Komunitas Tionghoa di Desa Gudo 1967-2004 (Kajian Sejarah Sosial Etnis Tionghoa di Klenteng Hong San Kiong dan Relevansinya terhadap Pembelajaran Sejarah Lokal)
Oleh: Kartika Cahya Pertiwi1
Abstrak: Kehidupan etnis Tionghoa dan klenteng tidak bisa lepas dari masyarakat sekitar. Kehidupan ketiga komponen (etnis Tionghoa, klenteng, dan masyarakat) tersebut tanpa sengaja akan mengarah pada sebuah pembauran yang nantinya akan menjadi suatu kekuatan etnis Tionghoa untuk tetap mempertahankan keberadaan klenteng. Pada tahun 1967 hingga 1998, selain dihadapkan pada peraturanperaturan pemerintah, Komunitas Tionghoa juga dihadapkan pada lingkungan sekitar mereka yang memiliki adat istiadat, kepercayaan dan tradisi yang berbeda. Pada kurun waktu tersebut menghasilkan berbagai bentuk pembauran sebagai salah satu upaya etnis Tionghoa mempertahankan keberadaan klenteng. Pada masa era reformasi dimulai tahun 1999 mulai ada keterbukaan pemerintah terhadap keberadaan klenteng dan komunitasnya. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Keppres no.6 tahun 2000 yang berisi pencabutan Inpres no.14 Tahun 1967 dan diakuinya Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Kajian mengenai Komunitas etnis Tionghoa di Desa Gudo ini juga dapat menjadi pembelajaran sejarah lokal dalam pengajaran sejarah.
Kata Kunci: Sejarah Sosial, Komunitas, etnis Tionghoa, Klenteng Hong San Kiong, Pembelajaran Sejarah Lokal
Pendahuluan Komunitas Klenteng Hong San Kiong berada di Dusun Tukangan, Desa Gudo, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang. Berdasarkan hasil wawancara keberadaan etnis Tionghoa di Gudo bersamaan dengan berdirinya Klenteng Hong San Kiong yang diperkirakan telah berdiri pada tahun 1700 M. Keberadaan komunitasnya ini pada masa Orde Baru tidak hanya dihadapkan pada kebijakankebijakan pemerintah, salah satunya yaitu Inpres No.14 tahun 1967, tetapi juga 1
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang angkatan 2008.
dihadapkan pada masyarakat sekitar yang berbeda dalam adat, istiadat, kepercayaan dan budaya. Komunitas Klenteng Hong San Kiong mempunyai upaya tersendiri dalam mempertahankan keberadaannya. Klenteng Hong San Kiong mengalami tekanan pada masa awal pemerintahan Orde Baru pada tahun 1967. Dengan dikeluarkannya Inpres No.14 tahun 1967 tentang pembatasan ritual adat istiadat, kepercayaan dan kesenian yang berorientasi kepada Negara Cina. Peraturan tersebut secara langsung memasung kebebasan klenteng di seluruh Indonesia. Peraturan tersebut kemudian disusul dengan peraturan-peraturan lain sebagai program asimilasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia hingga tahun 1998. Pada masa era reformasi dimulai tahun 1999 mulai ada keterbukaan pemerintah terhadap keberadaan klenteng dan komunitasnya. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Keppres no.6 tahun 2000 yang berisi pencabutan Inpres no.14 Tahun 1967 dan diakuinya Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia. Penulisan kajian mengenai Komunitas etnis Tionghoa di Desa Gudo ini diharapkan dapat menjadi kajian yang dapat dipakai sebagai pembelajarah sejarah lokal dalam pengajaran sejarah. Adapun rumusan masalah penelitian ini yaitu: (1) Bagaimana latar belakang kedatangan etnis Tionghoa di Desa Gudo?, (2) Bagaimana Keberadaan Klenteng Hong San Kiong di Desa Gudo?, (3) Bagaimana Upaya Etnis Tionghoa Mempertahankan Keberlangsungan Klenteng Hong San Kiong 1967-2004?, 4) Bagaimana Relevansi Kajian Komunitas Tionghoa di Gudo 1967-2004 terhadap Pembelajaran Sejarah Lokal dalam Pengajaran Sejarah?. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menginformasikan keberadaan Klenteng Hong
San Kiong di Gudo dan upaya etnis Tionghoa mempertahankan keberlangsungan Klenteng Hong San Kiong 1967-2004.
Metode Penelitian Penulisan karya ilmiah ini nanti menggunakan metode penelitian sejarah (historical research). Metode sejarah menurut Sjamsuddin (2007:66) bagaimana mengetahui sejarah. Metode penelitian sejarah pada umumnya dilakukan dengan langkah-langkah di antaranya : 1) pemilihan topik, 2) pengumpulan sumber (heuristik), 3) verifikasi (kritik ekstern dan kritik intern), 4) interpretasi (sintesis dan analisis), dan 5) penulisan sejarah (historiografi). Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan sejarah sosial. Pendekatan ini dipakai dengan alasan karena pada penulisan skripsi ini akan banyak mengulas perubahan sosial suatu masyarakat etnis Tionghoa dalam kurun waktu Orde Baru hingga Reformasi. Perubahan sosial yang dimaksudkan yaitu proses pembauran yang terjadi sebagai salah satu usaha yang dilakukan untuk menghadapi tantangan dari lingkungan sekitar. Sesuai dengan penjelasan Kartodirdjo (1992:160), bahwa proses perubahan sosial mencakup permasalahan salah satu di antaranya yaitu proses akulturasi, yang artinya proses yang mencakup usaha masyarakat menghadapi pengaruh dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian terhadap pengaruh baru tersebut, namun tetap berdasarkan pada kultural lama yang telah dimiliki sebelumnya. Berdasar pada kultural yang lama, akan menentukan sikap terhadap pengaruh baru tersebutdengan tidak meninggalkan kultural lama.
Kondisi Demografis etnis Tionghoa di Gudo Berdasarkan Rekapitulasi Penduduk/Kepala Keluarga Desa Gudo Kecamatan Gudo Kabupaten Jombang Tahun 1986, Dusun Tukangan memiliki jumlah kepala keluarga etnis/keturunan Tionghoa terbanyak yakni 27 Kepala Keluarga. Jumlah ini telah banyak berkurang dengan adanya perpindahan penduduk dan kematian. Sedangkan untuk Kademangan, dusun ini pada tahun 1986 tidak ditemukan kepala keluarga etnis/keturunan Tionghoa. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pada tahun 1986 jumlah etnis/keturunan Tionghoa di Desa Gudo relatif sedikit jumlahnya. Hingga tahun 2012 menurut Hasil Pendataan Warga Keturunan etnis Tionghoa Kantor Desa/Kelurahan Gudo Tahun 2012, jumlah warga keturunan etnis Tionghoa pada tahun 2012 yang bertempat tinggal di Gudo sangat sedikit hanya sekitar 38 kepala keluarga. Data ini juga diperkuat dengan informasi yang berhasil di peroleh dari majalah Liberty (edisi 2479 tahun 2012) , hingga tahun 2012 jumlah keluarga keturunan Tionghoa di Kecamatan Gudo hanya sekitar 30 kepala keluarga. Jumlah ini sangat sedikit jika melihat begitu berperannya etnis Tionghoa dalam membentuk citra Gudo yang terkenal dengan keberadaan etnis Tionghoa.
Awal Kedatangan etnis Tionghoa di Desa Gudo Etnis Tionghoa mempunyai peran tersendiri dalam membentuk citra Gudo sebagai kawasan Tionghoa. Penamaan Desa Gudo sendiri juga tidak terlepas dari keterlibatan etnis Tionghoa. Menurut keterangan yang beredar di masyarakat, Gudo berasal dari kata “Pagoda” yaitu bangunan yang berbentuk menara yang
atapnya terdapat pada tiap tingkat, biasanya dibangun sebagai kuil atau tugu peringatan (misal yang terdapat di India, Srilanka, Burma, Cina dan Jepang). Benda itu konon ditemukan di mana Klenteng Hong San Kiong berdiri sekarang, yang pada akhirnya menjadi penamaan daerah tersebut. keberadaan etnis Tionghoa di Gudo dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya dengan menghindari ketatnya persaingan dagang yang ada di kota. Wilayah Gudo yang bukan merupakan kota besar dan kondisi masyarakat yang awam menjadi peluang bagi orang-orang Tionghoa untuk menguasai perdagangan. Hal tersebutlah yang menyebabkan adanya pemukiman etnis Tionghoa di sebuah wilayah di luar perkotaan, seperti Gudo. Kedatangan orang-orang Tionghoa terus berlanjut hingga beberapa tahun. Menurut Kuardani (2011) migrasi ini telah berlangsung ratusan tahun silam. Salah satu migrasi dilakukan oleh seorang Tionghoa bernama Tok Su Kwi yang merupakan kakek dari Toni Harsono (Tok Hok Lay) merantau dari negeri Cina ke Laut Selatan hingga sampai di bibir Pulau Jawa dengan membawa serta kesenian boneka dari wilayah Hokkian (Cina Selatan) yang di daerah asalnya dikenal sebagai Pouw Tee Hie. Sesampainya di Pulai Jawa Tok Su Kwi memilih menetap di Gudo, Jombang. Pada masa Belanda, keberadaan etnis Tionghoa juga ditunjang dengan adanya pabrik gula milik Belanda. Pabrik tersebut merupakan merupakan cabang dari pabrik gula Meritjan Kediri miliknya Bank Belanda. Gudo pernah mengalami jaman makmur dengan adanya pabrik gula tersebut (Liem Sik Hie, 1954:4).
Munculnya Kampung Tukangan sebagai Pecinan di Desa Gudo Pemerintahan Belanda banyak memberikan kontribusi terkait munculnya sebutan Kampung Tukangan sebagai pecinan di Desa Gudo. Kecamatan Gudo pada zaman Belanda banyak dijumpai warga Tionghoa yang bekerja untuk pabrik gula Belanda tersebut. Pabrik gula yang dibangun di lahan yang luas , dan terdapat pula ruang untuk menempatkan mesin-mesin yang rusak. Untuk memperbaiki kerusakan mesin pabrik, banyak tenaga dari orang-orang Tionghoa yang dikerahkan. Pekerja atau pegawai dalam bahasa Jawa disebut “Tukang” maka kawasan pemukiman Tionghoa dinamakan Kampung Tukangan. Diperkirakan hingga tahun 1926 masih terdapat pecinan di Kampung Tukangan walaupun jumlah penduduk etnis Tionghoa mengalami penurunan dan bangunannya tidak lagi didominasi oleh bangunan khas pecinan.
Sejarah Klenteng Hong San Kiong Gudo Keberadaan klenteng Hong San Kiong ini diperkirakan telah ada sekitar tahun 1700 M bersamaan dengan munculnya pemukiman warga Tionghoa2. Dalam buku kenang-kenangan Klenteng Hong San Kiong (2004) mengisahkan keberadaan klenteng dimulai dari sebuah keluarga bermarga “Tan” yang memuja Kong Co Kong Tik Cun Ong. Kepengerusan yang telah berlangsung dari 19262004, keluarga marga “Tan” selalu terlibat dalam setiap periode kepengurusan. Sosok keluarga “Tan” memang memiliki peran cukup penting pada awal berdirinya Klenteng Hong San Kiong.
2
Wawancara dengan Bapak Edi Suprapto selaku Bendahara I Klenteng Hong San Kiong Periode 2012-2015 pada tanggal 19 Mei 2012 pukul 14.10 WIB di kediaman Bapak Edi Ds. Pesanggrahan RT01/RW 01 Kec. Gudo/ Kab. Jombang
Kebijakan Pemerintah terhadap Komunitas Tionghoa tahun 1967-2004 dan Upaya yang Dilakukan etnis Tionghoa Untuk Mempertahankan Keberlangsungan Klenteng Hong San Kiong Identitas merupakan sumber sense of belonging dan rasa aman bagi mereka yang memiliki. Kebutuhan individu atau kelompok untuk memiliki identitas itu didorong oleh motif –motif utama yang meliputi: 1) kebutuhan memiliki konsep diri yang positif, 2) kebutuhan untuk berafiliasi dengan kelompok sosial yang lebih besar, dan 3) kebutuhan untuk mempertahankan identitas sosial positif melalui kegiatan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain. Bagi kelompok dengan status lebih rendah biasanya mereka memilih strategi yang lebih aman melalui mobilitas sosial dan kreativitas sosial (Afif, 2012:53). Menurut Afif (2012) , dalam konteks kehidupan kelompok minoritas Tionghoa, sepanjang keberadaan mereka di Indonesia mereka lebih cenderung lebih memilih tidak melakukan konfrontasi langsung dengan pihak-pihak yang lebih dominan, baik itu penguasa maupun kelompok mayoritas pribumi. Posisi mereka yang rentan terhadap perlakuan-perlakuan diskriminatif dari kedua pihak tersebut mendorong mereka untuk memilih strategi yang lebih bersifat adaptasi ketimbang konfrontasi. Kondisi masyarakat seperti tersebut, serupa dengan kondisi masyarakat yang digambarkan Talcot Parsons dalam Teori Sistemnya. Situasi jaman yang berbeda pada saat Belanda masih berada di Indonesia, ketika posisi mereka berada pada strata sosial yang lebih lebih tinggi dibanding pribumi menyebabkan etnis Tionghoa harus dapat mempertahankan diri di tengah lingkungan pribumi agar
tetap diakui keberadaannya.Teori Sistem yang memandang suatu masyarakat terdiri dari sifat adaptasi, mempertahankan diri, integrasi dan orientasi tujuan yang semua komponen. Kebijakan pemerintah terhadap Komunitas Tionghoa dari tahun 19672003 semakin mengalami perbaikan yang banyak menguntungkan keberadaan mereka. Terbentuknya PTITD pada tahun 1979 menjadi respon terhadap kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru, dan menjadi salah satu upaya untuk mempertahankan keberlangsungan seluruh klenteng di Indonesia. Pada tahun 1967-2004 upaya etnis Tionghoa mempertahankan keberlangsungan Klenteng Hong San Kiong dalam bidang keagamaan, kesenian dan hubungan sosial masyarakat lebih diarahkan pada proses pembauran dengan masyarakat sekitar. Sikap adaptif lebih diterapkan untuk mempertahankan identitas mereka di tengah lingkungan masyarakat. Sebagai salah satu program asimilasi, Pemerintahan Soeharto berusaha mengubah klenteng menjadi vihara, walaupun secara makna dan fungsi antara keduanya sangat berbeda. Klenteng merupakan tempat ibadah yang digunakan oleh umat Konghucu, Tao dan Budha, sedangkan vihara hanya diperuntukkan bagi umat Budha. Penganut Konghucu sendiri mempunyai upaya tersendiri dalam menghadapi tuntutan pemerintah. Diarahkannya klenteng menjadi vihara, bagi umat Konghucu sangat menyalahi aturan. Bunsu Endang Titis Bodro Triwarsi memberikan keterangan bahwa sebagai tanggapan atas peraturan pemerintah tersebut, Komunitas Klenteng akhirnya memasukkan Budha sebagai salah satu ajaran di klenteng. Namun, ajaran Budha yang dianut oleh komunitas klenteng bukanlah Budha Teravada seperti yang dianjurkan pemerintah, melainkan aliran
Budha Mahayana yaitu aliran Budha yang juga mempelajari agama Tao dan Konghucu. Pentingnya pendidikan mengenai agama Konghucu bagi generasi selanjutnya, membuat pengurus Klenteng Hong San Kiong memutuskan pada tahun 1980 dibentuk acara Pendidikan Agama Konghucu bagi anak-anak keturunan etnis Tionghoa beragama Konghucu. Mereka dibutuhkan sebagai generasi yang nantinya mengembangkan agama Konghucu dan Klenteng Hong San Kiong. Proses akulturasi yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dalam acara Shin Jiet dengan menampilkan pagelaran wayang kulit dan Reog Ponorogo menunjukkan kepada masyarakat sekitar bahwa Klenteng Hong San Kiong sebagai fokus keagamaan dan kebudayaan etnis Tionghoa mampu mengusung kebudayaan Jawa dalam acara besar yang dilaksanakan. Asumsi tersebut secara langsung dapat memperkuat posisi Klenteng Hong San Kiong di tengah lingkungan masyarakat. Pada bidang kesenian, Semakin sedikitnya etnis Tionghoa yang menaruh minat untuk memainkan Wayang Po Te Hi, disebabkan karena mereka lebih tertarik pada usaha perekonomian yang dianggap lebih menguntungkan. Sebaliknya bagi pribumi, hal ini merupakan peluang yang bagus untuk melanjutkan kelangsungan hidup mereka. Terdapat misi yang saling menguntungkan di antara etnis Tionghoa dan pribumi jika dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Bagi pribumi, Wayang Po Te Hi dapat menjadi sebuah matapencaharian yang menguntungkan mereka. Sedangkan bagi etnis Tionghoa, keterlibatan pribumi dalam kesenian Po Te Hi secara tidak langsung dapat
mempertahankan keberadaan kesenian Wayang Po Te Hi di Klenteng Hong San Kiong. Perayaan besar Imlek telah menjadi agenda rutin setiap tahun bagi etnis Tionghoa di berbagai daerah. Festival Tahun Baru Imlek adalah festival paling populer yang perayaannya bisa berlangsung hingga lima belas hari. Namun, di beberapa komunitas perayaan ini diperpendek menjadi sekitar tiga hari bahkan cuma diberi satu hari libur resmi (Bloomfield, 2010:73). Dengan ditetapkannya Konghucu sebagai agama resmi dan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional, Klenteng Hong San Kiong lebih leluasa menyelenggarakan acara-acara keagamaan. Kebebasan yang diberikan membuat setiap kegiatan yang diselenggarakan dapat ditampilkan di depan umum sehingga masyarakat umum dapat menyaksikan. Dalam bidang keagamaan, pendidikan keagamaan dilaksanakan dan terus dikembangkan sebagai program regenerasi yang diarahkan kepada anak-anak dan pemuda keturunan. Merekalah yang kelak akan melanjutkan kelangsungan Klenteng Hong San Kiong. Hingga pada tahun 2004 Komunitas Klenteng Hong San Kiong lebih membuka diri dengan lebih banyak melibatkan pribumi dalam Wayang Po Te Hi dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan sumbangan dan bantuan.
Relevansi Kajian Komunitas Tionghoa di Gudo 1967-2004 terhadap Pembelajaran Sejarah Lokal dalam Pengajaran Sejarah Pembahasan mengenai latar sejarah keberadaan etnis Tionghoa dan Klenteng Hong San Kiong ini dapat diintegrasikan dalam pelajaran sejarah bagi siswa SMA kelas XII semester 1 dalam Standar Kompetensi “Menganalisis
Perjuangan Sejak Orde Baru sampai dengan masa Reformasi”. Pada sub bagian dari SK ini terdapat Kompetensi Dasar “Menganalisis Perkembangan Pemerintahan Orde Baru” Pada bagian ini terdapat penjelasan mengenai perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat etnis Tionghoa di Gudo. Perubahan ini akibat dari kebijakan Orde Baru terhadap kehidupan tradisi dan kepercayaan etnis Tionghoa. Integrasi mengenai latar sejarah kedatangan etnis Tionghoa dan keberadaan Klenteng Hong San Kiong di awali dengan penjelasan tujuan awal kedatangan etnis Tionghoa di Gudo, hingga mendirikan Klenteng Hong San Kiong sebagai fokus aktivitas agama dan kesenian etnis Tionghoa. Dengan pemahaman awal mengenai kedatangan etnis Tionghoa dan fokus agama dan kebudayaan, siswa dapat diarahkan dengan pemberian contoh perkembangan pemerintahan masa Orde Baru dan kebijakan-kebijakan yang diluarkan dalam era pembangunannya, salah satunya yaitu kebijakan yang ditujukan kepada komunitas Tionghoa di Indonesia pada umumnya dan komunitas Tionghoa di Gudo pada khususnya. Pembelajaran sejarah lokal mengenai Komunitas Tionghoa di Desa Gudo akan menjadi modal siswa untuk dapat mengelola konsep belajarnya sendiri dan mengembangkan kemampuan berpikir yang kreatif dalam menghubungkan antara kajian sejarah lokal mengenai keberadaan Komunitas Tionghoa di Indonesia dengan perkembangan masa Orde Baru beserta kebijakan-kebijakannya. Selain itu memberi penguatan kepada siswa bahwa belajar mengenai sejarah tidak perlu harus di lakukan di dalam kelas dengan cara menghafal tetapi lebih menarik lagi jika dapat secara langsung menghubungkan dengan situasi yang nyata dalam masyarakat. Karena pada akhirnya seluruh siswa yang menempuh pendidikan di
lingkungan formal akan dihadapkan pada situasi masyarakat yang beraneka ragam.
Penutup: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada tahun 19672004 upaya etnis Tionghoa mempertahankan keberlangsungan Klenteng Hong San Kiong dalam bidang keagamaan, kesenian dan hubungan sosial masyarakat lebih diarahkan pada proses pembauran dengan masyarakat sekitar. Sikap adaptif lebih diterapkan untuk mempertahankan identitas mereka di tengah lingkungan masyarakat. Hingga pada tahun 2004 Komunitas Klenteng Hong San Kiong lebih membuka diri dengan lebih banyak melibatkan pribumi dalam Wayang Po Te Hi dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan sumbangan dan bantuan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut: 1) masyarakat Gudo tetap menjaga keharmonisan yang terjalin antara etnis Tionghoa dan masyarakat sekitar serta bersama-sama mempertahankan keberlangsungan Klenteng Hong San Kiong sebagai warisan budaya yang ada di Kecamatan Gudo, 2) Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial diharapkan penelitian mengenai Komunitas Klenteng Hong San Kiong ini dapat memperkaya wawasan mengenai komunitas Tionghoa di Indonesia, khususnya di Gudo, 3) Peneliti selanjutnya dengan tema yang sama, peneliti selanjutnya bisa mengembangkan penulisan mengenai perkembangan Wayang Po Te Hi yang ditulis dalam payung historis karena penulisan tentang Wayang Po Te Hi kebanyakan lebih banyak melihat dari aspek simbolik dan kulturalnya.
Daftar Rujukan:
Afif, A. 2012. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia. Semarang: Kepik Bloomfield, F. 1983. Chinese Beliefs. Surabaya : Penerbit Liris Buku Kenang-Kenangan Klenteng Hong San Kiong Gudo tahun 2004 Hasil Pendataan Warga Keturunan etnis Tionghoa Kantor Desa/Kelurahan Gudo Tahun 2012 Kartodirdjo, S. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kuardani, H. 2011. Maecenas Potehi dari Gudo. Yogyakarta: Isaacbook Liberty. 21-31 Maret 2012. Edisi 2479. Mengunjungi Desa Tionghoa Gudo Liem Sik Hie. 1954. Sejarah Gudo. Gudo. (tanpa penerbit) Rekapitulasi Penduduk/Kepala Keluarga Desa Gudo Kecamatan Gudo Kabupaten Jombang Tahun 1986