MODEL PENGEMBANGAN RESOLUSI KONFLIK NELAYAN PANTAI UTARA JAWA TIMUR Isa Wahyudi Achmad Irfan Muzni Suryanto Universitas Muhammadiyah Gresik
Abstrak Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1). Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab konflik nelayan di Jawa Timur, 2). Mengeksplorasi dampak konflik nelayan di pantai utara Jawa Timur bagi masyarakat dan sekitar pantai Jawa Timur, 3). Mengeksplorasi metode dan strategi yang dipakai untuk mengurangi dan mencegah konflik nelayan di pantai utara Jawa Timur, 4). Mengembangkan model resolusi konflik nelayan Jawa Timur Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif masuk kategori gerounded research melalui pendekatan Action Research yang akan mengeksplorasi berbagai kasus dan bentuk-bentuk konflik nelayan di Pantai Utara Jawa Timur. Pedekatan yang dipakai adalah dengan menggunakan pendekatan partisipatif, sehingga penelitian action research ini menggunakan metode Partisipatory Action Research (PAR). Analisa data dilakukan dengan menggunakan metode triangulation yaitu penggabungan analisa data yang sumbernya dari metode, sumber data, subjek peneliti dan teori. Lokasi penelitian dilakukan di pesisir pantai utara Jawa Timur di 6 wilayah yang di bagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama untuk penelitian tahun pertama di Kabupaten Gresik, Lamongan, Tuban. Berdasarkan data pada kasus-kasus di atas, dapat diidentifikasi tentang keadaan sumber daya perikanan di perairan Pesisir Utara Jawa Timur dan faktor lain yang telah memicu terjadinya konflik di kalangan masyarakat nelayan. Kata Kunci: konflik, resolusi, nelayan.
PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah nelayan tahun 2007 tercatat 242.537 orang. Terdiri dari nelayan maju 101.138 orang, nelayan tradisional (artifisanal fishery) 141.399 orang dengan tingkat pendidikan rata-rata Sekolah Dasar (70 %). Jumlah Desa nelayan 632 desa, jumlah Rumah Tangga Nelayan 68.238 RTP. Penghasilan nelayan berada di bawah standar Bank Dunia. Yakni keluarga miskin berpendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari. Tahun 2006 penghasilan nelayan Rp. 3.982.114 per tahun dan tahun 2007 55
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
sebesar Rp 4.061.756 per tahun (DKP Jatim), atau sekitar Rp 333 ribu per bulan, berarti hanya Rp 13 ribu/hari rumah tangga atau Rp 3.300 per anggota keluarga. Tahun 2009 ini diperkirakan justru terjadi penurunan mengingat beberapa faktor seperti dampak ekonomi global dan iklim yang makin ekstrem. Kondisi perairan utara (Pantura) overfishing atau kelebihan tangkap sehingga rawan konflik. Idealnya pantura dieksploitasi oleh 125.000 nelayan dan 25.000 kapal. Saat ini di pantura dan perairan selatan beroperasi 250.000 nelayan dan 52.842 perahu. Potensi perikanan tangkap diperkirakan sebesar 1,7 juta ton per tahun. Baru dimanfaatkan 453.034,05 ton (56,30%), sebanyak 87,98% diperoleh dari usaha penangkapan ikan di pantura (ikan kerapu, kakap merah, tengiri, bawal, teri nasi, lemuru, kurisi, kuniran, cumi, tongkol). Sedangkan Pantai selatan dan ZEEI baru 12,12%. Minimnya hasil tangkapan di Laut Selatan (ikan cakalang, tuna, lobster, layur, lemadang, hiu, tengiri) karena keterbatasan SDM dan teknologi penangkapan. Jika kita simak, konflik yang terjadi di perairan seperti konflik antar nelayan di Jawa Timur beberapa tahun belakangan ini seperti di pasuruan, lamongan, dan Ujungpangkah, ternyata menyisakan banyak pertanyaan sesungguhnya faktor pemicu konflik itu apa? siapa?, siapa saja yang terlibat?, apa yang mereka perebutkan?, mereka dapat apa serta keuntungan dan kerugiannya yang diterima apa?, dan yang paling parah siapa yang paling menderita dari adanya konflik antar nelayan tersebut? Di perairan utara Bangkalan Madura misalnya, dua kelompok nelayan terlibat bentrokan fisik akibat berebut daerah penangkapan ikan di perairan Karangjamuang, Bangkalan Utara, Madura (12 Juli 1995). dua perahu nelayan asal Lamongan musnah dibakar dan ikan hasil tangkapan mereka dibuang ke laut. Kerugian ditaksir sekitar Rp 40 juta. setelah selama düa hari puluhan nelayan asal Lamongan itu tiba-tiba diserang sekelompok nelayan lokal yang datang dengan membawa senjata tajam. Dua dan 16 perahu penangkap ikan asal Lamongan itu ditangkap dan digiring ke Pantai Kamal, Madura. Kemudian, kedua perahu tersebut dibakar. Para nelayan dan Madura bertindak demikian karena mereka merasa sebagai “pemilik” perairan Karangjamuang sejak turun-temurun. Mereka meminta agar nelayan asal Lamongan tidak lagi menangkap ikan di perairan tersebut (Kompas, 15 Juli 1995). Kasus di perairan Sidoarjo diduga karena berebut lokasi penangkapan udang, dua kelompok nelayan andun asal Pulau Mandangin, Sampang, dan Kisik, Pasuruan, kembali bentrok di perairan Sidoarjo. Akibar “serbuan” nelayan Kisik, puluhan nelayan asal Pulau Mandangin menderita lukaluka dan beberapa perahu mereka rusak berat. Selanjutnya puluhan nelayan andun asal Sreseh dan Pulau Mandangin, Kabupaten Sampang, juga diserbu oleh nelayan Kisik, Pasuruan (Jawa Pos, 8 JuIi 1994). Bentrokan antar kelompok nelayan dan empat desa terjadi di Probolinggo dan Pasuruan. Di Probolinggo, nelayan asal Desa Kalibuntu, Kraksan, membakar habis dua unit perahu nelayan Desa Pulau Gui Ketapang, Kec. Sumberasih, setelah mereka bentrok di tengah laut. Penyulut bentrokan tersebut adalah dendam nelayan Kalibuntu terhadap nelayan Pulau Gui Ketapang yang menggunakan mini trawl untuk menangkap ikan. Sementara itu, di Pasuruan, sekitar seribu nelayan dan Kec.
56
Isa Wahyudi, Achmad Irfan Muzni, Suryanto. Model Pengembangan Resolusi...
Lekok dengan menumpang 150-an perahu beramai-ramai ngluruk ke Pantai Kraton. Mereka berniat “menyerbu” nelayan Kisik, Desa Kalirejo, Kec.Kraton, yang dianggap telah merusak tiga unit perahu nelayan Lekok yang mengoperasikan mini trawl. Kedatangan ratusan perahu berpenumpang nelayan Lekok ini mengagetkan warga Kisik. Mereka pun segera bersiap-siap mempertahankan diri. Puluhan aparat keamanan dan Brimob, Polres, Kodim Pasuruan, dan Yon Zipur 10 juga sudah siaga mengantisipasi kemungkinan itu. Begitu perahu nelayan Lekok mendarat di Pantai Kisik, dengan cepat pasukan keamanan memblokadenya. Kasus di Perairan Paciran, Lamongan terjadi tanggal 2 September 1999 ratusan nelayan tradisional di kawasan Paciran, Lamongan, mengamuk. Mereka menghancurkan Kantor Camat, Mapolsek, Makoramil, serta kantor perusahaan pembenihan ikan bandeng dan udang windu besenta laboratoniumnya. Dua mobil Panther dan Katana, tiga sepeda motor, semua bangunan di tempat wisata Gua Maharani dan Tanjung Kodok dibakar habis. Kerugian ditaksir mencapai Rp3 milyar dan harus ditanggung Pemda Lamongan. Amuk massal mi terjadi karena Pemda Lamongan tidak segera mengatasi perahu-perahu nelayan yang mengoperasikan mini trawl di perairan setempat yang sudah berlangsung cukup lama. Kasus yang terjadi diwilayah perairan Ujungpangkah Gresik, untuk yang kesekian kalinya bentrokkan antar nelayan asal Paciran Lamongan dengan nelayan Ujungpangkah Gresik terjadi. Bentrokan itu dipicu oleh pengoperasian peralatan tangkap Mini Trawl nelayan Paciran Weru, Sidokumpul, dan Warulor di wilayah perairan Ujungpangkah. Penggunaan alat tangkap tersebut telah mengancam tingkat pendapatan nelayan Ujungpangkah Khususnya ketika musim barat (Kompas, 12 April 2003). Berbagai upaya resolusi konflik antar nelayan dilakukan, mulai dari pertemuan-pertemuan untuk membuat Nota Kesepakatan tentang aturan main penanggakap ikan di masing-masing wilayah perairan yang menurut nelayan sendiri harus ditegakkan. Nota kesepakatan itu ternyata tidak berlangsung cukup lama untuk dipatuhi sebagai penegakan hukum yang bersifat sementara. Tetapi pelanggaran telah terjadi kembali dan bentrok nelayan terulang lagi. Maka nota kesepakan itu kemudian direvisi kembali sampai beberapa kali. Anehnya tidak ada campur tangan pemerintah untuk meredam warganya yang sedang berkonflik. Terbatasnya partisipasi dalam dimensi ruang dan waktu serta metode dan strategi penyelesaian (resolusi) konflik nelayan perairan menyebabkan konflik ini seakanakan merupakan konflik manifes dan laten. Jika dibiarkan, akan direproduksi kembali oleh generasi nelayan masa depan. Jelas dan nyata-nyata akibat konflik semua masyarakat menderita dan merasakan akibatnya. Tentu, semua akan menanggung kerugian dan beban dari konflik ini. Untuk itu perlu dikembangkan sebuah model pengembangan resolusi konflik nelayan di dengan harapan diperoleh kedamaian yang berkelanjutan.
57
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab konflik nelayan di Jawa Timur 2. Mengeksplorasi dampak konflik nelayan di pantai utara Jawa Timur bagi masyarakat dan sekitar pantai Jawa Timur 3. Mengeksplorasi metode dan strategi yang dipakai untuk mengurangi dan mencegah konflik nelayan di pantai utara Jawa Timur 4. Mengembangkan model resolusi konflik nelayan Jawa Timur Manfaat Peneltian Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Bagi ilmu Psikologi Sosial memberikan kontribusi bagi pengembangan teori konflik dan resolusi karena penelitian grounded research ini yang akan memunculkan teori-teori baru berdasarkan fakta lapangan. Diharapkan penelitian ini lebih bisa diterapkan untuk penanganan konflik yang serupa. 2. Bagi Pemerintah bisa menjadi referensi untuk menejemen penanganan konflik agar konflik-konflik yang berkaitan sumber daya alam bisa ditangani secara maksimal. Penanganan menejemen konflik yang diterapkan pemerintah diharapkan memberikan rasa keadilan dan kedamaian yang berkelanjutan bagi yang berkonflik 3. Bagi masyarakat, model ini bisa replikasi untuk menyelasaikan kasuskasus sengketa dan konflik sumber daya alam yang dihadapinya. 4. Bagi LSM, NGo diharapkan menjadi referensi untuk melakukan advokasi kasus-kasus serupa yang berkaitan dengan sumber daya alam
58
Isa Wahyudi, Achmad Irfan Muzni, Suryanto. Model Pengembangan Resolusi...
59
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Konflik Konflik mewarnai kehidupan manusia sepanjang hayatnya, mulai dari konflik yang dialami sehari-hari sampai konflik yang lebih besar. Banyak definisi tentang konflik, ada yang berpendapat konflik adalah ‘’segala macam pertentangan’’ atau disebut pula ‘’interaksi yang antagonis’’. Dalam arti luas konflik adalah segala macam bentuk hubungan antara manusia yang mengandung sifat berlawanan (http://www.voluntarymatters1and2.org/people/conflict/ overview.html). Menurut Kusnadi (2002), dilihat dan prosesnya, konflik itu paling tidak ada dua tahapan yaitu; tahap disorganisasi dan tahap disintegrasi, yaitu: tahap disorganisasi, yaitu; banyak salah paham, norma mulai tidak dipatuhi, anggota banyak menyimpang, sanksi lemah. Dan tahap disintegrasi, yaitu; timbul emosi (rasa benci), suka marah (ingin memusnahkan), ingin menyerang. Dikatakan Kusnadi bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya konflik itu antara lain adalah; adanya perbedaan dalam berbagai aspek, adanya bentrokan kepentingan, dan adanya perubahan social yang tidak merata. Kemudian ada bentuk penyelesaian konflik yang ditawarkan antara lain; kompromi; toleransi; konversi; arbitrage, dan mediation; stalemate; kemudian coersion. Secara umum konflik antar nelayan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu : (1) konflik kelas, (2) konflik orientasi, (3) konflik agraria, dan (4) konflik primordial. Konflik kelas atau disebut juga konflik vertikal, yakni konflik antara nelayan perikanan industri dengan nelayan perikanan rakyat. Hal ini biasanya dipicu oleh perbedaan upaya tangkap (effort), yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi. Pada perikanan industri, kapal yang digunakan berukuran relatif besar dan menerapkan teknologi maju. Sedangkan pada perikanan rakyat, kapalnya lebih kecil dan teknologi yang diterapkan sederhana. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial, karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding perikanan rakyat. Disamping itu, nelayan perikanan rakyat merasa khawatir hasil tangkapannya akan semakin menurun karena sumberdaya ikan yang tersedia ditangkap oleh kapal-kapal berukuran besar. Konflik dan Kekerasan terhadap Sumber Daya Alam Dalam konteks hubungan eksploitasi sumberdaya perikanan, menurut kusnadi (2006) masyarakat nelayan memerankan empat perilaku sebagai berikut: (1) mengeksploitasi terus-menerus sumberdaya perikanan tanpa memahami batasbatasnya; (2) mengeksploitasi sumberdaya perikanan, disertai dengan merusak ekosistem pesisir dan laut, seperti menebangi hutan bakau serta mengambil terumbu karang dan pasir laut; (3) mengeksploitasi sumberdaya perikanan dengan cara-cara yang merusak (destructive fishing), seperti kelompok nelayan yang melakukan pemboman ikan, melarutkan potasium sianida, dan mengoperasikan jaring yang merusak lingkungan, seperti trawl atau minitrawl; serta (4) mengeksploitasi sumberdaya perikanan dipadukan dengan tindakan konservasi, seperti nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan disertai dengan kebijakan
60
Isa Wahyudi, Achmad Irfan Muzni, Suryanto. Model Pengembangan Resolusi...
pelestarian terumbu karang, hutan bakau, dan mengoperasikan jaring yang ramah lingkungan. Perilaku pertama, kedua, dan ketiga dianut oleh sebagian besar nelayan kini sebagai konsekuensi dan persepsi yang kuat terhadap sumberdaya perikanan atau sumberdaya kelautan yang bersifat open access bagi siapa pun yang mau memanfaatkannya. Perilaku keempat adalah perilaku minoritas di kalangan masyarakat nelayan, seperti ditunjukkan oleh adanya komunitas-komunitas adat atau komunitas lokal yang mengelola sumberdaya perikanan untuk memperkuat kepentingan ekonomi kolektif, kemandirian sosial, dan kelangsungan hidup. Komunitas-komunitas adat seperti ini tersebar di berbagai wilayah tanah air. Terjadinya konflik di masyarakat nelayan disebabkan salah satunya oleh kondisi kepemilikan bersama sumberdaya perikanan laut. Dalam hal ini keikutsertaan bersifat bebas dan terbuka (Christy, F.T. 1987). Sementara, Daniel Mohammad Rosyid dalam Jawa Pos, 31 Oktober 2001 mengungkapkan ada 4 faktor penting yang menyebabkan terjadinya konflik anatara nelayan. Pertama, jumlah nelayan dengan beragam alat tangkap serta ukuran kapal telah meningkat. Kedua, luas wilayah operasi tidak bertambah luas karena teknologi yang dikuasai tidak berkembang. Ketiga, telah mengalami kondisi tangkap lebih dan populasi ikan mulai menurun. Keempat, kesalahan pemahaman atas implikasi dan perumusan Undang-Undang mengenai otonomi daerah yang mengatur kewenangan pengelolaan wilayah perairan laut. Prosedur Resolusi Konflik Resolusi konflik menurut Thomas dalam Tinsley (1998) didefinisikan sebagai: conflict resolution can be in abstract terms an behaviors aimed at resolving perceived incompatibilities. Sementara resolusi konflik menurut Krisberrg, (1999) juga didefinisikan the process of concluding a dispute or conflict (Pelupessy dan Muluk, 2002) Setidaknya menurut Pruitt, dan Carnavela, (1993) terdapat tiga kelas prosedur resolusi konflik: (1). prosedur pengambilan keputusan bersama (joint decision making) yaitu prosedur dimana pengambilan keputusan dilakukan sendiri oleh pihak-pihak yang terlibat konflik. Prosedur ini adalah prosedur yang paling baik untuk dilakukan karena memberikan kesempatan yang sama bagipihak yang berkonflik, (2). Prosedur pengambilan keputusan oleh pihak ketiga (third party decision making procedures) yaitu prosedur dimana pengambilan keputusan dilakukan oleh pihak yang tidak terlibat dalam konflik. Lebih tepatnya prosedur ini disebut juga sebagai pendekatan berorientasi hak. (3) Prosedur aksi sepihak (separate action procedures), yaitu prosedur dimana pihak-pihak yang etrlibat konflik mengambil keputusan secara sepihak atau sendiri-sendiri. Prosedur ini seringkali menimbulkan konflik baru dan meningkatkan eskalasi konflik. Prosedur aksi disebut juga sebagai pendekatan berorientasi kekuatan Negosiasi mempunyai banyak tantangan untuk mengatasi masalah secara kolaboratif. Negosiasi memunculkan perilaku integratif, mendorong konflik ke arah konstrukstif, ke arah proses pemecahan masalah, dan menuju cita-cita, yang bertujuan untuk memaksimalkan kepentingan dari berbagai pihak sambil menjaga
61
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
hubungan. Karenanya negosiasi adalah seni bagaimana membawa semua unsur yang terlibat dan menghubungkan mereka dalam satu sistem pengelolaan konflik yang terintegrasi. Semua unsur itu terdiri dari para pihak dengan semua kepentingan mereka yang berbeda, sumber daya alam yang tersedia, kebijakan dan pihak yang berwenang, dan tentu saja sejumlah masalah yang berkembang. Hal ini berarti negosiasi membutuhkan sebuah sistem pendekatan yang menangani interaksi antar unsur sumber daya alam, kolaborasi multi pihak, dan kemauan politik untuk mereformasi kebijakan. Terdapat empat tahap pelaksanaan agar negosiasi dapat memberikan resolusi konflik (Van Noordwijk, M. 2000), yaitu: 1. Mengidentifikasi pelaku/stakeholder serta mengerti tujuan dan indikator yang digunakan untuk memprediksi kondisi lansekap saat ini dan masa mendatang; 2. Membangun piranti untuk menghubungkan rencana pemanfaatan SDA kelautan, keuntungan ekonomi, fungsi sosial yang dapat diterima oleh para pihak; 3. Mendukung proses negosiasi dalam konteks butir 1, 2 untuk resolisi konflik 4. Menyediakan pilihan-pilihan teknis dan institusional yang terperbaiki untuk membantu para pihak mencapai cita-cita/pemecahan bersama Penelitian Terdahulu Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Muzni dan Wahyudi (2007) dengan penelitian yang berjudul Model Pengembangan Partisipasi Gender Dalam Resolusi Konflik Nelayan Ujungpangkah dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi selama ini disebabkan oleh pemakaian Mini Trawl diwilayah perairan Ujungpangkah Persoalan mendasar di balik kasus bentrokan antarnelayan di Jatim termasuk di wilayah perairan Ujungpangkah gresik sebetulnya adalah bersumber dari kurangnya perhatian dan belum adanya kesepakatan bersama antarpemerintah daerah dalam pengelolaan bersama sumber daya laut (common property) secara adil dan bijaksana. Adapun implikasi dari konflik nelayan Ujungpangkah berdampak terhadap bidang ekonomi, bidang sosial dan politik, dan bidang lingkungan hidup Karena telah terjadi kerusakan lingkungan hidup hampir di sepanjang pesisir Jatim termasuk di Ujungpangkah. Studi yang dilakukan oleh Suyanto (2005) di pantau utara Jawa Timur menemukan banyak bukti bahwa berbagai program intervensi yang dilakukan pemerintah— khususnya dalam bentuk program motorisasi—ternyata sebagian justru melahirkan polarisasi sosial-ekonomi antara nelayan modern dan nelayan tradisional. Kendati harus diakui bahwa modernisasi di sektor perikanan secara kuantitas memang telah berhasil meningkatkan jumlah total tangkapan nelayan. Tetapi, di sisi lain modernisasi perikanan sesungguhnya juga menimbulkan sejumlah masalah diantaranya konflik antara nelayan tradisional dengan dengan nelayan modern. Program motorisasi perahu nelayan, bukan saja mengakibatkan pengurasan ikan yang serius di daerah pesisir serta menyebabkan perahu layar tradisional mengalami penurunan yang cukup besar dalam tangkapan per perahu.
62
Isa Wahyudi, Achmad Irfan Muzni, Suryanto. Model Pengembangan Resolusi...
Lebih dan itu, modernisasi perikanan pada akhirnya juga semakin mempertegas jurang polarisasi antara nelayan modern dengan nelayan tradisional. Menurut penelitian Usman (2007) nelayan lokal tradisional dilembah subhuman yang berpenghasilan rendah (low income earners) menganggap sumber daya nelayan merupakan food security (jaminan kehidupan masa depan) dan merupakan hak ulayat laut mereka sehingga mereka mengambil biota laut mengutamakan protektif dilain sisi nelayan luar daerah yang modern menganggap sumber daya laut adalah boleh diambil siapa saja (cammons property resours) walaupun dengan cara non protektif adalah salah satu pemicu terjadinya konflik nelayan yang terjadi di mana-mana di sepanjang pantai Indonesia termasuk di Sakates Kecamatan Kumai Kalimantan Tengah (sebanyak 28 buah kapal trawl yang di bakar ditenggelamkan dan di tahan serta awak kapalnya disiksa). Konflik nelayan selama th 1975-1998 (konflik tertutup) dan th 1998-2002 (konflik terbuka) ketidakjelasan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan kemaritiman dan ketidaktepatan pengelolaan konflik inilah membuat bangunan raksasa emosi massa yang terakumulasi dalam bentuk solidaritas dan komunal atas dasar ketidakpercayaan (publict-distrast) terhadap supremasi hukum diluar pemikiran dan kebiasaan (masyarakatnya yang biasanya taat norma dan hukum) mereka melakukan amuk sebagai simbol hancurnya martabat peradilan (countemp of court) dan sekaligus arus tensi pembangkangan sebagai wujud protes terhadap legitimasi kekerasan yang dilakukan oleb pihak yang mestinya wajib melindungi. Adapun penelitian yang dilakukan Kusnadi (2006), persoalan mendasar di balik kasus bentrokan antarnelayan di Jatim sebetulnya adalah bersumber dari kurangnya perhatian dan belum adanya kesepakatan bersama antarpemerintah daerah dalam pengelolaan bersama sumber daya laut (common property) secara adil dan bijaksana. Adanya perda dan pengaturan pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan akan menjadi langkah konstruktif untuk memulihkan kondisi sumber daya perikanan, khususnya di perairan yang keadaannya sudah overfishing. Dengan berkaca dari pengalaman di Teluk Tomini, Sulawesi, Kusnadi menawarkan alternatif tentang perlunya dikembangkan lembaga keuangan mikro untuk membantu masyarakat pesisir mengelola sumber daya perikanannya. Sementara itu Kusnadi, juga menawarkan perlunya peraturan daerah (perda) Bersama untuk mengatasi konflik antarnelayan di Jawa Timur (Jatim). Kendati gagasan yang dilontarkan Kusnadi memiliki makna yang strategis dan diharapkan dapat efektif mengeliminasi kemungkinan munculnya konflik terbuka antara nelayan tradisional dan nelayan modern di Propinsi Jatim, ada beberapa hal yang terasa paradoksal dan belum menyentuh esensi masalah yang dihadapi nelayan, yakni persoalan tekanan kemiskinan dan ketidakberdayaan nelayan untuk mengembangkan kemampuan dan posisi tawarnya (bargaining position). Sedangkan penelitian Yamin dan Dhe (2005) di wilayah Provinsi Sumatera Utara umumnya dan Kabupaten Deli Serdang pada khususnya, kaum nelayan menghadapi persoalan yang sama dengan nelayan-nelayan di kabupaten lain, yaitu kerusakan ekosistem laut, abrasi pantai, rusaknya terumbu karang, dan berkurangnya populasi ikan. Secara historis, penggunaan trawl di daerah Sumatera dimulai tahun 1969, yaitu di perairan Bagan Siapi-api dan perairan Asahan. Sejak
63
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
munculnya alat tangkap tersebut, konflik antarneiayan merebak, hingga saat in Sudah ratusan kali aksi-aksi perlawanan terhadap kehadiran trawl dilakukan nelayan. Dalam aksi-aksi tersebut puluhan nelayan meninggal dunia, luka-luka (ringandan berat), dan hilang di laut. Beberapa orang nelayan dan perempuan nelayan yang suaminya menjadi korban dalam konflik dengan trawl telah melakukan testimoni kasus dalam momentum pertemuan di tingkat nasional dan internasional. Kampanye penolakan penggunaan trawl di wilayah perairan laut di Sumatera Utara cukup gencar dilakukan melalui berbagai media, seperti poster, stiker, siaran radio, dan tulisan di koran-koran. Kaum nelayan di wilayah Kecamatan Teluk Mengkudu mencoba membuat rancangan peraturan desa yang berisi tentang pengaturan jenis-jenis alat tangkap yang diperbolehkan di desa mereka. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Jenis Penelitian ini adalah penelitian kualitatif masuk kategori gerounded research melalui pendekatan Action Research yang akan mengeksplorasi berbagai kasus dan bentuk-bentuk konflik nelayan di Pantai Utara Jawa Timur. Menurut Muhadjir (2002) Action Research merupakan model penelitian yang sekaligus berpraktik dan berteori atau mengembangkan teori sekaligus melaksanakan dalam praktik. Karena penelitian ini tidak hanya memenuhi rasa ingin tahu semata tetapi keterlibatan di wilayah konflik dalam pengertian pengorganisasian rakyat maupun pemberdayaan masyarakat menjadi faktor penentu keberhasilan penelitian ini. Pedekatan yang dipakai adalah dengan menggunakan pendekatan partisipatif, sehingga penelitian action research ini menggunakan metode Partisipatory Action Research (PAR). Dalam metode PAR Menurut Huizer (1997) terdapat unsur pendidikan yang mendewasakan yang berorientasi pada upaya-upaya pengembangan dalam rangka pemberdayaan masyarakat khususnya yang berkaitan dengan resolusi konflik nelayan Pantai Utara Jawa Timur yang dibutuhkan oleh masyarakat. Analisa data dilakukan dengan menggunakan metode triangulation yaitu penggabungan analisa data yang sumbernya dari metode, sumber data, subjek peneliti dan teori. Lokasi Dan Subjek Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di pesisir pantai utara Jawa Timur di 6 wilayah yang di bagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama untuk penelitian tahun pertama di Kabupaten Gresik, Lamongan, Tuban. Sementara yang menjadi subjek penelitian ini adalah orang-orang yang selama ini terlibat dalam konflik maupun mereka yang merasakan dampak dari konflik nelayan baik secara langsung maupun tidak langsung. Subjeknya bisa berasal dari setiap warga kelompok nelayan, nelayan, pemuda nelayan, anak nelayan, baik lakilaki maupun perempuan serta ibu rumah tangga. Disamping itu Key informan lain yang bisa memberikan data dan mendukung penelitian ini adalah stakeholder nelayan yang berkepentingan dengan nelayan antara lain dari Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Dinas Kelautan dan Perikanan
64
Isa Wahyudi, Achmad Irfan Muzni, Suryanto. Model Pengembangan Resolusi...
Kota/kabupaten, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Timur, Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi nelayan lokal/daerah lainya. Metode Pengambilan Data Metode pengambilan data dilakukan dengan cara : 1. Partisipatory Action Research (PAR). Pendekatan ini dipakai untuk metode observasi dan wawancara secara terstruktur dan mendalam. Bagian ini memang merupakan bagian dari teknik pengambilan data sebelumnya. Wawancara dilakukan baik secara individu maupun secara kelompok di lokasi penelitian. Wawancara yang dilakukan secara individual atau dalam bentuk kelompok yang bisa dibuat dalam bentuk forum-forum kecil dimana partisipannya adalah subjek penelitian seperti yang dijelaskan pada subjek penelitian ini diatas. 2. Focus Group Discusion (FGD), merupakan salah satu metode pengumpulan data yang dilakukan melalui diskusi bersama oleh beberapa peserta dengan menggunakan tema atau isu tertentu sebagai fokus (Wicaksono, (2005) dalam Agus Dwiyanto, 2005). Para peserta adalah perwakilan dari berbagai stakeholders lokal yang semula terlibat (baik gender laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang dewasa) yang mempunyai kepentingan terhadap upaya resolusi konflik nelayan di pesisir pantai utara Jawa Timur. FGD menghadirkan subjek penelitian yang diwawancara. Selain itu peserta bisa dikembangkan dengan menghadirkan pejabat birokrasi, LSM, warga masyarakat, Perguruan Tinggi, DPRD, Wartawan dll. Metode Analisis Data Metode analisa dari kegiatan Participatory Action Research (PAR) ini yang dipakai adalah Analisa Groundeded Theory Research. Seperti yang disebutkan di awal desain penelitian, bahwa peneliti bermaksud mengembangkan teori atas dasar data yang dikumpulkan sehingga analisa data dengan pendekatan Groundeded Theory Research. Berkenaan dengan analisa pengembangan teori gerounded, terdapat tiga aspek/kegiatan, yaitu (1) menulis catatan (2) mengidentifikasi konsepkonsep (3) mengembangakan batasan konsep dan teori (Sanapiah faisal, 1990). Sementara Miles dan Huberman (1992) tahapan analisa data dipertegas mulai dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan-kesimpulan dari data yang terdiri kemudian penarikan kesimpulan dan verifikasi data. Adapun
65
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN ANALISIS DAN PEMBAHASAN Faktor Penyebab Konflik Nelayan di Jawa Timur
3
Gambar 3: Peta Konflik Nelayan Jawa Timur Keterangan Jejak rekam dan Peta konflik Nelayan Jawa Timur 1. Kabupaten Tuban: Bancar (konflik antar nelayan setempat, TPI, dan KUD), Gondanggede (konflik antar nelayan setempat dan TPI) Jenu (konflik antar nelayan setempat), Karangsari (konflik antar nelayan setempat dan Juragan), Keradenan (konflik antar nelayan setempat dan Petrochina), Palang (konflik antar nelayan setempat dan Petrochina), karanggede (konflik antar nelayan setempat, konflik perbatasan dengan nelayan lamongan Petrochina). Lebih umum berpotensi konflik dengan pemerintah 2. Kab Lamongan: Brondong (konflik antar nelayan setempat, TPI, KUD, DPK) Paciran (konflik antar nelayan setempat (weru Kompleks) dan nelayan andon), Kranji (konflik antar nelayan setempat (weru Kompleks) dan nelayan andon), Weru Kompleks ((konflik antar nelayan tradisional setempat, Aparat Keamanan, Pemkab Lamongan dan nelayan di pesisir pantai utara jawa timur pada umumnya) 3. Kabupaten Gresik: Ujungpangkah (konflik dengan nelayan Trawl (weru Kompleks) dan nelayan andon dari Jawa Tengah, berpotensi konflik dengan PT Amerada Hess), Sidayu (konflik antar nelayan setempat (weru Kompleks) dan nelayan andon), (konflik dengan nelayan Trawl (weru Kompleks) dan nelayan andon dari Jawa Tengah, berpotensi konflik dengan PT Amerada Hess), Gresik (konflik dengan nelayan Trawl (weru Kompleks) dan nelayan andon dari Jawa Tengah, berpotensi konflik dengan Pelabuhan Gresik),
66
Isa Wahyudi, Achmad Irfan Muzni, Suryanto. Model Pengembangan Resolusi...
Berdasarkan gambar dan tabel Peta konflik diatas menunjukan bahwa di pantai utara Jawa Timur masyarakat yang sebagian hidupnya menggantungkan pada sumber daya laut konflik yang sering terjadi berdimensi 3 komponen yaitu: Nelayan dengan Masyarakat, nelayan dengan perusahaan/swasta dan nelayan pemerintah yang kemudian meluas antara nelayan dengan aparat keamanan. Tetapi yang paling sering adalah nelayan dengan nelayan yang umumnya dimotivasi dari perebutan wilayah tangkap serta perbedaan pemakaian alat latngkap sebagaimana dalam tabel 1 insert : Tipologi Konflik Nelayan Pantai Utara Jawa Timur Berdasarkan ruang lingkup atau aspek-aspek konflik, konflik nelayan dibagi menjadi menjadi empat tipe, yaitu: 1. Fishery jurisdiction, yaitu konflik yang terjadi pada tingkat kebijakan dan perencanaan, seperti konflik antar instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah. 2. Management mechanism, yaitu konflik yang terjadi pada tingkat pengelolaan, dan perencanaan hingga penegakan aturan. 3. Internal allocation, yaitu konflik yang muncul sesama pengguna sumber daya (baca: antarnelayan) atau antara nelayan dan pengusaha processing. 4. External allocation, yaitu konflik yang terjadi antara nelayan dan pelaku lain, seperti pembudidaya ikan, nelayan asing, atau pertambangan, dan sebagainya. Berdasarkan penelitian lapangan yang penulis lakukan maka konflik nelayan di Pantai Utara Jawa Timur dapat di identifikasi paling tidak terdapat tujuh macam konflik nelayan, yaitu sebagai berikut: 1. Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi akibat perbedaan kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground), yang digambarkan dengan kesenjangan teknologi penangkapan ikan. 2. Konflik kepemilikan sumber daya, merupakan konflik yang terjadi dalam isu “ikan milik siapa’ atau “laut milik siapa,” terjadi antar kelas nelayan ataupun interkelas nelayan. 3. Konflik pengelolaan sumber daya, merupakan konflik yang disebabkan oleh pelanggaran aturan pengelolaan baik yang terjadi antar nelayan maupun antara nelayan dan pemerintah. 4. Konflik cara produksi atau alat tangkap, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan alat tangkap baik sesama alat tangkap tradisional maupun antara alat tangkap tradisional dan alat tangkap modern yang merugikan salah satu pihak. 5. Konflik lingkungan, merupakan konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktik salah satu pihak yang merugikan nelayan. 6. Konflik usaha, merupakan konflik yang terjadi di darat akibat mekanisme harga ataupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan. 7. Konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya.
67
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
Dampak Konflik Nelayan di di Pantai Utara Jawa Timur Dengan demikian dampak yang ditimbulkan dari konflik nelayan di pantai utara diatas dapat diidentifikasi: 1) Berkurangnya hasil tangkapan, khususnya nelayan tradisional karena sumberdaya ikan sudah berkurang 2) Beralihnya profesi nelayan bekerja serabutan karena tekanan kemiskinan dan terjerat hutang 3) Nelayan tidak berani melaut karena takut dan kuatir bertemu dengan nelayan trawl sehingga jaring mereka akan rusak 4) Pemuda tidak lagi tertarik pada profesi nelayan karena profesi nelayan dianggap sudah tidak menjanjikan masa depan 5) perempuan nelayan yang menggantungkan suaminya pada hasil tangkapan ikan banyak yang lari ke luar negeri menjadi TKI 6) Anak-anak sekolah relatif tidak mempunyai masa depan yang baik karena kesulitan biaya dari orang tua 7) Rusaknya sumber daya kelautan dan terumbu karang yang menyebabkan musnahnya ikan-ikan 8) Perasaan buruk sangka pada nelayan dari daerah lain atau nelayan pendatang karena mereka dianggap telah mengambil wilayah mata pencaharian. 9) Ketidakpercayaan pada pemerintah dan aparat keamanan karena mereka selama ini diangap tidak mampu menjadi penengah dan menyelesakan konflik antar nelayan. 10)Tidak terencanakannya pemberdayaan nelayan secara sistematis karena bangunan sistem sosial yang sudah mulai rusak akibat konflik konflik tersebut Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam menyelesaikan konflik nelayan karena beberapa faktor selaras dengan pertanyataan Ketua HNSI Jawa Timur Bpk Adiwijaya sebagai berikut: 1) Persepsi masyarakat yang berbeda terhadap eksistensi sumber daya perikanan. 2) Tekanan kemiskinan dan kebutuhan hidup sehari-hari. 3) Sosialisasi yang belum efektif untuk memberi pemahaman masyarakat pesisir tentang peraturan perundang-undangan 4) Penegakan hukum yang belum optimal karena berbagai keterbatasan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum. 5) Kebijakan pemerintah daerah: provinsi/kabupaten/kota yang belum memberikan perhatian serius terhadap pembangunan kawasan pesisir 6) Belum dirumuskannya kerja sama lintas kabupaten yang berbatasan langsung untuk secara bersama dan terpadu mengelola sumber daya pesisir dan laut. Dengan demikian dampak konflik yang ditimbulkan oleh nelayan di pantai utara Jawa Timur antara lain adalah: 1) Konflik Kepentingan Modal 2) Konflik Kepentingan Antar Nelayan
68
Isa Wahyudi, Achmad Irfan Muzni, Suryanto. Model Pengembangan Resolusi...
a. Perbedaan alat tangkap antar nelayan b. Pengaplingan area tangkap antar nelayan Resolusi Konflik Demi Eksistensi Masa Depan Nelayan Dengan memperhatikan aspek sosial-budaya dan kepentingan ekonomi masyarakat nelayan, pemikiran-pemikiran mengatasi konlik perebutan sumberdaya perikanan laut tidak mudah dilaksanakan. Prinsip yang harus dikembangkan untuk menghindari konflik adalah strategi pemanfataan sumberdaya harus mempertimbangkan pendekatan yang menyeluruh tentang jumlah biaya, keuntungan yang dicapai dari proses eksploitasi. Strategi harus memperhatikan interaksi positif antara kepentingan ekonomi dan lingkungan. 1. Pemberdayaan Nelayan 2. Relokasi 3. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat 4. Pengembangan Usaha Alternatif 5. Peningkatan Nilai Tambah Ikan Hasil Tangkapan 6. Pengawasan dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Dan Penyelesaian Konflik Nelayan Jawa Timur Isue Pengelolaan Sumberdaya Ikan: a. Over fishing dan kerusakan lingkungan, penyebab : - Penggunaan metode & alat tangkap yg dilarang - Kehilangan hasil tangkapan akibat pemanfaatan SDI yg belum optmal - Pencemaran perairan, pemanfaatan SDI dengan cara Destruktif atau bom/handak/potas. - Belum optimalnya pelaksanaan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) di wilayah pengelolaan. - Maraknya IUU Fishing (Illegal, Unreported, Unregulated) b. Konflik nelayan, penyebabnya : - Adanya kesenjangan teknologi penangkapan ikan. - Pelanggaran jalur penangkapan, penjarahan rumpon - Penggunaan alat/bahan yang tidak ramah lingkungan - Minimnya hasil tangkapan (over eksploited) - Masalah nelayan andon (seperti penjarahan rumpon di Kab. Malang, pemerasan oleh nelayan lokal di Sumenep) - Belum optimalnya pengawsan dan penegakan hukum - Belum optimalnya sosialisasi peraturan perundang – Undangan c. Perijinan usaha penangkapan ikan, pengoperasian kapal dan alat tangkap belum optimal, penyebabnya : - Data kapal yang tercatat didokumen tidak sesuai dengan Kenyataan (ukuran, asal usul dan pemilik) - Manipulasi perijinan alat tangkap dimana alat yg digunaKan tidak sesuai - Masih dijumpai penggunaan alat tangkap terlarang (trawl)
69
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
d. Penanganan pasca panen hasil perikanan belum optimal, penyebabnya : Masih dijumpai bahan aditif berbahaya pada produk Perikanan misalnya formalin Belum semua proses produksi menerapkan sistem rantai Dingin sehingga mutu hasil tangkapan relatif rendah Tidak tercatatnya riwayat ikan hasil tangkapan sampai Dg distribusi (treasibility) Rendahnya sanitasi dan hygiene penanganan pasca Tangkap diatas kapal sampai kepelabuhan perikanan/TPI Isue Pengelolaan Sumberdaya Ikan : Over fishing dan kerusakan lingkungan, penyebabnya : penggunaan metode dan alat tangkap yang dilarang Kehilangan hasil tangkapan akibat pemanfaatan sumberdaya Ikan yang belum optimal Pencemaran perairan, pemanfaatan sumberdaya dengan cara destruktif atau menggunakan bom/handak/potas) Belum optimalnya pelaksanaan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) di wilayah pengelolaan Maraknya IUU Fishing (Illegal, Unreported, Unregulated) Pendekatan Pengawasan SD Perikanan dan Kelautan : 1. Peningkatan kesadaran masyarakat dalam pemanfaatan Sumberdaya yg bertanggung jawab 2. Melakanakan kegiatan pengawasan diwilayah rawan konflik 3. Penegakan hukum terhadap pemanfaatan SDI 4. Membentuk, membina dan mengembangkan Pokmaswas 5. Mensinergikan kegiatan pengawasan berbasis masyarakat dengan pemberdayaan masyarakat untuk mengubah perilaku Yg destruktif. Solusi penyelesian Konflik di Jawa Timur: 1. Peningkatan pembinaan nelayan melalui sosialisasi Peraturan perundangan 2. Peningkatan koordinasi antar instansi terkait 3. Mengadakan islah antara nelayan yg bermasalah 4. Membangun sarana pengawasan perairan (Poskamladu) 5. Pembinaan dan penggalangan Pokmaswas 6. Kerjasama operasional pengawasan dengan Polairud dan TNI-AL\ 7. Pengawasan perairan terpadu antar provinsi 8. Pelaksanaan kesepakatan kerjasama Jatim – Jateng Agenda pertemuan : 1. Diperolehnya kesepakatan penanganan masalah nelayan Andon 2. Perencanaan kegiatan pengawasan perairan terpadu Antara daerah dan antar Provinsi Jatim dan Jateng 3. Solusi penyelesaian konflik nelayan antar daerah dan atau Provinsi 4. Sinkronisasi kegiatan usaha perikanan tangkap di masing- Masing daerah. 70
Isa Wahyudi, Achmad Irfan Muzni, Suryanto. Model Pengembangan Resolusi...
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan data pada kasus-kasus di atas, dapat diidentifikasi tentang keadaan sumber daya perikanan di perairan Pesisir Utara Jawa Timur dan faktor lain yang telah memicu terjadinya konflik di kalangan masyarakat nelayan. Secara umum, keadaan sumber daya (condition of resources) di suatu kawasan dipengaruhi oleh enam faktor utama, yaitu (1) pranata-pranata pengelolaan sumber daya lokal; (2) konteks sosial budaya; (3) kebijakan negara; (4) variabel-variabel teknologis; (5) tingkat tekanan pasar; (6) tekanan penduduk. Keenam faktor tersebut dapat mempengaruhi secara langsung keaclaan sumber daya atau secara tidak langsung dengan diperantarai oleh pranata-pranata lokal.7 Faktor-faktor tersebut dapat dimanfaatkan untuk melihat perubahan sosial dan sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh suatu komunitas lokal. Penyebab konflik nelayan di Pantai Utaran Jawa Timur adalah : 1). Adanya kesenjangan teknologi penangkapan ikan. 2). Pelanggaran jalur penangkapan, penjarahan rumpon. 3). Penggunaan alat/bahan yang tidak ramah lingkungan, 4). Minimnya hasil tangkapan (over eksploited), 5). Masalah nelayan andon (seperti penjarahan rumpon di Kab. Malang, pemerasan oleh nelayan lokal di Sumenep), 6). Belum optimalnya pengawsan dan penegakan hukum, 7). Belum optimalnya sosialisasi peraturan perundang – Undangan. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam menyelesaikan konflik nelayan sebagai berikut: (1). Persepsi masyarakat yang berbeda terhadap eksistensi sumber daya perikanan. (2). Tekanan kemiskinan dan kebutuhan hidup sehari-hari. (3). Sosialisasi yang belum efektif untuk memberi pemahaman masyarakat pesisir tentang Peratuan Perundang-undangan Keppres No. 39/1980 , UU No. 31/2004 , UU No. 32/2004, UU No. 23/1997 dan peraturan daerah lainnya yang relevan. (4). Penegakan hukum yang belum optimal karena berbagai keterbatasan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum, (5). Kebijakan pemerintah daerah: provinsi/ kabupaten/kota yang belum memberikan perhatian serius terhadap pembangunan kawasan pesisir dan pengelolaan sumber daya ekonomi wilayah untuk mendorong dinamika ekonomi kawasan. (6). Belum dirumuskannya kerja sama lintas kabupaten yang berbatasan langsung. Dengan demikian dampak konflik yang ditimbulkan oleh nelayan di pantai utara Jawa Timur antara lain (1). Konflik Kepentingan Modal, (2). Konflik Kepentingan Antar Nelayan (a). Perbedaan alat tangkap antar nelayan (b) Pengaplingan area tangkap antar nelayan. Kecenderungan masa depan yang terjadi di sektor kelautan karena (1). Meningkatnya konflik Akibat Pluralisme Hukum (2). Otonomi daerah (3) Kepentingan Militer (4). Belum adanya mekanisme kerja yang terpadu antar instansi sektoral yang mengelola sumber daya kelautan. Dampak lain yang ditimbulkan dari konflik nelayan di pantai utara diatas dapat diidentifikasi: 1). Berkurangnya hasil tangkapan, khususnya nelayan tradisional karena sumberdaya ikan sudah berkurang; 2). Beralihnya profesi nelayan bekerja serabutan karena tekanan kemiskinan dan terjerat hutang; 3). Nelayan tidak berani melaut karena takut dan kuatir bertemu dengan nelayan trawl sehingga jaring mereka akan rusak; 4). Pemuda tidak lagi tertarik pada profesi
71
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
nelayan karena profesi nelayan dianggap sudah tidak menjanjikan masa depan; 5). perempuan nelayan yang menggantungkan suaminya pada hasil tangkapan ikan banyak yang lari ke luar negeri menjadi TKI; 6). Anak-anak sekolah relatif tidak mempunyai masa depan yang baik karena kesulitan biaya dari orang tua; 7). Rusaknya sumber daya kelautan dan terumbu karang yang menyebabkan musnahnya ikan-ikan; 8). Perasaan buruk sangka pada nelayan dari daerah lain atau nelayan pendatang karena mereka dianggap telah mengambil wilayah mata pencaharian; 9). Ketidakpercayaan pada pemerintah dan aparat keamanan karena mereka selama ini diangap tidak mampu menjadi penengah dan menyelesakan konflik antar nelayan. 10). Tidak terencanakannya pemberdayaan nelayan secara sistematis karena bangunan sistem sosial yang sudah mulai rusak akibat konflik konflik tersebut. Adapun bentuk Resolusi Konflik Nelayan nelayan yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah: 1). Pemberdayaan Nelayan, 2). Relokasi, 3). Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat, 4). Pengembangan Usaha Alternatif , 5). Peningkatan Nilai Tambah Ikan Hasil Tangkapan, 6). Pengawasan dan Penegakan Hukum, 8). Mengkaji ulang dan menyempurnakan Keppres No. 39/1980 dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang baru dengan mengacu pada UU No. 3 1/2004 tentang Perikanan, 9). Dalam kaitannya dengan masalah di atas dan untuk kepentingan antisipatif konflik sosial nelayan trawl atau minitrawl, implementasi SK Mentan No. 92/Kpts/IK.120//99 10). Menggiatkan kebijakan pembangunan pedesaan di kawasan pesisir secara nasional, khususnya pada desadesa nelayan, 11). Negara hendaknya mengapresiasi secara positif dan melindungsi hak-hak masyarakat tradisional serta kelembagaan/pranata lokal yang dimiliki dan teruji eksistensmnya dan generasi ke generasi untuk mengelola potensi sumberdaya pesisir dan laut sebagai basis kelangsungan hidup mereka. Saran Berdasarkan hasil penelitian Model Pengembagan Resolusi Konflik Nelayan Pantai Utara jawa Timur untuk mengelemininasi konflik perlu dilakukan:. 1. Upaya-upaya yg perlu dilakukan oleh masing-masing kabupaten terkait dengan konflik nelayan di Jawa Timur adalah sebagai berikut : a. Perlu dilakukan penertiban tentang perijinan (dokumen kapal) yg harus dimiliki oleh nelayan. b. Nelayan andon harus mendapat pembinaan dan perhatian dari masing – masing provinsi dan kabupaten dalam upaya mengurangi terjadinya konflik nelayan. c. Perlu penertiban tentang perijinan pemasangan rumpon oleh nelayan dengan dikeluarkan ijinnya oleh instansi yg berwenang. d. Perlu adanya kerjasama yg sinergis antar HNSI, baik provinsi maupun antar kabupaten. 2. Meningkatkan kerjasama antar daerah dalam rangka pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dan penanganan konflik nelayan, maka perlu diintensifkan pengawasan bersama/terpadu antar kedua daerah serta Pemerintah propinsi.
72
Isa Wahyudi, Achmad Irfan Muzni, Suryanto. Model Pengembangan Resolusi...
3. Untuk menciptakan kondisi yg kondusif maka setiap nelayan yg melakukan andon harus mengikuti peraturan perundangan yg berlaku dan mengikuti aturan adat istiadat yg berlaku didaerah seempat. 4. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur segera melakukan pembinaan dan pengecekan terhadap dokumen kapal penangkap ikan dan surat andon pada kapal yg melakukan andon ke Jawa Timur terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan. 5. Bila terjadi konflik nelayan disuatu tempat, agar secepatnya dilakukan koordinasi antar instansi asal nelayan andon dengan instansi tempat terjadinya konflik dalam upaya mempercepat penyelesaian konflik sesuai peraturan perundangan yg berlaku. 6. Pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu mengupayakan pelaksanaan pengawasan diwilayah rawan konflik/penjarahan ikan di rumpon dg berkoordinasi bersama aparat penegak hukum dan pemerintah pusat. 7. Perlu disusun naskah akademik yang berkaitan terbuka antara nelayan tradisional dan nelayan modern yang menggunakan Mini Trawl dapat direkomedasikan tentang perlunya peraturan daerah (perda) untuk mengatasi konflik antar nelayan di wilayah perairan pantai utara Jawa Timurdengan pengelolaan sumber daya kelautaan beserta analisa dampak dan konsekwensi yang ditimbulkan dari banyaknya konflik nelayan selama ini. Naskah akademik tersebut dapat dijadika acuan untuk menyusun peraturan perundang undangan tentang pengelolaan bersama sumberdaya kelautan 8. Melalui pendidikan dan pembrdayaan msyarakat nelayan dapat dilakukan sosialisasi dan penerangan mengenai aturan pemanfaatan sumber daya kelautan sehingga mereka sadar dan dapat berbuat arif adil dan bijaksanan dalam melakukan pengelolaan Sumber daya kelautan. 9. Penelitian selanjutnya juga dapat menelusuri tentang polemik kemiskinan nelayan dalam membangun usaha ekonomi nelayan. Sebagai upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat nelayan penelitian selanjutnya juga dapat menelusuri tentang pemberdayaan masyarakat yang relevan dengan kebutuhan masyarakat nelayan. Selain itu sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan penelitian tentang pengembangan modal sosial untuk mempertahankan kelangsungan lingkungan hidup dan konservasi laut dapat dilakukan dalam rangka menjaga ekosistem kelautan. DAFTAR PUSTAKA Acheson, James M. 1981, Antropology of Fishing. Annual Review of Antropology. Vol 10 Aziz, K.A., 1996. Pukat harimau sebagai salah satu alat pemanfaatan sumberdaya perikanan. Makalah dalam Diskusi Ilmiah Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di ZEE Indonesia dan Permasalahan Pukat Harimau di Indonesia. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor, 8 Januari 1996. hal. 9
73
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
Bambang Wicaksono, 2005. Diskusi kelompok terarah dalam Agus Dwiyanto (Ed.), 2005, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik, Jogjakarta: Japan Internasional Corporate Agency (JICA) dan Gadjah Mada University Press. Braham, B.J. 1990. Calm Down : How to Manage Stress at Work. Illinois : Scolt, Foresman, and Co. Brgham, J.C. 1991. Social Psychology 2nd edition, HarperCollins Publisher. Inc. Buckles, D. 1999. Cultivating Peace: Conflict and Collaboration in Natural Resources Management. Ottawa Canada: International Development Research Center (IDRC) in collaboration with The World Bank Institute. Christy, F.T. 1987. “Hak Pengusahaan Wilayah Pada Perikanan Laut : Definisi dan Kondis”, dalam Ekonomi Perikanan. Yayasan OborIndonesia. Jakarta. Debarbieux, E., 2003, School Violence and Globalization, Journal of Educational Administration, Vol. 41, No. 6, Dennen, V.D., Falger, V. 1990, Sociobiology and Confict. London: Chapman and hall. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002 Evaluasi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Ditjen Perikanan Tangkap, 2002. Bahan Dialog Dirjen Perikanan Tangkap dengan Sub Komisi Kelautan dan Perikanan. DPR-RI. DKP, Jakarta. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2002. Evaluasi PKPS-BBM 2002 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta Faisal, Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi, Malang: Yayasan Asah, Asih, dan Asuh Garret Hardin, 1977. The Tragedy of Common dalam Garret Hardin dan John Baden (eds.) 1977. Managing of Common. San Fransisco: W.H. Freeman and Company. Hadi, Cholichul, 2005. Penyelesaian Konflik Kelompok : Pendekatan Psikologi Interdependensi, Proceding Simposium Nasional Psikologi, Memahami Psikologi Indonesia, Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, 8-10 Desember 2005 Hamidi. 1995. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prilaku beragama, prilaku komunikasi dan perubahan perilaku beragama pimpinan muhammadiyah di Kotamadya Malang. Tesis. Bandung. Universitas Padjajaran Hendricks, W. 2001. Bagaimana Mengelola Konflik. Jakarta: Bumi Aksara
74
Isa Wahyudi, Achmad Irfan Muzni, Suryanto. Model Pengembangan Resolusi...
Huizer, Gerrit, 1997, Participatory Action Research And People's Participation: Introduction And Case Studies, Third World Centre Catholic University of Nijmegen The Netherlands. Naskah dapat diakses di http://www.fao.org/WAICENT/FAOINFO/SUSTDEV/Ppdirect/Ppre0030.htm Indriyanto, Edi. 2000. Mitos Orang Kalah : Orang Laut dan Pola Pemukimannya. Jurnal Antropologi Indonesia Tahun XXIV No. 61 edisi Januari – April 2000. Jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Isenhart, M.W. dan M. Spangle. 2000. Collaborative Approaches To Resolving Conflict. London: Sage Publications Inc. Kamiso. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir Pantai. Makalah dalam Semiloka Pemberdayaan Pesisir dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat, DELP, pada tanggal 19 – 20 Mei di Cilacap Karsu Susilo, 2000. Kebijakan Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah dalam Mendukung Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Rakornas DELP, Jakarta 25 – 26 April 2000. Kusnadi. 2002a. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung. Humaniora Utama Press. Kusnadi. 2002b. Konflik Sosial Nelayan, Kemiskinan dan Perebutan Sumber daya Perikanan Yogyakarta. LKiS. Kusnadi. 2006. Filosofi Pemberdayaaan Masyarakat Pesisir. Bandung. Humaniora Utama Press. Kusnadi. 2006. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Pesisir. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Martin, Paticia Y. dan Turner, Barry A. 1986, “Groundeded Theory and Organizational Research”, The journal of Applied Behavioral science, NTL Institute, Vol. 22, Number 2, 1986 Miles, Matthew B; and Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. UI Press Jakarta. Muhadjir, Noeng, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Penerbit Raka Sarasin, Jogjakarta, hal. 201 Nitibaskara, R,.,R.,T., 2001. Ketika Kejahatan Berdaulat: sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum, Sosiologi. Jakarta. Peradaban Pelupessy, Dicky C. dan Muluk, Hamdi, 2002. Pengaruh kerangka konflik terhadap preferensi prosedur resolusi konflik dalam Jurnal Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia no.X tahun VII Januari 2002 Pradana, Herlambang. (Peny.) 2000. Penindasan Atas Nama Otonomi: Sketsa Hak Asasi Manusia jawa Timur 2000. Surabaya. Lembaga Bantuan Hukum Surabaya dan Pustaka Pelajar Jogjakarta 75
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
Pruitt, D. G. dan Carnavela, P.J 1993, Negotiation In Social Conflict, pacific grove, CA, Brooks/Cole Rapaport, A. 1974. Conflict in Man-made Environment. Penguin Books Ltd. Harmondsworth. England. Salam, El Fatih A. Abdel (19--), Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences International Islamic University, Kuala Lumpur, Malaysia Associate Professor, Department of Political Sciences, Salam, Ihsan Abdul (ed.). 2005. Potret Pelanggaran Hak Asasi Petani dan Nelayan. Jakarta. Sekretariat Bina Desa Satria (2009). Ekologi Politik Nelayan. LKIS. Jogjakarta Solihin, Akhmad. Karim, Muhammad. Suhana dan Nugroho, Thomas. 2005. Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia. (Bunga Rampai) Bandung. Humaniora Utama Press. Spielberger, C.D & Sarason, I.G. 1986. Stress & Anxiety. Washington : Hemisphere Publishing Co. Sudirman dan Mallawa, Achmar. 2004. Tenik Penangkapan Ikan. Jakarta. PT Rineka Cipta. Suharsono, Yudi, 2003, Mencari Akar Psikologi Kekerasan, Jurnal Psikodinamik, Terakreditasi. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang, volume 5, Nomor 2, juli 2003 Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta. FE Universitas Indonesia Suyanto, Bagong. 2005. Modernisasi Perikanan dan Kemiskinan Komunitas Desa Pesisir dalam Suyanto, Bagong. Dan Karnaji. 2005. Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial: Ketika Pembangunan Tak Berpihak Pada Rakyat Miskin. Surabaya. Airlangga University Press Utsman, Sabian. 2006. Anatomi Konflik dan Solidaritas Masyarakat Nelayan: Sebuah Penelitian Sosiologis. Jogjakarta. Pustaka Pelajar Van Noordwijk, M. 2000. Forest conversion and watershed functions in the humid tropics. Proceedings IC-SEA/NIAES workshop Bogor 2000. ICRAF-South East Asia Program. Bogor. Voluntarymatters1and2, Conflict Resolution: Overview, http://www.voluntary matters1and2.org/people/conflict/overview.html, diakses 21 Juni 2007 Wahyudi, Isa dan Muzni, Achmad Irfan, 2007. Strategi Pengembangan Paritipasi gender dalam Resolusi Konflik Nelayan Ujungpangkah Gresik, Laporan Studi kajian Wanita Kerjasama Dikti dan LPPM Univ. Muhammadiyah Gresik. Desember 2007
76
Isa Wahyudi, Achmad Irfan Muzni, Suryanto. Model Pengembangan Resolusi...
Werthein, J., 2003, Tackling Violence in Schools: The Role of UNESCO/Brasil, Journal of Educational Administration, Vol. 41, No. 6,. Yamin, Muhammad dan Dhe. Dkk. 2005. Potret Pelanggaran Hak Asasi Petani dan Nelayan. Jakarta Sekretariat Bina Desa Jawa Pos, 18 Juli 1994 Kompas, 12 Juli 1995 Kompas, 15 Juli 1995 Suara Pembaruan, 7 Juli 2002. MinergyNews.Com, 8 Juli 2002. Jawa Pos, 7 Juli 2002. Kompas, 12 April 2003. Kompas, 16 April 2003. Kompas, 27 September 2006.
77
Jurnal Psikosains. Vol. 4/No. 2/Februari 2012
78