MODEL KELEMBAGAAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA TAMBANG DAN KAITANNYA TERHADAP PEMBANGUNAN WILAYAH DI KABUPATEN BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO (STUDI KASUS ARAH PENGELOLAAN KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTAMBANGAN PASCA PERUBAHAN STATUS SEBAGIAN KAWASAN TAMAN NASIONAL BNW MELALUI RTRWP GORONTALO)
AMIR HALID
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Model Kelembagaan
Pemanfaatan Sumberdaya Tambang dan Kaitannya Terhadap Pembangunan Wilayah Di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Arah Pengelolaan Kebijakan Ekonomi Di sektor Pertambangan Pasca Perubahan Sebagian Status Kawasan Taman Nasional BNW Melalui RTRWP Gorontalo)” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Agustus 2012
Amir Halid H162070021
ABSTRACT AMIR HALID Institutional Model for Utilizing Mining Resources and it’s relation to Regional Development in Bone Bolango Regency in Gorontalo Province. (Case Study of Governance Guidelines of Economy Policy at Mining Sector after Removing Part of National Park through Revision of Regional Planning of Gorontalo Province) Under supervision of AKHMAD FAUZI (Main Supervisor), BABA BARUS and SETIA HADI (Co-Supervisor). Bone Bolango region located in Gorontalo Province covers an area of 188,006.43 Ha which consist of 142,664.38 Ha or 75,88% forest and 45,326,5 Ha or 24,22% is regional stated. The regency is endowed with rich mineral resources, yet it finds some difficulties in regional planning and developing in regional economics, based on existing land. The Government has already issued licenses for optimizing the mining resource called (Kontrak Karya) since 1971. In 2008 Minerals and Energy Resources Department calculated the deposit the value of mineral reached as much as $ 18,9 M, or equal with Rp 190 Trillion with price is 103,4/troy-once. Increased in mineral value and unclear land rights has created an un-fair competition and create conflicts over resources. This is impacted “institutional vacuum”. The Illegal Mining and social economy activities become informal institutional or shadow economy to fulfill the uncertainty of resources authority. The objectives of this study as follows: 1) provided historical perspective of changes in land ownership and to provide the map of identification, inventarization, occupied concession land using spatial analysis. 2) to analyze the economy feasibility of mining resources based on marketing structure and extraction aspects as well as at the ore, price and environmental fee and the effect for regional development using economics valuation and Hotelling model.3) developed an institutional framework for mining resources utilization for sustainable development using logistic regression analysis and institutional economic framewrok. Results are (1) the land use and land cover is dominated by forestry and agriculture is covered in Bulawa also Bone Raya sub districts. Property is covered in all sub districts. (2) sub district Bone Raya, Bulawa, Suwawa Timur, Bone and Bone Pantai sub district occupied in the land of consesion of this company. (3) the agriculture is covered in all sub districts, but Bone Raya and Bulawa is more much than the other sub districts. (4) Property also covered in all sub districts, such as Bone Raya, Bulawa and Bone sub districts. (5) illegal mining is more covered in Suwawa Timur sub district. Economic valuation showed that (1) IRR of investment is 21.3%, and NPV is $ 462.42 Billion, and payback period is 7,84 years, with the criteria of investment is evaluated by constant dollars. showed that production planning of gold, cooper, and silver of this company is feasible. (2) changed in discount rate of 5%, 8%, 10% and 15% will affect production on the first ten years only. The change of price from $ 900, $ 1200, $ 1600 to $ 2000 will tend to decrease extractio, yet it will not postpone the company for extraction planning. The change in environmental cost of 1%, 1,5%, and 5% will not change significantlt to the extraction. Variables that are significant to influence participation in mining sectors are age of respondent, education and socio-economics infrastructures. These will influence to reduce illegal mining and to form institutional framework. An institutional model is proposed to manage the mining revenues through multi stake holder institution. Key word: mining resources, regional economics, institutional analysis
RINGKASAN AMIR HALID “Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang dan Kaitannya Terhadap Pembangunan Wilayah di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Arah Pengelolaan Kebijakan Ekonomi disektor Pertambangan Pasca Perubahan Sebagian Status Kawasan Taman Nasional BNW Melalui RTRWP Gorontalo)” dibimbing oleh AKHMAD FAUZI selaku ketua, BABA BARUS, SETIA HADI sebagai anggota. Kabupaten Bone Bolango memiliki luas wilayah 188.006,43 Ha, terdiri dari 142.664,38 Ha atau 75,88% adalah kawasan hutan (kawasan Lindung) dan 45.326,5 Ha atau 24,22% adalah kawasan pemanfaatan (budi daya). Daerah ini mengalami kesulitan menyusun perencanaan dan implementasi pembangunan saat ini, antara lain bagaimana menata ruang yang telah memiliki izin pemanfaatan (kontrak karya pertambangan) sementara terdapat pemanfaatan oleh masyarakat dan telah memiliki fasilitas umum dan fasilitas khsus Pemerintah. Daerah penelitian ini diduga merupakan bagian dari pulau Sulawesi yang memiliki potensi pertambangan tinggi terutama tembaga, emas dan perak. Pada tahun 2006, Departemen ESDM telah menghitung cadangan sumberdaya mineral yang ada mencapai $10,493.577 atau sekitar Rp 100 Trliyun dengan kisaran harga emas $ 103 /troy,once, dan pada tahun 2008 total nilainya mencapai $ 18,9 Miliyar atau setara dengan nilai rupiah Rp 190 Triliyun dengan kisaran harga emas yang sama. Pada tahun 2010 diperkirakan nialinya terus mengalami kenaikan karena harga emas saat itu $ 1130,3 /troy/once. Diduga bahwa pemicu hubungan persaingan antara Pemerintah, pengusaha dan masyarakat di wilayah tersebut telah menjurus pada konflik sosial ekonomi bahkan telah masuk pada rana politik berawal dari persoalan ini. ketika terjadi “kekosongan” kelembagaan formal baik Departemen Kehutanan sebagai pengelola kawasan hutan maupun perusahaan sebagai pemegang konsesi pertambangan berakibat adanya klaim kepemilikan dan penguasaan oleh Penambangan emas tanpa ijin (PETI), pertanian, perkebunan dan pemukiman muncul sebagai kelembagaan informal atau ekonomi bayangan mengisi ketidakpastian status penguasaan SDA negara. Adapun tujuan penelitian yaitu 1) Mendiskripsikan sejarah perubahan dan pemanfaatan kawasan serta tersusunnya peta identifikasi dan inventarisasi luasan pemanfaatan lahan di wilayah konsesi kontrak karya PT GM untuk mendapatkan ganti rugi yang adil dan layak bagi pemukiman, pertanian, perkebunan, hutan, dan pertambangan tanpa izin melalui model persentase luasan klaim lahan masing-masing Kecamatan dan Desa. 2) Menganalisis kelayakan ekonomi sumberdaya tambang ditinjau dari aspek struktur pasar dan aspek ekstraksi baik ekstraksi terhadap cadangan, harga dan nilai lingkungan dan dampaknya terhadap pembangunan wilayah. 3) Tersusunnya model kelembagaan pada pengelolaan sumberdaya tambang di daerah dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Adapun alat analisis yang digunakan pada metode penelitian
yaitu: 1) Analisis Spasial sederhana dan kajian sejarah (land tenure). 2) Valuasi Finansial dan Ekonomi Sumber daya Mineral. 3) Valuasi Ekonomi Sumberdaya Mineral Model Hotelling. 4) Kajian Kelembagaan dan hukum serta analisis Statistik Tabel frekuensi dan Kontigensi dan Analisis Statisitik Model Logistik. Adapun output pada masing-masing alat analisis yaitu: Pertama analsis spasial dan land tenure: 1) peta tutupan lahan Nampak di dominasi oleh hutan, kemudian areal perkebunan yang menyebar di Kecamatan Bulawa dan Kecamatan Bone Raya, sedangkan PETI dan semakbelukar menyebar di Kecamatan Bone dan Bone Raya, selanjutnya pemukiman menyebar disemua Kecamatan namun paling banyak berada di Kecamatan Bone Raya. 2) Peta batas administrasi yaitu seluruh wilayah Kecamatan Bone Raya berada di Wilayah Konsesi, kemudian di disusul oleh Kecamatan Bulawa dan Suwawa Timur, serta Kecamatan Bone dan Kecamatan Bone pantai. 3) Peta Areal Pertanian menyebar di semua Kecamatan namun paling dominan yaitu di Kecamatan Bulawa, Kecamatan Bone Raya dan Kecamatan Bone. 4) Peta permukiman juga menyebar di semua Kecamatan namun paling banyak berada di Kecamatan Bone Raya dan Bulawa serta Kecamatan Bone. 5) Peta Pertambangan tanpa izin (PETI) lebih banyak berada di Kecamatan Suwawa Timur di Desa Bangio, kemudian dikecamatan Bulawa di Desa Mamungaa, Kecamatan Bone Raya serta Kecamatan Bone di Desa Waluhu.. Kedua valuasi ekonomi mineral : 1) Dengan internal rate of return (IRR) 21.39%, nilai Net Present Value (NPV) $ 462.42 juta, pay back period (PBP) selama 7.84 tahun. Kriteria-kriteria investasi yang dievaluasi berdasarkan analisis konstan dollar, dapat disimpulkan bahwa rencana produksi tembaga-emas PT.Gorontalo Minerals layak secara ekonomi karena nilai tersebut menunjukkan positif. 2) Pengaruh diskonto pada ekstraksi cadangan menunjukkan bahwa pada 10 tahun pertama adalah faktor perubahan diskonto sebesar 5%, 8%, 10% dan 15%. Hal ini cukup memiliki pengaruh terhadap nilai cadangan karena pada T1 ini kecenderungan untuk mengoptimalkan nilai ekstraksi semakin tinggi. Pengaruh perubahan harga pada ekstraksi dengan asumsi $ 900, $ 1200, $ 1600 dan $ 2000 nilai ekstraksi mengalami penurunan meskipun hal ini tidak akan menunda pengekstrasian dari pihak perusahaan. Selanjutnya ditemukan bahwa perubahan biaya lingkungan antara 1%, 1,5% dan 5% tidak memiliki perubahan (sama). Hal ini memungkinkan manajemen perusahaan meningkatkan biaya lingkungan sehingga pada akhir masa produsi perusahaan tidak akan banyak mengeluarkan biaya lagi kecuali untuk reklamasi dan revegetasi. Namun jika biaya lingkungan berbeda antara 1,5% dan 5% yaitu perbedaan yang signifikan terjadi pada periode 10 tahun pertama, namun pada periode kedua perbedaanya cenderung tidak signifikan lagi yaitu biaya lingkungan 1,5%( 47,02 juta ton) sedangkan biaya lingkaungan 5% yaitu (48.12 juta ton). Ketiga Analisis model kelembagaan mengacu pada dua komponen utama yaitu Institutional Arrangement yang memiliki tuju sub-komponen yaitu prinsip human capital, prinsip kemitraan, prinsip tatakelola perusahaan yang baik, prinsip pendidikan, dan prinsip keterbukaan informasi serta prinsip pencegahan perusakan
lingkungan. Komponen berikut yaitu Institutional Governance memiliki subkomponen yaitu Peranan hukum, partisipasi, keterbukaan, kesepakatan, kepekaan, dan keadilan serta dimana masing-masing sub komponen dipadukan dengan penjelasan naratif tentang hasil temuan dilokasi penelitian melalui uji Korelasi biasa dan hasil analisis Logistik yaitu Variable X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah umur responden, nilai-p) (0.038) < alpha 10% maka umur berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.90. Variable X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah responden berpendidikan sekolah lanjutan atas (SLTA), nilai-p) (0.079) < alpha 10% maka pendidikan sma berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 2.56. Variable X lain yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah responden berpendidikan tinggi (PT), nilai-p) (0.015) < alpha 10% maka pendidikan PT berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 15.19 . Variable X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah responden mengikuti sosialisasi, nilai-p) (0.035)
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan 1. atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.
MODEL KELEMBAGAAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA TAMBANG DAN KAITANNYA TERHADAP PEMBANGUNAN WILAYAH DI KABUPATEN BONE BOLANGO PROVINSI GORONTALO (STUDI KASUS ARAH PENGELOLAAN KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR PERTAMBANGAN PASCA PERUBAHAN STATUS SEBAGIAN KAWASAN TAMAN NASIONAL BNW MELALUI RTRWP GORONTALO)
AMIR HALID
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup 1. Prof. Dr. Ir Affendi Anwar, M.Sc 2. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka 1. Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd 2. Prof. Dr. Ir. Abrar Saling, M.Hum
HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi
: Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang dan kaitannya terhadap Pembangunan Wilayah di Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo (Studi Kasus Arah Pengelolaan Kebijakan Ekonomi di sektor Pertambangan Pasca Perubahan Sebagian Status Kawasan Taman Nasional BNW Melalui RTRWP Gorontalo) : Amir Halid : H162070021 : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Nama NRP Program Studi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc
Anggota
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 16 Juli 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Dengan Rahmat Allah Swt, Penulis memanjatkan kehadira Ilahi Robbi, atas segala karunia dan Hidayah-Nya, sehingga penyusunan dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tulisan ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para pembimbing, Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi M.Sc. Dr. Ir Baba Barus M.Sc, Dr. Ir Setia Hadi M.Si, atas curahan waktu, bimbingan, arahan, nasihat dan motivasi moral sejak awal penulisan hingga selesainya disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir Bambang Juanda M.S dan Prof Dr. Ir Afendi Anwar M.Sc sebagai penguji pada ujian tertutup, Prof. Dr. Ir Nelson pomalingo M.Pd dan Prof. Dr. Ir Abrar Saling M.H sebagai penguji luar pada ujian terbuka yang telah banyak memberikan masukan dan saran bagi disertasi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir Suseno Kramadibrata, Ir. Sahrial Suandi M.M, Ahmaad Alyafi SE, Didik Hatmoko ST, dan seluruh karyawan PT Gorontalo Minerals juga Dr. Ir. Rudianto Ekawan (Alm), Ir Fadhila M.T. yang telah banyak memberikan informasi dan memberikan kesempatan kepada saya mengikuti pelatihan valuasi ekonomi minerals di Lembaga Ahli Pertambangan Indonesia (LAPI) di Bandung. Ucapan yang sama kepada Prof. Dr. Ir. Ketut Wantika, Dr. Ir.Andri Hernandi yang telah memberikan dorongan moral terhadap penyelesaian tulisan ini. Demikian pula saya ucapkan terimakasih kepada mahasiswa D1 Survei dan Pemetaan ITB antara lain Gusti, Rizki dan Esda yang telah membantu disaat pengedaran angket di wilayah pertambangan tanpa izin (PETI) yang menjadi lokasi penelitian dengan medan yang cukup berat dan sulitnya membangun komunikasi dengan para penambang tanpa izin karena adanya faktor kecurigaan. Penghargaan dan ucapan terimakasih yang besar juga disampaikan kepada Ketua Program Studi PWD. Prof. Dr. Ir Bambang Juanda, Sekertaris Program Studi PWD 2010-2012 Dr. Ir Setia Hadi M.Si dan Sekertaris Program Studi Dr. Ir Eka Intan Kumala Putri M.Sc serta Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB atas curahan waktu, bimbingan, arahan dan nasehat sejak saya melangkahkan kaki menjadi mahasiswa PWD tahu 2007 hingga saat ini. Ucapan yang sama saya sampaikan kepada Dekan Fakultas Pertanian UNG Prof. Dr. Mahludin Baruwadi M.Si, Rektor UNG Dr. Syamsu Kamar Badu M.Pd, Ketua Program Studi Agribisnis Suprio Imran S.Pt. M.Si, Ahmad Fadli SE, M.Si, teman-teman seperjuangan yang telah selesai maupun yang menempuh studi di IPB telah banyak mendukung dan memotivasi. Penghormatan dan ucapan terimakasih atas doa dan kasih sayang yang tidak akan pernah putus dari ibunda (alma) Raipah Wahidji dan ayahanda (alm) Halid Igirisa, isteri tercinta Sri Wahyuni Effendi dan Ananda Ibnu Syukron I’tisyam Halid, Veliya Ataya Taala Halid, Taqi Akilah Sahla Halid serta Kaka-kakak H. H. Neti Halid dan suami, Hapsah Halid dan suami, Dra.H Salma Halid M.Pd dan suami, Dra.
Hadjira Halid dan suami, Mun Halid, Aruji Halid dan Isteri. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman PWD 2007 Ir. Muhammad Saad M.Si, Dr. Bambang Triharsanto, M.Si. Dr. Junaidi Caniago M.Si, Mahyuddin Riwu S.Pt M.Si serta rekanrekan mahasiswa PWD angkatan 2008, Juga buat Luh Putu Suciati SP, MSi mahasiswa PWD 2009, angkatan 2010 serta mahasiawa PWD angkatan 2011 yang telah banyak memberikan input pemikiran dalam tulisan ini. Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap dan berdoa agar disertasi ini dapat bermanfaat. Bogor, Agustus 2012
Amir Halid NRP. H162070021
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gorontalo tanggal 9 Januari 1972 anak ke 7 (terakhir) dari pasangan Halid Igirisa dan Raipah Wahidji. Pendidikan diploma ditempuh di Akademi Bahasa Asing Jurusan Bahasa Inggris ABA, UMI Makassar 1994. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Muslim Indonesia Makassar tahun 1999. Pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi program Magister Sains di Program Studi Agribisnis Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Penulis saat ini sebagai staf pengajar di Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo sejak tahun 2005 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh terutama Manajemen Produksi, Manajemen Agribisnis, Manajemen Strategi, Manajemen Pemasaran, Ekonomi Manajerial dan Bahasa Inggris Ekonomi. Artikel ilmiah penulis sebagai bagian dari disertasi yang tela diterbitkan adalah sebagai berikut: 1. Preferensi Masyarakat terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Tambang Oleh PT Gorontalo Minerals di Kabupaten Bone Bolango. Jurnal Agropolitan volume 5 Nomor 1 April 20012. 2. Inventarisasi Dan Analisis Identifikasi Penggunaan Lahan Berdasarkan Tumpang Tindih Lahan Kontrak Karya Pada PT Gorontalo Minerals. JATT Vol. 1. N0.1. April 2012: 46-60. ISSN 2252-3774.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................... v DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1 Latar Belakang............................................................................. 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 1.3 Tujuan, Kegunaan dan Manfaat Penelitian ................................. 1.3.1 Tujuan Penelitian ............................................................. 1.3.2 Manfaat Penelitian ........................................................... 1.3.3 Kegunaan Penelitian ........................................................ 1.4 Batasan Penelitian dan Kebaruan (Novelty) ................................ 1.4.1 Batasan Penelitian ............................................................ 1.4.2 Kebaruan (Novelty) ..........................................................
1 1 13 13 13 14 14 15 15 16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1 Sumber Mineral Dan Pembangunan Ekonomi Wilayah ............. 2.2 Hak dan Rezim Kepemilikan....................................................... 2.3. Konflik Penguasaan Lahan Sebagai bagian Perilaku Kelembagaan ............................................................................... 2.4 Pemetaan Potensi Sumberdaya Ekonomi Wilayah melalui Perubahan Peruntukan Kawasan ................................................. 2.5 Valuasi Sumberdaya Mineral Sebagai Pendorong Pembangunan Wilayah ................................................................ 2.6 Konsep Dasar Pengelolaan Sumber Daya Alam ......................... 2.7 Kewenangan otonomi Daerah Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral ............................................................................... 2.8 Peran Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral Pasca Otonomi Daerah..........................................................................................
17 17 20
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 3.1 Kerangka Pikir ............................................................................. 3.2 Hipotesis ...................................................................................... 3.3 Alur Penelitian ............................................................................. 3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 3.5 Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 3.6 Jenis dan Sumber Data ................................................................
43 43 45 45 47 47 48
i
24 25 29 34 40 41
3.7 Teknik Analisis Data................................................................... 3.7.1 Analisis Spatial dan Land Tenure ................................... 3.7.2 Analisis Tabel Frekuensi ................................................. 3.7.3 Valuasi Sumberdaya Mineral (Tambang) ....................... 3.7.4 Valuasi Sumberdaya Tambang Model Hotelling ............ 3.7.5 Analisis Regresi Model Logistik .....................................
49 49 52 54 59 62
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH ................................................ 4.1 Kondisi Kependudukan ............................................................... 4.1.1 Pertumbuhan Penduduk .................................................. 4.1.2 Perkembangan Penduduk Menurut Kelompok Umur ..... 4.1.3 Kepadatan Penduduk ....................................................... 4.1.4 Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan .......................... 4.1.5 Proyeksi Kependuduk ..................................................... 4.2 Sektor Ekonomi .......................................................................... 4.2.1 Pertumbuhan Ekonomi .................................................... 4.2.2 Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ........................ 4.3 Struktur Ekonomi ........................................................................ 4.3.1 Sektor Pertanian ............................................................. 4.3.2 Sektor Tambang dan Penggalian ..................................... 4.3.3 Sektor Perdagangan ......................................................... 4.3.4 Sektor Keuangan Persewaan dan Jasa Perusahaan ......... 4.3.5 Sektor Jasa....................................................................... 4.3.6 Sektor Industri Pengolahan ............................................. 4.3.7 Sektor Listrik dan Air Bersih .......................................... 4.3.8 Keuangan Daerah ............................................................ 4.4 Ekologi Wilayah ........................................................................ 4.4.1 Ekologi DAS ................................................................... 4.4.2 Ekologi Pantai ................................................................. 4.4.3 Ekologi Air Tanah ........................................................... 4.5 Tinjauan Demografi Lokasi Penelitian ....................................... 4.5.1 Profil Rumah Tangga Responden ...................................
65 65 67 68 69 70 71 73 73 79 81 81 82 83 83 83 84 85 86 88 89 91 92 93 93
BAB V
ANALIS SPASIAL DAN LAND TENURE ................................... 5.1 Analisis Land Tenure .................................................................. 5.1.1 Aspek Yuridis ................................................................. 5.1.2 Aspek Biofisik/Ekologi ................................................... 5.1.3 Aspek Ekonomi, Sosial dan Budaya ............................... 5.1.4 Aspek Hukum dan Kelembagaan ................................... 5.2 Analisis Spasial ........................................................................... 5.2.1 Analisis Identifikasi ........................................................ 5.2.2 Analisis Inventarisasi Lokasi .......................................... ii
101 101 101 105 106 107 107 108 121
BAB VI VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA MINERAL .................. 131 6.1 Valuasi Kelayakan Finansial ....................................................... 131 6.1.1 Biaya Kapital ................................................................... 134 6.1.2 Modal Kerja ..................................................................... 137 6.2 Model Pembiayaan dan Pendapatan ............................................ 138 6.2.1 Biaya Produksi ................................................................. 138 6.2.2 Pendapatan ....................................................................... 140 6.3 Analisis Kelayakan ...................................................................... 140 6.4 Analisis Sensitivitas..................................................................... 142 6.4.1 Metode Deterministik ...................................................... 143 6.4.2 Metode Probabilistik........................................................ 144 6.5 Kontribusi Ekonomi PT.Gorontalo Minerals Kepada Pemerintah .................................................................................. 147 6.6 Model Analisis Hotelling ............................................................ 152 6.6.1 Pengaruh Diskonto Pada Ekstraksi ................................. 153 6.6.2 Pengaruh Perubahan Harga Pada Ekstraksi .................... 155 6.6.3 Pengaruh Biaya Lingkungan Terhadap Ekstraksi........... 157 BAB VII MODEL KELEMBAGAAN SEBAGAI SINTESA KERANGKA RESOLUSI KONFLIK .................................................................. 161 7.1 Analisis Fakta dalam Pendekatan Institusional Governance ..... 161 7.1.1 Peranan Hukum (Rule of Law) ........................................ 161 7.1.2 Partisipasi (Participation)................................................ 168 7.1.3 Kesepakatan (Consensus Orientation). ........................... 169 7.1.4 Keterbukaan (Transparance) . ......................................... 173 7.1.5 Kepekaan (Responsiveness) . ........................................... 175 7.1.6 Keadilan (Equity). ............................................................ 180 7.1.7 Model Tata Kelola ........................................................... 188 7.1.8 Biaya Transaksi ............................................................... 188 7.2 Analisis Regresi Model Logistik Persepsi dan Kelembagaan .... 192 7.2.1 Regresi Partisipasi Versus Jenis Kelamin dan Umur dan Pekerjaan ........................................................................ 192 7.2.2 Regresi Partisipasi Versus Model Advokasi Pemanfaatan sumberdaya.Tambang ...................................................... 193 7.2.3 Binary Logistic Regression Partisipasi versus Persepsi Responden Terhadap Sarana dan Prasarana di Wilayah Pemanfaatan Sumberdaya Tambang................................ 194 7.2.4 Binary Logistic Regression Partisipasi versus Pertambangan Tanpa Izin ................................................ 195 7.2.5 Binary Logistic Regression Partisipasi versus Kelembagaan yang Efektif dalam Penyelesaian Konflik 195
iii
7.3 Analisis Yuridis dalam Pendekatan Institutional Arrangement.. 7.3.1 Prinsip Human Kapital .................................................... 7.3.2 Prinsip Kemitraan ........................................................... 7.3.3 Prinsip Good Corporate Governance ............................. 7.3.4 Prinsip Pengembangan Komunitas ................................. 7.3.5 Prinsip Pendidikan..........................................................
197 197 198 198 198 199
7.3.6 Prinsip Keterbukaan informasi....................................... 199 7.3.7 Prinsip Pencegahan Kerusakan Lingkungan ................ 200 7.4 Sintesa Kerangka Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang Sebagai Alternatif Resolusi Konflik di Kabupaten Bone Bolango………………………………………………… 201 7.4.1 Kerangka Resolusi ………………………………......
201
7.4.2 Tujuan dan Kerangka Struktur Kelembagaan Dewan Tambang serta Lembaga Multi pihak di Kabupaten Bone Bolango.................................................................. 203 7.4.3 Struktur Kelembagaan Dewan Tambang...................... 204 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN............................................................ 8.1 Simpulan ..................................................................................... 8.2 Saran ........................................................................................... 8.3 Rekomendasi ..............................................................................
211 211 212 213
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 215 LAMPIRAN ..................................................................................................... 219
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Nilai Ekonomi Sumberdaya Mineral dan Tambang di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2006 ............................................................
5
Tabel 2
Nilai Ekonomi Sumberdaya Mineral Tahun 2008 .......................
6
Tabel 3
Kumpulan Hak dan Posisi Aktor ...................................................
24
Tabel 4
Model Peningkatan Kemandirian Ekonomi Lokal Terhadap Tambang ........................................................................................
33
Tabel 5
Pembagian Penerimaan SDA Menurut PP. No.104 Tahun 2000 ..
40
Tabel 6
Tujuan Penelitian, Data Dasar, Analisis Variabel Indikator dan Output Analisis Spasial dan Rapid Land Tanur Assesment (RATA) .........................................................................................
51
Tujuan Penelitian, Data Dasar, Analisis Variabel Indikator Dan Output Analisis Tabel Frekuensi Dan Analisis Tabel Silang ........
53
Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Analisis Variabel Indikator dan Output Valuasi Sumberdaya Mineral di Wilayah KK PT Gorontalo Mineral 2014-2044 ..........................................
58
Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Analisis Analisis Variabel Indikator dan Output Analisis Valuasi Ekonomi Tambang Model Hotelling ............................................................
61
Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Analisis Analisis Variabel Indikator dan Output Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Kesiapan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di Wilayah Konsesi Kontrak karya PT Gorontalo Minerals .............
63
Jumlah Penduduk Kabupaten Bone Bolango dirinci per Kecamatan Tahun 2005 /d 2010....................................................
66
Perkembangan Jumlah Penduduk Setiap Tahun di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2007 s/d 2010 .............................................
67
Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Beban Ketergantungan di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2009 ..........
68
Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Tahun 2010 di Kabupaten Bone Bolango ................................................................................
69
Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2009 di Kabupaten Bone Bolango .........................................................................................
70
Proyeksi Jumlah Penduduk Kabupaten Bone Bolango Tahun 2011 –2031....................................................................................
72
Perkembangan PDRB (Atas Dasar Harga Berlaku) Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2005 – Tahun 2009 ..................................................................................
76
Tabel 7 Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17
v
Tabel 18
Perkembangan PDRB (Atas Dasar Harga Konstan) Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2005 – Tahun 2011 ...................................................................................
77
Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Persen) Di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2008-2010 ............................................................
78
Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Persen) Di Kabupaten Bone Bolango ................................................................................
79
Nilai LQ Sektor-Sektor Ekonomi di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2005– Tahun 2007 .............................................................
80
Tabel 22
Jumlah Industri Kecil di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2009 ..
84
Tabel 23
Pelanggan Listrik Menurut Unit Kerja Di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2005 - 2008 ..........................................................
85
Banyaknya Pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2008-2009 ............................
86
Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2009-2010 ................................
87
Nama-Nama Sungai Besar dan Kecil di Kabupaten Bone Bolango ..........................................................................................
91
Tabel 27
Data Pembangunan Sumur Bor di Kabupaten Bone Bolango .......
92
Tabel 28
Data Daerah Irigasi (DI) di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2005 ..............................................................................................
93
Tabel 29
Jumlah Kepala Keluarga ................................................................
94
Tabel 30
Tingkat Pendidikan .......................................................................
95
Tabel 31
Pekerjaan Utama Responden .........................................................
96
Tabel 32
Pekerjaan Sampingan Responden ..................................................
97
Tabel 33
Umur Anggota Rumah Tangga Keluarga ......................................
98
Tabel 34
Jumlah Anggota Rumah Tangga Keluarga ....................................
98
Tabel 35
Anggota Keluarga Rumah Tangga Responden yang Sedang Sekolah ..........................................................................................
99
Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 24 Tabel 25 Tabel 26
Tabel 36
Jumlah Anggota Keluarga Umur Produktif ................................... 100
Tabel 37
Sampel Penelitian dan Titik Koordinat Lokasi 1, 2 dan 3 Kecamatan Bulawa , Bone Raya dan Kab Bone Bolango ............. 110
Tabel 38
Lokasi Sampel Pengamatan Lanjutan di Kecamatan Suwawa Timur dan Enclove Pinogu Kabupaten Bone Bolango .................. 112
Tabel 39
Luas Penguasaan Lahan di Kecamatan Suwawa Timur ................ 122
Tabel 40
Luas Penguasaan Lahan di Kecamatan Bone ................................ 123
vi
Tabel 41
Luas Penguasaan Lahan di Kecamatan Bone Raya ......................
125
Tabel 42
Luas Penguasaan Lahan di Kecamatan Bulawa ...........................
127
Tabel 43
Luas Penguasaan Lahan di Kecamatan Bone Pantai .....................
129
Tabel 44
Prospek Mineralisasi Kecamatan Tombulilato .............................
131
Tabel 45
Perkiraan Biaya Kapital PT. Gorontalo Minerals .........................
136
Tabel 46
Prosentase Biaya Kapital Digunakan Pada Fase Konstruksi ........
137
Tabel 47
Perkiraan Biaya Operasi ................................................................
139
Tabel 48
Asumsi untuk Perhitungan Pendapatan Bersih .............................
141
Tabel 49
Probabilitas NPV Tembaga Emas dan Perak ................................
145
Tabel 50
Kontribusi Ekonomi PT. Gorontalo Minerals ...............................
148
Tabel 51
Skema Bagi Hasil Ke Daerah ........................................................
149
Tabel 52
Skema Bagi Hasil Sesuai Peruntukan ...........................................
150
Tabel 53
Dana Bagi Hasil Atas Pengenaan Royalty ke Kabupaten Bone Bolango, Kab/kota Sekitar serta Provinsi Gorontalo ....................
151
Tabel 54
Pengaruh Diskonto Terhadap Ekstraksi ........................................
153
Tabel 55
Nilai Diskonto Terhadap Ekstraksi ...............................................
154
Tabel 56
Pengaruh Perubahan Harga Pada Ekstraksi ..................................
156
Tabel 57
Pola Ekstraksi Pada Tingkat Harga yang Berbeda ........................
157
Tabel 58
Pengaruh Ekstraksi Pada Biaya Lingkungan Berbeda ..................
158
Tabel 59
Pola Ekstraksi Pada Biaya Lingkungan Berbeda ..........................
159
vii
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Peta Administrasi Kabupaten Bone Bolango ...........................
2
Gambar 2
Peta Aktivitas Geologi di Pulau Sulawesi ................................
3
Gambar 3
Peta Potensi Cu-Au-Ag di Provinsi Gorontalo .........................
4
Gambar 4
Peta Blok 1 dan 2 Kontrak Karya PT.Gorontalo Mineral .........
7
Gambar 5
Peta Penunjukan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone ...
8
Gambar 6
Peta Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin di Lokasi Kontrak Karya .........................................................................................
9
Overlay Peta Rekomondasi Perubahan Kawasan Hutan Dengan Peta Kawasan Hutan Yang Dimutakhirkan Dalam RTRWP Gorontalo ...................................................................
10
Gambar 8
Peta Penunjukan Kawasan Hutan Kabupaten Bone Bolango ...
11
Gambar 9
Skema Keterpaduan Konsep .....................................................
23
Gambar 10 Kerangka Analisis dan Pendekatan Aktor ................................
24
Gambar 11 Proses Pengembangan Wilayah ..............................................
35
Gambar 12 Interaksi Ekonomi - Lingkungan Hidup dan Tujuan Pembangunan ............................................................................
36
Gambar 13 Kaitan Antara Fungsi Produksi dan Fungsi Manajemen ..........
38
Gambar 14 Matrik Manajemen Kebijakan Versus Sumberdaya .................
39
Gambar 15 Kerangka Pikir Penelitian .........................................................
44
Gambar 16 Alur Penelitian ..........................................................................
46
Gambar 17 Peta Lokasi Sampel Wilayah Tumpang Tindih (Berhimpitan Langsung) dengan Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals Dan Penambang Tanpa Izin .......................................
47
Gambar 18 Alur Pemikiran Analisis Spatial ...............................................
50
Gambar 19 Peta Citra Satelit Spot4 Lokasi Penelitian di Kabupaten Bone Bolango .....................................................................................
109
Gambar 20 Peta Prospek dan Penelitian Eksplorasi Sungai Mak PT.Gorontalo Minerals .............................................................
113
Gambar 21 Peta Prospek dan Penelitian Eksplorasi Wilayah Cabang Kiri PT.Gorontalo Minerals .............................................................
114
Gambar 22 Peta Wilayah Administrasi Lokasi Penelitian Konsesi Kontrak Karya PT.Gorontalo Minerals ....................................
115
Gambar 23 Peta Pertambangan Tanpa Izin (PETI) ....................................
116
Gambar 24 Permukiman yang Berhimpitan Langsung dengan Peta Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo) Minerals ....................
117
Gambar 7
ix
Gambar 25 Peta Areal Pertanian yang Berhimpitan Langsung dengan Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo) Minerals ....................
119
Gambar 26 Peta Penutupan Lahan di Wilayah Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo) Minerals ................................................................
120
Gambar 27 Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Suwawa Timur .......
122
Gambar 28 Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bone .......................
124
Gambar 29 Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bone Raya ..............
126
Gambar 30 Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bulawa ...................
128
Gambar 31 Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bone Pantai ............
130
Gambar 32 Grafik Sensitivitas ....................................................................
143
Gambar 33 Grafik Frekuensi Probabilitas NPV Tembaga ..........................
145
Gambar 34 Grafik Frekuensi Probabilitas NPV Emas................................
146
Gambar 35 Grafik Frekuensi Probabilitas NPV Perak ...............................
146
Gambar 36 Grafik Pengaruh Diskonto Pada Ekstraksi Cadangan ..............
155
Gambar 37 Grafik Ekstraksi Pada Tingkat Harga Berbeda ........................
157
Gambar 38 Grafik Pengaruh Ekstraksi Pada Biaya Lingkungan Berbeda ..
159
Gambar 39 Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di Kabupaten Bone Bolango.........................................................
206
x
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Inventarisasi Luasan Lahan Berhimpitan Langsung Dengan Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Mineral di Tingkat Desa ............................ 221
2.
Inventarisasi Luasan Lahan Berhimpitan Langsung Dengan Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Mineral di Tingkat Kecamatan .................. 223
3.
Proyeksi Aliran Kas PT. GM Berdasarkan Analisis Dollar Konstan ........ 224
4.
Binary Logistic Regression: Partisipasi Versus Jenis Kelamin, Umur dan Pekerjaan Responden .......................................................................... 227
5.
Binary Logistic Regression: Partisipasi Versus Model Advokasi Pemanfaatan Sumberdaya Tambang.......................................................... 228
6.
Binary Logistic Regression: Partisipasi Versus Persepsi Responden Terhadap Sarana dan Prasarana di Wilayah Pemanfaatan Sumberdaya Tambang ............................................................................... 229
7.
Binary Logistic Regression: Partisipasi Versus Pertambangan Tanpa Izin ............................................................................................................. 230
8.
Binary Logistic Regression Partisipasi versus Kelembagaan yang Efektif dalam Penyelesaian Konflik ......................................................... 232
9.
Sebaran Sampel Lokasi Pengambilan Data ............................................... 233
10.
Tahun Mulai Penambangan Tanpa Izin (PETI) ......................................... 234
11.
Hubungan PETI dengan TN Bogani Nani Wartabone .............................. 234
12.
Posisi Penambang Tanpa Izin (PETI) ........................................................ 235
13.
Hubungan PETI Dengan Para Pihak ......................................................... 235
14.
Kenyamanan Bekerja PETI ....................................................................... 235
15.
Dukungan Para Pihak ................................................................................ 236
16.
Penggunaan Mercury dan Cianida ............................................................. 236
17.
Penertiban Penambang Tanpa Izin (PETI) ................................................ 236
18.
Konsesi Lahan Perusahaan PT Gorontalo Mineral .................................... 237
19.
Kohesivitas Antar Masyarakat dengan PT Gorontalo Minerals ................ 237
20.
Organisasi untuk Fasilitasi Konflik ........................................................... 237
xi
21.
Konflik Perusahaan dengan Pemerintah ................................................... 238
22.
Kohesivitas Pemerintah dengan Masyarakat ............................................ 238
23.
Organisasi kemasyarakatan Fasilitasi konflik Pemerintah dan Masyarakat ................................................................................................ 238
24.
Bentuk-Bentuk Konflik ............................................................................. 239
25.
Alternatif Penyelesaian Konflik ................................................................ 239
26.
Partisipasi Responden Pada Advokasi Pemanfaatan Sumberdaya Tambang.................................................................................................... 240
27.
Intensitas Mengikuti_Penyuluhan ............................................................. 240
28.
Kemampuan Menyerap Materi Advokasi ................................................. 240
29.
Sifat Dukungan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang ............................... 241
30.
Bentuk dan Dukungan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang .................... 241
31.
Keterlibatan Dalam Organisasi ................................................................. 241
32.
Frekuensi Kehadiran dalam Rapat Organisasi .......................................... 242
33.
Keterlibatan dalam Memberikan Saran ..................................................... 242
34.
Pemahaman Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Tambang .................... 242
35.
Perubahan Status Kawasan ....................................................................... 243
36.
Awal Informasi Adanya Potensi Tambang Emas ..................................... 243
37.
Pemahaman Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Tambang .................... 243
38.
Informasi Status Kontrak Karya................................................................ 244
39.
Peran Informal Leader (Tokoh Masyarakat) ............................................. 244
40.
Organisasi Sosial Budaya .......................................................................... 244
41.
Syarat Organisasi Sosial Budaya .............................................................. 245
42.
Manfaat Organisasi Sosial Budaya ........................................................... 246
43.
Kelengkapan Organisasi yang Diikuti ...................................................... 246
44.
Manfaat Organisasi Sosial Budaya ........................................................... 246
45.
Syarat Organisasi Menjaga Lingkungan ................................................... 247
xii
46.
Organisasi Pelestarian Lingkungan ........................................................... 247
47.
Kearifan Lokal Dalam Penyelesaian Konflik ............................................ 248
48.
Syarat Kearifan Lokal Pada Organisasi Sosial .......................................... 248
49.
Peran Organisasi dalam Penyelesaian Konflik .......................................... 248
50.
Syarat dimiliki Organisasi dalam Penyelesaian Konflik ........................... 249
51.
Waktu Terbentuk Lembaga Ekonomi ........................................................ 249
52.
Posisi Dalam Lembaga Ekonomi .............................................................. 250
53.
Organisasi Sosial Ekonomi ........................................................................ 250
54.
Kegiatan Ekonomi Masyarakat.................................................................. 252
55.
Organisasi Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan Banyak Diikuti ............ 252
56.
Organisasi Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan Banyak Manfaat .......... 253
57.
Bentuk Manfaat Organisasi Sosial Ekonomi Dan Kemasyarakatan.......... 254
58.
Persepsi Terhadap Sarana .......................................................................... 255
59.
Persepsi Terhadap Sarana Perekonomian .................................................. 255
60.
Persepsi Terhadap Sarana Kesehatan ........................................................ 255
61.
Persepsi Terhadap Sarana Pendidikan ....................................................... 256
62.
Persepsi Terhadap Sarana Penerangan ...................................................... 256
63.
Persepsi Terhadap Sarana Air Bersih ........................................................ 256
64.
Persepsi Terhadap Sarana Olahraga .......................................................... 257
65.
Tatakelola Sumberdaya Tambang yang Aktual ......................................... 257
66.
Biaya Perlindungan PETI .......................................................................... 257
67.
Bentuk dan Skema Biaya Perlindungan PETI ........................................... 258
68.
Lembaga Pemberi Bantuan ........................................................................ 258
69.
Responden Merasa Terbantu ..................................................................... 258
70.
Peningkatan Usaha..................................................................................... 259
71.
Pemahaman Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Tambang ..................... 259
xiii
72.
Peran Tokoh Menerima Keluhan Masyarakat........................................... 259
73.
Organisasi Sosial Budaya .......................................................................... 260
74.
Alasan Perlu Adanya Organisasi Sosial Budaya ....................................... 260
75.
Kepemilikan Lahan Kering ....................................................................... 261
76.
Kepemilikan Lahan Bagi Hasil ................................................................ 261
77.
Sejarah kepemilikan Lahan ....................................................................... 261
xiv
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pengesahan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara pada tanggal 12 Juni 2009 oleh Presiden Republik Indonesia berikut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara tujuannya antara lain untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan pokok pertambangan di zaman orde baru yang telah banyak menimbulkan polemik karena motif kebijakan politik ekonomi. Hal ini disebabkan karena pada ketentuan pelaksanaan pertambangan Undang-Undang Pokok Pertambangan jaman orde baru bersifat liberal dan kapitalis. Bagi investor asing Undang-Undang ini cukup memberikan angin segar untuk melakukan investasi dalam bentuk kontrak karya, sedangkan bagi pemerintah merupakan sektor yang cukup signifikan dalam memberikan kontribusi ekonomi bagi peningkatan penerimaan negara, dan bagi para-pihak hal ini menjadi sensitif bahkan telah menimbulkan isu-isu negatif bagi lingkungan dan menimbulkan kemiskinan serta ketimpangan wilayah. Undang-Undang Mineral dan Batubara yang baru sangat diharapkan berfungsi sebagai pilar dan lokomotif baru yang memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada pemerintah. Undang-Undang ini menjadi tantangan sekaligus kesempatan dalam mengelola sumberdaya mineral, namun hal ini merupakan tantangan sekaligus kesempatan untuk mewujudkan desentralisasi politik dan bukan hanya sekadar desentralisasi manajemen. Hal ini merupakan babak baru dalam penataan kelembagaan pemerintahan daerah. Kebijakan dan program yang sentralistis tidak dapat ditempatkan lagi sebagai pendekatan pembangunan, yang pada akhirnya memunculkan persoalan-persoalan baru dan mengganggu kinerja pemerintah daerah. Eksistensi Undang-Undang Minerba dan turunannya belum sepenuhnya dapat menyelesaikan persoalan pembangunan ekonomi di sektor pertambangan yang berwawasan lingkungan bahkan terkesan tidak memberikan dampak positif
2 terhadap pembangunan wilayah karena masih menyisahkan beberapa persoalan mendasar yang belum terakomodir di dalamnya, antara lain mengenai tidak jelasnya
aspek
kelembagaan
yang
menjadi
wadah
para
pihak
untuk
memanifestasikan amanat Undang-Undang Minerba yaitu tidak lepas dari amanat pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945 sebagai dasar penguasaan dan pengelolaan sumberdaya berdasarkan demokrasi ekonomi. Saat ini salah satu daerah Kabupaten di Indonesia yang sedang giat membangun adalah Kabupaten Bone Bolango yang dibentuk atas dasar UndangUndang Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten Pohuwato (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4269). Kabupaten Bone Bolango memiliki luas 188.006,43 hektar dimana 142.664,38 hektar atau 75,88 persen adalah kawasan hutan (kawasan Lindung TN) sedangkan kawasan pemanfaatan (budidaya) 45.326,5 hektar atau 24.22 persen. Luasnya kawasan hutan ini akan mempersulit pemerintah Kabupaten Bone Bolango dalam merencanakan dan menyusun tata ruang. Hal ini nampak pada Gambar 1 berikut menunjukkan peta pola ruang Kabupaten Bone Bolango.
Sumber: BAPPEDA 2011
Gambar 1. Peta Pola Ruang Kabupaten Bone Bolango
3 Berdasarkan aspek geologis Kabupaten Bone Bolango merupakan bagian aktivitas perbenturan lempengan Australia/Papua dengan lempengan Asia yang terjadi 15-25 juta tahun yang lalu. Kegiatan vulkanis dan tektonis mengakibatkan terbentuknya rangkaian pegunungan yang timbul dari dasar laut terangkat oleh lempengan Australia dan retakan dasar kristal lempengan Asia menimbulkan batuan yang berbeda antara bagian yang timbul dan tenggelam. Formasi vulkanis tertua dengan batuan vulkanis dasar terdapat di sebelah Timur dan Selatan lembah Dumoga dan membentuk rangkaian pegunungan ke pantai Utara Labuan Uki. Pada bagian Selatan Gunung Mogogonipa terdapat gunung-gunung kecil yang terdiri dari batuan lava, konglomerat, dan breccia. Gambar 2 menggambarkan aspek geologi di Pulau Sulawesi termasuk Kabupaten Bone Bolango.
Sumber: BAPPEDA 2011
Gambar 2. Peta Aktivitas Geologi di Pulau Sulawesi Formasi geologi di wilayah ini (pulau Sulawesi) mengandung deposit mineral dengan nilai ekonomi yang tinggi yaitu batuan instrusi yang mengandung biji timah dan emas. Kabupaten Bone Bolango merupakan bagian dari proses rangkaian potensi tumbukan yang menyebabkan wilayah ini umumnya berbukitbukit. Selain tumbukan yang berasal dari utara (Laut Sulawesi) juga terdapat tumbukan yang berasal dari sebelah timur pulau sulawesi. Adanya proses geologi seperti itu, menyebabkan di daerah ini terjadi mineralisasi sehingga menjadi salah
4 satu daerah potensial untuk pengembangan usaha pertambangan terutama di Kabupaten Bone Bolango. Pada awalnya pengembangan kawasan diarahkan sebagai penggerak perekonomian wilayah (prime mover) yang memiliki kriteria sebagai daerah cepat tumbuh dibandingkan daerah lainnya. Kabupaten Bone Bolango memiliki sektor pertambangan cukup potensial untuk dijadikan unggulan dan memiliki keterkaitan ekonomi dengan daerah sekitar (hinterland). Hal ini nampak pada peta potensi sumberdaya mineral pada (Gambar 3).
Cu-Au
Cu-Au-Ag Cu-Au-Ag Sumber: Dept. ESDM 2008
Cu-Au-Ag (lokasi penelitian)
Gambar 3. Peta Potensi Cu-Au-Ag di Provinsi Gorontalo Hasil eksplorasi potensi tambang di kawasan ini telah dilakukan sebelum adanya Surat Keputusan Penetapan kawasan ini menjadi Taman Nasional pada tahun 1991. Eksplorasi dimulai sejak tahun 1982 dan dari hasil eksplorasi pemerintah telah mengeluarkan data melalui Kementerian Pertambangan dan Energi RI bahwa kawasan tersebut termasuk dalam daftar cadangan nasional. Sejak tahun 2006 kawasan tersebut dapat dimanfaatkan dengan tanpa mengurangi fungsi ekologi yang terdapat di sekitar kawasan. Pembangunan daerah yang dilakukan pemerintah maupun swasta dan masyarakat dewasa ini nampaknya tidak terjalin suatu keterpaduan dalam hal pemanfaatan ruang. Hal tersebut menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan
5 seperti meluasnya pemukiman kumuh, tidak efisiennya penggunaan lahan, rendahnya tingkat pelayanan umum dan kebersihan lingkungan. Dampak yang muncul adalah makin menyulitkan terjangkaunya pelayanan prasarana dan sarana dasar bagi masyarakat karena tidak adanya paduserasian antar kawasan. Tabel 1 menunjukkan potensi sumber daya mineral di Kabupaten Bone Bolango yang memiliki nilai ekonomi yang cukup prospektif untuk dimanfaatkan meskipun hasil penelitian eksplorasi ini masih perlu diperkuat lagi akurasinya. Dengan asumsi perhitungan cadangan Au dan Cu pada tahun 2006, maka total jumlah sumberdaya mineral yang ada dalam kawasan tersebut sebesar $ 10,5 miliyar atau sama dengan nilai dalam Rupiah 100 Triliyun. Perhitungan ini dilakukan dengan asumsi produksi rata-rata (flat production) dengan nilai kontrak karya selama 30 tahun. Sesuai informasi yang diperoleh dan dalam kegiatan pertambangan jarang ditemui asumsi produksi rata-rata, biasanya produksi dalam kegiatan pertambangan selalu mengalami peningkatan (Ekawan, 2010 ). Tabel 1. Nilai Ekonomi Sumberdaya Mineral dan Tambang ($ miliyar) di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2006 Daerah Bijih (juta ton)
Cabang Sungai Kayu Kiri East Mak Bulan 139,6 82
Kadar (%) Cu
Kand. Logam (ton) Nilai (103 US$) Kand. Logam (ton) Nilai (103 US$)
Ag
75
3,5
0,43
0,77
0,62
1,63
600,28
631,4
465
5,705
1.702.385
2.701.260 2.841.300 2.092.500
25,672
7.660.732
Kadar (g/t) Au
Tulabolo jumlah
0,58
0,39
0,53
4,8
80,97
31,98
24,75
16,8
154,5
1.431.807
565.508
437.659
297.077
2.732.051
Kadar (g/t)
-
-
-
94,5
Kand. Logam (ton)
-
-
-
330
330
Nilai (103 US$)
-
-
-
100.794
100.794
Total Nilai (103 US$) Nilai
4.133.067 3.406.808 2.530.159
Sumber: Departemen ESDM 2006 (dalam Feasibility Study/FS)
297.103 10.392.783
6 Pada tahun 2008, Departemen Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) melakukan perhitungan ulang tentang cadangan sumberdaya mineral yang ada di kawasan tersebut dan hasilnya telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan seiring dengan harga logam mulia dan ikutannya mengalami kenaikan. Hasil perhitungan tersebut meningkat hampir 2 kali lipat dengan nilai cadanga sebelumnya yaitu sekitar $ 18,9 milyar atau setara dengan nilai rupiah Rp 190 trilyun. Data terperinci terdapat pada Tabel 2 berikut. Perhitungan ini akan terus meningkat seiring dengan harga logam mulia dan ikutannya di pasar dunia, karena harga di pasar dunia pada tahun 2008 berkisar $103,4/troy/once dan pada tahun 2010 harga emas di pasar dunia telah meningkat berkisar $ 1130,3 /troy/once.
Tabel 2. Nilai Ekonomi Sumberdaya Mineral Tahun 2008 Daerah
Cu
Au
Cabang Kiri Sungai Mak Kayu Bulan Tulabolo jumlah East Bijih (juta ton) 139,6 82 75 3,5 Kadar (%) 0,43 0,77 0,62 1,63 Kand. Logam 600,28 631,4 465 5,705 1.702.385 (ton) Nilai (103 US$) Kadar (g/t) Kand. Logam (ton)
4.970.318
5.227.992
3.850.200
47,236
14.095.746
0,58 80,97
0,39 31,98
0,53 24,75
4,8 16,8
154,5
Nilai (103 US$) (g/t) Kadar
2.419.753 -
955,708 -
739,643 -
502,06 94,5 330
4.617.164
4.133.067
3.406.808
2.530.159
100.794 423,543
100.794 18.903.410
Kand. Logam (ton) Nilai (103 US$) Nilai (103 Total Nilai US$) Ag
330
Sumber: Dep.ESDM. RI 2008
Sementara itu pada kawasan tumpang tindih, Departemen Energi Sumber Daya Mineral mengeluarkan alokasi pemanfaatan sumberdaya emas berupa kontrak Karya Generasi II tahun 1971 berpayung pada Undang-Undang Pertambangan No 11 tahun 1967 kepada PT. Tropic Endeavour Indonesia. Wilayah kelola kontrak karya tersebut berada di blok 2 Tombulilato dengan luas lebih dari 26.000 hektar, dimana 14.000 hektar masuk dalam kawasan Taman
7 Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBWN). Namun demikian kawasan ini belum sempat dieksploitasi, jangka waktu kontrak karya tersebut berakhir dan diperbarui kembali melalui Kontrak Karya Generasi VII pada tahun 1998 (Gambar 4). Konsesi pertambangan tersebut dikuasasi oleh PT Gorontalo Mineral yang merupakan perusahaan patungan antara Internasional Minerals Company (80 persen) dan PT. Aneka Tambang (20 persen).
Gambar 4. Peta Blok 1 dan 2 Kontrak Karya PT.Gorontalo Mineral
Kawasan konservasi, termasuk Taman Nasional merupakan salah satu bentuk alokasi pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat sektoral. Penetapan kawasan konservasi oleh pemerintah (Kemenhut RI), melalui keputusan hukum yang sah. Namun di sisi lain keberadaan kandungan sumberdaya alam di wilayah melalui Kementerian ESDM, juga memberikan ijin kepada pihak-pihak tertentu untuk melakukan kegiatan ekstraksi di kawasan yang sama dengan keputusan hukum yang sah pula. TNBNW merupakan kawasan konservasi yang terletak di dua Provinsi, yaitu Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Utara, seperti yang ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan No.731/Kpts-II/91 jo SK Menteri Kehutanan No. 1068/Kpts-II/1992 jo SK Menteri Kehutanan No. 1127/Kpts-II/92. Kawasan ini memiliki luas 287.115 hektar. Kawasan TNBNW yang terletak di wilayah administratif Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo meliputi luas kurang lebih 110.000 hektar, yang sebelumnya berupa Suaka Margasatwa Bone dengan
8 luas yang sama melalui SK Menteri Pertanian No. 746/Kpts/Um/12/1979, yang ditunjukkan pada (Gambar 5).
Gambar 5. Peta Penunjukan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Berdasarkan data di atas, maka wajarlah cadangan sumberdaya mineral ini menjadi target para pihak karena jumlah cadangan tersebut sangat menjanjikan kemaslahatan ekonomi yang apabila tidak diatur dengan baik potensi konflik terbuka sangat memungkinkan akan terjadi. Berdasarkan pengamatan di atas maka sangatlah mendesak untuk melakukan langkah pro-aktif dan antisipatif dalam rangka menyiapkan perumusan dan penetapan kebijakan penanganan konflik alokasi
pemanfaatan
sumberdaya
alam
yang sekaligus
memberdayakan
masyarakat lokal. Melalui kegiatan ini, pemerintah Kabupaten Bone Bolango berinisiatif untuk mencari bentuk-bentuk alternatif pemanfaatan sumberdaya alam yang mampu menyelaraskan kepentingan berbagai pihak menuju tiga tujuan utama: 1) merupakan pembelaan terhadap eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan, 2) derajat kesejahteraan sosial masyarakat, dan 3) pertumbuhan ekonomi yang mampu menjamin daya hidup generasi mendatang. Namun demikian harapan tak akan terwujud tanpa dukungan konstruktif semua pihak berkepentingan. Hal ini nampak pada peta (Gambar 6) berikut yang
9 menggambarkan aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah konsesi kontrak karya PT Gorontalo minerals di Desa Bangio Kecamata Suwawa Timur.
Gambar 6. Peta Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin di Lokasi Kontrak Karya Situasi ini pada gilirannya telah melahirkan hubungan persaingan antara negara dan masyarakat sekitar yang juga menjurus pada terjadi konflik , terutama ketika terjadi “kekosongan” kelembagaan formal baik TN sebagai pengelola kawasan
konservasi
maupun
perusahaan
sebagai
pemegang
konsesi
pertambangan. Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) kemudian muncul sebagai kelembagaan informal atau ekonomi bayangan mengisi ketidakpastian status penguasaan SDA negara. Tindakan eksploitasi tersebut juga dimungkinkan sebagai bentuk kompensasi dan menjadi instrumen untuk memperoleh keadilan pemanfaatan SDA. Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa potensi pertambangan emas yang berada di kawasan TNBNW ini sebagai sumberdaya alam penting bagi daerah, yang jika memungkinkan untuk dimanfaatkan, dapat menjadi sumber pendapatan daerah untuk pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Persoalan dinamika pembangunan yang begitu tinggi yang berkaitan dengan pola pemanfaatan dan peruntukan ruang dan tuntutan Undang Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang maka untuk penataan kawasan lindung, pemerintah daerah berinisiasi untuk mencari solusi yang berdasarkan Undang-
10 Undang dan Peraturan Pemerintah melakukan kajian dan mengusulkan perubahan kawasan konservasi ini melalui Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo melalui proses di tingkat kabupaten agar menyampaikan peta usulan perubaha kawasan untuk ditandatangani oleh para Bupati dan Gubernur Gorontalo untuk diusulkan kepada menteri Kehutanan RI. Peta Rekomendasi Tim Terpadu dapat dilihat pada (Gambar 7).
Wilayah yg diturunkan statusnya
Gambar 7. Overlay Peta Rekomondasi Perubahan Kawasan Hutan dengan Peta Kawasan Hutan yang Dimutakhirkan dalam RTRWP Gorontalo Melalui mekanisme persetujuan DPR RI dan sesuai amanah UndangUndang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 19 ayat 2, pada tanggal 25 Mei 2010 Menteri Kehutanan RI menetapkan peta perubahan dan penunjukan kawasan hutan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No.324 tahun 2010 tentang perubahan kawasan Hutan dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No 325 tahun 2010 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dalam Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo setelah proses dan tahapan kajian Tim Terpadu dalam memberikan pertimbangan rekomendasi ilmiah berdasarkan hasil kajian juga dikonsultasikan dengan komisi IV DPR RI. Hal tersebut nampak pada
11 peta penunjukkan kawasan hutan Kabupaten Bone Bolango (Gambar 8). Perubahan Kawasan Hutan Konservasi di kabupaten Bone Bolango menarik untuk dikaji karena kawasan tersebut merupakan bagian kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Bone Bolango dengan isu pokok yaitu adanya pemukiman, perkebunan, peladangan berpindah, perambahan hutan, penambangan tanpa izin, penurunan kualitas air, adanya izin kontrak karya sebelum terbentuknya kawasan TN.
Wilayah setelah diturunkan statusnya
Gambar 8. Peta Penunjukan Kawasan Hutan Kabupaten Bone Bolango 2010
Mencermati persoalan diatas dihasilkan beberapa rumusan pemikiran yaitu: 1.
Pembentukan Taman Nasional pada era tahun 80-an, pada dasarnya dilakukan melalui suatu proses yang lebih menekankan efektivitas pembentukan fisik kawasan. Proses ini dibangun dalam kondisi keterbatasan data dan kurang mempertimbangkan kondisi dan proyeksi aspek sosial ekonomi daerah yang berkembang secara dinamis. Partisipasi para pihak di daerah dalam pembentukan dan perencanaan pengelolaan Taman Nasional kurang mendapatkan ruang termasuk pengesahan Taman Nasional BNW di Kabupaten Bone Bolango Tahun 1991, sehingga terkesan mengabaikan prinsip paduserasi antara kawasan.
12 2.
Dalam perkembangannya, keberadaan Taman Nasional di suatu wilayah tidak terlepas dari dinamika interaksi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat di sekitarnya. Dinamika tersebut antara lain berwujud adanya konflik kepentingan, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berdampak pada terjadinya kerusakan lingkungan. Keberadaan kontrak karya pertambangan dan aktivitas 6.000 orang penambang tanpa izin (PETI) di zona rimba TNBNW dan enclave penduduk dalam kawasan TNBNW merupakan fakta dari konflik kepentingan tersebut.
3.
Dalam kondisi status quo, dalam arti tidak dilakukan tindakan pengelolaan dan resolusi konflik, maka yang terjadi adalah keberlanjutan trend negatif status lingkungan. Kerusakan lingkungan akan semakin parah, karena berlangsung terus menerus dan semakin tidak terkendali.
4.
Kawasan konservasi TNBNW yang secara legal merupakan kewenangan pemerintah pusat, secara faktual tidak dapat dipisahkan dengan peran daerah. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian kawasan konservasi banyak bersumber dari luar kawasan, yang banyak terkait dengan kewenangan daerah. Oleh karena itu, pemecahan masalah pengelolaan TNBNW perlu pendekatan resolusi konflik yang diselenggarakan secara partisipatif multipihak, dan tidak cukup didekati secara parsial/sektoral berbasis kewenangan dan aturan formal semata.
5.
Kepentingan daerah yang dilandasi oleh pasal 33 UUD 45, untuk pembangunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakatnya memerlukan upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam, sehingga manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat diperoleh secara berkelanjutan. Upaya pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan pada batasbatas kelestarian lingkungan. Keserasian kepentingan ini akan mengurangi potensi konflik pemanfaatan sumberdaya alam, yang mana disatu sisi akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan disisi lain akan memberikan jaminan kemantapan kawasan perlindungan dan konservasi sekaligus menghilangkan stigma ketidakpastian pemanfaatan dan pengelolaan yang telah berjalan selama 40 tahun.
13 1.2
Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang dapat diformulasi yaitu:
1.
Perubahan pengelolaan kawasan pertambangan di Kabupaten Bone Bolango secara khusus telah membuka permasalahan yang kompleks terkait dengan kewenangan pengelolaan. Oleh karenanya, bagaimana dampak permasalahan-permasalahan masa lalu tersebut terhadap konflik pemanfaatan ruang dilahan konsesi kontrak karya saat ini?
2.
Sejatinya sumberdaya tambang dapat menjadi pendorong kinerja pembangunan wilayah, namun dalam kasus sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolango belum dapat dibuktikan. Apakah sumberdaya tambang menjadi faktor pendorong kinerja pembangunan wilayah layak dikelola secara profesional ?
3.
Terdapat perubahan dan perbedaan dalam struktur kelembagaan sosial ekonomi serta sosial budaya dalam pemanfaatan sumberdaya tambang di era otonomi daera saat ini. Bagaimanakah model kelembagaan yang sesuai pada pengelolaan sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolango?
1.3
Tujuan, Kegunaan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian Atas dasar rumusan masalah, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan :
1.
Mendiskripsikan sejarah perubahan dan pemanfaatan kawasan serta menyusun peta identifikasi dan inventarisasi luasan pemanfaatan lahan di wilayah konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals untuk mendapatkan ganti rugi yang adil dan layak bagi pemukiman, pertanian, perkebunan, hutan, dan pertambangan tanpa izin melalui model persentase luasan klaim lahan masing-masing Kecamatan dan Desa.
2.
Menganalisis kelayakan ekonomi sumberdaya tambang ditinjau dari aspek struktur pasar dan aspek ekstraksi baik ekstraksi terhadap cadangan, harga dan nilai lingkungan dan dampaknya terhadap pembangunan wilayah.
3.
Tersusunnya model kelembagaan pada pengelolaan sumberdaya tambang di daerah dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan wilayah yang berkelanjutan.
14 1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai : 1.
Bahan masukan bagi pemerintah untuk dapat membuat suatu komitmen antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, bahwa hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam implementasi alih fungsi kawasan konservasi melalui revisi tata ruang wilayah Kabupaten Bone Bolango.
2.
Bahan referensi bagi para pihak pada alih fungsi sebagian kawasan konservasi melalui revisi tata ruang wilayah provinsi Gorontalo dalam rangka mewujudkan tata ruang wilayah yang partisipatif, termasuk pada bagian wilayah provinsi lainnya.
3.
Bahan publikasi bagi masyarakat yang baru ingin berpartisipasi dan mereka yang ingin mengetahui manfaat penataan ruang baik aspek ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan.
1.3.3 Kegunaan Penelitian 1.
Menyajikan informasi peta identifikasi dan inventarisasi tutupan kawasan dan relasi sosial ekonomi yaitu pemukian, pertanian, perkebunan, penambang tanpa izin, kehutanan, semak belukar dan sungai .
2.
Tertatanya arah langkah (road map) solusi konflik pada pemanfaatan potensi sumberdaya mineral dalam perencanaan pembangunan ekonomi di kabupaten Bone Bolango .
3.
Menyajikan kondisi riil kelembagaan sosial ekonomi, sosial budaya, dan daya dukung sarana dan prasarana sertan resolusi konflik sumberdaya tambang yang menjadi bagian dasar dari kebijakan pemerintah pada pemanfaatan potensi sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolago.
15 1.4.
Batasan Penelitian dan Kebaruan (Novelty)
1.4.1 Batasan Penelitian (Ruang Lingkup) Adapun batasan penelitian diformulasi dalam beberapa item yaitu: 1.
Perubahan-perubahan status kawasan yang mengarah pada ketidakpastian dikaji dan dianalisis pada batasan kepemilikan dan penguasaan lahan (land Tenure), dan pada eksisting kawasan baik penggunaan (land use), tutupan (land cover) serta luasan penguasaan dan pemanfaatan lahan.
2.
Kelayakan ekonomi yang diarahkan untuk menjadi salah satu faktor pendorong pembangunan wilayah dianalisis aspek finansial dan asumsi royalti, pajak dan land rent secara makro, artinya proyeksi penerimaan daerah dari sektor pertambangan memiliki tantangan (obstacle) karena Undang-Undang dan peraturan Pemerintah yang mengatur dana bagi hasil ini menggunakan beberapa kriteria diantaranya fakator harga dimana faktor ini cukup dipengaruhi oleh mekanisme pasar yang berpusat di London Metal Exchange (LME) dan salah satu faktor yang menentukan yaitu pola ekstraksi yang dilakukan perusahaan terhadap cadangan tertambang baik dari aspek diskonto, harga dan nilai lingkungan.
3.
Pandangan
kelembagaan
(institutional
minded)
pada
hakekatnya
merupakan proses transformasi dari masukan yang nantinya dapat menghasilkan output berupa sumberdaya fisik, informasi, teknologi dan cara pengelolaan. Disis lain faktor geografis dan perilaku penambang tanpa izin (PETI) cukup mempengaruhi penelusuran data dalam penelitian ini. Oleh karena itu model kelembagaan dalam penelitian ini berada pada obyek yang masih pada stadia kelayakan ekonomi tambang (belum pada output dan stadia produksi), artinya kelembagaan dalam penelitian ini bermakna umum untuk jenis kasus yang ditimbulkan oleh konflik pemanfaatan dan penguasaan lahan. Tentulah jenis karakter persoalan kelembagaan tidak dapat digeneralisir adanya, tetapi dengan adanya karakteristik tersebut cukup beragam merupakan jalan masuk untuk mengelaborasi unsur-unsur pendekatan ilmiah, sehingga output dari penelitian dapat merekomondasikan unsur keragaman dan kecenderungan karakater persoalan kelembagaan itu secara relatif .
16 1.4.2 Kebaruan (Novelty) Kebaruan (Novelty) penelitian ini adalah: 1.
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengintegrasikan aspek sejarah dan aspek ruang (spasial) dalam konteks pemanfaatan dan penguasaan lahan di wilayah kontrak karya PT Gorontalo minerals dengan aspek kelembagaan sosial ekonomi masyarakat.
2.
Penelitian ini juga yang pertama kali yang mengkombinasikan aspek valuasi ekonomi minerals dari analisis kelayakan finansial berdasarkan struktur pasar dengan analisis model Hotelling berdasarkan nilai ekstraksi untuk menghasilkan pengelolaan sumberdaya tambang yang terbaik.
3.
Penelitian ini menghasilkan model kelembagaan pengelolaan sumberdaya tambang yang dapat diadopsi oleh para pihak di daerah untuk meminimalisir isu ketimpangan wilayah dan konflik pemanfaatan ruang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sumberdaya Mineral Dan Pembangunan Ekonomi Wilayah Fenomena “Penyakit Belanda” atau ”Dutch Desease” yakni fenomena
yang menggambarkan daerah yang kaya dengan sumber daya alam namun mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban, sebenarnya bukan karena apa yang disebut sebagai “kutukan sumber daya” (resource curse) namun lebih karena ketidak-mampuan institusi dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut sehingga menimbulkan konflik yang pada akhirnya menggerogoti manfaat yang seharusnya dinikmati tersebut. Hal ini telah dilakukan di Norwegia dari tahun 1969 sampai 2001 negara ini mampu mengoptimalkan produksi sumberdaya
mineralnya
dalam
rangka
memperkuat
sistem
tatakelola
pemerintahan, hukum, perekonomian, norma sosial, pertanian dalam arti yang luas, industri serta usaha jasa sehingga Norwegia dapat terhindar dari kutukan sumberdaya (Larsen, 2006). Keberadaan sumberdaya alam juga sering menimbulkan tidak stabilnya struktur ekonomi, bahkan pada daerah dengan sumberdaya alam sedikit. Pada sisi lain daerah dengan sumberdaya alam yang kaya, ketidakstabilan ini semakin rapuh dan memicu konflik tehadap sumber daya alam yang lebih luas. Bahkan dalam skala tertentu perselisihan yang tidak ada hubungannya dengan sumber daya alam seperti masalah keluarga, bisa saja kemudian disalahkan pada keberadaan sumber daya alam dan timpangnya akses terhadap sumber daya alam. Hal ini sering terjadi pada beberapa daerah di Indonesia dimana sumber daya mineral yang dikelola oleh kuasa pertambangan menimbulkan gejolak sosial yang cukup hebat pada masyarakat ( Fauzi, 2006). Mengacu pada Fauzi (2006) ada beberapa hal yang dapat dilakukan daerah untuk menghindari dan mencegah terjadi konflik atas akses dan pemanfaatan sumberdaya alam, khususnya mineral dan kaitannya dengan lingkungan. Pertama mereka melakukan apa yang disebut sebagai factor movement policy atau kebijakan pergerakan faktor produksi. Melalui program yang disebut sebagai solidarity alternative atau alternatif solidaritas, penerimaan dari berbagai sektor dikoordinasikan sedemikian rupa untuk mempermudah dampak penerimaan dari
18 industri pertambangan terhadap industri lain, khususnya industri primer yakni pertanian dan perikanan-kelautan. Kedua sektor ini amat rentan terhadap goncangan yang terjadi yang disebabkan oleh tumbuhnya industri pertambangan di daerah yang awalnya didominasi oleh sektor pertanian. Tenaga kerja pertanian kemudian lebih banyak terserap pada sektor pertambangan yang kemudian sektor ini terabaikan sehingga ketika tambang habis mereka tidak siap untuk kembali ke sektor pertanian. Semestinya sektor pertambangan menjadi komplemen bagi sektor pertanian, bukan sebagai substitusi. Artinya keduanya harus dikembangkan secara simultan melalui alternatif solidaritas ini. Kebijakan faktor “movement policy” ini kemudian dibarengi juga oleh kebijakan yang disebut sebagai ”spending effect policy”. Mekanisme penyakit Belanda timbul karena adanya spending effect, yakni belanja publik yang sangat besar yang dihasilkan dari sektor pertambangan, akibatnya belanja publik untuk sektor primer menjadi terbengkalai sehingga menimbulkan keterpurukan pada sektor pertanian dan perikanan. Oleh karenanya untuk mengatasi dampak tersebut diperlukan kebijakan pengeluaran melalui disiplin fiskal. Pembayaran utang dilakukan secepat mungkin dan menetapkan mekanisme pendanaan (fund) di berbagai peluang investasi seperti pasar modal dan sebagainya (hal yang sama kini dilakukan oleh negara-negara Asia Tengah). Kebijakan ketiga yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit Belanda dan kutukan sumber daya adalah melalui spill-over loss policy dengan cara menganjurkan akumulasi pengetahuan tenaga domestik ketimbang asing dan dibarengi dengan investasi di bidang riset dan eksplorasi. Kebijakan ini dibarengi pula kebijakan di bidang pendidikan dan penelitian. Penerimaan dari sumber daya alam disalurkan untuk pendidikan dan penelitian serta pengembangan sehingga terjadi akumulasi pengetahuan khususnya dalam hal pengelolaan ekonomi sumberdaya alam. Kebijakan berikutnya yang sangat mendukung untuk keluar dari penyakit Belanda dan kutukan sumber daya adalah kebijakan tenaga kerja (labor policy) dan kebijakan industri. Norwegia misalnya menetapkan sistim negosiasi upah yang terpusat (centralized wage negotiation system) untuk menghindari adanya konflik dan perbedaan upah yang tajam antarsektor pertambangan misalnya.
19 Kebijakan industri di Norwegia melakukan pemeliharaan dan peningkatan (knowhow) di bidang aktifitas industri. Kegiatan lebih ditekankan pada pengetahuan, technological progress dan human capital. Kebijakan lain yang tidak kalah penting adalah meniru apa yang telah dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin (Chili, Peru dan Brasil) dalam mengembangkan ekonomi mereka berbasis mineral belakangan ini. Setelah mengabaikan sumber daya alam mereka selama kurun waktu yang cukup lama dan menyadari adanya kebijakan yang keliru (misguided policy), negara-negara Amerika Latin kemudian memulai titik balik mereka pada tahun 1990an. Bank Dunia mencatat bahwa titik balik tersebut dipicu oleh berbagai reformasi di bidang investasi (khususnya di bidang pertambangan) dan peningkatan keamanan (security) di bidang investasi pertambangan. Hal yang lebih utama lagi adalah Amerika Latin mengembangan tata kelola yang kuat dengan mengakomodasi kepedulian lingkungan khususnya yang menyangkut masalah hutan lindung dan kawasan konservasi. Jika memang nilai tambang di kawasan konservasi ini lebih rendah dari nilai jasa lingkungan yang ada di kawasan tersebut maka mereka tidak akan melakukan penambangan dan pemerintah memanfaatkan hutan lindung tersebut melalui mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan atau Payment for Environmental Services (PES). Dengan menggunakan mekanisme PES dan didukung oleh kelembagan yang kuat, bisa saja tambang tidak dilakukan di hutan lindung namun jasa lingkungan dari hutan lindung juga bisa mensejahterakan masyarakat sekitar. Jika ini dilakukan memang ada beberapa keunggulan yang diperoleh yakni selain keuntungan ekologis berupa terjaganya fungsi-fungsi ekologis kawasan hutan, juga manfaat ekonomi bisa diperoleh sekaligus. Tambang dan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kita miliki pada hakekatnya adalah anugerah Tuhan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Namun demikian diperlukan strategi pemanfaatan yang bijak melalui langkah-langkah kebijakan sehingga konflik atas sumber daya tersebut bisa diraup dan sumber daya alam dan jasa lingkungan bukan menjadi kutukan namun lebih menjadi berkah bagi penduduk yang ada di sekitarnya ( Fauzi , 2006).
20 Disisi lain kekuatan kepemimpinan (leadership) pemerintah dalam mengontrol Gross Domestic Product (GDP), investasi sumberdaya manusia, kesejahteraan melalui pendapatan per kapita memiliki hubungan yang erat antara ketergantungan sumberdaya mineral sebagai ukuran terhadap rasio ekspor minyak dan sumberdaya mineral melalui persentase keseluruhan ekspor. Model ini telah ditempuh oleh beberapa negara timur tengah seperti Irak, Libya dan Arab Saudi dalam menyusun strategi distribusi pendapatan negara atas pengelolaan sumberdaya mineral melalui kekuatan leadership pemerintah (Leonard, 2003).
2.2.
Hak dan Rezim Kepemilikan Salah satu unsur penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
kaitannya terhadap kelembagaan adalah masalah hak dan rezim kepemilikan. Hal ini didasarkan pada kondisi dimana sumberdaya alam ditempatkan sebagai barang publik, dimana hal kepemilikan tidak terdefinisi dengan jelas. Kondisi tersebut akan menimbulkan masalah kelembagaan pada unsur hak kepemilikan dan biaya transaksi. Definisi akses yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada (Peluso, 1996) yang mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits from things). Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai – hak untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the right to benefit from things). Akses dalam definisi Peluso mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (a bundle of powers) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” (a bundle of rights). Sehingga bila dalam makalah properti ditelaah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam makalah tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumber daya termasuk dalam hal ini, namun tidak terbatas pada relasi properti. Kekuasaan menurut (Peluso, 1996) terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang berhimpun sedemikian rupa membentuk “bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaring kekuasaan” (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumberdaya. Implikasi dari definisi Peluso ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan
21 dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumber daya juga berubah-rubah menurut ruang dan waktu. Individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam relasinya dengan sumber daya pada ruang dan waktu yang berbeda (Peluso, 1996). Hak dan rezim kepemilikian (property rights), menurut (Fauzi, 2006), adalah klaim yang sah (secure claim) terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dhasilkan dari sumberdaya tersebut. Hak kepemilikin dapat diartikan sebagai suatu gugus karakteristik yang memberikan kekuasaan kepada pemilik hak (Hartwick dan Olewiler, 1998). Karakteristik tersebut menyangkut ketersediaan manfaat, kemampuan untuk membagi atau mentransfer hak, derajat ekslusivitas dari hak, dan durasi penegakan hak (enforceability) (Perman et al., 1996). Selanjutnya (Fauzi, 2010) mengatakan bahwa perlu juga dicermati bahwa meski hak kepemilikan menyangkut klaim yang sah, hak tersebut tidak bersifat mutlak. Hak kepemilikan sering dibatasi oleh dua hal, yakni hak orang lain dan hak ketidaklengkapan (incompleteness). Bisa saja kita tidak berhak melakukan penambangan mineral di pekarangan rumah kita, namun pihak lain dapat melakukannya. Ketidaklengkapan hak kepemilikan disebabkan oleh mahalnya biaya enforcement. Misalnya untuk kasus kehutanan, jika hutan ditebang ilegal, hak negara atas hutan dibatasi oleh mahalnya mengawasi hutan tersebut dan melakukan penegakan hukum atas tindakan ilegal tersebut. Lebih jauh lagi Barzel (1993) dalam Fauzi (2006) menyatakan bahwa konsep hak kepemilikan terkait erat dengan biaya transaksi yang dikemukakan oleh Coase. Biaya transaksi sendiri diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, mentransfer dan melindungi hak, jika biaya transaksi nol, hak kepemilikan terlengkapi, namun biaya transaksi tinggi, sangatlah sulit untuk menetapkan hak pemilikan karena potensi manfaat atas sumberdaya atau aset tidak akan diketahui. Dengan kata lain hak kepemilikan akan terkukuhkan jika kedua belah pihak (pemilik dan pihak lain yang tertarik memiliki aset), memiliki pengetahuan penuh atas nilai dari aset tersebut.
22 Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa didalam sumberdaya alam sebagaimana dijelaskan oleh (Fauzi, 2006), antar sumberdaya (resource) dan rezim kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut harus dibedakan dengan jelas, satu sumberdaya bisa saja mempunyai hak kepemilikan. Hak kepemilikan sumberdaya alam tersebut pada umumnya terdiri dari: state property dimana klaim kepemilikan berada ditangan pemerintah. Private property dimana klaim kepemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi). Common property atau communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama. Lebih lanjut lagi suatu sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak kepemilikan, sumberdaya seperti ini dikatakan open access (Grimma dan Barkers, 1989). Dengan pemahaman diatas, perbedaan antara hak kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya semakin jelas. Dengan mengambil contoh dua tipe akses yang berbeda (open access) dan akses terbatas (limited access) maka secara umum ada beberapa kemungkinan kombinasi. Tipe pertama adalah tipe dimana hak pemilikan berada pada komunal atau negara dengan akses terbatas. Tipe kombinasi ini memungkinkan pengelolaan sumberdaya yang lestari. Tipe kedua adalah dimana sumberdaya dimiliki secara individu dengan akses yang terbatas. Pada tipe ini karakteristik hak pemilikan terdefinisikan dengan jelas dan pemanfaatannya yang berlebihan bisa dihindari. Tipe ketiga adalah kombinasi yang sebenarnya jarang terjadi dimana sumberdaya dimiliki secara individu namun akses dibiarkan terbuka. Pengelolaan sumberdaya ini tidak akan bertahan lama karena rentan terhadap intrusi dan pemanfaatan yang tidak sah sehingga sumberdaya akan cepat terkuras habis. Pendapat para ahli diatas dapat diformulasi dalam suatu grand teori (state of the arth) yang diawali oleh Peluso (1996) menyatakan bahwa ada keterbatasan antara hak kepemilikan dan akses. Keterbatasan ini digambarkan dalam konsep keterpaduan antara pendapat Long (1996) melalui pendeketan aktor, Peluso (1996) pendekatan akses analisis dan Fauzi (2006) dengan pendekatan properti right. Konsep keterpaduan ini akan dilengkapi oleh dua unsur yaitu kebijakan konservasi
yang
membingkai
ketiga
keterpaduan
konsep
dan
unsur
23 pengembangan ekonomi adalah mencerminkan penerapan konsep. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9 terkait dengan keterpaduan konsep tersebut. Actor Approach (Long, 1996)
Access Analysis (Peluso, 1996)
Policy of Conservation
Economy Growth (commodity chains)
Property Right Regimes ( Fauzi, 2006) Kekuasaan
menurut (Peluso, 1996) Gambar 9. Skema Keterpaduan Konsep terdiri atas elemenelemen material, budaya dan ekonomiSering kali pada sumberdaya yangyang sama, misalnya tanah, terdapat berbagai politik berhimpun sedemikian rupa hak yang melekat dan hak-hak ini dapat saja dimiliki oleh tidak pada satu orang membentuk “bundel atau kelompok yang sama. Hal inikekuasaan” yang kemudian menyebabkan konsep tenurial (bundle of powers) dan “jaring ini sering dijelaskan dengan prinsip bundle of rights (sebundel hak-hak). Ostrom kekuasaan” (web of dan Schlager (1996) mengatakan bahwapowers) hak-hakyang ini dapat diuraikan menjadi: kemudian menjadi 1) Hak atas akses (rights of access): adalah hak untuk memasuki suatu penentu akses ke wilayah tertentu; sumber daya 2)
Hak pemanfaatan (rights of withdrawal): adalah hak untuk mengambil sesuatu atau untuk memanen sesuatu hasil alam seperti untuk memancing ikan, memanen buah, mengambil air, menebang pohon, dan sebagainya;
3)
Hak pengelolaan (rights of management): adalah hak untuk mengatur pola pemanfaatan internal dan merubah sumberdaya yang ada untuk tujuan meningkatkan hasil atau produksi;
4)
Hak pembatasan (rights of exclusion): adalah hak untuk menentukan siapa saja yang dapat memperoleh hak atas akses dan membuat aturan pemindahan hak atas akes ini dari seseorang ke orang lainnya (atau lembaga/kelompok lain); dan
5)
Hak pelepasan (rights of alienation): adalah hak untuk menjual atau menyewakan atau kedua-duanya. Adapun hubungan antara penguasaan sumberdaya terhadap posisi aktor disajikan pada tabel berikut.
24 Tabel 3. Kumpulan Hak dan Posisi Aktor
Acces Withdrawal Management Exlusion Alienation
Owner
Proprietor Outorized Claimant
Outorized User
Outorized Entrant
X X X X X
X X X X
X X
X
X X X
Selanjutnya Long (2002) menyatakan bahwa dengan menggunakan pendekatan aktor, interaksi antar aktor kelembagaan, hak kepemilikan, proses dan kebijakan dapat dijelaskan melalui matriks antar komponen yang saling mempengaruhi sebagaimana terdapat pada (Gambar 10) berikut ini.
Sumber : Long (2002)
Gambar 10. Pendekatan Aktor 2.3.
Konflik Penguasaan Lahan Sebagai bagian Perilaku Kelembagaan Pandangan post modernism adalah konflik harus diposisikan sebagai
potensi yang harus dikelola secara optimal yang telah bersifat kodrati dalam diri manusia
sebagai
mahluk
yang
sempurna
(memiliki
akal).
Pendekatan
penyelesaian konflik dengan melihat manusia bukan lagi obyek (bukan subyek penderita) tetapi merupakan bagian dari sistem disetiap lembaga telah menjadi pedoman bagi lembaga yang telah menempatkan aspek manusia sebagi pemecah masalah namun juga akan menimbulkan masalah.
25 Konflik dalam perspektif interaksionis merupakan stimulan ketika suatu kelompok masyarakat bersifat statis bahkan munkin apatis terhadap dinamika serta fenomena pemanfaatan sumberdaya dengan lebih mementingkan hak akses maka seyogyanya ada seseorang yang memilki kapasitas untuk mempertahankan dan memelihara konflik pada tingkat yang optimal dengan tujuan dapat menciptakan suasana yang dinamis serta inovatis terhadap perubahan-perubahan yang sedang datang baik dari pesaing maupun dari internal kelembagaan itu sendiri. Perbedaan
dan
pertentangan
kepentingan
dalam
pengalokasian
sumberdaya sering muncul sehingga hirarki pengambilan keputusan tidak jadi barmakna yang baik karena pertentangan atau konflik tersebut muncul adanya perbedaan pandangan, idiologi bahkan harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan merupakan tantangan bagi pengelolaan suatau lingkungan kelembagaan dalam menyerap dan mengolah serta mendistribusikan kembali perbedaan tersebut dalam suatu informasi yang baik dalam mencapai kesepakatan sebagai satu dari begitu banyak alternatif yang disepakati (Mitchell dan Dwita, 2007). Menurut Own (1991:13) dalam Wahyudi (2011), konsep kelembagaan yang menempatkan organisasi sebagai perhatian utama adalah bagian dari konsep klasik sedangkan saat ini manusialah yang menjadi perhatian dan penentu maju mundur sistem kelembagaan adalah pandangan neo-classic. Artinya perilaku kelembagaan adalah suatu pandangan ilmu pengetahuan yang menerangkan, mengerti dan memprediksi perilaku manusian dalam lingkungan secara formal.
2.4.
Pemetaan Potensi Sumberdaya Ekonomi Wilayah melalui Perubahan Peruntukan Kawasan Potensi ekonomi daerah didefinisikan sebagai segala sumberdaya dan
instrumen yang dimiliki daerah yang terukur (datanya tersedia) serta diperhitungkan mampu mendorong kemajuan perekonomian daerah. Sumberdaya dan instrumen tersebut meliputi: 1.
Sumberdaya alam (natural capital: SDA).
2.
Sumberdaya manusia (human capital: SDM).
3.
Sumberdaya sosial (social capital: SDS).
26 4.
Infrastruktur dan fasilitas public (man-made capital: INF).
5.
Penataan ruang (spatial ordering: TTR),
6.
Penganggaran belanja (budgeting: BUD).
7.
Jejaring keterkaitan daerah (spatial interaction). Selanjutnya kemajuan instrumen diatas dapat diukur dengan: (1)
pertumbuhan ekonomi daerah (economic growth), (2) produktivitas ekonomi daerah (productivity), (3) pendapatan asli daerah (fiscal capacity), (4) tingkat kemiskinan (poverty), dan pengangguran (unemployment), di daerah Hakim, (2007). Pemetaan
potensi
ekonomi
daerah
didefinisikan
sebagai
sistem
pentransformasian data menjadi basis pengetahuan yang diharapkan mampu mendukung kebijakan pengembangan potensi ekonomi daerah bagi pencapaian kinerja kemajuan sesuai yang diharapkan. Pemetaan Potensi Ekonomi daerah ini terdiri dari : 1.
Inventarisasi data yang tersedia diperhitungkan dapat digunakan sebagai proksi pengukur berbagai sumberdaya dan instrumen yang dimiliki, serta kinerja pembangunan ekonomi yang dicapai oleh setiap daerah.
2.
Mentransformasikan setiap data pada kegiatan ke dalam beberapa variabel indikator daerah tentang tipologi sumberdaya dan instrumen yang dimiliki serta kinerja pembangunan ekonomi yang dicapai;
3.
Menyeleksi variabel-variabel indikator daerah, yang memilki variasi interregional cukup signifikan;
4.
Menyarikan variabel-variabel indikator yang terpilih pada kegiatan ke dalam beberapa indeks komposit indikator daerah;
5.
Membangun model kuantitatif yang dapat menjelaskan struktur keterkaitan serta peran berbagai indeks komposit indikator daerah tentang tipologi sumberdaya dan instrumen yang dimiliki terhadap indikator daerah tentang pencapaian kemajuan ekonomi;
6.
Mensimulasikan model hasil kegiatan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan pengelolaan sumberdaya dan instrumen yang dimiliki dan kbijakan strategis bagi optimalisasi pencapaian kinerja kemajuan ekonomi daerah;
27 7.
Menyajikan informasi hasil analisis ke dalam bentuk tampilan peta spasial; dan
mendokumentasikan
ringkasan
tentang
proses,
hasil,
serta
rekomendasi hasil kebijakan penting, untuk dapat dijadikan basis pendukung dalam proses perumusan kebijakan, penyusunan rencana dan program pengembangan. Perputaran roda perubahan ke arah kemajuan pembangunan terkait dengan peran parapihak, dapat dikelompokkan ke dalam empat pilar utama, yaitu: (1) institusi keilmuan, (2) pemerintah, (3) dunia usaha, dan (4) masyarakat luas. Pembangunan berbasis pada perkembangan ilmu pengetahuan, pemerintah yang semakin bersih dan adil, dunia usaha yang semakin profesional, dan masyarakat luas yang semakin aktif partisipatif produktif. Konsep pembangunan yang terlalu menyederhanakan bahwa semuanya akan ikut mendapat penguatan dengan hanya mendorong pertumbuhan ekonomi (trickle down effect) tidak mendapat dukungan empirik yang luas (Sen, 1992). Negara Brazil sebagai contoh, yang mencapai kapasitas ekonomi (diukur dengan GNP: Gross National Product, perkapita) yang besarnya 10 kali lipat dari China (1980), tingkat keberdayaan masyarakatnya jika diukur dengan angka harapan hidup berada satu poin lebih dari masyarakat China. Demikian juga Meksiko yang mencapai kapasitas ekonominya hampir 10 kali lipat Srilangka, pencapaian keberdayaan masyarakatnya berada satu poin di bawah Srilangka. Sejalan dengan kajian Clifford Geerzt yang menyimpulkan adanya fenomena keterbelakangan akibat keterisolasian, konsep pengembangan infrastruktur yang memperluas akses secara fisik sampai ketingkat desa, kemudian diyakini banyak pihak sebagai instrumen yang mampu merubah ke arah kemajuan. Namun yang terjadi justru percepatan proses pemiskinan dan penelantaran sumberdaya pedesaan. Fenomena ini yang oleh Myrdal (1979) dalam Rustiadi et al (2009) disebut sebagai pencucian daerah belakang (backwash effect). Kebijakan perubahan peruntukan kawasan konservasi pada umumya dihadapkan dengan pandangan yang berbeda dan selalu menemui jalan buntu dalam perdebatan baik formal maupun informal yang melibatkan seluruh pihak dan lapisan masyarakat yang dipicu oleh perbedaan pengetahuan dan pemahaman,
28 perbedaan nilai, perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian, bahkan sampai pada perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang berkepentingan (Mitchel et al 2007). Oleh karena itu perlu adanya formulasi pemikiran yang dapat mensinergiskan perbedaan tersebut agar menjadi suatu potensi yang dapat dikelola melalui pertimbangan yang komprehensif dan memiliki
orientasi
yang
jelas
bagi
kepentingan
masyarakat.
Adapun
pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain: A.
Pertimbangan hukum dan kelembagaan : -
Perubahan kawasan hutan menghargai perijinan atas kawasan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah, seperti : IUPHHK, penggunaan kawasan hutan.
-
Perubahan kawasan hutan menghargai keberadaan proyek-proyek/aset pemerintah, seperti : realisasi gerhan, reboisasi, dll.
-
Perubahan kawasan menghargai keberadaan atas sertifikat atau buktibukti kepemilikan atas tanah.
-
Perubahan kawasan hutan merupakan bagian dari upaya resolusi permasalahan kemantapan kawasan hutan.
B.
Pertimbangan Ekonomi dan Sosial-Budaya : -
Perubahan
kawasan
hutan
mempertimbangkan
keberadaan
pemukiman dan kebutuhan lahan usahanya dalam luasan yang rasional, utamanya yang telah eksis sejak lama (10 tahun); -
Perubahan
kawasan
hutan
untuk
permukiman
juga
mempertimbangkan keberadaan infrastruktur fisik (fasos, fasum) dan kelembagaan desa (organisasi perangkat desa). -
Perubahan kawasan hutan menghargai keberadaan situs budaya dan obyek-obyek yang menjadi sumber-sumber penghidupan masyarakat.
-
Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan upaya daerah untuk mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam untuk kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
C.
Pertimbangan Ekologi : -
Pertimbangan ekologi bertujuan untuk membangun keseimbangan jangka panjang interaksi antar komponen sistem lingkungan (abiotik
29 dan biotik), termasuk di dalamnya unsur interaksi sosial manusia untuk dapat mewujudkan kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan; -
Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan aspek keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, sehingga tetap terjaga keberadaan dan kelestariannya.
-
Perubahan kawasan hutan mempertimbangkan fungsi satu kawasan sebagai bagian dari suatu ekosistem.
-
Mendukung upaya global untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka mitigasi perubahan iklim.
2.5.
Valuasi Sumberdaya Mineral Sebagai Pendorong Pembangunan Wilayah Sektor usaha pertambangan merupakan sektor primer yang mengolah
(mengambil) sumberdaya alam tak terbarukan. Dalam pelaksanaan kegiatan operasinya, sektor pertambangan tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan sektor yang lain mulai dari sektor primer sampai jasa. Contohnya adalah keberadaan sektor pertanian yang menyediakan bahan makanan kepada para pekerja, sektor industri pengolahan bahan galian, sampai dengan sektor jasa transportasi, perbankan dan sektor lainnya. Sektor pertambangan diharapkan dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi daerah (growth centre) yang kemudian menumbuhkan kutub-kutub pertumbuhan ekonomi (growth pole), dimana kutub-kutub pertumbuhan ekonomi tersebut dapat mandiri dengan atau tanpa keberadaan sektor pertambangan. Sehingga ketika usaha pertambangan telah selesai karena habisnya cadangan yang bisa ditambang, daerah tersebut masih tetap eksis dan terus berkembang. Dalam kaitannya dengan pembangunan wilayah di derah Kabupaten Bone Bolango dan Provinsi Gorontalo, kegiatan pertambangan yang dilakukan memiliki peranan sebagai berikut : Menumbuhkan keterkaitan (forward dan backward linkage) antara sektor pertambangan dengan sektor ekonomi yang lain, sehingga membentuk pusat pertumbuhan yang berbasiskan sektor pertambangan.
30 Menciptakan multiplier efect, seperti pada tenaga kerja, pendapatan, pajak dan surplus. Mendatangkan pendapatan bagi daerah melalui pembagian royalti serta pajak dan iuran lainnya yang ditetapkan oleh peraturan daerah. Sehingga dapat menjadi tambahan anggaran untuk pembangunan. Menciptakan sektor usaha lain yang bisa mandiri dengan atau tanpa dukungan
dari
sektor
pertambangan
(pembentukan
kutub-kutub
pertumbuhan). Semua usaha di atas tidak dapat berjalan dan berhasil tanpa adanya dukungan pemerintah. Utamanya pemerintah daerah sebagai fasilitator dan regulator untuk menumbuhkan keberlanjutan hasil usaha kegiatan pertambangan. Walaupun kegiatan pertambangan sudah usai, manfaat ekonominya masih terasa dan tetap dapat menggerakkan ekonomi daerah (Suparmoko, 2006). Adapun dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan ini antara lain: A.
Penyerapan Tenaga Kerja Kegiatan penambangan merupakan kegiatan yang padat modal dan padat
pekerja. Akibat yang ditimbulkan dari adanya pembukaan tambang adalah terbukanya lapangan kerja baru. Demikian halnya dengan pembukaan tambang tembaga dan emas akan menimbulkan terbukanya kesempatan kerja baru bagi penduduk baik di sekitar wilayah penambangan, ataupun tenaga kerja di dalam dan luar wilayah Provinsi Gorontalo. Berdasarkan studi kelayakan yang telah dilaksanakan sebelumnya, kebutuhan tenaga kerja secara umum dapat dibagi menjadi 3 kelompok, antara lain tenaga kerja operasional penambangan dihitung berdasarkan penggunaan peralatan penambangan pada tahun tertentu. Asumsi yang digunakan dalam menentukan kebutuhan tenaga kerja adalah; terdapat 4 kelompok gilir kerja, penambahan 13,5persen untuk menutupi absensi, cuti tahunan, dan ijin sakit. Diasumsikan juga bahwa pelatihan pada properti tertentu adalah 5persen dari total tenaga kerja. Staf dan tenaga kerja tidak tetap diperlukan pada penambangan open pit 3 tahun sebelum produksi dimulai ( Ekawan, 2008).
31 B.
Penerimaan Daerah Dari Pengusahaan Mineral. Penerimaan daerah atas pengusahaan sumberdaya mineral diperoleh dari
pungutan-pungutan negara dalam bidang pertambangan diatur dalam UndangUndang No. 11 Tahun 1967 Pasal 28 dengan pelaksanaannya pada Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 Pasal 52 sampai 63. Peraturan menyebutkan bahwa pemegang kuasa pertambangan membayar kepada negara berupa iuran tetap, iuran eksplorasi, dan atau iuran eksploitasi dan atau pembayaranpembayaran yang lain yang berhubungan dengan kuasa pertambangan yang bersangkutan. Iuran tetap dimaksudkan sebagai imbalan atas kesempatan yang diberikan pemerintah atas kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi maupun eksploitasi. Iuran eksplorasi dan atau iuran eksploitasi merupakan iuran atas hasil produksi yang diperoleh dari wilayah kontak karyanya. Hal ini dapat disimak pada Undang-Undang Pokok Pertambangan Pasal 28 ayat 3, pungutan-pungutan negara tersebut akan dibagikan juga kepada Daerah Tingkat I dan II. Besar pembagian adalah Pemerintah Pusat 30persen dan Pemerintah Daerah 70persen. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1969 Pasal 62 yang memuat masalah pembagian hasil pungutan negara, kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1992. Hasil yang ditunjukkan setelah adanya revisi menyatakan bahwa besar pembagian hasil pungutan negara adalah Pemerintah Pusat 20 persen dan Pemerintah Daerah 80 persen. Pembagian dari yang 80 persen adalah 16 persen untuk Pemerintah Daerah Tingkat I, 32 persen untuk Pemerintah Daerah Tingkat II tempat lokasi bahan galian, 32 persen lainnya untuk Pemerintah Daerah Tingkat II yang lain yang ada di provinsi tersebut. Selain dari royalti, penerimaan daerah juga diperoleh dari pajak-pajak dan iuran lainnya yang ditetapkan sesuai dengan Perda.
32 C.
Kontribusi Perusahaan Terhadap Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Perusahaan tetap ada untuk kepentingan stakeholders yaitu mencakup
semua yang mempunyai kepentingan dalam kemakmuran perusahaan yang terdiri dari pemegang saham, karyawan, pemasok, pelanggan dan masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar adalah masyarakat sekitar tambang yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan perusahaan dan ikut menanggung dampak dari kegiatan operasional tambang. Untuk itu diperlukan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (community development) secara komprehensif dan integral dengan penduduk setempat. Karakteristik kegiatan pengembangan masyarakat di sekitar daerah tambang, yaitu : 1.
Kegiatan pertambangan yang mempunyai jangka waktu tertentu dalam beroperasi, dan akan berakhir sesuai jumlah cadangannya serta Kontrak Karya dengan Pemerintah.
2.
Industri pertambangan yang padat modal dan menggunakan teknologi tinggi.
3.
Lokasi kegiatan yang berada di wilayah terpencil dengan infrastruktur yang sangat minim, sehingga diperlukan pembangunan infrastruktur.
4.
Industri pertambangan yang sarat dan erat dengan isu lingkungan. Implementasi dari tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat sekitar adalah dengan pengelolaan lingkungan yang baik, Bertanggung jawab terhadap aspek lingkungan dan sosial yang ditransformasikan ke dalam aspek ekonomi wilayah yang ditinggalkan baik setelah eksplorasi maupun setelah penutupan tambang, untuk dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang, hal ini merupakan konsep pembangunan berkelanjutan dan memiliki komitmen yang kuat atas pengembangan komunitas dan wilayah disekitar lokasi kerja tambang. Cakupan wilayah kegiatan pengembangan kelmbagaan masyarakat
(berdasarkan urutan prioritas), yaitu: Desa dan Kecamatan dalam pengaruh langsung pertambangan, Kecamatan di luar pengaruh langsung pertambangan. Program kegiatan pengembangan masyarakat yang akan dikembangkan di daerah sekitar tambang akan mencakup kegiatan sebagai berikut :
33 1.
Pengembangan Agribisnis dan Perikanan.
2.
Pengembangan Kesehatan Masyarakat dan lingkungan.
3.
Pengembangan dan Pelestarian Alam.
4.
Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan.
5.
Pembangunan Infrastruktur.
6.
Pengembangan UKM dan kemitraan.
7.
Penguatan Kapasitas Masyarakat/Pemerintah, Operasional dan Penunjang. Model peningkatan kemandirian ekonomi lokal terhadap tambang beserta
strateginya dapat dilihat pada (Tabel 4) berikut.
Tabel 4. Model Peningkatan Kemandirian Ekonomi Lokal Terhadap Tambang Kuartal I
• Studi pengembangan pertanian/perika nan • Intensif training • Identifikasi lahan • Studi tata ruang
Tambang ± 65persen
Kuartal II • Implementasi studi pertanian/perika nan • Pemanfaatan lahan rehabilitasi • Pengembangan pertanian & perikanan Tambang ± 50persen
Kuartal III
• Pengembangan pertanian • Industri perikanan • Pelayanan/jasa • Pengembangan teknologi agribisnis Tambang ± 35persen Non-tambang ± 65persen
Kuartal IV
• Pengembangan industri pertanian • Pelayanan/jasa • Pengembangan ekspor agribisnis Tambang ± 5persen Non-tambang ± 95persen
Non-tambang Non-tambang ± 50persen ± 35persen Sumber: Kajian DAS Rona Awal Lingkungan di Daerah sekitar Taman Nasionan Bogani Nani Wartabone. TP LAPI ITB 2009 D.
Penggerak Pembangunan Daerah/Wilayah Sumberdaya mineral jika dikelola dengan baik akan menjadi pemicu
pertumbuhan ekonomi wilayah berupa kontribusi Produk Domestik Bruto (PDRB0, tenaga kerja sehingga pengangguran di daerah sekitar pemanfaatan akan berkurang. Sebagai contoh, Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LPEM – FEUI pada tahun 2001, Kabupaten Kutai Timur memperoleh 74 persen Produk
34 Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sektor pertambangan. Secara khusus, PT KPC sebagai perusahaan tambang batubara terbesar di daerah tersebut berkontribusi sebesar 30 persen terhadap total Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten. Tercatat
sebanyak
71.000
orang
anggota
masyarakat
setempat
menggantungkan kehidupannya dari perusahaan. Dari jumlah tersebut sebanyak 7.000 orang diantaranya secara langsung menggantungkan hidup kepada tambang. Perlu diperhatikan bahwa semua usaha di atas tidak dapat berjalan dan berhasil tanpa adanya dukungan dari pemerintah. Utamanya pemerintah daerah sebagai fasilitator dan regulator untuk menumbuhkan keberlanjutan hasil usaha kegiatan pertambangan.
Walaupun
kegiatan
pertambangan
sudah
usai,
manfaat
ekonominya masih terasa dan tetap dapat menggerakkan ekonomi daerah. Manfaat ekonomi yang dimaksud yaitu adanya sumberdaya yang terbarukan telah mengalami transformasi karena adanya dukungan anggaran serta asistensi yang tersistem dalam suatu model kelembagaan. Sehingga nati peran sumberdaya tidak terbarukan uasi maka peran dan penerus pengembangan ekonomi disekitar kawasan pertambangan akan terus berjalan.
2.6.
Konsep Dasar Pengelolaan Sumberdaya Alam Terdapat beberapa konsep dan prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam
pengelolaan sumberdaya alam. Beberapa konsep dasar tersebut antara lain adalah: 2.6.1 Proses dan Pengembangan Wilayah. Prinsip dasar pengembangan wilayah adalah pemerataan pembangunan dan hasil hasilnya agar diperoleh suatu konvergensi ekonomi antardaerah. Pengembangan wilayah merupakan suatu proses transformasi terhadap berbagai faktor masukan yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan berbagai sumberdaya buatan/penunjang antara lain kapital, prasarana informasi, teknologi dan lingtungan, menjadi keluaran fisik (tata ruang, prasaran/sarana dan lingkungan fisik) dan keluaran nonfisik (sosial, ekonomi dan budaya) secara terpadu dan seimbang, seperti ditunjukkan pada (Gambar 11) berikut ini.
35
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 11. Proses Pengembangan Wilayah
2.6.2
Interaksi Sumberdaya Alam - Ekonomi - Lingkungan Pengelolaan sumberdaya alam pada dasarnya adalah untuk mengadakan
transformasi atau pengalihan dari sumberdaya alam menjadi modal ekonomi. Pada proses transformasi ini terdapat suatu interaksi dengan lingkungan hidup dalam wawasan pembangunan berkelanjutan. Artinya pembangunan berkelanjutan merupakan satu proses perubahan dan pertumbuhan berdasarkan prinsip-prinsip efisiensi, berwawasan kewilayahan dan lingkungan hidup serta didukung oleh transformasi dibidang teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter potensi sumberdaya lokal denga visi masing individu masyarakat atau kelompok untuk melihat lingkungan sekitar kawasan pertambangan akan lebih maju dan mandiri. Efisiensi dalam arti bahwa setiap rupiah yang dikeluarkan bagi setiap marginal produk setiap komoditi adalah sama. Berwawasan kewilayahan dalam arti bahwa proses transformasi tersebut harus menghasilkan nilai tambah bagi wilayah terdapatnya sumberdaya alam. Berwawasan lingkungan bahwa segenap biaya pelestarian fungsi lingkugan oleh akibat eksploitasi sumberdaya alam harus
36 dimasukkan ke dalam biaya eksploitasi. Interaksi sumberdaya alam, ekonomi, lingkungan seperti pada (Gambar 12) sebagai berikut :
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 12. lnteraksi SDA - Ekonomi - Lingkungan Hidup dan Tujuan Pembangunan 2.6.3 Sistem Pengembangan Sumberdaya Alam. Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan potensi energi dan sumberdaya mineral untuk mendukung dan mendorong peran ESDM dalam konvergensi ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, dapat disajikan melalui kaitan integral subsistem dalam pengembangan sumberdaya mineral tersebut, yaitu meliputi: l).
Subsistem Pemerintah. Subsistem merupakan subsistem yang menetapkan kebijakan serta regulasi yang diperlukan agar proses transformasi sumberdaya alam dapat mencapai tujuan secara optimal. Tujuan dapat berupa tujuan nasional pada tingkat nasional atau tujuan regional pada tingkat wilayah (provinsi, kabupaten/kota). Dalam subsistem ini Pemerintah mengendalikan kebijaksanaan dan peralatan kebijaksanaan yang meliputi pengaturan standarisasi, perizinan, pengembangan, pengawasan,
pembinaan
evaluasi
dan pengambilan
keputusan. Sebagai penjabaran dari kebijaksanaan pengembangan usaha pertambangan sejalan dengan semangat debirokrasi dan deregulasi untuk
37 mendorong peningkatan investasi dalam upaya pemerataan pembangunan.I). Subsistem produksi - konsumsi (subsistem industri). 2).
Subsistem produksi konsumsi merupakan mata rantai dari hulu (produksi) sampai dengan hilir konsumsi) berikut mata rantai niaga. Subsistem ini merupakan mata rantai penghasil nilai tambah. Peran serta Pemerintah Provinsi
Gorontalo
dalam
menunjang
peran
sektor
pertambangan/penggalian sebagai sektor penyedia bahan baku. Salah satunya adalah dengan mendirikan “customer plant dan blending plant” yang dapat digunakan untuk proses pengolahan khususnya berbagai macam pengolahan bahan galian industri dengan proses yang sama sehingga dapat digunakan oleh banyak perusahaan untuk efisiensi dan efektivitas.
3.6.4
Subsistem Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pada pengembangan sumberdaya mineral pada dasarnya subsistem ini
menyangkut penelitian yang berhubungan dengan mata rantai yang ada di dalam subsistem pemerintah dan subsistem produksi-konsumsi. Tujuannya adalah agar mampu membantu ke dua subsistem tersebut dalam mengambil keputusan dan pemecahan masalah baik dari segi inventarisasi, evaluasi sumberdaya dan pengembangan teknologi. Selanjutnya terjadinya proses transformasi tersebut mungkin untuk menciptakan adanya loncatan produktivitas dalam sektor pertambangan. Saat ini hampir dapat dikatakan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan di Indonesia cenderung memperluas kapasitas produksi yang pada akhirnya akan mengalami penurunan atau cadangan tertambang akan habis.
2.6.5
Manajemen Dalam Proses Transfomasi Manajemen menangani berbagai sumberdaya dan output dari proses
transformasi. Sumberdaya meliputi kapital, tenaga kerja, bahan baku (sumberdaya alam), informasi, lingkungan, prasarana dan teknologi serta pasar. Termasuk manajemen terhadap ouput dari proses transformasi yaitu barang dan jasa yang dihasilkannya. Proses transformasi sumberdaya berguna menciptakan konvergensi ekonomi antardaerah atau wilayah. Hal ini dapat dijadikan bagian acuan dalam
38 proses manajemen pemanfaatan sumberdaya tambang agar sistem yang dibangun dapat memberikan dampak pada peningkatan fungsi produksi antara lain sumberdaya teknologi, sumberdaya lingkungan, sumberdaya infrusturktur, sumberdaya pasar, sumberdaya informasi, sumberdaya alam, sumberdaya kapital (investasi) dan sumberdaya manusia. Model ini tertuang pada (Gambar 13).
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 13. Kaitan Antara Fungsi Produksi dan Fungsi Manajemen Selanjutnya Gambar 14 menunjukkan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya harus melalui proses atau mekanisme pengaturan dan tahapan. Agar terjadi suatu proses transformasi diperlukan suatu manajemen agar diperoleh hasil transformasi yang bermanfaat bagi pemenuhan kepentingan umum baik pada skala nasional, regional maupun masyarakat secara optimal. Hal ini membuktikan betapa pentingnya proses manajemen sumberdaya agar instrumen dalam manajemen tersebut dapat berjalan sesuai dengan perencanaan, tujuan, kerangka dasar informasi, indikator yang digunakan serta output yang diharapkan. Manajemen meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penggerakan (actuating), pengawasan (controlling), dan penilaian (evaluating).
39 Pertanyaan paling utama bagi masyarakat yaitu apakah memiliki niat atau visi terhadap keterpaduan konsep pemanfaatan. Hal tersebut diperlukan untuk mencapai optimasi produksi efisiensi untuk mengarahkan tingkat pendapatan masyarakat agar mencapai surplus pasar dan bahkan surplus ekonomi. Adanya proses transformasi tersebut akan memunculkan balikan terhadap output dari input yang telah diproduksi dalam skala ekonomi tertentu.
Sumber : Sulistiyo (2008).
Gambar 14. Matrik Manajemen Kebijakan Versus Sumberdaya
Sesuai dengan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah daerah dalam bentuk persentase tertentu dari pemerintah pusat yang sumbernya berasal dari daerah yang bersangkutan. Bagi hasil sumberdaya alam di dalamnya termasuk penerimaan dari sektor minyak
40 bumi dan gas alam pertambangan umum, kehutanan dan perikanan disajikan pada Tabel 5 beriku ini. Meskipun Undang-Undang ini telah diterapkan dengan peraturan pemerintah yang baru namun filosofis dari masing-masing peraturan tentang bagi hasil ini relative hampir sama, karena item-item yang dibagi ke daerah tidak banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan pertautran pemerintah sebelumnya. Diharapkan nanti peraturan bagi hasil ini akan semakin diperbaiki sesuai dengan kebutuhan dan tantangan ekonomi daerah yang semakin meningkat. Tabel 5. Undang-Undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
No
Penerimaan
Pusat
Provinsi
Kab/Kota penghasilan
Sumberdaya Alam Non-Migas (%) Kehutanan 1 : - PSDH 20 16 32 - IHPH 20 16 64 - Dana Reboisasi 60 0 40 Pertambangan 2 : - Land rent 20 16 64 - Royalti 20 16 32 Perikanan 3 20*) 0 0 II Sumberdaya Alam Migas (%) 1Penerimaan negara setelah dikurang komponen pajak 84,5 3 6 yang berasal dari minyak bumi. 2Penerimaan negara setelah dikurangi komponen pajak 69,5 6 12 yang berasal dari migas Sumber: Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126
Kab/Kota lainnya
I
32 0 0 0 32 0
6
12
41 2.7.
Kewenangan Bidang Energi dan Sumberdaya Mineral di Era Otonomi Daerah Otonomi daerah bidang energi dan sumberdaya mineral bersumber dari
UUD 1945, Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pemberian urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No-1451 K/30/MEM/2000 sampai dengan No.l454 K/30/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan dan Kewenangan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat digunakan sebagai piranti acuan awal dan dasar untuk penyelenggaran dan pelaksanaan otonomi daerah di bidang-bidang geologi dan sumberdaya mineral, pertambangan umum minyak dan gas bumi serta listik dan pengembangan energi. Otonomi daerah dalam bidang energi dan sumberdaya mineral kewenangan pemerintah pada kebijakan: meliputi norma, standar, kriteria pengaturan, persyaratan dan pedoman serta kewenangan kesempatan tingkat pelaksanaan terbatas yang bertujuan mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara, menjamin kualitas dan efisiensi pelayanan umum, supremasi hukum, dan menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan pemberdayaan dan kemakmuran rakyat. Skema tersebut telah mampu mensinergikan sebagian kepentingan daerah terutama dalam pemberian izin-izin pertambangan sehingga Pemerintah pusat tidak terlalu jauh lagi mengintervensi kewenangan daerah meskipun dalam konteks pembagian hasil relatif masih dikelolah oleh pemerintah pusat. Selain itu skema diformulasi bertujuan untuk mengurangi konflik kepentingan para pihak dan lebih memberikan ruang gerak buat pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber penerimaan keuangan melalui pemanfaatan sumberdaya tambang terutama berkaitan dengan peningkatan daya dukung kelembagaan yang bersifat normatif untuk mengatur hal-hal yang belum diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah.
42 2.8.
Peran Sektor Energi dan Sumberdaya Mineral Pasca Otonomi Daerah Secara filosofi otonomi daerah merupakan salah satu faktor/instrumen
dalam pelaksanaan demokrasi suatu sistem desentralisasi. Kewenangan dapat diletakkan kepada daerah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi, penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Sebagai penggerak mulai di daerah sektor ESDM pada dasarnya mempunyai peran ganda yaitu sebagai sektor produksi dituntut untuk mampu memberikan kontribusi PDRB dan pengembangan sumberdaya mineral secara regional guna mendukung pengembangan wilayah. Peran tersebut dapat menciptakan kesempatan kerja maupun menciptakan keterkaitan ekonomi berupa permintaan kebutuhan akhir. Beberapa kriteria penilaian aspek sosial ekonomi dalam optimalisasi pemanfaatan energi dan sumberdaya mineral untuk menunjang keseimbangan kemajuan ekonomi antardaerah yang satu dengan yang lain adalah sebagai berikut : a.
Mendukung peningkatan keterkaitan antarsektor dan keterkaitan ekonomi antardaerah.
b.
Mendukung pembangunan dan peningkatan pendapatan daerah (daerah terbelakang),
pendapatan
perkapita
kesempatan
kerja,
kemampuan
kewiraswastaan (produkivitas) dan memperkecil kesenjangan sosialekonomi antardaerah. c.
Menunjang usaha pelestarian fungsi lingkungan nonfisik seperti pendidikan dan kesehatan dalam rangka pengembangan masyarakat (community development) di daerah.
d.
Memenuhi penugasan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dengan misi strategis dalam rangka menunjang antara lain kestabilan politik.
42 III. METODE PENELITIAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Pandangan
kelembagaan
(institutional
minded)
termasuk
dalam
kelembagaan masyarakat yang menunjang aktifitas sosial ekonomi selalu dihadapkan dengan masalah kelangkaan (scarcity) terutama kelangkaan sumberdaya. Pengertian model kelembagaan bersifat relatif, artinya kelembagaan dalam penelitian ini bermakna umum untuk jenis kasus yang ditimbulkan oleh konflik pemanfaatan lahan. Jenis karakter persoalan kelembagaan tidak dapat digeneralisir karena karakteristik tersebut cukup beragam yang merupakan jalan masuk untuk mengelaborasi unsur-unsur pendekatan ilmiah, sehingga output dari penelitian dapat merekomondasikan unsur keragaman dan kecenderungan karakater persoalan kelembagaan itu secara relatif. Konstruksi analisis kelembagaan dalam penelitian ini didesain melalui kerangka ekonomi kelembagaan (New Institutional Economics) dimana kerangka kelembagaan dibagi melalui dua pilar utama yakni institutional govarnance dan institutional arrangement . Kerangka ini mengacu pada pernyataan Menard and Shrley (2005) dimana analisis ini dilakukan berdasarkan kedua komponen di atas. Institutinal govarnance merupakan tatakelola kelembagaan yang didasarkan pada Transaction cost Economics (TCE). Oleh karena itu pada komponen ini aspek manfaat dan biaya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya tambang sesuai dengan stadia pengelolaan di wilayah kontrak karya PT Gorontalo Minerals termasuk kegiatan penambangan tanpa izin (PETI) dianalisis terlebih dahulu untuk memperoleh informasi biaya transaksi. Pada tahapan kedua yang berkaitan dengan komponen Institutional Arrangement didasarkan pada property right dan aspek legal yang didahului dengan analisis spasial untuk mengetahui kondisi riil yang berkaitan dengan klaim pemanfaatan dan penguasaan lahan di wilayah tumpang tindih. Kemudian berkaitan dengan peraturan kelembagaan dalam pemanfaatan sumberdaya tambang. Kedua komponen ini akan memberikan input bagi pengembangan model kelembagaan yang akan dibangun dan diselaraskan pada jenis-jenis kasus kelembagaan pertambangan. Keseluruhan kerangka pikir dapat dilihat pada Gambar 15 berikut ini.
43 Institusional arrangement
Spatial & logistic analysis
Institusional Governance
Valuasi Model Hotelling (Biaya Ekstraksi)
Valuasi Ekonomi (Struktur Pasar)
Indikator (NPV, IRR, PBP)
Pendapatan
Biaya Konstruksi, Capital, Operasi, Produkasi
Penjualan
Royaliti
Penguasaan lahan dan PETI
Pajak
Kelayakan
Pendapat -an Bersih
Cadangan, Harga
Kelayakan Ekonmi
Profil RT, Advokasi, Kelembagaan SOSEK
Model advokasi, kelembagaan sosek
Pengguna an lahan (land use
Lingkungan
Analisis Sensitivitas
Land Rent
Kelayakan
Kelayakan Kelembagaan Sosial Ekonomi Masyarakat
Implikasi Model Kelembagaan Tambang
Gambar 15. Kerangka Pikir Penelitian
44
Model Pemanfaatan Sumberdaya Tambang dan Kaitannya terhadap Pemb. Wilayah di Kab. Bone Bolango
45 3.2.
Hipotesis Adapun hipotesis yang dapat di formulasikan dalam penelitian ini yaitu:
1.
Diduga bahwa perubahan pengelolaan kawasan serta permasalahanpermasalahan sosial ekonomi berdampak pada peningkatan penguasaan dan pemanfaatan lahan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals saat ini.
2.
Diduga bahwa hasil penelitian eksplorasi perusahaan-perusahaan pemegang izin kontrak karya layak secara ekonomi baik dari aspek struktur pasar dan pola ekstraksi optimal.
3.
Diduga bahwa struktur kelembagaan berperan penting dalam pengelolaan sumberdaya tambang dalam mengembangkan resolusi konflik pemanfaatan sumberdaya tambang.
3.3.
Alur Penelitian Pada tahap awal penelitian ini mengkaji aspek-apek historis yaitu bentuk
kelembagaan pemanfaatan sumberdaya tambang dan bentuk-bentuk perubahan kawasan di wilayah pemanfaatan sumberdaya tambang yang menjadi cikal bakal sumber dan potensi konflik sosial ekonomi. Selanjutnya untuk memperkuat argumentasi historis dilakukan analisis spasial dimana hasilnya memberikan makna terhadap pemanfaatan ruang. Pada tahap berikutnya dilakukan analisis valuasi ekonomi minerals kesiapan masyarakat untuk menyambut pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional dapatlah dilakukan melalui penyerapan persepsi masyarakat terhadap kapasitas pendidikan agar masyarakat menjadi bagian dalam proses pemanfaatan sumberdaya tambang (tenaga kerja), persepsi terhadap model advokasi yang dilakukan untuk memberikan pemahaman terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang, persepsi terhadap kesiapan infrastruktur dan suprastruktur, persepsi terhadap lembaga sosial masyarkat dan lembaga ekonomi, serta persepsi masyarakat yang melakukan pertambangan tanpa izin. Tahapan-tahapan kajian diarahkan pada model kelembagaan pemanfaatan sumberdaya tambang dengan mengacu pada dua unsur penting serta landasanlandasan hukum dan peraturan yang diacu secara implisit di sektor pertambangan seperti telah dideskripsikan pada (Gambar 15). Sistimatika penelitian dapat dilihat pada Gambar 16 berikut ini.
46 Alur Alur Penelitian PenelitianModel Modelsumber sumberdaya dayatambang tambangDan Dankaitannya kaitannyaterhadap terhadap Pembangunan Pembangunan Wilayah di Kabupaten Bone Bolango Prov.Gorontalo Wilayah di Kabupaten Bone Bolango Prov.Gorontalo Tujuan 1.Mendeskripsikan sejarah perubahan dan pemanfaatan serta menyusun peta tutupan lahan dan inventarisasi luasan.
2. Menganalisis kelayakan ekonomi sumberday tambang dari finansial, aspek ekstraksi terhadap cadangan, harga dan nlilai lingkungan.
Permasalahan 1.Bagaimanakah dampak permasalahanpermasalahan masa lalu tersebut terhadap konflik pengelolaan sumberdaya tambang saat ini?.
3. menyusun model kelembagaan dalam mengelolaan sumber daya mineral dlm rangka pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan
Permasalan 2. Apakah sumberdaya tambang dapat menjadi pendorong kinerja pemb. Wilayah layak dikelola secara profesional ? 3. Bagaimana kesiapan model kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolango saat ini?
Output Analisis
Sumber Data
Metode/Proses
1. Sejarah perubahan dan
1.Peta Citra SPOT4 liputan 2010-03-05 komposit warna kombinasi Band 213, Peta KK, Peta Desa, Peta RBI (1:50.000),Peta tutupan lahan 2009,peta dasar tematik Badan Planologi kehut RI 2.Data Primer: pengedaran angket dilokasi penelitian, titi koordinat dan info kondisi ril dilokasi melalui foto. Deposit eksplorasi PT Gorontalo Minerals 3. Data sekundr : BPS Kab. Bone Bolango 2010, dan Kecamatan Dalam angka pada sampel lokasi penelitian.
1. Analisis Spasial sederhana dan kajian sejarah (land tenure) 2. Valuasi Finansial dan Ekonomi Sumber daya Mineral 3. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Mineral Model Hotelling 4. Analisis Statistik Tabel frekuensi dan Kontigensi dan Analisis Statisitik Model Logistik.
pemanfaatan kawasan. Peta tutupan lahan dan lay oout peta Adm, pertanian, perkebunan, PETI, serta peta pemukiman 2.Kelayakan ekonomi pada aspek financial dan kelayakan ekstraksi pada cadangan, harga serta nilai lingkungan berdasarkan model Hotelling 3.Model kelembagaan sumberdaya tambang yang optimal
INSTRUMENT DASAR PENDUKUNG UUD 1945. Undang-Undang no.32 Tahun 2004 Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Undang-Undang No. 04 tahun 2009. Undang-Undang No.09 Tahun 1999. Kepmenhut No.324 dan No 325 Tahun 2010. Peraturan Pemerintah.No. 104 Tahun 2004
Gambar 16. Alur Penelitian
Rekomendasi 1. Informasi Ruang dalam kawasan konsesi Kontrak karya yang berhimpitan langsung dengan: Pemukiman, Lahan Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, dan Semakbelukar, serta PETI. 2. Kelayakan Ekonomi dan Ekologi. 3. Model Kelembagaan pemanfaatan sumberday tambang di Kabupaten Bone Bolango.
47 3.4.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bone Bolango di Provinsi
Gorontalo. Penentuan lokasi penelitian ini didasari atas pertimbangan bahwa : 1.
Pemerintah telah memberikan izin usaha pertambangan (IUP) dan kontrak karya kepada perusahaan pertambangan diantaranya yaitu PT Gorontalo Minerals serta memiliki Izin Penelitian Eksplorasi Tambang dari Departemen ESDM RI dan telah menyampaikan hasil penelitian eksplorasi dalam bentuk Feasibility Study (FS) dan rencana kerja anggaran bersama kepada pemerintah. Namun saat ini wilayah kontrak karya ini telah tumpang tindih dengan pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan penambangan tanpa izin.
2.
Kabupaten Bone Bolango adalah daerah yang persentase pertumbuhan ekonominya relatif rendah dibanding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Gorontalo.
3.5.
Teknik Pengumpulan Data
1.
Melalui analisis data yang terkait dengan penggunaan lahan dan tutupan lahan dilakukan melalui pengamatan atau survei langsung di lapangan untuk memperkuat akurasi data. Hal ini dapat dilihat pada peta lokasi pengamatan wilayah tumpang tindih (Gambar 17).
Gambar 17. Peta Lokasi Sampel Wilayah Tumpang Tindih (Berhimpitan Langsung) dengan Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals dan Penambang Tanpa Izin
48 2.
Metode penarikan data menggunakan metode simple random sampling yang digunakan untuk rumah tangga responden di masing-masing desa disetiap kecamatan, sedangkan untuk lembaga publik, lembaga produktif, informal leader serta key informan akan dipilih secara purposive. Pengambilan sampel ini mempertimbangkan keragaman dan perbedaan letak wilayah seperti pegunungan, pantai, dataran rendah dan dataran tinggi (Juanda, 2007). Sebaran sampel ini dapat dilihat pada Lampiaran 9.
3.
Data Primer diambil dalam bentuk wawancara yang dibarengi dengan angket yang telah disiapkan untuk mencatat dan memberikan pembobotan satu per satu terhadap hasil wawancara langsung dengan responden yang dilakukan secara sengaja (purpose sampling).
4.
Sebelum angket didistribusikan kepada responden yang sesungguhnya, angket ini diuji – cobakan kepada sejumlah warga masyarakat yang secara apriori memberikan jawaban, sehingga dapat terkoreksi baik dari segi bahasa maupun terpenuhinya aspek-aspek yang akan diteliti dalam angket.
5.
Angket penelitian didistribusikan kepada responden pada saat peneliti bertatap muka dengan tokoh masyarakat, agama, pemuda, wanita, (informal leader) lembaga publik, rumah tangga, dan lembaga produktif di lokasi penelitian yaitu di beberapa desa yang berada dilokasi Perencanaan pertambangan yaitu Kecamatan Suwawa Timur, Kecamatan Suwawa, Kecamatan Bone, Kecamatan Bulawa dan Kecamatan Bone Raya.
3.6.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder yang terdiri dari : 1.
Data Primer diperoleh dari : a. Data lapangan pada obyek penelitian yaitu pengamatan langsung di lapangan terkait dengan informasi pemanfaatan lahan oleh masyarakat yang
lebih
detail
dengan
mengambil
titik-titk
koordinat
dan
memfusialkan dalam bentuk kamera digital tentang kondisi hasil pengamatan di lahan pertanian, perkebunan, semak belukar, penambang tanpa izin, serta wawancara lansung dengan para penambang tanpa izin.
49 Tujuannya mempermudah hasil digitasi on screen yang akan dilakukan dengan Citra SPOT4, karena alat citra yang digunakan memiliki resolusi sedang. b.
Aparat pemerintah yang menyangkut data sosial ekonomi, persepsi para pihak, kesinergian kebijakan, pembangunan berkelanjutan, tatakelola dan proses manajemen pemanfaatan sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolango dan Provinsi Gorontalo.
c.
Tokoh masyarakat, agama, pimpinan yayasan sosial dan organisasi kemasyarakatan terutama masyarakat yang berdomisili di lokasi penelitian berupa data-data tentang faktor-faktor motivasi, kepemimpinan serta persepsinya menyangkut tata kelola pemanfaatan sumberdaya tambang Kabupaten Bone Bolango dan Provinsi Gorontalo.
2.
Data sekunder, yaitu data instansi BPS, BAPPEDA, Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Bone Bolango dan Provinsi Gorontalo, serta laporan-laporan hasil kajian pada PT Gorontalo Minerals yang merupakan pemilik Kontrak Karya sejak tahun 1971 dan dari Instansi terkait lainnya. Selanjutnya untuk analisis konflik lahan dibutuhkan beberapa peta yaitu peta rupa bumi Indonesia, peta penunjukkan kawasan hutan, peta penggunaan lahan, peta kemiringan lereng, peta intensitas hujan, peta citra SPOT, peta blok plan kotrak karya PT. Gorontalo Minerals, peta geologi dalam bentuk digital.
3.7.
Teknik Analisis Data Sesuai dengan tujuan penelitian maka alat analisis yang digunakan yaitu:
3.7.1 Analisis Spasial dan Land Tenure Bagian ini akan diawali dengan kajian deskriptif pada aspek historis tentang tahapan-tahapan pemanfaatan dan perubahan kawasan. Kemudian dilanjutkan dengan aspek ekologi, aspek sosial ekonomi dan aspek hukum dan kelembagaan. Selanjutnya pada komponen spasial dimulai dari interpretasi awal penutupan dan penggunaan lahan dilakukan berdasarkan tampilan warna, pola, tekstur asosiasi dan dibantu dengan hasil survei di lapangan berupa titik-titik koordinat dari masing-masing obyek yang disurvei.
50 Adapun hasilnya yaitu 1) peta tutupan lahan yang dari digitasi dari citra SPOT dan Goegle Earth; 2) peta batas administrasi dihasilkan dari queri peta penutupan dan penggunaan lahan dan di overlay dengan peta administrasi desa dari BPS Kabupaten Bone Bolango dan peta konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals; 3) peta areal pertanian secara luas diperoleh dari queri areal pertanian dan perkebunan di peta penutupan lahan yang di overlay dengan peta konsesi peta batas administrasi kecamatan; 4) peta permukiman diperoleh dari queri pemukiman peta penutupan lahan yang di overlay dengan peta konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals dan peta batas administrasi Kecamatan; 5) peta Pertambangan Tanpa Izin (PETI) dihasilkan dari queri PETI di peta penutupan lahan yang di overlay dengan peta konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Alur analisis spasial yang terbangun dari tujuan satu dalam rangka mendapatkan output pemanfaatan dan penguasaan ruang di wilayah tumpang tindih dengan kontrak karya PT Gorontalo Minerals disajikan pada (Gambar 18).
Data BPS Kab. Bone Bolango
Citra SPOT 05-03-2010
Google Earth 03-03-2010 Interpretasi dan digitasi
Peta Administrasi Lokasi studi
Inventarisasi Luas penutupan/ penggunaan lahan di lokasi studi
Peta Penutupan/ Penggunaan Lahan
Layout : 1. Peta wilayah administrasi 2. Peta penutupan/penggunaan lahan 3. Peta areal pertanian vs izin pertambangan 4. Peta permukiman vs izin pertambangan 5. Peta PETI vs izin pertambangan
Gambar 18. Alur Pemikiran Analisis Spatial
51 Selanjutnya sistimatika analisis spasial berdasarkan tujuan penelitian, data dasar, sumber data, analisis variabel indikator serta output diharapkan tertera pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Tujuan Penelitian, Data Dasar, Analisis Variabel Indikator dan Output Analisis Spasial dan Rapid Land Tanur Assesment (RATA) N o
Tujuan Penelitian
1. Mengkaji dan mengidentifikasi Aspek Historis, perusahaan pemegang konsesi kontrak karya dan tahapan Perubahan, kawasan dan Konflik Sosek dan statusnya dirubah melalui RTRWP 2. Mendeskripsikan aspek yuridis, ekologis dan sosial ekonomi yang berkaitan dengan perubahan peruntukan sebagian kawasan TN Bogani Nani Wartabone yang tumpang tindih dengan wilayah KK PT Gorontalo Minerals. 3. Mengidentifikasi dan menginventarisasi kawasan tumpang tindih dengan administrasi wilayah, pemukiman masyarakat, kawasan pertanian dan perkebunan, kehutanan, dan penambang tanpa izin (PETI).
Data Dasar
Peta Perubahan Status Kawasan 1967,1991 &2009 yang diolah (overlay) peta administrasi , peta kehutanan, dan Peta Citra Spot resolusi sedang Jumlah dan luasan masingmasing Desa masuk dalam Kawasan tumpang tindih Legalitas KK Perusahaan Pertambang an 19671998
Sumber Data
Taman Nas. Bogani Nani Wartabone Dinas Kehutanan dan Pertambangan Prov. Gorontalo Dep. Hut RI Bakosurtanal BAPPEDA Prov. Gtalo PT Gorontalo Minerals Tokoh Masyarakat, Informal Leader, Buruh Tambang (masa Eksplorasi 1968-1991) LSM
Analisis Variabel Indikator Analisis Spasial sederhana Agraviting Factors: Politics, Economics , Environme ntal Analisis Aktor Wawancar a, FGD, PRA Deskripsi Analisis Kebijakan dan Perspektif Sejarah Dialog Kebijakan
Output yang diharapkan Tersusunnya informasi tentang sejarah pemegang kontrak karya dan perubahan status kawasan. Deskripsi aspek yuridis, ekologis, sosial ekonomi di wilayah tumpang tindih Tersusunya peta penggunaan dan peta hasil layout administrasi, permukiman ,pertanian, perkebunan, dan penambang tanpa izin di wilayah tumpang tindih dengan lahan kontrak karya PT Gorontalo Minerals
52 3.7.2
Analisis Tabel Frekuensi Sesuai dengan tujuan penelitian yang dilaksanakan khusus untuk analisis
data primer yang telah diperoleh di lokasi sampel, maka alat analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode tabel frekuensi dan analisis tabel silang. Untuk mencari hubungan atau pengaruh yang signifikan antara dua variabel, yaitu variabel X profil rumah tangga, tingkat pendidikan, (keikutsertaan dalam penyuluhan, keikutsertaan dalam organisasi, pengetahuan, peran tokoh masyarakat), peran kelembagaan sosial dan kelembagaan ekonomi, ketersediaan infrastruktur serta penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya tambang dengan variabel Y (tingkat partisipasi) melalui frekuensi observasi dan frekuensi harapan, dengan taraf signifikan ( ) 0,05 menggunakan analisis X2 dengan persamaan sebagai berikut : X2 =
fe )2
(f o
fe
X2 = fo = fe =
dimana
,
(1)
Nilai tingkat hubungan variabel Frekuensi observasi Frekuensi harapan
Berdasarkan hasil uji dimana fo = ditolak jika “terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut”. Sebaliknya fe = diterima jika “tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut”. Sedangkan untuk mencari hubungan kedua data nominal (kedua variabel) yang dinyatakan dengan besarnya koefisien kontingensi (C) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : C=
dimana :
X2 X2 n
C = X2 = N = Pada bagian
,
(2)
Koefisien Kontigensi Nilai tingkat hubungan variabel Jumlah sampel metode analisis ini telah diformulasi dalam suatu matriks
(tabel) tujuan penelitian, data dasar, analisis variable indicator dan output analisis dapatlah dilihat pada Tabel 7 berikut.
53 Tabel 7. Tujuan Penelitian, Data Dasar, Analisis Variabel Indikator Dan Output Analisis Tabel Frekuensi Dan Analisis Tabel Silang N o
Tujuan Penelitian
Memperoleh informasi langsung dari masyarakat pemukim yang berhimpitan langsung dengan wilayah konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals melalui pengedaran angket bertujuan tuk mengetahui dan menganalisis Identitas Responden, profil rumah tangga, Model advokasi pemanfaata SD Tambang, model penyelesaian konflik pemanfaatan ruang (kelembagaan sosial ekonomi), infrastruktur, keterkaitan masyarakat dengan wilayah konsesi dan penambang tradisional
Data Dasar
Angket diedarkan dan diwawancara langsung dengan responden dilokasi penelitian. Wawancara dan diskusi informal dalam rangka menggali informasi yang lebih baik. Pengamatan langsung dilapangan tentang kondisi riil dengan mendokumnen tasikan kondisi riil tersebut dimasingmasing lokasi sampel.
Sumber Data Responden telah di tentukan secara sengaja karena perilaku aktivitas responden pada umumnya berpindahpindah.
Analisis Variabel Indikator Metode tabel frekuensi dan analisis tabel silang. Untuk mencari hubungan atau pengaruh yang signifikan antara dua variabel, yaitu variabel X profil rumah tangga, tingkat pendidikan, (keikutsertaan dalam penyuluhan, keikutsertaan dalam organisasi, pengetahuan, peran tokoh masyarakat), peran kelembagaan sosial dan kelembagaan ekonomi, ketersediaan infrastruktur serta penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya tambang dengan variabel Y (tingkat partisipasi) melalui frekuensi observasi dan frekuensi harapan
Output yang diharapkan Untuk mencari hubungan atau pengaruh yang signifikan antara dua variabel, yaitu variabel X profil rumah tangga, tingkat pendidikan, (keikutsertaan dalam penyuluhan, keikutsertaan dalam organisasi, pengetahuan, peran tokoh masyarakat), peran kelembagaan sosial dan kelembagaan ekonomi, ketersediaan infrastruktur serta penyelesaian konflik pemanfaatan sumberdaya tambang dengan variabel Y (tingkat partisipasi)
54 3.7.3
Valuasi Sumberdaya Mineral (Tambang) Secara umum penilaian asset sumberdaya mineral dapat dilakukan melalui
tiga pendekatan antara lain dalam Suparmoko (2006) yaitu: A.
Pendekatan Biaya Metode pendekatan biaya untuk melakukan penilaian diterapkan pada asset
mineral yang berada dalam tahap prospeksi atau eksplorasi, atau tahap awal dalam pendefinisian sumberdaya. Dasar pemikiran dari aplikasi pendekatan biaya dalam penilaian aset mineral adalah nilai riil dari asset eksplorasi dan penemuan cadangan mineral yang ekonomis. Artinya semakin besar potensi dari sumberdaya mineral dan prospek ekonomisnya, maka semakin besar pengeluaran eksplorasi yang diperlukan untuk meningkatkan derajat kepercayaan dari cadangan. B.
Pendekatan Pasar Penilaian asset mineral tambang menggunakan pendekatan pasar dapat
diterapkan untuk asset mineral yang masih pada tahap penelitian eksplorasi. Prinsip dari pendekatan pasar adalah menggunakan harga transaksi (price transaction) dari asset sejenis yang dapat dibandingkan dalam rangka penetapan nilai dari asset subyek. C.
Pendekatan Pendapatan Penilaian asset mineral dengan pendekatan pendapatan mempunyai dasar
pemikiran mengubah keuntungan kedepan (net operating income) yang bisa dihasilkan jika aset mineral tersebut dapat diproduksi. Kegiatan penambangan akan dilakukan di masa datang, sehingga dalam perhitungan aset dengan menggunakan pendekatan pendapatan perlu ditetapkan asumsi-asumsi yang mempertimbangkan faktor waktu dengan proyeksi dan akurasi data yang lebih baik. Artinya faktor waktu memiliki peranan penting karena waktu terkadang menjadi krusial. Hal ini dilakukan untuk menghindari bias dalam penilaian asset. Bila terjadi bias dalam penilaian asset maka penilaian kedepan akan mengalami bias juga. Metode discounted Cash flow (DCF) dengan parameter yang digunakan untuk menunjukkan nilai asset adalah Net Present Value (NPV).
55 D.
Weighted average cost of capital (WACC) WACC
merupakan
salah
satu
jenis
discount
rate
dengan
mempertimbangkan cost of equity dan cost of debt perusahaan berdasarkan rasio debt-equity. Komponen WACC adalah sebagai berikut: a.
Komposisi pinjaman, Komposisi hutang adalah peminjaman modal sebagai sumber dana pembiayaan proyek yang akan dilakukan. Karena tidak direncanakan adanya peminjaman modal, maka komposisi hutang ditentukan sebesar 0 persen.
b.
Komposisi modal, Komposisi modal adalah sumber dana pembiayaan proyek dari perusahaan sendiri. Karena tidak direncanakan adanya peminjaman modal, maka komposisi modal sendiri ditentukan sebesar 100%.
c.
Pajak (Tax), Pajak yang dikenakan sebesar 30 persen, berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia.
d.
Biaya Modal (Cost of equity), Pendekatan yang digunakan untuk menentukan biaya modal adalah dengan menggunakan expected return dari suatu proyek/investasi. Expected return dipengaruhi oleh risk-free interest rate, inflation premium, dan risk premium (expected return = risk-free interest rate + inflation premium + risk premium). Risk-free interest rate merupakan opportunity cost karena memiliki asset, dan inflation premium adalah untuk mengakomodasi penurunan daya beli uang. Risk-free interest rate dan inflation premium dapat diperkirakan berdasarkan government bond. Bila disederhanakan; expected return = interest rate on government bond + risk premium.
Cost of equity dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut: (3) Dimana: Ke = Cost of Equity ; Rf = Risk Free Rate ; Rc = Country Risk Premium Β = Equity Beta ; EMRP = Equity Market Risk Premium
56 Penjelasan tentang unsur cost of equity yang telah dirumuskan di atas dapat dideskripsikan sebagai berikut: i.
Rf (Risk Free Rate) harga batubara dalam industri sumberdaya alam didasarkan pada satuan USD, biasanya aliran kas (cash flow) dibuat dalam USD. Menggunakan suku bunga tahunan rata-rata dari suku bunga US Treasury selama 10 tahun sebagai acuan risk free rate yang sesuai, mengacu pada lokasi investasi yang akan dilakukan. Faktor yang berpengaruh langsung terhadap asumsi cash flow adalah inflasi dan nilai tukar. Saat ini, suku bunga nominal rata-rata per tahun dari suku bunga US Treasury sebesar 2,9 persen.
ii. Rc (Country Risk Premium) Investasi di negara berkembang lebih beresiko dibandingkan dengan investasi di Negara maju, hal ini disebabkan Negara berkembang memiliki dasar perekonomian lebih lemah dibandingkan Negara maju. Hal ini ditunjukkan tingkat kredit yang lebih rendah serta tingkat pinjaman luar negeri yang lebih tinggi pada negara berkembang. Perbedaan incremental dalam biaya pinjaman antara Negara berkembang dan negara maju disebut dengan country risk premium dan dapat ditentukan dengan resiko dasar yang dikenakan pada pinjaman di Negara tersebut. PT.GM mengasumsikan nila dari country risk premium sebesar 4,1 persen, berdasarkan rata-rata diantara US Treasury dan pemerintahan Indonesia dalam kurun waktu 3 tahun. iii. β (Equity Beta), β adalah ukuran dari hubungan paralel dari sebuah saham biasa dengan seluruh tren dalam pasar saham. Bila β > 1,00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih tinggi daripada pasar. β < 1,00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih rendah daripada indek pasar secara umum (general market index). Dalam perhitungan, nilai β ditentukan sama dengan dengan 1 yang artinya kecenderungan kenaikan dan penurunan saham sebanding dengan indeks pasar secara umum.
57 iv. EMRP (Equity Market Risk Premium), EMRP menunjukkan pengembalian tambahan dari risk free rate yang dibutuhkan investor untuk melakukan investasi secara aman. Beberapa penelitian menentukan EMRP antara lain Dimson, Marsh and Staunton (2003), meneliti EMRP di 16 negara yang berbeda dari tahun 1900 sampai 2002. Hasil penelitian disimpulkan bahwa EMRP sebagian besar pasar adalah 3-5 persen. Fama and French (2002) menentukan nilai EMRP dari tahun 1951 sampai 2000 sebesar 2,5 sampai 4,3 persen. Nilai tersebut terlalu jauh di bawah pengembalian saham dengan risk free rate 7.4 persen karena pengurangan EMRP menyebabkan kenaikan harga saham yang tidak dapat diprediksi. Nilai EMRP yang realistis berkisar antara 3 sampai 7 persen, nilai EMRP PT GM adalah 3 persen. Rumus yang digunakan adalah: (4) Ke = 2,9% + 4,1% + 1*3,0% = 10% e.
Biaya Pinjaman (Cost of debt) Biaya
Pinjaman
adalah
tingkat
keuntungan
yang dinikmati
oleh
pemegang/pembeli obligasi. Jika PT.GM meminjam dari lembaga keuangan dengan bunga pinjaman sebesar 8 persen per tahun, maka cost of debt adalah 8 persen. Perhitungan WACC dapat dilakukan menggunakan rumus berikut: (5) Dimana: E = Komposisi modal ; D = Komposisi pinjaman ; TC = Total modal + pinjaman Ke = Cost of Equity ; Kd = Cost of Debt ; T = Pajak Dengan perhitungan seperti diatas, maka nilai WACC adalah (6) WACC WACC
= 10% + 0 = 10%
Jadi nilai WACC dengan rasio debt-equity = 0-100% adalah 10%.
58 Untuk mencapai asumsi pembagian royalti berdasar harga pasar bagi komoditi emas, tembaga dan perak serta discount rate juga biaya modal maka dibutuhkan analisis sensitivitas. Tujuan analisis sensitivitas adalah untuk menjaga ketidakpastian pasar dan kemungkinan lain yang terjadi seperti gejolak politik atau bentuk kekerasan dan unjuk rasa buruh yang dapat menganggu dan bahkan dapat membuat usaha dapat berhenti seperti dialami oleh perusahaan pertambangan di daerah lain. Adapun parameter aliran kas akan dilakukan dengan dua metode yaitu metode deterministik dan probabilistik. Tabel 8 menyajikan tujuan penelitian, data dasar, sumber data dan analisis variabel indikator serta output yang diharapkan pada valuasi ekonomi mineral berdasarkan perhitungan konvensional (struktur pasar) disajikan berikut ini. Tabel 8. Tujuan Penelitian 1, Data Dasar, Sumber Data, Analisis Variabel Indikator dan Output Valuasi Sumberdaya di Wilayah KK PT GM No
Tujuan Penelitian
1.
Analisis Investasi dan Kelayakan Ekonomi. Menganalisis rasio cadangan hasil eksplorasi sumberdaya tambang apakah layak secara ekonomi
2.
Analisis proyeksi Kinerja Pembangun an Wilayah. Mengidentifikasi nilai royalti dan Pajak yang dapat diterima Daerah
Data Dasar Hasil Kajian Teknis meliputi aspek geologi, penambangan , pengolahan tembaga dan emas serta kajian transportasi konsentrat dan tailing PT GM Data Investasi sejak eksplorasi dan periode penyiapan sarana & prasarana PT GM Kab. Bone Bolango dalam angka 2005-2010
Sumber Data Olah Data untuk proyeksi total cadangan emas, tembaga dan perak Data diolah dari total cadangan mineral pada harga pasar Internasional. Olah Data untuk proyeksi penerimaan (revenue) Data diolah untuk memproyeksi nilai royalty dan pajak sesuai dengan UU dan Peraturan Pemerintah.
Analisis Indikator
Variabel
Output yang diharapkan
Indikator utama kelayakan rencana produksi tembagaemas adalah Net Present Value (NPV), jika NPV bernilai positif menunjukkan rencana penambangan tembaga-emas PT.GM layak secara ekonomi. Indikator lain untuk menentukan kelayakan adalah Internal Rate of Return (IRR) dan Payback Period (PBP).
kegiatan produksi tembaga-emas oleh PT.GM, secara tidak langsung pemerintah akan mendapatkan keuntungan melalui royalty dan pajak . Nominal royalty dan pajak ditunjukkan secara kuantitatif pada proyeksi aliran kas.
Analisis Sensifitas menggunakan metode deterministik dan metode probabilitas.
59 3.7.4 Valuasi Sumberdaya Tambang Model Hotelling Tujuannya yaitu bagaimana ekstraksi yang optimal dapat dilakukan terhadap sumberdaya tambang, bagaimana memilih alur ekstraksi yang efisien dari berapa besar output optimalnya. Karena produk sumberdaya tambang tersebut harganya dipengaruhi oleh mekanisme pasar maka model Hottelling dalam analisis ini menggunakan struktur pasar kompetitif. Adapun asumsi-asumsi sederhana yang digunakan yaitu harga persatuan output dari sumberdaya konstan, artinya kurva permintaan dari sumberdaya bersifat elastis sempurna. Selanjutnya biaya ekstraksi sumberdaya diasumsikan hanya merupakan fungsi dari output (Fauzi, 2006). Persamaan dari kedua asumsi diatas dapat diturunkan dalam model Hotelling. Dimisalkan harga per satuan output pada periode 0 dan 1 masing-
P . Jumlah ekstraksi pada kedua periode ditulis sebagai
masing adalah Po dan
q 0 dan q1 . Dimisalkan bahwa biaya ekstraksi berkolerasi linier terhadap jumla
yang diekstraksi, atau: C1
cq t
t
(7)
1,2
Di mana C adalah biaya perunit ekstraksi. Sehingga manfaat dari ekstraksi sumberdaya tambang dapat ditulis: t
pt qt
cqt t
,1
(8)
Karena sifat sumberdaya tambang ini memiliki kendala stok yang terbatas, kendala tersebut dapat ditulis:
q0
q1
S
(9)
Artinya adalah jumlah yang diekstrkasi pada dua periode tersebut harus sama dengan stok yang tersedia ( S ). Ciri utama dari ekstraksi sumberdaya tambang ini yaitu sangat terkait dengan peranan waktu yang bersifat intertemporal, dimana manfaat ekonomi periode 0 dan periode 1 tidak sama, dimana pada periode 1 harus didiskon dengan menggunakan discount rate, sehingga total manfaat ekonomi ekstraksi sumberdaya tambang dapat ditulis: PV
1 0
(1
)
1
(10)
60 Di mana PV (present value) menggambarkan manfaat ekonomi dalam dua periode dan
adalah discount rate yang menggambarkan biaya oportunitas dari capital.
Beberapa asumsi penyederhanaan diatas, penentuan ekstraksi yang optimal dapat ditentukan dengan: 1
max PV
0
(1
)
(11)
1
Dengan Kendala:
q0
q1
S
(12)
Pemecahan masalah diatas dapat menggunakan fungsi Lagrangian yang sudah biasa digunakan dalam pendekatan ekonomi. Fungsi Lagrangian dari persamaan diatas ditulis: L
Di mana
1 0
1
1
( p0 q0
cq0 )
(S
q0
q1 )
1
( p1 q1 cq1 ) ( S q 0 q1 ) (13) (1 ) merupakan pengganda Lagrangian (Lagrange multiplier) karena
variable pilihan dalam hal ini adalah q 0 dan q1 , syarat keharusan (necessary condition) dari persamaan (13) adalah: L ( p 0 c) 0 q0 L 1 ( p1 c) 0 (14) q1 (1 ) Karena kedua sisi kanan dari persamaan (14) sama dengan nol, dengan penyederhanaan aljabar dihasilkan:
( p0
c)
( p0
c)
1 (1 1
)
( p1
c)
( p1 c) (1 ) Persamaan di atas dapat disederhanakan lebih lanjut menjadi:
( p1
c) ( p 0 ( p 0 c)
c)
(15)
(16)
61 Persamaan 16 merupakan dasar persamaan Hotelling untuk sumberdaya alam tidak terbarukan (sumberdaya tambang) (Fauzi, 2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa notasi sebelah kiri tanda sama dengan menunjukkan laju pertumbuhan proporsional dari manfaat bersih sumberdaya, sementara notasi di sebelah kanan tanda sama dengan menunjukkan biaya opportunity dari kapital atau aset yang sering ditunjukkan dengan suku bunga. Jadi, jika suku bunga 15 persen, hukum Hotelling mengatakan bahwa ekstraksi yang efisien dan optimal mengharuskan manfaat bersih dari sumberdaya tambang tumbuh secara proporsional sebesar 15 persen setiap tahun. Dengan kata lain agar pemilik sumberdaya “indifferent” antara mengekstrak kini atau di masa yang akan datang, manfaat yang diperoleh kini (capital gain) harus sama dengan discount rate. Proses analisis model Hotelling disajikan pada (Tabel 9).
Tabel 9. Tujuan Penelitian 2, Data Dasar, Sumber Data, Analisis Variabel Indikator dan Output Analisis Valuasi Ekonomi Tambang Model Hotelling. No
Tujuan Penelitian
Data Dasar
1.
ekstraksi yang optimal dapat dilakukan terhadap sumberdaya tambang, bagaimana memilih alur ekstraksi yang efisien dari berapa besar output optimalnya. Karena produk sumberdaya tambang tersebut harganya dipengaruhi oleh mekanisme pasar maka model Hottelling dalam analisis ini menggunakan struktur pasar kompetitif.
Hasil Penelitian Eksplorasi yang telah dilakukan oleh Perusahaan pemegang konsesi kontrak karya PT GM dan Perusahaan pemegang konsesi kontrak karya sebelumnya
Sumber Data
Analisis Variabel Indikator/Asumsi harga per satuan PT GM Departemen output pada periode 0 dan 1 adalah ESDM Po dan P . jumlah Data Perusahaan ekstraksi pada kedua Pertambang- periode ditulis an lain yang sebagai q 0 dan q1 . telah beroperasi: PT jika suku bunga 15 persen, hukum Newmont Mataram dan Hotelling mengatakan ekstraksi PT Aneka yang efisien dan Tambang Pongkor Kab. optimal mengharuskan Bogor manfaat bersih (sebagai tumbuh secara informasi umum dalam proporsional sebesar 15 persen setiap membangun tahun, agar pemilik analisis. sumberdaya “indifferent” antara mengekstrak kini atau dimasa men datang, manfaat kini (capital gain) harus sama dengan discount rate.
Output yang diharapkan Kelayakan usaha pertambangan layak atas penerimaan bersih perusahaan maupun kelayakan pembagian royalty dan pajak serta land rent terhadap pemerintah . kelayakan ekonomi model Hotelling menjadi alternatif solusi mempertimbangkan variabel lingkungan eksternal perusahaan .
62 3.7.5 Analisis Regresi Model Logistik Pada Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di Kabupaten Bone Bolango Selanjutnya terdapat 3 model analisis logistik menggunakan software Minitab yaitu regresi logistik biner yang digunakan apabila suatu klasifikasi hanya memiliki 2 kategori (skala biner), dan analisis regresi logistik ordinal yang digunakan apabila memiliki lebih dari 3 kategori (skala data ordinal) serta analisis regresi logistik nominal digunaka apabila memiliki lebih dari 3 kategori nominal dan tidak ada urutan (Juanda, 2009) menyatakan bahwa pendekatan dengan least square (OLS dan WLS) diterapkan dalam model logit dengan asumsi peubah x dikelompokkan dulu (dalam suatu selang), namun pada umumnya dalam penggunaan model logit yaitu kemungkinan maksimum atau maximum likelihood (ML) estimator. Sebagaimana telah disebutkan bahwa
i bernilai 1 atau 0 dan
menyebar menurut sebaran (distribusi) Bernouli maka fungsi peluang atau fungsi kemungkinan untuk pengamatan berpasangan ( i, i) untuk i= 1,2,...n adalah:
( i)
( i) i 1
( i)
1
(17)
i
Karena n pengamatan ( i, i) diasumsikan bebas, maka fungsi kemungkinan bersamanya: n
( )
(
1) (
2 )..... (
n)
(
i
)
(18)
i1
Prinsip prosedur MLE adalah menentukan dugaan
yang nilainya akan ( )
memaksimumkan persamaan peluang bersama n pengamatan (18) karena dan
( )
sulit dicari maka untuk mempermudahnya ditransformasi dengan
logaritme natural, sehingga mendapatkan fungsi log likelihood berikut: n
L( )
ln ( )
ln
i
(
i
)
(1
i
) ln 1
(
i
)
(19)
i 1
Untuk
menentukan
dugaan
yang
memaksimumkan
l( )
diferensiasikan persamaan (19) terhadap masing-masing parameter, kemudian disamakan dengan 0 sehingga : L
n i i 1
i
0
(20)
kita
dan
63 L
n i
i
0
(21)
i 1
Persamaan (18) dan (19) serta persamaan (20) dan (21) disebut persamaan kemungkinan (likelihood equations) yang merupakan persamaan non linier dalam parameter (
dab
) sehingga diperlukan metode iterasi yang telah diprogramkan
dalam software regresi logistik. Proses model regresi logistik yang digunakan untuk menganalisis model kelembagaan di wilayah pemanfaatan sumberdaya tambang yang tumpang tindih dengan konsesi wilayah kontrak karya PT Gorontalo Minerals disajikan pada (Tabel 10).
Tabel 10. Tujuan Penelitian, Data Dasar, Sumber Data, Analisis Variabel Indikator dan Output Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Kesiapan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di Wilayah Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals N o 1.
Tujuan Penelitian Mengetahui persepsi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang di wilayah konsesi kontrak karya PT GM dimana setelah analisis aspek kelayakan cukup prospektif dan ekonomis. Persepsi masyarakat penting untuk Model advokasi, kelembagaan sosial ekonomi, sarana prasarana, kapasitas pendidikan dan PETI.
Data Dasar Data primer dari sampel lokasi penelitian 4 Kecamatan yang berhimpitan langsung dengan wilayah Konsesi kontrak karya. Hasil Fokus Group Discussion di sampel lokasi Penambang tanpa izin seperti Di pegunungan Waluhu, Mantulangi, desa Bulantala, desa Tulabolo Timur.
Sumber Data Masyarakat yang bermukim dilahan konsesi kontrak karya yang dipilih secara proporsional. Penambang tanpa izin yang dipilih secara proporsional. Tokoh Masyarakat dan Pemilik usaha ekonomi dilahan konsesi
Analisis Variabel Indikator Analisis regresi logistik biner digunaka apabila suatu klasifikassi hanya memiliki skala data biner. Apabila variabel respon bersifat kualitatif.
Output yang diharapkan bahan informasi penting pada aspek non teknis) yang digunakan oleh para pihak untuk menyusun kebijakan dan program. solusi alternatif yang efektif dalam membangun resolusi konflik model kelembagaan yang efektif dan efisien.
64
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH
4.1.
Kondisi Kependudukan Komponen penting pada bagian ini adalah penyajian dan mendeskripsikan
tentang data kependudukan, perkembangan dan kepadatan serta jenis pekerjaan penduduk juga proyeksi pertumbuhan penduduk. Selanjutnya komponen ekonomi yang berkaitan dengan pertumbuhan dan indikator ekonomi serta keunggulan komparatif dan kompetitif berdasarkan masing-masing sektor di deskripsikan juga. Kemudian komponen keuangan daerah disajikan juga untuk melihat sejauh mana penggunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah serta realisasinya. Berkaitan dengan komponen lingkungan, maka aspek ekologi wilyah, ekologi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan ekologi pantai serta ekologi air menjadi bagian penyajian. Terakhir adalah mendeskripsikan tentang profil rumah tangga di lokasi penelitian. Aspek yang dominan memberikan pengaruh dalam setiap perencanaan pembangunan wilayah sebuah daerah yaitu penduduk. Pentingnya penduduk dikarenakan penduduk
masalah
merupakan sumberdaya manusia
yang
berperan dalam m e n yu s u n d a n m e n s i n t e s i s perencanaan. Peranan atau partisipasinya sangat diperlukan agar hasil perencanaan dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan. Penduduk dapat berperan sebagai pelaku dan juga sebagai sasaran dalam proses perencanaan pembangunan bahkan berpeluang menjadi korban suatu perencanaan yang tidak baik. Dinamika pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali akan menjadi persoalan bagi pemerintah dalam menata pembangunan yang diarahkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarat, sehingga faktor manusia tetap mengambil peran yang penting terutama dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk tersebut, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan daerah dan kemasyarakatan . Memperhatikan data yang diperoleh, dapat d i ketahui konsentrasi jumlah penduduk yang paling tinggi terdapat di Kecamatan Kabila dengan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebesar 18.318 jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang terkecil terdapat di Kecamatan Bulango Ulu dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama hanya sebesar 3.046 jiwa. Dilihat dari jumlah keseluruhan
66 penduduk yang ada di Kabupaten Bone Bolango pada tahun 2009 yaitu sebesar 131.797 jiwa, maka diperoleh kepadatan penduduk rata-rata di kabupaten ini adalah sebesar 66 jiwa per km2. Kepadatan penduduk terus meningkat seiring adanya pertumbuhan penduduk sekaligus menjadi penentuan peningkatan permintaan dan penawaran barang dan jasa atau dalam istilah pemasaran sebagai konsumen. Sebaran penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada (Tabel 11).
Tabel 11. Jumlah Penduduk Kabupaten Bone Bolango dirinci per Kecamatan Tahun 2005 s/d 2010 No
Kecamatan
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1
Tapa
19,016
19,177
6,723
6,900
6,575
2
9,235
9,313
6,423
6,263
6,537
-
-
8,508
8,631
8,775
-
-
4,720
5,366
5,325
5
Bulango Utara Bulango Selatan Bulango Timur Bulango Ulu
-
-
3,481
2,955
3,064
3.612
6
Kabila
18,307
18,459
17,737
18,318
18,759
21.004
7
Botu Pingge
4,953
4,995
5,209
5,389
5,462
5.598
8
Tilong Kabila
14,511
14,634
14,494
14,726
15,375
16.569
9
Suwawa
24,635
24,843
9,267
9,999
9,881
10.688
10
-
-
4,349
4,466
4,510
-
-
5,710
5,582
5,815
-
-
5,100
4,999
5,201
13
Suwawa Selatan Suwawa Timur Suwawa Tengah Bone Pantai
9,487
9,567
9,655
8,889
9,331
9.776
14
Kabila Bone
9,407
9,487
9,512
9,400
9,176
9.755
15
Bone Raya
9,504
9,584
5,346
4,767
4,979
5.876
16
Bone
7,852
7,918
8,164
8,306
8,307
8.674
17
Bulawa
-
-
4,650
5,069
4,707
4.763
131,797
141,915
3 4
11 12
Jumlah Total
126,907
127,977 129,025 130,026
Sumber: Kabupaten Bone Bolango Dalam Angka, 2011
6.871 6.933 9.711 4.995
4.796 6.578 5.716
67 4.1.1
Pertumbuhan Penduduk Tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Bolango selama kurun waktu
4 tahun (tahun 2007 – tahun 2010) mengalami kenaikan sebesar 0,98 persen atau 1.386 jiwa setiap tahunnya, dimana jumlah penduduk pada tahun 2007 berjumlah 129.025; tahun 2008 berjumlah 130.025 dan tahun 2009 jumlah penduduk di Kabupaten Bone Bolango berjumlah 131.797. Tren pertumbuhan penduduk erat hubungannya dengan pertumbuhan di sektor lain, meskipun tren pertumbuhannya tidak sama dengan laju tren pertumbuhan penduduk. Disisi lain kondisi demografis Kabupaten Bone Bolango yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Provinsi Gorontalo menjadi pilihan bagi masyarakat untuk menempati pemukiman-pemukiman yang baru dan nyaman yang telah disiapkan oleh pemerintah daerah di Kabupaten Bone bolango. Trend nampak pada (Tabel 12).
Tabel 12. Perkembangan Jumlah Penduduk Setiap Tahun di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2007 s/d 2010 (dalam persent) No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Tapa Bulango Utara Bulango Selatan Bulango Timur Bulango Ulu Kabila Botu Pingge Tilong Kabila Suwawa Suwawa Selatan Suwawa Timur Suwawa Tengah Bone Pantai Kabila Bone Bone Raya Bone Bulawa Jumlah/Total
2007 % -64.9 -31.0
-3.9 4.3 -1.0 -62.7
0.9 0.3 -44.2 3.1 0,82 %
Sumber: Kabupaten Bone Bolango Dalam Angka, 2010
2008 % 2.6 -2.5 1.4 14.1 -15.1 3.3 3.5 1.6 7.9 2.7 -2.2 -2.0 -7.9 -1.2 -10.8 1.7 9.0 0,78%
2009 % -4.71 4.37 1.67 -0.76 3.08 2.60 1.35 4.41 -1.18 0.99 4.17 4.04 4.97 -2.38 4.45 0.01 -7.14 1.36%
2010 % 1,23 1,52 2,63 1,73 2,21 2,51 2,22 2,50 2,63 2,15 1,28 2,18 2,19 2,23 1,67 2,37 1,01 2,14%
68 4.1.2 Perkembangan Penduduk Menurut Kelompok Umur Klasifikasi penduduk berdasarkan struktur umur sangat membantu pemerintah dan dunia usaha untuk menyusun program dan strategi terkait dengan kesiapan umur produktif dan siap bekerja pada suatu wilayah. Penggambaran penduduk menurut struktur umur juga berguna untuk mengetahui jumlah penduduk produktif dan penduduk non produktif. H al ini akan berpengaruh pada angkatan kerja di suatu wilayah serta tingkat ketergantungan penduduk non produktif pada penduduk produktif. Penggambaran penduduk menurut struktur umur juga diperlukan untuk perhitungan penyediaan fasilitas sosial dan ekonomi. Dilihat dari struktur umur penduduk, suatu wilayah dapat dikategorikan dalam 3 klasifikasi, yaitu: 1) Penduduk tua (old population), jika penduduk yang berumur antara 0-14 tahun < 30 persen dan penduduk yang berumur +65 tahun > 10 persen; 2) Penduduk muda (young population), jika penduduk yang berumur antara 0-14 tahun > 40persen dan penduduk yang berumur +65 < 5 persen. 3) Penduduk produktif (productive population), jika penduduk yang berumur antara 0-14 tahun berkisar 30 persen sampai 40 persen dan penduduk yang berumur +65 tahun berkisar antara 5 persen sampai 10 persen. Distribusi penduduk berdasarkan kelompok umur di Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada (Tabel 13).
Tabel 13. Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Beban Ketergantungan di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2009 Kelompok Umur (Tahun) 0 - 14 15 – 64 65 + JUMLAH beban ketergantungan
Tahun 2009 39.944 83.104 8.749 131.797 63,05
Sumber : Diolah dari Data BPS Bone Bolango,Tahun 2010
Berdasarkan data penduduk, struktur penduduk Kabupaten Bone Bolango menurut kelompok umur memperlihatkan struktur umur produktif. Pada tahun 2009 jumlah penduduk usia produktif relatif lebih banyak dibanding kelompok usia lainnya. Jumlah penduduk usia produktif pada tahun 2009 mengalami
69 kenaikan sebesar 2.216 jiwa dibanding tahun 2008. Diperkirakan laju pertumbuhan tingkat angkatan kerja akan tumbuh pesat dimana sebagai daerah yang berkembang, tentu lapangan kerja semakin besar dan akan berdampak langsung terhadap kebutuhan jumlah tenaga kerja yang besar pula.
4.1.3. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk menggambarkan tekanan penduduk terhadap luas wilayah. Jumlah penduduk terus bertambah, sedangkan lahan yang ada tetap, mengakibatkan kepadatan semakin bertambah tinggi. Kepadatan penduduk dapat menjadi alat untuk mengukur kualitas dan daya tampung lingkungan. Kepadatan penduduk per kecamatan di kabupate Bone Bolango dapat dilihat pada (Tabel 14).
Tabel 14. Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Tahun 2010 di Kabupaten Bone Bolango No
Kecamatan
Penduduk
Luas (Km 2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Tapa Bulango Utara Bulango Selatan Bulango Timur Bulango Ulu Kabila BotuPingge Tilongkabila Suwawa Suwawa Selatan Suwawa Timur Suwawa Tengah Bone Pantai Kabila Bone Bone Raya Bone Bulawa Jumlah
6,575 6,537 8,775 5,325 3,046 18,795 5,462 15,375 9,881 4,510 5,815 5,201 9,331 9,176 4,979 8,307 4,707 131,787
6,414 176,04 9,87 10,82 78,41 193,45 47,11 79,74 33,51 184,09 489,2 64,7 161,82 143,51 64,12 72,71 111,01 1984,58
Sumber: Kabupaten Bone Bolango Dalam Angka, 2010
Kepadatan Penduduk (Km 2) 102 37 889 492 39 97 116 193 295 24 12 80 58 64 78 114 42 66
70 Kepadatan Kabupaten Bone Bolango mengalami perubahan setiap tahunnya, berdasarkan hasil perhitungan kepadatan penduduk, diketahui laju pertambahan kepadatan penduduk meningkat sekitar 1 jiwa/km2 setiap tahun. Dilihat dari data kepadatan, wilayah yang mengalami tingkat kepadatan paling tinggi adalah Kecamatan Bulango Selatan dengan kepadatan penduduk tahun 2009 sebesar 889 jiwa per km2, dan kecamatan dengan tingkat kepadatan paling rendah berada di Kecamatan Suwawa Timur dengan jumlah kepadatan penduduk pada tahun 2009 sebesar 12 jiwa per km2.
4.1.4 Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan untuk mata pencaharian penduduk yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah di sektor pertanian, dimana jumlah penduduk pada tahun 2009 yang bekerja di sektor ini adalah sebanyak 21.095 jiwa atau sebesar 38,7 persen. Jenis pekerjaann yang tergolong sektor terkecil yang menyerap tenaga kerja adalah penduduk yang bekerja di sektor listrik, gas dan air sebanyak 47 jiwa atau sebesar 0,09 persen dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan dapat di lihat pada (Tabel 15).
Tabel 15. Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2009 di Kabupaten Bone Bolango No
Jenis Pekerjaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pegawai Negeri Pertanian Pertambangan Industri Listrik, Gas & Air Konstruksi Perdagangan Transportasi & Komunikasi Keuangan Jasa Jumlah Total
Jumlah (Jiwa)
Sumber : Diolah dari Data BPS Bone Bolango,Tahun 2010
3.400 21.095 1.619 2.645 47 6.039 5.681 3.680 699 9.644 54.549
Persentase (%) 6,2 38,7 2,9 4,8 0,09 11,1 10,4 6,7 1,3 17,7 100
71 4.1.5
Proyeksi Kependudukan Untuk dapat merencanakan pembangunan di masa yang akan datang,
maka proyeksi jumlah penduduk sangat diperlukan dalam menghitung besaran kebutuhan perencanaan kawasan.Tujuannya adalah untuk menjadi informasi ilmiah bagi para pihak untuk menentukan arah kebijakan pembangunan daerah terutama kaitannya terhadap ketersediaan daya dukung lahan dan kelembagaan masyarakat bila asumsi pertumbuhan penduduk akan mencapai jumlah tertentu. Dalam menentukan arahan pengembangan kawasan perencanaan Kabupaten Bone Bolango, dibuat proyeksi penduduk selama rentang waktu 2011-2031. Adapun tahapan yang dilalui dalam penghitungan proyeksi penduduk adalah dengan menghitung tingkat pertambahan penduduk alamiah (sudah termasuk komponen migrasi neto). Formulasi yang digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan penduduk untuk setiap periode waktu yaitu :
Pt = P o . (1 +r) n Dimana :
Pt
= Jumlah penduduk tahun ke-t
Po
= Jumlah penduduk tahun dasar
n
= kurun waktu
r
= Tingkat pertumbuhan penduduk
diasumsikan bahwa kebijakan percepatan pengembangan perekonomian (melalui penggalian secara intensif potensi-potensi yang dimiliki oleh wilayah perencanaan) serta kebijakan ketenagakerjaan (pemberian berbagai bentuk insentif untuk membuka peluang usaha baru dan sekaligus menyerap tenaga kerja) mempunyai dampak positif kepada pertumbuhan penduduk di wilayah perencanaan. Proyeksi jumlah penduduk ditampilkan pada (Tabel 16).
72 Tabel 16. Proyeksi Jumlah Penduduk Kab. Bone Bolango Tahun 2011–2031 No
kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Tapa Bulango Utara Bulango Selatan Bulango Timur Bulango Ulu Kabila Botupingge Tilongkabila Suwawa Suwawa Selatan Suwawa Timur Suwawa Tengah Bone Pantai Kabila Bone Bone Raya Bone Bulawa Total
2009 6.575 6.537 8.775 5.325 3.046 18.795 5.462 15.375 9.881 4.510 5.815 5.201 9.331 9.176 4.979 8.307 4.707 131.797
Proyeksi Jumlah Penduduk 2011 2016 2021 2026 2031 6.835 7.486 8.137 8.788 9.439 6.796 7.443 8.090 8.737 9.385 9.122 9.991 10.860 11.729 12.597 5.536 6.063 6.590 7.117 7.645 3.167 3.468 3.770 4.071 4.373 19.539 21.400 23.261 25.121 26.982 5.678 6.219 6.760 7.301 7.841 15.984 17.506 19.028 20.550 22.072 10.272 11.251 12.229 13.207 14.185 4.689 5.135 5.582 6.028 6.475 6,045 6.621 7.197 7.772 8.348 5.407 5.922 6.437 6.952 7.467 9.701 10.642 11.548 12.472 13.396 9.539 10.448 11.356 12.265 13.173 5.176 5.669 6.162 6.655 7.148 8.636 9.458 10.281 11.103 11.926 4.893 5.359 5.825 6.291 6.757 137.016 150.064 163.112 176.160 189.208
Sumber : Diolah dari Data BPS Bone Bolango,Tahun 2010
Dari hasil perhitungan proyeksi penduduk menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Bone Bolango dari tahun 2005-2009 hanya sebesar 0,98 persen, sementara untuk tahun rencana yaitu antara tahun 2011-2031 rata-rata pertumbuhannya sebesar 1,98 persen. Salah satu faktor pendorong tingginya proyeksi laju pertumbuhan penduduk di kabupaten ini adalah karena Kabupaten Bone Bolango merupakan daerah pemekaran yang belum lama ini terbentuk dan masih akan terus berkembang dan letaknya yang bersebelahan dengan Kota Gorontalo yang merupakan ibukota Provinsi Gorontalo, sehingga berpotensi untuk menarik migrasi penduduk dari daer ah lainnya (kota Gorontalo).
73 4.2
Sektor Ekonomi Sejak kelembagaan Kabupaten Bone Bolango Tahun 2004 disetujui oleh
Presiden sebagai kabupaten otonomi baru yang ke lima di Provinsi Gorontalo kelembagaan ekonomi terus dibenahi meskipun terkesan terlambat dan mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor demografis dan geografis wilayah yaitu secara demografis masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Bone Bolango telah lama memiliki keterikatan langsung dengan kegiatan ekonomi di Kota Gorontalo (Ibu Kota Provinsi Gorontalo) yang hanya berjarak sekitar 7 km dari Ibu Kota Kabupaten Bone Bolango baik di sektor pengolahan hasil produksi maupun sektor jasa. Aspek geografis yaitu kawasan lindung yang tersebar mulai dari wilayah utara (Kecamatan Bulango Utara) membentang luas sampai kewilayah selatan (Kecamatan Bone Raya, Bone, Bulawa, dan Bone Pantai) yaitu sekitar 2/3 wilayah ini adalah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan hanya 1/3 wilayah atau kawasan budidaya. Oleh karena itu faktor-faktor pertumbuhan ekonomi tersebut sedikit terlambat bila dibandingkan dengan wilayah Kabupaten pemekaran lain di Provinsi Gorontalo seperti Kabupaten Pohuwato yang berada di ujung paling barat dan berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi Tengah bila dibandingkan dengan Kabupaten Bobe Bolango yang berbatasan langsung dengan Sulawesi utara merupakan Provinsi dengan pertumbuhan ekonominya lebih tinggi. Wilayah ini adalah hinterland dari kota Gorontalo sehingga keterkaitan langsung maupun tidak langsung tetap memilki peluang untuk ditumbuhkembangkan seperti sektor properti (pemukiman) dimana wilayah kota Gorontalo semakin terdesak oleh kebutuhan ketresediaan lahan yang notabene lahan-lahan tersebut masih cukup tersedia di Kabupaten Bone Bolango.
4.2.1 Pertumbuhan Ekonomi Aspek utama menjadi pertimbangan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi yaitu pada tingkatan mana klasifikasi pertumbuhan antarsektor tersebut. Artinya makna pertumbuhan ekonomi di suatu daerah yang masih berada pada tingkatan primer akan berbeda dengan daerah yang telah naik peringkatnya pada sektor sekunder, demikian pula daerah yang telah lebih meningkat lagi yaitu pada
74 tingkatan tersier. Kabupaten Bone Bolango masih berada pada tingkatan pertama yaitu primer sehingga hal ini akan memengaruhi pemaknaan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Bone Bolango. Indikator pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan kebutuhan untuk mengetahui sejauh mana peningkatan atau penurunan pertumbuhan ekonomi wilayah secara agregat, sehingga para pihak dapat mengetahui kinerja ekonomi tersebut untuk menjadi rujukan arah kebijakan pengembangan ekonomi ke depan dengan mengamati sektor-sektor manakah yang dapat menjadi penghela perekonomian wilayah. Oleh karena itu kemungkinan-kemungkinan yang menjadi rujukan lain di luar sektor yang menjadi penghela ekonomi bisa saja terjadi karena adanya keterkaitan antar wilayah di suatu daerah. Analisis ekonomi dilakukan untuk mewujudkan ekonomi wilayah yang berkelanjutan melalui keterkaitan ekonomi lokal dalam sistem ekonomi wilayah yang lebih luas. Analisis ekonomi diarahkan untuk menciptakan keterkaitan ekonomi antar kawasan di dalam wilayah kabupaten dan keterkaitan ekonomi antar wilayah kabupaten. Dari analisis ini, diharapkan diperoleh pengetahuan mengenai karakteristik perekonomian wilayah dan ciri-ciri ekonomi kawasan dengan mengidentifikasi basis ekonomi kabupaten, sektor-sektor unggulan, besaran kesempatan kerja, pertumbuhan dan disparitas pertumbuhan ekonomi di wilayah kabupaten. Selain itu penilaian terhadap tingkat pertumbuhan perekonomian juga dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk di wilayah rencana dengan melihat dominasi kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh mayoritas penduduk. Kemampuan sektor basis selalu dipandang sebagai sektor penghela ekonomi akan tetapi sektor basis akan nampak peningkatannya bila terjadi hubungan antarsektor. Dengan mengetahui tingkat pertumbuhan sektor ekonomi di Kabupaten Bone Bolango maka hal ini akan membantu dalam upaya mengenali kekayaan dan potensi yang dimiliki untuk menunjang kemajuan pembangunan secara umum maupun secara sektoral. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah bruto seluruh kegiatan ekonomi di wilayah tertentu pada periode waktu tertentu, tanpa memperhatikan kepemilikan faktor produksi. Dalam penyajian PDRB dapat dibuat dalam dua bentuk, yaitu PDRB atas harga
75 berlaku dan PDRB atas harga konstan. PDRB Kabupaten Bone Bolango berdasarkan harga berlaku dan harga konstan mulai tahun 2005-2009 . Indikator ekonomi melalui analisis PDRB di Kabupaten Bone Bolango bila dilihat seperti pada (Tabel 17), nampak bahwa sektor yang memainkan peran cukup besar yaitu sektor pertanian. Sektor ini sejak tahun 2005-2010 terus mengalami peningkatan yaitu sekitar 4 persen. Peningkatan sektor pertanian disusul sektor industri pengolahan sejak tahun 2005-2010 terus mengalami peningkatan yaitu 3 persen dari rata-rata kenaikan per tahunnya. Sektor perdagangan hotel dan restoran merupakan urutan berikutnya pada periode tahun yang sama terus mengalami peningkatan yaitu sekitar 6 persen. Meskipun dari prosentase sektor perdagangan restoran dan yang lebih tinggi namun dari total masing-masing setiap tahun sektor pertanian yang lebih unggul. Bila dilihat dari urutannya maka sektor yang menempati urutan kedua yang mengalami peningkatan setelah sektor pertanian yaitu sektor jasa-jasa yaitu Rp 146,583. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bone Bolango telah berada pada stadia sekunder. Peningkatan pertumbuhan sektor jasa-jasa belum dapat menempatkan posisi perekonomian daerah ini seperti yang didefinisikan dalam stadia sekunder tersebut. Karena indikator ekonomi dalam perhitungan ini bersifat makro dimana hal-hal yang berkaitan dengan perilaku ekonomi ditingkat rumahtanga perekonomian suatu wilayah belum dapat dikategorikan dalam perhitungan PDRB. Adapun perkembangan PDRB atas dasar harga berlaku dapat dilihat pada (Tabel 17).
76 Tabel 17.
Perkembangan PDRB (Atas Dasar Harga Berlaku) Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2005 –2009 (Juta Rupiah)
No Sektor 1
2005 2006 183.529 221.732
Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan 2 Pertambangan 2.901 3.045 dan Penggalian 3 Industri 68.668 77.794 Pengolahan 4 Listrik, Gas dan 1.853 2.154 Air Bersih 5 Bangunan 25.602 28.594 6 Perdagangan, 60.667 69.026 Hotel dan Restoran 7 Pengangkutan 18.731 20.956 dan Komunikasi 8 Keuangan, 43.361 48.632 Persewaan dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-Jasa 54.275 63.891 PDRB (Atas Dasar 459.585 535.822 Harga Berlaku)
Tahun 2007 2008 2009 253.122 290.984 349.473
3.300 86.176 2.751
3.983
2010 371 620
6.746
5 941
95.055 103.262
113 618
2.773
2.873
2 922
30.283 72.982
34.404 45.958 96.460 111.291
43 767 114 236
26.847
29.427
43.722
36 221
63.285
76.485
82.218
102 779
72.523 87.817 103.719 611.269 717.387 849.263
146 583 937.685
Sumber : BPS Bone Bolango,Tahun 2011
Berdasarkan hasil penghitungan PDRB Kabupaten Bone Bolango (atas dasar harga berlaku) tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari total jumlah PDRB 459,585 juta rupiah di tahun 2005 menjadi 849,263 juta rupiah pada tahun 2009 atau mengalami peningkatan ratarata sebesar 16,6 persen per tahun. PDRB Bone Bolango (atas dasar harga berlaku) masih didominasi oleh sektor pertanian, sektor lain yang turut berperan besar dalam pembentukan PDRB adalah sektor perdagangan, sektor industri pengolahan dan sektor jasa. Sedangkan hasil perhitungan unt uk nilai PDRB Kabupaten Bone Bolango ( atas dasar harga konstan) pada rentang waktu yang sama, rata-rata per tahunnya mengalami kenaikan sebesar 6,09 persen,
77 dimana jumlah PDRB pada tahun 2005 sebesar 208,386 juta rupiah dan pada tahun 2009 PDRB sebesar 264,028. Selanjutnya perkembangan PDRB Kabupaten Bone Bolango atas dasar harga kontan dapat dilihat pada (Tabel 18).
Tabel 18. Perkembangan PDRB (Atas Dasar Harga Konstan) Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2005 – Tahun 2011 (Juta Rupiah) N o 1
Sektor
Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan 2 Pertambangan & Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas & Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel & Restoran 7 Pengangkutan & Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 9 Jasa-Jasa PDRB (Atas Dasar Harga Konstan)
Tahun 2010 2009 85.607 87 262
2005 63.373
2006 68.342
2007 70.801
2008 75.286
2.656
2.736
2.932
3.203
3.364
3 659
31.396
32.205
33.436
34.399
35.589
37 200
870
942
1.016
1.023
1.054
1 045
17.621 23.429
18.393 24.029
19.366 24.341
20.093 25.495
21.020 26.022
22 037 27 859
20.116
21.762
22.103
22.747
23.342
24 345
22.047
23.144
29.608
34.998
37.726
44 017
26.879 208.386
27.843 219.396
28.686 232.300
29.787 247.031
30.305 264.028
33 144 280.568
Sumber : BPS Bone Bolango,Tahun 2011
Tabel 19 mendeskripsikan distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha. Dari sembilan sektor ini terdapat enam sektor yang mengalami penurunan yaitu sektor industri pengolahan 12,82 persen pada tahun 2009 turun menjadi 12,12 persen pada tahun 2010, demikian pula sektor listrik gas dan air bersih pada tahun 2009 0,35 persen turun menjadi 0,31 persen tahun pada 2010. Sektor konstruksi pada tahun 2009 sebesar 4,79 persen turun menjadi 4,67persen pada tahun 2010, demikian pula sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 12,54 persen tahun pada 2009
78 turun menjadi 12,18 persen pada tahun 2010 juga diikuti oleh sektor pengangkutan dan sektor jasa-jasa. Salah satu alasan penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu karena adanya kenaikan harga-harga barang dan jasa-jasa. Karakteristik masyarakat Gorontalo termasuk di Kabupaten Bone Bolango suka mengkonsumsi banyak cabai (rica). Kondisi tersebut terkadang dapat mempengaruhi suplai komoditi cabai karena permintaan terus meningkat sementara produksi cabai (rica) belum memenuhi permintaan, apalagi bila terjadi musim kemarau produksinya cukup menurun dan dapat mempengaruhi inflasi. Distribusi presentasi Produk Domestic Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha dapat dilihat pada (Tabel 19).
Tabel 19. Distribusi Persentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Persen) Di Kabupaten Bone Bolango, 2008-2010 Lapangan Usaha Industrial Origin
No
2008
Tahun Year 2009*
2010**
1
Pertanian
40,44
39,31
39,63
2
Pertambangan dan Penggalian
0,55
0,59
0,63
3
Industri Pengolahan
13,52
12,82
12,12
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
0,39
0,35
0,31
5
Konstruksi
4,78
4,79
4,67
6
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
13,40
12,54
12,18
7
Pengangkutan dan Komunikasi
4,09
3,91
3,86
8
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
10,63
10,73
10,96
9
Jasa-jasa
12,20
14,96
15,63
PDRB
100,00
100,00
100,00
Sumber: BPS Bone Bolango tahun 2011
Distribusi persentase Produk Domestik Bruto atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha terdapat empat sektor yang mengalami peningkatan yaitu sektor pertanian 39,31 persen pada tahun 2009 naik menjadi 39,63 persen tahun pada 2010. Sektor pertambangan dan penggalian sebesar 0,59 persen tahun 2009 naik menjadi 0,63 persen tahun pada 2010, demikian pula sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan 10,73 persen tahun pada 2009 naik menjadi 10,96
79 persen tahun pada 2010. Namun terdapat lima sektor yang mengalami penurunan yaitu sektor industri pengolahan, listrik gas dan air bersih, konstruksi, perdagangan hotel, dan restoran serta pengangkutan dan komunikasi juga sektor jasa-jasa. Distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga kontan 2000 menurut lapangan usaha dapat dilihat pada (Tabel 20).
Tabel 20. Distribusi Prosentase Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha (Persen) Di Kabupaten Bone Bolango, 2008-2010 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tahun
Lapangan Usaha
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
2008
2009*
2010**
40,43 0,55 13,52 0,39 4,78 13,40 4,09 10,63 12,20 100,00
39,31 0,59 12,82 0,35 4,79 12,55 3,91 10,73 14,96 100,00
39,63 0,63 12,12 0,31 4,67 12,18 3,86 10,96 15,63 100,00
Sumber: BPS Bone Bolango tahun 2011
4.2.2
Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Sektor basis dan non basis di suatu wilayah merupakan sektor yang
berpotensi untuk berkembang dan mendukung pertumbuhan serta perkembangan ekonomi wilayah. Sektor basis yaitu sektor utama atau unggulan di wilayah tersebut, sedangkan sektor non basis merupakan sektor penunjang (sektor servis) atau bukan sektor utama. Perkembangan setiap sektor dapat dianalisis menggunakan teknik analisis LQ (Location Quetion), dimana teknik ini merupakan suatu cara untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan tertentu. Pada dasarnya teknik ini menyajikan perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor di daerah yang diselidiki dengan kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas. Sektor yang memiliki nilai LQ > 1 di nyatakan sebagai sektor basis, sedangkan sektor yang memiliki nilai LQ < 1
80 dinyatakan sebagai sektor servis. Nilai LQ sektor ekonomi di Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada (Tabel 21).
Tabel 21. Nilai LQ Sektor-Sektor Ekonomi di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2005 – Tahun 2007 Sektor
1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
2005 2006 2007 Pertanian 0,94 0,89 0,87 a. Tanaman Bahan Makanan 0,71 0,64 0,62 b. Tanaman Perkebunan 0,87 0,93 0,97 c. Peternakan dan hasil-hasilnya 1,30 1,58 1,65 d. Kehutanan 2,08 1,57 1,48 e. Perikanan 1,12 0,80 0,76 Pertambangan & Penggalian 1,16 1,07 0,98 a. Minyak & Gas bumi b. Pertambangan Non Migas 0,40 0,47 0,38 c. Penggalian 1,22 1,11 1,03 Industri Pengolahan 1,82 2,17 2,27 a. Industri Migas 1. Pengilangan Minyak Bumi 2. Gas Alam Cair b. Industri tanpa Migas 1,82 2,17 2,27 1. Makanan, Minuman & Tembakau 1,74 1,95 2,07 2. Tekstil Barang Kulit & Alas Kaki 2,58 2,72 2,86 3. Barang Kayu & Hasil Hutan Lainnya 2,13 3,37 3,39 4. Kertas dan Barang Cetakan 5. Pupuk Kimia dan barang Cetakan 6. Semen dan Barang galian bukan logam 3,04 2,86 2,77 7. Logam dasar besi & baja 8. Alat angkutan mesin dan peralatan 1,61 1,28 1,16 9. Barang lainnya Listrik, Gas & Air Bersih 0,46 0,54 0,54 a. Listrik 0,44 0,51 0,52 b. Gas c. Air Bersih 0,58 0,68 0,64 Bangunan 1,17 1,08 1,08 Perdagangan, Hotel & Restoran 0,82 0,83 0,82 a. Perdagangan Besar & Eceran 0,79 0,80 0,79 b. Hotel c. Restoran 0,99 1,01 1,01 Pengangkutan dan Komunikasi 1,04 1,03 0,93 a. Pengangkutan 1,18 1,26 1,24 1. Angkutan Rel 2. Angkutan Jalan Raya 1,27 1,45 1,50 3. Pengangkutan Laut 4. Angkutan Sungai, Danau & Penyebrangan 5. Angkutan Udara 6. Jasa Penunjang Angkutan 3,10 2,86 3,01 Dilanjutkan pada halaman berikutnya
81 Lanjutan tabel 21 b.
8.
9.
4.3
Komunikasi 1. Pos dan Telekomunikasi 2. Jasa Penunjang Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan a. Bank b. Lembaga Keuangan non Bank c. Lembaga Penunjang Keuangan d. Sewa Bangunan e. Jasa Perusahaan Jasa – Jasa a. Pemerintahan Umum 1. Administrasi Pemerintahan & Pertahanan 2. Jasa Pemerintahan lainnya b. Swasta 1. Sosial Kemasyarakatan 2. Hiburan dan Rekreasi 3. Perorangan dan Rumah Tangga
0,45 0,45 0,40 0,88 0,77 0,58 1,14 1,09 0,43 0,24
0,34 0,34 0,33 0,90 0,82 0,44 1,26 1,08 0,44 0,24
0,26 0,26 0,29 1,07 1,12 0,44 1,28 1,07 0,43 0,23
0,24 1,39 1,13 2,46 1,46
0,24 1,55 1,27 2,85 1,59
0,23 1,66 1,38 3,08 1,67
Struktur Ekonomi Aspek penting lainya yang dapat ditelaah yaitu struktur ekonomi, karena
pertumbuhan ekonomi akan dapat terjabarkan lebih rinci dan jelas pada struktur ekonomi. Untuk itu akan dijabarkan masing-masing struktur ekonomi di Kabupaten Bone Bolango berdasarkan pertumbuhan yang nampak pada Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan.
4.3.1
Sektor Pertanian Sektor pertanian merupakan kontributor terbesar terhadap PDRB
Kabupaten Bone Bolango. Total kontribusi sektor pertanian pada tahun 2009 terhadap nilai PDRB kabupaten adalah sebesar 41,15 persen. Artinya sektor ini menyumbang hampir sebagian dari keseluruhan nilai PDRB Kabupaten Bone Bolango. Semenjak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, persentase kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB ditinjau dari harga berlaku terus mengalami peningkatan rata rata sebesar 17,50 persen per tahun. Pada dasarnya dalam bidang pertanian terdiri atas beberapa subsektor, seperti subsektor tanaman perkebunan, subsektor tanaman makanan, subsektor peternakan dan subsektor perikanan.
82 Besarnya
kontribusi
sektor pertanian terhadap
PDRB
kabupaten
merupakan implikasi dari luasnya lahan pertanian yang dimiliki serta banyaknya tenaga kerja yang bergerak di sektor ini. Secara riil (berdasarkan interpretasi citra), penggunaan lahan di Kabupaten Bone Bolango untuk keperluan lahan pertanian campuran mencapai 46.092,93 hektar atau setara dengan 23.54 persen luas wilayah Kabupaten Bone Bolango dengan angkatan kerja yang bergerak di bidang pertanian sebanyak 21.095 jiwa. Pengembangan sektor pertanian sebagai basis ekonomi kabupaten, diperlukan kebijakan dan investasi yang tepat sasaran. Investasi pada sektor pertanian ditujukan pada beberapa sub sektor yang dianggap memberi andil yang cukup berarti dalam pengembangan perekonomian daerah, antara lain : subsektor tanaman pangan dan hortikultura, subsektor perkebunan, subsektor peternakan, subsektor kelautan dan perikanan, serta subsektor kehutanan. Khusus untuk subsektor tanaman pangan dan hortikultura, investasi diutamakan pada pengadaan dan distribusi bahan-bahan pertanian seperti penyediaan bibit unggul, pupuk dan pestisida guna peningkatan kualitas dan kapasitas hasil pertanian. Sedangkan untuk subsektor perkebunan, program investasi diutamakan pada pengadaan industri pengelolaan hasil-hasil perkebunan, selain itu juga diperlukan Investasi sumberdaya manusia guna penelitian dan pengembangan produktivitas hasil perkebunan. Bagi subsektor perikanan, investasi diutamakan untuk pembangunan fasilitas penangkapan ikan, baik yang digunakan untuk keperluan menjala ikan maupun untuk keperluan pendistribusian hasil-hasil perikanan ke daerah-daerah lain di luar Kabupaten Bone Bolango.
4.3.2 Sektor Pertambangan dan Penggalian Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya mineral di sektor pertambangan dan penggalian belum dapat dirasakan manfaatnya, karena yang melakukan kegiatan pertambangan yaitu pertambangan tanpa izin (PETI). Menurut Undang-Undang Minerba model kegiatan tambang tidak dapat dipungut pajak maupun bentuk retribusi lainnya karena belum menjadi bagian dari sektor yang memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan ekonomi di kabupaten Bone Bolango. Sektor ini memerupakan penyumbang terkecil k e d u a dalam PDRB
83 kabupaten Bone Bolango. Nilai PDRB sektor pertambangan dan barang galian hanya sebesar 6.746 juta rupiah atau hanya sebesar 0,79 persen dari total jumlah nilai PDRB (atas dasar harga berlaku). Walaupun Kabupaten Bone Bolango kaya akan hasil tambang dan sejak dahulu telah ditambang secara tradisional oleh masyarakat, belum adanya Perda tentang setoran pertambangan tradisional ke kas daerah menjadi salah satu penyebab belum maksimalnya perolehan dari sektor pertambangan.
4.3.3
Sektor Perdagangan Menempati urutan kedua penyumbang nilai PDRB terbesar di Kabupaten
Bone Bolango, sektor perdagangan, hotel dan restoran mulai dilirik untuk terus dikembangkan melihat
eksistensi
pertumbuhannya yang semakin pesat.
Berdasarkan data PDRB, sektor Perdagangan, hotel dan restoran mengalami peningkatan cukup signifikan dimana PDRB (Atas Dasar Harga Berlaku) tahun 2005 sebesar 60.667 juta rupiah meningkat menjadi 111.291 juta rupiah pada tahun 2009 atau mengalami kenaikan rata-rata sebesar 16,76 persen pertahun.
4.3.4
Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Sektor
keuangan,
persewaan
dan
jasa
perusahaan
merupakan
penyumbang terbesar ke lima dari total nilai PDRB Kabupaten Bone Bolango. Sektor ini terus mengalami peningkatan tiap tahun sebesar 17,65 persen per tahun. Beberapa faktor yang penggerak sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan adalah antara lain pengeluaran konsumsi masyarakat, pembentukan modal usaha, serta pengeluaran pemerintah yang terus mengalami peningkatan seiring dengan perkembangan kabupaten.
4.3.5
Sektor Jasa Sebagai sektor penggerak nilai PDRB Kabupaten Bone Bolango terbesar
ketiga, sektor jasa-jasa mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu sebesar 54.275 juta rupiah pada tahun 2005 dan meningkat 103.719 juta rupiah pada tahun 2009 atau mengalami rata-rata kenaikan sebesar 17,6 persen per tahun.
84 Peningkatan di sektor ini didorong oleh meningkatnya kebutuhan masyarakat akan jasa.
4.3.6 Sektor Industri Pengolahan Industri yang ada di kabupaten ini hanya terdiri atas industri kecil dan rumah tangga, dimana jumlahnya terus meningkat tiap tahun. Pada Tahun 2005 jumlah perusahaan industri kecil di Kabupaten Bone Bolango tercatat sebanyak 1.146 unit dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 2.361 orang. Pada tahun 2009 jumlah industri kecil dan rumah tangga meningkat menjadi 1.984 unit usaha dengan jumlah tenaga kerja 3.652 orang. Jumlah industri kecil yang tersebar diseluruh Kecamatan di Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada (Tabel 22).
Tabel 22. Jumlah Industri Kecil di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2009 Indikator
No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Tapa Bulango Utara Bulango Selatan *) Bulango Timur *) Bulango Ulu *) Kabila Botupingge Tilongkabila Suwawa Suwawa Selatan *) Suwawa Timur *) Suwawa Tengah *) Bone Pantai Kabila Bone Bone Raya Bone Bulawa *)
Total
Unit Usaha 217 502 257 262 37 203 119 190 73 27 97 -
Tenaga Kerja 285 789 409 575 141 446 339 309 136 49 174 -
1.984
3.652
Investasi 778,150 1,275,516 881,140,684 745,250 276,800 575,000 654,340 293,250 89,150 19,600 89,500 -
Nilai Produk 1,076,775 2,635,640 5,664,262 5,257,565 463,860 2,367,250 2,859,725 1,937,864 1,155,925 301,450 1,171,275 -
Nilai Bahan Baku 643,000 2,159,638 1,356,547 3,609,750 182,875 1,501,000 1,908,650 1,324,025 605,475 202,150 785,725 -
885.937.240 24.891.591 14.278.835
Sumber : Diolah dari Data Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi Usaha Kecil, dan Penanaman Modal Kabupaten Bone Bolango,Tahun 2010 *) Data masih gabung dengan Kecamatan Induk
85 4.3.7
Sektor Listrik dan Air Bersih Khusus Air Bersih diinformasikan bahwa Kabupaten Bone Bolango
memiliki potensi pengelolaan air yang cukup melimpah karena adanya dua sungai besar (Sungai Bone dan Sungai Bolango) yang mengalir dan bermuara ke Kota Gorontalo. Hasil pengamatan sektor ini belum dikelola secara optimal untuk memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah sekaligus agar potensi air bersih memiliki angaran yang dapat memelihara potensi dalam bentuk jasa lingkungan. Pelayanan listrik di Kabupaten Bone Bolango diselenggarakan oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), Wilayah Kerja PT. PLN (Persero) Wilayah VII Cabang Gorontalo dengan sistem interkoneksitas. Pembangkit listrik di wilayah administratif
Kabupaten
Bone
Bolango
ada
3 PLTD,
yaitu:
S.R.Bilunggala, KJG Kabila, PP Tapa. Di sektor pelistrikan jumlah pelanggan listrik yang menggunakan listrik PLN selama tahun 2008 mencapai 12.287. Jumlah pelanggan listrik dapat dilihat pada (Tabel 23).
Tabel 23. Pelanggan Listrik Menurut Unit Kerja Di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2005-2008 No.
Unit
1 2 3
KJG. Kabila PP. Tapa S.R Bilungala Jumlah
2005 6.406 3.062 2.309
2006 6.491 3.079 2.436
Tahun 2007 6.623 3.130 2.502
11.777
12.006
12.255
2008 6.643 3.132 2.512 12.287
Sumber: PT PLN Persero Cabang Gorontalo 2009
Kebutuhan air bersih berdasarkan data dari Perusahaan Air Minum Daerah Kabupaten Bone Bolango Jumlah pelanggan PDAM dari tahun 2008 mengalami penambahan jumlah pelanggan yang signifikan tahun 2009. Data pelanggan PDAM tahun 2008 sejumlah 659 pelanggan dan pada tahun 2009 jumlah pelanggan PDAM sebesar 1.101 pelanggan, artinya mengalami kenaikan sebesar 67,07 persen. Sebagian besar pelanggan PDAM disalurkan pada kategori kelompok III yaitu klasifikasi rumah tangga (selain RSS dan mewah), niaga kecil, instansi
pemerintahan
tingkat
Kabupaten/kodya
dan
Hankam
tingkat
86 Kabupaten/kodya yaitu sebesar 90,64 persen. Jumlah pelanggan air bersih di Kabupaten Bone Bolango mulai Tahun 2008-2009 nampak pada (Tabel 24).
Tabel 24. Banyaknya Pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2008-2009 Tahun 2008 Kecamatan
Tahun 2009
KLP I 32
KLP II 19
KLP III 465
KLP IV 0
KLP V 0
Kabila
0
0
0
0
Tilongkabila Bulawa
0
0
0
0
0
Bone Pantai
2 34
Tapa
Jumlah
23
KLP II 19
KLP III 494
KLP IV 0
KLP V 0
0
4
6
148
0
0
158
0
0
5
32
132
0
0
169
0
0
0
0
0
10
0
0
10
132
0
0
143
3
11
214
0
0
228
597
0
0
659
35
68
998
0
0
1.1 01
Jml
KLP I
516
0
0
0
9 28
Sumber: PDAM Kabupaten Bone Bolango 2010
Catatan : KLP I KLP II
: :
KLP III : KLP IV : KLP V :
Hidran Umum, Kamar mandi/WC umum, Terminal Air, Tempat ibadah Rumah Sangat Sederhana, Panti Asuhan, Yayasan Sosial, RS Pemerintah, Sekolah Negeri, Instansi Pemerintahan dan Hankam tingkat Kelurahan dan Kecamatan. Rumah Tangga (selain RSS & mewah), niaga kecil, industri rumah tangga, Instansi Pemerintahan dan Hankam tingkat Kabupaten/Kodya Rumah mewah, niaga besar dan industri besar Pelanggan Khusus
4.3.8. Keuangan Daerah Analisis mengenai pembiayaan pembangunan daerah dilakukan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan pembangunan terutama yang potensial dan besaran biaya pembangunan baik dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), bantuan dan pinjaman luar negeri, perkiraan sumber-sumber pembiayaan masyarakat, dan sumber-sumber pembiayaan lainnya.
Jml 536
87 Tabel 25.
No 1.1
Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2009-2010 Jenis Pendapatan Daerah
Pendapatan Asli Daerah 1.1.1 Pajak Daerah 1.1.2 Retribusi Daerah 1.1.3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang dipisahkan 1.1.4 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah 1.2 Dana Perimbangan 1.2.1 Dana Bagi Hasil Pajak/bagi Hasil Bukan Pajak 1.2.2 Dana Alokasi Umum 1.2.3 Dana Alokasi Khusus Lain-lain 1.3 Pendapatan Daerah yang sah 1.3.1 Hibah 1.3.2 Dana Darurat 1.3.3 Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan dari Pemerintah Daerah Lainnya 1.3.4 Pendapatan lainnya 1.3.4 Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus 1.3.5 Bantuan Keuangan dari Pemerintah Daerah Lainnya**) JUMLAH PENDAPATAN DAERAH (1.1 + 1.2 +1.3)
Jumlah Realisasi Tahun 2009
%
Realisasi Tahun 2010
11.105.324.881,80
3,49
6.712.335.537,70
1.412.844.731,00 3.246.961.234,00 -
0,44 1,02 0
1.158.032.561,00 4.407.467.502,83 -
0,35 1,34 0
6.445.518.916,80
2,03
1.146.835.473,87
0,34
297.595.066.405 21.834.067.405,00
93,75 6,87
312.170.424.730,00 26.392.828.130,00
94,50
230.411.999.000,00
72,58
251.362.396.600,00
76,10
45.349.000.000,00
14,28
34.415.200.000,00
10,41
8.733.775.121,00
2,75
11.439.942.411,00
4.148.150.371,00
0 0 1,31
3.958.347.936,00
0 0 1,19
4.585.624.750,00 -
1,44 0
4.317.000.000,00
0 1,32
-
0
3.164.594.475,00
0,95
317.434.166.407,80
100
330.322.702.678,70
100
% 2,03
7,99
3,46
Sumber : Dinas Pengelolaan Aset Daerah & Keuangan, Kab.Bone Bolango, 2010 Dari data pada Tabel 25 diketahui bahwa total pendapatan Kabupaten Bone Bolango tahun 2009 meningkat sebesar 5 persen dibanding tahun sebelumnya. Dimana total pendapatan pada tahun 2008 sebesar 317.434.166.407 juta rupiah dan pendapatan pada tahun 2009 sebesar 330.322.702.678 juta rupiah. Besarnya
88 jumlah pendapatan ini didominasi oleh Dana Perimbangan sebesar 94,50 persen dimana komponen penyumbang terbesarnya diperoleh dari dana alokasi umum yaitu sebesar 76,10 persen dari total jumlah pendapatan yang diperoleh.
4.4
Ekologi Wilayah Wwilayah Kabupaten Bone Bolango memiliki kawasan lindung paling luas
di Provinsi Gorontalo yaitu Taman Nasional Bogani Nani Wartabone sehingga didalamnya memiliki daerah aliran sungai yang banyak dan menyebar diseluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Bone Bolango. Diperkirakan terdapat 400 jenis pohon, dengan lebih kurang 24 jenis anggrek, 120 jenis epifit, dan 90 jenis tumbuhan obat yang tumbuh di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Jenis pepohonan khas dan langka antara lain adalah kayu hitam (Dyospiros spp), kayu besi (Intsia spp), kayu matayangan (Pholidocarpus ihur), dan pohon ara pencekik yang menyediakan buah berlimpah bagi banyak satwa. Buah pohon arah adalah makanan utama bagi kera yaki (Macaca nigra) dan julang sulawesi (Rhyticetos cassidix). Selain itu, terdapat beberapa jenis palem seperti palem sarai (caryota mitis), palem landak (Oncosperma horridum), palem tinggi berdaun kipas (Livistona rotundifolia), dan palem liar penghasil gula (Arenga spp). Jenis lainnya adalah kantong semar (Nephenthes sp) dan kayu hitam (Dyospiros celebica). Fauna yang sudah diketahui di kawasan ini terdiri dari 24 jenis mamalia, 11 jenis reptilia, 2 jenis amfibia, 68 jenis aves, 36 jenis kupu-kupu, 200 jenis kumbang, dan 19 jenis ikan. Jenis-jenis mamalia endemik Pulau Sulawesi yang terdapat di kawasan ini adalah babi rusa (Babyrousa babyrousa) yang bertumbuh seperti babi, mempunyai taring panjang yang melengkung ke atas dan tidak makan umbi-umbian, tetapi makan buah-buah yang jatuh; anoa besar (Bubalus depresicornus) dan anoa kecil (Bubalus quar-lesi) sering disebut sebagai kerbau kerdil; musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii) yang sulit sekali ditemui; serta kuskus beruang (Phalanger ursinus) dan kuskus kerdil (Phalanger celebensis), satwa ini adalah mamalia bergantung. Jenis primata endemik adalah monyet yaki (Macaca nigra) dan tarsius atau tangkasi (Tarsius spectrum). Jenis aves yang paling unik adalah burung maleo (Macrosephalon maleo), burung ini tidak mengerami telurnya melainkan memendamnya di di dalam tanah dan
89 dibiarkan menetas sendiri karena panas bumi atau pantai. Sedikitnya ada 125 jenis burung dengan 45 jenis di antaranya adalah endemik. Jenis endemik lainnya adalah julang sulawesi (Rhyticetos cassidix), burung berparuh besar yang memiliki warna bulu hitam, ekor dan paruh kuning, serta berjambul merah. Burung ini termasuk bertubuh paling besar dibandingkan dengan 54 jenis rangkong yang tersebar di daerah tropis Asia dan Afrika (Kajian Base Line Study UNG, ITB, 2006).
4.4.1 Ekologi DAS Kawasan TNBNW merupakan hulu sungai-sungai yang mengalir di wilayah Kabupaten Bolang Mongondouw dan Kabupaten Gorontalo. Kawasan ini merupakan daerah tangkapan air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) OngkagDumoga dan DAS Mongondouw yang keduanya terletak di Kabupaten Gorontalo. Sedikitnya ada 20 sungai yang sumbernya berada di kawasan ini. Terpeliharanya daerah tangkapan air yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone akan menjamin ketersediaan produksi air bagi ketiga bendungan yang ada di sekitar kawasan taman nasional (Bendungan Kasinggolan dan Bendungan Toraut di Kecamatan Dumoga serta bendungan Lolak di Kecamatan Bolaang Uki), sehingga suplai air bagi lahan pertanian, baik di hilir maupun di sekitar taman nasional dengan luas kurang lebih 10.815 hektar, akan tetap tersedia. Bendungan sangat membantu pertanian, sehingga Kecamatan Dumoga merupakan lumbung beras andalan Propinsi Sulawesi Utara. Produksi Domestik Bruto (PBRB) sektor pertanian untuk Kabupaten Bolaang Mongondouw adalah 16 persen dan Kabupaten Gorontalo sebesar 32 persen, menunjukkan betapa pentingnya kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone sebagai sumber air bagi pertanian. Produksi air bersih dari kawasan taman nasional yang dikelola oleh PDAM akan menjamin kebutuhan air minum bagi masyarakat, khususnya di sekitar kawasan dan umumnya yang ada di Sulawesi Utara bagian tengah dan timur. Sungai merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai potensi sosial ekonomi dan ekologi yang sangat potensial untuk dikembangkan. Tetapi
90 tentu saja kondisi dan kompleksitas biofisik setiap daerah aliran sungai berbeda satu dengan yang lainnya, oleh sebab itu maka dalam upaya pengelolaan daerah aliran sungai diperlukan adanya keterpaduan antara kebijakan pembangunan dengan rencana pengelolaan kawasan. Selain itu peran penduduk dan masyarakat yang bermukim di DAS terutama di daerah hulu dan sekitar sungai, sangat diperlukan untuk ikut memelihara dan melestarikan kawasan ini. Daerah Aliran Sungai merupakan gabungan sejumlah sumberdaya darat dan perairan, dalam suatu hubungan interaksi dan interchange yang saling terkait. DAS dapat disebut sebagai suatu sistem dan tiap-tiap sumberdaya penyusunnya menjadi sub-sistem atau anasirnya (component). Anasir-anasir DAS meliputi iklim hayati (bioclimate); relief permukaan daratan; geologi atau sumberdaya mineral, tanah, air (air permukaan dan air tanah), flora, fauna, manusia dan berbagai sumberdaya budaya lainnya. Kabupaten Bone Bolango mempunyai dua Daerah Aliran Sungai Besar, yaitu DAS Bone dan DAS Bolango, kedua DAS ini bermuara pada satu tempat yaitu teluk Tomini. Selain DAS besar, di Kabupaten ini terdapat juga DAS-DAS kecil lainnya yang umumnya terdapat hampir di seluruh wilayah pegunungan di pinggiran kawasan pantai. DAS Bone jauh lebih luas daripada DAS Bolango. Secara bersama-sama, DAS Bolango-Bone mempunyai luas sekitar 1.845.706 km2. DAS Bolango-Bone didominasi (80 persen) oleh wilayah dengan kemiringan lereng lebih dari 40 persen. DAS ini juga rentan terhadap proses degradasi yang cepat jika kawasan hulu dari catchment areanya dikelola secara tidak tepat. DAS ini sangat rentan banjir. Ini terlihat jelas pada seringnya kejadian banjir di Kota Gorontalo. DAS Bolango-Bone (terutama DAS Bolango) memberi kontribusi besar terhadap sedimentasi Danau Limboto yang saat ini lebih banyak berbentuk daratan dari pada perairan, karena sebagian besar dari mangkuk danau telah berubah menjadi daratan. Selanjutnya nama-nama daerah aliran sungai (DAS) di Kabupaten Bone Bolango ditampilkan pada (Tabel 26).
91 Tabel 26. Nama-Nama Sungai Besar dan Kecil Di Kabupaten Bone Bolango Nama Sungai Panjang (Km) Kecamatan yang Dilalui Bone 90,00 Suwawa, Botupingge Bolango 40,00 Tapa, Bulango, Tilongkabila Tamboo 3,50 Kabila Bone Inengo 10,25 Kabila Bone Kiki 5,00 Kabila Bone Molotabu 5,50 Kabila Bone Aladi 5,00 Kabila Bone Bututonuo 7,25 Kabila Bone Oluhuta 3,75 Kabila Bone Olele 4,00 Bone Pantai Tolotio 6,25 Bone Pantai Butalo 11,50 Bone Pantai Bilungala 15,00 Bone Pantai Tongokiki 6,50 Bone Pantai Tongodaa 2,75 Bone Pantai Uabanga 7,75 Bone Pantai, Bone Raya Tombulilato 20,00 Bone Raya Ombulo 3,50 Bone Raya Mamunga Daa 7,00 Bone Raya Mopuya Daa 5,00 Bone Raya Mopuya Kiki 3,50 Bone Raya Tapambudu 3,25 Bone Raya, Bone Monano 9,50 Bone Topidaa 3,50 Bone SogitaDaa 6,50 Bone Sogita Kiki 5,50 Bone Taludaa 18,00 Bone Sumber : Peta Rupabumi Indonesia, 1993 4.4.2
Ekologi Pantai Umumnya fisiografi pesisir pantai di Kabupaten Bone Bolango
didominasi
hamparan
pasir
putih
dan
l a n d s c a p e n ya
tidak
menunjukkan kehidupan ekosistem mangrove. oleh karena itu perlunya perlakuan teknis untuk meredam atau meminimalisir aktivitas eksogen, sehingga sedini mungkin dapat dihindari kerusakan kawasan sempadan pantai. Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung ditetapkan bahwa daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat adalah kawasan sempadan pantai.
92 Kawasan ini mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Tentunya ketentuan ini semata-mata untuk melindungi sumber daya air yang dimiliki oleh setiap daerah di Indonesia.
4.4.3 Ekologi Air Tanah Sumber air tanah di Kabupaten Bone Bolango umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan sehari-hari sebagai sumber air bersih berupa sumur. Sedangkan air sumur bor sampai dengan saat ini terdapat 2 buah sumur bor yang telah dibangun umumnya terdapat di Desa Pauwo dan Desa Moutong Kecamatan Kabila. Sumur bor yang ada saat ini dimanfaatkan untuk mengairi sawah dan ladang dengan kapasitas 25 liter/detik dan 10 liter/detik. Data Sumur Bor di Kabupaten Bone Bolango dapat dilihat pada (Tabel 27).
Tabel 27. Data Pembangunan Sumur Bor di Kabupaten Bone Bolango No Uraian 1. No. /Jenis 2. Lokasi (Desa, Kecamatan) 3. 4.
5. 6.
Tahun Pemboran Koordinat : X Y Z Kedalaman (m) Debit (L/Detik)
I TWG 55 Pauwo Kabila
II TWG 56 Moutong Kabila
511024,000 61938,000 14,000
513964,000 61669,000 17,000
25
10
Sumber : Balai Sungai Wilayah Sulawesi II (2005)
Sumber air baku potensial lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai air bersih penduduk dan kegiatan pertanian disamping Sungai Bone, Sungai Bolango dan beberapa sungai kecil lainnya. Terdapat beberapa tempat/daerah genangan dengan luasan bervariasi, salah satu yang terbesar adalah danau perintis dengan luas genangan ± 4,0 hektar berada di Kecamatan Suwawa. Sumber air danau berasal dari aliran permukaan tanah dan suplai air dari Saluran Sekunder Irigasi Alale menggunakan Pompa Air Tanpa Mesin (PATM). Model pompa air ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pemerintah daerah lain untuk meninjaunya.
93 Data daerah irigasi baik irigasi teknis dan irigasi non teknis dapat dilihat pada (Tabel 28).
Tabel 28. Data Daerah Irigasi (DI) di Kabupaten Bone Bolango Tahun 2005 DI Teknis Data
Uraian
Luas Areal (Ha)
Panjang Saluran (m)
Luas Fungsional Luas Belum Berfungsi Luas Rencana Panjang Saluran Primer Panjang Saluran Sekunder
DI Non Teknis
Alale
Lomaya
Huluduotamo
425
2263
21
125
7
21
140
320
79
75
143
179
565
2583
100
200
150
200
3130
3130
874
1250
1080
195
34467
34467
-
-
-
-
Moutong
Ulanta
Waduk Perintis
Sumber : Balai Sungai Wilayah Sulawesi II (2005) 4.5
Tinjauan Demografi Lokasi Penelitian Tinjauan demografi dalam penelitian ini telah dimulai dengan melakukan
wawancara langsung dengan responden dengan dimulai pada kondisi profil rumah tangga responden dengan tujuan unutk lebih mengetahui keadaan dan jumlah keluarga disetiap rumah tangga.
4.5.1
Profil Rumah Tangga Responden Penelitian ini dimulai dengan mendalami data tentang jumlah kepala
keluarga. Nampak bahwa dari total jumlah 83 responden terdiri dari 15 perempuan atau 18,1 persen dan laki-laki 67 atau 80,7 persen serta yang tidak jelas 1 responden atau 1,2 persen. Kepala keluarga lebih didominasi oleh laki-laki bila dibandingkan dengan kepala keluarga perempuan. Perilaku sosial ekonomi ini dapat diinformasikan bahwa meskipun kondisi alam (medan) penambang tanpa izin serta karakter atau watak penambang cukup keras namun tetap member kesempatan bagi perempuan untuk mengurus rumah tangga keluarga. Hal ini nampak pada (Tabel 29).
94
Tabel 29. Jumlah Kepala Keluarga Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
perempuan
15
18.1
18.3
18.3
laki-laki
67
80.7
81.7
100.0
Total
82
98.8
100.0
1
1.2
83
100.0
Missing System Total
Jumlah kepala keluraga obyek penelitian ini memiliki peran strategis bagi para pihak, karena logika keputusan melembaga yang dibangun dan disepakati oleh responden terutama penambang tanpa izin sangat terkait dengan salah satu aspek yaitu kapasitas pendidikan. Demikian halnya dengan kemampuan responden untuk memahami aturan hukum dan perundang-undangan beserta turunanya terutama berkaitan hokum pertambangan dan bagaimana pelaksanaan praktek penambangan yang baik (Good Mining Practice) sangat dipengaruhi pula oloh kapasitas pendidikan. Bila ditelaah seperti pada Tabel 30 nampak bahwa tingkat pendidikan responden yang paling banyak yaitu pendidikan SLTP dengan jumlah 47 orang atau 56,6 persen dan diikuti oleh pendidikan SD berjumlah 21 atau 25,3persen, sedangkan responden yang tamat pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi yaitu 4 orang atau 4,8 persen serta responden yang tidak sekolah atau tidak berpendidikan yaitu 1 orang atau 1,4 persen. Akan tetapi dalam penelitian ini terdapat 10 atau 12,0 persen responden yang tidak memberikan informasi terkait dengan tingkat pendidikannya, sehingga total responden yaitu 83 orang.
95
Tabel 30. Tingkat Pendidikan
Valid
Tdk sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMAPT Total Missing System Total
Frequency Percent Valid Percent 1 1.2 1.4 21 25.3 28.8 47 56.6 64.4 4 4.8 5.5 73 10 83
88.0 12.0 100.0
Cumulative Percent 1.4 30.1 94.5 100.0
100.0
Meskipun dirasakan sulit untuk mengeksplorasi data secara terstruktur melalui angket yang telah diedarkan, namun usaha tersebut tidak sia-sia. Karena dari total 83 responden yang berhasil diwawancarai terdapat 54 responden (65,1 persen) yang memiliki mata pencaharian penambang tanpa izin dan diikuti oleh petani sebanyak 19 responden atau 22,9 persen serta nelayan sebanyak 4 responden atau 4,8 persen. Namun responden yang tidak menyampaikan tentang pekerjaan utama yang dilakukan yaitu berjumlah 6 responden atau 7,2 persen. Lokasi Penelitian berada di posisir Teluk Tomini yang berada diwilayah administrasi Kabupaten Bone Bolango. Dijumpai sebagian besar masyarakat yang berdomisili di pesisir berprofesi bukan nelayan, terutama masyarakat yang bermukim di wilayah konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals, penduduknya lebih banyak berprofesi sebagai penambang tanpa izin. Demikian pula petani telah banyak yang beralih profesi yang sama bukan karena disebabkan oleh adanya obyek pekerjaan baru yaitu PETI, namun disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah dalam membasmi binatang babi dan hewan lainnya yang memakan tanaman petani seperti jagung, sayur mayur dan tanaman lainnya. “Kitorang ini masih mau bertani, tapi pemerintah tidak memberikan bantuan dan penyuluhan bagaimana membasmi binatang Babi. Seandainya menanam jagung hari ini maka sampai dipanen harus dijaga terus dari Babi (Ujair Nusa/Paci Kuja ,Tokoh Masyarakat dan Petani di Tombulilato)”
96
Tabel 31. Pekerjaan Utama Responden Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
petani
19
22.9
24.7
24.7
4
4.8
5.2
29.9
Penambang
54
65.1
70.1
100.0
Total
77
92.8
100.0
6
7.2
83
100.0
nelayan
Missing System Total
Tabel 32 berikut mendeskripsikan bahwa profesi atau mata pencaharian penduduk yang bermukim di wilayah yang berhimpitan langsung dengan konsesi Kontrak Karya dijumpai memiliki pekerjaan sampingan diantaranya aparat Desa sebanyak 3 responden (3,6 persen), aparat Pemerintah sebanyak 1 responden (1,2 persen), buruh sebanyak 1 responden (1,2 persen), karyawan sebanyak 1 responden (1,2 persen), kontraktror dan pengusaha sejumlah 5 responden (5,8 persen), Lurah 1 responden (1,2 persen) dan pedagang sejumlah 9 responden (10,8 persen), serta penambang 9 responden (10,8 persen). Informasi ini penting karena terkait dengan adanya kelembagaan yang memiliki kekuatan hukum seperti adanya Kepala Desa dan aparat Desa membuktikan bahwa di wilayah ini telah ada Desa-Desa yang definitif secara melembaga.
97
Tabel 32. Pekerjaan Sampingan
Frequency Percent Valid Percent 42 50.6 50.6
Valid Aparat Desa Aparat Pemerintah Buruh Karyawan Kontraktor Lurah Material Nelayan pedagang Pedagang Penambang Pengawas Pengurus KUBE Pengusaha Petani Tukang Wiraswasta Total
Cumulative Percent 50.6
3 1
3.6 1.2
3.6 1.2
54.2 55.4
1 1 1 1 1 1 1 8 9 1 1 1 5 2 3 83
1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 9.6 10.8 1.2 1.2 1.2 6.0 2.4 3.6 100.0
1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 9.6 10.8 1.2 1.2 1.2 6.0 2.4 3.6 100.0
56.6 57.8 59.0 60.2 61.4 62.7 63.9 73.5 84.3 85.5 86.7 88.0 94.0 96.4 100.0
Tabel 33 berikut mendiskripsikana bahwa rata-rata umur responden yaitu 30-39 atau 31,1 persen dan responden yang berumur 30-39 tahun sebanyak 30 orang atau 36,1 persen. Responden yang paling tua berusia 50 tahun sebanyak 18 responden atau 21,7 persen. Dengan demikian bahwa wilayah tumpang tindih antara pemukiman masyarakat dan konsesi kontrak karya penduduknya rata-rata berumur produktif dan kreatif. Umur responden ini mengindikasikan tentang semangat kerja dan semangat utnuk menanggapi isu-isu terkait dengan tumpang tindih kawasan. Hal ini sesuai dengan obyek penelitian yaitu isu-isu terkait dengan pertambang tanpa izin semakin menggema di masyarakat.
98
Tabel 33. Umur Anggota Rumah Tangga Keluarga
Valid
Missing
<=29 30-39 40-49 50+ Total System
Total
Frequency Percent Valid Percent 6 7.2 7.5 30 36.1 37.5 26 31.3 32.5 18 21.7 22.5 80 96.4 100.0 3 3.6
83
Cumulative Percent 7.5 45.0 77.5 100.0
100.0
Data responden yang berkaitan dengan jumlah anggota keluarga yaitu anggota keluarga paling banyak atau diatas 5 orang yaitu 49 responden atau 59,0 persen sedangkan responden yang memiliki anggota keluarga 3-4 orang yaitu 28 responden atau 33,7 persen dan sisanya 4 responden dengan jumlah keluarga 1 sampai 2 orang atau 4,8 persen. Penduduk yang bermukim diwilayah berhimpitan langsung dengan konsesi Kontrak Karya Rata-rata anggota 4,95 dan anggota keluarga paling sedikit yaitu 1 anggota keluarga, jumlah keluarga yang paling banyak yaitu 14. Nampak pada Tabel 34 yang menjelaskan jumlah keluarga disetiap rumah tangga yang bermukim diwilayah tumpang tindih dengan kawasan kontrak karya PT Gorontalo Minerals masih relafif sedikit, hal ini diperkuat juga oleh jumlah penduduk Kabupaten Bone Bolango yang masih relatif sedikit.
Tabel 34. Jumlah Anggota Keluarga Rumah Tangga
Valid
1-2
Frequency Percent Valid Percent 4 4.8 4.9
Cumulative Percent 4.9
3-4
28
33.7
34.6
39.5
5+
49
59.0
60.5
100.0
81 2 83
97.6 2.4 100.0
100.0
Total Missing System Total
Tabel 35 mendeskripsikan dua aspek yaitu anggota keluarga responden yang sedang sekolah yaitu 57,86 persen dan yang tidak sekolah yaitu 42,14 persen. Persentase keluarga responden yang sedang sekolah dan tidak sekolah
99 relatif hampir sama, hal ini dijumpai karena anggota keluarga yang produktif lebih memilih untuk membantu orang tua memenuhi kebutuhan keluarga bila dibandingkan dengan keputusan untuk bersekolah. Alasan lain yang dijumpai karena peluang usia sekolah untuk bekerja menjadi buruh di penambangan tanpa izin cukup terbuka karena menjadi tenaga buruh di PETI tidak terlalu membutuhkan keterampilan dan keahlian tertentu, hanya dengan modal fisik yang cukup kuat untuk mencungkil batu (rep) dalam lubang atau menjadi buruh pengangkat barang ke lokasi PETI (kijang) sudah cukup mendapatkan upah. Kendala lain juga dijumpai bahwa akses pendidikan terutama ke Perguruan Tinggi cukup sulit karena setiap anggota keluarga yang akan melanjutkan kependidikan tinggi harus ke Kota Gorontalo jaraknya sekitar 60 Km.
Tabel 35. Prosentase Anggota Keluarga Rumah Tangga Responden yang Sedang Sekolah Tingkat pendidikan SD SMP SLTA PT
Laki-laki 33.91 21.74 40.00 4.35
Perempuan 38.60 21.93 30.70 8.77
Total 36.24 21.83 35.37 6.55
Tabel 35 mendeskripsikan tentang anggota keluarga yang berpartisipasi kesokolah. Perempuan bersekolah lebih banyak bila dibandingkan dengan partisipasi laki-laki bersekolah, kecuali partisipasi sekolah di tingkat SLTA. Nampak pada Tabel 35 mendeskripsikan bahwa partisipasi perempuan bersekolah di SD yaitu 38,60 persen, sedangkan laki-laki 33,91 persen, demikian pula ditingkat SLTP nampak perempuan yang lebih banyak yaitu 21,93 persen sedangkan laki-laki 21,74 persen, berbeda dengan partisipasi bersekolah di tingkat SLTA dimana laki-laki lebih banyak yaitu 40.00 persen sedangkan perempuan 30.70 persen. Akan tetapi di tingkat Perguruan Tinggi, siswa perempuan lebih banyak yaitu 8.77 persen sedangkan laki-laki hanya 4.33 persen. Kesempatan untuk melanjutkan keperguruan tinggi lebih dimanfaatkan oleh perempuan meskipun akses untuk melanjutkan studi keperguruan tinggi cukup jauh dan bahkan memilih untuk tinggal sementara (asrama/sewa kamar) di Kota Gorontalo.
100 Anggota keluarga umur produktif umumnya dijumpai baik pada laki-laki maupun perempuan. Jenis pekerjaan yang dimiliki terdiri dari tiga jenis pekerjaan utama yaitu laki-laki umur produktif sedang bekerja sebanyak 69,93 persen dan perempuan umur produktif yang sedang bekerja yaitu 10,46 persen. Selanjutnya laki-laki umur produktif yang sedang sekolah yaitu 26,14 persen dan perempuan umur produktif yang sedang sekolah yaitu 35,29 persen. Sedangkan laki-laki umur produktif mengurus rumah tangga yaitu 3.92 persen serta perempuan umur produktif mengurus rumah tangga yaitu 54,25 persen. Nampak bahwa perempuan yang berumur produktif lebih banyak memiliki pekerjaan bila dibanding dengan laki-laki yang berumur produktif, meskipun lakilaki memegang peran penting dalam pekerjaan namun perempuan selain mengurus rumah tangga juga bersekolah. Hal lain dijumpai juga laki-laki umur produktif yang mengurus rumah tangga karena dijumpai di lokasi penambang tanpa izin seperti di pegunungan Waluhu terdapat beberapa perempuan yang ikut bekerja sebagai buruh dan menjual makanan serta pedagang asongan, hasil wawancara dengan seorang ibu yaitu: “Saya pe jualan makanan deng rokok capat habis disini, kalau cuaca bagus saya dua kali balik bawa makan deng minuman kesini, soalnya disini harga makanan mahal jadi depe untung lumayan juga cukup untuk biaya anak-anak pigi disekolah.(Bu Nou)” Tabel 36. Jumlah Anggota Keluarga Umur Produktif
Bekerja Sekolah URT Lainnya
Laki-laki Perempuan Total 69.93 10.46 40.20 26.14 35.29 30.72 3.92 54.25 29.08
V. ANALIS SPASIAL DAN LAND TENURE
Komponen analisis spasial akan diawali dengan analisis land tenure yang bertujuan untuk menelusuri klaim lahan dari para aktor yang kurang jelas pada aspek historis, yuridis, ekologis dan sosial ekonomi serta legalitas dari arah kebijakan perubahan status kawasan di wilayah tumpang tindih, memiliki interpretasi berbeda dari parapihak (Suyanto et al, 2010). Adapun tujuan lain adalah memberikan pengayaan terhadap output spasial. Disisi lain dukungan data atribut ini adalah bagian dari komponen penting untuk menyusun suata sistem informasi yang berbasis geografis berupa narasi tentang tinjauan sejarah dari eksisting lahan tumpang tindih, sehingga menjadi obyek penelitian dalam Disertasi ini, sekaligus untuk memperkuat argumentasi ilmiah terhadap model data spasial yang telah diolah. Teknologi dengan berbasis sistem informasi geografis telah menjadi sarana penting dalam membangun alat bantu yang standar dan digunakan dalam rangka proses pengambilan keputusan dalam pembuatan arah kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam. Hanya saja ketersediaan sarana belum terasa cukup bila tidak ada komitmen yang terus menerus dan berwawasan masa depan untuk mencapai sebuah sistem kelembagaan pemerintahan yang baik (good governance) dengan diiringi peningkatan kapasitas institusional yang kuat, kapasitas teknis yang memadai, serta pandangan yang baik terhadap pilihanpilihan dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan adalah prasyarat mutlak yang harus dipenuhi. Adapun komponen data naratif tersebut yaitu:
5.1. Analisis Land Tenure Adapun aspek-aspek yang dikaji dalam model deskriptif antara lain: 5.1.1 Aspek Yuridis Isu-Isu yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah di Kabupaten Bone Bolango sangat erat kaitannyan dengan perubahan sebagian Taman Nasional (TN) menjadi HPT dan dapat menimbulkan preseden bagi TN yang lain serta dikawatirkan dapat berkembang menjadi isu internasional, dapat dijelaskan bahwa dalam kawasan
102
konsesi kontrak karya saat ini telah diturunkan statusnya dari hutan produksi terbatas (HPT) dan sebelumnya status kwasan ini yaitu bagian dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) terdapat lahan tumpang tindih dengan kontrak karya PT. Tropic Endeavour Indonesia seluas 14,000 hektar. PT. Tropic Endeavour Indonesia memperoleh kontrak karya pertambangan pada tahun 1971 (sekarang beralih kepada PT. Gorontalo Minerals). Pada 1974 Kennecott mulai bermitra dengan Endeavour Res, Penyelidikan Lanjut dan pengeboran awal di Tapadaa dan Cabang Kiri. Pada saat yang sama pemerintah meningkatkan status beberapa kawasan di daerah tersebut menjadi kawasan lindung yaitu: (1)
Suaka Margasatwa (SM) Dumoga seluas 93,500 hektar yang ditetapkan berdasarkan SK Mentan No. 476/Kpts/UM/8/1979,
(2)
Cagar Alam (CA) Bulawa seluas 75,200
hektar yang ditetapkan
berdasarkan SK Mentan No. 764/Kpts/UM/12/1979, dan (3)
SM Bone seluas 110,000 hektar yang ditetapkan berdasarkan SK Mentan No. 438/Kpts/UM/6/1980. Meskipun kawasan ini telah ditetapkan menjadi suaka margasatwa namun
kegiatan penelitian eksplorasi oleh perusahaan pemegang konsesi tetap berjalan, terbukti pada tahun 1980 Utah Int. (Divisi Pertambangan dari General Electric ) mengambil alih saham Endeavour Res di PT Tropic Endeavour Indonesia (TEI), dan melakukan kegiatan pengeboran untuk menentukan sumberdaya di Cabang Kiri East dan Sungai Mak dan pengeboran awal di Cabang Kanan dan Kayubulan. Pada saat yang sama pada tahun 1982 pemerintah melalui Departemen Pertanian menetapkan Calon Taman Nasional Dumoga-Bone. Pada tahun 1983 PT BHP mengambil alih saham Utah Int. dari General Electric, dan melakukan Evaluasi Potensi Au/Emas di Motomboto, termasuk pengeboran awal di Main and East Motomboto, kemudian pada tahun 1986 Pengakhiran KK Gen II, TEI dan Permohonon (KP) Konsesi Pertambangan oleh PT. Aneka Tambang ( ANTAM ) dan pada tahun 1988 pemerintah memberikan izin KP Penyelidikan Umum / PU ke PT Aneka Tambang (ANTAM) dan bermitra dengan BHP untuk melakukan percontohan geokimia di daerah Pantai Selatan dan pengeboran di West Motomboto dan Tulabolo.
103
Pada tahun 1991 Peningkatan ke KP Eksplorasi, namun disaat yang sama semua kegiatan perusahaan diberhentikan karena kawasan tersebut telah ditetapkan menjadi taman nasional berdasarkan SK Mentan No. 731/Kpts-II/1991. Ketiga kawasan di atas ditetapkan sebagai Taman Nasional Dumoga Bone dengan luas 287,115 hektar. Pada tahun 1992 TN Dumoga Bone berubah nama menjadi TN Bogani Nani Wartabone berdasarkan SK Menhut No. 1127/Kpts-II/1992. Perubahan status telah memberikan ruang pemanfaatan bagi penambang tanpa izin (PETI) memulai kegiatannya. Awal mulanya adalah karena ada informasi potensi cadangan emas dari beberapa mantan pegawai perusahaan pertambangan yang dilibatkan dalam kegiatan penelitian eksplorasi terutama di daerah Mohutango dan daerah Motomboto. Selanjutnya pada tahun 1992 BHP Copper mengambil alih pembiayaan evaluasi endapan cu/tembaga dan berusaha mendapatkan izin memasuki kawasn hutan. Pada tahun 1996 perusahaan ini telah melakukan survei geofisika dari udara dan pengeboran di Gunung Lintah dengan izin secara terbatas untuk eksplorasi dikeluarkan oleh Pemerintah. Pada tahun 1998 penandatanganan kontrak karya antara Pemerintah Indonesia dengan perusahaan pertambangan yang dikenal kontrak karya (KK) generasi VII ke PT. Gorontalo Minerals dengan posisi kepemilikan saham yaitu PT Gorontalo Minerals 80 persen, kemudian PT BHP dan PT Aneka Tambang 20 persen. Pada tahun 1999, PT Normandy mulai bermitra dengan PT BHP untuk melakukan kegiatan penyelidikan lanjutan di daerah Mamungaa, Pantai Selatan dan saat ini yang melakukan kegiatan di daerah ini yaitu penambang tanpa izin (PETI). Pada tahun 2002 PT Newmont mengambil alih saham PT Normandy dengan melakukan kegiatan evaluasi di kantor perusahaan di jalan Sawah Besar Kecamatan Kabila Kabupaten Gorontalo dan kunjungan singkat ke lapangan , namun pada tahun 2003 PT Newmont menyampaikan surat mundur kepada pemerintah dan mulai bermitra dengan PT BHP di PT. Gorontalo Minerals di wilayah konsesi kontrak karya tersebut. Setelah melalui proses kepemilikan konsesi kontrak karya yang panjang, maka pada tahun 2005 telah dilakukan pengambil alihan saham PT BHP di PT.Gorontalo Minerals oleh PT International Minerals Corp (IMC) yang dimiliki PT.Bumi Resources Tbk dan pada tahun 2006 PT Gorontalo Minerals memulai
104
kegiatan penelitian eksplorasi lanjut di daerah Kaidundu, Pantai Selatan di luar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang masih menjadi bagian dari wilayah konsesi kontrak karya. Wilayah konsesi semakin ramai dengan kegiatan penambang tanpa izin sekitar 2.000 sampai 6.000 orang melakukan aktivitas PETI dalam kawasan TNBNW. Faktanya tidak dapat dikontrol oleh Balai TNBNW, Dinas Kehutanan dan Pemda setempat. Berbagai tindakan operasi penertiban dan penegakan hukum telah dilakukan oleh TNBNW dan pemerintah setempat, namun pengaruhnya hanya sesaat dan tidak mampu menghentikan kegiatan PETI dan bahkan mulai muncul isu-isu klaim kepemilikan lahan oleh pemilik lubang PETI dan Tromol. Pembiaran terhadap situasi di atas (status quo) tanpa ada terobosan solusi, akan mengakibatkan kondisi lingkungan semakin buruk, karena kegiatan PETI tidak menggunakan teknologi yang ramah lingkungan, bersifat ekspansif dan mengancam kemantapan kawasan taman nasional lainnya yang masih utuh. Kawasan tumpang tindih dengan kontrak karya pertambangan telah mengalami kerusakan berat akibat kegiatan PETI yang berlarut-larut sejak tahun 1978, tanpa dapat dikontrol/dikendalikan, baik oleh pihak TNBNW maupun Pemerintah Daerah. Berbagai kajian telah dilakukan untuk memetakan persoalan konflik PETI, dampak biofisik dan sosial ekonomi budaya serta resolusinya agar dapat diperoleh optimalisasi pengelolaan sumberdaya alam dan kaitannya dengan pemantapan kawasan TNBNW. Penelitian dilakukan pada periode tahun 2007 sampai 2008 oleh Universitas Negeri Gorontalo (UNG) dengan didukung oleh para pakar dari UNHAS, ITB, IPB, UNPAD dan UI. Oleh karena itu, daerah mengusulkan perubahan fungsi kawasan tumpang tindih tersebut dari Taman Nasional/Hutan Konservasi menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT) atau Hutan Produksi Tetap (HP), dan berdasarkan hasil kajian Timdu direkomendasikan seluas + 14.000 hektar tersebut menjadi HPT. Perubahan tersebut untuk tujuan mengatasi konflik tata ruang dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dengan mempertimbangkan aspek biofisik/ ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, serta hukum dan kelembagaan. Tahun 2010 kawasan ini diturunkan statusnya dari TN menjadi HPT berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 324 dan No 325.
105
Setelah adanya penurunan status kawasan, maka PT Gorontalo Minerals yang menjadi pemilik kuasa pertambangan kontrak karya pada tahun 2011, mengajukan perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Pemerintah daerah dan diusulkan kepada Kementerian Kehutanan karena wilayah ini masih berstatus hutan produksi terbatas. Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.456/Menhut-II/2011 sampai 2013 izin pinjam pakai di peroleh. Selanjutnya PT Gorontalo Minerals mengajukan surat izin perpanjangan penelitian eksplorasi kepada pemerintah derah dan diusulkan kepada Kementerian Energi dan Sumberdaya Minerals. Akhirnya pada tahun 2011 keluarlah surat keputusan perpanjangan tahap ke tiga berdasarkan Studi Kelayakan SK Menteri ESDM No.1279.K/30/DJB/2011 sampai 2012.
5.1.2
Aspek Biofisik/Ekologi Terdapat beberapa alasan ilmiah yang mendasari perubahan fungsi
kawasan tersebut, antara lain perubahan fungsi kawasan tidak memberikan pengaruh ekologi yang signifikan terhadap keseluruhan ekosistem kawasan TNBNW (287,115 hektar). Bagian kawasan TNBNW yang dirubah fungsinya tidak menyebabkan fungsi TNBNW secara keseluruhan menjadi terganggu atau tidak menyebabkan hilangnya keanekaragaman jenis tertentu (khususnya flora dan fauna khas Sulawesi). Bagian kawasan TNBNW yang dirubah fungsinya bukan merupakan suatu tipe ekosistem yang khas (tersendiri di antara beberapa tipe ekosistem di TNBNW). Perubahan fungsi tidak menyebabkan hilangnya tipe ekosistem tertentu dari TNBNW. Bagian kawasan TNBNW yang diusulkan perubahannya menjadi HPT atau HP merupakan bagian kawasan yang telah kondisi biofisiknya mengalami kerusakan, akibat kegiatan PETI yang tidak dapat terkontrol dan cenderung ekspansif/meluas. Pada aspek yuridis bahwa perubahan fungsi KSA/KPA menjadi HPT atau HP mengikuti kriteria penetapan fungsi hutan sesuai SK Mentan 837/1980 dan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004, yakni skor kawasan antara 125 – 175. Kawasan yang diusulkan perubahannya dari TN menjadi HPT dan HP adalah merupakan bagian kawasan DAS Bone yang telah tercemar airnya akibat limbah merkuri kegiatan PETI. Hasil Penelitian UNG yang didukung oleh tenaga ahli dari
106
ITB tahun 2008 sampai 2009 menunjukkan bahwa tingkat pencemaran Fe (besi), Cu (tembaga), Hg (merkuri) di Sungai Mamunggaa dan Mopuya telah melewati baku mutu kualitas air. Pencemaran Hg dipastikan berasal dari aktivitas PETI. Aspek hidrologi menyatakan bahwa perubahan fungsi sebagian kawasan TN menjadi HPT dan HP tidak akan merubah fungsi hidrologi DAS tersebut. Kemudian dari aspek zonasi kawasan memilki pertimbangan ilmiah juga yaitu bagian kawasan yang dirubah fungsinya tidak merupakan bagian kawasan zona inti dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).
5.1.3 Aspek Ekonomi, Sosial dan Budaya Kawasan yang diusulkan perubahannya dari TN menjadi HPT atau HP merupakan kawasan yang menjadi daerah bagi ± 2.000 sampai 6.000 orang (tergantung musim) penambang tanpa ijin (PETI). Pada saat ini dan faktanya tidak dapat dikontrol oleh Balai TNBNW, Dinas Kehutanan dan Pemda setempat. Oleh karena itu perubahan fungsi kawasan merupakan bagian integral dari upaya mengatasi konflik penggunaan kawasan hutan oleh PETI yang berlangsung berlarut-larut sejak 1978. Hal ini memungkinkan diterapkan pemanfaatan pertambangan yang ramah lingkungan (pembukaan minimal, tanpa merkuri) untuk kesejahteraan masyarakat. Selain itu berpeluang untuk dikembangkannya model kelembagaan sebagai solusi alternatif penghidupan masyarakat eks PETI yang lebih baik agar disaat kegiatan pertambangan tanpa izin ini berhenti tapi eks pemilik dan buruh penambang tanpa izin telah memiliki wadah atau organisasi. Tujuannya yaitu mereka dinaungi dalam menjalankan aktivitas lainya terutama yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas mereka yang masih mudah untuk disalurkan menjadi bagian dari tenaga kerja di PT Gorontalo Minerals. Hal yang penting juga bahwa perubahan fungsi TN menjadi HPT sekaligus menjadi bagian dari akses jalan menuju Desa Pinogu (enclave) dimana terdapat 1.000 KK yang bermukim di wilayah tersebut dan berada di tengah zona inti Taman Nasional BNW.
107
5.1.4 Aspek Hukum dan Kelembagaan Perubahan fungsi kawasan hutan dijamin oleh Pasal 19 Undang Undang No. 41 tahun 1999, dan merupakan bagian dari cara mengatasi permasalahan PETI di TNBNW dan dampak ikutannya, seperti kerusakan ekosistem hutan dan pencemaran lingkungan. Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian kawasan TNBNW untuk mengatasi fenomena riil (de facto) ”kekosongan kelembagaan” melalui penataan hak atas kawasan dan sumberdaya alam yang jelas. Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian kawasan TNBNW memungkinkan secara legal dilakukannya pemanfaatan sumberdaya alam tambang yang ramah lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat. Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian kawasan TNBNW memungkinkan akses dan intervensi pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan hutan, serta mengatasi problem PETI yang selama ini bersifat ekspansif, tidak terkontrol dan berlarut-larut, baik secara sosial maupun lingkungan (pencemaran). Perubahan fungsi TN menjadi HPT sebagian kawasan TNBNW memungkinkan dilakukannya pengelolaan kolaboratif untuk meningkatkan kemantapan kawasan dan optimalisasi pengelolaan TNBNW yang dipertahankan. Sehingga kawasan yang diusulkan perubahannya dari TN menjadi HPT adalah merupakan bagian dari kontrak karya PT. Tropic Endeavour Indonesia yang diperoleh pada 1971 (sekarang beralih kepada PT Gorontalo Minerals) sebelum Penunjukan dan Penetapan sebagai SM Dumoga (1979), CA Bulawa (1979) dan SM Bone (1980), serta Taman Nasional tahun 1991 dan 1992.
5.2
Analisis Spasial Model analisis spasial pada penelitian ini yaitu spasial sederhana,
bertujuan menunjukkan bahwa telah terjadi penguasaan dan pemanfaatan ruang pada wilayah tumpang tindih Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals. Terdapat tiga tumpang tindih utama yang diidentifikasi yaitu: Lahan kontrak Karya tumpang tindih dengan penambang tanpa izin, lahan kontrak karya tumpang tindih dengan pertanian dan lahan kontrak karya tumpang tindih dengan pemukiman masyarakat. Analisis ini akan diawali dengan melakukan identifikasi kemudian
108
dilanjutkan dengan analisis inventarisasi. Kedua aspek ini akan digambarkan dan dideskripsikan.
5.2.1. Analisis Identifikasi Untuk mempertajam informasi ruang yang mengalami tumpang tindih ini melalui hasil proses peta identifikasi secara sederhana, telah dilakukan langkah pengamatan langsung di lapangan yang berpedoman pada hasil identifikasi awal dengan dibantu dengan alat (GPS) untuk memastikan atau melakukan koreksi ulang terhadap lahan –lahan memiliki hubungan langsung dengan tumpang tindih kawasan Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals. Penguatan terhadap pengamatan langsung ini, telah dilakukan pengamatan dengan model dokumentasi terhadap lahan-lahan yang telah mengalami perubahan peruntukan. Alasan pada aspek yang ke tiga terkait dengan permukiman karena didalamnya sudah termasuk lahanlahan yang digunakan untuk sarana dan prasarana pemerintah seperti fasilitas umum dan khusus. Adanya lahan terbuka dan tidak dimanfaatkan lagi karena pemanfaatan lahan-lahan tersebut dilakukan secara berpindah-pindah termasuk pemukimanpemukiman yang mereka bangun secara tidak permanen. Kecuali pada wilayah yang telah memiliki fasilitas umum dan fasilitas khusus, dimana lahan-lahan tersebut lebih berada pada lahan yang memiliki dataran yang cukup luas dan lebih banyak pemukiman tersebut berada di pinggir pantai serta dekat dengan muara sungai yang dimanfaatkan masyarakat sebagai air baku. Kebiasaan masyarakat untuk melakukan peladangan berpindah telah terjadi secara turun temurun (heriditery) dan berdampak pada semakin luas lahanlahan yang tidak berhutan yang hanya ditumbuhi oleh padang safana dan perdu serta tanaman lain yang tidak begitu membutuhkan cadangan air. Di sisi lain wilayah ini terasa sangat panas dan menyengat karena kurangnya tanaman atau pohon yang rindang. Hasil citra lokasi ini dapat dilihat pada (Tabel 19).
109
Gambar 19. Peta Citra Satelit Spot 4 Lokasi Penelitian di Kabupaten Bone Bolango.
Dalam analisis ini salah satu data yang diperlukan adalah data pengambilan sampel titik koordinat, dengan dukungan alat global positioning system (GPS) yang digunakan untuk menetukan lokasi di permukaan secara tepat dengan cara mengukur jarak dan waktu tempuh sinyal. Di sisi lain alat ini digunakan untuk mempermudah observasi dilapangan dan menetukan titik-titik sampel terutama di lokasi yang merepresentasikan obyek spasial yang tidak memiliki dimensi panjang dan/atau luas.
110
Tabel 37. Sampel Penelitian dan Titik Koordinat Lokasi 1, 2 dan 3 Kecamatan Bulawa , Bone Raya dan Kab.Bone Bolango. No 1 2 3
4 5
6
1
2
3
4
1
Lokasi 1 Gunung Mantulangi 1 Gunung Mantulangi 1 Pegunungan Mantulangi 1
Titik Koordinat 00*19’42.2 LU 123*17’15.1 BT 00*19’59,5 LU 123*17’26,5 BT 00*20’37,8 LU 123*18’03,9 BT
Gunung Mantulangi 2 Gunung Mantulangi 2
00*20’39,6 LU 123*18’06,7 BT 00*20’42,4 LU 123*18’11,1 BT
Mamungaa Timur
00*19’31,2 LU 123*18’01.4 BT
Lokasi 2
Pegunungan Waluhu 00* 20’12,3 LU 123*20’42,3 Bt
Desa Alo Pegunungan Waluhu 1 Desa Alo Tanjakan Penyesalan Desa Alo Pegunungan waluhu Pegunungan Waluhu 2 Lokasi 3 Cabang Kiri
Temuan kasus Tanaman masyarakat : Lamtoro Perkebunan Campuran : Pohon Kelapa,Mangga, Nangka dan Kemiri Pertambangan Tanpa Izin dan Perkebunan Campuran: Cengkeh, Kakao, Kelapa dan Kemiri Perkebunan Cengkeh, Penambangn Tanpa Izin dan Pemukiman serta ternak ayam Konsentrasi Penambangan Tanpa Izin dan pengolahan limbahnya serta perkebunan Cengkeh dan Pemukiman Perambahan Hutan, Penambang Tanpa Izin, Pengolahan produksi dan Limbah yg di alirkan kesungai Mamungaa. Temuan Kasus Perkebunan Cingkeh
00*20’18 Lu 123*20’50,8 Bt
Perkebunan Cingkeh dan Jambu Mente
00*20’35,4 Lu 123*21’34,8 Bt
Pertambangan Tanpa Izin
00*20’55,0 Lu 123*21,33,8 Bt Cabanga Kiri 00*23’42,6 LU 123*19’50,6 BT
Pertambangan Tanpa Izin Temuan Kasus Gedung Came sheed Gedung Mess Karyawan Dining Room Meeting Room Heli Pat Toilet and Shower
Tabel 37 menunjukan hasil pengamatan di lokasi penelitian, dimana terdapat beberapa jenis pemanfaatan lahan oleh masyarakat dan nampak bahwa pemanfaatan lahan ini telah berlangsung lama. Hal ini dapat dibuktikan melalui jenis tanaman perkebunanan masyarakat seperti pohon kelapa, cengkeh, mangga, kemiri dan pohon-pohon lainnya yang memiliki nilai ekonomi seperti di sekitar Pegunungan Waluhu Desa Alo Kecamatan Bone Raya.
111
Lokasi Pegunungan Waluhu dapat ditempuh empat jam dari permukiman masyarakat dengan empat kali melakukan penyeberangan sungai dan melewati perkebunan masyarakat sampai pada tanjakan yang dikenal oleh penambang tanpa izin yaitu Tanjakan Penyesalan karena tanjakan ini cukup terjal bila dibanding dengan tanjakan yang lain seperti Pegunungan Mantulangi di wilayah posisir Bone pantai. Di lokasi ini terdapat 4323 orang yang memilki aktifitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI) meskipun sifat dari kegiatan pertambangan ini bersifat pertambangan berpindah-pindah (tergantung isu dimana wilayah yang memiliki prospek dan penghasilan tambang yang banyak namun di wilayah telah kelembagaan yang sederhana dan telah berlangsung sekitar 1 tahun . Disini sebanyak yang tadumpul, ada yang dapa 1 Kg 1 minggu, makanya ada banyak orang datang kamari disini, makanya kitorang buat kartu anggota padorang dan setiap orang bayar Rp 10.000 untuk menjadi anggota. (Gusti Mogulaingo) Demikian pula di sekitar pegunungan Mantulangi terdapat perkebunan masyarakat dimana jenis tanamannya memiliki kemiripan dengan jenis tanaman di pegunungan Waluhu. Namun lokasi ini hanya dapat ditempuh sekitar tiga jam dari premukiman penduduk yang berada diantara Desa Mopuya dan Desa Mamungaa. Keunikan dari sampel lokasi ini yaitu terdapat pemukiman semi permanen di lokasi penambang tanpa izin juga terdapat hamparan kebun cengkeh yang umurnya sekitar 15-20 tahun. Terdapat juga tanaman jagung dan hewan ternak peliharaan seperti Ayam dan anjing. Pertambangan Tanpa Izin di lokasi ini telah menggunakan mesin yang cukup modern seperti mesin penarik Tromol dan Derek pemecah batu yang dianggap memiliki potensi emas. Terdapat pula kegiatan penelitian eksplorasi yang dilakukan oleh pemegang Konsesi Kontrak karya yaitu PT Gorontalo Minerals yang telah memperoleh izin pinjam pakai kawasan hutan dari kementerian Kehutanan RI karena status kawasan ini masih bagian dari kawasan hutan yaitu Hutan produksi Terbatas (HPT). Lokasi Eksplorasi ini terletak di Cabang Kiri dan berada di wilayah administrasi Desa Tombulilato Kecamatan Bone Raya sekitar 15 Menit dengan Pesawat Helikopter dari staging di Desa Tulabolo Kecamatan Suwawa Timur.
112
Di Cabang Kiri terdapat lebih dari 120 orang karyawan perusahaan PT Gorontalo Minerals dengan menggunakan 2 alat mesin bor (dreeling) yang sedang digunakan untuk melakukan penelitian dalam memastikan potensi pertambangan. Di lokasi ini juga terdapat 1 unit Cam Sheed, 4 unit Mess Karyawan, 2 unit Dining Room, 1 unit Meeting Room, 1 hal Heli Pad dan 5 unit Toilet/WC yang dibangun diatas lahan sekitar 10.000 m2. Di sekitar lahan eksplorasi ini tidak terdapat kegiatan penambang tanpa izin (PETI) serta kegiatan masyarakat lannya seperti pertanian dan perkebunan. Lokasi pengamatan lanjutan dapat dilihat pada (Tabel 38).
Tabel 38. Lokasi Sampel Pengamatan Lanjutan di Kecamatan Suwawa Timur dan Enclove Pinogu Kabupaten Bone Bolango Id 0 PETI MD 15 PETI MD 01 1 2 3 4
Global Long o 0 30'30.8''
Lat o 123 26'12.2"
UTM E 548593.91
N 56210.94
0o27'03.1''
123o19'34.1"
536289.00
49836.00 Kayu bulan
0o26'42.5'' 0o26'19'' 0o23'41.3'' 0o18'33'' 0o22'59.3''
123o20'03.5" 123o21'4.8" 123o19'49.4" 123o21'3.4" 123o12'42.7"
537199.00 539092.66 526764.32 539052.09 523574.36
49203.00 48481.13 43639.24 34171.55 42347.23
Remarks Pinogu
Motomboto Sungai Mak Cabang Kiri Tumbolilato Bilungala
Tabel 38 menunjukkan tentang pengamatan lokasi sampel lanjutan yang terdapat di wilayah utara Cabang kiri yaitu Sungai Mak. Di lokasi Penelitian eksplorasi oleh perusahaan pemegang konsesi yang sama terdapat 6 unit mesin Bor yang didukung oleh sekitar 200 orang karyawan. Penelitian ini telah berlangsung sejak Bulan Juli 2011 bertujuan untuk memvalidasi data penelitian yang telah dilakukan oleh pemegang konsesi Kontrak Karya sebelumnya. Terdapat enam perusahaan pertambangan pemegang izin kontrak karya yang telah melakukan penelitian yang sama pada lokasi tersebut. Pada tahun 1991 seluruh kegiatan penelitian eksplorasi ini dihentikan, karena wilayah ini telah
113
menjadi bagian dari wilayah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Terdapat pula kegiatan pertambangan tanpa izin di wilayah ini yaitu berada desa Kayu bulan dan Dusun Motomboto yang diklaim oleh masyarakat dan ditunutut menjadi wilayah pertambangan rakyat saat ini. Peta kegiatan penelitian eksplorasi dapat dilihat pada (Gambar 20).
Gambar 20. Peta Prospek dan Penelitian Eksplorasi Sungai Mak PT.GM
Identifikasi dan inventarisasi pada lahan ini sulit dilakukan karena alat bantu penelitian (peta citra spot) yang digunakan adalah resolusi sedang 4 m. umumnya belum mampu mendeteksi lahan-lahan yang relatif tidak luas bukaannya. Demikian pula pada prospek penelitian eksplorasi Cabang Kiri. Untuk memastikan tentang kegiatan penelitian eksplorasi ini telah dilakukan pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan GPS dan alat dokumentasi serta melakukan wawancara langsung dengan beberapa staf Perusahaan dalam melakukan pendalaman informasi. Kegiatan di wilayah Cabang kiri tersebut nampak pada peta prospek penelitian eksplorasi dlihat pada Gambar 21 berikut.
114
Gambar 21. Peta Prospek Penelitian eksplorasi Wilayah Cabang Kiri PT GM
Hasil identifikasi wilayah administrasi yang berhimpitan langsung dan tumpang tindih dengan wilayah konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals telah dilakukan dengan menggunakan sumber data Peta Desa dari Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Skala 1:50.000 BAKOSURTANAL RI yang di overlay dengan Peta Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals. Hasil yang diperoleh yaitu terdapat empat Kecamatan yang tumpang tindih dengan peta konsesi kontrak karya, berada pada posisi wilayah selatah yaitu, Kecamatan Bone, Kecamatan Bulawa dan Kecamatan Bone Raya. Pada Gambar 22 menginformasikan tentang jumlah desa pada masing-masing kecamatan termasuk luasan pada setiap desa.
115
Gambar 22. Peta Wilayah Administrasi Lokasi Penelitian Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals Peta di atas menunjukkan bahwa di wilayah utara, kecamatan yang sebagian wilayahnya tumpang tindih dengan wilayah kontrak karya yaitu Kecamatan Suwawa Timur. Adapun nama-nama desa tersebut adalah Desa Tulabolo, Desa Tulabolo Timur, Desa Bangio. Ketiga desa ini menjadi arus lalulintas masyarakat dalam melakukan kegiatan sosial ekonomi maupun menuju pemukiman di Enclave Pinogu karena terdapat jalan setapak yang dapat dilalui kendaraan roda dua (motor ojek). Selain itu terdapat jalan perintis yang dibangun oleh PT Gorontalo Minerals digunakan untuk mendukung aktivitas penelitian eksplorasi terhadap wilayah pertambangan. Terdapat juga Desa/Dusun Bangio yang merupakan wilayah yang digunakan oleh Penambang tanpa Izin yang dikenal dengan nama titik bor 15 dan titik bor 1. Pada peta administrasi Gambar
116
23. Pada wilayah ini terdapat aktivitas penelitian eksplorasi perusahaan, peta pertambangan tanpa izin dapat dilihat pada (Gambar 23).
Gambar 23. Peta Pertambangan Tanpa Izin (PETI) Hasil pemutakhiran di lapangan bahwa di wilayah utara konsesi inilah yang menjadi informasi awal kegiatan penambangan tanpa izin seperti terlihat Gambar 23 diatas menunjukkan bahwa Dusun Mohutango yang berada diwilayah administrasi Desa Tulabolo Timur dan Motomboto yang berlokasi di Dusun Bangio, dimana aktivitas pertambangan tanpa izin tersebut dimulai sejak tahun 1989 kemudian secara ekspansif kegiatan (PETI) ini dilakukan berdasarkan informasi masyarakat dimana penelitian eksplorasi telah dilakukan oleh Perusahaan pemegang Izin Kontrak Karya.
117
PETI ini masih tetap berlangsung saat ini sesuai dengan informasi dimana sekolompok PETI memperoleh emas hasil galian lebih banyak. Tadumpul merupakan istilah para PETI jika hasil lokasi banyak emas sehingga ditempat itu akan semakin banyak para penambang yang berdatangan. Dijumpai di Desa Bangio Kecamatan Suwawa Timur terdapat 8000 orang penambang tanpa izin yang berasal dari berbagai daerah tetangga seprti Bolaang Mongondow, Minahasa, Jawa, dan lebih banyak masyarakat sekitar Bone Bolango. Meskipun wilayah ini telah menjadi bagian dari Taman Nasional pada Tahun 1992 dengan nama Taman Nasional Bogani Nani Wartabone kegiatan penambangan ini tetap berlangsung bahkan telah menjadi bagian dari kegiatan ekonomi masyarakat pada sektor informal dimana untuk menjangkau lokasi tersebut dapat dilalui dengan menggunakan angkutan kendaraan roda dua (ojek) dan tenaga buruh untuk mengangkut barang kebutuhan sehari-hari sekitar 15.000 penambang tanpa izin serta peralatan mesin yang digunakan yaitu: 1) Mesin Diesel 2 Pk. 2) Tromol 3) Derek Penghancur batu 4) Merkury dan Cianida 5) Bahan Bangunan (Semen, Terpal, Paku, Seng dan Besi) 6) Beras, Ikan Kering, dan rempah-rempah. 7) Minuman beralkohol 8) Hasil olahan tambang (Emas dan Perak)
118
Selanjutnya peta pemukiman yang tumpang tindih dengan kawasan konsesi kontrak karya dapat dilihat pada (Gambar 24).
Gambar 24. Peta Permukiman yang Berhimpitan Langsung dengan Peta Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals
Peta pemukiman di atas menginformasikan bahwa sebaran pemukiman yang paling banyak yaitu di wilayah selatan Konsesi Kontrak Karya yaitu Kecamatan Bone Raya, Kecamatan Bulawa, Kecamatan Bone dan terakhir yaitu Kecamatan Suwawa Timur yang terletak di wilayah utara peta konsesi Kontrak Karya . Dari aspek topografi Kecamatan Bulawa yang memiliki daratan yang cukup luas bila dibanding dengan kecamatan lain yaitu dataran rendah 12,05 km2, dataran tinggi 38,78 km2 dengan jumlah penduduk 1.346 KK atau 5.876
119
penduduk. Kemudian disusul Kecamatan Bone Raya yaitu dataran rendah 11,66 km2, dataran tinggi 24,16 km2,dengan jumlah penduduk 4.763 jiwa. Selengkapnya peta areal yang tumpang tindih dengan wilayah konsesi kontrak karya dapat dilihat pada (Gambar 25).
Gambar 25. Peta Areal Pertanian yang Berhimpitan Langsung dengan Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals
Peta areal pertanian menginformasikan tentang sebagian ruang konsesi Kontrak karya telah dimanfaatkan masyarakat sebagian lahannya untuk bercocok tanam terutama untuk pertanian lahan kering terutama di wilayah sebelah selatan. Dibanding dengan wilayah pemukiman maka pemanfaatan untuk pertanian lebih luas. Adapun jenis tanaman tahunan yang lebih banyak dijumpai yaitu kelapa dalam, kemiri, cengkeh, jambu mente, kakao, mangga, langsat, durian dan tanaman pisang. Selain itu terdapat pula tanaman lain seperti jagung, umbi-
120
umbian dan tanaman hortikultura seperti rica, tomat dan juga tanaman sayurmayur. Terdapat pula jenis tanaman vanili namun jenis tanaman ini tidak berkembang karena teknis budidayanya agak sulit dilakukan. Tanaman tahunan yang paling banyak dijumpai di budidayakan masyarakat di wilayah konsesi ini yaitu pohon kelapa dalam, cengkeh, mangga dan jambu mente. Peta penutupan lahan dapat dilihat pada (Gambar 26).
Gambar 26. Peta Penutupan Lahan di Wilayah Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals.
Peta di atas merupakan gabungan dari bagian-bagian peta yang memberikan informasi terkait dengan pemanfaatan ruang dalam kawasan konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals. Dinamika pemanfaatan ruang ini masih lebih banyak didominasi oleh lahan berhutan. Penggunaan lahan diikuti oleh pemanfaatan ruang untuk pertanian, lahan terbuka yang merupakan lahan bekas
121
peladangan dan penambangan tanpa izin berpindah, lahan semak belukar, dimana lahan ini telah lama tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat dan dibiarkan begitu saja.Pemanfaatan berikutnya adalah untuk pemukiman termasuk didalamnya adanya fasilitas umum dan khusus masyarakat seperti Rumah Sakit Umum Daerah Tombulilato, Kantor Kepolisian dan Puskesmas di tingkat kecamatan serta fasilitas lain seperti sarana ibadah dan lapangan olahraga. 5.2.2. Analisis Inventarisasi Lokasi Adapun lokasi yang diinventarisasi dibatasi pada wilayah tumpang tindih dengan konsesi kontrak karya, yaitu Kecamatan Suwawa Timur, Kecamatan Bone Pantai, Kecamatan Bulawa, Kecamatan Bone Raya dan Kecamatan Bone. Tujuannya yaitu untuk mengetahui berapa luas lahan yang dikuasai masyarakat yang merupakan lahan kontrak karya tersebut agar dapat mempermudah para pihak melakukan pendekataan kelembagaan di masa yang akan datang. 1.
Kecamatan Suwawa Timur Di wilayah utara terdapat satu Kecamatan yang sebagian wilayahnya berada
dilahan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals yaitu Kecamatan Suwawa Timur, adapun nama-nama desa tersebut Desa Bangio luas Kawasan Hutan 5,638,11 hektar, PETI 17.80 hektar, Sungai 1.44 hektar, dan Desa Tulabolo Timur areal pertanian 139.46 hektar, hutan 1,038.31 hektar, pemukiman 0,44 hektar, dan Pertambangan tanpa izin 11,69 hektar. Total 6,743,2 hektar, luas lahan yang berada diwilayah administrasi Kecamatan Suwawa Timur. Sesuai dengan sejarah yang telah diilustrasikan diatas bahwa kegiatan penelitian eksplorasi oleh perusahaan-perusahaan pemegang kontrak karya memulai kegiatannya di wilayah ini dan d iwilayah ini pula awal dimualinya kegiatan pertambangan tanpa izin oleh masyarakat. Luas Penguasaan lahan dapat dilihat pada Tabel 39 berikut.
122
Tabel 39. Luas Penguasaan lahan di Kecamatan Suwawa Timur Desa
Luas (hektar) Areal Hutan Pertanian
Bangio
0
Tulabulo Timur
139
Total
139.46
5,638 1,038
Semak Per Belukar Kebunan 0 0 0
0
Per PETI mukiman
Sungai
Total
0
18
1
5,657.34
0
12
1,189.90 0
6,676.42 0.00
0.00
0.44
29.49
1.44
6,847.24
Wilayah Kecamatan Suwawa Timur yang berada dalam kawasan kontrak karya yaitu dua desa dimana masing-masing desa masih didominasi oleh kawasan hutan 6,676,42 hektar kemudian disusl oleh areal pertanian yaitu 139.46 hektar dan terakhir yaitu penguasaan lahan oleh Pertambangan tanpa izin seluas 29.49 hektar. Hal ini nampak pada gambar grafik dibawah ini. Wilayah PETI yang dapat diinterpretasi didua desa ini 30 hektar namun klaim masyarakat penambang yang diusulkan menjadi wilayah pertambangan rakyat yaitu 1.100 hektar. Grafik penguasaan lahan dapat dilihat pada (Gambar 27).
Gambar 27. Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamtan Suwawa Timur
123
2.
Kecamatan Bone Hasil analisis tentang inventarisasi luasan lahan yang dimanfaatkan
nampak pada Tabel 39 yaitu Kecamatan Bone berada di wilayah paling timur dari wilayah konsesi kontrak karya terdapat dua desa yang berhimpitan langsung dengan lahan konsesi yaitu Desa Bilolantunga terdapat areal pertanian seluas 256 hektar, hutan 1382,73 hektar, semak belukar 214,71 hektar, perekebunan 29,82 hektar, pemukiman 17,86 hektar. Kemudian di Desa Waluhu terdapat areal pertanian 91,93 hektar, hutan 211,53 hektar, semak belukar 120,16 hektar, perkebunan 18,75 hektar, pemukiman 9,69 hektar. Sehingga total luasan 2353,83 hektar. Kecamatan Bone Pantai yaitu wilayah yang berada paling barat dari wilayah konsesi dan merupakan kecamatan induk dari seluruh kecamatan pemekaran yang ada di wilayah pesisir selatan Kabupaten Bone Bolango. Terdapat satu desa yang berhimpitan langsung dengan lahan konsesi yaitu Desa Ombulo Hijau dengan luas areal hutan 171,54 hektar. Luas penguasaan lahan dapat dilihat pada (Tabel 40).
Tabel 40. Luas Penguasaan Lahan di Kecamatan Bone
Areal Pertanian Hutan
Luas ( hektar) Semak Per Per Belukar kebunan mukiman
PETI Sungai Total
Bilo Lantunga
257
1,383
215
30
18
0
0
1,901.78
Waluhu
92
212
120
19
10
0
0
452.06
Tota)
348.58
1,594.26 334.87 48.57
27.55
0.00 0.00
Desa
2,353.83
Penguasaan lahan di Kecamatan Bone didominasi oleh kawasan hutan 1,594.26 hektar, disusul kawasan pertanian kering yaitu 348,58 hektar dengan jenis tanaman cengkeh, kelapa dalam dan tanaman tahunan lainnya. Kawasan semak belukar cukup luas yaitu 334.87 hektar, lahan ini sebagian adalah lahan yang ditinggalkan peladang berpindah dan lainnya yaitu lahan bekas pertambangan tanpa izin. Terdapat juga kawasan pemukiman dilahan yang dikuasai masyarakat yaitu 27.55 hektar. Penggambaran ini akan lebih detail pada Grafik 28 berikut.
124
Gambar 28. Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bone
3.
Kecamatan Bone Raya Di Kecamatan Bone Raya terdapat dua konsentrasi pemukiman
masyarakat di wilayah pesisir selatan tepatnya di Toluk Tomini, diantaranya yaitu Kecamatan Bone Raya. Bila ditinjau dari sisi sejarah wilayah ini termasuk salah satu wilayah yang menjadi tempat penyebaran agama Islam, terbukti adanya masjid tertua di ibukota kecamatan yaitu Desa Tombulilato yang dibangun sejak Abad ke 18 M melalui Organisasi Syarikat Islam (Katili L) tokoh masyarakat Bone Posisir. Terdapat delapan desa berhimpitan langsung dengan lahan konsesi jadi wilayah administrasi ini berada diwilayah konsesi yaitu Desa Alo, Desa Inomata, Desa Laut Biru, Desa Moopiya, Desa Mootayu, Desa Mootinelo, Desa Pelita Hijau, Desa Tombulilato. Masing-masing total luasan yaitu areal pertanian 811,03 hektar, hutan 3,446,38 hektar, semak belukar 277,83 hektar, perkebunan 1,662.42 hektar, pemukiman 133,18 hektar, pertambangan tanpa izin 0,24 hektar, sehingga total luasan lahan pemanfaatan di Kecamatan Bone Raya yaitu 6331.08 hektar (Tabel 41). Meskipun wilayah ini kecamatan pemekaran dari kecamatan Bone Pantai namun terdapat beberapa fasilitas umum di wilayah ini seperti Rumah Sakit Daerah Tomulilato dan Tempat Pelelangan Ikan.
125
Tabel 41. Luas Lahan penguasaan lahan di Kecamatan Bone Raya Desa Areal Pertanian Hutan
Luas ( hektar) Semak Per Per Grand Belukar kebunan mukiman PETI Sungai Total
Alo
14
646
49
263
22
0
0
992.96
Inomata
20
278
27
147
17
0
0
489.82
Laut Biru
46
185
12
143
9
0
0
394.45
Moopiya
2
0
3
26
8
0
0
39.28
Mootayu
500
1,627
80
429
23
0
0
2,660.53
Mootinelo
56
214
22
141
11
0
0
444.45
Pelita Jaya
161
495
85
497
18
0
0
1,256.30
Tombulilato
12
0
0
17
25
0
0
53.28
811.03
3,446.38 277.83 1,662.42 133.18
Total
0.24
0.00
6,331.08
Bila dilihat pada Gambar 29 di bawah terdapat beberapa desa yang memiliki penguasaan lahan yaitu Desa Mootayu yang paling luas
meskipun
dengan luas 1,627 hektar dan luas penguasaan untuk kawasan pertanian yaitu 500 hektar dan disusul oleh penguasaan di lahan perkebunan 429 hektar kemudian pemukiman 23 hektar. Selanjutnya Desa Pelita Jaya lahan yang dikuasai masih didominasi oleh kawasan hutan yaitu 495 hektar dan disusul oleh kawasan perkebunan 497 hektar dan disusul penguasaan dilahan pertanian yaitu 161 hektar serta pemukiman 18 hektar. Adapun Desa Alo penguasaan lahan masih didominasi oleh kawasan hutan juga yaitu 646 hektar dan lahan perkebunan 263 hektar, semak belukar 49 hektar, serta Pemukiman 22 hektar. Meskipun penguasaan di desa lainnya tidak memiliki lahan yang luas namun di kecamatan ini nampak hampir semua desa menguasai lahan konsesi kontrak karya.
126
Gambar 29. Grafik Penguasaan Lahan di Kecamatan Bone Raya
4.
Kecamatan Bulawa Wilayah adminstrasi Kecamatan Bulawa seluruhnya berada dilahan
konsesi kontrak karya, mulai dari arah timur yaitu Desa Bukit Hijau, Desa Bunga Hijau, Desa Kaidundu, Desa Kaidundu Barat, Desa Mamungaa, Desa Mamungaa Timur, Desa Mopuya, Desa Nyiur Hijau dan Desa Patoa. Total luasan masingmasing desa yaitu areal pertanian 924.56 hektar, hutan 4,160.62 hektar, semak belukar 17.96 hektar, perkebunan 1,597.26 hektar, permukiman 42,62 hektar dan pertambangan tanpa izin yaitu 0,67 hektar, total luasan areal Kecamatan Bulawa seluas yang berhimpitan langsung yaitu 6743.67 hektar (Tabel 42). Desa Mopuya merupakan wilayah yang paling lama penggunaan kawasannya untuk kegiatan penambangan tanpa izin. Hasil pengamatan langsung dilokasi bahwa kegiatan PETI di wilayah ini telah dimulai sejak tahun 1992 terutama di tepian Mamungaa dan sungai Mopuya sebagian besar penambang menggunakan kekuatan aliran air sungai untuk memutar tromol dan sekaligus menjadi tempat pembuangan limbah. Meskipun menggunakan alat peta citra spot tidak menggambarkan tentang kegiatan pertambangan di wilayah ini namun sangat mudah untuk menjumpai kegiatan PETI karena disekitar lahan PETI telah banyak menjadi permukiman masyarakat yang didominasi oleh pemukiman permanen.
127
Di hulu sungai Mopuya terdapat aktivitas penggalian batuan (rap) sekaligus bangunan gubuk-gubuk kecil yang dijadikan tempat untuk membangun tromol dan penginapan sementara para penambang tanpa izin namun terdapat pula yang telah membangun rumah semi permanen dan telah di tempati oleh keluarga para penambang. Sebagian batuan galian telah dimasukkan dalam karung dan angkut dengan tenaga buruh (kijang) istilah mereka ditempat itu untuk dibawah ke perkampungan untuk diolah di tromol yang telah siap menunggu bahan baku. Kemampuan
masyarakat
penambang
sudah
cukup
baik
dengan
pengalaman mereka melakukan penambangan. Hasil pengamatan dilokasi sebagian masyarakat yang menetap di Desa Mopuya dan Desa Mamungaa bukan penduduk asli, namun karena memiliki profesi penambang sehingga banyak yang memutuskan untuk membeli lahan dan membangun rumah disekitar kawasan tersebut membuat wilayah ini berkembang dan menjadi ramai dan telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana pemerintah dan menjadi wilayah pemekaran kecamatan baru yaitu Kecamatan Bulawa tahun 2009. Selanjutnya luas penguasaan dan pemanfaatan lahan di Kecamatan Bulawa pada (Tabel 42). Tabel 42. Luas Penguasaan Lahan di Kecamatan Bulawa Luas ( hektar) Semak Per Per Grand Belukar kebunan mukiman PETI Sungai Total
Desa Areal Pertanian Hutan Bukit Hijau
0
260
0
0
0
0
0
Bunga Hijau
239
582
0
209
13
0
0 1,043.10
Kaidundu Kaidundu Barat
194
583
11
171
2
0
0
960.79
123
625
3
14
0
0
0
765.70
Mamungaa Mamungaa Timur
178
481
0
354
6
0
0 1,018.19
38
588
4
605
11
0
0 1,245.89
Mopuya
6
0
0
10
7
0
0
23.55
Nyiur Hijau
0
475
0
0
0
0
0
475.30
146
566
0
235
4
0
0
951.27
Patoa Total
924.56
4,160.62 17.96
1,597.26 42.62
0.67 0.00
259.88
6,743.67
128
Meskipun kecamatan ini adalah hasil pemekaran baru, namun dari aspek penguasaan lahan kontrak karya nampak hanya ada satu desa yang tidak banyak menguasai lahan. Hal tersebut karena desa berada pada tepian sungai Mopuya dan diapit oleh Gunung Mantulangi sehingga ekspansi penguasaan lahan diwilayah ini tidak berkembang bila dibanding dengan desa-desa lainnya. Masyarakat yang sering melakukan upaya penolakan terhadap hadir kegiatan pertambangan professional yaitu di Kecamatan Bulawa, dan sampai hari ini mereka masih tetap memperjuangkan wialayah pertambangan rakyat dalam konsesi kontrak karya meskipun hal itu bertentangan dengan pasal 26 Peraturan Pemerintah no. 22 Tahun 2010 tentang Kriteria Penetapan Wilayah pertambangan Rakyat. Pekerjaan PETI ini telah menjadi turun temurun di wilayah ini sehingga membutuhkan pendekatan secara melembaga kepada masyarakat.
Gambar 30. Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bulawa
5.
Kecamatan Bone Pantai Pada aspek historis Kecamatan Bone Pantai adalah kecamatan induk dari
lima kecamatan di Pesisir Laut Toluk Tomini. Terdapat satu desa yang masuk dalam wilayah kontrak karya, meskipun dalam interpretasi peta citra spot tidak nampak kegiatan sosial ekonomi, namun hasil pengamatan langsung dilokasi terdapat pemukiman disepanjang kaki gunung yang mengalir sungai kecil.
129
Aktifitas masyarakat di desa ini lebih banyak bercocok tanam seperti tanaman holtikultura dan tanaman tahunan seperti Kelapa dalam dan tanaman buah. Pada musim kemarau sebagian masyarakat desa mencari ubi hutan (bitule) setelah dikupas dan di rendam di sungai selama 2 minggu untuk mengeluarkan getahnya kemudian dijemur dan direbus untuk dimakan. Desa yang berdampingan langsung yaitu Desa Pelita Hijau. Wilayah ini berada diluar konsesi kontrak karya, namun bila dilihat dari aktifitas masyarakat lebih banyak mereka masuk kewilayah konrak karya untuk menjadi tenaga buruh di pertambangan tanpa izin. Selain itu mereka juga melakukan peladangan berpindah, sehingga diwilayah ini banyak bekas perkebunan yang telah ditinggalkan masyarakat dan tidak digarap lagi. Hal yang menarik bahwa masyarakat disekitar desa ini dan termasuk desadesa lainnya yang ada di sekitarnya tidak mengenal model pertanian lahan kering terasering.
Tabel 43. Luas Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bone Pantai Luas ( hektar) Per Per kebunan mukiman PETI
Desa
Areal Pertanian Hutan
Semak Belukar
Grand Sungai Total
Ombulo Hijau
0
172
0
0
0
0
0
171.54
total
0.00
171.54
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
171.54
Grafik pada gambar 31 mengilustrasikan penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat yaitu 172 hektar, meskipun dari hasil layout peta untuk wilayah Kecamatan Bone Pantai hanya dapat diinterpretasi kawasan hutan tetapi hasil pengamatan langsung dilokasi terdapat pemukiman dan kegiatan pertanian di kawasan tersebut terutama di sepanjang delta sungai di wilayah tersebut.
130
Gambar 31. Grafik Penguasaan Lahan Di Kecamatan Bone Pantai Bila dijumlah total masing-masing penguasaan lahan yang berada di kawasan konsesi kontrak karya yaitu areal pertanian 2,223,63 hektar, Hutan 16,049.21 hektar, Semak Belukar 630.66 hektar, Perkebunan 3,308.25 hektar, Permukiman 203.78 hektar, dan penambang tanpa izin 30.39 hektar, serta sungai 1.44 hektar sehingga total keseluruhan wilayah yang berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya yaitu 22.447.36 hektar.
VI. VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA MINERAL
6.1
Valuasi Kelayakan Finansial Valuasi ekonomi mineral dilakukan untuk mengetahui prospek mineral
yang ada di wilayah studi. Tabel 44 mendeskripsikan wilayah-wilayah yang memilki potensi cadangan dan mineralisasi yaitu porphiry Cu-Au, epitermal AUAG-Cu dan epitermal Au-Ag yang telah didetilkan penelitian eksplorasinya yaitu daerah Sungai Mak dan Cabang Kiri. Potensi di wilayah lain sedang dalam perencanaan penelitian eksplorasi dan meskipun kegiatan eksplorasi ini tidak jauh dari kegiatan pertambangan tanpa izin (PETI) di wilayah Motomboto dan Desa Bangio, namun belum pernah ada konflik yang terjadi. Tabel 44 Prospek Mineralisasi Kecamatan Tombulilato LOKASI
POTENSI
Porphyry Cu – Au Wilayah Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals Epithermal Au – Ag – Cu
Wilayah konsesi
Ephitermal Au – Ag
MINERALISASI Cabang Kiri East Sungai Mak Kayubulan Cabang Kanan Gunung Lintah Tulabolo Main Motomboto East Motomboto West Motomboto Mohutango Kaindundu Mamungaa Mootayu
Sumber: Olahan Data PT Gorontalo Minerals
Pada umumnya setiap valuasi ekonomi untuk suatu sektor usaha dilakukan tidak lepas dari aspek perspektif manajemen. Asumsi apa yang akan terjadi bila usaha ini diputuskan untuk dikerjakan dan bagaimana kita meresponnya adalah dua pertanyaan yang selalu muncul untuk dijawab baik secara konsepsi maupun dari aspek terapan dan umpan baliknya terhadap suatu usaha. Oleh karena itu metode valuasi ekonomi harus mempertimbangkan apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang dan strategi apa yang harus disiapkan untuk
132
menghadapinya serta tujuan dari memilih alternatif untuk memaksimalkan value. Terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam melakukan perhitungan asset pertambangan diantaranya: Manajemen
selalu
diperhadapkan
oleh
suatu
pengelolaan
usaha
pertambangan dengan dihantui oleh ketidakpastian. Bila demikian pendekatan apa yang seharusnya dilakukan untuk menilai suatu proyek pertambangan? Adakah infomasi pasar dari lembaga resmi yang menjadi pedoman manajemen untuk menjual produk berbasis pertambangan? Persoalan ini relatif dialami oleh manajemen PT Gorontalo Minerals untuk melakukan perhitungan dan penilaian cadangan tambang baik dari aspek teknis seperti hasil penelitian eksplorasi dan aspek non-teknis terkait. Hal tersebut terkait dengan kondisi lingkungan eksternal perusahaan yang belum tentu dapat digeneralisir dengan aspek teknis dan non-teknis yang berlaku di perusahaan pertambangan yang lain. Akibatnya ada perbedan dalam pendekatan keputusan manajemen. Nilai waktu (time value) yang digunakan di awal penelitian sampai masuk pada perhitungan cadangan sangat tergantung pada data yang diperoleh di lokasi sangat krusial karena terkait dengan nilai waktu itu sendiri yang semakin hari semakin naik nilainya. Data yang sangat dibutuhkan dalam studi ekonomi yaitu adanya hasil kajian prospek cadangan tembaga, emas dan perak di wilayah konsesi PT Gorontalo Minerals (PT.GM). Selain dilakukan studi berdasarkan aspek-aspek teknis juga dilakukan studi berdasarkan aspek finansial dan keekonomian. Analisis keekonomian dilakukan berdasarkan skenario rencana penambangan dan produksi tahunan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada bab perencanaan tambang. Adapun hasil kajian teknis yang wajib disusun oleh perusahaan dalam rangka mendukung operasi tambang meliputi aspek konstruksi maupun aspek produksi yang meliputi, aspek geologi, penambangan, pengolahan tembaga-emas serta kajian mengenai transportasi (baik konsentrat maupun tailing). Aspek-aspek lain yang berkaitan dengan analisis keekonomian seperti discount rate, eskalasi
133
harga dan biaya dan nilai tukar valas. Oleh karena itu besarnya nilai investasi serta biaya operasi yang diperlukan maka analisis ini digunakan indikator-indikator umum yang diperoleh dari operasi penambangan lainnya yang sejenis. Aliran kas prospek cadangan tembaga-emas PT.GM disimulasi berdasarkan rencana penambangan tembaga-emas dengan metode tambang bawah tanah yang direncanakan akan berjalan selama 30 tahun. Kemudian dilanjutkan dengan simulasi tambang terbuka selama 22 tahun yang dimulai setelah tambang bawah tanah beroperasi sampai tahun ke 9, dengan umur tambang secara keseluruhan adalah 30 tahun. Asumsi operasi penambangan yang akan digunakan adalah metode tambang bawah tanah dan tambang terbuka dengan rencana produksi masingmasing 15.000 tpd untuk tambang bawah tanah dan 15.000 tpd untuk tambang terbuka dengan 365 hari kerja selama satu tahun. Kegiatan penambangan dimulai dengan operasi tambang terbuka. Pada tambang terbuka, di tahun-tahun awal tingkat produksi tembaga-emas PT.GM diasumsikan terus ditingkatkan hingga mencapai target produksi maksimum sebesar 15.000 pada tahun ke-3 dan konstan sampai tahun ke-30. Produksi pada tahun ke-1 adalah 25 persen dari 15.000 tpd atau sama dengan 3.750 tpd. Sedangkan produksi tahun ke-2 adalah 75 persen dari rencana produksi maksimum atau sebesar 11.250 tpd. Sementara itu, tambang bawah tanah mulai dikembangkan setelah tambang terbuka mencapai produksi maksimum yaitu tahun ke-4. Dengan masa pengembangan selama 3 tahun, tambang bawah tanah mulai dioperasikan pada tahun ke-7 dengan produksi awal sebesar 33 persen dari 15.000 tpd atau sama dengan 5.000 tpd. Produksi pada tahun ke-8 adalah 66 persen dari rencana produksi maksimum atau sebesar 10.000 tpd dan produksi maksimum dicapai pada tahun ke-9 sampai dengan tambang berakhir di tahun 30 sebesar 15.000 tpd. Analisis ekonomi dilakukan dengan menggunakan konsep aliran kas diskonto. Beberapa komponen dasar yang digunakan untuk analisis keekonomian antara lain biaya kapital, biaya produksi dan jumlah produksi tembaga-emas. Indikator utama yang digunakan untuk menentukan kelayakan rencana produksi tembaga-emas adalah Net Present Value (NPV). NPV yang bernilai positif menunjukkan bahwa rencana penambangan tembaga-emas PT.GM layak secara
134
ekonomi. Indikator lain yang juga dapat digunakan untuk menentukan kelayakan adalah Internal Rate of Return (IRR) dan Payback Period (PBP). Mengingat terjadinya fluktuasi berbagai faktor yang akan mempengaruhi kelayakan ekonomi, pengambilan keputusan perlu didukung oleh analisis sensitivitas atas indikator-indikator tersebut. Dengan analisis sensitivitas dapat diketahui pengaruh faktor-faktor seperti harga dan biaya operasi terhadap nilai NPVserta parameter mana yang paling sensitif terhadap perubahan. Dengan adanya kegiatan produksi tembaga-emas oleh PT.GM, secara tidak langsung Pemerintah Pusat maupun Pemda setempat akan mendapatkan keuntungan melalui royalty dan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan. Nominal royalty dan pajak yang akan diterima oleh pemerintah ditunjukkan secara kuantitatif pada proyeksi aliran kas.
6.1.1
Biaya Kapital Faktor ketersediaan modal yang diperlukan untuk membiayai investasi-
investasi berkenaan dengan rencana produksi tembaga dan emas oleh perusahaan. Dimana sampai saat ini perusahaan masih berada pada tahap penelitian dalam rangka memperoleh data yang lebih akurat dan sesuai dengan rencana kerja. Perusahaan akan mulai masuk pada tahap Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) setelah itu akan dilanjutkan ke tahap konstruksi infrastruktur dan bangunan tambang. Nantinya akan sampai pada tahap kegiatan operasional atau kegiatan produksi pada wilayah Kuasa Pertambangan yang mereka miliki akan berjalan sesuai dengan aturan dan mekanisme perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu sebelum memulai kegiatan produksi, PT.GM harus menyiapkan infrastruktur dan sarana prasarana penunjang seperti misalnya akses jalan, kantor, asrama (mess), fasilitas pengolahan, dsb. Biaya kapital yang diperlukan untuk penambangan pada wilayah konsesi PT.GM mencakup biaya perijinan, kompensasi untuk struktur dan bangunan yang digunakan, Processing plant, Biaya konstruksi jalan, biaya tailing pond, konstruksi jetty, explorasi dan biaya lainnya. Biaya kapital yang diperlukan oleh perusahaan untuk memulai produksi tembaga-emas dan perak diperkirakan dengan melakukan pendekatan unit cost
135
method. Pada metode tersebut, biaya kapital untuk kegiatan penambangan diperbandingkan atau asumsi umum yang dilakukan terhadap beberapa proyek penambangan sejenis (sesuai dengan metode penambangan yang diterapkan). Selain itu juga mempertimbangkan metode tersebut dengan memperhatikan faktor-faktor non teknis dilapangan seperti faktor geopolitik di wilayah sekitar dan faktor isu lingkungan yang selalu diidentikan dengan kegiatan pertambangan. Dari pengumpulan dan evaluasi data pada beberapa tambang tembagaemas yang telah beroperasi, dapat diketahui bahwa unit biaya kapital untuk penambangan tembaga-emas dengan metode tambang terbuka sebesar USD 12,500 tpd. Sedangkan unit biaya kapital untuk penambangan tembaga-emas dengan metode tambang bawah tanah sebesar USD 17,500 tpd. Dengan kedua unit biaya kapital tersebut, diturunkan perkiraan biaya yang dibutuhkan oleh PT.Gorontalo Minerals untuk mencapai tingkat produksi maksimum sebesar 15.000 tpd seperti ditunjukkan pada Tabel 45. Perhitungan yang membutuhkan dukungan data akurat yaitu di saat fase konstruksi akan dimulai. Hal ini penting karena data mengenai karakter atau sifat cadangan yang akan diproduksi diasumsikan telah melalui pengujian tahap sebelumnya yaitu tahap penelitian eksplorasi. Adapun biaya capital tersebut dikeluarkan berdasarkan lamanya waktu pembangunan (developmenent) tambang bawah tanah (grounded mining) dan tambang terbuka (open pit). Pada tambang bawah tanah rencana pembangunan dilakukan selama enam tahun, sementara tambang terbuka development dilakukan selama tiga tahun. Jadwal Investasi tambang bawah tanah dibagi kedalam enam tahap, yaitu pada tahun ke -5 sebesar 50 persen dari total biaya kapital dan sebesar 50 persen dibagi merata selama tahun ke -4 – 0. Sementara untuk investasi tambang terbuka juga akan dilakukan dalam tiga tahap, sebesar 33 persen dari total biaya modal tambang terbuka pada tahun ke 6 dan sisanya pada tahun ke 7 dan 8. Rencana pembiayaan ini sesuai dengan tahapan-tahapan yang telah terprogram dalam jadwal kegiatan perusahaan.
136
Tabel 45. Perkiraan Biaya Kapital PT. Gorontalo Minerals CAPEX Underground Daily Ore Production
15,000 Ton
Average CAPEX
17500 USD/tpd
Estimated CAPEX
262,500,000 USD
Open Pit Yearly Ore Production
15,000 Ton
Average CAPEX
12500 USD/tpd
Estimated CAPEX
187,500,000 USD
Total Estimated
450,000,000 USD
Sumber: Olahan Data PT Gorontalo Minerals
Biaya modal yang akan digunakan pada fase konstruksi (development) terbagi menjadi dua jenis, dengan menggunakan data karakter mineral logam yang akan diproduksi yaitu : Pertambangan tertutup (under ground mining) Pertambangan terbuka (open pit mining) Kedua jenis tambang ini telah dianalisis asumsi pembiayaaan masingmasing dimana bila dibandingkan maka pembiayaan yang paling banyak yaitu pada model penambangan tertutup. Meskipun biaya tersebut diasumsikan akan digunakan pada tahun ke 4 yaitu $ 52,500,000 atau 20 persen dari total biaya kapital, namun pada tahun kelima biaya kapital yang harus dikeluarkan oleh perusahaan yaitu $ 105,000,000, atau 40 persen demikian pula pada tahun ke 6 proyek pembangunan berjalan yaitu $ 105,000,000 atau 40 persen. Meskipun model penambangan terbuka biaya yang dibutuhkan tidak sebesar biaya kapital pada penambangan tertutup namun pada tahun pertama biaya yang dibutuhkab yaitu $ 61,875,000 atau 33 persen dari total pembiayaan, dan pada tahun kedua dengan nilai yang sama yaitu $ 61,875,000 atau 33 persen, selanjutnya pada tahun ke 3 biaya yang diperlukan yaitu $ 63,750,000. Sehingga waktu pembiayaan yaitu selama 6 tahun.
137
Tabel 46. Prosentase Biaya Kapital Digunakan Pada Fase Konstruksi
CAPEX Distribution
Proporsi Capex
Develop. Year 1 (U/G) Develop. Year 2 (U/G) Develop. Year 3 (U/G) Develop. Year 1 (Open Pit) Develop. Year 2 (Open Pit) Develop. Year 3 (Open Pit) Capital Cost
6.1.2
-2 (USD 000)
-1 (USD 000)
0 (USD 000)
20%
4 (USD 000)
5 (USD 000)
52,500
40%
105,000
40%
33%
105,000
61,875
33%
61,875
34% USD
6 (USD 000)
63,750 61,875
61,875
63,750
52,500
105,000
105,000
Modal Kerja Modal kerja adalah modal yang digunakan oleh perusahaan untuk
melakukan kegiatan operasional dan membayar kewajiban jangka pendek sebelum perusahaan memperoleh pendapatan dari penjualan melalui pembiayaan sendiri atau melakukan pinjaman. Namun berdasarkan definisi tersebut modal kerja yang diperlukan oleh PT.Gorobntalo Minerals meliputi biaya operasional dan pembayaran kewajiban jangka pendek selama 3 bulan pada tahun pertama produksi.
Hal
tersebut
perlu
dipertimbangkan
karena
adanya
asumsi
ketidakpastian iklim usaha saat ini. Karena aliran kas dihitung dalam basis tahunan, maka dapat diasumsikan bahwa PT Gorontalo Minerals tidak memerlukan modal kerja untuk memulai usahanya. Bila asumsi pembiayaan ini akan digunakan bukan berarti bahwa manajemen perusahaan tidak memiliki resiko pembiayaan. Keputusan manajemen untuk memilih membiayai sendiri merupakan keputusan strategis yang telah
138
disepakati di tingkat Dewan Komisaris (shareholder) karena perusahaan ini adalah perusahaan Perseroan Terbuka (Go Public) yang memiliki tanggung terhadapa para pemegang saham.
6.2
Model Pembiayaan dan Pendapatan Secara umum, terdapat beberapa model pembiayaan yang diputuskan oleh
manajemen perusahaan. Diantaranya yaitu keputusan membiayai sendiri atau keputusan melakukan pinjaman terhadap pihak Bank (Kreditur). Keputusan pembiayaan sangat dipengaruhi oleh asset yang dimiliki oleh perusahaan karena motif dari pembiayaan yaitu untuk mengoptimumkan asset yang dimiliki untuk emningkatkan nilai perusahaan yang akan amsuk adalam arus kas. Hasil informasi yang diperoleh dari manajemen perusahaan bahwa secara umum sumber pembiayaan dapat diperoleh dari dua sumber. Pertama yaitu dari dana perusahaan sendiri atau dari pinjaman, namun dalam perencanaan yang ada bahwa seluruh pembiayaan untuk investasi diasumsikan diperoleh dari PT.Gorontalo Minerals sendiri (100 persen equity). Kemampuan perusahaan dapat meningkatkan kepercayaan diri manajemen yang dapat diharapkan berpengaruh kepada kinerja perusahaan. Hasil pengamatan bahwa perusahaan ini merupakan (Holding Company) PT Bumi Resources Minerals yang memiliki empat Perusahaan Tambang Minerals dan logam yaitu PT. Dairi Minerals, PT Citra Palu Minerals, PT Gorontalo Minerals dan PT Mauritania Minerals.
6.2.1 Biaya Produksi Meskipun asumsi yang digunakan dalam biaya produksi adalah murni diperoleh dari internal perusahaan, tidak berarti semua pembiayaan itu akan menjadi lebih mudah pelaksanaanya. Hal ini karena keputusan manajemen perusahaan untuk item ini merupakan hal yang normatif dan strategis. Sehubungan dengan biaya produksi, dalam analisis investasi pada kegiatan perusahaan ini menggunakan analisis atau estimasi biaya produksi meliputi biaya penambangan, biaya pengolahan (mill), biaya G&A dan biaya lain-lain. Dimana biaya produksi yang diperlukan oleh perusahaan ketika berada pada tahap operasi produksi tembaga-emas dan perak diperkirakan dengan melakukan perbandingan
139
biaya produksi terhadap beberapa operasi penambangan sejenis. Perincian biaya operasi yang akan digunakan oleh PT.Gorontalo Minerals dalam aliran kas adalah sebagai berikut: -
Tambang bawah tanah: o
Biaya penambangan
: 1.50 USD/ton ore
o
Biaya Pengolahan
: 5.20 USD/ton ore
o
G&A
: 2.00 USD/ton ore
o
Biaya lain-lain
: 0.34 USD/ton ore (5 persen dari total biaya
penambangan dan pengolahan) -
Tambang terbuka: o
Biaya penambangan
: 2.30 USD/ton ore
o
Biaya Pengolahan
: 5.20 USD/ton ore
o
G&A
: 2.00 USD/ton ore
o
Biaya lain-lain
: 0.38 USD/ton ore (5persen dari total biaya
penambangan dan pengolahan) Nilai mata uang yang digunakan dalam melakukan analisis aliran kas relatif dipengaruhi oleh negara mana yang dominan menjadi tempat transaksi tembaga-emas dunia. Adapun analis aliran kas untuk evaluasi rencana produksi tembaga-emas dan perak pada perusahaan akan dilakukan dengan metode analisis dollar tereskalasi dimana faktor eskalasi biaya yang digunakan adalah 2 persen per tahun. Perkiraan biaya dalam jangka panjang ditunjukkan pada (Tabel 41).
Tabel 47. Perkiraan Biaya Operasi Komponen Biaya Operasi Underground Open Pit Unit Mine
1.50
2.30 USD/t
Mill
5.20
5.20 USD/t
G&A
2.00
2.00 USD/t
Other
0.34
0.38 USD/t
140
6.2.2 Pendapatan Analisis aliran kas dalam analisis investasi rencana produksi tembagaemas dan perak sangat dipengaruhi oleh perkiraan harga jual produk yang dihasilkan. Semakin akurat proyeksi dan perkiraan harga jual komoditi dimasa yang akan datang akan semakin meningkatkan ketepatan perhitungan keuntungan proyek. Karena hal ini akan sangat mempengaruhi perhitungan analisis investasi serta penentuan kelayakan proyek. Pengolahan bijih akan menghasilkan tiga produk yaitu tembaga, emas dan perak. Untuk memperkirakan jumlah pendapatan yang akan diperoleh dari penjualan ketiga produk tersebut maka digunakan estimasi harga jual jangka panjang yaitu : Tembaga : 3.0 USD/lb, Emas : 1100 USD/oz, Perak : 14.00 USD/oz. Faktor eskalasi: 1 persen pertahun Aspek penting dalam perkiraan pendapatan (revenue) yaitu asumsi dasar yang digunakan untuk menghitung biaya produksi. Maksudnya adalah bila cadangan telah terjual maka jumlah cadangan bijih yang menghasilkan logam dalam jumlah yang cukup untuk menutupi biaya produksi diasumsikan bahwa produk logam atau biji tersebut dijual dengan harga pasar yang berlaku. Prosentase bijih yang terjual untuk tembaga, emas dan perak adalah sebagai berikut: Tembaga : 96.5 persen, Emas : 97 persen, Perak : 90 persen.
6.3.
Analisis Kelayakan Pada analisis ekonomi dan investasi rencana produksi tembaga-emas
PT.Gorontalo Minerals akan dilakukan dengan menggunakan analisis aliran kas diskonto. Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis antara lain: Discount rate sebesar 10 persen pertahun berdasarkan perhitungan WACC.
141
Pajak sebesar 30 persen, sumber pembiayaan diasumsikan 100 persen equity. Royalty untuk setiap produk yaitu tembaga 4.00 persen, emas 3.75 persen, perak 3.25 persen, Perhitungan depresiasi dan amortisasi menggunakan metode linear dengan jangka waktu depresiasi selama 20 tahun. Asumsi-asumsi lain yang juga digunakan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan pendapatan bersih ditunjukkan dalam Tabel 48. Adapun informasi tambahan (additional information) terkait dengan asumsi-asumsi yang berpedoman pada mekanisme pertambangan yang berlaku saat ini terutama bagaimana menghitung asumsi pendapatan bersih setelah dikurangi pajak dan royalty serta perhitungan depresiasi dan amortisasi yang mengasumsikan umur ekonomis dan umur teknis seluruh peralatan mesin yang dimiliki yaitu 20 tahun. Hal yang menarik pada analisi ekonomi tambang tidak memasukan faktor bunga bank dalam perhitungan pendapatan bersih karena pembiayan produksi ini tidak menggunakan biaya atau anggaran pinjaman. Asumsi untuk perhitungan pendapatan bersih dapat dilihat pada (Tabel 48). Tabel 48. Asumsi untuk Perhitungan Pendapatan Bersih Additional Information
Value
Unit
0.005
USD/lb
Gold Sales fee
1.20
USD/oz
Silver Sales fee
1.20
USD/oz
Copper Refining Charges
0.08
USD/lb
Gold Refining Charges
4.00
USD/oz
Silver Refining Charges
0.30
USD/oz
VAT
10% Percent
Copper Sales fee
Dari data biaya kapital, biaya produksi dan perkiraan pendapatan, dihasilkan proyeksi aliran kas pertahun. Dimana proyeksi aliran kas dihasilkan kriteria-kriteria untuk penilaian investasi antara lain IRR (Internal Rate of Return)
142
21.39 persen, NPV (Net Present Value) USD 462.42 juta, PBP (Payback Period) selama 7.84 tahun. Berdasarkan kriteria-kriteria investasi yang dievaluasi berdasarkan analisis konstan dollar, dapat disimpulkan bahwa rencana produksi tembaga-emas PT.GM layak secara ekonomi karena nilai NPV dan IRR menunjukkan nilai positif. Lebih jelasnya perhitungan ini dapat ditunjukkan pada Lampiran 3. Namun demikian nilai keekonomian Proyek ini masih perlu untuk dipertegas lagi, mengingat masih terdapat ketidakpastian terhadap besarnya cadangan tertambang, kadar bijih dan faktor operasi lain, akibat kegiatan eksplorasi yang belum selesai. Nilai keekonomian diperkirakan akan berubah membaik sejalan dengan perubahan ketidakpastian terhadap besarnya cadangan tertambang, kadar bijih, dan faktor operasi lain dengan dilakukannya kegiatan eksplorasi dan kajian lebih detail. Oleh karena itu faktor kehati-hatian dalam analisis kelayakan suatu proyek pertambangan sangat dibutuhkan, aspek ini sangat menentukan berhasil atau gagalnya suatu proyek pertambangan dimana cadangan yang menjadi indikator perhitungan berada didalam tanah dengan kedalaman yang sulit diperkirakan serta karakter cadangan yang berbeda di setiap wilayah prospek. Untuk meminimalisir kondisi ini, perlu adanya model analisis yang dapat digunankan. Bila menyimak proyek pertambangan wilayah lain seperti PT Aneka Tambang, analisis yang digunakan yaitu analisis sensitivitas, lebih jelas dibahas pada bagian berikut ini.
6.4.
Analisis Sensitivitas Pada perhitungan analisis investasi dan penentuan kelayakan, faktor
ketidakpastian (uncertainty) menjadi masalah yang penting dan berhubungan dengan tingkat kepercayaan hasil perhitungan yang diperoleh. Oleh karena itu harus dilakukan klasifikasi dan analisis pengaruh faktor-faktor ketidakpastian tersebut terhadap analisis investasi dan penentuan kelayakan. Analisis ketidakpastian dalam investasi dapat dilakukan dengan menganalisis parameterparameter yang berpengaruh terhadap suatu kriteria investasi. Dalam hal ini nilai NPV setiap parameter akan dibandingkan untuk mengetahui pengaruh parameter tersebut terhadap tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Penentuan parameter
143
yang paling berpengaruh terhadap perubahan tingkat keuntungan proyek dapat dilakukan dengan menganalisis grafik sensitivitas, ditunjukkan dari parameter yang memiliki kemiringan garis paling tegak. Terkait dengan rencana produksi tembaga-emas dan perak oleh perusahaan, dibutuhkan analisis sensitivitas, dimana hal ini hanya dilakukan terhadap parameter: -
Discount rate
-
Harga tembaga,emas, dan perak
-
Biaya produksi
-
Biaya modal Analisis untuk mengukur dapat ketidakpastian parameter aliran kas akan
dilakukan dengan dua metode yaitu metode deterministik dan probabilistik. Berikut ini adalah analisis yang dilakukan dengan 2 metode tersebut: 6.4.1
Metode Deterministik Analisis sensitivitas dengan metode deterministik dilakukan dengan
perubahan parameter harga, biaya produksi dan biaya modal serta discount rate sebesar ± 5 persen, ± 10 persen, ± 15 persen, ± 20 persen, dan ± 25 persen untuk perhitungan net present value (NPV). Adapun hasil pengujian sensitivitas dengan metode deterministik memberikan hasil seperti pada Gambar 32. Garis warna biru yaitu harga tembaga, garis warna jingga yaitu harga emas dan garis warna kuning yaitu biaya operasi, sedangka garis warna biru langit yaitu nilai biji tembaga. Transaksi yang digunakan yaitu dalam bentuk dollar Amerika ($) karena hampir seluruh transaksi logam mulia di pasar internasional menggunakan alat tukar ini.
Gambar 32. Grafik Sensitivitas
144
Dari analisis sensitivitas dapat diketahui bahwa pada sampai dengan kenaikan 10 persen biaya operasi dari base case dan 10 persen penurunan harga komoditas emas dan tembaga serta 10 persen penurunan kadar emas dan tembaga, proyek masih layak untuk masuk ke dalam tahap selanjutnya. Artinya meskipun asumsi discout rate berada jauh dari base rate yang digunakan dalam analisis optimisme kelayakan masih dapat dipetahankan dengan asumsi bahwa faktor nonteknis seperti isu lingkungan dan geopolitik di wilayah sekitar prospek terkendali dengan baik.
6.4.2 Metode Probabilistik Analisis sensitivitas dengan metode probabilistik dilakukan dengan input berupa harga jual produk, biaya produksi, dan biaya modal. Untuk distribusi harga komoditas adalah diasumsikan 20 persen dari nilai rata-rata harga yang ada. Jenis distribusi yang digunakan untuk harga adalah distribusi log normal. Sama halnya dengan harga, untuk biaya produksi dan biaya modal menggunakan standar deviasi sebesar 20 persen dan menggunakan jenis distribusi log normal. Penggunaan jenis distribusi lognormal untuk harga karena dari data historikal harga komoditas yang ada menunjukkan harga yang tinggi frekuensinya kecil dibandingkan harga yang rendah. Sehingga jika ditunjukkan dalam bentuk distribusi berbentuk distribusi lognormal. Untuk biaya produksi dan biaya modal juga menggunakan distribusi lognormal. Hal ini berdasarkan nilai biaya produksi dan biaya kapital diasumsikan dapat mengalami peningkatan meskipun frekuensinya kecil. Metode probabilistik ini menggunakan simulasi perhitungan Monte Carlo dengan software Crystal Ball. Selanjutnya setelah penentuan jenis distribusi, kemudian dimasukkan inputan nilai standar deviasi pada parameter harga, biaya produksi, dan biaya modal. Setelah itu ditentukan forecast yaitu (net prent value) (NPV) dari PT. Gorontaslo Minerals. Kemudian dilakukan iterasi sebanyak 2000 trial untuk diperoleh hasil dari grafik distribusi NPV. Dari simulasi Monte Carlo diperoleh hasil sebagaimana tertera pada (Gambar 33).
145
Tabel 49. Probabilitas NPV Tembaga, Emas dan Perak
Forecast Probabilities NPV Values (USD M) Percentiles
Tembaga
emas
perak
0%
0.73
62.01
94.11
10%
120.59
148.06
152.09
20%
140.64
160.95
165.41
30%
156.99
173.59
175.56
40%
171.51
182.50
182.45
50%
184.32
189.61
190.06
60%
197.87
197.54
196.85
70%
211.17
206.12
203.88
80%
227.85
215.23
212.30
90%
249.58
226.67
222.94
100%
428.50
285.50
270.67
Gambar 33. Grafik Frekuensi Probabilitas NPV Tembaga
146
Dengan parameter harga tembaga, biaya produksi dan biaya modal maka hasil simulasi Monte Carlo diperoleh rata-rata nilai NPV adalah sebesar USD M 184.5. Hasil tabulasi dari probabilitas NPV ditunjukkan pada (Tabel 49) :
Gambar 34. Grafik Frekuensi Probabilitas NPV Emas
Dengan parameter harga emas, biaya produksi dan biaya modal maka hasil simulasi Monte Carlo diperoleh rata-rata nilai NPV adalah sebesar USD M 188.55. Hasil tabulasi dari probabilitas NPV ditunjukkan pada (Tabel 49):
Gambar 35. Grafik Frekuensi Probabilitas NPV Perak
147
Dengan parameter harga silver, biaya produksi dan biaya modal maka dari hasil simulasi Monte Carlo diperoleh rata-rata nilai NPV adalah sebesar USD M 188.78. Hasil tabulasi dari probabilitas NPV ditunjukkan pada (Tabel 49):
6.5.
Kontribusi Ekonomi PT.Gorontalo Minerals Kepada Pemerintah Bila menelaah Undang-Undang RI No 33 tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintahan daerah pada pasal 14 tentang penerimaan Negara yang berasal dari sumberdaya alam sebagaiman dimaksud dalam pasal 11 ayat (3) antara lain ditetapka pada huruf a yaitu penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Penguasaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah Indonesia dibagi 20% (duapuluh persen) untuk pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah. Selanjutnya pada Pasal 15 ayat (2) dana bagi hasil dari penerimaan PSDH yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi denganrincian 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten / kota penghasil; dan 32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk kabupaten / kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Kontribusi ekonomi baik berupa royalty maupun pajak dengan menggunakan asumsi masa produksi awal dimulai tahun 2016 sampai 2045 dapat dilihat pada (Tabel 50).
148
Tabel 50. Kontribusi Ekonomi PT. Gorontalo Minerals Th
Royalty ($ m)
Pajak ( $m)
Total ( $m)
Tahun
Royalty ( $m)
Pajak ( $m)
Total ( $m)
2016
1.71
3.14
4.85
2031
8.98
25.68
34.66
2017
3.29
9.74
13.03
2032
8.98
25.93
34.90
2018
5.01
17.32
22.34
2033
8.87
25.19
34.06
2019
4.90
16.55
21.45
2034
8.87
25.40
34.27
2020
4.90
16.59
21.49
2035
8.76
24.62
33.38
2021
5.23
19.17
24.40
2036
8.76
24.79
33.55
2022
5.23
18.30
23.53
2037
8.76
24.56
33.32
2023
5.34
18.29
23.63
2038
8.76
24.31
33.07
2024
6.12
17.79
23.92
2039
8.76
24.05
32.82
2025
7.80
19.26
27.06
2040
8.76
23.78
32.54
2026
8.58
22.23
30.81
2041
8.76
23.49
32.25
2027
8.79
23.85
32.64
2042
8.76
24.12
32.88
2028
8.82
23.87
32.69
2043
8.76
24.73
33.49
2029
8.98
23.98
32.96
2044
8.76
25.35
34.11
2030
8.98
23.85
32.83
2045
8.76
25.00
33.76
Secara tidak langsung rencana produksi tembaga-emas PT.GM akan memberikan kontribusi kepada Pemerintah Pusat maupun Pemda setempat. Bentuk kontribusi tersebut antara lain berupa royalty dan pajak. Tabel 52. menunjukkan perincian kontribusi PT.GM per tahun. Total kontribusi PTGM dalam bentuk royalty selama umur tambang adalah USD 334.99 miliyar dan pajak selama umur tambang adalah USD 1499.90 juta, sehingga total kontribusi PTGM selama umur tambang adalah USD 1834.88 juta. Adapun skema bagi hasil berdasarkan Pasal 15 ayat (2) untuk sektor pertambangan emas, tembaga dan perak yang di hitung dalam skema bagi hasil yaitu komponen royalty, sedangkan komponen pajak dihitung
dan di
distribusikan ke daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang memiliki ketentuan tersendiri dalam pengaturannya, antara lain luas wilyah dan jumlah penduduk di daerah tersebut. Selanjutnya skema bagi hasil ke daerah pdapat dilihat pada (Tabel 51).
149
Tabel 51. Skema Bagi Hasil Ke Daerah Tahun 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 Total
Royalty ($ m) 1.369 4.101 5.459 5.446 5.497 5.772 8.325 10.692 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 13.106 334.99
Pajak ( $m) 1.2664803 9.1551585 18.739017 18.60082 18.235878 17.910639 30.112775 43.04898 56.387904 56.661081 56.92854 57.190055 57.445394 57.694319 57.936587 58.171948 58.400146 58.620921 59.762128 60.895367 62.048482 62.236809 62.416303 62.586661 63.535074 65.261223 66.977283 67.107922 67.227799 67.336565 1499.90
Total ( $m) 2.64 13.26 24.20 24.05 23.73 23.68 38.44 53.74 69.49 69.77 70.03 70.30 70.55 70.80 71.04 71.28 71.51 71.73 72.87 74.00 75.15 75.34 75.52 75.69 76.64 78.37 80.08 80.21 80.33 80.44 1834.88
Proyeksi yang dapat dilihat pada Tabel 51 yaitu asumsi nilai royalty, land rent dan pajak yang akan diserahkan ke Pemerintah Pusat. Sesuai dengan aturan berlaku maka sebagian bagi hasil ini akan diserahkan ke daerah penghasil, daerah kabupaten dan kota disekitar daerah penghasil dan Provinsi wakil pemerintah pusat di daerah tersebut. Bila melihat jumlah atau nilai dari pembagian ini nampak
150
nilai royalty yang diserahkan ke pemerintah akan mengalami kenaikan sampai tahun 10 masa produksi berjalan, selanjutnya pada tahun 11 sampai tahun 30 tidak naik lagi. Hal yang menarik nilai yang akan diserahkan ke pemerintah pada land rent, nampak dari tahun 1 produksi sampai tahun 30 produksi tidak pernah mengalami kenaikan. Asumsi pajak yang akan diterima oleh pemerintah nampak berbeda dengan nilai royalty dan land rent, karena pajak dari tahun 1 produksi sampai tahun 30 produksi akan terus mengalami kenaikan. Artinya pendapatan pemerintah pada sektor ini akan lebih banyak diperoleh dari sektor pajak. Tabel 52. Skema Bagi Hasil Sesuai Peruntukan Tahun Royalty ( $m) 2016 1.37 2017 4.10 2018 5.46 2019 5.45 2020 5.50 2021 5.77 2022 8.33 2023 10.69 2024 13.11 2025 13.11 2026 13.11 2027 13.11 2028 13.11 2029 13.11 2030 13.11
LandRent 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11
Pajak ($ m) 1.27 9.16 18.74 18.60 18.24 17.91 30.11 43.05 56.39 56.66 56.93 57.19 57.45 57.69 57.94
Total ( $m) 2.74 13.36 24.31 24.16 23.84 23.79 38.55 53.85 69.60 69.87 70.14 70.40 70.66 70.91 71.15
Tahun Royalty ( $m) 2031 13.11 2032 13.11 2033 13.11 2034 13.11 2035 13.11 2036 13.11 2037 13.11 2038 13.11 2039 13.11 2040 13.11 2041 13.11 2042 13.11 2043 13.11 2044 13.11 2045 13.11
LandRent 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11
Pajak ( $m) 58.17 58.40 58.62 59.76 60.90 62.05 62.24 62.42 62.59 63.54 65.26 66.98 67.11 67.23 67.34
Total ( $m) 71.39 71.61 71.83 72.98 74.11 75.26 75.45 75.63 75.80 76.75 78.47 80.19 80.32 80.44 80.55
Implikasi dari skema bagi hasil berdasarkan undang RI Nomor 33 tahun 2004 belum mampu memecahkan masalah ketimpangan wilayah antara daerah penghasil dan daerah sekitarnya karena komponen royalty yang dibagi langsung ke daerah cukup kecil nilainya bila dibandingkan dengan komponen pajak yang di alokasikan pada dana alokasi umum (DAU) dimana kriteria alokasi yang digunakan oleh pemerintah seperti luas wilayah dan jumlah penduduk tidak memiliki hubungan langsung dengan komponen pajak yang dihasilkan di suatu daerah. Selain itu komponen royalty memiliki tantangan (obstacle) tersendiri dalam menghitung proyeksi penerimaan, karena komponen ini dipengaruhi oleh
151
variable harga komoditi emas, tembaga dan perak di pasar internasional yaitu Landon Metal exchange (LME). Aspek lain yang turut mempengaruhi yaitu variable produksi, artinya perusahaan pertambangan akan terus meningkatkan produksi apabila permintaan produknya cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat pada (Tabel 53).
Tabel 53. Dana Bagi Hasil Atas Pengenaan Royalty ke Kabupaten Bone Bolango, Kab/kota Sekitar serta Provinsi Gorontalo
tahun 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045
Royalty ( $m) 1.37 4.1 5.46 5.45 5.5 5.77 8.33 10.69 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11 13.11
daerah asal ($ m) 0.4384 1.312 1.7472 1.744 1.76 1.8464 2.6656 3.4208 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952
daerah sekitar ($ m) 0.4384 1.312 1.7472 1.744 1.76 1.8464 2.6656 3.4208 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952 4.1952
Provinsi ($ m) 0.2192 0.656 0.8736 0.872 0.88 0.9232 1.3328 1.7104 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976 2.0976
152
Adapun hasil proyeksi pembagian pada Tabel 55 diatas mennjukan bahwa jumlah yang diterima oleh daerah penghasil dan Kabupaten/Kota disekitarnya sama, sedangkan yang diterima oleh provinsi lebih kecil. Akan tetapi dibandingkan dengan nilai resiko yang diterima oleh daerah penghasil dengan beban pembiayaan akibat pembukaan bentang alam yang akan berdampak terhadap lingkungan tidak seimbang.
6.6
Model Analisis Hotelling Ciri utama dari sumberdaya alam yang tidak terbarukan seperti tembaga,
emas dan perak adalah cadangannya bersifat tetap (unremovable stock). Oleh karena itu salah satu faktor yang sulit ditentukan yaitu faktor waktu yang pembentukannya memerlukan ribuan bahkan jutaan tahun sehingga penting untuk menentukan produksi yang optimal. Meskipun dalam model ekonomi kompetitif bahwa maksimisasi keuntungan ditentukan pada saat penerimaan marginal (p) sama dengan biaya marginal (BM) atau p=B. Apabila sebagian stok atau cadangan tidak terekstraksi hal ini dapat tercerminkan pada biaya oportunitasya, sehingga biaya marginal harus memperhatikan biaya oportunitas. Adapun tujuannya dilakukannya analisis Hotelling sebagai berikut: 1.
Menjadi pendapat kedua (second opinion) dari model yang digunakan pada valuasi
ekonomi
dimana
manfaat
bagi
pembangunan
wilayah
menggunanakan mekanisme rent transfer berupa pajak usaha pertambangan yang pada dasarnya model itu hanya dapat mempengaruhi present value dari sumberdaya yang diekstraksi namun tidak akan mempengaruhi laju ekstraksi.
Selanjuutnya
kualitas
informasi
melalui
analisis
isu-isu
lingkungan eksternal perusahaan untuk mendukung kegiatan operasi usaha sehingga resiko yang ditimbulkan atas kondisi lingkungan eksternal perusahaan dapat dihitung dan dianalisis aspek-aspek lingkungan tersebut dengan model penyederhanaan ekonometrika agar prinsip keberlanjutan menjadi bagian dari dokumen keputusan manajemen perusahaan. 2.
Memperkecil resiko kegagalan manajemen perusahaan yang diakibatkan oleh isu-isu lingkungan yang dapat meningkat menjadi isu politik praktis sehingga pemerintah sebagai regulator akan mengevaluasi izin kegiatan
153
operasional perusahaan. Adapun model pendekatan ini telah banyak di terapkan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan berskala besar, seperti PT INCO, PT Aneka Tambang dan PT Kaltim Prima Coal. Untuk melihat bagaimana ekstraksi yang optimal dengan skenario perubahan discount rate dan harga serta biaya lingkungan yang harus dikeluarkan akibat usaha penambangan, model Hoteling (Fauzi A, 2010) digunakan sebagai instrumen
analisis.
Analisis
model
Hotelling
dilakukan
dengan
memperhatikan tiga aspek utama yakni pengaruh (discount rate) atau (disconto), pengaruh perubahan harga mineral, dan biaya lingkungan yang timbul akibat penambangan.
6.6.1
Pengaruh Diskonto Pada Ekstraksi Tabel 55 menunjukkan bahwa pada 10 tahun pertama, faktor perubahan
diskonto sebesar 5 persen, 8 persen, 10 persen dan 15 persen. Hal ini cukup memiliki pengaruh terhadap nilai cadangan karena pada T1 kecenderungan untuk mengoptimalkan nilai ekstraksi semakin tinggi. Pada periode 10 tahun kedua cenderung mengalami penurunan namun tidak seperti pada periode 10 tahun pertama. Hal ini dipengaruhi karena pada periode ini perusahaan sudah memperoleh keuntungan (profit), tetapi pada 10 tahun ketiga cadangan tertambang terus mengalami penurunan. Hal ini dapat terjadi bila tidak penemuan cadangan baru dan harga tidak mengalami kenaikan.
Tabel 54. Pengaruh Diskonto Terhadap Ekstraksi t 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
y10 y8 y5 y15 162.34 144.00 123.43 222.56 147.67 128.40 109.16 193.66 134.34 118.96 103.03 168.53 122.21 110.21 97.24 146.68 111.19 102.12 91.78 127.68 101.18 94.62 86.63 111.16 92.07 87.67 81.76 96.79 83.79 81.24 77.17 84.29 76.26 75.28 72.84 73.43 69.42 69.77 68.76 63.98 63.20 64.66 64.90 55.77 Dilanjutkan pada halaman berikutnya
154
Lanjutan tabel 54 t 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 rata-rata
y10 57.55 52.41 47.73 43.49 39.62 36.11 32.92 30.02 27.38 24.98 22.80 20.82 19.02 17.38 15.89 14.54 13.31 12.19 11.17 56.77
y8 59.93 55.54 51.48 47.72 44.23 41.00 38.01 35.24 32.67 30.28 28.07 26.02 24.12 22.35 20.72 19.19 17.78 16.46 15.24 56.77
y5 61.26 57.82 54.58 51.51 48.62 45.89 43.31 40.88 38.58 36.40 34.35 32.41 30.57 28.84 27.20 25.65 24.18 22.79 21.47 56.77
y15 48.62 42.41 37.01 32.31 28.23 24.68 21.59 18.90 16.57 14.54 12.77 11.24 9.90 8.74 7.73 6.85 6.09 5.43 4.85 56.77
Sebagaimana terlihat pada Tabel 54, hasil analisis menunjukkan bahwa diskonto cukup berpengaruh pada periode awal dimana diskonto yang besar cenderung meningkat ekstraksi pada periode awal. Ekstraksi akan menurun karena berkurangnya cadangan. Proyeksi cadangan tambang pada Tabel 55 berdasarkan lama waktu kontrak karya tahap satu selama 30 tahun dan diproyeksi berdasarkan informasi harga komoditi logam mulia di pasar internasional.
Tabel 55. Nilai Diskonto Terhadap Ekstraksi
T1 T2 T3
y5 y8 y10 y15 88.79 97.90 105.79 122.23 47.88 43.61 39.22 28.49 27.49 21.11 16.35 8.18
Hasil uji simulasi nampak pada Gambar 36 garis kurva yang menunjukkan bahwa bila jumlah cadangan mineral logam 88.79
juta ton dengan asumsi
discount rate 8,7 persen. Maka pada periode tahun ketiga cadangan tertambang
155
sisa 8,18 juta ton. Gambar 36 memperjelas ketersediaan cadangan tertambang dimana pada 10 tahun pertama kecenderungan peningkatan produksi tambang cukup tinggi sehingga cadangan tertambang saat itu banyak yang dihasilkan untuk menutupi biaya investasi yang telah dikeluarkan. Hal ini berakibat pada 10 tahun kedua dan 10 tahun ketiga cadangan tertambang semakin mengalami penurunan (deminishing).
Kondisi
tersebut
tidak
mempengaruhi
kegiatan
usaha
pertambangan karena harga logam mulia cenderung meningkat saat ini.
Gambar 36. Grafik Pengaruh Diskonto Pada Ekstraksi Cadangan
6.6.2. Pengaruh Perubahan Harga Pada Ekstraksi Untuk melihat seberapa basar pengaruh perubahan harga pada jalur ekstraksi yang optimal dalam model Hotteling, maka dilakukan analisis perubahan harga pada asumsi $ 900, $ 1200, $ 1600 dan $ 2000. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 57 dimana pengaruh harga terhadap ekstraksi pada awal periode yang cenderung mengalami peningkatan ekstraksi. Hal ini sering dilakukan perusahaan untuk memenuhi permintaan pasar karena komoditi ini diperdagangkan dengan sistem pasar terbuka (market mechanism) dan juga untuk menutupi biaya produksi pada awal kegiatan perusahaan. Meskipun antara harga $ 900 dan harga $ 1200 sampai harga $ 2000 /troy/once posisi nilai ekstraksi tidak begitu mengalami penurunan. Artinya, meskipun harga telah mencapai $ 2000 /troy/once namun hal ini tidak akan menunda pengekstraksian cadangan oleh perusahaan.
156
Bila disimak pada periode kedua, maka cadangan terus mengalami penurunan dan mengikuti asumsi harga yang digunakan yang cukup mempengaruhi cadangan itu. Dimana pada tahun ke dua puluh sisa cadangan yaitu 36,47 juta ton dengan asumsi harga $ 900 kemudian pada asumsi harga $ 1200 cadangan yaitu 36,16 juta ton, selanjutnya asumsi harga $ 1600 maka cadangan tertambang saat itu 36,40 juta ton, sedangkan asumsi harga $ 2000 cadangan tertambang 35, 92 juta ton.
Tabel 56. Pengaruh Perubahan Harga Pada Ekstraksi T 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Rata-rata
p900 P1200 P1600 P2000 121.91 128.15 123.43 134.12 109.17 109.16 109.16 109.14 103.03 103.02 103.03 102.99 97.25 97.22 97.24 97.19 91.79 91.76 91.78 91.71 86.64 86.59 86.63 86.54 81.78 81.72 81.76 81.66 77.19 77.13 77.17 77.06 72.86 72.79 72.84 72.71 68.78 68.69 68.76 68.60 64.92 64.82 64.90 64.72 61.29 61.17 61.26 61.06 57.85 57.72 57.82 57.60 54.61 54.47 54.58 54.33 51.55 51.39 51.51 51.24 48.66 48.49 48.62 48.31 45.94 45.74 45.89 45.55 43.36 43.15 43.31 42.94 40.93 40.70 40.88 40.47 38.64 38.38 38.58 38.14 36.47 36.19 36.40 35.92 34.42 34.12 34.35 33.83 32.49 32.16 32.41 31.85 30.66 30.30 30.57 29.97 28.93 28.55 28.84 28.18 27.30 26.88 27.20 26.49 25.75 25.31 25.65 24.89 24.29 23.81 24.18 23.36 22.91 22.40 22.79 21.91 21.61 21.05 21.47 20.53 56.77 56.77 56.77 56.77
157
Pada Tabel 56 menyajikan nilai periode masing-masing 10 tahun pengaruh harga terhadap ekstraksi. Nampak bahwa pada harga $ 1600 /Troy/Once berada pada harga yang cukup baik karena tingkat penurunan nilai ekstraksi berbeda dengan harga-harga yang lain meskipun bila dilihat dari aspek periode masing tetap mengalami penurunan juga.
Tabel 57. Pola Ekstraksi Pada Tingkat Harga yang Berbeda p900 P1200 P1600 P2000 T1 88.67 89.19 88.79 89.68 T2 47.93 47.74 47.88 47.56 T3 27.60 27.17 27.49 26.78
Demikian juga bila dilihat pada penggambaran Grafik 37, hampir tidak ada perbedaan antara harga yang satu dan lainnya, akan tetapi karena nilai ekstraksi dalam jumlah yang besar (jutaan ton) maka hal itu memiliki yang besar juga terhadap setiap perubahan harga pada cadangan tertambang dalam (juta ton).
Gambar 37. Grafik Ekstraksi Pada Tingkat Harga Berbeda
6.6.3
Pengaruh Biaya Lingkungan terhadap Ekstraksi Salah satu aspek penting dalam ekstraksi mineral adalah adanya dampak
lingkungan. Dalam hal ini harus dihitung oleh pihak perusahaan dalam bentuk biaya lingkungan baik untuk pengembangan program tanggung jawab perusahaan (CSR) dan program pengembangan komunitas (community development) serta pemulihan pascatambang yang secara konsisten dan konsekuen dilakukan oleh
158
perusahaan agar tidak menimbulkan dampak sosial maupun dampak lingkungan. Hal ini sangat terkait juga dengan aspek kredibilitas perusahaan yang berkecimpung dalam dunia pertambangan sehingga nanti masyarakat sebagai penerima manfaat sekaligus sebagai korban akan memiliki nilai empati dan simpati kepada perusahaan itu. Pada model Hotelling biaya lingkungan ini diasumsikan antara 1 persen, 1,5 persen dan 5 persen dari total biaya ekstraksi. Adapun hasil analisis model ini dapat dilihat pada Tabel 58 berikut. Tabel 58. Pengaruh Ekstraksi Pada Biaya Lingkungan Berbeda t 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Yling5% Yling1.5% Yling1% 115.66 151.75 115.66 109.17 109.07 109.17 103.05 102.90 103.05 97.27 97.08 97.27 91.82 91.58 91.82 86.68 86.39 86.68 81.83 81.48 81.83 77.26 76.85 77.26 72.94 72.47 72.94 68.87 68.33 68.87 65.03 64.42 65.03 61.40 60.72 61.40 57.98 57.22 57.98 54.76 53.91 54.76 51.72 50.78 51.72 48.84 47.81 48.84 46.14 45.01 46.14 43.58 42.35 43.58 41.17 39.82 41.17 38.90 37.43 38.90 36.75 35.16 36.75 34.73 33.00 34.73 32.82 30.94 32.82 31.02 28.99 31.02 29.32 27.13 29.32 27.72 25.35 27.72 26.20 23.65 26.20 24.78 22.02 24.78 23.43 20.46 23.43 22.16 18.96 22.16
159
Hasil simulasi model Hotelling, ditemukan bahwa perubahan biaya lingkungan antara 1 persen, 1,5 persen dan 5 persen tidak memiliki perubahan (sama). Maka hal ini memungkinkan manajemen perusahaan untuk meningkatkan biaya lingkungan sehingga pada akhir masa produsi perusahaan tidak akan banyak mengeluarkan biaya lagi kecuali untuk reklamasi dan revegetasi. Jika biaya lingkungan berbeda antara 1,5 persen dan 5 persen yaitu perbedaan yang signifikan terjadi pada periode 10 tahun pertama. Namun pada periode kedua perbedaanya cenderung tidak signifikan lagi yaitu biaya lingkungan 1,5 persen (47,02 juta ton) sedangkan biaya lingkungan 5 persen yaitu (48.12 juta ton). Pada periode terakhir perbedaan ini nampak lagi, hal ini dipengaruhi oleh cadangan tertambang yang semakin menurun. Rekapitulasi perubahan biaya lingkungan dapat dilihat pada (Tabel 59). Tabel 59. Pola Ekstraksi pada Biaya Lingkungan berbeda
T1 T2 T3
Yling5% Yling1.5% 88.14 91.12 48.12 47.02 28.02 25.61 Gambar 38 menunjukan pola ekstraksi terhadap biaya lingkungan, dimana
pengaruh antara pola pembiayaan lingkungan yang berbeda tidak cenderung memiliki perbedaan pengaruh terhadap nilai ekstraksi dimasing-masing pola pembiayaan. Oleh karena itu penting bagi perusahaan untuk memasukkan biaya lingkungan dalam perhitungan valuasi ekonomi mineral.
Gambar 38. Grafik Pengaruh Ekstraksi Pada Biaya Lingkungan Berbeda
160
Pendekatan ini hampir tidak dapat ditemui di setiap kegiatan perusahaan baik perusahaan di bidang produksi maupun jasa. Isu yang sangat sensitif pada kegiatan usaha pertambangan adalah isu lingkungan dimana kegiatan usaha pertambangan selalu diidentikan dengan isu perubahan bentang alam dan hasil limbahnya dapat menurunkan kualitas sumberdaya air yang sangat dibutuhkan oleh semua mahluk di dunia ini. Pada bagian ini kemungkinan untuk menerapkan telah dianalisis dengan menggunakan model matematika yang sama dengan asumsi mengelurkan biaya ekstraksi 8 persen. Adapun hasil uji tersebut dapat dilihat pada grafik dimana meskipun nilai cadangan mineral logam ini tidak banyak mengalami penurunan sampai umur usaha pertambangan 30 tahun namun penurunan nilai cadangan ini hampir memiliki tren yang sama dengan grafik sebelumnya. Dari hasil di atas terlihat bahwa perubahan harga cukup sensitif pada periode awal ekstraksi selanjutnya tidak banyak mengalami perubahan karena menurunnya cadangan. Sementara besaran biaya lingkungan cukup berpengaruh terhadap besar ekstraksi pada periode awal dimana biaya lingkungan yang rendah akan meningkatkan ekstraksi pada periode awal dan ketika biaya tersebut meningkat ekstraksi juga menurun karena pengaruh biaya yang harus dikeluarkan menyebabkan ekstraksi tidak optimal jika harus dalam jumlah besar.
VII. ANALISIS MODEL KELEMBAGAAN SEBAGAI SINTESA KERANGAKA RESOLUSI KONFLIK
7.1
Analisis Fakta dalam Pendekatan Institutional Governance Aspek institusional governance akan lebih dioptimalkan analisisnya dalam
rangka mencapai penjelasan ilmiah terkait dengan variabel-variabel yang telah diajukan dalam angket. Aspek ini demikian pentingnya juga karena terkait dengan beberapa alasan yaitu: 1) isu negatif terhadap kegiatan usaha pertambangan terutama pada aspek kerusakan lingkungan, ketimpangan antara wilayah dan klaim penguasaan lahan (PETI) sejatinya dapat dihindari bila ada proses penyadaran institutional kepada masyarakat sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan secara melembaga; 2) hal ini dapat dilakukan bila ada asumsi ilmiah yang dilakukan melalui model pengembangan dan pendalaman persepsi masyarakat dan rona awal sosial ekonomi masyarakat sekitar pemanfaatan sumberdaya tambang; 3) oleh karena prinsip tatakelola kelembagaan dalam penelitian ini akan diawali dengan membangun model data tentang aspek-aspek yang dibutuhkan untuk dijadikan rujukan awal. Adapun lokasi yang menjadi sampel dalam penelitian dapat ditunjukkan pada pada Lampiran 9 Tabel sebaran sampel lokasi pengambilan data. Model kelembagaan dalam penelitian ini diarahkan pada sembilan unsur yang terkandung dalam tatakelola atau yang dikenal dengan good governance seperti yang telah dijelaskan oleh United Nation Development programe (UNDP) mungkin menjadi bagian pedoman pada model kelembagaan yang baik dalam konteks pengelolaan pertambangan di Kabupaten Bone Bolango. Setelah dicermati dari sembilan unsur tersebut maka ada enam unsur tatakelola yang menjadi bagian pedoman. Enam unsur tersebut yaitu:
7.1.1 Peran Hukum (Rule of Law) Pengertian peranan hukum dalam model kelembagaan sumberdaya tambang lebih dipandang bahwa hukum harus mencerminkan nilai keadilan dan kesamaan setiap orang didepan hukum melalui upaya penegakan hukum law inforcement dan hak asasi manusia. Mendalami hasil analisis pada unsur peran
162 hukum dalam penelitian ini digunakan keterkaitan antara penegakan hukum dengan aktivitas penambang tanpa izin (PETI) yang selama ini menjadi isu konflik dan menjadi bahan perdebatan bahkan telah masuk pada rana politik disetiap forum berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya tambang. Masalah ini dimulai dengan sejarah permulaan penambang tanpa izin. Berdasarkan hasil wawancara kegiatan PETI ini dimulai sejak 1985 yaitu seorang responden, tahun 1989 yaitu dua orang responden, tahun 1990 yaitu lima orang responden, tahun 1991 yaitu satu orang responden, kemudian pada tahun 1992 yaitu sepuluh responden. Mulai kembali lagi tahun 1997 yaitu 1 responden, tahun 2005-2010 masing-masing 1 responden dan terakhir tahun 2011 yaitu 2 responden dengan total 27 responden yang menjawab pada bagian ini atau 32,5 persen dari total 83 responden. Terlihat terjadi lonjakan Penambang Tanpa izin pada tahun 1992 dimana terdapat 10 responden yang menjawab permulaannya menambang di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Permulaan dari penambangan ini yaitu di dusun Mohutango tepatnya berada di sudut utara sebelah kiri peta konsesi kontrak karya. Daerah ini di bawah administrasi Kecamatan Suwawa Timur yang merupakan pemekaran Kecamatan Suwawa. Kemudian semakin meluas ke wilayah bekas titik bor (penelitian eksplorasi) oleh pemegang konsesi sebelumnya diantaranya PT New Crase, PT BHP, PT Yutah Pasific. Perusahaan ini melepas kontrak karyanya ke perusahaan lain yaitu PT Gorontalo Minerals merupakan pemegang hak kontrak karya generasi ke tujuh. Adapun alasan pelepasan ini (take over) belum dapat dijumpai sampai saat ini namun informasi dari para penambang karena perusahaan itu telah menemukan cadangan yang lebih besar di wilayah lain. Adapun awal mulai kegiatan penambang tanpa izin dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabel awal mulai penambang tanpa izi (PETI). Selanjutnya dalam analisis ini yaitu hubungan penambang tanpa izin dengan pengelolah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone lebih diartikan dalam konteks kelembagaan hukum di saat wilayah ini masih bagian dari TN. Pada di lokasi penelitian terdapat Kantor Sub Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang berlokasi di Desa Bube Kecamatan Suwawa. Di kantor ini
163 terdapat beberapa pegawai staff administrasi dan Polisi Hutan. Hasil uji analisis tabel frekuensi menunjukkan bahwa hubungan PETI dengan pengelola TN yang menjawab tidak tahu 26 responden atau 31.3 persen, sedang jawabannya tidak baik 3 responden atau 4 persen, dan yang menjawab hubungan baik yaitu 6 responden atau 7.2 persen dengan total 35 reponden yang menjawab atau 42.2 persen. Tabel mengenai hubungan penambang tanpa izin dengan pengelola TN Bogani Nani Wartabone dapat dilihat pada Lampiran 11. Adapun kepemilikan atau posisi dalam penambang tanpa izin telah menjadi bagian dari penelusuran data melalui angket yang diedarkan. Pertanyaan ini relatif sulit untuk diperoleh namun dengan kiat-kiat yang telah dilakukan cukup berhasil mendapatkan jawaban dari para penambang. Hal ini wajar untuk disimak karena terkait dengan keamanan diri masing-masing penambang. Hasil penelusuran data diperoleh yaitu sebagai buruh 4 responden atau 5 persen, sebagai donatur 1 responden atau 1.2 persen, sebagai pemilik 29 responden atau 40 persen, dan sebagai pedagang pengumpul yaitu 1 responden atau 1.2 persen dengan total yang memberikan jawab yaitu 35 responden atau 42,2 persen dari total 83 responden yang dapat ditelusuri. Lebih jelasnya item ini dapat dilihat pada Lampiran 12 Tabel posisi penambang tanpa izin. Hubungan penambang tanpa izin dengan para pihak lebih diarahkan kepada bagaimana interaksi mereka dengan para pihak terutama dengan orangorang yang ingin mempertahankan status quo ini yang disinyalir turut menerima bagi hasil dari penghasilan penambang tanpa izin. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 13 tentang hubungan PETI dengan para pihak, dimana masyarakat penambang yang menjawab tidak tahu 22 responden atau 26.5 persen sedangkan yang menjwab baik yaitu responden atau 5 persen. Keengganan menjawab ini juga merupakan bentuk kecurigaan kepada peneliti karena lebih dihadapkan pada alasan sebelumnya yaitu bentuk penguasaan lahan. Asumsi sebelumnya semakin mengerucut pada penelusuran pertanyaan terkait dengan kenyamanan bekerja Para Penambang Tanpa Izin. Seperti yang telah dianalisis melaui tabel frekuensi nampak bahwa masyarakat penambang yang menjawab tidak tahu 1 responden atau 1.2 persen dan penambang yang merasa tidak nyaman bekerja yaitu 2 reponden atau 2.4 persen, akan tetapi cukup
164 berbeda dengan jawaban penambang tanpa izin yang merasa nyaman bekerja yaitu 32 responden atau 39 persen. Hal ini dapat ditunjukkan pada Lampiran 14 Tabel kenyamanan bekerja PETI. Asumsi bahwa penambang tanpa izin cukup percaya diri bekerja dan menjawab pertanyaan sebelumnya mulai terjawab pada pertanyaan dibawah ini, dimana penambang tanpa izin mendapat dukungan para pihak. Hal ini dapat ditunjukkan pada Lampiran 15 Tabel dukungan para pihak yaitu pihak keamanan 16 responden atau 19.3 persen dan yang didukung oleh pihak politisi yaitu 5 responden atau 6.0 persen. Selanjutnya yang mendapat dukungan dari pemerintah setempat yaitu 6 responden atau 7.2 persen. Total yang menjawab pada item ini yaitu 27 responden atau 32.5 persen. Isu yang tidak kalah penting dalam konflik pertambangan ini yaitu berkaitan dengan penggunaan Mercury dan Cianida di kalangan penambang tanpa izin di lokasi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Terbukti bahwa penggunaan itu ada seperti pada jawaban penambang yaitu yang menjawab tidak tahu 17 responden atau 20.5 persen, kemudian penambang yang menjawab tahu 21 responden atau 25.3 persen. Jumlah total yang menjawab 38 responden atau 46 persen. Penggunaan mercury dan cianida dapat dilihat pada Lampiran 16. Ekspansi ini telah menjadi isu politik praktis di kalangan masyarakat, karena adanya penegakan hukum yang tidak optimal dan terpadu, bahkan pada jawaban pertanyanan ternyata 16 responden yang menjawab pihak keamanan termasuk yang memberikan perlindungan terhadap penambang tanpa izin. Terkait dengan usaha penertiban yang dilakukan pihak keamanan akan menghadapi persoalan sendiri dengan pihak PETI. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 17 tentang Tabel penertiban penambang tanpa izin. Penambang tanpa izin yang menjawab tidak mengetahui tentang penertiban PETI 2 responden atau 2.4 persen, dan menjawab tidak pernah ada penertiban 4 responden atau 5 persen, selanjutnya yang memberikan jawaban pernah ada penertiban 31 responden atau 37.3 persen. Jumlah total menjawab paertanyaan ini yaitu 37 reponden 45 persen. Pertanyaan ini lebih lanjut diarahkan pada pengelolaan konsesi oleh PT Gorontalo Mineral secara profesional, apakah menimbulkan konflik dengan masyarakat. Jawaban responden pada pertanyaan ini yaitu pengelolaan secara
165 professional oleh PT GM tidak akan menimbulkan konflik 29 responden atau 35 persen dan menjawab akan menimbulkan konflik 9 responden 11 persen. Nampak bahwa pengelolaan konsesi tersebut relatif dapat dipertimbangkan oleh para pihak. Lebih jelasnya aspek ini dapat dilihat pada Lampiran 18 tentang Tabel konsesi lahan perusahaan PT Gorontalo Minerals. Peluang pengelolaan secara professional kepada pemilik konsesi maka kelembagaan sosial kemasyarakatan dapat diarahkan untuk membangun kohesivitas masyarakat untuk mengantisipasi terjadinya konflik antara masyarakat di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya dengan PT Gorontalo Minerals. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 19 Tabel Kohesivitas antar masyarakat dengan PT Gorontalo Minerals. Adapun responden yang menjawab tidak memberikan peluang konflik yaitu 13 responden 15,7 persen dan menjawab kelembagaan sosial kemasyarakatan dapat menimbulkan konflik yaitu 10 responden atau 12.0 persen. Nampak bahwa organisasi sosial kemasyarakatan relatif tidak memberikan peluang terjadinya konflik bahkan dapat menjaga kohesivitas. Item ini lebih ditekankan pada peran kelembagaan organisasi sosial kemasyarakatan dalam memfasilitasi penyelesaian konflik antara masyarakat dengan PT Gorontalo Minerals. Terdapat 21 responden yang menjawab bahwa kelembagaan organisasi tersebut bisa berperan mengatasi konflik antara masyarakat (pemukim di lahan konsesi kontrak karya) dengan PT Gorontalo Minerals atau 25.3 persen. Sedangkan 15 responden yang menjawab bahwa kelembagaan organisasi sosial kemasyarakatan itu tidak bisa mengatasi konflik atau 18.1 persen. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 20 Tabel organisasi untuk fasilitasi konflik. Permasalahan utama konflik ini karena tidak ada kesamaan visi baik dari pihak perusahaan maupun dari pihak PETI demikian juga pemerintah. Akibatnya tidak pernah ada solusi yang dapat menjadi titik tengah dari semua pihak dengan mengedepankan aspek ketaatan hukum bagi semua pihak yang bias duduk bersama untuk menyelesaikan konflik. Selain itu pimpinan pemerintahan di daerah ini cenderung melihat konflik ini pada aspek politik. Artinya bila hukum ditegakkan dan para penambang tanpa izin (PETI) akan keluar dari wilayah ini
166 akan mempengaruhi nilai dukungan masyarakat kepada pemerintah pada pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota legislatif. Pada item ini lebih diarahkan pada pendalaman konflik antara perusahaan dengan pemerintah bila sumberdaya tambang akan dikelola secara professional. Terdapat 23 responden yang menjawab tidak akan menimbulkan konflik antara pemerintah dengan perusahaan (PT GM) atau 28 persen. Sebanyak 12 responden yang menjawab bahwa pengelolaan secara profesional oleh perusahaan akan menimbulkan konflik antar pemerintah dengan perusahaan atau 14,5 persen, dengan total 35 responden yang menjawab pada item ini atau 42.2 persen. Bila informasi ini dijadikan rujukan dalam menatakelola sumberdaya tambang haruslah pemerintah dan para pihak termasuk LSM dan PETI sudah dapat duduk bersama untuk menyusun resolusi konflik yang selama ini menjadi perdebatan. Konflik perusahaan dengan Pemerintah dapat dilihat pada Lampiran 21. Isu-isu konflik adanya pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional bukan saja muncul antara masyarakat di sekitar lahan konsesi dengan perusahaan (PT GM) namun potensi konflik dapat terjadi antara masyarakat dengan pemerintah akibat arah kebijakan pembangunan ekonomi dengan mengoptimalkan pemanfaata sumberdaya tambang secara profesional kepada perusahaan tambang. Sebanyak 9 responden menjawab tidak akan menimbulkan konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 11 persen dan yang menjawab akan menimbulkan konflik 10 responden atau 12.0 persen. Mengenai kohesivitas pemerintah dengan masyarakat ditampilkan pada Lampiran 22. Arah dari item ini bagaimana peran lembaga sosial kemasyarakatan yang ada dapat memfasilitasi kemungkinan konflik antara pemerintah dengan masyarakat terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tambang di lahan konsesi PT Gorontalo Minerals secara profesional. Sebanyak 14 responden menjawab bahwa lembaga sosial kemasyarakatan ini tidak bisa menyelesaikan kemungkinan konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 17 persen, sedang yang menjawab bahwa kelembagaan sosial kemasyarakatan itu bias mengatasi konflik antara pemerintah dengan masyarakat atau 10 persen. Terkait dengan organisasi kemasyarakat untuk memfasilitasi konflik Pemerintah dengan masyarakat dapat dilihat pada Lampiran 23.
167 Lampiran 24 mendiskripsikan bentuk-bentuk konflik di wilayah timpang tindih tersebut. Dijumpai bentuk konflik beda pendapat 3 responden, belum ada konflik dan penertiban masing-masing 1 responden, konflik pengeboran 2 responden, perebutan kekuasaan dan salah paham 2 responden. Selanjutnya perebutan lahan-lahan pertambangan tanpa izin 3 responden, perebutan lahan pomukiman diwilayah konsesi kontrak karya 3 responden, perkelahian antar warga 3 responden dan konflik minuman keras 1 responden serta konflik rumah tangga 1 responden. Terdapat 20 responden yang menjawab pertanyaan item ini. Dijumpai persaingan antar kelompok penambang tanpa izin di lokasi penambangan cukup rawan dan relatif mudah terprovokasi karena karakter pekerjaan dan sulitnya medan yang ditempuh karena bergunung-gunung membuat perilaku penambang tanpa izin terkesan keras dan mudah tersinggung. Pengaruh lain yaitu adanya persaingan antara kelompok penambang dengan kelompok penambang lainnya cukup tinggi terutama bagaimana dapat mempertahankan lahan-lahan yang menurut mereka memiliki potensi tambang serta siapa yang menjadi beking masing-masing pemilik lahan dan tromol tersebut. Arah pertanyaan terakhir lebih mencari solusi alternatif penyelesaian konflik. Diharapkan alternatif ini dapat menjadi bagian penting dalam memberikan umpan kepada para pihak agar saat pengelolaan secara professional oleh perusahaan kemungkinan konflik dapat diperkecil dan bahkan dapat memberikan informasi dan pengalaman kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Terkait dengan alternatif penyelesaian konflik dapat dilihat pada Lampiran 25 Tabel alternatif penyelesaian konflik. Responden yang menjawab yaitu konflik dapat diselesaikan melalui jalur hukum 1 responden, dengan model musyawarah mufakat yaitu 8 responden. Selanjutnya 4 responden memilih alternatif solusi penyelesaian konflik yaitu penertiban, kemudian menjawab dengan persetujuan masing-masing pihak 1 responden. Terakhir jawabannya yaitu PT Gorontalo Minerals menghentikan dulu operasinya sampai saat yang lebih menjamin keamanan dan kenyaman para pekerja yaitu 1 responden. Hirarki yang paling tinggi dalam budaya kita yaitu musyawarah, artinya meskipun konflik ini belum dapat teratasi namun keinginan masyarakat bermusyawarah masih cukup terbuka.
168 7.1.2
Partisipasi (Participation) Prinsip kekuasaan berada di tangan negara namun kedaulatan berada
ditangan rakyat. Hal ini membutuhkan pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan baik secara langsung atau melalui model intermediasi atau lembaga yang mewakili kepentingan masing-masing secara konstruktif dan dibangun diatas kejujuran. Oleh karena itu pada penelitian ini telah dieksplorasi tentang partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolango. Mengetahui
peran
keterlibatan
masyarakat
dalam
advokasi
atau
penyuluhan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang. Dijumpai bahwa keinginan berpartisipasi masyarakat cukup tinggi dimana 83 responden yang menjawab turut berpartisipasi yaitu 34 atau 41.0 persen. Sementara yang tidak berpartisipasi yaitu 16 responden atau 19.3 persen. Akan tetapi yang tidak menjawab lebih banyak bila dibanding dengan yang tidak berpartisipasi yaitu 33 responden 39.8 persen. Keengganan masyarakat ini lebih dikarenakan oleh belum optimalnya model materi advokasi yang disampaikan terutama kepada masyarakat yang bermukim di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 26. Meskipun pada model partisipasi advokasi masyarakat di wilayah konsesi relatif tidak optimal. Namun dijumpai keikutsertaan masyarakat didalam kegiatan penyuluhan cukup baik yaitu 52 responden yang mengikuti penyuluhan atau 63 persen dan yang tidak mengikuti sebanyak 28 responden 34 persen. Sedangkan yang tidak jelas hanya 3 responden atau 4 persen. Meskipun mengikuti itu kurang bermakna bila dibanding dengan makna partisipasi namun penting adanya suatu proses pencapaian hasil advokasi atau penyuluhan bukan dilihat dari aspek hasil. Kapasitas atau tingkat pendidikan masyarakat yang relatif kurang baik merupakan satu aspek yang perlu dipertimbangkan. Terkait dengan intesitas mengikuti penyuluhan dapat dilihat pada Lampiran 27. Kemampuan masyarakat tentang isi advokasi relatif cukup baik, hal ini dapat dilihat pada Lampiran 28, dimana responden menjawab tahu dan mengerti isi advokasi yaitu 54 responden atau 65.1 persen dan responden yang tidak tahu dan tidak mengerti sebanyak 26 atau 31.3persen. Sedangkan responden yang tidak
169 menjawab yaitu 3 orang atau 3,6 persen. Lampiran 28 mengenai kemampuan menyerap materi advokasi menunjukkan bahwa kemampuan masyarakat dalam menyerap informasi tentang penyuluhan atau arahan mengenai pertambangan profesional sudah cukup baik. Hal ini tidak terlepas dengan adanya kemajuan teknologi, kepekaan masyarakat terhadap kemajuan dan kebaruan informasi cukup cepat terutama mengenai informasi pertambangan yang sepertinya sudah tidak sulit lagi bagi mereka (PETI) untuk mendapatkannya. Aspek penting yang dijumpai di masyarakat pemukim pada wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya yaitu sifat dukungan terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang. Terlihat bahwa responden yang menjawab sangat mendukung yaitu 43 responden atau 52 persen dan yang cukup mendukung yaitu 28 responden atau 34 persen. Responden yang kurang mendukung sebanyak 8 responden atau 10 persen dari total 83 responden yang berhasil diwawancarai. Variabel sangat mendukung dan cukup mendukung yang dijawab responden merupakan informasi yang baik dan menjadi harapan para pihak untuk mendesain pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional tanpak mengabaikan aspek lingkungan terutama masyarakat yang bermukim diwilayah tumpang tindih. Bobot ini cukup berkaitan dengan kapasitas masyarakat dalam mengikuti penyuluhan atau pengarahan dari para pihak. Semakin baik kualitas pemahaman masyarakat maka semakin meningkat bobot pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang. Akan tetapi responden yang kurang mendukung akan berkembang bila upaya advokasi tidak dilakukan secara baik terutama kepada penambang tanpa izin karena upaya untuk melegalkan PETI ini cukup berkembang. Misalnya seperti dijumpai dibeberapa aktivis mahasiswa dan tokoh masyarakat menginginkan agar sebagian wilayah konsesi kontrak karya tersebut diusulkan menjadi wilayah pertambangan rakyat.
7.1.3 Kesepakatan (Consensus Orientation) Orientasi membangun kesepakatan dalam mediasi antara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan yang terbaik bagi kepentingan yang lebih luas dan jangka panjang dalam penelitian ini dicoba dilihat dari aspek dukungan masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang di wilayah kontrak karya
170 PT Gorontalo Minerals. Hal ini seperti digambarkan pada hasil wawancara dalam angket. Mengenai sifat dukungan pemanfaatan sumberdya tambang dapat dilihat pada Lampiran 29. Terkait dengan dukungan yang disampaikan oleh responden pada Lampiran 28, maka pada Lampiran 30 Tabel tentang bentuk dan dukungan pemanfaatan sumberdaya tambang sasarannya yaitu mengetahui bagaimana dukungan masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya tambang secara profesional. Total responden yang memberikan jawaban atau saran diterima yaitu 54 atau 65,1 persen. Responden yang menolak idea atau saran sebanyak16 responden atau 19.3 persen dan yang tidak menjawab yaitu 13 responden atau 15.7 persen. Selanjutnya penting untuk mengetahui apakah masyarakat di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya mengikuti dan menyalurkan aspirasinya lewat organisasi atau lembaga di tingkat lingkungan. Nampak bahwa masyarakat enggan atau kurang tertarik menyampaikan hal itu didalam organisasi dimana terdapat 46 responden yang menjawab tidak mengikuti organisasi atau 55.4 persen. Selanjutnya responden yang mengikuti organisasi yaitu 32 responden atau 39 persen, namun yang tidak menjawab yaitu 5 responden atau 6.0 persen. Umumnya masyarakat kurang tertarik masuk dalam organisasi karena lembaga organisasi relatif menyusun kegiatan program yang bersifat ritual sedangkan organisasi yang menyusun program terkait dengan isu-isu konflik pemanfaatan ruang relatif tidak ditemui. Indikator bahwa kelembagaan sosial ekonomi dan budaya memberikan peran terhadap interaksi dan kohesivitas masyarakat dalam rangka menjadi salah satu penentu apabila pemanfaatan sumberdaya tambang secara profesional akan diwujudkan. Meskipun bobot keterlibatan masyarakat masih harus didalami dalam kajian ilmiah selanjutnya agar nanti rekomondasi akan lebih berbobot pula. Lampiran 31 lebih memperjelas mengenai keterlibatan dalam organisasi. Keengganan masyarakat mengikuti organisasi menjadi tolok ukur penting bagi para pihak terutama pemerintah dan pemegang izin kontrak karya untuk membangun konsensus melalui penyadaran institutionl kepada para pihak agar kesepakatan tersebut dapat dipahami secara melembaga dan dapat dipertanggung
171 jawabkan kepada publik untuk dinaungi bersama serta mengedepankan kepentingan semua pihak diatas kepentingan sendiri maupun kelompok. Demikian pula masyarakat yang mengikuti organisasi dan memiliki kedudukan dalam organisasi relatif sedikit. Masyarakat yang ikut berorganisasi dan memiliki kedudukan yaitu 27 responden atau 32.5 persen dan yang tidak memiliki kedudukan dalam organisasi relatif lebih banyak yaitu 48 responden atau 58 persen. Sedangkan responden tidak menjawab sebanyak 8 responden atau 10 persen. Kedudukan dalam organisasi lebih disebabkan oleh kapasitas dan pengalaman berorganisasi yang relatif kurang. Aspek kehadiran dalam rapat organisasi relatif baik dimana jumlah responden yang sering hadir yaitu 30 responden atau 36.1 persen dan selalu hadir yaitu 10 responden. Sementara responden yang jarang hadir yaitu 16 reponden dan yang tidak ikut hadir yaitu 22 responden atau 26.5 persen.ada pula responden yang tidak mejawab yaitu 5 responden atau 6.0 persen. Bila ditotalkan antara jarang hadir, sering hadir dan selalu hadir yaitu 55 reponden atau 67.4 persen. Animo masyarakat menghadiri rapat organisasi cukup besar dan peluang untuk membangun komunikasi yang baik dalam rangka mencari resolusi konflik yang terbaik cukup terbuka. Hal ini dijumpai di lokasi penelitian bahwa frekuensi kehadiran merupakan bentuk partisipasi masyarakat di dalam membangun interaksi yang berbobot cukup besar bahkan keinginan ini sering disampaikan lewat media massa lokal. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 32. Frekuensi kehadiran dalam rapat organisasi cukup intensif karena obyek atau agenda yang sering muncul yaitu adanya informasi tentang potensi pertambangan memiliki nilai ekonomi cukup baik. Dijumpai bahwa beberapa tokoh masyarakat dan organisasi kepemudaan, termasuk mahasiswa terkesan menolak Konsesi kontrak karya karena alasan akan kehilangan pekerjaan di PETI namun sebagian juga mendukung karena mereka berharap akan menjadi bagian karyawan diperusahaan tambang. Keterlibatan masyarakat untuk memberikan saran disetiap pertemuan dalam organisasi diindikasikan melalui jawaban responden. Sebanyak 27 responden tidak memiliki saran atau 32.5 persen. Responden yang jarang memberikan saran yaitu 20 responden atau 24.1 persen dan responden yang sering
172 memberikan saran sebanyak 18 responden atau 22 persen. Ada pula responden yang selalu memberi saran yaitu 13 responden atau 16 persen, kemudian tidak menjawab yaitu 5 responden atau 6 persen. Umumnya masyarakat di wilayah yang berhimpitan langsung dengan Konsesi Kontrak karya menginformasikan bahwa penduduk asli itu sebagian mengetahui tentang wilayah kontrak karya. Pemahaman akan status kelembagaan hukum kontrak karya relatif sedikit. Misalnya masyarakat yang pernah menjadi tenaga kerja diperusahaan pemilik konsesi sebelumnya. Faktor kurangnya penyampaian informasi dan adanya desakan kebutuhan ekonomi yang diakibatkan oleh semakin bertambahnya penduduk disekitar kawasan konsesi tersebut menyebabkan resolusi konflik sampai hari ini masih dalam proses untuk mencari formulasi yang dapat diterima oleh semua pihak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Namun pemanfaatan lahan secara ekspansif baik untuk kebutuhan pemukiman, sarana dan prasarana pemerintah. Aspek keterlibatan memberikan saran dapat dilihat pada Lampiran 33 Kapasitas pemahaman masyarakat akan pemanfaatan sumberdaya tambang terutama yang bermukim disekitar kawasan konsesi di ilustrasikan melalui jawaban responden pada Lampiran 34. Terdapat responden yang menjawab tidak tahu dan tidak paham sebanyak 25 responden atau 30.1 persen, sedangkan responden tahu dan paham yaitu 53 responden atau 64 persen, namun yang tidak menjawab sebanyak 5 responden atau 6.0 persen. Dijumpai di lokasi penelitian masyarakat ada yang pernah melakukan dan yang sedang melakukan pertambangan tanpa izin memiliki pengalaman secara otodidak mereka mempelajari tentang jenis batuan yang mengandung logam mulia dan memprosesnya dengan mesin yang sudah modern serta memisahkan logam-logam tersebut dengan Mercuri/Cianida. Kemampuan masyarakat dalam menggunakan zat kimia ini sangat sulit terdeteksi. Pada bagian ini responden lebih banyak memilih bungkam karena takut ketahuan menggunakan. Sehingga hal tersebut menimbulkan
pertanyaan
apakah
masyarakat
sedemikian
mudah
dapat
menggunakan zat ini secara bebas atau karena ada aparat yang melakukan upaya perlindungan.
173 7.1.4. Keterbukaan (Transparence) Status kawasan telah beberapa kali mengalami perubahan. Sejak ditetapkannya wilayah ini manjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNWB) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1127/KptsII/1992 tanggal 12 Desember 1992. Kemudian ditinjau kembali statusnya menjadi Hutan Produksi Terbatas melalui kajian Tim Terpadu dalam Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo oleh Menteri Kehutanan Repulik Indonesia kepada Gubernur Gorontalo Nomor S.238/Menhut-VII/2010 tanggal 14 Mei 2010. Selanjutnya ditetapkan lagi dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi Gorontalo tanggal 29 Desember 2011 tentang Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Gorontalo. Item di atas menjadi bagian pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan jawaban yaitu 27 responden menjawab perubahan status kawasan tersebut tidak diketahui atau 32.5 persen. Responden yang menjawab tahu yaitu 7 responden atau 8.4 persen dengan total yang menjawab yaitu 34 responden atau 41.0 persen dari total 83 responden. Indikasi ketidaktahuan masyarakat terhadap perubahan status kawasan adalah suatu fakta bahwa sosialisasi tentang perubahan status kawasan kepada masyarakat masih sebatas sosialisasi di forum-forum seminar saja. Sedangkan bagaimana sosialisasi tersebut untuk membangun pemahaman amsyarakat secara konsisten dengan model komunikasi yang mudah dipahami adalah penting untuk menghindari eskalasi konflik yang sering terjadi diwilayah tumpang tindih tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 35 Tabel perubahan status kawasan. Selanjutnya mengenai informasi adanya potensi tambang di wilayah konsesi dapat dilihat pada Lampiran 36. Informasi ini sangat cepat sampai kepada masyarakat tentang status kontrak karya baik generesi pertama maupun generasi ke tujuh. Saat ini telah ditelusuri bahwasanya informasi tersebut telah sampai kepada masyarakat terutama pada pemukim disekitar kawasan konsesi. Pada analisis tabel frekuensi diketahui bahwa responden yang tidak tahu tentang status kontrak karya 21 responden atau 25.3 persen dan yang tahu hal itu 4 responden atau 5 persen. Disimak dari persentase pengetahuan masyarakat tentang status kontrak karya lebih didominasi oleh ketidaktahuan masyarakat, bukti konkrit
174 seperti yang telah dijumpai di lokasi penelitian terdapat 21 responden mengatakan bahwa kontrak karya ini mereka tidak tahu. Unsur ini lebih dilihat dari pandangan kemudahan mendapatkan informasi. Dimana proses pemanfaatan sumberdaya tambang dapat langsung diakses oleh para pihak yang membutuhkan secara bertanggung jawab. Proses pemanfaatan ini dapat dimonitor dan dipahami secara berkelanjutan dan konsisten untuk menyampaikan kepada publik agar nanti informasi ini menjadi bagian peningkatan
pemahaman
masyarakat
tentang
pertambangan.
Mengenai
pemahaman terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang dapat dilihat pada Lampiran 37. Terkait dengan permulaan memperoleh informasi tentang wilayah yang memiliki cadangan emas dan tembaga yang telah diteliti atau dieksplorasi oleh perusahaan sebelumnya yaitu informasi dari Pemerintah, jawaban responden sebanyak 11 responden atau 13.3 persen. Sedangkan yang menjawab informasi itu dari bekas staf pegawai perusahaan yang melakukan eksplorasi 15 responden atau 18.1 persen dengan jumlah yang menjawab yaitu 26 responden atau 31.3 persen. Berikut informasi dari salah seorang bekas staf di perusahaan pertambangan pemegang kontrak karya sebelumnya PT Tropic Endeavour Indonesia pemegang kontrak karya generasi kedua tahun 1971:
(Saya jadi pegawai diperusahaan PT Tropic dan saya tahu disini bekas eksplorasi perusahaan mulai dari titik bor 1 sampai titik kesekian itu saya tahu tempatnya, mulai dari motomboto, sungai mak, cabang kiri dan cabang kanan sudah diekplorasi oleh Tropic. Tapi sayang perusahaan tidak melanjutkan izin kontrak karyanya setelah berakhir tahun 1986 pedahal kami yang paling makmur di Gorntalo saat itu karena gaji kami lebih tinggi dari pegawai negeri: Pak Guru Ridha). Variabel ketidaktahuan ini cukup signifikan, oleh karena itu perlu ada upaya pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang status kawasan konsesi kontrak karya. Lebih diasumsikan kepada keengganan masyarakat penambang untuk tidak menanggapi informasi. Pada lokasi penelitian beberapa penambang tanpa izin memiliki sifat antipati terhadap keberadaan perusahaan, karena akan mengusik keberadaan mereka (PETI). Namun ketidaktahuan masyarakat adalah
175 bentuk yang perlu dipertanyakan karena saat ini masing-masing melakukan aktivitas di lokasi yang berhimpitan dan tidak saling mengenal. Artinya terdapat perasaan yang tidak ingin tahu tentang lahan kontrak karya yang telah dimulai sejak tahun 1971 oleh beberapa perusahaan pertambangan ini meskipun isu yang masih menjadi perdebata. Lampiran 38 mengenai informasi status kontrak karya. Peran informal leader atau tokoh masyarakat untuk menjembatani resolusi konflik terkait konsesi kontrak karya yang berhimpitan langsung dengan pemukiman serta kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dapat dilihat pada Lampiran 39. Responden yang menjawab tokoh masyarakat tidak berperan aktif sebanyak 36 responden atau 43.4 persen dan menjawab berperan aktif yaitu 39 responden atau 47.0 persen. Sedangkan yang tidak menjawab yaitu 8 responden atau 10 persen. Nampak bahwa peran tokoh masyarakat relatif seimbang antara berperan dan tidak mengambil peran aktif, meskipun demikian responden yang menjawab bahwa tokoh masyarakat tetap memberikan peranan aktif dalam penyelesaian konflik ini cukup baik. Aktualiasi peran tokoh masyarakat telah didalami sampai sejauh mana penerimaannya terhadap keluhan masyarakat terkait dengan konflik kawasan ini, nampak Lampiran 40. Responden yang menjawab tokoh masyarakat tidak menerima keluhan sebanyak 40 atau 48.2 persen dan selalu menerima keluhan sebanyak 27 responden atau 32.5 persen. Sedangkan yang tidak menjawab yaitu 16 responden atau 19.3 persen. Konotasi tokoh masyarakat lebih diarahkan pada tokoh politik, hal ini menjadi potret umum bahwa terkadang politisi itu akan lebih melihat
pada
masyarakat
yang
mendukungnya/konstituennya,
sehingga
masyarakat yang bersebrangan dengan kepentingannya kurang dilayani. Mengenai peran tokoh masyarakat menerima keluhan dan informasi dari masyarakat dapat dilihat pada Lampiran 40.
7.1.5 Kepekaan (Responsiveness) Unsur ini berpandangan bahwa setiap proses dan kelembagaan yang sedang dirancanakan dan diimplementasikan harus dapat memberikan pelayanan kepada para pihak. Artinya aspek sosial budaya dalam membangun resolusi konflik merupakan model yang dapat diterima oleh semua pihak karena
176 dipandang oleh semua pihak bahwa nilai-nilai budaya yang merupakan bagian dari cara masyarakat untuk mencari solusi di setiap konflik yang muncul adalah sebuah keniscayaan. Meskipun nilai-nilai sosial budaya ini semakin luntur karena adanya budaya luar yang masuk lewat media saat ini, namun ada saatnya nilai-nilai sosial budaya tersebut dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang ada. Sebab kemampuan nilai-nilai kearifan lokal dapat berada di semua kepentingan para pihak. Seperti pada Lampiran 41 yang mendeskripsikan keaktifan masyarakat dalam kegiatan organisasi sosial budaya. Responden yang menjawab mengikuti organisasi sosial budaya yaitu 24 responden atau 29 persen dan tidak mengikuti organisasi sosial budaya yaitu 19 responden atau 23 persen sedangkan yang tidak menjawab sebanyak 40 responden atau 48.2persen. Potret data ini menjelaskan bahwa keengganan masyarakat terhadap organisasi sosial budaya semakin terkikis oleh aktivitas keseharian masyarkat meskipun mereka dibayang-bayangi oleh persoalan konflik kawasan . Terkait dengan organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 41. Selanjutnya penelitian ini ditingkatkan pada pertanyaan alasan perlu adanya organisasi sosial budaya. Terdapat beberapa alasan yang disampaikan yaitu item banyak hal yang dapat dikembangkan 1 responden atau 1.2 persen, keterkaitanya terhadap pengembangan lembaga desa terdapat 1 responden yang menjawab 1.2 persen. Jawaban adanya organisasi ekonomi yaitu 1 responden atau 1.2 persen, kemudian yang merasa ekonomi rumah tangga terbantu yaitu 4 responden atau 5 persen, terkait dengan keberadaanya dalam organisasi terdapat 1 responden atau 1.2 persen. Terdapat pula 2 responden nyang menjawab bahwa organisasi sosial budaya memberikan bantuan modal atau 2.4 persen. Responden yang menjawab bahwa organisasi ini dapat membantu perekonomian yaitu 1 responden atau 1.2 persen, selanjutnya bahwa organisasi ini memberi penunjang, memenuhi kebutuhan, organisasi memiliki pengaruh, organisasi mendukung kemajuan, organisasi sebagai sarana pengembangan masyarakat juga sebagai penghidupan ekonomi masing-masing 1 responden atau 1.2 persen. Mengenai alasan perlu adanya organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 42.
177 Aspek yang berkaitan dengan perlu tidaknya syarat organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 43. Dimana terdapat 61 responden yang melakukan jawaban dan diantara responden tersebut hanya dua variabel yang mendapatkan 2 jawaban dari responden yaitu mengikuti aturan dan variabel memberdayakakan masyarakat. Item ini penting untuk membangun model kelembagaan masyarakat kemasa yang akan datang karena sangat terkait variabel mana menurut masyarakat yang perlu diutamakan. Artinya masyarakat cukup menghargai aturan kelembagaan termasuk pola pemberdayaan masyarakat cenderung yang dipilih untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Pola preferensi ini masih didominasi oleh variabel lain yang begitu banyak, dengan angka masing-masing 1 responden namun dapat digarisbawahi bahwa keinginan masyarakat untuk membangun kelembagaan sosial budaya ini cukup responsif. Mengenai sayarat organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 43. Meskipun dari akumulasi persentasi hanya 48.5 persen atau sekitar 50 responden yang tidak menjawab item ini. Penting untuk mengetahui apakah organisasi sosial budaya memiliki manfaat atau tidak buat masyarakat. Terdapat 16 responden yang menjawab tidak ada manfaat atau 19.3 persen dan yang menjawab bahwa organisasi sosial budaya memiliki manfaat yaitu 17 responden atau 20.5 persen. Responden memiliki pilihan antara manfaat dan tidaknya suatu organisasi sosial budaya pada lokasi penelitian ini relatif seimbang. Terkait dengan manfaat organisasi sosial budaya dapat dilihat pada Lampiran 44. Pada aspek kelengkapan organisasi yang diikuti masyarakat dalam artian bahwa instrument dan struktur serta atribut organisasi telah dimiliki oleh organisasi dapatlah dilihat pada tabel dibawah ini terdapat 13 responden yang menjawab bahwa organisasi yang diikuti belum memilki kelengkapan atau 16 persen dan 11 responden yang menjawab bahwa organisasi tersebut telah memiliki kelengkapan atau 13.3 persen sedangkan yang tidak menjawab yaitu 59 responden atu 71.1 persen. Kelengkapan organisasi adalah intrumen untuk mencapai tujuan organisasi yang akan menjadi bagian dari proses transformasi manajemen, budaya kerja dan hubungan formal antara masyarakat yang membutuhkan tindak lanjut dan pada akhirnya kelengkapan ini akan menjadi input yang akan diproses menjadi bagian
178 dari transformasi itu sendiri dalam dinamika organisasi kemasyarakatan dalam suatu sistem kelembagaan. Oleh karena itu kelengkapan berada posisi penting terutama kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya tambang saat ini yaitu teknologi. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 45 Tabel kelengkapan organisasi yang diikuti. Keterkaitan organisasi yang diikuti dengan pelestarian lingkungan memiliki akumulasi persentasi yang relatif kecil yaitu 29 persen dari rata-rata total responden. Akan tetapi aspek ini memiliki hubungan yang penting dengan aspek pemanfaatan lahan diwilayah konsesi kontrak karya. Penambang tanpa izin dan pemanfaatan pertanian dan perkebunan sebanyak 8 responden yang menjawab kegiatan pelestarian lingkungan tidak diikuti atau 10 persen dan yang menjawab mengikuti program pelestarian lingkungan yaitu 20 responden atau 71.4 persen. Pada lokasi penelitian terdapat lahan-lahan yang kritis tidak dimanfaatkan lagi dan dibiyarkan begitu saja karena sesuai denga informasi masyarakat bahwa ada kebiasaan masyarakat untuk melakukan perladangan berpindah-pindah. Mengenai organisasi pelestarian lingkungan dapat dilihat pada Lampiran 46. Syarat organisasi dalam memelihara lingkungan memiliki akumulasi persentase yang baik yaitu validitasnya mecapai 83.1 persen atau rata-rat 69 responden yang menjawab terkait dengan pertanyaan. Item bekerja sama, gotong royong, kerja sama, menjaga kebersihan dan pemeliharaan lingkungan, semua aturan harus diikuti serta tidak membuang sampah sembarang masing-masing 1 responden atau 1.2 persen, sedangkan yang menjawab bahwa tenaga kerja harus siap yaitu 2 responden atau 2.4 persen. Keterlibatan organisasi dalam menjaga lingkungan relatif tidak aktif terutama bagaimana membangun organisasi yang memiliki persyaratan program terhadap pelestarian lingkungan. Sehingga nampak beberapa anak sungai telah mengalami kekeringan karena hulu dari sungai tersebut telah dimanfaatkan untuk lahan pertanian dan perkebunan dan sebagian sungai juga telah berubah warna air karena limbah pertambangan tanpa izin dialirkan lewat sungai-sungai tersebut. Beberapa penelitian menyampaika hasilnya bahwa air sungai tersebut telah menurun kualitasnya dan berbahaya untuk digunakan masyarakat. Oleh karena itu penting adanya organisasi yang bergerak dibidang lingkungan yang bertujuan memberikan informasi dan advokasi
179 kepada masyarakat terkait dengan pelestarian lingkungan. Terdapat pula organisasi yang disyaratkan untuk menjaga lingkungan, dapat dilhat pada Lampiran 47. Aspek kearifan lokal merupakan tata nilai yang tidak tertulis dalam hubungan kekerabatan antar masyarakat merupakan hal yang diperlukan, seperti pada tabel dibawah ini terdapat 12 responden yang menjawab bahwa dalam organisasi sosial perlu mengedepankan kearifan lokal disetiap penyelesaian konflik atau 14.5 persen dan menjawab tidak ada kearifan lokal dalam setiap organisasi sosial yaitu 12 responden atau 14.5persen. sedangkan tidak menjawab yaitu 59 responden atau 71.1 persen sehingga nampak pada akumulasi persentase yaitu 50.0 persen atau dapat diinterpretasi bahwa aspek kearifan lokal diwilayah berhimpitan langsung dengan konsesi relatif kecil bahkan mengalami degradasi. Mengenai kearifan lokal dalam pembahasan dapat dilihat pada Lampiran 48. Demikian pula pada aspek syarat organisasi tetap memelihara kearifan lokal bila dilihat dari partisipasi responden untuk menjawab pertanyaan ini yaitu belum adanya upaya pemeliharaan kearifan lokal sebagai syarat dalam organisasi sosial 18 responden atau 22 persen. Responden yang menjawab sudah ada yaitu 5 responden atau 6.0 persen, sedangkan yang tidak menjawab yaitu 60 responden atau 72.3 persen. Kegiatan organisasi sosial dengan tetap mempertahankan kearifan lokal yang bersifat keagamaan seperti Zikir (Dikili), Mi’raz (meerazi) surunani, buruda dan kegiatan olahraga tradisional seperti langga semakin menurun peminatnya terutama dikalangan pemuda. Aspek syarat kearifan lokal pada oraginasi sosial dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 49. Selanjutnya bila disimak bagaimana peran organisasi sosial dalam menyelesaikan konflik nampak pada akumulasi persentasi model tabel frekuensi yaitu 56.5 persen, bila dibandingkan dengan responden yang tidak menjawab yaitu 60 atau 72.3 persen maka nilai harapan untuk menggunakan atau member peran terhadap organisasi sosial relatif kecil. Hal ini dapat dilihat dari responden yang menjawab bahwa organisasi sosial tidak berperan dalam penyelesaian konflik yaitu 13 atau 16 persen dan menjawab bahwa organisasi memainkan peran dalam penyelesaian konflik yaitu 10 responden atau 12.0 persen. Organisasi yang sering tampil dalam penyelesaian konflik bukanlah organisasi sosial, tetapi
180 organisasi non formal yang mengatasnamakan kelompok seperti Asosiasi Pertambangan
Rakyat
yang
memperjuangkan
keinginan
mereka
untuk
memperoleh sebagian wilayah pertambangan dikawasan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Terkait dengan peran organisasi dalam meyelesaikan konflik yang dibahas, dapat dilhat tabelnya pada Lampiran 50. Komponen penting dalam menyiapkan persyaratan perangkat organisasi terkait dengan integritas orang-orang dalam organisasi dibutuhkan agar hasil yang diinginkan bukan untuk kepentingan kelompok ataupun pribadi. Responden yang menjawab belum ada perangkat organisasi yang baik sebanyak 15 responden atau 18.1 persen dan yang menjawab sudah ada perangkat atau persyaratan organisasi sosia dalam menyelesaikan konflik yaitu 8 responden atau 10 persen. Sedangkan yang tidak menjawab sebanyak 60 responden atau 72.3 persen. Dijumpai pada spesifikasi persoalan ini kurang dapat dipahami oleh masyarakat terutama bagaimana membentuk organisasi yang memiliki kapasitas kelembagaan hukum. Adapun syarat yang di miliki organisasi dalam penyelesaian konflik yang dibahas pada item ini dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 51.
7.1.6 Keadilan (Equity) Setiap warga masyarakat yang berada di sekitar pemanfaatan sumberdaya tambang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi bagian naik langsung maupun tidak langsung dalam proses meningkatkan kapasitas ekonomi dalam mencapai kesejahteraan yang lebih baik dengan adanya pemanfaatan sumberdaya tambang ini. Hal ini menjadi jawaban juga atas isu-isu negatif terhadap kegiatan pertambangan disuatu wilayah yang tidak memperbaiki ketimpangan pembangunan wilayah. Penelitian ini akan lebih memaknai aspek keadilan ini secara mendalam dengan melihat bagaimana kelembagaan ekonomi yang ada disekitar kawasan pemanfaatan sumberdaya tambang. Sejak Tahun 1983 kegiatan perekonomian telah ada, wilayah ini masih merupakan bagian dari Kabupaten Gorontalo (Kabupaten Induk) dan juga saat itu masih bagian wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Utara. Meskipun relatif usaha perekonomian ini tidak begitu berkembang namun indikasi ini menunjukkan bahwa di wilayah ini telah ada aktivitas perekonomian masyarakat
181 bahkan dijumpai terdapat beberapa pasar mingguan dan 1 buah Pelabuhan Pelelangan Ikan di Kecamatan Bulawa yang semua wilayah administrasinya berada didalam kawasan konsesi kontrak Karya, Potensi perikasnan laut di pesisir Toluk Tomini cukup potensial namun belum ada investasi yang berskala besar . Terkait dengan waktu terbentuk lembaga ekonomi yang dibahas pada aspek ini, dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 52. Aspek ini membahas tentang perkembangan lembaga ekonomi dari tahunketahun. Terdapat peningkatan jumlah kelembagaan pada Tahun 1990 yaitu 8 responden atau 10 persen dalam artian bahwa terdapat 8 responden yang memiliki usaha ekonomi dan pada Tahun 1992 dan 1998 terjadi peningkatan 3 unit usaha ekonomi hingga pada tahun 2005. Terdapat 5 unit usaha ekonomi dan sampai akhir 2009 terdapat 2 unit usaha ekonomi sehingga dijumlahkan menjadi 34 unit usaha ekonomi yang dimiliki oleh responden. Pada aspek ini dibahas tentang kepemilikan usaha ekonomi yang telah dijelaskan pada tabel di Lampiran 53. Sebanyak 60 persen yang menjawab pada item pertanyaan ini yang lebih ditujukan kepada kepemilikan atau posisi pada usaha, terdapat 1 responden sebagai bendahara, 1 responden sebagai buruh, 1 responden sebagai nelayan. Hal yang menarik terdapat 1 responden sebagai pedagang sekaligus pemilik tromol atau masing-masing 1.2 persen. Terdapat pula 4 responden sebagai pedagang atau 5persen, kemudian sebagai pemilik usaha 18 responden atau 22 persen, serta 1 responden menjawab usahanya adalah milik keluarga. Usaha ekonomi yang menarik dan unik yaitu 7 responden yang menjawab sebagai pemilik Tromol atau 9 persen dimana usaha tersebut merupakan bukti bahwa pertambangan tanpa izin telah menjadi bagian dari usaha perekonomian masyarakat di wilayah konsesi kontrak karya. Mengenai kepemilikan dalam lembaga ekonomi dapat dilihat pada Lampiran 53. Selain usaha lembaga ekonomi, terdapat juga kegiatan ekonomi masyarakat yang bersifat massal, yaitu sebagai anggota PKK, arisan uang, pemanfaatan lahan kosong, jualan makan tradisional, sumbangan duka dan sumbangan acara perkawinan masing-masing 1 responden atau 1.2persen dan kegiatan arisan barang seperti alat-alat rumah tangga dan perabot yaitu 24 responden atau 29persen .
182 Kegiatan ekonomi seperti ini cukup maju terutama di kalangan ibu-ibu rumah tangga untuk memanfaatkan waktu. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 53 Tabel kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu usaha ekonomi ini memilki administrasi yang sederhana dan lebih mengedepankan kepercayaan dimasingmasing anggota arisan karena model ini hampir sama dengan orang menabung di Bank meskipun tidak ada bunganya namun masyarakat lebih memilih hal ini karena memelihara hubungan sosial dan kekerabatan antar masyarakat dan keluarga yang ikut serta dalam arisan. Di sisi lain rumah tangga keluarga merasa terbantu karena uang yang disimpan lewat arisan dapat diperoleh kembali sehingga berbeda dengan uang tersebut hanya disimpan di rumah. Terdapat 22 jenis organisasi sosial ekonomi dan kemasyarakatan di wilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya. Terlihat bahwa Ketua RT, ekonomi produktif, PNPM, Gotong Royong, Arisan, Huyula, huyulah PNPM, Jama Tablig, Karang Taruna, KNPI HIPMI, Majelis Ta’lim Yatim Piatu, majelis ta’lim PAB PNPM, PNPM pembangunan MCK, rukun duka, tadarus ibuibu PKK, ta’mirul Masjid BPD, Taman pengajian Alquran masing-masing 1 responden dan organisasi nelayan 3 responden atau 4persen, juga arisan tadarus Alquran sebanyak 8 responden atau 10 persen. Demikian pula taman pengajian 2 responden atau 2,4 persen. Dijumpai terdapat sarana olahraga seperti lapangan sepak bola dan lapangan bola voli namun bila dilihat dari berbagai macam organisasi pada tabelberikut bahwa organisasi olahraga nyaris tidak ada, demikian juga organisasi kelembagaan petani relatif tidak ditemui meskipun pemanfaatan lahan pada wilayah konsesi kontrak karya terus meluas. Aspek ini cukup menjawab pertanyaan-pertanyaan kepada responden pada item sebelumnya, karena keikutsertaan masyarakat pada lembaga sosial ekonomi dan kemasyarakatan merupakan indikasi bahwa kesadaran masyarakat untuk menyampaika saran dan pemikiran secara melembaga semakin berkembang dan juga keinginan untuk mengetahui informasi atau saran dari anggota atau msayarakat lain dapat diperoleh melalui keaktifan mereka mengikuti organisasi tersebut. Terkait dengan organisasi sosial ekonomi yang dibahas pada aspek ini dapat dilihat Lampiran 54.
183 Organisasi yang paling banyak diikuti masyarakat disekitar kawasan pemukiman yang berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya yaitu arisan PKK dan pengajian 2 responden atau 2.4 persen. Kegiatan arisan tadarus Alquran 2 responden atau 2,4 persen, bakti sosial 1 reponden atau 1,2 persen. Selanjutnya pemilihan ketua DPC 1 responden atau 1.2 persen, gotong royong 1 reponden atau 1.2 persen, karang taruna 7 responden atau 8.4 persen, karang taruna dan arisan 2 responden 2.4 persen, karang taruna, gotong royong 14 responden atau 17 persen, karang taruna KNPI dan HIPMI, 1 responden atau 1.2persen, organisasi keagamaan 1 responden, pengajian 2 responden atau 2.4 persen, PNPM 3 responden atau 3.6 persen, PNPM dan air bersih 1 responden atau 1.2persen dan terakhir yaitu Taman Pengajian Alquran 1 responden atau 1.2 persen. Total responden yang menjawab pada item ini sebanyak 44 atau 53.0 persen dari total 83 responden. Lebih dari 50 persen responden yang menjawab pertanyaan
ini.
Sementara
itu
jumlah
organisasi
sosial
ekonomi
dan
kemasyarakatan yang paling banyak diikuti sebanyak 15 organisasi, hal ini merupakan bentuk keinginan masyarakat untuk mengikuti perkembangan informasi dan juga merupakan bentuk perkumpulan yang menjadi pilihan utama karena kemungkinan pilihan organisasi selain itu sulit dijumpai dan meskipun ada pusat kegiatannya lebih banyak di ibu kota kabupaten atau kota di setiap daerah. Pilihan organisasi kemasyarakatan gotong royong dan karang taruna lebih banyak diminati masyarakat sebagai indikasi disekitar kawasan konsesi kontrak karya masih terpelihara tradisi gotong royong dalam bahasa Gorontalo yaitu (Mohuyula), dan juga pada jaman yang semakin maju pun tradisi seperti itu masih dapat dijumpai dalam masyarakat terutama pemukim yang berada dikawasan yang berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya PT Gorontalo Minerals. Aspek sosial ekonomi yang dibahas pada item dapat dilihat Lampiran 55. Pola jawaban yang disampaikan reponden pada item pertanyaan berikut ini memiliki keterkaitan langsung dengan pertanyaan yang telah dideskripsikan diatas. Nampak pada jawaban responden yaitu arisan dan tadarus Alquran 2 responden atau 2.4 persen, BPD 1 responden atau 1.2 persen, gotong royong 1 responden atau 1.2 persen, Karang taruna ditingkat Desa 3 responden atau 3.6persen, karang taruna ditingkat Kecamatan 2 responden atau 2.4persen, karang
184 taruna arisan 1 responden atau 1.2 persen, karang taruna gotong royong 11 responden atau 13.3 persen, selanjutnya karang taruna KNPI dan HIPMI 1 responden atau 1.2 persen, PKK kerja bakti 1 responden atau 1.2 persen, PNPM 3 responden atau 3.6 persen, PNPM air bersih dan MCK 1 responden atau 1.2persen, PNPM perbaikan jalan 2 responden atau 2.4 persen dan terakhir yaitu organisasi sosial kesehatan 1 responden atau 1.2 persen. Meskipun bentuk pertanyaan pada item ini bukan memilih namun menulis sendiri bagi setiap responden dalam bentuk matriks isian. Hasilnya menunjukkan bahwa organisasi yang bergerak atau berkecimpung dibidang pertanian dan perkebunan nyaris tidak dijumpai namun secara eksplisit bahwa kegiatan organisasi yang paling banyak memberikan manfaat yaitu karang taruna dan gotong royong memiliki kedekatan dengan kegiatan pertanian dalam organisasi usahatani atau nelayan yang merupakan pilihan yang sesuai dengan kondisi georafis yang terdiri dari daratan dan pantai. Hal tersebut terkesan kontradiktif, namun boleh jadi muncul pertanyaan apakah hal ini terjadi karena kurangnya keadilan ekonomi dalam mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat dibidang ini atau mungkin adanya pilihan yang lebih baik seperti menjadi pekerja di PETI. Terkait dengan organisasi sosial ekonomi yang bermanfaat dibahas pada aspek ini dapat dilihat pada Lampiran 56. Bentuk manfaat yang diperoleh dalam organisasi sosial ekonomi dan kemasyarakatan yaitu yang menjawb baik 1 responden atau 1.2 persen. Jawaban bahwa organisasi bermanfaat untuk belajar mengaji dan menabung 2 responden atau 2.4 persen. Manfaatnya desa mengalami perkembangan yaitu 2 responden atau 2.4 persen, desa mengalami perkembangan 1 responden atau 1.2 persen dan masih jawaban yang sama yaitu desa mengalami perkembangan 7 responden, kemudian desa mengalami perubahan 1 responden atau 1.2 persen, desa menjadi berkembang 1 responden atau 1.2 persen, desa menjadi lebih baik 1 responden juga 3 responden memberikan jawaban yang sama atau 4 persen, jalan semakin membaik 1 responden atau 1.2 persen. Kebersihan lingkungan terpelihara 1 responden atau 1.2 persen, ketertiban masyarakat 1 responden atau 1.2 persen, lingkungan menjadi bersih 1 responden 1.2 persen, lingkungan terjaga denga baik dan memuaskan juga mendapatka
185 pengebatan yang gratis masing-masing 1 responden atau masing-masing 1.2 persen, menjalin persaudaraan 1 responden atau 1.2 persen, menyentuh kepentingan masyarakat 1 responden atau 1.2 persen. Selanjutnya mudah memperoleh air bersih dan desa berkembang masing 1 responden lagi, terjalinnya tali persaudaraan yaitu 3 responden atau 3.6persen, dan terakhir tidak perlu ke kali karena telah tersedia MCK yaitu 1 responden atau 1.2 persen. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 57 Tabel bentuk manfaat organisasi sosial ekonomi. Bila ditelaah dari isi tabel ini cukup banyak hal-hal yang terulangi dalam bentuk jawaban responden. Tetapi jawaban ini merupakan jawaban masingmasing secara terpisah disampaikan disetiap angket, sehingga hasil pengujiannya terdapat kesamaan dalam tabel. Item pertanyaan dapat dipengaruhi juga oleh kapasitas responden memberikan jawaban, sehingga perlu pencermatan dilokasi penelitian agar pertanyaan ini tetap akan mendapatkan jawaban. Pada aspek ini peneliti mencermati kebutuhan dasar masyarakat sekitar kawasan yang berhimpitan langsung denga konsesi kontrak karya seperti sarana dan prasana dasar, terdapat 59 responden yang menjawab atau 71.1 persen terkait dengan sarana. Secara detil dapat disampaikan yaitu yang menjawab bahwa sarana dasar itu buruk sebanyak 6 responden atau 7.2 persen. Ada pula yang menjawab sarana dasar itu kondisinya sedang 40 responden atau 48.2 persen. Selanjutnya yang menjawab sarana dalam keadaan baik yaitu 13 reponden atau 16 persen dan tidak menjawab sebanyak 24 responden atau 29 persen. Mengenai persepsi terhadap sarana yang dibahas pada item ini dapat dilihat pada Lampiran 58. Terkait dengan pendalaman pertanyaan yaitu persepsi terhadap sarana perhubungan disekitar kawasan yang berhimpitan langsung dilihat pada Lampiran 51 Tabel persepsi terhadap sarana perhubungan. Lampiran menunjukkan bahwa sarana perhubungan dalam keadaan buruk 28 responden atau 34 persen, dan jawaban bahwa sarana perhubungan kondisinya sedang yaitu 12 responden atau 14.5persen. responden yang menjawab sarana perhubungan kondisinya baik 10 responden atau 12.0 persen, selanjutnya tidak menjawab 33 responden atau 40 persen. Bila dibanding denga responden yang menjawab masih lebih banyak yaitu 58 responden atau 60.2 persen.
186 Pada item sarana perekonomian, masyarakat lebih terbuka menyampaikan keadaan atau kondisi sarana ini karena kegiatan masyarakat sangat tergantung pada sarana perekonomian ini untuk melakukan transaksi. Terdapat 31 responden yang menjawab sarana perekonomian buruk 37.3 persen dan yang menjawab kondisi sarana perekonomian sedang yaitu 12 responden atau 14.5 persen. Selanjutnya yang menyatakan baik yaitu 8 responden atau 10 persen hingga total 51 responden atau 61.4 persen dari total 83 responden. Terkait dengan persepsi terhadap sarana perekonomian yang dibahas, dapat dilihat pada Lampiran 59. Kebutuhan dasar masyarakat lainnya seperti sarana kesehatan sangat penting untuk didalami kondisinya. Masyarakat yang menjawab bahwa kondisi sarana kesehatan di wilayah berhimpitan langsung dalam keadaan buruk yaitu 39 responden atau 47.0 persen, dan yang menjawab sarana kesehatan dalam kondisi sedang yaitu 8 responden atau 10 persen. Selanjutnya yang menjawab sarana kesehatan dalam kondisi baik yaitu 3 responden atau 4 persen. Nampak bahwa masyarakat lebih menjawab bahwa kondisi sarana kesehatan relatif buruk meskipun dijumpai terdapat 1 buah Rumah Sakit Umum Daerah di Tombulilato Kecamatan Bone. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 60 Tabel Persepsi terhadap sarana kesehatan. Sarana dasar lain yang sangat dibutuhkan masyarakat disekitar wilayah konsesi kontrak karya yaitu pendidikan, pada umumnya sarana pendidikan ini relatif kondisinya kurang baik. Jawaban masyarakat terkait dengan persepsi terhadap sarana pendidikan yaitu 47 responden menyampaikan bahwa kondisi sarana pendidikan dalam keadaan buruk atau 57 persen. Selanjutnya jawaban bahwa kondisi sarana pendidikan sedang hanya 2 reponden atau 2.4 persen dan menjawab bahwa sarana kesehatan baik yaitu 3 reponden atau 4 persen dengan total jawaban terhadap item ini yeitu 52 responden atau 63 persen dari total 83 responden. Ketiadaan sarana pendidikan yang memenuhi standar minimal masih jarang dijumpai di wilayah ini. Terdapat beberapa fasilitas Sekolah Dasar seperti perpustakaan masih bergabung dengan ruangan guru bahkan ada yang bergabung dengan ruang kelas. Ketersediaan buku di perpustakaan lebih banyak dari aspek jumlahnya bukunya bukan jumlah jenis judul bukunya. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip keadilan bila ditinjau dari aspek keadilan masyarakat mendapatkan
187 pelayanan pendidikan yang baik. Terkait dengan persepsi masyarakat yang dibahas, dapat dilihat pada Lampiran 61. Kebutuhan lain yang tidak kalah pentingnya bagi masyarakat terutama diwilayah konsesi kontrak karya yaitu sarana penerangan listrik terutama sarana ini dibutuhkan pada malam hari agar masyarakat tetap dapat melakukan aktivitas sosial ekonomi dam meningkatkan perekonomian. Terdapat 25 responden yang menjawab bahwa sarana penerangan buruk atau 30.1 persen sedangkan jawabannya terhadapa sarana penerangan sedang yaitu 15 responden atau 18.1persen dan yang menjawab sarana penerangan baik yaitu 12 responden atau 14.5persen. Bila dibandingkan dengan tabel sebelumnya maka dikatakan sarana penerangan relatif baik. Demikian juga untuk persepsi terhadap sarana penerangan jalan dapat dilihat pada Lampiran 62. Persepsi masyarakat terhadap Air bersih disekitar kawasan konsesi yang berhimpitan langsung denga pemukiman relatif menjawab bahwa sarana air bersih dalam keadaan buruk yaitu 38 responden atau 46 persen. Selanjutnya yang menjawab bahwa sarana air bersih kondisinya sedang sebanyak 13 responden atau 16 persen, dan yang menjawab baik yaitu 5 responden atau 6.0 persen dengan jumlah total responden yang menjawab yaitu 56 atau 67.5persen. Hal ini dapat dijumpai pada beberapa daerah aliran sungai seperti Sungai Waluhu dan Sungai Mamungaa telah mengalami perubahan warna akibat penambangan tanpa izin dihulu sungai sehingga tidak layak lagi diproses manjadi air bersih. Mengenai persepsi terhadap sarana air bersih yang dibahas, dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 63. Aspek lain menarik dalam pembahasan ini yaitu terkait dengan sarana ibadah di wilayah konsesi kontrak karya. Kecenderungan masyarakat menjawab bahwa sarana ibadah dalam keadaan buruk yaitu 45 responden atau 54.2 persen, dan yang menjawab bahwa sarana ibadah kondisinya sedang sebanyak 7 responden atau 8.4 persen. Jawaban bahwa sarana ibadah kondisinya baik 1 responden atau 1.2 persen dengan akumulasi persentase 85 persen. Sehingga sarana ibadah realtif dipersepsikan buruk. Terkait dengan persepsi terhadap sarana ibadah yang dibahas, dapat dilihat tabelnya pada Lampiran 64.
188 Persepsi masyarakat diwilayah berhimpitan langsung dengan konsesi kontrak karya terhadap kondisi sarana olahraga yaitu 32 responden yang menjawab buruk atau 39 persen, selanjutnya yang menjawab sarana olahraga dalam kondisi sedang 11 responden atau 13.3 persen dan yang menjawab sarana olahraga dalam kondisi baik 10 responden atau 12.0 persen dengan kumulasi persentasi 60.4persen atau dapat dikatan bahwa data terkait dengan penelitian pada persepsi sarana olahraga cukup valid meskipun terdapat 30 responden atau 36.1 persen yang tidak menjawab. Tabel ini terdapat pada Lampiran 65.
7.1.7
Model Tata Kelola Salah satu aspek penting model kelembagaan adalah mengenai tatakelola.
Pada penelitian ini aspek tatakelola didekati dengan model persepsi masyarakat di sekitar wilayah tumpang tindih. Hasil dari pendekatan ini yaitu yang menjawaban dari responden yaitu kurang sesuai sebanyak 6 responden atau 7.2persen, dan menjawab cukup sesuai sebanyak 43 responden atau 52persen, kemudian yang menjawab sangat sesuai yaitu 26 responden atau 31.3 persen. Dijumpai adanya keinginan masyarakat untuk menerima pertambangan secara professional tanpa mengabaikan pertamabngan secara tradisional. Demikian pula terkait dengan pemukiman dimana keinginan untuk menetap dalam kawasan konsesi tersebut meskipun pengelolaan pertambangan ini akan dilakukan secara professional. Terkait dengan model pengelolaan sumberdaya tambang yang aktual dibahas, dapat dilihat pada Lampiran 66
7.1.8
Biaya Transaksi (Transaction cost) Model biaya transaksi yang didalami dalam penelitian ini diarahkan pada
kegiatan transaksi secara aktual yang dilakukan oleh penambang tanpa izin karena kegiatan pertambangan yang telah sedang berlangsung saat ini yaitu kegiatan (PETI). Kemudian diarahkan juga kepada biaya transaksi yang dilakukan oleh pihak perusahaan PT Gorontalo Minerals meskipun perusahaan ini belum masuk pada fase produksi. Hal ini dapat disampaikan bahwa pada Bab IV telah dibahas asumsi-asumsi yang digunakan dalam biaya transaksi.
189 Dijumpai bahwa perusahaan memiliki beberapa staff yang direkrut dari tokoh masyarakat dengan tugas utama yaitu mengkoordinasikan rencana kerja perusahaan kepada Pemerintah di Kabupaten Bone Bolango dan memberikan pemahaman tentang manfaat dari pertambangan terhadap masyarakat serta kerugian yang diakibatkan oleh pertambangan. Pembahasan tentang biaya transaksi pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan dua sub komponen yaitu: A.
Biaya Transaksi oleh Penambang Tanpa Izin (PETI) Bentuk dukungan yang diberikan oleh para pihak pada penelitian ini
berkonsekuensi pada pembiayaan yang mungkin dapat dikatakan sebagai biaya perlindungan penambang tanpa izin. Hal ini dapat disimak pada pada penelusuran penelitian yaitu masyarakat penambang yang menjawab tidak tahu 1 responden atau 1.2 persen, sedangkan yang menjawab tidak memberikan biaya perlindungan 24 responden atau 29 persen sedang yang menjawab memberikan biaya perlindungan 8 responden atau 10 persen. Total yang menjawab yaitu 33 responden atau 40persen. Terkait dengan biaya perlindungan PETI yang dibahas, dapat dilihat pada Lampiran 67. Meskipun jawaban mengeluarkan variabel biaya perlindungan hanya 8 responden, namun sedikit berbeda dengan jawaban penambang tanpa izin terhadap bentuk dan skema biaya perlindungan, nampak pada tabel frequensi dimana penambang tanpa izin menjawab tergantung kebutuhan 2 responden atau 2.4 persen, sedangkan penambang menjawab skema biaya perlindungan tidak menetu 10 responden atau 12.0 persen dan terakhir yang menjawab dengan skema bagi hasil yaitu 2 reponden atau 2.4persen. Jumlah respoden yang menjawab pada pertanyaan ini 14 responden atau 17persen sedikit meningkat dibanding dengan pertanyaan sebelumnya. Hal ini telah menjadi rahasia umum bahwa terdapat beberapa aparat pemerintah terutama Kepelisian dan TNI yang menjadi beking dari para PETI ini, termasuk wakil rakyat yang berada di DPRD Kabupaten Bone Bolango yang teridentifikasi memiliki tromol di wilayah tumpang tindih dengan lahan kotrak karya. Adapun komponen bentuk dan skema biaya perlindungan oleh PETI dapat dilihat pada Lampiran 68.
190 B.
Biaya Transaksi oleh Pihak Perusahaan Pertambangan Kiat untuk meningkatkan usaha ekonomi melalui bantuan penguatan usaha
telah lama digulirkan, kenyataan ini merupakan fakta terbalik dari usaha ekonomi yang ada disekitar kawasan konsesi kontrak karya, yang menjawab tidak mengetahui bahwa ada bantuan pengembangan usaha yaitu 19 responden atau 23 persen, dan responden yang menjawab bahwa tidak pernah menerima bantuan sebayak 18 responden atau 22 persen, sedangkan yang menjawab pernah menerima bantuan yaitu 3 responden atau 4 persen. Hal ini merupakan informasi bahwa bantuan untuk meningkatkan usaha tersebut belum sampai kepada pengusaha kecil diwilayah ini, meskipun secara georafis daerah ini hanya memilki satu ruas jalan dan merupakan jalan Trans Sulawesi lewat Pantai Selatan, demikian pula diwilayah Kecamatan Suwawa Timur hanya terdapat satu ruas jalan utama yang dapat mengakses kewilayah tersebut sehingga informasi terkait dengan bantuan tersebut relatif mudah diperoleh. Dijumpai dimasyarakat bahwa bantuan tersebut biasanya ada ketika mendekati Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Kepala Daerah. Terkait dengan penerimaan bantuan yang dibahas, dapat dilihat pada Lampiran 69. Meskipun pada tabel sebelumnya hanya terdapat 3 responden yang menerima bantuan namun setelah ditelusuri terdapat dua lembaga pemberi bantuan diwilayah ini yaitu 18 responden yang menjawab Lembaga Donor atau 22persen. Lembaga pemberi bantuan dari swasta dalam bentuk tanggung sosial perusahaan (CSR) yaitu 1 responden. Dengan demikian bahwa pemberian bantuan diwilah konsesi ini relatif ada meskipun dari total reponden yang menjawab hanya 19 atau 23 persen. Dijumpai dilokasi penelitian terutama sepanjang Jalan Trans Sulawesi bagian selatan banyak usaha kecil yang berkembang, seperti pertokoan atau kios barang campuran (kebutuhan sehari-hari) dan toko bahan bangunan dan juga terdapat beberapa rumah makan diwilayah konsesi tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 70 . Terkait dengan bantuan yang diberikan mencoba mendalami apakah responden tersebut merasa terbantu. Dari data yang ada, responden yang merasa terbantu hanya 5 atau 6.0 persen sedangkan yang merasa tidak mengetahui yaitu 33 responden atau 40 persen. Selanjutnya yang merasa tidak terbantu yaitu 1
191 responden atau 1.2 persen. Nampak bahwa konsistensi responden memberikan jawan relatif tidak ada, terbukti dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengindikasikan bahwa terdapat jawaban-jawaban sebenarnya namun tidak dikatakan oleh reponden. Dijumpai kebiasaan ini mulai ada sejak adanya otonomi daerah dimana salah satu pilar yang dilakukan yaitu pemilihan langsung baik eksekutif maupun legislative, karena prinsip mereka yang penting ada bantuan dan pilihan pada siapa itulah hak masyarakat. Indikasi lain yang ditemui yaitu adanya kejenuhan masyarakat terkait dengan pertanyaan menyangkut bantuan peningkatan usaha, karena lebih banyak hanya sekedar pengambilan data saja namun realisasi bantuan nyaris tidak ada. Terdapat bantuan dalam bentuk natura yang disampaikan pemerintah seperti bantuan sapi dan kambing disaat pemilihan Bupati pada tahun 2009 yang lalu. Setelah pemilihan terdapat isu bahwa bantuan akan ditarik lagi karena Bupati yang terpilih bukan calon Bupati yang memberikan bantuan sapi dan kambing tersebut. Sehingga itu motif politik dalam barbagai bantuan di wilayah ini masih cukup tinggi. Terkait dengan pembahasan responden merasa terbantu pada aspek ini dapat dilihat di Lampiran 71. Secara umum pengaruh bantuan peningkatan usaha selalu menjadi pertanyaan disetiap program bantuan yang dimaksud. Terdapat 29 responden yang menjawab tidak tahu atau 35 persen, merasa usahanya tidak mengalami peningkatan yaitu 5 responden atau 6.0 persen. Selanjutnya yang meresa terjadi peningkatan usaha karena adanya bantuan yaitu 6 responden atau 7.2 persen. Dijumpai pula bahwa sebagian bantuan yang diberikan seperti sarana produksi pertanian (saprodi) berupa bibit jagung, pupuk atau alat pertanian lainnya itu tidak tepat waktu musim tanam sehingga bantuan ini tidak efektif bahkan beberapa usaha penyalur bantuan merasa rugi dan lebih tidak baik lagi bantuan saprodI ini sering diperjual belikan oleh petani penerima bantuan. Mengenai peningkatan usaha yang dibahas pada item ini, dapat dilihat di lampiran 72.
192 7.2
Analisis Regresi Model Logistik Persepsi dan Kelembagaan Untuk melihat lebih jernih mengenai aspek kelembagaan pada pendekatan
yuridis, maka dilakukan analisis Logistik yang merupakan proksi dari hasil penelitian yang diawali dengan aspek profil rumah tangga responden kaitannya terhadap partisipasi pemanfaatan sumberdaya tambang. Kemudian tingkat partisipasi pada model advokasi, partisipasi pada persepsi responden terhadap sarana dan prasarana, serta partisipasi pemanfaatan sumberdaya tambang pada penambang tanpa izin (PETI). Hasil analisis ini dapat menjadi informasi bagi para pihak untuk memilah dan memilih aspek-aspek manakah yang menjadi prioritas dalam membangun dukungan masyarakat terutama terkait dengan konflik kelembagaan dan konflik pemanfaatan. Analisis ini akan sangat membantu melihat manakah variabel-variabel yang memiliki pengaruh kevariabel lain secara positif (signifikan) dan manakah variabel-variabel yang tidak segnifikan namun tetap memiliki hubungan atau pengaruh terhadap variabel-variabel yang diteliti. Adapun aspek-aspek yang dianalisis dengan menggunakan model ini antara lain: 7.2.1 Regresi Partisipasi Versus Jenis Kelamin dan Umur dan Pekerjaan Terdapat 4 variabel yang akan di interpretasi pada uji logistik terhadap aspek demografi responden yang telah di paparkan pada halaman sebelumnya dan juga hasil uji statistik uji G serta hipotesis akan di deskripsikan sebagai berikut: Statistik uji G, hasil analisis Logistik diperoleh model P Value 0.001 dengan nilai Log-Likelihood = -51.292 yang mengindikasikan model Fit, dan test that all slopes are zero: G = 22.457, DF = 6, P-Value = 0.001. secara umum hipotesis yaitu H0 : Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model Fit ( minimal ada satu variabel X yang signifikan ). Dari semua variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah Jenis Kelamin, nilai-p) (0.008) < alpha 10 persen maka Jenis Kelamin berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 11.81 artinya pria untuk berpartisipasi 11.81 kalinya dibandingkan wanita untuk berpartisipasi, dengan kata lain kecenderungan pria lebih berperan dibandingkan wanita. Selanjutnya variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah umur, nilai-p) (0.038) < alpha 10 persen maka umur berpengaruh nyata terhadap
193 partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.90 artinya setiap kenaikan 1 tahun umur maka peluang untuk berpartisipasi adalah 0.9 kalinya dibanding tidak berpartisipasi. kecenderungan orang lebih muda lebih berpartisipasi diabndingkan dengan orang yang lebih tua. Demikian juga pada variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah pendidikan SMA, nilai-p) (0.079) < alpha 10 persen maka pendidikan sma berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 2.56 peluang orang yang pendidikan SMA untuk berpartisipasi adalah 2.56 kalinya dibandingakan peluang seseorang yang pendidikannya SMP. Komponen variabel X lain yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah pendidikan PT, nilai-p) (0.015) < alpha 10 persen maka pendidikan PT berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 15.19 peluang orang yang pendidikan PT untuk berpartisipasi adalah 15.19 kalinya dibandingakan peluang seseorang yang pendidikannya smp. Kesimpulan semakin tinggi pendidikan maka peluang untuk berpartisipasi semakin besar.
7.2.2 Regresi Partisipasi Versus Model Advokasi Pemanfaatan sumberdaya Tambang Pada
aspek
model
advokasi
pemanfaatan
sumberdaya
tambang
pengaruhnya terhadap partisipasi masyarakat nampaknya hanya 1 variabel yang memiliki hubungan, hal ini dipengaruhi antara lain dijumpai dilokasi penelitian program atau usaha para pihak untuk memberikan penyuluhan terhadap masyarakat terutama yang bermukim diwilahan yang berhimpitan langsung dengan dengan konsesi kontrak karya belum memperoleh penyuluhan atau advokasi secara khusus yang dikaitkan dengan konflik pemanfatan lahan. Statistik
uji
G,
hasil
analisis
diperoleh
nilai
P
value
0.000
mengindikasikan model fit dengan Log-Likelihood = -37.511 dan Test that all slopes are zero: G = 50.019, DF = 10, P-Value = 0.000. untuk Hipotesis yaitu H0 : Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model Fit ( minimal ada satu variabel X yang signifikan ). Dari semua variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah mengikuti, nilai-p) (0.035) < alpha 10persen maka mengikuti berpengaruh nyata
194 terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 12.78 artinya seseorang yang mengikuti penyuluhan peluang untuk berpartisipasi adalah 12.78 kalinya dibandingkan dengan yang tidak mengikuti penyuluhan. Kecenderungan orang yang mengikuti penyuluhan lebih berpartisipasi dibandingkan dengan yang tidak mengikuti penyuluhan.
7.2.3 Binary Logistic Regression Partisipasi versus Persepsi Responden Terhadap Sarana dan Prasarana di Wilayah Pemanfaatan Sumberdaya Tambang Uji Statistik logistik pada persepsi responden terhadap kesiapan sarana dan prasarana hubungannya terhadap partisipasi yaitu terdapat 4 variabel yang memiliki hubungan signifikan terhapa partisipasi antara lain variabel infrastruktur jalan, variabel prasarana perhubungan, variabel sarana perekonomian seprti pasar, Pelelangan ikan dan juga variabel sarana olahraga. Deskripsi dari masing-masing variabel yaitu: Statistik uji G, hasil analisis diperoleh Nilai-p (0.013) < alpha 10 persen tolak H0 artinya model fit dengan Log-Likelihood = -52.022 dan Test that all slopes are zero: G = 20.998, DF = 9, P-Value = 0.013. Untuk Hipotesis yaitu H0 : Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) H1 : Model Fit ( minimal ada satu variabel X yang signifikan ). Komponen variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah infrastruktur jalan, nilai-p)(0.027)
195 0.29 artinya setiap kenaikan persepsi kebaikan maka peluang perekonomian adalah 0.29 kalinya dibandingkan tidak berpartisipasi. Selanjutnya variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah sarana olah raga, nilai-p) (0.066) < alpha 10persen maka persepsi olah raga berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 3.02 artinya setiap kenaikan persepsi kebaikan maka peluang olah raga adalah 3.02 kalinya dibandingkan tidak berpartisipasi.
7.2.4. Binary Logistic Regression Partisipasi versus Pertambangan Tanpa Izin Pada uji statistik logistik dengan masyarakat penambang tanpa izin hubungan terdapa partisipasi terdapat 1 varibel yang memiliki hubungan signifikan yaitu variabel kepemilikan terhadap pertambangan tanpa izin. Deskripsi dari variabel tersebut sebagai berikut: Statistik uji G adalah analisis diperoleh bahwa Nilai-p(0.006) < alpha 10persen tolak H0 artinya model fit dengan Log-Likelihood = -46.451 dan Test that all slopes are zero: G = 32.139, DF = 15, P-Value = 0.006. Untuk Hipotesis yaitu H0 : Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model Fit ( minimal ada satu variabel X yang signifikan ). Komponen pada variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah posisi (pemilik PETI), nilai-p) (0.062) < alpha 10persen maka posisi berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.062 artinya kecenderungan yang bukan pemilik untuk berpartisipasi lebih tinggi dibandingkan yang pemilik.
7.2.5 Binary Logistic Regression Partisipasi versus Kelembagaan yang Efektif dalam Penyelesaian Konflik Pada aspek kelembagaan yang efektif dalam penyelesaian konflik hubungannya dengan partisipasi responden pada penelitian ini, terdapat 1 variabel berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Variabel tersebut dapat dibaca setelah statistik uji G dibawah ini.
196 Statistik uji G yaitu hasil analisis diperoleh bahwa Nilai-p (0.010) < alpha 10persen tolak H0 artinya model fit dengan Log-Likelihood = -55.917 dan Test that all slopes are zero: G = 13.208, DF = 4, P-Value = 0.010. Untuk Hipotesis yaitu H0 : Model Tidak Fit ( semua variabel X tidak signifikan) dan H1 : Model Fit ( minimal ada satu variabel X yang signifikan ). Dari semua variabel X yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi adalah aktivitas sosial ekonomi, nilai-p) (0.056) < alpha 10 persen maka aktivitas sosial ekonomi berpengaruh nyata terhadap partisipasi. Nilai odds ratio sebesar 0.40 artinya aktivitas ekonomi untuk berpartisipasi 0.4 kalinya dibandingkan aktivitas sosial untuk berpartisipasi, dengan kata lain kecenderungan orang yang beraktivitas sosial lebih berperan dibandingkan yang beraktivitas ekonomi. Apabila hasil uji logistik diatas di telaah dengan jumlah responden yang telah diwawancarai dikaitkan dengan variabel yang cukup banyak untuk diwawancarai maka potret output dari olehan data ini dengan jumlah responden cukup memadai cukup mempengaruhi alat uji yang kita gunakan. Uji statistik logistic yang dapat diinput dalam model ini memiliki keterbatasan kapasitas input juga. Hal ini hanya dapat dilakukan, apabila jumlah responden yang menjadi sampel ini cukup banyak . Namun di sisi lain faktor geografis sampel lokasi menjadi penentu untuk dapat memperoleh jumlah responden, dimana lokasi pengambilan sampel ini berada di pegunungan dan jauh dari jankauan sarana jalan, dan juga karakter penambang tanpa izin yang sulit untuk diwawancarai dapat menjadi faktor penentu dalam pengambilan data ini. Oleh karena itu faktor-faktor tersebut yang diluar dari logika yang telah terbangun namun memilki hubungan yang signifikan juga. Perspektif ruang dan kepemilikan serta penguasaan lahan yang diarahkan pada konflik hukum telah mengawali penelitian ini dan dilanjutkan pada perspektif ekonomi yang berbasis sumberdaya dan lingkungan sebagi rona awal dari aspek pembangunan wilayah, nampak belum memberikan suatu makna dari adanya ketidak pastian yang telah berjalan selama 40 tahun di wilayah ini. Oleh karena itu model kelembagaan yang menjadi terobosan hukum namun tidak menghilangkan makna sosial ekonomi jangka panjang menjadi salah satu resolusi konflik pada penelitian ini. Model kelembagaan ini terilhami oleh pernyataan
197 seorang penggagas wilayah ini menjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yaitu: “Silahkan diambil emas, tembaga, dan perak di wilayah ini karena barang ini di ciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia bukan untuk tumbuhan, monyet, dan burung yang ada di dalamnya, akan tetapi jangan diusir mereka dari wilayah ini” (Muh. Suryani 2009). Pernyataan ini mengandung makna bahwa perlu adanya resolusi yang berbanding lurus antara kepentingan ekonomi jangka panjang dan lingkungan yang seimbang dan dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip kebenaran universal. Selanjutnya untuk mengartikulasi pernyataan diatas, penelitian mengadopsi dua mashab kelembagaan ekonomi yang baru (Hand Book New Institutional Economics) dalam (Minerd and Shirley 2005) yang dipadukan dengan data primer di lokasi penelitian terkait dengan pengembangan model kelembagaan yaitu: 7.3
Analisis Yuridis dalam Pendekatan Institutional Arrangement Mekanisme kelembagaan pada penelitian ini diarahkan pada prinsip-
prinsip keterpaduan antara aspek hukum perundang-undangan yang terkait dengan kelembagaan pertambangan dan memiliki keterkaitan erat dengan kondisi riil lokasi penelitian. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu: 7.3.1 Prinsip Human Capital Dalam konteks institutional arrangement, salah satu komponen penting untuk dipahami adalah prinsip hukum Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Prinsip human capital terdapat pada pasal 20 sampai dengan pasal 26 yang berkaitan dengan penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR). Pada pasal 67 ayat (1) menjelaskan tentang kewenangan Bupati/Walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. Selanjutnya pasal 106 menegaskan bahwa pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
198 7.3.2 Prinsip Kemitraan Prinsip kemitraan secara eksplisit terdapat pada pasal 107 Undang-Undang Minerba yang menekankan agar dalam kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK dan kontrak karya wajib mengikutsertakan pengusaha lokal yang ada di daerah tersebut, sesuai dengan ketentuan paraturan perundangundangan. Prinsip ini bermakna bahwa untuk mencegah kecumburuan sosial terutama di wilayah sekitar pemanfaatan sumberdaya tambang di Kabupaten Bone Bolango perlu melibatkan pengusaha lokal dan koperasi atau membentuk badan kerja bersama dengan melibatkan seluruh pihak yang memiliki pandangan (visi) yang
sama
agar
kerjasama
tersebut
akan
lebih
efektif
dan
dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai denga ketentuan yang berlaku. Hal ini akan memberikan dorongan atau stimulus kepada pengusaha lokal untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka melalui pelatihan di bidang usaha jasa pertambangan dan juga akan membuat biaya produksi perusahaan pertambangan lebih efisien.
7.3.3 Prinsip Good Corporate Governance (GCG) Prinsip ini dianggap sebuah keharusan dan diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dimana GCG lebih mengarah pada shareholders driven concept sedangkan prinsip model kelembagaan pemanfaatan sumberdaya tambang kaitannya terhadap pembangunan wilayah lebih pada stakeholders driven concept. Pada aspek ekonomi telah diatur dalam pasal 65 ayat (1) Undang Undang Minerba yang menegaskan bahwa “badan usaha, Koperasi, dan perseorangan seperti yang telah dijelaskan pada pasal 51, pasal 54, pasal 57, dan pasal 60 yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi usaha pertambangan, aspek administrasi, persayaratn teknis, persayaratan lingkungan, dan persyaratan finansial.
7.3.4 Prinsip Pengembangan Komunitas Makna
penyusunan
program
pengembangan
dan
pemberdayaan
masyarakat harus secara konsisten dan berkelanjutan mulai dari aspek perencanaan, rencana aksi, yang melibatkan para pihak bertujuan untuk
199 meminimalisir resistensi dengan masyarakat termasuk LSM agar ketimpangan wilayah sekitar yang selalu terjadi pada pemanfaatan sumberdaya tambang dapat diminimalisir. Meskipun telah dijelaskan pada pasal 108 jo pasal 39 ayat (1) huruf j dan ayat (2) huruf n, pasal 78 huruf j dan pasal 79 huruf m Undang Undang Minerba namun
orientasinya
lebih
pada
pengembangan
masyarakat
community
development . Pandangan ini cukup sempit bila dibandingkan dengan aspek human capital dalam pandangan stakeholders driven concept. Pada pasal 95 huruf d yang berkaitan dengan pemegang IUP dan IUPK serta kontrak karya untuk melaksanakan pengembangan masyarakat setempat. Sedangkan pada pasal 106 Undang-undang minerba menegaskan pada para pemegang IUP dan IUPK harus mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri.
7.3.5 Prinsip Pendidikan Prinsip ini termuat pada pasal 39 ayat (2) huruf r berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja dan huruf v berkaitan dengan pengembangan tenaga kerja Indonesia. Pada pasal 79 huruf q berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja dan huruf u berkaitan dengan pengembangan tenaga kerja Indonesia. Meskipun penekanan prinsip ini masih bersifat umum namun dapat digarisbawahi bahwa peningkatan kapasitas tenaga kerja lokal menjadi bagian dari tanggung jawab perusahaan pemegang IUP, IUPK dan KK. Manfaat bagi pemegang usaha kegiatan pertambangan dapat mengurangi biaya tidak tetap terhadap pemanfaatan tenaga kerja asing yang harus disediakan akomodasi dan transportasi lokalnya oleh pihak perusahaan.
7.3.6
Prinsip Keterbukaan Informasi Makna dari prinsip ini lebih ditekankan pada peningkatan kapasitas
pemahaman masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya tambang. Pasal 64 berkaitan dengan kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah di WIUP kepada masyarakat secara terbuka.
200 Demikian pula pada pasal 139 berkaitan dengan kewajiban Menteri ESDM untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan usaha pertambangan antara lain: a) Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan. b) Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi. c) Pendidikan dan pelatihan; dan d) Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemberitahuan, dan evaluasi penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara. Hasil pengamatan dilapangan bahwa prinsip keterbukaan informasi masih cukup terbatas untuk dapat diakses oleh masyarakat, terutama berkaitan dengan rencana anggaran dan produksi perusahaan pertambangan di suatu wilayah. Meskipun hal ini erat kaitannya dengan etika perolehan informasi namun komponen ini penting bagi masyarakat sebagai penerima manfaat dari usaha pertambangan. Oleh karena itu perlu adanya kelembagaan yang dapat menjembatani dua kepentingan tersebut. 7.3.7 Prinsip Pencegahan Perusakan lingkungan Pada dasarnya pencegahan bermakna penanganan secara dini, oleh Karena itu pemegang IUP , IUPK dan KK wajib memenuhi ketentuan AMDAL dan/atau UKL/UPL sebagaimana yang telah diatur pada pasal 37 dan pasal 38 UndangUndang Minerba sehingga pencegahan dan perusakan lingkungan dapat diatasi secara dini. Demikian pula pasal 99 Undang Undang Minerba telah menegaskan bahwa setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP operasi produksi dan IUPK operasi produksi. Pada pasal 100 Undang Undang Minerba ayat (1) telah ditegaskan juga bahwa Pemegang IUP dan IUP wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dan jaminan pasca tambang. Pada ayat (2) Menteri, Gubernur, Walikota/Bupati sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dan jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kemudian pada ayat (3) menegaskan bahwa ketentuan sebagaimana pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP dan IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pasca tambang sesuai denga rencana yang telah disetujui.
201 Pasal 145 ayat (1) Undang Undang Minerba lebih tegas lagi tentang masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan yaitu a) memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan; b) mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pegusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan. Bila disimak bahwa pencegahan secara dini maupun penyelesaian kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan usaha pertambangan pada pasal ini telah cukup maju namun lebih dituntut konsistensi dari semua pihak. Perlindungan hak-hak masyarakat yang terkena dampak negatif langsung telah tertuang dalam pasal 145 Undang Undang Minerba. Adanya jaminan ini dapat lebih bermakna apabila semua pihak manyadari akan pentingnya suatu kelembagaan bersama institutional multi stakeholders yang menjadi wadah bersama masyarakat untuk menyusun program, menerapkan program, mengevaluasi program dan mempertanggung jawabkan program serta wujud kegiatannya kepada masyarakat secara profesional.
7.4
Sintesa Kerangka Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang Sebagai Alternatif Resolusi Konflik di Kabupaten Bone Bolango Adapun sintesa yang telah diformulasi berdasarkan hasil analisis fakta dan
telah diperkaya dengan pendekatan institutional arrangement dan institutional governance untuk mendukung kerangka resolusi dalam kasus yang diangkat dalam penelitian ini yaitu: 7.4.1.
Kerangka Resolusi Adanya ketidakpastian dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah konflik konsesi pertambangan PT Gorontalo Minerals telah ada sejak awal terbentuknya kawasan konservasi, sejak statusnya sebagai Hutan Suaka Margasatwa pada tahun 1971 sampai berstatus Taman Nasional pada tahun 1991 sampai Kawasan TNBNW, dan berlanjut terus sampai saat ini. Berlangsungnya konflik yang telah berjalan selama 40 tahun, tanpa ada pemecahan yang tuntas, mengakibatkan secara defacto wilayah konflik tidak memiliki kejelasan tentang hak tenurial (tenurial right) atas kawasan dan sumberdaya tambang yang terkandung di dalamnya. Keadaan ini
202 menimbulkan kesan bahwa status kawasan berikut sumberdaya tambangnya berpeluang menjadi open access tanpa kontrol yang signifikan dari pemerintah yang berkewenangan dalam mengatur sumberdaya publik. Hal ini dimaknai sebagai kondisi ”kekosongan kelembagaan formal”. Kegagalan memerintah (failur governace) terhadap berlangsungnya situasi di atas akan menjadikan semakin besarnya peluang konflik yang berakibat pada tren negatif dalam dampak lingkungan, jika tidak segera dilakukan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan yang terencana dan terkendali. Hasil analisis fakta pada aspek sosial budaya menunjukkan adanya interaksi sosial antarpihak dalam masyarakat yang cenderung bersifat kompetisi. Para pihak merasa mempunyai dasar klaim pemanfaatan sebagai implikasi dari kekosongan kelembagaan yang antara lain berlandaskan pada legitimasi politik
lokal,
struktural
birokrasi,
pemerintah
daerah,
pemerintah,
cukong/permodalan lokal, dan PT Gorontalo Minerals serta Taman Nasional sendiri. Kompleksitas situasi inilah yang membuat sulitnya mencapai solusi tuntas apabila hanya mendasarkan pada pendekatan generik berupa penegakan hukum (law enforcement) semata tanpa mengimbagi dengan pendekatan soial ekonomi. Konflik kelembagaan antar pihak terjadi secara horizontal antar para pelaku di tingkat lapangan, dan juga secara vertikal dalam struktur birokrasi kepemerintahan (daerah – pusat). Konflik pada tataran regulasi juga terjadi, yang dipicu oleh distribusi ekonomi
dan
kewenangan
pengambilan
keputusan
yang
lebih
mengedepankan distrubusi bagihasil yang merata dengan tidak diimbangi oleh distribusi resiko dan konsekuensi yang ditanggung oleh daerah penghasil. Berdasarkan fakta di atas, maka menjadi hal yang penting untuk mengembangkan upaya bersama untuk resolusi konflik yang mampu mengakomodasi kepentingan para pihak tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan model Dewan Tambang dengan azas keadilan dan keseimbangan jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat, dan
203 dilengkapi dengan struktur eksekutif yang digunakan adalah lembaga multi pihak di Kabupaten Bone Bolango.
7.4.2
Tujuan dan Kerangka Struktur Kelembagaan Dewan Tambang serta Lembaga Multi pihak di Kabupaten Bone Bolango Tujuan dari formulasi struktur kelembagaan dewan tambang dan lembaga
multi pihak antara lain yaitu: Formulasi kelembagaan yang didukung oleh legalitas (keabsahan formal) dan legitimasi (pengakuan para pihak) diharapkan akan menghadirkan kelembagaan yang akan memberikan kejelasan tentang pemain, pembagian peran dan aturan main, serta penataan hak atas manfaat kawasan dan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Konflik kepentingan pada dasarnya berada pada tataran regulasi juga, oleh karena itu dalam membangun resolusi konflik perlu memperkaya pandangan kelembangaan melalui spektrum lebih luas. Artinya batasan regulasi dan kewenangan yang menjadi bagian dari sumber konflik dalam tataran hukum harus bersenyawa dengan fakta hukum dilokasi penelitian ini. Kemudian multi
pihak
yang
dimaksud
diharap
lebih
mengedepankan
komunikasi/dialog dalam membangun keputusan. Adapun resiko dan konsekuensi atas model kelembagaan ini, baik dalam aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya, menjadi dasar dalam pengembangan resolusi konflik yang bersifat win-win solusion. Artinya, multi pihak akan memahami bahwa dibalik manfaat yang menjadi hasrat dal model kelembagaan ini, tersimpan potensi resiko yang harus dihadapi dalam proses pencapaian tujuan. Apabila diperoleh solusi bersama berupa diperolehnya model kelembagaan tambang di Kabupaten Bone Bolango, maka permasalahan tidak berhenti disitu. Solusi harus menjawab persoalan bagaimana terbangunnya suatu koordinasi dan pengelolaan kelembagaan tambang yang baik. Hal ini sebagai bentuk respon balik yang kontruktif dan positif terhadap persoalan distribusi manfaat yang diperoleh masyarakat setempat, pemerintah daerah, pemerintah, menjadi hal yang perlu dipertimbangkan secara matang, khususnya dalam rasionalitasnya sebagai penerima resiko. Keberadaan PETI
204 yang eksis di wilayah konsesi kontrak karya juga merupakan komponen yang perlu disertakan dan dirumuskan transformasi legalitas model kelembagaan tambang dalam sistem pengelolaan yang akan dikembangkan.
7.4.3. Struktur Kelembagaan Dewan Tambang. A.
Pendekatan Konsideran Adapun pedoman yuridis dalam penyelenggaraan Model Kelembagaan
Sumberdaya tambang ini yaitu: 1.
Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara pasal 2 ayat (1) huruf e yaitu turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat dimana kepemilikan saham dalam PT Gorontalo Minerals di kuasai oleh perusahaan BUMN yaitu PT Aneka Tambang sebanyak 20 persen.
2.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 10 ayat (1), (3) dan (4) berkaitan denga ketenagakerjaan, Pasal 17 berkaitan dengan kewajiban mengalokasikan dana untuk pemulihan lingkungan.
3.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas Pasal 74 ayat (1), (2), (3) dan (4) tentang pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
4.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yaitu Bab XX tentang penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan Pasal 146 dan pasal 148 yaitu pemerintah harus mendorong penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan pertambangan.
5.
Undang-undang nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara Pasal menegaskan bahwa dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara harus mengacu pada empat asas yaitu: a. Manfaat, keadilan dan keseimbangan; b. Keberpihakan kepada kepentingan bangsa; c. Partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas d. Keberlanjutan dan berwawasan lingkungan.
205 B.
Pendekatan Prinsip Kelembagaan dewan Tambang Dewan Tambang adalah model kelembagaan yang dibentuk berdasarkan
kesepakatan para pihak dengan 3 prinsip utama yaitu: 1.
Prinsip Ekonomi. Artinya Dewan tambang ini dibentuk untuk meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat di sekitar pemanfaatan sumberdaya tambang melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat agar kelak ketimpangan wilayah pemanfaatan dan wilayah sekitarnya dapat terhindarkan.
2.
Prinsip Sosiologi dan Antropologi. Bahwa dewan tambang dibentuk untuk menjaga dan memelihara aktivitas sosial budaya masyarakat sebagai perekat hubungan antar masyarakat yang memiliki suku, kepercayaan dan agama yang sama dan hubungan antar masyarakat yang berbeda agar kelak isu-isu konflik dapat diselesaikan dengan pendekatan kultur yang ada disekitar kawasan. Dikawasan ini terdapat Enclove Pinogu lokasinya berada di Zona inti kawasan Taman Nasional Bogani Nani wartabone yang di tempati oleh masyarakat asli gorontalo sekitar 1000 KK dimana dilokasi ini terdapat situs-situs peninggalan sejarah keberadaan masyarakat Gorontalo (Eksistensi) yang perlu dipelihara dan diarahkan secara terpadu agar enclove tersebut tidak akan meluas kewilayah Zona inti Taman Nasional.
3.
Prinsip Ekologi. Dewan tambang dibentuk untuk menjamin pemeliharaan lingkungan sekitar kawasan karena status wilayah ini adalah Hutan produksi terbatas HPT (Ex Taman Nasional) yang berhimpitan langsung dengan Taman Nasional Bogani nani warta Bone melalui program nyata dan terpadu serta melibatkan seluruh para pihak agar adanya pemanfaatan sumberdaya tambang yang diharapkan akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi disekitar kawasan namun tidak mengabaikan faktor ekologi atau lingkungan.
206 C.
Pendekatan Tugas dan Fungsi Dewan Tambang Berdasarkan intisari dari hasil analisis yang diperoleh maka struktur
kelembagaan diusulkan konteks ini seperti terlihat pada Gambar 39 berikut. Dewan Tambang
Perusahaan Pertambangan
Partial Right
Pemerintah pusat dan daerah
Lembaga Multi Pihak Masyarakat Penambang Tradisional
Dana Tambang
Transfer Payment Masyarakat (Pemukiman di Sekitar Kawasan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)
Gambar 39. Model Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang di Kabupaten Bone Bolango Legenda: : Player : Right Structure and Manajemen : Rent flow / Rent Capture : Garis Koordinasi
Adapun tugas pokok yaitu penyelenggara rencana kegiatan kerja framework didalamnya terdapat model lembaga yang disebut Institutional Multi pihak adalah model kelembagaan penerima manfaat atas sumberdaya tambang secara konsisten dan konsekuen serta penuh tanggung jawab serta memiliki dedikasi dan loyalitas terhadap lembaga penerima manfaat. Adapun fungsi lembaga yaitu melakukan transformasi organisasi kelembagaan secara bertahap dan konsisten serta menyerap aspirasi para pihak secara konstruktif dengan tetap memperhatikan aspek yuridis.
207 Secara eksplisit seluruh arahan yuridis yang telah dideskripsikan diatas memberikan signal yang kuat terhadap pembentukan dan penyelenggaraan manfaat pertambangan secara melembaga agar efisiensi dan efektifitas penerimaan manfaat dapat dikelola selanjutnya dalam penelitian ini disebut Institutional multi Pihak. Adapun mekanisme tugas dan funsi Dewan Tambang kepada Lembaga Multi Pihak yaitu: 1.
Dewan Tambang dengan lembaga Multi Pihak sebagai pelaksana teknis adalah lembaga yang bersifat formal berbadan hukum yang dibentuk berdasarka statuta yang didaftarkan pada Akta Notaris dan sebagai pengejawantahan dari isu-isu buruk tentang pertambangan terutama kaitannya terhadap ketimpangan wilayah dan kerusakan lingkungan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
2.
Dewan Tambang adalah yayasan yang terdiri dari orang-orang yang dipilih langsung oleh masyarakat yang merupakan perwakilan pemerintah, tokoh masyarakat,
perguruan
tinggi,
LSM
dan
perwakilan
perusahaan
Pertambangan berazaskan Pancasila dan UUD 1945 serta bertaqwa kepada Allah SWT, memiliki kecakapan, dengan masa tugas kerja selama 5 tahun. 3.
Dewan Tambang memiliki lembaga teknis yang selanjutnya disebut Lembaga Multi Pihak berazaskan Pancasila dan UUD 1945 serta bertaqwa kepada Allah SWT, memiliki kecakapan yang dipilih langsung oleh masyarakat berdasarkan kriteria dan aturan serta mekanisme yang telah disusun sebelumnya.
4.
Lembaga Multi pihak akan bekerja selama 1 Tahun dan akan menerima tunjangan kerja lembaga sesuai dengan kesapakatan dan kemampuan anggaran serta akan dievaluasi kinerjanya kenudian akan dipilih kembali oleh dewan penganggaran mineral.
5.
Membentuk forum penyusun program dan jabaran pembiayaan dan mengkoordinasikan program kerja tahunan kepada para pihak untuk mendapatkan kesepakatan untuk selanjutnya disampaikan kepada Dewan Penganggaran Mineral untuk disetujui dan diajukan kepada PT Gorontalo Minerals untuk manjadi bagian dari program kerja Pengembangan
208 komunitas (Comdev) dan Tanggung Jawab sosial Perusahaan (CSR) kemudian diserahkan kembali kepada Dewan Penganggaran Minerals. 6.
Dewan Penganggaran Minerals melakuan rapat dengan pihak perwakilan perusahaan untuk menyepakati waktu pembahasan dan realisasi anggaran berdasarkan item-item
program kerja serta model monitoring bersama
terhadap implementasi program kerja. 7.
Lembaga Multi Pihak akan menerima paket kesepakatan nomor (6) dan akan disampaikan kepada publik secara terbuka melalui media masa lokal untuk selanjutnya memberikan waktu selama 1 minggu kepada untuk memberikan tanggapan ataupun koreksi secara konstruktif terhitung sejak dokumen kesepakatan tersebut disampaikan ke publik. Apabila tanggapan ataupun kritikan tersebut melewati batas waktu disampaikan maka dianggap kadaluarsa.
D.
Pendekatan Satuan Kerja Dewan Tambang Berdasarkan tiga prinsip utama yang menjadi visi dalam model
kelembagaan ini, maka Lembaga Multi Pihak yang menjadi badan eksekutif dari Dewan Tambang akan memiliki tiga divisi. Adapun yang dimaksud adalah: 1.
Divisi Ekonomi Tugas koorganisasian dari divisi ini
yaitu menjalankan program
kelembagaan dibidang ekonomi seperti pelatihan kewirausahaan dan pengembangan usaha kecil menengah serta menjadi mediator terhadap pengelolaan jasa usaha pertambangan kepada pengusaha lokal sesuai dengan peraturan yang berlaku. 2.
Divisi Sosial Budaya Tugas koorganisasian yang diemban divisi ini yaitu memfasilitasi dan mendorong penyusunan Peraturan Daerah tentang Desa Adat Pinogu dan menggairahkan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan dan budaya serta merevitalisasi keberadaan situs-situs peninggalan kerajaan Gorontalo yang berada di Enclove Pinogu serta meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pemeliharaan linbgkungan dengan pendekatan lokal jenius juga
209 dukungan program peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan, ibadah dan olahraga. 3.
Divisi Lingkungan Tugas koorganisasian yang diemban divisi ini yaitu mendorong dan memfasilitasi penyusunan peraturan daerah tentang Jasa Lingkungan dan meningkatkan motivasi masyarakat untuk menanam dan memelihara pohon dengan memberikan kompensasi terhadap masyarakat yang berhasil melakukan penanaman dan pemeliharaan pohon terutama di wilayah Enclove Pinogi dan wilayah sekitar Taman nasional Bogani nani Wartabone.
VIII. SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan disimpulkan hasil analisis dan pembahasan yang telah di deskripsikan pada bab-bab dan sub bab sebelumnya. Selanjutnya akan diakhiri dengan saran dan rekomendasi dari seluruh hasil penelitian disertasi. 8.1
Simpulan
1.
Pemberian izin pemanfaatan dan perubahan status kawasan , yang diawali dengan pemberian izin kontrak karya pada tahun 1971, kemudian lahan ini dinaikkan statusnya menjadi suaka margasatwa (SM) pada tahun 1974, selanjutnya menjadi taman nasional (TN) pada tahun 1992, dan diturunkan statusnya lagi menjadi hutan produksi terbatas(HPT) pada tahun 2011 berdampak pada pemanfaatan dan penguasaan secara ekspansif dan tidak terkontrol oleh masyarakat baik peruntukan permukiman, pertanian, perkebunan dan perladangan berpindah serta
penambang tanpa izin
(PETI) telah memberikan kontribusi yang besar terhadap konflik sosial ekonomi dan perusakan lingkungan. 2.
Nilai cadangan mineralisasi dan logam diwilayah kontrak karya layak untuk ditambang. Namun nilai kelayakan masih perlu untuk dipertegas karena ketidakpastian terhadap besarnya cadangan tertambang, kadar bijih, dan faktor operasi lain, akibat kegiatan eksplorasi yang belum selesai. Nilai kelayakan diperkirakan berubah membaik sejalan dengan perubahan ketidakpastian terhadap besarnya cadangan tertambang, kadar bijih, dan faktor operasi lain, dengan dilakukannya kegiatan eksplorasi dan kajian lebih detail.
3.
Nilai cadangan mineral akan terus berkurang seiring dengan kegiatan ekstraksi yang dilakukan oleh perusahaan namun hal ini akan terkonversi dengan biaya lingkungan yang telah dimasukkan dalam perhitungan tersebut. Sehingga akan mengurangi resiko sosial yang saat nanti akan berdampak pada iklim usaha. Namun penurunan nilai cadangan tertambang ini akan berdampak negatif terhadap nilai royalty, sehingga peluang daerah penghasil untuk membangun wilayah dari penerimaan royalty semakin menurun juga.
212
Aspek kelembagaan dengan model pendekatan partisipasi yaitu faktor
4.
demografi masyarakt dengan jenis kelamin laki-laki memiliki peluang besar dalam partisipasi dibanding kaum perempuan, kemudian lembaga sosial ekonomi seperti koperasi, arisan, karang taruna, organisasi remaja masjid memiliki peluang partisipasi terhadap pemanfaatan sumberday tambang, klaim kepemilikan lahan dan tromol oleh penambang tanpa izin (PETI), juga memberikan peluang terhadap partisipasi. Selanjutnya sektor pembungan sarana jalan, sarana perhubungan, sarana penerangan (listrik) serta prasarana olahraga oleh pemerintah cukup memiliki peluang terhadap partisipasi. Sektor penting lainnya yaitu sarana perekonomian seperti pasar tempat pelelangan ikan memiliki peluang yang baik terhadap partisipasi pemanfaatan sumberdaya tambang kaitanya terhadap pembangunan wilayah di Kabupaten Bone Bolango.
8.2 1.
Saran Proyeksi pemanfaatan lahan oleh masyarakat dan pemegang konsesi secara legal perlu disusun dalam suatu road map yang komprehensif agar masingmasing dapat beraktifitas dengan aman dan nyaman serta dapat hidup berdampingan dan dokumen ini menjadi pedoman buat para pihak untuk diterapkan secara konsisten dan konsekuen.
2.
Kelayakan ekonomi tambang perlu memperhitungkan secara cermat aspek eksploitasi, memperkirakan tren eksploitasi jangka panjang, dan juga dapat menetukan tingkat kelayakan cadangan sumberdaya tambang bagi pembangunan jangka panjang melalui penelitian eksplorasi agar menjadi model neraca cadangan tambang yang aktual (Mining resources accounting) dan dapat menepis isu-isu keraguan pemerintah dalam mempertimabngan arah kebijakan pembangunan ekonomi disektor pertambangan.
3.
Cadangan sumberdaya tambang tidak seharusnya dibenturkan dengan cadangan sumberdaya yang lain seperti hutan dan air karena masing-masing memiliki
wilayah dan
ruang
yang berbeda sehingga pendekatan
penyelesaian konflikpun harus berbeda meskipun tujuannya sama. Oleh karena itu hampir dapat dipastikan masing-masing sumberdaya tersebut
213
tidak memiliki unsur konflik satu sama lain bahkan masing-masing sumberdaya tersebut memiliki interaksi yang kuat untuk dijaga dan dipelihara ketersediaan dan kelayakan pemanfaatanya dalam skema dimensi deplesi sumberdaya tambang dan degradasi lingkungan, yang bertujuan pada pemanfaatan masing-masing sumberdaya secara rasional dan bertanggung jawab. 4.
Kelayakan
ekonomi
tambang
dari
aspek
ekonomi
positif
untuk
dimanfaatkan secara professional yang tidak didukung oleh kelayakan kelembagaan sosial ekonomi dan kelayakan kelembagaan sosial budaya hanya dapat menciptakan konflik sosial yang berkepanjangan, sehingga dibutuhkan model pengembangan dan perluasan cadangan sumberdaya tambang melalui investasi sosial (social capital), terutama peningkatan kapasitas masyarakat di bidang pendidikan dan keterampilan, serta kegiatan sosial keagamaan.
8.3 1.
Rekomendasi Upaya
menghilangkan
stigma
ketidak
pastian
pemanfaatan
dan
penguasaan lahan yang telah berjalan selama 40 tahun di wilayah ini dapat dilakukan melalui pendekatan hukum dengan tanpak mengabaikan aspek sosial ekonomi masyarakat di sekitar wilayah, seperti peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan dan pendidikan yang berbasis pada investasi dan industri yang sedang berkembang di Kabupaten Bone Bolango dan membuka akses sarana perekonomian seperti jalan dan jembatan, pasar dan informasi harga komoditi pertanian, serta menjamin pemeliharaan lingjungan terutama keberadaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang menjadi land mark daerah ini sebagi bukti sinergi antara Pemerintah dan PT Gorontalo Minerals serta masyarakat dalam membangun wilayah. 2.
Sektor pertambangan kadang dibenci karena selalu diidentikan dengan kerusakan bentang alam yang berakibat pada rusaknya ekosistem dan juga karakter sumberdaya tambang tidak dapat diperbaharui (unrenewable) sehingga generasi yang akan datang akan mengalami kelangkaan. Akan
214
tetapi sektor ini sering dirindukan karena banyak komponen-komponen yang dibutuhkan manusia saat ini berasal dari sektor pertambangan. Oleh karena itu perlu adanya intervensi teknologi untuk meghambat kelangkaan, misalnya melakukan
daur ulang terhadap limbah produksi dan
mengalokasikan pendapatan dari sektor ini ke sektor pertanian yang bersifat terbarukan. 3.
Perlu adanya penelitian khusus tentang cadangan (inventory) sumberdaya tambang, dan dipadukan dengan berapa cadangan yang pantas di produksi serta dibutuhkan, agar situasi dan indeks kelangkaan sumberdaya tambang dimasa depan dapat diistimasi sejauh mungkin, dan adanya informasi (neraca sumberdaya tambang) tersebut dapat menetukan rencana dan arah kebijakan pembangunan ekonomi melalui sektor pertambangan sehingga negara kita akan jauh dari ketidak pastian.
4.
Dibutuhkan sebuah lembaga yang didalamnya menujuk orang-orang yang memiliki kredibilitas dan kecakapan tertentu yang berasal dari berbagai pihak (Lembaga Tambang Multi pihak) yang di luar dari struktur pemerintahan dengan memiliki kewenangan antara lain mengatur penerimaan dana jasa lingkungan dari pihak perusahaan untuk di distribusikan kepada masyarakat untuk mengurangi ketimpangan distribusi bagi hasil yang dianggap belum seimbang dengan beban yang ditanggung oleh daerah penghasil tambang juga mendukung kegiatan sosial ekonomi diluar dari program Tanggung jawab Sosial Perusahaan (CSR) dan pembangunan masyarakat (Community Development) yang telah bersifat mandatory bagi perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Tinjauan Kritis. P4W Press. Bogor Indonesia. Aoki M. 2001. Toward a Comparative Institutional Analysis. The MIT Press. Cambridge, Massachusetts, Landon, England Azheri. 2011. Corporate Social Responsibility Dari Voluntary Menjadi Mandatory, Jakarta.: PT Rajagrafindi Persada. Baba Barus. 2005. Kamus SIP (Sistem Informasi Geografis) . Bogor: Pnerbit SOTIS (Studio Teknologi Informasi Spasial) Bagian Penginderaan Jauh dan Kartografis Departemen Ilmu Tanah da Sumberdaya lahan, FAPERTA, IPB Budihardjo dkk. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung : Penerbit : Alumni. Budimanta A. 2007. Kekuasaan dan Penguasaan Sumberdaya Alam. Studi Kasus Penambang Timah di Bangka. Jakarta. Penerbit Indonesia Center for Sustainable Development denga Dukungan The Ford Foundation. Daryanto A dan Hafizrianda Y. 2010 Model-Model Kuantitatif Untuk Perencanaan Ekonomi Daerah, Konsep dan Aplikasi., IPB Press Bogor. Dennis C. Pirages. 1996. Building Sustainable Societies. Penerbit : Library of Congress Cataloging-in-Publication Data USA. Departemen Kehutanan RI.2010. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. 2000. Peraturan pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 Tentang Pembagian Penerimaan Sumberdaya Alam. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. 2010.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. 2010. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Echols J, Shadily H. 1996. Kamus Inggris Indonesia . Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
216 Ekawan, 2009. Kajian Daerah Aliran Sungai Rona Awal dan Lingkungan di Daerah sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. PT LAPI. ITB. Fauzi A. 2006 Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Utama. International Finance Corporation (IFC). 2010. Land Acquisition and Infoluntary Resettlement. World Bank Group. Washinton IFC. 2006. Labour and Working Condition. World Bank Gorup. Washington IFC. 2007. Social and Invironmental Assesment and Managament Systems. World Bank Goup. Washington IFC. 2006. Policy on disclosure of Information. World Bank Group. Washington IFC. 2007. Environmental, Health and Safety Guidelines for Mining. World Bank Group. Washington IFC. 2010. Resouerce Efficience and Pollution Prevention. World Bank Group. Washington IFC. 2006. Policy and Performance Standards on Social and Environmental Sustainability. World Bank Group. Washington Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisinis, Bogor : IPB Press. Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor. Diterbitkan IPB Press. Juoro. 7 November 1994. Pertumbuhan dengan Pemerataan. Kompas : halaman John Aldridge, Sutojo. 2005 Good Corporate Governance Tata Kelola Perusahaan yang Sehat . Jakarta.: Penerbit Damar Mulia Pustaka. Larsen, Erling Roed. 2006. Escaping the Resource Curse and the Dutch Disease? When and Why Norway Cought up and Forget Ahead of its Neighbors. The American Journal of Economics and Sociology. Laoh Olly Esry .H1989. Dampak Kegiatan Penambangan Emas Pada Perekonomian Sulawesi utara (Pendekatan Analisis Input Output), Tesis tidak di publikasiskan KPK IPB UNSRAT Manado. Mitchell, B. Setiawan, Dwita Hadi Rahmi. 2007 Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. . Yogyakarta : Penerbit Gadjah Mada University Press.
217 Malanuang, L. 2009. Model Pembangunan Daerah Berkelanjutan Melalui Transformasi Struktur Ekonomi Berbasis Sumberdaya Pertambangan ke Sumberdaya lokal terbarukan (Studi Kasus Tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu hijau PT.Newmont Nusa Tenggara Barat di Sumabwa Barat NTB). Disertasi tidak dipublikasikan. Bogor Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Margaret Blunden and Friends. 1994. Rethinking Public Policy-Making. Penerbit : SAGE Publications London Thousand Oaks. New Delhi. Markus Zahnd. 1999. Perencanaan Kota Secara Terpadu, Teori Perancangan Kota dan Penerapannya. Jogyakarta : Penerbit Kanisius Soegijapranata University Press. Menard,at al, 2005 Hand Book of New Institutional Economics, Published by Springer p.o. Box 17, 300 AA Dordrecht, The Nederland Ostrom E. 2001. The Puzzle Of Counterproductive Property Rights Reform: A Conceptual Analysis. In: De Janvry A, Gordillo AG, Platteau JP, Sadoulet E, eds. Acces To Land, Rural Property And Public Action. P. 127-156 Washington, DC: Island Press Ostrom E, Schlager E. 1996. The Formation Of Property Rights. In: Hanna S, Folke C, Maler KG, eds. Rights to nature: Ecological, economic, cultural, and political principles of institutions for the environment. P. 127-156. Washington, DC: Island Press. Peluso NL. 1996. Forest Trees And Family Trees In An Anthropogenic Forest: Ethics Of Acses, Property Zones And Environmental Changes In Indonesia. Cooperative Studies In Society And History 38: 510-548. Peluso NL. 1995. Whoose Wood Are These? Counter-Mapping Forest Territories In Kalimantan, Indonesia. Antipode 27: 383-406. Prahasta.2004. Sistem Informasi Geografis: Arch View Lanjut Edisi Revisi. Bandung.: Penerbit Informatika Praharsta, 2009. Tutorial Arch View. Bandung.: Penerbit Informatika. Rahardjo Adisasmita, 2005. Pembangunan Ekonomi Perkotaan. Jakarta : Penerbit Graha Ilmu. Ricky Lam and Leonard Wantchekon, 2003. Political Duth Disease. Associate Proffesor of Politics and Economics at New york University. Rustiadi dkk. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta : Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
218 Rukminto Adi, 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intirrensi Komunitas. Jakarta.: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Suparmoko, 2006. Panduan & Analisis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Konsep, Metode Perhitungan dan Aplikasi). Yogyakarta : BPFE Soelistijo, Ukar W., 2008. Pembangunan Regional Berkelanjutan, ITB, Bandung Suyanto dkk. 2010 A Rapid Land Tanure Assesment Manual for Identifying the Nature of Land Tanure Conflicts. ICRAFT Southeast Asia Regional Office. Bogor. Suryani M. 1991. Kajian tentang Flora dan Fauna di Swaka Margasatwa Bone Kabupaten Gorontalo. Kerjasama dengan PT Aneka Tambang. Jakarta. Sutrisno, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Penerbit : Kanisius Jogyakarta. Todaro, Michael P. 1994 Economics Development. Fifth edition, Longman, New York. London. Todaro, Michael P. Steven C Smith. 2009 Economic Development, Tenth Edition, Pearson Edition Wesley, Boston San Fransisco, New York, London, Toronto Sidney, Tokyo, Singapore, Madrid, Mexico, Montreal. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Republik Indonesia Tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Republik Indonesia Tentang Perimbangan Keuangan Anatar Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun Pemerintahan Daerah
2004
Republik
Indonesia
Tentang
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Republik Indonesia Tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Republik Pertambangan Mineral dan Batu Bara
Indonesia
Tentang
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Republik Indonesia Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tentang
219
LAMPIRAN
217 Lampiran 1. Inventarisasi Luasan Lahan Berhimpitan Langsung Dengan Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Mineral Tingkat Desa Kecamatan/ Desa BONE (total)
Luas (ha) Areal Pertanian Hutan Semak Belukar Perkebunan Permukiman PETI 348.58 1,594.26 334.87 48.57 27.55
Sungai
Grand Total 2,353.83
BILOLANTUNGA
256.65
1,382.73
214.71
29.82
17.86
1,901.78
WALUHU BONE PANTAI (total) OMBULO HIJAU BONE RAYA (total) ALO INOMATA LAUT BIRU MOOPIYA MOOTAYU MOOTINELO PELITA JAYA TOMBULILATO BULAWA (total)
91.93
211.53 171.54 171.54 3,446.38 646.38 278.33 184.89
120.16
18.75
9.69
277.83 48.52 27.15 11.83 2.69 80.49 22.05 85.03 0.08 17.96
1,662.42 262.86 146.69 142.89 26.19 429.40 141.01 496.89 16.50 1,597.26
133.18 21.51 17.46 9.16 8.36 22.68 10.52 18.45 25.04 42.62
452.06 171.54 171.54 6,331.08 992.96 489.82 394.45 39.28 2,660.53 444.45 1,256.30 53.28 6,743.67
811.03 13.69 20.19 45.69 2.05 500.33 56.45 160.97 11.65 924.56
1,627.39 214.42 494.97 4,160.62
0.24
0.24
0.67
221
218 222
Kecamatan/ Desa Areal Pertanian
Hutan
Semak Belukar
Luas (ha) Perkebunan
Permukiman PETI
Sungai
Grand Total 259.88 1,043.10 960.79 765.70 1,018.19 1,245.89 23.55 475.30 951.27 1.44 6,847.24 1.44 5,657.34 1,189.90 1.44 22,447.36
BUKIT HIJAU 259.88 BUNGA HIJAU 239.44 582.44 208.54 12.60 0.08 KAIDUNDU 193.87 583.38 10.75 170.54 2.25 KAIDUNDU BARAT 123.19 625.30 3.48 13.73 MAMUNGAA 177.66 480.52 354.12 5.55 0.33 MAMUNGAA TIMUR 38.43 587.57 3.72 604.91 11.01 0.25 MOPUYA 5.85 10.27 7.43 NYIUR HIJAU 475.30 PATOA 146.12 566.23 235.15 3.77 SUWAWA TIMUR (total) 139.46 6,676.42 0.44 29.49 BANGIO 5,638.11 17.80 TULABULO TIMUR 139.46 1,038.31 0.44 11.69 Grand Total 2,223.63 16,049.21 630.66 3,308.25 203.78 30.39 Sumber: Olahan Peta Desa BPS Gorontalo, Peta Rupa Bumi Indonesia 1:50.000 Bakosurtanal, Peta Citra Spot Resolulusi Sedang, peta Tutupan
Lahan BPKH Wilayah XV Gorontalo, Peta Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals dan Peta Geogle Earth.
219 Lampiran 2. Inventaritarisasi Luasan Lahan Berhimpitan Langsung dengan Konsesi Kontrak karya PT Gorontalo Mineral di Tingkat Kecamatan Kecamatan Areal Pertanian
Hutan
Luas (ha) Perkebunan Permukiman PETI
Semak Belukar
Sungai Grand Total
BONE 348.58
1,594.26
334.87
48.57
27.55
2,353.83
-
171.54
811.03
3,446.38
277.83
1,662.42
133.18
0.24
6,331.08
924.56
4,160.62
17.96
1,597.26
42.62
0.67
6,743.67
139.46
6,676.42
-
0.44
29.49
1.44
6,847.24
2,223.63
16,049.21
3,308.25
203.78
30.39
1.44
22,447.36
BONE PANTAI -
171.54
BONE RAYA BULAWA SUWAWA TIMUR
Grand Total 630.66
Sumber: Olahan Peta Desa BPS Gorontalo, Peta Rupa Bumi Indonesia 1:50.000 Bakosurtanal, Peta Citra Spot Resolulusi Sedang, Peta Tutupan Lahan BPKH Wilayah XV Gorontalo, Peta Konsesi Kontrak Karya PT Gorontalo Minerals dan Peta Geogle Earth
223
224
220
Lampiran 3 Proyeksi Aliran Kas PT.GM Berdasarkan Analisis Dollar Konstan
Year Gross Revenue (-)Royalties Net Revenue (-)Operating Cost (-)Sales fee (-)Treatment/Refining Charges (-)VAT Operating Income (-) Depreciation Income Before Tax (-) Corporate Tax Net Income (+) Depreciation (-) Capital Expenditure Free Cash Flow Cumm Cash Flow
Unit US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
(61.88) (61.88) (61.88)
(3.09) (3.09) (3.09) 3.09 (61.88) (61.88) (123.75)
(6.19) (6.19) (6.19) 6.19 (63.75) (63.75) (187.50)
35.66 (1.37) 34.29 (19.71) (0.13) (0.78) (0.08) 13.60 (9.38) 4.22 (1.27) 2.96 9.38 12.33 (175.17)
107.88 (4.10) 103.78 (60.94) (0.38) (2.33) (0.24) 39.89 (9.38) 30.52 (9.16) 21.36 9.38 30.74 (144.43)
145.05 (5.46) 139.59 (63.83) (0.50) (3.10) (0.32) 71.84 (9.38) 62.46 (18.74) 43.72 9.38 53.10 (91.33)
146.16 (5.45) 140.71 (65.42) (0.50) (3.09) (0.32) 71.38 (9.38) 62.00 (18.60) 43.40 9.38 (52.50) 0.28 (91.06)
149.01 (5.50) 143.51 (66.77) (0.51) (3.12) (0.32) 72.79 (12.00) 60.79 (18.24) 42.55 12.00 (105.00) (50.45) (141.51)
158.02 (5.77) 152.25 (71.15) (0.53) (3.28) (0.34) 76.95 (17.25) 59.70 (17.91) 41.79 17.25 (105.00) (45.96) (187.46)
231.23 (8.33) 222.91 (94.43) (0.74) (4.41) (0.46) 122.88 (22.50) 100.38 (30.11) 70.26 22.50 92.76 (94.70)
300.63 (10.69) 289.94 (116.99) (0.93) (5.45) (0.57) 166.00 (22.50) 143.50 (43.05) 100.45 22.50 122.95 28.25
221
Year Gross Revenue (-)Royalties Net Revenue (-)Operating Cost (-)Sales fee (-)Treatment/Refining Charges (-)VAT Operating Income (-) Depreciation Income Before Tax (-) Corporate Tax Net Income (+) Depreciation (-) Capital Expenditure Free Cash Flow Cumm Cash Flow
Unit US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
2032
395.65 (13.11) 382.55 (158.60) (1.12) (6.52) (0.68) 215.62 (22.50) 193.12 (57.94) 135.19 22.50 157.69 1,119.65
399.61 (13.11) 386.50 (161.77) (1.12) (6.52) (0.68) 216.41 (22.50) 193.91 (58.17) 135.73 22.50 158.23 1,277.88
403.61 (13.11) 390.50 (165.01) (1.12) (6.52) (0.68) 217.17 (22.50) 194.67 (58.40) 136.27 22.50 158.77 1,436.65
407.64 (13.11) 394.54 (168.31) (1.12) (6.52) (0.68) 217.90 (22.50) 195.40 (58.62) 136.78 22.50 159.28 1,595.93
411.72 (13.11) 398.61 (171.67) (1.12) (6.52) (0.68) 218.61 (19.41) 199.21 (59.76) 139.44 19.41 158.85 1,754.78
372.72 (13.11) 359.62 (140.83) (1.12) (6.52) (0.68) 210.46 (22.50) 187.96 (56.39) 131.57 22.50 154.07 182.32
376.45 (13.11) 363.34 (143.65) (1.12) (6.52) (0.68) 211.37 (22.50) 188.87 (56.66) 132.21 22.50 154.71 337.03
380.21 (13.11) 367.11 (146.52) (1.12) (6.52) (0.68) 212.26 (22.50) 189.76 (56.93) 132.83 22.50 155.33 492.36
384.02 (13.11) 370.91 (149.45) (1.12) (6.52) (0.68) 213.13 (22.50) 190.63 (57.19) 133.44 22.50 155.94 648.30
387.86 (13.11) 374.75 (152.44) (1.12) (6.52) (0.68) 213.98 (22.50) 191.48 (57.45) 134.04 22.50 156.54 804.84
391.74 (13.11) 378.63 (155.49) (1.12) (6.52) (0.68) 214.81 (22.50) 192.31 (57.69) 134.62 22.50 157.12 961.96
225
222 226
Year Gross Revenue (-)Royalties Net Revenue (-)Operating Cost (-)Sales fee (-)Treatment/Refining Charges (-)VAT Operating Income (-) Depreciation Income Before Tax (-) Corporate Tax Net Income (+) Depreciation (-) Capital Expenditure Free Cash Flow Cumm Cash Flow
Unit US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m US$m
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
2033
2034
2035
2036
2037
2038
2039
2040
2041
2042
2043
415.83 (13.11) 402.73 (175.11) (1.12) (6.52) (0.68) 219.30 (16.31) 202.98 (60.90) 142.09 16.31 158.40 1,913.19
419.99 (13.11) 406.89 (178.61) (1.12) (6.52) (0.68) 219.95 (13.13) 206.83 (62.05) 144.78 13.13 157.90 2,071.09
424.19 (13.11) 411.09 (182.18) (1.12) (6.52) (0.68) 220.58 (13.13) 207.46 (62.24) 145.22 13.13 158.34 2,229.43
428.43 (13.11) 415.33 (185.82) (1.12) (6.52) (0.68) 221.18 (13.13) 208.05 (62.42) 145.64 13.13 158.76 2,388.20
432.72 (13.11) 419.61 (189.54) (1.12) (6.52) (0.68) 221.75 (13.13) 208.62 (62.59) 146.04 13.13 159.16 2,547.36
437.05 (13.11) 423.94 (193.33) (1.12) (6.52) (0.68) 222.28 (10.50) 211.78 (63.54) 148.25 10.50 158.75 2,706.11
441.42 (13.11) 428.31 (197.20) (1.12) (6.52) (0.68) 222.79 (5.25) 217.54 (65.26) 152.28 5.25 157.53 2,863.63
445.83 (13.11) 432.73 (201.14) (1.12) (6.52) (0.68) 223.26 223.26 (66.98) 156.28 156.28 3,019.91
450.29 (13.11) 437.18 (205.17) (1.12) (6.52) (0.68) 223.69 223.69 (67.11) 156.59 156.59 3,176.50
454.79 (13.11) 441.69 (209.27) (1.12) (6.52) (0.68) 224.09 224.09 (67.23) 156.86 156.86 3,333.36
459.34 (13.11) 446.23 (213.45) (1.12) (6.52) (0.68) 224.46 224.46 (67.34) 157.12 157.12 3,490.48
227
Lampiran 4.
Binary Logistic Regression: Partisipasi versus Jenis Kelamin, Umur dan Pekerjaan Responden
Response Information Variable Value Count Partisipasi 1 35 0 60 Total 95 Logistic Regression Table Predictor Constant Jenis Kelamin 1 Umur Pendidikan 2 3 Pekerjaan Utama 2 3
(Event)
Odds Ratio
95% CI Lower Upper
Coef -0.0655902
SE Coef 1.50240
Z -0.04
P 0.965
2.46861 -0.0584543
0.937560 0.0281529
2.63 -2.08
0.008 0.038
11.81 0.94
1.88 0.89
74.16 1.00
0.939097 2.72090
0.535034 1.11632
1.76 2.44
0.079 0.015
2.56 15.19
0.90 1.70
7.30 135.49
-0.0550395 -0.919813
1.12800 0.648979
-0.05 -1.42
0.961 0.156
0.95 0.40
0.10 0.11
8.64 1.42
Log-Likelihood = -51.292 Test that all slopes are zero: G Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square DF Pearson 64.3850 71 Deviance 74.4906 71 5.4191 8 Hosmer-Lemeshow
= 22.457, DF = 6, P-Value = 0.001 P 0.697 0.365 0.712
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Number Percent Summary Measures Concordant 1614 76.9 Somers' D 0.55 Discordant 463 22.0 Goodman-Kruskal Gamma 0.55 Ties 23 1.1 Kendall's Tau-a 0.26 Total 2100 100.0
228
Lampiran 5.
Binary Logistic Regression: Partisipasi Versus Model Advokasi Pemanfaatan Sumberdaya Tambang
Response Information Variable Value Count Partisipasi 1 35 0 60 Total 95 Logistic Regression Table
(Event)
Odds 95% CI Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Upper Constant -8.29274 2.23030 -3.72 0.000 Mengikuti 1 2.54791 1.20630 2.11 0.035 12.78 1.20 135.95 Mengerti 1 -0.113311 1.17887 -0.10 0.923 0.89 0.09 9.00 Sifat Dukungan 1.67289 0.637716 2.62 0.009 5.33 1.53 18.59 Bentuk Dukungan 1 0.684465 0.867037 0.79 0.430 1.98 0.36 10.85 Keanggotaan 1 0.750894 0.795767 0.94 0.345 2.12 0.45 10.08 Kedudukan 1 0.263787 0.883526 0.30 0.765 1.30 0.23 7.36 Frekuensi -0.166494 0.439570 -0.38 0.705 0.85 0.36 2.00 Komponen 0.355922 0.512545 0.69 0.487 1.43 0.52 3.90 Kemampuan 1 -0.0693427 0.690551 -0.10 0.920 0.93 0.24 3.61 Tokoh 1 0.977799 0.792052 1.23 0.217 2.66 0.56 12.56 Log-Likelihood = -37.511 Test that all slopes are zero: G = 50.019, DF = 10, P-Value = 0.000 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square DF P Pearson 60.4063 59 0.425 Deviance 63.7930 59 0.312 Hosmer-Lemeshow 8.8865 8 0.352 Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Number Percent Summary Measures Concordant 1871 89.1 Somers' D 0.79 Discordant 212 10.1 Goodman-Kruskal Gamma 0.80 Ties 17 0.8 Kendall's Tau-a 0.37 Total 2100 100.0
229
Lampiran 6.
Binary Logistic Regression: Partisipasi versus Persepsi Responden Terhadap Saranan dan Prasarana di Wilayah Pemanfaatan Sumberdaya Tambang
Response Information Variable Value Count Partisipasi 1 35 0 60 Total 95
(Event)
Logistic Regression Table Odds
95% CI
Predictor Coef SE Coef Z P Ratio Lower Constant -5.47827 1.70747 -3.21 0.001 Infrastruktur Jalan 1.64840 0.743421 2.22 0.027 5.20 1.21 Perhubungan 1.55017 0.517794 2.99 0.003 4.71 1.71 Perekonomian -1.22304 0.651934 -1.88 0.061 0.29 0.08 Kesehatan 0.325501 0.668308 0.49 0.626 1.38 0.37 Pendidikan_1 -1.09687 0.943000 -1.16 0.245 0.33 0.05 Penerangan -0.572909 0.590901 -0.97 0.332 0.56 0.18 Air Bersih -0.0577183 0.606899 -0.10 0.924 0.94 0.29 Ibadah 0.744188 1.09316 0.68 0.496 2.10 0.25 Olah Raga 1.10405 0.600311 1.84 0.066 3.02 0.93 Log-Likelihood = -52.022 Test that all slopes are zero: G = 20.998, DF = 9, P-Value = 0.013 Goodness-of-Fit Tests P Method Chi-Square DF Pearson 52.6283 31 0.009 Deviance 42.3893 31 0.083 Hosmer-Lemeshow 2.9683 6 0.813 Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Number Percent Summary Measures Concordant 1501 71.5 Somers' D 0.50 Discordant 443 21.1 Goodman-Kruskal Gamma 0.54 Ties 156 7.4 Kendall's Tau-a 0.24 Total 2100 100.0
Upper 22.32 13.00 1.06 5.13 2.12 1.80 3.10 17.94 9.78
230
Lampiran 7. Binary Logistic Regression: Partisipasi versus Pertambangan Tanpa Izin
Response Information Variable
Value
Count
Partisipasi
1
35
0
60
Total
95
(Event)
Logistic Regression Table Predictor
Coef
SE Coef
Z
P
Constant
-1.18788
0.559432
-2.12
0.034
Perubahan Status
0.701360
1.36161
0.52
0.606
2.02
Posisi
-1.25376
0.672831
-1.86
0.062
0.29
20.3437
12597.2
0.00
0.999
6.84170E+08
Hubungan_1
-9.50942
6298.58
-0.00
0.999
0.00
Kenyamanan
0.327381
0.913181
0.36
0.720
1.39
-0.0463947
0.435662
-0.11
0.915
0.95
Biaya
0.988772
1.00562
0.98
0.325
2.69
Mercuri & Cianida
0.669066
0.965606
0.69
0.488
1.95
1.07307
0.889119
1.21
0.227
2.92
0.347978
1.30893
0.27
0.790
1.42
-0.540728
1.18970
-0.45
0.649
0.58
Sarana Fasilitasi Perusahaan
1.14731
1.31146
0.87
0.382
3.15
Konsesi Pemerintah
1.30181
1.50172
0.87
0.386
3.68
-0.154467
1.63980
-0.09
0.925
0.86
-1.74870
1.32532
-1.32
0.187
0.17
Status Hukum
Dukungan
Penertiban Konsesi Perusahaan Kohesivitas Perusahaan
Kohesivitas Pemerintah Sarana Fasilitasi Pemerintah
95% CI Predictor
Lower
Upper
Odds Ratio
231
Constant Perubahan Status
0.14
29.08
Posisi
0.08
1.07
Status Hukum
0.00
*
Hubungan_1
0.00
*
Kenyamanan
0.23
8.31
Dukungan
0.41
2.24
Biaya
0.37
19.29
Mercuri & Cianida
0.29
12.96
Penertiban
0.51
16.71
Konsesi Perusahaan
0.11
18.42
Kohesivitas Perusahaan
0.06
6.00
Sarana Fasilitasi Perusahaan
0.24
41.17
Konsesi Pemerintah
0.19
69.77
Kohesivitas Pemerintah
0.03
21.32
Sarana Fasilitasi Pemerintah
0.01
2.34
Log-Likelihood = -46.451 Test that all slopes are zero: G = 32.139, DF = 15, P-Value = 0.006 Goodness-of-Fit Tests Method
Chi-Square
DF
P
Pearson
34.3634
25
0.100
Deviance
36.8943
25
0.059
2.5389
4
0.638
Hosmer-Lemeshow
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs
Number
Percent
Concordant
1480
70.5
Discordant
196
9.3
Ties
424
20.2
2100
100.0
Total
Summary Measures Somers' D
0.61
Goodman-Kruskal Gamma
0.77
Kendall's Tau-a
0.29
232
Lampiran 8.
Binary Logistic Regression Partisipasi Versus Kelembagaan yang Efektif dalam Penyelesaian Konflik
Response
Information Variable Value Count Partisipasi 1 35 0 60 Total 95 Logistic Regression Table
(Event)
95% Predictor Coef SE Coef Z P Odds Ratio Constant -21.7878 12814.2 -0.00 0.999 Aktivitas Sosek 1 -0.914407 0.478289 -1.91 0.056 0.40 Bentuk Konflik 1 22.5635 26199.0 0.00 0.999 6.29820E+09 Penyelesaian Konflik 2 -21.1642 26199.0 -0.00 0.999 0.00 Kelembagaan efektif 2 21.4856 12814.2 0.00 0.999 2.14336E+09 Log-Likelihood = -55.917 Test that all slopes are zero: G = 13.208, DF = 4, P-Value = 0.010 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square DF P Pearson 1.95903 1 0.162 Deviance 1.78831 1 0.181 Hosmer-Lemeshow 1.87106 2 0.392 Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic) Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Number Percent Summary Measures Concordant 1158 55.1 Somers' D 0.40 Discordant 318 15.1 Goodman-Kruskal Gamma 0.57 Ties 624 29.7 Kendall's Tau-a 0.19 Total 2100 100.0
CI Lower
0.16 0.00 0.00 0.00
233
Lampiran 9. Sebaran Sampel Lokasi Pengambilan Data No
Kecamatan
Desa/Kelurahan
1
Kec. Suwawa Timur
2
Kec. Bone Pantai
3
Kec.Bulawa
4
Kec. Bone Raya
1)Poduwoma 2)Tulabolo 3)Dumbaya Bulan 4)Pangi 5)Tulabolo Barat 6)Tilangobula 7)Tulabolo 1)Bilungala 2)Tongo 1)Mamungaa 2)Mopuya 3)Mamungaa Timur 4)Kaidundu 5)Bunga Hijau 1)Alo 2)Tombulilato 3)Tindahiya 4)Mootayu 5)Tonala Selatan 6)Tonala Utara 20 Desa
5
Total
Jumlah Sampel Dalam Angket 5 2 1 11 3 1 3 9 1 9 11 1 8 1 11 15 2 1 1 1 96
234
Lampiran 10. Tahun Mulai Penambangan Tanpa Izin (PETI) Frequency Percent Valid Percent Valid
Cumulative Percent
1985.00
1
1.2
3.7
3.7
1989.00
2
2.4
7.4
11.1
1990.00
5
6.0
18.5
29.6
1991.00
1
1.2
3.7
33.3
1992.00
10
12.0
37.0
70.4
1997.00
1
1.2
3.7
74.1
2005.00
1
1.2
3.7
77.8
2007.00
1
1.2
3.7
81.5
2008.00
1
1.2
3.7
85.2
2009.00
1
1.2
3.7
88.9
2010.00
1
1.2
3.7
92.6
2011.00
2
2.4
7.4
100.0
27 56 83
32.5 67.5 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 11 Hubungan PETI dengan TN Bogani Nani Wartabone Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak Tahu
26
31.3
74.3
74.3
Tidak Baik
3
3.6
8.6
82.9
Baik
6
7.2
17.1
100.0
35 48 83
42.2 57.8 100.0
100.0
Total Missing System Total
235
Lampiran 12. Posisi Penambang Tanpa Izin (PETI)
Frequency Percent Valid Percent Valid
Cumulative Percent
Buruh
4
4.8
11.4
11.4
Donatur
1
1.2
2.9
14.3
Pemilik
29
34.9
82.9
97.1
1
1.2
2.9
100.0
35 48 83
42.2 57.8 100.0
100.0
Pedagan Pengumpul Total Missing System Total
Lampiran 13. Hubungan PETI Dengan Para Pihak Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak Tahu Baik
Total Missing System Total
22
26.5
84.6
84.6
4
4.8
15.4
100.0
26 57 83
31.3 68.7 100.0
100.0
Lampiran 14. Kenyamanan Bekerja PETI Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak Tahu
1
1.2
2.9
2.9
Tidak Nyaman
2
2.4
5.7
8.6
Nyaman
32
38.6
91.4
100.0
35 48 83
42.2 57.8 100.0
100.0
Total Missing System Total
236
Lampiran 15. Dukungan Para Pihak
Frequency Percent Valid Percent Valid
Keamanan
Cumulative Percent
16
19.3
59.3
59.3
Politisi
5
6.0
18.5
77.8
Pemerintah Setempat
6
7.2
22.2
100.0
27 56 83
32.5 67.5 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 16. Penggunaan Mercury dan Cianida Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak Tahu
17
20.5
44.7
44.7
Tahu
21
25.3
55.3
100.0
38 45 83
45.8 54.2 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 17. Penertiban Penambang Tanpa Izin (PETI) Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak Tahu
2
2.4
5.4
5.4
Tidak Pernah
4
4.8
10.8
16.2
Pernah
31
37.3
83.8
100.0
Total Missing System Total
37 46 83
44.6 55.4 100.0
100.0
237
Lampiran 18. Konsesi Lahan Perusahaan PT Gorontalo Mineral Frequency Percent Valid Percent Valid
Tidak Ya
Total Missing System Total
Cumulative Percent
29
34.9
76.3
76.3
9
10.8
23.7
100.0
38 45 83
45.8 54.2 100.0
100.0
Lampiran 19. Kohesivitas Antar Masyarakat dengan PT Gorontalo Minerals Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak
13
15.7
56.5
56.5
Ya
10
12.0
43.5
100.0
23 60 83
27.7 72.3 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 20. Organisasi untuk Fasilitasi Konflik Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak Bisa
15
18.1
41.7
41.7
Bisa
21
25.3
58.3
100.0
36 47 83
43.4 56.6 100.0
100.0
Total Missing System Total
238
Lampiran 21. Konflik Perusahaan dengan Pemerintah Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak
23
27.7
65.7
65.7
Ya
12
14.5
34.3
100.0
35 48 83
42.2 57.8 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 22. Kohesivitas Pemerintah dengan Masyarakat Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak
9
10.8
47.4
47.4
ya
10
12.0
52.6
100.0
Total
19
22.9
100.0
Missing System
64
77.1
Total
83
100.0
Lampiran 23. Organisasi kemasyarakatan Fasilitasi konflik Pemerintah dan Masyarakat Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak Bisa Bisa
Total Missing System Total
14
16.9
63.6
63.6
8
9.6
36.4
100.0
22 61 83
26.5 73.5 100.0
100.0
239
Lampiran 24. Bentuk-Bentuk Konflik
Frequency Percent Valid Percent Valid
Cumulative Percent
63
75.9
75.9
75.9
Beda Pendapat
3
3.6
3.6
79.5
Belum ada konflik
1
1.2
1.2
80.7
Penertiban
1
1.2
1.2
81.9
Pengeboran
2
2.4
2.4
84.3
Perebutan Kekuasaan, salah pah
2
2.4
2.4
86.7
Perebutan lahan PETI
3
3.6
3.6
90.4
Perebutan Lahan pemukiman
3
3.6
3.6
94.0
Perkelahian antar warga
3
3.6
3.6
97.6
Miras
1
1.2
1.2
98.8
Rumah tangga
1
1.2
1.2
100.0
83
100.0
100.0
Total
Lampiran 25. Alternatif Penyelesaian Konflik Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid
68
81.9
81.9
81.9
Jalur Hukum
1
1.2
1.2
83.1
Musyawarah
7
8.4
8.4
91.6
Musyawarah Mufakat
1
1.2
1.2
92.8
Penertiban
4
4.8
4.8
97.6
Persetujuan Masingmasing Pihak
1
1.2
1.2
98.8
PT. GM dihentikan beroperasi
1
1.2
1.2
100.0
83
100.0
100.0
Total
240
Lampiran 26. Partisipasi Responden Pada Advokasi Pemanfaatan Sumberdaya Tambang
Frequency Percent Valid Percent Valid
Cumulative Percent
Tdk Berpartisipasi
16
19.3
32.0
32.0
Berpartisipasi
34
41.0
68.0
100.0
50 33 83
60.2 39.8 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 27. Intensitas Mengikuti_Penyuluhan Frequen cy Percent Valid Percent Valid
Cumulative Percent
tdk mengikuti
28
33.7
35.0
35.0
Mengikuti
52
62.7
65.0
100.0
80 3 83
96.4 3.6 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 28. Kemampuan Menyerap Materi Advokasi
Frequency Percent Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
Tdk Tahu dan Tdk Mengerti
26
31.3
32.5
32.5
Tahu dan Mengerti
54
65.1
67.5
100.0
80 3 83
96.4 3.6 100.0
100.0
Total Missing System Total
241
Lampiran 29. Sifat Dukungan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang
Frequency Percent Valid Percent Valid
Cumulative Percent
.00
1
1.2
1.3
1.3
Kurang Mendukung
8
9.6
10.0
11.3
Cukup mendukung
28
33.7
35.0
46.3
Sangat Mendukung
43
51.8
53.8
100.0
80 3 83
96.4 3.6 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 30. Bentuk dan Dukungan Pemanfaatan Sumberdaya Tambang Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid
Ide atau Saran ditolak
16
19.3
22.9
22.9
Ide atau Saran diterima
54
65.1
77.1
100.0
70 13 83
84.3 15.7 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 31. Keterlibatan Dalam Organisasi
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tdk Masuk anggta Organisasi
46
55.4
59.0
59.0
Masuk anggta Organisasi
32
38.6
41.0
100.0
78 5 83
94.0 6.0 100.0
100.0
Total Missing System Total
242
Lampiran 32. Frekuensi Kehadiran dalam Rapat Organisasi Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidk ikut hadir
22
26.5
28.2
28.2
Jarang Hadir
16
19.3
20.5
48.7
Sering Hadir
30
36.1
38.5
87.2
Selalu Hadir
10
12.0
12.8
100.0
78 5 83
94.0 6.0 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 33. Keterlibatan dalam Memberikan Saran Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tdk ada Saran
27
32.5
34.6
34.6
Jarang Memberi Saran
20
24.1
25.6
60.3
Sering Memberi Saran
18
21.7
23.1
83.3
Selalu Memberi saran
13
15.7
16.7
100.0
78 5 83
94.0 6.0 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 34. Pemahaman Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Tambang
Frequency Percent Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
Tdk Tahu dan Tdk Paham
25
30.1
32.1
32.1
Tahu dan Paham
53
63.9
67.9
100.0
78 5 83
94.0 6.0 100.0
100.0
Total Missing System Total
243
Lampiran 35. Perubahan Status Kawasan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak Tahu Tahu
Total Missing System Total
27
32.5
79.4
79.4
7
8.4
20.6
100.0
34 49 83
41.0 59.0 100.0
100.0
Lampiran 36. Awal Informasi Adanya Potensi Tambang Emas Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid
Info dri Pemerintah
11
13.3
42.3
42.3
Info dari X Pegawai Tambang
15
18.1
57.7
100.0
26 57 83
31.3 68.7 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 37. Pemahaman Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Tambang
Frequency Percent Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
Tdk Tahu dan Tdk Paham
25
30.1
32.1
32.1
Tahu dan Paham
53
63.9
67.9
100.0
78 5 83
94.0 6.0 100.0
100.0
Total Missing System Total
244
Lampiran 38. Informasi Status Kontrak Karya Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak Tahu
21
25.3
84.0
84.0
4
4.8
16.0
100.0
25 58 83
30.1 69.9 100.0
100.0
Tahu Total Missing System Total
Lampiran 39. Peran Informal Leader (Tokoh Masyarakat) Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tdk Berperan aktif
36
43.4
48.0
48.0
Berperan aktif
39
47.0
52.0
100.0
Total
75
90.4
100.0
8
9.6
83
100.0
Missing System Total
Lampiran 40. Organisasi Sosial Budaya Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Tidak
19
22.9
44.2
44.2
Ya
24
28.9
55.8
100.0
43 40 83
51.8 48.2 100.0
100.0
Total Missing System Total
245
Lampiran 41. Syarat Organisasi Sosial Budaya
Frequency Valid
Percent
Cumulative Valid Percent Percent
61
73.5
73.5
73.5
Bantuan dana dan dikembalikan
1
1.2
1.2
74.7
Bekerja sungguh-sungguh
1
1.2
1.2
75.9
berusaha lebih baik dan bekerj
1
1.2
1.2
77.1
harus menjalankan program deng
1
1.2
1.2
78.3
Kejujuran dan Kebersamaan dala
1
1.2
1.2
79.5
kerja sama dan kreativitas
1
1.2
1.2
80.7
Kerja sama yang baik
1
1.2
1.2
81.9
Komitmen dan Tanggung jawab
1
1.2
1.2
83.1
Mengelola bantuan dengan baik
1
1.2
1.2
84.3
Mengikuti aturan
2
2.4
2.4
86.7
Mengikuti Aturan
1
1.2
1.2
88.0
menjalankan roda pemerintahan,
1
1.2
1.2
89.2
menjalankan tugas dengan baik
1
1.2
1.2
90.4
Pemberdayaan Masyarakat
2
2.4
2.4
92.8
Penguatan Modal
1
1.2
1.2
94.0
Perlu adanya aturan
1
1.2
1.2
95.2
Persyaratannya cukup berat
1
1.2
1.2
96.4
Swadaya
1
1.2
1.2
97.6
Tanggung Jawab, Kerja Sama
1
1.2
1.2
98.8
Tepat Waktu
1
1.2
1.2
100.0
83
100.0
100.0
Total
246
Lampiran 42. Manfaat Organisasi Sosial Budaya Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
tidak
16
19.3
48.5
48.5
ya
17
20.5
51.5
100.0
Total
33
39.8
100.0
System
50
60.2
83
100.0
Total
Lampiran 43. Kelengkapan Organisasi yang Diikuti Frequency Valid
Missing
Percent
Valid Percent Cumulative Percent
belum Lengkap
13
15.7
54.2
54.2
sudah lengkap
11
13.3
45.8
100.0
Total System
24 59
28.9 71.1
100.0
83
100.0
Total
Lampiran 44. Manfaat Organisasi Sosial Budaya Frequency Valid
Missing Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
tidak
16
19.3
48.5
48.5
ya
17
20.5
51.5
100.0
Total
33
39.8
100.0
System
50
60.2
83
100.0
247
Lampiran 45. Syarat Organisasi Menjaga Lingkungan Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid
69
83.1
83.1
83.1
bekerja sama
1
1.2
1.2
84.3
gotong royong
1
1.2
1.2
85.5
Gotong royong
1
1.2
1.2
86.7
Ikut melaksanakan aturan
2
2.4
2.4
89.2
kerja sama
1
1.2
1.2
90.4
Kerja sama
1
1.2
1.2
91.6
menjaga kebersihan
2
2.4
2.4
94.0
Pemeliharaan
1
1.2
1.2
95.2
semua aturan harus diikuti
1
1.2
1.2
96.4
Tenaga kerja harus siap
2
2.4
2.4
98.8
tidak membuang sampah sembaran
1
1.2
1.2
100.0
83
100.0
100.0
Total
Lampiran 46. Organisasi Pelestarian Lingkungan Frequency Valid
tidak
Percent
Valid Percent Cumulative Percent
8
9.6
28.6
28.6
ya
20
24.1
71.4
100.0
Total
28
33.7
100.0
Missing System
55
66.3
Total
83
100.0
248
Lampiran 47 Kearifan Lokal Dalam Penyelesaian Konflik Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak
12
14.5
50.0
50.0
Ya
12
14.5
50.0
100.0
Total
24
28.9
100.0
Missing System
59
71.1
Total
83
100.0
Lampiran 48. Syarat Kearifan Lokal Pada Organisasi Sosial Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Belum
18
21.7
78.3
78.3
Sudah
5
6.0
21.7
100.0
Total
23
27.7
100.0
Missing System
60
72.3
Total
83
100.0
Lampiran 49. Peran Organisasi dalam Penyelesaian Konflik Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak
13
15.7
56.5
56.5
ya
10
12.0
43.5
100.0
Total
23
27.7
100.0
Missing System
60
72.3
Total
83
100.0
249
Lampiran 50. Syarat dimiliki Organisasi dalam Penyelesaian Konflik Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Belum
15
18.1
65.2
65.2
Sudah
8
9.6
34.8
100.0
Total
23
27.7
100.0
Missing System
60
72.3
Total
83
100.0
Lampiran 51. Waktu Terbentuk Lembaga Ekonomi Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
1983.00
1
1.2
2.9
2.9
1985.00
2
2.4
5.9
8.8
1989.00
1
1.2
2.9
11.8
1990.00
8
9.6
23.5
35.3
1992.00
3
3.6
8.8
44.1
1995.00
1
1.2
2.9
47.1
1997.00
1
1.2
2.9
50.0
1998.00
3
3.6
8.8
58.8
1999.00
2
2.4
5.9
64.7
2000.00
1
1.2
2.9
67.6
2001.00
1
1.2
2.9
70.6
2002.00
1
1.2
2.9
73.5
2003.00
1
1.2
2.9
76.5
2004.00
1
1.2
2.9
79.4
2005.00
4
4.8
11.8
91.2
2008.00
1
1.2
2.9
94.1
2009.00
2
2.4
5.9
100.0
34
41.0
100.0
Missing System
49
59.0
Total
83
100.0
Total
250
Lampiran 52. Posisi Dalam Lembaga Ekonomi Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid
49
59.0
59.0
59.0
Bendahara
1
1.2
1.2
60.2
Buruh
1
1.2
1.2
61.4
Nelayan
1
1.2
1.2
62.7
Pedagang
4
4.8
4.8
67.5
Pedagang, Pemilik Tromol
1
1.2
1.2
68.7
18
21.7
21.7
90.4
Pemilik Tromol
7
8.4
8.4
98.8
Penghasil Ekonomi Keluarga
1
1.2
1.2
100.0
83
100.0
100.0
Pemilik
Total
Lampiran 53. Organisasi Sosial Ekonomi
Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulativ e Percent
47
56.6
56.6
56.6
Organisasi Nelayan
3
3.6
3.6
60.2
Arisan, Gotong Royong
2
2.4
2.4
62.7
Arisan, Tadarus Al-Quran
8
9.6
9.6
72.3
Pemilihan ketua RT
1
1.2
1.2
73.5
Ekonomi Produktif, PNPM
1
1.2
1.2
74.7
Gotong Royong, Arisan
1
1.2
1.2
75.9
Huyula
1
1.2
1.2
77.1
251
Huyula, PNPM
1
1.2
1.2
78.3
Jamaah Tablig, Member, Arisan
1
1.2
1.2
79.5
Karang Taruna
4
4.8
4.8
84.3
Karang Taruna, KNPI, HIPMI
1
1.2
1.2
85.5
Majelis Ta'lim, Karang Taruna
2
2.4
2.4
88.0
Majelis Ta'lim, yatim Piatu Desa
1
1.2
1.2
89.2
Majelis Ta'lim, Tadarus
1
1.2
1.2
90.4
PAB, PNPM
1
1.2
1.2
91.6
Pengajian
2
2.4
2.4
94.0
PNPM, Pembuatan MCK
1
1.2
1.2
95.2
Rukun Duka
1
1.2
1.2
96.4
Tadarus Ibu-ibu PKK
1
1.2
1.2
97.6
Takmirul Masjid, BPD
1
1.2
1.2
98.8
TPA, Pengajian
1
1.2
1.2
100.0
83
100.0
100.0
Total
252
Lampiran 54. Kegiatan Ekonomi Masyarakat
Frequency Percent Valid Percent Valid
Cumulative Percent
53
63.9
63.9
63.9
Anggota PKK
1
1.2
1.2
65.1
Arisan uang
1
1.2
1.2
66.3
24
28.9
28.9
95.2
Pemanfaatan lahan kosong
1
1.2
1.2
96.4
penjualan Makanan Tradisional
1
1.2
1.2
97.6
Sumbangan Duka
1
1.2
1.2
98.8
Sumbangan Kawinan
1
1.2
1.2
100.0
83
100.0
100.0
Arisan barang
Total
Lampiran 55. Organisasi Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan Banyak Diikuti Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid
44
53.0
53.0
53.0
Arisan PKK, Pengajian
2
2.4
2.4
55.4
Arisan, Tadarus AlQuran
2
2.4
2.4
57.8
Bakti Sosial
1
1.2
1.2
59.0
DPC, Pemilihan ketua dpc
1
1.2
1.2
60.2
Gotong Royong
1
1.2
1.2
61.4
Karang Taruna
7
8.4
8.4
69.9
Karang Taruna, Arisan
2
2.4
2.4
72.3
Karang Taruna, Gotong Royong
14
16.9
16.9
89.2
Karang Taruna, KNPI, HIPMI
1
1.2
1.2
90.4
Organisasi Keagamaan
1
1.2
1.2
91.6
253
Pengajian
2
2.4
2.4
94.0
PNPM
3
3.6
3.6
97.6
PNPM, Air Bersih
1
1.2
1.2
98.8
TPA, Pengajian
1
1.2
1.2
100.0
83
100.0
100.0
Total
Lampiran 56. Organisasi Sosial Ekonomi dan Kemasyarakatan Banyak Manfaat Cumulative Frequency Percent Valid Percent Percent Valid
53
63.9
63.9
63.9
Arisan, Tadarus AlQuran
2
2.4
2.4
66.3
BPD
1
1.2
1.2
67.5
Gotong Royong
1
1.2
1.2
68.7
karang Taruna Desa
3
3.6
3.6
72.3
Karang Taruna Kecamatan
2
2.4
2.4
74.7
Karang Taruna, Arisan
1
1.2
1.2
75.9
Karang Taruna, Gotong Royong
11
13.3
13.3
89.2
Karang Taruna, KNPI, HIPMI
1
1.2
1.2
90.4
PKK, Kerja Bakti
1
1.2
1.2
91.6
PNPM
3
3.6
3.6
95.2
PNPM, Air Bersih dan MCK
1
1.2
1.2
96.4
PNPM, Perbaikan Jalan
2
2.4
2.4
98.8
Sosial, Kesehatan
1
1.2
1.2
100.0
83
100.0
100.0
Total
254
Lampiran 57. Bentuk Manfaat Organisasi Sosial Ekonomi Dan Kemasyarakatan Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
48
57.8
57.8
57.8
Baik
1
1.2
1.2
59.0
Belajar mengaji dan
2
2.4
2.4
61.4
2
2.4
2.4
63.9
1
1.2
1.2
65.1
7
8.4
8.4
73.5
Desa Mengalami Perubahan
1
1.2
1.2
74.7
Desa Menjadi Berkembang
1
1.2
1.2
75.9
Desa menjadi lebih baik
1
1.2
1.2
77.1
Desa Menjadi Lebih Baik
3
3.6
3.6
80.7
Jalan semakin membaik
1
1.2
1.2
81.9
Kebersihan Lingkungan
1
1.2
1.2
83.1
Ketertiban Masyarakat
1
1.2
1.2
84.3
lingkungan menjadi bersih
1
1.2
1.2
85.5
Lingkungan terjaga dengan
1
1.2
1.2
86.7
Memuaskan
1
1.2
1.2
88.0
Mendapatkan Pengobatan
1
1.2
1.2
89.2
Menjalin Persaudaraan
1
1.2
1.2
90.4
Menyentuh pada masyarakat
2
2.4
2.4
92.8
Mudah memperoleh air
1
1.2
1.2
94.0
menabung Desa agak mengalami perkembang Desa mengalami perkembangan Desa Mengalami perkembangan
Terpelih
baik
Gratis
bersih
255
Lampiran 58. Persepsi Terhadap Sarana Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
buruk
6
7.2
10.2
10.2
sedang
40
48.2
67.8
78.0
baik
13
15.7
22.0
100.0
Total
59
71.1
100.0
Missing System
24
28.9
Total
83
100.0
Lampiran 59. Persepsi Terhadap Sarana Perekonomian Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
buruk
31
37.3
60.8
60.8
sedang
12
14.5
23.5
84.3
baik
8
9.6
15.7
100.0
Total
51
61.4
100.0
Missing System
32
38.6
Total
83
100.0
Lampiran 60. Persepsi Terhadap Sarana Kesehatan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
buruk
39
47.0
78.0
78.0
sedang
8
9.6
16.0
94.0
baik
3
3.6
6.0
100.0
Total
50
60.2
100.0
Missing System
33
39.8
Total
83
100.0
256
Lampiran 61. Persepsi Terhadap Sarana Pendidikan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
buruk
47
56.6
90.4
90.4
sedang
2
2.4
3.8
94.2
baik
3
3.6
5.8
100.0
Total
52
62.7
100.0
Missing System
31
37.3
Total
83
100.0
Lampiran 62. Persepsi Terhadap Sarana Penerangan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
buruk
25
30.1
48.1
48.1
sedang
15
18.1
28.8
76.9
baik
12
14.5
23.1
100.0
Total
52
62.7
100.0
Missing System
31
37.3
Total
83
100.0
Lampiran 63. Persepsi Terhadap Sarana Air Bersih Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
buruk
38
45.8
67.9
67.9
sedang
13
15.7
23.2
91.1
baik
5
6.0
8.9
100.0
Total
56
67.5
100.0
Missing System
27
32.5
Total
83
100.0
257
Lampiran 64.. Persepsi Terhadap Sarana Olahraga
Frequency Valid
Missing Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
buruk
32
38.6
60.4
60.4
sedang
11
13.3
20.8
81.1
baik
10
12.0
18.9
100.0
Total System
53 30 83
63.9 36.1 100.0
100.0
Lampiran 65. Tatakelola Sumberdaya Tambang yang Aktual
Frequency Percent Valid Percent Valid
Cumulative Percent
.00
1
1.2
1.3
1.3
Kurang Sesuai
6
7.2
7.9
9.2
Cukup Sesuai
43
51.8
56.6
65.8
Sangat Sesuai
26
31.3
34.2
100.0
76 7 83
91.6 8.4 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 66. Biaya Perlindungan PETI Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak Tahu Tidak Ya
Total Missing System Total
1
1.2
3.0
3.0
24
28.9
72.7
75.8
8
9.6
24.2
100.0
33 50 83
39.8 60.2 100.0
100.0
258
Lampiran 67. Bentuk dan Skema Biaya Perlindungan PETI
Frequency Percent Valid Percent Valid
Tergantung Kebutuhan Tidak Menentu
2
2.4
14.3
14.3
10
12.0
71.4
85.7
2
2.4
14.3
100.0
14 69 83
16.9 83.1 100.0
100.0
Bagi Hasil Total Missing System Total
Cumulative Percent
Lampiran 68. Lembaga Pemberi Bantuan
Frequency Percent Valid Percent Valid
Lembaga donor
18
21.7
94.7
94.7
1
1.2
5.3
100.0
19 64 83
22.9 77.1 100.0
100.0
Swasta/CSR Total Missing System Total
Cumulative Percent
Lampiran 69 . Responden Merasa Terbantu Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak Tahu
33
39.8
84.6
84.6
Tidak terbantu
1
1.2
2.6
87.2
Ya
5
6.0
12.8
100.0
39 44 83
47.0 53.0 100.0
100.0
Total Missing System Total
259
Lampiran 70. Peningkatan Usaha Cumulative Percent
Frequency Percent Valid Percent Valid
Tidak Tahu
29
34.9
72.5
72.5
Tidak Meningkat
5
6.0
12.5
85.0
Ya
6
7.2
15.0
100.0
40 43 83
48.2 51.8 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 71. Pemahaman Terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Tambang
Frequency Percent Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
Tdk Tahu dan Tdk Paham
25
30.1
32.1
32.1
Tahu dan Paham
53
63.9
67.9
100.0
78 5 83
94.0 6.0 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 72. Peran Tokoh Menerima Keluhan Masyarakat
Frequency Percent Valid
Valid Percent
Cumulative Percent
Tdk Menerima Keluhan
40
48.2
59.7
59.7
Selalu Menerima Keluhan
27
32.5
40.3
100.0
67 16 83
80.7 19.3 100.0
100.0
Total Missing System Total
260
Lampiran 73. Organisasi Sosial Budaya Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid
Tidak
19
22.9
44.2
44.2
Ya
24
28.9
55.8
100.0
43 40 83
51.8 48.2 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 74. Alasan Perlu Adanya Organisasi Sosial Budaya Frequen Cumulative cy Percent Valid Percent Percent Valid
66
79.5
79.5
79.5
Banyak Hal Yang Bisa Dikembang
1
1.2
1.2
80.7
Dapat Mengembangkan Desa
1
1.2
1.2
81.9
dengan Adanya Organisasi ekono
1
1.2
1.2
83.1
Ekonomi RT terbantu
4
4.8
4.8
88.0
keberadaan di organisasi merup
1
1.2
1.2
89.2
Membantu memberikan modal
2
2.4
2.4
91.6
membantu Perekonomian
1
1.2
1.2
92.8
Memberi Penunjang pada Masyara
1
1.2
1.2
94.0
memenuhi Kebutuhan Masyarakat
1
1.2
1.2
95.2
Organisasi berpengaruh terhada
1
1.2
1.2
96.4
organisasi mendukung kemajuan
1
1.2
1.2
97.6
organisasi sebagai sarana peng
1
1.2
1.2
98.8
Sebagai Penghidupan Ekonomi Ma
1
1.2
1.2
100.0
83
100.0
100.0
Total
261
Lampiran 75. Kepemilikan Lahan Kering
Frequency Percent Valid Percent Valid
Cumulative Percent
1000.00
2
2.4
50.0
50.0
2000.00
1
1.2
25.0
75.0
10000.00
1
1.2
25.0
100.0
4 79 83
4.8 95.2 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 76. Kepemilikan Lahan Bagi Hasil Frequency Valid
Percent Valid Percent
Cumulative Percent
.00
25
30.1
92.6
92.6
1.00
2
2.4
7.4
100.0
27 56 83
32.5 67.5 100.0
100.0
Total Missing System Total
Lampiran 77 . Sejarah kepemilikan Lahan
Frequency Valid
Lahan garapan Budel milik sendiri
Total Missing System Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
5
6.0
29.4
29.4
11
13.3
64.7
94.1
1
1.2
5.9
100.0
17 66 83
20.5 79.5 100.0
100.0