NIKAH DENGAN NIAT TALAK DAN RELEVANSINYA DENGAN KHI PASAL 3 (Studi Kasus Di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar S1 Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh Alfiyatul Jamilah 21210004
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AL AHWAL AS SYAKHSHIYYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2015
i
ii
iii
iv
MOTTO
)
“Sesungguhnya semua amal itu disertai niat dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang dia niatkan”. (HR. Bukhari Muslim).
v
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk: Kedua orang tuaku bapak Karmo dan Ibu Rasmini yang telah mencurahkan seluruh kasih sayangnya kepadaku, merawatku hingga aku dewasa, memberikan dukungan dan do’anya tanpa henti padaku. Terimakasih atas kesabaran dan kasih sayang yang kalian berikan untukku selama ini. Keempat saudaraku Abdul Fatah, Genduk rofi’atin, Moh. Asrori dan adikku Atika Nur Diana Fitri terimakasih untuk do’a yang selalu kalian berikan untukku. Januri Sudjak S.Pd, Indhah Setiawati S.Psi dan Eni Daryani S.Pd terimakasih atas motivasi yang selalu diberikan kepadaku, yang banyak mengajarkanku tentang kehidupan. Kepada kakakku Syaiful Aziz terimakasih atas dukungan baik berupa materi maupun non materi, do’anya, semangat dan motivasinya yang selama ini diberikan padaku. Sahabat karipku Siti Nilna Faizah, Lynda Fitri Ariyanti dan farikhatul ulya yang selalu ada untukku, memberikan semangat dan kecerian dalam hidupku. Bunda-bunda PAUD Wafdaa Kids Center yang sudah banyak mengajarkanku tentang banyak hal, memberiku sebuah keluarga baru yang penuh kebahagian.
vi
KATA PENGANTAR
Ya Allah, dzat yang maha segalanya. Alhamdulillahi robbil’alamin, segala puji dan Syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Taufiq serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pernikahan Dengan Niat Talak dan Relevansinya Dengan KHI pasal 3 (Studi Kasus di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)” Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi utusanMu Muhammad Rasul KekasihMu sang pembawa risalah Uswatun Khasanah beserta keluarga dan para sahabatnya. Mudah-mudahan kita diakui sebagai umatnya dan mendapat syafaat di yaumul qiyamah kelak. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dan tugas untuk memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Skripsi ini berjudul “Pernikahan Dengan Niat Talak dan Relevansinya Dengan KHI pasal 3 (Studi Kasus di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)” Penulis skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. Rektor IAIN Salatiga.
vii
2. Syukron Ma’mun, M.Si. Ketua Progdi Al Ahwal Asy Syakhshiyyah IAIN Salatiga. 3. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 5. Karyawan-karyawati IAIN Salatiga yang telah memberikan layanan serta bantuan. 6. Bapak Karmo dan Ibu Rasmini tercinta yang telah mengasuh, mendidik, membimbing penulis, baik moral maupun spiritual. 7. Bapak Sutimin Kepala Desa Wonoyoso beserta stafnya yang telah memberikan ijin penelitian di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus. 8. Bapak dan Ibu yang ada di Desa wonoyoso yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 9. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini. Skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi penulis khususnya serta para pembaca pada umumnya. Salatiga, 23 Februari 2015
ALFIYATUL JAMILAH
viii
ABSTRAK
Jamilah, Alfiyatul. 2015. Pernikahan Dengan Niat Talak Dan Relevansinya Dengan KHI Pasal 3 (Studi Kasus Di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang). Jurusan Syari’ah. Program Studi Al Ahwal Asy Syakhshiyyah. Salatiga. Instutut Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing Dra. Siti Zumratun, M.Ag Kata kunci: pernikahan dengan niat talak, tujuan pernikahan KHI pasal 3 Penikahan menurut syari’at islam merupakan ketentuan yang mengikat setiap muslim. Setiap muslim perlu menyadari bahwa di dalam perkawinan itu terkandung nilai-nilai ubudiyah. Karena itu, pernikahan diistilahkan oleh Al qur’an dengan mitsaaqan ghalidza yaitu suatu ikatan atau janji yang sangat kuat. Menghindari perzinaan menjadi salah satu alasan untuk menyegerakan menikah, sehingga timbul istilah “nikah dengan niat talak” yaitu, seorang pria menikahi wanita dan di dalam hatinya (niat) akan menceraikan wanita tersebut setelah selesai masa studi atau domisili atau kebutuhannya telah terpenuhi (selesai). Maksudnya adalah untuk menghindari zina, maka lebih baik nikah dengan niat talak. Hal ini ketika dikaitakan dengan masa sekarang, maka harus direlevansikan dengan produk hukum, yakni Kompilasi Hukum Islam (KHI). Apakah nantinya nikah dengan niat talak tersebut sesuai atau tidak dengan ketentuan hukum yang terkandung dalam kompilasi hukum islam (KHI). Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui lebih dalam Bagaimana akad nikah yang dilakukan oleh pasangan yang melakukan nikah dengan niat talak? Faktor apa yang menyebabkan terjadinya nikah dengan niat talak? Bagaimana pendapat para ulama’ tentang adanya nikah dengan niat talak yang terjadi di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang ditinjau dari perspektif hukum islam dan KHI? Metode yang dilakukan adalah metode kualitatif. Peneliti menggunakan penelitian lapangan (field research), yakni penelitian yang dilakukan ditengahtengah masyarakat. Dalam hal ini data yang ingin diperoleh adalah adanya niat talak dalam sebuah pernikahan studi kasus di Desa Rejosari Kec. Pringapus kabupaten semarang. Penelitian dilakukan mulai bulan juni 2014 sampai dengan Desember 2014. Responden berjumlah dua pasang pelaku pernikahan dengan niat talak. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan interview (wawancara) kemudian data ditranskip menjadi data yang lengkap. Hasil yang diperoleh dari penelitian adalah bahwa sebagian ulama’ memang memperbolehkan pernikahan dengan niat talak karena mereka melihat pernikahan tersebut hanya dari lahirnya saja jadi pernikahan tersebut tetap sah. Tetapi menurut peneliti pernikahan dengan niat talak adalah batil karena lebih banyak madharat yang diperoleh dari pada manfaat yang terkandung di dalamnya. Karena niat awal pernikahan tersebut sudah jelek. Selain itu, dalam pernikahan ix
tersebut ada unsur penipuan yang akan menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Jika direlevansikan dengan tujuan pernikahan yang terkandung dalam pasal 3 KHI maka pernikahan dengan niat talak sangat tidak relevan. Selain itu, jika dilihat dari tujuan pernikah dan prinsip pernikahan yang terdapat dalam syari’at Islam baik dalam Al qur’an maupun hadits pernikahan dengan niat talak juga sangat bertentangan.
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... ii PENGESAHAN KELULUSAN ......................................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...........................................................iv MOTTO ................................................................................................................. v PERSEMBAHAN ................................................................................................vi KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii ABSTRAK ............................................................................................................ix DAFTAR ISI .........................................................................................................xi DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................xiv BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 5 C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 6 D. Telaah Pustaka ................................................................................................... 6 E. Kerangka Teoritik ................................................................................................ 7 F. Metode Penelitian ............................................................................................. 10 1. Jenis Penelitian .................................................................................................. 10 2. Sifat Penelitian .................................................................................................. 11 3. Metode Pengumpulan Data ............................................................................... 11 4. Sumber Data ...................................................................................................... 11 5. Metode Analisi Data ......................................................................................... 12 G. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 12
BAB II
: KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan/Perkawinan .................................................................................... 14 1. Pengertian Pernikahan ...................................................................................... 14 2. Hukum Pernikahan ............................................................................................ 19 3. Rukun dan Syarat Pernikahan ........................................................................... 20 4. Tujuan Pernikahan ............................................................................................ 24 5. Prinsip Pernikahan ............................................................................................ 27 6. Macam-Macam Nikah yang diharamkan………………. .. ……………………33 B. Talak ................................................................................................................. 36 1. Pengertian Talak dan Hukumnya ....................................................................... 36 2. Macam-Macam Talak ........................................................................................ 39 xi
C. Pernikahan Dengan Niat Talak ......................................................................... 43 1. Arti Pernikahan Dengan Niat Talak ................................................................... 43 2. Pendapat Ulama’ Tentang Pernikahan Dengan Niat Talak ............................... 45 BAB III : PAPARAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kab Semarang ...... 55 1. Letak Geografis ................................................................................................. 55 2. Struktur Organisasi Desa Wonoyoso ................................................................ 56 3. Jumlah Penduduk Desa Wonoyoso ................................................................... 57 B. Pernikahan Dengan Niat Talak di Desa Wonoyoso .......................................... 61 1. Pasangan Anto dan Riya ................................................................................... 61 2. Pasangan Ida Dan Riyan ................................................................................... 64
BAB IV
: ANALISIS
A. Tinjauan Hukum Islam Tentang Pernikahan Dengan Niat Talak di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang .................................. 68 B. Faktor Terjadinya Pernikahan Dengan Niat talak Di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang .................................................... 79 C. Pendapat Ulama’ Tentang Pernikahan dengan Niat Talak yang terjadi di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang dan Tinjauan dari perspektif Islam dan KHI ................................................................................. 83 D. Pendapat Peneliti Tentang Pernikahan dengan Niat Talak .............................. 89 BAB V
: PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 97 1. Akad Nikah Pernikahan dengan Niat Talak ...................................................... 97 2. Faktor Terjadinya Pernikahan dengan Niat Talak ............................................ 98 3. Pendapat Ulama’ Tentang Pernikahan dengan Niat Talak ............................... 98 B. Saran .................................................................................................................. 99 C. Penutup ............................................................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xii
DAFTAR TABEL DAN BAGAN
TABEL 3.1
Jumlah Penduduk menurut Usia
TABEL 3.2
Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian
TABEL 3.3
Jumlah Penduduk menurut Keagamaan
TABEL 3.4
Jumlah Penduduk menurut Pendidikan
BAGAN STRUKTUR ORGANISASI DESA KLEPU KECAMATAN PRINGAPUS
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Biodata Penyusun 2. Nota Dosen Pembimbing Skripsi 3. Lembar Konsultasi 4. Surat Ijin Penelitian 5. Surat Persetujuan Ijin Penelitian 6. Surat Pernyataan Telah Meneliti 7. Pedoman Wawancara 8. Dokumentasi Observasi
xiv
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram (Rasjid,2010:374). Allah menciptakan manusia seorang diri kemudian menciptakan pasangannya. Dengan pasangan ini, Allah Swt mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan itu, semakin lama makin berkembang banyak, agar mereka mau mengabdi pada-Nya (Q.S An Nisa‟:1) Penikahan menurut syari‟at islam merupakan ketentuan yang mengikat setiap muslim. Setiap muslim perlu menyadari bahwa di dalam perkawinan itu terkandung nilai-nilai ubudiyah. Karena itu, pernikahan diistilahkan oleh Al qur‟an dengan mitsaaqan ghalidza yaitu suatu ikatan atau janji yang sangat kuat (Anshary,2010:11). Pentingnya suatu pernikahan itu, maka agama islam sangat mencela bagi setiap orang yang dengan sengaja menjauhi pernikahan. Perbuatan membujang bagi laki-laki maupun perempuan itu sangat menyimpang dengan fitrah kejadian manusia itu sendiri. Menurut istilah lain, membujang itu akan menghilangkan kehormatan diri pribadi menurut persepsi islam dan menurut persepsi masyarakat. Bagi orang yang belum mampu melangsungkan pernikahan karena suatu hal yang benar-benar menjadikannya tidak mampu,
1
maka islam menganjurkannya untuk memelihara kehormatan dirinya dengan jalan menahan syahwatnya dari perbuatan yang hina dan tercela (Huda,1994:12). Pernikahan merupakan perjanjian suci yang berlaku beberapa asas diantaranya adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kebebasan memilih, kemitraan suami-istri dan untuk selama-lamanya dan asas monogami. Dari asas tersebut telah disebutkan bahwa salah satu asas pernikahan adalah untuk selama-lamanya, artinya pernikahan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina kasih sayang selama hidup (Huda,2010:126). Nikah mut‟ah yakni pernikahan dengan tujuan bersenang-senang saja dilarang oleh Rasulullah. Tetapi bagaimana jika kemudian muncul dalam kehidupan masyarakat nikah dengan niat talak. Apakah pernikahan semacam ini juga dihukumi nikah mut‟ah. Selain itu, bukankah telah tercantum dalam KHI bahwa perkawinan itu untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”(Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009:2). Perkawinan haruslah sesuai dengan ketentuan
Allah SWT yaitu
haruslah sah lahir dan batin. Keabsahan suatu pernikahan merupakan suatu yang prinsipil, karena berkaitan erat dengan akibat-akibat pernikahan, baik menyangkut anak maupun yang berkaitan dengan harta (Anshary, 2010:12).
2
Akan tetapi nikah dengan niat talak hanya memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan yang berupa lahirnya saja, sedangkan tujuan dari suatu pernikahan itu tidak terlaksana karena di dalam batinnya ada niat untuk menceraikan istrinya. Perkawinan semacam ini memang sah dan akadnya pun mutlak tetapi bertentangan dengan syari‟at islam dan tujuan suatu pernikahan yang telah ditetapkan dalam pasal 3 KHI. Dalam pasal tersebut jelas telah memuat tujuan pernikahan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan penuh kasih sayang. Tetapi dengan adanya nikah dengan niat talak berarti telah menciderai makna dari suatu pernikahan itu sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mīṡāqān ghalīẓān untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009:2). Makna perkawinan tersebut menunjukkan bahwa begitu pentingnya arti perkawinan dalam Islam, yaitu diibaratkan dengan perjanjian para nabi dan wali. Begitu mulianya suatu ikatan perkawinan tetapi jika terbesit adanya niat untuk menceraikannya setelah masanya tiba maka akan ternoda makna dari suatu perkawinan. Paparan tersebut yang membuat pernikahan yang terjadi di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten semarang menjadi menarik untuk diteliti. Pernikahan yang terjadi dengan akad yang mutlak tersebut terjadi bukan atas keinginan pihak mempelai suami dan istri. Pada hal dalam
3
Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa pernikahan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Observasi pendahuluan yang dilakukan di Desa Wonoyoso ada beberapa kasus pernikahan yang terjadi dengan niat talak. Niat tersebut terbukti dengan perilaku suami yang menceraikan istrinya setelah pernikahan tersebut terjadi beberapa bulan. Pernikahan pertama bermula dari pihak istri yang telah lebih dahulu hamil. Agar tidak menimbulkan kemaluan untuk keluarga, maka pihak keluarga meminta pertanggung jawaban dari laki-laki yang menghamilinya. Tetapi karena laki-laki yang menghamilinya sudah berkeluarga maka laki-laki
tersebut mencarikan laki-laki lain yang mau
menikahi wanita tersebut dengan imbalan satu buah motor. Pernikahan tersebut diselenggarakan di KUA setempat, dengan dihadiri orang tua dari pihak istri, dua orang saksi dari pihak istri yaitu perangkat desa setempat dan dua orang saksi dari pihak suami karena bapak pihak suami telah meninggal dan ibunya tidak tahu sekarang dimana. Tetapi setelah anak tersebut lahir pihak istri dikembalikan kepada pihak keluarga. Pernikahan kedua itu dilangsungkan karena usia dari pihak perempuan sudah mulai menginjak usia 30 tahun. Tetapi pernikahan tersebut hanya berlangsung selama 2 bulan saja. Pernikahan tersebut terjadi karena pihak suami hanya ingin bersenang-senang saja dengan si istri kemudian akan diceraikan setelah dia merasa kebutuhannya terpenuhi. Selain itu, sang suami hanya ingin mendapatkan uang yang sebanyak-banyaknya dari si istri dari hasil kerja si istri untuk membayar hutang dan untuk foya-foya bersama
4
teman-temannya.
Selama
pernikahan
berlangsung
tidak
pernah
ada
keharmonisan yang terjadi, persoalan tersebut disebabkan karena pihak istri tidak pernah ada rasa suka dengan pihak suami. Selain itu, pihak suami tidak pernah memberi nafkah malah sebaliknya selalu meminta uang dari istrinya. Berdasarkan paparan tersebut, tidak ditemukan tujuan pernikahan yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah seperti yang tersebut dalam KHI. Peneliti bermaksud akan melakukan penelitian yang berjudul “Nikah Dengan Niat Talak Relevansinya dengan KHI Pasal 3 Studi Kasus di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang”. B. Rumusan Masalah Setelah uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana akad nikah yang dilakukan oleh pasangan yang melakukan nikah dengan niat talak yang terjadi di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang? 2. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya nikah dengan niat talak yang terjadi di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang? 3. Bagaimana pendapat para ulama‟ tentang adanya nikah dengan niat talak yang terjadi di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang ditinjau dari perspektif hukum islam dan KHI?
5
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penyusun merumuskan tujuan penulisan sebagai berikut: 1. Untuk akad nikah yang dilakukan oleh pasangan yang melakukan nikah dengan niat talak yang terjadi di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. 2. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya nikah dengan niat talak yang terjadi di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang 3. Untuk mengetahui pendapat para ulama‟ tentang adanya nikah dengan niat talak yang terjadi di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang ditinjau dari perspektif hukum islam dan KHI. D. Telaah Pustaka Skripsi yang berjudul Praktek Nikah Paska Talak Ba‟in (Studi Kasus di Desa Linggar Galing Kecamatan Pondok Kubang Kabupaten Bengkulu Tengah). Yang ditulis oleh Reka Anita, 21107009 lebih fokus kepada nikah paska talak Ba‟in atau yang sering disebut nikah muhalil. Skripsi ini sangat berbeda dengan pembahasan peneliti yang mengangkat judul nikah dengan niat talak. Karena nikah dengan niat talak berbeda dengan nikah muhalil. Nikah dengan niat talak adalah pernikahan yang dilakukan dengan akad mutlak hanya saja terbesit dihati pihak laki-laki untuk menceraikan istrinya bila waktunya tiba, sedangkan nikah muhalil adalah nikah yang dilakukan
6
paska talak ba‟in. jadi sangat berbeda sekali nikah muhalil dengan nikah dengan niat talak. Sekripsi yang berjudul TELAAH HADITS NIKAH MUT‟AH (Takhrij Terhadap Hadits Kebolehan Nikah Mut‟ah). yang ditulis oleh Muhammad Arif Slamet Raharjo, 211 05 008. Skipsi ini fokus terhadap nikah mut‟ah dan kebolehan untuk nikah mut‟ah. Nikah mut‟ah adalah suatu bentuk pernikahan yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam jangka waktu tertentu (ila ajalin musamma‟). Sedangkan pembahasan peneliti tentang nikah dengan niat talak. Meskipun peneliti menyinggung tentang pembahasan nikah mut‟ah tetapi tidak ada kesamaan antara nikah mut‟ah dengan nikah dengan niat talak. E. Kerangka Teoritik Pernikahan adalah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara seorang perempuan dan laki-laki. Zakiyah Darajat dkk. Mengemukakan lima tujuan dalam pernikahan: 1.
Mendapatkan dan melangsungkan keterunan
2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih sayangnya 3.
Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan;
4.
Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal; serta
7
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan rasa kasih sayang. Kesimpulannya bahwa tujuan pernikahan dalam islam adalah untuk memenuhi naluri hidup manusia, agar terjalin hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian keluarga sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana diterangkan dalam firman Allah surat Ar Rum 21:
21. dan di antara tanda-tanda Yang membuktikan kekuasaannya dan rahmatNya, Bahawa ia menciptakan untuk kamu (Wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikannya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya Yang demikian itu mengandung keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesadaran) bagi orang-orang Yang berfikir.(Q.S Ar Ruum:21) Tujuan pernikahan juga dijelaskan dalam KHI pasal 3 yang berbunyi: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”(Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009:2). Islam juga mengatur tata cara agar pernikahan tersebut menjadi sah dan sesuai dengan hukum Islam, pernikahan yang sah merupakan pernikahan yang sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah meliputi: 1. Mempelai laki-laki 2. Mempelai perempuan 3. Wali
8
4.
Dua orang saksi
5. Shigat ijab qobul. (Tihami, dkk,2010:8) Perkawinan yang didasarkan pada kelima unsur diatas sudah dianggap sah menurut hukum Islam, yaitu pernikahan itu tidak memerlukan niat dalam hati. Tetapi kemudian muncul persoalan tentang nikah dengan niat talak. Tentang persoalan tersebut para ulama‟ berbeda pendapat. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh imam nawawi dalam kitabnya Sharah Shahih Muslim (9/181) berpendapat:
ِ َوبِ ِو، ك ُم ْج َم ًعا َعلَْي َها أَبَ ًدا َ ِصيِّر ال َْم ْسأَلَة بَ ْعد ذَل َ ُالْخ ََلف َوََل ي ِ ال الْ َق ِ الْ َق َج َمعُوا َعلَى أَ ان َم ْن نَ َك َح َ َ ق، اضي أَبُو بَ ْكر الْبَاقِ اَلنِ ّي ْ َوأ: اضي ال َ َق
ِ ِ ِ ص ِحيح َ احا ُمطْلَ ًقا َونياتو أ اََل يَ ْم ُكث َم َع َها إِاَل ُم ادة نَ َو َاىا فَن َكاحو ً ن َك َوإِنا َما نِ َكاح ال ُْم ْت َعة َما َوقَ َع بِال ا، س نِ َكاح ُم ْت َعة ش ْر ِط الْ َم ْذ ُكور َ َولَْي، َح ََلل ِ و َش اذ ْاْلَوَز، لَيس ى َذا ِمن أَ ْخ ََلق النااس: ال مالِك ِ ال َ اع ُّي فَ َق ْ ْ َ َ ْ َ َ َ َولَك ْن ق، َ َواَللاو أَ ْعلَم. َوََل َخ ْير فِ ِيو، ُى َو نِ َكاح ُم ْت َعة:
Syaikh Rasyid Ridha mengatakan dalam komentarnya pada tafsir Al manar, bahwa ulama‟ salaf dan khalaf yang sangat keras melarang, sekalipun para ahli fiqh berpendapat bahwa akad nikah semacam ini hukumnya sah, sekalipun dalam hati berniat nikah sementara tetapi ketika mengucapkan ijab qobul tidak dinyatakannya. Namun dengan menyembunyikan niatan hatinya seperti ini adalah merupakan perbuatan menipu dan mengelabuhi pihak perempuan yang sepatutnya dianggap lebih batal dari pada suatu akad nikah
9
yang dengan terang terangan disebutkan niat sementaranya yang secara bersama-sama disetujui oleh pihak laki-laki, perempuan dan walinya. Karena hal itu tidak menimbulkan suatu kerugian, kecuali timbulnya sikap mengabaikan terhadap suatu hubungan yang sangat mulia yang merupakan hubungan kemanusian yang paling besar dan mengakibatkan permainan syahwat bagi yang suka kawin cerai, serta mengakibatkan timbulnya berbagai kemungkinan negatif. (Sabiq, 1980:70) F. Metode Penelitian Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiyah untuk mendapatkan suatu data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Data yang diperoleh melalui penelitian itu adalah data yang empiris yang mempunyai kreteria tertentu yaitu valid. Valid berarti menunjukakan derajat ketepatan antara dua data yang sesungguhnya terjadi pada suatu objek dengan data yang diperoleh dan dikumpulkan oleh peneliti.(Sugiyo, 2012:2) Untuk mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan tearah dalam penelitian,maka penyusun menggunkan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini jenis yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research), yakni penelitian yang dilakukan ditengahtengah masyarakat. Dalam hal ini data yang ingin diperoleh adalah adanya niat talak dalam sebuah pernikahan studi kasus di Desa Rejosari Kec. Pringapus.
10
2. Sifat penelitian Dalam penulisan ini penyusun menggunakanPenelitian ini bersifat deskriktif-analitik yakni penelitian untuk menyelesaikan masalah dengan cara mendeskripsikan masalah melalui pengumpulan, penyusunan, dan menganalisa data, kemudian dijelaskan. 3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode: a. Wawancara (interview),penyusun melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) menggunakan dialog, mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan serta menggali keterangan yang lebih jelas secara langsung yang berkaitan dengan masalah yang diteliti kepada responden yaitu pasangan pernikahan dengan niat talak yang berada di Desa Rejosari Kec. Pringapus. b. Dokumentasi,(Arikunto,2010:201) metode ini digunakan untuk memperoleh sumber berupa tulisan dengan mengutip dokumendokumen yang ada dan dipandang relevan. c. Observasi atau Pengamatan, Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dengan pengamatan langsung kepada objek penelitian (Arikunto, 2010:164).
4. Sumber Data Dalam penelitian ini dapat memperoleh informasi data dari beberapa literature buku maupun jurnal sebagai bahan teoritik dan
11
memperoleh sumber informasi riil dari proses data observasi dan wawancara yang peneliti lakukan secara langsung yang kemudian dianalisis. Dengan kata lain sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah: a. Sumber Data Primer Yaitu sumber data yang berkaitan langsung dengan objek riset. Data primer dalam penelitian ini adalah perilaku subyek peneliti yang diperoleh dari hasil wawancara dan hasil observasi. b. Sumber Data Skunder Sumber data skunder adalah sumber data yang mendukung dan melengkapi sumber-sumber data primer. Data skunder dalam penelitian ini adalah buku-buku jurnal dan penelitian orang lain yang berkaitan dengan nikah dengan niat talak. 5. Metode Analisa Data Analisis data disebut juga pengolahan data dan penafsiran data. Analisis data adalah rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah.(Suprayogo, 2011:191) G. Sistematika Penyusunan Untuk memudahkan dalam pembahasan skripsi ini penyusun akan menguraikan sistematikanya yaitu dengan membagi seluruh materi menjadi lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub bab. Adapun kelima bab yang dimaksud dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
12
Bab I
:
Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penulisan, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II
:
Bab ini merupakan landasan teori yang menguraikan tentang kajian Teoritik (konsep nikah, pengertian umum niat dan konsep talak dalam Islam)
Bab III
:
Bab ini merupakan inti dari penyusunan skripsi ini yang memuat tentang gambaran umum nikah dengan niat talak yang terjadi di desa Rejosari Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang.
Bab IV
:
Analisis tentang nikah dengan niat talak dan pendapat ulama‟ tentang nikah dengan niat talak.
Bab V
:
Penutup, pertama kesimpulan dilanjutkan saran-saran, kemudian diakhiri dengan kata penutup.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan/Perkawinan
13
Pernikahan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan atau kelompok. Dengan jalan pernikahan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai mahluk yang berkehormatan. Karena itu, Islam mengatur masalah pernikahan itu dengan amat teliti dan terperinci. Agar lebih disadari dan diyakini tentang pentingnya pernikahan, maka akan dijelaskan lebih lanjut tentang pernikahan. 1. Pengertian Pernikahan Pernikahan diistilahkan dengan “perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh (Thihami,dkk 2010: 7). Menurut ahli fiqh nikah berasal dari kata al-jam‟u dan al dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah (Zawaj) bisa diartikan juga dengan aqdu al tazwij yang artinya akad nikah. Hal ini sesuai dengan pengertian yang terdapat dalam buku Fikih Munakahat, mengutip dari ungkapan Zakiyah Drajat yang memberikan definisi perkawinan sebagai berikut:
ْ َٗ َجفز َ ؼ أَ ْٗ ٍَ ْعَْجَُٕج َ ََض ََُِّ إِد َ َضٝ َع ْق ٌذ ِ ْٝ ِٗ ؿ ثَ ِٗ ثىضَّ ْض ِ َ ط ٍب دِيَ ْف ِع ثىِّْنج “Akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau tazwij atau yang semakna dengan keduanya.” (Thihami, dkk 2010: 7) Menurut pengertian Fuqoha perkawinan ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl nikah atau ziwaj atau yang semakna keduanya. Sedangkan menurut pendapat ahli hukum Islam Mutaakhiriin seperti yang dituliskan oleh Muhammad Abu Ishrah bahwa Nikah atau
14
Ziwaj ialah aqad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batasan hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masingnya. (Departemen Agama, 1985:48-49) Para Mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syari‟at. Orang yang sudah berkeinginan untuk nikah dan khawatir terjerumus pada perbuatan zina, sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah. Yang demikian adalah lebih utama dari pada haji, shalat, jihad dan puasa sunnah. (Muhammad, 2010: 338) Makna-makna Nikah dalam Fiqh tersebut terkesan bahwa laki-laki menjadi subjek dan perempuan menjadi objek. Karena hanya aspek biologis yang disoroti. Akhirnya yang berkembang, laki-laki menjadi orang yang berkuasa dan perempuan dikuasai. Selain itu, dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 bab 1 pasal 1 disebutkan sebagai berikut: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”( Tim New Merah Putih, 2012: 6). Makna nikah yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor I
Tahun 1974 tersebut sangat berbeda sekali dengan makna nikah menurut hokum Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi nikah tidak hanya fisik (hubungan biologis) tapi juga psikhis, bahagia dan kekal itu mengandung makna bahwa nikah untuk selamanya, terkandung
15
juga nilai-nilai spiritual (ketuhanan YME). selain itu, memiliki tujuan bahagia,dan kekal maksudnya hanya terjadi sekali seumur hidup Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 juga dijelaskan tentang pengertian yaitu sebagai berikut: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.(Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2012: 2). Dari beberapa pengertian nikah tersebut dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang sangat dianjurkan, yang akan menimbulkan
kehalalan
hubungan
kelamin
antara
laki-laki
dan
perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridloi Allah SWT dan akan menimbulkan akibat hukum. Karena pentingnya suatu pernikahan itu maka Allah sangat menganjurkan suatu pernikahan sebagaimana disebutkan dalam Al qur‟an surat yasin:36
36. Maha suci Tuhan Yang telah menciptakan makhluk-makhluk semuanya berpasangan; sama ada dari Yang ditumbuhkan oleh bumi, atau dari diri mereka, ataupun dari apa Yang mereka tidak mengetahuinya. Perkawinan merupakan akad yang sangat kuat seperti yang dijelaskan dalamasal 2 Kompilasi Hukum Islam. Pasal diatas menjelaskan
16
pentingnya suatu pernikahan. Karena itu, Allah melarang bagi manusia untuk hidup membujang. Perintah untuk menikahkan perempuan yang tidak bersuami dengan seorang laki-laki yang tidak beristri itu tertuju kepada seluruh umat islam (Basyir, 2000: 29). Islam sangat menganjurkan seseorang itu untuk menempuh hidup pernikahan sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:
32. dan kahwinkanlah orang-orang bujang (lelaki dan perempuan) dari kalangan kamu, dan orang-orang Yang soleh dari hamba-hamba kamu, lelaki dan perempuan. jika mereka miskin, Allah akan memberikan kekayaan kepada mereka dari limpah kurniaNya kerana Allah Maha Luas (rahmatNya dan limpah kurniaNya), lagi Maha mengetahui.( Q.S An Nuur:32)
Diriwayatkan dalam sebuah hadits:
َّ ٍَ َع َع ْذ ِذٜش ْ ٍَ ِِ َّللاِ ْد َُِٔٞ إِ ْر ىَقًَِْٚ ِسعُ٘ ٍد د ِ ٍْ َ ََلِِّّٜعَِْ َع ْيقَ ََزَ قَج َه إ َّ َع ْذ ُذَٙسض َْخ ََلُٓ فَيَ ََّج َسأ صَ َعج َهِٜجؽزٌ قَج َه ى ْ ُع ْغ ََجُُ فَج َ سشْ ىَُٔ َف َ ْٞ ََّللاِ أَُْ ى ِِ ََ َج أَدَج َع ْذ ِذ ثى َّش ْفٝ َج َع ْيقَ ََزُ فَ ِؾتْشُ فَقَج َه ىَُٔ ُع ْغ ََجُُ أَ ََل ُّ َض ِّٗ ُؽ َلٝ َّللا ِ َّ سلَ ٍَج ُم ْْشَ صَ ْع َٖ ُذ فَقَج َه َع ْذ ُذ ِ َل ٍِِْ َّ ْفْٞ ََ ْش ِؽ ُع إِىٝ ََُّٔ ٍز ِد ْن ٍش ىَ َعيٝدِ َؾج ِس َّ َّٚطي َّ س٘ َه ٍَِْ َقُ٘ ُهٝ ٌَ َّسي ُ س َِ ْعشُ َس َ َٗ ِٔ ْٞ ََّللاُ َعي َ َِّللا َ ىَتِِْ قُ ْيشَ َرث َك ىَقَ ْذ
17
ػ ْ ث ُّ َضَ َض َّٗ ْػ فَئَُِّّٔ أَ َغٞسضَطَج َع ٍِ ْْ ُن ٌْ ث ْىذَج َءرَ فَ ْي َ ظ ِش َٗأَ ْف َ َض ىِ ْيذ ِ ظُِ ىِ ْيفَ ْش ظ ْ٘ ًِ فَئَُِّّٔ ىَُٔ ِٗ َؽج ٌء ْ َٝ ٌْ ََٗ ٍَِْ ى َّ ِٔ دِجىْٞ َسضَ ِط ْع ٍِ ْْ ُن ٌْ فَ َعي 2046. Dari Alqamah, dia berkata, "Sesungguhnya saya berjalan bersama Abdullah bin Mas'ud di Mina, kemudian Ustman bertemu dengan Abdullah bin Mas'ud. Utsman mengahampiri Ibnu Mas'ud. Ketika Ibnu Mas'ud melihat bahwa dia tidak berkeinginan untuk menikah, maka ia berkata kepada Al qamah, 'Kemarilah wahai Al Qamah.' Kemudian aku mendatangi Ibnu Mas'ud, Utsman berkata kepada Ibnu Mas'ud, 'Kami akan menikahkan engkau wahai Ibnu Mas'ud dengan seorang gadis, semoga dengan demikian engkau mengingat kembali masa lampaumu yang indah.' Abdullah bin Mas'ud berkata, 'Kalau engkau berkata demikian, saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah. Karena menikah akan membuat seseorang mampu menahan pandangannya, lebih dapat memelihara kemaluannya. Barangsiapa yang belum mampu untuk menikah, maka hendakah ia berpuasa, karena puasa mampu menahan dan membentengi (gejolak syahwat). '""(shahih, Muttafaq Alaih) Dalam hadits nabi mengajarkan bahwa pernikahan merupakan jalan untuk menyalurkan naluri manusiawi., untuk memenuhi tuntutan nafsu syahwatnya dengan tetap mempelihara keselamatan agama yang bersangkutan.
Apabila
nafsu
syahwat
telah
mendesak,
padahal
kemampuan kawin belum cukup supaya menahan diri dengan jalan berpuasa mendekatkan diri kepada Allah agar mempunyai daya tahan mental dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan godaan setan yang menarik-narik untuk berbuat serong (Basyir, 2000: 12). 2. Hukum Pernikahan Perkawinan mengandung aspek akibat hukum, karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan mengharapkan keridlaan Allah Swt. Dalam al-Quran dinyatakan
18
bahwa hidup berpasang-pasangan, berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah termasuk manusia (Ghazali, 2010: 10), sebagaimana firman-Nya dalam surat aż-Żariyat ayat: 49:
49. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
Perkawinan yang merupakan Sunnatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat kemaslahatnnya. Sedangkan maslahat dibagi menjadi tiga yaitu maslahat wajib, sunnah dan maslahat mubah .(Tihami, dkk,2010: 9). Namun, terdapat berbagai perbedaan pendapat di kalangan para Ulama. Segolongan fuqahāˊ, yakni jumhur berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah. Golongan Ẓahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para ulama Malikiyyah Mutaˊakhkhirīn berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain (Ghazali, 2010: 16). Meskipun pada asalnya perkawinan itu adalah mubah, namun dapat berubah menurut ahkām al khamsah (hukum yang lima) menurut perubahan keadaan: a. Nikah Wajib, yaitu bagi orang yang mampu dan akan menambah takwa dan juga untuk menjaga jiwa dan menyelamatkan dari perbuatan haram..
19
b. Nikah Haram, yakni bagi orang yang tahu dirinya tidak mampu hidup berumah tangga melaksanakan kewajiban lahir dan batin. c. Nikah Sunnah, yaitu bagi orang yang sudah mampu tetapi masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, maka lebih baik menikah. d. Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk menikah dan dorongan untuk menikah tidak membahayakan dirinya. e. Nikah Makruh, yaitu bagi yang mampu untuk menikah, tetapi juga mampu menahan diri dari zina. Hanya tidak mempunyai keinginan kuat untuk memenuhi kewajiban suami istri dengan baik. (Tihami dkk, 2010:16) 3. Rukun dan Syarat pernikahan Islam juga mengatur tata cara agar pernikahan tersebut menjadi sah dan sesuai dengan hukum Islam, pernikahan yang sah merupakan pernikahan yang sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah meliputi:
a. Mempelai laki-laki b. Mempelai perempuan c. Wali d. Dua orang saksi e. Shigat ijab qobul. (Tihami dkk, 2010:8)
20
Syarat-syarat
perkawinan
merupakan
dasar
bagi
sahnya
perkawinan. Jika syarat-syarat terpenuhi, perkawinannya sah dan menimbulkan adanya segala kewajiban dan hak-hak pernikahan. Syarat suatu pernikahan meliputi perempuan tersebut adalah perempuan yang halal dinikahi, akad nikahnya dihadiri para saksi. (Sabiq, 2000: 87) Syarat-syarat yang ditujukan untuk kedua mempelai yang akan melangsungkan pernikahan meliputi: 1) Syarat untuk pengantin pria a) Calon suami beragama islam. b) Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki. c) Orangnya diketahui dan tertentu. d) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri. e) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu bahwa calon istrinya halal baginya. f) Calon suami ridla (tidak dipaksa) untuk melakukan pernikahan itu. g) Tidak sedang melakukan ihram. h) Tidak sedang mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri. i) Tidak sedang mempunyai istri empat. 2) Syarat calon pengantin perempuan a) Beragama islam atau ahli kitab. b) Terang bahwa ia wanita bukan khuntsa. c) Wanita itu tertentu orangnya. d) halal bagi calon suami. e) wanita itu tidak dalam ikatan pernikahan dan tidak dalam masa „iddah. f) Tidak dipaksa/ikhtiyar. g) Tidak dalam keadaan ihram Haji atau Umrah.
21
Selain itu, dalam UU No.1 tahun 1974 dijelaskan tentang syaratsyarat suatu pernikahan yang meliputi sebagai berikut: 1. Pernikahan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan pernikahan, seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin orang tua. 3. Dalam hal seseorang dari kedua orang tua meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) Pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam hal tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang dimaksud dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini. 6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. ( Tim New Merah Putih, 2012: 7). Pemberlakuaan hukum Tujuan utama pencatatan pernikahan adalah demi mewujudkan ketertiban administrasi perkawinan dalam masyarakat di samping untuk menjamin tegaknya hak dan kewajiban suami istri. Hal ini merupakan politik hukum Negara yang bersifat preventif untuk mengkoordinasi masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keteraturan dalam sistem kehidupan. Termasuk dalam masalah pernikahan yang diyakini tidak luput dari berbagai ketidak teraturan dan pertikaian antara suami istri.
22
Persoalan pencatatan pernikahan dalam fiqh klasik dinilai sebagai suatu yang tidak signifikan untuk dilakukan karena pola pikir dan kehidupan yang masih tradisional. Padahal apabila ideal moral yang terkandung dalam Al qur‟an sangat jelas memerintahkan perlunya sistem administrasi yang rapi dalam urusan hutang piutang maupun transaksi perjanjian, sehingga masalah yang berhubungan dengan perbuatan hukum seseorang seperti pernikahan, kewarisan, perwakafan mempunyai akibat hukum yang lebih kompleks.(Khusen,2013: 10) Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil, karena berkaitan erat dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang menyangkut dengan anak (keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta (Anshary, 2010: 12). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan telah memutuskan kreteria keabsahan suatu pernikahan, yang diatur di dalam Pasal 2, sebagai berikut: 1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.( Tim New Merah Putih, 2012: 6). Pasal tersebut mengatur secara tegas dua garis hukum yang harus dipatuhi dalam suatu pernikahan. Pertama adalah tentang keabsahan suatu pernikahan, adalah bahwa satu-satunya syarat sahnya suatu pernikahan itu jika dilakukan menurut ketentuan agama dari mereka yang akan melangsungkan pernikahan tersebut. Ketentuan agama adalah berkaitan dengan syarat dan rukunnya suatu pernikahan bagi umat islam (Anshary,
23
2010: 12). Kedua adalah tentang pencatatan nikah pencatatan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagaimana dimaksud oleh UndangUndang Nomor 32 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatatan suatu pernikahan ditujukan bagi segenap warga Indonesia. Perkawinan yang dilakukan dengan menggunakan tata cara yang sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku akan mempunyai akibat hukum, yakni akibat yang mempunyai hak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum (Anshary, 2010: 22). 4. Tujuan Pernikahan Berdasarkan ayat tersebut di atas bisa dilihat bahwa perkawinan juga merupakan ibadah sesuai yang telah tetera dalam KHI pasal 2: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mīṡāqān ghalīẓān untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2009: 2).
Di jelaskan pula dalam Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974, bahwa perkawinan adalah: “Ikatan lahir batin antara seorang pria seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yangg Maha Esa” (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2009: 7). Tujuan pernikahan menurut agama islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera berarti menciptakan ketenangan lahir batin
24
disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagian. (Departemen Agama, 1985: 62) Selain itu, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 juga telah dijelaskan tentang tujuan pernikahan yaitu sebagai berikut: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”(Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009:2). Perkawinan juga bertujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Fungsi keluarga adalah menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga salah satu di antara lembaga pendidikan informal, orang tua yang dikenal mula pertama oleh putera-puterinya dengan segala perlakuan yang diterima dan dirasakannya, dapat menjadi dasar pertumbuhan kepribadian.(Tihami dkk, 2010:16)
Zakiyah Darajat dkk. Mengemukakan lima tujuan dalam pernikahan: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan; 2. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwat dan menumpahkan kasih sayangnya; 3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan;
25
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal; serta 5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan rasa kasih sayang. Kesimpulannya bahwa tujuan pernikahan dalam islam adalah untuk memenuhi naluri hidup manusia, hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian keluarga sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
21. dan di antara tanda-tanda Yang membuktikan kekuasaannya dan rahmatNya, Bahawa ia menciptakan untuk kamu (Wahai kaum lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan hidup mesra dengannya, dan dijadikannya di antara kamu (suami isteri) perasaan kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya Yang demikian itu mengandung keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesadaran) bagi orang-orang Yang berfikir.(Q.S Ar Ruum:21) 5. Prinsip-Prinsip Pernikahan Ada beberapa prinsip pernikahan menurut agama islam, yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu bener-benar berarti untuk hidup manusia dalam melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan. Adapun prinsip-
26
prinsip pernikahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 meliputi sebagai berikut: a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Prinsip tersebut bisa diruju‟ pada surah ar Rum:30-31
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.31. dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah
b. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Dari ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa pernikahan mempunyai kaitan erat dengan masing-masing agama yang dianut oleh calon mempelai. Dengan demikian, suatu pernikahan baru dianggap sebagai pernikahan yang sah apabila pernikahan tersebut dilakukan menurut agama orang yang melangsungkan pernikahan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah:221:
27
221. dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orangorang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. c. Asas monogamy Monogami adalah menikah dengan satu istri. Dalam islam ada kebolehan memiliki istri lebih dari satu orang, tetapi juga membatasi tidak boleh lebih dari 4 orang dengan syarat harus berlaku adil. Prinsip ini telah dijelaskan dalam Al qur‟an Surat An Nisa: 3
4. dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
28
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. d. Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya. Prinsip tersebut bisa diruju‟ pada surah ar Rum:30-31
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.31. dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,
e. Mempersulit terjadinya perceraian. Prinsip ini sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak.
ِ ر- َع ِن اِبْ ِن ُعمر ول اَللا ِو صلى اهلل عليو ُ ال َر ُس َ َ ق: ال َ َ ق-ض َي اَللاوُ َع ْن ُه َما َ ََ ِ ِ , اج ْو ُ َوسلم ( أَبْغ َ ض اَل َ َوابْ ُن َم, ْح ََل ِل ع ْن َد اَللاو اَلطاََل ُق ) َرَواهُ أَبُو َد ُاو َد ُ َوَر اج َح أَبُو َحاتِ ٍم إِ ْر َسالَو, ْحاكِ ُم َ َو َ ص اح َحوُ اَل 29
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai." Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Abu Hatim lebih menilainya hadits mursal. f.
Hak dan kedudukan suami adalah seimbang. Prinsip ini dijelaskan dalam surat An Nisa‟:32
32. dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Dalam ajaran islam ada beberapa prinsip-prinsip perkawinan yang meliputi:
(1) Prinsip keabsahan dalam memilih jodoh Islam memberi pedoman memilih jodoh yang tepat. Sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh BukhoriMuslim yang berbunyi:
30
ال تُ ْن َك ُح َ َصلاى اللاوُ َعلَْي ِو َو َسلا َم ق َ َع ْن أَبِي ُى َريْ َرَة َع ْن النابِ ِّي ِ ِ ِ ِ سبِ َها َولِ َج َمالِ َها َولِ ِدينِ َها فَاظْ َف ْر َ ِّساءُ ْل َْربَ ٍع ل َمال َها َول َح َ الن ِ بِ َذ اك َ ت يَ َد ْ َات الدِّي ِن تَ ِرب 2047. Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah karena agamanya, maka engkau akan beruntung dan bahagia. (shahih Muttafaq Alaih). Bagi para wali yang ingin menjodohkan perempuan di bawah perwaliannya maka, islam telah memberikan pedoman untuk memilih jodoh yang tepat. sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Titmidzi yang berbunyi:
ِ ح ادثَنَا قُتَ يبةُ ح ادثَنَا َعب ُد الْح ِم يد بْ ُن ُسلَْي َما َن َع ْن ابْ ِن َع ْج ََل َن َ ْ َ َْ َ ِ ول اللا ِو ُ ال َر ُس َ َال ق َ َي َع ْن أَبِي ُى َريْ َرةَ ق ِّ اص ِر ْ يمةَ الن َ َع ْن ابْ ِن َوث ِ َ ب إِلَْي ُك ْم َم ْن تَ ْر ُض ْو َن ِدينَو َ َ َصلاى اللاوُ َعلَْيو َو َسلا َم إِذَا َخط ِ َو ُخلَُقوُ فَ َزِّو ُجوهُ إِاَل تَ ْف َعلُوا تَ ُك ْن فِ ْت نَةٌ فِي ْاْل َْر يض ٌ سا ٌد َع ِر َ َض َوف 1084. Qutaibah menceritakan kepada kami, Abdul Hamid bin Sulaiman memberitahukan kepada kami dari Ibnu Ajlan, dari Ibnu Watsimah An-Nashri, dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Apabila ada orang yang agama dan budi pekertinya baik meminang (anak-anak perempuan dan kerabat) kalian, maka kawinkanlah dia. Jika kalian tidak melaksanakannya, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan'." (H.R Tirmidzi) Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa memilih jodoh yang tepat menurut ajaran agama islam adalah
31
pilihan atas dasar pertimbangan kekuatan jiwa, agama dan akhlak. Hal tersebut sangatlah penting karena pernikahan bukan semata-mata kehidupan duniawi, tetapi juga untuk membina kehidupan yang sejahtera lahir dan batin serta menjaga keselamatan agama dan nilai-nilai moral anak keturunan. Meskipun demikian, islam juga mengatur faktor-faktor lain yang sudah tentu sangat ideal. (2) Prinsip mawadah wa rahmah Tujuan pernikahan adalah untuk dapat keturunan dan untuk ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih sayang. Semua itu hanya dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa pernikahan itu untuk selamanya. Bukan sekedar dalam jangka waktu tertentu saja. (3) Prinsip saling melengkapi dan melindungi Dalam hukum islam tidak selamanya laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ketika seseorang itu memutuskan untuk melakukan suatu pernikahan maka masing-masing harus merelakan hak kebebasan seperti sebelum menikah. Masing-masing mempunyai kewajiban baru seperti suami wajib melindungi istri dan anak-anaknya, wajib memberi nafkah dan sebagainya, istri wajib melayani keperluan suami seperti ketentuan yang ada. (4) Prinsip Mu‟asyarah bil Ma‟ruf
32
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibarat merawat tanaman. Maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu‟asyarah bil ma‟ruf. Rasulullah saw bersabda bahwa: “ Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang baik terhadap istrinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap istriku.”. (H.R Thabrani dan Tirmidzi) 6. Macam-Macam Nikah yang diharamkan Ada beberapa macam nikah yang diharamkan oleh Allah Swt. yaitu: a. Nikah Mut‟ah yaitu seorang pria yang menikahi wanita sampai jangka waktu tertentu yang telah disepakati berdua dan nikah itu akan berakhir dengan sendirinya apabila jangka waktu yang telah ditentukan itu habis. Umpamanya, seseorang mengatakan.”Aku nikahi engkau selama satu bulan atau satu tahun,” dan sejenisnya. (Muhammad, 2010: 351) Dinamakan nikah Mut‟ah karena pihak laki-laki hanya ingin bersenang-senang sementara waktu saja. (Sabiq, 2000: 63) Pada awalnya nikah ini diperbolehkan oleh Rasulullah Saw. bagi para sahabat yang sedang berperang tanpa membawa istri mereka, kemudian mereka bertanya bahwa akan mengebiri kemaluan mereka. Rasulullah Saw. mencegahnya dan memperbolehkan nikah
33
mut‟ah, namun pada saat perang Khaibar Rasulullah melarangnya sebagaimana hadis di bawah ini:
َ َ ددي ابَدد ِي ِ ددََْ َّللا َ َ ددي َهَنِددب َ َ َحدد َثنٌَِي حَيَ ىَددن ِ َ ددي َ َدد ِث ب َ َي أَبِى ِْ َوَ َ َي َو َان َي َس ِي ا َبٌَ َي ُه َي َو ِث ب َِي َ لِ ِّي ب َِي أَبِي طََنِ َّللا َّدلَن َدي أَبِدي طََنِد َّللا َ ِ َ ضد َي َ ُ َ ٌَد ُ أَ َى َ وُد ََّللا ِ َ ب ِ َ لِ ِّي ب َ َ َ ُ َ لَ َى ِ َو َولَ َن ًََْن َ َي ُه َت َع ِة انٌِّ َسَ ِء حَ َ َم َخ َى ِ دَ َو َ َدي أَ َلد اْل ًَ ِسىَ ِة ِ َ َِ نُ ُي ِم َان ُي ُو 994. Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan Hasan keduanya adalah anak Muhammad bin Ali bin Abu Thalib, dari Bapaknya dari Ali bin Abu Thalib berkata, "Pada perang Khaibar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang nikah mut'ah makan daging keledai jinak”.(HR malik)
Pernikahan mut‟ah itu tidak sah. Jadi, wajib dibatalkan kapan saja terjadi, mahar tetap wajib dibayarkan jika orang tersebut telah menggauli istrinya dan tidak wajib jika ia belum menggaulinya. (Abu Bakr, 2000; 591) Diharamkannya nikah ini karena mengandung hikmah yang agung, di antaranya nikah merupakan akad kepemilikan pemanfaatan kehormatan untuk abadi selamanya, sehingga keabadian merupakan proses mencapai tujuan pernikahan dalam Islam.
b. Nikah Syighār (Nikah Silang), yaitu seorang wali mengawinkan putrinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-laki tadi mengawinkan
putrinya
tanpa
Berdasarkan hadis Rasulullah Saw.:
34
bayar
mahar.(Sabiq,
2000:84)
ِ َ َعن اب ِن عُمر أَ ان رس.c صلاى اللاوُ َعلَْي ِو َو َسلا َم نَ َهى َع ْن َ ول اللاو ُ َ ََ ْ ْ ِّ ْت لِنَافِ ٍع َما ِّ َ َار ق َال يَ ْن ِك ُح ابْ نَة ُ س اد ٌد فِي َح ِديثِ ِو قُل َ الشغَا ِر َز ُ َالشغ َ اد ُم ٍ ال ارج ِل وي ْن ِكحوُ ابْ نَتَوُ بِغَْي ِر ص َد َ اق َويَ ْن ِك ُح أُ ْخ ُت ال ار ُج ِل َويُ ْن ِك ُحو َ ُ َُ ُ ٍ أُ ْختَوُ بِغَْي ِر ص َد اق َ 2074. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA, "Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang nikah syighar." Dalam riwayat lain terdapat kalimat tambahan yang berbunyi, "Aku bertanya kepada Nafi' "Apa yang dimaksud dengan Syighar?" Nafi menjawab, "Yaitu seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita, dan bapak dari wanita tersebut menikah juga dengan anak wanita laki-laki yang menjadi besannya tanpa mahar. Atau seorang menikah dengan saudara perempuan seorang laki-laki, kemudian sang saudara tersebut menikah dengan saudara peremapuan laki-laki yang menikah dengan adiknya, tanpa mahar yang harus dibayar. (shahih, Muttafaq Alaih) Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah syighar ini pada dasarnya tidak diakui, karena itu hukumnya batal. Menurut Abu hanifah nikah syighar itu sah, hanya bagi tiap-tiap anak perempuan yang bersangkutan wajib menerima mahar yang sepadan. (sabiq, 2000: 86) Nikah syighār bisa dibagi dua macam, yaitu: (1) Tidak adanya mahar bagi masing-masing istri (2) Masing-masing wali mensyaratkan kepada yang lain agar menikahkan kepadanya wanita yang di bawah perwaliannya. (Sholeh, 2010:16) c. Nikah Tahlil adalah seorang wanita yang ditalak tiga oleh suaminya menikah lagi dengan orang lain, dengan maksud untuk menghalalkan pernikahan dengan suami pertama, dengan memakai syarat apabila
35
terjadi persetubuhan dengannya maka jatuh talak. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
سيّ ٌَ ث ْى َُ َقيِّ ُو ْ ٍَ ِِ َع ِِ ْد ُ ىَ َعَِ َس:س ُع ْ٘ ٍد قَج َه َ َٗ ِٔ ْٞ َ َّللاُ َعيَّٚطي َ َّللا ِ س ْ٘ ُه )ٔٗطقق
ٛ ٗثىضشٍزٜ (سٗثٓ أفَذ ٗثىْسجة.ََُٔٗث ْى َُ َقيَّ ُو ى
Dari Ibnu Mas‟ud, ia berkata: “Rasulullah SAW melaknat Muhallil (yang menghalalkan) dan orang yang dihalalkannya”. (HR. Ahmad, Nasa‟i dan Tirmidżi dan Tirmidżi mengesahkannya) Nikah Tahlil sebenarnya adalah tipu muslihat atas suatu yang haram. Dalam nikah ini tidak ada cinta dan kasih sayang, tidak ada keinginan memperbanyak anak maupun membangun keluarga bahagia. Tujuan yang ada hanyalah agar wanita itu bisa kembali kepada suami pertamanya.( Sholeh, 2004: 20) B. Talak 1. Pengertian talak dan Hukumnya Allah menentukan syari‟at pernikahan dengan tujuan untuk mewujudkan ketenangan hidup, menimbulkan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Tetapi terkadang tujuan pernikahan tersebut terhalang oleh keadaan yang tidak terbayangkan sebelumnya. ( Basyir, 2010: 70) faktor-faktor psikilogis, biologis, ekonomis, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup dan sebagainya, sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya. (Departemen Agama, 1983: 220)
36
Talak diambil dari kata “iṭlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara‟:
.َّ ِزٞٗثػ ٗإِ ّْٖج ُء ث ْى َعَلق ِز ثى َّضٗؽ ِ َف ُّو سثَدِط ِز ثى َّض ”Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.” ( Ghazali, 2010: 191-192) Sedangkan Talak dalam KHI telah dijelaskan dalam pasal 117: ”Talak ialah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131”.(Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2009: 35). Jadi talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga istri tidak lagi halal bagi suaminya dan ini terjadi dalam hal bāˊin. Sedangkan mengurangi ikatan pelepasan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suaminya yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak, yakni disebut talak raj‟i. (Ghazali, 2010: 192) Perceraian adalah perkara yang dibenci Allah Swt. sehingga Allah murka dan melaknat orang-orang yang bercerai. Tetapi anehnya dalam hidup ini banyak dijumpai pasangan suami istri yang bahkan bercerai berkali-kali. Maka, jika menggunakan pendekatan Islam tentu saja orangorang seperti ini sangat
dibenci Allah Swt.(Muhammad, 2010:18)
Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
37
ِ ر- َع ِن اِبْ ِن عُمر ول اَللا ِو صلى اهلل عليو ُ ال َر ُس َ َ ق: ال َ َ ق-ض َي اَللاوُ َع ْن ُه َما َ ََ ِ ِ , اج ْو ُ َوسلم ( أَبْ غ َ ض اَل َ َوابْ ُن َم, ْح ََل ِل ع ْن َد اَللاو اَلطاََل ُق ) َرَواهُ أَبُو َد ُاو َد ُ َوَر اج َح أَبُو َحاتِ ٍم إِ ْر َسالَو, ْحاكِ ُم َ َو َ ص اح َحوُ اَل Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai." Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Abu Hatim lebih menilainya hadits mursal. Syara‟ menjadikan talak sebagai jalan yang sah untuk bercerainya suami istri, namun syara‟ membenci terjadinya perbuatan ini dan tidak merestui jatuhnya talak tanpa sebab atau alasan. Adapun sebab-sebab jatuhnya talak itu menyebabkan hukum talak menjadi wajib, adakalanya haram, mubah dan adakalanya juga sunnah. (Daradjat, 1995: 190) Penjelasan adanya hukukm-hukum tersebut adalah sebagai berikut: a. Talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri karena tidak mampu menunaikan hak-hak istri dan kewajiban sebagai suami. b. Talak diharamkan jika dengan talak itu suami berlaku serong, baik dengan bekas istrinya ataupun dengan wanita lain. Hal itu diharamkan jika mengakibatkan suami terjatuh ke dalam perbuatan haram. c. Talak hukumnya mubah, ketika ada keperluan untuk itu, yakni karena jeleknya perilaku istri atau suami menderita madlarat lantaran tingkah laku istri, dsb. d. Talak disunnatkan jika istri rusak moralnya atau melanggar laranganlarangan agama, tidak „afīfah (menjaga diri) dll (Daradjat, 1995: 190192)
38
e. Talak menjadi makruh ketika hubungan pergaulan suami istri sedang rukun, damai dan tentram. (Muhammad, 2010: 366) 2. Macam-Macam Talak Ditinjau dari waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi menjadi tiga macam, yaitu: a. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah. Dikatakan sunni jika memenuhi empat syarat: (1) Istri sudah pernah digauli, jika belum pernah digauli tidak termasuk talak sunni. (2) Istri segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu dalam keadaan suci dari haiḍ. Talak terhadap istri yang menopause atau belum pernah haiḍ, atau sedang hamil, talak karena khulu‟, ketika istri haiḍ, semuanya tidak termasuk talak sunni. (3) Talak dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik permulaan, pertengahan maupun akhir suci. (4) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci di mana talak itu dijatuhkan. Jika dijatuhkan dalam keadaan suci tetapi pernah digauli tidak termasuk talak sunni. (Departemen Agama, 1985: 227-228) b. Talak Bid‟i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntunan sunnah. Termasuk talak bid‟i ialah:
39
(1) Talak yang dijatuhkan kepada istri pada waktu haiḍ, baik di permulaan maupun pertengahan. (2) Talak yang dijatuhkan kepada istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli suami dalam keadaan suci tersebut. c. Talak Laa Sunni Wa Laa Bid‟i. Talak ini ialah talak yang tidak termasuk talak kategori talak Sunni dan tidak pula talak bid‟i, yaitu: (1) Talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah digauli. (2) Talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah haidl. (3) Talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang hamil. (daradjat, 1995: 174) Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu: a. Talak Ṣarih, yaitu talak menggunakan kata-kata jelas dan tegas. Imam Syafi‟i mengatakan bahwa kata-kata yang digunakan talak Ṣarih ada tiga, yaitu talak, firqah dan sarah. (Departemen Agama, 1985: 228) b. Talak Kinayah, yaitu talak menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar, seperti “Éngkau telah jauh dari diriku” dsb. Ucapanucapan tersebut megndung kemungkinan cerai dan kemungkinan lain. Artinya jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak maka jatuh talak. Sedangkan jika suami dengan kata-kata tersebut tidak bermaksud talak tidak dinyatakan jatuh. (Daradjat, 1995: 175)
40
Ditinjau dari segi ada atau tidaknya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi dua macam: a. Talak Raj‟i, yaitu talak yang masih memungkinkan suami rujuk dengan bekas istrinya tanpa akad nikah baru. Talak pertama dan kedua yang dijatuhkan kepada istri yang pernah digauli dan bukan karena permintaan istriyang disertai dengan uang tebusan (iwad), selama masih dalam masa idah. (Basyir, 2010: 80) Talak Raj‟i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja, berdasarkan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 229:
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Q.S Al Baqarah: 229) Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyarī‟atkan Allah ialah talak yang dijatuhkan satu demi satu tidak sekaligus dan suami boleh memelihara kembali bekas istrinya setelah talak pertama maupun kedua dengan cara yang baik. (Departemen Agama, 1985: 231) b. Talak Bāˊin, yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami kepada bekas istrinya kecuali dengan akad baru lengkap dengan syrat dan rukunnya.(Basyir, 2010: 80) Talak Bāˊin ada dua macam, yaitu Talak Bāˊin Ṣughra dan Talak Bāˊin Kubra.
41
Talak Bāˊin Ṣughra ialah talak yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan untuk kawin kembali kepada bekas istri, baik istri dalam masa iddah maupun sesudah berakhir masa iddahnya. Sedangkan Talak Bāˊin Kubra
ialah
talak
yang
menghilangkan
pemilikan
serta
menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya, kecuali setelah bekas istri itu telah menikah lagi dengan laki-laki lain dan juga telah digauli kemudian baru bercerai. (Daradjat, 1995: 177) Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230:
230. Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. (Q.S Al baqarah: 230) Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak, ada beberapa macam sebagai berikut: a. Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan dan istri mendengar secara langsung ucapan suaminya itu. b. Talak dengan tulisan, yaitu diampaikan secara tertulis kepada istrinya dan istrinya membaca serta memahaminya. c. Talak dengan isyarat, yaitu dilakukan dalam bentuk isyarat oleh suami yang tuna wicara (bisu). Sebagian Fuqaha mensyaratkan 42
sahnya talak dengan isyarat bagi orang bisu itu adalah buta huruf. Jika mengenal dan dapat menulis, maka tidak cukup dengan isyarat kecuali tidak dapat menulis. d. Talak dengan Utusan, yaitu disampaikan melalui perantara orang lain sebagai utusan kepada istrinya yang tidak berada di hadapan suami. Dalam hal ini utusan sebagai wakil suami untuk menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu. (Daradjat, 1995: 177-178) C. Nikah dengan Niat Talak dan Pendapat Ulama’ 1. Arti Nikah dengan Niat Talak Nikah menurut islam adalah nikah yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada kita, lengkap dengan rukun dan syaratnya, tidak ada penghalang yang menghalangi keabsahannya, tiada unsur penipuan dari kedua belah pihak baik suami maupun istri atau salah satu dari keduanya, serta niat kedua mempelai sejalan dengan tuntunan syari‟at islam. (Sholeh, 2004: 7) Sementara nikah yang tidak disukai oleh Allah SWT adalah nikah yang tidak sempurna salah satu dari rukun dan syaratnya, ada salah satu penghalang, ada unsur penipuan, salah satu dari kedua mempelai atau keduanya tidak menginginkan tujuan pernikahan dalam islam. Nikah semacam ini tidak sesuai dengan syari‟at islam. Nikah dengan niat talak ialah pria menikahi wanita dan di dalam hatinya (niat) akan menceraikan wanita tersebut setelah selesai masa study atau domisili atau kebutuhannya telah terpenuhi/ selesai. Imam
43
Malik berkata “Kadangkala seorang pria menikahi wanita dengan niat tidak ingin memilikinya, ternyata kemudian ia ingin memilikinya sepenuh hati karena cocok. Dan kadangkala seorang pria menikahi wanita dan ingin memilikinya sepanjang masa, kemudian karena tidak cocok lalu ia pun menceraikannya”. (Sholeh, 2004: 22-23) Nikah dengan niat talak berbeda dengan nikah mut‟ah. perbedaan diantara keduanya adalah nikah dengan niat talak melakukan akad nikah sesuai dengan ketentuan yang disyari‟atkan oleh agama tanpa mengucapkan penentuan batasan waktu saat melakukan akad, sedangkan nikah mut‟ah menentukan batasan waktu pada saat akad berlangsung. Karena itu nabi melarang nikah mut‟ah sebagaimana dijelaskan dalam hadits:
ِ ِ س ِن ُّ َح ادثَنَا ابْ ُن أَبِي عُ َم َر َح ادثَنَا ُس ْفيَا ُن َع ْن ِّ الزْى ِر َ ي َع ْن َع ْبد اللاو َوال َ ْح ٍ ِابْ نَي ُم َح ام ِد بْ ِن َعلِ ٍّي َع ْن أَبِي ِه َما َع ْن َعلِ ِّي بْ ِن أَبِي طَال ب أَ ان النابِ اي ْ ِ ِ صلاى اللاو علَي ِو وسلام نَهى عن م ْت ع ِة الن ْح ُم ِر َ ُ َْ َ َ ََ ْ َ ُ َ ُ ِّساء َو َع ْن لُ ُحوم ال َ ْاْلَ ْىلِيا ِة َزَم َن َخ ْيبَ َر 1121. Ibnu Abu Umar menceritakan kepada kami, Sufyan memberitahukan kepada kami dari Zuhri, dari Abdullah dan Hasan -keduanya anak Muhammad bin Ali- dari ayahnya, dari Ali bin Abu Thalib: Ketika perang Khaibar Rasulullah SAW melarang menikahi perempuan-perempuan dalam waktu sementara (nikah mut'ah) dan melarang (memakan) daging-daging Khimar kampung. Shahih: Ibnu Majah (1961) dan Muttafaq 'alaih 2. Pendapat Ulama’ Tentang Nikah dengan Niat Talak
44
Para ahli fiqh sependapat, bila seseorang menikah dengan perempuan tanpa menyebutkan batas waktu tertentu, tetapi di dalam hatinya ada niat akan mentalaknya beberapa saat kemudian, atau beberapa saat setelah urusan di negeri itu selesai, maka akad nikahnya sah. Tetapi Imam Auza‟I berbeda dengan pendapat ini, beliau menganggap hal tersebut sebagai nikah mut‟ah (Sabiq, 2000: 69). Sedangkan Imam nawawi dalam kitabnya yang berjudul Syarah Shohih Muslim jus 9/181 juga mengemukakan pendapatnya tentang pernikahan dengan niat talak adalah sebagai berikut:
ِ َوبِ ِو، ك ُم ْج َم ًعا َعلَْي َها أَبَ ًدا َ ِصيِّر ال َْم ْسأَلَة بَ ْعد ذَل َ ُالْخ ََلف َوََل ي ِ ال الْ َق ِ ال الْ َق َج َمعُوا َعلَى أَ ان َ َ ق، اضي أَبُو بَ ْكر الْبَاقِ اَلنِ ّي َ َق ْ َوأ: اضي
ِ احا ُمطْلَ ًقا َونِياتو أ اََل يَ ْم ُكث َم َع َها إِاَل ُم ادة نَ َو َاىا ً َم ْن نَ َك َح ن َك ِ فَنِ َكاحو َوإِنا َما نِ َكاح ال ُْم ْت َعة، س نِ َكاح ُم ْت َعة َ َ َولَْي، صحيح َح ََلل ِ َ َ ولَ ِكن ق، شر ِط الْم ْذ ُكور س َى َذا ِم ْن ْ َ ْ َما َوقَ َع بِال ا َ َ لَْي: ال َمالك ِ و َش اذ ْاْلَوَز، أَ ْخ ََلق النااس َوََل َخ ْير، ُى َو نِ َكاح ُم ْت َعة: ال َ اع ُّي فَ َق ْ َ َواَللاو أَ ْعلَم. فِ ِيو. ” Berkata Al Qadhi:” Mereka sepakat bahwa seseorang yang menikah dengan akad nikah mutlak (akad yang memenuhi rukun dan syaratnya), tetapi di dalam hatinya ada niat untuk tidak bersama istrinya kecuali dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan niatnya, maka nikah tersebut sah, dan bukan termasuk nikah mut‟ah. dan sesungguhnya nikah mut‟ah adalah nikah yang dilakukan dengan menggunakan syarat yang 45
disebutkan dan tetapi
imam Maliki mengatakan bahwa nikah mut‟ah
bukanlah akhlak manusia Imam auza'iy menghukumi nikah mutah adalah syadz, maka beliau berkata nikah mut‟ah tidak ada kebaikan di dalamnya dan tuhan yang tahu.” Selain itu, Berkata imam Al Zulqani dari madzhab maliki di dalam syarh al muwatho‟: “ Dan mereka sepakat bahwasannya siapa yang menikah secara mutlak, sedangkan ia berniat untuk tidak bersamanya (istrinya) kecuali sebatas waktu yang diniatkan, maka hal itu diperbolehkan dan bukan merupakan nikah mut‟ah.” ( http://www.ahmadzain.com, akses 23 Desember 2009 ) Alasan dari kedua pendapat tersebut adalah perkawinan tersebut telah memenuhi syarat dan rukun nikah. Masalah hati semua diserahkan kepada Allah SWT, selama ini tidak pernah ada yang menyebutkan niat itu ada dalam syarat dan rukun nikah maupun dalam akad nikah. Ibnu Taimiyyah juga menjelaskan tentang kebolehan nikah dengan niat talak berdasarkan hadits:
ِِ عَِْ ُص َسث َسرَ ْد،َ عَِْ قَضَج َدر،َ أَ ْخذَ َشَّج أَدُ ْ٘ َع َ٘ثَّز،َذَزْٞ ََف َّذعًَْج قُض :ٌٔ ٗسيٞ َّللا عيٚس ْ٘ ُه َّللاِ طي ُ قَج َه َس، َشرَ قَج َهْٝ ُٕ َشْٜ ِعَِْ أَد،َٚأَ ْٗف ٕ َزث،ِٔ ِس َٖج ٍَجىَ ٌْ صَ َنيَّ ٌْ دِ ِٔ أَ ْٗصَ ْع ََ ْو د َ ُ ٍَج َف َّذعَشْ دِ ِٔ أَ ّْفْٜ ِص ََؾج َٗ َص َّللاُ َِلُ ٍَّض ٌ ْٝ َف ِذ أََُّ ثى َّش ُؽ َو:ٌِ ٕ َزث ِع ْْ َذ إٔ ِْو ث ْى ِع ْيَٚ َٗث ْى َع ََ ُو َعي. ٌـْٞ ط ِق َ ٌِس َ ظ َف َ إ َرث َفذ .ِٔ َِضَ َنيَّ ٌَ دٝ َّٚتًج َفضْٞ ش َ َِْ ُنٝ ٌْ َ ى،ق َ َّط َّ ْف ِ سُٔ دِج ثىطَّ ََل 1183. Qutaibah menceritakan kepada kami, Abu Awanah memberitahukan kepada kami dari Qatadah, dari Zurarah bin Abu Aufa, dari Abu Hurairah, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta'ala memaafkan umatku dari
46
apa yang dikatakan di dalam hatinya, selagi belum diucapkan atau dikerjakannya. "(H.R Tirmidzi) Shahih: Ibnu Majah (2040) dan Muttafaq 'alaih. Abu Isa berkata, "Hadits ini hasan shahih." Sebagian ulama berpendapat, jika seorang lelaki mengatakan cerai di dalam hatinya, maka cerai itu tidak akan jatuh selagi tidak diucapkan (secara iisan). Ini adalah pendapat madzhab Jumhur ulama seperti Abu Hanifah, Syafi‟i dan Ahmad. Dan salah satu dari dua pendapat Imam Malik. Tidak mesti apabila syarat pembatasan waktu dalam nikah itu membatalkan nikah, berarti secara otomatis niat mentalak istrinya setelah akad tidak membatalakan nikah juga. Karena niat yang bisa membatalkan itu adalah manakala niat itu bertentangan dengan maksud akad, sementara talak yang terjadi setelah beberapa saat akad berlangsung adalah suatu hal yang boleh, tidak bertentangan dengan maksud akad hingga talak itu diucapkan. Adapun nikah dengan niat talak, hak kepemilikannya tetap mutlak. Barang kali niatnya berubah lalu dia ingin memiliki selama-lamanya. Itu sah-sah saja, sama halnya dengan seseorang yang menikah dengan niat hidup langgeng, kemudian dia menceraikan istrinya, itu juga boleh. Meskipun diawalnya dia berniat apabila wanita itu menyenangkan, maka pernikahannya akan dia pertahankan, namun apabila tidak menyenangkan maka pernikahannya cukup sampai di sini. Hal itu pun boleh-boleh saja, namun dengan syarat tidak disyaratkan saat akad berlangsung. Kalaupun disyaratkan saat akad nikah berlangsung, dia akan hidup bersamanya dengan baik atau dia ceraikan pula dengan baik, ini adalah akad yang sesuai dengan syarī‟at Islam, dan itu syarat yang benar menurut jumhur
47
ulama. Seperti syarat yang diberikan oleh Nabi dalam akad jual-beli. Jual beli tidak ada aib, tidak ada dengki dan tidak ada penyembunyian (transparan), Inilah akad yang benar. Husein bin Ali adalah orang yang sering menceraikan istrinya. Barangkali, mayoritas wanita yang dinikahinya, sudah ada di dalam niatnya akan diceraikan setelah beberapa waktu, namun tidak seorang pun yang mengatakan itu nikah mut‟ah. (Sholeh, 2004: 29) Orang yang menikah dengan niat talak juga tidak meniatkan talak sampai waktu yang ditentukan, tetapi sampai kebutuhannya kepada wanita itu selesai dan keperluannya di negeri yang disinggahinya berakhir. Kalaupun dia telah berniat hingga waktu tertentu, bisa jadi niatnya itu berubah, maka tidak ada hal yang menuntut ditentukannya masa pernikahan dan dia menjadikannya seperti sewa-menyewa yang telah ditentukan batas waktunya. Dan tekadnya untuk menceraikan istri yang masih tersimpan di dalam hati saat akad berlangsung, tidaklah membatalkan nikah dan tidak pula makruh kedudukannya bersama wanita itu, meskipun dia telah berniat mentalaknya. Sepanjang pengetahuan kami, tidak ada perdebatan dalam masalah ini. Meskipun ada perbedaan pandangan mengenai yang datang kemudian tentang pembatasan masa nikah seperti penentuan yang dilakukan antara keduanya. Dalam masalah ini, ada dua pendapat yang keduanya itu diriwayatkan dari Imam Ahmad:
48
1. Keduanya harus dipisahkan agar tidak terjadi pembatasan masa pernikahan. Ini juga pendapat Imam Malik. 2. Tidak mesti dipisahkan. Alasannya, karena pembatasan ini datang setelah saat pernikahan berlangsung. Upaya untuk hidup bersama selama-lamanya akan lebih berkesan dibanding bila diniatkan sejak semula. (Sholeh, 2004: 30) Nikah dengan niat talak ini tidak lepas dari dua perkara, yang pertama bisa jadi seseorang menikah itu dengan mensyaratkan akan menikahinya selama satu bulan, satu tahun atau sampai studinya selesai maka ini dianggap nikah mut‟ah dan hukumnya haram. Dan bisa jadi ia berniat melakukan hal itu tanpa mensyaratkannya. Maka pendapat yang masyhur dari mazhab Hanbali bahwa hukumnya adalah haram dan akad nikahnya rusak (tidak sah), karena mereka berkata: sesungguhnya yang diniatkan sama seperti yang disyaratkan. (Aziz, 2010: IslamHouse.com) Berdasarkan hadits:
ُس َِ ْعش َ َّللاُ َع ُْْٔ قَج َهَٜ ض ِ ح َس ِ ض ُع ََ َش ْد ِِ ث ْى َخطَّج ٍ ِف ْفْٜ َِِ أَدْٞ ٍِِْ ِش ث ْى َُ ْؤْٞ ٍِ ََعِْ أ َ ا ٍج ُ َس َ َٗ ِٔ ْٞ َ َّللاُ َعيَّٚطي َ ِس ْ٘ َه َّللا ِ َّجِّْٞ إََِّّج َ ْثَل ْع ََج ُه دِجى:َقٌ ْ٘ ُهٝ ٌَ سي ٍ س َٗإََِّّج َ ىِ ُن ِّو ث ٍْ ِش )ٌ ٍٗسيٙ (سٗثٓ ثىذخجس... َٙ٘ َّ “Sesungguhnya semua amal itu disertai niat dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang dia niatkan”. (HR. Bukhari Muslim). Pernikahan adalah sebuah hal yang diperintahkan oleh agama. Karena itu, harus sesuai dengan ketentuan yang disyari‟atkan oleh agama. Segala macam peraturan tentang pernikahan telah ditetapkan. Tetapi
49
dengan adanya nikah dengan niat talak pengertian dari pernikahan yaitu untuk mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT tidak akan terwujud. Syaikh Rasyid Ridha mengatakan dalam komentarnya pada tafsir Al manar, bahwa ulama‟ salaf dan khalaf yang sangat keras melarang, sekalipun para ahli fiqh berpendapat bahwa akad nikah semacam ini hukumnya sah, sekalipun dalam hati berniat nikah sementara tetapi ketika mengucapkan
ijab
qobul
tidak
dinyatakannya.
Namun
dengan
menyembunyikan niatan hatinya seperti ini adalah merupakan perbuatan menipu dan mengelabuhi pihak perempuan yang sepatutnya dianggap lebih batal dari pada suatu akad nikah yang dengan terang terangan disebutkan niat sementaranya yang secara bersama-sama disetujui oleh pihak laki-laki, perempuan dan walinya. Karena hal itu tidak menimbulkan suatu kerugian, kecuali timbulnya sikap mengabaikan terhadap suatu hubungan yang sangat mulia yang merupakan hubungan kemanusian yang paling besar dan mengakibatkan permainan syahwat bagi yang suka kawin cerai, serta mengakibatkan timbulnya berbagai kemungkinan negatif. Sekalipun nikah di atas tidak dengan tegas menyebutkan adanya sifat sementara, namun ia telah mengandung sifat penipuan dan kebohongan yang mengakibatkan berbagai kerugian lain, seperti rasa permusuhan, kebencian dan hilangnya rasa percaya, sekalipun kepada
50
laki-laki yang dengan sungguh-sungguh bermaksud untuk menikahinya dengan baik-baik. Dimana rasa saling percaya ini merupakan benteng bagi suami istri dan merupakan dasar keikhlasan serta tolong menolong dalam membangun rumah tangga yang baik dikalangan masyarakat. (Sabiq, 2000: 69-70) Imam Auza‟I dalam kitabnya yang berjudul Al-Muharrar Fil Fiqhi „Ala MazhabilImam Ahmad berpendapat “Jika sang suami meniatkan itu (talak) sama halnya dengan ia mensyaratkannya”. Di dalam kitab Muntahal Iradat, ia berkata:”nikah mut‟ah ialah nikah yang memiliki batas waktu tertentu atau disyaratkan talak pada suatu saat nanti atau diniatkan di dalam hati atau seorang perantau yang menikah dengan niat talak saat ia akan pergi lagi”. Dikutip oleh Abu Daud “ Nikah dengan niat talak sama persis dengan nikah mut‟ah. Tidak akan menjadi nikah mut‟ah sehingga ia menikahi istrinya dan menjadikannya sebagai istri selama istrinya itu masih hidup”. (Sholeh, 2004: 37) Diantara ulama‟ yang menganggap makruh ialah Imam Malik dan Imam Ahmad, dalam suatu waktu, Ibnu Taimiyyah juga mengatakan makruh sebagaimana yang terdapat dalam kitabnya Al Fatawa Al Kubro Al Misriyyah “ Dan jika seseorang meniatkan dengan pasti untuk menceraikan isrtinya ketika berakhir masa safarnya, maka hukumnya makruh. Adapun masalah sah atau tidaknya nikah ini, ada perbedaan pendapat”. Dan adapun seorang suami meniatkan batas waktu dan tidak menyatakan pada istrinya, dalam hal ini pun, ada perbedaan pendapat, abu
51
hanifah dan syafi‟I memberikan keringanan sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad serta yang lain mengganggapnya makruh. Para ulama‟ berbeda pendapat dalam masalah nikah dengan niat talak. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa nikah ini boleh alias sah. Berikut pendapat mereka: 1. Madzhab Hanafi Ulama madzhab ini berkata: “Seandainya seorang laki-laki menikahi seorang wanita dan dalam niatnya, dia hidup bersama hanya dalam beberapa waktu tertentu, maka nikahnya tetap sah karena pembatasan waktu yang dilarang itu hanyalah dengan diucapkan”. 2. Madzhab Malik Dalam kitab Al Muntaqa Syahru muwaththa‟ malik al baji berkata: “ Dan orang yang menikahi wanita tetapi bukan untuk memiliki selamanya, melainkan hanya untuk bersenang-senang dengannya dalam beberapa waktu, setelah itu diceraikan, hal itu boleh saja tapi kurang baik dan bukan termasuk akhlak manusia layaknya. Imam Malik berkata: “Kadangkala seorang pria menikahi wanita dengan niat tidak ingin memilikinya, ternyata dia senang dengan pelayanan wanita itu lau dia ingin memilikinya sepenuh hati. Dan kadangkala seorang laki-laki menikahi wanita dan dia ingin memilikinya sepenuhnya sepanjang masa, kemudian dia merasa tidak ada
kecocokan/
keserasian
antara
keduanya
lalu
dia
pun
menceraikannya. Maksud ungkapan itu ialah hal ini tidak menafikan
52
nikah karena bersatu atau berpisah adalah otoritas seorang pria, yang menafikan nikah itu hanyalah pembatasan waktu (tauqit).(Sholeh, 2004: 22-23) 3. Madzhab Syafi‟i Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitab al-Fatāwā al-Kubrā sesungguhnya Abu Hanifah dan syafi‟i memberikan keringanan pada pernikahan ini. Pengarang kitab Nihāyatul Muntaj berkata: “Tidak sah nikah yang berjangka waktu tertentu ataupun tidak tertentu dengan alasan adanya pelarangan nikah mut‟ah. Pada mulanya nikah mut‟ah itu boleh sebagai rukhshoh (keringanan), kemudian dilarang oleh Rasulullah Saw.” (Sholeh, 2004: 25) 4. Madzhab Hanbali Di antara orang yang membolehkan nikah semacam ini adalah Ibnu Qudamah al-Maqdisiy dalam kitabnya al-Mughni: “jika seorang laki-laki menikahi wanita tanpa syarat apapun, namun dalam hatinya ada niat yang terkandung bahwa dia akan menceraikannya sebulan mendatang atau setelah keperluan/ tugasnya selesai di negeri itu, maka nikahnya sah menurut mayoritas ulama (jumhur) kecuali alAuzā‟ī. Sementara al-Auzā‟ī berpendapat itu sama dengan nikah mut‟ah. Yang paling benar nikah itu tidaklah sah, nikahnya tidak rusak akibat niatnya itu. Seorang suami mesti berniat saat akad untuk tetap mempertahankan istrinya. Boleh saja, jika dia merasa serasi
53
dengannya, dia akan mempertahankannya, jika tidak dia boleh menceraikannya. As Syarif berkata: “ Diceritakan dari Imam Ahmad, jika seorang pria melaksanakan akad nikah sedang hatinya ada niat untuk tahlil atau niat untuk talak dalam masa waktu tertentu, maka nikahnya tidak sah. (Sholeh, 2004: 26-27) Nikah dengan niat talak tidak sesuai dengan syari‟at islam karena itu hukumnya haram dan batil. Apabila niat pelakunya diketahui, maka keduanya wajib dipisahkan, jika pelakunya mengetaahui hukum nikah tersebut, maka ia wajib dita‟zir. Apabila tidak ada seorang pun yang tahu niat yang terkandung dalam hatinya, maka nikahnya sah secara lahir dan batil secara batin. (Sholeh, 2004: 40)
54
BAB III PAPARAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang 1. Letak Geografis Desa Wonoyoso Desa wonoyoso terletak di Kecamatan Pringapus dan merupakan salah satu desa yang dekat dengan kawasan industri. Meskipun begitu letaknya jauh dari perkotaan. Desa Wonoyoso merupakan desa yang tergolong luas yang terbagi menjadi 7 Dusun yakni: Dusun Dawung, Dusun Joho, Dusun Larangan, Dusun krajan, Dusun Rejosari, Dusun kawah, Dusun Sambeng. Terletak dikawasan pabrik, itulah penyebab
jalan lintasan menuju
Desa Wonoyoso rusak karena sering dilewati truk-truk besar. Selain itu, udara di Desa Wonoyoso pun panas karena banyak sekali lahan resapan,
55
pohon-pohon
yang
ditebang
karena
digunakan
sebagai
pabrik.
Masyarakatnya pun kebanyakan berkerja sebagai buruh pabrik. Katika pagi datang mereka sudah bersiap untuk bekerja dan ketika malam mereka baru pulang bekerja. Mengenai rasa sosial, masyarakat di Desa Wonoyoso sama seperti halnya masyarakat pada umumnya, kegotong royongan di Desa ini masih terjaga dengan baik.
2. Stuktur Organisasi Desa Wonoyoso Struktur organisasi dan tata kerja Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang adalah sebagai berikut:
KEPALA DESA SUTIMIN
SEKERTARIS DESA SUGIYANTO
KEPALA SEKSI KEUANGAN MARYADI
KEPALA URUSAN PEMERINTAH A. ZAMASRI
56
KEPALA URUSAN PEMBANGUNAN ST. SUROTO
KEPALA SEKSI UMUM DARSONO
KEPALA URUSAN KEMASYARAKATAN RUTAMI
KADUS SAMBENG AGUS NUGROHO
KADUS KAWAH SUTRASNO
KADUS REJOSARI SAEFUDIN
KADUS KRAJAN NGATIYARNO
KADUS LARANGAN LASISNO
KADUS JOHO M. AROFIQ
Sumber: bagan struktur organisasi kantor Kepala Desa Wonoyoso
3. Jumlah Penduduk Desa Wonoyoso Jumlah penduduk Desa Wonoyoso 6208 jiwa dengan jumlah laki-laki 3028 jiwa dan perempuan 3180 jiwa. Agar lebih jelas dan rinci diklasifikasikan jumlah penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin dengan table berikut: Table 1 Penduduk Desa Wonoyoso berdasarkan Usia dan jenis kelamin NO
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
JUMLAH
1.
KELOMPOK UMUR (Tahun) 0>1
70
62
132
2.
1>5
221
225
446
3.
6 > 10
245
236
481
4.
11 > 15
228
240
468
5.
16 > 20
280
298
578
6.
21 > 25
295
315
610
57
KADUS DAWUNG SUJITO
7.
26 > 30
305
326
631
8.
31 > 40
521
583
1104
9.
41 > 50
342
361
703
10.
51 > 60
281
283
564
11.
60 Keatas
240
251
491
3028
3180
6208
JUMLAH
Sumber: Data monografi kependudukan Desa Wonoyoso Oktober 2014
a. Keadaan Desa Wonoyoso berdasarkan mata pencaharian Sesuai dengan letak Desa Wonoyoso yang
berada jauh dari
perkotaan dan lebih dekat dengan kawasan industri. Maka sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan buruh pabrik. Perkerjaan tersebut menjadi satu-satunya sumber mata pencaharian kebanyakan orang dari Desa Wonoyoso. Adapun jumlah penduduk berdasarkan mata percaharian mereka dapat dilihat pada table di bawah ini: Table 2 Penduduk berdasarkan mata pencaharian NO
Jenis Mata
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Pencaharian 1.
TNI
8
-
8
2.
POLRI
7
1
8
3.
PNS
29
11
30
4.
Pegawai Swasta
117
129
246
58
5.
Pensiunan
16
10
26
6.
Pengusaha
53
1
54
7.
Buruh Bangunan
190
-
190
8.
Buruh Industri
224
711
955
9.
Buruh tani
487
383
870
10.
Peternak
107
21
128
11.
Petani
651
89
740
12.
Lain-Lain
204
152
359
2093
1508
3601
JUMLAH
Sumber: Data monografi kependudukan Desa Wonoyoso Oktober 2014
b. Keadaan penduduk Desa Wonoyoso berdasarkan keagamaan Berdasaarkan
pengamatan
awal,
tampak
masyarakat
Desa
wonoyoso termasuk masyarakat yang mayoritasa beragama Islam. Hal ini terlihat dari masyarakat yang menganut agama Islam memiliki jumlah terbanyak. Lebih jelasnya dapat dilihat dari table di bawah ini: Table 3 Keadaan penduduk Desa Wonoyoso berdasarkan keagamaan No.
Kelompok Agama
1.
Islam
2. 3.
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
2989
3061
6050
Kristen
55
2
57
Katolik
11
18
29
Sumber: Data Wonoyoso Oktober 2014
monografi
kependudukan
Desa
Meskipun kebanyakan memeluk agama islam tetapi dalam hal agama masih kurang. Banyak sekali anak-anak yang usia sekolah yang
59
menikah kemudian menjadi buruh pabrik. Banyak orang tua yang menganggap itu hal yang sepele karena dibenak mereka hanya bagaimana mencari nafkah. Selain itu remaja-remaja masjid yang seharusnya menjadi penerus, meramaikan masjid tetapi lebih senang nongkrong dari pada harus berada di masjid. Sehingga masjid-masjid banyak diisi oleh orangorang yang sudah tua.
c. Keadaan penduduk Desa Wonoyoso berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat Desa Wonoyoso rata-rata memiliki tingkat pendidikan rendah.
Karena banyak sekali orang tua yang
beranggapan bahwa pendidikan itu tidak penting. Apalagi untuk anak perempuan, karena kodrat orang perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga. Hal ini terlihat dari table berikut: Tabel 4 Keadaan penduduk desa Wonoyoso berdasarkan pendidikan No.
Jenis Pendidikan
Laki-Laki
1.
Tidak Sekolah
96
84
180
2.
TK/Play group
123
114
237
3.
Belum Tamat SD
328
322
650
4.
Tidak tamat SD
423
448
871
5.
Tamat SD
890
793
1683
60
Perempuan Jumlah
6.
Tamat SLTP
471
382
853
7.
Tamat SLTA
229
217
446
8.
Tamat Akademik/Diploma
16
22
38
9.
Sarjana keatas
25
19
44
2601
2401
5002
JUMLAH
Sumber: Data monografi kependudukan Desa Wonoyoso Oktober 2014
B. Pernikahan dengan niat talak di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Subyek adalah dua pasangan pelaku pernikahan dengan niat talak di Desa Wonoyoso, tepatnya di Dusun Rejosari. Nama dari seluruh subyek baik pelaku maupun informan dalam penelitian ini disamarkan untuk melindungi hak masing-masing subyek dan informan. Keterangan masing-masing pihak akan peneliti paparkan sebagai berikut: 1. Pasangan Anto dan Riya (Nama Samaran) Pasangan ini menikah sejak tahun 2012, dan kini anaknya telah berusia 3 tahun. Kehidupan sehari-hari Riya adalah pengangguran. Dulu dia pernah sekolah tetapi hanya sampai sekolah dasar itu pun tidak sampai lulus. Menurut keterangan tetangga, Riya itu menderita keterbelakangan mental. Sehari-hari kegiatan dia di rumah hanya membantu orang tuanya membersihkan rumah dan lainnya. Dia juga dikenal sebagai orang yang
61
pendiam. Dia jarang sekali berkunjung kerumah tetangganya, jika ditanya pun jarang menjawab. Tetapi Riya dikenal para tetangga seorang yang rajin ke mushola. Terkadang sebelum sholat dimulai biasanya imam mushola yang bernama pak Hari sering memintanya untuk memijit setelah itu diberi upah. Sampai suatu hari, Riya sering datang ke mushola sebelum sholat subuh. Mula-mula tetangganya biasa saja karena memang dia terkenal rajin ke mushola. Sampai suatu hari terdebar berita bahwa dia telah hamil. Berita tersebut mulai terungkap kebenarannya saat Riya datang kepada pak RT setempat dan mengadu bahwa dia hamil. Menurut keterangan adik ipar pak Hari, bu Siti saat diwawancarai oleh peneliti: “ waktu itu dia datang kerumah pak Rt mbak, kemudian bilang kalau hamil. usia kandungan sudah 4 bulan. Kebetulan pak RTnya itu bapak saya, saya ya kaget sekali mendengarnya. Trus Riya itu di tanya sama pak RT: “La kok iso? Karo sopo? “karo pak guru, Jawabe ngunu”. Pak guru itu seng biasa ngimami mushola mbak, dia juga guru di SD. Dan dia itu kakak ipar saya sendiri. Bar ngunu pak Rt manggil pak Hari kerumah, disidang karo pak Kadus dan perangkat lainnya. Pak hari ditanya, “opo bener pak Riya hamil kaleh jenengan?”. Pak Hari jawab, geh pak”. Berita tersebut sangat cepat tersebar keseluruh Dusun. Karena menghindari berbagai macam omongan warga yang semakin memanas. Akhirnya dengan keputusan bersama antara pihak keluarga dari Riya dan pak Hari, maka pak Hari bersedia mencarikan orang yang mau menikahi Riya. Selain itu, pak Hari bersedia untuk menanggung ganti rugi dan semua biaya pernikahan Riya. Ada seorang yang mau menikahi Riya tetapi dengan imbalan satu buah motor, dia bernama Anto yang sehari-
62
harinya bekerja serabutan, dia tinggal sendiri di rumah karena ibunya pergi entah kemana dan bapaknya telah meninggal. Dari keterangan Anto dia sudah tahu kalau sebelum menikah Riya telah hamil dengan pak Hari. Waktu itu, Anto diminta oleh pak Dahlan sahabat pak Hari untuk menikah dengan Riya. Anto berunding dengan teman-temannya dan memutuskan untuk menerima permintaan pak Dahlan tetapi dengan syarat dibelikan satu buah motor vega dan uang. Dari Awal Anto telah meniatkan bahwa dia akan menikahi Riya sampai anak yang dikandung Riya lahir. Setelah anak yang dikandung Riya lahir Anto tidak mau lagi berurusan dengan Riya dan keluarganya, dia beranggapan bahwa pernikahannya pun telah selesai meskipun tanpa diselasaikan di Pengadilan. Dari keterangan Anto saat ditanya oleh peneliti apa motivasinya mau menikahi Riya Anto menjawab: “Ya kan aku ora arep nikahi sak lawase mbak, Cuma sampek anake lahir bar ngunu wes tak tinggal. Mboten ajeng dangu-dangu urusan kalih Riyal an keluargane. Ya motor kui kan minongko opahku wes gelem nikahi, kui ya ra tak enggo dewe mbak motore. Motor kui kulo dol trus artone kulo bagi kalean koncoku mbak” Pernikahan tersebut dilangsungkan di KUA kecamatan pringapus, dengan dihadiri orang tua dan dua orang saksi yang salah satunya adalah ketua RT setempat. Sedangkan dari pihak Anto juga hanya ditemani oleh dua orang saksi yaitu tetangga dari Anto. Saat RT setempat ditanya oleh peneliti apakah ketua KUA tersebut tahu kalau Riya telah hamil dan yang menikahinya bukan orang yang menghamiliya, ternyata ketua KUA tersebut tidak mengetahuinya. Berikut keterangan dari ketua RT setempat:
63
“mboten mbak. Nek ngertos mesti mboten purun nikahke. Ya sengojo mboten dikandani mbak, menawi si Riya pun hamil trus seng nikahi mboten seng hamili”. Hal itu dibenarkan oleh ketua KUA kecamatan Pringapus, berikut keterangan beliau: “Iya. Pernikahan tersebut memang berlangsung di sini. Tetapi tidak ada pemberitahuan kalau si Riya sebenarnya telah hamil. mungkin sudah dikondisikan terlebih dahulu disana. Kalau mungkin mereka mau mengolah sedemikian rupa itu monggo. Yang pasti saya mengikuti pengakuan mereka. Untuk selanjutnya itu menjadi tanggung jawab dari mereka”. Setelah pernikahan antara keduanya berlangsung, Anto tidak dibelikan motor vega melainkan motor Jupiter. Karena hal tersebut, sehingga menuai konflik antara Anto, pak Hari dan keluarga Riya. Hal tersebut semakin memperkuat niat Anto untuk secepatnya meninggalkan Riya. Setelah anak yang dikandung Riya lahir, Anto benar-benar melakukan niatnya untuk meninggalkan Riya. Dia pun pergi dari rumah Riya dan pulang ke rumahnya sendiri di Desa Klepu dan semenjak saat itu Anto tidak lagi berhubungan dengan Riya dan keluarganya. Ketika ditanya kenapa tidak diselesaikan di Pengadilan, Anto menjawab: “Kulo pun luweh mbak. Pun mboten ajeng ngurusi maleh mbak, seng penting Riya wes dudu bojoku saiki. ”. Sampai sekarang tidak ada kelanjutan dan kepastian tentang pernikahan keduanya. Yang pasti Anto saat ini sudah tidak menggangap Riya sebagai Istrinya dan tidak mau lagi berurusan dengan dia dan keluarganya. Anto sudah tidak pernah lagi berkunjung ke rumah Riya,
64
menurutnya ketika dia sudah keluar dari rumah Riya berarti pernikahan mereka pun selesai. 2. Pasangan Ida dan Riyan Pasangan ini menikah sejak tahun 2009 di KUA Kecamatan Pringapus. Pernikahan tersebut dilaksanakan di rumah Ida di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Ida menikah ketika berusia 30 Tahun. Sehari-hari dia bekerja sebagai buruh pabrik. Pernikahan mereka hanya berjalan selama dua bulan saja. Selama pernikahan mereka belum dikaruniai seorang anak. Awal mula terjadi pernikahan mereka adalah saat Riyan berkunjung ke rumah tetangga Ida yang bernama Sandi. Saat bersamaan pula Ida berada di sana, Riyan merasa tertarik saat pertama kali melihat Ida. Karena merasa tertarik Riyan memberi tahu Sandi kalau dia ingin melamar Ida. Sandi menyampaikan hal tersebut kepada keluarga Ida. Sebenarnya Ida kurang suka dengan Riyan tetapi, karena usia Ida yang sudah tidak muda lagi. Akhirnya Ida pun menerima pinangan Riyan, karena pertimbangan untuk menghilangkan pandangan orang tentang dirinya yang sudah tua belum menikah seperti paparan Ida berikut: “Ya sebenere aku ra seneng karo wong kui mbak la tapi aku terpaksa. Ngoyak umur, umure selak tuo. Jane aku ya wegah wes ra sreg kat awal la tapi trus ngoyak umur barang. Ben ora diomongke tonggo barang. Kebeneran wonge yo ra genah”. Setelah pernikahan, Ida bertempat tinggal di rumah Riyan di Kecamatan Bergas. Dari mulai awal pernikahannya dengan Riyan, dia mengaku tidak pernah sekali pun ada ketentraman dalam rumah
65
tangganya. Setiap hari jika mereka bertemu selalu terjadi pertengkaran. Hal yang kecil pasti berdampak pada pertengkaran yang besar, ditambah lagi sikap Riyan yang tempra mental dan suka menghambur-hamburkan uang Ida. Ketika terjadi pertengkaran Riyan kerap kali memukul Ida. Selain itu, selama mereka menikah Riyan tidak pernah sekalipun memberi nafkah kepada Ida.
Ternyata sebenarnya Riyan menikah dengan Ida
hanya ingin memperoleh keuntungan dari Ida. Riyan hanya ingin uang Ida saja, uang dari hasil pernikahan mereka berdua pun diminta oleh Riyan dan dihabuiskan sendiri. Riyan sedang sangat membutuhkan uang, karena dia terdesak hutang. setelah semua didapat ternyata Riyan sudah punya rencana untuk menceraikan Ida. Pada saat diwawancarai Ida mengaku pada peneliti: “Selama nikah wae blas gak tahu ngekei duit koh mbak cek sewu po limanguwu gak tau blas mbak. Malah kunu seng sering jaluki duitku. Biyen pas entok sumbangan nikah wae duite dijaluk kabeh mbak. Wonge ya kerja mbak. Tapi ya gak ngerti duite digawe opo. Mesti entek mbak nek bali engko duitku gaji dijaluk sampek awakku kuru banget pas nikah mbek Riyan mbak”. Sampai akhirnya setelah dua bulan Ida menjalani rumah tangga bersama Riyan. Terjadi perceraian diantara mereka berdua, hal tersebut diawali saat Riyan baru pulang dan langsung meminta uang pada Ida, tetapi Ida tidak mau memberi Riyan uang dan akhirnya terjadi percekcokan antara mereka dan yang berujung kata cerai. Ida pun memutuskan untuk pergi dari rumah Riyan dan kembali ke rumah orang tuanya yang ada di desa Wonoyoso. keluarga Ida sempat kaget melihat
66
Ida pulang kerumah dengan membawa semua pakaiannya. Saat ditanya sang kakak menjawab: “Ya kaget mbak koh bali gowo klambi akeh. Tapi sebelumnya sudah ada tanda-tanda mbak, Ida sering pulang ke rumah dan menangis kalo ditanya katanya tengkar sama suaminya, Itu tidak hanya sekali, dua kali saja tapi sering mbak”. Saat Riyan ditanya oleh peneliti tentang maksudnya menikah dengan Ida dapat diperoleh keterangan bahwa sebenarnya dia juga tidak benar-benar menyukai Ida. Dia hanya ingin menikah dengan Ida untuk memperoleh keuntungan saja dari Ida dan keluarganya setelah itu dia bermaksud untuk menceraikan Ida. Karena itu saat Ida pergi dari rumah dia membiarkan saja dan tidak berkeinginan untuk memperbaiki rumah tangganya lagi karena dia sudah merasa telah mendapatkan yang dia inginkan. Dia juga tidak punya keinginan untuk mengurusnya dipengadilan karena dia tidak mau keluar biaya untuk hal tersebut. Selain itu, menurut pemaparan Riyan, dia pernah mengucapkan kata talak pada Ida, saat Ida masih tinggal di rumah Riyan itu saja sudah cukup dan tidak perlu harus susah-susah sampai pengadilan. Setelah kepergian Ida dari rumah, Riyan sama sekali tidak pernah lagi datang menemui Ida dan keluarganya meski hanya sekedar Silaturrahim dan meminta maaf atas segala perlakuannya kepada Ida. Setelah 4 bulan berjalan tidak ada kejelasan hubungan pernikahannya dengan Riyan. akhirnya Ida memutuskan untuk bekerja di Luar Negeri untuk menyambung hidupnya. Dia bekerja di Luar Negeri selama kurang
67
lebih 3 tahun. Kemudian dia kembali ke Indonesia dan mengajukan gugatan cerai kepada Riyan.
BAB IV ANALISIS A. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Pernikahan dengan Niat talak Pernikahan yang sesuai dengan agama Islam adalah suatu pernikahan yang sesuai dengan apa yang telah ditetapkan Allah SWT kepada kita, lengkap dengan rukun dan syaratnya, tidak ada penghalang yang menghalangi keabsahannya, tidak ada unsur penipuan dari kedua belah pihak baik suami maupun istri atau pun salah satunya, serta niat kedua mempelai sesuai dengan tuntunan syari‟at Islam. Semua pernikahan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT sah lahir dan batin. Akan tetapi tidak semua pernikahan itu sah lahir batin sesuai dengan syari‟at sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah SWT. (Shaleh, 2004: 40)
68
Sebenarnya banyak ulama yang memperbolehkan nikah dengan niat talak seperti halnya yang dikemukan Para ahli fiqh, bila seseorang menikah dengan perempuan tanpa menyebutkan batas waktu tertentu, tetapi di dalam hatinya ada niat akan mentalaknya beberapa saat kemudian, atau beberapa saat setelah urusan di negeri itu selesai, maka akad nikahnya sah. Seperti halnya pernikahan dengan niat talak yang dilakukan oleh pasangan nikah dengan niat talak di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang, akad nikah seperti hal nya pernikahan biasa. Dilakukan di KUA kecamatan Pringapus tetapi mereka telah mempunyai niatan bahwa pernikahan yang mereka lakukan tidak untuk selamanya, setelah masanya tiba maka
mereka
akan
menyudahi
pernikahannya.
Kalau
dilihat
dari
pernikahannya yang telah memenuhi syarat dan rukunnya maka pernikahan tersebut menupakan pernikahan yang sah. Banyak para ulama‟ berbeda pendapat dalam hal ini, antara yang membolehkan secara mutlak, boleh tapi hukumnya makruh dan yang mengatakan haram dan batil. Jika kita mengkaji hukum nikah dengan niat talak ini berdasarkan syari‟at Islam, maka banyak sekali unsur pernikahan yang tidak terpenuhi. Seperti halnya tujuan pernikahan dan prinsip-prinsip pernikahan. Pasangan Riya dan Anto ini menikah karena Riya terlebih dahulu hamil. tetapi bukan dengan Anto laki-laki yang menikahinya, melainkan dengan pemuka agama di Desa tersebut. Anto menikahi Riya hanya karena imbalan yang akan di perolehnya. Setelah hadiah tersebut diterima dan Riya
69
telah melahirkan anaknya, maka Anto telah berniat untuk meninggalkan Riya. Niat tersebut telah direncanakanya sejak pernikahan tersebut belum dilaksanakan. Setelah pernikahan mereka dilaksanakan dan anak yang dikandung Riya telah lahir Anto benar-benar melaksanakan niatnya untuk meninggalkan Riya. Sedangkan pasangan Ida dan Riyan ini menikah dikarenakan Ida telah berusia 30 tahun dan belum juga memiliki suami. Setelah ada seseorang yang nama Riyan berniat menikahinya Ida pun bersedia. Setelah menikah ternyata Riyan adalah orang yang tempra mental. Riyan menikahi Ida sebenarnya hanya ingin mendapat keuntungan saja. Dia hanya ingin mendapatkan uang yang sebanyak-banyaknya dari Ida dari hasil kerja Ida di pabrik. Setelah semua didapatkan Riyan sudah berniat menceraikan Ida. Hal tersebut benarbenar terjadi setelah dua bulan pernikahan mereka. Riyan mengucapkan talak pada Ida. Kemudian, Ida pun kembali kerumah orang tuanya yang ada di Desa Wonoyoso. Dari pernyataan tersebut terbukti adanya praktek pernikahan dengan niat talak sebagaimana dikemukakan oleh Sholeh bin Abdul Aziz Al manshur dalam bukunya (2004: 22-23) Nikah dengan niat talak ialah pria menikahi wanita dan di dalam hatinya (niat) akan menceraikan wanita tersebut setelah selesai masa study atau domisili atau kebutuhannya telah terpenuhi/ selesai. Niat talak tersebut dapat dilihat dari tujuan pernikahanya yang hanya untuk sementara saja, untuk mendapatkan hadiah, untuk memperoleh keuntungan dari pasangannya saja. Selain itu, juga dilihat dari perbuatan
70
pelaku pernikahan dengan niat talak yang benar-benar melakukan apa yang telah diniatkan sebelumnya untuk berpisah dengan pasangannya. Jika kita merujuk dalam Al Qur‟an dan hadits, maka kita akan menjumpai tujuan-tujuan yang agung, tinggi lagi mulia dalam pensyari‟atan suatu pernikahan, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Untuk mendapatkan ketenangan Maksudnya adalah ketentraman yang sempurna antara kedua pasangan suami istri, ketentraman hati, ketentraman jiwa, kedamaian anggota tubuh dan fikiran. Itulah yang dinamakan ketentraman yang sempurna, dan semua itu tidak akan pernah ada tanpa hadirnya cinta dan kasih antara suami dan istri. Sedangkan nikah dengan niat talak tidak akan meimbulkan ketenangan bagi kedua pasangan. Tidak pula ada rasa cinta dan kasih yang murni diantara keduanya. 2. Kekal abadi sepanjang hayat Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa‟:19: 19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Ayat tersebut menjelaskan bahwa pergaulan yang baik akan menimbulkan cinta dan kasih sayang. Selain itu kata Asyiruhunna Bil Ma‟ruf menunjukkan bahwa pernikahan itu dibangun atas dasar selama71
lamanya. Seluruh manusia telah mengetahui bahwa yang diinginkan pelaku dalam pernikahan aladah kelanggengan. Hal tersebut adalah fitrah insani yang diberikan Allah SWT kepada menusia. Karena itu, pergaulan yang dilakukan oleh pelaku nikah dengan niat talak bukanlah pergaulan yang baik. Allah berfirman dalam surat An Nisa‟ tentang pernikahan itu haruslah kekal: 35. dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah menyuruh untuk mencari hakam untuk menghilangkan persengketaan yang terjadi diantara suami istri, menjernikan kekeruhan kehidupan keduanya agar tidak menghilangkan kelanjutan dan kelanggengan rumah tangga keduanya, serta mendorong mereka memeperbaiki dan membenahi niat keduanya. Tidak dirahukan lagi bahwa hal penting dalam rumah tangga adalah untuk kelanggengan kehidupan bahtera rumah tangga yang akan menimbulkan kebahagian kedua belah pihak. Sedangkan
pelaku
pernikahan
dengan
niat
talak
tidak
mengharapkan kekekalan hubungan rumah tangganya. Hal tersebut jelas sangat bertentangan dengan tujuan pernikahan sebagaimana yang telah disyari‟atkan oleh Allah SWT. Selain itu ayat lain yang menjelaskan tentang tujuan pernikahan terkandung dalam surat Ar Ruum:21 yang artinya sebagai berikut:
72
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Selain itu, tujuan pernikahan menurut agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka medirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Sedangkan dalam KHI pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pernikahan itu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Adapun prinsip-prinsip pernikahan yang terdapat dalam UndangUndang Nomor I Tahun 1974 meliputi sebagai berikut: a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Prinsip tersebut bisa diruju‟ pada surah ar Rum:30-31. b. Sahnya perkawinan sangat tergantung pada ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. c. Asas monogamy d. Calon suami dan istri harus telah dewasa jiwa dan raganya. e. Mempersulit terjadinya perceraian. f.
Hak dan kedudukan suami adalah seimbang. Dalam ajaran islam ada beberapa prinsip-prinsip perkawinan yang
meliputi: (1) Prinsip keabsahan dalam memilih jodoh Islam memberi pedoman memilih jodoh yang tepat. Sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori-Muslim yang berbunyi:
73
2047. Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah karena agamanya, maka engkau akan beruntung dan bahagia. (shahih Muttafaq Alaih). Bagi para wali yang ingin menjodohkan perempuan di bawah perwaliannya maka, islam telah memberikan pedoman untuk memilih jodoh yang tepat. sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Titmidzi yang berbunyi: 1084. Qutaibah menceritakan kepada kami, Abdul Hamid bin Sulaiman memberitahukan kepada kami dari Ibnu Ajlan, dari Ibnu Watsimah An-Nashri, dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Apabila ada orang yang agama dan budi pekertinya baik meminang (anak-anak perempuan dan kerabat) kalian, maka kawinkanlah dia. Jika kalian tidak melaksanakannya, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan'." (H.R Tirmidzi) Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa memilih jodoh yang tepat menurut ajaran agama islam adalah pilihan atas dasar pertimbangan kekuatan jiwa, agama dan akhlak. Hal tersebut sangatlah penting karena pernikahan bukan semata-mata kehidupan duniawi, tetapi juga untuk membina kehidupan yang sejahtera lahir dan batin serta menjaga keselamatan agama dan nilai-nilai moral anak keturunan. Meskipun demikian, islam juga mengatur faktor-faktor lain yang sudah tentu sangat ideal. (2) Prinsip mawadah wa rahmah Tujuan pernikahan adalah untuk dapat keturunan dan untuk ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih sayang. Semua itu
74
hanya dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa pernikahan itu untuk selamanya. Bukan sekedar dalam jangka waktu tertentu saja. (3) Prinsip saling melengkapi dan melindungi Dalam hukum islam tidak selamanya laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ketika seseorang itu memutuskan untuk melakukan suatu pernikahan maka masing-masing harus merelakan hak kebebasan seperti sebelum menikah. Masingmasing mempunyai kewajiban baru seperti suami wajib melindungi istri dan anak-anaknya, wajib memberi nafkah dan sebagainya, istri wajib melayani keperluan suami seperti ketentuan yang ada. (4) Prinsip Mu‟asyarah bil Ma‟ruf Merawat cinta kasih dalam keluarga ibarat merawat tanaman. Maka pernikahan dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu‟asyarah bil ma‟ruf. Rasulullah saw bersabda bahwa: “ Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang yang baik terhadap istrinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap istriku.”. (H.R Thabrani dan Tirmidzi) Dari semua tujuan pernikahan dan prinsip-prinsip pernikahan tersebut tidak ada yang terpenuhi oleh pelaku nikah dengan niat talak. Orang yang menikah dengan niat langgeng atau selamanya memiliki niat yang bersih, murni dan baik, saat dia memulai pernikahan. Adapun menikah dengan niat talak, orang memulai pernikahannya
75
dengan niat jelek, ia memulai dengan tipu muslihat, ia menyimpan rapi niat jeleknya itu. Andaikan ada persengketaan seperti yang telah terjadi pada pelaku pasangan pernikahan dengan niat talak mereka tidak menginginkan perdamaian, karena mereka tidak ingin menambah waktu kelangsungan pernikahannya apabila batas waktu yang telah ditentukannya telah habis. Selain itu, Islam mensyari‟atkan pernikahan adalah untuk melestarikan garis keturunan. Tetapi jika didasari dari awal nikah dengan niat talak maka mereka tidak akan memikirkan tentang keturunan.
Tidak
mungkin
orang
yang tidak
menginginkan
kelanggengan dalam suatu hubungan rumah tangga, menginginkan katurunan. Apalagi pernikahan yang mereka bina baru seumur jagung. Ketika kembali pada asal hukum nikah yang lima, yaitu: a. Nikah Wajib, yaitu bagi orang yang mampu dan akan menambah takwa dan juga untuk menjaga jiwa dan menyelamatkan dari perbuatan haram. b. Nikah Haram, yakni bagi orang yang tahu dirinya tidak mampu hidup berumah tangga melaksanakan kewajiban lahir dan batin. c. Nikah Sunnah, yaitu bagi orang yang sudah mampu tetapi masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, maka lebih baik menikah.
76
d. Nikah Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk menikah dan dorongan untuk menikah tidak membahayakan dirinya. e. Nikah Makruh, yaitu bagi yang mampu untuk menikah, tetapi juga mampu menahan diri dari zina. Hanya tidak mempunyai keinginan kuat untuk memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.(Tihami, dkk, 2010: 11) Dilihat dari asal hukum di atas, jika memang dalam akad nikah niat tersebut diutarakan, maka nikah tersebut yang asalnya mubah akan menjadi haram karena telah sama dengan nikah mut‟ah. Namun, persoalannya dalam akad nikah ini niatnya tidak diutarakan dan hanya ada di dalam hati, sehingga tidak bisa dihukumi karena yang bisa dihukumi hanyalah perkara yang lahir saja. Sebagaimana kaidah ushuliyahnya, yaitu ungkapan dijadikan hujjah menurut keumuman lafalnya bukan karena sebab yang melatarbelakangi. Kaidahnya:
خ َّ ص ثى ِ سذ ِ َُ ْثى ِع ْذشرُ دِ ُع ِ ً٘٘ ثىًّي ْف ِع َل دِ ُخظ “Ungkapan itu berdasarkan keumuman lafaẓ bukan pada kekhususan sebab”. ( Hamid , 1983: 49). Misalnya adalah ketika Nabi Saw. ditanya tentang wudlu air laut padahal waktu itu terdapat air tawar sedikit yang cukup untuk wudlu saja atau untuk minum saja. Jawab Nabi Saw.:
َُٔضضْٞ ٍَ ٕ٘ ثىطَّٖ٘ ُس ٍَجءُٓ ث ْى ِق ُّو َ
77
Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (HR. Thirmiżī dan Ibnu Hibban) Hadis itu tetap menunjukkan kesucian air laut, walaupun air tawar banyak tersedia, karena hujjah itu diambil dari keumuman hadis tersebut bukan asbabul wurūd yang melatarbelakangi adanya hadis itu.(Utsman, 1997:42) Menurut kaidah di atas dapat dianalisis bahwa niat dalam nikah ini tidak ada kepastian hukum, karena memang hanya perkara yang lahir saja yang dapat dihukumi secara pasti. Sehingga, ketika melihat dari perkara lahirnya, yakni akad nikahnya adalah seperti akad pernikahan yang lain (mutlak) tanpa ada syarat apapun yang diutarakan. Maka nikah ini sah-sah saja sebagaimana nikah pada umumnya. Dan adanya niat yang terbersit pada saat akad tidaklah mempengaruhi sahnya nikah tersebut. Namun, dalam kaidah fikih juga terdapat penjelasan mengenai niat (maksud) yang tidak diungkapkan, yaitu:
ْٜ ِّجظ َٗث ْىَذَج َ ث ْى ِع ِ َ َلَ ىِ ْْلَىفْٜ َِّ ثىعق٘ ِد ىيَقَجط ِذ ٗث ْى ََعجِٜذشرُ ف “Yang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafaẓ atau bentuk perktaan.” (Abdul Mujib, 1980: 24). Dalam suatu akad, bila terjadi perbedaan antara maksud (niat) si pembuat dengan lafal yang diucapkan, maka yang dianggap akad adalah niat/ maksudnya, selama yang demikian itu masih diketahui. Misalnya, ada dua orang mengadakan transaksi dengan lafaẓ memberi barang dengan syarat adanya pembayaran harga barang itu, maka
78
transaksi ini dipandang sebagai transaksi jual beli, karena transaksi inilah yang dimaksud atas makna dari si pembuat transaksi, bukan transaksi
pemberian
sebagaimana
yang
dikehendaki
oleh
lafaẓ.(Utsman, 1997:42) Rumah tangga adalah inti dan ujung tombak bagi terciptanya masyarakat yang sholeh. Sedangkan nikah dengan niat talak itu bukan suatu pernikahan yang bisa mencapai terbentuknya keluarga dan ikatan-ikatannya. Bahkan orang yang nikah dengan niat talak itu niat dan tindakannya berdiri untuk memerangi hal itu semua. Dia tidak menginginkan terbentuknya sebuah keluarga dari hasil nikahnya itu. B. Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Nikah Dengan Niat Talak Yang Terjadi Di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Pada kasus nikah dengan niat talak yang terjadi di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang dilatar belakangi oleh beberapa hal sebagai berikut: 1. Kurangnya pengetahuan terhadap makna dari pernikahan Kurangnya
pengeahuan
terhadap
makna
pernikahan
itu
menyebabkan mereka bisa dengan mudah melakukan pernikah kemudian bercerai. Mereka tidak mengetahui bahwa Allah telah mengatur pernikahan itu secara terperinci. Pelaku pernikahan dengan niat talak yang terjadi di Wonoyoso hanya mengetahui bahwa pernikahan itu yang nanti menjadi suami istri. Mereka tidak mengetahui bahwa dalam pernikahan
79
itu terdapat ikatan yang suci, pernikahan itu suatu hal yang sakral bukan sekedar menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. Bahkan ketika mereka ditanya tentang tujuan pernikahan Anto hanya menjawab tidak tahu, karena tujuan dia menikah dengan Riya hanya ingin mendapatkan hadiah saja setelah itu dia akan meninggalkan Riya dan anaknya, tanpa dia punya tanggung jawab sedikitpun terhadap kelangsungan hidup Riya dan anaknya yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya untuk menafkahi karena dia telah bersedia menikahi Riya. Begitu juga dengan Riyan bahkan dia menjadi suami yang ringan tanggan pada istri sering menyakiti fisik istri tanpa dia merasa bersalah dengan setiap perbuatannya. Dia hanya ingin memanfaatkan Ida sebagai sumber penghasilannya. Tanpa sedikitpun pemperhatikan hak-hak Ida sebagai seorang istri. Padahal tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologi dan agama. Di antaranya yang terpenting adalah: a. Memelihara gen manusia, dengan pernikahan manusia akan dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai kalifah dari Allah Swt. Mungkin dapat dikatakan bahwa untuk mencapai hal tersebut hanya perlu melalui nafsu seksual dan tidak harus melalui syari‟at, namun cara tersebut dibenci agama.
80
b. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Di dalamnya terdapat hak-hak dan kewajiban yang sakral dan religius. Seseorang akan merasakan adanya tali ikatan suci yang membuat tinggi sifat kemanusiannya, yaitu ikatan ruhani dan jiwa yang membuat ketinggian derajat
manusia dan menjadi mulia daripada tingkat
kebinatangan yang hanya menjalin cinta syahwat antara jantan dan betina. c. Nikah sebagai perisai diri manusia dari pelanggaran-pelanggaran yang diharamkan agama. Pernikahan itu tidak membahayakan dan juga tidak menimbulkan kerusakan, serta tidak menjerumuskan para pemuda dalam kebebasan. Dalam al-Quran telah terdapat isyarat dalam surat an-Nisāˊ ayat 24 sebagai berikut:
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina”. (An Nisa‟: 24) d. Melawan hawa nafsu, yaitu nikah juga melatih kesabaran terhadap akhlak istri dengan usaha yang optimal memperbaiki dan memberikan petunjuk jalan agama.(Majid, 2009: 41) 2. Kurangnya peran serta masyarakat sekitar khususnya tokoh agama
81
Keberadaan tokoh agama dalam masyarakat tentunya dapat membimbing dan membawa pengaruh masyarakat sekitar kearah yang baik sesuai ajaran agama bukan sebaliknya. Tokoh agama malah menjadi sumber dari suatu masalah dan pelanggaran terhadap hukum-hukum syar‟i seperti yang terjadi di Desa Wonoyoso. Seperti yang telah dilakukan pak Hari pemuka agama di Desa Wonoyoso, tindakan beliau sungguh sangat menyimpang dari ajaran agama. Memanfaatkan ketidak berdayaan Riya untuk memuaskan nafsu biologisnya. Karena perbuatan beliau tersebut yang akhirnya memicu terjadinya pernikahan dengan niat talak antara Anto dan Riya. Selain itu masyarakat setempat dan juga pemuka agama yang lain seperti pak Danang tidak mau ikut campur dalam masalah tersebut padahal mereka mengetahui bahwa hal tersebut bertentangan dengan hukum
syar‟i.
hal
tersebut
dikarenakan,
mereka
tidak
berani
mengingatkan. Pak Danang terutama, beliau adalah adik dari pak Hari dan beliau sangat mengenal sikap pak Hari yang tidak mau diingatkan. Selain itu, keluarga pak Hari termasuk keluarga terpandang dikampung tersebut, sedangkan keluarga Riya dikenal sebagai dukun santet, karena itu tidak ada siapa pun yang berani berkomentar tentang hal tersebut. Mereka hanya berani membicarakan hal tersebut dibelakang mereka. 3. Faktor ekonomi Faktor ekonomi juga menjadi salah satu penyebab terjadinya pernikahan dengan niat talak. Demi mendapatkan keuntungan mereka rela
82
menikah tanpa didasari rasa sayang. Saat pernikahan dilangsungkan yang mereka ingin dapatkan bukan ketentraman dan kebahagiaan dalam rumah tangga tetapi keuntungan yang sebanyak-banyaknya setelah itu mereka tinggalkan pasangannya. Mereka menafikan prinsip dan peraturan Allah demi mendapatkan keuntungan dari hasil pernikahannya.
Meskipun
mereka tahu bahwa pernikahan tersebut tidak baik tetapi dia tetap melaksanakan pernikahan tersebut. Bahkan perangkat desa yang seharusnya bisa menjadi teladan justru malah mendukung terjadinya pernikahan tersebut. Hal tersebut dapat menimbulkan kerugian dari salah satu pihak. Karena itu, seharusnya pernikahan tersebut tidak dilangsungkan. Selain itu, pernikahan dengan niat talak tersebut sangat bertentangan dengan tujuan pernikahan yang terdapat dalam KHI pasal 3 dan syari‟at Islam. 4. Faktor Sosial Selain ketiga faktor di atas, faktor sosial juga menjadi penyebab terjadinya pernikahan dengan niat talak. Pernikahan antara Riya dan Anto terjadi karena alasan agar bayi yang dikandung Riya bisa memiliki status seorang bapak meskipun perbuatan tersebut sebenarnya melawan hukum. Sedangkan pernikahan anara Ida dan Riyan terjadi dengan alas an untuk menolong Ida agar dia tidak dipandang sebelah mata oleh tetangganya karena diusia 30 tahun belum juga mendapatkan suami. Tujuan mereka sebenarnya hanya ingin menutupi aib tetapi tujuan tersebut sebenarnya
83
tidak tercapai karena tetangga mereka telah mengetahui seluk beluk terjadinya pernikahan antara mereka. C. Pendapat Para Ulama’ Tentang Adanya Nikah Dengan Niat Talak Yang Terjadi Di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam Dan KHI Beberapa ulama‟ telah menyampaikan pendapatnya tentang pernikahan dengan niat talak, diantaranya adalah: 1. Ustadz Hamzah Pengurus Pondok Pesantren Darul Fiqh Lamongan Menurut saya pernikahan dengan niat talak yang terjadi di desa wonoyoso itu tidak bagus atau tidak boleh, hal tersebut dinisbatkan dengan seorang muhalil. Seseorang yang muhalil yang menikah tetapi sebelumnya ada perjanjian untuk mentalak. Seperti halnya talak ba‟in itu harus ada muhalil seandainya ingin rujuk kembali. Kalau seandainya muhalil itu sudah dijanji bahwa nanti setelah pernikahan muhalil ini harus menceraikan istrinya agar bisa dirujuk oleh bekas suaminya yang lama maka pernikahan tersebut hanya sekedar bertujuan untuk nikah saja tetapi tidak ada tujuan syar‟i di dalamnya dan untuk kelangsungan hidup yang sempurna hal tersebut menurut saya tidak boleh. Karena pernikahan itu tidak hanya sekedar untuk main-main saja. Allah dalam hadits nabi itu berfirman bahwa sesuatu yang diperbolehkan tetapi yang paling dibenci oleh Allah adalah talak. Firman tersebut salah satunya adalah untuk menjaga suatu rumah tangga agar nantinya tidak mudah terjadi perpecahan dalam sebuah rumah tangga. Dilihat dari KHI
84
pernikah tersebut juga tidak sesuai karena tujuan mula pernikahan tersebut hanya untuk mentalak padahal tujuan pernikahan itu juga untuk membina seatu pernikahan yang langgeng 2. Ustadz Zaenuri Pengurus Al Hikmah Kabupaten Semarang Memang niat itu di dalam hati, jika tidak diucapkan maka tidak akan tahu yang tahu hanya orang yang meniatkan itu. Lalu apakah pernikahan itu sah atau tidak? Kalau dalam hati sudah ada niat seperti itu maka nikahnya tidak sah. Sama saja jika niat itu tidak dilafadkan seperti halnya nikah mut‟ah tapi suatu saat dia bercerita kepada seseorang aku nikah karo kui ora Cuma tak niati kanggo 3 tahun, waktu itu juga nikahnya batal. Kalau nikah mut‟ah ketika akad dilafadzkan bahwa saya menikahi orang tersebut hanya untuk 2 tahun saja sebenarnya tidak perlu menunggu 2 tahun pernikahan tersebut memang tidak sah. Sama rusaknya pernikahan tersebut dengan suatu pernikahan yang terjadi antara seorang muslim dengan wanita non muslim atau sebaliknya. sewaktu nikah duaduanya masuk islam tetapi setelah pernikahan salah satu diantara mereka pindah agama semula maka saat itu juga pernikahan tersebut batal. Saat pernikahan memang sah tetapi saat murtad maka pernikahan tersebut batal. Nikah dengan niat talak mungkin secara dhohir pernikahan tersebut sah karena niat itu hanya pelakunya saja yang tahu tetapi menurut agama hal tersebut tidak boleh. Talak dan nikah itu suatu perbuatan yang tidak sulit, jika nikah harus ada wali, saksi kedua mempelai kemudian ijab
85
qobul pernikahannya sudah sah sama halnya dengan talak meskipun dalam keadaan marah, mabuk, sadar, diniati atau tidak, jika sudah ada kata kamu saya talak tetap jatuh talak. Hukum nikah itu adhohiru tadullu ala batin, tidak ada siapa pun yang tahu hal yang terbesit di dalam hati seseorang jika dilihat dari dhohirnya pernikahan tersebut tetap sah tetapi di ucapkan atau tidak adanya niat talak tersebut menjadikan nikah tersebut tidak sah. Sedangkan nikah dengan niat talak yang terjadi di desa wonoyoso tersebut tidak boleh dilakukan. Karena pernikahan tersebut hanya ingin mencari status saja. Wanita hamil itu tidak boleh dinikah oleh orang yang bukan menghamili. Kalau dinikahi sebelum anaknya lahir maka selama itu tidak boleh dikumpuli setelah anak itu lahir, dia benar-benar suka harus dinikahi lagi. Hal tersebut dikarenakan maslahah dan madhorot yang terdapat dalam iddah. Orang hamil itu iddahnya sampai melahirkan. Jadi tidak boleh dinikahi apalagi bukan yang menghamili yang menikahi. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
ٍ َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َع ْي ي ب َع ْن أَبِ ِيو َع ْن َجدِّهِ أَ ان َم ْرثَ َد بْ َن أَبِي َم ْرثَ ٍد الْغَنَ ِو ا ِ ت ُ ارى بِ َم اكةَ َوَكا َن بِ َم اكةَ بَ ِغ ٌّي يُ َق ْ َال لَ َها َعنَا ُق َوَكان َ َكا َن يَ ْحم ُل ْاْل َ َس ول َ ْت يَا َر ُس َ َص ِدي َقتَوُ ق ُ صلاى اللاوُ َعلَْي ِو َو َسلا َم فَ ُقل ُ ال ِج ْئ َ ت إِلَى النابِ ِّي َ ت { َوال ازانِيَةُ ََل يَ ْن ِك ُح َها إِاَل َ َاللا ِو أَنْ ِك ُح َعنَا َق ق ْ َت َعنِّي فَ نَ َزل َ س َك َ َال ف ٍ َز ال ََل تَ ْنكِ ْح َها َ َان أ َْو ُم ْش ِر ٌك } فَ َد َعانِي فَ َق َرأ ََىا َعلَ اي َوق 2051. Dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwasanya Martsad bin Abi Martsad Al Ghanawi pernah membawa seorang
86
wanita tawanan perang dari Makkah. Di Makkah pada saat itu ada seorang pelacur yang dipanggil Anaq, wanita tersebut dahulu adalah sahabatnya. Ia berkata "Saya mendatangi Nabi SAW dan saya berkata kepadanya, 'Wahai Rasulullah SAW, apakah saya boleh menikah dengan Anaq.' Kemudian Martsad berkata, 'Rasulullah SAW diam, lalu turunlah ayat, "Seorang wanita pezina tidak akan menikah dengannya kecuali seorang yang berzina atau orang musyrik. " Kemudian Nabi memanggil saya, dan membacakan ayat tersebut.' Nabi berkata, 'Jangan engkau menikah dengannya. '"(hasan shahih) Itulah agama, dia menjaga dengan sangat kuat. Maka ada beberapa ulama‟ yang berkata meskipun orang yang menikahi itu yang menghamili setelah anaknya lahir dia harus menikah lagi. Kenapa agama itu menghendaki iddah bagi wanita yang tidak hamil itu 3 bulan 10 hari karena hamil usia 1 bulan itukan belum kelihatan kalau sudah 3 bulan itu pasti kelihatan makanya agama itu menghendaki 3 bulan 10 hari untuk menjaga kehati-hatian tersebut. Sebenarnya KUA itu cuma pencatat nikah saja, memberi surat nikah selesai bukan orang yang memberi hukum. Dalam hal talak juga demikian meskipun 30 kali mengucapkan talak kalau tidak dibawa ke pengadilan tetap masih istrinya. Padahal menurut Islam hal tersebut sudah zina. Orang datang ke KUA ditanya saling suka atau tidak bilang suka pasti dinikahkan padahal tidak berarti orang tersebut bohong, ditanya lagi sudah hamil apa belum jawabnya belum berarti sudah double dosanya. Orang tua jaman sekarang jika ditanya mau menggunakan wali hakim atau dinikahkan sendiri maka pasti dijawab wali hakim padahal yang punya tugas untuk menikahkan adalah bapaknya.
87
Jika dilihat dalam tujuan pernikahan, maka pernikahan dengan niat talak tersebut tidak sah. Sekali lagi pernikahan tersebut hanya sebuah rekayasa belaka untuk mencari status dari anak yang dikandungnya. Seperti halnya ada seseorang yang bilang mas anakku nikah nanti saya kasih satu buah mobil. Orangnya mau nanti waktu di KUA bilang senang berarti orang itu munafik, pernikahannya tetap tidak sah. Dalam tata negara supaya bisa digunakan untuk ngurus surat tetapi dalam agama pernikahan tersebut tidak sah. Yang pasti jika ada ketentuan waktu maka nikahnya tidak sah.
3. Drs. Badwan, M.Ag dosen IAIN Salatiga Fiqh itu kan hanya bagian dari cara pelaksanaan saja, sedangkan agama itu tidak hanya fiqh. Menurut pandangan saya pernikahan tersebut tidak benar. Karena dengan adanya pernikahan tersebut berarti tujuan pernikahan itu sudah tidak benar, kalau sudah tidak benar kenapa harus dilaksanakan. Pernikahan tersebut sebaiknya tidak dilaksanakan. Sekali lagi fiqh itu bukan satu-satunya masih ada yang lain ajaran dalam agama. Dalam
sebuah
hadits
diriwayatkan
oleh
Imam
Bukhari
dan
Muslim rahimahumallah dalam kitabnya “Al-Jaami‟ Ash-Shahiih”:
َّ ًَ َِّاس َرض صلَّى َّللا ُ َعلَ ٌْ ِه َ ًِّ َع ِن ال َّن ِب،َّللاُ َع ْن ُه َما ٍ ْن َعب ِ َع ِن اب َّ َّ «إِن: َقا َل: فٌِ َما ٌَرْ ِوي َعنْ َر ِّب ِه َع َّز َو َج َّل َقا َل،َو َسلَّ َم ََّللا َف َمنْ َه َّم ِب َح َس َن ٍة َفلَ ْم،ك ِ ت َوال َّس ٌِّ َئا ِ الح َس َنا َ ِت ُث َّم َبٌ ََّن َذل َ ب َ َك َت 88
َّ ٌَعْ َم ْل َها َك َت َب َها َفإِنْ ه َُو َه َّم ِب َها،َّللاُ لَ ُه عِ ْندَ هُ َح َس َن ًة َكا ِملَ ًة َّ َف َع ِملَ َها َك َت َب َها ٍ َّللاُ لَ ُه عِ ْندَ هُ َع ْش َر َح َس َنا ت إِلَى َسب ِْع مِا َئ ِة َو َمنْ َه َّم ِب َس ٌِّ َئ ٍة َفلَ ْم ٌَعْ َم ْل َها َك َت َب َها،ٌٍِرة َ ضِ عْ فٍ إِلَى أَضْ َعافٍ َكث َّ َفإِنْ ه َُو َه َّم ِب َها َف َع ِملَ َها َك َت َب َها،َّللاُ لَ ُه عِ ْندَ هُ َح َس َن ًة َكا ِملَ ًة َّ َّللاُ لَ ُه »َس ٌِّ َئ ًة َوا ِح َد ًة Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang beliau riwayatkan dari rabbnya (hadis qudsi) azza wa jalla berfirman, yang beliau sabdakan: "Allah menulis kebaikan dan kejahatan," selanjutnya beliau jelaskan: "Siapa yang berniat kebaikan lantas tidak jadi ia amalkan, Allah mencatat satu kebaikan di sisi-Nya secara sempurna, dan jika ia berniat lantas ia amalkan, Allah mencatatnya sepuluh kebaikan, bahkan hingga dilipat-gandakan tujuh ratus kali, bahkan lipat-ganda yang tidak terbatas, sebaliknya barangsiapa yang berniat melakukan kejahatan kemudian tidak jadi ia amalkan, Allah menulis satu kebaikan disisi-Nya secara sempurna, dan jika ia berniat kejahatan dan jadi ia lakukan, Allah menulisnya sebagai satu kejahatan saja."
Hadits tersebut menunjukkan bahwa apa yang terkandung dalam hati itu menjadi penting dalam setiap perbuatan. Kenapa nabi selalu mengingatkan barang siapa yang berbuat baik meskipun belum dikerjakan mendapat satu pahala, itukan bukti bahwa apa yang ada dalam hati itu juga penting. Dan jika hal tersebut dilakukan dalam sebuah pernikahan berarti itu tidak boleh, itu mengapa harus dihindari. Apalagi jika yang salah satunya tidak tahu berarti ada unsur penipuan juga. Kalau dilihat dari sudut pandang KHI pasal 3 pernikahan tersebut semakin tidak sejalan. Kalau dipertanyakan kenapa padahal sarat dan rukunnya terpenuhi Islam malah melarang, alasannya karena fiqh itu tidak satu-satunya masih ada aspek hukum yang lain. Terutama adanya hadits
89
nabi yang merapkan aspek hati, dan itu menjadi penting untuk diperhatikan.
Pernikahan
memang
sah
tetapi
sebaiknya
tidak
dilaksanakan. Contoh lain, emas itu harus dikenai zakat supaya tidak membayar zakat maka emas itu dibelikan tanah karena tanah tidak dikenai zakat itu yang dinamakan kilatul hukmi atau merekayasa hukum. D. Pendapat Peneliti Tentang Pernikahan Dengan Niat Talak Pernikahan dengan niat talak dilihat dari rukun dan syaratnya memang terpenuhi dan jika dilihat dari hal tersebut maka pernikahan tersebut sah. Seperti halnya yang tersebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu majah:
ِ ِ ِ يل َع ْن َع ْب ِد ال ار ْح َم ِن بْ ِن أ َْر َد َك ال َْم َدنِ ِّي َع ْن َ َح ادثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح ادثَنَا َحات ُم بْ ُن إ ْس َمع ٍ ِ ُ ال رس صلاى اللاوُ َعلَْي ِو َ َك َع ْن أَبِي ُى َريْ َرةَ ق َ اى َ َعطَاء َع ْن ابْ ِن َم َ ول اللاو ُ َ َ َال ق ِ ِ ِ ٌ وسلام ثَََل ُاح َوالطاََل ُق َوال ار ْج َعة ُ ث ج ُّد ُى ان ج ٌّد َو َى ْزلُ ُه ان ج ٌّد النِّ َك َ ََ 1184. Qutaibah menceritakan kepada kami, Hatim bin Ismail memberitahukan kepada kami dari Abdurrahman bin Adrak Al Madini, dari Atha, dari Ibnu Mahak, dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Ada tiga perkara yang sungguh-sungguhnya jadi sungguh dan senda guraunya Jadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, thalak, dan ruju'" Shahih: Ibnu Majah (2039) Tetapi menurut peneliti pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan tidak boleh digunakan mainan jadi hadits tersebut tidak bisa digunakan sebagai pedoman untuk kebolehan melakukan pernikahan dengan niat talak. Seperti juga disebutkan dalam kompilasi hukum Islam pasal 2 tentang pengertian dari suatu pernikah yaitu:
90
“Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Selain itu, niat juga sangat penting perannya karena setiap perbuatan seseorang apakah baik atau buruk itu didasarkan pada niat awal seseorang. Seperti yang tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh bukhori muslim yang berbunyi:
ُس َِ ْعش َ َّللاُ َع ُْْٔ قَج َهَٜ ض ِ ح َس ِ ض ُع ََ َش ْد ِِ ث ْى َخطَّج ٍ ِف ْفْٜ َِِ أَدْٞ ٍِِْ ِش ث ْى َُ ْؤْٞ ٍِ ََعِْ أ َ ا ٍج ُ َس َ َٗ ِٔ ْٞ َ َّللاُ َعيَّٚطي َ ِس ْ٘ َه َّللا ِ َّجِّْٞ إََِّّج َ ْثَل ْع ََج ُه دِجى:َقٌ ْ٘ ُهٝ ٌَ سي ٍ س َٗإََِّّج َ ىِ ُن ِّو ث ٍْ ِش )ٌ ٍٗسيٙ (سٗثٓ ثىذخجس... َٙ٘ َّ “Sesungguhnya semua amal itu disertai niat dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang dia niatkan”. (HR. Bukhari Muslim). Dari hadits sersebut dapat dilihat bahwa niat itu menentukan setiap amal yang dikerjakan oleh seseorang. Jika niatnya baik maka perbuatan itu akan menjadi baik dan jika niat itu buruk maka perbuatan itu akan menjadi buruk. Pernikahan adalah sesuatu yang diperintahkan Allah dan merupakan suatu ibadah jika ketika nikah diniatkan hanya untuk cerai maka tidak ada kebaikan di dalamnya. Selain itu, tujuan dan prinsip pernikahan tidak tercapai seperti yang peneliti amati di lapangan. Pernikahan antara Riya dan Anto serta Ida dan Riyan tidak tercipta rasa cinta dan kasih, sikap saling melengkapi dan melindungi selama pernikahan berlangsung. Selain itu dalam proses pernikahan tersebut ada beberapa unsur yang menjadikan pernikahan tersebut menjadi tidak baik jika dilaksanakan: 91
1. Paksaan Pernikahan yang terjadi antara Riya dan Anto serta pernikahan yang terjadi antara Ida dan Riyan bermula karena terpaksa. Tidak ada keinginan dari kedua pasangan tersebut, hal tersebut dapat terlihat dari awal mula terjadinya pernikahan yaitu agar Riya yang sebelumnya telah hamil dengan pemuka agama di Desa Wonoyoso tersebut mempunyai status sebagai istri orang dan anak yang dikandungnya mempunyai status memiliki ayah. Sedangkan Ida menikah karena umurnya telah mencapai 30 tahun dan belum juga memiliki suami. Berdasarkan dalih tersebut dapat disimpulkan bahwa pernikahan mereka karena terpaksa saja tidak ada rasa saling suka diantara keduanya. Padahal dalam Undang-Undang Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1 telah disebutkan bahwa Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Tidak boleh ada paksaan dari manapun. Dalam Islam juga tidak pernah ada perintah perjodohan. Dalam Islam hanya ada perintah untuk mencari pasangan itu karena hartanya, keturunan, kecantikan dan agamanya. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadits:
ِّساءُ ِْل َْربَ ٍع َ َصلاى اللاوُ َعلَْي ِو َو َسلا َم ق َ َع ْن أَبِي ُى َريْ َرَة َع ْن النابِ ِّي َ ال تُ ْن َك ُح الن ِ لِمالِ َها ولِحسبِ َها ولِجمالِ َها ولِ ِدينِ َها فَاظْ َفر بِ َذ اك َ ت يَ َد ْ َات الدِّي ِن تَ ِرب ْ َ ََ َ َ َ َ َ 2047. Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, karena keturunannya,
92
karena kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah karena agamanya, maka engkau akan beruntung dan bahagia. (shahih Muttafaq Alaih). 2. Mengharap hartanya Dari pernikahan dengan niat talak juga terdapat unsur mengharap harta saja. Meskipun dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim di atas boleh menikah berdasarkan atas kekayaannya tetapi maksud dari hadits tersebut adalah pernikahan yang tidak di dasari atas niat talak seperti halnya yang terjadi di Desa Wonoyoso.
Pernikahan boleh diniatkan untuk mendapatkan kemakmuran tetapi jika pernikahan tersebut ada niat untuk mentalak setelah kebutuhannya selesai maka pernikahan tersebut menjadi tidak boleh untuk dilaksanakan. Seperti Niat Anto sewaktu menikahi Riya yaitu agar mendapatkan satu buah motor dan uang saja setelah apa yang diinginkan tersebut tercapai Anto berniat untuk menceraikan Riya. Hal tersebut tidak beda jauh dengan pernikahan Riyan, dia menikah dengan Ida juga hanya ingin mendapatkan uang dari Ida dari hasil pernikahan mereka berdua juga uang Ida dari hasil kerjanya di pabrik untuk membayar hutang-hutang Riyan pada teman-temannya setelah itu Riyan juga berniat untuk menceraikan Ida.
Selain dari kedua hal di atas, dapat dilihat dari ketiga pendapat yang dikemukakan oleh para ulama‟ yang menyatakan bahwa pernikahan dengan niat talak itu tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan syari‟at Islam juga dengan tujuan pernikahan yang terdapat dalam pasal 3 KHI. Jika dilihat dari dhohirnya maka pernikahan itu sah tetapi dalam
93
konteks keislaman fiqh bukan satu-satunya yang menjadi dasar, masih ada yang lain seperti hadits nabi yang menyerukan tentang pentingnya pemperhatikan aspek yang terdapat dalam hati. “Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi”. Definisi tersebut telah tertulis dalam KHI pasal 1 (c) dengan sangat jelas. Hal ini dalam kaitannya dengan nikah niat talak sangatlah penting, karena mayoritas pernikahan tidak hanya disaksikan oleh dua orang saksi saja, tetapi banyak keluarga yang turut menyaksikan pernikahan tersebut. Jika seorang pria pada waktu akad nikah telah terbersit di dalam hatinya niat untuk menceraikan istrinya suatu saat nanti, apakah dia tidak merasa berdosa karena sama saja dia telah mendustai banyak orang, terutama mempelai
wanita.
Apalagi
ketika
direlevansikan
dengan
tujuan
perkawinan, dalam pasal 3 KHI juga tertulis jelas, yaitu: “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”. Pasal tersebut telah sangat jelas menunjukkan bahwa perkawinan merupakan jembatan bagi seseorang untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, bukan hanya semata-semata untuk besenang-senang. Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia, laki-laki dan perempuan, melainkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah, tentram dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang. Perkawinan juga baru
94
dinyatakan sah jika menurut hukum Allah dan hukum negara, berikut rukun-rukun dan syarat-syaratnya. (Saebani, 2008:15) Tertera pula dalam pasal 2 KHI tentang dasar-dasar perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada BAB I Dasar Perkawinan Pasal 1 juga dinyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menikah dengan niat talak yaitu sang suami yang memulai pernikahannya dengan niat jelek, dia memulai dengan tipu muslihat, menyimpan rapi niat jeleknya itu dari istrinya yang lemah. Maḍarat (kerusakan) yang akan timbul akibat nikah dengan niat talak hampir sama dengan maḍarat yang timbul akibat nikah mut‟ah, tahlīl dan nikah syighār, bahkan lebih parah lagi. Karena wanita yang dinikahi secara mut‟ah dan tahlīl dia mengetahui niat yang terkandung dalam hati suaminya, artinya wanita itu telah memikirkannya secara matang. Ia tidak menginginkan pria itu sebagai suami sejatinya, karena itulah dia tidak mencurahkan cinta dan kasih sayangnya yang murni pada suaminya, begitu pun sebaliknya dengan sang suami. Sedangkan yang disebut nikah dengan niat talak, sang suami seolah-olah menampakkan di hadapan istrinya bahwa dia sangat mencintainya, padahal semenjak akad
95
berlangsung dia memendam niat yang jelek dan itu merupakan pengkhianatan.(Sholeh, 2010:52-52) Apakah ini tidak sama saja dengan dia mendzalimi istrinya? Sedangkan sang istri sangatlah mengharapkan banyak dari pernikahannya tersebut, namun jika benar-benar terjadi perceraian itu, istrinya akan sangat terpukul dan rapuh.
Dalam tujuan perkawinan, terdapat adanya harapan sakinah, mawaddah wa rahmah. Arti dari kata “rahmah” sendiri ialah kasih sayang, baik kasih sayang timbal balik antara suami istri maupun mendapat rahmat dari Allah Swt. Akan tetapi bagaimana pernikahan ini dapat menghadirkan rahmat Allah jika hanya dilakukan untuk memenuhi hawa nafsu belaka. Tentu tujuan pernikahan yang sebenarnya tidak akan tercapai, karena hanya salah satu pihak saja yang mengharapkan terwujudnya tujuan-tujuan tersebut.
Apabila niat di dalam pernikahan dengan niat talak tersebut dikaitkan dengan hukum perdata, maka tidak akan muncul kepastian hukum karena hukum hanya melihat dari lahirnya saja. Dalam perspektif KHI, nikah dengan niat talak tersebut secara lahir relevan dengan KHI pasal 3, karena akadnya sama dengan mayoritas akad yang dilaksanakan orang pada umumnya. Jika
pernikahannya dipertahankan, maka
kemungkinan akan bisa terwujud tujuan perkawinan yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah. Akan tetapi, ketika sang suami ingin benar-benar menjatuhkan talaknya karena tiba masa yang diinginkannya, tidak serta-
96
merta langsung bisa menjatuhkan talak begitu saja. Namun, harus melalui prosedur yang ada seperti alasan-alasan yang diajukan untuk permohonan cerai di Pengadilan Agama (PA).
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari semua yang telah diuraikan oleh peneliti tentang “Pernikahan dengan Niat Talak dan Relevansinya dengan KHI pasal 3 (Studi kasus di Desa Wonoyoso Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)” dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Akad yang digunakan dalam pernikahan dengan niat talak memang menggunakan akad nikah mutlak sebagaimana akad nikah dalam pernikahan biasa, tetapi dihati pelaku pernikahan dengan niat talak terbesit bahwa dia akan menceraikan istrinya jika telah selesai masanya atau
97
kebutuhannya telah selesai. Hal tersebut sangat bertentangan dengan syari‟at Islam dan tujuan pernikahan yang terdapat dalam KHI. Pernikahan dengan niat talak memang hanya perkara yang lahir saja yang dapat dihukumi secara pasti. Sehingga, ketika melihat dari perkara lahirnya, yakni akad nikahnya adalah seperti akad pernikahan yang lain (mutlak) tanpa ada syarat apapun yang diutarakan. Maka nikah ini sah-sah saja sebagaimana nikah pada umumnya. Dan adanya niat yang terbersit pada saat akad tidaklah mempengaruhi sahnya nikah tersebut. Tetapi dalam Islam tidak hanya sekedar menggunakan fiqh saja, ada hukum lain yang pengatur tentang tata cara kehidupan manusia salah satunya adalah pertimbangan sosial, psikologi dan budaya yang menjelaskan tentang pentingnya melihat aspek hati dalam keabsahan setiap perbuatan. Niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan. Oleh karena itu, jika niatnya benar maka perbuatan tersebut benar, dan jika niatnya buruk maka perbuatan tersebut buruk. 2.
Faktor penyebab terjadinya pernikahan dengan niat talak memang tidak lepas dari kurang fahamnya masyarakat tentang arti pernikahan dan tujuan pernikahan sebagaimana yang telah diatur dalam syari‟at Islam. Mereka hanya tahu bahwa pernikahan itu harus ada saksi dan dilakukan di KUA. Tanpa mereka perhatikan bahwa selain itu masih banyak aspek pernikahan yang harusnya juga terpenuhi, bukan hanya sekedar syarat dan rukunnya saja. Faktor ekonomi juga menjadi penyebab terjadinya pernikahan dengan niat talak . karena ingin mendapat keuntungan mereka menafikkan hal
98
yang harusnya terpenuhi dalam suatu pernikahan yaitu niat yang tulus untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawadah wa rahmah. Selain itu, kurangnya peran serta masyarakat dan tokoh agama juga menjadi faktor utama yang melatar belakangi terjadinya pernikahan dengan niat talak. Yang terakhir adalah faktor sosial, mereka berfikir bahwa apa yang mereka lakukan itu dapat menolong pasangannya untuk menutupi aibnya meskipun melawan hukum. Padahal sebenarnya tujuan mereka itu tidak tercapai karena para tetangga mereka telah mengetahui permasalahan mereka. 3.
Perspektif ulama‟, tokoh masyarakan dan akademisi bahwa pernikahan dengan niat talak itu tidak boleh dilaksanakan karena tidak sesuai dengan syari‟at Islam. Selain itu, ada ketentuan yang menyatakan batas waktu meskipun tidak diucapkan saat akad berlangsung, tetapi hal tersebut menjadikan pernikahan dengan niat talak menjadi tidak sah jika dilakukan. Aspek hati juga sangat penting dalam melaksanakan pernikahan, karena rosulullah dalam haditsnya menjelaskan bahwa barang siapa yang berniat melaksanakan kebaikan dan dilakukan maka akan mendapat dua kebaikan. Hadits tersebut terlihat pentingnya aspek niat dalam setiap perbuatan. Pernikahan dengan niat talak juga tidak relevan dengan tujuan pernikahan yang terdapat dalam KHI pasal 3.
B. Saran-Saran Sebagai umat Islam seharusnya kita dapat memilah perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Menjaga diri dari perbuatan munkar, seperti 99
pernikahan dengan niat talak. Apalagi sebagai seorang pelajar sebisa mungkin kita menghindari terjadinya nikah dengan niat talak. meskipun secara lahir pernikahan ini sah karena telah memenuhi syarat dan rukunnya suatu pernikahan tetapi pernikahan tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Jangan sampai dalam kehidupan rumah tangga, ada pihak yang merasa terẓalimi, walaupun secara tidak langsung. C. Penutup Beribu ucapan syukur Alhamdulillah, penyusun bersyukur atas nikmat dan pertolongan-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan karya sederhana ini. Harapannya semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi penyusun juga siapapun yang berkenan membaca karya ini, serta dapat menjadi tambahan wacana dan wawasan dalam kajian hukum Islam. Mengingat keterbatasan penyusun, tentu karya ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penyusun berharap kritik dan saran agar kedepan bisa dijadikan acuan untuk berkarya lebih baik lagi. Wallāhu a‟lamu bi aṣ-Ṣawāb…
100
101