i
MODIFIKASI STATISTIK GETIS LOKAL PADA MATRIKS PEMBOBOT AMOEBA UNTUK MODEL PANEL SPASIAL DAN KAJIAN PERFORMANYA
JAJANG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Modifikasi Statistik Getis Lokal pada Matriks Pembobot AMOEBA untuk Model Panel Spasial dan Kajian Performanya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Jajang NIM G161090031
iv
v
RINGKASAN JAJANG. Modifikasi Statistik Getis Lokal pada Matriks Pembobot AMOEBA untuk Model Panel Spasial dan Kajian Performanya. Dibimbing oleh ASEP SAEFUDDIN, I WAYAN MANGKU dan HERMANTO SIREGAR. Model regresi klasik mengasumsikan antar objek tidak ada interaksi. Pada beberapa kasus, asumsi tersebut adakalanya tidak terpenuhi sehingga perlu dicari alternatif pemecahan yang dapat mengakomodasi adanya pengaruh interaksi. Model spasial merupakan model yang dapat mengakomodasi pengaruh interaksi melalui penambahan komponen spasial di ruas kanan model yang direpresentasikan oleh matriks pembobot spasial. Umumnya matriks pembobot spasial menggunakan konsep kedekatan antar unit spasial, tanpa melibatkan kemiripan peubah yang menjadi perhatian. Sebuah cara lain untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial adalah menggunakan prosedur AMOEBA yang diperkenalkan oleh Aldstadt dan Getis. Dalam prosedur ini setiap elemen matriks, selain ditentukan oleh hubungan kedekatan, juga ditentukan oleh kemiripan antar peubah menggunakan statistik Getis lokal. Getis dan Ord telah mengklaim bahwa statistik Getis lokal berdistribusi normal. Akan tetapi hasil uji secara empiris melalui kurva normal menunjukkan bahwa kenormalan statistik Getis lokal dipengaruhi oleh peubah yang menjadi perhatian (peubah asal). Berdasarkan hal ini maka dilakukan modifikasi terhadap statistik Getis lokal sehingga diperoleh statistik Getis yang kekar (robust). Melalui metode transformasi peubah asal ke penduga distribusi sebaran kumulatif diperoleh statistik Getis termodifikasi, katakanlah Gnew, yang robust artinya Gnew berdistribusi normal untuk sembarang peubah asal. Untuk mengevaluasi statistik Getis lokal dan Getis lokal termodifikasi, keduanya diterapkan pada AMOEBA untuk mengkonstruksi matriks pembobot, katakanlah WG dan WGnew. Di samping itu dibandingkan pula kedua matriks tersebut dengan matriks kontiguitas (WC). Model yang digunakan untuk membandingkan ketiga matriks pembobot spasial adalah model yang dispesifikasi oleh Cizek. Dengan menggunakan data simulasi dan kriteria akar kuadrat tengah galat relatif diperoleh bahwa WGnew memberikan performa paling baik. Berikutnya adalah mengevaluasi performa matriks pada kasus data riil. Studi kasus yang diambil dalam penelitian ini terkait dengan masalah kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Kemiskinan merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jawa Tengah merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin kedua terbesar di Indonesia. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kemiskinan, beberapa di antaranya adalah PDRB perkapita, populasi, pendidikan, share tenaga kerja pertanian, share tenaga kerja industri, share tenaga kerja perdagangan dan share tenaga kerja jasa (empat sektor dominan). Konsentrasi penelitian ini adalah mengkaji pengaruh tenaga kerja lulusan SMP ke bawah, populasi penduduk, PDRB perkapita, dan share tenaga kerja empat sektor dominan terhadap jumlah penduduk miskin dengan menggunakan model panel spasial. Data yang digunakan untuk pemodelan data dari tahun 2007 sampai 2011 yang diperoleh dari BPS pusat dan BPS Jawa Tengah dari tahun 2008 sampai 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kenaikan populasi penduduk, jumlah pakerja yang tamat SMP, dan share tenaga
vi
kerja pertanian dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin. Sedangkan kenaikan jumlah share tenaga kerja industri, perdagangan, jasa dan PDRB per kapita dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Berdasarkan temuan-temuan pada penelitian ini, terdapat beberapa cara untuk mengurangi jumlah penduduk miskin, diantaralnya adalah pengendalian populasi penduduk melalui keluarga berencana (program KB), peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan, perluasan lapangan usaha sektor industri, perdagangan dan jasa. Kata-kata kunci: kemiskinan, PDRB perkapita, permutasi acak, statistik Getis lokal, statistik Getis lokal termodifikasi.
vii
SUMMARY JAJANG. Modified Local Getis Statistic on AMOEBA Weights Matrix for Spatial Panel Model and Its Performance. Supervised by ASEP SAEFUDDIN, I WAYAN MANGKU and HERMANTO SIREGAR. Classical regression model assumes that no interaction between objects. However, in some cases these conditions are not hold so we have to find an alternative solution that can accommodate the interaction effect. Spatial model is a model that can accommodate the interaction effect by adding a spatial component in the right hand side that represented by a spatial weights matrix. Generally, spatial weighted matrix uses closeness concept among the units, without include the proximity of interest variables. Another way to construct a spatial weights matrix is to use AMOEBA procedure introduced by Aldstadt and Getis. In this procedure, each element of the matrix, beside is determined by the closeness relationship, also determined by proximity among variables using local Getis statistics. Getis and Ord have claimed that the statistic is normally distributed. However, empirically, normal curve test shows that normality of local Getis statistic is influenced by variable of interest (original variable). Due to this reason, we propose a modification of local Getis statistic, namely Gnew, which gives a robust result. A modification of local Getis statistics by transforming ܺ to ܨ (ݔ ) gives a robust result, that is, it has normal distribution for any distribution of Xj. To assess local Getis and modified local Getis statistics, they are applied on AMOEBA procedure to create weights matrix, namely WG and WGnew. We compare them with contiguity matrix (WC). The model that used for comparison is spatial dynamic panel model with respect to Cizek. By using simulated data and root mean square error relative criteria, it is found that WGnew gives the best performance. In the next stage, we evaluate spatial matrix performance in model to real data, whereas in this case, we take poverty issue in Center Java Province. Poverty is one of the issues of concern at both the central and local government. Central Java was the province with the second largest number of poor people in Indonesia. There are many factors that influence poverty, some of them are GDP per capita, population, education, share of agriculture labor, share of industry labor, share of trading labor and share of services labor (four dominant sectors). Focus of this research is to study influence of labor of junior high school graduates, population, GDP per capita and the share of labor in four dominant sectors to the number of poor people using spatial panel model. Sources of data for modeling obtained from central BPS and Center Java BPS from 2008 to 2012. The research results show that an increase in population, labor of junior high school graduates and share of agricultural labor can increase the number of poor people. Meanwhile the increase in labor share of industry, trade and service sectors and GDP per capita can decrease the number of poor people. Based on these findings, there are several ways to reduce the number of poor people, such as to control population by family planning program (KB program), improving quality of human resources, expand some business, especially in sectors of industry, trading and services. Keywords: poverty, PDB per capita, random permutation, local Getis statistic, modified local Getis statistic.
viii
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
MODIFIKASI STATISTIK GETIS LOKAL PADA MATRIKS PEMBOBOT AMOEBA UNTUK MODEL PANEL SPASIAL DAN KAJIAN PERFORMANYA
JAJANG
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Statistika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
x
Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup: 1. Dr. Anang Kurnia, S.Si, M.Si 2. Dr. Ir. Hari Wijayanto, MS Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka: 1. Dr. Hamonangan Ritonga, M.Sc 2. Prof. Dr. Ir Noer Azam Achsani, M.Sc
xi
Judul Disertasi Nama NIM
: Modifikasi Statistik Getis Lokal pada Matriks Pembobot AMOEBA untuk Model Panel Spasial dan Kajian Performanya : Jajang : G161090031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. I Wayan Mangku, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Statistika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
Judul Disertasi Nama NIM
Modifikasi Statistik Getis Lokal pada Matriks Pembobot AMOEBA untuk Model Panel Spasial dan Kajian Performanya Jajang G161090031
.. Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Jr. Asep Saefuddin, M.Sc Ketua /
Prof. Dr. Ir. I Wayan Mangku, M.Sc Anggota
~
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Statistika
Dr. Jr. Aji Hamim Wigena, M.Sc
Tanggal Ujian : D 5
MAR 2014
Tanggal Lulus :
1 3 MAR 2014
xii
xiii
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan kehendak-Nya, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi Doktor di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian disertasi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menghaturkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc, Prof. Dr. Ir. I Wayan Mangku, M.Sc, dan Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec atas curahan waktu dan ilmunya dalam membimbing, memberikan arahan, masukan dan motivasi yang sangat berarti dalam penyelesaian disertasi ini. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc selaku ketua Program Studi Statistika, Dr. Ir. Kiagus Dahlan, M.Sc, selaku wakil dekan MIPA yang menjadi pimpinan sidang tertutup, Dr. Ir. Sri Nurdiati, M.Sc selaku dekan MIPA yang menjadi pimpinan sidang terbuka, Prof. Dr. Ir. Marimin, M.Sc selaku Sekretaris Program Doktor, Dr. Anang Kurnia, S.Si, M.Si dan Dr. Ir. Hari Wijayanto, MS sebagai penguji pada sidang tertutup atas berbagai saran dan masukannya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Hamonangan Ritonga, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.Sc atas kesediaannya meluangkan waktu dan bersedia menjadi penguji luar komisi pada siding terbuka. Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak dan Ibu Dosen di Departemen Statistika atas curahan ilmunya selama serta rekan-rekan S2/S3 Statistika atas diskusi dan kerjasamanya selama ini. Pada kesempatan ini penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Bapak Heriawan atas segala bantuannya, serta staf administrasi di departemen statistika dan pasca atas kelancaran pelayanan dalam penyelesaian disertasi ini. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada pimpinan di Universitas Jenderal Soedirman atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi, serta rekan-rekan sejawat Program Studi Matematika Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian disertasi ini. Rasa hormat dan terima kasih juga penulis sampaikan untuk orang tua atas kasih sayang dan do’anya, juga saudara-saudara serta Pak Muh. Nusrang atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan untuk istri dan anak-anakku tercinta atas do’a, motivasi, kasih-sayang dan pengorbanannya selama penyelesaian disertasi ini. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Maret 2014
Jajang
xiv
xv
DAFTAR ISI
xvi
xvii
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3
Pembandingan RMSER dari model dengan WC, WG dan WGnew Peubah–peubah penelitian, keterangan dan satuan ...................... Korelasi antar peubah ................................................................... Analisis ragam model panel spasial dinamis (WC) sebelum dilakukan PCA (GMM3) .............................................................. Tabel 5.4 Perbandingan R2 model panel spasial dinamis dan model panel dinamis .......................................................................................... Tabel 5.5 Analisis ragam model panel spasial dinamis dengan matriks WGnew .......................................................................................... Tabel 5.6 Banyaknya salah klasifikasi tahun 2007 sampai tahun 2011 dari model dengan matriks WC, WG dan WGnew ...............................
48 58 62 63 66 67 70
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6
Ilustrasi hubungan k ketetanggaan terdekat. ............................ 11 Fungsi pembobot (wij) jarak radial. ......................................... 12 Fungsi pembobot (wij) jarak pangkat α=1. .............................. 12 Fungsi pembobot (wij) jarak eksponensial α=1. ...................... 13 Fungsi pembobot (wij) jarak pangkat ganda ............................. 13 Ilustrasi matriks kontiguitas tipe rook (b), bishop (c) dan queen (d) dari unit-unit spasial (a) yang bertetangga terhadap F ............ 14 Gambar 2.7 Ilustrasi ecotope pada tahap pertama. ...................................... 16 Gambar 2.8 Ilustrasi ecotope pada tahap kedua. ......................................... 16 Gambar 2.9 Ecotope hasil tahap ketiga (a) dan kelima (b). ......................... 17 Gambar 2.10 Tipe matriks pembobot spasial menurut Stakhovych dan Bijmolt (2008). ......................................................................... 19 ∗ Gambar 3.1 Kurva ܩ kasus ܺ ~(ܽ݉݉ܽܩ1,4) N=200 pada variasi pi menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 28 ∗ Gambar 3.2 Kurva ܩ௪() kasus ܺ ~(ܽ݉݉ܽܩ1,4), N=200 pada variasi pi menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 30 ∗ ଶ Gambar 3.3 Kurva ܩ௪() kasusܺ ~߯(ସ) , N=200 pada variasi pi menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 30 ∗ Gambar 3.4 Kurva ܩ௪() kasusܺ ~(ܨ1,2), N=200 pada variasi pi menggunakan 5000 permutasi acak. ........................................ 31 Gambar 4.1 Bagan alir metode penentuan performa matriks pembobot terbaik ....................................................................................... 45 Gambar 4.2 Plot jumlah simulasi dan RMSER untuk WC, WG dan WGnew 47 Gambar 4.3 Diagram batang RMSER untuk variasi δ pada T=7. ................ 49 Gambar 5.1 Pola persebaran jumlah penduduk miskin tahun 2007 sampai 2011 ............................................................................ 59 Gambar 5.2 Pola persebaran persentase penduduk miskin tahun 2007 sampai 2011 ............................................................................. 60 Gambar 5.3 Plot penduduk miskin (Y) dan interaksi spasialnya (WY). ....... 64 Gambar 5.4 Model dengan variasi matriks pembobot spasial ..................... 65 Gambar 5.5 Hubungan kemiskinan dan faktor yang mempengaruhinya..... 68
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21.
Bukti nilai harapan dan ragam statistik Getis lokal.................. Peta Provinsi Jawa Tengah ...................................................... Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis).. Model panel spasial dinamis PCA matriks peragam GMM1 (ρ=0) .......................................................................... Model panel spasial dinamis PCA matriks peragam GMM3 ... Model panel spasial dinamis PCA matriks korelasi GMM1 (ρ=0) .......................................................................... Model panel spasial dinamis PCA matriks korelasi GMM3 .... Grafik plot Yt vs Ytmin dan plot tebaran pengaruh tetap serta sisaan dari model dinamis yang menggunakan matriks WC .... Grafik plot Yt vs Ytmin dan plot tebaran pengaruh tetap serta sisaan dari model dinamis yang menggunakan matriks WG .... Grafik plot Yt vs Ytmin dan plot tebaran pengaruh tetap serta sisaan dari model dinamis yang menggunakan matriks WGnew Pengujian finite fourth moments pengaruh spesifik dan finite variance sisaan melalui deteksi dengan kurva sebaran spesifik Model panel spasial statis untuk PC matriks peragam ............. Plot tebaran pengaruh tetap, sisaan dan dugaan dari ketiga matriks pembobot spasial untuk model statis........................... Tabel keakuratan model dalam menduga jumlah penduduk miskin menggunakan matriks WC ........................................... Tabel keakuratan model dalam menduga jumlah penduduk miskin menggunakan matriks WG ........................................... Tabel keakuratan model dalam menduga jumlah penduduk miskin menggunakan matriks WGnew ..................................... Perbandingan sebaran jumlah penduduk miskin aktual dan dugaan tahun 2007 .................................................................. Perbandingan sebaran jumlah penduduk miskin aktual dan dugaan tahun 2008 .................................................................. Perbandingan sebaran jumlah penduduk miskin aktual dan dugaan tahun 2009 .................................................................. Perbandingan sebaran jumlah penduduk miskin aktual dan dugaan tahun 2010 .................................................................. Perbandingan sebaran jumlah penduduk miskin aktual dan dugaan tahun 2011 ..................................................................
87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 101 102 103 104 105 106 107 108
xix
DAFTAR NOTASI DAN ISTILAH AMOEBA
:
DIFF-GMM
:
Ecotope
:
Endogenous Galat Gerombol Gnew GMM
: : : : :
MLE QML Robust RMSER
: : : :
SAR SEM SLM SYS-GMM
: : : :
WC
:
WG
:
WGnew
:
Prosedur penggerombolan (clustering) unit-unit spasial menggunakan statistik autokorelasi local Metode GMM yang didasarkan kondisi momen pada difference equation. Kumpulan unit-unit spasial berkarakteristik mirip berdasarkan statistik autokorelasi local hasil prosedur AMOEBA. Peubah penjelas yang berkorelasi dengan galat atau sisaan Sisaan, error Cluster Statistik Getis lokal hasil modifikasi Generalized Method of Moments, metode penduga parameter yang didasarkan pada kondisi-kondisi momen Maximum Likelihood Estimation Quasi Maximum Likelihood Kekar, tidak terpengaruh oleh tipe sebaran peubah asal Ukuran akurasi model yang terkoreksi oleh rata-rata peubah tak bebas Spatial Autoregression Spatial Error Model Spatial Lag Model Metode GMM yang didasarkan gabungan kondisi momen pada level equation dan difference equation. Matriks pembobot yang didasarkan pada hubungan kedekatan (contiguity) Matriks pembobot hasi prosedur AMOEBA yang menggunakan statistik Getis lokal standar Matriks pembobot hasi prosedur AMOEBA yang menggunakan statistik Getis lokal termodifikasi
xv
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ........................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xviii DAFTAR NOTASI DAN ISTILAH................................................................ xix 1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 4 1.3 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 4 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 4 Kebaruan ............................................................................................................. 5 2 REVIEW DATA PANEL SPASIAL, MATRIKS PEMBOBOT SPASIAL DAN PENDUGA GMM ..................................................................................... 6 2.1 Data Panel ..................................................................................................... 6 2.2 Data Spasial ................................................................................................... 6 2.3 Autokorelasi Spasial...................................................................................... 8 2.4 Matriks Pembobot Spasial............................................................................. 9 2.4.1 Matriks Pembobot Berdasarkan Kedekatan Geografis.......................... 10 2.4.2 Matriks Pembobot Berdasarkan Perilaku Data...................................... 15 2.4.3 Matriks Pembobot Berdasarkan Pendugaan .......................................... 18 2.5 Metode GMM ............................................................................................ 18 2.5.1 Pengantar Metode GMM ....................................................................... 18 2.5.2 Metode DIFF GMM dan SYS-GMM .................................................... 20 3 KENORMALAN ASIMTOTIK STATISTIK GETIS LOKAL TERMODIFIKASI............................................................................................ 24 3.1 Pendahuluan ................................................................................................ 24 3.2 Statistik Getis lokal ..................................................................................... 24 3.3 Teorema Limit Pusat ................................................................................... 25 3.4 Data dan Metode ......................................................................................... 26 3.5 Hasil dan Pembahasan................................................................................. 27 3.5.1 Sebaran Empiris Statistik Getis lokal .................................................... 27 3.5.2 Modifikasi Statistik Getis Lokal ........................................................... 28 3.5.3 Sebaran Empiris Statistik Getis Lokal Termodifikasi ........................... 29 3.5.4 Sebaran Limit Statistik Getis Lokal Termodifikasi ............................... 31 3.6 Simpulan ..................................................................................................... 35
xvi
4 PERBANDINGAN PERFORMA W-GETIS DAN W-GETIS YANG DIMODIFIKASI PADA MODEL PANEL SPASIAL DINAMIS ................... 36 4.1 Pendahuluan ................................................................................................ 36 4.2 Matriks Pembobot Prosedur AMOEBA ..................................................... 37 4.3 Pemodelan Data Panel Spasial .................................................................... 37 4.3.1 Spatial Lag Model (SLM) ..................................................................... 38 4.3.2 Spatial Error Model (SEM) ................................................................... 39 4.4 Model SLM-SEM Dinamis ......................................................................... 39 4.5 Pendugaan Parameter Model Panel Spasial Dinamis dengan SYS-GMM . 40 4.6 Data dan Metode ......................................................................................... 44 4.7 Hasil dan Pembahasan................................................................................. 46 4.8 Simpulan ..................................................................................................... 50 5 PEMODELAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI PROVINSI JAWA TENGAH ............................... 51 5.1 Pendahuluan ................................................................................................ 51 5.2 Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Jawa Tengah ........................ 52 5.3 Kemiskinan dan PDRB Provinsi Jawa Tengah ........................................... 53 5.4 Spesifikasi Model dan Uji Hipotesis Parameter Model .............................. 54 5.5 Kestasioneran Model Panel Spasial Dinamis.............................................. 56 5.6 Analisis Komponen Utama ......................................................................... 56 5.7 Data dan Metode ......................................................................................... 57 5.8 Hasil dan Pembahasan................................................................................. 58 5.8.1 Deskripsi Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin 58 5.8.2 Analisis Korelasi ................................................................................... 62 5.8.3 Model Panel Spasial Dinamis ................................................................ 63 5.8.4 Model Panel Spasial Statis .................................................................... 69 5.9 Simpulan dan Implikasi Kebijakan ............................................................. 70 5.9.1 Simpulan ................................................................................................ 70 5.9.2 Implikasi Kebijakan............................................................................... 71 6 PEMBAHASAN UMUM .................................................................................. 73 7 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 77 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 79 LAMPIRAN........................................................................................................... 85
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Model-model klasik pada umumnya mengasumsikan bahwa antar objek atau individu pengamatan saling bebas. Model–model klasik tersebut tentunya tidak relevan ketika dihadapkan pada data yang tidak saling bebas. Sebuah kasus terjadinya wabah penyakit menular di suatu wilayah, selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh secara langsung di wilayah tersebut, dipengaruhi pula oleh wilayah tetangga di sekitarnya. Dengan demikian hasil pengamatan jumlah orang yang terkena penyakit tersebut adalah tidak bebas. Sebuah ilustrasi lain dalam bidang ekonomi, misalnya dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah umumnya terdapat interaksi, artinya bahwa ketika suatu daerah mengalami pertumbuhan umumnya berdampak pada pertumbuhan di daerah tetangganya. Hasil pengamatan dari dua ilustrasi tersebut merupakan contoh dari data yang tidak saling bebas yang disebut data yang berautokorelasi secara spasial. Menurut Getis (2008) konsep autokorelasi spasial dapat dipandang sebagai kasus khusus dari korelasi. Autokorelasi spasial merupakan korelasi dalam peubah-peubah antar georeferenced space. Data spasial adalah pengamatan dari sebuah proses stokastik yang berindeks himpunan spasial, dimana himpunan spasial tersebut dapat berdimensi satu atau lebih (Cressie, 1993; Gaetan dan Guyon, 2010). Hubungan spasial atau autokorelasi spasial berkaitan dengan pola tak acak dari nilai-nilai atribut atas himpunan unit-unit spasial (Ord dan Getis, 2001). Pemodelan untuk data spasial cukup banyak digunakan, antara lain dalam bidang geografi, epidemiologi, ekonomi, ekonometrika, sosioekonomi dan lain-lain. Model linier spasial telah banyak digunakan dalam bidang ilmu ekonomi, geografi, ilmu regional (Kelejian dan Prucha, 2007). Dalam bidang ekonometrika, pemodelan ketakbebasan spasial (spatial dependent) cukup berkembang terutama yang mencakup pemodelan pada data panel spasial. Dalam kasus pemodelan pertumbuhan ekonomi, untuk meningkatkan keakurasian model atau keputusan, selain memperhatikan aspek spasial, umumnya pengamatan dilakukan secara berkesinambungan, misalnya dari tahun ke tahun. Dengan pengamatan yang berkesinambungan ini diharapkan akan diperoleh informasi yang lebih baik karena pada data yang diperoleh selain diamati keterkaitan antar daerah/wilayah, juga diamati perkembangannya setiap daerah dari tahun ke tahun secara panel. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan demikian dinamakan data panel spasial. Keunggulan pemodelan data panel spasial dibandingkan dengan data lain adalah dapat membantu meningkatkan performa ramalan (Kholodilin et al., 2008). Menurut Baltagi (2005) salah satu keunggulan data panel spasial adalah mampu secara lebih baik mengidentifikasi dan mengukur pengaruh yang tidak dapat terdeteksi melalui data cross sectional murni maupun data deret waktu murni. Pembandingan model klasik (non spasial) dan model spasial yang telah diteliti oleh Costa-Font dan Moscone (2008) terhadap pendugaan total pengeluaran untuk kesehatan di Spanyol, hasilnya menunjukkan bahwa model spasial lebih akurat.
2
Pemodelan pada data yang tidak saling bebas baik dari sisi spasial maupun waktu memerlukan metode khusus, karena melibatkan pengaruh antar spasial dan waktu secara bersamaan. Pengaruh beda waktu (time lag) mengacu pada modelmodel deret waktu (time series) yang sudah standar, sedangkan untuk melihat pengaruh spasial melibatkan matriks pembobot spasial. Matriks pembobot spasial ini mengukur pengaruh keeratan antar unit-unit spasial yang saling berdekatan (bertetangga). Dalam model spasial, matriks pembobot spasial merupakan komponen penting dalam kebanyakan model ketika representasi struktur spasial dibutuhkan (Getis dan Aldstadt, 2004). Matriks pembobot spasial yang umum digunakan dalam regresi spasial adalah matriks yang elemennya bernilai nol dan satu yang mengacu pada kedekatan (contiguity) antar unit spasial. Dalam konsep contiguity elemen matriks bernilai satu jika antar unit saling berdekatan dan bernilai nol jika tidak saling berdekatan. Dalam kondisi riil, keterkaitan antar unit spasial tidak cukup hanya didasarkan pada jauh dekatnya jarak antar unit, tetapi perlu ditinjau dari sisi lain misalnya karakteristik yang diamati. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengkonstruksi matriks pembobot adalah dengan melibatkan pada perilaku datanya itu sendiri (Stakhovych dan Bijmolt, 2008). Liu et al. (2011a) telah membandingkan model persamaan struktural (MPS) dengan model Spatial Autoregressive (SAR) yang menggunakan matriks contiguity (WC). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa model SAR dengan WC relatif lebih baik jika koefisien lag spasial cukup kecil, sementara ketika koefisien tersebut besar MPS lebih baik. MPS memberikan performa yang stabil dalam variasi bias dan root mean squared error (RMSE) terhadap perubahan nilai-nilai koefisien autoregresif (Liu et al., 2011b). Aldstadt dan Getis (2006) memperkenalkan sebuah teknik untuk mengkonstruksi matriks pembobot yang disebut prosedur AMOEBA (A Multidirectional Optimum Ecotope-Based Algorithm). Dalam prosedur AMOEBA tersebut, bobot setiap elemen matriks, selain ditentukan oleh kedekatan antar unit, juga ditentukan oleh kedekatan atribut/peubah melalui statistik autokorelasi lokal. Statistik autokorelasi lokal yang digunakan dalam prosedur AMOEBA adalah statistik Getis lokal. Konsep dalam konstruksi matriks melalui prosedur AMOEBA adalah untuk setiap unit-unit spasial yang mempunyai kemiripan atribut dan juga berdekatan akan mempunyai bobot yang relatif lebih besar dibandingkan dengan unit-unit spasial yang mempunyai kemiripan atribut namun tidak berdekatan. Begitu pula ketika antar unit-unit spasial saling bersebelahan namun tidak memiliki kemiripan atribut maka akan mempunyai bobot kecil. Dalam menentukan besar kecilnya bobot elemen matriks, Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan sebaran normal sebagai pendekatan terhadap statistik Getis lokal sebagaimana yang telah diklaim oleh Getis dan Ord (1992). Menurut Getis dan Ord (1992) sebaran statistik Getis lokal (Gi) mengikuti normal ketika jumlah yang bertetangga tidak terlalu sedikit ataupun tidak terlalu banyak, tetapi tidak menyebutkan secara spesifik kriteria sedikit dan banyak yang dimaksudkan tersebut. Kenormalan sebaran statistik Getis lokal perlu dikaji kembali karena Zhang (2008) telah memberikan sebuah ilustrasi bahwa ketika peubah yang menjadi perhatian menyebar Gamma, maka kenormalan sebaran statistik Getis lokal tidak valid. Statistik Gi yang secara luas telah digunakan
3
perlu kehati-hatian dalam penggunaannya karena sering dibandingkan dengan sebaran normal. Salah satu penerapan statistik Gi adalah dalam mengkonstruksi matriks pembobot spasial prosedur AMOEBA dalam model Spatial Autoregressive (SAR) (Aldstadt dan Getis, 2006). Keberadaan matriks pembobot spasial sangat penting dalam pemodelan spasial dimana ketakbebasan spasial dapat dimuat oleh kombinasi linier antara matriks pembobot spasial dan peubah tak bebas yang berada di sisi ruas kanan model. Munculnya pengaruh lag spasial dalam model tentunya berdampak pada teknik pendugaan parameter, terutama ketika dikaitkan dengan karakteristik sisaan model. Oleh karena itu, metode penduga parameter merupakan hal yang perlu mendapat perhatian selain spesifikasi model dan konstruksi matriks pembobot spasial. Penduga parameter model seperti metode kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood, ML) mengasumsikan sebaran sisaan diketahui, sedangkan dalam metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square, OLS) mengasumsikan bahwa tidak terdapat peubah endogen. Namun demikian, tidak jarang ditemukan kasus-kasus dimana asumsi-asumsi tersebut tidak terpenuhi. Oleh karena itu, ketika kasus sebaran sisaan tidak diketahui maka metode ML tidak relevan, begitu pula ketika terdapat peubah endogen maka metode OLS tidak relevan. Metode lain yang dapat digunakan untuk menduga parameter model adalah metode Quasi Maximum Likelihood (QML). Metode QML prinsipnya hampir sama dengan metode ML yakni didasarkan pada fungsi kemungkinan (likelihood function) sisaan, namun dalam metode QML sebaran sisaan tidak perlu diketahui karena fungsi kemungkinan sisaan merupakan postulat dari fungsi kepekatan sisaan yang sebenarnya. Dengan kata lain metode ML merupakan kasus khusus dari metode QML ketika sebaran sisaan diketahui sehingga fungsi kepekatan sisaan yang dipostulatkan merupakan fungsi kepekatan yang sebenarnya. Salah satu alternatif dalam menangani kasus-kasus tidak diketahuinya sebaran sisaan dan adanya peubah endogen adalah menggunakan metode Generalized Method of Moments (GMM). Metode GMM relatif lebih fleksibel terhadap kasus-kasus terdapatnya peubah endogen dan sebaran sisaan yang tidak diketahui. Penduga GMM adalah penduga yang konsisten dan kekar (robust) terhadap ketidaknormalan (Fingleton, 2008b). Performa penduga GMM dan Quasi Maximum Likelihood (QML) menghasilkan penduga ragam asimtotik yang sama, sedangkan ketika sisaan yang tidak menyebar normal, GMM lebih baik dibandingkan QML (Lee dan Yu, 2010) maupun ML (Larch dan Walde, 2009). Elhorst (2010) mengklaim bahwa GMM dapat menangani model ketakbebasan spasial linear yang memuat satu atau lebih peubah-peubah penjelas endogen. Penduga GMM merupakan penduga yang konsisten (Fingleton, 2008a; Arrelano, 2003). Beberapa keunggulan penduga GMM dapat dilihat pada Druska dan Horrace (2004), Wooldridge (2001) dan Battacharjee dan Holly (2011). Metode GMM umumnya banyak digunakan dalam kajian-kajian model ekonomi dan sosial yang melibatkan peubah endogen. Keterlibatan peubah endogen dalam model akan berdampak pada kondisi momen yang tidak sama dengan nol sehingga penduga klasik seperti metode kuadrat terkecil tidak relevan. Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang menjadi perhatian baik di tingkat nasional ataupun daerah. Pulau Jawa, dengan jumlah penduduk yang
4
cukup besar, merupakan pulau dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia. Sementara itu Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2011 merupakan salah satu provinsi di pulau Jawa dengan jumlah penduduk miskin terbesar kedua, yaitu 5.11 juta orang di bawah Provinsi Jawa Timur 5.36 juta orang (BPS, 2012). Namun pada Maret 2013 jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah menurun menjadi 4.73 juta orang di bawah Provinsi Jawa Timur yaitu 4.77 juta orang (Berita Resmi Statistik BPS, Juli 2013). Untuk menerapkan penduga parameter GMM pada model dan evaluasi matriks pembobot spasial, dalam penelitian ini diambil kasus faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin. Spesifikasi model yang digunakan mengacu pada model Cizek et al. (2011) yang merupakan perluasan dari model Kapoor et al. (2007). 1.2 Tujuan Penelitian Merujuk pada permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah : 1. Mendapatkan sebaran empiris dan sebaran analitis statistik Getis local termodifikasi. 2. Mendapatkan statistik Getis lokal yang memiliki sifat kenormalan yang kekar (robust) terhadap sebaran peubah asal. 3. Mendapatkan performa matriks pembobot spasial (W) yang baik di antara W hasil prosedur AMOEBA dan W standar. 4. Mendapatkan model hubungan jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dan merumuskan implikasi kebijakan dari kasus yang diambil. 1.3 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini mencakup dua hal, yakni dari segi teoritis dan praktis. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memunculkan teori sebaran statistik Getis lokal sehingga dalam penerapan tidak menimbulkan kesalahan pengambilan keputusan secara statistik. Sedangkan dari segi praktis, dengan diperolehnya matriks pembobot yang representatif, dapat diperoleh model yang baik sehingga rumusan implikasi studi kasus dapat dijelaskan dengan akurat. 1.4 Ruang Lingkup Penelitian Secara garis besar penelitian yang dilakukan dalam disertasi terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah mengkaji sebaran statistik Getis lokal. Dalam banyak aplikasi statistik ini diasumsikan menyebar normal asimtotik. Namun demikian sebaran statistik ini perlu ditinjau kembali dengan adanya penemuan hasil kajian Zhang (2008) dimana sebaran statistik ini terkait dengan sebaran peubah asal. Tujuan dalam tahap pertama adalah mengkonfirmasi sebaran statistik Getis lokal dan mendapatkan sebaran statistik Getis lokal yang robust terhadap asumsi sebaran peubah asal. Kedua menerapkan statistik Getis lokal hasil modifikasi yang diperoleh dari tahap pertama dalam mengkonstruksi matriks pembobot spasial, dan selanjutnya diterapkan dalam model. Untuk mengevaluasi performa matriks pembobot spasial yang dihasilkan, dilakukan pembandingan dengan matriks pembobot standar, dalam hal ini matriks kontiguitas (contiguity). Tujuan dari tahap kedua adalah
5
untuk mendapatkan matriks pembobot yang baik dalam arti dapat memberikan ketepatan/akurasi dalam model. Ketiga adalah menerapkan matriks pembobot spasial yang dihasilkan dari tahap kedua dengan performa terbaik dalam pemodelan terhadap data riil. Data yang diambil dalam penelitian adalah jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, termasuk di antaranya adalah faktor interaksi spasial. Data yang digunakan adalah data tahun 2007 sampai 2011 yang bersumber dari BPS pusat dan BPS Jawa Tengah tahun 2008 sampai 2012. Tujuan dalam tahap ketiga adalah mendapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin. Kebaruan Luasnya penggunaan statistik Getis lokal terutama dalam berbagai bidang seperti bidang ekonomi, social dan geografi, perlu diimbangi dengan kehandalan dan kevalidan alat statistik yang digunakan. Terdapatnya perbedaan pendapat antar peneliti terkait dengan kenormalan statistik Getis lokal memunculkan masalah yang perlu dikaji kembali. Berdasarkan pada munculnya permasalahan ini, dikaji bagaimana sebaran statistik Getis lokal melalui pendekatan empiris sebagai konfirmasi terhadap sebaran statistik Getis lokal tersebut. Dengan demikian yang menjadi kebaruan (novelty) dalam disertasi ini adalah memodifikasi statistik Getis lokal sehingga kenormalan asimtotik statistik Getis lokal kekar (robust) terhadap asumsi sebaran peubah asal.
6
2 REVIEW DATA PANEL SPASIAL, MATRIKS PEMBOBOT SPASIAL DAN PENDUGA GMM
2.1 Data Panel Data panel merupakan gabungan amatan cross-section seperti rumah tangga, negara, perusahaan dan sebagainya atas beberapa periode waktu (Baltagi, 2005). Menurut Bruderl (2005) data panel merupakan data yang diperoleh dari hasil pengukuran berulang dari satu atau lebih peubah terhadap satu atau lebih orang (pengulangan cross-sectional time series). Sebagian besar data panel berasal dari survey panel, namun dapat pula diperoleh dari survey cross-sectional dengan restrospective question. Himpunan data longitudinal atau data panel mengikuti contoh yang diberikan individu dari waktu ke waktu sehingga menyediakan beberapa pengamatan pada masing-masing individu dalam contoh tersebut. Data panel memuat amatan berulang atas unit yang sama (misalnya individu-individu, rumah tangga, perusahaan) yang dikumpulkan atas jumlah periode tertentu (Verbeek, 2008). Data panel mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan data cross-section. Beberapa kelebihan tersebut antara lain adalah kemampuan data panel dalam mengontrol keheterogenan individu yang tidak teramati, dapat meningkatkan efisiensi penduga. Kelebihan lain dari data panel adalah lebih informatif, dapat mempelajari dinamika individu dan mampu mengidentifikasi dan mengukur dampak yang tidak terdeteksi dalam cross-sectional. (Baltagi, 2005; Hsiao, 2003; Bruderl, 2005). Namun demikian di dalam data panel terdapat beberapa keterbatasan. Beberapa keterbatasan pada data panel antara lain dalam masalah rancangan dan pengumpulan data, distorsi salah pengukuran (measurement errors), masalah non respon (penolakan untuk berpartisipasi atau responden tidak ada di tempat/rumah). Ilustrasi lain dalam masalah keterbatasan data panel adalah ketika responden mungkin sudah meninggal, atau pindah rumah, atau menolak setelah mengetahui ada biaya yang harus dikeluarkan dalam menjawab kuisioner sehingga amatan data panel akan berkurang (Baltagi, 2005).
2.2 Data Spasial Analisis-analisis statistika umumnya mengasumsikan bahwa amatan-amatan fenomena diambil di bawah kondisi identik dan setiap amatan diambil secara bebas dari amatan lainnya (saling bebas), atau sering dinyatakan dengan amatan identik dan saling bebas (identically independent distribution, iid) (Cressie, 1993). Independensi atau kebebasan merupakan asumsi yang sangat umum yang membuat teori-teori statistika dapat diterapkan. Namun demikian model-model yang memerlukan ketidakbebasan secara statistik sering lebih realistis terjadi di lapangan. Tidak terpenuhinya kondisi amatan yang identik dan saling bebas data (kehomogenan data) biasanya dijelaskan atau dideskripsikan dalam model-model statistika dengan asumsi rata-rata yang tidak konstan. Rata-rata yang digunakan seringkali diasumsikan merupakan kombinasi linier dari beberapa peubah penjelas.
7
Data spasial merupakan salah satu terapan proses stokastik dimana realisasi dari himpunan peubah acaknya bergantung pada indeks (misalnya, indeks bidang, ruang atau waktu) (Gaetan dan Guyon, 2010). Pada kasus indeks berdimensi satu, misalnya indeks waktu, proses stokastik , ∈ adalah koleksi peubah acak, yakni untuk setiap t anggota himpunan indeks T, ∈ , merupakan peubah acak pada ruang peluang (Ross, 1997; Billingsley,1995). Ilustrasi proses stokastik dengan indeks waktu (t) yang cukup terkenal adalah data deret waktu (time serries). Pada kasus himpunan indeks lokasi, misalkan s, dengan, ℝ adalah lokasi data dalam ruang Euclid berdimensi d, himpunan Z(s) di lokasi s, , , dengan ⊂ ℝ merupakan sebuah proses acak (disebut juga sebagai random field) (Gaetan dan Guyon, 2010; Smith, 2014). Menurut Cressie (1993) data spasial dapat dipandang sebagai hasil dari pengamatan terhadap sebuah proses stokastik , . Umumnya data spasial dengan lokasi yang berdekatan satu dengan yang lain (dalam ruang/bidang) seringkali lebih mirip dibandingkan dengan data yang lebih jauh (Cressie, 1993). Sebagai ilustrasi, untuk indeks spasial s yang berdimensi dua (bidang) adalah kasus pemetaan penyebaran penyakit, sedangkan ilustrasi indeks spasial s dimensi tiga adalah dalam proses terjadinya gempa yang dapat diukur dari posisi gempa serta kedalaman episentrumnya (Cressie, 1993). Data spasial dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe dasar, yaitu pointreferenced data, areal data, point pattern data. Pada tipe data pertama, yaitu point-referenced data, dimana data Y(s) merupakan sebuah vektor acak di lokasi s, dengan ℝ dan s bervariasi secara kontinu atas ruang D, yang merupakan himpunan bagian dari ℝ yang bersifat tetap. Kasus pada data point-referenced data sering dihubungkan dengan data geostatistical. Contoh tipe data pertama dalam kasus ruang dimensi dua adalah data eksplorasi batubara di sebuah wilayah. Eksplorasi batubara tersebut merupakan sebuah vektor acak meskipun pengamatan di lokasi-lokasi tersebut kosong (Cressie, 1993). Tipe data yang kedua, yaitu areal data dimana pada tipe data ini himpunan bagian indeks D bersifat tetap (mungkin berbentuk regular maupun nonregular) yang dipartisi ke dalam jumlah unit berhingga yang lebih kecil. Data pada tipe kedua sering dihubungkan dengan data lattice yang mengandung arti amatan yang berkorespondensi dengan corner dari grid. Contoh tipe data kedua adalah informasi mengenai kategori tingkat kemiskinan dalam sebuah koleksi atau kumpulan daerah (misalkan kabupaten atau wilayah regional lainnya) yang terbagi ke dalam beberapa level atau tingkat kemiskinan. Dalam pemetaan tingkatan kemiskinan ini biasanya ditunjukkan oleh warna-warna yang berbeda pada unit-unit spasialnya. Tipe data spasial yang ketiga, yaitu data point pattern, dimana pada tipe data ini himpunan bagian D bersifat acak, himpunan indeks tersebut memberikan lokasi dari sebuah kejadian. Misalnya Y(s) diberi nilai 1 (suatu peristiwa kejadian di lokasi s bernilai 1), artinya bahwa peristiwa acak terjadi. Ilustrasi kasus data tipe ketiga (point pattern) adalah lokasi atau tempat tinggal orang-orang yang menderita penyakit tertentu. Ilustrasi lainnya dari data point pattern adalah lokasi spesies tanaman tertentu di sebuah hutan dimana respon Y(s) tetap (peristiwa dari sebuah kejadian) dan lokasi si yang dipandang sebagai kejadian acak (Banerjee et al., 2004). Kasus tipe data ketiga ini berkonotasi dengan proses Poisson, namun mempunyai indeks yang lebih dari satu.
8
Berkaitan dengan sifat dari data spasial yang merupakan proses stokastik maka hubungan antar unit spasial atau wilayah merupakan bagian yang penting dalam analisis data spasial. Pada data deret waktu (proses stokastik berindeks waktu, t) terdapat sebuah ukuran yang digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antar peubah pada indeks waktu yang berbeda yaitu statistik autokorelasi. Hal yang mirip dengan kasus data deret waktu, dalam analisis data spasial terdapat statistik yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antar unit spasial yang disebut autokorelasi spasial. 2.3 Autokorelasi Spasial Autokorelasi spasial dapat dipandang sebagai kasus khusus dari korelasi. Autokorelasi spasial berkaitan dengan pola tak acak dari nilai-nilai atribut atas himpunan unit-unit spasial (Getis, 2008). Dalam proses ketakbebasan spasial (spatial dependence), unit spasial tertentu bergantung pada unit-unit spasial tetangganya. Berdasarkan hubungan dengan wilayah unit spasial sekitar maka terdapat dua kecenderungan secara umum apakah sebuah wilayah mempunyai karakteristik yang mirip dalam atribut tertentu dengan wilayah sekitar atau tidak. Deskripsi dari hubungan derajat kemiripan antar objek amatan dan jarak yang memisahkan objek-objek tersebut merupakan elemen kunci dalam mengukur dan memahami autokorelasi spasial (Fotheringham, 2009). Dilihat dari sisi kemiripan dan ketidakmiripan secara spasial, terdapat dua bentuk umum autokorelasi spasial, yakni autokorelasi spasial positif dan autokorelasi spasial negatif. Autokorelasi spasial positif merefleksikan kemiripan nilai dalam ruang, sedangkan autokorelasi spasial negatif mencerminkan ketidakmiripan nilai dalam ruang. Namun demikian dalam aplikasinya, perhatian mendasar dalam analisis spasial adalah untuk menemukan pola dalam data spasial. Analisis penemuan pola tersebut mengarah pada identifikasi autokorelasi spasial (Ord dan Getis, 2001). Dari sisi cakupan analisis unit spasial, ukuran autokorelasi spasial dapat dianalisis melalui dua pendekatan atau dua analisis, yaitu ukuran autokorelasi global dan ukuran autokorelasi lokal. Dalam analisis autokorelasi global meliputi kajian keseluruhan pola peta dan secara umum mejawab sebuah pertanyaan apakah terdapat pola yang menggerombol atau tidak. Sedangkan analsis autokorelasi spasial lokal digunakan untuk mendeteksi adanya sinyal kantung (pockets) yang signifikansi dalam gerombol (cluster) (Ord dan Getis, 1995). Autokorelasi spasial lokal cenderung lebih baik ketika mendeteksi hotspot dibandingkan autokorelasi spasial global dimana autokorelasi lokal mampu mendeteksi hotspot (local spatial cluster) (Nelson dan Boots, 2008). Menurut Anselin (1995), hotspot merupakan local spatial cluster teridentifikasi sebagai lokasi atau himpunan lokasi yang bersebelahan dimana Local Indicator Spatial Association (LISA) berbeda nyata atau signifikan. Getis dan Ord (1992) dalam penelitiannya menemukan bahwa ketika menggunakan analisis hubungan spasial global diperoleh hasil yang tidak signifikan, namun ketika menggunakan analisis hubungan spasial lokal terdapat beberapa unit spasial yang signifikan. Terdapat beberapa statistik autokorelasi spasial baik untuk statistik autokorelasi global maupun autokorelasi lokal. Dua diantaranya yang cukup terkenal dan sering digunakan dalam analisis data spasial adalah statistik Moran (atau lebih dikenal dengan indeks Moran, I) dan statistik Getis (G). Dalam
9
aplikasinya sebaran dari kedua statistik diasumsikan normal. Sebaran statistik autokorelasi Moran global (I) adalah asimtotik normal (Sen,1976), begitu pula dengan sebaran statistik Getis global (G) dimana Zhang (2008) telah menunjukkan bahwa sebaran statistik Getis global asimtotik normal. Berbeda dengan kasus statistik autokorelasi global, sebaran statistik Moran lokal (Ii) cenderung mempunyai kurtosis dan tidak menyebar normal asimtotik (Sen, 1976; Tiefelsdorf, 2002). Sementara itu sebaran statistik Getis lokal (Gi) bergantung pada jumlah unit yang bertetangga dan sebaran peubah asalnya. Zhang (2008) telah menunjukkan bahwa apabila sebaran peubah asal Gamma, kenormalan sebaran statistik Getis lokal tidak valid. Statistik autokorelasi lokal mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan statistik autokorelasi global, diantaranya dapat mendeketeksi hotspot yang tidak dapat dideteksi menggunakan statistik autokorelasi global. Dalam kaitan dengan matriks pembobot spasial, statistik Getis lokal dapat digunakan untuk menentukan elemen dari matriks pembobot spasial (Getis dan Aldstadt, 2004; Aldstadt dan Getis, 2006). Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan asumsi kenormalan dari statistik Getis lokal untuk menentukan elemen matriks pembobot spasial. 2.4 Matriks Pembobot Spasial Matriks pembobot spasial merupakan komponen penting dalam pemodelan data-data spasial dimana pada data tersebut terdapat ketakbebasan spasial (spatial dependence). Matriks pembobot spasial, W, merupakan matriks N x N tak negatif yang menspesifikasi himpunan ketetanggaan untuk setiap unit amatan spasial. Spesifikasi dalam matriks W terbagi ke dalam tiga, yaitu (1) memperlakukan matriks pembobot sebagai completely exogenous construct, (2) membiarkan data menentukan matriks pembobot sendiri, (3) menduga matriks pembobot (Stakhovych dan Bijmolt, 2008). Pada pendekatan pertama didasarkan pada hubungan secara geografis dari unit-unit spasial yang memuat amatan-amatan ini. Beberapa contoh matriks pembobot yang menggunakan pendekatan pertama ditentukan berdasarkan kontiguitas spasial (spatial contiguity), jarak invers (inverse distance) dan k tetangga terdekat (k nearest neighbors, k-NN). Matriks pembobot spasial berdasarkan kontiguitas terdiri dari tiga jenis, yaitu rook contiguity, bishop contiguity dan queen contiguity. Pada pendekatan yang kedua membiarkan data membentuk matriks pembobot, salah satu contoh yang termasuk dalam pendekatan kedua adalah metode yang diperkenalkan oleh Getis dan Aldstadt dengan menggunakan konsep jarak hubungan spasial. Dalam membentuk matriks pembobot, Getis dan Aldstadt (2004) menggunakan jarak keterhubungan melalui statistik Getis lokal. Aldstadt dan Getis (2006) mengembangkan konsep konstruksi matriks pembobot spasial menggunakan data empiris dan secara simultan mengidentifikasi bentuk geometrik dari gerombol-gerombol spasial (spatial clusters). Pada pendekatan ketiga, matriks pembobot dirancang menggunakan metode pendugaan, salah satu diantaranya menggunakan Structural Equation Model, SEM atau model persamaan struktural (MPS) (Folmer dan Oud, 2008; Liu et al., 2011a, Liu et al., 2011b).
10
Getis (2009) mengklasifikasikan tiga metode atau tiga cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan matriks pembobot spasial, yaitu berdasarkan sudut pandang teoritis, topologi dan empiris. Ilustrasi matriks dari ketiga metode tersebut berturut-turut adalah matriks pembobot dengan elemen matriks yang didasarkan pada jarak kebalikan, kontiguitas (contiguity) dan menggunakan prosedur AMOEBA. Dapat dilihat bahwa klasifikasi metode konstruksi matriks menurut Getis tercakup oleh tiga metode yang dikemukakan oleh Stakhovych dan Bijmolt. Hampir semua analisis-analisis dalam statistik spasial, ekonometrika spasial, geostatistik dan epidemiologi berdasarkan pada hubungan topologi antar objek-objek spasial. Hubungan fungsi indikator biner disini berdasarkan ukuran ketidakmiripan antar objek seperti fungsi jarak antar objek dan ukuran kemiripan seperti hubungan ketetangaan (Berry et al., 2008). Beberapa matriks pembobot spasial yang mengacu pada jarak geografi yang menggunakan fungsi jarak eksponensial, pangkat dan pangkat ganda (Perret, 2011). Selain fungsi jarak menurut geografis, terdapat fungsi jarak dengan menggunakan atribut lain dalam menentukan hubungan spasial antar unit spasial, misalnya menggunakan jarak sosial-ekonomi (Conley dan Topa, 2002) dan jarak ekonomi (Conley dan Dupor, 2003; Anselin 2003; Tsang, 2007). Namun sebagian besar dalam analisis-analisis spasial menggunakan konsep jarak geografi. Dalam uraian berikut diberikan beberapa cara untuk mengkonstruksi matriks pembobot yang didasarkan pada klasifikasi berdasarkan Stakhovych dan Bijmolt (2008). 2.4.1 Matriks Pembobot Berdasarkan Kedekatan Geografis Terdapat beberapa tipe matriks pembobot spasial menurut kedekatan geografis, yaitu berdasarkan jarak, berdasarkan batas bersama atau perbatasan (boundaries) dan berdasarkan kombinasi dari jarak dan perbatasan. Berikut beberapa ilustrasi dari tipe-tipe matriks pembobot spasial yang berdasarkan kedekatan geografis. 2.4.1.1 Matriks Pembobot Jarak Matriks pembobot spasial yang didasarkan pada konsep jarak mengambil jarak dij sebagai jarak pusat (centroid distance) antara dua pasang unit-unit spasial i dan j. Matriks pembobot spasial yang didasarkan konsep jarak dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu matriks k tetangga terdekat (knearest neighbor weights), matriks jarak radial (radial distance weights), matriks jarak pangkat (power distance weights), matriks jarak eksponensial (exponential distance weights) dan matriks jarak pangkat ganda (double-power distance weights) (Smith, 2014). • Matriks k tetangga terdekat (k-nearest neighbor) Setiap baris i dalam matriks pembobot spasial menurut k tetangga terdekat memiliki k buah kolom j dengan elemen 1 dan kolom selainnya bernilai 0. Apabila terdapat n unit spasial dan dari n unit spasial tersebut akan ditentukan k unit spasial yang bertetangga dengan unit spasial tertentu, katakanlah unit spasial i, maka tahap awal yang perlu diproses adalah menentukan jarak n-1 unit spasial j (i≠j) terhadap unit spasial i. Sebagai ilustrasi, misalkan jarak
11
dari semua unit spasial j (i≠j) terhadap unit spasial i telah diperingkat dari kecil ke besar sebagai berikut, dij(1)≤ dij(1)≤… dij(n-1). Untuk setiap k=1,2,…,n-1, himpunlah = 1, … , yang memuat k tetangga paling dekat terhadap i. Mengacu pada konsep k-tetangga terdekat (k-rearest neighbor, k-NN), terdapat dua tipe matriks pembobot spasial yang dapat diperoleh yaitu matriks pembobot spasial yang tidak simetris dan matriks pembobot yang mempunyai sifat simetris. Perbedaan kedua matriks ini bergantung pada definisi elemenelemen matriks pembobot spasial yang diambil. Gambar 2.1 menyajikan sebuah contoh penentuan ketetanggaan berdasarkan k-tetangga terdekat. Jika matriks pembobot spasial bersifat tidak simetris, maka wij didefinisikan sebagai : =
1, (, 0, selainnya
2.1
sedangkan jika matriks pembobot spasial bersifat simetris maka wij didefinisikan sebagai : 1, atau ( = . 0, selainnya
2.2
Gambar 2.1 Ilustrasi hubungan k ketetanggaan terdekat • Matriks jarak radial Setiap bobot atau elemen matriks pembobot spasial yang didasarkan jarak radial bergantung pada nilai batas (treshold) yang diambil. Untuk baris tertentu, semakin besar nilai threshold maka semakin banyak kolom pada baris tersebut bernilai 1 dan semakin kecil nilai threshold maka semakin sedikit kolom pada baris tersebut yang bernilai 1. Apabila dimisalkan terdapat n unit spasial dan jarak dari unit spasial i terhadap semua unit spasial j (i≠j) adalah dij serta ditentukan nilai d sebagai threshold maka matriks pembobot spasial menurut jarak radial ditentukan sebagai =
1, 0 ≤ . ≤ . ( . 0, selainnya
2.3
Gambar 2.2 menyajikan fungsi wij untuk elemen matriks pembobot menurut jarak radial pada persamaan (2.3).
12
Gambar 2.2 Fungsi pembobot (wij) jarak radial • Matriks jarak pangkat Matriks pembobot yang didasarkan pada jarak radial tampak bahwa unit-unit yang berada pada jarak yang tidak lebih dari nilai treshold diberi bobot 1 meskipun mempunyai nilai jarak yang berbeda. Hal yang hampir sama terjadi pula pada matriks pembobot yang didasarkan pada k-NN dimana setiap k tetangga dari unit tertentu, katakanlah unit spasial i, diberi bobot 1. Menurut Cressie (1993) semakin dekat unit j dengan unit i maka semakin mirip. Oleh karena itu, selain pemberian bobot yang hanya bernilai biner (1 dan 0) perlu dipertimbangkan nilai atau bobot jarak sebenarnya, antara lain yang didasarkan pada jarak pangkat. Berdasarkan konsep jarak pangkat setiap bobot matriks semakin kecil ketika semakin jauh dari unit spasial i. Setiap elemen matriks menurut jarak pangkat didefinisikan sebagai 01 = . .
2.4
Gambar 2.3 menyajikan fungsi wij untuk elemen matriks pembobot menurut jarak pangkat untuk α=1 pada persamaan (2.4)
Gambar 2.3 Fungsi pembobot (wij) jarak pangkat α=1 • Matriks jarak eksponensial Matriks pembobot spasial yang didasarkan pada jarak eksponensial pada dasarnya hampir sama dengan bobot jarak pangkat. Apabila dimisalkan dij adalah jarak antara unit spasial i dan unit spasial j, matriks pembobot spasial menurut jarak eksponensial adalah = exp5−7. 8.
2.5
Gambar 2.4 menyajikan fungsi wij untuk elemen matriks pembobot menurut dij jarak eksponensial.
13
Gambar 2.4 Fungsi pembobot (wij) jarak eksponensial untuk α=1 • Matriks jarak pangkat ganda Matriks jarak pangkat ganda mempunyai prinsip yang sedikit berbeda dengan matriks jarak pangkat ataupun jarak eksponensial dimana setiap bobot atau elemen matriks, selain menggunakan fungsi pangkat juga didasarkan pada threshold. Apabila dij menyatakan jarak antara unit spasial i dan unit spasial j (i≠j) dan d adalah nilai threshold maka matriks pembobot spasial menurut matriks jarak pangkat ganda adalah
;1 − 5. /.8 = , 0 ≤ . ≤ .( = : . 0, . > .
2.6
Gambar 2.5 menyajikan fungsi wij untuk elemen matriks pembobot menurut jarak ganda pada persamaan (2.6).
Gambar 2.5 Fungsi pembobot (wij) jarak pangkat ganda 2.4.1.2 Matriks Pembobot Berdasarkan Batas Matriks pembobot yang didasarkan pada konsep jarak adalah mudah dihitung, namun dalam beberapa kasus kontribusi perbatasan (boundaries share) antar unit spasial memainkan peranan penting untuk menentukan pengaruh spasial. Dua tipe matriks pembobot yang dapat digunakan dengan memanfaatkan perbatasan, yaitu bobot spatial contiguity (kedekatan spasial) dan bobot sharedboundaries (Smith, 2014). • Bobot kontiguitas spasial Elemen-elemen dari matriks pembobot spasial kontiguitas didasarkan pada hubungan ketetanggaan secara geografis. Misalkan W={wij} i, j=1,2,…,n, adalah matriks kontiguitas dengan wij merepresentasikan elemen (nilai bobot) unit spasial i dan j. Berdasarkan aturan dalam matriks kontiguitas, wij bernilai satu ketika antara dua unit spasial saling bertetangga atau bersebelahan dan bernilai nol ketika antara dua unit spasial tidak bertetangga atau bersebelahan,
14
serta didefinisikan pula wii = 0. Bobot spasial kontiguitas didasarkan pada batas bersama, artinya bahwa apabila terdapat persekutuan antara batas unit spasial i (bnd(i)) dan batas unit spasial j (bnd(j)) maka diberi bobot 1, =
1, @A. ∩ @A. ≠ 0( . 0, @A. ∩ @A. = 0
(2.7)
Beberapa tipe matriks kontiguitas adalah rook, bishop dan queen. Sebagai ilustrasi, dimisalkan terdapat unit-unit spasial A, B,…,J (Gambar 2.6) dan akan ditentukan unit-unit yang bertetangga dengan F. Unit spasial
Rook
A
B
C
B
D
F
G
D F G
H
I
J
I
(a)
Bishop
A
Queen
C
(b)
J (c)
B C
D F G
F H
A
H
I
J
(d)
Gambar 2.6 Ilustrasi matriks kontiguitas tipe rook (b), bishop (c) dan queen (d) dari unit-unit spasial (a) yang bertetangga terhadap F Berdasarkan tipe matriks kontiguitas yang didasarkan pada aturan rook, unitunit yang bertetangga dengan F adalah B, D, I dan G (Gambar 2.6.b), sedangkan menurut aturan bishop diperoleh A, C, H dan J (Gambar 2.6.c) dan jika didasarkan pada aturan queen diperoleh A,B,C,…,J (Gambar 2.6.d). • Bobot shared-boundaries Bobot atau elemen matriks pembobot spasial yang didasarkan pada sharedboundaries menggunakan informasi panjang batas (D ) dari dua unit yang bersebelahan. Apabila li menyatakan panjang total dari perbatasan unit i yang berbatasan dengan unit-unit spasial lain, yakni D = ∑F D , dan D adalah panjang perbatasan unit spasial i dan unit spasial j maka bobot sharedboundaries didefinisikan sebagai =
GHI GH
=
GHI
∑JKH GHJ
.
(2.8)
2.4.1.3 Bobot Kombinasi Jarak dan Boundaries Bobot matriks yang didasarkan pada kombinasi jarak dan perbatasan (boundaries) menggunakan berbagai kombinasi yang mungkin dari tipe jarak dan batas. Oleh karena itu banyak jenis matriks pembobot yang dihasilkan bergantung pada tipe jarak dan perbatasan yang digunakan (Anselin, 2003). Sebagai ilustrasi 01 ketika jarak yang digunakan adalah jarak pangkat . dan panjang perbatasan D maka matriks pembobot spasial hasil kombinasi jarak dan perbatasan didefinisikan sebagai =
LM GHI HI
LM ∑JKH GHJ HJ
.
15
2.4.2 Matriks Pembobot Berdasarkan Perilaku Data Cara yang kedua dalam menentukan matriks pembobot menurut Stakhovych dan Bijmolt (2008) adalah yang didasarkan pada perilaku datanya. A Multidirectional Optimum Ecotope-Based Algorithm (AMOEBA) merupakan salah satu ilustrasi dari matriks pembobot spasial yang didasarkan pada perilaku data. AMOEBA adalah sebuah prosedur yang dirancang untuk menggerombolkan (clustering) unit-unit spasial dan mengkonstruksi matriks pembobot spasial yang menggunakan data empiris (Aldstadt dan Getis, 2006). Prosedur AMOEBA didasarkan pada prinsip yang pertama kali dikembangkan oleh Getis dan Aldstadt (2004) dimana struktur spasial dianggap sebagai dua bagian kerangka yang memisahkan data yang berasosiasi secara spasial dan data yang tidak berasosiasi secara spasial. Dasar-dasar dalam prosedur AMOEBA adalah tipe statistik lokal yang digunakan untuk menguji hubungan antara unit spasial yang berdekatan. Dua statistik autokorelasi lokal yang populer adalah statistik Moran lokal (Ii) dan Getis lokal (Gi). Misalkan N , i=1,2,..., N adalah peubah yang menjadi perhatian P 0P̅ O = HR dan adalah elemen-elemen matriks pembobot spasial. Statistik Moran lokal (Ii) didefinisikan sebagai (Anselin, 1995) S =
TH ∑V IWX UHI TI YZ
, ≠ , , = 1,2, … , ,
(2.9)
dengan m2 adalah momen kedua dari peubah zj. Statistik Getis lokal didefinisikan sebagai (Getis dan Ord,1992). [ =
∑V IWX UHI \I ∑V IWX \I
, ≠ , , = 1,2, … , .
(2.10)
Untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial dan membentuk gerombol (cluster) tinggi dan gerombol (cluster) rendah melalui prosedur AMOEBA, Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan statistik Getis lokal. Statistik Getis lokal yang digunakan ketika menentukan matriks pembobot spasial AMOEBA, diasumsikan menyebar normal. Berikut adalah tahapan prosedur AMOEBA dalam membentuk matriks pembobot spasial. Misalkan diberikan sebuah area yang terbagi atas n wilayah (unit spasial), i, i=1,2,...,n, [ adalah statistik Getis lokal dan [∗ adalah statistik Getis lokal yang dibakukan. Langkah-langkah prosedur AMOEBA adalah sebagai berikut (Aldstadt dan Getis, 2006) : (1) Hitung [^∗ 0 yaitu nilai [^∗ untuk unit spasial di lokasi i itu sendiri. Nilai [^∗ 0 yang lebih dari nol menunjukkan bahwa nilai di lokasi i lebih besar dari rata-rata semua unit. Sedangkan [^∗ 0 yang kurang dari nol menunjukkan bahwa nilai di lokasi i lebih kecil dari rata-rata semua unit. (2) Hitunglah [∗ 1 , yaitu nilai untuk setiap daerah yang memuat unit i dan semua kombinasi dari tetangga yang berdekatan. Jika [∗ 0 lebih atau kurang dari kombinasi yang memaksimumkan nilai mutlak [∗ 1 maka unitunit yang baru tersebut menjadi ecotope tinggi atau rendah yang baru. Unitunit yang tergabung membentuk ecotope baru ini disebut sebagai unit-unit yang ter-include. Unit spasial yang bersebelahan yang tidak termasuk dalam ecotope dieliminasi (exclude).
16
(3) Evaluasi semua kombinasi tetangga sebelah dan selanjutnya keanggotaan
baru ecotope diidentifikasi. (4) Proses ini berlanjut untuk jumlah penghubung k, k=2, 3, ..., maksimum
dimana dalam kondisi ini tidak ada lagi unit-unit spasial yang dapat meningkatkan nilai mutlak [∗ .
Berikut merupakan sebuah ilustrasi proses penggabungan unit-unit spasial dalam membentuk geometri dari ecotope atau gerombol (cluster) dengan jarak maksimum 5 langkah (k=5) dari unit i. (1) Untuk setiap amatan i, nilai statistik lokal diperoleh untuk semua kombinasi dari tetangga sebelah/terdekat j. Amatan-amatan j yang memaksimumkan statistik lokal menjadi anggota-anggota ecotope bersama dengan amatan i (include) dan anggota-anggota selainnya tidak menjadi ecotope yang memuat i (exclude). Gambar 2.7 memperlihatkan tiga unit j yang termasuk dalam ecotope (kiri, kanan dan atas) dan yang tidak termasuk ecotope diberi warna pink.
Gambar 2.7 Ilustrasi ecotope pada tahap pertama (2) Setelah terbentuk ecotope baru (dalam contoh ini ecotope terdiri dari empat unit, yakni atas, tengah, kiri dan kanan), dilakukan proses yang sama, yaitu mencari unit-unit j yang berdekatan terhadap ecotope yang baru tersebut, dimisalkan diperoleh hasil sebagai berikut
Gambar 2.8 Ilustrasi ecotope pada tahap kedua Pada tahap kedua dihasilkan sel-sel berwarna hijau yang merupakan unit-unit yang tergabung menjadi ecotope baru setelah proses jarak tetangga kedua, dan warna pink unit-unit yang dikeluarkan (exclude). (3) Semua kombinasi bersama-sama dengan anggota ecotope yang ada dievaluasi menggunakan statistik lokal. Himpunan baru dari amatan-amatan j yang memaksimumkan statistik lokal menjadi anggota ecotope tersebut. Demikian
17
proses ini berlanjut sampai tidak terdapat lagi unit-unit yang dapat memaksimumkan nilai mutlak statistik lokal. Dimisalkan dalam ilustrasi ini diperoleh maksimum jarak dari i adalah 5, dan hasil ecotope terbentuk disajikan pada Gambar 2.9(a) untuk tahap ketiga dan Gambar 2.9(b) untuk tahap kelima.
...
(a) (b) Gambar 2.9 Ecotope hasil tahap ketiga (a) dan kelima (b) Berdasarkan Gambar 2.9(b) terlihat bahwa pada langkah keenam semua unit yang bersebelahan dengan ecotope berwarna pink, artinya bahwa setelah langkah kelima, masuknya unit-unit spasial tidak dapat memaksimumkan statistik lokal. Dengan demikian diperoleh Y_R = 5 yakni lima langkah dari unit i. Apabila ecotope sudah terbentuk dimana tidak ada lagi unit-unit spasial yang dapat memaksimumkan nilai statistik lokal, maka dibuat matriks pembobot AMOEBA melalui prosedur berikut : (a) Ketika Y_R > 1, abcO ≤ [∗ Y_R d − beO ≤ [∗ 5 8fg , 0 < ≤ Y_R ( = ` bcO ≤ [∗ Y_R d − bcO ≤ [∗ 0d 0 , untuk selainnya (b) Ketika k jklm = 1 1, untuk = 1( = 0, selainnya (c) Ketika Y_R = 0, = 0 , untuk semua j, dengan adalah penghubung (link) yang menghubungkan i dan j dalam ecotope. Pada kondisi 1, yaitu ketika Y_R > 1, nilai-nilai menurun ketika jumlah penghubung antara unit i dan j meningkat. Ketika ecotope hanya mengandung satu penghubung dari unit i (Y_R = 1), maka unit tersebut diberi pembobot 1. Ketika tidak ada asosiasi antara unit i dengan sembarang unit j (Y_R = 0) maka baris i dari matriks W adalah nol. Berkaitan dengan prosedur AMOEBA dimana wij menggunakan fungsi kumulatif sebaran normal dan hasil kajian Zhang (2008) yang menunjukkan kaitan sebaran statistik Gi dengan sebaran peubah asal, dalam kajian ini difokuskan pada statistik Getis lokal.
18
2.4.3 Matriks Pembobot Berdasarkan Pendugaan Structural equation model atau model persamaan struktural (MPS) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk memodelkan hubungan peubah laten eksogen dan peubah laten endogen. Disamping itu MPS juga dapat digunakan untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial. Matriks pembobot spasial merupakan fungsi dari peubah indikator dan loading dari model pengukuran terhadap peubah tak bebas. Folmer dan Oud (2008) mengkonstruksi matriks pembobot spasial dengan pendekatan peubah laten untuk memodelkan hubungan spasial. Matriks pembobot spasial (W) yang dikonstruksi oleh Folmer dan Oud (2008) merupakan fungsi peubah indikator dan loading pada persamaan pengukuran. Dalam menduga matriks W digunakan metode kemungkinan maksimum (Maximum Likelihood), artinya bahwa sisaan model diasumsikan diketahui (Folmer dan Oud 2008; Liu et al., 2011a, Liu et al., 2011b). Folmer dan Oud (2008) dan Liu et al. (2011a) memberikan sebuah ilustrasi kostruksi matriks pembobot spasial melalui metode MPS dimana dalam metode pendugaan ini diasumsikan bahwa sisaan model menyebar normal. Ringkasan teknik konstruksi matriks pembobot spasial yang dipaparkan di atas disajikan pada Gambar 2.10. 2.5 Metode GMM 2.5.1 Pengantar Metode GMM Pada pendugaan parameter model regresi menggunakan metode kuadrat terkecil (MKT) diasumsikan bahwa sisaan model regresi saling bebas serta peubah penjelas dan sisaan saling bebas . Pada kasus data spasial, ketika terjadi ketakbebasan spasial tentunya dapat mempengaruhi efisiensi dan ketakbiasan dari penduga parameter ketika parameter tersebut diduga menggunakan MKT. Selain adanya permasalahan pada ketakbebasan pada data spasial, hal yang sering muncul adalah permasalahan endogeneitas dimana sisaan (galat) tidak saling bebas dengan peubah penjelas. Masalah endogeneitas dapat muncul misalnya dalam pemodelan yang melibatkan pengaruh lag waktu atau masalah yang terjadi sebagai akibat dari salah pengukuran (Verbeek, 2008; Ajmani, 2009). Kasus terdapatnya masalah endogeneitas dan ketakbebasan spasial dalam model tentunya berdampak pada hasil penduga klasik seperti MKT yang berbias (Verbeek, 2008). Solusi alternatif terhadap masalah pendugaan parameter pada kasus tersebut adalah metode Instrumental Variable (IV) atau yang lebih umum menggunakan metode Generalized Method of Moments (GMM). Metode GMM merupakan metode penduga parameter model yang didasarkan pada sejumlah kondisi momen, yakni sebuah pernyataan yang mencakup data dan parameter. Pada kasus yang paling sederhana dari GMM adalah ketika tidak terjadi masalah endogeneitas dimana metode GMM sama dengan MKT. Sebagai ilustrasi ambil model linier dengan dua peubah bebas, Np dan Nq tanpa intersep, r = sp Np + sq Nq + u , = 1,2, … , .
(2.11)
19
Matriks pembobot spasial (W)
k-NN radial Jarak
pangkat
eksponensial Pangkat ganda Share-boundary
Geografi
Boundaries rook Contiguity
bishop queen
Kombinasi jarak dan boundaries
Perilaku data
Pendugaan
AMOEBA
Model persamaan struktural (MPS)
Gambar 2.10 Tipe matriks pembobot spasial menurut Stakhovych dan Bijmolt (2008)
20
Kondisi momen pada (2.11) adalah vwxy zy = 0 dan vw{y zy = 0. Dalam bentuk yang lebih umum, misalkan model (2.11) dinyatakan dalam bentuk vector dan matriks | = } + z, dengan X adalah matriks yang kolom-kolomnya terdiri dari Np dan Nq dan ~s = z maka kondisi momen dapat dinyatakan dengan v5~s8 = 0. Karena kondisi momen populasi tidak diketahui maka digunakan momen contoh (sample moment),
1 1 1 ~̅ s = ~ s = N r − N s = r − ′s. p
p
2.12
Penduga parameter bagi s pada persamaan (2.12) diperoleh berdasarkan minimisasi dari fungsi ~̅ s. Pada kasus (2.12), jika ~̅ s = 0 maka hasil minimisasi tersebut tidak lain merupakan persamaan normal yang sudah umum = ′0p r, digunakan dalam MKT, dimana penduga parameter } adalah } bersifat tak bias (Rossi, 2010; Verbeek, 2008). Jika dalam kasus dan penduga } model (2.11) terdapat peubah endogen, katakanlah peubah bebas Nq sehingga kondisi momen pada model (2.11) menjadi vwxy zy = 0 dan vw{y zy ≠ 0, maka hasil dugaan MKT bersifat bias (Verbeek, 2008). Untuk memecahkan masalah keberadaan peubah endogen ini dibuat peubah instrumen (katakanlah peubah Oq ), yaitu peubah yang berkorelasi dengan peubah bebas terkait (dalam kasus ini w{y ) dan tidak berkorelasi dengan galat atau sisaan. Kembali pada ilustrasi model (2.11), karena Nq bersifat endogen, maka kondisi momen didasarkan pada vwxy zy = 0 dan v
{y zy = 0, sehingga penduga bagi parameter s, yang disebut penduga Instrumental Variables (IV) adalah 0p ∑p
y |y s = ∑ p
y wy
dengan wy = Np , Nq dan
y = Np , Oq . matriks penduga IV dinyatakan sebagai s = ′0p ′r
(2.13)
Apabila dinyatakan dalam bentuk
pada kasus Oq = Nq metode IV sama dengan MKT (Verbeek, 2008).
(2.14)
2.5.2 Metode DIFF GMM dan SYS-GMM Ilustrasi yang telah disajikan di atas dibatasi pada banyaknya kondisi momen (baris) dan banyaknya parameter (kolom) yang diduga berjumlah sama. Pada kasus berikutnya diperluas untuk kasus dimana kondisi momen danbanyaknya parameter tidak selalu sama. Apabila dimisalkan R adalah banyaknya kondisi momen dan K adalah banyaknya parameter yang diduga maka terdapat tiga kemungkinan. Kasus pertama, jika R = K maka parameter-parameter dapat diduga menggunakan metode IV sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Pada kasus kedua, dimana R < K maka parameter tidak dapat teridentifikasi. Pada kasus ketiga, jika overidentified dimana R > K maka untuk menduga parameter diperlukan matriks pembobot untuk meminimumkan jumlah kuadrat galat.
21
Sebagai ilustrasi, dimisalkan dari sebuah model diperoleh kondisi momen dan parameter adalah ~̅ s = ′z berdimensi R x 1 dan s berdimensi K x 1 Dalam kondisi demikian maka tidak terdapat s yang memenuhi ~̅ 5s 8 = 0, sehingga untuk mendapatkan solusi terhadap kasus ini dibutuhkan matriks pembobot (Rossi, 2010; Verbeek, 2008). Misalkan matriks pembobot yang dimaksud adalah AN, maka untuk mendapatkan penduga s adalah s = ~̅ s ~̅ s.
2.15
Ide GMM adalah meminimumkan fungsi pada persamaan (2.13), s = arg min s . Turunan pertama (2.13) terhadap s, s = ~̅ s ~̅ s + ~̅ s′ ~̅ s s s s = 2 ~̅ s ~̅ s, × .
Untuk sebuah model yang linier, penduga bagi parameter s (Rossi, 2010) s = ′ ′ 0p ′ ′r.
2.16
Metode pemilihan umum dalam menentukan matriks pembobot = 0p p ∑ p ~̅ 5s 8~̅ 5s 8′ , dan s diperoleh dari penduga GMM tahap pertama, misalkan menggunakan AN identitas (Verbeek, 2008; Rossi, 2010). 2.5.2.1 Metode DIFF-GMM Metode difference GMM (DIFF-GMM) merupakan salah satu metode yang cukup terkenal dalam menduga parameter pada model data panel. Pemodelan data panel mempunyai akurasi yang relatif lebih baik dibandingkan dengan data cross-sectional ataupun data deret waktu (Baltagi, 2005). Salah satu keuntungan dari data panel adalah dapat memahami secara lebih baik dari dinamika penyesuaian melalui model dinamis. Hubungan dinamis dicirikan oleh keberadaan lag peubah tak bebas. Sebagai ilustrasi, berikut diberikan model dinamis dengan melibatkan peubah bebas dan penduga parameter dengan DIFF-GMM Arellano dan Bond (1991). Misalkan diberikan sebuah model berikut: ′ r = 7r,0p + N s + ,
= 2, … , .
2.17
= 3, … , .
2.18
′ dengan = + , N adalah vektor peubah bebas berdimensi 1 x K dan s adalah vektor parameter berdimensi K x 1. Pada (2.17) diasumsikan vc d = 0, vc d = 0, vc d = 0 untuk = 1, … , dan = 2, … , , dan vc R d = 0 untuk i=1,2,..,N, dan ≠ (Bond et al., 2001). Dalam metode DIFF-GMM, tahapan pertama adalah melakukan operasi beda pertama (first difference) terhadap persamaan (2.17), ′ ∆r = 7∆r,0p + ∆N s + ∆ ,
Misalkan ∆ = ∆ , … , ∆ , berdasarkan (2.18), v∆¡ = 0, ¢£¤∆¡ = v5∆ ∆′ 8 = ¥¦q [, dengan
22
2 −1 [=§ … 0 0
0 −1 … … 0 …2 … … … 2 0 … −1 0
0 0 …
¨. −1 2
Penduga parameter α dan β pada model (2.17) bergantung pada sifat dari N . Apabila N bersifat strictly exogenous dalam arti bahwa peubah-peubah tersebut tidak berkorelasi dengan , vcNR ∆ d = 0 sedemikian, maka Np , … , N dapat ditambahkan langsung pada instrumen persamaan beda pertama. Apabila N bersifat predermined dalam arti bahwa vcN R d = 0 untuk ≥ maka peubah peubah instrumen yang digunakan adalah eN,p , … , N,R0p f. Berdasarkan (2.18), dimisalkan adalah matriks yang didefinisikan sebagai ′ ∆rq ∆N ′ = § ∆r ∆Nª ¨, (2.19) ∆r, 0p ∆N ′ , dan anggaplah bahwa xit bersifat predermined. Berdasarkan (2.18) maka kondisi momen untuk menduga α adalah v5r,0R ∆ 8 = 0 dan kondisi momen untuk menduga β adalah veN,0 ∆ f = 0, untuk j=1,2,...,t-1 (Arrelano, 2003). Dengan demikian peubah instrumen yang digunakan untuk menduga parameter α dan β adalah er , N ′ , N ′ f 0 p p q ± ′ ′ ′ ¬ ° er , r , N , N , N f p q p q = ¬ °. (2.20) ⋱ ¬ ° ′ ′ 0 erp , … , r, 0q , Np , … , N, 0p f¯ « Berdasarkan (2.20) kondisi momen dapat dituliskan kembali sebagai v5′ ∆ 8 = 0, atau dapat dinyatakan sebagai v5 ∆r − ²8 = 0, ² = 7, s′, i=1,2,...,N. Karena momen populasi tidak diketahui, maka kondisi momen tersebut didasarkan pada momen contoh. Berdasarkan momen contoh ini maka penduga bagi 7 dan s adalah ²³ = ′ ′0p ′ ′ ∆r.
2.21
′ dengan adalah matriks yang didefinisikan sebagai = ∑ p ∆¡∆¡′ (Arrelano, 2003; Baltagi, 2005; Eigner, 2009).
2.5.2.2 Metode SYS-GMM Metode system GMM (SYS-GMM) merupakan perbaikan dari metode difference GMM (DIFF-GMM) dalam menangani masalah instrumen lemah (weak instrument problem). Dalam SYS-GMM melibatkan “level equation” dan “difference equation”. Peubah-peubah yang bersifat endogen dalam level equation diinstrumen oleh lag difference, dengan demikian selain momen pada DIFF-GMM, terdapat momen tambahan. Sebagai ilustrasi kembali pada kasus dimana peubah xit bersifat predetermined. . Misalkan didefinisikan sebagai
23 ′ ∆N ∆rq ± ′ ∆N ∆r ¬ ª ° ⋮ ° ⋮ ¬ ′ ° = ¬ ∆r, 0p ∆N, , ¬ ° rq N ′ ° ¬ ⋮ ⋮ ° ¬ r, 0p ′ N ¯ « µ dan didefinisikan sebagai matriks instrumen pada level equation,
µ = §
′ ′ e∆rq , ∆Nq , ∆N f
0
⋱
(2.22)
0
¨, ⋱ ′ ′ e∆rq , … , ∆r, 0q , ∆Nq , … , ∆N, 0p f
maka kondisi momen untuk penduga SYS-GMM adalah (Eigner, 2009) · 0 = ¶ ¸, 0 µ
(2.23)
dengan · adalah kondisi momen pada DIFF-GMM. Penduga parameter bagi ²³, ²³ , dengan SYS-GMM sama halnya dengan penduga pada (2.21), namun dengan mengganti (2.19) dengan (2.22) dan kondisi momen pada (2.20) dengan kondisi momen (2.23). Penduga SYS-GMM termasuk dalam penduga yang konsisten (Rossi, 2010; Verbeek, 2008).
24
3 KENORMALAN ASIMTOTIK STATISTIK GETIS LOKAL TERMODIFIKASI
3.1 Pendahuluan Getis dan Ord (1992) memperkenalkan statistik Getis lokal (Gi) untuk mempelajari pola lokal dalam data spasial. Statistik ini mengukur derajat hubungan yang dihasilkan dari pusat titik-titik terboboti dan semua titik lain yang berjarak d dari titik asal (pivot). Dalam hal ini apabila ditetapkan nilai peubah di titik asal (Xi), i=1,2,…, n, maka terdapat (n-1)! kemungkinan nilai-nilai xj selainnya yang bertetangga. Di bawah hipotesis null bahwa tidak terdapat hubungan spasial, permutasi acak di sini saling lepas dan serba sama dan oleh karenanya sebaran permutasi [ mendekati normal (Getis dan Ord, 1992). Salah satu penerapan statistik Getis lokal dalam pemodelan adalah untuk membentuk matriks pembobot spasial yang disebut A Multidirectional Optimum EcotopeBased Algorithm (AMOEBA) oleh Aldstadt dan Getis (2006), dan berikutnya algoritmanya dioptimalkan oleh Duque et al. (2011). Asumsi kenormalan asimtotik statistik Getis lokal telah banyak digunakan dan untuk menentukan nilai-p (p-value), Getis dan Ord (1992) menyarankan membandingkannya dengan nilai-p uji-z. Dalam merancang matriks pembobot spasial, Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan kenormalan asimtotik dari statistik Gi dalam algoritma AMOEBA. Kenormalan asimtotik statistik Gi yang telah diklaim oleh Getis dan Ord perlu dikonfirmasi kembali dikarenakan Zhang (2008) telah memperlihatkan bahwa sebaran statistik Gi bergantung pada sebaran peubah asal Xi i=1,2,…,n. Kajian ini bertujuan untuk mengkonfirmasi sebaran statistik Gi dan memberikan sebuah alternatif penyelesaian ketika Gi tidak selalu menyebar normal. 3.2 Statistik Getis lokal Autokorelasi spasial berkaitan dengan pola tak acak dari nilai-nilai atribut atas himpunan unit-unit spasial. Autokorelasi spasial dapat dianalisis dari dua perspektif yang berbeda. Dalam mengukur autokorelasi spasial, terdapat dua jenis ukuran yaitu ukuran global dan ukuran lokal. Analisis autokorelasi global meliputi kajian keseluruhan pola peta dan secara umum menjawab sebuah pertanyaan apakah terdapat pola yang menggerombol atau tidak. Ukuran autokorelasi spasial lokal digunakan untuk mendeteksi adanya sinyal kantung yang signifikan dalam gerombol (cluster) (Ord dan Getis, 1995). Autokorelasi statistik lokal mampu mendeteksi hotspot (local spatial cluster) (Nelson dan Boots, 2008). Menurut Anselin (1995) hotspot merupakan local spatial cluster teridentifikasi sebagai lokasi atau himpunan lokasi yang bersebelahan dimana Local Indicator Spatial Association signifikan. Salah satu statistik untuk mengukur autokorelasi lokal yang sering digunakan adalah statistik Getis lokal. Statistik Getis lokal diperkenalkan oleh Getis dan Ord (1992) untuk mempelajari pola lokal dalam data spasial, mendeteksi kantung-kantung spasial yang tidak dapat terdeteksi oleh statistik global. Statistik Getis lokal, [ , yang berjarak tidak lebih dari d diekspresikan dengan [ . dan didefinisikan sebagai:
25
[ . =
∑ .N , ∑ N
j ≠i
3.1
dengan . adalah matriks pembobot spasial simetrik yang bernilai 1 jika unit spasial j berada dalam jarak d dari unit spasial i, selainnya 0. Peubah acak N adalah nilai amatan positif yang menjadi perhatian untuk unit spasial i. Untuk penyederhanaan, ambil [ = [ ., = . dan = ∑F (jumlah unit-unit yang bertetangga dengan unit i). Nilai harapan dan ragam statistik [ di bawah hipotesis null adalah v[ = 3.2 A−1 q A − 1 − ¢£¤[ = .¶ ¸ , 3.3 A − 1q A − 2 N̅
I I dengan N̅ = ¹0p , q = ¹0pI − 5N̅ 8 (Getis dan Ord, 1992). Bukti nilai harapan dan ragam dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan (3.2) dan (3.3), terdapat kasus ekstrim, yakni untuk = 0 artinya bahwa unit i tidak mempunyai tetangga maka v[ = 0 dan ¢£¤[ = 0. Pada kasus = A − 1 artinya semua unit spasial j, (j=1,2,...n, j≠i) ¹0p bertetangga dengan i ( = A − 1) maka v[ = ¹0p = 1 dan ¢£¤[ = 0. Statistik Getis lokal yang terbakukan adalah
∑I P Z
∑ P
[∗ =
[ − v[ º¢£¤[
q
,
= 1,2, . . , A,
3.4
dengan v[ dan ¢£¤[ adalah rataan dan ragam yang dinyatakan pada (3.2)
dan (3.3).
3.3 Teorema Limit Pusat Teorema limit pusat (Central Limit Theorem, CLT) merupakan salah satu teorema yang cukup banyak digunakan untuk menguji kenormalan sebaran peubah acak, terutama untuk peubah acak yang saling bebas dan identik. Teorema ini mendasarkan pada ukuran contoh yang besar (A → ∞), dan terkait dengan dasar-dasar kekonvergenan. Umumnya teorema ini didasarkan pada kekonvergenan dalam peluang dan kekonvergenan dalam sebaran. Misalkan , ¹ , A ≥ 0 adalah peubah acak pada ruang Ω, ½, b, barisan (¹ , A ≥ 0) konvergen dalam peluang, yakni ¾
¹ → jika lim¹→∞ b|¹ −| ≤ = 1 ∀ > 0. Misalkan ¹ dan adalah peubah acak dengan fungsi sebaran Á¹ dan F. Jika lim¹→∞ Á¹ N = ÁN maka ¹ konvergen dalam sebaran menuju X ditulis
¹ → (konvergen dalam sebaran) (Billingsley,1995).
Terdapat keterkaitan
26
¾
¹ → maka ¹ → (Billingsley,1995). Dalam CLT klasik diasumsikan bahwa sebaran peubah acak yang saling bebas dan identik, atau biasanya disingkat iid (independent identically distribution). Misalkan p , q , … , ¹ adalah contoh acak berukuran n, yakni barisan peubah acak iid, dengan E[Xi] = µ dan Var[Xi] = σ2 < ∞, dan ¹ = ∑¹ /A . Jika n menuju tak hingga, maka antara kekonvergenan dalam peluang dan kekonvergenan dalam sebaran, jika
√¹\ÂÄ 0µ → Å
(3.5) 0,1. Ketika kondisi keidentikan sebaran tidak terpenuhi dimana peubah acak mempunyai nilai tengah dan ragam yang tidak identik, dapat digunakan teorema limit pusat Lyapounov (Lyapounov CLT). Anggaplah adalah barisan peubah acak saling bebas yang masing-masing mempunyai nilai harapan Æ dan ragam ¥q . Didefinisikan ¹q = ∑¹p ¥q . Untuk sembarang Ç > 0, kondisi Lyapounov p lim¹→∞ ZÈÉ ∑¹p ve| − Æ |qÊË f = 0 terpenuhi, untuk A → ∞, maka RÄ
p
RÄ
∑¹p − Æ → 0,1.
Chung (2001) mengambil kasus khusus dimana Æ = 0 dan ¹ = 1 dan δ=1. Misalkan untuk setiap A ≥ 1 terdapat ¹ peubah acak a¹ , 1 ≤ ≤ ¹ g, dimana Ä ¹ → ∞ apabila A → ∞, ambil ̹ = ∑p ¹ dan asumsikan bahwa antar ¹ dan ¹ , j≠j’, 1 ≤ ≤ ¹ , saling bebas dan antar baris (n=1,2,...) tidak saling Ä q bebas. Misalkan v5¹ 8 = 7¹ , ¢£¤5¹ 8 = ¥¹ , v̹ = ∑p 7¹ = 7¹ , (3.6)
Ä Ä Ä q q ¢£¤Ì¹ = ∑p ¥¹ = ¹q , dan ΓÎ = ∑p Ϲ Ï . Sehingga jika ∑p ¥¹ = 1,
∀A, ∀, 7¹ = 0, v Ϲ Ï < ∞, dan ΓÎ → 0 maka ̹ → 0,1 untuk A → ∞. Teorema Limit Pusat Lindenberg (Lindenberg CLT) mempunyai karakteritik peubah acak yang sama dengan Lyapounov, yakni peubah acak tidak menyebar p identik. Jika untuk setiap u > 0, kondisi Lindenberg lim¹→Ð RZ ∑¹p v −
Æ q S|\H 0ÑH|ÒÓRÄ = 0 terpenuhi, dengan I(.) adalah fungsi indikator, untuk A → ∞, maka Ä
p
RÄ
∑¹p − Æ → 0,1.
(3.7)
3.4 Data dan Metode Data yang digunakan untuk mendukung dalam kajian ini merupakan data simulasi melalui pembangkitan data menggunakan metode permutasi acak. Data yang diperoleh dari hasil simulasi ini digunakan untuk menganalisa sebaran statistik Getis lokal [ , = 1,2, … , A (3.1) melalui kurva normal. Pendugaan sebaran empiris statistik Getis lokal, [∗, untuk mengkonfirmasi klaim Getis dan Ord (1992) maupun Zhang (2008) menggunakan metode permutasi acak terhadap sebaran peubah . Dalam metode pendugaan sebaran empiris statistik Getis lokal tersebut, pengujian kenormalan sebaran [∗ , dilakukan tahapan sebagai berikut : (1) Bangkitkan wij secara acak, dimana pi = wi/(n-1) (2) Bangkitkan peubah acak Xj yang mengikuti sebaran Gamma (1,4) berukuran N = 200, dengan pi berada pada interval 0.01 sampai 0.9.
27
(3) Lakukan permutasi acak sebanyak 5000 kali terhadap Xi untuk menentukan [∗ pada setiap pi serta jenis sebaran peubah acak Xi. (4) Buat kurva normal [∗ yang dihasilkan dari tahap (3).
3.5 Hasil dan Pembahasan
Tahapan analisis yang digunakan adalah mengkonfirmasi sebaran empiris dari statistik Getis lokal yang terstandardisasi (terbakukan) melalui kurva normal pada variasi proporsi jumlah unit yang bertetangga, pi. Untuk mengecek kenormalan sebaran statistik Getis lokal (Gi), digunakan peubah asal (Xi) yang menyebar Gamma (1,4). Hal ini untuk mengakomodasi klaim Zhang (2008) yang mengatakan bahwa apabila Xi menyebar Gamma maka kenormalan Gi tidak valid. Terakhir dimodifikasi statistik Gi sebagai solusi alternatif ketika Gi tidak selalu menyebar normal. Sebaran statistik Getis lokal [ didasarkan pada permutasi acak dari peubah Xi, i=1,...,n (permutasi acak unit-unit yang bertetangga dengan unit i). Mengacu pada definisi statistik [ (3.1), permutasi pada penyebut bersifat tetap (konstan), sehingga sebaran statistik Getis lokal bergantung pada fungsi indikator wij yang bernilai 0 atau 1, wij∈{0,1}, j=1,2,..,n-1 1, jika unit bertetangga dengan unit ( = 0, jika unit tidak bertetangga dengan unit , atau =
3.8
Susunan permutasi acak dari unit-unit spasial yang bertetangga ini dapat dianggap sebagai pengambilan objek tanpa pengembalian (without replacement) sehingga setiap unit spasial mempunyai peluang yang bergantung pada pengambilan sebelumnya. Proses ini cenderung mendekati sebaran hipergeometrik, dimana sebaran tersebut dapat diaproksimasi oleh normal (Nicholson, 1956; Roussas, 1997, Lahiri et al., 2007). Anggaplah bahwa pusat perhatian terarah pada jumlah unit yang bertetangga dan unit yang bukan tetangga. Jika dari n-1 unit yang ada terdapat jumlah unit yang bertetangga dengan i sebanyak wi , maka peluang jumlah unit yang bertetangga adalah U b5Õ = 18 = H. . ¹0p 3.5.1 Sebaran Empiris Statistik Getis lokal
Ambil [∗ sebagai statistik Getis lokal yang didefinisikan pada (3.4). Konsentrasi pertama yang dilakukan adalah mengkonfirmasi kembali sebaran empiris statistik [∗ untuk peubah asal Xi, i=1,2,..,N yang menyebar Gamma(1,4), N=200 menggunakan 5000 permutasi. Pada Gambar 3.1 disajikan kurva statistik [∗ di bawah hipotesis null, menggunakan 5000 permutasi untuk N=200 ketika peubah acak Xi menyebar iid Gamma (1,4). Kurva normal statistik [∗ hasil prosedur permutasi disajikan pada Gambar 3.1. Dalam karakteristik kurva normal, salah satu di antaranya bahwa bentuk kurva yang menyerupai lonceng dan simetris (symmetrical bell-shaped), dapat dilihat bahwa kenormalan statistik [∗ tidak valid.
28
Gambar 3.1 Kurva [∗ kasus ~[£××£1,4, N=200 pada variasi pi
3.5.2 Modifikasi Statistik Getis Lokal
Misalkan adalah peubah acak yang menggambarkan nilai-nilai di titik j, dan adalah sebuah fungsi indikator yang didefinisikan pada (3.8). Dalam hal ini apabila setiap objek mempunyai sifat equally likely, maka sebaran hipergeometrik sebagaimana dipaparkan di atas dapat diaproksimasi oleh sebaran normal. Namun demikian, asumsi antar objek mempunyai sifat serba sama (equally likely) tidak dapat terpenuhi karena peubah mempunyai sebaran yang berbeda. Berdasarkan sebaran empiris pada Gambar 3.1 memperlihatkan bahwa kurva statistik Gi* cenderung menjulur (skew) ketika peubah asal menyebar Gamma(1,4). Mengacu pada Gambar 3.1 dan pendapat Zhang (2008) kenormalan sebaran Gi* tidak valid, oleh karena itu dilakukan modifikasi terhadap statistik Gi menggunakan transformasi terhadap peubah . Konsep yang digunakan untuk memodifikasi statistik Getis lokal didasarkan sebaran hipergeometrik dimana setiap objek mempunyai peluang sama untuk terambil atau serba sama (equally likely). Oleh karena itu untuk mendapatkan sifat equally likely maka dilakukan ditansformasi terhadap Xi. Ambil sebagai peubah acak asal dan transformasi, N → Á³¹ N , i =1,2,…,n, p Á³¹ N = ¹ ∑ 1\JØPH . (3.9) Nilai tengah dan ragam Á³¹ N berturut-turut adalah :
29
veÁ³¹ N f =
1 1 b ≤ N = ÁN A
1 cÁN dc1 − ÁN d. A Mengacu pada teorema Chebyshev (Billingsley, 1995; Roussas, 1997), q v ÏÁ³¹ N − ÁN Ï cÁN dc1 − ÁN d b5ÏÁ³¹ N − ÁN Ï > √u8 ≤ = . u Au dan
VareÁ³¹ N f =
Dengan demikian untuk A → ∞, Á³¹ N → ÁN), karena Á³¹ N konvergen dalam peluang menuju ÁN maka Á³¹ N konvergen dalam sebaran menuju ÁN, atau
dinyatakan dengan Á³¹ N → ÁN (Roussas, 1997; Shao, 2003). Modifikasi statistik [ dengan mentransformasi N ke Á³¹ N diperoleh statistik Getis lokal termodifikasi, katakanlah [¹ÛU , yang dinyatakan sebagai : ∑ Á³¹ 5N 8 , ≠ . 3.10 [¹ÛU = ∑ Á³¹ 5N 8 Misalkan ¢ = Á³¹ N , i=1,2…,n, maka statistik Getis lokal termodifikasi dalam bentuk baku dapat dinyatakan sebagai [¹ÛU − v5[¹ÛU 8 ∗ [¹ÛU = , 3.11 Ü¢£¤5[¹ÛU 8 Ú
H ve[¹ÛU f = ¹0p dan ¢£¤e[¹ÛU f =
U
UH. ¹0p0UH. ÝÞ q ; = , ¹0pZ ¹0q ¦Â
̦
berturut-turut adalah simpangan baku dan nilai tengah peubah acak ¢.
dengan
dan
¡̅
3.5.3 Sebaran Empiris Statistik Getis Lokal Termodifikasi Prosedur yang digunakan untuk menguji sebaran empiris statistik Getis lokal termodifikasi pada dasarnya sama dengan uji sebaran statistik Getis lokal, akan tetapi peubah Xi , i=1,2,...,N, ditransformasi ke penduga fungsi sebarannya. Dalam uji ini akan diberikan tiga tipe sebaran peubah asal Xi, yaitu sebaran q Gamma(1,4), sebaran ߪ (sebaran Chi-square, dengan derajat bebas 4), dan sebaran F(1,2). Ketiga tipe sebaran ini mempunyai ekor (tail) yang cenderung lebih panjang ke kanan. Hasil plot kurva normal statistik Getis termodifikasi dari ketiga sebaran tersebut berturut-turut disajikan pada Gambar 3.2, Gambar 3.3 dan Gambar 3.4. Berdasarkan Gambar 3.2 dapat dilihat bahwa apabila peubah asal menyebar Gamma(1,4), bentuk kurva statistik Gnew(i) mempunyai karakteristik yang sama dengan bentuk kurva sebaran normal baku. Untuk kasus peubah asal yang menyebar Khi-kuadrat dengan derajat bebas 4, statistik Gnew(i) juga mempunyai bentuk kurva yang sama dengan kurva sebaran normal baku. Hal yang sama terjadi pula untuk kasus peubah asal yang menyebar F dengan derajat bebas pembilang 1 dan derajat bebas penyebut 2, F(1,2), dimana bentuk kurva statistik Gnew(i) sama dengan bentuk kurva sebaran normal baku. Berdasarkan kasus tiga tipe sebaran peubah asal yang berbeda ternyata menunjukkan hasil sama yakni
30
sebaran statistik membentuk kurva normal baku. Untuk lebih lanjut akan ditunjukkan bahwa sebaran statistik Getis lokal termodifikasi menyebar normal.
∗ Gambar 3.2 Kurva [¹ÛU kasus ~[£××£1,4, N=200 pada variasi pi menggunakan 5000 permutasi acak
∗ q Gambar 3.3 Kurva [¹ÛU kasus ~ߪ , N=200 pada variasi pi menggunakan 5000 permutasi acak
31
∗ Gambar 3.4 Kurva [¹ÛU kasus ~Á1,2, N=200 pada variasi pi menggunakan 5000 permutasi acak
3.5.4 Sebaran Limit Statistik Getis Lokal Termodifikasi
Perhatikan statistik Getis lokal termodifikasi [¹ÛU ) pada (3.10), q pada (3.11) dan ¢ = Á³¹ N , i=1,2…,n. Ambil ¥ = ¢£¤5¢ 8 =
∗ [¹ÛU
à5PI 8p0à5PI 8 ¹0p
dan
Æ = v5¢ 8 = Á5N 8, ≠, = 1,2, … , A.
penyederhanaan, dimisalkan
q ¥
=
¥q
dan Æ = Æ .
Untuk
Perhatikan bahwa
¥q ≈ ¥ q = , yakni untuk n besar, A → ∞, ¥q dan ¥ q , akan menuju ¹0p ∗ nol. Di bawah kondisi ini, [¹ÛU adalah menyebar asimtotik normal standar, àP5p0àP8
∗ [¹ÛU → 0,1. ∗ Untuk membuktikan bahwa [¹ÛU menyebar normal standar, digunakan teorema Lyapounov (Billingsley, 1995, Chung, 2001). Anggaplah bahwa untuk setiap n barisan peubah acak ¢p , ¢q , … , ¢¹ saling bebas, dengan nilai tengah dan ragam yang tidak homogen, v¢ = Æ , ¢£¤¢ = ¥q , dan dimisalkan â¹ = ∑¹p ¢ , ̹q = ¢£¤â¹ = ∑¹p ¥q . Untuk sembarang δ positif, jika ¹ 1 lim ve|¢ − Æ |qÊË f = 0 3.12 ¹→Ð Ì qÊË ¹ p maka ¹
1 ¢ − Æ → 0,1. 3.13 ̹ p
32
Ambil ¹ = A − 1@p ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f=, @p = ¢Â (@p adalah invariant U ã = − H , di bawah permutasi acak ¢ ), ¢ = Á³¹ 5N 8, Æ = ve¢ f = Á5N 8, ä = lim¹→Ð
dan @p → Æ as A → ∞.
∑I U ã HI Z ¹0p
¹0p
Karena ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= = ¹0på e∑ ã ¢ f, ¹ dapat dituliskan
kembali sebagai
Teorema.
p
X
¹ = ∑ ã ¢ − Æ + ∑ ã Æ .
(3.14)
Anggaplah bahwa ¢ = Á³¹ 5N 8, Æ = v5¢ 8, @p = ¢Â dan ¹
sebaran , j=1,2,...,n maka
sebagaimana diberikan pada (3.14). Jika
∑I UHI 5I 0åX 8 ¹0påX
¹ → 0, äÁN51 − ÁN8
untuk A → ∞.
→ 0 , untuk sembarang
ã ¢ − Æ + ∑ ã Æ (3.14), nilai tengah dan Bukti. Ambil ¹ = ∑ ragam ¹ berturut-turut adalah, v¹ = ∑ ã Æ dan ¢£¤¹ = v¹q − UH. cv¹ dq = ∑ ã q ¥q , dengan ã = − ¹0p . Pertama akan dibuktikan bahwa v¹ → 0 untuk A → ∞. Ambil =
∑I ÑI ¹0p
∑ ¢ ∑ 5¢ − @p 8 . = − ∑ ¢ ∑ ¢ A−1 atau dapat ditulis kembali sebagai ∑ 5¢ − @p 8 1 ã ¢ = . ∑ ¢ A − 1@p ,
Karena ¢ → Æ dan @p → Æ, ∑I UHI 5I 0åX 8 ¹0påX
→0
p ∑ ã ¢ ∑I I
→∑
p
I ÑI
∑ ã Æ , dapat ditunjukkan
v¹ = ∑ ã Æ → 0,
A → ∞.
Berikutnya akan dibuktikan bahwa ¢£¤¹ → ÁN51 − ÁN8ä. Perhatikan bahwa ¥q → 0, j=1,2,...,n (i ≠ j ) untuk A → ∞, sehingga bahwa
sehingga,
untuk
ã q Á5N 8 1 − Á5N 8 ç. lim ¢£¤¹ = lim æ ¹→Ð ¹→Ð A−1
= äÁN51 − ÁN8. Terakhir, akan ditunjukkan kenormalan asimtotik ¹ menggunakan teorema Lyapounov (3.12). Ambil è = ã ¢ , v5è 8 = ã Æ , ¹ = ∑ è dan ̹q = ¢£¤¹ , mengacu pada (3.12), diperoleh ¹ 1 qÊË lim qÊË v ;Ïè − v5è 8Ï = . 3.15 ¹→Ð Ì ¹
33
Dengan mengambil Ç = 2, dan memisalkan = ¢ − Æ , maka pembilang pada (3.15) dapat dinyatakan sebagai veè − v5è 8f = vÏ ã Ï .
3.16
vÏ ã Ï ≤ Ï ã Ï vÏ¢ Ï .
3.17
ª
ª
Karena 0 < Æ ≤ 1 dan v5¢ 8 → Æ , diperoleh Ï Ï = Ï¢ − Æ Ï ≤ Ï¢ Ï, sehingga sisi ruas kanan (3.16) menjadi
Karena
¢ ∈ 0,1d,
substitusi vÏ¢ Ï = ª
dengan K = ∑p
à5PI 8 ¹é
ª
p
ª
ª
vÏ¢ Ï = v5¢ 8 = ¹é v ;¹ ∑p SPJØPI = = ª
ª
p
ke persamaan (3.17) menghasilkan
vÏ ã Ï ≤ Ï ã Ï vÏ¢ Ï = ª
p
ÏU ã HI Ï ¹
ë
à5PI 8
ª
ª
1 , Aq
¹é
,
dengan
Á5N 8 < ∞, sehingga (3.15) dapat dinyatakan sebagai ¹
1 ª lim ª v ;Ïè − v5è 8Ï = ¹→Ð ¹ lim
= ¹→Ð =
p ∑¹p v ;Ïè
− v5è 8Ï =
lim ¹ª 1 ¹→Ð
ª
eÁN51 − ÁN8äf
1
lim q q ¹→Ð A
= 0.
Karena kondisi Lyapounov, (3.12) dan (3.13) dapat terpenuhi, maka untuk A → ∞.
¹ → 50, ÁN51 − ÁN8ä8,
(3.18)
Akibat 1. Berdasarkan (3.18), diperoleh akibat berikut
A − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= → ì0,
untuk A → ∞.
51 − ÁN8 äí, ÁN
¹ = A − 1@p ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= dan
¢£¤¹ → ÁN51 − ÁN8ä untuk A → ∞, yang berimplikasi ¹ A − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= = . @p Bukti.
Perhatikan
bahwa
Karena @p → Æ untuk A → ∞, diperoleh
A − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= → ì0,
51 − ÁN8 äí untuk A → ∞. 3.19 ÁN
34
Akibat 2. Berdasarkan (3.19) berakibat bahwa: ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= ∗ [¹ÛU = → 0,1, Ü¢£¤5[¹ÛU 8
untuk A → ∞.
Bukti. Mengacu pada Akibat 1 bahwa
A − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= → 0,
5p0àP8 àP
ä,
maka untuk menunjukkan Akibat 2, cukup diperlihatkan
¢£¤ A − 1[¹ÛU = ¢£¤ ïA − 1 ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f=ð →
Perhatikan bahwa ä = lim¹→Ð
UH. ¹0p0UH. ÝÞ Z . ¹0pZ ¹0q ¦Â Z
∑I U ã HI Z ¹
51 − ÁN8 ä. ÁN
H. , ã = − ¹0p , dan ¢£¤5[¹ÛU 8 =
U
Penjabaran ä dan ¢£¤5[¹ÛU 8 lebih lanjut dapat ditulis kembali
2 . q + ∑ ã A−1 A − 1 ð ä = lim = lim ¹→Ð ¹→Ð A A UH. ¹0p0UH. = lim¹→Ð ¹¹0p , q
∑ ï q −
. A − 1 − . ̦ q ¢£¤5[¹ÛU 8 = A − 1q A − 2 ¡̅ q . A − 1 − . ̦ q A = AA − 1A − 1 ¡̅ q A − 2
dan ¢£¤5A − 1[¹ÛU 8 = A − 1q ¢£¤5[¹ÛU 8 . A − 1 − . ̦ q A = A ¡̅ q A − 2 . A − 1 − . A̦ q A − 1 . = AA − 1 ¡̅ q A − 2 Karena ̦ → ¥, A¥ q = ÁN51 − ÁN8, ¡̅ = @p → Æ,
¹ ¹0q
→ 1 untuk A → ∞, maka
¢£¤ A − 1[¹ÛU →
UH. ¹0p0UH.
51 − ÁN8 ä, ÁN
¹¹0p
sehingga akan berimplikasi ;[¹ÛU − ve[¹ÛU f= ∗ [¹ÛU = → 0,1 untuk A → ∞. Ü¢£¤5[¹ÛU 8
→ ä,
dan
35
3.6 Simpulan Sebaran empiris dari statistik Getis lokal terstandardisasi, selain dipengaruhi oleh sebaran peubah asal, dipengaruhi pula oleh proporsi unit-unit spasial yang bertetangga, pi. Pada kasus peubah asal yang menyebar Gamma (1, 4) diperoleh bentuk kurva [∗ tidak simetris. Ketika ñ → 0 kurva sebaran statistik Getis lokal cenderung menjulur ke kanan sedangkan ketika atau ñ → 1 menjulur ke kiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada kasus ini statistik [∗ tidak menyebar normal. Modifikasi statistik Getis lokal melalui transformasi peubah asal ke penduga sebaran empirisnya, transformasi ke Á³¹ 5N 8, memberikan kenormalan statistik Getis lokal yang kekar (robust). Kurva statistik Getis lokal termodifikasi [∗ ) untuk tiga tipe sebaran peubah asal dicoba memperlihatkan bentuk kurva normal standar (normal baku). Kenormalan statistik [∗ diperkuat melalui hasil pembuktian secara analitik yang menunjukkan bahwa statistik [∗ menyebar normal untuk sembarang sebaran peubah asal .
36
4 PERBANDINGAN PERFORMA W-GETIS DAN W-GETIS YANG DIMODIFIKASI PADA MODEL PANEL SPASIAL DINAMIS 4.1 Pendahuluan Dalam pemodelan untuk menentukan hubungan antara peubah bebas dan peubah tak bebas, umumnya berpedoman pada asumsi tidak adanya hubungan yang saling mempengaruhi antar peubah tak bebas. Namun demikian, dalam beberapa kasus tertentu asumsi kebebasan tersebut terkadang tidak terpenuhi sehingga memerlukan metode lain. Dalam kasus data-data yang terkait dengan wilayah (spasial) misalnya, dimungkinkan bahwa nilai peubah tak bebas di wilayah tertentu, selain dipengaruhi oleh karakteristik lokal (peubah-peubah bebas) juga dipengaruhi pula oleh nilai peubah tak bebas di sekitarnya (tetangganya). Besarnya pengaruh nilai-nilai peubah yang berada di sekitarnya direpresentasikan oleh sebuah matriks yang disebut matriks pembobot spasial. Oleh karena matriks pembobot spasial merupakan elemen penting dalam pemodelan data spasial, maka konstruksi matriks pembobot spasial yang representatif dapat meningkatkan akurasi model yang dibangun. Dengan kata lain, perbedaan konstruksi matriks pembobot spasial tentunya akan mempengaruhi kualitas model yang dibangun. Menurut Getis dan Aldstadt (2004) matriks pembobot spasial merupakan elemen yang sangat dibutuhkan dalam kebanyakan model ketika representasi struktur spasial dibutuhkan. Jenis matriks pembobot spasial yang umum digunakan dalam model regresi spasial antara lain matriks yang didasarkan pada ketetanggaan. Konsep ini hanya didasarkan pada jarak secara fisik tanpa melihat kedekatan dari atribut yang menjadi perhatian. Ukuran kedekatan antar spasial dengan mempertimbangkan atribut tertentu dapat dikuantifikasi menggunakan ukuran autokorelasi spasial. Ukuran autokorelasi spasial dapat diklasifikasikan menjadi autokorelasi global autokorelasi lokal. Autokorelasi global mengkarakterisasi autokorelasi spasial untuk keseluruhan area yang dikaji menggunakan sebuah nilai, sedangkan autokorelasi lokal biasanya digunakan untuk mendapatkan pola atau pun dalam menentukan hotspot sebuah wilayah (Nelson dan Boots, 2008). Dalam kaitannya dengan konstruksi matriks pembobot spasial, statistik autokorelasi yang digunakan adalah statistik autokorelasi lokal. Aldstadt dan Getis (2006) mengkonstruksi matriks pembobot spasial menggunakan prosedur yang disebut A Multidrectional Optimum Ecotope-Based Algorithm (AMOEBA). Mereka membandingkan W hasil prosedur AMOEBA (WG) dengan matriks kontiguitas (W-Contiguity, WC) pada model SAR yang hasilnya menunjukkan bahwa performa WG lebih baik daripada WC. Dalam prosedur AMOEBA yang telah dikaji oleh Aldstadt dan Getis (2006), penentuan nilai-nilai elemen matriks yang didasarkan sebaran normal dari statistik Getis lokal. Namun sebaran statistik Getis lokal sangat bergantung pada sebaran peubah asal dan juga proporsi unit-unit yang bertetangga. Berkaitan dengan prosedur AMOEBA, jumlah unit yang tergabung tidak dapat dikontrol sehingga asumsi kenormalan statistik Getis lokal sangat sulit untuk terpenuhi. Sebagai alternatif, untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial dalam
37
prosedur AMOEBA, digunakan statistik Getis lokal yang dimodifikasi (Gnew(i)). Kenormalan statistik Gnew(i) kekar (robust) terhadap asumsi sebaran peubah asal. Untuk melihat efisiensi matriks pembobot spasial yang dihasilkan maka dibandingkan performa W-AMOEBA dengan statistik Getis lokal (WG) dan WAMOEBA dengan statistik Getis lokal termodifikasi (WGnew) dalam model. Model yang digunakan untuk membandingkan performa antara kedua matriks, diambil dari spesifikasi model Cizek et al. (2011) dan Jacobs et al. (2009). Sedangkan metode penduga parameter yang digunakan adalah SystemGeneralized Method of Moments (SYS-GMM). Kelejian dan Prucha (2010) melakukan generalisasi penduga SYS-GMM untuk menduga parameter autoregresif spasial dalam galat. Terdapat beberapa keunggulan metode SYSGMM dibandingkan dengan metode penduga lain. Bias penduga GMM relatif lebih kecil daripada penduga Quasi Maximum Likelihood (QML) (Lee dan Yu, 2010). Metode GMM dapat menangani model ketakbebasan spasial yang memuat satu atau lebih lag spasial peubah tak bebas dibandingkan dengan penduga ML dan penduga Bayes (Kukenova dan Monteiro, 2008). Penduga GMM dapat menangani model ketakbebasan spasial linear yang memuat satu atau lebih peubah-peubah penjelas endogen (Elhorst, 2010). Bond et al. (2001) mengusulkan untuk menggunakan penduga GMM dalam menduga model data panel dinamik. Tujuan dalam BAB 4 ini adalah untuk membandingkan performa matriks pembobot hasil prosedur AMOEBA yang didasarkan statistik Getis lokal dan statistik Getis lokal yang termodifikasi. 4.2 Matriks Pembobot Prosedur AMOEBA A Multidirectional Optimum Ecotope-Based Algorithm (AMOEBA) adalah sebuah prosedur yang dirancang untuk menggerombolkan (clustering) unit-unit spasial dan mengkonstruksi matriks pembobot spasial yang menggunakan data empiris. Prosedur AMOEBA didasarkan pada prinsip yang pertama kali dikembangkan oleh Getis dan Aldstadt (2004) dimana struktur spasial dianggap sebagai dua bagian kerangka yang memisahkan data yang berasosiasi secara spasial dan data yang bukan berasosiasi secara spasial. Dasar-dasar dalam prosedur AMOEBA adalah tipe statistik lokal yang digunakan untuk menguji hubungan antara unit spasial yang berdekatan. Untuk menggabungkan unit-unit dalam membentuk cluster tinggi atau rendah digunakan statistik Getis lokal, [∗ , yang didefinisikan pada (3.4). Dalam prosedur ini Aldstadt dan Getis (2006) menggunakan sebaran normal untuk mengkonstruksi setiap element/unsur dari matriks pembobot. Langkah-langkah prosedur AMOEBA disajikan pada (2.4.2). Untuk mengkonstruksi matriks pembobot AMOEBA yang didasarkan pada statistik Getis lokal termodifikasi prinsip sama dengan prosedur (2.4.2), tetapi ∗ menggunakan statistik [¹ÛU (statistik Getis lokal termodifikasi) pada (3.11) dalam pembentukan gerombol (cluster) unit spasialnya. 4.3 Pemodelan Data Panel Spasial Data panel merupakan gabungan amatan cross-section seperti rumah tangga, negara, perusahaan dan sebagainya atas beberapa periode waktu (Baltagi, 2005). Data panel memuat amatan berulang atas unit yang sama (misalnya individu-
38
individu, rumah tangga, perusahaan) yang dikumpulkan atas jumlah periode tertentu (Verbeek, 2008). Bidang ekonometrika umumnya berkaitan dengan penggabungan interaksi spasial dan struktur spasial ke dalam analisis regresi. Ketika terdapat ketakbebasan spasial (spatial dependence) namun tidak dimuat dalam model maka akan berdampak pada hasil dugaan yang berpotensi bias dan kehilangan efisiensi (Anselin dan Lozano-Gracia, 2008). Terdapat dua pendekatan berbeda yang dapat ditujukan untuk model regresi spasial; pendekatan pertama adalah Spatial Lag Model (SLM) yang memasukan ketakbebasan spasial dalam bentuk peubah lag spasial (Anselin dan LozanoGracia, 2008). SLM hampir sama dengan model autoregresif dalam kasus deret waktu sehingga sering dianggap sebagai model autoregresif spasial walaupun berbeda secara fundamental (Fotheringham dan Rogerson, 2009). SLM sesuai untuk kasus ketika nilai peubah tak bebas dari unit tertentu secara langsung dipengaruhi oleh nilai-nilai y dari unit tetangganya (Ward dan Gleditsch, 2008). Pendekatan kedua adalah Spatial Error Model (SEM) yang memasukan proses autoregresif spasial pada galat (sisaan). Dalam SEM diasumsikan bahwa galat dari model berkorelasi secara spasial (Ward dan Gleditsch, 2008). Pemodelan data panel spasial mempunyai pola model yang hampir sama dengan model panel data non spasial, perbedaan utamanya adalah pada model panel spasial melibatkan pengaruh lag spasial, misalnya dalam kasus ini (WY). Berdasarkan keterlibatan pengaruh lag waktu pada data panel, terdapat dua pendekatan yaitu model panel spasial statis dan model panel spasial dinamis. Dalam model panel spasial dinamis di ruas kanan model mengakomodasi pengaruh peubah tak bebas dari tahun sebelumnya, lag satu, dua dan seterusnya. Sedangkan dalam model panel spasial statis di ruas kanan model tidak melibatkan atau tidak mengakomodasi pengaruh peubah tak bebas pada tahun sebelumnya (lag waktu). Beberapa aplikasi dari model panel spasial dinamis cukup banyak, beberapa diantaranya adalah Cizek et al. (2011), Kholodilin et al. (2008), Kukenova dan Monteiro (2008), Lee dan Yu (2010) dan Jacobs et al. (2009) menggunakan model panel spasial dinamis. Sedangkan Druska dan Horrace (2004) dalam kajian usaha tani padi Indonesia menggunakan model panel spasial statis dengan spesifikasi SEM panel statis. Berikut adalah sebuah pengantar untuk model panel spasial statis yang berikutnya difokuskan pada model panel spasial dinamis dengan mengadopsi model dari Cizek yang mengkombinasikan SLM dan SEM. 4.3.1 Spatial Lag Model (SLM) Spesifikasi Spatial Lag Model (SLM) lebih sesuai untuk menspesifikasi secara eksplisit dampak amatan peubah tetangga disekitarnya terhadap peubah tak bebas tertentu. Dalam SLM menghipotesiskan bahwa peubah tak bebas bergantung pada peubah tak bebas lainnya yang bertetangga dan himpunan karakteristik lokal teramati (observed local characteristics). Model SLM dicirikan dengan adanya kombinasi linear matriks pembobot dan peubah tak bebas di ruas kanan. Pada SLM statis dimana pada model tersebut tidak melibatkan pengaruh lag waktu sebelumnya dapat dinyatakan sebagai | = Çò| + ó} + ô , ô = õ + z
(4.1)
39
dengan yN(t) adalah vektor N x 1 dari amatan peubah tak bebas waktu t, XN(t) matriks N x K dari peubah bebas waktu t (K adalah banyaknya peubah bebas), Ç adalah parameter (koefisien) autoregresive spasial, } vektor parameter peubahpeubah beas, ôö vektor galat acak, õ = p , . . , … , , dengan adalah pengaruh spasial i, zö vektor N x 1 dari komponen acak waktu t berukuran N, dan Õ = a g, , = 1,2, … , , = 0 (semua elemen diagonal bernilai nol) adalah matriks pembobot spasial. SLM dianggap sebagai spesifikasi formal dari proses interaksi spasial dimana nilai-nilai peubah tak bebas tertentu ditentukan bersama-sama dengan agen-agen tetangganya (Anselin, 1999). Pada model (4.1) diasumsikan bahwa matriks S − Çò adalah matriks non singular (invertible). Model (4.1) berada p p dalam kondisi stasioner apabila ÷ <Ç<÷ dengan ûY¹ dan ûY_R øHÄ
øùJú
adalah nilai-nilai minimum dan maksimum dari akar ciri (characteristic root) matriks pembobot spasial W. Apabila matriks W bersifat row-normalized maka ûY_R =1, tetapi ûY¹ > −1 sehingga batas bawah dari ruang parameter Ç kurang dari -1(Anselin, 1999). 4.3.2 Spatial Error Model (SEM)
Spatial Error Model (SEM) menghipotesiskan bahwa peubah tak bebas bergantung pada himpunan karakteristik lokal teramati (observed local characteristics) dan bentuk galat berkorelasi antar spasial. SEM untuk kasus model statis dapat dinyatakan sebagai | = ó} + õ + ô , ô = üòô + z ,
(4.2)
dengan | , ó, õ , ô , ò, z dan } penjelasannya sama dengan sebelumnya, sedangkan ü adalah koefisien autokorelasi spasial. Model (4.2) p p berada dalam kondisi kestasioneran apabila ÷ <ü<÷ , dengan ûY¹
dan ûY_R berturut-turut adalah nilai-nilai minimum dan maksimum akar ciri dari matriks pembobot spasial W (Anselin, 1999). øHÄ
øùJú
4.4 Model SLM-SEM Dinamis Model Panel Spasial Dinamis merupakan perluasan dari model spasial statis dimana pada model spasial dinamis, selain melibatkan pengaruh lag spasial dan pengaruh karakteristik lokal, juga melibatkan pengaruh lag waktu pada peubah tak bebas yN(t-1) di ruas sisi kanan model. Dengan menggunakan kelebihan dari SLM dan SEM, untuk menangkap adanya pengaruh spasial dari peubah tak bebas dan pengaruh spasial dalam galat (error), SLM dan SEM dapat dikombinasikan yang mengacu pada model Cizek et al. (2011) dan Jacobs et al. (2009). Menurut Cizek et al. (2011) SEM merupakan sebuah alternatif untuk menangkap aspek spasial yang mungkin berasal dari masalah salah pengukuran (measurement error) dalam peubah. Menurut Thomas (1997), kesalahan pengukuran terjadi sebagai akibat adanya kesalahan sewaktu mengukur peubah, baik dalam mengukur peubah
40
tak bebas maupun peubah bebas. Kombinasi SLM dan SEM pada model data panel dinamis dinyatakan sebagai | = ý| − 1 + Çò | + } + ô , ô = üþ ô + z , z = õ + ,
= 2, … ,
(4.3) (4.4)
dimana ~. dengan ragam ¥q , | adalah vektor amatan peubah tak bebas berdimensi N 1, | − 1 peubah tak bebas lag pertama, ò matriks pembobot spasial berdimensi N , matriks amatan peubah-peubah penjelas strictly exogenous berdimensi N (K banyaknya peubah penjelas), ô adalah vektor galat, } adalah vektor K x 1 koefisien kemiringan. Lag spasial ò | menangkap korelasi waktu yang sama antara unit i dan unit j, j≠i. þ matriks korelasi spasial pembobot berdimensi N x N ketika muncul korelasi galat spasial, þ ô galat spasial dan z vektor inovasi. Untuk penyederhanaan bentuk model pada (4.3), ambil matriks = | − 1, ò | , berukuran N x (K+2) dan = ý, Ç, }′ ′ adalah vektor parameter (K+2) x 1, sehingga (4.3) menjadi | = + ô .
4.5
Normalisasi baris (row normalized) matriks pembobot merupakan upaya untuk memenuhi sifat bahwa agar model stabil atau stasioner (Lee dan Yu, 2010). Row normalized, yaitu ∑¹ = 1 dan ∑¹ × = 1, adalah untuk memenuhi sifat bahwa S − Çò dan S − üþ bersifat bounded uniformly in absolute (Kelejian dan Prucha, 1998; Kelejian dan Prucha, 1999). Misalkan matriks ¹ = .,¹ adalah sembarang matriks n x n, A. Baris dan kolom matriks ¹ dikatakan bounded uniformly in absolute jika terdapat konstanta sedemikian sehingga berlaku ¹
¹
max Ï.,¹ Ï ≤ dan max Ï.,¹ Ï ≤ , untuk semua A.
pØع
p
pØع
p
4.6
Kestabilan model (4.3) dapat terpenuhi apabila untuk matriks pembobot W yang row normalized memenuhi |ý| + Ç < 1 untuk Ç≥0 atau |ý| + ÇûY¹ < 1 untuk Ç < 0, dengan ûY¹ adalah akar ciri minimum dari matriks W yang row normalized tersebut. 4.5 Pendugaan Parameter Model Panel Spasial Dinamis dengan SYS-GMM Dalam model persamaan dinamis memuat lag waktu, sehingga berdampak masalah endogeneitas. Adanya peubah endogen tentunya mengakibatkan metodemetode klasik seperti metode kuadrat terkecil (MKT) tidak relevan karena peubah endogen berkorelasi dengan galat yang tentunya tidak sesuai dengan asumsi MKT. Di sisi lain, munculnya masalah endogeneitas mungkin dapat terjadi pula dalam hal kesalahan pengukuran (measurement error) sehingga penggunaan MKT akan berdampak serius. Jika kesalahan pengukuran terjadi pada peubah bebas, maka dapat mengarah pada bias dan ketidakkonsistenan penduga MKT. Jika kesalahan pengukuran terjadi pada peubah tak bebas dapat mengarah pada kehilangan ketepatan pendugaan (Thomas, 1997). Menurut Cizek et al. (2011)
41
SEM merupakan salah satu cara yang dapat digunakan dalam masalah kesalahan pengukuran, sedangkan metode alternatif GMM dapat mengatasi masalah endogeneitas. Metode GMM merupakan perluasan dari metode Instrument Variable dimana dalam pendugaan parameter didasarkan pada kondisi momen yang menggunakan peubah instrumen. Peubah instrumen merupakan peubah yang berkorelasi dengan peubah bebas tetapi tidak berkorelasi dengan galat (Thomas, 1997). Metode penduga GMM didasarkan pada kondisi momen yang pada aplikasinya diduga berdasarkan momen contoh (sample moments). Metode GMM yang sering digunakan dalam pendugaan parameter dari model-model yang melibatkan adanya pengaruh endogeneitas dalam bidang ekonomi adalah metode pendugaan GMM Arellano-Bond atau yang lebih dikenal dengan DIFF-GMM. Namun penduga DIFF-GMM tidak efisien karena instrumen hanya menggunakan informasi peubah first diference, sehingga untuk mengatasi digunakan sistem GMM (SYS-GMM) (Cizek et al., 2011). Untuk menduga pada (4.5), dalam metode SYS-GMM terdapat tiga tahapan, pertama menduga , kedua menduga ü dan ¥q , dan ketiga menduga setelah peubah | dan dikoreksi oleh ü. Prosedur metode SYS-GMM selengkapnya adalah sebagai berikut:
(1) Tahap pertama Tahap awal dalam menduga adalah dengan melakukan operasi beda pertama (first difference) untuk mengeliminir pengaruh spasial õ . Berdasarkan model SEM, ô = S − üþ 0p 5õ + 8, operasi beda pertama ∆ô = S − üþ 0p ∆ dapat mengeliminir õ .Operasi beda pertama (4.6) menghasilkan ∆| = ∆ + ∆ô .
4.7
Metode penduga parameter GMM model (4.7) didasarkan pada himpunan kondisi momen dari parameter-parameter yang bersesuaian. Kondisi momen untuk mengidentifikasi λ, Arellano dan Bond (1991) menggunakan level peubah tak bebas |ö ó − , s=2,…,t-1 v5| − ∆ô 8 = 0,
= 3, … , ; = 2, … , − 1
4.8.
Kondisi momen yang digunakan untuk mengidentifikasi parameter δ terdiri dari dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pendekatan instrumen lag spasial dengan beragam waktu dari lag spasial dari peubah tak bebas. Kondisi momen untuk menduga δ dalam pendekatan pertama adalah v eÕG r − f ∆ = 0, = 3, … , , = 2, … , − 1, D = 1, … , 4.9,
dengan l menunjukkan variasi pangkat WN dan L adalah lag spasial maksimum yang digunakan untuk menginstrumen peubah tak bebas. Pendekatan kedua adalah instrumen-instrumen yang melibatkan pengaruh spasial lag waktu dari peubah bebas ò ∆ . Dalam pendekatan ini, karena peubah ∆ tidak berkorelasi dengan ∆ô maka ò ∆ juga tidak bekorelasi dengan ∆ô . Oleh karena itu instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi δ adalah ò ∆ . Dengan demikian kondisi momen lain untuk menduga δ adalah (Cizek et al., 2011),
42
v5cò ∆ d ∆ô 8 = 0, = 3, … ,
4.10.
Kondisi momen untuk mengidentifikasi β :
v5∆ ∆ô 8 = 0, = 3, … , .
4.11.
Persamaan-persamaan kondisi momen (4.8)-(4.11) dapat dinyatakan sebagai 5, ∆8 = 0 (4.12)
dengan , = 5| − , ò | − , ò ∆ , ∆ 8 .
Dalam metode SYS-GMM, selain kondisi momen (4.12), terdapat tambahan kondisi momen Blundel Bond yang melibatkan beda pertama pada peubah tak bebas yN(t), = 3, … , ; = 2, … , − 1 4.13 v5∆| − ô 8 = 0, v eÕG ∆r − f = 0, = 3, . , ; = 1, . , − 1; D = 1, … , 4.14
v5cÕ ∆ d 8 = 0, v5∆ ô 8 = 0,
= 3, … , = 3, … ,
4.15 4.16
Kondisi-kondisi momen (4.13) sampai (4.16), dapat disederhanakan menjadi ô = 0, v ,
= ∆r − , ÕG ∆r − , Õ ∆ , ∆ . dengan ,
(4.17)
penyederhanaan, ambil |ö = |ö , … , |ö ′ , ö = Untuk ö , … , ö ′ | ö = ∆|ö , |ö dan ö = ∆ö , ö , ô ö = ∆ôö , ôö , ö = diagö, , ö, . Gabungan kondisi momen (4.11) dan (4.16) adalah ô 5| ö 8 = . 8 = v ö − v5
4.18
Karena banyaknya kondisi momen pada (4.18) lebih banyak daripada banyaknya parameter yang akan diduga, maka untuk menduga parameter digunakan matriks pembobot untuk meminimumkan kondisi momen (4.18). Dalam metode penduga SYS-GMM fungsi yang diminimisasi adalah
ö ö 5| ö 5| ö − ö 8 ö − ö 8 /. =
Melalui turunan pertama terhadap , ,
= , diperoleh :
ö = 5 ö ö ö ö ö 8 ö ö ö ö r , 0x
(4.19)
ö = diagö, , 0q ⊗ , , = ⨂[ ö ö ö = 5 ö /ö8 , dengan adalah N(T-2) x N(T-2) matriks pembobot yang didefinisikan sebagai 0x
43
2 jika = −1 jika = + 1 ( [ ≡ −1 jika = + 1 0 jika lainnya ⨂ menyatakan kronecker product (Jacob et al., 2009). (2) Tahap Kedua Tahap kedua dalam metode SYS-GMM adalah menduga parameter koefisien autokorelasi pada bagian bagian SEM (ρ). Hasil dugaan ini digunakan ö sehingga komponen acak (galat) dari ö dan untuk mentransformasi peubah | ö yang diperoleh dari (4.19), model yang dihasilkan saling bebas. Berdasarkan ³ lakukan transformasi = r − ² , t=2,3,…,T. Tahap selanjutnya adalah melakukan operasi beda pertama terhadap , sehingga diperoleh ∆z = S − üþ ∆ô , = 3, … , . Sekali lagi untuk menyederhanakan model, ambil ∆z = 5∆z 2, … , ∆z 8 dan ∆ô = 5∆ô 3, … , ∆ô 8, sehingga dalam notasi yang lebih sederhana diperoleh ∆z = 5S 0q − dengan ∆ô = S 0q ⊗þ ∆ô , üS 0q ⊗þ ∆ô atau ∆z = ∆ô − ü∆ô − ü∆ô , dengan ∆ô = S 0q ⊗ þ ∆ô , dimana ⊗ dan ∆z = ∆ô menyakatan kronecker product. Pendugaan parameter ü dan ¥q didasarkan pada kondisi momen sebagai berikut: 0qΔu Δu ± 2¥q ¬ p Δu̅ Δu̅ ° v ¬ 0q ° = 2¥q ¤ ⁄ . ¬ p ° 0 « 0qΔu̅ Δu ¯ p
ke dalam kondisi ketiga momen di Substitusi ∆z dan ∆z dengan ∆ô dan ∆ô atas maka akan diperoleh vcä − Γ ü, üq , ¥q d = 0,
X X X dengan ä = ;V!LZ ∆ ∆ , V!LZ ∆ ∆ , V!LZ ∆ ∆ = .
Δ ΔÂ − 0qΔÂ ΔÂ 0q q p ¬ ΔÂ Δ# − 0qΔ# " Δ# Γ" = ¬ 0q ¬ q p « 0qeΔÂ ΔÂ + Δ# Δ f − 0qΔ# ΔÂ q
p
(4.20) 2
±
q trM M °°.
0
° ¯
Nilai-nilai ∆ merupakan nilai dugaan yang diperoleh menggunakan persamaan . Pendugaan parameter ü dan ¥q dengan SYS-GMM ∆ = ∆r − ∆ diperoleh dengan meminimumkan fungsi non linier sebagai berikut (dalam kasus ini digunakan matriks pembobot identitas): 5ü , ¥, 8 = arg min%,Å& eä − Γ³ ü, üq , ¥q f eä − Γ³ ü, üq , ¥q f.
(4.21)
44
(3) Tahap Ketiga Tahap ketiga adalah mentransformasi | dan untuk menghasilkan model yang galatnya tidak berkorelasi secara cross-sectional, ' = S − üþ , sehingga diperoleh ã = S − üþ | dan | Δr( = Δ) ² + Δu , r( = ) ² + u .
(4.22)
(4.23)
Dengan cara yang sama sebagaimana pada sistem pendugaan di tahap pertama, ' = 5∆ ãö = ∆ô ' ö , ' ö 8 , ô ãö = ∆| ãö , | ãö , ã ö , ô ã ö dan dengan mengambil | ö ' = diag ' ' , , diperoleh ö
ö,
ö,
' ' ' ' = ; ' ' " =
' 'ö = ' dengan ö ö ö /ö . 0x
0p
' ã , ' ' ' " |
4.24
4.6 Data dan Metode Data yang digunakan untuk pembandingan merupakan hasil simulasi berdasarkan karakterisrik model panel spasial dinamis. Untuk membandingkan performa matriks pembobot spasial, digunakan kriteria akar kuadrat tengah sisa relatif (relative root mean squared error, RMSER). Penggunaan RMSER bertujuan untuk mengurangi pengaruh besaran variasi data yang diperoleh dari hasil bangkitan. Untuk menentukan RMSER, perhatikan model sisaan (4.4), gabungan difference equation dan level equation pada sisaan menghasilkan ∆u ∆¡ 0 ï ð = ï ð + ï ¹ ð , = 3,4, . . , . (4.25) u ¡
Berdasarkan (4.25) diperoleh ̂ = 5 ′ 8 u , = D ⊗ S dan D adalah vektor satu berdimensi (T-2). Berdasarkan hasil dugaan ̂ dan ²³ maka diperoleh dugaan bagi bagi r , dan akhirnya akan diperoleh sisaan. Penduga SYS-GMM menggunakan gabungan difference equation dan level equation sehingga vektor peubah tak bebas berdimensi 2N(T-2). Untuk menentukan RMSER, misalkan r dan r berturut-turut adalah vektor peubah tak bebas dan vektor penduganya, dan r rata-rata r , 0p
RMSE. = /q 0q ï p
V ′ 0 V V 00 V 00 0 ð ï ð. Â Â 0 0 V
V
(4.26)
Berdasarkan kriteria RMSER pada (4.26) maka performa matriks pembobot spasial terbaik dapat dipilih menurut RMSER paling minimum. Sebagai gambaran alur metode penelitian dalam pemilihan matriks pembobot spasial, berikut disajikan bagan alir metode penelitian pemilihan performa matriks pembobot (Gambar 4.1).
45
mulai
Buat program AMOEBA
Buat matriks WC
Tetapkan parameter λ, δ, β dan ρ
Bangkitkan X
U l a n g i
Bangkitkan Y
S
Duga parameter menggunakan WG
Duga parameter menggunakan WGnew
Hitung RMSRR(WG)
Hitung RMSER(WGnew)
Hitung RMSER(WC)
Hitung rata-rata RMSER(WG)
Hitung rata-rata RMSER(WGnew)
Hitung rata-rata RMSER(WC)
Duga parameter menggunakan WC
Pilih W dengan rata-rata RMSER minimum Gambar 4.1 Bagan alir metode penentuan performa matriks pembobot terbaik
k a l i
46
Proses pembangkitan data dirancang sebagai berikut : (1) Tentukan matriks konstiguitas W={wij} (2) Tetapkan parameter/koefisien autokorelasi λ=0.3, δ=0.3 dan 0.5, β=1 dan ρ∈{-0.3, -0.1,0.1,0.3}. (3) Tentukan peubah bebas X = 1 + 2, 1 menyebar seragam (8,15) dan 2 menyebar seragam (-5,5) (4) Bangkitkan yang menyebar seragam (-5,5) (5) Bangkitkan 3 menyebar normal (dan eksponensial) bebas identik dengan nilai tengah nol dan ragam 1. (6) Bangkitkan r berdasarkan persamaan : r = S − ÇÕ 0p ýr − 1 + s + S − üÕ 0p 5 + 3 8
Setelah memperoleh r , hitung rata-rata untuk setiap i, i=1,…,N dan konstruksi W-AMOEBA menggunakan statistik Getis lokal dan Getis lokal termodifikasi (Gnew). (7) Duga parameter-parameter Ç, ý, s, ü menggunakan metode SYS-GMM dari model yang menggunakan WG, WGnew dan WC, dan tentukan kuadrat tengah sisaan (8) Ulangi Tahap (1) sampai (7) sebanyak S kali (9) Hitung RMSER dari model untuk ketiga jenis matriks pembobot spasial, WG, WGnew dan WC dan bandingkan hasilnya.
4.7 Hasil dan Pembahasan Konsentrasi pada penelitian ini adalah membandingkan performa matriks pembobot spasial yang dikonstruksi melalui prosedur AMOEBA, sehingga dalam pembangkitan data simulasi digunakan parameter λ dan β tertentu, yang dispesifikasi λ=0.3, 0.5 dan β=1. Asumsi kestabilan model panel spasial dinamis maka harus dikondisikan |λ|+δ<1. Nilai-nilai λ dan δ yang diambil positif untuk memperoleh nilai peubah tak bebas (y) positif agar statistik Getis lokal terdefinisi. Berdasarkan beberapa alas an ini maka koefisien lag spasial pada bagian SLM (δ) dan koefisien lag spasial pada bagian SEM (ρ) diambil beberapa nilai, yaitu , δ=0.3 dan 0.5 serta ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3. Data simulasi dibangkitkan berdasarkan model yang mengacu pada Cizek et al. (2011) dengan menggunakan matriks kontiguitas (contiguity) sebagai dasar pembangkitan data pada SLM (W) dan SEM (M). Dalam kasus ini dicoba untuk 3 yang meyebar normal, saling bebas dan identik dengan nilai tengah nol dan ragam satu. Dalam pembangkitan data deret waktu, untuk menghilangkan pengaruh nilai awal ketika membangkitkan data deret waktu, maka untuk deret waktu sebelum 100-T diabaikan (Hsiao, 2003). Peubah yang menjadi perhatian dalam mengkonstruksi matriks pembobot
spasial AMOEBA adalah rata-rata r = 4WX H4 , = 1,2, … , . Karena r bergantung pada variasi yit dicoba menggunakan T=3, T=5 dan T=7. Pembandingan performa matriks pembobot AMOEBA dengan matriks kontiguitas pada model, menggunakan kriteria akar rata-rata kuadrat tengah sisa relatif (RMSER). ∑!
0
47
Idealnya simulasi ditentukan sampai tidak ada lagi perubahan RMSER pada simulasi berikutnya, sehingga umumnya jumlah simulasi diseting sangat besar. Karena dalam perancangan matriks pembobot spasial AMOEBA untuk kasus ini dipengaruhi oleh banyaknya unit spasial N, hal ini tentunya akan memakan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu banyaknya simulasi didasarkan pada plot antara RMSER dengan jumlah simulasi. Sebagai ilustrasi, dalam merancang matriks pembobot AMOEBA untuk menentukan apakah sebuah unit spasial termasuk include atau exclude, dibutuhkan evaluasi sebanyak −1 −1 −1 = ∑0p − = 20p − 1. 5 0 Oleh karena itu waktu yang dibutuhkan untuk satu kali simulasi bergantung pada banyaknya unit spasial (N). Jumlah simulasi (B) yang dicoba dalam kasus ini adalah 30, 40, 50 dan 60. Sedangkan parameter-parameter koefisien lag waktu, koefisien autokorelasi spasial pada SLM dan koefisien autokorelasi SEM untuk membangkitkan data adalah λ=0.3, δ =0.3, β =1, dan ρ =0.3. Plot RMSER dan banyaknya simulasi (B) 30, 40, 50 dan 60 untuk T=3 disajikan pada Gambar 4.2. Mengacu pada Gambar 4.2, terlihat perubahan akar kuadrat tengah sisa relatif (RMSER) setelah simulasi ke-40 relatif stabil dan ini menunjukkan bahwa dalam kasus parameter yang dicobakan, cukup menggunakan simulasi sebanyak 40. Namun dalam simulasi ini mengambil batas simulasi 50, hal ini untuk mengurangi perubahan untuk kasus variasi parameter-parameter selainnya dan untuk T=5 dan T=7. ∑0p p
0.2500 WC
0.2000
WG
RMSER
WGnew
0.1500 0.1000 0.0500 0.0000 B30
B40
B50
B60
Jumlah simulasi Gambar 4.2 Plot jumlah simulasi dan RMSER untuk WC, WG dan WGnew Dengan menggunakan jumlah simulasi 50 (B=50) diperoleh RMSER untuk variasi parameter-parameter λ, δ dan ρ pada T=3,5 dan 7 (Tabel 4.1). Berdasarkan Tabel 4.1, dapat dilihat bahwa pada kasus T=3, RMSER dari model yang menggunakan matriks pembobot AMOEBA dengan statistik Getis lokal (WG) paling besar dibandingkan dengan matriks contiguity (WC) dan matrik AMOEBA dengan statistik Getis termodifikasi (WGnew).
48
Tabel 4.1 Pembandingan RMSER dari model dengan WC, WG dan WGnew λ 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5
δ 0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5 0.3 0.3 0.3 0.3
ρ -0.3 -0.1 0.1 0.3 -0.3 -0.1 0.1 0.3 -0.3 -0.1 0.1 0.3
WC 0.1853 0.1895 0.1948 0.2004 0.0927 0.0955 0.0975 0.1002 0.0875 0.0899 0.0920 0.0944
WG 0.2288 0.2141 0.2246 0.2312 0.1390 0.1401 0.1392 0.1383 0.1170 0.1203 0.1254 0.1171
Wgnew 0.1636 0.2262 0.1744 0.1837 0.1137 0.0819 0.0849 0.0918 0.0764 0.0791 0.0853 0.0913
T=5
0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5
0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5 0.3 0.3 0.3 0.3
-0.3 -0.1 0.1 0.3 -0.3 -0.1 0.1 0.3 -0.3 -0.1 0.1 0.3
0.1319 0.1463 0.1617 0.1791 0.0674 0.0746 0.0827 0.0915 0.0621 0.0688 0.0762 0.0843
0.1138 0.1455 0.1667 0.1764 0.0904 0.0939 0.0983 0.0722 0.0690 0.0752 0.0833 0.0896
0.1231 0.1311 0.1623 0.1587 0.0537 0.0598 0.0670 0.0749 0.0513 0.0575 0.0635 0.0692
T=7
0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5
0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5 0.5 0.3 0.3 0.3 0.3
-0.3 -0.1 0.1 0.3 -0.3 -0.1 0.1 0.3 -0.3 -0.1 0.1 0.3
0.1555 0.1711 0.1919 0.2147 0.0781 0.0870 0.0969 0.1085 0.0784 0.0869 0.0969 0.1081
0.1676 0.1656 0.1880 0.2043 0.0741 0.1109 0.1160 0.1245 0.0723 0.0798 0.0880 0.0997
0.1264 0.1675 0.1538 0.1719 0.0746 0.0572 0.0715 0.0790 0.0539 0.0605 0.0717 0.1019
T=3
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa model dengan matriks pembobot WGnew secara umum memberikan RMSER yang lebih kecil baik dibandingkan dengan RMSER model WC maupun WG. Sebagai ilustrasi, dari dua belas
49
kombinasi parameter yang dicoba, hanya dua RMSER model dengan WGnew lebih besar dibandingkan model dengan WC. Pada kasus T=5 terdapat sedikit perubahan dimana terdapat beberapa RMSER dari model dengan WG yang sedikit lebih baik dibandingkan dengan WC dan WGnew akan tetapi dari keseluruhan hasil yang diperoleh WGnew masih memberikan performa terbaik. Pada kasus T=7 tidak terlihat adanya perubahan, yakni secara keseluruhan WGnew memberikan performa terbaik dengan nilai RMSER yang paling minimum. Temuan lain dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa untuk λ =0.5 dan δ=0.3 atau λ =0.3 dan δ=0.5 menghasilkan RMSER yang cenderung lebih kecil dibandingkan ketika kedua parameter tersebut kecil (λ=δ=0.3) baik untuk T=3, 5 maupun T=7. Hal ini diduga sebagai dampak dari proses pembangkitan data dimana variasi peubah bebas X dan pengaruh unit spesifik tetap (η) yang tinggi, sehingga variasi ini dapat ditangkap oleh kedua parameter tersebut (λ dan δ). Namun demikian kajian dan perhatian lebih lanjut difokuskan pada bagaimana perubahan koefisien lag spasial (δ) terhadap RMSER untuk λ dan ρ yang tetap. Hal ini sesuai dengan fokus kajian yakni pembandingan performa matriks pembobot spasial dimana δ merupakan koefisien lag spasial pada model. Berdasarkan koefisien lag spasial (δ), sebagaimana yang tersaji pada Tabel 4.1 terdapat kecenderungan dimana RMSER model dengan matriks pembobot WC, WG, dan WGnew cenderung lebih kecil seiring dengan meningkatnya δ. Namun demikian untuk melihat trend keterkaitan atau pengaruh perubahan δ terhadap spasial, maka dicoba dengan RMSER dari ketiga performa matriks pembobot spasial, simulasi pada λ=0.3, β=1, ρ=0.3, untuk variasi δ= 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5 dan 0.6. Gambar 4.3 menyajikan diagram batang RMSER pada variasi koefisien lag spasial, δ= 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5 dan 0.6 untuk pada T=7. 0.3500
WC
0.3000
WG
RMSER
0.2500
WGnew
0.2000 0.1500 0.1000 0.0500 0.0000 0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
δ) Koefisien lag spasial (δ
Gambar 4.3 Diagram batang RMSER untuk variasi δ pada T=7
Berdasarkan Gambar 4.3 terdapat kecenderungan penurunan RMSER baik dari model dengan WC, WG maupun WGnew seiring dengan meningkatnya nilai
50
δ. Namun demikian performa matriks WC cenderung lebih baik dibandingkan matriks WG ketika δ ≥ 0.4, sedangkan pada δ < 0.4 performa matriks WG lebih baik dibandingkan performa matriks WC. Berdasarkan Gambar 4.3 performa matriks WGnew menunjukkan hasil yang konsisten dan paling baik diantara matriks WC dan WG, dimana model dengan WGnew memberikan RMSER yang paling kecil untuk berbagai variasi δ yang dicoba. 4.8 Simpulan Berdasarkan pada proses pembangkitan data dengan spesifikasi parameter λ=0.3 dan 0.5, δ=0.3 dan 0.5, β=1, ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3 serta untuk T=3, 5 dan 7, dan matriks kontiguitas (WC) sebagai acuan dalam pembangkitan data, matriks pembobot AMOEBA dengan statistik Getis termodifikasi (WGnew) memberikan performa terbaik. Pada berbagai parameter dan T yang dicoba, nilainilai RMSER dari model dengan WGnew memberikan hasil paling minimum. Pengaruh perubahan koefisien lag spasial (δ) terhadap RMSER pada koefisien lag waktu (λ) dan koefisien lag spasial sisaan (ρ) sama dengan 0.3, terdapat kecenderungan penurunan nilai RMSER seiring dengan peningkatan δ. Dari sisi performa WG dan WC, untuk koefisien lag spasial yang kurang dari 0.4 (δ <0.4) performa WG lebih baik daripada performa WC sedangkan untuk koefisien lag spasial minimal 0.4 (δ ≥0.4) performa WC lebih baik daripada performa WG. Namun demikian hasil perbandingan secara keseluruhan untuk koefisien lag spasial 0.1 sampai 0.6 (δ =0.1,..., 0.6), WGnew memberikan performa terbaik dimana RMSER dari model dengan WGnew paling minimum. Dalam konstruksi matriks pembobot menggunakan prosedur AMOEBA terdapat beberapa baris yang mempunyai elemen nol untuk semua kolom sehingga perlu dipertimbangkan pemisahan unit-unit spasial baris yang mempunyai elemen nol semua dengan yang tidak nol semua melalui fungsi indikator pada model.
51
5 PEMODELAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI PROVINSI JAWA TENGAH 5.1 Pendahuluan Masalah kemiskinan merupakan salah satu permasalahan mendasar yang menjadi pusat perhatian baik di pemerintahan pusat ataupun daerah. Berbagai upaya kerap dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun daerah dalam membantu penduduk miskin, diantaranya: Bantuan Langsung Tunai (BLT), beras untuk keluarga miskin (RASKIN), jaminan kesehatan masyarakat dan lain-lain. Beberapa bantuan tersebut merupakan sebuah penyelesaian sementara, yang dapat membantu memecahkan masalah kemiskinan. Akan tetapi untuk dapat mengurangi jumlah penduduk miskin, perlu adanya pengkajian lebih mendalam akar permasalahan kemiskinan di wilayah yang bersangkutan. Oleh karena itu perlu dikaji secara lebih seksama faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin sehingga dampak-dampak negatif yang muncul dari kemiskinan itu dapat diminimalisir. Jumlah penduduk miskin bulan Maret 2013 di Indonesia mencapai 28.07 juta orang. Sementara itu pada bulan Maret 2013, pulau Jawa merupakan pulau dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia, namun secara persentase pulau Jawa menempati kedua terkecil setelah Pulau Kalimantan (Berita Resmi Statistik, Juli 2013). Oleh karena itu terdapat kaitan yang sangat erat antara jumlah penduduk miskin dan populasi penduduk di suatu wilayah. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa dengan jumlah penduduk miskin yang berada di peringkat kedua terbesar di Indonesia setelah Provinsi Jawa Timur (BPS, 2012 diolah). Namun dari sisi persentase penduduk miskinnya, Provinsi Jawa Tengah menempati urutan ke-12 terbesar di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, populasi penduduk mempunyai hubungan positif dengan jumlah penduduk miskin. Hal ini berarti meningkatnya populasi penduduk berdampak pada meningkatnya jumlah penduduk miskin (Siregar dan Wahyuniarti, 2008). Pertumbuhan ekonomi suatu daerah, dapat pula mempengaruhi jumlah penduduk miskin yang ada di daerah bersangkutan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi suatu daerah berkaitan erat dengan perkembangan lapangan usaha yang tersedia di daerah tersebut yang dapat menampung penduduk usia produktif untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Salah satu indikator yang sering digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari sisi produksi terdapat sembilan lapangan usaha sebagai penyumbang PDRB. Diantara sembilan sektor lapangan usaha tersebut terdapat empat sektor lapangan usaha yang dominan di Provinsi Jawa Tengah. Keempat sektor lapangan usaha itu adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan dan sektor jasa (BPS Jawa Tengah, 2011). Keempat sektor ini memiliki peranan penting dalam menyerap tenaga kerja di wilayah Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu banyaknya tenaga kerja yang terserap pada keempat sektor dominan ini (share tenaga kerja) menjadi perhatian dalam melihat pengaruhnya terhadap jumlah penduduk miskin. Selain share tenaga kerja pada empat sektor dominan, perlu juga dikaji pengaruh populasi penduduk, kualitas sumberdaya manusia serta PDRB perkapita terhadap jumlah penduduk miskin. Berdasarkan data dari BPS diketahui bahwa
52
posisi suatu daerah tidak sama jika dilihat dari jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskinnya. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh populasi penduduk terhadap tingkat kemiskinan di suatu daerah. Kualitas sumberdaya manusia juga berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin, karena pada masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki kesempatan lebih tinggi untuk memperoleh pekerjaan yang lebih layak. Jumlah penduduk miskin juga sangat dipengaruhi oleh pendapatan perkapita penduduknya. PDRB perkapita di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sangat berpengaruh dalam penentuan garis kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu setiap daerah di Provinsi Jawa Tengah senantiasa berusaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita penduduknya agar dapat berada di atas garis kemiskinan. Jika pendapatan perkapita penduduknya semakin meningkat diharapkan dapat mengurangi jumlah penduduk miskin di daerah yang bersangkutan. Pada penelitian ini, selain share tenaga kerja empat sektor dominan, populasi penduduk, PDRB perkapita dan pendidikan, dikaji pula interaksi spasial antar wilayah yang saling berdekatan. Interaksi spasial ini diperlukan untuk melihat bagaimana pengaruh tetangga antar kabupaten/kota terhadap jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota tertentu. Dampak adanya faktor interaksi spasial dalam model adalah munculnya endogeneitas, sehingga penduga parameter yang relevan digunakan dalam penelitian ini adalah metode SYSGMM. Berdasarkan latar belakang di atas, konsentrasi penelitian ini adalah mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin dan faktor interaksi spasial kabupaten/kota yang bertetangga dengan melibatkan jenis matriks pembobot spasial yang berbeda dalam model. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan performa matriks pembobot terbaik yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin dan interaksi spasial di Provinsi Jawa Tengah serta dapat merumuskan implikasi kebijakan dari hasil analisis yang diperoleh. 5.2 Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Jawa Tengah Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di pulau Jawa yang diapit oleh dua provinsi besar yaitu Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur. Letak Provinsi Jawa Tengah antara 5o40’ dan 8o30’ Lintang Selatan dan antara 108o30’ dan 111o30’ Bujur Timur. Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 29 kabupaten dan 6 kota. Luas wilayah pada tahun 2010 adalah sebesar 3.25 juta hektar atau 25.04 persen dari luas Pulau Jawa atau 1.7 persen dari luas Indonesia. Wilayah provinsi Jawa Tengah terdiri dari luas sawah sebesar 992 ribu hektar dan luas bukan lahan sawah sebesar 2.26 juta hektar (BPS Jawa Tengah, 2012). Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 adalah 32.64 juta orang dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang hampir merata yaitu jumlah laki-laki sebanyak 16.27 juta orang dan jumlah perempuan 16.37 juta orang. Kepadatan penduduknya mencapai 1003 orang per km2. Pada tahun 2011 jumlah rumah tangga di Provinsi Jawa Tengah adalah 8.9 juta rumah tangga dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 3.7 (BPS Jawa Tengah, 2012). Secara proporsional jumlah penduduk terbesar adalah penduduk usia produktif atau kelompok umur angkatan kerja (15-64 tahun) yaitu sebanyak 21.99 juta
53
orang. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa kebutuhan lapangan usaha di wilayah ini cukup tinggi untuk menampung penduduk yang masih produktif untuk bekerja. Dilihat dari jenis pekerjaan penduduk, jumlah pekerja pada lapangan usaha di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan dan perikanan menempati proporsi tertinggi dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain, yaitu sebesar 5.38 juta orang. Namun demikian dari tahun ke tahun jumlah tenaga kerja di sektor pertanian mengalami penurunan seiring dengan perkembangan di sektor lainya seperti sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan. Ditinjau dari sisi pendidikan tertinggi yang berhasil ditamatkan oleh penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja adalah sebagai berikut: jumlah penduduk yang tamat SD sebesar 9.136 juta orang, tamat SMP 3.048 juta orang dan tamat SMA ke atas sebanyak 3.732 juta orang (BPS Jawa Tengah, 2012). Dari data tersebut diketahui bahwa pendidikan penduduk di Provinsi Jawa Tengah perlu ditingkatkan guna meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang dapat diserap oleh berbagai lapangan usaha yang tersedia di Provinsi Jawa Tengah. 5.3 Kemiskinan dan PDRB Provinsi Jawa Tengah Konsep kemiskinan yang digunakan oleh BPS, diukur dengan menggunakan konsep kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Oleh karena itu penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan (BPS Jawa Tengah, 2012). Garis kemiskinan merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan (BPS Jawa Tengah, 2012). Pengentasan kemiskinan merupakan salah satu persoalan yang menjadi fokus utama dalam pembangunan di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2011, Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi dengan jumlah penduduk miskin kedua terbesar di Indonesia yaitu 5.1 juta penduduk. Akan tetapi jika ditinjau dari sisi persentase penduduk miskin, Provinsi Jawa Tengah menempati urutan ke-12 terbesar di Indonesia yaitu sebesar 15.76 % dari total jumlah penduduk di Provinsi Jawa Tengah (BPS, 2012). Untuk mengurangi jumlah penduduk miskin (kemiskinan) perlu upaya-upaya tertentu sehinga laju pertumbuhan ekonomi meningkat dimana salah satu indikator yang sering digunakan untuk melihat laju pertumbuhan ekonomi tersebut adalah PDRB. PDRB merupakan penjumlahan seluruh nilai tambah bruto (NTB) dari berbagai aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa di suatu wilayah dalam periode tertentu, tanpa memperhatikan kepemilikan atas faktor produksi. Di dalam beragam buku pendapatan nasional, sering disebutkan bahwa besaran PDRB dapat dihitung melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran. PDRB yang digunakan dalam makalah mengacu pada pendekatan produksi. Dalam pendekatan produksi, PDRB merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir atau nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh suatu unit ekonomi/unit usaha di suatu wilayah dalam jangka
54
waktu tertentu, biasanya dalam satu tahun. Melalui pendekatan produksi, PDRB terbagi menjadi sembilan sektor, yaitu (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan Penggalian, (3) Industri Pengolahan, (4) Listrik, Gas dan Air Bersih, (5) Konstruksi/Bangunan, (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran, (7) Pengangkutan dan Komunikasi, (8) Jasa Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan, dan (9) Jasa-jasa. Sektor pertanian dan pertambangan termasuk ke dalam kelompok sektor primer, sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih serta bangunan termasuk kelompok sekunder sedangkan sisanya, yakni perdagangan, pengangkutan, jasa keuangan dan jasa-jasa termasuk ke dalam kelompok tersier. PDRB setiap wilayah disajikan dalam dua bentuk yaitu atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan pada suatu tahun dasar. Dalam penyajian berdasarkan harga berlaku, semua agregat pendapatan dinilai atas dasar harga yang berlaku pada masing-masing tahun, baik pada saat menilai produksi dan biaya antara maupun pada penilaian komponen nilai tambah dan komponen pengeluaran produk domestik regional bruto. Sedangkan dalam penyajian atas dasar harga konstan, semua agregat pendapatan dinilai atas dasar harga yang terjadi pada tahun dasar (dalam publikasi ini harga konstan didasarkan kepada harga-harga pada tahun 2000). Karena menggunakan harga konstan (tetap), maka perkembangan agregat dari tahun ke tahun semata-mata disebabkan oleh perkembangan riil kuantum produksi bukan lagi karena faktor fluktuasi harga (inflasi/deflasi). Penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor, terutama sektor-sektor unggulan atau dominan, diharapkan dapat mengurangi jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan data dari BPS Jawa Tengah (2011) terdapat empat sektor lapangan usaha yang cukup dominan dalam memberikan kontribusi terhadap laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah, yakni sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan dan sektor jasa. Sektor pertanian termasuk ke dalam kelompok sektor primer, sektor industri pengolahan termasuk kelompok sekunder dan sektor perdagangan dan jasa termasuk kelompok tersier. Dari ketiga kelompok sektor ini, kelompok sektor sekunder dan tersier berkontribusi relatif lebih besar dibandingkan kelompok sektor primer (BPS Jawa Tengah, 2011). 5.4 Spesifikasi Model dan Uji Hipotesis Parameter Model Dalam lingkup nasional, Siregar dan Wahyuni (2008) memodelkan hubungan antara jumlah penduduk miskin dengan populasi penduduk, share pertanian, share industri, tingkat pendidikan (SMP dan SMA), tingkat inflasi dan PDRB. Dalam penelitian ini pemodelan hubungan antara jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dikembangkan, yaitu dengan melibatkan pengaruh interaksi spasial dimana pada komponen ruas kanan model dilibatkan pengaruh spasial (WY). Spesifikasi model yang digunakan untuk memodelkan keterkaitan antara jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya melalui model SLM-SEM dengan fokus utama pada bagaimana pengaruh populasi penduduk, tenaga kerja lulusan setara SMP, share tenaga kerja empat sektor dominan, PDRB perkapita, dan pengaruh spasial terhadap jumlah penduduk miskin. Model yang digunakan mengacu pada model Cizek et al. (2011),
55
bSÌS = ýbSÌS,0p + ÇÕ bSÌS + sp b6bèÌS + sq Ìb + s Ì7S + sª Ì7S + s8 Ì7b[ + s9 Ì7Ì + s: bâ;b + = ü + u , dan u = + 3 , = 1,2, … ,35, = 1,2, . . ,5 , (5.1)
Matriks pembobot spasial pada bagian SLM yang dikaji adalah WC, WG dan WGnew. Beberapa kasus khusus dari model (4.3) dan (4.4) antara lain ketika ρ=0, maka model pada persamaan (5.1) merupakan model panel spasial dinamis SLM, untuk kasus ρ=λ=0, model (5.1) merupakan model panel spasial statis dengan spesifikasi SLM, sedangkan ketika ρ=λ=δ=0, model (5.1) merupakan model regresi klasik. Dalam kajian penelitian ini konsentrasi utamanya adalah bagaimana keterkaitan antara faktor-faktor yang yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin dan bagaimana performa ketiga jenis matriks pembobot spasial dalam model. Untuk melakukan uji hipotesis terhadap parameter model, untuk penyederhanaan notasi, misalkan, c bSÌS,0p , Õ bSÌS , b6bèÌS
Ìb , Ì7S , Ì7S , Ì7b[ , Ì7Ì , bâ;b d = , PDKMISKINit = | , = cý, Ç, sp , sq , s , sª , s8 , s9 , s: d dan ô adalah vektor
| = + ô .
galat
sehingga model (5.1) dapat dinyatakan sebagai
(5.2)
Berdasarkan metode penduga SYS-GMM tahap 1 (GMM1) diperoleh penduga bagi adalah (4.19). 0x ö = 5 ′ö ö ö ′ö ö 8 ′ö ö ö ′ö r ,
Misalkan adalah parameter yang sebenarnya, sehingga dalam hal ini akan dilakukan uji hipotesis 75 : = vs 75 : ≠ . Berdasarkan (5.2) ö = 5 ö ö ö ö 5 ö ö ö 8 ö ö ö + ô 8 0x ö = + 5 ö ö ö ö ô ö ö ö 8 ö ö 0x ö − 8 = 5 ö ö ö ö 8 ö ö ö ö ô ö 5 0x
Aö ö 0x Aö ö
ö − 8 = ö ö ö √ö5 ö A
ö
ö
ö ö ôV A
√ö
(5.3)
ô = S − ρM0p z = ;z , dengan ; = S − ρM0p . Menurut Cizek et al. (2011) apabila sisaan v bersifat acak saling bebas dan mempunyai ragam berhingga (finite variance), serta pengaruh tetap (η) mempunyai momen keempat yang berhingga (finite fourth moment) maka ö − 8 → ö , 5 B ′ 8 B √ö5
dengan
′ö ö ö
0x
5 B ′ C ′8 ′ 8 5B ′ B B B
C dan , ö0x ′ö DE ö → B ö → . → B
Pada kasus ρ=0, ô = z , dengan z = õ + F , B=I, sehingga ö − 8 ~ö , 5 B ′ 8 B √ö5
0x
0x
′ C 8 5 B ′ 8 5B ′ B B B 0x
(5.4)
(5.5)
56
5.5 Kestasioneran Model Panel Spasial Dinamis Perhatikan model panel spasial dinamis (4.3), dan asumsikan bahwa matriks S − ÇÕ tak singular, sehingga (4.3) dapat dituliskan kembali sebagai r = S − ÇÕ 0p ýr − 1 + ö } + .
Pada kasus model panel dinamis non spasial (Ç = 0) model (5.6) stabil atau stasioner apabila |ý| < 1. Dalam model panel spasial dinamis, kestabilan model (5.6) tidak hanya ditentukan oleh ý, |ý| < 1, tetapi ditentukan oleh akar-akar ciri (characteristic roots) dari matriks ýS − ÇÕ 0p harus berada dalam lingkaran satuan (lingkaran berjari-jari satu). Misalkan û adalah akar ciri matriks Õ . Jika Õ matriks simetris maka terdapat matriks b sedemikian sehingga b′ Õ b = Λ, sedangkan apabila Õ matriks tak simetris maka b′ Õ b = T, dengan Λ dan T berturut-turut adalah matriks diagonal dan matriks segitiga atas dengan diagonal utama akar-akar ciri dari matriks Õ (Harville, 1997). Determinan dari matriks diagonal dan matriks segitiga atas adalah perkalian dari elemen diagonal utamanya. Sebagai ilustrasi untuk kasus matriks Õ simetris, maka b′ Õ b = Λ Çb′ Õ b = ÇΛ b′ b − b′ ÇÕ b = b′ b − ÇΛ b′ cS − ÇÕ db = S − ÇΛ cS − ÇÕ d0p = S − ÇΛ0p, karena PP’ = P’P=I detcS − ÇÕ
d0p
= |cS − ÇÕ
d0p |
=I p
(5.6)
1 . 1 − Çû
Misalkan ûY¹ dan ûY_R berturut-turut akar ciri minimum dan akar ciri maksimum dari matriks Õ , maka detýS − ÇÕ 0p = |ýS − ÇÕ 0p | = |ý||S − ÇÕ 0p | < 1. Dengan mengambil akar-akar ciri minimum dan akar ciri p maksimum ûY¹ dan ûY_R , sedemikian sehingga |ý| < 1 dan |ý|
p
p0Ë÷øùJú
< 1 maka kondisi |ý||S − ÇÕ
0p |
p0Ë÷øHÄ
< 1 terpenuhi.
Dengan
demikian maka kondisi kestabilan model (5.11) terpenuhi apabila |ý| p0Ë÷ 1 dan |ý| p0Ë÷
p
p
øHÄ
<
< 1 atau dapat disederhanakan menjadi |ý| < 1 −
ÇûY¹ ⟺ |ý| + ÇûY_R < 1 (apabila Ç < 0) dan |ý| < 1 − ÇûY_R ⟺ |ý| + ÇûY_R < 1( apabila Ç ≥ 0 (Cizek, 2011). øùJú
5.6 Analisis Komponen Utama Banyaknya peubah bebas dalam model dapat meningkatkan akurasi hasil pendugaan, namun terkadang muncul permasalahan lain yaitu terjadinya multikolinieritas antar peubah bebas. Salah satu di antara beberapa pemecahan terhadap masalah multikolinieritas adalah dengan mentransformasi peubah bebas X ke peubah baru yang saling bebas melalui analisis komponen utama (Principal Component Analysis). Analisis komponen utama (Principal Component Analysis, PCA) merupakan salah satu teknik analisis peubah ganda (multivariate analysis) yang dapat digunakan untuk mereduksi p peubah yang saling berkorelasi ke k peubah
57
baru yang tidak saling berkorelasi yang disebut komponen utama, dimana k ≤ p (Morrison, 1990). Misalkan X1,…,Xp peubah bebas dan Σ adalah matriks peragam (covariance matrix) berukuran p x p dari peubah X1,..,Xp. Akar ciri dan vektor ciri dari matriks Σ ditentukan dengan menyelesaikan persamaan ciri, yaitu .KD −
ýL = |D − ýL| = 0,
dengan λ adalah akar ciri dan I matriks identitas (Harville, 1997; Seber, 2007). dengan akar ciri (eigen value) λj, j=1,..,p dan vektor ciri (eigen vector) aj ,j=1,..,p. Misalkan dari p peubah asal ditransformasi ke k komponen utama (k ≤ p) dan A adalah sebuah matriks berukuran p x p yang kolom-kolomnya, bersesuaian dengan vektor ciri aj, = e£p , . . , £ , . . , £ f maka k komponen utama pertama (PC), dinyatakan dengan bM = .
Dalam pemodelan, matriks PC merupakan matriks yang dijadikan sebagai peubah bebas dalam model. Tanpa menghilangkan generalisasi, sebagai ilustrasi, diambil model panel statis, yakni untuk kasus ý = 0 dan ü = 0. | = ÇòÚ | + } + D ⊗S" η + ε
(5.7)
| = NOP Q + RST∗ + UV ⊗LW η η + ε.
5.8
Q = NOP Q + XYT∗ + UV ⊗LW η η + ε.
5.9
dengan Wp=IT⊗W, dan lT adalah vektor satu berukuran T, IT dan IN berturut-turut adalah matriks identitas berukuran T x T dan N x N, | = rpp , … , r , … , r , η = ηp , … , η , … , η dan ε = εpp , … , ε , … , ε . Dengan menggunakan bM sebagai peubah bebas, maka modelnya adalah : Untuk mengembalikan ke model awal (menggunakan pubah bebas X) dapat lakukan substitusi bM = ke (5.8) sehinnga diperoleh
Z∗ adalah penduga bagi s ∗ Berdasarkan (5.7) dan (5.9) diperoleh s = s ∗ . Jika s Z∗ dan ¢£¤5s 8 = ;′ Z∗ ), maka penduga bagi s adalah s = s dan ; = ¢£¤s (Rencher dan Schaalje, 2007). 5.7 Data dan Metode Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) pusat dan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah dengan ruang lingkup penelitian adalah Provinsi Jawa Tengah. Peubah-peubah penelitian yang digunakan meliputi jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin, populasi penduduk, jumlah tenaga kerja yang lulus SMP, PDRB perkapita dan share tenaga kerja empat sektor dominan. Keempat sektor dominan tersebut adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor perdagangan dan sektor jasa. Share tenaga kerja dihitung berdasarkan persentase rasio jumlah tenaga kerja di sektor tertentu terhadap jumlah tenaga kerja total dikalikan seratus persen. Sedangkan PDRB perkapita dihitung berdasarkan rasio antara PDRB terhadap jumlah penduduk pada tahun tersebut, dengan menggunakan PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2000. Peubah-peubah penelitian, keterangan dan satuan disajikan pada Tabel 5.1.
58
Tabel 5.1 Peubah–peubah penelitian, keterangan dan satuan Peubah Keterangan PDKMISKINit Jumlah penduduk miskin, kabupaten / kota i tahun t POPULASIit Populasi penduduk kabupaten/kota i tahun t SMPit Jumlah lulusan SMP yang bekerja kabupaten/kota i tahun t SHTKTANIit Share tenaga kerja sektor pertanian kabupaten/kota i tahun t SHTKINDit Share tenaga kerja sektor industri pengolahan kabupaten/kota i tahun t SHTKPDGit Share tenaga kerja sektor perdagangan kabupaten/kota i tahun t SHTKJASAit Share tenaga kerja sektor jasa kabupaten/kota i tahun t PDRBKAPit PDRB perkapita kabupaten/kota i tahun t
satuan Ribu orang Ribu orang Ribu orang % % % % Ribu rupiah
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data untuk tahun 2007 sampai 2011 yang bersumber dari BPS Jawa Tengah tahun 2008 sampai 2012, atau t=2007, 2008, 2009, 2010 dan 2011. Adapun komponen data cross-section tersebut yaitu 35 kabupaten / kota, atau i=1,2,..., 35. Metode analisis yang digunakan terdiri dari metode eksplorasi dan pemodelan. Analisis eksplorasi ditujukan untuk mengetahui pola persebaran jumlah dan persentase penduduk miskin terutama melalui pemetaan. Pemodelan digunakan untuk menghubungkan pengaruh faktor-faktor peubah bebas (termasuk pengaruh lag spasial) terhadap jumlah penduduk miskin menggunakan model panel spasial pengaruh tetap (fixed effect) yang mengacu pada model Cizek et al. (2011). Sebagai tambahan, dalam hal ini dilakukan analisis pemodelan tanpa melibatkan pengaruh spasial menggunakan perangkat lunak (software) Eviews versi 6. 5.8 Hasil dan Pembahasan 5.8.1 Deskripsi Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin Pola sebaran jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin disajikan ke dalam Peta provinsi Jawa Tengah. Pola persebaran jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin dari tahun 2007 sampai 2011 berturutturut disajikan pada Gambar 5.1 dan Gambar 5.2. Pada masing-masing tahun jumlah penduduk miskin yang ada di Provinsi Jawa Tengah tersebut dibagi ke dalam lima kelas dengan panjang interval sama. Pembagian ke dalam lima kelas hanya untuk memudahkan melihat pola sebaran. Sedangkan panjang interval didasarkan pada rasio antara jangkauan (jangkauan=nilai maksimum-nilai minimum) dan banyaknya kelas. Kelas pertama yaitu untuk jumlah penduduk miskin yang kurang dari 96000 orang. Kelas kedua untuk jumlah penduduk miskin antara 96000 orang sampai kurang dari 192000 orang. Kelas ketiga untuk jumlah penduduk miskin 192000 orang sampai kurang dari 288000 orang.
59
Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2007
Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2010
Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2009
Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2008
Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2011
Gambar 5.1 Pola persebaran jumlah penduduk miskin tahun 2007 sampai 2011
60
Persentase Penduduk Miskin Tahun 2007
Persentase Penduduk Miskin Tahun 2010
Persentase Penduduk Miskin Tahun 2009
Persentase Penduduk Miskin Tahun 2008
Persentase Penduduk Miskin Tahun 2011
Gambar 5.2 Pola persebaran persentase penduduk miskin tahun 2007 sampai 2011
61
Kelas keempat untuk jumlah penduduk miskin 288000 orang sampai kurang dari 384000 orang, dan kelas kelima adalah untuk jumlah penduduk miskin lebih dari 384000. Berdasarkan pembagian kelas tersebut menunjukkan bahwa kelas pertama menunjukkan kelompok kabupaten/kota dengan jumlah penduduk miskin yang terendah dan kelas kelima menunjukkan kelompok kabupaten/kota dengan jumlah penduduk miskin tertinggi. Perbedaan degradasi warna dari terang ke gelap merepresentasikan kelompok kabupaten/kota dengan jumlah penduduk miskin dari rendah ke tinggi. Secara umum sebagian besar kabupaten/kota menempati kelas kedua dan yang paling sedikit adalah menempati kelas kelima. Dari tahun ke tahun terjadi pergeseran warna pada beberapa kabupaten/kota, hal ini terjadi karena berubahnya jumlah penduduk miskin. Sebagai contoh Kabupaten Kebumen pada tahun 2007, 2008 dan 2009 berada di kelas keempat, namun pada tahun berikutnya yaitu tahun 2010 dan 2011 bergeser posisinya ke kelas ketiga. Hal ini berarti jumlah penduduk miskin Kabupaten Kebumen di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan. Berdasarkan Gambar 5.1 terdapat kabupaten/kota yang relatif tetap pada posisinya data dari tahun 2007 sampai 2011. Sebagai ilustrasi, Kabupaten Brebes dengan jumlah penduduk miskin terbesar, yaitu pada kelas kelima (warna gelap/tua), dan Kabupaten Banyumas menempati kelas keempat, untuk selengkapnya kabupaten/kota dengan degradasi warna yang sama dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 5.1. Untuk melihat persebaran persentase penduduk miskin, pembagian banyaknya kelas dan panjang interval kelas dilakukan dengan cara yang sama sebagaimana pada jumlah penduduk miskin. Kelas pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima berutur-turut adalah untuk persentase penduduk miskin kurang dari 6%, 6% sampai kurang dari 12%, 12% sampai kurang dari 18%, 18% sampai kurang dari 24% dan di atas 24%. Berdasarkan pembagian kelas tersebut diperoleh pola persebaran persentase penduduk miskin yang tersaji pada Gambar 5.2. Pola persebaran jumlah penduduk miskin (Gambar 5.1) dan persentase penduduk miskin (Gambar 5.2) berbeda. Perbedaan pola persebaran ini dikarenakan adanya faktor koreksi, yaitu jumlah penduduk atau populasi penduduk di setiap kabupaten/kota. Berdasarkan Gambar 5.2 persentase penduduk miskin untuk kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah sebagian besar mengalami pergeseran dari kelas keempat ke kelas ketiga atau bergeser ke posisi tengah. Pergerakan persentase penduduk miskin dari tahun ke tahun di kabupaten/kota cukup dinamis, hal ini dapat dilihat dari perubahan degradasi warna pada kabupaten/kota. Jika dibandingkan antara persebaran jumlah penduduk miskin (Gambar 5.1) dan persebaran persentase penduduk miskin (Gambar 5.2) terdapat perbedaan. Misalnya dalam persebaran persentase penduduk miskin Kabupaten Brebes menempati kelas kelima untuk tahun 2007 sampai tahun 2009, namun untuk tahun 2010 dan 2011 bergeser ke kelas keempat. Hal ini menunjukkan bahwa untuk Kabupaten Brebes, secara persentase mengalami penurunan penduduk miskin. Namun apabila dilihat dari jumlah penduduk miskin, Kabupaten Brebes selalu menempati kelas kelima. Berdasarkan Gambar 5.2, secara umum persebaran persentase penduduk miskin, untuk kelas keempat dan kelas ketiga lebih dominan dibandingkan dengan kelas lainnya.
62
5.8.2 Analisis Korelasi Analisis korelasi berfungsi untuk melihat hubungan linier antara dua peubah. Pada model, koefisien korelasi antara peubah tak bebas dan peubah bebas dapat dijadikan sebagai tahap untuk menentukan arah atau tanda hubungan tersebut. Sedangkan analisis korelasi antar peubah bebas dapat dijadikan sebagai informasi ada atau tidak adanya multikolinier. Korelasi antara peubah tak bebas dan peubah bebas serta korelasi antar peubah bebas disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Korelasi antar peubah POPULASI
PDK MISKIN 0.803
POPU LASI
SMP
SHTK TANI
SHTK IND
SHTK PDG
SHTK JASA
(0.000) SMP SHTKTANI SHTKIND SHTKPDG SHTKJASA PDRBKAP
0.564
0.782
(0.000)
(0.000)
0.546
0.353
0.188
(0.000)
(0.000)
(0.013)
-0.338
-0.139
-0.037
-0.588
(0.000)
(0.067)
(0.627)
(0.000)
-0.389
-0.311
-0.296
-0.747
0.062
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.418)
-0.565
-0.428
-0.389
-0.742
0.099
0.8
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.193)
(0.000)
-0.33
-0.045
0.019
-0.54
0.331
0.382
0.431
(0.000)
(0.553)
(0.801)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
(0.000)
Nilai-p (p-value) dari setiap korelasi antara dua peubah ditunjukkan oleh nilai yang ada dalam tanda kurung, “( )”. Berdasarkan Tabel 5.2 terlihat bahwa korelasi antar peubah bebas menunjukkan bahwa nilai-p (p-value) sebagian besar kurang dari 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar antar peubah bebas berkorelasi secara linier Tabel 5.2. Jumlah penduduk atau populasi merupakan peubah bebas yang mempunyai hubungan positif paling kuat dengan jumlah penduduk miskin dibandingkan dengan peubah bebas lainnya, yaitu sebesar 0.8 dengan nilai p (p-value) 0.000, signifikan pada taraf signifikansi 0.05. Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat pula bahwa jumlah penduduk miskin mempunyai hubungan positif dengan jumlah tenaga kerja berpendidikan setara SMP dan share tenaga kerja sektor pertanian. Hal ini berarti ketika populasi, jumlah tenaga kerja berpendidikan setara SMP dan Share tenaga kerja pertanian meningkat maka jumlah penduduk miskin akan meningkat. Sementara itu, share tenaga kerja sektor industri, sektor perdagangan, sektor jasa dan PDRB perkapita mempunyai hubungan negatif dengan jumlah penduduk miskin, hal ini berarti jika faktor-faktor tersebut meningkat maka jumlah penduduk miskin akan menurun. Korelasi antar peubah bebas signifikan pada taraf signifikansi 5%, dan hal ini sebagai informasi awal untuk terjadinya multikolinier.
63
5.8.3 Model Panel Spasial Dinamis Dalam pemodelan, jumlah penduduk miskin (PDKMISKIN) dinotasikan dengan Y dan jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya dinotasikan dengan Ytmin1. Dengan menggunakan peubah bebas X dalam model, artinya bahwa apabila kasus terjadinya korelasi yang signifikan antar peubah bebas tidak dipertimbangkan, maka diperoleh hasil model panel spasial dinamis sebagai berikut (Tabel 5.3). Tabel 5.3 Analisis ragam model panel spasial dinamis (WC) sebelum dilakukan PCA (GMM3) Theta Stdev nilait Nilai-p Ytmin1 0.75777 0.04071 18.61191 0.00000 WY 0.04702 0.02731 1.72140 0.08518 POPULASI 0.02664 0.00909 2.93100 0.00338 SMP -0.01229 0.02005 -0.61311 0.53981 SHTKTANI 0.21436 0.12276 1.74619 0.08078 SHTKIND 0.13639 0.17588 0.77547 0.43806 SHTKPDG -0.06497 0.33433 -0.19432 0.84593 SHTKJASA -0.30268 0.44144 -0.68567 0.49292 PDRBKAP -0.00072 0.00073 -0.99253 0.32094 2 R =99.72% Berdasarkan Tabel 5.3, terlihat adanya beberapa koefisien pada model yang berbeda tanda dengan korelasi peubah tersebut dengan jumlah penduduk miskin, yaitu SMP dan SHTKIND. Korelasi SMP dan jumlah penduduk miskin bertanda positif (Tabel 5.2) sedangkan dari hasil pemodelan, koefisien SMP bertanda negatif (Tabel 5.3). Hal yang terjadi sebaliknya pada SHTKIND, korelasi antara SHTKIND dengan jumlah penduduk miskin bertanda negatif sedangkan dari hasil pemodelan koefisien SHTKIND pada bertanda positif (Tabel 5.3). Hasil uji signifikansi terhadap peubah-peubah penjelas tampak bahwa hanya peubah populasi yang mempunyai pengaruh yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Pengaruh peubah tak bebas tahun sebelumnya (Ytmin1) dan lag spasial (WY) juga signifikan pada taraf signifikansi 5%. Masalah multikolinearitas dalam model regresi merupakan hal yang perlu diperhatikan karena dampak yang muncul dari masalah tersebut berpengaruh terhadap inferensia. Salah satu upaya dalam mengatasi masalah multikolinearitas model adalah dengan mentransformasi peubah-peubah bebas X melalui analisis komponen utama (Principal Component Analysis, PCA). Prinsip dari PCA ini adalah mentransformasi peubah bebas ke dalam peubah baru yang disebut komponen utama dimana antar komponen utama saling bebas. Setelah dilakukan transformasi, berikutnya komponen–komponen utama (Principal Component, PC) dijadikan sebagai peubah bebas bagi model yang dibangun. Hasil PCA terhadap peubah tenaga kerja lulusan SMP, populasi penduduk, share tenaga kerja empat sektor dominan dan PDRB perkapita disajikan pada Lampiran 3. Dalam kasus ini pengambilan komponen utama didasarkan pada proporsi kumulatif dan kekonsistenan tanda koefisien pada model dan korelasi antara peubah bebas dan peubah tak bebas. Untuk PCA dengan menggunakan matriks peragam, sebesar 99.98% dari total keragaman data peubah bebas (X)
64
dapat dijelaskan dengan dua komponen utama pertama. Sedangkan hasil PCA dengan menggunakan matriks korelasi, dengan menggunakan dua komponen utama pertama dapat menjelaskan 70.71% dari total keragaman X. Dalam kajian ini diambil dua komponen utama pertama karena dengan dua komponen utama tersebut dapat mempertahankan kekonsistenan tanda koefisien model dengan korelasi pada Tabel 5.2. Dengan demikian dalam pemodelan ini yang menjadi peubah bebas adalah PC1 dan PC2, dimana PCj = Xaj, j=1,2, atau dalam bentuk matriks PC=XA, dengan A=[a1, a2]. Sebagai tambahan, dalam analisis ini δ = 0 dilakukan pemodelan dengan perangkat lunak Eviews untuk kasus (kasus model panel dinamis non spasial) sebagai bahan pembanding terhadap performa matriks pembobot spasial. Mengacu pada matriks pembobot spasial dari hasil prosedur AMOEBA, baik matriks AMOEBA yang menggunakan statistik Getis lokal (WG) maupun matriks AMOEBA yang menggunakan statistik Getis termodifikasi (WGnew) terdapat beberapa baris yang nol, wij=0, untuk semua kolom j untuk j=1,2,…,N (i≠j). Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota i yang mempunyai elemen nol semua tidak dipengaruhi secara spasial oleh kabupaten/kota j yang berada di sekitar. Gambar 5.3 memperlihatkan plot antara Y dan WY dari hasil prosedur AMOEBA menggunakan statistik Gnew.
Gambar 5.3 Plot penduduk miskin (Y) dan interaksi spasialnya (WY). Interaksi spasial yang ditunjukkan pada Gambar 5.3 memberikan hasil yang khas dimana terdapat kabupaten atau kota dengan nilai-nilai WY bernilai nol. Dalam kasus kabupaten atau kota dengan nilai WY sama dengan nol menunjukkan bahwa kabupaten atau kota tersebut tidak mempunyai kemiripan jumlah penduduk miskin dengan kabupaten atau kota disekitarnya. Kabupaten atau kota yang termasuk dalam kasus ini tidak membentuk ecotope atau dalam prosedur AMOEBA yang disebut dengan unit yang ter-exclude. Kabupaten atau kota yang mempunyai nilai WY tidak sama dengan nol menunjukkan bahwa kabupaten atau kota tersebut mempunyai kemiripan jumlah penduduk miskin dengan kabupaten atau kota disekitarnya, sehingga akan membentuk ecotope rendah maupun tinggi. Dalam model apabila sebuah kabupaten atau kota membentuk ecotope maka jumlah penduduk miskin di kabupaten atau kota tersebut dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin dari kabupaten atau kota disekitarnya. Untuk mengakomodasi keberadaan unit-unit yang berhubungan secara spasial dan yang tidak berhubungan secara spasial, dalam model dengan WG dan WGnew akan dikembangkan atau dimodifikasi lebih lanjut. Modifikasi model
65
dengan memisahkan unit-unit spasial dan unit-unit non spasial pada matriks WG dan WGnew. Perhatikan model (5.10) dan fungsi indikator x5 | = ý| − 1 + Çò | + s x5 + } + ô ,
dengan x5 adalah sebuah fungsi indikator yang didefinisikan sebagai x5 =
(5.10)
0, × > 0( 1, × = 0
dengan × = ∑ p ò c, d. Namun pada tahapan penduga GMM, parameter s akan tereliminir ketika dilakukan operasi beda pertama (first difference) yang berdampak pada matriks X yang berpangkat tidak penuh. Dengan demikian selanjutnya dilakukan modifikasi pada fungsi x5 dimodifikasi sebagai berikut: [ w5 = ¹\Yw
w
[
,
x5 = x5 w5 =
0, × > 0 ( w5 , × = 0
w5 = 1,2, … , , A]¤×w5 = ‖w5 ‖q = º∑ p q .
| = ý| − 1 + Çò | + s x5 ó + } + ô .
Dengan demikian modifikasi terhadap model (5.9) adalah
Misalkan ∗ = cx5 ⋮ d dan }∗ = cs5 ⋮ }′d′ maka model persamaan (5.10) menjadi | = ý| − 1 + Çò | + ∗ }∗ + ô .
(5.11)
(5.12)
Dengan demikian maka pendugaan parameter model pada persamaan (5.12) dapat digunakan metode GMM. Model-model yang akan dibandingkan disajikan pada Gambar (5.4). Pembandingan akurasi Model
PCA (matriks peragam)
WC
WG
WGnew
PCA (matriks korelasi)
WC
WG
WGnew
Gambar 5.4 Model dengan variasi matriks pembobot spasial. Model panel spasial dengan peubah bebas PC hasil transformasi PCA setiap matriks pembobot spasial disajikan pada Lampiran 4 dan Lampiran 5 (PCA dari matriks peragam), Lampiran 6 dan Lampiran 7 (PCA dari matriks korelasi). Hasil GMM1 (ρ=0) dan GMM3 baik untuk peubah bebas PC dari PCA matriks peragam (Lampiran 4 dan Lampiran 5) maupun PCA matriks korelasi (Lampiran 6 dan
66
Lampiran 7) menunjukkan hasil akurasi yang sama. Hal ini ditunjukkan oleh nilai R2 yang sama. Ketepatan model panel dinamis dengan menggunakan koefisien determinasi (R2) untuk model non spasial (dengan perangkat lunak Eviews) dan model spasial disajikan pada Tabel 5.4. Tabel 5.4 Perbandingan R2 model panel spasial dinamis dan model panel dinamis Matriks pembobot Spasial WC WC WG WG WGnew WGnew WC WC WG WG WGnew WGnew
Matrik PCA Peragam Korelasi Korelasi Korelasi Korelasi Korelasi Korelasi Peragam Peragam Peragam Peragam Peragam Peragam
Metode penduga Eviews GMM1 (ρ=0) GMM3 GMM1 (ρ=0) GMM3 GMM1 (ρ=0) GMM3 GMM1 (ρ=0) GMM3 GMM1 (ρ=0) GMM3 GMM1 (ρ=0) GMM3
R2(%) 99.33 99.68 99.67 99.68 99.67 99.69 99.66 99.72 99.71 99.72 99.70 99.72 99.70
Berdasarkan Tabel 5.4, tampak bahwa nilai R2 pada model non spasial paling kecil dibandingkan dengan model spasial. Mengacu pada Tabel 5.4 yang disarikan dari Lampiran 4 sampai Lampiran 7, terlihat bahwa untuk ketiga jenis matriks pembobot spasial (WC, WG dan WGnew) pada model baik untuk GMM1 hasil PCA matriks peragam menghasilkan nilai R2 yang sama, yaitu 99.72%. Sedangkan untuk GMM3, nilai R2 untuk WC, WG dan WGnew berturut-turut adalah 99.71%, 99.70% dan 99.70%. Nilai R2 yang dihasilkan dari model GMM1 melalui PCA pada matriks korelasi untuk model dengan WC, WG dan WGnew berturut-turut adalah turut adalah 99.68%, 99,68% dan 99.69% , sedangkan untuk GMM3 99.67%, 99.67% dan 99.66%. Nilai R2 pada model WGnew dengan peubah bebas PC dari matriks matriks korelasi paling tinggi dibanding model dengan WC maupun WG meskipun sangat kecil perbedaanya. Berdasarkan hasil R2 pada GMM1 dan GMM3 dalam model ini mengambil GMM1 karena memberikan nilai R2yang relatif lebih besar. Berdasarkan nilai R2 pada Tabel 5.4 dapat menjadi sebuah indikasi pula bahwa pengaruh jumlah penduduk miskin pada tahun tertentu Y(t) sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin pada tahun sebelumnya Y(t-1) (Ytmin1). Hasil PCA pada matriks peragam dengan dua komponen utama didominasi oleh PDRB perkapita dan populasi penduduk, sedangkan hasil PCA pada matriks korelasi pada komponen pertama merupakan rata-rata dari semua peubah bebas dan komponen kedua didominasi oleh SMP, populasi dan PDRB perkapita. Berdasarkan nilai R2 dari model dengan peubah bebas PC dari matriks peragam lebih tinggi daripada R2 dari model dengan peubah bebas PC dari matriks korelasi, dalam kasus ini akan digunakan model dengan WGnew hasil PCA dari matriks peragam. Berdasarkan model dengan matriks pembobot spasial WGnew
67
berikutnya dianalisa asumsi-asumsi kestasioneran (kestabilan) model, sebaran sisaan, sebaran pengaruh tetap, keberhinggaan momen keempat pengaruh tetap dan keberhinggaan ragam sisaan. Karena matriks WGnew yang digunakan dalam pemodelan bersifat rownormalized dan berdasarkan Lampiran 4 diperoleh λ=0.74 dan Ç = 0.06 (positif), maka |ý| + Ç = 0.74 + 0.06 = 0.80 < 1. Berdasarkan hasil ini maka model yang dihasilkan stasioner (Cizek, 2011). Sementara itu berdasarkan asumsi yang terkait dengan sisaan dan pengaruh spasial tetap (η) memperlihatkan bahwa plot tebaran (scatter plot) pengaruh tetap dan sisaan adalah acak (Lampiran 8 sampai Lampiran 10). Tahap diagnosa berikutnya yakni keberhinggaan ragam sisaan dan keberhinggaan momen keempat dari pengaruh tetap (η). Berdasarkan uji keberhinggaan melalui pendekatan kurva sebaran normal dari η, ternyata pengaruh tetap (η) menyebar normal (berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov, p-value lebih dari 0.15). Hasil ini tentunya menjadi sebuah indikasi bahwa momen keempat yang berhingga sehingga asumsi terpenuhi. Berikutnya mendiagnosa ragam berhingga dari sisaan. Berdasarkan plot peluang normal terlihat bahwa sisaan tidak menyebar normal pada taraf signifikansi 5% atau 0.05 karena nilai p-value kurang dari 0.01. Walaupun demikian berdasarkan penduga sebaran metode kernel terlihat bahwa kurva sisaan mempunyai ragam yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ragam pengaruh tetap. Karena kurva pengaruh tetap (η) mempunyai momen keempat yang berhingga (finite) maka dapat dikatakan bahwa sisaan mempunyai ragam berhingga (finite variance) (Lampiran 11). Hasil analisis ragam (Analysis of Variance, ANOVA) berdasarkan hasil model dengan matriks spasial WGnew disajikan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Analisis ragam model panel spasial dinamis dengan matriks WGnew Peubah
Theta
stdev
Nilai t
Nilai-p
Ytmin1
0.735263 0.041402 17.759022 0.000000
WY
0.059828 0.021953
2.725322 0.006424
Bo
2.039104 1.385817
1.471409 0.141181
POP
0.037305 0.007697
4.846494 0.000001
SMP
0.004180 0.000863
4.844504 0.000001
SHTKTANI
0.000559 0.000114
4.891940 0.000001
SHTKIND
-0.000120 0.000024
-4.920705 0.000001
SHTKPDG
-0.000217 0.000044
-4.881905 0.000001
SHTKJASA
-0.000233 0.000048
-4.875097 0.000001
PDRBKAP R2= 99.72%
-0.001667 0.000543
-3.069662 0.002143
Berdasarkan Tabel 5.5 terdapat pengaruh jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya yaitu sebesar 73.53%, artinya bahwa apabila pada tahun lalu terdapat seribu jumlah penduduk miskin maka akan menyumbang sebanyak 735 penduduk miskin pada tahun sekarang, ceteris paribus. Hal ini menjadi indikasi bahwa
68
pengaruh jumlah penduduk miskin pada tahun sebelumnya cukup besar. Dalam kondisi ceteris paribus pengaruh tetangga sekitar mempunyai pengaruh sebesar 6% terhadap jumlah penduduk miskin pada wilayah tertentu. Peningkatan populasi penduduk dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin. Dari hasil analisis diketahui peningkatan jumlah penduduk sebanyak 1000 orang dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 37 orang. Kebijakan yang perlu diambil dalam hal ini adalah perlunya dilakukan pengontrolan terhadap populasi penduduk, antara lain dengan menggiatkan kembali program keluarga berencana. Kesadaran penduduk untuk mengatur jarak dan jumlah kelahiran diharapkan berdampak pada terpenuhinya segala kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga, sehingga tercipta keluarga yang ideal. Kualitas pendidikan tentunya sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Mengacu pada Tabel 5.5 terlihat bahwa dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang berpendidikan setara SMP akan berdampak pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Hal ini berarti bahwa pendidikan tenaga kerja setara SMP masih belum mampu meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Oleh karena itu program wajib belajar sembilan tahun yang telah dijalankan oleh pemerintah perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Pada saat ini, tenaga kerja yang berpendidikan setara SMP relatif lebih sulit untuk mendapatkan penghasilan yang layak karena ketatnya persaingan dengan tenaga kerja yang pendidikannya lebih tinggi. Oleh karena itu untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja yang berpendidikan setara SMP, perlu dikembangkan berbagai pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian serta jiwa kewirausahaan di kalangan penduduknya tersebut. Selain itu pemerintah sebaiknya berupaya untuk membuka kembali kesempatan penduduknya untuk memperoleh pendidikan lebih tinggi sehingga tercipta sumberdaya manusia yang benar-benar handal dalam berbagai bidang.
Gambar 5.5. Hubungan kemiskinan dan faktor yang mempengaruhinya Share tenaga kerja di sektor pertanian juga mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah penduduk miskin, artinya adalah peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin. Hal ini terjadi karena produktivitas sektor pertanian yang rendah padahal penyerapan tenaga kerjanya tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Berdasarkan hal tersebut
69
maka pemerintah perlu melakukan berbagai terobosan di bidang pertanian dengan cara memberikan berbagai penyuluhan atau pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan pada petani dalam mengelola kegiatan agribisnis mulai dari tingkat hulu sampai hilir. Sebagian besar petani yang berada di pedesaan merupakan petani tradisional dengan pengetahuan yang masih turun temurun dan produktivitasnya masih perlu ditingkatkan. Perubahan perilaku bertani secara tradisional menjadi modern diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sektor pertanian sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan para tenaga kerja di sektor pertanian. Selain upaya tersebut perlu diupayakan usaha mentransformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri, sektor perdagangan maupun sektor jasa. Dengan adanya upaya transformasi tenaga kerja ini, maka produktivitas tenaga kerja yang berada di sektor pertanian diharapkan akan meningkat yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan petani. Share tenaga kerja sektor industri, sektor perdagangan dan sektor jasa mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah penduduk miskin, artinya bahwa dengan semakin besar tenaga kerja yang terserap di ketiga sektor tersebut maka akan berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin. Pengaruh penurunan jumlah penduduk miskin oleh tenaga kerja yang terserap di sektor perdagangan dan jasa hampir dua kali lipat dibanding sektor industri. Ketiga sektor tersebut merupakan sektor-sektor unggulan di Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu perlu adanya perluasan lapangan usaha di ketiga sektor ini supaya dapat menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja. Peningkatan PDRB perkapita (PDRBKAP) dapat menurunkan jumlah penduduk miskin, dimana dari hasil analisis diketahui bahwa peningkatan 1 unit PDRB perkapita dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.001667 unit. Hal ini berarti bahwa kenaikan pendapatan perkapita sebesar Rp 1 juta maka dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebanyak 1667 orang. Berdasarkan hasil analisa terhadap model panel spasial dinamis, dari kriteria R2 tidak terlalu kelihatan pengaruh matriks pembobot spasial karena pengaruh penduduk miskin tahun sebelumnya yang sangat signifikan. Oleh karena itu, untuk melihat performa dari ketiga matriks pembobot spasial, yaitu WC, WG dan WGnew, dicoba dengan mengeliminir pengaruh lag waktu pada model asal (Y(t1)). Dengan demikian dalam pembandingan matriks pembobot W berikutnya menggunakan model panel spasial statis. 5.8.4 Model Panel Spasial Statis Pada tahap berikutnya difokuskan pada analisis performa ketiga matriks pembobot spasial (WC, WG dan WGnew) , dengan tidak melibatkan pengaruh lag waktu, Y(t-1) (λ=0) menggunakan peubah bebas PC hasil PCA matriks peragam. Analisis ini ditujukan untuk melihat perbedaan performa ketiga matriks pembobot spasial (WC, WG dan WGnew) dalam model.Spesifikasi model untuk membandingkan WC, WG dan WGnew model statis adalah | = Çò | + s x5 + } + z ,
dengan u = + 3 , t=1,2,...,T. Hasil output model dari masing-masing jenis matriks pembobot disajikan pada Lampiran 12. Berdasarkan Lampiran 12 koefisien determinasi (R2) dari model dengan WC, WG dan WGnew berturut-turut adalah 96.16%, 98.28% dan (5.13)
70
98.92%. Mengacu pada Lampiran 13, pola sisaan dan pengaruh tetap (η) dari model dengan WGnew terlihat menyebar acak dan berada di sekitar nol. Sementara itu pengaruh tetap (η) dari model dengan WC dan WG mempunyai pola sebaran acak namun mempunyai nilai-nilai lebih banyak di atas nol. Dengan mengacu pada kenyataan ini maka model dengan WGnew relatif lebih baik dalam menggambarkan pola sebaran jumlah penduduk miskin dibandingkan model dengan WC maupun WG (Lampiran 13). Untuk mengukur ketepatan hasil dugaan jumlah penduduk miskin dari ketiga jenis matriks pembobot spasial, dilakukan pembandingan terhadap jumlah penduduk miskin sebenarnya yang telah diklasifikasikan sebagaimana tersaji pada Gambar 5.1. Keakuratan dugaan jumlah penduduk miskin melalui analisa salah klasifikasi untuk tahun 2007 sampai 2011 dari matriks WC, WG dan WGnew disajikan pada Lampiran 14 sampai Lampiran 16. Berdasarkan analisis kesalahan klasifikasi per kelompok atau per kelas dari Lampiran 14 sampai Lampiran 16, terlihat bahwa untuk tahun 2007 sampai 2011, matriks WGnew memberikan performa paling baik. Hal ini ditunjukkan oleh kesalahan klasifikasi (elemenelemen diluar diagonal utama) yang paling sedikit diantara model dengan matriks WC maupun WG. Untuk lebih jelasnya, tabel kesalahan klasifikasi pada Lampiran 14 sampai Lampiran 16 diringkas pada Tabel 5.6. Tabel 5.6. Banyaknya salah klasifikasi tahun 2007 sampai 2011 dari model dengan matriks WC, WG dan WGnew. Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 Total
WC 18 6 6 12 11 53
WG 11 6 3 7 8 35
WGnew 4 2 3 4 5 18
Lampiran 17 sampai Lampiran 21 berturut-turut menyajikan perbandingan jumlah penduduk miskin hasil dugaan model untuk matriks WC, WG dan WGnew dengan jumlah penduduk miskin sebenarnya (aktual) untuk tahun 2007 sampai 2011 melalui pemetaan. Berdasarkan Lampiran 17 sampai Lampiran 21 terlihat bahwa pergeseran atau perubahan degradasi warna dari Gambar 5.1 lebih banyak dihasilkan oleh model yang menggunakan matriks WC, sedangkan yang paling sedikit dihasilkan oleh model yang menggunakan matriks WGnew. Hasil ini sesuai dengan analisa salah klasifikasi pada Tabel 5.6 dimana total salah klasifikasi pada model dengan WC paling tinggi. 5.9 Simpulan dan Implikasi Kebijakan 5.9.1 Simpulan Melalui analisa persebaran jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin, terdapat perbedaan pola persebaran. Perbedaan persebaran jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin tersebut sangat dipengaruhi oleh populasi penduduk.
71
Analisa awal terhadap faktor-faktor (peubah bebas) yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin melalui analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antar faktor-faktor atau peubah bebas tersebut. Adanya korelasi antar peubah bebas dalam model berdampak pada perubahan tanda dari korelasi yang sebenarnya dengan koefisien pada model sehingga diperlukan transformasi menggunakan PCA. Melalui transformasi PCA, dengan mengambil dua komponen utama pertama dihasilkan koefisien-koefisien model yang konsisten (mempunyai tanda yang sama) dengan korelasi antar peubah bebas. PC1 dan PC2 hasil PCA pada matriks peragam didominasi oleh PDRB perkapita dan populasi penduduk. PC1 hasil PCA pada matriks korelasi merupakan rata-rata dari peubah bebas, sedangkan PC2 lebih didominasi oleh SMP, populasi penduduk dan PDRB perkapita. Berdasarkan pemodelan dengan peubah bebas PC1 dan PC2 hasil PCA pada matriks peragam, diperoleh koefisien determinasi yang sama yaitu 99.72%. Sedangkan pemodelan dengan peubah bebas PC1 dan PC2 hasil PCA pada matriks korelasi, untuk WC, WG dan WGnew berturut-turut diperoleh koefisien determinasi 99.68%, 99.68% dan 99.69%. Berdasarkan hasil pemodelan menggunakan dua PC, baik PCA hasil matriks peragam maupun matriks korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah penduduk miskin pada tahun sekarang dan tahun berikutnya yang ditunjukkan oleh koefisien lag waktu yang sangat signifikan. Populasi penduduk, tenaga kerja lulusan SMP dan share tenaga kerja sektor pertanian mempunyai pengaruh positif terhadap jumlah penduduk miskin. Share tenaga kerja industri, perdagangan dan jasa serta PDRB perkapita mempunyai pengaruh negatif. Evaluasi performa matriks pembobot WGnew, WC dan WG melalui pendekatan model panel spasial statis menunjukkan bahwa matriks WGnew memberikan performa terbaik. Koefisien determinasi model dengan WGnew paling tinggi, yaitu 98.92%, sedangkan koefisien determinasi model dengan WC dan WG berturut-turut sebesar 96.16% dan 98.28%. Hasil analisis salah klasifikasi menunjukkan bahwa model dengan WGnew mempunyai tingkat salah klasifikasi paling sedikit dibandingkan dengan salah klasifikasi pada model WG maupun WC. Hasil ini sesuai dengan pola persebaran degradasi warna dimana pola persebaran jumlah penduduk miskin hasil dugaan dengan WGnew lebih mirip dengan pola persebaran jumlah penduduk miskin aktual. 5.9.2 Implikasi Kebijakan Kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan adalah dengan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk misalnya dengan menggiatkan kembali program keluarga berencana (program KB). Program ini diharapkan mampu mengendalikan jumlah dan jarak kelahiran dalam sebuah keluarga, sehingga kesejahteraan keluarga diharapkan akan lebih baik dan pada akhirnya tingkat kemiskinan dapat diturunkan. Selain itu diperlukan juga tersedianya sumberdaya manusia yang handal, supaya dapat terserap di berbagai sektor lapangan usaha. Oleh karena itu kompetensi tenaga kerja lulusan SMP perlu ditingkatkan dengan cara memberikan berbagai pelatihan yang dapat meningkatkan keahlian serta menumbuhkan jiwa
72
wirausaha. Selain itu, pemerintah daerah provinsi atau kabupaten perlu memprioritaskan pengeluaran pemerintah dengan membuka akses pada masyarakat untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya SMA atau SMK ke atas. Hal ini tentu harus sejalan dengan implementasi anggaran 20 persen dana pemerintah untuk pendidikan. Tingginya share tenaga kerja sektor pertanian berakibat pada rendahnya produktivitas pertanian di Provinsi Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan nilai produktivitas pertanian yang terbatas sementara jumlah tenaga kerja besar. Oleh karena itu untuk menurunkan kemiskinan adalah dengan mengembangkan usahausaha pengolahan hasil pertanian dalam bentuk industri rumah tangga atau industri kecil yang berlokasi di pedesaan. Dalam jangka panjang industri rumah tangga dan industri kecil ditunjang untuk bermitra dengan industri besar sehingga tenaga kerja yang berada di desa dapat diserap lebih banyak ke luar dari sektor pertanian. Terkait dengan masalah industri, berkembangnya industri akan meningkatkan produktivitas perekonomian secara keseluruhan. Apabila industri yang dikembangkan berbasis pertanian, maka hal ini akan mendorong stabilitas harga yang diterima petani dan meningkatkan volume penjualannya sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Hal ini akan berkaitan pula dengan sektor perdagangan dan jasa. Dengan demikian apabila produktivitas tenaga kerja meningkat maka pendapatanpun akan meningkat dan akhirnya berdampak pada penurunan kemiskinan. Dampak peningkatan PDRB perkapita dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Terkait dengan masalah ini, akselerasi PDRB perkapita merupakan syarat keharusan dari pemerintah daerah provinsi yang difokuskan dengan meningkatkan iklim investasi swasta. Investasi disarankan agar diarahkan lebih banyak pada sektor pertanian dan industri (agroindustri). Kebijakan lain yang dapat menunjang pengembangan iklim investasi di pedesaan ini adalah dengan meningkatkan produktivitas pertanian, memperluas perdagangan, meningkatkan pembangunan infrastruktur pedesaan, sehingga para investor dapat tertarik untuk mengembangkan usahanya di daerah bersangkutan.
73
6 PEMBAHASAN UMUM Dalam model regresi klasik umumnya diasumsikan bahwa antar objek tidak ada interaksi atau saling bebas. Sementara itu dalam beberapa kasus tertentu asumsi dalam model regresi tidak dapat terpenuhi. Dalam kondisi ini maka perlu sebuah model yang mampu mengakomodasi keberadaan interaksi antar objek. Model spasial merupakan salah satu model yang dapat mengakomodasi adanya pengaruh interaksi dimana dalam model ini direpresentasikan oleh matriks pembobot spasial. Komponen matriks pembobot spasial dalam model dapat digunakan untuk memuat pengaruh unit-unit tetangga di sekitarnya terhadap unit spasial tertentu. Terdapat beberapa metode atau teknik yang dapat digunakan untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial. Matriks pembobot spasial yang umum digunakan dan paling sederhana didasarkan pada konsep ketetanggaan terdekat (contiguity), dimana elemen matriks mempunyai bobot satu ketika antar unit saling bersebelahan dan bernilai nol untuk selainnya. Teknik lain dalam mengkonstruksi matriks pembobot telah dikembangkan, salah satu diantaranya adalah melalui prosedur AMOEBA yang diperkenalkan oleh Aldstadt dan Getis. Dalam mengkonstruksi matriks pembobot spasial melalui prosedur AMOEBA, digunakan statistik Getis lokal yang diklaim menyebar normal. Keungggulan prosedur AMOEBA dibandingkan dengan matriks pembobot kontiguitas adalah dalam prosedur AMOEBA, selain berdasarkan kedekatan antar unit juga melibatkan kemiripan antar peubah yang berdekatan. Namun demikian, hasil evaluasi terhadap statistik Getis lokal menunjukkan bahwa pengaruh sebaran peubah asal (yang menjadi perhatian) perlu dipertimbangkan, tentunya selain proporsi unit-unit yang bertetangga. Berdasarkan kasus ketika peubah yang menjadi perhatian katakanlah peubah Xi , i=1,2,…,n menyebar iid Gamma (1,4), kenormalan statistik Getis lokal tidak valid. Oleh karena dalam prosedur AMOEBA didasarkan pada sebaran normal maka dilakukan modifikasi terhadap statistik tersebut. Statistik Getis lokal didasarkan pada permutasi acak dari unit-unit spasial dan selanjutnya dianggap sebagai sebuah perobaan pengambilan objek dari sekumpulan objek tanpa pengembalian. Hal ini berarti objek-objek (unit-unit spasial) tersebut dianggap homogen. Hasil modifikasi melalui transformasi peubah ke dalam bentuk penduga fungsi sebaran kumulatif dengan menggunakan teorema Lyapounov, diperoleh statistik Getis lokal termodifikasi yang menyebar normal. Untuk mengevaluasi performa statistik Getis lokal termodifikasi dalam mengkonstruksi matriks pembobot spasial prosedur AMOEBA, dilakukan analisa perbandingan pada model menggunakan data simulasi dan aplikasi pada kasus data riil. Pada kasus data riil, hubungan antara peubah tak bebas dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya terkadang relatif kompleks misalnya terdapat ketakbebasan spasial (spatial dependence). Oleh karena itu dalam spesifikasi model yang digunakan mengacu pada spesifikasi Spatial Lag Model dan Spatial Error Model (SLM-SEM) Cizek et al. (2011). Namun demikian konsentrasi dalam penelitian ini adalah membandingkan performa matriks pembobot spasial yang dikonstruksi melalui prosedur AMOEBA. Untuk mendukung pembandingan performa matriks pembobot spasial, dibangkitkan data dengan spesifikasi parameter λ=0.3 , β=1 dan variasi δ=0.3 dan 0.5 (koefisien lag spasial)
74
dan ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3 (koefisien error spasial). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa WGnew relatif lebih baik dibandingkan dengan WG maupun WC dimana RMSER dari model dengan WGnew paling kecil. Temuan lain dari hasil ini adalah adanya kecenderungan penurunan RMSER seiring dengan peningkatan koefisien lag spasial (δ). Pada tahap berikutnya, untuk mengkaji performa matriks pembobot spasial diaplikasikan pada kasus data riil. Kasus yang diambil dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin dalam ruang lingkup Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2007 sampai 2011. Mengangkat isu kemiskinan dalam penelitian ini karena merupakan isu yang menjadi perhatian baik di pemerintah pusat maupun daerah. Sementara Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi dengan jumlah penduduk miskin kedua terbesar, namun dari sisi persentase Provinsi Jawa Tengah menempati urutan keduabelas terbesar. Dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi jumlah penduduk miskin, dalam penelitian ini dibatasi pada faktor populasi penduduk, jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMP, share tenaga kerja sektor pertanian, industri, perdagangan dan jasa, serta faktor PDRB perkapita. Banyaknya faktor atau peubah bebas dalam pemodelan berpeluang terjadinya multikolinear. Untuk mendiagnosa multikolinear dalam model, dilakukan tahap eksplorasi awal melalui analisis korelasi antar peubah bebas. Berdasarkan analisis korelasi diperoleh hasil bahwa sebagian besar nilai-p (p-value) antar peubah bebas kurang dari 0.05. Hal ini berarti bahwa sebagian besar antar peubah bebas berkorelasi secara linier. Sementara itu korelasi antara jumlah penduduk miskin (peubah tak bebas) dengan peubah-peubah bebas terlihat bahwa populasi penduduk merupakan peubah bebas yang mempunyai hubungan positif paling kuat dibandingkan dengan peubah bebas lainnya. Hasil analisis korelasi antara jumlah penduduk miskin dengan tenaga kerja berpendidikan SMP dan share tenaga kerja sektor pertanian juga mempunyai hubungan yang positif. Share tenaga kerja sektor industri, sektor perdagangan, sektor jasa dan PDRB perkapita mempunyai hubungan yang negatif dengan jumlah penduduk miskin. Analisis pengaruh ketujuh peubah bebas terhadap jumlah penduduk miskin dilakukan melalui model dengan melibatkan jenis matriks yang berbeda. Dari ketiga jenis matriks yang digunakan peubah bebas komponen utama (PC) yang merupakan hasil transformasi dari peubah-peubah bebas X menggunakan PCA. Peubah-peubah bebas PC yang digunakan dalam model diperoleh dari hasil PCA pada matriks peragam dan matriks korelasi untuk mendapatkan model yang baik. PC hasil PCA pada matriks peragam didominasi oleh peubah PDRB perkapita dan populasi penduduk, sedangkan PC hasil PCA pada matriks korelasi berbeda. PC1 hasil PCA pada matriks korelasi merepresentasikan rata-rata dari ketujuh peubah bebas, sedangkan PC2 merepresentasikan peubah jumlah tenaga kerja lulusan SMP, populasi penduduk dan PDRB perkapita. Berdasarkan pemodelan dengan menggunakan PC hasil PCA pada matriks peragam diperoleh bahwa ketiga matriks pembobot spasial (WC, WG dan WGnew) memberikan performa yang sama baiknya dimana koefisien determinasi masing-masing sebesar 99.72%. Sedangkan berdasarkan pemodelan dengan menggunakan PC hasil PCA pada matriks korelasi diperoleh nilai koefisien determinasi model dengan matriks WC, WG dan WGnew berturut-turut sebesar 99.68%, 99.68% dan 99.69%. Walaupun dalam hal ini nilai koefisien determinasi
75
dari model dengan WGnew lebih tinggi, namun perbedaannya sangat kecil. Hal ini menunjukkan dalam model lebih didominasi oleh koefisien lag waktu satu tahun sebelumnya, Y(t-1). Dengan kata lain terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah penduduk miskin untuk tahun tertentu dan tahun sebelumnya. Dengan pertimbangan koefisien determinasi di atas, interpretasi hasil pada kasus ini didasarkan pada model dengan matriks WGnew. Berdasarkan tabel ANOVA dari model dengan WGnew ternyata sekitar 73.53% jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya, ceteris paribus. Sedangkan pada populasi penduduk diperoleh koefisien 0.0373, apabila terdapat peningkatan jumlah penduduk sebanyak 1000 orang dapat meningkatkan jumlah penduduk miskin sebanyak 37 orang. Kebijakan yang perlu diambil dalam hal ini adalah perlunya dilakukan pengontrolan terhadap populasi penduduk, antara lain dengan menggiatkan kembali program keluarga berencana (program KB). Kesadaran penduduk untuk membatasi jumlah kelahiran diharapkan berdampak pada terpenuhinya segala kebutuhan hidup anggota keluarga. Kualitas pendidikan tentunya sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Tenaga kerja yang berpendidikan setara SMP tentunya relatif lebih sulit untuk mendapatkan penghasilan yang layak karena ketatnya persaingan dengan tenaga kerja yang pendidikannya lebih tinggi. Program wajib belajar sembilan tahun yang telah dijalankan oleh pemerintah perlu mendapat perhatian lebih lanjut. Share tenaga kerja di sektor pertanian mempunyai hubungan yang positif dengan jumlah penduduk miskin, artinya bahwa sebagian besar tenaga kerja di sektor pertanian mempunyai pendapatan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan sektor lain. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB total provinsi Jawa Tengah yang semakin menurun padahal tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian adalah yang paling tinggi. Peningkatan PDRB perkapita (PDRBKAP) dapat menurunkan jumlah penduduk miskin, dimana dari hasil analisis diketahui bahwa peningkatan 1 unit PDRB perkapita dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.001667 unit. Hal ini berarti bahwa kenaikan pendapatan perkapita sebesar Rp 1 juta maka dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebanyak 1667 orang. Share tenaga kerja sektor industri, sektor perdagangan dan sektor jasa mempunyai pengaruh yang negatif terhadap jumlah penduduk miskin artinya bahwa dengan semakin besar tenaga kerja yang terserap di ketiga sektor tersebut maka akan berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin. Pengaruh penurunan jumlah penduduk miskin oleh tenaga kerja yang terserap di sektor perdagangan dan jasa hampir dua kali lipat dibanding sektor industri. Penelusuran terhadap pembandingan performa matriks pembobot spasial dilakukan dengan menggunakan model panel spasial statis, dalam arti bahwa pengaruh jumlah penduduk pada tahun sebelumnya dieliminir. Berdasarkan hasil pendugaan model dengan GMM baik pada GMM satu tahap maupun GMM tiga tahap, nilai koefisien determinasi (R2) dari model dengan WC, WG dan WGnew berturut-turut sebesar 96.16%, 98.28% dan 98.92%. Asumsi-asumsi model seperti keacakan sisaan dan keacakan pengaruh tetap (η) pada model dengan WGnew juga memberikan performa yang baik dibandingkan dengan model dengan WC maupun WG. Perbandingan hasil dugaan jumlah peduduk miskin pada model panel statis melalui pemetaan dan analisis salah klasifikasi sangat terlihat perbedaan performa ketiga matriks tersebut. Jumlah salah klasifikasi dari
76
hasil pemodelan dengan WC hampir tiga kali lipat jumlah salah klasifikasi model dengan WGnew. Sedangkan jumlah salah klasifikasi dari hasil pemodelan dengan WG hampir dua kali lipat jumlah salah klasifikasi model dengan WGnew. Hal ini menunjukkan bahwa performa WGnew dapat memberikan hasil terbaik dalam pemodelan jumlah penduduk miskin.
77
7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Dalam pemodelan dimana terdapat ketakbebasan spasial antar peubah tak bebas perlu dipertimbangkan model-model ketakbebasan dengan memuat lag spasial. Ketakbebasan spasial dalam model dapat dimuat melalui keterlibatan matriks pembobot spasial di ruas kanan model. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengkonstruksi matriks pembobot spasial memunculkan sebuah pilihan sedemikian sehingga matriks pembobot spasial yang digunakan mempunyai performa yang baik. Metode umum dalam mengkonstruksi matriks pembobot didasarkan pada konsep ketetanggaan, dimana untuk dua unit spasial yang bertetangga atau bersebelahan, maka elemen matriks tersebut bernilai 1 dan selainnya bernilai nol. Teknik lain yang dapat digunakan adalah prosedur AMOEBA yang diperkenalkan oleh Aldstadt dan Getis yang melibatkan peubah yang menjadi perhatian. Dalam mengkonstruksi elemen matriks pembobot spasial, Aldstadt dan Getis menggunakan asumsi kenormalan sebaran statistik Getis yang diklaim oleh Getis dan Ord tanpa mempertimbangkan sebaran peubah asal. Pada kasus peubah asal yang menyebar Gamma diperoleh bentuk kurva [∗ tidak simetris (menjulur), demikian pula hasil uji analitik oleh Zhang bahwa untuk peubah asal yang menyebar Gamma, statistik [∗ tidak normal sedangkan untuk peubah asal normal statistik [∗ juga normal. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa kenormalan statistik [∗ bergantung pada sebaran peubah asal. Modifikasi statistik Getis lokal melalui transformasi peubah asal ke penduga fungsi sebaran empirisnya, ke Á³¹ 5N 8, diperoleh statistik Getis lokal (Gnew(i)) yang kekar (robust), yakni statistik tersebut berdistribusi normal untuk sembarang peubah asal . Evaluasi performa statistik Getis lokal yang termodifikasi (Gnew(i)) dalam prosedur AMOEBA (WGnew), dalam penelitian ini digunakan model panel spasial dinamis dan data hasil bangkitan melalui simulasi serta data riil. Pembangkitan data yang didasarkan spesifikasi parameter yang dicoba, λ=0.3, δ=0.3 dan 0.5, β=1, dan ρ=-0.3, -0.1, 0.1 dan 0.3, untuk T=3, 5 dan 7. Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa WGnew memberikan performa yang relatif lebih baik daripada matriks prosedur AMOEBA statistik Getis lokal (WG). Demikian pula apabila dibandingan dengan WC, performa WGnew masih lebih baik. Untuk mengevaluasi performa matriks pembobot spasial dalam kasus data riil, model diaplikasikan pada data jumlah penduduk miskin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di Provinsi Jawa Tengah. Faktor-faktor tersebut dibatasi pada populasi penduduk, jumlah tenaga kerja lulusan SMP, share tenaga kerja pertanian, industri, perdagangan, jasa, serta PDRB perkapita. Analisis korelasi terhadap peubah bebas menunjukkan adanya korelasi linier antar peubah bebas yang signifikan. Korelasi antar peubah bebas dalam model berdampak pada perubahan tanda dari korelasi yang sebenarnya dengan koefisien pada model. Melalui transformasi PCA dan menggunakan dua PC baik hasil PCA pada matriks peragam maupun matriks korelasi, diperoleh koefisien-koefisien dengan tanda yang konsisten dengan korelasi yang sebenarnya. Berdasarkan PC hasil PCA pada matriks peragam, ketiga matriks WC, WG dan WGnew pada model dinamis
78
memberikan performa yang sama baiknya. Berdasarkan PC hasil PCA pada matriks korelasi, matriks WGnew pada model dinamis memberikan performa sedikit lebih baik. Analisis perbandingan performa matriks WC, WG dan WGnew melalui pendekatan model panel spasial statis diperoleh hasil bahwa WGnew memberikan performa terbaik. Koefisien determinasi model untuk WC, WG dan WGnew berturut-turut 96.16%, 98.28% dan 98.92%. Sementara berdasarkan hasil uji asumsi, model dengan WGnew relatif lebih baik dalam arti bahwa asumsi-asumsi seperti keacakan sisaan dan asumsi pengaruh spesifik spasial terpenuhi. Begitu pula ketepatan dengan pendugaan model dengan WGnew melalui pemetaan dan analisis salah klasifikasi diperoleh hasil yang relatif tepat dibandingkan dengan model lainnya. Hal ini merupakan bukti bahwa model dengan WGnew adalah paling baik jika dibandingkan dengan model matriks WC maupun WG. Berdasarkan ANOVA dari model panel dinamis spasial menggunakan WGnew, terdapat hubungan yang sangat erat antara jumlah penduduk miskin pada tahun tertentu dan tahun sebelumnya. Peningkatan populasi penduduk, tenaga kerja lulusan SMP, dan share tenaga kerja sektor pertanian berdampak pada meningkatkan jumlah penduduk miskin. Sementara peningkatan PDRB perkapita, share tenaga kerja di sektor industri, perdagangan dan jasa dapat menurunkan jumlah penduduk miskin. Kebijakan pemerintah yang harus dilakukan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan iklim investasi di pedesaan, meningkatkan produktivitas pertanian, memperluas perdagangan, meningkatkan pembangunan infrastruktur pedesaan dan pengembangan industrialisasi pedesaan yang mengarah pada agroindustri. Berkaitan dengan populasi penduduk, perlu adanya upaya pengendalian populasi penduduk melalui program Keluarga Berencana (KB). Sedangkan perluasan lapangan usaha di sektor industri, perdagangan dan jasa perlu ditingkatkan agar mampu menyerap tenaga kerja baik di pedesaan maupun di perkotaan. Upaya tersebut perlu didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia (tenaga kerja) yang handal sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi berjalan secara optimal. Kualitas sumber daya manusia dapat ditingkatkan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan. 7.2 Saran Berdasarkan beberapa temuan dari hasil kajian terhadap masalah sebaran statistik Getis lokal, matriks pembobot spasial dan aplikasinya terdapat beberapa hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Perlu kehati-hatian dalam penggunaan asumsi kenromalan statistik Getis lokal dalam analisis-analisis data spasial. Dalam hal mengkonstruksi matriks pembobot prosedur AMOEBA disarankan untuk menggunakan statistik Getis lokal yang termodifikasi untuk meningkatkan performa hasil dugaan. Pemodelan data panel spasial lebih lanjut yang melibatkan matriks pembobot spasial perlu dicoba menggunakan matriks pembobot spasial dinamis (berubah menurut waktu) menggunakan prosedur AMOEBA. Dengan demikian variasi dalam data deret waktu dan dependensi spasial dapat diakomodasi oleh matriks pembobot spasial tersebut.
79
DAFTAR PUSTAKA
Ajmani VB. 2009. Applied Econometrics Using The SAS(R) System. John Wiley & Sons. New Jersey. Aldstadt J dan Getis A. 2006. Using AMOEBA to create a spatial weights matrix and identify spatial clusters. Geographical Analysis 8:327-343. Anselin L. 1995. Local indicators of spatial association-LISA. Geographical Analysis 27 : 93-115. Anselin L. 1999. Spatial Econometrics [diunduh 7 Juli 2012]. Tersedia pada: http://www.csiss.org/learning_resources/ content/papers/baltchap.pdf.
Anselin L. 2003. Spatial Autocorrelation (2): Spatial Weights [diunduh 13 Desember 2013]. Tersedia pada: http://www.negia.ucsb.edu/Publications/ Tech_Reports/92/92-10.pdf. Anselin L dan Lozano-Gracia N. 2008. Errors in variables and spatial effects in hedonic house price models of ambient air quality. Empirical Economics 34: 5–34. Arrelano M dan Bond S. 1991. Some test of specification for panel data: monte carlo evidence and an application to employment equations. Review of Economic Studies 58:277-297. Arrelano M. 2003. Panel Data Econometrics. Oxford University Press Inc. New York. Baltagi BH. 2005. Econometrics Analysis of Panel Data. Third edition. John Wiley & Sons. England. Banerjee S, Carlin BP, Gelfand AE. 2004. Hierarchical Modeling and Analysis for Spatial Data. Chapman & Hall. London. Berry BJL, Griffith DA dan Tiefelsdorf MR. 2008. From spatial analysis to geospatial science. Geographical Analysis. 40: 229-238. Bhattacharjee A dan Holly S. 2011. Structural interaction in spatial panels. Empir Econ 40: 69-94. Billingsley P. 1995. Probability and Measure. Third Edition. John Wiley & Sons. New York. Bond SR, Hoeffler A, Temple J. 2001. GMM estimation of empirical growth models. Centre for Economic Policy Research. Discussion Paper No. 3048: 1-33. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Analisis Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan Distribusi Pendapatan. BPS, Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Tinjauan PDRB Kabupaten Kota Jawa Tengah 2010. BPS Jawa Tengah. Semarang [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Data dan Informasi Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah 2002-2010. BPS Jawa Tengah, Semarang. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Jawa Tengah Dalam Angka 2008. BPS Jawa Tengah. Semarang [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Jawa Tengah Dalam Angka 2009. BPS Jawa Tengah. Semarang [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Jawa Tengah Dalam Angka 2010. BPS Jawa Tengah. Semarang
80
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Jawa Tengah Dalam Angka 2011. BPS Jawa Tengah. Semarang [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Tengah Dalam Angka 2012. BPS Jawa Tengah. Semarang [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia [diunduh 4 Desember 2013]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2013. Berita Resmi Statistik. No. 47/07/Th. XVI, 1 Juli 2013 [diunduh 9 Nopember 2013]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/brs_file/ kemiskinan_01jul13.pdf. Bruderl J. 2005. Panel data analysis [diunduh 21 Januari 2014]. Tersedia pada: http//www2.sowi.uni-mannheim.de/lsssm/veranst/panelanalyse.pdf. Conley TG dan Topa G. 2002. Socio economic distance and spatial patterns in unemployment. Journal of Applied Econometrics. DOI: 10.1002/jae.670, 17: 303–327. Conley TG dan Dupor B. 2003. A spatial analysis of sectoral complementarity. Journal of Political Economy. 3: 311-352. Costa-Font J dan Moscone F. 2008. The imfact of decentralization and interterritorial interactions on Spanish health expenditure. Empirical Economics. 34: 167-184. Cressie NAC. 1993. Statistics for Spatial Data. John Wiley and Sons. New York. Chung KL. 2001. A Course in Probability Theory. Academic Press. USA Cizek P, Jacobs J, Lighart J dan Vrijburg. 2011. GMM estimation of fixed effects dynamic panel data models with spatial lag and spatial errors [diunduh 8 Januari 2012]. Tersedia pada: http://www.tilburguniversity.edu/webwijs/ files/center/ligthart/JErev.pdf. Druska V dan Horrace WC. 2004. Generalized moments estimation for spatial panel data: Indonesian rice farming. Amer. J. Agr. Econ 86 : 185–198. Duque JC, Aldstadt J, Velasquez E, Franco JL, Betancourt A. 2011. A computationally efficient for delineating irregularly shaped spatial cluster. J Geogr Syst 13 : 355-372. Doi:10.1007/s10109-010-0137-1. Eigner F. 2009. Dynamic panel data methods for cross-section panels with an application on a winter tourism demand model [diunduh 24 Januari 2014]. Tersedia pada: http://homepage.univie.ac.at/robert.kunst/pres09_pan_ eigner.pdf. Elhorst JP. 2010. Applied spatial econometrics: raising the bar. Spatial Economic Analysis 5: 9-28.doi:10.1080/17421770903541772. Fingleton B. 2008a. A Generalized method of moments estimator for a spatial panel model with an endogenous spatial lag and spatial moving average errors. Spatial Economic Analysis 3: 27-44 Fingleton B. 2008b. A Generalized method of moments estimator for a spatial model with Moving Average Errors, with Application to Real Estate Prices. Empirical Economics 34: 35-57. Fotheringham AS dan Rogerson PA. 2009. Spatial Analysis. SAGE. London. Fotheringham AS. 2009. “The problem of spatial autocorrelation” and local spatial statistics. Geographical Analysis 41 : 398-403.
81
Folmer H dan Oud JHL. 2008. How to get rid of W: a latent variables approach to modeling spatially lagged variables. Environment and Planning A 40:2526– 2538 Gaetan C dan Guyon X. 2010. Spatial Statistics and Modelling. John Wiley & Sons. New York. Getis A dan Ord JK. 1992. The analysis of spatial association by use of distance statistics. Geographical Analysis 24 : 189-206. Getis A dan Aldstadt J. 2004. Constructing the spatial weights matrix using local statistic. Geographical Analysis 36 : 90-104. Getis A. 2008. A history of the concept of spatial autocorrelation: A Geographer’s perspective. Geographical Analysis 40 : 297-309. Getis A. 2009. Spatial weights matrices. Geographical Analysis. 41 : 404-410. Hsiao C. 2003. Analysis of Panel Data. Second Edition. Cambridge University Press. California. Harville DA. 1997. Matrix Algebra From a Statistician’s Perspective. SpringerVerlag. New York. Jacobs JPAM, Ligthart JE dan Vrijburg. 2009. Dynamic panel data models featuring endogenous interaction and spatially correlated errors [diunduh 2 Desember 2012]. Tersedia pada: www.ub.edu/sea2009.com/Papers/11.pdf. Kapoor M, Kelejian HH, Prucha IR. 2007. Panel data models with spatially correlated error components. Journal of econometric 140 : 97-130. Kelejian HH., Prucha IR. 1998. A generalized spatial two-stage least squares procedure for estimating a spatial autoregressive model with autoregressive disturbances. Journal of Real Estate Finance and Economic. 17:99-121. Kelejian HH., Prucha IR. 1999. A generalized moments estimator for autoregressive parameter in spatial model. International Economic Review. 40:509-533. Kelejian HH., Prucha IR. 2007. The relative efficiencies of various predictors in spatial econometric models containing spatial lag. Regional Sciences and Urban Economics. 37: 363-374.doi:10.1016/j.regsciurbeco.2006.11.005. Kelejian HH., Prucha IR. 2010. Specification and estimation of spatial autoregressive models with autoregressive and heteroskedastic disturbances. Journal of Econometrics 157: 53-67. doi:10.1016/j.jeconom.2009.10.025. Kholodilin KA, Siliverstovs B dan Kooths S. 2008. A dynamic panel data approach to the forecasting of the GDP of German La¨nder. Spatial Economic Analysis. 3 : 195-207 Kukenova M dan Monteiro JA. 2008. Spatial dinamic panel model and system GMM: monte carlo investigation [diunduh 2 April 2012]. Tersedia pada: http://mpra.ub.uni-muenchen.de/13405/1/MPRA_paper_13405.pdf. Lahiri SN, Chaterjee A dan Maiti T. 2007. Normal approximation to the hypergeometric distribution in nonstandard cases and sub-Gaussian BerryEsseen theorem. Journal of Statistical Planning and Inference. 137: 35703590. Larch M dan Walde J. 2009. Finite sample properties of alternative GMM estimators for random effects models with spatially correlated errors. Ann Reg Sci. 43:473–490 Lee, LF dan Yu J. 2010. Spatial dynamic panel-stable model with fixed effects. Foundation and Trends in Econometrics. 4: 48-79.
82
Liu A, Folmer H dan Oud JHL. 2011a. W-based vs latent variables spatial autoregressive models: evidence from Monte Carlo simulation. Ann Reg Sci. 47:619–639. Liu A, Folmer H dan Oud JHL. 2011b. Estimating regression coefficients by Wbased and latent variables spatial autoregressive models in the presence of spillovers from hotspots : evidence from Monte Carlo simulations. Lett Spat Resour Sei. 4: 71-80. Morrison, D.F. (1990). Multivariate Statistical Methods, 3nd edition. NY: McGraw-Hill.
Nelson TA dan Boots B. 2008. Detecting spatial hot spots in landscape ecology. Journal compilation. Ecography. 31: 556-566. Nicholson WL. 1956. On the normal approximation to the hypergeometric distribution. The Annals of Mathematical Statistics. 27: 471-483. Ord JK dan Getis A. 1995. Local spatial autocorrelation statistics: distributional issues and an application . Journal Geographical Analysis 27 : 286-306 Ord JK dan Getis A. 2001. Testing for local autocorrelation in the presence of global autocorrelation. Journal of Regional Science. 41: 411-432 Perret JK. 2011. A proposal for an alternative spatial weight matrix under consideration of the distribution of economic activity. Schumpeter discussion papers 2011-002. Ross HM. 1997. Introduction to Probability Models. Academic Press. California. Rencher AC dan Schaalje GB. 2007. Linear Models in Statistics. John Wiley & Sons. New Jersey. Rossi E. 2010. Introduction to the generalized method of moments [diunduh 24 Januari 2014]. Tersedia pada: http://economia.unipv.it/pagp/ pagine_personali/erossi/rossi_GMM_1_Ecnmtra_Fin_2010.pdf. Roussas GG. 1997. A Course in Mathematical Statistics. Second Edition. Academic Press. San Diego. Seber GAF. 2007. A Matrix Handbook for Statisticians. John Wiley & Sons. New Jersey. Sen A. 1976. Large sample-size distribution of statistics used in testing for spatial correlation. Geographical Analysis 9:175–184. Shao J. 2003. Mathematical Statistics. Second Edition. Springer. New York. Siregar H dan Wahyuniarti D. 2008. Dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan jumlah penduduk miskin [diunduh 2 Juli 2013]. Tersedia pada: http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/ pdffiles/PROS_2008_MAK3 Smith, TE. 2014. Areal data analysis (Part III). Notebook for spatial data analysis [diunduh 20 januari 2014]. Tersedia pada: http://www.seas.upenn.edu/ ~ese502/#contents Stakhovych S dan Bijmolt THA. 2008. Specification of spatial models: A simulation study on weights matrices. Papers in Regional Science 88 : 389408. Thomas RL. 1997. Modern Econometrics an Introduction. Addison Wesley. London. Tiefelsdorf M. 2002. The saddlepoint approximation of Moran’s I’s and local Moran’s Ii’s reference distribution and their numerical evaluation. Geographical Analysis. 34:187-206.
83
Tsang EWK. 2007. Economic distance and the survival of foreign direct investments. Academy of Management Journal. 50: 1156-1168. Verbeek M. 2008. A Guide to Modern Econometrics. Third Edition. John Wiley & Sons. Ward MD dan Gleditsch KS. 2008. Spatial Regression Models. Sage Publications. California. Wooldridge JM. 2001. Application of generalized method of moments estimation. Journal of Economic Perspectives 15: 87-100. Zhang T. 2008. Limiting distribution of the G statistics. Elsevier 78: 1656-1661
84
85
LAMPIRAN