MORFOLOGI ESOFAGUS DAN LAMBUNG MUSANG LUAK (Paradoxurus hermaphroditus)
ARINI KUSUMASTUTI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Morfologi Esofagus dan Lambung Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2012
Arini Kusumastuti B04080076
ABSTRAK ARINI KUSUMASTUTI. Morfologi Esofagus dan Lambung Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus). Dibimbing oleh SAVITRI NOVELINA DAN CHAIRUN NISA’. Penelitian ini bertujuan memberikan data morfologi esofagus dan lambung musang luak (Paradoxurus hermaphroditus). Sampel yang digunakan adalah tiga organ esofagus dan lambung musang luak. Pengamatan dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis meliputi pengamatan bentuk dan ukuran organ. Pengamatan secara mikroskopis telah dilakukan menggunakan pewarnaan hematoksilin eosin (HE), alcian blue (AB) pH 2,5, dan periodic acid Schiff (PAS). Hasil yang diperoleh menunjukkan panjang esofagus rata-rata adalah 17,3 cm, sedangkan diameter bagian kranial, medial, dan kaudal secara berturut-turut adalah 1,06, 0,72, 0,83 cm. Esofagus dilapisi oleh epitel pipih banyak lapis yang tidak mengalami keratinisasi, tidak memiliki kelenjar esofagus, dan lebih dari setengah esofagus tersusun atas otot skelet. Lambung musang luak berbentuk seperti huruf J dengan ukuran kurvatura mayor sekitar dua kali lebih panjang dari kurvatura minor. Kelenjar lambung terdiri atas kardia, fundus, dan pilorus. Karakteristik kelenjar fundus ditandai dengan ditemukannya sel mukus, sel chief, dan sel parietal dalam jumlah besar. Perbatasan antara pilorus dan duodenum ditandai dengan adanya sphincter pilorus yang tipis. Kelenjar Brunner ditemukan di submukosa pilorus yang berbatasan dengan duodenum. Pada pewarnaan AB dan PAS, substansi mukus dominan terdapat pada daerah permukaan mukosa esofagus dan kelenjar lambung musang luak adalah karbohidrat netral, sedangkan karbohidrat asam hanya terdapat pada daerah lambung.
Kata kunci: musang luak, esofagus, lambung, AB, PAS
ABSTRACT ARINI KUSUMASTUTI. Morphological Studies of the Esophagus and Stomach of Asian palm civet (Paradoxurus hermaphroditus). Supervised by SAVITRI NOVELINA and CHAIRUN NISA’ This research was aimed to describe the morphology of the esophagus and stomach of Asian palm civet (Paradoxurus hermaphroditus). This study was used organs from three Asian palm civets which observed macroscopic and microscopically. The macroscopic observation had done by observing the shape and the size of the esophagus and stomach. The microscopic observation was done using histochemical method with hematoksilin eosin (HE), alcian blue (AB) pH 2.5, and periodic acid Schiff (PAS) staining methods. The results showed that the esophagus were 17.3 centimeters in length and 1.06, 0.72, 0.83 centimeters in diameters of cranial, medial, and caudal portion respectively. The esophagus was lined with nonkeratinized stratified squamous epithelium, has no esophageal glands, and more than half was consist of skeletal muscle. The stomach of Asian palm civet was a J shape with the greater curvature about two times longer than the lesser one. The glandular stomachs were composed of cardiac, fundic, and pyloric glands. Fundic glands were characterized by the presence of mucous cells, chief cells and a great number of parietal cells. At the border between pylorus and the duodenum was found a thin of pyloric sphincter muscle. Brunner glands were found in the submucosal area of pylorus near the border. The AB and PAS stain showed neutral carbohydrates were dominant on the surface of the esophagus and the glandular stomach while the acid carbohydrates were observed only in the stomach.
Key words: Asian palm civet, esophagus, stomach, AB, PAS
RINGKASAN ARINI KUSUMASTUTI. Morfologi Esofagus dan Lambung Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus). Dibimbing oleh SAVITRI NOVELINA dan CHAIRUN NISA’. Musang luak dikenal juga dengan sebutan Asian palm civet merupakan salah satu anggota Famili Viverridae asli Asia Selatan dan Asia Tenggara. International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan spesies ini dalam daftar least concern. Least concern berarti populasinya dianggap masih banyak dan aman dari kepunahan, karena budidaya musang luak sudah banyak dilakukan dan hewan ini tidak dikonsumsi, sehingga populasinya masih terjaga. Musang luak merupakan salah satu satwa liar yang unik. Musang luak akan memilih buah-buahan seperti buah kopi yang telah matang dan berkualitas bagus untuk di makan. Buah kopi yang dimakan tersebut tidak dicerna dengan sempurna. Saluran pencernaan musang luak hanya dapat mencerna kulit dan daging buah kopi, sedangkan biji-bijinya dikeluarkan bersama feses. Biji kopi yang dihasilkan dari sistem pencernaan musang ini disebut juga kopi luak. Menurut konsumen penikmat kopi, kopi luak mempunyai cita rasa yang enak dan terkenal di seluruh dunia. Sampai saat ini penelitian mengenai saluran pencernaan musang luak khususnya morfologi esofagus dan lambung belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar dalam memberikan informasi mengenai keterkaitan antara pakan dan aktivitas fisiologis pencernaannya. Sampel organ esofagus dan lambung diambil dari tiga ekor musang luak yang terdiri atas dua ekor jantan dan satu ekor betina dengan bobot badan 2-2,5 kg. Musang luak dianestesi dengan xylazine HCl dengan dosis 2 mg/kg berat badan dan ketamin dengan dosis 10 mg/kg berat badan diaplikasikan secara intramuscular (IM). Setelah hewan teranestesi, dilakukan sayatan pada bagian ventromedian tubuh mulai dari daerah perineum sampai dada. Selanjutnya dilakukan proses eksanguinasi dengan menyayat atrium dekstra untuk mengeluarkan darah kemudian diirigasi menggunakan larutan NaCl fisiologis dengan memasang kanul ke dalam ventrikel sinistra. Setelah cairan yang keluar dari atrium dekstra cukup bening, dilakukan fiksasi secara perfusi dengan larutan paraformaldehid 4%. Penyempurnaan proses fiksasi dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan fiksatif ke beberapa bagian organ. Organ esofagus dan lambung dikeluarkan dari tubuh dan disimpan dalam larutan paraformaldehid 4% selama 3x24 jam. Selanjutnya organ dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70% sebagai stopping point sampai pengamatan selanjutnya. Pengamatan makroanatomi dilakukan setelah proses pengawetan dalam larutan paraformaldehid 4%, meliputi pengamatan bentuk dan pengukuran organ esofagus dan lambung. Pengukuran menggunakan jangka sorong dan benang kasur sebagai alat bantu. Setelah pengamatan dan pengukuran, dilakukan pemotretan organ esofagus dan lambung secara keseluruhan. Pengamatan mikroanatomi dilakukan dengan pembuatan preparat histologi. Pengamatan mikroanatomi meliputi pengamatan struktur umum dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE) dan pengamatan komposisi substansi mukus dengan pewarnaan alcian blue (AB) dan periodic acid Schiff (PAS).
Esofagus musang luak pada awalnya berjalan di sebelah dorsal trakhea, kemudian di pertengahan daerah leher (pars cervical) berbelok ke sisi kiri trakhea. Selanjutnya, di daerah thoraks (pars thoracal) organ ini kembali ke dorsal. Setelah bifurcatio trachealis, esofagus kemudian menembus hiatus esophagus pada diafragma dan bermuara di lambung (pars abdominal). Hasil pengamatan makroanatomi diperoleh panjang esofagus rata-rata adalah 17,3 ± 1,92 cm. Hasil pengukuran diameter esofagus menunjukkan bagian kranial memiliki diameter rata-rata sebesar 1,06 ± 0,16 cm, lebih lebar dibandingkan dengan esofagus bagian medial dan kaudal dengan rata-rata berturut-turut adalah 0,72 ± 0,06 dan 0,83 ± 0,15 cm. Lapisan dinding esofagus musang luak secara umum sama seperti pada mamalia lainnya yang terdiri atas empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis dan tunika adventisia atau serosa. Seluruh permukaan mukosa esofagus dilapisi oleh sel epitel pipih banyak lapis yang tidak mengalami keratinisasi. Musang luak tidak memiliki kelenjar esofagus. Pada hewan mamalia pada umumnya kelenjar esofagus biasa ditemukan. Musang luak memiliki tunika muskularis yang tebal. Tunika muskularis esofagus pars cervical sampai thoracal bagian proksimal disusun oleh otot bergaris melintang. Tunika muskularis pars thoracal bagian distalis yang berbatasan dengan lambung disusun oleh otot polos. Lapisan tunika muskularis yang tebal pada esofagus musang luak diduga merupakan kompensasi dari tidak adanya kelenjar esofagus dan berfungsi untuk pergerakan makanan menuju lambung. Lambung musang luak memiliki bentuk seperti huruf J dengan ukuran kurvatura mayor sekitar dua kali lebih panjang dari kurvatura minor. Lambung musang luak terbagi atas empat daerah, yaitu daerah kardia, fundus, korpus, dan pilorus. Lambung musang luak dalam keadaan kosong berdinding tebal dengan permukaan mukosa membentuk banyak lipatan, sedangkan dalam keadaan penuh ingesta dapat berdilatasi menjadi sangat luas, berdinding tipis, dan lipatan-lipatan mukosa mulai menghilang. Dinding lambung musang luak memiliki empat lapisan seperti umumnya saluran pencernaan, yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan serosa. Seluruh permukaan mukosa lambung musang luak dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris. Lambung musang luak terbagi atas tiga daerah kelenjar, yaitu kardia, fundus, dan pilorus. Kardia merupakan bagian lambung yang sempit dan berbatasan dengan gastroesophageal junction. Daerah kelenjar fundus menempati sebagian besar daerah lambung. Daerah ini ditandai dengan ditemukannya sel utama, sel parietal, sel leher mukus, dan sel mukus permukaan. Ditemukannya sel-sel parietal dalam jumlah besar dan terdistribusi mulai dari apikal sampai basal kelenjar, menunjukkan besarnya peranan HCl pada lambung musang luak. Kelenjar pilorus berbentuk tubulus bercabang dan permukaan mukosanya memiliki gastric pit yang dalam. Batas antara pilorus dan duodenum ditandai adanya penebalan otot yang membentuk sphincter pilorus, namun tidak sejelas pada hewan lain. Selain itu ditemukan adanya vili usus, sel goblet, dan kelenjar Brunner di proksimal duodenum. Daerah epitel esofagus hanya mengandung karbohidrat netral. Sedangkan substansi mukus pada daerah permukaan mukosa dan kelenjar lambung musang luak mengandung mukopolisakarida asam dan netral. Kata Kunci: musang luak, esofagus, lambung, AB, PAS
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
MORFOLOGI ESOFAGUS DAN LAMBUNG MUSANG LUAK (Paradoxurus hermaphroditus)
ARINI KUSUMASTUTI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi Nama NRP
: Morfologi Esofagus dan Lambung (Paradoxurus hermaphroditus) : Arini Kusumastuti : B04080076
Musang
Luak
Disetujui
Dr. Drh. Savitri Novelina, M.Si, PAVet Pembimbing I
Dr. Drh. Chairun Nisa’, M.Si, PAVet Pembimbing II
Diketahui
Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul ”Morfologi Esofagus dan Lambung Musang Luak (Paradoxurus hermaphroditus)”. Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Drh. Savitri Novelina, M.Si, PAVet dan Dr. Drh. Chairun Nisa’, M.Si, PAVet sebagai dosen Pembimbing atas segala bimbingan, masukan, dukungan, nasihat, serta kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. 2. Drh. H. Abdul Gani Amri Siregar, MS sebagai dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran dan bimbingan dalam kegiatan akademik. 3. Keluarga tercinta, Ibu, Ayah, dan kakak atas semua dukungan yang telah diberikan selama ini kepada penulis. 4. Dr. Drh. Nurhidayat PAVet, Dr. Drh. Heru Setijanto PAVet (K), Drh. Srihadi Agungpriyono, Ph.D, PAVet (K), Drh. Supratikno, MSi, PAVet atas bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan penelitian ini. 5. Teknisi laboratorium riset anatomi: pak Rudi, pak Bayu dan pak Kholid atas semua bantuan yang diberikan kepada penulis pada saat penelitian. 6. Rekan penelitian satu laboratorium: Fitria Apriliani, Ratih Komala Dewi, Afdi Pratama, Shandy MP, Oki Kurniawan NC, Hilda, Agus, dan tim Anatomist (Kak Aidel, Danang, Faizza) terima kasih atas kerjasama, dan semangat yang telah diberikan. 7. Rekan Avenzoar 45 khususnya Eva, Keisya, Irene, GPC Sarai, Tizani, dan Arca yang telah banyak memberikan semangat dan saran kepada penulis. 8. Sahabat-sahabat Putri Bunda Perwira 42 khususnya Ferina, Resti, Dhiska, dan Amma atas kebersamaan, dukungan moril, dan semangat yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Keluarga Kudus-Bogor yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, sehingga sangat diharapkan adanya saran dan masukan demi kesempurnaan karya ini. Semoga bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Oktober 2012 Arini Kusumastuti
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Oktober 1990 di Kudus, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari ibunda Nonie Dwiastuti dan ayahanda Legowo. Penulis mengawali pendidikan pertama di Taman Kanak-kanak Tunas Pertiwi yang diselesaikan pada tahun 1996. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan dasar di SDN 3 Barongan dan lulus pada tahun 2002. Tahun 2005 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan menangah pertama di SMPN 1 Kudus dan dilanjutkan dengan pendidikan di SMAN 1 Kudus hingga tahun 2008. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor di Fakultas Kedokteran Hewan melalui jalur Ujian Saringan Masuk IPB (USMI) tahun 2008. Selama perkuliahan penulis aktif di organisasi Himpro HKSA (Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik), sebagai anggota Divisi Hewan Kecil tahun kepengurusan 2009/2010 dan sebagai Sekretaris I tahun kepengurusan 2010/2011. Penulis juga aktif di organisasi LS Vetzone BEM FKH IPB tahun kepengurusan 2009/2010 dan divisi kominfo Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) FKH IPB tahun kepengurusan 2010/2011. Penulis pernah menjadi asisten Anatomi Veteriner I tahun ajaran 2009/2010 dan semester pendek tahun 2011, Anatomi Veteriner II tahun ajaran 2010/2011 serta asisten Ektoparasit tahun ajaran 2010/2011. Penulis menerima beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) periode 2011-2013.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................. xii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ 1 Tujuan .................................................................................................... 2 Manfaat ................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Distribusi Musang ........................................................ Anatomi Tubuh ...................................................................................... Perilaku Hidup ....................................................................................... Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Esofagus dan Lambung ....... A. Esofagus ........................................................................................... B. Lambung ..........................................................................................
4 5 6 7 7 9
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 13 Bahan dan Alat Penelitian ...................................................................... 13 Metode Penelitian .................................................................................. 13 A. Persiapan Organ Pencernaan ............................................................ 13 B. Pengamatan Makroanatomi dan Mikroanatomi ................................. 14 HASIL Morfologi Esofagus dan Lambung Musang Luak ..................................... 16 a. Makroanatomi ................................................................................. 16 b. Mikroanatomi ................................................................................. 19 Lapisan Dinding Esofagus dan Lambung Musang Luak................. 19 Distribusi Kelenjar Lambung Musang Luak .................................. 23 Pengamatan Komposisi Substansi Mukus ...................................... 27 PEMBAHASAN. ............................................................................................ 29 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan. ................................................................................................ 35 Saran........................................................................................................ 35 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 36 LAMPIRAN ................................................................................................... 39
DAFTAR TABEL Halaman 1
Data biologis dan reproduksi Paradoxurus hermaphroditus .................... 7
2
Hasil pengukuran panjang dan diameter esofagus dari tiga sampel organ esofagus musang luak ..................................................................... 16
3
Hasil pengukuran kurvatura mayor dan kurvatura minor dari tiga sampel organ lambung musang luak ..................................................................... 18
4
Hasil pewarnaan AB dan PAS pada esofagus dan lambung musang luak.. 27
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Peta distribusi musang luak di Indonesia ................................................... 4
2
Morfologi musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) .......................... 6
3
Skema gambaran gerakan peristaltik dalam esofagus................................ 8
4
Skema anatomi lambung ........................................................................... 12
5
Situs viscerum saluran pencernaan musang luak ...................................... 17
6
Organ visceral musang luak dalam keadaan lambung
kosong
tampak dorsal (A) dan dalam keadaan lambung penuh ingesta tampak ventral (B)
................................................................................. 17
7
Gambaran morfologi lambung musang luak ............................................. 18
8
Gambaran morfologi interior lambung musang luak ................................. 19
9
Gambaran mikroanatomi dinding esofagus bagian kranial, medial, dan kaudal musang luak ........................................................................... 21
10
Gambaran mikroanatomi batas antara esofagus dan lambung ................... 22
11
Gambaran mikroanatomi dinding lambung musang luak .......................... 22
12
Gambaran mikroanatomi daerah kelenjar kardia musang luak .................. 24
13
Gambaran mikroanatomi daerah kelenjar fundus musang luak ............... 25
14
Gambaran mikroanatomi daerah kelenjar pilorus musang luak................. 26
15
Gambaran mikroanatomi batas antara pilorus dan duodenum ................... 26
16
Gambaran mikroanatomi hasil pewarnaan AB dan PAS pada esofagus dan substansi mukus kelenjar lambung musang luak ................................ 28
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Proses Dehidrasi Jaringan ........................................................................ 40
2
Prosedur Pewarnaan Hematoksilin Eosin ................................................. 41
3
Prosedur Pewarnaan Alcian Blue (AB) pH 2.5 ......................................... 42
4
Prosedur Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) ...................................... 43
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang kaya dengan keanekaragaman hayati flora dan fauna. Keanekaragaman flora dan fauna tersebut harus dijaga dan dilestarikan agar tidak punah. Pemanfaatan kekayaan tersebut melalui penelitian dapat bermanfaat tidak saja bagi ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam mendukung upaya pelestariannya. Musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) dikenal juga dengan sebutan toddy cat atau Asian palm civet merupakan salah satu anggota Famili Viverridae asli Asia Selatan dan Asia Tenggara. International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan spesies ini dalam daftar least concern (Duckworth et al. 2008). Least concern berarti statusnya belum menjadi perhatian karena populasinya dianggap masih banyak dan aman dari kepunahan. Selain itu budidaya musang luak sudah banyak dilakukan dan hewan ini tidak dikonsumsi sehingga populasinya masih terjaga. Ada empat spesies musang, yaitu musang luak atau Asian palm civet (Paradoxurus hermaphroditus), musang cokelat Jerdoni (P. jerdoni), musang emas (P. zeylonensis), dan musang palem Mentawai (P. lignicolor) (Schreiber et al. 1989). Selain keempat jenis tersebut, masih ada sekitar 65 subspesies di seluruh dunia, termasuk subspesies P. hermaphroditus rindjanicus dan P. h. sumbanus di Indonesia (Wilson dan Reeder 2005). Musang luak pada dasarnya termasuk hewan pemakan daging (karnivora), meskipun
demikian
hewan
ini
juga
menyukai
buah-buahan,
sehingga
dikategorikan pula sebagai hewan pemakan segala (omnivora) (Joshi et al. 1995). Menurut Mudappa et al. (2010), musang luak cenderung disebut sebagai frugivora (pemakan buah-buahan) dari pada karnivora dalam batasan perilaku makannya. Fungsi ekologis dari hewan ini adalah menjadi agen permudaan hutan karena peranannya sebagai penyebar alami biji-biji tanaman hutan.
Musang luak
merupakan salah satu satwa liar yang unik. Musang luak akan memilih buahbuahan seperti buah kopi yang telah matang dan berkualitas bagus untuk di makan. Buah kopi yang dimakan tersebut tidak dicerna dengan sempurna karena sistem pencernaannya sederhana. Saluran pencernaan musang luak hanya dapat
2
mencerna kulit dan daging buah kopi, sedangkan biji-bijinya dikeluarkan bersama feses. Karena hewan ini membuang feses di berbagai tempat yang dilaluinya, maka secara tidak sengaja ia telah berperan dalam menyebarkan biji yang berguna dalam permudaan hutan (Mudappa et al. 2010, Jothish 2011). Biji kopi yang dihasilkan dari sistem pencernaan musang ini disebut juga kopi luak. Menurut konsumen penikmat kopi, kopi luak mempunyai cita rasa yang enak dan terkenal di seluruh dunia. Kopi luak merupakan kopi termahal di dunia karena harganya dapat mencapai $300/pon (Morganelli 2007). Selain sebagai penghasil biji kopi termahal di dunia dan agen permudaan hutan, sekresi kelenjar anal musang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri parfum.
Manfaat ini menggambarkan bahwa jenis hewan ini sangat
multimanfaat dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Panggabean 2011). Saluran pencernaan musang luak menarik untuk diteliti berkaitan dengan kemampuannya memakan buah kopi yang kemudian biji kopi tersebut dikeluarkan kembali bersama feses. Penelitian pada musang luak yang pernah dilaporkan adalah tentang arteri pada jantung musang luak di Thailand (Rung-ruangkijkrai 2006). Beberapa penelitian lainnya lebih banyak melaporkan tentang ekologi musang luak diantaranya adalah penelitian mengenai perbedaan habitat musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) dengan musang India (Viverricula indica) di hutan regenerasi terdegradasi Myanmar (Su Su dan Sale 2007) dan penelitian tentang diet musang luak serta perannya dalam penyebaran benih di India (Jothish 2011). Sampai saat ini penelitian mengenai morfologi saluran pencernaan musang luak khususnya morfologi esofagus dan lambung belum pernah dilaporkan.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari morfologi esofagus dan lambung
musang
mikroanatomi.
luak
(P.
hermaphroditus)
secara
makroanatomi
dan
3
Manfaat Penelitian ini mempunyai manfaat dalam perkembangan ilmu kedokteran hewan secara umum dan khususnya perkembangan ilmu anatomi hewan. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data biologi satwa liar di Indonesia. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar dalam memberikan informasi mengenai keterkaitan antara pakan dan struktur morfologi esofagus dan lambung musang luak bagi penelitian lebih lanjut terkait proses fisiologisnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Distribusi Musang Menurut Schreiber et al. (1989), terdapat empat spesies musang dari genus Paradoxurus, yaitu: 1. Paradoxurus zeylonensis, menyebar terbatas di Sri Lanka. 2. Paradoxurus jerdoni, menyebar terbatas di negara bagian Kerala, India Selatan. 3. Paradoxurus lignicolor, menyebar terbatas di Kepulauan Mentawai. 4. Paradoxurus hermaphroditus (musang luak), menyebar luas di kawasan Asia. Sebagian besar musang luak terdistribusi alami di Asia Tenggara dan Asia Selatan meliputi India, Nepal, Bangladesh, Bhutan, Myanmar, Sri Lanka, Thailand,
Singapura,
Semenanjung
Malaysia,
Sabah,
Sarawak,
Brunei
Darussalam, Laos, Kamboja, Vietnam, Filipina, Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan), dan Cina Selatan. Wilayah yang telah diintroduksi musang luak di Indonesia meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Keberadaan spesies ini di Papua Nugini belum dapat dipastikan (Duckworth et al. 2008). distribusi musang luak di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Peta distribusi musang luak di Indonesia = alami = Introduksi (Modifikasi dari IUCN 2011).
Peta
5
Taksonomi musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) menurut IUCN (2011) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Carnivora
Famili
: Viverridae
Subfamili
: Paradoxurinae
Genus
: Paradoxurus
Spesies
: Paradoxurus hermaphroditus
Nama Umum
: Musang luak (Asian palm civet)
Anatomi Tubuh Musang luak bertubuh sedang berukuran sekitar 54 cm (Jackson 2004) dengan panjang ekor mencapai 48 cm dan berat badan rata-rata 3,5 kg (Baker dan Kelvin 2008). Tubuh musang luak ditutupi rambut berwarna abu-abu sampai cokelat dengan garis berwarna gelap pada punggungnya dan bintik-bintik pada sisinya. Musang luak memiliki tanda khusus yaitu adanya warna putih di daerah wajah yang menyerupai topeng. Tanda ini dapat digunakan untuk membedakan musang luak dengan musang spesies lain. Musang ini memiliki moncong tajam dan gigi yang runcing (Baker dan Kelvin 2008). Musang luak memiliki kelenjar anal yang terletak di bawah ekornya yang menyerupai testis. Pada spesies lain kelenjar ini hanya berkembang pada musang jantan atau betina saja, sedangkan pada musang luak kelenjar ini berkembang pada jantan dan betina. Oleh sebab itu, nama spesies musang luak adalah hermaphroditus (Baker dan Kelvin 2008).
Musang luak memiliki perilaku
menandai daerahnya menggunakan kelenjar anal, urin, dan feses.
Perilaku
menandai paling umum adalah meninggalkan bau yang berasal dari sekresi kelenjar anal dengan cara menggosokkan kelenjar ini pada suatu permukaan (Rozhnov dan Rozhnov 2003).
6
Gambar 2 Morfologi musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) dengan ciri khas adanya warna putih di wajah yang menyerupai topeng. Perilaku hidup Musang luak merupakan hewan arboreal yang sebagian besar hidupnya berada di atas pepohonan (Vaughan et al. 2000). Hewan ini memilih pohon tertinggi dan terbesar (>10 m) untuk aktivitasnya seperti beristirahat dan makan (Su Su dan Sale 2007). Musang luak merupakan hewan nokturnal (aktif di malam hari) untuk mencari makan dan beristirahat di siang hari (Joshi et al. 1995; Su Su dan Sale 2007). Habitat musang ini banyak dijumpai mulai dari hutan primer di ketinggian 2.000 meter dpl hingga hutan sekunder, sekitar perkebunan, dan
lingkungan
pemukiman
yang
masih
terdapat
banyak
pepohonan
(Vaughan et al. 2000). Hewan ini menurut taksonomi diklasifikasikan ke dalam hewan pemakan daging (karnivora), namun hewan ini juga menyukai buah-buahan sehingga dikelompokkan pula sebagai hewan pemakan segala (omnivora). Musang luak menyukai buah-buahan yang manis seperti buah kelapa, pepaya, pisang, dan sawo serta buah-buahan yang berbiji keras seperti buah kopi. Musang luak hanya memakan buah kopi yang sudah matang. Biji buah kopi yang dimakan tersebut tidak dapat dicerna, sehingga keluar kembali dari pencernaan bersama feses. Biji kopi ini yang kemudian dimanfaatkan oleh petani untuk dibuat menjadi kopi (Mudappa et al. 2010; Panggabean 2011). Selain itu musang juga memakan katak, tikus, reptil, telur, dan serangga (Joshi et al. 1995).
7
Masa dewasa kelamin musang luak adalah sekitar umur 11-12 bulan. Musang ini dapat hidup hingga 22 tahun dan biasanya melahirkan 2-5 anak per siklus masa kebuntingan (Weigl 2005). Musang dapat beranak sepanjang tahun, walaupun terdapat catatan bahwa anak musang lebih sering ditemukan antara bulan Oktober hingga Desember.
Biasanya anak-anak musang diletakkan di
dalam lubang pohon (Grassman 1998). Tabel 1. Data biologis dan reproduksi Paradoxurus hermaphroditus (Weigl 2005) Nama Latin Status Konservasi Lokasi Warna Panjang Badan Panjang Ekor Bobot Badan Lama Hidup Masa Kebuntingan Suhu Tubuh
Paradoxurus hermaphroditus Least concern Asia Abu-abu 48 - 59 cm (19-23 inchi) 44 – 53,5 cm (17 – 21 inchi) 2,4 – 4 kg + 22 tahun + 60 hari + 36,85 0C
Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Esofagus dan Lambung A. Esofagus Esofagus merupakan saluran muskular yang membawa makanan baik dalam bentuk padat maupun cairan yang telah dimastikasi dalam rongga mulut dari laryngopharynx hingga menuju lambung (Samuelson 2007). Di daerah leher esofagus berjalan di dorsal trakea dan umumnya miring ke arah kiri, kemudian masuk ke rongga thoraks dan berlanjut dalam mediastinum, dorsal basis jantung dan diantara paru-paru. Esofagus memasuki rongga abdominal melalui hiatus esophagus dari diafragma yang merupakan pemisah antara rongga thoraks dan abdominal (Aspinall dan O’Reilly 2004).
Esofagus
bergabung dengan lambung di dalam rongga abdominal pada daerah kardia (Frandson 1992). Menurut Stevens dan Hume (1995), fungsi utama esofagus pada vertebrata adalah menyalurkan makanan dari mulut ke lambung atau langsung ke usus pada hewan yang tidak memiliki lambung. Pada ikan, reptil, dan beberapa burung esofagus memiliki fungsi lain yaitu sebagai tempat penyimpanan makanan sementara sebelum dicerna di lambung.
8
Gambar 3 Skema gambaran gerakan peristaltik, akibat kontraksi dan relaksasi otot sirkuler dan longitudinal pada dinding esofagus (sumber: Aspinall dan O’Reilly 2004). Dinding esofagus memiliki empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan tunika adventisia. Secara umum lapisan mukosa esofagus tersusun atas tiga lapisan, yaitu lapisan epitel permukaan, lamina propria, dan muskularis mukosa (Telford dan Bridgman 1995; Eurell et al. 2006). Mukosa esofagus dilapisi oleh sel epitel pipih banyak lapis yang pada beberapa hewan mengalami keratinisasi. Epitel ini berfungsi untuk melindungi esofagus dari kerusakan akibat abrasi oleh makanan dan melebarkan lumen untuk meneruskan bolus makanan ke belakang (Aspinall dan O’Reilly 2004). Pada hewan karnivora misalnya anjing dan kucing, lapisan mukosa tidak mengalami keratinisasi.
Namun pada hewan ruminansia, babi, dan kuda,
umumnya mengalami keratinisasi (Eurell et al. 2006; Samuelson 2007). Epitel esofagus pada beberapa jenis ikan, amphibi dewasa, dan reptil mengandung sel-sel bersilia (Stevens dan Hume 1995). Jaringan ikat yang terletak di bawah lapisan epitel disebut lamina propria yang terdiri atas jaringan ikat kolagen dan jaringan ikat elastis. Jaringan ikat pada lamina propia lebih padat dibandingkan dengan jaringan ikat pada submukosa. Muskularis mukosa hanya terdiri atas lapisan otot polos longitudinal yang tipis. Komponen muskularis mukosa ini tidak ditemukan pada bagian kranial esofagus anjing dan babi.
Pada kucing, kuda, dan ruminansia terdapat
muskularis mukosa di sepanjang esofagus yang jumlahnya semakin berkurang di kaudal esofagus. Pembuluh darah (arteri, vena) dan pembuluh limfe serta saraf terdapat pada lapisan submukosa (Eurell et al. 2006). Di dalam esofagus terdapat kelenjar mukus yang berfungsi untuk memudahkan proses
9
transportasi makanan menuju lambung. Kelenjar esofagus dapat ditemukan terbatas di pharyngoesophageal junction seperti pada kucing, kuda, dan ruminansia (Colville dan Bassert 2002) atau di daerah kranial seperti pada babi, sedangkan kelenjar ini pada anjing terletak di sepanjang esofagus (Samuelson 2007). Tunika muskularis terdiri atas dua lapisan yaitu otot sirkuler di bagian dalam dan otot longitudinal di bagian luar. Secara umum kedua lapisan ini pada esofagus bagian kranial tersusun atas otot skelet dan di bagian kaudal tersusun atas otot polos. Transisi area pada kuda dan kucing dapat ditemukan menjelang akhir dari esofagus. Tunika muskularis pada anjing dan ruminansia tersusun oleh otot skelet yang tidak digantikan oleh otot polos. Di bagian otot polos tunika muskularis terdapat pleksus saraf enterikus dan sel ganglion parasimpatis (pleksus Auerbach) yang terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal (Samuelson 2007). Lapisan terluar yang melapisi dinding esofagus adalah tunika adventisia atau serosa.
Tunika adventisia melapisi tunika muskularis pada bagian
cervical esofagus. Tunika adventisia merupakan jaringan ikat yang mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf.
Tunika serosa
dapat ditemukan pada rongga thoraks (mediastinal pleura) atau di dekat lambung (visceral peritoneum) (Eurell et al. 2006; Samuelson 2007).
B. Lambung Lambung mamalia memiliki struktur seperti huruf ‘C’ terbalik dan terletak di sebelah kiri dari kranial abdomen (Aspinall dan O’Reilly 2004). Lambung merupakan pembesaran dari saluran pencernaan yang dapat berdilatasi, mempunyai struktur seperti kantung, dan berfungsi dalam proses pencernaan secara mekanik oleh gerakan peristaltik serta secara kimiawi melalui proses enzimatik dan hidrolisis menjadi komponen yang dapat dicerna (Telford dan Bridgman 1995; Eurell et al. 2006). Bolus makanan dipecah menjadi komponen yang dapat dicerna oleh gastric juice dan bantuan peristaltik untuk proses pencernaan selanjutnya di dalam usus. Gastric juice merupakan cairan yang disekresikan oleh lambung yang mengandung enzim dan HCl (Samuelson 2007).
10
Lambung
unggas
terbagi
atas
proventrikulus
dan
ventrikulus.
Proventrikulus mensekresikan HCl dan enzim pencernaan untuk proses kimiawi, serta mukus sebagai pelicin agar makanan mudah dihancurkan dan dilewatkan ke organ berikutnya.
Sedangkan ventrikulus berfungsi secara
mekanik menggantikan fungsi gigi. Lambung pada ikan, amphibi, dan reptil memiliki bentuk yang sederhana, memanjang, dan asimetri. Fungsi lambung pada hewan tersebut adalah menyimpan, maserasi, dan menghancurkan makanan (Stevens dan Hume 1995). Dinding lambung memiliki empat lapisan seperti umumnya saluran pencernaan, yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan serosa. Mukosa terbagi atas tiga lapis, yaitu: epitel permukaan, lamina propria, dan muskularis mukosa (Frappier 1998; Eurell et al. 2006). Epitel permukaan tersusun oleh sel epitel silindris sebaris dengan inti berbentuk oval terletak di daerah basal (Trautmann dan Fiebiger 1957). Lamina propria merupakan daerah terdapatnya kelenjar lambung.
Secara umum lambung mamalia
memiliki tiga daerah kelenjar (Samuelson 2007), yaitu: 1. Kardia Kardia
merupakan
zona
sempit
yang
berbatasan
dengan
gastroesophageal junction. Menurut Cunningham (1997), kelenjar kardia memproduksi sekresi mukus dan bermanfaat untuk melindungi mukosa esofagus yang berbatasan dengan daerah kardia dari sekresi asam lambung. 2. Fundus Fundus umumnya merupakan daerah yang terluas. Kelenjar fundus memiliki sedikitnya empat macam sel (Telford dan Bridgman 1995; Samuelson 2007), yaitu: a) Sel mukus Sel mukus terdiri atas dua macam sel yaitu sel mukus permukaan dan sel leher mukus. Sel mukus permukaan memiliki bentuk kubus sampai silindris dengan inti bulat sampai oval terletak di tengah sampai basal. Sel penghasil mukus ini terdapat di apikal sel leher dan menutupi seluruh permukaan mukosa lambung. Mukus yang
11
dihasilkan berfungsi untuk melindungi mukosa lambung, terutama dari kerusakan oleh asam lambung (HCl) yang disekresikan sel parietal. Sel leher mukus merupakan sel penghasil mukus yang terletak di daerah leher gastric pit. Sel ini berbentuk kubus atau tidak beraturan dengan inti umumnya bulat terletak di basal. Sel ini relatif sedikit jumlahnya dan berada diantara sel parietal di bagian leher kelenjar. b) Sel chief Sel chief terdistribusi di basal kelenjar lambung dan mempunyai bentuk sel yang khas. Sitoplasma sel ini bersifat basofil, sebagian besar mitokondria dan granula sekresinya berisi pepsinogen. Pepsinogen merupakan prekursor yang akan diaktifkan oleh HCl menjadi pepsin. Pepsin berfungsi dalam memecah protein menjadi pepton. c) Sel parietal Sel-sel parietal berukuran relatif besar berbentuk bulat dengan inti besar terletak di tengah. Semakin ke basal, sel parietal cenderung berbentuk piramidal.
Sel ini tersebar pada bagian apikal hingga
korpus kelenjar lambung dan memiliki sitoplasma yang bersifat asidofil. Sel ini memiliki ukuran yang lebih besar daripada sel chief dan berfungsi untuk mensekresikan HCl. d) Sel-sel enteroendokrin Sel ini berjumlah lebih sedikit, letaknya tersebar menempel di membran basal kelenjar. Sel enteroendokrin memproduksi berbagai hormon pencernaan yang terdapat dalam lambung seperti gastrin, glukagon (enteroglukagon), histamin, serotonin, dan somatostatin. 3. Pilorus Pilorus merupakan bagian paling akhir dari lambung (Telford dan Bridgman 1995).
Daerah pilorus memiliki kelenjar berbentuk tubular
yang sederhana, bercabang atau menggulung dengan gastric pit yang dalam. Daerah kelenjar pilorus terdapat sel-sel penghasil mukus (Samuelson 2007).
12
Gambar 4 Skema anatomi lambung (sumber: Aspinall dan O’Reilly 2004). Lapisan yang terletak dibawah muskularis mukosa disebut lapisan submukosa. Lapisan submukosa umumnya lebih luas, bersifat fibroelastik, terdiri atas kelenjar, pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf (pleksus Meissner) (Telford dan Bridgman 1995). Eurell et al. (2006) menyatakan bahwa tunika muskularis pada lambung terdiri atas tiga lapis otot. Lapisan dalam berupa lapisan obliq, lapisan tengah berupa lapisan otot sirkuler, dan lapisan luar berupa lapisan otot longitudinal. Antara lapisan sirkuler dan lapisan longitudinal dipisahkan oleh pleksus saraf myenteric dan sel ganglion parasimpatis (pleksus Auerbach) yang menginervasi kedua lapis otot tersebut. Lapisan paling luar yang melapisi dinding lambung adalah serosa (Samuelson 2007). Menurut Cunningham (1997), serosa merupakan permukaan epitel membran serous yang terdiri atas mesothelium dan lapisan tipis jaringan ikat longgar. Sel-sel di lapisan ini mengeluarkan cairan serous yang berfungsi sebagai lubrikan untuk mengurangi gaya gesekan antara lambung dengan organ lainnya di dalam rongga thoraks atau abdomen. Jaringan ikat longgar serosa mengandung lemak, pembuluh darah, dan saraf (Beveleander dan Ramaley 1988).
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai Maret 2012 di Laboratorium Riset Anatomi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan musang luak (Paradoxurus hermaphroditus) sebanyak tiga ekor yang terdiri atas dua ekor jantan dan satu ekor betina dengan bobot badan 2-2,5 kg. Hewan berasal dari tangkapan masyarakat sekitar kampus FKH IPB. Bahan yang digunakan adalah xylazine HCl, ketamin, larutan NaCl fisiologis, larutan pengawet Paraformaldehid 4%, alkohol konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut, xylol, parafin, akuades, air kran, pewarna hematoksilin-eosin (HE), alcian blue (AB), periodic acid Schiff (PAS), dan Entelan®. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perlengkapan bedah minor, timbangan digital, kain, benang kasur, jangka sorong, penggaris, botol, basket, inkubator untuk embedding, cetakan untuk parafin, blok kayu kecil, mikrotom, object glass, cover glass, label kertas, kotak preparat, mikroskop, dan peralatan fotografi. Metode Penelitian A. Persiapan Organ Pencernaan Musang luak dianestesi dengan xylazine HCl dengan dosis 2 mg/kg berat badan dan ketamin dengan dosis 10 mg/kg berat badan diaplikasikan secara intramuscular (IM).
Setelah hewan teranestesi, dilakukan sayatan pada
bagian ventromedian tubuh mulai dari daerah perineum sampai dada. Selanjutnya dilakukan proses eksanguinasi dengan menyayat atrium dekstra untuk mengeluarkan darah kemudian diirigasi menggunakan larutan NaCl fisiologis 0,9% dengan memasang kanul ke dalam ventrikel sinistra. Setelah
14
cairan yang keluar dari atrium dekstra cukup bening, dilakukan fiksasi secara perfusi dengan larutan paraformaldehid 4%. Penyempurnaan proses fiksasi dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan fiksatif ke beberapa bagian organ. Organ esofagus dan lambung kemudian dikeluarkan dari tubuh dan disimpan dalam larutan paraformaldehid 4% selama 3x24 jam. Selanjutnya organ dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70% sebagai stopping point sampai pengamatan selanjutnya. B. Pengamatan Makroanatomi dan Mikroanatomi Pengamatan makroanatomi dilakukan setelah proses pengawetan dalam larutan paraformaldehid 4%, meliputi pengamatan bentuk dan pengukuran organ esofagus dan lambung. Pengukuran menggunakan jangka sorong dan benang kasur sebagai alat bantu.
Setelah pengamatan dan pengukuran,
dilakukan pemotretan organ esofagus dan lambung secara keseluruhan. Pengamatan mikroanatomi dilakukan dengan pembuatan preparat histologi. Sampel organ diambil dari enam daerah esofagus dan lambung yaitu : esofagus bagian kranial, medial, kaudal yang berbatasan dengan lambung, daerah kurvatura minor fundus, medial korpus, dan daerah perbatasan antara lambung (pilorus) dan usus. Sampel diproses secara rutin histologi diawali dehidrasi di dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat 70%, 80%, 90%, 95%, dan 100%, dilanjutkan dengan proses clearing dengan larutan xylol, infiltrasi parafin cair ke dalam jaringan dan kemudian ditanam dalam parafin (embedding) menjadi blok parafin. Blok parafin dipotong dengan ketebalan 3 µm dan 5 µm dengan mikrotom. Selanjutnya preparat disimpan dalam inkubator dengan suhu 37 °C selama 24 jam untuk penyempurnaan penempelan jaringan pada object glass dan siap untuk diwarnai. Proses pewarnaan didahului dengan proses deparafinisasi dilanjutkan proses rehidrasi yang bertujuan untuk mengembalikan air ke dalam sediaan. Proses tersebut dimulai dari larutan xylol, dilanjutkan dengan larutan alkohol 100%, 95%, 90%, 80%, 70%. Selanjutnya dilakukan proses pewarnaan dengan pewarnaan hematoksilin-eosin (HE), alcian blue (AB), dan periodic acid Schiff (PAS) (prosedur terlampir). Setelah itu dilakukan dehidrasi, clearing dengan menggunakan xylol, dan penutupan sediaan dengan cover glass menggunakan perekat Entelan®.
15
Pengamatan mikroanatomi meliputi pengamatan struktur umum esofagus dan lambung dengan pewarnaan HE. Selain itu dilakukan pengamatan komposisi substansi mukus menggunakan pewarnaan AB dan PAS. Pengamatan struktur umum meliputi bentuk, macam sel, dan distribusi kelenjar serta struktur lapisan dinding esofagus dan lambung. Pengamatan substansi mukus dilakukan untuk mengetahui sifat dan komposisi karbohidrat dari substansi mukus di esofagus dan lambung.
Analisis Hasil Analisis dilakukan secara deskriptif dengan membuat dan mengamati preparat baik makroskopis maupun mikroskopis, mencatat hasil pengamatan serta membandingkan dengan data pada hewan lain maupun literatur.
16
HASIL
Morfologi Esofagus dan Lambung Musang Luak a. Makroanatomi Berdasarkan hasil pengamatan situs viscerum, esofagus pada awalnya berjalan di sebelah dorsal trakhea, kemudian di pertengahan daerah leher berbelok ke sisi kiri trakhea. Selanjutnya, di daerah thoraks organ ini kembali ke dorsal. Setelah bifurcatio trachealis, esofagus menembus hiatus esophagus pada diafragma dan bermuara di lambung.
Esofagus bermuara ke bagian proksimal lambung
sebelah kiri. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh panjang esofagus rata-rata adalah 17,3 ± 1,92 cm. Hasil pengukuran diameter esofagus menunjukkan bagian kranial memiliki diameter rata-rata sebesar 1,06 ± 0,16 cm, lebih lebar dibandingkan dengan esofagus bagian medial dan kaudal dengan rata-rata berturutturut adalah 0,72 ± 0,06 dan 0,83 ± 0,15 cm. Pengukuran panjang dan diameter dari tiga sampel organ esofagus musang luak tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Hasil pengukuran panjang dan diameter esofagus dari tiga sampel organ esofagus musang luak Esofagus (cm) p d kranial d medial A 16,4 0,9 0,65 B 16 1,06 0,74 C 19,5 1,23 0,76 Rata-rata 17,3±1,92 1,06±0,16 0,72±0,06 Keterangan : p = panjang d = diameter Sampel Musang
d kaudal 0,65 0,89 0,94 0,83±0,15
Lambung musang luak merupakan lambung tunggal, terletak di bagian anterioventral ruang abdomen sebelah kiri. Letak lambung tertutup oleh hati pada permukaan kranio-ventral.
Lambung bagian kranial berbatasan dengan otot
diafragma dan di sepanjang kranio-lateral lambung sebelah kiri terdapat organ limpa yang berukuran relatif panjang, sehingga hanya sebagian kecil lambung yang tampak apabila dalam keadaan kosong (Gambar 6).
17
e c a
b
f
g
h
d
Gambar 5 Situs viscerum saluran pencernaan musang luak. a. esofagus, b. trakhea, c. paru-paru, d. jantung, e. limpa yang terletak di sepanjang permukaan kranio-lateral lambung, f. hati yang menutupi bagian kranio-ventral lambung, g. lambung, h. usus. Bar = 3 cm.
a a b
c
b d e h g
d f
i
f
h
j i
j A
B
Gambar 6 Organ visceral musang luak dalam keadaan lambung kosong tampak dorsal (A) dan dalam keadaan lambung penuh ingesta tampak ventral (B). a. lidah, b. esofagus, c. trakhea, d. paru-paru, e. otot diafragma, f. hati, g. limpa, h. lambung, i. usus, j. kloaka. Bar = 2 cm.
18
Lambung musang memiliki bentuk seperti huruf J dengan ukuran kurvatura minor lebih pendek daripada kurvatura mayor. Hasil pengukuran kurvatura mayor dan kurvatura minor lambung musang luak dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil pengukuran lambung pada musang luak A dan B menunjukkan hasil yang tidak terlalu berbeda jauh. Lambung musang luak A dan B berukuran kecil, berdinding tebal, dan mempunyai lipatan mukosa yang banyak dan keras. Sampel lambung tersebut diambil saat dalam keadaan kosong. Berbeda dengan lambung musang luak C yang memiliki ukuran lambung lebih besar dan berdinding sangat tipis karena pada saat pengambilan sampel, lambung dalam keadaan penuh ingesta (Gambar 8). Lambung musang luak terbagi atas empat daerah, yaitu daerah kardia, fundus, korpus, dan pilorus.
Kardia adalah daerah lambung yang sempit dan
berbatasan dengan gastroesophageal junction, fundus merupakan bagian yang berbentuk seperti kubah, dan pilorus merupakan bagian paling akhir dari lambung. Tabel 3 Hasil pengukuran kurvatura mayor dan kurvatura minor dari tiga sampel organ lambung musang luak Sampel Musang Kurvatura Mayor (cm) A 9,35 B 9,47 C* 27,4 Rata-rata 15,4±10,4 * Lambung berisi penuh ingesta
Kurvatura Minor (cm) 5,15 5,28 8,74 6,39±2,04
Ket
a
b c
Mi d e
Ma
f
Gambar 7 Gambaran morfologi lambung musang luak. a. esofagus, b. kardia, c. fundus, d. korpus, e. pilorus, f. duodenum, Mi = kurvatura minor, Ma = kurvatura mayor. Bar = 1 cm.
19
A
B
Gambar 8 Gambaran morfologi interior lambung musang luak (A) dalam keadaan kosong yang berdinding tebal dengan permukaan mukosa membentuk banyak lipatan (plica gastrica) dan (B) dalam keadaan penuh ingesta yang berdinding sangat tipis dengan lipatan-lipatan mukosa yang sedikit teramati. Bar = 1 cm. b. Mikroanatomi Lapisan Dinding Esofagus dan Lambung Musang Luak Lapisan dinding esofagus musang luak secara umum sama seperti pada mamalia lainnya yang terdiri atas empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan tunika adventisia atau serosa (Gambar 9). Seluruh permukaan mukosa esofagus dilapisi oleh epitel pipih banyak lapis yang tidak mengalami keratinisasi. Jaringan ikat yang terletak di bawah lapisan epitel disebut lamina propria yang terdiri atas jaringan ikat kolagen dan jaringan ikat elastis. Lapis muskularis mukosa terdiri atas otot polos dengan arah serabut longitudinal. Muskularis mukosa di bagian kranial esofagus sangat tipis dan tidak selalu terdapat di sepanjang esofagus (diskontinu) yang disayat secara melintang. Bagian medial dan kaudal esofagus memiliki muskularis mukosa lebih tebal dibandingkan dengan bagian kranial dan terdapat di sepanjang mukosa esofagus (Gambar 9). Lapisan muskularis mukosa ini menjadi batas antara lapisan mukosa dengan lapisan submukosa.
20
Lapisan submukosa adalah lapisan yang terdapat di profundal lapisan mukosa.
Lapisan ini didominasi jaringan ikat longgar dan banyak ditemukan
pembuluh darah (arteri dan vena) dan saraf. Kelenjar esofagus tidak ditemukan di sepanjang esofagus musang luak. Tunika muskularis musang luak tersusun atas lapisan otot yang tebal. Tunika muskularis terdiri atas dua lapisan yaitu otot sirkuler di bagian dalam dan otot longitudinal di bagian luar. Semakin ke kaudal kedua lapisan tersebut semakin menebal. Gambaran mikroanatomi esofagus musang luak memperlihatkan tunika muskularis memiliki lapisan otot longitudinal yang lebih tipis dibandingkan dengan lapisan otot sirkulernya. Kedua lapisan ini pada esofagus bagian kranial dan medial tersusun atas otot bergaris melintang. Sedangkan pada bagian kaudal, tersusun oleh otot polos (Gambar 9).
Lapisan terluar dari esofagus bagian kranial (daerah
cervical) berupa jaringan ikat yang disebut tunika adventisia, sedangkan di bagian kaudal (daerah thoraks dan abdomen) lapisan tersebut merupakan mesothelium atau tunika serosa. Perbatasan antara esofagus dan lambung secara mikroskopis ditandai dengan adanya perubahan epitel dari epitel pipih banyak lapis menjadi epitel silindris sebaris (Gambar 10). Dinding lambung musang luak memiliki empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa (Gambar 11). Seluruh permukaan mukosa lambung dilapisi oleh epitel silindris sebaris.
Kelenjar lambung terdapat dalam lamina propia dan pada bagian
profundalnya terdapat lamina muskularis mukosa yang cukup tebal dan menjadi batas dengan lapisan submukosa. Tunika muskularis adalah lapisan otot yang tebal dan tersusun atas otot polos yang terbagi menjadi dua lapisan. Lapisan dalam merupakan otot yang tersusun secara sirkuler, sedangkan lapisan luar merupakan otot yang tersusun secara longitudinal. Diantara kedua lapis tunika muskularis ditemukan adanya jaringan ikat longgar, pembuluh darah dan kumpulan sel-sel saraf yang membentuk pleksus myenteric. Bagian terluar dari lambung dilapisi oleh tunika serosa yang disusun oleh jaringan ikat longgar.
21
a
Mu
b c
SM
e
TM f g
A a b
TA
a c
b
c d
d
e’ e
f’
B
g
C
g’
Gambar 9 Gambaran mikroanatomi dinding esofagus musang luak yang tersusun atas (Mu) mukosa, (SM) submukosa, (TM) tunika muskularis, dan (TA) tunika adventisia atau serosa. A. esofagus bagian kranial dengan muskularis mukosa yang tipis dan diskontinu, B. esofagus bagian medial, dan C. bagian kaudal dengan muskularis mukosa yang lebih tebal dibandingkan dengan bagian kranial. a. epitel pipih banyak lapis, b. lamina propria, c. muskularis mukosa, d. submukosa, e. otot sirkuler (otot lurik), e’. otot sirkuler (otot polos), f. otot longitudinal (otot lurik), f’. otot longitudinal (otot polos), g. tunika adventisia, g’. tunika serosa. Pewarnaan HE, Bar A= 50 µm, Bar B dan C = 150 µm.
22
a b
Gambar 10 Gambaran mikroanatomi batas antara esofagus dan lambung. () batas esofagus dan lambung, (a) epitel pipih banyak lapis, (b) epitel silindris sebaris. Pewarnaan HE, Bar = 150 µm.
Mu
SM
TM Se Gambar 11 Gambaran mikroanatomi dinding lambung musang luak yang tersusun atas (Mu) mukosa, (SM) submukosa, (TM) tunika muskularis, dan (Se) tunika serosa. Pewarnaan HE, Bar = 150 µm.
23
Distribusi Kelenjar Lambung Musang Luak Musang luak memiliki daerah kardia yang sempit, kelenjarnya pendek dan lurus. Epitel permukaan disusun oleh sel epitel silindris sebaris dan membentuk lekukan yang disebut gastric pit. Daerah kelenjar kardia berupa kelenjar tubular sederhana, dengan sel berbentuk kuboid, dan inti terletak di basal. Beberapa sel parietal mulai ditemukan pada daerah peralihan, yaitu batas antara daerah kardia dan daerah fundus (Gambar 12). Daerah kelenjar fundus menempati sebagian besar daerah lambung. Daerah ini ditandai dengan mulai ditemukannya sel-sel utama (sel chief). Kelenjar fundus berbentuk tubular sederhana atau bercabang yang terbentang di lamina propia hingga batas lapisan muskularis mukosa. Daerah kelenjar fundus musang luak ditemukan adanya empat tipe sel, yaitu sel mukus permukaan, sel leher mukus, sel parietal, dan sel chief.
Sel mukus permukaan ditemukan menutupi seluruh
permukaan mukosa lambung. Sel leher mukus berjumlah relatif sedikit dan terletak di bagian gastric pit. Di daerah basal kelenjar terdapat sel dengan sitoplasma bergranula dan bersifat basofil serta memiliki inti terletak di tepi. Sel tersebut merupakan sel chief yang memproduksi enzim prekursor yang disebut juga dengan pepsinogen. Sel parietal ditemukan dalam jumlah besar dan terdistribusi pada bagian apikal hingga basal kelenjar. Semakin ke basal jumlah sel parietal semakin berkurang. Sel ini berukuran lebih besar daripada sel chief, berbentuk bulat dengan inti besar terletak di tengah, dan memiliki sitoplasma yang bersifat asidofil (Gambar 13). Kelenjar pilorus berbentuk tubulus bercabang dan permukaan mukosanya memiliki gastric pit yang dalam (Gambar 14). Kelenjar pilorus tersusun oleh selsel mukus. Penebalan otot yang membentuk sphincter pilorus, tidak sejelas pada hewan lain. Batas antara pilorus dan duodenum ditandai dengan ditemukannya vili usus, sel goblet, dan kelenjar Brunner pada proksimal duodenum (Gambar 15).
24
a
A
b
A’
Gambar 12 Gambaran mikroanatomi daerah kelenjar kardia musang luak yang sempit dengan sel kelenjar berbentuk kuboid dan inti () terletak di basal. Beberapa sel parietal ( ) mulai ditemukan pada daerah peralihan antara kardia dan fundus, (a) lamina propria, (b) muskularis mukosa. Pewarnaan HE, Bar A = 50 µm, A’ = 10 µm.
25
a b
A
c
d
A’
Gambar 13 Gambaran mikroanatomi daerah kelenjar fundus musang luak dan selsel penyusun kelenjar fundus yang terdiri atas (a) sel mukus permukaan, (b) sel leher mukus, (c) sel chief yang terdistribusi di basal kelenjar, dan (d) sel parietal yang terdistribusi dari apikal hingga basal kelenjar. Pewarnaan HE, Bar A = 50 µm, Bar A’ = 10 µm.
26
b
a
c
Gambar 14 Gambaran mikroanatomi daerah kelenjar pilorus musang luak. a. gastric pit, b. lamina propria, c. kelenjar pilorus. Pewarnaan HE, Bar = 50 µm. b c Duo d e
Pilo
a
c f
A
e
B
Gambar 15 Gambaran mikroanatomi batas antara pilorus dan duodenum (A) dan sphincter pilorus yang berupa penebalan otot tunika muskularis (B). a. kelenjar pilorus, b. vili usus, c. muskularis mukosa, d. kelenjar Brunner, e. submukosa, f. tunika muskularis. Pilo = pilorus, Duo = duodenum. Pewarnaan HE, Bar = 150 µm
27
Pengamatan Komposisi Substansi Mukus Hasil pewarnaan alcian blue (AB) pH 2,5 dan periodic acid Schiff (PAS) memperlihatkan intensitas warna biru dan merah magenta yang lemah hingga kuat pada esofagus dan lambung musang luak dapat dilihat pada Tabel 4.
Pada
pewarnaan AB, sel-sel epitel mukosa esofagus menunjukkan hasil reaksi negatif. Sel-sel mukus dan sel-sel leher sepanjang permukaan mukosa lambung menunjukkan hasil reaksi positif terhadap pewarnaan AB yang ditunjukkan dengan warna biru pada sel-sel dan lumen kelenjar. Daerah kelenjar kardia, sel-sel kelenjar, dan lumen kelenjar menunjukkan intensitas warna kuat hingga lemah. Sel epitel mukosa kelenjar fundus menunjukkan intensitas warna yang kuat. Intensitas warna pada lumen kelenjar semakin rendah pada kelenjar yang terletak semakin ke bagian basal. Daerah kelenjar pilorus, sel-sel kelenjar, dan lumen kelenjar menunjukkan intensitas warna yang lemah terhadap AB. Pada pewarnaan PAS terlihat bahwa epitel mukosa esofagus menunjukkan hasil reaksi positif dengan intensitas warna lemah. Sel-sel mukus dan sel-sel leher sepanjang permukaan mukosa lambung menunjukkan hasil reaksi positif terhadap pewarnaan PAS yang ditunjukkan dengan warna merah magenta pada sel-sel dan lumen kelenjar. Daerah kelenjar kardia, sel-sel, dan lumen kelenjar menunjukkan intensitas warna antara sedang hingga kuat. Daerah kelenjar fundus, sel-sel, dan lumen kelenjar menunjukkan reaksi lemah sampai kuat, dan daerah awal kelenjar pilorus menunjukkan reaksi yang kuat terhadap PAS. Intensitas warna semakin lemah ditunjukkan pada perbatasan antara daerah akhir kelenjar pilorus dan duodenum. Tabel 4 Hasil pewarnaan AB dan PAS pada esofagus dan lambung musang luak No.
Nama Organ
Pewarnaan AB
Esofagus - epitel mukosa 2. Kardia - epitel mukosa +++ - sel kelenjar + - lumen kelenjar + 3. Fundus - epitel mukosa +++ - sel kelenjar + - lumen kelenjar + 4. Pilorus - epitel mukosa + - sel kelenjar + - lumen kelenjar + Keterangan: (-) = negatif, (+) = lemah, (++) = sedang, (+++) = kuat
PAS
1.
+ +++ ++ ++ +++ + + + +++ +++
28
AB
PAS
A
A
AB
PAS
a
B AB
b
B a
PAS
C AB
b’
b
C a’
PAS
b’
D D Gambar 16 Gambaran mikroanatomi hasil pewarnaan AB dan PAS pada esofagus dan substansi mukus kelenjar lambung musang luak. (A) esofagus, (B) kardia, (C) fundus, (D) pilorus. Bar = 50 µm. Anak panah: a . intensitas warna biru kuat a’. intensitas warna biru lemah b . intensitas warna merah magenta kuat b’. intensitas warna merah magenta lemah
29
PEMBAHASAN Esofagus musang luak pada awalnya berjalan di sebelah dorsal trakhea, kemudian di pertengahan daerah leher (pars cervical) berbelok ke sisi kiri trakhea. Selanjutnya, di daerah thoraks (pars thoracal) organ ini kembali ke dorsal. Setelah bifurcatio trachealis, esofagus kemudian menembus hiatus esophagus pada diafragma dan bermuara di lambung (pars abdominal). Kondisi ini mirip dengan posisi esofagus pada ruminansia, kuda, dan babi, tetapi berbeda pada karnivora (Getty 1975). Esofagus pada karnivora berjalan di sepanjang dorsal trakhea sampai bifurcatio trachealis, selanjutnya esofagus menembus hiatus esophagus pada diafragma dan bermuara di lambung. Lapisan dinding esofagus musang luak secara umum sama seperti pada mamalia lainnya yang terdiri atas empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan tunika adventisia atau serosa (Eurell et al. 2006; Samuelson 2007). Musang luak tidak memiliki kelenjar esofagus. Hewan lain yang tidak memiliki kelenjar esofagus adalah kelinci (Boyd et al. 1980). Pada beberapa hewan, kelenjar esofagus dapat ditemukan terbatas di pharyngoesophageal junction seperti pada kucing, kuda, dan ruminansia (Colville dan Bassert 2002) atau di daerah kranial seperti pada babi, sedangkan kelenjar ini pada anjing terletak di sepanjang esofagus (Samuelson 2007).
Keberadaan kelenjar esofagus berkaitan dengan fungsinya.
Sekresi kelenjar esofagus berupa mukus yang berfungsi sebagai pelicin untuk memudahkan proses transportasi makanan menuju lambung.
Musang luak
menyukai buah-buahan sebagai makanannya, buah-buahan dapat lebih mudah ditransportasikan dibandingkan dengan makanan yang berbentuk kering. Selain itu musang luak memiliki kelenjar ludah yang berkembang baik (Pratama 7 September 2012, komunikasi pribadi). Kelenjar ludah menghasilkan sekreta berupa air ludah yang berfungsi membantu membasahi dan melunakkan makanan yang kering, media untuk memecah dan mengencerkan bahan makanan, mempertahankan pH dalam rongga mulut, memecah karbohidrat, dan mengandung lisozim sebagai zat antibakteri (Samuelson 2007). Sekresi air ludah yang dihasilkan diduga cukup membantu melumasi dan melunakkan bahan makanan sehingga tidak memerlukan sekresi mukus dari kelenjar esofagus.
30
Pergerakan makanan dalam esofagus menuju lambung disebabkan oleh adanya gerakan peristaltik akibat kontraksi dua lapisan otot pada tunika muskularis (Colville dan Bassert 2002). Musang luak memiliki tunika muskularis yang tebal. Tunika muskularis esofagus pars cervical sampai thoracal bagian proksimal disusun oleh otot bergaris melintang. Tunika muskularis pars thoracal bagian distalis yang berbatasan dengan lambung disusun oleh otot polos. Gambaran ini mirip dengan kucing, primata, dan kuda, tetapi berbeda dengan anjing dan ruminansia. Pada anjing dan ruminansia tunika muskularis hanya disusun oleh otot bergaris melintang yang diinervasi oleh sistem saraf somatik dan berada di bawah kontrol kesadaran. Sedangkan otot polos berada di bawah kontrol langsung oleh sistem saraf enterikus dan kontrol tidak langsung oleh sistem saraf otonom (Stevens dan Hume 1995; Cunningham 2002; Samuelson 2007). Buah kopi yang menjadi makanan musang luak terdiri atas kulit dan biji. Kulit buah kopi memiliki tiga lapisan utama, yaitu kulit luar (exocarp), daging buah (mesocarp), dan kulit tanduk (endocarp). Sedangkan biji buah kopi terdiri atas dua bagian yaitu kulit ari dan putih lembaga (endosperma) (AAK 1988). Musang luak yang memakan buah kopi pada awalnya menggigiti kulit dan daging buahnya, setelah buah terkupas musang luak menelannya secara langsung tanpa dikunyah. Oleh karena itu, biji kopi yang keras masih tetap utuh di dalam saluran cerna. Lapisan tunika muskularis yang tebal pada esofagus musang luak diduga merupakan kompensasi dari tidak adanya kelenjar esofagus dan berfungsi untuk menggerakkan makanan menuju lambung. Lambung
musang
luak
merupakan lambung
anterioventral ruang abdomen sebelah kiri.
tunggal,
terletak
di
Letak lambung ini sama dengan
lambung mamalia monogastrik pada umumnya. Lambung musang luak memiliki bentuk seperti huruf J dengan ukuran kurvatura mayor sekitar dua kali lebih panjang dari kurvatura minor. Bentuk lambung musang luak ini dimiliki oleh beberapa hewan antara lain kuda (Getty 1975) dan kelinci (O’ Malley 2005). Lambung musang luak dapat berdilatasi menjadi sangat luas dalam keadaan penuh ingesta. Kelompok musang memiliki lambung sederhana dan kecil, tetapi dapat berdistensi menjadi sangat luas untuk menampung makanan dalam jumlah besar (Aspinall dan O’Reilly 2004). Menurut Cunningham (2002), lambung terbagi atas dua regio fisiologis, yaitu regio proksimal dan regio distal yang memiliki fungsi
31
berbeda.
Regio proksimal lambung berfungsi sebagai tempat penyimpanan
makanan untuk menunggu proses pencernaan lebih lanjut dalam distal lambung. Regio distal berfungsi dalam memecah makanan menjadi partikel-partikel kecil untuk proses absorbsi selanjutnya di dalam usus. Lambung bagian proksimal dapat berdilatasi dan menerima makanan dalam jumlah besar akibat adanya relaksasi otot saat makanan masuk ke dalam lambung. Saat lambung dalam keadaan kosong, ketegangan dinding proksimal lambung sedikit meningkat sehingga mendorong makanan ke bagian distal lambung yang selanjutnya akan ditransportasikan ke duodenum. Lambung musang luak terbagi atas empat daerah, yaitu daerah kardia, fundus, korpus, dan pilorus.
Kardia adalah daerah lambung yang sempit dan
berbatasan dengan gastroesophageal junction, fundus merupakan bagian yang berbentuk seperti kubah, dan pilorus merupakan bagian paling akhir dari lambung. Secara mikroanatomi dinding lambung musang luak memiliki struktur umum sama seperti lambung mamalia lainnya. Dinding lambung memiliki empat lapisan seperti umumnya saluran pencernaan, yaitu mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan serosa (Samuelson 2007; Telford dan Bridgman 1995).
Seluruh permukaan
mukosa lambung musang luak dilapisi oleh sel epitel silindris sebaris. Epitel permukaan ini akan beregenerasi bila mengalami kerusakan (Eurell et al. 2006). Distribusi Kelenjar Lambung Musang Luak Lambung musang terbagi atas tiga daerah kelenjar, yaitu kardia, fundus, dan pilorus. Menurut Telford dan Bridgman (1995), kardia merupakan bagian lambung yang sempit dan berbatasan dengan gastroesophageal junction.
Musang luak
memiliki daerah kardia yang sempit, kelenjarnya pendek dan lurus. Beberapa sel parietal mulai ditemukan pada daerah peralihan, yaitu batas antara daerah kardia dan fundus. Kondisi daerah kelenjar kardia yang sempit ini juga ditemukan pada hewan karnivora seperti kucing dan anjing, tetapi berbeda dengan lambung babi dengan daerah kelenjar kardia yang menempati sebagian besar daerah proksimal lambung (Cunningham 2002). Kelenjar kardia hanya mengandung satu macam sel yaitu sel penghasil mukus.
Menurut Cunningham (2002), kelenjar kardia
memproduksi sekresi mukus dan bermanfaat untuk melindungi mukosa esofagus yang berbatasan dengan daerah kardia dari sekresi asam lambung.
32
Musang luak memiliki daerah kelenjar fundus yang menempati sebagian besar daerah lambung. Menurut Eurell et al. (2006), daerah kelenjar fundus pada karnivora mencapai lebih dari setengah mukosa lambung. Daerah ini ditandai dengan ditemukannya sel utama, sel parietal, sel leher, dan sel mukus permukaan. Ditemukannya sel parietal dalam jumlah besar dan terdistribusi mulai dari apikal sampai basal kelenjar, menunjukkan besarnya peranan HCl pada lambung musang luak.
Kondisi banyaknya sel parietal dalam lambung musang luak dapat
menyebabkan suasana lambung menjadi sangat asam karena besarnya produksi HCl yang dihasilkan. Asam khlorida (HCl) berfungsi untuk mengaktifkan enzim-enzim proteolitik yang dihasilkan oleh sel-sel utama dan berperan sebagai antiseptik, bakterisidal, dan hidrolisis sukrosa (Trautmann dan Fiebiger 1957). Hal ini sejalan dengan pernyataan Marcone (2004) bahwa biji kopi luak memiliki total protein yang rendah sehingga mengindikasikan selama proses pencernaan terdapat pemecahan protein dalam biji kopi oleh enzim-enzim proteolitik. Distribusi sel leher musang luak di bagian leher gastric pit sama dengan mamalia pada umumnya. Sel mukus permukaan terdistribusi menutupi seluruh permukaan mukosa lambung. Mukus yang dihasilkan berfungsi untuk melindungi mukosa lambung dan mengurangi aktivitas autodigesti dari kerusakan mukosa lambung, terutama dari kerusakan oleh HCl yang disekresikan sel parietal (Samuelson 2007). Kelenjar pilorus berbentuk tubulus bercabang dan permukaan mukosanya memiliki gastric pit yang dalam.
Penebalan otot yang membentuk sphincter
pilorus, tidak sejelas pada hewan lain. Batas antara pilorus dan duodenum ditandai dengan ditemukannya vili usus, sel goblet, dan kelenjar Brunner. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stevens dan Hume (1995) bahwa kelenjar Brunner pada umumnya hanya ditemukan di submukosa proksimal duodenum. Menurut Ulfa (2001), sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar tersebut mempunyai peranan penting dalam proses pencernaan secara fisiologis. Kelenjar Brunner mensekresikan cairan mukus yang bersifat alkali dan berfungsi untuk menetralkan keasaman makanan dari lambung yang akan masuk ke duodenum (Forman 1990; Stevens dan Hume 1995). Selain itu kelenjar Brunner dapat menghasilkan suatu hormon yang dapat menghambat sekresi asam khlorida lambung yang disebut urogastron (Junquieira dan Contopoulas 1977).
33
Menurut Guyton (1994), sekresi pada saluran pencernaan merupakan respon terhadap keberadaan makanan di dalam saluran pencernaan. Mukus adalah sekresi kental yang terutama terdiri atas air, elektrolit, dan campuran dari beberapa glikoprotein. Glikoprotein tersebut terdiri atas sejumlah besar polisakarida yang berikatan dengan protein dalam jumlah kecil. Komposisi substansi mukus pada suatu organ dapat dilihat dengan menggunakan metode pewarnaan AB dan PAS. Pewarnaan tersebut merupakan metode pilihan yang berfungsi untuk mendeteksi karbohidrat asam dan netral dalam suatu sel atau jaringan (Kiernan 1990). Karbohidrat tersebar di dalam jaringan tubuh. Senyawa ini terutama ditemukan dipermukaan sel, di dalam sitoplasma (bergantung pada aktivitas fungsional sel), dan matriks ekstrasel. Sekitar tujuh jenis karbohidrat yang dapat dijumpai pada mamalia seperti: mannosyl, glucosyl, galactosyl,
fucosyl,
acetylgalactosyl,
sialic
acid,
dan
acetylglucosaminyl
(Leathem 1986). Bancroft (1967) menyatakan bahwa komposisi substansi mukus terdiri atas karbohidrat komplek.
Karbohidrat komplek disebut juga dengan
polisakarida atau glikokonjugat, dapat berikatan dengan protein (dalam bentuk proteoglikan dan glikoprotein), dan dengan lemak (dalam bentuk glikolipid). Glikokonjugat berperan penting dalam proses sel seperti maturasi, diferensiasi, dan interaksi antar sel (Kurohmaru et al. 1995). Karbohidrat komplek terbagi menjadi dua yaitu karbohidrat asam dan karbohidrat netral. Perbedaan antara karbohidrat asam dan karbohidrat netral yaitu terletak pada ada tidaknya gugus asam. Gugus asam terdapat pada kelompok karbohidrat asam, sedangkan karbohidrat netral tidak memiliki gugus tersebut.
Bancroft dan Stevens (1982) membagi karbohidrat
menjadi dua bagian yaitu glikogen dan mucins (sama dengan mukopolisakarida, mukosubstan, dan glikokonjugat). Pewarnaan alcian blue (AB) tidak spesifik untuk jenis karbohidrat, tetapi metode ini sering digunakan untuk mendeteksi mukopolisakarida yang bersifat asam dengan cara mengikat gugus karboksil pada pH 2,5 (Kiernan 1990). Penelitian ini menunjukkan bahwa pada sel-sel epitel mukosa esofagus musang luak tidak ditemukan karbohidrat asam dengan adanya reaksi negatif terhadap AB pH 2,5.
Hasil pewarnaan AB pada substansi mukus dan daerah kelenjar
lambung (kardia, fundus, dan pilorus) memberikan hasil reaksi positif. Reaksi
34
positif pada pewarnaan AB menunjukkan bahwa mukus yang dihasilkan oleh kelenjar lambung mengandung mukopolisakarida asam. Mukopolisakarida asam diduga
berperan
penting
dalam
perlawanan
invasi
patogen
potensial
(Suprasert et al. 1999). Pewarnaan periodic acid Schiff (PAS) dilakukan untuk mendeteksi mukopolisakarida yang bersifat netral, dengan cara memutus rantai karbon pada gugus 1,2-glikol dan 1,2-amino-alkohol oleh asam periodat dan mengoksidasinya menjadi gugus aldehid yang selanjutnya direaksikan oleh reagen Schiff menjadi berwarna merah magenta (Kiernan 1990). Hasil pewarnaan PAS pada permukaan esofagus dan semua daerah kelenjar lambung (kardia, fundus, dan pilorus) menunjukkan hasil reaksi positif. Reaksi positif pada pewarnaan PAS tersebut menunjukkan bahwa mukus yang dihasilkan mengandung mukopolisakarida netral yang berguna untuk menetralisasi keasaman lambung yang berlebihan dan melindungi mukosa lambung dari kerusakan akibat asam lambung (Novelina 2003). Hasil yang diperoleh menggunakan pewarnaan AB dan PAS masih sangat luas yang berarti pewarnaan ini belum dapat menentukan jenis glikokonjugat (residu gula) yang terkandung dari reaksi positif yang diberikan.
35
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Musang luak tidak memiliki kelenjar esofagus. Daerah kelenjar fundus terdapat sel-sel parietal dalam jumlah besar yang menunjukkan besarnya peranan HCl pada lambung musang luak. Daerah epitel permukaan esofagus hanya mengandung karbohidrat netral. Sedangkan pada permukaan mukosa dan kelenjar lambung musang luak mengandung mukopolisakarida asam dan netral. Karakteristik morfologi esofagus dan lambung musang luak diduga berhubungan dengan jenis pakan dan aktivitas pencernaannya. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sistem pencernaan musang luak, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih lengkap khususnya mengenai keterkaitan antara pakan dan aktivitas pencernaan musang luak.
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 1988. Budidaya Tanaman Kopi. Yogyakarta: Kanisius. Aspinall V, O’Reilly M. 2004. Introduction to Veterinary Anatomy and Physiology. Philadelphia: Butterworth-Heinemann. Baker N, Kelvin L. 2008. Wild Animals of Singapore: A Photographic Guide to Mammals, Reptiles, Amphibians, and Freshwater Fishes. Singapura: Vertebrate Study Group, Nature Society. Bancroft JD. 1967. An introduction to Histochemical Technique. New York: Appleton Century-Crofts. Bancroft JD, Stevens A. 1982. Theory and Practice of Histological Techniques. Edinburgh: Churchill livingstones. Beveleander G, Ramaley JA.1988. Dasar-dasar Histologi. Ed ke-8. Penerjemah: Wisnu Gunarso. Jakarta: Erlangga. Boyd DD, Carney CN, Powell DW. 1980. Neurohumoral control of esophageal epithelial electrolyte transport. J Am Phys Society 239 (1): 5-11 Colville TP, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. Missouri: Mosby Inc. Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. Ed ke-3. Philadelphia: Saunders. Duckworth JW, Widmann P, Custodio C, Gonzales JC, Jennings A, Veron G. 2008. Paradoxurus hermaphroditus. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. International Union for Conservation of Nature. Eurell JAC, Frappier BL, Dellmann HD. 2006. Dellmann’s Textbook of Veterinary Histology. Eurell JAC, Frappier BL, editor. Ed ke-6. Iowa: Blackwell Publishing. Forman GL. 1990. Comparative macro- and micro- anatomy of stomach of macroglossine bats (Megachiroptera : Pteropodidae). J Mammal 71(4): 555-565 Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. Srigandono B, Praseno K, penerjemah. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animals. Frappier B. 1998. Digestive System Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins. Getty R. 1975. Sisson and Grossman, The Anatomy of the Domestic Animals. Ed. Ke-5. Philadelphia: WB Saunders Company. Grassman LI. 1998. Movements and fruit selection of two Paradoxurinae species in a dry evergreen forest in Southern Thailand. Small Carnivore Conservation 19: 25-29.
37
Guyton AC, Hall JE. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. [IUCN] International Union for the Conservation of Nature. 2011. IUCN Red List of Threatened Species. Versi 2011.2 [terhubung berkala]. http://www.iucnredlist.org (5 Mei 2012). Jackson T. 2004. Animals of Asia and Australia. London: Southwater (Anness Publishing Company). Joshi A, Smith J, Cuthbert FJ. 1995. Influences of food distribution and predation pressures on spacing behavior in palm civets. J Mammal 76 (4): 1205-1212. Jothish PS. 2011. Diet of the common palm civet Paradoxurus hermaphroditus in a rural habitat in Kerala, India, and its possible role in seed dispersal. Small Carnivore Conservation 45: 14-17. Junquieira LCC, Contopoulas. 1977. Basic Histology. Ed ke-2. California: Lange Medical Publication. Kiernan JA. 1990. Histological and Histochemical Methods: Theory and Practice. New York: Pergamon Press. Kurohmaru M, Kobayashi H, Kanai Y, Hattori S, Nishida T, Hayashi Y. 1995. Distribution of lectin-binding in the testes of the musk shrew. Suncus murinus J Anatomy 183: 323-329. Leathem A. 1986. Lectin Histochemistry. Polak JM, Norden, editor. Immunocytochemistry Modern Method and Applications. Bristol: Wright. Marcone M. 2004. New research explains structure, taste of Kopi Luwak coffee [terhubung berkala]. http://www.uoguelph.ca/news/archives/005780.html [15 Agustus 2012]. Morganelli A. 2007. The Biography of Coffee. Canada: Crabtree Publishing Company. Mudappa D, Kumar A, Chellam R. 2010. Diet and fruit choice of the Brown Palm Civet Paradoxurus jerdoni, a viverrid endemic to the Western Ghats rainforest, India. Tropical Conservation Science 3: 282-300. Novelina S. 2003. Studi morfologi saluran pencernaan burung walet sarang putih (Collocalia fuciphaga). [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. O’Malley B. 2005. Clinical Anatomy and Physiology of Exotic Species: Structure and Function of Mammals, Birds, Reptiles, and Amphibians. London, UK: Elsevier Saunders. Panggabean E. 2011. Menggeruk Untung dari Bisnis Kopi Luwak. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Rozhnov VV, Rozhnov YV. 2003. Roles of different types of excretions in mediated communication by scent marks of the common palm civet, Paradoxurus hermaphroditus Pallas, 1777 (Mammalia, Carnivora). Biology Bulletin (MAIK Nauka/Interperiodica) 30: 584-590.
38
Rung-raungkijkrai T, Klomkleaw W, Prachammuang P. 2006. Arteries of the heart of a common palm civet (Paradoxurus hermaphroditus). Di dalam: Banlunara W et al., editor. Emerging Infectious Disease in Asian Wildlife Mediccine and Pathology. Proceedings of AZWMP 2006 (the2nd symposium of the Asian Zoo and Wildllife Medicine and the 1st Workshop on the Asian Zoo and Wildlife Pathology); Faculty of Veterinary Science Chulalongkorn University, 26-29 Oktober. Bangkok: Tiransar Press. Samuelson D A. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Philadelphia: Saunders. Schreiber A, Wirth R, Riffel M, Rompaey HV. 1989. Weasels, Civets, Mongooses, and their Relatives An Action Plan for the Conservation of Mustelids and Viverrids. Switzerland: International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Stevens CE, Hume ID. 1995. Comparative Physiology of the Vertebrate Digestive system. Ed ke-2. New York: Cambridge University Press. Suprasert A, Pongchairerk U, Pongket P, Nishida T. 1999. Lectin histochemical characterization of glycoconjugates present in abomasal epithelium of the goat. Kasetsart J (Nat. Sci.) 33: 234-242 Su Su, Sale J. 2007. Niche differentiation between common palm civet Paradoxurus hermaphroditus and small indian civet Viverricula indica in regenerating degraded forest, Myanmar. Small Carnivore Conservation 36: 30-34. Telford IR, Bridgman CF. 1995. Introduction to Functional Hystology. Ed ke-2. New York: Harper Collins College. Trautmann A, Fiebiger J. 1957. Fundamentals of The Histology of Domestic Animals. Ithaca: Comstock Publishing Assosiates. Ulfa M. 2001. Studi histokimia lektin pada distribusi glikokonjugat kelenjar Brunner tupai (Tupaia glis) [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Vaughan TA, Ryan JM, dan Czaplewski NJ. 2000. Mammalogy. 4th ed. USA: Thomson Learning. Wilson DE, Reeder DM. 2005. Mammal Species of the World : a Taxonomic and Geoghrapic Reference. Maryland: John Hopkins University. Weigl R. 2005. Longevity of Mammals in Captivity; from the Living Collections of the World. Stuttgart: Kleine Senckenberg-Reihe 48.
39
LAMPIRAN
40
Lampiran 1
Proses Dehidrasi Jaringan
Dehidrasi jaringan dilakukan untuk mengikat seluruh cairan dalam jaringan, baik cairan interstisial maupun cairan intrasel sebelum dilakukan penanaman jaringan. Adapun proses dehidrasi adalah sebagai berikut: 1. Preparat yang telah disimpan di dalam basket direndam dalam alkohol 100% I, II, III, dan alkohol 95% masing-masing selama 24 jam. 2. Proses perendaman dilanjutkan dengan alkohol 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 12 jam. 3. Setelah proses dehidrasi, dilakukan clearing, yaitu perendaman jaringan di dalam larutan xylol I, II, dan III. Perendaman jaringan dalam larutan xylol I dan II dilakukan masing-masing selama 12 jam, sedangkan perendaman dalam larutan xylol III dilakukan selama 6 jam, dengan 2 jam berada di inkubator suhu 62 ºC. 4. Infiltrasi dilakukan dalam parafin cair di dalam inkubator suhu 62 ºC sebanyak tiga kali ulangan sebelum dilakukan penanaman jaringan.
41
Lampiran 2 Prosedur Pewarnaan Hematoksilin Eosin Pewarnaan Haematoksilin Eosin merupakan pewarnaan standar untuk mengetahui struktur umum sel maupun jaringan dalam suatu organ. Tahapan pewarnaan Haematoksilin Eosin adalah sebagai berikut: 1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 3-5 menit. 2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi 100% (III, II, dan I), 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3-5 menit. 3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian dibersihkan dengan cara direndam dalam aquadest selama 5 menit. 4. Preparat diwarnai dengan haematoksilin selama 30-45 detik kemudian direndam di dalam air keran selama beberapa saat. 5. Warna yang dihasilkan dikrontrol di bawah mikroskop. Jika warna ungu yang dihasilkan kurang kontras, maka preparat dicelupkan kembali ke dalam pewarna haematoksilin selama 3-5 detik. Namun jika warnanya terlalu ungu maka preparat dapat dicelupkan dalam pemucat haematoksilin 1-2 kali (0.5% HCl dalam 70% alkohol). 6. Preparat kembali direndam di dalam air keran selama 10 menit lalu direndam di dalam aquadest selama 5 menit. 7. Preparat diwarnai dengan eosin selama 30-45 detik. 8. Preparat di dehidrasi dengan alkohol bertingkat dimulai dengan konsentrasi 70%, 80%, 90%, 96%, dan 100% (I, II, dan III) masingmasing 2-4 kali celup. 9. Preparat dijernihkan dengan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 5 menit. 10. Proses mounting dilakukan dengan penutupan preparat dengan cover glass menggunakan entelan®.
Hasil :
inti berwarna biru hingga ungu, sitoplasma, kolagen, keratin dan eritrosit berwarna merah.
42
Lampiran 3
Prosedur Pewarnaan Alcian Blue (AB) pH 2.5 Pewarna AB bertujuan untuk mendeteksi adanya karbohidrat asam pada jaringan. Pewarna AB dengan pH 2.5 dapat mewarnai mukosubstan sulfat dan nonsulfat (Hamny 2006). Menurut Kiernan (1990) prosedur pewarnaan AB adalah sebagai berikut: 1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 3-5 menit. 2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi 100% (III, II, dan I), 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3-5 menit. 3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian dibersihkan dengan cara direndam dalam aquadest selama 5 menit. 4. Penurunan pH dengan merendamkan preparat ke dalam larutan asam asetat 3% pada suhu kamar selama 5 menit. 5. Preparat diwarnai dengan alcian blue pH 2.5 selama 30 menit. 6. Preparat dicuci dengan asam asetat 3% pada suhu kamar selama 3x @ 5 menit, lalu dibilas dengan aquadest selama 3x @ 5 menit. 7. Preparat dicelupkan dalam counterstain (nuclear fast red). Intensitas warna dikontrol di bawah mikroskop. 8. Preparat dicuci dengan aquadest pada suhu kamar selama 3x @ 5 menit. 9. Preparat didehidrasi dan clearing pada rak khusus pewarnaan AB-PAS serta mounting sesuai dengan prosedur biasa.
Hasil
: Positif AB = mukopolisakarida asam berwarna biru kehijauan dan inti berwarna merah hingga merah kebiruan.
43
Lampiran 4
Prosedur Pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) Pewarnaan PAS diguanakan untuk mendeteksi karbohidrat netral, gula heksosa, dan asam sialit. Prosedur pewarnaan PAS adalah sebagai berikut: 1. Proses deparafinisasi dengan menggunakan larutan xylol I, II, dan III masing-masing selama 3-5 menit. 2. Proses rehidrasi dengan menggunakan alkohol bertingkat konsentrasi 100% (III, II, dan I), 96%, 90%, 80%, dan 70% masing-masing selama 3-5 menit. 3. Preparat direndam dalam air keran selama 10 menit kemudian dibersihkan dengan cara direndam dalam aquadest selama 5 menit. 4. Preparat dioksidasi di dalam larutan 0.5-1 periodic acid selama 5 menit pada suhu kamar. Kemudian dibilas dengan aquadest selama 5 menit dan aquabidest selama 2x @ 5 menit. 5. Preparat direndam di dalam Schiff’s reagen selama 15-30 menit. 6. Preparat direndam dalam air sulfit selama 3x @ 5 menit dan kemudian dibilas dengan aquadest selama 3x @ 5 menit. 7. Preparat dicelupkan dalam counterstain (mayer hematoksilin). Intensitas warna dikontrol di bawah mikroskop. 8. Preparat dicuci dengan air mengalir selama 10-60 menit lalu dibilas dengan aquadest selama 2x @ menit. 9. Preparat didehidrasi dan clearing pada rak khusus pewarnaan AB-PAS serta mounting sesuai dengan prosedur biasa.
Hasil
: Glikogen, selulosa, mucin, koloid thyroid, matriks kartilago, kitin, retikula, fibrin dan kolagen berwarna merah magenta.