SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
MODEL PENGELOLAAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN WARISAN BUDAYA Yulita Titik S., Y Trihoni Nalesti Dewi, B. Tyas Susanti Pusat Studi Urban, Unika Soegijapranata
ABSTRAKSI Memahami warisan budaya sebagai peninggalan sejarah dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk memahami sejarah yang terjadi di dalamnya. memahami sejarah suatu warisan budaya tidak hanya mempunyai arti yang berkaitan dengan masa lalunya, tetapi juga untuk memahami masa sekarang dan memberi gambaran akan masa depan. Warisan budaya di Indonesia sebagian besar dikelola oleh Pemerintah, sementara keterlibatan masyarakat sangatlah terbatas. Pemerintah masih menggunakan pendekatan top-down dalam mengelola warisan budaya, yang mana pendekatan ini mengandung dilemma baik di pihak pemerintah maupun masyarakat. Oleh karena itu perlu kiranya dibuat suatu pendekatan baru dengan menggabungkan dua pendekatan yaitu pendekatan kebijakan dari pemerintah dengan pendekatan berdasar pada partsipasi masyarakat. Evaluasi ketentuan hukum positif yang berlaku dalam pengelolaan bangunan cagar budaya; identifikasi signifikansi bangunan cagar budaya guna menentukan jenis perlakukan sehingga diharapkan bangunan cagar budaya dapat dikelola secara tepat dan berkelanjutan; identifikasi dan evaluasi bentuk peran serta masyarakat lokal (penghuni, pemakai, dan pemilik) guna melihat tingkat kepedulian masyarakat terhadap bangunan cagar budaya untuk menemukan model partisipasi masyarakat dalam pengelolaan bangunan cagar budaya yang berkelanjutan menjadi perlu dalam membuat model pengelolaan cagar budaya. Beberapa hal ditemukan di kawasan cagar budaya kota lama Semarang, antara lain Perda RTBL belum melakukan penyesuaian dengan beberapa ketentuan hukum yang berkaitan yang ada di atasnya: (1) Beberapa ketentuan dalam Perda RTBL belum dapat dilaksanakan secara baik, seperti ketidak sesuaian segmentasi/zonasi peruntukan kawasan, serta ketidak konsistenan antara peraturan dan kebijakan. (2) Kawasan kota lama beserta dengan bangunannya mempunyai keunikan serta memiliki signifikansi yang layak untuk dikonservasi dan dikembangkan. (3) Potensi ini banyak yang belum tersentuh. (4) Minimnya partisipasi masyarakat serta belum adanya sinergi antar stakeholder dalam pengelolaan bangunan dan kawasan kota lama. Kata kunci: ketentuan hukum; signifikansi, partisipasi masyarakat
52
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
PENDAHULUAN Suatu warisan budaya merupakan representasi dari sejarah yang telah dialaminya, sehingga memahami warisan budaya sebagai peninggalan sejarah dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk memahami sejarah yang terjadi di dalamnya. Memahami sejarah suatu warisan budaya tidak hanya mempunyai arti yang berkaitan dengan masa lalunya, tetapi juga untuk memahami masa sekarang dan memberi gambaran akan masa depan (understanding the present and representing the future). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa warisan budaya mempunyai peran penting sebagai identitas nasional di masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Mengingat pentingnya warisan budaya bagi identitas suatu bangsa, maka Pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih bagi pelestarian dan pengelolannya. Warisan budaya di Indonesia sebagian besar dikelola oleh Pemerintah Pusat, sementara keterlibatan masyarakat sangatlah terbatas. Pemerintah Indonesia masih menggunakan pendekatan “top-down” dalam mengelola warisan budaya. Pendekatan ini mengandung dilemma, di satu pihak (dalam sudut pandang Pemerintah), pendekatan ini sangat baik karena dapat digunakan untuk memberi takanan pada pemerintah daerah atau pemerintah yang lebih rendah untuk menerapkan kebijakan yang dihasilkannya. Tetapi dilain pihak (dalam sudut pandang masyarakat), sistem ini tidak banyak melibatkan partisipasi dari masyarakat, sehingga menciptakan gap (jarak) antara warisan budaya dan masyarakatnya. Oleh karena itu saat ini perlu dibuat suatu pendekatan baru dengan menggabungkan dua pendekatan tersebut dan memberikan
ruang yang luas bagi partisipasi masyarakat dalam pelestarian bangunan cagar budaya. Aspek penting lain yang tampaknya merupakan tantangan yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia dalam menangani masalah warisan budaya adalah ketidak tersediaan akan standard dan petunjuk dalam melakukan konservasi. Ketiadaan standard dan petunjuk ini akan menyebabkan aksi konservasi terhadap warisan budaya semakin rumit lagi karena tanpa petunjuk maka tidak akan ada referensi bagi para pelaku konservasi maupun Pemerintah pada semua tingkatan. Permasalahan Ada beberapa permasalahan yang ingin dibahas dalam tulisan ini, yaitu: a. evaluasi ketentuan hukum positif yang berlaku dalam pengelolaan bangunan cagar budaya. b. Identifikasi signifikansi kawasan kota lama sebagai kawasan yang cagar budaya yang layak untuk dilestarikan c. Peran serta masyarakat/stakeholder dalam pengelolaan bangunan dan kawasan cagar budaya di kawasan kota lama Semarang KAJIAN PUSTAKA Warisan Budaya Warisan budaya sendiri didefinisikan sebagai an expression of the ways of living developed by a community and passed on from generation to generation, including customs, practices, places, object, atrictic expression and values. Cultural heritage is often expressed as either tangible or intangible. Warisan budaya mencakup tangible yang berupa situs warisan budaya, 53
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
bangunan bersejarah, kota bersejarah, lansekap budaya, situs alam sacral dan sebagainya, maupun warisan budaya intangible yang berupa tradisi lisan, bahasa, kesusasteraan, kuliner tradisional, seni pertunjukan dan sebagainya. Kriteria warisan budaya dapat dilihat secara international, nasional, regional, maupun lokal. Kriteria warisan budaya secara nasional/internasional adalah segala sesuatu yang: mempunyai nilai penting (sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya) merupakan karya agung (masterpiece/adiluhung) mengandung keunikan atau kelengkapan merupakan contoh terkemuka dari bangunan arsitektur, pemukiman tradisional, teknologi, lansekap, kategori klaster (merupakan beberapa tinggalan) merupakan budaya serupa, border (serumpun Melayu), merupakan kebudayaan bersinambungan dalam rentang masa tertentu (series). Kriteria warisan budaya dapat dilihat secara international, nasional, regional, maupun lokal. Kriteria warisan budaya secara nasional/internasional adalah segala sesuatu yang: mempunyai nilai penting (sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya) merupakan karya agung (masterpiece/adiluhung) mengandung keunikan atau kelengkapan merupakan contoh terkemuka dari bangunan arsitektur, pemukiman tradisional, teknologi, lansekap, kategori klaster (merupakan beberapa tinggalan)
merupakan budaya serupa, border (serumpun Melayu), merupakan kebudayaan bersinambungan dalam rentang masa tertentu (series).
Pengelolaan Bangunan dan Kawasan Cagar Budaya Konservasi bangunan cagar budaya adalah bagian integral dari pengelolaan tempat-tempat bersejarah dan merupakan tanggung jawab masyarakat secara berkesinambungan. Menurut John Earl dalam Elwina ada tiga persoalan dasar yang melatarbelakangi dilakukannya konservasi, yaitu: a) motive – why do we wish to conserve; b) monument – what are we trying to conserve; c) manner and means – how should it be done. Di Indonesia, pada waktu lalu pengelolaan bangunan bersejarah lebih banyak bersifat top-down. Disatu sisi hal ini mempunyai efek yang positif karena akan memaksa level di bawahnya untuk melaksanakan semua regulasi tersebut. Namun disisi lain, dari aspek partisipasi masyarakat menjadi berkurang. Selain itu prioritas dan nilai dari pemerintah bisa saja berbeda dari nilai dan prioritas tentang bangunan bersejarah dari masyarakat. Oleh karena itu saat ini perlu dibuat suatu model dengan menggabungkan dua pendekatan tersebut dan memberikan ruang yang luas bagi partisipasi masyarakat dalam pelestarian bangunan/benda cagar budaya. Partisipasi masyarakat harus menjadi satu aspek yang penting dalam kegiatan pelestarian bangunan bersejarah di Indonesia.. Penanganan spasial dan sosial-budayaekonomi di kawasan bersejarah dengan bertumpu pada pemberdayaan komunitas yang berbudaya merupakan upaya pendekatan bottom-up untuk 54
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
membangkitkan kembali vitalitas komunitas budaya untuk berkreasi di tengah masyarakat yang serba modern. Pilihan pendekatan ini sekaligus dimaksudkan pula untuk menciptakan kawasan bersejarah sebagai pusat kebudayaan dalam perspektif demokratis. Dengan demikian, diharapkan mampu menumbuhkan daya tahan budaya terhadap tekanan-tekanan modernisasi yang terjadi.
Perlindungan Hukum tehadap benda cagar budaya Peraturan mengenai konservasi dan preservasi bangunan budaya yang dituangkan dalam the Monumenten Ordonantie Staatsblad Nomor 238 Tahun 1931, namun demikian penekanan Ordonansi ini lebih pada masalah arkeologisnya. Dalam perkembangannya, pengelolaan bangunan cagar budaya di Indonesia diatur oleh sejumlah ketentuan hukum. Beberapa produk hukum yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan benda cagar budaya dikawasan kota lama : Undang-Undang No 25 Th 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Peraturan Daerah Jawa Tengah No. 3 tahun 2008 tentang Pembangunan Jangka Panjang Daerah tahun 20052025 Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menegaskan wewenang Pemerintah Daerah dalam Penataan Ruang terutama dalam hal perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Peraturan Daerah Jawa Tengah No. 21 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Tengah Undang-undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang mengatur tentang penyelenggaraan, pemanfaatan, pemeliharaan, perawatan, pemeriksaan berkala, pelestarian, serta pembongkaran bangunan gedung Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya Peraturan Pernerintah No. 10 Tahun 1993.
PEMBAHASAN Signifikansi Kawasan Cagar Budaya Pengertian signifikansi sinonim dengan nilai yang terkandung di dalamnya. Dalam upaya pelestarian dan pengelolaan bangunan dan kawasan cagar budaya ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan, yaitu: nilai budaya, nilai kawasan dan nilai ekonomisnya.
Signifikansi budaya mengandung arti nilai-nilai estetis, historis, ilmiah, sosial atau spiritual untuk generasi dahulu, kini, dan yang akan datang. Signifikasi kawasan atau nilai kawasan dikaitkan dengan struktur fisik kawasan, infrastruktur dan sarana pendukung, serta kualitas fisik kawasan. Struktur fisik kawasan mencakup: Kerangka kerja (frame work), adalah kerangka kerja kawasan berupa pengaturan jaringan jalan utama, jalan lingkungan dan pedestrian. Selain pengaturan jalan kerangka kerja juga mencakup upaya pengaturan focal point, land 55
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
masses, dan physical feature kawasan; Skeleton (kerangka penataan), adalah struktur inti yang menggambarkan penataan kawasan; jaringan kerja (network) adalah jaringan pergerakan dalam kawasan. Infrastruktur kawasan mencakup jaringan sanitasi, listrik, system pembuangan, jaringan gas dan sebagainya. Sedang kualitas fisik kawasan dapat dlihat melalui system peemandangan, urban fabric, pengaturan bangunan dan sebagainya. Signifikansi ekonomi. Warisan budaya merupakan kumpulan fenomena yang sangat esensial dan saling berkaitan seperti, aspek social, politik, estetika/arsitektural, pendidikan, dan tentu saja aspek ekonomi. Secara strategis berbahaya jika tidak menyertakan pertimbangan ekonomi dalam kajian terhadap upaya konservasi. Upaya konservasi bangunan ataupun kawasan hendaknya juga dapat memberikan cara bagaimana mendatang keuntungan (benefit) secara ekonomi.
Partisipasi Masyarakat Pendekatan partisipasif digunakan dalam pembangunan yang melibatkan atau mengikut sertakan masyarakat dan stake holder dalam proses pembangunan. Proses ini mencakup dari perencanaan awal, penyusunan konsep dan implementasi sampai pada pengelolaan. Dalam proses ini aspirasi masyarakat dan inisiatif menjadi penting. Dengan pendekatan ini, masyarakat ditumbuhkan rasa memiliki dari lingkungan di mana mereka tinggal.
Ada dua hal yang perlu dilakukan, yaitu: Penyadaran komunitas akan potensi dan kapasitas yang dimiliki yang memungkinkan untuk membangun diri dan lingkungan ke arah kehidupan yang lebih berkualitas yang dapat dilakukan dengan cara inventarisasi modal sosial, memperkuatnya serta mobilisasi masyarakat dan sumberdaya Memungkinkan terjadinya sinergi peran peran lintas pelaku (multi stakeholder) untuk keberlanjutan sistem mata penghidupan (livelihood system) komunitas yang dapat dilakukan dengan cara membangun sistem jejaring Beberapa prinsip yang perlu diikuti dalam pembangunan berbasis partisipasi masyarakat, yaitu: Cakupan: semua pihak harus terwakili Kesetaraan dan kemitraan (equal partnership): Transparansi: Kesetaraan wewenang (sharing power / equal powership): Kesetaraan tanggungjawab (sharing responsibility): Pemberdayaan (empowerment): Kerjasama. Ada beberapa model partisipasi yang mungkin diterapkan, yaitu: i. Partisipasi dengan berbagi informasi Merupakan bentuk partisipasi yang paling dangkal Bentuknya bisa penyebarluasan program atau meminta para stakeholder untuk memberikan informasi yang akan digunakan untuk membantu merencanakan atau mengevaluasi kegiatan 56
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
Model komunikasi lebih bersifat satu arah dari pada interaktif ii. Partisipasi melalui konsultasi Istilah konsultasi untuk melukiskan setiap pelibatan stakeholder dalam kegiatan Tetapi dalam pembangunan partisipatif diartikan lebih sempit Mengacu pada orang yang diminta pendapatnya mengenai sesuatu, para profesional pembangunan mendengarkan pandangan mereka, dan tidak wajib memasukkan pandangan mereka Model ini mengandung ada resiko: Hanya mengambil (ekstraktif); yakni, para stakeholder jarang mengetahui bagaimana umpan balik mereka digunakan; Orang kurang memiliki motivasi untuk berpartisipasi; Bisa menjadi sekadar pro forma atau manipulatif bila para profesional pembangunan menggunakan proses konsultasi untuk mensahkan agenda mereka sendiri; Proses-proses seperti ini biasanya tidak menghasilkan kepemilikan dan keberlanjutan masyarakat; Konsultasi perlu disadari sebagai prosedur terbatas untuk mengikutsertakan para stakeholder iii. Partisipasi dengan Kolaborasi Mengundang para stakeholder untuk menjadi mitra dalam pengambilan keputusan. Ada kolaborasi antar stakeholder Mengikutsertakan stakeholder sejak pencarian fakta dan penyusunan konsep Dalam proses yang bersifat kolaboratif, masing-masing
stakeholder melakukan pembahasan dan menyusun dokumen serta mengembangkan bersama. Stakeholder ikut ambil bagiam dalam keputusan. Proses ini dapat mengembangkan rasa memiliki yang dapat memotivasi mereka secara berkelanjutan. Dialog secara terus menerus antar stakeholder perlu untuk mengembang kan komitmen iv. Partisipasi melalui pemperdayaan/kendali bersama: Kendali bersama melibatkan partisipasi yang lebih dalam daripada kolaborasi Warga masyarakat menjadi lebih diberdayakan dengan menerima tanggung jawab yang makin bertambah atas pengembangan dan pelaksanaan rencana Pembuat keputusan terpusat pada masyarakat Masyarakat (stakeholder) mengembangkan rencana tindakan dan mengelola kegiatan mereka berdasar prioritas dan gagasan mereka sendiri Profesional pembangunan menjadi fasilitator Memungkinkan para stakeholder menjadi pelaku penuh dalam pembangunan mereka
Signifikansi Kawasan Kota Lama Semarang 57
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
Sebagai kawasan historis, Kota Lama memiliki citra yang khas karena memenuhi kriteria: a. Estetika / arsitektonis, yaitu dikaitkan dengan nilai estetika b. Kejamakan / tipikal, yaitu ditekankan pada seberapa jauh artefak tersebut mewakili suatu ragam atau jenis khusus yang spesifik c. Kelangkaan yaitu keberadaan artefak tersebut tidak dapat ditemui di kawasan lain d. Peran sejarah yaitu kaitannya dengan simbolisme peristiwa masa lalu dan sekarang e. Pengaruh terhadap lingkungan yaitu peran kehadirannya untuk meningkatkan kualitas dan citra lingkungan disekitarnya f. Keistimewaan yaitu kekhasan artefak meliputi criteria tertua, terbesar, pertama, dan lain sebagainya. Bangunan kolonial di kawasan kota lama Semarang, tentunya tidak terlepas dari pengaruh arsitektur yang berkembang di Eropa pada waktu itu. Pada abad ke16-18, arsitektur yang berkembang di Netherland (Belanda) dan sekitarnya adalah arsitektur dengan gaya High Renaisance Harmony. Keindahan gaya arsitektur ini dikembangkan dari filosofi Vitruvius, yaitu utilitas, Firmitas dan Venustas. Keindahan dalam bangunan harus mencakup aspek Numerus (diwujudkan dalam keindahan logika), Finitio (proporsi), Collocatio (yang diwujudkan dalam sistem penataan atau arangement Bangunan kuno yang di kawasan kota Lama Semarang pada umumnya di bangun pada akhir abad 19 - awal abad 20. Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, ciri yang terlihat menonjol ditunjukkan oleh bangunan sistem pengaturan fasade
bangunan di kawasan pusat kota lama terlihat lebih banyak dipengaruhi oleh tradisi High Renaisance Harmony yang berkembang di Eropa (Belanda) pada abad 16 - awal abad 19. Hal ini terlihat dan ciri atau tanda yang ditunjukkan yaitu adanya tatanan pada hampir semua bangunan yang mempunyai hirarki; kejelasan datum (elemen pengikat dan elemen onientasi) pada hampir semua bangunan kuno yang ada; keseimbangan formal, dimana semua bangunan mempunyai simetri; keselarasan (harmoni) yang tercipta oleh adanya kontrapoler padat rongga /vertikalhorisontal; serta tatanan yang terstruktur dan komposisi geometri murni. Pemaknaan bangunan terlihat pada transformasi bentuk arsitektural bangunan. Unsur lengkung (arcade dan bentuk geometri lengkung pada bukaan) banyak dijumpai pada bangunan di kawasan pusat kota lama Semarang. Tradisi Kristen yang muncul pada gereja-gereja jaman gotik tercermin pada bangunan. Suatu tradisi simbolisasi dan citra spiritual yang melihat bangunan umum (khususnya gereja) sebagai symbol dari almamater Maria. Ekspresi yang muncul pada citra ini adalah bentuk-bentuk lengkung sebagai ekspresi dari feminimitas, serta ukuran bukaan kaca dengan ukuran yang besar-besar. Pada bangunan di kawasan pusat kotalama Semarang ekspresi bentuk ini banyak terlihat pada sebagian besar bangunan. Penggunaan cahaya alami dengan menggunakan bentuk lengkung dan bukaan yang cukup besar. Disamping almamater Maria pemaknaan yang berkaitan dengan tradisi kristen adalah ekspresi secara mitologis yang memberikan pemaknaan pada bangunan umum dan bangunan gereja sebagai Yerusalem Baru. Ekpresi dan pemaknaan ini adalah dengan adanya towering (menara), dan bentuk58
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
bentuk benteng, dan gerbang (dalam bentuk gable). Bangunan-bangunan yang , mempunyai ekspresi sebagai pemaknaan dari Secara visual, kawasan kota lama mempunyai karakter yang spesifik (gambar 1 a,b,c), dan kawasan ditata dengan system pemandangan yang mengarah pada pusat (Taman Srigunting). Pengarahan ini pada awalnya sesuai dengan posisi pintu gerbang, serta akses dengan lingkungan sekitar. Namun sayangnya, dalam perkembangannya pengaturan arah jalan/ orientasi yang ada sekarang ini berlawanan dengan pergerakan sesuai dengan system pemandangan yang direncanakan pada awalnya sehingga menyebabkan secara system pemandangan kawasan, keindahan lansekap kota lama menjadi tidak terlihat. Dilihat Secara ekonomis, kawasan kotalama mempunyai keterkaitan dengan (linkage) kawasan sekitar. Kawasan Kota Lama mempunyai posisi yang strategis, dan secara ekonomis dapat dikembangkan sebagai kawasan budaya dan kawasan penyangga untuk kawasan sekitar. (gambar 2) Partisipasi Masyarakat Pengertian masyarakat dalam penelitian ini mencakup stakeholder yang berkait dengan pengelolaan kawasan antara lain: pemerintah kota dalam hal ini diwakili oleh bapeda dan dinas pariwisata, badan otoritas pengelola kawasan yaitu BPK2L (Badan Pengelola Kawasan Kota Lama), pemilik bangunan, dan pengguna bangunan. Dari sisi pengguna dan pemilik, diwakili oleh 5 orang pemilik bangunan di jalan poros letjen Suprapto, yaitu pengurus yayasan Gereja Blenduk (letjen Suparapto), pemilik rumah makan Sate 29, pemilik bangunan depan Sri
Gunting, pemilik bangunan Toko di letjen Suprapto, pemilik Galeri Semarang dan pemilik IBC. Dalam pengelolaan Kawasan Kota lama, Peran serta masyarakat yang diwadahi dalam BPK2L (Badan Pengelola Kawasan Kota Lama) belum dapat dijalankan dengan baik karena tidak mendapat dukungan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya tersebut. Wewenang BPK2L masih tumpang tindih dengan dinasdinas terkait. Disamping itu, hambatan dalam permasalahan kepemilikan yang kebanyakan merupakan asset privat sehingga menyebabkan campur tangan BPK2L dalam pelestarian agak sulit terhadap asset privat terutama dalam pemberian pengertian pada pemilik tentang hak dan kewajiban sebagai pemilik bangunan budaya serta kesulitan dalam memberikan pemahaman dan sosialisasi program. Peran serta dari pemilik dan pengguna bangunan sudah mulai dirintis secara baik dalam pengelolaan bangunan cagar budaya yaitu antara lain pengurus yayasan Gereja Blenduk, pemilik rumah makan Sate 29, pemilik bangunan depan Sri Gunting, pemilik bangunan toko peralatan depan de Spiegel, pemilik Galeri Semarang dan pemilik Rumah Makan Ikan Bakar Cianjur. Bangunan cagar budaya tersebut dikelola baik untuk kepentingan sosial, keagamaan maupun bisnis. (gambar 3,4,5) Permasalahan yang timbul berkaitan dengan minimnya peran serta masyarakat lokal/ local community (penghuni, pemakai, dan pemilik) dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Banyak bangunan yang ditinggalkan/dibiarkan oleh pemiliknya sehingga banyak bangunan yang mempunyai signifikansi cukup tinggi cenderung menjadi rusak 59
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
b) Munculnya permasalahan sosial akibat bangunan kosong dan terlantar, seperti pengokupasian bangunan oleh pendatang secara liar, serta permasalahan lingkungan yang disebabkan kurang berjalan dan kurang tersedianya utilitas di kawasan ini. Permasalahan peraturan pengimplementasiannya
serta
Dalam pengelolaan bangunan budaya yang ada di Kota Lama Semarang, beberapa hukum positif (perundang-undangan) baik pada level nasional maupun lokal menjadi dasar hukum pengelolaan. Ketentuan pada level nasional Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 mengenai Perlindungan Benda Cagar Budaya yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 sebagai pedomannya. Disamping kedua perundang-undangan tersebut UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung juga menjadi acuan. Sementara ditingkat lokal, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2008 mengenai Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan digunakan oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang sebagai dasar hukum pengelolaan. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari perundangundangan tersebut adalah: a. Perda RTBL belum melakukan penyesuaian dengan beberapa ketentuan hukum yang berkaitan yang ada diatasnya seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Perda RTBL juga harus menyesuaikan dengan UndangUndang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, karena Perda mendasarkan pada undang-undang yang
lama sementara masalah penataan ruang sudah diubah oleh ketentuan yang baru b. Beberapa ketentuan dalam Perda RTBL belum dapat dilaksanakan secara baik seperti: masalah kerangka penataan kawasan (zonasi kelompok fungsi) dimana pemanfaatan ruang dalam prakteknya tidak sesuai segmentasi/zona peruntukan yang diatur dalam Perda RTBL. terjadi ketidak-konsistenan antara peraturan dan kebijakan yang berlaku terutama berkaitan dengan kerangka kerja kawasan dan fungsi bangunan. Jalan Letjend Suprapto yang merupakan sentral kawasan Kota Lama mempunyai beban yang sangat berat karena merupakan poros jalan yang dilalui oleh semua kendaraan termasuk kendaraan berat sehingga menimbulkan getaran langsung pada bangunan serta polusi. Kondisi ini bisa mempercepat kerusakan bangunan kuno yang harus dikonservasi yang banyak terdapat di jalan Letjend Suprapto. belum adanya sinergi antara pemerintah, badan pengelola kawasan, pemilik dan pengguna bangunan dikawasan dalam pengelolaan bangunan di kawasan Kota Lama Semarang sedangkan hal ini secara jelas sudah diatur dalam Perda RTBL. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan dapat dirumuskan: a. Dari sisi hukum dan peraturan, dalam belum adanya konsistensi antara hokum dan kebijakan yang berlaku serta perlunya penyesuaian dengan 60
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
peraturan yang berkait yang lebih baru dan di atasnya b. Dari sisi signifikansi, karena keunikan dan kespesifikan serta nilai ekonomis kawasan, maka kota lama mempunyai signifikansi untuk dikonservasi dan di kembangkan sebagai kawasan penyangga c. Dari sisi peran serta masyarakat, Perlu adanya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan kerjasama secara sinergis antar stake holder.
61
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA Australian Heritage Commission, 1999, Protecting Local Heritage Places, A guide for Communities, Canberra Beatrice Kaldun, 2003, Partnership for Empowered Participation: Mainstreaming a CommunityBased Paradigm for World heritage Management, World heritage papers 13, on “Linking Universal and Local Values, Managing a Sustainable Future for World Heritage” a conference organised by The Netherlands National Commission for UNESCO, 22-24 May 2003 Broadbent, 1980, Sign, Symbol, and Architecture, John Wiley & Son, Chichester. Budiman,A, Semarang Riwayatmu Dulu, artikel Suara Merdeka, 11 April 1975 hal IV, Serial Sejarah kota Semarang. Budiman, A, Kota Semarang Sejak Jaman Pandan Arang, artikel pada harian Suara Merdeka Rabu 19 Mei 1976 hal III. Burra Charter, 1998, 1987, Charter for the Conservation and Cultural Place Cindy F. Malvicini dan Anne T. Sweetser,2003, Cara-Cara Partisipasi: Makalah Tentang Kemiskinan dan Pembangunan Sosial, No 6/Juli 2003, Asian Development Bank. hal 10 -24 Elwina, Marcella, 2002, Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Dalam Melestarikan Warisan Budaya Etnis Cina Klenteng Sam Po Kong, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, Falkirk Council Structure Plan, 2004, Built Heritage & Urban Design, Report of Survey Fielden, Bernard M “Challenge to Heritage Preservation in Industrially Developed Countries” Why Preserve the Past, (Ed by Yudhisthir Raj isar, UNESCO, Paris, 1986 Fred N. Kerlinger (diterjemahkan Landung R. Simatupang), 2003, Behavioral, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 217
Asas-asas Penelitian
Hampton, Mark, P. 2005. Heritage, Local Communities, and Economic Development. In: Anals of Tourism Research, vol 32, No.3, Elsevier Ltd (Great Britain), hal. 739 Handinoto, 1992, Perkembangan Kota Dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870 1940, Laporan Penelitian, Unkris Petra Surabaya
62
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
ICOMOS, 1971, “The Venice Charter” (International Charter for the Conservation and Restoration of Monument and Sites). Konsiderans Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992, Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3470 Mangunwijaya, 1992, Wastu Citra, Gramedia Jakarta, hal 194-220 Marquis-Kyle, P. & Walker, M. 1996. The Illustrated BURRA CHARTER. Making good decisions about the care of important places. Australia: ICOMOS. Marta de la Torre & Erica Avrami, 2000, Value and Heritage Conservation, The Getty Conservation Institute, Los Angeles Marta de La Tore and Randy Mason, 2000, Economics and Heritage Conservation: Issues and Ideas on Valuing Heritage, Getty Conservation Institute, LA, California Naniek Widayati, Strategi Pengembangan Warisan Budaya:sebuah pandangan dari sisi arsitektur, Makalah ini dipresentasikan pada kongres Kebudayaan Indonesia ke V di Bukittinggi tanggal 19 sampai dengan 23 Oktober 2003 Navrud Stale and Richard C.Ready (ed), 2002, Valuing Cultural Heritage, Applying Environmental Valuation techniques to Historic Buildings, Monuments and Artefacts, Edward Elgae Publishing ltd, UK Penjelasan Umum Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2008, Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 Nomor 3, TAmbahan LEmbaran Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1992 TENTANG BENDA CAGAR BUDAYA, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3516 Piagam Icomos Australia untuk Tempat-tempat Bersignifikansi Budaya (Indonesian by Rika Susanto & Hasti Tarekat) Roy Gutman and David Rieff, Crimes of War, WW.Norton & Company, London, 1999, hal. 110 Sidharta and Budihardjo (1989), Konservasi Bangunan Bersejarah, Gajah Mada University Pers, Yogyakarta, hal 9 Siswanto Andi, 1994, Inventarisasi Data Masalah Urban Disain di Kota Lama Semarang, PT Wismakarman, Semarang Smardon, RC, 1986, Foundation for Visual Project Analysis, John Willey & Son, New York 63
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
Soenarno,2002, Kekuatan Komunitas Sebagai Pilar Pembangunan NAsional,makalah disajikan pada Seminar Nasional – Kekuatan Komunitas sebagai Pilar Pembangunan, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah, Jakarta 24 April 2002 Sudikno Mertokusumo, 1985, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hal. 16 Sullivan Sharon, 2003, Local Involvement and Traditional Practises in the World Heritage System, working paper on “Linking Universal and Local Values, Managing a Sustainable Future for World Heritage” a conference organised by The Netherlands National Commission for UNESCO, 22-24 may 2003 Sunarimahingsih Yulita T, 1995, Sistem Visual kawasan Pusat Kota Lama, Thesis S-2, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta hal 55-84 Teo, Peggy and Huang Shirlena. 1995. Tourism and Heritage Conservation in Singapore. In: Annals of Tourism Research, Vol 22, No.3, Elsevier Science Ltd (United States), hal. 590 Teresa Dutli, 2002, Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, International Committee of The Red Cross, Geneva, Undang-Undang Nomor 26 TAhun 2007, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725 Undang_Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4247 Watkin D, 1986, A History of Western Architecture, Barrie&Jenkins, Melbourne, hal 176-234 --, 2003, Laporan Akhir Penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Kota Lama, dalam lampiran Perda Nomor 8 Tahun 2003, tidak dipublikasikan, hal. I.3 – I.4
64
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
Berikut beberapa contoh bangunan yang mempunyai nilai estetis dan menunjukkan perkembangan arsitektur yang terjadi saat itu.
PT Mascom Grafi Bangunan Kantor Suara Merdeka (Cempaka) Merupakan salah satu contoh gerakan Nieuwe Kunt( art noveau gaya belanda) : kontrapoler V-H oleh bidang entrance dan garis peralihan; penggunaan geometri segi tiga dan segi empat; bentuk tympanum pada bidang entrance
Pabrik Rokok Prau Layar Sebagai bangunan pojok, bangunan ini mempunyai penye-lesaian yang sangat baik, ada keseimbangan dalam permainan garis vertical dan horizontal. Merupakan bangunan modern awal yang menyesuaikan dengan kondisi setempat
GKBI Menara merupakan respon yang kuat dengan bangunan PT Pelni Pola Horisontal sangat kuat. Pengaruh Art Deco pada menara.
PT Pelni. Pengulangan deretan kolom dan bukaan, aksentuasi pada pojok, sebagai entrance, analogi benteng tower dalam bentuk modern. Tower pada pojok merupakan hirarki dan aksis yang sangat kuat. Mewakili bentuk modern awal. Dipengaruhi gaya art deco.
PT Jakarta Loyd Gaya arsitektur dipengaruhi oleh modern classicism. Respon sebagai bangunan tropis sangat kuat. Adaptasi arsitektur regional.
Bank Mandiri Berimpit dengan PT PancaNiaga. Merupakan bekan bangunan Societet de Harmoni . Kesan Arcade sangat menonjol. Diwarnai unsure dekoratif, pengaruh gaya art deco cukup kuat
Gambar 1a : contoh bangunan yang mempunyai signifikansi arsitektural
65
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
Kantor Telegraf Tampilan simetris dengan bentuk lengkung di kiri dan kanan dan kubah di tengah . Tampilan cukup kaya dengan ornament, melaui tonjolan cornice dan balustrade. Dilihat dari arah jl. Branjangan membentuk vista yang menarik.
Gedung PTP XV Bentuk simetridiperkuat dengan menara dan bidang gable di tengah. merupakan bangunan sudut pengaruh gaya renaisanse. Irama yang diciptakan tdk menganut gaya paternalistic. Ornament dan lengkung pada interiornya sangat kuat.
Ex Bank Dagang Negara Tampil lebih sederhana, kontras dengan PTP XV. Aksentuasi diberikan melalui peninggian bidang entrance (bentuk Gable).
Ex Gedung Aswindo Graha Merupakan bangunan sudut. Merupakan contoh bangunan gaya modern classicism yang beradaptasi dengan arsitektur regional (tropis)
PT BWI Bangunan 2 lantai. Membentuk arcade pada lantai bawah. Modifikasi bentuk gable khas Belanda.Ada pengaruh gaya art deco cukup kuat pada ornamentnya.
PT Rajawali Nusindo Model atap gable dengan unsure dekoratif khas Belanda. Merupakan perpaduan gaya baroque dan gothic.
66
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
PT Panca Niaga Pengaruh gaya art deco pada menara. Menara sekaligus merupakan kontinuitas/respon terhadap bangunan bank mandiri. Pengolahan padat rongga. Ada keseimbangan V-H
Ex Van Dorp. Bangunan modern awal dengan bentuk kubis. Bekas bangunan percetakan yang cukup terkenal pada waktu itu
Gereja Blenduk Merupakan landmark kawasan; pengaruh baroque pada kedua menara dipadu gaya klasik pada tympanumnya.; ada permainan bidang yang sangat menarik. Bentuk kubah yang sangat menonjol.
De Spiegel Merupakan focal point dari arah barat. Merupakan bentuk silhouette dari NV Marba. Bekas Galeri Pengolahan bidang padat rongga untuk memberi daya tarik.
IBC (Bangunan bekas kantor pengadilan.) Pengolahan fasade dengan pengunduran setengah bidang untuk entrance. Penggunaan konsep pola kaki badan
Gedung Jiwa Sraya Bentuk L yang sangat responsive dengan taman srigunting; mempunyai gaya paduan classic order dan baroque. Bangunan Modern awal; bangunan yang menggunakan lift pertamakali di Indonesia.
NV Marba Respon sudut sangat kuat, dan merupakan focal point dari arah timur. Pengaruh baroque belanda pada pediment di atas dinding sudut. Ragam hias yng menarik di atas cornice. Menggunakan bata ekspose, bentuk lengkung yang ritmik member kesan spt arcade.
67
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
Pelabuhan, kawasan industry, stasiun tawang
Stasiun poncol dan arah ke Bandara
Jl pemuda, kea rah kota dan tugu muda Kawasan perkantoran ,jasa dan perdagangan
Kawasan perdagangan: Pecinan, Pasar Johar, Mataram
Gambar 2: Linkage kawasan
Sebelum direnovasi: 68
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
Kondisi bangunan sebelum direnovasi banyak ditumbuhi tananam , dan banyak bagian yang rusak
Gambar 3 : bangunan milik bp.Chris D sebelum direnovasi Sumber : Dokumentasi Chris Dharmawan, 2007
69
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
Pada tahun 2008 dilakukan renovasi dan berikut kondisi setelah direnovasi
Eksterior bangunan dibuat masih seperti bentuk aslinya, bagian interiornya mengalami penyesuaian seperti penambahan freestanding wall, pelubangan sebagian lantai atas, penggantian railing tangga dengan kaca, pemakaian bahan lantai dengan bahan sekarang. Semua dilakukan untuk memebuhi tuntutan fungsi sebagai galeri kontemporer Gambar 4 : bangunan Bp. Chris setelah direnovasi Sumber : Pengamatan lapangan 70
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
Bangunan bekas gedung pengadilan yang sekarang di reuse untuk restaurant ikan bakar cianjur.
Bangunan eks pengadilan direuse untuk rumah makan ikan bakae cianjur. Bentuk asli masih dipertahankan renovasi hanya menambah bangunan belakang yang dibuat mirip serta pembukaan bidang belakang untuk menghubungkan bangunan lama dan baru. Perabot dipilih untuk mendukung bangunan lama
Gambar 5 : bangunan bekas pengadilan yang di reuse untuk rumah makan Sumber : pengamatan
71
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
2
3
1
1. Pengokupansian bangunan kosong di lantai atas (karena lantai bawah sering terkena rob), mereka menggunakan tangga untuk naik ke atas 2. Taman SriGunting sebagai tempat istirahat dan transit kaum homelessness 3. Warung tenda yang menempel bangunan 4. Selasar kosong yang di gunakan untuk berhuni. malam hari sering digunakan sebagai tempat prostitusi. 5. Saluran got yang mampet, yang malam hari atau subuh sering digunakan juga untuk BAB 6. Membuat hunian di sela bangunan atau di bekas bagian bangunan yang roboh 7. Menggunakan bangunan yang ditinggalkan pemiliknya untuk berhuni dan berjualan
4
5
6
Gambar 6: beberapa permasalan social di kawasan kota lama Sumber : pengamatan
7
72
SERI KAJIAN ILMIAH, Volume 14, Nomor 11, Januari 2011 __________________________________________________________________________________
73