MEMBENTUK KEPRIBADIAN ISLAM “Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia. Kalian menyuruh yang maruf dan mencegah kemungkaran. Dan kalian beriman kepada Allah.” (Q.S. AL Imran:110) Demikian firman Allah, yang seharusnya diusahakan oleh ummat Islam perwujudannya, yakni menjadi ummat terbaik, ummat terunggul. Berkemampuan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Tapi, faktanya sekarang ini masih jauh dari harapan. Tanpa menutup mata terhadap gejala kebangkitan di sana-sini yang mulai nampak, secara umum nasib ummat Islam tidak menggembirakan. Ummat dan negeri-negeri Islam, sama sekali tidak berdaya menyelesaikan problemanya sendiri. Kaum muslimin -- apapun motifnya -- kenyataannya harus minta tolong orang lain untuk menugurus dan menyelesaikan rumah tangganya sendiri. Mengapa itu dapat terjadi ? Padahal Rasulullah jauh-jauh sudah menandaskan, ”Islam adalah tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam.” Atau justru gambaran yang diberikan Rasulullah SAW, akan datangnya suatu masa di mana ummat Islam laksana makanan yang dijadikan rebutan orang-orang kelaparan, sudah terbukti ? Wallahu A’lam. Tapi jika beanr, gejala penyebab yang telah melanda ummat yaitu, cinta dunia dan takut mati. Kenyataan lain, ummat selama ini merindukan pemimpin yang besar dan tangguh. Lihatlah, betapa ummat menyambut antusias tatkala ada kabar bahwa ada orang “besar” masuk Islam. Saat hal itu terdengar, kontan ummat Islam melupakan dosadosa orang itu kepada ummat Islam sebelumnya. Berubah menjadi harapan, bahwa ia mau dijadikan panutan dan harapan perbaikan. Haruskah munculnya pribadi-pribadi besar itu ditunggu saja. Tidak mungkinkah ia ditumbuhkan dari kalangan ummat Islam itu sendiri. Mengapa tidak ? Ummat Islam pernah melahirkan orang-orang sekaliber Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khathab, Ali r.a., Shalahudin Al Ayyubi, Imam Syafi’i, Al Bainuri, Hasan Al Banna. Di Indonesia pun pernah muncul sosok-sosok pribadi yang mengagumkan. Baik kawan maupun lawan segan padanya. Tengoklah kebesaran pribadi Wali Songo, Hasyim As’ari, atau Hamka, dan ribuan pribadi lain yang tak mungkin disebut di sini. Mengapa sejarah telah memunculkan mereka. Sementara kini ummat setengah mati merindukan orang-orang macam itu. Yang jelas, mereka tidak muncul begitu saja. Dengan kata lain, potensi dan proses perjalanan hidup telah menempa mereka. Jadi, keduanya -- potensi dan pengembangan -- diperlukan untuk membentuk ‘sosok pribadi tangguh’. Pepatah mengatakan, seorang pemimpin memang tidak bisa dibuat, apalagi dikarbit. Tapi, ia mesti muncul dari proses yang panjang, melalui latihan-latihan dan penempaan diri, dalam arena kehidupan. Harapan akan tinggal harapan, jika tidak ada upaya melakukan langkah nyata: membentuk sebuah sistem yang kondusif dan usaha yang terus menerus demi
146
147
lahirnya sosok-sosok pemimpin ummat di masa datang. Padahal kita tahu ada peluang untuk itu.
147
Pengertian Syakhshiyyah (Keperibadian) Kepribadian mirip sebuah energi; sesuatu yang abstrak. Orang hanya dapat menilai “dampak” yang ditimbulkannya. Di sinilah titik kemungkinan orang berbeda dalam mendefinisikan makna “pribadi”. Ada yang menganggap, pribadi (kepribadian) adalah suatu sifat yang khas yang dimiliki oleh seseorang, yang dengan itu ia menjadi sosok yang khas, berbeda dari yang lainnya. Itu yang sering dikatakan sebagai watak atau karakter. Misalnya, watak keras, lemah lembut, dan kompromis. Watak, sesungguhnya tidak menunjukkan tinggi rendahnya pribadi seseorang. Orang Batak yang terkenal dengan sifat kerasnya tidak menjadi lebih rendah nilai kepribadiannya dibanding dengan orang Jawa yang lemah lembut. Watak keras Umar bin Khathab tidak menjadikannya lebih rendah dibandingkan Utsman bin Affan, yang dikenal lembut. Watak, memang lain dengan pribadi. watak adalah potendi dasar yang akan turut mewarnai pembentukkan kepribadian. Demikian juga sifat-sifat yang menonjol pada diri seseorang, semacam sifat teratur, rajin, hemat, telaten, jujur, hipokrit, pengacau, sombong dan lain-lain; tidak bisa dikatakan sebagai pribadi. Sebab sifatsifat tersebut hasil bentukkan dari sebuah pribadi. Ini hanyalah sebuah gejala, bukan asas. Pribadi pada dasarnya hasil bentukan antara unsur utama dalam diri manusia. Yaitu, unsur pemikiran atau pola pikir (aqliyyah) dan sikap kejiwaan (nafsiyah). Kualitas serta corak pemikiran serta kejiwaan seseorang, menentukan ketinggian syakhshiyyah (pribadi) seseorang. Karena itu pribadi manusia tidak ada hubungannya dengan penampilan fisik seseorang, Kecantikan atau ketidakcantikan perempuan tidak ada hubungannya tinggi rendah pribadinya. Seorang manusia saat akan melakukan suatu perbuatan, pasti melakukan pertimbangan walau sesingkat apapun. Maka setiap tingkah laku (suluk)-nya, sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup, terikat erat dengan pemahaman tentang hidup dan realita yang dihadapinya. Ambillah contoh, saat seseorang dalam keadaan lapar, lalu ia menjumpai sesuatu. Pemahaman dan realita -yang ditunjukkan melalui indranya (misalnya, ia faham bahwa sesuatu itu makanan)akan mendorongnya melakukan tindakan mendekati makanan itu. Tapi ia sangat bergantung pada “pemahaman tentang hidup”-ditunjukkan melalui tata nilai yang dianutnya- yang ada pada dirinya. Jika ia seorang muslim -yang menganut asas halal haram- maka ia akan mepertimbangkan, apakah makanan itu halal atau haram. Seenak apapun makanan itu, jika termasuk makanan haram, akan ia tolak. Itu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia. Ada faktor lain, yang sangat fundamental / mendasar dalan kehidupan manusia, yaitu soal pembentukan persepsi atau pola pikir. Masalah ini memang sangat penting. Salah persepsi bisa berakibat fatal. Sebab, itu akan berujung pada keyakinan yang salah. Ambillah contoh, seorang muslim yang menerima ide atau informasi, bahwa kepesatan perkembangan teknologi dalam masyarakat, tak mungkin lagi mampu diikuti oleh hukum-hukum Islam, sehingga Islam akan tercecer dalam kehidupan. Sehingga, ia harus ditinggalkan, sebab dinilai kuno, dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Atau, kalau mau dipakai, harus dilakukan reaktualisasi. hukum disesuaikan . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
dengan kondisi dan situasi masyarakat. Demikian juga ide-ide atau pemikiran lain, semacam sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), hedonisme, liberalisme, hak asasi manusia, emansipasi, dan lain sebagainya. Jadi, dua unsur - nafsiyah dan aqliyah - manusia itulah yang membentuk kepribadian seseorang. Nafsiyah adalah suatu cara bagaimana seseorang memenuhi kebutuhannya yang berdasar pada kaidah tertentu. Dan aqliyah adalah bagaimana seseorang berfikir - yaitu memadukan antara informasi dan fakta berdasarakan suatu kaidah tertentu. Kaidah itulah yang disebut dengan aqidah, yang akan mendasari pembentukan syakhshiyah pada seseorang. Kepribadian Islam Syakhshiyah Islamiyah (kepribadian Islam) dibentuk oleh aqliyah Islamiyah (pola pikir Islam) dan nafsiyah Islamiyah (sikap jiwa Islami). Artinya, seseorang dikatakan memiliki berkepribadian Islami, jika dalam dirinya terbentuk aqliyah dan nafsiyah yang Islami. Dikatakan memiliki aqliyah Islamiyah, jika ia berfikir secara Islami. Setiap ide atau informasi yang ia terima, di-qiyas-kan atau distandarisasi dengan aqidah dan pemikiran-pemikiran Islam. Dan ia dikatakan memiliki nafsiyah Islamiyah, disaat muncul kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, ia pertimbangkan dengan landasan aqidah Islam. Tidak begitu saja lepas kontrol, atau memakai alat pertimbangan lain, berupa ide-ide yang tidak Islami. Oleh karena itu, aqidah Islam menjadi dasar pembentukan syakhshiyah Islamiyah. Prosesnya, seseorang yang telah memiliki aqidah Islam -- tentu melalui pemahaman, bukan sekedar taqlid buta-- selanjutnya akan memfungsikan aqidah itu dalam pembentukan aqliyah dan nafsiyahnya. Caranya, setiap ia mendapat ide atau informasi, ia akan mengukurnya dengan aqidah Islam. Demikian juga kala ia terdorong untuk melakukan suatu perbuatan, demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohya, di saat ia mendapat pemikiran, bahwa ada kebolehan membungakan uang, asalkan untuk menolong rakyat, bukan untuk menjerat leher, atau bunga pinjaman bersifat produktif, bukan konsumtif. Kemudian ia mengecek dan menstandarisasikannya dengan dalil-dalil atau nash yang ada, maka berarti ia memiliki aqliyah Islamiyah. Tapi, jika kemudian menggunakan dasar pemikiran, bahwa di situ ada keuntungan yang dapat diambil, sehingga boleh dijalankan, berarti dia berfikir tidak Islami. Jika hal-hal seperti itu menjadi kebiasaan sehari-hari, berarti ia tidak memiliki pola pikir Islam (aqliyah Islamiyah). Contoh nafsiyah Islamiyah, seseorang mempunyai potensi internal berupa dorongan seksual (dawafi’ul jinsiyah). Suatu saat gharizahnya bangkit dan menuntut pemuasan. Jika pada saat itu hukum-hukum Islam masih menjadi pertimbangan untuk melakukan suatu tindakan, maka berarti di dalam dirinya masih ada sikap jiwa Islam (nafsiyah Islamiyah). Demikian juga di saat muncul keinginan-keinginan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, di saat ia merasa lapar, haus, ingin memiliki sesuatu, ingin berkuasa, dan lain-lain. Ada atau tidaknya nafsiyah Islamiyah, ditentukan oleh ada tidaknya tindakan untuk mendasari setiap kecenderungan (al muyuul)-nya dengan Islam.
148
149
Jadi, seseorang dikatakan memiliki syakhshiyah Islamiyah, jika ia memiliki aqliyah dan nafsiyah Islamiyah, lepas dari kuat atau lemahnya syakhshiyah Islamiyah yang dimilikinya. Setiap orang yang berfikir atas dasar Islam dan menjadikan nafsunya tunduk di bawah aturan Islam, berarti ia memiliki syakhshiyah Islamiyah. Tak jadi soal apakah ia seorang yang taat luar biasa kepada Allah SWT -menjalankan amalan fardhu dan sunnah sebanyak-banyaknya-, atau ia sekedar menjalankan yang fardhu dan menjauhi yang haram (pas-pasan). Tetapi perlu dicatat, Islam tidak menganjurkan ummatnya memiliki kepribadian Islam yang pas-pasan. Yang dibutuhkan Islam adalah kepribadian yang tangguh, kuat aqidahnya, tinggi tingkat pemikirannya, dan taat mengerjakan ajaranajaran Islam, bukan pribadi yang laksana buih, mudah berubah, gampang goncang dan rapuh. Pribadi-pribad semacam ini tidak akan tahan lama. Apalagi menghadapi tantangan zaman seperti sekarang ini. Ia akan mudah lenyap ditelan masa. Cara Memperkuat Kepribadian Muslim Memang terlalu sederhana jika kita hanya bicara soal ‘ada atau tidaknya’ syakhshiyah Islamiyah pada seseorang. Yang lebih penting bagaimana membentuk syakhshiyah Islamiyah yang kuat dan tangguh, atau pribadi muslim yang cerdik, cekatan, tawadhu, istiqomah dan tawakal. Maka syakhshiyah yang terbentuk, jangan dibiarkan apa adanya saja. Jangan disia-siakan apalagi dihancurkan. Pribadi harus diperkuat, ditumbuhkan dan dikembangkan. Caranya, dengan meningkatkan kualitas aqliyah dan nafsiyah Islamiyah. Kualitas aqliyah Islamiyah ditingkatkan dengan menambah perbendaharaan hasanah keilmuan Islam (tsaqofah Islamiyah). Sedangkan kualitas nafsiyah Islamiyah ditingkatkan dengan melatih diri melakukan ketaatan, menjalankan ibadah-ibadah yang diperintahkan Allah SWT. Dengan demikian syakhshiyah Islamiyah akan meningkat terus-menerus, seiring dengan bergulirnya waktu. Semakin tua usia, semakin meningkat kualitas pribadi yang dimiliki. Pemikiran Islamnya bertambah cemerlang, jiwanya semakin mantap, dan ia semakin dekat dengan Allah SWT. Karena itu, Islam memerintahkan setiap muslim agar memiliki semangat mencari ilmu, kapan dan di manapun. Dengan perbendaharaan ilmu-ilmu Islam yang cukup, diharapkan ia akan mampu menangkal semua bentuk pemikiran yang merusak dan bertentangan dengan Islam. Selembut apapun pemikiran yang merusak itu, akan mampu ia tangkal. Juga dengan itu diharapkan ia akan mampu mengembangkan keilmuan Islam. Atau, jika mungkin, ia akan mencapai tingkat mujahid atau mujaddid. Allah mengajarkan doa kepada kita : “Katakanlah: Ya Rabb, tambahkanlah ilmu kepadaku” (Q.S. Thahaa : 14)
149
Untuk memperkuat nafsiyah Islamiyah, Islam memerintahkan setiap muslim mengerjakan amalan-amalan fardhu dan sejauh mungkin menghindari hal yang haram. Juga Islam menganjurkan setiap muslim agar selalu menyuburkan amalanamalan sunnah, menjauhi hal-hal yang makruh dan dengan sikap wara’ meninggalkan yang subhat. Kerjakan semua itu, nafsiyah menjadi kuat dan mampu menolak setiap kecenderungan yang bejat dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman dalam sebuah hadits Qudsi : . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
“... dan tidaklah bertaqarrub (beramal) seorang hamba-Ku dengan seseuatu yang lebih Aku sukai seperti bila ia melakukan amalan fardhu yang Aku perintahkan atasnya, kemudian hamba-Ku senantiasa bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga aku mencintainya....” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah) Juga firman Allah SWT : “Maka berlomba-lombalah kamu dalam mengerjakan kebajikan” (Q.S. Al Baqarah : 147) Rasulullah bersabda: “Bagi setiap muslim menjadi keharusan atasnya shadaqah. Abu Musa bertanya: ‘Bagaimana bila ia tidak mendapati sesuatu untuk shadaqoh ?’ Rasul menjawab: Ia harus berbuat dengan kedua tangannya, yang dapat mendatangkan manfaat untuk dirinya, kemudian ia bershadaqoh. ‘Bagaimana bila ia tak bisa berbuat begitu ?’ Jawab Rasul : Ia harus beramar ma’ruf dan mengajak kepada kebajikan. Bagaimana bila ia tak kuasa melakukan hal itu ? Rasul menjawab: Menahan diri dari keburukan (berbuat buruk) adalah shadaqah” (H.R. Bukhari dari Abu Musa). Tapi perlu dicatat, perintah dan anjuran Allah kepada kaum muslimin itu adalah berkenaan dengan ‘upaya peningkatan kualitas’ syakhshiyah Islamiyah. Bukan berkaitan dengan ‘ada atau tidaknya’ syakhshiyah Islamiyah. Sebab dengan hanya menjadikan aqidah Islam sebagai tolok ukur bagi pemikiran dan kecenderungan, berarti ia telah memiliki syakhshiyah Islamiyah, terlepas apakah kuat atau tidak. Perlu diwaspadai adanya kekeliruan yang sering kali muncul di kalangnan kaum muslimin, yaitu gambaran yang salah , bahwa sosok pribadi muslim, adalah laksana malaikat. Tak pernah salah dan suci dari segala dosa. Padahal tak akan pernah ada orang seperti itu, selain Nabi dan Rasul. Semua manusia pernah berbuat dosa. Persepsi seperti tadi bisa berbahaya. Jika ia mempunyai gambaran seperti itu, dan ia tidak menemukan orang yang sesuai dengan bayangannya di tengah masyarakat, ia akan kecewa. Apalagi di saat ia menjumpai, ternyata orang yang dikagumi selama ini toh bisa juga salah. Dengan demikian, telah jelas bahwa pembentukan syakhshiyah Islamiyah dimulai dengan penetapan aqidah Islam dalam diri seseorang. Lalu, difungsikan sebagai tolok ukur (miqyas) dalam setiap aktivitas berfikir dan pemenuhan kebutuhannya. Kesalahan pada manusia dapat saja terjadi. Suatu saat pemikirannya dapat terlepas dari aqidah, demikian juga kecenderungannya. Ia mungkin lalai, atau ia tidak tahu tentang soal itu. Apakah benar atau salah, halal atau haram. Allah SWT telah memperingatkan, agar kita tidak mengikuti hawa nafsu. FirmanNya : “(Dan) janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Sebab ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (Q.S. Shaad : 26) “Barangsiapa yang menghukumi tidak berdasarkan ketentuan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasiq” (Q.S. Al Maidah : 47)
150
151
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada oran-orang yang fasiq” (Q.S. Ash Shaaf : 5) Karakteristik Keperibadian Muslim Seseorang yang benar-benar memiliki syakhshiyah Islamiyah yang tangguh, akan tampil di tengah - tengah masyarakat dengan sifat-sifat khas dan unik. Ia akan muncul dengan sifat-sifat yang menonjol. Dimana ia berada, ia akan menjadi titik perhatian, karena ketinggian ilmu dan kekuatan jiwanya. Allah SWT menggambarkan sosok-sosok pribadi muslim itu dalam berbagai ayat Al Quran, antara lain : “Muhammad itu Rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya (shahabat) bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi saling berbelas kasih sesama mereka, engkau melihat mereka ruku dan sujud mengharap karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda-tanda mereka nampak pada muka mereka dari bekas sujud” (Q.S. Al Fath : 29) “Dan orang-orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan anshor dan orang-orang yang megikuti meraka dengan baik, Allah ridlo kepada mereka dan mereka pun ridlo kepada Allah” (Q.S. At Taubah : 100) Begitu juga sebagaimana yang tercantum pada (QS. Al Mukminun : 1-11), (QS. Al Furqon : 63-74), (QS. Attaubat : 89), dan lain-lain. Sifat-sifat khas pribadi muslim itu tidak ada kaitannya dengan penampilah fisik seorang mukmin. Tapi bukan berarti juga Islam mengabaikan penampilan fisik. Islam menganjurkan, agar setiap muslim memperhatikan dandanan, penampilan, pakaian, dan menggunakan wewangian seperlunya saat bergaul dengan sesama. Rasulullah bersabda : “Jika kamu mengunjungi saudaera-saudaramu, maka perbaikilah kendaraanmu dan perindahlah pakaianmu, sehingga seolah kalian bagaikan tahi lalat (kesan keindahan) di antara manusia. Sesungguhnya Allah tiada menyukai hal-hal yang buruk” (HR. Abu Daud). “Suatu ketika Rasulullah SAW melihat seorang lelaki yang rambutnya acak-acakan. Maka Rasulullah berseru: ‘Tidakkah ia menemukan sesuatu untuk merapikan rambutnya ?’ “ (HR. Imam Malik dalam “Al Muwaththo”, Ahmad dari Jabir r.a. ) “Hendkalah kamu menggunakan ‘itsmad’ (sejenis celak), sebab ia bisa menjernihkan mata dan menyuburkan bulu mata” (HR. Turmudzi).
151
Jadi, semua penampilan fisik tidak ada kaitannya dengan pembentukan syakhshiyah Islamiyah. Juga bukan merupakan sifat-sifat khas pribadi muslim, tetapi sematamata penampilan (performance) yang memerlukan perawatan. Faktor yang Melemahkan Kepribadian Muslim Seorang muslim adalah manusia biasa, ia bukan malaikat dan bukan iblis. Karena itu wajar jika kadang-kadang melakukan perbuatan haram, atau malas . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
mengerjakan perintah-perintah Allah. Sekali, dua kali atau beberapa kali bisa saja itu terjadi pada dirinya, mungkin ia lalai. Bisa juga ia tidak tahu, bahwa perbuatan itu bertentangan dengan Islam dan sifat-sifat mulia seorang pribadi muslim. Atau mungkin setan telah merasuk dalam dirinya dan nafsu telah mencengkramnya, sehingga ia terjerumus dalam perbuatan dosa. Ia melakukan itu semua, sementara aqidah Islam bersemayam di dalam dirinya. Ada yang menganggap melakukan perbuatan dosa berarti telah mengeluarkan seseorang dari Islam. Melakukan perbuatan yang berlawanan dengan sifat seorang muslim, berarti menghapus sykhshiyah Islamiyah pada diri seorang muslim. Itu tidak benar. Tingkah laku seorang muslim yang betentangan dengan Islam, tidak otomatis menghilangkan sykhshiyahnya. Apalagi mengeluarkannya dari Islam. Tapi secara berangsur-angsur perbuatan itu akan menggerogoti syakhshiyahnya. Jika hal itu terus dilakukannya, maka syakhshiyahnya makin melemah. Selama aqidah Islam masih ada dalam dirinya maka ia tetap seorang muslim, walaupun perbuatan-perbuatan maksiat tak henti-hentinya ia lakukan. Dan selama aqidahnya itu digunakan sebagai tolok ukur bagi pemikiran dan perbuatannya, maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki syakhshiyah Islamiyah selemah apapun. Seorang muslim tidak akan kehilangan syakhshiyahnya, selama ia belum keluar dari Islam. Ia tidak akan keluar dari Islam, Selama aqidah Islam masih dipeluknya. Ia tidak akan kehilangan syakhshiyahnya, kecuali jika ia hanya membiarkan aqidahnya bersemayam di hati, tidak difungsikannya sebagi tolok ukur bagi pemikiran dan kecenderungannya. Atau ia menggunakan aqidah dan tata nilai lain -- selain Islam--. Karena itu bisa saja terjadi ada seorang muslim , tetapi tidak memiliki syakhshiyah Islamiyah. Hanya dengan pengakuan aqidah Islam, belum tentu memiliki syakhshiyah Islamiyah, sebab ikatan aqidah dengan pemikiran manusia bukan bersifat mekanis yang secara otomatis bergerak bersama. Tapi antara keduanya merupakan ikatan ijtima’i yang memiliki kecenderungan memisah dan bertemu. Karenanya jangan heran, apabila ada orang-orang yang mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan aqidahnya. Yang penting tatkala ia sadar, yang ia lakukan bertentangan dengan aqidahnya, ia segera bertobat kembali ke jalan yang benar. Jadi, seseorang yang melakukan penyelewengan terhadap perintah dan larangan Allah, tidak berarti ia kehilangan aqidahnya. Hanya saja ia telah merusak ikatan aqidah dengan amal perbuatannya. Ia dipandang sebagai orang yang bermaksiyat kepada Allah. Di hari kiamat nanti, ia akan disiksa karena melakukan perbuatan itu. Penjelasan itu tidak berarti membuka peluang --apalagi mendorong-- seorang muslim untuk mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Seorang muslim tidak boleh melakukan itu. Sebab larangan dalam Al-Qur’an Al-Karimsudah teramat jelas. Dan siksa di akhirat teramat pedih. Allah berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan jangan pula mengkhianati amanat-amanat (yang dilimpahkan) bagimu padahal kamu mengetahui” (QS. Al Anfal : 27) 152
153
“(Dan) bagi siapa saja yang melanggar hukum-hukum Allah, maka mereka itulah orangorang yang zhalim” (QS. Al Baqoroh : 229) Untuk dapat memiliki syakhshiyah Islamiyah, seorang muslim bukan berarti harus mengembangkan sifat-sifat yang berlebihan di luar petunjuk syari’at. Seorang muslim adalah manusia. Dan syakhshiyah Islamiyah itu ada pada manusia, bukan pada malaikat.Jika seorang terjerumus dalam dosa, tidak berarti dia telah mengganti syakhshiyahnya dengan selain Islam. Tapi jika melepas aqidah Islamnya, maka lepaslah syakhshiyahnya. Tiada gunanya ia melakukan amal perbuatan apa pun. Karena itu, yang terpenting adalah soal keselamatan aqidah Islam. lalu dengan aqidahnya itu ditetapkannya pemikiran dan kecenderungan dirinya. Ingatlah, saat ini terlalu banyak hal yang mengancam keselamatan aqidah. Fahamfaham sekularisme, penerimaan terhadap sebagian yang lain, pemelukan faham kebebasan gaya Barat. Jika seorang telah kufur, maka tidak berguna seluruh amal kebaikannya. Amalannya laksana debu yang dihambur-hamburkannya. Dia akan dijebloskannya ke dalam neraka. Rasulullah bersabda : “Siapa saja yang ingkar terhadap ayat-ayat Al Quran, maka sungguh ia telah kufur...(HR. Thabrani) AKHLAK DALAM ISLAM
153
Islam didefinisikan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan kita Rasulullah SAW, untuk mengatur segenap urusan manusia, baik berkaitan hubungan dengan Allah (ibadah dan aqidah), hubungan dengan sesama manusia (muamalah, uqubat/sanksi), dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri (akhlak, makanan, minuman dan pakaian). Dengan demikian, sesungguhnya akhlak merupakan bagian dari syariat (aturan Allah). Akhlak merupakan bagian dari perintah dan larangan Allah SWT. Orang-orang yang memiliki akhlak yang baik, haruslah dinilai sebagai orang yang melaksanakan perintah Allah, bukan melihatnya hanya sebagai sifat moralitas atau kemanusiaan saja. Ukuran akhlak baik dan buruk harus berdasarkan hukum syara'. Allah SWT memerintahkan berkata jujur dan melarang berdusta, bukan berdasarkan sifat itu baik secara moral, tetapi karena berdasarkan hukum syara'. Apabila kita melihat akhlak dari segi moral dalam pandangan manusia saja, berarti orang yang berbohong, bersikap kasar atau membunuh orang lain itu berakhlak tidak baik. Padahal dalam Islam, seseorang boleh saja berbohong dalam keadaan tertentu, seperti berbohong sebagai strategi di medan perang, atau berbohong dalam rangka mendamaikan suami istri yang saling bersengketa.Syara' juga membolehkan orang untuk membunuh, seperti ketika jihad memerangi orang-orang kafir, atau bersikap tegas kepada orang-orang kafir. Sekali lagi, ukuran akhlak tersebut bukanlah sekedar moral, kemanfaatan atau perasaan belaka. Allah berfirman:
ُْ َ ءُ َ َْـ َ َُ اْـُـ ِر ر َ ُ! َ َُ أَِـء َ ِْ"ـ# َو ا% ِ * ـ ٌ ر(ـُ'ْلُ ا َُ
"Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang-orang kafir, dan berkasih sayang diantara mereka ..."(QS Al- Fath: 29) . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
ً َو0 ْـ َ 'ْا89ُ*ِـ1 َْ َأن+ َ َـُْ َو,ٌ ْـَ 'َ ًُ َو ه0 ْـ َ هُ'ْا,َ َْـ1 َْ َأن+ َ َـُْ َو3ٌ ْ,ـَلُ َو هُ َ' آُـ5ِ6َْ ـُُْ ا َ 7 َ ِـ5ُآ ن َ ْ'ْـَ ُـ1َ :َ ُْ5ُ َ"ْـَُ َو َأ;ْـ% ـُْ َو ا,< هُ َ' َـ "Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah: 216) Di samping itu, kalau seorang muslim bersikap jujur semata-mata karena moral, dia tidak mendapatkan ganjaran pahala atas perbuatannya. Sebab, ia mengerjakannya bukan berdasarkan perintah hukum syara' melainkan karena menganggap sifat jujur memiliki kebaikan secara moral atau bermanfaat baginya. Secara bahasa, pengertian akhlak diambil dari bahasa asalnya yaitu bahasa Arab yang berarti : a. perangai, tabiat, adat (diambil dari kata dasar khuluqun) b. kejadian, buatan, ciptaan (diambil dari kata dasar khalqun) Adapun pengertian akhlak secara terminologis, para ulama telah banyak mendefinisikan, di antaranya sebagai berikut : a. Ibnu Maskawaih dalam bukunya Tahdzibul Akhlaq :
"Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan." b.
Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddiin :
"Akhlak adalah gambaran tingkah laku dalam jiwa yang me lahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan." Dari pengertian akhlak menurut Ibnu Maskawaih dan Al Ghazali di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah perilaku yang didorong oleh kesadarannya yang terdalam, yang karena sudah begitu terbiasanya dilakukan oleh seseorang, perilaku tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang seolah-olah sudah tanpa pertimbangan lagi. Akhlak terbagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (mahmudah) atau disebut juga akhlak terpuji (akhlaqul karimah) dan akhlak yang buruk (madzmumah). Akhlak yang baik adalah akhlak yang didasarkan kepada Al- Qur'an dan keteladanan Rasullulah saw. Artinya, seseorang yang berakhlak mulia adalah seseorang yang seluruh perilakunya didasarkan kepada ketentuan Allah dalam AlQur’ân dan keteladanan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Jadi, akhlak yang baik bukan karena sebuah pekerjaan itu baik dalam pandangan manusia. Misalnya, adanya pandangan bahwa kejujuran, kesopanan, tolong-menolong, dan bersikap ramah itu baik dalam pandangan manusia. Sementara, berbohong, membunuh, dan bersikap kasar itu adalah pekerjaan yang buruk dalam pandangan manusia. Akhlak yang baik dari seseorang adalah manakala seseorang melakukan perbuatan jujur, sopan, tolong-menolong, bersikap ramah, termasuk juga berbohong, membunuh, bersikap tegas, dan kasar berdasarkan pada perintah syara’. Perilaku dan sikap itu semua didasari oleh ketentuan Allah di dalam Al-Qur’ân dan keteladanan Rasulullah SAW dalam sunnahnya, pada suatu keadaan atau peristiwa tertentu. Contoh, seorang muslim diperkenankan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya untuk berbohong dalam rangka mendamaikan suami isteri yang sedang bersengketa. Rasulullah SAW juga memperkenankan takabbur (sombong) 154
155
kepada orang yang sombong. Dalam Al-Qur’ân Allah SWT menegaskan ciri-ciri orang beriman, yaitu bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir.
. ُْ َ ءُ َ َْـ َ َُ اْـُـ ِر ر َ ُ! َ َُ أَِـء َ ِْ"ـ# َو ا% ِ * ـ ٌ ر(ـُ'ْلُ ا َُ
"Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orag-orang kafir, dan berkasih sayang di antara mereka ...." (QS Al-Fath: 29) Adapun akhlak yang buruk (madzmumah) adalah akhlak yang bertentangan dengan petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya. Akhlak ini diperbuat semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu atau keinginan manusia semata. Contoh-Contoh Akhlak Akhlak berdasarkan syariat Islam dipandang dalam dua kategori, yaitu baik (akhlaqul karimah) dan buruk (akhlaq madzmumah), berikut ini adalah beberapa contoh dari keduanya: 1. Akhlaqul Karimah (Akhlak terpuji) a. Jujur dan benar dalam bertindak, berucap, serta berjanji;
.. ُـ'ْ ِد6! ءَا َُـ'ْا َأوْ?ُـ'ْا ُِْـ َ ْ"#ِ َ اـ8َأَ"ـ
"Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu....." (QS Al-Maidah: 1)
ُ9َ َ َ;*ْـABَ ْ! َُْـ ْ ِ َ? ِ ْـ َ % َ ُـ'ْا َ َ َه ُوْا اBَ َـC َ ٌلD! ِر َ ْ ! اْ ُ@ْ ِِـ َِ
"Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur..." (QS Al-Ahzab: 23) b. Sabar;
! َ ْ ِ ِـ+ْ*ُ ْ ا,َ ْDُ َأEْ ِـAُ" :َ % َ ن اFِ?َ ْ,9ِ ْـCَو ا
"Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan.." (QS Huud: 115) c. Mengeluarkan infaq, menguasai kemarahan, dan memaafkan manusia;
! َ ْ ِـِـ+ْ*ُ ْ ا87* ِ ُ" ُ%س َو ا ِ ! اـ ِ َ ! َ ْ َو اَْ?ِـH َ ْ َـIْ! ا َ ْ ِـJ ِ َ ِء َو اْـ,ـA ِء َو ا,ـ+ن ?ِ ا َ ْ'ُـ6ِ ُْ" ! َ ْ"#ِ اـ
"(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.." (QS Ali Imran: 134) d. Dzikrullah (mengingat Allah);
155
ن ِ ُْو,ُْـ1َ :َ ُوْا ِ َو,ُْ آُْ َو اْـ,ُوْا ;ِ َأذْآُـ,فَاذْ ُآ
"Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku serta jangan kamu mengingkari nikmat-Ku.." (QS Al-Baqarah: 152)
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
e. Tawakal;
! َ ِ ْـPَـ َ'آ5ُ ْ ا87* ِ ُ" % َ ِإن ا% ِ َ ا َ ْMَـ َ'آ5 ?َـN َ ْ Oَ َ ذَاFِ?َ ...
"... kemudian jika kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.." (QS Ali Imran: 159) f. Tawadlu (rendah hati);
ُـ'ْ ٍرR?َ َـ ٍل5ْـRُ Mُ آ87* ِ ُ" :َ % َ ً ِإن ا,َ َ ض ِ ْرTَ ْ ?ِ اU ِ ْـ1َ :َ س َو ِ ك ِـ َ َـ- ْ,PَـWُ1 :َ َو
"Dan janganlah kamu memalingkan muka dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS Luqman: 18) g. Berbuat baik kepada orang tua;
َ ِرZْ! َو ا ِ ْ َآِـ+ َ ْـَ َ َو ا5َ ْْ َ َو ا,ُـ6ِْي ا# ِ َ;ـً َو+ْ! ِإ ِ ْ"َ ًِ َو ِْ'َا0 ْـ َ ِ ِ آُـ'ْا,ِ ْـYُ1 :َ َو% َ ُُوْا ا9?َْـ ْ!َ 87* ِ ُ" :َ % َ ْ َأ"ْ َ;ُـُْ ِإن اNَ َو َ ََـMِ ْ ِـ9ـ+ َو ا ْ!ِ ا7 ِ ْـZ َ ِْ 7 ِ ِ W َو ا7 ِ ُُـZَْ ِر اZْْ َ َو ا,ُـ6ْذِي ا ُـ'ْرًاR?َ :ً َـ5ْـRُ ن َ آَـ
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil (musafir) dan sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS An-Nisaa':36) h. Tolong menolong (Ta'awun);
ب ِ َْـُ اِْ ـ#ِ $ َ َ ِإن ا َ ن َو ا ُـ ْا ا ِ َ اِْـْ ِ َو اُْـْوَا َ ََ َوُـ ْا َ َ اْ!ِـ َو ا ـ ْـ َى َو َ َو ََ َوُـ ْا...
"...Tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (QS Al-Maidah:2) i. Amanah (dapat dipercaya) dan adil;
ِ;ِ ـ% َ *ُْ ُ'ْا َِْـْ ِل ِإن ا1َ ْس َأن ِ ! اـ َ ْ َ ُْ5 َ ْـ َ ت ِإَ َأهَِْ َو ِإذَا ِ َ;َ Tَ ْوْا ا8ُـ َ@د1 ْآُْ َأن,ُ ُ ْ\"َ % َ ِإن ا ًا, ْـW ِ َ ًْ ( ِـ َ ن َ َ آ% َ َ"ِـ]ُُْ ِ ِ ِإن ا
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." ( QS AnNisaa':58)
156
157
2. Akhlaqul Madzmumah (Akhlak Tercela) a. Berselisih, menggunakan hak orang lain;
ِ`ـْ ِ َوTْ ِ س ِ ًـ ِ!ْ َأ ْـ'َا ِل اـ6ْ",ِ ?َ \ْآُُـ'ْا5َ ِ ُـُْـ'ْا ِ َ ِإَ اْ*ُ ِم1 َوMِ _ ِ َـ9ِْ ُْ\ْآُُـ'ْا َأ ْـ'َاَـُْ َ َْـ1َ :َ َو ن َ ْـُْ َ ْـَُـ5ْ;َأ
"Dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui." (QS Al-Baqarah: 188) b. Bunuh diri;
ً ْ ن ِ ُْ َرِـ َ َ آ% َ َـُْ ِإن ا+ُْ;ـُُـ'ْا َأ5ْ61َ :َ َو...
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS An-Nisaa': 29) c. Mengucapkan kata-kata yang buruk dan kotor;
ً ْ ِـ َ ًُ (َـ ِ ْـ%ن ا َ َُـِ َ َو آJ ْ!َ :َـ'ْ ِل ِإ6ْ! ا َ ِ ـ'ْ ِء8+ِ ,َ َْـZُْ ا% ا87* ِ ُ" :َ
"Allah tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS An-Nisaa: 148) d. Bergunjing (Ghibah), berprasangka buruk, dan mencari-cari kesalahan;
ُُْAْ ْـ7َـ5ْـI"َ :َ ُـ'ْا َو++Z َ 1َ :َ إِ`ـْ ٌ َوP! ا]ـa َ ْ َ ِإنP!! ا]ـ َ P ًا,ْ ِـbُـ'ْا َآ9ِ َـ5ْـD! َُـ'ْا ا َ ْ"#ِ َ اـ8"َ أَ"ـ ٌ ْب َرِ ــ ٌ َـ'َا1 % َ ِإن ا% َ ُـ'ْا ا6ـ1ُ َو ا3ْ'ُ ُـ5هْـ,ِ َ ?َ ً5ِـ ْ ِ َـ ْـ- َ*ْ َ َأMَ ُ َأَـُآُْ َأنْ َ"\ْآ87* ِ ُ" َأA ً ْ َ
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS Al-Hujurat: 12) e. Berlebih-lebihan, mubadzir;
! َ ْ ?ِـ,ِ ْـ+ُ ْ ا87* ِ ُ" :َ ُ?ُـ'ْا ِإ;ـ,ِ ْـ+ُ1 :َ َو...
"...Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.." (QS Al-An'am: 141) 157
Akhlak Rasulullah SAW dan Para Sahabatnya Pada zaman khalifah Umar bin Khatab, seorang Yahudi datang menemui khalifah, "Ceritakan kepadaku akhlak Rasul kalian!" Umar tidak sanggup memenuhi permintaannya. Beliau lalu menyuruh Yahudi itu menemui Bilal. Ternyata Bilal pun tidak sanggup. Akhirnya, Yahudi itu sampai pada Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib yang diketahuinya telah mengenal Rasulullah SAW sejak kecil, dan sering . | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad
mengadakan perjalanan bersamanya, Ali bertanya kepada Yahudi itu, "Lukiskan keindahan dunia ini dan akan aku gambarkan kepada anda tentang akhlak Nabi saw!" Lelaki itu berkata, "Tidak mudah bagiku." Ali lalu berkata, "Engkau tidak mampu melukiskan keindahan dunia, padahal Allah telah menyaksikan betapa kecilnya dunia, ketika Allah SWT berfirman, 'Keindahan dunia itu kecil.' (QS. An Nisaa’: 77) Bagaimana mungkin aku melukiskan akhlak Rasulullah SAW padahal Allah SWT bersaksi bahwa akhlaknya itu agung." Ya, melukiskan keteladanan akhlak Rasulullah SAW sangatlah tidak mudah. Kadang-kadang bila para sahabat ditanya tentang Rasulullah mereka hanya sanggup menceritakan episode-episode yang paling mengesankan dalam pengalamannya ketika bersama Nabi saw, di samping episode-episode lain yang mungkin hanya dapat dirasakan pesonanya oleh hati dan tidak dapat diungkap-kan. Oleh sebab itu, tidak heran jika Thomas Carlyle dalam On Heroes and Hero Workship mengungkapkan keteladanan Rasulullah SAW sebagai berikut : "Dia datang seperti sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian meledakkan butir-butir debu menjadi mesiu yang membakar angkasa dari Delhi ke Granada." Namun, meskipun sulit untuk diungkapkan begitu agungnya akhlak Rasulullah SAW, untuk mengikuti jejak kemuliaannya tidaklah sukar karena Aisyah ra. telah mendefinisikan akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Qur’ân. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Saad bin Hisyam bertanya kepadanya tentang akhlak Rasulullah SAW, Aisyah balik bertanya, "Apakah kamu membaca Al-Qur’ân?", "Tentu saja!" jawab Saad. Lalu Aisyah ra. berkata, "Akhlak beliau adalah Al-Qur’ân!" Berikut ini kita akan lihat beberapa kisah teladan Rasulullah SAW dengan para sahabatnya, yang mudah-mudahan dapat mengembalikan kesadaran kita pada fungsi dasar sebagai muslim yaitu menjadi rahmat bagi alam semesta. • Setiba Rasulullah SAW dan para sahabatnya di suatu tempat dan turun dari kendaraannya, mereka berencana untuk menyembelih seekor kambing dan membuat sate untuk dimakan bersama. Seorang sahabat berteriak, "Aku akan menyembelihnya!" Sahabat yang lainnya berkata, "Aku yang akan mengulitinya!" Sahabat lainnya lagi berkata, "Aku yang akan memasaknya!" Rasulullah berkata, "Aku yang akan mencari kayu bakar untuk memasaknya." Semua sahabat berkata, "Jangan wahai Rasulullah, biarkan kami yang melakukannya. Biarlah anda duduk tidak usah bekerja." Rasulullah SAW berkata, "Aku tahu kalian akan melakukannya, tapi Allah SWT tidak suka kepada seseorang yang melihat dirinya berbeda dari yang lain, sedang ia berada diantara mereka." Nabi saw pun pergi ke padang pasir dan mengambil kayu-kayu untuk bahan bakar masakan tadi. • Ada seorang perempuan hitam yang pekerjaannya menyapu masjid. Pada suatu hari Nabi Muhammad saw tidak menemui perempuan itu. Nabi Muhammad saw pun lalu menanyakannya. Para sahabat mengatakan bahwa ia sudah meninggal. Ketika itu Nabi Muhammad saw menegur mereka karena beliau tidak diberi tahu tentang meninggalnya perempuan tadi. Setelah itu beliau pergi ke kuburan perempuan tersebut (setelah diberi tahu para sahabat letaknya) dan shalat untuknya. (Saat menegur para sahabat Nabi Muhammad saw mengingatkan para sahabat bahwa di dunia ini, tidak ada perbedaan antara yang kaya dan yang miskin, begitu pula derajat status sosial lainnya). • Ketika baru pulang dari perang Tabuk, Rasulullah SAW melihat tangan Sa'ad bin Muadz menghitam dan melepuh. "Mengapa tanganmu?", tanya Rasulullah SAW. "Karena oleh palu dan sekop besi yang saya pergunakan untuk mencari nafkah untuk keluarga yang menjadi tanggunganku", jawab Sa'ad. Rasulullah SAW lalu mengambil tangan itu dan menciumnya, "Inilah tangan yang tidak akan disentuh api neraka." Lihatlah, Rasulullah SAW yang tangannya senantiasa diperebutkan untuk dicium (dan seringkali ia menolaknya karena takut umatnya syirik karena terlalu menghormatinya) tanpa ragu-ragu mencium tangan yang kasar. 158
159
Seorang wanita datang menghadap RasulullahsSaw lalu ia berkata, "Sesungguhnya aku datang kemari disebabkan ada kepentingan kepada Tuan!" Rasulullah berkata, "Duduk sajalah di jalan mana yang kamu sukai di kota Madinah ini, niscaya aku akan duduk (datang) memenuhi permintaanmu untuk mengurus keperluanmu itu!" • Malam itu Hasan bin Ali tidak bisa tidur, sehingga pada malam itu ia hanya memperhatikan dan mendengar ibunya berdo'a. Esoknya Hasan bertanya, "Sepanjang malam aku mendengar ibu berdo'a hanya untuk orang lain, tetapi untuk ibu sendiri tidak." Fatimah Az-Zahra sang ibu dengan penuh kasih sayang menjawab, "Anakku!, pertama adalah mendo'akan orang lain, baru diri sendiri." • Pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab, kaum muslimin di Madinah dilanda kemarau panjang dan kelaparan. Suatu hari datang kafilah dari Syam dengan seribu unta yang penuh dengan makanan dan barang dagangan milik Utsman bin Affan. Para pedagang berebut menawarkan harga untuk memperoleh barang dagangan itu dengan harga yang sangat menguntungkan Utsman. Namun, Utsman menolak semua tawaran yang 'menguntungkan' itu, beliau lebih memilih kecintaan-Nya. Beliau berkata, "Sesungguhnya ada pembeli yang akan memberiku keuntungan berlipat ganda, tahukah kalian bahwa Allah telah berfirman.": •
َوdٍ 9 َ ُdَـeْ\P dٍ َُـ9ْ (ُـPMُ ?ِ آMَ ِ َ (َـEَ ْ9ْ (َـNَـ59َ ْ; َأdٍ 9 َـMِ َـbَ َآ% ِ اMِ ْـ9ِ ن َأ ْ'َاَـُْ ?ِ (َـ َ ْ'ُـ6ِ ! "ُْـ َ ِْ"ـ#ُ اMَـbَ ٌ ْ ِ َ Eٌ ُ وَا(ِـ%َـ ءُ َو اY"َ ْ! َ ِ ُf ِ َAُ" ُ%ا
"Bandingan pahala orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah, adalah seperti satu benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, di tiap tangkai ada seratus biji dan Allah menggandakan pahala pada siapa yang Ia kehendaki dan Allah Maha Luas karunia-Nya dan Maha Mengetahui." (QS Al-Baqarah: 261).
159
Lalu Utsman membagi-bagikan makanan tadi kepada kaum muslimin yang memerlukannya dengan gratis tanpa menuntut pamrih atau imbalan. • Ketika terjadi perang Yarmuk, seorang sahabat mendengar suara rintihan meminta air di antara jenazah yang bergelimpangan akibat peperangan. Sahabat itu lalu membawa air menujunya. Ketika air itu hendak diminum, terdengar suara rintihan dari arah lain, sahabat yang tadi merintih meminta air minum lalu meminta sahabat yang membawa air minum tadi untuk memberikan airnya pada sahabat lain yang membutuhkan air minum. Sahabat tadi pun lalu membawa air minum tadi ke tempat sahabat lain. Ketika akan diminum, tiba-tiba dari arah lain terdengar suara rintihan meminta minum. Sahabat ini pun sama dengan sahabat yang pertama, ia lebih merelakan air minumnya untuk sahabat lain yang lebih membutuhkan. Ia pun meminta sahabat yang membawa air minum tadi untuk membawakan air minumnya pada sahabat yang lain lagi. Sahabat ini pun lalu membawa air minum tadi ke tempat sahabat yang merintih meminta air minum tadi. Namun sayang, sahabat itu telah meninggal dunia, lalu air itu dibawa ke tempat sahabat yang kedua, tetapi sahabat yang kedua pun telah meninggal dengan senyum di bibirnya, begitu pula ketika air minum itu hendak diberikan kepada sahabat yang pertama yang meminta air, sahabat itu telah meninggal dunia dengan ikhlas dan perasaan bahagia. Ketiganya wafat dalam menegakkan agama dan menjalankan syariat Islam, yaitu lebih mendahulukan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri.
. | Tubagus Chaeru Nugraha; Unpad