NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN PERSEPSI REMAJA TERHADAP POLA ASUH ORANG TUA OTORITER DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA
Oleh: Iffah Savitri Mira Aliza Rachmawati
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN PERSEPSI REMAJA TERHADAP POLA ASUH ORANG TUA OTORITER DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA
Telah Disetujui Pada Tanggal
_______________________
Dosen Pembimbing Utama
(Mira Aliza Rachmawati, S.Psi., M.Psi)
HUBUNGAN PERSEPSI REMAJA TERHADAP POLA ASUH ORANG TUA OTORITER DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA
Iffah Savitri Mira Aliza Rachmawati
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kemasan komunikasi pada remaja. Hipotesa awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kemasan komunikasi pada remaja. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas 11 SMA Negeri 1 Cilacap, berusia 14-18 tahun, tinggal bersama dengan orang tua kandung dan status orang tua masih hidup. Teknik pengambilan subjek yang digunakan adalah metode purposive sampling. Adapun skala yang digunakan adalah skala persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter yang disusun sendiri oleh penulis berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hurlock (1978) dan hasil adaptasi dan modifikasi skala Personal Report of Communication Apprehension (PRCA) yang disusun oleh Mc Croskey (1983). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 12.0 for windows untuk menguji apakah terdapat hubungan antara persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kemasan komunikasi pada remaja. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar r = 0,386 dengan p=0,00 sehingga p<0,01 yang artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kemasan komunikasi pada remaja. Jadi hipotesa penelitiian diterima. Kata Kunci : Pola Asuh Otoriter, Kecemasan Komunikasi
PENGANTAR
Keberadaan remaja pada masa sekarang memiliki pengaruh besar terhadap masa depan remaja sendiri maupun bagi masa depan bangsa Indonesia. Para remaja dituntut untuk menjadi manusia yang berkualitas. Remaja hendaknya dapat mengembangkan diri secara optimal agar kelak menjadi sumber daya manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Remaja diharapkan mampu mengaktualisasikan diri, mampu mengeluarkan pendapat, mampu berkomunikasi secara baik dengan orang lain maupun berkomunikasi di depan umum, belajar berfikir kritis, dan tidak mudah putus asa. Pada kenyataannya, ada sebagian remaja yang mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Ada remaja yang mengalami kecemasan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Remaja ini merasa sulit untuk mengungkapkan pendapat-pendapatnya atau ide-idenya pada orang lain karena cemas bahwa pendapatnya tersebut tidak akan diterima. Ada perasaan takut pada diri remaja bahwa mereka tidak diterima kehadirannya oleh teman-temannya, sehingga mereka takut dan ragu-ragu untuk mengungkapkan pendapat yang ada dalam pikiran remaja. Masalah yang dihadapi oleh remaja dalam berkomunikasi tersebut dikenal dengan istilah communication apprehension. Remaja yang mengalami communication apprehension akan merasa cemas ketika harus berkomunikasi dengan orang lain, sehingga tidak mampu mencerminkan rasa kehangatan, keterbukaan, dan dukungan. Remaja yang mengalami kecemasan dalam berkomunikasi akan merasakan adanya
perubahan psikis dan fisiologis. Perubahan psikis yang dialami remaja merasa cemas ditandai dengan perasaan tegang, khawatir dan takut. Perubahan fisiologis yang terjadi ketika cemas yaitu detak jantung, pernafasan dan tekanan jantung meningkat (Wulandari, 2004). Kecemasan komunikasi merupakan suatu masalah yang penting di tingkat SMA. Hasil penelitian di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa sedikitnya 11% siswa SMA mengalami kecemasan berkomunikasi yang tinggi dan 20% siswa yang mengalami kecemasan
berkomunikasi
yang
cukup
tinggi
(http//:www.ericdigests.org/eric/digests.html.2/12/06). Masalah kecemasan komunikasi juga telah dilakukan penelitian oleh Rilin (2004), menyatakan bahwa 26% dari 86 siswa kelas 2 SMU Muhammadiyah 1 Klaten mengalami kecemasan komunikasi interpersonal yang tinggi. Uraian di atas menunjukkan bahwa kecemasan komunikasi merupakan masalah yang serius dan diperlukan penanganan lebih lanjut sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih besar. Fenomena kecemasan komunikasi pada remaja juga terjadi di SMA N 1 Cilacap yang dialami oleh para siswanya. Berdasarkan wawancara dengan guru BK SMA N 1 Cilacap pada tanggal 1 Mei 2007, didapatkan informasi bahwa yang umumnya terjadi pada kelas 11 yaitu sering mengalami permasalahan remaja yang lebih kompleks, misalnya cemas ketika berbicara di depan kelas, minder dalam pergaulan, membolos, merokok, berkelahi, sedangkan kelas 10 lebih kepada masalah penyesuaian diri dalam pelajaran dan pergaulan karena memiliki teman-teman yang baru, serta untuk kelas
12, para siswanya lebih sering mengalami permasalahan dalam hal persiapan menghadapi studi lanjut dan dunia kerja. Sistem pembelajaran pada SMA N 1 Cilacap menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum Berbasis Kompetensi memperbanyak praktek dalam setiap kegiatan belajar mengajar, misalnya pada mata pelajaran bahasa Indonesia, siswa sering melakukan diskusi, berpidato di depan kelas dan kerja kelompok; pelajaran BK juga sering melakukan diskusi kelompok. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah kurikulum dalam dunia pendidikan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 yang para siswanya dikondisikan dalam sistem semester, siswa dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTek tanpa meninggalkan kerja sama dan solidaritas, meski sesungguhnya antar siswa saling berkompetisi, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, namun meskipun demikian pendidikan yang ada ialah pendidikan untuk semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek, namun
subjek.
Dan
setiap
kegiatan
siswa
ada
nilainya
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum-Berbasis-Kompetensi.20/05/07). Berdasarkan wawancara dengan guru BK SMA N 1 Cilacap pada tanggal 1 Mei 2007, didapatkan informasi dari hasil konsultasi siswa dengan guru BK yaitu bahwa dengan kurikulum KBK ada beberapa siswa mengalami kesulitan untuk berani berbicara di depan teman-temannya, tidak percaya diri ketika harus mengikuti drama di kelas, menjadi gagap ketika berpidato di depan kelas, enggan untuk mengikuti diskusi kelompok, sehingga kurikulum berbasis kompetensi menjadikan beberapa
siswa cemas berkomunikasi dalam berbagai situasi komunikasi. Siswa yang mengalami kecemasan komunikasi biasanya disebabkan oleh rasa percaya diri yang kurang, merasa prestasinya kurang daripada yang lain, orang tua yang terlalu banyak mendikte dan selalu menyalahkan anak sehingga anak merasa tindakannya selalu salah, dan masalah ekonomi yang dirasa tidak sama dengan teman yang lain. Tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu sejak lahir sampai datang masanya meninggalkan rumah untuk membentuk keluarganya sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antara manusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, anak terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Karena itu sebelum anak mengenal norma-norma dan nilainilai dari masyarakat umum, pertama kali menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya (Sarwono, 2002). Berhasil atau tidaknya seorang remaja dalam pergaulan dapat disebabkan oleh beberapa hal. Menurut Brouwer (1981) berhasil tidaknya remaja dalam pergaulan sering ada hubungannya dengan sikap orang tuanya. Tipe-tipe pola asuh orang tua berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak. Pengaruh ibu yang mencoba mengikat anak-anaknya dan melepaskannya dari teman-temannya, pengaruh ayah yang selalu melihat bahaya-bahaya yang pada kenyataannya tidak ada, orang tua yang selalu memaksakan kehendaknya dan tidak memberikan kesempatan anak untuk mengungkapkan keinginan-keinginannya, semua itu berpengaruh pada pergaulan.
Hal yang paling penting diperhatikan oleh orangtua adalah menciptakan suasana yang demokratis di dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orangtua maupun saudara-saudaranya. Dengan adanya komunikasi timbal balik antara anak dan orang tua maka segala konflik yang timbul akan mudah diatasi. Sebaliknya komunikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas, hanya akan memunculkan berbagai konflik yang berkepanjangan sehingga suasana menjadi tegang, panas, emosional, sehingga dapat menyebabkan hubungan sosial antara anggota keluarga menjadi rusak dan berakibat juga pada hubungan sosial dengan orang lain (http://www.e_psikologi.com/remaja/060802.htm.20/05/07). Solihin (2004) menyatakan bahwa orang tua yang otoriter suka menjadi momok menakutkan bagi anak. Anak merasa takut untuk melakukan hal-hal yang ingin dilakukan, ragu-ragu untuk mengungkapkan pendapat, walaupun pendapatnya dapat diterima oleh akal pikiran. Orang tua yang otoriter merasa bahwa merekalah yang paling benar dan berkuasa pada diri anak-anaknya. Orang tua berpendapat bahwa apa yang dipaksakan pada anak-anak adalah untuk kebaikan dan keberhasilan anak. Menurut Ginnot (Solihin, 2004), sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Di samping itu, sikap otoriter sering menimbulkan pula gejala-gejala kecemasan, mudah putus asa, tidak dapat merencanakan sesuatu, juga penolakan terhadap orang lain, lemah hati atau mudah berprasangka. Tingkah laku
yang tidak dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga. Sikap orang tua yang terlalu memaksakan kehendaknya berdampak buruk pada remaja. Dalam pergaulan remaja tersebut menjadi minder atau hanya menjadi pendengar dari teman-temannya. Remaja ini merasa takut untuk mengungkapkan pendapat-pendapatnya karena takut pendapatnya tidak akan diterima oleh orang lain, sehingga dapat menimbulkan remaja mengalami kecemasan dalam berkomunikasi. Menurut hasil penelitian Santrock dan Warshak (Sarwono, 2002), pola asuh otoriter ayah dapat membuat terganggunya kemampuan anak dalam tingkah laku sosialnya. Atas dasar latar belakang tersebut, ingin diteliti hubungan pola asuh otoriter orang tua terhadap kecemasan komunikasi pada remaja. Yang diteliti di sini adalah persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua yang otoriter, maka timbul pertanyaan: Apakah ada hubungan antara persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kecemasan komunikasi pada remaja.
METODE PENELITIAN Karakteristik subjek pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah siswa SMA Negeri 1 Cilacap kelas 11, kelas imersi dan regular, berjenis kelamin perempuan dan laki-laki, berusia 14-18 tahun, tinggal bersama dengan orang tua kandung, dan status orang tua masih hidup. Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif. Pengumpulan data berbentuk angket dengan metode skala yaitu menggunakan skala-skala psikologis untuk mengungkap
atribut psikologis yang dijadikan variabel dalam penelitian ini. Skala ini terdiri dari skala kecemasan komunikasi pada remaja yang merupakan hasil adaptasi dan modifikasi skala Mc Croskey (1983) dan skala persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter yang disusun oleh penulis sendiri berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Hurlock. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisa statistik. Untuk melihat hubungan persepsi remaja terhadap pola asuh otoriter orang tua dan kecemasan komunikasi remaja yaitu menggunakan teknik korelasi product moment.
HASIL PENELITIAN 1. Uji Asumsi Sebelum melakukan analisis korelasi product moment dari Pearson untuk menguji hipotesis penelitian, peneliti melakukan uji asumsi terlebih dahulu sebagai syarat analisis korelasi product moment. Uji persyaratan meliputi uji normalitas dan uji linieritas. a. Hasil Uji Normalitas Uji normalitas berguna untuk mengetahui apakah bentuk sebaran data empirik mengikuti sebaran data normal teoritik. Uji normalitas menggunakan teknik statistik one sample Kolmogorov-Smirnov. Kaidah yang digunakan yaitu jika p>0,05 maka sebaran data normal, sedangkan jika p<0,05 maka sebaran data tidak normal. Uji normalitas menghasilkan nilai KS-Z 0,932 sebesar dengan p = 0,351 untuk variabel persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dan nilai KS-Z sebesar
0,929 dengan p = 0,354 untuk variabel kecemasan komunikasi. Berdasarkan hasil analisis, maka dapat dikatakan bahwa sebaran data kedua variabel tersebut adalah normal. b. Hasil Uji Linieritas Hubungan antara kedua variabel dikatakan linier jika p<0,05 dan hubungan antara kedua variabel dikatakan tidak linier jika p>0,05. Hasil uji linieritas pada skala persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kecemasan komunikasi didapat nilai F sebesar 29,825 dengan p = 0,00 sehingga p<0,05. Berdasarkan hasil analisis, maka dapat dikatakan bahwa hubungan kedua variabel tersebut adalah linier. Oleh karena itu, pada variabel persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kecemasan komunikasi dapat dikenakan analisis korelasi product moment dari Pearson.
2. Uji Hipotesis Hasil analisis korelasi product moment dari Pearson antara persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kecemasan komunikasi menghasilkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,386 dengan p = 0,00 sehingga p<0,01. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kecemasan komunikasi pada remaja. Semakin tinggi persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter, maka semakin tinggi kecemasan komunikasi. Sebaliknya, semakin rendah persepsi remaja
terhadap pola asuh orang tua otoriter, maka semakin rendah kecemasan komunikasinya.
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data penelitian, maka hipotesis yang telah diajukan, yaitu ada hubungan positif antara persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kecemasan komunikasi pada remaja diterima. Hasil analisis korelasi dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,386 dengan p=0,00 (p<0,01), dengan hasil tersebut dapat diartikan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kecemasan komunikasi pada remaja. Hasil penelitian ini mendukung teori yang telah diuraikan di bab-bab sebelumnya, bahwa kecemasan komunikasi pada remaja dapat disebabkan oleh persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter. Menurut Daly & Hailey (Croskey, 1983), pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan menyebabkan kecemasan komunikasi. Persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter termasuk dalam prior history (pengalaman masa lalu). Pengalaman masa lalu akan mempengaruhi respon remaja dalam bertingkah laku. Remaja yang dididik secara otoriter oleh orang tuanya misalnya tidak pernah terlibat percakapan yang akrab, selalu dihukum apabila melakukan kesalahan, tidak pernah mendapatkan pujian, dan harus selalu mematuhi aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa persetujuan terlebih dahulu dapat
menyebabkan rasa cemas dan pesimis dalam menjalin komunikasi dengan orang lain karena remaja takut pendapatnya tidak akan dihargai oleh orang lain. Menurut hasil penelitian Santrock dan Warshak (Sarwono, 2002), pola asuh otoriter ayah dapat membuat terganggunya kemampuan anak dalam tingkah laku sosialnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Brouwer (1981), bahwa berhasil tidaknya remaja dalam pergaulan sering ada hubungannya dengan sikap orang tuanya. Tipetipe pola asuh orang tua berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak. Pengaruh ibu yang mencoba mengekang anak-anaknya dan menjauhkan dari temantemannya, pengaruh ayah yang selalu melihat bahaya-bahaya yang pada kenyataannya tidak ada, orang tua yang selalu memaksakan kehendaknya dan tidak memberikan kesempatan anak untuk mengungkapkan keinginan-keinginannya, semua itu berpengaruh pada pergaulan. Remaja mengalami kecemasan untuk berkomunikasi dengan orang lain karena dalam keluarga sendiri tidak pernah diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, sehingga remaja merasa tidak dihargai dan dapat menyebabkan perasaan rendah diri untuk bergaul dengan teman-temannya karena takut pendapatnya atau keinginannya tidak sesuai dengan orang lain. Ginnot (Solihin, 2004), juga mengatakan bahwa akibat dari sikap otoriter orang tua, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Disamping itu, sikap otoriter sering menimbulkan pula gejala-gejala kecemasan, mudah putus asa, tidak dapat merencanakan sesuatu, juga penolakan terhadap orang lain, lemah hati atau mudah berprasangka. Tingkah laku
yang tidak dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga.
KESIMPULAN Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kecemasan komunikasi pada remaja. . Semakin tinggi persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter, maka semakin tinggi kecemasan komunikasi. Sebaliknya, semakin rendah persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter, maka semakin rendah kecemasan komunikasinya.
SARAN 1. Bagi Remaja Kepada remaja, khususnya subjek penelitian disarankan untuk melakukan langkah untuk mengurangi kecemasan komunikasinya. Misalnya dengan mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler
yang
dapat
membuat
remaja
berlatih
untuk
berkomunikasi dan mengungkapkan pendapatnya pada orang lain. 2. Bagi Orang tua Orang tua diharapkan lebih memperhatikan cara berkomunikasi dengan anak sehingga diharapkan dapat menciptakan komunikasi yang harmonis di dalam keluarga.
3. Bagi Pihak Sekolah a. Pihak sekolah diharapkan dapat tetap mempertahankan dan meningkatkan kegiatan ektrakurikuler dan organisasi yang ada, seperti olahraga, kesenian, kegiatan keagamaan, pramuka dll, karena kegiatan tersebut dapat menampung aspirasi dan kreativitas siswa yang berguna untuk mengurangi kecemasan komunikasi. b. Peran dari guru BK maupun guru-guru yang lain harus dioptimalkan untuk memberikan
bimbingan
kepada
siswa-siswanya,
tentang
pentingnya
mengatasi kecemasan komunikasi. Misalnya dengan tetap mensosialisasikan peran guru BK dalam membantu memecahkan masalah siswa baik masalah pribadi, keluarga dll, pertemuan orang tua dan guru juga perlu dioptimalkan untuk mengatasi masalah siswa. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya a. Penelitian yang berkaitan dengan persepsi remaja terhadap pola asuh orang tua otoriter dengan kecemasan komunikasi masih banyak yang perlu diungkap khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi kedua variabel tersebut. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan subjek selain remaja siswa SMA, seperti mahasiswa supaya menghasilkan berbagai macam variasi penelitian. b. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk lebih teliti dalam menulis aitem pengambilan data agar hasil yang diperoleh lebih akurat.
c. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk membedakan skala persepsi remaja terhadap pola asuh ayah yang otoriter dengan skala persepsi remaja terhadap pola asuh ibu yang otoriter, sehingga hasil yang diperoleh lebih akurat d. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk lebih teliti saat pengambilan subjek dalam sekolah yang memiliki kelas reguler dan imersi karena dimungkinkan memiliki kecemasan komunikasi dalam hal yang berbeda. e. Dan
bagi
peneliti
selanjutnya
diharapkan
dapat
menemukan
atau
menghasilkan langkah untuk mengatasi kecemasan komunikasi yang efektif.
DAFTAR PUSTAKA Brouwer, M.A.W. 1981. Pergaulan. Jakarta: PT Gramedia Croskey, James.C, & Daly, J.A. 1983. Avoiding Communication, Shyness, Reticence & Communication Apprehension. Englewood Cliffs, NJ : Pientice-Hall Hurlock, E.B. 1978. Adolescence Development. New York : Mc Graw-Hill Book Co.Inc Rakhmat, J.2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Solihin, L. 2004. Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga. Jurnal Pendidikan Penabur. 03. 129-139 Tim Penyusun. 2004. Pedoman Penyusunan Usulan Skripsi dan Penyusunan Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Wulandari, L.H. 2004. Efektivitas Modifikasi Perilaku Kognitif Untuk Mengurangi Kecemasan Komunikasi Antar Pribadi. Skripsi (tidak diterbitkan). Medan : Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran USU. http://www.library.usu.ac.id/download/fk/psikologi-lita.pdf. 24/11/06 http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum-Berbasis-Kompetensi.20/05/07 http://www.e_psikologi.com/remaja/060802.htm.20/05/07 www.erichdigests.org/eric/digest.html.2/12/06
IDENTITAS PENULIS Nama Mahasiswa
: Iffah Savitri
Alamat Rumah
: Jalan Nuri Timur No.2 Cilacap
No. Telepon
: 08562605354