M. Nafiur Rofiq, Eksistensi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur EKSISTENSI KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR TERHADAP PENINGKATAN KUALIFIKASI AKADEMIK GURU MADRASAH DINIYAH DI JAWA TIMUR Oleh: M. Nafiur Rofiq1 Abstrak Dengan diberlakukannya Undang-undang Guru dan Dosen No. 14/2005 dan PP No. 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, maka menjadi tuntutan bagi lembaga pendidikan Madrasah Diniyah untuk segera melakukan regulasi dan upgrade sistem pendidikannya agar secara formal ke depan Madin memiliki standard dan kesetaraan yang sesuai dengan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagai ikhtiar konkrit, Pemprop Jatim mulai tahun 2006 s/d 2010 telah mengeluarkan kebijakan strategis dengan memberikan beasiswa program strata satu (S1) kepada guru-guru Madrasah Diniyah sebagai upaya pengejawantahan amanat Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut di atas. Penelitian ini difokuskan untuk menjawab tentang bagaimana eksistensi kebijakan tersebut terhadap upaya peningkatan kualifikasi akademik guru-guru Madrasah Diniyah dan bagaimana pula relevansinya dengan eksistensi kelembagaan pendidikan Madrasah Diniyah pesantren di Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan; (1) kebijakan pemprov Jatim terhadap peningkatan kualifikasi akademik guru Madin di Jatim tampak eksis dan strategis, memiliki relevansi dengan kebutuhan lembaga pendidikan Madin dan Pondok Pesantren se Jatim. Hal ini dikarenakan: a) Jawa timur merupakan provinsi yang berbasis ummat Islam (98.01%), dengan jumlah pondok pesantren yang cukup besar (sekitar 1.500 buah) dan jumlah lembaga pendidikan Madin yang juga besar (67.885 buah); b) Tuntutan regulasi peraturan dan perundang undangan pendidikan yang semakin ketat dalam rangka standarisasi pendidikan secara nasional, sehingga Madin ke depan harus mampu menyesuaikan diri dengan regulasi tersebut; c) Sekitar 86.210 orang guru Madin se Jatim masih belum berkualifikasi pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) atau Diploma Empat (D-4), sehingga mereka perlu di upgrade supaya sesuai dengan tuntutan UU Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 bab-IV pasal 8 dan 9; d) Telah diberlakukannya PP Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, menunjukkan bahwa keberadaan Madin ke depan akan semakin eksis, sehingga perlu dilakukan standarisasi Madin agar statusnya sama/setara dengan lembaga pendidikan formal lainnya di Jatim. (2) Implementasi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jatim tentang 1
Dosen Tetap Yayasan Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember. Sekarang menjabat sebagai ketua STAI Al-Falah As-Sunniyyah Kencong Jember. 51
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011 program peningkatan kualifikasi akademik guru Madin mulai tahun 2006 sampai dengan 2010 telah mencapai 4.370 orang guru yang dikuliahkan program strata satu (S1) di 34 perguruan tinggi yang tersebar di 30 Kabupaten/Kota. Program ini telah berjalan lancar sesuai dengan perencanaan dan ditargetkan pada tahun 2014 akan mencapai 10.000 orang guru. Key Word: Kebijakan Pemerintah, Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah PENDAHULUAN Dalam catatan sejarah pendidikan, sistem penyelenggaraan pendidikan Madrasah Diniyah (Madin) di Indonesia selama ini belum pernah mendapatkan pengakuan yang konkrit dari pemerintah. Hal ini terjadi, karena selama ini pula eksistensi pendidikan Madin secara yuridis-formil memang tidak diberi ruang apresiasi yang memadai dalam undang-undang sistem pendidikan nasional di tanah air. Fakta ini telah terbukti dalam sejarah panjang pemberlakuan UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) di Indonesia, mulai UU No. 4/1950, juncto UU No. 12/1954, sampai dengan UU No. 2/1989 yang kesemuanya tidak pernah memuat bab, pasal, maupun ayat-ayat yang mengatur tentang sistem penyelenggaraan pendidikan Madrasah Diniyah. Padahal secara defacto dan historis Madin selama ini juga ikut memiliki andil dan kontribusi yang besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa bidang pendidikan di masyarakat. Terlepas dari adanya kepentingan politik dari pihak tertentu, yang jelas dampak dari sikap pemerintah tersebut telah menjadikan Madin berada pada posisi yang marginal, sehingga eksistensinya selama ini menjadi tidak tersentuh oleh kebijakan Negara baik terkait dengan program peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) maupun upaya pemerintah dalam mewujudkan standar nasional pendidikan (SNP) dengan berbagai alokasi anggaran yang disediakannya. Sehingga tidak terlalu berlebihan jika Gubernur Jawa Timur (Dr. H. Soekarwo, M.Si.) mengutip pernyataan United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang menganggap bahwa komunitas Madrasah Diniyah Ula/Wusto/Ulya ini termasuk menjadi bagian dari daftar besarnya angka buta huruf/buta aksara di Indonesia.2 Terpinggirkannya pendidikan Madrasah Diniyah Pesantren dari Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia selama ini bukan hanya disebabkan oleh adanya unsur kesengajaan dari kemauan kekuatan politik tertentu, akan tetapi juga disebabkan oleh sikap pesantren itu sendiri (khususnya pesantren salaf) yang selama ini memang menjaga jarak agar tidak diintervensi oleh kekuasaan (Negara). Pilihan sikap pesantren seperti ini tentu memiliki alasan yang mendasar, yaitu 2
Koran Suroboyo, 12 Maret 2010.
52
M. Nafiur Rofiq, Eksistensi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur masalah paradigmatik pendidikan yang tidak dapat dipertemukan antara formulasi sistem dan orientasi kurikulum pendidikan yang ditekankan oleh pemerintah dengan formulasi/orientasi yang diinginkan pesantren, sehingga terjadilah gap-paradigmatic antar keduanya, disamping juga alasan politis. Dalam perspektif historis, hal ini ditengarahi sebagai dampak yang berkelanjutan dari warisan sejarah pada jaman penjajahan dimana pesantren ketika itu menjadi kekuatan oposisi masyarakat dalam melawan pemerintahan kolonialis, sementara sebagian pesantren (khususnya salaf) sampai saat ini (pasca kemerdekaan) masih berpandangan bahwa sistem pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah sebagian besar adalah warisan kolonialis, meskipun pandangan seperti ini belum tentu benar. Tapi setidaknya trauma pesantren selama masa orde baru menjadi alasan yang cukup kuat sebagai penyebab marginalnya pendidikan Madrasah Diniyah pesantren di Indonesia. Setelah sekian lama pendidikan Madrasah Diniyah pesantren berada di luar sistem pendidikan nasional dan kurang lebih satu abad usia Madrasah Diniyah pesantren di Indonesia ternyata mampu menunjukkan eksistensi dan kemandiriannya di tengah-tengah masyarakat, maka pemerintah-pun akhirnya mengubah haluan, sikap dan cara pandangnya terhadap pendidikan Madin di Indonesia. Sikap dan cara pandang itu kemudian diwujudkan oleh pemerintah dengan semakin menegaskan eksistensi Madrasah Diniyah dalam pasal 30 ayat 4 UU No. 20/2003 yang menyatakan bahwa “pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabbajja samanera dan bentuk lain yang sejenis” yang secara resmi diundangkan pada tanggal 8 Juli 2003. 3 Kemudian empat tahun berikutnya, tepatnya pada tanggal 5 Oktober 2007 presiden RI dengan persetujuan DPR telah menetapkan PP No. 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan4 yang dalam hal ini berarti pemerintah telah memberikan apresiasi yang semakin konkrit terhadap penyelenggaraan pendidikan Madin Pesantren di Indonesia. Sehingga dengan jaminan undangundang dan peraturan pemerintah tersebut di atas, Madin memiliki masa depan yang lebih jelas dan memiliki payung hukum yang setara dengan sistem penyelenggaraan pendidikan formal lainnya di Indonesia. Namun demikian, jika dilihat secara objektif dalam perspektif formalistik sistem pengelolaan lembaganya, walaupun sudah diberlakukan UU No. 20/2003 dan Peraturan Pemerintah No.55/2007 yang beberapa pasal-pasalnya telah memberikan apresiasi positif kepada Madin, ternyata belumlah cukup untuk mendongkrak 3
Lihat Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4310, Undang undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 2003).h.11-12. 4 Lihat lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 124, Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (Jakarta: Sekretariat Negara RI, 2007).h.2 & h.16 53
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011 keterbatasan sumber daya manajemen/tatakelola pendidikan Madin yang ada di Indonesia. Hal ini tampak, selain pada aspek kelembagaannya yang kurang memadai, juga ketidaksiapan aspek sumber daya tenaga pendidik atau guru-gurunya yang sebagian besar masih belum berlatar belakang pendidikan minimal strata satu (S1) atau diploma empat (D-4) sebagaimana ketentuan Undang-undang Guru dan Dosen No. 14/2005 bab-IV pasal 9 yang menyatakan bahwa “kualifikasi akademik guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat”5. Sementara kondisi riil di lapangan, guru-guru Madin mayoritas masih lulusan sekolah formal SLTP/MTs dan SLTA/MA dan bahkan beberapa guru diantaranya hanya lulusan SD/MI dan sebagian lainnya adalah lulusan madrasah diniyah non-formal pesantren. Padahal evidensi formal kualifikasi seorang guru harus ditunjukkan melalui ijazah yang dimilikinya sebagai bukti bahwa seseorang telah menempuh jenjang pendidikan tinggi program sarjana (S-1) atau program diploma empat (D-4). Di Jawa Timur, jumlah Madin relatif besar, sebab Jawa Timur merupakan Provinsi yang berbasis pesantren. Menurut data dari Peka Pontren Kantor Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur menyebutkan ada sekitar 7000 Madin pondok pesantren seluruh Jawa Timur dari berbagai jenjang, mulai Ula (setingkat SD), Wusto (Setingkat SMP), dan Ulya (setingkat SMA)6. Sedangkan jumlah gurunya sampai saat ini belum ada data yang pasti, akan tetapi jika diasumsikan untuk setiap Madin rata-rata memiliki 10-12 orang guru, maka berarti untuk seluruh Jawa Timur diperkirakan terdapat 80.000 orang guru Madin. 7 Berdasarkan uraian di atas, pemerintah sudah seharusnya memulai melakukan up-grade guru Madin yang belum memenuhi syarat kualifikasi pasca disahkannya undang-undang guru dan dosen, dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara umum dan peningkatan kesejahteraan guru Madin. Karena guru yang telah memenuhi syarat kualifikasi dan syarat sertifikasi berhak mendapat tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji pokok. Dalam rangka meningkatkan kualifikasi akademik guru Madin tersebut, Pemprop Jatim mengeluarkan kebijakan untuk berkerjasama dengan PTAI dan FAI pada PTU baik negeri maupun swasta dalam rangka memberikan beasiswa Program Peningkatan Kualifikasi Akademik Jenjang Strata Satu (S1) bagi guru-guru Madin di Jawa Timur. Sejak tahun 2006 sampai dengan 2010 Pemprop Jatim telah memberikan beasiswa kuliah program S1 Tarbiyah untuk 4.370 orang guru Madin yang tersebar di 11 titik daerah Kabupaten/Kota di 34 5
Lihat lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, UU Nomor 14 Tahun 2005. (Sekretariat Negara RI: 2005).h.6. 6 Data tersebut belum final, karena jumlah Madin di masyarakat Jatim terus bertambah dan sampai saat ini masih belum ada data resmi hasil survey oleh Instansi Kementerian Pendidikan RI dan Kementerian Agama RI maupun dari lembaga survey yang lain. 7 Wawancara Pra-Riset dengan Ahmad Mubasyir (Ketua Bidang Peka Pontren Kantor Kemenag RI Jawa Timur), 19 Agustus 2010.
54
M. Nafiur Rofiq, Eksistensi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur perguruan tinggi negeri maupun swasta se provinsi Jawa Timur 8. Pemerintah Provinsi Jawa Timur akan terus melanjutkan program ini pada tahun-tahun mendatang sebagai upaya untuk meningkatkan kualifikasi akademik guru-guru Madin di Jawa Timur minimal berjenjang pendidikan strata satu (S1) sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Setelah empat tahun program beasiswa S1 untuk guru-guru Madin tersebut terlaksana, maka pada tahun 2010 Pemerintah Provinsi Jawa Timur mulai mengembangkan kebijakan baru untuk melakukan penguatan kelembagaan Madrasah Diniyah pondok pesantren di Jawa Timur sebagai kelanjutan (follow-up) dari program sebelumnya. Program penguatan kelembagaan Madrasah Diniyah ini telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dengan membentuk wadah yang diberi nama ”Lembaga Pengembangan Pendidikan Diniyah” (LPPD) Provinsi Jawa Timur 9 melalui SK Gubernur Nomor: 188/147/KPTS/013/2010. Dengan wadah baru LPPD ini kemudian Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama-sama dengan ulama‟, kyai dan asatid dari berbagai pondok pesantren se-Jawa Timur menyusun draft standar pendidikan Madrasah Diniyah Salafiyah untuk jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah. PEMBAHASAN TEORITIK A. Tinjauan Tentang Madrasah Diniyah Kata "madrasah" baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Hebrew atau Aramy adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran" 10. Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras" yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari kitab Taurat"11 Dari kedua bahasa tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang sama: "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola12. Secara harfiah madrasah bisa juga diartikan dengan sekolah, karena secara 8
Wawancara Pra-Riset dengan Saifullah Yusuf (Wakil Gubernur Jawa Timur), 20 Juli 2010 di Gedung Binaloka Adhikara Pemprop Jatim. 9 Lembaga ini dipimpin oleh Hamid Syarif (mantan pembantu rektor III IAIN Sunan Ampel) dan juga masih aktif sebagai Sekjen RMI Pusat Jakarta. 10 Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, Edisi Indonesia (Surabaya: Risalah Gusti: 1996),h. 66 11
Abu Luwis al-Yasu'I, al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-Munjid Fi al-A'lam, Cet.-23, Dar al-Masyriq, Beirut, tt, h. 221. 12
H.A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: LP3NI, 1998),h. Ill. 55
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011 teknis keduanya memiliki kesamaan, yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar secara formal. Namun demikian istilah madrasah memiliki makna yang berbeda dengan istilah sekolah karena keduanya mempunyai karakteristik atau ciri khas yang berbeda13. Madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan umum dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat. Penamaan lembaga pendidikan di Indonesia dewasa ini pada umumnya merupakan pinjaman dari bahasa Barat, seperti universitas (dari university), sekolah (dari school), akademi (dari academy), dan lainlain. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan madrasah. Penerjemahan kata madrasah ke dalam bahasa Indonesia dengan mengaitkan pada bahasa Barat dianggap tidak tepat. Di Indonesia, madrasah tetap dipakai dengan kata aslinya, madrasah, kendatipun pengertiannya tidak lagi persis dengan apa yang dipahami pada masa klasik, yaitu lembaga pendidikan tinggi, karena bergeser menjadi lembaga pendidikan tingkat dasar sampai menengah. Pergeseran makna dari lembaga pendidikan tinggi menjadi lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah itu, tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di Timur Tengah sendiri14 (Ali Muhammad Syalabi, 1997; Stanford J. Shaw, 1977; Badri Yatim, 1999). Madrasah di dunia Islam merupakan tahapan ketiga dari perkembangan lembaga pendidikan. Bosworth dan kawan-kawan (1986: 1123) menjelaskan: The Madrasa is the product of three steges in the development of the college in Islam. The mosque or masjid, partuculary in ist designation as the non congregational mosque, was the first stage, and it fuctional in this as an instructional centre. The second stage was the masdjid-khan complex, in which the khan or hostelly served as a lodging for out-of-town student. The third stage was the madrasa proper, in which the fuctions of both masdjid and khan were combined in an institution based on a single wakf deed 15. Dari kutipan tersebut tampak bahwa masjid merupakan tahapan pertama lembaga pendidikan islam. Ia tidak saja berfungsi sebagai pusat ibadah (dalam arti sempit) tetapi juga sebagai pusat pengajaran. Tahapan kedua adalah masjid-khan, dimana merupakan asrama yang berfungsi sebagai pondokan bagi peserta didik yang berasal dari luar kota. Dan madrasah, sebagaimana telah disebut, 13
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. (Jakarta: LP3ES: 1986).h.44. 14 Penjelasan mengenai ini lihat misalnya Ali Muhammad Syalabi, Tarikh al-Ta'lim fi alMamlakah al-'Arabiyyah al-Su 'udiyyah, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1987); Stanford J. Shaw, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey, (Cambridge: Cambridge University Press, 1977); dan BadriYatim, Sejarah SosialKeagamaan Tanah Suci:Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925, (Jakarta: Logos, 1999). 15 Abd. Halim Soebahar, Pendidikan Islam dan Trend Masa Depan Pemetaan Wacana dan Reorientasi. (Jember: Pena Salsabila: 2009).h.236
56
M. Nafiur Rofiq, Eksistensi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur merupakan tahapan ketiga yang memadukan fungsi masjid dan khan dalam satu lembaga pendidikan. Madrasah diniyah dapat diartikan sebagai lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah dan lembaga tersebut diharapkan mampu secara terus menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan melalui sistem klasikal dengan tingkatan jenjang pendidikan madrasah diniyah awaliyah, madrasah diniyah wustha dan madrasah diniyah ulya. B. Dasar Pelaksanaan Pendidikan Madrasah Diniyah Dasar Religius (agama) Dasar religius yaitu dasar-dasar yang bersumber dari ajaran Islam, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 122.16
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiaptiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS. At-Taubah: 122). Dari ayat tersebut, sebagai seorang mukmin wajib mempelajari ajaran agama Islam secara sistematis baik dan benar dan mengamalkannya dalam kehidupannya sehari-hari, supaya tidak terbawa arus kesesatan dalam dunia globalisasi ini. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditumpangi dengan pengetahuan agama yang benar, sehingga penggunanya hanya untuk kemaslahatan dan kesejahteraan manusia. Sejarah Islam mencatat bahwa studi studi Islam telah berkembang sejak masa awal dunia Islam. Tumbuhnya lembaga pendidikan diilhami oleh ajaran Islam itu sendiri, yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan kwajiban bagi setiap muslim. Ini sejalan dengan ayat tersebut diatas. Dasar Yuridis (Hukum) Dasar Yuridis adalah dasar-dasar pelaksanaan pendidikan agama yang berasal dari peraturan perundang-undangan secara langsung ataupun tidak langsung. Sedangkan dalam pelaksanaan pendidikan agama secara yuridis meliputi pandangan-pandangan hidup yang asasi sampai pada dasar yang bersifat operasional, adapun dasar-dasar tersebut adalah: a) Dasar ideal, yaitu Pancasila. Dalam 16
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. (2009).h. 57
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011 sila pertama dalam pancasila berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung arti bahwa negara dalam perjalanan hidupnya selalu dilandasi oleh nilai-nilai agama. Karena agama berfungsi sebagai pembimbing, sekaligus keseimbangan hidup. b) Dasar konstitusional, yaitu UUD 1945. Dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan17, bahwa: 1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; 2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-Undang. Dari pasal tersebut jelas bahwa pendidikan yang ada di Indonesia harus berada dalam satu sistem, dengan demikian maka pendidikan agama adalah sebagai subsistem, sebagaimana pendidikan umum yang juga merupakan sub sistem pendidikan nasional. Kemudian bila dihubungkan dengan pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Berdasarkan pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 ini, dapat dipahami bahwa negara menjamin kelangsungan kehidupan keagamaan dalam segala segi kehidupan, termasuk dalam kehidupan pendidikan. c) Dasar Operasional, yaitu UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 disebutkan bahwa: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”18. Menyikapi betapa urgen eksistensi agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pendidikan agama itupun mempunyai dimensi pokok yang mewarisi masyarakat dalam meningkatkan iman dan taqwa. Mengingat betapa pentingnya pendidikan agama pada peserta didik, sehingga banyak kalangan masyarakat maupun negara untuk berusaha mewujudkan lembaga-lembaga pendidikan yang khusus tentang agama. C.
Tujuan dan Fungsi Madrasah Diniyah Tujuan merupakan arah kemana suatu usaha atau kegiatan (pendidikan agama Islam) akan dibawa, sehingga tindakan itu memiliki arah pencapaian yang jelas dan tegas. Sedangkan fungsi merupakan kegunaan suatu usaha atau kegiatan (pendidikan keagamaan) bagi hidup peserta didik maupun masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan atau kajian agama pada dasarnya merupakan usaha konservasi atas ajaran-ajaran agama dalam rangka memupuk keimanan dan kepercayaan yang dilakukan oleh komunitas agama yang bersangkutan. Dalam prosesnya usaha kajian itu mencerminkan 17
Sekretariat Negara RI, Undang undang Dasar Tahun 1945. Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4310, Op.Cit. h.4. 18
58
M. Nafiur Rofiq, Eksistensi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur transmisi doktrin-doktrin keagamaan dari generasi ke generasi, dengan menjadikan tokoh-tokoh agama mulai dari Rasul sampai dengan ustadz (guru agama). Sebagai usaha penyelamatan, bekal iman dan taqwa bagi manusia dalam mengarungi arus globalisasi. Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan dapat dipahami untuk merusak dan menghancurkan sebagaimana dapat pula dipakai untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan manusia. Oleh karena itu menggunakan ilmu pengetahuan haruslah berada di bawah pengontrolan akhlak supaya dapat diarahkan ke jalan yang baik, tidak menyeleweng ke jalan yang sesat dan menghancurkan. Yang mampu melakukan pengontrolan dan penguasaan itu ialah “Akidah dan Akhlak”. Madrasah Diniyah (Islam) juga berfungsi sebagai pengenalan kepada anak didik tentang berbagai ilmu-ilmu agama dan penguasaan bahasa arab, yang meliputi: Ilmu Nahwu, Ilmu Shorof, Ilmu Fiqih, Ilmu Tafsir, Ilmu Tauhid, Ilmu Hadits, Ilmu Mustholah Hadits, Ilmu Mantiq dan Ilmu Ushul Fiqih. D.
Peran Masyarakat Terhadap Madrasah Diniyah Keterlibataan adalah sinonim dari partisipasi yang memiliki makna keperansertaan yang berarti peran dalam proses sesuatu. Keterlibatan masyarakat dalam aktifitas sosial keagamaan pondok pesantren berarti ikut pula dalam melakukan peranan dalam semua aspek aktifitas sosial keagamaan. Sedangkan, aktifitas sosial keagamaan Madrasah Diniyah bertujuan terbentuknya masyarakat bertakwa dan akhlakul karimah. Pesantren merupakan komunitas yang mengandung unsur perspektif rohaniah sebagai muatan utama. Sehingga mengkaitkannya dengan perspektif perilaku keagamaan dalam kehidupan masyarakat merupakan upaya mengenal secara sublimatif multi dimensional yang erat kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peranan masyarakat dalam semua aktifitas sosial keagamaan pondok pesantren karena dalam keberadaannya pesantren bukanlah sekedar tempat santri bermukim saja, namun dalam perkembangannya pesantren juga sebagai lembaga sosial keagamaan berusaha melakukan perubahan-perubahan sehingga eksistensi pesantren tetap terjaga dalam menjadi laboratorium pendidikan agama Islam yang patut diteladani hingga sekarang. Dari gambaran tersebut di atas terlihat dalam diri pesantren terjalinlah hubungan timbal balik dengan pihak-pihak luar pesantren. Hubungan kerjasama ini dapat menjadi alat bagi terselenggaranya usaha dan kelancaran program Madrasah Diniyah. Sebagai lembaga keagamaan, Madrasah Diniyah tidak lagi bergerak dalam bidang agama saja. Tetapi pesantren memperluas fungsinya sebagai lembaga sosial yang bergerak dalam urusan kemasyarakatan yang menyangkut masalah kehidupan seperti koperasi, kesehatan, dan pertanian, perdagangan dan sebagainya.
59
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011 E.
Pesantren Sebagai Embrio Pendidikan Diniyah Masuknya Islam ke bumi Nusantara ini, baik pada gelombang pertama (abad ke-7 M) maupun gelombang ke-2 (abad ke-13)19 tidak diikuti oleh muncul atau berdirinya madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang bermunculan seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara, terutama di Jawa, ketika itu ialah pesantren. Dengan alasan itu pula pesantren secara historis seringkali disebut tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous)20. Karena itu membicarakan madrasah di Indonesia dalam kaitannya dengan sejarah munculnya lembagalembaga pendidikan tradisional Islam seringkali tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan mengenai pesantren sebagai cikalbakalnya. Dengan kata lain, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari pesantren. Karena itu menjadi penting untuk mengamati proses historis sebagai mata rantai yang menghubungkan perkembangan pesantren di masa lalu dengan munculnya madrasah di kemudian hari. Menurut Nurcholish Madjid, lembaga pendidikan yang serupa dengan pesantren sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha, sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada itu21. Namun demikian dalam proses pengislaman itu tidak bisa dihindari terjadinya akomodasi dan adaptasi. Tegasnya, karena lembaga pendidikan yang serupa dengan pesantren itu di masa Hindu-Budha lebih bernuansa mistik, maka ajaran Islam yang disampaikan di pesantren pun pada mulanya bercorak atau bernuansa mistik pula, yang dalam khasanah Islam lebih dikenal dengan sebutan tasawuf. Pada masa perkembangan Islam di Indonesia itu, tasawuf memang merupakan gejala umum dan sangat dominan di Dunia Islam pada umumnya. Karena penduduk Nusantara sebelum Islam memiliki kecenderungan yang kuat terhadap mistik, maka agama Islam yang disampaikan dengan pendekatan mistik atau tasawuf itu lebih mudah diterima dan dianut. Tetapi lambat laun gejala itu semakin berkurang bersamaan dengan semakin mendekatnya pesantren ke dalam jaringan Islam di Haramain, tempat sumber Islam yang "asli" yang di akhir masa pertengahan menjadi pusat reformasi Islam, dengan munculnya gagasan rekonsiliasi antara tasawuf dan syari'at. Persentuhan global 19
"Tentang masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-7 Masehi memang masih menjadi bahan perdebatan, tetapi data mengenai itu bukannya tidak ada, salah satunya adalah yang ditulis oleh Groeneveldt dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya (Bhratara, 1960). Namun para peneliti sejarah tampaknya sepakat bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke13 M, dari temuan filologi berupa batu nisan Sultan Malik al-Salih, 1297, yang dianggap sebagai bukti akan adanya suatu kerajaan bercorak Islam di Sumatera. Mengenai ini lihat, Harjati Soebadio, "Agama sebagai Sasaran Penelitian Filologi", dalam Parsudi Suparlan (peny.), Pengetahuan Budaya, Ilmuilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-masalah Agama Jakarta: Balitbang Depag RI, 1981/1982), h. 32. 20 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan Jakarta: Paramadina, 1997), h. 3. 21 Ibid.
60
M. Nafiur Rofiq, Eksistensi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur dengan pusat Islam di Haramain di akhir abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M itulah, menurut Malik Fadjar22, yang memungkinkan para pelaku pendidikan Islam melihat sistem pembelajaran yang lebih terprogram. Maka di awal abad ke-20 M di Indonesia secara berangsurangsur tumbuh dan berkembang pola pembelajaran Islam yang dikelola dengan sistem "madrasi" yang lebih modern, yang kemudian dikenal dengan nama "madrasah". Karena itu sejak awal kemunculannya, madrasah di Indonesia sudah mengadopsi sistem sekolah modern dengan ciri-ciri: digunakannya sistem kelas, pengelompokkan pelajaran-pelajaran, penggunaan bangku, dan dimasukkannya pengetahuan umum sebagai bagian dari kurikulumnya23. Seperti terdapat pada sistem weton dan sorogan 24. Ciri-ciri itu tidak terdapat dalam pesantren yang semula lebih bersifat individual, Akan tetapi, dalam kurun waktu terakhir, ketika modernisasi pendidikan masuk ke dunia pesantren, dan melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai "pesantren modern", maka semua ciri madrasah yang disebutkan di atas tadi sudah menjadi bagian dari keberadaan pesantren. Karena itu muncul pertanyaan, apa bedanya madrasah dengan pesantren (terutama pesantren modern), kalau keduanya memiliki ciri-ciri yang sama? Apa pula bedanya madrasah dengan sekolah kalau madrasah juga memasukkan pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah ke dalam kurikulumnya? Para the founding father pondok pesantren; Kyai, Ulama‟, Masyayikh dan Asatid mendirikan atau membangun lembaga pendidikan pesantren sebagai takhasus (secara khusus) untuk tafaqqahu fi al-din (pendalaman ilmu-ilmu keislaman) bagi masyarakat sekitar secara ikhlas dan istiqomah untuk mengembangkan ajaranajaran Islam dalam kehidupan masyarakat. Seiring dengan berkembangnya waktu, kehadiran pondok pesantren merupakan “kampung peradaban” dimana kehadirannya dalam suatu komunitas atau masyarakat, lambat laun mengakibatkan terjadinya perubahan kehidupan sosial sekitarnya yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan, pendidikan, sosial budaya, ekonomi, dan sebagainya. Dengan bermodalkan pesantrennya, para kyai/ulama‟ telah memainkan peran sosial kulturalnya sehingga lembaga ini mampu memperlihatkan eksistensi dan kebesaran pondok pesantren dalam perjalanan sejarahnya. Bahkan para ahli sosial kebudayaan, seperti Geerzt, Hirokoshi dan Dhofir mengemukakan bahwa para kyai telah memainkan peran menjadi pialang budaya (cultural broker), sebagai agen perubahan (agent of change) yang aktif selektif (mediator), dan 22
Malik Fadjar, op. cit., h. 114;Tentang jaringan Islam itu lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994). 23 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), h. 193. 24 Weton adalah pengajian yang inisiatifhya berasal dari kiai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih lagi kitabnya. Sedangkan sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seorang atau beberapa orang santri kepada kiainya untuk diajari kitab tertentu. Pengajian sorogan biasanya hanya diberikan kepada santri-santri yang cukup maju, khususnya yang berminat hendak menjadi kiai. 61
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011 pesantren dan kyai bukanlah suatu yang stagnant (mandek) tetapi berubah sejalan dengan budaya dari luar yang positif dan meninggalkan budaya yang negatif. Di Jawa Timur pada tahun 1985 terjadi perubahan orientasi santri dalam kajian keilmuan di pesantren dimana para santri dikhususkan mengkaji ilmu keagamaan sebesar 48,50% dan mengkaji ilmu keagamaan disertai ilmu pengetahuan dan ketrampilan sebesar 51,50%. Tahun 1995 para santri dikhususkan mengkaji ilmu agama 33,20% dan mengkaji ilmu agama disertai ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan 66,80%. 25 Adanya penggeseran dari sejumlah pesantren salafi ke pesantren kholafi mengakibatkan terjadinya perubahan internal pesantren. Dengan perubahan tersebut mengakibatkan munculnya problem-problem yang dihadapi pesantren yakni sejauhmana perubahan tersebut dapat mempengaruhi kwantitas dan kualitas pendidikan pesantren. Kwantitas artinya seberapa banyak pesantren yang bertahan pada watak aslinya sebagai institusi tafaqqahu fi al-din dan seberapa tinggi kualitas pengatahuan ilmu-ilmu keagamaan yang bersumber pada kitab-kitab kuning yang dimiliki santri. Suatu perubahan pendidikan dilingkungan pesantren merupakan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang dinamis. Namun demikian, suatu perubahan diharapkan tidak menyebabkan terjadinya degradasi kualitas pengetahuan ilmu-ilmu keagamaan dikalangan santri karena adanya regulasi pendidikan diluar pesantren. F.
Madrasah Diniyah Sebagai Subsistem Pendidikan Pesantren Pendidikan madrasah diniyah merupakan bagian dari sistem pendidikan pesantren yang wajib dipeliharan dan dipertahankan keberadaannya karena lembaga ini telah terbukti mampu mencetak para kyai/ulama, asatid dan sejenisnya. Lahirnya Peraturan Pemerintah no. 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan merupakan peluang dan sekaligus tantangan. Peluang, karena PP tersebut telah mengakomodir keberadaan pendidikan diniyah dan pendidikan pesantren, sedangkan tantangan yang akan dihadapi adalah bagaimana para pengasuh pesantren dan pengelola pendidikan diniyah secara arif merespon pemberlakuan PP tersebut. Standarisasi pendidikan madrasah diniyah merupakan salah satu solusi dan alternatif yang harus dilakukan. Apapun bentuk atau pola standarisasi pendidikan madrasah diniyah yang akan diberlakukan harus memperhatikan tiga pilar utama, sebagai berikut; Pertama, pilar filosofis merupakan pilar yang dijadikan pijakan bahwa Madrasah Diniyah adalah Fardlu „Ain untuk dipertahankan sebagai lembaga pendidikan tafaqqahu fi al-din melalui sumber pembelajaran pada kitab-kitab kuning yang merupakan ide, cita-cita dan simbul keagungan dari pondok pesantren. Kedua, pilar sosiologis adalah pilar yang dijadikan dasar pemikiran bahwa madrasah diniyah tidak berada 25
Hamid Syarif, Pokok Pikiran Pengembangan Madrasah Diniyah. (Surabaya: LPPD Jatim, 2009).h.2.
62
M. Nafiur Rofiq, Eksistensi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur dalam ruang kosong (vacuum space), tetapi ia bagian dari sistem sosial yang lebih luas untuk memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan tuntunan masyarakatnya. Pilar ini memerlukan refleksi secara mendalam agar eksistensi madrasah diniyah tidak sekedar sebagai pelengkap (supplement), tetapi diharapkan madrasah diniyah menjadi pilihan utama (primer), bagi masyarakat dimana pada saatnya madrasah diniyah ini setara kualitasnya dengan satuan pendidikan lain. Ketiga, pilar yuridis merupakan pilar yang harus mendapat perhatian bahwa pendidikan di Indonesia berlaku sistem pendidikan nasional. Artinya, jenis dan satuan pendidikan apapun harus tunduk pada regulasi pendidikan yang tertuang dalam peraturan perundangundangan pendidikan. PP 55 ini merupakan salah satu pijakan yuridis yang mengatur tentang keberadaan pendidikan madrasah diniyah formal dan pondok pesantren. Dari ketiga pilar diatas pendidikan madrasah diniyah disatu pihak akan mampu mempertahankan watak aslinya (Salafi) sebagai tafaqqahu fi al-din dan mampu mengakomodir tuntutan dan kebutuhan masyarakat dalam dunia pendidikan. Di masa depan pengelolaan dan pelaksanaan madrasah diniyah mengambil langkah-langkah sebagai berikut26: a) Membentuk Badan Hukum Pendidikan berbentuk “Yayasan Pendidikan Madarasah Diniyah” yang didaftarkan “Notaris”; b) Menyusun jenjang pendidikan/satuan pendidikan: Madarasah Diniyah Ula, Madarasah Diniyah Wustho, Dan Madrasah Diniyah Ulya; c) Secara bertahap, menyiapkan tenaga pengajar (guru) madrasah yang mempunyai kualitas minimal diploma empat/DIV) atau Strata Satu (S1) bidang pendidikan sesuai mata pelajaran yang diampunya/diajarkan. Diupayakan untuk mengetrapkan Draft Strandar Kurikulum Madrasah Diniyah secara bertahap dan berkesinambungan. G.
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Berkaitan dengan kualifikasi akademik guru, UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bab 1 pasal 1 menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Untuk menjadi guru yang benar-benar profesional tidaklah mudah karena harus mampu menjalankan tugas-tugas di atas dengan sebaikbaiknya. Dengan demikian seorang guru harus memiliki beberapa syarat. Sebagaimana tercantum pada pasal 8 UU nomor 14 tahun 2005, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Syarat kompetensi yang dimaksud meliputi kompetensi paedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional 27 yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi paedagogik menjadi syarat 26 27
Ibid.h. 4. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Op.Cit. h.6. 63
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011 kompetensi yang paling utama, karena tugas guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi yang semuanya merupakan aktualisasi dari kompetensi paedagogik. Kompetensi kepribadian sangat diperlukan seorang guru, karena seorang guru adalah figur teladan bagi para peserta didik dan juga masyarakat pada umumnya. Mendidik tidak sama maknanya dengan mengajar, karena mengajar hanya membangun kompetensi akademik, sedangkan mendidik disamping mengajar juga harus mampu menjadi sosok teladan bagi peserta didiknya. Kompetensi sosial juga menjadi syarat penting bagi seorang guru, karena kemampuan interpersonal atau kemampuan berkomunikasi dengan siswa sangat diperlukan pada saat seorang guru memberikan konseling pada peserta didiknya. Pada tahun 2010 diaporkan bahwa jumlah guru agama se Jawa Timur yang belum bergelar sarjana sebanyak 68.236 orang, sedangkan untuk guru agama MTs. yang belum bergelar sarjana sebanyak 19.458 orang28. Secara keseluruhan, jumlah guru yang telah memenuhi syarat kualifikasi pendidikan tinggi program sarjana atau diploma empat sebagaimana yang disyaratkan Undang-Undang (UU) masih sangat kecil, terutama untuk jenjang pendidikan SD dan MI masih di bawah 10% dari jumlah total guru. Keadaan lebih baik ditunjukkan pada jejang pendidikan SMP, dan MTs. sebanyak 42,03% guru yang sudah memenuhi syarat kualifikasi. Namun jumlah ini masih kurang dari 50% jumlah total guru SMP.29 Disamping masih banyak guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi, guru yang qualified pun masih banyak yang mismatch, artinya guru yang sudah berlatar belakang pendidikan S-1 pun masih banyak ditemukan tidak berlatar belakang pendidikan sesuai bidangnya. Misalnya, banyak guru yang mengajar agama tetapi berlatar belakang S-1 bidang syariah atau dari bidang ushuludin. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan mendasarkan data pada kajian literatur, dokumen rekaman produk kebijakan dan data lapangan. Pendekatan ini berusaha menyingkap bagaimana eksistensi kebijakan pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap peningkatan kualifikasi akademik guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur. Oleh karena itu, pendekatan holistik yang berupaya memahami sesuatu dari sudut pandang keutuhannya, sesuai untuk dipergunakan dalam penelitian ini. Subjek penelitian ini meliputi: a) dokumen, undangundang/peraturan pemerintah, buku, leafleat, poster, dan lain-lain, b) Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, c) Kepala Biro Administrasi Kemasyarakatan Pemprov Jatim, d) Kepala Bidang Peka Pontren Kemenag RI Jawa Timur, e) Kepala Lembaga Pengembangan Pendidikan Diniyah (LPPD) Pemprov Jatim, f) Rektor/Ketua Perguruan 28
Data EMIS (Electronic Management Information System) Kementerian Agama Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Timur. 29 Ibid.
64
M. Nafiur Rofiq, Eksistensi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur Tinggi penyelenggara program fasilitasi, g) Ketua Persatuan Guru Madrasah Diniyah (PGDI), h) Guru-guru Madrasah Diniyah peserta program fasilitasi. Untuk meraih data yang diperlukan, dilakukan melalui metode observasi lapangan, wawancara mendalam dan studi dokumenter yang dilakukan secara triangulation. Jadi ada proses check and recheck, bahkan hasilnya akan memantapkan dalam diskusi kelompok terarah (focus group discussion, atau FGD), sehingga tujuan untuk meraih kedalaman dan keutuhan data dapat terpenuhi. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Pada tingkat pelaksanaannya, analisis data berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data. Strategi analisis bertolak dari data dan bermuara pada simpulan-simpulan umum30. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah dengan analisis model interaktif dari Miles and Huberman,31 yang membagi kegiatan analisis menjadi empat bagian, yaitu : pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. TEMUAN DAN ANALISIS DATA a. Background Kebijakan Tidak terlalu berlebihan jika pemerintah provinsi Jawa Timur mengambil langkah kebijakan strategis di bidang pendidikan keagamaan Islam. Hal ini disamping telah sesuai dengan visi, misi dan tujuan pembangunan provinsi jawa timur, juga karena dipandang telah sesuai dengan potensi sosial kemasyarakatan di daerah Jawa Timur yang mayoritas penduduknya adalah muslim, yaitu 35.496.386 jiwa (98,01%) dari jumlah total penduduk sebesar 37.189.545 jiwa. Potensi lain yang dimiliki Jawa Timur sebagai konsekuensi dari besarnya jumlah pemeluk agama Islam adalah banyaknya jumlah pondok pesantren yang tersebar ke seluruh pelosok daerah Kabupaten dan sebagian kecil di Kota se Jawa Timur, yaitu sekitar 1500 pondok pesantren. “Basis muslim” dan “basis pesantren” telah menjadi keyword (kata kunci) yang dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah provinsi jawa timur dalam menetapkan kebijakan bantuan pendidikan untuk guru, murid, dan lembaga pendidikan Madrasah Diniyah (Madin) se jawa timur dengan berbagai varian programnya. Berkaitan dengan basis atau besarnya jumlah pesantren tersebut, Kepala bidang Peka-Pontren Kantor Kementerian Agama RI Wilayah Jawa Timur mengemukakan: “...besarnya jumlah pondok pesantren di Jawa Timur inilah yang dalam sejarahnya menjadi cikal bakal (embrio) dilahirkannya lembaga pendidikan Madrasah Diniyah (Madin) yang jumlahnya juga cukup besar yaitu sekitar 67.885 buah yang pada perkembangan berikutnya Madin juga banyak dibuka dan dikelola 30
Noeng Muhadjir, Op.Cit. h.209. Matthew B. Miles & Michael A. Huberman, Qualitative data analysis, a sourcebook of new methods, London & New Delhi: Sage Publications, 1984. h.10. 31
65
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011 di luar pesantren, bahkan jumlahnya lebih besar yaitu 63.505 buah dari pada Madin yang dikelola di dalam pesantren 4.380 buah...” 32 Hal lain yang melatarbelakangi ditetapkannya kebijakan pemerintah provinsi untuk memberikan bantuan kepada lembaga pendidikan Madrasah Diniyah di jawa timur adalah dorongan berbagai pihak mulai pemerintah, pakar, praktisi pendidikan Islam, tokoh masyarakat, Ulama‟ dan kyai-kyai pesantren sebagai upaya menyikapi (merespon) regulasi peraturan pendidikan mulai dari UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005, sampai dengan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut, mutlak telah diakui bahwa pendidikan Madrasah Diniyah ke depan statusnya harus disejajarkan dengan lembagalembaga pendidikan formal lainnya yang ada di negeri ini. Pada aspek legal formalnya tinggal menunggu satu langkah, yaitu menunggu disahkannya Peraturan Menteri Agama (PMA). Berkenaan dengan ini Rektor IAIN Sunan Ampel sekaligus Koordinator Kopertais Wilayah IV Surabaya mengemukakan: “...secara nyata di Indonesia telah terjadi silent revolution, yaitu melalui disahkannya UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, PP Guru dan Dosen, yang secara khusus menjadi titik tolak bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Khusus di Jawa Timur, maka silent revolution tersebut bisa dirasakan adanya program yang sangat inovatif tentang relasi antara pemberdayaan Madrasah Diniyah (madin) sebagai implementasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk rakyat. Konsep itu tentu saja adalah janji Pak De Karwo sewaktu kampanye pilgub beberapa waktu yang lalu. Di mana-mana terpampang tulisan APBD Untuk Rakyat”.33 b. Implementasi Kebijakan Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan kewajiban yang harus dilakukan pemerintah. Caranya tentu dengan membuat kebijakan yang pro pendidikan. Demikian juga yang dilakukan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim, Soekarwo dan Saifullah Yusuf. Dwi tunggal pemimpin provinsi berpenduduk sekitar 38 juta jiwa ini telah membuat program terobosan untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat sekaligus menyejahterakan guru pengajarnya. Hal itu terlihat dari tiga program prioritas yang telah direalisasikan tahun ini, yakni pembuatan unit sekolah baru (USB), pemberantasan buta
32
Wawancara dengan Ahmad Mubasyir (Ketua bidang Peka Pontren) Kementerian Agama RI Kantor Wilayah Jawa Timur, tanggal 2 Oktober 2010. 33 Pidato Prof.Dr.H.Nur Syam, M.Si. pada acara penandatanganan kontrak(MoU) antara Gubernur jawa timur dengan 34 PTAI se jawa timur yang menerima program peningkatan kualifikasi akademik guru Madin di auditorium Binaloka Adhikara tanggal 13 Oktober 2010.
66
M. Nafiur Rofiq, Eksistensi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur aksara, dan program Bantuan Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah Diniyah dan Guru Swasta (BPP-MDGS). Untuk implementasi Bantuan Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah Diniyah dan Guru Swasta (BPP-MDGS), maka pada tahun 2006 Pemprop Jatim telah memberikan beasiswa kepada 435 orang guru Madin untuk menempuh program strata satu (S1) IAIN Sunan Ampel Surabaya yang diselenggarakan di 11 titik Perguruan Tinggi di Jawa Timur dengan alokasi anggaran Rp. 5 milyar (termasuk alokasi anggaran untuk 150 orang guru-guru SD lulusan D2 untuk menempuh program S1). Mereka yang merupakan mahasiswa angkatan pertama yang diberi beasiswa oleh Pemprop Jatim ini telah diwisuda di Islamic Center Surabaya pada tanggal 15 Mei 2010. Pada tahun 2007 Pemprop Jatim melanjutkan program tersebut dengan memberikan beasiswa kepada 880 orang guru Madin untuk menempuh program yang sama di 32 Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh Jawa Timur dengan alokasi anggaran Rp. 8 milyar (termasuk alokasi anggaran untuk 120 orang guru-guru SD lulusan D2 untuk menempuh program S1). 34 Berikutnya, tahun 2008 juga terdapat 1055 orang guru Madin menempuh program yang sama di 34 Perguruan Tinggi Jawa Timur dengan alokasi anggaran Rp. 8 milyar, dan tahun 2009 terdapat 1000 orang guru Madin juga menempuh program beasiswa tersebut di 34 Perguruan Tinggi yang sama dengan tahun sebelumnya dengan alokasi anggaran Rp. 8 milyar. Pada tahun 2010, Pemprop Jatim masih melanjutkan program yang sama untuk 1000 orang guru Madin dengan mengalokasikan anggaran yang sama pula besarnya dengan tahun sebelumnya yaitu Rp. 8 milyar untuk 34 Perguruan Tinggi penyelenggara di Jawa Timur. Berdasarkan data jumlah peserta dan sebaran wilayah penyelenggaraan program peningkatan kualifikasi akademik guru Madin/pesantren di atas, maka total guru Madin yang dikuliahkan program strata satu (S1) oleh Pemprop Jatim mulai tahun 2006 s/d 2010 seluruhnya berjumlah 4.370 orang guru Madin. Jumlah ini dalam kurun waktu 4 tahun termasuk cukup besar dan ditargetkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 harus mencapai angka 10.000 orang guru Madin yang dikuliahkan S1 gratis dalam rangka membantu meningkatkan kualifikasi akademik mereka untuk menjawab tantangan regulasi peraturan pendidikan di negara ini, khususnya untuk memenuhi standar minimal latar belakang pendidikan S1 bagi guru-guru Madin di Jawa Timur. c. Eksistensi dan Tantangan Madrasah Diniyah Sejak awal (pra-kemerdekaan), sebelum sekolah sekolah didirikan oleh pemerintah di seluruh nusantara ini, Madrasah Diniyah sudah berdiri terlebih dahulu dan mampu menunjukkan eksistensinya dengan bukti kemandiriannya di masyarakat tanpa bergantung kepada pemerintah (bahkan saat itu menjadi oposisi pemerintah kolonialisme 34
Hasil wawancara dengan Drs. Thoriq Affandi (Kepala Biro Administrasi Kemasyarakatan) Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada tanggal 9 Agustus 2010 di Kantor Gubernuran. 67
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011 belanda). Pasca kemerdekaan yang dimulai tahun 1945 hingga berakhirnya kekuasaan rezim orde baru tahun 1998, Madrasah Diniyah tetap diposisikan berada di luar sistem pendidikan dan tidak mendapat dukungan dari pemerintah yang berkuasa saat itu, akan tetapi Madin terbukti tetap eksis serta mampu melahirkan tokoh-tokoh dan pemimpin nasional yang diproduk dari pendidikan Madrasah Diniyah yang selama ini dimarginalkan oleh negara (orde baru). Fakta sejarah di atas, menunjukkan kepada semua pihak bahwa eksistensi madrasah diniyah selama ini sebenarnya tidak bisa dipandang sebelah mata, karena sebagai sesama anak bangsa madrasah diniyah juga memiliki andil dalam menbangun bangsa. Madrasah diniyah adalah lembaga pendidikan produk tradisi asli khas Indonesia, madrasah diniyah bukanlah “school” (sekolah) hasil adopsi dari tradisi barat seperti yang selama ini dianut oleh Kementerian Pendidikan Nasional, dan madrasah diniyah juga bukan “madrasah” seperti yang selama ini menjadi numenklatur yang dipakai oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Madrasah diniyah adalah sebuah lembaga pendidikan non-formal yang selama ini menjadi ruh dan karakteristik yang melekat di dalam proses pembelajaran santri di pesantren pesantren seluruh Indonesia. Sekalipun dengan keterbatasannya dalam hal dukungan pemerintah selama ini, namun Madin tetap eksis dan survive selama kurang lebih satu setengah abad lamanya. Dalam waktu lima tahun terakhir saja (2003-2007), pemerintah telah mengesahkan dan memberlakukan sederetan peraturan dan perundang undangan untuk regulasi pendidikan di Indonesia, yaitu: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan Dengan diberlakukannya undang undang dan peraturan tentang pendidikan tersebut di atas, maka bagi sekolah atau madrasah harus menyesuaikan diri dengan peraturan yang berlaku tersebut, tentu tanpa terkecuali Madrasah Diniyah-pun juga harus dapat bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi peraturan tersebut serta mampu menempatkan diri demi eksistensinya ke depan. Dalam Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2007 misalnya, Pendidikan Diniyah Formal diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 20 yang berisikan tentang regulasi pendidikan madrasah diniyah yang berhubungan dengan jenjang pendidikan, kurikulum, standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam, dan tenaga pendidik dan kependidikan.
68
M. Nafiur Rofiq, Eksistensi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur Sehubungan dengan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, maka setiap guru yang mengajar pada setiap satuan pendidikan harus berkualifikasi pendidikan minimal sarjana S1 atau Diploma IV sebagaimana diatur dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kebijakan pemerintah provinsi jawa timur dalam memberikan beasiswa kuliah S1 bagi guru guru madrasah diniyah di jawa timur dipandang tepat dan relevan dengan kebutuhan lembaga pendidikan madrasah diniyah untuk mengantisipasi regulasi peraturan dan perundang undangan pendidikan di Indonesia serta untuk mengadaptasi zaman yang lajunya sangat cepat. Di Jawa Timur, seperti telah dilaporkan sebelumnya, guru madrasah diniyah mulai tingkat ula, wustha dan ulya jumlahnya mencapai 112.413 orang (72.391 laki-laki dan 40.022 perempuan). Jumlah tersebut, mayoritas dari mereka adalah lulusan SLTA yaitu 86.210 orang. Ini artinya sekitar 85% guru guru madrasah diniyah di jawa timur masih belum memiliki standar kualifikasi pendidikan minimal Sarjana S1 dan/atau D4. Disamping itu, terkait dengan kesejahteraan mereka menurut Abdul Syafi‟ie,35 terdapat sekitar 40.000 orang guru madrasah diniyah di provinsi Jawa Timur ini masih berpenghasilan jauh di bawah upah minimum provinsi. Berikut ini adalah pernyataannya: “...gaji yang mereka terima hanya Rp 20 ribu hingga Rp 100 ribu per bulan, kondisi ini sudah berlangsung lama karena sejak awal sekolah diniyah memang didirikan dan dikelola secara mandiri oleh masyarakat. Bahkan, 90 persen pembangunan gedung sekolah diniyah tidak tersentuh dana dari pemerintah. "Ini ironis karena sekolah diniyah merupakan lembaga pendidikan tertua, sudah ada sebelum kemerdekaan," 36 Memperhatikan data tentang keadaan guru guru madrasah diniyah sebagaimana dilaporkan di atas, maka dapat dipahami relevansinya kenapa pemerintah provinsi jawa timur sangat antusias dalam mewujudkan kebijakan program peningkatan kualifikasi guru madrasah diniyah untuk dikuliahkan gratis pada program strata satu (S1) di 34 Perguruan Tinggi Agama Islam se jawa timur? Jawabnya, agar kualifikasi akademik mereka meningkat menjadi Sarjana S1 sehingga dapat memenuhi tuntutan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. PENUTUP Mengamati hasil analisis dan pembahasannya, akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur tentang program peningkatan kualifikasi akademik guru-guru Madrasah Diniyah di 35
Ketua Persatuan Guru Diniyah Indonesia (PGDI) Jawa Timur. Hasil wawancara dengan Abdul Syafi’ie tanggal 19 Agustus 2010 di Kantor Kementerian Agama RI Wilayah Jawa Timur. 36
69
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011 jawa timur tampak eksis dan strategis, memiliki taraf signifikansi yang relatif tinggi serta relevan dengan kebutuhan lembaga pendidikan Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren se jawa timur. Secara mendasar kebijakan tersebut memiliki eksistensi yang cukup kuat, karena didukung dengan hal hal faktual sebagai berikut: a) Jawa timur merupakan provinsi yang berbasis ummat Islam (98.01%), dengan jumlah pondok pesantren yang cukup besar (sekitar 1.500 buah) dan jumlah lembaga pendidikan madrasah diniyah yang juga besar (67.885 buah). Jumlah tersebut paling besar diantara provinsi lain di seluruh Indonesia. b) Hegemoni kepemimpinan (kultural) para kyai sebagai pengasuh pondok pesantren kepada masyarakat jawa timur relatif sangat kuat dalam mempengaruhi sikap masyarakat, khususnya sikap masyarakat terkait dengan partisipasi pendidikan, baik pendidikan umum (formal) maupun pendidikan keagamaan (non formal) masyarakat jawa timur. c) Tuntutan regulasi dan perkembangan peraturan perundang undangan pendidikan yang semakin ketat dalam rangka standarisasi pendidikan secara nasional. Madrasah Diniyah ke depan harus mampu menyesuaikan diri dengan regulasi tersebut, karena eksistensi lembaga pendidikan Madrasah Diniyah saat ini telah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional (pasal 30 ayat 4 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas). d) Jumlah guru Madrasah Diniyah se jawa timur relatif besar, yaitu 112.413 orang. Dari jumlah tersebut terdapat 86.210 orang guru di jawa timur masih belum memiliki kualifikasi akademik Sarjana Strata Satu (S1) atau Diploma Empat (D-4), sehingga mereka perlu di upgrade supaya sesuai dengan tuntutan Undang undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 bab-IV pasal 8 dan 9. Pemberian beasiswa kuliah S1 kepada 10.000 orang guru Madrasah Diniyah (target sampai tahun 2013) oleh pemerintah provinsi jawa timur adalah langkah strategis yang dapat membantu eksistensi dan survive-nya Madrasah Diniyah ke depan. e) Dengan disahkan dan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, menunjukkan bahwa keberadaan Madrasah Diniyah ke depan akan semakin eksis. Oleh karena itu pemerintah provinsi melalui Lembaga Pengembangan Pendidikan Diniyah (LPPD) Jawa Timur dengan merangkul para kyai pondok pesantren dan beberapa Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIS) terus berupaya melakukan standarisasi Madrasah Diniyah agar statusnya sama/setara dengan lembaga pendidikan formal lainnya di jawa timur. 2. Implementasi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur tentang program peningkatan kualifikasi akademik guru guru Madrasah Diniyah mulai tahun 2006 sampai dengan 2010 telah mencapai 4.370 orang guru yang dikuliahkan program strata satu (S1) di 34 perguruan tinggi yang tersebar di 30 Kabupaten/Kota. Program ini
70
M. Nafiur Rofiq, Eksistensi Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Peningkatan Kualifikasi Akademik Guru Madrasah Diniyah di Jawa Timur telah berjalan lancar sesuai dengan perencanaan dan ditargetkan pada tahun 2014 akan mencapai 10.000 orang guru harus berkualifikasi pendidikan Sarjana.
DAFTAR PUSTAKA Abu Luwis al-Yasu'i, al-Munjid Fi al-LughahWa al-Munjid Fi al-A'lam, Cet.23, Dar al-Masyriq, Beirut, tt. Badri Yatim. 1999. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci: Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925. Jakarta: Logos. Danim, Sudarwan. 1997. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, Jakarta: Bina Aksara. Dye, Thomas R. 1995. Understanding Public Policy, New Jersey: Prentice Hall. Easton, David, 1965. A System Analysis of Political Life, New York: Willey. Ghozali, Fendi, 2009. Peran Masyarakat Dalam Pendidikan Madrasah Diniyah Takmiliyah Misbahuttullab Dusun Setia Desa Parit Pudin Kecamatan Pengabuan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Isnaini, Muhammad. 2007. Studi Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan Keagamaan Diniyah di Indonesia. Jakarta: Proyek Balitbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag. Laswell, Harold & Abraham Kaplan. 1970. Power and Society, New Heaven: Yale University Press. LPPD. 2009. Draft Standar Pendidikan Diniyah. Lembaga Pengembangan Pendidikan Diniyah (LPPD) Propinsi Jawa Timur. Majchrzak, Ann. 1984. Methods for Policy Research, London: Sage. Mayer, Robert R. & Ernest Greenwood. 1980. Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Jakarta: Rajawali. Miles, Matthew B. & Michael A. Huberman. 1984. Qualitative data analysis, a sourcebook of new methods, London & New Delhi: Sage Publications. Muhadjir, Noeng. 2003. Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research. Yogyakarta: Rake Sarasin. 71
JURNAL FALASIFA. Vol. 2 No. 1 Maret 2011
_______________. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. Saidi, Anas, et al. 2008. Panduan Penelitian di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Jakarta: Depag RI Dirjen Pendis Direktorat Pendidikan Tinggi Islam. Sekretariat Negara RI., 2003, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: 11 Juni. ____________________2005. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. ____________________2007.Peraturan Pemerintah No. 55 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Shaw, Stanford J. 1977. History of the Ottoman Empire and Modern Turkey, Cambridge: Cambridge University Press. Soebahar, Abd. Halim. 2009. Pendidikan Islam dan Trend Masa Depan Pemetaan Wacana dan Reorientasi. Jember: Pena Salsabila. Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah dan Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES. Suryadi, Ace & H.A.R. Tilaar. 1994. Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Syalabi, Ali Muhammad. 1977. Tarikh al-Ta'lim fi al-Mamlakah al-'Arabiyyah al-Su 'udiyyah, Kuwait: Dar al-Qalam. Tilaar, H.A.R. & Riant Nugroho. 2008. Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
72