Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
PERANAN PERADABAN MASYARAKAT PESISIR PADA ERA GLOBALISASI
Muhammad Takari Dosen Departemen Etnomusikologi (MPPSn), Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, dan PB MABMI
Medan 2017
PERANAN PERADABAN MASYARAKAT PESISIR PADA ERA GLOBALISASI Muhammad Takari Dosen Departemen Etnomusikologi (MPPSn), Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan dan Pengurus PB MABMI
Abstrak Melalui makalah ini, penulis mengkaji peranan (role) peradaban masyarakat pesisir pada era globalisasi. Pendekatan yang digunakan adalah melalui disiplin ilmu budaya dan sosial dengan pengamatan mendalam terhadap gejala sosiokultural yang terjadi. Teori yang digunakan dalam mengkaji fenomena ini adalah teori fungsionalisme, yang melihat sejauh apa kontribusi sebuah aktivitas kebudayaan terhadap keseluruhan aktivitas masyarakatnya, yang dalam hal ini adalah masyarakat pesisir dalam masyarakat global, dalam kerangka mencapai konsistensi internal manusia secara keseluruhan di dunia. Diperoleh hasil bahwa masyarakat pesisir baik itu di peringkat daerah, nasional, maupun global merupakan masyarakat yang terbuka, egaliter, dan dinamis dalam perubahan, dan umumnya wilayah mereka menjadi pusat perkembangan peradaban, yang bercirikan akulturatif, dan menjadi pusat pemerintahan serta ekonomi. Dalam konteks globalisasi, masyarakat pesisir dapat berperan sebagai ujung tombak (avant garde) kemajuan untuk semua unsur kebudayaan, dengan mendayagunakan semua keunggulan yang dimiliki, seperti lingkungan kemaritiman, pusat akulturasi berbagai budaya, pendidikan, politik dan pemerintahan, pusat peradaban bisnis dan perekonomian (sebagai tempat pelabuhan dan transaksi barang dan jasa), dan lain-lainnya. (Kata kunci: peranan, masyarakat pesisir, peradaban, kebudayaan, maritim).
Pendahuluan Dalam rangka mengisi kehidupannya di dunia ini, semua manusia di dunia belajar dari lingkungan sekitar ia hidup. Ia belajar berbahasa, bertindak, menghasilkan barang-barang produksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, juga belajar tentang agama untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya. Semua proses pembelajaran, baik yang diperoleh
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
secara formal di bangku sekolah dan kuliah, maupun di jalur nonformal, seperti kursus, workshop, dan sejenisnya, adalah bertujuan untuk menghasilkan sebuah peradaban (tamadun) yang mengarahkan manusia ke arah kesempurnaannya sebagai makhluk Allah. Dalam konteks mengisi dan menciptakan peradaban ini, maka manusia selalu menyesuaikan diri dari lingkungan alam tempat ia tinggal, menetap, dan mencari mata pencahariannya. Alam ini ada yang berada di kawasan pesisir, ada pula di dataran tinggi (bukit dan pengunungan, yang lazim disebut highland). Kemudian ada yang mengenal dua musim saja, penghujan dan kemarau, yakni kawasan khatulistiwa dan sekitarnya—namun ada pula yang mengenal empat musim, terutama di kawasan bahagian utara dan selatan bumi (kutub dan seputarannya), yakni musim: semi, panas, daun gugur, dan dingin. Faktor-faktor lingkungan, musim, dan cuaca, mau tidak mau mengakibatkan setiap kawasan memiliki kebudayaan yang khas. Drmikian pula yang terjadi di dalam masyarakat pesisir. Indonesia sebagai sebuah negara maritim, maka yang menjadi ciri khasnya adalah kebudayaan pesisir (pesisiran, pasisieh), di samping juga kebudayaan daratan. Sebagai contoh, di Jawa masyarakat pesisir itu berada di wilayah pantai utaranya (pantura), dan sebahagian pesisir selatan. Demikian juga masyarakat Minangkabau membagi wilayah kebudayaannya kepada tiga kawasan: darek, pasisie, dan rantau. Masyarakat Karo membagi dua dikotomi wilayahnya dengan sebutan Karo Gugung (Pegunungan Bukit Barisan), dan Karo Jahe (wilayah pesisir). Lebih luas lagi wilayah Sumatera Utara juga terdiri dari pesisir dan pegunungan ini. Namun demikian, dikotomi spatial ini bukanlah mutlak. Dalam konteks sosial, kenegaraan, dan globalisasi, terjadi interaksi fungsional antara masyarakat pesisir dengan dataran tinggi, dalam mendukung kebudayaannya masing-masing. Masyarakat daratan tinggi juga memiliki berbagai keunggulan kebudayaan, seperti berbagai komoditas khusus yang dihasilkan: kemenyan, kapur barus, sayur mayur, kopi, dan lain-lainnya. Dengan demikian perlu dijalin kerjasama antara masyarakat pesisir dan highland ini.
2
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
Masyarakat Pesisir Dalam sejarah datang dan menyebarnya agama Islam di Indonesia, kata pesisir tidak pernah bisa diabaikan. Sebab, sebagaimana telah diketahui, sejarah masuknya Islam di Indonesia selalu berawal dari komunitas nelayan dan para pedagang, yang sebagian besar terkosentrasi di daerah-daerah pantai sekitar wilayah lautan Nusantara. Dalam perspektif kepentingan dakwah Islamiyah, maka tidak ada salahnya memori historis tersebut tetap dijadikan referensi ilustratif (Koesnadi, 2000). Kata pesisir dalam tulisan ini digunakan untuk dua maksud yang berlainan. Pertama, masyarakat pesisir, sebuah terminologi yang diatribusikan kepada kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di tepi pantai, atau berdekatan dengan laut. Kedua, masyarakat pesisir (coastal community), juga diterjemahkan dengan ciri-ciri utama mengandalkan penghidupan dari sumber daya laut, dan jikalau ada alat produksi biasanya berupa perahu, dengan sistem ekonomi yang hirarkis seperti ada juragan kapal, tengkulak, buruh, dan nelayan tradisional. Akan tetapi, di samping melaut mereka juga bertani. Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir. Secara teoretis, masyarakat pesisir didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal dan melakukan aktivitas sosioekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan demikian, masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun begitu pun, secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah 3
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki atau tidak aktivitas sosioekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Karakteristik masyarakat pesisir, pada umumnya sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan (marine resource based). Sumber daya laut adalah potensi utama yang menggerakan kegiatan perekonomian masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan, seperti: nelayan, petani garam, petani tambak, pengrajin, dan pedagang. Hubungan-hubungan sosial antarkerabat dalam masyarakat pesisir masih cukup kuat. Perbedaan status sosial ekonomi yang mencolok antar kerabat tidak dapat menjadi penghalang terciptanya hubungan sosial yang akrab di antara mereka. Secara umum kegiatan perekonomian mereka tergantung kepada tinggi dan rendahnya produktivitas perikanan dan sember kelautan lainnya. Jika produktivitas tinggi, tingkat penghasilan nelayan akan meningkat sehingga daya beli masyarakat yang semakin besar, dan kemampuan ekonomi nelayan juga akan meningkat. Sebaliknya, jika produktivitas rendah, tingkat penghasilannya nelayan akan menurun sehingga tingkat daya beli masyarakat rendah. Kondisi demikian sangat mempengaruhi kuat lemahnya kegiatan perekonomian desa-desa di pesisir. Peluang dan pengembangan sosioekonomik masyarakat pesisir adalah: (a) ditekankannya manejemen atau pengelolaan yang berpola dan berbasis masyarakat; serta (b) diterapkan paradigma good governance. Selain itu, sebagian masyarakat sudah mulai ada kesadaran bahwa bantuan pemerintah yang diberikan selama ini adalah bersumber dari dana pinjaman (luar negeri) yang tentunya masyarakat sendirilah yang harus menanggung beban pengembalian pinjaman. Adanya kebanggaan dari masyarakat pesisir ini kalau mereka sebenarnya mampu menemukenali masalahnya sendiri, sehingga mereka mampu mengelola sehingga menunjukkan hasil ekonomis. Dalam pelaksanaan pembangunan, masyarakat pesisir ini sudah mampu berperan sebagai
4
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
pengawas dan melakukan kordinasi dengan instansi terkait demi kesuksesan tersebut. Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek moyangnya, misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi bintang. Sementara, dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memilki kekuatan magik sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau sedekah laut. Di Serdang Bedagai disebut dengan jamu laut atau melepas lancang (lebih lanjut lihat T. Thyrhaya Zein Sinar, 2010). Pesisir sebagai Pusat Perkembangan Peradaban Dunia Kalau kita bicarakan mengenai masyarakat pesisir, maka dalam konteks sejarah dunia, sebahagian besar peradaban dunia bermula dari kawasan pesisir, yang ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya kota-kota sebagai pusat kebudayaan yang mencakup: aktivitas ekonomi, kemaritiman, pemerintahan, politik, akulturasi, dan lain-lainnya. Dalam sejarah kebudayaan Islam juga dikenal masyarakat pesisir yang memiliki tamadun dan adab yang menjadi ikon dan dasar dari peradaban global. Tamaddun ( ) atau bentuk jamaknya tamaddunan ( ) berasal dari bahasa Arab, yang maknanya sering disejajarkan dengan istilah civilization dalam bahasa Inggris. Sivilisasi sendiri awalnya berasal dari bahasa Perancis. Hingga tahun 1732, kata ini merujuk kepada proses hukum. Pada akhir abad ke-18, istilah ini memiliki pengertian yang meluas tidak hanya sebatas sebagai hukum, tetapi juga tahapan paling maju dari sebuah masyarakat. Hawkes (1980:4) mengartikan sivilisasi sebagai kualitas tinggi yang dimiliki masyarakat. Menurut orang Yunani, masyarakat yang tidak memiliki kota adalah masyarakat yang tidak beradab, tidak memiliki sivilisasi. Collingwood mendefinisikan sivilisasi sebagai sebuah proses untuk mencapai suatu tahap kehidupan masyarakat sipil atau menjadi lebih sopan. Hasilnya melahirkan masyarakat perkotaan, masyarakat yang memiliki kehalusan budi. Johnson menyatakan bahwa sivilisasi adalah sebagai suatu keadaan yang
5
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
bertentangn dengan kehidupan barbar, yang mencapai tahap kesopanan yang tinggi (Collingwood, 1947:281 dalam Hussein, 1997). Childe seorang sejarawan materialisme memberi penekanan kepada pencapaian material sebagai lambang peradaban (sivilisasi) suatu masyarakat. Menurutnya sivilisasi mempunyai maksud yang sama dengan revolusi perkotaan. Ia berpendapat bahwa pengukuran sivilisasi berdasar kepada adanya kota atau sivilisasi urban, berdasarkan kepada kajiannya pada budaya masyarakat Sumeria di Sungai Eufrat dan Tigris tahun 4000 S.M., yang memperlihatkan kota-kota seperti Uruk, Lagash, Eridu, Ur, dan lainnya (Collingwood, 1947:5). Farmer mendefinisikan sivilisasi sebagai unit budaya yang besar dan mengandung norma-norma sosial, tradisi, dan institusi yang dimiliki bersama dan diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Farmer, 1977:xxxix). Schwetzer, seorang filosof Jerman yang memenangi hadiah Nobel Perdamaian 1954, mendefinisikan sivilisasi sebagai keseluruhan kemajuan yang dibuat oleh manusia dalam setiap aktivitas dan gagasan, yang membawa kepada penyempurnaan kerohanian individu dan komunitas. Pendapat lain tentang sivilisasi adalah sebagai satu budaya yang telah mencapai tahap kompleksitas yang lazim dicirikan oleh adanya perkotaan yang menyediakan ahli-ahli khusus di bidang ekonomi, sosial, politik, dan agama untuk memenuhi keinginan masyarakat (Jones, 1960:10). Konsep kebudayaan dalam Islam juga melibatkan istilah attamaddun, dan kebudayaan Islam disebut at-tamaddun al-Islami. Istilah ini merujuk kepada karangan terkenal Tarikh at-Tamaddun al-Islami yang ditulis oleh Jurzi Zaidan. Istilah ini berasal dari kata dasar maddana, yamduru, dan mudunan, yang artinya adalah datang ke sebuah bandar, dengan harf bi yang bermakna menduduki suatu tempat, maddana pula ertinya membangun bandar-bandar atau kota-kota, atau menjadi kaum atau seseorang yang mempunyai peradaban. Dari istilah maddana ini muncul istilah lanjutan madinah yang artinya adalah kota dan madani yang berasal dari kata al-madaniyah yang berarti peradaban dan kemakmuran hidup. Istilah ini awalnya dipergunakan oleh Ibnu Khaldun, seorang sosiolog Islam terkenal 6
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
(Hussein, 1997:91). Dalam perkembangan sosial di Asia Tenggara, istilah madani begitu giat dipopulerkan oleh Anwar Ibrahim, mantan wakil Perdana Menteri Malaysia. Pengetian istilah ini merangkum tingkah laku yang beradab seperti orang perkotaan, bersifat halus dalam budi bahasa, serta makmur dalam pencapaian material. Di antara istilh-istilah yang berkaitan dengan konsep kebudayaan dalam Islam, yang selalu digunakan oleh para cendekiawan, termasuk di Asia Tenggara, adalah istilah adab ( ) atau kata bentukannya peradaban. Ismail Faruqi menyatakan bahwa adab itu berarti culture atau kebudayaan. Dalam konteks ini kita kaji Hadits Nabi Muhammad SAW yang bermaksud: “Tuhan telah memberikan kepadaku pendidikan adab, addabani, dan Tuhan telah memperbaiki atau menyempurnakan pendidikan adab terhadapku.” Adab yang dimaksud adalah adab dalam pengertian yang paling luas, yang merangkumi kemampuan meletakkan sesuatu itu pada tempat yang sewajarnya, yaitu sifat yang timbul dari kedalaman ilmu dan disiplin seseorang. Sifat ini jika disebarkan ke dalam masyarakat dan kehidupan budaya, maka akan menimbulkan kesan yang alamiah dan menyeluruh di dalam kehidupan kolektif. Kesadaran tentang makna adab yang menyeluruh itu tercermin dalam kitab-kitab Islam, seeprti Adab ad-Dunya wad-Din karya Abul Hasan Al-Mawardi dan analisis tentang kehidupaan yang beradab dalam kitab karangan Imam Al-Ghazali Ihya ‘Ulumuddin. Dalam bahasa Indonesia pula kata adab atau peradaban sering digunakan dalam berbagai literatur. Istilah peradaban biasanya merujuk kepada pengertian yang sama dengan sivilisasi dari bahasa Inggris. Kata ini memiliki pengertian sebagai unsur budaya yang dianggap mengandung nilai-nilai yang tinggi dan maju. Peradaban biasanya diakaitkan dengan hal-hal yang mencapai tahap kesempurnaan di masa dan ruang tertentu. Meskipun demikian, kalau digunakan istilah ini dengan berdasar kepada penilaian maju, maka itu adalah relatif. Dalam sejarah umat manusia, istilah ini digunakan untuk berbagai peradaban yang maju, seperti Indus, Sumeria, Assiria, Mesir, Inca, Oksidental, Oriental, dan lainnya. Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan tentang berbagai peradaban tersebut namun sebagian besar telah pupus ditelan sang 7
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
zaman. Hanya sebahagian saja yang hidup, bekembang, dan kontinu hingga hari ini. Dengan melihat konsep mengenai tamadun dan peradaban seperti terurai di atas, maka dalam konteks sejarah dunia masyarakat pesisirlah yang menjadi pelopor peradaban di dunia ini. Karakteristik masyarakat yang berperadaban adalah kota-kota, yang umumnya dibentuk oleh kebudayaan manusia di pesisir pantai atau sungai-sungai. Hal ini dibuktikan dengan majunya peradaban-peradaban dunia dari kawasan ini seperti di Sungai Indus, Sungai Efrat dan Tigris, selat Melaka untuk peradaban Melayu, Mahenjo Daro dan Harapa, dan lain-lainnya. Masyarakat di kawasan pesisir dan perairan ini memegang peran utama dalam melakukan kontak budaya dan menghasilkan sebuah budaya kreatif yang akulturatif, yakni menerima berbagai budaya dunia dan kemudian diolah menurut keperluan dan kehendak kebudayaan pesisir setempat ini. Kemudian mereka membangun kota-kota pusat perdagangan dunia ini dengan teknologi-teknologi tinggi (hitech), yang sangat mempertimbangkan pendekatan kosmologis, pengairan, kebersihan, tata ruang kota, dan lain-lainnya. Di Nusantara, kebudayaan maritim ini terwujud dalam beberapa kerajaan, seperti Sriwijaya, Melaka, Perlak, Sumudra Pasai, Kesultanan Ternate, Tidore, Demak, Banten dan banyak lagi yang lainnya. Di kawasan Sumatera Utara juga terdapat beberapa kesultanan yang berciri peradaban maritim ini, seperti Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli, Kesultanan Serdang, Kdatukan Batubara, Kesultanan Asahan, Kesultanan Kualuh, Kesultanan Kotapinang, dan Kesultanan Panai. Dalam situasi peradaban maritim di Nusantara ini, maka tamadun Islam memainkan peran penting dalam sitem pemerintahan dan kebudayaan yang dihasilkan. Konsep adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah menjadi asa utama dan pemangkin bagi perkembangan peradaban masyarakatnya. Dalam konteks Sumatera Timur, selain posisi strategis pesisir tersebut, masyarakatnya juga dianugerahi Tuhan dengan lahan pertanian yang sangat subur. Dalam konteks sejrah Deli misalnya, perkembangan peradaban di kawasan ini ditandai dengan dibukanya perkebunan tembakau Deli oleh Jacobus Nienhuys, di abad ke-18 yang 8
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
kemudian menjadikan komposisi kebudayaan di Sumatera Timur ini menjadi pesat dan masyarakat yang multikultur, namun masih disatukan oleh kebudayaan masyarakat Melayu Nusantara, terutama dari sisi bahasa pengantar (lingua franca), artefak, simbol, ikon, indeks budaya. Masyarakat Sumatera Utara yang Heterogen Sumatera Utara adalah salah satu provinsi dari 34 provinsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang eksistensinya menonjol karena keberagaman budayanya. Keberagaman ini dilatarbelakangi oleh faktor sejarah, geografi, pertumbuhan ekonomi yang relatif pesat, keberadaan wilayah sebagai tempat pertanian dan tambang, etnografinya yang unik, dan lain-lain. Keanekaragaman Sumatera Utara juga mencakup aspek agama, bahasa, ras dan etnik, kesenian, dan lainnya. Sampai sekarang, Sumatera Utara merupakan daerah “percontohan” integrasi sosiobudaya dalam rangka mewujudkan masyarakat multikultural di Indonesia, Nusantara, bahkan dunia. Menurut penulis, berbagai kelompok etnik di Sumatera Utara ini, dapat dikategorikan kepada tiga kelompok. Yang pertama adalah etnik natif Sumatera Utara, yang terdiri dari: (a) Karo, (b) Pakpak-Dairi, (c) Simalungun, (d) Batak Toba, (e) Mandailing-Angkola, (f) Pesisir, (g) Nias, dan (h) Melayu. Ditambah pula dengan kelompok etnik Lubu dan Siladang di kawasan Tapanuli Bahagian Selatan. Yang kedua adalah kelompok-kelompok etnik Nusantara, yang didukung oleh etnik: Aceh Raya, Simeulue, Alas, Gayo, Tamiang, Aneuk Jamee, Minangkabau, Banjar, Sunda, Jawa, Bugis, Makasar, dan lain-lain. Kelompok yang ketiga adalah etnik-etnik pendatang dunia seperti: Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Tamil, Hindustani, Pashtun, Arab, dan berbagai etnik dari Eropa, dan lainnya. Keseluruhan kelompok etnik yang sangat beragam ini juga memiliki agama dan kebudayaan yang beragam, baik itu agama setempat seperti Parmalim, Pemena, juga agama-agama besar dunia seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konfusius, dan lainnya. Keberagaman ini, insya Allah dalam konteks Sumatera Utara menjadi daya dorong penggerak pembangunan masyarakatnya dalam rangka menjadi
9
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
masyarakat madani, sejahtera lahir dan batin, di bawah lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun demikian, integrasi sosial, keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan interaksi sosiokultural masih terus perlu ditingkatkan dalam semua konteks. Secara historis, Sumatera Utara memiliki sejarah yang hampir sama dengan sejarah kebudayaan di Nusantara ini. Awalnya animisme dan dinamisme muncul sejak adanya nenek moyang masyarakat kita ini. Ini terjadi ribuan tahun sebelum Masehi sampai abad pertama. Kemudian selepas itu masuknya budaya dan agama Hindu serta Budha dimulai dari abad pertama sampai abad ketiga belas Masehi. Islam masuk secara masif di abad ketiga belas, walau sebenarnya di abad ketujuh sudah masuk di Barus kawasan Barat Sumatera Utara. Kemudian agama Protestan masuk ke kawasan Batak Toba dan sekitarnya di abad kesembilan belas. Yang menonjol adalah salah satu tokoh penyebar agama Protestan dari zending di Jerman, yaitu Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian ada pula Deninger yang membawa agama ini ke Pulau Nias. Selain itu, agama Hindu juga dibawa bersama dengan masuknya para imigran dari India ke kawasan ini, termasuk juga mereka yang beragama Islam, Sikh, dan lainnya. Agama Budha dibawa oleh para migran Tionghoa dari Negeri China ke kawasan ini. Selain itu, berdasarkan sejarah, di kawasan Sumatera Utara ini telah wujud pula beberapa kerajaan penting untuk kawasan Nusantara. Yang paling menonjol adalah Kerajaan Haru atau Aru yang muncul sejak abad ketiga belas.1 Kerajaan bertipe Islam ini, kemudian meredup. Selepas itu menjadi beberapa kesultanan seperti: Kesultanan Langkat, Kesultanan Deli (yang kemudian berpecah menjadi satu lagi yaitu Kesultanan Serdang), Kesultanan, Asahan, Kesultanan Bilah, Kesultanan Panai, Kesultanan Kotapinang, Kesultanan Kualuh, dan Kedatukan Batubara.
1
Lebih jauh tentang keberadaan Kerajaan Haru ini lihat beberapa tulisan dari para sejarawan dan juga penulis budaya Melayu Sumatera Utara, seperti Luckman Sinar (1971, 1988, 1990), juga Lah Husni (1975, 1986), Takari, Zaidan, dan Fadlin (2012), dan lainlainnya. 10
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
Kesemua kesultanan di pesisir timur Sumatera Utara ini bertipe Islam dan berperadaban Melayu. Selain itu di kawasan lainnya di Sumatera Utara juga muncul kerajaan-kerajaan yang bertipe budaya etnik tertentu. Misalnya di kawasan Batak Toba muncul kerajaan Batak yang dipimpin oleh para rajanya yang digelar sebagai Sisingamangaraja (I sampai XII). Begitu pula dalam kebudayaan etnik Simalungun terdapat kerajaan-kerajaan: Silou, Nagur, Raya, Panei, dan Purba. Demikian juga di kawasan-kawasan lain muncul kerajaan-kerajaan yang bertipe budaya etnik. Ada yang berbasis pada pedesaan (raja huta) ada pula yang bercorak gabungan antara beberapa kampung (bius dan tuhenori). Itulah sedikit gambaran pemerintahan tradisional berlatar belakang budaya etnik di Sumatera Utara. Faktor sejarah, ekonomi, dan perubahan sosial seperti terurai di atas sangat mempengaruhi keberadaan kebudayaan (termasuk kesenian) di Sumatera Utara. Pada masa sekarang ini, setiap orang di Sumatera Utara menyadari bahwa ia memiliki rekan sosial yang berlatarbelakang budaya dan agama yang berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu perlu memupuk dan menghayati toleransi beragama. Dalam konteks upacara perkawinan pun jika ada dua mempelai melakukan upacara adat perkawinan, biasanya akan menggunakan latar belakang budaya yang berbeda itu dalam satu kemasan upacara. Atau bisa juga upacara dilakukan dua kali menurut latar belakang budaya kedua mempelai tersebut. Ada juga yang menggunakan “budaya nasional” untuk upacara perkawinan antara dua etnik yang berbeda ini, jika tidak memakai kedua budaya etniknya, tetapi menggunakan budaya akulturatif. Seni Tradisi sebagai Pendukung Peradaban Multikultur Masyarakat Nusantara Indonesia terdiri dari masyarakat2 yang heterogen dan kompleks. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari aneka-ragam agama, bahasa, 2
Istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmlah maupun dalam bahasa sehari-hari adalah masyarakat. Padanannya dalam bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius, yang 11
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
kebudayaan, kelompok etnik, ras, dan lainnya tersebut, dalam ilmu-ilmu sosial lazim dikenali dengan masyarakat multikultural. Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap berbagai kebudayaan. Masyarakat multikultural dapat dimaknakan sebagai sekelompok manusia yang hidup menetap di satu tempat, namun memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri. Dari istilah multikultural akhirnya muncul istilah derivatnya yaitu multikulturalisme. Istilah ini dapat diartikan sebagai pandangan tentang realitas keanekaragaman budaya. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam politics of recognition (Azyumardi Azra, 2007). Multikulturalisme tepat diterapkan di Indonesia karena realitas kebudayaan masyarakatnya yang sangat majemuk. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam. Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhinneka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai berarti "kawan.” Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti "ikut serta, berpartisipasi.” Masyarakat adalah memang sekumpulan manusia yang saling bergaul (berinteraksi). Satu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Satu negara modem adalah kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya berinteraksi secara intensif. Selain ikatan adat-istiadat khas yang meliputi sektor kehidupan serta suatu kontinuitas dalam waktu, sebuah masyarakat mempunyai ciri lain, yaitu satu rasa identitas. Mereka merupakan satu kesatuan khusus yang berbeda dengan kesatuan manusia lainnya. Ciri-ciri memang dimiliki oleh penghuni suatu asrama kos atau anggota suatu sekolah, tetapi tidak adanya sistem norma yang menyeluruh serta tidak adanya kesinambungan, menyebabkan penghuni suatu asrama atau murid suatu sekolah tidak disebut masyarakat. Sebaliknya suatu negara, kota, atau desa, merupakan kesatuan manusia yang memiliki ciri-ciri: (a) interaksi antara warga-warganya, (b) adatistiadat, (c) norma-norma, (d) hukum dan aturan-aturan khas; (e) kontinuitas dalam waktu; dan (f) memiliki rasa identitas yang mengikat semua warga. Itulah sebabnya satu negara atau desa dapat kita sebut masyarakat. Dari uraian di atas dapat didefinisikan istilah masyarakat dalam konteks antropologi: masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1990:146147).
12
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan mempagelarkan kesenian masing-masing budaya (etnik). Bagaimanapun salah satu unsur kebudayaan, yaitu seni, dapat merekatkan konsep dan perilaku yang berbasis pada multikulturalisme. Selepas saja dilakukan pagelaran atau pertunjukan, maka langkah berikutnya untuk saling memahami dan menjadikannya sebagai milik bersama. Kesenian itu haruslah diapresiasi menurut budaya di mana kesenian itu hidup. Dalam hal ini ilmu komunikasi atau teori semiotik dapat dipergunakan untuk menjembatani kesenjangan kultural yang terjadi. Dari wilayah Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Talaud, terdapat berbagai kesenian tradisi yang hidup menyatu dengan kebudayaan masyarakatnya. Kesenian tradisi ini sangat banyak jenis dan genrenya. Sebahagian kesenian Nusantara itu, yang menarik, terdapat di Sumatera Utara ini. Di Aceh ditemui genre seni: shaman, rapai Pasai, rapai dabus, rapai lahee, rapai grimpheng, rapai pulot, alue tunjang, poh kipah, biola Aceh, meurukon, dan sandiwara Aceh. Pada masa kini berkembang tari kreasi baru, yang berbasis dari tari-tarian tradisional. Di antara contoh tari kreasi baru adalah Tari Ranup Lampuan, Rampoe Aceh, Pemulia Jame, Tarek Pukat, Limong Sikarang, Ramphak Dua, dan lainnya. Istilah seudati berasal dari kata yahadatin, yang mengandung makna pernyataan atau penyerahan diri memasuki agama Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Tari Seudati dipertunjukkan oleh delapan orang laki-laki dan dua orang aneuk syeh (syahie) yang bertugas mengiringi tarian dengan syair dan lagu. Seluruh gerakan Tari Seudati berada di bawah pimpinan seorang syeh seudati. Musik dalam Tari Seudati hanya berbentuk bunyi yang ditimbulkan oleh hentakan kaki, kritipan tangan, serta tepukan dada para penari, yang diselingi dengan syair lagu dari aneuk syeh. Ini baru sebahagian kecil kesenian Aceh, masih banyak lagi yang lainnya. Sumatera Utara dan Medan yang terdiri dari delapan kelompok etnik setempat ditambah suku-suku pendatang dari Nusantara dan etnik-etnik dunia, menjadikan kawasan ini kaya akan seni budaya. Di antara seni budaya yang khas berasal dari Sumatera Utara adalah tari tortor dalam kebudayaan Batak Toba, Simalungun, dan Mandailing-Angkola. Repertoar tortor itu di antaranya adalah Tortor Somba-somba, Tortor Nauli Bulung, Tortor Saoan, Tortor Hatasopisik, Tortor Naposo Bulung, dan lainnya. Dalam budaya Karo 13
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
dikenal pula landek, seni tari tradisional Karo. Contohnya Tari Peseluken, Mulih-mulih, Piso Surit, Guro-giro Aron, dan lainnya. Seni musik tradisional dari kawasan ini di antaranya ensambel gondang sabangunan Batak Toba, gondang hasapi, berbagai lagu (ende), gordang sambilan, gordang tano, gondang aek, gonrang sipitu-pitu, gonrang dua, gendang telu sedalanen, gendang lima sedalanen, sikambang, musik ronggeng Melayu, musik Makyong, dan masih banyak lagi yang lainnya. Lagu-lagu Melayu Deli yang berasal dari Sumatera Utara juga memberikan identitas yang khas Melayu Sumatera Utara. Lagu seperti Kuala Deli, Seri Langkat, Zapin Deli, Zapin Serdang, menguatkan identitas kebudayaan Melayu Sumatera Utara. Dari kawasan Mandailing ada musik jeir dan onang-onang. Begitu juga dari Nias ada tarian hombo batu (melompati batu), maena, faluaya, maluaya, dan lain-lainnya. Di Sumatera Barat, wilayah budaya Minangkabau terdapat ensambel musik tradisional talempong, dengan berbagai derivatnya seperti talempong unggan, talempong jao, talempong rea, talempong pacik, talempong pentatonik, dan talempong diatonik. Kemudian ada genre musik dan tari gamat, tari piring, tari galombang, randai, dikie, salawaik talam, zapin, dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua ini memperlihatkan betapa kayanya seni budaya di kawasan ini. Selanjutnya di Jawa ada pula tradisi wayang kulit purwa. Pertunjukan wayang dengan kemahiran sang dalang, dapat menyajikan berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup berupa nilai-nilai budaya dan berbagai unsur budaya seni yang terpadu dalam seni pedalangan. Pertunjukan wayang yang di dalamnya terdapat perpaduan antara seni suara, seni musik (gamelan), dan seni rupa, merupakan bentuk kesenian sangat disukai masyarakat Jawa. Menurut penelitian para ahli, wayang kulit diciptakan oleh Sunan Kalijaga (salah seorang dari wali songo) pada abad 15 dan 16 di daerah Pesisir Utara Jawa yang dipakai untuk menyebarkan agama Islam. Cerita pewayangan ini bersumber pada epos Ramayana dan Mahabrata yang diadopsi dari India. Kemudian cerita pertunjukan wayang dalam perkem-bangan selanjutnya juga menampilkan cerita-cerita di luar patokan yang ada, sehingga merupakan bentuk variasi untuk menghilangkan kebosanan para penontonnya. Cerita-cerita tersebut pada akhimya juga kembali lagi pada inti atau sumber cerita. Semula pertunjukan kesenian wayang hanya wayang kulit, kemudian berkembang menjadi pertunjukan wayang golek, 14
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
wayang beber, wayang orang (wong), dan sebagainya. Selain itu ada pula reyog Ponorogo yang berasal dari kawasan Ponorogo Jawa Timur. Ditambah lagi dengan teater ludruk. Begitu pula dengan tari-tarian seperti Bedhaya Ketawang, Srimpi, Tari Tayub atau Ronggeng, dan lain-lainnya. Ensambel gamelan yang sebahagian besar merupakan alat musik yang terbuat dari logam perunggu dengan tangga nada pelog dan slendronya menjadi ciri khas tradisi karawitan atau musik Jawa. Di Kalimantan dijumpai tarian jepen, yaitu tarian zapin yang berasal dari Timur Tengah dan menjadi ciri khas kawasan Kalimantan. Lagu Paris Berantai menjadi ciri khas daerah ini pula, khususnya di wilayah Selatan Kalimantan. Tari-tarian dan musik sapeh dari budaya masyarakat Dayak dengan sukusukunya seperti Modang, Kenyah, Muruts, Kadazan, Iban, Melanau, dan lainnya memberikan siasana dan nuansa tersendiri kesenian-kesenian di Pulau Kalimantan. Sulawesi pula menyumbangkan berbagai kesenian tradisinya seperti ensambel gendangnya, dengan berbagai tarian dan musik. Ada genre musik kecapi, musik gendang tradisi Bugis, suling culalabai, suling buluh. Ada pula Tari Pelangi, Tari Paduppa Bosara, Tari Pattenung, Tari Pajoge,Tari Anak Masari, dan lain-lainnya. Kesemua ini memberikan identitas khas kepada seni budaya di kawasan Sulawesi. Begitu juga di wilayah-wilayah lain di seluruh Indonesia. Keberadaan seni tradisi di seluruh kepulauan di Indonesia yang berbasis pada budaya maritim ini, merupakan perwujudan alamiah, bahwa secara realitas Indonesia adalah multikultur, tidak monokultur. Seni budaya yang ada ini menjadi modal dasar dalam membina konsep multikulturalisme ala Indonesia, tepatnya bhinneka tunggal ika. Ide multikultu-ralisme yang perlu dikembangkan di Indonesia adalah untuk kepentingan integrasi nasional, bukan untuk menjadi daerah-daerah merdeka, dan dibumbui oleh benihbenih disintegrasi, yang diakibatkan oleh ketidakadilan. Dalam rangka mewujudkan keadaan multikultural yang saling menghargai perbedaanperbedaan budaya, maka diperlukan pagelaran atau pertunjukan kesenian. Globalisasi Pada asanya, globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia (world view, weltanchauung), produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk kemunculan 15
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
telegraf dan internet, merupakan faktor utama dalam globalisasi yang semakin mendorong saling ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi dan budaya. Meski sejumlah pihak menyatakan bahwa globalisasi berawal di era modern, beberapa pakar lainnya melacak sejarah globalisasi sampai sebelum zaman penemuan Eropa dan pelayaran ke Dunia Baru. Ada pula pakar yang mencatat terjadinya globalisasi pada milenium ketiga sebelum Masehi. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, keterhubungan ekonomi dan budaya dunia berlangsung sangat cepat. Istilah globalisasi makin sering digunakan sejak pertengahan tahun 1980-an dan lebih sering lagi sejak pertengahan 1990-an. Kemudian selepas itu, pada tahun 2000, Dana Moneter Internasional (IMF) mengidentifikasi empat aspek dasar globalisasi: (1) perdagangan dan transaksi, (2) pergerakan modal dan investasi, (3) migrasi dan perpindahan manusia, dan (4) pembebasan ilmu pengetahuan. Selain itu, tantangan-tantangan lingkungan seperti perubahan iklim, polusi air dan udara lintas perbatasan, dan penangkapan ikan dan sejenisnya secara besarbesaran dari lautan juga ada hubungannya dengan globalisasi. Proses globalisasi memengaruhi dan dipengaruhi oleh bisnis dan tata kerja, ekonomi, sumber daya sosial-budaya, dan lingkungan alam. Dalam konteks sejarah umat manusia, istilah globalisasi (globalization) diambil dari kata globalize yang mengacu pada kemunculan jaringan sistem sosial dan ekonomi berskala internasional. Terminologi ini pertama kali digunakan sebagai kata benda dalam sebuah tulisan berjudul “Towards New Education” yang dalam tulisan ini. kata globalisasi di sini menunjukkan pandangan pengalaman manusia secara menyeluruh di bidang pendidikan. Istilah serupa, corporate giants (raksasa perusahaan), dicetuskan oleh Charles Taze Russell pada tahun 1897 untuk menyebut perusahaanperusahaan besar nasional pada waktu itu. Pada dasawarsa 1960-an, kedua istilah tadi mulai dijadikan sinonim oleh para ekonom dan ilmuwan sosial lainnya. Ekonom Theodore Levitt diakui secara luas sebagai pencipta istilah kata globalisasi melalui artikelnya yang berjudul "Globalization of Markets." Seiring kemajuan transportasi dan komunikasi, bisnis internasional tumbuh pesat setelah awal abad ke-20. Bisnis internasional mencakup semua transaksi komersial (swasta, penjualan, investasi, logistik, dan transportasi) yang terjadi antara dua wilayah, negara, dan bangsa atau lebih di luar batas politiknya. Diversifikasi internasional ini disesuaikan dengan 16
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
kinerja dan inovasi, namun biasanya kinerja meningkat dan inovasi menurun. Biasanya perusahaan-perusahaan swasta melakukan transaksi untuk mendapatkan laba. Transaksi bisnis semacam ini melibatkan sumber daya ekonomi seperti modal, sumber daya alam, dan sumber daya manusia untuk produksi barang fisik dan jasa internasional seperti keuangan, perbankan, asuransi, konstruksi, dan aktivitas produksi lainnya. Kerja sama bisnis internasional membuahkan perusahaan multinasional, yaitu perusahaan yang memiliki pendekatan global terhadap pasar dan produksi atau perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu negara. Sebuah perusahaan multinasional bisa juga disebut perusahaan transnasional. Perusahaan multinasional terkenal mencakup perusahaan makanan cepat saji seperti McDonald's dan Yum Brands, produsen kendaraan seperti General Motors, Ford Motor Company, dan Toyota, produsen elektronika konsumen seperti Samsung, LG, dan Sony, dan perusahaan energi seperti ExxonMobil, Shell, dan BP. Sebagian besar perusahaan besar beroperasi di beberapa pasar nasional. Perusahaan atau bisnis umumnya berpendapat bahwa kelangsungan di pasar global yang baru mengharuskan mereka untuk mencari barang, jasa, tenaga kerja, dan material dari luar negeri supaya produk dan teknologinya bisa terus diperbarui agar dapat bertahan di tengah-tengah persaingan yang memanas.[44] Menurut laporan terkini dari McKinsey Global Institute, arus barang, jasa, dan keuangan mencapai $26 triliun pada tahun 2012 atau 36 persen dari PDB global. Jumlah tersebut 1,5 kali lebih banyak ketimbang tahun 1990. Seterusnya dalam konteks globalisasi sirancang Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zone; SEZ) yang merupakan kawasan geografis hukum ekonomi dan hukum lainnya lebih condong ke pasar bebas daripada hukum nasional negara tersebut. Hukum nasional bisa ditangguhkan di dalam zona khusus ini. Kategori SEZ mencakup berbagai macam zona, termasuk Zona Perdagangan Bebas (FTZ), Zona Pemrosesan Ekspor (EPZ), Zona Bebas (FZ), kawasan industri (IE), pelabuhan bebas, Zona Perusahaan Kota, dan lain-lain. Biasanya, tujuan zona ini adalah meningkatkan investasi langsung asing oleh investor asing, terutama bisnis internasional atau perusahaan multinasional (MNC). Zona ini adalah wilayah khusus yang pajak perusahaannya sangat rendah atau bahkan ditiadakan sama sekali untuk mendorong aktivitas ekonomi. Pelabuhan bebas sejak dulu memiliki peraturan cukai yang 17
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
menguntungkan, misalnya pelabuhan bebas Trieste. Seringkali pelabuhan bebas ini merupakan bagian dari zona ekonomi bebas. FTZ adalah tempat barang didatangkan, ditangani, diproduksi atau disesuaikan, dan diekspor kembali tanpa campur tangan otoritas bea cukai. Ketika barang sudah pindah ke tangan konsumen di dalam negara di luar FTZ, barulah barang tersebut tunduk pada peraturan cukai yang ada. Zona perdagangan bebas ditetapkan di sekitar pelabuhan besar, bandara internasional, dan perbatasan nasional, tempat-tempat dengan keuntungan dagang secara geografis. Kawasan perdagangan bebas adalah blok dagang yang negara-negara anggotanya telah menandatangani perjanjian perdagangan bebas yang menghapus tarif, kuota impor, dan preferensi pada sebagian besar (jika tidak semua) barang dan jasa yang diperdagangkan antarnegara. Jika penduduknya bebas berpindah antarnegara, selain kawasan perdagangan bebas, kawasan ini juga bisa dianggap sebagai perbatasan terbuka. Uni Eropa, yang beranggotakan 27 negara, menyediakan kawasan perdagangan bebas dan perbatasan terbuka. Zona Industri Khusus (Qualified Industrial Zone; QIZ) adalah kawasan industri yang menaungi operasi pabrik di Yordania dan Mesir. QIZ adalah zona perdagangan bebas khusus yang didirikan bekerja sama dengan Israel untuk memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas antara Amerika Serikat dan Israel. Di bawah perjanjian dagang dengan Yordania seperti yang ditetapkan Amerika Serikat, barang-barang yang diproduksi di QIZ bisa langsung masuk ke pasar AS tanpa tarif datau kuota impor jika memenuhi syarat tertentu. Untuk mendapat status tersebut, barang yang dihasilkan di zona ini harus mengandung sedikit sumbangan atau input dari Israel. Selain itu, nilai minimum sebesar 35% harus ditambahkan ke produk akhirnya. QIZ adalah ide pebisnis Yordania Omar Salah, dan QIZ pertama ditetapkan oleh Kongres Amerika Serikat pada tahun 1997. Asia Pasifik disebut-sebut sebagai "kawasan dagang paling terintegrasi di muka Bumi" karena perdagangan intraregionalnya mencakup sekitar 50-60% dari total impor dan ekspor Asia Pasifik. Asia Pasifik juga memiliki perdagangan ekstraregional. Ekspor barang konsumen seperti televisi, radio, sepeda, dan tekstil ke Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang turut mendorong ekspansi ekonomi.
18
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN adalah perjanjian blok dagang Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) yang mendukung produsen lokal di semua negara ASEAN. Perjanjian AFTA ditandatangani pada 28 Januari 1992 di Singapura. Ketika perjanjian AFTA ditandatangani, ASEAN masih beranggotakan enam negara, yaitu Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Vietnam bergabung tahun 1995, Laos dan Myanmar tahun 1997 dan Kamboja tahun 1999. Pariwisata adalah perjalanan untuk keperluan rekreasi, liburan, atau bisnis. Organisasi Pariwisata Dunia mendefinisikan wisatawan sebagai orangorang yang "bepergian ke dan menetap di tempat-tempat selain lingkungan sekitar mereka selama tidak lebih dari satu tahun untuk keperluan liburan, bisnis, dan lain-lain." Ada bermacam bentuk pariwisata seperti wisata pertanian, wisata kelahiran, wisata kuliner, wisata budaya, wisata lingkungan, wisata ekstrem, wisata geografi, wisata sejarah, wisata medis, wisata laut, wisata budaya pop, wisata agama, wisata kumuh, wisata perang, dan wisata kehidupan liar. Globalisasi membuat pariwisata sebagai aktivitas liburan global yang populer. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa saat ini juga ada sekitar 500.000 orang di dalam pesawat terbang di seluruh dunia. Penerbangan modern memudahkan manusia bepergian jarak jauh. Peranan Budaya Nusantara dalam Globalisasi Seperti sudah diuraikan di atas, bahwa mau atau tidak mau kita masyarakat Nusantara telah masuk ke dalam proses dunia yang disebut globalisasi. Menolak dengan keras globalisasi tentu tidak akan berguna secara sosiokultural. Berpaham bahwa globalisasi memiliki dampat negatif boleh saja, walaupun sebenarnya ada pula berbagai dampak positifnya. Dalam menyikapi globalisasi adalah pentingnya kebijaksanaan yang berlandaskan pada konsep-konsep sendiri yang universal. Dalam masyarakat Melayu misalnya terdapat konsep adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah. Konsep budaya ini sangat relevan untuk dijadikan landasan berpikir dan bertindak masyarakat Melayu di era globalisasi. Berdasarkan aspek-aspek universal, maka manusia Melayu dalam komunikasi sosiobudayanya dengan semua masyarakat di dunia akan diarahkan oleh konsep tersebut ke arah yang tepat dan benar, mengacu pada arahan Tuhan. 19
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
Peranan peradaban masyarakat pesisir yang menjadi ciri utama budaya Nusantara, dalam konteks globalisasi cukup signifikan. Di antara peranan tersebut adalah: (1) sangat kaya dan beragamnya kebudayaan rumpun Melayu dan Melanesia di Nusantara ini, yang terus diperkuat funginya dalam saluran sosial kemasyarakatan, dan menjadi kekuatan budaya dalam konteks globalisasi. Peran multikultural ini, menjadi sumber dalam pergaulan dan komunikasi secara internasional. Bahkan lebih jauh keberadaan multikultural ini menjadi aset pariwisata nasional kita, yang dapat menambah nilai ekonomis melaluinya. Pariwisata Indonesia memang diakui masih belum maksimal untuk meraih devisa yang besar. Namun tekad pemerintah untuk melesatkan industri ini sangat penting diapresiasi oleh kita semua. Pariwisata Indonesia tentu saja mengandalkan bidang kebudayaan yang multikultural sebagai aset utamanya, di samping wisata alam. Berbagai aset wisata seni budaya seperti terurai di atas perlu terus ditingkatkan dalam pemungsiannya di dalam industri wisata. Yang cukup berhasil adalah beberapa wilayah seperti Bali, Yogyakarta, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat. Kini muncul pula konsep wisata halal, yang dipelopori oleh NTB, Aceh, dan Sumatera Barat. Hal senada juga dilakukan oleh Vietnam. Kemudian salah satu contoh peran kultural ini, adalah didirikannya sebuah mesjid di Kedah yang arsitekturnya mengambil bentuk Masjis Azizi di Tanjungpura Langkat. Demikian pula tarekat Naqsyabandiah di Babussalam Langkat menjadi aset wisata agama dan juga sejarah, yang menjadi daya tari tersendiri bagi masyarakat Melayu di Dunia Melayu. Demikian pula istana Maimun, Masjid Al-Amsun, Kesultanan Serdang, Kedatukan Batubara, Asahan, Tanjungbalai, dan lainnya menjadi aset wisata kultural yang perlu dibenahi fasilitas-fasilitasnya secara kontinu. Ini membuktikan bahwa budaya Melayu di kawasan ini menjadi sumber budaya Melayu di kawasan lainnya di Dunia Melayu. (2) Peran lainnya budaya Nusantara dalam globalisasi adalah pemungsian produksi di kawasan ini dalam konteks bisnis secara internasional. Seperti diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki produksi yang potensial dalam konteks globalisasi. Di antara produksi-produksi itu, adalah kelapa sawit (biasa diekspor dalam bentuk CPO), karet, coklat, juga batubara, bauksit, gas alam, emas, ikan, produksi maritim, dan lain-lainnya. Semestinya dalam konteks globalisasi ini peran 20
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
Indonesia adalah kuat dan memiliki daya tekan secara politis, jika kita mengcu kepada undang-undang dasar kita. Peran aktif di bidang bisnis indutri ini harus benar-benar mengacu kepada kepentingan bangsa, bukan kepentingan sekelompok elit politik dan pengusaha saja. Sebaiknya peran lain dalam konteks bisnis ini adalah peningkatan produksi dari bahan mentah menjadi olahan yang siap pakai dan mengacu pada standar kualitas barang dagangan secara internasional. (3) Peran Indonesia dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN juga cukup signifikan. Bahwa Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, baik dari sisi jumlah penduduk, wilayah, maritim, seni budaya, olah raga, dan lain-lainnya. Indonesia semestinya lebih perlu meningkatkan peranannya dalam konteks MEA ini, dengan lebih banyak memproduksi barang dan jasa ke wilayah-wilayah ASEAN, dan menjadi negeri terkemuka dalam semua bidang di Asia Tenggara. (4) Peran lainnya peradaban (kebudayaan) Indonesia di dalam konteks globalisasi ini adalah menjaga harmoni hubungan antara bangsa. Bahwa sebagai negara yang mendirikan Negara-negara Non Blok sesuai arahan kebudayaan, Indonesia berperan aktif dalam mengintegrasikan umat manusia seluruh dunia agar damai dan sejahtera, bukan menyelesaikan masalah dengan peperangan. Dalam hal ini Indonesia telah banyak berperan dalam menegakkan perdamaian secara global, seperti ikutsertanya dalam berbagai misi perdaiaman PBB, menjadi pengah masalah-masalah internaional, seperti di Thailand, Filipina Selatan, Myanmar, Kamboja, dan lain-lainnya. Semua ini mengacu kepada nilai-nilai peradaban yang terdapat di Nusantara ini. (5) Peran berikutnya peradaban Nusantara dalam konteks globalisasi ini adalah integrasi negara-negara penutur bahasa Indonesia dan Melayu dalam sebuah lembaga yang disebut MABBIM (Majelis Bahasa Brunai, Indonesia, dan Melayu). Seperti dimahfumi bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar di beberapa negeri rumpun Melayu di Asia Tenggara, seeprti: Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, dan Indonesia sendiri. Bahkan hampir setengah penduduk Asia Tenggara menggunakan bahasa ini. Indonesia bersama negeri rumpun Melayu berusaha menjadikan bahasa Indonesia (Melayu) ini menjadi bahasa dunia, karena penuturnya adalah peringkat lima di dunia. Begitu juga dengan peran-peran lainnya,
21
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
yang perlu dikaji terus-menerus untuk kepentingan bangsa ini dalam konteks memasuki proses mendunia yakni globalisasi. Bibliografi Afrida. 2005. Jurnal Antropologi “Kehidupan Sosial-ekonomi Masyarakat Nelayan di Pantai Utara Jawa Tengah.” Alfian (ed.), 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. Azyumardi Azra, 2007a. Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Formation. Bandung: Mizan. Azyumardi Azra, 2007b. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Jakarta: Kanisius. Coombs, P. H., C. Prosser, C., dan M. Ahmed, 1973. New Paths to Learning for Rural Children and Youth. New York: International Council for Educational Development. Coombs, P.H. dan M. Ahmed, 1974. Attacking Rural Poverty. How Non-formal Education Can Help. Baltimore: John Hopkins Press. Faisal Ismail. 1982. Agama dan Kebudayaan. Bandung: Alma’arif. Farmer, Edwar L., 1977. Comparative History of Civilization in Asia (Jilid I). Filipina: Addison-Wesley. Hawkes, Terence. 1980. Structuralism and Semiotics. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Ismail Husein, 1997. Antara Dunia Melayu dengan Dunia Indonesia. Kuala Lumpur: Universiti Kebangsaan Malaysia. Jones, Tom B. 1960. Ancient Civilization. Chicago: Rand McNally & Co. Kamus Besar bahasa Indonesia (versi elektronik), 2010. Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Rineka Cistra. Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Perwira. Kusnadi, 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. Kusnadi. 2010.”Kebudayaan Masyarakat Nelayan”. (Makalah ilmiah disampaikan dalam kegiatan Jelazah Budaya Tahun 2010. Malinowski, 1987. “Teori Fungsional dan Struktural,” dalam Teori Antroplologi I. Koentjaraningrat (ed.), Jakarta: Universitas Indonesia Press. Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chicago: Nortwestern University. Muhammad Takari dan Heristina Dewi, 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera Utara Press. Muhammad Takari, 2009. “Kebudayaan Nasional Indonesia dan Malaysia: Gagasan, Terapan, dan Bandingannya” dalam Setengah Abad Hubungan Malaysia—Indonesia. (ed. Mohammad Redzuan Othman dkk.) Kuala Lumpur: Arah Publications, pp. 439472. Muhammad Takari dkk., 2012. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Studia Kultura. Muhammad Takari, A. Zaidan B.S., dan Fadlin, 2012. Sejarah Kesultanan Deli dan Peradaban Masyarakatnya. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
22
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
Ngalim Purwanto, 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Radcliffe-Brown, A.R., 1952., Structure and Function in Primitive Society. Glencoe: Free Press. Sanjaya Wina, 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Soerjono Soekanto, 1987. Sosiologi: Suatu Pengantar. Edisi Baru Ketiga. Jakarta: Rajawali Press. Soetandyo Wignyosoebroto, 2009. Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodelogi. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009. Tengku Lah Husni, 1975. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Pesisir Sumatera Timur 1612-1950. Medan: B.P. Lah Husni. Tengku Lah Husni, 1986. Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tengku Luckman Sinar, 1988. Sejarah Deli Serdang. Lubuk Pakam: Badan Penerbit Pemerintah Daerah Tingkat II Deli Serdang. Tengku Luckman Sinar, 1988. “Perkembangan Sejarah Musik dan Tari Melayu dan Usaha Pelestariannya.” Makalah dalam Seminar Budaya Melayu Indonesia, di Stabat, Langkat, 1986. Tengku Luckman Sinar, 1990. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. Medan: Perwira. Tengku Thyrhya Zein Sinar, 2010. Kajian Linguistik Fungsional Sistemik terhadap Representasi Ideologi Ketuhanan, Alam, dan Manusia dalam Budaya Teks Melayu Serdang. Disertasi Doktoral, Program Studi Linguistik, Universitas Sumatera Utara Medan. Vicar, 2007. ”Gambaran Kehidupan Masyarakat Pesisir pantai Timur Sumatera.”
Diakses pada 1 Maret 2016 pukul 14.00.
TENTANG PENULIS Muhammad Takari, Dosen Fakultas Ilmu Budaya USU, lahir pada tanggal 21 Desember 1965 di Kotapinang, Labuhanbatu. Menamatkan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di Labuhanbatu. Tahun 1990 menamatkan studi sarjana seninya di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya tahun 1998 menamatkan studi magister humaniora pada Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tahun 2009 menyelesaikan studi S3 Pengajian Media Komunikasi Seni di Universiti Malaya, Malaysia. Aktif sebagai dosen, peneliti, penulis di berbagai media dan jurnal dalam dan luar negeri. Beliau juga sering menjadi pemakalah dalam berbagai seminar di tingkat kabupaten/kota, Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, dan lainnya—juga di peringkat internasional seperti di Malaysia, Thailand, Singapura, Myanmar, dan lain-lain. Juga selalu melibatkan diri sebagai seniman khususnya musik Sumatera Utara, dalam rangka kunjungan budaya dan seni ke luar negeri. Menjabat
23
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
Ketua Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilum Budaya, Universitas Sumatera Utara, 2011-2017. Kini diamanahi oleh Kemenristek DIKTI c.q.USU untuk mengetuai Program Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan. Kantor: Jalan Universitas No. 19 Medan, 20155, telefon/fax.: (061)8215956. Rumah: Jalan Amal Luhur, Nomor 4, Kompleks Taman Impian Indah (TII), Helvetia Medan, e-mail: [email protected]; laman web: http://www.muhammad takari. weebly.com.
24
Muhammad Takari, 2017, “Peranan Peradaban Masyarakat Pesisir dalam Era Globalisasi.”
25