1
Membangun ‘New Citizenship’ di lingkungan Perguruan Tinggi Katolik Compositio Sui Loci Videndo (Menempatkan Diri dengan Melihat Tempat)
“LAUDATO SI’, mi’ Signore” – “Praise be to you, my Lord”. In the words of this beautiful canticle, Saint Francis of Assisi reminds us that our common home is like a sister with whom we share our life and a beautiful mother who opens her arms to embrace us. “Praise be to you, my Lord, through our Sister, Mother Earth, who sustains and governs us, and who produces various fruit with coloured flowers and herbs”. Undangan Panitia Rapat Umum Anggota (RUA) APTIK mendesak saya berhenti sejenak.Saya merasa dipercaya untuk membagikan pengalaman-pengalaman kecil bagi teman-teman peserta RUA APTIK yang mau menyusun Renstra APTIK 2017-2021. Secara istimewa ingin ditemukan Kontribusi Nyata dari Perguruan Tinggi anggota APTIK dalam ikut merawat Bumi Nusantara dengan merujuk pada ‘visi’ dan insight dari ensiklik Laudato Si. Tujuan yang sangat jelas dari RUA untuk menyusun Renstra membantu saya untuk menentukan pokokpokok (Puncta) yang bisa saya panggil dari pengalaman hidup saya melalui kontemplasi (contemplor = melihat dengan mata batin) dan meditasi (meditare= menimbang/ menalar secara runtut) untuk selanjutnya saya bagikan kepada teman-teman sebagai wujud konkret menemukan dan berbagi kekayaan dari dan untuk sesama peziarah (to find the richness of others). Demikianlah, undangan ini menjadi hal yang menyenangkan bagi saya dan semoga bagi teman-teman semua. Santo Ignatius Loyola mengajarkan cara-cara menimbang perkara secara tepat (deliberation). Satu hal yang sangat menarik dari metode tersebut adalah: mengintegrasikan NALAR, RASA dan KEHENDAK. Banyak orang menalar tetapi lupa mencermati RASA. Banyak orang menjadi emosional dan menjadi tidak nalar.Keduanya masing-masing dan bersama-sama melahirkan ‘lemah kehendak’. KEHENDAK yang kokoh hanya lahir dari terintegrasinya NALAR dan RASA yang dibangun melalui kegiatan bermutu dari hari ke hari. RUA APTIK pada kesempatan ini dimaksudkan untuk menemukan insight (pandangan mendalam/ mata batin) bagaimana Perguruan Tinggi di lingkungan APTIK dapat (1) membantu Formasi Orang Muda (para mahasiswa dan para dosen serta karyawan) untuk (2) mampu membangun ‘Paradigma Baru’ (mengemukakan gagasan) dan (3) melaksanakannya dalam program-program strategis bagi (4) Tetap Terawatnya Nusantara bagi generasi ini dan masa depan. Pokok-Pokok Meditasi-kontemplasi: Tiga pertanyaan utama yang harus saya jawab Panitia memberikan TOR dalam tiga pertanyaan.(1) Bagaimana mewujudkan pembaharuan diri (pertobatan) bisa terwujud secara nyata di tengah-tengah belahan bumi tropis bernama bumi Nusantara? (2) Bagaimana Visi penuh harapan dari Paus dan tokoh-tokoh dunia bisa dijabarkan dalam paradigma, kerangka kerja dan strategi pencapaian dalam konteks Indonesia saat ini, dan (3) Apa yang ingin dipilih sebagai kontribusi nyata Komunitas Akademik APTIK untuk tetap terawatnya bumi Nusantara?
2 Ultimate Goal Membaca TOR tersebut saya ditantang untuk berbagi insight mengenai ‘ultimate goal’ dan ‘proximate goals’ dari Laudato Si. Saya melihat bahwa ‘ultimate goal’dari Laudato Si tidak lain‘Membangun New Citizenship’. Inilah kerinduan utama dari ensiklik Laudato Si. Paus mengajak kita semua untuk mengerahkan seluruh kreativitas, seluruh kemampuan bekerjasama, seluruh simpul-simpul energi dari semua orang yang berkehendak kuat untuk menumbuhkan budaya dan membangun ‘New Citizenship’, membangun warga dunia baru, warga dunia yang peduli akan Ibu Pertiwi, warga yang memiliki awareness toward our common home.Pada poin ini sudah langsung menjadi jelas dan pilah (clara et distincta) pentingnya ‘formasi Latihan mencermati Nalar-Rasa-Kehendak’. Setiap Perguruan Tinggi di lingkungan APTIK memiliki kesempatan dan merupakan potensi ‘spatial dan temporal’ (ruang dan waktu) untuk membangun suatu ‘New Citizenship’. Setiap PT di lingkungan APTIK merupakan ‘locus incarnationis’ (tempat penjelmaan) bagi ‘Sabda yang mau MENDAGING’ dalam diri orang-orang muda (mahasiswa) dan para Dosen serta Karyawan yang bersama-sama merupakan Citizen, merupakan‘companion’ sahabat seperjalanan dalam menziarahi HIDUP. Kalau kita secara kreatif bisa membantu diri sendiri dan teman-teman yang kita dampingi untuk MEMBIARKAN DIRI terbuka pada ‘SABDA’ yang ingin menjadi DAGING dalam diri kita dan dalam diri sesama kita, maka disitulah akan terjadi PEMBAHARUAN, suatu ‘pertobatan yang menyenangkan’. Yang saya maksud dengan Sabda Menjadi Daging adalah: ketika kita terbuka dan membiarkan diri untuk mencintai, melayani, menghargai, membantu orang lain. Ketika Anda mendengarkan anak-anak, menghargai mahasiswa, mencintai suami atau istri, membantu orang yang dalam kesulitan saat itulah sebenarnya ‘SABDA’ menjadi daging di dalam mata, tangan, mulut, telinga, kaki, pikiran, hati dan seluruh diri Anda. Ketika kita berani mendengarkan mahasiswa, mendengarkan anak-anak, mendengarkan suami, mendengarkan istri, dan mendengarkan diri sendiri, ternyata para mahasiswa, anak-anak, suami, istri, teman merasa SENANG. Senang karena didengarkan. Lebih mengejutkan lagi, ternyata diri kita sendiri juga SENANG. Betapa menyenangkan didengarkan. Betapa lebih menyenangkan bisa mendengarkan. Pengalaman lain: ketika aku berani memuji anak-anak, berani memuji mahasiswa, berani memuji istri, berani memuji suami, ternyata mereka juga senang. Dipuji itu sangat menyenangkan.Tetapi memuji, ternyata jauh lebih menyenangkan. Sungguh aneh tapi nyata: Mendengarkan, memuji, memperhatikan, membantu, menemani, menghibur, meneguhkan, semuanya ternyata MENYENANGKAN. Inilah yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai ‘Imperatif Kategoris’. Lakukanlah yang orang lain ingin kamu melakukannya untuknya, dan ketika kamu melakukannya dia bahagia dan di saat yang sama ketika kamu melakukannya kamu juga bahagia’. Kalau Perguruan Tinggi di lingkungan APTIK bisa membangun budaya (daya budi) dan tradisi (living faith=keyakinan yang dihidupi) mendengarkan, memuji, menghargai, membantu, menemani, menghibur, meneguhkan, maka sesungguhnya Komunitas Akademik dalam APTIK sudah dan sedang berkontribusi untuk membangun ‘New Citizenship’ yang dirindukan Paus Fransiskus. Dan persis yang dibutuhkan hanya dua hal: membangun‘budaya’ (daya nalar) dan tradisi (keyakinan yang dihidupi). ‘Mendengarkan’ adalah budaya, daya budi.Memperhatikan juga budaya, daya budi.Menemani, menghibur, menguatkan,
3 membantu, mencintai, semuanya adalah budaya, daya budi yang mendaging dalam telinga, mata, mulut, hati, tangan, tubuh.Dan ketika budaya itu dihidupi dalam keseharian, dia menjadi tradisi (living faith) suatu keyakinan yang dihidupi. Dari sudut psikologi dan filsafat, membangun nalar yang mendaging dan membangun keyakinan yang dihidupi tidak lain merupakan pengelolaan ‘needs’ menjadi ‘values’melalui pewujudan ‘imperatif kategoris Immanuel Kant’. Lakukan yang orang lain ingin kau lakukan baginya, dan yang ketika kamu lakukan hal itu, orang lain itu bahagia dan ketika kamu melakukan hal itu, kamupun bahagia. Membantu diri kita sendiri untuk mengenali dan menemukan ‘needs psikololgis kita’ yang sesungguhnya adalah ‘inang’ bagi perubahan (transformasi) dunia (microcosmos maupun macrocosmos) dan membaliknya menjadi ‘values’ yang sesungguhnya adalah ‘panggilan/ calling/ Cendana’ dari hidup kita merupakan ‘pertobatan yang menyenangkan’. Sebagai contoh: salah satu need psikologis saya adalah ‘ingin dipercaya’. Ini adalah ‘inang’ hidupku. Maka panggilan saya tidak lain adalah ‘mempercayai’. ‘Mempercayai’ itulah Cendanaku.Mempercayai teman, mempercayai dosen, mempercayai diriku sendiri dan mempercayai bahwa segala kesulitan yang saya alami akan melahirkan ‘kebangkitan’. Cendana hanya bisa tumbuh bila ada inang. Tanpa inang, dia tidak akan mampu tumbuh. Need-psikologisku ‘ingin dipercaya’ bisa kubalik menjadi tindakan bermutu ‘mempercayai’.Mempercayai teman, mempercayai pembesar, mempercayai mahasiswa dan tentu saja mempercayai diri saya sendiri.Ketika saya mempercayai mahasiswa, teman dan orang lain, mereka bahagia dan sayapun bahagia. Ultimate goal membangun ‘New Citizenship’ tidak lain membangun ‘nalar yang mendaging’ dan membangun ‘keyakinan yang dihidupi’. Membangun New Citizenship tidak lain adalah pelan-pelan membalik ‘needs’ menjadi ‘tindakan bernilai’/ values mendengarkan, memperhatikan, memuji, mendukung, menemani, melayani dan mencintai. New Citizenship yang terlatih untuk mengeksekusi imperative Kategoris Immanuel Kant merupakan Komunitas yang siap untuk berubah dan mentransformasi diri serta dunia dengan gembira.Pertobatan yang menggembirakan itu nyata.
202. Many things have to change course, but it is we human beings above all who need to change. We lack an awareness of our common origin, of our mutual belonging, and of a future to be shared with everyone. This basic awareness would enable the development of new convictions, attitudes and forms of life. A great cultural, spiritual and educational challenge stands before us, and it will demand that we set out on the long path of renewal. Proximate Goals Ultimate Goal merupakan sasaran pembangunan dasar ‘afektif spiritual’ suatu ‘New Citizenship’.Proximate Goals merupakan ‘sasaran-sasaran dekat’ (proksi) untuk mewujudkan ‘ultimate goal’.Sasaran dekat ini berupa kegiatan-kegiatan yang bisa bersifat sangat lokal namun demikian terarah pada sasaran yang paling besar, paling jauh, paling mendalam, paling luas.
Authentic human development has a moral character. It presumes full respect for the human person, but it must also be concerned for the world around us and “take into account the nature of each being and of its mutual connection in an ordered system”.Accordingly, our human ability to transform reality must proceed in line with God’s original gift of all that is.
4
Pada awal November 2015 yang lalu, saya bertemu seorang teman.Dia mengeluh bahwa dari banyak lulusan Perguruan Tinggi (baik Negri maupun Swasta) disinyalir tidak memiliki daya juang, tidak memiliki daya tahan (endurance) dalam bekerja, dan kurang memiliki achievement.Bahwa generasi orang muda ini kurang memiliki daya juang dan daya tahan bisa lebih mudah dipahami.Bahwa mereka ternyata disinyalir kurang memiliki ‘achievement’, hal ini cukup mengherankan, sebab biasanya orang jaman ini sangat dipicu oleh ‘pencapaian’.Pencapaian adalah need, adalah inang bagi setiap orang untuk bisa maju. Di balik need ‘achievement’ ditawarkan value ‘meaningfulness’. Artinya, orang perlu bertanya ‘what does it mean to me’ untuk setiap pencapaian. Mereka yang tidak pernah bertanya mengenai makna, akan tersungkur oleh karena hanya bertemu ‘meaninglessness’. Lesunya generasi muda untuk ‘achievement’ barangkali dipicu oleh ‘tiadanya latihan mencari dan menemukan makna hidup’.Hal ini perlu dipelajari dan diteliti secara sitem sistematis.
205. Yet all is not lost. Human beings, while capable of the worst, are also capable of rising above themselves, choosing again what is good, and making a new start, despite their mental and social conditioning. We are able to take an honest look at ourselves, to acknowledge our deep dissatisfaction, and to embark on new paths to authentic freedom. No system can completely suppress our openness to what is good, true and beautiful, or our God-given ability to respond to his grace at work deep in our hearts. I appeal to everyone throughout the world not to forget this dignity which is ours. No one has the right to take it from us. Tantangan berkontribusi untuk turut membangun bumi Nusantara dalam terang ensiklik Laudato Si menjadi isi dari Proximate Goals. Secara khusus Paus mengundang kita untuk memperhatikan: pentingnya air bagi semua; pentingnya menyembuhkan komunitas dari ‘throw away culture’; pentingnya memanfaatkan energy secara efektif dan kreatif. Rahmat Yang dimohon: Kontribusi nyata APTIK Provokasi: Pentingnya kehendak untuk membangun bumi yang baru Santo Ignatius dan para Yesuit perdana (primi patres) memberi teladan cara ber-deliberasi (menimbangnimbang perkara bersama-sama: memaparkan halnya, memilah, memilih dan mengambil keputusan yang harus dilaksanakan). Sebelum kita berbicara panjang lebar mengenai suatu perkara, sangat penting kupastikan di dalam diriku bahwa yang menjadi keputusan pembicaraan bersama ini akan KULAKUKAN. United Nations Climate Change Conference 2007 (UNCCC) di Bali mengenai pemanasan global menjadi salah satu contoh ‘ironis’: pertemuan menghasilkan keputusan bagus, tetapi TIDAK DILAKSANAKAN.
Negotiations on a successor to the Kyoto Protocol dominated the conference. A meeting of environment ministers and experts held in June called on the conference to agree on a road-map, timetable and 'concrete steps for the negotiations' with a view to reaching an agreement by 2009. It has been debated whether this global meeting on climate change has achieved anything significant at all. "We've been suckered again by the US. So far the Bali deal is worse than Kyoto" Initial EU proposals called for global emissions to peak in 10 to 15 years and decline
5
"well below half" of the 2000 level by 2050 for developing countries and for developed countries to achieve emissions levels 20-40% below 1990 levels by 2020. The United States strongly opposed these numbers, at times backed by Japan, Canada, Australia and Russia. The resulting compromise mandates "deep cuts in global emissions" with references to the IPCC's Fourth Assessment Report. (by George Monbiot, December 17, 2007, Guardian unlimited) Pembicaraan panjang para politikus dengan back up ratusan businessmen berakhir dengan satu kata: delay !!!!Delay to reduce emissions levels. Michel Foucault merefleksikan bahwa realitas politik selalu berwajah ambigu.(Ketika Kusni Kasdut dihukum mati sebagai penjahat, beberapa orang justru menganggapnya sebagai pahlawan.Ketika beberapa anggota DPR mencalonkan beberapa mantan presiden sebagai pahlawan, rakyat mencibir para calon pahlawan sebagai ‘pecundang’ bangsa. Ketika para pemimpin Negara maju tidak berani mengambil tindakan konkret untuk mengurangi emisi karbon, anak-anak TK, SD mulai membuat beberapa orang tua tidak nyaman: ‘Mama, tidak baik memakai AC, ini menyebabkan bumi makin panas !!!!’ Begitu pula mulai muncul istilah‘green buster’, ‘Green Monster’, ‘Ijo-lan sampah’, ‘composting for education’ dan lain sebagainya. Ini merupakan suatu gejala local genius yang perlahan menjadi gerakan universal untuk memperhatikan ‘our common home’, Ibu Pertiwi, s (bumi), menjadi embrio-yang dalam bahasa Paus Fransiskus- disebut sebagai ‘new citizenship’. Musuh utama formasi new citizenship adalah karakter ‘lemah kehendak’. Kelemahan kehendak biasanya berakar pada atau ‘lemah nalar’ atau ‘lemah rasa’ atau ‘lemah nalar dan rasa sekaligus’. Dalam hal inilah kita perlu menilik local genius ‘Serat Wedatama’ yang ditulis oleh Mangkunegara IV dua abad yang lalu. Mungkinkah pendidikan tinggi membantu formasi ‘warga dunia baru’ yang memiliki ‘ketangguhan dan kekuatan kehendak’? Pertobatan Nalar, Rasa, Kehendak Rumi (1112) memberikan refleksi tajam, indah dan manusiawi mengenai pertobatan ‘Nasuha’ (kisah bisa dibaca di appendix).Memang hanya pertobatan otentik yang bisa melahirkan ‘hidup baru’ dan pertobatan otentik selalu menyentuh pengalaman yang sangat manusiawi. Bahkan Anda akan menemukan, pertobatan otentik hanya akan ‘sustainable’ bila ternyata hasilnya adalah membawa rasa lebih enak, rasa lebih comfortable. Dalam bahasa Rama Mangunwidjaya terungkap ‘benar cantik dengan sendirinya’.Tindakan tidak keliru dengan sendirinya membawa rasa puas mendalam, bahkan menginspirasi untuk tindakan tidak keliru berikutnya. Rupa-rupanya di tengah masyarakat kita jarang terjadi pertobatan karena pemahaman kurang menyeluruh atau kurang tepat mengenai ‘tobat’.Tobat terbayangkan membawa akibat rasa ‘tidak enak’ melebihi ‘rasa enak’ yang timbul.Hanya bila seseorang sudah mengalami secara empiris bahwa ‘sebuah tindakan baru’ ternyata lebih membawa ‘rasa lebih enak secara tidak keliru’ dibandingkan dengan kebiasaan lama, maka orang ini akan tetap dalam pertobatannya.
6
Beberapa ilustrasi kecil akan membantu: (1) Beberapa orang akhirnya lebih suka mengurangi makan ‘gorengan’ atau minum manis, sebab ternyata membawa efek lebih segar di badan. (2) Saya lebih suka pergi dari rumah ke kampus VU University di Amsterdam dengan mengendarai sepeda daripada naik ‘trem’. Ketika saya refleksikan, mengapa saya lebih suka naik sepeda? Ternyata: saya naik sepeda bukan karena saya ingin mengurangi emisi karbon, bukan karena tidak punya uang saku untuk membayar trem, tetapi karena ternyata naik sepeda jauh lebih nyaman daripada naik trem. (3)Beberapa teman sudah merasakan juga bahwa ‘tidak merokok’ ternyata lebih nyaman dan menyenangkan daripada ‘merokok’. (4) Mudah-mudahan banyak orang akan menemukan juga bahwa ‘tidak korupsi’ (waktu, pikiran dan semacamnya) ternyata lebih menyenangkan daripada ‘korupsi’. Pasti ketika kita menggunakan waktu sebaik-baiknya, menggunakan kesempatan untuk berdiskusi sebaik-baiknya, menggunakan kesempatan untuk menikmati alam sebaik-baiknya, kita sesungguhnya merasakan ‘nikmat’, ‘asyik’, ‘segar’, ‘lovely’, ‘cerdas’, ‘ciamik’, ‘top tenan’. Kecerdasan Rumi memaparkan pengalaman ‘Nasuh’ membantu kita paham mengenai makna ‘tobat otentik’.Pertobatan otentik melibatkan ‘penalaran’, ‘afeksi (rasa yang timbul karena tindakan), kehendak dan ‘pengalaman going beyond’.Sesungguhnya, dalam hidup keseharian, Anda, Saya, Kita mengalami pertobatan-pertobatan kecil.Setiap hari, saya yakin Anda semua mengalami pengalaman-pengalaman ‘going beyond’ yang sesungguhnya merupakan titik-titik kecil pertobatan sederhana. Bagi saya ‘tidak menunda’ , ‘tidak marah’, ‘tidak membiarkan diri patah arang’, merupakan hal kecil yang selalu menyenangkan. ‘Sayang sekali, banyak pengalaman indah dan penting itu ‘lenyap’ karena tidak pernah ‘diendapkan’, tidak pernah disadari, hanya lewat begitu saja. Padahal, perjalanan hidup sudah menempa kita untuk mengalami pertobatan-pertobatan yang menyenangkan.Mangkunegara IV (1811) sudah merefleksikan betapa pentingnya ‘mardi siwi’ (mendidik anak). Dalam Wedhatama, Mangkunegara menawarkan pedagogi (paidon agoge) untuk membangun nalar yang mantab melalui wiweka rasa yang melahirkan kehendak kokoh dan tangguh dalam bermasyarakat. Jinejer ing wedhatama, mrih tan kemba kembenganing pambudi. Mangka najan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yekti sepi asepa lir sepah samun, samangsane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglelingsemi. (Diajarkan dalam wedhatama, supaya endapan nalar berasa mantab. Setiap dari kita memang akan menjadi tua dan pikun; namun demikian bila kita tidak mencermati (wikan) rasa; kita akan mendapatkan diri senyatanya sepi, sepa (tanpa rasa), sepah (ampas tebu) samun (tidak jelas); ketika dalam perkumpulan, tingkah laku orang seperti ini akan memalukan) Metodologi: Merdeka, Kreatif, Berani Ambil Resiko :dasar kokoh ‘agent of change’
7
Perguruan Tinggi merupakan ‘locus incarnationis’ ruang penjelmaan Sabda yang mau mendaging. Setiap tahun ribuan mahasiswa baru menggabungkan diri: siap dibantu untuk mendagingkan Sabda. Ribuan yang lain sesungguhnya siap untuk ditinggikan di kayu salib. Sepertinya abstrak, padahal sesungguhnya konkret. Perguruan tinggi menjadi ‘locus incarnationis’ ruang penjelmaan.Allah ingin didagingkan di dalam nalar, rasa dan kehendak setiap mahasiswa yang bergabung dengan Civitas Akademik kita.Panggilan kita tidak lain adalah: membantu mereka ‘dengan gembira’ membiarkan penalaran-penalaran Allah tumbuh dalam nalar mereka; membantu mereka ‘merasakan dalamdalam’ betapa menyenangkan, betapa berat, betapa menantang membangun persahabatan, membangun kerjasama, membangun komunitas, membangun suasana Allah yang Meraja; membantu mereka berani membentur-benturkan diri untuk terbentuk, membantu mereka berani ‘going beyond’, berani ‘rugi’, berani memperhatikan, melayani, mencintai orang lain. Hanya itu. Dan itu artinya, perlahan-lahan mengajak anak berani: ‘nggetih’ (merdeka, kreatif, berani ambil reasiko). Pertobatan personal: ternyata orang muda masih bisa berubah Ternyata, dari pengalaman-pengalaman kecil beberapa tahun mendampingi para mahasiswa di USD, saya menemukan antusiasme, semangat yang menyala-nyala dari orang muda untuk tumbuh.Orang-orang muda ini sangat ingin meneliti, sangat ingin mengambil tantangan, sangat ingin belajar mengenai hal-hal yang memang sangat menarik. Setiap tahun, tidak kurang dari 15 (10% dari populasi) mahasiswa baru Fakultas Farmasi USD dengan penuh semangat dan gembira masuk kebun obat dan membuat penelitian-penelitian (PKM) yang sangat menarik. Tiap tahun, mahasiswa baru Pendidikan Biologi USD menikmati tantangan ‘empat hari inisiasi diri sendiri’ di pantai Drini dan sekitarnya dan disitu mereka menemukan motivasi untuk belajar selama empat tahun ke depan. Terus terang, saya banyak kali DIPERTOBATKAN: tercengang melihat GAIRAH muda yang sedemikian otentik dan terbuka untuk menjadi pribadi A, yakni pribadi yang ‘always thinking, serving, loving, ministering others’. Betapa menyengankan, membahagiakan menemani mahasiswa baru ‘menemukan tantangan’, menemukan ‘visi’, menemukan cara untuk tumbuh. Itu semua tampak dan terungkap dalam ‘gesture’ fisik mereka: mata berbinar, pingin tahu, bertanya, gembira, ceria, siap sedia mengambil tanggung jawab, dan siap ambil resiko mengekplore tantangan. Semakin menantang semakin tinggi adrenalin.Pertobatan ternyata sangat menyenangkan. Pertobatan itu tak terlupakan: menjadi merdeka, menjadi kreatif, menjadi berani ambil resiko. Bulan Maret 2015, Franky seorang Mahasiswa Papua memutuskan untuk memelihara lele di dua kolam Pusat Studi Lingkungan USD untuk persiapan inisiasi bagi adik-adik angkatan baru.Pada kesempatan ‘inisiasi diri sendiri prodi PBIO 2015/2016’ akhir Sepetember yang lalu dengan bangga ia menunjukkan bahwa seluruh lampu LED yang dipakai dalam camping inisiasi diri sendiri dibeli dari hasil panen lele. Ini merupakan gambar seorang yang ‘mau rugi’, berani ambil resiko dan merdeka. Anehnya: sikap mau rugi yang dihidupi oleh Franky ini diam-diam diserap secara lembut dan mendalam oleh adik-adik kelasnya. Begitulah ‘Allah yang Menjelma’ itu sesungguhnya mendaging di dalam hidup orang-orang muda seperti Franky ini.Saya menyaksikan, jumlah orang-orang muda yang mengalami transformasi sederhana seperti ini
8
Cukup banyak, bahkan sangat banyak.Jumlah mereka per angkatan Cukup untuk membuat angkatan mereka ‘gila’. Peran Formator (Dosen, Karyawan dan seluruh Civitas Akademik) Dosen, karyawan dan seluruh Civitas Akademik adalah formator bagi setiap mahasiswa dan juga seluruh Civitas Akademik yang lain. Peran utama formator adalah menjadi teman. Aristoteles memperkenalkan ‘maiuteke tekne’ yakni peran formator sebagai bidan, yang berperan membantu kelahiran ‘pengetahuan’, ‘kehendak’, dan ‘energi mengeksekusi mimpi’. Perhatian biasanya sudah cukup diarahkan untuk formasi para Dosen supaya semakin mampu membantu formasi para mahasiswa.Tidak kalah penting adalah peran para karyawan (administrasi, kebersihan, keamanan dsb).Mereka dalam kehadiran dan ketekunan menjalankan tugas sesungguhnya membantu formasi mental para mahasiswa.Dan tidak kalah penting lagi adalah peran komunitas para mahasiswa (peer group) sendiri. Keberhasilan membentuk komunitas-komunitas mahasiswa yang kreatif dan produktif akan sangat membantu ‘channeling’ energy keseluruhan mahasiswa. Tantangan Formator Perguruan Tinggi adalah membantu civitas akademik, terlebih mahasiswa, untuk mengalamai pertobatan-pertobatan sederhana: pertobatan penalaran, pertobatan fisik dan batin melalui pembadanan pengalaman (praktikum, studi lapangan, kuliah, kegiatan ekstra), pengendapan pengalaman (refleksi menyangkut Rasa, Nalar, Kehendak) dan perayaan (selebrasi) pengalaman olah nalar, rasa, kehendak sampai ke fisik. Indonesia Raya: Ingenuinity Observasi awal: masih ada banyak ruang dan waktu yang secara sangat sederhana akan membawa warga Indonesia mengalami persentuhan nalar, rasa dan kehendak dengan alam. Anak-anak sekolah dasar atau SMP yang tinggal di tempat-tempat yang masih jauh dari kemudahan sarana transportasi memiliki potensi persentuhan fisik dengan tantangan alam seharihari.Masih banyak juga Ibu-Ibu yang menekuni karya-karya sederhana dengan berjualan dipasar, bercocok tanam di sawah, mengerjakan seni kriya di rumah.Terhadap kenyataan ini, afirmasi dari pemimpin seperti Jokowi merupakan hal yang sangat penting.Pengakuan, konfirmasi bahwa yang mereka kerjakan sehari-hari adalah hal yang ‘genuine and excellent’ hal yang asli dan luar biasa. Kunjungan langsung Jokowi ke Kalimantan merupakan fenomen menarik. Ketika Jokowi datang, seluruh jajaran polda, polres, bupati, camat berbondong-bondong memadamkan api. Selesai acara kunjungan Jokowi pulang. Tanpa mereka ketahui, lima jam kemudian…. Jokowi datang lagi ke lokasi yang sama. Dan ternyata, tak seorangpun ditemui di sana. Tak seorangpun….. Ini merupakan contoh ‘tajam’ dari ‘rapuhnya kehendak’.Bahkan para prajurit yang biasanya sudah tertempa dengan mental baja, tak satupun tampak bekasnya.Ke manakah mental itu?????Betapa menyakitkan, mengetahui kenyataan bahwa Pribadi-Pribadi yang mestinya memiliki KEHENDAK TANGGUH DAN KOKOH ternyata adalah ‘Arya kendor’. Salah satu poin menarik dari Paus Fransiskus adalah kekokohan kehendaknya.Beliau melihat, kita bisa membangun ‘new citizenship’. Untuk ini kita perlu melakukan dialog ‘fisik’. Artinya
9
bertatap muka, saling mendengarkan, saling berbagi pengetahuan dan ide, saling mengembangkan.Mendengarkan itu menggerakkan. Orang yang didengar, akan bergerak. Ketika Anda tidak didengar, maka besar kemungkinan Anda akan ‘diam’ atau bahkah ‘mundur menjauh’. Perhatikan, ketika Anda didengar, ketika anak didengar… ketika mahasiswa didengar… mereka bergerak. Tantangan PT adalah membantu para mahasiswa untuk tumbuh menjadi ‘transformation agents’ untuk pandai, cerdas mendengarkan, pandai melibatkan orang lain, pandai terlibat dalam gerak bersama. Tidak ada cara lebih tepat untuk mengajari para mahasiswa cerdas mendengar, daripada ‘MENDENGARKAN’ mereka dengan jeli dan teliti. Latihan-latihan mendengarkan diri sendiri dengan baik dan benar (refleksi, menulis refleksi, membagikan refleksi) dan latihan mendengarkan orang lain (mendengarkan presentasi, mendengarkan pertanyaan, mendengarkan diskusi) merupakan latihan terbaik untuk mampu MENGGERAKKAN ORANG LAIN. Colloquium: 211. Yet this education, aimed at creating an “ecological citizenship”, is at times limited to providing information, and fails to instil good habits. The existence of laws and regulations is insufficient in the long run to curb bad conduct, even when effective means of enforcement are present. If the laws are to bring about significant, long-lasting effects, the majority of the members of society must be adequately motivated to accept them, and personally transformed to respond. Only by cultivating sound virtues will people be able to make a selfless ecological commitment. A person who could afford to spend and consume more but regularly uses less heating and wears warmer clothes, shows the kind of convictions and attitudes which help to protect the environment.There is a nobility in the duty to care for creation through little daily actions, and it is wonderful how education can bring about real changes in lifestyle. Education in environmental responsibility can encourage ways of acting which directly and significantly affect the world around us, such as avoiding the use of plastic and paper, reducing water consumption, separating refuse, cooking only what can reasonably be consumed, showing care for other living beings, using publictransport or car-pooling, planting trees, turning off unnecessary lights, or any number of other practices. All of these reflect a generous and worthy creativity which brings out the best in human beings. Reusing something instead of immediately discarding it, when done for the right reasons, can be an act of love which expresses our own dignity. Apa yang sudah kulakukan? Ultimate goal apa yang SUDAH menjadi ‘visi’ formasi mahasiswa dan seluruh civitas akademik di lingkungan Perguruan Tinggiku? Proximate goals apa saja yang SUDAH dapat membantu setiap mahasiswa, setiap dosen dan setiap karyawan untuk dari tahap-ke tahap mengenali ‘needs’ dan mentransformasikannya menjadi ‘calling’ panggilan serta ‘values’ nilai-nilai dan keutamaan yang mengantar menjadi pribadi yang berani mendengarkan, memperhatikan, menghargai, menemukan makna, dan selalu memikirkan, melayani, mengabdi dan mencintai orang lain. Apa yang sedang kulakukan?
10
Ultimate goal apa yang SEDANG menjadi visi formasi mahasiswa dan seluruh anggota civitas akademik? Proximate goals apa saja yang SEDANG ditawarkan untuk membantu mahasiwa dan seluruh anggota civitas akademik untuk bertransformasi menjadi ‘A quality person’. Apa yang harus kulakukan? Ultimate goal apa yang mau kujadikan ‘visi’ dari Perguruan Tinggi di lingkungan APTIK? Proximate goals apa saja yang bisa kupilih untuk menjadi sarana formasi (Nalar-Rasa-Kehendak) dari para Mahasiswa (dosen dan karywan juga) untuk menjadi ‘new cisizenship’? Penutup Membangun ‘New Citizenship’ bukanlah hal mustahil.APTIK sebagai ektensi dari masingmasing Perguruan Tinggi Katolik merupakan ruang untuk ‘mendalam dan meluas’ bagi usaha membangun new citizenship. Masing-masing Perguruan Tinggi dapat secara kreatif menemukan proximate goals yang bisa jadi sangat lokal, tetapi bisa di-‘share’ secara lebih luas dan mendalam oleh Perguruan tinggi yang lain. Di tengah tantangan yang sangat kompleks dari dunia saat ini, ‘latihan-latihan’ integrasi ‘nalar-rasa-kehendak’ melalui kegiatan kuliah maupun di luar kuliah bisa menjadi pilihan strategis membangun ‘new cisizenship’ yang memiliki ‘awareness’ akan common home kita, Ibu Pertiwi Nusantara. .