Merahnya Merah: Pesta Metafora, Sejarah Warna, dan Dimensi Post-colour Pengantar Kuratorial Merah adalah salah satu warna primer, baik pada sinar ataupun pigmen. Biasanya digunakan sebagai kode tanda bahaya dan panggilan perhatian untuk pemadam kebakaran. (J.H. Goodier, Dictionary of Painting and Decorating, 1974) MASIH percayakah Anda pada satu pengertian yang diusung oleh Goodier di atas? Benarkah para perupa—bahkan Anda—pada masa kini masih saja percaya bahwa sebuah warna, baik pada sinar maupun pigmen, hanya memiliki satu (atau dua) kode, arti, maupun persepsi? Dunia seni rupa agaknya sangat menarik untuk kita jadikan jembatan dalam memberi perhatian terhadap peran kode-kode warna semacam itu. Tentu saja tidak hanya memberi peran dan fungsi warna pada persoalan seni rupa sendiri, namun juga pada tataran napas kehidupan masyarakat yang luas. Tidak hanya perhatian pada sebuah lukisan/ patung, namun warna juga banyak memberi gesekan-gesekan pada aspek sosial, budaya, religi, dan mungkin juga pada politik serta kebijakan negara. Sambil merenungkan keajaiban energi spiritual warna, mari kita jelajahi bagaimana spektrum warna, utamanya warna merah, masuk dalam perhitungan-perhitungan logis maupun imajinatif. Mengingat bahwa secara umum warna memiliki hubungan getaran langsung antara satu dengan yang lain, maka kita dapat juga menggunakan energi ini dalam beberapa kepentingan. Karena bagaimanapun juga warna yang indah selalu menghadirkan pengaruh atas diri kita. Sel-sel kulit, tanpa menggunakan mata dan telinga, dapat menangkap getaran visual. Bahkan orang buta dapat belajar melihat warna dengan sentuhan, jari-jari mengembangkan sensitivitas yang dapat membedakan warna (terutama kebutaan sejak lahir atau pada masa pertumbuhan). Dalam pemahaman esoteris warna, penggunaan warna dapat meningkatkan kesadaran spiritual, meredam emosi, dan secara nyata dapat bermanfaat secara psikis bagi
tubuh. Bahkan secara sungguh-sungguh dapat mengubah dunia Anda, dengan menggunakan secara benar energi-energi warna indah itu. *** LALU mengapa merah? Tiada jawaban yang paling utama selain mencoba untuk dekat dengan sesuatu yang “menantang”: menantang untuk dibahas, menantang untuk didekati secara personal maupun komunal, dengan kesulitan yang tinggi menantang untuk diolah, dan bahkan sekaligus menantang untuk dibongkar baik pada tataran visual maupun imajinasi. Merah, saya yakini, adalah sebuah warna yang dekat pada setiap individu maupun kelompok (nation). Kedekatan warna ini sekali waktu memberi suatu pemahaman yang akhirnya akan melahirkan simulasi pemikiran-pemikiran, baik secara politis maupun non-politis. Yang pasti secara alami—sekaligus mendasar—warna ini jelas mewakili energi hidup kita: darah! Merah (minium) adalah warna utama (primer) yang banyak menyita perhatian yang berasal dari lingkaran warna. Sebuah warna yang tidak dapat “diciptakan” oleh warna lain. Ia lahir secara alami dan “begitu saja”. Merah seolah-olah menjadi jangkar pelabuhan dari sebuah komposisi. Seperti halnya term minium yang telah digunakan sejak zaman Pertengahan atau di zaman Romans yang diaplikasikan sebagai vermilion (merah terang) asli yang nantinya akan mengeluarkan berbagai peranakan warna. Merah juga merupakan warna pertama dari 7 warna spektrum yang berhubungan dengan cakra akar (elemen energi tubuh) pertama pada indung telur kelamin. Maka dari itu warna selalu saja memberi rangsangan dan akan menyerang setiap saat. Rangsangan yang muncul dan menyerang pada manusia tersebut belum tentu terasa nyaman. Pada beberapa orang, warna ini mungkin dapat memberikan kekuatan positif dan meningkatkan sirkulasi darah dalam tubuh. Di samping itu, pada beberapa orang yang lain, rangsangan warna merah dapat memberi overstimulasi, kasar dan bahkan menyerang.
Tak pelak jika Anda dapat merespon warna merah secara positif, sangat mungkin Anda adalah orang yang berenergi tinggi dan mandiri. Sebaliknya beberapa orang mungkin akan menolak karena warna merah hanya akan menambah “bahan bakar untuk api” (baca: kemarahan), memberikan rangsangan yang tak dibutuhkan, dan cenderung akan menegatifkan energi alami yang mereka miliki. Pada tataran psikologi-politis, warna merah rupanya juga melahirkan banyak gagasan tentang hidupnya simulasi pemikiran dan “ketakutan-ketakutan”. Merah pada suatu kondisi pernah diidentikkan dengan warna paham “kiri” (minimal terlihat pada warna bendera negara-negara komunis), sebuah paham yang berseberangan dengan warna hijau (paham kanan). Antitesa muncul, unsur psikologis warna ini ternyata juga pernah dilawan oleh warna yang sama. Buktinya terlihat dalam dunia militer Indonesia, pada tahun 60-an warna ini telah menjadi simbol yang sangat menakutkan: “Pasukan Baret Merah”. Pasukan yang direkayasa sebagai mitos yang mengingatkan pada Leger des Heils (atawa Tentara Kesucian) maupun Salvation Army (Tentara Kebahagiaan) dan dianggap sebagai “dajal” bagi orang-orang komunis. Di sini kita melihat “Merah” sedang melawan “Merah”. Selain pada aspek psikologis, warna merah memiliki fungsi yang tak kalah menarik dalam tataran formal artistik. Misalnya karena merah adalah warna primer yang diimajinasikan sebagai warna “panas”, ia memiliki kekuatan yang sangat besar dan selalu mendominasi warna lainnya. Sehingga penggunaan warna merah harus dilakukan secara hati-hati dan dengan kontrol yang luar biasa. Tanpa disadari, warna merah pada sebuah karya selalu mempengaruhi unsur psikologis penontonnya. Sedangkan dalam khasanah bahan, pigmen warna yang rata-rata dihasilkan dari unsur organis maupun anorganis, baik yang diproses secara alami maupun kimiawi, identik dengan unsur-unsur yang ada di alam. Sebagai contoh Indian red identik dengan warna kebiru-biruan atau rose undertone, sedang light red identik dengan warna yang kekuningkuningan atau salmon undertone. Lihat pula dalam komposisi warna ataupun kemasan tube cat minyak dan cat air misalnya, merah terpecah menjadi berbagai macam bagian, misalnya red lead, red lithophone, red ochre, red iron, red oxide, dan sebagainya. Dengan demikian membicarakan “merah” seolah-olah kita berada dalam posisi yang dinamis. Dengan menggunakan “merah” sebagai arus pembicaraan utama, secara
otomatis dalam pameran ini “merah” telah menjadi metafora alias inti bahasa. Mengimajinasikan warna merah seakan-akan turut mengusung berbagai khasanah yang tiada akhir. Inilah sebuah pameran yang identik dengan sebuah “pesta metafora warna”. Sebuah pesta yang mengajak penonton untuk terus berinteraksi dengan keragaman persepsi, simulasi, kode-kode maupun kegamangan-kegamangan melalui warna merah. *** MELANJUTKAN dari khasanah bahan, patutlah diketahui bahwa warna merah telah melahirkan ribuan warna cangkokan (hybrid). Dalam pastel (juga sering digolongkan pada Japanese pigmen) warna merah menghadirkan pure vermilion, cochineal red (enji), cochineal crimson, red lean (tan), red earth color (benigara), yellow earth (ado). Pada jenis lukisan fresko, warna merah menghadirkan native red oxides (pada fresko Egyptian dan Minoan), native oxides dan pozzuoli red (pada fresko Roman), atau burn sienna, mars red, light red, indian red (fresko modern). Sedangkan cat minyak dan cat air di masa kini telah muncul puluhan jenis warna merah misalnya cadmium red light, cadmium red medium, cadmium red deep, dan pure iron oxides (di dalamnya terdapat mars red, indian red, light red), brueghel red, angelico red, ruby red, cobalt red violet, dan sebagainya. Tak terbayangkan begitu banyak cangkokan menyebabkan pameran ini pun memiliki rangkaian interpretasi warna merah yang juga tak berujung. Maka secara khusus, pameran ini mencoba mengangkat eksistensi warna dan terminologi “merah” sebagai teks dan arus pembicaraan utama. Dari karya-karya yang dihasilkan, “merah” dalam pameran ini rupanya tidak hanya berisi satu kajian dan pola pemikiran seni semata, tetapi terdiri dari berbagai rangkaian pola. Bahkan kadang kala pada satu karya perupa memiliki keterkaitan antara satu pola dengan pola yang lain. Beberapa hal yang menyita perhatian itu antara lain karya-karya yang memiliki pola pemikiran: 1. Formal / semi-formal. Pembahasan yang terjadi lebih mengarah pada artikulasi merah sebagai warna. Daya tariknya berada pada pengertian seni adalah permanen, berdiri sendiri (otonom), dan sangat mengutamakan keindahan artistik. Mereka dengan sangat kuat mengeksplorasi keindahan teknik, bahan, serta alat yang dipakai.
Sehingga tidak mengherankan bahwa tujuan utama karya bukanlah sebuah representasi sosial. Karya-karya yang termasuk di dalamnya misalnya karya Handrio dan Wayan Sujana “Suklu” dan karya Yunizar. Pada ketiga karya perupa itu seakan-akan kita melihat kemurnian warna merah sebagai merah, tanpa pretensi yang berlebih. Handrio (salah satu pelopor seni abstrak Indonesia) yang dengan konsisten mengusung pola-pola geometris dalam lukisannya memberi banyak pelajaran tentang bagaimana memanfaatkan merah sebagai bagian dari warna lain. Merah yang berbentuk lingkaran, bujur sangkar, atau yang terikat warna hitam tipis adalah sebuah pelajaran bagaimana menaklukkan warna merah dalam sebuah komposisi (kita tahu merah adalah warna panas yang amat dominan dan nakal) seperti pada karya yang berjudul Untitled (1981). Sedangkan karya Suklu secara formal banyak memberi aksentuasi bagaimana mengolah merah dengan semburat tekstur yang ekstrem, sekalipun terpola. Satupersatu garis merah ditata dengan kesabaran yang tinggi. Ada merah yang diikat oleh warna gelap (Vertikal, 2004), ada pula merah yang menyebar dengan tekstur yang dihadirkan bersama konsep ide yang lebih individual (Benteng, 2004). 2. Simbolis / analogis. Di sini lebih mengarahkan “merah” sebagai wujud analogi (persamaan atau persesuaian, kesamaan sebagian ciri) terhadap sesuatu, maupun sebagai lambang dari sesuatu. Analogi untuk ide-ide yang abstrak. Dalam sejarah perkembangan seni rupa, penganut simbolisme ini mengadopsi paham Realisme dan Impresionisme yang mencoba mengekspresikan keadaan jiwa dan kondisi psikologi dengan memakai warna, garis, dan bentuk. Objek-objek mereka sering kali bertema mitologi, mistik atau hal yang bersifat fantastik. Gustave Moreau adalah pelopor pelukis simbolis, sedang lainnya yang termasuk adalah Puvis de Chavannes dan Odilon Redon di Prancis, sedang Arnold Böcklin di Swis, dan Edward Burne-Jones di Inggris. Maka dalam pameran ini, perwujudan “merah” sebagai simbolisasi, ramai diperbincangkan. Iriantine Karnaya mengusung merah sebagai sebentuk rasa malu (wajah yang memerah) yang direpresentasikan dalam sebuah patung berwujud kera berbahan resin merah dengan tajuk Monyet Aja Malu (2004). Atau pada karya
Titarubi yang mengetengahkan merah terpaut dengan “darah” dan kelahiran (individu sebagai ibu / wanita yang melahirkan) yang dimanifestasikan pada karya cetak digital berjudul Bral Geura Miang (2004). Judul yang bermakna “pergilah (untuk) menjelang” ia angkat sebagai cerita tentang keterlepasan tubuh yang seharihari telah menjadi bagian dirinya. Tentu dengan cara yang ekstrem: ia memotongnya sendiri. Wara Anindyah lebih mengarahkan merah sebagai warna yang dekat dengan persoalan wanita dan sangat individual. Merah lebih diartikulasikan sebagai ketakutan, kecideraan pikiran, kehampaan, kesunyian. Semua simbolisasi ini mewujud dalam satu pengertian: perihal suasana. Merah adalah atmosfir, ruang, ataupun suasana yang puitis. Maka dengan perumpamaan semacam itu, ia mengemukakannya dalam karya Bulan Sepotong Mimpi (2004) dan Siti Hawa Mencari Cinta (2004), Rahasia Mawar (2004). Tampil disela lain IGK. Murniasih mengetengahkan merah sebagai simbolisasi suasana erotis. Merah adalah analogi atas hubungan manusia yang membara, panas dan mengejawantah sebagai bentuk organ-organ vital. Mirip dengan prinsip bahwa merah adalah simbol cakra alam yang berada pada indung telur manusia. Karena sudah sejak lama ia memang sering mengusung tema tentang hubungan lingga dan yoni secara khas, tampak vulgar sekalipun pada sisi lain juga memberi nuansa puitis atas hubungan manusia. Lihat karya-karyanya yang berjudul Aku sedang Berpose, Aman Tanpa Khawatir, dan Sangat Menikmati (semuanya 2004). Dr. Lau dengan fotografi memaknai teks merah sebagai bentuk ketakjubannya melihat persoalan sosial masyarakat. Plastik dan benda-benda fungsional menjadi objek. Seakan menawarkan pada penonton: darah telah tergantikan oleh plastik. Atau sebuah anggapan telah lahir: kini telah hadir organ-organ berbahan plastik; atau plastik dan benda-benda artifisial yang lahir adalah bagian dari kita layaknya darah memberi kehidupan pada kita (I am Yours, 2004). Pada karya Die Frau (2004) menandaskan kembali persoalan wanita yang berperan layaknya plastik dalam kehidupan sehari-hari. Tubuh wanita yang bercelana dalam merah dan membungkus
dirinya dengan plastik adalah personifikasi dari keampuhan memberi peran teks merah: wanita sebagai pekerja, ibu rumah tangga, sekaligus teman erotik. Syahrizal Pahlevi dengan karya seni cetak grafisnya mencoba memberi pemaknaan merah sebagai sarana penghormatan pada eksistensi dan semangat pada seseorang. Karya Seri Kedai Kebun 1 dan 3 merupakan sebuah gambaran tentang sebuah militansi pengelola sebuah galeri-resto yang tak henti-hentinya berjuang menghidupkan dirinya sendiri. Dalam karya tersebut tampak figur seorang wanita yang “dikagumi”nya menjadi simbol atas penghormatan itu. Semangat inilah yang ditangkap oleh Pahlevi. Demikian pula karya yang disuguhkan oleh Hanafi (yang memiliki kemampuan diresepsi sama seperti karya Yunizar), pada karya Kalamerah (2004) dan Menghitung Hari (2004) Karya-karyanya di sini lebih terasa sebagai peleburan antara pola formal dan simbolis. Sekalipun tampilan visualnya (nyaris) abstrak, namun konsep pemikirannya lebih mengarah pada persoalan yang kontekstual, yaitu tentang munculnya banyak “penawaran” pada tesis kehidupan berbangsa. “Penawaran” dalam arti kita memiliki pilihan atas kehidupan bermasyarakat. Merah yang melumuri seluruh kanvas adalah perumpamaan tentang sebuah ranah komunal, kebangsaan, ataupun kawasan yang sedang dilanda masalah. Goresan dan semburat enamel yang coreng-moreng adalah sebentuk simbolisasi dari arena pertengkaran dan khasanah yang sedang diperebutkan. Analogi dan simbolisasi yang berbeda terpancar pada karya Sidik W. Martowijoyo. Melihat ia berkarya, sesekali tampak sabar dan tekun, namun sesekali ganas dan energik. Karya-karyanya memberi analogi merah terkait dengan kejadian, unsur alam dan cara mengontrol energi yang kita tangkap. Kita tahu lukisan-lukisan Sidik sebelumnya memang banyak mengeksplorasi alam, maka dengan rasa takjub unsur-unsur merah itu kini diwujudkannya. Misalnya analogi merah sebagai bentuk keganasan, maka yang tampil adalah aura keganasan ombak seperti pada karya Hanya langit dan lautan, disatukan cahaya, menghasilkan tepian, begitu kekalnya (2004), atau pada proses pergantian suasana dari siang menuju malam (Langit senja begitu pualam, menorehkan kekalnya
keindahan, 2004). Di lain waktu, penampakan suasana siang yang beringas, penuh warna, dan memenjarakan kelembutan sedang menerpa kita (Tak ada matahari yang, tanpa bayang-bayang, dan melewati hitam malam, adalah keniscayaan, 2004). Menariknya, tiga karya ini tampil puitis dan alami. Mungkin karena teknik melukis Sidik yang khas, dengan gaya tradisional chinese painting serta kemampuan “bersenandung” dengan puitis dan torehan kaligrafinya. Dengan penampilan khas Agus Yulianto mengemukakan merah sebagai simbol “darah (semangat) muda”. Dengan mengusung ikon-ikon visual pop, Agus Yulianto mencoba mempertautkan dirinya sebagai anak muda yang tak segan melakukan berbagai aktivitas dan merekam segala hal yang memiliki kaitan dalam persoalan perubahan zaman. Maka muncullah karya bertajuk Struggle (2004) yang menampilkan foto-foto para tokoh-tokoh (baik individu maupun kelompok) pengubah tren zaman: Chairil Anwar, The Kiss, Che Guevara, Iwan Fals, Christina Aguilera, dan sebagainya. Pertautan simbolis antara visual pop dengan pemahaman esoteris warna menjadi demikian alami dalam karya Agus. 3. Representasi Spirit-Religius. Sengaja saya usung agak berbeda dari pola simbolis di atas, meskipun pada tataran tertentu penafsiran representasi spirit-religius memiliki batas yang sangat tipis dengan pola simbolis/ analogis. Karya-karya Yayat Surya memberi penandaan pola semacam ini. Ia mengusung ide tentang I-Ching, sebuah pelajaran tentang kehidupan dan nasihat bijak penuh damai, atau sebuah “soko guru” tradisi pemikiran Cina Kuno yang diperkirakan ada sejak sekitar 3000 S.M. Dengan penuh keyakinan, ia merepresentasikan pemikiran tersebut dengan warna-warna merah membara. Daya tariknya adalah bagaimana Yayat menghadirkan unsur kaligrafi, berupa bentuk heksagram (dengan 62 variasi huruf) yang dikonfigurasi secara khas dan dikelilingi warna merah. Di sini Yayat mengolah sekaligus memberitakan pergulatan antara unsur formal, kitab nasihat, keseimbangan alam, dan tata kebijakan di masa modern yang kini kian lapuk dan ambigu. Pesona-pesona tersebut hadir misalnya pada karya The Synergy (Menuju Alam Pracheka), dan The Lotus II (Dua Ruang Kesadaran), 2004.
Pada karya M. Pramono Irianto jelas memiliki semangat yang sepadan. Sekalipun dengan tawaran teknik melukis realistik. Pentingnya melihat warna merah yang dilukis oleh seorang anak dengan memakai warna merah (huruf terdistorsi: Allah dan langit) adalah pertautan simbolisasi dan representasi spirit religi yang hendak dikatakan oleh Pramono. Secara simbolis karya yang bertajuk Kumerahkan Langit (2004) dan Merahku, Goresanku (2004) menawarkan beberapa peringatan tentang eksistensi manusia, alam, dan Tuhan bagi dirinya. Pada karya Handrio dan Suklu, sekalipun lebih banyak tergolong dalam karya seni berpola formalis, tetapi kehadiran warna bagi mereka sering dikaitkan dengan bentuk imajinasi spirit-religius. Kelahiran bentuk-bentuk formal yang ada adalah sekaligus sebuah tindakan ibadah (ingat kepada yang di Atas). 4. Simulasi persepsi. Pola pemikiran semacam ini memang agak berbeda, karena hal ini lebih menonjolkan pada persoalan simulasi (permainan). Secara visual, penonton disuguh dengan unsur-unsur non inderawi (bukan warna merah misalnya), untuk dihubungkan dengan persoalan yang ada di sekitarnya. Bahkan unsur-unsur seperti parodikal, ejekan pada diri sendiri, maupun pengenalan unsur-unsur lokal begitu berarti di dalamnya. Hal ini terlihat pada karya-karya Bambang ‘Toko’ Witjaksono. Secara tegas, ia justru tidak mengaitkan merah sebagai simbolisasi terhadap sesuatu. Namun lebih mengartikulasikan merah sebagai alat atau perantara. Karya Semerah Anggurmu (2004), Kekerasan terhadap Wanita (2004), jelas-jelas lebih memakai merah sebagai perantara dalam menerjemahkan ide kuratorial. Kesan yang lebih menonjol dalam representasi Bambang adalah wujud permainan parodikal. Bagaimana ia mengolah komik (yang banyak mengandung unsur kekerasan dan kelucuan) yang dikaitkan dengan unsur warna merah (dengan hanya melukis/menulis kata “merah” pada kanvas), sehingga membuat pandangan tentang “merah” tidak lagi pada warna, tetapi lebih pada imajinasi dan persepsi. Bambang mencoba menyela perhatian publik dari balik permainan tanda. Di samping itu karya Agus Yulianto yang lain yang bertajuk Mencari Merahnya Merah (2004) juga menawarkan pola semacam ini.
Oleh sebab itu, pada akhirnya warna merah (sekalipun tidak dihadirkan dalam kanvas oleh perupanya) jelas akan memiliki tafsiran yang lebih hanya sekadar warna itu sendiri. Dari pameran ini agaknya kita juga dapat membaca bagaimana “sejarah” penggunaan dan perspektif warna merah yang mengalir pada setiap individu, zaman, dan berbagai pemikiran ideologis. “Sejarah Merah” telah menjadi bukti terciptanya serangkaian pola kreativitas yang cukup menegangkan. Para perupa —tidak saja dalam pameran ini— rasanya memiliki jasa besar dalam mengembangkan pola imajinasi terhadap kemajemukan fantasi penonton. Dari para perupa semua itu kita mulai. *** SEBAGAI epilog, pameran yang sejudul —dan juga sebuah perwujudan rasa hormat saya—dengan karya sastra Iwan Simatupang: Merahnya Merah (1968), akan memberi jembatan pemikiran yang menarik. Seperti hanya roman gelombang baru pertama itu, pameran yang mengekplorasi warna sebagai tema ini rasanya telah memenuhi sebuah pengejawantahan wacana baru: pameran yang mencoba menelusuri dan bermula dari aspek kerupaan (warna) yang kemudian menemukan nilai-nilai di luarnya. Pameran ini akhirnya memang banyak menemukan nilai dan memberi persoalan yang mengguncang terhadap tata imaji, simbolisasi maupun persepsi penonton. Merah, telah berubah dan menjadi “merah” yang lain. Sebagai wakil atas warna-warna yang lain, merah telah mengalienasi dirinya menjadi sebuah dimensi post-colour. Sebuah dimensi dimana “merah” telah cair dan bergerak menjadi begitu dinamis. Kadang sebagai bentuk “berhala”, kadang sebagai “ibadah”. Merah (sekali lagi sebagai wakil warna-warna yang lain) telah sedemikian fleksibel masuk ke dalam peralihan persepsi dan simulasi. Merah telah menjadi sebuah masa yang dapat ditarik secara individual sekaligus komunal. Merah akhirnya dipandang telah memiliki berjuta-juta kode (dengan serangkaian bagian lain yang mengikutinya), juga memiliki berjuta-juta makna (dengan pemikiran yang bahkan sampai pada taraf yang
membingungkan). Merah dalam tataran tertentu telah berhasil dianulir, didistorsi, bahkan dibongkar secara metodologis maupun semena-mena. Merah ternyata juga dapat dihasilkan tanpa harus dengan melukis warna merah. Terkait dengan situasi inilah persinggungan antara “Merah” dalam khasanah dan pemikiran aktual di Indonesia selalu memberi banyak pergolakan. Bisa saja dikaitkan dengan perangai politik (seperti halnya warna kuning ketika menjadi warna kebanggaan zaman Orba) yang kini sedang aktual. Merah sejujurnya halal untuk “dimiliki”, dimaknai oleh setiap individu. Dari sana kita dapat mengembangkan psikologi kita, misalnya dengan mencintai warna merah, tetapi tidak harus mencintai warna dan logo partai politik yang berbasis warna merah. Kita bisa mengagumi warna merah, tetapi cenderung tidak menginterpretasikan merah sebagai rasa marah dan keganasan. Kita dapat pula meminang warna merah, agar merah tak diekploitasi dan dimonopoli hanya oleh sekelompok orang. Pada akhirnya pameran ini adalah sebuah ajakan untuk semakin mencintai “merah” tanpa satu asumsi atau interpretasi. Biarkan merah sebagaimana ia hidup pada tube-tube cat minyak lukisan kita. Biarkan merah melamar siapa saja dan tidak terpaku menjadi dirinya sendiri. Biarkan saja merah sebagai warna yang bebas dipakai dan diasumsikan oleh siapa saja. Biarkan “merah” berkembang menjadi merah. Semerah-merahnya! +++ Gamping-Jogja, Juni 2004 Mikke Susanto Kurator Bahan Bacaan: 1. Ralph Mayer, The Artist Handbook of Material and Techniques, (New York: Viking group, 1991). 2. Robert McHenry (eds.), The New Encyclopædia Britannica, Volume 3, (Chicago: Encyclopædia Britanica Inc., 1993). 3. Hasan Shadily (eds.), Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1992).
4. Mary Bassano, Penyembuhan melalui Musik dan Warna, (terj. Dinamika Interlingua, Yogyakarta: Penerbit Putra Langit, 2001). 5. I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996). 6. J.H. Goodier, Dictionary of Painting and Decorating, (London: Charles Griffin and Company Ltd., 1974).