NILAI EKONOMI KONFLIK MANUSIA DAN GAJAH (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) DI DESA LUBUK KEMBANG BUNGA, KECAMATAN UKUI, KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU
RIZKI RATNA AYU PARAMITA SARI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
NILAI EKONOMI KONFLIK MANUSIA DAN GAJAH (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) DI DESA LUBUK KEMBANG BUNGA, KECAMATAN UKUI, KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU
RIZKI RATNA AYU PARAMITA SARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN
RIZKI RATNA AYU PARAMITA SARI. E34050095. Nilai Ekonomi Konflik Manusia dan Gajah (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Di bawah bimbingan NYOTO SANTOSO dan TUTUT SUNARMINTO Pemanfaatan wilayah pergerakan gajah oleh manusia mengakibatkan persaingan ruang yang memicu terjadinya konflik manusia dan gajah seperti di Desa Lubuk Kembang Bunga yang berada di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Lahan pertanian dan pemukiman masyarakat menempati jalur pergerakan wilayah jelajah yang secara periodik dan tradisional dilalui oleh gajah dan tidak berubah meskipun terjadi perubahan bentuk kawasan. Konflik manusia dan gajah ini berdampak negatif, baik berupa penurunan populasi gajah di habitat alaminya maupun berupa kerugian materil, moril serta kerusakan fisik tubuh pada manusia. Laju deforestasi di Hutan Tesso Nilo yang meningkat menyebabkan meningkatnya frekuensi terjadinya konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga. Kerugian masyarakat semakin meningkat sehingga meningkatkan reaksi masyarakat dalam menghadapi konflik. Kondisi yang demikian memerlukan penghitungan nilai ekonomi akibat konflik manusia dan gajah sebagai bagian pertimbangan untuk memperoleh upaya pemecahan konflik tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat, mengidentifikasi kelompok gajah yang memasuki wilayah desa, mengidentifikasi jenis dan nilai kerusakan serta menghitung nilai ekonomi kerugian pada manusia akibat konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga. Penelitian dilaksanakan bulan Juli - Agustus 2009 di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kec. Ukui, Kab. Pelalawan, Prov. Riau. Objek penelitian adalah masyarakat, gajah, Tim Flying Squad dan lahan pertanian terganggu. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, wawancara dan pengamatan lapangan. Metode penghitungan nilai ekonomi konflik manusia dan gajah menggunakan pendekatan pendapatan yang hilang (cost of time), biaya berobat (cost of illness), biaya perbaikan bangunan, biaya mengungsi, biaya produksi pertanian dan biaya pengendalian konflik. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan pola usahatani di Desa Lubuk Kembang Bunga yang mendorong terjadinya konflik manusia dan gajah. Konflik terjadi pada lahan pertanian masyarakat yang menempati jalur pergerakan wilayah jelajah gajah dan berdekatan dengan hutan (TNTN), pintu keluar gajah serta sungai yang digunakan gajah untuk memenuhi kebutuhannya. Lokasi lahan pertanian tersebut berada di Kampung Baru, Perbekalan, Simpang Jengkol, Jalan RAPP/Elang Mas dan Jalan Pemda. Kelompok gajah yang memasuki lahan pertanian masyarakat di Desa Lubuk Kembang Bunga merupakan kelompok gajah yang berada di bagian Selatan Hutan Tesso Nilo. Kelompok gajah ini terdiri atas gajah tunggal dan gajah grup. Masuknya gajah ke lahan pertanian masyarakat menimbulkan kerusakan pada komoditas pertanian yaitu kelapa sawit, karet, pisang dan ubi kayu serta
kerusakan pondok kerja. Hasil penghitungan terhadap kerusakan tersebut diperoleh nilai sebesar Rp. 52.082.197,64. Upaya pengendalian konflik oleh masyarakat berupa penjagaan dan pengontrolan kebun, pembuatan penghalang dan pengusiran. Sementara itu, upaya yang dilakukan oleh Tim Flying Squad berupa patroli kawasan, pengusiran dan penggiringan gajah liar. Upaya pengendalian konflik hanya mampu mengurangi kerugian sebesar Rp.14.648.118,09. Nilai ini tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengendalikan konflik yaitu sebesar Rp.764.200.000. Penghitungan seluruh komponen kerugian masyarakat dan upaya yang dilakukan oleh Tim Flying Squad diperoleh nilai ekonomi konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga pada Tahun 2007 - 2008 sebesar Rp. 816.282.197,64.
Kata Kunci : konflik, gajah, manusia, nilai ekonomi
SUMMARY
RIZKI RATNA AYU PARAMITA SARI. E34050095. Economic Values of Human and Elephant Conflict (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) in Lubuk Kembang Bunga Village, Ukui Subdistrict, Pelalawan District, Riau Province. Under the supervisions of NYOTO SANTOSO and TUTUT SUNARMINTO The utilization of elephant movement area by humans, causing competition space which triggered the conflict between humans and elephants, as in Lubuk Kembang Bunga Village, which surround the Tesso Nilo National Park (TNTN). Agricultural land and residential communities occupying territory cruise line movement, which periodically and traditionally traveled by elephant, and does not change despite the changing shape of the region. Human and elephant conflicts have a negative effect, either in the form of an elephant population decline in its natural habitat, or loss of material, moral and body physical damage the human being. The rate of deforestation which increases in the Tesso Nilo Forest, causing increased frequency of human and elephant conflicts in Lubuk Kembang Bunga Village. Loss of society increased thus increasing the public's reaction to face of conflict. Such conditions need to calculate the economic value due to human elephant conflicts as part of the consideration to obtain the conflict resolution efforts. This study aims to find out socio-economic condition of the community, identify the elephant entered the village area, identify the type and value of the damage and calculate the economic value of human loss due to human and elephant conflicts in Lubuk Kembang Bunga Village. A study was conducted in July - August 2009 in Lubuk Kembang Bunga Village, Ukui Subdistrict, Pelalawan District, Riau Province. Object of research is public, elephants, Flying Squad Team, and agricultural land affected. Data collected through the literature study, interviews and field observations. Method of calculating the economic value of human and elephant conflicts using the lost revenue approach (cost of time), medical expenses (cost of illness), the cost of building repairs, the cost to evacuate, the cost of agricultural production, and control costs of conflict. The results showed a change in farming patterns in Lubuk Kembang Bunga Village which triggered human and elephant conflicts. The conflict occurred in the community farm, which occupies the movement path of elephants roaming the area and adjacent to the forest (TNTN), the exit of elephants, and the river which is used by elephants to meet their needs. Location of agricultural land is located in Kampung Baru, Perbekalan, Simpang Jengkol, RAPP Street/Elang Mass and Jalan Pemda. Group of elephants which is entered the farm community in Lubuk Kembang Bunga Village is a group of elephants which are in the Southern part of Tesso Nilo Forest. This consisting of a single elephant and the elephant group. The entry of elephant society into agricultural land caused damage to agricultural commodities, such as oil palm, rubber, bananas, and cassava, as well as damage to the cottage work. The results of the calculation of damages obtained value of Rp.52,082,197.64. The efforts to control the conflict by the community,
such as take care and control of the garden, creating a barrier, and expulsion. Meanwhile, the efforts made by Team Flying Squad such as patrol area, expulsion, and the convoy of wild elephants. The efforts to control this conflicts able to reduce losses of Rp. 14,648,118.09 only. This value is not comparable with costs to control the conflict, which amounted to Rp. 764,200,000. Calculating the losses of all components of society and the efforts made by the Flying Squad Team, obtained the economic value of human and elephant conflicts in Lubuk Kembang Bunga Village in the Year 2007 - 2008 amounting to Rp. 816,282,197.64.
Key Words : conflict, human, elephant, economic value
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Nilai Ekonomi Konflik Manusia dan Gajah (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau” adalah benar-benar hasil kerja saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2010
Rizki Ratna Ayu Paramita Sari NRP E34050095
Judul Skripsi
: Nilai Ekonomi Konflik Manusia dan Gajah (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau.
Nama
: Rizki Ratna Ayu Paramita Sari
NIM
: E34050095
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Nyoto Santoso, MS NIP : 19620315 198603 1 002
Ir. Tutut Sunarminto, M.Si NIP : 19640228 199002 1 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP : 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Garut pada Tanggal 19 Desember 1986. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara, pasangan Bapak Dedi Kuswandi dan Ibu Nurtitawulan. Penulis telah menempuh pendidikan di SD Negeri I Bayongbong lulus pada Tahun 1999, kemudian melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 1 Bayongbong lulus pada Tahun 2002. Pada Tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Garut dan melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif dalam kegiatan Kelompok Pemerhati Kupu-kupu (KPK) “Sarpedon” HIMAKOVA. Semasa kuliah penulis telah mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di KPH Cemara Indramayu – Linggarjati Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC), Kuningan Jawa Barat pada Tahun 2007, penulis juga telah mengikuti Praktek Umum Konservasi Eksitu Satwaliar (PUKES) di Taman Sringganis dan Taman Mini Indonesia Indah pada Tahun 2008. Pada Tahun 2009 penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Kegiatan lapang lain yang pernah diikuti penulis adalah Studi Konservasi Lingkungan
“SURILI”
HIMAKOVA
di
Taman
Nasional
Bantimurung
Bulusaraung – Sulawesi Selatan pada Tahun 2007 dan SURILI di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya – Kalimantan Barat pada Tahun 2008. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Kehutanan IPB, maka penulis menyusun skripsi dengan judul Nilai Ekonomi Konflik Manusia dan Gajah (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau di bawah bimbingan Ir. Nyoto Santoso, MS dan Ir. Tutut Sunarminto, M.Si.
UCAPAN TERIMAKASIH
Alhamdulillaahirobbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas anugerah berupa kesehatan dan kesempatan sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu memberikan bimbingan, bantuan, dukungan dan doa yang akan selalu penulis kenang dan syukuri. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada : 1.
Keluarga besar penulis : Daday Suhendar (Bapak), Nurtitawulan (Ibu) dan Novan Fahmi Arsyad (adik).
2.
Dosen pembimbing : Bapak Ir. Nyoto Santoso, MS (Pembimbing I) dan Bapak Ir. Tutut Sunarminto, M.Si (Pembimbing II).
3.
Dosen-dosen penguji : Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc. (DTHH), Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS dan Dr. Ir. Herry Purnomo, M. Comp. (DMNH).
4.
Pimpinan dan staf WWF Indonesia-Program Riau, khususnya Bapak Syamsuardi selaku Flying Squad officer.
5.
Tim Flying Squad : Bang Edi Putra, Bang Fikri Pohan, Bang Amdani, Bang Andre, Bang Iwan, Susilo, Bang Jungjung Daulay dan Bapak Erwin Daulay selaku pembimbing lapang.
6.
Pimpinan dan staf Balai Taman Nasional Tesso Nilo, khususnya Bapak Drh. Hayani Suprahman, M.Sc selaku Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo.
7.
Bapak Tengku Effendi selaku Kepala Desa Lubuk Kembang Bunga.
8.
Kepala dan seluruh staf TU DKSHE IPB.
9.
Keluarga besar Tarsius 42 KSHE, Fakultas Kehutanan IPB
10. Mahar Cita yang selalu menjadi “traffic light” penulis. 11. Merzyta Septiani, Bobi Riharno, Lina Kristina Dewi, Mutia Ramadhani, sahabat penulis, atas dukungan dan semangat yang diberikan. 12. Semua pengalaman yang sangat berharga dan akan selalu dikenang untuk : Nuskan Syarif, Eka Septayudha, Heri Tarmizi, Karno, Ucok, Bang Arsyad, Mas Lutfie dan Afri Yondra. 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Penulis mengucapkan puji syukur dan terimakasih kepada Allah SWT atas selesainya karya ilmiah ini. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan penulis sejak Juli hingga Agustus 2009, yang diberi judul “Nilai Ekonomi Konflik Manusia dan Gajah (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau”. Pembukaan hutan untuk kepentingan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia merupakan faktor utama berkurangnya habitat gajah. Dampak dari situasi ini adalah menurunnya populasi gajah dan meningkatnya konflik antara manusia dan gajah karena terjadinya persaingan ruang dalam memanfaatkan lahan hutan yang tersisa. Kerugian ekonomi yang diderita masyarakat akan terus meningkat seiring meningkatnya frekuensi konflik yang terjadi. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap respon masyarakat dalam menghadapi konflik. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengelolaan Gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo dan upaya penanganan konflik manusia dan gajah yang efesien serta menjadi dasar pertimbangan dalam pemberian kompensasi bagi masyarakat yang terkena konflik. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan. Namun demikian, penulis berharap karya ini tetap dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, khususnya dalam upaya konservasi sumberdaya alam hayati pada kawasan konservasi di Indonesia.
Bogor, Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................ i DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ v I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1 1.2 Tujuan ............................................................................................... 2 1.3 Manfaat ............................................................................................. 3 1.4 Batasan Penelitian ............................................................................. 3 1.5 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 3 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Gajah Sumatera ...................................................... 5 2.1.1 Taksonomi dan Status Konservasi Gajah Sumatera ................ 5 2.1.2 Distribusi dan Populasi Gajah di Pulau Sumatera .................... 6 2.1.3 Distribusi dan Populasi Gajah di Provinsi Riau ....................... 6 2.1.4 Habitat ....................................................................................... 7 2.1.5 Perilaku .................................................................................... 10 2.2 Konflik Manuisa dan Gajah (KMG) .................................................. 13 2.3 Penilaian Ekonomi ............................................................................. 15 2.3.1 Konsep Nilai ............................................................................ 15 2.3.2 Penilaian Ekonomi Kerugian Bencana ..................................... 16 III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................ 19 3.2 Alat dan Objek Penelitian .................................................................. 19 3.3 Jenis Data ........................................................................................... 20 3.4 Metode Pengumpulan Data ............................................................... 21 3.5 Analisis Data ..................................................................................... 22 IV KONDISI UMUM KAWASAN 4.1 Taman Nasional Tesso Nilo ............................................................... 28 4.1.1 Sejarah Kawasan ....................................................................... 28 4.1.2 Letak dan Luas .......................................................................... 28 4.1.3 Aksesibilitas .............................................................................. 29 4.1.4 Kondisi Fisik dan Biologi ......................................................... 30 4.1.5 Kondisi Sosial dan Ekonomi .................................................... 31 4.2 Lubuk Kembang Bunga .................................................................... 32 4.2.1 Kondisi fisik .............................................................................. 32 4.2.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi ..................................................... 32 V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hutan Tesso Nilo ............................................................................... 39 5.1.1 Habitat Gajah Sumatera ............................................................ 39 5.1.2 Kondisi Habitat ......................................................................... 41 5.2 Populasi Gajah Sumatera di Hutan Tesso Nilo .................................. 43 5.3 Konflik Manusia dan Gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga .......... 44 5.3.1 Lokasi Gangguan ..................................................................... 44 5.3.2 Waktu Gangguan ...................................................................... 46
ii
5.3.3 Tingkat Gangguan .................................................................... 5.3.4 Jenis, Jumlah Kerusakan ........................................................... 5.3.4.1 Jenis Kerusakan ............................................................ 5.3.4.2 Jumlah Kerusakan ......................................................... 5.3.5 Pola Usahatani Terhadap Gangguan Gajah .............................. 5.3.6 Respon Masyarakat Terhadap Gangguan Gajah ....................... 5.4 Nilai Ekonomi Kerusakan Pertanian dan Bangunan ......................... 5.5 Upaya Pengendalian Konflik ............................................................. 5.5.1 Pencegahan Konflik .................................................................. 5.5.2 Penanggulangan Konflik .......................................................... 5.5.3 Nilai Ekonomi Upaya Pengendalian Konflik ........................... 5.6 Nilai Ekonomi Konflik Manusia dan Gajah ...................................... VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Kesimpulan ....................................................................................... 6.2 Saran .................................................................................................. DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN .................................................................................................
47 47 47 49 50 51 52 52 52 58 59 61 63 63 65 68
iii
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman 1. Proporsi sebaran populasi Gajah sumatera di beberapa status kawasan hutan ........................................................................................ 6 2. Distribusi dan Populasi Gajah di Provinsi Riau .................................... 7 3. Tipe habitat gajah .................................................................................. 8 4. Penilaian kerugian bencana ................................................................... 16 5. Jenis data penelitian nilai ekonomi konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga ......................................................................... 20 6. Kondisi fisik dan biologi Taman Nasional Tesso Nilo .......................... 30 7. Penggunaan lahan di Desa Lubuk Kembang Bunga .............................. 33 8. Jumlah sekolah umum, kelas, guru dan murid di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 ................................................................. 33 9. Jumlah keluarga berdasarkan sumber penghasilan utama di Desa Lubuk Kembang Bunga ......................................................................... 34 10. Blok hutan di Provinsi Riau yang menjadi habitat Gajah sumatera di Provinsi Riau berdasarkan tipe hutan dan ketersediaan faktor habitat ... 39 11. Luas lahan di Taman Nasional Tesso Nilo berdasarkan kelerengan ..... 40 12. Pemanfaatan kawasan oleh perambah di Taman Nasional Tesso Nilo dan usulan perluasannya ................................................................ 41 13. Pergerakan kelompok gajah di Hutan Tesso Nilo ................................. 43 14. Lokasi kedatangan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2005 - 2008 ................................................................................. 44 15. Kerugian masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga akibat konflik dengan gajah Tahun 1997 - 2006 ........................................................... 50 16. Jumlah kematian manusia dan gajah akibat konflik manusia dan gajah di Provinsi Riau Tahun 2000 - 2009 ....................................................... 51 17. Komponen biaya upaya pengendalian konflik oleh masyarakat ........... 60 18. Komponen biaya upaya pengendalian konflik oleh Tim Flying Squad . 60 19. Biaya operasional upaya pengendalian konflik oleh masyarakat Tahun 2007 - 008 ............................................................................................... 60 20. Biaya operasional upaya pengendalian konflik oleh Tim Flying Squad Tahun 2007 - 2008 ...................................................................... 60 21 Nilai ekonomi konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga tahun 2007-2008 ......................................................................... 61
iii
iv
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian .............................................................. 4 2. Lokasi penelitian Desa Lubuk Kembang Bunga .................................... 19 3. Sistematika penelitian nilai ekonomi konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga ............................................................ 27 4. Kronologis penunjukan Taman Nasional Tesso Nilo ............................. 28 5. Batas kawasan Taman Nasional Tesso Nilo ........................................... 29 6. Luas lahan pertanian terganggu berdasarkan lokasi di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 - 2008 ...................................................... 45 7. Grafik intensitas kedatangan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 - 2008 .................................................................................. 46 8. Diagram intensitas kedatangan gajah berdasarkan lokasi di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 - 2008 ......................................... 47 9a. Kerusakan akibat dimakan gajah ............................................................ 48 9b. Kerusakan akibat direnggut gajah ......................................................... 48 9c. Kerusakan akibat diinjak gajah .............................................................. 48 10a. Pondok jaga rusak berat .......................................................................... 49 10b. Pondok jaga rusak sedang ...................................................................... 49 10c. Pondok jaga rusak ringan ....................................................................... 49 11a. Tanaman kelapa sawit dipagari kawat berduri ...................................... 51 11b. Tanaman kelapa sawit diolesi racun ....................................................... 51 12. Diagram nilai ekonomi kerusakan pertanian dan bangunan di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 - 2008 ......................................... 52 13a. Ciri-ciri keberadaan gajah berdasarkan jejak ........................................ 53 13b. Ciri-ciri keberadaan gajah berdasarkan bolus/kotoran .......................... 53 13c. Ciri-ciri keberadaan gajah berdasarkan kerusakan tanaman .................. 53 14. Pagar kayu pada lahan kelapa sawit ...................................................... 54 15a. Perangkat pagar listrik/strom gajah : battery fencer ............................... 55 15b. Perangkat pagar listrik/strom gajah : accu kering 150 watt ................... 55 15c. Perangkat pagar listrik/strom gajah : calcium battery ........................... 55 16. Parit gajah ............................................................................................... 56 17. Parit yang sesuai dengan daerah rawa, daerah dataran rendah dan daerah bertopografi tinggi....................................................................... 57 18a. Alat pengusiran : meriam karbit ............................................................ 58 18b. Alat pengusiran : obor ........................................................................... 58 19. Tim Flying Squad (pengusir gajah) ........................................................ 59
v
DAFTAR LAMPIRAN
No Teks Halaman 1. Panduan wawancara ............................................................................... 69 2. Peta tutupan hutan lahan kering di Provinsi Riau berdasarkan ketersediaan faktor habitat bagi Gajah sumatera .................................... 71 3. Peta distribusi gajah di Hutan Tesso Nilo ............................................... 73 4. Rekapitulasi data konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007-2008 ........................................................................ 74
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dinyatakan sebagai salah
satu jenis satwa dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Binatang Liar No. 266 Tahun 1931 dan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Gajah sumatera terdaftar dalam Red List Book IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dengan status terancam punah (endangered species). Hutan dataran rendah Tesso Nilo merupakan salah satu blok hutan alam tersisa di Provinsi Riau yang menjadi habitat bagi Gajah sumatera. Kelestarian habitat gajah telah menghadapi ancaman seiring meningkatnya laju deforestasi di Hutan Tesso Nilo. Kajian lanskap Tesso Nilo – Bukit Tigapuluh – Kampar, menunjukkan 90 % terjadinya deforestasi disebabkan oleh pembukaan kawasan hutan alam untuk tanaman akasia dan perkebunan sawit. Aktivitas masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan lahan hutan turut mendorong laju deforestasi Hutan Tesso Nilo. Kegiatan pemanfaatan cenderung melakukan perusakan dengan membuka kawasan hutan untuk lahan pemukiman dan pertanian. Pembukaan wilayah hutan untuk lahan pemukiman, pertanian dan Hutan Tanaman Industri (HTI) menyebabkan habitat alami gajah terfragmentasi menjadi kantong-kantong habitat yang sempit dan berakibat pada menyempitnya ruang gerak gajah. Haryanto dan Santoso (1988) menyatakan pembukaan wilayah hutan terutama pengembangan daerah pemukiman dan pertanian serta praktek perladangan berpindah mengakibatkan terpotongnya jalur jelajah gajah. Pemanfaatan wilayah pergerakan gajah oleh manusia mengakibatkan persaingan ruang yang memicu terjadinya konflik manusia dan gajah seperti di Desa Lubuk Kembang Bunga yang berada di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Lahan pertanian dan pemukiman masyarakat menempati jalur pergerakan wilayah jelajah yang secara periodik dan tradisional dilalui oleh gajah dan tidak berubah meskipun terjadi perubahan bentuk kawasan.. Masuknya gajah ke lahan pertanian dan pemukiman mengakibatkan kerusakan tanaman dan
2
fasilitas lahan pertanian serta pemukiman. Kondisi ini memicu reaksi yang reaktif dari masyarakat terhadap gajah dengan memburu dan membunuhnya. Konflik manusia dan gajah mengakibatkan kelestarian populasi gajah menurun di habitat alaminya. Konflik juga mengakibatkan kerugian materil, moril dan kerusakan fisik tubuh pada manusia yang dapat diketahui nilainya dengan penggunaan parameter rupiah. Kerugian materil yang sering terjadi yaitu kerugian akibat kerusakan tanaman (crop raiding). Survei WWF (World Wide Fund for Nature) Indonesia terhadap kerugian masyarakat akibat konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga (Juli 2005 - Juli 2006) sebesar 80 juta rupiah. Peningkatan laju deforestasi di Hutan Tesso Nilo meningkatkan frekuensi terjadinya konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga. Kerugian masyarakat semakin meningkat dan berpengaruh terhadap reaksi masyarakat dalam menghadapi konflik. Kondisi yang demikian memerlukan penghitungan nilai ekonomi konflik manusia dan gajah sebagai bagian pertimbangan untuk memperoleh upaya pemecahan konflik tersebut. Penelitian tentang nilai ekonomi konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengelolaan Gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo dan upaya penanganan konflik manusia dan gajah yang efesien serta menjadi dasar pertimbangan dalam pemberian kompensasi bagi masyarakat yang terkena konflik. 1.2.
Tujuan Tujuan penelitian : 1) Mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat. 2) Mengidentifikasi kelompok gajah yang memasuki wilayah desa (jumlah individu, struktur umur dan sex ratio). 3) Mengidentifikasi jenis dan nilai kerusakan pada manusia akibat konflik manusia dan gajah. 4) Menghitung nilai ekonomi kerugian pada manusia akibat konflik manusia dan gajah.
3
1.3.
Manfaat Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola Taman
Nasional Tesso Nilo dan pemerintah daerah dalam pengelolaan Gajah sumatera dan upaya penanganan konflik manusia dan gajah yang efesien serta dalam menetapkan kompensasi bagi masyarakat yang terkena konflik dengan keadaan tertentu. 1.4.
Batasan Penelitian Istilah-istilah yang digunakan untuk memperjelas dan membatasi ruang
lingkup penelitian, adalah sebagai berikut : 1) Konflik manusia dan satwaliar termasuk di dalamnya gajah menurut Permenhut No. 48 Tahun 2008 yaitu segala interaksi antara manusia dan satwaliar yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi, kebudayaan dan pada konservasi satwaliar dan atau pada lingkungannya. Konflik terjadi ketika gajah keluar dari habitatnya dan memasuki lahan pertanian serta pemukiman masyarakat. 2) Masyarakat berkonflik Masyarakat yang mengalami kerugian materil, moril dan kerusakan fisik tubuh akibat konflik manusia dan gajah. 3) Nilai ekonomi kerusakan Nilai kerugian fisik langsung akibat konflik manusia dan gajah dalam satuan rupiah, yaitu kerusakan pertanian, bangunan dan fisik tubuh pada manusia. 4) Nilai ekonomi konflik manusia dan gajah Nilai kerugian langsung dan tidak langsung pada manusia akibat konflik manusia dan gajah dalam satuan rupiah. Kerugian langsung, yaitu kerusakan fisik tubuh, kerusakan bangunan, kerusakan pertanian dan biaya penanggulangan. Kerugian tidak langsung, yaitu pendapatan yang hilang, biaya mengungsi dan biaya pencegahan. 1.5.
Kerangka Pemikiran Pemanfaatan kawasan hutan yang menjadi habitat gajah oleh manusia
mengakibatkan persaingan ruang yang memicu terjadinya konflik manusia dan gajah (KMG). Konflik manusia dan gajah terjadi akibat aktivitas manusia dalam
4
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuka kawasan hutan untuk lahan pemukiman, pertanian dan HTI. Kebutuhan manusia akan lahan cukup tinggi, sedangkan gajah membutuhkan jangkauan wilayah yang luas sebagai wilayah jelajah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Konflik manusia dan gajah mengakibatkan kerugian materil, moril dan kerusakan fisik tubuh pada manusia. Masyarakat juga harus mengeluarkan biaya pengendalian untuk mencegah masuknya gajah dan meminimalisir kerusakan akibat gajah pada lahan pemukiman dan pertaniannya. Kondisi ini memicu reaksi yang reaktif dari masyarakat terhadap gajah dengan memburu dan membunuhnya sehingga menurunkan populasi gajah di habitat alaminya. Pemanfaatan hutan yang menjadi habitat gajah oleh manusia
Lahan pemukiman
Lahan pertanian
Hutan Tanaman Industri
Konflik manusia dan gajah
Penurunan populasi gajah
Kerugian materil, moril dan kerusakan fisik tubuh pada manusia
Nilai ekonomi konflik manusia dan gajah
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Umum Gajah Sumatera
2.1.1.
Taksonomi dan Status Konservasi Gajah Sumatera Gajah sumatera merupakan sub spesies dari Gajah asia (Elephas
maximus) yang diperkenalkan oleh Temminck dengan nama ilmiah Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847. Taksonomi Gajah sumatera, yaitu : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub Phylum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Order
: Proboscidea
Family
: Elephantidae
Genus
: Elephas
Species
: Elephas maximus Linnaeus, 1758
Sub species
: Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847.
Gajah asia (Elephas maximus) terbagi kedalam tiga sub spesies, yaitu Elephas maximus maximus di Srilangka, Elephas maximus indicus di anak Benua India dan Asia Tenggara termasuk Kalimantan dan Elephas maximus sumatranus di Sumatera. Gajah asia (Elephas maximus) di Indonesia hanya ditemukan di Sumatera dan Kalimantan bagian timur. Gajah asia terdaftar dalam Red List Book IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dengan status terancam punah (endangered species). Gajah asia (Elephas maximus) dinyatakan sebagai satwa dilindungi Undang-undang dan hampir punah di Indonesia sejak Tahun 1931 melalui Ordonansi Perlindungan Binatang Liar. Selanjutnya CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Fauna and Flora/Konvensi tentang Perdagangan Internasional Satwa dan Tumbuhan) mengategorikan Gajah asia kedalam kelompok Appendix I. sehingga keberadaannya perlu diperhatikan dan dilestarikan.
6
2.1.2.
Distribusi dan Populasi Gajah di Pulau Sumatera Gajah sumatera tersebar di tujuh provinsi, yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung. Tahun 1980 dilakukan survei gajah di seluruh Sumatera dengan menggunakan metode penaksiran secara cepat (rapid assessment survey). Hasil survei memperkirakan populasi Gajah sumatera 2.800 - 4.800 ekor dan tersebar di 44 lokasi (Blouch dan Simbolon 1985). Estimasi sementara populasi Gajah sumatera yaitu 2.400 - 2.800 ekor (Dephut 2007). Tabel 1 Proporsi sebaran populasi Gajah sumatera di beberapa status kawasan hutan *) Status Kawasan Luas Kawasan (hektar) Hutan konversi 386.829 Hutan produksi terbatas 1.648.654 Hutan konservasi 619.988 Hutan produksi 709.145 Hutan lindung 494.088 Hutan negara tidak terbatas 15.916 Perairan 2.108 Daerah lain 234.460 Tidak ada data 7.678 Sumber : Dephut (2007) Keterangan : *) Jumlah gajah diperkirakan 2.400 - 2.800 ekor.
2.1.3.
Persentase (%) 9,39 40,03 15,05 17,22 12,00 0,39 0,05 5,69 0,19
Distribusi dan Populasi Gajah di Provinsi Riau Gajah di Provinsi Riau dapat ditemukan di beberapa lokasi yang disebut
kantong-kantong distribusi populasi gajah. Kantong-kantong distribusi populasi gajah di Provinsi Riau, yaitu sekitar daerah Bina Fitri/Tapung/Petahapan/Batu Gajah, Rambah Hilir/Danau Lancang, utara dari Dam Koto Panjang, Koto Tangah, Mahato/daerah perbatasan Provinsi Sumatera Utara, Balai Raja/Rangau, Giam Siak Kecil, Bagan Siapi-api, Siabu/sebelah timur SM. Bukit Rimbang Bukit Baling/sebelah tenggara Bukit Bungkuk, Kuntu/sebelah timur dan tenggara SM. Bukit Rimbang Bukit Baling, bagian barat daya Tesso Nilo, bagian utara Tesso Nilo, bagian tenggara Tesso Nilo, Serangge/sebelah barat Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan daerah Pemayungan/sebelah selatan TNBT Provinsi Jambi.
7
Tabel 2 Distribusi dan populasi gajah di Provinsi Riau Tahun
Kantong Distribusi
1985
Torgamba, Tanjung Medan, Riau Tengah bagian utara, Koto Panjang, Lipat Kain, Langgam, Riau Tengah bagian selatan, Riau Selatan, Buatan, Siak Kecil dan dataran rendah Rokan. SM. Siak Kecil; HPT. Minas, Mandau dan Bukit Kapur; SM. Kerumutan; SM. Bukit Rimbang Bukit Baling; SM. Balai Raja; HPT. Tesso Nilo, Air Hitam dan Baserah; TN. Bukit Tigapuluh; HPT. Serangge - Sekilo; Hutan Hapayan Boneng; HL. Mahato; HP. Bagan Siapiapi; HPT. Sungai Gansal, Keritang; HPT. Tanjung Pauh; HPT. Batu Gajah; HL. Bukit Suligi; dan HP. Tanjung Medan. SM. Siak Kecil; HPT. Minas, Mandau dan Bukit Kapur; SM. Bukit Rimbang Bukit Baling; SM. Balai Raja; HPT. Tesso Nilo, Air Hitam dan Baserah; TN. Bukit Tigapuluh; HPT. Serangge Sekilo; Hutan Hapayan Boneng; HL. Mahato; HP. Bagan Siapi-api; HPT. Tanjung Pauh; HPT. Batu Gajah; HL. Bukit Suligi; dan HP. Tanjung Medan. SM. Siak Kecil; HPT. Minas, Mandau dan Bukit Kapur; HPT. Tesso Nilo, Air Hitam dan Baserah; TN. Bukit Tigapuluh; HPT. Serangge - Sekilo; Hutan Hapayan Boneng; HL. Mahato; HP. Bagan Siapi-api; HPT. Sungai Gansal, Keritang; HPT. Batu Gajah; dan HP. Tanjung Medan.
1999
2003
2007
Populasi (ekor) 1.067 - 1.617
Keterangan Gajah tersebar di 11 kantong distribusi populasi gajah.
709
Gajah tersebar di 16 kantong distribusi populasi gajah.
350 - 430
Gajah diperkirakan tidak ada lagi di HPT. Sungai, Gansal, Keritang dan SM. Kerumutan.
174 - 246
Gajah tersebar di 9 kantong distribusi populasi gajah. Gajah diperkirakan tidak ada lagi di Rokan Hilir, SM. Kerumutan, Koto Panjang, SM. Bukit Rimbang Bukit Baling, Tanjung Pauh dan Bukit Suligi.
Sumber : BKSDA Riau (2006b)
2.1.4.
Habitat 1) Pengertian Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari komponen fisik dan biotik
sebagai
satu
kesatuan
dan
dipergunakan
sebagai
tempat
hidup
serta
berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 1990). Persyaratan habitat yaitu variasi pakan, cover dan faktor-faktor lain yang dibutuhkan oleh suatu jenis satwaliar untuk melangsungkan hidupnya dan keberhasilan perkembangbiakannya. Habitat gajah merupakan kesatuan wilayah yang luas meliputi hutan, tempat terbuka, sumber-sumber air dan tempat mencari garam. Wilayah ini tergambarkan dalam
8
daerah pengembaraan gajah yang sangat luas sehingga menggunakan lebih dari satu tipe habitat. 2) Tipe Habitat Habitat Gajah sumatera tersebar pada tipe hutan hujan pegunungan, hutan primer dan hutan sekunder. Widowati (1985) menyatakan habitat yang ideal bagi Gajah sumatera yaitu kombinasi antara tipe hutan Dipterocarpaceae dataran rendah (tipe antropogen yaitu hutan sekunder yang tidak terganggu) dan hutan rawa tidak tergenang air payau. Gajah umumnya lebih menyukai hutan rawa pada musim kemarau dan akan berpindah ke hutan pegunungan atau hutan primer pada musim hujan. Perpindahan ini disebakan oleh kondisi pakan di hutan pegunungan atau hutan primer mencukupi kebutuhan gajah. Tabel 3 Tipe habitat gajah No. 1.
Tipe Habitat Hutan rawa (swamp forest)
Vegetasi Melaleuca cajuputi, Campnosperma auriculata, Campnosperma Macrophylla, Alstonia spp., Eugenia spp. dan Gluta renghas.
2.
Hutan rawa gambut (peat swamp forest)
3.
Hutan hujan dataran rendah (lowland dipterocarp forest)
Gonystyllus bancanus, Licuala spinosa, Shorea spp., Alstonia spp., Eugenia spp. dan Dyera costulata. Famili Dipterocarpaceae, Koompasia malaccensis, Palaquium gutta, Dyera costulata, Intsia bijuga dan Schima wallichii.
4.
Hutan hujan pegunungan dataran rendah (lowland montain dipterocarp forest) Sumber : Santiapillai (2001)
Dipterocarpus spp., Shorea spp., Quercus spp., Castanopsis spp. dan Altingia excelsa.
Keterangan Berupa rawa padang rumput, rawa primer atau rawa sekunder yang didominasi oleh Melaleuca cajuputi.
Terletak di ketinggian 0-750 mdpl. Umumnya kawasan hutan produksi. Terletak di ketinggian 750 1.500 mdpl.
Widowati (1985) menyebutkan komponen penentu pemilihan habitat gajah sebagai berikut : a. Ketersediaan pakan, sumber air dan garam mineral. b. Ketersediaan cover atau pelindung. c. Ketersediaan tempat untuk berperilaku kesukaan dan pergerakan. d. Tingkat gangguan. Kondisi pakan, sumber air, garam mineral, cover dan ruang yang mampu memenuhi kebutuhan gajah di habitatnya akan mengurangi beban daerah pertanian sebagai daerah kantong pakan gajah.
9
3) Komponen Habitat a. Pakan Gajah merupakan satwa herbivor yang membutuhkan pakan hijauan di habitatnya. Gajah juga membutuhkan habitat yang bervegetasi pohon sebagai pakan pelengkap untuk memenuhi kebutuhan mineral seperti Kalsium untuk memperkuat tulang, gigi dan gading. Satu ekor Gajah sumatera diperkirakan menghabiskan lebih dari 300 kg tumbuhan segar setiap harinya (Poniran 1974). Gajah memakan semak muda dan daun-daunan dari berbagai jenis pohon yang berserat halus seperti daun waru dan dadap. Gajah juga menyukai jenis-jenis tanaman budidaya seperti tebu, padi, jagung, kacang tanah dan kelapa. Bagian tanaman yang dimakan gajah sangat bervariasi mulai dari buah muda sampai buah masak, umbut, pelepah, kulit batang, pucuk, daun muda dan tua beserta durinya dan bunga (Widowati 1985). Jenis pakan Gajah sumatera antara lain Artocarpus integer, Artocarpus kemando, Sloetia elongata, Musa acuminata, Oncosperma tigilarium, Licuala vallida, Ficus grossularioides, Mangifera macrophylla, Garcinia parviflora, Garcinia maingayi, Nephelium cuspidatum, Baccaurea spp., Calamus spp., Durio sp. dan Artocarpus sp. (LIPI 2003). b. Air Kebutuhan minum Gajah asia tidak kurang dari 200 liter per hari (Lekagul dan Mc Neely 1977). Kebutuhan minum Gajah sumatera menurut perkiraan Poniran (1974) adalah 20 - 50 liter per hari. c. Garam mineral Gajah memiliki kebiasaan memakan gumpalan tanah yang mengandung garam-garam mineral seperti Kalium, Kalsium dan Magnesium. Kebiasaan ini dikenal dengan sebutan salt licking (mengasin). Tempat mengasin gajah dapat berupa tebing sungai besar atau sungai kecil dengan kelerengan bervariasi dari sangat landai sampai sangat curam, dasar dan tepi rawa-rawa kecil atau rawa-rawa lebar dan lantai hutan (Widowati 1985). d. Naungan Gajah termasuk binatang berdarah panas. Gajah akan bergerak mencari naungan (thermal cover) untuk menstabilkan suhu tubuhnya agar sesuai dengan
10
lingkungannya ketika cuaca panas. Tempat yang sering digunakan sebagai naungan pada siang hari yaitu vegetasi hutan yang lebat. e. Ruang atau wilayah jelajah (home range) Wilayah jelajah adalah areal penjelajahan normal sebagai aktivitas rutinnya (Jewell 1966 diacu dalam Widowati 1985). Luasan wilayah jelajah akan bervariasi tergantung dari ketersediaan pakan, cover dan tempat berkembangbiak. Luas wilayah jelajah untuk Gajah sumatera belum diketahui secara pasti namun Santiapillai (2001) menyebutkan luas wilayah jelajah Gajah asia yaitu 32,4 km² 166,9 km². Wilayah jelajah gajah di hutan primer mempunyai ukuran dua kali lebih besar dibanding dengan wilayah jelajah di hutan sekunder. Sub spesies Gajah asia lainnya seperti di India memiliki ukuran wilayah jelajah yang sangat bervariasi. Luas wilayah jelajah gajah di India Selatan untuk kelompok betina yaitu 600 km² dan kelompok jantan 350 km² (Baskaran et al. 1995 diacu dalam Dephut 2007). Luas wilayah jelajah gajah di India Utara untuk kelompok betina 184 km² - 320 km² dan kelompok jantan 188 km² - 408 km² (Williams et al. 2001 diacu dalam Dephut 2007). Gajah jantan hidup secara sendiri (soliter) atau bergabung dengan jantan lainnya membentuk kelompok jantan. Kelompok jantan memiliki daerah jelajah yang tumpang tindih atau bersinggungan dengan daerah jelajah kelompok betina atau jantan lainnya. f. Keamanan dan kenyamanan Gajah membutuhkan suasana yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak terganggu dan proses reproduksinya dapat berjalan dengan baik. Gajah termasuk satwa yang sangat peka terhadap bunyi-bunyian sehingga aktivitas pengusahaan yang tinggi dan penggunaan alat-alat berat dalam penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan gajah. 2.1.5.
Perilaku 1) Perilaku Sosial a. Hidup berkelompok Gajah hidup dengan pola matriarchal yaitu hidup berkelompok yang
dipimpin oleh betina dewasa dengan ikatan sosial yang kuat. Perilaku
11
berkelompok ini merupakan perilaku sosial yang sangat penting peranannya dalam melindungi anggota kelompoknya. Besarnya anggota setiap kelompok dipengaruhi oleh musim dan kondisi sumber daya di habitatnya terutama pakan dan luas wilayah jelajah yang tersedia. Kelompok gajah di hutan hujan Malaysia dan Sumatera umumnya 5 - 6 ekor (Olivier 1978 diacu dalam Hariady 1992). Studi di India menunjukkan satu populasi gajah dapat terbentuk dari beberapa klan (kelompok) dan memiliki pergerakan musiman berkelompok dalam jumlah 50 - 200 ekor (Sukumar 1989 diacu dalam Dephut 2007). Gajah melakukan perjalanan untuk memenuhi kebutuhan pakan, air dan sumber mineral (garam). Pergerakan kelompok gajah ini dipimpin oleh gajah betina tua dan diikuti oleh betina lainnya serta anak-anaknya. Gajah jantan mengikuti dari belakang dengan jarak beberapa puluh meter dari kelompoknya (Lekagul dan Mc Neely 1977). Gajah jantan dewasa hanya bergabung pada periode tertentu untuk kawin dengan beberapa betina dalam kelompok tersebut. Gajah jantan tua akan hidup menyendiri karena tidak mampu lagi mengikuti kelompoknya dan gajah jantan muda yang sudah beranjak dewasa dipaksa meninggalkan kelompoknya atau pergi dengan suka rela untuk bergabung dengan kelompok jantan lain. Gajah betina muda tetap menjadi anggota kelompok dan bertindak sebagai bibi pengasuh pada kelompok "taman kanak-kanak" atau kindergartens. b. Menjelajah Gajah melakukan penjelajahan secara berkelompok mengikuti jalur yang tetap dalam satu tahun penjelajahan. Jarak jelajah gajah mencapai 7 km per hari dan mampu mencapai 15 km per hari ketika musim kering atau musim buahbuahan. Kecepatan gajah berjalan dan berlari di hutan (untuk jarak pendek) dan di rawa melebihi kecepatan manusia di medan yang sama. Gajah juga mampu berenang menyeberangi sungai yang dalam dengan menggunakan belalainya sebagai "snorkel" atau pipa pernapasan. c. Kawin Masa kopulasi dan konsepsi gajah terjadi sepanjang tahun. Frekuensi perkawinan mencapai puncaknya pada bulan-bulan tertentu umumnya bersamaan dengan musim hujan di daerah tersebut. Usia aktif reproduksi gajah dipengaruhi
12
oleh kondisi lingkungan, ketersediaan sumber daya pakan dan faktor ekologinya (misalnya kepadatan populasi). Gajah jantan dewasa (jarang yang betina) baik liar ataupun jinak mendapat gangguan kegilaan (maniac) secara periodik yang disebut musht. Gajah mempunyai temperamen jelek seperti berkelahi dengan jantan lain pada masa musth (Hariady 1992). Hasil sekresi berupa minyak akan terlihat keluar dari kelenjar yang terletak di tengah-tengah antara mata dan saluran telinga sebelum memasuki masa musht. Minyak ini berwarna hitam dan berbau merangsang. Gejala seperti ini datang setiap tahun atau dapat tertunda beberapa waktu. Musht terjadi 3 - 5 bulan sekali selama 1 - 4 minggu saat musim panas atau musim kering. Perilaku musht sering dihubungkan dengan musim birahi namun tidak ada bukti penunjang (Altevogt dan Kurt 1975). 2) Perilaku Individu a. Makan Gajah dewasa menghabiskan waktu 18 - 24 jam dalam satu hari untuk mencari pakan (Altevogt dan Kurt 1975). Aktivitas makan dilakukan dengan gerak berpindah tempat untuk mencapai sumber pakan. Gajah sumatera melakukan aktivitas makan pada pagi hari (pukul 4.10 WIB - 11.55 WIB) dan sore hari (15.00 WIB - 2.00 WIB) (Abdullah 2008). Gajah bukan satwa yang hemat terhadap pakan sehingga cenderung meninggalkan banyak sisa pakan apabila terdapat pakan yang lebih baik. Banyak bagian pakan yang telah direnggut oleh belalainya tidak dimasukkan ke mulut tapi hanya ditebarkan ke tempat lain atau ditaburkan ke punggungnya sendiri. Perilaku pakan seperti ini mengakibatkan kerusakan pada habitat di sekitarnya. b. Minum Aktivitas minum dilakukan siang dan malam hari ketika gajah menjumpai rawa atau sungai dalam pengembaraannya mencari sumber pakan. Gajah menggunakan belalainya untuk menghisap air dan menuangkan ke mulutnya. Gajah mampu menghisap air mencapai 9 liter dalam satu kali hisapan. Gajah akan menggunakan mulutnya untuk minum ketika berendam di sungai atau rawa dan melakukan penggalian air sedalam 50 - 100 cm di dasar-dasar sungai yang kering dengan menggunakan kaki depan dan belalainya ketika sumbersumber air mengalami kekeringan.
13
c. Berkubang Gajah umumnya berkubang di lumpur pada waktu siang atau sore hari saat mencari minum. Gajah juga melakukan aktivitas berkubang di kolam-kolam sampai air menjadi keruh. Perilaku berkubang merupakan suatu cara untuk mendinginkan suhu tubuh dan melindungi kulit dari gigitan serangga dan ekto parasit. d. Mengasin (salt licking) Gajah mencari garam mineral saat makan ketika hari hujan atau setelah hujan turun. Gajah melakukan penggalian pada lantai hutan yang keras dengan gading dan atau kaki depannya kemudian dihisap dengan belalai. Gajah kadangkadang mengeruhkan sumber air dengan cara berguling-guling atau meruntuhkan tebing agar garam mineral larut dalam air kemudian di minum dengan mulutnya. Gajah juga sering melukai bagian tubuhnya sehingga dapat menjilat darahnya yang mengandung garam. e. Beristirahat Gajah tidak tahan terhadap kondisi panas sehingga pada siang hari gajah umumnya dijumpai di tempat yang teduh (Lekagul dan Mc Neely 1977). Gajah tidur dua kali sehari yaitu malam dan siang hari. Malam hari gajah tidur dengan merebahkan diri kesamping tubuhnya dengan menggunakan "bantal" yang terbuat dari tumpukan rumput, jika sudah sangat lelah terdengar bunyi dengkuran yang keras. Siang hari gajah tidur dengan berdiri di bawah pohon yang rindang. Perbedaan perilaku ini diperkirakan berkaitan dengan kondisi keamanan lingkungan. Gajah akan memilih tidur berdiri dalam kondisi lingkungan yang kurang aman untuk menyiapkan diri jika terjadi gangguan. 2.2.
Konflik Manusia dan Gajah (KMG) Konflik manusia dan satwaliar termasuk di dalamnya gajah menurut
Permenhut No. 48 Tahun 2008 adalah segala interaksi antara manusia dan satwaliar yang mengakibatkan efek negatif kepada kehidupan sosial manusia, ekonomi,
kebudayaan
dan
pada
konservasi
satwaliar
dan
atau
pada
lingkungannya. Konflik terjadi ketika gajah keluar dari habitatnya dan memasuki lahan pertanian serta pemukiman masyarakat.
14
Konflik manusia dan gajah merupakan konsekuensi langsung dari hilangnya habitat. Foead (2001) menjelaskan terjadinya konflik manusia dan gajah dipengaruhi oleh : 1) Kawasan
budidaya
(pertanian
atau
perkebunan)
yang
diserang
merupakan lahan hutan yang menjadi habitat gajah sehingga terjadi tumpang tindih kawasan budidaya dan daerah jelajah gajah. 2) Tidak terjadi tumpang tindih tetapi gajah yang tinggal di sekitar kawasan budidaya (pertanian atau perkebunan) lebih menyukai pakan yang tumbuh di kawasan budidaya tersebut. 3) Sumberdaya pakan tidak mencukupi kebutuhan gajah karena hutan ditebang dengan intensitas yang sangat tinggi. 4) Aktivitas manusia di dalam hutan intensitasnya tinggi sehingga gajah merasa tidak aman dan ke luar dari hutan (terutama terhadap kelompok yang memiliki anak). Gangguan satwaliar sering terjadi di desa-desa, pemukiman penduduk atau lahan perkebunan yang lokasinya berdekatan atau berbatasan dengan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional atau habitat-habitat lainnya. Lokasi kawasan budidaya seperti ini merupakan lokasi sumber pakan alternatif yang terdekat bagi satwa jika terjadi kekurangan pakan di habitat aslinya (Alikodra 1993). Dampak konflik manusia dan gajah, yaitu : 1) Kerusakan material. 2) Kerusakan moril, yaitu gangguan terhadap mental manusia seperti trauma, takut, was-was dan penurunan semangat kerja. 3) Kerusakan fisik tubuh, yaitu rasa sakit, kecelakaan ringan/berat, korban jiwa baik manusia ataupun gajah. WWF Indonesia-Program Riau bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Riau telah berupaya mengurangi konflik manusia dan gajah di Tesso Nilo melalui penerapan beberapa teknik salah satunya dikenal dengan nama ”Flying Squad”. Flying Squad merupakan salah satu teknik pengurangan (mitigasi) konflik manusia dan gajah dengan menggunakan gajah terlatih. Gajah terlatih digunakan untuk mengusir dan menggiring gajah-gajah liar yang ke luar dari habitatnya untuk kembali ke habitatnya.
15
Tim Flying Squad terdiri dari empat ekor gajah (dua jantan dan dua betina) beserta delapan orang pelatih (mahout). Bentuk kerja dari Tim Flying Squad yaitu patroli dengan gajah, patroli dengan kendaraan dan pengusiran gajah liar. Tim Flying Squad menggunakan alat bantu penghasil bunyi seperti meriam yang terbuat dari pipa paralon untuk membantu saat melakukan pengusiran atau penggiringan gajah. Tujuan pengoperasian Tim Flying Squad, yaitu : 1) Mengurangi gangguan gajah di masyarakat melalui pengusiran gajah agar kembali ke habitatnya dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat cara-cara pengurangan gangguan gajah. 2) Membantu pengelolaan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo melalui monitoring batas kawasan dari kegiatan pembalakan liar. 3) Mendayagunakan gajah tangkap yang dipelihara oleh pemerintah menjadi gajah Flying Squad. 4) Upaya persuasif kepada masyarakat agar memiliki kemampuan dan kepercayaan diri untuk melindungi kawasan pertanian mereka secara swadaya. 2.3.
Penilaian Ekonomi
2.3.1.
Konsep Nilai Nilai merupakan persepsi terhadap suatu objek (barang atau jasa) pada
tempat dan waktu tertentu. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Davis (1989) mengklasifikasi nilai berdasarkan cara penilaiannya, yaitu : 1) Nilai pasar (market value), yaitu nilai yang ditetapkan melalui transaksi pasar. 2) Nilai kegunaan (value in use), yaitu nilai bagi individu tertentu (induce value). 3) Nilai sosial (social value), yaitu nilai yang ditetapkan melalui peraturan, hukum ataupun perwakilan masyarakat.
16
2.3.2.
Penilaian Ekonomi Kerugian Bencana Penilaian (valuasi) yaitu kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan
konsep dan metodologi untuk menduga nilai barang dan jasa. Pendekatan dalam menilai kerugian bencana, yaitu : 1) Pendekatan pasar , yaitu dengan menggunakan pendekatan nilai pasar (based market methode). 2) Pendekatan non-pasar, yaitu menilai kerugian jiwa atau yang tidak memiliki pasar (market is non-existence). Klasifikasi kerugian bencana, yaitu : 1) Kerugian langsung, yaitu kerusakan fisik langsung akibat bencana. 2) Kerugian tidak langsung, yaitu konsekuensi dampak fisik dari suatu bencana. Tabel 4 Penilaian kerugian bencana Pengukuran 1) Pasar (market)
a. b. c. d. e. f.
2) Bukan pasar (non-market)
a. b. c.
d. e.
Kerugian Langsung Kerusakan struktur bangunan dan isinya Kerusakan kendaraan Kerusakan bangunan publik dan isinya Kerusakan infrastruktur Kehilangan tanaman dan pepohonan Biaya penanganan
Kematian dan kecelakaan Kehilangan barang-barang bersejarah Kerusakan situs-situs budaya dan peninggalan sejarah Kerusakan ekologis Kehilangan plasma nutfah
Kerugian Tidak Langsung a. Kehilangan nilai tambah karena tidak berjalannya industri, perdagangan eceran, distribusi dan jasa b. Peningkatan biaya dalam mempertahankan produksi c. Peningkatan biaya dalam penyelenggaraan alternatif layanan publik d. Peningkatan biaya perjalanan dan transportasi e. Tambahan biaya terkait dengan layanan kedaruratan selama terjadi bencana a. Gangguan kehidupan selama evakuasi b. Sakit dan kematian yang diakibatkan stress c. Trauma d. Hilangnya komunitas e. Non-use values dari kehilangan situs bersejarah dan lingkungan
Sumber : Syaukat (2008)
Sumberdaya yang hilang atau rusak akibat bencana dapat dinilai secara ekonomi melalui teknik :
17
1) Analisis Biaya - Manfaat (Benefit - Cost Analysis) Teknik ini menilai sumberdaya dengan membandingkan antara manfaat dan biaya yang terkait dengan suatu proyek/program terkait dengan intervensi sosial dalam upaya menghindari “market failure”. 2) Teknik Berdasarkan Pasar (Market Based Technique) Manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya harus dapat dibeli dan dijual di pasar. 3) Teknik Pilihan Terungkap (Revealed Preference Techniques) a. Teknik pengeluaran preventif (Preventive expenditure technique) Nilai sumberdaya dihitung dari apa yang disiapkan oleh orang atau sekelompok orang untuk pencegahan (preventif) yang menyebabkan kerusakan sumberdaya. b. Avertive behaviour technique (AB) Penghitungan nilai eksternalitas dilakukan dengan menghitung berapa biaya yang disiapkan seseorang untuk menghindari dampak negatif dari kerusakan sumberdaya. Misalnya pindah ke daerah yang kualitas lingkungannya lebih baik sehingga akan ada biaya pindah. Jika kepindahan menyangkut tempat kerja maka biaya transportasi ke tempat kerja yang baru juga merupakan biaya ekternalitas. c. Teknik biaya pengganti (Replacement cost technique) Teknik ini mengestimasi berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti kerugian hilangnya sumberdaya dengan substitusi yang lain. d. Teknik fungsi produksi (Production function technique) Sumber daya yang terkena dampak dari perubahan lingkungan merupakan input pada produksi yang memanfaatkan lingkungan tersebut. Misalnya pencemaran tanah, maka nilai panen komoditas pertanian dapat digunakan sebagai estimasi nilai sumberdaya. e. Teknik harga hedonik (Hedonic pricing technique) Pada teknik ini hubungan antara harga pasar dari barang atau jasa dengan faktor-faktor terkait sumberdaya digunakan untuk mengestimasi nilai perubahan sumberdaya.
18
f. Metode biaya pengobatan (Cost of illness) Metode ini digunakan untuk memperkirakan biaya morbiditas akibat perubahan yang menyebabkan orang menderita sakit. Total biaya dihitung baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu dengan mengukur biaya yang harus disediakan untuk perlakuan penderita lain, seperti perawatan di rumah sakit, perawatan selama penyembuhan, pelayanan kesehatan yang lain dan obat-obatan. Secara tidak langsung yaitu mengukur nilai kehilangan produktivitas akibat seseorang menderita sakit, melalui penggandaan upah oleh kehilangan waktu karena tidak bekerja. Taksiran biaya tidak termasuk rasa sakit yang diderita dan biaya penderitaannya sendiri. Syaukat (2008) menjelaskan empat prinsip penghitungan dalam penilaian kerugian bencana. Keempat prinsip tersebut adalah : 1) Kerugian dihitung dari semua komponen masyarakat (all members of the society) bukan kerugian individual perusahaan atau rumah tangga. 2) Nilai sebenarnya (true value) bagi masyarakat digambarkan dengan menggunakan harga pasar (market prices). 3) Wilayah yang dinilai kerugian ekonominya memiliki batas-batas yang jelas. 4) Kerugian dihitung menggunakan pendekatan dengan dan tanpa bencana bukan sebelum dan sesudah bencana.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Waktu dan Tempat Penelitian mengenai nilai ekonomi konflik manusia dan gajah
dilaksanakan selama 2 bulan mulai dari bulan Juli hingga Agustus 2009. Pengambilan data lapangan dilaksanakan di Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan , Provinsi Riau.
Sumber : WWF Indonesia-Program Riau
Gambar 2 Lokasi penelitian Desa Lubuk Kembang Bunga. 3.2.
Alat dan Objek Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu peta penyebaran dan
pergerakan gajah di Taman Nasional Tesso Nilo, panduan wawancara, alat tulis
20
menulis, GPS, kamera, kalkulator dan program excel. Objek penelitian yaitu masyarakat, gajah , Tim Flying Squad dan lahan pertanian terganggu. 3.3.
Jenis Data Data yang dikumpulkan meliputi data kondisi umum Taman Nasional
Tesso Nilo, Desa Lubuk Kembang Bunga, Gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo serta konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga . Tabel 5 Jenis data penelitian nilai ekonomi konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga No.
Jenis Data
Metode Pengumpulan Data A. Kondisi umum Taman Nasional Tesso Nilo 1. Sejarah kawasan Studi pustaka 2.
Kondisi fisik
Studi pustaka
3.
Kondisi biologi
Studi pustaka
4.
Kondisi sosial Studi pustaka ekonomi sekitar kawasan B. Kondisi umum Desa Lubuk Kembang Bunga 1. Kondisi fisik Studi pustaka
2.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat
Studi pustaka
Informasi yang Dikumpulkan
a. Sejarah penetapan Taman Nasional Tesso Nilo a. Letak (administratif dan geografis) dan luas kawasan b. Batas kawasan c. Aksesibilitas d. Topografi (kelerengan) e. Tanah f. Iklim g. Hidrologi a. Jenis flora dan fauna a. Aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan b. Penggunaan lahan di dalam kawasan a. Letak (administratif dan geografis) dan luas wilayah b. Batas wilayah c. Topografi d. Iklim a. Jumlah penduduk b. Tingkat pendidikan c. Mata pencaharian d. Tata guna lahan e. Pola usahatani
C. Gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo 1. Gajah sumatera Studi pustaka dan a. Tinjauan umum mengenai Gajah wawancara sumatera (klasifikasi, status konservasi, distribusi, populasi, habitat dan perilaku) b. Kondisi habitat c. Penyebaran dan pergerakan di TNTN D. Konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga 1. Konflik manusia Studi pustaka, a. Kedatangan gajah liar di Desa Lubuk dan gajah wawancara dan Kembang Bunga Tahun 2007 - 2008 pengamatan lapang (waktu, lokasi dan karakteritik kelompok gajah (jumlah, struktur umur dan sex ratio)) b. Penyebab terjadinya konflik
21
Tabel 5 (Lanjutan) No.
Jenis Data
Metode Pengumpulan Data
Informasi yang Dikumpulkan c. Kerusakan akibat konflik pada manusia Tahun 2007 - 2008 (tanaman, bangunan dan fisik tubuh (korban jiwa/kecelakaan)) d. Upaya pencegahan (penjagaan, pengontrolan, patroli dan pembuatan penghalang) e. Upaya penanggulangan (pengusiran, penggiringan dan penangkapan) f. Nilai ekonomi konflik manusia dan gajah (pendapatan yang hilang , biaya berobat, biaya perbaikan bangunan, biaya mengungsi, biaya produksi pertanian, biaya pengendalian konflik (pencegahan dan penanggulangan))
3.4.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, wawancara
dan pengamatan lapangan. Berikut dijelaskan mengenai metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian. 1) Studi Pustaka Studi pustaka merupakan langkah awal untuk mengetahui kondisi umum Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dan Desa Lubuk Kembang Bunga serta tinjauan umum mengenai Gajah sumatera di TNTN. Studi pustaka juga digunakan untuk mengumpulkan data mengenai masyarakat di Desa Lubuk Kembang Bunga yang terkena konflik Tahun 2007 - 2008 (sumber : WWF Indonesia-Program Riau). Studi pustaka diperoleh dari berbagai sumber, seperti buku laporan dari pihak pengelola (Taman Nasional Tesso Nilo) dan institusi terkait (WWF Indonesia-Program Riau), majalah, brosur dan dokumen terkait dengan judul penelitian. 2) Wawancara Terstruktur Wawancara terstruktur dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara (Lampiran 1). Responden yang diwawancarai adalah masyarakat berkonflik Tahun 2007 - 2008 (14 KK) dan Tim Flying Squad. 3) Pengamatan Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan untuk pencocokan (verifikasi) jumlah kerusakan pertanian dan klasifikasi kerusakan bagunan. Pengamatan lapangan
22
terutama dilakukan untuk menganalisis konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga. 3.5.
Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif dan
metode kuantitatif. 1) Analisis Deskriftif Analisis secara deskriftif digunakan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga (LKB), mengidentifikasi kelompok gajah yang memasuki LKB serta mengidentifikasi jenis dan jumlah kerusakan pada manusia akibat konflik manusia dan gajah. Unsur-unsur lain yang dianalisis secara deskriftif, yaitu kondisi habitat gajah, populasi gajah, penyebaran dan pergerakan gajah, pintu masuk gajah, lokasi kedatagan gajah dan upaya pengendalian konflik. 2) Analisis Kuantitatif Analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung nilai ekonomi konflik manusia dan gajah. Nilai ekonomi konflik manusia dan gajah dihitung dengan menggunakan pendekatan pendapatan yang hilang (cost of time), biaya berobat (cost of illness), biaya perbaikan bangunan, biaya mengungsi, biaya produksi pertanian dan biaya pengendalian konflik (pencegahan dan penanggulangan). Nilai ekonomi konflik manusia dan gajah yaitu nilai kerugian langsung (kerusakan fisik tubuh, kerusakan bangunan, kerusakan pertanian dan biaya penanggulangan) dan tidak langsung (pendapatan yang hilang, biaya mengungsi dan biaya pencegahan) pada manusia akibat konflik manusia dan gajah dalam satuan rupiah. n
VKMG = ∑ Ka a=1
Keterangan : Vkmg
: nilai konflik manusia dan gajah (Rp)
K
: nilai kerugian konflik manusia dan gajah (Rp)
a
: komponen kerugian konflik manusia dan gajah ke a
23
Komponen kerugian konflik manusia dan gajah, yaitu : 1) Pendapatan yang hilang Hilangnya pendapatan masyarakat karena konflik manusia dan gajah dihitung berdasarkan Cost of Time. Cost of Time adalah kerugian yang ditanggung oleh seseorang karena hilangnya waktu untuk bekerja. Kerugian masyarakat tidak masuk kerja pada saat terjadi konflik atau pasca terjadinya konflik dihitung berdasarkan tingkat pendapatan perhari. n
Vph =
∑
(Jhtk x Ph)i
i=1
Keterangan : Vph
: nilai pendapatan yang hilang (Rp)
Jhtk
: jumlah hari tidak kerja
Ph
: pendapatan per hari (Rp)
i
: responden ke i
2) Kerusakan fisik tubuh Kerusakan fisik tubuh akibat konflik dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk berobat. n
Vkft =
∑
(Jhb x Bb)i
i=1
Keterangan : Vkft
: nilai kerusakan fisik tubuh (Rp)
Jhb
: jumlah hari berobat
Bb
: biaya berobat (Rp)
i
: responden ke i
3) Kerusakan bangunan Kerusakan bangunan diklasifikasikan berdasarkan kriteria kerusakan, yaitu : a. Rusak berat : Kehilangan > 60 % bagian bangunan.
24
Tidak bisa berdiri tegak/roboh. b. Rusak sedang : Kehilangan 35 % - 60 % bagian bangunan. c. Rusak ringan : Kehilangan < 35 % bagian bangunan. Kerusakan bangunan akibat konflik dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki bangunan. n
∑
Vb =
(Bpb)i
i=1
Keterangan : Vb
: nilai kerusakan bangunan (Rp)
Bpb
: biaya perbaikan (Rp)
i
: responden ke i
4) Biaya Mengungsi Biaya mengungsi dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan selama mengungsi. n
Vm =
∑
(Jhm x Bm)i
i=1
Keterangan : Vm
: nilai biaya mengungsi (Rp)
Jhm
: jumlah hari mengungsi
Bm
: biaya mengungsi (Rp)
i
: responden
5) Kerusakan pertanian Kerusakan komoditas perkebunan (kelapa sawit dan karet ) dihitung berdasarkan nilai hasil produksi yang hilang ditambah biaya produksi yang dikeluarkan sampai umur tanaman terjadi kerusakan. Nilai ekonomi kerusakan komoditas tanaman pangan dan buah-buahan dihitung berdasarkan nilai hasil produksi yang hilang.
25
Komponen biaya produksi perkebunan, yaitu : a. Biaya pengolahan tanah, yaitu biaya dalam mengupayakan terbentuknya lahan siap tanam (imas, tumbang, pembakaran/spraying/cincang perun dan pembersihan jalur). b. Biaya pengadaan bibit. c. Biaya penanaman (pancang, lubang dan tanam). d. Biaya pemeliharaan (pemupukan dan penyemprotan) sampai umur tanaman rusak. Penghitungan
nilai
ekonomi
kerusakan
tanaman
perkebunan
menggunakan persamaan : n
Vpt =
∑
{(LkTQ) + (LkC)}
i=1
Keterangan : Vpt
: nilai kerusakan pertanian (Rp)
Lk
: luas kerusakan (ha)
T
Lk = jarak tanam x jumlah tanaman rusak luas lahan : hasil panen perhektar (kg)
Q
: harga jual (Rp/kg)
C
: biaya tanaman per ha (Rp)
6) Biaya Pencegahan Biaya pencegahan dihitung berdasarkan jumlah uang untuk mencegah masuknya gajah ke lahan pertanian dan pemukiman. Komponen biaya pencegahan yaitu biaya alat , biaya transportasi dan biaya tenaga kerja. n
Vc = ∑ (Bc)i i=1
Keterangan : Vc
: nilai upaya pencegahan (Rp)
Bc
: biaya pencegahan (Rp)
i
: responden ke i
26
7) Biaya Penanggulangan Biaya penanggulangan dihitung berdasarkan jumlah uang untuk melakukan pengusiran. Komponen biaya penanggulangan yaitu biaya alat, biaya trasportasi dan biaya tenaga kerja. n
Vp = ∑ (Bp)i i=1
Keterangan : Vp
: nilai upaya penanggulangan (Rp)
Bp
: biaya penanggulangan (Rp)
i
: responden ke i
27
Kondisi Umum TN. Tesso Nilo : - Sejarah kawasan - Kondisi fisik - Kondisi biologi - Kondisi sosial dan ekonomi sekitar kawasan Kondisi Umum Desa Lubuk Kembang Bunga : - Kondisi fisik - Kondisi sosial dan ekonomi - Pola penggunaan lahan - Pola usahatani
Kondisi Umum Gajah Sumatera di TN. Tesso Nilo : - Kondisi habitat - Populasi - Penyebaran - Pergerakan
JENIS DATA
Konflik Manusia dan Gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga : - Lokasi dan waktu gangguan - Jenis dan jumlah kerusakan - Tingkat gangguan gajah - Upaya pengendalian PENGUMPULAN DATA : - Studi pustaka - Wawancara terstruktur - Pengamatan lapangan
ANALISIS DATA : Analisis Kuantitatif dan Analisis Deskriftif
(1) Pendapatan yang hilang (Cost of Time)
(2) Biaya berobat (Cost of Illnnes)
(3) Biaya perbaikan bangunan
(4) Biaya mengungsi
(5) Biaya produksi pertanian
(6) Biaya pencegahan dan penanggulangan
NILAI EKONOMI KONFLIK MANUSIA DAN GAJAH (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) DI DESA LUBUK KEMBANG BUNGA, KECAMATAN UKUI, KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU
Gambar 3 Sistematika penelitian nilai ekonomi konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga.
BAB IV KONDISI UMUM KAWASAN
4.1.
Taman Nasional Tesso Nilo
4.1.1.
Sejarah Kawasan Hutan Tesso Nilo ditetapkan sebagai taman nasional Tanggal 19 Juli
2004 melalui Surat Keputusan No. 255/Menhut-II/2004. Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) sebelumnya merupakan areal HPH PT. Inhutani IV (eks HPH PT. Dwi Marta) yang telah dicabut ijinnya oleh Menteri Kehutanan sebagai persiapan penunjukan Kawasan Konservasi Tesso Nilo. Gubernur Riau melalui Surat No.522.2/EK/1006 Tanggal 30 April 2001 dan Surat No.522.51/EK/1678 Tanggal 31 Juli 2002 mengusulkan HP Tesso Nilo seluas 188.000 ha yang terletak di Kabupaten Kampar, Pelalawan, Indragiri Hulu dan Kuantan Singingi sebagai kawasan konservasi gajah.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 10258/Kpts-II/2002 Tanggal 13 Desember 2002 Jo. No. 282/Kpts-II/2003 Tanggal 25 Agustus 2003 mencabut ijin HPH PT. Inhutani IV (eks HPH Dwi Marta) di Kawasan HPT Kelompok Hutan Tesso Nilo seluas 38.576 ha sebagai persiapan penunjukan kawasan konservasi Tesso Nilo.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 255/Menhut-II/2004 Tanggal 19 Juli 2004 memutuskan sebagian kawasan di HPT Kelompok Hutan Tesso Nilo seluas ± 38.576 ha menjadi Taman Nasional Tesso Nilo. Gambar 4 Kronologis penunjukan Taman Nasional Tesso Nilo. 4.1.2.
Letak dan Luas Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) berada di dua kabupaten, yaitu
Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Luas kawasan TNTN yaitu 38.576 hektar. TNTN terletak pada 0°08'8,6" LU - 0°21'15,2" LS dan 101°03'20,7" BT 101°51'43,6" BT. Batas kawasan TNTN, yaitu :
29
1) Bagian timur berbatasan dengan Dusun Bagan Limau dan PT. Inti Indosawit Subur. 2) Bagian barat berbatasan dengan PT. Nanjak Makmur. 3) Bagian utara berbatasan dengan PT. RAPP, Desa. Lubuk Kembang Bunga dan Desa Air Hitam. 4) Bagian selatan berbatasan dengan PT. Putri Lindung Bulan, PT. Rimba Lazuardi dan PT. Peranap Indah (Gambar 5).
Sumber : WWF Indonesia-Program Riau
Gambar 5 Batas kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. 4.1.3.
Aksesibilitas Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dapat ditempuh dengan kendaraan
roda dua ataupun roda empat. Aksesibilitas untuk menuju kawasan TNTN, yaitu : 1) Jalan Raya Lintas Timur Sumatera – Ukui – Air Hitam – Lubuk Kembang Bunga, ± 25,5 km. 2) Jalan Raya Lintas Timur Sumatera – Ukui – Bagan Limau, ± 15,9 km. 3) Jalan Raya Taluk Kuantan – Air Molek – Baserah – Simpang Inuman, ± 19 km. 4. Jalan Raya Taluk Kuantan – Air Molek – Simpang Lala – Pontian Mekar, ± 21,5 km. 5. Jalan Raya Taluk Kuantan – Air Molek – Simpang Kelayang, ± 23 km. 6. Jalan Raya Taluk Kuantan – Air Molek – Simpang Selanjut, ± 29,6 km. 7. Jalan Raya Taluk Kuantan – Air Molek – Simpang Sentajo.
30
4.1.4.
Kondisi Fisik dan Biologi Taman Nasional Tesso Nilo merupakan hutan hujan dataran rendah yang
memiliki keanekaragama hayati yang tinggi dan menjadi habitat dari berbagai jenis satwaliar (Tabel 6). Tabel 6 Kondisi fisik dan biologi Taman Nasional Tesso Nilo No. Jenis A. Kondisi fisik 1. Tofografi
2.
Tanah
3.
Iklim
4.
Hidrologi
5.
Ekosistem
B. Kondisi Biologi 1. Flora
Deskripsi Kawasan TNTN bertofografi datar sampai berbukit dengan ketinggian dari permukaan laut 50 - 175 mdpl. Kawasan yang masih ditumbuhi hutan alam dengan diameter pohon diatas 30 cm berada di area dengan kemiringan > 45 %. Hutan produksi terbatas umumnya berada di area dengan kemiringan 25 % - 45 %. Kebun kelapa sawit, ladang dan pemukiman penduduk berada di area dengan kemiringan 15 % - 25 %. Jenis tanah yang mendominasi kawasan TNTN adalah Tropohemist (Haplohemist) dan Paleudults. Iklim dataran bagian timur Sumatera Tengah umumnya sangat lembab. Curah hujan tahunan yaitu 2.000 - 3.000 mm dengan ratarata curah hujan tahunan yaitu 2.395,39 mm/tahun. Jumlah hari hujan terbanyak yaitu bulan Juni dengan rata-rata 21 hari. Kawasan TNTN dan daerah di sekitarnya merupakan area tangkapan air bagi beberapa sungai, yaitu Sungai Tesso (di bagian barat), Sungai Segati (di bagian utara) dan Sungai Nilo (di bagian timur). Sungai-sungai tersebut merupakan Sub DAS dari DAS Kampar tepatnya di antara DAS Tesso dan DAS Nilo di Provinsi Riau, kecuali Sungai Sangkalalo yang mengalir ke Sungai Kuantan. Hutan Tesso Nilo merupakan hutan hujan tropika dataran rendah (low land tropical forest) dengan vegetasi berupa hutan sekunder dataran rendah yang dikelilingi oleh kawasan budidaya, di antaranya Hutan Tanaman Industri (Acacia mangium dan Acacia macrocarpa), perkebunan kelapa sawit, kebun karet serta pemukiman penduduk.
Potensi Flora di TNTN diperkirakan 360 jenis tumbuhan vascular/pohon yang tergolong kedalam 165 marga dan 57 suku (dalam satu hektar). Jenis tumbuhan yang dilindungi di antaranya Kayu batu (Irvingia malayanga), Kempas (Koompasia malaccensis), Jelutung (Dyera polyphylla), Kulim (Scorodocarpus borneensis), Tembesu (Fragraea fragrans), Gaharu (Aqualaria malaccensis) dan Ramin (Gonystylus bancanus). 2. Fauna Terdapat 107 jenis burung, di antaranya Beo sumatra (Gracula religiosa), Kipas (Rhipidura albicollis), Sempidan merah (Lophura erythropthalma), Sempidan biru (Lophura ignita), Julang jambul hitam (Aceros corrugatus) dan Empuloh paruh kait (Setornis criniger); 23 jenis mamalia yang di antaranya terdapat jenis dilindungi seperti Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Tapir (Tapirus indicus), Beruang madu (Helarctos malayanus) dan Trenggiling (Manis javanica); 3 jenis primata, di antaranya Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Hylobates syndactylus) yang merupakan jenis primata dilindungi; 50 jenis ikan dan 33 jenis herpetofauna (15 jenis reptil dan 18 jenis amfibi). Sumber : BKSDA Riau (2006a)
31
4.1.5.
Kondisi Sosial dan Ekonomi Kecamatan yang termasuk dalam kawasan TNTN yaitu Kecamatan Pasir
Penyu dan Ukui. Desa yang terdekat dan berbatasan langsung dengan TNTN yaitu Pontian Mekar (Kec. Pasir Penyu) serta Air Hitam, Lubuk Kembang Bunga dan Dusun Bagan Limau (Kec. Ukui). Masyarakat di sekitar TNTN umumnya berasal dari Suku Melayu, Minangkabau, Jawa, Sunda dan Tapanuli. Masyarakat
sekitar
kawasan
sangat
bergantung
pada
TNTN.
Keterbatasan lapangan kerja menyebabkan masyarakat sekitar TNTN bekerja sebagai penebang kayu di hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, usaha pertanian tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup karena serangan gajah dan hama lain seperti tikus, babi hutan dan monyet. Ketika Hutan Tesso Nilo diusahakan oleh HPH PT. Dwi Marta pada Tahun 1970, perekonomian di sekitar Hutan Tesso Nilo didominasi oleh kegiatan penebangan hutan. Kemudian Tahun 1990 kebijakan pengusahaan HPH berubah menjadi pengusahaan HPHTI dan Hutan Tesso Nilo dikelola oleh PT. Inhutani IV. Ketika pemeritah mencabut HPHTI PT. Inhutani IV dan menetapkannya sebagai Taman Nasional Tesso Nilo, penebangan hutan masih terjadi yang dikenal dengan nama illegal logging. Ramadhan (2005) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas masyarakat yang berdampak negatif terhadap pengelolaan kawasan TNTN dan kelestarian gajah, yaitu : 1) Kondisi
kawasan
yang
kurang
ideal
sehingga
sulit
dilakukan
perlindungan dan pengamanan kawasan. 2) Banyaknya akses jalan darat dan sungai ke dalam kawasan TNTN mendorong dan mempermudah terjadinya penebangan dan perburuan liar. 3) Masyarakat
pendatang
meningkat
yang
menyebabkan
terjadinya
perebutan kawasan hutan untuk dijadikan lahan pertanian. 4) Kurang jelasnya batas kawasan TNTN. 5) Tingkat kesadaran, kesejahteraan ekonomi dan pendidikan masyarakat sekitar kawasan TNTN rendah. Penggunaan lahan lain yang terdapat di TNTN, yaitu : 1) Bagian utara TNTN terdapat HTI tanaman akasia seluas 2.994,03 hektar yang dikelola oleh PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP).
32
2) Bagian timur TNTN terdapat tanaman sawit seluas 3.073,62 hektar yang merupakan areal PT. Inti Indosawit Subur dan kebun milik masyarakat dengan sistem KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota) dengan luasan masing- masing yaitu 1.340,98 hektar dan 1.732,64 hektar. Selain itu, terdapat tanaman karet seluas 376,66 hektar yang diusahakan oleh masyarakat. 3) Kawasan TNTN yang masih tertutup vegetasi seluas 35.245,39 hektar, sisanya berupa lahan terbuka dan ladang huma (BKSDA Riau 2006a). 4.2.
Lubuk Kembang Bunga
4.2.1.
Kondisi Fisik Lubuk Kembang Bunga (LKB) terletak di Kecamatan Ukui, Kabupaten
Pelalawan, Provinsi Riau. Luas wilayah LKB yaitu 24.293 hektar dengan batasbatas wilayah sebagai berikut : 1) Bagian timur berbatasan dengan Desa Air Hitam dan PT. Inti Indosawit Subur. 2) Bagian barat berbatasan dengan Lubuk Bunut dan PT. RAPP. 3) Bagian utara berbatasan dengan PT. Musi Mas, PT. RAPP dan Sungai Kundur 4) Bagian selatan berbatasan dengan PT. RAPP dan TNTN. Lubuk Kembang Bunga merupaka daerah dataran rendah dengan ketinggian 2 - 40 mdpl. Rata-rata curah hujan Tahun 2007 yaitu 48,4 mm (bulan Juli) - 453,2 mm (bulan November). Rata-rata kelembaban udara Tahun 2007 yaitu 77,9 - 88,4 %. Suhu udara rata-rata pada siang hari yaitu 32,0°C - 352,°C dan malam hari 19,0°C - 22,8°C. Suhu udara maksimum yaitu 32,2°C (bulan April) dan suhu udara minimum 19,0°C (bulan November). (BPS Ukui 2007). 4.2.2.
Kondisi Sosial dan Ekonomi
1) Kondisi Sosial Masyarakat Lubuk Kembang Bunga (LKB) Tahun 2007 tercatat 2.730 jiwa terdiri dari 496 KK dan Tahun 2008 tercatat 3.185 jiwa terdiri dari 736 KK (BPS Ukui 2007 daan BPS 2008). Masyarakat LKB terdiri dari masyarakat asli (Suku Melayu) dan pendatang (Jawa, Sunda, Batak dan Melayu Medan). Mayoritas masyarakat LKB pemeluk Agama Islam, agama lain yang dianut adalah
33
Protestan. Bahasa yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat LKB adalah Bahasa Melayu. Penggunaan lahan untuk pemukiman dan perkebunan oleh masyarakat LKB, yaitu 11.187 hektar (Tabel 7). Tabel 7 Penggunaan lahan di Desa Lubuk Kembang Bunga No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Lahan Pemukiman Perkebunan rakyat Hutan Lahan tidur
Luas (Hektar) 6.187 5.000 7.020 6.086 24.293
Jumlah Sumber:BPS (2008)
Lokasi pemukiman masyarakat berada disepanjang kiri dan kanan punggung jalan poros RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper). Terdapat 569 unit rumah yang terdiri dari 21 unit rumah permanen dan 548 tidak permanen (BPS Ukui 2007). Rumah permanen di LKB jumlahnya sangat sedikit karena tingkat daya beli masyarakat rendah dan akses dalam mendatangkan bahan bangunan sulit sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar. Sarana dan prasarana pendidikan di LKB Tahun 2007 baru tersedia untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) (Tabel 8). Tabel 8 Jumlah sekolah umum, kelas, guru dan murid di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 Sarana dan Prasarana Pendidikan Sekolah umum (unit) Ruang kelas (unit) Guru (jiwa) Murid (jiwa) Sumber : BPS Ukui (2007)
Tingkat Pendidikan SD SMP 1 1 8 3 8 9 208 81
Masyarakat LKB umumnya hanya melanjutkan pendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sekolah Menengah Atas yang tidak tersedia di LKB menjadi salah satu alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke SMA. Biaya sekolah dan biaya hidup yang cukup mahal menjadi faktor utama. Tahun 2008 di LKB terdapat penambahan sarana pendidikan yaitu 1 unit Taman Kanakkanak, 2 unit Sekolah Dasar dan 1 unit Sekolah Menengah Pertama (BPS 2008). Tingkat kesehatan masyarakat LKB masih terbilang sangat rendah. Kondisi ini terlihat dari tidak tersedianya sarana kesehatan di LKB dan tenaga kesehatan yang minim yaitu 1 bidan dan 5 dukun bersalin (BPS Ukui 2007).
34
Pemanfaatan kawasan TNTN oleh masyarakat LKB berupa hasil hutan non-kayu, diantaranya buah-buahan (idan, tampui, durian dan bacang), rotan, getah damar, kulit kayu resak dan madu sialang. Pengambilan madu sialang merupakan salah satu kebudayaan yang telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat dan menjadi salah satu sumber mata pencaharaian dari sebagian masyarakat LKB. Madu sialang dihasilkan dari pohon-pohon tertentu yang menjadi sarang bagi lebah liar yaitu Avis dorsata. Pohon-poho madu sialang diantaranya Keruing (Dipterocarpus spp), Kempas (Koompassia malaccensis), Ara (Ficus carica), Kedundung (Canarium spp.), Jelutung (Dyera polypylla) dan Meranti batu (Hopea mengarawan). Lubuk Kembang Bunga dapat diakses melalui jalan darat Simpang Ukui di daerah lintas timur arah Pekanbaru − Rengat. Jarak tempuh dari LKB ke ibukota kecamatan ± 20 km sedangkan jarak tempuh ke ibukota kabupaten ± 100 km. Sarana transportasi yang terdapat di LKB yaitu transportasi darat dan air. Transpotasi darat merupakan sarana transportasi untuk menghubungkan LKB dengan desa lainnya. Jalur transportasi darat di desa ini sebagian besar masih berupa tanah. Transportasi air digunakan masyarakat sebagai alat trasportasi usaha (nelayan, pariwisata, pengangkutan hasil hutan, dll). 2) Kondisi Ekonomi Masyarakat Lubuk Kembang Bunga umumnya bermatapencaharian sebagai petani (Tabel 9). Komoditas pertanian utamanya adalah karet dan kelapa sawit. Tabel 9 Jumlah keluarga berdasarkan sumber penghasilan utama di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 No. Sumber Penghasilan Utama 1. Pertanian 2. Perdagangan, rumah makan dan akomodasi 3. Jasa 4. Lainnya Jumlah Sumber : BPS Ukui (2007)
Jumlah Keluarga 424 32 6 34 496
a) Karet Karet merupakan tanaman perkebunan utama yang menjadi penopang hidup masyarakat LKB selain kelapa sawit. Pengelolaan karet di LKB masih terbilang sederhana, pengelolaan yang cukup baik dilaksanakan yaitu penerapan jarak tanam (4 m x 5 m). Bibit karet yang ditanam masyarakat merupakan hasil
35
pembibitan biji karet pohon tua dan pencabutan anakan karet yang berasal dari kebun karet lama. Masyarakat juga menggunakan bibit siap tanam usia 3 - 4 bulan (1 - 2 payung) dan bibit karet okulasi yang didapatkan dari bantuan dinas perkebunan dan proyek penghijauan dari dinas kehutanan. Penyadapan pertama getah karet dilakukan setelah karet berumur 5 - 6 tahun. Penyadapan dilakukan pada pagi hari pukul 05.30 WIB dan sore hari pukul 03.00 WIB. Hasil getah karet dalam satu hari mencapai 10 - 15 kg per hektar. Harga jual getah karet di LKB sebesar Rp. 5.000 s/d Rp. 7.000 per kg (harga spekulasi di pasaran). Pendapatan petani karet per minggu dengan harga penjulan getah karet minimum yaitu Rp. 350.000 s/d Rp. 525.000 per hektar. b) Kelapa sawit Budidaya kelapa sawit oleh masyarakat dimulai sejak berdirinya PT. Inti Indosawit Subur dan PT. Musim Mas Tahun 1987. Hingga sekarang, budidaya kelapa sawit ini menjadi komoditas paling utama bagi petani di LKB. Pengelolaan kelapa sawit di LKB cukup baik, kegiatan pemeliharaan (pemupukan dan penyemprotan) serta penerapan jarak tanam (8 m x 9 m) sudah teratur. Kelapa sawit mulai dipanen setelah mencapai umur 3 tahun karena telah menghasilkan buah pasir produktif. Satu hektar lahan kelapa sawit (125 - 130 batang) menghasilkan 200 - 300 kg buah pasir dengan harga Rp. 800 s/d Rp. 1.000 per kg (harga spekulasi di pasaran). Kelapa sawit dipanen 2 - 3 kali dalam satu bulan. Perbedaan jumlah hasil dan periode panen dipengaruhi oleh frekuensi pemeliharaan dan jumlah pupuk yang diberikan. Hasil penjualan kelapa sawit per bulan dengan hasil dan periode panen minimum yaitu Rp. 320.000 s/d Rp. 400.000 per hektar. c) Tanaman pangan, sayur sayuran dan buah-buahan Jenis tanaman lain yang ditanam oleh masyarakat yaitu kelapa, ubi kayu, pisang, sayur-sayuran dan buah-buahan. Sayur-sayuran yang ditanam diantaranya kacang-kacangan, terung, tomat, cabe, kangkung dan bayam darat. Buah-buahan yang ditanam diantaranya pisang, pepaya dan alpukat. Tanaman-tanaman ini ditanam oleh masyarakat di pekarangan rumahnya. Periode panen disesuaikan dengan kebutuhan. Hasil panen digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian lagi untuk dijual. Pengelolaan tanaman ini tidak terlalu diperhatikan dan bibit yang digunakan berasal dari bibit induk yang sudah ada.
36
Ubi kayu dan pisang kadang-kadang ditanam di lahan kelapa sawit atau karet sebagai pembatas antara lahan yang satu dengan yang lainnya sehingga jumlah yang ditanam tidak banyak. Bibit yang ditanam merupakan bibit yang berasal dari pekarangan rumahnya. Pemeliharaan secara intensif hanya dilakukan pada ubi kayu dan pisang yang ditanam di pekarangan. Pemeliharaan ubi kayu dan pisang di kebun kelapa sawit/karet hanya berupa penyiangan dari ilalang atau gulma. Ubi kayu dan pisang yang ditanam di lahan kelapa sawit biasanya sampai umur sawit berumur tiga tahun karena tajuk kelapa sawit sudah besar sehingga pertumbuhan dari ubi kayu dan pisang akan terhambat. Selain itu, ditanamnya pisang di kebun sawit akan mengundang monyet yang akan memakan pucuk kelapa sawit selain buah pisang. Kelapa merupakan tanaman perkebunan yang sudah dikenal masyarakat LKB sejak lama. Kelapa umumnya ditanam di pekarangan sebagai pagar pembatas lahan yang dimiliki masyarakat. Masyarakat yang memiliki pohon kelapa di pekarangan rumah atau kebunnya tidak mengeluarkan biaya pemeliharaan dan pembibitan karena mereka membiarkannya begitu saja tumbuh secara alami. Bibit diambil dari kelapa yang jatuh ke tanah yang kemudian menjadi tunas baru. Kelapa dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian untuk dijual. Kelapa yang masih muda dijual untuk bahan pangan (es kelapa muda) dan kelapa yang sudah tua di jual untuk bahan baku minyak goreng atau untuk diambil santannya. Penjualan kelapa ini cukup membantu dalam pendapatan masyarakat. Masyarakat juga mengusahakan ternak sebagai salah satu usaha tani mereka. Jenis ternak yang diusahakan yaitu sapi, kambing, ayam buras dan itik/bebek. Sarana perekonomian yang ada di LKB terdiri dari 1 unit pasar dan 42 unit berupa toko/kios/warung/kedai. Pasar hanya ada setiap hari Sabtu dan berlangsung dari sore hari hingga malam hari. Lahan pemukiman/pertanian yang digunakan masyarakat sebelumnya merupakan hutan atau lahan terbuka yang kemudian dibuka oleh masyarakat. Kegiatan pembukaan hutan oleh masyarakat terdiri dari tiga tahapan, yaitu pengimasan, penumbangan dan pembakaran (open burning)/cincang perun. Proses pembukaan lahan terbuka terdiri dari dua tahapan, yaitu pengimasan dan
37
pembakaran (open burning)/penyemprotan (spraying). Proses pembakaran(open burning) dilakukan setelah pohon kering dan mati. Proses pengimasan dalam pembukaan hutan merupakan tahapan awal untuk membuang pohon berdiameter kecil sebelum tahapan penumbangan pohon yang besar. Proses pengimasan pada lahan terbuka dilakukan untuk menebas ilalang dan rerumputan. Penerapan cincang perun dan penyemprotan (spraying) oleh masyarakat dilakukan setelah adanya larangan dari pemerintah untuk tidak melakukan pembakaran (open burning) dalam pembukaan hutan. Kegiatan cincang perun terdiri dari kegiatan penumbangan dan pengumpulan kayu yang telah ditumbang. Keuntungan menggunakan sistem cincang perun yaitu kayu yang dikumpulkan dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan seperti rumah, pondok jaga, kedai, pagar dan lainnya. Penyemprotan (spraying)
dilakukan
dengan
media
pestisida.
Keuntungan
melakukan
penyemprotan (spraying) yaitu proses tumbuh kembalinya ilalang dan rerumputan lebih lama dibandingkan sistem pembakaran. Proses pembukaan hutan dan lahan terbuka dilakukan masyarakat pada awal musim kemarau. Tujuannya yaitu saat musim hujan tiba lahan yang sudah dibuka siap untuk ditanam. Proses pengimasan dan penumbangan pohon dalam pembukaan hutan membutuhkan waktu maksimal dua minggu. Lamanya waktu proses ini tergantung dari jumlah pohon dalam lahan dan tenaga kerja yang dipergunakan.
Proses
pengimasan
dan
penumbangan
pohon
umumnya
menggunakan tenaga kerja 2 orang. Proses pembakaran (open burning) untuk lahan hutan dan lahan terbuka dilakukan sendiri oleh masyarakat atau menggunakan tenaga kerja. Proses pengolahan lahan setelah pembukaan hutan/lahan terbuka untuk lahan kelapa sawit/karet yaitu pemancangan dan pembuatan lubang tanam. Pemancangan dilakukan untuk membuat jalur dan mengatur jarak tanam. Terdapat dua pola usahatani yang dilakukan oleh masyarakat. Pertama, yaitu masyarakat yang langsung menanam komoditas utamanya (kelapa sawit, karet, padi). Kedua, yaitu masyarakat yang menanam terlebih dahulu lahannya dengan komoditas lain seperti padi sebelum menanam komoditas utamanya. Perbedaan pola usaha tani ini dipengaruhi oleh ketersediaan bibit dan biaya untuk melakukan penanaman dan pemeliharaan.
38
Kelompok masyarakat yang menerapkan pola usahatani pertamam umumya menggunakan bibit sawit/karet hasil pembibitan yang telah dilakukan sebelum proses pembukaan lahan. Kelompok masyarakat yang menerapkan pola usahatani yang kedua umumnya belum mempunyai bibit yang siap tanam. Setelah pembukaan hutan mereka melakukan pembibitan baik itu kelapa sawit atau karet. Upaya masyarakat dalam mengoptimalkan lahan sebelum menanam komoditas utamanya (kelapa sawit/karet) yaitu menanam padi. Setelah padi panen masyarakat akan menanam kelapa sawit/karet pada lahan tersebut. Pola usahatani dengan komoditas utama padi memanfaatkan lahan hanya sekali dalam setahun. Lahan yang digunakan berupa ladang (sawah tadah hujan). Bibit padi darat ditanam saat memasuki awal musim penghujan. Rentang waktu penanaman hingga masa panen yaitu 6 bulan dengan hasil panen mencapai 2 ton per hektar. Penanaman padi darat dilakukan dengan sistem ladang berpindah. Penetapan sebagian hutan di LKB menjadi taman nasional menghentikan kegiatan perladangan berpindah masyarakat sehingga masyarakat bertani secara menetap. Selain itu, lahan hutan atau lahan terbuka untuk perladangan berpindah umumnya telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebun kelapa sawit.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Hutan Tesso Nilo
5.1.1.
Habitat Gajah Sumatera Kawasan Hutan Tesso Nilo berada di empat wilayah administrasi
pemerintahan, yaitu Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar, Kuantan Singingi dan Pelalawan. Luas Hutan Tesso Nilo secara keseluruhan adalah 188.000 hektar. Hutan Tesso Nilo merupakan blok hutan hujan dataran rendah tersisa yang masih memenuhi syarat sebagai habitat dan wilayah jelajah (home range) bagi Gajah sumatera. Kondisi ini menjadikan Hutan Tesso Nilo sebagai solusi dalam menangani konflik manusia dan gajah di Riau selain blok Hutan Bukit Tigapuluh. Kesesuaian Hutan Tesso Nilo sebagai habitat dan wilayah jelajah (home range) Gajah sumatera dibandingkan blok hutan lain yang menjadi habitat gajah didasarkan pada beberapa faktor habitat. Faktor habitat tersebut antara lain luasan habitat yang tersedia > 25.000 hektar, ketersediaan tanah mineral seperti Kalium (K) yang terkandung dalam jenis tanah Haplohemist dan topografi kawasan yang relatif landai (Tabel 10). Tabel 10 Blok hutan di Provinsi Riau yang menjadi habitat Gajah sumatera berdasarkan tipe hutan dan ketersediaan faktor habitat No. 1.
Blok Hutan Libo
Tipe Hutan
Ketersediaan Faktor Habitat Luas Tanah Kelerengan > 25.000 ha* Mineral < 45 % Terbatas -
Hutan hujan dataran rendah dan rawa gambut 2. Giam Siak Kecil Hutan rawa Terbatas gambut 3. Kerumutan Hutan rawa Terbatas gambut 9 9 4. Tesso Nilo Hutan hujan dataran rendah 9 9 5. Rimbang Baling Hutan hujan dataran rendah 9 9 6. Bukit Tigapuluh Hutan hujan dataran rendah Sumber : WWF Indonesia-Riau Programm (2009) Keterangan : *) Hasil analisis wilayah jelajah sub spesies Gajah asia lainnya.
9 Terbatas 9
Hasil analisis tutupan lahan dan tata ruang Provinsi Riau melalui Sistem Informasi Geografi oleh WWF Indonesia, menunjukkan ± 120.000 hektar dari
40
luas Hutan Tesso Nilo merupakan areal yang sesuai untuk habitat gajah. Kesesuaian ini meliputi luasan Hutan Tesso Nilo yang kompak dan memadai, tutupan lahan relatif baik, ketersediaan air, topografi cenderung landai, tidak terdapat rawa gambut dan status lahan bukan kawasan budidaya seperti perkebunan atau Hutan Tanaman Industri (Foead 2001). Menindaklanjuti hasil analisis tutupan lahan dan tata ruang Provinsi Riau dan untuk menjamin perlindungan dan kelestarian kawasan Hutan Tesso Nilo, pemerintah melalui SK Menhut No.255 Tahun 2004 menetapkan kawasan yang berada dalam wilayah Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu seluas 38.576 hektar berubah status dari hutan produksi terbatas menjadi taman nasional. Kondisi Hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dijelaskan sebagai berikut : 1) Hutan alam sekunder dengan kerapatan > 70 % seluas 10.846,65 ha. 2) Hutan alam sekunder dengn kerapatan 40 % - 70 % seluas 13.391,1ha. 3) Semak belukar dengan kerapatan 20 % - 40 % seluas 4.563,22 ha. 4) Lahan terbuka seluas 2.521,61 ha (BKSDA Riau 2006a). Sebesar 70,19 % dari kawasan TNTN berpotensi sebagai habitat gajah karena memiliki kelerengan < 45 % (Tabel 11). Tabel 11 Luas lahan di Taman Nasional Tesso Nilo berdasarkan kelerengan No. Kemiringan Lereng 1. 0 % - 8 % (datar) 2. 8 % - 15 % (landai) 3. 15 % - 25 % (bergelombang) 4. 25 % - 45 % (curam) 5. > 45 % (sangat curam) Total Sumber : BKSDA Riau (2006a)
Luas (hektar) 19.514,43 2.467,05 4.854,19 3.869,28 7.526,98 38.230,98
Proporsi (%) 51,04 6,45 12,70 10,12 19,69 100,00
Ketersediaan pakan gajah di TNTN cukup bervariasi, diantaranya Nangka (Artocarpus heterophyllus), Cempedak air (Artocarpus kemando), Bendo (Artocarpus
elasticus),
Artocarpus
scortechinii,
Artocarpus
integer,
Rambai/Menteng (Baccaurea spp.), Calamus spp., Apun (Durio excelsus), Ficus grossularioides, Dampingisi (Garcinia parviflora), Garcinia maingayi, Mangifera
longipetiolaris, Mangifera macrophylla, Musa sp.,
Musa acuminata, Licuala
vallida, Ketuma (Nephelium cuspidatum), Nibung (Oncosperma tigilarium) dan
Tempinis (Sloetia elongata) (LIPI 2003).
41
5.1.2.
Kondisi Habitat Kegiatan konversi hutan di Tesso Nilo menyisakan tutupan hutan yang
masih bersambungan ± 110.000 hektar. Perubahan kawasan alam sebagian besar diperuntukkan menjadi lahan pemukiman, pertanian dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Kajian lanskap Tesso Nilo – Bukit Tigapuluh – Kampar, menunjukkan 90 % dari total deforestasi disebabkan oleh pembukaan kawasan hutan alam (96 % hutan tanaman akasia dan 85 % perkebunan sawit) (WWF Indonesia 2008). Konversi hutan telah mengakibatkan terjadinya fragmentasi di Tesso Nilo. Fragmentasi diawali ketika adanya pembagian sejumlah konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Kegagalan pengelola dan penebangan yang berlebihan mengakibatkan terjadinya alih fungsi ijin konsesi HPH menjadi perkebunan kelapa sawit dan HTI. Pada Tahun 2003 kegiatan pembukaan lahan untuk diokupasi muncul sebagai akibat tidak beroperasinya pemegang konsesi HPH dan tidak adanya perlindungan terhadap areal konsesinya. Lahan yang diokupasi digunakan untuk pemukiman dan perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat. Konversi hutan turut memicu terjadinya perambahan, kebakaran dan illegal loging di Tesso Nilo. Pemanfaatan kawasan di TNTN dan usulan perluasannya Tahun 2007 yaitu 34.805 hektar (Tabel 12). Tabel 12 Pemanfaatan kawasan oleh perambah di Taman Nasional Tesso Nilo dan usulan perluasannya Tahun 2007 Pemanfaatan Kawasan oleh Perambah No.
Area/Konsesi
1.
Sawit (ha)
Karet (ha)
Tanaman Pangan dan Lainnya (ha) 1.712
Belum Ditanami/ Belukar/ Terlantar (ha) 3.127
Taman 3.387 201 Nasional Tesso Nilo (TNTN) SK Menhut 255/2004 2. Usulan perluasan TNTN (rekomendasi Gubernur Riau Tahun 2007) a. PT. Nanjak 947 369 200 5.682 Makmur b. PT. Hutani Sola 3.899 375 0 2.532 Lestari c. PT. Siak Raya 5.451 1.050 20 5.853 Timber Total 13.684 1.995 1.932 17.194
Jumlah (ha) 8.427
7.198 6.806 12.374 34.805
Sumber : BTNTN (2009)
Pembukaan lahan oleh perusahaan atau masyarakat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran yang terjadi di areal pertanian umumnya disebabkan
42
oleh pembakaran saat proses pembersihan lahan. Sementara itu, kebakaran yang terjadi di areal konsesi HPH/HTI disebabkan oleh perambahan kawasan HPH/HTI yang ditelantarkan. Luas lahan dan hutan terbakar akibat proses pembukaan lahan di Hutan Tesso Nilo bulan Juli - Agustus 2006 yaitu 6.890 hektar (BTNTN 2009). Berkurangnya luasan hutan, terjadinya fragmentasi dan degradasi hutan akibat kegiatan konversi merupakan ancaman bagi kehidupan gajah dan ekosistemnya. Konversi hutan telah mengubah tutupan hutan produksi dan hutan lindung menjadi lahan pertanian, pemukiman dan HTI yang mengakibatkan terganggunya habitat gajah. Tutupan hutan alam yang kondisinya baik di TNTN dan usulan perluasannya yaitu 76.020 hektar (BTNTN 2009). Konversi hutan telah mengakibatkan habitat gajah terfragmentasi menjadi luasan yang kecil. Satwaliar seperti gajah menggunakan habitat dan areal jelajah yang luas sehingga terjadinya fragmentasi habitat menyebabkan menyempitnya ruang gerak gajah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi habitat yang terfragmentasi kurang mampu dalam menyediakan variasi pakan baik kuantitas maupun kualitasnya. Gajah sebagai satwa megaherbivor membutuhkan jumlah pakan harian (daily intake) yang banyak. Ketersediaan pakan yang tidak mencukupi kebutuhan gajah mengakibatkan gajah bergerak mencari pakan di sekitar habitatnya. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik di lokasi sekitar habitat. Degradasi habitat akibat kebakaran hutan, pembuatan jalan koridor dan pembangunan kanal drainase untuk HTI dan perkebunan kelapa sawit mengakibatkan berkurangnya sumber air. Konversi hutan juga mengakibatkan terpotongnya jalur wilayah jelajah gajah yang mengakibatkan masuknya gajah ke lahan pemukiman, pertanian dan kawasan HTI yang telah menggantikan jalur jelajah gajah tersebut. Pembukaan hutan untuk kepentingan pembangunan dalam meningkatkan kehidupan manusia merupakan faktor utama berkurangnya habitat gajah. Dampak dari situasi ini adalah menurunnya populasi gajah dan meningkatnya konflik antara
manusia dan gajah karena terjadinya persaingan ruang dalam
memanfaatkan lahan hutan yang tersisa.
43
5.2.
Populasi Gajah Sumatera di Hutan Tesso Nilo Gajah di Hutan Tesso Nilo tersebar di dua wilayah, yaitu di bagian utara
dan selatan yang dibatasi oleh konsesi HPH PT. Nanjak Makmur dan eks konsesi PT. Inhutani IV (Lampiran 3). Populasi gajah berdasarkan jejak dan bolus (kotoran) yang ditemukan di lapangan serta informasi dari masyarakat diperkirakan ± 20 - 30 ekor di bagian utara dan ± 40 - 50 ekor di bagian selatan (WWF Indonesia-Program Riau 2003). Daerah pergerakan gajah di Hutan Tesso Nilo dapat dilihat berdasarkan pergerakan dari kelompok gajah yang berada di bagian utara usulan kawasan TNTN, tenggara Hutan Tesso Nilo dan barat daya Hutan Tesso Nilo (Tabel 13). Tabel 13 Pergerakan kelompok gajah di Hutan Tesso Nilo No.
Kelompok Gajah
1.
Kelompok gajah utara (bagian utara dari usulan kawasan TNTN
Daerah Pergerakan
Kebun akasia PT. Arara Abadi di timur laut sampai ke arah barat daya kebun kelapa sawit PT. Citra Riau Sarana atau konsesi HPH PT. Siak Raya, PT. Hutani Sola Lestari dan sebagian konsesi HPH PT. Nanjak Makmur bagian utara. 2. Kelompok gajah tenggara Kebun akasia PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Sektor Baserah di barat daya sampai perbatasan kebun akasia PT. Arara Abadi dengan PT. RAPP Sektor Ukui di timur laut , kemudian ke arah tenggara atau berada di sebagian konsesi HPH PT. Nanjak Makmur bagian tenggara dan bekas konsesi HPH PT. Inhutani IV. 3. Kelompok gajah barat daya Bagian barat daerah hulu Sungai Tesso sampai hutan akasia PT. RAPP Sektor Tesso Barat. Sumber : WWF Indonesia-Program Riau ( 2003)
Kelompok gajah yang pergerakannya melewati Desa Lubuk Kembang Bunga adalah kelompok gajah yang tersebar di wilayah Selatan Hutan Tesso Nilo. Kelompok gajah ini terdiri atas gajah tunggal dan gajah grup. Jumlah kelompok dari gajah tunggal yaitu 1 - 2 ekor umumnya satu ekor dan gajah grup yaitu 2 - 15 ekor (Lampiran 4). Gajah tunggal adalah gajah jantan muda atau dewasa atau tua. Gajah tunggal dengan jumlah kelompok dua ekor terdiri dari gajah jantan muda yang bergabung dalam waktu tidak tetap (sifatnya tidak permanen). Gajah grup adalah sekelompok gajah betina yang terdiri dari betina tua, dewasa, muda dan anak-anak. Dalam kelompok gajah grup kemungkinan terdapat gajah jantan baik gajah jantan muda maupun dewasa. Gajah jantan muda merupakan gajah jantan yang belum siap berkelana sehingga masih bergabung dengan induknya. Gajah
44
jantan dewasa merupakan gajah jantan yang sedang memasuki masa kawin sehingga gajah jantan tersebut akan mengikuti pergerakan gajah betina dewasa. Kondisi alam Hutan Tesso Nilo yang sudah diubah menjadi lahan pemukiman, pertanian dan HTI mengakibatkan habitat gajah terpecah-pecah dan menciptakan isolasi-isolasi wilayah kecil yang mengakibatkan keterbatasan migrasi gajah. Akibat lainnya adalah kelompok gajah yang awalnya besar akan terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil dan mendiami habitat sisa tersebut. Beberapa diantara individu gajah terperangkap dalam perkebunan sawit dan HTI. Monitoring populasi gajah di Tesso Nilo perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi populasi dan daya dukung Hutan Tesso Nilo dalam memenuhi kebutuhan gajah. Hasil monitoring dapat digunakan untuk pengaturan populasi dan pengelolaan habitat gajah di Tesso Nilo sehingga dapat mengatasi konflik manusia dan gajah yang terjadi di sekitar Hutan Tesso Nilo. 5.3.
Konflik Manusia dan Gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga
5.3.1.
Lokasi Gangguan Terdapat enam lokasi di Desa Lubuk Kembang Bunga (LKB) yang
didatangi gajah pada Tahun 2007 - 2008. Lokasi-lokasi tersebut yaitu AM Tengah, Kampung Baru, Perbekalan, Simpang Jengkol, Jalan RAPP/Elang Mas dan Jalan Pemda. Keenam lokasi merupakan jalur pergerakan wilayah jelajah yang tersebar di bagian Selatan Hutan Tesso Nilo sehingga setiap tahunnya lokasilokasi ini akan di datangi gajah. Terdapat tujuh lokasi kedatangan gajah pada Tahun 2005 - 2006 dan 6 lokasi di antaranya merupakan lokasi yang sama pada Tahun 2007 - 2008 (Tabel 14). Tabel 14 Lokasi kedatangan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2005 - 2008 No.
Lokasi
2005 9 1. AM Tengah 9 2. Kampung Baru 9 3. Perbekalan 9 4. Simpang Jengkol 9 5. Jalan RAPP/Elang Mas 9 6. Jalan Pemda 9 7. Jalan PU Sumber : Laporan patroli Tim Flying Squad 2005 - 2008
Kedatangan Gajah Tahun 2006 2007 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 -
2008 9 9 9 9 -
45
Kawasan di Jalan PU tidak di datangi gajah sejak Tahun 2007 hingga sekarang karena kawasan Jalan PU telah dikelilingi lahan perkebunan masyarakat dan HTI milik PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Kondisi seperti ini mengakibatkan jarak hutan dengan kawasan Jalan PU lebih jauh dan gajah akan terusir terlebih dahulu oleh masyarakat yang lahannya lebih dekat dengan hutan. Pintu keluar gajah di LKB yaitu Sungai Tapa, AM Tengah, Sungai Perbekalan dan Elang Mas. Gajah yang keluar dari S. Tapa dan AM Tengah memasuki kawasan Perbekalan, Kampung Baru dan Simpang Jengkol. Gajah yang keluar dari S. Perbekalan memasuki kawasan Perbekalan, Kampung Baru, Jalan Pemda dan Air Hitam. Gajah yang keluar dari Elang Mas memasuki kawasan Elang Mas/Jalan RAPP dan Jalan PU. Enam lokasi di LKB yang didatangi gajah keculi AM Tengah terdapat lahan pertanian milik masyarakat (lahan kelapa sawit dan karet). Lahan pertanian ini sering didatangi gajah karena letaknya berdekatan dengan hutan (TNTN), pintu keluar gajah dan sungai serta komoditas yang ditanam merupakan jenis tanaman yang disukai gajah. Masuknya gajah ke lahan pertanian masyarakat menimbulkan kerusakan pada komoditas pertanian dan fasilitas lahan pertanian. Hasil pengamatan lapangan didapatkan luas lahan pertanian terganggu Tahun 2007 2008 seluas 58,5 hektar yang terdiri dari 50 hektar kelapa sawit dan 8,5 hektar karet (Gambar 6). Kelapa sawit Karet 25 20 Luas (ha)
20
15
15 10
6
6
5
4
2.5
5
0
0
0
0 Kampung Baru
Perbekalan
Simpang Jengkol
Jalan RAPP/Elang Mas
Jalan Pemda
Lokasi
Gambar 6 Luas lahan pertanian terganggu berdasarkan lokasi di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 - 2008.
46
5.3.2.
Waktu Gangguan Gajah memasuki lahan pertanian masyarakat pada waktu malam hari
yaitu pada waktu aktif untuk mecari makan. Waktu aktif makan Gajah sumatera terjadi pada pagi hari (pukul 4.10 - 11.55 WIB) dan sore hari (pukul 15.00 - 2.00 WIB) (Abdullah 2008). Keberadaan gajah di lahan pertanian umumnya terjadi pada sore hari (pukul 17.00 WIB) hingga pagi hari (02.00 - 04.00 WIB). Lamanya keberadaan gajah di lahan pertanian dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya pakan (jenis dan jumlah) serta kondisi lingkungan (suhu dan gangguan). Gajah lebih menyukai umbut sawit daripada karet dan menyukai kondisi lingkungan yang sejuk dan sunyi. Gajah cenderung akan menghindar dari kondisi lingkungan yang ramai/bising. Kedatangan gajah meningkat pada musim penghujan yaitu bulan November - April (Gambar 7). Hal ini berhubungan dengan strategi penggunaan sumberdaya dan faktor habitat oleh gajah yang meliputi strategi penggunaan ruang dan waktu (musim hujan - kemarau). Pada waktu musim hujan secara naluriah gajah akan berpindah ke hutan primer karena keadaan pakan di hutan primer saat musim hujan mencukupi keperluan gajah. Peningkatan kedatangan gajah pada musim penghujan ke Desa Lubuk Kembang Bunga diperkirakan disebabkan oleh perjalanan gajah untuk berpindah ke dalam hutan primer atau terbatasnya pakan yang tersedia di hutan pada saat musim penghujan.
Frekuensi
2007 2008 7 6 5 4 3 2 1 0 Jan
Feb Mar Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt Nov Des
Bulan Sumber: Laporan patroli Tim Flying Squad
Gambar 7 Grafik intensitas kedatangan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 - 2008.
47
5.3.3.
Tingkat Gangguan Tingkat gangguan gajah dapat dilihat berdasarkan lokasi lahan pertanian
masyarakat (Gambar 8). Lokasi lahan pertanian yang berdekatan dengan hutan, pintu keluar gajah dan sungai memiliki tingkat gangguan yang lebih tinggi. Kawasan Perbekalan menjadi lokasi yang sering didatangi gajah karena lokasi ini merupakan daerah yang dilalui untuk menuju wilayah lain dan terdapat akses jalan yang memudahkan pergerakan gajah serta terdapat ruang yang digunakan gajah untuk memenuhi kebutuhannya.
Frekuensi
2007
2008
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
AM Tengah
Kampung Perbekalan Baru
Simpang Jengkol Lokasi
RAPP
Jalan Pemda
Sumber: Laporan patroli Tim Flying Squad
Gambar 8 Diagram intensitas kedatangan gajah berdasarkan lokasi di Desa Lubuk Kembang Bunga tahun 2007 - 2008. 5.3.4.
Jenis dan Jumlah Kerusakan
5.3.4.1. Jenis Kerusakan Keberadaan gajah di dalam lahan pertanian menimbulkan kerusakan tanaman dan fasilitas lahan pertanian berupa pondok jaga, pancing/strom gajah dan parit. Kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh gajah dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu kerusakan tanaman yang terjadi karena gajah kebetulan menemukan lahan pertanian yang berada di dalam atau berdekatan dengan daerah jelajahnya (opportunistic raiding) dan kerusakan tanaman yang terjadi karena gajah keluar dari habitatnya (obligate raiding). Kerusakan pada tanaman umumnya karena dimakan oleh gajah. Jenis tanaman yang dimakan oleh gajah yaitu kelapa sawit, karet, ubi kayu dan pisang. Bagian tanaman yang dimakan yaitu pelepah, umbut, akar, kulit kayu, batang, buah dan daun. Kerusakan tanaman
48
juga diakibatkan oleh terinjaknya atau terenggutnya tanaman ketika gajah melakukan pergerakan dan memakan tanaman utamanya. Banyak bagian tanaman yang direnggut oleh gajah tidak ikut dimasukkan ke mulut tetapi hanya ditebarkan ke tempat lain atau ditaburkan ke punggungnya sendiri. Oleh karena itu, daerah tempat makan cenderung mengalami kerusakan habitat (Gambar 9).
(a)
(b)
(c)
Gambar 9 Kerusakan akibat dimakan (a), direnggut (b) dan diinjak (c) gajah. Kerusakan pondok jaga diakibatkan oleh gajah yang mendorong hingga rubuh atau rusak pada beberapa bagian. Faktor-faktor yang mempengaruhi gajah merusak pondok jaga antara lain pondok jaga menghalangi pergerakan gajah, atap pondok jaga berupa pelepah sawit serta tersedianya pakan kesukaan gajah seperti garam dan padi di dalam pondok jaga. Kerusakan pondok jaga dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan (Gambar 10).
49
Foto: Roji (2003) (a)
(b)
(c)
Gambar 10 Pondok jaga rusak berat (a), rusak sedang (b) dan rusak ringan (c). Kerusakan pada sarana pencegahan konfilk diakibatkan karena gajah berusaha masuk ke lahan pertanian. Perusakan parit dilakukan gajah dengan menggemburkan
dinding
parit
sehingga
menjadi
dangkal.
Perusakan
pancing/strom gajah dilakukan dengan merobohkan kayu yang menjadi tiang kawat listrik sehingga gajah dapat melewatinya. 5.3.4.2. Jumlah Kerusakan Luas lahan pertanian (kelapa sawit dan karet) terganggu yang dimiliki 14 KK berkonflik Tahun 2007 - 2008 adalah 58,5 hektar dengan luas kerusakan 3,24 hektar. Jumlah kerusakan akibat konflik Tahun 2007 - 2008 terdii atas 1.245 batang tanaman perkebunan (858 batang kelapa sawit dan 387 karet), 18 batang tanaman pangan (8 batang pisang dan 10 batang ubi kayu) dan 9 unit pondok jaga. Fakto-faktor yang mempegaruhi jumlah kerusakan, yaitu : 1) Jumlah gajah. 2) Kondisi lahan (jarak dengan hutan, kebersihan lahan dan jumlah lahan masyarakat yang berada disekitarnya). 3) Upaya pengendalian yang dilakukan oleh pemilik lahan.
50
5.3.5. Pola Usahatani Terhadap Gangguan Gajah Berdirinya perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur dan PT. Musi Mas Tahun 1987 - 1998 mengakibatkan berubahnyan mata pencaharian masyarakat dari petani karet dan pencari ikan menjadi petani kelapa sawit. Sistem KKPA (Koperasi Kredit Primer Anggota) yang berinduk pada PT. Inti Indosawit Subur meningkatkan perluasan lahan kelapa sawit yang dilakukan oleh perusahaan. Kondisi ini memicu terjadinya gangguan gajah pada areal perkebunan kelapa sawit milik perusahaan. Tahun
1993
HPHTI
PT.
RAPP
Sektor
Ukui
dibangun
dan
mengakibatkan berpindahnya pemukiman masyarakat LKB ke kanan dan kiri jalan poros RAPP. Pada masa ini masyarakat mulai membudidayakan kelapa sawit dan membuka kawasan hutan untuk dijadikan lahan kelapa sawit. Masyarakat juga mengganti jenis komoditas tanaman pertanian menjadi kelapa sawit yang pada awalnya berupa tanaman pangan dan karet. Kondisi ini menyebabkan gangguan gajah semakin terbuka dan memasuki areal pertanian dan pemukiman masyarakat. Pada Tahun 2003 ketika pemegang konsesi HPH menelantarkan areal konsesinya, aktivitas perambahan meningkat dan masyarakat melakukan kegiatan perladangan berpindah. Perladangan berpindah dilakukan masyarakat untuk menanam tanaman pangan yang mereka butuhkan seperti padi dan ubi kayu. Penetapan sebagian dari kawasan Hutan Tesso Nilo sebagai taman nasional menghentikan aktivitas perladangan berpindah dan masyarakat mulai bertani secara menetap dengan komoditas utamanya kelapa sawit. Perubahan pola usahatani masyarakat merupakan salah satu pemicu terjadinya konflik manusia dan gajah di Lubuk Kembang Bunga. Masyarakat yang memiliki lahan pertanian dekat dengan hutan dan menempati jalur pergerakan wilayah jelajah gajah menderita kerugian akibat keberadaan gajah di lahan pertaniannya (Tabel 15). Tabel 15 Kerugian masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga akibat konflik dengan gajah Tahun 1997 - 2006 Periode (Tahun) 1997 - 2000 2000 - Juli 2003 Januari 2005 - Juli 2005 Juli 2005 - Juli 2006 Sumber : WWF Indonesia-Program Riau
Kerugian Masyarakat (Rp) 95.730.000 657.400.000 32.770.000 80.000.000
51
5.3.6.
Respon Masyarakat Terhadap Gangguan Gajah Terdapat dua respon yang terjadi di masyarakat dalam menghadapi
konflik manusia dan gajah (KMG). Pertama, masyarakat yang menganggap gangguan gajah merupakan persoalan yang biasa mereka hadapi dari tahun ke tahun. Sebagian besar masyarakat yang seperti ini merupakan masyarakat asli yang sudah lama hidup berdampingan dengan gajah. Masyarakat melakukan penanggulangan secara berkelompok, melakukan patroli malam, membuat api unggun dan apabila gajah datang mereka melakukan pengusiran secara bersama dengan membuat bunyi-bunyian dan membawa obor. Kedua, masyarakat yang reaktif terhadap gangguan gajah. Respon masyarakat pada kelompok ini yaitu gajah harus disingkirkan dengan cara apapun sehingga menyebabkan terjadinya kematian gajah baik disengaja atau tidak. Masyarakat memagari tanaman dengan kawat berduri dan melapisinya dengan racun sehingga dapat mengancam kehidupan gajah (Gambar 11).
Foto : Syamsuardi
Foto : Syamsuardi
(a)
(b)
Gambar 11 Tanaman kelapa sawit dipagari kawat berduri (a) dan diolesi racun (b). Konflik manusia dan gajah di Provinsi Riau telah mengakibatkan penurunan populasi gajah di habitatnya. Gajah yang tidak dapat ditangani akan di tangkap dan dipindahkan ke lokasi lain seperti PLG (Pusat Latihan Gajah). Tabel 16 Jumlah kematian manusia dan gajah akibat konflik manusia dan gajah di Provinsi Riau Tahun 2000 - 2009 Tahun Kematian Manusia 2000 - 2001 2 2002 4 2003 4 2004 2 2005 4 2006 6 2007 3 2008 4 2009 8 30 Jumlah Sumber : WWF Indoensia-Program Riau (2009).
Kematian Gajah 1 19 2 15 6 24 4 7 1 86
Gajah Ditangkap 27 49 38 23 49 28 7 10 231
52
5.4.
Nilai Ekonomi Kerusakan Pertanian dan Bangunan Nilai ekonomi kerusakan pertanian dan bangunan akibat konflik manusia
dan gajah Tahun 2007 - 2008 diperoleh nilai masing-masing yaitu Rp.47.407.197.64 dan Rp.4.675.000 (Gambar 12). Nilai ekonomi kerusakan pertanian merupakan nilai hasil produksi yang hilang ditambah biaya produksi yang dikeluarkan masyarakat sampai umur tanaman terjadi kerusakan. Nilai ekonomi kerusakan banguan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan bangunan.
4675000
Pertanian Bangunan
47407197.6
Gambar 12 Diagram nilai ekonomi kerusakan pertanian dan bangunan di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 - 2008. 5.5.
Upaya Pegendalian Konflik
5.5.1
Pencegahan Konflik Upaya pencegahan konflik dilakukan untuk mencegah masuknya gajah
ke lahan pertanian dan mengantisipasi kedatangan gajah sehingga upaya penanggulangan dapat segera dilakukan. Bentuk dari upaya pencegahan konflik yang dilakukan oleh masyarakat dan Tim Flying Squad berupa penjagaan lahan, pengontrolan lahan, pemasangan penghalang disekitar lahan dan patroli kawasan . 1) Penjagaan dan pengontrolan lahan Penjagaan lahan dilaksanakan pukul 17.00 - 06.00 WIB. Beberapa diantara masyarakat menjaga dengan bermukim di lahan pertaniannya. Pengontrolan kebun umumnya dilaksanakan pada sore hari (pukul 18.00 WIB) atau malam hari (pukul 20.00 WIB). Tujuan pengontrolan kebun yaitu untuk memeriksa keberadaan gajah di sekitar atau di lahan pertanian. Masyarakat akan
53
melakukan penjagaan dan pengontrolan lahan secara intensif apabila mendapatkan informasi adanya keberadaan gajah di sekitar lahan miliknya. Informasi ini berasal dari Tim Flying Squad dan atau masyarakat yang bermukim di lahan pertanian serta masyarakat lainnya. . Keberadaan gajah di lahan pertanian atau di daerah sekitarnya dapat terdeteksi dengan adanya jejak, bolus (kotoran), suara, sisa makanan dan kerusakan di dalam lahan maupun di sekitar lahan (Gambar 13). Kerusakan ini meliputi kerusakan penghalang (pagar atau parit) dan tanaman. Apabila terdapat ciri-ciri keberadaan gajah maka pemilik lahan segera melakukan penyusuran untuk mengetahui lokasi keberadaan gajah.
(a)
(b)
(c)
Gambar 13 Ciri-ciri keberadaan gajah: jejak (a), bolus/kotoran (b) dan kerusakan tanaman (c). 2) Penghalang a. Pagar kayu Pagar kayu digunakan disekeliling lahan dengan tinggi 1 - 2 meter (Gambar 14). Tujuannya yaitu untuk mencegah masuknya gajah dan satwa lain seperti babi dan monyet. Penggunaan pagar kayu ini kurang efektif dalam menghalangi gajah karena bahan kayu mudah lapuk, terserang rayap dan mudah dirusak oleh gajah. Pagar kayu ini lebih tepat untuk mencegah masuknya satwa lain seperti babi.
54
Gambar 14 Pagar kayu pada lahan kelapa sawit. b. Pagar pisang Pemagaran lahan dengan pisang digunakan di bagian tempat masuknya gajah ke lahan pertanian. Tujuannya yaitu untuk mendetekasi keberadaan gajah secara cepat berdasarkan suaranya. Gajah yang memakan batang pisang akan mengeluarkan suara dari kunyahannya ataupun dari patahannya. Pemilik lahan mengharapkan gajah hanya akan memakan pisangnya saja tanpa memakan kelapa sawitnya. Penggunaan pagar pisang ini tidaf efesien dalam upaya pencegahan konflik. c. Pagar kaleng Pemagaran lahan dengan kaleng cukup membantu dalam mendeteksi kedatangan gajah. Tujuan dari pemasangan pagar kaleng ini bukan untuk mencegah masuknya gajah tetapi untuk mengetahui secara cepat masuknya gajah kedalam lahan pertanian. Kedatangan gajah dapat terdeteksi dengan bunyi-bunyi kaleng yang bergerak akibat ditabrak gajah. Penggunaan pagar kaleng dilakukan dengan memanfaatkan kaleng bekas yang dikaitkan pada tali yang memagari lahan. Kaleng-kaleng tersebut diisi batu/kerikil agar menghasilkan bunyi. d. Pagar listrik (Pancing/Strom gajah) Pagar listrik memiliki daya listrik yang menimbulkan daya kejut apabila tersentuh oleh gajah. Pemilik lahan mengharapkan ketika gajah terkejut gajah akan jera untuk memasuki lahan pertanian miliknya. Alat-alat yang digunakan untuk pagar listrik/strom gajah terdiri dari kawat, kayu untuk tiang, calcium battery untuk menyimpan energi matahari, Accu kering 150 Watt (mabruk tenaga surya) untuk mengkonversi energi matahari menjadi arus listrik dan batttery fencer 12 V - 680 mA untuk menghasilkan tegangan listrik (Gambar 15). Pemakaian pagar listik/strom gajah ini memerlukan biaya yang sangat mahal
55
sehingga penggunanya adalah pihak perkebunan skala besar dan masyarakat yang bermodal besar.
(a)
(b)
(c)
Gambar 15 Perangkat pagar listrik/strom gajah : battery fencer (a), accu kering 150 watt (b) dan calcium battery (c). c. Parit Pembuatan parit bertujuan untuk merintangi gajah ke lahan pertanian (Gambar 16). Parit dibuat di sekeliling tepi lahan atau bagian dimana gajah biasanya memasuki lahan pertanian. Parit memiliki kedalaman 2 meter dan lebar 1 meter. Keawetan parit dipengaruhi oleh faktor iklim seperti curah hujan, jenis tanah, bentuk parit, kontruksi parit dan pemeliharaanya. Pengerukan tanah untuk parit membutuhkan biaya yang mahal karena menggunakan alat berat yang disewa. Pembuatan parit ini umumnya digunakan oleh pihak perkebunan dan masyarakat yang bermodal besar.
56
Gambar 16 Parit gajah. 3) Patroli kawasan a. Patroli kendaraan Pelaksanaan patroli kawasan dilakukan oleh Tim Flying Squad dengan menggunakan kendaraan bermotor atau mobil. Patroli bertujuan untuk mengidentifikasi tanda-tanda keberadaan gajah. Patroli kendaraan dilakukan 5 hari dalam 1 minggu. Patroli dilakukan pada sore hari (pukul 17.00 WIB, malam hari (pukul 00.00 WIB) dan pagi hari ( pukul 06.00 WIB) oleh 2 orang mahot (pelatih gajah). Kegiatan patroli kendaraan meliputi pemeriksaan di pintu keluar gajah dan lahan masyarakat. Apabila hasil patroli mengindikasikan adanya gajah yang keluar dari hutan maka akan dilakukan penelusuran jejak (kaki dan bolus/kotoran) dan dilanjutkan dengan pengusiran serta pemberian informasi kepada masyarakat. b. Patroli gajah Pelaksanaan patroli dilakukan dengan menggunakan gajah. Patroli gajah bertujuan untuk mengidentifikasi tanda-tanda keberadaan gajah sehingga upaya pengusiran dapat dilakukan lebih awal. Kegiatan patroli gajah meliputi pemeriksaan di pintu keluarnya gajah. Patroli gajah dilakukan 2 hari dalam 1 minggu dimulai pada pukul 08.00 WIB. Patroli gajah dilaksanakan oleh 8 orang mahot (pelatih gajah) beserta 4 gajah terlatih. Penggunaan teknologi seperti pagar listrik/strom dan parit gajah cukup efektif dalam mencegah masuknya gajah ke lahan pertanian. Namun, material dan konstruksi yang kurang memadai dari kedua alat tersebut mengakibatkan gajah bisa memasuki lahan perkebunan dalam kedatangan berikutnya. Bahan yang digunakan masyarakat untuk tiang pengikat kawat berupa kayu. Penggunaan kayu
57
ini kurang cocok karena kayu mudah lapuk, terserang rayap dan mudah dirobohkan gajah. Sebaiknya tiang menggunakan bahan besi atau bahan yang tidak mudah dirobohkan gajah. Konstruksi parit yang dibuat masyarakat sangat sederhana, parit dibuat dengan kedalaman dan lebar yang jaraknya dipertimbangkan berdasarkan perkiraan terhadap kemampuan jangkauan kaki gajah untuk menyembrang. Namun dengan lebar 1 m dan kedalaman 2 m parit masih bisa dilewati oleh gajah. Selain faktor kedalaman dan lebar parit, jenis tanah liat berpasir sangat mudah untuk digemburkan gajah dan runtuh apabila musim hujan. Belum terdapat angka yang pasti untuk penggunaan ukuran lebar dan kedalaman parit yang efesien untuk merintangi gajah. Namun, di Malaya Barat dan Afrika parit untuk merintangi gajah memiliki lebar 3 m dan kedalaman 2 m. Berikut adalah contoh bentuk parit yang disesuaikan dengan daerah rawa, dataran rendah dan daerah yang bertopografi tinggi (Gambar 17)
Sumber : West dan Soekarno diacu dalam Alikodra (1990)
Gambar 17
Parit yang sesuai dengan daerah rawa, daerah dataran rendah dan daerah bertopografi tinggi.
58
Penggunaan teknologi dalam upaya mencegah masuknya gajah ke lahan pertanian perlu mempertimbangkan banyak hal. Tidak hanya mempertimbangkan efesiensi waktu dan biaya saja namun keselamatan dari gajah juga perlu dipertimbangkan. Upaya-upaya pencegahan ini akan lebih efektif dan efesien apabila upaya-upaya yang telah dilakukan diselaraskan dengan pengetahuanpengetahuan mengenai perilaku gajah. Selain itu, masyarakat harus tetap menjaga dan mengontrol lahan pertaniannya serta menjalin koordinasi yang baik dengan Tim Flying Squad sehingga saat gajah memasuki lahan pertanian dapat dilakukan penanggulangan secara cepat. 5.5.2.
Penanggulangan Konflik Upaya penanggulangan konflik dilakukan untuk mengusir gajah yang
keluar dari habitatnya dan memasuki lahan pertanian masyarakat serta untuk meminimalisir kerusakan yang terjadi akibat kedatangan gajah. Upaya penanggulangan konflik berupa pengusiran gajah dari kawasan sekitar dan yang berada dalam lahan pertanian masyarakat agar kembali ke habitatnya (TNTN). Pengusiran dilakukan oleh masyarakat dan Tim Flying Squad. Kegiatan pengusiran dilakukan setelah terdeteksinya keberadaan gajah saat patroli atau berdasarkan informasi masyarakat. Pengusiran yang dilakukan oleh masyarakat masih bersifat tradisional. Sementara itu, pengusiran yang dilakukan oleh Tim Flying Squad bersifat tradisional dan modern. Pengusiran secara tradisional dilakukan dengan media obor, kentongan, meriam karbit dan suara teriakan (Gambar 18). Penggunaan media ini bertujuan untuk membuat kondisi tidak nyaman bagi gajah yang berada di sekitar atau di dalam lahan pertanian.
(a)
(b)
Gambar 18 Alat pengusiran : meriam karbit (a) dan obor (b).
59
Penggiringan merupakan proses pengusiran gajah liar secara modern, yaitu dengan bantuan gajah-gajah terlatih untuk menggiring gajah liar keluar dari lahan pertanian masyarakat dan kembali ke habitatnya. Penggiringan dilakukan apabila gajah tetap berada di lahan tersebut dalam waktu yang cukup lama
Foto: WWF Indonesia-Program Riau
Gambar 19 Tim Flying Squad (pengusir gajah). Kegiatan pengusiran dilakukan siang atau malam hari sesuai dengan waktu keberadaan gajah. Lamanya pengusiran tergantung dari jumlah gajah yang memasuki lahan pertanian. Gajah kelompok lebih mudah diusir dibandingkan pengusiran terhadap gajah tunggal. Penggiringan dengan gajah terlatih dilakukan pada siang hari hal ini dilakukan untuk memudahkan penggiringan dan keselamatan bagi Tim Flying Squad. Keterlibatan Tim Flying Squad dalam penanggulangan konflik di Desa Lubuk Kembang Bunga sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari persentase pengusiran gajah baik dilakukan disekitar lahan pertanian masyarakat ataupun setelah kedatangan gajah ke lahan pertanian masyarakat diperoleh persentase sebesar 90 % pada Tahun 2007 dan 95 % pada Tahun 2008. 5.5.3.
Nilai Ekonomi Upaya Pengendalian Konflik Nilai ekonomi upaya pengendalian konflik merupakan biaya yang
dikeluarkan oleh masyarakat dan Tim Flying Squad dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan konflik (Tabel 17 dan Tabel 18).
60
Tabel 17 Komponen biaya upaya pengendalian konflik oleh masyarakat No. Pencegahan 1.
2. 3. Penanggulangan 4.
Upaya Pengendalian
Komponen Biaya
Penjagaan kebun
Biaya transportasi Upah tenaga kerja
Pengontrolan kebun Pembuatan pagar kayu, pagar listrik dan parit
Biaya transportasi Biaya alat Upah tenaga kerja
Pengusiran
Biaya alat : minyak dan karbit
Tabel 18 Komponen biaya upaya pengendalian konflik oleh Tim Flying Squad No. Pencegahan 1.
Upaya Pengendalian Patroli kendaraan
2.
Patroli gajah
Penanggulangan 3.
Pengusiran
Komponen Biaya Biaya transportasi Biaya alat : karbit Biaya tenaga kerja Biaya alat: karbit Biaya transportasi Biaya alat: karbit
Hasil perhitungan terhadap biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dan Tim Flying Squad dalam upaya pengendalian konflik masing-masing diperoleh nilai sebesar Rp. 297.778.500 dan Rp. 466.421.500 (Tabel 19 dan Tabel 20). Tabel 19 Biaya operasional upaya pengendalian konflik oleh masyarakat Tahun 2007 - 2008 No.
Upaya Penanggulangan
Biaya (Rp) Tahun 2007
1.
2.
3.
Pencegahan Penjagaan kebun Pengontrolan kebun Pemebuatan dan pemeliharaan Pagar kayu Parit Pengusiran
Jumlah (Rp) Biaya total tahun 2007-2008
Tahun 2008
115.665.000 15.330.000
110.942.500 17.885.000
100.000 18.600.000 227.500
100.000 18.600.000 328.500
149.922.500
147.856.000 297.778.500
Tabel 20 Biaya operasional upaya pengendalian konflik oleh Tim Flying Squad Tahun 2007 - 2008 No.
Upaya Pengendalian
Biaya (Rp) Tahun 2007
1. 2. 2.a
Biaya tetap Patroli Kendaraan Patroli kendaraan tanpa pengusiran
2.b
Patroli kendaraan dengan pengusiran
Tahun 2008
225.400.000
225.400.000
4.233.000
5.353.500
1.640.000
1.980.000
61
Tabel 20 (Lanjutan) No.
Upaya Pengendalian
Biaya (Rp) Tahun 2007
3. 3.a 3.b Jumlah (Rp)
Patroli gajah Patroli gajah tanpa pengusiran Patroli gajah dengan pengusiran
960.000 232.233.000
Biaya total Tahun 2007 - 2008
Tahun 2008 1.440.000 15.000 234.188.500 466.421.500
Upaya pengendalian konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga kurang efektif dalam mengurangi kerugian pada masyarakat. Apabila tidak dilakukan upaya pengendalian kerugian masyarakat diperkirakan sebesar Rp. 66.730.315,73 (asumsi rata-rata satu kali kedatangan gajah menimbulkan kerugian sebesar Rp. 1.627.568,66) dan apabila dilakukan pengendalian kerugian masyarakat sebesar Rp. 52.082.197,64. Upaya pengendalian konflik hanya mampu mengurangi kerugian sebesar Rp. 14.648.118,09. Nilai ini tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengendalikan konflik yaitu sebesar Rp. 764.200.000. Kondisi seperti ini perlu dituntaskan dengan menyelesaikan konflik berdasarkan sumber penyebab konflik, yaitu dengan mengelola habitat dan populasi gajah di Hutan Tesso Nilo. 5.6.
Nilai Ekonomi Konflik Manusia dan Gajah Nilai ekonomi konflik manusia dan gajah merupakan nilai kerugian
langsung dan tidak langsung pada manusia akibat konflik dalam satuan rupiah. Hasil perhitungan komponen-komponen kerugian pada masyarakat Tahun 20072008 diperoleh nilai sebesar Rp. 816.282.197,64 (Tabel 21). Tabel 21 Nilai ekonomi konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 - 2008 No.
Komponen Kerugian
1. Pendapatan yang hilang (cost of time) 2. Kerusakan fisik tubuh 3. Kerusakan bangunan 4. Biaya mengungsi 5. Kerusakan tanaman 6. Biaya pengendalian Jumlah (Rp) Total Tahun 2007 - 2008
Jumlah (Rp) Tahun 2007 Tahun 2008 0 0 0 0 2.150.000 2.525.000 0 0 24.237.295 23.169.902,64 382.155.500 382.044.500 408.542.795 407.739.402,64 816.282.197,64
Konflik di Desa Lubuk Kembang Bunga tidak mengakibatkan kehilangan pendapatan masyarakat karena gangguan gajah terjadi pada waktu masyarakat
62
tidak bekerja. Konflik juga tidak menimbulkan keresahan yang mengakibatkan masyarakat mengungsi karena gajah tidak memasuki pemukiman masyarakat. Terjadinya konflik manusia dan gajah pada Tahun 2007 - 2008 tidak menimbulkan kecelakaan dan kematian pada manusia karena upaya pengendalian konflik sebagai reaksi masyarakat terhadap gangguan gajah tidak menyebabkan penyerangan gajah pada manusia.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan 1) Penyebab terjadinya konflik manusia dan gajah di sekitar Taman Nasional
Tesso
Nilo
adalah
meningkatnya
konversi
hutan,
menyempitnya habitat gajah dan penurunan kualitas habitat gajah. 2) Lahan pertanian masyarakat menempati jalur pergerakan wilayah jelajah gajah dan berdekatan dengan hutan (TNTN), pintu keluar gajah serta sungai yang digunakan gajah untuk memenuhi kebutuhannya. 3) Gajah liar yang memasuki kawasan LKB merupakan kelompok gajah yang berada di bagian Selatan Hutan Tesso Nilo, yang terdiri atas gajah tunggal dan gajah grup. Populasi gajah di Hutan Tesso Nilo pada Tahun 2003 yaitu ± 20-30 ekor (bagian utara) dan 40-50 ekor (bagian selatan). 4) Nilai ekonomi konflik manusia dan gajah pada Tahun 2007 - 2008 yaitu Rp. 816.282.197,64. Nilai ekonomi ini 94 % merupakan nilai dari upaya pengendalian konflik yang dilakukan oleh masyarakat dan Tim Flying Squad. Nilai ekonomi rata-rata konflik manusa dan gajah per tahun yaitu .
Rp. 408.141.099 5) Upaya pengendalian konflik kurang efektif dalam menekan tingkat kerugian masyarakat. Kerugian masyarakat apabila tidak dilakukan pengendalian
yaitu
Rp.
66.730.315,73
dan
apabila
dilakukan
pengendalian sebesar Rp. 52.082.197,64. Upaya-upaya pengendalian konflik hanya mampu mengurangi kerugian sebesar Rp. 14.648.118,09. Nilai ini tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengendalikan konflik yaitu sebesar Rp. 764.200.000 6.2.
Saran 1) Monitoring populasi Gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo dengan melibatkan pengetahun lokal masyarakat setempat. 2) Perbaikan dan pengelolaan habitat.
64
3) Pengembangan mitigasi konflik dengan kombinasi dan variasi yang dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat. Misalnya penanaman jenis tanaman yang tidak disukai gajah tetapi bernilai ekonomi. 4) Penggunaan informasi ekologi gajah untuk melakukan pengendalian konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. 2008. Strategi Penggunaan Habitat dan Sumber Daya oleh Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) [abstrak]. Bandung: Program Pascasarjana ITB. Alikodra H. 1993. Pengelolaan Satwa Liar Jilid II. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Alikodra H 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Altevogt R, Kurt F. 1975. Elephant Grzimeks: Animal Life Encyclopedia 12 Mammal III. Reinhold. [BKSDA Riau] Balai Konservasi Sumberdaya Alam Riau. 2006a. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Tesso Nilo 2005 - 2025. Jakarta: Departemen Kehutanan. [BKSDA Riau] Balai Konservasi Sumberdaya Alam-Riau. 2006b. Protokol Pengurangan Konflik Gajah Sumatera di Riau [laporan kegiatan BKSDA Riau bekerjasama dengan Yayasan WWF Indonesia]. Jakarta. Blouch RA, Simbolon K. 1985. Elephants In Northern Sumatra [report on IUCN/WWF Project 3033]. Bogor. Unpublished. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Pendataan Potensi Desa/Kelurahan 2008. Riau. BPS] Badan Pusat Statistik Kecamatan Ukui. 2007. Kecamatan Ukui Dalam Angka Tahun 2007. Riau. [BTNTN] Balai Taman Nasional Tesso Nilo. 2009. Kondisi Perambahan di Taman Nasional Tesso Nilo dan Usulan Perluasannya [laporan kegiatan BTNTN]. Riau Davis-Case, D’arcy. 1989. Community Forestry : Participatory Assessment Monitoring and Evaluation [FAO]. Rome.150 hlm. Dephut [Departemen Kehutanan]. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar. Http://www.dephut.go.id. Dephut [Departemen Kehutanan]. 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007 - 2017. Jakarta : Departemen Kehutanan.
66
Foead N. 2001. Tesso Nilo Sebagai Solusi Konflik Mansia dan Gajah di Riau [makalah] dalam Prosiding Semiloka Permasalahan Manusia dan Gajah di Riau, Pekanbaru, 28-29 Maret 2001. Riau. Hariady S. 1992. Studi Manajemen Pusat Latihan Gajah di Pusat Latihan Gajah Way Kambas Lampung Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Haryanto, Santoso N. 1988. Konflik Antara Gajah - Manusia, Studi Kasus di Lampung dan Bengkulu [laporan kegiatan]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2009. The IUCN Red List of Threatened Species. Http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/search. [26 Jun 2009]. Lekagul B and Mc. Neely AJ. 1977. Mammals of Thailand Printed Under The Species of Assosiation of Wildlife. Bangkok. LIPI [Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia]. 2003. Biodiversity of Tesso Nilo, Riau Province [report on Biologi LIPI and WWF Indonesia]. Jakarta. Poniran S. 1974. Elephants in Aceh Sumatera. Oryx : 576-580. Ramadhan L. 2005. Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat di Taman Nasional Tesso Nilo dan Kawasan Hutan Sekitarnya (Studi Kasus Desa Lubuk Kembang Bunga, Desa Air Hitam, Desa Situgul dan Desa Pontian Mekar), Provinsi Riau [laporan tugas akhir]. Bogor: Program Diploma Fakultas Kehutanan IPB. Santiapillai C. 2001. Deforestation And Its Implications For Conservation of Elephant In Sumatra and Sri Lanka. http://saveforest.webs.com/konservasi_gajah.pdf. [19 Desember 2009]. Syaukat Y. 2008. Analisis Valuasi Ekonomi dalam Perencanaan Pembangunan Berbasis Resiko Bencana. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen `IPB. Widowati A. 1985. Studi Perilaku Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847) di Kawasan Pelestarian Alam Way Kambas Lampung Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. WWF Indonesia [World Wide Fund for Nature] Indonesia. 2009. Evaluasi Upaya Konservasi Gajah Sumatera di Propinsi Riau [laporan kegiatan WWF Indonesia : Riau Elephant Conservation Program]. Riau. WWF Indonesia [World Wide Fund for Nature] Indonesia. 2008. Deforestasi, Degradasi Hutan, Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Emisi CO2 di Riau, Sumatera, Indonesia [laporan kegiatan WWF Indonesia]. Jakarta.
67
WWF Indonesia [World Wide Fund for Nature] Indonesia. 2003. Gajah di Tesso Nilo dan Konfliknya. [laporan kegiatan WWF Indonesia : Riau Elephant Conservation Program]. Riau. WWF Indonesia [World Wide Fund for Nature] Indonesia. 2001. Analisa Konflik Gajah dengan Manusia dan Persepsi Tentang Gajah di Daerah Tesso Nilo Kabupaten Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, Pelalawan dan Kampar, Provinsi Riau [laporan kegiatan WWF-Indonesia: Riau Elephant Conservation Program]. Riau.
LAMPIRAN
69
LAMPIRAN 1
PANDUAN WAWANCARA 1.
Masyarakat
1.1
Biodata masyarakat a. Nama b. Umur c. Mata pencaharian d. Pendapatan per hari (Rp) e. Luas lahan (ha)
1.2
Komponen kerugian masyarakat a. Pendapatan yang hilang (jumlah hari tidak bekerja) b. Kerusakan fisik tubuh b.1 Luka/cacat b.2 Meninggal : jumlah, umur, pekerjaan b.3 Biaya berobat dan rawat jalan b.4 Lamanya rawat jalan (jumlah hari) c. Kerusakan bangunan c.1 Bangunan yang dirusak c.2 Bagian yang rusak c.3 Kondisi kerusakan c.4 Biaya perbaikan d. Biaya mengungsi d.1 Jumlah anggota keluarga yang mengungsi d.2 Lamanya mengungsi (jumlah hari) d.3 Daerah yang dituju d.4 Biaya trasportasi d.5 Biaya menginap e. Kerusakan pertanian e.1 Jenis pertanian e.2 Jumlah yang dirusak/dimakan gajah e.3 Umur tanaman yang diruak e.4 Harga jual (Rp/kg)
:
70
e.5 Hasil panen per hektar (kg) e.6 Jarak tanam e.7 Biaya Produksi : biaya pengolahan tanah, biaya pengadaan bibit, biaya penanaman dan biaya pemeliharaan. f. Upaya pengendalian konflik f.1 Upaya pencegahan f.2 Upaya penaggulangan f.3 Alat-alat yang digunakan dalam pengendalian konflik f.4 Biaya pengendalian konflik Tabel 1 Komponen biaya pengendalian konflik oleh masyarakat No. Pencegahan 1. 2. 3. Penanggulangan 4.
Upaya Pengendalian Penjagaan kebun
Komponen Biaya
Pengontrolan kebun Pembuatan penghalang (pagar kayu, pagar listrik , parit dan lain-lain)
Biaya transportasi Biaya tenaga kerja Biaya transportasi Biaya alat Biaya tenaga kerja
Pengusiran
Biaya alat
2.
Tim Flying Squad
2.1
Upaya Pengendalian konflik oleh Tim Flying Squad a. Kegiatan yang dilakukan b. Upaya pencegahan c. Upaya penanggulangan d. Alat-alat yang digunakan e. Biaya yang pengendalian konflik
Tabel 2 Komponen biaya pengendalian konflik oleh Tim Flying Squad No. 1.
Upaya Pengendalian Patroli kendaraan
2.
Patroli gajah
3.
Pengusiran
Komponen Biaya Biaya transportasi Biaya tenaga kerja Biaya alat Biaya tenaga kerja Biaya alat Biaya transportasi Biaya tenaga kerja Biaya alat
Lampiran 2 Peta tutupan hutan lahan kering di Provinsi Riau berdasarkan ketersediaan faktor habitat bagi Gajah sumatera
Gambar 1 Delapan blok hutan tersisa di Riau .
Gambar 2 Tutupan hutan lahan kering di Riau berdasarkan ketersediaan tanah mineral tahun 2005. 71
Gambar 3 Tutupan hutan lahan kering di Riau berdasarkan luasan Gambar 4 Tutupan hutan lahan kering di Riau berdasarkan kelerengan (< 45%) tahun 2005. (>25.000 ha) tahun 2005. 72
Lampiran 3 Peta distribusi gajah di Hutan Tesso Nilo
73
Lampiran 4 Rekapitulasi data konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007-2008 Tabel 1 Rekapitulasi data konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2007 No.
Titik koordinat/lokasi dan Pemliki Lahan
Klasifikasi dan Jumlah Gajah
Jenis Pertanian Jumlah
Group / Single 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9.
S 00°06’38,2” dan E 101°59’39,1” (Kampung Baru) Imun S.00 09’33,3” dan E 101°58’26,4” (Simpang Jengkol) Sidik S 00°10'19,2" dan E 101°58'54,6" (Kampung Baru) Sidik S 00°10'32,1" dan E 101°58'09" (Perbekalan) Manaf S 00°10'55,8" dan E 101°58'16,1" (Perbekalan) S 00°06'38,2" dan E 101°59'39,1" (Kampung Baru) Imun
S 00°10'35,7" dan E 101°59'05,8" (Perbekalan) Hasan S 00°10'55,8" dan 101°58'16,1" (Perbekalan) S 00°06'38,2" dan E 101°59'39,6" (Kampung Baru) Miun
Kelapa sawit 18 2,5 thn 9 3 thn
Nilai Kerusakan (Rp)
Umur
Group
Jumlah (ekor) 8
Karet
Singel
1
Singel
1
100
Group
6
150
Singel
2
-
-
-
Group
10
25
2,5 thn
10
3 thn
Group
1
200
24
Singel
1
-
1.5 thn -
2 Thn -
Group
3
16
3 thn
20
-
Pisang
Ubi kayu
-
539.298 395.280
-
1 thn 2 thn -
4 thn
643.000 1.707.000
5
3
10
10 bln
749.025 145.800 300.000 20.000 7.092.000 168.960
1.202.112 .412.000 135.000
74
Tabel 1 (Lanjutan) No.
Titik koordinat/lokasi dan Pemliki Lahan
Klasifikasi dan Jumlah Gajah
Jenis Pertanian Jumlah
Group / Single 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
S 00°10'32,1" dan E 101°58'58,9" (Perbekalan) Manaf S 00°06'16,1" dan E 101°58'28,6" (Jalan RAPP/Elang Mas) Edi p S 00°11'39,1" dan E 101°58'18,2" (AM Tengah) S 00º09'13,2" dan E 101º57'59,7" (Simpang Jengkol) Edi P S 00°10'24,8" dan E 101º59'00,2" (Kampung Baru) S 00º11'57,3" dan E 102º 00'24,8" (Perbekalan) S 00º10'18,5" dan E 101º58'55,5" (Kampung Baru) S 00º10'38,6" dan E 101º59'49,1" (Jalan Pemda) Atan S 00º11'44,6" dan E 101º58'13,1" (Am Tengah) S 00º10'38,6" dan E 101º59'49,1" (Jalan Pemda) Bujang bungsu S 00º10'44,8" dan E 101º58'32,0" (Perbekalan) S 00º11'54,9" dan E 101º59'50,8" (Perbekalan) Jumlah
Group
Jumlah (ekor) 3
Kelapa sawit
Group
3
9
Group
15
-
Group
10
45
Singel
1
Singel
Umur Karet
45 2 thn -
Pisang
Ubi kayu
2 thn
512.100 484.380
-
-
-
2 thn -
-
-
1
-
-
-
-
Singel
1
-
-
-
-
Group
2
200
Singel
1
-
1,5 thn -
Singel
2
15
2.421.900
Singel
1
Singel
1
6.436.800 -
-
-
3 thn -
-
-
-
-
-
-
537
Nilai Kerusakan (Rp)
872.640
349
8
10
24.237.295
75
Tabel 2 Rekapitulasi data konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun 2008 No.
Titik koordinat/lokasi dan Pemliki Lahan
Klasifikasi dan Jumlah Gajah
Jenis Pertanian Jumlah
Group / Single 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
S 00º10'50,2" dan E 102º00'12,7" (Jalan Pemda) Saringun S 00º10'35,2" dan E 101º59'56,0"(Jalan Pemda) Manik S 00º10'34,8" dan E 101º58'52,0" (Perbekalan) Manaf S 00°06'38,2" dan E 101°59'39,1" (Kampung Baru) Imun S 00º11'57,04" dan E 102º00'35,0" (Perbekalan) S 00°10'12,7" dan E 101º58'58,4" (Perbekalan) S 00º11'25,8" dan E 101º58'37,0" (AM Tengah) S 00º10'43,4" dan E 101º58'58,4" (Kampung Baru) Aa S 00º 09'44,5" dan E 102º 00'26,4" (Kampung Baru) Aa S 00º 10'56,2" dan E 101º 58'14,8" (Perbekalan) S 00º10'21,1" dan E 101º58'58,5" (Kampung Baru) Miun S 00°11'02,5" dan E 101°59'20,2"
Jumlah (ekor)
Singel Singel
Umur
Kelapa sawit 40 4,5 thn 35 4 thn
Group
Karet
Pisang
1.528.037,438
Singel
1
-
-
-
3 thn 4 thn -
Singel
1
-
-
-
-
Singel
-
-
-
-
Singel
26
Singel
20
1.5 thn 2 thn -
8
-
-
-
-
15
Group (campuram)
4
-
4 thn -
Ubi kayu 3.408.192
30
Singel
Nilai Kerusakan
453.000 152.240
1.453.140 1.373.760 -
1.387.620
-
-
76
Tabel 2 (Lanjutan) No.
Titik koordinat/lokasi dan Pemliki Lahan
Klasifikasi dan Jumlah Gajah
Jenis Pertanian Jumlah
Group / Single 13.
Jumlah (ekor) 4
-
-
-
-
-
-
25
2,5 thn
1.608.750 7.722.000
Group (campuran) Singel
16.
S 00°10'50,2" dan E 101°58'29,2" (Perbekalan) Aai
Singel
1
120
2,5 thn
17.
S 00°10'40,6" dan 101°59'50,8" (Pemda) Edi K S 00°10'35,6" dan E 101°59'53,9" (Pemda) Inum S 00°10'38,4 dan E 101°59' 49,5" (Pemda) Edi K S 00°12'10,3" dan E 101°58'06,8" (AM) Jumlah
Singel
1
25
Singel
1
6
Singel
1
9
Singel (Jantan)
1
-
4,5 thn 2,5 thn 4,5 thn -
15.
18. 19. 20.
2
Singel
Umur
Kelapa sawit -
S 00°10'41,8" dan E 101°58'42,0" (Perbekalan) S 00°10'56,1" dan E 101°58'14, 9" (Perbekalan) S 00°10'50,3" dan E 101°58'29,2" (Perbekalan) Aai
14.
Nilai Kerusakan
321
Karet
Pisang
Ubi kayu
2.780.820 301.248 1.001.095,2 38
0
0
23.169.902,64
77
77
Tabel 3 Luas lahan pertanian terganggu dan luas kerusakannya Tahun 2007 No.
Pemilik Lahan
1. 2. 3.
Imun Bujang bungsu Edi pemuda
4. 5. 6. 7.
Samiun Manaf Hasan Sidik
8.
Lokasi
Kampung Baru Jalam Pemda Jalan RAPP Simpang Jengkol Kampung Baru Perbekalan Perbekalan Simpang Jengkol (kelapa sawit dan Kampung Baru (karet) Jalan Pemda
Luas Lahan (ha) Kelapa Karet Sawit 1 2 3 4 3 6 3 2 2 0,5 2 1
Atan 2 Jumlah 23 Keterangan : Pembulatan dua angka di belakang koma
8,5
Luas Kerusakan (ha) Kelapa Karet Sawit 0,31 0,01 0,04 0,02 0,11 0,02 0,01 0,19 0,72 0,1 0,03 0,20
0,72 1,97
0,51
Tabel 4 Luas lahan pertanian terganggu dan luas kerusakannya Tahun 2008 No.
Pemilik Lahan
Lokasi
Luas Lahan (ha) Kelapa Karet Sawit 1 8 2 2 8
1. 2. 3. 4. 5.
Saringun Manik Manaf Imun Aa
Jalan Pemda Jalan Pemda Perbekalan Kampung Baru Kampung Baru
6. 7.
Samiun Aay
Kampung Baru Perbekalan
6 4
8.
Edi karso
Jalam Pemda
3
9.
Inum Jalan Pemda 3 Jumlah 33 Keterangan : Pembulatan dua angka di belakang koma
4
Luas Kerusakan (ha) Kelapa Karet Sawit 0,29 0,03 0,03 0,008 0,02 0,02 0,02 0,04 0,21 0,06 0,02 0,01 0,72 0,038
Tabel 5 Jumlah kerusakan pondok jaga Tahun 2007 No.
Pemilik Lahan
1.
Edi pemuda
2. 3. 4.
Imun Hasan Sidik Jumlah
Jumlah Kerusakan dan Nilai Kerusakan Pondok Jaga 1 1 1 1 1 5
Nilai kerusakan (Rp) 100.000 900.000 250.000 750.000 150.000 2.150.000
78
Tabel 6 Jumlah kerusakan pondok jaga Tahun 2008 No. 1. 2. 3.
Pemilik Lahan
Jumlah Kerusakan dan Nilai Kerusakan
Saringun Manik Edi karso
Pondok Jaga 1 1 1
Jumlah
1 4
Nilai kerusakan (Rp) 1.500.000 200.000 450.000 375.000 2..525.000