AL-JAM'IYATUL l-VASHLlYAH DAN MODERNISASJ. PENDIDIKAN ISLAM DI SUMATERA UTARA Oleh: Muaz Tanjung Abetrak
Bidang pendidikan dan sosial-keagamaan juga tidak: luput dari perhatian umai Islam pada uakiu itu. Pada tahull 1905 maSYllrakat Arab di Jakarta mendtrikan Jamiat Khair dan pada tahun 1913 didirikan pula al-Irsyad. Pada tahun 1911 para ulama di A1ajalengka - Jawa Barai mendirikan Persqarikatan lllama. Pada iahun 1912 K.If. Ahmad Dahiun mendirikan organisasi Muluwzmadiyah di Yogyakarta. Pada awal tahun 1920-an umat Islam di Bandung mendirikan organisCisi Persaiuan Islam dan pada tahun 1926 para ulama di Surabaya menditikan organisasi Nahdhatul lllama (Hasan Asai'i, 2002: 195-225). Sedangkan di Medan sel'Uah organisasi yang meniberikan perlzatian tethadap masalal: pendidikan dan sosial keagantaan didirikan olen para pelajar. Organisasi tersebut dideklamsikan pada tahun 1930 dan diberi nama al-!am'iyahtl Washliyaiz. AI-Jam'iyatul Wa:;hliyah adalah sebuah organisasi ytlng berawal dari 'Debating Cluj',' yang dibeniuk oleh murid-murid Maktah Islamiyah Tapanuli. Melalui majeUs tarbiyah yang dibentuk, o~~anisasi ini mengaciakan modernisasi peudidikan di madrasahmadrasali dan sekolah yang didirikan. Kata Kunci : AI-Jam'iyatul Washliya/z, pendidikan, madrasah.
Pendahuluan Bangsa-bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam, umumnya tinggal di negeri-negeri yang sedang berkembang. Bangsabangsa ini menyadari ketertinggalan mereka dari negeri-negeri yang telah maju terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Deliar Noer, 1991: 1). Sejak awal abad ke-:W semangat kehangsaan dan keinginan untuk memperbaiki hidup di kalangan rnasyarakat Indonesia
III
112 semakin tumbuh. Untuk memperjuangkan kepentingan mereka itu, umat Islam Indonesia membentuk berbagai organisasi. Di bidang politik, pada tahun 1911 umat Islam di Solo mendirikan organisasi Sarekat Islam. Selaniutnya pada tahun 1930 di Minangkabau didirikan Persatuan Muslimin Indonesia dan pada lahun 1938 berdiri pula Partai Islam Indonesia (Deliar Noer, 1991: 176). Bidang pendidikan dan sosial-keagamaan juga tidak luput dati perhatian umat Islam pada waktu itu. Pada tahun 190:' masyarakat Arab di Jakarta mendirikan [amiat Khair dan pada tahun 1913 didirikan pula al-Irsyad. Pada tahun 1911 para ulama di Majalengka - [awa Barat mendirikan Persyarikatan Ulama, Pada tahun 1912 K.H. Ahmad Diililan mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Pada awallahun 1920-an umat Islam di Bandung mendirikan organisasi Persatuan Islarn dan pada tahun 1926 para ulama di Surabaya mendirikan organisasi Nahdhatul Ulama (Hasan Asari, 2002: 1%-225). Sedangkan di M:edan sebuah organisasi yang memberikan psrhatian terhadap masalah pendidikan dan sosial keagamaan didirikan oleh para pdajar. Organisasi lersebut dideklarasikan pada tahun 1930 dan diberi nama al[am'iyatul Washliyah. Tulisan ini mencoba menelusuri modernisasi pendidikan [slam yang dilakukan oleh al-jam'iyatul Washliyc,h.
Kon.disi
Sumatera
Timur
Sebelum
Berdirinya
al-jam'iyatul
WaEihliyah Sejak dibukanya perkebunan tembakau di kota Medan pada paruh kedua abad ke-19, Medan telah menjadi kota yang penduduknya heterogen. Kebutuhan akan pekerja telah mengharuskan pemerintah kolonial mendatangkannya dan luar daerah, dengan pilihan utama pada etnis Cina dan [awa. Keberadaan perkebunan ini mendorong perekonomian dan pada gilirannya memancing perpindahan penduduk yang lebih banyak lagi (Hasan Asari, 2002: 233). Kemajuan yang dicapai perkebunan ini menyebabkan jurnlah penduduk terns merdngkat pesat. Pada tahun 1905 penduduk Medan masih beriumlah 14.000 jiwa, sedangkan pada tahun 1918 penduduk Kota Medan telah berjurnlah
1
I
113 sekitar 43.826 jiwa. Mereka terdiri dari masyarakat Indonesia dari berbagai suku sebanyak 3.3.009 jiwa, Eropa 409 jiwa, Cina 8269 jiwa danTimur Asing 139 jiwa. Penduduk yang sekian hanyak itu menganut berbagai agama, di antaranya Islam, Kristen, Hindu dan Buddha (Tengku Luckman Sinar, 1991: 58). Keberadaan perkebunan iru mendorong tumbuhnya perekonomian yang pada gilirannya mengundang perpincahan penduduk yang Iebih banyak Iagi. Di samping buruh perkebunan yang didatangkan secara terencana oleh kolonial Belanda, psndatar.g ke tanah Deli ini terutama berasal dari daerah-daerah yang bertetangga, seperti Minangkabau, Mandailing, Karo dan Aceh. Sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 1930 -tahun berdirinya al-jam'iyatul Washliyah- menunjukkan bahwa 6!;,5% dari penduduk Sumatera Timur adalah pendatang, dengan etnis jawa 25 % dan Cina l1,4~b menempati persentase tertinggi (Chalidjah Hasanuddin, 1988: B). Dengan demikian, pada awal abad ke-20 di Sumatera 'I'imur telah terbentul; satu masyarakat yang sangat heterogen dengan belasan bangsa dan suku bangsa -Belanda. Cina, Arab, India, Melayu, [awa, Batak Toba, Karo, Mandailing, Pak-Pak, Aceh, Minang, Sunda, dan lain-lain. Mereka menggunakan berbagai bahasa dan memeluk beragam agama (Hasan Asari, 2002: 234). Di bidang pendidkkan. pada awal abad ke-20 lahir suatu gerakan Poltitik Etis yang menentang politik eksploitasi materialistis pada masa silam. Dengan Iahirnya gerakan politik ini, perlatian pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan semakin besar. Pada masa pemerintahan Gubemur Jenderal Van Houtz (1~107) sekolahsekolah desa mulai didirikan. Hal ini terjadi karena di lingkungan gubernur jenderal itu banyak orang-orang yang berhaluar. etika. Selain itu didirikannya sekolah-sekolah tersebut karena kebutuhan pemerintah Belanda terhadap pegawai rendahan yang malin mendesak (Masjkuri dan Sutrisno Kutoyo,1980: 4t1). Sekolah-sekolah tersebut tidak mengajarkan pendidikan agama, yan: diajarkan adalah membaca, menulis, berhitung, bahasa Belar.da, sejarah. ilmu bumi dan mata pelajaran umum lainnya (Tengku Luckman Sinar, ]991: 77).
s
114 Pendidikan agama pada saat itu masih berlangsung di me~id atau di rumah guIU. Pada tahun 1918 baru berdiri sebuah lembaga pendidikan Islam yang diberi nama Maktab Islamiyah Tapanuli (\fiT). Menurut Asari maktab tersebut signifikan dalam dua hal, pertama, ia adalah lembaga pendidikan Islam formal pertama di Medan: k.:!dua, berclirinya al-jam'iyatul Washliyah adalah gagasirn dari para alumni Maktab tersebut (Hasan Asari, 2002: 234). Keadaan inilah yang perIu merjadi perhatian dalam membicarakan lahirnya organisasi AI. [amiyatul Washliyah dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya. Kegiatan pendidikan di MIT kelihatannya mencoba menggabungkan sistem tradisional dan moderen. Dari segi isi, apa yang diajarkan eli MIT tidak jauh berbeda dari pesantren-pesantren tradisional. Mulanya MIT tidak mengenal jenjang pendidikan. Murid, mudd hanya belajar, pindah dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Pembagian jenjang pendidikan baru dilakukan pada tahun 1935. Sejak tahun itu pula dilaksanakan ujian dan pembagian rapor. Jenjang pendidikan tersebut adalah tajh3z3: ibtid±'3, tsamaw', dan qism al·'ali (Abu Bakar Ya'qub, 19). Sepr.luh tahun setelah berdirinya (1928), para alumni dan murid senior MIT mendirikan 'Debating Club' sebagai wadah untuk merdiskusizan pelajaran maupun persoalan-persoalan sosial keagamaan yang sedang berkembang di tengah masyarakat (Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah, 1956: 36). Debating Club kelihatannya cukup berhasil dalam program-programnya dan dipandang sangat berrnanfaat, sehingga ada keinginan di kalangan eksponennya untuk mercari kemungkinan peran yang lebih signifikan dalam perkembangan masyarakat dan perobahan yang terus terjadi. Untuk tujuan ini, para anggota Debating Club merasakan perlunya wadah organisasi yang lebih besar dari sekedar kelompok diskusi, Lalu upaya ke arah ini mulai dirintis, hingga sebuah organisasi terwujud dan secara resmi berdiri pada 30 Nopember 1930, itulah aI-Jam'iyatul Washliyah (Pengurus Besar AI DjamijatulWashlijah, 1956: 405).
115
, I
·•
Aktivitas Utama al-Iam'iyatul Washliyah Sebuah program kerja al-Jam'iyatul Washliyah yang disusun pada rnasa awal berdirinya mencakup: tabllgh (ceramah agarna); tarbiyah (pengajaran); pustaka/penerbitan: fatwa; penyiaran; urusan anggota; dan tolong menolong (Chalidjah Hasanuddin, 1988: 36). Dalam rangka operasionalisasi program-program ini dibentuklah majelis-majelis. Adapun majelis-majelis yang digerakkan untuk intensifikasi kerja ialah majelis tabligh, yaitu majelis yang mengurus kegiatan dakwah Islam dalam bentuk ceramah: rnajelis tarbiyah yaitu yang mengurus masalah pendidikan dan pengajaran, majelis Studies Fonds yaitu majelis yang mengurus beasiswa untuk pelajar-pelajar di luar negeri; majelis fatwll yaitu majelis yang mengeluarkan fatwa mengenai masalah so sial yang belum jelas status hukumnya bagi masyarakat; majelis Hazanatul Islamiyah, yang mengurus dana bantuan sosial untuk anak yatim piatu dan fakir miskin, dan rnajelis penyiaran Islam di daerah Toba (Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah, 1956: 296-340). Dalam ksssmpatan ini penulis akan lebih fokus pada aktivitas yang dila kukan oleh majelis tarbiyah. Hal ini dimaksudkan untuk melihat inovasi pendidikan Islam yang dilakukan al-Iam'iyatul Washliyah di bidang pendidikan.
1. Gedung Madrasah dan Ienjang Pendidikan t •·
1
Lembaga pendidikan pertarna sebagai hasil kerja Majelis Tarbiyah, baru berdiri pada tahun 1932, di daerah Petisah Medan. Maktab Djamijatoel Washlijah, demikian nama lembaga ini, sudah ditata dengan sistem klasikal. Setahun kemudian (1933) berdiri pula enam unit madrasah yang baru. terletak di kota Matsum, Sei. Kerah, Kampung Sekip Sikambing Weg, Glugur, Pulau Brayan Darat, dan Taniung Mulia. Pada tahun itu pula disepakati pemeriksaan ke sekolahsekolah yang ada, sedangkan pemeriksanya adalah guru-guru sekolah tersebut dengan cara periksa silang, artinya guru dari satu madrasah merneriksa ke madrasah lainnya (Pengurus Besar Al Djarnijatul
Washlijah, J956: 41-42).
116 Pada tahun berikutnya (1934), al-Jam'iyatul WashIiYah mempunyai beberapa agenda kegiatan, penama, bulan [anuari 1934 meresmikan madrasah di samping Mesjid Raya Medan. Kedua, menetapkan bulan Syawal sebagai awal tahun pelajaran, ini juga merupakan inovasi yang dilakukan oleh al-lam'iyatul WashliYah, karena pada masa sebelumnya murid bebas untuk mendaftar kapan saja. Ketiga, pada bulan Maret 1934 meresmikan dua unit madrasah yang berasal dari madrasah Ittihadul Islamijah Labuhan Deli menjadi madrasah al-Jam'iyatul Washliyah. Keempat, membuka madrasah khusus untuk anak-anak yatim dan fakir miskin. Pada tanggal1 April 1934 madrasah untuk anak yatim dan fakir miskin tersebut diresmikan dengan menempati gedung sementara di madrasah al-Iam'iyanj Washliyah yang terletak di samping Mesjid Raya. Program ini mendapat perhatian yang cukup besar dari umat Islam, sehingga due bulan kemudian murid-muridnya sudah bisa menempati gedung barn berukuran 8m x 20m, terletak di jalan Ismailiyah Medan. Kelima, pada bulan 12 Rabi'ul awal 1353H bertepatan dengan 25 [uni 1934, murid. murid madrasah al-Iam'iyatul Washliyah dikenalkan dengan satu kegiatan insidental yang baru pertama kali dilaksanakan, yaitu pawai, Pada masa sebelumnya pawai dilaksanakan untuk memperingati hari lahir Ratu Wilhelmina tanggal 31 Agustus, namun pada tahun ini al[am'iyatul Washliyah mengadakan pawai untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW (Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah, 1956: 45-47). Pada tahun 1939 momen pawai itu diubah menjadi bulan Zulhijjah, pada saat berangkat menuju lokasi shalat 'Idul Adha sambil bertakbir (Pengurus Besar AI Djamijatul Washlijah, 1956: 101). Dengan semakin bertambahnya madrasah-madrasah al[am'iyatul Washliyah, maka pada tanggal17 [anuari 1935, berdasarkan amanah konperensi guru-guru al-jam'iyatul Washliyah, ditetapkanlah tiga orang pemeriksa madrasah (mufattisy khususi dan mufattisy umuml), yaitu : a. Abdurrahman Onderwyzer, sebagai mufattisy khususi daerah Medan, labuhan Deli dan Belawan b. H.M. Djamil Dahlan, sebagai mufattisy khususi daerah Serbelawan,
II? Pematang Siantar, Tanjung Balai, Aek Kanopan dan Labuhan Bilik. c. M. Deli, sebagai mufattisy khususi daerah Batak landen. d. Kadhi Ilyas sebagai mufattisy umumi (Pengurus Besar AI Djamijatul Washlijah, 1956: 57). Secara bertahap al-jam'iyatul Washliyah membuka madrasah mulai dad tingkat dasar sampai dengan menengah. Madrasah yang dibuka mulai dad jenjang tajhizi, ibtida'i, tsanawi dan al-qismul 'ali. Selain itu ada pula yang disebut dengan mu' allimin, yaitu madrasah untuk calon guru. Sedangkan sekolah berbahasa Belanda yang dibuka adalah HIS di Porsea pada tahun 1934 dan pada tahun 1938 dibuka pula di Medan. Dalam kurikulum HIS dimasukkan pelajaran agama, dan untuk menunjukkan bahwa sekolah dasar ini tetap berlandaskan agama, maka di ujung HIS ditambah kata-kata "met de Quran." Di samping itu sekolah dasar umum berbahsa Melayu, Volkschool dan Vervolgschool (5. Nasution, 1995: 77, 81) didirikan pula oleh organisasi ini di beberapa cabangnya (Chalidjah Hasanuddin, 1988: 87). Tabell Jenjang Pendidikan di Madrasah al-Iam'iyatul Washliyah (Masjkuri dan Sutrisno Kutoyo, 1980: 59-60) JENJANG PENDIDIKAN LAMA BELAJAR NO.
1. 2. 3. 4. 5.
6. 1. 2. 3. 4. 5.
Madrasah Diniyah : Tajhizi Ibtida'j Tsanawi AI-Qismul'AIi Moe'a/limim Moe'allimat Sekolah Umum dan Agama Dewi HIS Schakel Volkschool Vervolaschool
2Tahun 4Tahun 4Tahun 3Tahun 4Tahun 4Tahun 5Tahun 7Tahun 4Tahun 3Tahun 4Tahun
118
Sejak tahun 1935 al-}am'iyatul Washliyah telah mengadakan ujian umum yang disebut dengan imtihan umumi. Pada imtihan umunu, peserta imtihan dari berbagai daerah dikumpulkan di satu tempat. Biasanya imtihan umumi itu dillaksanakan di Medan, tetapi pernah juga di Perbaungan. Binjai, dan Lubuk Pakam (Pengurus Besar AI I1amijatu1Washlijah,1956:2~.
Pada tahun 1938 se1uruh madrasah al-jam'iyatul WashliYah jenjang ibtida'i mengadakan imtihan untuk pertama kalinya di Medan, tetapi tidak semua madrasah mengirimkan peserta, karena kesulitan biaya transportasi ke Medan. Tabel2. Peserta lmtihan Murid-Murid Madrasah Ibtida'i al-Iam'iyatul Washliyah Tahun 1938
No.
1. 2. 3.
4.
Wilavah Kota Medan Deli Simalungun P. Siantar Simalungun Bilah Pane Labuhan Bilik Jumlah Lulus
lk
Pr
Jrnlh
42 4 7
15 5
57
2
3 23 20
7 5 78 58
55 38
-
0/0
9
74,38
Untuk memudahkan murid dalam mengikuti imtihan umumi, maka pada tahun 1940 al-Iam'iyatul Washliyah mengadakan perubahan lokasi imtihan berdasarkan wilayah. Mereka dapat mengikuti imtihan di wilayah tempat mereka tinggal atau di wilayah terdekat (Chalidjah Hasanuddin, 1988: 91). Berdasarkan konperensi guru-guru pada tahun 1935, ditetapkan setiap madrasah al-jam'iyatul Washliyah mempunyai kewajiban tertentu terhadap organisasi, yaitu: • Semuoea pendapatan dari madrasah diperiksa oleh pengawas dan kemoedian ditaksir, dan sebagian diserahkan kepada Pengoeroes Besar melalui Pengoeroes Tjabang. • Semoea keperloean madrasah diambil dati Pengoeroes Besar seperti
119
kitab-kitab dan alat administrasi, tidak dibenarkan dibeli dari loear (Chalidjah Hasanuddin, 1988: 94). Tabe13. Sebaran Madrasah dan Sekolah Al-Iam'iyatul Washliyah Tahun 1935-1941 (Hasballah Thaib, 1993: 38)
~-
Jenjang Madrasah Sekolah Wilayah
No.
.c III
'N
~ III
7.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 2.
Aceh Angkola (Sipirok) Batu Bara Bilah Pane Deli Karo Kualuh Langkat Mandailing Pd. Bedagai Porsea Serdang Simalunoun Siak
-Ill "C
.~ III
c:
III
~
15 0
.c
c: 15 .c u 0 '3 .c E u ~ III III III 15
a•
.-·s-Ill ::I
~
j
U
en ii
en
E 0
m I a h
~ 3: Z 4 4 - · · - · - - 8 6 5 - · · - - - - 11 6 4 - - - - 3 . - 13 8 5 - - - · 5 2 - 20 14 28 1 11 1 1 · - . 56 6 5 - - - · 1 - - 12 14 11 - - - · - - - 25 7 6 · - - - - - - 13 7 5 · - - - · - - 12 6 2 · - · - - - - 8 6 4 - - - 1 2 1 - 14 6 5 1 · - · - - - 12 10 7 1 - - - 2 1 1 22 11 7 1 - - - - . - 19 t-
1. 2. 3. 4. 5. 6.
.-
-8
.-
J u
~
:e
~ Ci ::E
Guru
Al-Jam'iyatul Washliyah mengharuskan guru-guru yang mengajar di madrasahnya menjadi anggota organisasi tersebut. Hal ini sesuai dengan peraturan khusus yang dibuat oleh Majelis Tarbiyah. Selain itu al-Iam'iyatul Washliyah juga mengadakan ujian kepada guru-
120 guru yang akan mengajar di madrasahnya. Pengujinya adalah Syekh Hasan Maksum, seorang ulama terkemuka di Sumatera Timur dan merupakan mufti Kesultanan Deli. Kepada guru-guru yang lulus, diberikan surat izin mengajar yang ditandatangani oleh Syekh Hasan Maksum bersama Sultan Amaluddin Sarti. Pada tahun 1934 sebanyak 25 orang guru yang diuji (Hasballah Thaib, 1993: 53, 59). Pada beberapa 1935, al-Jam'iyatul Washliyah beberapa kali menga-dakan mutasi guru berdasarkan surat Keputusan Majelis Tarbiyah. Pada tanggal 1 Maret 1935, Adam Lubis dimutasikan dari Aek Kanopan menjadi kepala madrasah di Labuhan Bilik. Tanggal 5 April 1935, M. Husni dimutasikan dari Sei Kerah menjadi kepala madrasah di Titi Kuning, dan pada tanggal 21 April 1935, M. Saad ditetapkan sebagai guru di madrasah jalan Radja menggantikan Baharuddin Ali. Untuk meningkatkan keterampilan guru dalam mendidik siswa, al-jam'iyatul Washliyah mengadakan kursus bagi guru-guru. Kursus ini pertama kali dilaksanakan pada tahun 1935-1936, diadakan sekali seminggu dengan peserta 70 orang. Angkatan kedua tahun 1936-1938 dengan peserta 50 orang, di antaranya terdapat peserta putri 9 orang. Angkatan ketiga tahun 1938 dengan peserta 4 orang (Hasballah Thaib, 1993: 97).
3. Mutid Pada masa sebelumnya, murid tidak diwajibkan membayar guru. Al-jam'iyatul Washliyah meninggalkan tradisi ini dan mengikuti tradisi yang biasa dilakukan sekolah, yaitu murid berkewajiban membayar uang sekolah setiap bulan. [umlah uang yang dibayar tergantung pada keadaan murid dan kebijaksanaan guru. Sungguhpun tidak ada peraturan khusus, namun pengurus menetapkan besar uang sekolah itu berpedoman pada uang sekolah tingkat dasar di sekolahsekolah pemerintah dan zending. Ini temyata dari isi surat Pengurus Besar tangga124 April 1935 yang antara lain berbunyi :
121
...majlis mengharapkan wang sekolah kita sebolelz-bolehnya mesti tidak kurang dari wang sekolah goebemement karena ini beroepa kongkoerensi dan begitu djoega dengan sekolah lain hendaknja sebanding setidak-tidaknja djangan terlaloe rendah sekali teroetama perbandingan dengan sekolal1 goebememeni. Keseimbangan uang sekolah ini menjadi perhatian untuk menjaga nama madrasah al-jam'iyatul Washliyah, di samping untuk menutupi keperluan-keperluan biaya administrasi (Chalidjah Hasanuddin, 1988: 93). Selain belajar di kelas, murid-murid al-Jam'iyatul Washliyah mempunyai kegiatan ekstra. Untuk melatih ketangkasan dan keterampilan-nya, mereka dihimpun dalam wadah Pandu al-Washliyah yang didirikan pada tahun 1940. Di Pandu ini mereka juga dilatih dalam kegiatan sosial, seperti mengumpulkan dana dan bahan makanan untuk fakir miskin dan yatim piatu, serta menjalankan tabung derma untuk pembangunan Gedung Nasional (Chalidjah Hasanuddin, 1988: 293). Pada tahun 1953 murid-murid dihimpun dalam sebuah organisasi yang bernama Ikatan Pelajar al-Washliyah. 4. Kurikulum Kurikulum yang digunakan di madrasah ibtida'iyah alJam'iyatul Washliyah pada tahun 1936 adalah: Muhadatsah, Qira'ah, Imla', Mahfuzhah, Nahwu, al-Qur' an, Tauhid, Fiqh, Tafsir, Hadis, Ma'ani, Bayan, Sejarah Islam, Khat, dan Memegang Buku (Mahmud Yunus, 1960: 140). Pengelolaan sekolah yang dilakukan oleh al-Jam'iyatul Washliyah nampaknya sangat berhasil, sekolah-sekolah yang dikelolanya mengalami kemajuan pesat, paling tidak dari sudut jumlah siswa dan kerapian manajemen pengelolaannya. Hal lain mengenai pendidikan al-jam'iyatul Washliyah adalah sifatnya yang sentralistis. Sentralisme yang sering dikritik sebagai berlebihan ini memiliki plus minus. Di satu sisi, kebijakan ini memungkinkan keseragaman dan kontrol yang teratur; persoalan di satu tempat dengan segera bisa
122 direspon. Namun di sisi lain, penerapan sentralisme yang keliru sangat bisa malah menghambat inisiatif perkembangan. Hal ini kemudian sering menjadi keluhan dari cabang-eabang organisasiyang merasaideide pengembangan yang timbul dari bawah kurang terakomodasi atau terlambat sarna sekali, karena bahkan dalarn persoalan kecilpun harus melibatkan pusat organisasi. Dalam jangka panjang hal ini bisa menjadi penyebab tumpulnya inisiatif yang kemudian menjadi penghambat perkembangannya sendiri. Dalam upayanya memajukan pendidikan, al-Jarn'iyatul Washliyah kelihatannya bersikap terbuka dan mengambil pelajaran dati mana saja yang dianggap lebih berpengalaman dan berhasil dalam pengelolaan pendidikan. Pada taboo 1934, al-Jam'iyatul Washliyah mengirim tiga orang pengurusnya: M. Arsyad ThaHb Lubis, Udin Syamsuddin, dan Nukman Sulaemanuntuk mengadakan studi banding ke Sekolah Adabiyah, Noormal School dan Diniyah di Sumatera Barat sehubungan dengan upaya reformasi pengelolaan pendidikan alJam'iyatul Washliyah sendiri. Meskipun mendapat reaksi negatif dati sebagian anggota, kunjungan tersebut dianggap sangat penting dan hasil-hasilnva kemudian menjadi bahan diskusi dalam konferensi guruguru Madrasah al-Jam'iyatul Washliyah, masih pada tahun yarig sama, Di antara langkah yang diambil setelah konferensi tersebut ada1ah: pendirian sekolah-sekolah umum berbasis agama, pengajaran bahasa Belanda, penataan kalender pengajaran, pembentukan lembaga Inspektur dan Penilik pendidikan. Melihat kemajuan penerbitan bukubuku agama Islam di Sumatera Barat, seorang utusan dikirim ke Bukittinggi khusus untuk membeli buku-buku keperluan sekolah al[am'iyatulWashliyah (T. Oedin Sjamsoeddin, 1941: 78). Upaya Majelis Studies Fonds mengumpulkan dana beasiswa, kelihatannya, tidak terlalu sukses. Namun, setidaknya pada taboo 1936, al-Jam'iyatul Washliyah mengirim Ismail Banda dan Baharuddin Ali untuk studi di Universitas Al-Azhar, Kairo, dengan beasiswa. Baharuddin Ali berhasil mencapai diploma Ahliyah, sementara Ismail Banda berhasil menyelesaikan diploma Ahliyah, ,Alimiyah dan juga memperoleh diploma dari Fakultas Ushuluddin Al-Azhar. Ismail Banda
123 diklaim sebagai orang Indonesia pertama yang memperoleh ijazah dati . FakuItas tersebut. Sementara itu Majelis Penerbitan mulai menerbitkan rnajalah Medan Islam sejak 1933 dengan tiras mencapai 12.500 eksemplar dan, menjadi 14.980 eksemplar di tahun 1940. Majalah lain terbitan organisasi ini adalah Dewan Islam dan Rnudhatul Mu'allimin. Secara, kumulatif, hingga kongresnya yang ke-3 (1941) telah diterbitkan sejumlah 142.000 eksemplar majalah sebagai media propaganda organisasi ini. Majalah ini menunjukkan kesediaan berpolemik yang cukup tinggi. Keadaan ini kelihatannya harus dikembalikan kepada posisinya sebagai corong organisasi dan ikIim heterogen serta persaingan antar golongan yang memang cukup hangat pada masa itu. Majelis ini juga aktif menerbitkan buku-buku pelajaran agama yang sengaja ditulis dalam bahasa daerah Batak Toba dan Batak Karo untuk kemudian didistribusikan secara cuma-cuma kepada ribuan orang yang berhasil diislamkan. Kongres ke-3 mencatat bahwa jumlah buku yang sudah didistribusikan mencapai 6.000 eksemplar (T. Oedin Sjamsoeddin, 1941: 78). Sebagai sebuah organisasi keagamaan, al-Iam'iyatul Washliyah menjadi rujukan dan tempat bertanya masyarakat Islam tentang berbagai persoalan. Untuk mempermudah pelaksanaan fungsi ini, maka dibentuklah Majelis Fatwa al-Jam'iyatul Washliyah pada bulan Desember 1933, dengan anggota 15 orang ulama dan pemuka agama. Mereka adalah Haji llyas, Haji Mohammad Ismail Lubis, Haji Mohammad Syarif (Qadi Kerajaan); Syekh Haji Mohammad Yunus, Syekh Haji Ja'far Hasan (Guru MIT); Haji A. Malik, Haji Ali Usman, Haji Abdul [alil, Haji Dahlan, Sulaeman (Guru Madrasah): Abdurrahman Syihab, M. Arsyad Talib Lubis, Yusuf Ahmad Lubis, Suhailuddin, dan Abdul Wahab (al-Jam'iyatul Washliyah) (Chalidjah Hasanuddin, 1988: 105-106). Daftar tersebut menunjukkan bahwa anggota MajeIis Fatwa tidak hanya terdiri atas ulama-ulama anggota formal al-]am'iyatul Washliyah, tetapi juga menacakup tiga orang Qadi kerajaan dan tujuh orang dari kalangan guru madrasah/ maktab. Sesuai fungsinya majelis
!
124 ini mengeluarkan fatwa hukum berkenaan dengan persoalan yang meragukan bagi umat Islam, kalangan anggota ai-Jam'iyatul WashIiYah pada khususnya. Tercatat bahwa majelis ini memberi fatwa tentang undian, mandi safar, bunga bank, sandiwara dengan tema Nabi-nabi, dan lain-lain. Secara keseluruhan, fatwa-fatwa yang dikeluarkan mengikuti mazhab Svafi'i yang memang secara formal dinyatakan sebagai mazhab organisasi (Chalidjah Hasanuddin, 1988: 104-111). Dalam kajian Islam di Indonesia, afiliasi formal sebuah organisasi dengan satu mazhab biasanya dijadikan kategori pengelompokan ke dalam arus modemis atau tradisionalis. Dalam hubungan ini para ahli umumnya menempatkan al-Jam'iyatul Washliyah ke dalam kategori tradisionalis (Taufik Abdullah, 1987: 29), sebuah pendekatan yang belakangan semakin sering dianggap tidak lagi memadai untuk melihat fenomena Islam di Indonesia. Betapapun juga organisasi ini cenderung bersikap terbuka dan aspiratif terhadap perkembangan serta tidak menutup diri untuk bekerja sama dengan kelompok umat Islam modemis. Di atas sudah dicatat bahwa al[am'iyatul Washliyah pernah melakukan studi banding bidang pendidikan ke Sumatera Barat yang sudah lebih dahulu mengalaml proses pembaharuan. Demikian pula ketika pada tahun 1941, organisasi modernis Muhammadiyah mengadakan kegiatan prangko amal, al[am'iyatul Washliyah menyemkan anggotanya untuk tumt mendukung kegiatan tersebut (Chalidjah Hasanuddin, 1988: 77-78). Ilustrasi lain adalah kasus polemik antara seorang syekh tarekat Naqsyabandiyah dengan al-Jam'iyatul Washliyah, di mana sang syekh sampai menuduh organisasi ini sebagai perkumpulan neraka, Dapat ditambahkan bahwa -berbeda dengan kecenderungan umum organisasi-organisasi Islam tradisionalis lainnya - al-Jarn'iyatul Washliyah memang tidak mengembangkan tarekat (Chalidjah Hasanuddin, 1988: 68). Tepat jika kemudian Steenberink menyatakan bahwa al[am'iatul Washliyah agak sukar bisa dimasukkan di dalam pengelompokan yang terlalu sederhana, seperti di antara modem ataupun tradisional (Chalidjah Hasanuddin, 1988: viii). Sementara itu Bruinessen menyebut al-Jam'iyatul Washliyah sebagai "organisasi sosia!
125 pendidikan Islam pembaharu yang moderat (Martin Van Bruinessen, 1994: 113). Steenbrink menambahkan bahwa salah satu alasan utamanya adalah karena organisasi ini muncul di kota dengan unsur Cina dan Barak-Kristen yang sangat kuat (Chalidjah Hasanuddin, 1988: 77-78). Majelis Hazanatul lslamiyalt sedianya dibentuk untuk melaksanakan kegiatan pemeliharaan anak yatim, membantu penyiaran Islam, dan orang-orang yang baru masuk Islam, utamanya dari daerah Toba, Tapanuli Utara dan Tanah Karo. Kendala finansial kelihatannya membuat program majelis ini tidak membuahkan hasil yang memadai. Sistem keuangan al-Iam'iyatul WashIiyah yang terlalu sentralistik kurang memungkinkan dilakukannya inovasi-inovasi di bidang upaya pengumpulan dana. Penyiaran Islam di daerah Batak Toba -dengan melakukan tabliglt dan mendirikan sekolah serta madrasah adalah satu aspek yang khas mengenai organisasi ini. Tanah Batak Toba adalah titik awal penyebaran agama Kristen di Sumatera Timur yang sudah berjalan relatif berhasil sejak abad ke-19. Pada awal abad ke-20, mayoritas penduduk daerah ini beragama Kristen, sebagian lain menganut agama tradisional, Parbegu, dan hanya sebagian kedl yang memeluk agama Islam. Inti kegiatan al-Iam'iyatul Washliyah di daerah ini adalah pengislaman dan pembinaan mereka yang sudah masuk Islam (Abu Hanif, 1935: 161-162). Program-program al-jam'iyatul Washliyah yang secara spesifik ditujukan untuk Islamisasi daerah ini menempatkannya berhadapan langsung dengan missi Kristen. Laporan-laporan tentang persaingan ini -yang seringkali mengambil bentuk pertentangan di tengah masyarakatbanyak muncul dalam terbitan-terbitan di Sumatera Timur saat itu. Bukan rahasia bahwa missi Kristen di Tanah Toba dan tempat lainnya mendapat dukungan khusus dari pemerintah Belanda maupun Gereja Kristen di Eropa. Dukungan ini bisa mengambil bentuk keberpihakan atau pun kebijakan pemerintah Belanda yang menguntungkan umat Kristen, sebagaimana sering terlihat dalam keluhan dan protes umat Islam via al-jam'iyatul Washliyah tentang perlakukan pejabat pemerintah lokal yang tidak adil. Dukungan lain yang tak kalah
126 signifikan adalah dalam bentuk dana. Meskipun pada level fol'Illal pemerintah kolonial mengaku netral terhadap agama-agama, perbandingan dana yang diberikan kepada umat Islam dan kepada umat Kristen adalah sekitar 1 : 4, dan sarna sekali tidak mencerminksj, kebijakan ini. Keberhasilan dan kegagalan yang dialami al-Jam'iyatut Washliyah dalam penyiaran Islam eli Toba merupakan illustrasi menarik tentang persaingan penyiaran agama Islam dan Kristen. Dibanding dengan organisasi-organisasi Islam lain yang juga mencoba berdakwah di Tanah Batak, al-Jam'iyatul Washliyah "dipandang sebagai organisasi yang mampu bersaing dengan kalangan missionark Kristen di daerah tersebut" (Deliar Noer, 1991: 266). Keberhasilan itu pula yang menyebabkan MIAI dalam kongresnya yang ke-III mengambil keputusan memberikan kepemimpinan pengelolaan Zending Islam kepada al-Iam'iyatul Washliyah, sebuah keputusan yang didukung sepenuhnya oleh organisasi-organisasi lain (Tajuk Pedoman Masyarakat, 1941). Tentu saja keberhasilan tersebut sama sekali tidak sunyi dati tantangan, khususnya dari kalangan Kristen. Kasus-kasus pertentangan Islam-Kristen di tanah Batak Toba dengan mudah dapat dibaca dalam terbitan-terbitan al-Jam'iyatul Washliyah pada dekade 193D-an dan 1940-an. Dewan Islam misalnya, melaporkan adanya perusakan masjid oleh kelompok Kristen di Tarutung; adanya jenazah seorang muslim yang dipaksa dikuburkan secara Kristen; dan seorang tokoh muslim yang dilempari atas anjuran seorang Pendeta (Dewan Islam, 1939). Sebagai pihak minoritas di tanah Toba, al-Jam'iyatul Washliyah biasanya hanya bisa mencatat dan mempublikasikan kejadian-kejadian tersebut sembari mendesak pemerintah mengambil tindakan. Pada tataran yang lebih ilmiah, terjadi pula polemik-polemik antar umat Islam dan Kristen sebagaimana tercermin dalam publikasipublikasi yang berafiliasi kepada organisasi-organisasi Islam dan Kristen. Sebagai contoh, Dewan Islam edisi 11 (Januari 1939) menurunkan satu artikel panjang berjudul "Dewan Islam versus Medan Kristen" yang merupakan jawaban Dewan Islam terhadap artikel dalam
127
I "
1 1
I
.
1
:.
1 )' )
S
1 1
1 1
i 1 1 1
i 1 1
1 1
1
1 1
r
,
Medan Kristen edisi perdana yang menurunkan bantahan terhadap sebuah buku berjudul Rahsia Bybel. Buku tersebut adalah karya M. Arsjad Thalib Lubis, salah seorang intelektual al-Jam'iyatul Washliyah yang juga redaktur Dewan Islam. Hal ini diungkapkan sekedar menunjukkan bagaimana antagonisme Islam-Kristen melingkupi setiap langkah Al-jam'iyatul Washliyah, terutama sekali dalam hal yang berkaitan dengan Islatnisasi tanah Toba dan Karo yang didominasi Kristen. Tantangan terhadap al-Iam'iyatul Washliyah juga datang dari kalangan pemuka adat yang sangat berpengaruh dalam struktur masyarakat Toba. Sebelum diperkenankan mengadakan kegiatan di suatu desa, biasanya para pemuka adat menuntut agar al-jam'iyatul Washliyah lebih dahulu mengadakan pesta penghormatan dengan hidangan kepala babi, Dalam menghadapi dilema seperti ini tidak jarang tokoh-tokoh al-Iam'iyatul Washliyah terpaksa mengambil sikap pragmatis dan strategis: mengalah untuk menang. Untuk izin pendirian sebuah madrasah biasanya mereka akan menyetujui pengadaan hidangan kepala babi asal dikerjakan oleh penduduk yang non-Muslim. Namun, al-Iam'iyatul Washliyah juga melakukan protes terus menerus tentang hal ini, tidak saja kepada perwakilan pemerintah Belanda di Sumatera Timur, tetapi juga kepada Volksraad di Batavia, sampai akhirnya ada ketentuan pemerintah kolonial bahwa aljam'iyatul Washliyah cukup memanfaatkan sapi atau kambing dalam jamuan penghormatan kepada pengetua adat (Chalidjah Hasanuddin, 1988:
150). Demikianlah berbagai kegiatan dilaksanakan dalam konteks hubungan yang antagonistik dengan pihak Kristen di satu sisi dan dengan pihak pendukung adat dan agama tradisional di sisi lain. Dalarn kondisi seperti ini al-Iam'iyatul Washliyah berhasil mencapai keberhasilan-keberhasilan yang pantas dicatat. Organisasi inilah yang merintis dan kemudian melapangkan jalan dakwah di Tanah Batak setelah sebelumnya demikian terencana dijadikan sebagai lahan Zending Kristen dengan dukungan pemerintah kolonial dan gereja.
128 Penutup Al-Jam'iyatul Washliyah merupakan organisasi massa Islatn yang berdiri sebelum Indonesia merdeka. Salah satu kegiatannya adalah di bidang pendidikan. Lembaga pendidikan yang dikelola oleh organisasi ini terdiri dari dua jenis, yaitu madrasah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan sekolah yang mengajarkanpelajaran umum dan pelajaranagama. Kehadiran al-lam'iyatul Washliyah mendapat sambutan baik dari masyarakat, ini terbukti dengan berdirinya cabang-cabang organisasi ini di berbagai daerah dan adanya sejumlah rnadrasah yang bergabung menggunakan nama al-jam'iyatul Washliyah.
Oaftar Pustaka Abdullah, Taufik. Islam tum Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3FS, 1987). Asari, Hasan. Modernisasi Islam: Tokoh, Gagasan dan Gerakan (Bandung: Citapustaka Media, 2(02). Bruinessen, Martin Van. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesiti: Survey Historis, Geografis, dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1994). Hanief, Abu. Memperluas Penyiaran Islam di Bataklanden, dalam Dewan Islam, No.9 (Oktober 1935). Hasanuddin, Chalidjah. AI-Jam'iyatul Washliyalt 1930-1942: Api dalam Sekam di Sumaiera Timur (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988). Masjkuri dan Sutrisno Kutoyo (ed.), Sejaralt Pendidikan Daerah SU11Ultera Wara, (ttp: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980) Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 Oakarta: LP3ES,l991). Pengurus Besar Al Djamijatul washlijah. V4 Abad Al Djamijatul Washlijah (Medan: Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah, 1956). Sinar, Tengku Luckman. Sejarah Medan Tempo Doeloe (t.t.p.: tp., 1991). Sjamsoeddin, T. Oedin. Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah dnlam Receptie Congres lee III, dalam Penyedar, no. 4 (Januari 1941).
129
,
Steenbrink, Karel E. Pesaniren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen Oakarta:LP3ES, 1986). Steenbrink, Karel A. Kata Pengantar dalam Chalidjah Hasanuddin. AIJam'iyahll Washliyah: Api dalam Sekam (jakarta: Bulan Bintang, 1984). Thaib, Hasballah. Universitas Al Washliyah Medan Lembaga Pengkaderan Ulama di Sumatera Warn (Medan: Universitas Al Washliyah, 1993). Ya'qub, Abu Bakar. Sejarah Maktab Islamiyah Tapanuli (buku, tidak diterbitkan). Yunus, Mahmud.Sedjarah Pendidikan Islam di Indonesia (Djakarta: Pustaka Mahmudia, 1960). Dewan Islam, no. 68, [uni 1939. Pedoman Masyarakat, no. 83, Agustus 1941.
PERAN UNDANG - UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA Oleh: Sri Istiawati Abstrak Pada dasarnya suatu negara tentunya tidak dapat berjalan dan maju tanpa adanya dunia usaha yang berkembang secara pesat dan efisien sebagai salah satu dan faktor penunjang pembangunan Indonesia, pesatnya perkembangan dunia pada saa! sekarang ini ada kalanya tidak diimbangi dengan pembuatan rambu - rambu pengawas, untuk itu perangkat hukum sangat dibutuhkan sebagaimana Undang - Undang nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan PraktikMonopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Kata kunci : Pellegakan Hukum, Persaingan usaIJa di Indonesia. Pendahuluan Kegiatan ekonomi atau bisnis sangatlah marak dilakukan pada saat sekarang ini. Hal tersebut semakin diperkuat dengan adanya perdagangan bebas yakni World Trade Organization (WTO) secara global maupun dengan adanya Asian Free Trade Area (AFTA) yang secara khusus bagi negara - negara yang berada di benua Asia. Dalam kegiatan eknomi atau bisnis adanya suatu persaingan usaha antara pelaku usaha yang satu dengan pelaku usaha yang lainnya, tentunya sudah merupakan hal yang lazim terjadi. Persaingan usaha yang sehat tentunya akan dapat membawa dampak yang positif bagi para pelaku usaha yang bersaing atau berkompetitif karena pada akhimya akan dapat menimbulkan efek berupa upaya - upaya peningkatan efisiensi, produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan. Disamping itu juga, maka para konsumen akan mendapatkan manfaat dari adanya persaingan usaha yang sehat
130
I