ETIKA BERBUSANA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM. Sanimbar Mustafa* Abstrak

ETIKA BERBUSANA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Sanimbar Mustafa* Abstrak In Islamic perspective, woman clothes can be classificated to three point of view; firstly clothes close all body; secand, clothes close all body exept face, palm and footgear. And the thirth is clothes close all body exept face, palm, hand and foot. Every view have based of nash and with different interpretation. Moslem understand and following that point of views and actualicate in their life according to the point of view they want. The clothes ethic of moslem woman which are untight dress, unslight dress, and the clothes doesn‟t look musculine. Kata Kunci : Etika, Busana, Perempuan, Islam Pendahuluan Pemakaian busana dalam sejarah kehidupan umat manusia menurut pandangan Islam, mulai dilakukan sejak Adam dan Hawa berpakaian untuk menutupi auratnya masing-masing dengan daun-daun surga, ketika keduanya selesai memakan buah pohon yang oleh Allah swt melarang untuk mendekatinya. Hal itu tercantum dalam Al Qur‟an, yaitu :

              “Tatkala keduanya telah merasakan buah pohon itu, nampaklah bagi keduanya aurat masing-masing dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga yang berlapis-lapis” (Q.S.Al-A‟raf, 22). Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Adam dan Hawa tidak sekedar menutupi aurat mereka dengan selembar daun, tetapi daun di atas daun sebagaimana dipahami dari kata “yakhshifani”. Dan itu juga mengandung

144 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:1 43- 158

makna bahwa menutup aurat merupakann fitrah manusia yang diaktualkan oleh Adam dan Hawa pada saat kesadaram mereka muncul. Sementara itu beberapa ilmuwan berpendapat bahwa manusia baru mengenal pakaian sekitar 72.000 tahun yang lalu. Menurut mereka homo sapiens sebagai nenek moyang manusia berasal dari Afrika yang gerah. Sebagian mereka berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain, dan bermukin di daerah yang dingin. Di sana dan sejak saat itulah mereka berpakaian dari kulit hewan guna menghangatkan badan mereka. Dalam perkembangan selanjutnya, yakni sekitar 25.000 tahun yang lalu barulah ditemukan cara menjahit kulit, dan dari sana pakaian semakin berkembang. Dalam perkembangan selanjutnya pakaian tidak hanya sekedar untuk penutup aurat, tetapi bahkan dianggap sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia, di samping pangan, papan, dan lain-lain. Fungsi Pakaian (Busana) Bagi Manusia. Manusia dengan kemampuan akal, perasaan dan kemauan yang dimilikinya, ternyata kemudian menempatkan pakaian tidak hanya sekedar untuk menutup aurat s, tetapi juga dimaksudkan untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari dan pasir yang beterbangan, atau terjangan dinginnya salju atau cuaca malam hari. Begitu juga pakaian dianggapnya sebagai busana untuk menambah indahnya penampilan dirinya, yang bagi pria busana dijadikan alat menambah kegantengan dan keperkasaannya, dan bagi perempuan untuk menambah kecantikan dan keanggunannya1. Pada beberapa daerah tertentu, model-model pakaian penambah keindahan diri juga dilakukan dengan versi yang khusus, misalnya wanita Afrika yang menusuk bibirnya, wanita India yang melobangi hidungnya, dan kebanyakan wanita yang melobangi kedua telinganya. Kesemuanya dilakukan untuk memberikan penampilan keindahan melalui apa yang dilakukan dan dipakainya.

1

29

Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005),

Sanimbar Mustafa, Etika Berbusana Perempuan dalam Perspektif Islam 145

Bahkan dalam setiap generasi atau daerah memiliki pakaian tertentu yang khusus, yang jenis pakaian tersebut dikembangkan dan dibudayakan untuk dimunculkan sebagai ciri khas pakaian kelompok masyarakatnya berbeda dengan masyarakat lainnya. Ada daerah dan pada saat-saat tertentu masyarakatnya senang memakai jas dan dasi, dan pada saat yang lain justru senang dengan batik atau sutera; ada juga yang senang dengan pakaian kimono atau safari dan lain-lain. Begitu pula pada saat-saat tertentu masyarakat suatu daerah senang mengenakan pakaian tipis dan pada saat lainnya justru senang dengan pakaian tebal. Demikianlah keaneka ragaman kesenangan masyarakat/individu dalam merefleksikan dirinya melalui pakaian yang dikenakannya. Dalam hal ini, agama kemudian memperkenalkan pakaian-pakaian khusus, baik untuk beribadah maupun untuk pakaian sehari-hari. Dalam ajaran Islam misalnya, ketika melaksanakan ibadah haji dan umrah ada pakaian khusus bagi pria yaitu pakaian yang tidak berjahit, dan bagi perempuan tidak diperkenankan menutup wajahnya. Di Mesir ada kelompok biarawan Kristen ortodoks memakai pakaian bahkan alas kaki yang berwarna hitam. Di Iran ada ayatollah/agamawan yang memakai sorban putih atau hitam yang menandakan dari sisi garis keturunannya, dan lainlain. Jenis dan model pakaian yang bermacam-macam tersebut memiliki tujuan dan fungsi-fungsi tertentu, baik sebagai adat kebiasaan, maupun berdasarkan falsafah hidup yang dianutnya. Dalam ajaran Islam, fungsi-fungsi busana disebutkan secara tegas dalam sekian banyak ayat Al-Qur‟an, antara lain: 1). Surah al-A‟raf ayat 26 yang menyatakan:

                     


“Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian taqwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudahmudahan mereka ingat2”. Ayat ini mengisyaratkan dua fungsi pakaian yakni menutup aurat atau hal-hal yang tidak wajar dilihat orang lain dan rawan kecelakaan, serta sebagai hiasan bagi pemakainya. Begitu juga dalam ayat yang lain ketika Allah SWT memerintahkan sementara orang yang bertawaf tanpa mengenakan baju, Allah swt berfirman dalam QS. Al-A‟raf ayat 31, bahwa:

                 “Wahai anak cucu Adam ! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan3. 2) Surah an-Nahl ayat 81:

                   “. . . Dan Dia (Allah) menjadikan pakaian bagimu yang memelihara kamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan . . .”. Ayat ini mengisyaratkan fungsi pakaian sebagai memelihara manusia dari sengatan panas dan dingin serta membentengi manusia dari hal-hal yang dapat mengganggu ketenteramannya.

2

Departemen Agama RI, Alquran dan terjemahnya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000) 3 Ibid, 234


3) Surah al-Ahzab ayat 59:

                       “Hai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan atas diri mereka jilbab mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu . . .” Ayat tersebut menunjukkan fungsi pakaian sebagai pembeda antara seseorang atau masyarakat dengan selainnya dalam sifat atau profesinya. Di samping pendekatan lahir dari penggunaan pakaian sebagaimana disebutkan dari ayat-ayat yang telah dikemukakan, pemahaman dan penggunaan pakaian dari apa yang dinamai “libas at-taqwa dzalika khair/ pakaian taqwa dan itu lebih baik seperti tercantum dalam Surah al-A‟raf ayat 26 sangat penting diaktualisasikan. Keindahan lahir akan lebih bermakna dan lebih sempurna bagi diri setiap manusia, bila disertai dengan pakaian taqwa/keindahan batin, karena pakaian taqwa yang tersimbol dari keindahan batin akan dapat memunculkan kecerahan hidup, keceriaan, dan kesenangan hati, menambah indahnya pakaian lahir, yang semuanya itu bermuara untuk kebahagiaan hidup manusia itu sendiri dunia maupun akhirat. Dengan demikian, maka dapat dirumuskan beberapa fungsi busana bagi manusia, antara lain : 1) untuk menutup aurat, 2) menambah keindahan dan penampilan dirinya, 3) menjaga dirinya dari cuaca lingkungannya dan atau untuk berperang, 4) untuk tujuan tertentu sebagai pembeda dengan kelompok lainnya, 5) untuk tuntutan pengamalan ajaran agama yang dianutnya.4 4

Quraish Shihab, Jilbab, 40

148 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:143- 158

Pemakaian busana oleh seseorang dapat dilakukan untuk salah satu maksud tertentu dengan mengenyampingkan maksud-maksud lainnya, namun pada saat-saat yang lain busana dipakai untuk dua maksud tertentu, atau bahkan sekaligus untuk kelima maksud tersebut. Hal itu sangat tergantung pada keinginan dan tujuan pemakainya, kesenangan, dan keyakinan yang dianut masing-masing. Model-Model Busana perempuan Pakaian khusus perempuan secara umum dapat diklassifikasi atas 4 model, yaitu: 1) pakaian tertutup seluruh badan, 2) pakaian tertututp kecuali muka dan telapak tangan, 3) pakaian tertutup kecuali muka, telapak tangan, tangan dan kaki, 4) pakaian bola volley pantai dengan segala variasinya.5 Pakaian tertutup bagi perempuan telah menjadi budaya masyarakat tertentu sejak lama sebelum Islam datang. Murtadha Muthahari menyatakan bahwa: pakaian tertutup (seluruh badan perempuan) telah dikenal di kalangan bangsa-bangsa kuno dan lebih melekat pada orang-orang Sassan Iran, dibandingkan dengan tempat-tempat lain.6 Orang Persia pengikut agama Zardasyt yang menganggap perempuan sebagai makhluk tidak suci, mengharuskan perempuan menutup mulut dan hidung mereka agar nafasnya tidak mengotori api suci sesembahan mereka. perempuan-perempuan Yunani dan Rumawi kuno juga menutup kepala dan wajahnya ketika keluar dan muncul di hadapan public. Islam sebagai agama terakhir, juga kemudian menjadikan pakaian tertutup dengan berbagai variasinya sebagai kewajiban bagi perempuan untuk mengenakannya. Para Ulama terbagi atas beberapa kelompok, antara lain: 5

Murtadha Muthahari, On The Islamic Hijab. Terjemahan Agus Effendi dan Alwiyah Abdurrahman dengan judul Gaya Hidup Wanita Islam, (Bandung: Mizan, 1990), 34 6 Yahya Abdullah al Muallimi, Al-Mar’ah Fi Al-Qur’an Al-Karim, (Riyadh: Dar alMuallimi Li an-Nasyr, 1988), 110


Pertama, kelompok ulama yang menyatakan wajib bagi perempuan untuk memakai pakaian penutup seluruh badan, dengan mendasarkan pendapatnya bahwa perempuan itu adalah aurat. Oleh karena itu seluruh tubuh perempuan harus tertutup.. Beberapa hadits Rasul saw yang dipakai sebagai pegangan, antara lain: 1) Hadits riwayat at-Tirmidzi, yaitu:

‫املرأة عورة‬: «‫عن عبد اهلل ابن مسعود عن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلّم انه قال‬ )‫وإهنا إذا خرجت استشرفها الشيطان (رواه الرتمذي وقال حسن غريب‬ Dari Ibnu Mas‟ud bahwa Nabi saw bersabda : Wanita adalah aurat, maka apabila dia keluar rumah, maka setan tampil membelalakkan matanya dan bermaksud buruk terhadapnya. (Maktabah Samilah : 2008) 2) Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, dan lain-lain, yaitu :

ِ ِ ‫أوم َ ِ امرأَةٌ ِمن وراء ِس ٍْرت بِي ِدها ِتَاا َإإ رس‬: «‫ت‬ ‫ول اهلل صلى‬ َ َ َُ ٌ َ َ ْ َ ْ َ ْ ْ َ‫ قال‬، َ ‫عن َعاا َش‬ ٍ ‫ َما ْأد ِري أيَ ُد َر ُج‬: ‫ول اهلل صلى اهلل عليه وسلّم يَ َدهُ ف ال‬ ُ ‫اهلل عليه وسلّم فََف َ بَ َ َر ُس‬ ِ ْ ُ ‫لَو‬: ‫قال‬. ٌ‫ب امرأَة‬: ‫قالَت‬. ٍ‫أأ ي ُد امرأَة‬ ‫ااِ ِاء(رواه‬ ْ ِ‫ت ْامَرأَةً لَ َيَف ْر ِ أأْ َ َار ِ َف يَعين ب‬ ْ َْ َ ْ َْ َ ْ )‫أمحد وأبو داود‬ „Dari Ummul Mukminin Aisyah ra, beliau berkata : Para penunggang unta/ kuda melewati kami, sedang ketika itu kami bersama Rasulullah saw dan kami dalam keadaan berihram, maka bila mereka lewat di hadapan kami, maka setiap kami mengulurkan kerudung dari kepalanya atas (untuk menutupi) wajah masing-masing, dan bila mereka telah melalui kami, kamipun membukanya (wajah kami)”. 3) Hadits riwayat Ahmad, Bukhari, dan an-Nasa‟i, yaitu :

ِ ِ ُ َ‫ َ ََفْت‬: ‫عن ابن عمر رضي اهلل ع ه أن ال يب قال‬ ُ َ‫ َو َ ََف ْلب‬،ُ ‫ب املَْرأَةُ املُ ْحرَم‬ )‫ال ُ َازيْ ِن(رواه أمحد والبخاري وال سااي‬


“Dari Ibn Umar ra bahwa Nabi saw bersabda: Tidak dibenarkan wanita yang sedang berihram memakai cadar (penutup wajah) dan tidak juga memakai kaos tangan”. Kedua, kelompok ulama yang menyatakan wajib bagi perempuan memakai pakaian penutup seluruh badan kecuali muka dan tekapak tangan. Kelompok ini mendasarkan pendapatnya pada Hadits Rasul saw, antara lain: 1) Hadits riwayat Abu Daud dari al-Baihaqi, yaitu :

ِ ‫ت َعلَى رس‬ ‫ول اهلل صلى اهلل عليه وسلّم‬ ْ ‫أن‬: «، َ ‫عن َعااِ َش‬ ْ َ‫ت أيب بَ ْ ٍر َد َخل‬ َ ِْ‫أأَاءَ ب‬ َُ ِ ‫أأَاءُ إن‬ ُ ‫ ف َْعَر َ َعَْف َها َر ُس‬،‫اق‬ ٌ َ‫اا ِرق‬ ْ ‫يا‬: ‫ول اهلل صلى اهلل عليه وسلّم وقال‬ ٌ َ‫َو َعلَْيَف َها ي‬ ِ َ َ‫الْمرأ َة إ َذا بَفل‬ ‫أأ َار إإ َو ْج ِه ِه‬ َ ‫ َو‬،‫ت امل ِحي َ َْ يَ ْ لُ ْ ََلا أ ْن يَفَُرى ِمَْف َها إ ه َذا َوه َذا‬ َ َْ َ ِ )‫َوَ ْيه»(رواه أبو داود والبيه ي‬ “Aisyah ra berkata bahwa Asma‟ putri Abu Bakar ra datang menemui Rasul saw dengan mengenakan pakaian tipis (transparan). Maka Rasul berpaling enggan melihatnya dan bersabda : Hai Asma‟, sesungguhnya perempuan jika telah haid, tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini, sambil beliau menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangannya”. (Maktabah Samilah: 2008) 2) Hadits riwayat Bukhari, Muslim, an-Nasai, dan lain-lain, yaitu:

ِ ِ‫ول اللّ ِه ال ََة يَفوأ الْع‬ ِ ‫ َأ ِه ْد م رس‬: ‫ال‬ َ‫فََفبَ َدأ‬. ‫يد‬ َ َ‫ ق‬، ‫َع ْن َجابِ ِر بْ ِن َعْب ِد اللّ ِه‬ َ َْ َُ ََ ُ . ‫فَ ََمَر بِتََف ْ َوى اللّ ِه‬. ‫ ُ قَ َاأ ُمتََف َوِّك اً َعلَى بِ َ ٍل‬. ٍ ‫بِ َ ِْ أَذَ ٍان َو َ إِقَ َام‬. ِ َ‫ااُطْب‬ ْ َ ‫بِال َةِ قََفْب‬ ِ ِ َ ‫وح علَى‬ ‫فََف َو َع َ ُهن‬. َ‫ِّكساء‬ َ ‫ ُ َم‬. ‫ َوذَ َرُه ْم‬. ‫اس‬ َ َ ََ َ ‫ َوَو َع َ ال‬. ‫اعته‬ َ ‫ َح أََى ال‬. ‫ضى‬ َِ‫ت امرأَةٌ ِمن ِسط‬ ِ ‫فَِن أَ ْ ََفرُ ن حطَب جه م »فََف َ ام‬. ‫ َ دقْن‬: «‫ال‬ َ َ ‫فََف‬. ‫َوذَ َرُهن‬ ْ َْ َ َ َ َ ََ ُ َ َ . ‫ َن ُ ن ُ ْ ِْر َن الش َ ا َة‬: «‫ال‬ ْ ُ‫ِّكس ِاء َس ْ َعاء‬ َ َ‫ول اللّ ِه ق‬ َ ‫ َِ؟ يَا َر ُس‬: ‫ت‬ ْ َ‫فََف َ ال‬. ‫ااَديْ ِن‬ َ ‫ال‬ ِ ِ ‫يَف ْل ِ َ ِ َفَو‬. ‫فَ ع ْلن يَفتَ دقْن ِمن حلِيِّك ِهن‬: ‫ال‬ ‫ا بِ َ ٍل ِم ْن‬ ُ ُ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ‫َوَ ْ ُ ْر َن الْ َعش َ »ق‬ ْ )‫أَقْ ِر َتِ ِهن َو َخ َوِااِ ِهن(رواه البخاري ومسلم وال سااي وغ هم‬


“Dari Jabir ibn Abdillah ra berkata : Aku hadir bersama rasul saw melaksanakan shalat Ied. Beliau shalat sebelum berkhutbah dan itu dilakukan tanpa adzan dan iqamat, lalu beliau berdiri dengan bertumpu atas bahu Bilal. Beliau berpesan agar bertaqwa kepada Allah dan mendorong untuk mematuhinya. Beliiau menasihati hadirin dan mengingatkan mereka. Kemudian beliau menuju ke tempat perempuan berkumpul, dan menasihati dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda : bersedekahlah karena kebanyakan kamu adalah kayu-kayu bakar neraka. Maka tampil seorang wanita yang duduk di tengah-tengah, pipinya hitam dan telah rusak, lalu bertanya : Mengapa ya Rasulullah ?, Beliau menjawab : Karena kalian banyak sekali mengeluh dan mengkafiri (tidak bersyukur) terhadap keluarga (suami). Mendengar itu, wanita-wanita bersedekah dari perhiasan mereka. Mereka melemparkan anting dan cincin mereka ke pakaian Bilal (yang berfungsi menampung sedekah mereka itu). (Maktabah Samilah: 2008) 3) Hadits riwayat Bukhari, Muslim, an-Nasai, dan lain-lain, yaitu :

ٍ ‫عن سه ِ ب ِن‬ ِ ‫سعد أَن امرأةً جاء ْ إإ‬ ‫يا‬: ‫الت‬ ْ ‫رسول اهلل( وهو املس د )ف‬ َ ‫رسول اهلل فَ َ ع َد ال َر إلَْيَف َها‬ ُ ‫ فََفَ ََر إلَْيَف َها‬،‫ب لَ َ نَفَ ْ ِسي‬ َ ُ ‫رسول اهلل ج‬ َ ‫ت ََه‬ ِ ِ ‫ت (أخرجه‬ ْ ‫ فلما َرأَ املرأةُ أَنهُ يَفَ ْ ِ فْيَف َها أي اً َجلَ َس‬،ُ‫ْسه‬ َ َ ‫ َْ ََ َرأ‬،ُ‫وصوبَه‬ )‫البخاري ومسلم وال سااي وغ هم‬ “Dari Sahl Ibn Sa‟d, bahwa ada seorang perempuan datang kepada Rasulullah saw sedang beliau ketika itu di Mesjid, lalu perempuan itu berkata “wahai Rasulullah, aku datang menyerahkan diriku kepadamu. Maka beliau terdiam, dan sungguh aku melihat perempuan itu berdiri. Lalu Rasulullah saw melihatnya dan mengangkat pandangan beliau dan mengarahkannya kepada wanita itu, lalu beliau menundukkan kepala. Maka ketika perempuan itu menyadari bahwa beliau tidak menghendaki sesuatu darinya (tidak berkenan menikahinya) maka dia duduk. Ketiga, kelompok ulama yang membolehkan pakaian perempuan dengan tidak menutup muka dan tangan, dengan mendasarkan pendapatnya pada Hadits Rasul saw :


1) Hadits riwayat Ibn Jarir at Thabari, yaitu :

‫ّ مرأة أن ؤمن باهلل واليوأ اآلخر إذا عر ت أن هر‬ : ‫قال‬. ‫أ‬.‫أن ال يب ص‬ )‫إ وجهها ويديها إإ هه ا(وقب ن ف الذراع‬ “Nabi saw bersabda: Tidak halal bagi seorang perempuan yang percaya kepada Allah dan Hari kemudian dan telah haid untuk menampakkan kecuali wajahnya dan tangannya sampai di sini (lalu beliau memegang setengah tangan beliau). 2) Hadits melalui Ibn Juraij, yaitu:

)‫ خرجت بن أخي عبد اهلل ابن الط ي مزي ف رهه ال يب (ص‬: ‫عن عااش قالت‬ ‫َلا أن هر إ‬ ‫ إذا عر ت املرأة‬: ‫ف لت إنه ابن أخي يا رسول اهلل ! ف ال‬ )‫وجهها أو ما دون هذا (وقب علىلذراع ن سه‬ “Aisyah ra. berkata : Aku pergi berkunjung ke putra saudaraku (dari ibuku) Abdullah Ibn Thufail dalam keadaan berhias. Ketika itu Nabi saw tidak senang, maka aku berkata: Wahai Rasulullah, dia adalah anak saudaraku. Maka Nabi saw bersabda: Apabila perempuan telah haid, tidaklah halal baginya untuk menampakkan kecuali wajahnya dan apa yang selain ini, lalu beliau memegang tangan beliau. (Maktabah Samilah : 2008) 3) Hadits riwayat Ahmad dan Abu Daud, yaitu :

ِ ِ ‫أوم َ ِ امرأَةٌ ِمن وراء ِس ٍْرت بِي ِدها ِتَاا َإإ رس‬: «‫ت‬ ‫ول اهلل‬ َ َ ٌ َُ َ َ ْ َ ْ َ ْ ْ َ‫ قال‬، َ ‫عن َعاا َش‬ ‫ َما ْأد ِري‬: ‫ول اهلل صلى اهلل عليه وسلّم يَ َدهُ ف ال‬ ُ ‫صلى اهلل عليه وسلّم فََف َ بَ َ َر ُس‬ ِ ْ ُ ‫لَو‬: ‫قال‬. ٌ‫ب امرأَة‬: ‫قالَت‬. ٍ‫أي ُد رج ٍ أأ ي ُد امرأَة‬ ‫ت ْامَرأَةً لَ َيَف ْر ِ أأْ َ َار ِ َف يَعين‬ ْ َْ َ ْ َْ َ ْ ُ َ َ )‫ااِ ِاء »(رواه أمحد وأبو داود‬ ْ ِ‫ب‬ “Dari Aisyah ra berkata : seorang perempuan menyodorkan tangannya kepada Rasulullah saw dengan sepucuk surat dari belakang tabir. Rasul menahan tangan beliau lalu bersabda: Saya tidak tahu apakah ini tangan laki-laki atau perempuan. Aisyah berkata: “bahkan tangan perempuan”. Nabi saw bersabda: Kalau anda memang perempuan maka selayaknya anda mengubah warna kuku anda, yakni memakai pacar. (Maktabah Samilah: 2008)


Hadits-hadits yang menjadi pegangan masing-masing kelompok tersebut, selalu dipermasalahkan atau dinilai dhaif haditsnya dan atau ditolak oleh kelompok yang lainnya, atau bahkan perawinya sendiri yang menilai hadits itu tidak shahih. Misalnya hadits riwayat at-Tarmidzi mengenai dasar kelompok pertama yang menyatakan seluruh badan perempuan aurat. Oleh at Tarmidzi sendiri menilainya hasan gharib, dalam pengertian perawinya memiliki sedikit kelemahan dalam ingatannya, dan diriwayatkan seseorang demi seorang. Quraish Shihab menyatakan bahwa hadits tersebut kalaupun dinilai shahih, tidaklah menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Karena kata “wanita adalah aurat” dapat berarti bagian-bagian tertentu dari badan atau geraknya yang rawan menimbulkan ransangan itulah aurat. Namun demikian dapat pula ditelaah pandangan Wahbah az-Zuhaili sebagai bahan banding, yang menguraikan batas-batas aurat secara terinci, dimana menutup aurat merupakan salah satu fungsi dalam mengenakan pakaian/busana. Beliau menyatakan bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar dan lututnya,, sedangkan aurat perempuan dalam shalat adalah selain wajah dan kedua telapak tangannya (ditambah kedua kakinya dalam mazhab Hanafi). Aurat wanita muslimah di hadapan kerabat yang mahram dan wanita-wanita muslimah adalah antara pusar dan lututnya. Ini menurut mazhab Syafii dan Hanafi. Sedangkan menurut mazhab Maliki adalah selain wajah, kepala, leher, kedua tangan dan kedua kakinya. Menurut pandangan mazhab Hambali, seluruh badannya kecuali wajah, leher, kepala, kedua tangan dan kaki, serta betis. Adapun aurat perempuan terhadap pria yang bukan muhrimnya, menurut sebagian Ulama adalah seluruh badannya termasuk wajah dan telapak

tangannya.

Namun

demikian

terdapat

juga

Ulama

yang

memperlonggar sehingga berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah termasuk aurat. Dalam pandangan mazhab Hambali dan Maliki, aurat perempuan muslimah yang merdeka di hadapan perempuan


non muslimah adalah antara pusar dan lututnya, sedangkan dalam mazhab Syafi‟i adalah seluruh badannya kecuali apa yang nampak ketika melakukan aktifitas yang berkaitan dengan pekerjaan rumah tangga7. Ulama-Ulama kontemporer, di samping ada yang mengikuti pandangan ulama-ulama dahulu, ada pula yang menggunakan logika dan adat kebiasaan sebagai tolok ukur penetapan aurat. Syekh Muhammad Su‟ad Jalal, salah seorang Ulama Al-Azhar Mesir berpendapat, bahwa yang menjadi dasar dalam menetapkan apa yang boleh dinampakkan dari hiasan wanita, adalah apa yang berlaku dalam adat kebiasaan satu masyarakat, sehingga dalam masyarakat yang tidak membolehkan penampakan lebih dari wajah dan kedua telapak tangan, maka itulah yang berlaku buat mereka. Sedangkan dalam masyarakat yang membolehkan membuka setengah dari betis atau tangan dan mereka menilai hal tersebut tidak mengandung fitnah atau ransangan, maka bagian-bagian badan itu termasuk dari hiasan lahiriyah yang dapat dibuka dan dinampakkan8. Misalnya wanita-wanita pekerja di perkebunan/pertanian yang dengan terpaksa menyingsingkan bajunya atau mengangkat pakaiannya hingga mencapai setengah betisnya. Pendapat-pendapat para Ulama tersebut memberikan jalan bagi umat Islam untuk melakukan pilihan-pilihan dalam cara berbusana sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kelompok-kelompok yang ada tidak perlu mengklaim dirinya sebagai pemilik kebenaran satu-satunya dan pandangan yang berbeda dengan kelompok/dirinya adalah salah. Hadits yang diperpegangi oleh satu ulama kadang dilemahkan oleh ulama lain, dan begitu juga sebaliknya. Apalagi bila busana tersebut sudah masuk dalam wilayah budaya, maka hal itu sangat tergantung pada adat kebiasaan dan kesenangan masing-masing, walaupun pemilihannya tidak bisa juga terlepas dari nilainilai ajaran agama yang berkembang dalam masyarakat. 7

Al Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Syria: Dar al-Fikrn, 1989), 270 8 Quraish Shihab, Jilbab, 88


Etika Berbusana Bagi Perempuan Dalam kehidupan sehari-hari keaneka ragaman jenis, model, dan cara berbusana bagi kaum perempuan merupakan sesuatu hal yang biasa. Ada masyarakat/individu perempuan yang senang memakai busana dengan bahan yang berwarna lembut, ada yang senang dengan warna pekat, dan ada pula yang senang dengan warna terang/menyala9. Ada yang senang dengan bahan yang tipis/ringan, tetapi ada juga yang senang dengan bahan yang tebal. Bahkan ada yang senang dengan pakaian yang nyentrik tampil beda dari yang biasanya, namun ada yang biasa-biasa saja. Penampilan dan kebiasaan berbusana demikian itu dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain : temperamen setiap individu, alasan/tujuan berpakaian, adat istiadat dan budaya masyarakat, dan lain-lain. Namun terdapat nilai-nilai Islam yang dapat dipedomani dalam mengenakan busana, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur‟an dan Hadits Rasulullah saw, antara lain: 1) Tidak bertabarruj, sebagaimana makna surah An-Nur ayat 60, yaitu:

                          “Dan bagi perempuan yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak ingin menikah (lagi), maka tidak ada dosa menanggalkan pakaian (luar), mereka tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan; tetapi memelihara kehormatan adalah lebih baik bagi mereka, Allah maha mendengar, maha mengetahui”. 2) Tidak mengundang perhatian pria, sebagaimana makna penggalan surah an-Nur 31, yaitu:

       9

Murtadha Muthahari, On The Islamic, 97


“. . . janganlah mereka menampakkan hiasan mereka kecuali apa yang nampak darinya”. Dan lanjutan ayat itu yang menyatakan:

        ... “. . . dan janganlah mereka menghentakkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan”. Penggalan ayat ini mengandung pesan bahwa segala bentuk pakaian, gerak-gerik, ucapan, serta aroma yang bertujuan atau dapat mengundang fitnah (ransangan berahi) serta perhatian yang berlebihan adalah terlarang10. Hal itu lebih diperjelas oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibn Majah, yaitu:

َ َ‫ق‬ َ َ‫» َز َاد َع ْن أَِ َع َوان‬. ُ‫ا ُأ ْهَرةٍ أَلْبَ َسهُ اللهُ يَفَ ْوَأ الْ ِ يَ َام ِ َفَ ْوبًا ِم َْفلَه‬ َ ‫ال « َم ْن لَبِ َ َفَ ْو‬ )‫ب فِ ِيه ال ُار (رواه أبو داود‬ ُ ‫« ُ َُفلَه‬ “Siapa yang memakai pakaian (yang bertujuan mengundang) popularitas, maka Allah akan mengenakan untuknya pakaian kehinaan pada hari kemudian, lalu dikobarkan pada pakaiannya itu api. (Maktabah Samilah : 2008) 3) Tidak memakai pakaian transparan dan atau sangat ketat, sehingga menampakkan kulit dan atau lekuk-lekuk tubuhnya. Hal tersebut sesuai dengan hadits Rasulullah saw, yaitu:

ِ َ ‫ ِصَْف‬- « ‫ صلى اهلل عليه وسلم‬-‫ول الل ِه‬ ‫ان ِم ْن أ َْه ِ ال ا ِر َْ أ ََرُُهَا قََف ْوٌأ‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ق‬ ِ ِ ْ ‫اا الْبَف َ ِر ي‬ ِ ِ ِ ِ ِ ٌ َ ‫اس َون َساءٌ َ اسيَا ٌ َعا ِريَا ٌ ُ ي‬ َ َ َ‫َم َع ُه ْم سيَا ٌا َ َ ْذن‬ َ ‫ضربُو َن ِبَا ال‬ ِ ‫مااِ َ رءوسهن َ َسِم ِ الْبخ‬ ‫ااَ َ َو َ َِ ْد َن ِر َ َها َوإِن‬ ْ ‫ت الْ َمااِلَ ِ َ يَ ْد ُخ ْل َن‬ ُْ َ ْ ُ ُ ُُ ٌ َ )‫وج ُد ِم ْن َم ِس َةِ َ َذا َوَ َذا (رواه مسلم‬ َ ُ‫ِر َ َها لَي‬ “Dua kelompok penghuni neraka yang merupakan umatku, belum saya lihat keduanya. Wanita-wanita yang berbusana 10

Wahbah Al Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (Syria: Dar al-Fikr; 1989),


tetapi telanjang serta berlenggak lenggok dan melengganglenggokkan orang lain, di atas kepala mereka sesuatu seperti punuk-punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak juga menghirup aromanya. Kedua adalah laki-laki yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka menyiksa hamba-hamba Allah. (HR. Muslim, dari Abu Hurairah). 4) Tidak memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki. Hal demikian sesuai dengan hadits Rasulullah saw, yaitu:

ِ ‫ صلى اهلل عليه وسلم لَعن اهلل الْمتشبِّكَفها ِ ِمن ال‬-‫ول الل ِه‬ ‫الر َج ِال‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ق‬ ‫ِّكساء بِ ِّك‬ َ َ َُ ََ َ َ ِ ِ ‫والْمتَ َشبِّك ِه َ ِمن ِّك‬ )‫ِّكس ِاء ( رواه أبو داود‬ َ ُ َ َ ‫الر َجال بال‬ “Allah mengutuk laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan mengutuk perempuan yang memakai pakaian laki-laki. (HR al-Hakim dari Abu Hurairah). (Maktabah Samilah: 2008) Dalam hal ini peranan adat kebiasaan dan niat sangat menentukan dalam penilaian terhadap pemakaian busana oleh seseorang. Terdapat kemungkinan ada model pakaian yang dalam satu masyarakat tertentu dinilai sebagai pakaian laki-laki, tetapi pada masyarakat yang lain justru menjadi pakaian perempuan. Begitu juga sebaliknya. Dalam kondisi seperti itu, maka yang memakainya tidak disentuh oleh ancaman itu. Penutup Busana bagi perempuan memiliki multi fungsi. Di samping ia berfungsi untuk menutup aurat, juga untuk melindungi diri dari panas dan dinginnya cuaca, penampilan diri, pembeda dengan kelompok masyarakat lainnya, dan pemenuhan tuntutan agama. Jenis dan model busana dalam perspektif Islam, telah dikaji dan ditetapkan oleh para Ulama dan cendekiawan Islam dengan berbagai versi, dilandasi oleh nash yang diperpegangi masing-masing. Umat Islam dapat melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan keyakinannya, tanpa harus menyalahkan satu dengan yang lainnya, dan mengklaim dirinya sebagai satusatunya pemilik kebenaran.

158 Musawa, Vol. 1, No. 2, Desember 2009:143- 158

Etika berbusana perempuan harus merujuk pada nilai-nilai Islam sebagaimana terdapat dalam nash, antara lain : tidak bertabarruj, tidak mengundang perhatian pria, tidak memakai pakaian transparan dan sangat ketat, dan tidak menyerupai pakaian laki-laki. Jenis dan model busana perempuan muslim tersebut akan tetap bekembang secara dinamis, seiring dengan perkembangan budaya globalisasi yang sedang terjadi saat ini. Kiranya nilai-nilai Islam dan etika berbusana menurut sunnah akan tetap menjadi acuan bagi umat dalam pemilihan jenis dan model busananya. Daftar Pustaka Fadwa El Guindi, Veil, Modesty, Privacy and Resistance, Oxford, New York; Berg, 1999 Maktabah Samilah, Versi 7; 2008 Murtadha Muthahari., On The Islamic Hijab (Terjemahan Agus Effendi dan Alwiyah Abdurrahman dengan judul Gaya Hidup Wanita Islam), Mizan, Bandung, 1990 Shihab, Quraish, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Lentera Hati, Jakarta, 2005 Yahya Abdullah al Muallimi., Al-Mar’ah Fi Al-Qur’an Al-Karim, Riyadh; Dar alMuallimi Li an-Nasyr; 1988 Al-Zuhaily, Wahbah., Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu Syria: Dar al-Fikr; 1989 *Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Datokarama Palu

ETIKA BERBUSANA PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM. Sanimbar Mustafa* Abstrak

Recommend Documents