MENINGKATKAN MINAT BERWIRAUSAHA UNTUK MENGUATKAN PEREKONOMIAN SYARIAH DALAM MEMASUKI MEA 2015 Oleh: DR. Yucki Prihadi, SSI., MM., M.Kom (Dosen STEI Bina Cipta Madani Karawang)
ABSTRACT A nation's economy would be good, if the good morals of society. Between morals and economics have a relationship that can not be separated. Thus, the need for strengthening the economy of sharia, is urgently needed, especially in entering AEC 2015. Strengthening sharia economy needs to be done to increase public interest in order to entrepreneurship. Therefore; (1) the institution of sharia economy needs to push the number of entrepreneurs in Indonesia to implement entrepreneurship education in various levels of education, (2) AEC 2015 has begun to be adopted, it needs to focus on implementing sharia economy entrepreneurship education on perpetrators KUKM, which have not been educated entrepreneurial. Institute sharia economy is expected to create young entrepreneurs who are competent and able to compete globally, through both theory and practice of entrepreneurship. Entrepreneurs should look AEC as a golden opportunity that should be seized. Implementation of key entrepreneurial education for Indonesia, especially sharia economy , won the competition AEC. (3) the expected revenue effect on a person's interest in entrepreneurship. The higher the possibility of revenue to be achieved --exceed employee income--, the greater the person's interest in entrepreneurship. (4) a family influence on a person's interest in entrepreneurship. More conducive families and the surrounding community, the more it will encourage people to become entrepreneurs, and (5) the role of universities in motivating students to become entrepreneurs is part of one of the factors driving the growth of entrepreneurship. To that end, the institution of sharia economy needs with universities . Both together should give priority to the education program that is able to change the mindset young entrepreneurs as the agent of social change in order to perform an entrepreneurial spirit, so as to reduce dependence on the availability of employment. Changing generation of job seekers, become creators of jobs generation good morals. Keywords: entrepreneurship, sharia economy, AEC 2015.
ABSTRAK
Ekonomi suatu bangsa akan baik, apabila akhlak masyarakatnya baik. Antara akhlak dan ekonomi memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, kebutuhan terhadap penguatan perekonomian syariah, mendesak dilakukan, apalagi dalam memasuki MEA 2015. Penguatan perekonomian syariah perlu dilakukan dengan meningkatkan minat masyarakat agar berwirausaha. Untuk itu; (1) lembaga perekonomian syariah perlu mendorong jumlah wirausahawan di Indonesia dengan menerapkan pendidikan kewirausahaan dalam berbagai tingkat pendidikan, (2) MEA 2015 sudah mulai diberlakukan, maka perekonomian syariah perlu fokus menerapkan pendidikan kewirausahaan pada para pelaku KUKM, yang selama ini belum mengenyam pendidikan kewirausahaan. Lembaga perekonomian syariah diharapkan menciptakan para wirausahawan muda yang kompeten dan dapat bersaing secara global, baik melalui teori dan praktek kewirausahaan. Wirausahawan harus melihat MEA sebagai peluang emas yang harus diraih. Penerapan pendidikan kewirausahaan kunci bagi Indonesia, khususnya perekonomian syariah, memenangi persaingan MEA, (3) ekspektasi pendapatan berpengaruh terhadap minat seseorang untuk berwirausaha. Semakin tinggi kemungkinan pendapatan yang akan diraih –melebihi pendapatan karyawan--, maka semakin besar pula minat seseorang untuk berwirausaha, (4) lingkungan keluarga berpengaruh pada minat seseorang untuk berwirausaha. Semakin kondusif lingkungan keluarga dan masyarakat di sekitarnya, maka akan semakin mendorong seseorang untuk menjadi wirausahawan, dan (5) peran perguruan tinggi dalam memotivasi para mahasiswanya untuk menjadi wirausahawan merupakan bagian dari salah satu faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan. Untuk itu, lembaga perekonomian syariah perlu menggandeng perguruan tinggi. Keduanya secara bersama-sama perlu mengutamakan program pendidikan yang mampu mengubah mind set (pola pikir) para wirausahawan muda sebagai kaum agent of social change agar semangat untuk melakukan wirausaha, sehingga mampu mengurangi kebergantungan terhadap ketersediaan lapangan kerja. Mengubah generasi pencari kerja, menjadi generasi pencipta lapangan pekerjaan yang berakhlak baik. Kata Kunci: wirausaha, perekonomian syariah, MEA 2015
Pendahuluan Sejak 31 Desember 2015 kita telah memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau Economic ASEAN Community (EAC) 2015. Dengan demikian, Indonesia dan negara-negara di wilayah Asia Tenggara telah mulai membentuk sebuah kawasan terintegrasi, yaitu MEA. MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Indonesia adalah salah satu anggota negara ASEAN, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau lebih populer dengan sebutan Association of South East Asian Nations (ASEAN), yang merupakan sebuah organisasi geo-politik dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Organisasi MEA bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya, memajukan perdamaian dan stabilitas di tingkat regional, serta meningkatkan kesempatan untuk membahas perbedaan di antara anggotanya secara damai. Sebagai sebuah entitas tunggal, maka ASEAN akan duduk sebagai pelopor ekonomi terbesar ke sembilan, setelah Amerika Serikat, Cina, Jepang, Jerman, Perancis, Brazil, Inggris, dan Italia. Oleh karena itu, ASEAN berupaya untuk membuka globalisasi ekonomi yang dinamakan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Artinya, MEA 2015 bukan saja pergerakan antar barang, tetapi akan ada pergerakan orang yang bebas masuk ke Indonesia. Untuk itu, Indonesia perlu mempersiapkannya. Hal ini sebagai tantangan, juga peluang, sebab Indonesia memiliki bonus dari segi demografi dengan pekerja produktif terbanyak dengan kisaran usia 17-40 tahun. Saat telah memasuki MEA, jangan kita heran bila tiba-tiba ada orang Korea, Jepang, dan India serta orang asing lainnya yang membuka kedai, warung, toko, dan yang lainnya di sekitar rumah atau wilayah kita, tanpa harus “permisi” kepada kita dan pemerintah setempat, sebab itulah sebuah konsekuensi dari MEA 2015. MEA 2015 bukanlah sosok “monster” yang menakutkan sebagaimana banyak ditanggapi praktisi ekonomi. Dalam memasuki MEA, kita perlu memahami dan mampu menentukan langkah serta persiapan matang, baik dalam bidang politik, sosial, budaya, hankam, pendidikan, dan tidak kalah penting dalam bidang ekonomi. Persoalan ekonomi
dipastikan memegang peran sangat vital bagi keberlangsungan hidup suatu bangsa, utamanya pemberdayaan dan pengembangan pada sektor industri kreatif. MEA adalah sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN. Seluruh negara anggota ASEAN telah menyepakati perjanjian ini. MEA dirancang untuk mewujudkan Wawasan ASEAN 2020. Para anggota ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyepakati perjanjian tersebut. Kerja sama ekonomi ASEAN mengarah kepada pembentukan komunitas ekonomi ASEAN sebagai suatu integrasi ekonomi kawasan ASEAN yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi. MEA bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan budaya. Terdapat empat hal yang akan menjadi fokus MEA (Plummer, 2009), juga dapat dijadikan suatu momentum yang baik untuk Indonesia, yaitu : Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi, maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan skilled labour, menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara. Kedua, MEA dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan, meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce. Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang adil; terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agenagen perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double Taxation; meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online. Ketiga, MEA dijadikan kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi merata, dengan memprioritaskan pada usaha kecil menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi. Keempat, MEA diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global. Hal ini dengan
membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-
negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi negara-negara di kawasan Asia
Tenggara pada jaringan pasokan global melalui pengembangan paket bantuan teknis kepada negara-negara anggota ASEAN yang kurang berkembang. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas, sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala regional, namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global. Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi kesempatan baik, karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang, bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan eskpor, yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP (Gross Domestic Product) atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Di sisi lain, muncul tantangan baru bagi Indonesia berupa permasalahan homogenitas komoditas yang diperjualbelikan. Contohnya, untuk komoditas pertanian, karet, produk kayu, tekstil, dan barang elektronik (Santoso, 2008). Dalam hal ini, competition risk akan muncul dengan banyaknya barang impor akan mengalir dalam jumlah banyak ke Indonesia, yang bisa mengancam industri lokal dalam bersaing dengan produk-produk luar negeri yang jauh lebih berkualitas. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi negara Indonesia sendiri. Pada sisi investasi, kondisi ini dapat menciptakan iklim yang mendukung masuknya Foreign Direct Investment (FDI) yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human capital), dan akses yang lebih mudah kepada pasar dunia. Meskipun begitu, kondisi tersebut dapat memunculkan exploitation risk. Indonesia masih memiliki tingkat regulasi yang kurang mengikat, sehingga dapat menimbulkan tindakan eksploitasi dalam skala besar terhadap ketersediaan sumber daya alam oleh perusahaan asing yang masuk ke Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah sumber daya alam melimpah dibandingkan negaranegara lainnya. Tidak tertutup kemungkinan juga eksploitasi yang dilakukan perusahaan asing dapat merusak ekosistem di Indonesia, sedangkan regulasi investasi yang ada di Indonesia belum cukup kuat untuk menjaga kondisi alam, termasuk ketersediaan sumber daya alam yang terkandung. Dari aspek ketenagakerjaan, terdapat kesempatan sangat besar bagi para pencari kerja, karena dapat banyak tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan keahlian yang beraneka ragam. Selain itu, akses untuk pergi ke luar negeri dalam rangka mencari pekerjaan menjadi lebih mudah, bahkan bisa jadi tanpa ada hambatan tertentu. MEA juga
menjadi kesempatan bagus bagi para wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik sesuai kriteria yang diinginkan. Dalam hal ini dapat memunculkan risiko ketenagakerjaan bagi Indonesia. Dilihat dari sisi pendidikan dan produktivitas, Indonesia masih kalah bersaing dengan tenaga kerja yang berasal dari Malaysia, Singapura, dan Thailand, serta pondasi industri yang bagi Indonesia sendiri membuat Indonesia berada pada peringkat ke empat di ASEAN. Bila dibandingkan dengan kerja sama regional lainnya, seperti Mercosur, FEALAC, dan SACU, kerja sama ASEAN adalah yang termaju. Tidak hanya pada kerja sama ekonomi, tetapi juga kerja sama di bidang politik, sosial, dan budaya dapat berjalan beriringan dengan kerja sama di bidang ekonomi. Oleh karena itu, tidak mengherankan dunia melihat ASEAN sebagai kawasan yang menjanjikan, sehingga perlu dilakukan kerja sama ekonomi dengan ASEAN. Mereka, antara lain Amerika Serikat, Europa Union, Turki, Pakistan, dan Gulf Countries. MEA tidak hanya mengenai perdagangan barang, tetapi juga investasi dan services. Dalam berproduksi dan menjual ke pasar, Indonesia kalah oleh negara tetangga. Tidak hanya di sektor perdagangan barang, tetapi juga sektor investasi. Pada sektor jasa Indonesia akan mendapat tantangan cukup besar, karena sudah ada Mutual Recognition Agreement (MRA) sebagai sarana yang sangat penting bagi pekerja ahli (skill labor) untuk memudahkan berpindahnya di antara negara ASEAN. Sudah ada sekitar 8 MRA yang disepakati, yaitu jasa engineering, jasa perawat, jasa arsitek, kerangka kerja kualifikasi jasa survey, jasa kedokteran, jasa dokter gigi, jasa akuntan, dan jasa sektor tourist. Indonesia perlu memperkuat sumber daya di bidang jasa, terutama bidang-bidang yang telah ada MRA-nya. Dengan terbentuknya MEA, Indonesia harus lebih agresif. Tidak hanya dalam merebut pasar di ASEAN, tetapi juga membuat bagaimana lingkungan yang kondusif bagi investasi agar Indonesia menjadi tempat investasi di ASEAN sekaligus menjadikan basis industri. Secara umum tujuan dibentuknya MEA adalah untuk menciptakan kawasan ekonomi ASEAN yang makmur dan berdaya saing tinggi. Dengan kesepakatan ini, ke depan diharapkan mampu meningkatkan pembangunan ekonomi yang merata dan mengurangi perbedaan sosial di negara-negara kawasan ASEAN, termasuk juga dalam menghadapi kekuatan perekonomian yang lebih global.
Pada kenyataannya, bukan rahasia lagi jika sampai saat ini beberapa negara ASEAN (termasuk Indonesia) yang tergabung dalam MEA, masih harus tertatih-tatih membenahi perekonomiannya serta sangat rentan terhadap gejolak perekonomian global. Dengan kehadiran MEA, selain untuk memperkuat pijakan ekonomi negara-negara ASEAN, terutama dalam menghadapi kekuatan ekonomi global, tentu juga akan menghadirkan persaingan di antara negara-negara ASEAN sendiri. Negara-negara ASEAN dituntut untuk saling bersaing dan membuka peluang sekaligus menerima tantangan dari negara-negara lainnya. Setiap negara harus siap menjadi pemasar sekaligus menjadi pasar. Apalagi saat ini saja ada lebih dari setengah miliar penduduk yang menghuni kawasan ASEAN, sehingga ini bisa menjadi pasar yang potensial untuk disasar. Setiap negara punya kesempatan yang sama untuk memposisikan diri sebagai pasar maupun sebagai pemasar, bergantung pada kesiapan masing-masing negara tersebut. Indonesia sebenarnya mempunyai banyak kekuatan dalam mengembangkan perekonomiannya di kawasan ASEAN. Selain memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang besar secara kuantitas, Indonesia juga punya kekuatan lain yang saat ini mulai menggeliat. Kekuatan itu adalah tumbuhnya kekuatan ekonomi yang berbasis syariah dalam satu dekade terakhir dalam menopang jalannya perekonomian Indonesia. Pun demikian dalam menghadapi gejolak perekonomian global beberapa waktu lalu, sistem perekonomian yang berbasis syariah ini telah membuktikan peranannya bertahan di tengah badai dan pusaran krisis. Sebagaimana diakui Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Ch. Fadjriyah (dalam Hosen, 2009), krisis ekonomi yang menerpa ekonomi Indonesia pada tahun 1997, setidaknya telah membuka mata kita adanya kerentanan dan kelemahan fundamental yang melekat di balik keberhasilan sistem ekonomi maupun tata pengelolaan ekonomi selama ini. Di luar pengaruh dari negara lain akibat masifnya aliran modal luar negeri yang keluarmasuk dalam sistem ekonomi kita yang terbuka serta tidak adanya penopang kestabilan sistem keuangan, ternyata krisis juga dipicu dari adanya kelemahan mikro-ekonomi. Kelemahan yang penting, di antaranya menyangkut pengelolaan resources yang tidak optimal dari pelaku ekonomi yang membuka peluang bagi perilaku rente dan spekulatif, ekspansi kredit yang tidak sehat, dan lemahnya governance. Pelajaran dari krisis ini, diakui Siti Ch. Fadjriyah (dalam Hosen, 2009),
telah
mendorong banyak negara, termasuk Indonesia, untuk melakukan koreksi kritis atas
bekerjanya sistem ekonomi “konvensional” yang tampaknya tidak mampu menciptakan keseimbangan yang optimal antara sektor finansial dan sektor riil serta menjauhnya prinsipprinsip ekonomi yang sesuai dengan cita-cita kesejahteraan masyarakat yang hakiki. Dari sinilah kemudian sistem ekonomi Islam kembali dilirik, dipelajari, serta diadopsi secara parsial maupun keseluruhan sebagai sistem ekonomi alternatif. Namun, sejatinya sistem ekonomi yang berasal dari tafsiran dan eksplorasi atas ajaran Islam dan Al Quran maupun hadits dari para ulama dan cendekiawan muslim klasik, telah terbukti dan teruji menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul pada sistem ekonomi konvensional yang telah ada sebelumnya. Dalam kerangka sistem ekonomi Islam inilah, perbankan syariah menjadi salah satu pilar penting yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi dana untuk disalurkan dalam pembiayaan kepada sektor riil. Selama ini industri keuangan syariah, khususnya perbankan syariah, telah berkembang pesat di banyak negara termasuk Indonesia. Dalam kurun waktu setengah dasawarsa saja, perbankan syariah di Tanah Air telah turut berkontribusi dalam perekonomian kita, meskipun masih diperlukan ekstra ikhtiar untuk mendorong perannya lebih kuat lagi, sebagaimana negara lain seperti Malaysia. Setidaknya pada saat krisis global 1997-1998, 2008, dan krisis di Eropa pada 2011, industri perbankan syariah di Indonesia tetap mampu bertahan, bahkan menunjukkan prestasi kinerja yang baik. Hal ini bisa dilihat dari fungsi intermediasi perbankan yang berjalan baik dengan tingkat FDR (financing to deposit ratio/rasio pembiayaan terhadap pendanaan) lebih dari 100 persen. Sementara itu, pembiayaan produktif juga terus meningkat, sedangkan pembiayaan konsumsi mengalami penurunan. Selain itu, perbankan syariah mempunyai pertumbuhan aktiva yang baik, yaitu mencapai 38 persen per tahun dengan 11,7 juta rekening (republika.co.id, 2015). Indonesia juga menjadi salah satu pasar perekonomian syariah yang potensial. Hal ini merujuk pada laporan Thomson Reuters (2013), yaitu Indonesia berada pada peringkat 5 pada 2012, dengan ukuran potensi sebesar USD 375 miliar, berada di bawah Turki sebesar USD 775 miliar, Iran sebesar USD 512 miliar, Arab Saudi sebesar USD 461 miliar, dan Uni Emirat Arab sebesar USD 381 miliar. Indonesia berada di peringkat 9 untuk kategori “Top Current Islamic Finance Market”, dengan nilai sebesar USD 33 miliar. Peringkat pertama diduduki oleh negeri jiran, Malaysia, dengan nilai USD 412 miliar, Saudi Arabia sebesar USD 270 miliar, Iran sebesar
USD 185 miliar, Uni Emirat Arab sebesar USD 118 miliar, Kuwait sebesar USD 81 miliar, Qatar sebesar USD 71 miliar, Bahrain sebesar USD 47 miliar, dan Turki dengan nilai sebesar USD 38 miliar. Oleh karena itu, dalam mengawali memasuki MEA ini, meskipun untuk beberapa hal yang terkait dengan ekonomi syariah kita belum bisa mengungguli Malaysia dan negaranegara Timur Tengah, kita harus tetap optimis mampu bersaing dengan terus mengembangkan ekonomi syariah sebagai salah satu kekuatannya. Apalagi kita sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, tidak saja di ASEAN tetapi juga di dunia, Indonesia sudah seharusnya menjadi pelopor dan kiblat pengembangan ekonomi berbasis syariah di ASEAN bahkan dunia. Menurut Alamsyah (2012), Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan ekonomi berbasis syariah di ASEAN bahkan dunia. Bukan merupakan impian yang mustahil karena potensi Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar. Alasannya, karena (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah. Belum lagi dukungan operasional sektor keuangan syariah yang selama ini selalu mengiringi sektor riil. Sektor rill ini lebih didominasi pelaku UMKM yang jumlahnya besar, namun selama ini terabaikan oleh sektor keuangan formal lainnya. Dengan demikian, ini akan mendukung pertumbuhan sektor riil untuk terus berkembang dan dampaknya bukan saja pertumbuhan ekonomi yang meningkat, tetapi juga terserapnya tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan banyaknya orang bekerja, tentu pendapatan dan kesejahteraan dapat ditingkatkan. Dengan pendapatan yang memadai, akan kembali lagi untuk melakukan pembelian terhadap produk-produk lain yang dihasilkan. Dengan demikian, rantai ekonomi nasional terus berjalan seiring dengan aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakatnya. Sektor rill yang didominasi pelaku UMKM, jumlahnya besar, yaitu 57,9 juta (Bappenas, 2015), namun tidak dibarengi dengan kualitas pendidikan pelaku UMKM itu sendiri. UMKM selama ini terabaikan oleh sektor keuangan formal lainnya. Pelaku UMKM
yang merupakan para pelaku wirausaha ini memberi dukungan operasional yang besar terhadap sektor keuangan syariah. Dengan demikian, peningkatan para pelaku wirausaha ini, secara kuantitas dan kualitas, mampu meningkatkan eksistensi perekonomian syariah. Seorang sosiolog bernama David McCleland (1987), mengemukakan bahwa apabila sebuah negara ingin menjadi makmur, minimal sejumlah 2% dari persentase keseluruhan penduduk di negara tersebut menjadi wirausahawan. Bila penduduk Indonesia 249,9 juta (2013), maka Indonesia sedikitnya membutuhkan 5 juta wirausahawan. Dibandingkan dengan negara-negara lain, perkembangan kewirausahaan di Indonesia masih sangat kurang, yaitu di bawah 2%. Sebagai pembanding, kewirausahaan di Amerika Serikat tercatat mencapai 11% dari total penduduknya, Singapura sebanyak 7%, Malaysia sebanyak 5%, Thailand sebanyak 3% (medanbisnisdaily.com, 2015). Tabel Perbandingan Wirausahawan Indonesia dan Negara Lain No. Negara Persentase Wirausahawan 1. Amerika Serikat 13% 2. China 10% 3. Singapura 7% 4. Malaysia 5% 5. Thailand 3% 6. Indonesia 1,65% Sumber: http://www.medanbisnisdaily.com (2015) Kendati dari waktu ke waktu semakin bertumbuhannya pelaku wirausaha di Indonesia, tetapi keberadaannya
belum sepenuhnya memberikan sumbangan positif
terhadap kecerdasan dan kesejahteraan bangsa, padahal potensi wirausaha di Indonesia sangat besar, terutama jika dilihat dari data jumlah usaha kecil menengah yang ada. Sampai dengan tahun 2014, jumlah UMKM di Indonesia mencapai 56,2 juta unit dan mampu menyerap 97,2% tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada (swa.co.id., 2014). Data ini memberikan gambaran betapa besarnya aktivitas kewirausahaan (yang dicerminkan banyaknya UMKM) di Indonesia dan dampaknya bagi kemajuan ekonomi bangsa. Dalam kaitan momen awal memasuki MEA, semakin tumbuhnya kekuatan ekonomi yang berbasis syariah – yang mampu bertahan saat krisis global--, serta besarnya pelaku UMKM yang selama ini mendominasi sektor riil --namun selama ini terabaikan oleh sektor keuangan formal lainnya--, maka keterkaitan itu kita proyeksikan untuk menjawab;
bagaimana meningkatkan minat berwirausaha untuk menguatkan perekonomian syariah dalam memasuki MEA 2015.
Konsep Kewirausahaan Ihwal wirausaha, wirausaha berasal dari kata “wira” dan “usaha”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1987), “wira” berarti laki-laki, pahlawan, manusia. Sedangkan “usaha’ adalah kegiatan dengan mengerahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai sesuatu maksud. Jadi wirausaha adalah pejuang atau pahlawan yang berbuat sesuatu. Istilah wirausaha (entrepreneur) pertama kali diperkenalkan oleh Richard Catillon (1755), berasal dari kata entreprende dalam bahasa Perancis, yang secara harfiah berarti perantara. Awalnya istilah ini digunakan untuk mereka yang membeli barang dan menjualnya kembali dengan harga berbeda. Istilah ini semakin populer setelah digunakan oleh Jean Baptista Say (1803), seorang pakar ekonomi, untuk menggambarkan para pengusaha yang mampu meningkatkan sumber daya ekonomis dari tingkat produktivitas rendah ke tingkat produktivitas lebih tinggi (Winardi, 2003). Pendapatnya erat terkait dengan banyaknya penemuan baru yang mendukung produksi pada abad 18, antara lain penemuan mesin uap dan mesin pemintal. Seiring dengan waktu, semakin banyak ahli yang membahas wirausaha
dari berbagai sudut pandang dan mencetuskan definisi yang
berbeda-beda. Menurut Dun Steinhoff dan Jhon F. Burgess (1993), wirausaha adalah orang yang mengelola, mengorganisasikan, dan berani menanggung segala risiko untuk menciptakan peluang usaha dan usaha baru. Menurut Schumpeter (dalam Bygrave, 1996), wirausaha adalah seorang yang memperoleh peluang dan menciptakan organisasi untuk mengejar peluang tersebut. Menurut Mas’ud Machfoedz dan Mahmud Machfoedz (2004), wirausaha adalah seorang inovator yang mampu mengubah kesempatan menjadi sebuah ide yang bisa dijual, dapat memberikan nilai tambah melalui upaya, waktu, biaya, serta kecakapan dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Menurut Geoffrey G. Meredit (2000), wirausaha adalah orang yang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatan bisnis mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan daripadanya serta mengambil tindakan yang tepat, guna memastikan kesuksesan.
Wirausahawan, menurut Joseph Schumpeter (1934), adalah seorang inovator yang mengimplementasikan perubahan-perubahan di dalam pasar melalui kombinasi-kombinasi baru. Kombinasi baru tersebut bisa dalam bentuk; (1) memperkenalkan produk baru, (2) memperkenalkan metode produksi baru, (3) membuka pasar yang baru (new market), (4) memperoleh sumber pasokan baru dari bahan atau komponen baru, atau (5) menjalankan organisasi baru pada suatu industri. Sementara itu, secara harfiah kewirausahaan terdiri atas kata “wirausaha” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”, sehingga dapat diartikan kewirausahaan adalah hal-hal yang terkait dengan wirausaha. Kewirausahaan dapat pula diartikan sebagai keberanian seseorang untuk melaksanakan suatu kegiatan bisnis. Kewirausahaan (entrepreneurship) memiliki arti yang berbeda-beda antar para ahli atau sumber acuan, karena berbeda-beda titik berat dan penekanannya. Richard Cantillon (1775, dalam Winardi 2003) misalnya, mendefinisikan kewirausahaan sebagai bekerja sendiri (self-employment). Seorang wirausahawan membeli barang saat ini pada harga tertentu dan menjualnya pada masa akan datang dengan harga tidak menentu. Jadi definisi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang menghadapi risiko atau ketidakpastian. Menurut Robert D. Hisrich (1992), kewirausahaan adalah proses kreatif untuk menciptakan sesuatu yang bernilai lebih tinggi dengan mengoptimalkan segala daya upaya, seperti mencurahkan waktu, dana, psikologis, dan penerimaan penghargaan atas kepuasan seseorang. Menurut Peter F. Drucker (2008), kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Menurut Stephen Robins (2005), kewirausahaan adalah proses mengejar berbagai peluang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui inovasi. Menurut Norman M. Scarborough dan Thomas W. Zimmerer (1993: 5): “An entrepreuneur is one who creates a new business in the face of risk and uncertainty for the perpose of achieving profit and growth by identifying opportunities and asembling the necessary resourses to capitalize on those opportunities”. Entrepreneur atau kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang berbeda dengan mengabdikan seluruh waktu dan tenaganya disertai dengan menanggung risiko keuangan, kejiwaan, sosial, dan menerima balas jasa dalam bentuk uang dan kepuasan pribadinya.
Menurut Salim Siagian (1998), kewirausahaan adalah semangat, perilaku, dan kemampuan memberikan respon positif kepada peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri dan pelayanan yang lebih baik kepada pelanggan/masyarakat, serta menciptakan dan menyediakan produk yang lebih bermanfaat dengan menerapkan cara kerja yang lebih efisien dan efektif, melalui keberanian mengambil risiko, kreativitas, inovasi, dan kemampuan manajemen. Menurut Joko Untoro (2010), kewirausahaan adalah suatu keberanian untuk melakukan upaya-upaya memenuhi kebutuhan hidup yang dilakukan oleh seseorang, atas dasar kemampuan dengan cara memanfaatkan segala potensi yang dimiliki untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Menurut Ahmad Sanusi (1994), kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses, dan hasil bisnis Menurut Soeharto Prawirokusumo (1997), kewirausahaan adalah suatu nilai yang dibutuhkan untuk memulai usaha dan mengembangkan usaha. Menurut Farid Harianto dan Siswanto Sudomo (1998), kewirausahaan adalah segala sesuatu yang penting mengenai seorang wirausaha, yakni orang yang memiliki sifat bekerja keras dan berkorban, memusatkan segala daya dan berani mengambil risiko untuk mewujudkan gagasannya Menurut Soeparman Soemahamidjaja (1977), kewirausahaan adalah suatu kemampuan (ability) dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak tujuan, siasat, kiat, dan proses dalam menghadapi tantangan hidup. Menurut S. Wijandi (1988), kewirausahaan adalah suatu sifat keberanian, keutamaan dalam keteladanan dalam mengambil risiko yang bersumber pada kemampuan sendiri. Menurut Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor 961/KEP/M/XI/1995, kewirausahaan adalah semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, serta menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Sedangkan menurut Inpres No. 4 tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan atau GNMMK, kewirausahaan adalah semangat perilaku dan kemampuan seseorang dalam menangani kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi. Definisi atau pengertian kewirausahaan sangat beragam menurut beberapa pendapat para ahli. Tetapi makna dari pengertian kewirausahaan itu tidak jauh berbeda. Pada intinya, kewirausahaan adalah sikap, jiwa, dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, yang sangat bernilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Kewirausahaan merupakan sikap mental dan jiwa yang selalu aktif, kreatif, berdaya, bercipta,
berkarsa,
dan
bersahaja
dalam
berusaha
dalam
rangka
meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya atau kiprahnya. Seseorang yang memiliki jiwa dan sikap wirausaha selalu tidak puas pada apa yang telah dicapainya. Orang yang melakukan kegiatan kewirausahaan disebut wirausahawan. Seorang wirausahawan (entrepreneur) mempunyai cara berpikir yang berbeda daripada manusia pada umumnya. Mereka mempunyai motivasi, panggilan jiwa, persepsi, dan emosi yang sangat terkait dengan nilai-nilai, sikap, dan perilaku sebagai manusia unggul. Tuntutan ke arah dimilikinya motivasi, panggilan jiwa, persepsi, dan emosi yang sangat terkait dengan nilai-nilai, sikap, dan perilaku sebagai manusia unggul, sebagai wirausahawan atau pelaku wirausaha, berkaitan dengan minat untuk mengiprahi bidang yang satu ini. Terkait minat, Mappiare (1982) menyatakan minat adalah suatu perangkat mental yang terdiri atas suatu campuran dari perasaan, harapan, pendirian, prasangka, rasa takut, atau kecenderungan-kecenderungan lain yang mengarahkan individu kepada suatu pilihan tertentu. Sedangkan cita-cita merupakan perwujudan dari minat, dalam hubungan dengan prospek jangkauan masa depan --seseorang merencanakan dan menentukan pilihan terhadap pendidikan, jabatan, serta teman hidup Hurlock (1991) menyatakan minat adalah motif yang menunjukkan arah perhatian individu kepada objek yang menarik serta menyenangkan. Apabila individu berminat terhadap objek atau aktivitas tertentu, maka ia akan cenderung untuk berhubungan lebih aktif dengan objek atau aktivitas tersebut.
Brown Lent dan Hacket (dalam Sondari, 2009), menyatakan minat dapat dibentuk melalui pengalaman langsung atau pengalaman mengesankan yang menyediakan kesempatan bagi individu untuk mempraktekkan, memperoleh umpan balik, dan mengembangkan keterampilan yang mengarah pada efikasi personal dan pengharapan atas hasil yang memuaskan. Beberapa penelitian, secara langsung mendefinisikan tentang minat berwirausaha. Seperti Aprilia, dkk. (2012), menyatakan minat berwirausaha yaitu rasa tertariknya seseorang untuk melakukan kegiatan usaha yang mandiri dengan keberanian mengambil risiko. Menurut Fu’adi, dkk. (2009), minat berwirausaha adalah keinginan, ketertarikan, serta kesediaan untuk bekeja keras atau berkemauan
keras
untuk
berdikari
atau
berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merasa takut pada risiko yang akan terjadi, serta berkemauan keras untuk belajar dari kegagalan. Menurut Yanto (dalam Maman Suryamannim, 2006), minat wirausaha kemampuan untuk memberanikan
adalah
diri dalam memenuhi kebutuhan hidup
serta
memecahkan permasalahan hidup, memajukan usaha atau menciptakan usaha baru dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri. Hal yang paling utama, yaitu sifat keberanian untuk menciptakan usaha baru. Menurut
Santoso (2008),
minat wirausaha
adalah
gejala
psikis
untuk
memusatkan perhatian dan berbuat sesuatu terhadap wirausaha itu dengan perasaan senang
karena
membawa manfaat bagi dirinya. Inti dari pendapat tersebut adalah
pemusatan perhatian yang disertai rasa senang. Menurut Aris Subandono (2007), minat wirausaha adalah kecenderungan hati dalam
diri
subjek
untuk
tertarik
menciptakan
suatu usaha
yang
mengorganisasi, mengatur, menanggung risiko, dan mengembangkan diciptakannya
tersebut.
Minat
kemudian
usaha
yang
wirausaha berasal dari dalam diri seseorang untuk
menciptakan sebuah bidang usaha. Berdasarkan
definisi-definisi
tersebut,
dapat
disimpulkan
bahwa
minat
berwirausaha adalah keinginan, ketertarikan, serta kesediaan untuk bekerja keras atau berkemauan keras dengan adanya pemusatan perhatian untuk berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merasa takut terhadap risiko yang akan dihadapi, senantiasa belajar dari kegagalan yang dialami, serta mengembangkan usaha yang diciptakannya.
Minat wirausaha tersebut tidak hanya keinginan dari dalam diri, tetapi harus melihat ke depan dalam potensi mendirikan usaha. Krueger dan Brazeal, 1994; Segal, Borgia, dan Schoenfeld, 2002 (dalam Farzier & Niehm, 2008), menyatakan pengaruh keluarga, pendidikan, dan pengalaman kerja pertama adalah faktor penting dalam pengembangan minat berwirausaha. Peterman dan Kennedy (2003, dalam Farzier & Niehm, 2008), menyatakan orangtua memberikan dampak kuat pada pemilihan minat berwirausaha. Penelitian menunjukkan para wirausahawan biasanya memiliki orangtua yang juga seorang pelaku wirausaha. Holden Nabi dan Walmsley, 2006; Van Auken, Fry, dan Stephens, 2006 (dalam Sondari, 2009), menyatakan pendidikan dan pengalaman kerja dapat mempengaruhi pilihan karier dengan mengenalkan ide-ide baru, membangun keterampilan yang diperlukan, dan menyediakan akses pada role model. Farzier dan Niehm (2008, dalam Sondari, 2009) menyatakan mereka yang memilih wirausaha sebagai pilihan mereka, memiliki persepsi tertentu mengenai tingkat kemenarikkan karier berwirausaha (career attractiveness), tingkat kelayakan berwirausaha (feasibility), dan keyakinan atas efikasi diri (self-efficay beliefs) untuk memulai usaha. Kram (1983) dan Shapero, Sokol (1982) sebagaimana dikutip dalam Sondari (2009) menemukan bahwa pendidikan dan pelatihan mempengaruhi persepsi orang terhadap minat kewirausahaan, dengan menyediakan kesempatan untuk mensimulasikan, memulai usaha dan dengan mengamati seorang role model. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi minat berwirausaha. Menurut beberapa peneliti (Lestari dan Wjiaya, 2012; Nastiti dkk, 2010; Suharti dan Sirine, 2012; Suhartini, 2011), faktor-faktor tersebut meliputi: 1. Ekspektasi pendapatan Seseorang akan tertarik untuk menjadi wirausahawan, karena ekspektasi pendapatan yang diperolehnya jika sukses melebihi pendapatan karyawan. Seseorang dengan ekspektasi pendapatan yang lebih tinggi daripada bekerja menjadi karyawan, menjadi daya tarik untuk menjadi wirausaha. 2. Lingkungan keluarga dan masyarakat Semakin kondusif lingkungan keluarga dan masyarakat di sekitarnya, maka akan semakin mendorong seseorang untuk menjadi wirausahawan. Apabila lingkungan keluarga dan masyarakat mendukung, maka seseorang akan semakin tinggi niatnya untuk menjadi
wirausahawan dibandingkan jika tidak memiliki dukungan dari lingkungan keluarga dan masyarakat. 3. Pendidikan Apabila pendidikan memadai, maka seseorang akan siap untuk menjadi seorang wirausahawan dan memimpin anak buahnya. Latar belakang pendidikan seseorang, terutama yang terkait dengan bidang usaha, seperti bisnis dan manajemen atau ekonomi, dipercaya akan mempengaruhi keinginan dan minatnya untuk memulai usaha baru di masa mendatang.
Analisis Terhadap Minat Berwirausaha Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi minat berwirausaha, variabelvariabelnya adalah ekspektasi pendapatan, lingkungan keluarga, dan pendidikan kewirausahaan. Sedangkan definisi operasionalnya meliputi; (a) ekspektasi pendapatan adalah harapan penghasilan yang diperoleh seseorang, baik berupa uang maupun barang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya;
(b) lingkungan keluarga adalah kelompok
masyarakat terkecil yang terdiri atas ayah, ibu, anak. Lingkungan keluarga dapat diukur dengan dukungan keluarga, didikan keluarga untuk menjadi wirausahawan, kreativitas orangtua; (c). Pendidikan kewirausahaan adalah pengetahuan dan keterampilan yang didapat sebelum/ketika menjadi wirausahaan. Pendidikan kewirausahaan diukur dengan mendapat pendidikan kewirausahaan yang memadai, mengikuti kursus kewirausahaan, adanya pengetahuan memadai tentang kewirausahaan. Dalam banyak penelitian, menunjukkan bahwa minat seseorang untuk menjadi wirausahawan, dipengaruhi alasan ekspektasi pendapatan. Jadi, motivasi terhadap ekspektasi pendapatan menjadi pendorong seseorang untuk berwirausaha. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Riyanti (2006), bahwa salah satu faktor pendorong seseorang untuk berwirausaha, yaitu motivasi. Kekuatan motif pribadi merupakan pendorong yang penting atau diperlukan untuk dapat memulai suatu usaha. Keberhasilan kerja membutuhkan motif-motif untuk mendorong atau memberi semangat dalam pekerjaan. Hal ini didukung oleh pendapat dari Mc Clelland (1995, dalam Riyanti, 2006) yang menyatakan motivasi merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi minat untuk menjadi pelaku wirausaha.
Motivasi juga penting dan menentukan keberhasilan seseorang dalam berwirausaha. Menurut Crow (1983), motivasi adalah keadaan yang menentukan seseorang untuk berbuat demi mencapai suatu tujuan. Terkait ekspektasi pendapatan, menurut Suryana (2006), pendapatan atau penghasilan adalah sesuatu yang diperoleh seseorang, baik berupa uang maupun barang, yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kewirausahaan dapat memberikan pendapatan finansial yang tinggi, sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keinginan untuk memperoleh penghasilan itulah yang dapat menimbulkan minat seseorang untuk menjadi wirausahawan. Dalam variabel lingkungan keluarga, menunjukkan bahwa minat seseorang untuk menjadi wirausahawan, dipengaruhi lingkungan keluarga. Jadi, lingkungan keluarga menjadi pendorong seseorang untuk berwirausaha. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan para ahli bahwa lingkungan keluarga dengan segala kondisi yang ada di dalamnya, yang meliputi latar belakang anggota keluarga, tradisi keluarga, dan cara orangtua mendidik, akan dapat menunjang, membimbing, dan mendorong seseorang untuk kehidupannya mendatang. Hal ini sependapat dengan Sumarni (2006) dan Sartono (2006) bahwa yang dilakukan oleh orangtua dapat mempengaruhi minat terhadap jenis pekerjaan bagi anak di masa yang akan datang, termasuk untuk berwirausaha. Soemanto (dalam Supartono, 2004), menyatakan cara orangtua dalam meraih suatu keberhasilan dalam pekerjaannya merupakan modal yang baik untuk melatih minat, kecakapan, dan kemampuan nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan pekerjaan yang diingini anak. Artinya, kondisi orangtua dapat menjadi figur bagi pemilihan pekerjaan anak, sekaligus dapat dijadikan sebagai pembimbing untuk menumbuhkembangkan minatnya terhadap suatu pekerjaan. Dengan demikian, dorongan orangtua maupun anggota keluarga dapat memberikan pengaruh terhadap minat berwirausaha. Helmi dan Rista (2006) menyatakan salah satu aspek yang mempengaruhi minat untuk menjadi wirausahawan, yaitu lingkungan (keluarga). Suatu keluarga akan menciptakan kondisi baik-tidaknya suatu hubungan atau kegiatan yang individu lakukan. Keluarga yang mendukung akan memberikan proses kelancaran usahanya. Kondisi sosial ekonomi keluarga juga menentukan seseorang berkemauan untuk membuka suatu usaha baru guna memenuhi kebutuhan. Kondisi sosial ekonomi dapat mempengaruhi seseorang
bekerja bergantung pada situasi ketika seseorang tersebut akan mendirikan usaha. Apabila seseorang tersebut berkeinginan keras membuka usaha, maka faktor ekonomi tidak menjadi permasalahan yang besar. Riyanti (2003), Helmi & Rista (2006), dan Suryana (2006), menyatakan lingkungan keluarga yang suportif dan mendukung, dapat berperan dalam pembentukan minat untuk menjadi wirausahawan. Pekerjaan keluarga atau orangtua juga dapat memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan semangat kewirausahaan. Orangtua juga dapat berfungsi sebagai konsultan pribadi, coach, dan mentornya. Mc Clelland (1995) dan Riyanti (2003) menyatakan lingkungan keluarga yang harmonis dalam berinteraksi akan menunjang kesuksesan dan mengarahkan tenaga kerja yang lebih efisien. Kondisi sosial ekonomi juga mempengaruhi kinerja seseorang dan keputusannya untuk menjadi wirausahawan. Menyangkut masalah hubungan dengan family dan hubungan sosial lainnya, Alma (2007) menyatakan masalah hubungan family ini dapat dilihat dari orangtua, pekerjaan, dan status sosial. Faktor sosial yang berpengaruh terhadap minat berwirausaha ialah masalah tanggung jawab terhadap keluarga. Selain itu, terhadap pekerjaan orangtua seringkali terlihat bahwa ada pengaruh dari orangtua yang bekerja sendiri, dan memiliki usaha sendiri cenderung anaknya jadi pengusaha pula. Keadaan ini seringkali memberi inspirasi pada anak kecil. Lingkungan dalam bentuk “role model” juga berpengaruh terhadap minat berwirausaha. Role model ini biasanya melihat kepada orangtua, saudara, keluarga yang lain (kakek, paman, bibi, anak), teman-teman, pasangan, atau pengusaha sukses yang diidolakanya. Dorongan teman cukup berpengaruh terhadap semangat berwirausaha, karena kita dapat berdiskusi secara bebas, dibandingkan orang lain, teman biasa memberi dorongan, pengertian, bahkan bantuan, tidak perlu takut terhadap kritikan, di samping ini ada lagi faktor sosial lainnya yang berpengaruh. Jadi, semakin kondusif lingkungan keluarga dan masyarakat di sekitarnya, maka akan semakin mendorong seseorang untuk menjadi seorang wirausahawan. Apabila lingkungan keluarga dan masyarakat mendukung, maka seseorang akan semakin tinggi niatnya untuk menjadi wirausahawan dibandingkan jika tidak memiliki dukungan dari lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam variabel pendidikan kewirausahaan, menunjukkan bahwa minat seseorang untuk menjadi wirausahawan, dipengaruhi pendidikan kewirausahaan. Jadi, pendidikan kewirausahaan menjadi pendorong seseorang untuk berwirausaha. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kourilsky & Walstad (1998), bahwa pendidikan tidak hanya mempengaruhi seseorang untuk melanjutkan usahanya, namun juga membantu dalam mengatasi masalah dalam menjalankan usahanya. Pendidikan formal berperan penting dalam kewirausahaan, karena memberi bekal pengetahuan yang dibutuhkan dalam mengelola usaha, terutama ketika menghadapi suatu permasalahan. Sekolah atau perguruan tinggi sebagai tempat berlangsungnya pendidikan formal yang mendukung
kewirausahaan,
akan
mendorong
individu
untuk
menjadi
seorang
wirausahawan. Secara teori, diyakini pembekalan pendidikan pada seseorang sejak usia dini dapat meningkatkan potensi seseorang untuk menjadi wirausahawan. Dari teori Helmi & Rista (2006) dan Suryana (2006), dinyatakan bahwa pendidikan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi minat kewirausahaan. Dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan dapat ditimbulkan atau dibentuk pada diri seseorang melalui pendidikan atau pelatihan. Perguruan Tinggi dinilai sebagai tempat yang tepat untuk menyemaikan nilai-nilai kewirausahaan. Pendidikan atau pelatihan kewirausahaan adalah proses pembelajaran konsep dan skill untuk mengenali peluang-peluang yang orang lain tidak sanggup melihatnya, untuk memiliki insight, self-esteem, dan pengetahuan untuk bertindak ketika yang lain ragu-ragu. Termasuk di dalamnya mengenali peluang dikaitkan dengan pemanfaatan sumber daya untuk menghadapi risiko dan memprakarsai bisnis baru. Pendidikan kewirausahaan yang diperoleh seseorang saat bangku kuliah, dapat sangat mempengaruhi minat dan motivasi seseorang dalam menjadi seorang wirausahawan. Peran perguruan tinggi dalam memotivasi para mahasiswanya untuk menjadi wirausahawan merupakan bagian dari salah satu faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan.
Prinsip Minat Kewirausahaan Menguatkan Perekonomian Syariah Kewirausahaan menjadi sesuatu yang sangat dianjurkan di dalam ajaran agama Islam. Dalam Al Quran sendiri ada sekitar 370 ayat yang berhubungan tentang bisnis. Bandingkan dengan rukun Islam, seperti puasa, yang hanya disinggung 9 kali. Rasulullah pun bersabda: “Sebaik-baiknya penghasilan adalah dari pekerjaan seseorang dengan tangannya
dan (dari) setiap transaksi perniagaan yang diberkahi. (HR Al-thabrani, Shahih al-Jami’-al Shaghir no. 1913.) “ Sembilan dari sepuluh rizki ada dalam perniagaan” (Dhaif al-jami’ no. 2.434). Ini adalah hadist popular, namun sanadnya dhaif.) Rasulullah sendiri pun seorang wirausahawan. Bahkan, Beliau lebih lama berprofesi sebagai pengusaha (25 tahun ) dibandingkan sebagai rasul (23 tahun) dan Beliau tidak hentihentinya pula mengimbau umatnya untuk menjalankan wirausaha. Apalagi bisnis yang dilakukan berjamaah. Rasulullah bersabda: “Berdua lebih baik daripada sendiri. Bertiga lebih baik daripada berdua. Berempat lebih baik daripada bertiga. Hendaklah kamu sekalian berjamaah, karena sesungguhnya tangan Allah bersama orang yang berjamaah” (H.R. Ibnu Asakir dari Abu Hurairah ra). Jadi, memang kewirausahaan menjadi sesuatu yang sangat dianjurkan di dalam ajaran agama Islam Sebagaimana disampaikan para ahli, faktor-faktor yang mempengaruhi minat seserang untuk menjadi wirausahawan, meliputi ekspektasi pendapatan, lingkungan keluarga, dan pendidikan kewirausahaan itu sendiri. Bagaimana faktor-faktor tersebut bisa menguatkan perekonomian syariah? Seperti telah disampaikan di awal, sebagaimana juga di antaranya diakui Deputi Gubernur Bank Indonesia, Siti Ch. Fadjrijah,ternyata krisis ekonomi global juga dipicu dari adanya kelemahan mikro-ekonomi, yaitu menyangkut pengelolaan resources yang tidak optimal dari pelaku ekonomi. Dari sinilah kemudian sistem ekonomi Islam dilirik, dipelajari, serta diadopsi secara parsial maupun keseluruhan sebagai sistem ekonomi alternatif. Dalam kerangka sistem ekonomi Islam inilah, perbankan syariah menjadi salah satu pilar penting yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi dana untuk disalurkan dalam pembiayaan kepada sektor riil. Dalam kaitan sektor riil, yang melibatkan para pelaku UMKM inilah keberadaan para wirausahawan semakin dibutuhkan. Dalam menguatkan peran perekonomian syariah, secara kualitas dan kuantitas perlu ditingkatkannya keberadaan para wirausahawan sebagai pelaku UMKM. Kepada calon wirausahawan, perlu dibangkitkan minatnya untuk berkiprah di dunia usaha. Sedangkan kepada mereka yang sedang menggeluti dunia wirausaha, semakin ditingkatkan kemampuan dan daya saingnya agar semakin yakin terhadap pekerjaannya sebagai wirausahawan. Hal tersebut dapat ditingkatkan melalui penyasaran minat berwirausaha,
yang meliputi ekspektasi pendapatan, pengaruh lingkungan keluarga, dan pendidikan kewirausahaan itu sendiri. Selain berperan menumbuhkan minat berwirausaha para pelaku UMKM, lembaga perekonomian syariah berperan membangun bisnis para wirausahawan tersebut. Untuk membangun bisnis memerlukan dua proses utama, yaitu proses membangun mental berwirausaha dan proses manajerial bisnis (dimulai dari proses identifikasi gagasan bisnis, menyusun proposal bisnis, menyusun visi, misi, strategi bisnis hingga proses mengelola bisnis). Proses yang paling penting (critical) adalah proses membangun mental. Dibutuhkan waktu dan pengalaman praktek bisnis yang lama untuk bisa memiliki mental baja dan naluri di dalam berbisnis. Itulah sebabnya mental bisnis ini perlu dibangun sejak muda. Orang muda masih banyak energi dan kreativitas untuk mengembangkan bakat dan bereksperimen di dalam bisnis, karena sangat mungkin untuk bisa mencapai keberhasilan dalam bisnis harus melalui serangkaian kegagalan dan waktu yang lama. Hal mendasar yang perlu dipersiapkan oleh wirausahawan muda adalah ilmu tentang prinsip-prinsip ekonomi di dalam Islam. Salah satu prinsipnya adalah sebagaimana pesan Khalifah Umar bin Khattab radhialllahu’anhu kepada kaum Muslimin: “Hendaklah tidak berdagang di pasar kita selain orang yang telah faham (berilmu), jika tidak, ia akan memakan riba (ucapan Beliau ini dengan teks demikian ini dinukil oleh Ibnu Abdil Bar Al Maliky). Prinsip terpenting lainnya adalah hukum asal setiap transaksi adalah halal. Sebagaimana kaidah fikih, “Hukum asal dalam segala hal adalah boleh hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya.” Kaidah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 29 yang artinya: “Dialah yang menciptakan untuk kamu segala hal yang ada di bumi seluruhnya.” Sedangkan, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendukung kaidah tersebut adalah: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Musim). Prinsip yang ada di dalam konsep ekonomi Islam akan menjadi dasar pemilihan jenis dan aktivitas bisnis. Sebagai seorang muslim, tentu harus memiliki perbedaan dengan orang kafir di dalam berbisnis. Bisa jadi bisnis kita menjadi sarana dakwah kepada orang kafir. Dalam perannya membangun bisnis para wirausahawan, perekonomian syariah harus
kembali pada kebermaknaan ekonomi Islam atau ekonomi berbasis syariah itu
sendiri, yaitu sebuah sistem ekonomi yang memiliki tujuan utama untuk kesejahteraan
umat. Sistem ekonomi syariah berpedoman penuh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukumhukum yang melandasi prosedur transaksinya sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat, sehingga tidak ada satu pihak yang merasa dirugikan. Kesejahteraan masyarakat dalam ekonomi Islam tidak hanya diukur dari aspek materilnya, namun mempertimbangkan dampak sosial, mental, dan spiritual individu serta dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan. Dalam Islam, berdagang atau bisnis atau wirausaha sangat dianjurkan, karena nabi kita pun seorang wirausahawan. Ada suatu nilai yang terkandung dalam Islam terkait wirausaha, yakni jujur dan amanah serta berbisnislah yang wajar dan tidak melampaui batas. Islam sendiri menganjurkan umatnya untuk menjadi kaya. Maka dari itu, dengan berwirausaha menurut risalah nabi muhammad SAW berarti kita mencintai suri tauladan beliau.
Penutup Ekonomi suatu bangsa akan baik, apabila akhlak masyarakatnya baik. Antara akhlak dan ekonomi memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, akhlak yang baik berdampak pada terbangunnya muamalah atau kerja sama ekonomi yang baik. Rasulullah SAW tidak hanya diutus untuk menyebarluaskan akhlak, melainkan untuk menyempurnakan akhlak mulia, baik akhlak dalam berucap maupun dalam tingkah laku. Untuk itulah, agama Islam mengandung tiga komponen pokok yang terstruktur dan tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, yaitu aqidah atau iman, syariah, dan akhlak. Syariah merupakan aturan Allah tentang pelaksanaan dan penyerahan diri secara total melalui proses ibadah dalam hubungannya dengan sesama mahluk. Syariah mencakup dua hal pokok, yaitu Ibadah mahdah yang pelaksanaannya dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dan ibadah ghair mahdah yang tidak dicontohkan seluruhnya oleh Rasulullah SAW, seperti hubungan ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Dalam perekonomian syariah, khususnya perbankan syariah, momen penting yang tercatat dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia adalah dari pengalaman selama krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998, ternyata fakta menunjukkan perbankan syariah tidak terseret badai krisis dan menjadi salah satu sektor perbankan yang tidak perlu dilakukan rekap oleh pemerintah.
Atas prestasi ini, akhirnya pemerintah benar-benar meyakini bahwa lembaga keuangan syariah dapat diandalkan sebagai bagian dari sistem ekonomi dan perbankan nasional. Apalagi dalam sistem ekonomi syariah, ada landasan etika dan moral dalam melaksanakan semua kegiatan, termasuk kegiatan ekonomi, selain harus adanya keseimbangan antara peran pemerintah, swasta, kepentingan dunia, dan kepentingan akhirat dalam aktivitas ekonomi yang dilakukan. Memasuki MEA 2015 diperlukan peran semua pihak dalam mendorong pertumbuhan dan perkembangan perekonomian syariah di Indonesia. Beberapa kelemahan perekonomian syariah di Indonesia harus segera diperbaiki, terutama terkait dengan kualitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi. Dalam menghadapi MEA, penguatan perekonomian/perbankan syariah efektif dilakukan dengan meningkatkan peran pelaku KUKM yang dimotori oleh para wirausahawan, sehingga Indonesia mampu bersaing (competition) sekaligus bekerja sama (cooperation) dengan negara-negara di ASEAN. Kemampuan bersaing tidak terlepas dari sumber daya manusia (SDM) atau sumber daya insani (SDI), sedangkan kerja sama dalam AEC sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan negara ASEAN terhadap Indonesia. Kebutuhan terhadap SDI dalam jumlah besar, ternyata tidak diimbangi dengan tingginya jumlah tenaga kerja yang berbasis syariah. Di Indonesia para sarjana ekonomi Islam masih sangat sedikit, sehingga perbankan syariah Indonesia masih sangat membutuhkan tenaga kerja profesional untuk memasuki MEA 2015. Tantangan ketersedian SDI perbankan syariah Indonesia bukan hanya pemenuhan dari segi kuantitas, terlebih dari segi kualitas juga harus diperhatikan. SDI perbankan syariah Indonesia dituntut untuk memiliki penguasaan operasional banking, juga harus memperhatikan kualitas SDI dari aspek syariah. Untuk menghasilkan SDM/SDI berupa para wirausahawan yang mampu bersaing sekaligus bekerja sama, untuk menyokong perekonomian/perbankan syariah dalam menghadapi MEA 2015, maka bisa disimpulkan hal-hal penting berikut: 1. Perekonomian syariah perlu mendorong jumlah wirausahawan di Indonesia dengan menerapkan pendidikan kewirausahaan dalam berbagai tingkat pendidikan. 2. Untuk menghadapi MEA 2015 yang sudah mulai diberlakukan, lembaga perekonomian syariah perlu fokus menerapkan pendidikan kewirausahaan pada
para pelaku KUKM, yang selama ini belum mengenyam pendidikan kewirausahaan. Dengan demikian, lembaga perekonomian syariah diharapkan menciptakan para wirausahawan muda yang berkompeten dan dapat bersaing secara global, baik melalui teori dan praktek kewirausahaan. Wirausahawan tidak pantas lagi melihat MEA sebagai ancaman, melainkan sebuah peluang emas yang harus diraih. Jadi, penerapan pendidikan kewirausahaan adalah kunci bagi Indonesia, khususnya perekonomian syariah, memenangi persaingan MEA. 3. Ekspektasi
pendapatan
berpengaruh
terhadap
minat
seseorang
untuk
berwirausaha. Semakin tinggi kemungkinan pendapatan yang akan diraih – melebihi pendapatan karyawan--, maka semakin besar pula minat seseorang untuk berwirausaha. 4. Lingkungan keluarga berpengaruh pada minat seseorang untuk berwirausaha. Semakin kondusif lingkungan keluarga dan masyarakat di sekitarnya, maka akan semakin mendorong seseorang untuk menjadi seorang wirausahawan. Apabila lingkungan keluarga dan masyarakat mendukung, maka seseorang akan semakin tinggi niatnya untuk menjadi pelaku wirausaha dibandingkan jika tidak memiliki dukungan dari lingkungan keluarga dan masyarakat. 5. Peran Perguruan Tinggi dalam memotivasi para mahasiswanya untuk menjadi wirausahawan merupakan bagian dari salah satu faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan. Untuk itu, lembaga perekonomian syariah perlu menggandeng Perguruan Tinggi. Secara bersama-sama lembaga perekonomian syariah dengan Perguruan Tinggi perlu mengutamakan program pendidikan yang mampu mengubah mind set (pola pikir) para wirausahawan muda sebagai kaum agent of social change agar semangat untuk melakukan wirausaha, sehingga mampu mengurangi ketergantungan terhadap ketersediaan lapangan kerja. Mengubah generasi pencari kerja, menjadi generasi pencipta lapangan pekerjaan yang berakhlak baik.
Terkait kesimpulan yang telah disampaikan, peneliti dapat menyampaikan beberapa hal berikut.
1. Untuk menyiapkan generasi unggul dalam menghadapi MEA di masa depan, pendidikan kewirausahaan berbasis syariah perlu ditumbuhkembangkan sejak jenjang pendidikan dasar. 2. Untuk menghadapi MEA 2015 yang sudah mulai diberlakukan, fokus penerapan pendidikan kewirausahaan dalam jenjang perkuliahan –yang terselenggara atas kerja sama lembaga perekonomian syariah dengan Perguruan Tinggi --, tidak hanya diberikan pada fakultas atau jurusan ekonomi/bisnis, tetapi pada semua bidang perkuliahan. Hal ini untuk menumbuh kembangkan jiwa kewirausahaan pada diri seluruh mahasiswa sebagai wirausahawan muda.
DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, Halim. (2012). Indonesia, Jakarta.
Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2012.
Bank
Alam, Syamsul. (2015). Penulisan Artikel Ilmiah untuk Publikasi Ilmiah Melalui Jurnal. Artikel E-Buletin. ISSN April, hal.355-389. Alma, Buchari.(2007). Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta. Bygrave, William. (1996). “Entrepreneurship”. Jakarta: Binarupa Aksara. Cantillon, Richard (2010) [1755]. “An Essay on Economic Theory”. Auburn, Alabama: Ludwig von Mises Institute. ISBN 0-415-07577-7. Crow & Crow (1983). “General Psychology”. New Jersey: Lifield, Adam and Co. Drucker, Peter F. 2008. Inovasi dan Kewirausahaan: Analisis dan Praktik. Dun Steinhoff, John F. Burgess. (1993). “Small Business Management Fundamentals 6 thed”. New York: Mcgraw Hill, Inc. Frazier, B. Niehm, L.S. (2008). “FCS Students' attitudes and intentions toward entrepreneurial careers ”, Journal of Family and Consumer Sciences, April 2008, Vol. 100 No. 2. Harianto, Farid dan Siswanto Sudomo. (1998). Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia, edisi pertama, BT. Bursa Efek Jakarta, Jakarta.
http://avin.filsafat.ugm.ac.id/Helmi, A. dan Rista, M. (2006). Kewirausahaan dari Perspektif Psikologi. [10 Februari 2016]. http://jejakmu.bappenas.go.id/berita/87-jumlah-umkm-indonesia-terbanyak-dibandingnegara-lain. [10 Februari 2016] http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPTM/article/download/205/213/Fu’adi, Isky Fadli, dkk. (2009). Hubungan Minat Berwirausaha Dengan PrestasiPraktik Kerja Industri Siswa Kelas Xii Teknik Otomotif SMK Negeri 1 Adiwerna Kabupaten Tegal Tahun Ajaran 2008/2009. [10 Februari 2016]. http//:journal.unnes.ac.id/sju/index.php/eeaj/Aprilia, Fitriani, Harnanik & Kusumantoro. (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Berwirausaha Pada Siswa Kelas Xii SMK Negeri 1 Kandeman Kabupaten Batang Tahun 2011/2012. [10 Februari 2016]. http//:medanbisnisdaily.com. Pengusaha RI Paling Sedikit di Asean. Rabu, 11 Mar 2015 06:24
WIB [10 Februari 2016]. http//:republika.co.id. Peluang Ekonomi Syariah Menghadapi MEA 2015. Kamis, 12 Maret 2015. [10 Februari 2016] http//:swa.co.id. Tantangan dan Peluang UKM Jelang MEA 2015. SWAOnline/Januari 1, 2014. [10 Februari 2016]. Hirisch, Robert. D. and Michael D. Peter. (1992). “Enterpreneurship”. Tokyo: Toppan Co, Ltd. Hosen, M. Nadratuzamandan A.M. Hasan Ali. (2009). 50 Tanya Jawab Ekonomi dan Bisnis Syariah. PT. Salamadani Pustaka Semesta. Hurlock, E.B. (1991). Psikologi Perkembangan (Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan). Jakarta: Erlangga. Inpres No. 4 tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan atau GNMMK. Kourilsky, M. L. dan W. B. Walstad, (1998). "Entrepreneurship and female youth: knowledge, attitude, gender differences, and educational practices”. Journal of Business Venturing. Vol. 13 (1) pp. 77-88. Keputusan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor 961/KEP/M/XI/1995. Lestari, Retno Budi dan Trisnadi Wijaya (2012). Pengaruh Pendidikan Kewirausahaan Terhadap Minat Berwirausaha Mahasiswa di STIE MDP, STMIK MDP, dan STIE MUSI. Jurnal Ilmiah STIE MDP. Musi: STIE MDP Vol. 1 No. 2 Maret 2012.
Machfoedz, Mas’uddan Mahmud Machfoedz, (2004). Kewirausahaan, Suatu Pendekatan Kontemporer. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Mappiare, Andi. (1982). Psikologi Remaja. Yogyakarta: Usaha Nasional. McClelland, David. (1987). Pengantar Kewirausahaan. Jakarta: Intermedia. Meredith, G. Geoffrey. (2000). Kewirausahaan Teori dan Praktek. Jakarta: Pustaka Binaman Presindo. Nastiti, T. dkk. (2010). Minat Berwirausaha Mahasiswa Manajemen & Bisnis. 9, (2), 188-201.
Indonesia
dan Cina. Jurnal
Plummer, M, G., &Yue, C, S. (2009). “Realizing the Asean Economic Community: A Comprehensive Assessment”. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Poerwadarminta, WJS. (1987). Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. Prawirakusumo, Soeharto. 1997. Peranan Perguruan Tinggi dalam Menciptakan Wiausahawirausaha Tangguh, Makalah Seminar, Jatinangor: FIBI-Ikopin. Riyanti, Benedicta Prihatin Dwi. (2006). Self-Efficacy dan Intensi Menjadi Wirausaha. Jakarta: Phronesis Jurnal Ilmiah PIO Vol. 8 No. 2 173-180. Robbins, Stephen P. dan Coulter, Mary, (2005). Manajemen, Edisi ke tujuh, Jilid 2, Terjemahan Sarwiji dan Hermaya, Penerbit PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta. Thomson, Reuters. (2013). “State of the Global Islamic Economy: 2013 Report”. Santoso, W. et.al. (2008). Outlook Ekonomi Indonesia 2008-2012: Integrasi ekonomi ASEAN dan prospek perekonomian nasional. Jakarta: Biro Riset Ekonomi Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Sanusi, Achmad. (1994). Menelaah Potensi Perguruan Tinggi untuk Membina Program Kewirausahaan dan Mengantar Kehadiran Pewirausaha Muda. Makalah Seminar Kewirausahaan, Inkubator Bisnis Bandung, STMB-Kadin Jabar. Sartono, Agus. 2006. Manajemen Keuangan Teoridan Aplikasi. Edisi keTiga. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Schumpeter J. 1934. “The Theory of Economic Development. An Inquiry into Profits, Capital, Credit, Interest and the Business Cycle”. Harvard U. Siagian, S.P. 1998. Manajemen Abad 21. Jakarta, Bumi Aksara. Soemahamidjaja, Soeparman. (1977). Membina Sikap Mental Wirausaha, Jakarta: Gunung Jati.
Sondari, Ira (2009). Pendapat Ibu Rumah Tangga Miskin Tentang Pelatihan Tata Boga Dalam Upaya Peningkatan Ekonomi Keluarga. Skripsi pada FPTK UPI Bandung: tidak diterbitkan. Subandono, Aris. (2007). Pengaruh Life Skill Diklat Kimia Produktif dan PrestasiBelajar Diklat Kewirausahaan terhadap Minat Berwirausaha pada Siswa SMK Kimia Industri Theresiana Semarang. Skripsi . FMIPA-UNES. Sugiyono.( 2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Edisi Ke-20. Bandung: Alfabeta. Suharti, Lieli & Hani Sirine. (2011). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Niat Kewirausahaan (Entrepreneurial Intention) Studi Terhadap Mahasiswa Universitas Kristen Ssatya Wacana, Salatiga. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, vol. 13, No 2. 124-134. Suhartini, Dewi. (2011). Pengaruh Minat Siswa Terhadap Topik-topik Mata Pelajaran Sejarah dan BeberapaFaktor yang Membekalinya. Tesis FPS UPI: Tidak Diterbitkan. Sumarni, Murti Sumarni dan Salamah Wahyuni. (2006). Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Supartono (2004). Ilmu Budaya Dasar. Bogor, Ghalia Indonesia. Suryamannim, Maman. (2006). Minat Berwirausaha pada Mahasiswa Pendidikan Teknik Elektro. Skripsi. FT-UNS. Suryana. (2006). Kewirausahaan Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses. Jakarta: SalembaE mpat. Untoro, Joko. (2010). Buku Pintar Pelajaran. Agromedia Pustaka. Wijandi, Soesarsono. 1988. Pengantar Kewiraswastaan. Bandung: SinarBaru. Hlm. 23, 24, 33. Winardi. (2003). “Entrepreneur & Entrepreneurship”. Kencana Prenada Media Group. Zimmerer, W. Thomas, Norman. Scarborough. (1993). “Enterpreneurship and the new Venture Formation”. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.