J. Hidrosfir Indonesia
Vol. 5
No.2
Hal.13 - 23
Jakarta, Agustus 2010
ISSN 1907-1043
MIKROALGA (Chlorella, sp.) SEBAGAI AGENSIA PENAMBAT GAS KARBON DIOKSIDA Adi Mulyanto Peneliti Bidang Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Naskah diterima : 6 Mei 2010 - Revisi terakhir 28 Juli 2010
Abstract This experiment was conducted to respon the issue of global warming where carbon dioxide emmited from burning fossil fuel was expected to be the reason. The experiment was performed at Institute for Environmental Technology, Puspiptek, Serpong within 35 days. Algae (Chlorella, sp.) was cultivated in a raceway type pond. The pond has effective volume of 1000 liters provided with agitator and located in a roofed area. Basic machanism of the CO2 sequestration was photosynthesis process, where chlorophyl, water, CO2, and sun light should be present. Reasearch result identified that algae has high capability for carbon dioxide (CO2) sequestration. Therefore, algae can be utilized as an agent for carbon sink. CO2 utilized was come from commercial CO2 tank which was available in the local market and has concentration of about 45%. During experiment, the culture was fed with gradually increasing of CO2 concentration, namely 5.91%, 8.18%, and 9.16%. The macro and micro nutrients were also added into the culture. CO2 absorption by the culture in average only reached 5.34%. therefore, the increasing of CO2 fed into the culture decreased the efficiency of CO2 absorbed. During the experiment, the growth of microalgae was also elaborated. Key words: global warming, algae, carbon dioxide, photosynthesis, carbon sink
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Alga jenis tertentu memiliki pigmen hijau (klorofil) sehingga dapat melakukan proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis tersebut, gas CO2 diperlukan sebagai bahan baku untuk pembentukan senyawa metabolit dan biomassa. Alga memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif cepat, sehingga kebutuhan gas CO2 cukup tinggi. Dengan demikian, alga cocok digunakan sebagai carbon sink untuk membantu penurunan kadar CO2 di udara. Karena bersifat heterotrof, sebagian besar alga membutuhkan cahaya dan CO2. Tiap species alga memiliki kondisi tumbuh yang spesifik sehingga membutuhkan sistem kultur
yang berbeda satu sama lain. Dari sisi biologis, dua hal penting yang mempengaruhi produksi alga pada skala besar adalah pemilihan strain dan media. Selain itu faktor cuaca juga mempengaruhi tingkat produktifitas alga. Strain yang digunakan untuk produksi alga di kolam-kolam hendaknya dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi lapang. Sifat-sifat dari strain yang dipilih yang perlu mendapat perhatian adalah laju pertumbuhan, komposisi biokimia, ketahanan terhadap perubahan suhu ekstrem, dan ketahanan terhadap stres fisik dan fisiologi. Pemilihan sifat-sifat tersebut dapat dilakukan pada skala laboratorium, sedangkan uji lapang dalam kolam dilakukan untuk optimasi kondisi
Koresponden Penulis Telp : 62-21-7560919,
[email protected]
13
Mikroalga (Chlorella,sp.) sebagai Agensia..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 13 - 23
tumbuh seperti konsentrasi nutrisi, pH dan kedalaman kolam, agar strain terpilih memiliki daya kompetisi yang tinggi. Optimasi kondisi tumbuh tersebut juga diperlukan untuk mempertahankan produktivitas strain-strain terpilih di lapang. Upaya memproduksi algamikro dalam kolam luas dan terbuka telah dimulai sejak tahun 1960(1). Mikroalga telah berhasil ditumbuhkan dan dipanen. Namun dari segi teknis terdapat banyak tantangan yang membatasi penerapan praktisnya. Tantangantantangan itu antara lain adalah spesies alga yang telah dipilih sukar untuk dipelihara dalam keadaan murni untuk skala besar, produktivitas yang lebih rendah dari yang diharapkan, dan biaya yang tinggi untuk kegiatan panen dan pemrosesan secara keseluruhan. Media yang digunakan untuk produksi alga skala besar sama dengan media yang digunakan untuk skala laboratorium. Beberapa modifikasi mungkin perlu dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi lapang. Seperti halnya kultur di laboratorium, pemilihan jenis media untuk skala lapang tergantung dari (1) laju pertumbuhan alga yang diinginkan, (2) nutrisi yang dapat mempengaruhi kualitas produksi, dan (3) biaya. Misalnya, dalam produksi alga untuk suplemen kesehatan hendaknya digunakan bahan-bahan media yang aman dikonsumsi, sedangkan produksi alga untuk pakan dapat menggunakan bahan-bahan nutrisi yang lebih murah namun tidak mengandung logam-logam berbahaya. Biaya yang diperlukan untuk pengadaan media tumbuh sekitar 10-30% dari total biaya produksi. Media pertumbuhan fitoplankton dalam suatu lingkungan sangat tergantung bukan hanya dari kecukupan bahan-bahan esensial elemen makronutrien dalam pembentukan sel seperti C, N, P dan silikat serta beberapa ion utama seperti Na+, K+, Mg2+, Ca2+, Cl+, dan SO42-, tetapi masih memerlukan sejumlah elemen mikronutrien logam (trace element) seperti Fe, Mn, Zn, Co, Cu, Mo dan Se dalam konsentrasi rendah(2). Untuk menghemat biaya, banyak produsen yang mendaur-ulang media yang masih mengandung nutrisi. Selain dapat menekan konsumsi bahan menjadi lebih efisien, tindakan daur ulang ini juga dapat mengurangi masalah14
masalah yang timbul dari air buangan yang masih kaya akan nutrisi. Hal lain yang dapat dilakukan untuk menghemat biaya produksi adalah dengan menggunakan substitusi bahan yang lebih murah, misalnya mengganti nitrat dengan urea. Beberapa jenis alga juga dapat tumbuh baik pada medium limbah industri tertentu. Di Thailand, efluen limbah pati sagu digunakan dalam produksi Spirulina untuk pakan ternak(3). Kolam-kolam alga yang berada di ruang terbuka mengalami variasi perubahan cuaca harian ataupun musiman seperti cahaya, suhu, dan curah hujan. Variasi suhu di daerah tropis tidak sebesar di daerah subtropis, namun kondisi awan yang menutupi sinar matahari di musim hujan dapat menurunkan produktivitas alga. Produktivitas alga yang tinggi dapat dicapai dengan mempertahankan konsentrasi alga yang optimum untuk pertumbuhan. Konsentrasi alga yang optimum tersebut dapat berubah seiring dengan perubahan intensitas cahaya atau kondisi awan. Hujan dapat mengencerkan medium di kolam sehingga dapat menurunkan laju pertumbuhan alga dan meningkatkan populasi predator. Untuk kolam skala kecil, masalah curah hujan dapat diatasi dengan memberi penutup, namun untuk kolam skala besar hal tersebut tidak layak untuk dilakukan. Karena itu untuk mengurangi pengaruh hujan dan awan, produksi alga skala besar di daerah tropis lebih cocok dilakukan di daerah dengan curah hujan rendah. Produksi alga skala besar memerlukan volume kultur 10 - 1000 m3, sehingga sebagian besar dilakukan di kolam-kolam terbuka. Produksi alga di kolam terbuka lebih murah dibanding dengan fotobioreaktor, namun jenis species yang dapat dikulturkan secara massal di kolam terbuka sangat terbatas jumlahnya(4). 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan berapa besar kemampuan mikroalga (Chlorella, sp.) yang dipakai sebagai agensia untuk menambat gas CO2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dilakukan pada skala besar untuk menambat CO2 yang dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil (dalam bentuk padat, cair maupun gas)
Mulyanto, A., 2010
dalam rangka mengurangi konsentrasi CO2 yang terlepas di udara bebas. 1.3. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium lapangan Balai Teknologi Lingkungan, gedung 412, Puspiptek, Serpong. Untuk mendapatkan intensitas cahaya matahari yang penuh, maka penelitian dilakukan di atas atap gedung. II.
METODOLOGI
Budidaya mikroalgae terdiri atas serangkaian kegiatan yang antara lain adalah persiapan kolam dan air. Kolam dicuci bersih untuk menghindari terjadinya kontaminasi terhadap alga yang tidak diinginkan tumbuh di dalam kolam. Air yang digunakan adalah air yang sudah diolah menggunakan teknologi ultrafiltrasi. Ke dalam air tersebut diberikan nutrisi lengkap yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroalga. Kolam yang digunakan dibuat dari stainless steel tipe 304 berbentuk raceway dengan volume kerja sebesar 1000 liter. Kolam dilengkapi dengan pedal sebagai sarana untuk pengadukan seluruh media. Sebagai penggerak pedal digunakan elektromotor 1 fase dengan daya ¾ hp. Untuk memperlambat putaran, maka digunakan gear box dan sproket. Sedangkan penghubung antara elektromotor, gearbox dan sproket digunakan V-belt dan rantai. Untuk mencegah kontaminasi dan mempermudah pengukuran kadar CO2 hasil metabolisme mikroalga, maka kolam bagian atas ditutup menggunakan plastik bening. Rangkaian kegiatan lainnya adalah perbanyakan alga yang dimulai dari skala laboratorium, selanjutnya dilakukan upscalling secara bertahap dari skala laboratorium ke skala budidaya massal(5). Kegiatan
perbanyakan ini sangat tergantung pada beberapa faktor, yang paling penting adalah nutrien (unsur hara makro dan mikro), suhu dan cahaya. Faktorfaktor tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi biomasa yang dihasilkan melalui metabolisme alga tersebut(6). Metoda yang dipakai untuk menganalisa data adalah secara deskriptif. Data-data yang berhasil dikumpulkan dikorelasikan dan diamati pengaruhnya satu sama lain. Pemberian gas CO2 pada kolam kultur dilakukan secara bertahap sesuai dengan gambar 1., 2., dan 3. Dalam percobaan ini dilakukan 3 (tiga) tahapan pengumpanan yang reratanya sebagaimana tercantum di dalam tabel 1. Gambar 1. menunjukkan kadar CO2 yang diumpankan ke dalam kolam kultur, sedangkan gambar 2. dan 3. menunjukkan jumlah gas CO2 yang dimasukkan ke dalam kolam kultur yang masing-masing dinyatakan dalam satuan volume dan berat. Gas CO2 yang dimasukkan ke dalam kolam kultur dilakukan secara bertahap untuk menjaga supaya tidak terjadi kejutan pengumpanan terhadap kultur mikro alga. Percobaan dilakukan selama 35 hari. Gas CO2 mulai diberikan ke dalam kolam pada hari ke 9 sore (jam 17.30 WIB). Sebelumnya (hari pertama sampai dengan hari ke 8) kolam diberi udara bebas untuk keperluan penyesuaian dan perbanyakan kultur mikroalga. Debit aerator yang digunakan sebagai pencatu campuran udara dan gas CO2 adalah sebesar 2,671 L/menit. Pengumpanan campuran gas dilakukan secara intermittent, yaitu aerator dihidupkan selama 20 menit dalam 1 jam. Artinya, dalam 1 jam aerator dimatikan selama 40 menit. Pengaturan hidup dan matinya aerator menggunakan timer. Dengan demikian, jumlah campuran CO2 yang diberikan ke dalam kolam kultur sebesar 1.282,08 L/hari.
Tabel 1. Tahapan pengumpanan CO2 ke dalam kolam kultur.
Tahapan
Kadar CO2 (% volume)
Volume CO2 (L/hari)
Berat CO2 (g/hari)
I (hari ke 10 – 16)
5,91
75,77
136,37
II (hari ke 17 – 22)
8,18
104,87
188,92
III (hari ke 23 – 35)
9,16
117,44
211,41
15
Mikroalga (Chlorella,sp.) sebagai Agensia..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 13 - 23
Gambar 1. Kadar CO2 dalam gas pengumpan kolam kultur
Gambar 2. Volume CO2 masuk ke dalam kolam kultur
Dengan menggunakan persamaan keadaan gas sempurna, maka berat gas CO2 yang dimasukkan ke dalam kolam kultur dapat dihitung. Perhitungan tersebut berdasarkan rumus sebagai berikut: pV = nRT, dimana p adalah tekanan (1 atm); V adalah volume gas masuk (Liter); n adalah jumlah molekul gas = berat gas (g)/berat molekul CO2 (g/mol); R adalah konstanta gas (0,082 L.atm/oK.mol); dan T adalah temperatur (oK). Dengan mengkonversi volume menjadi berat CO2, maka diperoleh grafik yang dapat dilihat pada gambar 3. 16
Pengambilan contoh gas yang tidak terserap oleh mikroalga dilakukan setiap hari dua (2) kali, yaitu pagi hari sekitar jam 09.00 WIB dan sore hari sekitar jam 15.00 WIB. Mengingat banyak jenis alga yang hidup di alam ataupun di habitat tertentu, maka perlu dilakukan isolasi dan kultur terhadap jenis alga yang diinginkan. Karena itu, perlu dilakukan metode isolasi dan kultur alga yang tepat. Ada empat jenis teknik isolasi alga untuk mendapatkan kultur tunggal(7), yaitu metode gores (streaking), semprot
Mulyanto, A., 2010
Gambar 3. Berat CO2 masuk ke dalam kolam kultur.
(spraying), serial pengenceran dan isolasi sel tunggal. Teknik streaking dan spraying digunakan untuk mendapatkan alga sel tunggal, alga koloni, atau alga filamen yang dapat tumbuh di atas permukaan agar. Teknik yang sering digunakan adalah teknik semprot dan isolasi sel tunggal. 2.1. Teknik Semprot (Spraying) Teknik ini menggunakan semprotan air untuk menyebarkan sel-sel alga di atas permukaan agar di dalam cawan petri. Cawan petri diletakkan pada jarak sekitar 45 cm dari alat semprot. Alat semprot ini terdiri dari dua bagian utama yaitu (1) nozzle, dan (2) tabung atau botol yang berisi air dan alga. 2.2. Teknik Isolasi Sel Tunggal Isolasi dilakukan dengan menggunakan pipet Pasteur yang ujungnya berdiameter sangat kecil. Ukuran ini disesuaikan dengan diameter alga yang ingin diisolasi. Dengan bantuan mikroskop, ujung pipet yang telah disterilisasi dengan alkohol diarahkan ke salah satu sel alga dalam media cair di cawan petri. Setelah sel alga dan ujung pipet terlihat di bawah mikroskop, sel alga tersebut dihisap secukupnya sehingga masuk ke ujung pipet. Sel alga kemudian diteteskan ke 17
cawan petri baru yang steril. Alga yang ada di tetesan tersebut dicuci dengan beberapa seri tetes media steril (5-10 tetes). Setelah dicuci, alga dipindahkan ke multiwell plate yang berisi media tumbuh cair. Umumnya dilakukan lebih dari satu kali isolasi untuk mendapatkan klon alga yang bebas dari kontaminasi jenis alga lain. 2.3. Metoda Peningkatan Transfer CO2 Ke Dalam Media Kultur Hal lain yang penting untuk diperhatikan adalah besarnya transfer CO2 ke dalam media kultur. Semakin besar CO 2 yang tersedia di dalam kultur, maka pertumbuhan mikroalga akan semakin baik. Pada dasar kolam dipasang diffuser untuk mengalirkan udara yang mengandung CO2. Dengan demikian ada dua arah aliran utama dari pergerakan gelembung udara yang mengandung CO2, yaitu gerakan ke atas dan gerakan seturut aliran air secara horisontal sebagai akibat dari putaran pedal. Selain itu, ada beberapa hal yang mungkin terjadi, yaitu adanya turbulensi pada aliran, difusi, dan pencampuran. Beberapa cara dapat dilakukan untuk memperbesar ketersediaan CO2, antara lain dengan menyemburkan sekecil mungkin gelembung-gelembung udara, sehingga luasan
Mikroalga (Chlorella,sp.) sebagai Agensia..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 13 - 23
permukaan kontak antara gelembung udara dan fase air semakin besar. Untuk itu, pemilihan diffuser sangat menentukan besar-kecilnya gelembunggelembung udara yang dihasilkan. Faktor penting lainnya adalah intensitas kontak dan lama kontak antara gelembung udara dan fase air, antara lain dengan membuat adanya turbulensi dengan cara pengadukan dan dengan menyemburkan gelembung-gelembung ke arah yang berlawanan dengan arah aliran air sehingga interaksi antara gelembung udara dan fase air semakin intensif. Cara lain untuk menimbulkan turbulensi adalah menempatkan penghalang tepat pada injektor/ diffuser gas. Untuk memperlama waktu kontak dapat dilakukan dengan menambahkan support material atau penempatan bahan-bahan yang dapat menahan laju gerak vertikal gelembung udara ke atas, misalnya lembaran-lembaran plastik atau dari pipa-pipa PVC, atau dengan tumpukan batu-batu atau kerikil. Gas yang mengandung CO2 dari diffuser tertahan oleh bahan-bahan tersebut sehingga memiliki waktu kontak yang lebih lama dengan air(8,9). Faktor lain yang mempengaruhi ketersediaan CO2 dalam fasa air adalah nilai pH di dalam kolam. Beberapa percobaan telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pH terhadap ketersediaan CO2 dan pertumbuhan alga(9). Nilai pH yang tinggi berpotensi untuk menghambat pada beberapa jenis mikroalga. Namun, pengoperasin pada pH tinggi akan meningkatkan ketersediaan CO2 (dalam bentuk bikarbonat) dalam air untuk dikonsumsi oleh mikroalga. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. HASIL Penyerapan pada pagi dan sore hari nilainya berbeda. Penyerapan pada pagi hari hari lebih kecil dibanding pada sore hari. Hal ini membuktikan bahwa pengukuran pada pagi
hari proses fotosintesis belum berjalan dengan baik. Sebaliknya, pengukuran pada sore hari membuktikan bahwa proses fotosintesis sudah berjalan dengan baik. Gambar 4. menunjukkan kadar CO2 masuk dan CO2 keluar pada pagi dan sore hari. Rerata dari kadar CO2 pada pagi hari dan sore hari juga disampaikan. Meningkatnya kadar CO2 yang diumpankan mengakibatkan semakin meningkat juga kadar CO 2 yang dilepas. Tabel 2. menyatakan rata-rata kadar CO2 yang masuk dan ke luar kolam pada setiap tahap perlakukan pengumpanan. Pada tahapan pengumpanan pertama (5,91% volume CO2), perbedaan CO2 yang keluar dari kolam pada pagi dan sore hari sebesar 56,36%. Pada tahapan pengumpanan kedua dan ketiga perbedaan CO2 yang tidak terserap oleh biomasa alga masingmasing sebesar 35,58% dan 29,66%. Hal ini mengidentifikasikan bahwa bertambahnya kadar pengumpanan CO2 yang semakin meningkat akan mengakibatkan kinerja biomassa di dalam kolam akan menurun. Proses penyerapan CO2 yang masuk dan keluar pada pagi dan sore hari serta reratanya pada kolam kultur apabila dihitung dalam volume dapat dilihat pada gambar 5. Sementara tabel 3. memuat jumlah CO 2 dalam volume yang diumpankan ke dalam kolam dan jumlah CO2yang keluar pada pagi dan sore hari serta nilai reratanya. Proses penyerapan CO2 (dalam %) pada kolam kultur pada pagi dan sore hari serta reratanya disampaikan pada gambar 6. Tabel 4 di bawah ini memuat besaran CO2 yang diserap oleh biomasa mikro alga di dalam kolam kultur pada setiap tahap pengumpanan. Hubungan antara jumlah CO 2 (dalam besaran volume) yang masuk dan rata-rata jumlah penyerapannya pada kolam dapat dilihat pada gambar 7.
Tabel 2. Kadar CO2 masuk dan keluar serta reratanya. Kadar CO2 masuk (% vol.)
Kadar CO2 keluar pagi (% vol.)
Kadar CO2 keluar sore (% vol.)
Kadar CO2 keluar Rerata (% vol.)
I (hari ke 10 – 16)
5,91
1,65
0,72
1,19
II (hari ke 17 – 22)
8,18
2,67
1,72
2,20
III (hari ke 23 – 35)
9,16
4,45
3,13
3,79
Tahapan
18
Mulyanto, A., 2010
Gambar 4. Kadar CO2 masuk dan keluar kolam kultur.
Tabel 3. Volume CO2 masuk dan keluar serta reratanya. Volume CO2 masuk (Liter/hari)
Volume CO2 keluar pagi (Liter/hari)
I (hari ke 10 – 16)
75,77
II (hari ke 17 – 22)
104,87
III (hari ke 23 – 35)
117,44
Tahapan
Volume CO2 keluar sore (Liter/hari)
Volume CO2 keluar Rerata (Liter/hari)
21,15
9,23
15,19
34,23
22,05
28,14
57,05
40,13
48,59
Gambar 5. Jumlah CO2 masuk dan keluar kolam kultur.
Tabel 4. Penyerapan CO2 oleh biomasa mikro alga di dalam kolam kultur. Tahapan
Kadar CO2 masuk (% vol.)
Kadar penyerapan CO2 pagi (% vol.)
Kadar penyerapan CO2 sore (% vol.)
Kadar penyerapan CO2 Rerata (% vol.)
I (hari ke 10 – 16)
5,91
4,26
5,19
4,73
II (hari ke 17 – 22)
8,18
5,51
6,46
5,99
III (hari ke 23 – 35)
9,16
4,71
6,03
5,37
19
Mikroalga (Chlorella,sp.) sebagai Agensia..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 13 - 23
Gambar 6. Kadar CO2 masuk dan kemampuan penyerapan kolam kultur.
Tabel 5. Volume CO2 masuk dan keluar serta reratanya Volume CO2 masuk (Liter/hari)
Volume penyerapan CO2 pagi (Liter/hari)
Volume penyerapan CO2 sore (Liter/hari)
Volume penyerapan CO2 Rerata (Liter/hari)
I (hari ke 10 – 16)
75,77
54,62
66,54
60,58
II (hari ke 17 – 22)
104,87
70,64
82,82
76,73
III (hari ke 23 – 35)
117,44
60,39
77,31
68,85
Tahapan
Gambar 7. Jumlah CO2 masuk dan jumlah penyerapan rata-rata pada kolam kultur.
Hubungan antara CO2 yang diumpankan ke dalam kolam kultur dengan CO2 yang diserap oleh biomasa mikro alga dapat dilihat pada gambar 8. 20
Tabel 6. memberikan informasi berat CO2 yang diumpankan ke dalam kolam dan kemampuan biomasa dalam menyerap CO2.
Mulyanto, A., 2010
Tabel 6. Berat CO2 masuk dan keluar serta reratanya. Tahapan
Berat CO2 masuk (g/hari)
Berat penyerapan Berat penyerapan CO2 pagi (g/hari) CO2 sore (g/hari)
Berat penyerapan CO2 Rerata (g/hari)
I (hari ke 10 – 16)
136,37
98,31
119,85
109,08
II (hari ke 17 – 22)
188,92
127,28
149,17
138,23
III (hari ke 23 – 35)
211,41
108,59
139,13
123,86
Gambar 8. Berat CO2 masuk dan penyerapan rata-rata pada kolam kultur.
Efisiensi penyerapan dari kolam kultur dihubungkan dengan jumlah CO2 masuk dapat dilihat pada gambar 9.
Selama percobaan dilakukan pengukuran kelimpahan sel mikroalga di dalam kolam kultur. Kelimpahan sel dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 9. Pengaruh pengumpanan gas CO2 terhadap efisiensi penyerapan pada kolam kultur. 21
Mikroalga (Chlorella,sp.) sebagai Agensia..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 13 - 23
Tabel 7. Efisiensi penyerapan CO2 oleh mikroalga di dalam kolam kultur. Volume CO2 masuk (Liter/hari)
Volume penyerapan CO2 Rerata (Liter/hari)
Efisiensi penyerapan (%)
I (hari ke 10 – 16)
75,77
60,58
79,95
II (hari ke 17 – 22)
104,87
76,73
73,17
III (hari ke 23 – 35)
117,44
68,85
58,62
Tahapan
Gambar 10. Kelimpahan sel di dalam kolam kultur.
3.2. PEMBAHASAN Kolam kultur diberi umpan gas CO 2 yang berasal dari tabung secara bertahap. Tahapan tersebut mulai dari 5,91%, 8,18%, dan 9,16% volume CO2 (gambar 1). Kolam kultur mempunyai volume kerja sebesar 1000 liter. Jumlah CO2 (dihitung CO2 murni) yang diberikan juga secara bertahap yaitu 75,77 L/hari, 104,87 L/hari, dan 117,44 L/hari (gambar 2). Apabila dikonversi, maka CO2 yang diberikan sebesar 136,37 g/hari, 188,92 g/hari, dan 211,41 g/hari (gambar 3). Pada saat peningkatan pemberian CO2, maka CO2 yang lolos dari kolam kultur juga mengalami peningkatan (gambar 4 dan 5). Namun kemampuan penyerapan mempunyai kecenderungan konstan walaupun umpan CO 2 dinaikkan (gambar 6, 7, dan 8). Hal ini menyebabkan efisiensi penyerapan dari sistem ini mempunyai kecenderungan menurun seiring dengan naiknya CO2 yang dimasukkan. Pada pemasukan CO2 rendah, efisiensi cukup 22
tinggi, yaitu 79,95%, namun dengan kenaikan pengumpanan, maka efisiensi menurun menjadi 73,17% hingga akhirnya pada pengumpanan tahap ketiga efisiensi penyerapan CO2 hanya mencapai 58,62%. Penyerapan CO2 terbesar terjadi pada pengumpanan tahap kedua, yaitu CO2 dengan kadar 8,18% dengan volume 104,87 L/hari dan berat 188,92 g/hari. Pada tahap pengumpanan kedua ini biomasa mikroalga mampu menyerap CO2 sebesar 76,73 L/hari atau 138,23 g/hari dengan efisiensi penyerapan sebesar 73,17%. Dengan demikian, spesifik penyerapan (dalam volume maupun berat) CO2 tertinggi mencapai 76,73 mL per liter media per hari atau 0,138 gram per liter media per hari. Kelimpahan sel di dalam kolam kultur berkembang dengan baik. Dari hari ke hari terjadi peningkatan jumlah sel per mililiter volume media. Hal ini menunjukkan bahwa mikroalga dapat tumbuh dengan baik di dalam
Mulyanto, A., 2010
kolam kultur, serta nutrien yang diberikan cukup untuk pertumbuhan mikroalga. Gambar 10. menunjukkan kelimpahan sel di dalam kolam kultur. Pada hari yang ke 28, pertumbuhan sel mulai menunjukkan perlambatan. Hari ke 17 sampai ke 21, pertumbuhan sel di dalam kolam paling cepat. Kelimpahan selnya juga sudah cukup banyak, yaitu sekitar 300 x 105/mL. Dengan demikian pada hari-hari tersebut kolam sudah layak mulai dipanen.
Tyron, C.A. Jr. and Hartman, R.T. (eds.) The Ecology of Algae. Special Publ. 2, Pymatuning Laboratory of Field Biology, Univ. Pittsburgh, PA. 3.
Handayani, T. dan P. Sunaryo. 1996. Uji Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Bir Sebagai Media Kultur Mikroalgae Chlorella sp. Dalam Skala Laboratorium. Majalah BPP Teknologi. Edisi Kajian Bioteknologi : LXX/Juni/1996. p. 114-117.
4.
Wood, A.M., Everroad R.C., and Wingard L.M., 2005. Measuring Growth Rates in Microalgal Cultures in Anderson, R.A., 2005 Algal Culturing Techniques. Elsevier Academic Press.
5.
Yusadi D. (2003). Budidaya Chlorella sp. Dirjen Menengah Kejuruan. Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional.
6.
Cornet J. F., Dussap C.G. and Dubertret G. (1992) A structured model for simulation of culture of the cyanobacterium Spirulina platensis in photobioreactors: I. Coupling between light transfer and growth kinetics. Biotechnol. Bioeng. 40:817-825.
7.
Stein (ed.) 1973. Handbook of Phycological Methods. Culture methods and growth measurements. Cambridge University Press.
8.
Michael A. Borowitzka (2005) Culturing Microalgae in Outdoor Ponds. In: Robert A. Andersen. Algal Culturing Techniques. Elsevier Academic Press.
9.
Biopact (2007) An in-depth look at biofuels from algae. http://news.mongabay.com/ bioenergy/2007/01/in-depth-look-atbiofuels-from-algae.htm
IV. KESIMPULAN Spesifik penyerapan masih sangat rendah, yaitu 76,73 mL per liter media per hari atau 0,138 gram per liter media per hari. Untuk meningkatkan penyerapan ini dapat diupayakan dengan memperbaiki sistem pencatuan CO2 ke dalam kolam kultur. Perbaikan sistem pencatuan CO2 dilakukan dengan cara memakai difuser yang baik yang menghasilkan gelembunggelembung sehalus mungkin dan didistribusikan serata mungkin di dalam kolam kultur. Selain itu, pemberian nutrisi juga perlu dilakukan pemantauan yang lebih cermat dengan cara pengambilan contoh media pada periode tertentu dan dianalisa paling tidak kadar unsur-unsur N, P, dan K. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
23
Benemann, J.R., J.C. Van Olst, M.J. Massingil, J.C. Weissman and D.E. Brune. - The Controlled Eutrophication Process: Using Microalgae for CO2 Utilization and Agricultural Fertilizer Recycling. Report No. I5-2. Provasoli, L. and Pintner, I.J. 1960. Artificial media for fresh-water algae: problems and suggestions. pp. 84-96. In
Mikroalga (Chlorella,sp.) sebagai Agensia..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 13 - 23