Nurlina | 169
MODEL KEPEMIMPINAN DALAM KARAK TERISTIK GENDER Oleh: Nurlina Dosen tetap pada jurusan Tarbiyah STAIN Watampone Email:
[email protected] Abstract: This paper aims to briefly review the basic principles of the policy model of female leadership in the world of work (employment). Which is quite interesting due to the differences in the characteristics studied gender injustice that their treatment will management policies against women in the workplace as well as the assumption that the leadership in the organization meant the gender perspective, that is to say in choosing a leader to be seen sex (gender). Because of the gender differences are men and women who have become the rule of God or nature and biological provisions that can not be changed anymore. So when this gender difference in occupying a position considered as nature, because it leads to masculine leadership. Therefore in this paper, the author will discuss the characteristics of gender in an effort that can be formulated into alternative solutions to the perception characteristic of gender in the form of literature literature on the subject of women's leadership in an organization that needs to be disseminated in the form of scientific writings on differentiation characteristics of gender in management women's leadership. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas secara singkat prinsip dasar kebijakan model kepemimpinan perempuan dalam dunia pekerjaan (employment). Yang cukup menarik dikaji disebabkan adanya perbedaan karakteristik gender yakni adanya perlakuan ketidakadilan akan kebijakan manajemen terhadap kaum perempuan di tempat kerja serta adanya asumsi bahwa kepemimpinan dalam organisasi dimaknai dengan perspektif gender, artinya dalam memilih pemimpin harus dilihat jenis kelamin (gendernya). Karena adanya perbedaan gender yaitu laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi ketentuan Tuhan atau kodrat dan ketentuan An-Nisa’, Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
170 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender
biologis yang tidak dapat diubah lagi. Sehingga saat ini perbedaan gender dalam menduduki suatu jabatan dianggap sebagai kodrat, sebab itu kepemimpinan lebih mengarah ke maskulin. Karena itu dalam tulisan ini, penulis akan membahas karakteristik gender sebagai upaya yang dapat dirumuskan menjadi alternatif pemecahan masalah terhadap persepsi karakteristik gender dalam bentuk literatur pustaka tentang masalah kepemimpinan perempuan dalam suatu organisasi yang perlu disosialisasikan dalam bentuk penulisan karya ilmiah terhadap adanya pembedaan karakteristik gender dalam manajemen kepemimpinan perempuan. Kata Kunci: Karakteristik, Model, Gender, Kepemimpinan I. PENDAHULUAN Keberadaan akan akses perempuan dalam mengisi perjuangan di negeri Indonesia yang cukup terbuka luas, ini harus ditunjang oleh kualitas dan kapasitas serta tanggung jawab sebagai perempuan karir. Karena itu kemandirian perempuan dalam dunia kerja harus terus didukung di Indonesia melalui emansipasi perempuan yang telah dirintis oleh Pahlawan Nasional Perempuan yaitu: R.A Kartini, yang telah memperjuangkan hak perempuan dari keadilan untuk mendapatkan pendidikan dan kesetaraan gender agar tidak tertindas dan tidak dilecehkan kemampuan perempuan yang bersifat feminim. Bahwa perempuan juga mampu menjadi seorang pemimpin yang sukses tanpa meninggalkan kodrat kewanitaannya tanpa harus bersifat maskulin. Hingga sampai saat ini keadilan dan kesetaraan gender terus diperjuangkan untuk dapat merubah posisi seorang perempuan yang tidak hanya menyandang satu pekerjaan sebagai ibu rumah tangga saja. Akan tetapi bisa juga menjadi seorang pemimpin, perempuan bisnis dan wanita karir yang mampu bersaing di lingkungan pemerintahan, ekonomi, politik, sosial dan budaya serta seni bahkan di kepolisian yang awalnya hanya dibolehkan kepada kaum adam. Fenomena demikian telah banyak menunjukkan bahwa perempuan sudah ada menduduki jabatan sebagai pemimpin yakni kepala desa, kepala kantor, kepala sekolah, manajer perusahaan, direktur rumah sakit, direktur bank,dan lain-lain. Namun Persentase perempuan sebagai pemimpin dibandingkan populasi An-Nisa’ Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
Nurlina | 171
perempuan secara keseluruhan, masih lebih rendah dibandingkan dengan persentase laki laki sebagai pemimpin. Namun fakta lain terkait dengan proporsi perempuan dalam angkatan kerja dan usaha bisa di lihat dengan kemunculan banyaknya pemimpin perempuan di zaman pemerintahan Jokowi. Karena itu penulis rasa karakteristik gender dalam gaya kepemimpinan perempuan menjadi suatu kebutuhan bahan kajian yang berkaitan dengan dunia kerja. Karena dalam kelompok kerja sering dijumpai Leader Women yang menghasilkan kinerja optimal bagi kelompok yang dipimpinnya. Karakter pemimpin yang bersifat feminim ternyata terbukti juga mampu memberikan kesuksesan atau keefektifan dalam kepemimpinan. Inilah yang menjadi masalah pengkajian dalam tulisan ini yakni: Apakah kesuksesan perempuan dalam memimpin harus mempunyai sifatsifat maskulin untuk meraih efektivitas serta dengan meninggalkan sifat-sifat bawaannya sendiri yang feminin? Perempuan pemimpin tidak perlu khawatir dengan karakter feminin yang dimilikinya, karena tidak sedikit hasil penelitian berdasarkan fakta di lapangan yang menunjukan bahwa gaya kepemimpinan feminin juga dapat meraih kesuksesan, tanpa harus merubah kodratnya sebagai wanita. Karena kepemimpinan dalam sebuah organisasi bukan otot yang digunakan akan tetapi kecerdasan dalam memanajemen sebuah organisasi. II. PEMBAHASAN A. Efektivitas Kepemimpinan dalam Perspektif Gender Efektivitas kepemimpinan perempuan dalam karir dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang berorientasi pada pengembangan karir yang mampu menyeimbangkan aktivitasnya dengan tanggung-jawab yang bisa dikategorikan tanggung-jawab ganda. Karena selain tanggung-jawab dalam organisasi, lembaga dan masyarakat luas juga mempunyai tanggung-jawab sebagai perempuan dalam rumah tangga yang merupakan amanah harus diembannya Adanya efektivitas perempuan sering dimaknai dengan kesetaraan gender baik dari eksistensi, pekerjaan, pengakuan hidup dan lain-lainnya. efektivitas yang dilakukan oleh kaum perempuan khususnya sebagai ibu berorientasi pada kegiatan yang efektif. Hal ini dapat diartikan sebagai hasil dari sesuatu kebenaran yang bagus atau ketepatan dalam pelayanan masyarakat. Efektivitas An-Nisa’, Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
172 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender
merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengerjakan sesuatu yang menjadi tujuannya dengan tindakan yang tepat dan benar. (Arief Saudi. hal:7)1. Pada dasarnya Efektif tidaknya suatu tindakan dapat dilihat dari kebenaran hasil yang dicapai. Dengan demikan efektivitas itu berhubungan dengan pencapaian tujuan dan hasil dari suatu tindakan. Dalam artian Efektivitas kerja merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengerjakan sesuatu yang menjadi tujuannya dengan tindakan tepat dan benar dalam melaksanakan tugas. Perempuan dalam efektivitas kepemimpinanannya dapat berhasil dalam karirnya sebagai pengemban amanah, melakukan kualitas dari proses-proses kelompok, meningkatkan solidaritas kelompok, memotivasi para pengikut, pemecahan masalah kontribusi terhadap efisiensi spesialisasi peran, mengelola aktivitas-aktivitas organisasi, akumulasi sumber-sumber daya, kesiapan kelompok untuk menangani perubahan dan krisis, memperbaiki kualitas kehidupan kerja, membangun rasa percaya diri para pengikut, meningkatkan ketrampilannya, dan memberi kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikologisnya.Gary Yukl2. Karena itu efektifitas kepemimpinan perempuan dalam perspektif gender merupakan wacana menarik yang perlu di kaji. Hal ini terutama dipicu ramalan suami-istri futurolog, John Naisbitt dan Patricia Aburdene, dalam bukunya Megatrends for Women, (2000)3. Menurutnya tahun 1990-an adalah dekade kepemimpinan perempuan dan abad-21 adalah abadnya kaum perempuan. Tidak pasti disebutkan mengapa dikatakan abadnya kaum perempuan, kecuali mereka membeberkan sejumlah fakta yang berkenaan dengan kemajuan kaum perempuan, terutama di Amerika dan Asia. Perempuan-perempuan Amerika dan beberapa negara di Asia dan Eropa telah banyak memenangkan kompetisi dengan lawan jenisnya dalam mengisi posisi-posisi manajemen puncak (top management di beberapa perusahaan terkenal. Namun
1 2
Arief Saudi, Sistem Pengendalian Manajemen. Gary Yukl. Kepemimpinan dalam Organisasi terjemahan Jusuf
Udaya. 3
Megatrends for Women
An-Nisa’ Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
Nurlina | 173
apa yang diungkapkan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene bahwa di Indonesia pun sekarang sudah terbukti bahwa di kabinet kerja Jokowi sudah ada sejumlah wanita menduduki jabatan yang tinggi. Bahkan terbukti bahwa sebelum era Jokowi sudah ada perempua yang pernah menduduki jabatan tertinggi yaitu Presiden Megawati Soekarno Putri. Dan juga beberapa lembaga organisasi di Indonesia yang menduduki jabatan manajer adalah perempuan. Di Amerika, masih menurut dua futurolog ini, ada 74 persen kaum laki-laki yang bekerja, sementara perempuan yang bekerja mempunyai anak atau tidak, berjumlah 79 persen. Kecenderungan yang sama sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Sebelum masa pemerintahan Jokowi, sepuluh tahun terakhir beberapa majalah mingguan di Indonesia memuat topik perempuan manajer sebagai laporan utamanya. Majalah Manajemen (September 1989); majalah Warta Ekonomi (Desember 1990); majalah Editor (April 1992); majalah Warta Ekonomi (Juli 1992); majalah Info Bank (Juni 1993); majalah Warta Ekonomi (April 1996); majalah Swa Sembada (Mei 1997). Ini belum majalah-majalah khusus perempuan seperti Femina, Kartini dan Sarinah atau Jurnal Perempuan, yang isinya mengulas topik perempuan manajer, menyebutkan bahwa umumnya para perempuan manajer sukses memanejemen organisasi sebab menerapkan sikap tegas, agresif, kompetitif, ambisius, kuat, berani bertahan, percaya diri, dan independen, sehingga menjadi pemimpin yang dipandang efektif dalam mencapai sasaran dalam organisasinya tanpa meninggalkan karakter feminim. Menurut Kanter4, hlm. 233-236, bahwa ada empat faktor yang berpengaruh dalam kepemimpinan perempuan, Pertama, yaitu: The mother (keibuan). Pemimpin perempuan cenderung bersikap sebagaimana layaknya seorang ibu, misalnya sewaktu anak sakit, sang ibu akan menyediakan obat dalam arti jika bawahan mempunyai masalah mampu memberikan perhatian lebih. Bahwa pemimpin perempuan mempunyai sifat simpatik, pendengar yang baik, dan mudah untuk mencurahkan permasalahan. Kedua yaitu The pet (kesayangan). Pemimpin perempuan cenderung menjadi kesayangan bagi bawahannya, sehingga bawahan akan lebih menjaganya. Dalam hal ini karyawan 4
Kanter, M. S.,. (hlm. 233-236) Men and Women of the Corporation. Collin Publisher. An-Nisa’, Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
174 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender
akan menganggap pemimpin perempuan sebagai orang dekat, sehingga tidak terdapat rasa canggung. Ketiga The sex object (obyek seksual) Pemimpin perempuan cenderung menjadi penyemangat kerja bagi karyawannya. Karena pemimpin perempuan dianggap sebagai faktor yang mampu memotivasi karyawan untuk bekerja lebih giat, akan tetapi kemauan yang timbul dari karyawan untuk bekerja lebih giat bukan karena perintah yang diberikan, tetapi karena ada dorongan dari dalam (sense). Keempat The iron maiden (wanita besi). Pemimpin perempuan cenderung bersikap tegas dalam memimpin bawahannya, sehingga timbul kesan tegas. Dengan adanya sikap ini, maka pemimpin perempuan digambarkan sebagai sosok pemimpin yang keras dan tegas namun terselip jiwa kelembutan. Salah satu bahasan isu yang menarik dalam kepemimpinan gender adalah pengaruh keragaman gender dalam kepemimpinan. Dalam sudut pandang gender, terdapat stigma bahwa laki-laki dianggap lebih unggul daripada perempuan. Stigma tersebut menempatkan perempuan sebagai warga masyarakat kelas dua, termasuk dalam hal kepemimpinan. Dikarenakan stigma tesebut, kemudian muncul pandangan bahwa kekuasaan dan kepemimpinan merupakan domain laki-laki yang terwujud dalam identitas maskulin. Sebagai akibatnya, berkembanglah resistensi terhadap kepemimpinan perempuan. Hingga saat ini, masyarakat masih cenderung bersikap skeptis terhadap pemimpin perempuan. Hal tersebut tercermin dalam persentase pemimpin perempuan yang masih jauh dibawah pemimpin laki-laki. Berdasarkan survey di Provinsi Jawa Tengah, persentase perempuan profesional, teknisi, kepemimpinan dan ketatalaksanaan pada tahun 2006 adalah 51,98%. (data BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Angka tersebut jauh berbeda dari jumlah profesional laki-laki pada tahun yang sama. Merupakan hal yang ironis apabila dibandingkan dengan peningkatan jumlah perempuan yang berkiprah dalam ranah pendidikan. Kepemimpinan perempuan seringkali dilihat dari kacamata maskulin. Perempuan dapat diterima sebagai seorang pemimpin apabila mampu mengembangkan karakteristik maskulin dalam kepemimpinannya. Selain itu, kepemimpinan perempuan yang dilegitimasi secara sosial hanyalah kepemimpinan dalam organisasi atau perkumpulan perempuan seperti perkumpulan mahasiswi, perawat, dan sekolah wanita. Dalam lingkungan organisasi, wanita diharapkan mengambil peran subordinat kecuali An-Nisa’ Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
Nurlina | 175
posisi mereka disahkan oleh keturunan (diturunkan) karena ketiadaan anggota laki-laki dan perkawinan. (Handayani & Novianto, 2004)5. Teori tersebut di atas menjelaskan betapa pentingnya sebuah studi manajemen kepemimpinan perempuan dalam perspektif gender, artinya dalam menilai pemimpin bukan harus dilihat jenis kelamin (gender). Seorang pemimpin keberhasilannya dilihat dari cara mengambil keputusan, cara membagi kekuasaan, cara berkomunikasi dengan yang dipimpinnya dan faktor-faktor lainnya. Studi yang tidak kompratif dan hanya dilakukan secara umum kepada pemimpin perempuan pada gilirannya akan menghasilkan pemimpin yang tidak dapat dijadikan acuan. Robbins (1998)6, mengemukakan dua kesimpulan sehubungan dengan isu gender dan kepemimpinan (Leadership). Pertama, menyamakan antara laki-laki dan perempuan cenderung mengabaikan perbedaan diantara keduanya. Kedua, bahwa apa yang menjadi perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah bahwa perempuan memiliki gaya kepemimpinan yang lebih democratic, sedangkan laki-laki merasa lebih nyaman dengan gaya yang bersifat directive (menekankan pada cara-cara yang bersifat perintah). Dengan demikian pada prinsipnya siapapun jadi pemimpin laki-laki atau perempuan harus mampu mendeskripsikan dirinya dengan membangun harapan-harapan dan strategi untuk menunjukkan eksistensi dirinya seperti kewibawaan, wawasan, supel, perhatian, serta pintar menlobi, dan kalau perempuan tidak meninggalkan nilai-nilai keibuan sebagai wanita. Disamping kapasitas yang dimiliki, pemimpin yang efektif pada organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor penting yaitu: 1. Pemilihan dan penempatan pemimpin, 2. Pendidikan kepemimpinan, 3. Pemberian imbalan pada prestasi pemimpin dan bawahan, 4. Teknik pengelolaan organisasi untuk menghadapi perubahan lingkungan dan teknologi.
5
Handayani, Christina S & Ardian Novianto. 2004. Kuasa Wanita
Jawa. 6
Robbins, S.P. (1998). Organizational behavior. An-Nisa’, Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
176 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender
Jadi kepemimpinan perempuan diyakini tidak efektif dibanding kepemimpinan laki-laki. Tetapi pendapat tersebut cenderung membesar-besarkan sifat yang melekat pada perempuan. Padahal untuk menjadi eketivitas seorang pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi tidak semata-mata ditentukan oleh sifat feminim, tetapi karena kapasitas yang dimiliki dalam memimpin sebuah organisasi, bukan dilihat dari karaktristik gender sebagai perempuan. B. Gaya Kepemimpinan Gender Gaya kepemimpinan dalam manajemen, biasanya dibedakan antara gaya “maskulin” dan “feminin” atau antara gaya yang berorientasi tugas dan gaya yang berorientasi karyawan (kemanusiaan), atau juga dibedakan antara gaya transaksional dan gaya interaktif. Banyak pakar menyebutkan bahwa tidak ada gaya “maskulin” atau “feminin” murni. Pemimpin yang karakter maskulinnya lebih tinggi akan dikategorikan “maskulin”. Pemimpin yang karakter femininnya lebih tinggi akan dikategorikan sebagai gaya “feminin.” Pemimpin yang berkarakter diantara keduanya sering disebut kepemimpinan “androgini”, yakni pemimpin yang memiliki gaya “maskulin” sekaligus “feminin”, sama-sama kuat kadarnya. Gaya mana yang seyogyanya dipilih bagi perempuan manajer, berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang terarah pada efektivitas kepemimpinan dan secara realitas mudah diwujudkan? Tidak mudah untuk dijawab. Para peneliti terdahulu, yang hingga kini masih cukup banyak pengikutnya, cenderung menganjurkan bahwa gaya manajemen maskulin yang paling tepat dan lebih banyak memberikan bukti keberhasilan. Artinya para perempuan manajer harus siap mempelajari, menghayati dan mempraktekkan karakter dan perilaku-perilaku maskulin, yang umumnya berlawanan dengan proses sosialisasi kepribadiannya sejak kecil. Hubungan gender dan kepemimpinan juga dikemukakan oleh Sara Levinson, seorang Presiden Properti NFL, Inc di New York. Ia mengungkapkan pertanyaan secara langsung dalam sebuah tanya jawab dengan seluruh anggota laki-laki yang ada di timnya. Ia bertanya kepada mereka: “Apakah kepemimpinan saya
An-Nisa’ Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
Nurlina | 177
berbeda dengan laki-laki?” Jawab mereka: “ya” dikutip dalam Darmono7. Jawaban ini cukup memberikan dukungan bahwa ada perbedaan gaya kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki. Perempuan cenderung lebih memiliki perilaku yang demokratis dan partisipatif, seperti hormat pada orang lain, perhatian pada orang lain, Model seperti ini mengacu pada kepemimpinan interaktif, gaya seperti ini memiliki unsur-unsur kepemimpinan yang transformasional,yakni yang inspirasional. Berbeda dengan laki-laki yang cenderung lebih mengarah pada perilaku yang directive (mendasarkan pada instruksi) dan assertive (cenderung agresif dan dogmatik), dan menggunakan otoritas yang biasanya ia miliki untuk melakukan “kontrol dan komando” Karena kepemimpinan merupakan fungsi sentral dalam suatu kelompok atau organisasi. Proses mencapai tujuan organisasi diperlukan seorang pemimpin yang mampu mempengaruhi dan mengkoordinir bawahan. Kepemimpinan masih identik dengan kedudukan yang hanya bisa dijalankan oleh laki-laki. Ada pandangan bahwa laki-laki ditakdirkan sebagai makhluk yang statusnya lebih tinggi dari perempuan (Hasibuan dan Sedyono,)8. Akibat dari pandangan tersebut maka terkadang timbul perlakuan diskriminatif yang terang-terangan maupun terselubung terhadap perempuan yang bekerja di sektor formal. Seorang pemimpin harus mempertimbangkan tiga kumpulan kekuatan sebelum melakukan pilihan gaya kepemimpinan. Pertimbangan itu adalah: 1) Kekuatan-kekuatan dalam diri manajer, seperti sistem nilai yang dimiliki, kepercayaan terhadap bawahan dan kecenderungan kepemimpinannya sendiri. 2) Kekuatan-kekuatan pada diri bawahan, seperti kebutuhannya akan kebebasan, kebutuhannya akan tanggung-jawab, apakah mereka tertarik dengan pemecahan masalah, dan harapannya akan pembuatan keputusan. 3) Kekuatan-kekuatan yang berasal dari faktor situasi, seperti tipe organisasi, efektivitas kelompok, desakan waktu, dan sifat dari masalah yang ada.
7
Artikel: Gaya Kepemimpinan Perempuan Bagi Efektivitas Organisasi
8
Perempuan Di Sektor Formal “Kerja Ya, Karier Tidak” dalam
Mayling Oey-Gardier. An-Nisa’, Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
178 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender
Fakta yang masih sering terjadi saat ini di Indonesia adalah posisi pemimpin yang selalu diduduki oleh laki-laki. Stereotipi mengenai perempuan yang cengeng, lemah lembut, emosional sering menyulitkan perempuan untuk dapat meraih posisi sebagai pemimpin. Kesetaraan gender di instansi-instansi sulit dilaksanakan, meskipun pada kenyataannya kemampuan perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Pemerintah mencoba untuk menanggulangi masalah ketidaksetaraan gender di instansi dengan mengeluarkan Inpres no.9 tahun 2000. munculnya Inpres tersebut membantu perempuan untuk mempermudah mencapai posisi sampai menjadi pimpinan. 1. Pendekatan Karakter Sudut pandang karakter kepemimpinan ini mempunyai kendala dan keterbatasan dalam mengupas persoalan kepemimpinan, tetapi juga salah kalau menganggapnya tidak berarti, karena ada cukup banyak bukti yang memperlihatkan bahwa pemimpin-pemimpin yang efektif sangat dipengaruhi oleh karakter atau sifat. Sifat, karakter atau bakat seseorang merupakan pra-kondisi untuk menjadi seorang pemimpin efektif (Locke, 1997)9. Artinya kepemimpinan tidak di lihat dari aspek perbedaan gender, tetapi keberhasilan pemimpin karena memang mempunyai karakter atau sifat kepemimpinan. Dalam manajemen dapat kita lihat beberapa pendekatan yang telah dilakukan para peneliti mengenai kepemimpinan, minimal mencakup tiga aspek. Pertama, pendekatan karakter atau sifat pemimpin (traits approach), kedua pendekatan perilaku pemimpin (behavior approach), dan terakhir pendekatan situasional (situational approach) (Lihat: Stoner, 1982; Stogdill, 1974; Gibson, 1982)10. Ketiga pendekatan ini akan dimanfaatkan guna melihat jenis kemungkinan-kemungkinan model kepemimpinan yang efektif bagi perempuan pemimpin dan tidak mempunyai implikasi negatif dalam penggunaannya.
9
The Essence of Leadership: The Four Keysto Leading Successfully, New York: Lexington Books. 10
Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses, Jakarta: Binarupa Aksara, (terjemahan) An-Nisa’ Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
Nurlina | 179
Efektivitas dalam kepemimpinanan perempuan dapat berhasil dalam karirnya sebagai pengemban amanah, melakukan kualitas dari proses-proses kelompok, meningkatkan solidaritas kelompok, memotivasi para pengikut, pemecahan masalah kontribusi terhadap efisiensi spesialisasi peran, mengelola aktivitas-aktivitas organisasi, akumulasi sumber-sumber daya, kesiapan kelompok untuk menangani perubahan dan krisis, memperbaiki kualitas kehidupan kerja, membangun rasa percaya diri para pengikut, meningkatkan ketrampilannya, dan memberi kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikologisnya.(Gary Yukl 1994).11 Untuk proses pembentukan karakter pribadi perempuan yang efektif dengan menyeimbangkan antara karir dan rumah tangga, sebaiknya dimulai dari lingkungan keluarga sebagai faktor utama dan pertama terhadap penanaman kepada anak tentang konsep dasar pendidikan karakter untuk menghasikan generasi pemimpin yang tidak hanya dilihat aspek gender. Dalam lingkungan keluarga, kedudukan perempuan dengan posisi sebagai ibu perlu dipahami secara baik dan benar. Kampanye kesetaraan terhadap keadilan perempuan dalam karir di kantor pemerintah dan perusahaan serta dalam rumah tangga harus lebih berorientasi pada efektivitas kinerja yang dapat menyeimbangkan antara keluarga dan kerja. Sehingga dimaknai sebagai indikator upaya untuk meningkatkan perbaikan kualitas hubungan efektivitas kepemimpinan perempuan dalam karirnya yang dapat menentukan sikap yang baik dan benar dalam membina generasi pemimpin yaitu hubungan antar anak dan ibu yang nantinya berpengaruh nilai yang baik pada pembentukan karakter generasi bangsa Indonesia. 2. Faktor Situasional Gender Berbagai faktor yang mendukung untuk menjadi perempuan pemimpin memang secara teoritik adalah menjadi keturunan orang terpandang, berperilaku baik dan datang pada situasi yang pas. Namun pandangan ini tentu sangat utopis dan ada kontra dari aliran yang mengatakan bahwa kepemimpinan itu adalah dilatih bukan dilahirkan. Pengembangan SDM melalui 11
Kepemimpinan dalam Organisasi terjemahan Jusuf Udaya. Jakarta:
Prenhafindo An-Nisa’, Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
180 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender
pelatihan on job maupun off job membuktikan bahwa siapa saja yang berlatih terus menerus akan mendapatkan penguasaan atas kompetensinya. Pada gilirannya feminitas yang dimiliki seorang perempuan merupakan suatu gaya kepemimpinan perempuan yang mendorong perempuan berhasil meningkatkan kinerja karyawannya. Di sisi lain pandangan maskulin seperti iron maiden (keras dan kaku) bukanlah gaya yang secara optimal untuk meningkatkan kinerja karyawan. Dan sampai saat ini dari tahun ke tahun jumlah kaum perempuan yang bekerja sebagai manajer dan pemimpin baik di lingkungan perusahaan maupun organisasi pemerintah secara kuantitatif mengalami kenaikan. Sekalipun demikian harus disadari bahwa kaum perempuan masih ada yang mengalami sejumlah pembedaan organisasional sebagai bagian dari praktek kebijakan manajemen sumber daya manusia yang cenderung bersifat “maskulin” dalam suatu lembaga. Di samping itu perempuan masih mengalami perlakuan negatif yang merendahkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam berbagai bentuk terutama kasus-kasus pelecehan seksual di tempat kerja (sexual harassment at work place). Dengan demikian upaya untuk mendiskusikan masalah perempuan dalam konteks pelaksanaan pekerjaan organisasi sekaligus mencari solusi berdasar prinsip-prinsip dasar manajemen sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan di dalam organisasi yang mampu menempatkan perempuan secara equal dan fair. 3. Alternatif Pemecahan Masalah Gender Tak bisa dipungkiri bahwa praktek diskriminasi manajemen sumber daya manusia dan pelecehan di tempat kerja memerlukan berbagai alternatif pemecahan masalah. Sekalipun demikian sangatlah sulit untuk mendapat alternatif yang bersifat universal karena adanya perbedaan konteks dalam setiap negara dan daerah. Juga tidak mudah memperoleh alternatif sebagai ‘one best way’ untuk setiap permasalahan. Alternatif tersebut paling tepat disebut sebagai ‘most possibilities’ yang dapat digunakan sebagai acuan untuk kemudian dikembangkan sesuai konteksnya. Hasil penemuan Mattis12, menunjukkan bahwa fungsi kepemimpinan serta manajer level atas dan menengah mengatasi masalah perlakuan diskriminatif terhadap perempuan adalah dalam 12
Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Salemba.
An-Nisa’ Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
Nurlina | 181
bentuk mentors dan role models. Mentors merupakan kegiatan pendampingan dalam membantu perempuan memperoleh hak-hak kemajuan dan perkembangan karir, sementara role models merupakan rujukan organisasi dalam membentuk profil utuh perempuan yang menggambarkan keberhasilannya baik sebagai pekerja di luar rumah maupun ataupun dalam rumah tangga.Acuan yang menjadi pusat perhatian dalam mentoring dan role models berupa tiga elemen yaitu (1) kombinasi antara family dan working, (2) setiap perempuan memiliki keinginan untuk advancement dalam karir, dan (3) adanya pihak yang memiliki kepedulian dalam meng-update pengetahuan dan keterampilan perempuan untuk mampu menjawab semua tantangan di era global . Karena fakta menunjukkan bahwa kerjasama yang baik dalam manajemen organisasi, kepemimpinan manajer dapat meraih harapan dan mengalami kondisi yang lebih baik dalam pekerjaan tanpa melihat faktor gender. Dalam situasi yang sangat kompleks untuk melakukan setiap pekerjaan organisasional, networking gender yang mampu mempersatukan sumber daya manusia merupakan kunci alternatif yang paling dicari untuk mengatasi masalah dalam organisasi. Ini berarti bahwa interaksi antara organisasi dengan para pegawai yang ada di dalamnya membutuhkan berbagai alternatif work arrangements yang mengatur pegawai dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Sehingga efektifitas praktek manajemen sumber daya manusia dalam memfasilitasi perempuan dalam mencapai kemajuan dalam karir serta mendapat perlakuan yang adil dan manusiawi dalam organisasi. Sehingga fungsi kepemimpinan merupakan sumber kebijakan organisasi sementara peran manajer atas dan tengah (Top and Midle) merepresentasikan dinamika organisasi melalui implementasi kebijakan yang telah dirumuskan. Adapun faktor yang memaksimalkan efektivitas kepemimpinan perempuan dalam organisasi, sangat dipengaruhi oleh keterkaitan pengalaman pribadi mereka. Ada enam tema secara psikologis yang mengkarakterisasi respon pada wanita dalam karirnya: 1. Kesempatan untuk mengembangkan kemampuan interpersonal seperti memotivasi, menghargai dan mengembangkan orang lain (dalam hal ini seperti mengutamakan mengasuh anak di rumah) dapat An-Nisa’, Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
182 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender
diaplikasikan untuk memotivasi,mengembangkan dan mengarahkan karyawan. 2. Keuntungan psikologis dari mengatasi hambatan, mengambil resiko, dan berhasil dalam area pribadi akan mendukung harga diri, kepercayaan diri, energi dan keberanian. 3. Dukungan dan saran emosional dari teman dan keluarga yang bertindak sebagai dewan yang terpercaya dan motivator serta mencurahkan perasaan secara aman. 4. Mengatasi tugas yang banyak seperti perencanaan dan berkutat dengan jadwal keluarga akan mengembangkan kemampuan administratif seperti prioritas dan perencanaan. 5. Ketertarikan pribadi dan latar belakang menyediakan cara pandang yang membantu untuk memahami dan menghubungkan dengan rekan kerja. 6. Kesempatan kepemimpinan dalam organisasi bersifat sukarela atau pengaturan keluarga menyediakan pelajaran kepemimpinan dan meningkatkan kenyamanan dalam peran otoritas. Keenam alternatif respon di atas menunjukkan bahwa alternatif work arrangements tersebut dapat dilakukan dengan mengkaji kembali (rethinking) terhadap makna keberhasilan dan kemajuan karir melalui pengaturan manajerial, jadwal pelaksanaan pekerjaan, dan skema career development. Berbagai bentuk pengaturan tersebut pada akhirnya merupakan referensi organisasi dalam mengambil keputusan tentang promosi pegawai sebagai bagian utama praktek manajemen sumber daya manusia yang efektif. Isu perempuan dan berbagai permasalahan yang dialaminya dalam organisasi justru memiliki implikasi yang positif bagi pembentukan praktek manajemen sumber daya manusia yang efektif untuk mengatasi diversity pegawai sekaligus merupakan agenda penelitian yang sangat berguna untuk menciptakan kondisi pekerjaan yang manusiawi tanpa membedakan gender. C. Gender dalam Kepemimpinan Kepemimpinan dalam organisasi memiliki peran yang sangat penting dalam setiap pengambilan keputusan yang mempengaruhi warna praktek manajemen. Sementara secara rutin, perilaku para manajer pada level atas dan menengah mewarnai An-Nisa’ Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
Nurlina | 183
dinamika praktek manajemen sumber daya manusia. Dengan demikian kemajuan karir setiap pegawai termasuk kaum perempuan tergantung dari pola kepemimpinan dan perilaku para manajer dalam menjalankan fungsinya. Peranan usia, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, gender dan kebutuhan untuk berhubungan diprediksi sebagai preferensi ideal pekerja untuk berhubungan dan perilaku kepemimpinan. Powell et al. (2004) dan Lowe & Galen (1996) dalam Embry, Padgett & Caldwell (2008)13 mengemukakan bahwa kepemimpinan transaksional lebih jelek daripada kepemimpinan transformasional, dan kepemimpinan transformasional lebih efektif daripada kepemimpinan transaksional. Dari hasil penelitiannya Powell (1990) menemukan bahwa pemimpin wanita mendapatkan evaluasi lebih rendah ketika menggunakan suatu gaya inkonsistensi gender (gender-inconsistent) (transaksional) dimana pemimpin pria mendapatkan evaluaasi lebih tinggi ketika menggunakan suatu gaya inkonsistensi gender (transformasional), sebab gaya transformasional dilihat lebih positif daripada gaya transaksional. Pembicaraan mengenai gender tidak akan terlepas dari masalah kemitraan dan keadilan peran sosial antara pria dan wanita, yang dalam sepanjang waktu manusia telah dikonstruksikan oleh agama, adat dan budaya.Boatwright & Forrest14 mengungkapkan bahwa wanita lebih menyukai untuk menafsirkan kepemimpinan dalam bentuk transformasi, sedangkan pria lebih menyukai untuk menafsirkan kepemimpinan dalam bentuk transaksi. Juga bahwa wanita lebih menyukai untuk menggambarkan gaya kepemimpinan mereka dengan mengadopsi bentuk transformasional, sedangkan pria lebih menyukai bentuk transaksional. Banyak literatur dan penelitian tentang kepemimpinan dan manajemen dikembangkan oleh para pria dan dengan beberapa teori organisasional didasarkan pada observasi manajer pria, bukan suatu kejutan bahwa fokus pada pengalaman pemimpin pria meningkatkan nilai pria sebagai norma perilaku manajerial (Lansa
13
One More Time: Do Female and Male Managers Differ?, Academy
of Management 14
Leadership Preferences: The Influence of Gender and Needs An-Nisa’, Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
184 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender
& Sintonen, 2001 dalam Elliot & Stead, 2008)15. Umumnya literatur tentang wanita dan kepemimpinan diidentikkan dengan bias, kontradiksi dan paradok. Dengan demikian dominasi maskulin masih terlihat untuk penggolongan kepemimpinan dan dinamika manajemen. III. PENUTUP Dari kenyataan akan konsep dan aplikasi kepemimpinan bagi pemimpin efektif diatas, kiranya ada beberapa hal yang dapat dicatat disini. Gaya kepemimpinan dalam sebuah organisasi seseorang seringkali dipengaruhi karakteristik, termasuk kondisi bawahan dan situasi organisasi, karena itu bagi perempuan manajer tidak perlu cemas dengan gaya-gaya maskulin yang seringkali dimitoskan sebagai satu-satunya gaya yang paling pas untuk meraih kesuksesan. Gaya maskulin, seperti tegas, agresif dan orientasi tugas, itu tidak memberi kepastian keberhasilan bagi karakter seorang pemimpin yang bergender feminin, tetapi keberhasilan karena adanya interaksi yang baik dalam organisasi serta pola manajemen tanpa dipengaruhi oleh karakteristik gender. Bergaya natural sesuai karakter bawaan yang telah tersosialisasi sekian puluh tahun jauh lebih menjanjikan kesuksesan dalam memimpin, bukan karena faktor gender. Untuk masa depan, tampaknya gaya natural merupakan alternatif yang cukup baik diaplikasikan dalam pola kepemimpinan. Dengan catatan bahwa faktor situasi, atau bersikap fleksibel harus menjadi pertimbangan utama bila menghadapi kegagalan. Perlu juga untuk menjadi catatan bagi pemimpin perempuan, mengenai beberapa tips (kiat) menuju sukses dari Morrison, sebagaimana dikutip ensiklopedi16 yakni: 1. Menjadi “feminin” tetapi tidak terlalu bersifat seperti “woman” 2. Menjadi kuat, tetapi tidak bertindak seperti laki-laki. 3. Bersikaplah selalu rapi, tetapi tidak memberi kesan “sexy”. 4. Bersikaplah sosial, tetapi tidak terlalu bersifat “friendly”. 5. Menjadi orang yang haus informasi, tetapi tidak untuk mengerti problem-problem pribadi bawahannya. 15
Learning From Leading Woment Experience: Towards a
Sociological 16
www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sofjan-wanandi.
An-Nisa’ Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
Nurlina | 185
6. Pemberi tugas, tetapi tidak bersikap terlalu seperti “bossy”. 7. Ambilah risiko, tetapi tidak untuk mengalami kegagalan. Apa yang diungkapkan di atas dapat dijadikan salah satu kiat manajemen kepemimpinan perempuan diera global, sebagai kunci keberhasilan dalam memimpin. Namun kesuksesan kepemimpinan bukan faktor gender tapi faktor kepribadian bagaimana memanejer diri menjadi pemimpin yang sukses. Dengan menghilangkan persepsi tentang kesuksesan pemimpin dan manajer karena penggolongan kepemimpinan dan dinamika manajemen yang dominasi maskulin. DAFTAR RUJUKAN Arief Saudi, Sistem Pengendalian Manajemen. Yogyakarta: BPFE, 1999.di akses 12 februari 2015 Karyn J., Linda Forrest. 2007. Leadership Preferences: The Influence of Gender and Needs
Boatwright,
Burke, R.J., “Organizational Values, Work Experiences and Satisfactions among Managerial and Professional Women,” dalam Journal of Management Development . 2004.
Artikel: Gaya Kepemimpinan Perempuan Bagi Efektivitas Organisasi, 2008. Elliot, Carole, Valerie Stead, Learning From Leading Woment Experience: Towards a Sociological, 2008. Gary Yukl. Kepemimpinan dalam Organisasi terjemahan Jusuf Udaya. Jakarta: Prenhafindo, 1994 Darmono,
Gibson, I.D, Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses, Jakarta: Binarupa Aksara, (terjemahan). 1997, Di akses 12 februari 2015. Handayani, Christina S & Ardian Novianto. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara Hani Handoko, Manajemen, Yogyakarta:BPFE. Di akses 1 Maret 2015, 1997 Hasibuan, C dan Sedyono. Perempuan Di Sektor Formal “Kerja Ya, Karier Tidak” dalam Mayling Oey-Gardier, M. An-Nisa’, Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
186 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender
E. Suleeman dan Sulastri. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Penerbit: PT Gramedia Pustaka
Wagemann,
Utama. Jakarta, 1996 http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sofjanwanandi/index.shtml Journal Information & Management Vol. 42 Lee, M.K.O, C.K.M. Cheung, & Z. Chen Acceptance of internetbased learning medium: The role of extrinsic and intrinsic motivation, 2005. Locke, A. Edwin, Shelley Kirkpatrick, Jill K. Wheeler, The
Essence of Leadership: The Four Keys to Leading Successfully, New York: Lexington Books, 1991. Di akses 14 Juni 2015. Mathis.R L,Jackson.J H.2001.Manajemen Manusia, Penerbit Salemba Empat.
Sumber
Daya
Meredith, Geoffrey G. et al., Kewirausahaan; Teori dan Praktek. Jakarta:PPM, (terjemahan). Di akses 7 Juni 2015, 1996. Neuman, W. Lawrence. Social Research Methods, USA: Allyn and Bacon, 2000. Stoner, James AF., R. Edward Freeman, Daniel R. Gilbert, Jr., Management, Sixth Edition. 1995, Di akses 17 Mei 2015. Wiratmo, Masykur, Pengantar Yogyakarta:BPFE., 2006.
Kewiraswastaan,
Yukl, A. Gary. Managerial Leadership: A Review of Theory and Research, Journal of Management,Vo. 15, No. 2, 1989, Di akses 8 Mei 2015.
An-Nisa’ Volume VIII Nomor 1 Juni 2015