1
MOTIVASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM Maryani
Abstrak Motivasi merupakan hal yang berperan penting dalam meningkatkan suatu aktivitas kerja, karena motivasi merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan perilaku. Motivasi kerja adalah kemauan kerja suatu karyawan atau pegawai yang timbulnya karena adanya dorongan dari dalam pribadi karyawan yang bersangkutan sebagai hasil integrasi keseluruhan daripada kebutuhan pribadi. Istilah-istilah yang berbeda banyak dipakai psikolog dalam menyebut sesuatu yang menimbulkan perilaku, ada yang meneyebut sebagai motivasi (motivation) atau motif, kebutuhan (need), desakan (urge), keinginan (wish) dan dorongan (drive). Mencari teori motivasi bersumberkan pemikiran Islam sangatlah sulit, termasuk bagi kalangan cendekiawan Muslim. Kalaupun ada, hal itu hanyalah tafsiran ilmiah terhadap beberapa ayat Al Quran atau Hadis Nabi yang direlevansikan terhadap teori-teori motivasi yang telah ada.
Kata Kunci: Motivasi, Perspektif Islam A. Pendahuluan Produktivitas kerja diartikan sebagai hasil pengukuran mengenai apa yang telah diperoleh dari apa yang telah diberikan oleh karyawan dalam melaksanakan pekerjaan yang telah dibebankan pada kurun waktu tertentu. Produktivitas melibatkan peran aktif tenaga kerja untuk menghasilkan hasil maksimal dengan melihat kualitas dan kuantitas pekerjaan mereka. Dalam Islam menganjurkan pada umatnya untuk berproduksi dan berperan dalam berbagai bentuk aktivitas ekonomi. Islam memberkati orang yang bekerja dan menjadikannya bagian dari ibadah dan jihad bila diniatkan karena Allah SWT. Dengan bekerja, individu bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, mencukupi kebutuhan keluarganya dan berbuat baik terhadap tetangganya. Allah SWT, berfirman: Surat Al-Isra‟ ayat 70:
ۡ۞ولَ َقدۡ َكرَّ م َنا َبنِيۡ َءادَ َۡم َو َح َمل َٰ َنهُمۡ فِي ٱل َبرۡ َوٱل َبح ِرۡ َو َر َزق َٰ َنهُم م َن َ َٰ َّ ٠٧ يل ۡ ٗ ِى َكثِيرۡ ممَّنۡ َخلَق َنا َتفض َٰۡ َت َو َفضَّل َنهُمۡ َعل ِۡ ٱلطي َٰ َب
2
Artinya : Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memperoleh penghidupan), kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan. (Q.S. Al-Isra‟: 70).1 Dalam firman Allah SWT yang lain disebutkan:
ىا ِمه أ ْ ُىا فٍِ َمىَب ِكبِهَب َو ُكل ْ ىٗل فَٲمأ ُش ض َرلُ ا سِّصقِ ۖ ِهۦ َ هُ َى ٱلَّ ِزٌ َج َع َل لَ ُك ُم أٱۡلَ أس ٥١ َوإِلَ أُ ِه ٱلىُّ ُشى ُس Artinya: Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan (QS. Al-Mulk: 152( Ayat di atas menerangkan kepada kaum beriman untuk dapat meningkatkan produktivitas kerja guna memperoleh pendapatan yang dapat memperbaiki keadaan ekonominya. Pada dasarnya setiap perusahaan institusi lembaga selalu berupaya untuk meningkatkan produktivitasnya. Tujuan dari peningkatan produktivitas ini adalah untuk meningkatkan efesiensi material, meminimalkan biaya perunit produk dan memaksimalkan output per-jam kerja. Peningkatan produktivitas tenaga kerja merupakan hal yang penting, mengingat manusia lah yang mengelola modal, sumber alam dan teknologi, sehingga dapat memperoleh keuntungan darinya.3 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh produktivitas kerja karyawannya. Sedangkan produktivitas kerja karyawan sangat dipengaruhi oleh faktor motivasi kerja dan budaya kerja.4 Bekerja adalah bagian dari hidup yang tidak bisa dipisahkan dengan manusia, sebab akan menjadikan manusia hidup lebih bermakna. Orang
1
2
3 4
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Alwaah, 1989, hal 435. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Alwaah, 1989, hal 956 Opcit, hal 37. Bambang Tri Cahyono, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Badan Penerbit IPWI, 1996, hal 282.
3
bekerja dalam organisasi karena terdorong adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sesuatu yang mendorong seseorang untuk bekerja dalam organisasi adalah cerminan yang paling sederhana dari motivasi dasarnya. Motivasi merupakan hal yang berperan penting dalam meningkatkan suatu aktivitas kerja, karena motivasi merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan perilaku. Motivasi kerja adalah kemauan kerja suatu karyawan atau pegawai yang timbulnya karena adanya dorongan dari dalam pribadi karyawan yang bersangkutan sebagai hasil integrasi keseluruhan daripada kebutuhan pribadi. Istilah-istilah yang berbeda banyak dipakai psikolog dalam menyebut sesuatu yang menimbulkan perilaku, ada yang meneyebut sebagai motivasi (motivation) atau motif, kebutuhan (need), desakan (urge), keinginan (wish) dan dorongan (drive).5 Dalam konteks sekarang, motivasi adalah proses-proses psikologis meminta, mengarahkan, arahan dan menetapkan tindakan sukarela yang mengarah pada tujuan.6 Pimpinan suatu perusahaan hendaknya selalu memotivasi karyawan untuk berprestasi lebih baik. Oleh karena itu, motivasi merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja karyawan. Dengan motivasi yang terpelihara baik diharapkan tujuan dan target yang ditetapkan perusahaan dapat dicapai. Dengan demikian faktor motivasional menjadi sesuatu yang sangat penting oleh karena segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan dan target serta pencapaian tujuan organisasi selalu diawali dengan satu titik yaitu motivasi. Titik awal yang baik cenderung akan mempunyai tindak lanjut yang baik sampai akhirnya tujuan organisasi dapat tercapai dengan gemilang. Banyak upaya yang dilakukan perusahaan untuk memacu motivasi kerja karyawannya misalnya dengan insentif, mutasi, latihan, magang, dsb. Dalam banyak penelitian di perguruan tinggi hal ini secara umum mempunyai korelasi yang baik.
5
6
Sukanto Reksohadiprojo dan T. Hani Handoko, Organisasi Perusahaan, Teori Struktur dan Perilaku, Yogyakarta: BPFE, 2000, hal 252. Robert Kreitner dan Angelo Kinicki, Perilaku Organisasi, alih bahasa Erly Suandy, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2003, hal 248.
4
B. Konsep Motivasi Secara Umum Motivasi merupakan unsur penting dalam suatu aktivitas kerja, karena motivasi merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan perilaku. Motivasi adalah kejiwaan dan sikap mental manusia yang memberikan energi, mendorong kegiatan atau gerakan yang mengarah dan menyalurkan perilaku kearah mencapai kebutuhan yang memberI kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan.7 Motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan.8 Gomez-Mejia menyatakan motivasi adalah keinginan seseorang untuk melakukan pekerjaan sebaikbaiknya atau melakukan usaha yang maksimal untuk menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan. Motivasi memberi energi, mengarahkan dan menjaga perilaku manusia.9 Keinginan untuk melakukan sesuatu yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri disebut juga dengan motivasi internal, tetapi ada juga motivasi yang berasal dari luar dirinya (eksternal). Menurut Heidjrachman Ranupandojo dan Suad Husnan ada tiga kelompok teori motivasi yaitu: a. Conten Teori Teori ini menekankan arti pentingnya pemahaman faktor-faktor yang ada di dalam individu yang menyebabkan mereka bertingkah laku tertentu. Teori ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: kebutuhan apa yang dipuaskan oleh seseorang? Apa yang menyebabkan mereka melakukan sesuatu? Dalam pandangan ini setiap individu mempunyai
7
Muchdarsyah Sinungan, Produktivitas Apa dan Bagaimana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hal 134. Siagian, P. Sondang, Teori motivasi dan Aplikasinya, cetakan Ketiga,, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hal. 138 9 Gomez-Mejia, Luis R., et al., 2004.Managing Human Resources. 4th edition.New Jersey: Pearson Education, Inc. hal.19 8
5
kebutuhan yang ada didalam (inner needs) yang menyebabkan mereka didorong, ditekan, atau dimotivasikan untuk memenuhinya. b. Process Theory Proses Theory bukanya menekankan pada isi kebutuhan yang bersifat dorongan dari kebutuhan tersebut, tetapi pendekatan ini menekankan pada bagaimana dan dengan tujuan apa setiap individu dimotivisir. Dalam pandangan ini, kebutuhan hanyalah salah satu elemen dalam suatu proses tentang bagaimana para individu bertingkah laku. c. Reinforcement Theory Theory ini tidak menggunakan konsep suatu motivasi atau proses motivasi. Sebaliknya teori ini menjelaskan bagaimana konsekuensi perilaku dimasa yang lalu mempengaruhi tindakan dimasa yang akan datang dalam suatu siklus proses belajar. Dalam pandangan ini individu bertingkah laku tertentu karena dimasa lalu mereka belajar bahwa perilaku tertentu akan berhubungan dengan hasil yang menyenangkan, dan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat yang tidak menyenangkan”.10 Secara singkat Newstrom menyebutkan motivasi adalah kekuatan dari dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi dihasilkan dari kebiasaan orang dalam reaksi atas situasi tertentu.11 Kebiasaan dan situasi tertentu pada suatu saat tertentu ini mendorong orang untuk berperilaku tertentu pula. Motivasi adalah sesuatu dari dalam yang menggerakkan, mengarahkan dan memelihara perilaku (Pierce and Gordner, 2002: 219). Selanjutnya mereka juga mengemukakan pengertian work motivation (motivasi kerja) sebagai sejumlah usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai suatu tingkat prestasi kerja. Robbins12 menyatakan motivasi adalah suatu proses yang merupakan bagian dari keinginan seseorang untuk berusaha keras mencapai tujuan organisasi, dengan syarat terpenuhinya beberapa kebutuhan individu. Secara
10
Ranupandojo, Heidirachman-Husnan, Suad., Manajemen Personalia BPFE, Yogyakarta, 1990. Hal. 200 11 Newstrom, John W., & Davis, Keith, 1997. Organizational Behavior: Human Behavior at Work. 8th edition.New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. hal. 577 12 Robbins, Stephen P., & Judge, Timothy A., 2007. Organizational Behavior. 12th edition. New Jersey: Pearson Education Inc. hal. 392
6
umum motivasi mengacu pada usaha keras untuk mencapai tujuan, tetapi dalam manajemen, tujuan yang dimaksud adalah tujuan organisasi, karena berfokus pada perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan. Tiga elemen kuncinya adalah usaha, tujuan organisasi dan kebutuhan. Elemen usaha diukur dengan intensitas atau dorongan. Orang dengan motivasi tinggi akan berusaha sekeras mungkin dan intensitas usaha itu sendiri. Usaha mengarah kepada tujuan organisasi yaitu semacam usaha yang harus dicari dan dicapai. Kebutuhan adalah sesuatu yang bersifat internal yang membuat suatu hasil tertentu tampak atraktif. Motivasi dapat diperlakukan sebagai proses pemuasan kebutuhan. Berkaitan dengan usaha dan kebutuhan tersebut, Cook menyebutkan motivasi merupakan suatu keputusan yang intens untuk melakukan satu atau beberapa aktivitas dengan usaha yang lebih besar daripada melakukan aktivitas lainnya. Pengertian ini mengandung tiga unsur, (1) beberapa kebutuhan, motif, atau tujuan yang memicu suatu aktivitas, (2) suatu proses pemilihan yang mengarahkan pilihan aktivitas, (3) suatu tingkat intensitas usaha atas aktivitas yang dipilih. Pada intinya, motivasi mengarahkan pemilihan dan pemimpinan perilaku, serta tingkat usaha.13 Motivasi sebagai suatu proses seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, merupakan proses pemuasan suatu kebutuhan. Kebutuhan yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan timbulnya perasaan tegang (tension). Hal ini membuat orang akan melakukan suatu usaha yang diiringi oleh intensitas, pengarahan
dan
keberlanjutan,
untuk
memenuhi
atau
memuaskan
kebutuhannya. Pada akhirnya tension dapat dikurangi.14 Salah satu penelaahan atas motivasi adalah pada isi kebutuhan manusia. Teori isi (content theories of motivation) ini adalah teori yang didasarkan pada pengidentifikasian kebutuhan khas manusia dan menjelaskan keadaan seputar kebutuhan tersebut yang menghasilkan perilaku. Pengamatan tentang perilaku ini, bahwa orang akan berusaha melakukan sesuatu dan mencoba menghindari
13
Cook, Curtis W., & Philip L. Hunsaker, 2001.Management and Organizational Behavior. 3 rd edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. hal. 199 14 Robbin, Stephen P., & Coulter, Mary, 2005. Management. 8th edition.New Jersey: Pearson Education, Inc. hal. 393
7
atau mengurangi dampak sesuatu yang lain, yang dikenal dengan perjuangan antara approach and avoidance behavior.15 Teori kebutuhan dikemukakan oleh Abraham Maslow dengan hierarchy of needs-nya. Kebutuhan manusia tidak sama besarnya, ia terklasifikasi secara logis dan baik yang tersusun dalam suatu urutan. Menurutnya, jika kebutuhan yang lebih primer telah terpenuhi, manusia akan lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan yang kedua. Jika kebutuhan yang kedua terpuaskan, manusia terfokus pada kebutuhan yang selanjutnya, sampai kebutuhan yang kelima. Maslow menyusun hirarki lima kebutuhan manusia itu dalam bentuk piramid. Dimulai dengan kebutuhan fisiologis sebagai alas piramid yang mendapat porsi terbesar dari semua kebutuhan manusia. Setelah itu kebutuhan keamanan, cinta, percaya diri yang makin mengecil porsinya. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan manusia pada tingkat tertinggi yang terletak pada puncak piramid dengan porsi paling kecil. Teori ini merupakan teori yang kontroversial diantara para peneliti, terutama dalam karakteristik pemenuhan lima kebutuhan berdasarkan urutan hirarki. Clayton Alderfer, berdasarkan teori hirarki kebutuhan Maslow, dengan riset empirik, menyusun kembali lima kebutuhan kedalam tiga kategori yang dikenal sebagai ERG theory. Teori ERG ini merupakan penyederhanaan Alderfer atas teori isi kedalam kategori kebutuhan eksistensi, hubungan dan pertumbuhan, serta membenarkan bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat diusahakan pada suatu satu tertentu tanpa ditentukan oleh hirarki.16 Selain berdasarkan isi kebutuhan, motivasi juga berhubungan dengan kebutuhan
yang
berhubungan
dengan
kerja.
Frederick
Herzberg
mengemukakan teori dua faktor. Two-factor theory adalah teori yang menghubungkan faktor intrinsik pada kepuasan kerja dan faktor ektrinsik pada ketidakpuasan. Kedua faktor dikenal sebagai factor motivation yang berasal dari pekerjaan itu sendiri dan dapat menciptakan kepuasan kerja, dan faktor hygiene yang merupakan kondisi pekerjaan dan dapat menciptakan
15 16
Cook, Curtis W., & Philip L. Hunsaker, hal. 199 Ibid, hal. 202
8
ketidakpuasan jika tidak mencukupi.17 Douglas McGregor mengajukan dua pandangan atas manusia yang terkenal dengan Theory X dan Theory Y. Teori X berasumsi bahwa karyawan tidak suka bekerja, malas, menghindari tanggungjawab dan harus didorong untuk berprestasi. Sementara Teori Y berasumsi
bahwa
karyawan
menyukai
pekerjaan,
kreatif,
mencari
tanggungjawab dan berusaha sendiri untuk berprestasi.18 Teori-teori tersebut diatas merupakan teori klasik tentang kebutuhan manusia. Tingkat kebutuhan tersebut mempengaruhi perilaku seseorang. Lebih sulit lagi, bagaimana memprediksi tindakan seseorang ketika ia termotivasi karena kebutuhan tingkat rendah atau kebutuhan hygiene. Ketika dikaitkan dengan keinginan yang tidak terpuaskan, teori ini tidak selalu memberitahu bagaimana seseorang berperilaku untuk memuaskannya.19 Setelah itu berkembang teori yang disebut sebagai teori motivasi kontemporer karena memperlihatkan cara pandang terkini dalam menjelaskan motivasi. David McClelland membangun teori tiga kebutuhan yang merupakan motif utama dalam bekerja, yaitu prestasi, kekuasaan dan afiliasi. Kebutuhan prestasi adalah dorongan untuk menggali, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, berusaha keras untuk sukses. Kebutuhan kekuasaan adalah keinginan untuk membuat orang lain bertindak sebagaimana yang ia inginkan. Kebutuhan afiliasi adalah keinginan untuk berhubungan yang akrab dan dekat antar individu.20 Teori motivasi kontemporer selanjutnya adalah cognitive evaluation theory, yang diteliti pertama kali kali oleh Tolman dan Lewin 21 yaitu teori yang menyatakan bahwa alokasi penghargaan ekstrinsik pada perilaku yang sebelumnya diberi penghargaan instrinsik cendrung menurunkan tingkat motivasi keseluruhan. Selain itu ada goal-setting theory, yaitu teori yang
17
18 19
20
21
Robbins, Stephen P., & Judge, Timothy A., 2007. Organizational Behavior. 12th edition. New Jersey: Pearson Education Inc. hal. 169 Ibid., hal. 169 Cook, Curtis W., & Philip L. Hunsaker, 2001.Management and Organizational Behavior. 3 rd edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. hal. 207 Robbin, Stephen P., & Coulter, Mary, 2005. Management. 8th edition.New Jersey: Pearson Education, Inc. hal. 396 Porter, Lyman W.,&Steers, Richard M., 2003. Motivation and Work Behavior. 7th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. hal. 13
9
menyatakan bahwa tujuan yang spesifik dan sulit dengan umpan balik mengarah pada kinerja yang lebih baik.22 Teori lainnya adalah self-efficacy theory, mengacu kepada kepercayaan individu bahwa ia mampu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Teori ini dikenal juga sebagai teori kognitif sosial. Dalam teori penguatan (reinforcement theory), ditekankan bahwa perilaku adalah fungsi dari konsekuensinya. Teori keseimbangan, equity theory adalah teori dimana individu membandingkan masukan dan keluaran pekerjaan mereka dengan orang lain kemudian berusaha mengurangi ketidakseimbangan. Teori harapan (expectancy theory) dari Victor Vroom menyatakan bahwa kekuatan kecendrungan bertindak sesuai cara tertentu tergantung pada kekuatan harapan bahwa tindakan itu akan diikuti dengan hasil tertentu dan pada menariknya hasil tersebut bagi individu.23 C. Motivasi Dalam Perspektif Islam Teori-teori motivasi yang dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dipaparkan di atas, sebagian besar masih bersifat jangka pendek. Artinya, hanya sekadar pemenuhan kebutuhan atau perilaku manusia dalam kehidupannya di dunia. Motivasi tersebut berorientasi kepada reward yang biasanya dapat diukur dengan materi. Di lain pihak, secara syariah Islam, kehidupan manusia tidak dibatasi hanya di dunia saja. Ada kehidupan lain yang lebih penting setelah melewati alam fana ini, yaitu kehidupan di alam akhirat. Gerak aktivitas manusia didunia ini, haruslah dimotivasi oleh adanya keyakinan atas kehidupan akhirat ini. Dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam, ada definisi yang dikemukakan oleh pakar ilmu jiwa, bahwa motivasi adalah dorongan atau keinginan psikologis atau kejiwaan yang ada pada diri seseorang, keinginan ini mempengaruhi perilaku pada keadaan khusus untuk memenuhi apa yang
22
23
Robbin, Stephen P., & Coulter, Mary, 2005. Management. 8th edition.New Jersey: Pearson Education, Inc. hal. 174 Ibid, hal. 190
10
dihajatkannya, keinginan ini berupa desakan-desakan atau dorongan-dorongan atau kecondongan hati untuk melakukan sesuatu.24 Terminologi motivasi dalam Islam disebut ad daafi’ dalam bentuk tunggal, atau ad dawaafi’ dalam bentuk jamak. Dalam artikelnya, Al Kaysi menjelaskan bahwa pakar ilmu jiwa membagi motivasi atau keinginan diri menjadi dua bagian, yaitu: (1) dorongan primer, dan (2) dorongan sekunder. Dorongan primer dinamakan juga motivasi/dorongan dasar atau fitrah atau alamiah. Dorongan primer dapat berupa dorongan/rasa lapar atau haus, dalam hal ini manusia tidak perlu mengusahaan sesuatu untuk mendapatkan rasa ini. Sedangkan dorongan sekunder adalah motivasi/dorongan yang harus diusahakan. Dalam hal dorongan ini, manusia berbeda antara satu dengan lainnya. Mencari teori motivasi bersumberkan pemikiran Islam sangatlah sulit, termasuk bagi kalangan cendekiawan Muslim. Kalaupun ada, hal itu hanyalah tafsiran ilmiah terhadap beberapa ayat Al Quran atau Hadis Nabi yang direlevansikan terhadap teori-teori motivasi yang telah ada. Untuk mengetahui motivasi kerja dalam Islam, kita perlu memahami terlebih dahulu fungsi dan kedudukan bekerja. Mencari nafkah dalam Islam adalah sebuah kewajiban. Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan kebutuhan manusia, diantaranya kebutuhan fisik. Dan, salah satu cara memenuhi kebutuhan fisik itu ialah dengan bekerja. Motivasi kerja dalam Islam itu adalah untuk mencari nafkah yang merupakan bagian dari ibadah. Motivasi kerja dalam Islam bukanlah untuk mengejar hidup hedonis, bukan juga untuk status, apa lagi untuk mengejar kekayaan dengan segala cara. Dengan demikian, motivasi kerja dalam Islam, bukan hanya memenuhi nafkah semata tetapi sebagai kewajiban beribadah kepada Allah setelah ibadah fardlu lainnya. Bekerja untuk mencari nafkah adalah hal yang istimewa dalam pandangan Islam. Allah telah berjanji kepada orang yang beriman dan melakukan pekerjaan yang baik bahwa bagi mereka ampunan Allah dan ganjaran yang besar (QS. 6:9), serta hadist nabi 24
Al Kaysi, Marwan Ibrahim, 1998. Ad Daafi‟iyatu al Nafsiyatu fi al‟Aqidatu al Islamiyahal Majalah Jami‟atu al Maliku Sa‟udi (10), Al „Ulum al Tarbiyatu wa Darasatu al Islamiyah, 1, pp. hal. 91.
11
“Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya keterampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni oleh Allah”. (HR. Ahmad).
Al-Qur'an memotivasi setiap muslim bekerja, dalam ayatnya:
ْ ُٱع َمل َّ ىا فَ َسَُ َشي َوقُ ِل أ ًٰ َون إِل َ ىن َو َستُ َش ُّد َ ۖ ُٱّللُ َع َملَ ُكمأ َو َسسُىلُهۥُ َو أٱل ُم أؤ ِمى ٥٠١ ىن َ ُب َوٱل َّش ٰهَ َذ ِة فَُُىَبِّئُ ُكم بِ َمب ُكىتُمأ تَ أع َمل ِ ُٰ َعلِ ِم أٱل َغ أ "Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS. At-Taubah, 9:105).
أ ْ ض َو أٱبتَ ُغ ْ صلَ ٰىةُ فَٲوتَ ِشش َّ ض ِل ىا ِمه فَ أ َّ ت ٱل ِٱّلل ِ َ ُض ِ ُفَئ ِ َرا ق ِ ُوا فٍِ ٱۡلَ أس ْ َو أٱر ُكش َّ ُوا ٱّللَ َكثِ ا ٥٠ ُىن َ ُشا لَّ َعلَّ ُكمأ تُ أفلِح "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung". (QS. Al-Jumu'ah, 62:10). Hal ini senada dengan apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu: Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll). (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi) Bangunlah pagi hari untuk mencari rezeki dan kebutuhan-kebutuhanmu. Sesungguhnya pada pagihari terdapat barokah dan keberuntungan. (HR. Ath-Thabrani dan Al-Bazzar) Sesungguhnya Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam benakku bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencaharianmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat
12
kepada Allah karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya. (HR. Abu Zar dan Al Hakim) Ayat dan hadist di atas menunjukkan bahwa adanya motivasi kerja yang utuh dalam Islam. Motivasi bekerja untuk mendapatkan ampunan dan ganjaran Allah adalah motivasi terbesar bagi seorang Muslim. Bekerja dalam Islam tidak hanya mengejar “bonus duniawi” namun juga sebagai amal soleh manusia untuk menuju kepada kekekalan. Selanjutnya Akh. Muwafik Saleh mengatakan selama ini, banyak orang bekerja untuk mengajar materi belaka demi kepentingan duniawi, mereka tak sedikitpun memerdulikan kepentingan akhirat kelak. Oleh karena itu sudah saatnya para pekerja bekerja dengan motivasi yang dapat memberikan kepribadian yang baik dan dibenarkan oleh Islam yang harus memenuhi ciriciri sebagai berikut:25 1) Niat Baik dan Benar (Mengharap Ridha Allah SWT) Sebelum seseorang bekerja, harus mengetahui apa niat dan motivasi dalam bekerja, niat inilah yang akan menentukan arah pekerjaan. Jika niat bekerja hanya untuk mendapatkan gaji, maka hanya itulah yang akan didapat. Tetapi jika niat bekerja sekaligus untuk menambah simpanan akhirat, mendapat harta halal, serta menafkahi keluarga, tentu akan mendapatkan sebagaimana yang diniatkan. Rasulullah SAW bersabda: Dari Sa‟ad bin Abu Waqqash ra, Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Sesungguhnya apa saja yang kamu nafkahkan (bekerja) yang kamu niatkan untuk mencari keridhaan Allah niscaya kamu akan diberi pahala sebagai apa yang kamu sediakan untuk makan istrimu.” (HR. Bukhari-Muslim). 2) Takwa Dalam Bekerja Takwa di sini terdapat dua pengertian. Pertama, taat melaksanakan perintah dan menjauhi segala bentuk larangan-Nya. Kedua, sikap tanggung jawab seorang muslim terhadap keimanan yang telah diyakini dan diikrarkannya. Orang yang bertakwa dalam bekerja adalah orang yang mampu bertanggung jawab terhadap 25
Akhal Muwafik Saleh, Bekerja dengan Hati Nurani, Erlangga, 2009, hal 65.
13
segala tugas yang diamanahkan. Orang yang bertakwa atau bertanggung jawab akan selalu menampilkan sikap-sikap positif, untuk itu orang yang bertakwa dalam bekerja akan menampilkan sikap-sikap sebagai berikut:
Bekerja dengan cara terbaik sebagai wujud tanggung jawab terhadap kerja dan tugas yang diamanahkan.
Menjauhi segala bentuk kemungkaran untuk dirinya dan orang lain dalam bekerja. Misalnya, tidak malas-malasan, merugikan rekan kerja, dsb.
Taat pada aturan.
Hanya menginginkan hasil pekerjaan yang baik dan halal. Allah SWT menjamin balasan kepada orang-orang yang bertaqwa dalam kehidupan ini, termasuk dalam bekerja
3) Ikhlas Dalam Bekerja Ikhlas adalah syarat kunci diterimanya amal perbuatan manusia disisi Allah SWT. Suatu kegiatan atau aktivitas termasuk kerja jika dilakukan dengan keikhlasan maka akan mendatangkan rahmat dari Allah SWT. Adapun ciri-ciri orang yang bekerja dengan Ikhlas yaitu: a) Bekerja semata-mata mengharap ridha Allah SWT. b) Bersih dari segala maksud pamrih dan ria. c) Penuh semangat dalam mengerjakan seluruh tugas pekerjaan. d) Tidak merasa rendah karena makian atau cercaan sehingga tidak mengurangi semangat dalam bekerja. Motivasi sebagai suatu proses seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, merupakan proses pemuasan suatu kebutuhan. Kebutuhan yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan timbulnya perasaan tegang (tension). Hal ini membuat orang akan melakukan suatu usaha yang diiringi oleh intensitas, pengarahan
dan
keberlanjutan,
untuk
memenuhi
kebutuhannya. Pada akhirnya tension dapat dikurangi.
atau
memuaskan
14
Tuntutan kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat, menurut al-Syatibi 26
ada 3 (tiga) kategori tingkatan kebutuhan itu yaitu: dharuriyat (kebutuhan
primer), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah (kebutuhan tertier).27 1. Dharuriyat, kebutuhan tingkat „primer” adalah sesuatu yang harus ada untuk eksistensinya manusia atau dengan kata lain tidak sempurna kehidupan mansia tanpa harus dipenuhi manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia, yaitu secara peringkatnya: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kelima hal itu disebut al-dharuriyat al-khamsah (dharuriyat yang lima).28 Kelima dharuriyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya Allah swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah swt
melarang melakukan
perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsur pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak baik, dan
karenanya
harus
ditinggalkan.
Semua
itu
mengandung
kemaslahatan bagi manusia.29 2. Hajiyat, kebutuhan tingkat “sekunder” bagi kehidupan manusia yaitu sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak 26
27
28
29
Al-Syatibi merupakan salah seorang pemikir ternama dalam sejarah intelektual Islam, khususnya dalam bidang fikihal Nama lengkapnya Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad alLakhmi al-Gharnati asy-Syatibi. Tidak ada ahli sejarah yang mengetahui secara pasti latar belakang kehidupan dan kelahirannya, hanya saja menurut catatan sejarah ia wafat pada tanggal 8 Sya‟ban 790 H (1388 M). Yang jelas, ia berasal dari suku Arab Lakhmi. Nama asySyatibi dinisbatkan ke daerah asal keluarganya, Syatibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak di kawasan Spanyol bagian timur. Sekalipun namanya dinisbatkan ke daerah ini, Imam al-Syatibi tidak dilahirkan di sana. Menurut catatan sejarah, kota Syatibah telah jatuh ke tangan Kristen yang mengakibatkan terusirnya seluruh penduduk muslim dari kota itu ejak tahun 645 H (1247), sekitar satu abad sebelum kelahiran al-Syatibi, dan sebagian besar di antaranya berhijrah ke Granada. Lihat Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Klasik hingga Kontemporer, cet ke-2, (Jakarta: Granada Press, 2007), hal 207, lihat pula Abdul Azis Dahlan, et. al., Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), Jilid 2, hal 187. Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th), Jilid 2, hal 25. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 209. Ibid.
15
mencapai tingkat dharuri. Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Namun demikian, keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam kehidupan mukallaf. 3. Tahsiniyat, kebutuhan tingkat “tertier” adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaan kebutuhan tingkat ini sebagai penyempurna dari dua tingkatan kebutuhan sebelumnya, ia bersifat pelengkap dalam kehidupan mukallaf, yang dititikberatkan pada masalah etika dan estetika dalam kehidupan. Berbeda dengan teori Maslow sifat manusia dalam pandangan Islam bersifat kompleks karena manusia terdiri dari unsur fisik dan spiritual. Namun Allah menganugerahkan manusia dengan kehendak bebas) dan pengetahuan (memberi orang itu bakat untuk mengetahui dan memahami kompleksitas alam semesta). Para sarjana Islam karenanya menyimpulkan bahwa ada lima kategori umum kebutuhan manusia: fisiologis, material, psikologis, spiritual dan mental atau intelektual (AlJasmani, 1996; Glaachi, 2000; Nusair, 1983; Syari'ati, 1979).30 Fisiologis dan material berkaitan dengan kebutuhan fisik sedangkan psikologis, spiritual dan mental/intelektual berkaitan dengan kebutuhan rohani. Kebutuhan fisiologis berupa kebutuhan makanan dan tempat tinggal. Pemenuhan kebutuhan ini pentingnya dan dijamin oleh Islam sejak era Rasulullah paling tidak ke tingkat pemenuhan kebutuhan minimum. Kebutuhan akan materi berupa kekayaan dan kenikmatan ekonomi juga diakui. Adapun kebutuhan psikologis seperti rasa cinta, rasa takut dan kebutuhan emosi lainnya. Adapun kebutuhan rohani berfokus pada iman, keharmonisan hidup, pemenuhan tujuan hidup secara spiritual. Secara normative, Islam menekankan keseimbangan (balance) dalam pemenuhan kelima kategori kebutuhan tersebut. Hamba Allah harus berjuang untuk 30
Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011, Universitas Islam "45" Bekasi dalam http://www.ejournalunisma.net/ojs/index.php/maslahah
16
memenuhi berbagai kebutuhan tersebut sebagai konsekuensi khalifah Allah, mencari kebajikan dan kesempurnaan hidup. Nabi Muhammad pernah berkata, "Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap Allah, diri sendiri, dan keluarga; dan hendaknya memberikan perhatian kepada setiap kewajiban itu.31 Al-Qur‟an menegaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pada beberapa derajat (QS. 58:11) Kebutuhan spiritual merupakan faktor potensial yang memungkinkan orang-orang yang menginternalisasi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidup secara spiritual. Suatu tesis baru tentang teori motivasi Islam adalah teori motivasi yang dikemukakan Al Ghazali.32 Karya keilmuan Al Ghazali dapat dikonstruksikan sebagai sebuah proses teorisasi ilmu yang memiliki karakter ilmiah, bukan sebagai wacana agama, etika dan tasawuf belaka, karena karya-karya Al Ghazali bisa diinterpretasikan dan diaktualkan untuk kepentingan yang lebih luas. Memang sudah saatnya, memakai pamikiran Al Ghazali tidak terbatas hanya pada bidang-bidang aqidah, akhlaq dan ibadah semata, tetapi lebih luas lagi pada bidang-bidang ilmu yang selama ini jauh dari sentuhan agama. Hal demikian termasuk dalam kepentingan manajemen, khususnya ketika memahami teori motivasi dalam manajemen sumber daya manusia. Gejala sosial dan individu yang dicermati dalam sebuah sistem sosial atau organisasi melahirkan sebuah studi tentang perilaku organisasi. Bila dilihat dari perspektif ini, peran lingkungan dalam mengkondusifkan organisasi menjadi penting untuk dirumuskan sebagai sebuah mekanisme organisasi yang sistematis. Dalam pemahaman seperti inilah Imam Al Ghazali memandang bagaimana motivasi seseorang muncul sehingga mampu 31
32
Glaachi, M. (2000), Studies in Islamic Economy, Dar An-Nafaes, Kuwait. Hal.59 Dalam Jurnal Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011 dalam http://www.ejournalunisma.net/ojs/index.php/maslahah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali adalah nama lengkapnya, Tiga nama Muhammad berturut ialah nama dirinya sendiri, nama ayahnya dan nama neneknya, barulah di atasnya lagi Ahmad. Kalangan umat Islam zaman dahulu biasa menghubungkan nama seseorang kepada ayahnya atau keluarganya. Tapi terkadang namaya diucapkan Ghazzali (dua z), artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah al-Ghazali (satu z), diambil dari kata Gazalah nama kampung kelahirannya. Al-Ghazali lahir di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M. Beliau termasuk seorang pemikir Islam terbesar dengan gelar Hujjatul Islam yang berarti pembela Islam, diberikan oleh dunia Islam atas kegigihan dan jasa-jasanya dalam membela Islam dari gencarnya gempuran arus pemikiran-pemikiran yang dihawatirkan dapat mengancam eksistensi Islam yang muncul dari kalangan filosof, mutakallimin, dan sufi.
17
meningkatkan prestasi kerjanya. Perspektif Al Ghazali dalam motivasi didasarkan pada bukunya Ihya Ulumuddin, khususnya dalam rubu (bagian) khauf wa raja’ (takut dan harap). Menurut Al Ghazali, konsep motivasi adalah perasaan takut dan harap sebagai sarana pendakian untuk mendekatkan diri kepada Allah menuju setiap peringkat yang terpuji.33 Jika diperhatikan sistematika penulisannya rubu ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu raja’ (harap) yang terdiri atas tiga bab dan khauf (takut) sebanyak sembilan bab. Hal ini mengisyaratkan bahwa Al Ghazali memandang rasa takut memiliki wacana yang lebih penting dari rasa harap, rasa takut merupakan konsep dengan gradasi dari negatif sampai positif, kendatipun demikian pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Harap dan takut ini merupakan dua sayap, yang merupakan sarana pendakian orangorang yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah menuju setiap peringkat yang terpuji. Juga, merupakan dua pisau, yang dengan keduanya, orang membedah titian jalan akhirat memotong setiap tebing yang sulit didaki.34 Harap dan takut ini bagi Al Ghazali memiliki dua manfaat yaitu (1) sebagai daya dorong untuk melakukan perjalanan dan perkembangan mental spiritual sehingga memiliki prestasi yang terpuji, (2) menjadi kontrol atau pisau kritis terhadap perjalanan spiritual atau mental. Implikasinya, yang mendorong kita untuk maju adalah adanya rasa harap dan yang menahan kita untuk melakukan perbuatan yang tidak produktif adalah rasa takut. Di sinilah tampak urgensi peran khauf dan raja‟ sebagai motif dasar menusia dalam menggerakkan perilaku manusia di muka bumi.35
33
34 35
Al Ghazali. Iman Abu Muhammad bin Muhammad, 2007. Ihya „Ulumuddin. Penerjemah: Ahmad Rofi‟ Usmani, Bandung: Penerbit Pustaka. Hal. 257 Ibid. Darmawan. Cecep, 2006. Kiat Sukses Manajemen Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insani Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyahal Bandung: Penerbit Khazanah Intelektual. Hal. 57
18
Gambar 1.1 Movasi Dalam Islam
Menurut Al Kaysi-seorang Associates Professor dari Universitas Yarmouk, Yordania, perasaan takut dan harap kepada Allah itu termasuk motivasi dari dalam diri manusia. Pandangan Al Kaysi sendiri terhadap motivasi dalam Islam adalah sebagaimana dalam Gambar 1.1 Dijelaskan bahwa motivasi manusia terbagi kedalam dua bagian. Dorongan dari luar diri manusia, berupa adanya surga di akhirat, adanya taufik di dunia, perasaan ingin selamat dari api neraka dan musibah. Dorongan ini dicapai
dengan
melaksanakan
banyak
kebaikan
dan
mengurangi
keburukan/kejahatan. Sedangkan motivasi dari dalam diri manusia dapat berupa cinta kepada Allah, takut kepada Allah, mengharap kepadaNya, dan malu kepada-Nya. Pada kedua jenis motivasi ini, Allah mensyariatkan tamsiltamsil/contoh-contoh pada nash-nash Al Quran dan Sunnah, seperti: sabar; taubat; tawakkal; akhlak yang baik; shalat; puasa; jihad; dan lain sebagainya. Dalam bentuk umum adalah mendekatkan diri pada Allah dengan melaksanakan kewajiban yang fardhlu (wajib) dan sunnah (sunat). Tamsiltamsil tersebut merupakan washilah (jalan) untuk mencapai tujuan (al-
19
ghayah). Al-ghayah itu sendiri adalah ridha Allah. Watson, dkk.36 juga mengemukakan salah satu nilai motivasi religius menurut Allport adalah fear of God, yang tidak lain adalah rasa takut. Rasa harap (raja’) adalah hati merasa senang karena menunggu apa yang disenangi akan tiba.37 Dalam pandang Al Ghazali, gerak psikologis manusia dalam hal harap, digambarkan dalam tiga kategori. Pertama, mereka yang memiliki harapan tentang masa depan, namun tidak ada sebab yang melatari munculnya harapan tersebut, mereka ini disebut pemimpi, pengharap tanpa sebab (berangan-angan). Kedua, mereka yang memiliki harapan tentang suatu hal, tetapi sebab-sebabnya masih tidak jelas, orang ini disebut tertipu atau dungu.Ketiga, orang yang memiliki harap dan dia berusaha untuk melakukan sebab-sebab yang dapat meraihnya, sikap ini yang sebenarnya disebut harap. Harap merupakan daya gerak terhadap perilaku manusia. Menurut Jalaluddin Rumi, berkembangnya nilai harap dalam diri seseorang, mampu mendorong energi positif dan mengarahkan manusia ke satu tujuan tertentu, termasuk adanya dinamika pemikiran yang proyektif (berprasangka baik dan optimisme). Rasa takut (khauf) adalah gerakan ketakutan dan terpaksanya hati disebabkan terjadi sesuatu yang tidak disukai pada masa mendatang, suatu perasaan takut yang dapat mencegah anggota badan dari perbuatan maksiat dan diikat dengan ketaatan.38 Dalam hal takut, menurut Al Ghazali, tidak semua rasa takut itu negatif dan tidak semua positif. Takut merupakan cemeti Allah yang akan membawa manusia pada ilmu dan amal. Rasa takut akan cemeti itu mampu menggerakkan perilaku manusia ke arah yang lebih baik, walaupun menekankan pentingnya memukul untuk mengubah perilaku sendiri, bukanlah hal yang terpuji. Rasa takut memiliki tiga tingkatan, yaitu (1) Rasa takut yang muncul secara singkat, seperti kepada binatang buas.Rasa takut ini tidak banyak mengubah perilaku manusia. (2) Rasa takut menengah yang mendorong manusia untuk mengubah perilaku dan mencegah anggota 36
37
38
Watson, P.J., et al., 2002. Negatively Reinforcing Personal Extrinsic Motivation, Religious Orientation, Inner Awareness, and Mental Health in Iran and The United State. The International Journal for The Psychology and Religion, 12(4), pp.255-276. Mujieb, M. Abdul, et al., 2009. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali: Mudah Memahami dan Menjalankan Kehidupan Spiritual. Jakarta: Penerbit Hikmahal Hal. 369 Mujieb, M. Abdul,et al., 2009. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali: Mudah Memahami dan Menjalankan Kehidupan Spiritual. Jakarta: Penerbit Hikmahal Hal. 241
20
badannya melakukan perbuatan maksiat. (3) Rasa takut yang berlebihan sehingga menghapus tumbuhnya rasa harap, sehingga orang bisa terjermus dalam mental putus asa, bimbang dan hilang akal, sehingga mencegah dirinya untuk beramal (QS. 39:53). Bagi manusia, ada dua hal yang ditakutinya. Pertama, ada yang ditakuti karena hakikat dirinya sendiri (an sich) atau zatnya, seperti takut kepada panasnya api. Kedua, ada yang merasa takut pada akibat dari suatu hal yang ditimbulkan dari penyebab itu sendiri, seperti takut pada AIDS. Dalam konteks praktis manusia moderen saat ini, manusia cenderung berpikiran pendek, sesaat dan yang tampak belaka.Sesuatu yang terlihat tidak mencelakakan atau tidak merugikan, banyak disukai dan dilakukan oleh mereka.Setelah melakukan hal itu, mereka mengalami kerusakan, kehinaan dan rasa sakit yang sulit disembuhkan.Mereka terjebak hanya karena tergoda oleh kenikmatan sesaat.39 Rasulullah bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa‟i dan Ibnu Majah dari Anas: “Keduanya (takut dosa dan rahmat Allah) itu tidaklah berkumpul pada hati hamba pada tempat ini, melainkan ia diberikan oleh Allah apa yang diharapkannya dan ia diamankan oleh Allah dari apa yang ditakutinya”. Khauf dan raja‟ adalah obat bagi mentalitas hati manusia. Kelebihan keduanya adalah menurut penyakit yang dihadapinya. Jikalau yang keras hati itu penyakit aman dari siksaan Allah dan tertipu diri, maka takutlah yang lebih utama, jikalau yang lebih lebih keras itu adalah putus asa dan hilang harapan dari rahmat Allah, maka haraplah yang lebih utama (Al Ghazali, 2007:329). Dalam hal ini Al Ghazali menekankan pada hasil diagnosis psikologis kita terhadap mental individu itu sendiri. Takut, dalam Islam juga diposisikan sebagai ujian, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al Quran, “Dan sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan” (QS. Al Baqarah:155). Menurut Sayyid Quthb, ayat tersebut menjelaskan tentang adanya keniscayaan untuk menempa jiwa dengan bencana dan ujian. Adanya rasa takut, merupakan „training‟ mental dan jiwa manusia. Oleh karena itu mereka yang memiliki 39
Darmawan. Cecep, 2006. Kiat Sukses Manajemen Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insani Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyahal Bandung: Penerbit Khazanah Intelektual. Hal. 63
21
positive thinking yang akan berhasil melewati rasa takut dan mampu meningkatkan kualitas hidpnya.40 Nilai keutamaan antara khauf dan raja‟ ini terletak dalam relevansinya dengan penyakit yang dimilikinya. Landasan teologisnya, terlihat dari pernyataan dalam Al Quran yang memposisikan keduanya secara bergantian. Dalam Surat As Sajdah, rasa takut di dahulukan dari rasa harap:
ىن َسبَّهُمأ َخ أى افب َوطَ َمعا ب َو ِم َّمب َ ضب ِج ِع ََ أذ ُع َ تَتَ َجبفَ ًٰ ُجىُىبُهُمأ َع ِه أٱل َم ٥١ ىن َ َُس َص أق ٰىَهُمأ َُىفِق 16. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezeki yang Kami berikan “... mereka berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan penuh ketakutan dan pengharapan...”(QS. Sajdah:16). Sedangkan dalam Surat Al Anbiya‟, rasa harap diposisikan lebih dahulu dibandingkan rasa takut,
ْ ُصلَ أحىَب لَ ۥهُ َص أو َج ۚٓۥهُ إِوَّهُمأ َكبو ٲستَ َج أبىَب لَ ۥهُ َو َوهَ أبىَب لَ ۥهُ ََ أحَُ ًٰ َوأَ أ فَ أ ىن َ ىا َُ ٰ َس ِش ُع ْ ُت َوََ أذ ُعىوَىَب َسغَبا ب َو َسهَبا ۖب َو َكبو ٠٠ ُه َ ىا لَىَب ٰ َخ ِش ِع ِ فٍِ أٱل َخ أُ ٰ َش 90. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu´ kepada Kami “...dan, mereka berdoa kepada Kami dengan pengaharapan dan rasa takut...”(QS. Al Anbiya‟:90). Rasa takut dan harap dapat menjadi obat bagi penyakit mental manusia, setelah sebelumnya telah melakukan diagnosiis psikologis. Ada dua cara menumbuhkan harap dan takut sebagai obat. Pertama, dengan menggunakan i‟tibar atau pemerhatian terhadap kasus yang ada, dimana fakta sosial atau 40
Quthb, Sayyid, 2000.Tafsir Fi Zhilalil Quran: Di Bawah Naungan Al Quran. Terjemahan Jilid 1. Jakarta: Gema Insani Press. Hal, 174.
22
data empiris menyajikan beberapa nasihat faktual bagi individu yang mengalami penyakit mental. Kedua, dengan merujuk petuah-petuah normatif yang diyakininya dari Al Quran dan Hadist.“Sesungguhnya, orang-orang yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, ialah orang-orang yang berilmu” (QS. Al A‟raf:154). Ayat tersebut menanamkan mental keimanan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah orang yang memiliki ilmu. Sambil menanamkan rasa takut pada siksa Allah, manusia harus memperdalam ilmunya, sehingga menimbulkan mental berprestasi.”Allah ridho kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah. Itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS Al Bayyinah: 8). Ayat tersebut menanamkan mental keimanan bahwa orang takut kepada Allah adalah orang yang memiliki mental keagamaan yakni ridho diatur oleh Allah, dan akibat dari sikap ini, Allah pun ridho kepadanya. Ada tiga langkah psikologis dalam diri individu dalam perjalanan pembinaan mentalnya. Tahap pertama yaitu kondisi aktual dalam dirinya masing-masing, rasa takut yang tinggi atau rasa harap yang tinggi, yang diketahui setelah diagnosis psikologis. Tahap kedua yaitu titik keraguan yang dimiliki individu, setelah diberikan terapi psikologis, yang merupakan masa transisi sebagai krisis mental manusia. Tahap ketiga yaitu peyakinan mental setelah mengalami krisis kepercayaan terhadap apa yang dimiliki sebelumnya. Setelah melewati ketiga tahap itu, perlu dilakukan pembinaan dan pematangan mental, yang merupakan proses lanjutan dari gerak transformasi psikologis. D. Kesimpulan Dengan motivasi yang terpelihara baik diharapkan tujuan dan target yang ditetapkan perusahaan dapat dicapai. Dengan demikian faktor motivasional menjadi sesuatu yang sangat penting oleh karena segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan dan target serta pencapaian tujuan organisasi selalu diawali dengan satu titik yaitu motivasi. Titik awal yang baik cenderung akan mempunyai tindak lanjut yang baik sampai akhirnya tujuan organisasi dapat tercapai dengan gemilang. Banyak upaya yang dilakukan perusahaan untuk memacu motivasi kerja
23
karyawannya misalnya dengan insentif, mutasi, latihan, magang, dsb. Dalam banyak penelitian di perguruan tinggi hal ini secara umum mempunyai korelasi yang baik. Motivasi yang ditinjau dari dimensi rasa harap dan takut sebagaimana yang dikemukakan oleh Al Ghazali perlu dipahami oleh karyawan pada organisasi berbasis Islam untuk memberi dorongan untuk berprestasi/ beramal dalam mengembangkan lembaga pendidikan Islam. Dengan motivasi yang sedemikian, karyawan dapat mencapai tujuan (al ghayah) yaitu ridha Allah, sehingga mendapatkan keuntungan bukan saja di dunia tetapi juga di akhirat. Penelitian tentang motivasi dengan dimensi perasaan harap dan takut dari Al Ghazali, perlu terus dilakukan karena merupakan konsep-konsep pemikiran yang relatif baru sebagai usaha memperluas kajian manajemen pendidikan Islam
untuk
diaplikasikan pada bidang ilmu manajemen khususnya manajemen sumber daya insani.
24
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan, et. al., Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), Jilid 2. Akh. Muwafik Saleh, Bekerja dengan Hati Nurani, Erlangga, 2009. Al Ghazali. Iman Abu Muhammad bin Muhammad, 2007. Ihya „Ulumuddin. Penerjemah: Ahmad Rofi‟ Usmani, Bandung: Penerbit Pustaka. Al Kaysi, Marwan Ibrahim, 1998. Ad Daafi‟iyatu al Nafsiyatu fi al‟Aqidatu al Islamiyah. Majalah Jami‟atu al Maliku Sa‟udi (10), Al „Ulum al Tarbiyatu wa Darasatu al Islamiyah, 1, pp. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. Asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Musthafa Muhammad, t.th), Jilid 2. Bambang Tri Cahyono, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Badan Penerbit IPWI, 1996. Cook, Curtis W., & Philip L. Hunsaker, 2001.Management and Organizational Behavior. 3 rd edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Darmawan. Cecep, 2006. Kiat Sukses Manajemen Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insani Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyah. Bandung: Penerbit Khazanah Intelektual. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV. Alwaah, 1989. Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: Dari Klasik hingga Kontemporer, cet ke-2, Jakarta: Granada Press, 2007. Gomez-Mejia, Luis R., et al., 2004.Managing Human Resources. 4th edition.New Jersey: Pearson Education, Inc. Maslahah, Vol.2, No. 1, Maret 2011, Universitas Islam "45" Bekasi dalam http://www.ejournal-unisma.net/ojs/index.php/maslahah Muchdarsyah Sinungan, Produktivitas Apa dan Bagaimana, Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Mujieb, M. Abdul, et al., 2009. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali: Mudah Memahami dan Menjalankan Kehidupan Spiritual. Jakarta: Penerbit Hikmah. Newstrom, John W., & Davis, Keith, 1997. Organizational Behavior: Human Behavior at Work. 8th edition.New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
25
Porter, Lyman W.,&Steers, Richard M., 2003. Motivation and Work Behavior. 7th Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Quthb, Sayyid, 2000.Tafsir Fi Zhilalil Quran: Di Bawah Naungan Al Quran. Terjemahan Jilid 1. Jakarta: Gema Insani Press. Ranupandojo, Heidirachman-Husnan, Suad., Manajemen Personalia BPFE, Yogyakarta, 1990. Robbin, Stephen P., & Coulter, Mary, 2005. Management. 8th edition.New Jersey: Pearson Education, Inc. Robbins, Stephen P., & Judge, Timothy A., 2007. Organizational Behavior. 12th edition. New Jersey: Pearson Education Inc. Robert Kreitner dan Angelo Kinicki, Perilaku Organisasi, alih bahasa Erly Suandy, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2003. Siagian, P. Sondang, Teori motivasi dan Aplikasinya, cetakan Ketiga,, Rineka Cipta, Jakarta, 2004. Sukanto Reksohadiprojo dan T. Hani Handoko, Organisasi Perusahaan, Teori Struktur dan Perilaku, Yogyakarta: BPFE, 2000. Watson, P.J., et al., 2002. Negatively Reinforcing Personal Extrinsic Motivation, Religious Orientation, Inner Awareness, and Mental Health in Iran and The United State. The International Journal for The Psychology and Religion, 12(4), pp.