PENGARUH VARIASI SUHU PEMERAMAN TERHADAP KUALITAS KEJU PERAM (Ripened Cheese) HASIL FERMENTASI Rhizopus oryzae
Naskah Publikasi Skripsi
Oleh: Pramastuti Adiar Rukmi NIM. M0405043
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
1
PERSETUJUAN Naskah Publikasi Skripsi PENGARUH VARIASI SUHU PEMERAMAN TERHADAP KUALITAS KEJU PERAM (Ripened Cheese) HASIL FERMENTASI Rhizopus oryzae Oleh: Pramastuti Adiar Rukmi NIM. M0405043 Telah disetujui untuk dipublikasikan Surakarta,............................... Menyetujui Pembimbing I
Pembimbing II
Tjahjadi Purwoko, M.Si NIP. 197011302000031002
Estu Retnaningtyas N ,S.TP., M.Si NIP. 196807092005012001
Mengetahui, Ketua Jurusan Biologi
Dra. Endang Anggarwulan, M.Si NIP. 195003201978032001
2
PENGARUH VARIASI SUHU PEMERAMAN TERHADAP KUALITAS KEJU PERAM (Ripened Cheese) HASIL FERMENTASI Rhizopus oryzae
THE INFLUENCE OF RIPENING TEMPERATURE VARIATION TO RIPENED CHEESE QUALITY AS A RESULT OF FERMENTATION Rhizopus oryzae PRAMASTUTI ADIAR RUKMI1, TJAHJADI PURWOKO1, ESTU RETNANINGTYAS1 1 Jurusan Biologi F.MIPA UNS Surakarta
ABSTRACT Milk contain of matter that can be absorbed by blood and used for body. Milk is a food material of cattle-breeding that easy to be broken as contaminated by mycrobia activity or pathogen bacteria from sequeezing environment area, or the cattle environment it self. This fenomena make people try to look for way to make it durable, one of the ways is fermentation. Cheese is one of milk fermentation product which is often contaminated by yeast as secondary microflora that has been examined give significant contribution to cheese ripened process. Ripened cheese is raw cheese that is ipened for several months. Rhizopus oryzae has character like rennet, able to result protease. Rhizopus oryzae produce lactic acid that has better quality than lactic acid which is produced by bacteria. The aim of this research is to know the influence of ripening temperature variation to ripened cheese quality as a result of fermentation Rhizopus oryzae that include calculating curd score, water level, fat, protein, and calcium and also likeness level. Ripening temperature variation interplay to ripened cheese quality that is formed. The grade of curd is 7,097%. The water content is 39,817% (temperature 150C), 35,65% (temperature 200C), and 36,583% (temperature 250C). The fat content is 543 mg/ g (temperature 150C), 504 mg/ g (temperature 200C), and 577 mg/ g (temperature 250C). The protein content is 336 mg/ g (temperature 150C), 258 mg/ g (temperature 200C), and 258 mg/ g (temperature 250C). The calcium content is 1,949 mg/ g (temperature 150C), 1,338 mg/ g (temperature 200C), and 2,263 mg/ g (temperature 250C). From the research result we can get a summary that Rhizopus oryzae is proved can be used as starter in making cheese without adding rennet because it can be able to do fermentation of milk in 8 hours at temperature 370 C that is showed with do decreasing pH score 1,82 and form curd. Keywords: Ripened Cheese, Rhizopus oryzae, temperature 3
PENDAHULUAN Produksi susu di Indonesia pada tahun 2002 mencapai 479,9 ribu ton dan meningkat menjadi 521,0 ribu ton pada tahun 2003 (Dirjen Peternakan, 2003). Menurut Saleh (2004), air susu merupakan bahan makanan yang penting bagi manusia karena kelezatan dan komposisinya yang ideal. Air susu mengandung zat yang dibutuhkan oleh tubuh yang dapat diserap oleh darah dan dimanfaatkan oleh tubuh. Susu banyak mengandung komponen gizi yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroba dan mudah rusak. Sedangkan menurut Buckle et al. (1985), kontaminasi ini berasal dari bakteri patogen yang berasal dari lingkungan, proses pemerahan atau ternak itu sendiri. Fenomena tersebut yang menyebabkan manusia berusaha mencari cara untuk memperpanjang waktu simpannya. Pengolahan air susu sapi bertujuan untuk meningkatkan diversifikasi pangan serta memperpanjang daya simpannya. Produk-produk olahan susu yang sudah dikenal dalam industri pengolahan menurut antara lain susu pasteurisasi, susu skim, mentega, keju, susu kental, susu bubuk, yoghurt, dadih, kefir, es krim, karamel/ kembang gula susu, dodol susu, dan kerupuk susu. Keju bukan makanan asli Indonesia, namun konsumsi keju di negeri ini cenderung naik. Menurut Nurhidayati (2003), saat ini biaya produksi keju sangat tinggi, karena enzim renet yang digunakan dalam proses pembuatan keju sangat mahal dan tersedia dalam jumlah yang terbatas. Keterlibatan jamur dalam pengolahan bahan makanan telah banyak kita jumpai, seperti dalam proses fermentasi tradisional. Jamur yang banyak terlibat adalah genera Rhizopus, yang tergolong ordo Mucorales. Jamur Rhizopus oryzae (R. oryzae) mampu menghasilkan protease yang sifatnya seperti rennet (Hadiwiyoto, 1983). Selain itu jamur R. oryzae mampu menghasilkan asam laktat (Purwoko dan Pamudyanti, 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Midarmadi et al. (2002) R. oryzae menghasilkan asam laktat dengan kualitas yang lebih baik daripada yang dihasilkan oleh bakteri. Pemeraman keju pada umumnya dilakukan pada suhu 150C atau di bawah suhu 150C. Namun pada penelitian ini pemeraman keju dilakukan pada suhu di 4
atas 150C. Hal ini didasari oleh iklim di Indonesia yang tergolong iklim tropis dengan suhu pemeraman sekitar 280C. Dengan melakukan pemeraman keju pada suhu kamar diharapkan dapat menghemat penggunaan listrik untuk alat pendingin (air conditioner). Dari uraian di atas, maka akan dilakukan penelitian tentang pembuatan keju peram menggunakan starter R. oryzae dengan pemberian variasi suhu pemeraman. Selanjutnya akan dilakukan analisis fisik yaitu nilai rendemen (curd); analisis kimia yang meliputi uji kadar air, kandungan protein, lemak, dan kalsium; serta uji tingkat kesukaan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap keju yang dihasilkan.
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat- alat yangdiperlukan dalam penelitian ini meliputi panci, magnetic stirrer, hot plate, neraca analitik, oven, inkubator, erlenmeyer, gelas beker, gelas ukur, pH meter, jarum ose, tabung reaksi, rak tabung reaksi, bunsen burner, termometer, alat press, beban, baskom, botol kaca, kain saring, plastik wrap, aumunium foil, autoklaf, soxhlet, Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), alat pemanas, corong gelas, labu ukur (500 ml), botol timbang, spatula, gelas ukur, gelas piala (100 ml), pipet volumetrik (1 ml; 2 ml; 3 ml; 4 ml), pipet ukur (5 ml dan 10 ml), labu semprot, alat penyaring ukuran pori 0,45 µm, kertas saring, labu Kjeldahl, alat titrasi, dan alat destilasi Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah kultur kerja R. oryzae, media PDA, susu skim, agar-agar warna putih, kapas, alumunium foil, aquades, susu sapi murni yang berasal dari peternak sapi Boyolali, starter, NaCl, pelarut petroleum eter, katalis (K2SO4 : CuSO4 = 20 : 1), asam sulfat (H2SO4) pekat, NaOH, asam borat (H3BO3 1%), indikator mix (metil red : brom cresol green), asam klorida (HCl) pekat, lantan klorida (LaCl3), HClO4, larutan standar induk kalsium, gas asetilin (C2H2), asam nitrat (HNO3) pekat.
5
Cara Kerja 1. Persiapan Persiapan ini meliputi proses sterilisasi bahan dan alat yang akan digunakan dan pembuatan media PDA yang merupakan media untuk pertumbuhan R. oryzae. 2. Pembuatan kultur kerja Kultur kerja adalah kultur R. oryzae yang telah siap digunakan untuk pembuatan starter. Kultur kerja diperoleh dengan meremajakan kultur murni R. oryzae dengan menginokulasikan 1 ose kultur murni R. oryzae ke dalam media PDA miring, kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 6 hari. 3. Pembuatan starter Starter merupakan susu skim yang telah ditumbuhi oleh organisme pembentuk asam yang ditambah dari luar. 4. Pembuatan keju Proses pembuatan keju meliputi proses pasteurisasi, pengasaman, penggumpalan (koagulasi), pengaliran cairan whey (whey sineresis), pemadatan, penggaraman, dan pemeraman keju. 5. Penghitungan Nilai Rendemen Pengujian nilai rendemen dilakukan dengan menghitung prosentase keju yang dihasilkan. Rumus penghitungan nilai rendemen yaitu: % Rendemen = b - (kadar air x b) x 100 % a Keterangan: a = produk awal (berat susu yang digunakan) b = produk akhir (berat keju yang terbentuk) 6. Penghitungan kadar air Kadar air dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: % Kadar Air = (a - b) x 100% a Keterangan: a = berat basah b = berat kering 6
7. Analisis Lemak Untuk mengetahui kandungan lemak keju, dihitung dengan rumus sebagai berikut: % Kadar Lemak = {c - (kadar air x c)} – {b - (kadar air x b)} x 100% a - (kadar air x a) Keterangan: a = berat sampel keju b = berat akhir (sampel dan timbel setelah diekstrak) c = berat awal (sampel dan timbel sebelum diekstrak) 8. Analisis Protein Kadar protein sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus: % Protein =
Z x (N x 14 x 6,38) x 100% W - (kadar air x W) x 1000
Keterangan: W = bobot sampel Z = ml HCl untuk sampel 14 = berat molekul nitrogen
N 6,38
= normalitas H2SO4 = faktor konversi keju
9. Analisis Kalsium Penghitungan kadar kalsium dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar Kalsium (µg/ g) = C x V x fp B (1-K/100) Keterangan: C = Kadar yang didapat dari hasil pengukuran (µg/ ml) V = Volume akhir (ml) fp = Faktor Pengenceran B = Berat sampel (g) K = Kadar Air (%) 10. Uji tingkat kesukaan Uji tingkat kesukaan yang dinilai meliputi warna, rasa, aroma, dan tekstur keju peram. Penilaian dilakukan oleh 20 panelis tidak terlatih. Analisis Data Data yang diperoleh dari analisis nilai rendemen, kadar lemak, potein dan kalsium dianalisis dengan metode Analisis Variasi (ANAVA) untuk mengetahui
7
ada tidaknya pengaruh perlakuan, kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf signifikasi 1% untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan. Data dari hasil uji tingkat kesukaan dianalisis secara deskriptif dengan statistik non parametrik. Friedman Test (Uji Friedman) yang dilanjutkan dengan uji Wilcoxon Signed Rank Test (WSRT) pada taraf signifikasi 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan R. oryzae sebagai pengganti rennet dan bakteri dalam pembuatan keju peram (ripened cheese). Selain itu juga untuk mengetahui kualitas keju peram hasil fermentasi R. oryzae pada suhu pemeraman di atas suhu 150C yang meliputi penghitungan nilai rendemen, kadar air, kadar lemak, kadar protein, dan kadar kalsium serta berdasarkan uji tingkat kesukaan. Susu segar yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari peternak sapi Kabupaten Boyolali. Sedangkan R. oryzae diperoleh dari Fakultas Pertanian UNS Surakarta. A. Pembuatan Keju Jumlah koloni jamur R. oryzae pada starter siap pakai yang digunakan untuk pembuatan keju ini sebanyak 3 ose yang pada penelitian Jamilatun (2008) telah dilakukan penghitungan yaitu 3 ose sama dengan 37x104 cfu/ ml. Jumlah koloni jamur ini sudah memenuhi persyaratan jumlah koloni jamur. Terlalu rendah jumlah koloni jamur (102 cfu/ ml) menyebabkan waktu fermentasi lebih lama. Sedangkan terlalu banyak jumlah koloni jamur yang diberikan (106 cfu/ ml) menyebabkan kematian jamur dalam kondisi prematur (Nout et al., 2005). Bakteri asam laktat mempunyai peranan esensial hampir dalam semua proses fermentasi makanan dan minuman. Peran utama bakteri ini dalam industri makanan adalah untuk pengasam bahan mentah dengan memproduksi sebagian besar asam laktat (bakteri homofermentatif) atau asam laktat, asam asetat, etanol dan CO2 (bakteri heterofermentatif) (Desmazeaud, 1996). Menurut Purwandhani dan Sulandra (2003), asam laktat merupakan hasil dari metabolisme glukosa yang digunakan selama pertumbuhan sel. Jumlah asam laktat semakin meningkat seiring bertambahnya waktu. Meningkatnya produksi 8
asam laktat tersebut ditandai dengan menurunnya pH atau meningkatnya asam akibat timbulnya ion H yang terjadi karena dekomposisi laktosa yang menghasilkan asam-asam yang mudah menguap dan pecahnya fosfat organik yang terdapat dalam kasein sehingga menghasilkan asam (Mc. Kay et al., 1971). Pengukuran pH asam laktat dapat digunakan sebagai salah satu parameter keberhasilan mikroorganisme dalam memanfaatkan media pertumbuhannya (Kusumaningrum, 1996). Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa R. oryzae mampu memfermentasikan susu dalam waktu 8 jam pada suhu 370C yang ditunjukkan dengan perubahan nilai pH yaitu 6,62 (pH awal) menjadi 4,8 (pH akhir) atau terjadi penurunan pH sebesar 1,82. Dalam suatu sistem elektroforesis yang memiliki elektroda positif dan negatif, asam amino akan bergerak menuju elektroda yang berlawanan dengan muatan asam amino yang terdapat dalam larutan. Apabila ion asam amino tidak bergerak ke arah negatif maupun positif dalam suatu sistem elektroforesis maka pH pada saat itu disebut pH isoelektrik. Pada pH tersebut terdapat keseimbangan antara bentuk-bentuk asam amino sebagai ion amfoter, anion, dan kation (Poedjiadi, 1994). B. Penghitungan Nilai Rendemen Penurunan pH karena terbentuknya asam laktat akibat penggunaan substrat fermentasi oleh mikroorganisme membantu mengendapkan ion kalsium (Ca++) yang berperan dalam meningkatkan kecepatan koagulasi dan hasilnya dapat diketahui dengan terbentuknya rendemen (curd) (Murti, 2004). Semakin banyak substrat fermentasi yang digunakan akan semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan. Rata-rata nilai rendemen keju peram starter R. oryzae adalah 7,097%. Pada saat pembentukan curd belum dilakukan variasi perlakuan. Perlakuan yang berbeda dilakukan pada saat penyimpanan/ pemeraman keju. Menurut Widodo (2003), standar rendemen yang terbentuk dalam pembuatan keju antara 4,7-5,7% dari total susu yang diolah. Hal ini berarti bahwa keju peram yang dihasilkan memiliki nilai rendemen yang lebih tinggi dari standar keju pada umumnya. Tingginya nilai rendemen disebabkan karena pembuatan keju peram dilakukan pada suhu inkubasi 370C, yang merupakan suhu optimum pertumbuhan R. oryzae. Suhu inkubasi yang optimum menyebabkan R. 9
oryzae dapat menghasilkan asam laktat dan mensintesis protease secara maksimal, sehingga aktivitas proteolitiknya semakin tinggi. Protease akan merusak misel kasein. Misel kasein yang dipecah akan menghasilkan parakasein dan glikomakropeptida. Parakasein melakukan penggabungan dengan penambahan ion kalsium (Ca++) membentuk kompleks dikalsium parakaseinat yang merupakan koagulan. Ditambahkan Adnan (1984) bahwa terdapatnya asam akan mempengaruhi pembentukan curd. Semakin tinggi kadar asam maka kasein yang menggumpal akan semakin tinggi dan nilai rendemen semakin tinggi juga. Dengan terbentuknya curd
ini menunjukkan bahwa R. oryzae terbukti dapat dipakai
sebagai starter dalam pembuatan keju tanpa dilakukan penambahan rennet. C. Penghitungan Kadar Air Kadar air di dalam keju memiliki peranan dalam proses pematangan keju (Daulay, 1999b). Air di dalam keju berada dalam keadaan terikat di dalam struktur komponen curd, tertahan dalam partikel curd yang bersifat higroskopis, dan bebas, yang berfungsi melarutkan padatan terlarut di dalam curd (Scott, 1981). Air merupakan komponen penyusun utama susu, sebanyak 81-87% volume susu. Kadar air yang tinggi memungkinkan susu sebagai media untuk tumbuh dan berkembangnya bakteri di dalam air susu (Murti, 2002). Hasil penelitian kadar air keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman dapat dilihat pada Tabel 1. Uji DMRT 1% (lampiran 5b) menunjukkan bahwa variasi suhu pemeraman pada pembuatan keju peram starter R. oryzae memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air keju peram (p < 0,01). Tabel 1. Rerata kadar air keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Variasi Suhu Pemeraman Kadar Air (%) Kontrol (Keju Gouda) 18,683a Suhu 150C 39,817b 0 Suhu 20 C 35,650b 0 Suhu 25 C 36,583b Ket: Superskrip berbeda pada rerata menunjukkan adanya perbedaan nyata pada uji DMRT 1%
10
%Kadar Air
40 30 39,817
20 10
35,65
36,583
18,683
Suhu 25 Suhu 20 Suhu15 Keju Gouda
0
Varias i Suhu Pe me raman
Gambar 5. Histogram kadar air keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Jika dibandingkan dengan keju Gouda (18,683%), keju peram yang dihasilkan memiliki kadar air yang lebih tinggi, yaitu mencapai 39,817%. Hal ini disebabkan karena pada keju Gouda diproduksi menggunakan alat pengepres modern yang menyebabkan pengaliran whey (whey sineresis) dapat berlangsung secara optimal sehingga kadar airnya rendah, sedangkan pada keju peram starter R. oryzae dipres menggunakan alat sederhana sehingga belum semua whey dapat keluar. Menurut Sumardjono (1987) kadar air keju peram adalah 36-40%. Sehingga kadar air keju peram yang dihasilkan dalam penulisan ini sesuai dengan standar keju pada umumnya. D. Analisis Lemak Lemak adalah komponen terbesar pada bahan susu yang disebut globula lemak susu. Lemak terdiri dari 98% triasilgliserol (Lopez, 2005). Pada penelitian ini, analisis lemak dilakukan dengan menggunakan metode soxhlet untuk mengetahui kandungan total lemak fermentasi pada keju peram hasil fermentasi R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman. Menurut Aunstrup (1979), R. oryzae merupakan kapang yang mampu menghasilkan enzim lipase untuk merombak lemak media dan dapat dijadikan kandidat untuk produksi lipase dengan aktivitas esterifikasi tertinggi. Ikatan ester trigliserida pada keju oleh enzim lipase R. oryzae dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Hasil penelitian kadar lemak keju peram dengan variasi suhu pemeraman dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa variasi suhu pemeraman 11
pada pembuatan keju peram starter R. oryzae tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar lemak keju peram yang dihasilkan (p > 0,01).
Kadar Lemak (mg/ g)
Tabel 2. Rerata kadar lemak keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Variasi Suhu Pemeraman Kadar Lemak (mg/ g)* Kontrol (Keju Gouda) 529a Suhu 150C 543a 0 Suhu 20 C 504a 0 Suhu 25 C 577a Ket: Superskrip sama pada rerata menunjukkan tidak berbeda nyata * Dihitung dalam berat kering 600 500 400 300 200 100 0
529
543
504
577
Suhu 25 Suhu 20 Suhu 15 KejuGouda
Variasi Suhu Pemeraman
Gambar 6. Histogram kadar lemak keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Kadar lemak dalam susu sapi adalah 302 mg/ g. Pada pembuatan keju peram ini terjadi peningkatan kadar lemak. Hal ini disebabkan karena pada saat proses pembuatan keju terjadi lipolisis yaiu proses terurainya lemak menjadi asam lemak oleh enzim lipase. Enzim lipase dihasilkan oleh R. oryzae. Keju peram yang dihasilkan pada semua suhu pemeraman memiliki kadar lemak yang sama tinggi. Hal ini disebabkan karena energi yang digunakan oleh R. oryzae selama fermentasi untuk pertumbuhannya merupakan hasil dari perombakan karbohidrat yang berupa laktosa susu dan bukan dari lemak. R. oryzae terlebih dahulu menggunakan karbohidrat yang berupa laktosa dan beberapa karbohidrat lainnya untuk pertumbuhannya. Karbohidrat diubah menjadi lemak melalui asetil KoA yang menghubungkan metabolisme karbohidrat dengan sintesis asam lemak. Jika sel tubuh mempunyai glukosa lebih banyak dari energi yang dibutuhkan maka sel akan mengubah sebagian asetil KoA yang diproduksi 12
oleh katabolisme glukosa menjadi sintesis asam lemak (Wibraham dan Matta, 1992). Asam lemak sangat penting bagi tubuh, terutama untuk organ otak. Hal ini disebabkan karena otak merupakan organ yang banyak mengandung lemak. Lemak ada tiga jenis yaitu trigliserida, asam lemak fosfolipid, dan sterol. Dari ketiga jenis tersebut yang merupakan komponen pembentuk sel-sel otak adalah asam lemak fosfolipid. Salah satu asam lemak essensial yang paling penting bagi otak adalah asam dokosaheksanoat (DHA) dan asam arakhidonat (AA). Pembentukan DHA dan AA membutuhkan asupan asam linoleat dan asam linolenat dari luar tubuh. Selanjutnya, enzim akan mengubah asam linoleat menjadi AA dan mengubah asam linolenat menjadi DHA. Dengan melihat betapa pentingnya peran lemak selama proses perkembangan otak anak dan tingginya kadar lemak pada keju peram yang dihasilkan, maka untuk ke depannya keju ini dapat diutamakan untuk dikonsumsi anak-anak. Namun demikian perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai profil asam lemak yang terdapat pada keju peram yang dihasilkan. E. Analisis Protein Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung unsur-unsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992). Protein juga penting untuk keperluan fungsional maupun struktural dan untuk keperluan tersebut komposisi asam-asam amino pembentuk protein sangat penting fungsinya. Oleh karena itu protein mempunyai mutu yang beraneka ragam tergantung sampai seberapa jauh protein itu dapat menyediakan asam amino essensial dalam jumlah yang memadai (Buckle et al., 1987). Setiap orang dewasa harus sedikitnya mengkonsumsi 1 g protein per kg berat tubuhnya. Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl yaitu melalui destruksi total dengan asam keras H2SO4 sambil dipanaskan pada suhu mendidih. Pada metode ini yang diukur adalah protein totalnya. Protein sering dianggap 13
sebagai protein kasar karena dalam penentuan nitrogen di dalam senyawa bukan penentuan protein spesifik, tetapi penentuan protein total (Sudarmadji, 1997). Kadar protein pada susu sapi yaitu 264 mg/ g. Kadar protein setelah mengalami proses pengolahan menjadi keju menjadi menurun karena selama proses fementasi, protein difermentasi sebagai sumber nitrogen bagi R. oryzae dan mikroba lain hasil fermentasi. Hasil penelitian kadar protein keju peram starter R. oryzae dapat dilihat pada Tabel 3. Jika dibandingkan dengan keju Gouda (244 mg/ g), keju peram yang dihasilkan memiliki kadar protein yang lebih tinggi, yaitu mencapai 336 mg/ g pada suhu pemeraman 150C. Uji DMRT 1% (lampiran 7b) menunjukkan bahwa variasi suhu pemeraman pada pembuatan keju peram starter R. oryzae memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar protein keju peram yang dihasilkan (p < 0,01). Tabel 3. Rerata kadar protein keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Variasi Suhu Pemeraman Kadar Protein (mg/ g)* Kontrol (Keju Gouda) 244a 0 Suhu 15 C 336b Suhu 200C 258a 0 Suhu 25 C 235a Ket: Superskrip berbeda pada rerata menunjukkan adanya perbedaan nyata pada uji DMRT 1% * Dihitung dalam berat kering
Kadar Protein (mg/ g)
400 Suhu 25
300
Suhu 20 Suhu15
200 100 0
336 258
244
235
Keju Gouda
Variasi Suhu Pemeraman
Gambar 7. Histogram kadar protein keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Dari penelitian ini diketahui bahwa kadar protein tertinggi terdapat pada keju peram dengan suhu pemeraman 150C. Hal ini disebabkan karena suhu 200C 14
dan 250C mendekati suhu optimum untuk pertumbuhan R. oryzae yaitu 370C (Kuswanto dan Slamet, 1989). Menurut Pelczar et al. (1977), kapang dapat tumbuh dengan baik pada suhu optimum pertumbuhan dengan memperoleh makanan dari substrat, yang dalam penelitian ini berupa protein. Keju peram pada suhu pemeraman 200C dan 250C memiliki kadar protein yang lebih rendah daripada keju peram pada suhu pemeraman 150C karena protein dimanfaatkan oleh kapang untuk pertumbuhannya. Sama halnya dengan hal tersebut, keju peram pada suhu pemeraman 250C memiliki kadar protein yang lebih rendah dari keju peram dengan suhu pemeraman 200C. Winarno (1992) menambahkan bahwa protein yang terdapat dalam bahan pangan mudah mengalami perubahan-perubahan, antara lain: dapat terdenaturasi oleh perlakuan pemanasan, dapat terkoagulasi atau mengendap oleh perlakuan pengasaman, dapat mengalami dekomposisi atau pemecahan oleh enzim-enzim proteolitik, serta dapat bereaksi dengan gula reduksi, sehingga menyebabkan terjadinya warna coklat. Jika dibandingkan dengan keju Gouda yang dibuat dengan starter bakteri asam laktat (BAL) Lactococcus lactis, keju peram starter R. oryzae pada suhu 150C memiliki kadar protein yang lebih tinggi. Menurut Winarno (1986), genus Rhizopus mampu menghasilkan enzim proteolitik yang lebih banyak daripada bakteri, sehingga protein akan dihidrolisis menjadi peptidapeptida, dilanjutkan dengan hidrolisis peptida-peptida oleh peptidase menjadi asam-asam amino yang menyebabkan kadar protein yang dihasilkan juga akan lebih banyak. F. Analisis Kalsium Kalsium adalah mineral yang amat penting bagi manusia, antara lain bagi metabolisme tubuh, penghubung antar syaraf, kerja jantung, dan pergerakan otot. Kalsium merupakan mineral terbanyak pada tubuh manusia yang memiliki beberapa fungsi penting. Lebih dari 99% dari total kalsium tubuh terdapat pada tulang dan gigi, yang berfungsi untuk mendukung struktur tulang dan gigi. Sisanya yang 1% terdapat pada darah, otot, dan cairan antar sel. Kalsium dibutuhkan otot saat berkontraksi, yaitu kontraksi saluran darah dan penyebaran darah ke seluruh tubuh. Selain itu juga berfungsi dalam sekresi hormon dan 15
enzim, serta pengiriman sinyal pada sistem saraf. Kalsium dengan kadar yang konstan pada cairan dan jaringan tubuh berguna agar fungsi vital tubuh dapat berjalan dengan efisien. Hasil penelitian kadar kalsium keju peram starter R. oryzae dapat dilihat pada Tabel 4. Uji DMRT 1% (lampiran 8b) menunjukkan bahwa variasi suhu pemeraman pada pembuatan keju peram starter R. oryzae memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar kalsium keju peram yang dihasilkan (p < 0,01). Keju peram pada suhu pemeraman 250C (2,263 mg/ g) dan keju Gouda (2,434 mg/ g) memiliki kadar kalsium yang tidak berbeda nyata. Sedangkan kadar kalsium pada suhu pemeraman 150C dan 200C memiliki kadar kalsium yang lebih rendah. Tabel 4. Rerata kadar kalsium keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Variasi Suhu Pemeraman Kadar Kalsium (mg/ g)* Kontrol (Keju Gouda) 2,434b Suhu 150C 1,949ab 0 Suhu 20 C 1,338a 0 Suhu 25 C 2,263b Ket: Superskrip berbeda pada rerata menunjukkan adanya perbedaan nyata pada uji DMRT 1% * Dihitung dalam berat kering
Kadar Kalsium (mg/ g)
2,5 2
Suhu 25
1,5 2,434
1
2,263
1,949 1,338
0,5
Suhu 20 Suhu15
0
Variasi Suhu Pemeraman
Gambar 8. Histogram kadar kalsium keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Dari penelitian diketahui bahwa kadar kalsium tertinggi terdapat pada keju Gouda yang merupakan keju komersial. Menurut Reinbold (1999), kalsium dalam
16
keju alami dapat ditingkatkan dengan melakukan penambahan suatu zat tertentu. Selain itu ditambahkan oleh Sucipto dan Sidik (2008) bahwa dalam pembuatan keju Gouda dilakukan proses penambahan (fortifikasi) kalsium klrorida (CaCl2). Jadi tingginya kadar kalsium dalam keju Gouda disebabkan karena penambahan CaCl2. Kadar kalsium keju peram pada suhu pemeraman 150C dan 200C memiliki kadar kalsium yang rendah. Hal ini disebabkan karena pada saat pembuatan keju peram tidak dilakukan fortifikasi CaCl2, sehingga tekstur keju kurang kompak. Tekstur yang kurang kompak ini menyebabkan hilangnya kalsium karena curd ikut terbawa keluar pada saat pengaliran whey (whey sineresis). G. Uji Tingkat Kesukaan Gabungan atribut produk pangan yang dinilai secara organoleptik (warna, tekstur, rasa, dan aroma) disebut mutu bahan pangan. Hal ini digunakan konsumen untuk memilih produk secara total (Astuti, 2002). Uji ini dilakukan terhadap 20 panelis tidak terlatih. Uji yang dilakukan meliputi warna, rasa, aroma, dan tekstur keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman. Panelis diberi kisaran skor 1 sampai dengan 5, yaitu 1 (sangat suka), 2 (suka), 3 (agak suka), 4 (tidak suka), dan 5 (sangat tidak suka). Hasil analisis Friedman menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap keju peram berada pada skala 1-3, yaitu nilai kesukaan sangat suka, suka, dan agak suka. Hal ini berarti bahwa keju peram starter R. oryzae memiliki tingkat penerimaan yang tinggi terhadap panelis. Histogram skor kesukaan terhadap keju peram ditunjukkan pada gambar 9.
17
Gambar 9. Histogram skor tingkat kesukaan panelis terhadap keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Keterangan: Nilai skor 1: sangat suka Nilai skor 2: suka Nilai skor 3: agak suka Nilai skor 4: tidak suka Nilai skor 5: sangat tidak suka 1. Pengaruh Variasi Suhu Pemeraman terhadap Warna Keju Peram Starter R. oryzae Faktor-faktor yang mempengaruhi suatu bahan makanan antara lain tekstur, warna, cita rasa, dan nilai gizinya. Sebelum faktor-faktor yang lain dipertimbangkan secara visual. Faktor warna lebih berpengaruh dan kadangkadang sangat menentukan suatu bahan pangan yang dinilai enak, bergizi, dan teksturnya sangat baik. Maka tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak indah dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya (Winarno, 1992). Tabel 5 menunjukkan bahwa rerata penilaian panelis terhadap warna keju peram dari semua perlakuan variasi suhu tidak menujukkan perbedaan nyata (lampiran 9). Ketiga keju peram yang tebentuk dengan variasi suhu pemeraman memiliki warna putih kekuningan.
18
Tabel 5. Rerata skor uji tingkat kesukaan warna keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Variasi Suhu Pemeraman Uji Kesukaan Warna Kontrol (Keju Gouda) 2.45a 0 Suhu 15 C 2.75a 0 Suhu 20 C 2.48a Suhu 250C 2.32a Ket: Superskrip sama pada rerata menunjukkan tidak berbeda nyata Variasi suhu pemeraman tidak memberikan warna yang berbeda pada keju peram yang dihasilkan karena variasi suhu pemeraman tersebut tidak berperan sebagai zat warna dalam pembuatan keju. Menurut Rahman et al. (1992) warna keju dipengaruhi oleh warna susu yang digunakan, sehingga warna keju peram yang dihasilkan hanya berasal dari warna susu. Keju peram yang dihasilkan berwarna putih kekuningan. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Buckle et al. (1987) yaitu bahwa keju yang dibuat dari susu sapi tanpa pewarna akan menghasilkan keju yang berwarna putih kekuningan. Warna kekuningan tersebut berasal dari pigmen karoten, yang berasal dari pakan hijau yang dimakan sapi, yang larut di dalam lemak. 2. Pengaruh Variasi Suhu Pemeraman terhadap Aroma Keju Peram Starter R. oryzae Aroma dapat didefinisikan sebagai suatu yang dapat diamati dengan indera pembau. Untuk dapat menghasilkan aroma, zat harus dapat menguap, sedikit larut dalam air, dan sedikit larut dalam lemak. Senyawa berbau sampai ke jaringan pembau dalam hidung bersama-sama dengan udara. Penginderaan cara ini memasyarakatkan bahwa senyawa berbau bersifat atsiri (De Mann, 1997). Sama seperti pada rasa, munculnya aroma keju disebabkan oleh komponen volatil yang terbentuk setelah inokulasi mikroba starter yang dapat mengakibatkan perubahan biokimia yang meliputi proteolisis, lipolisis, fermentasi laktosa, dan produksi komponen volatil yang akan mempengaruhi rasa keju (Khalid dan Marth, 1989). Tabel 6 menunjukkan bahwa rerata penilaian panelis terhadap aroma keju peram dari semua perlakuan variasi suhu tidak menujukkan perbedaan
19
nyata (lampiran 10). Ketiga keju peram yang terbentuk dengan variasi suhu pemeraman memiliki aroma yang sama. Tabel 6. Rerata skor uji tingkat kesukaan aroma keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Variasi Suhu Pemeraman Uji Kesukaan Aroma Kontrol (Keju Gouda) 2.35a Suhu 150C 2.65a 0 Suhu 20 C 2.92a 0 Suhu 25 C 2.08a Ket: Superskrip sama pada rerata menunjukkan tidak berbeda nyata Menurut Jamilatun (2008), kandungan lemak di dalam keju sangat mempengaruhi aroma pada keju yang terbentuk. Aroma yang sama pada keju peram yang dihasilkan disebabkan karena ketiga keju peram yang terbentuk pada suhu pemeraman yang berbeda memiliki kadar lemak yang sama (lampiran 6). 3. Pengaruh Variasi Suhu Pemeraman terhadap Tekstur Keju Peram Starter R. oryzae Tekstur adalah faktor kualitas makanan yang paling penting sehingga memberikan
kepuasan
terhadap
kebutuhan
konsumen.
Konsumen
menghendaki makanan yang mempunyai rasa dan tekstur yang sesuai dengan selera yang dia harapkan, sehingga pentingnya nilai gizi biasanya ditempatkan pada mutu, setelah harga, tekstur, dan rasa (Sofyan, 2003). Sedangkan yang dimaksud dengan tekstur keju menurut Daulay (1991b) adalah struktur kekompakan keju. Tabel 7 menunjukkan bahwa rerata penilaian panelis terhadap tekstur keju peram dengan variasi suhu pemeraman tidak menunjukkan perbedaan nyata (lampiran 11). Keju peram yang terbentuk memiliki tekstur padat berongga.
20
Tabel 7. Rerata skor uji tingkat kesukaan tekstur keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Variasi Suhu Pemeraman Uji Kesukaan Tekstur Kontrol (Keju Gouda) 2.42a 0 Suhu 15 C 2.95a 0 Suhu 20 C 2.53a Suhu 250C 2.11a Ket: Superskrip sama pada rerata menunjukkan tidak berbeda nyata Tekstur berongga yang terbentuk disebabkan karena aktivitas R. oryzae yang merupakan mikroba heterofermentatif yang dalam jalur metabolismenya menghasilkan CO2, asam laktat, etanol, dan sedikit asam lain (Schlegel dan Schimdt, 1994). Keju peram yang terbentuk memiliki tekstur rapuh. Hal tersebut disebabkan karena keju peram yang dihasilkan memiliki kadar kalsium yang rendah. Rendahnya kadar kalsium pada keju peram menyebabkan protein keju tidak diikat secara kuat oleh kalsium. 4. Pengaruh Variasi Suhu Pemeraman terhadap Rasa Keju Peram starter R. oryzae Menurut Astuti (2002), rasa adalah sensasi dari kombinasi bau dan cicip. Ditambahkan oleh Sofyan (2003) bahwa rasa merupakan faktor yang cukup penting dari suatu produk makanan. Komponen yang dapat menimbulkan rasa yang diinginkan tergantung senyawa penyusunnya. Umumnya bahan pangan tidak hanya terdiri dari satu macam rasa, melainkan dari bermacam rasa yang terpadu sehingga menimbulkan cita rasa makanan yang utuh. Perbedaan penilaian panelis terhadap rasa dapat diartikan sebagai penerimaannya terhadap flavour atau cita rasa yang dihasilkan oleh kombinasi bahan yang digunakan. Munculnya rasa pada keju disebabkan oleh komponen volatil yang terbentuk setelah inokulasi mikroba starter karena pada saat inokulasi mikroba terjadi perubahan biokimia yang meliputi proteolisis, lipolisis, fermentasi laktosa, dan produksi komponen volatil yang akan mempengaruhi rasa keju (Khalid dan Marth, 1989). Ditambahkan oleh Maeda (2003) bahwa R. oryzae
21
merupakan kapang yang menghasilkan fosfolipase, lipase, protease, dan amiloglukosidase. Variasi suhu pemeraman ternyata menghasilkan rasa yang berbeda dari keju peram yang dihasilkan. Tabel 8 menunjukkan besarnya rerata penilaian panelis terhadap rasa keju peram. Uji WSRT 5% pada rasa keju peram dengan variasi suhu pemeraman menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan (lampiran 12b). Tabel 8. Rerata skor uji tingkat kesukaan rasa keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Variasi Suhu Pemeraman Uji Kesukaan Rasa Kontrol (Keju Gouda) 1.92a 0 Suhu 15 C 3.10b 0 Suhu 20 C 3.05b Suhu 250C 1.92a Ket: Superskrip berbeda pada rerata menunjukkan adanya perbedaan nyata pada uji WSRT 5% Rasa yang lebih disukai panelis adalah keju peram dengan variasi suhu pemeraman 250C. Rasa keju peram pada suhu 250C ini memiliki skor yang sama dengan rasa pada keju Gouda. Hal ini menurut Kosugi dan Azuma (1994) disebabkan karena bahwa asam lemak dan ester asam lemak berantai pendek yang dihasilkan R. oryzae bermanfaat sebagai senyawa aromatik penyedap rasa. Selain itu pemecahan lemak juga diyakini merupakan reaksi kimia penting dalam pengembangan cita rasa dalam pembuatan keju dari susu sapi (Chapman, 1990). Keju peram pada suhu pemeraman 250C memiliki rasa yang paling disukai karena keju ini memiliki kadar lemak yang paling tinggi (Tabel 2). Selain itu juga disebabkan karena pada suhu pemeraman 250C terjadi proses proteolisis yang paling tinggi, sehingga asam-asam amino ini dapat mempengaruhi cita rasa keju peram yang dihasilkan. Ditambahkan oleh Rusmono dkk (2000) bahwa dalam teknologi bahan makanan, asam amino mempunyai sifat yang menguntungkan. Salah satunya yaitu asam glutamat yang dapat menimbulkan rasa yang lezat. Gugus glutamat akan bergabung dengan senyawa lain menghasilkan rasa enak tersebut. Rasa juga dipengaruhi oleh aktivitas mikroba lain hasil fermentasi.
22
Dengan melihat penilaian panelis secara keseluruhan pada uji tingkat kesukaan tersebut dapat dilihat bahwa keju peram starter R. oryzae yang paling disukai baik dari segi warna, aroma, tekstur, dan rasa adalah keju peram pada suhu pemeraman 250C. H. Potensi R. oryzae dalam Pembuatan Keju Peram Dengan melihat nilai rendemen keju peram yang dihasilkan, yaitu sebesar 7,097% membuktikan bahwa R. oryzae memiliki kemampuan sebagai pengganti peran rennet dan bakteri dalam pembuatan keju peram (ripened cheese). Selain itu hasil analisis nilai gizi keju peram yang meliputi kadar air, kadar lemak, kadar protein, dan kadar kalsium serta tingkat kesukaan dapat membuktikan bahwa keju peram hasil fermentasi R. oryzae berpotensi sebagai bahan pangan alternatif. Hasil secara keseluruhan mengenai nilai gizi dan tingkat kesukaan keju peram yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rerata nilai gizi dan skor uji tingkat kesukaan keju peram starter R. oryzae dengan variasi suhu pemeraman Perlakuan
Kadar
Kadar
Kadar
Warna
Aroma
Tekstur
Rasa
Lemak
Protein
Kalsium
Suhu 150C 0,543a
0,336b
1,949ab
2.75a
2.65a
2.95a
3.10b
Suhu 200C 0,504a
0,258a
1,338a
2.48a
2.92a
2.53a
3.05b
Suhu 250C 0,577a
0,235a
2,263b
2.32a
2.08a
2.11a
1.92a
Dari Tabel 9 dapat diketahui bahwa keju dengan suhu pemeraman 250C memiliki tingkat penerimaan terhadap panelis yang cukup tinggi dan juga nilai gizi yang cukup baik, yaitu memiliki kadar kalsium tertinggi. Hal ini berarti keju pada suhu pemeraman 250C merupakan keju yang memiliki kualitas terbaik. KESIMPULAN 1.
R. oryzae terbukti dapat dipakai sebagai starter dalam pembuatan keju tanpa dilakukan penambahan rennet karena mampu membentuk curd sebesar 7,097%.
2.
Keju dapat diperam pada suhu pemeraman di atas suhu 150C dengan kualitas keju yang baik, yaitu pada suhu 200C dengan kadar lemak 504 mg/ g, kadar
23
protein 258 mg/ g, dan kadar kalsium 1,338 mg/ g; pada suhu 250C dengan kadar lemak 577 mg/ g, kadar protein 235 mg/ g, dan kadar kalsium 2,263 mg/ g. DAFTAR PUSTAKA Adnan, M. 1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Andi Offset, Yogyakarta. Aunstrup, K. 1979. Production, Isolation and Economic of Extracellular Enzymes in: L. E. Wingard, E. K. Katzir and Goldstein (Eds). App. Biochem. Bioengineering Enzymes Tech. Academic Press, New York. Astuti, S. 2002. “Tinjauan Aspek Mutu dalam Industri Pangan”. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M.Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh: Hari Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Buckle, K. A. R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh: Hadi Purnomo dan Adiono. UI Press, Jakarta. Chapman, H. R. and Sharpe M. E. Microbiology of Cheese. 1990. Dairy Microbiol. 2: 203-290. Daulay, D. 1991b. Fermentasi Keju. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. De Mann, J. M. 1997. Kimia Makanan. Penerbit ITB, Bandung. Desmazeaud, M. 1996. Lactic Acid Bacteria in Food: Use and Safety. Cahiers Agricult. 5 (5): 331-342. Dirjen Peternakan. 2003. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan Deptan, Jakarta. Hadiwiyoto, Soewedo. 1983. Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty, Yogyakarta. Jamilatun, Makhabbah. 2008. Uji kandungan Lemak dan Protein Keju Cottage dengan Starter Rhizopus oryzae Setelah Penambahan Asam dan Pemanasan Saat Koagulasi. Skripsi. Fakultas MIPA UNS, Surakarta. Khalid, N. M. and Marth. 1989. Enzyme Activities of Lactic streptococci and Their Role in Maturation of Cheese. J. Dairy Science. 73: 2669-2684.
24
Kosugi, Y. and N. Azuma. 1994. Synthesis of Triacylglycerol from Polyunsaturated Fatty Acid by Immobilazed Lipase. J. of Am. Oil Chem. Soc. 71 (12): 1397-1403. Kusumaningrum, H. D., M. Anggraeni, dan A. Saefuloh. 1996. Peningkatan Kadar Vitamin B12 dalam Yoghurt Ubi Jalar dan Kacang Merah melalui Kombinasi Sarter Yoghurt dengan Propionibacterium freudenchii. J. Ilmu dan Teknologi Pangan. 1 (1): 34-39. Kuswanto, R. K., Sudarmadji, Slamet. 1989. Mikrobiologi Pangan. UGM, Yogyakarta. Lopez, C. 2005. Focus on The Supramolecular Structure of Milk Fat in Dairy Product. Reprod. Nutr. Dev. 45: 497-511. Mc. Kay, L. L., W. E. Sandine, and P. R. Elliker. 1971. Lactose Utilization by Lactic Acid and Bacteria. J. Dairy Science. 37: 493. Midarmadi, S., Sadeghi, H., Sharafi, N., Falah Pour, M., Mihseni, F., dan Bakhtiari, M. R. 2002. Comparison of Lactic Acid Isomers Produced by Fungal and Bacterial Strain. J. Iran Biomed. 6 (2&3): 69-75. Murti, T. W. 2002. Pasca Produksi Susu dan Tata Lingkungan Usaha Persususan. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. Murti, T. W. 2004. Aneka Keju. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. Nout, M. J. R. dan J. L. Kiers. 2005. Tempe Fermentation, Innovation, and Functionality: Update into the Third Millenium. J. App. Microbiol. 98: 789-805. Nurhidayati, T. 2003. Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain dan Suhu Fermentasi terhadap Kualitas Keju Cottage. KAPPA 4 (1): 13-17. Pelczar, M. J., R. D. Reid, dan E. C. S. Chan. 1977. Microbiology. Mc. Graw Hill, New York. Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. UI Press, Jakarta. Purwandhani, S. N. dan M. Sulandra. 2003. Optimasi Produk Biomassa Bakteri Asam Laktat Lactobaccilus acidophilus SNP 2 pada Media Air Kelapa dengan Berbagai Konsentrasi Ekstrak Tauge. Prosiding Seminar Nasional PATPI : 256-262. Purwoko, T. dan I. R. Pramudyanti. 2004. Pengaruh CaCO3 pada Fermentasi Asam Laktat oleh Rhizopus oryzae. J. Mikrobiologi Indonesia. 9: 19-22.
25
Rahman, A., Srikandi F., Winiati P. R. dan C. C. Nurwitri. 1992. Teknologi Fermentasi Susu. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Reinbold, R. S., Willits, R. E., dan Desmidt, K. M. 1999. Calcium Enriched Natural Cheese. Sargento Foods Inc., United States. Rusmono, M., I. S. Setiasih, dan Jamaludin. 2000. Kimia Bahan Makanan. Universitas Terbuka, Surakarta. Saleh, Eniza. 2004. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Schlegel dan Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Diterjemahkan oleh: Prof. Dr. R. M. Tedjo Baskoro. UGM Press, Yogyakarta. Scott, R. 1981. Cheese Making Practise. Applied Science Publication Ltd., London. Sofyan, H.M. I. 2003. Pengaruh Suhu Inkubasi dan konsentrasi Inoklulum Rhizopus oligosporus terhadap Mutu oncom Bungkil Kacang Tanah. Infomatek. 5 (2): 74 – 86. Sucipto dan Sidik F. Q. 2008. Identifikasi Halal Control Points HCP Studi Kasus Keju Gouda. http://halalhealth.multiply.com/journal/item/36/Identifikasi_ Halal_Control_Points_HCP_Studi_Kasus_Keju_Gouda [19/06/2009]. Sudarmadji, S. 1997. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Sumarjono, H. 1987. Kapita Selekta II Susu dan Hasil Olahannya. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Wibraham, A. C. dan M. S. Matta. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. ITB, Bandung. Widodo. 2003. Mikrobiologi Pangan dan Industri Hasil Ternak. Lactica Press, Yogyakarta. Winarno, F. G. 1986. Enzim Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
26