NOTA PEMBELAAN PRIBADI Atas nama Prof. Miranda Swaray Goeltom SE, MA, Ph.D dalam Perkara Pidana Nomor:39/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI PADA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT
“MENGAPA SAYA HARUS DISIDANG?”
Berikut ini saya sampaikan Nota Pembelaan saya yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan satu kesatuan dengan Nota Pembelaan yang dibuat oleh Penasehat Hukum saya dengan judul “Mengapa Saya Harus Disidang”, untuk membuktikan bahwa saya tidak melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) jo pasal 55 ayat (1) KUHP.
Majelis Hakim Yang Mulia, Saudara Jaksa Penuntut Umum yang saya hormati, Penasehat Hukum yang saya hormati, Para Hadirin yang budiman.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Pengasih, dan Penyayang karena kita semua dapat berkumpul ditempat ini dalam keadaan sehat walafiat.
1
Sebagai seorang Guru Besar yang bukan berlatar belakang pendidikan formil bidang hukum, izinkan saya menyampaikan pembelaan (pledoi) pribadi untuk mendapatkan Keadilan Berdasarkan Fakta dan Hati Nurani dari Majelis Hakim yang saya muliakan.
Sebelum saya memaparkan pembelaan saya, izinkanlah saya terlebih dahulu menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada Majelis Hakim khususnya kepada Ketua Majelis yang telah memimpin jalannya proses pemeriksaan perkara saya dalam perkara a quo dengan efisien, ringkas, berimbang, serta penuh bijaksana dengan sikap yang lembut tetapi tegas sehingga saya maupun saksi-saksi dapat memberikan keterangan yang mengungkapkan kebenaran materiel dari perkara a quo secara leluasa dan objektif sehingga perkara a quo menjadi jelas dan terang.
Dalam kesempatan ini, saya menghaturkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Penasehat Hukum saya, Bapak Dr. Dodi Abdulkadir Bsc, SE, SH, MH, dan rekan, serta Bapak Andi Simangunsong, SH, dan rekan, yang sudah secara profesional dan kerja keras mendampingi dan membantu saya
dalam
memperjuangkan
dan
menemukan
keadilan
serta
menunjukkannya kepada Majelis Hakim, Jaksa Penuntut Umum serta Masyarakat luas bahwa apa yang didakwakan kepada saya sama sekali tidak benar.
Terima kasih saya ucapkan pula kepada seluruh hadirin, kawan-kawan, dan keluarga yang selama ini telah memberikan perhatian dan dukungan moril, serta simpatinya, sehingga saya tetap kuat dalam menghadapi cobaan yang terberat yang pernah saya hadapi dalam hidup saya setelah berkarya dan mengabdi kepada Negara selama lebih dari 40 tahun, yaitu dituduh melakukan tindak pidana korupsi.
2
Keadaan semakin berat karena pada awalnya proses persidangan berlangsung penuh dengan tekanan opini publik bahwa dalam setiap persidangan tindak pidana korupsi, seperti yang saya jalani saat ini, saya harus dijatuhi vonis bersalah jika ingin dipandang oleh segenap masyarakat bahwa proses penegakan hukum pada proses peradilan tersebut telah dilaksanakan dengan baik.
Untunglah setelah proses pemeriksaan saksi dimulai satu persatu, berlanjut dengan pemeriksaan ahli dan akhirnya pemeriksaan diri saya sendiri selaku Terdakwa, mata publik semakin terbuka melihat perkara ini. Publik yang cerdas akan melihat bahwa apa yang dituduhkan penuntut umum dengan mendasarkan pada keterangan Agus Condro dan Ibu Nunun Nurbaeti ternyata tidak benar adanya. Perkenankan saya berterima kasih kepada saksi-saksi yang telah hadir di persidangan, serta Profesor Burhan Djabir Magenda Ph. D. dan Profesor Dr. I Gde Panca Astawa yang telah bersedia menjadi saksi ahli dan mencerahkan sidang dengan keahlian mereka.
Kepada Jaksa Penuntut Umum, saya mengucapkan terima kasih atas upaya yang keras untuk menghadirkan saksi-saksi dan mengungkapkan fakta-fakta dalam perkara ini dengan cepat dan obyektif sehingga persidangan dapat dilakukan dengan lancar dan dapat mengungkapkan fakta materiel dimuka persidangan yang sangat dibutuhkan oleh Majelis Hakim dalam membuat Putusan.
Namun demikian, dengan sangat menyesal, perkenankan saya dalam kesempatan ini mengutarakan kekecewaan yang mendalam karena ternyata Jaksa Penuntut Umum Persidangan.
Disatu
tidak menghiraukan fakta yang terungkap di
pihak
fakta
yang
terungkap
di
persidangan
membuktikan bahwa Dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum tidak ada satupun yang terbukti, namun dilain pihak Jaksa Penuntut Umum tetap saja mengajukan tuntutan dengan mendasarkan pada asumsi, perasaan atau praduga yang jelas bertentangan dengan KUHAP dan KUHP.
3
Tindakan Jaksa Penuntut Umum tersebut merupakan tindakan yang tidak adil, menyimpang dari kebenaran, dan telah mencederai kepastian hukum dan keadilan yang merupakan hak asasi setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang.
Dengan
menyembunyikan
atau
tidak
mengungkapkan
fakta
yang
sebenarnya terungkap di Persidangan secara objektif, Jaksa Penuntut Umum telah menyusun Tuntutan kepada saya : Menyatakan Terdakwa Miranda Swaray Goeltom telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama menyuap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor Jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Pertama.
Majelis Hakim Yang Mulia, Saudara Jaksa Penuntut Umum yang saya hormati,
Keadilan adalah hak dari setiap orang yang dilindungi oleh Undang-Undang, dimana sebagai negara hukum, Negara Indonesia mengatur mengenai keadilan dalam Undang-Undang. Ukuran keadilan bukan didasarkan kepada perasaan atau rasa semata, tetapi juga kepada asas hukum yang mendasari hukum Pidana, dimana seseorang yang tidak bersalah tidak dapat dipidana.
Sebagai orang awam hukum, penerapan asas tersebut dalam penerapan hukum pidana saya perkirakan merupakan dasar untuk mencari keadilan. Ketidak-adilan bukan hanya menimpa diri seseorang seperti saya yang didakwa, tetapi juga dirasakan oleh keluarga, anak, suami, dan keturunan saya yang ikut terpidana secara moral, etika dan sosial, yang lebih pedih sanksinya dibanding sanksi hukum. Demikian pula masyarakat luas yang dapat merasakan akibatnya suatu ketika nanti apabila keadilan tidak dapat diterapkan berdasarkan nilai kepastian hukum. Dengan perkataan lain, ketidakadilan seperti ini akan dapat menghilangkan kepastian hukum di mata
4
masyarakat, dan merupakan pendidikan hukum yang amat merugikan masyarakat, negara dan bangsa.
Oleh karena itu saya sangat yakin bahwa Majelis Hakim yang mulia akan selalu membantu seluruh anggota masyarakat, termasuk saya, dalam menemukan keadilan dengan sepenuhnya mendasarkan keputusan Majelis Hakim pada fakta materiel yang terungkap di Persidangan ini secara objektif, tanpa adanya unsur-unsur yang subjektif, termasuk pengaruh atau tekanan unsur politis yang dapat mempengaruhi persidangan dalam menemukan keadilan. Dari lubuk hati terdalam saya berharap dan mendoakan semoga Majelis
Hakim
Yang
Mulia
diberikan
hikmat
dan
kekuatan
dalam
menggunakan hati nurani, dan hanya takut akan Tuhan dalam menemukan dan menegakkan keadilan.
Majelis Hakim Yang Mulia, Para Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati, Hadirin yang berbagahagia,
Negara Republik Indonesia menganut asas negara berdasarkan hukum (rechtstaat), sebagaimana diatur pada Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengandung tiga prinsip, yakni menjunjung tinggi kedudukan hukum (supreme of law), kesamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law), dan proses hukum yang harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku (due process of law). Selanjutnya, ketiga prinsip negara hukum tersebut mempunyai tiga ciri, yakni penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, pengadilan dan hukum yang bebas dan merdeka, serta menjunjung tinggi asas legalitas.
Sejalan dengan prinsip dan ciri-ciri negara hukum di atas, maka Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam
5
menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, dan penegakan hak asasi manusia. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus mampu secara profesional mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai lembaga yang melaksanakan penuntutan dan pemeriksaan perkara berkewajiban untuk menentukan apakah Terdakwa bersalah atau tidak dengan menggunakan kewenangannya secara merdeka dan bebas dari pengaruh apapun.
Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya harus hanya mendasarkan kepada fakta yang terungkap di Persidangan yang memenuhi kriteria sebagai alat bukti yang sah, dalam peradilan yang bebas jujur dan tidak memihak serta terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya termasuk opini publik.
Oleh karenanya Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Umum yang telah melakukan penuntutan dan Pemeriksan Perkara kepada saya berdasarkan pada Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Pertama, KPK harus dapat membuktikan secara profesional dan proporsional adanya perbuatan menyuruh atau bersama sama melakukan penyuapan atau memberikan hadiah berdasarkan kepada fakta yang terungkap di Persidangan yang memenuhi kriteria sebagai alat bukti yang sah.
6
Hal
ini
wajib
dilaksanakan
agar
pelaksanaan
pencegahan
dan
pemberantasan korupsi dilakukan dengan tidak mengkorupsikan kekuasaan, kebenaran dan keadilan, tetapi dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, moralitas dan kepentingan masyarakat yang lebih luas yang terkait dengan kegiatan dalam ruang lingkup Keuangan Negara.
Majelis Hakim Yang Mulia, Para Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,
Kesulitan Jaksa Penuntut Umum dalam membuktikan adanya perbuatan tidak boleh dipergunakan untuk mencederai rasa keadilan saya sebagai pencari keadilan.
Oleh karena itu, apabila Jaksa Penuntut Umum tetap memaksakan Tuntutan yang tidak didasarkan pada fakta yang terungkap di persidangan dan alat bukti yang harus berkesesuaian, maka telah terjadi adanya obstruction terhadap hukum yang mengakibatkan adanya miscarriage of justice. “Kegagalan dalam menegakkan keadilan” (miscarriage of justice) sudah merupakan persoalan yang universal dan aktual dihadapi oleh hampir semua Negara dalam penegakan Sistem Peradilan Pidana. Faktor utama yang menyebabkan “kegagalan dalam menegakkan keadilan” (miscarriage of justice) adalah dikarenakan bahwa proses penegakan keadilan itu dilakukan oleh “manusia” yang juga memiliki keterbatasan dan dapat pula melakukan kesalahan. Dalam kondisi sesorang memegang suatu kekuasaan atau kewenangan seringkali rancu antara penegakan hukum atau menjalankan kekuasaan yang diterimanya terutamanya dalam proses penegakan hukum pada kasus-kasus besar (high profile case). Persoalan “kegagalan dalam menegakkan keadilan” (miscarriage of justice) merupakan masalah serius ditengah upaya menegakkan hak-hak asasi
7
manusia dan demokrasi dalam era reformasi yang merupakan pilar penting dari penyelenggaraan Negara yang baik (good governance) sebagaimana sudah diundangkan dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Miscarriage
of
justice
akan
muncul
dan
menebarkan
virus
yang
membahayakan bagi kelangsungan legitimasi sebagai Negara hukum apabila: (1) Suatu pelanggaran terhadap prinsip legitimasi yudisial (the principle of judicial legitimacy) terus dibiarkan/diakomodir hanya untuk kepentingan sesaat padahal secara jelas dan akal sehat sudah dapat dibuktikan secara adil dan akurat akan yang salah (guilt) dan atau yang tidak salah (innocence), dan (2) Pelanggaran tersebut dibiarkan sehingga menjadi praktek yang lazim diyakini sebagai nilai kebenaran moral yang baru sekalipun hal tersebut menafikan
hak-hak
individu
dan
nilai
moral
yang
dapat
dijustifikasikan/diargumentasikan walau dalam suatu argumen yang sangat relatif.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya miscarriage of justice, di antara faktor-faktor tersebut seperti dikemukakan Archibal Kaiser, yakni sebagai berikut: 1.
putusan yang salah,
2.
investigasi polisi yang salah arah,
3.
pembela (advokat) yang tidak kompeten,
4.
persepsi yang salah dari Jaksa Penuntut Umum akan perannya, asumsi faktual dari kesalahan terdakwa,
5.
bukti identifikasi yang tidak cukup,
6.
tekanan masyarakat pada terdakwa,
7.
pengakuan yang salah,
8.
tidak cukup atau salah interprestasi atas bukti forensik,
9.
bias yudisial,
8
10. presentasi yang buruk dalam melakukan upaya hukum di pengadilan tingkat banding, kasasi, serta 11. kesulitan menemukan bukti-bukti baru yang dapat diterima pada pengadilan tingkat peninjauan kembali.
Majelis Hakim yang Mulia, Penuntut Umum dan para hadirin yang saya hormati.
Dalam masa tahanan, saya mencoba mempelajari mengenai makna miscarriage of justice, karena saya tahu, dan Allah Yang Maha Kuasa dan Maha mengetahui tahu, bahwa saya tidak berbuat apapun dan tidak mengetahui apapun terkait dengan pemberian Travellers Cheques kepada anggota Komisi IX DPR RI yang nyata-nyata memang ada.
Saya mencatat beberapa butir penting yang harus diwaspadai dalam makna miscarriage
of
justice,
antara
lain
Kegagalan
penegakan
keadilan
(miscarriage of justice) yang tidak hanya terbatas pada produk atau proses pengadilan semata tapi juga dapat terjadi disemua proses penegakan hukum yang bersifat memaksa (coercive powers) seperti dalam proses penyidikan, seperti misalnya: a. Kegagalan penegakan keadilan (miscarriage of justice) akibat “abuse of power”,“penerapan
hukum
yang
tidak
sebagaimana
mestinya”,
penghilangan fakta atau pengingkaran terhadap fakta, “penerapan misinterpretasi” untuk membenarkan dalil hukum, dan penekanan dengan menerapkan tindakan penahanan secara tidak logis (secara akal sehat tidak dapat memenuhi alasan penahananan);
b. Kegagalan penegakan keadilan (miscarriage of justice) yang mencakup kelemahan kontrol terhadap fungsi penegakan hukum oleh Negara
9
sehingga mengakibatkan trauma di masyarakat yang akan menjadi kontra produktif dalam pembangunan bangsa.
Jelas bagi kita bahwa kegagalan penegakan keadilan (miscarriage of justice) akan menciderai rasa keadilan dan pembunuhan karakter dan nilai-nilai budaya bangsa sebagaimana diyakini dalam falsafah Negara Pancasila.
Jelas pula bahwa kegagalan penegakan keadilan (miscarriage of justice) dapat mengakibatkan dirampasnya hak hidup seseorang atas suatu kesalahan yang tidak dilakukannya dan adanya orang yang sebenarnya melakukan kesalahan tetapi bebas berkeliaran. Hal ini merupakan pelanggaran asas yang paling mendasar dalam hukum pidana yaitu tiada hukuman tanpa kesalahan (“geen straf zonder schuld”) yang telah diterima secara universal.
Michael Kirby dengan tepat melukiskan tentang miscarriage of justice sebagai bayangan gelap pemisah yang menciptakan kesenjangan antara keadilan dengan realitas, antara prosedur hukum dalam suatu sistem peradilan pidana dengan tindakan penegakan hukum pidana.
Dalam ungkapan yang lebih filosofis, Baron de Montesquieu, filosof terkenal di abad 17 dari Perancis, dengan tegas mengatakan hal senada: ‘there is no greater tyranny than that which is perpertrated under the shield of the law and in the name of justice”, yang terjemahan bebasnya sebagai berikut: “Tidak ada tirani (penindasan) yang lebih hebat dari pada perbuatan yang dilakukan dengan bertameng hukum dan atas nama keadilan.”
Oleh karena itulah saya percaya, bahwa Pengadilan Tipikor harus menjadi PANGLIMA
KEADILAN,
dan
bukan
PANGLIMA
PENGHUKUMAN.
Menghukum orang yang salah adalah adil, dan menghukum orang yang tidak salah adalah tidak adil.
10
Majelis Hakim Yang Mulia, Para Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,
Penjelasan diatas menyimpulkan suatu hal yang sangat jelas dan tidak terbantahkan, yakni: “Dalam hal kemudian Jaksa Penuntut Umum tidak mampu membuktikan dakwaannya, maka demi hukum saya harus dibebaskan sesuai dengan asas geen straft zonder schuld, yaitu saya hanya bisa dihukum apabila dapat dibuktikan adanya kesalahan yang sekecil-kecilnya.”
Sejalan dengan hal tersebut diatas, terdapat suatu semboyan yang terkenal dalam acara pidana, yakni “in dubio pro reo”, yang berarti bahwa pada umumnya kalau ada keragu-raguan tentang hal seseorang seperti saya dapat atau tidak dapat dihukum, maka majelis hakim harus memberikan putusan yang palling menguntungkan saya. Juga ada suatu Pepatah yang sudah hampir mendekati doktrin, yaitu bahwa lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yg tidak bersalah.
Majelis Hakim Yang Mulia, Para Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,
Bahwa menjadi kewajiban bagi Penuntut Umum untuk membuktikan apakah seluruh unsur dalam Pasal-Pasal yang didakwakan kepada saya terpenuhi berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan yang memenuhi kriteria sebagai alat bukti.
Dalam hal kemudian Penuntut Umum tidak dapat membuktikan adanya perbuatan saya yang memenuhi unsur Pasal yang didakwakan, maka saya harus dibebaskan dari segala dakwaan.
11
Apabila Jaksa Penuntut Umum tetap pada pendiriannya yang keliru, yaitu menuntut tanpa dapat membuktikan adanya kesalahan pada diri saya yang sekecil-kecilnya,
maka
Jaksa
Penuntut
Umum
telah
melakukan
wederrechtelijkheid atau Perbuatan Melawan Hukum.
Majelis Hakim Yang Mulia, Para Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,
Perkenankan saya nanti secara urut dan rinci mengemukakan argumen saya bahwa Jaksa Penuntut Umum telah secara salah dan keliru dalam menerapkan fakta-fakta hukum yang telah terbukti di dalam persidangan untuk menyimpulkan adanya unsur Bersama-sama dan menganjurkan. Jaksa Penuntut Umum telah mencoba menggunakan metode pembuktian keterangan saksi yang berkaitan (ketting bewijs) di dalam perkara ini. Namun sangat disayangkan metode pembuktian tersebut dilakukan secara keliru dengan cara mengkorupsi informasi dan fakta yang telah terungkap di dalam persidangan.
Majelis Hakim Yang Mulia, Dalam “mencari keadilan” terhadap Tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut, saya percaya dan yakin bahwa Majelis Hakim akan tetap menggunakan hati nurani dan idealismenya untuk tetap memiliki sikap yang teguh dalam menjalankan asas Praduga Tidak Bersalah (Pressumption of Innocence) dan asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (geen straft zonder schuld) serta asas legalitas sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1 KUHP yang menyatakan: Nullum delictum nulla poena praevia lege poenali (Peristiwa pidana tidak akan ada jika ketentuan pidana dalam undangundang tidak ada terlebih dahulu) yang merupakan prinsip dasar negara hukum yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
12
Sikap tersebut adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan :
“Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Proses penegakan hukum yang merdeka dan berkeadilan wajib menerapkan pembuktian tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP yang menjunjung tinggi pembuktian yaitu suatu keyakinan yang disertai dengan adanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Berdasarkan ketentuan mengenai alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP tersebut, bukti-bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum adalah merupakan “roh” dari proses hukum yang berkeadilan.
Namun demikian, ternyata Jaksa Penuntut Umum dalam penyusunan tuntutan
telah
menggunakan
keterangan-keterangan
yang
seluruhnya/sebagian tidak pernah terungkap dipersidangan, bahkan sebaliknya Jaksa Penuntut Umum telah secara sengaja mengaburkan dan menghilangkan kesaksian lainnya yang terungkap dipersidangan.
Fakta-Fakta yang diungkapkan oleh Jaksa Penuntut Umum telah disusun sedemikian rupa agar memenuhi kepentingan/ambisinya dalam penyusunan Tuntutan kepada saya dengan pidana empat tahun. Dilain pihak Jaksa Penuntut Umum tidak berhasil membuktikan adanya perbuatan menyuap memberikan hadiah menyuruh atau bersama-sama.
Seharusnya Jaksa Penuntut Umum yang mewakili kepentingan umum melihat fakta secara obyektif apa adanya tanpa ada yang ditutup-tutupi ataupun yang dikaburkan. Tindakan Jaksa Penuntut Umum jelas jauh dari semangat
Penegakan
hukum
pidana
yang
mendedikasikan
pada
13
pengungkapan kebenaran materiil sebagaimana fakta yang secara sah terungkap dipersidangan.
Suatu hal yang sangat ironis, karena Jaksa Penuntut Umum sebagaimana dalam Tuntutannya yang tercantum pada halaman pertama menyatakan “Untuk Keadilan”.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Argumentasi hukum mengenai susunan tuntutan hingga menggunakan alasan pembuktian Dakwaan kesatu, akan dijelaskan dan dibantah secara rinci oleh Tim Penasehat Hukum saya. Dalam kesempatan ini, perkenankan saya menyampaikan analisa logika saya seperti akan saya rinci dibawah ini.
Majelis Hakim yang Mulia,
Hukum berbicara mengenai alat bukti, dan tidak bisa berdasarkan asumsi. Kosa kata inilah, “Alat Bukti” versus “Asumsi”, yang akan saya padu padankan untuk membuktikan bahwa pembuktian Jaksa Penuntut Umum at best (paling tidak) menyesatkan, atau kalau dipertegas lagi, mohon maaf dan dengan segala hormat, mungkin kata yang tepat adalah disesatkan.
Agar lebih jelas, dengan hormat saya menyertakan matriks yang akan menunjukkan alur hubungan dari empat hal (terlampir), yakni: 1) Kutipan asli dari uraian fakta yuridis yang merupakan analisa dan kesimpulan tentang fakta perbuatan di dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang relevan dengan bukti yang akan saya bahas, 2) Fakta persidangan berupa transkrip dari rekaman sidang, 3) Ketidak sesuaian argumentasi Jaksa Penuntut Umum dengan fakta persidangan, dan 4) Kesimpulan serta himbauan kepada Hakim yang Mulia.
14
Berikut secara runtun akan saya uraikan lima butir pokok argumentasi saya bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum keliru, yang akan saya lengkapi dengan beberapa butir ketidak konsistenan analisa yuridis Jaksa Penuntut Umum.
1. Keterangan saksi Nunun Nurbaeti D. yang DIBANTAH Paskah Suzetta, Endin AJ Soefihara, Hamka Yandhu dan Miranda S. Goeltom;
dan
keterangan
saksi
Lini
Suparni
yang
TIDAK
MEMPERKUAT pernyataan Nunun.
1.1. Fakta Hukum Menurut Jaksa Penuntut Umum (Surat Tuntutan butir 2 dan 3 halaman 129 dan 130) dan Analisa Yuridis (Surat Tuntutan halaman 146 dan 147) “Bahwa sesuai keterangan saksi Nunun Nurbaeti. D dalam rangka pemilihan DGS BI tahun 2004, Terdakwa meminta kepada NUNUN NURBAETI D. untuk dipertemukan dengan anggota Komisi IX DPR RI, dan akhirnya NUNUN NURBAETIE.D mempertemukan Terdakwa dengan PASKAH SUZETTA, ENDIN AJ SOEFIHARA dan HAMKA YANDHU di rumah NUNUN NURBAETIE. D di Jl. Cipete Raya Jakarta Selatan pada waktu siang hari, untuk tujuan pemenangan Terdakwa dalam fit and proper test DGSBI serta agar tidak diperlakukan seperti kejadian dalam pemilihan Gubernur BI tahun 2003”, dan “bahwa pada saat acara pamitan NUNUN NURBAETIE d. mendengar ada yang menanyakan “Ini bukan proyek thank you”, artinya untuk memenangkan Terdakwa dalam pemilihan DGSBI tahun 2004 tidaklah gratis. Keberadaan Terdakwa di rumah saksi NUNUN NURBAETIE.D tersebut diperkuat dengan keterangan saksi LINI SUPARNI.
1.2. Fakta persidangan sesuai rekaman sidang.
15
a. Hamka Yandhu mengatakan: “saksi tidak tahu dimana rumah Nunun Nurbaeti. Saksi tidak pernah datang ke rumah di Jalan Cipete Raya. Tidak pernah datang bersama Endin Soefihara. Tidak pernah datang dengan Paskah Suzetta.” b. Paskah Suzetta mengatakan: ”Pada pemilihan DGS BI tidak pernah ada pertemuan dengan Miranda Goeltom”, dan “tidak pernah ada pertemuan di kediaman Nunun Nurbaeti”, dan “saksi tidak pernah bertemu dengan Nunun Nurbaeti pada tahun 2004. c. Endin Soefihara mengatakan: “saksi tidak pernah ada pertemuan dengan Miranda Goeltom sebelum maupun sesudah, dan tidak memilih Miranda Goeltom”, dan bahwa “tidak pernah ada pertemuan denga Paskah, Hamka dan Miranda Goeltom”, dan bahwa “saya tidak pernah bertemu dengan Nunun Nurbaeti dimanapun maupun dengan Miranda Goeltom menjelang pemilihan DGS BI, dan dengan paskah di kediaman Nunun Nurbaeti juga tidak ada.” d. Lini Suparni (pembantu rumah tangga Nunun Nurbaeti) mengatakan: “Terdakwa pernah datang ke rumah Nunun seingat saya 2 kali awal tahun 2004”, dan “Waktu terdakwa datang ke rumah Nunun 2 kali saya tidak tahu dalam rangka apa, yang pertama siang hari sekali setelah jam 12 lalu satu kali lagi malam hari waktu itu ada acara. Kalau yang siang hari tidak ada acara hanya ibu Miranda dengan ibu Nunun tidak ada yang lain”, dan “Waktu itu ibu Miranda datang sendiri ke rumah ibu Nunun”, dan “saya tidak tahu Ibu Miranda pernah melakukan pertemuan di rumah ibu Nunun”. e. Saya sebagai terdakwa mengatakan tidak pernah ada pertemuan di rumah ibu Nunun
1.3. Ketidaksesuaian argumentasi Jaksa Penuntut Umum dengan fakta sidang
16
Jelas bahwa fakta sidang membuktikan bahwa saksi Paskah Suzetta, Endin AJ Soefihara, Hamka Yandhu, dan juga terdakwa membantah pernyataan Nunun Nurbaeti mengenai adanya pertemuan di rumah Nunun Nurbaeti di Jalan Cipete Raya. Jelas bahwa fakta sidang membuktikan bahwa saksi Lini Suparni mengatakan keberadaan saya di rumah Nunun Nurbaeti tidak ada orang lain, berarti tidak memperkuat pernyataan Nunun Nurbaeti mengenai adanya pertemuan saya dengan ketiga saksi diatas.
1.4. Kesimpulan
Karena Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan pernyataan Nunun Nurbaeti itu sah secara hukum, karena adanya doktrin “unus testis, nullus testis”, atau “satu saksi bukanlah saksi”; maka dalam analisa yuridis, Jaksa Penuntut Umum memaksakan merubah fakta agar ada tambahan satu saksi lagi sehingga secara hukum menjadi alat bukti yang sah. Kata-kata yang dipakai Jaksa Penuntut Umum “keterangan mana diperkuat saksi Lini” sangat mengusik rasa kebenaran dan keadilan, karena jelas-jelas saksi Lini mengatakan bahwa pada siang hari hanya ada ibu Miranda dengan Ibu Nunun! Tidak ada yang lain! Jelas dan tegas jawabannya, tidak ragu, dan sesuai dengan BAP. Berarti, kesaksian saksi Lini tidak memperkuat kesaksian Ibu Nunun, dan berarti terbukti bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan adanya pertemuan di rumah ibu Nunun Nurbaeti antara terdakwa dengan ketiga anggota DPR diatas.
Terlebih lagi, jelas-jelas saksi Lini tidak bisa memastikan apakah yang dia maksud itu terjadi di kurun waktu akhir April – Juni 2004 yaitu di masa sejak diumumkannya nama saya sebagai calon DGS BI hingga dengan pelaksanaan fit and proper test di DPR, ataukah jauh sebelum waktu dimaksud bahkan sebelum ada pencalonan oleh Presiden (karena ia berkata awal 2004), yang berarti tidak berhubungan dengan pemilihan DGS BI sama sekali. Terlebih lagi saya sudah tegaskan di persidangan ini bahwa di tahun
17
2004, saya hanya mengunjungi rumah Ibu Nunun di bulan Oktober atau November, yaitu pada saat tarawikh.
Majelis Hakim yang Mulia, Jaksa Penuntut Umum yang saya hormati, Saya menjadi bertanya-tanya: “Apakah kata-kata “memperkuat” ini tidak disadari? Atau disadari, tetapi dipaksa dikaitkan dan disimpulkan demikian agar tujuan menuntut tercapai? Kalau begitu, apakah ada pemaksaan kehendak, yang memperkosa keadilan dengan mengkorupsikan informasi??
Saya serahkan dengan segala rendah hati dan penuh pengharapan kepada kebijakan Majelis Hakim yang Mulia mengenai pendapat akhir atas analisa yuridis yang tidak berdasar oleh Jaksa Penuntut Umum, dan yang sangat mengusik
prinsip
kebenaran,
kejujuran
dan
keadilan
dalam
mengungkapkan fakta yang sebenarnya.
Oleh karena itu, Majelis Hakim yang sangat saya muliakan, dengan segala hormat saya memohon agar Majelis Hakim mengabaikan analisa yang tidak berkesesuaian ini.
2. Keterangan saksi Agus Condro, dan bantahan saksi Tjahjo Kumolo dan saksi Emir Moeis
2.1 Fakta Hukum Menurut Jaksa Penuntut Umum (Surat Tuntutan butir 9 halaman 132) dan Analisa Yuridis (Surat Tuntutan hal 149). “Bahwa sesuai keterangan saksi AGUS CONDRO PRAYITNO, dalam rapat intern PDIP TJAHYO KUMOLO pernah menyampaikan untuk memilih
18
Terdakwa dalam pemilihan DGSBI tahun 2004, terdakwa bersedia membeirkan uang per orang sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) tetapi kalau diminta Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) Terdakwa tidak keberatan, keterangan mana diperkuat dengan keterangan saksi IZEDRIK EMIR MOEIS bahwa fraksi PDIP memerintahkan anggota Komisi IX untuk mensukseskan terpilihnya Terdakwa sebagai DGSBI. Keterangan saksi AGUS CONDRO PRAYITNO mengenai adanya arahan dari TJAYHO KUMOLO agar fraksi PDIP memenangkan atau memilih Terdakwa tersebut bersesuain dengan keterangan IZEDRIK EMIR MOEIS dan saksi yang meringankan Terdakwa yaitu TJAHYO KUMOLO.
2.2. Fakta Persidangan sesuai transkip persidangan
Saksi IZEDRIK EMIR MOEIS mengatakan bahwa tidak pernah dibicarakan mengenai pemberian uang sebesar 300 juta hingga 500 juta, dan tidak ada selentingan mengenai pemberian TC pada saat pertemuan di Hotel Darmawangsa. Mengenai pernyataan Agus Condro yang mengatakan Tjahyo Kumolo yang mengatakan sesuatu tentang duit khususnya bahwa ‘Miranda bersedia memberikan 300 juta hingga 500 juta”, kesaksian saksi Emir Moeis adalah sebagai berikut: “saya ini Ketua Poksi merangkap Ketua Komisi. Saya harus betul-betul alert bahkan saya biasanya bawa rekaman dan say rekam, tetapi karena sudah lama jadi ganti yang lain. Saya rekam itu, semua pembicaraan saya tahu apa yang dibicarakan, saya ingat pembicaraannya. Dan pak Tjahyo itu pasif orangnya. Tidak ada pernyataan dari Tjahyo Kumolo tentang “Miranda bersedia memberikan 300 juta, 500 juta kalau diminta.” Saya kan alert sekali, kalau itu sampai disebut oleh Pak Tjahyo, tentu akan berkembang didalam pertemuan tersebut. Bener-bener tidak ada.” Kesaksian Saksi Tjahyo Kumolo mengatakan sebagai berikut: “kata-kata “Miranda bersedia memberikan tiga ratus tapi kalau kita memintanya
19
lima ratus dia tidak berkeberatan” tidak pernah diucapkan didepan Agus Condro, karena dalam rapat poksi semua anggota hadir”; dan “saksi tidak pernah mengucapkan kata “Miranda bersedia memberikan tiga ratus tapi kalau kita memintanya lima ratus dia tidak keberatan” baik dan juga dalam bentuk formulasi lain.”
2.3. Ketidaksesuaian argumentasi Jaksa Penuntut Umum dengan fakta sidang
Jelas bahwa fakta sidang membuktikan bahwa saksi Emir Moeis, Tjahyo Kumolo, dan juga Dudie Makmun Murod (yang sengaja tidak disetir oleh Jaksa Penuntut Umum) membantah pernyataan Agus Condro mengenai kalimat “ajaib” tersebut. Dan oleh karenanya, Jaksa Penuntut Umum tidak diperbolehkan mengingkari fakta tersebut.
2.4. Kesimpulan
Jaksa Penuntut Umum jelas dan tak dapat disangkal, tidak dapat membuktikan pernyataan Agus Condro itu sah secara hukum, namun dalam analisa yuridis, Jaksa Penuntut Umum memaksakan mengkaitkan agar terbukti ada keterkaitan fakta. Padahal, analisa yuridis ini sangat tidak bertanggung jawab dan melabrak aturan hukum logika. Kata-kata yang dipakai Jaksa Penuntut Umum “keterangan mana diperkuat” seharusnya mengkaitkan dengan keterangan yang sama atau paling tidak mirip. Alur logikanya tidak berbeda seperti kalau kita akan membuktikan hukum Archimides mengenai bejana berhubungan, maka apabila di tabung yang satu cairannya adalah H2O, maka tidak mungkin di tabung lain cairannya adalah Mercury. Percayalah, tidak akan mengalir dan bersatu dan berhubungan. Sangat tidak berhubungan.
20
Majelis Hakim yang Mulia,
Saya benar-benar heran. Dalam hal ini Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi telah dengan sengaja tidak memeriksa Tjahyo Kumolo sebagai saksi kunci yang pernyataannya dikutip oleh Agus Condro
(yang
merupakan saksi a charge) yaitu bahwa Tjahyo Kumolo telah membuat suatu pernyataan bahwa :”Miranda bersedia memberikan 300 juta bahkan 500 juta jika diminta juga sanggup”.
Keterangan Agus Condro atas pernyataan Tjahyo Kumolo tadi telah digunakan oleh Penuntut Umum sebagai salah satu dasar dalam dakwaannya. Ini sangat saya sayangkan dan pastinya disayangkan semua masyarakat. Bagaimana mungkin penyidik KPK bisa tidak memeriksa Tjahjo Kumolo, padahal keterangan Agus Condro hanya mendasarkan pada pernyataan Tjahyo Kumolo. Hanya ada 2 kemungkinan yang terjadi pada saat itu. Kemungkinan pertama adalah penyidik KPK tidak menguasai teknik penyidikan yang profesional dan benar yang bertujuan semata mata mencari kebenaran
dan
mencari
pelaku
tindak
pidana
sebenarnya.
Atau
kemungkinan kedua adalah dengan sengaja men”set-up” alias “menjebak” saya dengan keterangan keterangan saksi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan karena saya sudah terlanjur ditetapkan sebagai Tersangka di KPK, yang notabene tidak memungkinkan untuk dihentikan penyidikannya. Kemudian saya lebih bertanya-tanya lagi: Apa hubungannya “keputusan fraksi yang didasarkan atas keputusan DPP PDIP” yang berdiri secara independen dan tidak diketahui terdakwa, dengan pernyataan Agus Condro yang jelas tidak terbukti?? Apabila analisa yuridis semacam ini dibenarkan dalam dunia hukum di Indonesia, mengapa seluruh anggota fraksi PDIP dan bahkan DPP PDIP tidak didakwa bersalah karena telah mengusulkan agar calon yang dipilih adalah Miranda, jauh hari sebelum rapat poksi tersebut?? Sungguh suatu analisa yuridis yang mengganggu kebanggaan profesional saya sebagai ilmuwan, meskipun saya bukan ahli hukum.
21
Oleh karena itu, Majelis Hakim yang sangat saya muliakan, dengan segala hormat saya memohon agar Majelis Hakim mengabaikan analisa yang tidak berkesesuaian ini, memperkosa nalar kebenaran, dan sangat terkesan dipaksakan.
3. Keterangan Fraksi TNI Polri yang tidak pernah menyatakan bahwa saya menyampaikan harapan agar masalah pribadi tidak ditanyakan.
3.1 Fakta Hukum Menurut Jaksa Penuntut Umum (Surat Tuntutan halaman 132 butir 7) dan Analisa Yuridis (Surat Tuntutan halaman 166)
Dalam Analisa Yuridis Surat Tuntutan halaman 166, Jaksa Penuntut Umum mengatakan bahwa berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka telah terungkap dipersidangan adanya fakta-fakta hukum sebagai berikut:
Bahwa sesuai dengan keterangan saksi Darsup Yusuf, Suyitno dan Udju Djuhaeri dan berkesesuaian dengan keterangan Terdakwa, sebelum fit and proper test calon DGSBI, Terdakwa melakukan pertemuan dengan fraksi TNI/POLRI di kantor Terdakwa Gedung Niaga Jl. Jend. Sudirman depan Ratu Plaza atas undangan Terdakwa, dimana Terdakwa menyampaikan harapan agar masalah pribadi Terdakwa tidak dipersoalkan dalam pelaksanaan fit and proper test calon DGSBI tahun 2004.
3.2 Fakta Persidangan sesuai transkrip rekaman sidang
Saksi Udju Djuhaeri dan Darsup Yusup pada saat ditanyakan oleh Majelis Hakim “apakah pernah Terdakwa kalau benar nih ya, kalau bisa jangan disinggung-singgung masalah pribadi waktu itu pada waktu pertemuan di Ratu Plaza?”, menjawab : “tidak ingat”
22
Saksi Suyitno pada saat ditanyakan “apakah ada pesan dari Terdakwa ketika itu supaya dalam pemilihan fit and proper test tidak dipertanyakan tentang keluarga?” menjawab: “secara oral terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada kami untuk tidak menanyakan, tetapi dari yang disampaikan kami bisa menangkap bahwa beliau berharap tidak diungkap”
Terdakwa pun dalam tanggapannya mengatakan bahwa tidak pernah minta atau mengajukan permintaan apapun kepada para saksi dari fraksi TNI POLRI.
3.3 Ketidaksesuaian argumentasi Jaksa Penuntut Umum dengan fakta persidangan
Berdasarkan hal tersebut maka jelas surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap saya tidak disusun berdasarkan bukti dan fakta yang terungkap di dalam persidangan. Dalam persidangan jelas bahwa para anggota DPR dari fraksi TNI Polri (Darsup Yusuf, Suyitno dan Udju Djuhaeri) menyatakan bahwa saya tidak pernah menyampaikan ataupun meminta agar masalah pribadi tidak ditanyakan pada saat fit and proper test tahun 2004.
3.4 Kesimpulan
Jaksa Penuntut Umum jelas dan tak dapat disangkal tidak dapat membuktikan tuntutannya yang menyatakan bahwa saya menyampaikan kepada fraksi TNI Polri agar tidak ditanyakan mengenai permasalahan keluarga. Jaksa Penuntut Umum begitu saja menyimpulkan tanpa mendasarkan pada fakta hukum yang terungkap di dalam persidangan. Padahal, analisa yuridis ini sangat tidak bertanggung jawab dan melabrak aturan hukum logika.
23
Oleh karena itu, Majelis Hakim yang sangat saya muliakan, dengan segala hormat saya memohon agar Majelis Hakim menolak tuntutan yang tidak berkesesuaian ini, yang sangat terkesan dipaksakan.
4. Keterangan Hamka Yandhu di persidangan mengenai tidak adanya hubungan TC BII dengan terpilihnya Miranda Swaray Goeltom diplintir oleh Jaksa Penuntut Umum.
4.1 Fakta Hukum Menurut Jaksa Penuntut Umum (Surat Tuntutan halaman 135, butir 20) dan analisa yuridis halaman 149) Jaksa Penuntut Umum mengatakan “bahwa sesuai keterangan saksi Agus Condro dan Hamka Yandhu menjelaskan bahwa TC BII yang diterimanya berhubungan dengan terpilihnya saya sebagai DGS BI tahun 2004. Hal ini sebagaimana dikuatkan dengan keterangan Izedrik Emir Moeis yang menduga pemberian TC BII tersebut berasal dari saya berkaitan dengan fit and proper test DGS BI
4.2 Fakta Persidangan sesuai transkrip rekaman sidang Dalam persidangan, Hamka Yandhu mengatakan: “Saya tidak tahu uang apa yang saya terima. Setelah ada pemberitaan, dan Agus Condro menceritakan ada aliran TC untuk pemilihan Gubernur, saya kembalikan uang itu….”. Kemudian saksi juga mengatakan “pada saat saksi menerima TC saksi belum mengetahui kalau TC itu ada kaitannya dengan pemilihan DGS BI”.
Dalam persidangan, Izedrik Emir Moeis tiga kali menjawab pertanyaan dari JPU dan Hakim yang berbeda. Ia mengatakan: “saya tidak tahu asal TC dari mana”; dan “saya menolak TC pada waktu itu karena saya tidak tahu dari mana”; dan “saya tahu pemberian TC itu untuk apa setelah jadi perkara”.
24
4.3 Ketidak sesuaian argumen Jaksa Penuntut Umum dengan persidangan
Berdasarkan hal tersebut jelas surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap saya tidak disusun berdasarkan bukti dan fakta yang terungkap di dalam persidangan. Saksi Hamka Yandhu secara tegas di dalam persidangan menyatakan bahwa dirinya tidak mengetahui uang apa yang diterimanya tersebut, begitupun juga dengan saksi Izedrik Emir Moeis.
4.4 Kesimpulan Berdasarkan hal tersebut jelas terlihat bahwa Jaksa Penuntut Umum telah memelintir fakta persidangan. Analisa yuridis ini sangat tidak bertanggung jawab dan melabrak aturan hukum logika dan kebenaran.
Majelis Hakim yang Mulia,
Ada dua hal yang membuat saya benar-benar terpana.
Pertama, sudah jelas bahwa didalam persidangan, Hamka Yandhu mengatakan tidak tahu apakah ada hubungannya TC dengan pemilihan DGS BI. Bahkan setelah melalui pertanyaan bertubi-tubi dari Hakim Ketua, saya masih ingat bahwa Hamka Yandhu dalam persidangan menyatakan tetap pada pernyataannya tersebut. Bagaimana mungkin Jaksa Penuntut Umum merubah pernyataan itu sedemikian rupa? Sengaja? Tidak sengaja? Wallahualam. Yang jelas, meski saya bukan ahli hukum, saya yakin bahwa fakta persidangan yang disembunyikan atau tidak dinyatakan sebenarnya adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum mencederai rasa keadilan, dan merusak kepercayaan akan kebenaran hukum.
Kedua, saya sungguh sulit mengerti dasar dari analisa yuridis Jaksa Penuntut Umum pada halaman 167 yang menyatakan: “Bahwa menurut
25
saksi HAMKA YANDHU, dalam rapat intern fraksi Golkar, PASKAH SUZETTA yang memerintahkan anggota Poksi komisi IX DPR RI untuk memilih Terdakwa sebagai DGSBI dan dalam pada saat salah satu peserta rapat ada yang nyeletuk (menanyakan) apakah untuk memilih Terdakwa ada dananya, kemudian dijawab PASKAH SUZETTA dengan kalimat “ya nanti ada
dalam
pengarahan
fraksi”,
selanjutnya
Hamka
Yandhu
juga
menerangkan bahwa kebiasaan di DPR pasti ada sesuatu atau dukungan dana atau amplop, tanpa itu mana mau anggota Komisi IX DPR RI memlih, artinya
bahwa dalam
mendukung Terdakwa tersebut
juga
ada
imbalannya yang akan disampaikan dalam pengarahan fraksi.” (yang dalam huruf tebal adalah kesimpulan Jaksa Penuntut Umum)
Apabila Jaksa Penuntut Umum dapat menerima pernyataan Hamka Yandhu yang mengatakan bahwa “kebiasaan di DPR pasti ada sesuatu atau dukungan dana atau amplop, tanpa itu mana mau anggota Komisi IX DPR memilih”, dan Jaksa Penuntut Umum menyimpulkan “artinya bahwa dalam mendukung Terdakwa tersebut juga ada imbalannya yang akan disampaikan dalam pengarahan fraksi”, maka logika corrolary dalam dunia ilmu pengetahuan akan menyimpulkan bahwa semua pemilihan yang dilakukan DPR, termasuk pemilihan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, ketua Mahkamah Agung, ketua Komisi Yudisial dan banyak lainnya, PASTI ADA SESUATU ATAU DUKUNGAN DANA ATAU AMPLOP.
Apakah itu maksud Jaksa Penuntut Umum dengan membuat kesimpulan yang demikian? Kalau bukan itu maksud Jaksa Penuntut Umum, maka menyimpulkan “artinya bahwa dalam mendukung Terdakwa pasti ada sesuatu atau dukungan dana atau amplop” menunjukkan inkonsistensi logika, dan mencederai alur pikir cendekiawan.
26
Kepada Majelis Hakim yang Mulia lah saya gantungkan harapan setinggitingginya, agar pengambilan kesimpulan yang tidak logis semacam ini tidak terjadi lagi dalam dunia hukum di Indonesia.
5. Tidak adanya Bukti bahwa Saya Mengetahui mengenai Pemberian TC.
5.1. Analisa Yuridis Menurut Jaksa Penuntut Umum (Surat Tuntutan halaman 175) Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa “pengetahuan Terdakwa mengenai adanya penyerahan TC BII oleh Nunun Nurbaetie melalui Arie Malangjudo tersebut telah terjawab berdasarkan keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan (ketting bewijs) maupun dengan alat bukti surat sebagaimana telah diuraikan dalam unsur “memberikan sesuatu” tersebut diatas”
5.2. Fakta persidangan berdasarkan transkrip rekaman sidang
Semua saksi (Hamka Yandhu, Paskah Suzetta, Dudhie Makmun Murod, Endin Sofihara, Ari Malangjudo, Tjahjo Kumolo, Izedrik Emir Moeis, Nunun Nurbaeti, Darsup Yusup, Suyitno dan Udju Djuhaeri) tidak pernah sama sekali menyebutkan bahwa TC diberikan atas perintah atau permintaan dari Terdakwa atau uang berasal dari saya, atau diketahui oleh saya.
Khusus mengenai asal uang hanya ada 1 saksi yaitu Agus Condro yang mengatakan demikian, namun pernyataan dari Agus Condro tersebut adalah keterangan yang didapatkan dari orang lain yaitu Tjahjo Kumolo (bukan dari saya). Namun, ketika dikonfirmasi kepada Tjahjo Kumolo, Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak pernah menyatakan hal tersebut, hal ini kemudian dikuatkan lagi oleh keterangan dari saksi Izedrik
27
Emir Moeis yang menyatakan bahwa dirinya tidak pernah mendengar Tjahjo Kumolo menyatakan hal tersebut.
5.3. Ketidak sesuaian argumen Jaksa Penuntut Umum dengan persidangan
Berdasarkan hal tersebut jelas terlihat bahwa Jaksa Penuntut Umum telah memaksakan kehendak agar memiliki landasan untuk menggunakan dalil ketting bewijs. Padahal, ketting (bahasa Belanda) berarti rantai dalam bahasa Indonesia. Apabila ingin membuat kaitan sehingga diperoleh ketting (rantai), maka paling sedikit harus ada dua obyek yang akan dikaitkan satu sama lain. Satu obyek bukanlah rantai! Oh, alangkah sendunya saya. Saya merasa terenyuh, membayangkan kecewanya para pemrakarsa dalil ini yang dengan nalar jernih dan niat murni membangun dalil tersebut dengan susah payah., tetapi disalah gunakan.
5.4. Kesimpulan
Majelis Hakim yang Mulia,
Ke lima pokok isu yang saya perbandingkan diatas yang menunjukkan ketidak sesuaian analisa yuridis dengan fakta persidangan maupun fakta lainnya ternyata masih merupakan sebagian saja dari begitu banyak ketidak sesuaian lainnya. Misalkan, betapa Jaksa Penuntut Umum bersikeras bahwa “Nunun banyak kenal dengan anggota DRP RI lebih-lebih yang orang Sunda (Surat Tuntutan halaman 155), tapi tidak pernah menyebut siapa nama-nama yang dikenal, dan Jaksa Penuntut Umum juga tidak berusaha bertanya siapa yang dikenal. Saksi-saksi yang dianggap Nunun dipertemukan dengan saya pun menyatakan di persidangan bahwa mereka tidak dekat dengan Nunun,
28
bahkan ada yang mengatakan tidak kenal dengan Nunun, karena mereka lebih mengenal dan menghormati Adang Daradjatun, suami ibu Nunun. Ironisnya, ibu Nunun bahkan mengatakan di persidangan bahwa undangan pertemuan tersebut tidak melibatkan Adang. Jadi bagaimana logikanya pernyataan itu disitir Jaksa Penuntut Umum untuk memperkuat argumentasinya?
Kemudian, sungguh mencengangkan bagi saya bagaimana Penyidik KPK dan Jaksa Penuntut Umum menggunakan dan memperdengarkan rekaman yang diambil oleh Agus Condro di stasion Gambir, yang oleh Majelis Hakim pun dinyatakan tidak ada relevansinya dengan permasalahan pemilihan DGS BI tahun 2004, dimana:
a. Agus Condro tidak mengalami sendiri apa yang diceritakan almarhum Bambang Pranoto, sehingga tidak ada nilai bukti hukum dari testimoni almarhum karena tidak dapat diverifikasi kebenarannya. b. Jaksa Penuntut Umum maupun penyidik tidak melakukan verifikasi terhadap rekanan terkait dengan apakah itu benar suara Almarhum Bambang Pranoto berdasarkan keterangan ahli analisa gelombang suara, tetapi langsung mempercayai keterangan saudara Agus Condro dan temannya Nursuhud. Jelas ini tidak dapat diyakini kebenarannya. c. Keterangan Bambang Pranoto tersebut yang ada dalam rekaman suara pun masih harus diuji kebenarannya di depan persidangan di bawah sumpah agar bisa dipakai sebagai fakta yang memperkuat tuduhan.
Keanehan lainnya adalah bagaimana Jaksa Penuntut Umum secara sengaja (deliberately) tidak konsisten dalam membangun (build up) keyakinannya akan kebenaran. Misalnya: Disatu pihak, keterangan Nunun
mengenai
pertemuan di Cipete Raya dipercaya oleh Jaksa Penuntut Umum sementara bantahan semua nama yang dilibatkan diabaikan oleh Jaksa Penuntut Umum; namun dilain pihak Jaksa Penuntut Umum tidak percaya keterangan Nunun dibanding keterangan Arie Malangyudo dan Ngatiran.
29
Demikian pula dengan keterangan Nunun Nurbaeti dan Paskah Suzetta yang mengatakan pertemuan di Café d’Lounge adalah sekitar akhir 2005 setelah Paskah Suzetta menjadi Menteri Ketua Bappenas, namun oleh Jaksa Penuntut Umum keterangan tersebut dipakai dalil untuk mengatakan ada pertemuan antara kedua orang tersebut membicarakan dukungan pemilihan saya sebagai DGS BI tahun 2004. Sungguh sulit mengekspresikan ketidak percayaan saya terhadap cara dan logika pembuktian yang sangat tidak masuk akal ini, yang tempus nya terbalik tetapi kesimpulannya dianggap tidak terbalik. Apakah berlaku surut?
Selain itu, ada yang mengoyak rasa bangga saya sebagai ilmuwan, dan saya percaya juga akan dirasakan oleh banyak ilmuwan lainnya, yakni betapa keterangan saksi ahli seperti Prof. Burhan Magenda M.A., Ph.D – ahli ilmu politik dan bekas anggota DPR komisi I, serta Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa SH. MH. ahli Hukum Tatanegara, yang curriculum vitaenya begitu mengesankan, yang kredibilitas dan kapasitasnya diakui dunia, yang pengalamannya sangat beragam dan relevan dengan isu yang ingin diuji kepatutan dan kebenarannya dalam persidangan ini, kok bisa dengan ringan dinyatakan
oleh
Jaksa
Penuntut
Umum
sebagai
“tidak
dapat
dipertimbangkan kesaksiannya karena tidak sesuai dengan bidangnya”?? Saya sungguh sulit mengerti.
Majelis Hakim yang Mulia dan hadirin yang berbahagia.
Jelas dan terang, penyembunyian fakta persidangan tersebut telah menyesatkan dan menciderai proses penegakan hukum dan melukai rasa keadilan karena sudah menempatkan saya seakan-akan sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap suatu perbuatan yang tidak pernah saya ketahui dan tidak pernah saya lakukan.
30
Dengan penyesatan fakta tersebut, dibangun argumentasi seakan-akan saya telah melakukan perbuatan secara bersama-sama atau menganjurkan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor sebagaimana dakwaan dan tuntutan Penuntut Umum.
Jelas dan terang bahwa Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dan Penuntut Umum telah dengan tanpa dasar mengubah kedudukan saya dari semula adalah Obyek pemilihan DGS 2004 menjadi subyek hukum dalam Tindak Pidana Penyuapan atau pemberian hadiah.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Bahwa seharusnya sesuai dengan sistem pembuktian, penegakan hukum sangat
tergantung
dengan
mengungkapkan seluruh
keberhasilan
proses
pengadilan
untuk
fakta yang terkait dengan dakwaan Penuntut
Umum baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan saya.
Pengungkapan fakta tersebut dalam persidangan sesungguhnya merupakan proses rekonstruksi dari perbuatan yang didakwakan Penuntut Umum sehingga perbuatan tersebut menjadi terang dan dapat dilihat secara utuh dan lengkap oleh semua pihak khususnya bagi Majelis Hakim yang kami muliakan agar dapat melakukan penilaian yang sesungguhnya secara hukum apakah dakwaan Penuntut Umum dapat dibuktikan dan merupakan perbuatan
secara
bersama-sama
atau
menganjurkan
tindak
pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor yang menjadi tanggung jawab saya.
Bahwa berdasarkan fakta persidangan tidak ada satupun saksi yang berhubungan atau berkaitan dengan saya sehubungan degan adanya pemberian TC kepada anggota DPR Komisi IX. Oleh karenanya saya mohon dan saya yakin Majelis Hakim tidak akan menjatuhi hukuman terhadap orang
31
tidak bersalah, agar kejadian seperti Sengkon dan Karta atau pasangan Risman dan Rostin di Gorontalo tidak terulang lagi dimana orang tidak bersalah kemudian telah dijatuhi hukuman.
Untuk dapat menghindari adanya kesalah Vonis dari hakim dan agar mencapai tujuan tersebut, saya mengharapkan Majelis Hakim yang mulia dapat menggunakan fakta yang terungkap dimuka persidangan yang memenuhi syarat sebagai alat bukti yang sah sesuai ketentuan hukum.
Saya sangat mendambakan kiranya Majelis Hakim dapat mempertahankan sikap yang murni adil serta obyektif sehingga keputusan yang ditetapkan dapat memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, baik untuk Penuntut Umum maupun bagi saya sebagai saya.
Harapan ini sangat beralasan dikarenakan baru pertama kali ini terjadi seorang yang tidak menngetahui suatu perbuatan dam yang tadinya adalah sebagai suatu obyek dalampemilihan DGS BI kemudian dijadikan tersangka dan dituntut melakukan pidana tanpa suatu alat bukti yang sah.
Majelis Hakim yang mulia,
Konstitusi kita secara tegas menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, dalam artian bahwa segala pelaksanaan kekuasaan penyelenggaraan
negara
oleh
organ-organ
negara
dilaksanakan
berdasarkan hukum, hal ini bertujuan untuk memberikan batasan dan pedoman bahwa pelaksanaan kekuasaan dan kedaulatan rakyat yang dilakukan negara adalah sesuai dengan tujuan-tujuan bernegara melindungi segenap bangsa
yaitu
dan rakyat Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia sebagaimana tercatum dalam Pembukaan UUD 1945.
Perlindungan terhadap segenap rakyat Indonesia terutama adalah adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi/dasar manusia yang diantaranya
32
adalah untuk mendapatkan keadilan dari Negara secara sama dimuka hukum.
Realita penegakan hukum yang tidak dilaksanakan dengan memperhatikan KUHAP secara konsekuen, bukan hanya tidak adil namun lebih dari itu terlihat adanya manipulasi hanya untuk menyenangkan pihak-pihak tertentu yang diatasnamakan masyarakat yang pada akhirnya mencederai rasa kemanusiaan yang bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan.
Majelis Hakim yang Mulia,
Berdasarkan uraian yang telah saya sampaikan, dan sesuai dengan proses persidangan yang telah berlangsung selama ini baik dalam pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terhadap alat-alat bukti yang lain serta fakta-fakta yang timbul dalam persidangan, maka saya berkesimpulan bahwa seluruh unsur Dakwaan dan Tuntutan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah TIDAK TERBUKTI.
33
Majelis Hakim Mulia,
Diakhir masa pengabdian saya yang sudah lebih dari
40 tahun
membaktikan diri kepada bangsa dan Negara baik sebagai pengajar yang telah menghasilkan begitu banyak sarjana, S 2 dan Doktor, serta sebagai Deputi Gubernur dan DGS Bank Indonesia dengan penuh dedikasi dan integritas, ternyata bukan penghargaan yang saya terima tetapi justru perlakukan yang tidak manusiawi yang saya terima. Saya dimasukkan kedalam PENJARA seperti manusia yang hina dina, seperti manusia kriminal penjahat yang berbahaya untuk suatu perbuatan yang tidak pernah saya lakukan. Perlakuan tersebut sungguh sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sejak saya usia sekolah, sejak saya mengenal dunia ini hingga sampai saat ini saya diperlakukan seperti ini, dituduh melakukan sesuatu, dipenjarakan, didudukkan sebagai terdakwa dan dituntut untuk dipenjarakan 4 tahun lamanya terhadap sesuatu yang tidak pernah dapat dibuktikan oleh Penuntut Umum. Bagai mimpi namun nyata. …. Rasanya saya tidak percaya jika Penuntut Umum menutup telinga dan mata hatinya. Walau pedih hati ini tetapi sebagai manusia yang percaya akan kuasa Allah yang Maha Adil dan Maha Benar, saya menerima semua perlakuan ini dengan lapang dada, karena pasti Tuhan akan membukakan pintu Keadilan yang seADIL-ADILNYA bagi saya.
Selama ini saya merasa sudah sangat cukup sabar, dari mulai terlontarnya pernyataan Agus Condro di media pada tahun 2008, hingga penetapan sebagai Tersangka yang mencederai kepatutan karena telah diumumkan sebelum ada surat perintah penyidikan, hingga penahanan tanpa memenuhi ke tiga syarat penahanan. Meski saya telah dihukum melalui pemberitaan
34
media yang tidak berimbang, saya menolak cara-cara yang sering digunakan oleh begitu banyak orang, yakni dengan melakukan program ‘image building’ melalui media atau dengan menggunakan organisasi tertentu. Mengapa? Karena saya percaya sepenuh-penuhnya, bahwa persidangan akan membuka dan menguak seluruh informasi yang selama ini sengaja atau tidak sengaja diplesetkan untuk menghukum saya melalui ‘opini publik’. Saya tetap tegar, tetap melakukan kegiatan sehari-hari saya, karena saya merasa tidak ada yang perlu saya tutupi dan saya tidak perlu malu terhadap berbagai tuduhan, karena saya yakin dan percaya dakwaan terhadap saya tidak akan terbukti, baik melalui metode pembuktian langsung ataupun pembuktian terbalik ataupun pembuktian berantai.
Majelis Hakim Yang Mulia,
Dengan keyakinan seperti itulah saya mengikuti semua proses penguakan tabir pemberi Travellers Cheques BII ini dengan baik dan patuh. Tidak pernah sekalipun saya mangkir atau beralasan tidak hadir pada saat dipanggil berpuluh kali sebagai saksi dari puluhan terdakwa anggota-anggota DPR dan Ibu Nunun Nurbaeti. Saat dipanggil sebagai tersangka, saya datang dengan kepala tegak, dan tanpa mempersiapkan apa-apa, karena saya yakin bahwa setelah pemeriksaan, saya akan pulang kerumah. Meski kenyataannya tidak demikian dan saya langsung ditahan, saya tetap tabah, tegar, sabar, dan yakin. Mengapa? Karena saya yakin bahwa kebenaran akan terkuak. Karena saya yakin dan percaya, dan sangat dikuatkan dan dihibur oleh Firman Allah dalam Roma 12:12, “Bersukacitalah dalam pengharapan, bersabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa”. Saya tetap tegar, Karena saya yakin, bahwa pengadilan Tipikor adalah PANGLIMA KEADILAN, bukan Algojo Penghukuman.
Majelis Hakim yang saya muliakan, Hadirin yang berbahagia,
35
Saya mengikuti persidangan dengan keyakinan bahwa tugas Jaksa Penuntut Umum lah untuk menuntut berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, serta barang bukti lainnya yang sah secara hukum.
Apakah berlebihan apabila saya merasa begitu terhenyak, serasa mimpi, saat
Jaksa
Penuntut
Umum
menyampaikan
tuntutannya
dengan
berlandaskan fakta sidang yang ‘dimiskinkan’, yang diingkari, yang dihilangkan, dan yang dibalikkan??
Secercah harapan kemudian muncul terhadap Majelis Hakim yang mulia, yang memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan keadilan. yang demikian besar kuasanya, yang memiliki kekuasaan mutlak yang dapat menangkap manusia dan memasukkannya kedalam penjara, atau bahkan menentukan umur manusia dengan menjatuhkan vonis mati baginya; Majelis Hakim Yang Mulia yang dengan kekuasaannya, menjadi manusia yang paling berkuasa dimuka bumi ini melebihi kekuasaan apapun kecuali kekuasaan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa;
Majelis Hakim yang
memiliki sifat yang sesuai dengan arti kata Hakim yaitu adil dan bijaksana, yang merupakan manusia pilihan yang dengan “menggunakan” nama Tuhan yaitu “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”, untuk menjatuhkan hukuman kepada manusia yang bersalah dan membebaskan dari hukuman terhadap manusia yang tidak bersalah.. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan YME, bahwa saya
diadili oleh
Pengadilan yang dipimpin oleh Majelis Hakim yang mulia dengan Hakim Ketua yang amat sangat bijaksana, yang saya yakin akan dapat memegang teguh keadilan sebagai sesuatu yang tidak dapat dilihat, tapi dapat dirasakan dan diberlakukan secara abadi; yang bukan sekedar
buah fikiran atau
rekaan manusia semata, melainkan sesuatu yang datang dari rabaan hati nurani yang penuh keberanian menegakkan kebenaran yang hakiki yang didasari kecintaan kita pada keadilan dan kebenaran, karena adanya rasa takut pada diri kita masing-masing terhadap derita ketidakadilan.
36
Saya bersyukur dan memanjatkan doa penuh iman akan suatu keadilan, karena “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1).
Seperti kata Marthin Luther King Jr (1929-1968), pahlawan keadilan yang memperjuangkan kesetaraan rasial di Amerika: “Injustice anywhere is a threat to justice everywhere” Memang benar adanya. “Ketidak adilan dimanapun juga merupakan ancaman bagi keadilan dimana saja”
Saya tetap yakin bahwa kebenaran akan terkuak. Setiap hari di dalam rumah tahanan yang sunyi sepi, saya berulang kali membaca Alkitab, kidung Mazmur 106:3 “Blessed are those who keep justice, and he who does righteousness at all times.” Itulah doa saya bagi para Majelis Hakim yang berbahagia dan diberkati karena berpegang pada hukum, yang melakukan keadilan di segala waktu.
Saya semakin dikuatkan saat menerima ayat dari Surat an-Nisa: 58 (4:58) dari
anak-anak
saya:
“Sesungguhnya
menyampaikan amanat kepada
Allah
menyuruh
yang berhak menerimanya,
kamu dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Majelis Hakim Yang Mulia,
Perkenankanlah saya memohon dengan kerendahan hati, tunjukkanlah dan katakanlah kepada kami yang benar itu benar, yang salah itu salah. Tunjukkanlah bahwa keadilan itu ada di bumi pertiwi ini.
Seandainya saya memang mengetahui atau memerintahkan pemberian Travellers Cheques, saya tidak mungkin bersikap demikian tenang ditengah
37
hiruk pikuk tudingan dan bahkan pengadilan oleh media dalam kurun waktu yang demikian panjangnya, lebih dari empat tahun. Seandainya saya tahu, yakinlah bahwa saya pasti akan mengaku dan memberi tahu yang sebenarbenarnya. Tetapi karena saya tidak tahu, apakah saya harus mengatakan sesuatu yang saya tidak ketahui? Karena saya terus terang berkata tidak tahu, apakah pantas Jaksa Penuntut Umum menggunakan itu sebagai dasar beberapa hal yang memberatkan saya dalam tuntutan, yakni:”karena terdakwa dianggap tidak terus terang”, sementara persidangan yang dihadiri oleh
umum
dan
diliput
dan
direkam
secara
elektronik
jelas-jelas
menunjukkan ketidak tahuan saya sebagaimana disampaikan oleh saksisaksi yang dihadirkan sendiri
oleh Jaksa Penuntut Umum, yang semula
tentunya dimaksudkan untuk memberatkan saya tetapi justru memberikan keterangan yang secara tegas menunjukkan ketidak terlibatan saya dalam segala sesuatu yang terkait dengan pemberian Travellers Chequeus tersebut.
Majelis Hakim yang Mulia,
Adalah kenyataan bahwa ada penerimaan Travellers Cheques oleh beberapa anggota komisi IX DPR RI. Adalah kenyataan bahwa saya dicalonkan sebagai salah satu calon DGS BI. Adalah kenyataan saya diundang dan mengundang bertemu dengan dua fraksi DPR RI. Adalah kenyataan bahwa saya mengikuti proses fit and proper test. Adalah kenyataan bahwa saya terpilih secara mayoritas. Adalah kenyataan bahwa saya merupakan calon yang paling senior dan memiliki kredensial dan pengalaman yang paling lengkap dan teruji secara internasional. Namun, fakta-fakta tersebut tidaklah serta merta dapat menjadikan saya bersalah dalam perkara ini.
Ibarat Mohammad Ali bertanding melawan Joe Frazier dimana ada penonton yang bertaruh siapa yang akan menjadi pemenang, kemudian yang bertaruh tertangkap dan diperiksa oleh polisi, kemudian dihadapkan ke muka
38
persidangan, apakah Mohamad Ali atau Joe Frazier yang menjadi obyek taruhan, kemudian dapat dipersalahkan atau ikut dipersalahkan sebagai subyek yang bertanggung jawab terhadap perbuatan penonton yang bertaruh?? Tidak masuk akal kan???
Majelis Hakim yang terhormat,
Keseluruhan paparan saya diatas membawa saya kebagian akhir dari pembelaan saya, yakni menerangkan judul dari pembelaan saya ini. Saya memberi judul “MENGAPA SAYA HARUS DISIDANG?”. Pemilihan judul itu bukan tanpa alasan, tetapi mencerminkan jeritan hati saya. Sejak awal ditetapkan sebagai tersangka, pertanyaan timbul “mengapa saya jadi tersangka”. Kemudian saya sangat berharap bahwa hal itu akan terjawab melalui pemeriksaan saya oleh penyidik. Saya berharap diperlihatkan buktibukti yang bisa menjawab keingin tahuan saya. Ternyata tidak ada bukti apapun yang ditunjukkan oleh penyidik, kecuali satu bon yang saya tandatangani senilai Rp 1,36 juta untuk membayar minuman dalam pertemuan dengan fraksi PDIP di Dharmawangsa sejumlah 15 orang, yang berarti membiayai sekitar Rp 80.000 per orang, yang saya rasa kurang patut untuk ditagih sebagai urunan tunai dari yang hadir, karena bon itupun baru akan ditagih kepada saya sebagai member club Bimasena pada akhir bulan? Oleh karena itu, saya yakin dan masih berharap akan memperoleh SKP2 (penghentian penuntutan), karena katanya di KPK tidak ada SP3 (penghentian penyidikan). Ternyata perkara saya ini masih terus dilanjutkan ke persidangan. Dengan hati besar dan lapang dada, saya ikuti proses persidangan dengan penuh harapan bahwa pertanyaan itu akan terjawab dari pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum di sidang yang terhormat ini. Ternyata juga tidak! Namun, saya tetap dituntut dengan tuntutan yang mengerikan, empat tahun, yang tidak berdasarkan bukti sidang atau bukti lainnya.
39
Namun saya lega, karena tuntutan yang demikian menurut buku-buku yang saya pelajari tidak akan dikabulkan oleh Majelis Hakim yang Mulia. Saya lega, karena dalam memutus perkara ini, saya yakin majelis Hakim akan bersikap bijak dan benar dan adil, karena keadilan tertinggi adalah keadilan yang didasarkan pada hati nurani, sebagaimana pendapat Mahatma Gandhi, “there is a higher court than courts of justice and that is the court of conscience. It supersedes all other courts”, yang terjemahannya adalah “diatas Pengadilan masih terdapat Pengadilan yang lebih tinggi yaitu Pengadilan Hati Nurani. Pengadilan ini lebih mulia dan menggantikan semua pengadilan lainnya.”
Majelis Hakim yang saya Muliakan,
Sejarah kini mengetuk pintu hati nurani Yang Mulia dan memberi kesempatan kepada Majelis, untuk berani mengambil keputusan yang didasarkan pada rasa keadilan yang hakiki, sehingga dapat menggoreskan tinta emas dalam tonggak sejarah perjalanan bangsa bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk berani membebaskan terdaksa yang secara nyata tidak terbukti dan tidak tahu menahu mengenai adanya pemberian Travellers Cheques kepada anggota Komisi IX DPR RI 2004-2009, karena hal tersebut pada hakikatnya merupakan suatu kemenangan bagi semua penegak hukum, dengan berhasil menegakkan harkat, martabat dan kehormatan manusia yang lebih takut kepada nilai-nilai keadilan itu sendiri; dan bukan takut terhadap apapun lainnya.
Akhir kata, Kiranya Tuhan Yang Maha Esa menyertai Majelis Yang Mulia, dan semoga Tuhan Memberkati dan memberikan kekuatan dan petunjuk sehingga Majelis Hakim dapat melihat dan
menilai dengan jernih
berdasarkan hati nurani yang bersih, dan dengan memperhatikan keterangan dan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan.
40
Karena itu, dengan segala kerendahan hati saya memohon agar Majelis Hakim Yang Mulia dapat mengambil keputusan dengan pertimbangan hukum dan hati nurani, dengan putusan yang amarnya berbunyi : - Menyatakan seluruh dakwaan dan tuntutan hukum Penuntut Umum tidak terbukti; - Menolak seluruh dakwaan dan tuntutan hukum Penuntut Umum; - Membebaskan Saya dari segala dakwaan dan tuntutan hukum (vrij spraak); - Memulihkan
nama baik saya
dan
Mengembalikan
martabat
dan
kedudukan saya dimasyarakat dengan merehabilitir nama baik saya. Sebagai penutup Nota Pembelaan saya ini, sekali lagi saya menyampaikan terimakasih kepada Majelis Hakim Yang Mulia yang dengan penuh kesabaran telah mendengarkan Nota Pembelaan saya ini yang merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan dari Nota Pembelaan yang diajukan oleh Penasehat Hukum saya, serta kepada seluruh Hadirin dan masyarakat yang dengan penuh perhatian mengikuti jalannya pemeriksaan perkara ini, serta kepada Penasehat Hukum yang telah
mencurahkan
segala
dayanya
untuk
membantu
saya
dalam
melaksanakan proses persidangan ini. Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya akhiri Nota Pembelaan ini, dengan suatu keyakinan bahwa Majelis Hakim Yang Mulia akan memberikan keputusan yang seadil-adilnya dengan mendasarkan keputusan tersebut hanya kepada fakta materiel yang terungkap di persidangan dan rasa takut hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan amanahnya untuk menjatuhkan Putusan yang seadil-adilnya agar Keadilan dapat ditemukan. “Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh”.
41
Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan kekuatan dan kedamaian kepada kita semua. Terima kasih.
Jakarta, 17 September 2012 Salam Hormat Saya,
Prof. Miranda Swaray Goeltom, S.E., M.A., Ph.D
42