NILAI KEJUJURAN DALAM WACANA PENDIDIKAN: Analisis Wacana Kritis terhadap Teks Drama di Buku Ajar Rizma Angga Puspita, Frans Asisi Datang Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak Pengajaran bahasa, khususnya kompetensi wacana, dan pendidikan berkarakter merupakan dua hal yang melatarbelakangi penelitian ini. Penelitian ini mengungkap bagaimana penjabaran konkret dari nilai kejujuran dalam teks drama di buku ajar dan nilai sosial budaya apa yang kemungkinan memengaruhi produksi wacana. Analisis dalam penelitian ini menggunakan teori analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis memandang wacana sebagai praktik sosial yang produksinya dipengaruhi dan memengaruhi nilai-nilai di masyarakat. Melalui penelitian ini, diketahui bahwa teks drama bermanfaat untuk pengajaran bahasa sekaligus sarana pendidikan berkarakter. Teks drama pada penelitian ini banyak menyampaikan nilai kejujuran dengan cara tidak langsung, yaitu tidak ada penanda kata tertentu yang memudahkan penandaan nilai kejujuran. Dalam penelitian ini, juga ditemukan nilai sosial budaya, yakni ajaran agama dan hukum adat, yang kemungkinan memengaruhi produksi teks. Kejujuran yang diajarkan sebagian besar berkaitan dengan konsep menjaga amanah.
Honesty Value in Discourse of Education: Critical Discourse Analysis about Drama in Textbook Abstract Language teaching, especially the discourse competence, and building character education are the two factors that behind this research. This study reveals how the concrete elaboration of the value of honesty at drama in textbook and social and cultural value which influence the production of discourse. The analysis in this study uses theory of critical discourse analysis. Critical discourse analysis looks discourse as social practice. As social practice, discourse is influenced and affected values in society. Through this research, it is known that the drama useful for language teaching and building character education. Almost dramas in this study express the value of honesty in an indirect way, which are no specific markers that facilitate the tagging value honesty. In this study, also found socio-cultural values, namely religion and customary law, which may influenced the production of the text. Honesty is taught largely concerned with the concept of keeping mandate. Keywords: building character education; critical discourse analysis; drama; discourse competence; honesty value; language teaching.
1. Pendahuluan Saat ini, pengajaran bahasa di Indonesia bertujuan menjadikan siswa terampil menggunakan bahasa Indonesia di berbagai kegiatan. Pendekatan ini disebut pendekatan komunikatif. Salah satu kompetensi dalam pendekatan komunikatif adalah kompetensi wacana. Kompetensi
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
wacana adalah kemampuan mengaitkan kalimat-kalimat dalam rentang wacana sehingga membentuk keseluruhan bermakna dari serangkaian ujaran (lihat Parera, 1997: 78-79; dan Brown, 2007: 242). Di sisi lain, sekolah tidak hanya berlaku sebagai lembaga pengajaran, mengajarkan berbagai ilmu, tetapi juga sebagai lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah menjadi sarana pembangun karakter siswanya. Sejak tahun 2010, pemerintah dan pemerhati pendidikan memberi perhatian pada pendidikan berkarakter. Salah satu nilai yang diajarkan dalam pendidikan berkarakter adalah nilai kejujuran. Penulis memilih nilai kejujuran sebagai objek penelitian. Pengajaran bahasa Indonesia sekarang menekankan pada keterampilan berbahasa yang menggunakan teks sebagai materi ajar, salah satunya teks drama. Sementara itu, salah satu tujuan pendidikan berkarakter menjadikan siswa menjadi pribadi yang berkarakter jujur. Salah satu sarana pembangun karakter tersebut adalah teks drama dalam buku ajar. Untuk mencapai pribadi jujur tersebut, siswa harus terampil memahami nilai-nilai kejujuran yang diajarkan melalui teks drama. Kepentingan pengajaran bahasa dan pendidikan berkarakter bertemu dalam tujuan pengajaran keterampilan memahami wacana. Teks drama ini dibaca siswa sebagai bagian dari pengajaran bahasa Indonesia dan pendidikan berkarakter. Oleh karena itu, penulis berminat untuk meneliti teks drama di buku ajar bahasa Indonesia, khususnya menyoroti bagaimana nilai kejujuran diajarkan. Penulis menggunakan Buku Sekolah Elektronik (BSE) bahasa Indonesia kelas VIII sebagai data penelitian. Buku ini diluncurkan pemerintah sejak tahun 2008 dan dapat diunduh secara gratis di situs www.bse.kemdiknas.go.id. Siapa pun boleh mencetak dan menjualnya, tetapi dengan harga eceran yang sudah ditetapkan pemerintah. Buku ini murah. Kualitasnya juga tidak perlu diragukan karena buku-buku ini sudah melalui tahap penilaian.1 Sekarang, BSE banyak digunakan di sekolah-sekolah di Indonesia. Dengan demikian, BSE memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi di Indonesia. Penelitian ini menggunakan teori analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis memandang tiap-tiap bentuk bahasa mengandung pesan ideologis tertentu. Menurut Fairclough (1992: 9), sebuah wacana dibentuk dan membentuk masyarakat. Selanjutnya, kekuasaan memengaruhi kaidah atau aturan wacana dengan cara „menanamkannya‟ secara ideologi dengan cara-cara 1
Dikutip dari http://puskurbuk.net/web/bse.html, yang dikutip pada tanggal 28 Maret 2013.
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
tertentu (Fairclough, 1992: 10). Ada pihak berkuasa sebagai penghasil wacana dan ada pihak yang terkuasai sebagai konsumen atas wacana tersebut. Pihak yang berkuasa ini memiliki kuasa untuk mengarahkan pembaca ke suatu pemikiran tertentu. Dalam penelitian ini, siswa Indonesia menjadi pihak konsumen yang harus mau menerima dan mengonsumsi teks-teks bacaan di buku ajar. Penghasil wacana atau teks buku ajar memiliki kuasa untuk menanamkan nilai kejujuran pada siswa. Teks-teks yang mengandung nilai kejujuran ini merupakan wacana pendidikan kejujuran. Wacana ini dibentuk oleh pihak penghasil teks atau pihak pendidik. Wacana ini juga mencerminkan budaya ideal yang diharapkan ada pada peserta didik. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas bagaimana penjabaran nilai kejujuran dan keadaan sosiokultural yang memengaruhi teks. 2. Tinjauan Pustaka Analisis wacana kritis memandang bahwa bentuk bahasa merepresentasikan pandangan terhadap dunia. Mengungkap makna yang tersembunyi dalam bentuk-bentuk bahasa tersebut merupakan tugas peneliti analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis Fairclough (1989; 1995) memulai analisis wacana kritis pada tataran kata dan kalimat. Akan tetapi, dalam penelitian ini, penulis tidak hanya mendeskripsikan kata dan kalimat. Penulis juga menganalisis dari segi struktur makna wacana dengan menggunakan analisis proposisi Larson (1984) dan analisis menemukan makroproposisi/ makrostruktur Van Dijk (1980). Nilai kejujuran dalam penelitian ini mengandung makna abstrak yang dibentuk oleh penulis buku ajar yang dipengaruhi kebijakan kurikulum dan nilai-nilai di masyarakat. Makna abstrak tersebut direalisasikan dalam teks bacaan. Oleh karena itu, menurut penulis, analisis wacana kritis tidak hanya sebatas meneliti struktur permukaan, seperti kata dan kalimat, tetapi juga struktur makna. Menurut Fairclough (1989: 26), wacana sebagai bahasa dan praktik sosial, tidak cukup hanya dianalisis secara tekstual, melainkan perlu juga dilakukan analisis hubungan antara teks, proses produksi, dan kondisi sosialnya. Metode ini terbagi atas 3 tahap, yakni deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi (1989: 26). Tahap deskripsi berfokus pada analisis bentuk-bentuk formal bahasa yang dianggap merepresentasikan nilai kejujuran. Tahap interpretasi berfokus pada hubungan antara teks dan interaksi—tahap ini melihat teks sebagai proses produksi.
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
Tahap eksplanasi berfokus pada hubungan antara interaksi dan konteks sosial. Berikut adalah model analisis wacana kritis Fairclough (1989: 25; 1995: 98).
Proses produksi Teks
Deskripsi (analisis teks) Interpretasi (analisis proses)
Proses interpretasi Praktik wacana
Praktik sosiokultural
Eksplanasi (analisis sosial)
(situasional; institusional; sosial) Dimensi wacana
Dimensi analisis wacana
Gmbr 1. Model analisis wacana kritis Fairclough
Dimensi analisis deskripsi pada penelitian ini tidak hanya menganalisis struktur permukaan, yakni kata dan kalimat, tetapi juga struktur makna. Penulis menggunakan analisis proposisi Larson (1984) untuk menguraikan proposisi pada sebuah teks yang dianggap mengandung nilai kejujuran. Proposisi-proposisi tersebut kemudian ditentukan makroproposisi dan makrostruktur dengan teori dari Van Dijk (1980). Selanjutnya, penulis menempatkan teks dalam kerangka pendidikan berkarakter, nilai kejujuran di masyarakat, dan pengajaran bahasa pada tahap analisis interpretasi dan eksplanasi. Menurut Larson (1984: 198), proposisi adalah satuan semantis yang terdiri dari konsepkonsep. Konsep yang satu merupakan inti dan konsep lainnya berhubungan langsung dengan konsep inti. Misalnya, (Larson, 1984: 198), konsep TONO, ANTON, dan MEMUKUL dapat bergabung membentuk proposisi dengan MEMUKUL sebagai konsep inti yang mewakili KEJADIAN. Proposisi yang terbentuk tergantung pada hubungan TONO dan ANTON dengan
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
MEMUKUL. Jika TONO yang memukul dan ANTON yang dipukul, maka proposisinya adalah Tono memukul Anton. Jika TONO yang dipukul dan ANTON yang memukul, maka proposisinya Anton memukul Tono.
Suatu proposisi dapat diwujudkan dalam struktur
permukaan yang berbeda. Misalnya (Larson, 1984: 199), Tono memukul Anton; Anton dipukul oleh Tono; Pukulan pada Anton oleh Tono; Tono, yang memukul Anton.
Bentuk-bentuk yang berbeda tersebut memiliki proposisi yang sama yakni TONO (sebagai pelaku), MEMUKUL (sebagai kegiatan), dan ANTON (sebagai penderita). Data yang sudah diuraikan proposisi-proposisinya akan dianalisis lagi untuk ditentukan makroproposisinya. Makroproposisi ini merupakan penjabaran konkret dari nilai kejujuran yang
diajarkan.
Makroproposisi-makroproposisi
dianalisis
lagi
untuk
ditentukan
makrostrukturnya. Analisis makroproposisi dan makrostruktur menggunakan aturan dari Van Dijk (1980), yakni aturan penghapusan (deletion), generalisasi (generalization), dan konstruksi (construction). Aturan penghapusan (deletion) berarti mengeliminasi detail yang tidak relevan. Detail yang dimaksud merupakan detail yang tidak berpengaruh pada keseluruhan tindak tutur dari rentetan tuturan. Aturan generalisasi (generalization) memungkinkan untuk memetakan rentetan tindak tutur sehingga diketahui tindak tutur yang global. Rentetan tindak tutur merupakan detail spesifik yang menjelaskan makna global. Detail-detail ini dapat dilebur menjadi satu. Aturan konstruksi (construction) melibatkan pengetahuan penyimak tuturan untuk mengonstruksi tuturan yang implisit. Rentetan tindak tutur tertentu mengandung tindak tutur inti yang juga mungkin berfungsi membawahi keseluruhan percakapan. Rentetan tindak tutur tersebut perlu dikonstruksi untuk diketahui intinya. 3. Analisis Proposisi dan Penentuan Makroproposisi/ Makrostruktur Pada penelitian ini, penulis menguraikan proposisi sebelum menentukan makropoposisi hingga makrostrukturnya. Dalam menguraikan proposisi, penulis hanya menguraikan proposisi dari kutipan yang dianggap mengandung ajaran kejujuran. Berikut adalah contoh data dan analisisnya. Kutipan yang dianggap mengajarkan nilai kejujuran ialah kutipan yang
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
berisi pertuturan dan tindakan pelayan. Oleh karena itu, hanya kutipan tersebut yang diuraikan proposisinya. Data yang diuraikan proposisinya diberi tanda superskrip oleh penulis. Makna situasional proposisi juga ditandai dengan tanda kurung ( ). Yang termasuk dalam makna situasional ini ialah tujuan penutur, misalnya berkata, bertanya, dan memerintah. Karena data penelitian ini berupa teks drama, untuk memudahkan analisis, penulis juga menempatkan siapa penuturnya dalam tanda kurung ( ) bersama makna situasional. Selain itu, kadang-kadang ada proposisi yang tidak dapat diungkapkan secara utuh karena ada informasi yang tersembunyi atau tidak jelas disebabkan oleh struktur gramatikalnya. Untuk memudahkan analisis, informasi tersebut dimunculkan atau dijelaskan dengan tanda kurung siku [ ]. Penulis mengelompokkan analisis data dalam tiga kategori, yakni kejujuran, ketidakjujuran, serta antara kejujuran dan ketidakjujuran. Kategori kejujuran merupakan kelompok data dari teks yang mengajarkan kejujuran dengan contoh-contoh kejujuran. Kategori ketidakjujuran merupakan kelompok data dari teks yang mengajarkan kejujuran dengan contoh-contoh ketidakjujuran. Kategori antara kejujuran dan ketidakjujuran merupakan kelompok data yang mengajarkan kejujuran yang diposisikan salah dan ketidakjujuran yang diposisikan salah. Berikut ini contoh analisis dari masing-masing kategori. Kategori Kejujuran Data: Pelayan
Inem Pelayan
: (Hendak membuka1 tapi kemudian tidak jadi2) Kalau sampai menghitung3 berarti sudah hampir setuju4. Sogokan adalah haram5! (melemparkan6) : Tapi kalau tidak dilihat nanti tidak tahu betul ada isinya atau tidak. : Memang7. Tetapi hati gue bilang jangan sentuh8. Itu barang haram9.
Analisis data (uraian proposisi): 1. [Pelayan] hendak membuka [sogokan] 2. [Pelayan] tidak jadi [membuka sogokan] 3. (Pelayan berkata) menghitung [sogokan] 4. (Pelayan berkata) hampir setuju [sogokan] 5. (Pelayan berkata) sogokan adalah haram
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
6. [Pelayan] melemparkan [sogokan] 7. (Pelayan menyetujui/berkata) memang 8. (Pelayan berkata) hati gue [pelayan] bilang jangan sentuh 9. (Pelayan berkata) itu [sogokan] barang haram Selanjutnya, uraian proposisi tersebut dianalisis untuk ditentukan makroproposisinya. Untuk mengetahui makroproposisinya, dapat digunakan aturan penghapusan dan konstruksi. Proposisi 1 dan 2 berhubungan sebab-akibat dengan proposisi 3. Proposisi 3 merupakan alasan pelayan tidak jadi membuka sogokan. Proposisi 3 dan 4 memiliki hubungan persyaratan. Proposisi 6 menyatakan ketidaksetujuan pelayan pada sogokan sehingga proposisi ini mendukung proposisi-proposisi sebelumnya. Proposisi 1, 2, 3, 4, dan 6 juga memuat informasi yang diulang di proposisi 8. Pada proposisi 1, 2, 3, 4, 6, dan 8, dapat diberlakukan aturan konstruksi sehingga menghasilkan makroproposisi pelayan tidak menyentuh sogokan. Proposisi 7 dapat dihapus karena berhubungan dengan pernyataan Inem, bukan pernyataan yang proposisinya diuraikan dalam analisis ini. Proposisi 9 mengulang proposisi 5 sehingga dapat dipilih salah satu, yakni sogokan adalah haram. Makroproposisi pelayan tidak menyentuh sogokan dan sogokan adalah haram dianggap sejajar dan berhubungan sebabakibat. Oleh karena itu, keduanya dapat digabung menjadi makroproposisi yang lebih besar, yaitu pelayan tidak menyentuh sogokan karena sogokan adalah haram. Kategori Ketidakjujuran Data: Pelayan : Yulia1! Seorang perempuan muncul2 Yulia : Kamu memanggil saya3? Pelayan : Bukan4. Yulia : Kamu sudah berteriak Yulia tadi5. Nama saya Yulia6. Tidak ada orang lain bernama Yulia di sini7. Ketidakjujuran terlihat dari pertuturan pelayan. Kutipan tersebut dapat diuraikan proposisinya sebagai berikut. 1. (Pelayan memanggil) Yulia 2. Seorang perempuan [Yulia] muncul 3. (Yulia bertanya) pelayan memanggil saya [Yulia] 4. (Pelayan menjawab) bukan [pelayan tidak memanggil Yulia]
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
5. (Yulia berkata) kamu [pelayan] berteriak Yulia 6. (Yulia berkata) nama saya [Yulia] Yulia 7. (Yulia berkata) tidak ada orang lain bernama Yulia
Proposisi 2 dapat dihapus karena merupakan respon dari proposisi 1 yang keberadaannya hanya bersifat melengkapi informasi, tetapi tidak terlalu relevan dengan makna global. Proposisi 3 dapat dihapus karena merupakan pasangan tuturan dengan proposisi 4 dan proposisi 4 lebih merupakan gagasan yang ditonjolkan. Proposisi 5, 6, dan 7 merupakan protes Yulia pada pelayan yang memanggilnya sehingga ketiga proposisi ini dapat dikonstruksi menjadi Yulia protes. Dengan demikian, terdapat makroproposisi sebagai berikut: 1. (Pelayan memanggil) Yulia 2. (Pelayan menjawab) bukan [pelayan tidak memanggil Yulia] 3. Yulia protes Makroproposisi
tersebut
akan
ditentukan
makroproposisinya
yang
lebih
besar.
Makroproposisi 3 dapat dihapus karena merupakan respon dari proposisi 1 dan 2 dan bukan gagasan yang menonjol. Makroproposisi 1 dan 2 merupakan proposisi yang berkontradiksi. Ini menunjukkan ketidakkonsistenan pelayan. Dengan demikian, kedua makroproposisi ini dapat dikonstruksi menjadi makroproposisi yang lebih besar, yakni pelayan berbohong.
Kategori Antara Kejujuran dan Ketidakjujuran Data: Tokoh I : (Berdiri dari kursinya1, dia pro-Republik2) Kita harus bebaskan mereka, tokoh-tokoh kita itu3. Aku punya pasukan4, yang sejalan pikirannya dengan Republik5. KNIL II : Benar…benar pendapat itu6. Untung sekali, kita punya kawan-kawan pasukan Belanda KNIL7, yang setia pada Republik8. Ini kekuatan kita9. Pasti Belanda tidak tahu rahasia ini10. Kutipan tersebut mengandung proposisi-proposisi sebagai berikut. 1. [Tokoh I] berdiri dari kursi 2. Dia [tokoh I] pro-Republik 3. (Tokoh I berkata) kita [tokoh I dan KNIL II] harus bebaskan tokoh-tokoh kita itu [tokoh-tokoh teman tokoh I dan KNIL II] 4. (Tokoh I berkata) aku [tokoh I] punya pasukan 5. (Tokoh I berkata) pikirannya [pasukan] sejalan dengan Republik
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
6. (KNIL II berkata) benar pendapat itu [bebaskan tokoh-tokoh] 7. (KNIL II berkata) kita [tokoh I dan KNIL II] beruntung punya kawan pasukan Belanda KNIL 8. (KNIL II berkata) [kawan pasukan Belanda KNIL] setia pada Republik 9. (KNIL II berkata) ini [kawan pasukan Belanda KNIL yang setia pada Republik] kekuatan kita [tokoh I dan KNIL II] 10. (KNIL II berkata) Belanda tidak tahu rahasia ini [rencana untuk membebaskan tokoh-tokoh] Proposisi 1 dan 2 dapat dihapus karena merupakan informasi tambahan yang tidak berpengaruh pada makna global. Proposisi 4 dan 5 dibandingkan dengan proposisi 7 dan 8 memiliki gagasan yang hampir sama, tetapi proposisi 7 dan 8 lebih memuat informasi yang lengkap. Oleh karena itu, proposisi 4 dan 5 dapat dihapus. Proposisi 6 dapat dihapus karena hanya bersifat pendukung proposisi 7 dan 8, serta keberadaannya tidak terlalu penting. Dengan demikian, tersisa proposisi 3, 7, 8, 9, dan 10, yakni sebagai berikut. 1. (Tokoh I berkata) kita [tokoh I dan KNIL II] harus bebaskan tokoh-tokoh kita itu [tokoh-tokoh teman tokoh I dan KNIL II] 2. (KNIL II berkata) [tokoh I dan KNIL II] beruntung punya kawan pasukan Belanda KNIL 3. (KNIL II berkata) [kawan pasukan Belanda KNIL] setia pada Republik 4. (KNIL II berkata) ini [kawan pasukan Belanda KNIL yang setia pada Republik] kekuatan kita [tokoh I dan KNIL II] 5. (KNIL II berkata) Belanda tidak tahu rahasia ini [rencana untuk membebaskan tokoh-tokoh] Dari kelima proposisi di atas, diketahui bahwa tokoh I dan KNIL II sedang merencanakan pembebasan kawannya. Mereka menyatakan pasukan Belanda yang setia pada Republik merupakan kekuatan dan itu tidak diketahui Belanda. Dapat disimpulkan bahwa mereka berencana melakukan penyerangan dengan bantuan pasukan Belanda sendiri (KNIL). Pasukan Belanda tersebut berarti berkhianat dengan Belanda untuk membela Republik. Dengan demikian, kelima proposisi di atas dapat dikonstruksi menjadi makroproposisi Para pejuang berencana membebaskan tokoh-tokoh dengan menghianati pasukan Belanda. Makroproposisi Dalam pembahasan ini, penulis tidak akan menguraikan semua analisis data. Melalui analisis proposisi dan penentuan makroproposisi, penulis menemukan 31 makroproposisi, yaitu sebagai berikut:
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
1. Pelayan tidak menyentuh sogokan karena sogokan adalah haram 2. Suminto tidak bisa korupsi karena korupsi nista 3. Sarju tidak berani menentang wasiat 4. Kakek melaksanakan wasiat 5. Kakek memberi tetapi anak menolak karena tidak sesuai janji 6. Kakek menerima hadiah sesuai janji raja 7. Hadi bertindak buruk kemudian berterus terang dan meminta maaf 8. Murid mengaku salah dengan mengacungkan tangan 9. Raja yang baik tetap bersih 10. Laporan benar itu tidak lebih dan tidak kurang 11. Kapten mematuhi perintah pemimpin 12. Via dan temannya tidak boleh menuduh 13. Tidak ada seseorang bisa dipercaya 14. Dilarang berbohong 15. Lisawati berbicara sesuai dengan pikirannya 16. Ansor mengembalikan barang bukan miliknya yang ditemukannya 17. Isti tidak membuka bungkusan karena bukan miliknya 18. Pak Karta dipercaya Tuhan mempunyai bayi 19. Jangan pura-pura 20. Pelayan berbohong 21. Yulia ingin menyogok hakim 22. Yulia mengaburkan makna perikemanusiaan dan keadilan 23. Jumena tidak percaya Euis karena ia sering berbohong 24. Abundari bertindak sewenang-wenang 25. Dayang Sumbi melanggar janji 26. Via menuduh Ucok 27. Para pejuang berencana membebaskan tokoh-tokoh dengan menghianati pasukan belanda 28. Lohan berbohong karena tidak ingin menerima imbalan untuk menolong 29. Arya mencuri soal ulangan untuk menepati janji pada Dani 30. Kent meminta Cordella berpura-pura 31. Dokter berbohong untuk menakuti Otong
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
Makrostruktur Makroproposisi tersebut membentuk makrostruktur wacana pendidikan kejujuran. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa makrostruktur ini merupakan gagasan global yang diajarkan dalam wacana ini. Penulis akan membagi analisis menjadi dua bagian. Pertama, penulis menganalisis makroproposisi kejujuran dan ketidakjujuran. Makroproposisi tersebut membentuk makroproposisi yang lebih besar. Penulis menganggap kedua nilai tersebut satu karena hubungan satu dan lainnya hanya berupa negasi. Selanjutnya, penulis akan menganalisis makroproposisi yang menunjukkan nilai ketidakjujuran yang diperbolehkan. Penulis melihat adanya beberapa gagasan yang berulang antara makroproposisi satu dengan lainya. Oleh karena itu, aturan penghapusan dapat digunakan untuk menentukan makroproposisi yang lebih besar. Gagasan yang mendefinisikan kejujuran terlihat dari makroproposisi mengenai kejujuran dan ketidakjujuran yang jelas batasnya, yaitu: menolak sogokan—pada makroproposisi 1 dan 21; menolak korupsi—pada makroproposisi 2; menyampaikan wasiat—pada makroproposisi 3 dan 4; menepati janji—pada makroproposisi 5, 6, dan 25; mengakui kesalahan—pada makroproposisi 7 dan 8; orang yang bersih—pada makroproposisi 9; bicara apa adanya—pada makroproposisi 10, 14, 15, 20, 22, dan 23; tidak sewenang-wenang—pada makroproposisi 24; patuh pada pemimpin—pada makroproposisi 11; tidak menuduh—pada makroproposisi 12 dan 26; dapat dipercaya—pada makroproposisi 13 dan 18; tidak berpura-pura—pada makroproposisi 19; tidak mengambil barang yang bukan miliknya—pada makroproposisi 16 dan 17 . Makroproposisi-makroproposisi
di
atas
menunjukkan
perbuatan-perbuatan
yang
mencerminkan kejujuran atau ketidakjujuran dengan pembedaan yang jelas. Tindakan tidak jujur dapat diidentifikasi dengan menegasi tindakan jujur, dan sebaliknya. Makroproposisimakroproposisi di atas memiliki kesamaan berupa adanya pelajaran untuk melakukan hal yang jujur dan meninggalkan yang tidak jujur. Pembedaan kedua nilai itu juga jelas. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemberian negasi satu sama lain. Oleh karena itu, makroproposisimakroproposisi tersebut dapat ditentukan makroproposisinya yang lebih besar dengan aturan generalisasi. Makrostrukturnya yaitu kita harus melakukan hal yang jujur dan tidak melakukan hal yang tidak jujur.
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
4. Analisis Interpretasi dan Eksplanasi Jika dikaitkan dengan pendidikan berkarakter, nilai kejujuran yang dibentuk dalam wacana ini terbagi atas tiga, yakni perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Perkataan yang jujur adalah perkataan yang benar, sama dengan pemikiran, keadaan, dan pesan dari orang lain (jika berupa pesan). Benar di sini berarti sama persis, porsinya tidak dikurangi atau ditambah. Tindakan jujur diajarkan dengan berbagai contoh. Tindakan tidak jujur yang sangat buruk adalah sogokan dan korupsi. Dalam pekerjaan, kejujuran dan ketidakjujuran ditunjukkan oleh hakim, pelayan hakim, kepala desa, sekretaris desa, dan dokter. Peran menjadi raja dan orang tua juga membutuhkan kejujuran. Kejujuran cenderung diajarkan dengan menjaga amanah. Berikut ini adalah rincian penjabaran konkret nilai kejujuran yang diajarkan dalam teks.
Penelitian ini juga mengungkap nilai sosial budaya apa yang memengaruhi wacana. Penulis menemukan adanya pengaruh ajaran agama. Hal ini terlihat pada kecenderungan nilai jujur yang diiringi dengan konsep menjaga amanah yang kemungkinan berasal dari agama Islam. Hukum adat juga turut memengaruhi wacana. Keterpengaruhan agama dan hukum adat ini karena masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang memeluk berbagai agama dan kepercayaan. Masyarakat Indonesia hidup dengan ajaran-ajaran budaya setempat atau agama yang diyakininya. Oleh karena itu, wacana pendidikan yang dihasilkan juga bersumber dari ajaran-ajaran tersebut. Teks drama memiliki potensi sebagai sarana pengajaran nilai moral sekaligus bermanfaat dalam pengajaran bahasa. Salah satu tujuan pengajaran bahasa saat ini ialah membuat siswa mampu memahami teks. Untuk memahami teks, siswa harus memiliki kemampuan menandai hal-hal yang menjadi fokus teks dan harus mampu memahami rangkaian kata dan kalimat yang membentuk teks.
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
Potensi teks drama ini dapat dibuktikan pada analisis proposisi. Sebagian besar data dalam penelitian ini, yaitu dua puluh data, dapat ditentukan maknanya atau ditangkap ajaran kejujurannya
dengan
aturan
konstruksi.
Aturan
konstruksi
mengharuskan
siswa
mengonstruksi informasi yang tersirat dengan pengetahuannya dan bantuan lingual yang ada dalam teks. Selain aturan konstruksi, dapat diberlakukan aturan penghapusan pada sebelas data. Ini mengindikasikan bahwa untuk memahami atau menangkap nilai kejujuran, siswa perlu menangkap fokus-fokus teks dengan kata-kata kunci. Siswa dapat memilih mana yang dipentingkan dalam teks. Hanya dua data yang dapat diberlakukan aturan generalisasi. Itu pun diberlakukan bersamaan dengan aturan konstruksi dan penghapusan. Selain itu, teks drama juga berpotensi mengajarkan nilai kejujuran secara langsung dan tidak langsung. Ajaran langsung berasal dari pertuturan berupa definisi dan nasihat dari tokoh. Pemahamannya melalui pembacaan sebagian. Ini dibuktikan dengan makroproposisi yang dapat ditentukan dengan aturan penghapusan. Tidak ada kata jujur dalam mengajarkan kejujuran. Kejujuran diajarkan baik dengan pertuturan dan tindakan jujur atau tidak jujur. Ajaran moral kejujuran dapat diidentifikasi melalui nomina, verba, dan adjektiva. Ada nomina yang langsung mengarahkan pada tindak ketidakjujuran, yakni nomina sogok dan korupsi. Negasi dari dari nomina tersebut mencerminkan kejujuran. Di samping itu, nomina wasiat dan
janji juga memiliki makna sebagai sesuatu yang harus dijaga dan
dilaksanakan. Nomina tersebut mengarahkan pada tindak kejujuran. Negasi atas nomina tersebut mencerminkan ketidakjujuran. Selanjutnya, ada adjektiva dan verba untuk menandai ajaran kejujuran dan ketidakjujuran. Kata haram, nista, dan curang digunakan untuk menandai tindak ketidakjujuran. Kata tidak berani, bersih, percaya, dan benar berkaitan dengan nilai kejujuran. Adjektiva tersebut melabeli sifat jujur dan tidak jujur. Verba yang mengindikasikan ketidakjujuran ialah purapura. Verba (tidak) menyentuh dan menentang merupakan sikap terhadap ketidakjujuran sehingga verba ini menandai kejujuran. Kejujuran juga dapat ditandai dengan kata terus terang. Selain ajaran langsung, kejujuran juga diajarkan secara tidak langsung. Ajaran tidak langsung berasal dari contoh sikap yang pemaknaannya dapat diketahui dengan
mengonstruksi
informasi dari rangkaian pertuturan antartokoh. Pemahamannya melalui pembacaan
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
keseluruhan. Hal ini dibuktikan dengan makroproposisi yang dapat ditentukan dengan aturan konstruksi dan generalisasi. 5. Kesimpulan Dari analisis makrostruktur, diketahui bahwa makna global yang menjadi pemikiran penghasil wacana kejujuran ini ialah jujur itu benar dan tidak jujur itu salah, tetapi tidak selalu. Hal ini mengindikasikan pemikiran penghasil wacana mengenai fleksibilitas. Fleksibel berarti dalam memilih antara bertindak jujur atau tidak jujur juga harus memperkirakan keadaan. Ajaran agama dan hukum adat juga turut memengaruhi wacana pendidikan ini. Melalui analisis makroproposisi, juga diketahui bahwa teks drama memang berpotensi menjadi sarana pengajaran bahasa dan pendidikan berkarakter yang baik. Hal ini karena sebagian besar teks drama dapat menyampaikan ajaran dengan tidak langsung. Dalam kepentingan pengajaran bahasa, ajaran tidak langsung melatih siswa untuk memperoleh kompetensi wacana. Pendidikan moral dengan ajaran tidak langsung juga lebih menjadikan siswa lebih berpikir kritis mengenai ajaran tersebut. Dengan demikian, kemungkinan internalisasi nilai lebih dapat berlangsung dengan baik. Akan tetapi, banyak hal yang memengaruhi kemampuan teks drama untuk dipahami. Keterbacaan suatu teks dipengaruhi oleh hal-hal interlingual dan ekstralingual yang membutuhkan metode lain untuk membuktikannya. Dalam penelitian ini, penulis juga menemukan tema-tema yang penulis perkirakan sulit untuk dipahami siswa SMP. Tema yang sulit ini juga akan memengaruhi siswa memahami ajaran moral di dalamnya. 6. Saran Penulis menyarankan penelitian analisis wacana kritis pada teks-teks pendidikan karena selama ini analisis wacana kritis banyak yang diterapkan di ranah politik. Penelitian ini juga dapat diperluas menjadi penelitian keterbacaan. Kadang-kadang penghasil wacana terinterferensi nilai budaya yang dianutnya kemudian menyisipkannya dalam teks tanpa penjelasan detail. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang heterogen dengan berbagai keyakinan, kepercayaan, agama, dan adat yang berbeda-beda. Suatu teks yang terinterferensi nilai budaya dari kelompok masyarakat tertentu mungkin dapat menimbulkan kesulitan dalam memahami teks tersebut. Penelitian ini dapat dikembangkan pada penelitian
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013
sastra anak. Penelitian sastra anak dapat menjawab apakah tema dalam teks bacaan tersebut sudah layak dikonsumsi siswa. Teks drama dan teks sastra lain juga dapat dikembangkan sebagai sarana pendidikan berkarakter sekaligus bermanfaat untuk pengajaran bahasa. Untuk mencapai kedua tujuan tersebut, ajaran moral yang disisipkan sebaiknya tidak diajarkan dengan penanda lingual yang langsung mengarah pada ajaran moral tersebut. Akan tetapi, tema cerita juga perlu diperhatikan karena tema memengaruhi keterbacaan teks. Tema yang tidak sesuai, yakni tidak dekat dengan dunia siswa, akan memengaruhi keterbacaan teks tersebut. 7. Daftar Pustaka Brown, H. Douglas. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dijk, van Teun. 1980. Macrostructures: An Interdiscplinary Study of Global Structures in Discourse, Interaction, and Cognition. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. New York: Longman Inc. --------------------------1992. Kesadaran Bahasa Kritis. Terj. Hartoyo. Semarang: IKIP Semarang Press. -------------------------- 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language KEMDIKNAS. “Buku Sekolah Elektronik (BSE)”. http://puskurbuk.net/web/bse.html. (diunduh tanggal 28 Maret 2013) Parera, Jos Daniel. 1997. Linguistik Edukasional. Jakarta: Erlangga. Larson, Mildred L. 1984. Penerjemahan Berdasar Makna: Pedoman untuk Pemadanan Antarbahasa. Terj.Kencanawati Tahiran. Jakarta: Arcan.
Sumber data: www.bse.kemdiknas.go.id
Nilai kejujuran..., Rizma Angga Puspita, FIB UI, 2013