Bab 3 Analisis Data 3.1 Analisis unsur Shinto Oharai dalam Sanja Matsuri Saya akan membagi analisis Sanja Matsuri melalui empat unsur Shinto , yaitu
Monoimi, Shinsen, Naorai dan Norito dalam Sanja matsuri, untuk dianalisis. 3.1.1
Analisis unsur Shinto Oharai dalam Sanja Matsuri pada 100 buah mikoshi dari 44 daerah
Pada hari kedua perayaan Sanja matsuri dilakukan arak – arakkan 100 buah mikoshi yang berasal dari 44 daerah sekitar kuil Asakusa. Gambar 3.1 Mikoshi 44 Mikoshi
Sumber : http://www.asakusajinja.jp/sanjamatsuri/backnumber/2005.html
Mikoshi ini dibuat untuk memberikan penghormatan kepada ketiga dewa yang terdapat pada kuil Asakusa. Mikoshi ini disucikan dengan tongkat yang bernama
Haraigushi, kemudian dibawa berkeliling di daerah sepanjang kuil Asakusa. Menurut analisis saya, hal ini memiliki kaitan yang erat dengan Shinto. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Ono ( 1992 : 4 ), pada bab dua bahwa Kami adalah sebuah kehormatan untuk bangsawan, jiwa yang suci, yang dinyatakan sebagai pemujaan untuk kebaikan dan kekuasaan segala hal yang berhubungan dengan jiwa disebut kami dan dihormati sebagai
kekuatan kami. Sedangkan mikoshi adalah tiruan kuil kecil yang dapat diangkut dan dipindah – pindahkan, dapat dikategorikan sebagai peralatan yang digunakan dalam upacara atau
perayaan Shinto. Mikoshi yang merupakan tiruan kuil Shinto, dianggap
sebagai tempat bersemayamnya para dewa, yang apabila dibawa berkeliling, maka berkah akan tersebar di antara penduduk yang tinggal di sekitar kuil tersebut.
Sedangkan
penyucian ( oharai )yang dilakukan pada Mikoshi di kuil Asakusa sesuai
dengan yang dikatakan oleh Ono ( 1992 : 24 - 25 ), bahwa di dalam upacara penyucian ( oharai ) ada alat yang digunakan untuk menyucikan, dalam sanja Matsuri yang digunakan adalah Haraigusi. Untuk menyucikan mikoshi,
Haraigushi diarahkan pada
orang – orang yang beribadat atau benda – benda keramat yang akan disucikan. Setelah disucikan mikoshi tersebut dibawa untuk diarak – arakkan di sekitar kuil asakusa dan kemudian 100 buah mikoshi tersebut dibawa kembali ke daerah masing – masing. Gambar 3.2 Haraigushi dalam Sanja matsuri
Sumber : http://www.asakusajinja.jp/sanjamatsuri/backnumber/2005.html Penyucian didalam Sanja matsuri ini dilakukan untuk menghindarkan keburukkan dan menghilangkan segala kejahatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ono (1998:51-52),
Oharai atau Pembersihan, bertujuan untuk menghilangkan polusi, ketidaksucian, ketidakbenaran, dan juga kejahatan.
3.1.2
Analisis Unsur Shinto Oharai dalam Sanja Matsuri pada Tiga Buah Mikoshi
Utama dari Kuil Asakusa Sebelum iring – iringan tiga mikoshi utama dilakukan, terlebih dahulu diadakan upacara penyucian ( oharai ). Penyucian ketiga mikoshi utama ini dilaksanakan pada hari ketiga pukul 10.00 pagi dihalaman kuil Asakusa. Upacara penyucian ( oharai ) ini dilakukan dengan meletakkan Tamagusi, yang terbuat dari ranting sasaki, kemudian diikat dengan kertas berwarna putih. Sesuai dengan pendapat Ono ( 1992 : 24 –25 ), bahwa pada saat melakukan penyucian, biasanya digunakan sebuah alat, dan pada penyucian ketiga Mikoshi utama ini, digunakan Tamagushi. Kertas warna putih yang diikat dengan Tamagushi juga memiliki kaitan yang erat dengan Shinto. Warna putih dalam agama Shinto melambangkan kesucian, seperti yang telah diterangkan oleh Schumacher( 2007 ) pada bab dua tentang warna. Warna putih juga melambangkan kehadiran para dewa dalam perayaan yang akan diselenggarakan. Gambar 3.3 Tempat Penyucian
Sumber : http://www.asakusajinja.jp/sanjamatsuri/backnumber/2003.html Selain itu pengaruh Shinto yang lain yang terdapat pada ranting sasaki merupakan salah satu pohon keramat didalam Shinto. Ranting sasaki disucikan dengan diberi ikatan kertas berwarna putih. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Ono ( 1992 : 24 –25 ) yang mengatakan bahwa ranting sasaki sebagai salah satu peralatan yang dipergunakan dalam upacara – upacara Shinto. Dengan menaruh benda tersebut di suatu tempat, menandakan bahwa tempat tersebut telah disucikan.
Gambar 3.23 Ranting Sasaki
Sumber : http://designersilks.net/trees.htm
3.1.3 Analisis Unsur Shinto Oharai dalam Sanja Matsuri pada Torii dan Shimenawa Sehari sebelum Sanja matsuri , bagian dalam kuil akan dibersihkan dan dipasang tali – tali jerami yang disebut dengan shimenawa dengan kertas putih yang berbentuk zigzag yang disebut shide, yang digantung di setiap torii, yaitu pintu gerbang atau sebagai pintu masuk tempat suci. Gambar 3.5 Shimenawa yang Teruntai di Torii
Sumber : http://www7.ocn.ne.jp/~sehayama/topics4kaminarimon.htm Menurut analisis saya, shimenawa yang tergantung pada torii mempunyai kaitan yang erat dengan Shinto karena shimenawa biasa digunakan untuk menandakan kediaman dari dewa atau kami. Sebagaimana menurut Ono ( 1992 : 25 ), shimenawa
digunakan untuk menyimbolkan tempat – tempat suci dimana dipercayai sebagai tempat kediaman dewa atau kami. Menurut analisis saya, kertas putih yang berbentuk zig zag ( shide ) yang tergantung bersamaan dengan
shimenawa memiliki kaitan yang erat dengan Shinto karena kertas
putih berbentuk zig zag ( shide ) memiliki arti khusus dalam Shinto yang dipercaya dapat melindungi diri dari ketercemaran. Kertas putih berbentu zig zag ( shide ) melambangkan kesucian. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Takemoto dalam Muadir ( 2007 : 41 – 42 ), bahwa kertas putih juga sering digunakan dalam ritual Shinto sebagai simbol penyucian. Kertas putih dapat melindungi diri dari ketercemaran seperti halnya kertas putih yang berbentuk zig zag ( shide ) yang sering digunakan dalam berbagai ritual Shinto. Menurut analisis saya, torii juga memiliki kaitan yang sangat erat dengan Shinto karena di dalam Shinto, torii banyak dilambangkan sebagai pintu gerbang antara dunia luar dengan dunia kami. Sesuai dengan yang dikatakan Ono ( 1992 : 28 ), torii merupakan pintu masuk menuju tempat suci, torii juga disimbolkan sebagai perbatasan anatara dunia
kami, dengan dunia luar. 3.2 Analisis Unsur Shinto Shinsen Dalam Sanja Matsuri Persembahan kepada ketiga kami utama yang terdapat di halaman kuil Asakusa berupa kakap merah, burung, sayuran, dan buah – buahan. Persembahan ini dipersembahkan kepada ketiga kami utama yang terdapat pada kuil Asakusa.
Gambar 3.6 Persembahan Makanan
Sumber : http://www.asakusajinja.jp/sanjamatsuri/backnumber/2003.html Menurut analisis saya, ikan, sayur – sayuran, dan buah – buahan. Ini semua sesuai dengan penjelasan Picken ( 1994 : 183 ) bahwa, persembahan ( shinsen ) makanan biasanya ikan, rumput laut, sayuran, buah – buahan. Persembahan ini berupa makanan kesukaan dari kami yang dihormati sebagai orang yang bersejarah. Menurut Asosiasi Asakusa mengatakan bahwa ikan kakap yang digunakan sebagai persembahan ( shinsen ) karena ikan kakap merupakan ikan yang terdapat pada sungai yang terdapat disungai sumida. 3.2.1
Analisis Unsur Shinto Shinsen Dalam Sanja Matsuri Pada Sarutabi Hito no Okami Urutan pertama dalam iring – iringan berbagai tarian di dalam Sanja matsuri adalah
seorang pendeta yang menggunakan kostum Saruta Hito no Okami, membawa sebilah pedang, dan menggunakan pakaian berwarna merah, serta menggunakan topi pendeta berbentuk tinggi.
Gambar 3.7 Sarutabi Hito no Okami
Sumber : http://www.asakusajinja.jp/sanjamatsuri/backnumber/2005.html
Sarutabi Hito no Okami berada diurutan paling pertama sebelum iring – iringan tarian dalam Sanja matsuri karena ia adalah pemimpin dalam tari – tarian dalam perayaan ini. Sarutabi Hito no Okami adalah salah satu dewa dalam agama Shinto. Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan oleh Picken ( 1994 : 94 – 121 ), bahwa terdapat penggolongan kami atau dewa dalam ajaran Shinto, yakni dewi Amaterasu no Omikami sebagai dewa Amatsu no Okami ( dewa surga atau langit ), dan Sarutabi Hito no Okami sebagai Kunitsu no Okami ( dewa bumi ) yakni dewa yang menjaga bumi.
Sarutabi Hito no Okami memakai Tutup kepala atau topi yang berbentuk tinggi, menurut analisis saya Sarutabi Hito no Okami sebagai pendeta Shinto yang memimpin iring – iringan parade. Hal ini sesuai dengan Picken ( 1994 : 187 – 188 ), bahwa salah satu bentuk topi yang dipakai oleh pendeta ( kannushi ) adalah eboshi yang berbentuk tinggi. Pedang yang dibawa oleh Saruta Hito no Okami menurut analisis saya juga sesuai dengan ajaran Shinto yaitu sebagai tanda kekuatan dari para dewa atau kami untuk menjaga dan memberikan perlindungan bagi manusia. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Ono ( 1992 : 24 – 25 ), bahwa terdapat beberapa peralatan matsuri dalam ajaran Shinto, diantaranya yaitu pedang yang memiliki fungsi sebagai kekuatan para
dewa dan juga sebagai simbol untuk menjaga keadilan dan kedamaian. Gambar 3.8 Sarutabi Hito no Okami yang Memimpin Jalannya Iring – Iringan Tarian dan Musik di Dalam Sanja Matsuri
Sumber : http://hix05.com/maturi/sanja/sanja12.html Pakaian yang dikenakan oleh Saruta Hito no Okami tersebut didominasi oleh warna merah. Menurut analisis saya, warna merah tersebut sesuai dengan konsep Shinto. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Schumacher ( 2007 ), bahwa warna merah dianggap dapat mengusir roh jahat dan penyakit. Di Jepang, warna merah juga dianggap sebagai simbol dari kebaikan dan kejahatan, persimpangan antara surga dan neraka, kematian dan kehidupan, sehingga pda akhirnya dikatakan bahwa warna merah tidak hanya simbol dari kejahatan dan penyakit saja melainkan juga sebagai simbol kesembuhan, kesuburan, dan juga kelahiran. 3.2.2 Analisis Unsur Shinto Shinsen Dalam Sanja Matsuri Pada Peralatan Musik pada Parade Sanja Matsuri Parade yang terdapat dalam Sanja matsuri adalah iring – iringan permainan musik dengan menggunakan drum ( taiko ) dan alat musil tiup. Menurut analisis saya, peralatan musik yakni drum ( taiko ) sesuai dengan konsep Shinto, dimana terdapat peralatan yang digunakan sebagai pelengkap sebuah matsuri
yang berkaitan dengan ajaran Shinto. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Picken ( 1994 : 183 ), bahwa terdapat peralatan musik yang digunakan didalam sebuah matsuri, diantaranya adalah drum ( taiko ). Alat musik taiko berasal dari china, di Jepang pada mulanya dimainkan oleh para petani dan nelayan sebagai media untuk memanjatkan doa agara memperoleh hasil panen atau hasil nelayan dengan baik, atau dimainkan untuk menenangkan arwah nenek moyang orang Jepang ( Sudjianto 2002 : 107 ). Gambar 3.9 Drum ( Taiko )
Sumber : http://www.flickr.com/photos/ajpscs/150500495/ Selain alat musik taiko digunakan juga alat musik tiup. Menurut analisis saya, peralatan musik yakni suling ( fue ) sesuai dengan konsep Shinto, dimana terdapat peralatan yang digunakan sebagai pelengkap sebuah matsuri yang berkaitan dengan ajaran Shinto. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Picken ( 1994 : 183 ), bahwa terdapat peralatan musik yang digunakan didalam sebuah matsuri, antara lain drum ( taiko ), fue atau suling yang memiliki enam buah lubang.
Gambar 3.10 Alat Musik Tiup
Sumber : http://hix05.com/maturi/sanja/sanja15.html Alat musik tiup ini digunakan sebagai persembahan kepada dewa. Alat musik selalu ada dalam setiap kegiatan perayaan matsuri yang berhubungan dengan Shinto, sesuai dengan teori yang telah dijelaskan di atas. 3.2.3
Analisis Unsur Shinto Shinsen Dalam Sanja Matsuri Pada Tarian Binzasara ( Binzasara no mai )
Binzasara adalah tarian yang dilakukan di kuil Asakusa. Alat musiknya juga bernama binzasara digunakan sebagai pengiring tarian. Alat tersebut terbuat dari kayu kecil yang terdiri dari beberapa helai kayu dan bambu, bagian depan dan belakang terdiri dari seratus helai semua dirangkai dengan tali. Pada saat dimainkan,
kayu-kayu yang
merupakan unsur dasar dari alat musik tersebut, saling beradu itu sehingga mengeluarkan suara. Alat musik ini memiliki panjang 15cm, tebalnya 0.6 cm. Alat musik ini berasal dari kayu yang terbuat dari pohon hinoki yang terdiri dari 108 helai. Menurut legenda, asal dari binzasara adalah, ketika ketiga dewa memainkan alat musik tersebut pada jaman dahulu, sepuluh orang petani menarikan tarian binzasara dan sejak saat itulah tarian binzasara ini mulai dimainkan di matsuri ini.
Gambar 3.11 Pawai Binzasara
Sumber : http://wadaphoto.jp/maturi/sanja4.htm Gambar 3.12 Tarian Binzasara dan alat musiknya
Sumber : http://wadaphoto.jp/maturi/sanja4.htm Tarian binzasara adalah sebuah tarian yang dipersembahkan kepada dewa kesuburan,
agar padi - padi menjadi subur ( Asosiasi Asakusa ). Tarian ini ditarikan dengan sangat indah dan anggun. 3.2.4
Analisis Unsur Shinto Shinsen Dalam Sanja Matsuri Pada Tarian Shishimai Tarian Shishimai ini ditarikan bersamaan dengan tarian binzasara. Tarian
Shishimai ini ditarikan agar kelak kehidupan anak dan cucu menjadi makmur dan terhindar
dari keburukkan. Shishimai merupakan tradisi yang dibawa dari china bagian selatan kemudian menyebar keseluruh jepang. Nama shishimai berasal dari wujudnya yang berbentuk singa.
Gambar 3.13 Tarian Shishimai
Sumber : http://wadaphoto.jp/maturi/sanja4.htm Menurut analisis saya, tarian ini memiliki pengaruh Shinto. Yakni unsur shinsen. Tarian ini dilaksanakan untuk mengundang dewa kemakmuran, yakni dewa Okuninushi
no Mikoto hal ini sesuai dengan pendapat Ekaputra ( 2001 : 42 – 45 ), yang mengatakan bahwa dewa kemakmuran dalam Shinto adalah Okuninushi no Mikoto. 3.2.5 Analisis Unsur Shinto Shinsen Dalam Sanja Matsuri Pada Tarian Tekomai
Tekomai adalah, tarian yang memimpin jalannya mikoshi atau yamadashi. Dahulu awalnya Tatsumi - geisha mengenakan pakaian pria untuk ikut berpartisipasi memimpin
mikoshi ( Tatsumi adalah adalah daerah di daerah Edofukagawa – sekarang Tokyo), karena pada jaman Edo hanya pria yang boleh ikut bagian dalam tarian ini. Sekarang
Tekomai dilestarikan oleh suatu asosiasi
pelestarian budaya. Pakaian mereka yang
mewah menceritakan ( memperlihatkan ) karakter para geisha. Yang berperan memimpin mikoshi adalah para wanita penari Tekomai. Tekomai merupakan tarian pada festival religius ( keagamaan ). Tekomai dikenal sebagai wanita yang berpakaian pria yang berjalan di depan memimpin mikoshi. Asal dari kata tekomai sendiri tidak diketahui secara jelas, pada saat mengangkut batu dan kayu, terdapat seseorang yang memimpin semuanya, sebenarnya adalah tekomae namun terdapat perubahan lafal sehinggai menjadi tekomai. Mereka adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian hakama, kaos kaki Jepang
( tabi ), sendal yang terbuat dari jerami, pelindung punggung tangan ( tekkou ), rambut dikuncir seperti pria, di tangan kirinya memegang sebuah pedang, dan di tangan kirinya
memegang sebuah lentera ( chochin ) yang bertuliskan namanya sendiri. Atraksi ini berlangsung disepanjang jalan Asakusa. Mereka menjadi bunga-bunga di Sanja matsuri. Awalnya pada jaman Edo, geisha harus tampil mengenakan pakaian pria untuk memimpin iring - iringan mikoshi. Namun sekarang, ketika Hanamachi ( daerah dimana terdapat tempat minum dan geisha, seperti bar atau klub malam ) itu sudah tidak ada, wanita-wanita muda atau remaja lokal yang tinggal di situlah yang berdandan menggantikannya.
Kebanyakan mereka adalah anak-anak perempuan SD dan SMP.
Gambar 3.14 Chouchin dalam Tekomai
Sumber : http://wadaphoto.jp/maturi/sanja4.htm Menurut analisis saya lentera ( chouchin ),
yang dipegang di tangan sebelah kiri
dari para penari Tekomai ini memiliki unsur Shinto. Lentera ( chouchin ) digunakan untuk menyapa, menyambut dan menghormati datangnya kami. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ono ( 1992 : 34 ), lentera ( chouchin ) terdapat dalam konsep Shinto karena lentera ( chouchin ) bermanfaat sebagai tanda nilai perjalanan, yang dahulunya lentera ( chouchin ) dinyalakan dengan menggunakan api untuk menyapa dan menghormati kami.
Menurut analisis saya pedang yang dipegang di tangan sebelah kanan dari para
penari Tekomai ini juga memiliki unsur Shinto. Pedang digunakan sebagai tanda kekuatan dari para dewa atau kami untuk menjaga dan memberikan perlindungan bagi manusia. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Ono ( 1992 : 24 – 25 ), bahwa terdapat beberapa peralatan matsuri dalam ajaran Shinto, diantaranya yaitu pedang yang memiliki fungsi sebagai kekuatan para dewa atau kami dan juga sebagai simbol untuk menjaga keadilan dan kedamaian. 3.2.6 Analisis Unsur Shinto Shinsen dalam Sanja Matsuri pada Gohei Sesuai dengan Asakusa Jinja ( 2008 ), iringan – iringan tiga mikoshi utama diselenggarakan pada hari ketiga. Menurut Asakusa Jinja ( 2003 ), bahwa di depan setiap iring – iringan dalam tiga mikoshi Ichi no Miya, Ni no Miya, dan San no Miya Terdapat tiga buah gohei. Gambar 3.15 Gohei yang Memimpin Masing – Masing Mikoshi Utama
Sumber : http://hix05.com/maturi/sanja/sanja15.html Gambar 3.16 Tiga Buah Gohei
Sumber : http://www.asakusajinja.jp/sanjamatsuri/backnumber/2003.html Menurut analisis saya, ketiga gohei di dalam Sanja matsuri memiliki kaitan yang erat dengan Shinto. Gohei merupakan simbol dari kehadiran kami dalam matsuri. Hal ini Sesuai dengan yang dikatakan oleh Ono ( 1992 : 24 ), bahwa gohei merupakan simbol kehadiran kami. 3.2.7 Analisis Unsur Shinto Shinsen dalam Sanja Matsuri pada Chouchin ( Lentera ) Para penduduk di sekitar kuil Asakusa dan penduduk di daerah yang akan dilewati oleh mikoshi juga turut bersiap untuk menyambut Sanja matsuri, yaitu dengan menggantungkan lentera ( chouchin ) di setiap sudut jalan. Gambar 3.17 Lentera ( chouchin ) di Depan Sebuah Restoran Jepang
Sumber : http://www.asakusa-e.com/tokushu/tokushu2_e.htm Gambar 3.18 chouchin (Lentera ) di Depan Rumah Penduduk dan Toko yang Terdapat di Sekitar Asakusa
Sumber : http://hix05.com/maturi/sanja/sanja02.html
Gambar 3.19 chouchin (Lentera ) pada Sanja Matsuri
Sumber : http://hix05.com/maturi/sanja/sanja02.html Menurut analisis saya, lentera ( chouchin ) dipasang untuk menyapa, menyambut dan menghormati datangnya kami. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ono ( 1992 : 34 ), bahwa lentera ( chouchin ) terdapat dalam konsep Shinto karena lentera ( chouchin ) bermanfaat sebagai tanda nilai perjalanan, yang dahulunya lentera ( chouchin ) dinyalakan dengan menggunakan api untuk menyapa dan menghormati kami. 3.3 Analisis Unsur Shinto Norito dalam Sanja Matsuri Sehari sebelum matsuri dimulai, tepat pada pukul tujuh malam para pendeta di kuil
Asakusa melakukan upacara untuk pemindahan ketiga mikoshi utama yang akan diarak – arakkan pada hari terakhir dalam sanja matsuri ke halaman kuil Asakusa.
Gambar 3.20 Upacara Pemindahan Mikoshi Utama ke Halaman Kuil Asakusa
Sumber : http://www.asakusajinja.jp/sanjamatsuri/backnumber/2003.html Di dalam upacara ini dibacakan doa – doa khusus yang ditujukan pada dewa, yang disebut dengan norito. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ono ( 1992 : 51 – 57 ), bahwa dalam matsuri yang dipengaruhi unsur Shinto, doa – doa yang diucapkan oleh pendeta Shinto baik merupakan doa – doa permohonan ataupun ucapan terima kasih dan juga menjadi salah satu bentuk pemujaan terhadap kepada para dewa atau kami.
Norito ini dilaksanakan untuk menghormati ketiga dewa utama yang terdapat pada kuil Asakusa. Menurut analisis saya, ketiga kami ini juga memiliki kaitan yang erat dengan Shinto. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Picken (1994: 94-121), Kami yang dikaitkan dengan sejarah personal. Berhubungan dengan orang-orang penting sepanjang sejarah yang kemudian namanya diabadikan dalam bentuk kuil. 3.4 Analisis Unsur Shinto Naorai dalam Sanja Matsuri Setelah penulis analisis, di dalam Sanja matsuri tidak ditemukan adanya unusr Shinto Naorai. Yaitu pesta yang diadakan setelah penyelenggaraan matsumi selesai