-kira (y) gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Setelah itu dipijarkan sampai tidak berasap, lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik pada suhu 600 oC. Setelah abu menjadi putih seluruhnya, lalu dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang (z). Kadar abu dapat diketahui dengan menggunakan rumus berikut ini: [( z – x ) ] Kadar Abu
=
X 100% y
Analisa Protein Kasar (AOAC, 1995) 17
Sampel sebanyak 0,3 gram (x) dimasukkan ke dalam labu destruksi dan ditambahkan katalis secukupnya serta 25 ml H2SO4 pekat. Kemudian dipanaskan di dalam ruang asam sampai larutan menjadi jernih dan berwarna hijau kekuningan. Setelah itu didinginkan dan dimasukkan kedalam labu penyuling dan diencerkan dengan air 300 ml serta ditambah batu didih dan 100 ml NaOH 33% didalam labu penyuling menguap yang ditangkap dengan larutan H2SO4 berindikator dengan labu erlenmeyer. Hasil penyulingan dalam labu erlenmeyer dititrasi dengan larutan NaOH 0,3 N sampai warna menjadi biru kehijauan. Volume NaOH dihitung sebagai z ml dan dibandingkan dengan titran blanko y ml. penentuan nilai kadar protein kasar dengan menggunakan rumus berikut: (y-z) x titran NaOH x 0,014 x 6,25 Kadar Protein Kasar =
x 100% x
Analisa Serat Kasar (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 1 gram (x) dimasukan ke dalam gelas piala 500 ml dan ditambahkan 25 ml NaOH 1,5 N dan dididihkan kembali selama 30 menit. Cairan disaring dalam kertas saring (a) dengan corong Buchner dan dicuci berturut-turut dengan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 50 ml air panas dan 25 ml aceton. Kertas saring dan isinya dimasukan kedalam cawan porselin, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC sampai kering. Setelah itu dimasukan ke dalam desikator selama 1 jam dan ditimbang (y), lalu dipijarkan dalam tanur sampai putih dan didinginkan kembali serta ditimbang (z). Penentuan kadar serat kasar dengan menggunakan rumus berikut : [(y-z-a)] Kadar Serat Kasar =
X 100 % x
18
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi lebih sederhana yang melibatkan mikroorganisme. Berdasarkan hasil pengamatan secara visual, pada setiap media yang difermentasi terjadi perubahan tekstur, warna dan bau selama fermentasi berlangsung. Tekstur pakan mengalami perubahan dari agak kasar menjadi lebih lembut karena adanya penambahan air. Warna media fermentasi pada awal fermentasi adalah warna ampas sagu yang dikeringkan, namun setelah fermentasi warna bahan menjadi cokelat lebih tua dan agak berserabut karena pengaruh hifa yang dimiliki Rhizopus oryzae. Bau media fermentasi pada awal fermentasi tidak menyengat, sedangkan pada hari ke 4, dan 8 fermentasi sangat menyengat. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan ammonia (NH3). Nitrogen yang terdapat pada substrat akan digunakan oleh kapang untuk diubah menjadi protein tubuhnya, akan tetapi tidak seluruh N dapat dimanfaatkan oleh kapang. Sebagian menjadi amonia yang terakumulasi dimedia sehingga menyebabkan bau menyengat. Pada fermentasi hari ke 12 bau media fermentasi tidak terlalu menyengat dibandingkan hari ke 4 dan 8. Hal ini diduga karena produksi NH3 menurun dalam media juga menurun yang ditunjukkan oleh protein kasarnya yang menurun. Temperatur Lingkungan Temperatur merupakan salah satu faktor yang penting di dalam kehidupan mikroba. Beberapa jenis mikroba dapat hidup di daerah temperatur yang luas sedang jenis lainnya pada daerah yang terbatas. Pada umumnya batas daerah temperatur bagi kehidupan mikroba terletak di antara 0 oC dan 90 oC, sehingga untuk masing -masing mikroba dikenal nilai temperatur minimum, optimum dan maksimum. Temperatur minimum suatu jenis mikroba ialah nilai paling rendah dimana kegiatan mikroba masih berlangsung. Temperatur optimum adalah nilai yang paling sesuai/baik untuk kehidupan mikroba. Temperatur maksimum adalah nilai tertinggi yang masih dapat digunakan untuk aktivitas mikroba tetapi pada tingkatan kegiatan fisiologi yang paling minimal.
19
Daya tahan mikroba terhadap temperatur tidak sama untuk tiap-tiap spesies. Ada spesies yang mati setelah mengalami pemanasan beberapa menit di dalam medium pada temperatur 60 oC, sebaliknya bakteri yang membentuk spora seperti genus Bacillus dan genus Clostridium tetap hidup setelah dipanasi dengan uap 100 o
C atau lebih selama 30 menit. Proses sterilisasi dilakukan untuk membunuh setiap
spesies bakteri yakni dengan pemanasan selama 15-20 menit dengan tekanan 1 atm dan temperatur 121 oC di dalam autoclave. 30.5
Suhu (oC)
30 29.5 29
Line 1
28.5 28 27.5 27 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Hari
Gambar 6. Suhu Lingkungan Ruang Inkubasi Suhu lingkungan sekitar ruang inkubasi cukup fluktuatif (Gambar 6). Secara umum suhu lingkungan fermentasi sesuai dengan suhu ideal untuk pertumbuhan Rhizopus yaitu mendekati suhu 25 oC (Wang et al., 2007). Winarno (1993) menyatakan bahwa untuk memperoleh hasil fermentasi yang baik diperlukan kondisi fermentasi yang optimal. Kondisi yang kurang cocok bagi perkembangbiakan mikroba akan menghambat fermentasi, bahkan dapat merangsang tumbuhnya mikroba lain yang tidak diharapkan untuk tumbuh. Genus Rhizopus tumbuh pada kisaran suhu 5-37 oC, suhu pertumbuhan maksimun adalah 33-36 °C dan tumbuh optimum pada suhu yang mendekati 25 oC (Wang et al., 2007). Ampas Sagu sebelum Fermentasi Ampas sagu tanpa perlakuan mempunyai kandungan protein kasar yang rendah yaitu 5.57% dan kandungan serat kasar yang tinggi yaitu 28.16% (Tabel 1). Hal ini merupakan faktor pembatas dari penggunaan ampas sagu. 20
Tabel 1. Kandungan Nutrien Ampas Sagu sebelum Fermentasi Nutrien
Keterangan
Jumlah (%)*
Jumlah (%)**
(Metroxilon rumphii)
(Metroxilon sp)
BK
86,98
-
SK
21,31
20.3
PK
4,22
2.1
ABU
6,10
4.6
LK
0,08
1.7
BeTN
55,27
71.3
GE
3275
-
: (-): tidak dianalisis; *Laboratorium Teknologi Industri Pakan (2009), ** Hasil analisis laboratorium biologi hewan PAU (Sangadji, 2009)
Dibandingankan bahan pakan lainnya seperti jagung dan dedak, ampas sagu (Metroxilon rumphii) memiliki kandungan serat kasar yang lebih tinggi dan protein kasar yang lebih rendah sehingga tidak bisa dimanfaatkan sebagai pakan utama. Ampas sagu (Metroxilon rumphii) memiliki kandungan protein kasar lebih tinggi dibandingan dengan sagu jenis lain yang salah satunya adalah Metroxilon sp. Kandungan ampas sagu Metroxilon rumphii yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai serat kasar 28,16%, protein kasar 5,57%, gross energi 3275, BeTN 63.54%, lemak kasar 0.01% dan kandungan abu 8.06%. Sangadji (2009) melaporkan bahwa kandungan protein kasar dan serat kasar Metroxilon sp berturut-turut adalah 2,1% dan 20,3%. Menurut Tampoebolon (2009) kandungan serat kasar (SK) ampas sagu mencapai 28,30%, sedangkan kandungan proteinnya hanya 1,36%. Perbedaan kandungan nutrisi pada ampas sagu disebabkan oleh genetik dan cara pengolahannya. Pertumbuhan Kapang Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen. Struktur tubuh kapang terdiri dari miselium dan hifa. Kapang mampu memproduksi enzim sebagai biokatalis. Pertumbuhannya mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut. Pertumbuhan mula-mula berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan 21
terbentuk warna sesuai dengan jenis kapang (Fadiaz, 1992). Kapang ini mampu menghasilkan enzim protease dan lipase (Pelczar dan Reed, 1997). Winarno (1993) menyatakan bahwa Rhizopus oryzae biasa digunakan dalam fermentasi berbagai macam tempe dan oncom hitam. Dalam pertumbuhannya Rhizopus cepat membentuk miselium seperti kapas. Rhizopus mempunyai stolon dan rhizoid yang warnanya gelap jika sudah tua, dan hidupnya bersifat saprofit. Hifa adalah struktur menyerupai benang yang tersusun dari dinding berbentuk pipa.
Dinding ini menyelubungi
membran
plasma
dan
sitoplasma
hifa.
Sitoplasmanya mengandung organel eukariotik. Hifa membentuk jaringan yang disebut miselium. Miselium menyusun jalinan-jalinan semu menjadi tubuh buah. Kapang R. oryzae memiliki karakteristik miselia berwarna putih, ketika dewasa maka miselia putih akan tertutup oleh soprangium yang berwarna abu-abu kecoklatan. Hifa kapang R. oryzae tidak bersepta dan tidak berwarna (jernih). Hifa kapang terspesialisasi menjadi 3 bentuk, yaitu rhizoid, sporangiofor, dan sporangium. Rhizoid merupakan bentuk hifa yang menyerupai akar (tumbuh ke bawah). Sprorangiofor adalah hifa yang menyerupai batang (tumbuh ke atas) untuk menyagga sporangium. Sporangium adalah hifa pembentuk spora dan berbentuk bulat yang akan pecah bila telah matang. Tabel 2. Hasil Pengamatan Intensitas Pertumbuhan Kapang Pada Media Fermentasi. Lama Fermentasi
Miselia
(hari) 0
-
4
++
8
+++
12
++
Keterangan : = miselia tidak tumbuh + = miselia ada sekitar <25% menutupi media ++ = miselia sekitar 25-50% menutupi media +++ = miselia sekitar 50-75% menutupi media
Rhizopus oryzae berkembangbiak dengan dua cara, yaitu seksual (generatif) dan aseksual (vegetatif). Pembiakan aseksual pada jamur zygomycota dengan spora. Daur hidup dimulai dari pertumbuhan spora menjadi benang hifa yang bercabang22
cabang membentuk miselium. Beberapa hifa akan tumbuh ke atas dan ujungnya menggembung membentuk sporangium. Sporangium yang masak berwarna hitam. Sporangium kemudian pecah dan spora tersebar. Spora yang jatuh di tempat sesuai akan tumbuh membentuk miselium baru. Pembiakan seksual yaitu dengan cara pembentukan spora aseksual (spora yang dihasilkan dari pembelahan secara mitosis yang terjadi di dalam sporangium, askus atau basidium), lalu spora tumbuh membentuk hifa. Pembelahan tubuh atau bertunas, yaitu terbentuknya semacam sel berukuran kecil yang kemudian tumbuh dalam ukuran sempurna. Pada fermentasi 0 hari, miselia belum tumbuh (Tabel 2), hal ini disebabkan Rhizopus oryzae membutuhkan fase adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan dan selanjutnya melakukan proses metabolisme. Miselia mulai tumbuh pada fermentasi hari ke 4. Pertumbuhan miselia berlangsung terus menerus sampai fermentasi hari ke 8. Hal ini diduga disebabkan kondisi lingkungan media sudah sesuai dengan kebutuhan kapang Rhizopus oryzae sehingga sel kapang membelah lebih cepat dan konstan. Setelah memasuki fermentasi hari ke 12, pertumbuhan miselium kapang Rhizopus oryzae mulai berkurang dan sebagian telah berubah menjadi spora yang dicirikan dengan perubahan warnanya menjadi kecoklatan. Hal ini diduga disebabkan antara lain zat nutrisi di dalam media sudah berkurang dan adanya hasilhasil metabolisme yang mungkin beracun atau dapat menghambat pertumbuhan (Fardiaz, 1992). Pengaruh Lama fermentasi terhadap Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar Lama fermentasi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi lama hidup dan jumlah mikroorganisme yang berkembang biak. Semakin lama waktu fermentasi maka akan semakin sedikit nutrien yang ada di dalam substrat karena digunakan untuk metabolisme mikroba. Faktor yang mempengaruhi kenaikan protein kasar dan serat kasar pada fermentasi suatu substrat adalah jumlah mikroorganisme (protein tubuh) dan jumlah hifa atau miselium yang terbentuk. Semakin banyak mikroorganisme yang tumbuh maka semakin banyak protein yang dihasilkan, dan semakin banyak hifa yang terbentuk maka kandungan serat kasar akan semakin 23
meningkat (dinding hifa mengandung serat). Hasil penelitian tentang pengaruh lama fermentasi menggunakan Rhizopus oryzae terhadap kandungan protein kasar dan serat kasar ampas sagu (Metroxilon rumphii) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rataan Perubahan Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar Ampas Sagu Fermentasi Peubah
R1
R2
R3
R4
Protein kasar (%)
16,05±2,51c
8,39 ±0,34a
13,02±1,07bc
11,32±0,78ab
Serat kasar (%)
18,48±3,29b
10,82±3.92a
25,36±4.21c
26,37±1,66c
Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). R1= Fermentasi Ampas sagu-urea-zeolit-Rhizopus oryzae 0 hari, R2= Fermentasi Ampas sagu-urea-zeolitRhizopus oryzae 4 hari, R3= Fermentasi Ampas sagu-urea-zeolit-Rhizopus oryzae 8 hari, R4= Fermentasi Ampas sagu-urea-zeolit-Rhizopus oryzae 12 hari.
Pengaruh Perlakuan terhadap Protein Kasar Protein adalah zat organik yang mengandung karbon, hydrogen, nitrogen, oksigen, sulfur dan fosfor. Protein sangat dibutuhkan oleh setiap organisme dan mikroorganisme dalam kelangsungan hidupnya. Protein berguna untuk metabolisme sel, pembentukan jaringan, dan lain-lain. Kualitas protein tergantung dari kelengkapan dan keseimbangan asam amino esensialnya (Anggorodi, 1985). Pada ternak ruminansia, kualitas protein tidak menjadi masalah karena di dalam rumen terdapat mikroba rumen yang dapat mensintesis protein mikroba. Hasil
analisis
ragam
menunjukan
bahwa
fermentasi
ampas
sagu
menggunakan Rhizopus oryzae berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap perubahan kandungan protein kasar bahan (Tabel 3). Fermentasi pada hari ke 0 bahwa protein kasarnya cukup tinggi yaitu 16.05% karena adanya penambahan urea. Pada hari ke 4 kandungan protein kasarnya menurun hingga rata-rata 8 %. Pada penelitian ini fermentasi hari ke 4 adalah fase adaptasi bagi Rhizopus oryzae. Fase pertumbuhan mikroba ada 4 yaitu fase adaptasi, fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian. Fase adaptasi sangat dipengaruhi oleh kondisi inokulum yang diberikan. Fase-fase ini mempengaruhi jumlah zat makanan yang hilang dalam 24
bahan dan kekuatan fermentasi dari mikroba. Menurut Reed dan Rehm (1983) fase adaptasi akan berlangsung lama jika kultur awal dikembangkan dalam media yang tidak sesuai. Mikroorganisme akan merombak bahan yang lebih sederhana lebih dahulu, misalnya protein bahan. Frazier dan Westhoff (1997) mengemukakan bahwa perubahan yang terjadi selama fermentasi disebabkan enzim yang dihasilkan kapang. Kapang (secara umum) menghasilkan enzim alpha amilase, betha amolase, phosphorilase, iso amilase, maltase dan amiloglukosidae. Pada fermentasi hari ke-8 kandungan protein kasar ampas sagu fermentasi meningkat kembali menjadi 13,02% (Tabel 3). Hal ini disebabkan kapang Rhizopus oryzae berada pada fase logaritmik atau exponensial yaitu tingkat pertumbuhan maksimal dan naik secara konstan. Menurut Pujaningsih (2005) tingkat pertumbuhan eksponensial dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (suhu, komposisi medium) dan sifat genetik dari mikroba. Pada fase ini terjadi perbanyakan sel yang menyebabkan peningkatan jumlah sel dan laju pertumbuhan mengalami peningkatan. Dengan meningkatnya jumlah massa sel maka akan meningkatkan kadar protein substrat (Halid, 1991). Peningkatan pertumbuhan kapang sampai fermentasi hari ke-8 disebabkan adanya zat makanan yang terdapat dalam substrat yang dapat digunakan oleh kapang serta hasil–hasil metabolisme yang dapat menghambat pertumbuhan masih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rahma (1996) bahwa pada fermentasi dedak padi menggunakan Rhizopus oryzae mempunyai kandungan protein kasar pada lama fermentasi 2 hari adalah 13,06 %, lalu pada lama fermentasi hari ke3 menurun menjadi 11,5% dan pada hari ke-4 kembali meningkat menjadi 13,08%. Peningkatan kandungan protein kasar juga dilaporkan oleh Enie dan Hasibuan (1986) bahwa pellet ubi kayu yang difermentasi selama 2 hari dengan Rhizopus oryzae kadar protein murninya meningkat dari 1,29% menjadi 1,50%. Peningkatan kandungan protein diduga karena Rhizopus oryzae mensintesis enzim urease yang digunakan untuk memecah urea menjadi asam amonia dan CO2. Asam amonia dapat digunakan oleh kapang untuk pembentukan asam amino (Nuryono et al., 2006). Pada hari ke-12 kandungan protein kasar dari sampel ampas sagu fermentasi kembali menurun, yaitu 11,33% (Tabel 3). Hal ini disebabkan Rhizopus oryzae berada pada fase stasioner yaitu tingkat pertumbuhan nol yang dicirikan dengan terjadinya akumulasi produk beracun, nutrien dalam medium telah habis, beberapa 25
sel mati tapi yang lain tumbuh dan membelah, jadi jumlah sel yg mati sama dengan sel yang membelah, sehingga jumlah sel seimbang (cryptic growth) (Pujaningsih, 2005). Jumlah sel yang hidup tetap walau tidak ada pertumbuhan, fungsi sel tetap berjalan seperti metabolisme maupun biosintesa. Zat makanan yang ada pun berkurang sehingga kekuatan fermentasi kapang menurun. Penurunan ini disebabkan laju pertumbuhan Rhizopus oryzae yang menurun akibat persediaan zat makanan pada media berkurang dan terbentuk zat-zat hasil metabolisme yang menghambat pertumbuhan. Di dalam pertumbuhannya kapang menggunakan zat makanan yang ada di dalam media sehingga semakin lama fermentasi maka suplai zat makanan yang ada dalam media semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan oleh Syarief dan Halid (1991) bahwa pertumbuhan mikroba maksimum didapat pada kondisi suplai zat makanan dan substrat masih berlebih serta konsentrasi zat–zat hasil metabolisme yang menghambat pertumbuhan masih rendah. Zat makanan yang terkandung dalam bahan akan semakin berkurang bila lama fermentasi semakin panjang sehingga kekuatan fermentasi dari mikroba akan menurun karena tidak mempunyai energi untuk melakukan aktivitasnya (Fardiaz, 1992). Bila lama fermentasi diteruskan maka akan memasuki fase kematian yaitu tingkat pertumbuhannya negatif, artinya jumlah sel yang hidup menurun. Pada beberapa keadaan dapat diikuti dengan terjadinya lisis dari sel sehingga jumlah sel yg dihitung secara langsung akan berkurang sejalan dengan pengurangan sel hidup. Ciri-ciri dari fase ini adalah terjadi akumulasi lanjut produk metabolisme yang menghambat nutrien penting dalam medium habis, jumlah sel yang hidup turun secara logaritmik, dan umumnya sel akan mati dalam beberapa hari atau bulan. Pengaruh Perlakuan terhadap Serat kasar Serat kasar didefinisikan sebagai bahan organik yang tidak larut setelah dimasak berturut-turut dalam larutan 0, 225 N H2SO4 dan 0, 313 N NaOH (Scott et al., 1982). Menurut Wahyu (1988), serat kasar sebagian besar terdiri dari selulosa dan lignin yang hampir seluruhnya tidak dapat dicerna oleh unggas. Serat kasar yang tidak dapat dicerna dari bahan-bahan makanan lain, keluar bersama dengan feses. Serat kasar dalam ransum diperlukan sebagai pengenyang, tetapi ransum yang
26
berserat kasar tinggi dapat menekan pertambahan bobot badan. Kandungan serat kasar dalam ransum ayam pedaging periode starter sebaiknya tidak lebih dari 5 %. Kandungan serat kasar dipengaruhi oleh intensitas pertumbuhan miselia kapang, kemampuan kapang memecah serat kasar untuk memenuhi kebutuhan energi, dan kehilangan bahan kering selama fermentasi. Pertumbuhan miselia kapang dapat meningkatkan kandungan serat kasar karena terbentuknya dinding sel yang mengandung selulosa, disamping terjadinya kehilangan dari sejumlah padatan (Rahayu et al., 1993). Hasil
analisis
ragam
menunjukan
bahwa
fermentasi
ampas
sagu
menggunakan Rhizopus oryzae berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap perubahan kandungan serat kasar bahan. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa kandungan serat kasar pada hari ke-0 turun dari 28,16% menjadi 18,48 %. Serat kasar hari ke-4 semakin menurun menjadi 10,82 %. Pada hari ke-8 saat protein kasar mengalami peningkatan, serat kasar juga mengalami peningkatan kembali. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian dari Tampoebolon (2009) yang melakukan penelitian fermentasi ampas sagu dengan menggunakan Aspergillus niger, yaitu pada lama fermentasi 8 hari serat kasar menurun dari 28,31% (tanpa perlakuan) menjadi 13,73%. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan kapang yang digunakan serta jumlah kapang yang digunakan. Pada penelitian Tampoebolon (2009) digunakan A. niger sampai 4% sedangkan pada penelitian ini digunakan Rhizopus oryzae 3%. Aspergillus niger dapat menghasilkan enzim selulase yang mampu menghidrolisis selulosa, sedangkan Rhizopus oryzae tidak mempunyai enzim pemecah serat. Kapang dapat berkembang lebih baik karena cukupnya nutrien dari substrat yang akan menyebabkan miselium yang terbentuk juga semakin banyak. Penambahan miselium yang terbentuk selama fermentasi dapat meningkatkan kadar serat kasar produk fermentasi. Menurut Pelezar dan Reed (1997) miselium dari Rhizopus oryzae mempunyai inti yang banyak dan dinding yang berserat. Juga enzim yang sangat aktif pada genus Rhizopus adalah protease dan bukan pemecah serat. Hal ini menyebabkan kapang tersebut tidak memiliki kemampuan dalam menguraikan serat kasar menjadi senyawa yang lebih sederhana (Nuryono et al., 2006). Fermentasi hari ke-12 menunjukkan hasil bahwa serat kasar naik menjadi 26,37%, karena Rhizopus oryzae berada pada fase stasioner yaitu seluruh sel berhenti 27
membelah diri atau saat jumlah sel yang mati sama banyaknya dengan sel yang tumbuh sehingga populasi menjadi stabil serta terjadinya penurunan kandungan protein kasar. Zat makanan yang ada berkurang sehingga kekuatan fermentasi kapang menurun. Penurunan ini disebabkan laju pertumbuhan Rhizopus oryzae yang menurun akibat persediaan zat makanan pada media berkurang dan terbentuk zat zat hasil metabolisme yang menghambat pertumbuhan. Penambahan kandungan serat kasar selain dari serat kasar pada bahan tersebut juga dari miselium yang terbentuk dari Rhizopus itu sendiri.
28
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Fermentasi ampas sagu-urea-zeolit menggunakan Rhizopus oryzae selama 8 hari bila didasarkan pada kandungan protein lebih baik dari fermentasi hari ke 4 dan 12. Lama fermentasi 4 hari terbaik bila didasarkan pada kandungan serat kasarnya. Saran Pada penelitian selanjutnya perlu adanya analisa protein murni dan asam amino untuk melihat perubahan ammonia menjadi protein sel tubuh kapang. Perlu kombinasi mikroorganisme pencerna selulosa untuk menurunkan kandungan serat kasar substrat.
29
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji bagi Allah SWT, Rabb yang telah memberikan nikmat serta karunia yang tidak terhingga jumlahnya kepada setiap hamba-Nya. Rabb yang telah memberikan petunjuk ke jalan yang benar, kemudahan dan kelancaran salah seorang hamba-Nya dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang dilakukan. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayah, Ibu, Anang Wahyudiana serta seluruh keluarga atas segala do’a, kasih sayang dan juga bantuan baik berupa santunan moral dan materiil. Pada kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubs, MSc sebagai dosen pembimbing utama sekaligus menjabat sebagai dosen pembimbing akademik dan bapak Ir. Abdul Djamil Hasjmy, MS sebagai dosen pembimbing anggota yang senantiasa mengarahkan penulis guna mencapai keberhasilan akademik yang maksimal. Selain itu, tidak lupa pula ucapan terimakasih untuk ibu Indah Wijayanti STP. MSi yang telah bersedia untuk menjadi dosen penguji seminar serta ibu Ir. Widia Hermana Msi atas masukan yang sangat membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi dengan lebih baik lagi. Ucapan terima kasih juga penulis ajukan kepada mas Dadang dan mas Hendar selaku laboran Laboratorium Teknologi Industri Pakan, dan juga kepada teman-teman satu omda saya yang selalu memberikan semangat dan memberi saran kepada saya, spesial juga kepada teman-teman satu daerah saya yaitu Nato, Indah, Rani, Dewi, Anjani, Yuni, dan Eta saya ucapakan terima kasih atas ukhuwwah Islamiah-nya yang indah dan untuk semua teman- teman INTP 43 dan, serta kepada semua pihak yang tidak dapat dicantumkan namanya yang telah membantu dan memperlancar penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
30
Bogor, Agustus 2010
31
DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta. AOAC. 1995. Official Method of Analysis. 24th ed. Assoc. Off. Anal. Chem, Washington DC. BPSPB. 2004, 2005, 2006, & 2007. Papua Barat dalam Angka. BPSPB, Manokwari. BPS. 2008. Production of Secondary Food Crops in Indonesia. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet & M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Enie, A.B & S. A. Hasibuan. 1986. Fermentasi pellet ketela pohon dengan kapang tempe (Rhizopus oryzae) dan kapang kecap (Rhizopus oligosporus). Med. Pet. 3: 38-42 Fardiaz, S. 1992. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Mikrobiologi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Flach M. 2005. A Simple Growth Model For Sago Palm. Molat Ambuturus and It,s Implications for Cultivation. Abstracts of The Eight Internasional Sago Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Society for The Promotion Science. Frazier, W.C. & D.C. Westhoft. 1997. Food microbiology, Tata Mc Graw- Bill. Co. LTP, New York. John Wiley & Sons, New York. Garraway, M.O. & Evans, R.C. 1984. Fungal Nutrition and Physiology. John Wiley and Sons, New York. Halid I. 1991. Perubahan nilai gizi onggok yang diperkaya nitrogen bukan protein selama fermentasi dengan biakan kapang. Tesis. Pasca Sarjana, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Harben, P. W & M. Kuzvart. 1996. Industrial Minerals: A Global Geology, Industrial Minerals Information Ltd, Metal Bulletin PLC, London. Pp: 445-450. Hidayat, N., C. P. Masdriana & S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri, Yogyakarta. Judoamidjojo R.M., E.G. Sa’id, & L. Hartoto.1989. Biokonversi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Leung, S., S. Barrington, Y. Wan, X. Zhao, & B. El-Husseini. 2006. Zeolites (clinoptiloite) as feed additive to reduce manure mineral content. Biresource Technology, Canada. Lubis, A. D. 1996. Kompleks biologis onggok-urea-zeolit menggunakan Aspergillus niger. Laporan Akhir Penelitian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
32
Nur, Y. S. 1993. Penggunaan kultur campuran terhadap peningkatan nilai gizi onggok sebagai pakan broiler. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. NRC. 1994. Nutrient Requirements of Poltry. 9th ed. National Academic Press,Washington DC. Nuryono, Tahir. I, & Pranowo, D. 2006. Petunjuk Praktikum Kimia Anorganik. Laboratorium Kimia Dasar FMIPA UGM, Yogyakarta. Pantjawidjaja, Pongsapan S.P., Tandilinting FK. 1984. Penggunaan berbagai tingkar ampas sagu dalam ransum sapi peranakan ongole yang sedang tumbuh. Ilmu dan Peternakan 1 (5): 163-166. Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI Press, Jakarta. Pepler, J.H. 1973. Yeast technology. The A VI publ. Co. Inc. Wesport, Connecticut Pelczar, M.J., R.D Reed. 1997. Microbiology. MC. Graw Hill Book co. Westport, Connecticut. Pelczar, M.J., R.D Reed. 1997. Microbiology. MC. Graw Hill Book co. Westport, Connecticut. Plummer, D. T. 1987. An Introduction to Practical Biochemistry. Tata Mc-Graw Hill Publishing Company LTD, Bombay-New Delhi. Prescot, S.C. & Dunn, C.C. 1982. Industrial Microbiology. The A VI Pulb. Co.Inc. Westport, Connecticut. Pribadi, W. 2005. Pengaruh konsentrasi hidrolisat pati sagu dan jenis sumber nitrogen terhadap produksi asam laktat oleh Rhizopus oryzae. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pujaningsih, I.R. 2005. Teknologi Fermentasi dan Peningkatan Kualitas Pakan. Laboratorium Teknologi Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang. Rahayu, E.S., R. Indrati, T. Utami, E. Harmayani, & M.N. Cahyanto. 1993. Bahan pangan hasil fermentasi. PAU Pangan & Gizi, Yogyakarta. Rahma, SN. 1996. Evaluasi kandungan zat makanan dedak halus yang difermentasi dengan Aspergillus niger, Aspergillus oryzae dan Rhizopus oryzae. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rachman, A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Rohmah, S. 2009. Efektivitas penggunaan bawang putih dan zeolit sebagai penghambat kerusakan fisik pada jagung dan dedak padi selama proses penyimpanan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Reed, G. & H. J. Rehm. 1983. Biotechnology Vol 1. Biological Fundamentals. Weinheim. 33
Sangadji, I. 2009. Mengoptimalkan pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ruminansia melalui biofermentasi dengan jamur tiram (Pleurotus ostreatus) dan amoniasi. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Scott, M. L., M. C. Neisheim & R. J. Young. 1982. Nutrition of The Chickens Vol 2. Publishing by : M.L. Scott & Assoc. Ithaca, New York. Sibbald, I.R. 1980. A New Technique for Estimating the ME Content of Feeds for Poultry. In; FAO, Standardization of Analitic Methodology for Feeds. International Development Research Center, Canada. Steel, R.G.D. & Torrie, J.H. 1997. Principle and Procedures of Statistic a Biometrical Approach, 3rd ed. McGraw-Hill, Inc. Singapore. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Fakultas Peternaan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syarief, R. & H. Halid. 1991. Teknologi Penyimpanan Pangan. ARCAN, Jakarta. Tampoebolon. B.I.M. 2009. Kajian Perbedaan Aras dan Lama Pemeraman fermentasi ampas sagu (Metroxilon sp) dengan Aspergillus niger terhadap kandungan protein kasar dan serat kasar. J. Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan Universitas Diponegoro. 20 (8): 235-242. Vandenberghe, L.P.S., Soccol, C.R., Pandey, A., & Lebeault, J.M. 1999. Solid state fermentation for the synthesis of citric acid by Asergillus niger. Bioresource Technology. (74): 175-178. Van Soest, P.J. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. O & B. Book, Inc, Corvallis. Wahyu, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Wang H., A.M. Jenner, C.Y. Lee, G. Shui, S.Y. Tang, M. Whiteman, M.R. Wenk, & B. Halliwell. 2007. The identification of antioxidants in dark soy sauce. Free Radicals Research. 41: 479-488. Winarno, F. G. S. Fardiaz & D. Fardiaz. 1986. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta. Winarno, F. G. 1993. Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Windesy, N. 2003. Tuwo sebagai salah satu bahan pangan spesifik lokal masyarakat Pulau Moor mambor distrik Napan Kabupaten Nabire. Prosiding Lokakaya Nasional, Pendayagunaan Pandangan Spesifik Lokal Papua, Jayapura 2-4 Desember 2003. 151-154. Yumte, Y. 2008. Penyusunan model penduga berat basah tepung sagu duri (Metroxilon rumphii) di Kabupaten Sorong Selatan, Propinsi Papua Barat. Skripsi. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
34
LAMPIRAN
35
Lampiran 1. Sidik Ragam Protein Kasar (PK) Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
F0,05
Perlakuan
5390,920
4
1347,730
118,523
3.837853
Error
90,968
8
11,371
Total
5481,889
12
Perlakuan
N
Subset 1
2
R2
3
8,38867
R4
3
11,32567
R3
3
R1
3
3
11,32567 13,02200
13,02200 16,04833
Sig.
0,105
0,321
0,096
Lampiran 2. Uji Lanjut Duncan Protein Kasar (PK) Sumber Keragaman
JK
db
KT
F
F0.05
Perlakuan
1877,286
4
469,321
121,538
3.837853
Error
30,892
8
3,862
Total
1908,178
12
Lampiran 3. Sidik Ragam Serat Kasar (SK) Lampiran 4. Uji Lanjut Duncan Serat Kasar (SK) Perlakuan
N
Subset 1
2
3
R2
3
R1
3
R3
3
25,36267
R4
3
26,36633
Sig.
10,81733 18,48000
1,000
1,000
0,725
36
Lampiran 5. Metroxilon rumphii Siap Panen
37