Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
MEMAHAMI KEANEKARAGAMAN UNTUK MEMBANGUN MASA DEPAN Eko B. Walujo Herbarium Bogoriense Pusat Penelitian Biologi LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor, Cibinong 16911 P.O.Box 25 Cibinong ABSTRAK Indonesia adalah negara yang memiliki karakteristik yang sangat unik, selain kaya dengan sumber daya hayati, Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman kelompok etnis dengan kehidupan sosial dan budaya yang berbeda. Jika keunikan ini dipadukan dengan keanekaragaman ekosistem di seluruh Kepulauan Indonesia, maka tidak mengherankan jika tumbuh kembang berbagai sistem pengetahuan tentang alam dan lingkungan. Pengetahuan ini bervariasi dari satu kelompok suku ke kelompok suku lain yang tampaknya bergantung pada tipe ekosistem tempat mereka tinggal, iklim terutama curah hujan, adat, tatacara, perilaku, pola hidup kelompok atau singkatnya pada tingkat kebudayaan suku-suku bangsa tersebut. Dalam konteks pemahaman masyarakat mengenai keanekaragaman hayati berarti menenkankan pentingnya menghormati keberadaannya termasuk didalamnya pengetahuan pemanfaatan dan pengelolaannya. Melalui kedua elemen dasar ini dipercaya dapat dijadikan sebagai dasar pijakan dalam kerangka menjaga stabilitas dan perdamaian dimuka bumi. Oleh karena itu “Menghormati Alam” menjadi salah satu nilai fundamental bagi umat manusia dalam mengelola dan memanfaatkannya secara keberlanjutan melalui pertimbangan etika, konservasi dan kepedulian. Topik inilah yang akan diulas dalam mengantarkan tema seminar pentingnya integrasi keanekaragaman hayati dan kebudayaan dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Kata Kunci: Keanekaragaman hayati, Budaya, dan Pembangunan berkelanjutan PENDAHULUAN Deklarasi PBB dalam Millennium Development Goals (2000), menyerukan tentang pentingnya “Menghormati Alam “ sebagai salah satu nilai fundamental bagi umat manusia. Oleh sebab itu pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalamnya harus berprinsip pada keberlanjutan. Deklarasi tersebut juga menggarisbawahi bahwa untuk mencapai tujuan itu maka strategi pengelolaan dan pemanfaatannya harus diubah, yaitu melalui pertimbangan etika, konservasi dan kepedulian terhadap lingkungan. Hanya dengan cara ini diyakini bahwa kesejahteraan masa depan generasi penerus akan tetap terjaga. Ide, gagasan dan pendapat lembaga internasional ini sejalan dengan tema seminar yang mengangkat pentingnya integrasi keanekaragaman hayati dan kebudayaan dalam pembangunan berkelanjutan. Ada tiga kata kunci yang perlu untuk dipahami adalah tentang keanekaragaman hayati, budaya dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam konteks memahami keanekaragaman hayati berarti menenkankan pentingnya menghormati keberadaannya. Untuk memahami keberadaan itu, dalam praktek seharihari pengetahuan pemanfaatan dan pengelolaannya termasuk di dalamnya adalah menghormati keanekaragaman manusia penggunanya. Melalui kedua elemen dasar ini dipercaya dapat dijadikan sebagai dasar pijakan dalam kerangka menjaga stabilitas dan perdamaian dimuka bumi. Oleh karenanya, yang menjadi kunci untuk menciptakan bentuk pembangunan yang berkelanjutan adalah mencoba menselaraskan dengan kebutuhan serta aspirasi setiap budaya masyarakat, yaitu dengan cara meninggalkan pola-pola yang merusak kehidupan. Sejalan dengan pemahaman ini toleransi dan saling menghormati untuk kekhasan budaya adalah kondisi yang sangat diperlukan untuk meningkatkan saling memahami di antara masyarakat dunia dan pengakuan atas nama kemanusiaan. Dengan 1
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI sendirinya pemahaman keanekaragaman hayati dalam konteks budaya secara tidak langsung melibatkan cara pandang dunia kosmologi. Keanekaragaman budaya sebagai sumber inovasi, kreativitas merupakan kunci untuk masa depan yang saling memperkaya umat manusia. Keanekaragaman budaya tidak hanya dilihat dari perspektif pelestarian, akan tetapi pengaturan secara terus menerus, melakukan dialog antara semua ekspresi dan identitas antar budaya. Apa yang benar-benar perlu dipertahankan dan apa yang perlu dikembangkan. Ada hubungan timbal balik antara keanekaragaman dan dialog yaitu hubungan sebab akibat yang mengikat mereka agar tidak dapat membahayakan keberlanjutan pembangunan. Ini adalah proses yang menempa keanekaragaman budaya menjadi bahasa yang umum bahwa seluruh umat manusia dapat berbicara dan memahami. Keanekaragaman semacam ini akan menjadi modal dan perekat serta menyatukan antar individu, individu dan masyarakat serta masyarakat dengan masyarakat. Deklarasi Universal UNESCO tentang keanekaragaman budaya serta menghargai atas keberagaman itu harus menjadi “pilihan terbuka untuk semua orang” tanpa harus mengorbankan pentingnya mempertahankan keanekaragaman hayati untuk keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia. Jika kita membiarkan bahasa dan budaya mati, berarti secara tidak langsung akan mengurangi jumlah pengetahuan tentang keanekaragaman hayati yang bermanfaat bagi kehidupan di bumi. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa visi moral manusia untuk menjadikan pemanfaatan sebanyak mungkin dengan prinsip selaras dengan aspirasi budaya lokal. Keanekaragaman budaya harus menjamin keberlanjutan karena mengikat tujuan-tujuan pembangunan yang universal untuk visi moral yang masuk akal dan spesifik. Lingkungan dan keanekaragaman hayati memungkinkan menyediakan fasilitas itu. Sukara (2003) mengisyaratkan bahwa kerusakan lingkungan amat dipengaruhi oleh pola konsumsi, besarnya jumlah penduduk, teknologi produksi, tataguna lahan serta factor lain penyebab polusi. Pemahaman menyeluruh tentang keanekaragaman hayati untuk pembangunan berkelanjutan di Indonesia terekam dalam buku “Bioresourses Indonesia untuk Pembangunan
ISBN:978-602-9138-68-9
Ekonomi Hijau” (2013). Dari sudut pandang geografi tumbuhan, Indonesia merupakan bagian dari figeografi Malesia (Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Singapura dan Timor L’este). Berdasarkan fitogeografi kawasan Malesia ini, Indonesia memiliki posisi sangat penting dan strategis dari sisi kekayaan dan keanekaragaman jenis tumbuhan beserta ekosistemnya. Data IBSAP (2003) memperkirakan terdapat 38.000 jenis tumbuhan (55% endemik) di Indonesia, sedangkan untuk keanekaragaman hewan bertulang belakang, di antaranya 515 jenis hewan menyusui (39% endemik), 511 jenis reptilia (30% endemik), 1531 jenis burung (20% endemik), dan 270 jenis amphibi (40% endemik). Tingginya keanekaragaman hayati dan tingkat endemisme itu tadi menempatkan Indonesia sebagai laboratorium alam yang sangat unik untuk tumbuhan tropik dengan berbagai fenomenanya. Dalam hal sumber daya genetik, Indonesia dan Indo-China dicatat sebagai salah satu pusatnya. Vavilov, menurut catatan Zeven dan Zhukovsky (1967) Indonesia merupakan kawasan yang banyak ditemukan kerabat jenisjenis liar yang berpotensi ekonomi. Jauh sebelum penelitian Vavilov mengenai pusat asal tanaman budidaya, de Candolle (1855) telah menunjukkan bahwa terdapat tiga kawasan pertanian utama yaitu, Asia Selatan Barat, China, dan Amerika Tropika. Setelah itu Vavilov melanjutkan penelitiannya mengenai pusat-pusat dunia tentang tempat asal tanaman budidaya yaitu, Asia Selatan-Barat, Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Mediteranian, Abisinia, dan Amerika. KEBINEKAAN DAN PLURALITAS BANGSA INDONESIA DALAM MEMAHAMI KEANEKARAGAMAN HAYATI Telah diketahui secara luas bahwa SDA memiliki peran ganda dalam kehidupan manusia, yakni di satu sisi sebagai penopang sistem kehidupan sedangkan di sisi lain SDA juga berperan sebagai modal pembangunan. Dalam hal sumber daya tumbuhan, masyarakat umum meyakini bahwa sumberdaya tersebut memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia, baik untuk mencukupi kebutuhan sandang, pangan, kesehatan maupun papan. Dalam hal pangan tercatat tidak kurang dari 2
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI 3000 jenis dari 200.000 jenis tumbuhan berbunga dilaporkan bermanfaat untuk pangan. Dari jumlah tersebut baru kira-kira 200 jenis yang telah didomestikasi menjadi tanaman budidaya. Sayangnya, penduduk dunia saat ini hanya mengandalkan gandum, padi, jagung dan kentang sebagai pangan utama (Swaminathan 1981; Hawkes 1983; dan Sastrapradja 2006). Banyak cara untuk mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki karakteristik yang sangat unik, selain kaya dengan sumber daya hayati, Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman kelompok etnis dengan kehidupan sosial dan budaya yang berbeda (Walujo, 2008). Jika keunikan ini dipadukan dengan kebhinekaan suku-suku bangsa yang mendiami di seluruh Kepulauan Indonesia, maka tidak mengherankan jika tumbuh kembang berbagai sistem pengetahuan tentang alam dan lingkungan. Pengetahuan ini bervariasi dari satu kelompok suku ke kelompok suku lain yang tampaknya bergantung pada tipe ekosistem tempat mereka tinggal, iklim terutama curah hujan, adat, tatacara, perilaku, pola hidup kelompok atau singkatnya pada tingkat kebudayaan suku-suku bangsa tersebut (Walujo, et al, 1991). Kesadaran akan keunikan, keanekaragaman dan kekayaan ini masih belum mampu menjadikan Indonesia keluar dari persoalan lingkungan. Konsep pemanfaatan dan pengelolaan berkelanjutan yang dirintis oleh masyarakat adat/lokal di seantero nusantara masih belum diakui padahal kearifan lokal sudah terbukti ampuh dalam menjaga kelestarian alam.
ISBN:978-602-9138-68-9
telah banyak diminati, yaitu etnobotani, etnozoologi dan kemudian berkembang menjadi etnobiologi. Bidang etnobiologi menjadi disiplin keilmuwan yang menfokuskan penelitian dan perhatian tentang hubungan saling ketergantungan antara kelompok etnis tertentu dengan sumberdaya alam tumbuhan dan hewan. Oleh karenanya, etnobiologi merupakan salah satu disiplin yang menjembatani antara landasan filosofis dan etika lingkungan yang menjadi dasar ilmiah dalam ilmu lingkungan. Dalam fase berikutnya penelitian etnobiologi sangat erat kaitannya dengan etnoekologi. Keterkaitan dengan ekologi, etnoekologi memberi dua prinsip penting bagi pengembangan pendekatan yang mengintegrasikan ke dalam ranah etnobiologi, yaitu konsep ekosistem, dan populasi sebagai variabel kualifikasi dalam model ekologi. Konsekuensi banyaknya keanekaragaman hayati berguna untuk kepentingan kehidupan setiap kelompok masyarakat, Turner (1988) melakukan penelitian etnobotani melalui penilaian kualitas, intensitas, dan eksklusifitas penggunaan tumbuhan. Selain faktor-faktor tersebut, juga penting untuk ditambahkan bagaimana masyarakat mengenali, memberi nama serta menghargai. Pengenalan secara luas suatu jenis tumbuhan oleh kelompok masyarakat tertentu dianggap memiliki indikasi derajat nilai budaya yang tinggi. Sebaliknya jika memiliki nilai rendah menggambarkan bahwa jenis tumbuhan tersebut kurang memiliki nilai guna bagi kehidupan sehari-harinya. Dalam hal kualitas penggunaan, Turner membagi dalam 5 kategori, masing-masing sebagai bahan utama/primer dan bahan tambahan/sekunder, baik yang bermanfaat sebagai makanan, obat-obatan, dan ritual. Kemudian dalam hal intensitas, dikelompokkan kedalam penggunaan setiap hari, musiman atau tahunan. Sedangkan dalam hal eksklusifitas dipertimbangkan berdasarkan peran/ kepentingannya dalam budaya tertentu. Dalam praktek penelitian, Pieroni (2001) memodifikasi metode yang dikembangkan oleh Turner tersebut dengan menambahkan Etnis Indeks Signifikasi Budaya untuk setiap kelompok etnis yang terlibat dalam sebuah penelitian. Kelemahan keseluruhan telaah ini belum mencakup parameter frekuensi ketersediaan secara ekologi. Nilai kualitas pemanfaatan tumbuhan yang dikelompokkan dalam bahan pangan utama
Etnobiologi: Memahami pengelolaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati dalam perspektif budaya Etnobiologi pertama kali secara resmi didefinisikan dan dipopulerkan oleh Edwad F. Castetter tahun 1944 dalam artikelnya tentang “the domain of ethnobiology” yang mengulas mengenai pemanfaatan tumbuhan dan hewan oleh orang-orang primitive. Kata-kata primitive ini seringkali mengundang banyak kontroversi sehingga dalam perkembangan berikutnya diganti dengan kelompok etnis tertentu atau masyarakat lokal ditempat tertentu. Tujuannya adalah mengintegrasikan dua bidang keilmuwan yaitu ethnoscience, dengan bidang botani dan bidang zoologi. Kedua bidang tersebut melebur dalam satu disiplin ilmu yang sampai sekarang 3
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dan tambahan, ditunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 6000 jenis tumbuhan berbunga, baik yang liar maupun budidaya, dikenali dan dimanfaatkan untuk keperluan bahan makanan, pakaian, perlindungan dan obat-obatan. Masyarakat Indonesia mengonsumsi tidak kurang dari 100 jenis tumbuhandan biji-bijan sebagai sumber karbohidrat. Tidak kurang dari 100 jenis kacangkacangan, 450 jenis buah-buahan serta 250 jenis sayur-sayuran dan jamur (KMNLH 2007). Begitu juga dengan sumber daya hayati laut, hewan serta miroba, sudah lama dimanfaatkan untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat Indonesia. Kualitas pemanfaatan ini juga didukung berdasarkan hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salahsatu pusat-pusat dunia tempat asal tanaman budidaya (Vavilov 1926), atau pusat IndochinaIndonesia (Zeven dan Zhukovsky 1967), atau lingkar pulau-pulau selatan ( Li Hui-Lin 1970). Menurut Vavilov, kawasan ini kaya akan jenis jahe-jahean, pisang, padi tebu, kacang-kacangan (kara pedang, Canavalia gladiata; benguk, Mucuna pruriens; kecipir, Psophocarpus tetragonolobus; petai, Parkia speciosa; jengkol, Pithecellobium jiringa), bambu, kelapa, ubigembili, mangga dll. Li (1970) juga sepakat dengan Vavilov bahwa di pulau-pulau nusantara merupakan pusat buah-buahan seperi manggis (Garcinia mangostana), rambutan (Nephelium lappaceum), dan durian (Durio zibethinus), jeruk nipis (Citrus aurantica). Li juga menambahkan bahwa, karena pada umumnya di kawasan pulau-pulau di lingkar selatan selalu menghijau sepanjang tahun maka, masyarakat tidak ada dorongan untuk membudidayakan sayur-sayuran, karena selalu tersedia sepanjang tahun dan dapat langsung dipanen dari jenis liarnya. Walujo (2011) berpendapat bahwa nilai kualitas penggunaan tumbuhan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan saja. Kebutuhan akan kesehatan juga telah berlangsung sejak munculnya peradaban manusia dimuka bumi. Tradisi pengobatan ini dapat ditelusuri kembali lebih dari lima milenia yang silam dengan munculnya dokumen tertulis dari peradaban kuno Cina, India dan di Timur Tengah. Penggunaan ramuan tumbuhan secara empirik, berlangsung selama beberapa abad diiukuti oleh penemuan beberapa senyawa
ISBN:978-602-9138-68-9
bioaktif. Penemuan alkaloid morfin, striknin dan kuinin pada awal abad ke 19 merupakan era baru dalam penggunaan tumbuh-tumbuhan sebagai bahan obat dan hal ini merupakan titik awal penelitian tumbuh-tumbuhan obat secara modern. Ditinjau dari segi ilmu kimia, setiap jenis tumbuhan merupakan gudang bahan kimia (chemical prospecting). Banyak diantara ratusan bahan kimia ini sangat berguna untuk pengobatan dan kosmetika. Paling tidak lebih dari 50% turunan produk yang ada saat ini berasal dari sumber daya alam hayati (Fransworth 1985). Soejarto (1991) bahkan melaporkan telah terbukti ada 120 senyawa kimia yang berasal dari 100 famili tumbuhan, yang sebagian besar adalah tumbuhan tropik, termasuk yang terdapat di Indonesia. Jenis-jenis tersebut ternyata berpotensi untuk pengobatan berbagai jenis penyakit, antara lain malaria, kanker, jantung dan hipertensi. Erat kaitan dengan intensitas pemanfaatan keanekaragaman hayati, tergambarkan dalam kehidupan masyarakat di pedesaan. Intensitas pemanfaatannya amat bergantung dari kebutuhan langsung ataupun tidak langsung. Hasil penelitian botani ekonomi di berbagai kebun, pekarangan dan tegalan tingginya intensitas pemanfaatan berbagai kultivar primitif pohon buah-buahan seperti durian (Durio zibethinus), rambutan (Nephelium lappaceum), duku (Lansium domesticum), mundu (Garcinia dulcis), sentul (Sandoricum koetjapi), perdu-perduan seperti rukam (Flacourtia rukam), pisang (Musa x paradisiaca), buni (Antidesma bunius), tumbuhan liana, misalnya ubi-ubian (Dioscorea alata, D. penthaphylla, D. hispida) dan kacangkacangan, misalnya kecipir (Psopocarpus tetragonolobus), kacang panjang (Vigna sinensis) serta paria (Momordica charantia) dan terna rerumputan seperti jahe-jahean, jahe (Zingiber officinale), kunyit (Curcuma domestica), dan serai (Cymbopogon nardus) menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut penting bagi penopang kehidupan sehari-hari. Sebaliknya pemanenan kayu gaharu, kayu ramin, dan produk hasil hutan non kayu lainnya seringkali hanya merupakan penghasilan tambahan yang intensitas penggunaanya relative lebih rendah. Persoalan baru muncul ketika menyertakan kualitas pengambilan atau pemanenannya. 4
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Nilai eksklusifitas seringkali dipergunakan untuk pertimbangan berdasarkan peran/ kepentingannya dalam budaya tertentu. Karya sastra klasik dalam Serat Centini yang merupakan refleksi kehidupan masyarakat Jawa yang mengupas secara sistematis tentang filsafat, agama, social, budaya, pendidikan, psikologi, sumberdaya alam hayati, dan lingkungan. Sukenti (2002) dalam Thesisnya yang berjudul Kajian Etnobotani terhadap Serat Centini memberi gambaran bahwa ada 331 jenis tumbuhan yang secara eksklusif terkait dengan budaya masyarakat Jawa. Alam lingkungan diyakini mampu menyediakan sumber kehidupan. Hasil telaah Serat Centini tersebut menyebutkan ada 158 jenis tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan pangan, 10 jenis untuk bahan bangunan, 46 jenis untuk bahan perlengkapan atau teknologi tradsional, 6 jenis dimanfaatkan untuk bahan pewarna, 84 jenis untuk memenuhi kebutuhan ritual, 104 jenis untuk bahan obat-obatan, dan 70 jenis untuk bahan kosmetika.
ISBN:978-602-9138-68-9
Praktik ekologi yang selalu berbicara tentang manusia dan lingkungan ternyata telah lama dimiliki dan dipraktekkan oleh masyarakat tempatan. Filasafat Jawa yang terkandung dalam “Hamemayu Hayuning Bawana” atau konsep “sabulungan” bagi masyarakat MatotonanSiberut, “Tri Hita Karana” bagi masyarakat Bali, mengajarkan kuwajiban manusia untuk mengakui, menjaga dan memelihara seluruh alam semesta agar tetap memberikan sumberdaya bagi kehidupan manusia. Intisari dari falsafah hidup ini secara teoritis sejalan dengan pandangan keilmuwan ekologi lansekap. Dalam perspektif ekologi landscape fokus pola spasial penting artinya untuk mengakui pengelolaan lingkungan karena hubungan keterkaitan manusia dalam mengubah lingkungan yang melibatkan antara pola dan proses, termasuk tanggung jawab menjaga untuk memahami dan mengelola, memiliki kebijakan dan mandat hukum dalam memberi keputusan pengelolaan lingkungan agar selalu terpelihara. Namun dalam kenyataanya Balee (1998, 2006) menyebutkan tidak selamanya tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungan. Dinamika evolusi, budaya, ideologi dan sistem sosial berperan aktif dalam mempengaruhi polapola lingkungan (lansekap), karena: (1) aktivitas manusia telah mempengaruhi hampir semua lingkungan; (2) aktivitas manusia tidak selalu menurunkan atau memperbaiki lingkungan; (3) sistem budaya yang berbeda memiliki dampak yang berbeda pada lingkungan mereka; dan (4) interaksi manusia dengan lingkungan dapat dipahami sebagai fenomena yang kompleks. Bagi mereka yang tinggal di sekitar hutan, tempat itu tentu merupakan tumpuan hidup dan tempat untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu secara ekologi, hutan sangat berperan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya bagi penghuninya. Itulah sebabnya mengapa masyarakat yang bermukim di sekeliling hutan memiliki seperangkat pengetahuan yang secara turun temurun telah melembaga menjadi sistem sosial budaya. Contohnya orang Siberut, mengenal tiga dewa untuk menghormati alam. Pertama “Tai Kaleleu”, yakni dewa hutan dan gunung. Pesta adat atau punen mulia yang dilakukan sebelum berburu dipersembahkan kepada dewa ini. Kedua adalah “Tai Leubagat Koat”, yang merupakan dewa laut atau dewa air. Air
Memahami lingkungan dalam perspektif budaya lokal (Management lansekap dalam penelitian etnoekologi) Bentang alam telah menjadi persoalan yang umum dalam pengelolaan sebuah lingkungan beserta sumber daya alam yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu para ahli etnoekologi berupaya mempelajari bagaimana cara masyarakat memahami atau membangun lanskap, untuk kemudian mempertanyakan cara masyarakat memanfaatkan setiap unit lansekap sebagai ruang yang perlu dikelola. Dalam perspektif etnoekologi, memahami pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan terkait dengan kearifan lokal dan cara pandang pengelolaan lingkungan sangat bergantung pada tipe ekosistem tempat mereka tinggal, iklim terutama curah hujan, budaya, ekonomi, teknologi dan politik (Walujo, 2009). Setiap kelompok etnis dengan bahasanya memberi nama yang khas untuk mengekspresikan setiap unit lansekap di lingkungannya. Secara utuh, pengethuan, praktik, dan keyakinan, berkembang melalui proses adaptasi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
5
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dihormati karena memberikan kehidupan, tetapi kadang-kadang juga menimbulkan badai. Tai Leubagat Koat layaknya Dewa Syiwa dalam agama Hindu. Ketiga, “Tai Kamanua”, dewa langit, sang pemberi hujan dan kehidupan. Ketiga dewa itulah yang dipercaya oleh masyarakat Siberut dalam menjaga keseimbangan alam (Romana, F., 2006). Jika orang Siberut lebih mengutamakan pengelolaan berdasarkan atas asas kepercayaan (religius), maka orang Dawan di Pulau Timor, orang Dayak Iban di pedalaman Kalimantan, dan orang Melayu Belitung dalam merepresentasikan keseimbangan dengan cara mengenali dan membagi-bagi lingkungan dalam satuan-satuan lansekap berdasarkan atas asas kepentingan, yaitu untuk kegiatan bertani, berburu, dan meramu. Oleh karena itu pengenalan dan pembagian satuan-satuan lingkungan itu mereka lakukan dengan sangat rinci. Masyarakat Atoni yang berbahasa Dawan di pulau Timor, mengenali lingkungannya dengan membagi ke dalam satuan-satuan lansekap yang diciri oleh wanda (fisiognomi) vegetasi penutupnya (Walujo, 1990). Etnik Dawan mengenal perlindungan hutan alami secara adat, yang dalam bahasa Dawan disebut nasi. Kawasan hutan yang menyatu dan dikeramatkan disebut kiuk tokok). Kedua lansekap tadi memberi cerminan tipe vegetasi asli di daerah itu. Di antara pola sebaran vegetasi asli ini terdapat mosaik lansekap lain yang berupa lahan pertanian (lele dan po’an), padang sabana (hu sona), dan pemukiman (kintal dan kuan). Setiap mosaik lansekap memiliki karakter vegetasi penutup yang berbeda-beda. Pada lansekap yang asli, yang dilindungi oleh kekuatan adat, vegetasi asli di dominansi oleh keluarga jeruk-jerukan (Rutaceae) terutama Micromellum pubescens dan keluarga jarakjarakan (Euphorbiaceae) terutama Mallotus philippensis dan jenis penunjang lain Ervatamia orientalis, Allophyllus cobbe, Paveta indica, Ehretia accuminata, Wrightia calycina dan Schleichera oleosa. Diantara ratusan jenis yang dikenali oleh masyarakat Dawan beberapa jenis kayu memiliki nilai kultural dan ekonomi penting. Jenis itu adalah matani (Ptrerocarpus indicus), haumeni (Santalum album), usapi (Schleicera oleosa), nunuh tili (Ficus benjamina), kabesak (Acacia leucophloea), kiu (Tamarindus indica) dan nek fui (Bombac
ISBN:978-602-9138-68-9
ceiba). Bagian ini merupakan kajian yang sangat baik dalam perspektif penelitian botani ekonomi. Dalam pengelolaan satuan lansekap, masyarakat Dayak juga mengenali istilah-istilah yang menggambarkan satuan-stauan lansekap, misalnya empaq yang berarti hutan primer dan jekau berarti hutan sekunder (Soepardiyono, 1998). Di dalam kategori jekau ini terdapat beberapa sub-kategori, yaitu jekau jue (hutan sekunder tua), jekau buet ( hutan sekunder muda ), jekau metan (belukar), kelimeng (ladang kecil), bekan (ladang yang baru ditinggalkan). Sedikit berbeda sistem yang dipraktekkan masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan. Etnik ini membagi wilayah hutan kedalam satuan-satuan lansekap berdasarkan fungsinya, yakni: (1) pariyun, adalah hutan tempat hewan dan tumbuhan yang dilindungi, tidak boleh di manfaatkan kecuali hanya untuk kepentingan upacara adat. (2) Katuan atau hutan alas yang memang disediakan untuk tempat berburu, mencari gaharu, damar dan kayu. (3) Lasi atau pelasian adalah hutan yang khusus diperuntukkan untuk berladang, berkebun dan beternak. (4) Hutan milik, adalah merupakan kebun tanaman buah, pohon kayu, bambu, rotan milik pribadi. Praktik pengelolaan dan pengorganisasian satuan-satuan lansekap dari berbagai kelompok etnik yang diuraikan di atas adalah menjadi bagian norma kehidupan masyarakat lokal yang terbentuk dari pengalaman empirik yang diulang-ulang kemudian berkembang menjadi sistem religi dan pranata sosial masyarakat. Pemaknaan terhadap satuan-satuan lansekap tadi dilandasi atas keyakinan bahwa alam semesta dengan segala isinya adalah ciptaan Yang Maha Agung. Berdasarkan keyakinan terhadap alam semesta yang dihayati, maka mengembangkan pola-pola sikap perilaku memelihara, memanfaatkan dan mengelola alam yang berkelanjutan dan lestari. Di kalangan komunitas etnik yang masih harmonis ini, manusia merupakan bagian integral dari alam, serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hormat dan peduli terhadap kelangsungan kehidupan di alam semesta. PENUTUP Seperti diuraikan di atas, lebih dari seperempat abad terakhir, masyarakat adat dan masyarakat lokal tidak hanya menjadi perhatian 6
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
para pakar antropologi dan biologi, akan tetapi juga telah menjadi subyek perhatian lembaga internasional. Meningkatnya frekuensi terjadinya hubungan, persinggungan, dan interaksi tanpa batas antar kelompok etnis di bumi Indonesia, lambat laun akan mendepresi keunikan dan kekhasan pengetahuan masyarakat. Disamping itu masih banyak orang yang mempertentangkan kekhasan dan keunikan pengetahuan masyarakat lokal dengan kemajuan spektakuler ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada akhirnya, budaya mereka lambat laun ikut termajinalisasi oleh derasnya arus pembangunan. Jarang disadari bahwa pengetahuan masyarakat tadi jika dirunut sudah dan dapat merupakan modal dasar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dasar dan system pengetahuan masyarakat telah terbukti melahirkan kearifan dan teknologi yang menjadi landasan kebudayaan bangsa Indonesia dengan nilai-nilai luhur yang dapat dibangakan. Dengan kata lain bahwa pengetahuan masyarakat memiliki peluang untuk dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan sehingga tumbuh menjadi ilmu modern yang berurat dan berakar di bumi Indonesia. Oleh karena itu perlu ada kesepakatan bahwa
memahami budaya pengetahuan, ilmu, dan teknologi merupakan sebuah prasarat untuk pengembangan inovasi teknologi dan pembangunan ekonomi. Dengan demikian kekhasan masing-masing kelompok etnis dengan keunikan pengetahuannya tidak perlu dipertentangkan dengan kemajuan spektakuler pengetahuan, ilmu dan teknologi yang dewasa ini sedang mengemuka. Pendapat mengenai pengetahuan masyarakat, sulit (atau bahkan tidak mungkin) untuk disampaikan secara menyeluruh dan lengkap karena kompleksitas budaya yang mendasarinya. Oleh karena itu metodologi penelitian sangat penting untuk menelaah secara rinci tentang system pengetahuan masyarakat ini. Hal ini hanya dimungkinkan, melalui pendekatan multidisiplin seperti, etnobiologi, etnoekologi, etnobotani, etnozoologi, etnomedisine dll. Perlu disadari bersama bahwa bahasa juga memegang peran penting dalam upaya menterjemahkan pengetahuan, melalui sistem taksonomi, persepsi metafisik, dan pengetahuan kodifikasi yang diwariskan dari generasi ke generasi sehingga mampu bertahan hidup dan pada akhirnya mampu membuktikan bahwa dirinya berguna dalam dunia modern.
DAFTAR PUSTAKA Balee, W. 1988. Historical Ecology: Premises and Postulates. In: Advances in Historical Ecology. William Balée, ed., pp. 13–29. New York: Columbia University Press. Balee, W. 2006. The Research Program of Historical Ecology. Annual Review of Anthropology 35:75–98. Fransworth, N.R. 1985. Medicinal Plants in Therapy. Bull. World Health Organiz.63. 965-961. Hawkes, J.1983. The Diversity of Crop Plants. Harvard University Press, Cambridge Mass. 184 pp. IBSAP.2003. Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plant.BAPPENAS KMNLH, 2007. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2006. Jakarta. Li, Hui-Lin. 1970. The Origin of Cultivated Plants in Southeast Asia. Economic Botany (24): 3-19. LIPI, Bappenas, Ristek. 2013. Bioresouces untuk Pembangunan Ekonomi Hijau. LIPI Press.
Pieroni, A. 2001. Evaluation of the Cultural Significance of Wild Food Botanicals Traditionally Consumed in Northwestern Tuscany, Italy. Journal of Ethnobiology 21(1): 89-104 Romana, Fransisca. 2006. “Sabulungan”, Kearifan Mentawai Menjaga Hutan. www.kompas.com/kompas-cetak/0605/ 22/tanahair Sastrapradja, Setijati. 2006. Mengelola Sumber Daya Tumbuhan di Indonesia, Mampukah Kita?. Enam Dasawarsa Ilmu dan Ilmuwan di Indonesia. Naturindo. 209 – 232. Soejarto, D.D. 1991. Why do medicinal sciences need tropical rain forests. Trans Illinois State Acad.Sci. 84: 65. Sukara, E. 2003. Keanekaragaman hayati (Emas Hijau), alternative bagi Indonesia keluar dari krisis multidimensi. Orasi pengukuhan Ahli Peneliti Utama bidang Mikrobiologi. Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI. 7
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan. Makalah Utama dalam Seminar Etnobotani IV: Keanekaragaman Hayati, budaya & ilmu pengetahuan. 18-Mei2009. Walujo, Eko B. 2011. Keanekaragaman Hayati untuk Pangan. Makalah dalam Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional X. Jakarta 810 Nopember 2011. Walujo, Eko. B. 2008. Etnobotani sumber inspirasi antara etik, budaya, dan keanekaragaman hayati. Orasi pengukuhan professor riset bidang botani. LIPI, Desember 2008. Zeven, A.C. and P.M. Zhukovsky. 1967. Dictionary of the Cultivated Plants and Their Centre of Diversity. Centre for Agricultural Publishing and Documentation. Wageningen 219 pp.
Sukenti, K. 2002. Kajian Etnobotani Terhadap Serat Centini. Thesis Program Pasca Sarjana. IPB-Bogor. Swaminathan, M.S. 1981. Building a National Food Security System. Indian Environment Society, New Delhi. 138 pp. Vavilov, N.I. 1926. Studies on the Origin of Cultivated Plants. Bull.Appl.Bot. 16 (2) : 139 – 248. Walujo, Eko B. 1993. Keanekaragamn Hayati Indonesia dan Peluangnya dalam Penelitian Etnobotani. Makalah dalam “Seminaire Sciences Humaines et Sociales et Recerce Francaise en Insulinde” 17-20 Nopember 1993. Kedutaan Besar Perancis-Jakarta Walujo, Eko B. 2009. Etnobotani memfasilitasi penghayatan, pemutakiran pengetahuan dan kearifan local dengan menggunakan
8
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PARADIGMA EKOSENTRISME VS ANTROPOSENTRISME DALAM PENGELOLAAN HUTAN Ida Bagus Dharmika Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar, Bali ABSTRAK Sumber Daya Alam Hutan (SDAH) merupakan bagian dari SDA dan karena itu mengandung banyak kepentingan masyarakat, negara dan pemerintah, kait mengkait satu sama lain terhadapnya. SDAH pada kenyataannya telah menjadi sumber konflik yang tidak kunjung terselesaikan, konflik yang kemudian muncul juga disebabkan karena adanya pandangan yang berbeda melihat sumber daya alam itu. Pandangan eko-biosentrisme yang memegang prinsip keanekaragaman nilai budaya dan ekosistem berhadapan dengan pandangan “ekologi dangkal” yang banyak dianut oleh paham-paham modernis “pencerahan”, manusia terpisah dari lingkungan alam, karena manusia memiliki lingkungan sendiri (antropocentrisme). Dalam perjalanan konflik yang tidak pernah selesai ini maka paradigma menguasai, menundukkan alam jauh lebih cepat berkembang dalam model pandangan masyarakat dibandingkan dengan paradigma melindungi, bersahabat, melestarikan alam. Manusia memposisikan diri untuk menguasai alam, manusia modern memandang bahwa alam dapat menyediakan semua kebutuhan manusia tanpa ada batasnya. Dampak lebih jauh dari perkembangan paradigma seperti itu, bahwa di manamana terjadi kemurkaan alam seperti banjir, kekeringan, angin ribut, erosi/abrasi, kebakaran, wabah penyakit yang pada prinsipnya disebabkan atau, merupakan umpan balik dari ulah manusia sendiri (antropogene). Kata Kunci: Ekosentrisme, Antroposentrisme, Hutan dipisahkan. Hal ini senada dengan pandangan deep ecology dari Naes (Awang, 2006: 97) dimana di dalam lingkungan alam, manusia ada di dalamnya dan tidak terpisah dengan lingkungan. Perubahan lingkungan akan mempengaruhi pola hidup manusia dan masyarakat. Manusia melakukan tindakan tertentu terhadap alam dan sumberdaya alam, maka akan terjadi perubahan lingkungan. Jadi menurut kedua pandangan ini bahwa manusia adalah bagian dari alam, manusia tidak bisa melepaskan diri dari keberadaan alam dan lingkungan hutan , manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari kosmos, bahkan manusia hanya bagian kecil dari alam (microcosmos), keseimbangan selalu patut dijaga antara macrocosmos dengan microcosmos demikian pesan yang senantiasa disampaikan lewat kearifan lokal, karya sastra dan tek-teks agama. Sebagai sebuah ekosistem maka manusia (masyarakat) merupakan salah satu komponen dalam sistem yang terdiri dari masyarakat tumbuh-tumbuhan dan masyarakat binatang yang terbentuk oleh adanya asosiasi.
PENDAHULUAN Dewasa ini telah terjadi perkembangan pandangan yang paradox dalam budaya kita, di satu sisi hutan lindung dirasakan manfaatnya karena menghasilkan CO2, penyerap karbon dioksida, sebagai lumbung makanan, penghasil kayu, penyimpan air, obat-obatan, buah-buahan, namun di lain pihak hutan juga di dieksploitasi secara besar-besaran, dan juga margasatwanya diburu dan dagingnya untuk dimakan, berbagai kepentingan masuk di arena hutan, khususnya kepentingan menjadikan sumberdaya hutan sebagai ‘mesin politik’ dan ‘mesin pembuat uang’ bagi golongan yang berkuasa. Konflik kepentingan dan konflik paradigma di areal hutan ini sangat menarik untuk dikaji dari sudat culture critis. Pemanfaatan alam dan lingkungan hutan di mana manusia termasuk di dalamnya, dapat dianalisis dengan pendekatan culture ecology (ekologi budaya) seperti yang dikatakan oleh J. Steward (1976:39-42) yang memposisikan manusia dan lingkungan merupakan satu ekosistem yang tidak dapat 9
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Sebagai sebuah asosiasi maka antara anggota masyarakat itu terjadi kontak, saling komunikasi dan interaksi, saling memerlukan dan pada batas-batas tertentu juga saling bersaing, saling berkorban untuk kepentingan bersama. Kalau tidak ada intervensi luar yang cukup berat, keberadaan ekosistem hutan pada dasarnya adalah stabil dan lestari. Dari sinilah kemudian muncul beberapa perspektif dalam melihat ekosistem hutan. Dilihat dari perspektif ekologi budaya bagaimana manusia sebagai mahluk hidup menyesuaikan dirinya dengan suatu lingkungan geografi tertentu, dengan menggunakan teknologi kebudayaan dan lingkungan yang tercipta, berbeda dengan pendapat Elsworth Huntington (1915) dalam teori Determinisme atau teori klimatologi, bahwa perilaku, sikap dan budaya manusia dipengaruhi oleh keadaan geografi setempat. Menurut Julian Steward pengaruh geografi/iklim bukan pada keseluruhan kehidupan manusia secara luas dan besar, melainkan dalam kecocokan menerapkan konsep dan asas ekologi pada aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia. Segala aspek kebudayaan itu saling berhubungan secara fungsional dengan cara yang tidak pasti. Steward berpendapat bahwa tingkat dan macam hubungan itu dalam segala aspek kebudayaan bermacam-macam (Geertz, 1983:7). Pandangan ekologi budaya bisa disejajarkan dengan teori konstruksi sosial (social constructionist) melihat lingkungan dan alam sebagai konstruksi dari masyarakat dan oleh karena itu analisis difokuskan pada hubungan internal dalam masyarakat (Barry, 1999:11; Awang, 2006 :31), dari sanalah kemudian dapat disejajarkan dengan konsepkonsep adaptasi, sistem, holisme, ekologi budaya, fungsionalisme, ekosentrisme, biosentrisme untuk mengkaji hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidup. Namun demikian, pandangan ekobiosentrisme berhadapan dengan pandangan “ekologi dangkal” yang banyak dianut oleh paham-paham modernis “pencerahan”, manusia terpisah dari lingkungan alam, karena manusia memiliki lingkungan sendiri (antropocentrisme). Pandangan lain yang juga sepaham dengan pandangan antroposentrisme adalah pandangan eksistensialisme. Menurut paham ini, manusia dan alam memang terpisah satu sama lain, sehingga membawa pemahaman ini ke arah
ISBN:978-602-9138-68-9
homelessness, keterasingan dan isolasi dalam konteks hubungan manusia dan alam tersebut (Barry, 1999:84). Pemisahan dan keterasingan manusia dari dunia alam merupakan kondisi manusia modern. Modernisasi dan masyarakat modern telah menciptakan satu dunia yang tidak bermakna, yang tidak peduli kepada manusia dan nasib manusia. Paham eksistensialis merupakan paham yang sangat antroposentrisme dan dengan demikian pemikirannya difokuskan kepada manusia pengertian kehidupan manusia dalam masyarakat dengan sedikit referensi pada hubungan masyarakat dan lingkungan. Paham eksistensialis seperti ini kemudian digunakan oleh para ahli teori sosial kritis untuk membaca dan menganalisis modernitas pada tataran praktis (Awang, 2006: 35). Sepaham dengan pandangan ini adalah teori sosial naturalis yang mengambil pandangan bahwa alam dan lingkungan merupakan dunia eksternal dari masyarakat dan keberadaanya sebagai satu tatanan alam yang independen di luar masyarakat. Pendapat ini sama dengan perspektrum ilmu sosial anthropocentrism berkaitan dengan lingkungan seperti yang dinyatakan oleh Eckerley (1992) dalam (Awang, 2006:31) antara lain presevationism (memberi perlindungan dan estetika alam saja), resource conservationism (mengutamakan tindakan konservasi hanya pada flora dan fauna saja), dan animal liberation (hanya melindungi hewanhewan saja). Pandangan ekosentrisme, biosentrisme maupun antroposentrisme adalah paradigma, dan istilah paradigma digunakan pertama kali oleh para ilmuwan dalam memberikan asumsiasumsi intelektual dasar mengenai pokok permasalahan yang dihadapi. Menurut Kuhn ‘paradigma’, menurut Richard Rorty ‘kosakata akhir’ atau menurut Michel Foucault “kuasa” (Lubis, 2004: 135). Menurut Kuhn, suatu paradigma terdiri dari pandangan hidup (world view atau weltanschauung) yang dimiliki oleh para ilmuwan dalam satu disiplin ilmu tertentu. Kuhn menggunakan istilah paradigma ini untuk mentransformasikan pemikiran ilmiah yang bersifat revolusioner. Kuhn membedakan 3 tahap paradigma yaitu: (1) tahap preparadigmatis, (2) tahap paradigmatic, dan (3) tahap paradigma tandingan. Sedangkan pandangan yang lain mengatakan bahwa ada tiga macam paradigma 10
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI menurut Ritzer yang secara fundamental berbeda satu sama lainnya, yaitu: (1) paradigma fakta sosial , (2) paradigma difinsi sosial dan (3) paradigma perilaku sosial. Paradigma fakta sosial memberikan perhatian khusus pada realitas sosial tentang struktur sosial dan institusi sosial. Ahli paradigma ini adalah Durkheim yang termasuk penggagas utama teori “kesadaran kolektif” dalam sosiologi klasik. Paradigma difinisi sosial menekankan hakikat kenyataan sosial yang bersifat subyektif, lebih dari eksistensinnya yang terlepas dari individu. Paradigma ini diwakili oleh Weber dan Parson. Dalam paradigma ini memiliki pandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan pada difinisi subyektif individu dan penilaiannya. Paradigma perilaku sosial (social behavior) menekankan pendekatan objektif emperis terhadap kenyataan sosial. Pendekatan ini dikembangkan terutama dalam psikologi perilaku, yang diwakili ahlinya oleh Skinnner dan Homans. Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul melihat fenomena kerusakan lingkungan diberbagai daerah, apakah pandangan hidup/ yang selanjutnya kita namakan paradigma itu bisa menentukan sikap dan perilaku manusia dan apakah paradigma itu bisa berubah? Dari pandangan dan kajian para ahli ditemukan bahwa paradigma itu memang bisa berubah, karena dalam kenyatan hidup perubahan itulah yang abadi. Para ahli ada yang berpandangan perubahan itu melalui suatu tahap atau proses tertentu misalnya perubahan dari norma sainsanomali-krisis paradigam–dan akhirnya muncul paradigm baru. Dilain pihak ada yang berpandangan bahwa dengan kajian yang sejak awal sudah berlawanan misalnya antara paradigma Geosentris vs Heliosentris. Kajian atau tulisan ini lebih mendekati pilihan kedua yaitu menempatkan konflik antara paradigma eko-biosentrisme dengan antroposentrisme di dalam areal hutan, terutama areal hutan di Bali baik hutan lindung maupun hutan mangrove. Hal ini berdasarkan gejala sosial, asumsi dasar bahwa di areal hutan telah terjadi pertarungan model berpikir, paradigma yang mengarahkan, menata sikap dan perilaku para politisi, penguasa, pengusaha, intelektual, para penegak hukum dan masyarakat secara keseluruhan di dalam melihat persoalan hutan. Semua orang tentu menyadari bahwa, Sumber Daya Alam Hutan (SDAH) merupakan
ISBN:978-602-9138-68-9
bagian dari SDA dan karena itu mengandung banyak kepentingan masyarakat, negara dan pemerintah, kait mengkait satu sama lain terhadapnya. SDAH pada kenyataannya telah menjadi sumber konflik yang tidak kunjung terselesaikan, konflik yang kemudian muncul juga disebabkan karena adanya pandangan yang berbeda melihat sumber daya alam itu. Perbedaan pandangan kita bahas dalam tulisan ini dengan mengambil tindakan-tindakan sosial masyarakat penyanding hutan lindung di Bali Barat dan tindakan sosial masyarakat pesisir di Bali Selatan. Apakah masyarakat penyanding hutan menggunakan pandangan yang lebih condong ke eko-biosentrisme ataukah sudah mengarah ke antroposentrisme atau mungkin telah terjadi perdebatan dan konflik yang tak terselesaikan di dalam pandangan mereka melihat persoalan hutan. KONFLIK PARADIGMA DI KAWASAN HUTAN LINDUNG 1. Eko-Biosentrisme Masyarakat penyanding hutan lindung dan mangrove memiliki sistem pengetahuan untuk melakukan pemahaman atau interpretasi terhadap gejala-gejala alam, termasuk gejala alam yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya hutan. Lingkungan hutan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek flora, fauna, cuaca, iklim, tata air, tanah, gerakan air laut, terumbu karang, ikan dan aspek-aspek lainnya, baik yang bersifat nyata maupun gaib mempunyai hubungan yang dekat dengan masyarakat penyanding hutan. Kedekatan hubungan antara masyarakat penyanding hutan dengan lingkungan hutan menyadarkan bahwa hutan memiliki energi atau kekuatan, baik yang bersifat baik maupun yang bersifat buruk. Pengetahuan masyarakat penyanding hutan menyebutkan, bahwa hutan akan mewujudkan sifat-sifat baiknya kepada manusia kalau manusia juga memperlakukan hutan secara baik. Hal itu berlaku sebaliknya, jika manusia melakukan tindakan yang menyebabkan rusaknya hutan, pandangan yang berpangkal pada keharmonisan alam semesta (kosmos) ini mengagap bahwa lingkungan hutan dengan keseluruhan isi alam semesta sebenarnya hidup saling berkaitan dan bergantung satu sama lain (Murtijo,2005:125; Soepardi, 1952:93). Menghormati alam dengan memelihara baik terhadap bumi, flora dan 11
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI fauna, tidak hanya untuk alam saja, melainkan berarti pula untuk kepentingan manusia secara keseluruhan. Manusia akan lenyap dari bumi, bila alam seisinya dengan sumber-sumbernya yang berguna untuk hidup manusia rusak dan musnah. Etika ekosentris seperti disampaikan oleh Aldo Leopold (dalam Ginting, 2012) yaitu mengakui semua spesies termasuk manusia adalah produk dari sebuah proses evolusi panjang saling terkait dalam kehidupan di alam semesta. Demikian juga prinsip keanekaragaman nilai budaya dan ekosisitem adalah termasuk prinsip pandangan ekosentris. Berdasarkan sistem eko-biologis, tiap spesies sebenarnya merupakan mata rantai kehidupan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain, bila mata rantai itu putus, niscaya ‘bahaya’ akan terjadi pada manusia. Jaring-jaring makanan untuk manusia pun terputus. Dunia akan dilanda krisis pangan yang parah (Kondra, 2004:25; Soerjani,1987:4). Dalam rantai pangan atau jaringan-jaringan kehidupan (matahari, tumbuhan /ototrof, binatang pemakan tumbuhan/herbivor, pemakan hewan lainnya/karnivor, dan seterusnya), termasuk manusia (omnivore) yang tidak mungkin hidup tanpa adanya mahluk lainnya, manusia tidak mungkin melepaskan diri dari jaringan kehidupan itu. Alternatifnya hanyalah bagaimana berada dalam jaring-jaring kehidupan itu secara serasi. Dalam teks-teks sastra yang memuat hubungan manusia dengan hutan yang dimiliki masyarakat Bali ada berbagai sebutan populer tentang hutan, seperti Wana Kertih, Maha Wana, Tapa Wana, Sri Wana, Alas Angker, Alas Kekeran, Alas Harum, Alas Rasmini, Alas Tutupan, Alas Kekeran, Hulu Kayu, Tuhalas/ Kutuhalas. Konsep-konsep ini jelas menunjukkan penghormatan, kecintaan masyarakat Bali terhadap hutan. Di dalam teks Mahabaratha, masalah hutan banyak dibahas terutama di bagian Adi Parwa dan Wana Parwa (hutan Kamyaka), sedangkan dalam teks Ramayana termuat di bagian Aranayka Kanda (hutan Dandhaka). Masalah hutan juga banyak dibahas dalam kitab Ajijanantaka, Taru Premana dan kitab lainnya. Hakikat hubungan antara manusia dengan alam adalah apabila terjadi keadaaan yang harmonis, seimbang antara unsur-unsur yang ada pada alam dan unsur-unsur yang
ISBN:978-602-9138-68-9
dimiliki oleh manusia. Keseimbngan inilah yang mesti dijaga, dan salah satu cara yang ditempuh adalah dengan melakukan yadnya (korban suci dengan tulus iklas yang diwujudkan dalam ritual). Dalam konteks hubungan manusia dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan pada masyarakat Bali, ada upacara Tumpek Bubuh, dan Tumpek Kandang. Dasar pilosofis Tumpek Bubuh berpijak pada sikap untuk memberi sebelum menikmati, dalam konteks dengan pelestarian sumber daya hayati, sebelum manusia menikmati dan atau menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai bagian menu makanan haruslah diawali dengan proses penanaman dan pemeliharaan, misalnya seorang petani sebelum menikmati nasi, ia terlebih dahulu menanam padi. Seperti halnya Tumpek Bubuh, Tumpek Kandang juga menawarkan kepada kita untuk selalu mencintai segala jenis satwa, dan dasar filosofis Tumpek Kandang berpegang pada ajaran bahwa manusia dengan lingkungan ibarat singa dengan hutan, singa adalah penjaga hutan dan hutanpun menjaga singa, demikian kitab Nitisatra menyebutkan. Manusia sebagai komponen sentral dalam sistem lingkungan ini sudah sepantasnya untuk selalu menjaga keseimbangan diantara komponenkomponen lingkungan yang lainnya. Dalam kitab Bhagawadgita ada disebutkan demikian:. Istan bhogan hi vo deva desvante yadnya bhavitah tair dattan aoradayai bhyo yo blunte stena wva sah Terjemahan: Dipelihara oleh yadnya, pada dewa akan memberi kami kesenangan yang kami ingini ia yang menikmati ini tanpa memberikan balasan kepadanya adalah pencuri. Apabila manusia hanya ingin mencari kesenangan tanpa terlebih dahulu memberi kesenangan terhadap mahluk lain adalah pencuri. Manusia yang semena-mena menjadikan sumber hidupnya sebagai obyek kesenangan, tidak disertai tindakan memelihara sama dengan perilaku pencuri. Mengambil tanpa sebelumnya memberi, menikmati dengan tidak memberi, menggunakan tanpa sikap memelihara sama dengan perilaku pencuri. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ekologi budaya (culture ecology ) bisa juga disejajarkan dengan teori 12
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI konstruksi sosial (social constructionist), manusia adalah bagian dari alam.
Gambar 1. Saput poleng (kain loreng) melilit pohon kayu pinggir jalan raya Manggisari- Singaraja (Dokumentasi: Dharmika) Penanda saput poleng yang melilit di sebuah batang kayu besar dan juga canang/ sesaji yang diaturkan di kayu itu merupakan petanda rasa hormat, rasa bhakti, rasa takut terhadap dasar eksitensi kayu, karena kayu telah memberi kesejahteraan kepada manusia. Petanda ini berkaitan dengan sistem dan struktur yang lebih besar yang berlaku dalam masyarakat Bali tentang konsep dualisme/binery oposition antara : putih-hitam, baik-buruk, sekala-niskala,kajakelod dst, dan penanda itu akan tidak berarti apaapa bila tidak dikaitkan dengan sistem dan struktur, terutama sistem kepercayaan masyarakat Bali yang lebih besar. Agama Hindu dalam kitab-kitab sucinya sudah sejak zaman dahulu sangat memperhatikan masalah lingkungan, wawasan kesejagatan, dan menyadari posisinya di alam jagat raya ini. Unsur-unsur yang membangun jagat raya ini sangat diperhatikan oleh umat Hindu, unsur-unsur tersebut adalah Pratiwi (Tanah), Apah (Air), Teja (Api), Bayu (Angin), dan Akasa (Angkasa). Panca Maha Bhuta dibentuk oleh unsur halus yang disebut Panca Tan Matra, terdiri atas, Gandha (bau), Rasa (rasa), Sparsa (sinar), Rupa (rupa), dan Sabda (suara). Unsur-unsur yang merupakan obyek indria ini diharapkan berada dalam suatu struktur yang harmonis (somya). Ajaran inilah yang kemudian memunculkan konsep-konsep yang lebih operasional seperti konsep segaragunung, Tri Hita Karana, Tri Mandala, Tri Angga dan sebagainya.
ISBN:978-602-9138-68-9
Di dalam kitab suci weda, seperti yang dinyatakan dalam mantram “Bumi ini adalah ibu kita, kita adalah putra-putranya” (Atharvaveda XII:1,12), “Bumi adalah ibu, dan langit adalah ayah kita” (Yajurveda XXV:17). “Om Yam Prthivi-parama-tirthamrtaya namah svaha” (Prthivi-Stuti dalam Stuti dan Stava:396), serta “Engkau adalah bumi, air, api dan juga angin, angkasa dan alam sunya yang tertinggi, pun pula yang berwujud dan tak berwujud” (Sivastava:4). Kutipan-kutipan kitab suci ini sekaligus menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia sangat berhutang kepada jagat raya dan senantiasa harus menghormatinya. Demikian juga dalam lontar Bhuwana Kosa ada disebutkan: “Ini yang disebut tiga dunia yaitu: tanah, angkasa, sorga yang juga disebut indra loka, dikatakan oleh Batara, yang berwarna merah merupakan manifestasi dari Aghora, yang bernama Aghora ditempatkan oleh Sang Resi di dalam pusar. Ong, Ang aksara sucinya.” (Bhuwana Kosa, II.1, Brahma Rahasyam, Dwitiyah Patalah). Petikan beberapa teks sastra agama di atas menunjukkan bahwa pandangan masyarakat Bali (Hindu) tentang lingkungan alam semesta sesungguhnya sangatlah sistematis, holistik dan cenderung mengarah kepada eko -biosentrisme. Lingkungan alam semesta adalah suatu harmonia yang diciptakan dan diatur oleh Brahma. Planet-planet disebut sebagai Brahmanda (telur Brahma) sebagaimana dituangkan dalam kitab Brahmanda Purana (1993). Manusia wajib senantiasa menjaga keharmonisan alam itu dengan terlebih dahulu memahami hukum-hukum yang dimilikinya (Rta). Keharmonisan alam semesta yang juga disebut Bhuta hita atau Jagat-hita akan juga memberikan Jagat-hita/kesejahteraan kepada manusia. Dalam konteks hubungan manusia Bali (Hindu) dengan hutan, orang-orang Bali mengajak umatnya untuk menghormati gunung (hutan) sebagai penghormatan tertinggi pada Siwa. Kepala Siwa dengan rambutnya yang tebal dimaknai oleh umat sebagai hutan lebat di gunung atau pegunungan. Itu sebabnya gunung dan hutan sebagai hulunya bumi sangat dihormati, yang diwujudkan dengan mendirikan tempat suci di puncak-puncak gunung karena dimaknai akan memberikan kesejahteraan kepada umat manusia, dimana dipuncaknnya gunung berstana Hyang Ciwa. Oleh karena itu, 13
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI ketika melihat sebuah bangunan yang disebut Padmasana, orang akan segera mengasosiasikan dengan gunung, dan mengkaitkan dengan pemutaran gunung Mandaragiri yang dilakukan oleh para Dewa dan Raksasa untuk mendapatkan tirta amertha yang tersurat dalam kitab Adiparwa. Dalam dunia lingkungan pohon yang sangat terkenal adalah “kalpataru” yang merupakan lambang kosmis yang dalam kehidupan agama dan budaya masyarakat Bali disebut dengan kayonan atau gunungan yang juga sering disejajarkan dengan meru. Nama padanan Kalpataru adalah Kalpa-vrksa dan Kalpadruma, kata taru, vrksa dan druma berarti pohon. Menurut Soediman. (2008:122) ada beberapa pohon keramat dan arti simboliknya antara lain, “tree of life”/pohon hayat/pohon kehidupan, wishing tree/pohon harapan; world tree/pohon dunia; cosmic tree/pohon kosmis; tree of heaven/pohon kayangan. Dalam kehidupan masyarakat Bali dikenal ada 5 pohon kayangan yaitu, haricandana-vrksa, kalpavrksa, mandana-vrksa, parijata-vrksa dan santanu-vrksa. Sedangkan menurut Hobart, (1983) “…the kekayonan and its references which among other are the tree of life , the celestial wishing tree, and the world mountain, Mahameru, its symbolism is far-reaching and complex...” kayonan adalah simbol dari gunung yang tinggi yaitu Mahameru. Pesan teks ini menunjukan bahwa pohon/hutan/gunung adalah sahabat kita dan kecintaan terhadap sahabat kita yang satu ini perlu untuk kita hidupkan kembali dan kita benahi lebih serius karena sebenarnya kita adalah orang yang berhutang kepada hutan karena tanpa pamrih hutan-hutan kita telah memberikan oksigen, menjaga sumber air, menunjang kebutuhan hidup kita dan mencegah terjadinya bencana alam, selain itu dari hutan kita bisa banyak belajar, memberikan banyak persoalan kepada kita, mengajak kita untuk berpikir dan akhirnya hutan telah membentuk kebudayaan manusia. Hutan termasuk sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui, dan hutan merupakan tempat tersedianya organisme yang secara alami telah sesuai (adaptif) dengan lingkungannya, sehingga hutan perlu dilindungi dan dilestarikan. Lingkungan hidup yang didambakan manusia adalah lingkungan yang dapat
ISBN:978-602-9138-68-9
digunakan untuk melakukan aktivitas hidup, dapat menjadi habitat bagi banyak makhluk hidup, serta mempunyai nilai ekonomis dan nilai budaya. Lingkungan yang demikian dinamakan lingkungan alami, yaitu lingkungan yang disusun oleh komponen abiotik dan biotik yang seimbang dan tidak tercemar oleh polutan (zat yang menyebabkan polusi). Akibat masuknya polutan ke dalam lingkungan yang komponen-komponen penyusunnya tidak seimbang.
Gambar 2. Sumber air (mekecir) yang berada dipinggir jalan jurusan Manggisari-Singaraja (Dokumentasi: Dharmika) Hutan adalah sahabat kita dan kecintaan terhadap sahabat kita yang satu ini perlu untuk kita hidupkan kembali dan kita benahi lebih serius karena sebenarnya kita adalah orang yang berhutang kepada hutan karena tanpa pamrih hutan-hutan kita telah memberikan oksigen, menjaga sumber air, menunjang kebutuhan kertas kita dan mencegah terjadinya bencana alam, selain itu dari hutan kita bisa banyak belajar, memberikan banyak persoalan kepada kita, mengajak kita untuk berpikir dan akhirnya hutan telah membentuk kebudayaan manusia. Hutan termasuk sumber daya alam yang bersifat dapat diperbaharui, dan hutan merupakan tempat tersedianya organisme yang secara alami telah sesuai (adaptif) dengan lingkungannya, sehingga hutan perlu dilindungi dan dilestarikan. Lingkungan hidup yang didambakan manusia adalah lingkungan yang dapat digunakan untuk melakukan aktivitas hidup, dapat menjadi habitat bagi banyak makhluk hidup, serta mempunyai nilai ekonomis dan nilai budaya. Lingkungan yang demikian dinamakan lingkungan alami, yaitu lingkungan yang disusun oleh komponen abiotik dan biotik yang seimbang dan tidak tercemar oleh polutan (zat yang menyebabkan polusi). Akibat masuknya polutan ke dalam lingkungan yang komponen-komponen penyusunnya tidak seimbang. 14
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Pandangan masyarakat Bali melihat lingkungan hutan sepertin itu, bisa disejajar dengan teori konstrukstivisme sosial yang melihat hubungan internal antara lingkungan dengan masyarakat sekitarnya, dari sinilah menjadi sangat relevan kajian-kajian ilmu sosial yang menggunakan pendekatan adaptasi, sistem, neofungsionalisme, holisme dalam kajian-kajian terhadap lingkungan. 2. Anthroposentrisme Kayu-Kayu besar disepanjang jalan ini (jurusan Pakutatan-Manggissari-Singaraja) masih terpelihara dengan baik, namun sesuatu yang sebaliknya terjadi ketika kita masuk sedikit ke dalam maka hutan lindung ini sudah beralih fungsi menjadi hutan produksi karena ditanami pisang, kakau, kopi, vanili dan pohon-pohon buah lainnya yang sifatnya produksi dan laku dipasaran. Salah satu ciri hutan tutupan adalah, tidak memungkinkan seseorang masuk ke dalam hutan karena hutannya sangat lebat dan tidak ada akses jalan untuk masuk ke dalam hutan. Namun hal sebaliknya terjadi dewasa ini kalau kita amati dengan seksama banyak sekali aksesakses jalan kecil, jalan setapak menuju hutan (lisikan), seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Jalan setapak (lisikan) menuju hutan, di bawah papan larangan masuk hutan (Dokumentasi: Dharmika) Ratusan bahkan ribuan Hektar hutan lindung sudah berubah fungsi menjadi hutan produksi dalam bahasa setempat awenan. Di samping aktivitas awen, yang paling merusak hutan lindung adalah adanya penjarahan, pencurian kayu illegal lolging, yang melibatkan banyak orang dengan fungsinya masing-masing seperti ada tukang sensor, tukang kajang, bos, penadah, termasuk oknum-oknum kehutanan terlibat di dalamnya secara sembunyi-sembunyi kerusakan hutan tidak hanya terbatas pada hutan
ISBN:978-602-9138-68-9
lindung yang ada di daratan tetapi juga terjadi pada hutan mangrove yang tumbuh di daerah pesisir. Kerusakan Hutan Mangrove memang bukan masalah baru. Di tahun 2010, Harian Kompas memberitakan bahwa kerusakan Hutan Mangrove di Pulau Jawa dan Bali mencapai 68%. Artinya sebuah kerusakan yang patut diperhatikan oleh Pemerintah dan Warga. Penebangan hutan, baik hutan darat maupun hutan mangrove secara berlebihan tidak hanya mengakibatkan berkurangnnya daerah resapan air, abrasi, dan bencana alam seperti erosi dan banjir tetapi juga mengakibatkan hilangnya pusat sirkulasi dan pembentukan gas karbon dioksida (CO2) dan oksigen O2 yang diperlukan manusia untuk kelangsungan hidupnya. Ditinjau dari segala kebutuhan, manusia sekitar hutan tidak lagi merasa cukup dipenuhi dengan kebutuhan primer, karena muncul kebutuhan baru seperti kenikmatan, keindahan, kebanggaan dan prestise, tanpa disaari oleh manusia kadang-kadang kebutuhan itu bisa diciptakan oleh kapitalis. Menurut Sudharto (2008: 19) untuk memenuhi kebutuhan yang semakin kompleks itu, manusia merubah orientasi, keyakinan dan cara dalam mendayagunakan alam. Manusia dengan segala instrumennya, teknologi dan penggorganisasian semakin meyakinkan dirinya dalam menentukan baik buruknya lingkungan alam (era antrophosentries). Sejalan dengan itu Awang (2006: 35) mengatakan bahwa pandangan “ekologi dangkal” yang banyak dianut oleh paham-paham modernis “pencerahan”, manusia terpisah dari lingkungan alam, karena manusia memiliki lingkungan sendiri (antropocentrisme). Pandangan lain yang juga sepaham dengan pandangan antroposentrisme adalah pandangan eksistensialisme. Chang (2000) juga mengatakan bahwa dewasa ini sudah terjadi perubahan dari pandangan ekologis menjadi utilitarianisme dan pragmatisme. Pandangan yang juga mendorong manusia melakukan tindakan tersebut oleh adanya kehendak berkuasa yang tidak terkendali, termasuk di dalamnya berkuasa terhadap alam. Kerusakan alam dan terutama lebih banyak disebabkan karena cara memandang alam itu yang berubah sehingga menyebabkan hutan di Bali bukan hanya telah menurunkan 15
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI peranannya sebagai penopang ekonomi, tetapi juga telah menurunkan fungsinya sebagai daya dukung kehidupan (life support system). Dalam konteks ini terlihat kenyataan bahwa telah berkembang paradigma “penghambaaan terhadap kayu”, yang berorientasi pada produksi kayu, dan uang Dalam melihat persoalan hutan di daerah Pakutatan, Jembrana, maka yang lebih dominan adalah model yang pertama. Sekaligus menunjukkan bahwa telah berkembang pemikiran dan sikap permisivisme seperti yang dinyatakan oleh Atmadja ( 2005:23). Masyarakat permisivisme mengembangkan konsep serba boleh yang penting mereka mendapatkan uang, boleh menebang pohon hutan, boleh mengkapling tanah hutan, membakar hutan demi uang, sebab dengan uang yang dimiliki mereka bisa secara bebas menyelurkan hasrat, nafsu dan keinginannya. Menurut Giddens (2001:16) modernitas memperkenalkan parameter resiko baru yang secara jelas tidak dikenal pada waktu sebelumnya. modernitas juga cenderung ingin menentukan masa depannya sendiri ketimbang menyerahkannya pada agama, tradisi atau perlakuan alam. Sejalan dengan Giddens, Ulrich Beck sosiolog Jerman (dikutif dari Dwi Susilo, 2012:175) memperjelas apa yang dimaksud resiko itu. Salah satu adalah resiko berhubungan dengan masyarakat yang mencoba melepaskan tradisi dan pengetahuan masa lalu dengan menganggap bernilai dan berharga perubahanperubahan dan masa depan. Perubahan dan masa depan, sebagai akibat watak modernitas, melahirkan sifat eksploitatif yang sesungguhnya berlawanan dengan kearifat-kearifan dan tradisi. Penomena yang lebih menarik bisa diamati di lapangan bahwa, masyarakat penyanding hutan tetap melakukan ritual keagamaan seperti tumpek bubuh/tumpek wariga/tumpek pengatag yang secara denotatif berarti menghormati tumbuh-tumbuhan. Demikian juga penggunaan kain poleng/saput poleng pada tumbuh-tumbuhan yang secara denotatif berarti hormat terhadap eksistensi tumbuh-tumbuhan terutama tumbuhan yang sudah berumur ratusan tahun. Dan bahkan ada yang lebih ekstrim lagi kita melihat penggunaan banten/peras pejati,canang sebelum memotong kayu (mencuri) di tengah hutan masih juga dilaksanakan yang sekaligus menunjukkan adanya rasa ’takut” rasa “hormat” terhadap
ISBN:978-602-9138-68-9
kayu, kalau kita lihat secara makna denotatif. Pandangan akan menjadi lain apabila gejala ini dilihat dari perspektif konotatif apalagi pandangan dekonstruksi, karena apa yang dilakukan itu merupakan ketrampilan, habitus para aktor illegal logging dan para pengawen yang bermain di ’arena’ hutan lindung, budaya seolah-olah dan budaya sandiwara telah dimainkan dengan sempurna, mereka dengan cerdik melakukan ’penundaan” dan manipulasi terhadap makna. Dampak lebih jauh dari kerusakan hutan itu adalah munculnya berbagai kemurkaan alam; banjir, tanah longsor, kekeringan, hilangnya beberapa sumber air, gagal panen dan lain-lain. Akhir-akhir ini, ulah manusia sering mengakibatkan terjadinya bencana. jenis bencana yang demikian dikenal sebagai bencana anthropogene, yaitu bencana yang dipicu oleh ulah manusia. Sebagai contoh,apabila manusia tidak menebang hutan secara berlebihan, timbulnya banjir yang dapat mengakibatkan terjadinya bencana relative kecil. Penebangan hutan yang tidak terkendali mampu memicu banjir dan tanah longsor. SIMPULAN 1. Perubahan masyarakat dan kebudayaan tidak mungkin bisa dihindari, itu akan berjalan dengan sendirinnya sesuai dengan konstelasi zaman, dan dalam kehidupan nyata konsep oposisi biner, rwa bhineda berjalan beriringan pada saat dan tempat yang tepat. Namun ada yang menarik dalam perkembangan kebudayaan kita, bahwa paradigma menguasai, menundukkan alam jauh lebih cepat berkembang dalam model pandangan masyarakat dibandingkan dengan paradigma melindungi, melestarikan alam. Manusia memposisikan diri untuk berkonflik dengan alam. Manusia modern memandang bahwa alam dapat menyediakan semua kebutuhan manusia tanpa ada batasnya. Dampak lebih jauh dari perkembangan paradigma seperti itu, bahwa dimana-mana terjadi kemurkaan alam seperti banjir, kekeringan, angin ribut, erosi/abrasi, kebakaran, wabah penyakit yang pada prinsipnya disebabkan atau, merupakan umpan balik dari ulah manusia sendiri (antropogene). 2. Konsep oposisi biner (saput poleng, kain poleng, hitam putih, kaja kelod) yang selama ini menjadi tafsiran tunggal dan mutlak dalam 16
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI setiap mengkaji kebudayaan namun dalam kenyataan lapangan tidak selamanya memiliki makna tunggal. Masyarakat dan kebudayaan sudah menjauh, melanjutkan konsep itu, konsep oposisi biner telah dikembangkan dan dilanjutkan penafsirannya sesuai dengan waktu, tempat dan aktor yang memaknai. Kayu yang ada di hutan lindung tidak semata-mata berarti tenget, tetapi juga bisa dimaknai ’uang’, kain/ saput poleng yang melilit batang kayu tidak semata-mata berarti ’rasa hormat, rasa bhakti” terhadap eksistensi kayu, tetapi juga berarti ’melindungi, menutupi’ pembalakan liar/illegal logging. Oposisi biner, struktur mutlak dalam kenyataan lapangan senantiasa bersifat ganda, tidak semata-mata monolitik, logosentris yang selama ini dimaknai oleh para peneliti,para intelektual agama, sifat ganda dari suatu fenomena, gejala maupun obyek disebabkan oleh aktor, waktu, dan tempat yang senantiasa mengalami perubahan, tidak ada penafsiran yang mutlak, kebenaran senantiasa bersifat ganda. 3. Paradigma ekosentrisme memandang bahwa manusia adalah bagian dari masyarakat tumbuhan (hutan), mengutamakan tujuan jangka panjang dan berkelanjutan, serta mengkritik sistem ekonomi dan politik di dalam pengelolaan hutan. Sedangkan paradigma antoposentrisme, bahwa manusia terpisah dari alam, mengutamakan rencana jangka pendek, dan menerima secara positif pertumbuhan ekonomi. Dua paradigma ini senantiasa mengadakan perlawanan dan saling bertentangan. Namun demikian konflik dapat dicegah, cara paling efektif untuk mencegahkonflik, kekerasan adalah kita merenungkan untuk tidak menggunakan kekuasaan yang melekat pada diri kita masingmasing secara sewenang-wenang. Sebagai masyarakat penyanding hutan, tentunya mempunyai kekuasaan untuk memanfaatkan hutan dengan sebaik-baiknya tapi jangan melakukan kesewenang-wenanganan. Para penguasa, pengusaha, politisi dan polisi yang memiliki kekuasaaan untuk menjaga dan menegakkan hukum yang telah ada tentang kehutanan hendaknya tidak melakukan kesewenang-wenangan dan tidak malah menyelewengkan aturan yang ada apalagi terlibat secara sembunyi sembunyi di dalam pengerusakan hutan.
ISBN:978-602-9138-68-9
DAFTAR PUSTAKA Awang San Afri.2009. Deforestasi dan Konstruksi Pengetahuan Pembangunan Hutan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Institut Hukum Sumberdaya Alam. Awang San Afri. 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi, Konstruksi Sosial dan Perlawanan. Jogjakarta: Debut Wahana Sinergi. Chang.W 2000. Moral Lingkungan Hidup. Jogyakarta: Kanisius Dwi Susilo, Rachmad K. 2012 Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers. Geertz, Clifford. 1963. Agricultural Involution, the Process of Ecological Change In Indonesia. California: University of California Press. Ginting Suka, 2012. Teori Etika Lingkungan. Denpasar: Udayana University Press. Hobart, Angela. 1983. The Kakayonan: The Cosmic Tree Or World Mountain. Jurnal Indonesia Cirrcle No. 30. March 1983. Kondra Ali Hadi S & Syaukani.2004. Bumi Makin Panas Banjir Makin Meluas, Menyimak Tragedi Kehancuran Hutan. Bandung: Nuansa. Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan, Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor: Akademia. Murtijo, Agung Nugraha.2005. Antropologi Kehutanan. Banten: wanaaksara. Soediman. 2008. “Kalpataru Lambang Kemakmuran dan Keabadian” (dalam) Untuk Bapak Guru Persembahan para murid untuk memperingati usia genap 80 tahun Prof. Dr. A.J. Bernet Kempers. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Soepardi. R. 1952. Hutan dan Hasilnja jang dapat dimakan. Djakarta: Balai Pustaka. Soerjani, Moh. 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: Universitas Indonesia. 17
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN SEBAGAI INSTRUMEN EKONOMI MENUJU PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN I MADE SUDARMA* Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Udayana, Jl PB Sudirman Denpasar ABSTRAK Degradasi lingkungan sebagai akibat dari pembangunan yang tidak berkelanjutan merupakan driving force untuk mencari instrumen alternatif perlindungan lingkungan yang lebih baik. Instrumen ekonomi memiliki beberapa kelebihan dalam hal memberikan solusi untuk perlindungan lingkungan dibandingkan instrumen CAC. Konsep pembayaran jasa lingkungan atau PJL merupakan salah satu alternatif pendanaan yang berbasiskan pasar untuk memperbaiki kerusakan ekosistem dan lingkungan menuju penyediaan sumberdaya alam berkelanjutan. Mekanisme ini menekankan pada keadilan ekonomi dan kesetaraan peran antara pihak penyedia jasa lingkungan dan pihak pengguna jasa lingkungan. Terciptanya mekanisme PJL untuk jasa lingkungan diharapkan akan tersedia dana yang memadai untuk melakukan kegiatan konservasi dan rehabilitasi ekosistem di samping juga untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat sekitarnya sehingga tujuan pembangunan keberlanjutan dapat terwujud. Kata kunci: Ekosistem, PJL, Kesetaraan, Berkelanjutan
PENDAHULUAN Dalam teori ekonomi klasik akumulasi kapital adalah merupakan faktor penentu yang akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Pandangan ini masih tetap menjadi tema utama ekonomi neoklasik dalam menganalisis sumber pertumbuhan ekonomi. Terbitnya buku “Limits To Growth” dari Club of Rome di awal tahun 1970-an telah menggeser perdebatan atas masa depan pertumbuhan ekonomi dan kemudian muncul gerakan lingkungan, dimana para ahli pertumbuhan ekonomi mulai memasukkan sumber daya alam (SDA) dan polusi ke dalam model pertumbuhan ekonomi di era 1970-an (Soedomo, 2010). Sebagai contoh, Stiglitz (1974) mengusulkan fungsi produksi agregat dengan memasukkan tenaga kerja, barang modal, dan sumberdaya alam sebagai barang substitusi dalam model fungsi produksi. Fungsi produksi yang digunakan oleh Stiglitz adalah F (N, K, R ) dimana R adalah laju pemakaian sumberdaya alam. Ada kaitan yang erat antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi dan kaitan tersebut sering menimbulkan
kebingungan. Dalam pertumbuhan ekonomi, perhatian lebih inten ditujukan pada peningkatan pendapatan perkapaita dan penyerapan tenaga kerja tanpa memperhatikan distribusinya dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Informasi yang termuat dalam GNP atau GDP hanya mengungkap produksi barang dan jasa yang melalui mekanisme pasar, sedangkan banyak barang dan jasa yang sangat menentukan kesejahteraan manusia tidak terdaftar di pasar, dan salah satu diantaranya adalah jasa lingkungan. Dalam pembangunan ekonomi, peranan SDA adalah sebagai input produksi (resource supplier), menjadi media asimilasi limbah (waste assimilator) dan penyedia kenyamanan lingkungan (direct use of utility). Salah satu penyebab terjadinya kerusakan SDA dan lingkungan adalah karena tidak dipahaminya secara utuh nilai positip dari ketiga fungsi ekonomi SDA tersebut (Pearce and Turner, 1990). Oleh karena itu ada tiga pedoman penting yang menjadi dasar dalam pemanfaatan SDA, yaitu :(1) SDA dan lingkungan menyediakan sejumlah jasa yang dapat meningkatkan 18
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI kesejahteraan manusia baik langsung maupun tidak langsung; (2) penggunaan lingkungan untuk tujuan tertentu, seperti untuk asimilasi limbah, menyediakan input, kenyamanan dan estetika, serta (3) jasa lingkungan yang diberikan oleh SDA merupakan modal alam (natural stock) yang memiliki kapasitas dalam menopang kehidupan global yang harus tersedia secara berkelanjutan dalam memberikan jasa yang sama untuk generasi di masa datang (Irham, 2007). Implikasinya adalah bahwa dalam mengejar pertumbuhan ekonomi besarannya haruslah dikendalikan agar makna positip dari pertumbuhan ekonomi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak dihilangkan oleh dampak negatif dari kegiatan eksploitasi dan ekspansi sumberdaya alam dan lingkungan. Teori eksternalitas menawarkan suatu alternatif antisipasi atas dampak negatif yang timbul atas pemanfaatan SDA dan lingkungan. Di banyak negara, baik di negara maju maupun berkembang jarang sekali memperhitungkan dan menyertakan kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan pendapatan nasional. Perhitungan pendapatan nasional hanya semata-mata didasarkan atas nilai produk dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam satu tahun tanpa pernah mempertimbangkan besarnya kerusakan lingkungan yang terjadi. Kontribusi sektor industri sebagai misal, hanyalah memperhitungkan besarnya satuan output yang dihasilkan dari sektor industri tanpa memperhitungkan besarnya pencemaran yang ditanggung oleh lingkungan. Eksploitasi dalam kegiatan pertambangan, sering mengabaikan pencemaran terhadap udara, tanah, air serta penduduk yang ada di sekitarnya karena tujuannya adalah berproduksi secara efisien untuk mengejar keuntungan yang maksimal. PDAM hanya memikirkan bagaimana caranya memanfaatkan air sungai sebagai air baku untuk berbagai kebutuhan rumah tangga, industri dan pariwisata tanpa pernah memikirkan bagaimana caranya agar aliran air sungai tersebut tetap terjaga dan berkelanjutan. Demikian juga petani hanya memikirkan bagaimana caranya meningkatkan produksi setinggi-tingginya dengan input kimiawi tanpa pernah memikirkan bagaimana kondisi sifat tanah di masa depan. Sangat disadari bahwa tidak ada pembangunan yang tidak membawa pengorbanan. Tidak ada sistem yang tidak
ISBN:978-602-9138-68-9
membawa konskuensi. Namun yang diinginkan adalah bagaimana pembangunan atau sistem tersebut dapat memberikan manfaat positip yang sebesar-besarnya dan dampak negatif yang seminimal mungkin. Demikian juga dalam proses produksi yang menghasilkan barang atau jasa, disamping dihasilkan output untuk kesejahteraan masyarakat, juga akan dihasilkan produk sampingan yang tidak bisa dihindari, yang disebut limbah atau bahan pencemar. Degradasi lingkungan sebagai akibat dari pembangunan yang tidak berkelanjutan merupakan driving force untuk mencari instrumen alternatif perlindungan lingkungan yang lebih baik. Pada beberapa dekade sebelumnya regulasi lingkungan di Indonesia lebih condong kepada instrumen CAC (Command And Control), dan pada saat ini telah berubah dengan ditetapkannya Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) No 32/2009, dengan diperkenalkannya instrumen ekonomi sebagai bagian dari instrumen pengelolaan lingkungan. Instrumen ekonomi dianggap memiliki beberapa kelebihan dalam hal memberikan solusi untuk perlindungan lingkungan. Instrumen ekonomi lingkungan diperlukan karena dalam ekonomi pasar ketika barang dan jasa ekosistem dinilai dengan harga yang rendah akan menyebabkan terjadi overkonsumi dan inefisiensi dalam pemanfaatan yang mengarah pada degradasi lingkungan. Wibisana (2008), menyatakan bahwa cara pandang (ideologi) terhadap barang publik sangat menentukan dalam mengatasi inefisiensi penggunaan SDA dan jasa lingkungan. Apabila barang publik dan ekternalitas negatif dipandang sebagai bentuk kegagalan pasar (pasar tidak bisa berfungsi efisien) maka penyelesaiannya adalah melalui campur tangan pemerintah. Campur tangan pemerintah bisa dilakukan melaui instrumen CAC ataupun instrumen ekonomi melalui mekanisme kebijakan insentif dan disinsentif. Namun apabila barang publik dianggap sebagai bentuk kegagalan pemerintah (government failure), maka penyelesaiannya adalah dengan menghapus barang publik menjadi barang privat, yang berarti bahwa barang privat diatur oleh pasar, bukan negara. Dengan demikian keputusan untuk menetapkan apakah sebuah barang termasuk barang publik atau tidak, terutama barang-barang yang tidak sepenuhnya 19
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI bersifat non-exclucadable dan non-rivalry adalah keputusan politik, bukan atas dasar teori-teori ekonomi. Instrumen ekonomi untuk pengelolaan lingkungan merupakan pendekatan kebijakan yang lebih mendorong perubahan perilaku melalui sinyal pasar, daripada melalui instruksi langsung seperti metode command and control. Trade Off dalam Penaggulangan Pencemaran Penetapan harga suatu barang seharusnya didasarkan atas harga input dan seluruh biaya produksi yang digunakan. Penggunaan sumberdaya lingkungan seperti air, udara maupun tanah (sebagai badan pembuangan limbah maupun untuk menyimpan limbah sementara) sama artinya dengan penggunaan faktor produksi lainnya seperti tenaga kerja dan bahan-bahan mentah dalam suatu proses produksi. Tanpa penentuan sistem harga yang tepat, akan terjadi pemanfaatan lingkungan secara berlebihan sebagai tempat pembuangan limbah serta eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan pula untuk bahan baku (input) produksi. Untuk mencegah terjadinya eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara berlebihan dapat diterapkan melalui Prinsip Pencemar Membayar (PPM) atau Polluter Pays Principle. Prinsip PPM berusaha untuk memasukkan biaya eksternal ke dalam pertimbangan perusahaan pencemar dalam perhitungan biaya produksinya (Djajadiningrat, 2011). Keadilan akan dapat dirasakan apabila pencemar baik itu perusahaan, perorangan ataupun pemerintah melakukan pembayaran penuh atas biaya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan mereka. Keharusan bagi para pencemar untuk membayar pungutan yang sama besarnya untuk setiap unit tambahan limbah akan mendorong tercapainya alokasi biaya yang efektif. Ada dua interpretasi terhadap “prinsip pencemar harus membayar (PPM)”. Pada dasarnya menurut prinsip tersebut pencemar harus menanggung biaya yang timbul karena pencemaran sedemikian rupa sehingga limbah yang dibuang sesuai dengan baku mutu yag ditentukan. Ini berarti bahwa PPM memberikan suatu hak kepada industri selaku penghasil limbah untuk membuang limbahnya ke lingkungan sampai jumlah tertentu yang bebas dari pungutan. Kemudian ada perkembangan terhadap interpretasi PPM, yaitu bahwa
ISBN:978-602-9138-68-9
pencemar tidak lagi diizinkan membuang limbah sampai batas tertentu bebas tanpa bayaran, tetapi ia diharuskan membayar di samping biaya pengendalian juga biaya kerusakan lingkungan. Ini merupakan interpretasi luas. Interpretasi ini menghendaki adanya pungutan sebagai suatu insentif, yaitu mengharuskan pencemar membayar nilai bersih limbah buangan yang diizinkan. Pungutan sebagai insentif ini memililki keuntungan yaitu bahwa prinsip tersebut dapat memotivasi tingkah laku pencemar agar mengurangi volume pencemarannya. Pengurangan pencemaran yang dihasilkan oleh suatu kegiatan industri akan dapat mengurangi kerusakan lingkungan, namun di sisi lain akan membawa konskuensi pada peningkatan harga jual atas produk yang dihasilkan. Sebagai ilustrasi misalnya, sebuah pabrik tekstil yang membuang limbah produksinya ke badan sungai. Limbah ini akan terbawa oleh aliran sungai ke bagian bawah yang melewati daerah pemukiman penduduk atau daerah perkotaan. Jika sungai tersebut menjadi tercemar oleh buangan limbah industri tersebut maka penduduk atau masyarakat yang dirugikan adalah mereka yang mengambil manfaat atas keberadaan sungai tersebut. Air sungai yang tercemar menimbulkan korban (benefit forgone) pada masyarakat sekitar karena mereka tidak dapat lagi memanfaatkan jasa-jasa sungai tersebut untuk keperluan seperti sebelumnya. Di sisi produksi, pabrik atau perusahan dapat mengurangi jumlah atau memperbaiki kualitas buangan limbahnya melalui pengolahan yang dilakukan di lokasi pabrik dengan menggunakan teknologi. Upaya pengurangan dan perbaikan kualitas limbah melalui penggunaan teknologi akan memerlukan berbagai macam masukan sumberdaya seperti modal, tenaga ahli, bahan-bahan kimia dan lainnya yang merupakan komponen biaya produksi, sehingga pada akhirnya tambahan biaya ini akan mempengaruhi harga jual atas produk yang dihasilkan. Biaya pengolahan untuk penanggulangan pencemaran (menginternalkan eksternalitas) inilah yang merupakan sisi lain dari trade-off dalam kebijakan pengolahan limbah, karena adanya tambahan biaya produksi akan dikompensasikan pada peningkatan harga jual produk yang dihasilkan yang pada akhirnya juga ditanggung oleh masyarakat konsumen.
20
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Instrument Ekonomi dalam Pengendalian Kerusakan Lingkungan Untuk meminimalkan dampak negatif yang terjadi terhadap lingkungan, instrumen ekonomi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu kebijakan dalam pengambil keputusan untuk mempengaruhi perubahan lingkungan secara positip melalui modifikasi insentif yang ditawarkan. Beberapa instrument ekonomi yang dapat dilakukan dalam pengendalian kerusakan lingkungan adalah sebagai berikut. a. Pajak Lingkungan (Environmental Tax) Pajak lingkungan adalah pungutan (charge) yang dikenakan terhadap masukan (input) yang dipergunakan oleh perusahaan atau terhadap keluaran (output) yang dihasilkan oleh perusahaan yang berkaitan dengan dampak lingkungan. Perusahaan yang menggunakan input atau menghasilkan output yang berpotensi besar untuk mencemari lingkungan dikenakan pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang menghasilkan limbah yang sedikit. Sebagai contoh, perusahaan yang menggunakan bahan bakar timbal (leaded gasoline) dikenakan pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang menggunakan bahan bakar tanpa timbal (unleaded gasoline). Salah satu kelemahan dari kebijakan ini adalah tidak adanya jaminan bahwa pajak yang dikumpulkan dari pungutan ini akan dipergunakan untuk kepentingan lingkungan sebab sistem pajak yang berlaku masih bersifat menyeluruh sehingga dana yang terkumpul kemungkinan besar akan dimanfaatkan untuk kepentingan lain, tidak dikembalikan untuk perbaikan lingkungan. b. Subsidi (Subsidy) Subsidi adalah instrumen ekonomi yang dipergunakan pemerintah untuk tujuan kepentingan masyarakat banyak (kepentingan nasional) dari sisi sosial ekonomi dan juga politis. Sebagai contoh, subsidi pupuk, subsidi BBM, dan lainnya. Dalam jangka pendek kebijakan ini akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, namun apabila subsisdi ini diberikan secara berkelanjutan akan dapat menimbulkan inefisiensi, seperti penggunaan pupuk yang berkelebihan sehingga dapat mengancam kelestarian lingkungan. Subsidi BBM, disamping menyedot anggaran belanja
ISBN:978-602-9138-68-9
negara juga menjadikan penggunaannya tidak efisien dan cendrung mencemari lingkungan. Subsidi dapat dilakukan dalam bentuk hibah (grant), pinjaman lunak (soft loan), insentif pajak, dan beberapa kemudahan lainnya. c. Deposit Refund ~ Deposit Recycling Instrumen ini biasanya dipergunakan untuk produk atau kemasan yang dapat didaur ulang. Kebijakan ini akan mendorong produsen untuk menghasilkan produk atau kemasan yang dapat di daur ulang, dan juga mendorong konsumen agar bersedia mengembalikan bekas produk atau bekas kemasan untuk didaur ulang. Misalnya air minum dalam kemasan (AMDK) seharusnya pabrik dapat menampung kembali kemasannya dan memberikan kompensasi kepada konsumen sehingga pencemaran bisa dikendalikan. d. Environmental Performance Bond Instrumen ini juga telah banyak dilakukan di Indonesia, sekalipun dalam cakupan yang terbatas. Setiap kegiatan penambangan permukaan (surface minning) diwajibkan untuk menyertakan “dana jaminan reklamasi” sebagai penjamin bahwa pelaku kegiatan akan melaksanakan reklamasi terhadap galian tambang. Untuk di Bali kebijakan ini telah diterapkan untuk kegiatan penambangan galian C seperti batu kapur dan pasir. Permasalahan yang timbul kemudian adalah apakah dana jaminan reklamasi yang telah disetor investor dikembalikan untuk melakukan perbaikan lingkungan ataukah diposting sebagai PAD ataukah dimanfaatkan untuk keperluan lain. Masih banyak instrumen ekonomi lainnya lagi yang dapat digunakan dalam mengantisipasi kerusakan dan pencemaran lingkungan seperti user charge yang ditujukan untuk barang publik, tradable emission permits untuk jenis kendaraan bermotor, dan progressive pricing yang telah dilakukan untuk pembayaran air minum, listrik, dan juga untuk pajak kendaraan bermotor (mobil). Instrumen ekonomi terakhir yang sedang diperkenalkan dan dikembangkan oleh pemerintah adalah Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) atau Payment For Environmental Services (PES). Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) Dalam UU 32/2009 tentang PPLH, Pasal 42, Ayat 1 disebutkan bahwa dalam rangka 21
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI melestarikan fungsi lingkungan hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini meliputi: (a) perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; (b) pendanaan lingkungan hidup; dan (c) insentif dan/atau disinsentif. Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 42 ini salah satunya adalah mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah. Demikian juga instrumen insentif dan/atau disinsentif yang dimaksud dalam Pasal 42 ini salah satunya diterapkan dalam bentuk pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup. Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah instrumen berbasiskan pasar untuk tujuan konservasi berdasarkan prinsip bahwa siapa yang mendapatkan manfaat dari jasa lingkungan harus membayar dan siapa yang menghasilkan jasa tersebut harus dikompensasi. Dalam mekanisme PJL, penyedia jasa lingkungan menerima pembayaran tergantung dari kemampuan mereka untuk menyediakan jasa lingkungan yang diinginkan atau melakukan suatu kegiatan yang sifatnya dapat menghasilkan jasa lingkungan tersebut (Protokol PJL, 2011). Pembayaran atas jasa lingkungan menurut The Regional Forum On Payments Scheme For Environmental Service in Watersheeds (2003), adalah mekanisme kompensasi di mana penyedia jasa dibayar oleh penerima jasa. Wunder (2005) mendifinisikan jasa lingkungan sebagai sebuah transaksi sukarela (voluntary) yang melibatkan paling tidak satu penjual (one seller), satu pembeli (one buyer) yang terdifinisi dengan baik, dimana berlaku prinsip-prinsip bisnis “ hanya membayar bila jasa telah diterima” serta penyedia dapat menjamin suplai yang terus menerus dari jasa lingkungan tersebut. Prinsip penting dari pembayaran jasa lingkungan adalah yang menyediakan jasa lingkungan sebaiknya menerima kompensasi atas usaha konservasi yang dilakukan dan bahwa yang menerima jasa lingkungan sebaiknya membayar penyediaan mereka (Pagiola dan Platais, 2002). Dasar teori ekonomi dari PJL secara konseptual sebenarnya sederhana yaitu “beneficiary pays” atau penerima manfaat membayar (Pagiola, 2004). PJL pada dasarnya
ISBN:978-602-9138-68-9
merupakan skema yang bertujuan untuk menyediakan jasa lingkungan yang selama ini dianggap semakin mengalami degradasi akibat kurangnya apresiasi masyarakat terhadap nilai dari jasa lingkungan dan juga kurangnya mekanisme kompensasi. Skema PJL merupakan mekanisme yang membuat penyediaan jasa lingkungan menjadi lebih cost efisien dalam jangka waktu yang lama. Rosa et al. (2002), menjelaskan pendekatan konvensional PJL merupakan instrumen ekonomi yang berbasis optimisasi, mencari biaya serendah mungkin untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan. Jika dilihat dari mekanismenya, PJL memiliki struktur dasar yang secara konsep relatif sederhana dan fleksible dalam berbagai kondisi sehingga aplikasinya pun sangat bervariasi di seluruh dunia. Seperti diuraikan oleh Pagiola (2003), skema PJL dapat dilakukan pada berbagai jenis jasa lingkungan, seperti penyerapan karbon (carbon sequestration), pengelolaan hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS), konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation) ataupun kelestarian lanskap untuk ekoturisme (landscape beauty), yang sebelumnya harus didefinisikan, diukur dan dikuantifikasikan untuk dihasilkan dalam skema ini. Pembayaran Jasa Lingkungan untuk Pengelolaan DAS Inisiatif pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Indonesia secara sistematis telah dikembangkan oleh instansi pemerintah pusat dan daerah bekejasama dengan lembaga swadaya masyarakat nasional dan internasional, seperti ; LP3ES, WWF, RUPES-ICRAF. Saat ini ada sekitar 84 lokasi yang dipandang sangat potensial sebagai wilayah pengembangan jasa lingkungan di Indonesia baik dalam bentuk biodiversity, watershed protection, landscape beauty maupun carbon sequestration (World Agroforestry Centre, 2003). Didasarkan pada review atas pelaksanaan program jasa lingkungan di Indonesia pada bulan Mei 2005 (LP3ES, 2005), didapatkan bahwa kontribusi sektor swasta terhadap kegiatan pelestarian sumberdaya air (dan lingkungan pada umumnya) belum maksimal karena besarnya beban perusahaan untuk mengeluarkan biaya sosial baik yang resmi maupun tidak. Hal ini tejadi disebabkan juga karena belum adanya aturan perundangan yang 22
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dapat menekan perusahaan untuk lebih aktif menggunakan instrumen pembayaran jasa lingkungan sebagai bagian dari kebijakan dalam keberlanjutan usahanya. Penerapan imbal jasa lingkungan untuk perlindungan DAS dimaksudkan sebagai upaya melindungi DAS agar dapat menghasilkan air secara optimal dalam arti terjamin kualitas dan kuantitasnya (Nugroho dan Kartodihardjo 2009). Beberapa contoh skema jasa lingkungan DAS yang sudah diterapkan di Indonesia adalah: pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, Provinsi Banten (Yoshino et al., 2010); penerapan dana kompensasi hulu-hilir antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon (Ramdan, 2006); pembayaran jasa lingkungan oleh PDAM kepada masyarakat hulu di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hingga saat ini kerangka kebijakan dan regulasi yang ada di Indonesia belum dapat mengakomodasikan bentuk pendanaan yang bersumber dari pembayaran dan imbal jasa lingkungan. Untuk di Bali, PJL belum begitu banyak dikenal oleh para stakeholder sehingga implementasinya menjadi kurang dipahami. Keberadaan DAS Ayung adalah merupakan salah satu ekosistem yang sangat penting untuk menjaga kelestarian pasokan aliran air Sungai Ayung. Sungai Ayung yang merupakan sungai terpanjang di Bali (68,5 km) dimanfaatkan oleh berbagai sektor. Aliran air sungai ini dimanfaatkan oleh rumah tangga untuk kebutuhan domestik, untuk irigasi oleh sektor pertanian, untuk rafting oleh sektor pariwisata, dan sebagai air baku untuk sektor air bersih (PDAM) untuk mensuplai kebutuhan masyarakat perkotaan dan industri pariwisata. Air Sungai Ayung juga dimanfaatkan untuk kepentingan sosial budaya religius, seperti untuk melukat, nganyut, melasti dan lainnya. Penerapan PJL dalam pengelolaan DAS Ayung akan menjadi instrumen penting dalam menjaga keberlanjutan ketersediaan air di masa depan. Ketersediaan air mempunyai makna yang maha penting untuk sebuah kehidupan. Tidak ada kehidupan tanpa air, dan air adalah komoditi yang tidak memiliki pengganti (nonsubstitusi). Itu menjadikan salah satu alasan mengapa Agama Hindu disebut juga Agama Tirta. Tiada persembahan upacara yang sempurna tanpa ada “percikan tirta (air)”. Air hanya akan tersedia bila pohon, hutan, gunung terawat dengan baik.
ISBN:978-602-9138-68-9
Kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada pertumbuhan jangka pendek telah memicu pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif sehingga menjadikan daya dukung dan fungsi ekosistem hutan dan DAS semakin menurun, bahkan mengarah pada kondisi yang semakin mengkhawatirkan. Rusaknya ekosistem hutan dan DAS tidak hanya akan menurunkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya namun juga akan berdampak pada kehidupan masyarakat di luar ekosistem berupa ancaman keberlanjutan ketersediaan air bagi masyarakat secara keseluruhan. Penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 1997 menyatakan bahwa Bali akan mengalami krisis air pada tahun 2015 sebanyak 27 milliar liter air. Sementara Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Bali menyatakan Bali akan mengalami krisis air bersih pada tahun 2020. Memperingati Hari Bumi ke-42 pada Senin 23 April 2012, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali mengeluarkan peringatan akan ancaman krisis air di Bali yang ditunjukkan oleh terjadinya konflik antara petani dengan pihak-pihak pengguna air lainnya (Tempo.Co, Denpasar, 2012). Secara empiris, gejala mengeringnya lahan pertanian karena menurunnya aliran debit air sungai telah menimbulkan konflik pemanfaatan air antara subak (sektor pertanian) dan PDAM (sektor air bersih). Kasus yang terjadi antara petani di Desa Kendran dengan PDAM Kabupaten Gianyar dan pemanfaatan mata air Gembrong di Desa Mangeste, Kecamatan Penebel, dan air pada Bendung Telaga Tunjung oleh PDAM Kabupaten Tabanan adalah sebagai bukti terjadinya konflik dalam perebutan penggunaan air antara sektor pertanian dengan PDAM. Dampak krisis air akan lebih dirasakan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung yang mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi dan sekaligus menjadi pusat pengembangan pariwsata. Pembangunan fasilitas pendukung pariwisata seperti hotel dengan berbagai kelas dan tipe, restoran, golf, dan berbagai sarana rekreasi lainnya tumbuh pesat di kedua wilayah ini. Bahkan di kedua wilayah ini diperkirakan akan mengalami krisis air bersih pada tahun 2015 yang disebabkan karena pertumbuhan penduduk dan pembangunan perumahan 23
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI (property) untuk pemukiman dan pariwisata yang amat pesat, sehingga persediaan air tidak memadai lagi. Sebagai misal, jumlah hotel, baik hotel berbintang maupun non bintang (hotel melati dan pondok wisata) pada tahun 2005 di Kabupaten Badung tercatat sebanyak 23.997 kamar, pada tahun 2009 meningkat menjadi 28.796 kamar dan di tahun 2011 meningkat lagi mencapai 30.553 kamar. Jumlah hotel ini belum termasuk jumlah restoran, rumah makan dan bar yang juga terus berkembang amat pesat di kabupaten ini (BPS Bali, 2012). Perlu dipahami bahwa kegiatan pelestarian ekosistem hutan dan DAS memerlukan pelibatan banyak pihak (stakeholder), mulai dari stakeholder kunci, stakeholder primer dan stakeholder skunder. Setiap stakeholder ini mempunyai peran dan fungsi sesuai dengan kapasitasnya masing masing yang bermuara pada upaya pelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam tersebut. Pengelolaan ekosistem hutan dan DAS dilaksanakan dengan pembagian tugas dan fungsi, beban biaya dan manfaat antar multipihak secara adil. Prinsip ini menegaskan bahwa dalam pengelolaan ekosistem hutan dan DAS terdapat berbagai pihak yang terlibat dan banyak pihak yang memperoleh manfaat dari barang dan jasa atas sumberdaya alam tersebut serta sekaligus juga terdapat banyak pihak yang membuat kerusakan dan atau pencemaran terhadap ekosistem DAS. Pendekatan melalui PJL merupakan salah satu upaya untuk memberikan nilai yang “adil” terhadap jasa lingkungan yang sekaligus juga mencegah terjadinya tragedi kepemilikan bersama (Ostrom, 1990). Konsep dasarnya adalah mereka atau masyarakat yang berperan dalam menjaga dan “menyediakan” jasa lingkungan dari ekosistem alam harus diberi kompensasi oleh mereka yang menerima “manfaat” atau “pemakai” jasa ekosistem tersebut. Mengharapkan dan memberikan tanggungjawab hanya pada masyarakat hulu untuk menjaga ekosistem hutan dan DAS tanpa memberikan kompensasi memadai atas itu adalah merupakan bentuk ketidakadilan. Adanya pendanaan yang bersumber dari mekanisme PJL ini nantinya dapat dimanfaatkan untuk melakukan konservasi ekosistem dan sekaligus memperbaiki penghidupan (livelihood) masyarakat sekitar sehingga keberadaan
ISBN:978-602-9138-68-9
komunitas yang berperan dalam melestarikan dan menjaga serta menyediakan jasa lingkungan akan tetap terjaga dan terpelihara secara berkelanjutan (Wunder, 2008; Dung The, Bui and Hong Bich Ngoc, 2008). PJL pada hakekatnya adalah instrumen pengelolaan lingkungan berbasis pasar dimana jasa lingkungan diperdagangkan melalui penciptaan pasar berdasarkan kesepakatan antara penyedia jasa dan pengguna jasa. Penutup Pemberian nilai atau harga atas jasajasa yang diberikan oleh sumberdaya alam dan lingkungan yang sangat rendah bahkan mendekati nol akan menciptakan kesenjangan antara biaya privat (private cost) dan biaya sosial (social cost). Akibatnya adalah harga barang dan jasa yang dihasilkan oleh lingkungan akan sangat murah dan tidak mencerminkan biaya produksi yang sesungguhnya serta mengabaikan ekternalitas. Akibatnya adalah terjadinya deplesi dan degradasi lingkungan yang semakin meningkat. Dengan tidak diberikannya harga yang adil terhadap jasa lingkungan, sistem perekonomian tidak memiliki mekanisme kontrol yang mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan sehingga cendrung menimbulkan pengalokasian faktor faktor produksi yang salah (missallocation). Eksploitasi yang berlebihan dan degradasi lingkungan yang semakin meningkat adalah bentuk dari pengalokasian faktor produksi yang keliru. Karena itu sumbangan yang penting dari ilmu ekonomi terhadap pemecahan masalah lingkungan adalah bagaimana memberikan nilai (value) yang tepat atas sumberdaya alam dan lingkungan sehingga menjadikan biaya privat sama dengan biaya sosial. Dalam hal ini valuasi ekonomi (economic valuation) atas sumberdaya alam dan lingkungan memegang peranan penting dalam menentukan besarnya nilai (moneter) sumberdaya alam dan lingkungan. Pulau Bali sebagai salah satu tujuan wisatawan dunia yang menonjolkan keindahan alam dan budaya dapat menjadikan instrumen PJL sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang strategis dalam perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan yang sekaligus akan memberdayakan dan memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
24
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI DAFTAR PUSTAKA : Biro Pusata Statistik Bali, 2012. Bali Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Denpasar Djajadiningrat, Surna T., Yeni Hendriani, Melia Famiola. (2011). Ekonomi Hijau (Green Economy) . Penerbit Rekayasa Sains, Bandung. ICRAF, Ford Foundation, LP3ES, Bappenas, WWF Indonesia. 2005. Strategi Pengembagan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia. Laporan Lokakarya Nasional, Jakarta, 14 15 Februari 2005 Irham. 2007. Valuasi Ekonomi dan Pengelolaan Sumber Daya Dalam Kerangka Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. LP3ES, ICRAF, Ford Foundation, Bappenas, WWF-Indonesia. 2005. Strategi Pengembagan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia. Laporan Lokakarya Nasional, Jakarta, 14-15 Februari 2005. Nugroho, B., dan H. Kartodihardjo. 2009. Kelembagaan PES; Permasalahan, Konsep, dan Implementasi. Disampaikan pada Lokakarya Payment on Environmental Services (PES): Pengarusutamaan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia: Tren dan Dinamikanya. Bogor, 3-4 Agustus 2009. Ostrom, E. 1990. Governing the Commons The Evolution of Institution for Collective Action. Cambridge : Cambridge University Press. Pagiola, S. and Platais, G. 2002. Payment For Environmental Service”. http:// siteresources.worldbank.org/INTEEI/ Resources/EnvStrategyNote32002.pdf Pagiola, S. 2003. “Economics Overview.” The Importance of Forest Protected
ISBN:978-602-9138-68-9
Areas to Drinking Water: Running Pure. Edited by Nigel Dudley and Sue Solton. World Bank/WWF Alliance for Forest Conservation and Sustainable Use. Washington,D.C. Pagiola, S. 2004. Environmental Services Payments in Central America: Putting Theory into Practice. Presented at the¯Environmental Economics for Development Policy. Training Course. World Bank Institute, July 19–30, 2004. Pagiola, S., A. Arcenas, and G. Platais (2005). ‘Can Paymentsfor Environmental Services Help Reduce Poverty? An exploration of the issues and the evidence to date from Latin America’, World Development 3 3: 23 7 25 3. Pearce, D.W., and R.K. Turner. 1990. Economic of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf. London. Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ceremai Propinsi Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Rosa, H. et al. 2002. Payment for Environmental Services and Rural Communities: Lessons from the Americas . Tagaytay City, The Philippines: International Conference on Natural Assets, Political Economy Research Institute and Centre for Science and the Environment. Salim, Emil. 2010. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan, dalam Pembangunan Berkelanjutan, Peran dan Kontribusi Emil Salim. (Iwan J. Aziz, Lydia M. Napitupulu, Arianto A. Patunru, Budy P. Resosudarmo, ed.). KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta. Stiglitz, J.E. 1974. Growth With Exhaustible Natural Resources : Efficient And 25
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Optimal Growth Paths. Review of Economis Studies. Symposium On The Economics of Exhaustible Resources. Tempo.Co, 2012. Krisis Air Mengancam Bali, 24 April 2012. Turner, Kerrr R., David Pearce, and Ian Bateman. Environmental Economics; an Introduction. Harvester Wheatsheaft, Singapore. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta. Wibisana, Andri G. (2008). Instrumen Ekonomi Atau Privatisasi Pengelolaan
ISBN:978-602-9138-68-9
Lingkungan?. Komentar Atas RUU Jasa Lingkungan. Makalah Disampaikan Dalam Seminar RUU Tentang Jasa Lingkungan 1 Desember 2008. Bandung. Wunder, S. 2005. Payment for Environmental Services: some Nuts and Bolts. CIFOR Occasional Paper No. 42. Centre for International Forestry Research, Bogor, Indonesia. Wunder, S., 2008. Payments for Environmental Services and Tthe Poor: Concepts and Preliminary Evidence. Environment and Development Economics 13: 279 297.
26
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
KERAGAMAN JENIS BAMBU DI GIANYAR- BALI UNTUK MENUNJANG INDUSTRI KERAJINAN RUMAH TANGGA Ida Bagus Ketut Arinasa Kebun Raya “Eka Karya” Bali, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali, Indonesia 82191 e-mail:
[email protected] ABSTRAK Bambu atau tiing merupakan tanaman multifungsi yang memegang peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat pedesaan di Bali. Di lain hal, industri kerajinan berbahan baku bambu mulai berkembang pesat khususnya di Kabupaten Gianyar sebagai salah satu sentra kerajinan tangan di Bali. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis bambu yang potensial digunakan masyarakat Gianyar sebagai bahan baku kerajinan untuk industri rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan 18 jenis bambu ditemukan di wilayah Kabupaten Gianyar. Dari l8 jenis bambu yang ditemukan sebanyak 11 jenis digemari oleh para pengrajin dari Desa Belega, Bona, Kerta dan sekitarnya untuk pembuatan kerajinan. Sebelas jenis bambu tersebut antara lain tiing petung selem/hitam (Dendrocalamus asper cult.hitam), tiing tali selem/hitam (Gigantochloa apus cult.hitam), tiing selem/ hitam (Gigantochloa atroviolacea), tiing tali (Gigantochloa apus), jajang suwat (Gigantochloa manggong), tiing ampel gading (Bambusa vulgaris var. striata), tiing sudamala (Bambusa multiplex), buluh tamblang gading (Schizostachyum brachycladum), tiing tutul (Bambusa maculata), tiing petung (Dendrocalamus asper), dan tiing ater (Gigantochloa atter). Sementara lima jenis bambu prioritas yang sangat dibutuhkan oleh pengrajin diantaranya Dendrocalamus asper (tiing petung dan tiing petung kultivar hitam), Gigantochloa apus (tiing tali dan tiing tali kultivar hitam), dan Bambusa maculata (tiing tutul), Dendrocalamus asper cult.hitam (tiing petung selem) dan Gigantochloa apus cult.hitam (tiing tali selem). Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Gianyar sangat antusias melakukan konservasi bambu untuk mendukung berkembangnya industri kerajinan bambu khususnya di Desa Belega, Bona, Kerta dan sekitarnya. Kata kunci: bambu, kerajinan, industri rumah tangga, Gianyar PENDAHULUAN Bambu memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia, khususnya di Bali. Fungsi dan kegunaannya sangat beragam baik sebagai bahan baku industri kerajinan, sarana upacara adat, bahan makanan, bahan baku serat dan kegunaan lainnya (Sastrapradja, 1977). Industri kerajinan rumah tangga berbahan baku bambu di Bali tumbuh dan berkembang sangat pesat, bukan hanya di perkotaan melainkan sekarang lebih banyak berkembang di pedesaan. Tercatat sebanyak 63 unit usaha industri kerajinan bambu yang terdaftar di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, dengan nilai ekspor mencapai USD 9.778.471,03 (Bagiada, 2003).
Kabupaten Gianyar tercatat sebagai kabupaten yang paling awal memanfaatkan bambu sebagai bahan baku mebel di Bali pada tahun 1945 (Padmanaba, 1990). Kerajinan mebel bambu di Desa Belega Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar menggunakan bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu tali (Gigantochloa apus), dan bambu tutul (Bambusa maculata) sebagai bahan bakunya. Bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea) oleh perajin dimasukkan sebagai jenis yang sama dengan jenis bambu tali hitam, padahal secara taksonomi kedua jenis tersebut berbeda (Arinasa, 2013). Desa Belega merupakan salah satu sentra kerajinan industri rumah tangga dari bambu khususnya mebel dan perabotan rumah tangga lainnya. Disamping Desa Belega, juga Desa 27
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Kerta di Kecamatan Payangan merupakan pusat kerajinan anyaman bambu khususnya memproduksi musik tradisional dari bambu seperti gerantang/rindik dengan bahan baku bambu tabah (Gigantochloa nigrociliata), bambu tali (Gigantochloa apus) dan bambu tamblang (Schizostachyum brachycladum). Suatu kenyataan yang terjadi di Bali bahwa dengan pesatnya pemasaran hasil produksi kerajinan rumah tangga dari bambu tersebut juga mengakibatkan kebutuhan bambu semakin meningkat. Persediaan bambu di Bali tidak lagi sanggup menyediakan permintaan yang terus meningkat jumlahnya sehingga bambu sering sulit diperoleh. Agar industri rumah tangga tersebut dapat berkelanjutan, maka masyarakat membeli bambu dengan harga mahal yang didatangkan dari luar Bali khususnya Jawa. Bambu pernah juga didatangkan dari Lombok tetapi karena ongkos angkutnya terlalu mahal mengakibatkan tidak dapat bersaing dipasaran. Pada tahun 1995, Bali membutuhkan sebanyak 6.741.000 batang bambu yang didatangkan dari Jawa (Ardana, 1996). Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis bambu yang potensial digunakan oleh masyarakat setempat sebagai bahan baku kerajinan industri rumah tangga. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada 17 s.d. 22 Mei 2013 di Kabupaten Gianyar, Bali. Lokasi penelitian difokuskan pada dua kecamatan yaitu dusun Perean desa Pupuan Kecamatan Tegallalang dan desa Pausan Kecamatan Payangan. Pengumpulan data keanekaragaman jenis-jenis bambu dilaksanakan dengan metode jelajah (eksploratif) baik di hutan desa adat maupun di kawasan pedesaan (Rugayah et al., 2004). Untuk mengetahui jenis-jenis bambu secara ilmiah dari hasil eksplorasi dilakukan pembuatan herbarium setiap jenis. Herbarium diidentifikasi di Gedung Herbarium dan petak koleksi bambu Kebun Raya Eka Karya BaliLIPI serta menggunakan beberapa literatur. Untuk mengetahui kegunaan bambu yang digunakan untuk kerajinan rumah tangga
ISBN:978-602-9138-68-9
dilakukan di Desa Belega Kecamatan Blahbatuh dengan metode wawancara kepada pengrajin bambu dan melihat langsung di lapangan serta menggunakan data sekunder (Badan Pusat Statistik, 2013). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian di hutan adat wilayah Perean Kecamatan Tegallalang dan wilayah Pausan Kecamatan Payangan telah diperoleh bambu sebanyak 18 jenis (Widjaja, 2001, Widjaja, 2001a, Widjaja, dkk., 2005). (Tabel 1).
Dari l8 jenis bambu yang berhasil ditemukan sebanyak 11 jenis bambu potensial dan digemari oleh pengrajin dari Desa Belega, Bona, Kerta dan sekitarnya untuk pembuatan industri kerajinan. Sebelas jenis bambu tersebut antara lain: tiing petung selem (Dendrocalamus asper cult.hitam), tiing tali selem (Gigantochloa apus cult.hitam), tiing selem (Gigantochloa atroviolacea), tiing tali biasa (Gigantochloa apus), jajang suwat (Gigantochloa manggong), tiing ampel gading (Bambusa vulgaris var. striata), tiing sudamala (Bambusa multiplex), tamblang gading (Schizostachyum brachycladum), tiing tutul (Bambusa maculata), tiing petung (Dendrocalamus asper), dan tiing ater (Gigantochloa atter) seperti yang tertera pada Tabel 2. 28
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
Bila diamati dari Tabel 2 di atas, hanya tiing tali biasa yang memiliki populasi melimpah di lokasi penelitian maupun di tempat yang lainnya. Hal ini disebabkan karena bambu ini sudah ditanam sejak berabad-abad oleh leluhurnya karena mempunyai multifungsi. Hampir di setiap pekarangan, teba (pekarangan belakang) dan tepi jurang dapat ditemui jenis bambu ini. Namun demikian untuk keperluan industri, jenis ini masih didatangkan dari luar desa dikarenakan permintaan jenis bambu ini sangat tinggi. Secara umum jenis-jenis bambu yang terdapat di lokasi penelitian adalah jenis-jenis introduksi. Populasi jenis-jenis tersebut juga masih terbilang sedikit bila dibandingkan dengan kebutuhan bahan baku bambu yang diperlukan oleh pengrajin. Kebutuhan bambu di Kabupaten Gianyar dapat mencapai 37.908 batang per bulan dari lima jenis bambu prioritas yang dibutuhkan oleh pengrajin meubel bambu seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
ISBN:978-602-9138-68-9
Jika dilihat dari penggunaan jenis bambu sesuai Tabel 3 di atas, maka bambu/tiing tutul (Bambusa maculata) penggunaannya paling sedikit yaitu sebanyak 7.581 batang per bulan. Padmanaba (1990) menyatakan bahwa penggunaan bambu tutul yang juga disebut dengan bambu loreng mengalami degradasi pemakaian mulai tahun 1975 saat tiing petung (Dendrocalamus asper) diperkenalkan sebagai bahan baku kerajinan meubel bambu. Pada awalnya, tiing petung selem (hitam) yang dimasukkan dari daerah Jember, Jawa Timur sulit juga mendapat pasaran karena pengrajin telah terbiasa menggunakan tiing petung biasa atau yang lazim dikenal dengan tiing petung putih. Berkat keahlian pengrajin dalam tata desain maka sekarang tiing petung biasa (Dendrocalamus asper) dan juga tiing petung selem (hitam) (Dendrocalamus asper cult. hitam) menduduki peringkat teratas dalam jumlah yang diperlukan sebagai bahan baku kerajinan meubel dan tempat tidur yaitu sebanyak 17.059 batang per bulan. Meskipun kebutuhannya paling banyak diantara jenis bambu lainnya namun populasi tanamannya adalah paling sedikit berdasarkan observasi lapangan yang dilakukan di daerah-daerah pertanaman bambu di Kecamatan Payangan dan Tegallalang. Kekurangan bahan baku jenis bambu ini diatasi dengan mendatangkan dari daerah lain. Tabel 3 juga memperlihatkan kebutuhan bahan baku terbesar kedua di Kabupaten Gianyar adalah tiing tali selem (Gigantochloa apus cult.hitam) dan tiing tali biasa (Gigantochloa apus) sebanyak 13.268 batang per bulan. Berdasarkan observasi lapangan di daerah eksplorasi, jenis ini populasinya cukup banyak namun demikian belum dapat mencukupi kebutuhan pasar sehingga didatangkan dari daerah lain. Tiing tali selem populasinya sudah agak banyak namun belum berproduksi optimal karena bambu ini baru mulai dikembangkan pada tahun 1994. Lima jenis bambu ini mempunyai peluang pasar sangat luas di masa yang akan datang. Keinginan masyarakat untuk mengembangbiakkan lima jenis bambu tersebut cukup tinggi, namun masih terkendala dengan teknik perbanyakan dan terbatasnya tanaman induk. Hingga kini petani memperbanyaknya dengan jalan melakukan penyapihan terhadap rimpang induk sehingga sulit memperoleh bibit yang banyak dalam waktu relatif singkat, di samping itu cara ini merusak induk tanaman (Berlian dan Rahayu, 1995). 29
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Bila dilihat dari Tabel 3 di atas, maka unit kerajinan meubel bambu di Kabupaten Gianyar dapat menyerap tenaga lokal dan bahkan dari luar kabupaten cukup signifikan yaitu sebanyak 1458 orang. Di samping penyerapan tenaga kerja, sektor kerajinan bambu dapat menyumbang kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) Bali yang cukup besar yaitu USD 9,8 juta seperti tertera pada Tabel 4.
Sepanjang pengamatan di lokasi penelitian, hanya beberapa jenis bambu yang sudah ditanam sejak jaman dahulu seperti tiing tali biasa (Gigantochloa apus), tiing petung biasa (Dendrocalamus asper), tiing ampel gading (Bambusa vulgaris var. striata), tiing jajang swat (Gigantochloa manggong), buluh tamblang gading (Schizostavhyum brachycladum). Bambu tersebut ditanam oleh masyarakat, biasanya hanya untuk memenuhi keperluan upacara adat seperti penjor, salon (bangunan sementara yang berkaitan dengan diselenggarakannya suatu upacara Agama Hindu Bali), bale pawedaan, semat (penjahit janur). Sesuai dengan tujuan penanamannya, bambu tersebut kebanyakan di tanam berdekatan dengan pekarangan rumah ataupun pura. Upaya Konservasi Bambu Seiring dengan perkembangan pariwisata Bali, masyarakat Desa Belega yang merupakan salah satu desa cikal bakal pusat kerajinan anyaman bambu merasakan permintaan jenis-jenis produk bambu yang terus meningkat. Peningkatan permintaan dibarengi dengan bermacam bentuk produk yang dipesan, sehingga menyebabkan masyarakat Desa Belega
ISBN:978-602-9138-68-9
mulai mengerjakan kerajinan bambu dengan serius, berkembang dari satu rumah ke rumah yang lain. Di wilayah Desa Belega hanya mempunyai jenis-jenis bambu untuk keperluan ritual keagamaan Hindu Bali dan bahan bangunan yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Untuk memenuhi kebutuhan bambu, seiring dengan meningkatnya pesanan produk kerajinan bambu, maka masyarakat mulai mendatangkan bambu dari kabupaten lainnya di Bali seperti Tabanan dan Bangli. Dengan belum terpenuhinya pasokan bambu dari kedua kabupaten tersebut, akhirnya bambu didatangkan dari Jawa dan Lombok. Menurut Ardana (1996), pada tahun 1995 Bali mendatangkan bambu dari Jawa sebanyak 6.741.000 batang. Perhatian dari Pemerintah Provinsi Bali melalui Sub BRLKT (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) untuk memperhatikan masalah perbambuan sebenarnya sudah ada sejak tahun 1994. Ini dibuktikan dengan diberikannya sebanyak 35 jenis bibit bambu kepada Dusun Perean Desa Pupuan Kecamatan Tegallalang Kabupaten Gianyar. Bibit bambu tersebut di tanam pada lahan seluas 25 hektar milik desa adat Dusun Perean. Pada waktu itu, pelaksanaannya dikerjakan oleh kelompok tani hutan bambu pucak sari Dusun Perean. Diakui bahwa tidak semua jenis yang ditanam dapat tumbuh disebabkan beberapa hal seperti kualitas bibit, waktu penanaman yang kurang tepat, sumber daya manusia dan minimnya biaya pemeliharaan. Perhatian bukan saja berasal dari pihak pemerintah saja, juga terdapat kalangan non pemerintah peduli bambu seperti Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. Yayasan ini berdiri tahun 1993 berlokasi di dusun Nyuh Kuning Desa Mas Kecamatan Ubud. Yayasan yang mengkoleksi puluhan jenis bambu baik dari dalam dan luar negeri merupakan salah satu pelopor di bidang konservasi dan desain bambu. Bukan hanya sampai di situ, usaha yayasan yang diketuai oleh Linda Garland berhasil melangsungkan Kongres Bambu Internasional IV yang diselenggarakan di Ubud Bali pada 19 - 22 Juni 1995. Pada kongres tersebut di bahas tidak kurang dari 70 buah makalah yang diikuti oleh lebih dari enam ratusan peserta dari dalam dan luar negeri (Rao and Sastry, 1995). 30
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Puri Ubud dan Payangan juga tidak ketinggalan dalam kepeduliannya melestarikan bambu. Pelestarian bambu bagi keluarga puri semula dimaksudkan untuk melestarikan jenisjenis bambu yang berguna untuk kepentingan upacara adat dan usada (pengobatan). Sebanyak 41 jenis bambu milik Puri Payangan di koleksi di Desa Bukian Kecamatan Payangan untuk kepentingan usada dan upacara adat. Beberapa tokoh masyarakat lainnya seperti Perbekel/Kepala Desa juga tidak tinggal diam melestarikan bambu. Kepala Desa Pausan di Kecamatan Payangan juga menanam beberapa jenis bambu di lahan pribadinya. Demikian pula masyarakat, banyak yang mengikuti jejak pemimpinnya melakukan penanaman bambu sekalipun dalam skala kecil. Bahkan sekarang di Ubud terdapat pengusaha pembibitan bambu yang sudah dapat menyediakan berbagai jenis bibit bambu.
ISBN:978-602-9138-68-9
pemerintah daerah dan masyarakat Kabupaten Gianyar memberikan prioritas pelestarian pada tanah adat, tepi jurang maupun tanah milik perseorangan. DAFTAR PUSTAKA Ardana, I.B. 1996. Data Bali membangun. Bappeda Bali, Denpasar. Arinasa,IBK. dan IN.Peneng, 2013. Jenis-jenis Bambu di Bali dan Potensinya. LIPIPressJakarta. Badan Pusat Statistik. 2013. Bali dalam angka 2013. Badan Pusat Statistik Press, Denpasar. Bagiada, P. 2003. Prospek bambu ditinjau dari segi industri dan pemasarannya. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, Denpasar. Berlian, N.V.A. dan E. Rahayu. 1995. Jenis-jenis dan prospek bisnis bambu. Penebar Swadaya, Jakarta. Padmanaba, C.G.R. 1990. Perkembangan industri kerajinan meubel bambu di Desa Blega, Blahbatuh, Gianyar. Universitas Udayana, Denpasar. Rao, I.V.R. dan C.B. Sastry. 1995. Bamboo, people and the environment. Proceeding of the 5th International Bamboo Workshop and the 4th International Bamboo Congress, Ubud, Bali, Indonesia. INBAR, EBF, Government of the Netherland, IPGRI, IDRC. Rugayah, E.A. Widjaja dan Pratiwi. 2005. Pedoman pengumpulan data keanekaragaman flora. Pusat Penelitian Biologi - LIPI, Cibinong. Sastrapradja, S. 1977. Beberapa jenis bambu. Lembaga Biologi Nasional - LIPI, Bogor. Widjaja, E.A., 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Balai Penelitian Botani, Herbarium BogorienseP2B-LIPI. Bogor, Indonesia Widjaja, E.A., 2001a. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense-P2B-LIPI. Bogor, Indonesia. Widjaja, E.A., I.P.Astuti, IBK.Arinasa dan IW.Sumantera. 2005. Identikit Bambu di Bali. Bidang Botani, P2B-LIPI. Bogor.
SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal: 1. Selama penelitian di Kabupaten Gianyar telah diperoleh 18 jenis bambu dan herbariumnya. 2. Sebelas dari 18 jenis bambu yang ditemukan berpotensi sebagai bahan baku kerajinan namun hanya tiing tali yang populasinya banyak sedangkan yang lain populasinya masih sedikit. 3. Lima jenis bambu prioritas yang dibutuhkan oleh pengrajin yaitu Dendrocalamus asper (tiing petung dan tiitng petung kultivar selem/ hitam), Gigantochloa apus (tiing tali dan tiing tali kultivar selem/hitam), dan Bambusa maculata (tiing tutul). 4. Pemerintah dan masyarakat Kabupaten Gianyar sangat antusias melakukan konservasi bambu untuk mendukung berkembangnya industri kerajinan bambu khususnya di Desa Belega, Bona, Kerta dan sekitarnya. 5. Komoditas bambu bukan saja mampu memberikan sumbangan pendapatan yang cukup tinggi bagi daerah, tetapi juga dapat menyerap ribuan tenaga kerja lokal dan bahkan luar daerah. SARAN Untuk mengurangi ketergantungan akan bahan baku bambu dari luar terutama terhadap lima jenis yang paling dibutuhkan, sebaiknya 31
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
POTENSI LAHAN PEKARANGAN DALAM UPAYA MENDUKUNG PROGRAM KETAHANAN PANGAN NASIONAL DI PERDESAAN KABUPATEN BANGLI I Ketut Arnawa Dosen Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja Denpasar, e-mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi lahan pekarangan dalam upaya mendukung program ketahanan pangan nasional di perdesaan Kabupaten Bangli. Penelitian dilaksanakan secara porpusive sampling di 20 desa program ketahanan pangan Kabupaten Bangli. Hasil penelitian menemukan iklim sangat mendukung untuk pengembangan lahan pekarangan di Kabupaten Bangli, memiliki curah hujan atau musim hujan lebih panjang dibandingkan dengan bulan kering atau musim kemarau, potensi tanaman yang sangat baik dikembangkan adalah sayuran dan tanaman obat, sedangkan untuk ternak adalah babi dan ayam buras, potensi lahan pekarangan dapat dikatagorikan pada lahan pekarangan sedang dan lahan pekarangan luas. Model budidaya yang dapat diterapkan adalah budidaya dalam pot/polibag dan bedengan. Selanjutnya pada lahan katagori luas dapat ditambahkan model budidaya multistrata seperti intensifikasi pagar, yaitu, dadap, rumput gajah, talas, ubi jalar dan pisang Kata kunci : pekarangan, pangan, sayur-sayuran, buah-buahan, ternak PENDAHULUAN Pembangunan ketahanan pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pembangunan nasional, karena pangan dapat mempengaruhi terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan benegara dalam rangka menjamin stabilitas sosial, politik, yang diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan terwujudnya ketahanan nasional (Departemen Pertanian, 2011) Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manuasia. Ketahanan pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal ini hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia. Kelaparan dan kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi rakyat, dimana kelaparan itu sendiri merupakan suatu proses sebab-akibat dari kemiskinan. Oleh sebab itu usaha pengembangan ketahanan pangan tidak dapat
dipisahkan dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan. Dilain pihak masalah pangan yang dikaitkan dengan kemiskinan telah menjadi perhatian dunia, terutama seperti yang telah dinyatakan dalam KTT Pangan Dunia, Lima Tahun Kemudian (WFS, fyl), dan Indonesia memiliki tanggung jawab untuk turut serta secara aktif memberikan kontribusi terhadap usaha menghapuskan kelaparan di dunia ( Krisnamurthi, 2003) Salah satu sumberdaya alam yang berpotensi dalam upaya mendukung program ketahanan pangan nasional adalah pemanfaatan lahan pekarangan. Usaha di pekarangan jika dikelola secara intensif sesuai dengan potensi pekarangan itu sendiri, disamping dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga, juga dapat memberikan sumbangan pendapatan bagi rumah tangga. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. 32
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan: petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi pangan sekaligus juga memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri (Krisnamurthi, 2003). Luas lahan pekarangan secara nasional sekitar 10,3 juta ha atau 14 % dari keseluruhan luas lahan pertanian dan merupakan salah satu sumber potensial penyedia bahan pangan yang bernilai gizi dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Lahan pekarangan tersebut sebagian besar masih belum dimanfaatkan sebagai areal pertanaman aneka komoditas pertanian, khususnya komoditas pangan. Demikian potensialnya pekarangan sebagai salah satu alternatif penyedia pangan, Presiden RI pada bulan Oktober 2010 menyatakan di depan peserta Konferensi Dewan Ketahanan Pangan, bahwa ketahanan dan kemandirian pangan nasional harus dimulai dari rumah tangga. Pidato Presiden tersebut didasarkan kepada kenyataan historis bahwa masyarakat perdesaan di Indonesia sejak jaman dahulu telah memanfaatkan lahan pekarangan untuk tanaman kebutuhan keluarga, walaupun saat ini telah terjadi pergeseran seiring dengan bergesernya kebutuhan ekonomi dan ruang (Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2011). Pemanfaatan lahan pekarangan untuk tanaman obat-obatan, tanaman pangan, tanaman hortikultura, ternak, ikan dan lainnya, selain dapat memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, juga berpeluang memperbanyak sumber penghasilan rumah tangga, apabila dirancang dan direncanakan dengan baik. Untuk itu perlu adanya upaya optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan dan dukungan inovasi teknologi di agar tercipta pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, serta peningkatan pendapatan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Agar pekarangan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi keluarga, maka dalam pengelolaannya perlu penataan yang baik sehingga mendapatkan hasil dan nilai tambah
ISBN:978-602-9138-68-9
secara berkesinambungan, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga maupun untuk menambah penghasilan. Memberdayakan masyarakat merupakan upaya peningkatan kualitas keluarga yang mandiri dan ketahanan keluarga yang tinggi dalam meningkatkan harkat dan martabat masyarakat dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam mencapai ketahanan pangan keluarga dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas sumberdaya alam yang ada di lingkungan sekitar, yaitu pekarangan. Tujuan jangka pendek dari kegiatan ini adalah memperkenalkan teknologi budidaya tanaman, dan ternak secara terintegrasi di lahan pekarangan, memperkenalkan teknologi pengolahan limbah (tanaman, ternak, dan rumah tangga) untuk pupuk dan pakan ternak sebagai nilai tambah menuju kelestarian lingkungan serta mencari model penataan dan pemanfaatan pekarangan dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal dan berbasis kearifan lokal menuju ketahanan pangan yang berkelanjutan. Kedepan diharapkan dengan memanfaatkan pekarangan keterampilan keluarga dan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pekarangan di perkotaan maupun pedesaan untuk budidaya tanaman pangan, buah, sayuran dan tanaman obat keluarga (toga), pemeliharaan ternak dan ikan, pengolahan hasil serta pengolahan limbah rumah tangga menjadi kompos bisa lebih meningkat. Terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan masyarakat secara lestari dalam suatu kawasan. Berkembangnya kegiatan ekonomi produktif keluarga dan terciptanya lingkungan hijau yang bersih dan sehat secara mandiri. Kabupaten Bangli merupakan Kabupaten di Bali yang tidak memiliki wilayah pantai, dengan luas wilayah 52.81 Ha atau 9,25 % dari luas wilayah Provinsi Bali (563.366 Ha), menurut penggunaannya 36.370 Ha sebagai lahan pertanian (BPS Bangli, 2012) pengembangan berbagai inovasi yang terkait dengan lahan pekarangan umumnya belum banyak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Pada tahun 2012 hanya satu desa dapat berkembang dengan baik, yaitu Desa Catur Kintamani dan pada tahun 2013 pemerintah kabupaten Bangli akan 33
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI mengembangkan di 20 desa yang tersebar di empat kecamatan. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas sangat menarik untuk dikaji terlebih dahulu tentang potensi lahan pekarangan dalam mendukung program ketahanan pangan nasional, sehingga yang menjadi tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi lahan pekarangan dalam upaya mendukung program ketahanan pangan nasional di perdesaan kabupaten Bangli.
ISBN:978-602-9138-68-9
terjadi pada Januari mencapai 609,0 mm kemudian ada kecendrungan akan semakin menurun dan terendah terjadi pada bulan Agustus hingga mencapai 14,5 mm. Pada Gambar 1, juga ditunjukkan bahwa bulan basah terjadi 7 bulan dan bulan kering terjadi hanya 5 bulan, pola curah hujan tersebut sudah tidak sesuai dengan musim. Musim hujan biasanya terjadi dari bulan Nopember sampai April dan musim kemarau terjadi dari bulan April sampai Oktober. Dengan menggunakan metode Schmidt-Fergusson, iklim di dua kecamatan yakni, Bangli dan Susut digolongkan kedalam iklim Tipe A sangat basah, dengan nilai Q=0,0890. Berdasarkan pola curah hujan dan iklim tersebut, untuk pengembangan tanaman pangan, seperti sayuran dan hortikultura sebaiknya awal penanaman dilaksanakan bulan Nopember sampai Mei, sehingga ditinjau dari kontinyuitas kecukupan air untuk tanaman dapat dijamin.
METODE PENELITIAN Peneltian dilakukan di Kabupaten Bangli, lokasi penelitian ditentukan secara purposive sampling dengan pertimbangan. Kabupaten Bangli pada tahun 2013 mempunyai sasaran program ketahanan pangan di 2 kecamatan, yakni Kecamatan Bangli dan Susut, yang tersebar di 20 desa. Populasi dalam penelitian ini adalah petani peserta program ketahanan pangan di masingmasing lokasi penelitian. Jumlah sampel untuk masing-masing desa diambil 20 % secara acak sederhana. Data yang dikoleksi adalah, iklim, yakni curah hujan dan intensitas hujan, potensi tanaman pangan, potensi lahan pekarangan, data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dalam bentuk narasi dan tabel. Piranti lunak komputer Minitab 11.12 (Minitab Inc, 1996), SPSS 11.5.0 (Minitab Inc, 2002, digunakan untuk membantu analisis data HASIL DAN PEMBAHASAN Iklim, curah hujan dan intensitas hujan Keberhasilan pemanfatan lahan pekarangan untuk pengembangan tanaman pangan salah satu penentunya adalah keadaan iklim. Iklim sangat menentukan kesesuaian jenis tanaman dan waktu tanam yang dibutuhkan tanaman untuk berproduksi optimal. Pola curah hujan di dua kecamatan di Kabupaten Bangli yaitu, di Kecamata Bangli, dan Susut mempunyai pola curah hujan yang relatif sama seperti ditunjukkan pada Gambar 1 yaitu, bulan basah atau ratarata curah hujan lebih besar 200 mm/bl terjadi pada bulan Nopember sampai Mei, dan bulan kering atau rata-rata curah hujan kurang dari 200 mm/bl terjadi bulan Juni sampai Oktober. Rata-rata curah hujan bulanan tertinggi
Gambar 1. Pola Curah Hujan di Kecamatan Bangli, Susut dan Tembuku Tahun 2000 - 2012 Intensitas hujan atau jumlah hari hujan yang terjadi, berbanding lurus dengan pola curah hujan yang terjadi, semakin tinggi curah hujan yang terjadi, maka semakin tinggi pula intensitas hujan yang terjadi, seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Pada Gambar 2 nampak pola intensitas hujan tertinggi terjadi pada bulan Nopember sampai Mei berkisar antara 18 hh – 27 hh dan intensitas hujan rendah terjadi pada bulan Juni sampai Oktober. Berarti bulan Nopember sampai Mei adalah sangat kondusif untuk pengembangan tanaman di lahan pekarangan karena pada bulan-bulan tersebut 18 sampai 27 hari akan terjadi hujan. 34
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI .
ISBN:978-602-9138-68-9
ada ditemukan ditanam di halaman rumah, hal ini terkait dengan kepercayaan petani bahwa, pisang di halaman rumah dapat memberikan aura tidak baik bagi penghuninya, dan jika dikaitkan dengan lingkungan hal tersebut dapat dipahami, karena pisang berdaun lebar ketika di malam hari akan menghisap banyak oksigen di sekitarnya dengan demikian dikhawatirkan penghuni rumah akan kekurangan oksigen. Oleh karena itu pengembangan tanaman pisang di lahan pekarangan tidak disarankan untuk ditanam di halaman rumah.
Gambar 2. Intensitas Hujan di Kecamatan Bangli dan Susut Tahun 2000 – 2012 Potensi Tanaman, Ternak dan Ikan di Lahan Pekarangan Kabupaten Bangli memiliki potensi sangat kaya dengan berbagai jenis tanaman pangan, yang dapat diusahakan di lahan pekarangan, seperti ditunjukkan pada Tabel 1, sayuran buah dan sayuran daun, banyak ditemukan di lahan pekarangan, yaitu cabe rawit dan bayam, namun kedua sayuran ini tidak diusahakan secara optimal, tumbuh liar hanya beberapa tanaman tanpa dipelihara dengan baik, padahal kedua jenis sayuran ini kalau diusahakan dengan baik akan dapat memenuhi kebutuhan seharihari petani secara berkelanjutan, dan bahkan dapat menjadi sumber pendapatan bagi petani, hal ini memperkuat pendapatnya Arifin, (2010) bahwa tanaman di pekarangan memberi kontribusi pendapatan keluarga. Tanaman obat, seperti sereh wangi, lengkuas, kencur, kunyit dan jahe juga banyak ditemukan di lahan pekarangan petani, potensi tanaman tersebut juga sangat potensial dikembangkan di lahan pekarangan dan ditemukan 6 – 8 jenis tanaman, karena tanaman obat ini mudah dibudidayakan, dan setiap hari dibutuhkan petani untuk bumbu masak. Ciri khas bumbu masakan Bali lebih dominan menggunakan jenis tanaman obat tersebut, dan biasanya di luar Bali, tanaman tersebut digunakan sebagai obat dalam bentuk jamu. Oleh karena itu perlu tanaman obat tersebut dikembangkan ditata dengan baik di lahan pekarangan, karena mempunyai fungsi ganda, yaitu untuk menghasilkan bahan makanan dan sebagai tambahan hasil sawah atau tegalan. Selanjutnya tanaman pekarangan yang banyak ditemukan di lahan petani adalah tanaman buah 8-9 jenis tanaman, dan yang paling dominan adalah pisang dan rambutan. Pisang biasanya ditanam di telajakan pekarangan atau di teba, dan hampir tidak
Seperti nampak pada Tabel 2. Potensi yang cukup potensial untuk dapat dikembangkan di lahan pekarangan di Kabupaten Bangli adalah ternak. Hampir disetiap pekarangan petani ditemukan ternak babi, kebiasaan memelihara ternak babi diperoleh secara turun tumurun dari keluarganya. Menurut petani pemeliharaan ternak babi dilakukan untuk memanfaatkan limbah makanan supaya tidak terbuang percuma atau istilah lokalnya disebut natakin banyu, dan akhir-akhir ini banyak petani mengembangkan ternak di lahan pekarangan sebagai usaha yang komersial, dan hal ini dilakukan petani karena permintaan daging babi untuk konsumsi rumah makan setiap harinya cukup tinggi dan bahkan pada hari raya terutama Hari Raya Galungan permintaan daging babi bisa dua kali lipat dari biasanya. Pengembangan ternak babi di pekarangan sudah mampu menjadi sumber pendapatan bagi petani. Namun demikian limbah yang ditimbulkannya perlu dikelola dengan baik sehingga tidak mencemari lingkungan yang banyak dikeluhkan masyarakat sekitarnya. Selanjutnya potensi ternak yang cukup besar dapat dikembangkan di lahan pekarangan adalah ayam buras. Ayam buras banyak ditemukan dipelihara petani di lahan pekarangan, tetapi belum dipelihara dengan baik, seperti belum dikandangkan atau diliarkan, pemberian pakan tidak teratur, lebih banyak ternak mencari 35
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI pakan sendiri, sehingga ternak ayam buras belum dapat menjadi sumber pendapatan petani dan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan sendiri terutama keperluan upacara agama. Potensi lainnya yang dapat dikembangkan di lahan pekarangan adalah ikan lele. Pemeliharaan lele cukup mudah dilakukan petani, tidak boros air, pakannya mudah diperoleh, banyak tersedia baik di kios maupun warung, dan pakan juga dapat diperoleh dari limbah makanan, namun demikian ikan lele kurang digemari petani, alasannya kesulitan dalam memasarkannya. Oleh karena itu ikan lele masih sulit dapat dikembangkan sebagai sumber pendapatan petani. Suatu kawasan selayaknya harus menentukan komoditas pilihan yang dapat dikembangkan secara komersial.
ISBN:978-602-9138-68-9
diterapkan di lahan pekarangan katagori sedang, juga pada lahan pekarangan katagori luas dapat dikembangkan model budidaya multistrata seperti intensifikasi pagar, yaitu kaliandra, dadap, rumput gajah, talas, ubi jalar dan pisang. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan : 1. Potensi iklim sangat mendukung untuk pengembangan lahan pekarangan di Kabupaten Bangli, memiliki curah hujan atau bulan basah lebih panjang dibandingkan dengan bulan kering atau musim kemarau, awal penanaman sebaiknya dilakukan pada bulan Nopember sampai Mei. 2. Potensi tanaman sayuran dan tanaman obat sangat baik untuk dikembangkan seperti cabe rawit, bayam, kunyit, kencur dan lengkuas, sedangkan untuk ternak adalah babi dan ayam buras. 3. Potensi lahan pekarangan dapat dikatagorikan pada lahan pekarangan sedang dan lahan pekarangan luas. Model budidaya yang dapat diterapkan adalah budidaya dalam pot/polibag dan tanam langsung dan model budidaya bedengan. Selanjutnya pada lahan katagori luas dapat ditambahkan model budidaya multistrata seperti intensifikasi pagar, yaitu, dadap, rumput gajah, talas, ubi jalar dan pisang
Potensi Lahan Pekarangan Salah satu usaha yang dikembangkan pemerintah untuk mendukung program ketahanan pangan nasional adalah dikembangkannya Model KRPL (Kawasan Rumah Pangan Lestari), yaitu suatu kegiatan dengan memanfaatkan pekarangan secara intensif melalui pengelolaan sumberdaya alam lokal secara bijaksana, yang menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas, nilai dan keanekaragamannya. Hasil Penelitian menemukan rata-rata luas pekarangan petani mencapai 252 m2 – 525 m2 seperti disajikan dalam Tabel 2, sehingga luas pekarangan petani dapat dikatagorikan kedalam pekarangan sedang 68 % dan 32 % dikatagorikan pekarangan luas.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, H. S. 2010. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan untuk mendukung ketahanan pangan rumah tangga. Makalah disajikan pada diskusi tematik memperkuat basis ketahanan pangan rumah tangga. Dramaga, Bogor. 03 April 2010 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.2011. Buku Pedoman Umum Pelaksanaan M-KRPL. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanianm Bogor. Badan Pusat Statistik. 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bangli, Bangli Departemen Pertanian, 2011. Panduan Teknis. Sistem Integrasi Padi-Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Krisnamurthi, Bayu, 2003. Agenda Pemberdayaan Petani Dalam rangka Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel-Th. II – No.7 Oktober 2003.
Potensi untuk luas pekarangan katagori sedang (120 – 400 m 2) pemanfaatan lahan pekarangan dapat dilakukan dengan model budidaya dalam pot/polibag dan tanam langsung jenis tanaman yang dipilih adalah sayuran dan tanaman obat. Dan dapat pula dilakukan dengan model budidaya bedengan dengan intensifikasi tanaman pekarangan seperti sayuran, buah, umbi-umbian dan kacangkacangan, begitu pula dengan pengembangan ternak masih potensial untuk pembuatan kandang seperti ayam buras. Sedangkan untuk pekarangan katagori luas, disamping model budidaya yang dapat 36
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
SUBAK: SISTEM IRIGASI TRADISIONAL DALAM MENJAGA KELESTARIAN SUMBERDAYA PERTANIAN Euis Dewi Yuliana1*, I.W.Watra2, dan Israil Sitepu1 Program Studi Biologi Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar Timur, 2 Program Studi Ilmu Agama Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar Timur, *Penulis Korespondensi Email:
[email protected] Abstracts The employment of green revolution based on inorganic fertilizer and pesticides affected positive and negative impact on environment particularly rice field (sawah). Concerning the negative impact of the green revolutions, Subak Gunungsari has been practicing various efforts to enhance the sustainability of agricultural resources. In the process of enhancing the sustainability, some question was remain left that requires further studies more comprehensively. The aim of this study was to find out a clearer figure of evidences of the effort in enhancing agricultural sustainability. These evidences then can be used as a model for other subak in enhancing agriculture sustainability. This research was performed in Subak Gunung Sari, Jatiluwih villages, Tabanan, Bali. Data for this research was collected from field and documentary study. This data was analyzed qualitatively in three steps: Data reduction, data performance and drawing conclusions. This research found that one strategy employed by farmer in Gunung sari to enhance the sustainability of agricultural resources was organic farming. The kind of organic farming employed in Subak Gunung sari was Organic farming “prima dua”, i.e. enhancing crop production without using pesticide, using 80% organic fertilizer and only 20% inorganic fertilizer. Some difficulties faced by farmers in enhancing sustainability was culture (slow in making decision), culture (farmer slow in making decision), infra structure (the infra structure available was not sufficient and less support from authorities). Key words: Subak, Decreasing quality of rice field, sustainabilities, agricultural resources. (revolusi hijau) yang berbasis bahan kimia dalam pertanian dengan pemakaian pupuk anorganik maupun pestisida, ternyata telah menyebabkan terjadinya tekanan ekologis pada lahan sawah. Tekanan ekologis tersebut berupa terjadinya degradasi kualitas tanah seperti rendahnya pH tanah, N-total tanah, P-tersedia tanah, C-Organik tanah, Daya Hantar Listrik Tanah, Kadar Air Kering Udara, dan Kadar Air Kapasitas Lapang, serta lapisan olah tanah sangat dangkal kurang dari 15 cm dari permukaan tanah dan di bawahnya sudah terjadi pemadatan. Di samping itu ekosistem tanah sawah juga tidak berada dalam keseimbangan seperti langkanya makro fauna tanah. Sehubungan dengan hal inilah salah satu subak yang ada di Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali yaitu Subak Gunungsari sebagai lembaga irigasi tradisional di Bali mengupayakan agar kelestarian sumberdaya pertanian dan lingkungan
PENDAHULUAN Tidak berlebihan apabila saat ini dunia dikatakan tengah mengalami krisis lingkungan, pengurasan sumber-sumber daya alam dan mineral, pengotoran dan perusakan lingkungan, meluasnya penerapan teknologi modern yang bersifat polutif dan eksploitatif terhadap alam, telah mengakibatkan semakin merosotnya kualitas lingkungan hidup, pada akhirnya ketidakseimbangan ekologis terjadi. Hal ini juga terjadi pada lingkungan pertanian, penerapan revolusi hijau yang berbasis bahan kimia (pupuk anorganik dan pestisida) dan bibit unggul, pada awalnya membawa pengaruh yang spektakuler dalam meningkatkan produksi pertanian, namun akhirnya menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan terlebih pada lahan sawah. Hal ini sejalan dengan pendapat Yuliana (2011b) yang menyatakan bahwa penerapan pertanian modern 37
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI hidup dapat lestari dan tetap terjaga baik. Dalam proses pelestarian ini, masih banyak menyisakan pertanyaan, untuk itu perlu kajian yang lebih mendalam. Berdasarkan uraian di atas kiranya perlu dilakukan penelitian untuk menjawab permasalahan yang dituangkan dalam tiga pertanyaan sebagai berikut. (1) bagaimana strategi yang diterapkan dalam konteks melestarikan sumberdaya pertanian?, (2) kendala kultural dan struktural apa yang dihadapi, beserta cara-cara pemecahannya agar subak dapat berperan secara optimal dalam pelestarian sumberdaya pertanian? Dengan demikian maka dilakukanlah penelitian mengenai “Subak: Sistem Irigasi Tradisional dalam Menjaga Kelestarian Sumberdaya Pertanian”.
ISBN:978-602-9138-68-9
produksi rendah, menurun hampir 50 % per hektarnya, produksi gabah juga meningkat hampir 50 %, di samping harga beras organik lebih mahal dibandingkan dengan harga beras yang dulu (maksudnya beras yang dipupuk dengan pupuk anorganik)…” (Wawancara, Juli 2013). Dari ungkapan di atas dapat diketahui bahwa petani memperoleh keuntungan secara ekonomi bila menerapkan pertanian organik. Keuntungan-keuntungan tersebut diperoleh akibat dari biaya produksi rendah yakni menurun hampir 50 % karena tidak lagi membeli pupuk anorganik dan pestisida, produksi meningkat hampir 50 % dari produksi sebelumnya, dan harga jual beras organik jauh lebih mahal dibandingkan beras non organik. Adanya keinginan untuk memperbaiki kesejahteraan akibat kondisi sosial petani di Subak Gunungsari yang masih diliputi kemiskinan, menyebabkan petani begitu responsif melaksanakan perbaikan dalam sistem usaha taninya. Para petani di subak Gunungsari mengenal beberapa kriteria pertanian organik yang diterapkan di lapang. Menurut petani, kriteria tersebut lebih banyak ditentukan oleh prosentase penggunaan pupuk organik itu. Seperti yang disampaikan oleh bapak Krisna (umur 46 tahun) sebagai berikut. “… yang disebut pertanian organik menurut pemahaman kami di lapang sebagai petani, dapat dibedakan menjadi empat kategori. Kategori yang pertama disebut pertanian organik prima empat yaitu pertanian organik tanpa menggunakan pestisida (non pestisida) dan menggunakan pupuk kimia 100 % (tanpa menggunakan pupuk organik). Kategori yang kedua disebut pertanian organik prima tiga yaitu pertanian organik tanpa menggunakan pestisida (non pestisida), menggunakan 50 % pupuk organik dan 50 % pupuk kimia. Kategori yang ketiga disebut pertanian organik prima dua yaitu pertanian organik tanpa menggunakan pestisida (non pestisida), menggunakan 80 % pupuk organik dan 20 % pupuk kimia. Kategori yang keempat disebut pertanian organik prima satu yaitu pertanian organik tanpa menggunakan pestisida (non pestisida) dan menggunakan 100 % pupuk organik. Pertanian organik yang saat ini diterapkan di subak kami (subak Gunungsari) adalah pertanian organik prima dua…” (Wawancara, Juli 2013). Dari ungkapan bapak Krisna di atas dapat diketahui bahwa pertanian organik yang
METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, berkenaan dengan itu maka penekanan penelitian ini bukan pada pengukuran tetapi pada analisis deskriftif yang kental. Penelitian dilakukan di Subak Gunungsari, Desa Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Dipilihnya Subak Gunungsari sebagai lokasi penelitian, tidak terlepas dari keunikan yakni telah terjadi pelestarian sumberdaya pertanian. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif sebagai data penunjang. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah bersumber dari data lapangan dan studi dokumen. Analisis data dilakukan dengan analisis kualitatif, melalui tiga tahap proses yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Strategi Subak Gunungsari Melestarikan Sumberdaya Pertaniannya Strategi yang diterapkan oleh petani di Subak Gunungsari dalam melestarikan sumberdaya pertaniannya adalah dengan jalan melaksanakan pertanian organik. Menurut petani, banyak keuntungan yang bisa diperoleh bila menerapkan pertanian organik. Seperti yang disampaikan oleh bapak I Ketut Merta (umur 46 tahun) sebagai berikut. “…pendapatan kami sedikit demi sedikit semakin bertambah dengan menerapkan pertanian organik, hal ini disebabkan karena tidak lagi membeli pupuk urea dan pestisida yang semakin lama semakin mahal harganya, dengan tidak membeli pupuk anorganik dan pestisida menyebabkan biaya 38
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dilaksanakan di subak Gunungsari adalah pertanian organik prima dua yakni pertanian organik tanpa menggunakan pestisida (non pestisida), menggunakan 80 % pupuk organik dan 20 % pupuk kimia. Petani mengetahui kategori pertanian organik dari prima satu hingga prima 4, karena mereka telah pernah mengaplikasikannya di lahan pertanian mereka. Mereka mengawali melaksanakan pertanian organik dengan kategori pertanian organik prima empat, dengan alasan belum siap menggunakan pupuk organik, karena belum tersedianya pupuk organik dengan kata lain factor-faktor pendukung untuk membuat pupuk organik belum tersedia terutama bio katalisator (stardec) untuk pembuatan pupuk organik dan keterampilan petani dalam membuat pupuk organik. Kemudian langkah selanjutnya petani menerapkan pertanian organik prima tiga, yakni pertanian organik tanpa menggunakan pestisida (non pestisida), menggunakan 50 % pupuk organik dan 50 % pupuk kimia. Sedangkan tahapan selanjutnya yang diterapkan sampai saat ini oleh petani di subak Gunungsari adalah pertanian organik prima dua, yaitu pertanian organik tanpa menggunakan pestisida (non pestisida), menggunakan 80 % pupuk organik dan 20 % pupuk kimia. Penggunaan pupuk kimia sebanyak 20 % dari dosis anjuran, masih diterapkan disubak Gunungsari, hal ini disebabkan petani tidak mau mengalami kegagalan dalam proses produksinya. Petani menganggap bahwa pemakaian pupuk kimia sebanyak 20 % dari dosis anjuran tidak lain adalah sebagai katalisator / pemicu pertumbuhan tanaman, karena petani beranggapan bahwa ketersediaan hara pupuk organik lambat, sehingga bila hanya diberikan pupuk organik maka dikhawatirkan ketersediaan hara di awal pertumbuhan tanaman padi tidak mencukupi, sehingga laju pertumbuhan tanaman juga terganggu. Beragamnya kriteria tentang pertanian organik yang dikenal oleh petani di lapang tidak terlepas dari pengalaman petani sendiri dalam mengelola usahataninya. Namun menurut Yuliana (2010) pertanian organik adalah suatu sistem pertanaman yang salah satu kriterianya adalah menghindari (tanpa) penggunaan bahan-bahan kimia (pupuk anorganik dan pestisida kimia) yang bersifat meracuni hasil-hasil pertanian dan lingkungan. Selanjutnya menurut pendapat para ahli (Antara, 2009) dinyatakan bahwa, pertanian organik diartikan sebagai suatu metode produksi
ISBN:978-602-9138-68-9
pertanian dan peternakan yang tidak menggunakan bahan yang tidak diperbolehkan oleh Organik Standards yaitu pestisida tertentu, pupuk kimia, rekayasa genetik, antibiotik dan hormon pertumbuhan. Sehingga prinsip utama dari produk organik, salah satunya adalah mengoptimalkan produktifitas biologis dan meningkatkan faktor kesehatan atau lebih tegasnya kepedulian peningkatan kesehatan, dengan mengkonsumsi pangan yang sehat tanpa tercemar zat-zat kimia berbahaya. Berkaitan dengan masalah di atas, ada informasi menarik yang diberikan oleh PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). Dikatakan bahwa berdasarkan kriteria dari Internal Control System (ICS), bahwa yang dimaksud dengan pertanian organik adalah pertanian yang memenuhi persyaratan yakni (1) bebas pestisida, (2) diperkenankan menggukan pupuk anorganik maksimal 30 % dari kebutuhan yang dianjurkan, (3) masih bisa menggunakan feses ayam, dan (4) masih ada kebijakan untuk menggunakan pengairan waist water garden yang maksudnya bahwa pengairan yang digunakan adalah pengairan sistem subak, bila dalam pengairan terkandung unsur-unsur pestisida yang di bawa oleh air dari tempat lain, kemudian air irigasi tersebut dialirkan pada lahan dengan pertanian organik, sehingga pestisida yang terkandung di dalamnya terserap oleh tanaman yang dibudidayakan, maka tanaman tersebut masih dikategorikan tanaman organik. Kendala Subak dalam Melestarikan Sumberdaya Pertanian Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh anggota Subak Gunungsari, dalam melestarikan sumberdaya pertaniannya. Kendala tersebut adalah sebagai berikut. 1. Infrastruktur yang Tidak Memadai Subak Gunungsari yang terletak di desa Jatiluwih merupakan subak yang berada pada kawasan Catur Angga Batukaru yang terdapat di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan Bali meliputi beberapa wilayah yaitu desa Jatiluwih, desa Mengesta, desa Wongaya Gede. Kawasan ini juga merupakan kawasan Jajar Kemiri, dimana di kawasan ini merupakan lokasi dari 5 (lima) pura Sad Kahyangan yaitu Pura Batukaru, Pura Muncak Sari, Pura Tambawaras, Pura Petali dan Besikalung. Berkaitan dengan hal tersebut maka kawasan ini sangat penting untuk dilestarikan 39
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI apalagi diperkuat dengan adanya pengakuan kawasan ini sebagai Kawasan Budaya Dunia dari UNESCO. Beranjak dari istimewanya kawasan ini seperti terlihat pada Gambar 8 di bawah ini dan berdasarkan informasi dari Pusat Informasi Pariwisata di kawasan Jatiluwih tahun 2013, menyebutkan mulai sejak tahun 2009, kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara yang berkunjung ke kawasan ini meningkat rata-rata 15,3 %. Namun kunjungan wisatawan tersebut belum diimbangi oleh penyediaan fasilitas akomodasi dan infrastruktur yang memadai. Menurut Guru Sweden, salah seorang tokoh masyarakat Jatiluwih menyatakan sudah sejak lama warga desa mengharapkan dan mendambakan akses dan infrastruktur kawasan khususnya akses dan infrastruktur jalan menuju areal air terjun dan persawahan. Pada saat ini akses jalan menuju menuju areal air terjun sangat sulit dilalui oleh kendaraan roda empat, demikian pula akses jalan pematang menuju petak-petak persawahan yang jauh dari jalan raya, kondisinya masih rusak, kadang becek dan sempit, sehingga hal ini menyebabkan terganggunya distribusi baik saprodi maupun produksi pertanian itu sendiri. Selanjutnya menurut pendapat Guru Londo atau Bapak I Nyoman Sugita, salah seorang tokoh masyarakat di kawasan Gunungsari Desa menyatakan bahwa infrastruktur irigasi persawahan sangat dibutuhkan warga untuk mengaliri air ke sawah-sawah di kawasan desa Jatiluwih khususnya di Subak Gunungsari. Semua irigasi persawahan berasal dari beberapa sumber mata air dari kawasan Gunungsari Desa dan Umakayu. Air terjun yang ada di kawasan desa Jatiluwih berada di kawasan banjar Gunungsari Desa dan kawasan Gunungsari Umakayu. Air terjun ini juga banyak dimanfaatkan sebagai irigasi persawahan di desa Jatiluwih selain sebagai kebutuhan masyarakat sehari-hari. Sampai saat ini banyak jaringan irigasi menuju petak-petak sawah dalam kondisi tidak baik, dan pada tempat-tempat tertentu sangat membutuhkan penguatan terutama dari semen. Swadaya petani anggota subak Gunungsari, dalam hal memperbaiki jaringan irigasi sudah dilaksanakan, namun masih terbatas, mengingat kepemilikan modal ekonomi petani juga masih sangat terbatas. Di samping itu dari hasil pengamatan di lapang juga diketahui bahwa subak Gunungsari sampai saat ini belum memiliki bale subak (tempat
ISBN:978-602-9138-68-9
pertemuan anggota subak) karena kurangnya modal ekonomi yang dimiliki oleh petani anggota subak. Hal ini menyebabkan segala informasi yang berkaitan dengan kemajuan subak, yang semestinya dengan cepat disebarluaskan oleh pekaseh (pimpinan subak) lewat paruman (rapat) subak di bale subak jadi terhambat dilakukan. Informasi yang ada lebih banyak disampaikan melalui juru arah kepada para anggotanya dan bahkan melalui pesan berantai diantara para anggota subak, bila teramat penting biasanya paruman diadakan di pura subak. Hal ini menyebabkan efektivitas pesan yang disampaikan tidak optimal, membutuhkan waktu yang lama karena jumlah anggota subak sebanyak 35 anggota dengan luas lahan Subak Gunungsari yang tercatat di Pemda sebanyak 37 ha, sedangkan luas sebenarnya mencapai 45 ha (informasi dari bapak Krisna, umur 45 tahun). Pesan yang disampaikan tidak lain adalah untuk menyosialisasikan keputusan atau informasi terkait dengan permasalahan atau kemajuan subak itu sendiri, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan upaya subak mensosialisasikan kelestarian sumberdaya pertanian. 2. Kurangnya Keberpihakan Pemerintah Petani di Subak Gunungsari sangat merasakan kurangnya keberpihakan pemerintah dalam melestarikan sumberdaya pertaniannya, baik dilihat dari konteks penyuluhan pertanian yang diberikan, bantuan modal berupa sarana dan prasarana produksi, insentif dan hal-hal lain yang terkait dengan budidaya pertanian yang mereka laksanakan. Mattjik (2006: xliii) menyatakan bahwa pembangunan pertanian memerlukan keberpihakan dari seluruh komponen bangsa, terutama politisi dan pengambil kebijakan agar menempatkan pertanian yang kaya potensi dan melibatkan mayoritas mata pencaharian masyarakat, sebagai sektor yang perlu mendapat dukungan kongkret. Dukungan tersebut dapat menyangkut penyediaan infrastuktur, kebijakan moneter dan permodalan, asuransi serta jaminan pemasaran yang adil. Dalam era globalisasi tanpa adanya keberpihakan, keniscayaan tentang pembangunan pertanian, tentunya hanyalah anganangan belaka. Pendapat Mattjik yang berkaitan dengan program pemerintah di bidang pembangunan pertanian tersebut, belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh petani di Subak Gunungsari. Seperti sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya, 40
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI anggota petani di Subak Gunungsari sangat lamban dalam pengambilan keputusan, hal ini disebabkan salah satunya akibat kurangnya pengetahuan mereka tentang kebijakan yang harus diambil berkaitan dengan kelestarian sumberdaya pertanian dengan melaksanakan pertanian organik. Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang pertanian organik, mereka sangat mengharapkan peran serta pemerintah dalam hal ini PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) memberikan penyuluhan kepada petani tentang pertanian organik, namun hal ini belum dirasakan oleh petani sepenuhnya. Tenaga PPL yang dulu ada, kini sudah tidak berperan lagi karena sudah pensiun sedangkan penggantinya belum ada. Demikian pula program pemerintah dibidang pembangunan pertanian yang menyangkut penyediaan infrastuktur, kebijakan permodalan, asuransi serta jaminan pemasaran yang adil, belum sepenuhnya dapat dirasakan oleh petani di Subak Gunungsari. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Adapun simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Strategi yang diterapkan oleh anggota Subak Gunungsari untuk menjaga kelestarian sumberdaya pertaniannya adalah dengan menerapkan pertanian organik. Pertanian organik yang diterapkan di Subak Gunungsari adalah pertanian organik prima dua, yaitu pertanian organik tanpa menggunakan pestisida (non pestisida), menggunakan 80 % pupuk organik dan 20 % pupuk kimia. 2. Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh anggota Subak Gunungsari, dalam melestarikan sumberdaya pertaniannya antara lain kendala infrastruktur yang kurang memadai (jaringan irigasi, bale subak, jalan), serta kurangnya keberpihakan pemerintah. Saran Ada beberapa saran yang dapat disampaikan dalam tulisan ini sebagai berikut: 1. Pertanian organik yang diterapkan saat ini di Subak Gunungsari masih pada kriteria pertanian organik prima dua, diharapkan pada periode selanjutnya penerapan pertanian organik di subak ini sudah mengacu pada criteria pertanian organik prima satu.
ISBN:978-602-9138-68-9
2. Diharapkan keberpihakan pemerintah pada petani lebih diperhatikan, paling tidak memberikan pengganti PPL yang sudah pensiun dengan yang baru, mengingat PPL sebagai sumber informasi masih sangat diperlukan oleh petani anggota subak Gunungsari. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di Subak Gunungsari, terhadap kualitas sumberdaya alamnya ditinjau dari analisis kimia tanah dan air, setelah dilaksanakan pertanian organik. DAFTAR PUSTAKA Althusser, Louis. 1984. Tentang Ideologi, Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Culture Studies. Yogyakarta : Jalasutra. Antara, Made. 2009. Pertanian, Bangkit atau Bangkrut?. Cetakan Pertama. Arti Foundation. Denpasar Bali. Mattjik, Ahmad Ansori. 2006. Pertanian dan Dialog Peradaban. Dalam Sutanto Jusuf dan Tim (editor). Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Oetama, Jakob. 2006. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. dalam Sutanto Jusuf dan Tim (editor). Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Scott, J.C. 1976. The Moral Economy of Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia, New Haven and London: Yale University Press. Triguna, I.B. Gede Yudha. 2000. Mobilitas Kelas, Konflik, dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali. Disertasi. Bandung : Universitas Padjafjaran. Yuliana, Euis Dewi. 2010. Transforrmasi Pertanian (Tinjauan dari Proses dan Bentuk. Paramita Surabaya Tahun, ISBN : 978-602-204-014-9. Yuliana, Euis Dewi. 2011. Implikasi Transformasi Pertanian Modern ke Organik Terhadap Perbaikan Kualitas Lingkungan Hidup. Jurnal Terakreditasi Dirjen Dikti Depdiknas Nomor : 64a/DIKTI/Kep./2010, Jurnal Lingkungan Hidup (Journal of Environment) Bumi Lestari ISSN 14119668, Volume 11, Nomor 2, Agustus 2011. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UNUD.
41
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT PADA BERBAGAI SATUAN LANSKAP DAN PEMANFAATANNYA OLEH SUB-ETNIS BATAK TOBA DI DESA PEADUNDUNG SUMATERA UTARA Marina Silalahi2, Jatna Supriatna1, Eko Baroto Walujo3, Nisyawati1 1 Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Science, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia. 2 Departement of Biology Education, Faculty of Education and Teacher Training, Universitas Kristen Indonesia, Cawang, 13510, Indonesia. 3 Division of Botany, The Indonesian Institute of Sciences, Cibinong, Bogor, 16911, Indonesia. ABSTRAK Telah dilakukan penelitian keanekaragaman tumbuhan obat pada berbagai satuan lanskap dan pemanfaatannya oleh sub-etnis Batak Toba di desa Peadundung, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan untuk mendokumentasikan pengetahuan pemanfaatan tumbuhan obat pada sub-etnis Batak Toba dan persebaran tumbuhan obat pada satuan-satuan lanskap yang dikenali oleh masyarakat lokal. Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan etnobotani dan pendekatan ekologi. Pendekatan etnobotani dilakukan melalui wawancara bebas mendalam, semi terstruktur, dan observasi parsivatif untuk mengetahui pemanfaatan tumbuhan obat. Pendekatan ekologi dilakukan melalui jelajah bebas pada setiap satuan lanskap dan analisis vegetasi di agroforest karet (Hevea brasiliensis). Hasil penelitian ditemukan sebanyak 148 spesies (64 famili) tumbuhan obat yang dimanfaatkan untuk mengatasi sebanyak 19 jenis penyakit. Sebagian besar tumbuhan obat dimanfaatkan untuk mengatasi gangguan saluran pencernaan (48 spesies), luka (38 spesies), dan demam (32 spesies). Agroforest karet merupakan sumber utama perolehan tumbuhan obat (75 spesies), diikuti dengan kebun (55 spesies), dan pekarangan (33 spesies). Hasil analisis vegetasi ditemukan bahwa baja (Rhodamnia sp.) merupakan tumbuhan obat dominan berhabitus pohon maupun belta dengan nilai kepentingan (NK) secara berturut-turut 91,89 dan 78,59; sedangkan herba dominan dimiliki oleh Gleichenia linearis (NK 68,73). Kata kunci: Tumbuhan obat; Batak Toba; Peadundung PENDAHULUAN Tumbuhan telah lama dimanfaatkan manusia untuk berbagai kebutuhan seperti untuk pangan, sandang, maupun pengobatan. Pemanfaatan tumbuhan dalam bidang kesehatan pada awalnya dilakukan melalui pengobatan tradisional. Masyarakat Indonesia, sebanyak 60% masih mengandalkan pelayanan kesehatan pada tumbuhan obat dan pengobatan tradisional. Tumbuhan obat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: tumbuhan obat tradisional, tumbuhan obat modern, dan tumbuhan obat potensial (Zuhud & Haryanto 1994).
Hingga saat ini hutan menjadi sumber perolehan utama tumbuhan obat bagi masyarakat lokal khususnya yang bermukim di sekitar pinggiran hutan. Terjadinya alih fungsi hutan menjadi pemukiman, perkebunan, maupun bentuk lainnya mengakibatkan berkurangnya luas hutan, sekaligus menjadi ancaman pelastarian tumbuhan obat. Selain berkurangnya luas hutan sebagai sumber tumbuhan obat, faktor lain yang juga menjadi ancaman pelestarian tumbuhan obat Indonesia adalah hilangnya budaya dan pengetahuan lokal pemanfaatan tumbuhan sebagai obat pada berbagai etnis di 42
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Indonsia (Suciasti 2004), termasuk etnis Batak Toba di Sumatera Utara. Beberapa ahli menyatakan bahwa strategi konservasi tumbuhan obat mencakup pemanfaatan tumbuhan obat secara berkelanjutan, penggalian keanekaragaman tumbuhan obat (Suciati 2004; Walujo 2004), dan perumusan kebijakan (Zuhud & Haryanto 1994). Dalam pelestarian maupun sebagai sumber tumbuhan obat, masyarakat lokal mengenal satuan-satuan lingkungan yang disebut dengan lanskap. Satuan lingkungan atau lanskap yang dikenali oleh masyarakat lokal didasarkan pada struktur, fungsi, kondisi tanah, dan jenis tumbuhan penyusun (Sheil dkk. 2004). Lanskap merupakan suatu konsep ruang yang holistis yang dipandang sebagai suatu kerangka budaya (Sheil dkk. (2004) oleh masyarakat lokal. Analisis vegetasi lahan dapat digunakan untuk mengetahui komposisi jenis dan stuktur suatu lahan (Cox 1985; Kusuma 1997), termsuk tumbuhan obat. Data tersebut berguna untuk mengetahui keseimbangan komunitas hutan (Meyer 1952), menjelasan interaksi spesies (Odum 1971), dan memprediksi kecenderungan komposisi tegakan masa mendatang (Whittaker 1974). Untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan obat pada berbagai lanskap dapat dilakukan metode jelajah bebas maupun analisis vegetasi. Parameter yang paling penting dianalisis untuk mengkaji struktur komunitas satuan lingkungan meliputi: dominansi jenis, kerapatan individu, kekayaan jenis, dan keanekaragaman jenis (Pitchairamu dkk. 2008). Berdasarkan hal tersebut di atas maka dilakukan eksplorasi dan analisis vegetasi tumbuhan obat pada berbagai lanskap di daerah induk sub-etnis Batak Toba di desa Peadundung untuk mengetahui status konservasinya.
ISBN:978-602-9138-68-9
hutan primer. Jelajah bebas dihentikan setelah tidak ditemukan lagi spesies tumbuhan obat pada setiap lanskap. Agrofores karet (Hevea brasiliensis) tempat analisis vegetasi berjarak 6-9 km dari pusat pemukiman dan merupakan lokasi tengku ali (Eurycoma longifolia) banyak ditemukan.
Gambar 1. Lokasi penelitian keanekaragaman tumbuhan obat pada berbagai satuan lanskap dan pemanfaatannya oleh sub-etnis Batak Toba di desa Peadundung Sumatera Utara. Kedua, dilakukan analisis vegetasi dengan cara membuat transek di lanskap tempat utama sumber perolehan tumbuhan obat (Tabel 1). Transek dibuat berbentuk sampling bersarang (nested sampling) (modifikasi Poleng & Witono 2004; Hidayat & Risna 2007; Rahayu dkk. 2011), berukuran panjang 100 m dan lebar 20 m. Di dalam transek tersebut, kemudian dibuat petak-petak kecil berukuran 20 m x 20 m, 5 m x 5 m, dan 2 m x 2 m (Gambar 2.). Kemudian untuk mendapatkan luasan petak sebesar 1 ha, setiap daerah induk sub-etnis dibuat 5 buah transek yang penempatannya dilakukan secara purposive sampling.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama dengan cara penjelajahan bebas bersama informan untuk menginventarisasi seluruh pengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman tumbuhan obat pada berbagai satuan lanskap. Jelajah bebas dilakukan pada beberapa unit lanskap seperti: pekarangan, sawah, kebun, ladang (agrofores), lahan bera, hutan adat, dan
Gambar 2. Transek bersarang (nested sampling)
43
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Analisis kualitatif dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil jelajah bebas, untuk menggambarkan kekayaan dan keanekaragaman spesies tumbuhan obat yang dikenali masyarakat pada setiap lanskap. Sedangkan analisis kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui nilai kepentingan (NK) spesies tumbuhan obat . Nilai kepentingan (NK)= KR + DR + FR.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Kekayaan dan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hasil Jelajah Bebas Etnis Batak Toba di desa Peadundung memperoleh tumbuhan bermanfaat obat dari beberapa satuan lanskap yang terdapat di lingkungan sekitarnya seperti: hutan primer, hutan adat, agrofores, lahan bera, kebun, sawah dan pekarangan. Berdasarkan penjelajahan pada unit lanskap-lanskap tersebut yang dikenali oleh masyarakat Batak sebagai tempat perolehan sumber bahan obat, dicatat tidak kurang dari 148 spesies tumbuhan obat yang berasal dari 126 genus dan 64 famili (Gambar 3.).
Gambar 3. Kekayaan tumbuhan obat pada satuan-satuan lanskap di desa Peadundung, Sumatera Utara Masyarakat Batak Toba berdasarkan jelajah bebas, agrofores karet merupakan sumber perolehan utama tumbuhan obat,
ISBN:978-602-9138-68-9
kemudian diikuti oleh kebun, dan pekarangan. Sebanyak 75 spesies atau lebih dari 50% tumbuhan obat diperoleh dari agrofores. Beberapa jenis tumbuhan obat dari agrofores antara lain: baja (Rhodamnia sp.), simarbosibosi (Timonius sereceus), tengku ali (Eurycoma longifolia), situkkol (Melicope gabra), dan tandiang (Cyathea sp.). Selain dimanfaatkan sebagai obat, tumbuhan obat yang ditemukan di agrofores juga berfungsi sebagai kayu bakar (Rhodamnia sp.), pembatas ladang (Cyathea sp., Melicope gabra), dan sebagai indikator kesuburan tanah (Eurycoma longifolia). Kehadiran tengku ali di lahan agrofores sebagai pertanda tanah yang tidak subur dengan pH 4-5, sehingga karet yang ditanam di sekitar hanya menghasilkan getah (lateks) sangat sedikit atau tidak menghasilkan getah sama sekali. Agrofores yang ditumbuhi tengku ali relatif diabaikan masyarakat lokal, tidak dipelihara atau tidak disadap. Tumbuhan obat yang diperoleh dari kebun merupakan tumbuhan obat yang sengaja dibudidayakan sebagai penghasilan tambahan maupun untuk tujuan lainnya. Beberapa tumbuhan obat yang dibudidaya di kebun seperti: pege (Zingiber officinale), hunik (Curcuma domestica), utte pangir (Citrus hystrix), lasina (Capsicum annuum), dan timbaho (Solanum nicotianum). Selain tanaman budidaya, tumbuhan obat yang ditemukan di kebun sebagian berupa gulma seperti: simarihan-ihan (Leucosyke capipetala), hambing-hambing (Leucosyke sp.), sampilpil (Gleichenia linearis), nande rumah (Gynura crepidioides), dan hatiddi (Drymaria cordata). Sebanyak 33 spesies atau lebih dari 22% dari keseluruhan tumbuhan obat yang bermanfaat ditemukan di pekarangan. Tumbuhan obat yang ditemukan di pekarangan memiliki fungsi ganda seperti: penghasil buah (Psidium guajava, Carica papaya), sayuran (Vigna sinensis, Cucumis sativus), sayuran (Coleus amboinicus), ritual (Oncimun americanum, Citrus hystrix), tanaman hias (Hibiscus rosa-sinensis, Celosia cristata). Hal senada dinyatakan oleh Martin (1993), Purwanto dkk. (2004), dan Das & Das (2005) bahwa spesies yang dibudidayakan di pekarangan pada umumnya memiliki banyak
44
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI manfaat seperti ritual, bahan obat, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Tengku ali (Eurycoma longifolia) merupakan salah satu tanaman liar yang mulai di budidaya di pekarangan, yang dimanfaatkan untuk memulihkan stamina sehabis beraktivitas. Hutan primer atau dalam bahasa lokal disebut dengan tombak merupakan sumber perolehan utama tumbuhan obat untuk mengatasi penyakit yang berat. Pollang asar porgis (Myrmecodia sp.), hau hapur (Dryobalanops aromatica), tengku ali (Eurycoma longifolia), dan hau alim (Aquilaria malaccensis) merupakan beberapa tumbuhan obat yang diperoleh dari hutan primer. Masyarakat lokal menyadari bahwa sebagian tumbuhan obat yang diperoleh dari hutan khususnya hau hapur dan hau alim sudah sangat sulit ditemukan. Hal tersebut berhubungan dengan adanya kegiatan illegal logging besar-besaran pada tahun 1980-an di hutan sekitar. Minyak hubbil (damar dari hau hapur) merupakan obat andalan utama masyarakat lokal untuk mengatasi ganguan pencernaan, namun saat penelitian dilakukan sudah jarang dimanfaatkan masyarakat karena sumber perolehannya sangat sulit. Biasanya lahan bera atau disebut gasgas merupakan lahan yang telah ditinggalkan sekitar 5 tahun sehingga banyak ditumbuhi semak. Hasil penjelajahan bebas berhasil dicatat beberapa vegetasi perintis seperti: Clidemia hirta, Clibadium surinamense, Melastoma malabatrhricum, dan Gleichenia linearis. Jumlah spesies tumbuhan obat yang diperoleh dari lahan bera relatif lebih sedikit dibandingkan dengan lanskap lainnya. Hal tersebut berhubungan dengan lahan bera hanya ditumbuhi semak vegetasi perintis. Keseluruhan tumbuhan obat yang dikenali sub-etnis Batak dimanfaatkan untuk mengatasi sebanyak 19 macam penyakit. Jumlah spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan untuk mengatasi setiap penyakit bervariasi (Gambar 4.). Tumbuhan obat paling banyak dimanfaatkan untuk mengatasi gangguan saluran pencernaan khususnya sakit perut (64 spesies), luka (35 spesies), dan demam 930 spesies).
ISBN:978-602-9138-68-9
Gambar 4. Jumlah spesies yang dimanfaatkan oleh subetnis Batak Toba untuk mengatasi berbagai macam penyakit. 2.
Keanekaragaman Tumbuhan Berdasarkan Hasil Analisis Vegetasi Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakuakan di agrofores karet seluas 1 ha hanya ditemukan 16 spesies tumbuhan obat yang berasal dari 16 genus dan15 famili. Berdasarkan habitusnya ditemukan sebanyak 6 spesies (pohon), 9 spesies (semak), dan 1 spesies (herba). Jumlah spesies yang ditemukan pada analisis vegetasi hanya 10% dari keseluruhan tumbuhan obat yang dikenali oleh sub-etnis Batak Toba di desa Peadundung. Hal tersebut sangat berbeda dengan hasil jelajah bebas yang menunjukkan bahwa lebih dari 75% dari tumbuhan obat yang dimanfaatkan ditemukan di agrofores. Perbedaan ini berhubungan dengan tempat analisis vegetasi merupakan agrofores yang pada tahap suksesi lanjut sehingga herba yang bermanfaat obat telah tergantikan semak maupun belta. Nilai kepentingan (NK) tumbuhan obat berupa pohon disajikan pada Tabel 1. Karet (Hevea brasiliensis) merupakan tumbuhan utama yang ditemukan di lahan agrofores, namun untuk tumbuhan bermanfaat obat dominan dimiliki Baja (Rhodamnia sp.) dengan NK 91,89; sedangkan tumbuhan obat kodominan simarbosi-bosi (Timonius sereceus) dengan NK sebesar 63,36. Hartiningsih (2009) menyatakan bahwa kehadiran Rhodamnia sp. pada agrofores karet menunjukkan terjadinya suksesi tahap lanjut.
45
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
SIMPULAN 1. Ditemukan sebanyak 148 spesies (64 famili) tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat oleh sub-etnis Batak Toba pada satuansatuan lanskap di desa Pedundung. 2. Tumbuhan obat dominan hasil analisis vegetasi di agrofores dimiliki oleh Rhodamnia sp. merupakan tumbuhan sebagai indikator suksesi tahap lanjut.
Tumbuhan obat berupa semak dan belta ditemukan sebanyak 12 spesies. Berdasarkan NK tumbuhan obat dominan berupa belta dimiliki Rhodamnia sp. dengan NK sebesar 78,59; sedangkan tumbuhan obat kodominan terdapat pada Ficus sp. (NK 44,46), seperti disajikan pada Tabel 2. Bila dilihat dari jenis semak dan belta yang terdapat di agrofores desa Peadundung merupakan jenis vegetasi suksesi pada tahap lanjut.
Tumbuhan obat berupa semai dan herba di agrofores desa Pedundung ditemukan sebanyak 13 spesies. Sampilpil (Gleichenia linearis) dengan NK sebesar 68,73 sebagai semai dominan, sedangkan Clidemia hirta (NK 41,82) merupakan semai kodominan. Gleichenia linearis menyebar lebih merata (FR 13,51) dibandingkan Clidemia hirta (FR 7,19) namun hal yang terbalik bila dilihat kerapatannya (Tabel 3.).
DAFTAR PUSTAKA Cox, G.W. 1985. Laboratory Manual of General Ecology. 5 th ed. Brown, Dubuque: 232hlm. Das, T. & A.K. Das. 2005. Inventorying Plant Biodiversity in Homegardens: A Case Study in Barak Valley, Assam, North East India. Current Science 89(1): 155—64. Hidayat, S. & R.A. Risna. 2007. Kajian Ekologi Tumbuhan Obat Langka di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Biodiversitas 8(3): 169—173.Kusuma, C. 1997. Metode Survei Vegetasi. IPB Press, Bogor: 60—81. Hartiningsih. 2009. Struktur Komunitas Pohon pada Tipe Lahan yang Dominan di Desa Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, Jambi. [Skripsi]. Program Studi Biologi, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Bandung: ix + 69hlm. Martin, G.J., 1993. Ecological Classification Among the Chinantec and Mixe of Oaxaca, Mexico. Etnoecologica 2:17— 33.Meyer, A. H. 1952. Srtucture, Growth and Drain in Balanced Uneven-Aged Forest. Journal Forest 50 (2): 85—92. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Toppan Company ltd, Tokyo: xiv + 574hlm. Pitchairamu, C., K. Muthuchelian & N. Siva. 2008. Floristic Inventory and Quantitative Vegetation Analysis of Tropical Dry Deciduous Forest in Piranmalai Forest, Eastern Ghats, Tamil Nadu, India. Ethnobotanical Leaflets 12: 204—216. Poleng, A. & J.R. Witono. 2004. Analisis Vegetasi Beberapa Fragmen Hutan di Kabupaten Timur Tengah. Biota 9(1): 25—36.
46
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Purwanto, Y., Y. Laumonier & M. Malaka. 2004. Antropologi dan Etnobotani Masyarakat Yamdena di Kepulauan Tannibar. The TLUP Project Director Tannibar LUP/ Bappeda, Jakarta: xiv + 193hlm. Rahayu, S., S. Hartiningsih, S. Dewi, A.P. Kartono & A. Hikmat. 2011. Pengelolaan Lanskap Multifungsi: Pendekatan Alternatif dalam Konservasi Tumbuhan Kayu. Prosiding Seminar Nasional Konservasi Tumbuhan Tropika Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan Kebun Raya Cibodas, Cibodas 7 April 2011, Cibodas: 411—417. Sheil, D., R.K. Puri, I. Basuki, M. Van Heist, M. Wan, N. Liswanti, Rukmiyati, M.A. Sardjono, I. Samsoedin, K. Sudiyasa, Chrisandini, E. Permana, E.M. Angi, F. Gatzweiler, B. Johnson & A. Wijaya. 2004. Mengeksplorasi Keanekaragaman Hayati Lingkungan dan Pandangan Masyarakat Lokal Mengenai Berbagai Lanskap Hutan. CIFOR, Bogor, Indonesia: 101hlm.
ISBN:978-602-9138-68-9
Suciasti, R. 2004. Perencanaan Konservasi Tumbuhan Obat di Taman Hutan Kampus Leuwikopo Kampus IPB Darmaga. [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor: ix + 118hlm. Walujo, E.B. 2004. Pengumpulan Data Etnobotani. Dalam: Rugayah, E.A. Widjaja & Praptiwi. 2004. Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor: 77--92. Whittaker, R.H. 1974. Climax Concepts and Recognition. Dalam: R. Knapp (ed.) Vegetation Dynamics. Handbook of Vegetation Science Volume 8. W. Junk Publisher, The Hague: 139—154. Zuhud, E.A.M. & Haryanto. 1994. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia. [Makalah]. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor: 1—10.
47
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
VALUASI KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN BERGUNA DI HUTAN ADAT IMBO MENGKADAI (HAIM) BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT MENGKADAI, SAROLANGUN, JAMBI Rifa Hasymi Mahmudah1,2, Eko Baroto Walujo3, dan Wisnu Wardhana1 1 Program Studi Biologi, Program Pascasarjana FMIPA Universitas Indonesia 2 SMA Negeri 1 Sarolangun, Jambi, Email:
[email protected] 3 Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Jl. Raya Jakarta-Bogor, Cibinong 16911 P.O.Box 25 Cibinong ABSTRAK Penelitian dilakukan selama bulan Oktober sampai Desember 2012 di Dusun Mengkadai, Sarolangun, Jambi. Tujuan penelitian ini untuk mengungkap nilai kepentingan berbagai spesies tumbuhan berdasarkan pengetahuan masyarakat. Metode yang digunakan adalah PEA (Participatory Ethnobotanical Appraisal) dan PDM (Pebble Distribution Method) dengan menggunakan analisis LUVI (Local User’s Value Index). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat mengenal tidak kurang dari 176 spesies tumbuhan yang terdapat di Hutan Adat Imbo Mengkadai (HAIM) bermanfaat untuk konstruksi berat (LUVI = 0,22), makanan (LUVI =0,11), obatobatan (LUVI = 0,10), konstruksi ringan (LUVI = 0,10), teknologi lokal dan seni (LUVI = 0,9), tali-temali (LUVI = 0,9), hiasan/ritual/adat (LUVI = 0,09), kayu bakar (LUVI = 0,08), sumber penghasilan (LUVI =0,07), dan bahan pewarna (LUVI =0,05). Spesies tumbuhan dengan nilai tertinggi antara lain kulim (Scorodocarpus borneensis), sengkalang (Araceae), selasih imbo (Dracaena umbratica), medang seluang (Dacryoides rugosa), dan kapindis putih (Sloetia elongata). Pemanfaatan tumbuhan yang tinggi di HAIM dengan tingkat kerusakan hutan yang relatif rendah menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat tentang peranan dan kelestarian tumbuhan berguna cukup tinggi. Kata kunci: Tumbuhan, PDM, LUVI, HAIM.
PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk serta percepatan perubahan gaya hidup dan aktivitas manusia dalam memanfaatkan hasil hutan akan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan fungsi ekosistem hutan (Rahayu dkk. 2007), termasuk pengetahuan dan pemahaman sumberdaya yang ada di dalamnya (Yuliati dkk. 2009). Pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan berguna oleh masyarakat lokal akan sangat bergantung pada kondisi ekosistem serta pranata budayanya (Walujo 2009). Hal tersebut pada akhirnya akan memberi pengaruh pada kesadaran dan keinginan masyarakat dalam melindungi ekosistem dan sumber daya hayati di dalamnya.
Hutan Adat Imbo Mengkadai (HAIM) merupakan salah satu ekosistem hutan yang mengandung sumber daya alami yang bermanfaat dan memiliki fungsi ekologis . HAIM merupakan hutan ulayat yang memiliki luas 123,80 ha, yang kepemilikan dan pemanfaatan sepenuhnya menjadi hak masyarakat Dusun Mengkadai Desa Temenggung Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun (SK Rimbo Larangan 1928 & Perdes 2009). Lahirnya SK dan Perdes tersebut merupakan bentuk kepedulian masyarakat Mengkadai terhadap hutan adat sebagai warisan leluhur yang harus selalu dijaga dan terus dilestarikan. Secara fisiognomi, HAIM merupakan hutan alami yang belum pernah dieksploitasi secara besar-besaran. 48
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Keberadaaan HAIM yang lokasinya berbatasan dengan perkebunan, kebun masyarakat serta lahan tambang emas tradisional akan sangat rentan terhadap kemungkinan terjadinya deforestasi. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa HAIM masih berfungsi dengan baik sebagai kawasan alami yang dilindungi oleh adat dan sumberdaya tumbuhan yang ada didalamnya menjadi sumber bahan penting bagi kehidupan seharihari masyarakat Mengkadai di Sorolangun. Pada akhirnya hubungan saling ketergantungan antara kebutuhan masyarakat Mengkadai dengan sumberdaya yang ada di HAIM akan melahirkan bentuk-bentuk pemanfaatan berkelanjutan. Hal inilah yang oleh Purwanto dan Herwasono (2003) disebut sebagai pengelolaan kawasan yang berbasis masyarakat. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dari bulan Oktober sampai Desember 2012 di Dusun Mengkadai Desa Temenggung Kecamatan Limun Kabupaten Sarolangun, Jambi yang terletak pada 2 o25’48"— 2o26’13,92" LS dan 102 o 37’17,76"— 102 o 36’51,84" BT. Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara semi terstruktur tentang tumbuhan berguna dan kategori pemanfaatannya, dan observasi partisipatif di HAIM menggunakan metode transek line plot systematic sampling (Simon 2007; Fachrul 2007) dengan informan kunci sebagai pemandu. Caranya dengan membuat beberapa jalur yang memotong kontur hutan, dengan luas total 1 ha yang dibagi menjadi 100 petak dengan ukuran 10 x 10 m2, interval antar transek 20 m dan jarak antar jalur menyesuaikan (Kartawinata dkk. 2004). Jenis-jenis tumbuhan yang belum dikenal diidentifikasi di Herbarium Bogoriense-LIPI Cibinong. Data kuantitatif diperoleh dengan metode distribusi kerikil atau Pebble Distribution Method (PDM) (Sheil dkk. 2004). Responden yang telah dipilih secara purposive sampling dibagi berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin untuk melakukan diskusi kelompok fokus atau FGD (Focus Group Discussion) tentang spesies tumbuhan terpenting pada setiap kategori
ISBN:978-602-9138-68-9
pemanfaatan. Hasil distribusi kerikil kemudian digunakan dalam perhitungan LUVI (Local User’s Value Index) untuk menetapkan nilai masing-masing spesies tumbuhan yang penting pada setiap kelompok pemanfaatan. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keanekaragaman spesies Tumbuhan Berguna Berdasarkan hasil wawancara dan observasi partisipatif di HAIM tercatat 176 spesies tumbuhan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Mengkadai yang dikelompokan oleh informan kunci menjadi 10 kategori kemanfaatan, yaitu bahan konstruksi berat (69 spesies), konstruksi ringan (61 spesies), bahan teknologi lokal dan seni (43 spesies), makanan (32 spesies), obatobatan (29 spesies), kayu bakar (17 spesies), hiasan/adat/ritual (12 spesies), tali temali (11 spesies), sumber penghasilan (3 spesies), dan bahan pewarna (1 spesies). Beberapa spesies yang dikenali oleh masyarakat mempunyai pemanfaatan lebih dari satu antara lain toro (Artocarpus elasticus) dan cemodak utan (Artocarpus integer) buahnya dimanfaatkan untuk makanan, sementara batangnya untuk bahan konstruksi ringan serta bahan teknologi lokal dan seni. Kasai merah (Pometia alnifolia), kasai putih (Canarium odontophyllum) dan kasai hitam (Pometia pinnata) buahnya dimanfaatkan untuk sumber bahan makanan, batangnya dimanfaatkan untuk bahan konstruksi ringan dan bahan obat-obatan. B. Analisis Nilai Kepentingan Lokal Tumbuhan Berguna Hasil FGD dan analisis LUVI (Gambar 1), dari 176 spesies tumbuhan yang terdapat di Hutan Adat Imbo Mengkadai (HAIM) peringkat nilai kepentingan dari yang tertinggi adalah untuk konstruksi berat (LUVI = 0,22), makanan (LUVI =0,11), obat-obatan (LUVI = 0,10), konstruksi ringan (LUVI = 0,10), teknologi lokal dan seni (LUVI = 0,9), tali-temali (LUVI = 0,9), hiasan/ritual/adat (LUVI = 0,09), kayu bakar (LUVI = 0,08), sumber penghasilan (LUVI =0,07), dan bahan pewarna (LUVI =0,05).
49
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
Gambar 1. Nilai LUVI (%) pemanfaatan spesies tumbuhan bergunadi HAIM Hasil penghitungan berdasarkan 10 spesies utama yang memiliki nilai kepentingan tertinggi tercatat ada 71 spesies tumbuhan dari seluruh kategori pemanfaatan. Kemudian berdasarkan penghitungan LUVI, urutan nilai kepentingan setiap spesies dalam setiap kategori pemanfaatan seperti yang tertera pada Lampiran 1. 1. Bahan Konstruksi Berat Scorodocarpus borneensis (kulim) merupakan spesies penting yang sering dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan rumah dan jembatan karena mempunyai daya tahan yang kuat, sementara Ochanostachys amantacea (petaling ) bagi masyarakat Mengkadai dimanfaatkan untuk tiang rumah dan jembatan. Menurut Heyne (1987b) Scorodocarpus borneensis termasuk kategori kelas kuat dan kelas awet kategori kelas I, sedangkan petaling termasuk pada kelas kuat I-II dan kelas awet II. Aturan adat yang dikukuhkan dalam Perdes Tumenggung tahun 2009 mengharuskan masyarakat untuk mentaati aturan pemanenan kayu hutan. Meminta izin kepada lembaga adat dengan menyertakan jenis kayu dan jumlah yang akan diambil, membayar bungo kayu sebesar 10% dari harga kayu dan berkewajiban menanam 10 bibit kayu jenis yang sama di hutan sebagai pengganti kayu yang telah di tebang. Diameter minimal pohon yang boleh ditebang adalah 80 cm. Khusus untuk penggunaan kayu untuk pembangunan fasilitas umum, dapat di izinkan jika fasilitas umum tersebut berada pada wilayah Dusun Mengkadai.
ISBN:978-602-9138-68-9
2. Bahan makanan HAIM juga berfungsi untuk penyedia bahan makanan yang berupa buah-buahan, sayuran, bumbu masak dan air minum yang berasal dari batang tumbuhan. Menurut masyarakat, sengkalang (indet) salah satu spesies dari Araceae dianggap penting karena manfaatnya yang khas sebagai sayuran, sebagai bahan campuran gulai ikan. Sedangkan petai papan (Parkia roxburghii) dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lalap dan campuran sambal. Pemanfaatan tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Kubu di kawasan Cagar Biosfer Bukit Duabelas, Jambi (Setyowati 2003). Kandis burung (Garcinia dulcis) disamping dimanfaatkan sebagai buah, kulit buahnya yang dikeringkan dapat digunakan sebagai bumbu masak. Macang imbo (Mangifera foetida) selain sebagai buah yang bisa langsung dimakan, masyarakat juga mengolah buah mentahnya menjadi sambal yang khas bila dicampur dengan terasi. Mangifera foetida mempunyai getah pada kulit buahnya yang bisa menyebabkan peradangan pada selaput lendir ruang mulut (Heyne 1987b). Untuk menghindari hal tersebut, masyarakat mengupas kulitnya secara tebal saat pengolahan. Masyarakat disekitar hutan kawasan lindung PT Wira Karya Sakti (WKS) Jambi juga mengenal dan memanfaatkan Mangifera foetida sebagai buah-buahan hutan yang langsung bisa dimakan (Purwanto dkk. 2011). 3.Bahan obat-obatan Pengetahuan Masyarakat Mengkadai tentang obat-obatan tradisional tetap bertahan, meskipun fasilitas kesehatan seperti puskesmas tersedia dan lokasinya dekat serta mudah terjangkau. Penyakit yang biasa diobati antara lain demam, panas dalam, luka, korengan, kutu air, gatal-gatal, influenza, keseleo, pengobatan pasca melahirkan serta pertumbuhan anak yang terhambat. Akar dan daun selasih imbo (Dracaena umbratica), aka limau (Cansjera rhedii) dan sedingin imbo (Kalanchoe pinnata) dimanfaatkan untuk ramuan penurun panas. Air batang aka mempole kijang (Tetrasera scandens) digunakan sebagai obat panas dalam. Aka kunit (Strychnos ignatii) digunakan untuk ramuan menggobati demam payah (demam lama) dan 50
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI obat kencing manis. Sedingin imbo (Kalanchoe pinnata) juga digunakan oleh masyarakat Talang Mamak di TNBT Riau untuk obat kompres saat pening dan penyakit cacar (Setyowati 2009), sementara masyarakat Desa Kubang Nan Raok di Sumatera Barat mengenalnya dengan nama Sidingin dan memanfaatkannya untuk obat panas dalam, deman, sakit kepala, sakit tulang, campak dan batuk (Ardan 1998). 4. Bahan konstruksi ringan Masyarakat Mengkadai memanfaatkan berbagai spesies untuk konstruksi ringan yaitu pada saat membuat pondok di ladang, kandang ternak, ataupun pagar. Mengkanang (Alpinia sp.), uba (Syzygium sp.) dan modang seluang (Dacryoides rugosa) menurut masyarakat memiliki nilai kepentingan yang sama. Artinya masyarakat menilai ketiga spesies tersebut sama pentingnya bagi masyarakat. Sama halnya dengan mengkuang (Pandanus sp.), kapindis putih (Sloetia elongata), dan jirak (Adinandra dumosa) juga dinilai sama penting. Mengkuang dimanfaatkan sebagai atap kandang, sementara itu kapindis putih dan mempuyan digunakan untuk tiang pondok, kandang, maupun pagar. Kapindis putih (Sloetia elongata) masuk dalam kelas kuat dan kelas awet I dan bersifat keras serta liat, tidak mudah diserang oleh rayap, cacing tiang (paalworm) maupun jamur (Heyne 1987b). Dinding dan lantai menggunakan kulit batang antui nasi, meskipun kayunya tergolong tidak awet (Heyne 1987b) tetapi kulit batangnya tebal dan kuat. 5. Bahan teknologi lokal dan seni Teknologi lokal dan seni meliputi alatalat produksi seperti jenis peralatan pertanian, berkebun, alat rumah tangga, peralatan berburu dan berbagai peralatan kerajinan dan seni. Kapindis putih (Sloetia elongata) dianggap oleh masyarakat sebagai spesies terpenting untuk bahan teknologi lokal dan seni. Pemanfaatan Kapindis putih antara lain untuk peralatan produksi seperti tangkai cangkul, tangkai dodos (alat untuk memanen sawit), tangkai beliung. Walaupun kapindis putih mempunyai sifat awet yang buruk tetapi sering digunakan sebagai pikulan, tiang, tangkai beberapa alat dan jarijari roda karena tahan terhadap rayap dan cacing tiang (Heyne 1987b). Batang baye (Oncosperma horridum) yang umbutnya enak
ISBN:978-602-9138-68-9
untuk sayur (Heyne 1987a) dimanfaatkan untuk tanjak (tugal). Batang camodak utan (Artocarpus integer) yang masuk kelas awet II karena kayunya agak keras, padat dan berat, namun mudah dikerjakan, mudah diserut dan digilapkan (Heyne 1987b) dimanfaatkan untuk membuat losung (lesung: alat untuk menumbuk padi) dan sarung parang. Banir mansurai (Santiria tomentosa) dimanfaatkan sebagai bahan dulang untuk menambang emas secara tradisional. TorÓ (Artocarpus elasticus) dikenal oleh masyarakat untuk membuat alat musik kulintang. TorÓ masuk kelas awet III yang mempunyai sifat halus, agak padat dan mengkilat (Heyne 1987b). Masyarakat adat di beberapa tempat juga mengenal pemanfaatan tumbuhan sebagai teknologi lokal, contohnya masyarakat Dayak Lundayeh dan Uma’ Lung di Kalimantan yang memanfaatkan 25 spesies tumbuhan (Ajiningrum 2011) dan masyarakat Melayu di sekitar kawasan konservasi PT. Wira Karya Sakti Jambi yang mengenal 64 spesies (Purwanto 2011). 6. Bahan tali temali Masyarakat Mengkadai menggunakan bagian tumbuhan seperti akar, batang dan kulit batang tumbuhan serta rotan sebagai tali untuk pengikat sebelum mengenal paku. Masyarakat juga memanfaatkan tali untuk pembuatan alatalat produksi, seperti kiding dan ambung serta untuk jemuran kain. Pemanfaatan aka tali kiding (Buettnera cf. reinwardtii) untuk tali kiding (alat untuk membawa hasil bumi ataupun kayu bakar) menjadikannya dinilai paling penting sebagai bahan tali. Kiding merupakan alat yang umum dibawa oleh masyarakat dalam berbagai aktivitas di kebun, ladang maupun hutan. Aka mempole kijang (Tetrasera scandens) dan aka kawat (Taenitis blechnoides) dimanfaatkan untuk pengikat pagar. Kulit batang torÓ (Artocarpus elasticus) digunakan sebagai tali pada ambung dan kiding. Kulit batang torÓ mempunyai kekuatan yang baik untuk dibuat tambang jala maupun tambang untuk memancing (Heyne 1987b; Teo & Nasution 2003), serat kulit batangnya juga dimanfaatkan sebagai bahan baku pakaian oleh masyarakat asli Serawak (Teo & Nasution 2003). 7. Bahan hiasan/adat/ritual Masyarakat Mengkadai merupakan masyarakat adat yang kaya akan budaya dan 51
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI tradisi. Mereka memanfaatan tumbuhan untuk hiasan, ritual maupun upacara adat. G o n i o y h a l a m u s m a c ro p h y l l u s d i n i l a i sebagai bahan hiasan/adat/ritual yang paling penting. Ritual pembakaran daun Gonioyhalamus macrophyllus dilakukan menjelang maghrib dan asapnya diyakini bisa mengusir setan. Ekstrak akar Gonioyhalamus macrophyllus yang sangat aromatis dapat digunakan sebagai obat demam karena tipus dan cacar (Heyne 1987b). Kare/garu harum (Aquilaria hirta) dimanfaatkan untuk pewangi. Sementara itu kemenyan (Styrax benzoin) dibakar saat ritual pengobatan maupun acara adat. Bungo pandan (Syn.Goniothalamus sumatranus) dimanfaatkan sebagai penghias dan pewangi sanggul dan pengharum rumah karena mempunyai bunga yang kecil dan sangat harum (Heyne 1987b). 8. Bahan kayu bakar Masyarakat menggunakan kayu bakar untuk keperluan memasak seharihari. Pada prinsipnya semua kayu bisa dijadikan kayu bakar. Masyarakat memilih kayu bakar dengan kriteria cepat kering, mudah terbakar, awet menyala, asapnya sedikit, dan mudah didapatkan. Kayu bulan (Baccaurea javanica) dinilai sebagai bahan kayu bakar yang paling penting karena mudah didapatkan, walaupun kayunya baik untuk pembuatan rumah (Heyne 1987b) namun jarang ditemukan dengan diameter besar. Kayu kacang (Guioa diplopetala), mamponiang (Lithocarpus lucidus) dan napua (Microdesmis caseriifolia) juga dinilai baik untuk kayu bakar. Pemanfaatan yang sama juga terjadi pada masyarakat Melayu di kawasan konservasi PT Wira Karya Sakti (WKS) Jambi yang juga memilih mamponiang sebagai kayu bakar (Rahayu dkk. 2007). Jirak yang juga banyak terdapat di hutan sekunder bekas ladang selain di HAIM, juga menjadi alasan untuk memanfaatkannya sebagai kayu bakar karena kayunya bagus untuk kayu bakar (Heyne 1987c). Masyarakat tidak lagi sepenuhnya bergantung pada kayu bakar untuk kehidupan sehari-hari karena telah tergantikan dengan gas elpigi.
ISBN:978-602-9138-68-9
9. Sumber penghasilan Terdapat 3 spesies tumbuhan di HAIM yang diketahui dan dimanfaatkan sebagai bahan sumber penghasilan. Urutan spesies terpenting menurut masyarakat yaitu kare/garu harum (Aquilaria hirta), jelutung (Dyera costulata) dan balam putih ( P a l a q u i u m h e x a n d r u m ) . K a re / g a r u harum diambil isi batangnya yang berfungsi sebagai pengharum, sementara jelutung dan balam diambil getahnya dan dijual. Keberadaan kare/garu harum (Aquilaria hirta), jelutung (Dyera costulata) dan balam putih (Palaquium hexandrum) yang semakin langka di HAIM, membuat masyarakat semakin jarang memanfaatkannya sebagai sumber penghasilan. Jelutung (Dyera costulata) termasuk dalam kategori lower risk (terkikis), sedangkan kare /garu harum (Aquilaria hirta) masuk kategori vulnerable (rawan) pada daftar Red list IUCN. Masyarakat Mengkadai juga sudah mengenal budi daya karet dan kelapa sawit yang hasilnya lebih pasti. Pengembangan budidaya tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti kare/garu harum (Aquilaria hirta), jelutung (Dyera costulata) dan balam putih (Palaquium hexandrum) bisa menjadi solusi untuk meningkatkan tingkat ekonomi masyarakat serta mempertahankan dan menjaga kelestarian spesies tersebut. Peran lembaga adat dan pemerintah daerah setempat untuk mengajak masyarakat sangat penting demi keberhasilan program tersebut. 10. Bahan pewarna Masyarakat Mengkadai hanya mengenal satu spesies tumbuhan di hutan adat yang dapat dijadikan bahan pewarna. Spesies tumbuhan sebagai bahan pewarna yang diketahui dan dimanfaatkan oleh masyarakat yaitu jernang (Daemonorops draco). Mereka memanfaatkan buahnya untuk mewarnai lapik (tikar). Keadaan yang sama juga ada pada Masyarakat Kubu di bukit Duabelas, Jambi yang juga hanya mengenal satu spesies di hutan yang dimanfaatkan untuk pewarna yaitu Daemonorops draco (Setyowati, 2003). 52
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Berbeda dengan Masyarakat Melayu yang ada di sekitar Kawasan Konservasi PT WKS, Jambi selain mengenal jernang, mereka mengenal spesies lain sebagai bahan pewarna yaitu Palaquium sp. yang mereka kenal dengan nama balam merah (Rahayu dkk. 2007). Secara keseluruhan pengetahuan masyarakat Mengkadai tentang keanekaragaman tumbuhan berguna di Hutan adat lebih banyak bila dibandingkan dengan pengetahuan masyarakat lokal di s e k i t a r k a w a s a n k o n s e r v a s i P T. Wi r a Karya Sakti Jambi yang hanya mengenal 105 spesies tumbuhan yang dimanfaatkan ( R a h a y u d k k . 2 0 0 7 ) . Te t a p i b i l a dibandingkan dengan beberapa masyarakat di tempat lainnya, pengetahuan masyarakat Mengkadai tentang tumbuhan berguna masih tergolong lebih sedikit. Misalnya dengan masyarakat Kubu yang mengenal 195 spesies tumbuhan berguna (Setyowati 2003), masyarakat Kerinci yang mengenal 254 spesies (Sari 2011), masyarakat di Pulau Simeulue mengenal 200 spesies (Yuliati dkk. 2009), masyarakat Dayak Lundayeh dan Uma’Lung mengenal 274 spesies (Ajiningrum 2011). Dari hasil penelitian tercatat bahwa Masyarakat Mengkadai memiliki pemahaman pengetahuan yang baik terhadap pemanfaatan tumbuhan di HAIM. Konsep dan pemahaman mereka terhadap sumber daya hutan merupakan usaha untuk menjaga kelestarian dan mendapatkan manfaat yang maksimal. Tingginya pemanfaatan tumbuhan berguna di HAIM dengan tingkat kerusakan hutan yang relatif rendah menunjukkan bahwa kelestariannya tetap dipertahankan oleh masyarakat. Hal tersebut menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat tentang peranan dan kelestarian tumbuhan berguna cukup tinggi. Pengetahuan lokal tersebut perlu dilestarikan dan perlu pembinaan lebih lanjut. SIMPULAN DAN SARAN Imbo Mengkadai merupakan hutan ulayat yang ditetapkan melalui Perdes Tu m e n g g u n g t a h u n 2 0 0 9 . K a r e n a
ISBN:978-602-9138-68-9
kemurnian tegakan Imbo Mengkadai, secara ekologi dikategorikan sebagai hutan alami. Walaupun demikian, dalam hal-hal tertentu masyarakat masih boleh memanen hasilnya. Bagi masyarakat Mengkadai, HAIM merupakan sumber yang mampu menyediakan berbagai kemanfaatan. Kelestarian hutan akan tetap terjaga karena masyarakat selalu patuh terhadap aturan pengelolaan yang dibangun berdasarkan aturan desa. Meminta izin kepada lembaga adat dengan menyertakan jenis kayu dan jumlah yang akan diambil, menanam 10 bibit kayu jenis yang sama sebagai pengganti kayu yang telah di tebang dan menetapkan batas minimal diameter pohon 40 cm yang boleh ditebang merupakan bentuk aturan yang mengarah kepada perspektif kelestarian. DAFTAR PUSTAKA Ajiningrum, P.S., E.B. Walujo & S. Purbaningsih. 2011. Analisis kegunaan jenis-jenis tumbuhan hasil hutan nonkayu yang dimanfaatkan oleh Masyarakat Dayak Lundayeh dan Dayak Kenyah Uma’ Lung di Kabupaten Malinau berdasarkan penilaian kualitas, intensitas, dan ekslusivitas. Dalam Purwanto, Y., R. Saparita & E. Munawaroh (eds.). 2011. Keanekaragaman jenis hasil hutan non-kayu berpotensi ekonomi dan cara pengembangannya di Kabupaten Malinau. LIPI Press, Jakarta:150— 187. Ardan, A.S. 2000. Penggunaan tumbuhan obat oleh Masyarakat Desa Kubang Nan Raok (Sumatera Barat). Dalam Purwanto, Y. & E.B. Walujo (eds.). 2000. Prosiding seminar nasional etnobotani III. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor: 132—138. Bappenas. 2003. Strategi dan rencana aksi keanekaragaman hayati Indonesia 2003— 2020. IBSAP Dokumen Regional. Bappenas. Jakarta: xi + 289 hlm. Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Ekologi. PT. Bumi Aksara. Jakarta: viii + 198 hlm.
53
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Heyne. K. 1987a. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta: LIV + 616 hlm. Heyne. K. 1987b. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta: xxi + 631hlm. Heyne. K. 1987c. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta: xxi + 603 hlm. Kartawinata, K., I. Samsoedin, M. Heriyanto & J. J. Afriastini. 2004. A tree specie inventory in a one hectar plot at the Batang Gadis National Park, North Sumatera, Indonesia. Reinwardtia 12(2): 145—157. Purwanto,Y. & Herwasono S. 2003. Studi etnoekologi Masyarakat Dayak Kenyah Uma’ Lung di Kalimantan Timur. Laporan Teknik. Bidang Botani PUSLIT Biologi, LIPI: 377— 397. Purwanto, Y., E.B.Walujo, & J.J. Afriastini. 2011. Keanekaragaman Jenis hasil Hutan Bukan Kayu di Plot Permanen di Areal PT. Wirakarya Sakti, Jambi. Dalam Purwanto, Y., E.B. Walujo & A. Wahyudi (eds.). 2011. Valuasi hasil hutan bukan kayu kawasan lindung PT Wirakarya Sakti Jambi. LIPI Press, Jakarta: 73—90. Rahayu, M., S.Siti, & Purwanto. 2007. Kajian pemanfaatan tumbuhan hutan non kayu oleh masyarakat lokal di kawasan konservasi PT. Wira Karya Sakti Sungai Tapa-Jambi. Biodiversitas 8(2): 73—38. Sari, D.A. 2011. Etnoekologi Masyarakat Kerinci di Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Tesis. Program Pascasarjana Biologi FMIPA Universitas Indonesia: xvi + 130 hlm. Setyowati, F.M. 2003. Hubungan keterikatan Masyarakat Kubu dengan sumberdaya tumbuh-tumbuhan di Cagar Biosfer Bukit Duabelas, Jambi. Biodiversitas 4(1): 47—54.
ISBN:978-602-9138-68-9
Setyowati, F.M. 2009. Potensi keanekaragaman jenis tumbuhan obat dan kosmetika bagi masyarakat Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Dalam Purwanto, Y. & E.B. Walujo (eds.). 2009. Prosiding seminar etnobotani IV. Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor: 372—380. Sheil, D., R.K. Puri, I. Basuki, M. van Heist, M. Wan, N. Liswanti, Rukmiyati, M.A. Sardjono, I. Samsoedin, K. Sidiyasa, Chrisandini, E. Permana, E.M. Angi, F. Gatzweiler, B. Johnson & A. Wijaya. 2004. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati, lingkungan dan pandangan masyarakat lokal mengenai berbagai lanskap hutan. Metode-metode penilaian landskap secara multidisipliner. CIFOR, Jakarta: ix + 101 hlm. Simon, H. 2007. Metode inventore hutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta: xxxiv + 586 hlm. Teo, S.P. & R.E. Nasution. 2003. Artocarpus elasticus Reinw. Ex Blume. Dalam: Brink, M. & R.P. Escobin (eds). 2003. Plant Resources of South-East Asia 17. Fibre Plants. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia: 78—81. Walujo, E.B. 2009. Etnobotani: Memfasilitasi penghayatan, pemutakhiran pengetahuan dan kearifan lokal dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan. Dalam Purwanto, Y. & E.B. Waluyo (eds.). 2009. Keanekaragaman hayati, budaya dan ilmu pengetahuan. Prosiding Seminar Nasional Etnobotani IV. LIPI Press, Jakarta: 12—20. Yuliati, S., J. Supriatna, M.A. Rifa’I & E.B. Walujo. 2009. Pemanfaatan jenis tumbuhan di Pulau Simeulue Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Purwanto, Y. & E.B. Waluyo (eds.). 2009. Keanekaragaman hayati, budaya dan ilmu pengetahuan. Prosiding Seminar Nasional Etnobotani IV. LIPI Press, Jakarta:103—110 hlm.
54
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
55
ISBN:978-602-9138-68-9
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
57
ISBN:978-602-9138-68-9
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
ETNOBOTANI TUMBUHAN PENUNJANG RITUAL/ADAT DI PULAU SERANGAN, BALI Revina Indra Putri1* , Jatna Supriatna1, Eko Baroto Walujo2 1 Program Studi Biologi, Program Pascasarjana, FMIPA, Universitas Indonesia 2 Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Cibinong *e-mail:
[email protected] ABSTRAK Tumbuhan merupakan komponen penting dalam setiap kegiatan ritual/upacara bagi masyarakat lokal Pulau Serangan, Bali. Akan tetapi, pengetahuan masyarakat lokal Serangan mengenai pemanfaatan tumbuhan sebagai penunjang ritual/upacara belum terdokumentasi dengan baik. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan penunjang ritual/upacara menurut perspektif masyarakat Serangan. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2012 hingga Januari 2013. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi partisipatif dan inventarisasi bersama informan, serta diskusi kelompok fokus (focus group discussion; FGD). Setidaknya, terdapat 70 spesies dari 37 famili tumbuhan yang dianggap memiliki manfaat sebagai tumbuhan penunjang ritual/upacara. Menurut masyarakat, di antara spesies-spesies tersebut, sepuluh spesies tumbuhan terpenting sebagai penunjang ritual/upacara yaitu nyuh (Cocos nucifera), jepun bali (Plumeria acuminata), pandan arum (Pandanus amaryllifolius), base (Piper betle), sandat (Cananga odorata), pacah (Impatiens balsamina), biu (Musa paradisiaca), bunut (Ficus pilosa), pucuk (Hibiscus rosa-sinensis), dan kembang kertas (Bougainvillea spectabilis). Bentuk upaya konservasi tumbuhan penunjang ritual/upacara yang dilakukan oleh masyarakat di antaranya yaitu penanaman tumbuhan di wilayah sakral (pura) serta budidaya tumbuhan di pekarangan (natah) rumah masyarakat. Karena setiap kegiatan ritual/upacara agama Hindu di Serangan selalu memanfaatkan tumbuhan, maka kegiatan konservasi perlu terus dilakukan untuk menghindarkan tumbuhan dari risiko kepunahan. Kata kunci: pengetahuan lokal, etnobotani, tumbuhan, ritual/upacara, Pulau Serangan PENDAHULUAN Etnobotani adalah bagian dari etnoekologi yang berfokus pada tumbuhan (Martin, 1995). Menurut Rifai dan Walujo (dalam Walujo, 2004), etnobotani mengutamakan persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat yang dipelajari dalam mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tumbuh-tumbuhan dalam lingkup hidupnya. Sejak awal peradaban, manusia telah memanfaatkan tumbuhan untuk kebutuhan hidupnya. Salah satu pemanfaatan tersebut ialah pemanfaatan tumbuhan sebagai penunjang kebutuhan ritual/upacara adat. Kehidupan masyarakat Hindu-Bali tidak pernah lepas dari kegiatan ritual atau upacara keagamaan.Berbagai upacara
keagamaan yang tergolong dalam Panca Yadnya selalu memerlukan bagian-bagian tanaman (Nala dan Wiratmadja, 1991) sebagai penunjang kegiatannya. Oleh sebab itu, tumbuhan merupakan komponen penting dalam setiap kegiatan ritual/upacara bagi masyarakat Bali. Sejumlah penelitian mengenai tumbuhan sebagai penunjang ritual/upacara telah dilakukan di Bali. Tercatat lebih dari 300 spesies tumbuhan dianggap memiliki manfaat sebagai tanaman upacara di Bali (Sardiana, 2010). Lebih spesifik, di Kabupaten Badung setidaknya terdapat 102 spesies tanaman upacara (Adiputra, 2011). Sementara itu, di Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, tidak kurang dari 53 spesies tumbuhan tercatat sebagai tanaman upacara (Sudi et al., 2006). 58
(a) (b) Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Pulau Serangan ialah sebuah pulau kecil di selatan Bali yang dihuni oleh masyarakat lokal dengan ciri khas nelayan yang kental. Sebagai masyarakat yang heterogen, secara garis besar penduduk lokal Serangan berasal dari etnis Bali dan etnis Bugis (Vickers dan Suwitha, 1992). Proyek reklamasi pulau hingga tiga kali lipat luas Pulau Serangan telah menimbulkan berbagai dampak ekologis (Nakad, 2002; Wisnawa, 2002; Sundra, 2006) yang berimbas pada kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat (Suwarno 2002; Wisnawa, 2002; Woinarski, 2002). Sama halnya dengan masyarakat Bali pada umumnya, masyarakat Hindu-Serangan pun selalu memanfaatkan tumbuhan sebagai penunjang kegiatan ritual/upacaranya. Akan tetapi, pengetahuan mereka mengenai pemanfaatan tumbuhan sebagai penunjang ritual/upacara belum terdokumentasi dengan baik. Padahal, hal tersebut perlu dilakukan sebelum pengetahuan tersebut hilang, serta untuk meningkatkan pemahaman akan pengelolaan dan pilihan untuk konservasi pada tingkat lokal dan regional (Dalle dan Potvin, 2004). Informasi mengenai pengetahuan masyarakat itu juga merupakan dasar bagi para peneliti untuk memahami tingkat strategi adaptasi suatu kelompok masyarakat lokal (Walujo, 2009).Terlebih, masyarakat Serangan tengah beradaptasi akibat berbagai perubahan yang terjadi akibat reklamasi. Untuk itu, penelitian etnobotani ini bertujuan untuk mengungkap pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan penunjang ritual/upacara menurut perspektif masyarakat lokal Serangan. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan selama bulan November 2012 hingga Januari 2013 di Pulau Serangan, Kota Denpasar, Bali. Wawancara mendalam dilakukan untuk menggali pengetahuan lokal tentang tumbuhan yang termasuk kategori penunjang ritual/upacara. Observasi langsung dilakukan di lapangan bersama dengan informan kunci untuk menginventarisasi spesies-spesies tumbuhan penunjang ritual/upacara di lokasi penelitian. Kemudian, diskusi kelompok fokus (Focus Group Discussion-FGD) dilakukan untuk menggali informasi secara lebih komprehensif.
ISBN:978-602-9138-68-9
(a)
(b
Gambar 1. Lokasi penelitian. (a) Pulau Bali, (b) Pulau Serangan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Penunjang Ritual/Upacara Terdapat 70 spesies dari 37 famili tumbuhan yang bermanfaat sebagai sarana upakara bagi masyarakat Hindu-Serangan (Lampiran). Sebagai perbandingan, tidak kurang dari 300 spesies tumbuhan yang lazim dimanfaatkan dalam upakara di Bali (Sardiana, 2010).Untuk habitus pepohonan, menurut Mahendra et al. (2011), terdapat 94 spesies pohon yang dimanfaatkan dalam kehidupan sosial budaya Bali, khususnya dalam kegiatan upacara Hindu, dan 39 spesies di antaranya berada dalam risiko kepunahan. Li m a f a m i l i t u m b u h a n d e n g a n jumlah spesies terbanyak yaitu Apocynaceae (8 spesies), Fabaceae dan Moraceae (masing-masing 5 spesies), serta Malvaceae dan Poaceae (masing-masing 4 spesies) (Gambar 2).
Gambar 2. Grafik jumlah spesies tumbuhan penunjang ritual/upacara berdasarkan famili. Adapun representasi spesies tumbuhan penunjang ritual/upacaradituangkan dalam Tabel 1 berikut. 59
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Menurut masyarakat, nyuh (Cocos nucifera) dianggap sangat penting dalam kegiatan ritual agama Hindu, karena menurut Sardiana dan Dinata (2010), hampir seluruh bagian tumbuhan nya dapat dimanfaatkan dalam seluruh upacara. Selain sebagai bahan upakara, di Bali, kelapa juga dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, obat, bahan bangunan dan kerajinan (Danur, 2005; Kriswiyanti, 2013; Pratiwi dan Sutara, 2013). Di antara spesies-spesies tumbuhan penunjang ritual/adat, banyak di antaranya merupakan tumbuhan berbunga menarik. Dalam agama Hindu, bunga dengan berbagai jenis warnanya memiliki fungsi sebagai simbol kehidupan (sthiti). Misalnya, bunga yang berwarna merah merupakan lambang kemahakuasaan Dewa Brahma (simbol kekuatan untuk memusnahkan alam semesta) dan bunga warna hitam sebagai lambang kemahakuasaan Dewa Wisnu (simbol kekuatan untuk memelihara alam semesta) (Nala, 2004). Bunga dirangkai dalam canang, dipakai sebagai alat sembahyang sehari-hari disamping dupa dan air. Untuk kegiatan ritual yang terkait dengan seni, masyarakat Hindu-Bali di Serangan juga memanfaatkan berbagai macam tumbuhan. Sebagai contoh, daun tumbuhan prasok (Dracaena draco), dimanfaatkan untuk pembuatan ekor barong, kayu tumbuhan bintaro (Cerbera manghas) dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat topeng sidakarya, sedangkan kayu tumbuhan santen(Lannea grandis) dimanfaatkan untuk bahan pembuatan topeng sakral. Pemanfaatan kayu bintaro (Cerbera manghas) sebagai bahan baku topeng juga dilakukan oleh masyarakat lokal di Sri Lanka (Pinto, 1986). Pengetahuan Lokal dan Konservasi Tumbuhan Berdasarkan inventarisasi, dari 70 spesies penunjang ritual/upacara, setidaknya 49 spesies (70%) terdapat di pekarangan (natah) dan 43 spesies terdapat di wilayah pura (61, 43%). Hal tersebut menunjukkan bentuk upaya konservasi tumbuhan penunjang ritual/upacara yang dilakukan oleh masyarakat Serangan dengan melakukan penanaman tumbuhan di wilayah sakral (pura) serta budidaya tumbuhan di pekarangan rumah masyarakat. Kesadaran akan arti penting tanaman sebagai sarana
ISBN:978-602-9138-68-9
penunjang ritual/upacara juga ditunjukkan dengan adanya usaha pelestarian jenis-jenis tanaman tersebut di wilayah lain di Bali, seperti di Kabupaten Buleleng. Di daerah tersebut, masyarakat menanam jenis-jenis tanaman upakara penting seperti base (Piper betle) dan pinang (Areca catechu) (Sudi et al., 2006). Hal-hal yang dipaparkan di atas sesuai dengan kaidah melestarikan alam dalam ajaran Hindu. Berdasarkan kepercayaan Hindu-Bali, tujuan hidup manusia ialah mencapai kebahagiaan lahir batin, yang ditempuh dengan Tri Hita Karana, yakni menjalin keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan lingkungan alam (Sardiana et al., 2010). Dalam Sarasmuscaya 135, upaya melestarikan atau menyejahterakan alam dalam dinyatakan dalam istilah bhuta hita (Sardiana et al., 2010). Selanjutnya, dalam Bhagawad Gita III 16, bentuk yadnya (pengorbanan) ialah memelihara kesejahteraan alam dengan cara sekala dan niskala (Sardiana dan Dinata, 2010). Secara sekala, flora dan fauna yang tumbuh dan hidup di lingkungan kita dijaga keseimbangan hidupnya dengan upaya nyata, salah satunya ialah dengan tidak membiarkan lahan menjadi lahan tidur tanpa ditumbuhi tumbuh-tumbuhan. Secara niskala, upaya menjaga bhuta hita dilakukan dengan cara melaksanakan upacara yadnya. Karena setiap kegiatan ritual/upacara agama Hindu di Serangan selalu memanfaatkan tumbuhan, maka kegiatan konservasi perlu terus dilakukan untuk menghindarkan tumbuhan dari risiko kepunahan.Dalam kaitannya dengan konservasi, pekarangan berperan sebagai jendela introduksi dan eksperimen bagi keanekaragaman genetik (Engels, 2001) serta berkontribusi terhadap konservasi biodiversitas pada tingkat ekosistem, spesies, dan genetik (Hodgkin, 2001). Sementara itu, karena wilayah pura dilindungi secara adat, maka tumbuh-tumbuhan yang berada di wilayah itu pun turut terlindungi. Masyarakat Hindu-Serangan memiliki semacam keyakinan, yaitu tabu atau pantangan untuk menebang pohon-pohon besar dan tua, serta pohon-pohon yang berada di wilayah pura. Pepohonan tersebut diyakini masyarakat sebagai tempat tinggal wong samar (makhluk yang tidak terlihat). Jika memang penebangan mesti dilakukan untuk tujuan tertentu, maka upacara 60
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI adat harus dilakukan. Hal tersebut merupakan bentuk konservasi masyarakat terhadap tumbuhan. Menurut Coehoorn (2009), wilayah sakral dengan sejumlah tabu dan larangannya dapat terlindung dan terhindar dari gangguan manusia yang merusak keanekaragaman hayati. Dengan demikian, pelestarian bentuk larangan adat terhadap suatu kawasan yang dilakukan oleh masyarakat lokal perlu didukung aspek legalitasnya sehingga terhindar dari intervensi akibat pergeseran nilai sosial budaya, tekanan jumlah penduduk, serta tekanan ekonomi (Purwanto dan Munawaroh 2001). SIMPULAN DAN SARAN Tidak kurang dari 70 spesies dari 37 famili tumbuhan yang dianggap memiliki manfaat sebagai tumbuhan penunjang ritual/ upacara oleh masyarakat lokal Pulau Serangan. Beberapa di antaranya yaitu nyuh (Cocos nucifera), jepun bali (Plumeria acuminata), pandan arum (Pandanus amaryllifolius), base (Piper betle), sandat (Cananga odorata), pacah (Impatiens balsamina), biu (Musa paradisiaca), bingin (Ficus benjamina), pucuk (Hibiscus rosasinensis), dan kembang kertas (Bougainvillea spectabilis). Bentuk upaya konservasi tumbuhan penunjang ritual/upacara yang dilakukan oleh masyarakat di antaranya yaitu penanaman tumbuhan di wilayah sakral (pura) serta budidaya tumbuhan di pekarangan (natah) rumah masyarakat. Karena setiap kegiatan ritual/upacara agama Hindu di Serangan selalu memanfaatkan tumbuhan, maka kegiatan konservasi perlu terus dilakukan untuk menghindarkan tumbuhan dari risiko kepunahan. DAFTAR PUSTAKA Adiputra, N. 2011. Tanaman obat, tanaman upacara, dan pelestarian lingkungan. Jurnal Bumi Lestari. 11(2). 346—354. Coehoorn, P. 2009. Cultural landscapes values in former homelands, Eastern Cape, South Africa. MSc. Thesis Forest and Nature Conservation, Department of Forest and Nature Conservation-Policy Group, Wageningen University, Netherlands: x + 78 hlm. Danur, I.A.S. 2005. Etnoekologi lansekap Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Bali. Pengetahuan dan pengelolaan keanekaragaman jenis tumbuhan oleh
ISBN:978-602-9138-68-9
masyarakat Bali Aga. Disertasi Doktor Program Studi Biologi UI, Depok: xiii + 254 hlm. Dalle, S.P. & C. Potvin. 2004. Conservation of useful plants: an evaluation of local priorities from two indigenous communities in eastern Panama. Economic Botany. 58(1): 38—57. Engels, J. 2001. Home gardens and agrobiodiversity: An overview across region. Dalam: Watson, J. W. & P. B. Eyzaguirre (eds). 2001. Proceedings of the Second International Home Gardens Workshop, 17—19 July 2001, Witzenhausen: 184 hlm. Hodgkin, T. 2001. Home gardens and the maintenance of genetic diversity. Dalam: Watson, J. W. & P. B. Eyzaguirre (eds). 2001. Proceedings of the Second International Home Gardens Workshop, 17—19 July 2001, Witzenhausen: 184 hlm. Kriswiyanti, E. 2013. Keanekaragaman karakter tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) yang digunakan sebagai bahan upacara Padudusan Agung.Jurnal Biologi. 16(1): 15—19. Mahendra, M.S., I. M. Sukewijaya, & I.G.A.A.R. Asmiwyati. 2011. Pemetaan pohon bernilai budaya bali yang langkadi Kota Denpasar.Jurnal Bumi Lestari.(11)1: 66—77. Martin, G.J. (1995). Ethnobotany. A ‘People and plants’ conservation manual. World Wide Fund for Nature. London: Chapman & Hall. Nala, N. & A. Wiratmadja. 1991. Murdha Agama Hindu. Penerbit Upada Sastra Denpasar. Nala, N. 2004. Filosofis Pemanfaatan dan Keanekaragaman Tanaman Upacara Agama Hindu di Bali. dalam ‘Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu. UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali. Nakad, J. 2008. The cost of progress: Failed development and community response on Pulau Serangan. School for International Training. Bali-Indonesia Arts and Culture Program. 44 hlm. 61
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Pinto, L. 1986. Mangroves of Sri Lanka. Natural Resources, Energy, & Science Authority of Sri Lanka: 54 hlm. Pratiwi, F.M. & Sutara, P.K. (2013). Etnobotani kelapa (Cocos nucifera L.) di wilayah Denpasar dan Badung. Jurnal Simbiosis. 1(2): 102–111. Rifai, M.A. & E.B. Walujo. 1992. Etnobotani dan pengemabngan tetumbuhan pewarna: Ulasan suatu pengamatan di Madura. Makalah Seminar Nasional Etnobotani Sardiana, I.K. 2010. Unit pembibitan tanaman ritual (upakara). Majalah Aplikasi Ipteks Ngayah. 1(1): 13—21. Sardiana, I.K. & K.K. Dinata. 2010. Studi pemanfaatan tanaman pada kegiatan ritual (upakara) oleh umat Hindu di Bali. Jurnal Bumi Lestari. 10(1): 123— 127. Sardiana, I. K., W.P. Windia, I.G.N. Sudiana, S.N. Soewandhi, K. Sundra, W. Sudarka, M. W. Sudibya, K.K. Dinata, S.M. Sarwadana & W. Sukersa. 2010. Taman gumi banten: Ensiklopedi tanaman upakara. Udayana University Press, Denpasar: xvi + 166 hlm. Sudi, I. M., K. Wirta & P. Sudarsana. 2006. Inventarisasi dan eksplorasi tumbuhan upacara agama Hindu Bali: 2. Kabupaten Buleleng. Laporan teknik program perlindungan dan konservasi sumber daya alam Kebun Raya Eka karya Bali. 155—162. Sundra, I.K. 2006. Analisis struktur vegetasi hutan mangrove di kawasan reklamasi Pulau Serangan, Kota Denpasar. Bumi lestari: Jurnal Lingkungan Hidup. 6(1): 49—53. Suwarno, N. 2002. Beberapa permasalahan arsitektural Pura Sakenan-Bali pasca
ISBN:978-602-9138-68-9
reklamasi Pulau Serangan. Media Teknik. 1(24): 11—20. Vickers, A. & Suwitha. P.G. 1992. Serangan Island and Benoa Bay: A cultural. social and economic description: on behalf of the Illawara Technology Corporation. University of Wollongong for LeProvost Environmental Consultants as part of an environmental study of Serangan and Benoa Bay commissioned by Jones Lang Wooton for the Bali Turtle Island Development Consortium. University of Wollongong, Wollongong: iii + 73 hlm. Walujo, E.B. 2004. Tumbuhan upacara adat Bali dalam perspektif penelitian etnobotani. Prosiding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu. 29—39. Walujo, E.B. 2009. Etnobotani: memfasilitasi penghayatan. pemutakhiran pengetahuan dan kearifan lokal dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan. Dalam: Purwanto, Y. & E.B. Walujo (eds.). 2009. Keanekaragaman hayati, budaya, dan ilmu pengetahuan. Prosiding Seminar Etnobotani IV. LIPI Press. Jakarta: 12 – 20. Wisnawa, I.M. 2002. Model pemanfaatan Pulau Serangan di Kota Denpasar pasca reklamasi. Tesis Program Magister Universitas Diponegoro. Semarang: xiv + 119 hlm. Woinarski, L. 2002. Pulau Serangan: Dampak pembangunan pada lingkungan dan masyarakat. Laporan studi lapangan: Universitas Muhammadiyah Malang kerjasama dengan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies, Malang: 43 hlm.
62
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
63
ISBN:978-602-9138-68-9
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
64
ISBN:978-602-9138-68-9
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
STUDI USAHA TERNAK LEBAH MADU INDIGENOUS INDONESIA Apis cerana SECARA TRADISIONAL DI BALI Retno Widowati Universitas Nasional, Jl. Sawo Manila No 61 Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520 ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mempelajari usaha ternak lebah madu indigenous Indonesia Apis cerana secara tradisional oleh penduduk di Bali. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2014. Penelitian dilakukan dengan mencari informasi melalui laman internet dan mendatangi lokasi usaha ternak. Hasil wawancara pelatih beternak lebah, dinyatakan semua kabupaten di Bali memiliki penduduk yang beternak A. cerana. Penelusuran laman internet, mencatat enam kabupaten yang memiliki penduduk beternak A. cerana. Hasil studi di dua kabupaten yang dikunjungi yaitu Karangasem ( 4 lokasi) dan Gianyar (2 lokasi), didapatkan informasi bahwa sebagian penduduk beternak madu A. cerana secara turun temurun dan bukan pekerjaan utama. Beternak lebah madu di Bali dilakukan di langit-langit rumah atau menggunakan stup. Stup dibuat dari kulit kayu, batang kayu atau kayu lapis. Stup diletakkan dengan penyangga di atas tanah atau digantungkan pada dinding, pohon, tiang, atau tempat tinggi lainnya. Panen raya madu dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan November. Satu koloni menghasilkan 0,25 liter hingga 1 liter madu. Harga jual madu per liter Rp.400.000,s.d. Rp.800.000,-. Tercatat sebanyak 51 tanaman berbunga sebagai pakan lebah A. cerana. Hasil penelitian ini dapat menjadi rekomendasi untuk pemerintah daerah di Provinsi Bali untuk meningkatkan pendapatan penduduk prasejahtera. Kata kunci : Apis cerana, Bali, lebah madu indigenous, usaha ternak tradisional. PENDAHULUAN Apis cerana merupakan spesies lebah madu indigenous Indonesia(Koetz, 2013). Usaha ternak lebah madu Apis cerana merupakan salah satu usaha meningkatkan ekonomi rakyat dengan modal awal lahan pertanian, perkebunan, dan hutan yang ada di pedesaan. Usaha ternak lebah madu A. cerana tidak membutuhkan modal besar dan dapat dimulai dari jumlah koloni yang sedikit dan tidak perlu mengangon mengikuti musim bunga (stationary beekeeping system) (Joshi dkk., 2002; Abrol, 2013). Usaha ternak lebah madu, selain menghasilkan madu dan malam, juga berpotensi sebagai usaha pengobatan apiterapi dan wisata lebah madu. Usaha ternak lebah madu dapat meningkatkan penghasilan masyarakat yang hidup di daerah pertanian dan perkebunan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan taraf kehidupan dari prasejahtera ke sejahtera. Bali adalah nama salah satu provinsi Indonesia dan merupakan nama pulau terbesar
yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2010, jumlah penduduk Provinsi Bali sebanyak 3.891.428 orang, dan 4,49 % di antaranya merupakan penduduk miskin (Badan Pusat Statistik, 2012a). Hal ini menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Provinsi Bali untuk menurunkan angka kemiskinan tersebut dan perlu dicari alternatif-alternatif usaha yang dapat meningkatkan taraf hidup penduduk miskin . Sebagian besar penduduk Bali hidup dari sektor pariwisata, dan sebagian lainnya, hidup dari sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Pada tahun tahun 2012, Bali mampu memproduksi buah-buah sebesar 1.997 ton alpukat, 410 ton belimbing, 898 ton duku, 14.134 ton durian, 1.380 ton jambu biji, 129.670 ton jeruk, dan 40.372 ton mangga. Pada tahun 2013, Bali memiliki luas panen jagung pada lahan 18.526 Ha dan produksi 57.954 ton; kacang tanah pada lahan 8.236 Ha dan produksi 10.765 ton; ubi jalar pada lahan 5.395 Ha dan 65
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI produksi 61.875 ton; kedelai pada lahan 5.518 Ha dan produksi 7.066 ton. Selain itu Bali memiliki 96 ribu hektar hutan lindung, 26 ribu hektar suaka alam dan pelestarian alam, 7 ribu hektar hutan produksi terbatas, dan 2 ribu hektar hutan produksi tetap (Badan Pusat Statistik, 2012b). Data tersebut sangat mendukung adanya usaha ternak lebah madu yang diusahakan oleh penduduk, khususnya lebah madu A. cerana, yang hingga kini belum merupakan andalan di Bali. Madu memiliki nilai ekonomis yang menguntungkan bagi peternak lebah madu bila diusahakan secara benar, efisien, dan efektif. Hingga saat ini, kebutuhan madu di Indonesia masih dipenuhi dari impor madu. Impor madu akan mengeluarkan devisa negara yang besar, padahal Indonesia berpotensi besar dalam meningkatkan produksi madu. Usaha ternak madu A. cerana telah dilakukan oleh sebagian penduduk di Bali, baik secara tradisional ataupun modern. Beternak A. cerana sangat mengandalkan tanaman-tanaman berbunga yang ada di sekitar koloni bersarang sebagai sumber pakan. Sebaliknya, tanamantanaman diuntungkan dengan fungsi penyerbuk lebah A. cerana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari usaha ternak lebah madu indigenous Indonesia A. cerana secara tradisional oleh penduduk di Provinsi Bali, serta mengamati dan mencatat berbagai tanaman yang nektar dan serbuk sari bunganya sebagai pakan lebah A. cerana. Hasil penelitian dapat merupakan salah satu rekomendasi bagi pemerintah daerah dari tingkat desa hingga provinsi di Bali. METODE PENELITIAN Penelitian dilangsung sejak bulan Januari hingga Juni 2014. Studi pendahuluan dilakukan dengan wawancara masyarakat dan penelusuran laman-laman internet yang memberikan informasi mengenai ternak lebah A. cerana di Bali. Informasi yang didapatkan digali lebih lanjut dengan mengunjungi lokasi yang dipilih. Studi usaha ternak lebah A. cerana yang dilakukan meliputi cara beternak, jenis stup/ kungkungan, produksi madu, dan hambatan. Jenisjenis tanaman berbunga yang tumbuh di sekitar usaha ternak lebah madu dan dikunjungi lebah atau sebagai sumber pakan lebah diamati dan dicatat. Data yang didapat dianalisis secara deskriptif, dilengkapi dengan data kualitatif dan foto.
ISBN:978-602-9138-68-9
HASIL DAN PEMBAHASAN Studi Pendahuluan Bali tidak tercatat sebagai penghasil madu utama di Indonesia. Sebagian kecil penduduk Bali mengusahakan ternak lebah sebagai mata pencaharian sampingan. Hasil studi pendahuluan melalui internet, tercatat enam kabupaten di bali yang memiliki penduduk beternak lebah madu adalah : 1. Kabupaten Badung (https:// jiwadamaibali.wordpress.com/tag/balinesebee-hive/) 2. Kabupaten Buleleng (http:// sentramadubali.blogspot.com/2012/01/ sentra-penghasil-madu-tawon-lebahdan.html) 3. Kabupaten Gianyar (http://akarumput.com/ en/environment/beekeeping-bali-010311/) http:// 4. Kabupaten Jembrana www.jembranakab.go.id/foto_beritaskpd/ 20120321_103500Potensi%20Lebah%20Madu.pdf 5. Kabuparen Karangasem http:// w w w . b a l i p o s t . c o . i d / mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=47537) 6. Kabupaten Tabanan (http:// tabanankab.go.id/berita/umum/1884bapeluh-tabanan-sabet-dua-penghargaantingkat-nasional) Walaupun demikian, hasil wawancara dengan I Gede Panca (2014) salah satu peternak dan mentor dalam pelatihan-pelatihan beternak lebah di Bali, menyatakan bahwa di semua kabupaten terdapat penduduk yang memelihara lebah madu. Usaha ternak lebah madu Empat usaha ternak lebah madu dikunjungi di Kabupaten Karangasem, terdiri dari tiga lokasi di Desa Datah Kecamatan Abang, satu lokasi di desa Nyuhtebel Kecamatan Manggis. Dua lokasi di Kabupaten Gianyar yaitu Desa Peta Kecamatan Blahbatu dan Banjar Pengosekan Kecamatan Ubud. Ternak lebah madu yang diusahakan oleh penduduk dapat digolongkan sebagai usaha turun temurun dari orang tua peternak, belajar sendiri dari lingkungan sekitar, belajar dari pelatihan yang diberikan oleh pelatih/mentor, belajar sendiri dari media internet atau buku, dan menjadi peternak karena kebetulan. Lebah madu diternak dengan sistem pemeliharaan menggunakan stup/kungkungan 66
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI yang dibuat oleh peternak atau memelihara lebah madu yang datang di langit-langit rumah (Gambar 1). Stup dibuat dengan beberapa cara dan bahan yang digunakan. Stup berbentuk gelondong dibuat dari kulit kayu seperti kelapa, pinang, palem, enau/aren, dan pepaya dengan ukuran sekitar 40-60 cm. Pada kedua sisi gelondong yang terbuka ditutup dengan buah kelapa yang dibelah dua atau kayu lapis. Penutup sisi gelondong diberi lubang sekitar1 cm2 atau lebih sebagai tempat keluar masuknya lebah madu (Gambar 2). Stup berbentuk persegi dapat dibuat dari kayu, kayu lapis, atau kayu bekas peti kemas (Gambar 3). Ada pula peternak yang membuat stup bertingkat (Gambar 4). Sebagian koloni A. cerana yang dipelihara pada stup bentuk kotak tanpa bingkai (Gambar 5), sebagian lainnya menggunakan bingkai (frame) dalam stup bentuk kotak (Gambar 6). Peletakkan stup dilakukan di atas penyangga (Gambar 7), atau digantungkan. Stup dapat digantungkan di dinding satu bangunan (Gambar 8), di suatu bagian rumah (Gambar 9), di atas pohon (Gambar 10), atau tiang yang sengaja dibuat khusus (Gambar 11). Untuk melindungi stup agar tidak cepat lapuk, stup seringkali diberi pelindung yang terbuat dari plastik atau ijuk pohon aren (Gambar 12). Perlindungan terhadap semut digunakan oli bekas pada tali atau penyangga stup. Panen raya madu dilakukan pada bulan Oktober hingga November setiap tahunnya. Panen raya dilakukan setelah musim bunga. Pada saat panen raya, sisiran madu akan dipenuhi oleh madu, jumlah sisiran madu juga lebih banyak dibandingkan bulan-bulan lainnya. Adapun panen madu lainnya tidak tentu waktunya. Untuk memanen madu, peternak menggunakan smoker atau sabut kelapa atau daun tembakau yang dibakar sehingga mengeluarkan asap untuk mengusir lebah pekerja sementara waktu. Beberapa peternak sudah menggunakan alat smoker untuk mengeluarkan asap. Peternak tidak menggunakan pakaian khusus saat memanen madu. Kemungkinan tersengat lebah pekerja saat memanen madu sangat besar. Peternak menggunakan pisau untuk memotong sisiran madu dari sarang A. cerana. Sisiran madu yang didapatkan kemudian dihancurkan, disaring, dan diperas dengan menggunakan kain berlapis,
ISBN:978-602-9138-68-9
sehingga memisahkan madu dengan malam pembentuk sisiran madu. Satu koloni A.cerana dalam panen raya dapat menghasilkan 0,25 literhingga 1 liter madu, tergantung besar kecilnya koloni. Sebagian besar madu yang dihasilkan peternak, dijual tanpa proses apapun. Hanya satu peternak yang memanaskan madu. Madu dijual dalam berbagai macam botol, di antaranya botol kaca bekas sirup 600 ml, botol kaca bekas minuman ringan 300 ml, dan botol plastik bekas air mineral 600 ml. Madu dibeli oleh konsumen yang datang atau dibeli oleh pengepul madu. Harga mau dijual antara Rp. 400.000,- hingga Rp. 800.000,- per liter. Hasil penjualan madu dinilai sangat menguntungkan dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Usaha ternak lebah A. cerana tidak membutuhkan modal besar dan tidak membutuhkan perawatan atau perhatian khusus. National Honey Report (2013) menyatakan bawa peternak diperkirakan menerima sekitar US$ 1.80 hingga US$ 2.00 untuk 1 pound madu atau bila dikonversikan sekitar Rp.21.000,- hingga Rp.23.000,- untuk 0,45 kg madu. Panen madu hanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu saja mengakibatkan usaha ternak madu bukan menjadi pekerjaan utama para peternak. Lebah A. cerana merupakan lebah yang dipelahara tanpa harus diangon. Dengan demikian peternak lebih banyak lebah pekerja A. cerana untuk mencari pakan di sekitar sarang. Koloni lebah yang diternakkan didapat dari stup perangkap yang diletakkan di hutan, tepi sungai, atau sekitar rumah. Cara memancing koloni A.cerana datang ke perangkap adalah dengan mengoleskan madu atau meletakkan bekas malam sisiran sarang di dalam stup perangkap. Cara lain mendapatkan koloni lebah adalah memindahkan koloni dari celah-celah pohon atau bebatuan ke stup. Stup yang telah berisi koloni lebah diletakkan di sekitar rumah, kebun, atau tetap di hutan atau di tepi sungai yang di sekelilingnya masih banyak tanamantanaman berbunga sumber pakan lebah. Usaha ternak lebah A. cerana yang dimiliki penduduk berkisar antara 1 hingga 100 koloni. Hewan-hewan yang menggangu dan memangsa koloni A. cerana di antaranya semut, kutu, kecoak, cicak, tawon dan ular. Gangguan menyebabkan koloni A. cerana akan minggat 67
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI (abscond), namun para peternak tidak terlalu memusingkan. Sebagian peternak telah memasang stup perangkap di sekitar tempat pemeliharaan lebah untuk koloni yang minggat. Sebagian peternak lainnya mencari koloni baru di hutan untuk sarang yang kosong setelah koloni minggat. Koloni A.cerana dikenal memiliki sifat mudah minggat (abscond) bila ada gangguan (Oldroyid dan Wongsiri, 2006). Jenis bunga yang dikunjungi lebah pekerja A. cerana Beternak lebah A.cerana tidak perlu mengangon, oleh karena itu sangat tergantung kepada keberadaan bunga dari tanaman yang ada di sekitar koloni berada. Keberadaan bunga bagi lebah madu A. cerana sangat penting. Lebah pekerja A. cerana mendatangi semua bunga yang berpotensi menjadi sumber pakan, baik dalam bentuk nektar maupun serbuk sari. Pada penelitian ini dicatat tanaman yang bunganya didatangi oleh lebah pekerja A. Cerana, baik hasil pengamatan di lapangan maupun hasil wawancara dengan para peternak lebah madu di Kabupaten Karangasem dan Gianyar (Tabel 1). Tercatat ada 51 tanaman berbungan yang merupakan sumber pakan bagi lebah madu A. cerana, berupa tanaman pertanian, tanaman pekarangan, dan tumbuhan liar. Terbang lebah pekerja A. cerana memiliki daya jelajah antara 350 m hingga 2,1 km (Oldroyd dan Wongsiri, 2006). Oleh karena itu usaha ternak lebah A. cerana harus didukung oleh adanya bunga secara berkesinambungan. Bunga sebagai sumber nektar dan sumber serbuk sari harus senantiasa tersedia. Kelebihan dari lebah A. cerana adalah mampu memanfaatkan berbagai bunga sebagai sumber pakan, baik dari pohon, perdu, maupun herba, yang dibudidaya oleh manusia maupun yang tumbuh secara liar. Usaha ternak A. cerana di Bali dapat menguntungkan karena merupakan daerah beriklim tropis yang memiliki musim bunga bergantian, dan bahkan beberapa tanaman senantiasa berbunga tanpa mengenal musim. Walaupun demikian, musim bunga berbagai tanaman buah dimulai pada bulan September sehingga sel-sel pada sisiran madu akan terisi penuh pada bulan Oktober dan November.
ISBN:978-602-9138-68-9
Lebah madu, selain mendapatkan pakan dari bunga, juga melakukan penyerbukan sehingga membantu terjadinya pembuahan berbagai macam tanaman. Dengan demikian mempertahankan ketersediaan berbagai tanaman di sekitar usaha ternak madu dengan menjaga berbagai tanaman, secara tidak langsung ikut konservasi lingkungan. SIMPULAN Hasil penelitian studi usaha ternak lebah madu lokal Apis cerana di Bali adalah sebagai berikut : 1. Usaha ternak lebah madu lokal A. cerana di Bali sebagian merupakan usaha turun menurun, dan sebagian lagi dilakukan relatif baru. 2. Pemeliharaan lebah madu dilakukan di langitlangit rumah, stup bentuk gelondong dan stup bentuk kotak. Stup terbuat dari berbagai kayu atau kulit kayu. Stup diletakkan di atas penyangga, pohon, dinding rumah atau bagian rumah yang tinggi 3. Panen raya madu dilakukan antara bulan Oktober hingga November. 4. Usaha ternak madu di Bali menambah pendapatan masyarakat dari hasil penjualan madu. 5. Sebanyak 51 tanaman tercatat memiliki bunga sebagai sumber pakan bagi lebah madu A. cerana. SARAN Saran berdasarkan penelitian ini adalah : 1. Usaha ternak lebah madu A. cerana hendaknya dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Daerah yang dikembangkan untuk usaha ternak lebah madu A. cerana harus menjaga lingkungannya dengan menanam atau merawat berbagai tanaman sumber pakan lebah madu. 3. Bali dapat mengembangkan usaha agrowisata lebah madu untuk menarik kunjungan para turis. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Avanti Hanifa Megumi, Kadek Yudi dan Nyoman Gunawan yang telah mendampingi dan membantu penulis dalam penelitian ini. 68
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI DAFTAR PUSTAKA Abrol DP. 2013. Asiatic Honeybee Apis cerana: Biodiversity Conservation and Agricultural Production. Springer Science+Business Media : 1019 + xxxiv Badan Pusat Statistik. 2012a. Sosial dan kependudukan. http://www.bps.go.id. Diunduh 28 Januari 2014. Pk. 21.10 WIB. Badan Pusat Statistik. 2012b. Pertanian dan Pertambangan. http://www.bps.go.id. Diunduh 28 Januari 2014. Pk. 21.30 WIB. Joshi SR, Ahmad F, Gurung MB. 2002. Retreating Indigenous Bee Population (Apis cerana) and Livehoods of
ISBN:978-602-9138-68-9
Himalayan Farmers. Presented at the”6 th Asian Apiculture Association International Conference. 24 February – 1 March 2002. Bangalore, India. Koetz AH. 2013. Ecologi, Behaviour and Controlof Apis cerana with a Focus on Relevance to Autralia Incursion. Insects. 4: 558-592. Doi : 10.3390. Oldroyd BP, Wongsiri S. 2006. Asian honey bee. Biology, conservation, and human interactions. Harvard University Press. Cambridge : xv + 340 hlm. National Honey Report. 2013. Price Of Honey Can Vary. http://www.honeyhealth.com/price-of-honey-can-vary/ diunduh 25 Agustus 2014
69
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
Gambar 1. Pemeliharaan A. Cerana di langit-langit rumah.
70
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
Gambar 2. Penutup stup bentuk gelondong terbuat dari buah kelapa.
Gambar 6. Penataan bingkai (frame) pada stup bentuk kotak
Gambar 3. Stup bentuk kotak
Gambar 7. Stup di atas penyangga
Gambar 4. Stup bertingkat
Gambar 8. Stup digantungkan di dinding rumah
Gambar 5. Pemelihaan A. cerana pada stup kotak
Gambar 9. Stup digantungkan teras rumah 71
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
Gambar 10. Stup digantungkan di atas pohon
ISBN:978-602-9138-68-9
Gambar 12. Stup yang diberi pelindung ijuk pohon aren
Gambar 11. Stup digantungkan pada tiang yang dibuat khusus
72
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
ETNOBOTANI PEKARANGAN MASYARAKAT MELAYU DI DUSUN MENGKADAI SAROLANGUN, JAMBI Rahmat Hidayat1,3 , Eko Baroto Walujo2 dan Wisnu Wardhana1 1 Program Studi Biologi, Program Pascasarjana, FMIPA, Universitas Indonesia 2 Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor, Cibinong 16911 P.O.Box 25 Cibinong 3 SMA Negeri 1 Merlung, Tanjung Jabung Barat, Jambi e-mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian dilakukan selama bulan Oktober hingga Desember 2012 di Dusun Mengkadai Kabupaten Sarolangun, Jambi. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan di pekarangan berdasarkan perspektif masyarakat Melayu di Dusun Mengkadai. Pengambilan data dilakukan pada unit sampel pekarangan sebesar 20% dari total hunian di Dusun Mengkadai, dengan teknik stratified random sampling. Metode penelitian meliputi wawancara bebas dan observasi partisipatif bersama informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat mengenal istilah pekarangan sebagai laman. Tidak kurang dari 66 spesies tumbuhan dikenal di pekarangan yang dimanfaatkan sebagai bahan makanan (49 spesies), obat-obatan (14 spesies), ritual penyembuhan (6 spesies), ritual adat-istiadat (3 spesies) dan tanaman hias (6 spesies). Pemanfaatan utama pekarangan oleh masyarakat ialah sebagai penyedia bahan makanan, terutama buahbuahan. Masyarakat tidak meninggalkan nilai estetika pekarangan, yang terlihat dari keberadaan tanaman hias di bagian depan rumah atau di sepanjang pagar rumah. Keberadaan tumbuhan untuk ritual adat-istiadat dan ritual penyembuhan menunjukkan bahwa nilai budaya memengaruhi komposisi tumbuhan di pekarangan. Namun demikian, telah terjadi penurunan pemanfaatan tumbuhan karena gaya hidup yang konsumtif dan praktis, yang disebabkan oleh akses yang terbuka dengan ibu kota kabupaten. Kata kunci: Pengetahuan, tumbuhan, masyarakat Melayu, pekarangan
PENDAHULUAN Disiplin etnobotani merupakan bagian kajian etnoekologi (Martin, 1995) yang fokus kajiannya adalah interaksi manusia dengan tumbuhan. Kajian tersebut meliputi semua aturan dan kategori yang dikenali oleh masyarakat guna bertindak tepat dalam berbagai situasi sosial yang dihadapi sehari-hari dalam memahami, mengenali, memaknai dan memanfaatkan sumber daya tumbuhan di lingkungannya (Walujo, 2009). Setiap kelompok masyarakat atau etnis memiliki pengetahuan dan tradisi lokal yang berbeda satu sama lain dalam memanfaatkan sumber daya tumbuhan, yang menurut Purwanto (2000) disebabkan oleh perbedaan lingkungan alam dan aspek sosial budaya lokal.
Masyarakat Melayu memiliki tradisi dalam mengelola dan memanfaatkan tumbuhan. Beberapa penelitian etnobotani Masyarakat Melayu di Jambi telah dilakukan, seperti di Kabupaten Bungo (Rahayu & Susiarti, 2005), di kawasan lindung PT WKS Taman Raja (Walujo & Rahayu, 2011) dan di kawasan TNBT Jambi (Setyowati, 2000). Hasil penelitianpenelitian tersebut menunjukkan variasi pengetahuan dalam memanfaatkan tumbuhan di antara masyarakat Melayu. Salah satu komunitas masyarakat Melayu yang ada di Jambi ialah masyarakat di Dusun Mengkadai. Kekhasan tradisi pemanfaatan tumbuhan di dalam komunitas tersebut belum pernah diungkap dalam sebuah penelitian. 73
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Masyarakat asli Dusun Mengkadai ialah suku Melayu Penghulu, yang tergolong ke dalam ras Deutro Melayu (Melayu Muda) asal Minangkabau, yang datang ke Sarolangun sekitar abad XV untuk mencari emas di ulu sungai Batanghari (Somad, 2003). Lokasi Dusun Mengkadai yang dekat dengan ibu kota kabupaten membuat peluang transformasi budaya terbuka lebar, terutama gaya hidup pedesaan masyarakat berubah menjadi gaya hidup perkotaan yang praktis dan konsumtif. Oleh karena itu, penting dilaksanakan penelitian etnobotani sebelum pengetahuan dan tradisi pemanfaatan tumbuhan di Dusun Mengkadai menghilang sejalan dengan derasnya perubahan hidup masyarakat. Salah satu satuan lingkungan di mana terdapat keanekaragaman spesies tumbuhan lokal dan introduksi ialah pekarangan. Pekarangan adalah sebidang tanah dengan batas tertentu, di mana terdapat bangunan tempat tinggal di atasnya dan umumnya ditanami beberapa jenis tanaman (Soemarwoto, 1994), yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan medis, tanaman hias, tanaman penghasil produk untuk menambah penghasilan (Hakim & Nakagoshi, 2007), terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari (Pamungkas et al., 2013). Penelitian etnobotani pekarangan penting dilakukan agar tergambar keanekaragaman spesies tumbuhan yang terpilih sesuai latar belakang tradisi dan pola pengelolaannya. Penelitian tersebut semakin penting, karena menurut Signorini dkk. (2009) ancaman penurunan pengetahuan etnobotani masyarakat datang dari penurunan pemahaman generasi muda terhadap praktik tradisional dalam memelihara tumbuhan di pekarangan. Tujuan penelitian adalah menggali pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan pekarangan oleh masyarakat Melayu di Dusun Mengkadai. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi landasan ilmiah dalam merumuskan strategi konservasi keanekaragaman tumbuhan dan tradisi lokal pemanfaatannya. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan selama Bulan Oktober hingga Desember 2012 di Dusun Mengkadai Kabupaten Sarolangun. Dusun Mengkadai terletak antara 2o25’48" LS sampai 2o26’13,92" LS dan 102o35’17,76’ BT sampai
ISBN:978-602-9138-68-9
102o36’51,84" BT (Gbr. 1). Jumlah penduduk sebanyak 896 orang dalam 227 kepala keluarga. Pengambilan data dilakukan pada unit sampel pekarangan sebesar 20% dari total hunian di Dusun Mengkadai, dengan teknik stratified random sampling yang didasari strata atas luas pekarangan. Observasi langsung dilakukan bersama dengan informan untuk menginventarisasi seluruh jenis tumbuhan berguna. Wawancara bebas dilakukan kepada para ahli lokal yang mengetahui dan menggunakan berbagai jenis tumbuhan di pekarangan. Jenis-jenis tumbuhan yang belum dikenal akan diidentifikasi di Herbarium Bogoriense-LIPI Cibinong. Dusun Mengkadai
Dusun Mengkadai
Gambar 1. Lokasi Penelitian HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Konsep Pekarangan oleh Masyarakat Dusun Mengkadai Pekarangan di Dusun Mengkadai disebut laman (halaman/pekarangan), yaitu tanah milik yang digunakan sebagai lahan bercocok tanam berbagai spesies tumbuhan yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, digunakan sebagai halaman bermain, penyelenggaraan acara-acara adat dan keagamaan, sehingga ada bagian yang dikosongkan dan tidak ditanami tumbuhan. Luas pakarangan antara 20 m2 s.d.70 m2. Pekarangan bagian depan yang dekat dengan jalan umum diberi pagar. Beberapa jenis kayu yang digunakan untuk membuat pagar yaitu jirak (Adinandra dumosa), kapindis putih (Sloetia elongata), dan mempuyan (Rhodamnia 74
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI cinerea). Rumah di dalam pekarangan disebut umah. Rumah tradisional masyarakat disebut umah tinggi, yaitu rumah dengan sistem panggung dengan tiang berjumlah minimal 12 buah dan satu buah tangga. Beberapa jenis kayu yang digunakan untuk membangun umah ialah kayu kulim (Scorodocarpus borneensis), senggris (Koompassia malaccensis), dan meranti (Shorea spp.). Kayu-kayu dipanen di imbo mengkadai, hutan adat yang tetap lestari karena penerapan aturan yang ketat dalam pemanenan hasil hutan.
ISBN:978-602-9138-68-9
berdasarkan kebiasaan masyarakat dalam mengonsumsi tumbuhan tertentu, seperti buahbuahan, sehingga masyarakat tidak perlu lagi memanen hingga ke dalam hutan. Namun demikian, pemilihan tumbuhan yang ditanam juga memerhatikan ketersediaan ruang. Oleh karena itu, penanaman spesies tumbuhan tidak memiliki pola tertentu, kecuali tanaman hias yang selalu berada di bagian depan pekarangan. Spesies lainnya, seperti tumbuhan bumbu masak, tumbuhan obat, dan tumbuhan buahbuahan berukuran besar bisa terdapat di bagian depan, tengah, atau di bagian belakang pekarangan. Pengetahuan Masyarakat tentang Pemanfaatan Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Pekarangan Masyarakat mengenal tidak kurang dari 66 spesies tumbuhan pekarangan, yang tergolong kepada 30 famili dan 47 genus (lampiran 1). Tumbuhan tersebut selanjutnya dikelompokkan ke dalam lima kategori pemanfaatan, yaitu sebagai bahan makanan (49 spesies), obatobatan (14 spesies), ritual penyembuhan (6 spesies), ritual adat-istiadat (3 spesies) dan tanaman hias (6 spesies).
Gambar 2. laman di depan jalan umum (atas) dan laman terbuka dengan umah tinggi (bawah) Penanaman spesies-spesies tumbuhan di pekarangan didasarkan atas tiga pertimbangan, yaitu manfaat tumbuhan, kemudahan akses dalam memanen, dan ketersediaan ruang. Masyarakat dalam hal bercocok tanam, memilih tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka, seperti bahan makanan, tumbuhan obat, dan tanaman hias. Bahan makanan misalnya, dipilih
1. Pemanfaatan Spesies Tumbuhan sebagai Bahan Makanan Kategori bahan makanan merupakan seluruh tumbuhan dapat dimakan langsung atau menjadi salah satu unsur (campuran) dalam makanan olahan. Kategori tersebut memiliki jumlah spesies tumbuhan terbanyak di pekarangan. Sebanyak 36 spesies dari 49 spesies tumbuhan bahan makanan ialah tumbuhan yang dimanfaatkan buahnya. Hasil panen buahbuahan tersebut dikonsumsi sendiri dalam keluarga. Beberapa spesies buah-buahan yang umum berada di setiap pekarangan ialah duku (Lansium domesticum), kelapo (Cocos nucifera), camodak dusun (Artocarpus heterophyllus), keliki (Carica papaya), dan pisang (Musa paradisiaca). Buah kelapo bersifat multifungsi dalam kehidupan sehari-hari, daging buah muda dan air kelapo hijau dimanfaatkan masyarakat sebagai minuman pelepas dahaga, umbut kelapo hijau sangat enak digulai dengan santan, ditambah bumbu-bumbu lain seperti spodeh (Zingiber officinale), lengkueh (Alpinia 75
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI galanga), kunit (Curcuma domestica), dan cabe merah (Capsicum annum). Keliki memiliki banyak manfaat sebagai bahan makanan. Daun muda keliki yang menjadi sayuran pokok bagi masyarakat Minahasa (Heyne, 1987), oleh masyarakat Mengkadai biasanya direbus atau disayur. Bunga keliki biasanya ditumis dengan beberapa sayuran lain. Agar rasa pahit daun dan bunga keliki hilang, masyarakat merebusnya bersama dengan keduduk dusun (Melastoma malabathricum). Buah muda yang dagingnya masih berwarna putih biasanya dimasak dengan cara ditumis, sedangkan buah yang matang dikonsumsi sebagai makanan penutup atau santapan ketika beristirahat setelah lelah beraktivitas. Daging buah keliki digemari karena berguna mendinginkan lambung di waktu hari panas (Heyne, 1987). Masyarakat Dusun Mengkadai tidak mengenal manfaat keliki sebagai bahan obat, sebagaimana dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Kerinci di Jambi (Sari, 2011). 2. Pemanfaatan Spesies Tumbuhan sebagai Bahan Obat-obatan Kategori bahan obat-obatan didasari atas keterangan masyarakat dalam memanfaatkan tumbuhan untuk mengobati sakit badan. Sakit badan adalah kondisi badan (fisik) tidak bugar sehingga terserang penyakit, baik sakit luar badan maupun di bagian dalam badan. Sementara itu, sehat menurut masyarakat adalah kondisi badan enak (baik) lahir batin (jasmani dann rohani). Ramuan demam yang umum dikenal masyarakat ialah ramuan tawa nan ompe’ (empat penawar). Ramuan yang dikenal pula di Desa Kubang Nan Raok Sumatera Barat (Ardan, 2000), terdiri atas setawa (Costus speciosus), sedingin (Kalanchoe pinnata), sekorow (Enhydra fluctuans) dan sekumpai (Sacciolepeis interupta). Setawa menimbulkan efek antipiretik (peluruh keringat) (Wijayakusuma, 1993), yang berguna untuk menyembuhkan panas dalam dan demam. Masyarakat Melayu di kawasan lindung PT WKS Taman Raja Jambi mengenalnya sebagai obat tetes mata (Walujo & Rahayu, 2011). Masyarakat Kubu di TNBD Jambi memanfaatkannya sebagai obat panas dalam (Setyowati, 2003). Masyarakat Talang Mamak TNBT Riau memanfaatkan setawa dan sedingin sebagai obat kompres penyakit pening dan cacar
ISBN:978-602-9138-68-9
(Setyowati, 2009). Limau kapeh dipercaya menyembuhkan batuk dan sakit kepala, sebagaimana dikenal pula oleh masyarakat Desa Kubang Nan Raok (Ardan, 2000) dan masyarakat Melayu di Desa Lubuk Kambing Jambi (Setyowati, 2000). 3. Pemanfaatan Spesies Tumbuhan sebagai Bahan Ritual Penyembuh Kategori bahan ritual penyembuh didasari atas keterangan masyarakat dalam memanfaatkan tumbuhan untuk mengobati penyakit non medis (tidak berada dalam ranah medis), seperti sakit rabun. Sakit rabun adalah kondisi sakit yang disebabkan oleh gangguan setan. Setan dapat menempel pada tubuh seseorang jika badan tidak bugar atau lemah iman (sering berbuat dosa). Sakit rabun dapat disembuhkan oleh dukun kampung melalui ritual dan mantra khusus. Limau purut (Citrus hystrix), limau kunci (Triphasia aurantiola), limau kapeh (Citrus aurantifolia), dan daun selasih (Ocimum basilicum) merupakan tumbuhan yang dipercaya mampu mengusir sakit yang disebabkan oleh gangguan setan (sakit rabun). Tumbuhan lain yang dikenal dapat menyembuhkan penyakit rabun ialah kemenyan (Styrax benzoin), dan daun seburu (Gonioyhalamus macrophyllus), yang dipanen dari hutan adat imbo Mengkadai. 4. Pemanfaatan Spesies Tumbuhan sebagai Bahan Ritual Adat-Istiadat Kategori bahan ritual adat-istiadat didasari atas keterangan masyarakat dalam memanfaatkan tumbuhan dalam acara-acara adat, seperti untuk hiasan, bahan pelengkap, dan sajian khas dalam satu ritual. Pinang (Areca catechu), sirih (Piper betle), dan gambir (Uncaria gambir) adalah komponen sirih langkok (sirih lengkap) yang biasanya disajikan pada acara-acara adat masyarakat Melayu. Inai kayu menghasilkan warna merah dan kuning, dimanfaatkan sebagai penghias kuku calon pengantin, selain itu dimanfaatkan pula untuk menyembuhkan kuku yang busuk. 5. Pemanfaatan Spesies Tumbuhan sebagai Tanaman Hias Kategori tanaman didasari atas keterangan masyarakat dalam memanfaatkan tumbuhan untuk hiasan laman. Bungo ayo 76
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI ditanam selain sebagai tanaman hias, juga dimanfaatkan sebagai obat panas dalam sebagaimana dimanfaatkan pula oleh masyarakat Desa Kubang Nan Raok (Ardan, 2000) dan masyarakat Kerinci (Sari, 2011). Akan tetapi, menurut masyarakat, pinang ditanam oleh masyarakat dengan tujuan sebagai bahan ritual adat-istiadat, fungsi sebagai tanaman hias merupakan fungsi sekunder. Analisis Pemanfaatan Spesies Tumbuhan Pekarangan oleh Masyarakat Dusun Mengkadai Pemanfaatan utama pekarangan ialah sebagai penyedia bahan makanan, terutama buah-buahan. Hal tersebut terlihat dari jumlah tumbuhan bahan makanan yang mendominasi pekarangan. Jumlah tumbuhan buah-buahan yang banyak seperti duku dan kelapo tidak membuat mereka menjual hasil panen, karena penghasilan mereka sebagai petani karet dan kelapa sawit dianggap cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Masyarakat juga tidak meninggalkan nilai estetika pekarangan. Meskipun pekarangan didominasi tumbuhan buah-buahan, namun tanaman hias juga tampak di bagian depan rumah atau di sepanjang pagar rumah. Nilai budaya masih memengaruhi masyarakat melayu di Dusun Mengkadai, yang terlihat dari keberadaan tumbuhan untuk bahan ritual adat-istiadat dan bahan ritual penyembuhan. Masyarakat masih memegang kepercayaan dan adat-istiadat yang diwariskan secara turun-temurun. Penanaman pinang dan sirih misalnya, dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan dua spesies tumbuhan tersebut untuk keperluan penyajian sirih langkok yang wajib ada dalam acara-acara adat, seperti musyawarah adat dan lamaran pengantin. Bahan obat-obatan menjadi kategori dengan jumlah spesies tumbuhan terbanyak setelah bahan makanan. Pekarangan menyediakan tumbuhan dengan manfaat untuk menyembuhkan penyakit ringan yang diderita masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seperti demam, panas dalam, mencret, dan tekanan darah tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa telah terjadi penurunan pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat. Kemudahan akses dengan ibu kota kabupaten telah merubah gaya hidup masyarakat menjadi lebih konsumtif dan praktis. Misalnya
ISBN:978-602-9138-68-9
dalam hal penanganan sebuah penyakit, masyarakat lebih memilih obat-obatan sintetis yang tersedia di toko-toko, sehingga meninggalkan proses meramu obat yang memakan waktu. Contoh fenomena gaya hidup praktis terjadi di kawasan PT. WKS Tanjung Jabung Barat. Intervensi budaya luar seperti kemudahan mendapatkan obat sintetis dan berobat di puskesmas, telah menurunkan pengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman tumbuhan berguna (Walujo & Rahayu, 2011). SIMPULAN DAN SARAN Masyarakat mengenal tidak kurang dari 66 spesies tumbuhan di laman, sebutan lokal untuk pekarangan. Tumbuhan tersebut dimanfaatkan sebagai bahan makanan, obatobatan, ritual penyembuhan, ritual adat-istiadat, dan tanaman hias. Meski pemanfaatan utama pekarangan ialah sebagai sebagai penyedia bahan makanan, namun masyarakat tetapi tidak meninggalkan nilai estetika dan fungsi budaya sebuah pekarangan. Terjadi penurunan pemanfaatan tumbuhan karena gaya hidup yang konsumtif dan praktis, yang disebabkan oleh akses yang terbuka dengan ibu kota kabupaten. Laju fenomena tersebut dapat dihambat dengan cara menjaga eksistensi budaya lokal. Kelestarian tradisi ritual adat-istiadat akan menuntut kelestarian tumbuhan penunjuang ritual tersebut. Selain itu, penjelasan ilmiah (nilai etik) tentang manfaat tumbuhan dan fungsi pekarangan secara ekologis dapat diberikan untuk memperkuat nilai budaya masyarakat. Apabila langkah tersebut berhasil, maka upaya konservasi keanekaragaman hayati yang berbasis masyarakat akan dapat dilaksanakan dalam skala yang lebih luas secara berkesinambungan. DAFTAR PUSTAKA Ardan, A.S. 2000. Penggunaan tumbuhan obat oleh masyarakat Desa Kubang Nan Raok (Sumatera Barat). Dalam: Purwanto, Y. & E.B. Walujo (eds.). Prosiding seminar nasional etnobotani III. Puslitbang BiologiLIPI, Bogor: 132-138. Hakim, L. & N. Nakagoshi. 2007. Plant species composition in home garden in The Tengger Highland (East Java, Indonesia) 77
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI and its Importance for Regional Ecotourism Planning. Hikobia 15: 23-36. Heyne. K. 1987c. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta: xxi + 603 hlm. Martin, G.J. 1995. Ethnobotany. A methods manual. Chapman & Hall, London: xxiv + 268 hlm. Pamungkas, R.N., S. Indriyani & L. Hakim. 2013. The ethnobotany of homegardens along rural corridors as a basic for ecotourism planning: a case study of Rajegwasi village, Banyuwangi, Indonesia. Journal of Biodiversity and Environmental Sciences 3(8): 60-69. Purwanto, Y. 2000. Pengetahuan dan pemanfaatan sumber daya tumbuhan masyarakat Tanimbar-Kei dan perspektif ekologinya. Dalam: Purwanto, Y. & E.B. Walujo (eds.). Prosiding seminar nasional etnobotani III. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor: 37-52. Rahayu, M. & M.H. Siagian. 2000. Makna tumbuhan dalam ritual sistem pertanian tradisional: studi kasus penanaman padi di Desa Pasir Eurih, Ciomas, Bogor. Dalam: Purwanto, Y. & E.B. Walujo (eds.). Prosiding seminar nasional etnobotani III. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor: 381-385. Rahayu, M. & S. Susiarti. 2005. Kajian pemanfaatan tumbuhan oleh Masyarakat Melayu di Kabupaten Bungo Tebo, Jambi. Enviro 5(1): 55-59. Sari, D.A. 2011. Etnoekologi masyarakat Kerinci di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Tesis Magister Sains pada Program Pascasarjana FMIPA. Universitas Indonesia, Depok: xvi + 130 hlm. Setyowati, F.M. 2000. Aneka pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat Melayu di D.A.S Alo Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Jambi. Dalam: Purwanto, Y. & E.B. Walujo (eds.). Prosiding seminar nasional etnobotani III. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor: 232-240.
ISBN:978-602-9138-68-9
Setyowati, F.M. 2003. Hubungan keterikatan masyarakat Kubu dengan sumberdaya tumbuh-tumbuhan di Cagar Biosfer Bukit Duabelas, Jambi. Biodiversitas 4(1): 4754. Setyowati, F.M. 2009. Potensi keanekaragaman jenis tumbuhan obat dan kosmetika bagi masyarakat Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Dalam: Purwanto, Y. & E.B. Walujo (eds.). 2009. Keanekaragaman hayati, budaya, dan ilmu pengetahuan. Prosiding seminar etnobotani IV. LIPI Press, Signorini, M.A, M. Piredda & P. Bruschi. 2009. Plants and Traditional Knowledge: An Ethnobotanical Investigation on Monte Ortobene (Nuoro, Sardinia). Journal of Ethno biology and Ethno medicine 5(6), 1-14. Soemarwoto, O. 1994. Ekologi, lingkungan hidup, dan pembangunan. Djambatan, Bandung: xii+365 hlm. Somad, K.A. 2003. Mengenal adat Jambi dalam perspektif modern. Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, Jambi: x + 232 hlm. Walujo, E.B. 2009. Etnobotani: Memfasilitasi penghayatan, pemutakhiran pengetahuan dan kearifan lokal dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar ilmu pengetahuan. Dalam: Purwanto, Y. & E.B. Walujo (eds.). 2009. Keanekaragaman hayati, budaya, dan ilmu pengetahuan. Prosiding seminar etnobotani IV. LIPI Press, Jakarta: 12-20. Walujo, E.B. & M. Rahayu. 2011. Studi etnobotani masyarakat Melayu di sekitar kawasan PT. Wirakarya Sakti, Propinsi Jambi. Dalam: Purwanto, Y., E.B. Walujo & A. Wahyudi (eds.). Valuasi hasil hutan bukan kayu kawasan lindung PT Wirakarya Sakti Jambi. LIPI Press, Jakarta: 91-120. Wijayakusuma, H.M.H., S. Dalimartha & A.S. Wirian. 1993. Tanaman berkhasiat obat di Indonesia jilid 2. Pustaka Kartini, Jakarta: 138 hlm.
78
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
79
ISBN:978-602-9138-68-9
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI menurut I Gusti Ngurah Jaman, ada kendala yang dihadapi masyarakat dalam penggunaan obat-obatan usada. Sering kali mereka kurang sabar dan ingin segera sembuh. Persoalan lainnya adalah terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang tanaman obat-obatan. Mencari bahan-bahannya juga sulit saat ini, karena beberapa jenis tanaman obat sudah mulai langka. Ruang terbuka tempat berkembangnya tanaman obat kini mulai tergusur oleh kepentingan permukiman penduduk. Untuk mengatasi persoalan tersebut I Gusti Ngurah Jaman menyediakan ramuan-ramuan usada yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dia membuat kebun tanaman obat di daerah Jati Luwih Tabanan. Jaman juga menyatakan kebutuhan masyarakat akan obat-obatan usada kini bukan hanya dibutuhkan oleh masyarakat yang sedang mengalami sakit. Namun juga dibutuhkan oleh mereka yang ingin merawat diri dan menjaga kondisi tubuhnya agar tetap sehat. Oleh karena itu Gusti Ngurah Jaman juga menyediakan obatobatan untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat dan vitalitas tetap terjamin. Hal ini mungkin disebabkan oleh kemampuan daya beli masyarakat kelas menengah semakin baik dalam menjaga vitalitas tubuhnya. Demikian penjelasan I Gusti Ngurah Jaman ketika diwawancarai akhir Desember 2013. Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat diketahui paling tidak dua hal terkait pengobatan usada. Pertama, mulai muncul kesadaran masyarakat untuk menggunakan obatobatan usada dalam mengatasi penyakit yang di alaminya. Kedua, mulai muncul semacam gaya hidup untuk menjaga vitalitas tubuh dengan mengkonsumsi semacam suplemen herbal karena didukung oleh kemampuan ekonomi yang cukup memadai. Bila diamati di lapangan ternyata kemunculan suplemen-suplemen yang diklaim sebagai penjaga dan perawat agar vitalitas tubuh tetap bagus, tumbuh dengan suburnya bahkan telah melibatkan pemodal-pemodal besar dengan kemasan yang menawan dan higienis seperti disajikan pada gambar 1. Kehadiran suplemen herbal ini rupanya sejalan dengan gaya hidup masyarakat postmodern belakangan ini. Kebutuhan akan suplemen herbal sudah menjadi semacam label bagi masyarakat postmodern
ISBN:978-602-9138-68-9
serta telah menjadi pola konsumsi masyarakat postmodern.
a
b
c Gambar 1. Beberapa Produk Suplemen Herbal, (a) Produk Luar Negeri, (b) Produk Nusantara, dan (c) Pola Konsumsi Masyarakat Postmoderm Dimana Hidup Penuh Dengan Suplemen. 86
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI SIMPULAN Berangkat dari paparan di atas dapat dicatat bahwa peluang pemanfaatan dan pengembangan keanekaragaman hayati terkait dengan sistem pengobatan usada Bali sangat berpeluang untuk dibudidayakan. Jika obatobatan usada ingin dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat maka dia harus menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat dewasa ini. Untuk itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, sistem penyembuhan dan pengobatan usada merupakan local genius yang merupakan modal budaya penting dalam pengembangan pengobatan usada. Oleh karena itu harus diadakan usaha perkebunan yang mampu menyediakan bahan-bahan obat-obatan herbal yang dibutuhkan oleh pengobatan usada. Kedua, harus dilakukan upaya perlindungan dan pengembangan tanaman obat yang sudah mulai langka. Perlindungan juga dimaksudkan agar jenis tanaman obat itu tidak dicuri dan dikembangkan di negara lainnya karena itu merupakan kekayaan nusantara. Ketiga, harus dilakukan upaya agar tampilan kemasan obat-obatan usada lebih higienis seperti tampilan teh celup yang tampak higienis dan praktis dalam penggunaannya. Keempat, pengobatan usada harus mampu menangkap pola konsumsi masyarakat yang oleh Veblen dikatakan sebagai konsumsi manja dengan menampilkan obatobatan atau suplemen yang dibutuhkan oleh kelas menengah atas dengan kemasan yang menawan seperti yang dilakukan oleh pemodalpemodal besar. Tentu saja hal ini bisa dilakukan dengan bekerja sama dengan pemilik modal atau pabrik-pabrik farmasi yang punya idealisme disamping pengembangan kapital juga melindungi produk budaya bangsa.
ISBN:978-602-9138-68-9
Nala, Ngurah. 1989. Ayurveda 1: Ilmu Kedokteran Hindu. Denpasar : Upada Sastra. ————————. 1989. Ayurveda 2: Ilmu Kedokteran Hindu. Denpasar : Upada Sastra. ——————— . 1997. Usada Bali. Denpasar: Upada Sastra. Magetsari,Noerhadi. 1986.Local Genius dalam Kehidupan Beragama, dalam Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya. Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ritzer, George. 2013. Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Utama, I Wayan Budi. 2013. Agama dalam Praksis Budaya. Denpasar : Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia. Weok, Wolfgang. 1937. Pengetahuan tentang Penyembuhan dan Pekerti Rakyat di Bali. Stuttgart: Ferdinand Enko.
DAFTAR PUSTAKA Anderson dan Foster. 1986. Antropologi Kesehatan. Jakarta : Universitas Indonesia. Ayatrohaedi (ed).1986. Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta : Bentang. Bosch, FDK. 1983.Masalah Penyebaran Kebudayaan Hindu di Kepulauan Indonesia. Jakarta: Bhratara. Lad, Vasant & Robert E.Svobada. 2007. Ayurveda. Surabaya: Paramita. 87
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
KEANEKARAGAMAN HAYATI UNSUR BANTEN DAKSINA DALAM MELESTARIKAN KEARIFAN LOKAL, SUATU TINJAUAN ETNOBOTANI Cornelius Sri Murdo Yuwono dan I Nyoman Intaran Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jln. Kamboja No. 11A Denpasar, e-mail:
[email protected] ABSTRAK Tukang banten, yang ada sekarang dalam masyarakat hindu, kurang memperhatikan kelengkapan banten dan etika membuat banten. Kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam upakara dan hanya sebatas bisa membuat dan bisa menyelesaikan upakara atau banten dengan baik. Padahal pembuatan upakara harus didasarkan oleh keikhlasan hati karena membuat upakara merupakan hal yang bersifat suci. Berkurangnya atau dihilangkannya unsur-unsur penyusun daksina merupakan salah satu pergeseran dalam pembuatan daksina, terutama daksina yang banyak diperjual belikan oleh tukang banten di pasar. Unsur-unsur penyusun daksina terdiri dari berbagai jenis tanaman atau hewan yang berbeda. Melalui observasi lapangan diperoleh hasil bahwa banyak terjadi pengurangan dan penggantian unsur-unsur bermakna yang terdapat pada pembuatan daksina. Pengurangan ini menyebabkan menurunnya intensitas kearifan lokal. Selain itu meningkatnya trend pembelian banten membuat banyak pedagang banten berusaha mencari keuntungan dengan mengurangi atau mengganti unsur-unsur yang seharusnya ada pada banten daksina, sehingga pelestarian keanekaragaman hayati menjadi berkurang Kata kunci: Keanekaragaman hayati , banten daksina, kearifan lokal, etnobotani
PENDAHULUAN. Etnobotani secara terminologi dapat dipahami sebagai hubungan antara botani (tumbuhan) yang terkait dengan etnik (kelompok masyarakat) di berbagai belahan bumi, dan masyarakat umumnya. Etnisitas umumnya mengacu pada perasaan bersama kelompok etnis. Narrol (1996) dalam Kumbara (2004), kelompok etnis dipahami sebagai penduduk yang memiliki ciri ciri yang unik, yang diakui oleh etnik lainnya. Keunikannya antara lain tercermin pada ciri-ciri berikut; (1) mampu berkembang biak dan bertahan secara biologis, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaan, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi, dan (4) memiliki ciri kelompok tersendiri yang diterima oleh kelompok lain. Keseluruhan masalah etnis mengacu aspek biologis, kepercayaan, pengetahuan budaya, bahasa, adat istiadat yang diwarisi dan keagamaan.
Masyarakat Bali yang mayoritas penduduknya memeluk Agama Hindu hampir setiap hari melakukan kegiatan upacara keagamaan yang memiliki makna dasar untuk memohon keselamatan, rasa syukur, dan perlindungan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Setiap kegiatan upacara yang dilakukan oleh umat Hindu tidak bisa terlepas dari yang namanya banten. Salah satu banten yang sering digunakan dalam kegiatan upacara adalah daksina. Dalam membuat daksina, umat Hindu memiliki etika atau sesana sesuai dengan tiga kerangka ajaran agama Hindu yaitu, Tattwa, Ethika, dan Âcarâ/ Upacara. (Midastra dkk, 2010). Sarana upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta (Balipost, 2010). 88
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Seiring dengan perkembangan zaman, dan kelangkaan bahan-bahan baku banten, serta keterbatasan waktu bagi umat Hindu terutama yang hidup di kota dalam menyiapkan sarana upakara membuat sebagian besar umat membeli banten dari tukang-tukang banten. Kecenderungan untuk membeli banten banyak dilakukan masyarakat dengan berbagai alasan dari tidak bisa membuat sampai pada kesibukan dalam pekerjaan, alasan inilah yang menyebabkan banyak dijumpai jasa tukang banten di Bali. Kebiasaan ini berdampak terhadap gaya hidup masyarakat dalam menyediakan sarana banten untuk melaksanakan upakara. Hal ini menjadi trend dan merupakan satu alternatif tersendiri sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. (Yadnyawati, 2011). Permasalahan muncul pada tukang banten karena masih banyak dijumpai tukang banten belum mengetahui secara benar tentang unsur-unsur, etika, dan nilai-nilai yang terkandung dalam membuat banten, namun hanya terbatas dalam membuat dan menyelesaikan upakara atau banten dengan baik. Menurut Swarsi (2010), tukang banten dalam membuat dan menyelesaikan banten harus didasarkan oleh keikhlasan hati karena membuat upakara merupakan hal yang bersifat suci. Hasil observasi dilapangan terhadap tukang banten menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran mengenai konsep banten daksina. Padahal dalam pembuatan banten daksina tidak begitu sulit, rumit dan waktu yang digunaakan tidak lama. Umat Hindu yang mampu membuat dan merangkai banten daksina sendiri berarti telah memahami hakekat dan unsur-unsur yang terkandung dalam pembuatan banten daksina. Berkurangnya unsur-unsur penyusun banten daksina yang dijual oleh Tukang banten/ Pedagang banten merupakan suatu pergeseran yang ditemukan di lapangan, dimana beberapa unsur penyusun banten daksina dihilangkan. Unsur-unsur penyusun banten daksina terdiri dari berbagai jenis tanaman atau hewan yang berbeda. Berdasarkan pernyataan tersebut maka perlu diungkapkan keanekaragaman hayati unsur-unsur penyusun banten daksina sebagai upaya melestarikan kearifan lokal. PEMBAHASAN Daksina berasal dari bahasa sansekerta yang berarti upah, daksina juga bisa bermakna
ISBN:978-602-9138-68-9
selatan dan nama sebuah banten, merupakan tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya. Daksina juga merupakan buah dari yajña, dan salah satu jenis sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang di sebut wakul daksina, nama lainnya adalah bedongan (Umaseh, 2010). Daksina disebut juga “YajñaPatni” yang artinya istri atau sakti dari pada yajña. Daksina juga dipergunakan sebagai persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagai perwujudan atau pertapakan (Kendari, 2010). Daksina adalah nama lain dari sebuah banten yang terdiri dari berbagai bahan yang mengandung unsur-unsur seperti dalam kitab Bhagavadgita IX. 26, yaitu pattram, puspham, phalam dan toyam meliputi: (1) Daun/Pattram berupa daun, janur, slepan/daun kelapa yang berwarna hijau, sirih, plawa/daun kayu-kayuan dan peselan; (2) Bunga/puspham, berupa bunga yang terdiri dari: jenis-jenis bunga yang boleh dimanfaatkan untuk upakara yang segar, bersih, harum, dipetik langsung dari pohonnya, tidak layu dan tidak camah/bekas gigitan ulat/ belalang. Hindari memakai bunga yang telah dirubung semut, serangga, terjatuh dengan sendirinya, bunga sarikonta, kedukduk, tulud nyuh, bunga ditanam dikuburan/setra, bunga berbulu dalam semua permukaannya; (3) Buah/ Phalam, berupa buah-buahan terdiri dari: kelapa, pisang, kemiri, panggi, pinang, dan bijaratus; dan(4) Toyam/air, berupa air yang ada dalam kelapa yang di pakai daksina (Swastika, 2008:109-110). Sedangkan mengenai perlengkapan berupa telur dan uang kepeng (pis Bolong) dan atau uang benaran yang dipakai jual beli dalam keseharian dan dapat dimasukkan kedalam pengertian buah. Kata buah disini bermakna juga mengandung pengertian yang agak luas, yaitu dalam keseharian umat manusia jelas bekerja dan mendapatkan hasil. Uang ini merupakan buah/ hasil dari bekerja, di Bali disebut dengan istilah “Buah Pegae” yaitu hasil dari bekerja. Telur dapat diartikan sebagai buah perut, yang mana juga berartikan simbolisasi dari pada Tri Guna yaitu Sattwam, Rajas, dan Tamah. Dalam Lontar Yajña Prakerthi (Swastika, 2008:110), Daksina disebut sebagai lambang dari Hyang Guru, Hyang Tunggal dan Hyang Wisnu, yang 89
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI mana semuanya nama lain dari Dewa Siva.(Swastika, 2008). Dalam merangkai “daksina” diperlukan beberapa unsur-unsur yang mengandung makna tersendiri yang menggambarkan adanya keanekaragaman hayati. Adapun unsur-unsur penyusun daksina diantaranya: 1. Bebedogan (serembeng) Bebedogan (serembeng, wakul, katung, srobong), terbuat dari janur atau slepan yang dibuat melingkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Janur yang digunakan dapat berasal dari berbagai variasi pohon kelapa (contoh, kelapa hijau dan kelapa merah). Bebedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa tanpa tepi. Bebedogan merupakan lambang dari hukum Rta ( Hukum Abadi Tuhan ), atau berbentuk silinder yang memiliki dua penampang atas, bawah, dan penampang dibawah tertutup rapat sehingga menyerupai alas atau dasar. Bentuk ini merupakan lambang atau simbol bumi, yaitu cerminan dari Sang Hyang Ibu Pertiwi. 2. Tapak Dara Tapak dara terbuat dari dua potong janur yang dijahit menyilang (+), diletakkan dibawah dasar bebedogan. Tapak dara merupakan simbol Swastika sebagai sumber pengatur seisi alam, menjadi cerminan Sang Hyang Rwa Bhineda, sehingga kelihatan ada siang dan malam, laki-laki dan perempuan, baik dan buruk. Sementara menurut Swastika (2008:112) bahwa tapakdara merupakan perlambang “Catur Loka Phala” yaitu empat arah dan dasar netral dari Swastika yang selanjutnya akan membentuk “Padma Astadala” sebagaimana sama dengan “Uratsari dalam canang. Jika dianalis lebih mendalam Tapakdara tersebut juga melambangkan keseimbangan, ketenangan dan kejernihan pikiran. 3. Benang Tukelan (Benang Putih) Benang tukelan yaitu sehelai benang warna putih yang diletakkan di atas “tapak” yang berfungsi sebagai akar dan lambang penghubung, yang diletakkan melingkar. Menurut Sudarsana (2000) benang tukelan (benang putih) adalah simbol awan yang merupakan cerminan dari Sang Hyang Aji Akasa.
ISBN:978-602-9138-68-9
4. Beras Menurut Sudarsana (2000) beras adalah sebagai lambang atau simbol dari udara sebagai cerminan Sang Hyang Bayu. Beras berasal dari berbagai varietas padi. Secara umum dikenal dua kelompok varietas padi yaitu varietas padi lokal dan varietas padi unggul. Kedua kelompok varietas padi tersebut memiliki sifat yang saling bertolak belakang. Perbedaan yang paling mudah diamati adalah dari tinggi tanaman padi. Batang tanaman padi varietas unggul lebih pendek dibandingkan padi lokal. Padi lokal terdiri atas berbagai varietas. Beras merah, ketan dan injin (ketan hitam) merupakan contoh dari varietas padi lokal yang sudah dibudidayakan oleh para petani anggota subak sejak dahulu kala. 5. Porosan/Base Tempelan Menurut Sudarsana (2000) porosan adalah merupakan cerminan dari Sang Hyang Semarajaya dan Semara Ratih. Sedangkan menurut Swastika (2008) Porosan/Base tempelan terbuat dari dua lembar daun sirih, yang satu berfungsi sebagai alas sedangkan yang satunya diisi kapur dan pinang ditempel diatas lembar pertama kemudian dilipat naik dan turun, dijahit menjadi satu. Porosan merupakan lambang dari Tri Murti yaitu, Pinang lambang Dewa Brahma, Daun sirih lambang Dewa Wisnu, dan Kapur lambang Dewa Iswara. Sehingga Porosan merupakan wujud bhakti kehadapan Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Tri Murti. Daun sirih yang dipergunakan sebagai porosan berasal dari berbagai variasi tanaman sirih (contohnya sirih hijau, sirih merah dan sirih gading). Begitu juga dengan pinang dapat di ambil dari buah pinag pada berbagai varietas pinang. 6. Kelapa (Nyuh) Kelapa merupakan salah satu jenis tumbuhan yang semua bagian-bagiannya berguna. Kelapa yang dapat digunakan dalam pembuatan daksina ini berasal dari variaetas kelapa hijau dan kelapa merah. Perbedaan antara kedua jenis kelapa itu sangatlah mencolok, dari warna daunnya kelapa merah berwarna agak kekuning-kuningan sedangkan kelapa hijau warna daunnya hijau. Begitu juga dengan warna buahnya, keduanya menyerupai warna daunnya. Kelapa menurut Sudarsana (2000:27) adalah 90
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI sebagai simbol matahari atau “Windu” merupakan cerminan Sang Hyang Sada Siwa. Dalam “Lontar Siwagama” disebutkan bahwa kelapa adalah salah satu kepalanya Bhatara Brahma yang disimpan di dalam tubuhnya. Kemudian diambil oleh Bhatara Guru di bawa ke selatan menuju pinggiran Gunung Kampud dekat laut. Lama kelamaan tumbuh menjadi kelapa. Selain itu kelapa merupakan perlambang dari alam semesta (bhuana agung). Dalam Lontar “Aji Sangkhya” bahwa alam semesta ini terbagi menjadi 14 (empat belas) lapisan yang terdiri dari 7 (tujuh) lapisan bawah yang disebut dengan “Sapta Patala” (pertiwi), dan 7 (tujuh) lapisan keatas yang disebut dengan “Sapta Loka” (angkasa). Yang termasuk lapisan “Sapta Patala” dalam wujud kelapa (nyuh) adalah: Air Kelapa (Mahatala); Isi Kelapa yang lembut (Tala-tala); Isi Kelapa (Tala); Lapisan pada Isi Kelapa (Antala); Lapissan pada Isi Kelapa (Sutala); Lapisan tipis bagian dalam kelapa (Nitala); dan batoknya (Patala). Sementara yang termasuk “Sapta Loka” pada kelapa adalah: Bulu batok kelapa (bhur loka); Serat saluran (bwah loka); Serat serabut basah (swah loka); Serabut basah (maha loka); Serabut kering (jnana loka); Kulit serat kering (tapa loka); dan Kulit luarnya (setia loka). Kelapa juga sebagai simbol “windu” atau simbul “Brahman” serta sebagai simbul bhuana agung dan bhuana alit (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). 7. Telur itik (Taluh Bebek) Telur itik berasal dari berbagai variasi itik yang memiliki warna bulu beraneka warna, ada yang berwarna putih, abu, hitam dan coklat. Perbedaan bulu itik itu disebabkan karena perbedaan komposisi dan jumlah faktor dalam kerangka dasar gen yang akan menyebabkan keanekaragaman gen. Telur itik adalah merupakan sebagai simbol bulan atau “Arda Candra” sebagai cerminan Sang Hyang Siwa (Sudarsana, 2000). Telur itik dibungkus dengan ketupat telur, sebagai lambang awal kehidupan, lambang bhuana alit . Telur terdiri dari tiga lapisan, yaitu kuning telur atau sari lambang antah karana sarira, putih telur lambang suksma sarira, dan kulit telur adalah lambang sthula sarira. telur itik dianggap suci, karena itik dapat memilih makanan, sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (Mas Putra, 2005).
ISBN:978-602-9138-68-9
8. Bijaratus Bijaratus berasal dari kata “Bija” dan “Ratus”. Bijaratus adalah perpaduan biji-bijian yang berwarna lima macam, yaitu: Biji Jawa (putih), Biji Jagung Nasi (Merah), Biji Jagung (kuning), Biji Godem (hitam), dan Biji Jali-jali (brunbun). Semua biji-bijian tersebut dibungkus dengan daun pisang tua yang sudah kering.. Arti dan maknanya adalah mencerminkan lima arah mata angin sesuai dalam “Catur Loka Pala” dimana warna putih (iswara di timur), merah selatan (Brahma), kuning barat (Mahadewa), hitam utara (Wisnu), dan warna brunbun tengah (siwa) (Swastika, 2008). 9. Gantusan Gantusan terbuat dari campuran beberapa jenis bumbu, garam dan ikan teri, kemudian dibungkus dengan keraras. Bumbu yang digunakan disini adalah berbagai jenis bumbu dapur, seperti cabai dan bawang. Ada berbagai jenis cabai yaitu cabai lombok, cabai merah, cabai rawit dan cabai keriting. Begitu pula variasi bawang (bawang merah dan bawang putih). Arti dan maknanya adalah sebagai bekal dan kehangatan untuk mencapai kehidupan yang damai dan sejahtera.. Gantusan mempunyai bentuk yang unik karena dibungkus dari daun pisang tua yang sudah kering yang berwarna kecoklat-coklatan. 10. Plawa Peselan Plawa peselan yang terbuat dari dedaunan sebagai simbul tumbuh-tumbuhan cerminan Sang Hyang Sangkara. Menurut Swastika, (2008) menyatakan bahwa plawa peselan terdiri dari beberapa jenis daun kayu yang mempunyai lima warna antara lain: Daun salak, duku, manggis, mangga, dan durian, digulung kecil-kecil menjadi satu ikatan memanjang. Tanaman salak terdiri dari berbagai variasi jenis salak yaitu, salak pondok, salak gula pasir dan salak lokal. Begitu juga dengan tanaman mangga terdiri dari berbagai variasi mangga salah satunya yaitu mangga harum manis dan mangga madu. Sedangkan pada tanaman durian terdiri dari berbagai variasi durian yaitu durian bogor, durian hijau. Kelima jenis tanaman tadi memiliki variasi antar individu sejenis yang menyebabkan timbulnya keanekaragaman gen.
91
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI 11. Kemiri (Tingkih) Kemiri atau tingkih menjadi simbol bintang atau “nada” sebagai cerminan Sang Hyang Parama Siwa. Kemiri juga adalah sibol Purusa atau Kejiwaan atau Laki-laki, dari segi warna putih (ketulusan). 12.Pangi Pangi adalah merupakan sebagai simbol sarwa pala bungkah yang merupakan cerminan dari Sang Hyang Boma. Pangi juga sebagai lambang pradhana atau kebendaan atau perempuan, dari segi warna merah (kekuatan). 13. Kojong Kojong terbuat dari daun kelapa tua/ selepan untuk tempat telur dan pisang. Bila dilihat dari bentuknya adalah berbentuk segi tiga yaitu sebagai cerminan dari saktinya Tri Murthi. 14. Uang Kepeng (pis bolong) Kepeng adalah alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah. uang juga lambang dari Dewa Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan. Menurut Sudarsana (2000) Kepeng adalah sebagai simbol “windu sunia” yang merupakan cerminan “Sangkan Paran”. Kalau diperhatikan dengan baik, kepeng memiliki keindahan tersendiri terdapat huruf mandarin dan sanskerta pada sisi uang tersebut. Kepeng juga simbol dari “Windu” (O), yaitu penyatuan Siwa Budha. 15. Pisang Variasi pada tanaman pisang yang dikenal saat ini adalah: pisang emas, pisang hijau, pisang kayu, pisang temage, pisang susu, pisang ketip, pisang sasih dan pisang buluh. Pisang yang digunakan dalam pembuatan daksina adalah pisang kayu masih mentah satu biji. Pissang/Byu kayu dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” dituliskan: Byu nga; hayuning citta maring hayu. Maksudnya pisang adalah sebagai lambang pikiran untuk berbuat baik secara lahir dan bathin. (Swastika, 2008). 16. Canang Genten Dalam Lontar “Tegesing Sarwa Banten” disebutkan “Becik helinge ring sarwa mahurip mwang sarwa tumuwuh”. Dalam pembuatannya canang genten sebagai alasnya
ISBN:978-602-9138-68-9
dipergunakan sebuah “ituk-ituk” atau “ceper” yang di atasnya secara berturut-turut diisi Plawa/ daun kayu sebagai lambang ketenangan hati, kemudian sirih, kapur, dan pinang, selanjutnya di atasnya disusun lagi dengan jejahitan yang bernama “wadah lengis” sebagai tempat minyak wangi, bunga-bungaan, kembang ramped dan uang. Wadah lengis dibuat dengan reringgitan janur yang dibentuk sesuai dengan fungsinya. Reringgitan merupakan bukti bhakti ketetapan hati dan ketulusan hati, Bunga sebagai lambang kesucian hati, Kembang rampe yang dibuat dari irisan daun pandan harum yang dicampur dengan minyak wangi sebagai lambang alat perangsang pikiran kea rah pemusatan untuk menghubungkan diri dengan Hyang Widhi. Bagian atasnya diisi sesari/sesantun berupa uang, disesuaikan dengan tingkatan yajña dan kemampuan uang beryajña, merupakan perlambang “Sarining Manah” yang juga berfungsi sebagai penebus segala kekurangan yang mungkin masih ada dalam membuat daksina. Canang genten dalam pembuatan daksina mempunyai komposisi bentuk yang sangat indah sehingga mampu menambah kesempurnaan dari daksina (Sudarsana, 2010). Hubungan Etika Dalam Membuat Daksina Terhadap Kearipan Lokal Dalam membuat upakara banten seharihari sesana (ethika) tidak pernah lepas dari kehidupan umat Hindu baik itu pembuatan upakara berukuran nista, madia, maupun Utama (Balipost,2010). Masih banyaknya umat Hindu khususnya tukang banten, kurang memperhatikan tentang ethika dalam pembuatan upakara, pikiran baru berdasar atas tingkat kebisaan mengerjakan atau asal pembuatan upakara selesai, hal itu dapat menyebabkan menurunnya intensitas kearifan lokal. Padahal tidak demikian kenyataannya upakara adalah sebagai penjabaran nilai-nilai veda serta merupakan simbol karma yang subhakarma, karena itu belajar membuat upakara merupakan perbuatan yang sangat mulia namun harus didasarkan oleh keikhlasan hati, serta menepati sesana (ethika), agar tercerminya nilai-nilai kearifan lokal pada setiap umat Hindu dalam lingkungannya. Pelaksanaan upakara tersebut seperti: pada waktu akan membuat upakara hendaknya membersihkan diri terlebih dahulu atau 92
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI menyucikan laksana agar tingkat dan kesucian upakara dapat dipertahankan; pada saat mulai membuat upakara harus dalam keaadaan rapi, terutama rambut harus disisir dan diikat agar rambut pembuat banten tidak jatuh dan menyebabkan kecuntakan; bila seorang perempuan membuat upakara tidak boleh dalam keadaan datang bulan, karena dapat mengakibatkan kecuntakan terhadap upakara; memiliki rasa ikhlas dan rasa bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi; saat sedang membuat tetandingan atau merangkai hindarkan dari anak-anak jangan sampai upakara dirusak karena tapak rare ini dapat menyebabkan kecuntakan; seorang umat atau tukang banten saat metetuasan posisi duduk tidak boleh metajuh masuku tunggal karena merupakan sikap drati krama yang menyebabkan kecuntakan; dan bila umat akan membuat upakara harus ngadegan dewan tukang dengan sebutan Sang Hyang Tapeni senistanya berupa banten tetukon, medianya mempergunakan pejati, dan utamanya mempergunakan daksina gede sarwa 4, suci lengkap, dan segepangkonan 4 tanding (Swarsi, 2010). Bila semua hal tersebut dapat dilakukan oleh umat Hindu dalam membuat banten daksina, maka dapat dikatakan setiap umat telah menerapkan nilai-nilai kearifan lokal yang ada pada setiap lingkungan tempat mereka tinggal. Pergeseran yang terjadi saat ini adalah dari hasil penelitian Yadnyawati, (2011) observasi yang dilakukan di pasar Sanglah dan pasar Badung banyak unsur-unsur dari daksina yang tidak diisikan pada jaman sekarang dibanding jaman dahulu dimana pembuatan daksina berisi lengkap ke 13 unsur-unsur yang harus ada pada daksina, seperti; bebedog, tampak dara, beras amusti, porosan silih asih, gegantusan, pepeselan, pangi, kelapa, telur bebek, tingkih, benang tebus putih, uang bolong, dan canang sari. Penelitin tersebut mempengaruhi makna dari daksina itu sendiri. Dimana masing-masing dari ke 13 unsur itu memiliki makna yang berkaitan dengan fungsi daksina sebagai unsur kekuatan pesaksi yang disebut trio dasa saksi (Sudarma, 2006). Disamping itu dari hasil observasi yang dilakukan di lapangan ada beberapa pedagang yang entah sengaja atau tidak mengganti unsur telur yang ada pada daksina yang seharusnya menggunakan telur itik
ISBN:978-602-9138-68-9
atau telur bebek yang dianggap sebagai hewan suci diganti menjadi telur ayam yang memang sudah dibungkus daun pisang agar para pembeli tidak melihat isi di dalamnya, hal tersebut telah megurangi nilai kearifan lokal yang ada. SIMPULAN Daksina adalah salah satu jenis sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa bali di sebut wakul daksina. Daun kelapa yang digunakan untuk membuat wakul dapat berasal dari berbagai variasi pohon kelapa (kelapa hijau dan kelapa merah). Dalam merangkai “daksina” diperlukan beberapa unsur-unsur yang menggambarkan adanya keanekaragaman hayati. Adapun unsur-unsur penyusun daksina tersebut antara lain; Bebedogan (serembeng), Tapak dara, Benang tukelan (Benang Putih), Beras, Porosan/Base tempelan, Kelapa (Nyuh), Telur itik (taluh bebek), Bijaratus, Gantusan, Plawa peselan, Kemiri (Tingkih), Pangi, Kojong, Uang Kepeng (pis bolong), Pisang, Canang genten. DAFTAR PUSTAKA Balipost. (2010). Menyelami adat dan kebudayaan masyarakat bali. Available from: http://okanila.brinkster.net/ mediaFull.asp? ID=538. akses: 7 Juli 2014 Kendari. (2010). Daksina satu syarat satwika yadnya. Available from: http:// www.parisada.org/index.php? option= com_content&task=view&id=369& Itemid= 79. akses: 10 Juli 2014 Midastra, dkk. (2010). Pedoman belajar pendidikan agama hindu. Bandung: Alam semesta Sudarma, W. (2006). Konsep ketuhanan dalam daksina linggih. Available from: http:// okanila.brinkster.net/ mediaFull.asp?ID=698. Akses: 11 Juli 2014 Sudarsana, I.B.P. (2000). Ajaran Agama Hindu Filsafat Yadnya (Edisi II). Denpasar: Yayasan Dharma Acarya Sudarsana, I.B.P. (2010). Daksina, Himpunan tetandingan upakara yadnya. Denpasar: Yayasan Dharma Acarya Surata, S.P.K. (2013). Lanskap budaya subak. Denpasar: UNMAS PRES 93
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Swarsi, S. (2010). Makna upacara garbadana. Available from: http://www.parisada. org/ index. php?option=com_c ontent&task= view&id=370&Itemid=79. Akses: 11 Juli 2014 Swastika, I.K.P. (2008). Arti dan Makna Puja Tri Sandhya-Panca Sembah, Bunga, Api, Air, Kwangen, Canang Sari, Pejati. Denpasar: CV. Kayumas Agung. Umaseh, P. (2010). Daksina-cara membuat dan kajian filosofis. Available from: http:// cakepane.blogspot.com/2010/07/ daksina-cara-membuat-dan-kajian.html. akses: 17 Juli 2014 Wardono. A. (2011). Keanekaragaman hayati. Jakarta: Erlangga Yadnyawati, I.A.G. (2011). Beli Banten Jadi Tren di Kalangan Masyarakat Hindu. Available from: http:// www.bisnisbali.com/2013/7/7/news/ gayahidup/v.html. akses: 17 Juli 2014.
ISBN:978-602-9138-68-9
Tapak Dara
Porosan/Base Tempelan
Kelapa
Telur Itik
Gantusan
Bebedogan (Serembeng, wakul) 94
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
Pangi
Kemiri (Tingkih)
Uang Kepeng (Pis Bolong)
Gambar 1. Daksina dan Unsurnya yang Menggambarkan Keanekaragaman Hayati
95
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI BERDASARKAN KONSEP AJARAN TRI HITA KARANA DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI DI SMAN 2 DENPASAR Ida Bagus Sueta Manuaba SMAN 2 Denpasar, Jl PB Sudirman Denpasar Bali, e-mail:
[email protected] ABSTRAK Tri Hita Karana (THK) mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan yang bersumber pada keharmonisan yang menjadi konsep dasar dalam kehidupan untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan. Pelestarian keanekaragaman hayati berdasarkan konsep ajaran Tri Hita Karana dapat ditanamkan kepada peserta didik dalam pembelajaran biologi di sekolah dengan berpedoman pada filosofi menjaga keharmonisan hubungan yang berdasarkan kearifan lokal. Keharmonisan hubungan manusia dalam konsep ajaran Tri Hita Karana dalam pembelajaran biologi di SMAN 2 Denpasar melibatkan peserta didik dan warga sekolah sebagai steakholder dalam pelestarian keanekaragaman hayati.yang dapat diimplementasikan di sekolah untuk menuju pelestarian keanekaragaman yang berkelanjutan. Kata kunci: Pelestarian Keanekaragaman Hayati, Tri Hita Karana, Pembelajaran Biologi
PENDAHULUAN Tri Hita Karana secara leksikal memiliki arti tiga penyebab kesejahteraan (Tri = tiga, Hita = sejahtera dan Karana = penyebab). Tri Hita Karana yang sering disingkat dengan THK yang mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan yang bersumber pada keharmonisan yang menjadi konsep dasar dalam kehidupan untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Keharmonisan hubungan dalam konsep Tri Hita Karana meliputi hubungan anatara manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan lingkungan atau alam sekitarnya. Keharmonisan hubungan manusia dalam konsep ajaran Tri Hita Karana dalam pembelajaran biologi di SMAN 2 Denpasar melibatkan peserta didik dan warga sekolah sebagai steakholder dalam pelestarian keanekaragaman hayati.yang dapat diimplementasikan di sekolah untuk menuju pelestarian keanekaragaman yang berkelanjutan (sustainable biodiversity). Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bertujuan untuk menciptakan suatu kehidupan yang nyaman,
produktif, seimbang dan berkelanjutan. Nyaman berarti peserta didik bersama warga sekolah dapat mengaplikasikan nilai-nilai sosial budaya yang saling menghargai dan saling menghormati sesuai tugas dan fungsinya sebagai manusia. Produktif berarti proses transformasi nilai-nilai Tri Hita Karana melalui pembelajaran biologi di sekolah dapat berlangsung secara tepat sasaran, efisien dan memiliki nilai manfaat yang tinggi. Seimbang dalam hal ini memiliki makna sebagai suatu interaksi yang terjadi sesuai dengan tugas dan fungsinya yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur dalam kehidupan beragaman, berbangsa dan bernegara dalam konteks pembelajaran di sekolah. Berkelanjutan memiliki makna bahwa pelestarian keanekaragaman hayati dalam proses pembelajaran biologi di sekolah sesuai dengan nilai-nilai yang tertuang dalam ajaran Tri Hita Karana dapat dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan dalam semua aktivitas terus dipertahankan dan bahkan ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan saat ini tetapi untuk generasi yang akan datang. Pelestarian keanekaragaman hayati berdasarkan konsep ajaran Tri Hita Karana 96
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI (THK) dapat ditanamkan kepada peserta didik dalam pembelajaran biologi di sekolah dengan berpedoman pada filosofi menjaga keharmonisan hubungan yang berdasarkan kearifan lokal. Beberapa tujuan yang diharapkan tercapai pada pembahasan materi pelajaran dalam pembelajaran biologi yang mengkaji konsep ajaran Tri Hita Karana yang perlu ditanamkan diantaranya: (1) terpeliharanya kultur lokal yang dilandasi falsafah Tri Hita Karana, dan (2) konservasi sumber daya alam berupa pelestarian keanekaragaman hayati (biodiversitas) makhluk hidup sebagai media dalam pembelajaran biologi untuk pembangunan yang berkelanjutan. Tulisan ini akan membahas secara komprehensip tentang Pelestarian Keanekaragaman Hayati Berdasarkan Konsep Ajaran Tri Hita Karana dalam Pembelajaran Biologi di SMAN 2 Denpasar. PEMBAHASAN Istilah keanekaragaman hayati (ragam hayati, keanekaan hayati, biodiversitas, biodiversity) belakangan ini semakin sering terdengar. Keanekaragaman hayati merupakan istilah yang digunakan untuk derajat keanekaragaman sumberdaya alam hayati, meliputi jumlah maupun frekuensi dari ekosistem, spesies, maupun gen disuatu daerah. Pengertian yang lebih mudah dari keanekaragaman hayati adalah kelimpahan berbagai jenis sumberdaya alam hayati (tumbuhan dan hewan) yang terdapat di muka bumi.Keanekaragaman makhluk hidup dari semua sumber termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologis yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman di dalam spesies, di antara spesies, dan ekosistem. Selanjutnya WWF (1989) menyebut biodiversitas sebagai keanekaragaman hidup di bumi, mencakup jutaan spesies tumbuhan, hewan, mikroorganisme; materi genetik yang dikandungnya; serta ekosistem yang dibangun sehingga menjadi sebuah linkungan hidup. Nilai-nilai Tri Hita Karana (THK) sebagai landasan hidup bagi umat Hindu sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali yang sebagaian besar pemeluk agama Hindu yang sering dilihat dan dilakukan dalam kehidupannya. Pelaksanaan pembelajaran
ISBN:978-602-9138-68-9
biologi pada materi keanekaragaman hayati ini dapat dilakukan melalui pendekatan integratif, yang memadukan atau menyatukan materi ke dalam pelajaran tertentu (Muntasib dan hikmat, 1999). Untuk itu tentu saja pemahaman keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh para guru haruslah mencukupi agar topik ini dapat disampaikan dengan lebih baik dan menarik. Pelajaran biologi secara umum berkaitan erat dengan kehidupan dan lingkungan, termasuk menjaga kelestariannya. Pembelajaran biologi di SMAN 2 Denpasar dilakukan dengan mengkaitkan konsep ajaran Tri Hita Karana (THK). Implementasi nilai-nilai THK ditanamkan kepada peserta didik melalui pembelajaran biologi di SMAN 2 Denpasar sejalan dengan program sekolah yang berwawasan budaya dan lingkungan. Peserta didik diajak melakukan persembahyangan bersama di Pura yang ada di sekolah saat hari Purnama dan Hari Tilem serta hari yang disucikan dengan menghaturkan sarana upakara persembahyangan yang bahan dasarnya bersumber dari tumbuh-tumbuhan, sehingga ada inspirasi dan kemauan untuk menjaga kelestarian hidupnya. Tumbuhnya rasa cinta kasih antara peserta didik dan saling menghargai serta menghormati hasil karya seseorang merupakan cermin dari ajaran Tri Hita Karana. Melalui konsep Tri Hita Karana terkandung makna filosofis di dalam menjalankan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, termasuk juga mengandung nilai-nilai adanya suatu rasa cinta kasih dan pendidikan karakter. Dari rasa cinta kasih itulah memberikan inspirasi untuk terjadinya kehidupan yang harmonis, rukun dan saling menghargai, sehingga ada pikiran dan prilaku untuk menjaga keberadaannya, termasuk biodiversitas (keanekaragaman) dari makhluk hidup di muka bumi ini. Materi pelajaran keanekaragaman hayati pada tingkat sekolah menengah (SMA/ SMK dan SMP), proses pembelajarannya dapat diterapkan di lapangan, yaitu di kebun atau taman sekolah yang memiliki beraneka ragam variasi tanaman sebagai perindang dan pemberi seni serta estetika pada landscape sekolah. Guru mengajak peserta didik mengamati keanekaragaman jenis tanaman yang ada di kebun/taman sekolah sambil menjelaskan materi pelajaran tersebut. Konsep pembelajaran dengan model ini langsung dapat diamati dan dapat 97
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dikaitkan dengan kehidupannya sehari-hari, seperti misalnya yang berhubungan dengan tanaman upakara, tanaman obat (biofarma), tanaman hias, sebagai pestisida nabati, dan lain sebagainya. Pemanfaatan sumber daya hayati untuk berbagai keperluan secara tidak seimbang ditandai dengan makin langkanya beberapa jenis flora dan fauna karena kehilangan habitatnya, kerusakan ekosisitem dan menipisnya plasma nutfah. Hal ini harus dicegah agar kekayaan hayati di Indonesia masih dapat menopang kehidupan. Konservasi sumber daya hayati di Indonesia diatur oleh UU No.32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Azas yang digunakan dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah azas tanggung jawab, berkelanjutan dan manfaat. Upaya konservasi keanekaragaman ekosisitem di Indonesia dilakukan secara insitu yang menekankan terjaminnya dan terpeliharanya keanekaragaman hayati secara alami. Pelestarian eksitu berarti memindahkan jenis dari habitatnya untuk dilestarikan dan diamankan. Pendirian kebun raya, kebun binatang, penangkaran hewan langka seperti badak, jalak bali, rusa timor, jenis satwa piaraan seperti sapi, kambing, kuda dan ayam. Untuk tumbuh-tumbuhan, seperti kayu hitam, sawo kecik, cendana, nagasari dan lainlain merupakan upaya pelestarian exsitu yang tidak perlu mengganggu populasi alaminya. Sebenarnya secara tradisional masyarakat Indonesia telah memiliki pola pelestarian alam yang ekologis, misalnya tidak boleh menebang pohon beringin, tidak boleh menebang bambu di hari minggu, dan kalau menebang satu pohon harus menanam penggantinya lebih dari satu. Guru mempunyai peran yang sangat penting bagi pengembangan pengertian dan sikap peserta didik terhadap keanekaragaman hayati. Serangkaian kegiatan yang bertemakan keanekaragaman hayati dapat dilakukan di seputar sekolah, misalnya mencatat macammacam plasma nutfah (sayuran, buah, bumbu, tanaman obat) melalui kunjungan ke pasar, penanaman halaman sekolah dengan berbagai tanaman yang berguna, mempelajari sebuah tipe ekosistem (danau, sungai, sawah, hutan kecil), mengunjungi dan mempelajari koleksi kebun raya, mengadakan berbagai lomba (mengarang, menggambar, mendongeng), mengumpulkan kliping koran yang berhubungan dengan
ISBN:978-602-9138-68-9
keanekaragaman hayati, mendiskusikan beberapa permasalahan aktual (kebakaran hutan, banjir, kemarau, ilegal logging), dan masih banyak lagi lainnya. Selain melakukan kegiatan tersebut, konsep keanekaragamanhayati ini dapat pula diintegrasikan ke dalam beberapa mata pelajaran yang terkait. SIMPULAN Pelestarian keanekaragaman hayati yang didasari oleh ajaran Tri Hita Karana dapat diberikan kepada peserta didik melalui proses pembelajaran biologi di sekolah sehingga diharapkan peserta didik dapat lebih memahami makna dan kegunaan keanekaragaman hayati, dan pada gilirannya dapat turut serta melestarikannya. DAFTAR PUSTAKA Muntasib, E.K.S.H & A. Hikmat. 1999. Pedoman Pendidikan Lingkungan di Sekolah (Buku pegangan guru). Kelompok Kerja Pendidikan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Lingkungan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB-BPPT. Bogor. Norse, Elliot A. 1993. Global Marine Biological Diversity: A Strategy for Building Conservation Into Decision Making. Island Press, Washington, D.C. 384 pp. Riandi. tt. Media Pembelajaran Biologi http:// f i l e . u p i . e d u / D i r e k t o r i / F P M I PA / J u r . P e n d . B i o l o g i / 196305011988031RIANDI/ Bahan Kuliah/Media_pembelajaran_biologi.pdf Diakses, 3 Januari 2013. Suanda, I W. 2013. Konsep Ajaran Tri Hita Karana dapat Menjaga Kelestarian Biodiversitas Hayati dalam Pembelajaran Biologi. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali. Jurnal edukasi Matematika dan sains II (2): 14-21. Wenes, W. Ni Made. 2009 Pembangunan Infrastruktur Indonesia Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana. Jurusan Landskip. Institut Pertanian Bogor.
98
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
MANAJEMEN LINGKUNGAN DALAM KEARIFAN LOKAL DAN PERSPEKTIF HINDU Made Wahyu Adhiputra Fakultas Ekonomi, Universitas Mahendradatta, Bali, Jl Ken Arok 12 Denpasar e-mail:
[email protected] ABSTRAK Agama Hindu di Bali memberikan beberapa jalan untuk menuju keharmonisan, diantaranya: Tri Hita Karana yang merupakan sebuah konsep bagi masyarakat Bali dalam menjalani proses kehidupannya, ajaran ini sudah menjadi filosofi hidup yang mengendap di masyarakat Bali dalam upaya melestarikan lingkungan, bagian dari Tri Hita Karana yang memiliki peran masing-masing. Kearifan lokal di Bali, dalam upaya penyelamatan lingkungan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam diaplikasikan dengan Bhuta Yajna. Dalam perspektif Hindu, manajemen lingkungan harus didasarkan pada filosofi Hindu: Tri Hita Karana (Three Holy Deeds) yang berfokus pada keseimbangan hubungan yang baik antara manusia dan Tuhan, manusia dan manusia serta manusia dengan lingkungannya. Kata kunci: Tri Hita Karana, Kearifan Lokal, Manajemen Lingkungan PENDAHULUAN Kerusakan lingkungan selalu menjadi isu utama akhir-akhir ini. Berbagai bencana akibat kerusakan lingkungan telah banyak terjadi dan menjadi bukti kesalahan manusia dalam mengelola sumber daya alam. Gejalanya nampak jelas dengan hutan yang menggundul, erosi, banjir, hujan asam, ditambah lagi bencana alam lain seperti tsunami, erupsi gunung berapi, pemanasan global semakin memperburuk kerusakan alam dan mengancam kehidupan masa depan manusia dan lingkungannya. Kesalahan pengelolaan sumber daya alam memang bukan menjadi masalah baru, namun sampai saat ini belum ada solusi yang paling tepat untuk menyelesaikannya. Hal ini dikarenakan manusia masih mengedepankan sifat antroposentrik dan gaya konsumtifnya sehingga segala sesuatu dilihat dari sudut pandang kepentingan manusia dengan mengenyampingkan keberlangsungan lingkungannya sendiri. Padahal dengan pengelolaan SDA yang baik dan menyadari pentingnya suatu keberlanjutan (sustainability), manusia akan memperpanjang masa hidup kaumnya sendiri di bumi ini. Oleh karena itu perlu suatu kearifan dalam memanfaatkan alam sehingga kekayaan sumber daya alam yang masih tersisa saat ini dapat bertahan untuk generasi-generasi masa depan.
Kearifan lokal kini menjadi topik menarik dibicarakan di tengah semakin menipisnya sumber daya alam dan peliknya upaya pemberdayaan masyarakat. Kearifan lokal turut menjadi elemen penentu keberhasilan pembangunan sumber daya masyarakat dan pengelolaan sumber daya alam. Kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Menurut Keraf (2006) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Suatu masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di lingkungan pemukimannya. 99
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Ajaran agama Hindu, sebagaimana diyakini oleh pemeluk-pemeluknya bersumber dari wahyu Tuhan (Brahman) yang disampaikan melalui para Maharsi India ribuan tahun lalu, dan terhimpun dalam Pustaka Suci Veda (Kitab Suci Hindu). Ajaran-ajaran tersebut mencakup seluruh jalan kehidupan untuk mencapai kebahagiaan, baik yang menyangkut kebahagiaan duniawi (jagadhita) maupun kebahagiaan surgawi (moksa). Dengan demikian hakekat dan tujuan hidup menurut pandangan Hindu menyangkut dua aspek utama yang ingin dicapai yaitu, jagadhita dan moksa. Hakekat dan tujuan hidup tersebut merupakan landasan utama bagi setiap orang, baik sebagai individu maupun sebagai seorang anggota atau pemimpin organisasi. Hakekat dan tujuan hidup tersebut akan menjadi pedoman terpenting dalam menetapkan kebijakan yang akan dijadikan landasan atau haluan untuk bertindak (berkarma) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Demikian pula hakekat dan tujuan hidup tersebut akan menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan dari beberapa kemungkinan yang ada, misalnya : dalam melaksanakan persembahan (yajna), dalam memberi dana punia, dalam pengendalian diri (tapa brata), atau didalam menentukan sarana untuk mencapai tujuan hidup atau organisasi. Disamping itu tujuan dan hakekat hidup tersebut akan menentukan pula luas persembahan, luas kegiatan yang kita lakukan, banyak sedikitnya sarana dan prasarana yang diperlukan dan bentuk organisasi sebagai wadah pencapaian hakekat dan tujuan hidup tersebut. Konsentrasi perhatian Hindu bukan pada hasil kerja seseorang, melainkan pada proses kerja yang diutamakan dan harus didasarkan pada kebenaran (dharma). Dalam perspektif Hindu, pelaksanaan manajemen lingkungan harus didasarkan pada filsafat Hindu yang disebut Tri Hita Karana, yaitu ajaran yang mengutamakan keseimbangan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Tujuan kajian disini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana pelaksanaan manajemen lingkungan ditinjau dari kearifan lokal Bali dan perspektif Hindu; dan untuk mengetahui bagaimana etos kerja masyarakat Hindu dalam hubungannya dengan
ISBN:978-602-9138-68-9
kegiatan manajemen lingkungan dalam organisasi. METODE PENELITIAN Pendekatan interpretatif atau pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini dengan menerapkan metode penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang menekankan pada pustaka sebagai obyek studi, yang dalam penelitian ini dilakukan dengan menelaah gagasan para pakar, konsepsi yang telah ada, maupun aturan (rule) yang mengikat obyek ilmu beserta profesinya. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis sesuatu masalah yang menjadi topik penelitian atau konsepsi tersebut. Pendekatan ini sangat sesuai untuk kondisi manajemen lingkungan di Bali dengan konsep kearifan lokal dan perspektif Hindu. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kearifan Lokal Kearifan lokal merupakan warisan nenek moyang kita dalam tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya dan adat istiadat. Dalam perkembangannya masyarakat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, peralatan, dipadu dengan norma adat, nilai budaya, aktivitas mengelola lingkungan guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Konsep kearifan lokal menurut Mitchell et al. (2000) berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang lama (Babcock, 1999 dalam Arafah, 2002). UndangUndang No. 32 Tahun 2009 memberikan pengertian tentang kearifan lokal, yaitu nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004) dalam Aulia & Darmawan (2010), menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi
100
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI bermacam-macam pula. Fungsi tersebut antara lain adalah; (1) kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam, (2) kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia, (3) berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dan (4) berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. Kearifan lokal adalah modal utama masyarakat dalam membangun dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan alam sekitarnya. Kearifan lokal dibangun dari nilai-nilai sosial yang dijunjung dalam struktur sosial masyarakat sendiri dan memiliki fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan rambu-rambu untuk berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan baik saat berhubungan dengan sesama maupun dengan alam. Sekarang eksistensi kearifan lokal dirasakan semakin memudar pada berbagai kelompok masyarakat. Salah satu kelompok masyarakat yang paling rawan mengalami pelunturan kearifan lokal adalah komunitas petani tepian hutan, yang semestinya sebagai penyangga sosial (social buffer) bagi upaya konservasi hutan dan kelestarian sumber daya hutan (Santosa 2004). Berdasarkan kajian Suhartini (2009), dalam memahami kearifan lokal kita perlu mengetahui berbagai pendekatan yang bisa dilakukan antara lain : politik ekologi (political ecology), human welfare ecology, perspektif antropologi, perspektif ekologi manusia, dan pendekatan aksi dan konsekuensi. Keberagaman pola-pola adaptasi masyarakat terhadap lingkungan hidupnya, menciptakan suatu pola perilaku yang diwariskan secara turun-temurun untuk memanfaatkan sumber daya alam. Kearifan lokal menjadi suatu pedoman bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya secara dan memalui kearifan lokal ini masayrakat mampu bertahan dari krisis sumber daya alam. Maka dari itu kearifan lokal penting untuk dikaji dan dilestarikan dalam suatu masyarakat guna menjaga keseimbangan dengan lingkungannya dan sekaligus dapat melestarikan lingkungannya Manajemen Lingkungan dalam Perspektif Hindu. Manajemen yang kita kenal dewasa ini adalah hasil produk Barat yang sifatnya individualistis, kapitalistis dan profanis. Sifat
ISBN:978-602-9138-68-9
individualistis tercermin dalam usaha manajemen menempatkan kepentingan diri sendiri atau kelompok sendiri sebagai hal yang paling utama atau paling primer sedangkan kepentingan orang lain atau kepentingan bersama ditempatkan dalam posisi kepentingan sekunder. Sifat kedua dari manajemen Barat adalah bersifat kapitalis yang berarti proses manajemen lebih mengejar dan mengutamakan efisiensi untuk mencapai keuntungan setinggitingginya dan bahkan terkadang cenderung menghalalkan segala cara demi efisiensi dan keuntungan itu sendiri. Kecenderungan ini muncul karena sifat ketiga dari manajemen Barat, adalah profanis yakni sifat yang meninggalkan nilai-nilai religius. Jadi sikap dan perilaku berdasarkan hubungan antara manusia dan Tuhan (Hyang Widhi) cenderung diabaikan. Dengan demikian, proses manajemen menurut pandangan Barat hanya mempertimbangkan berbagai pemenuhan kebutuhan yang bersifat duniawi. Pada sisi lain manajemen dalam perspektif Hindu, kegiatan manajemen harus didasarkan kepada filsafat Hindu, yaitu Tri keseimbangan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Sehingga dalam hal ini pelaksanaan manajemen harus selalu mempertimbangkan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan duniawi dan kebutuhan yang bersifat sorgawi (religius). Prinsip keseimbangan hubungan dan tanggung jawab antara manusia dan Tuhan (Hyang Widhi), disebut Prinsip Parahyangan, prinsip keseimbangan hubungan dan tanggung jawab antar sesama manusia (Prinsip Pawongan) dan prinsip keseimbangan hubungan dan tanggung jawab antara manusia dan alam sekitarnya (Prinsip Palemahan). Prinsip Palemahan salah satu didalamnya terdapat Manajemen Berwawasan Lingkungan. Keberadaan manusia maupun organisasi tidak dapat terlepas dari lingkungannya (pengaruh alam sekitarnya). Konsep lingkungan alam menurut pandangan Hindu , yakni Panca Maha Bhuta artinya alam terdiri dari lima unsur utama, yaitu : tanah, air, udara, api dan ruang. Kelima unsur tersebut berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku manusia didalam kehidupannya baik secara individu maupun kelompok/organisasi yang harus selalu
101
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dijaga kelestariannya, karena alam jagat raya ini akan terus menjadi sumber kehidupan manusia (Bhagawadgita, III.10). Pemanfaatan alam secara tidak seimbang yang sudah menjadi kebiasaan manusia pada saat ini,dengan alasan kemakmuran bagi umat manusia ternyata malah menjadi boomerang dan memberikan dampak yang sangat buruk bukan hanya bagi manusia namun seluruh makhluk hidup yang ada di bumi, sebaliknya kemakmuran umat manusia yang menjadi tujuan dalam pemanfaatan alam secara berlebih malah tidak pernah datang namun, kehancuran bagi bumi malah semakin mengancam dihadapan kita. Keserakahan manusia membuat ketidak harmonisan hubungan manusia dengan alam lingkungan malah membuat manusia mendekati lubang kehancuran yang amat menakutkan. Dalam ajaran agama Hindu kelestarian lingkungan sebenarnya juga dikaji secara mendalam dalam sloka-sloka Upanisad. Kitab Upanisad adalah kitab yang mengulas hakekat Veda secara rasional. Kitab-kitab upanisad secara khusus membahas hakekat Brahman, dalam Upanisad ketika yang dibahas adalah Brahman maka sudah membahas segala-galanya karena ajaran Upanisad menekankan bahwa segala-galanya adalah Brahman, Atman adalah Brahman, kita adalah Brahman, binatang adalah Brahman, begitu juga dengan tumbuhan, air, batu dan semuanya yang ada di lingkungan kita yang mampu ditangkap dengan indrawi maupun tidak adalah Brahman. Vedanta yang bersumber salah satunya dari Upanisad menjelaskan Brahman ada di dalam seluruh ciptaan oleh karena itu pandangan tentang Tuhan dalam Upanisad diidentikkan pada paham pantheisme. Pantheisme juga menghargai lingkungan karena di dalam lingkungan adalah Brahman. Pantheisme menekankan kehidupan secara bahagia dengan hubungan yang baik dengan segala yang ada. Upanisad mengajarkan cinta dan penghormatan atas alam, alam tidak diciptakan untuk kita pergunakan secara berlebihan atau secara salah menurut upanisad kita adalah bagian yang tak terpisahkan daripada alam sehingga kita mempunyai kewajiban untuk menjaga alam seperti halnya kita menjaga diri kita sendiri. Salah satu mahavakya dari dialog di dalam candogya Upanisad menyatakan: “ Tat Twam Asi “ (Sama Veda, Candogya Upanisad)”
ISBN:978-602-9138-68-9
Tat Twam Asi diterjemahkan Itu adalah Kamu, sepintas sloka ini sangat sederhana akan tetapi jauh di dalamnya tersirat makna yang sangat luas yang memerlukan kecerdasan yang tinggi untuk memahaminya. Itu adalah kamu, apapun yang ditunjuk, tanpa terkecuali adalah kamu sendiri, sehingga segalanya yang ada di luar diri adalah diri sendiri, tumbuhan adalah diri kita sendiri, udara adalah diri kita sendiri, begitu juga dengan binatang, air, batu, tanah dan semua yang lainnya adalah diri sendiri. Jika sudah demikian berarti apapun yang ada di alam ini adalah pada hakekatnya diri kita sendiri, lalu karena kita hidup maka merekapun juga hidup, berarti yang biasa dianggap benda mati seperti batu, tanah, air dan lain sebagainya pun hidup sama seperti diri sendiri yang hidup. Sebuah sifat alami yang dimiliki oleh sesuatu yang hidup adalah aksi – reaksi, ketika subjek memberikan aksi kepada sebuah objek maka si objek secara alami akan memberikan reaksi kepada subjek tersebut. Begitu juga dengan lingkungan lainnya, lingkunganpun memberikan reaksi terhadap aksi yang kita berikan kepadanya. Konsep Tat Twam Asi mengajarkan agar kita tidak melihat kehidupan hanya dari satu sisi melainkan melihat kehidupan ini dimana-mana, ini mendukung teori revalitas yang dikemukakan oleh Albert Einstein yang menyatakan bahwa energi itu terdapat dimanamana. Pencemaran lingkungan yang menyebabkan berbagai penyakit bagi manusia hingga Global Warming yang mengancam kehidupan seluruh manusia merupakan reaksi dari alam atas apa yang manusia lakukan kepadanya, dan sudah sepatutnya manusia sebagai mahluk yang memiliki kecerdasan bertanggung jawab atas itu semua. Ketika keadaan menjadi demikian maka harus ada sesuatu yang dapat membuat kecerdasan yang dimiliki manusia menjadi suatu kebijaksanaan. Dalam upaya penyelamatan lingkungan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam diaplikasikan dengan Bhuta Yajna. Dengan Bhuta Yajna manusia menjaga kesucian alam, di Bali Khususnya hal ini diwujudkan dengan upacara-upacara yang ditujukan untuk alam seperti Macaru. Adanya hari suci sebagai penghormatan terhadap lingkungan seperti Tumpek Wariga, Tumpek Uye dan Tilem Kesanga merupakan upaya dalam penyucian
102
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI alam lingkungan demi terciptanya keharmonisan. Dalam hari suci Tumpek Wariga diyakini sebagai harinya tumbuhan oleh masyarakat Hindu di Bali. Yang unik disini adalah sebuah doa yang diucapkan oleh mereka yang mengatakan “kaki dan dadong” kepada tumbuhan yang diupacarai, ini menunjukkan bahwa antara manusia dengan tumbuhan masih ada ikatan persaudaraan ini sesuai dengan sloka Veda yaitu Vasudhaiva Khutumbhakam yang artinya semua mahluk hidup adalah saudara, sehingga akan muncul rasa cinta kasih terhadap mahluk lain ketika manusia mampu menganggap bahwa semua mahluk adalah saudara sendiri. Upacara-upacara lain yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup ini disebut upacara Bhuta Yajna dengan berbagai jenis atau tingkatannya, Dari yang paling sederhana mempersembahkan sejumput nasi setelah memasak, sampai pula Tawur atau Caru Eka Dasa Rudra yang dilakukan seratus tahun sekali dan ternyata penghormatan kepada alam yang dilakukan dengan upacara tertentu secara otomatis manusia memberikan energi positif kepada alam sehingga karena adanya hukum aksi dan reaksi maka alam akan mereaksi dengan positif juga .Tentu saja Bhuta Yajna tidak hanya diwujudkan dengan ritual-ritual, bentuk Bhuta Yajna yang paling signifikan adalah Konservasi Alam antara lain, melestarikan hutan, menjaga sumber daya alam, menjaga kebersihan, memanfaatkan tanah seminimal mungkin untuk pembangunan gedung atau perumahan. Bagaimana alam tetap lestari, tidak mengalami degradasi adalah tujuan Bhuta Yajna yang sesungguhnnya. Dengan demikian Tri Hita Karana sebenarnya sangat mampu untuk menyelamatkan alam yang dalam kondisi saat ini, ajaran ini ketika diaplikasikan maka akan menghasilkan keseimbangan dan menuju ke dalam keharmonisan alam. Pemahaman Tatwam Asi merupakan sebuah jalan untuk kelestarian lingkungan, setelah pemahaman “Itu adalah Kamu” maka kesadaran adalah segala-galanya adalah diri sendiri akan tumbuh, begitu juga pemahaman tentang Aham Brahman Asmi bahwa diri sendiri adalah Brahman. Ketika ini telah disadari maka manusia akan mampu menyadari bahwa segala yang ada adalah bagian dari dirinya, sehingga secara otomatis manusia akan tahu bahwa betapa ruginya jika mereka merusak bagian dari
ISBN:978-602-9138-68-9
dirinya seperti halnya mereka memotong bagian tubuh mereka. Itu merupakan beberapa jalan yang diajukan Hindu untuk manusia mampu memanfaatkan kecerdasannya untuk membijaksanai demi keharmonisan lingkungan, dan tentu masih banyak lagi konsep dan jalan lainnya dari pandangan Hindu. SIMPULAN Dalam perspektif Hindu, pelaksanaan manajemen lingkungan harus didasarkan pada kearifan lokal dan filsafat Hindu yang disebut Tri Hita Karana, yaitu ajaran yang mengutamakan keseimbangan hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam pandangan Hindu kerja merupakan sesuatu yang sangat esensial di dalam kehidupan manusia. Dalam perspektif kearifan lokal dan ajaran agama Hindu, kelestarian lingkungan sebenarnya juga dikaji secara mendalam dalam sloka-sloka Upanisad. Kitab Upanisad adalah kitab yang mengulas hakekat Veda secara rasional. Pemahaman Sloka Mahavakya upanisad seperti Tat Twam Asi, Aham Brahman Asmin dan Vasudhaiva Kutumbhakam mengajak manusia untuk mampu melihat bahwa alam merupakan bagian dari dirinya, sehingga sloka ini juga mampu memberi pemahaman agar manusia menjaga dirinya sendiri selayaknya menjaga bagian dari dirinya. Seperti halnya manusia menjaga bagian dari tubuh, seperti tangan atau kaki. Dan hal ini didukung oleh berbagai penelitian. Agama Hindu telah memberikan berbagai jalan demi kelestarian lingkungan antara lain Tri Hita Karana dan Pemahaman Mahavakya Upanisad sehingga mampu mewujudkan alam yang harmonis. DAFTAR PUSTAKA Arafah, N. 2002. Pengetahuan Lokal Suku Moronene Dalam Sistem Pertanian Di Sulawesi Tenggara. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Aulia, T. O. S. & A.H. Dharmawan. 2010. Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air Di Kampung Kuta. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
103
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Cudamani, 1991, Pengantar Penghayatan Upanisad. Hanuman Sakti Jakarta. Francis Wahono, 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta Gorda, I Gusti Ngurah (1996). Etika Hindu Dan Perilaku Organisasi, Penerbit STIE Satya Dharma Singaraja dan P.T. Widya Kriya Gematama Denpasar, Bali. Gorda, I Gusti Ngurah (1999). Manajemen Dan Kepemimpinan Desa Adat Di Propinsi Bali, Dalam Perspektif Era Globalisasi, Penerbit STIE Satya Dharma Singaraja dan P.T. Widya Kriya Gematama Denpasar, Bali. Gorda, I Gusti Ngurah (2004). Membudayakan Kerja Berdasarkan Dharma, Penerbit Pusat Kajian Hindu Budaya Dan Perilaku Organisasi, STIE Satya Dharma Singaraja, Bali. Gunggung Seno Aji, 2003. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan dan Lingkungannya, Tesis S 2 Ilmu Kehutanan, UGM, Yogyakarta. Indrawan, M. R. Primack &J. Supriatna 2008. Biologi Konservasi (Conservation Biology). Yayasan Obor, Jakarta. Juan Mascaro, Swami Harshnanda, 2010, Upanisad Himalaya Jiwa. Media Hindu. Mitchell, Bruce, B Setiawan, dan Dwita Hadi Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Muh Aris Marfai, 2005. Moralitas Lingkungan: Refleksi Kritis Atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan. Wahana Hijau dan Kreasi Wacana, Yogyakarta. Mustafid. 2009. Kampung Kuta; Dusun Adat Yang Tersisa Di Ciamis. http:// artikelindonesia.com/kampung-kutadusun-adat-yang-tersisa-di-ciamis.html. diakses 22 Maret 2013, pukul 13:40.
ISBN:978-602-9138-68-9
Nababan, 1995. Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Di Indonesia. Jurnal Analisis CSIS : Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan. Tahun XXIV No. 6 Tahun 1995 Ngurah Sudiana, I Gusti, 2007, Berkah Sloka Dalam Weda. Manik Geni. Pawarti, A., H. purnaweni, & D.D. Anggoro. 2012. Nilai Pelestarian Lingkungan Dalam Kearifan Lokal Lubuk Larangan Ngalau Agung Di Kampuang Surau Kabupaten Dharmasraya Provinsi Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Putu Putra, Ngakan, 2008, Tuhan Upanisad. Media Hindu. Santoso, Imam. 2004. Pemberdayaan Petani Tepian Hutan melalui Pembaharuan Perilaku Adaptif. Disertasi pada Program Doktor Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sony Keraf, 2006. Etika Lingkungan. Kompas, Jakarta Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jurusan Pedidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta. Sunderlin, W.D. & Resosudarmo, I.A.P. 1996. Rates and Causes of Deforestation in Indonesia: Towards a Resolution of the Ambiguities. Bogor: Center for International Forestry Research. Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor, Jakarta. Suwantana, I Gede, 2011, Petikan Dawai Vedanta. Ashram Gandhi Puri.
104
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PERAN DESA ADAT DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN LAHAN DI DESA JATILUWIH Wahyudi Arimbawa1, I Komang Gede Santhyasa2 Prodi Perencanan Wilayah dan Kota, FT Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau Penatih, Denpasar, email1:
[email protected], e-mail2:
[email protected] ABSTRAK Artikel ini bertujuan untuk menemukan formulasi yang tepat mengenai peran desa adat dalam pengendalian pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih. Dengan menggunakan pendekatan konsepsual Chapin, Godschalk dan Kaiser, aspek pengendalian pemanfaatan lahan dikaji secara sistematis berdasarkan tiga tindakan substansial. Pertama, mengidentifikasikan berbagai kepentingan dan karakternya; Kedua, menentukan mekanisme permainan; Ketiga, manajemen yang mengatur perubahan tata guna lahan. Hasil akhir yang diharapkan adalah kesuksesan dalam manajemen pengendalian pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih. Studi ini secara kontekstual didasarkan pada tantangan untuk mempertahankan eksistensi lahan pertanian serta sistem religi didalamnya yaitu subak. Pada saat yang sama, kebutuhan untuk mengakomodasi perkembangan industri kepariwisataan juga merupakan sisi yang penting bagi peningkatan taraf kehidupan masyarakat. Kata kunci: Desa adat, pengendalian pemanfaatan lahan, eksistensi lahan pertanian, Desa Jatiluwih PENDAHULUAN KTT Rio dan Konferensi Rio merupakan salah satu konferensi utama Perserikatan Bangsa Bangsa yang diadakan di Rio de Janeiro, Brasil dari Tanggal 3 s.d. 14 Juni 1992. Deklarasi ini menjadi momentum diprioritaskannya pembangunan berkelanjutan dalam agenda PBB dan komunitas internasional yang selanjutnya ditasbihkan sebagai upaya mereduksi marginalisasi pembangunan yang terjadi beberapa dekade ini. Hal ini diapresiasi sebagai tongak awal dalam penegakan beberapa konsensus pembangunan yang bertitik berat pada keramahan ideologi terhadap dimensi keberlanjutan ekologi (ecology), pemerataan (equity), sosial-ekonomi-budaya, sosial politik dan dimensi hukum-kelembagaan. Dalam bingkai era pemikiran baru ini, cakrawala pembangunan berkelanjutan diposisikan sebagai strategi dalam pemanfaatan ekosistem alamiah dengan cara tertentu sehingga kapasitas fungsionalnya tidak rusak untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia. Konsepsi inilah kemudian dijadikan sebagai patrun yang mendasari paradigma
pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat, beserta institusi lokal didalamnya (desa adat). Paradoknya, paradigma pembangunan selama ini cenderung mengadopsi konsep pembangunan yang bertumpu pada maksimasi pertumbuhan ekonomi, yang kemudian dijadikan sebagai tujuan akhir pembangunan (ultimate goal). Mekanisme pasar dijadikan sebagai instrumen terbaik untuk mengalokasikan sumberdaya ekonomi. Faktanya, di balik pertumbuhan ekonomi yang tinggi terdapat patologi sosial ekonomi yang kronis, yakni kemiskinan, ketimpangan pendapatan, angka pengangguran yang tinggi, serta isu yang paling terkini adalah marginalisasi dan eksploitasi terhadap kekayaan lokal yang ada dalam sistem kemasyarakatan. Hal ini kemudian melahirkan polemik panjang apakah eksistensi masyarakat beserta institusi lokal yang ada di dalamnya memang benar-benar diberdayakan baik secara sosial, ekonomi maupun lingkungan? atau hanya sekedar diperdayakan dalam sistem kapitalisme liberal pusat untuk mengejar dominansi pendapatan negara beserta institusi kroninya?
105
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Antitesis paradigma pembangunan pada maksimasi pertumbuhan ekonomi ini seolah gayung bersambut pada studi kasus di Desa Jatiluwih. Entitas Desa Jatiluwih sebagai desa agraris, terlegitimasi secara geografis karena letaknya di kaki Gunung Batukaru beserta atribut tradisi yang lekat dengan alam, prosesi ritual dan kepercayaan masyarakatnya. Kecerdasan ekologi masyarakat lokal tentu saja tidak bisa dipungkiri telah melahirkan tatanan ruang yang mencerminkan harmonisasi dan keseimbangan hubungan antara manusia-Tuhanlingkungan. Subak misalnya, dianggap merupakan manifestasi dari konsep Tri Hita Karana masyarakat Bali dalam menciptakan harmonisasi keseimbangan kehidupannya baik dengan Tuhannya, sesama manusia maupun dengan lingkungan. Eksistensi Desa Adat Jatiluwih merupakan cikal bakal lahirnya inovasi budaya dengan produk akhir landscape persawahan yang indah beserta sistem religi yang berjalan didalamnya. Entry point-nya ada pada bagaimana desa adat mengatur tata kelola lingkungan serta menetapkan kaidah dan norma sebagai usaha preventif bagi keberlanjutan pemanfaatan lahan yang ada. Namun, intervensi beban perannya sebagai World Herritage Culture menjadikan Desa Jatiluwih menjadi ungkapan metaforis ada gula ada semut. Derasnya kunjungan wisatawan berbanding lurus dengan kebutuhan ruang untuk mengakomodasi perkembangan spasial yang terjadi. Beberapa fungsi pelayanan kepariwisataan misalnya, harus diwadahi dalam ruang-ruang yang secara normatif tidak boleh merubah fungsi lahan sebagai kawasan pertanian, sosial budaya dan aktivitas lainnya yang sudah eksis di Desa Jatiluwih. Aspek pengendalian pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih merupakan indikator penting dalam melestarikan sawah dan sistem yang ada didalamnya (subak, sekehe dsb). Pertanyaannya adalah seberapa efektifkah regulasi yang dimiliki oleh desa adat dalam mengendalikan pemanfaatan lahan yang ada? Atau sejauh mana peran desa adat sebagai garda terdepan dalam ranah pengendalian pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih jika dikonfrontasikan dengan kebijakan di tingkat pusat yang kadang-kadang hanya bersifat profit oriented?
ISBN:978-602-9138-68-9
Dalam konteks demikian, tulisan ini memberikan argumentasi pentingnya penguatan peran desa adat dalam pengendalian pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih. Aspek pengendalian pemanfaatan lahan dikaji secara sistematis berdasarkan hasil studi dari Chapin, Godschalk dan Rudel (1957). Pendekatan konsepsual dalam penanganan masalah keruangan dan pemanfaatan lahan memiliki tiga tindakan substansial (Suartika, 2010:40). Tujuan akhirnya adalah kesuksesan dalam manajemen penggunaan lahan di Desa Jatiluwih. Pertama, mengidentifikasikan berbagai kepentingan dan karakternya. Kedua, menentukan mekanisme permainan. Ketiga, manajemen yang mengatur perubahan tata guna lahan. PEMBAHASAN Desa Adat sebagai Otoritas Otonom Kelembagaan Ditingkat Lokal Kelembagaan lokal oleh Rahardjo (2004), diartikan sebagai kompleks normanorma atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat, merupakan wadah dan perwujudan yang lebih kongkrit dari kultur dan struktur. Hal ini berarti bahwa setiap individu yang termasuk didalamnya pasti memiliki status yang merupakan refleksi dari struktur dan peran tertentu sebagai manifestasi dari kultur. Syahyuti (2009), kemudian memberikan penekanan bahwa kelembagaan memiliki perhatian utama kepada perilaku yang berpola dan berpusat pada sekitar tujuan, nilai atau kebutuhan sosial utama yang kemudian berimplikasi pada mekanisme kontrol sosial atau alat untuk menjaga keteraturan sosial dan menjadi alat untuk mencapai tujuan komunal internal masyarakatnya, dan tentunya pada tataran normatif perbaikan kualitas hidup komunitasnya. Kelembagaan menurut Bobi (2002), harusnya berisi sekelompok orang yang bekerjasama dengan pembagian tugas tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan bersama, sehingga kelembagaan konon lebih menekankan pada aturan main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action). Beberapa unsur penting dari kelembagaan dideskripsikan sebagai institusi, yang merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat; norma tingkah laku yang telah
106
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI mengakar dalam kehidupan masyarakat dan telah diterima untuk mencapai tujuan tertentu; pengaturan dan penegakan aturan; aturan dalam masyarakat yang memberikan wadah koordinasi dan kerjasama dengan dukungan hak dan kewajiban serta tingkah laku anggota; kode etik; kontrak; pasar; hak milik; organisasi; insentif. Ekploitasi dan sistem sentralistik pengelolaan kelembagaan pusat yang kaya secara struktur namun miskin dari segi fungsi, semakin melegalkan eksploitasi sumber daya manusia maupun sumber daya alam ditingkat institusi lokal. Posisi tawar institusi lokal semakin terdegradasi akibat ambevalensi pengelolaan kelembagaan ditingkat lokal versus hadirnya lembaga-lembaga formal yang menjadi perpanjangan tangan pusat untuk memaksimalkan pemasukan negara/ pemerintahan ditingkat kabupaten maupun provinsi atas “keberlimpahan” potensi sumber daya alam dan manusia yang ada ditingkat lokal. Selama ini, kecenderungan pembangunan kelembagaan hanya berorientasi pada economic capital dan merupakan ide-ide kapitalisme liberal para elite yang menjadikan kelembagaan di tingkat lokal sebagai basis sumber pendapatan mereka. Desa adat sebagai manifestasi kelembagaan ditingkat lokal merupakan paguyuban komunitas lokal yang memiliki tata aturan lokal sendiri. Desa adat sebagai otoritas otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Bali. Memiliki satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga. Desa adat juga dianggap mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri dan berhak mengurus rumah tangganya sendiri (Darmayuda, 2001). Dari bagian ini nampak bahwa Agama Hindu merupakan “payung” bagi norma hukum adat (Awig-Awig) dan organisasi sosial desa adat. Dengan begitu ajaran Agama Hindu akan terwujud dalam norma adat kehidupan krama desa adat. Pariwisata dan Patrun Alih Fungsi Lahan Pertanian di Desa Jatiluwih; Mengidentifikasikan Berbagai Kepentingan Chapin (1957) mengidentifikasi ada tiga kelompok kepentingan yang berperan secara substansial dalam mempelajari manajemen pemanfaatan lahan. Pertama, faktor ekonomi
ISBN:978-602-9138-68-9
yang berorientasi pada kepentingan pengembangan modal finansial (profit making values): Kedua, faktor pemenuhan kebutuhan dasar dan keberlangsungan hidup masyarakat (public interest values); Ketiga, faktor nilai-nilai sosial yang ada (socially rooted values). Melalui pendekatan ini, penulis melihat bahwa kolaborasi ketiga aspek ini sangat relevan digunakan sebagai proses identifikasi awal berbagai kepentingan dalam pemanfaatan lahan pada studi kasus Desa Jatiluwih. Menurut Suartika (2007), pemanfaatan lahan ditentukan maneuver-manuver oleh beragam kepentingan dalam pembangunan, ekonomi, sosial dan politik. Hal ini disebabkan karena lahan merupakan faktor produksi terbatas (kecuali reklamasi) dan secara fisik tidak bisa berpindah. Lahan juga merupakan aset ekonomis yang tidak terpengaruh oleh penurunan nilai dan harganya tidak terpengaruh faktor waktu. Lahan juga dianggap mempunyai keuntungan kompetitif yaitu memiliki nilai dan harga (Waters, 2000, Kaiser, Godschalk, and Chapin 1995). Suartika (2007:73) menggambarkan bahwa interkoneksi antar ketiga kepentingan dalam menentukan wujud serta pola pemanfaatan lahan, seharusnya berada pada titik keseimbangan. Efek sampingan dari pemanfaatan lahan yang memberikan kontribusi terhadap perubahan pemanfaatan lahan, dianalogikan dengan point X1, X2….,Xn. mencapai titik keseimbangan. Pada titik 1,2,,..n. merupakan konsekwensi dari perubahan yang terjadi dalam proses tersebut. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1 dibawah.
Gambar 1. Hubungan antara faktor-faktor penentu dalam pemanfaatan lahan Sumber: Chapin (1957: 72) dalam Suartika,( 2010:41)
107
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Trend perkembangan pariwisata di Desa Jatiluwih telah memunculkan isu pembangunan akomodasi kepariwisataan secara masif diteritorial ruang konservasi semisal sempadan sungai dan kawasan suci. Ungkapan ‘phobia spasial’ dalam kehidupan masyarakat lokal kemudian berimbas pada eksistensi institusi lokal yang ada dalam memberikan limitasi eksploitasi lahan untuk akomodasi kepariwisataan. Toleransi pemanfaatan ruang dan deregulasi aturan-aturan lokal menimbulkan ‘celah’ bagi ekstensifikasi alih fungsi lahan dengan ‘imingiming’ pembangunan pariwisata oleh pihak investor. Mekanisme perijinan pembangunan lahan dan alih fungsi pemanfaatannya, ternyata masih menerapkan sistem sentralistik ke Pemerintah Kabupaten Tabanan sebagai prosedur legal formal. Sementara pihak lokal hanya terwakili dalam hal permintaan persetujuan dan tanda tangan yang diwakili oleh Kepala Desa Jatiluwih. Dalam konteks ini kemudian, kontradiksi kebijakan antara pihak pusat dalam memberikan ijin membangun, dengan pihak kelian pekaseh yang menyatakan teritori lahan yang akan dibangun tersebut merupakan areal lahan pertanian produktif dan jelas peruntukkan lahannya bukan untuk budidaya (baik permukiman maupun untuk akomodasi kepariwisataan), merupakan dampak dari biasnya peraturan dan jaringan koordinasi yang terputus antara pusat dan lokal. Desa Adat sebagai Posisi Sentral Pengendalian Pemanfaatan lahan; Mekanisme Permainan Teori Tentang Permainan (Game Theory) merupakan langkah kedua dari pendekatan konsepsual Chapin, Godschalk dan Rudel (1957), yang penulis gunakan untuk menelusuri aspek pengendalian pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih. Teori ini merupakan legitimasi pengakuan terhadap adanya perbedaan kepentingan dalam pemanfaatan lahan seperti diuraikan diatas. Hasil studi dari teori ini bertujuan untuk mencapai konsensus antar kepentingan baik desa adat, pemerintah, swasta, maupun pihak lain yang berkepentingan. Setiap kelompok kepentingan selanjutnya diikat dalam peraturan permainan (Game Rules) yang saling ketergantungan (Suartika, 2007:74).
ISBN:978-602-9138-68-9
Gambar 2 dibawah menunjukkan bahwa pemerintah dianggap sebagai pengambil keputusan dan perencana sebagai penengah konflik kepentingan dengan mengacu pada regulasi yang ada. Menurut Suartika (2007:75), potensial konflik berada pada perbedaan kepentingan yang saling antagonis antara kepentingan pasar (market) dan masyarakat (public interest).
Gambar 2. Peraturan Permainan antar kelompok kepentingan Sumber: Kaiser, Godschalk and Chapin (1995:7) Dalam konteks pengendalian pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih, penulis menggunakan pendekatan partisipatif untuk mendudukkan desa adat sebagai pengendali utama aturan permainan (Game Theory) yang ada. Positioning desa adat sebagai pemegang kunci aturan permainan merupakan pengakuan eksistensi lembaga lokal serta norma yang berlaku dalam mengendalikan pemanfaatan lahan yang ada. Masyarakat ditingkat lokal diakui memiliki kesadaran kritis untuk melakukan kontrol atas pelaksanaan pembangunan serta kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup mereka. Peran desa adat dalam mengendalikan pemanfaatan lahan menjadi kontrol sosial dan kesadaran kritis terhadap dimensi keberlanjutan lahan. Tjokrowinoto dalam Sundoro, (2010) mengungkapkan strategi pendekatan partisipatif yang bisa diadopsi oleh desa adat di Desa Jatiluwih untuk mensukseskan aturan permainan dalam pemanfaatan lahannya. Pertama, prakarsa dan proses pengambilan keputusan baik yang menyangkut pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun pengendalian eksploitasi lahan untuk pariwisata tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat sendiri. Kedua, fokus
108
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumber-sumber yang terdapat di komunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka secara arif. Ketiga, pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya, sifatnya fleksibel menyesuaikan dengan kondisi lokal. Keempat, di dalam melaksanakan pembangunan, pendekatan ini menekankan pada proses social learning yang di dalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling belajar. Kelima, proses pembentukan jaringan (networking) antara birokrasi dan lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang mandiri. Dalam konteks Desa Jatiluwih, pendekatan partisipatif ini bisa dituangkan dalam wadah lokal seperti sangkep, paruman desa, sosialisasi program, serta bentuk partisipasi kasat mata lainnya seperti pelibatan masyarakat dalam penentuan zona-zona pemanfaatan ruang yang diperbolehkan untuk budidaya permukiman dan fasilitas akomodasi pariwisata dan penentuan zona konservasi (non terbangun), pemanfaatan ekosistem alamiah desa serta peraturan sanksi (mekanisme insentif dan disinsentif) pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih. Selain itu mekanisme perijinan satu atap yang dicanangkan oleh pemerintah harus melibatkan desa adat sebagai legislator pengesah ijin dikeluarkan atau tidak. Manajemen Perubahan Pemanfaatan Lahan: Simpul Pembangunan Berkelanjutan di Desa Jatiluwih Sebagai langkah ketiga, pendekatan konsepsual Keiser, Godschalk dan Chapin (1995) tentang model manajemen tata guna lahan digunakan sebagai simpul aspek pengendalian pemanfaatan lahan setelah penulis melakukan kedua pendekatan sebelumnya. Pertama, model yang merangkul kepentingan struktur lingkungan dan politik ekonomi dalam proses pengaturan pemanfaatan lahan; Kedua, model yang merangkul konsep partisipasi dan pemecahan masalah. Dalam artikel ini, pendekatan pemberdayaan kelembagaan di desa adat digunakan sebagai solusi praktis suksesi pengendalian pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih. Konsensus antar kepentingan nilai sosial, mekanisme pasar dan nilai ekologis menjadi indikator manajemen pemanfaatan lahan yang berkelanjutan (suistainable).
ISBN:978-602-9138-68-9
Gambar 3. Manajemen Perubahan Tata Guna Lahan Sumber: Kaiser, Godschalk and Chapin (1995:7 Pemberdayaan masyarakat dimanifestasikan dalam wadah legal berupa institusi lokal desa adat sebagai jembatan penghubung antara kebijakan di tingkat pusat dengan kebijakan lokal yang dimiliki. Selain itu, institusi lokal bisa dijadikan sebagai payung hukum ditingkat lokal melalui pengenaan sanksi-sanksi adat terhadap pelanggaran pemanfaatan lahan yang terjadi. Pemberdayaan masyarakat merupakan langkah cerdas dalam melakukan sosialisasi dan pemahaman doktrin tata cara pemanfaatan lahan yang meliputi pengenalan aktivitas perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang di lingkungan administrasi desanya. Termasuk bagaimana mekanisme perijinannya, sampai kepada produk akhir berupa rencana pemanfaatan ruang kawasannya yang terbagi dalam blok-blok peruntukkan lahan yang diperbolehkan atau tidak untuk pembangunan. Beberapa kunci pemberdayaan yang bisa diterapkan dalam bingkai manajemen pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih adalah: Pertama, adanya akses informasi seluasluasnya yang menyangkut pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber alam, pariwisata dan spasial di Desa Jatiluwih. Kedua, perubahan sikap dari eksklusif menjadi inklusifitas dan terbukanya ruang partisipatif seluasnya kepada institusi lokal. Ketiga, akuntabilitas dan pengembangan institusi lokal yang mandiri dan lepas dari intervensi dari luar. Manajemen institusi lokal yang sudah ada di Desa Jatiluwih bisa dilihat pada tabel 1.
109
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
Selama ini diakui atau tidak penetrasi kelembagaan yang dicanangkan oleh pemerintah, mengalami ambivalensi akibat tidak dimasukkannya pendekatan kultural (baca: desa adat sebagai institusi lokal) dalam model kelembagaan formal yang ada. Sudah saatnya kini, pendekatan dalam manajemen kelembagaan direvitalisasi dengan pendekatan baru yang lebih menghargai komunalitas lokal. Revitalisasi manajemen pemanfaatan lahan di tingkat desa adat diperlukan untuk menghadapi globalisasi ekonomi, memperkuat kelembagaan dan jaringan sosial masyarakat baik dari aspek struktur atau konfigurasi jaringan yang efisien, tingkat partisipasi masyarakat dan peranan atau fungsi pembagian kerja secara organis. Dalam kerangka demikian, strategi revitalisasi manajemen perubahan pemanfaatan desa adat diajukan sebagai basis pengendalian pemanfaatan lahan di Desa Jawiluwih. Dilakukan dengan melakukan sinergisitas kinerja dan penguatan jaringan kerja antar institusi dan lembaga lokal yang ada, koordinatif, terbuka dan pro terhadap aspek pembangunan berkelanjutan di Desa Jatiluwih. SIMPULAN Berkaitan dengan tujuan pelaksanaan studi serta hasil analisis yang dilakukan, studi ini menemukan bahwa setiap kelompok interest masingmasing mempunyai level kepentingan yang harus diakomodasi dalam manajemen pemanfaatan lahan yang saling berimbang. Pluralitas masing-masing kelompok kepentingan merupakan keniscayaan yang tidak terelakkan. Konflik dua kepentingan utama yaitu kepentingan ekonomi dalam hal ini diwakili oleh entitas industri pariwisata versus kepentingan
ISBN:978-602-9138-68-9
di masyarakat (public interest) bisa direduksi melalui nota kesepakatan bersama (mou). Konsensus bersama ini dituangkan dalam bingkai aturan permainan (game rules) yang saling mengikat. Keputusan apapun dalam setiap kelompok kepentingan, merupakan hasil persetujuan bersama antar kepentingan. Peran desa adat kemudian menjadi sangat krusial sebagai ujung tombak pemanfaatan lahan di Desa Jatiluwih. Peran ini diposisikan sebagai sentral game rules. Mendeliveri berbagai norma, nilai dan aturan lokal sebagai sebuah filosofi keruangan dan pemanfaatan lahan yang berbasis pengetahuan lokal (local wisdom). Berbagai kelompok kepentingan kemudian diikat dalam payung hukum peraturan lokal yang sudah ada. Mekanisme perijinan baik perubahan pemanfaatan lahan, pemanfaatan serta perencanaan pemanfaatan lahan, dikompromikan bersama-sama dengan desa adat sebagai decision maker-nya. Pelanggaran terhadap peraturan ditingkat masyarakat lokal dilakukan melalui pengenaan sanksi-sanksi adat. DAFTAR PUSTAKA Chapin, F. Steward, dan Kaiser, Edward J, 1979. Urban Land Use Planning. Chicago: University of Illnois Press, Dharmayuda, I Made Suasthawa. 2001. Desa Adat: Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Di Propinsi Bali. Denpasar: Upada Sastra. Rahardjo. 1999. Pengantar Sosilogi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Suartika, G.A.M. 2007. ‘Perencanaan dan Pembangunan Keruangan: Perwujudan dan Komunikasi Antar Kepentingan dalam Pemanfaatan Lahan’. Jurnal Permukiman Natah.Vol. 5, No. 2. hal: 62 – 108. —————————. 2010. Morphing Bali: The State, Planning, and Culture. Germany: Lambert Academic Publishing. Sundoro, Hedrianto. 2010. “Membangun Institusi Lokal Sebagai Mitra”, dalam
diakses 12 Desember 2012. Syahyuti. 2009. “Tinjauan Sosiologis Terhadap Konsep Kelembagaan dan Upaya Membangun Rumusan Yang Lebih Operasional”, dalam diakses 12 Desember 2012.
110
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
TAMAN SEKOLAH SEBAGAI PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN MENUMBUHKAN SIKAP ILMIAH PESERTA DIDIK Ni Wayan Ratnadi SMPN 11 Denpasar, e-mail: [email protected] ABSTRAK Taman sekolah sebagai lansdcape buatan, tersusun atas berbagai elemen yang disusun dengan pertimbangan tertentu sehingga memiliki nilai estetika, inspiratif, imajinatif dan edukatif, yang memiliki konsep pembangunan pendidikan berkelanjutan Konsep inilah yang melatar belakangi perlunya keberadaan dan pengelolaan taman sekolah sebagai suatu bagian dari lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia terutama di bidang pendidikan dan pelestarian keanekaragaman hayati, Konsep pembangunan pendidikan berkelanjutan dapat merumuskan fungsi taman sekolah menjadi 8 K yaitu; Keindahan, Kerindangan, Kebersihan, Kesehatan, Keamanan, Kekeluargaan, Ketertiban, dan Kecerdasan. Dengan demikian pelestarian keanekaragaman hayati melalui revitalisasi taman sekolah sebagai sumber inspirasi, imajinasi, inovasi, kreativitas dapat menumbuhkan sikap ilmiah peserta didik. Kata kunci: Taman sekolah, keanekaragaman hayati, sikap ilmiah
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu yang memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi dan unik dari tiga negara di dunia yaitu Brasil dan Zaire, sehingga Indonesia dikenal sebagai Negara mega biodiversity. Keunikannya adalah di samping memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, Indonesia memiliki areal tipe Indo-Malaya yang luas, juga tipe oriental, Australia, dan peralihannya. Keanekaragaman hayati merupakan salah satu aspek struktural ekosistem dan penentu terhadap satuan lahan yang keutuhannya perlu dilindungi. Pengelolaan lahan dapat berpengaruh terhadap keutuhan keanekaragaman hayati, sehingga perlu dicari metoda kesesuaian pengelolaan lahan yang dapat melindungi keutuhan dan kelestarian keanekaragaman hayati. Area yang dilindungi atau dikenal sebagai Protected Area (PA) merupakan sebuah komponen utama dalam strategi konservasi dan mewakili metode yang paling penting dalam pelestarian keanekaragaman hayati (Bajracharya, et al. 2005). Kebutuhan lahan yang semakin meningkat akibat peningkatan populasi manusia menyebabkan perusakan habitat, fragmentasi, penggantian spesies asli yang sensitif dengan spesies yang tidak asli, degradasi habitat yang selanjutnya dapat menyebabkan masa pemberhentian yang panjang untuk dapat hidup dari perlindungan area. Apabila hal ini berjalan dalam waktu yang lama maka yang
paling terancam adalah keanekaragaman hayati (Turner, et.al. 2007). Taman sekolah dapat dianggap sebagai salah satu area konservasi keanekaragaman hayati secara ex-situ. Disamping itu, taman sekolah juga sebagai tempat beraktivitas seluruh guru dan peserta didik, seringkali belum dikelola dan dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran secara maksimal. Padahal jika dikelola dan dimanfaatkan untuk digunakan sebagai suatu bahan ajar yang baik, maka taman sekolah tersebut dapat dijadikan sebagai sumber belajar untuk peserta didik (Passy,et al. 2010). Pelaksanaan kegiatan pembelajaran menurut anggapan banyak orang sering dilakukan di dalam ruang kelas, tetapi hal tersebut bukanlah suatu pembatasan untuk menerapkan suatu lingkungan sebagai sumber belajar dan sumber imajinasi serta sumber inspirasi yang baik bagi peserta didik (Kisiel, 2003). Fungsi utama lingkungan berkenaan dengan bidang pendidikan yaitu; lingkungan dapat menjadi laboratorium dan sumber pengetahuan bagi peserta didik (Frick dan Suskiyanto, 2007). Lingkungan yang bisa dijadikan sumber pembelajaran di sekolah dapat berupa kebun sekolah atau taman sekolah yang dapat diwujudkan di lingkungan sekitar sekolah. Taman sekolah sebagai lansdcape buatan, tersusun atas berbagai elemen yang disusun dengan pertimbangan tertentu sehingga memiliki nilai
111
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI estetika, inspiratif, imajinatif dan edukatif, yang memiliki konsep pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (Frick 2007). Konsep inilah yang melatar belakangi perlunya keberadaan dan pengelolaan taman sekolah sebagai suatu bagian dari lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia terutama di bidang pendidikan dan pelestarian keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna. Penataan lingkungan sekolah dengan menanam beranekaragam jenis tanaman yang dilengkapi kolam dan berbagai jenis flora dan fauna dapat menciptakan sekolah yang memberikan nilai estetika, inspiratif, edukatif dan memperkaya keanekaragaman ekologis serta sebagai sumber O2 di lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar (Feriadi dan Frick, 2008). Menurut Yudianto (2008), taman sekolah secara ringkas dirumuskan berfungsi menjadi 8 K yaitu; keindahan, kerindangan, kebersihan, kesehatan, keamanan, kekeluargaan, ketertiban, dan kecerdasan. Upaya dilakukan untuk menjaga keanekaragaman hayati melalui pendidikan formal yaitu membentuk sekolah Adiwiyata Mandala, sekolah asri, tanaman obat dan kerindangan sekolah serta kegiatan lainnya. Suasana yang penuh nilai estetika, inspiratif, edukatif dan menyenangkan dengan kelas yang bersih, udara yang bersih, dan sedikit polusi suara,mendukung kondisi psikologi peserta didik belajar. Dalam kondisi yang asri dan menyenangkan itu niscaya dapat menumbuhkan inovasi, imajinasi dan kreativitas dalam belajar serta dapat menumbuhkan sikap ilmiah peserta didik. PEMBAHASAN Pembelajaran yang memisahkan konsep dengan realitas kehidupan sehari-hari, semakin menjauhkan pemahaman hubungan ilmu pengetahuan dengan alam sekitar dan kehidupan peserta didik. Penerapan pembelajaran yang bersifat verbalistis dan tidak pernah melibatkan lingkungan yang berupa taman sekolah sebagai tempat belajar di alam terbuka. Taman sekolah dapat berupa sebuah area yang mempunyai ruang dalam berbagai kondisi. Kondisi yang dimaksud diantaranya: lokasi, ukuran atau luasan, iklim dan kondisi khusus lainnya seperti tujuan serta fungsi spesifik dari pembangunan taman sekolah itu sendiri (Mona, 2004). Taman sekolah pada umumnya, adalah bagian areal atau lokasi yang ditanami rerumputan dan tanaman hias bahkan ada juga tumbuhan peneduh tempat peserta didik bermain pada jam instrirahat. Taman sekolah sementara ini kebanyakan ditata menekankan pada
ISBN:978-602-9138-68-9
azas estitikanya dan belum pada azas ilmiah.Taman sekolah sebagai landscape buatan, tersusun atas berbagai elemen yang disusun dengan pertimbangan tertentu sehingga memiliki nilai estetika, inspiratif, imajinatif dan edukatif, yang memiliki konsep pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (Frick, 2007). Konsep inilah yang melatar belakangi perlunya keberadaan dan pengelolaan taman sekolah sebagai suatu bagian dari lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia (peserta didik) terutama di bidang pendidikan dan pelestarian keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna. Peserta didik merupakan bagian manusia sebagai komponen populasi mempunyai peranan yang besar dalam melindungi dan melestarikan serta mengelola keanekaragaman hayati dalam proses pembelajaran. Belajar pada hakikatnya memiliki dimensi proses, dimensi hasil (produk) dan dimensi pengembangan sikap yang memiliki saling keterkaitan (Sulistyorini, 2007). Ketiga dimensi belajar tersebut sejalan dengan hasil pembelajaran yang diharapkan dalam kurikulum pendidikan yang diterapkan saat ini (Kurikulum 2013),yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dimensi proses lebih dikenal dengan keterampilan proses (scientific method) yang terdiri dari observasi, klasifikasi, interpretasi, prediksi, hipotesis, pengendalian variabel, merencanakan dan melaksanakan penelitian, inferensi, aplikasi, dan komunikasi. Dimensi produk terdiri dari pengetahuan tentang konsep, hukum, dalil, dan teori-teori dan dimensi pengembangan sikap, terdiri dari rasa ingin tahu (qurosity), kerja keras, tanggungjawab, disiplin dan kerjasama, dalam sains dikenal dengan istilah sikap ilmiah (scientific attitude). Sikap ilmiah peserta didik dapat tumbuh melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam kelas maupun di luar kelas seperti taman sekolah. Pembelajaran dengan melibatkan lingkungan taman sekolah yang megkoleksi keanekaragaman hayati dapat memberikan inspirasi, imajinasi, inovasi dan kreativias peserta didik untuk menulis melalui tahapan metode ilmiah. Aktivitas peserta didik untuk menulis yang diperoleh dari inspirasi yang digali dari keanekaragaman hayati di taman sekolah dapat menghasilkan karya ilmiah yang memiliki nilai tinggi dalam meningkatkan prestasi belajar termasuk keberlanjutan studinya. Menurut Llambi et al. (2005) bahwa partisipasi aktif dari peserta didik merupakan strategi penentu keberhasilan konservasi keragaman hayati, dengan
112
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI mengupayakan agar peserta didik tertarik. Ketertarikan ini sangat tergantung pada manfaat yang dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung, pengetahuan mereka terhadap ekosistem, sistem nilai dan hubungan mereka dengan alam. Keanekaragaman hayati atau biodiversitas (biodiversity) adalah suatu istilah pembahasan yang mencakup semua bentuk kehidupan, yang secara ilmiah dapat dikelompokkan menurut skala organisasi biologisnya, yaitu mencakup gen, spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme serta ekosistem dan proses-proses ekologi dimana bentuk kehidupan ini merupakan bagiannya. Dapat juga diartikan sebagai kondisi keanekaragaman bentuk kehidupan dalam ekosistem atau bioma tertentu. Keanekaragaman hayati seringkali digunakan sebagai ukuran kesehatan sistem biologis. Keanekaragaman hayati dalam lingkungan perlu dilestarikan untuk mempertahankan beberapa nilai yang terkandung di dalamnya antara lain; (1) nilai ilmiah, artinya pelestarian keanekaragaman hayati dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini dapat dilakukan penelitian yang memungkinkan ditemukannya sesuatu yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. (2) nilai ekonomi, artinya semua kebutuhan manusia diperoleh dari lingkungannya. Oleh karena itu, menjaga kelestarian berarti menjamin ketersediaan kebutuhan manusia secara berkesinambungan. (3) nilai mental spiritual, artinya alam yang serasi dan seimbang adalah alam yang indah dambaan setiap manusia. Kekaguman terhadap alam dapat meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. (4) nilai keindahan dan keselarasan, artinya alam yang mengandung komponen-komponen ekosistem secara seimbang akan menjamin keselarasan proses yang terjadi di dalamnya. Konservasi keanekaragaman hayati atau biodiversitas sudah menjadi kesepakatan internasional. Objek keanekaragaman hayati yang dilindungi meliputi keanekaragaman hayati baik pada tingkat gen, spesies maupun ekosistem. SIMPULAN Pelestarian keanekaragaman hayati melalui revitalisasi taman sekolah sebagai sumber inspirasi, imajinasi, inovasi, kreativitas dapat menumbuhkan sikap ilmiah dalam pembelajaran. Taman sekolah juga dapat menjadi kawasan pelestarian keanekaragaman hayati secara exsitu.
ISBN:978-602-9138-68-9
DAFTAR PUSTAKA Bajracharya, B.S, Furley, A.P. and Newton C.A, 2005, Effectiveness community involvementin delivering conservation benefits to the Annapurna conservation Area, Nepal, Environmental Conservation, volume 2, Fondation for Environmental Conservation Feriadi, H dan H. Frick. 2008. Atap Bertanaman Ekologis dan Fisiologis.Yogyakarta: Kanisius. Frick, H dan B. Suskiyanto. 2007. Dasar-dasar Arsitektur Ekologis. Yogyakarta:Kanisus. Kisiel J.F. 2003. Teachers, Museums an Worksheets: A Closer Look at a LearningExperience. Journal of Sciences Teacher Education, 14(1): 3-21. Onlineat http://upclose.lrdc.pitt.edu/readings/ kiesel.pdf (accessed 6/8/2012). Llambi, D.L., Smith, K.J, Pereira, N., Pereira, A.C., Valero, F., Monasterio, M. and Davila,M.V., 2005, Participatory Planning for Biodiversity Conservation in the HighTropical Andes: Are farmers interested?, Mountain Research and Development: 25 (3) Mona. 2004. Membangun Taman Rumah. Jakarta: Penebar Swadaya. Passy R; M Moris and F Reed. 2010. Impact of School Gardening on Learning, Final Report Submitted to The Royal Horticultural Society. Slough Berks: NFER online at http://apps.rhs.org.uk/ schoolgardening/ uploads/documents/ impact_of_school_gardening_on_learning_821.pdf (accessed 19/7/2010). Sulistyorini, S. 2007. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar dan Penerapannya dalam KTSP. Yogyakarta: Tiara Wacana. Turner, R.W., Brandon, K., Brooks, M.T, Costanza, R., Gustavo, A.B.. 2007. Global Conservation of Biodiversity and Ecosystem Services. Bioscience. Nov 2007. Academic Research Library. Yudianto S. A. 2008. Manajemen Alam Sumber Pendidikan Nilai. Bandung: Mughni Sejahtera.
113
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PEMANFAATAN KUNYIT (Curcuma domestica Val) DALAM PENGOBATAN TRADISIONAL DI DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN KABUPATEN KARANGASEM Putu Sudiartawan Program Studi Biologi FMIPA, Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau Denpasar e-mail: [email protected] ABSTRAK Desa Adat Tenganan Pegringsingan merupakan salah satu desa di Bali dengan karakteristik kehidupan masyarakatnya yang unik dan khas. Masyarakatnya mempunyai struktur, adat kebiasaan dan prinsip keagamaan yang sedikit berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya. Berbagai ritual keagamaan seperti Perang Pandan (mekare-kare) masih tetap lestari di desa tersebut. Perang pandan mengakibatkan terjadinya luka akibat tertusuk duri pandan. Luka tersebut hanya diobati dengan obat herbal berbahan kunyit (Curcuma domestica Val.). Kunyit bagi masyarakat Desa Adat Tenganan merupakan salah satu bagian yang sangat penting dalam pengobatan tradisional sehingga banyak sekali dijumpai tanaman kunyit di pekarangan maupun di areal kebun milik warga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan kunyit dalam pengobatan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem. Penelitian ini menggunakan metode observasi partisipatif, yakni peneliti terjun langsung ke lokasi dan menggali informasi yang ada di lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan kunyit dalam pengobatan tradisional di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem, banyak digunakan sebagai obat luka perang pandan (mekare-kare), obat diare, untuk menjaga stamina tubuh dan menjaga keremajaan kulit. Kata Kunci : kunyit, obat tradisional, Desa Adat Tenganan Pegringsingan PENDAHULUAN Desa adat Tenganan merupakan salah satu desa tradisional di Bali, yang masih mempunyai ciri kehidupan khas. Kekhasannya meliputi kehidupan struktur masyarakat, adat kebiasaan dan prinsip keagamaan berbeda dengan yang ada di daerah lainnya. Desa Adat Tenganan ini terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, dimana pada wilayah desa adat ini masih menjungjung tinggi segala bentuk warisan nenek moyang mereka. Salah satu bentuk warisan turun-temurun adalah sistem pengobatan tradisional yaitu memanfaatkan segala jenis ramuan baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan. Salah satu jenis tumbuhan yang banyak digunakan adalah dari golongan temu-temuan (Zingeberaceae) seperti tanaman kunyit, bangle, temu dan lain sebagainya. Pemanfaatan bahan alami sebagai obatobatan telah dikenal sejak zaman dahulu kala sebelum ditemukan obat-obatan paten, seperti antibiotik. Untuk keperluan pengobatan atau pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan cara mengekstrak bahan-bahan alam yang ada
disekitarnya. Bahkan banyak dari bahan alam ini sudah diramu secara tradisional dan digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit (Arif, 1995). Bahan alam yang diekstrak langsung dari tumbuhan hampir tidak ada efek samping bagi pemakainya, karena tingkat toksisitasnya dari bahan tersebut sangat rendah pada manusia atau hewan. Indeks terapis dari bahan alam sangat baik, walaupun efek penyembuhannya tidak secepat obat-obatan kimia. Menurut Siswandono dan Sukarjo (1995) menyatakan banyak bahan alam yang terdapat di alam dapat berperan sebagai senyawa antioksidan atau senyawa-senyawa yang dapat menetralisir radikal bebas di dalam tubuh. Sirih dan kelompok temu-temuan (khususnya dari genus Curcuma) merupakan tumbuhan yang relatif lebih banyak diteliti sebagai penghasil senyawa aktif untuk berbagai obat-obatan daripada tumbuhan lain. Puspawati dkk (1998) menyatakan bahwa Curcuma Auriginosa ROXB dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram Negatif seperti Vibrio Cholerae (penyebab penyakit kolera). Hal
114
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI tersebut didukung Herdianto (2002), ekstrak Curcuma domestica Val. dalam kloroform memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Vibrio cholerae. Senyawa aktif ini merupakan senyawa anti bakteri dari rimpang kunyit termasuk dalam golongan senyawa auron. Beranjak dari hal tersebut diatas, maka dilakukan penelitian pemanfaatan kunyit (Curcuma domestica Val) dan khasiatnya dalam pengobatan tradisional yang dilakukan di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem pada bulan Maret 2009. Penelitian ini menggunakan metode observasi partisipatif, dimana peneliti terjun langsung ke lapangan dan ikut serta menggali informasi yang ada di lokasi penelitian sehingga data yang didapat dapat mewakili kondisi penelitian secara umum. Informasi dan data-data didapat dengan menggali informasi dari narasumber yang ada di lapangan (pemuka dan tokoh-tokoh adat setempat). Hasil yang berupa informasi atau data kemudian dikumpulkan dan dicatat serta dicocokkan dengan literatur yang berhubungan dengan materi yang diteliti yaitu dalam hal ini adalah manfaat kunyit (Curcuma domestica Val) dalam pengobatan tradisional. HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Adat Tenganan Pegringsingan merupakan sebuah desa Bali Aga yang terletak diantara tiga buah bukit. Desa ini termasuk dalam perbekelan atau Desa Dinas Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Desa ini berjarak 18 km dari kota Amlapura dan 67 km dari kota Denpasar serta 4,5 km kearah utara dari Pantai Candi Dasa (Monografi Desa Tenganan, 2006). Desa Tenganan Pegringsingan mempunyai batas-batas wilayah seperti batas wilayah disebelah Utara adalah Desa Pekraman Macang dan Bebandem, di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pekraman Bungaya dan Asak Timrah, di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pekraman Pasedahan dan Desa Adat Tenganan Dauh Tukad serta di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pekraman Ngis. Desa ini berada pada ketinggian 50 m dari permukaan laut, dengan posisi Geografis 0920’ 31" LS-0926’39"LS dan 11535’25" BT, dengan luas 917.200 hektar. Desa adat ini memiliki tiga
ISBN:978-602-9138-68-9
banjar adat yaitu Banjar Adat Kauh, Banjar Adat Tengah dan Banjar Adat Pande (Monografi desa Tenganan, 2006). Masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan semuanya beragama Hindu yang mengikuti sistem “rahinan” seperti umat Hindu lainnya, namun ada “rahinan” yang khusus ada di desa tersebut dengan menggunakan Sistem Kalender Tenganan yakni 1 (satu) tahun terdiri dari 12 bulan, 1 (satu) bulan ada 30 hari. Pada bulan ke lima (sasih ke lima) ada upacara Ngusaba Sambah yang dilaksanakan dalam kurun waktu satu bulan. Dalam usaba sambah tersebut terdapat rangkaian upacara berupa acara mekare-kare atau perang pandan. Dalam acara/kegiatan tersebut memakai sarana yang berupa daun pandan berduri (Pandanus tectorius) yang diikat dengan tali. Daun pandan tersebut harus berasal dari gunung dan tidak boleh memakai pandan dari pantai karena duri pandan pantai bersifat lebih tajam. Para peserta dalam acara perang pandan ini adalah para lelaki yang telah menginjak dewasa dan orang tua. Dalam kegiatan ini setiap peserta diwajibkan memakai kamben, destar dan bertelanjang dada. Perang pandan dewasa ini masih tetap ajeg dan sangat dilestarikan mengingat dapat mempererat tali persahatan serta pemupuk rasa solidaritas di masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Dalam perang pandan yang dilakukan pada sasih kelima, para penari atau pelaku perang tersebut akan mengalami luka-luka yang mengeluarkan darah (walau tidak banyak) disekujur tubuhnya. Luka akibat goresan pandan duri (Pandanus tectorius) tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa diobati. Namun karena ada kekhawatiran akan luka tersebut maka disepakati oleh masyarakat untuk mengobati luka tersebut dengan suatu ramuan. Adapun ramuan tersebut adalah terdiri dari parutan kunyit (Curcuma domestica Val), lengkuas (Alpinnia galanga) dan cairan cuka. Ramuan tersebut dibuat dan diracik atau diramu khusus oleh seorang gadis yang masih dianggap suci (belum menstruasi). Selanjutnya ramuan atau obat tersebut dioleskan pada para peserta perang pandan yang mengalami luka-luka. Dari pengobatan dengan menggunakan ramuan tersebut ternyata dalam kurun waktu tiga hari luka para peserta perang pandan sudah sembuh dan kering. Menyadari berkhasiatnya ramuan ini, biasanya ramuan yang masih tersisa banyak diminta dan menjadi rebutan masyarakat dari luar Desa Tenganan Pegringsingan yang menonton pada prosesi acara perang pandan tersebut.
115
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Penelitian menunjukkan bahwa bagi masyarakat desa Tenganan Pegringsingan, kunyit memiliki beragam manfaat dan masyarakat di desa tersebut secara turun temurun sudah menggunakan kunyit (Curcuma domestica Val) sebagai sarana pengobatan secara tradisional. Rimpang kunyit disamping dipakai campuran obat mekare-kare juga dimanfaatkan sebagai boreh (lulur) pada sekujur tubuh, obat diare (mencret) dengan cara dioleskan pada pusar penderita. Rimpang kunyit dibersihkan kemudian diparut, diperas dan selanjutnya dicampur dengan madu. Disamping itu, rimpang kunyit di desa adat ini juga merupakan salah satu bahan baku dalam pembuatan ramuan awet muda yang dapat menghaluskan kulit, serta menjaga stamina. Ramuan ini biasanya dibuat khusus oleh seorang ibu pada hari-hari tertentu. Daun kunyit juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk sayur. Pemanfaatan kunyit untuk pengobatan ini sering dilakukan dengan petunjuk dari tetua atau tokoh adat yang dipandang mempunyai keahlian khusus dalam bidang pengobatan. Kemampuan kunyit dalam menghilangkan rasa sakit akibat luka gores duri pandan (Pandanus tectorius setelah prosesi mekare-kare (perang pandan) telah menunjukkan bahwa kunyit mempunyai khasiat mencegah terjadinya infeksi oleh bakteri. Hal ini dinyatakan oleh Trevor (1999) bahwa kunyit mengandung senyawa flavanoid yang dapat memberikan efek terhadap berbagai jenis organisme, komponen flavanoid seperti fitoeleksin merupakan komponen aktif yang dapat mencegah terjadinya infeksi atau luka. Pendapat ini juga didukung oleh Warsito (2003) yang menyatakan bahwa kandungan kurkumin pada kunyit berkhasiat membunuh bakteri (bakterisida), mengobati perut kembung, mengurangi gerakan kontraksi usus sehingga dapat mencegah diare, memperlancar cairan empedu, obat pereda batuk dan anti kejang. Kunyit di Desa Adat Tenganan Pegringsingan juga dapat dijadikan sebagai bahan untuk bumbu dan bahan pewarna pada kapas, wol, sutera, tikar dan barang-barang lainnya. Kunyit juga digunakan sebagai pewarna pembuatan sesaji. Pengobotan tradisional di Desa Adat Tenganan Pegringisngan ini juga hapir sama dengan pengobatan yang dilakukan pada beberapa daerah lain di Bali. Menurut Raharjo dan Rostiana (2005) bahwa manfaat kunyit dapat dijadikan sebagai bahan jamu yang
ISBN:978-602-9138-68-9
berkhasiat menyejukkan, membersihkan, menghilangkan rasa gatal, meyembuhkan rasa kesemutan, anti inflamasi, anti oksidan, anti mikroba, pencegahan tumor, menurunkan kadar lemak darah dan kolesterol serta pembersih darah. Manfaat utama tanaman kunyit adalah sebagai bahan baku obat tradisional dan bahan baku industri jamu dan kosmetik serta bahan bumbu masak. Lebih lanjut Soewito (1997) menyatakan bahwa tumbuhan kunyit selain sebagai bahan bumbu, kunyit sebagai bahan ramuan juga mempunyai beragam khasiat pengobatan antara lain : ambient, menghilangkan bau keringat, eksim, ginjal, gondong, keperkasaan, keracunan, luka, penyakit mata, menggemukan badan, memperbanyak air susu, pegal linu, radang usus, sakit panas, TBC, typhus, vagina menjadi sempit, dan memperlancar haid. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan kunyit di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem digunakan sebagai obat luka akibat perang pandan (mekare-kare), obat diare, sebagai bahan untuk menjaga stamina dan keremajaan kulit seperti untuk lulur (boreh) dan jamu (loloh). DAFTAR PUSTAKA Herdiyanto W. 2002. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Anti Bakteri dari Ekstrak Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val). Jurusan Kimia. FMIPA. Unud. Denpasar Marsito, B. 2003. Ramuan Tradisional Untuk Pelangsing Tubuh. Penebar Swadaya. Depok Monografi Desa Tenganana. 2006. Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Raharjo, M dan O. Rostiana. 2005. Budidaya Tanaman Kunyit. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika. Jakarta Rusmarini. I. A. 2003. Pengobatan Tanaman Obat Trdisional Bali. Pengobatan Tradisional Bali dan Agro Wisata Usadha. Puri Damai. Denpasar Trevor, R. 1999. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. ITB. Bandung.
116
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
POHON BERINGIN (Ficus benjamina) DALAM PERSPEKTIF AGAMA HINDU DAN RELEVANSINYA TERHADAP PELESTARIAN PLASMA NUTFAH DI BALI A.A. Komang Suardana Program Studi Biologi FMIPA Universitas Hindu Indonesia. Jl. Sangalangit, Tembau, Denpasar, e-mail: [email protected] ABSTRAK Umat Hindu mengungkapkan rasa bhakti dengan menjalin hubungan yang harmonis secara vertikal dengan Tuhan dan secara horizontal dengan sesama umat manusia. Pandangan ini merupakan konsep dasar Agama Hindu dalam upaya menciptakan kehidupan yang harmonis, serasi, selaras dan seimbang yang disebut dengan konsep Tri Hita Karana. Akan tetapi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi tidak hanya memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia tetapi juga dapat berdampak pada kerusakan lingkungan. Kesulitan kehidupan yang terjadi akibat kerusakan lingkungan ini membuat manusia mulai berpikir tentang kelestarian alam yang merupakan wahana hidup manusia. Pandangan bahwa agama mengarahkan hidup, ilmu memudahkan hidup, sedangkan seni akan mengindahkan hidup dapat memberi makna bahwa agama dan ilmu pengetahuan merupakan dua hal yang saling melengkapi untuk mencapai kesejahtraan hidup umat manusia. Penelitian yang dilakukan melalui studi pustaka menemukan bahwa eksistensi pohon beringin menurut perspektif Hindu memiliki banyak nilai dan fungsi seperti, nilai hidrologis, budaya, religi, ekologis, dan fungsi keamanan kawasan hutan. Peran pohon beringin dalam budaya masyarakat Bali telah mencerminkan konsep Tri Hita Karana yang terwujud dalam berbagai acara keagamaan dan secara langsung merupakan upaya pelestarian plasma nutfah. Kata kunci: Hidup harmonis, Perkembangan IPTEK, Nilai pohon beringin PENDAHULUAN Tanaman sebagai produsen sangat vital peranannya bagi kehidupan. Melalui proses fotosintesis tumbuhan mampu memanfaatkan unsur hara dalam tanah dan dengan bantuan sinar matahari akan menghasilkan bahan-bahan organik seperti karbohidrat, protein dan lemak yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk kelangsungan hidupnya. Manusia telah berterimakasih atas jasa tumbuhan tersebut dan mengungkapkannya melalui ritual keagamaan yang pada hakekatnya perwujudan dari rasa syukur kepada Tuhan atas ciptaan-Nya. Salah satu jenis tumbuhan yang popular bagi masyarakat Hindu di Bali adalah beringin (Ficus benjamina). Beringin merupakan anggota famili Moraceae. Ficus merupakan marga terbesar Famili Moraceae yang banyak dijumpai di Indonesia, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Ada
sekitar 1000 jenis Famili Moraceae, setengahnya adalah Ficus. Tanaman ini berupa pohon yang bisa mencapai tinggi 35 meter, tumbuh di tanah dan ada yang bersifat hemi-epifit. Beringin juga termasuk dalam kategori tanaman perindang (Purwanto, 2000). Beringin merupakan tanaman yang memiliki kemampuan hidup dan beradaptasi dengan bagus pada berbagai kondisi lingkungan. Selain itu keberadaan tanaman beringin pada kawasan hutan bisa dijadikan sebagai indikator proses terjadinya suksesi hutan. Beringin juga merupakan tanaman yang memiliki umur sangat tua, tanaman tersebut dapat hidup dalam waktu hingga ratusan tahun. Tanaman beringin memiliki kemampuan sebagai tanaman konservasi mata air dan penguat lereng alami. Hal tersebut dapat dilihat dari struktur perakarannya yang dalam dan akar lateral yang mencengkeram tanah dengan baik (Dianita, 2012).
117
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Jenis-jenis beringin memang diketahui sebagai habitat beberapa burung, reptilian, serangga dan mamalia yang mengkonsumsi buahnya. Jadi, dengan menanam beringin, secara tidak langsung juga akan mengkonservasi fauna yang menjadikan beringin sebagai tempat hidupnya. Jenis tanaman Ficus juga dikenal sebagai tanaman untuk upacara adat di Bali dan sebagai tanaman obat. Beringin juga memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerap polusi dalam hal ini CO2 dan timbal hitam di udara (Napitu, 2008). Pada proses pembangunan kawasan hutan lindung di kawasan hutan produksi, beringin memiliki peranan yang cukup penting. Hal tersebut karena Beringin memiliki nilai hidrologis, ekologis, budaya, religi dan keamanan kawasan hutan. Sehingga dalam pembangunan hutan lindung, beringin harus dimasukkan sebagai salah satu jenis tanaman yang perlu dikayakan pada kawasan tersebut. Pengkayaan jenis beringin akan dapat mempercepat proses suksesi kawasan hutan untuk mencapai kondisi klimaks (Ulum, 2002) Berdasarkan kenyataan tersebut, keberadaan pohon beringin tidak saja memberikan manfaat terhadap umat manusia, tetapi juga terhadap alam sebagai upaya dalam menjaga ekosistem alam. Apalagi, keberadaan pohon beringin di Bali sangat disakralkan. Penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2008) tentang Persepsi Masyarakat di Balik Mitos Pohon Beringin di Pura Kehen Desa Adat Cempaga, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, memberikan gambaran bahwa sebagian masyarakat di Bangli masih mempercayai mitos yang berkembang di masyarakat tentang pohon beringin yang berada di pura Kehen tersebut. Mitos mengenai pohon beringin di Pura Kehen tersebut terdapat tiga kali yaitu pada tahun 1964 Raja Bangli meninggal setelah dahan pohon beringin patah, tahun 1976 Ida Pedanda Gde Tajung meninggal dunia dan pada tahun 1980 Prajuru Adat Bebanuan. Oleh karena itu, mitos mengenai keberadaan pohon beringin di Pura Kehen tersebut, sampai sekarang masih diwarisi masyarakat melalui cerita dari mulut ke mulut (Dewi, 2008). Bertitik tolak pada fenomena tersebut tulisan ini membahas tentang Pohon beringin dalam Perspektif Agama Hindu dan Relevansinya terhadap Pelestarian Plasma Nutfah di Bali.
ISBN:978-602-9138-68-9
PEMBAHASAN Pohon Beringin Beringin (Ficus benjamina) merupakan salah satu tumbuhan obat yang sering dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional di Bali (Rusmarini, 2003). Di Bali, tumbuhan ini dikenal dengan nama Bingin, di daerah Sunda dikenal dengan nama Caringin, dan di Jawa serta Sumatra dinamakan Waringin (Dalimartha, 1999). Tumbuhan ini juga dianggap keramat karena daun beringin dipakai sebagai sarana Upacara Ngaben, Mamukur, dan ritual lainnya (Anonim, 2007a). sebagai tumbuhan obat, beringin digunakan untuk berbagai penyakit, yaitu : pernafasan, kulit, demam tinggi, nyeri rematik sendi, memar, influensa, radang saluran nafas (bronchitis) batuk rejan (pertusis) dan disentri (Anonim, 2005, et al., 1994). Menurut Dalimartha (1999) akar udara dan daun beringin berkhasiat sebagai antiperitik, antibiotik, antiinflamasi, peluruh keringat (diaforetik), dan peluruh kencing (deuretik). Akar udara tumbuhan beringin mengandung senyawa asam amino, fenol dan gula. Selain itu, daun, akar dan kulit batangn beringin mengadung senyawa metabolit sekunder seperti saponin, flavonoid, dan polifenol (Anomin, 2007b). Ciri-ciri Pohon Beringin adalah : Pohon, tinggi 20-25 m Batang Tegak, bulat, percabangan simpodial, permukaan kasar, pada batang tumbuh akar gantung, coklat kehitaman. Jenis daunnya adalah daun tunggal, bersilang berhadapan, lonjong, tepi rata, ujung runcing, pangkal tumpul, panjang 3-6 cm, lebar 2-4 cm, bertangkai pendek, pertulangan menyirip, hijau. Bunga tunggal, di ketiak daun, tangkai silindris, kelopak bentuk corong, hijau, benang sari dan putik halus, kuning, mahkota bulat, halus, kuning kehijauan. Buah berupa buni, bulat, panjang 0,5-1 cm, masih muda hijau setelah tua merah. Biji bulat, keras, putih. Akar tunggang, coklat. Kandungan Kimia daun, akar dan kulit batang beringin mengandung saponin, falvonoida dan polifenol. Habitat Pohon Beringin banyak tumbuh di daerah perairan seperti pinggiran sungai. Distribusi: banyak dijumpai di Indonesia, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Manfaat daun beringin berkhasiat sebagai obat sakit sawanan pada anak-anak. Untuk obat sawanan dipakai 100 gram daun beringin, dicuci dan direbus dengan 5 liter air selama 25 menit.
118
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Air rebusan setelah agak dingin digunakan untuk memandikan anak yang sedang sakit. Ulum (2002), menguraikan bahwa beringin memiliki banyak manfaat dalam kehidupan umat manusia, antara lain : memiliki nilai hidrologis, ekologis, budaya, religi dan keamanan kawasan hutan. Sehingga dalam pembangunan hutan lindung, beringin harus dimasukkan sebagai salah satu jenis tanaman yang perlu dikayakan pada kawasan tersebut. Pengkayaan jenis beringin akan dapat mempercepat proses suksesi kawasan hutan untuk mencapai kondisi klimaks. Beringin merupakan tanaman yang memiliki struktur perakaran yang dalam dan akar lateral yang mencengkram tanah dengan baik. Beringin merupakan salah satu jenis tanaman yang mampu menyimpan cadangan air pada musim penghujan dengan baik dan mengeluarkannya pada musim kemarau secara teratur. Hal tersebut banyak dijumpai di banyak tempat, dimana tanaman beringin selalu ada pada daerah-daerah yang merupakan sumber air. Sehingga beringin memiliki peran yang penting dalam menjaga kontinuitas ketersediaan pasokan air pada suatu kawasan baik pada musim hujan maupun kemarau.Selain itu beringin dengan sistem perakaran yang kuat dan dalam merupakan tanaman yang mampu menjadi penahan erosi tanah. Beringin juga sangat efektif berfungsi sebagai penahan terjadinya tanah longsor pada daerah yang memiliki tekstur tanah yang curam.Beringin merupakan tanaman yang mampu hidup di berbagai macam kondisi lingkungan yang ekstrim, salah satunya adalah diatas batu. Dengan akar yang kuat tanaman tersebut mampu mecengkram batu yang besar dan menahannya agar tidak jatuh ke bawah. Beringin (Ficus benjamina) merupakan spesies yang memiliki nilai ekologi sangat tinggi peranannya pada kawasan hutan. Beringin selain berfungsi sebagai tanaman penjaga erosi tanah dan penyimpan cadangan air juga merupakan tanaman yang sangat disukai sebagai habitat satwa liar. Beringin merupakan sumber pakan untuk beberapa jenis burung, serangga, reptilia, ampibia dan mamalia. Akar gantung pohon beringin merupakan tempat bermain untuk beberapa jenis primata. Selain itu beringin juga merupakan tempat bersarang untuk burung, reptilia dan mamalia.Pada pohon beringin terjadi
ISBN:978-602-9138-68-9
suatu interaksi biotik yang sangat komplek. Interaksi tersebut merupakan hubungan simbiosis mutualisme antara sesama spesies yang ada di situ. Sehingga oleh beberapa ahli ekologi, pohon beringin sering dijadikan salah satu indikator bahwa hutan yang bervegetasikan tanaman dari jenis Ficus spp. adalah hutan yang dalam kondisi klimaks atau dalam proses suksesi menuju klimaks. Pada kawasan hutan tanaman yang dibiarkan tumbuh secara alami tanpa bantuan manusia, pohon beringin akan tumbuh dengan sendirinya. Proses penyebaran beringin di alam merupakan peran dari satwaliar yang memakan bijinya. Biasanya satwa yang berperan besar dalam proses penyebaran beringin di alam adalah jenis burung pemakan biji dan primata.Satwa tersebut memakan biji beringin, kemudian membuangnya melalui feces atau mulutnya di tempat yang berbeda dari tempat asal induk beringinnya. Biji tersebut akan berkecambah di tanah ataupun menjadi parasit pada tanaman lain (hemi-epifit) (Anonim, 2007a). Meskipun penyebaran beringin di alam dapat dilakukan oleh satwaliar, namun untuk mempercepat proses pembentukkan hutan alam perlu dilaksanakan kegiatan pengkayaan jenis beringin. Proses penyiapan benih untuk kegiatan pengkayaan jenis beringin bisa dilakukan dengan cara menyemai biji atau dengan cara stek batang. Nilai Budaya Dan Religi Pohon Beringin Beringin merupakan tanaman yang memiliki nilai budaya dan religi yang tinggi bagi masyarakat Indonesia. Keberadaan tanaman beringin pada suatu tempat biasanya selalu identik sebagai tempat yang memiliki daya magis yang tinggi. Beringin juga dijadikan sebagai tanaman suci bagi sebagian masyarakat Indonesia, terutama buat umat Hindu Budha dan beberapa aliran kepercayaan. Selain memiliki manfaat sebagaimana diuraikan di atas, beringin juga memiliki manfaat sebagai pelengkap upacara keagamaan Hindu. Dalam upacara panca yadnya daun beringin ini sering digunakan sebagai sarana upacara, misalnya dalam upacara ngaben, mamukur, hari suci saraswati, dan sebagainya (Swastika, 2008:44). Hal ini berarti, pohon beringin banyak memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia, khususnya masyarakat Hindu di Bali.
119
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2008) disebutkan bahwa keberadaan Pohon Beringin di Bali khususnya masih memiliki kedudukan yang sangat sakral. Hal ini berarti selain memiliki fungsi sebagai sarana upacara, Pohon Beringin juga memiliki daya magis yang berperan sebagai pelindung. Selanjutnya, makalah yang dipaparkan oleh Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Komisi Plasma Nutfah (2000). Dalam makalahnya dipaparkan bahwa pelestarian dan pemanfaatan Plasma Nutfah merupakan upaya dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Selain pelestarian dan pemanfaatan Plasma Nutfah yang juga mendapat perhatian adalah pengamanannya. Dengan demikian, keseimbangan ekosistem yang merupakan habitat organisme benar-benar dapat terjaga kelestariannya. Tanpa adanya upaya menjaga dan melestarikan ekosistem, maka mustahil akan terdapat kehidupan. Oleh karena itu, untuk menciptakan lingkungan hidup berbasis alam, maka alam harus dimanfaatkan dan dijaga kelestariannya dengan baik. Dari makalah tersebut, jelas bahwa pelestarian lingkungan merupakan hal terpenting dalam upaya menjaga kelestarian ekosistem. Untuk itu, keberadaan Pohon Beringin yang merupakan bagian dari alam ini juga harus dijaga kelestariannya. Dengan demikian, makalah yang disampaikan oleh Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Komisi Plasma Nutfah (2000) masih memiliki relevansi terhadap penelitian ini. Dwiyanto dan Setiadi (2001), dalam makalahnya yang berjudul Plasma Nutfah dalam Pengelolaan dan Pelestarian Sumber Daya Genetik Pertanian. Dalam makalahnya dipaparkan bahwa tanpa adanya sumber daya hayati, manusia jelas tidak dapat melangsungkan kehidupannya, sebaliknya kekuatan sumber daya hayati itu juga tergantung pada derajat keanekaragaman unsur-unsur yang membentuknya, termasuk campur tangan manusia dalam menjaga keberadaannya. Oleh karenanya, pelestarian Plasma Nutfah merupakan suatu upaya untuk mempertahankan keanekaragaman sumber daya genetiknya. Pelestarian keanekaragaman genetik akan selalu diperlukan dalam pemuliaan, tanpa adanya keragaman genetik, pemuliaan tidak mungkin dilaksanakan. Demikian juga, tanpa campur
ISBN:978-602-9138-68-9
tangan manusia, pemuliaan juga tidak dapat terlaksana. Berdasarkan pemaparan tersebut, jelas bahwa campur tangan manusia dalam menjaga alam memiliki peran yang sangat penting. Tanpa manusia alam tidak akan terjaga sebaliknya tanpa alam kehidupan manusia juga tidak akan berlangsung dengan baik. Untuk itu, agar tercipta kehidupan yang harmonis, maka manusia harus menyatu dengan alam dalam artian turut menjaga, merawat dan melestarikan alam. Dengan demikian, makalah yang disampaikan oleh Dwiyanto dan Setiadi (2001), masih memiliki relevansi terhadap penelitian ini. Berdasarkan beberapa rujukan pustaka tersebut, jelas bahwa keberadaan pohon beringin yang merupakan flora di dunia ini memiliki peranan yang sangat penting. Selain sebagai habitat makhluk lain, pohon beringin juga memberikan manfaat terhadap lingkungan. Dengan demikian, penelitian ini tidak saja penting, tetapi sangat perlu untuk dilakukan terutama dalam kacamata Agama Hindu di Bali dalam relevansinya untuk menjaga lingkungan berdasarkan perpsektif Hindu. Plasma Nutfah Plasma nutfah merupakan koleksi sumber daya genetic yang berupa keanekaragaman tumbuhan, hewan atau jasad renik untuk tujuan yang luas. Sastrapraja (1992) menyatakan bahwa plasma nutfah adalah substansi yang terdapat pada suatu kelompok makhluk hidup yang merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dirakit untuk menciptakan jenis unggul atau kultivar yang baru. Plasma nutfah adalah substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta mikroorganisme. Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional (http:// wikipedia.com). Upaya pengelolaan dan pelestarian sumberdaya alam hayati tidak dapat dilepaskan dari upaya pengelolaan dan pelestarian plasma nutfah selaku pembawa sifat keturunan species keanekaragaman hayati tersebut (Napitu, 2008). Plasma nutfah adalah substansi yang terdapat dalam setiap makhluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau ditarik untuk menciptakan jenis unggul atau
120
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI kultivar baru. Termasuk dalam kelompok ini adalah semua kultivar unggul masa kini atau masa lampau, kultivar primitif, jenis yang sudah dimanfaatkan tapi belum dibudidayakan, jenis liar kerabat jenis budidaya dan jenis-jenis budidaya. Usaha Pelestarian Plasma Nutfah Pelestarian Plasma Nutfah dapat dilakukan secara in-situ maupun ex-situ. Konservasi in-situ yaitu konservasi didalam kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Khususnya untuk tumbuhan meskipun untuk populasi yang dibiakkan secara alami, konservasi in-situ mungkin termasuk regenerasi buatan apabila penanaman dilakukan tanpa seleksi yang disengaja dan pada area yang sama bila benih atau materi reproduksi lainnya dikumpulkan secara acak. Sedangkan konservasi ex-situ merupakan metode konservasi yang mengkonservasi spesies diluar distribusi alami dari populasi aslinya. Memanfaatkan plasma nutfah dengan insitu memungkinkan karakterisasi dan evaluasi tanaman serta memudahkan program persilangan melalui persendian bunga atau serbuk sari secara cepat. Selain itu proses produksi secara klonal dapat mempertahankan kemasan genetic materi. Namun demikian, metode koleksi ini rawan punah, trutama di Negara-negara berkembang yang disebabkan oleh berbagai factor seperti hama penyakit (baik dilapangan maupun penyimpanan), iklim yang ektrim, kebakaran lahan, konflik social, serta perubahan pemanfaatan lahan yang tadinya untuk koleksi plasma nutfah. Pelestarian plasma nutfah dapat dilakukan dengan cara konvensional ataupun modern/bioteknologi. Kedua cara ini membutuhkan tindakanyang cermat karena sudah barang tentu terdapat kelebihan dan kekurangannya. Dhanutirto (1990) mengungkapkan bahwa kelebihan cara konvensional adalah menggunakan lahan yang luas (aneka ragam plasma nutfah dapat dilestarikan), sedang kekurangannya sulit memonitor dan kestabilan plasma nutfah sulit dijamin. Lebih lanjut diungkapkan mengenai kelebihan cara modern membutuhkan ruang yang sempit (karena dilakukan secara in vitro), mudah memonitor, tenaga kerja tidak banyak, sedang kekurangannya adalah investasi awal tinggi dan membutuhkan tenaga ahli yang berkualitas. Para ahli mengungkapkan bahwa kedua cara ini tidak dapat dipisahkan, karena pada pelaksanaanya
ISBN:978-602-9138-68-9
akan saling menunjang. Sejauh ini metode konvensional sudah banyak berhasil dalam menyelamatkan plasma nutfah yang tentunya sangat berguna bagi kelangsungan hidup mahluk hidup di muka bumi ini. Memelihara di tempat dimana tanaman tumbuh merupakan tindakan yang sudah berabadabad dilakukan dengan cara ini tanaman tidak akan strees terhadap keadaan lingkungan yang baru. Namun demikian keadaan alami ini akan nlebih membiarkan tanaman tersebut danakan berkembang secara sendirib tanpa terlalu banyak, atau bahkan tidak ada jamahan tangan manusia sebagai pengelola. Sudah tentu akan seperti komuniti alami. Keuntungan lain adalah ekosistem akan lebih terjaga. Dengan adanya evolusi, kemajuan perkembangan budaya manusia tanaman banyak dipindah tempatkan oleh manusia dengan unsur kesengajaan, perlakuan ini dikenal dengan istilah domestikasi. Tindakan ini ternyata membawa dampak positif terhadap kemajuan pertanian, mereka belajar menanam dengan baik, mencoba memperbanyak agar dapat memperoleh kesinambungan daerri keberadaan tanamanyang dipelihara. Namun demikian kita masih tetap dapat memelihara secara in situ, sesuai dengan tempat dimana tanaman itu tumbuh dan berkembang; karena biasanya tanaman yang didomestikasikan berarti sudah menyesuaikan diri dengan keadaan tempat yang baru. Hal-hal yang diperhatikan dalam melaksanaan pelestarian plasma nutfah adalah: pengkajian teknologi pelestarian, penyediaan tenaga ahli dan pembangunan sarana dan prasarana (Dhanutirto,1990). Konservasi ex-situ merupakan metode konservasi yang mengkonservasi spesies diluar distribusi alami dari populasi aslinya. Konservasi ini merupakan proses melindungi spesies tumbuhan dan hewan langka dengan mengambilnya dari habitat yang tidak aman atau terancam dan menempatkannya di bawah perlindungan manusia. Tujuan konservasi ex-situ untuk mendapatkan kondisi penyimpanan yang ideal sehingga penyimpana plasma nutfah dapat diprtahankan dengan menekan proses metabolism pada tingkat yang sangat mini. Menurut Harington dalam Robert dan King (1979) penyimpanan benih adalah salah satu metode preservasi genotif ang termudah dan termurah.
121
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Konservari ex-situ, menghilangkan spesies dari konteks ekologi lainnya, melindunginya dibawah kondisi semi terisolasi dimana evolusi alami dan proses adaptasi dihentikan sementara atau diubah dengan mengintroduksi specimen pada habitat yang tidak alami (buatan). Pelestarian tanaman dengan cara memindah tempatkan dari tempat asal tumbuhnya, dengan sendirinya tercermin ada unsur kesengajaan untuk memelihara lebih intensif dengan cara mengurangi luas areal penanaman, menggunakan tenaga kerja yang cukup, sarana yang memadai, atau bahkan menggunakan bahan-bahan, alat-alat yang canggih seperti yang di peruntukkan pada kultur teknik in vitro. Beberapa hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaannya adalah di perlukan tenaga terampil yang terdidik dan mempunyai rasa tanggung jawab penuh pada pekerjaannya, kelengkapan bahan dan alat yang di butuhkan seringkali sangat terbatas, menyimpan cara ini khususnya dengan kebun pembibitan tidak dapat menjamin penyimpan jangka panjang. Dipihak lain keuntungan yang dapat di harapkan tidak sedikit. Dengan menggunakan cara ini kita dapat lebih memantau penyelamatan koleksi, baik secara budidaya maupun masalah vandalisme. Selain itu dapat ditambah koleksi setiap saat bila mana memungkinkan, baik yang sudah teridentifikasi maupun yang masih sedang dalam taraf eksplorisasi. Sering para peneliti mengalami kesukaran bila di minta usulan penelitian yang berkaitan dengan penggunaan varietas-varietas lanras untuk tanaman tertentu. Secara umum sitem pelestarian plasma nutfah secara ex-situ belum memadai. Sampai saat sekarang sistem nasional pelestarian ex-situ yang ada dapat digambarkan sebagai berikut: Kebun raya Indonesia, bertanggung jawab pada jenis botani, jadi diutamakan penempatan kelengkapan koleksi tanaman pribumi yang ada di Indonesia. Karena keterbatasan lahan atau areal kebun maka masih diperlukan adanya tambahan terhadapkoleksi botani yang ada dalam kebun raya itu yang dapat ditanam diberbagai tipe tapak pelestairian lainnya. Keanekaragaman plasma nutfah tidak menjadi mandat kebun raya sebab koleksi lebih di tunjukkan kepada keragaman jenis botani.
ISBN:978-602-9138-68-9
Usaha pelestarian dilakukan dengan konservasi secara ex-situ yaitu penanaman di tempat koleksi baru/di luar habitat alaminya. Contoh tanaman yang dikumpulkan dari eksplorasi berupa biji, umbi, setek dan organ tanaman lainnya. Materi berupa organ tanaman disterilisasi menggunakan Rootone-F, selanjutnya ditanam di pot-pot pemeliharaan di rumah kaca dan kebun pemeliharaan (visitor plot). Pemeliharaan tanaman dilaksanakan dengan penyiraman, pemupukan baik pupuk Gandasil maupun pupuk NPK, pengendalian hama dan penyakit, dan pemangkasan (Ronny Yuniar Galingging, 2006) Menurut Suharto. (2004), sampai dengan saat ini belum ada suatu kebijakan yang berskala nasional, terintegrasi dan komprehensif tentang pengelolaan plasma nutfah. Pengelolaan plasma nutfah terkotak-kotak sesuai dengan lembaga pengelolaanya. Sehingga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada lembaga pengelola yang satu tidak berdampak pada lembaga lainnya. Selain permasalahan diatas, dalam kebijakan yang adapun hanya tertuang dalam beberapa pasal dalam Undang Undang dan Peraturan-Peraturan pelaksanaan, yang merupakan kebijakan yang bersifat parsial dan (mungkin) kontemporer.dan itu pun tidak secara inflisitmenegaskan makna akan plasma nutfah. Bila dikaji kebijakan-kebijakan yang di keluarkan terakait lembaga pegelola sumber daya alam hayati maka di sangat kurang tegas dinyatakan akan upaya-upaya pengelolaan sumberdaya genetik (plasma nutfah)-nya. Sektor pertanian yang lebih dahulu maju dalam pengembangan rekayasa genetika, dapat dikatakan mulai memperhatikan unsur plasma nutfah tersebut dalam kebijakannya itupun sifatnya sangat persial dan mungkin temporal. Pengelolaan smberdaya alam hayati lebih di fokuskan pada pemanfaatan keanekaragam jenis dan hanya pada jenis-jenis yang memiliki nilainilai komersial. Kurangnya perhatian pengembangan jenis-jenis komesial dan jenis lainnya tersebut, tentu disebabkan tidak adanya keberpihakan kebijakan yang dikeluarkan kearah pengembangan genetic. Para ahli pertanian dan ahli konservasi biologi harus berterimakasih kepada para petani tradisional yang mempunyai peranan penting dalam mengelola dan menjaga keanekaragaman sumber plasma nutfah. Keanekaragama sumber
122
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI plasma nutfah sangat penting dalam upaya memperbaiki jenis-jenis tanaman budidaya. Dalam upaya menjaga kelestarian jenisjenis tanaman local yang memiliki keunggulan tertentu diperlukan upaya konservasi ex-situ yang diperlukan para pemulia sebagai bahan sumber genetik dalam upaya menemukan jenis yang mempunyai keunggulan. Walaupun demikian para ilmuwan ahli genetika dan ahli pemulia masih tetap memerlukan usaha in-situ jenis dan kultivar-kultivar lokal sebagai sumber genetic dalam rekayasa genetika untuk memeperbaiki jenis tanaman budidaya. Dalam rangka konservasi in-situ keanekaragaman jenis tanaman budidaya, masyarakat lokal memiliki peran sangat penting terutama dalam mengembangkan dan mengelola keanekaragaman plasma nutfah jenis-jenis tanaman budidaya tersebut. Walaupun strategi konservasi ex-situ mendominasi upaya kenservasi sumber daya genetik, tetapi pada decade terakhir banyak ilmuwan pertanian khususnya para pemulia tanaman telah menggunakan pula strategi konservasi in-situ kultivar-kultivar lokal atau jenis lokal yang memiliki keunggulan spesifik sebagai sumber genetic pemuliaan tanaman dimasa depan. SIMPULAN Berdasarkan pemaparan tersebut, eksistensi Pohon Beringin berdasarkan perspektif Hindu dipandang dari berbagai fungsi terhadap keberadaan Pohon Beringin tersebut memiliki banyak nilai fungsi, diantaranya : Nilai Hidrologis, Nilai Budaya dan Religi, Nilai Ekologis, dan Nilai Keamanan Kawasan Hutan. Dalam perannya menjaga kelestarian plasma nutfah (di Bali khususnya), lebih cenderung pada peran dan fungsinya sebagai Nilai Budaya dan Religi, Nilai Ekologis, dan Nilai Keamanan Kawasan Hutan. Dengan demikian, Pohon Beringin dan pelestarian Plasma Nutfah di Bali, sesungguhnya sudah tercermin dalam budaya masyarakat Bali dalam berbagai acara keagamaan yang secara langsung mengandung konsep Tri Hita Karana, menjalin kehidupan yang harmonis.
ISBN:978-602-9138-68-9
SUMBER BACAAN Anonim, 2005. Tanaman Obat Indonesia, Pohon Beringin. Anonim, 2007a. Kenapa Pohon Beringin? Anonim, 2007b. Ficus benjamina. Anonim. 2000. Pelestarian Plasma Nutfah Nabati di Indonesia. Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembngan Pertanian Komisi Nasional Plasma Nutfah. Makalah (Tidak Diterbitkan) Dalimarta, S., 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid I. Jakarta : Trubus Agriwidya. Dewi, A.A. Putri Candra Purnama. 2008. Persepsi Masyarakat di Balik Mitos Pohon Beringin di Pura Kehen Desa Adat Cempaga, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sejarah. Universitas Mahasaraswati Denpasar (Tidak Diterbitkan) Dianita, Ariyanti. 2012. Jurnal Pemanfaatan Plasma Nutfah melalui Bioteknologi dalam Peningkatan Produksi Tanaman Padi. Malang : Universitas Muhamadaiyah Malang. Dwiyanto dan Setiadi. 2001. Plasma Nutfah dalam Pengelolaan dan Pelestarian Sumber Daya Genetik. Makalah (Tidak Diterbitkan) Napitu, Ja Posman. 2008. Kajian Yuridis Plasma Nutfah Bagi Ketahanan Ekonomi Negara. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Purwanto. 2000. Etnobotani dan Konservasi Plasma Nutfah Hortikultura. Bogor : Kebun Raya Bogor. Sudharta, Cok Rai. 2004. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Hindu. Surabaya : Paramita. Swastika, I Ketut Pasek. 2008. Upacara Panca yadnya dalam Agama Hindu. Surabaya : Paramita. Tjitrosoepomo, Gembong. 2010. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Walker, John A. 2010. Desain, Sejarah, Budaya, Sebuah Pengantar Komprehensif. Jakarta : Jalasutra Wiana, I Ketut. 2007. Tri Hita Karana menurut Konsep Hindu. Surabaya : Paramita.
123
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
TUMPEK KANDANG, SEBUAH KEARIFAN LOKAL BALI UNTUK PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Ni Ketut Ayu Juliasih dan I Made Gede Anadhi Program Studi Biologi FMIPA Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau, Denpasar Bali ABSTRAK Bali sarat dengan berbagai kearifan lokal dalam mengarusutamakan pelestarian alam. Salah satunya adalah melalui pendekatan pelaksanaan ritual Tumpek Kandang atau Tumpek Andang atau Tumpek Uye. Secara filosofis ritual Tumpek Kandang adalah proses penyucian terhadap binatang yang ada di bhuana agung (alam semesta) dan di bhuana alit (dalam diri manusia). Penggunaan binatang sebagai sarana upacara adalah semacam penyupatan (ruwatan) bagi binatang untuk hadir lebih mulia pada kelahiran mendatang. Ritual Tumpek Kandang secara etika adalah bentuk penghormatan manusia sebagai bhuana alit terhadap hewan sebagai wakil bhuana agung dan sebagai wujud syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Rare Angon atau Sang Hyang Pasupati. Bhisama PHDI menegaskan bahwa manusia berkewajiban untuk senantiasa melestarikan beraneka fauna tidak saja untuk kebutuhan upacara dan untuk kelangsungan hidup, namun juga untuk tetap terjaganya keanekaragaman hayati di muka bumi ini pada masa mendatang dengan konsep Tri Hita Karana. Jadi makna Tumpek Kandang bahwa masyarakat Hindu di Bali mengakui eksistensi keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan hubungan timbal baliknya. Makna tersebut mengisyaratkan bahwa perlakuan semena-mena terhadap binatang akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam ekosistem. Disamping itu binatang sebagai hewan produksi tidak akan produktif apabila tidak dipemelihara secara optimal. Kata kunci: Tumpek kandang, Kearifan lokal, Pelestarian PENDAHULUAN Bali tidak lepas dari pelaksanaan upacara-upacara keagamaan Hindu. Upacaraupacara itu menggunakan sarana yang disebut banten. Pelaksanaan upacara tersebut merupakan ungkapan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) (Wiana, 2004). Pelaksanaan upacara tersebut membutuhkan sarana berbagai jenis tumbuhan, hewan, dan peralatan lainnya, maka untuk menjaga ketersediaannya tentunya wajib untuk menjaga kelestariannya. Secara khusus terkait metode pelestarian melalui perayaan hari suci Tumpek Kandang inilah yang akan dibahas secara mendalam dalam tulisan berikut ini, serta sejauh mana peran manusia sebagai puncak dari berjalannya metode pelestarian ini juga diberdayakan secara lahir dan bathin dalam keseluruhan proses yang dijalani tiada henti tersebut.
PEMBAHASAN Tumpek Kandang atau Andang pelaksanaan upacaranya dilakukan setiap 210 hari sekali (enam bulan Bali), yakni pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Uye sehingga disebut juga Tumpek Uye. Tumpek Kandang diberi istilah demikian dimaksudkan untuk memudahkan menginformasikan jenis upacara yang dilakukan pada saat itu, yakni upacara yang ditujukan kepada binatang yang dikandangkan atau ternak, meskipun dalam arti luas upacara ini ditujukan juga kepada semua jenis binatang yang ada, baik jinak maupun buas, hewan ternak maupun liar. Tumpek Kandang merupakan ritual yang ditujukan untuk selamatan atas diciptakannya binatang ke dunia sebagai teman hidup manusia. Berdasarkan ulasan tersebut jika dikaitkan dengan ketentuan Lontar Astabhumi sebagai pedoman tata ruang dalam rumah tradisional Bali, maka posisi untuk meletakkan
124
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI kandang ternak yang terbaik adalah di arah Kelod Kauh (Barat Daya), dan Kelod (Selatan) sedangkan arah mata angin yang lain disarankan untuk dihindari karena diyakini berpengaruh kurang baik terhadap ternak yang dipelihara maupun pemiliknya. Tumpek Kandang merupakan pemujaan kehadapan Sang Hyang Rare Angon sebagai dewanya ternak. Secara leksikal Rare artinya anak-anak dan Angon artinya mengembala. Jadi Rare Angon dapat diartikan sebagai pengembala atau pelindung ternak (Kamus Bahasa Bali). Lontar Rare Angon menyatakan Sang Rare Angon sejatinya adalah salah satu sebutan untuk Dewa Siwa dalam manifestasinya sebagai pelindung ternak, setara maknanya dengan sebutan Sang Hyang Pasupati. Pasupati berasal dari kata pasu yang berarti binatang peliharaan/ternak dan pati artinya penguasa, dengan demikian Pasupati adalah sebutan untuk Dewa Siwa selaku penguasa, pelindung segala ternak termasuk semua jenis binatang yang ada di dunia ini (Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa, 2014, komunikasi pribadi). Tumpek Kandang sebagai Kearifan Lokal Kearifan lokal merupakan istilah yang diterjemahkan dari istilah local genius yang semula dicetuskan oleh H.G. Quaritch Wales, yang menuliskan isi konsep local genius sebagai berikut: “…the sum of cultural characteristics with tha vast majority of people have in common as a result of their experiences in early life”. Artinya: “…Keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman mereka di masa lampau” (Poespowardoyo & Suleiman, 1986 dalam Astra, 2004:114). Jadi local genius, yang kemudian dialihbahasa Indonesiakan menjadi kearifan lokal, pada dasarnya adalah ciri kebudayaan suatu masyarakat/bangsa yang merupakan akumulasi pengalaman masa lalu yang bertahan hingga kini (Udayana, 2008: 42). Kearifan lokal, dikonsepsikan sebagai bagian dari kebudayaan, khususnya bagian dari sistem pengetahan tradisional. Kearifan lokal adalah kecerdasan, kebijaksanaan, kepandaian yang berwawasan ke depan, dengan bersandar
ISBN:978-602-9138-68-9
pada nilai-nilai, norma, etika, dan prilaku yang melembaga secara tradisional dalam suatu kelompok masyarakat setempat, dalam mengelola berbagai sumber daya alam, budaya, sumber daya manusia, untuk keadilan, kesejahteraan, kedamaian, dan kelangsungan hidup berkelanjutan. Kearifan lokal biasanya terwujud dalam bentuk filosofi, nilai, norma, hukum adat, etika, lembaga sosial, sistem kepercayaan melalui upacara. Bentuk kearifan lokal secara lebih rinci terdapat pada berbagai aspek kehidupan seperti bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertanian, upacara, dan lain-lain. Berdasarkan pada bentuknya, keragaman kearifan lokal bervariasi atas: bentuk ritual atau upacara, bentuk sastra, bentuk nasehat dan petuah, bentuk kepercayaan, dan bentuk pantangan. Sedangkan berdasarkan maknannya, keragaman kearifan lokal mengandung makna religius, makna sosial, makna ekonomis, makna etika, dan moral, dan makna politis (Gelgel, 2014:77). Berdasarkan pemahaman terhadap konsepsi tersebut, tampaknya Tumpek Kandang termasuk ke dalam, atau memenuhi syarat sebagai lokal genius, atau kearifan lokal Bali, karena ia merupakan kristalisasi dan pengalaman masyarakat Bali di masa lalu, yang mencitrakan ciri kebudayaan masyarakat Bali. Tumpek Kandang merupakan unsur kebudayaan Bali yang telah memiliki akar sejarah yang panjang dan hidup dalam kesadaran kolektif manusia Bali terkait dengan sumber daya alam, sumber daya kebudayaan, sumber daya manusia, ekonomi, hukum dan keamanan/politik, yang bertahan sampai saat ini. Perayaan Tumpek tidak dikenal di India, sebagai daerah asal Agama Hindu, dengan demikian Tumpek adalah sebuah kearifan lokal Bali yang tumbuh dalam khasanah budaya Bali, namun tetap mengacu kepada prinsip-prinsip Hindu (Udayana, 2009). Dengan demikian kultus ritual Tumpek Kandang yang berkembang di Bali sebagai bentuk “penghormatan” kepada binatang ataupun tumbuhan sebagai ciptaan Tuhan, lebih sebagai sebuah bentuk “pemuliaan” bibit-bibit pemujaan, penyembahan terhadap binatang yang telah berkembang sebelumnya atau “prototipe” di Lembah Sungai Sindhu dengan animisme - dinamisme dan totemisme yang berkembang di Nusantara.
125
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Ritual Tumpek Kandang bukan penyembahan terhadap binatang, meskipun secara kasat mata tampaknya orang Bali menghaturkan sejumlah sesajen dan dihadapan binatang namun sejatinya bukanlah demikian adanya. Ritual tersebut adalah ungkapan rasa syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena manusia telah menikmati alam beserta isinya dan sekaligus memohon maaf atas segala tindakan yang dapat merusak lingkungan alam (Bali Post, edisi 10 januari 995). Sementara itu Sumarta (2006) menyatakan bahwa ritual ini adalah sebagai perwujudan menghargai jasa maupun peran beragam satwa atau fauna bagi kehidupan dan hidup manusia, jadi dalam ritual ini sudah terkandung upaya merawat atau melestarikan. Sudarsana (2003) juga menyatakan bahwa ritual ini tidak semata-mata ditujukan hanya kepada binatang, tetapi juga ditujukan untuk penyucian diri manusia, seperti yang dituntun dalam lontar Tutur Begawan Agastyaprana. Upacara Tumpek Kandang tidak saja ditujukan kepada binatang di bhuana agung namun juga kepada binatang yang ada di buana alit (diri manusia) sehingga terjadi keseimbangan. Secara nyata berbagai binatang juga terdapat dalam tubuh manusia seperti cacing, bakteri, kuman, kutu dan lainnya. Secara abstrak, manusia itu pemakan daging sehingga mempengaruhi sifat-sifat tri guna yaitu sifat yang cenderung kebinatangan seperti sifat rajah (ego) dan tamas (malas) lebih mendominasi. Dengan demikian melalui media upacara ini segenap umat Hindu perlu menyucian diri pada hari itu, untuk menetralisir kekuatan-kekuatan binatang dalam diri. Sementara itu, penyembelihan binatang untuk keperluan upacara termasuk pada perayaan Tumpek Kandang sepertinya kontradiktif karena pada satu sisi penghormatan kepada binatang, dan di sisi lain penyembelihan binatang untuk sarana upacara, diadu bertumpah darah pada ritual tabuh rah, dipotong lehernya hingga darahnya terurai pada ritual nyambleh, atau ditenggelamkan pada ritual pakelem. Namun demikian, menurut Adiputra (2001 dalam Udayana, 2008) penyembelihan berbagai binatang untuk sarana upacara termasuk pada Tumpek Kandang hendaknya dilihat sebagai proses penyupatan (memuliakan) binatang itu agar pada kelahirannya mendatang mempunyai eksistensi “lebih tinggi” atau “lebih mulai”. Jadi lebih berorientasi pada persembahan kepada
ISBN:978-602-9138-68-9
Tuhan bukan untuk kebutuhan fisik atau untuk dimakan semata. Lontar Manawa Dharmasastra (V.40) juga menegaskan bahwa ketika berkesempatan digunakan sebagai sarana persembahan kepada Tuhan (banten), maka segala mahluk akan memperoleh tingkatan yang lebih tinggi dalam penjelmaannya mendatang. Peningkatan itu menyangkut kualitas dan kuantitasnya. Sebenarnya, digunakannya binatang sebagai sarana upacara lebih dipandang sebagai kesempatan dari binatang itu untuk memuliakan dirinya dibandingkan sebagai pengorbanan semata. Pemanfaatan berbagai jenis binatang sebagai kelengkapan upacara Hindu di Bali sangat banyak. Penelitian terhadap berbagai jenis satwa upakara di Bali telah dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana seperti disajikan pada Tabel 1.
Berawal dari semangat pelestarian yang dipesankan secara implisit pada pelaksanaan ritual Hindu, maka usaha penggunaan tumbuhtumbuhan dan hewan sebagai sarana upacara, lebih-lebih binatang langka yang hampir punah, telah diatur melalui Bhisama Sabha Pandita PHDI Pusat (No. 05/Bhisama/Sabha Pandita PHDI/VIII/2005). Bhisama tersebut mengatur tentang tata penggunaan sumber daya hayati langka dan atau yang terancam punah dalam upacara keagamaan Hindu.
126
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Penggunaan sumber daya hayati dalam kegiatan keagamaan Hindu sesungguhnya bertujuan untuk melestarikan keberadaan sumber daya hayati tersebut di bumi ini, menyertai kehidupan umat manusia sebagaimana dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra V.40 dan Sastra Hindu lainnya. Jika dilihat dari sudut pandang Tattwa Agama Hindu, penggunaan satwa dalam upacara Agama Hindu bermaksud sebagai dorongan agar umat Hindu dalam prosesi beragama Hindu mengupayakan untuk mengendalikan diri dari kecenderungan sifat-sifat loba, mementingkan diri sendiri yang disebut dalam Bhagawad Gita sebagai Asuri Sampad atau kecenderungan keraksasan. Penggunaan sumber daya hayati langka dan/atau yang terancam punah seperti penyu, macan, garuda dan sumber daya hayati langka dan atau terancam punah lainnya yang dilindungi oleh Undang-Undang dapat diganti dengan bahan lainnya seperti dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra V.37, sebagai berikut: Kuryaddhrtapasumsangge Kuryat pistapasum tatha Ne tveva tuvritha hantum Pasumicchet kadacana Maksudnya: Kalau penggunaan hewan itu demikian diinginkan, maka ia boleh diganti dengan membuat hewan itu dari susu, mentega atau dari tepung dan bahan makanan lainnya. Tetapi tidak boleh sama sekali membinasakan binatang tanpa sebab yang dibenarkan oleh Dharma atau hukum. Secara detail tentang penggantian penggunaan satwa upacara, terurai secara rinci di dalam lontar Sodasiwikarana (Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa, 2014, komunikasi pribadi). Namun , kalaupun karena alasan/ pertimbangan tertentu (sangat penting) tetap harus digunakan sebagai sarana upacara yadnya maka sumber daya hayati langka dan atau yang terancam punah yang dilindungi UndangUndang itu, disarankan agar berdasarkan petunjuk rohaniawan pemimpin upacara yadnya dan seijin pemerintah yang berwewenang untuk itu. Upacara keagamaan Hindu itu dari segi bentuknya ada yang kecil, atau inti, sedang atau
ISBN:978-602-9138-68-9
madya dan besar yang disebut utama. Guna menghindari penggunaan sumber daya hayati langka dan terancam punah umat Hindu dapat memilih bentuk upacara inti. Upacara inti itu disertai sraddha dan bhakti yang mendalam akan menjadi upacara bernilai utama yang dalam Bhagawad Gita IXVII.11 disebut Satvika Yadnya. Ketentuan naskah Bhisama tersebut yang mengacu pada ketentuan Manawa Dharmasastra V.37 dan Bhagawad Gita IXVII.11 serta lontar Sodasiwikarana, memberi peluang penggantian pemanfaatan satwa upakara yang bersifat langka dan hampir punah dengan sarana lain, namun juga terdapat satu sisi yang masih memberi ijin pemanfaatan satwa upakara tersebut sepanjang mendapat ijin dari pihak yang berwenang. Tumpek Kandang dalam Usaha Pelestarian Penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagai sarana upacara, selain tujuan utamanya persembahan suci kepada Sang Pencipta, juga adalah untuk menanamkan spirit pelestarian alam pada jiwa manusia (Bhisama Sabha Pandita PHDI/VIII/2005). Upacara yadnya tidak hanya disikapi sebagai permohonan secara vertikal kepada Tuhan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai yadnya itu sendiri pada diri manusia dalam berinteraksi secara horisontal sebagai sebuah sosiosistem (lingkungan sosial) dengan ekosistem (lingkungan alami) dan teknosistem (lingkungan binaan) sebagai tiga komponen lingkungan yang saling terkait, beradaptasi dan saling mempengaruhi secara timbal balik (Salain, 2001). Manawa Dharmasastra V.40 menyatakan bahwa tumbuh-tumbuhan seperti semak, pepohonan, ternak unggas, dan lainnya yang digunakan dalam upacara, akan lahir dalam penjelmaan selanjutnya dalam tingkatan yan lebih tinggi. Jadi penggunaan binatang sebagai sarana upacara adalah semacam penyupatan ‘ruwatan’ bagi binatang tersebut untuk hadir lebih mulia pada kelahiran mendatang. Sebenarnya, digunakannya binatang sebagai sarana upacara lebih dipandang sebagai sebuah “kesempatan” dari binatang-binatang itu untuk memuliakan dirinya dibandingkan sebagai penghormatan semata. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa ketika tumbuh-tumbuhan dan hewan
127
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dipergunakan sebagai sarana upacara, maka manusia akan secara sadar melestarikan tanaman dan hewan upacara itu. Ketika sarwa prani terus digunakan tanpa ada usaha-usaha pelestarian dan pengembangannya, pastilah suatu ketika akan habis (punah). Jika salah satu punah maka terputusnya satu mata rantai kehidupan di bumi ini dan hal ini sudah disadari akan mengganggu keseimbangan ekosistem secara holistik. Hal ini sejalan dengan pemikiran Freud tentang totem dan taboo (Conolly, 2007) yang menguraikan tentang boleh dan tidaknya penyembelihan binatang totem pada suku primitif di Afrika yang juga berkembang di Australia. Totemisme yang menurut Emerly Durkheim sebagai keyakinan adanya daya kekuatan ilahi pada benda-benda alam seperti tumbuhan, binatang tertentu, sehingga dihormati, dibuatkan patung, simbol totem sebagai sumber kekuatan, pelindung dan sebagainya. Pengamatan Durkheim menunjukkan binatang totem yang bersifat profan, biasanya boleh dibunuh dan dimakan oleh klan, namun binatang totem tidak boleh, karena suci, betul-betul terlarang bagi klan, kecuali pada kesempatan tertentu, ketika sebagai bagian dari upacara yang dirancang secara khusus, binatang itu secara ritual dikorbankan dan dimakan (Pals, 2001:171). Beranjak dari pemikiran Durkheim tersebut dapat dimengerti bahwa penggunaan jenis satwa tertentu dalam upacara Hindu diyakini mampu menyomiakan ‘menetralisir’ ketidakseimbangan energi atau menyucikan suatu tempat, dan kembalinya keseimbangan energi tentunya akan berpengaruh positif bagi kehidupan manusia. Oleh karena upakara tertentu yang dibuat oleh orang Hindu Bali menggunakan binatang, dan juga tumbuhtumbuhan, maka secara sadar ada dorongan semangat untuk senantiasa melestarikan binatang dan juga tumbuhan, terutama yang digunakan sebagai sarana banten tersebut, tujuannya jelas, agar terus dapat menggunakannya sebagai sarana upakara tadi dengan tujuan jagadhita ‘kesejahteraan hidup’. Sebagai contoh sederhana, ketika masyarakat Bali selalu memerlukan kelapa gading (klungah nyuh gading), pastilah secara sadar masyarakat Bali akan senantiasa berusaha melestarikan dan mengembangakan pohon kelapa berbuah kuning tersebut. Demikian juga
ISBN:978-602-9138-68-9
halnya untuk keperluan hewan atau unggas, misalnya bebek belang kalung, atau siap brumbun, masyarakat akan membudidayakannya sebagai hewan peliharaan atau ternak untuk sewaktu-waktu diperlukan dalam upacara. Khusus untuk jenis tumbuhan tertentu dan binatang langka yang penggunaannya hanya khusus untuk upacara besar/utamaning utama seperti penyu, meskipun penggunaannya sangat jarang dalam upacara dan itupun hanya satu ekor, namun proteksinya demi kelestarian sangat serius dilakukan, baik melalui program penangkaran yang juga disertai pelarangan secara tegas untuk kebutuhan konsumtif belaka, mengingat penyu tidak semudah binatang lain dalam peningkatan populasinya dan menjadi tanggungjawab bersama seluruh komponen masyarakat dalam usaha perlindungannya. Perayaan Tumpek Kandang dikhususkan untuk menghormati semua jenis binatang yang sangat membantu kehidupan manusia. Sudarsana (2003), menyatakan sesungguhnya menurut petunjuk Lontar Tutur Begawan Agastyaprana, pelaksanaan dari upacara Tumpek Kandang bukan bagi hewan yang diternakkan saja atau hewan peliharaan, namun bagi semua jenis binatang jinak maupun buas termasuk jasad renik mengena dalam upacara tersebut. Perayaan Tumpek Kandang merupakan wujud dari sosiosistem (lingkungan sosial) masyarakat Bali dalam cara mereka memandang dan menghargai ekosistem (lingkungan alami) dan teknosistemnya (lingkungan buatan). Dalam posisinya sebagai sosiosistem, baik sebagai objek maupun subjek, di Bali dikenal dengan aku adalah kamu, kamu adalah aku “Tat Twam Asi”. Mereka sadar bahwa mengeksploitasi ekosistem maupun teknosistem harus dilakukan dengan arif dan bijaksana atau sesuai dengan daya dukungnya. Secara etika pelaksanaan ritual Tumpek Kandang menunjukkan masyarakat Hindu di Bali mengakui eksistensi keragaman hayati (biodiversitas) dan hubungan timbal baliknya. Artinya, bila manusia berlaku semena-mena terhadapnya, akan terjadi ketidakseimbangan dalam lingkungan hidup, begitu pula binatang sebagai mahluk hidup yang dapat diperbaharui, tidak akan produktif bila tidak ada pemeliharaan atau usaha budidaya yang baik dalam upaya pelestarian.
128
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Jadi makna terdalam dari ritual Tumpek Kandang/Andang/Uye atau berbagai istilah lainnya pada intinya adalah manusia sebagai bhuana alit menghormati hewan sebagai wakil bhuana agung dan sebagai wujud syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Rare Angon atau Pasupati. Manusia harus senantiasa melestarikan beraneka fauna tidak saja untuk kebutuhan upacara, namun untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan hidup sekarang dan generasi anak cucu ke depan di bumi ini dengan konsep dasar keseimbangan Tri Hita Karana. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tumpek Kandang merupakan sebuah kearifan lokal Bali yang tumbuh dan berkembang dalam khasanah keagamaan dan budaya Hindu di Bali. Perayaan Tumpek Kandang termasuk ditujukan kepada semua jenis binatang yang ada di dunia ini, baik yang dibudidayakan maupun yang liar, dari yang besar sampai jasad renik, dan sejatinya juga ditujukan pada penyucian sifat-sifat binatang dalam bhuana alit (ke dalam diri) agar manusia semakin mengerti akan hakekat hidup dan sadar akan tujuan lahir sebagai manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan lahiriah dan kebahagiaan bathiniah. Secara etika pelaksanaan ritual Tumpek Kandang menunjukkan masyarakat Hindu di Bali mengakui eksistensi keragaman hayati (biodiversitas) dan hubungan timbal baliknya. Makna tersebut mengisyaratkan bahwa perlakuan semena-mena terhadap binatang akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam ekosistem. Disamping itu binatang sebagai hewan produksi tidak akan produktif apabila tidak dipemelihara secara optimal. Saran Perlu pengalokasian sejumlah dana untuk penelitian terhadap berbagai kearifan lokal Bali, yang terkait dengan pelestarian biodiversitas melalui berbagai praksis budaya. Penerbitan buku-buku ataupun tuntunan ringkas (buklet) dan menggalakan kegiatan nyata yang bersifat terpadu guna menyelamatkan plasma nuftah asli Bali.
ISBN:978-602-9138-68-9
KEPUSTAKAAN Bhaktivedanta, A.C. dan S. Prabhupada. 2000. Bhagawadgita, Menurut Aslinya. Jakarta: Hanoman Sakti Conolly, Peter. 2007. Ragam Pendekatan Studi Agama. Terjem. Medan: Bina Media Perintis. Gelgel, I P. 2014. Pentingnya Penguatan Nilai-nilai Kearifan Lokal untuk Menjaga Kerukunan Umat Beragama. Dharmasmrti. Vol. XII., No. 23 April 2014. Hal 74-84. Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan, Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Denpasar. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Udayana. 2002. Taman Gumi Banten. Cet. I September 2002. Denpasar: LPM-UNUD. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana. 2013. Satwa Upakara Sarana Pelengkap Upacara Agama Hindu. Ed. III. Denpasar: Udayana University Press. Neteg, I P.S. 2010. Dewa Yadnya, Seputar Tumpek Rerahinan Hari Raya Suci Umat Hindu, Upacara, Upakara dan Mantranya. Singaraja Pals, Daniel L. 2001. Seven Theories of Religion. Yogyakarta: Qalam Phalgunadi, I G.P. 2012. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu. Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma Denpasar. Pudja, G. dan T.R. Sudartha. 2004. Manawa Dharmasastra. Surabaya: Paramita. Sudarsana, I.B.P. 2003. Ajaran Agama Hindu: Acara Agama.Denpasar: Yayasan Dharma Acarya. Sumerta, I K. 2006. Puncak Peradaban Bali Bernama Tumpek. Sarad No. 77 September 2006: 16 - 18 Surayin, I.A.P. 1991. Melangkah Kearah Persiapan Upakara-Upacara Yadnya. Seri I Upakara Yadnya. Denpasar: Upada Sastra Udayana, I D.G.A. 2008. Tumpek Kandang Kearifan Lokal Bali untuk Pelestarian dan Pengembangan Sumber Daya Ternak. Denpasar: Pustaka Bali Post. _______. 2009. Tumpek Wariga. Denpasar: Pustaka Bali Post. Wiana, I K. 2004. Mengapa Bali Disebut Bali? Cet. I. Surabaya: Paramita
129
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
MANUSIA DALAM KONTEKS LINGKUNGAN HIDUP Ida Ayu Gde Yadnyawati Program Studi Pendidikan Agama Hindu, Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia, Jl Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar, Bali ABSTRAK Dalam sistem alam, manusia merupakan bagian dari alam yang selalu berinteraksi dengan alam sebagai lingkungannya. Interaksi tersebut dipengaruhi oleh tiga paham yaitu; pertama paham determinisme yang menyatakan bahwa alam sebagai faktor determinan atau penentu, kedua paham posibilisme yang memandang bahwa alam tidak menjadi faktor yang menentukan melainkan faktor pengontrol yang memberikan peluang bagi berkembangnya kegiatan serta kebudayaan manusia, ketiga adalah paham paham optimisme teknologi yang memandang bahwa teknologi dengan penerapannya bukan lagi sebagai altematif melainkan telah menjadi keyakinan yang menjamin hidup dan kehidupan manusia. Dalam konsep dan konteks ilmiah, IPTEK itu netral (value free). Namun demikian, dalam pemanfaatannya bagi kesejahteraan umat manusia mau tidak mau harus berpihak. Dalam hal ini harus berpihak kepada kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian umat manusia, tidak berpihak kepada peperangan, penghancuran kehidupan, atau penghancuran lingkunsan hidup secara keseluruhan. Oleh karena itu, IPTEK bukan segala-galanva dan penguasaan IPTEK wajib dilandasi oleh IMTAK (iman dan takwa) yang menjadi kendali terhadap keserakahan dalam memanfaatkan sumberdaya lingkungan. Kata Kunci: Manusia, Lingkungan Hidup, determinisme, posibilisme, optimisme teknolgi. PENDAHULUAN Manusia sebagai makhuk hidup yang dikaruniai akal pikiran yang berkembang dan dapat dikembangkan, juga mendapat julukan sebagai makhluk budaya. Keunikan ini telah membawa pertumbuhan dan perkembangan manusia yang berbeda dengan makhluk hidup lainnya, bahkan juga perkembangan ruang muka bumi yang menjadi tempat hidup serta sumber daya yang menjaminnya. Oleh karena itu, perilaku manusia ini menuntut tanggung jawab terhadap budaya yang menjadi bagian dari kehidupan manusia sendiri. Dalam sistem alam, manusia merupakan bagian dari alam yang berinteraksi dengan alam sebagai lingkungannya. Dengan kata lain, pada sistem alam ini manusia ada dan hidup dalam lingkungan alam. Manusia dituntut tanggung jawabnya terhadap lingkungan alamnya (Sumaatmadja, 2012). Interaksi tersebut dipengaruhi oleh tiga paham yaitu; pertama paham determinisme yang menyatakan bahwa alam sebagai faktor determinan atau penentu, kedua paham posibilisme yang memandang bahwa alam tidak menjadi faktor
yang menentukan melainkan faktor pengontrol yang memberikan peluang bagi berkembangnya kegiatan serta kebudayaan manusia, ketiga adalah paham paham optimisme teknologi yang memandang bahwa teknologi dengan penerapannya bukan lagi sebagai altematif melainkan telah menjadi keyakinan yang menjamin hidup dan kehidupan manusia. Tulisan ini akan membahas tentang interaksi antara manusia dengan alam. PEMBAHASAN. Manusia dengan alam ada dalam konteks keruangan yang saling mempengaruhi. Kadar saling pengaruh-mempengaruhi tersebut sangat ditentutakn oleh tingkat penguasaan IPTEK oleh manusia sendiri.Atas dasar penguasaan IPTEK tersebut, ada masyarakat manusia yang masih sangat bergantung pada alam, ada yang sudah mampu menyesuaikan diri, dan ada pula yang sudah mampu mengelola serta memanfaatkannya bagi kesejahteraan mereka. Hubungan manusia dengan alam di ruang
130
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI permukaan bumi ini bervariasi karena cara pandang manusia terhadap alam yang berbeda. Berkenaan dengan hubungan manusia dengan alam, paling tidak ada tiga paham yang mempengaruhi yaitu paham determinisme, paham posibilisme, dan paham optimisme teknologi. 1.Paham Determinisme Orang-orang yang dapat dipandang sebagai tokoh paham determinisme itu antara lain Charles Darwin, Friederich Ratzel, dan Elsworth Huntington. Pada masanya, mereka mempunyai pengikut di berbagai negara, khususnya di Eropa Barat dan Amerika Utara. Charles Darwin (18091882), seorang naturalis Inggris, telah mengetengahkan teori evolusi yang kemudian dikenal sebagai Teori Evolusi Darwin. Dalam teorinya itu, Darwin mengemukakan bahwa makhluk hidup (tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia), secara berkesinambungan dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Pada perkembangan tersebut, terjadi perjuangan hidup (struggle for life, struggle for existence), seleksi alam (natural selection), dan yang kuat akan bertahan hidup (survival of the fittest). Dalam proses perkembangan kehidupan tadi, faktor alam sangat menentukan. Pada teori dan pahamnya itu, kelihatan jelas paham serta pandangan determinisme alam. Friederich Ratzel (1844-1904), pakar geografi Jerman dengan teori Anthropogeographie mengemukakan paham bahwa manusia dengan kehidupannva sangat bergantung kepada kondisi alam. Paham ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Darwin. Ratzel dengan pengikutnya (Semple dan Demolins) melihat bahwa populasi manusia dengan perkembangan kebudayaannya ditentukan oleh kondisi alam.Meskipun manusia dipandang sebagai makhluk yang dinamis, mobilitasnya tetap dibatasi dan ditentukan oleh kondisi alam di permukaan bumi. Elsworth Huntington, merupakan salah seorang alhi geografi Amerika Serikat yang menjadi pengikut paham determinis. Bukunya yang sangat terkenal yaitu Principle of Human Geography. Huntington berpandangan bahwa iklim sangat menentukan perkembangan kebudayaan manusia.Karena iklim di permukaan bumi ini bervariasi.kebudayaan itu pun sangat beraneka ragam. Perkembangan seni, agama, pemerintahan, dan segi-segi kebudayaan lain sangat bergantung pada iklim setempat. Paham dan pandangannya ini disebut determinisme iklim.
ISBN:978-602-9138-68-9
2. Paham Posibilisme E.C. Semple, vang semula menjadi pengikut determinisme Ratzel, kemudian dapat melepaskan diri dari paham tersebut. Menurut pandangannya kemudian, kondisi alam itu tidak menjadi faktor yang menentukan, melainkan menjadi faktor pengontrol, memberikan kemungkinan atau setidak-tidaknya peluang yang mempengaruhi kegiatan serta kebudayaan manusia.Oleh karena itu.paham ini selain disebut paham posibilisme. dapat dikatakan pula sebagai paham probabilisme. Tokoh penting lain yang dapat melepaskan diri dari paham determinisme pada zamannya, yaitu Paul Vidai de la Blache (18451919) salah seorang geografiwan Prancis. Menurut dia, faktor yang menentukan itu bukan alam, melainkan proses produksi yang dipilih manusia yang berasal dari kemungkinankemungkinan yang diberikan oleh tanah, iklim, dan ruang di suatu wilayah. Tipe proses produksi itu disebutnya sebagai genre de vie. Dengan menerapkan konsep genre de vie manusia tidak lagi dipandang pasif terhadap alam lingkungan, tetapi faktor yang aktif terhadap pemanfaatannya. Sedangkan alam lingkungannya sendiri memberi kemungkinan terhadap perkembangan kehidupan dan budaya manusia. Pada paham posibilisme atau probabilisme ini, kedudukan manusia dan hewan ditempatkan sebagai makhluk yang berbeda, terutama dengan tumbuh-tumbuhan yang selalu terikat oleh tempat serta sepenuhnya tunduk pada kondisi alam setempat. Manusia telah dipandang sebagai makhluk yang mampu memanfaatkan alam sesuai dengan kemungkinan yang dapat dilakukan dan ditempuhnya.Alam lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan manisa, tidak lagi dipandang sebagai faktor yang menentukan.Manusia dengan kemampuan budayanya dapat memilih kegiatan yang cocok sesuai dengan kemungkinan dan peluang yang diberikan oleh alam lingkungannya, telah dipandang aktif sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. 3. Paham Optimisme Teknologi Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menjadi dasar pesatnya kemajuan teknologi.Kemajuan dan penerapan teknologi telah membawa kemajuan pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan pembangunan yang menjadi penopang
131
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI kesejahteraan umat manusia.Atas dasar hal tersebut, telah muncul motto bahwa teknologi merupakan tulang punggung pembangunan.Lahirnya motto tersebut beralasan sesuai dengan kenyataan bahwa keberhasilan pembangunan, khususnya pembangunan fisik dan ekonomi, tidak dapat dipisahkan dari penerapan dan pemanfaatan teknologi tersebut.Penerapan dan pemanfaatan teknologi telah mampu membuka sebagian rahasia alam bagi kepentingan kesejahteraan umat manusia.Berlandaskan keberhasilan tersebut, ada sekelompok manusia yang seolah-olah mendewakan teknologi, menjadikan teknologi segala-galanya. Mereka sangat optimis selama teknologi maju dan berkembang, apa pun dapat dilakukan, apa pun dapat menjamin kebutuhan manusia. Teknologi dengan penerapannya, bukan lagi sebagai altematif, melainkan telah menjadi keyakinan yang menjamin hidup dan kehidupan manusia.Selanjutnya mereka mengarah kepada ketergantungan teknologi, atau seperti telah dikemukakan di atas, menciptakan suasana determinisme teknologi. Bahkan bahaya selanjutnya mungkin terjadi mereka tidak percaya terhadap adanya Tuhan Yang Mahakuasa. Optimisme teknologi, jika tidak diwaspadai.dapat menghasilkan orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, menghasilkan orang-orang yang atheis. Padahal jika ditelaah bahwa teknologi yang merupakan produk budaya justru bertuan kepada manusia, tidak kebalikannva. Manusia sebagai pemikir lahirnya teknologi menjadi pengendali teknologi bukan teknologi yang menguasai manusia (Brown & Brown, 1975). Hubungan Manusia dengan Alam Makhluk hidup dalam jumlah tertentu atau pada populasi tertentu, dalam kesatuan atau komunitas tertentu, mengadakan hubungan satu sama lainnya (relationships), bahkan saling mempengaruhi antara sesamanva (interactions). Suasana yang demikian itulah secara alamiah menjamin kelangsungan hidup makhluk di muka bumi ini. Dalam hubungan pengaruh dan saling mempengaruhi itu, suatu komponen lingkungan.baik biotik maupun abiotik menjadi lingkungan bagi suatu makhluk hidup, apakah ia menjadi bahan makanan (materi), ataukah mensuplai energi. Dengan demikian dalam suasana hubungan saling mempengaruhi terjadi proses arus energi dan siklus materi.
ISBN:978-602-9138-68-9
Manusia merupakan salah satu komponen di antara koniponen-komponen lain vang beraneka ragam, baik komponen biotik maupun komponen abiotik. Namun demikian, umat manusia ini dapat dikatakan yang paling dominan dibandingkan mahkluk hidup lainnya karena manusia dikaruniai akal pikiran oleh Tuhan Maha Pencipta. Akal-pikiran tadi dapat berkembang dan dapat dikembangkan. Dengan singkat dapat dikemukakan bahwa dominasi manusia terhadap lingkungannya sangat dipengaruhi oleh penguasaan IPTEK oleh manusia sendiri Dominasi manusia terhadap lingkungan tidak terjadi sama dan merata di permukaan bumi ini, karena dipengaruhi juga oleh seberapa jauh kelompok manusia itu telah mampu mengembangkan budaya dalam menguasai IPTEK. Oleh karena itu, selain berlaku konsep man ecological domi-nant, berlaku juga konsep culturally defined resources (Gabler, 1966). Mampu tidaknya potensi lingkungan menjamin kehidupan manusia sebagai sumberdaya, sangat dipengaruhi oleh kemampuan budaya kelompok manusia itu merealisasikan potensi sumberdaya lingkungan menjadi kekayaan yang menjamin kesejahteraan. Secara keseluruhan, umat manusia memang lebih dominan terhadap lingkungannya karena pengembangan budaya dalam bentuk IPTEK. Namun bagi kelompok manusia yang masih terbelakang, dalam arti terbelakang dalam mengembangkan budaya berbentuk penguasaan IPTEK, mereka masih sangat bergantung pada alam dari pada mendominasinya. Bagi masyarakat yang telah mengembangkan IPTEK dengan baik, tidak hanya mampu memanfaatkan sumberdaya lingkungan di negerinya sendiri, sumberdaya alam yang ada di negeri orang lain pun dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraannya. Sedangkan masyarakat yang belum mampu mengembangkan IPTEK secara memadai, potensi sumberdaya lingkungan di negerinya sendiri belum mampu dimanfaatkan bagi kesejahteraannya. Di sini dapat dikemukakan bahwa kemampuan kompetitif sumber daya manusia lebih berarti daripada kemampuan komparatif sumber daya alam. Tetapi bagaimanakah cara meningkatkan kemampuan komparatif SDM itu? Di sinilah letak kedudukan, fungsi, dan peranan pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam konsep dan konteks ilmiah, IPTEK itu netral. Namun demikian, dalam
132
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI pemanfaatannya bagi kesejahteraan bangsa dan negara, bahkan secara luas bagi kesejahteraan umat manusia, mau tidak mau harus berpihak. Dalam hal ini harus berpihak kepada kesejahteraan, keamanan, dan kedamaian umat manusia pada umumnya, tidak justru berpihak kepada peperangan, penghancuran kehidupan, atau penghancuran lingkungan hidup secara keseluruhan. Oleh karena itu, IPTEK bukan segala-galanya. Dengan demikian, penguasaan IPTEK ini wajib dilandasi oleh IMTAK (iman dan takwa) yang menjadi kendali terhadap keserakahan dalam memanfaatkan sumberdava lingkungan. Kelompok masyarakat yang berpandangan optimis teknologi, berkecenderungan melihat teknologi itu segaiagalanya. Selama teknologi itu berkembang maju, apa pun dapat dilakukan. Padahal teknologi itu sendiri merupakan salah satu aspek kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia. Tanpa adanya manusia teknologi pun tidak ada. Memang, teknologi atau lebih komprehensif lagi IPTEK, dapat merekayasa alam lingkungan, dapat membudidayakan alam lingkungan. Namun demikian, dominasi terhadap lingkungan hanya sebatas merekayasa dan memanfaatkannya. Hal itu pun diwarnai oleh kemampuan menguasai IPTEK yang menjadi ciri kemajuan. Saat ini juga diakui bahwa kemajuan IPTEK sekarang begitu pesat bila dibandingkan dengan perkembangannya di masa-masa lampau, tetapi Penguasaan alam bukan merupakan ajang keserakahan, melainkan merupakan anugerah yang harus dikelola dalam pemanfaatannva secara rasional. Oleh karena itu, dominasi manusia terhadap lingkungan, bukan tanpa etika dan tanggung jawab, melainkan dilandasi oleh IMTAK yang menjadi kendali keterbelengguan oleh keserakahan. Alam lingkungan dengan segala tantangannya memiliki hukum alam yang mengatur keserasian, keseimbangan, dan kelestariannya. Asas dan konsep ekologi yang menjadi dasar keserasian, keseimbangan, menjadi masukan serta patokan bagi pengembangan dan penerapan IPTEK dalam memanfaatkan sumberdaya lingkungan bagi kesejahteraan umat manusia sendiri, serta bagi kesejahteraan mahluk hidup pada umumnya. Penerapan dan pemanfaatan IPTEK dalam berbagai bidang kehidupan dalam meningkatkan kualitas serta kesejahteraan manusia, menjadi bukti bahwa manusia
ISBN:978-602-9138-68-9
merupakan faktor yang dominan terhadap lingkungannya. Manusia tidak terbelenggu oleh naluri dan keterbatasan dirinya, melainkan dapat meningkatkan kemampuannya untuk mengatasi keterbatasan tadi. Namun demikian disadari bahwa sebagai makhluk tetap tunduk kepada hukum alam. SIMPULAN Manusia dengan alam saling pengaruh mempengaruhi atau berinteraksi. Kadar interaksi tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat penguasaan IPTEK oleh manusia sendiri serta paham yang mendasarinya yaitu; pertama paham determinisme yang menyatakan bahwa alam sebagai faktor determinan atau penentu, kedua paham posibilisme yang memandang bahwa alam tidak menjadi faktor yang menentukan melainkan faktor pengontrol yang memberikan peluang bagi berkembangnya kegiatan serta kebudayaan manusia, ketiga adalah paham paham optimisme teknologi yang memandang bahwa teknologi dengan penerapannya bukan lagi sebagai altematif melainkan telah menjadi keyakinan yang menjamin hidup dan kehidupan manusia. Atas dasar penguasaan IPTEK tersebut, ada masyarakat manusia yang masih sangat bergantung pada alam, ada yang sudah mampu menyesuaikan diri, dan ada pula yang sudah mampu mengelola serta memanfaatkannya bagi kesejahteraan mereka. DAFTAR PUSTAKA Daeng, H. 2008,Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Moeljadi, B.1979. Pembangunan Pertanian, Surabaya, PT Bina Ilmu. Sumaatmadja, N, 2012, Manusia Dalam Konteks social,Budaya,dan Lingkungan Hidup, Bandung, Alfabeta. Tucker, E. & Grim. 2003. Agama,Filsafat & Lingkungan Hidup.Yogyakarta. Kanisius. Miller, Jr., G.T.. 1982. Living in the Environment. California, Wadsworth Publishing Company, Belmont. Odum, E.P..1975. Ecology. Oxford & IBH Publishing Co., New Delhi Soemarwoto, O. 1985. Ekologi. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta, Djambatan. Watra. 2010. Pelestarian Lingkungan Menurut Agama Hindu.Paramita. Surabaya.
133
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
KEANEKARAGAMAN PARASITOID TELUR WALANG SANGIT PADA LOKASI TANAMAN PADI YANG BERBEDA KETINGGIAN DARI PERMUKAAN LAUT Aisah Jamili1), Hery Haryanto2) Fakultas Pertanian, Universitas Nahdlatul Wathan Mataram email: [email protected] 2 Fakultas Pertanian, Universitas Mataram, email: [email protected] 1
ABSTRAK Parasitoid telur walang sangit merupakan musuh alami yang efektif dalam pengendalian hama walang sangit (Leptocorisa acuta). Namun, untuk mencapai sukses pengendalian hayati perlu diperlukan informasi yang akurat mengenai keanekaragaman parasitoid telur walang sangit pada lokasi yang berbeda ketinggian dari atas permukaan laut (dpl). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kekayaan, kelimpahan, dan keanekaragaman spesies parasitoid telur walang sangit pada lokasi ketinggian yang berbeda. Penelitian dilakukan menggunakan metode penelitian deskriptif. Koleksi parasitoid dilakukan di lokasi dataran rendah (0-200 mdpl), sedang (200-700 mdpl) dan tinggi (+700 mdpl) meliputi 15 kecamatan/kota yang berada di Pulau Lombok. Pengambilan telur walang sangit dilakukan secara langsung dengan mencari kumpulan telur di masing-masing petak sampel. Hasil penelitian diperoleh bahwa kekayaan parasitod yang ditemukan ada dua spesies yaitu Hadronotus leptocorisae dan Ooencyrtus malayensis. Hasil perhitungan indeks keanekaragaman (H’) secara keseluruhan antara 0,05 - 0,29. Indeks dominansi(C) antara 0,45 - 0,53. Nilai indeks kemerataan (E) berkisar 0,07 – 0,42. Keanekaragaman parasitoid telur tinggi pada lokasi dataran rendah dan sedang. Selanjutnya akan berkurang dengan semakin bertambahnya ketinggian dari permukaan laut. Kata kunci: keanekaragaman, parasitoid telur, Leptocorisa acuta, ketinggian tempat PENDAHULUAN Berbagai usaha sampai saat ini sedang dilakukan untuk menekan hama walang sangit (Leptocorisa acuta), salah satunya dengan memanfaatkan parasitoid telur. Namun diperlukan banyak informasi tentang keanekaragaman species ini akibat perbedaan kondisi alami. Pulau Lombok terdapat pada Provinsi Nusa Tenggara Barat, terletak pada ketiggian 0 - 3726 meter di atas permukaan laut (m dpl). Kondisi alami tersebut secara otomatis akan mempengaruhi keanekaragaman dan keberadaan serangga pada lahan pertanian tersebut, termasuk musuh alami seperti parasitoid telur. Keanekaragaman parasitoid telur seperti juga serangga pada umumnya sangat dipengaruhi oleh ketinggian di atas permukaan
laut (Noyes, 1989). Faktor lingkungan abiotik seperti ketinggian di atas permukaan laut (dpl) serta interaksi faktor-faktor iklim lainnya juga mempengaruhi keanekaragaman serangga pada suatu wilayah. Ketinggian di atas permukaan laut mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan serangga. Kecenderungan berkurang seiring dengan pertambahan tinggi di atas permukaan laut. Sebagai contoh serangga yang termasuk ordo Hemiptera di Sulawesi memiliki keanekaragaman lebih tinggi pada ketinggian 220 m dpl dibandingkan 1765 m dpl (Noyes, 1989). Keberadaan musuh alami pada ekosistem pertanian, baik itu predator maupun parasitoid, memiliki peranan yang sangat penting khususnya dalam pengaturan populasi serangga hama (Altieri 1999). Penggunaan pestisida untuk mengendalikan serangga hama, cenderung
134
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI mengakibatkan penurunan atau bahkan menghilangkan keberadaan musuh alami (Wanger et al. 2010). Oleh karena itu upaya konservasi seperti manajemen habitat lahan pertanian, menjadi sangat penting dilakukan untuk mempertahankan keberadaan musuh alami tersebut (Perfecto et al. 2009). Di antara musuh alami yang penting diharapkan dalam mengendalikan populasi hama adalah parasitoid telur walang sangit. Keberadaan parasitoid ini khususnya di dataran tinggi, sedang dan rendah belum terungkap dan masih sedikitnya informasi mengenai keanekaragaman parasitoid pada lahan pertanian dalam hubungannya dengan kondisi habitat menyebabkan parasitoid belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman parasitoid telur walang sangit pada pertanaman padi di dataran tinggi, sedang dan rendah di pulau Lombok. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai keanekaragaman parasitoid telur Walang sangit pada pertanaman padi sebagai langkah awal dalam pengendalian hayati (biological control). METODE PENELITIAN Koleksi parasitoid dilakukan pada areal tanaman padi yang berada pada lokasi dataran rendah (0-200 mdpl), sedang (200-700 mdpl) dan tinggi (+700 mdpl) meliputi 15 kecamatan/kota yang berada di Pulau Lombok. Dataran tinggi diambil Sembalun dan Gangga. Dataran sedang diambil lokasi Batukliang, Kayangan, Aik Mel dan Bayan. Sedangkan dataran rendah diwakili oleh Sandubaya, Selaparang, Narmada, Kediri, Praya Timur, Jonggat dan Labuhan Haji. Selanjutnya ditentukan petak sampel berdasarkan lokasi terluas di masing-masing lokasi. Setiap petak sampel terdiri dari 5 anak petak sampel atau 5 sub petak sampel dengan masing-masing ukuran 3 x 3 m2. Pengambilan telur hama dilakukan secara langsung di masing-masing petak sampel dengan mencari kumpulan telur pada saat munculnya bunga sampai tanaman padi masak susu di masing-masing petak sampel. Parasitoid telur diperoleh dengan cara mencari telur hama yang menempel di atas daun tanaman padi.
ISBN:978-602-9138-68-9
Pengambilan parasitoid telur dilakukan sebanyak 4 kali dengan berselang 7 hari. Telur hama tanaman padi yang diambil di lapangan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya dilakukan pengamatan selama 15 hari dengan mencatat berapa jumlah nimpa dan parasitoid yang menetas tiap harinya, telur inang yang terparasit berwarna hitam dan setelah 7-12 hari akan muncul parasitoid sedangkan telur yang tidak terparasit akan muncul nimpa. Setelah 15 hari pengamatan ternyata masih ada telur yang belum menetas maka dilakukan pembedahan di bawah mikroskop untuk memastikan telur berisi nimpa atau parasitoid. Identifikasi parasitoid telur dilakukan secara langsung menggunakan buku identifikasi seperti antara lain: Boror, DJ and Dwight, M.D. 1954. An Introduction to the Study Of Insect; Borror, D.J., Triplehorn, C.A., Johnson, N.F., 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam serta buku identifikasi lainnya. Specimen diamati dengan menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 400x. Selanjutnya didokumentasikan dengan camera digital. Hasil yang diperoleh dikumpulkan untuk menentukan kekayaan, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan dan dominansi parasitoid telur. Indek keanekaragaman (H’) digunakan untuk menganalisis keanekaragaman (heterogeneity atau diversity). Indeks ini dapat memberikan gambaran mengenai stabilitas komunitas parasitoid yang merupakan ciri khas struktur komunitas. Bila keanekaragamannya tinggi artinya komunitas tanaman padi dalam keadaan stabil karena jenis parasitoid yang mampu hidup dan beradaftasi dengan komunitas tanaman padi tersebut sangat banyak. Indek keanekaragaman (H’) dihitung menggunakan persamaan Shannon-Wienner (Krebs, 1972) yaitu: H’= -∑ pi log, pi Dimana: H’ = lndeks Keanekaragaman pi = Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu total (ni/N) N = Jumlah total individu semua species ni = Total individu spesies ke-i
135
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Indeks Keseragaman (E) atau keseragaman (Evenness) digunakan untuk menunjukkan pola sebaran parasitoid telur disetiap lokasi pengamatan. Bila indeks keseragaman tinggi maka sebaran parasitoid di komunitas tanaman padi tersebut merata, ini menunjukkan bahwa faktor fisik-kimiawi lingkungan dan nutrisi di ekosistem tanaman padi manapun mendukung komunitas parasitoid telur. Indeks evenness yang umum digunakan adalah indeks evenness Pielou (E). Rumus untuk menghitung evenness sebagai berikut (Pielou, 1975; Krebs, 1972): E = H’/ln S Dimana: E = lndeks Keseragaman Pielou H’=Indeks Keanekaragaman S = Jumlah Species /jenis
ISBN:978-602-9138-68-9
ketinggian di Pulau Lombok yaitu parasitoid telur dari spesies Hadronotus leptocorisae (Gambar 1.) dan Ooencyrtus malayensis (Gambar 2.).
.
Nilai indeks keseragaman ini berkisar antara 0 - 1. Jika indeks keseragaman mendekati nilai 0, maka dalam ekosistem ada kecenderungan terjadi dominansi spesies yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan populasi. Bila indeks keseragaman mendekati 1, maka hal ini menunjukkan bahwa ekosistem tersebut dalam kondisi yang relatif mantap/stabil yaitu jumlah individu tiap spesies relatif sama (Brower & Zar, 1977). Indeks dominansi (C) digunakan untuk menentukan dominansi. Nilai indeks keseragaman dan keanekaragaman yang kecil biasanya menandakan adanya dominansi suatu spesies terhadap spesies-spesies lainnya. Rumus indeks dominansi Simpson (C) adalah (Ludwig & Reynolds 1988): D = ∑ (pi)2 =∑ (ni / N)
Gambar 1. Hadronotus leptocorisae perbesaran 4x10
Gambar 2. Ooencyrtus malayensis perbesaran 10x40
Keterangan : C = Indeks Dominansi pi = Proporsi jumlah individu pada spesies parasitoid telur i = 1, 2, 3,..n
Indek keanekaragaman (H’), kemerataan (E) dan dominansi (C) parasitoid telur
HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis parasitoid telur Berdasarkan hasil pemeliharaan telur walang sangit terkoleksi ditemukan dua jenis parasitoid telur yang berada di berbagai lokasi
Kelimpahan, Kekayaan , keanekaragaman, dominansi dan kemerataan parasitoid telur walang sangit pada lokasi ketinggian yang berbeda disajikan pada Tabel 1.
136
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
Pada berbagai ketinggian ditemukan jumlah kekayaan spesies parasitoid (S) sebanyak dua species, yaitu spesies Hadronotus leptocorisae dan Ooencyrtus malayensis. Walaupun ada lokasi memiliki kekayaan spesies parsitoid telur walang sangit nol. Namun jika dilihat secara keseluruhan ditemukan kekayaan spesies parasitoid telur walang sangit yang hampir merata diseluruh ketinggian tempat. Kelimpahan parasitoid tertinggi di dataran sedang (156 ekor) selanjutnya dataran rendah (59 ekor), dan dataran tinggi (9 ekor). Kelimpahan parasitoid erat kaitannya dengan keberadaan vegetasi sekitar lahan, kelimpahan Leptocorisa acuta dan tumbuhan inang. Kenyataan di lapangan areal tanaman padi di dataran sedang memiliki lebih banyak ditemukan serangga inang dan vegetasi tumbuhan berbunga yang menyediakan makanan bagi imago, inang altenatif dan tempat berlindung. Hochberg & Ives (2000) menyatakan bahwa keberadaan vegetasi disekitar tanaman semusim dapat meningkatkan populasi parasitoid, karena tersedia sumber makanan imago, inang alternatif dan untuk kelangsungan hidup parasitoid. Indeks keanekaragaman secara keseluruhan dalam kriteria rendah berkisar antara 0,10 - 0,30. Nilai ini wajar karena inang yang dihitung hanya satu yaitu parasitoid pada telur walang sangit. Dari data yang ada, keanekaragaman spesies parasitoid telur tertinggi ditemukan di dataran sedang yaitu 0,29, selanjutnya di dataran rendah 0,25 dan dataran tinggi 0,05. Keanekaragaman di dataran sedang
ISBN:978-602-9138-68-9
dan rendah lebih tinggi jumlahnya daripada dataran tinggi, artinya komunitas tanaman padi di lokasi tersebut dalam keadaan lebih stabil karena jenis parasitoid yang mampu hidup dan beradaftasi dengan komunitas tanaman padi tersebut lebih banyak. Hal ini erat kaitannya dengan beragamnya tipe habitat seperti rawa dan semak belukar atau hutan sekunder yang merupakan sumber invasi parasitoid. Brewer & Elliot (2004) menyatakan keanekaragaman tumbuhan yang berada di sekitar tanaman budidaya dapat mempengaruhi kehadiran parasitoid. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa vegetasi di sekitar lahan dapat mendukung keanekaragamn parasitoid di dataran sedang dan rendah. Kondisi keanekaragaman yang rendah di dataran tinggi diduga karena berbagai faktor penyebab diantaranya praktik penggunaan pestisida, suhu dan ketinggian tempat. Pada musim kemarau faktor lingkungan lebih mendukung untuk perkembangan berbagai spesies parasitoid. Dinyatakan oleh Herlinda (2005), Cotesia plutellae (Kurdj) yang merupakan parasitoid plutella xylostella L. lebih sesuai berkembangbiak pada suhu yang lebih tinggi. Kenyataannya pada penelitian ini rerata suhu 15°C. Dengan demikian dapat dikatakan faktor abiotik seperti suhu pada musim kemarau lebih sesuai untuk berbagai spesies parasitoid berkembangbiak dibanding musim hujan. Selain itu factor ketinggian pada dataran tinggi yang mencapai 1200 mdpl menyebabkan daya sebar parasitoid terbatas. Hasil perhitungan indeks dominansi (D) pada masing-masing lokasi berkisar antara 0,43 - 0, 58. Indeks dominansi tertinggi berada pada dataran sedang 0,58 dan yang terendah pada dataran tinggi (0,43). Dari data yang ada menunjukkan dataran sedang memiliki salah satu spesies parasitoid yang dominan dibanding spesies yang lain. Begitu pun daerah yang lain , namun dominansinya dengan spesies yang lain sangat tipis. Nilai indeks kemerataan (E) pada masing-masing lokasi berkisar antara 0,07 – 0,43. Nilai kemerataan tertinggi berada pada dataran sedang (0,42) sedangkan nilai kemerataan terendah berada pada dataran tinggi (0,07) dimana dalam ekosistem ada kecenderungan terjadi dominansi spesies parasitoid yang disebabkan oleh adanya
137
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan populasi. Indeks ini mengungkapkan bahwa distribusi kelimpahan spesies parasitoid dataran sedang relatif merata daripada lokasi yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa ekosistem tersebut dalam kondisi yang relatif mantap/stabil yaitu jumlah individu tiap spesies relatif sama (Brower &. Zar, 1977). SIMPULAN Berdasarkan hasil dan tabulasi data serta pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ada dua jenis parasitoid telur walang sangit yang selalu ditemukan pada berbagai ketinggian pada areal tanaman padi di Pulau Lombok yaitu Hadronotus leptocorisae (Hymenoptera; Scelionidae) dan Ooencyrtus malayensis (Hymenoptera; Encyrtidae). 3. Ketinggian tempat mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid telur walang sangit dan memiliki kecendrungan berkurang seiring dengan pertambahan tinggi diatas permukaan laut.
ISBN:978-602-9138-68-9
Krebs, C.J. 1972. Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper and Row Publ. New York. Ludwig, J.A. & J. F. Reynolds. (1988). Statistical Ecologl. John Wiley & Sons. New York. Noyes, J.S., 1989. A study of methods of sampling hymenoptera (insecta) in tropical rainforest, with spesisial refrence to the parasitica. J. Natural History 23: 285 – 298. Pielou, E. C., 1975. Ecological Diversity. John Wiley & Sons, Inc. New York. Price, P.W., 1997. Insect Ecology. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc. New York. Wanger TC, Rauf A, Schwarze S. 2010. Pesticides and tropical biodiversity. Frontiers in Ecology and the Environment 8:178- 17
DAFTAR PUSTAKA Altieri, MA. 1999. The ecological role of biodiversity in agroecosystems. Agriculture Ecosystems & Environment 74:19-31. Brower, J.E & J.H, Zar (1977) Field and laboratory methods for general ecology. WM. C. Brown Company Publishers, Dubuque, Iowa, USA. 194 pp. Brewer M.J., & Elliot N.C., (2004). Biological control of cereal aphids in nort America and mediating effect of host plant and habitat manipultaions. Annu. Rev. Entomol 49: 219-42. Herlinda S. (2005). Jenis dan kelimpahan parasitoid Plutellla xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae) di Sumatera selatan. Agria 1(2): 78-83. Hochberg M.E. & Ives A.R. (2000). Parasitoid population biology. Priceton University Press Princeton and Oxford. New jersey. United kingdom.
138
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
ANALISIS KERAGAMAN FENOTIP SALAK GULAPASIR PADA RAGAM LINGKUNGAN BERBEDA SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN DI DAERAH BARU DI BALI I Ketut Sumantra Fak Pertanian Univ. Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11 A Denpasar-Bali, e-mail : [email protected] ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mempelajari variabilitas fenotip tanaman salak Gulapasir pada ragam lingkungan tumbuh berbeda di Bali telah dilakukan di enam lokasi berbeda yaitu tiga lokasi di Kabupaten Karangasem (Telaga, Kecing, Jungutan), dan tiga lokasi di Kabupaten Tabanan (Saribuana, Pajahan dan Batungsel) dimulai dari bulan Desember 2011 s.d. Maret 2012. Data dianalisis menggunakan uji Barlett, perbandingan varians fenotip dengan standar deviasi dan Analisis klaster menggunakan program Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis versi 2.1. Analisis korelasi antar karakter fenotip dengan program NTSYS menggunakan analisis perbandingan fungsi MXCOMP. Hasil penelitian diperoleh ragam lokasi tidak menyebabkan perbedaan karakter kualitatif yang meliputi warna pupus, warna pelepah, warna duri, bunga maupun buah. Ragam lokasi menyebabkan variabilitas fenotip beragam yang meliputi panjang bunga tanpa seludang, jumlah buah per tandan dan tebal daging. Koefisien kemiripan fenotip berdasarkan sepuluh karakter kuantitatif berkisar antara 58 s.d. 93% yang terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu kelompok salak Gulapasir dari Karangasem dan kelompok salak Gulapasir dari Tabanan, tanaman dari ketinggian berdekatan cenderung untuk bergabung ke dalam kelompok yang sama. Kata kunci: Fenotip, salak gulapasir, lingkungan, pengembangan PENDAHULUAN Tanaman salak Gulapasir (Salacca zalacca var. amboinensis) merupakan komoditas buah unggulan Bali yang berpotensi untuk dikembangkan, baik untuk pemenuhan kebutuhan domestik maupun pasar ekspor. Konsumsi per kapita buah salak pada tahun 2008 ialah 1.64 kg per kapita/tahun, dan kebutuhan salak mencapai 420.000 ton/tahun. Kebutuhan ini termasuk untuk ekspor sejumlah 32.75 ton/tahun dengan tujuan Singapura, Hongkong, Malaysia, dan sisanya untuk kebutuhan pasar domestik baik sebagai buah segar maupun untuk produk olahan (Dimyati et al., 2009). Sejalan dengan kebutuhan masyarakat terhadap buah salak, diprediksi kebutuhan buah salak akan meningkat dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai agribisnis dan agroindustri. Di samping itu keragaman genetik salak yang tinggi memungkinkan tanaman dikembangkan untuk memperoleh varietas unggulan (Ashari, 2002).
Salak Gulapasir tergolong salak paling unggul karena rasa buah yang manis walaupun umur buah masih muda, tidak ada rasa sepat, tidak masir, daging buah tebal dan biji tidak melekat pada daging buah (Wijana dkk., 1993). Permintaan salak Gulapasir terus meningkat, dilain pihak pasar salak Bali terus menurun karena kalah bersaing dengan salak Pondoh. Hal ini mendorong pemerintah Propinsi Bali mengembangkan tanaman salak Gulapasir secara intensif, melalui program penanaman pada areal baru atau sebagai pengganti pertanaman salak Bali (Diperta-Bali, 2009). Bila pada saat awal perkembangan tanaman salak Gulapasir terbatas di Kabupaten Karangasem, maka saat ini telah meluas ke Kabupaten Tabanan, Buleleng, Badung dan Bangli (Wijana dkk., 1993). Salak Gulapasir termasuk salak berumah satu (monoeceous) sehingga dapat dengan mudah dikembangkan dengan menggunakan biji, karena biji yang dihasilkan sama dengan sifat induk salak Gulapasir (Kriswiyanti dkk., 2008;
139
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Darmadi dkk., 2002), bahkan diketahui dapat melakukan penyerbukan sebelum seludang mekar (Guntoro dkk., 1998; Rahayu dkk., 1999). Sejauh ini belum diketahui apakah sifat-sifat fenotip tersebut apabila dikembangkan ke daerah lain masih sama seperti pada daerah asalnya di Sibetan Karangasem. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari variabilitas fenotip tanaman salak Gulapasir pada berbagai lingkungan tumbuh berbeda di Bali. Penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran tentang variabilitas fenotip tanaman salak Gulapasir dalam rangka pemilihan tanaman induk untuk mendapat bibit yang berkualitas. METODE PENELITIAN Penelitian dimulai bulan Desember 2011 s.d. Maret 2012 bertempat di enam lokasi terdiri dari tiga lokasi di Kabupaten Karangasem: Telaga Sibetan (A-1) 450 m dpl, Kecing (A-2) 550 m dpl, Jungutan (A-3) 670 m dpl, dan tiga lokasi di Kabupaten Tabanan: Saribuana (T-1) 460 m dpl, Pajahan (T-2) 570 m dpl dan Batungsel (T3) 700 m dpl. Alat untuk pengamatan fenotip terdiri dari kantong plastik, gunting, mistar, timbangan, alat pengambil sampel tanaman, dan kamera. Bahan tanaman yang digunakan untuk enam lokasi berjumlah 42 tanaman salak dengan perkiraan umur tanaman antara 8 tahun sampai dengan 10 tahun. Pengamatan fenotip mengacu pada buku Panduan Pengujian Individual (PPI) spesies salak (Deptan., 2006) meliputi: warna utama pupus, warna pelepah daun, jumlah anak daun, panjang anak daun, lebar anak daun, warna duri, warna seludang bunga, panjang seludang, panjang bunga tanpa seludang, jumlah tandan bunga per seludang, warna mahkota bunga, warna tangkai sari, jumlah buah per tandan, jumlah biji, tebal daging buah, nisbah panjang dan diameter dan warna kulit buah. Analisis data fenotip menggunakan: (1) uji Barlett, (2) Perbandingan antara nilai varians dengan standar deviasi dan (3) Analisis kluster. Penggunaan uji Barlett untuk mengetahui homogenitas ragam dari sampel yang diambil dari dua populasi atau lebih. Pelaksanaan analisis dilakukan dengan bantuan program Minitab versi 14. Pengambilan keputusan berdasarkan kepada P value yang diperoleh. Apabila P value > 0.05 berarti karakter fenotip homogen, sebaliknya apabila P value <0.05 berarti karakter fenotip tersebut beragam. Analisis data melalui perbandingan varians fenotip dengan standar deviasi dilakukan terhadap variable fenotip yang terukur. Nilai varian fenotip
ISBN:978-602-9138-68-9
dihitung menurut Steel dan Torrie (1995) sebagai berikut : 2
Keteran gan :
∑ X i ) 2 /n ? X i 2 – (? f = -------------------(n -1)
2
f = varians feno tip Xi = n ilai rata-rata fen otip ke i n = ju mlah feno tip y ang d iuj i.
Selanjutnya standar deviasi varians fenotip dihitung berdasarkan rumus Darajat, (1987) dan Mansyah (2002) : 2f Sd 2f = --------------(n -1) Kriteria penilaian terhadap luas atau sempitnya dihitung menurut Mansyah (2002) sbb: Apabila 2f > 2 Sd2f berarti bahwa variabilitas fenotipnya luas Apabila 2f < 2 Sd2f berarti bahwa variabilitas fenotipnya sempit Pengambilan keputusan berdasarkan ke dua pengujian tersebut dilakukan dengan kriteria yang tercantum pada Tabel 1. Analisis klaster (cluster analysis) ∑ menggunakan program NTSYSpc (Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis) versi 2.1 (Rohlf, 2000). NTSYSpc merupakan program yang digunakan untuk memperoleh dan memperlihatkan struktur dari data multivariat, diantaranya digunakan pada data dari sampel yang berasal dari dua atau lebih populasi yang berbeda. Analisis klaster dipilih metode SAHN (Sequential, Agglomerative, Hierarchical and Nested Clustering). Untuk kemiripan fenotip digunakan koefisien Dice dengan metode UPGMA (Unweight Pair Group Methode Arithmetic) fungsi Similarity Qualitatif (SIMQUAL) Tabel 1. Kriteria variabilitas fenotip berdasarkan uji Bartlett dan perbandingan varians dan standar deviasi (Mansyah, 2002).
140
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Untuk analisis klaster setiap karakter dibagi ke dalam sub karakter. Penetapan sub karakter mengacu pada buku Panduan Pengujian Individual (PPI) spesies salak (Deptan, 2006). Untuk mengetahui korelasi antar karakter fenotip dilakukan analisis korelasi melalui program NTSYS menggunakan analisis perbandingan fungsi MXCOMP HASIL DAN PEMBAHASAN Observasi Fenotipik Berdasarkan Uji Bartlett dan Standar Deviasi Hasil pengamatan 17 karakter fenotip salak Gulapasir asal Karangasem dan Tabanan yang terdiri dari sepuluh karakter kuantitatif dan tujuh karakter kualitatif disajikan pada Tabel 2.
ISBN:978-602-9138-68-9
Hasil perhitungan pada Tabel 2 menunjukkan perbandingan nilai varians dan standar deviasi dengan variasi luas ditemukan pada kesepuluh karakter kuantitatif yang diuji. Hasil analisis sepuluh karakter kuantitatif dengan uji Bartlett menunjukkan nilai ragam yang nyata sampai sangat nyata pada karakter panjang bunga tanpa seludang, jumlah buah per tandan dan tebal daging buah. Berdasarkan pada penggabungan dari dua uji yaitu Bartlett dan nilai varians dengan standar deviasi menunjukkan tiga karakter kuantitatif yang diuji dengan kriteria variabilitas fenotip beragam dengan kisaran luas yang meliputi panjang bunga tanpa seludang, jumlah buah per tandan dan tebal daging. Ketiga karakter ini menunjukkan nilai tinggi pada salak yang ditanam di Telaga Sibetan disusul salak dari Kecing dan Jungutan.
141
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Tabel 2 menunjukkan bahwa variasi lokasi tidak menyebabkan perbedaan pada karakter kualitatif yang meliputi warna pupus, warna pelepah, warna duri, bunga maupun buah. Namun terhadap karakter kuantitatif menunjukkan nilai berbeda. Jumlah buah, panjang bunga dan tebal daging lebih besar dan pajang dijumpai di Telaga, Kecing dan Jungutan, sedangkan panjang anak daun lebih besar dijumpai di Saribuana, Pajahan dan Bangsing. Lokasi penanaman salak baik di Karangasem dan di Tabanan dengan ketinggian tempat di atas 650 m dpl terjadi penurunan pada karakter panjang seludang, jumlah tandan bunga, jumlah buah dan tebal daging buah. Untuk menjelaskan karakter morfologi yang diperoleh, maka karakter yang diamati dibagi menjadi sub karakter berdasarkan pada kisaran nilai pengamatan yang diperoleh. Hasil pembagian karakter menjadi sub karakter disajikan pada Tabel 3.
ISBN:978-602-9138-68-9
lebar anak daun berukuran sempit, panjang seludang berukuran sedang, bunga tanpa seludang berukuran panjang. Sedangkan jumlah buah, tebal daging berukuran sedang, sebagian besar buah berbiji 1, bentuk buah bulat. Variasi Fenotip Berdasarkan Analisis Klaster Berdasarkan analisis klaster terhadap karakter fenotip pada enam lokasi berbeda, diperoleh rentang nilai koefisien 0.58 – 0.93. Pada tingkat kemiripan 58.62% diperoleh dua kelompok berbeda yaitu kelompok satu terdiri dari salak Gulapasir asal Telaga-Sibetan (A1) Kecing (A2), Jungutan (A3), Sarinbuana (T1) dan Pajahan (T2) dengan pembeda ukuran tebal buah, jumlah buah dan panjang bunga lebih besar. Kelompok ke dua pada tingkat kemiripan 62.06% terdiri dari salak yang berasal dari Bangsing (T3), salak dari Saribuana (T1), salak dari Kecing (A2), salak Jungutan (A3) dan Pajahan (T2). Pada kelompok ini ciri khas yang menonjol terletak pada ukuran tebal buah, panjang bunga, jumlah buah. Salak yang berasal dari Bangsing (T3) ukuran dari karakter tersebut lebih tipis dan pendek. Pada tingkat kemirirpan 72.41% terdiri dari salak yang berasal dari Saribuana(T1), Kecing (A2), Jungutan (A3) dan Pajahan (T2). Ciri yang menonjol pada kelompok ini adalah ukuran tebal buah, panjang bunga dan jumlah buah berukuran sedang (Gambar 1).
Keterangan : Dihitung dari 42 sampel tanaman berdasarkan bentuk yang dominan pada masingmasing pohon Dari data pada Tabel 3 diketahui salak Gulapasir yang ditanam di Karangasem dan di Tabanan menunjukkan jumlah anak daun, panjang anak daun berukuran sedang,
Dari dendrogram tersebut diketahui bahwa pengelompokkan aksesi selain berdasarkan kemiripan fenotip juga berdasarkan pada lokasi. Tanaman dari
142
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI ketinggian yang sama cenderung untuk bergabung ke dalam kelompok yang sama, seperti yang ditunjukkan oleh salak yang berasal dari Kecing (A2) dan salak dari Jungutan (A3), demikian pula salak dari Saribuana (T1) dan salak dari Pajahan (T2). Sejalan dengan penelitian ini, Mansyah (2002) melaporkan fenotif tanaman manggis dari lokasi yang sama cederung berkelompok, hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan pada masing-masing lokasi.
Dendogram morfologi menunjukkan bahwa pengelompokan berdasarkan fenotip (Gambar 1), salak Gulapasir yang ditanam di Karangasem dan Tabanan pada lokasi berbeda menunjukkan variasi secara fenotip dengan tingkat kemiripan fenotip 58.62% s.d. 93.10%. Terjadinya variabilitas fenotip dalam populasi satu jenis mahluk hidup di alam dapat disebabkan oleh hibridisasi, mutasi alamiah dan perpindahan gen dari jenis mahluk hidup yang sama atau berbeda. Dari analisis klaster tersebut diketahui, pengelompokan aksesi selain berdasarkan kemiripan fenotip juga berdasarkan lokasi. Tanaman dari ketinggian berdekatan cenderung untuk bergabung ke dalam kelompok yang sama, seperti yang ditunjukkan oleh salak yang berasal dari Kecing dan salak dari Jungutan, demikian pula salak dari Saribuana dan salak dari Pajahan. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Mansyah et al. (2003) pada tanaman manggis dan Rai dkk. (2008) pada tanaman wani. Hal ini mungkin disebabkan benih salak Gulapasir yang ditanam di Tabanan bukan berasal dari Telaga (A1), Kecing (A2) atau dari Jungutan (A3) atau mungkin salak yang ditanam di Tabanan berasal dari kebun salak petani setempat yang berasal dari tetua yang sama yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat. Pengelompokan tersebut memberi
ISBN:978-602-9138-68-9
makna bahwa salak Gulapasir yang ditanam di Telaga-Sibetan menunjukkan karakter berbeda dengan salak dari lokasi lain. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sampel salak yang diambil dari Telaga-Sibetan Karangasem adalah tanaman induk yang telah disertifikasi oleh Dinas Pertanian Kabupaten Karangasem untuk digunakan sebagai sumber benih, sehingga kemurnian sifat-sifat tersebut lebih dominan dibandingkan salak Gulapasir dari lokasi lain. SIMPULAN Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ragam lokasi tidak menyebabkan perbedaan pada karakter kualitatif yang meliputi warna pupus, warna pelepah, warna duri, bunga maupun buah. 2. Ragam lokasi menyebabkan variabilitas fenotip beragam dengan kisaran luas yang meliputi panjang bunga tanpa seludang, jumlah buah per tandan dan tebal daging. Ketiga karakter ini menunjukkan nilai tinggi pada salak yang ditanam di Telaga Sibetan disusul salak dari Kecing dan Jungutan. 3. Koefisien kemiripan fenotip berdasarkan sepuluh karakter kuantitatif berkisar antara 58 s.d. 93% yang terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu kelompok salak Gulapasir dari Karangasem dan kelompok salak Gulapasir dari Tabanan, tanaman dari ketinggian berdekatan cenderung untuk bergabung ke dalam kelompok yang sama. SARAN Untuk program perluasan penanaman salak Gulapasir di daerah pengembangan baru, pemilihan tanaman induk untuk calon bibit disarankan untuk mengambil benih dari tanaman yang sudah beradaptasi pada lingkungan setempat. Untuk mengurangi variasi baik secara fonotip perbanyakan tanaman salak Gulapasir dilakukan secara vegetatif dengan sistem cangkokan atau dengan teknik kultur jaringan. .
143
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI DAFTAR PUSTAKA Ashari, S. 2002. On the agronomy and botany of Salak (Salacca zalacca). PhD Thesis Wageningen University. 126 pp. Darmadi, AAK., A. Hartana, J. P. Mogea. 2002. Perbungaan salak bali. Hayati 9 (2) : 59 – 61. Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2006. Panduan pengujian individual, kebaruan, keunikan, keseragaman dan kestabilan Salak (Salacca zalacca Gaertn. (Voss). Pusat Perlindungan Varietas Tanaman. Departemen Pertanian Republik Indonesia. 18 pp. Dimyati, A. S. Kuntarsih, D. Iswan, dan Y. Nurcahya. (2009). Meeting the requirement of international market for salacca. Ministry of Agriculture of Republik Indonesia. http://www.edudoc.com/ebook/departemenpertanian.html (20 Desember 2010).17 pp. Diperta Bali. 2009. Luas tanam, luas panen dan produksi buah-buahan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Prop. Bali. p. 25-30 Guntoro, L.R.Rahayu, Suprapto, 1998. Salak Bali dan pembudidayaannya. IP2TP, Bali. 24 pp. Kriswiyanti, E., K. Muksin, Watiniasih, M. Suartini. 2008. Pola reproduksi pada
ISBN:978-602-9138-68-9
salak Bali (Salacca zalacca Var. Amboinensis (Becc.) Mogea. J. Bio. 11 (2): 78-82. Mansyah E, Baihaki A, Setiamihardja R, Darsa JS, Sobir. 2003. Analisis variabilitas genetik manggis (Garcinia mangostana L.) di Jawa dan Sumatera Barat menggunakan teknik RAPD. Zuriat 14 (1): 35-44. Mansyah, E. 2002. Analisis variabilitas genetik manggis melalui teknik RAPD dan fenotipiknya pada berbagai lingkungan tumbuh di Jawa dan Sumatra Barat. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Pajajaran, Bandung. 105 pp. Rahayu, L.R. Sudaratmaja, A. Rachim, Sumartini, W.Soethama, Rosdiah, Trisnawati. 1999. Pengkajian sistem usaha pertanian salak berbasis ekoregional lahan kering. IP2TP, Bali. 137 pp. Rai, I.N., G. Wijana, C.G.A. Semarajaya. 2008. Identifikasi variabilitas genetik wani Bali (Mangifera caesia Jack). J. Hort. 18 (2): 125-134 . Wijana, G. A. Gunadi dan N. Kencana Putra. 1993. Upaya peningkatan kuantitas dan kualitas buah salak Bali dengan penentuan waktu penjarangan dan jumlah buah per tandan. Laporan Penelitian. F.P. Unud Denpasar. 40 pp.
144
SELANJUTNYA TEKS NO 24 Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
AKTIVITAS ANTAGONISTIK DAN KEMAMPUAN Pseudomonas spp. MEMBENTUK SIDEROPHORE UNTUK MENEKAN Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici PADA TANAMAN TOMAT I Ketut Widnyana1 1
Laboratory of Agrotechnology, Faculty of Agriculture, Mahasaraswati University of Denpasar, Denpasar-Bali, Indonesia. *Corresponding author email: : [email protected] ABSTRAK Jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici merupakan penyebab penyakit layu pada tanaman tomat yang sulit dikendalikan. Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan namun belum memberikan hasil yang memuaskan. Penelitian Aktivitas antagonistik dan kemampuan Pseudomonas spp. membentuk siderophore untuk menekan Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici pada tanaman tomat bertujuan untuk untuk mengetahui kemampuan antagonistik rizobakteria dan membentuk siderophore serta mengetahui mekanisme kerja siderophore dalam menekan pertumbuhan jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici. Penelitian bersifat ekspreimental yang dilaksanakan di Laboratorium dengan menggunakan rancangan dasar RAL (Rancangan Acak Lengkap) dengan pola tunggal. Uji beda rata-rata dilakukan dengan mempergunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 isolat Pseudomonas spp yaitu isolat KtS1, TrN2, dan TmA1 bersifat antagonis terhadap patogen dengan daya hambat 71,17% untuk KtS1, 80,53% untuk TrN2, dan 79,22% untuk TmA1. Ketiga isolate bakteri tersebut juga mampu membentuk siderofore sebesar 0.239 (KtS1) , 1.320 (TrN2), 1.467 (TmA1) pada absorbansi 500 nm. Kata kunci : Penyakit layu Fusarium, antagonistik, sidephore. PENDAHULUAN Penyakit layu Fusarium pada tanaman tomat yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici merupakan penyakit penting pada tanaman tomat dan telah mengakibatkan kerusakan yang besar pada berbagai daerah penghasil tomat di dunia (Wibowo, 2005). Penyakit ini sangat merugikan terutama bagi varietas tomat yang rentan dan pertanaman tomat di daerah yang beriklim panas dengan suhu rata-rata 280C (Walker, 1957). Berbagai upaya telah dilakukan dalam pengendalian penyakit layu Fusarium, diantaranya penggunaan benih sehat, rotasi tanaman, tumpang sari maupun dengan pestisida (fungisida) tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan. Hal ini terjadi karena patogen dapat
bertahan dalam tanah walaupun tanpa tanaman inang dan juga dapat ditularkan melalui benih terinfeksi (Agrios, 2005). Alternatif lain untuk mengendalikan penyakit layu Fusarium adalah dengan memanfaatkan rizobakteri. Pengendalian dengan cara ini dilaporkan cukup efektif dan belum ada yang melaporkan timbulnya ketahanan jamur patogen terhadap agen pengendali hayati (Freeman et al. 2002). Rhizobakteria adalah kelompok bakteri dengan habitat daerah perakaran tanaman (rhizosphere) yang telah banyak diteliti dan terbukti dapat meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan ketahanan tanaman dan dapat menekan patogen tanaman. Rizobakteri berperan secara langsung sebagai biofertiliser dan biostimulan dengan memproduksi hormon
145
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI tumbuh tanaman seperti IAA (indol acetic acid), gibberelin , cytokinin, ethylene, melarutkan mineral, dan secara tidak langsung juga berfungsi mencegah mikroorganisme patogen melalui pembentukan siderophores, komponen antimikroba (antibiotik) dan berpotensi sebagai agensia dalam Induced systemic resistance (ISR) (McMilan. 2007; Sarma et al. 2009) Beberapa bakteri penghasil siderophore yang telah digunakan dalam bidang pertanian diantaranya P. aeruginosa (Budzikiewicz 2001, Wahyuni et al. 2010), P. flourescens, (Budzikiewicz 2001; Rachid & Ahmed 2005), P. putida (Budzikiewicz 2001; Wahyuni et al. 2003) dan Bacillus sp. (Wahyudi et al. 2011). Menurut Meyer (2000), Pseudomonas isolat yang berbeda memiliki kemampuan untuk menghasilkan siderophore dalam jumlah yang tinggi. Siderophore ini diketahui efektif menekan pertumbuhan penyakit Fusarium oxysporum. Hal ini karena ion Fe yang dibutuhkan F. oxysporum untuk berkecambah tidak tersedia akibat dikelat oleh siderophore (Budzikiewicz 2001). Menurut Wahyuni et al. (2010), P. aeruginosa mampu menginduksi ketahanan tanaman terhadap Cucumber mosaic virus (CMV) dengan memproduksi siderophore pada kondisi Fe terbatas. Penelitian bertujuan; 1) Untuk mengetahui kemampuan rizobakteria dari kelompok Pseudomonas spp. yang diisolasi dari rizosphere tanaman kacang-kacangan dan terung-terungan dalam membentuk siderophore, 2) Untuk mengetahui mekanisme kerja siderophore dalam menekan pertumbuhan jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu memberikan sumbangan dalam pengembangan fitopatologi melalui konfirmasi potensi rizobakteria Pseudomonas spp. dalam menekan penyakit layu Fusarium pada tanaman tonmat melalui pembentukan siderophore METODE PENELITIAN Isolasi jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici Isolat F. oxysporum f.sp. lycopersici diperoleh dari batang tanaman tomat terserang penyakit layu Fusarium. Isolasi dilakukan pada media PDA sampai mendapatkan isolate murni. Untuk memastikan bahwa jamur tersebut adalah patogen layu Fusarium maka dilakukan
ISBN:978-602-9138-68-9
pengujian dengan mengikuti prosedur Postulat Koch. Isolasi rizobakteri Pseudomonas spp Sampel tanah diambil dari rizosphere tanaman Solanaceae dan Leguminosae dari wilayah Bali. Isolasi dilakukan dengan metode pengenceran. Masing-masing sampel diencerkan secara berseri sampai 106 . Sebanyak 1 ml dari larutan tersebut dituangkan ke dalam 10 ml media Kings’B, selanjutnya diinkubasikan selama 2 hari pada suhu kamar (Gells dan Schippers, 1983). Koloni bakteri yang muncul dimurnikan kembali pada medium yang sama dan dipilih yang berwarna hijau terang atau hijau kebiruan dan berpendar di bawah lampu ultra violet (λ=265 nm) (Noveriza, 1999). Uji daya hambat Pseudomonas spp. terhadap patogen F. oxysporum f.sp. lycopersici Pengujian dilakukan di Laboratorium pada media PDA dengan metode dual culture untuk melihat daya hambat rizobakteri terhadap patogen. Semakin lebar zone hambatan yang terjadi, maka semakin tinggi daya antagonis isolat ribakteri tersebut (Noveriza et al., 1999). Luas koloni jamur patogen diukur dengan menggunakan kertas millimeter, dan persentase hambatan pertumbuhan jamur patogen dihitung dengan rumus seperti tertulis di bawah ini.
r1-r2 P = ——— x 100 %. r1 Keterangan : P = persentase hambatan r 1 = luas koloni F. oxysporum f.sp. lycopersici kontrol r 2 = luas koloni F. oxysporum f.sp. lycopersici pada perlakuan Pengujian produksi siderophora Pengujian produksi siderophore diawali dengan penumbuhan isolat rizobakteri dalam media uji khusus. Komposisi per liter media yang digunakan terdiri atas sukrosa (20 g), Lasparagin (2 g), K2HPO4 (1 g), MgSO4×7H2O (0.5 g) dan diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 27 oC. Suspensi rizobakteri disentrifugasi dengan kecepatan 11.000 rpm selama 30 menit. Supernatan yang didapat disaring dengan membran nitroselulosa berporositas 0.2 mm. Untuk mendeteksi siderophore, absorbansi
146
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI supernatan (3 ml) dengan atau tanpa penambahan 1 ml FeCl 3 0.01 M diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 400 – 700 nm (Dirmawati. 2003).
ISBN:978-602-9138-68-9
A
HASIL DAN PEMBAHASAN Jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici Sumber inokulum diperoleh di desa Luwus Baturiti Tabanan, dengan gejala serangan tanaman tomat mangalami kelayuan,daun berwarna kuning, pangkal batang berwarna coklat. Isolasi jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici dilakukan dengan prosedur tissue planting method. Re-isolasi dilakukan dengan metode streaking method sampai mendapatkan isolat murni. Koloni jamur F. oxysporum f.sp. lycopersici hasil isolasi disajikan pada Gambar1.
B
C
Gambar 1. Koloni jamur Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici pada umur sediaan 6 hari Daya hambat Pseudomonas spp. terhadap F. oxysporum f.sp. lycopersici Uji daya hambat dilakukan terhadap 27 buah isolat rizobakteri dengan metode dual culture untuk melihat daya hambat rizobakteri terhadap patogen (Gambar 2), dan dari uji tersebut didapatkan 3 isolat yang menunjukkan daya hambat yang cukup tinggi (Tabel 1) . Dari 3 isolat tersebut dipilih isolat yang mampu menekan pertumbuhan jamur F. Oxysporum f.sp lycopersici di atas 70-80% sehingga didapatkan 3 (tiga) isolat yaitu TrN2, KtS1, dan TmA1. Tabel 1. Daya hambat rizobakteri Pseudomonas spp terhadap pertumbuhan jamur F.oxysporum f.sp lycopersici
D
Gambar 2. Uji antagonistik jamur jamur F. oxysporum f,sp lycopersici dengan rizobakteri. A). Kontrol , B). isolat bakteri KtS1, C). isolat bakteri TrN2, D). isolat bakteri TmA1
Pengujian Produksi Siderophore Pengujian adanya produksi siderophore Pseudomonas spp. dilakukan terhadap 3 (tiga) isolat bakteri Pseudomonas spp. yaitu Pseudomonas spp KtS1, Pseudomonas spp TrN2, dan Pseudomonas spp TmA1 disajikan pada Tabel 2.
147
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
Keterangan : 1. Uji kandungan siderophore dilakukan di Laboratorium Biotektonolgi PAU (Pusat Antar Universitas) IPB – Bogor. 2. Tanda + menunjukkan tingkat kandungan siderophore Data yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa keamampuan ketiga isolat bakteri dalam menghasilkan siderophore berbeda-beda, dengan kandungan siderophore yang tertinggi terdapat pada bakteri Pseudomonas spp TmA1 yaitu 1.467, TrN2 sebesar 1.320 dan KtS1 sebesar 0.239 masing masing pada absorbansi 500 nm. Absorbansi berbanding lurus dengan konsentrasi, artinya konsentrasi semakin tinggi maka nilai absorbansi yang dihasilkan makin tinggi, begitupun sebaliknya konsentrasi makin rendah absorbansi yang dihasilkan semakin rendah. Semakin banyak senyawa tertentu yang terkandung dalam larutan, maka semakin kecil cahaya yang dapat diloloskan (Keenan 1992) Siderophore adalah substansi yang dihasilkan bakteri untuk menangkap besi baik dari inang maupun dari lingkungan dan dimanfaatkan untuk perkembangbiakannya. Kemampuan bakteri dalam menangkap besi tersebut menyebabkan terhambatnya pertumbuhan mikroba pathogen sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan pathogen dalam menyebabkan penyakit pada tanaman inang. Siderophore berasal dari bahasa Yunani yang artinya pembawa besi. Siderophore merupakan molekul yang memiliki bobot molekul relatif rendah, sebagai agens spesifik pengelat ion Fe yang diuraikan oleh bakteri, cendawan, dan tumbuhan kelompok rumputrumputan yang tumbuh pada keadaan cekaman lingkungan akibat Fe rendah (Neilands, 1995), Siderophore memiliki afinitas tinggi untuk Fe3+ dan dapat memfasilitasi transportasi besi seluler
ISBN:978-602-9138-68-9
(Yasmin. 2009). Siderophore dapat digunakan dalam pengendalian penyakit tumbuhan dengan memanfaatkan peranannya untuk menyerap besi dari lingkungan dan menyediakan mineral yang penting bagi sel mikroba (Neilands. 1995). Kelompok utama siderophore adalah hidroksamat, katekolat, karboksilat, dan etilendiamina. Umumnya siderophore tipe hidroksamat merupakan ciri khas untuk cendawan, katekolat untuk bakteri, dan karboksilat untuk tumbuhan. Siderophore merupakan salah satu zat kimia yang dihasilkan oleh plant growth promoting rhizobacteria (Glick & Pasternak. 2003). Siderophore diproduksi di luar sel, dapat mengikat Fe3+, dan mentransfernya melalui membran sel dalam ruang periplasmatik (Budzikiewicz. 2001). Kemampuan bakteri penghasil siderophore dalam mengikat Fe3+ merupakan pesaing terhadap mikroorganisme lain. Mekanisme kerja siderophore terjadi melalui perkembangan yang cepat dari bakteri yang mengolonisasi akar tanaman dan memindahkan besi di daerah permukaan serta terciptanya kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan akar dan tidak sesuai untuk pertumbuhan mikroba rhizoplant (Budzikiewicz 2001). Bakteri penghasil siderophore juga dapat menginduksi ketahanan tanaman. Mekanisme ketahanan tanaman terjadi karena adanya perbaikan lingkungan tumbuh dari adanya interaksi mikroba tanaman (Dey et al. 2004). SIMPULAN 1. Kemampuan antagonistic ketiga strain bakteri Pseudomonas spp tersebut tidak berbanding lurus dengan kemampuan produksi siderophore. Pseudomonas spp yang mempunyai kemampuan antagonistic dan menghasilkan siderophore dapat menekan perkembangan pathogen penyakit layu Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici akan tetapi selain siderophore terdapat faktor lain yang mempengaruhi kemampuan antagonistik. 2. Mekanisme kerja siderophore terjadi melalui perkembangan yang cepat dari bakteri yang mengolonisasi akar tanaman dengan mengikat Fe3+ sehingga tidak tersedia bagi jamur pathogen.
148
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI DAFTAR PUSTAKA Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition. Departement of Plant Pathology University of Florida. Elsevier Academic Press. Pp. 920. Budzikiewich, H. 2001. Siderophore – antibiotic Conjugates Used a Trojan Horse Against Pseudomonas aeruginosa. Curr. Top. Med.Chem 1 : 73. Dey R., K.K.Pal, D.M. Bhatt, and S.M. Chauhan. 2004. Growth promotionand yield enhancement of peanut (Arachis hypogaea L.) byapplication of plant growth promoting rhizobacteria. MicrobiolRes 159:371 –394. Dirmawati, S. R. 2003. Kajian Komponen Pengendalian Ramah Lingkungan Penyakit Pustul Bakteri pada Tanaman Kedelai [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Freeman S., A. Zveibel, H. Vintal and M. Maymon. 2002. Isolation of nonpatogenic mutants of Fusarium oxysporum f.sp. melonis for biological control of Fusarium wilts in cucurbits. Phytopathology 92:164-168. Geels, F.P., and B. Schippers. 1983. Reduction of yield depressions in high frequency potato cropping soil after seed tuber treatments with antagonistic fluorescent Pseudomonas spp. J.Phytopathol. 108:207-214. Glick, B.R. and J.J. Pasternak, 2003. Molecular Biotechnology, third edition. Amer. Soc. for Microbiol., Washtington, D.C. Keenan, R. 1992. Kimia untuk Universitas. Jakarta : Erlangga. McMilan, S., 2007. Promoting Growth with PGPR. The Canadian Organic Grower. www.cog.ca. Page 32-34 Meyer, J.M. 2000. Pyoverdines: pigments, siderophores and potential taxonomic
ISBN:978-602-9138-68-9
markers of fluorescent Pseudomonas species. Arch. Microbiol. 174 :135– 142. Neilands, J.B., S.A. Leong. 1986. Siderophores in relation to plant growth and disease. Annu Rev Plant Physiol 37:187–208 Noveriza, R. Widowati, Yulneriwarni, dan Darnely. 2009. Penuntun Praktikum Mikrobiologi. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta. Rachid, D., and B. Ahmed. 2005. Effect of iron and growth inhibitors on siderophores production by Pseudomonas fluorescens. African Journal of Biotechnology Vol. 4 (7) : 697-702. Sarma, M.V., R.K. Saharan., K, Prakash. A, Bisaria, and V.Sahai. 2009. Application of Fluorescent Pseudomonads Inoculant Formulations on Vigna mungo through Field Trial International Journal of Biological and Life Sciences 1:1 2009 Walker, J.C. 1957. Plant Pathology,3rd ed. tata Mc Graw-Hill Publish,Company Ltd, New Delhi. Wahyudi, A.T., R.P Astuti1, A. Widyawati1, A.Meryandini1, and A.A. Nawangsih, 2011. Characterization of Bacillus sp. strains isolatd from rhizosphere of soybean plants for their use as potential plant growth for promoting Rhizobacteria. Journal of Microbiology and Antimicrobials 3 (2) : 34-40. Wahyuni, W.S., R. Yutriono, dan S. Winarso. 2003. Pengaruh konsentrasi besi dalam media tanam pada aktivitas Pseudomonas putida Pf-20 untuk menginduksi ketahanan tembakau terhadap Cucumber mosaic virus. Hayati 10:130-133. Wahyuni, W.S., A. Mudjiharjati, and N. Sulistyaningsih. 2010. Compost Extracts of Vegetable Wastes as Biopesticide to Control. Cucumber Mosaic Virus . Journal of Biosciences 17 (2) : 95-100.
149
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PENGAMATAN KEANEKARAGAMAN SERANGGA PADA BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK DI KOTA BATU Cokorda Javandira Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati, Jl. Kamboja 11A, Kota Denpasar, Bali, e-mail : [email protected]. ABSTRAK Budidaya sayuran secara organik yang dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah alam dengan menyelaraskan segala kegiatan usahatani dengan kondisi iklim, tanah dan keanekaragaman hayati. Kondisi ekologi dalam agroekosistem dapat dikaji dengan melihat dinamika komposisi peran dari jumlah individu spesies serangga yang terkoleksi. Dalam penelitian ini serangga yang berperan antara lain sebagai hama, musuh alami (predator dan parasitoid), serta serangga lain (pengurai dll). Berdasarkan pengamatan dari 2 lahan sayuran organik di Kota Batu diperoleh dari lahan A diperoleh 13 ekor serangga hama, 28 serangga musuh alami dan 117 serangga lain sehingga jumlah serangga yang terkoleksi adalah 158 ekor. Untuk lahan B diperoleh 10 ekor serangga hama, 5 ekor serangga musuh alami dan 18 serangga lain sehingga jumlah serangga yang terkoleksi adalah 33 ekor. Nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon pada lahan B (1,581) lebih tinggi daripada lahan A (1,167). Keanekaragaman Ordo Arthropoda pada lahan B (0,88) lebih tinggi daripada lahan A (0,56). Kata Kunci: Keanekaragaman serangga, Sayuran organik, Kota Batu PENDAHULUAN Pertanian organik adalah sistem budidaya pertanian yang dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah alam. Sistem budidaya pertanian organik merupakan sistem pertanian yang menyelaraskan usahatani dengan kondisi iklim, tanah dan keanekaragaman hayati. Sistem pertanian organik adalah sistem yang holistik, mendukung dan mempercepat biodiversitas siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Sistem ini berhubungan dengan rotasi tanaman, residu tanaman, pupuk kandang, pupuk hijau, tanaman legume, budidaya secara mekanis dan pengendalian hama secara biologis (Suprapta, 2008). Dalam kegiatan prakteknya, sistem pertanian organik menggunakan semaksimal mungkin bahan-bahan organik alam yang ada disekitarnya dan tidak menggunakan masukan bahan-bahan kimia sintetis. Rai (2008) menyatakan bahwa produk pangan organik adalah produk yang dihasilkan dari sistem pengelolaan produksi secara ekologis yang holistik dengan mengembangkan dan meningkatkan biodiversitas siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.
Kondisi sistem ekologi dalam agroekosistem juga dikaji dengan melihat dinamika komposisi peran dari jumlah individu spesies serangga yang terkoleksi, lintas waktu ataupun lokasi dalam hamparan (lansekap) yang sama (Triwidodo, 2003). Cara ini sangat sesuai dalam menilai/ memahami kondisi ekologis yang dikaitkan dengan pengembangan tindakan preventif dalam pengelolaan hama. Dalam hal ini yang dikoleksi adalah komunitas arthropoda yang berperan antara lain, sebagai hama, musuh alami (predator dan parasitoid), serta arthropoda lain (pengurai dll). Keseimbangan komposisi peran dari totalitas individu yang terkoleksi dijadikan sarana untuk memahami kondisi ekologi lahan. Karena jumlahnya yang sangat besar dan keragamannya yang tinggi menyebabkan serangga sangat berperan dalam ekosistem dan dalam siklus energi di alam (Muhibuddin, 2010 ). Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui keanekaragaman komposisi dan peran serangga dalam lahan budidaya sayuran organik di Kota Batu.
150
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Lahan sayuran organik di Kota Batu, Provinsi Java Timur selama bulan Oktober 2012. Bahan yang digunakan pada penelitian terdiri atas alkohol 70%, khlorofoam, gliserol 20%, air, kantong plastik dan sabun. Alat yang digunakan pada penelitian terdiri atas yellow pan, tabung fial film, mikroskop, pinset dan cawan petri. Pengamatan keanekaragaman serangga ini dilaksanakan dengan menggunakan perangkap yellow pan. Perangkap yellow pan dipasang di petak contoh yang dipilih secara acak. Pemasangan perangkap yellow pan ini menggunakan metode porposif (gambar 1.) Perangkap yellow pan diletakkan diatara tanaman budidaya.
Gambar 1. Tata letak perangkap Yellow Pan Di dalam perangkap yellow pan telah diberikan cairan air sabun untuk membunuh serangga. Perangkap yellow pan ini dipasang pada pagi hari dan diambil esok harinya (± 24 jam). Setelah ± 24 jam pemasangan serangga yang tertangkap diambil dengan pinset lalu diletakkan di dalam tabung fial film yang telah berisi cairan alkohol dan gliserol 20%. Setelah semua serangga terkumpul, selanjutnya serangga diamati di bawah mikroskop. Pengamatan mengenai peran serangga pada pertanaman sayuran organik ini yang diamati adalah ordo serangga dan bentuk mulutnya. Seluruh tabung fial film yang berisi serangga yang diperoleh dari lapang masingmasing diberi label berdasarkan waktu dan tempat pengambilan. Setiap serangga diindentifikasi hingga tingkat Ordo dengan acuan buku kunci identifikasi yang disusun oleh Borror et al. (1996) disertai dengan mengamati perannya dalam agroekosistem. Data yang diperoleh dari pengamatan hasil identifikasi selanjutnya dilakukan perhitungan indeks keanekaragaman shannon dan sebarannya (Evenness) (Magurran, 1996).
ISBN:978-602-9138-68-9
Indeks dihitung menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Indeks keanekaragaman shannon dihitung dengan rumus sebagai berikut : H’ = -Σpi. ln pi Ket : H’ = Indeks keanekaragaman jenis pi = Proporsi spesies ke-i terhadap total jumlah contoh (n/N) Sebaran keanekaragaman Shannon dihitung dengan rumus sebagai berikut: E = H’ / ln S Ket : E = Sebaran keanekaragaman jenis S = Jumlah spesies yang diperoleh. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan keanekaragaman yang dilakukan pada 2 lahan pertanaman sayuran organik di kota batu dilakukan dengan metode porposif pada gambar 1 cukup baik. Menurut Godfay (1994) sifat serangga yang tertarik terhadap warna kuning pada nampan yang digunakan cukup efektif dalam perangkap serangga. Dari pengamatan pada lahan A memperoleh 158 ekor terdiri dari 100 ekor dari ordo Diptera, 10 ekor dari ordo Orthoptera, 18 ekor dari ordo Homoptera, 26 ekor dari ordo Hymenoptera, 2 ekor dari ordo Coleoptera, 1 ekor dari ordo Plecoptera dan 1 ekor dari ordo Thysanoptera. Pada lahan B diperoleh 33 ekor serangga yang terdiri dari 11 ekor dari ordo Diptera, 8 ekor dari ordo Homoptera, 5 ekor dari ordo Hymenoptera, 2 ekor dari ordo Thysanoptera, 6 ekor dari ordo Homoptera dan 1 ekor dari ordo Hymenoptera. Persentase keanekaragaman serangga pada pertanaman sayuran organik di lahan A didominasi oleh ordo Diptera (63,29%) kemudian diikuti oleh ordo Orthoptera, Homoptera, Hymenoptera, Coleoptera, Plecoptera dan Thysanoptera. Dari lahan B didominasi ordo Diptera (33,33%) kemudian diikuti oleh ordo Homoptera, Hymenoptera, Thysanoptera, Hymenoptera dan Homoptera. Dari tabel 1, dapat dilihat keberadaan ordo serangga yang diperoleh dan diketahui peranperan serangga tersebut di dalam suatu agroekosistem. Analisa terhadap peran-peran serangga yang berhasil dikoleksi menurut Borror et al (1992). Pada lahan A serangga yang berperan sebagai serangga lain dari ordo Diptera 100 ekor, ordo Homoptera 16 ekor dan ordo Plecoptera 1 ekor. Serangga yang berperan sebagai
151
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI hama dari ordo Orthoptera 10 ekor, Homoptera 2 ekor dan ordo Thyzanoptera 1 ekor. Serangga yang berperan sebagai musuh alami dari ordo Hymenoptera 26 ekor dan ordo Coleoptera 2 ekor. Pada lahan B serangga yang berperan sebagai serangga lain dari ordo Diptera 11 ekor, ordo Homoptera 6 ekor dan ordo Hymenoptera 1 ekor. Serangga yang berperan sebagai hama dari ordo Homoptera 6 ekor dan ordo Thyzanoptera 2 ekor. Serangga yang berperan sebagai musuh alami dari ordo Hymenoptera 1 ekor. Menurut Triwidodo (2003) kondisi sistem ekologi dalam agroekosistem dapat dikaji dengan melihat komposisi peran dari jumlah individu spesies yang terkoleksi. Dari data tersebut dapat dianalisa diperkirakan kondisi lingkungan ekologi lahan A sehat, hal tersebut karena kemungkinan serangga musuh alami berperan dalam mengendalikan populasi serangga hama sedangkan kondisi lahan B tidak sehat hal tersebut karena populasi serangga hama lebih tinggi daripada populasi serangga musuh alami sehingga serangga musuh alami kurang berperan dalam mengendalikan populasi serangga hama.
Lahan pertanaman sayuran organik memiliki nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) untuk serangga secara umum paling tinggi pada lahan A dari ordo Diptera (0,29) sedangkan pada lahan B dari ordo Diptera (0,36). Soegianto (1994) mengatakan bahwa suatu komunitas serangga dapat dikatakan mempuyai nilai keanekaragaman jenis yang tinggi jika pada komunitas tersebut terdapat jenis spesies dengan tingkat kelimpahan jumlah spesies yang seimbang atau hampir sama. Namun keanekaragaman jenis akan berubah dan berbeda seiring berjalannya waktu dan terjadi alih fungsi dari tempat tersebut. Nilai sebaran tertinggi
ISBN:978-602-9138-68-9
terdapat pada lahan sayuran B (0,88) lebih tinggi dari lahan A (0,56). Nilai sebaran tersebut menggambarkan pola sebaran suatu spesies dalam suatu komunitas, semakin besar pola sebarannya maka akan semakin sama atau seimbang pola sebaran suatu spesies di dalam komunitas. SIMPULAN Dari pengamatan keanekaragaman serangga bahwa dari lahan A diperoleh 158 ekor serangga dan lahan B diperoleh 33 ekor serangga. nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) untuk serangga secara umum paling tinggi pada lahan A dari ordo Diptera (0,29) sedangkan pada lahan B dari ordo Diptera (0,36). Secara umum dari kedua lahan tersebut didominasi dari ordo Diptera. DAFTAR PUSTAKA Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Eds 6. Gadjah Mada University Press, penerjemah. UGM Press. Yogyakarta Godfray HCJ. 1994. Parasitoid: Behavioral & evolutionary ecology. Pricenton University Press. New Jersey Magurran AE. 1996. Ecologycal Diversity and Its Measurement. Chapman and Hall. London. Muhibuddin, A. 2010. Serangga Hama dan Lingkungannya. Penerbit Selaras. Jakarta. Rai, I. N. 2008. Pengembangan Pertanian Organik dan Agrowisata Untuk Menjaga Kelestarian Lingkungan dan Budaya Agraris Masyarakat Bali. Makalah Disampaikan pada Seminar Regional Pertanian Organik Sebagai Alternatif Pendukung Kebelanjutan Pertanian. Denpasar. Suprapta, D. N. 2008. Pertanian Organik : Peluang Agribisnis Masa Depan. Makalah Disampaikan pada Seminar Regional Pertanian Organik Sebagai Alternatif Pendukung Kebelanjutan Pertanian. Denpasar. Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif. Usaha Nasional. Surabaya Triwidodo, H. 2003. Analisis Agroekosistem. Makalah pada Lokakarya Biodiversitas di Institut Pertanian Bogor. Bogor.
152
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
KELAPA SEBAGAI MEDIA KULTUR LOKAL AGEN PENGENDALI HAYATI FUSAN BACILLUS THURINGIENSIS VAR. KURSTAKI DAN BT VAR. ISRAELENSIS
I Nyoman Sumerta1 dan Siti Sumarmi2 1 Alumni Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, e-mail: [email protected] 2 Dosen Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Penelitian ini mengembangkan kelapa sebagai alternatif media kultur lokal agensia pengendali hayati yaitu fusan Bt. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh masa sel fusan Bt dan melihat patogenisitas fusan Bt hasil kultur pada kelapa terhadap larva uji Crocidolomia binotalis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fusan dapat tumbuh pada medium air kelapa dan mampu membentuk protein kristal. Massa sel fusan yang diperoleh saat dikultur pada kelapa yaitu F28 (9,75 x 109 sel/ml) lebih tinggi dibandingkan dengan F28 hasil kultur pada NB (2,5 x 109 sel/ml). Kematian larva C. binotalis akibat F28 hasil kultur kelapa lebih tinggi dari pada Btk sebagai standar. Patogenisitas F28 hasil kultur pada kelapa dilihat dari nilai LC50 (7,91 x 108 sel) dan LC90 (3,27 x 109 sel) sedangkan pembanding dari Btk memiliki LC50 (6,79 x 1011 sel) dan LC90 (4,15 x 1019 sel). Alternatif media kultur dari air kelapa efektif untuk pertumbuhan dan patogenisitas fusan Bt dalam perannya sebagai agensia pengendali hayati. Kata kunci : Kelapa, Crocidolomia binotalis, Fusan, Bacillus thuringiensis, Patogenisitas PENDAHULUAN Kelapa adalah salah satu komoditi penting bagi masyarakat. Komoditi tersebut memiliki nilai lokal yang memberikan arti penting dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Hindu Bali khususnya, memanfaatkan kelapa sebagai sarana upacara. Selain itu, kandungan zat pada air kelapa diketahui dapat digunakan sebagai obat dari beberapa penyakit (Utama dan Kohdrata, 2011). Kandungan zat pada air kelapa yang komplit potensial dikembangkan sebagai media kultur Bacillus thuringiensis (Bt). Bt adalah patogen serangga yang dimanfaatkan sebagai alternatif pengendali serangga hama yang ramah lingkungan. Bt memiliki toksin yang daya bunuhnya relatif cepat. Patogenisitas toksin Bt spesifik pada serangga hama tertentu dan tidak toksik pada organisme non target. Selain itu, Bt juga dapat persisten di alam (Khetan, 2001; Hilbeck & Schimdt, 2006; Lacey & Kaya, 2007). Media kultur memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan patogenisitas Bt terhadap target. Pertumbuhan optimal Bt yaitu dari media kultur yang minimal
mengandung karbohidrat dan asam amino seperti aspartat, glutamat serta asam sitrat (Nickerson & Bulla, 1974; Blodine et al., 2000). Produksi masal Bt umumnya dilakukan pada nutrient broth (NB), Luria Bertani (LB), nutrient yeast salt medium (NYSM) (Prabakaran et al., 2008; Soccol et al., 2009; Valicente et al., 2010). Pengadaan media pertumbuhan Bt skala laboratorium tersebut biayanya relatif mahal. Alternatif media kultur yang mudah dan biaya produksi relatif lebih murah telah dikembangkan. Poopathi dan Archana (2011) memaksimalkan kultur Bt dengan rebusan bulu ayam yang dikombinasikan dengan daging buah kelapa. Media alternatif lain yang sudah dikembangkan, seperti bubuk kedelai (Soccol et al., 2009; Valicente et al., 2010), limbah cair kotoran ternak (Vidyarthi et al., 2002), yeast dan mollases (Kodair et al., 2008), dan kombinasi sampah dapur (Zhang et al., 2013). Air kelapa potensial sebagai media kultur yang sederhana, murah, dan mudah diperoleh. Komposisi air kelapa seperti gula, asam amino, vitamin, dan mineral yang komplit sesuai untuk media kultur Bt (Prabakaran et al.,
153
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI 2008; Yong et al., 2009). Kultur Bt pada air kelapa menunjukkan pertumbuhan dan patogenisitas yang relatif sama dengan media standar laboratorium (Chillcott & Pillai,1985; Prabakaran et al., 2008). Beberapa Bti strain lokal juga dilaporkan dapat tumbuh dengan baik pada air kelapa (Blodine et al., 2000; Susanti & Blodine, 2008; Blodine & Susanti, 2010). Penelitian ini menggunakan fusan hasil fusi protoplas dua sifat patogen serangga yaitu Btk dan Bti. Hasil fusi tersebut memiliki patogenisitas yang lebih luas yaitu pada serangga anggota Diptera dan Lepidoptera. Sumarmi et al. (2009) diperoleh fusan Btk. dan Bti berpatogenitas ganda pada Helicoverpha armigera dan Anopheles aconitus. Fusan dikultur pada kelapa kemudian diintroduksikan pada serangga target yaitu Crocidolomia binotalis. Serangga tersebut merupakan hama utama pada kubis. Tujuan penelitian yaitu 1) Memperoleh masa sel fusan B.t.k. dan B.t.i. kultur kelapa; 2) Mengetahui patogenisitas fusan kultur kelapa terhadap C. binotalis. METODE PENELITIAN Pemeliharaan C. Binotalis Sampel larva C. binotalis diperoleh dari sentra pertanian kubis Pakis dan Kopeng, Jawa Tengah. Larva dipelihara pada toples dan kandang kasa di Laboratorium Entomologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada sampai cukup untuk dilakukan pengujian. Kultur Fusan Bt Pada Kelapa Utuh Strain fusan (F28) diperoleh dari stok Laboratorium Entomologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada (Sumarmi et al., 2009). Sub kultur fusan dilakukan pada kelapa hijau yang sudah dilubangi secara aseptis. Fusan diambil dengan cotton buds dari agar miring. Selanjutnya dimasukkan pada kelapa kemudian ditutup kapas dan dilapisi lilin. Kultur fusan diinkubasi selama 4 x 24 jam dan setiap dua kali dalam sehari digoyangkan (shaking). Pertumbuhan sub kultur fusan pada kelapa diukur menggunakan spektrofotometer panjang gelombang 600 nm setiap 3 jam. Pertumbuhan fusan pada NB sebagai standar.
ISBN:978-602-9138-68-9
celup (Netrhravathi et al., 2010). Pakan uji berupa daun kubis segar ukuran 6 x 6 cm yang dicelupkan pada suspensi uji selama kurang lebih 10 menit dan dikeringanginkan. Setiap botol uji terdapat 10 individu larva C. binotalis instar kedua dan ketiga. Larva uji dilaparkan 3-4 jam kemudian diberikan pakan uji. Penggamatan mortalitas dilakukan 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan. Patogenisitas fusan kultur air kelapa dibandingkan dengan Bt var. kurstaki (Btk) Dipel® yang sudah menjadi produk komersil untuk pengendalian serangga anggota Ordo Lepidoptera. Analisis Data Data mortalitas yang diperoleh dari hasil pengujian dianalisis dengan uji ANOVA sedangkan prediksi patogenisitas nilai LC50 dan LC90 dianalisis menggunakan Analisis Probit yang berpedoman pada Finney (1971). HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Fusan Bt Kandungan nutrien pada air kelapa baik bagi pertumbuhan Bt khususnya dalam pembentukan protein kristal (toksin Cry). Protein kristal ini memiliki peran yang penting dalam patogenisitas Bt sebagai pengendali hayati. Toksin Cry pada protein kristal merupakan racun perut yang dapat mengganggu sistem pencernaan serangga target. Fusan Bt hasil kultur air kelapa mengalami pertumbuhan yang baik. Pertumbuhan fusan ditandai dengan perubahan nilai OD selama pengukuran tiap 3 jam (Gambar 1A). Semakin tinggi nilai OD maka sel fusan yang tumbuh semakin tinggi. Secara kualitatif pertumbuhan sel fusan dapat dilihat dari tingkat kekeruhan air kelapa. Selama 6 jam waktu pertumbuhan, air kelapa terlihat keruh diasumsikan bahwa sel fusan sudah tumbuh. Pertumbuhan yang tinggi disebut dengan fase log. Fase tersebut merupakan fase pertumbuhan vegetatif sel fusan dan terjadi proses sporulasi yaitu pembentukan spora. Khetan (2001) menyatakan masa sporulasi diikuti dengan pembentukan protein kristal.
Pengujian Fusan Pada C. binotalis Air kelapa hasil kultur disuspensikan hingga diperoleh pellet yang siap uji. Pengujian sampel dilakukan dengan menggunakan metode 154
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Pertumbuhan fusan biakan air kelapa dibandingkan dengan fusan yang dibiakan pada NB. Kurva nilai OD menunjukkan laju pertumbuhan pada fusan biakan air kelapa dengan fusan biakan NB relatif berbeda (Gambar 1A). Perbedaan yang terjadi yaitu pada masa kultur 18 jam, F28 kultur NB sudah memasuki fase stasioner sedangkan kultur air kelapa masih fase log. Namun, fusan kultur NB memiliki fase lag yang sama dengan media air kelapa yaitu selama 6 jam. Laju dan kemampuan tumbuh fusan pada air kelapa dipengaruhi oleh nutrisi yang terkandung pada air kelapa. Karbohidrat diperlukan untuk inisiasi proses sporulasi, asam amino untuk produksi toksin, dan mineral untuk membantu proses metabolisme serta sporulasi fusan (Sakharova et al., 1984 dalam Yang & Wang, 1998). A
B
Gambar 1. A. Kurva pertumbuhan fusan Bt pada media kultur air kelapa dan BHIA; B. Perolehan konsentrasi massa sel pada media kultur kelapa dan NB. Kualitas pertumbuhan fusan pada air kelapa dapat dilihat dari konsentrasi massa sel yang diperoleh pada akhir waktu kultur (Gambar 1B). Massa sel merupakan jumlah sel vegetatif dan endospora yang teramati saat penghitungan dan berfungsi dalam penentuan konsentrasi uji.
ISBN:978-602-9138-68-9
Khetan (2001) menyatakan sebanyak 20-30% konsentrasi massa sel berupa protein kristal. Konsentrasi massa sel yang diperoleh setelah kultur fusan pada air kelapa dan NB selama 4 x 24 jam relatif sama, rata-rata pada kisaran 109 sel/ml. Konsentrasi massa sel F28 kultur air kelapa yaitu 9,75x109 sel/ml (9,989) sedangkan pada NB yaitu 2,5x109 sel/ml (9,398). Hasil tersebut menunjukkan bahwa air kelapa potensial sebagai pengganti media standar laboratorium yang harganya mahal. Patogenisitas Fusan Bt Hasil Kultur Air Kelapa Nilai patogenisitas fusan hasil kultur air kelapa dilihat dari angka kematian pada sampel dalam hal ini (larva instar ketiga C. binotalis) setelah dilakukan pengujian. Kematian sampel disebabkan oleh besarnya konsentrasi massa sel atau toksin yang masuk pada saluran pencernaan (Khetan, 2001; Lacey dan Kaya, 2007). Hasil penelitian menunjukkan, strain F28 yang dikultur pada air kelapa dapat memproduksi protein kristal (Gambar 2A). Semakin optimal protein kristal yang terbentuk maka daya bunuh terhadap sampel yang diharapkan semakin tinggi. Patogenisitas diwujudkan dalam nilai LC hasil analisis probit (Finney, 1971) angka kematian. Nilai LC menyatakan jumlah massa sel fusan yang dapat menyebabkan level atau persentase kematian larva C. binotalis. Semakin rendah nilai LC maka strain fusan semakin patogen karena dengan konsentrasi masa sel yang kecil dapat menyebabkan kematian yang tinggi. Perbandingan fusan (strain F28) kultur air kelapa dengan standar dari Btk dapat diketahui bahwa strain F28 memiliki daya patogenisitas yang tinggi. Strain F28 hasil kultur air kelapa membutuhkan konsentrasi massa sel yang kecil untuk membunuh sampel yang tinggi (Gambar 2B). Nilai LC50 F28 pada larva C. binotalis instar ketiga LC50 sebesar 7,91 x 108 sel (4,65 x 108 - 1,29 x 109) dan LC90 sebesar 3,27 x 10 9 sel (1,85 x 10 9 - 1,09 x 10 10). Konsentrasi yang diperlukan Btk. untuk membunuh 50% larva instar ketiga yaitu 6,79 x 1011 sel sedangkan Konsentrasi yang diperlukan untuk membunuh 90% larva oleh Btk yaitu 4,15 x 10 19 sel pada larva instar ketiga. Hasil perbandingan tersebut menggambarkan bahwa fusi atau rekayasa genetik Bt mampu
155
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI meningkatkan patogenisitas dan kelapa menjadi media kultur yang potensial untuk mengembangkan agen pengendali hayati.
B
Gambar 2. A. Individu Fusan Bt dengan endospora (x) dan protein kristal (y) saat kultur pada air kelapa; B. Perbandingan nilai LC F28 hasil kultur air kelapa dengan standar Btk pada larva instar ketiga C. binotalis. Efektivitas fusan B.t. hasil kultur air kelapa pada larva C. binotalis dianalisis menggunakan statistik untuk menguatkan temuan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hasil analisis ANOVA menunjukkan, perlakuan F28 hasil kultur air kelapa pada larva C. binotalis instar ketiga berpengaruh signifikan. Perbedaan pengaruh yang signifikan tersebut terlihat dari nilai Fhitung yang diperoleh yaitu F hitung (19,819) > Ftabel (4,07). Nilai tersebut bermakna dimana H0 ditolak sehingga menunjukkan ada perbedaan yang sangat signifikan dari perlakuan terhadap kematian pada sampel. SIMPULAN Kelapa efektif dan efisien sebagai medium kultur lokal fusan Bt serta hasil kultur air kelapa tersebut (F28) patogen terhadap larva instar ketiga C. binotalis.
ISBN:978-602-9138-68-9
DAFTAR PUSTAKA Blodine, C.P., Yusniar, A., Rendro, W. & Sukarno. 2000. Uji Coba Strain Lokal Bacillus thuringiensis H-14 yang Ditumbuhkan Dalam Media Air Kelapa Terhadap Jentik Nyamuk Anopheles aconitus dan Culex pipiensquinquefasciatus Perangkap Sentinel Di Kolam Kotamadia Salatiga. Bul.Penelit. 27 (2). Finney, D. J. 1971. Probit Analysis. Cambridge University Press Hilbeck, A. & Schmidt, J.E.U. 2006. Another View on Bt Proteins-How Specific are They and What Else Might They Do? Biopestic. Int. 2 (1): 1-50. Khetan, S. K. 2001. Microbial Pest Control Books in Soils, Plants, and the Environment ; V. 78. CRC Press: USA.Page 3-121 Kodair, T.A., Abdelhafez, A.A.M., Sakr, H. M. & Ibrahim, M. M. M. 2008. Improvement of Bacillus thuringiensis Bioinsecticide Production by Fed-bacth Culture on Low Cost Effective Medium. Research Journal of Agriculture and Biological Science, 4(6): 923-935. Lacey, L. A. & Kaya, H. K. 2007. Field Manual of Techniques in Invertebrate Pathology: Application and Evaluation of Pathogens for Controlof Insects and other Invertebrate Pests. Springer: Netherlands. Nethravathi, C. J., Hugar, P. S., Krishnaraj, P.U.& Vastrad, A. S. 2010. Bioefficacy of Native Bacillus thuringiensis Isolates Against Cabbage Leaf Webber, Crocidolomia binotalis Z. Karnataka J. Agric. Sci., 23(1): (51-55). Nickerson, K. W. &Bulla, L. A. Jr. 1974. Physiology of Sporeforming Bacteria Associated with Insects: Minimal Nutritional Requirements Formation of for Growth, Sporulation, and Parasporal Crystal Bacillus thuringiensis Appl. Microbiol. 28(1):124. Poopathi, S. & Archana, B. 2011. Optimization of Medium Compotition for the Production Of Mosquitoal Toxins of Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis. Indian journal of experimental biology vol. 50 pp55-71.
156
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Prabakaran, G., Hoti, S. L., Manonmani, A. M. & Balaraman, K. 2008. Coconut Water As A Cheap Source for The Production of Delta Endotoxin of Bacillus thuringiensis var. Israelensis, A Mosquito Control Agent. Actatropica;105(1):35-8. Schanzenbaecher, Munirih. 2011. Culture and Application of Bacillus thuringiensis israelensis on Mosquito Larvae. ECO1 for Sustainability. (http://www.eco1.com). Diakses tangga 22 Mei 2013. Soccol, C. R., Pollom, T. E. V., Fendrich, R. C., Fernando. Prochmann, A.,Mohan, R., Blaskowski M.M.M., Melo, A.A., Carvalho, C.J. B.& Thomaz-Soccol, V. 2009. Development of A Low Cost Bioprocess for Endotoxin Production by Bacillus thuringiensis var israelensis Intended for Biological Control of Aedes aegypti. Braz. Arch. Biol. Technol. v.52 n. special: pp.121-130. Sumarmi, S., Margino, S., Boewono, D. T. & Soesilohadi, R. C. H. 2009. Pengendalian Nyamuk Vektor Malaria Anopheles aconitus dan Ulat Jagung Helicoverpha amigera (Hubner) Hardwick Secara Hayati Dengan Fusan Bacillus thuringiensis varian kurstaki dan Bt varian israelensis. Laporan Penelitian Hibah Kompetitif Sesuai Prioritas Nasional BACTH I No. 177/SP2H/PP/ DP2M/V/2009. Susanti, L & Blondine, C. P. 2008. Efikasi Bacillus thuringiensis H-14 yang Dibiakkan Dalam Media Air Kelapa Pada Penyimpanan Suhu Kamar dan Refrigrator (Suhu 40C) Terhadap Vektor
ISBN:978-602-9138-68-9
DBD dan Malaria. Jurnal Vektora Vol. 1 No. 2. Utama, I M. S. & Kohdrata, N. 2011. Modul Pembelajaran: Konservasi keanekaragaman hayati dengan kearifan lokal. Tropical Curiculum Project. Universitas Udayana kerjasama USAID dan Texas A&M University Valicente, F. H., Tuelher, E.S., Leite, M. I. S., Freire, F.L. & Vieiera, C.M. 2010. Production of Bacillus thuringiensis Biopesticide Using Lab Medium and Agricultural by Products As Nutrient Sources. Versao Impressa ISSN 1676689X. Vidyarthi, A.S., Tyagi, R.D., Valero, J.R. & Surampalli, R.Y. 2002. Studies on The Production of B. thuringiensis Based Biopesticide Using Watewater Sludge As A Raw Material. Water Research 36; 4850-4860. Yang, X. M. & Wang, S. S. 1998. Development of Bacillus thuringiensis Fermentationand Process Control From A Practical Perspective. Biotechnol. Appl. Biochem. (1998) 28, 95–98 (Printed in Great Britain) Yong, J. W. H., Ge, L., Fei, Y. & Tan,S. N. 2009. The Chemical Composition and Biological Properties of Coconut (Cocos nucifera L.) Water. Molecules, 14, 51445164; doi:10.3390/molecules14125144. Zhang, W., Qiu, L., Gong, A., Cao, Y. & Wang, B. 2013. Solid State Fermentation of Kitchen Waste for Production of Bacillus thuringiensis Based Biopesticide. Bioresources 8(1)1124-1135.
157
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
IDENTIFIKASI FRAKSI AKTIF ANTIBAKTERI PADA DAUN PANCASONA (Tinospora coriaceae Beumee.) I Putu Darmawijaya Program Studi Fisioterapi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Sains, dan Teknologi Universitas Dhyana Pura, e-mail: [email protected] ABSTRAK Pendekatan secara fitofarmakologi bersumber pada informasi yang terdapat dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis mengenai tumbuhan sebagai bahan obat tradisional yang telah digunakan secara turun-temurun di masyarakat. Tumbuhan sebagai obat tradisional, biasanya digunakan secara tunggal maupun majemuk. Bagian tumbuhan yang umum digunakan sebagai obat tradisional adalah daun, bunga, buah, kulit batang, atau akarnya. Salah satu tumbuhan tersebut adalah Tumbuhan Pancasona (Tinospora coriacecae Beumee.) yang dimanfaatlam oleh masyarakat sebagai obat anti diare. Tumbuhan tersebut diketahui mengandung senyawa kimia yang bersifat antibakteri. Dari hasil skrinning yang dilakukan tumbuhan ini mengandung alkaloid, tannin, flavonoid, dan polifenol. Namun belum diketahui senyawa kimia mana yang menyebabkan sebagai antibakteri. Pada penelitian ini dilakukan identifikasi senyawa kimia tersebut melalui dipartisi dengan tiga macam pelarut yang berbeda kepolarannya. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa fraksi etilasetat memiliki daya aktivitas antibakteri yang paling besar bila dibandingkan dengan fraksi n-heksana dan kloroform. Daya hambatan yang dihasilkan oleh bakteri sebesar 4,50 mm terhadap bakteri Micrococcus luteus dan 2,50 mm bakteri Eschericia coli. Terhadap Fraksi Etil Asetat ini kemudian dilakukan uji fitokimia. Dari hasil uji fitokimia didapatkan bahwa Fraksi Etil Asetat dari sampel daun mengandung Flavonoid dan Alkaloid. Kata Kunci: Tumbuhan Pancasona, fraksi aktif antibakteri, fraksi etilasetat, flavonoid, alkaloid PENDAHULUAN Pendekatan secara fitofarmakologi bersumber pada informasi yang terdapat dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis mengenai tumbuhan sebagai bahan obat tradisional yang telah digunakan secara turun-temurun di masyarakat. Pendekatan fitofarmakologis tersebut berisi penelusuran terhadap senyawa-senyawa yang terkandung di dalam suatu tumbuhan berdasarkan pada aktivitas fisiologis yang ditunjukkan oleh senyawa bioaktif tersebut. Tumbuh-tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat di Bali ditulis dalam
lontar yang disebut dengan usada. Masyarakat bali masih percaya bahwa tumbuhan tersebut bermanfaat dan mampu menyembuhkan suatu penyakit (Tengah, 2005). Naskah lontar usada yang ada di Bali diperkirakan tersebar disejumlah daerah. Beberapa macam naskah lontar usada tersebut diantaranya: Usada Buduh, Usada Dalem, Usada Edan, Usada Mala, Usada Rare, Usada Bebai, Usada Tiwang, Usada Tiwas Punggung, Usada Tetenger, Usada tetenger Beling, Usada Punggung, Usada Timbal, Usada Usap, dan Usada Taru Premana (Sukarwa, 1983).
158
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
Tumbuhan sebagai obat tradisional, biasanya digunakan secara tunggal maupun majemuk. Bagian tumbuhan yang umum digunakan sebagai obat tradisional adalah daun, bunga, buah, kulit batang, atau akarnya. Penggunaannya ada yang secara langsung dalam keadaan masih segar dan ada pula yang diseduh ataupun direbus (Tengah, 2005). Salah satu tumbuhan obat yang tertulis dalam lontar Usada Taru Premana adalah tumbuhan Pancasona (Tinospora coriaceae Beumee.). Tumbuhan Pancasona banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat diare dan sakit ulu hati (Tinggen,2000). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan diketahui bahwa ekstrak etanol daun Pancasona mempunyai bioaktivitas sebagai antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Micrococcus luteus dan Eschericia coli (Darmawijaya, 2013). Tumbuhan pancasona dari hasil skrinning fitokimia yang telah dilakukan diketahui mengandung flavonoid, polifenol, tannin, dan alkaloid, tetapi belum diketahui senyawa mana yang menyebabkan tumbuhan Pancasona memiliki bioaktivitas antibakteri (Darmawijaya, 2013). Pada penelitian ini akan dilakukan identifikasi fraksi aktif antibakteri melalui partisi menggunakan tiga jenis pelarut yang memiliki kepolaran berbeda yaitu: n-heksana, kloroform, dan etil asetat. kandungan senyawa kimia berdasarkan kepolaran senyawa kimia tersebut. Ekstrak hasil partisi akan diuji aktivitas antibakterinya. Fraksi yang aktif antibakteri kemudian dilakukan identifikasi fitokimianya. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan menambah database tumbuhan obat tentang senyawa metabolit sekunder spesisifik yang terkadung dalam Daun Pancasona yang memiliki daya aktivitas sebagai antiobakteri, mengingat Tumbuhan Pancasona ini masih belum banyak yang meneliti dibandingkan dengan 23 tumbuhan lain yang tercatat dalam Usada Taru Premana.
ISBN:978-602-9138-68-9
METODE PENELITIAN Daun Pancasona (Tinospora coriaceae Beumee.) diambil di daerah Desa Sebatubayan, Kecamatan Abinasemal, Kabupaten Badung. Bagian daun yang diambil adalah daun yang masih muda dan berwarna hijau. Daun Pancasona sebanyak 2 kg dicuci dan ditiriskan, kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan tidak terkena matahari langsung sampai kering. Setelah kering, digerus atau dihaluskan sampai terbentuk serbuk halus, kemudian diayak. Hasil ayakan disimpan dalam kantong plastik yang tertutup dan kedap udara. Serbuk daun Pancasona ini disebut sampel. Terhadap sampel kering daun Pancasona ini kemudian diekstraksi dengan metode maserasi dengan menggunakan etanol 85 % (Swantara, 2005). Proses ekstraksi dilakukan sampai semua metabolit terekstraksi. Dari hasil ekstraksi ini dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator sehingga didapatkan ekstrak kental etanol. Ekstrak kental etanol Daun Pancasona yang dihasilkan dilarutkan ke dalam air sebanyak 200 mL. Ekstrak air ini kemudian dipartisis dengan n-heksana (3 x 50 mL), lalu dipisahkan dan lapisan n-heksana dievaporasi, sehingga diperoleh ekstrak kental n-heksana (EH). Residu (lapisan air) dipartisi dengan klororform (3 x 50 mL) , lalu dipisahkan dan lapisan kloroform dievaporasi sehingga menghasilkan ekstrak kental kloroform (EK). Lapisan air dipartisi kembali dengan menggunakan etil asetat (3 x 50 mL) dan dipisahkan. Lapisan etil asetat dievaporasi sehingga menghasilkan ekstrak kental etil asetat (EE). Terhadap ketiga ekstrak ini kemudian dilakukan uji aktovotas antibakterinya dengan menggunakan metode difusi agar terhadap bakteri uji (Micrococcus luteus dan Eschericia coli).. Dari haril uji aktivitas antibakteri ekstrak yang paling katif kemudian dilakukan uji fitokimia untuk mengidentifikasi kandungan metabolit sekundernya.
159
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
HASIL DAN PEMBAHASAN . Maserasi atau disebut juga steady state extraction merupakan suatu metode ekstraksi yang paling sederhana. Prosedur yang digunakan dalam membuat sampel menjadi dalam keadaan berbentuk serbuk kemudian dilakukan perendaman dengan menggunakan pelarut yang sesuai (dalam penelitian ini digunakan etanol). Saat proses perendaman terjadi, pelarut mengalami difusi melewati dinding sel dari sampel untuk melarutkan konstituen yang terdapat dalam sel dan juga untuk memacu larutan dalam sel untuk melakukan difusi keluar sel. Setelah ektraksi selesai dilakukan, residu dari sampel (marc) harus dipisahkan dengan pelarut dengan cara dekantir atau disaring. Maserasi dengan pengulangan (remaserasi) akan lebih efisien daripada maserasi tunggal, hal ini disebabkan karena kemungkinan besar masih terdapat sejumlah besar senyawa aktif yang masih tertinggal dari sampel pada saat terjadinya maserasi yang pertama dilakukan. Pengulangan ini dilakukan sampai semua metabolit sekunder yang terkandung dalam sampael telah terekstraksi yang ditandai dengan pelarut tidak mengalami perubahan warna pada saat dicampurkan dengan sampel. Hasil dari maserasi ini kemudian digabung lalu dipekatkan sehingga didapatkan ekstrak kental etanol sampel Daun Pancasona. Kadar etanol yang digunakan untuk ekstraksi sebesar 85 %, karena menurut Swantara (2005) etanol 85 % sudah mengekstrak semua kandungan metabolit sekunder dalam simplisia secara sempurna. Dari hasil penelitian ini didapatkan ekstrak kasar etanol sebesar 2000 mL. Dari ekstrak kasar ini kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator sehingga didapatkan ekstrak kental etanol sebesar 20 gram. Ektrak etanol hasil penguapan (ekstrak kental ) etanol yang dihasilkan kemudian dipartisi dengan n- heksana, kloroform, dan etil setat masing-masing sebanyak 3 X 50 mL sehingga diperoleh ekstrak kental seperti disajikan pada Tabel 1.
ISBN:978-602-9138-68-9
Partisi dilakukan terhadap ekstrak kasar dilakukan menggunakan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang semakin meningkat (n-heksana, kloroform, etil asetat). Tujuan partisi dengan pelarut yang berbeda kepolaran ini agar senyawa-senyawa yang terdapat di dalam ekstrak kasar terdistribusi sesuai dengan tingkat kepolaran masing-masing. Partisi merupakan ekstraksi cair-cair, dalam ekstraksi ini satu komponen bahan atau lebih dari suatu campuran dipisahkan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi cair-cair terutama digunakan bila pemisahan campuran dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan azeotrop atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Hal ini sesuai dengan terhadap ekstrak etanol sampel Daun Pancasona yang digunakan dalam penelitian ini, proses pemisahanannya dilakukan dengan cara partisi. Hal ini disebabkan karena kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam sampel memiliki kepekaan terhadap panas, sehingga kalau dipaksakan proses pemisahannya dengan cara destilasi akan menyebabkan menghasilkan ekstrak hasil partisi yang telah mengalami perubahan komposisi secara kimia akibat pemanasan, karena dalam proses destilasi menggunakan panas. Pada ekstrak Heksana dihasilkan ekstrak yang berwarna Kuning Kehitaman (3,77 gr), pada ekstrak Kloroform didapatkan ekstrak yang berwarna kuning kecoklatan (2,57 gr) sedangkan ekstrak warna kuning (2,35 gr) dihasilkan oleh pelarut etilasetat. Dari ketiga ekstrak hasil partisi yang dihasilkan, kemudian dipekatkan dan dilanjutkan dengan uji aktivitas antibakteri.
160
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI Sebelum dilakukan uji aktivitas antibakteri terhadap ketiga ekstrak hasil partisi, dilakukan sterilisasi terhadap semua alat dan bahan yang akan digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini. Dalam penelitian ini metode yang dipergunakan dalam uji aktivitas antibakteri adalah dengan menggunakan metode difusi. Metode difusi terbagi menjadi menjadi tiga yaitu: metode silender, metode sumuran, dan metode cakram kertas. Dalam penelitian ini metode yang dipergunakan adalah metode sumuran, yaitu dengan cara membuat lubang pada agar padat (media) yang telah diinokulasikan oleh bakteri uji. Jumlah dan letak lubang disesuaikan dengan tujuan, kemudian dalam lubang tersebut diinjeksikan dengan ekstrak Daun Pancasona. Kemudian dilakukan inkubasi, pertumbuhan bakteri dapat diamati dengan melihat zona bening (clear zone) yang menandakan zona daerah hambatan pertumbuhan bakteri yang diakibatkan adanya injeksi dari ekstrak sampel uji. Terhadap ekstrak hasil partisi yang didapatkan dilakukan uji aktivitas anti bakteri untuk mengetahui daya aktivitas antibakteri senyawa metabolit sekunder terhadap bakteri uji (Micrococcus luteus dan Eschericia coli). Pelarut yang dipergunakan sebagai kontrol dalam uji ini adalah pelarut yang dipergunakan dalam partisi. Pengujian aktivitas antibakteri ini dilakukan dengan tiga kali pengulangan dengan nilai rata-rata ditampilkan pada Tabel 2.
Dari data hasil uji diatas menunjukkan bahwa ekstrak Daun Pancasona dalam pelarut Etilasetat mempunyai bioaktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak Daun Pancasona dalam pelarut Heksana dan
ISBN:978-602-9138-68-9
Kloroform. Hal ini menandakan bahwa fraksi etilasetat lebih aktif dibandingkan dengan fraksi Heksana dan Kloroform. Dalam penelitian ini menggunakan pelarut sebagai kontrol dengan tujuan untuk membandingkan daya hambatan yang dihasilkan. Apabila zona hambatan yang dihasilkan sama antara fraksi uji dengan kontrol, kemungkinan zona hambatan yang dihasilkan oleh pelarut itu sendiri bukan disebabkan oleh ekstrak. Sedangkan kalau nilai zona hambatan yang dihasilkan oleh fraksi uji lebih besar bila dibandingkan oleh kontrol pelarut maka dapat dipastikan bahwa fraksi uji menunjukkan daya aktivitas antibakterinya. Pada fraksi etilasetat terdapat perbedaan nilai zona hambatannya antara bakteri Micrococcus luteus dan Eschericia coli yaitu 4,50 mm dan 2,50 mm. Perbedaan nilai ini disebabkan oleh perbedaan struktur dari bakteri uji. Bakteri Micrococcus luteus merupakan bakteri Gram positif sedangkan bakteri Eschericia coli merupakan bakteri Gram negatif. Bakteri Micrococcus luteus ternyata lebih sensitif terhadap bahan bioaktif bila dibandingkan dengan bakteri Eschericia coli. Perbedaan nilai zona hambatan yang dihasilkan juga bergantung pada adanya perbedaan senyawa kimia yang terlarut dalam ekstrak. Pada fraksi etilasetat terdapat banyak senyawa kimia yang memiliki kemampuan sebagai antibakteri dibandingkan dengan kedua fraksi yang lain (Heksana dan Kloroform). Terhadap fraksi etilasetat ini akan dilakukan uji fitokimia untuk mengidentifikasi jenis senyawa kimia apakah yang bersifat sebagai antibakteri. IDENTIFIKASI FRAKSI AKTIF ANTIBAKTERI Identifikasi fraksi aktif antibakteri adalah kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam tumbuhan sampel. Hasil identifikasi golongan metabolit sekunder terhadap farksi etilasetat Daun Pacasona (Tinospora coroaceae Beumee.) terlihat
161
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
pada Tabel 3. Dari hasil pengujian didapatkan bahwa fraksi aktif antibakteri dari Daun pacasona mengandung senyawa metabolit sekunder alkaloid dan flavonoid.
Untuk pengujian alkaloid hasil positif dengan menggunakan uji meyer ditunjukkan dengan terbentuknya endapan putih yang diperkirakan bahwa endapan putih tersebut adalah endapan komplek kalium-alkaloid. Alkaloid mengandung atom Nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen dengan ion logam (K+) dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
ISBN:978-602-9138-68-9
sehingga menyebabkan dinding sel menjadi terganggu permeabiliatasnya. Mekanisme yang diperkirakan adalah dengan cara mengganggu komponen menyusun peptidoglikan pada sel bakteri sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh, terganggunya sintesis peptidoglikan sehingga pembentukan sel menjadi tidak sempurna karena tidak mengandung peptidoglikan dan dinding selnya hanya meliputi membran sel. Diduga kerja alkaloid lebih dahulu dalam merusak dinding sel lalu dilanjutkan dengan kerja flavonoid dalam merusak membran sel bakteri. Selain alkaloid, Daun Pancasona juga memberikan hasil positif mengandung flavonoid. Flavonoid atau bioflavonoid adalah kelas metabolit sekunder pada tanaman. Flavonoid merupakan pigmen tumbuhan yang paling penting dan dikenal sebagai anti alergi, anti inflamasi, anti mikroba, anti kanker, anti diare dan juga anti virus. Dari hasil identifikasi didapatkan bahwa sampel memberikan hasil yang positif ditandai dengan perubahan warna menjadi merah tua. SIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik dari pelaksanaan penelitian ini adalah: 1. Dari hasil fraksinasi ekstrak etanol dari sampel daun pancasona menunjukkan bahwa fraksi etilasetat memiliki daya aktivitas antibakteri yang paling besar.
Gambar 1. Perkiraan Reaksi Yang Terjadi Pada Uji Meyer.
2. Daya hambat fraksi etilasetat terhadap pertumbuhan bakteri micrococcus luteus sebesar 4,50 mm.
Berdasarkan literatur, diketahui bahwa hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis dan memberikan efek fisiologis tertentu pada mahluk hidup. Sehingga tidak mengherankan jika masyarakat di pedesaan menggunakan daun Pancasona sebagai obat untuk anti diare. Kandungan atom Nitrogen yang terdapat dalam struktur alkaloid akan bereaksi dengan dinding sel dari bakteri,
3. Daya hambat fraksi etilasetat terhadap pertumbuhan bakteri Eschericia coli sebesar 2,50 mm. 4. Dari hasil identifikasi metabolit sekunder dengan metode fitokimia didapatkan bahwa fraksi etilasetat mengandung alkaloid dan flavonoid.
162
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis menngucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Dirjen DIKTI atas dana hibah yang diberikan kepada penulis. Selain itu penulisa juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada LP2M Universitas Dhyana Pura atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian ini.
ISBN:978-602-9138-68-9
dan kesejahteraan Sosial RI, Jakarta, Jilid IV. Harborne, J.B., 2006, Metode Fitokimia: Penuntun cara Modern Menganalisis Tumbuhan (alih bahasa: Kosasih Padmawinata & Iwang Soediro). Bandung: Penerbit ITB. Harvey, David, 2000, Modern Analytical Chemistry, Boston, The McgrawHill Companies, Inc.
DAFTAR PUSTAKA Ansel, C.H., 1989, Pengantar bentuk sediaan fasrmasi, UI Press. Akiyama, H. F., K. Iwatsuki, T., 2001, Antibacterial Action Of Several Tennis Agains Staphylococcus aureus, Journal of Antimicrobial Chemoterapy, vol. 48: 487-91. Ajizah, A., 2004, Sensitivitas Salmonella Typhimurium Terhadap Ekstrak Daun Psidium Guajava L. Bioscientie, VOL 1 No. 1:31-8. Cannell, Richard J.P., 1998, Natural Product Isolation Methods in Biotechnology; 4. Totowa: Humana Press. Darmawijaya I.P., Yudha N., 2013, Skrinning Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Pancasona (Tinospora coriaceae Beumee. ), Laporan Penelitian Hibah , UNDHIRA-Bali.
Harborne, J.B., 1996, Metode Fitokimia, Bandung: Institut Teknologi Bandung. Hutapea, J. R., (Ed.), 2000, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial R.I., Jakarta, Jilid IV. Jawetz, E., Melnick, J.L dan Adelberg, E.A., 2001, Medical Microbiology Twenty Second Ed., Buku 1, Trejemahan Bagian Mikrobilogi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Jakarta. Lenny, S., 2006, Senyawa Flavconoida, Fenil Propanoida dan Alakaloida, Medan : MIPA Universitas Sumatra Utara. Pelczar, J.M., dan E.C.S. Chan, 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi, UI Press, Jakarta.
Dewick, Paul M., 2009, Medicinal Natural Product: A Biosynthetic Approach, 3 rd Edition. Wiltshire: John Wiley&Sons Ltd.
Rachmawati, S., 2007, Studi Makroskopi, dan Skrinning Fitokimia Daun Anredera Cordifolia (Ten.) Steeins, Skripsi, Fakultas Farmasi UNAIR Surabaya.
Djumidi, H., (Ed), 1997, Inventaris Tanaman Obat Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan
Robinson, T., 1991, Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi, Diterjemahkan oleh Prof. DR.
163
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB: Bandung. Salni, hanifa Marisa, dan Ratna Wedya Mukti, Isolasi Senyawa Antibakteri dari daun Jengkol (Pithecolobium lobatum Benth.) dan Penentuan Nilai KHM-nya, Jurnal Penelitian sains, Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Brawijaya, Sumatra Selatan. Swantara,I. M.D., 2002, Studi kandungan Senyawa Turunan Sterol Dalam Gelidium rigidum (VAHL.) grev., Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Padjajaran, Bandung.
ISBN:978-602-9138-68-9
Tinggen, I. N., 2000, Taru Premana (Pustaka Leluhur), Eka Cipta, Singaraja-bali. Voight, R., 1994, Buku Teknologi Farmasi, Penerjemah Soendari, N.S. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press. Volk and Wheeler, 1998, Mikrobiologi Dasar, Terjemahan Soenarto Adisoemarno, Surabaya: Penerbit Erlangga. Waluyo, L., 2004, Mikrobiologi Umum, UMM Press: malang.
164
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
AIR KELAPA UNTUK PEMBENTUKAN MULTISHOOT PADA PROTOKORM ANGGREK BULAN (PHALAENOPSIS AMABILIS) TRANSGENIK PEMBAWA GEN PENGINDUKSI PEMBUNGAAN Ida Ayu Purnama Bestari1 dan Endang Semiarti2* 1 Alumni Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, e-mail: [email protected] 2 Dosen Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta *Laboratorium Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Tanaman anggrek bulan Phalaenopsis amabilis (L.) Blume adalah anggrek alam Indonesia yang bernilai ekonomi tinggi. Tanaman ini sering digunakan sebagai tetua dalam perakitan anggrek hibrida akan tetapi waktu yang diperlukan untuk terjadinya pembentukan bunga sangat lama yaitu lebih dari 3 tahun. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan rekayasa genetika untuk mengembangkan P. amabilis transgenik yang cepat berbunga. Melalui pengembangan tanaman dalam kultur in vitro diperoleh 45 protokorm kandidat transgenik pembawa konstruksi T-DNA Ubipro::PaFT yang mengandung gen Flowering Locus T Phalaenopsis amabilis (PaFT). Gen PaFT ini merupakan salah satu gen penginduksi pembungaan. Pada penelitian awal ditumbuhkan kandidat tanaman transgenik pada New Phalaenopsis (NP) yang ditambahkan air kelapa sebanyak 30% (v/v) sebagai medium kultur in vitro. Dalam pengembangan tanaman transgenik, penambahan air kelapa diketahui mampu meregenerasi sel dan mempercepat pertumbuhan. Perkembangan tanaman kandidat transgenik diamati selama 42 minggu. Penambahan air kelapa pada medium pertumbuhan menyebabkan terbentuknya banyak tunas (multishoot) pada 40% protokorm kandidat transgenik. Akar tanaman kandidat menjadi lebih panjang dibandingkan dengan tanaman kontrol. Protokorm multishoot selanjutnya digunakan untuk karakterisasi genotip tanaman kandidat dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan deteksi mRNA Ubipro::PaFT. Protokorm multishoot pembawa gen Ubipro::PaFT diharapkan memperbanyak jumlah tanaman yang akan dikembangkan. Kata kunci: P. amabilis, Protokorm, Air Kelapa, Multishoot, PaFT PENDAHULUAN Phalaenopsis amabilis (L.) Blume atau anggrek bulan merupakan salah satu tanaman anggrek asli Indonesia yang sering digunakan sebagai tanaman tetua untuk perakitan tanaman hibrida (Bercu et al., 2011). Keindahan dan kekhasan bunganya menjadikan tanaman ini sebagai puspa pesona Indonesia. Dalam pembudidayaan P. amabilis, keberhasilan pembungaan menjadi faktor yang sangat penting. Tanaman P. amabilis memerlukan lebih dari 3 tahun untuk berbunga (Semiarti et al., 2007) sehingga perlu dilakukan percepatan pembungaan.
Salah satu usaha percepatan pembungaan melalui rekayasa genetika. Pada tanaman anggrek P. amabilis berhasil diisolasi gen penginduksi pembungaan Phalaenopsis amabilis Flowering Locus T (PaFT) oleh Dr. Seonghoe Jang dari Academia Sinica, Biotechnology Center in Southern. Penyisipan gen ini pada promoter yang sesuai diharapkan mampu menginduksi early flowering pada P. amabilis. Transfer gen PaFT telah dilakukan pada protokorm P. amabilis oleh Mercuriani (2011, data tidak dipublikasikan), didapatkan 45 protokorm kandidat transgenik.
165
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Tahap awal penelitian yaitu menumbuhkan protokorm kandidat pada medium yang sesuai. Medium yang digunakan adalah New Phalaenopsis (NP) yang ditambah air kelapa. Air kelapa adalah salah satu medium lokal yang sering digunakan sebagai medium pertumbuhan bakteri, minuman, dan obat. Masyarakat bali menggunakan air kelapa sebagai sarana upacara agama. Air kelapa kaya nutrisi dan hormon. Nutrisi yang terkandung di dalam air kelapa seperti gula, ion anorganik, vitamin, mineral, asam lemak, asam amino dan senyawa organik. Air kelapa juga mengandung hormon auksin dan sitokinin (Yong et. al, 2009). Penggunaan air kelapa diharapkan mampu meningkatkan regenerasi dan pertumbuhan tanaman kandidat transgenik, sehingga nantinya untuk analisis molekular mendeteksi keberadaan gen PaFT dan mRNA PaFT dapat dilakukan lebih cepat. Tanaman yang positif transgenik dan memiliki multishoot diharapkan mampu memperbanyak jumlah tanaman transgenik yang dihasilkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh air kelapa terhadap pertumbuhan protokorm kandidat transgenik P. amabilis. Apabila air kelapa berpengaruh baik untuk pertumbuhan protokorm, maka air kelapa dapat digunakan sebagai alternatif untuk medium pertumbuhan anggrek. Tidak hanya untuk P. amabilis tetapi jenis anggrek lainnya. METODE PENELITIAN Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya bahan tanaman yaitu berupa 45 protokorm kandidat transgenik hasil transformasi genetik yang dilakukan oleh Mercuriani (2011, data tidak dipublikasikan). Bahan untuk medium kultur yaitu medium New Phalaenopsis (NP) dan air kelapa. Air kelapa yang digunakan 150 mL untuk 1L medium NP. Penelitian dilakukan dengan membuat subkultur pada 22 protokorm kandidat transgenik P. amabilis setiap 2-4 minggu sekali dalam medium NP ditambah air kelapa, sedangkan untuk 23 protokorm kandidat ditumbuhkan pada medium NP0. Subkultur pada medium ini dilakukan selama 1 bulan. Setelah itu protokorm ditumbuhkan pada medium NP0. Protokorm ditumbuhkan dengan pencahayaan fotoperiodesitas hari pendek (8 jam terang dan
ISBN:978-602-9138-68-9
16 jam gelap) dan suhu 25°C. Pengamatan dilakukan selama 42 minggu. Pengamatan morfologi tanaman dilakukan dengan mengikuti perkembangan tunas yang dihasilkan protokorm selama 42 minggu. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil subkultur protokorm kandidat transgenik diperoleh 37 protokorm kandidat singleshoot dan 8 protokorm kandidat multishoot. 7 protokorm (40%) berasal dari medium NP ditambah air kelapa, dan 1 protokorm berasal dari medium NP0. Pengamatan perkembangan pada tanaman kontrol dan tanaman transgenik mulai umur 10 minggu sampai umur 40 minggu. Diperoleh tanaman transgenik dengan perkembangan singleshoot dan multishoot (Gambar 1). Panjang akar tanaman transgenik pada umur 40 minggu lebih panjang dibandingkan tanaman non transforman (Gambar 2).
Gambar 1. Perbandingan perkembangan tanaman non transforman dan tanaman transgenik umur 10, 20, 30 dan 40 minggu. Keterangan: 10 minggu, NT: muncul leaf primordium dan absorbing hair, T1: memiliki 1 tunas dengan 1 Shoot Apical Meristem (SAM), T2: memiliki 3 tunas dengan 3 SAM; 20 minggu, NT tumbuh menjadi tanaman utuh, T1: menunjukkan perkembangan leaf primordium, T2: masing-masing bagian apikal tunas multishoot meruncing menunjukkan perkembangan SAM; 30 minggu, NT, T1, dan T2 tumbuh menjadi tanaman utuh, panjang daun NT lebih panjang dibandingkan T1 dan T2; 40 minggu, jumlah daun NT lebih banyak, panjang daun lebih panjang dibandingkan T1 dan T2, tetapi jumlah akar T1, T2 lebih banyak, panjang
166
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI akar lebih panjang dibandingkan NT; NT: Non Transforman, T1: Transgenik singleshoot, T2: Transgenik multishoot. Skala bar 10 minggu: 0,5 mm; 20 minggu: 1 mm; 30 dan 40 minggu: 1 cm Peranan air kelapa bersama dengan gen PaFT meningkatkan terjadinya multishoot pada protokorm kandidat. Air kelapa mengandung fitohormon auksin dan sitokinin yang berperanan dalam pembelahan dan regenerasi sel serta diferensiasi jaringan. Mikronutrient seperti ion anorganik dan vitamin berperan menjadi antioksidan sehingga mencegah terjadinya kerusakan yang disebabkan oleh antibiotik yang digunakan selama proses seleksi dalam transformasi. Pada pengembangan tissue culture anggrek, air kelapa mendukung terjadinya pembelahan sel dan mempercepat pertumbuhan jaringan sehingga banyak digunakan dalam industri kultur jaringan anggrek (Yong et. al, 2009). Komposisi air kelapa yang lengkap memberikan limpahan nutrisi bagi embrio dan sel yang sedang tumbuh.
Akar Kontrol Akar Kontrol
ISBN:978-602-9138-68-9
mengecil dan jumlah daun yang lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman non transforman (Kong et al., 2010). Pada tanaman padi disisipkan gen pembungaan HvFT1, HvFT2, dan HvFT3 yang berasal dari barley (Hordeum vulgare). Tanaman transgenik memiliki ukuran yang lebih kecil, ukuran daun yang lebih pendek dan jumlah daun yang lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman non transforman (Kikuchi et al., 2009). Penyisipan gen akan menyebabkan beberapa perbedaan fungsional jika gen disisipkan pada tanaman yang berbeda (heterologous plants) (Hsiao et al., 2011). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian tersebut air kelapa menyebabkan terjadinya multishoot pada protokorm kandidat transgenik. Setelah dilakukan analisis molekular gen PaFT juga berperanan dalam pembentukan multishoot. Multishoot lebih banyak diperoleh pada protokorm kandidat yang ditumbuhkan pada medium NP yang diperkaya dengan air kelapa dibandingkan dengan medium NP tanpa air kelapa. Saran
Akar Transgenik
Gambar 2. Ukuran akar tanaman transgenik dibandingkan tanaman non transforman. Pada tanaman Arabidopsis sp. transgenik yang disisipkan gen OnTFL memiliki ukuran daun yang lebih kecil dan banyak percabangan (Hou & Yang, 2009). Penyisipan gen juga menyebabkan perbedaan pertumbuhan dibandingkan dengan tanaman normal, seperti perubahan pertumbuhan akar (Weige et al., 2000). Penyisipan gen pembungaan PISTILLATA (PI) yang merupakan MADS-box genes Phalaenopsis pada tanaman tembakau, menghasilkan tanaman tembakau yang lebih pendek dibandingkan tanaman non transforman (Guo et al., 2007). Penyisipan gen GmFT2a dan GmFT5a yang berasal dari Glycin max pada Arabidopsis thaliana menyebabkan ukuran daun
Untuk mengembangkan medium kultur anggrek, dapat dikembangkan medium yang berasal tanaman lokal seperti tanaman enau atau tanaman rontal. Dari kedua tanaman tersebut dengan penelitian lebih lanjut dapat dikembangkan airnya untuk digunakan menjadi medium pertumbuhan. DAFTAR PUSTAKA Bercu, R., A. Bavaru., and L. Broasca. 2011. Anatomical Aspects of Phalaenopsis amabilis (l.) Blume. Annals of RSCB Vol. XVI, Issue 2/2011 Faure, S., J. Higgins., A. Turner., and D. A. Laurie. 2007. The Flowering Locus TLike Gene Family in Barley (Hordeum vulgare). Genetics Society of America. DOI: 10.1534/genetics.106.069500 Guo, B., Hexige, S., Zhang, T., Pittman, J. K., Chen, D., Ming, F. 2007. Cloning and Characterization of a PI-like MADSBox Gene in Phalaenopsis Orchid. Journal of Biochemistry and Molecular Biology, 40. Pp. 845-852
167
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Hecth, V., R. E. Laurie., J. K. Vander Schoor., S. Ridge., C. E. Knowles., L. C. Liew., F. C. Sussmilch., I. C. Murfet., R. C. Macknight., and J. M. Weller. 2011. The Pea GIGAS Gene is a Flowering Locus T Homolog Necessary for Grafttransmissible Specification of Flowering but not for Responsiveness to Photoperiod. The Plant Cell, Vol. 23. Pp. 147–161 Howell, S. H. 1998. Molecular of Plant Development. Cambridge University Press. Pp. 1-337 Huang, T., Bohlenius, H., Eriksson, S., Parcy, F., Nilsson, O. 2005. The mRNA of the Arabidopsis Gene FT Moves from Leaf to Shoot Apex and Induces Flowering. Science 309. Pp. 1694-1696 Huang, W., Fang, Z., Zeng, S., Zhang, J., Wu, K., Chen, Z., Teixeira, J. A., Juan, D., 2012. Molecular Cloning and Functional Analysis of Three FLOWERING LOCUS T (FT) Homologous Genes from Chinese Cymbidium. International Journal of Molecular Sciences, Vol. 12, Pp. 1138511398 Hsiao, Y-Y., Pan, Z-J., Hsu, C-C., Yang, Y-P., Hsu, C-Y, Chuang, Y-C, Shih, H-H., Chen, W-H., Tsai, W-C., Chen, H-H. 2011. Plant Cell Physiol,. 52 (9), Pp. 1467-1486. Kikuchi, R., Kawahigashi, H., Ando, T., Toonoka, T., Handa, H. 2009. Molecular and Functional Characterization of PEBP Genes in Barley Reveal the Diversification of
ISBN:978-602-9138-68-9
Their Roles in Flowering. Plant Physiology, Vol. 149, Pp. 1341–1353 Kong, F., B. Liu., Z. Xia., S. Sato., B. M. Kim., S. Watanabe., T. Yamada., S. Tabata., A. Kanazawa., K. Harada., and J. Abe. 2010. Two Coordinately Regulated Homologs of Flowering Locus T are Involved in The Control of Photoperiodic Flowering in Soybean. Plant Physiology, 154. Pp.1220–1231 Semiarti, E., A. Indrianto., A. Purwantoro., S. Isminingsih., N. Suseno., T. Ishikawa., Y. Yoshioka., Y. Machida., and C. Machida. 2007. Agrobacteriummediated Transformation of The Wild Orchid Species Phalaenopsis amabilis. Plant Biotechnology, Vol. 24 : 265–272. Tamaki, S., S. Matsuo., H. L. Wong., S. Yokoi., and K. Shimamoto. 2007. Hd3a protein is a Mobile Flowering Signal in Rice. Science 316. Pp. 1033–1036 Weige, D., Ahn, J. H., Blazquez, M. A., Borevitz, J. O., Christensen, J. K., Frankhauser, C., Ferrandiz, C., Kardailsky, I., Maranchauvil, E. J., Neff, M. M., Nguyen, J. T., Sato, S., Wang, Z-Y., Xia, Y., Dixon, R. A., Harrison, M. J., Lamb, C. J., Yanofsky, M. F., Chory, J. 2000. Activation Tagging in Arabidopsis. Plant Physiology, Vol. 122. Pp. 1003-1013. Yong, J. W. H., Ge, L., Fen Ng, Y., Tan, S. N. 2009. The Chemical Composition and Biological Properties of Coconut (Cocos nucifera L.) Water. Molecules. 2009, Vol. 14. Pp. 5144-5164
168
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
POTENSI ANTIOKSIDAN LOLOH TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.) SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL I G.A. Wita Kusumawati1), I Putu Darmawijaya1), I.B.A. Yogeswara 1) Fakultas Ilmu Kesehatan, Sains dan Teknologi Dhyana Pura University, Bali ABSTRAK Loloh adalah minuman tradisional yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Bali, yang memiliki efek fisiologis bagi tubuh. Tempuyung (Sonchus arvensis L.) merupakan salah satu daun yang digunakan untuk membuat loloh yang diduga memiliki kapasitas antioksidan yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi antioksidan dari loloh tempuyung sebagai minuman fungsional. Penelitian ini menggunakan empat variasi konsentrasi serbuk daun tempuyung (1%, 3%, 5% dan 7% b/v) dan air sebagai pelarut untuk membuat loloh tempuyung. Loloh tempuyung yang dihasilkan dianalisis kandungan total fenol, kadar tanin dan kapasitas antioksidan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi 1% (b/v) memberikan hasil terbaik untuk kapasitas antioksidan (4,43±4,44 mg/mL). Sedangkan pada konsentrasi 7% (b/v) memberikan hasil terendah (1,11±0,25 mg/mL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa loloh tempuyung loloh berpotensi untuk dijadikan sebagai minuman fungsional yang dapat digunakan sebagai pencegah kerusakan oksidasi seluler. Kata kunci: loloh tempuyung, antioksidan, minuman fungsional, DPPH, total fenol, kadar tanin PENDAHULUAN Pangan fungsional adalah makanan atau minuman yang mengandung bahan-bahan yang bisa meningkatkan status kesehatan dan mencegah timbulnya penyakit tertentu. Salah satu komponen fungsional yang memiliki fungsi fisiologis bagi tubuh adalah antioksidan (Gordon, 1990; Papas, 1998). Tanaman mengandung fitokimia dengan fungsi fisiologis seperti aktivitas antioksidan. Potensi sumber senyawa antioksidan telah dilakukan di beberapa jenis bahan tanaman seperti sayuran, buahbuahan, daun, minyak sayur, tanaman sereal, kulit dan akar, rempah-rempah dan herbal, dan obat-obatan tanaman mentah. Antioksidan yang terkandung di dalam tumbuhan dapat melindungi tubuh dari penyakit jantung koroner dan kanker (Alok et al., 2014;. Kahkonen et al., 1999;. Partap, 2012; Soares et al., 2013.). Masyarakat Bali telah mengkonsumsi ekstrak tumbuhan sebagai pengobatan obat. Mereka menggunakan konsep usada taru pramana (Suryadarma, 2005). Ada banyak jenis tanaman bisa digunakan sebagai bahan obat, salah satunya adalah tempuyung (Sonchus arvensis L.) (Suweta, 2013). Tanaman ini telah
banyak digunakan dalam sistem pengobatan tradisional sebagai obat untuk peradangan, batuk, bronkitis, dan asma (Khan, et al., 2009). Daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) kurang disukai jika dikonsumsi secara langsung, sehingga masyarakat Bali mengolah daun tempuyung menjadi loloh atau sebagai minuman. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa ekstrak tempuyung menggunakan pelarut metanol mengandung senyawa fenolik, flavonoid, kaempferol, quercentin, orientin, rutin, hyperoside, catechin dan myricetin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan (Khan, 2012), yang dapat digunakan untuk mengobati asma, batuk, menenangkan saraf dan peluruh batu ginjal (Yuliarti et al., 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi aktivitas antioksidan loloh tempuyung sebagai minuman fungsional dan mengamati pengaruh rasio daun dengan air yang digunakan dalam membuat loloh tempuyung. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan rancangan faktorial dengan tiga ulangan. Ada empat variasi konsentrasi serbuk daun
169
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI tempuyung yang digunakan pada penelitian ini yaitu: 1, 3, 5, dan 7 gram berat kering. Data dianalisis menggunakan Analisis Varian (ANOVA). Analisis yang dilakukan meliputi penentuan total fenol, kandungan tanin dan kapasitas antioksidan. Tahap awal penelitian ini adalah membuat loloh tempuyung. Daun tempuyung (Sonchus arvensis L.) dipetik pada bulan Mei 2014, berasal dari Desa Singapadu, Gianyar, Bali. Loloh tempuyung dibuat melalui tahap pencucian daun tempuyung, penirisan, pengeringan, pengecilan ukuran dan ekstraksi. Loloh tempuyung dibuat dengan menggunakan air sebagai pelarut. Ada empat variasi konsentrasi serbuk daun tempuyung yang digunakan (1, 3, 5, dan 7 gram berat kering). Dan volume air yang digunakan sebanyak 100 ml Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Masingmasing serbuk daun tempuyung diseduh selama 30 menit dalam air minum yang telah direbus terlebih dahulu. Kemudian larutan dipisahkan menggunakan kertas saring. Filtrat yang dihasilkan kemudian dianalisis. Filtrat ini disebut loloh tempuyung. Total fenol yang terkandung pada loloh tempuyung dianalisis menggunakan metode Szyd³owska-Czerniak et al. (2012) yang dimodifikasi. Dalam tabung, 1 mL sampel loloh tempuyung dicampur dengan 0,5 mL FollinCiocalteu (E-Merck). Campuran didiamkan pada suhu ruang selama 6 menit dan kemudian larutan ditambahkan dengan 2,5 mL natrium karbonat 5% (E-Merck), dan didiamkan pada suhu ruang selama 30 menit. Absorbansi larutan diukur pada 760 nm. Asam galat (Sigma-Aldrich) digunakan sebagai larutan standar pada analisis total fenol. Konsentrasi asam galat yang digunakan sebesar 0-100 ppm. Absorbansi dan konsentrasi asam galat diplotkan pada kurva kalibrasi sehingga didapatkan persamaan regresi linear. Absorbansi sampel dimasukkan ke dalam persamaan standar, dan konsentrasi total fenol dihitung sebagai miligram asam galat sampel ekuivalen/gram (mg GAE/g). Kadar tanin yang terkandung pada loloh tempuyung dianalisis menggunakan metode Suhardi (1997) yang dimodifikasi. Dalam tabung, 1 mL sampel loloh tempuyung dicampur dengan 0,5 mL Follin Denis (E-Merck) dan 1 mL aquades. Kemudian larutan ditambahkan dengan 2,5 mL natrium karbonat 5% (E-Merck), dikocok dan didiamkan pada suhu ruang selama 40 menit. Absorbansi larutan diukur pada 725 nm. Asam tanat (E-Merck) digunakan sebagai larutan standar
ISBN:978-602-9138-68-9
pada analisis kadar tanin. Konsentrasi asam tanat yang digunakan sebesar 0-100 ppm. Absorbansi dan konsentrasi asam tanat diplotkan pada kurva kalibrasi sehingga didapatkan persamaan regresi linear. Absorbansi sampel dimasukkan ke dalam persamaan standar. Kapasitas antioksidan yang terkandung pada loloh tempuyung dianalisis menggunakan metode Hanani (2005) yang dimodifikasi, dengan mengukur kemampuan radikal DPPH (1,1diphenyl-picryldrazyl) terhadap sampel. Dalam tabung, 1 mL sampel loloh tempuyung ditambahkan 2 mL DPPH (Sigma-Aldrich). Campuran didiamkan di tempat gelap selama 30 menit. Selama waktu inkubasi, radikal DPPH bereaksi dengan senyawa antioksidan yang terkandung dalam sampel, sehingga warna berubah dari ungu tua menjadi warna kuning. Absorbansi diukur pada 517 nm. Kapasitas antioksidan dihitung sebagai perbedaan antara larutan DPPH dan nilai-nilai absorbansi sampel. Kurva standar asam askorbat (Sigma-Aldrich) dibuat dengan konsentrasi 0-30 ppm. Persamaan linear dibuat dengan memplotkan nilai absorbansi versus konsentrasi standar. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses pembuatan daun tempuyung menjadi sebuk menghasilkan rendemen sebesar 6,67%. Hasil rendemen dihitung berdasarkan rasio dari berat serbuk dengan berat daun tempuyung. Serbuk yang dihasilkan berwarna hijau tua (Gambar 1a). Ekstraksi dilakukan untuk memperoleh senyawa bioaktif dari daun tempuyung. Serbuk daun tempuyung diekstraksi dengan menggunakan pelarut air sehingga menghasilkan loloh tempuyung (Gambar 1b). Pemilihan air sebagai pelarut dikarenakan mudah digunakan, efisiensi, dan penerapan yang luas (Dai J dan Russell, 2010), dan masyarakat Bali pada umumnya menggunakan air dalam pembuatan loloh tempuyung.
170
a.
b.
Gambar 1. Serbuk daun tempuyung (a), loloh tempuyung (b)
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
T o ta l p h e n o l i c s (m g G A E /g )
250 200 150 100 50 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
the weight powder of tempuyung leaves (g)
Gambar 2. Kurva kandungan total fenol loloh tempuyung pada berbagai konsentrasi
Loloh tempuyung yang berasal dari variasi konsentrasi serbuk daun tempuyung, memiliki kandungan kadar tanin berkisar antara 106,88 sampai dengan 272,51 mg/g berat kering daun tempuyung (Gambar 3). Pada penelitian ini didapatkan bahwa konsentrasi loloh tempuyung 1% (b/v) memiliki kadar tanin tertinggi. Ada korelasi yang signifikan dapat ditemukan antara kandungan tanin dan aktivitas antioksidan dari loloh tempuyung tersebut. Asam tanat telah terbukti memiliki kandungan antioksidan, antimutagenik dan antikarsinogenik. Namun mekanisme antioksidan asam tanat masih belum dipahami sepenuhnya. Misalnya, dengan adanya ion tembaga, asam tanat dapat bertindak baik sebagai prooksidan yang mempromosikan kerusakan DNA atau sebagai antioksidan yang menekan pembentukan radikal hidroksil. Asam tanat terdiri dari molekul glukosa pusat turunan pada gugus hidroksil dengan residu satu atau lebih galloil. Dilaporkan bahwa sifat polifenol asam tanat relatif hidrofobik pada bagian inti dan hidrofilik pada bagian terluar. Sifat inilah yang bertanggung jawab untuk tindakan antioksidan (Gulcin et al., 2010). Tan nin co ntent (m g/g)
Loloh tempuyung yang berasal dari variasi konsentrasi serbuk daun tempuyung, memiliki kandungan total fenol berkisar antara 156,67 sampai dengan 200,95 mg GAE/g berat kering daun tempuyung (Gambar 2). Pada penelitian ini didapatkan bahwa konsentrasi loloh tempuyung 7% (b/v) memiliki kandungan total fenol tertinggi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Satue-Gracia et al. (1997), tidak ada korelasi positif antara kandungan total fenol dengan aktivitas antioksidan sampel. Sehingga tingginya kandungan total fenol pada loloh tempuyung tidak menunjukkan korelasi positif dengan aktivitas antioksidannya. Hal ini diketahui bahwa senyawa fenolik yang berbeda memiliki respon yang berbeda dalam metode Folin-Ciocalteu. Demikian pula respon antioksidan molekul senyawa fenolik sangat tergantung pada struktur kimianya (SatueGracia et al., 1997). Dengan demikian, aktivitas antioksidan dari loloh tempuyung tidak dapat diprediksi berdasarkan kandungan total fenolnya. Asam fenolik adalah metabolit sekunder, yang biasanya hanya menunjukkan aktivitas antioksidan jika komponen sekunder terdapat dalam jumlah sedikit dalam sampel (Hudson, 1990; Gulcin et al, 2010). Profil fenolik pada umumnya dianalisis setelah terjadi hidrolisis ikatan glikosidik sehingga ada senyawa yang hilang pada proses hidrolisis. Hal ini diketahui bahwa tingkat glikosilasi secara signifikan mempengaruhi sifat antioksidan dari senyawa. Misalnya, aglikon kuersetin dan myricetin lebih aktif daripada glikosida metal linoleat dalam jumlah besar (Hopia and Heinonen, 1999). Berbagai cara oksidasi dan metode pengukuran aktivitas yang digunakan dalam analisis antioksidan menyebabkan sulitnya membandingkan hasil dari penelitian yang berbeda.
ISBN:978-602-9138-68-9
300 250 200 150 100 50 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
the weight powder of tempuyung (g)
Gambar 3. Kurva kadar tanin loloh tempuyung pada berbagai konsentrasi Kapasitas antioksidan setara dengan miligram asam askorbat. Kurva standar nilai diperoleh dengan memplotkan berbagai konsentrasi asam askorbat (sumbu X) 0-30 ppm versus kapasitas antioksidan yang merupakan perbedaan absorbansi antara larutan 1,1-difenil2-pikrilhidrazil (DPPH) radikal bebas dengan variasi konsentrasi asam askorbat yang diukur pada 517 nm (sumbu Y). Korelasi antara kedua variabel digunakan untuk menentukan persamaan regresi. Persamaan regresi dari kurva standar asam askorbat yang diperoleh pada penelitian ini memiliki nilai r2 dari 0,9745.
171
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
a n ti o x i d a n t c a p a c ity (m g /m l)
Radikal DPPH akan bereaksi dengan sampel sehingga radikal bebas akan terperangkap oleh senyawa polifenol dari sampel. Awalnya, warna larutan gelap ungu dan kemudian setelah reaksi, warna berubah dari ungu gelap menjadi kuning sebagai tanda aktivitas pemerangkapan. Perubahan warna dari ungu menjadi kuning akibat reaksi antara senyawa antioksidan dengan radikal DPPH melalui sumbangan foton (Halliwell and Gutteridge, 2000). Larutan yang berwarna kuning memiliki absorbansi yang lebih rendah dibandingkan larutan yang berwarna ungu. Hal ini menunjukkan bahwa sampel dengan absorbansi yang lebih rendah memiliki kemampuan memerangkap radikal DPPH lebih baik (Chen et al., 2008) Konsentrasi serbuk daun tempuyung memiliki pengaruh yang signifikan pada kapasitas antioksidan (pd”0,95). Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa konsentrasi loloh tempuyung sebesar 1% (b/v) memiliki nilai kapasitas antioksidan tertinggi yaitu sebesar 4,43±4,44 mg/ mL (Gambar 4). Kapasitas antioksidan dari loloh berkorelasi positif dengan kadar tanin, di mana kadar tanin tertinggi menghasilkan nilai kapasitas antioksidan yang tertinggi pula.
ISBN:978-602-9138-68-9
tergantung pada struktur, sifat hidrofobik, aktivitas biologis, dan aktivitas oksidatif. Kemampuan pengikatan radikal oleh flavonoid, tergantung pada adanya sekurang-kurangnya dua kelompok ohidroksil pada cincin B. Hal ini memungkinkan pembentukan ikatan hidrogen intramolekul dengan gugus hidroksil meningkatkan stabilitas radikal fenoksil (Majewska et al ., 2011). SIMPULAN Hasil dari penelitian ini adalah konsentrasi loloh tempuyung 1% (b/v) memberikan hasil terbaik untuk kapasitas antioksidan (4,43±4,44 mg/ mL), sedangkan konsentrasi loloh tempuyung 7% (b/v) memberikan hasil terendah (1,11±0,25 mg/ mL). Tingginya kandungan total fenol pada loloh tempuyung tidak menunjukkan korelasi positif dengan aktivitas antioksidan, sedangkan tingginya kadar tanin menunjukkan korelasi yang positif dengan aktivitas antioksidan. Dari hasil di atas, dapat disimpulkan bahwa loloh tempuyung (Sonchus arvensis L.) memiliki potensi sebagai minuman fungsional. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai oleh Departemen Pendidikan (Dikti) Indonesia melalui hibah penelitian dosen pemula. DAFTAR PUSTAKA
500 400 300 200 100 0 0
2
4
6
8
the weight powder of tempuyung leave (g)
Gambar 4. Kapasitas antioksidan loloh tempuyung pada berbagai konsentrasi Fenol memiliki sifat redoks sehingga dapat bertindak sebagai agen pereduksi, dan donatur hidrogen. Selain itu, fenol memiliki potensi sebagai logam pengkelasi (Rice-Evans et al., 1995). Gordon (1990) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dari zat pereduksi akan mengikat radikal dengan cara memberikan atom hidrogen. Adanya reduktor dalam sampel yang diuji akan menghasilkan pengurangan Fe3+ untuk membentuk kompleks Fe2 + (Hakkim et al., 2008). Efektivitas flavonoid dalam radikal DPPH pada umumnya
Alok, Shashi ., Sanjay Kumar Jain., Amita Verma., Mayank Kumar., Alok Mahor., and Monika Sabharwal. 2014. Herbal antioxidant in clinical practice: A review. Asian Pac J Trop Biomed 4(1): 78-84. Aminul, Shawkat Md. Islam., Kh Tanvir Ahmed., Mohammad Kawsar Manik., Md. Arif Wahid., and Chowdhury Shafayat Ibne Kamal. 2013. A comparative study of the antioxidant, antimicrobial, cytotoxic and thrombolytic potential of the fruits and leaves of Spondias dulcis. Asian Pac J Trop Biomed 3(9): 682-691. Arapitsas, Panagiotis. 2012. Review Hydrolyzable tannin analysis in food. Food Chemistry 135 : 1708–1717. Bettuzzi S, Brausi M, Rizzi F, Castagnetti G, Peracchia G, Corti A. 2006. Chemoprevention of human Prostate cancer oral administration of green tea
172
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
catechins in volunteers with high – grade Sonchus arvensis. Chemistry Central prostate intrapithelial neoplasia : a Journal 6:126. preliminary report from a one year proof of Kahkonen, Marja P.,Anu I. Hopia., Heikki J. Vuorela., principle study. Cancer Res. 66 : 1234 - 1240 Jussi-Pekka Rauha., Kalevi Pihlaja., Tytti S. Carocho, Marcio and Isabel C.F.R. Ferreira. Kujala., and Marina Heinonen. 1999. 2013. A review on antioxidants, Antioxidant Activity of Plant Extracts prooxidants and related controversy: Containing Phenolic Compounds. J. Agric. Natural and synthetic compounds, Food Chem. 47: 3954-3962. screening and analysis methodologies and Nathalie, Liesbeth Leurs. 2009. Medicinal, future perspectives. Food and Chemical Aromatic and Cosmetic (MAC) Plants for Toxicology 51 : 15–25. Community Health and Bio-Cultural Chen YT, Kao WT, and Lin KW. 2008. Effects Diversity Conservation in Bali, Indonesia. of pH on the total phenolic compound, L.N. Leurs page : 124-127. antioxidative ability and the stability of Majewska M, Skrzycki M, Podsiad M, Czeczot dioscorin of various yam cultivars. Food H. 2011. Evaluation of antioxidant chem. 107 : 250-257. potential of flavonoids : an in vitro study. Dai, Jin and Russell J. Mumper. 2010. Review Acta Pol Pharm. 68 : 611 - 615 Plant Phenolics : Extraction, Analysis Papas, A.M., 1998. Tocopherols and Tocotrienols. and Their Antioxidant dan Anticancer In: papas, A.M. (Ed). Antioxidant Properties. Molecules 15 : 7313-7352. Status, diet, Nutrition and Health. CRC Firahmi, N., Sutardi dan Haryadi. 1998. Aktivitas Press, New York. Antioksidan Pasta Kacang Tanah Sangrai. Partap, Sagh. And Sanjay Pandey. 2012. A Review on Herbal Antioxidants. Journal Agritech 18: 12-16. of Pharmacognosy and Phytochemistry Gulcin, Ilhami, Zubeyr Huyut, Mahfuz Elmastas, Volume 1 Issue 4 : 26-37. Hassan Y. Aboul-Enein. 2010. Radical scavenging and antioxidant activity of tannic Rai PK, Jaiswal D, Singh RK, Gupta RK, Watal G. 2008. Glycemic properties of acid. Arabian Journal of Chemistry 3 : 43–53. Gulcin, Ilhami. 2012. Antioxidant activity of Trichosanthes dioica leaves. Pharm Biol food constituents: an overview. Arch 46(12): 894-899. Toxicol 86 : 345–391. Rice-Evans, C.-A.; Miller, N. J.; Bolwell, P. G.; Bramley, P. M.; Pridham, J. B. 1995. The Gordon. 1990. The Mechanism of Antioxidant relative antioxidant activities of plantin Vitro. Dalam Hudson, B.J.F. (Ed.). derived polyphenolic flavonoids. Free Food Antioxidants. Elservier Applied Radical Res. 22 : 375-383. Science, London and New York. Halliwell, B and Gutteridge, MC. 2000, Free Roginsky V and Lissi EA. 2005. Review of methods to determine chainbreaking radical in Biology and Medicine, Oxford antioxidant activity in food. Food Chem University Press,New York. 92 : 235–254. Hanani, Endang., Abdul Mun’im and Ryany Sekanni. 2005. Identifikasi Senyawa Satue-Gracia, M. T.; Heinonen, M.; Frankel, E. N. Antioksidan dalam Spons Callyspongia Sp 1997. Antioxidant activity of anthocyanins dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu in LDL and lecithin liposome systems. J. Kefarmasian. Vol. III, No. 3. 127-133. Agric. Food Chem. 45 : 3362-3367. Hopia, A. I.; Heinonen, M. 1999. Comparison of Selawa, Widya., Max Revolta John Runtuwene., and antioxidant activity of flavonoid aglycones Gayatri Citraningtyas. 2013. Kandungan and their glycosides in methyl linoleate. J. Flavonoid dan Kapasitas Antiokidan Total Am. Oil Chem. Soc. 76 : 139-144. Ekstrak Etanol Daun Binahong [Anredera Hudson, B.J.F. (Ed.). Food Antioxidants. Elservier cordifolia(Ten.)Steenis.]. Pharmacon Jurnal Applied Science, London and New York. Ilmiah Farmasi – UNSRAT Vol. 2 No. 01 : Khan M, Kumar S, Hamal IA. 2009. Medicinal 18-22. plants of Sewa river catchment area in the Sherwin ER. 1990. In: Branen AL, Davidson PM, northwest Himalaya and its implication for Salminen S (eds) Food additives, Marvel conservation. Ethno Leaflets 13:1113- 39. Dekker Inc., New York, pp 139–193. Khan, Rahmat Ali. 2012. Evaluation of flavonoids and diverse antioxidant activities of 173
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Shimoda, M., Wu, Y dan Osajima, Y. 1996. Aroma Compounds from Aqueous Solution of Haze (Rhus succedanea) Honey Determined by Adsorptive Column Chromatography. Journal of Agriculture and Food Chemistry 44: 3913-3918. Sitanggang, M., dan Dewani. 2006. 33 Ramuan Penakluk Asam Urat. Jakarta: Agromedia Pustaka. Hal. I, 30. Soares, Marta O., Rita C. Alves., Pedro C. Pires., M. Beatriz P.P. Oliveira., and Ana F. Vinha., 2013. Angolan Cymbopogon citratus used for therapeutic benefits: Nutritional composition and influence of solvents in phytochemicals content and antioxidant activity of leaf extracts. Food and Chemical Toxicology 60: 413–418. Srivastava T. 2012. Study of composition, activity and phenolic content of herbal products. International Journal of Engineering Science and Technology 4(4): 1412-1420. Suhardi. 1997. Analisis Senyawa Polifenol Produk Buah-buahan dan Sayuran Vol.3. Yogyakarta. Laboratorium Kimia-Biokimia Pengolahan Fakultas teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada. Sulaksana, J., Budi, S., Dadang, I. J. 2004. Tempuyung Budi Daya Dan Pemanfaatan Untuk Obat. Cetakan pertama. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 5, 10, 11, 32, 34, 65. Suryadarma, I.G.P. 2005. Konsepsi Kosmologi dalam Pengobatan Usada Taru Pramana. Journal of Tropical Ethnobiology Vol II No. 1 : 65-87. Suweta, I Made. 2013. Revitalisasi Istilah TumbuhTumbuhan Langka dalam Pengajaran Bahasa Bali, Sebagai Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup (Kajian Ekolinguistik). Jurnal Bumi Lestari, Volume 13 No. 1 : 202-213. Suweta, I Made. 2013. Ecolinguistics Approach in Preservation Rare Plants Growing in Bali. International Journal of Linguistics, Vol. 5 No. 1 : 283-295. Szyd³owska-Czerniak, Aleksandra., Agnieszka Tu³odziecka., and Edward Sz³yk. 2012. Determination of Antioxidant Capacity of Unprocessed and Processed Food Products by Spectrophotometric Methods. Food Anal. Methods 5:807–813. Tadhani, M.B., V.H. Patel., and Rema Subhash. 2007. In vitro antioxidant activities of Stevia rebaudiana leaves and callus. Journal of Food Composition and Analysis 20 : 323–329.
ISBN:978-602-9138-68-9
Tarboush, A.H.M., Kahtani, A. dan Sarrage, M.S.E. 1993. Floral-type Identification and Quality Evaluation of Some Honey Type. Food Chemistry 46: 13-17. Vadivel, Vellingiri and Hans Konrad Biesalski. 2011. Total Phenolic Content, Antioxidant Activity, and Type II Diabetes Related Functionality of Traditionally Processed Ox-eye Bean (Mucuna gigantean (Willd) DC.) Seeds : An Indian Underutilized Food Legume. Food Sci. Biotechnol. 20(3): 783791. Wadekar, Jyoti Wadekar., Ramesh Sawant., Rahul Naik., and Amruta Bankar. 2012. Anthelmintic and Antibacterial Potential of Sonchus arvensis Leaves. International Journal of Pharmaceutical Frointer Research 2(2): 50-55. Wichi HP. 1988. Enhanced tumour development by butylated hydroxyanisole (BHA) from the perspective of effect on forestomach and oesophageal squamous epithelium. Food Chem Toxicol 26:717–723. Xu, Yang-Jun., Shao-Bo Sun., Li-Mei Sun., DongFeng Qiu., Xiu-Jin Liu., Zhi-Bo Jiang., and Cheng-Shan Yuan. 2008. Quinic acid esters and sesquiterpenes from Sonchus arvensis. Food Chemistry 111 : 92–97. Yao, Xiao-Hui., Dong-Yang Zhang., Yuan-Gang Zu., Yu-jie Fu., Meng Luo., Cheng-Bo Gu., Chun-Ying Li., Fan-Song Mu., and Thomas Efferth. 2013. Free radical scavenging capability, antioxidant activity and chemicalconstituents of Pyrola incarnata Fisch. Leaves. Industrial Crops and Products 49 : 247– 255. Yuliarti, Wulan., Dewi Kusrini., and Enny Fachriyah. 2013. Isolasi, Identifikasi dan Uji Antioksidan Asam Fenolat dalam Daun Tempuyung (Sonchus arvensis L.) dengan Metode 1,1-Difenil-2Pikrilhidrasil (DPPH). Chem Info Vol 1, No 1 : 294-304.
174
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ASAM LAKTAT SUSU KAMBING KANDIDAT PROBIOTIK Ni Wayan Nursini dan I.B.A.Yogeswara Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Sains dan Teknologi, Universitas Dhyana Pura, Bali, e-mail: [email protected] ABSTRAK Pergeseran pola makan masyarakat modern dengan konsumsi bahan makanan yang mengandung protein dan lemak yang tinggi serta kandungan serat yang rendah diduga sebagai salah satu pemicu munculnya berbagai penyakit yang berhubungan dengan saluran pencernaan. Modifikasi komposisi saluran pencernaan dapat dilakukan melalui konsumsi bakteri hidup yang disebut probiotik sehingga dapat menjaga keseimbangan bakteri yang menguntungkan di dalam saluran pencernaan. Salah satu bahan makanan yang telah diketahui mengandung bakteri adalah susu kambing. Beberapa efek kesehatan air susu kambing antara lain; tidak memiliki faktor lactosa intolerance, susunan protein yang sangat halus sehingga aman dikonsumsi bayi karena mudah dicerna, kapasitas buffer yang lebih baik sehingga dapat membantu penderita yang mempunyai gangguan pencernaan, sebagai terapi penyakit TBC, membantu memulihkan kondisi orang yang baru sembuh dari sakit dan mampu mengontrol kadar kolesterol dalam darah. Berdasarkan penelitian didapatkan 103 isolat BAL gram positif dan katalase negative dari susu kambing, yang terdiri dari golongan homofermentatif, dengan bentuk sel coccus dengan konfigurasi sel coccus tunggal, berdua, berempat, berantai dan sel cocus bergerombol. Melalui penelitian ini diharapkan didapat isolat BAL dari susu kambing untuk pengembangan probiotik masa depan yang dapat diaplikasikan ke produk pangan sebagai pencegahan terhadap beberapa penyakit khususnya yang berhubungan dengan saluran pencernaan. Kata kunci : Isolasi, Karakterisasi, Susu Kambing, Bal, Probiotik. PENDAHULUAN Pergeseran pola makan masyarakat modern dengan konsumsi bahan makanan yang mengandung protein dan lemak yang tinggi serta kandungan serat yang rendah diduga sebagai salah satu pemicu munculnya berbagai penyakit yang berhubungan dengan saluran pencernaan (Saarela et al., 2002). Modifikasi komposisi saluran pencernaan dapat dilakukan melalui konsumsi bakteri hidup yang disebut probiotik sehingga dapat menjaga keseimbangan bakteri yang menguntungkan di dalam saluran pencernaan (Prangdimurti, 2001; FAO/WHO, 2002; Drisko et al., 2003; Lisal, 2005; Begley dan Gahan, 2006; Kiani, 2006). Mikroflora yang digolongkan sebagai probiotik adalah Bakteri Asam Laktat (BAL) yang dapat memproduksi asam laktat terutama dari golongan Lactobacilli dan Bifidobacteria. Beberapa penelitian menyatakan bahwa BAL mampu menekan
jumlah bakteri patogen penyebab gangguan pencernaan, mampu membentuk koloni, sehingga menjaga keseimbangan bakteri yang menguntungkan dalam usus dan meningkatkan kekebalan tubuh (Prangdimurti, 2001). Belakangan ini, probiotik berkembang semakin pesat sejalan dengan makin banyaknya penyakit yang berhubungan dengan terganggunya komposisi bakteri saluran pencernaan, sehingga probiotik menjadi salah satu pilihan terapi. Probiotik telah banyak dimanfaatkan dalam penanggulangan berbagai penyakit infeksi di negara-negara maju, seperti menanggulangi diare pada anak-anak (Marteau et al., 2001), atopi (Kalliomaki et al., 2003), kelainan sistem imun (Isolauri et al., 2002), infeksi Helicobacter pylori, vaginosis (Reid et al., 2001) dan kanker kolon (Hirayama dan Rafter, 1999). Mengkonsumsi berbagai produk makanan fungsional seperti probiotik merupakan
175
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI salah satu upaya administrasi mikroorganisme probiotik ke dalam tubuh (Stanton, et al., 2001). Adanya klaim menyehatkan telah memicu perburuan strain BAL dari berbagai sumber alami seperti saluran pencernaan manusia dan hewan, susu serta makanan terfermentasi secara tradisional. Di antara jenis susu dari hewan mamalia, susu yang mempunyai manfaat lebih tinggi adalah susu kambing, berdasarkan beberapa hasil penelitian diantaranya Penelitian Veteriner Bogor, Badan Penelitian Ternak (Balitnak) Bogor dan penelitian United States Department Agriculture (USDA) menyebutkan komposisi kandungan susu kambing lebih baik susu sapi (Yulinery dan Kasim, 2007). Pengobatan, pemeliharaan kesehatan, dan membantu penyembuhan berbagai jenis penyakit mulai banyak dilakukan oleh masyarakat. Bahkan tidak sedikit kalangan medis yang melakukan terapi kepada pasiennya dengan menggunakan susu kambing (Septriyansah, 2008). Beberapa efek kesehatan yang diklaim dari meminum susu kambing adalah air susu kambing tidak memiliki faktor lactosa intolerance, yaitu kelainan yang disebabkan kepekaan alat pencernaan pada susu sapi sehingga yang sensitif terhadap laktosa susu sapi dapat mengkonsumsi susu kambing agar tidak terjadi diare. Manfaat susu kambing diantaranya adalah susunan protein yang sangat halus sehingga aman dikonsumsi bayi karena mudah dicerna, kapasitas buffer yang lebih baik sehingga dapat membantu penderita yang mempunyai gangguan pencernaan, sebagai terapi penyakit TBC, membantu memulihkan kondisi orang yang baru sembuh dari sakit, dan mampu mengontrol kadar kolesterol dalam darah. Susu terfermentasi alamiah memang banyak diklaim memberikan efek menyehatkan seperti yoghurt, susu terfermentasi menggunakan L.achidophillus yang dapat mencegah konstipasi, diare dan beberapa penyakit saluran pencernaan (Steinkraus, 1996). Hal tersebut memunculkan hipotesis bahwa dampak penyehatan yang ditimbulkan oleh konsusmsi susu kambing sebagai aktifitas BAL dan atau metabolik mikroba pada susu kambing. Terbatasnya penelitian yang dilakukan khususnya pada aspek mikrobiologi dari
ISBN:978-602-9138-68-9
susu kambing menyebabkan kurangnya bukti ilmiah aspek penyembuhan penyakit melalui konsumsi susu kambing. Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian awal tentang isolasi BAL untuk pengembangan probiotik masa depan yang dapat diaplikasikan ke produk pangan sebagai pencegahan terhadap beberapa penyakit khususnya yang berhubungan dengan saluran pencernaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi BAL dari susu kambing untuk pengembangan probiotik isolat lokal Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi probiotik yang dihasilkan dari susu kambing, yang mana probiotik tersebut nantinya dapat diaplikasikan ke dalam produk pangan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Selaian itu probiotik yang diaplikasikan ke produk pangan dapat meningkatkan keanekaragaman pangan. METODE PENELITIAN Sampel susu kambing didapatkan d a r i K e l o m p o k Ta n i We r d i G o p a l a , Busungbiu, Seririt, Buleleng. Sampel diambil dengan memerah susu dari kambing sebanyak 10-20 ml, kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis dan diisolasi bakteri asam laktatnya. Bakteri asam laktat diisolasi menggunakan MRS agar dengan i n d i k a t o r B C P. S e t e l a h d i l a k u k a n pemupukan selama 24-48 jam di dalam anaerobic chamber, kemudian koloni yang tumbuh diisolasi, dimurnikan dan selanjutnya distok dalam larutan gliserol 30% dan disimpan di dalam pendingin 20 0 C untuk stok kultur, sementara kultur yang digunakan untuk penelitian rutin disimpan dalam lemari pendingin 5 0 C dalam bentuk agar tusuk (stab). Konfirmasi Bakteri Asam Laktat dilakukan dengan cara isolat BAL diambil 1 jarum ose diapuskan pada gelas objek, difiksasi di atas api bunsen, dan ditunggu hingga kering, kemudian dilakukan pengecatan gram dengan gentian violet, lugol, alkohol dan safranin, selanjunya dikeringkan dengan kertas hisap tanpa menggosok sediaan, dan diamati di bawah
176
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI mikroskop dengan perbesaran 1000x. Bakteri Gram positif tampak berwarna ungu, sedangkan bakteri Gram negatif berwarna merah dibawah mikroskop.Kelompok BAL merupakan bakteri Gram positif, sehingga mengikat zat warna gentian violet dengan sangat kuat dan terlihat berwarna ungu mikroskop (Lay, 1994). Uji Katalase dilakukan dengan cara isolat BAL diambil sebanyak 1 ose, dibuat apusan pada gelas objek, ditetesi dengan 2 tetes H2O2 10%, dan diamati gelembung gas yang terbentuk pada preparat tersebut.Hasil positif ditunjukkan oleh terbentuknya gelembung gas oksigen yang dihasilkan dari degradasi H2O2 oleh enzim katalase (Hadioetomo, 1990; Soemarno, 2000).BAL memberikan hasil negatif pada uji ini (Sujaya et al., 2008a). Uji Produksi Gas dari Hasil Metabolisme Glukosa dilakukan dengan cara jarum ose panas (hoot-loop) dimasukkan ke dalam suspensi isolat BAL pada media MRS broth.Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya gas karbondioksida hasil metabolisme glukosa (Sperber dan Swan, 1976).BAL homofermentatif memberikan hasil negatif pada uji ini, sedangkan BAL heterofermentatif menunjukkan hasil positif pada uji ini (Sujaya et al., 2008a). Seluruh perkerjaan laboratorium dari penelitian ini dikerjakan di UPT. Laboratorium Biosain dan Bioteknologi, Universitas Udayana dari bulan April s.d. Juli 2014 Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara deskriptif.Jenis BAL yang tumbuh dideskripsikan berdasarkan uji-uji yang dilakukan (Sujaya et al., 2008b). HASIL DAN PEMBAHASAN Sebanyak 103 isolat Bakteri Asam Laktat (BAL) gram positif dan katalase negatif berhasil diisolasi dari susu kambing yang semuanya tergolong homofermentatif, dengan bentuk sel yang didominasi oleh bentuk coccusdengan konfigurasi tungal, berempat dan berbentuk rantai. Isolat BAL diisolasi dengan menggunakan medium MRS agar yang diberi indikator Bromo Cresol Purple (BCP). Semua isolat yang berhasil diisolasi ditampilkan pada Tabel 1.
177
ISBN:978-602-9138-68-9
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
Semua sifat atau karakteristik yang ditunjukkan pada Tabel 1 merupakan karakteristik BAL seperti yang dilaporkan olehSuskovic et al. (2001) dan Sujaya et al. (2008a). Kandungan nutrisi yang baik pada susu memicu pertumbuhan BAL alamiah, sehingga secara ekologis BAL mendominasi komunitas mikroba. Cepatnya pertumbuhan BAL pada susu akan menyebabkan penurunan pH susu secara dramatis, karena pembentukan asam laktat yang menghambat pertumbuhan bakteri lainnya. Salah satu produk susu terfermentasi secara alamiah yang diketahui adalah koumiss yaitu minuman beralkohol yang merupakan produk susu terfermentasi dari Rusia (Steinkraus, 1996). Pada uji katalase, semua isolat tidak menghasilkan gelembung-gelembung gas setelah ditetesi dengan larutan H 2O 2, dan hasil ini mengindikasikan bahwa semua isolat merupakan katalase negatif. Karakteristik ini merupakan karakteristik yang diharapkan, karena merupakan salah satu karakterisitk BAL seperti yang dilaporkan oleh Suskovic et al., (2001)bahwa BAL merupakan kelompok bakteri yangtidak memiliki enzim katalase (katalase negatif). Uji katalase merupakan uji yang ditujukan untuk mengetahui kemampuan suatu bakteri untuk menghasilkan enzim katalase, yaitu enzim yang diperlukan untuk mengurai H2O2 menjadi air dan O2. Uji produksi gas ditunjukan untuk mengetahui apakah suatu isolat BAL termasuk kelompok homofermentatif atau heterofermentatif. BAL homofermentatif adalah kelompok BAL yang hanya menghasilkan asam laktat sebagai produknya dalam proses fermentasi gula. Sedangkan kelompok heterofermentatif akan menghasilkan produk 178
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI lain, seperti etanol dan gas CO2, selain asam laktat dalam proses fermentasi gula (Suskovicet al., 2001). Dari hasil yang tertera pada Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa semua isolat yang diisolasi dari susu kambung merupakan kelompok BAL homofermentatif. BAL yang umumnya dipakai untuk probiotik merupakan kelompok homofermentatif karena kelompok ini pada proses fermentasi gula sebagian besar menghasilkan produk asam (asetat dan laktat) yang telah diketahui dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen pada saluran percernaan (Sujaya et al., 2008a). Uji morfologi dilakukan untuk mengetahui bentuk dan konfigurasi sel dari isolat. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa bentuk sel dari isolat BAL susu kambing adalah coccus. Gambar hasil perwarnaan gram dari isolat yang berhasil diisolasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
d e
ISBN:978-602-9138-68-9
Saran Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan melakukan uji karateristik probiotik diantaranya uji ketahanan isolat terahdap garam empedu, kemampuan menghambat bakteri patogen, ketahanan terhadap saluran cerna bagian atas dan penentuan derivat asam kolat yang akhirnya isolat tersebut bisa disebut probiotik dengan harapan dapat di aplikasikan ke produk pangan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Begley, M.C.H. and C.G.M.Gahan. 2006. Bile salt activity in probiotic. Applied and Environmental Microbiology 72 (3) : 1729-1738. Drisko, J.A., C.K.Giles and B.J. Bischoff. 2003. Probiotic in health maintenance and disease prevention. Alternative Medicine Review 8 (2):143-155. FAO/WHO. 2002. Guidlines for the evaluation of probiotics in food, report of a joint FAO/WHO working group on drafting guiglines for the evaluation of probiotics in food, London, Ontario, Canada.
c a
Hadioetomo, R.S. 1990. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek, Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT. Gramedia, Jakarta
b
Gambar 1. Isolat BAL susu kambing sel berwarna ungu dengan perbesaran 1000X, a : sel coccus tunggal, b : sel coccus berdua (diplococcus), c : sel coccus berempat (pediococcus), d : sel coccus berantai (streptococcus) dan e : sel coccus bergerombol (staphilococcus) SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dari susu kambing didapatkan 103 isolat dengan gram positif, katalase negatif, produksi gas negatif, homofermentatif dengan bentuk sel coccus dan konfigurasi sel coccus tunggal, coccus berdua, coccus berempat, coccus berantai dan coccus bergerombol.
Hirayama, K. and Rafter. 1999. The role of lactic acid bacteria in colon cancer prevention : mechanistic consideration. Antonie Van Leeuwenhoek, 76 : 391-394. Hyronimus, B., C. Le MArrec, A.H. Sassi and A. Deschamps. 2000. Acid and bile tolerance of spore – forming lactic acid bacteria. J. Food Microb., 61:193-197. Isolauri, E, Rautava S., Kaliomakki M., Kirjavainen P. and Salminen S. 2002.Role of probiotics in food hypersensitivity.Curr.Opin.Allergy Clin immunol 2: 263-267. Kaliomakki M., Salminen S., Pussa T., Arvilommi H and Isolauri. 2003. Probiotics and prevention of atopic disease : a randomised placebo – cotrolled trial. The Lancet 361: 1869-1871.
179
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Kiani, L. 2006. Bugs in our guts- not all bacteria are bad: how probiotics keep us healthy. discovery guides, CSA. Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lisal, J.S. 2005. Konsep probiotik dan prebiotik untuk modulasi mikrobiota usus besar, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin SMF ANAK RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar, Jurnal Med. Nus. 26 (4).256-262. Marteau, P.R., de Vrese M., Cellier C.J., and Schrezeenmier J. 2001. Protection from gastrointestinal disease with the use of probiotics.Am.J.Clin. Nutr. 73: 430S436S. Prangdimurti, E. 2001.Probiotik dan efek perlindungannya terhadap kanker kolon. Makalah Falsafah Sains Progarm S3. IPB. Bogor. Available at :http://www.scielo.com. Opened : 15 September 2009. Reid G., Howard J.and Gan B.S. 2001. Can bacterial intefrence prevent infection? Trends in Microbial 9: 424-427. Saarela, M, Lahteenmaki, L., Crittenden, R., Salminen, S., Mattila-Sandholm, T. 2002. Gut bacteria and health foods the european perspective. International Journal of Food Micribiology, 78 : 99-117 San’t Anna, S.E. and R.O.C. Torres. 1998. Growth of Pediococcus acidilactici on sugar cane blackstrap molasses. Available at :http://www.google.com. Opened at: 26 Juni 2005. Septryansah, C.2008. Khasiat dan manfaat pengolahan susu kambing. Available at ;http://www.disnakkeswanlampung.go.id. Diakses 24 Mei 2008.
ISBN:978-602-9138-68-9
Soemarno. 2000. Isolasi dan identifikasi bakteri klinik. Akademi Analisa Kesehatan Yogyakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Sperber, W.H. and J. Swan. 1976. Hot-loop test for determinatian of carbon dioxide production from glucose by lactic acid bacteria. Appl. Environ. Microbial., 31: 990-991. Steinkraus K.H. 1996. Indegeneus fermented food and acid fermentation : preserving and enhancing organoleptic and nutritional qualities of fresh food. In Steinkraus, K.H. (Ed) Handbook of Indigenous Fermented Foods, 2nd Ed. New York : Marcel Dekker, Inc. p: 111348. Sujaya, I N., N.M.U. Dwipayanti, N.L.P.Suariani, N.P.Widarini, K.A.Nocianitri dan N.W. Nursini. 2008b. Potensi Lactobacillus spp. isolat susu kuda sumbawa sebagai probiotik. Jurnal Veteriner 9 (1) : 33-40. Sujaya, I.N., Y. Ramona., N.P. Widarini., N.P. Suariani., N.M.U Dwipayanti., K.A. Nocianitri., dan N.W. Nursini. 2008a. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Susu Kuda Sumbawa. Jurnal Veteriner. 9 (2) : 52-59. Suskovic, J., B. Kos, J. Goreta, and S. Matosic. 2001. Role of Lactic Acid Bacteria and Bifidobacteria in Synbiotic Effect. Journal Food Technol Biotechnol. 39(3): 227:235. Yulinery, T. dan E. Kasim. 2007. Fermentasi kefir dari air susu sapi dan air susu kambing serta pengaruh persentase starter terhadap kualitas kefir.Berkala Ilmiah Biologi (6) 1: 33-41.
180
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PERILAKU HARIAN ULAR KOBRA (Naja sputatrix BOIE) DALAM KANDANG PENANGKARAN I Gede Widhiantara1* dan I Wayan Rosiana1 1 Program Studi Biologi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Sains, dan Teknologi, Universitas Dhyana Pura, Badung, Bali 80351 * Corresponding author email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku harian Ular Kobra (Naja sputatrix BOIE) dalam kandang. Kajian ini diharapkan mampu melengkapi data tentang aspekaspek biologi penangkaran ular yang dilindungi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Focal Animal Sampling with Continues Recording. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 6 ekor ular jantan dan 6 ekor ular betina yang dipelihara dalam 6 buah kandang berukuran 100 cm X 80 cm x 60 cm secara berpasangan. Sampel dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu Kelompok A yang diberikan mangsa anak ayam dan Kelompok B yang diberikan mangsa katak sawah. Pengamatan terhadap perilaku harian dilakukan selama 3 bulan setiap empat kali dalam sehari yaitu pagi pukul 05.00 s.d. 07.00 WITA, siang pukul 11.00 s.d. 13.00 WITA, sore pukul 17.00 s.d. 19.00 WITA dan malam pukul 23.00 s.d. 01.00 WITA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ular kobra dalam kandang mengalokasikan paling banyak waktunya untuk diam, yaitu sebesar 78,50 % pada kelompok A, dan 71,08 % pada kelompok B. Aktivitas bergerak merupakan aktivitas terbesar kedua yang dilakukan oleh kedua kelompok ular tersebut yaitu 19,90 % untuk kelompok A dan 26,44 % untuk kelompok B. Akan tetapi, ular-ular dalam kandang tersebut mengalokasikan hanya sedikit waktunya untuk aktivitas minum, agonistic, kawin dan ganti kulit (0,01 – 0,06 %). Ditemukan pula aktivitas bertelur pada kelompok B, dengan jumlah telur 8 butir berukuran panjang ± 4 cm dan diameter ± 2,5 cm. Kata Kunci: Ular Kobra, Perilaku harian, Kandang PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati. Indonesia diperkirakan memiliki 300.000 jenis satwa atau sekitar 17% satwa yang ada di dunian. Kekayaan jenis satwa tersebut merupakan peringkat pertama dalam kekayaan jenis mamalia yaitu sekitar 515 jenis, peringkat keempat untuk kekayaan jenis burung yaitu sekitar 1539 jenis dan peringkat ketiga di dunia untuk keanekaragaman jenis reptil yaitu sekitar 600 jenis atau apabila dipersentasekan sebesar 16% (Nursahid, 1999). Pertambahan penduduk dan meningkatnya kegiatan manusia dapat mengancam kelestarian berbagai jenis satwa liar yang ada di Indonesia. Nilai ekonomis dari satwa
liar juga menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi satwa liar di alam. Permintaan pasar yang terus meningkat menyebabkan perburuan satwa liar semakin tinggi di habitat aslinya. Berbagai jenis herpetofauna seperti : kura-kura, labi-labi, biawak, soa-soa, kadal, tokek dan ular menjadi komuditas ekspor yang berharga di masa sekarang (Priyono dan Bratasentanu, 1999). Salah satu jenis satwa ular yang menjadi komuditas ekspor Indonesia adalah jenis Ular Kobra (Naja sputatrix BOIE) (Suhono, 1986). Sebagai negara pengekspor kobra selain negara Thailand, China dan Malaysia, Indonesia sejak tahun 1984 mensuplai pasar kobra dunia antara 50.000 sampai 120.000 ekor per tahun (Soehartono, 1999). Ular Kobra menjadi fokus
181
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI yang menarik dalam perdagangan satwa liar karena pemanfaatan penggunaan kulitnya sebagai bahan industri, makanan, obat tradisional dan satwa peliharaan. Sejak tahun 1990, ular kobra telah dimasukkan ke dalam daftar CITES APPENDIX II untuk mencegah pengambilan spesies di habitat alaminya secara terus menerus dan dalam jumlah yang besar (Soehartono, 1999). Berdasarkan status ini, Ular Kobra hanya boleh diperdagangkan secara internasional sesuai kuota dan ijin. Individu ular kobra yang diperdagangkan tersebut harus merupakan hasil penangkaran melalui captive breeding program. Di Indonesia belum ada pengaturan atau regulasi khusus melalui Undang-Undang tentang pengambilan jenis ini di alam. Hal tersebut merupakan ancaman bagi populasi ular ini di alam karena dapat menurunkan jumlah populasi dalam skala besar bahkan dapat menuju ke kepunahan. Untuk menurunkan pengambilan atau perburuan Ular Kobra di alam liar, usaha penangkaran merupakan salah satu langkah yang tepat yang bisa dilakukan untuk menyediakan kuota ekspor untuk jenis satwa ini. Diperlukan berbagai data ilmiah seperti data perilaku harian untuk mendukung usaha penangkaran yang akan dilaksanakan di kemudian hari. Data perilaku harian tersebut dapat menjadi informasi tentang aspek pengembangan penangkaran untuk memanfaatkan keanekaragaman hayati secara lestari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku harian dari Ular Kobra (Naja sputatrix BOIE) dalam kandang penangkaran yang meliputi perilaku diam, bergerak, memangsa, minum, kawin dan ganti kulit. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat seperti :Menjadi referensi dasar pengembanbiakan Ular Kobra (Naja sputatrix BOIE) dalam kandang penangkaran, ikut menjaga kelestarian satwa ular khususnya Ular Kobra (Naja sputatrix BOIE) di Indonesia dengan usaha penangkaran dan meminimalisir pengambilan Ular Kobra (Naja sputatrix BOIE) di alam liar yang secara tidak langsung dapat menghindarkan satwa ini dari ancaman kepunahan. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan enam pasang Ular Kobra (Naja sputatrix BOIE) dewasa dengan ukuran panjang tubuh sekitar 1,2
ISBN:978-602-9138-68-9
m. Sampel ular diperoleh dari General Trading Mina Sari Sedana, Desa Celagi, Kelurahan Denbantas, Tabanan. Ular dipelihara dalam kandang berukuran 100 cm X 80 cm X 60 cm. Bahan yang digunakan untuk membuat kandang adalah kayu papan, dengan bagian depan dan sekat pada setiap kandang menggunakan kaca berketebalan 3 mm. Fungsi adanya sekat adalah untuk memisahkan ular jantan dan betina sebelum dikawinkan. Untuk membedakan jenis kelamin Ular Kobra (Naja sputatrix BOIE) digunakan uji Cloacal Probing Technique (Zulich, 1998) dengan menggunakan probing stainless berukuran 20 cm dengan diameter 2 mm. Probing dimasukkan ke dalam lubang kloaka. Apabila probing masuk lebih dari enam sisik ekor, ular tersebut berjenis kelamin jantan. Untuk ular betina probing biasanya masuk kurang dari lima sisik ekor. Setiap kandang berisi satu pasang ular yaitu satu ekor jantan dan satu ekor ular betina, sehingga terdapat enam kandang dan di beri label berturut-turut A1, A2, A3, B1, B2 dan B3. Kelompok A (A1, A2, A3). diberi mangsa anak ayam (Gallus gallus) sedangkan kelompok B (B1, B2, B3) diberi mangsa katak sawah (Fejervaria cancrivora). Metode yang digunakan untuk mengetahui aktivitas harian Ular Kobra (Naja sputatrix BOIE) pada penelitian pendahuluan adalah metode Ad-libitum sampling yaitu suatu cara pengumpulan data aktivitas dimana peneliti mencatat sebanyak mungkin aktivitas yang diamati (Collinge, 1993; Lehner, 1979). Selanjutnya pada penelitian utama menggunakan metode Focal Animal Sampling dengan Continuous Recording. Pada metode ini, individu tertentu diamati untuk jumlah waktu tertentu dengan beberapa kategori tingkah laku yang berbeda dan pencatatan waktu pada masingmasing kategori tingkah laku dilakukan secara bersambung dalam jumlah waktu yang telah ditentukan (Martin and Bateson, 1993). Dalam penelitian ini dilakukan pencatatan waktu aktivitas selama dua jam. Perilaku harian yang diamati berdasarkan Priyano dan Bratasentanu (1999) sebagai berikut yaitu: (1) perilaku bergerak yaitu aktivitas ular ketika sedang melata di kandang, menegakkan kepala sambil mengembangkan leher. (2) perilaku memangsa dan minum yaitu aktivitas ular ketika mulai mendekati mangsa,
182
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI menyerang kemudian menggigit mangsa dan menelannya, aktivitas minum adalah ketika ular menghisap air yang disediakan dalam kandang. (3) perilaku kawin yang meliputi; (a) perilaku menarik perhatian yaitu perilaku ular ketika berusaha mendekati pasangannya sambil menjulurkan lidah, mendesis dan menempelkan tubuhnya pada pasangannya. Biasanya perilaku ini ditunjukkan oleh ular jantan; (b) perilaku percumbuan yaitu perilaku ular ketika saling melilitkan tubuhnya dan saling bergesekan; (c) penetrasi yaitu perilaku ular ketika hemipenis ular jantan masuk ke dalam lubang kloaka ular betina; (d) ejakulasi yaitu proses keluarnya cairan sperma dari lubang kloaka dengan ditandai mengejangnya tubuh ular jantan. (4) perilaku diam yaitu aktivitas ular yang cenderung pasif, melingkarkan tubuhnya dan cenderung tidak banyak bergerak. (5) agonistik yaitu aktivitas dalam mempertahankan diri dari musuh atau dari gangguan hewan lain. Aktivitas ini biasanya ditunjukkan oleh ular dengan menegakkan kepala sambil mengembangkan bagian lehernya (hood) kemudian menyemburkan racunnya ke arah musuh. Pengamatan aktivitas harian dilakukan empat kali sehari yaitu pagi dari pukul 05.00 s.d. 07.00 WITA, siang pukul 11.00 s.d.13.00 WITA, sore pukul 17.00 s.d. 19.00 WITA dan malam pukul 23.00 s.d.01.00 WITA. Untuk melihat aktivitas kawin dari Ular Kobra, sekat dibuka pada waktu pengamatan sore hari pukul 17.00 WITA untuk menggabungkan pasangan ular dan dipasang kembali pada pengamatan malam hari selesai pukul 01.00 WITA. Waktu dicatat menggunakan stop watch merk Casio 1737 AW-43, aktivitas didokumentasi dengan menggunakan kamera digital merk Olympus seri C100. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dari persentase masing-masing perilaku yang tercatat.
ISBN:978-602-9138-68-9
Ular-ular yang diberi mangsa katak (Kelompok B) secara umum terlihat lebih aktif dibandingkan dengan ular-ular yang diberikan mangsa anak ayam (Tabel 1). Hal ini terlihat dari aktivitas bergerak dan memangsa kelompok B lebih besar proporsinya dibanding kelompok A.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap perilaku harian ular kobra dalam kandang menunujukkan bahwa ular-ular tersbut mengalokasikan paling banyak waktunya untuk diam, yaitu rata-rata sebesar 74,61% pada kedua kelompok. Perilaku terbesar kedua yaitu bergerak rata-rata sebesar 23,15 % pada kedua kelompok. Untuk perilaku minum, agonistik, kawin dan ganti kulit sangatlah rendah yaitu sekitar 0,01% - 0,06 % seperti pada Tabel 1: 183
Gambar 1. Prosentase waktu perilaku harian ular kobra dalam kandang penangkaran kelompok A
Gambar 2. Prosentase waktu perilaku harian ular kobra dalam kandang penangkaran kelompok B
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Ular Kobra dalam kandang menggunakan lebih dari separuh waktunya untuk melakukan perilaku diam (Masternbroek, 2002). Terdapat perbedaan diantara kedua kelompok, dimana perilaku diam pada kelompok A lebih tinggi disbanding kelompok B. Perilaku diam tertinggi teramati paling tinggi pada pikul 11.00-13.00 sebesar 21,11 %, dan menurun pada sore hari. Suhu lingkungan saat aktivitas diam teringgi antara 29300C. hal ini sesuai dengan Barnard (1996) yang menyatakan ular mulai melakukan aktivitas diam pada suhu lingkungan di atas 290C dengan suhu kritis maksimum 40,50C. Ular adalah hewan yang ektoterm atau tidak mampu mengatur suhu tubuhnya. Perilaku termofilik atau membutuhkan panas dengan berjemur dan bergerak jika suhu lingkungannya lebih rendah dari suhu optimal tubuh (25-270C). Sebaliknya jika suhu lingkungan lebih tinggi dari suhu optimal tubuh, maka ular akan merespon dengan perilaku termofobik yaitu menjauhi panas dengan perilaku diam dan berteduh (Wulangi, 1990). Perilaku bergerak ular kobra dengan melata pada kolempok A dan B berbeda dari jumlah prosentasenya, kelompok B menunjukkan aktivitas bergerak yang lebih tinggi. Perilaku melata mencapai puncak sekitar pukul 05.00 – 07.00 sebesar 7,41 %. Disini terlihat faktor suhu yang mempengaruhi perilaku bergerak, selain pada kelompok B diberkan mangsa alami sehingga geraknya lebih aktif dibandingkan kelompok A. Ular kobra memiliki tipe melata berkelok-kelok (Carr, 1980). Tubuhnya bergerak dalam bentuk deretan lengkung, dengan gerakan maju berasal dari tubuh yang menekan permukaan kandang yang tidak rata. Melata pada umumnya bertujuan untuk mendekati mangsa, sehingga biasanya diikuti dengan mejulurkan lidah (Cox, et al., 1998). Lidahnya berbentuk garpu mampu merasakan getaran udara dan tanah disekitrnya dengan memilih partikel-partikel kecil disekitarnya kemudian menaruhnya ke dalam bagian khusus pada atap mulutnya yang dinamakan Jacobson’s organ (Car, 1980, Kirshner, 2000). Sehingga dengan mekanisme ini mereka dapat mengetahui keberadaan mangsanya dengan tepat. Ukuran kandang juga sangat berpengaruh terhadap perilaku melata pada ular kobra. Barnard (1996) menyatakan untuk ular terrestrial memerlukan ukuran kandang yang nyaman yaitu dengan panjang tiga perempat dari panjang ular, lebar sepertiga panjang ular dan tinggi setengah panjang ular. Kandang pada penelitian ini berukuran 100 cm X
ISBN:978-602-9138-68-9
80 cm X 60 cm dengan ukuran panjang ular kobra dewasa rata-rata 130 cm tentunya sudah memenuhi syarat kenyamanan bagi ular-ular tersebut. Perilaku memangsa ular kobra pada kelompok A sebesar 1,95 % lebih rendah dari kelompok B sebesar 2,26 %. Dalam kandang ular kobra akan memangsa rata-rata 5 hingga 7 hari sekali ditandai dengan dijumpainya kotoran ular dari periode pemberian mangsa sebelumnya. Perilaku memangsa dmulai dengan perilaku menggigit lalu menelan mangsa. Prosentase perilaku memangsa tertinggi ada pada sore hari. Ular kobra membunh mangsanya dengan menggigit yang bertujuan untuk menyuntikkan bisa. Mangsa akan mati dalm 1-2 menit lalu mangsa ditelan dalam 6-8 menit. Bisa ular kobra bersifat hemotoksik, neurotoksik dan kardiotoksik (Supriatna, 1995). Suhu lingkungan optimum untuk perilaku memangsa adalah 25-270C, hal ini sesuai dengan Barnard (1996) suhu optimum sekitar 24-290C diperlukan reptil ini untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang optimum. Perilaku memangsa kelompok B lebih tinggi disbanding kelompok A hal ini diakibatkan oleh perbedaan jenis mangsa. Pada kelompok B diberikan salah satu mangsa alaminya sehingga ular secara cepat mengenali dan memangsanya. Perilaku minum merupakan perilaku paling rendah dari keseluruahan perilaku hariannya. Dalam kandang ular kobra mengahbiskan sebanyak 0,01 % waktunya untuk minum. Pada kedua kelompok hal ini memiliki nilai yang sama. Waktu aktivitas minum yang paling banyak tercatat adalah pada siang hari antara pukul 11.00 – 13.00 dengan suhu lingkungan berkisar antara 27-300C. Perilaku minum ular kobra bertujuan untuk beradaptasi dengan suhu lingkungan yang tinggi selain untuk membantu mekanisme ganti kulit. Perilaku agonistik merupakan perilaku pertahanan tubuh ketika ular kobra merasa terancam dengan keberadaan manusia dan hewan lain. Perilaku ini ditunjukkan dengan dengan kepala berdiri, kerudung atau hood melebar dan suara mendesis kuat dan menyemburkan bisa ke arah musuhnya (Supriatna, 1995; Suhono, 1986). Perilaku menyemburkan bisa tidak bertujuan untuk membunuh namun hanya untuk pertahanan semata. Bisa ular kobra jika mengenai mata manusia dapat menimbulkan kebutaan sementara, dan dapat hilang jika segera dicuci dengan air bersih (Anonim, 2004). Perilaku kawin ular kobra diawali dengan perilaku menarik perhatian lawan jenis,
184
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI percumbuan, penetrasi dan ejakulasi (Priyono dan Bratasentanu, 1999). Perilaku menarik perhatian lawan jenis teramati mulai pukul 17.00 – 19.00 dengan suhu lingkungan antara 26-270C. Namun setelah itu tidak dapat teramati perilaku percumbuan, penetrasi dan ejakulasi. Di akhir penelitian pada bulan Juli dan Agustus ditemukan ular-ular pada kelompok B bertelur dengan jumlah total 8 butir telur. Dengan ukuran panjang ± 4 cm dan diameter ± 2,5 cm. Hal ini menunjukkan telah terjadi aktivitas kawin di luar periode pengamatan. Tingkat keberhasilan perkawinan ular kobra dalam kandang juga dipengaruhi oleh intensitas gangguan di sekitar kandang. Ular kobra dalam kandang mengganti kulit setiap bulan tergantung dari tingkat pertumbuhannya (Hoolander, 2002). Aktivitas mengganti kulit tertinggi terjadi pada malam hari. Dan suhu pada saat aktivitas ganti kulit tertinggi berkisar antara 25-260C. Perbedaan prosentase ganti kulit antara keompok A dan B diakibatkan karena perbedaan mangsa. Terlihat pada kelompok A dengan mangsa anak ayam memiliki prosentase ganti kulit lebih tinggi, karena anak ayam memberikan nutrisi pertumbuhan yang lebih besar dari katak sawah (Anggorodi, 1985). SIMPULAN Kesimpulan dari peneltian ini antara lain: 1. Perilaku harian ular kobra pada kelompok A yang diberi mangsa anak ayam adalah perilaku diam sebanyak 78,50 %, perilaku bergerak sebesar 19,90 %, memangsa 1,46 %, ganti kulit 0,06 % agonistik 0,04 %, kawin 0,03 % dan minum 0,01 %. Sedangkan ular kobra pada kelompok B yang diberi mangsa katak sawah menenujukkan perilaku diam lebih kecil dari kelompok A yaitu sebanyak 71,15 %, bergerak lebih banyak dari kelompok A sebanyak 26,44 %, memangsa 2,26 %, ganti kulit 0,05 %, agonistik 0,06 %, kawin 0,03 % dan minum 0,01%. 2. Ular kobra pada kelompok B yang diberi mangsa katak sawah menunjukkan aktivitas bertelur dengan jumlah telur 8 butir dengan ukuranpanjang ± 4 cm dan diameter ± 2,5 cm. SARAN Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah: 1. Pemeliharaan ular kobra dengan tujuan konservasi sebaiknya diberikan mangsa berupa katak sawah.
ISBN:978-602-9138-68-9
2. Agar dilakukan penelitan yang lebih mendalam dan khusus mengenai pertumbuhan ular kobra yang diberi jenis mangsa alami yang lainnya dengan tujuan mendukung upaya konservasi ular kobra. DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Universitas Indonesia. UI press. Anonim, 2004. Khasiat Darah dan Empedu ular. Tokoh 26 September – 2 Oktober 2004. No. 302/Th. 04. Barnard, S. M. 1996. Reptiles Keepers Handbooks. Kreiger Publishing Company. Carr, A. 1980. Reptilia. Pustaka Alam Life. Jakarta. Collinge, N. C. 1993. Introduction to Primate Behaviour. Kendall / Hunt. Publication, IOWA. USA. Cox, M. J., P. P. V. Dijk and J. Nabhitabhata. 1998. A Photographic Guide to Snakes and other Reptiles of Thailand and Southeast Asia. Asia Books Co. , Ltd. Kirshner, D. 2000. Inversigate Snakes. Periplus Editions (HK) Ltd. Australia Lehner, P. N. 1979. Handbook of Ethological Methods. Garland STPM Press. New York. Masternbroek. 2002. Spitting Asian Cobras (Naja sp.). Available at: http:// www.nationalgeografic.com. Opened: 15.10.2005 Nursahid, R. 1999. Mengapa satwa Liar Punah?. KSBK dan Yayasan KEHATI. Malang. Priyono, A. dan A. Bratasentanu, 1999. Perilaku Kawin Ular Sanca HIjau (Morelia viridis). Prosiding Seminar nasional Konservasi Keanekaragaman Amfibia dan Reptilia di Indonesia. PAU Ilmu hayat IPB dan Puslitbang Biologi LIPI. Bogor. Soehartono, T. A. 1999. The Trade Status of Black Spitting Cobra (Naja naja sputatrix). Prosiding Seminar nasional Konservasi Keanekaragaman Amfibia dan Reptilia di Indonesia. PAU Ilmu hayat IPB dan Puslitbang Biologi LIPI. Bogor. Suhono, B. 1986. Ular-ular Berbisa di Jawa. Penerbit Pustaka Antar Kota. Jakarta. Wulangi, K. S. 1990. Prinsip-prinsip Fisiologi Hewan. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. ITB. Bandung. Zulich, A. W. 1998. Snake Sex Determination by Probing. Availble at: http:// www.vpi.com/cloacalprobing.popping.html
185
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
REHABILITASI PERKEBUNAN KAKAO SISTEM AGROFOREST I Gede Ketut Adiputra Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Hindu Indonesia Denpasar, Jl. Sangalangit Tembau, Penatih Denpasar, Bali. e-mail:[email protected]. ABSTRAK Pohon kakao merupakan tanaman tropis yang memerlukan curah hujan 1100-3000 mm per tahun, intensitas cahaya 20% dan suhu 21o-32oC. Perubahan pada lingkungan abiotik, baik oleh perubahan iklim global atau karena sistem perkebunan yang diterapkan, dapat merusak pertumbuhan karena kakao merupakan tanaman C3 yang sensitif terhadap panas dan kekeringan. Untuk memelihara stabilitas lingkungan abiotik diperlukan managemen lingkungan antara lain; sistem agroforest. Sistem ini dapat mencegah kehilangan air yang terlalu cepat, penyinaran yang melebihi batas toleransi dan dapat memelihara populasi burung pemangsa serangga. Oleh karena itu, sistem ini dapat mencegah abiotik stres pada tanaman dan membantu pengendalian hama yang menyerang tanaman kakao. Akan tetapi, kelembaban yang tinggi justru merupakan media yang baik bagi perkembangan penyakit yang disebabkan oleh jamur, seperti: “withes broom” dan “black pod”. Management sistem agroforest yang tepat diperlukan agar tanaman tidak mengalami stres fisiologi tetapi media yang membantu perkembangan penyakit dapat dikurangi. Pada sistem ini, pengaturan ventilasi melalui pemangkasan menjadi sangat penting agar sirkulasi udara terpelihara dan jumlah sinar yang diperlukan tetap tersedia. Sistem agroforest diharapkan dapat memelihara lingkungan abiotik sesuai keperluan tanaman kakao dan memelihara keanekaragaman hayati untuk memenuhi keperluan masyarakat akan bahan dari tumbuhan seperti bahan bangunan dan bahan upacara keagamaan. Kata kunci: Agroforestry, kakao, lingkungan abiotik PENDAHULUAN Luas areal perkebunan kakao di Indonesia mencapai lebih dari 1.4 juta ha. Areal ini termasuk terluas di dunia tetapi produksinya termasuk ketiga terbesar setelah Pantai Gading dan Ghana (Puslitbang Perkebunan 2010). Disamping produksi yang rendah, biji kakao Indonesia juga dihargai paling rendah di pasar internasional karena citranya kurang baik (Dep. Perind. 2007, Puslitbang Perkebunan 2010). Menurut Puslitbang perkebunan (2010), produksi biji kakao yang rendah ini disebabkan antara lain oleh adanya serangan ngengat yang dikenal sebagai PBK dan menyebabkan kehilangan produksi lebih dari 80% (Depparaba, 2002). Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam penanganan hama ini adalah karena ngengat PBK (Conopomorpha cramerella snellen) bersifat homodinamik dan endemik (Depparaba, 2002). Hama seperti ini sulit dikendalikan
karena dapat hidup dan beradaptasi pada tanaman yang berbeda. Di beberapa kawasan, produksi biji kakao sulit dipulihkan bahkan cendrung menurun (Bisnis Bali 2014, Republika 2014). Penurunan produksi biji kakao karena serangan penyakit pernah juga terjadi di Peru, Amerika latin. Serangan hama moniliasis (Moniliophthora roreri) mengakibatkan menurunnya produksi sampai pada tingkat yang sangat rendah sehingga tidak memiliki nilai ekonomi. Keadaan ini menyebabkan banyak pekebun meninggalkan lahannya sehingga lahan tersebut menjadi lahan terlantar dengan luas mencapai 16.5 ribu hektar (Krauss and Soberanis 2001). Situasi yang terjadi di Peru ini mirip dengan yang dialami oleh Indonesia saat ini. Dengan luas lahan yang mencapai 1.67 juta hektar pada tahun 2011 (Puslibang pertanian 2013), produksi hanya sekitar 60% per hektar,
186
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI relatif terhadap produksi tahun 2003. Jika penurunan produksi ini tidak dapat ditanggulangi, maka luas lahan perkebunan yang berpotensi ditelantarkan dapat mencapai 1.67 juta hektar. Jika diasumsikan bahwa tiap petani memiliki 0.3 ha lahan/keluarga (Sensus pertanian 2003), maka jumlah penduduk yang dapat kehilangan sumber pendapatan adalah sebanyak 1670000/0.3 x 1 keluarga = sekitar 5 juta keluarga. Disamping hilangnya sumber pendapatan bagi penduduk yang jumlahnya cukup besar, kerugian juga dapat terjadi pada pelestarian lingkungan karena kehilangan sumber pendapatan akan dikonvensasi dengan upaya pencarian sumber pendapatan lain yang dapat berupa pembukaan lahan baru, alih fungsi lahan atau membiarkan lahan terlantar. Oleh karena itu, penurunan produksi yang terjadi perlu dikaji secara serius untuk menghindari terjadinya kerugian yang begitu besar. Kajian dapat dilakukan pada pengendalian hama dan penyakit (faktor biotik) ataupun pengkajian faktor lingkungan abiotik. Sampai saat ini kajian tentang hama dan penyakit telah dilakukan secara konprehensif, tetapi kajian tentang factor abiotik nampaknya belum dilakukan secara mendalam. Faktor abiotik ini tidak kalah pentingnya karena tanaman kakao adalah tergolong tanaman C3 yang sensitif terhadap sinar matahari, panas, kekeringan dan kadar O2. Perubahan faktor abiotik ini dapat mengubah lingkungan mikro pada tanaman dan mengakibatkan stres fisiologi yang menghambat pertumbuhan dan produksi. Keberlanjutan produksi biji kakao perlu dipelihara karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat pekebun yang jumlahnya sangat banyak. Tulisan ini akan membahas rehabilitasi perkebunan kakao sistim argoforest. Hal ini penting karena sistem agroforest, disamping dapat memelihara lingkungan abiotik yang sesuai bagi tanaman kakao, juga memberi sumbangan yang penting untuk mengurangi dampak pemanasan global. PEMBAHASAN Tanaman C3 tidak memiliki sistem untuk mengatasi kekurangan CO2 jika lingkungan mengalami kenaikan temperatur dan penurunan kadar air yang tinggi. Pada situasi yang panas dan kering, tanaman ini akan menutup stomata untuk mencegah kehilangan air yang terlalu besar. Penutupan stomata ini akan mengakibatkan terputusnya pasokan CO2 dari luar sehingga
ISBN:978-602-9138-68-9
asimilasi karbon menjadi karbohidrat tidak bisa berlangsung. Terhentinya asimilasi karbon ini selanjutnya berakibat pada berkurangnya bahan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Tidak mampunya tanaman C3 mengambil CO2 pada saat stomata tertutup karena struktur anatomi daun C3 tidak dilengkapi dengan pompa untuk mengambil CO2. Hal ini berbeda dengan tanaman C4 yang tetap dapat mengambil CO2 walaupun dalam posisi stomata tertutup. Perbedaan anatomi daun C3 relatif terhadap daun tanaman C4 mengakibatkan pertumbuhan dan reproduksi pada tanaman C3 sangat sensitif terhadap panas dan kering. Pada kondisi yang sama, tanaman C4 masih tetap dapat tumbuh dan bereproduksi karena pasokan CO2 masih dapat dipelihara melalui pompa. Untuk memperjelas pentingnya pemeliharaan lingkungan abiotik yang sesuai, maka perbandingan anatomi daun C3 dan C4 di tampilkan pada paper ini ( Gambar 1).
A
B
Gambar 1. Perbedaan anatomi daun tanaman C3 (A) dan C4 (B) terletak pada ada tidaknya chloroplast pada sel seludang (bundle sheath cells). Sel seludang daun tanaman C3 tidak punya chloroplast sedangkan pada tanaman C4 memiliki chloroplast. Pada kondisi panas dan kering, stomata pada kedua daun ini tertutup, tetapi CO2 tetap dapat masuk pada tanaman C4 sedangkan tanaman C3 tidak dapat memperoleh CO2.
187
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Tanaman ini juga tidak bisa menanggulangi perubahan konsentrasi CO2 yang terjadi pada lingkungannya sehingga jika terjadi kenaikan kadar O2, tanaman ini akan melakukan fotorespirasi yang dapat menurunkan produksi sampai 50%. Apabila tanaman ini mengalami kekeringan, maka stomata akan tertutup dengan resiko tidak dapat mengambil CO2 dari lingkungan untuk diubah menjadi karbohidrat. Penurunan biosintesis karbohidrat ini juga berakibat langsung pada penurunan produksi. Intensitas sinar matahari juga dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan produksi karena tanaman ini hanya memerlukan intensitas sinar sebesar maksimum 50%. Sistem perkebunan yang tidak menggunakan naungan dapat menjadi ancaman bagi tanaman ini karena sinar yang terlalu tinggi dapat meningkatkan produksi energI yang berlebihan yang mengarah pada terbentuknya senyawa reaktif yang merusak klorofil. Tanpa pemeliharan lingkungan abiotik yang sesuai bagi tanaman kakao, produksi akan sangat banyak menurun walaupun tanaman tidak diserang oleh hama dan penyakit. Selain serangan hama dan penyakit, penurunan produksi biji kakao dapat juga disebabkan oleh tidak optimalnya faktor ekofisiologi. Zuidema et al (2004) mengembangkan model yang membandingkan variasi iklim dan sistem perkebunan dengan produksi biji kakao. Model ini memasukkan faktor-faktor ekofisiologi berupa kualitas naungan (light interception), photosynthesis, respirasi, evapotranspirasi, produksi biomasa dan produksi biji pada tanaman kakao yang memiliki pohon pelindung. Menurut model ini, parameter yang paling menentukan kualitas hasil adalah morphologi buah, fotosintesis dan respirasi. Selanjutnya dikatakan bahwa naungan yang ringan tidak berpengaruh terhadap hasil, sedangkan naungan yang berat (>60%) akan mengurangi hasil sampai sepertiganya. Hal ini menunjukkan bahwa penyesuaian lingkungan abiotik sangat diperlukan agar tanaman kakao dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal. Model ini sesuai dengan metode pengendalian hama terpadu (PHT) yang.meliputi; sanitasi, pemangkasan, pemupukan, kondomisasi dll. (Puslitbang Perkebunan 2010). Sanitasi terutama dilakukan terhadap buah yang terserang dengan cara menguburnya setelah dipanen. Cara ini dimaksudkan untuk
ISBN:978-602-9138-68-9
memutus siklus serangan PBK pada buah yang masih sehat. Menurut Puslitbang Perkebunan (2010), penggerek buah kakao dewasa (Imago) aktif pada malam hari dan berlindung ditempat teduh pada siang hari. Ngengat dewasa betina mampu bertelur hingga 100 butir semasa hidupnya dan telur ini ditempatkan pada alur permukaan kulit buah. Setelah telur menetas menjadi larva, dia masuk kedalam buah dengan memakan kulit buah, daging buah dan membuat saluran ke biji. Ulat ini akan keluar dari buah setelah fase larva pada hari ke 14-18 dan membuat kepompong. Setelah 8 hari, fase kepompong akan berubah menjadi ngengat yang siap untuk menyerang buah baru. Oleh karena itu, jika buah yang telah terinfeksi larva pbk ini dipetik dan dikubur, serangan pbk pada buah sehat akan berkurang. Namun cara ini kurang lengkap jika ngengat dewasa berlindung pada pohon, baik naungan maupun pohon kakao itu sendiri. Untuk mengurangi tempat berlindung bagi ngengat dewasa, maka pohon peteduh maupun pohon kakao perlu dipangkas. Walaupun tujuannya baik yaitu mengurangi serangan hama agar produksi meningkat, metode pemangkasan pohon pelindung ini justru dapat mengancam keberlanjutan produksi tanaman kakao. Pohon peteduh diperlukan di perkebunan kakao karena kakao termasuk memiliki titik jenuh yang rendah terhadap sinar matahari. Menurut Kwapong dan Fripong (2005), tanaman kakao memiliki titik jenuh sinar matahari sebesar 400 μ E m-2 s-1, yaitu hanya 22% dari sinar matahari langsung yang besarnya 1800 μ E m-2 S-1. Jika intensitas cahaya melebihi 60% dari sinar matahari langsung maka fotosintesis akan menurun (Kwapong and Frimpong 2005). Hal yang serupa juga di kemukakan oleh Diaz (2001) yang mengatakan bahwa keperluan sinar matahari untuk tanaman kakao adalah 600 μEm -2 s -1 sedangkan sinar matahari daerah tropis dapat mencapai 2000 μEm-2s-1. Jadi tanaman kakao daerah tropis hanya memerlukan sinar sebanyak 600/2000 x 100% = 30%. Untuk pertumbuhan yang normal, tanaman kakao daerah tropis memerlukan tanaman peteduh yang mampu mengurangi sinar matahari sebanyak 70%. Penelitian lain menyebutkan bahwa tanaman yang tumbuh pada penyinaran yang lebih tinggi akan melakukan respirasi yang lebih banyak dibandingkan dengan tanaman yang
188
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI ditumbuhkan pada penyinaran yang lebih rendah (Wright et al. 2005). Hal ini berarti bahwa hasil fotosintesis lebih banyak diuraikan untuk memperoleh energy metabolisme dari pada disimpan untuk pembentukan biji. Oleh karena itu, apabila serangan pbk dikendalikan dengan menghilangkan tanaman peteduh secara total maka pengendalian serangan pbk akan mengakibatkan stress fisiologis pada tanaman yang dapat mengancam keberlanjutan produksi kakao. Pemangkasan pohon peteduh untuk pengendalian hama sebaiknya dilakukan dengan pertimbangan bahwa produksi biji kakao akan optimal apabila keperluan fisiologis tanaman ini terpenuhi secara optimal. Untuk dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal, tanaman ini minimal harus dapat melakukan fotosintesis secara optimal. Pemangkasan pohon pelindung dilakukan tidak semata-mata untuk mengurangi serangan pbk tetapi juga untuk mengatur jumlah naungan yang diperlukan oleh tanaman coklat yaitu sekitar 30% dari sinar langsung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Almeida and Valle (2008) bahwa naungan yang sesuai akan meningkatkan laju fotosintesis, pertumbuhan dan hasil. Jika naungannya terlalu banyak maka produksi akan menurun dan serangan penyakit akan meningkat. Naungan dan hasil ini dikatakan memiliki korelasi yang tinggi apabila ketersediaan nutrisinya mencukupi. Penelitian di Sulawesi Tengah, Indonesia tentang naungan dan produksi juga dilaporkan oleh Bos et al. 2006. Penelitian ini menemukan bahwa tanaman yang diberi naungan satu jenis pohon (agroforest homogen) dapat meningkatkan serangan infeksi penyakit dan serangan ngengat. Oleh karena itu, untuk peningkatan produksi biji kakao, disarankan untuk menggunakan tidak hanya satu jenis pohon pelindung melainkan berbagai jenis yaitu diversified agroforestry (Bos et al. 2006). Hal ini konsisten juga dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Krausss dan Sobaranis (2001) bahwa kenaikan produksi biji kakao terjadi pada plot yang menggunakan tanaman pelindung dan diberi biokontrol. Oleh karena itu, peneliti ini mengajukan hipotesis bahwa untuk merehabilitasi perkebunan kakao yang telah terlantar diperlukan management pelindung yang berkelanjutan.
ISBN:978-602-9138-68-9
Keberhasilan rehabilitasi perkebunan kakao yang terlantar melalui management naungan merupakan khabar yang melegakan bagi petani, konsumen dan juga pencinta lingkungan. Akan tetapi, pada daerah perkebunan baru seperti yang dilaporkan terjadi di Sulawesi, Indonesia, kesuksesan produksi biji kakao (booming) segera diikuti oleh kerusakan (Clough et al. 2009). Menurut peneliti ini, pada awal pembukaan hutan untuk perkebunan, tanaman kakao ditumbuhkan menggunakan system agroforest yaitu dengan menggunakan pohon pelindung. Akan tetapi setelah pohon kakao besar, tanaman ini dianggap tidak lagi memerlukan pohon pelindung dan perkebunan system agroforest kemudian berubah menjadi monokultur. Pada mulanya, kebun kakao tanpa pohon pelindung mengalami kenaikan produksi yang sangat tinggi sehingga untuk mendapatkan hasil yang banyak penggunaan tanaman pelindung tidak lagi dilakukan. Akan tetapi, setelah menghilangkan tanaman pelindung, pohon kakao tidak hanya meningkatkan produksi, tetapi juga mengalami stress fisiologi dan tanaman kakao menjadi rentan terhadap hama dan penyakit. Untuk memelihara tingkat produksi, pohon yang mengalami kondisi ini memerlukan banyak pupuk dan pestisida. Cara ini kemungkinan hanya memacu produksi tanpa mengatasi masalah stress fisiologi. Dari pengalaman ini kemudian disimpulkan bahwa strategi tanpa naungan untuk perkebunan kakao, walaupun produksinya tinggi, tidak mampu bertahan lama dan mengakibatkan terjadinya krisis kakao di Sulawesi (Clough et al. 2009). Masalah yang sama rupanya juga di alami oleh daerah lainnya di Indonesia, misalnya disebutkan bahwa produksi perkebunan menurun dan ekspor nihil (Bisnis Bali 2014). Walaupun secara ekonomi, perkebunan kakao ini sangat menguntungkan, banyak petani kemudian mengganti perkebunan kakao dengan perkebunan lain atau dibiarkan sebagai lahan terlantar. Malaysia misalnya mengganti perkebunan kakao dengan kelapa sawit dan Indonesia semakin tidak tertarik untuk mengembangkan tanaman kakao (Almeida and Valle 2007). Situasi ini tentu tidak dapat dibiarkan terutama jika Indonesia ingin menjadi produsen kakao terbesar dunia pada tahun 2015 (Tribunnews.com 2014). Produksi biji kakao menggunakan system agroforest ini sebenarnya cukup
189
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI menguntungkan baik bagi petani, konsumen maupun untuk keberlanjutan produksi. Sistem ini sebenarnya telah dilakukan di Indonesia yang disebut dengan system tumpang sari. Penelitian yang dilakukan oleh Johanssen dan Persson (2012) tentang intercropping di Peru menyimpulkan a.l. bahwa tumpang sari dilakukan untuk meningkatkan produksi kakao dan menambah pendapatan petani. Sistem tumpang sari ini diperlukan oleh tanaman kakao karena produksi biji kakao dipengaruhi oleh faktor ekophysiologi. Sistem ini mungkin dapat dikatakan sebagai local genius karena telah diterapkan secara tradisional oleh suku Maya di daerah tropis Amerika dan sistem ini dianggap sebagai system agroforest tertua (Almeida and Valle 2007). Akan tetapi karena tuntutan pasar yang tinggi, tanaman dipacu untuk menghasilkan biji yang banyak melalui system tanpa naungan. Sistem tanpa naungan ini dikatakatan dapat meningkatkan produksi sampai 50% dan dapat bertahan sampai 15 tahun (Ahenkorah et al. 1987). Walaupun sangat menguntungkan secara ekonomi, system tanpa naungan ini memerlukan input yang sangat banyak yang meliputi pengaturan pengairan, pemupukan dan pestisida yang justru menjadi beban yang berat bagi petani. Disamping itu, system tanpa naungan ini dapat sangat sensitive terhadap gejala perubahan iklim global yang diwarnai oleh kekeringan berkepanjangan atau banjir. Menurut Lean (2010), walaupun radiasi sinar matahari relative tetap tetapi temperature bumi terus naik. Kenaikan temperature ini dapat mengakibatkan iklim mikro pada tanaman perkebunan menjadi ekstrim dan tanaman dapat mengalami stress abiotik yang berat meliputi water stress, salt stress, maupun oksidatif stress. Tanaman yang mengalami stress abiotik ini sulit diharapkan dapat memberi kontribusi pada perbaikan pendapatan karena terjadinya down regulation. Pada kondisi intensitas sinar yang tinggi, panas dan kering, produksi oksigen reaktif (ROS) menjadi sangat tinggi pada tanaman dan dapat mengakibatkan kerusakan sel (Suzuki et al. 2012, Tognetti et al. 2012). Untuk melakukan adaptasi terhadap oksidatif stress ini diperlukan ZPT terutama auksin yang memegang peran penting untuk melakukan pertumbuhan sebagai respon terhadap abiotik stress (Robert and Friml 2009). Besar kemungkinan faktor abiotik stress
ISBN:978-602-9138-68-9
ini sangat dominan mempengaruhi produksi kakao di Indonesia, yang dikhawatirkan terus menurun, sehingga untuk melakukan rehabilitasi diperlukan management agroforest dan penggunaan ZPT. SIMPULAN Keberlanjutan produksi tanaman kakao dapat diupayakan melalui managemen lingkungan abiotik system agrofores karena memungkinkan tanaman terhindar dari bahaya stress fisiologis. DAFTAR PUSTAKA Ahenkorah Y, Halm BJ, Appiah MR, Akrofi GS and Yirenkyi JEK (1987). Twenty Years’ Results from a Shade and Fertilizer Trial on Amazon Cocoa ( Theobroma cacao) in Ghana. Experimental Agriculture, 23, pp 31-39. doi:10.1017/ S0014479700001101. Almeida AAF and Valle RR 2008. Ecophysiology of the cacao tree. Braz. J. Plant Physiol., 19(4):425-448. Ananda KS 2006. Cocoa cultivation practices. Central plantation crops research institute (Indian Council of Agricultural research). Kasaragod 671 124, Kerala, India. Bisnis Bali 2014. Produksi merosot, ekspor hasil http:// perkebunan”nihil”. www.bisnisbali.com/2014/01/07/news/ denpasar/ff.html. Akses tgl 25 Mei 2004. Bos MM, Dewenter IS, Tscharntke T 2007. Shade tree management affects fruit abortion, Insect pest and pathogens of cacao. Agriculture, Ecosystems and Environment 120: 201-205. Cheesman AW and Winter K 2013. Growth response and acclimation of CO 2 exchange characteristics to elevated temperatures in tropical trees seedlings. Journal of experimental Botany Vol. 64, No. 12: 3817-3828. Clough Y, Faust H, Tscharntke T. 2009. Cacao boom and bust: sustainability of agroforests and opportunities for biodiversity concervation. Conservation letters 2: 197-205. Depparaba F 2002. Penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella Snellen) dan
190
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI penanggulangannya. Jurnal Litbang pertanian 21(2). Diaz . Genetic improvement of cacao. Food and agriculture Organization. United Nation Johansson H and Persson L 2012. Intercropping strategies and challenges in cacao productions. http://stud.epsilon.slu.se. Krauss U and Soberanis W 2001. Rehabilitation of diseased cacao fields in Peru through shade regulation and timing of biocontrol measures. Agroforestry systems 53: 179184. Kwapong GJA and Frimpong EB. Vulnerability and adaptation assessment under the Netherlands climate change studies assistance programme phase 2 (NCCSAP2). Cocoa research institute of Ghana , New Tapo Akim. Lean JL 2010. Cycles and trends in solar irradiance and climate. Focus article. John Wiley and Sons, Ltd.
ISBN:978-602-9138-68-9
Robert HS & FrimL J (2009) Auxin and other signals on the move in plants. Nature Chemical Biology 5: 325 – 332. doi:10.1038/nchembio.170. Suzuki N, Koussevitzky S, Mittler R Miller G (2012) ROS and redox signaling in response of plants to abiotic stress. Plant, Cell and Environment 35: 259-270. Tognetti VB, Muhlenbock P, Van Breusegem F. Stress homeostasis – the redox and auxin perspective. Plant, Cell and Environment 2012; 35:321-333. Zuidema PA, Leffelaar PA, Gerritsma W, Mommer L, Anten NPR 2005. A physiological production model for cocoa (Theobroma cacao): model presentation, validation and application. Agricultural system 84:195-225.
191
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
KOMPOSISI JENIS MOLUSKA PADA BEBERAPA PERSAWAHAN DI DENPASAR Ni Made Suartini1,2, Ni Wayan Sudatri1, Ni Luh Watiniasih1 1 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran Bali 2 Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis moluska yang terdapat pada beberapa persawahan di Denpasar. Manfaat yang bisa diambil dari keberadaan moluska tersebut serta kerugian yang ditimbulkannya. Pengambilan sampel dilakukan pada empat lokasi persawahan yang berbeda dengan tiga kali ulangan. Sampel diambil dengan membuat kwadran 50cmx50cm pada petak sawah dan mengambil semua sampel moluska pada kwadran tersebut. Sampel juga diambil pada saluran irigasi yang mengairi sawah tersebut. Sampel yang diperoleh dibersihkan dan dimasukkan dalam botol koleksi dan diawetkan dengan alkohol 70%. Sampel diidentifikasi di laboratorium. Untuk mengetahui manfaat dan kerugian dari moluska yang terdapat pada persawahan tersebut, maka dilakukan wawancara dengan petani. Enam jenis moluska ditemukan pada areal persawahan serta tujuh jenis pada saluran irigasi. Tujuh jenis yang ditemukan pada saluran irigasi, enam diantaranya sama dengan yang ditemukan pada areal persawahan dan satu jenis berbeda yaitu Corbicula javanica. Berdasarkan informasi petani, Bellamya javanica dan Pomacea canaliculata adalah jenis bermanfaat karena dapat dikonsumsi. P. canaliculata adalah salah satu jenis yang juga dikenal dapat merusak tanaman padi. Kata kunci: Jenis, Moluska, Sawah, Denpasar PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga disebut sebagai negara mega biodiversity (Noerdjito dkk. 2005). Keanekaragaman hayati tersebut termasuk juga keanekaragaman hayati perairan tawar. Perairan tawar meliputi danau, rawa, sungai dan juga waduk dengan saluran irigasinya. Sawah juga dapat digolongkan sebagai perairan tawar. Sawah merupakan lahan pertanian yang dialiri dan tergenang air. Walaupun sawah hanya berair dalam waktu yang relatif singkat namun berbagai fauna dapat hidup di sana (Djajasasmita, 1993; Djajasasmita, 1999). Sawah merupakan ekosistem lahan basah buatan dan salah satu ekosistem perairan tergenang sehingga keanekaragaman hayatinya hampir menyerupai ekosistem perairan tergenang lain seperti danau dan rawa air tawar (Puspita dkk, 2005). Moluska adalah salah satu kelompok
fauna yang memanfaatkan perairan sawah sebagai tempat hidupnya. Tercatat sekitar 24 jenis moluska air tawar yang biasa ditemukan di perairan sawah (Djajasasmita, 1993; Djajasasmita, 1999). Moluska mempunyai beberapa manfaat bagi manusia misalnya cangkangnya dapat dipakai sebagai bahan campuran makanan ternak dan juga sebagai perhiasan (Dharma, 1988). Selain bermanfaat, ada juga jenis moluska yang bersifat merugikan karena merusak tanaman atau terlibat dalam daur hidup cacing parasit yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan ternak (Djajasasmita (1993). Salah satu contoh moluska yang merusak tanaman adalah Pomacea canaliculata atau keong mas. Jenis tersebut sangat berpotensi menjadi hama utama karena berkembang biak dengan cepat dan menyerang tanaman yang masih muda (Budiyono, 2006). Serangan keong mas secara sporadis dan terlihat saat tanah
192
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI selesai dibajak pernah terjadi pada hektaran sawah di Subak Yeh Kuning Delod Tukad, Desa Yeh Kuning, Jembrana (Balipost, 2011). Sawah sebagai salah satu habitat dari moluska saat ini sudah semakin berkurang karena terjadinya alih fungsi lahan persawahan. Di Provinsi Bali sampai saat ini tercatat 81.908 Ha (14,4 %) lahan persawahan yang dominan ditanami padi (Mulyadi, 2011). Lebih lanjut disebutkan bahwa data statistik penggunaan lahan menunjukan bahwa sejak tahun 1997 sampai dengan 2001 terjadi alih fungsi lahan sawah dalam setahun rata-rata 758,5 Ha (0,89 %). Tahun 2002-2006 alih fungsi lahan setahun tercatat rata-rata 641 Ha (0,76 %). Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mencatat sedikitnya 800 hektar sawah per tahun beralih fungsi. Lebih lanjut disebutkan bahwa alih fungsi lahan persawahan ini sangat memungkinkan menjadi ancaman bagi kelestarian alam Bali (Balipost, 2011). Selain ancaman terhadap kelestarian alam juga ancaman terhadap fauna di dalamnya termasuk terhadap moluska sebagai salah satu keanekaragaman hayati yang ada. Berdasarkan kondisi tersebut dan melihat belum banyaknya data tentang jenis-jenis moluska yang terdapat pada persawahan di Bali khususnya di wilayah Denpasar maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis moluska yang terdapat pada beberapa persawahan di wilayah Denpasar, serta manfaat yang bisa diambil dari keberadaan moluska tersebut serta kerugian yang ditimbulkannya. METODE PENELITIAN Pengambilan sampel Moluska dilakukan bulan Maret sampai Juni 2013 pada beberapa areal persawahan yang terdapat di wilayah Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan pada empat lokasi persawahan yang berbeda dengan tiga kali ulangan. Pengambilan sampel dilakukan dengan membuat kwadran 50cmx50cm pada petak sawah dan mengambil semua sampel moluska pada kwadran tersebut. Sampel juga diambil dengan metode eksplorasi untuk mengantisipasi jika ada spesies lain yang tidak masuk dalam kwadran. Selain pada
ISBN:978-602-9138-68-9
areal persawahan, sampel juga diambil pada saluran irigasi yang mengairi sawah tersebut. Sampel yang diperoleh dibersihkan dan dimasukkan dalam botol koleksi dan diawetkan dengan alkohol 70%. Untuk mengetahui mengenai manfaat dan kerugian dari moluska yang terdapat pada persawahan tersebut dilakukann wawancara dengan petani di daerah tersebut. Lokasi pengambilan sampel adalah: Lokasi I (Peguyangan, S8 o 37.4884’ E115 o .12.6131’), Lokasi II (Kesiman, S8 o 39.1209’ E115 o.15.0408’), Lokasi III (Sidakarya, S8 o41.7781’ E115o.13.776’) dan Lokasi IV (Padangsambian, S8 o 37.6072’ E115o.10.9666’). Kondisi persawahan tempat pengambilan sampel pada masing-masing lokasi adalah: persawahan dengan umur tanaman padi satu sampai dua minggu dan air masih tergenang, persawahan dengan umur tanaman padi diatas satu bulan dan air tidak tergenang tetapi kondisi tanah masih dalam keadaan basah, persawahan dengan tanaman padi yang sudah berbulir sampai mendekati panen dan tanah sudah agak mengering. Sampel yang diperoleh dibawa ke Laboratorium Taksonomi Hewan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana, kemudian dilakukan pengamatan morfologi sampel moluska secara langsung dan dengan “dissecting mocroscop’ untuk melihat dan mencatat semua karakter yang diperlukan untuk keperluan identifikasi. Semua karakter morfologi yang tercatat kemudian diidentifikasi berdasarkan acuan Dharma (1988), Djajasasmita (1999), Burch (1980) dan Jutting (1956). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Jenis Moluska yang ditemukan dalam penelitian ini seluruhnya adalah tujuh jenis (Tabel 1) yaitu enam jenis pada areal persawahan dan tujuh jenis pada saluran irigasi. Jenis-jenis moluska yang ditemukan tersebut termasuk dalam kelas Gastropoda dan Bivalvia. Jenis yang ditemukan pada saluran irigasi (Tabel 2), enam di antaranya sama dengan yang ditemukan pada areal persawahan dan satu jenis berbeda yaitu Corbicula javanica.
193
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
Tabel 2. Jenis Moluska yang ditemukan pada saluran irigasi
Komposisi dan jumlah individu jenis moluska yang ditemukan dalam kwadran pada areal persawahan berdasarkan lokasi dan umur tanaman padi tercantum pada Gambar 1.
Gambar 1. Komposisi Dan Jumlah Individu Jenis Moluska di Areal Persawahan
Pembahasan Jenis moluska yang ditemukan pada areal persawahan dan saluran irigasi sebagian besar sama karena pada umumnya tipe substrat keduanya adalah sama yaitu substrat berlumpur kecuali saluran irigasi tempat ditemukannya C. javanica. C. javanisa hanya ditemukan pada saluran irigasi Lokasi II, hal tersebut terkait 194
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
dengan tipe substrat pada tempat tersebut yaitu substrat lumpur berpasir. Menurut Djajasasmita (1999), jenis tersebut umumnya menghuni perairan tergenang atau berarus lambat dengan substrat lumpur berpasir.
canaliculata pada tanaman padi muda saat penelitian ini hanya ditemukan di lokasi II (1 individu) dan lokasi III (2 individu). Dilihat dari jumlah yang ditemukan saat penelitian, jenis tersebut belum merugikan.
Jumlah jenis dan individu moluska terbanyak umumnya ditemukan pada areal persawahan yang masih tergenang air dan sawah yang tanahnya masih lembab/sedikit (umur tanaman padi satu sampai dua minggu dan umur tanaman padi diatas satu bulan). Pada areal persawahan dengan kondisi tersebut, penetrasi sinar matahari masih cukup sampai pada substrat karena belum terhalang oleh tanaman padi. Jumlah penetrasi sinar matahari berkaitan dengan keberadaan fitoplankton pada areal persawahan yang menjadi sumber makanan moluska. Widjajanti (1998) juga menemukan bahwa jumlah keong sawah meningkat pada bulan pertama setelah padi ditanam. Menurut Djajasasmita (1999), fitoplankton akan tumbuh dengan baik pada perairan yang mendapat cukup sinar matahari sehingga adanya fitoplankton tersebut akan mendukung kehidupan moluska yang ada.
Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari para petani yang dijumpai pada saat pengambilan sampel, beberapa jenis keong sawah pernah ada yang dimanfaatkan oleh para petani atau masyarakat di sekitarnya sebagai sumber protein. Keong tersebut biasanya dibuat sate, yang umum dikenal dengan “sate kakul”. Namun dari informasi para petani itu pula diketahui bahwa sekarang ini petani atau masyarakat di sekitarnya jarang atau bahkan tidak ada yang mengkonsumsi keong sawah tersebut. Jenis yang dimanfaatkan sebagai sumber protein tersebut adalah B. javanica dan P. canaliculata.
Jenis L. rubiginosa dan D. truncatum lebih banyak ditemukan dibandingkan jenis lainnya. Kedua jenis tersebut dapat dijumpai dalam jumlah individu yang banyak pada areal persawahan yang tergenang air dan pada areal persawahan yang tanahnya lembab. Hal tersebut juga sama seperti yang ditemukan Suartini (2010) di areal persawahan desa budaya Kertalangu yaitu L. rubiginosa merupakan jenis yang dominan dijumpai dengan jumlah individu berkisar antara 35 individu sampai 100 individu pada luasan 50cmx50cm. Menurut Djajasasmita (1985) dan Djajasasmita (1999), Lymnaea rubiginosa umumnya menghuni perairan tergenang dan berarus lambat dan sering dijumpai di perairan tawar termasuk di sawah. P. canaliculata atau keong mas adalah salah satu jenis dari famili Ampullariidae yang lebih menyukai substrat atau sedimen berlumpur (Pennak, 1989) sehingga sawah merupakan salah satu habitat yang sesuai untuk kehidupannya karena umumnya substrat dari sawah adalah berupa lumpur. Jenis ini juga merupakan keong yang sering merugikan petani karena biasanya memakan padi masih muda dan lunak seperti bibit padi (Budiyono, 2006). P.
SIMPULAN Enam jenis moluska ditemukan pada areal persawahan dan tujuh jenis moluska ditemukan pada saluran irigasi dimana enam jenis diantaranya sama dengan yang ditemukan pada areal persawahan dan satu jenis berbeda. Corbicula javanica adalah jenis yang hanya ditemukan pada saluran irigasi. B. javanica dan P. canaliculata adalah jenis bermanfaat karena dapat dikonsumsi. P. canaliculata adalah salah satu jenis yang juga dikenal dapat merusak tanaman padi.
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih kepada Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan pada penulis melakukan penelitian melalui hibah penelitian dana PNBP (Dosen Muda) berdasarkan surat perjanjian pelaksanaan penelitian nomor: 74.98/UN14.2/PNL.01.03.00/ 2013.
195
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
DAFTAR PUSTAKA Balipost. 2011. Hektaran Sawah Diserang Keong. http://www.balipost.co.id/ mediadetail.php?module= detailberita&kid=2&id=60357 Balipost. 2011. Ketahanan Pangan Terancam. Alih Fungsi Sawah Tak Terkendali. http:/ / w w w. b a l i p o s t . c o . i d / mediadetail.php?module= detailberita&kid=10&id=59551 Budiyono, S. 2006. Teknik Mengendalikan Keong Mas Pada Tanaman Padi. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. 2 (2): 128-133. Burch, J.B. 1980. A Guide the Freshwater Snails of the Philippines. Dharma, B 1988. Siput dan Kerang Indonesia I (Indonesian Shell). PT. Sarana Graha. Jakarta. Djajasasmita M. 1993. Catatan Tentang Moluska di Sawah-Sawah Sekitar Bogor: Komposisi Jenis, Potensi dan Peranannya. Jurnal Biologi Indonesia 1(1): 48-53. Djajasasmita M. 1999. Keong dan Kerang Sawah. Seri Panduan Lapangan. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor. Djajasasmita, M. 1985. The Medically Important Freshwater Mollusc of the Famillies Ampullariidae, Bithyniidae and Lymnaeidae from Indonesia. A Review. Presented in the Technical Meeting on Snails of Medical Importance in Southeast Asia, Bangkok, Thailand.
ISBN:978-602-9138-68-9
Jutting BWSS. 1956. Systematic Studies on the Non-Marine Mollusca of the IndoAustralian Archipelago. V. Critical Revision of the Javanese Freshwater Gastropods. Treubia 28 (2) : 259-477. Mulyadi. 2011. Upaya Bali Mengendalikan Alih Fungsi Lahan Pertanian. http:// www.tataruangindonesia.com/fullpost/ pertanian/1324987677/upaya-balimengendalikan-alih-fungsi-lahanpertanian.html Noerdjito, dkk. 2005 Kriteria Jenis Hayati yang Harus Dilindungi oleh dan untuk Masyarakat Indonesia. Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bekerjasama dengan World Agroforestry Centre-ICRAF. Pennak RW. 1989. Fresh-Water Invertebrates of the United States. Protozoa to Mollusca. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc. New York. Puspita L, E Rahmawati, I N N Suryadiputra, A A Meutia. 2005. Lahan Basah Buatan Di Indonesia. Wetlands International Indonesia Programmed an Ditjen PHKA. Suartini, N.M. 2011. Mollusc Species at Rice Field Areas of Kesiman Kertalangu Cultural Villages, Denpasar. Proceeding. 3rd International Conference on Biocsience and Biotechnology. Widjajanti, S. 1998. Estimasi Populasi Siput Lymnaea rubiginosa Dan Siput Air Tawar lainnya Di Sawah Dan Kolamd i Bogor, Jawa Barat. Jurnal Ilmu Ternak Dan Veteriner 3 (1):124-128
196
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
POTENSI EKSTRAK DAUN BROTOWALI (Tinospora crispa (L) Miers) SEBAGAI FUNGISIDA NABATI TERHADAP PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.) Ida Bagus Gede Darmayasa dan Ni Made Susun Parwanayoni Jurusan Biologi F. MIPA Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Bali Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi daun Brotowali sebagai pestisida nabati terhadap Fusarium sp. penyebab penyakit layu pada tanaman cabai. Pengujian daya hambat secara in-vitro dilakukan dengan menggunakan metode sumur difusi. Sedangkan pengujian di rumah kaca (in-vivo) menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Identifikasi senyawa aktif dari ekstrak kasar daun brotowali dilakukan dengan metode kolom kromatografi, uji fitokimia dan GCMS. Hasil Penelitian secara in-vitro menunjukkan bahwa ekstrak kasar daun brotowali memiliki kemampuan menghambat yang cukup kuat terhadap pertumbuhan jamur Fusarium sp yang diisolasi dari tanaman sakit. Sedangkan secara in-vivo, pemberian formulasi ekstrak kasar daun Brotowali pada konsentrasi 5% mampu mempertahankan tanaman cabai sebesar 70%. Hal ini berbeda nyata (P<0,05) dengan pemberian pada konsentrasi 1% dan 0% pada pengamatan minggu ke 5. Hasil uji fitokimia senyawa aktif dari ekstrak kasar daun Brotowali diperoleh 4 golongan senyawa yaitu steroid, terpenoid, saponin dan fenolik. Hasil pemisahan, melalui fraksinasi, ditemukan hanya fraksi 11 yang paling besar menghambat Fusarium sp. Setelah dianalisis dengan menggunakan GCMC terdeteksi senyawa pentane sbb: 3-ethyl-2-4-dimethyl; 2penthanethiol, 2-methyl-(CAS) 2-Methyl-2-p; 3-Hydroxy-3-methylvaleric acid; hydroperoxide, 1-ethylbutyl, pentane; 3-hexen-2-one (CAS)1-butenyl methyl keton; Heneicosane; tetracontane; 13-Docosenamide; 3-Nonanone (CAS) Ethyl hexyl ketone; propanoic acid, 2-methyl,1-(1,1-dimethyl); heptadecane, 3methyl-(CAS)3-methylhepta; dotriacontane(CAS)n-dotriacontane; octadecamethylcyclononasilox; tetrapentacosane dan tetracosamethyl-cyclododecasiloxane. Kata kunci: crude extract, pestisida, brotowali, Fusarium. PENDAHULUAN Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman rempah-rempah yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Bahan makanan ini banyak dibutuhkan masyarakat Indonesia dan merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok masyarakat dengan tingkat konsumsi yang cendrung meningkat setiap tahunnya. Produksi cabai merah di Indonesia relative masih rendah dengan rata-rata nasional hanya mencapai 5,5 ton/ha, sedangkan potensi produksi dapat mencapai 20 ton/ha (Santika, 2001). Berdasarkan hal itu, maka usaha
peningkatan produksi cabai harus dilakukan baik dengan cara perbaikan teknik budidaya maupun dengan penggunaan varietas yang sesuai. Badan Pusat Statistik No. 47/08/76/Th. VII, 1 Agustus 2013 melaporkan bahwa produksi cabai segar pada tahun 2012 sebesar 1,92 ribu ton dengan luas panen cabai sebesar 619 hektar, dan ratarata produktivitas 3,10 ton per hektar. Jika dibandingkan dengan tahun 2011, terjadi penurunan produksi sebesar 581,6 ton. Salah satu kendala dalam usaha meningkatkan produksi cabai di Indonesia adalah adannya penyakit busuk layu yang disebabkan
197
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI oleh Fusarium sp. Strain Fusarium yang sudah diketahui menyerang tanaman cabai adalah Fusarium oxysporum f.sp capsici. Jamur ini menyerang jaringan empulur batang melalui akar yang luka dan terinfeksi. Batang yang terserang akan kehilangan banyak cairan dan berubah warna menjadi kecoklatan, tepi bawah daun menjadi kuning. Jamur selanjutnya merambat ke bagian lain secara cepat sehingga seluruh permukaan daun tersebut menguning (Anonim, 1997). Wiryanta (2002) melaporkan bahwa serangan Fusarium oxysporum f.sp capsici pada tanaman cabai dapat mengakibatkan gagal panen sampai 50%. Usaha pengendalian penyakit ini, oleh petani, biasanya dilakukan menggunakan pestisida sintetis karena sangat mudah didapat dan hasilnya dapat langsung dirasakan. Akan tetapi, penggunaan pestisida kimia dalam jangka waktu yang lama akan membahayakan baik manusia ataupun lingkungannya. Salah satu dampaknya adalah dapat mengganggu keseimbangan ekologi pada lahan pertanian secara berkelanjutan. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perubahan komposisi serta diversitas mahkluk hidup dalam tanah akibat bahan kimia (Handayanto dan Hairiah (2007). Selain dampaknya terhadap ekosistem, pestisida juga membahayakan kesehatan manusia. Apabila pestisida terakumulasi terus-menerus di dalam tubuh maka dapat terjadi berbagai macam penyakit dan bahkan sampai pada kematian. Salah satu alternatif yang ditawarkan untuk mengurangi pencemaran lingkungan serta meningkatkan kesehatan manusia adalah penggunaan pestisida nabati. Pestisida ini berasal dari tanaman yang ada di lingkungan sekitar kita yang dapat mengganti pemakaian bahan kimia. Indonesia memiliki keanekaragaman flora yang cukup tinggi dan beberapa diantaranya merupakan sumber bahan pestisida/fungisida nabati yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian penyakit tanaman. Brotowali (Tinospora crispa L. Miers) merupakan salah satu tanaman tropis yang banyak tersebar di Jawa, Bali dan Maluku. Tanaman ini dilaporkan mempunyai sifat fungistatic dan bacteriostatic (Limyati dkk., 1998). Penelitian Suryanti (2004) menyatakan bahwa ekstrak kasar daun brotowali mempunyai aktivitas antimikroba pada beberapa bakteri gram positif dan negatif pada perlakuan konsentrasi tertentu. Menurut Kresnady dan
ISBN:978-602-9138-68-9
Lentera (2003), brotowali mengandung beberapa senyawa aktif pada bagian daun, batang dan akarnya. Senyawa tersebut antara lain: alkaloid berberina, damar lunak, pati, glikosida, pikroretosid, harsa, pikroretin, tinokrisposid, kolumbin dan kaokulin. Senyawa ini diduga dapat menpengaruhi mikroorganisme patogen yang menyerang tanaman pertanian. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah daun brotowali memiliki potensi sebagai fungisida nabati khususnya terhadap Fusarium sp. penyebab penyakit layu pada tanaman cabai. Disamping itu, penelitian ini juga ingin mengetahui senyawa atau golongan senyawa apakah yang terkandung dalam daun brotowali yang berpotensi menghambat pertumbuhan jamur tersebut. METODE PENELITIAN Isolasi Jamur Fusarium sp. Sampel tanaman cabai yang menunjukkan gejala sakit dipotong dengan ukuran panjang 3 mm dan disterilisasi menggunakan 0,1% larutan klorin selama 2 menit sebelum dicuci 3 kali dengan air steril. Sampel dikeringkan dengan menggunakan kertas filter steril dan diletakkan pada cawan petri steril yang telah berisi media PDA+klorafinikol. Setiap cawan petri berisi 2 potongan batang kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 5 hari. Miselium jamur yang tumbuh selanjutnya ditumbuhkan sampai mendapatkan kultur murni. Kultur murni yang diperoleh dibuat duplo dan dilakukan identifikasi melalui pengamatan makroskopis dan mikroskopis. Satu isolat kultur murni disimpan sebagai stok culture dan sisanya digunakan untuk pengujian Postulat Koch. Uji Postulat Koch Disiapkan 10 tanaman cabai yang sehat kirakira berumur 3 minggu, dimana 5 tanaman cabai pada bagian akarnya sedikit dilukai kemudian disiram sebanyak 20 ml suspense isolate jamur yang telah dikultur murni dari sampel tanaman cabai sakit. Sedangkan 5 tanaman cabai untuk kontrol hanya disiram air steril. Untuk mengetahui jumlah spora per ml, suspense spora isolate jamur yang di infeksikan pada tanaman cabai, ditentukan dengan melakukan penghitungan secara langsung dengan
198
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI menggunakan haemocitometer nouber. Setelah 2 sampai 3 minggu perlakuan tersebut diberikan, lalu dilakukan pengamatan dengan melihat gejala tanaman sakit yang diakibatkan oleh Fusarium sp. Metode Ekstraksi. Daun Brotowali di cuci bersih dan dikering anginkan, diblender sampai menjadi tepung, ditimbang 100 gram untuk dimaserasi dengan ethil acetat pada suhu kamar selama 72 jam. Setelah itu dilakukan 2 kali penyaringan, filtrat yang diperoleh melalui penyaringan diuapkan dengan vacum rotary evaporator pada suhu 40oC dengan memisahkan solven dengan ekstrak. Ekstrak kasar (crude extract) yang diperoleh digunakan untuk pengujian selanjutnya (Harborne, 1996). Uji Daya Hambat Ekstrak Kasar Daun Brotowali Terhadap Fusarium sp. Pembuatan suspensi jamur Fusarium sp dilakukan dengan menyiapkan Erlenmeyer 50 ml yang diisi media PDB (Potato Dextrosa Broth), kemudian diinokulasikan dengan isolate Fusarium sp. dari hasil isolasi pada tanaman cabai yang sakit dan diinkubasi pada suhu ruang selama 5 hari. Diambil sebanyak 200μL suspensi Fusarium sp., dimasukkan dalam cawan petri steril lalu dituang ± 15 mL media PDA selanjutnya cawan petri digoyang secara simultan untuk mendapatkan pertumbuhan jamur secara merata pada cawan petri. Setelah campuran media PDA dan isolate membeku, pada media tersebut dibuat beberapa sumur dengan ukuran diameter 0,5 mm. Sebanyak 40 μL ekstrak kasar daun Brotowali dimasukan ke dalam sumur, sedangkan untuk kontrol pada sumur yang lain hanya dituangkan ethil acetat dengan volume yang sama (Hewitt et al.1989). Semua perlakuan tersebut diulang sebanyak 3 kali. Daya hambat ekstrak daun Brotowali terhadap Fusarium sp. ditentukan dengan mengukur diameter daerah bening (clear zone) disekitar sumur. Pengukuran dilakukan sebanyak 4 kali lalu dirata-ratakan. Dengan cara yang sama juga dilakukan dalam menentukan micro inhibition concentration (MIC), dimana ekstrak kasar yang diperoleh dari hasil evaporation, diencerkan menjadi beberapa konsentrasi (0,5%; 1% dan 5%) selanjutnya diuji daya hambatnya terhadap jamur Fusarium sp.
ISBN:978-602-9138-68-9
Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Daun Brotowali Ektrak kasar daun Browali yang telah menunjukkan aktivitas fungisida terhadap Fusarium sp. selanjutnya dilakukan fraksinasi menggunakan kolom kromatografi dan kromatografi lapis tipis (KLT). Glas kolom kromatografi diisi dengan 75 g silica gel (70230 mesh ASTM). Sebelum silica gel digunakan, terlebih dahulu diaktifkan dengan cara dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 30 menit, lalu direndam di dalam 200 mL hexan selama 24 jam. Selica gel selanjutnya dituang ke dalam kolom kromatografi secara perlahan-lahan. Partikel silica gel dibiarkan mengendap selama 24 jam. Ekstrak kasar disaring dengan kertas Whatman No. 2, dilarutkan dalam ethil asetat ditambahkan 10 g silica gel selanjutnya diuapkan kembali dengan vacuum rotary evaporator pada suhu 40 oC sampai terbentuk kristal. Ekstrak kasar yang telah berbentuk kristal dimasukkan ke dalam kolom kromatografi berdiameter 3 cm dan panjang 45 cm. Pemisahan dilakukan dengan menggunakan pelarut yang memiliki sifat polaritas berbeda yaitu; 200 mL hexan, 20 mL ethil acetat : 180 mL heksan, 60 mL ethil acetat : 140 mL heksan, 100 mL ethil acetat : 100 mL heksan, 200 mL ethil acetat, 20 mL methanol : 180 ethil acetat, 40 mL methanol : 160 mL ethil acetat, dan 60 mL methanol : 150 mL ethil acetat. Eluent yang melewati kolom kromatografi ditampung dalam Erlenmeyer dengan volume 50 mL dan dievaporasi sampai mendapatkan ekstrak kental. Kemudian dilakukan pemisahan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT) Keisel Gel 60 F254 Ukuran 10 cm x10 cm dengan pengembang heksan : etil acetat (1:1). Kelompok senyawa yang menunjukan tanda pemisahan yang sama digabung menjadi satu fraksi (Suanda, 2002). Fraksi yang diperoleh selanjutnya diuji aktivitas fungisidanya terhadap Fusarium sp. dan uji fitokimia untuk mengetahui golongan senyawa yang berpotensi menghambat pertumbuhan Fusarium sp. Selanjutnya pemisahan terus dilakukan sampai mendapatkan ekstrak murni kemudian dilakukan analisis kualitatif dengan menggunakan GCMS (Gas Chromatograph Mass Spectrometer) tipe QP2010, Shimadzu.
199
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Uji Aktivitas Fungisida Ekstrak Daun Brotowali Pada Cabai Di Rumah Kaca (Green House) Setelah mendapatkan Fusarium sp. dan konsentrasi ekstrak daun Brotowali terbaik yang dapat mengendalikan pertumbuhan jamur tersebut selanjutnya penelitian dilakukan di rumah kaca (uji in vivo). Suspensi jamur Fusarium sp. dipersiapkan dengan cara menginokulasikan jamur tersebut ke dalam 500 mL media PDB (Potato Dextrosa Broth), kemudian diinkubasi, dishaker berbalasan selama 5 hari pada suhu ruang. Sebelumnya digunakan sebagai jamur uji secara in vivo, dilakukan perhitungan jumlah spora jamur dengan menggunakan haemocytometer. Langkah berikutnya yang dilakukan adalah meyiapkan 120 polybag yang diisi tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Tetapi sebelumnya diawali kegiatan dengan mensterilisasi tanah yang digunakan menumbuhkan bibit cabai selama 3 minggu dan penambahan pupuk NPK. Setelah seminggu polybag yang berisi campuran media tanah dan pupuk selanjutnya ditanami cabai. Kemudian tanaman cabai dirawat dengan melakukan penyiraman setiap hari dan diberi pupuk NPK setiap 2 minggu sekali. Setelah 4 minggu tanaman cabai diperlakukan sesuai dengan rancangan yaitu; Perlakuan A0B1 (air steril dan Fusarium sp.), Perlakuan A1B1 (ekstrak Brotowali konsentrasi 1% dan Fusarium sp.), Perlakuan A2B1 (ekstrak Brotowali konsentrasi 5% dan Fusarium sp.), Perlakuan A3B1 (fungisida sintetis dan Fusarium sp.). Tanaman cabai diposisikan menjadi 3 blok, masing-masing blok terdapat 40 tanaman cabai dan dalam blok terdapat 10 tanaman cabai yang diperlakukan sesuai dengan perlakuan tersebut. Ekstrak daun Brotowali dengan konsentrasi 1% dan 5% diformulasi dengan cara; ekstrak kasar hasil evaporasi diencerkan dengan akuades, 1% stiker dan 5% tween sehingga volume akhir menjadi 1000 mL. Hasil formulasi selanjutnya diaplikasikan pada tanaman cabai setiap 7 hari sekali sebanyak 3 kali dengan cara penyiraman dengan volume 25 mL. Sedangkan Fusarium sp. diinokulasikan pada semua tanaman dengan cara melukai sedikit pada bagian akar selanjutnya disiram sebanyak 20 mL suspense jamur uji. Pemberian Fusarium sp.
ISBN:978-602-9138-68-9
pada tanaman cabai hanya diberikan sekali setelah tanaman berumur 3 minggu. Setiap minggu setelah aplikasi perlakuan dicatat jumlah tanaman yang hidup disetiap perlakuan sehingga akan diperoleh prosentase tanaman hidup. Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan bila hasilnya berbeda nyata pada p<0,05 maka analisis dilanjutkan dengan uji Dunnet. HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Jamur Fusarium sp. dan Uji Postulat Koch Hasil isolasi jamur pada pada bagian batang tanaman cabai sakit diperoleh satu isolat yang menunjukan ciri-ciri sebagai Fusarium sp. yaitu berwarna merah muda sampai biru violet dengan bagian tengah koloni berwarna lebih gelap. Pada bagian permukaan koloni jamur terdapat aerial miselium dan tampak seperti tepung. Ciri-ciri morfologis koloni disajikan pada gambar 1A . Menurut Pitt and Hocking (1997) bahwa pada media PDA, koloni Fusarium oxysporum tampak berwarna putih, kuning merahan dan terdapat aerial miselium. Makrokonidia bentuknya seperti kumparan dengan beberapa septat di dalamnya (gambar 1C). Banyak makrokonidia ditemukan dalam penelitian ini yang berarti semakin besar peluang untuk menimbulkan penyakit layu pada tanaman cabai. Pada gambar 1b, ditampilkan adanya klamidospora yang merupakan spora yang berada dalam hypa dengan lapisan dinding sel yang tebal. Menurut Saragih dan Silalahi (2006), klamidospora dan makrokonidia bersifat persistem atau dapat bertahan di dalam tanah bertahun-tahun, sehingga dalam pengendalian penyakit ini sangat sulit dilakukan. A
C
B
Gambar 1. Bentuk makroskopis dan mikroskopis jamur Fusarium sp. (A) Koloni jamur Fusarium sp. (B) Bentuk hypa Fusarium sp dan klamidospora, (C) Makrokonidia Fusarium sp.
200
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Uji Postulat Koch yang dilakukan dirumah kaca menunjukkan hasil bahwa, isolat yang diperoleh dalam penelitian ini memiliki kemampuan untuk menyebabkan layu pada tanaman cabai. Dari 5 tanaman cabai yang diinfeksikan, semuanya menunjukkan gejala layu setelah 21 hari perlakuan. Penetrasi terhadap tanaman cabai yang dilakukan Fusarium sp. diawali oleh germinasi spora kemudian terjadi perlekatan pathogen pada permukaan tanaman inang dan pathogen tumbuh selanjutnya terjadi infeksi pada tempat yang sesuai (Belgrove, 2007). Disamping sifat isolate berpengaruh terhadap cepat lambatnya terjadi infeksi pada tanaman inang, faktor lingkungan juga mempunyai andil yang besar terhadap terjadinya infeksi tersebut.
ISBN:978-602-9138-68-9
Daya Hambat Ekstrak Kasar Daun Brotowali Terhadap Fusarium sp. Hasil pengujian daya hambat secara in vitro ekstrak kasar daun Brotowali dengan pelarut ethil acetat menunjukan bahwa ekstrak Brotowali memberikan hasil positif, yang berarti ekstrak tersebut memiliki kemampuan mengahambat pertumbuhan jamur uji. Dari empat kali pengulangan rata-rata diameter zone hambatan yang terbentuk 16,75 mm setelah masa inkubasi selama 4 hari pada suhu kamar (gambar 2.). Sedangkan pada kontrol yang hanya didedahkan ethil acetat tidak terdapat zone hambatan disekitar sumur (tabel 1).
Tabel 1. Rata-rata diameter zone hambatan ekstrak kasar daun Brotowali dan kontrol terhadap Fusarium sp. pada media PDA Perlakuan Diameter Zone Hambatan ( mm) Kontrol 0±0,000 Ekstrak kasar daun Brotowali 16,75±0,500
Gambar 2. Zone Hambatan Ekstrak Kasar Daun Brotowali Terhadap Pertumbuhan Fusarium Sp Pada Media PDA Adanya daya hambat ekstrak kasar daun Brotowali terhadap jamur uji membuktikan bahwa tanaman tersebut memiliki senyawa aktif yang berpotensi dikembangkan sebagai fungisida nabati. Hal ini sesuai dengan penelitiannya berberin dan kolumbin. Rata-rata diameter zone Limyati, dkk. (1998) menyatakan Brotowali hambat ekstrak kasar daun Brotowali terhadap bersifat fungistatis pada konsentrasi 0,8 g/ml. Fusarium sp. sebesar 16,75 mm. Menurut Daunnya mengandung senyawa seperti: Ardiansyah (2005) Jika zone hambatan e” 20 Alkaloid, damar lunak, pati, glikosida mm (daya hambat sangat kuat), 10-20 mm (daya pikroretosid, zat pahit pikroretin, harsa, berberin hambat kuat) dan < 5 mm (daya hambat kurang dan palmatin sedangkan akarnya alkaloid atau lemah). Berdasarkan hal tersebut maka 201
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dapat diasumsikan bahwa ekstrak kasar daun Brotowali memiliki kemampuan cukup kuat dalam menghambat pertumbuhan Fusarium sp. dalam kondisi laboratorium. Ekstrak kasar daun Brotowali pada konsentrasi 1% dan 5% menunjukkan kemampuan dalam menghambat pertumbuhan jamur Fusarium sp. dalam kondisi laboratorium. Rata-rata diameter zone hambatan yang terbentuk masing-masing 6,75 mm dan 10,25 mm (tabel 2). Rata-rata zone hambatan pada konsentrasi 5% lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi 1%. Secara statistika rata-rata daya hambat ekstrak daun Brotowali konsentrasi 1% berbeda nyata (P<0,05) dengan konsentrasi 5%. Kedua perlakuan ini juga berbeda nyata dengan perlakuan konsentrasi 0% dan 0,5%. Sedangkan perlakuan konsentrasi 0% dengan 0,5% tidak terjadi perbedaan yang nyata. Konsentasi ekstrak daun Brotowali 0,5% belum terbentuk zone hambatan (0 mm). Kecilnya konsentrasi bahan aktif yang terkandung pada konsentrasi 0,5% diduga belum mampu menekan pertumbuhan jamur Fusarium sp. Demikian juga pada kontrol (0%) yang hanya menguji pelarutnya memberikan hasil negatif .
Hasil Fraksi Ekstrak Kasar Daun Brotowali dan Daya Hambatnya terhadap Pertumbuhan Fusarium sp. Ekstrak kasar daun Brotowali yang telah difraksinasi dengan menggunakan eluent dari yang non polar sampai polar diperoleh 19 fraksi. Fraksi 1 dan 2, setelah di TLC tidak terdapat noda pada kertas chromatography, hal ini diduga belum adanya senyawa yang larut pada eluent tersebut, karena 50 mL eluent yang
ISBN:978-602-9138-68-9
tertampung pada fraksi tersebut berasal dari hasil rendaman silica gel dengan heksan. Noda mulai ada pada fraksi 3 sampai fraksi 12. Pada fraksi 3 sampai dengan fraksi 9 hanya ada satu noda pada TLC masing-masing dengan nilai Rf 0,95. Adanya 1 noda pada ini, besar kemungkinan ada beberapa senyawa yang tertampung dalam fraksi tersebut. Lain halnya pada fraksi 10 ; 11 dan 12 yang menampilkan 2 noda pada TLC dengan nilai rf seperti disajikan pada tabel 3.
Berdasarkan hasil pengujian daya hambat fraksi Brotowali terhadap Fusarium sp. secara in vitro diperoleh hanya fraksi 10, 11 dan 12 yang memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan jamur tersebut. Diameter daya hambat paling besar di tunjukkan pada fraksi 11 yaitu sebesar 20,25 mm kemudian berturutturut pada fraksi 12 dan 10 seperti disajikan pada tabel 3 dan gambar 3. Besar kemungkinan bahwa pada fraksi 11 terakumulasi paling besar bahan aktif daun Brotowali yang dapat menghambat pertumbuhan Fusarium sp. Hasil uji identifikasi senyawa kimia pada fraksi 11 positif mengandung steroid, terpenoid, saponin dan fenolik. Diduga salah satu atau semua golongan senyawa ini berpotensi menghambat pertumbuhan Fusarium sp. Menurut Suprapta (2014) bahwa golongan senyawa fenol, terpenoid dan saponin merupakan golongan senyawa yang dapat berfungsi sebagai anti jamur. Diduga golongan senyawa ini dapat menghambat aktivitas enzim dan merusak membran sel jamur.
202
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Asmaliyah et al. (2010) melaporkan tanaman Brotowali mengandung alkaloid, steroid dan flavonoid yang berpotensi sebagai bahan dalam pembuatan pestisida nabati
12
11
10
Gambar 3. Daya hambat (tanda panah) fraksi 10. 11 dan 12 ekstrak daun Brotowali terhadap jamur Fusarium sp. pada media PDA Fraksi 11 yang membentuk 2 noda pada hasil TLC selanjutnya dimurnikan dan diuji kemampuan daya hambatnya terhadap Fusarium sp. Dari hasil pengujian tersebut tak satupun dari noda yang dimurnikan memiliki kemampuan menghambat Fusarium sp. Besar kemungkinan bahwa senyawa yang ada pada masing-masing noda bersinergis menghambat pertumbuhan jamur Fusarium sp pada media PDA atau konsentrasi bahan aktif yang dimurnikan masih rendah sehingga perlu pengkajian yang lebih mendalam. Dari hasil analisis kandungan senyawa aktif dengan menggunakan GCMS diperoleh beberapa senyawa yang terdeteksi yaitu: pentane, 3ethyl-2-4-dimethyl; 2-penthanethiol,2-methyl(CAS) 2-Methyl-2-p; 3-Hydroxy-3methylvaleric acid; hydroperoxide, 1ethylbutyl, pentane; 3-hexen-2-one(CAS)1butenyl methyl keton; Heneicosane; tetracontane; 13-Docosenamide; 3-Nonanone (CAS) Ethyl hexyl ketone; propanoic acid,2methyl,1-(1,1-dimethyl); heptadecane,3methyl-(CAS) 3-methylhepta; dotriacontane(CAS) n-dotriacontane; octadecamethylcyclononasilox; tetrapentacosane dan tetracosamethylcyclododecasiloxane.
ISBN:978-602-9138-68-9
Hasil Uji Formulasi Ekstrak Kasar Daun Brotowali Terhadap Fusarium sp. Penyebab Layu Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum) Hasil aplikasi formulasi ekstrak kasar daun Brotowali pada tanaman cabai yang telah diinokulasikan Fusarium sp. sebesar 4,6x106 spora/mL di rumah kaca menunjukkan bahwa pada pengamatan minggu I dan II setelah aplikasi, persentase tanaman cabai yang hidup sampai masih mencapai 100% pada semua perlakuan, tetapi pada pengamatan minggu ke III, IV dan Ke V sudah terjadi perubahan persentase tanaman hidup. Pengamatan minggu ke III, rata-rata persentase tanaman hidup tanpa diberi ekstrak (0%) adalah sebesar 73,3% dan terus mengalami penurunan sampai pada pengamatan minggu ke V sebesar 16,67% (Tabel 4). Demikian juga secara umum terjadi penurunan pada perlakuaan formulasi ekstrak 1% dan 5% di pengamatan minggu ke III, IV dan Ke V. Lain hal dengan perlakuan A3B1(yang diberi fungisida sintetis) tidak terjadi penurunan yang signifikan tanaman yang hidup (100%). Terjadinya kematian tanaman cabai pada beberapa perlakuan mengindikasikan bahwa jamur Fusarium sp sudah menginfeksi tanaman tersebut, dengan gejala sesuai yang dilaporkan oleh (Warda, 2008) yaitu diawali dengan pertumbuhan tidak normal pada daun dimana daun tampak berwarna hijau suram. Gejala layu umumnya dimulai dari daun yang berlokasi di bawah dan selanjutnya berkembang ke atas akibat pangkal batang mulai membusuk. Daun yang layu akan menguning dan akhirnya mengering, walaupun daun pucuk tetap hijau. Penggunaan fungisida sintetis sudah diyakini kemampuannya dalam menghambat Fusarium sp penyebab penyakit layu pada tanaman cabai. Pada pengamatan minggu ke III setelah aplikasi terjadi perbedaan yang nyata (P<0,05) antara perlakuan A0B1 dengan A1B1; A2B1 dan A3B1. Namun antara A1B1; A2B1 dan A3B1 tidak terjadi perbedaan yang nyata. Pengamatan minggu ke V, rata-rata persentase tanaman yang masih hidup pada perlakuan A0B1 jauh menurun yaitu sebesar 16,67%, demikian juga pada perlakuan A1B1 (formulasi konsentrasi ekstrak Brotowali 1%) terjadi penurunan yang signifikan dengan rata-rata persentase tanaman cabai yang masih hidup sebesar 33,33% (tabel 4). Terjadinya penurunan jumlah tanaman yang
203
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI hidup diduga pada konsentrasi 1% belum mampu menekan serangan Fusarium sp. pada tanaman cabai. Hal ini terlihat banyaknya tanaman cabai yang mati pada perlakuan tersebut (Gambar 4). Secara statistik terjadi perbedaan yang nyata (P<0,05) kedua perlakuan di atas (A0B1 dan A1B1) dengan perlakuan A2B1 (formulasi konsentrasi ekstrak Brotowali 5%) pada pengamatan minggu ke V. Demikian juga antara A2B1 dengan A3B1 (Fungisida sintetis) terjadi perbedaan yang nyata (P<0,05), dimana rata-rata
ISBN:978-602-9138-68-9
persentase tanaman cabai yang masih hidup tetap 100% pada perlakuan fungisida sintetis. Sedangkan pada perlakuan A2B1 tanaman hidup yang masih tersisa adalah 70%. Kelemahan yang dimiliki fungisida nabati menjadi faktor penyebab kurang efektifnya dalam mengendalikan Fusarium sp.. Seperti mudahnya senyawa aktif terdegradasi dan menguap di dalam tanah. Walupun demikian, untuk memaksimalkan potensi pestisida nabati dapat dilakukan dengan meningkatkan frekwensi aplikasinya.
sebesar 70%. Jika dibandingkan dengan tanaman cabai yang diberikan fungisida sintetis, tanaman hidup mencapai 100%. Hasil uji fitokimia, bahan aktif yang terkandung pada daun Brotowali tergolong steroid, terpenoid, saponin dan fenolic.
Gambar 4. Tanaman Cabai yang Mengalami Kelayuan Setelah Diberikan Perlakuan Konsentrasi Ekstrak 0,5% Pada Pengamatan Minggu Ke IV.
SIMPULAN Ekstrak daun Brotowali memiliki potensi dalam menghambat Fusarium sp. yang diisolasi dari tanaman cabai sakit. Pada konsentrasi pemberian 5% ekstrak daun Brotowali yang dapat berkontribusi mempertahankan tanaman cabai tetap hidup
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ketua Pelaksana Kegiatan Penelitian Fundamental Universitas Udayana dalam hal ini adalah Prof. Dr. Ir. Nyoman Gde Antara, M.Eng. yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini melalui anggaran DIPA. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (1997). Pengenalan dan Pengendalian Penyakit benih. Direktorat Jendral Tanaman Pangan dan Holtikultura. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Jakarta. Asmaliyah, E. E.Wati H, Kusdi,Mulyadi, Yudhistira dan F. W. Sari. 2010. Pengenalan Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati dan Pemanfaatannya Secara Tradisional. Kementrian
204
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Kehutanan. Badan penelitian dan Pengembangan Kehutanan . Pusat Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan. Ardiansyah. 2005. Antimikroba dari Tumbuhan (Bagian Pertama) [Cited on 12 Feb.2014]. Available from:http/ www.beritaiptek.com. Belgrove, A. 2007. Biologycal Control of Fusarium oxysporum f.sp. cubense Using non-Phatogenic F. oxysporum Endophytes. Magister Scientiae. In The Faculty of Natural and Agricultural Science University of Pretoria Handayanto, E., dan K. Hairiah. 2007. Biologi Tanah : Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Penerbit Pusaka Adipura. Yogyakarta. Harborne, J.B.. 1996. Metode Fitokimia. Edisi kedua. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Inang Soedira. Penerbit ITB Bandung. Hewitt, W., V. Stephen. 1989. Microbiological Assay. Academic Press. INC. SanDiago, New York. Kresnady,B dan T. Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Brotowali, Sipahit yang Menyembuhkan. Agromedia Pustaka. Limyati, D.A., N. Arif dan Asmawati. 1997. Daya Antimikroba, Penentuan Daya Anti Bakteri Batang Brotowali dengan Metode Bioautografi (skripsi). Fakultas Farmasi, Universitas Widya Mandala Pitt, J. I., and A. D. Hocking. 1997. Fungi and Food Spoilage. Second Edition. Printed in Great Britain at The University Press, Cambridge. Santika, A. 2001. Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. Seragih, Y.S. dan F.H. Silalahi. 2006. Isolasi dan Identifikasi Species Fusarium Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Markisa Asam. J. Hort. 16(4):336-344. Suanda, I.W. 2002. Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Brotowali (Tinospora crispa L.) Terhadap larva Plutella xylostella L.. Tesis. P.S. Biotekno;ogi Pertanian Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Suprapta, D.N. 2014. Pestisida Nabati. Potensi dan Prospek Pengembangan. Palasari Denpasar.
ISBN:978-602-9138-68-9
Suryanti, I.A.P. 2004. Biassay Ekstrak Kasar (Crude Extract) Baun Brotowali (Tinospora crispa (L) Miers) pada Bakteri Gram Positif, Bakteri Gram Negatif dan Larva Artemia salina L (skripsi). Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana. Warda. 2008. Hama dan Penyakit pada Tanaman Kentang di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Selawesi selatan. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI PFI XIX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. Hal 397-401. Wiryanta, B.T., Nugrohodjati dan P.N. Firmansyah. 2010. Panduan Lengkap Budidaya dan Bisnis Cabai. Jakarta: Agro Media Pustaka.
205
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL KULIT BUAH MANGGIS (Garcinia mangostana L.) I Nyoman Arsana1*, Ida Bagus Oka1, Ni Ketut Ayu Juliasih1 1 Program Studi Biologi FMIPA Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau, Denpasar. * Penulis korespondensi: e-mail: [email protected] ABSTRAK Masyarakat kini cenderung beralih menggunakan bahan-bahan alami yang mempunyai kemampuan sebagai antioksidan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugarannya sehingga eksplorasi bahan alami yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan telah dilakukan secara intensif. Salah satu sumber antioksidan alami adalah kulit buah manggis (Garcinia mangostana L). Penelitian ini bertujuan mengetahui kapasitas antioksidan ekstrak etanol kulit buah manggis serta senyawa yang terkandung dalam ektrak tersebut. Aktivitas antioksidan dianalisis dengan menggunakan DPPH sebagai sumber radikal bebas kemudian dinyatakan sebagai IC50, sedangkan senyawa aktif dianalisis dengan GC-MS serta HPTLC. Hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak ethanol kulit buah manggis mempunyai mempunyai kemampuan sebagai antioksidan dengan kadar fenol 178,47% dan IC50 sebesar 174,07 ppm. Ekstrak ethanol kulit buah manggis mengandung senyawa golongan xanthone. Kata Kunci: Manggis (Garcinia mangostana L), antioksidan. PENDAHULUAN Saat ini ada kecenderungan masyarakat beralih menggunakan bahan-bahan alami yang mempunyai kemampuan sebagai antioksidan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugarannya karena mengkonsumsi suplemen antioksidan sintetik telah diyakini memiliki efek samping yang luas. Eksplorasi bahan alami yang mempunyai kemampuan sebagai antioksidan saat ini banyak dilakukan. Salah satu sumber antioksidan alami potensial adalah kulit buah manggis (Garcinia mangostana L), tetapi potensi tersebut terbuang sebagai limbah pertanian padahal produksi buah manggis Indonesia mencapai 108.675 ton pada tahun 2010 (Dirjen Hortikultura, 2011). Jika limbah tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal maka akan memberikan nilai tambah produk pertanian tersebut. Diduga senyawa yang berasal dari kulit buah manggis dapat meredam radikal bebas dengan cara mendonorkan elektronnya kepada radikal bebas sehingga aktivitasnya bisa dihambat (Zarena dan Sankar, 2009), atau bekerja sebagai sinyal yang akan memicu
ekspresi gen-gen penyandi antioksidan melalui aktivasi faktor transkripsi yang dikenal sebagai Nuclear factor-erythroid 2-related factor-2 (Nrf2). Antioksidan internal tersebut akan meredam radikal bebas yang terbentuk pasca olahraga berlebih sehingga akan menurunkan terjadinya stres oksidatif (Son et al., 2008). Menurunnya stres oksidatif pada gilirannya akan mengurangi kelelahan fisik pasca olahraga berlebih. Penelitian ini bertujuan mengetahui kapasitas antioksidan ekstrak etanol kulit buah manggis serta senyawa yang terkandung dalam ektrak tersebut yang berperan sebagai antioksidan. METODE PENELITIAN Ekstraksi Buah manggis diperoleh dari petani lokal di Kabupaten Jembrana, Bali. Buah dicuci bersih kemudian dipisahkan antara kulit dan daging buahnya. Kulit buah dipotong kecil-kecil kemudian diblender selanjutnya dikeringanginkan selama satu jam kemudian diblender lagi untuk mendapatkan kulit dalam
206
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI bentuk bubuk. Bubuk kulit buah kemudian dikeringanginkan selama lima hari sehingga mendapatkan bahan dalam bentuk bubuk kering dan dikemas vakum sebelum dianalisis lebih lanjut. Ekstrak Kulit buah manggis diperoleh dengan cara maserasi menggunakan ethanol 96% selama 48 jam, dan diremaserasi sebanyak dua kali kemudian disaring dengan kertas Whatman No 40. Filtrat kemudian diuapkan dengan rotary vacum evapotarator pada temperatur 45 o C dan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan freeze dry. Total Fenol Total fenol dianalisis menggunakan pereaksi folin-cioccalteu phenol. Sampel dengan konsentrasi 0,04 g/ml diambil sebanyak 0,4 ml, ditambahkan pereaksi folin-cioccalteu phenol sebanyak 0,4 ml kemudian tabung reaksi digoyang-goyang perlahan. Selanjutnya ditambahkan Sodium karbonat 5% sebanyak 4,2 ml. dibiarkan di udara terbuka, setelah 20 menit larutan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 760 nm. Setelah hasil absorbansi didapat, maka untuk mendapatkan konsentrasi sampel ditentukan dengan menghubungkan absorbansi sampel dengan menggunakan kurva standar. Sebagai standar digunakan kurva standar (+) - asam gallat, setelah itu angka absorbansi yang didapat selanjutnya ditentukan kadar total fenolnya. Larutan standar asam gallat dibuat dengan konsentrasi 0; 10; 20; 40; 60, dan 80 ppm masing-masing 0,4 ml Selanjutnya kadar fenol dihitung dengan persamaan berikut (Wrasiati, 2011):
Aktivitas Antioksidan Aktivitas antioksidan ekstrak kulit buah manggis dianalisis dengan menggunakan DPPH sebagai sumber radikal bebas. Sebanyak 0,2 g sampel ekstrak kering dilarutkan dalam 5 ml larutan ethanol. Larutan sampel tersebut kemudian
ISBN:978-602-9138-68-9
diencerkan lagi dengan pelarut yang sama untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak 0; 0,11; 0,22; 0,33, dan 0,44 mg/ml masingmasing sebanyak 0,5 ml. Sampel tersebut kemudian dicampurkan dengan larutan 0,1 mM DPPH dalam ethanol, yang telah dibuat sebelumnya, sebanyak 3,5 ml kemudian dibiarkan dalam keadaan gelap pada temperatur ruangan selama 20 menit. Setelah 20 menit kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517. Kemampuan meredam DPPH dihitung dengan persamaan: % inhibition = (Ao - As)/ Ao x 100, dimana Ao adalah absorbance kontrol, As adalah absorbance sampel. Aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai I C 50 y a i t u k o n s e n t r a s i e k s t r a k y a n g diperlukan untuk meredam radikal DPPH s e b e s a r 5 0 % . I C 50 d i h i t u n g d e n g a n menggunakan persamaan regresi linear (Palakawong et al., 2010). Karakteristik Senyawa Aktif Karakteristk senyawa aktif dianalisis dengan GC-MS. Instrumen GCMS diantaranya; kolom kapiler HP-5MS (30.0 m x 250.00 μm x 0.25 μm) 5% phenyl methyl siloxane. Gas pembawa yang digunakan adalah Helium dengan laju aliran 1 ml per menit. Suhu GC diatur sebagai berikut. Suhu injector 300 oC, suhu awal kolom adalah 50 o C, laju kenaikan suhu 10 oC/menit, dan suhu akhir oven 300 o C. Identifikasi senyawa dilakukan dengan bantuan komputer menggunakan perangkat lunak Wiley 7 NIST 05.L. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Total fenol dianalisis dengan menggunakan pereaksi folin-cioccalteu phenol, dengan mengukur absorbansinya pada panjang gelombang 760 nm. Selanjutnya kadar fenol dihitung berdasarkan kurva standar asan gallat. Nilai absorbansi asan gallat yang diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 760 nm. Dari nilai absorbansi tersebut kemudian dibuat kurva standarnya dengan cara memplotkan nilai konsentrasi pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y sehingga didapatkan kurva seperti pada Gambar 1
207
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
konsentrasi pada sumbu X dan absorbansi pada sumbu Y sehingga didapatkan kurva seperti pada gambar 2. Sedangkan persen hambatan ekstrak ethanol disajikan pada Tabel 3.
Gambar 1. Kurva Standar Asam Gallat pada Panjang Gelombang 760 nm. Kurva standar asam gallat menunjukan hubungan yang kuat sehingga dapat digunakan dalam mengukur kadar total fenol. Nilai koefesien determinasi (R2) standar asam gallat sebesar 0.999. Dari kurva standar asam galat dapat dihitung kadar total fenol. Total fenol ditentukan dengan cara mengukur absorbansi sejumlah sampel dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 760 nm. Nilai absorbansi tersebut kemudian dimasukan kedalam persamaan regresi kurva standar asam gallat, sehingga diketahui konsentrasi sampel. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa kadar fenol ekstrak ethanol kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) rata-rata sebesar 178,47% seperti ditampilkan pada Tabel 1
Aktivitas antiradikal kemudian dinyatakan sebagai IC 50 yaitu konsentrasi ekstrak yang diperlukan untuk meredam radikal DPPH sebesar 50%, yang dihitung dengan menggunakan persamaan regresi linear. Nilai IC50 ekstrak ethanol Kulit buah manggis manggis dalam menghambat radikal bebas digambarkan pada gambar 3.
Aktivitas antiradikal ekstrak kulit buah manggis dianalisis dengan menggunakan 2,2diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) sebagai sumber radikal bebas, dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Nilai absorbansi ekstrak ethanol kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) dalam meredam DPPH 0,1 M disajikan pada Tebel 2. Dari nilai absorbansi tersebut kemudian dibuat kurva standarnya dengan cara memplotkan nilai
Gambar 3. Hubungan Antara Konsentrasi Ekstrak Ethanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) dengan IC50 208
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Pembahasan Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitasnya bisa dihambat (Winarsi, 2007). Metode DPPH digunakan untuk mengukur kemampuan suatu senyawa yang berperan sebagai antioksidan dalam meredam radikal bebas atau oksidan. Kemampuan dalam meredam radikal bebas berkaitan dengan kemampuan senyawa tersebut dalam mendonorkan elektronnya kepada radikal bebas. Elektron tersebut akan bereaksi dan akan memudarkan warna DPPH sehingga akan berubah dari warna ungu menjadi kekuningan. Perubahan warna tersebut dapat dideteksi dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Aktivitas antiradikal kemudian dinyatakan sebagai IC50 yaitu konsentrasi ekstrak yang diperlukan untuk meredam radikal DPPH sebesar 50% (Molyneux, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.) memiliki nilai IC50 174,07 μg/ mL. Hasil penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian lainya yang juga menggunakan metode DPPH untuk menguji aktivitas antioksidan pada buah manggis, seperti Weecharangsan et al. (2006) yang menguji aktivitas antioksidan ekstrak kulit buah manggis yang diekstrak dengan air, ethanol 50%, ethanol 95%, serta ethyl acetate dan didapatkan nilai IC 50 berturut-turut 34,98±2,24; 30,76±1,66; 58,46±0,98, dan 77,84±0,57μg/mL. Chomnawang et al. (2007) menguji ekstrak ethanol kulit buah manggis dan didapatkan nilai IC50 sebesar 6,13μg/mL. Kosem et al. (2007) menguji aktivitas antioksidan ekstrak methanol kulit buah manggis dan didapatkan nilai IC50 sebesar 20,50 μg/ml. Pothitirat et al. (2010) mengekstrak kulit buah manggis dengan ethanol 95% dengan cara maserasi, perkolasi, ultrasonik, dan magnetic stirrer, serta ethanol 50%, 70%, dan 95% dengan menggunakan soxhlet. Ekstrak ethanol 95% dengan cara maserasi dan soxhlet mempunyai aktivitas antioksidan yang baik masing masing dengan EC50 sebesar 14,24 μg/ ml dan 14,88 μg/ml, namun demikian ekstrak 50% ethanol dengan menggunakan soxhlet menunjukan aktivitas antioksidan yang terbaik
ISBN:978-602-9138-68-9
yakni dengan EC50 sebesar 12,84 μg/ml. Zarena dan Sankar (2009) menguji aktivitas antioksidan ekstrak kulit buah manggis yang diekstrak dengan ethyl asetat dan aseton dan didapatkan IC50 masing-masing sebesar 30,01 ìg/ml dan 33,32 ìg/ml. Ngawhirunpat et al. (2010) juga menguji aktivitas antioksidan kulit buah manggis yang diekstrak dengan air, methanol, dan hexane dan diketahui bahwa ekstrak air mempunyai aktivitas yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak methanol maupun hexane masingmasing dengan IC50 11,0 μg/ml, 14,7 μg/ml, dan 41,2 μg/ml. Perbedaan nilai IC50 tersebut di atas kemungkinan disebabkan karena perbedaan kualitas buah manggis yang digunakan dalam penelitian. Perbedaan sifat dan kandungan nutrisi tumbuhan bisa disebabkan karena perbedaan tempat tumbuh yaitu adanya kandungan hara tanah yang berbeda dan juga kondisi iklim setempat. Kualitas buah yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah dengan kulit mulus, indek kematangan empat yaitu kulit buah berwarna merah keunguan dan indek kematangan lima yaitu kulit buah berwarna ungu kemerahan (Setyabudi, 2009). Hal ini karena buah dengan kulit mulus lebih disukai konsumen dan termasuk dalam kualitas ekspor. Tingkatan antioksidan suatu senyawa berdasarkan nilai IC50 adalah; sangat kuat (IC50 <50 ppm), kuat (IC50 50 s.d. 100 ppm), sedang ((IC50 100 s.d. 150 ppm), dan lemah (IC50 >150 ppm) (Nilhati et al., 2008). Walaupun hasil uji invitro menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit buah manggis mempunyai kemampuan sebagai antioksidan lemah tetapi dari hasil uji invivo pada tikus wistar menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit buah manggis mampu menurunkan stres oksidatif melalui penurunan kadar MDA, serta peningkatan baik SOD mapun GPx darah tikus Wistar (Arsana et al., 2013). Sifat antioksidan buah manggis dikaitkan dengan adanya bahan aktif terutama dari kulit buah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung dalam ekstrak kulit buah manggis adalah senyawa golongan xanthone. Penelitian Jung et al. (2006) juga menyebutkan bahwa bahan aktif yang telah berhasil diidentifikasi dari kulit buah manggis berupa sejumlah besar senyawa xanthone, di antaranya 8-hydroxycudraxanthone G; mangostingone [7-methoxy-2-(3-methyl-2butenyl)-8-(3-methyl-2-oxo-3-butenyl)-1,3,6-
210
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI trihydroxyxanthone; cudraxanthone G; 8deoxygartanin; garcimangosone B; garcinone D; garcinone ;, gartani;, 1-isomangostin; a-mangostin; g-mangostin; mangostinone; smeathxanthone A; dan tovophyllin A. Di antara senyawa xanthone, a-mangostin dan gmangostin merupakan komponen terbesar. Adanya gugus hidoksil (OH) memungkinkan senyawa xanthone bekerja sebagai antioksidan dengan cara mendonorkan elektronnya kepada radikal bebas untuk membentuk produk akhir yang stabil sehingga tidak terjadi reaksi inisiasi atau propagasi lebih lanjut (Middleton Jr. et al., 2000; Zarena dan Sankar, 2009). Senyawa xanthone termasuk senyawa fenol yaitu golongan flavonoid. Senyawa fenol merupakan kelompok zat kimia yang ditemukan sangat luas pada tanaman. Senyawa ini telah dieksploitasi secara intensif karena berbagai fungsi biologis seperti antimutagenik, antikarsinogenik, antipenuaan, dan juga antioksidan (Kosem et al., 2007). Senyawa fenol banyak ditemukan dalam buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji, bunga, dan juga teh dan anggur merah (Middleton Jr. et al., 2000). Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa ada korelasi sangat kuat antara aktivitas antioksidan dengan total fenol dari ekstrak buahbuahan, sehingga disimpulkan senyawa fenol berperan sebagai antioksidan pada buah-buahan (Mahattanatawee et al., 2006; Isabelle et al., 2010; Nurliyana et al., 2010). Hasil penelitian ini menujukkan bahwa total fenol ekstrak etanol kulit buah manggis adalah sebesar 178,47%. Secara umum dapat dikatakan bahwa ekstrak etanol kulit buah manggis mempunyai kemampuan sebagai antioksidan. SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa bahwa ekstrak ethanol kulit buah manggis mempunyai kemampuan sebagai antiokasidan dengan kadar fenol 178,47% dan IC 50 sebesar 174,07 ppm. Senyawa yang terdapat dalam ekstrak ethanol kulit buah manggis adalah senyawa golongan xanthone. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditlitabmas, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan kebudayaan yang telah membiayai penelitian ini dalam bentuk
ISBN:978-602-9138-68-9
hibah bersaing Tahun anggaran 2013 (Perjanjian No. 0644/K8/KL/2013). DAFTAR PUSTAKA Arsana, N., I.B.Oka, dan N.K.A. Juliasih. 2013. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) dan Perannya Dalam Menurunkan Stres Oksidatif pada Tikus Wistar Pasca Olahraga berlebih. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Universitas Hindu Indonesia Chomnawang,M.T., S.Surassmo, V.S.Nukoolkarn, dan W.Gritsanapan. 2007. Effect of Garcinia mangostana on Inflammation Caused by Propionibacterium acnes. Fitoterapia 78 : 401–8 Dirjen Hortikultura. 2011.Strategi peningkatan Kualitas dan Kuantitas Hortikultura untuk Ekspor. Kementerian pertanian RI. Jakarta. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. diterjemahkan oleh Padmawinata, K. dan Sudiro, I., Penerbit ITB, Bandung Isabelle,M., B.L.Lee., M.T.Lim, W.P.Koh, D.Huang, dan C.N.Ong. 2010. Antioxidant Activity and Profiles of Common Fruits in Singapore. Food Chemistry 123: 77–84. Jung,H.A., B.N.Su, W.J.Keller, R.G.Metha, dan A.D.Kinghorn. 2006. Antioxidant Xanthones from The Pericarp of Garcinia mangostana (Mangosteen). J. Agric. Food Chem. 54: 2077-82 Kosem,N., Y.H.Han, dan P.Moongkarndi. 2007. Antioxidant and Cytoprotective Activities of Methanolic Extract from Garcinia mangostana Hulls. ScienceAsia 33: 283-92. Mahattanawee,K., J.A.Manthey, G.Luzio, S.T.Talcott, K.Goodner, dan E. A. Baldwin. 2006. Total Antioxidant Activity and Fiber Content of Select Florida-Grown Tropical Fruits. J. Agric. Food Chem. 54: 7355-63 Middleton Jr, E., C.Kandaswami, dan T.C.Theoharides. 2000. The Effects of Plant Flavonoids on Mammalian Cells: Implications for Inflammation, Heart
211
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Disease, and Cancer. Pharmacological Review. 52: 673–751. Molyneux,P. 2004. The use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant Activity. J. Sci. Technol. 26 (2): 211-19 Ngawhirunpat,T., P.Opanasopi, M.Sukma, C.Sittisombut, AtsushiKat, dan I.Adachi. 2010. Antioxidant, Free Radical-Scavenging Activity and Cytotoxicity of Different Solvent Extracts and Their Phenolic Constituents from The Fruit Hull of Mangosteen (Garcinia mangostana). Pharmaceutical Biology 48(1): 55–62 Nihlati A, I., A. Rohman, dan T. Hertiani. 2008. Daya Hambat Ekstrak Etanol Rimpang Temu Kunci [Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecth] dengan Metode Penangkapan radikal DPPH (1,1difenil-2-pikrilhidrazil). J.of.Traditional Medicines 13 (45): 136-44 Nurliyana,R., I.S.Zahir, K.M.Suleiman, M.R.Aisyah, dan K.K.Rahim. 2010. Antioxidant Study of Pulps and Peels of Dragon Fruits: A Comparative Study. International Food Research Journal 17: 367-75 Palakawong,C., P.Sophanodora, S.Pisuchpen, dan Phongpaichit. 2010. Antioxidant and Antimicrobial Activities of Crude Extracts from Mangosteen (Garcinia mangostana L.) Parts and Some Essential Oils. International Food Research Journal 17: 583-9 Pothitirat,W., M.T.Chomnawang, dan W.Grtsanapan. 2010. Free Radical and Anti-Acne Activities of Mangosteen Fruit Rind Extracts Prepared by Different Extraction Methods. Pharmaceutical Biology 48 (2) 182-6.
ISBN:978-602-9138-68-9
Setyabudi, D.A. 2009. Bangsal Penanganan Pascapanen Buah. Dalam. W. Broto (ed.). Teknologi Penanganan Pascapanen Buah untuk Pasar. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Available at. http:// pascapanen. litbang.deptan.go.id/assets/media/ publikasi/juknis_buah.pdf. akses : 15 maret 2012. Son.T. G., S. Camandola, dan M.P.Mattson. 2008. Hormetic Dietary Phytochemicals. Neuromol Med. 10:236–46 Weecharangsan,W., P.Opanasopit, M.Sukma, T.Ngawhirunpat, U.Sotanaphun, dan P.Siripong. 2006. Antioxidative and Neuroprotective Activities of Extracts from the Fruit Hull of Mangosteen ( Garcinia mangostana Linn.). Med. Princ. Pract.15:281–7 Winarsi,H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Kanisius. Yogyakarta. Wrasiati,L.P. 2011. Karakteristik dan Toksisitas Ekstrak Bubuk Simplisia Bunga kamboja Cendana (Plumeria alba) dan Peranannya dalam Meningkatkan Aktivitas Antioksidan Enzimatis pada Tikus Sparague Dawley. Disertasi. Program Pascasarjana.Universitas Udayana. Denpasar. Zarena,A.S., dan K.U.Sankar. 2009. Study of Antioxidant Properties From Garcinia mangostana L. Pericarp Extract. Acta Sci. Pol.Technol. Aliment. 8(1) : 23-34
212
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
NORMOMETABOLIK ANTIOKSIDAN ALAMI TEMPE M-2 DENGAN WORTEL (Daucus carrota) MENURUNKAN IL-6 DAN HISTOPATOLOGI JARINGAN AORTA PADA ATEROSKLEROSIS DISLIPIDEMIA I.G.A. Ari Agung1, A. A. K. Suardana1, I. P. Sudiartawan1, N. K. Ayu Yuliasih1, dan Israel Sitepu1 1 Program Studi Biologi FMIPA Universitas Hindu Indonesia, Jl Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar Timur ABSTRACT Coronary heart disease (CHD) is the leading cause of death in the world. CHD caused by atherosclerotic plaque in the coronary arteries. Combining of tempeh M2 with carrots is a combination of food (food combining diet) which is very harmonious, to improve the activity of bioactive substances they contain, especially as a source of powerful antidislipidemic, antioxidants and antiinflammation, which gets as antiatherogenic. The study was aimed at testing normometabolic natural antioxidant of tempeh M-2 with carrot decreases IL-6 and aortic histopathologis in dislipidemic atherosclerosis. This was a true experimental study with the factorial completely randomized post-test only control group design and with independent variables such as KN (standard diet/ pellets (50 g / kg bw / day), KP: pig lubrication: pellets (1: 9) (50 g / kg bw / day), T : lubrication pig: pellets (1: 9) with tempeh M 2 (20 g / kg bw / day), W: pig lubrication: pellets (1: 9) with carrots (20 g / kg bw / day), and TW: pig lubrication: pellets (1: 9) with tempeh M-2 (20 g / kg bw / day), and carrots (20 g / kg bw / day). Dependent variables in this study are serum plasma IL-6 (with Elisa Method). Data were analyzed using the Anova test, followed by LSD test. Descriptive research was also conducted in this study in order to find out the change of aortic histopathologis. Average levels IL-6 lowest in the treatment TW, which amounted 35.328 ± 1.000 pg/dl, showed highly significant differences (p<0.01) in the various treatments. It can be concluded that food combining of tempeh M-2 with carrots give the best effect, can decreases IL-6 significantly, and may change the histopathologic structure of aorta to become normal. Keywords: Atherosclerosis, IL-6 and Tempeh M-2 PENDAHULUAN Aterosklerosis dislipidemik menempati posisi pertama sebagai resiko penyakit jantung koroner (PJK). PJK merupakan penyebab kematian pertama di dunia maupun di Indonesia, dan di Indonesia kecenderungannya semakin meningkat terus. Hal ini terjadi karena terjadinya perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat yang menyebabkan dislipidemia, memicu munculnya penyakit ateroklerosis dan berlanjut pada PJK. Pada keadaan dislipidemia peningkatan ion superoksida dapat menginduksi pengeluaran
Interleukin-6 (IL-6). IL-6 dapat menyebabkan disfungsi endotel, yang merangsang pembentukan radikal bebas oksigen, merupakan dasar patogenesis aterosklerosis (Dimayuga, 2006; Kumar et al., 2007). Dalam studi jantung Framingham, IL-6 tercatat sebagai pengidentifikasi subyek lanjut usia tanpa gejala tetapi memiliki resiko tinggi PJK (Morow dan Lemos, 2009). Pada beberapa studi melaporkan bahwa IL-6 dapat dipakai sebagai marker mendeteksi terjadinya proses inflamasi secara dini (Harbarth et al., 2001).
213
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Stres oksidatif sangat mengancam kehidupan manusia, mengingat banyaknya kerusakan oksidatif yang terjadi di dalam tubuh. Secara in vitro dalam satu sel kira-kira terjadi 10.000 kali reaksi oksidasi dalam kurun waktu 24 jam, dalam tubuh terdapat triliunan sel. Stres oksidatif hanya dapat dikendalikan oleh asupan antioksidan dari makanan, yang selanjutnya akan memacu kerja antioksidan dalam tubuh. Antioksidan seluler tidak dapat bekerja secara individual tanpa dukungan asupan berbagai antioksidan dari bahan pangan, yang saling menopang dalam jaringan kerja antarantioksidan (antioxidant network) di dalam tubuh (Winarsi, 2007). Menurut studi, PJK dapat diturunkan hingga 43% hanya dengan menerapkan diet makanan yang tepat dengan mengonsumsi tempe yang kaya antioksidan isoflavon, vitamin E, Zn, Se, Cu, alfa dan gamma tokoferol, asam linolenat (asam omega-3), merupakan antioksidan yang berperan sebagai antiaterogenik, dengan melindungi tubuh dari peroksidasi lipid (Karyadi, 2008; Sander et al., 2002). Dibandingkan dengan tempe biasa, tempe M-2 mempunyai beberapa keunggulan dalam mutu gizi, antioksidan, sensori, maupun senyawa bioaktif yang lainnya (Agung, 2002). Tempe M-2 yang kaya antioksidan seperti isoflavon, vitamin E, Zn, Se, Cu, alfa dan gamma tokoferol, asam linolenat (asam omega3), merupakan antioksidan yang berperan sebagai antiaterogenik (Vallerie, 2009; Winarsi, 2007). Wortel merupakan sayuran yang kaya antioksidan beta karoten dan vitamin C (Asgar dan Musaddad, 2006). Muchtadi (2009) menyebutkan beta karoten dan vitamin C berperan sebagai antiaterogenik, yang berhubungan dengan penurunan resiko PJK. Mengingat pengobatan pasien aterosklerosis memerlukan waktu yang lama, dan memerlukan waktu yang lama, dan memerlukan biaya yang tinggi, maka penelitian terus dikembangkan, antara lain dengan menggunakan pangan fungsional, yang lebih efektif dengan harga yang lebih murah, dan mengurangi efek samping yang ditimbulkan. Salah satu pangan fungsional yang dapat dipakai sebagai antiaterogenik dalam jangka panjang adalah penggunaan bahan alami seperti kombinasi tempe M-2 dan wortel.
ISBN:978-602-9138-68-9
Pangan fungsional kombinasi tempe M2 dengan wortel merupakan kombinasi makanan segar yang murah, dan mudah didapat, tetapi kaya manfaat untuk kesehatan dan merupakan sumber antioksidan yang kuat, enzim, hormon, zat antikanker, antivirus, zat antibakteri, antijamur, antimutagenik, antihipertensi, antiinflamasi, antiaterogenik dan antitoksin (Freeman dan Junge, 2008; Sunita, 2009; Vallerie, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; (1) peranan normometabolik antioksidan alami tempe M-2 dengan wortel dalam menurunkan IL-6 pada aterosklerosis dislipidemik, (2) peranan normometabolik antioksidan alami tempe M-2 dengan wortel dalam menurunkan histopatologi aorta pada aterosklerosis dislipidemik. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen sungguhan (True Experimental) dengan rancangan RAL pola Faktorial. Pada penelitian ini juga melaksanakan penelitian deskritif dengan menguji tingkat perubahan histopatologi jaringan aorta. Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran dan Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Sampel penelitian sebanyak 25 ekor tikus Wistar jantan, umur 7 s.d.7,5 bulan dengan berat badan 250 s.d.300 gram. Tikus dikelompokan menjadi 5 kelompok, dibedakan dalam 5 jenis pakan berbeda (pakan normal, pakan aterogenik, dan kombinasi pakan aterogenik dengan perlakuan tempe M-2 segar, wortel segar dan kombinasi tempe M-2 segar dengan wortel segar), serta lama konsumsi adalah selama 13 minggu, masing-masing terdiri dari 5 ekor tikus sebagai ulangan. Tempe M-2 adalah tempe modifikasi yang dihasilkan dari proses pembuatan tempe kedelai lokal varietas Wilis (dari petani Kusamba, Klungkung), yang pada saat perebusan I kacang kedelai, kedelai dengan air rebusan yang sudah ditambah asam laktat (teknis) 1 % (v/v), kemudian direbus selama 30 menit, didinginkan 30 menit, setelah itu dibersihkan kulit luar dan kulit arinya dan dicuci bersih. Kemudian direbus lagi seperti perlakuan perebusan I. Setelah itu ditiriskan, didinginkan, dan terakhir dilaksanakan inokulasi dengan
214
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI menggunakan inokulum Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae dengan perbandingan 2 : 1, sejumlah 3 g/kg kedelai, dan difermentasi selama 48 jam. Wortel yang dipakai adalah wortel varietas lokal dari perkebunan wortel di daerah Pupuan Tabanan. Interleukin-6 adalah kadar Interleukin6 plasma darah tikus Wistar, pemeriksaan dilakukan dengan metode Elisa (Biovision, 2012). Histopatologi jaringan aorta adalah perubahan struktur jaringan aorta tikus Wistar dengan pengamatan mikroskop pembesaran 200 kali dan pewarnaan HE (Haematoxylin Eosin) (Muliartha et al., 2002). Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan SPSS 19 for Windows, dan Excel 2007, sebagai berikut : analisis deskritif; uji normalitas dan homogenitas; uji komparabilitas; dan penarikan kesimpulan. HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar IL-6 Plasma Rata-rata kadar IL-6 plasma terendah pada perlakuan pakan aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) yaitu 35,328 ± 1,000 pg/dl, pada perlakuan pakan aterogenik dengan tempe M-2 (T) yaitu 39,758 ± 1,64 pg/ dl, pada perlakuan pakan aterogenik dengan wortel yaitu (W) 49,668 ± 1,440 pg/dl, pada perlakuan pakan standar (kontrol negative/KN) yaitu, 168,85 ± 11,29 pg/mL, tertinggi pada perlakuan pakan aterogenik (kontrol positif/KP) yaitu 222,668 ± 10,56 pg/mL. Hasil analisis keragaman kadar IL-6 plasma tikus Wistar menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p<0,01) pada berbagai perlakuan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Okopien et al. (2001) yang menyebutkan bahwa tingkat IL-6 secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan dislipidemia. Diduga ada hubungan antara kadar IL-6 dengan dislipidemia, karena IL-6 terlibat langsung dalam mekanisme aterogenesis (Dubinski dan Zdrojewicz, 2007), dan ditemukan meningkat pada kejadian aterosklerosis (Calabro et al., 2003). Menurut Ismono (2004) kadar IL-6 di atas 50 pg/ml menandakan adanya suatu proses inflamasi aktif. Interleukin-6 merupakan sitokin pleiotropik dapat memberikan efek inflamasi dan sekaligus anti-inflamasi (Michael et al., 1997). Tempe M-2 segar banyak mengandung enzim yang
ISBN:978-602-9138-68-9
berperan sebagai normometabolik (Agung, 2002). Pengaruh tempe M-2 dalam menurunkan kadar IL-6 lebih tinggi 28,05% dari pada pengaruh wortel pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel. Hal ini terjadi karena tempe M-2 segar sangat banyak mengandung antioksidan yang berperan sebagai normolipidemik dan menormalkan IL-6, sesuai dengan pendapat Omoigui (2007) bahwa isoflavon tempe M-2 dapat menekan terbentuknya IL-6. Asam lemak tidak jenuh omega-3 pada tempe M-2 dapat mengurangi sekresi sitokin proinflamasi dan pengaturan penurunan proses peradangan. Suplementasi omega-3 selama 18 minggu menghambat signal pada basal dan Lipopolysaccharide (LPS) yang merangsang IL- 6 atau produksi monosit (Abbate et al., 1996; Sunita, 2009). Tempe M-2 dapat meningkatkan kadar tiroksin plasma darah, sehingga mengurangi tingkat inflamasi. Tempe M-2 juga mengandung estrogen yang dapat mengatur produksi IL-6 (Rifas et al., 1995). Isoflavon yang terdapat pada tempe, dapat meniru peranan dari hormon estrogen, dapat berikatan dengan reseptor estrogen sebagai aktivitas hormonal. Pada saat kadar hormon estrogen menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat walaupun afinitasnya tidak sebesar estrogen (Omoigui, 2007). Wortel segar mengandung antioksidan beta karoten sangat tinggi, disamping itu wortel juga mengandung antioksidan vitamin C yang cukup tinggi. Kandungan beta karoten dan vitamin C wortel memberikan peran antiinflamasi (Esvandiary et al., 2007). Banyak penelitian menunjukkan beta karoten dapat mencegah aterosklerosis (Vallerie, 2009). Adanya hambatan pada oksidasi asam arakhidonat dan penetralan oksigen reaktif menyebabkan beta karoten signifikan berefek antiinflamasi (Utami dan Wijoyo, 2007). Campuran beta karoten dengan antioksidan lainnya meningkatkan aktivitas mereka melawan radikal bebas (Bub, 2000). Kumar et al. (2007) dengan temuan barunya menyebutkan bahwa aterosarteria koronaria dapat dikurangi dengan vitamin-vitamin antioksidan (beta karoten dan vitamin E). Pada tekanan oksigen rendah fungsi antioksidan vitamin E diganti oleh beta karoten (Winarsi, 2007).
215
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Perubahan Struktur Histopatologi Jaringan Aorta Lama pemberian pakan aterogenik pada penelitian ini menimbulkan 3 faktor risiko aterosklerosis yaitu meningkatnya metabolisme lipid, stres oksidasi dan inflamasi. Aterosklerosis pemicu penyakit jantung koroner melalui salah satu mekanisme umum, yaitu gangguan sirkulasi darah. Dislipidemia mempunyai peranan penting pada terjadinya kerusakan sel-sel endotel. Dimana pada keadaan normal sel endotel yang membatasi tunika intima membentuk suatu barier yang permeabel untuk mengatur masuknya substansi plasma ke dalam dinding arteri. Kerusakan sel endotel ini akan mengubah sifat trombosistein lumen arteri sehingga memungkinkan trombosit melekat pada dinding arteri yang mengalami kerusakan dan mengalami inflamasi yang mengakibatkan jaringan ikat di bawahnya kontak dengan trombosit dan elemen-elemen lainnya di dalam sirkulasi darah. Kerusakan sel endotel ini yang menyebabkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang dipicu oleh sitokin, merupakan dasar patogenesis aterosklerosis. Serangan radikal bebas di dalam tubuh dapat merusak asam lemak tidak jenuh ganda pada membran sel, akibatnya dinding sel maupun bagian dalam pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga mengakibatkan peningkatan pengendapan kolesterol dan menimbulkan aterosklerosis (Kumar et al., 2007; Winarsi, 2007). Oksidasi LDL menyebabkan perubahan muatan apoB-100 sehingga LDL cenderung membentuk agregat dan fusi (bercak perlemakan). LDL teroksidasi dapat berfungsi sebagai kemoatraktan sel inflamasi sehingga selsel inflamasi ini mengalami migrasi ke jaringan subendotel, kemudian sel endotel mengkspresi scavenger reseptor (SR). Pembentukan agregat dan perubahan muatan LDL membuat LDL tidak dikenal reseptor native. Melalui SR seperti CD36, SR-A dan SR-B makrofag memfagosit LDL teroksidasi tanpa down regulasi, sehingga terjadi penumpukan LDL dan terbentuklah sel busa (Adibhatla et al., 2010). Melihat perbedaan keberadaan aterosklerosis pada aorta dengan ketentuan sebagai berikut : (1) katagori 1 adalah aorta tanpa aterosklerosis (tanpa disfungsi endotel dan bercak perlemakan), (2) katagori 2 adalah aorta
ISBN:978-602-9138-68-9
dengan aterosklerosis ringan (terdapat disfungsi endotel dan bercak perlemakan pada sebagian kecil jaringan aorta), dan (3) katagori 3 adalah aorta dengan aterosklerosis berat (terdapat disfungsi endotel merata pada semua jaringan aorta dan terdapat banyak bercak perlemakan). Perubahan struktur histopatologi jaringan aorta dari adanya proses aterosklerosis hingga normal ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Perubahan Gambaran Struktur Histopatologi Aorta Tikus Wistar dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x. (a) Pada Perlakuan Aterogenik/Kontrol Positif/KP, (b) Pada Perlakuan Pakan Standar/Kontrol Negatif/ KN, (c) Pada Perlakuan Aterogenik dengan Wortel/W, (d) Pada Perlakuan Aterogenik dengan Tempe M-2/T, dan (e) Pada Perlakuan Aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel/TW. Pada Gambar 1a menunjukkan aorta pada perlakuan pakan aterogenik/kontrol positif yang paling banyak mengandung bercak perlemakan (fatty streak) dan hampir keseluruhan endotel terekspresi, kemudian semakin berkurang kandungan bercak perlemakan (fatty streak) pada perlakuan pakan standar /kontrol negatif (KN) tetapi masih hampir keseluruhan endotel terekspresi (Gambar 1b), kemudian pada perlakuan aterogenik dengan wortel (W) (Gambar 1c), kemudian pada perlakuan aterogenik dengan tempe (T) (Gambar 1d), dan terakhir pada perlakuan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) sudah tidak tampak adanya bercak perlemakan (fatty streak) dan disfungsi endotel (Gambar 1e). Hal ini sesuai dengan pendapat dari Cesari et al. (2003) bahwa stres oksidatif diidentifikasi sebagai pemicu cedera dan peradangan dengan peningkatan kelengketan dan aktifasi leukosit (terutama monosit) dan platelet. Pada Gambar 1a di atas terjadi perubahan struktur histopatologis aorta tikus
216
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dengan perlakuan pakan aterogenik/Kontrol Positif/KP, termasuk katagori 3 karena nampak pada hampir semua endotel terjadi disfungsi dan banyak terdapat bercak perlemakan (fatty streak), dan sudah memperlihatkan sel-sel busa intima yang berasal dari makrofag, dan memperlihatkan membran elastik interna dan eksterna telah rusak, dan tunika media aorta sudah terlihat mulai menipis. Pada dinding endotel terjadi infiltrasi sel-sel monosit ke bawah jaringan subendotel, sehingga mengakibatkan kerusakan sel endotel dan mengalami inflamasi. Disfungsi endotel menimbulkan perlekatan leukosit dan kemungkinan trombosis, selanjutnya akan meningkatkan penimbunan lemak di dalam sel maupun di luar sel. Dibandingkan dengan histopatologis aorta perlakuan KN (Kontrol Negatif) timbunan lemak lebih sedikit, seperti terlihat pada Gambar 1b di atas. Pada histopatologi aorta tikus Wistar dengan perlakuan pakan standar (KN) masih terjadi perlekatan leukosit, trombosit, masih terdapat sel busa, bercak perlemakan, dan memperlihatkan bahwa membran elastik interna dan eksterna telah rusak (Kumar et al., 2007). Histopatologi aorta tikus Wistar aterosklerosis dengan perlakuan pakan aterogenik dengan wortel (W) (Gambar 1c) termasuk kategori 2 karena masih terdapat sedikit perlekatan/agregasi endotel dan bercak perlemakan, masih terdapat sedikit sel busa. Histopatologi aorta tikus Wistar aterosklerosis dengan perlakuan pakan aterogenik dengan tempe M-2 (Gambar 1d) termasuk kategori 2 karena masih terdapat sangat sedikit perlekatan /agregasi endotel dan bercak perlemakan, tetapi sudah tidak nampak adanya sel busa. Histopatologi aorta tikus Wistar aterosklerosis dengan perlakuan pakan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) yang terlihat pada Gambar 1e di atas termasuk kategori 1, karena sudah tidak terjadi disfungsi endotel dan bercak perlemakan. Sudah tampak pembentukan endotel baru. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel memperlihatkan uji histopatologis tanpa sel busa dan bercak lemak (Gambar 1e), hal ini terjadi karena lengkapnya kandungan antioksidan kombinasi makanan ini, hal ini sesuai dengan pendapat Widowati (2007) bahwa sistem antioksidan tubuh sebagai mekanisme perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas terdiri atas banyak
ISBN:978-602-9138-68-9
komponen, antara lain SOD, GPx, katalase dan antioksidan ekstraseluler. Kekurangan salah satu komponen makanan menyebabkan terjadinya penurunan status status antioksidan secara menyeluruh sehingga perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas berkurang, yang berarti semakin tinggi resiko terhadap aterosklerosis. Tempe mengandung dua tipe protein yaitu globulin 11 S (glycinin) dan 7 S (â-conglycinin). Protein 11 S (glycinin) punya peran sebagai antioksidan (Torres et al., 2006). Protein 7 S ((â-conglycinin) dilaporkan dapat menurunkan akumulasi kolesterol dalam aorta. Asam linoleat dan asam linolenat pada tempe M-2 tidak hanya dibutuhkan untuk semua membran sel tetapi juga mengalami elengasi dan denaturasi menjadi rantai lebih panjang dan merupakan prekursor komponen eicosanoid yang menyerupai hormon, prostaglandin dan leukotrienes. Asam linoleat akan dikonversi menjadi asam arakhidonat, sedangkan asam linolenat akan dikonversi menjadi eicosapentaenoic acid (EPA) dan decosahexosenoic acid (DHA)(Mann dan Stewart, 2007). EPA dan DHA dapat mencegah timbulnya platelet darah. Platelet dalam darah ini dalam jumlah besar akan mengganggu aliran darah. Tempe M-2 mengandung cukup tinggi vitamin B12, yang berkorelasi negatif dengan homosistein serum, kadar homosistein memicu peningkatan hidrogen peroksida sehingga menimbulkan resiko kerusakan sel endotel dan timbulnya platelet pada pembuluh darah (Utari, 2011). Beta karoten dalam wortel dapat mencegah terjadinya plak atau timbunan kolesterol dalam pembuluh darah (Mayes, 2002). Suplementasi omega-3 selama 18 minggu menghambat signal pada basal dan Lipopolysaccharide (LPS) produksi monosit (Abbate et al., 1996; Sunita, 2009). Ternyata ditemukan bahwa proses inflamasi pada dinding pembuluh darah merupakan penyebab utama terjadi aterosklerosis, dimulai dari penebalan dinding pembuluh darah, pembentukan plaque, atherom, dan thrombus (Alrasjid et al., 2002). SIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut :
217
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI 1.
Normometabolik antioksidan alami tempe M-2 dengan wortel dapat menurunkan IL-6 secara sangat bermakna pada aterosklerosis dislipidemik. 2. Normometabolik antioksidan alami tempe M-2 dengan wortel dapat menurunkan histopatologi aorta dari bentuk disfungsi endotel dan bercak perlemakan menjadi normal pada aterosklerosis dislipidemik. SARAN Perlu penelitian lebih lanjut peran antioksidan alami tempe M-2 dengan wortel terhadap biomarker non-invasif yang lainnya seperti Lp-PLA2, yang secara spesifik dapat mencerminkan proses aterosklerosis sejak dini. DAFTAR PUSTAKA Abbate, R., Gori, A.M., Martini, F., Brunelli, T., Filippini, M., Francalanci, I., Paniccia, R., Prisco, D., Gensini, G.F., and Neri Serneri, G.G. 1996. PUFA Supplementation, Monocyte, PCA Expression and IL-6 Production. Prostaglandins Leukot Essent Fatty Acids J. 54 (6): 439-444. Agung, A. 2002. Pengaruh Pengasaman dan Lama Fermentasi Tempe Kedelai terhadap Kandungan Antinutrisi Tanin dan Uji Sensoris. Saintex J., Vol. 2 :15-20. Alrasyid, H. 2007. Peranan Isoflavon Tempe Kedelai, Fokus pada Obesitas dan Komorbil. Kedokteran Nusantara J., 40 (3) : 17-21. Amalia, N. dan Farida, I. 2009. Diet Sehat dan Efektif dengan Metode Food Combining. Buku Biru. Yogyakarta. 3796. Biovision. 2012. Quantification Kit. [cited 2012 Jan. 25]. Available from URL : http://www.biovision.com. Bub, A. 2000. Moderate Intervention with Carotenoid-Rich Vegetable Products Reduces Lipid Peroxidation in Men. Nutrition J., 130. 2200-2206.
ISBN:978-602-9138-68-9
Calabro, P., Willerson, J.T., Yeh, E.T.H. 2003. Inflammatory Cytokines Stimulated CReactive Protein Production by Human Coronary Artery Smooth Muscle Cell. Circulation 108: 1930-1932. Cesari, M., Penninx B.W., Newman, A.B., Kritchevsky, S.B., Nicklas, B.J., SuttonTyrrell, K., Rubin, S.M., Ding, J., Simonsick, E.M., Harris, T.B., Pahor, M. 2003. Inflammatory markers and onset of cardiovascular events: results from the Health ABC study. Circulation 108(19): 2317-22. Dimayuga, F.O., Wang, C., Clark, J.M., Dimayuga, E.R., Dimayuga, V.M., Keller, A.J.B. 2006. SOD Overexpression Alters Production and Reduces Neurotoxic Inflammatory Signaling in Microgial Cells. J Neuroimmunol, 182: 89-99. Dubinski, A., Zdrojewicz, Z. 2007. The Role of IL-6 in Development and Progression of Atherosclerosis. Pol. Merkus Lekarski, 22 (130): 291-294. Esvandiary,E., Utami,M.F.S., dan Wijoyo, Y. 2007. “Efek Analgetik dan Antiinflamasi Beta Karoten pada Mencit”. (tesis). Yogya. Fakultas Sanata Dharma. Freeman, M.W., Junge, C. 2008. Kolesterol Rendah, Jantung Sehat. Second Edition. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, Group Gramedia. p. 31 Harbarth, S., Haleckova, K., Fruidevaux, C., Pittet, D., Ricou, B., Grau, G.E., Vadas, L., Pugin, J. 2001. Diagnostic Value of Procal Citoning IL-6 and IL-8 in Critical III Patients Admitted with Sispected Sepsis. Am. J. Repir. Crit. Care Med., 164: 396-402. Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S.L. 2007. Patologi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Mindell, E. 2008. Terapi Kedelai. Jakarta: Delapratrasa. p. 57-58. Morow; Lemos, D. 2009. Biomarker dalam Gagal Jantung. [cited 2010, Januari]. Available from: URL: http:// www.jantungku.con/tag/gagal jantung.
218
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Muchtadi, D. 2009. Gizi Anti Penuaan Dini. Bandung: Alfabeta. p. 5-79. Okopien, B., Hyper, M., Kowalski, J., Belowski, D., Madej, A., Zielinski, M., Tokarz, D., Kalina, Z., Herman, Z.S. 2001. A New Immunological Marker of Atherosclerotic Injury of Arterial Wall. Res Commun Mol Pathol Pharmacol, 109(3–4): 241-8. Omoigui, S. 2007. The Interleukin-6 Inflammation Pathway from Cholesterol to Aging-Role of Status, Bisphosphorates and plant polyphenols in Aging and Agerelated Diseases. Division of Inflamation and Pain Medicine, L.A. Pain Clinic, Los Angeles, USA. p. 31 Sunita, A. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. p. 5175.
ISBN:978-602-9138-68-9
Utami, M.F.S., Wijoyo, Y. 2007. Efek Analgetik dan Antiinflamasi Beta Karoten pada Mencit. Fakultas Sanata Dharma. Yogya. 75. Utari, D.M. 2011. “Efek Intervensi Tempe terhadap Profil Lipid, SOD, LDL, HDL dan MDA pada Wanita Menopause” (tesis). Bogor. IPB. Vallerie, N. 2009. Empat Pilar Kesehatan, Panduan Memilih dan Mengonsumsi Vitamin, Suplemen, dan Herbal. Edisi pertama. Jakarta : Prestasi Pustaka publisher. p. 26-28. Winarsi, H. 2007. Antioksidan alami dan Radikal Bebas, Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius. p. 9-108.
219
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI TUMBUHAN SEBAGAI BAHAN PESTISIDA RAMAH LINGKUNGAN I Wayan Suanda Program Studi Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali, Jl Seroja Denpasar, e-mail: [email protected] ABSTRAK Badan Dunia yang menangani kesehatan (WHO) memperkirakan setiap tahunnya 20.000 orang meninggal akibat pencemaran lingkungan dari penggunaan pestisida sintetis, serta 5.000 sampai 10.000 orang lainnya mengalami dampak yang sangat fatal. Kondisi agroekosistem lingkungan menjadi rusak, antara lain ditandai dengan punahnya satwa dan serangga non-target, pencemaran lingkungan, keracunan dan dampak negatif lainnya akibat penggunaan pestisida kimia sintetis secara berlebihan dan tidak bijaksana. Masyarakat mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, masyarakat mulai meninggalkan pestisida kimia sintetis untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT). Pelestarian keanekaragaman hayati tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati yang ramah lingkungan menuju pertanian berkelanjutan. Kata kunci: keanekaragaman hayati tumbuhan, pestisida ramah lingkungan
PENDAHULUAN Penggunaan berbagai jenis pestisida kimia sintetis semakin meningkat oleh petani sayuran, petani tanaman pangan dan petani tanaman hortikultura buah-buahan serta perkebunan. Khusus petani sayuran, kelihatannya sulit melepaskan diri dari ketergantungan penggunaan pestisida khususnya pestisida kimia sintetsis. Bertanam sayuran tanpa pestisida dianggap tidak aman, dan sering kali pestisida dijadikan sebagai garansi keberhasilan berproduksi. Memasuki abad 21 masyarakat dunia mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian. Masyarakat semakin arif dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan (Suanda dan Darmayasa, 2007). Gaya hidup sehat dengan slogan “Back to Nature” telah menjadi trend baru dengan meninggalkan pola hidup lama yang menggunakan bahan kimia non alami, seperti pupuk kimia sintetis, pestisida kimia sintetis dan hormon tumbuh sintetis dalam produksi pertanian. Dampak penggunaan pestisida kimia sintetis yang berlebih dan kurang bijaksana
menimbulkan kasus yang merugikan seperti terjadinya keracunan, polusi lingkungan, perkembangan serangga menjadi resisten, resurgensi serta menurunnya kualitas kesehatan petani (Darmayasa et al., 2006). Masyarakat mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian, sehingga semakin arif dalam memilih pestisida yang bahan bakunya bersumber dari tumbuhtumbuhan yang tumbuh disekitar tempat tinggalnya. Penggunaan insektisida sintetis sering menimbulkan dampak negatif yang tidak diharapkan seperti; terjadi resistensi hama utama, timbulnya hama sekunder, terbunuhnya parasit dan predator, residu pada bahan makanan, berbahaya pada pemakai dan pencemaran lingkungan (Bramble, 1989; Machbub et al., 1988; Russel, 1993). Untuk mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida sintetis, perlu dilakukan upaya seperti; penggunaan pestisida nabati dalam kegiatan pertanian. Tulisan ini membahas tentang pelestarian keanekaragaman hayati tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati
220
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI PEMBAHASAN Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati termasuk jenis tumbuhan yang mengandung bahan aktif pestisida (Suanda, 2002). Kenanekaragaman tumbuhan banyak tersedia dan dilestarikan oleh masyarakat. Tersedianya kekayaan dan keanekaragaman hayati Indonesia yang cukup, peraturan pendaftaran pestisida nabati yang sederhana serta tersedianya berbagai teknologi sederhana merupakan peluang yang besar untuk mengembangkan pestisida nabati di Indonesia (Suprapta, 2001a). Secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan (Hutton dan Reilly, 2001). Pada umumnya pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan masih mengandung senyawa komplek yang relatif kurang stabil terhadap lingkungan dibandingkan dengan senyawa kimia sintetis (Duke, 1990). Jenis pestisida ini biasanya hanya terdiri dari C, H, O dan kadang-kadang N yang mudah terdegradasi oleh alam dan relatif aman bagi lingkungan (Anerson et al., 1993; Nasahi et al., 1999). Tumbuh-tumbuhan mempunyai sifat istimewa yaitu kemampuannya untuk mensintesa sejumlah besar molekul organik sekunder atau bahan alami melalui metabolisme sekunder dari bahan organik primer seperti: karbohidrat, lemak dan protein (Wink, 1987). Beberpa jenis tumbuhan telah mengembangkan kemampuan untuk menghasilkan senyawa bersifat spesifik untuk mempertahankan diri terhadap serangan hama dan penyakit, misalnya: likomarasmin, asam fusarat, glikopeptida dan naflokuinon. Suprapta (2001b), menyatakan bahwa tumbuhtumbuhan tertentu dapat memproduksi senyawa “constitutive” yang mempunyai aktivitas sebagai anti jamur seperti: fenol dan glikosida fenol, saponin, glikosida synorgenik dan glikosinolat.Selain zat pengatur tumbuh yang sudah diisolasi seperti: auksin, sitokinin, giberilin dan etilena, juga diketahui beberapa senyawa penting yang dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk mempertahankan diri terhadap serangan hama dan patogen, misalnya : likomarasmin, asam fusarat, glikopeptida dan naftokuinon (Harborne, 1996). Tumbuhan yang telah diuji potensinya sebagai sumber pestisida nabati, seperti: mindi
ISBN:978-602-9138-68-9
(Melia azedarach L.) mengandung senyawa insektisida azadirachtin (Balandrin et al., 1985). Umbi dan daun rumput teki (Cyperus rotundus) memiliki daya anti jamur dan antifidan terhadap serangga (Grainge dan Ahmed, 1987), Ekstrak daun Brotowali (Tinospora criospa L.) bersifat antifeedan (mengurangi nafsu makan) ) terhadap Larva Plutella xylostella L. pada daun kubis (Suanda, 2002), Ekstrak Sembung Delan (Sphaeranthus indicus L.) efektift terhadap Phytophthora infestanspenyebab penyakit Hawar daun pada kentang (Darmayasa, 2006), Ekstrak Daun Nimba (Azadirachta indica A. Juss) sebagai Biopestisida pada Hama Kutu Beras (Situphilus oryzae L.) (Suanda, 2008), serta beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati (Kardinan, 1999). Tumbuh-tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati banyak ditemukan di sekitar tempat tinggal masyarakat terutama di pedesaan.Masyarakat melestarikan tanaman tersebut ditanaman di pekarangan dan telajakan rumah yang dapat juga menjadi tanaman obat (biofarma), tanaman upakara, tanaman hias dan manfaat lainnya. Bahan-bahan alam yang mengandung racun dimanfaatkan untuk membuat pestisida yang mudah terurai secara biologi, juga bersifat selektif dan dapat diproduksi secara lokal. Perhatian serius terhadap ekstrak tumbuhan yang diketahui mengandung senyawa aktif untuk mengendalikan OPT seperti anti bakteri (bakterisida), insektisida, jamur (fungisida). Fungisida dalam bentuk alkaloid dapat membantu melawan patogen (Suprapta, 2005). Masalah yang banyak diprihatinkan dalam pelaksanaan program pembangunan yang berwawasan lingkungan adalah masalah pencemaran yang diakibatkan penggunaan pestisida di bidang pertanian, kehutanan, pemukiman, maupun di sektor kesehatan. Pencemaran pestisida terjadi karena adanya residu yang tertinggal di lingkungan fisik dan biotis disekitar kita. Sehingga akan menyebabkan kualitas lingkungan hidup manusia semakin menurun. Pestisida kimia sintetis sebagai bahan beracun, termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pencemaran dapat terjadi karena pestisida menyebar melalui angin, melalui aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang
221
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dikenainya. Residu pestisida sintesis sangat sulit terurai secara alami. Bahkan untuk beberapa jenis pestisida, residunya dapat bertahan hingga puluhan tahun. Dari beberapa hasil monitoring residu yang dilaksanakan, diketahui bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di setiap tempat lingkungan sekitar kita. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menyebabkan pengaruh negatif terhadap organisma bukan sasaran. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten di lingkungan, maka residu yang ditinggalkan pada lingkungan menjadi masalah.Residu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, ada di air minum, air sungai, air sumur, maupun di udara dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan. Aplikasi pestisida dari udara memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran. Pencemaran pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di dalam air pengairan, dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Memang di dalam air terjadi pengenceran, sebahagian ada yang terurai dan sebahagian lagi tetap persisten. Meskipun konsentrasi residu mengecil, tetapi masih tetap mengandung resiko mencemarkan lingkungan. Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplanktonmikroplankton. Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang mengambang di dalam air. Mikroplanktonmikroplanktontersebut kelak akan dimakan zooplankton. Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang
ISBN:978-602-9138-68-9
ada di dalam air. Bila zooplanktonzooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut. Model pencemaran seperti yang dikemukakan itu, terjadi melalaui rantai makanan, yang bergerak dari aras tropi yang terendah menuju aras tropi yang tinggi. Mekanisme seperti yang dikemukakan, diduga terjadi pada kasus pencemaran Teluk Buyat di Sulawesi, yang menghebohkan sejak tahun lalu. Diduga logam-logam berat limbah sebuah industri PMA telah terakumulasi di perairan Teluk Buyat. Sekaligus mempengaruhi secara negatif biota perairan, termasuk ikan-ikan yang dikonsumsi masyarakat setempat. Kasus pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dampaknya tidak segera dapat dilihat. Sehingga sering kali diabaikan dan terkadang dianggap sebagai akibat sampingan yang tak dapat dihindari. Akibat pencemaran lingkungan terhadap organisma biosfer, dapat mengakibatkan kematian dan menciptakan hilangnya spesies tertentu yang bukan jasad sasaran. Sedangkan kehilangan satu spesies dari muka bumi dapat menimbulkan akibat negatif jangka panjang yang tidak dapat diperbaharui. Seringkali yang langsung terbunuh oleh penggunaan pestisida adalah spesies serangga yang menguntungkan seperti lebah, musuh alami hama, invertebrata, dan bangsa burung. SIMPULAN Penggunaan Keanekaragaman hayati tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati dalam kegiatan pertanian tidak menimbulkan dampak negatif dan aman bagi konsumen, petani, ternak, organisme non target serta ramah lingkungan oleh karena itu perlu ada usaha pelestarian tumbuhan yang berpotensi sebagai pestisida nabati. Disamping itu perlu dilakukan pelestarian keanekaragaman hayati dan penelitian dengan mengekplorasi sumber daya hayati dari berbagai tumbuhan sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan OPT.
222
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI DAFTAR PUSTAKA
ISBN:978-602-9138-68-9
Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran. hal. 1-4.
Arneson, J.I.; S. Mackinnon; A. Durst; B.J.R. Philognene; C. Hasbun, and P. Shancez. 1993. Insecticides in Tropical Plant with Non Neorotixis Mode of Action. pp. 107-152. Balandrin, M.F.; J.A. Klocke; E.S. Wurtlele and W.H. Bolinger. 1985. Natural Plant Chemicals : Sources of Industrial and Materials Science. 228 : 54-60. Bramble, B.J. 1989. An Environmentalists View of Pest Management and the Green Revolution. Trop. Pest Manage. 35:228230. Darmayasa, I.B.G; I W. Suanda dan S.K. Sudirga. 2006. Aktivitas Fungisida Ekstrak Sembung Delan (Sphaeranthus indicus L.) terhadap Phytophthora infestans Penyebab Penyakit Hawar Daun pada Tanaman Kentang. Laporan Penelitian Dosen Muda. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Duke, S.O. 1990. Natural Pesticides from Plants. Timber Press Portland. pp. 511-517. Harborne, J.B. Metode Fitokimia. Penerjemah Kosasih Padma Winata dan Inang Soediro. ITB. Bandung. hal. 353 Hutton, P and S. Reilly. 2001. Biopestisides. United States Enviromental Production Agency. pp 1-3. Kardinan, A. 1999. Piretrum (Chrysanthemum cinerariaefolium (Trev)) Bahan Insektisida Nabati Potensial. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Jakarta. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 19 No. 4. Machbub, B.; H.F. Ludwig and D. Gunaratnam. 1988. Environmental Inpacts from Agrochemicals in Bali. Env. Mon. Assess. 11: 1-23. Nasahi, C.H; A. Susanto dan T. Sunarto. 1999. Inventarisasi Potensi dan Pemanfaatan Agensia Hayati dan Pestisida Nabati pada Perkebunan Teh Rakyat di Jawa Barat. Pros. Hasil Penel. Lembaga
Russel, J. M. 1993. Bioactive Natural Products : Detection, Isolation and Struktural Determination. Research Chemist. Plant Protection Research, Western Regional Research Centre, Agricultural Research Service. United States Departemen of Agriculture Albany. California. pp. 4751 Suanda, I W. 2002. Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Brotowali (Tinospora crispa L) terhadap Larva Plutella xylostella L. Pada Daun Kubis. (Tesis) Program Pascasarjana Bioteknologi Pertanian. Universitas Udayana. 57 hal. Suanda, I W. 2008. Aktivitas Senyawa Aktif Ekstrak Daun Nimba (Azadirachta indica A. Juss) sebagai Biopestisida pada Hama Kutu Beras (Situphilus oryzae L.) (dalam Majalah Ilmiah Mahawidya Saraswati UNMAS Denpasar No. 57, Januari – Juni 2008, hal. ISSN 0215-966X). Suanda, I W; I.B.G. Darmayasa. 2007. Kemampuan Fungisida Ekstrak Sembung Delan (Sphaeranthus indicus L.) Terhadap Phytophthora infestans Secara In-Vitro.Denpasar: Majalah Ilmiah Mahawidya Universitas Mahasaraswati Volume 65 Edisi Juni 2006– Januari 2007. hal. 22-25. Suprapta, D.N. 2001a. Meninjau Kembali Kebijakan Penggunaan Pestisida pada Lahan Pertanian. Pertanian Masa Depan; Kembali ke Pupuk Nabati. Yayasan Manikaya Kauci. Hal. 1-6. Suprapta, D.N. 2001b. Senyawa Antimikroba dan Pertahanan Tumbuhan terhadap Infeksi Jamur. Agritrop 20: 42-53. Suprapta,D.N.2005. Petanian Bali Dipuja Petaniku Merana. Taru Lestari Foundation, Denpasar Bali. Wink, H. 1987. Chemical Ekology of quinolizisin alkaloids: Allelochemicals: Rolein Agriculture, Forestry and Ecology. Am. Chem.Soc. 330: 424-433.
223
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PENGARUH PENCEMARAN LINGKUNGAN TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT I Wayan Redi Aryanta Guru Besar Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar, Bali, e-mail: [email protected] ABSTRAK Pencemaran lingkungan, terutama pencemaran air, tanah, udara, dan makanan berpengaruh buruk terhadap kesehatan masyarakat. Bahan pencemar air, seperti: logam-logam berat (Hg, Cd, Pb, As, Cu, dan lainnya), oksida-oksida carbon (CO dan CO2), oksida-oksida nitrogen (NO dan NO2), oksida-oksida belerang (SO2 dan SO3), H2S, senyawa hidrokarbon (metana dan eksana), dan berbagai bibit penyakit seperti bakteri (Salmonella typhi), virus (Virus hepatitis A), dan parasit (Taenia saginata) menyebabkan penyakit bawaan air (waterborne diseases). Pencemaran tanah yang terjadi akibat limbah industri yang mengandung berbagai bahan kimia berbahaya dan beracun yang bersumber dari rembesan penumpukan sampah, instalasi pengolahan air limbah, penggunaan pestisida dalam pertanian dan lainnya, serta akibat cemaran bibit penyakit seperti Clostridium tetani dan Bacillus anthracis menyebabkan penyakit bawaan tanah (soilborne diseases). Zat-zat kimia pencemar udara, berupa: carbon monoksida, nitrogen oksida, sulfur oksida, hydrocarbon, timah hitam, ozon, serta cemaran berupa bibit penyakit (bakteri, virus) seperti Diplococcus pneumonia dan virus influenza, yang menyebabkan penyakit bawaan udara (airborne diseases) berdampak negatif terhadap kesehatan manusia. Suatu makanan menjadi berbahaya bagi kesehatan masyarakat karena terkontaminasi dengan zat-zat kimia (pestisida, zat pengawet dan pewarna), zat radioaktif (cobalt, uranium), toksin yang dihasilkan oleh mikroba, parasit, dan mikroba pathogen, serta makanan yang secara alamiah telah mengandung zat kimia beracun. Beberapa penyebab penyakit bawaan makanan (foodborne diseases), adalah: Rotavirus, Vibrio cholera, Entamoeba histolytica, dan Ascaris lumbricoides. Untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, harus dilakukan pencegahan dan pengendalian pencemaran air, tanah, udara, dan makanan. Kata Kunci: pencemaran, lingkungan, kesehatan, masyarakat, zat kimia, bibit penyakit. PENDAHULUAN Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem dan kehidupan manusia. Undang-undang RI No.32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup pasal 1 ayat 14 menyatakan: ‘pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.Berdasarkan lingkungan yang mengalami pencemaran, secara garis besar pencemaran lingkungan dikelompokkan menjadi
pencemaran air, tanah, udara, dan pencemaran makanan. Berbagai macam penyakit masyarakat timbul karena terjadinya pencemaran lingkungan (Saragih dan Sitorus, 1983; Slamet, 2000; Pomalingo dan Ali, 2002; Mulia, 2005; Chandra, 2007). Sebagai contoh, penyakit bawaan air seperti: diare, cholera, typhus abdominalis, hepatitis A, dan dysentrie amoeba. Penyakit Minamata yang disebabkan oleh keracunan metil merkuri pada masyarakat Jepang sebagai akibat mengonsumsi ikan yang berasal dari teluk Minamata (Jepang) yang tercemar merkuri menyebabkan 41 orang meninggal dunia dan cacat tubuh dari bayi-bayi yang dilahirkan oleh
224
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI ibu-ibu yang mengonsumsi ikan yang terkontaminasi merkuri. Tanah yang tercemar bakteri pembuat spora seperti Clostridium tetani (penyebab penyakit tetanus), dan Bacillus anthracis (penyabab penyakit anthrax) sangat berbahaya terhadap kesehatan masyarakat. Pencemaran udara oleh gas CO dapat menyebabkan kematian mendadak karena terganggunya pernafasan. Penyakit yang disebabkan oleh pencemaran udara yang efeknya lambat antara lain: bronchitis kronis, kanker paru, dan asma. Berbagai jenis penyakit bawaan makanan, antara lain: penyakit viral (diare, hepatitis A), bakterial (cholera, typhus abdominalis), protozoa (dysenterie amoeba), dan metazoa (ascariasis, trichinosis, taeniasis) diderita oleh konsumen yang mengonsumsi makanan yang terkontaminasi parasit dan atau mikroba. Dengan besarnya pengaruh kualitas lingkungan hidup terhadap kesehatan masyarakat, maka sangat perlu dikembangkan pembangunan berwawasan lingkungan. Pada dasarnya, pembangunan berwawasan lingkungan adalah pembangunan yang mampu membawa rakyat secara merata memperoleh kebutuhan hidupnya (spiritual dan material), termasuk kualitas lingkungan yang layak dihuni, sehingga masyarakat tidak terkena penyakit karena pencemaran lingkungan, dan sumberdaya alam makin subur untuk kelangsungan kehidupan generasi seterusnya. Dalam makalah ini akan diuraikan secara komprehensif tentang pengaruh pencemaran lingkungan (pencemaran air, tanah, udara, dan makanan) terhadap kesehatan masyarakat. PEMBAHASAN Pencemaran Air Air merupakan kebutuhan pokok manusia setelah udara. Air digunakan untuk minum, memasak, mencuci, mandi, keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran dan lain-lain. Namun, manusia tidak mampu menjaga kualitas air di bumi. Kualitas air menurun karena adanya berbagai bahan pencemar di dalam air yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Peraturan pemerintah RI No.82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air (Mulia, 2005) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
ISBN:978-602-9138-68-9
pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air dan atau berubahnya tatanan air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya. Bila terjadi pencemaran air, baik berupa bibit penyakit (bakteri, virus, parasit) maupun zat-zat kimia beracun dan berbahaya , maka akan dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan gangguan ekosistem (Wardhana, 1995). Pencemar-pencemar air utama dapat dilihat pada Tabel 1.
Air tercemar mikroba pathogen yang dikonsumsi oleh masyarakat dapat menyebabkan berbagai penyakit menular (Sastrawijaya, 1991; Wardhana, 1995). Penyakit menular yang disebarkan oleh air disebut penyakit bawaan air (waterborne diseases). Beberapa jenis penyakit bawaan air dan agentnya disajikan pada Tabel 2.
225
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Selain penyakit menular, penggunaan air terkontaminasi zat-zat kimia berbahaya atau beracun akan memicu terjadinya penyakit tidak menular. Sebagai contoh kasus keracunan akibat mengkonsumsi air yang terkontaminasi zat-zat kimia beracun (Wardhana, 1995; Mulia, 2005; Chandra, 2007) adalah: 1. Kasus keracunan Kobalt yang terjadi di Nebraska (Amerika) yang diakibatkan oleh air yang tercemar kobalt. Akibat dari keracunan kobalt dapat berupa: gagal jantung, tekanan darah tinggi, pergelangan kaki membengkok, dan kerusakan kelenjar gondok. 2.
Penyakit Minamata, yang disebabkan oleh mercury (air raksa) yang mencemari air di teluk Minamata (Jepang). Di dalam air, mercury diubah menjadi methyl mercury oleh bakteri. Ikan yang terkontaminasi methyl mercury yang dikonsumsi oleh penduduk menyebabkan keracunan, sehingga mengakibatkan 41 orang meninggal dunia, dan 111 orang menderita cacat fisik.
3.
Keracunan Cadmium pada penduduk di kota Toyoma (Jepang) karena mengkonsumsi beras yang berasal dari tanamam padi yang selama bertahun-tahun mendapatkan air yang telah tercemar Cadmium.
Air juga dapat berperan sebagai sarang insekta yang menyebarkan penyakit pada masyarakat. Insekta jenis ini disebut sebagai vektor penyakit. Beberapa penyakit yang disebarkan oleh vektor penyakit (Slamet, 2000; Mulia, 2005; Chandra, 2007) antara lain: 1. Penyakit Demam Berdarah (Dengue Haemorrhagic Fever) dengan gejala demam dan perdarahan. Penyakit ini menyebar di antara mesyarakat melalui vektor berupa nyamuk Aedes aegypti (nyamuk yang suka bersarang di air yang bersih). 2.
Filariasis, yang dikenal dengan penyakit kaki gajah (Elephantiasis). Penyebab penyakit ini adalah cacing bulat kecil (filaria). Vektor penyakit ini berupa nyamuk Culex fatigans. Filaria dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan saluran limpatik yang mengakibatkan cairan tubuh tidak bisa
ISBN:978-602-9138-68-9
mengalir, sehingga terjadi pembengkakan yang semakin lama semakin membesar dan mengeras. 3.
Penyakit Malaria, dengan gejala yang tipikal yaitu berganti-gantinya perasaan panas- dingin. Penyakit ini disebabkan oleh protozoa (Plasmodium malariae). Vektor penyakit Malaria adalah nyamuk Anopheles.
Air yang tercemar zat radioaktif sebagai limbah aplikasi teknologi nuklir sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat (Slamet,2000). Pengaruh zat radioaktif dapat bersifat akut atau kronis. Pada kadar yang tinggi, pengaruh zat radioaktif terhadap mahluk hidup bersifat akut karena terjadinya gangguan proses pembelahan sel dan mengakibatkan rusaknya kromosom. Pengaruh kronis yang muncul dalam jangka waktu lama dapat terjadi pada genetic (sistem reproduksi) dan somatik (sel tubuh) (Mulia, 2005). Kegiatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya, secara tidak sengaja menambah bahan anorganik pada perairan dan mencemari air. Sebagai contoh, pembuangan detergen ke perairan, penggunaan pestisida dalam pertanian dapat berakibat buruk terhadap ekosistem perairan dan kesehatan masyarakat (Mahida, 1993; Apriyani, 2014). Menurut Pomalingo dan Ali, 2002), kegiatan manusia yang mempengaruhi kualitas air adalah pembuangan limbah atau kotoran ke badan air. Beberapa jenis kegiatan manusia yang dapat menghasilkan limbah adalah dari sektor pemukiman penduduk, industri pertambangan, perdagangan, pertanian, rekreasi, dan transportasi. Air limbah yang tidak menjalani pengolahan yang benar akan dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Dampak tersebut, antara lain (Chandra, 2007): 1. Kontaminasi dan pencemaran pada air permukaan dan badan air yang digunakan oleh masyarakat. 2. Mengganggu kehidupan dalam air, mematikan hewan dan tumbuhan air. 3. Menimbulkan bau (sebagai hasil dekomposisi zat organik dan anorganik). 4. Menghasilkan lumpur yang dapat mengakibatkan pendangkalan air, sehingga terjadi penyumbatan yang dapat menimbulkan banjir.
226
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
Untuk mencegah terjadinya dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, maka air limbah sebelum dibuang ke badan air harus dikelola dengan benar. Salah satu cara untuk pengelolaan air limbah adalah dengan menerapkan sistem Riool (sewage), di mana semua air kotor dari rumah tangga, perusahaan atau lingkungan ditampung. Tahapan proses pengolahan air limbah (Chandra, 2007) sebagai berikut: 1. Penyaringan (screening), dengan tujuan untuk menangkap benda-benda yang terapung di atas permukaan air. 2. Pengendapan (sedimentation), di mana air limbah dialirkan ke dalam bak besar sehingga aliran menjadi lambat dan lumpur serta pasir mengendap. 3. Proses biologis, menggunakan mikroba untuk memusnahkan zat organik di dalam limbah (secara aerob ataupun anaerob). 4. Penyaringan dengan saringan pasir (sand filter). 5. Desinfeksi, dengan menggunakan kaporit (10 kg/1 juta liter air limbah) untuk membunuh mikroba pathogen. 6. Pengenceran, di mana air limbah dibuang ke badan air sehingga mengalami pengenceran. Dalam upaya pengendalian pencemaran air, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan yaitu: (1) pendekatan teknologi, dan (2) pendekatan ekonomi (Pomalingo dan Ali, 2002). Pendekatan teknologi merupakan upaya pengendalian pencemaran air yang ditujukan pada sumber dari mana limbah dihasilkan. Untuk itu, pengembangan dan penggunaan teknologi yang efisien diperlukan untuk memperkecil atau meniadakan terjadinya zat pencemar dalam proses produksi dan menghilangkannya dalam pengolahan limbah. Misalnya, proses daur ulang lindih hitam dalam industri pulp. Pendekatan instrumen ekonomi lebih menekankan pada penambahan pajak, yakni: (1) pajak emisi (bagi setiap unit pencemar yang dikeluarkan ke badan air), dan (2) pajak produk (ditambahkan pada harga produk atau bahan baku produksi yang dalam proses pembuatan menyebabkan terjadinya pencemaran air). Selain itu, perlu diterapkan sanksi hukum secara tegas kepada pelaku pencemaran air (Hermawati, 2014).
menyediakan berbagai sumber daya yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Oleh karena itu, manusia harus memelihara kualitas tanah agar hidupnya sejahtera. Aktivitas manusia seperti perusakan hutan dan penggalian lahan secara besar-besaran sangat mempengaruhi kondisi tanah. Selain itu, tanah yang terkontaminasi dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran air tanah. Apabila hal ini tidak dibatasi, maka akan dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan tanah dan menimbulkan bencana bagi manusia. Selain sebagai penyedia berbagai sumber daya dan habitat bagi mahluk hidup, tanah juga merupakan reseptor dari bahan pencemar. Berbagai bahan kimia berbahaya dan beracun yang mencemari tanah bersumber dari rembesan penumpukan sampah, instalasi pengolahan air limbah, penggunaan pestisida dalam pertanian, dan sumber-sumber lainnya. Kehadiran bahan-bahan pencemar tersebut merupakan penyebab utama terjadinya penurunan kualitas tanah (Mulia, 2005). Achmad (2004) menyatakan bahwa penurunan kualitas tanah telah memberikan dampak negatif terhadap kesehatan mahluk hidup. Misalnya, dampak negatif dari kekurangan unsur-unsur hara mikro yang terkandung dalam bahan makanan terhadap kesehatan manusia. Salah satu contoh, kekurangan Selenium memberikan pengaruh yang merugikan bagi manusia dan hewan. Sebaliknya, Selenium pada dosis tinggi bersifat toksik. Tanah yang tercemar juga dapat berfungsi sebagai media penyebar penyakit menular dan tidak menular (Surjani et al.1987; Slamet, 2000). Penyakit-penyakit yang disebarkan melalui tanah disebut penyakit bawaan tanah (soilborne diseases) (Tabel 3).
Pencemaran Tanah Tanah merupakan bagian yang paling tipis dari seluruh lapisan bumi, tetapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan. Tanah
Untuk memulihkan tanah yang terkontaminasi dapat dilakukan dengan beberapa metode pengolahan tanah (Mulia, 2005) sebagai berikut:
227
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI 1.
Penyimpanan: tanah terkontaminasi digali dan dibawa ke sebuah gudang penyimpanan untuk disimpan sementara sampai ditemukan teknik yang tepat untuk mengolahnya. 2. Teknik Ex situ: tanah terkontaminasi digali dan diolah di suatu unit pengolahan. Pengolahan dilakukan dengan cara pemisahan bahan pencemar dengan tanah, penguraian kontaminan dengan bantuan mikroba, pemanfaatan energi panas untuk menguapkan kontaminan dari tanah, ekstraksi kontaminan dari tanah, penggunaan uap atau bahan kimia untuk memisahkan kontaminan dari tanah. 3. Teknik In situ: pengolahan tanah terkontaminasi di tempat, dengan konversi biologi atau konversi kimia, pemisahan kontaminan dan isolasi kontaminan agar tidak mendifusi sumber daya lingkungan lainnya (misalnya, air tanah). Pencemaran Udara Bersama air, udara (terutama oksigen) merupakan zat yang terpenting dalam memberikan kehidupan di permukaan bumi. Udara normal terdiri atas: 78,1% nitrogen, 20,93% oksigen, dan 0,03% karbon dioksida, sementara selebihnya berupa gas argon, neon, krypton, xenon, dan helium (Chandra, 2007). Selain jenis gas tersebut, Slamet (2000) menyatakan bahwa gas lain dalam jumlah kecil (trace) yang juga merupakan komponen udara adalah: metan, nitrogen oksida, hidrogen, sulfur dioksida, ozon, nitrogen dioksida, ammonia, karbon monoksida, dan iodium. Bila terjadi pencemaran udara, maka akan berpengaruh terhadap ekosistem dan kesehatan mahluk hidup. Menurut Kepmen KLH No.02/ MENKLH/I/1993, pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu, yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi sesuai peruntukkannya (Pomalingo dan Ali, 2002).
ISBN:978-602-9138-68-9
Pengaruh pencemaran udara terhadap kesehatan telah terjadi sejak lama. Sampai pada tahun 1930 di Belgia terjadi wabah penyakit paru-paru yang disebabkan oleh pencemaran udara. Pada tahuntahun berikutnya, pencemaran udara menyebabkan terjadinya kematian dan kesakitan dalam proporsi epidemik di beberapa tempat di dunia. Sejak tahun 1930 sampai dengan tahun 1956, terjadi tujuh bencana pencemaran udara di beberapa tempat di dunia. Bencana pencemaran udara tersebut menyebabkan berbagai penyakit, terutama penyakit yang tergolong penyakit saluran pernapasan (Tabel
Saat ini, jumlah karbon dioksida yang dilepaskan ke udara terus mengalami peningkatan, sehingga terjadi efek rumah kaca atau kenaikan suhu di bumi (Apriyani, 2014). Efek rumah kaca ini menjadi masalah darurat yang dapat mengancam kehidupan manusia. Peningkatan suhu di bumi menyebabkan salju di daerah kutub mencair, sehingga permukaan air laut meningkat. Hal ini memacu semakin seringnya terjadi banjir di bumi. Zat-zat kimia pencemar lainnya, seperti : (1) karbon monoksida yang dihasilkan oleh asap motor dan mobil menyebabkan kemampuan darah untuk membawa oksigen ke jaringan tubuh berkurang, (2) sulfur dioksida yang meningkat di atmosfer menyebabkan radang paru-paru, bronchitis, dan gagal jantung, dan (3) timah dapat ditemukan di udara, air dan makanan yang dimakan oleh manusia, sehingga menyebabkan keracunan bila telah terakumulasi di dalam tubuh dalam jangka waktu lama (konsentrasi timah yang tinggi di dalam tubuh menyebabkan tubuh kehilangan kontrol terhadap tangan dan kaki, kram, koma dan kematian). Menurut Chandra (2007), efek pencemaran udara pada kehidupan manusia
228
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dibagi menjadi efek umum, efek terhadap ekosistem, efek terhadap kesehatan, efek terhadap tumbuh-tumbuhan dan hewan, efek terhadap cuaca dan iklim, dan efek terhadap sosial-ekonomi. Efek umum pencemaran udara terhadap kehidupan manusia, antara lain: (1) meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada manusia, flora dan fauna, (2) mempengaruhi kuantitas dan kualitas sinar matahari yang sampai ke permukaan bumi dan mempengaruhi proses fotosintesis tumbuhan, (3) mempengaruhi dan mengubah iklim akibat terjadinya peningkatan kadar CO2 di udara, sehingga terjadi efek rumah kaca, (4) merusak cat, karet, dan bersifat korosif terhadap benda yang terbuat dari logam, (5) meningkatkan biaya bangunan, jembatan dan lainnya, (6) mengganggu penglihatan dan dapat meningkatkan angka kasus kecelakaan lalulintas di darat, sungai/laut, dan udara, (7) menyebabkan warna kain dan pakaian cepat buram dan bernoda. Segolongan pencemar udara yang bersifat biologis sering terjadi di udara tidak bebas, seperti di dalam perumahan penduduk, rumah sakit, pabrik, gedung perkantoran, dan lainnya. Golongan pencemar ini terdiri atas berbagai mikroba pathogen. Penyakit yang disebarkan lewat udara disebut penyakit bawaan udara (airborne diseases). Beberapa penyakit bawaan udara dan agennya dapat dilihat pada Tabel 5.
Upaya pengendalian pencemaran udara dapat dilakukan melalui pendekatan pengembangan teknologi, penerapan kebijaksanaan ekonomi yang berwawasan lingkungan, dan penegakan peraturan perundang-undangan (Pomalingo dan Ali, 2002). Lebih jauh dijelaskan bahwa untuk mengatasi pencemaran udara, dapat ditempuh pendekatan
ISBN:978-602-9138-68-9
teknis (perubahan proses dalam sistem sumber emisi dan pengendalian sumber emisi) , pendekatan planologi (peraturan zone industri, pemukiman, perkotaan, perkantoran dan jalur transportasi) , pendekatan hukum lingkungan (perlu diterapkan undang-undang yang berhubungan dengan pencemaran udara), dan pendekatan edukatif (sangat diperlukan bimbingan, motivasi dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk ikut memelihara kelestarian lingkungan hidup). Menurut Apriyani (2014), penanggulangan pencemaran udara tergantung dari penyebab pencemaran tersebut. Sebagai contoh, pencemaran udara akibat sisa dari pembakaran kendaraan bermotor dan asap pabrik, dapat dicegah dan ditanggulangi dengan mengurangi pemakaian bahan bakar minyak, dan diganti dengan bahan bakar yang ramah lingkungan, seperti kendaraan berenergi listrik. Selain itu, dilakukan usaha mendata dan membatasi jumlah kendaraan bermotor yang layak beroperasi, dan pengontrolan terhadap asap buangan dan knalpot kendaraan bermotor. Pencemaran Makanan Makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh (tidak termasuk air, obatobatan, dan substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan) (WHO, dalam Chandra, 2007). Fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia (Notoatmodjo, 2003) adalah: (1) memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak, (2) memperoleh energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari, (3) mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh yang lain, dan (4) berperan di dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit. Makanan tidak saja bermanfaat bagi manusia, tetapi juga sangat baik untuk pertumbuhan mikroba pathogen. Oleh karena itu, untuk mendapatkan keuntungan yang maksimum dari makanan, perlu dijaga sanitasi makanan dan diupayakan tidak terjadi pencemaran makanan oleh mikroba pathogen. Gangguan kesehatan yang dapat terjadi akibat makanan adalah keracunan makanan dan penyakit bawaan makanan (Slamet, 2000). Dua faktor yang menyebabkan suatu makanan menjadi berbahaya bagi manusia (Chandra, 2007) adalah:
229
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
1. Kontaminasi, yang dapat disebabkan olh: (a) parasit (cacing dan amuba), (b) mikroba (Salmonella dan Shigella), (c) zat kimia (pestisida, bahan pengawet dan pewarna), (d) bahan radioaktif (kobalt dan uranium), dan (e) toksin yang dihasilkan oleh mikroba ( St a p h y l o c o c c u s a u re u s dan Clostridium botulinum). 2.
Makanan yang telah mengandung zat berbahaya, yang dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: (a) makanan yang secara alami telah mengandung zat kimia beracun (singkong mengandung HCN, ikan dan kerang mengandung Hg dan Cd), (b) makanan yang dijadikan sebagai media perkembangbiakan mikroba sehingga dapat menghasilkan toksin yang berbahaya bagi manusia (enterotoksin yang dihasilkan oleh St a p h y l o c o c c u s a u re u s ) , d a n ( c ) makanan sebagai perantara (makanan yang terkontaminasi Salmonella typhi akan menyebabkan penyakit typhoid abdominalis).
Penyakit bawaan makanan (foodborne diseases) pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari penyakit bawaan air (waterborne diseases). Penyakit bawaan makanan adalah penyakit yang diderita seseorang akibat memakan suatu makanan yang terkontaminasi mikroba pathogen, kecuali keracunan. Beberapa penyakit bawaan makanan yang sering terjadi di Indonesia dapat disebabkan oleh virus, bakteri, protozoa, dan metazoa. Makanan dapat terkontaminasi mikroba karena beberapa hal (Slamet, 2000): (1) mengolah makanan atau makan dengan tangan kotor, (2) memasak sambil bermain dengan hewan peliharaan, (3) menggunakan lap kotor untuk membersihkan meja, perabotan bersih dan lain-lain, (4) dapur dan alat masak yang kotor, (5) makanan mentah dan matang disimpan bersama-sama, (6) makanan dicuci dengan air kotor, (7) memakan sayuran dan buah-buahan yang terkontaminasi, dan (8) pengolah makanan yang sakit atau carrier penyakit. Beberapa penyakit bawaan makanan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 menunjukkan bahwa penyakit metazoa merupakan penyakit bawaan makanan yang terbanyak, disusul penyakit bakterial, penyakit viral, dan penyakit protozoa. Penyakit bawaan makanan dapat dicegah dengan caracara (Slamet,2000; Marriott, 1989) sebagai berikut: 1. Pemilihan bahan baku yang sehat, tidak busuk, dan warna yang segar. 2. Bahan baku yang disimpan terhindar dari serangga dan tikus, serta tidak membusuk. 3. Pengolahan makanan yang higienis, dengan proses yang dapat membunuh penyebab penyakit, dan peralatan masak harus bersih. 4. Pengolah makanan bukan carrier penyakit, dan tidak sakit. 5. Makanan yang disajikan tidak terkena lalat, debu dan udara kotor, serta peralatan makan yang higienis (terutama di tempat umum). 6. Penyaji makanan harus mendapat surat keterangan sehat. 7. Makanan matang yang disimpan jangan sampai terkontaminasi dan membusuk. SIMPULAN Kondisi kesehatan masyarakat dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Kualitas lingkungan yang buruk karena terjadinya pencemaran, baik pencemaran air, tanah, udara maupun makanan merupakan penyebab timbulnya berbagai penyakit atau gangguan pada kesehatan masyarakat. Untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas kesehatan masyarakat, perlu dilakukan pencegahan dan pengendalian
230
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI pencemaran lingkungan oleh masyarakat dengan bimbingan pemerintah melalui Dinas terkait. DAFTAR PUSTAKA Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Apriyani, M. 2014. Pencemaran Lingkungan. http://www.konsultankolesterol.com/ artikelpencemaran-lingkungan.html (diakses tanggal 15 Agustus 2014). Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Hermawati, H. 2014. Pencemaran Lingkungan. http:hend-learning.blogspot.com (diakses tanggal 15 Agustus 2014). Mahida, U. N. 1993. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Marriott, N. G. 1989. Principles of Food Sanitation. Van Nostrand Reinhold. New York.
ISBN:978-602-9138-68-9
Mulia, R. M. 2005. Kesehatan Lingkungan. Penerbit Graha Ilmu. Yogyakarta. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Pomalingo, N. dan I. Ali. 2002. Pengetahuan Lingkungan. Penerbit BKS-PTNINTIM. Makassar. Saragih, J. P. N. dan S. Sitorus. 1983. Bunga Rampai Lingkungan Hidup. PenerbitUsaha Nasional Surabaya. Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Slamet, J. S. 2000. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soerjani, M., R. Achmad dan R. Munir. 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam pembangunan. UI - Press. Jakarta. Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta.
231
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
KAJIAN KRITERIA KAMPUS RAMAH LINGKUNGAN (Green Campus) di UNIVERSITAS DHYANA PURA , BADUNG, BALI Nyoman Ngurah Adisanjaya, Ni Kadek Dwipayani Lestari Universitas Dhyana Pura, Jalan Raya Padang Luwih, Tegaljaya, Dalung, Kuta Utara, Badung, Bali 80361, Indonesia ABSTRAK Aspek lingkungan menjadi salah satu acuan dasar dalam setiap proses pembangunan. Selain itu penggunaan sumber daya energi yang terus menerus tanpa ada antisipasi atau upaya untuk mengurangi penggunaan akan dapat memberikan dampak berkurangnya sumber daya alam yang ada sekarang. Oleh karena itu, sudah seharusnya universitas menjadi ujung tombak terdepan dalam menyelesaikan suatu permasalahan lingkungan seperti sampah, borosnya penggunaan air dan listrik dengan menginduksi konsep green campus. Tujuan dari tulisan ini sebagai acuan untuk dapat membantu kemajuan di bidang kelestarian lingkungan universitas dan sebagai titik awal bagi pembaca untuk memilih ide-ide di bidang lingkungan yang dapat melakukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut dalam konteks universitas mereka sendiri. Dalam hal ini tempat penelitian dilaksanakan di Universitas Dhyana Pura. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria kampus ramah lingkungan yang telah dilaksanakan di Universitas Dhyana Pura yaitu efisiensi penggunaan air dan ruang terbuka hijau. Kriteria kampus ramah lingkungan yang masih terdapat permasalahan yaitu efisiensi penggunaan listrik, kertas dan pengelolaan sampah. Dan solusi permasalahan lingkungan berupa sistem LDR, solar cell, efisiensi penggunaan kertas dan pengelolaan sampah. Kata Kunci : Green Campus, LDR, Solar Cell, Universitas Dhyana Pura, Efisiensi PENDAHULUAN Permasalahan lingkungan menjadi salah satu hal yang paling penting dan paling diperhatikan dalam beberapa tahun belakangan ini. Kata green telah menjadi sebuah trend baru dalam setiap keseharian manusia sekarang ini. Aspek lingkungan pun menjadi salah satu acuan dasar dalam setiap proses pembangunan. Selain itu penggunaan sumber daya energi yang terus menerus tanpa ada antisipasi atau upaya untuk mengurangi penggunaan, akan dapat memberikan dampak hilangnya sumber daya alam yang ada sekarang (Anonim, 2013). Universitas merupakan tempat di mana para terpelajar dididik dan didewasakan agar dapat memberi solusi dalam suatu permasalahan bangsa. Tingkat kemajuan suatu Negara dapat dilihat dari kualitas perguruan tingginya. Oleh karena itu, sudah seharusnya sebuah perguruan
tinggi menjadi ujung tombak terdepan dalam menyelesaikan suatu permasalahan bangsa, termasuk permasalahan lingkungan seperti sampah, borosnya penggunaan air dan listrik, dengan menginduksi konsep green campus. Perwujudan sebuah kampus yang ramah lingkungan merupakan tindakan nyata untuk menjawab berbagai permasalahan lingkungan yang terjadi (Sitorus, 2010). Green Campus ialah salah satu program yang memiliki pengertian sejauh mana warga kampus dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada di lingkungan kampus secara efektif dan efisien, contohnya dalam pemanfaatan penggunaan kertas, efisiensi pengelolaan sampah, penggunaan listrik, air, lahan, dan lainnya (Nasotion, 2011). Penilaian yang digunakan untuk menjadi kampus yang berbasis green campus didukung oleh beberapa indikator
232
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI yang menunjang. Adapun Ukuran keberhasilan ditentukan oleh beberapa indikator antara lain efisiensi penggunaan kertas sebagai kebutuhan pokok pengajaran dan aktifitas administrasi kantor, efisiensi pengelolaan sampah, efisiensi penggunaan lahan sebagai ruang terbuka hijau dan estetika (landscape) efisiensi penggunaan air, efisiensi pemakaian sumber daya alam dan efisiensi penggunaan listrik (Anonim, 2013). Tulisan ini mengkaji konsep Green Campus dengan studi literatur terhadap contoh kasus di Universitas Dhyana Pura. Setelah ini diharapkan untuk lebih dapat meningkatkan kualitas universitas di bidang lingkungan yang berdasarkan konsep Green Campus. Dari tulisan ini yaitu memanfaatkan sumber daya energi tidak terbatas untuk kelangsungan hidup mahkluk hidup, mengurangi penggunaan sumber daya energi terbatas, menghemat biaya listrik yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang dan mewujudkan Universitas Dhyana Pura sebagai kampus yang berwawasan lingkungan dan bertujuan untuk mengatasi permasalahan lingkungan. PEMBAHASAN Universitas Dhyana Pura berdiri pada luas tanah keseluruhan 23.689 m2, dimana penggunaan lahan untuk bangunan (gedung A dan B, area parkir serta kantin) yaitu 4.067,30 m2 (17,17%). Jadi luasan untuk ruang terbuka hijau seluas 19.621,7 m2 (82,83%). Menurut Firdaus (2012) dikatakan bahwa untuk kriteria ruang terbuka hijau pada lahan yaitu minimal sebesar 30% dari luas lahan keseluruhan. Berdasarkan data diatas dapat dikatakan bahwa telah memenuhi kriteria penentuan ruang terbuka hijau yang ideal minimal sebesar 30% dari luas lahan kampus. Penggunaan energi listrik di Universitas Dhyana Pura berdasarkan data yaitu rata – rata pemakaian 15.000 watt/bulan. Aktifitas penggunaan listrik yaitu berupa kegiatan pengajaran di kelas, administrasi kantor Universitas, kantin, toilet dan pompa air menggunakan tenaga listrik. Efisiensi penggunaan listrik belum diupayakan untuk menghindari pemakaian yang berlebih. Kebutuhan air di Universitas Dhyana Pura bersumber dari PDAM dan dari air bawah tanah (ABT) dengan memanfaatkan mesin pompa air. Berdasarkan data kebutuhan air di Universitas Dhyana Pura menggunakan 2 pompa berkapasitas 1500 liter/jam dan menggunakan 1 pompa dengan kapasitas 8000 liter/jam. Efisiensi penggunaan air menggunakan biopori
ISBN:978-602-9138-68-9
sebagai upaya memanfaatkan air untuk lebih banyak meresap ke dalam tanah (Gambar 1).
Gambar 1. Biopori Selain hal tersebut dilakukannya penyiraman tanaman dengan menggunakan air yang bersumber dari air kolam, dimana air kolam ini mendapat distribusi air dari aliran sungai yang mengalir di samping kampus. Tetapi pengecekan tempat penampungan air yang berasal dari pompa air masih dilakukan secara manual. Jadi kemungkinan adanya kebocoran akibat penuhnya pada tempat penampungan air dapat terjadi. Penanganan pengelolaan sampah di Universitas Dhyana Pura dilakukan oleh 4 orang tukang kebun. Jumlah bak/sarana pengumpul sampah yang sudah terpilah organik dan nonorganik sebanyak 4 buah serta 15 tempat sampah umum yang tersebar disetiap gedung. Semua jenis sampah yang dihasilkan di lingkungan Universitas sampai saat ini seluruhnya diangkut ke TPA melalui pihak ketiga. Pengolahan sampah di lingkungan Universitas Dhyana Pura masih memerlukan penanganan lebih lanjut dalam pengelolaannya (Gambar 2).
233
Gambar 2. Lokasi Pengumpulan Sampah
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI 2. Sistem yang diusulkan 1. Sistem LDR LDR atau light Dependent Resistor adalah salah satu jenis resistor yang nilai hambatannya dipengaruhi oleh cahaya yang diterima olehnya. Besarnya nilai hambatan pada LDR tergantung pada besar kecilnya cahaya yang di terima oleh LDR itu sendiri. Contoh penggunaannya adalah pada lampu taman dan lampu di jalan yang bias menyala di malam hari dan padam di siang hari secara otomatis (Ma’mun, 2010). Sistem penggunaan listrik dengan sensor LDR diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam penggunaan listrik secara efektif dan efisien. Perancangan pemasangan sensor LDR dalam suatu ruangan yang mengontrol system penerangan ruangan (lampu) dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Rangkaian LDR sebuah lampu 2. Solar cell Pembangkit listrik tenaga surya atau sollar cell adalah ramah lingkungan, dan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi penggunaan listrik. Keuntungan menggunakan listrik mandiri dengan menggunakan solar cell / panel surya diantara; merupakan energi terbarukan yang tidak akan pernah habis, menghemat listrik dalam jangka waktu yang panjang, mengurangi pemanasan global, bersih dan juga ramah lingkungan, mengurangi ketergantungan dengan pembangkit listrik milik pemerintah, dan sangat cocok untuk daerah tropis seperti Indonesia (Bima, 2011). Dalam kegiatan di Universitas, solar cell membantu sebagai energi alternatif dengan tahap penyesuaian harus mengetahui daya yang dihasilkan oleh 1 panel surya yang akan digunakan dan mengetahui daya listrik gedung yang akan dipasok. Jika diasumsikan 1 panel
ISBN:978-602-9138-68-9
surya 50 WP menghasilkan 100 watt dan daya yang diperlukan sebesar 10.000 watt dalam 1 gedung maka: Perhitungan : Jumlah solar cell panel yang dibutuhkan, satu panel kita hitung 100 Watt (perhitungan adalah sebuah solar cell mampu meyerap daya maksimal selama 4-5 jam): Gedung A : Kebutuhan solar cells panel : [10.000 / (100 x 5)] = 20 panel surya. Jumlah kebutuhan batere 12 Volt dengan masingmasing 100 Ah: • Kebutuhan baterai minimum (baterai hanya digunakan 50% untuk pemenuhan kebutuhan listrik), dengan demikian kebutuhan daya dikalikan 2 x lipat : 10.000 x 2 = 20.000 Watt hour = 20.000/ 12 Volt / 100 Amp = 17 baterai 100 Ah. • Kebutuhan baterai (dengan pertimbangan dapat melayani kebutuhan 3 hari tanpa sinar matahari) : 10.000 x 2 x 3 = 60.000 Watt hour = 60.000/ 12 Volt / 100 Amp = 50 baterai 100 Ah. 3. Efisiensi Penggunaan Kertas Penggunaan kertas di lingkungan Universitas dapat ditangani dengan mengurangi penggunaan kertas. Efisiensi penggunaan kertas dapat dilakukan yaitu dengan memanfaatkan penggunaan media email untuk pengiriman surat, mendaur ulang kembali kertas yang digunakan menjadi kertas daur ulang atau tissu. Aplikasi efisiensi penggunaan kertas yang saat ini dapat diaplikasikan di Universitas Dhyana pura dengan memanfaatkan jaringan komputer dan internet yang ada untuk penyebaran informasi dan koordinasi kerja melalui beberapa sistem informasi untuk kegiatan operasional di Universitas. 4. Pengolahan Sampah Penanganan sampah, yaitu rangkaian kegiatan penaganan sampah yang mencakup pemilahan, pengumpulan, pengangkutan atau penggunaan kembali (Recycle) (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007). Secara umum di lingkungan Universitas Dhyana Pura telah dilakukan penanganan dari tempat sampah sampai menuju ke tempat pengumpulan kemudian diangkut oleh pihak ketiga ke TPA. Untuk penanganan lebih lanjut dapat dilakukan
234
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI pemilahan sampah organik dan anorganik terlebih dahulu kemudian dibuatkan 2 tempat pengumpulan sampah berdasarkan jenisnya yaitu sampah organik dan anorganik. Pengolahan sampah organik dapat dilakukan dengan metode sanitary landfill ini merupakan salah satu metoda pengolahan sampah terkontrol dengan sistem sanitasi yang baik. Sampah organic dikumpulkan di tempat pengumpulan sampah. Kemudian sampah dipadatkan dan selanjutnya di tutup tanah. Cara ini akan menghilangkan polusi udara dan dapat menghasilkan kompos/pupuk. Pada bagian dasar tempat tersebut dilengkapi sistem saluran leachate yang berfungsi sebagai saluran limbah cair sampah atau ke lingkungan. Pada metode sanitary landfill tersebut juga dapat dipasang pipa gas untuk mengalirkan gas hasil aktivitas penguraian sampah. Pengolahan sampah anorganik dapat dipilah kembali, yaitu sampah yang dapat dikomersilkan kembali seperti kertas dan plastik bekas dan sisa sampah lainnya dapat dibuang ke TPA. SIMPULAN Adapun simpulan dari pembahasan di atas yaitu 1. Universitas Dhyana Pura yang telah melaksanakan kriteria kampus ramah lingkungan diantaranya pada efisiensi penggunaan air dan penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau. 2. Permasalahan di bidang lingkungan yang terjadi di Universitas Dhyana Pura yaitu pada efisiensi penggunaan listrik, pengelolaan sampah dan efisiensi penggunaan kertas. 3. Bentuk solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan lingkungan di Universitas Dhyana Pura yaitu efisiensi listrik menggunakan system sensor LDR dan solar cell, untuk pengelolaan sampah menggunakan proses pemilahan sampah, sanitary landfill dan mengkomersilkan kembali sampah anorganik. Untuk efisiensi penggunaan kertas dapat mengaplikasikan memaanfaatkan media email untuk penyebaran informasi di area Universitas. SARAN Diperlukan adanya proses tindak lanjut dari pengembangan solusi yang ditawarkan.
ISBN:978-602-9138-68-9
Daftar Pustaka Anonim. 2013. Green Campus.Available at : http://ecocampus.itb.ac.id/tentang- 2/ ecocampus/ Akses: 18.02.2014. Bima. 2011. Studi Mengenai Pengembangan Dan Kehematan Penel Surya Sebagai Langkah Penghematan Energi Listrik. Available at: http:// ridwanbimaarya.blogspot.com/2011/10/ proposal-penelitian-panel-surya.html. Akses: 02.03.2014. Firdaus A. 2012. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Studi kasus pemanfaatan Lahan Kampus I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Terhadap Kepentingan Ekonomi (Tesis). Program Studi Ilmu Lingkungan Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup. 2007. Fasilitas Pengumpulan Limbah Padat. Jakarta. Ma’mun S. 2010. Rancang Bangun Sistem Otomasi Lampu dan Pendingin Ruangan. (Skripsi). Universitas Indonesia. Nasotion, P. 2010. Green Campus Vs. Pemanasan Global. Available at: http:// w w w. g o g r e e n i n d o n e s i a k u . c o m / green_opinion2.php. Akses: 18.02.2014. Sitorus. 2010. Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Dengan Menggunakan Solar Cell 100 Wp Sebagai Sumber Energi Alternatif Pada Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang. Program Studi Pendidikan Teknik Elektro Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang.
235
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
DAMPAK PEMBANGUNAN JALAN PROF. DR. IDA BAGUS MANTRA TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN DESA KETEWEL Putu Perdana Kusuma Wiguna dan Ni Kadek Aditya Purnama Dewi Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar Timur, Bali. e-mail: [email protected] ABSTRAK Pembangunan jalan akan berdampak besar bagi perkembangan kawasan yang dilalui, terutama kawasan sepanjang kanan dan kiri jalan. Pembangunan jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra berfungsi untuk mempermudah aksesibilitas dan mobilitas masyarakat menuju ke pusat kegiatan yaitu Kota Denpasar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan kondisi lingkungan dan dampak yang ditimbulkan dari pembangunan jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra terhadap kondisi lingkungan Desa Ketewel. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode induktif dengan pendekatan penelitian deskriptif-kualitatif. Analisis yang digunakan untuk menganalisa perubahan adalah analisis before and after dengan mengidentifikasi keadaan sebelum pembangunan dan sesudah pembangunan jalan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak pembangunan jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dapat dijelaskan bahwa dengan adanya jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menyebabkan kualitas lingkungan di sepanjang jalan menjadi berkurang. Untuk tingkat kebisingan menimbulkan dampak negatif dengan presentase 75%, untuk polusi udara 70% dan daya serap air 60%. Kata kunci: Dampak lingkungan, Pembangunan Jalan, Desa Ketewel PENDAHULUAN Kebijakan tata ruang sangat erat kaitannya dengan kebijakan transportasi. Kebutuhan sarana transportasi menimbulkan kebutuhan ruang untuk pembangunan jaringan transportasi yang akan mempengaruhi tata ruang dan masyarakat. Jalan sebagai sistem transportasi mempunyai peranan penting dalam mendukung pergerakan manusia dan barang. Jalan mempunyai fungsi pelayanan atau akses bagi suatu wilayah yang dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah dan sekaligus berfungsi menggerakkan dinamika pembangunan daerah. Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, salah satu permasalahan yang dihadapi adalah semakin meningkatnya arus lalu lintas jalan-jalan di Bali, baik jalan Nasional, jalan Provinsi maupun jalan Kabupaten). Permasalahan ini dipicu oleh meningkatnya beban jalan pada ruas-ruas jalan eksisting kota terutama di bagian selatan Pulau Bali.
Pemerintah Provinsi Bali membangun jalan penghubung untuk wilayah Bali selatan yaitu jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (By Pass Tohpati-Kusamba). Pembangunan jalan ini direncanakan untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan arus lalu lintas yang diakibatkan karena semakin berkembangnya ekonomi di Bali. Keberadaan jalan ini diharapkan dapat mengurangi kepadatan jalan-jalan eksisting yang mengalami beban yang berat dan mengakibatkan terjadi kerusakan jalan dan kemacetan terutama pada ruas jalan Tohpati-Sukawati-Gianyar. Pembangunan ruas jalan TohpatiKusamba menyebabkan terjadi peningkatan intensitas pemanfaatan ruang di sepajang kanan dan kiri jalan yang mengarah kepada pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pembangunan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali. Perubahanperubahan yang terjadi seperti pemanfaatan lahan irigasi dan lahan pertanian produktif menjadi permukiman baik oleh masyarakat atau
236
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI perseorangan maupun dari pengembang, perubahan lainnya yaitu terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang pada sempadan pantai, kawasan suci, dan pada jalur prosesi keagamaan. Apabila hal ini tidak segera diantisipasi maka dikhawatirkan akan terjadi kesemrawutan perkembangan aktivitas di sepanjang jalur dan akan berdampak pada perubahan pemanfaatan lahan, menurunnya tingkat pelayanan jalan serta menurunnya kondisi lingkungan di sepanjang jalur jalan dan di wilayah yang dilalui oleh jalan. Pemerintah Propinsi Bali membangun jalan penghubung untuk wilayah Bali selatan yaitu jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (By Pass Tohpati-Kusamba) yang direncanakan untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan arus lalu lintas yang diakibatkan karena semakin berkembangnya ekonomi di Bali. Namun pembangunan ruas jalan Tohpati-Kusamba menyebabkan terjadinya kesemrawutan di sepanjang jalur dan akan berdampak pada perubahan pemanfaatan lahan, serta menurunnya fungsi lingkungan di sepanjang jalur jalan dan di wilayah yang dilalui oleh jalan. Salah satu desa yang dilalui oleh jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra adalah Desa Ketewel. Desa ini memiliki akses jalan menuju ke pusat kegiatan lokal yaitu Guwang dan Sukawati, serta menuju ke pusat kota yaitu Kota Gianyar. Jalur Ketewel Sukawati merupakan jalur regional kawasan yang berfungsi untuk mengurangi kemacetan di ruas jalur TohpatiGianyar-Klungkung. Dibukanya jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra semakin mempermudah akses keluar dan masuk daerah ini, sehingga menyebabkan terjadi perubahan yang tinggi terhadap perubahan lingkungan di sepanjang jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra di Desa Ketewel. Keberadaan jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra berpengaruh terhadap kondisi penggunaan lahan dan lingkungan di wilayah sekitarnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan kondisi lingkungan dan mengetahui dampak yang ditimbulkan dari pembangunan jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra terhadap kondisi lingkungan Desa Ketewel. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif-kualitatif. Metode
ISBN:978-602-9138-68-9
pengumpulan data terbagi menjadi dua cara yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode observasi dan wawancara. Dalam penelitian ini, yang ditetapkan sebagai responden adalah orangorang yang dianggap representatif dan mengetahui masalah yang terdapat dalam objek penelitian seperti Kepala Desa, pemilik lahan yang terkena pembebasan lahan, pemilik usaha, petani, serta masyarakat Desa Ketewel. Wawancara yang dilakukan berupa wawancara tidak terstruktur yaitu dengan melakukan percakapan singkat dengan masyarakat, dan orang yang berkegiatan di wilayah penelitian. Berdasarkan analisis setiap jawaban dari responden tersebut, maka diajukan pertanyaan yang lebih mengarah ke tujuan penelitian. Untuk mendapatkan data dan informasi yang lebih jelas dan mendalam, maka dilakukan teknik wawancara secara mendalam (indepth interview) dengan responden. Wawancara mendalam digunakan untuk mengidentifikasi dampak pembangunan jalan terhadap kondisi lingkungan desa, agar dapat mengevaluasi aspek-aspek terkait dengan dampak pembangunan di wilayah penelitian dan menggali informasi dari informan secara lengkap. Pengumpulan data sekunder diperoleh atau dikumpulkan dari berbagai sumber yang telah ada. Data yang dikumpulkan dalam menunjang penelitian ini dapat berupa dokumendokumen yang berhubungan dengan tujuan penelitian Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Sementara itu perubahan kondisi fisik di wilayah penelitian dianalisis dengan menggunakan metode before and after berdasarkan series waktu penelitian. Metode ini digunakan untuk meninjau perkembangan perubahan wilayah berdasarkan keadaan sebelum pembangunan dan sesudah pembangunan Jalan Ida Bagus Mantra. Melalui data series waktu lima tahun, dilakukan perbandingan dari keadaan sebelum dan sesudah pembangunan, untuk melihat perubahan yang terjadi dapat diketahui berdasarkan perbandingan jumlah penggunaan lahan, perbandingan jumlah perdagangan dan jasa, dan perbandingan kondisi non fisik desa yang dapat ditunjukkan dengan peta ataupun gambar.
237
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Berdasarkan analisis yang dilakukan akan didapatkan hasil perubahan-perubahan. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara administrasi Desa Ketewel terletak di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Berdasarkan letak astronomisnya Desa Ketewel terletak pada 08 o 38’40.39" 8o36’49.11" Lintang Selatan dan 115o16’36,57" - 115 o 17’37.21" Bujur Timur dengan luas wilayah adalah 6,75 km2 atau 675 Ha. Secara administrasi Desa Ketewel memiliki 15 banjar Dinas yang terbagi menjadi 3 Desa Adat (Pekraman) yaitu Desa Pekraman Ketewel, Desa Pekraman Rangkan dan Desa Pekraman Lembeng. Pembangunan di Desa Ketewel yang semakin meningkat mendesak sumber daya dan ruang. Setiap penyediaan prasarana membutuhkan ruang untuk pembangunan, sehingga semakin meluasnya ruang yang dibutuhkan untuk pembangunan sarana dan prasarana dapat memicu terjadi perubahan serta penurunan kualitas lingkungan. Pembangunan jalan Ida Bagus Mantra yang melalui Desa Ketewel membutuhkan lahan dengan luas mencapai 15,6 Ha dengan panjang jalan mencapai 3.9 km. Lahan yang digunakan sebagai jalan dominan merupakan lahan pertanian dan sebagian merupakan rumah warga. Pembangunan jalan menyebabkan turunnya kualitas lingkungan yang berpengaruh kepada tingkat kebisingan, polusiudara, daya serap air, serta adanya abrasi pantai akibat pengaruh dari berkurangnya sempadan pantai yang dijadikan areal terbangun penunjang kegiatan pariwisata. Keberadaan jalan sangat erat kaitannya dengan tingkat kebisingan, apalagi lokasi jalan yang berada di tengah-tengah permukiman warga. Sebelum pembangunan jalan di Desa Ketewel, keadaan desa masih sangat tenang jauh dari kebisingan, namun setelah pembangunan jalan mulai kendaraan melintas menyebabkan timbulah polusi suara/kebisingan yang terdengar. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, kebisingan tidak hanya ditimbulkan oleh kendaraan yang melintasi jalan, tetapi juga ditimbulkan oleh industri-industri dan pabrik yang terdapat di kawasan sepanjang jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara dengan masyarakat di Desa
ISBN:978-602-9138-68-9
Ketewel berkaitan dengan tingkat kebisingan. Melalui hasil wawancara tersebut dikatakan bahwa : “sejak dibangunnya jalan Ida Bagus Mantra, suasana di sekitar ini sangat bising terutama pada jalan banyak kendaraan yang lewat baik yang berukuran besar ataupun kecil. Sehingga menimbulkan kebisingan yang tinggi. Selain jalan beberapa industri kerajinan yang bersifat pengolahan juga menimbulkan suara bising. (I.K.Longsyong, 10 April 2014)” Setelah pembangunan jalan, banyak terdapat kendaraan yang melintas, sehingga menimbulkan udara yang tidak sehat, ditambah lagi dengan cuaca musim kemarau yang sudah tiba membuat udara semakin berkurang dan menjadi lebih panas di wilayah penelitian. Kendaraaan mengeluarkan asap knalpot, debu yang berterbangan di jalanan bercampur dengan udara yang dihirup dapat mengganggu kesehatan dapat menyebabkan sesak napas, bahkan sampai terjadi gangguan pada paru-paru. Selain itu, asap/debu serpihan pemotongan kayu ataupun batu di industri-industri sekitar jalan menambah polusi yang terjadi. Kurangnya Ruang Terbuka Hijau manjadi permasalahan utama karena kebanyakan sudah dialihfungsikan menjadi areal terbangun seperti pembangunan perdagangan dan jasa, permukiman dan penunjang pariwisata membuat kurangnya udara bersih di sekitar kawasan. Pembangunan jalan Prof. Dr. Ida bagus Mantra membuat kurangnya daya serap air di sekitar jalan, karena perkerasan jalan yang memakai beton dan hotmix. Berdasarkan hasil pengamatan di sepanjang jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, dapat dijelaskan bahwa semenjak pembangunan jalan dan jalan sudah digunakan menyebabkan terjadi penurunan daya serap air. Petani yang memiliki lahan di sekitar kawasan jalan juga mengalami kekeringan dan debit aliran irigasi kecil. Selain itu jika pada musim kemarau kondisi jalan menjadi sangat panas pada siang hari, sampai masyarakat yang memiliki usaha perdagangan dan jasa di sekitarnya mengalami kekurangan air. Dampak secara sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau akibat. Dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik maupun biologi. Aktifitas pembangunan akan menghasilkan
238
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dampak, baik pada manusia ataupun lingkungan hidup (Soemarwoto, 2009). Pembangunan jalan sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan wilayah sekitarnya. Lingkungan di sekitar jalan sangat rentan dengan terjadinya polusi, kebisingan, serta kurangnya daya serap air. Menurut Soemarwoto (2009), dampak adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas. Aktivitas tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik maupun biologi. Aktifitas pembangunan akan menghasilkan dampak, baik pada manusia ataupun lingkungan hidup. Sehingga pembangunan jalan berdampak pada kualitas lingkungan baik berdampak positif maupun berdampak negatif. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawacara di lapangan terhadap masyarakat sekitar jalan serta pengguna jalan maka dampak pembangunan Jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dapat ditampilkan pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 20 responden mengenai dampak pembangunan jalan, baik itu dampak positif dan dampak negatif, dapat dijelaskan bahwa dengan adanya Jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra kualitas lingkungan di sepanjang jalan menjadi berkurang. Untuk tingkat kebisingan menimbulkan dampak negatif dengan presentase 75%, untuk polusi udara 70% dan daya resap air 15%. Para responden masih menganggap bahwa daya resap air tidak terlalu berpengaruh negatif terhadap kondisi lingkungan di sekitar Jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dengan persentase dampak negatif sebanyak 15% dengan sejumlah 60% masih netral atau tidak menentukan pilihan. Sehingga dapat dijabarkan dampak pembangunan jalan terhadap kualitas lingkungan adalah sebagai berikut: 1. Perkerasan jalan yang menggunakan beton menimbulkan kurangnya daya serap
ISBN:978-602-9138-68-9
air. Pernah terjadi banjir di pinggir-pinggir jalan, yang disebabkan karena drainase tersumbat sampah. Selain itu karena kondisi jalan yang tidak rindang membuat cuaca menjadi panas. Menurut persepsi masyarakat yang lain, jalan ini bagus menggunakan beton dan aspal karena memudahkan dalam berkendara tidak ad lubang di spanjang jalan sehingga menjadi nyaman. 2. Keberadaan jalan dan usaha-usaha di sepanjang jalan membuat timbul polusi udara. Asap knalpot kendaraan menimbulkan polusi dan bau tidak sedap. Industri kerajinan dan pabrik pengolahan kayu juga menimbulkan polusi udara, karena pada saat pemotongan debu hasil pemotongan tersebut berterbangan. Berdasarkan pendapat tersebut keberadaan jalan dan juga industri kerajinan, pabrik kayu, pengolahan pasir berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat. Secara keseluruhan dari pembahasan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan Jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dapat dikatakan bahwa pembangunan jalan berdampak terhadap kehidupan masyarakat baik itu bersifat merugikan maupun menguntungkan seperti aksesibilitas yang menjadi semakin lancar. Perkembangan pembangunan di sepanjang jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra hendaknya memperdulikan masyarakat dan lingkungan sekitar agar usaha yang didirikan berdampak positif bagi masyarakat dan tidak merugikan masyarakat terutama gangguan kesehatan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan Jalan Ida Bagus Mantra menyebabkan terjadi dampak terhadap lingkungan yang pada akhirnya berdampak terhadap masyarakat di wilayah penelitian. Pembangunan Jalan prof. Dr. Ida Bagus Mantra berpengaruh terhadap kualitas lingkungan dimana keberadaan jalan menyebabkan terjadi gangguan-gangguan seperti timbul kebisingan, terjadi polusi udara oleh kendaraan dan industri kerajinan batu, pabrik
239
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI kayu serta dagang pasir yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi pengguna jalan dan pemilik usaha di sekitar jalan. Dampak pembangunan jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dapat dijelaskan bahwa dengan adanya jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menyebabkan kualitas lingkungan di sepanjang jalan menjadi berkurang. Untuk tingkat kebisingan menimbulkan dampak negatif dengan presentase 75%, untuk polusi udara 70% dan daya serap air 15%.
ISBN:978-602-9138-68-9
DAFTAR PUSTAKA Soemarwoto O. 2009. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wirawan K. 2007. Dampak Pembangunan Jalan Tohpati-Kusamba Terhadap Perubahan Pemanfaatan Lahan Desa (Studi Kasus: Desa Lebih, Kecamatan Gianyar, kabupaten Gianyar, Provinsi Bali). Yogyakarta: UGM
Saran Berdasarkan hasil temuan-temuan yang didapatkan dari penelitian ini, maka dapat diberikan saran agar arahan pengendalian dampak terhadap lingkungan yang dirumuskan dapat berjalan secara efektif antara lain dengan cara: 1. Peraturan yang ada seperti RDTR Kawsan Tohpati Kusamba perlu ditaati dalam hal pembangunan agar pembangunan menjadi merata dan tidak melanggar aturan. 2. Perlu dibuatkan zonasi terhadap pembangunan di sepanjang jalan, untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran. 3. Setiap pemanfaatan ruang di sepanjang jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra perlu dilengkapi dengan Ijin Pemanfaatan Ruang (IPR) yang dapat diperoleh di Bappeda masing-masing kabupaten/kota dan memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). 4. Penyediaan sarana dan prasarana pendukung jalan harus disesuaikan dengan aturan yang ada. Seperti penyediaan parkir, Ruang Terbuka Hijau (RTH), sarana peristirahatan, serta sarana umum lainnya yang berhubungan dengan lingkungan. 5. Perlu dilakukan pengendalian perubahan penggunaan lahan yang sifatnya menyeluruh dengan partisipasi dari keseluruhan stakeholders baik itu pihak pemerintah, masyarakat maupun swasta mengingat perubahan lahan yang tidak terkendali tidak hanya dilakukan dari beberapa stakeholders saja.
240
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PROBLEMATIKA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN KERUANGAN PARIWISATA DI DESA LEMBONGAN, BALI I Komang Gede Santhyasa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Hindu Indonesia, Jl. Sangalangit, Tembau, Denpasar, e-mail: [email protected] ABSTRAK Kebijakan pembangunan pariwisata yang telah dikembangkan lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan kelestarian lingkungan serta kepentingan masyarakat lokal. Berbagai pembangunan infrastruktur pariwisata seringkali berakibat terhadap degradasi lingkungan dalam berbagai ranah, seperti berkurangnya ruang publik pantai, perusakan sempadan sungai oleh pembangunan hotel atau villa, pengerusan air tanah secara berlebihan untuk lapangan golf, dan seterusnya. Tulisan ini ditujukan untuk menguraikan problematika dan gagasan pengelolaan lingkungan dan keruangan pariwisata dengan studi kasus di Desa Lembongan, Bali. Persoalanpersoalan lingkungan dan keruangan yang muncul akibat dari pengembangan pariwisata di Desa Lembongan, model pengelolaannya dikembalikan pada spirit-spirit pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dalam upaya pelestarian lingkungan dan penyelamatan keberadaan masyarakat lokal. Isu-isu tentang pariwisata ramah lingkungan (sustainable tourism), kecenderungan kembali ke alam (back to nature), pariwisata yang memberikan keuntungan terbesar bagi masyarakat baik dari segi ekonomi dan lingkungan (ecotourism) atau pariwisata yang berbasis komunitas (community based tourism) perlu menjadi pertimbangan dalam membangun infrastruktur dalam rangka menunjang pembangunan kepariwisataan. Pada tingkat gagasan konseptual, ide ekowisata yang mengusung prinsip pembangunan berkelanjutan bersesuaian dengan prinsip-prinsip kearifan lokal Bali Tri Hita Karana (keseimbangan) dan sejalan dengan prinsip-prinsip hidup masyarakat pedesaan. Kata Kunci: lingkungan, keruangan, masyarakat, ekowisata (pariwisata berkelajutan) PENDAHULUAN Dalam konteks pembangunan global, sektor kepariwisataan menjadi trend pembangunan dalam tiga dasa warsa terakhir ini. Selain itu, industri kepariwisataan menunjukkan tendensi perkembangan yang terus meningkat sebagai penghasil devisa negara yang sangat potensial. Hampir setiap negara di dunia, mengagendakan pariwisata sebagai formasi pendukung pembangunan ekonominya. Peran strategis ekonomis yang diemban beserta beragam dampak yang menyertai pemunculan kontribusi ini, merupakan dua sisi yang sering kali bertolak belakang karena keduanya tidak dapat diabaikan serta masing-masing membutuhkan penanganan yang proposional. Keberadaan industri kepariwisataan datang dengan beragam konsekuensi, termasuk
dampak ekonomi, sosial, budaya, dan hubungan politik antar anggota kelompok di masyarakat, dan antar orang dengan ruang, dan tempat yang direncanakan mereka (Wiliams,2009 dalam Suartika, 2010). Kemunculan dampak-dampak industri kepariwisataan mendorong pemunculan beragam analisis serta pandangan-pandangan konsepsual dalam pembangunan industri kepariwisataan kedepannya. Beragam studi dan kajian yang dilaksanakan telah mengidentifikasi peran yang mungkin diemban dalam pembangunan kepariwisataan ini, antara lain; (1) aktivitas kepariwisataan merupakan bagian penting dari proses globalisasi, (2) pariwisata sebagai katalisator menuju moderenisasi, khususnya dalam konteks pembangunan di negara-negara ketiga yang berkembang dan sedang membangun, (3) industri kepariwisataan
241
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI memiliki peran yang strategis dalam mendukung kesuksesan pembangunan ekonomi di masingmasing negara, (4) pariwisata sebagai jalan menuju regenerasi ekonomi pasca industrialisasi, khususnya untuk negara-negara maju, dan (5) pariwisata mendorong terjadinya konservasi dan preservasi tatanan budaya lokal dalam menghadapi pengaruh globalisasi (Suartika, 2010). Selain dampak yang diinginkan dari pembangunannya, sektor pariwisata juga memiliki pengaruh yang tidak diharapkan. Dalam tataran realitas, ternyata kebijakan pembangunan pariwisata yang telah dikembangkan lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi, dan mengabaikan kelestarian lingkungan, serta kepentingan masyarakat lokal (Arida, 2009). Berbagai pembangunan infrastruktur pariwisata seringkali berakibat terhadap degradasi lingkungan dalam berbagai ranah, seperti berkurangnya ruang publik pantai, perusakan sempadan sungai oleh pembangunan hotel atau villa, pengerusan air tanah secara berlebihan untuk lapangan golf, dan seterusnya. Tulisan ini akan menguraikan problematika dan gagasan pengelolaan lingkungan dan keruangan pariwisata dengan studi kasus di Desa Lembongan, Bali. PEMBAHASAN Trend Pembangunan Pariwisata Bali Sejak tahun 30-an, Bali sudah dikenal sebagai daerah yang layak untuk dikunjungi. Para pengunjung pun pada saat itu lebih pada kaitannya dengan tugas pegawai kolonial dan juga para antropolog yang tertarik untuk meneliti perilaku budaya masyarakat Bali. Dengan kondisi tersebut, maka label pun banyak diciptakan untuk Bali. Ada yang mengatakan Bali sebagai Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, Pulau Sorga, Bali Sorga terakhir dan aneka nama pujian lainnya. Berakhirnya perang dunia II berimplikasi pada peningkatan taraf hidup di belahan dunia khususnya negara-negara maju, sehingga semakin banyaknya orang ingin melakukan perjalanan wisata. Bali pun menjadi salah satu target kunjungan para wisatawan. Perkembanagn yang sangat pesat dapat terlihat sejak akhir tahun 70-an sampai awal tahun 2000an atau sebelum bom Bali 2002, lonjakan jumlah
ISBN:978-602-9138-68-9
kunjungan wisatawan dan akomodasi pariwisata sangat signifikan. Melihat perkembangan kepariwisataan Bali sampai saat ini, ada beberapa hal yang dapat dilihat dari ciri dasar kepariwisataan yang sebenarnya. Secara umum masih ada anggapan bahwa usaha kepariwisataan adalah usaha yang bersih, namun kenyataannya kepariwisataan itu adalah sebuah industri yang juga melibatkan banyak elemen pendukung diantaranya (Suarnatha, 2010): 1.
Industri kepariwisataan membutuhkan sumber daya alam dan infrastruktur pendukung serta menghasilkan limbah. Dalam konteks bentang alam/keruangan, kedatangan wisatawan baik melalui darat, laut maupun udara telah mengkonsumsi sumber daya alam (lahan, bahan bakar, sarana untuk terminal, pelabuhan maupun bandara semuanya perlu lahan). Selain itu, penginapan, sarana makan dan minum (restaurant), transport dan jalan, air bersih, listrik dan telekomunikasi yang kesemuanya itu membutuhkan bentang lahan yang sangat luas. Setelah wisatawan pulang mereka meninggalkan limbah dan pada akhirnya juga membutuhkan lahan untuk mengolah limbah dan tempat pembuangan akhir (TPA). 2. Industri kepariwisataan memberikan dampak ikutan yang sangat luas atas pemakaian sumberdaya. Sebagai pemakai sumber daya alam yang rakus, industri pariwisata terbukti memberikan imbas pemakaian sumberdaya untuk kebutuhan lain yang terkait seperti pembuatan hotel berbintang, taman hiburan, lapangan golf, dan lain-lain yang semua itu cenderung memakai lahan dan butuh sumberdaya air yang berlebihan. Begitu jalan-jalan dibuka, ada kecenderungan terjadinya perubahan fungsi lahan yang dulunya pertanian menjadi peruntukan pendukung kepariwisataan berkembang sangat pesat. 3. Industri kepariwisataan tergolong industri yang sangat rentan. Sebagai industri yang sangat tergantung pada sumberdaya alam dan untuk menjaga kelangsungan hidupnya, maka usaha ini harus berkompetisi untuk mendapatkan sumberdaya yang langka dan terbatas. Hal
242
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI ini sangat terlihat pada kompetisi pemakaian sumberdaya lahan dan air dengan sektor pertanian. Data menunjukkan, bahwa perubahan lahan pertanian di Bali sebanyak 1000 Ha/tahun menjadi peruntukan pariwisata maupun perumahan. Tahun 2005 daerah Bali selatan sudah kekurangan air bersih. Selain itu, kacaunya situasi sosial, politik maupun kesehatan dapat mengguncangkan keberadaan sektor pariwisata, seperti isu perang teluk, SARS, Bom, Flu burung, Flu babi, Rabies, dan lainlain. 4. Pendapatan dari industri kepariwisataan tergantung pada jumlah kedatangan wisatawan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pendapatan dari industri pariwisata Bali adalah lebih besar mengundang konsumen/wisatawan dibandingkan dari hasil ekspor suatu produk. Konsekuensi benturan budaya, kompetisi ruang kerja dan kepadatan penduduk menjadi beban pulau ini. Lebih-lebih dengan agenda pasar bebas, membuka kemungkinan orang asing untuk bekerja di Bali. Kondisi ini menjadikan mereka bukan membuang uangnya di Bali, namun malah menjadi pesaing utama pengusaha lokal baik dari segi ekspor maupun industri jasa yang terkait dengan industri kepariwisataan. 5. Pariwisata adalah industri hiburan dan didominasi oleh pihak swasta. Industri kepariwisataan adalah dunia hiburan/ entertainment/image dan meliputi aneka jenis usaha yang didominasi oleh industri sektor swasta, sehingga kata investor menjadi tidak pernah lepas bila kita menyebut kata pariwisata. Mata rantai pasarnya sangat panjang, sehingga sangat sulit mengontrol dan monitoringnya. Investasi para investor sebagian besar didasarkan pada keputusan-keputusan memaksimalkan keuntungan bagi para investor. Permasalahan-permasalahan yang mengemuka diatas, lebih lanjut ditegaskan kembali oleh Manuaba (2006), bahwa ada enam permasalahan pembangunan pariwisata Bali antara lain: 1).Ketatnya persaingan penggunaan sumberdaya yang terbatas, 2).Tekanan terhadap lingkungan, 3).Kesenjangan Ekonomi antar wilayah, 4).Dislokasi kultural, 5).Rendahnya
ISBN:978-602-9138-68-9
koordinasi manajemen, dan 6).Terbatasnya permodalan lokal, sehingga menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap investasi asing. Hal ini tentu menjadi permasalahan ketika pariwisata Bali dikaitkan dengan keberlanjutan pembangunan. Dalam proses yang berjalan selama ini, peran masyarakat sebagai pemegang kedaulatan atas keruangan dengan segala nilai seni dan budayanya dijadikan obyek bukan subyek di wilayahnya sendiri padahal merekalah para pendukung budaya yang menyebabkan para wisatawan berkunjung ke Bali. Tampakan luar bahwa Bali menjadi berkembang sangat pesat dari perspektif ekonomi, namun konsekuensi dampak lingkungan dan sosial juga semakin terasa. Semakin lama kelihatan bahwa kontribusi ekonomi yang menetes kepada masyarakat desa sangat kecil. Terasa memang terjadi ketidakadilan, maka untuk itulah ekowisata desa dilahirkan sebagai salah satu alternatif model kepariwisataan yang berbasis masyarakat sekaligus melestarikan lingkungan. Pariwisata Masa depan, Pariwisata Berkelanjutan Konsepsi pembangunan pariwisata berkelanjutan dalam pertemuan-pertemuan tingkat dunia seperti WTO (World Tourism Organisation) dan Agenda 21, menekankan bahwa pariwisata harus didasari pada kriteriakriteria yang berkelanjutan yang intinya pembangunan pariwisata harus didukung secara ekologis dalam jangka panjang, dan sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat lokal. Selanjutnya, Federasion of Nature and National Parks (1993) memberi batasan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah semua bentuk pembangunan, pengelolaan dan aktivitas pariwisata yang memelihara integritas lingkungan, sosial, ekonomi dan kesejahteraan dari sumberdaya alam dan budaya yang ada untuk jangka waktu yang lama. Bali dengan pertambahan konsumen yang cepat (penduduk dan wisatawan) mendapat ancaman akan keberlanjutan keanekaragaman hayati penopang kehidupan dan kebutuhan upacaranya (ritual keagamaan). Tekanan pertambahan populasi, cepatnya perubahan, kompleks dan rumitnya keadaan, ketatnya persaingan kedepan membawa konsekuensi
243
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI terhadap peran masyarakat dalam mempertimbangkan kesinambungan sumbersumber hayati dan produksi agar dapat dimanfaatkan secara efisien, berkeadilan, dan tetap menjaga keutuhan ekologis. Perkembangan kepariwisataan Bali sangat ditunjang oleh budayanya. Oleh karena itu, tindakan kita harus tetap menjaga dengan baik antara keseimbangan budaya dan nilai-nilai keseimbangan dalam budaya Bali. Usaha mendorong kemampuan masyarakat lokal untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan arah pembangunan menjadi penting dalam membantu usaha pelestarian dan pembaharuan tradisi budaya yang telah diekspresikan dalam agama, seni, dan kelembagaan. Disinilah keterpaduan dan keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan, pertanian dan pariwisata yang menjadi kunci faktor-faktor perkembangan Bali perlu dipertimbangkan. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan kualitas hidup yang setinggi-tingginya, maka diperlukan konsep dan cara pandang pembangunan kepariwisataan yang berkualitas dimana pembangunan sebaiknya merupakan realisasi dari potensi yang ada yang mendorong kemampuan disemua tingkatan kelembagaan baik formal maupun informal. Pengembangan pariwisata di suatu daerah tidak akan bisa terlepas dari Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang bersangkutan sebagai mandat dari UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Begitu juga dengan Perda Provinsi Bali No. 16/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali tahun 2009 s.d. 2029. Pilihan pada pengembangan pariwisata massal (mass tourism) akan memberikan konsekuensi pengembangan infrastruktur yang berlainan daripada pilihan pada pengembangan pariwisata yang berkualitas (quality tourism). Dalam konteks dengan proses perencanaan kebijakan pembangunan keruangan (spatial) yang terkait dengan pembangunan kepariwisataan, ada lima kelompok dasar pertimbangan yang dijadikan pendekatan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, antara lain (Potjana, 2003 dalam Suartika, 2010): 1).Ekonomi, 2).Sosial, 3).Politik, 4).Budaya, dan 5).Lingkungan alamiah.
ISBN:978-602-9138-68-9
Kajian Pengelolaan Lingkungan dan Keruangan Pariwisata di Desa Lembongan Bali kini tengah berada di persimpangan jalan. Pariwisata massal yang mendominasi pariwisata Bali terbukti telah menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap kehidupan sosial, budaya, dan kondisi lingkungan Bali. Alih-alih mampu mengurangi jumlah penduduk miskin yang tersebar pada desa - desa di Bali, pariwisata malah kian melebarkan disparitas antar wilayah. Di tengah-tengah kegalauan tentang ambiguitas pariwisata tersebut beberapa pertanyaan layak diajukan; Siapakah yang diuntungkan dari pariwisata selama ini? Dimanakah hak masyarakat atas sumberdaya alam dan ruang sosial budaya yang dimiliki mereka? Sudah adilkah pembagian keuntungan atas usaha pelestarian, pemanfaatan lingkungan dan sosial budaya masyarakatnya? Menyikapi permasalahan, peluang dan tantangan yang akan dihadapi Bali dalam masa yang akan datang, masyarakat Desa Lembongan secara bersama-sama ingin mewujudkan pembangunan pariwisata yang berbasis pada masyarakat dan lingkungan (ekowisata). Program ini merupakan kerjasama antara Yayasan KEHATI, Yayasan Wisnu, dan masyarakat Desa Lembongan. Tujuan akhir program ini adalah terciptanya model pengembangan kepariwisataan yang masyarakatnya mampu melestarikan potensi alam dan sosial budayanya secara lestari dan memanfaatkannya secara berkeadilan. Wilayah Desa Lembongan berada pada sebagian Pulau Nusa Lembongan dan Pulau Nusa Ceningan merupakan bagian gugusan Kepulauan Nusa Penida, yang secara administratif berada pada Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali (Gambar 1). Di Desa Lembongan terdapat enam dusun yakni, Dusun Kaja, Dusun Kawan, Dusun Kangin, Dusun Kelod, Dusun Ceningan Kawan, dan Dusun Ceningan Kangin. Mata pencaharian penduduk di desa ini sebagian besar sebagai nelayan, petani rumput laut dan disektor pariwisata (Monografi Desa Lembongan, 2013). Pada tahun 1990an, ketika isu-isu pengembangan pariwisata di kawasan kepulauan Nusa Penida mulai berhembus, tidak ketinggalan keberadaan Pulau Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan juga menjadi bagian skenario besar
244
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dalam pengembangan gugusan kepulauan ini menjadi kawasan pariwisata terutama dari pihak investor maupun pemerintah daerah (Pemerintah Kabupaten Klungkung). Pariwisata di kawasan pesisir ini berkembang secara sporadis berdasarkan peranserta masyarakat lokal tanpa campur tangan dari pihak pemerintah.
Gambar 1. Peta Orientasi, Sebaran Akomodasi Pariwisata dan Eksisting Pengembangan Rumput Laut. (Sumber: diolah dari google earth, 2013) Dalam perkembangan pembangunan pariwisata di Desa Lembongan (Kepulauan Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan) saat ini, apa yang dikawatirkan terjadi pula. Fenomena yang hadir dengan masuknya peran pariwisata berakibat pada kerusakan tata lingkungan dan keruangan di wilayah desa ini. Banyaknya fasilitas akomodasi pariwisata yang dibangun yang tidak memiliki ijin yang secara langsung berdampak pada ketidaksesuaian peruntukan ruang (lahan) dan beberapa kasus terjadinya pelanggaran sempadan pantai. Lebih-lebih mata pencaharian utama dari masyarakat lokal sebagai nelayan dan petani rumput laut, sehingga kehadiran dari akomodasi pariwisata yang moderen seperti villa dan lain sebagainya menghasilkan limbah dan dialirkan ke laut yang mengancam kehidupan habitat laut dan pembudidayaan rumput laut di selat perairan antara Pulau Nusa Ceningan dengan Pulau Nusa Lembongan. Selain itu, terjadinya agresi akomodasi pariwisata pada ruang-ruang tempat masyarakat lokal membudidayakan rumput laut berdampak pada peminggiran (marginalisasi) masyarakat lokal dalam mempertahankan salah satu bentuk penghidupannya sebagai petani rumput laut. Jika kondisi seperti ini dibiarkan secara terus menerus, tentunya akan dapat mengancam
ISBN:978-602-9138-68-9
terjadinya alih fungsi lahan secara besarbesaran, sehingga dalam waktu yang tidak lama akan terjadi pemindahan kepemilikan lahan kepada pemilik modal dan lambat laun masyarakat lokal akan terpinggirkan yang pada akhirnya keluar dari kepulauan ini karena sudah tidak memiliki tempat untuk bermukim atau tanah satu-satunya sebagai warisan peninggalan leluhur sudah habis terjual. Persoalan-persoalan lingkungan dan keruangan yang muncul akibat dari pengembangan pariwisata di Desa Lembongan, model pengelolaannya dikembalikan pada spiritspirit pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dalam upaya pelestarian lingkungan dan penyelamatan keberadaan masyarakat lokal. Isu-isu tentang pariwisata ramah lingkungan (sustainable tourism), kecenderungan kembali ke alam (back to nature), pariwisata yang memberikan keuntungan terbesar bagi masyarakat baik dari segi ekonomi dan lingkungan (ecotourism) atau pariwisata yang berbasis komunitas (community based tourism) perlu menjadi pertimbangan dalam membangun infrastruktur dalam rangka menunjang pembangunan kepariwisataan. SIMPULAN Nilai-nilai dalam menjaga lingkungan alam, pemberian keuntungan kepada masyarakat lokal, serta menghormati budaya dan nilai-nilai lokal merupakan gagasan yang mengusung prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Tanpa mempertimbangkan hal tersebut diatas, maka pariwisata akan menghancurkan peradaban dan dehumanisasi manusia. Pada tingkat gagasan konseptual, ide ekowisata yang mengusung prinsip pembangunan berkelanjutan bersesuaian dengan prinsip-prinsip kearifan lokal Bali Tri Hita Karana (keseimbangan) dan sejalan dengan prinsip-prinsip hidup masyarakat pedesaan.
245
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI DAFTAR PUSTAKA Arida, I Nyoman Sukma (2009) Meretas Jalan Ekowisata Bali: Proses Pengembangan, Partisipasi Lokal, dan Tantangan Ekowisata di Tiga Desa Kuno Bali. Denpasar: Udayana University Press. Baiquni, M, dkk. (2010) Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global. Denpasar: Udayana University Press. Manuaba, IB Adnyana (2006) Ecological Challenges to Sustainable Development of Bali. Kumpulan Makalah Seminar International. Suarnatha, I Made (2010) Mengorganisir Masyarakat Mengembangkan Pariwisata Kerakyatan melalui Jaringan Ekowisata Desa (JED). Kumpulan Makalah dalam “The International Seminar on Harmonization of Tourism Development”, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana. Suartika, Gusti Ayu Made (2010) Pariwisata, Masyarakat Etnik dan Proses Komodifikasi. Kumpulan Makalah dalam “Seminar Nasional Perencanaan dan Manajemen Spasial: Pariwisata Etnik”, Program Studi Magister Arsitektur, Universitas Udayana.
246
ISBN:978-602-9138-68-9
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
MODIFIKASI PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU DI CV KITAGAMA SECARA ANAEROBIK I G. A. Wita Kusumawati1, M. Nur Cahyanto2, dan Endang S. Rahayu2 1) Fakultas Ilmu Kesehatan Sains dan Teknologi, Universitas Dhyana Pura, Bali 2) Fakultas Teknologi Pangan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRAK Limbah cair tahu, yang berasal dari air bekas perendaman kedelai dan whey, dapat menyebabkan pencemaran lingkungan karena oksigen terlarut digunakan oleh mikrobia untuk menguraikan bahan organik yang terkandung pada limbah. Untuk menanggulangi pencemaran oleh limbah tahu tersebut, maka dilakukan penelitian modifikasi konstruksi instalasi pengolahan air limbah (IPAL) CV Kitagama dan kemudian mengevaluasi kinerja IPAL termodifikasi. IPAL termodifikasi diberikan laju influen yang berbeda yaitu sebesar 264; 528 dan 792 L. Parameter yang dianalisis meliputi pH, COD, BOD dan TS. Influen 264 L menghasilkan nilai pH, COD, BOD dan TS masing-masing sebesar 4,84; 9.700 mg/L; 2.265 mg/L dan 5.870 mg/L, sedangkan efluen masing-masing menghasilkan 7,35; 90,5 mg/L; 36 mg/L dan 352 mg/L. Influen 528 L menghasilkan nilai pH, COD, BOD dan TS masing-masing sebesar 4,77; 16.800 mg/L; 4.752 mg/L; dan 5.448 mg/L, sedangkan efluen masingmasing menghasilkan 7,34; 665 mg/L; 320 mg/L dan 499 mg/L. Influen 792 L menghasilkan nilai pH, COD, BOD dan TS masing-masing sebesar 3,86; 60.000 mg/L; 16.933 mg/L; dan 6.670 mg/L, sedangkan efluen masing-masing menghasilkan 6,76; 2.400 mg/L; 1.280 mg/L dan 679 mg/L. Kata kunci : Industri tahu, pengolahan limbah secara anaerobik, IPAL, limbah cair tahu, BOD, COD, pH, TS
PENDAHULUAN Tahu merupakan salah satu produk olahan kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat. Industri pengolahan tahu lebih banyak menghasilkan limbah cair yang menimbulkan pencemaran yang cukup tinggi karena mengandung komponen-komponen organik yang cukup tinggi. Limbah cair tahu memiliki konsentrasi Chemical Oxygen Demand (COD) berkisar 10.000-20.000 ppm, yang disebabkan oleh kandungan protein yang terdapat pada limbah cair tahu. Limbah cair dengan nilai COD yang tinggi jika langsung dibuang ke perairan dapat menyebabkan kematian biota perairan. Ikan biasanya digunakan sebagai indikator adanya pencemaran di perairan, dikarenakan memiliki respon yang cepat terhadap gangguan lingkungan (Azzuro et al., 2010). Limbah cair tahu yang diolah secara aerobik membutuhkan biaya yang besar dalam proses pengolahannya. Pengolahan limbah cair
yang memiliki nilai COD yang tinggi, umumnya dilakukan secara anaerobik karena dapat dioperasikan dengan mudah, biaya pengoperasian murah dan disain IPAL tidak rumit (Liu et al., 2010; Lyberatos et al., 1999; Otero et al., 2011; Zhu et al., 2008). Pengolahan limbah cair tahu secara anaerobik menggunakan kotoran ternak sebagai inokulum bioreaktor. Inokulum ditambahkan dengan tujuan untuk menghasilkan mikrobia dalam jumlah banyak agar mampu menguraikan bahan organik yang terdapat pada limbah cair tahu sehingga kandungan bahan organik pada efluen limbah cair tahu dapat diturunkan. Limbah-limbah cair yang sudah diolah dalam Instalansi Pengolah Air Limbah (IPAL), kadang kala masih belum aman untuk dibuang ke lingkungan. Sehingga perlu dikaji bagaimana kualitas dari limbah cair dari awal sebelum memasuki IPAL, saat pengolahan dalam IPAL, dan setelah keluar dari IPAL apakah sudah memenuhi baku mutu limbah dapat dibuang ke
247
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI lingkungan atau tidak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Endri (2009) pengolahan limbah cair industri tahu secara anaerobik dengan IPAL yang memiliki 6 kompartemen, masih menghasilkan total padatan yang tinggi pada efluennya. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan modifikasi IPAL CV Kitagama menjadi 3 kompartemen dengan tujuan untuk memperbesar kapasitas dari bioreaktor sehingga dapat mengoptimalkan kerja IPAL dan memperbaiki laju alir dari limbah cair. Diharapkan dengan memodifikasi IPAL dengan cara memperbesar kapasitas IPAL akan dihasilkan total padatan yang lebih rendah. IPAL termodifikasi dievaluasi dengan membandingkan kinerja IPAL sebelum dimodifikasi. METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair tahu berasal dari air bekas perendaman kedelai, air sisa penggumpalan tahu, limbah cair tahu yang berada di setiap kompartemen pengolahan limbah cair, dan limbah cair tahu yang keluar dari kompartemen pengolahan limbah, yang diperoleh dari pabrik tahu milik CV Kitagama yang berlokasi di Desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten. Bahan inokulum berasal dari kotoran sapi segar, yang diperoleh dari peternakan di daerah Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Bahan kimia yang digunakan meliputi : larutan MnSO4, larutan alkali iod-azida, asam sulfat pekat 98%, larutan amilum 1%, larutan NaS2O3 0,025 N, larutan buffer fosfat pH 7,2 sebagai nutrisi, larutan MgSO4.7H2O, larutan CaCl2, larutan FeCl3.6H2O, larutan H2SO4 yang mengandung Ag2SO4, larutan Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O 0,1 N dan indikator ferroin. Renovasi Instalasi Pengolah Air Limbah (IPAL). Renovasi Instalasi Pengolah Air Limbah dilakukan dengan merubah bentuk bak sedimentasi yang semula berbentuk tabung silinder menjadi berbentuk kotak, serta memperbesar ukuran lubang antar kompartemen.
ISBN:978-602-9138-68-9
digunakan. Kemudian ditambahkan whey yang berfungsi sebagai nutrisi bagi pertumbuhan bakteri dari kotoran sapi. Waktu inkubasi untuk pertumbuhan inokulum adalah 1 minggu. Proses Pengolahan Limbah Cair Unit IPAL CV Kitagama diberikan influen sebesar 264, 528 dan 792 L/hari selama 10 hari yang masing-masing berasal dari proses pembuatan tahu dengan bahan baku kedelai seberat 16, 32 dan 48 kg. Proses pengolahan limbah cair tahu dilakukan hingga diperoleh kadar COD yang stabil. Limbah cair tahu diolah dalam IPAL dengan sistem anaerob, dialirkan dari bawah ke atas melewati sekat-sekat dalam kompartemen IPAL dan selanjutnya keluar pada bagian atas. Efluen yang dihasilkan dari pengolahan limbah dialirkan ke dalam kolam dengan ukuran 4x4 m. Analisis Limbah Cair Limbah cair tahu yang belum diolah dan yang sudah diolah dianalisis parameter baku mutu limbah yang meliputi pH, BOD, COD dan TS. Sedangkan limbah cair tahu selama penangan dalam IPAL CV Kitagama dianalisa pH, kandungan COD dan TS. Mengevaluasi debit limbah yang dihasilkan dari proses produksi tahu Evaluasi terhadap hasil dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efisiensi penurunan dari setiap parameter dari limbah cair tahu yang diolah dengan sistem anaerob. Penentuan debit limbah cair tahu (Reed, et al dalam Ghosh and Brij, 2010) diketahui berdasarkan : a. Menghitung total volume dari reaktor (panjang x lebar x tinggi) b. Menghitung debit limbah cair tahu, berdasarkan persamaan berikut :
Q= Keterangan :
Pembuatan inokulum pengolah limbah cair tahu Inokulum berbahan dasar kotoran sapi segar. Start up yang dimasukan ke dalam reaktor adalah 3% dari volume reaktor yang dapat 248
V Ay = t t Q A V y t
= debit limbah (L/hari) = luas permukaan area reaktor (m2) = volume reaktor (m3) = kedalaman reaktor (m) = hari
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Limbah Cair Tahu Karakteristik limbah cair tahu yang berasal dari pembuatan tahu dengan bahan baku sebanyak 100kg kedelai sebelum mengalami pengolahan ditunjukkan pada Tabel 1
Pada proses pencucian kedelai banyak menggunakan air, sehingga limbah cair yang dihasilkan banyak. Tetapi kadar pencemaran yang dihasilkan dari air bekas cucian ini rendah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Endri (2009), air bekas pencucian kedelai memiliki pH 6,28. Nilai pH 6,28 sudah aman untuk dibuang ke lingkungan, sehingga air bekas pencucian kedelai dapat langsung dibuang melalui s a l u r a n p e m b u a n g a n a i r. K a d a r pencemaran yang tinggi pada proses pembuatan tahu dihasilkan pada tahapan penggumpalan sari kedelai, pengepresan serta pencetakan tahu. Pada tahapan penggumpalan sari kedelai, pengeresan serta pencetakan tahu dihasilkan whey yang bersifat asam. Perubahan Karakteristik Limbah Cair Tahu Selama Penanganan Limbah 1. Nilai pH Limbah cair tahu umumnya memiliki nilai pH yang cenderung asam, karena digunakan cuka sebagai bahan penggumpal protein. Rendahnya nilai pH pada limbah cair tahu dapat menyebabkan kerusakan pada benda yang dilalui limbah tersebut. Nilai pH limbah cair hasil dari pengolahan limbah mengalami kenaikan. Nilai pH hasil pengolahan ditunjukkan pada Tabel 2.
Pada proses awal pengolahan terjadi kenaikan pH yang disebabkan karena proses hidrolisis protein menjadi asam amino. Berdasarkan Sawyer dan Perry, reaksi hidrolisis protein yang terjadi secara anaerobik ditunjukkan pada Persamaan 1. Tahapan hidrolisis protein menjadi asam amino ditunjukkan pada Persamaan 2. Kemudian terjadi penurunan pH disebabkan karena terjadinya proses asidogenesis dan asetogenesis, yaitu monomer hasil hidrolisis polimer bahan organik akan diubah menjadi senyawa asam organik yang volatil dan alkohol oleh bakteri asidogenik. Kemudian asam organik dan alkohol yang merupakan hasil dari tahapan asidogenesis akan diubah menjadi asam asetat, hidrogen dan karbondioksida oleh bakteri asetogenik. Reaksi asidogenesis dan asetogenesis yang terjadi ditunjukkan pada Persamaan 3. Setelah proses asidogenesis dan asetogenesis berakhir, maka pH dari limbah cair yang diolah akan mengalami kenaikan kembali. Pada proses ini terjadi tahapan metanogenesis yaitu merubah asam asetat, hidrogen dan karbondioksida hasil tahapan asetogenesis diubah menjadi gas metana dan karbondioksida oleh bakteri metanogenik (Mes et al., 2003). Reaksi metanogenesis yang terjadi ditunjukkan pada Persamaan 4 dan Persamaan 5. NH 2 bakteri R
249
C H
COOH
+ H2
enzim
R
CH 2COOH + NH3
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
2.
Kadar COD Chemical Oxygen Demand) Semakin tinggi kandungan bahan organik yang terdapat limbah cair tahu akan memberikan kadar COD yang semakin tinggi. Pengolahan limbah cair tahu dengan menggunakan IPAL yang dimodifikasi menghasilkan penurunan kadar COD pada setiap kompartemen, yang ditunjukkan pada Tabel 3.
Pengolahan limbah cair dengan IPAL yang dimodifikasi telah menurunkan kadar COD masing-masing sebesar 99,07%; 96,04%; dan 96% untuk volume limbah cair tahu sebesar 9.700; 16.800; dan 60.000 mg/L. Penurunan kadar COD diakibatkan karena terjadinya penurunan kandungan bahan organik pada limbah cair tahu. Pengolahan limbah cair tahu pada tiap kompartemen didominasi oleh jenis mikrobia yang berbeda. Pada kompartemen pertama didominasi oleh bakteri asidogenik, yang akan menurunkan kandungan COD pada limbah dengan mengubahnya menjadi etanol, butirat dan propionat. Pada kompartemen kedua didominasi oleh bakteri asetogen, yang akan menurunkan kandungan COD pada limbah dengan mengubah menjadi asam asetat dan hidrogen. Sedangkan pada kompartemen ketiga didominasi oleh bakteri metanogenik, yang akan menurunkan COD pada limbah dengan mengubah asam asetat menjadi metana (Zhu et al., 2008). 3.Kadar TS (Total Solid) Total padatan ini penting dianalisis karena dapat menentukan perlu tidaknya limbah cair diolah terlebih dahulu pada tahapan sedimentasi. Total padatan merupakan total zat padat baik yang mengendap maupun terlarut yang terdapat pada limbah cair (Sawyer and Perry, 1978). Pengolahan limbah cair tahu dengan menggunakan IPAL yang dimodifikasi menghasilkan penurunan kadar TS pada setiap kompartemen, yang ditunjukkan pada Tabel 4.
Limbah cair yang memiliki kandungan bahan organik yang tinggi hanya mampu diuraikan kira-kira sebesar 30% kandungan bahan organik influennya oleh mikrobia untuk menjadi CH 4. Sedangkan limbah cair yang memiliki kandungan bahan organik yang rendah mampu diuraikan mencapai 61%. Influen dengan kandungan bahan organik yang tinggi menyebabkan laju alir limbah menjadi cepat, hal ini menyebabkan mikrobia kurang mampu menguraikan bahan organik yang terdapat pada limbah tersebut akibat mengalami washout (Foxon et al., 2004). Karakteristik Efluen Limbah Cair Tahu setelah Penanganan Limbah Analisis efluen dilakukan untuk mengetahui kemampuan IPAL yang dimodifikasi dalam mengolah limba cair tahu yang dihasilkan dari berbagai masakan. Hasil analisis efluen ditunjukkan pada Tabel 5.
IPAL yang dimodifikasi mampu menurunkan BOD. Bahan organik pada limbah cair memiliki kandungan karbon dan hidrogen. Jika bahan organik dioksidasi maka akan menghasilkan karbondioksida dan air. Mikrobia yang terdapat di air akan menggunakan bahan organik sebagai nutrisi dan oksigen yang tersedia untuk mengoksidasi (Hach et al., 1997). Reaksi peruraian bahan organik oleh mikrobia ditunjukkan pada Persamaan 8. Penelitian yang dilakukan oleh Endri (2009) IPAL dengan lubang yang terbuat dari
250
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI pipa menghasilkan efluen dengan kadar TS dan pH masing-masing sebesar 477 mg/L dan 6,92. Sedangkan IPAL yang dimodifikasi dengan sekat yang lebih besar menghasilkan efluen dengan kadar TS dan pH masing-masing sebesar 352 mg/L dan 7,35. KESIMPULAN 1. Modifikasi IPAL di CV Kitagama membuat lubang saluran antar kompartemen yang semakin besar, sehingga dapat menghasilkan nilai TS yang lebih rendah daripada IPAL yang tidak dimodifikasi. 2. Kinerja IPAL di CV Kitagama dinilai baik karena dapat menurunkan kadar BOD, COD dan TS serta kenaikan pH pada laju pemasukan influen. Efluen limbah cair tahu dengan volume sebesar 264 L telah memenuhi persyaratan Baku Mutu Limbah Cair untuk indutri tahu. Sedangkan efluen limbah cair tahu dengan volume sebesar 528 dan 792 L belum memenuhi persyaratan Baku Mutu Limbah Cair untuk industri tahu. 3. Untuk Efluen limbah cair dengan volume lebih besar 264 L memerlukan bak sedimentasi yang lebih besar dan jumlah inokulum yang lebih banyak. DAFTAR PUSTAKA Amuda, Omotayo S., An Deng, Abass O. Alade, and Yung-Tse Hung. Conversion of Sewage Sludge to Biosolids. Handbook of Environmental Engineering, Volume 7: Biosolids Engineering and Management. The Humana Press, Totowa. Anonim. 2008. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, NOMOR: 281/KPTS/1998 Azzurro, Ernesto., Marco Matiddi., Emanuela Fanelli., Paolo Guidetti., Gabriele La Mesa., Alfonso Scarpato and Victor Axiak. 2010. Sewage pollution impact on Mediterranean rocky-reef fish assemblages. Marine Environmental Research, 69: 390–397.
ISBN:978-602-9138-68-9
Barros. N., B. Ramajo, and J. R. Garcia. 2009. The effect of solid-liquid effluents from anaerobic digesters on soil microbial activity. Journal of thermal analysis and calorimetry, 95: 831-835. Boyles, W. 1997. The Science of Chemical Oxygen Demand. Technical Information Series, Booklet No. 9. Cadwell and Brownn. Description of Commonly Considered Water Quality Constituents. Watershed Protection Plan Development Guidebook. Northeast Georgia Regional Development Center. Darsono, V. 2007. Pengolahan Limbah Cair Tahu Secara Anaerob Dan Aerob. Jurnal Teknologi Industri Vol. XI No.1 Januari 2007: 9-20 Demirer. G.N., Metin D., Tuba H.E., Engin G., Orgen U., and Ulas T. 2000. Anaerobic treatability and biogas production potential studies of different agroindustrial wastewaters in Turkey. Biodegradation 11: 401-405. Endri, N.E. 2009. Evaluasi Kinerja Penanganan Limbah Cair Tahu Kita CV Kitagama. Skripsi. TPHP Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Foxon, KM., S Pillay, T Lalbahadur, N Rodda, F Holder and CA Buckley. 2004. The anaerobic baffled reactor (ABR): An appropriate technology for on-site sanitation. Pollution Research Group. Ghosh, D and Brij G. 2010. Effect of hydraulic retention time on the treatment of secondary effluent in a subsurface flow constructed wetland. Ecological Engineering, 36: 1044-1051. Hach, C.C., Robert L.K., and Jr. Charles R.G. 1997. Introduction to Biochemical Oxygen Demand. Technical Information Series—Booklet No. 7. Ince, B.K., N. Ayman.O., G. Turker., S. Celikkol and O. Ince. 2010. A review: Microbial ecology of anaerobic reactors for treatment of alcohol industry wastewaters. Current research, technology and education topics in applied microbial biotechnology.
251
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
Iyagba, E.T., Ibifuro A.M., and Yahaya S.M. 2009. The study of cow dung as cosubstrate with rice huskin biogas production. Scientific Research and Essay 9: 861-866.
Digestion of cattle manure: Thermogravimetric kinetic analysis for the evaluation of organic matter conversion. Bioresource technology 102: 3404-3410.
Karakashev, D., Damien J.B., and Irini A. 2005. Influence of Environmental Conditions on Methanogenic Compositions in Anaerobic Biogas Reactors. Applied and environmental microbiology 71: 331-338.
Pant, D and Alok A. 2007. A review: Biological approaches for treatment of distillery wastewater. Bioresource Technology 98: 2321–2334.
Kim, M.S., and Dong-Yeol L. 2010. Fermentative hydrogen production from tofu-processing waste and anaerobic digester sludge using microbial consortium. Bioresource technology 101: S48-S52. Lee, Jun Ho and Mi Jung Ahn. 2009. Texture and Storage Stability of Tofu Incorporated with Rhynchosia volubilisi. Journal Food Science and Nutrition 14: 71-75. Li, Jian-rong and Yun-Hwa P Hsieh. 2004. Traditional Chinese food technology and cuisine. Asia Pacific J Clin Nutr 13: 147-155. Liu, Rongrong., Qing Tian and Jihua Chen. 2010. A review: The developments of anaerobic baffled reactor for wastewater treatment. African Journal of Biotechnology, 9: 1535-1542. Lyberatos, G and I.V.Skiadas. 1999. A review: Modelling of anaerobic digestion. Global Nest The Int. J, 1: 63-76. Mang, H.P and Zifu Li. 2010. Technology review of biogas sanitation. Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH. Margono, T., Detty S., dan Sri H. 2000. Tahu. Buku Panduan teknologi pangan.
Sawyer, Clair. N and Perry L. Mc. Carty. 1978. Chemistry for Environmental Engineering. Third edition. McGrawhill International Editions. Shokunbi, O.S., O.O Babajide, D.O Otaigbe, O.A Shobowale, A.A Ajiboye and G.O Tayo. 2011. Coagulants Modulate the Yield and Micronutrient Composition of Tofu. World Journal of Dairy & Food Sciences 6: 67-70. Sonune, A and Ghate, Rupali. 2004. Development in Wastewater Treatment Methods. Desalination. 167: 55-63. Stanojeviæ, Sladjana P., Miroljub B. Baraæ, Mirjana B. Pesiæ, Mirjana M. Milovanoviæ and Biljana V. VuceliæRadoviæ. 2010. Protein Composition in tofu of corrected quality. APTEFF 41: 77-86. Sulaeman. D and Jamil M. 2009. Draf Pedoman Desain Teknik IPAL Agroindustri. Departemen Pertanian, Jakarta. Wang, H.L and J.F. Cavins. 1989. Yield and Amino Acid Composition of Fractions Obtained During Tofu Production. Cereal Chem 66: 359-361. Zaiat, M., Fernando H.P., and Eugenio F. 2000. A mathematical model and criteria for designing horizontal-flow anaerobic immobilized biomass reactors for wastewater treatment.
Mes de, T.Z.D., A.J.M. Stams, J.H. Reith and G. Zeeman. 2003. Methane production by anaerobic digestion of wastewater and solid wastes. Dutch biological hydrogen foundation. Otero, M., A. Lobato, M.J. Cuetos, M.E. Sanchez, and X. Gomez. 2011. 252
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PENGARUH WAKTU DAN pH TERHADAP ADSORPSI LINIER ALKILBENZENA SULFONAT (LAS) PADA BIOSORBEN CANGKANG TELUR AYAM I Made Wisnu Adhi Putra* dan I Gede Widhiantara Prodi Biologi Konservasi, Universitas Dhyana Pura, Jl. Raya Padang Luwih, Tegaljaya, Dalung, Kuta Utara, Badung, Bali, 80361 * Corresponding author: email: [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengaruh waktu dan pH terhadap adsorpsi linier alkilbenzenasulfonat (LAS) pada biosorben cangkang telur ayam. Sebelum diinteraksikan dengan LAS, biosorben cangkang telur ayam dikarakterisasi menggunakan FTIR, XRD, dan N2 sorption analyzer. Metode yang digunakan adalah adsorpsi larutan pada padatan. Campuran LAS dan biosorben diaduk menggunakan pengaduk magnetik selama 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 menit. Nilai pH divariasi dari 7 sampai 13. Karakterisasi menggunakan FTIR menunjukkan adanya beberapa gugus fungsi yang terkait dengan kalsium karbonat. Hasil analisa menggunakan XRD mengungkapkan adanya mineral kalsit dan aragonit yang terdapat pada biosorben cangkang telur ayam. Luas permukaan biosorben yang dihitung menggunakan persamaan BET (Brunauer-Emmett-Teller) ditemukan sebesar 15,201 m 2/g. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa adsorpsi LAS pada biosorben cangkang telur ayam mencapai kondisi optimum pada waktu 45 menit dan pada pH = 7. Kata kunci: Adsorpsi, Cangkangtelurayam, Linier alkilbenzenasulfunat (LAS), Waktu, pH PENDAHULUAN Linier alkilbenzena sulfonat merupakan bahan aktif utama penyusun detergen. Penggunaan detergen sebagai bahan pembersih semakin meningkat, baik itu dalam skala kecil seperti rumah tangga dan laundry serta dalam skala besar seperti industri. Akan tetapi, masuknya detergen ke perairan dapat menyebabkan masalah yang cukup serius seperti pH, TDS, klorida, sulfat, carbonat dan bikarbonat (Goel dan Kaur, 2012). Hal ini tentunya berdampak pada keseimbangan ekosistem perairan. Beberapa peneliti telah melaporkan tentang bahaya LAS bila masuk ke perairan. Washil dan Dewi (2009) mengemukakan bahwa LAS yang masuk ke perairan dapat membentuk klorobenzena jika diolah dengan proses klorinisasi PDAM. Klorobenzena merupakan bahan dasar pembuat pestisida dan herbisida,
sehingga keberadaannya dalam tubuh sangat bersifat toksik. Penelitian lain yang dilakukan oleh Varsha et al. (2011) menunjukkan bahwa konsentrasi LAS yang tinggi dapat meyebabkan kerusakan insang pada ikan hingga kematian pada waktu yang relatif singkat. Pada manusia, LAS dapat memberikan dampak buruk yaitu dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan mata serta bersifat toksik bila tertelan. Berbagai usaha pun telah dilakukan untuk menurunkan konsentrasi LAS di perairan. Beberapa diantaranya proses bioremidiasi menggunakan tanaman kayu apu (Hermawati et al., 2005), proses penguraian menggunakan bakteri Pseudomonas aeroginosa, Bacillus subtilis, Bacillus aglomerans, Bacillus cereus, dan Bacillus alvae (Wulan et al., 2006), dan penguraian menggunakan mikroorganisme Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas stutzeri, Serratia liquefaciens dan Kurthia zopfii
253
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI (Wignyanto et al., 2009). Penelitian-penelitian tersebut terbukti mampu menurunkan konsentrasi LAS di perairan, akan tetapi prosesnya menghabiskan waktu yang cukup lama. Selain itu mikroorganisme yang digunakan bisa menghasilkan metabolit yang bersifat toksik (Boopathy, 2000). Maka dari itu perlu dilakukan metode yang lebih cepat dan aman dalam hal menurunkan konsentrasi limbah detergen. Salah satu usaha yang bisa dilakukan adalah dengan proses adsorpsi menggunakan serbuk cangkang telur ayam. Penelitian tentang adsorpsi limbah detergen menggunakan serbuk cangkang telur ayam sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Akan tetapi, bahan ini memiliki potensi yang sangat luar biasa sebagai biosorben limbah cair. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Ishikawa et al. (2004) yang melakukan penelitian tentang adsorpsi limbah logam selenium dan arsenik menggunakan serbuk cangkang telur ayam. Dari hasil yang didapatkan, cangkang telur terbukti dapat mengurangi konsentrasi logam selenium dan arsenik hingga 90%. Penelitian-penelitian lain yang telah dilakukan oleh para ahli dalam rangka menurunkan konsentrasi polutan dalam limbah cair menggunakan cangkang telur ayam antara lain: adsorpsi ion logam Pb2+, Ni2+ dan Cd2+ (Otun et al., 2006); Adsorpsi limbah zat warna reaktif azo (Pramanpol dan Nitayapat, 2006); adsorpsi ion Cr3+ dan Cr4+ (Ghazy et al., 2008); adsorpsi ion Pb2+ (Kalyani et al., 2010); dan adsorpsi zat warna lignosulfonat (Zulfikar et al., 2012). Dalam penelitian ini, akan dilakukan adsorpsi linier alkilbenzena sulfonat (LAS) sebagai bahan aktif detergen menggunakan cangkang telur ayam. Sebelum dilakukan proses adsorpsi, cangkang telur ayam dikarakterisasi terlebih dahulu menggunakan FTIR, XRD dan N 2 sorption analyzer. Adapun parameterparameter yang diuji yaitu penentuan isoterm adsorpsi, serta penentuan kapasitas adsorpsi. Cangkang telur ayam diharapkan bisa menjadi biosorben alternatif yang murah, mudah, dan cepat dalam mengurangi konsentrasi limbah detergen di lingkungan.
ISBN:978-602-9138-68-9
membran dipisahkan dari cangkang, kemudian dicuci sampai bersih. Sampel biosorben dikeringkan dan digerus hingga hancur. Selanjutnya, sampel diayak dengan ayakan 200 mesh. Hasilnya dipanaskan di dalam oven pada suhu 110 oC selama 2 jam. Pengaruh waktu adsorpsi diukur dengan cara sebanyak 0,2000 gram sampel biosorben dicampur dengan 25 mL larutan LAS 30 ppm pada erlenmeyer 100 mL, kemudian diaduk menggunakan pengaduk magnetik selama 5, 10, 15, 30, 45, dan 60 menit. Selanjutnya campuran disaring dan konsentrasinya diukur menggunakan metode spektrofotometer secara biru metilen yang berdasarkan metode yang disampaikan oleh Jurado et al. (2006). Pengaruh pH adsorpsi diukur dengan cara sebanyak 0,2000 gram sampel biosorben dicampur dengan 25 mL larutan LAS 30 ppm pada pH 7, 9, 11, dan 13. Campuran diaduk menggunakan pengaduk magnetik selama waktu setimbang adsorpsi yang didapatkan pada percobaan sebelumnya. Selanjutnya campuran disaring dan konsentrasinya diukur menggunakan metode spektrofotometer secara biru metilen yang berdasarkan metode yang disampaikan oleh Jurado et al. (2006). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Biosorben Karakterisasi gugus-gugus fungsi yang ada dalam biosorben cangkang telur ayam dilakukan dengan analisa menggunakan spektofotometer FTIR. Spektra FTIR untuk biosorben ditunjukkan pada gambar 1. .
METODE PENELITIAN Sampel biosorben dibuat dari cangkang telur ayam yang diperoleh dari limbah pedagang kaki lima di wilayah kota Tabanan, Bali. Bagian 254
Gambar 1. Spektra FTIR Cangkang Telur Ayam
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Gambar 1 memperlihatkan bahwa cangkang telur ayam memberikan tiga puncak serapan utama dengan bilangan gelombang 1419,61 cm-1, 871,81 cm-1, dan 709,80 cm-1. Ketiga puncak tersebut menunjukkan adanya regangan asimetris, tekukan luar bidang, dan tekukan dalam bidang dari CO32- secara berturutturut. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jazie et al. (2013). Kemunculan puncak-puncak serapan dari CO 3 2mengindikasikan adanya kandungan kalsium karbonat (CaCO3) dalam cangkang telur ayam. Puncak serapan yang muncul pada bilangan gelombang 3410,15 cm-1 dan 1797,66 cm-1 secara berturut-turut menunjukkan vibrasi regangan dan vibrasi tekuk gugus -OH dari molekul air yang diserap oleh cangkang telur ayam selama pencucian atau kontak dengan udara. Karakterisasi jenis-jenis mineral yang terkandung dalam cangkang telur ayam dilakukan dengan analisa menggunakan difraktometer sinar-X. Puncak-puncak yang muncul pada sudut difraksi (2è) dengan nilai dspacing tertentu disesuaikan dengan nilai dspacing standar mineral-mineral penyusun zeolit alam yang terdapat pada Joint Committee on Powder Diffraction Standards (JCPDS) sehingga dapat diketahui jenis-jenis mineral yang ada dalam cangkang telur ayam. Difraktogram cangkang telur ayam ditampilkan pada Gambar 2.
ISBN:978-602-9138-68-9
yaitu pada d = 3,03 Å (hkl = 104); (JCPDS 2427). Puncak pada 2è = 26,54o (d = 3,36 Å) diindikasikan sebagai keberadaan mineral aragonit yang sesuai dengan d standar aragonit yaitu pada d = 3,39 Å (hkl = 111); (JCPDS 5453). Hal serupa juga diungkapkan oleh Krithiga and Sastry (2011) yang memberikan informasi keberadaan mineral kalsit pada 2è = 29,30o. Kalsit dan aragonit merupakan bentuk mineral dari CaCO3, akan tetapi dalam cangkang telur ayam, mineral yang mendominasi adalah mineral kalsit. Hal ini dibuktikan dengan tingginya intensitas puncak serapan yang ditunjukkan pada difraktogram sinar-X di atas. Karakterisasi menggunakan N 2 sorption analyzer bertujuan untuk mengetahui luas permukaan spesifik biosorben. Data yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam persamaan BET (Brunauer-Emmett-Teller) sehingga diperoleh hasil luas permukaan spesifik. Dari hasil perhitungan, didapatkan luas permukaan spesifik biosorben cangkang telur ayam adalah sebesar 15,201 m 2 /g. Luas permukaan merupakan karakteristik yang penting dalam proses adsorpsi, karena biosorben dengan luas permukaan yang tinggi akan memberikan tempat/situs aktif untuk terikatnya adsorbat secara kimia maupun secara fisika. Pengaruh Waktu Adsorpsi Uji pengaruh waktu adsorpsi dilakukan untuk mengetahui waktu yang diperlukan biosorben untuk menyerap LAS secara maksimum sampai terbentuk keadaan setimbang. Waktu setimbang adsorpsi didapatkan dengan cara memplot waktu adsorpsi dengan konsentrasi LAS yang terserap. Adapun variasi waktu adsorpsi yang digunakan yaitu 5, 10, 15, 30, 45, 60, dan 75 menit.
Gambar 2. Difraktogram cangkang telur ayam Berdasarkan hasil analisa menggunakan difraktometer sinar-X (Gambar 2) dapat dilihat kemunculan puncak pada 2è = 29,46o (d = 3,03 Å) yang diindikasikan sebagai keberadaan mineral kalsit yang sesuai dengan d standar kalsit 255
Gambar 3. Kurva Penentuan Waktu Setimbang Adsorpsi
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
Gambar 3 menunjukkan kurva penentuan waktu setimbang adsorpsi LAS pada biosorben cangkang telur. Kenaikan adsorpsi secara signifikan terjadi pada menit ke-5 sampai menit ke-15. Hal ini wajar terjadi karena situssitus aktif pada biosorben masih tersedia cukup banyak, sehingga adsorpsi meningkat secara signifikan pada menit-menit awal. Pada menit ke-15 sampai menit ke-45 kenaikan adsorpsi menurun dibandingkan dengan adsorpsi pada menit-menit awal yang disebabkan oleh semakin berkurangnya jumlah situs aktif pada biosorben. Keadaan setimbang dicapai pada menit ke-45 sampai menit ke-75 di mana tidak terjadi kenaikan adsorpsi. Hal ini disebabkan oleh situssitus aktif pada biosorben sudah tertutupi sempurna membentuk lapisan tunggal, sehingga LAS tidak bisa lagi terikat pada situs-situs tersebut (keadaan setimbang). Waktu setimbang adsorpsi dalam hal ini dicapai pada menit ke-45 dengan konsentrasi LAS yang teradsorpsi sebesar 1,9543 mg/g. Pengaruh pH Adsorpsi Penentuan pH optimum adsorpsi dilakukan dengan cara mengaduk campuran biosorben dengan larutan LAS pada waktu setimbang adsorpsi dan pada pH 7, 9, 11, dan 13. Kurva penentuan pH optimum adsorpsi LAS pada biosorben ditunjukkan pada Gambar 4. .
ISBN:978-602-9138-68-9
permukaan biosorben. Akibatnya LAS secara penuh bisa teradsorpsi pada permukaan biosorben. Ketika pH larutan meningkat, konsentrasi OH - pada larutan lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi ion H+. Hal ini mengakibatkan terjadinya kompetisi antara ion OH - dengan muatan negatif LAS dalam memperebutkan kedudukan pada permukaan biosorben. Jadi konsentrasi LAS yang terserap menjadi semakin berkurang. Kalyani et al. (2009) mengungkapkan bahwa pada pH tinggi, karakter karbonat dalam cangkang telur menjadi lebih kuat dan meningkatkan densitas muatan negatif permukaan. Akibatnya terjadi gaya tolakmenolak antara permukaan biosorben dengan molekul bermuatan negatif. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil karakterisasi biosorben cangkang telur ayam menggunakan FTIR dan XRD menunjukkan adanya indikasi kemunculan kalsium karbonat pada biosorben. Luas permukaan biosorben yang dihitung menggunakan persamaan BET (BrunauerEmmett-Teller) ditemukan sebesar 15,201 m2/ g. Adsorpsi LAS pada biosorben cangkang telur ayam mencapai kondisi optimum pada waktu 45 menit dan pada pH = 7. Saran Adapun saran yang bisa disampaikan dalam penelitian ini adalah perlu dilakukan uji penentuan isoterm adsorpsi yang cocok untuk mekanisme adsorpsi LAS pada biosorben cangkang telur ayam. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas dukungan finansial melalui Program Hibah Dosen Pemula Tahun Anggaran 2004.
Gambar 4. Kurva Penentuan pH Optimum Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat bahwa adsorpsi maksimum LAS pada biosorben terjadi pada pH 7 dan menurun seiring bertambahnya pH. Pada pH 7, ion H+ dan OHpada larutan memiliki konsentrasi yang sama, sehingga tidak mengganggu situs aktif
DAFTAR PUSTAKA Boopathy, R. 2000. Factors limiting bioremediation technologies. Bioresource Technology. 74:63-67 Ghazy, S.E., El-Asmy, A.A., and El-Nokrashy, A.M. 2008. Separation of
256
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
chromium(III) and chromium(VI) from environmental water samples using eggshell sorbent. Indian Journal of Science and Technology. 1(6)
Pramanpol, N. and Nitayapat, N. 2006. Adsorption of Reactive Dye by Eggshell and Its Membrane. Kasetsart J. (Nat. Sci.). 40 (Suppl.): 192 – 197
Goel, G. and Kaur, S. 2012. A Study on Chemical Contamination of Water Due to Household Laundry Detergents. J. Hum Ecol. 38(1): 65-69
Varsha, J., Mishra, K.D., Madhuri, S., and Govind, P. 2011. Linear Alkyl Benzene Sulphonate, A Detergent Induced Toxicity On The Gill of Puntius Ticto Fish. IRJP. 2(10):76-78
Hermawati, E., Wiryanto dan Solichatun. 2005. Fitoremediasi Limbah Detergen Menggunakan Kayu Apu (Pistia Stratiotes L.) dan Genjer (Limnocharis Flava L.). Biosmart. 7(2):115-124 Jazie, A.A., Pramanik, H., Sinha, A.S.K., dan Jazie, A.A. 2013. Egg Shell As EcoFriendly Catalyst For Transesterification Of Rapeseed Oil: Optimization For Biodiesel Production. Special Issue of International Journal of Sustainable Development and Green Economics (IJSDGE), ISSN No. 23154721, V-2, I-1, 2. Jurado, E., Fernández-Serrano, M., Núñez-Olea, J., Luzón, G., and Lechuga, M. 2006. Simplified Spectrophotometric Method Using Methylene Blue for Determining Anionic Surfactants: Applications to the Study of Primary Biodegradation in Aerobic Screening Tests. Chemosphere. 65:278–285 Kalyani, G., Rao, H.J., Kumar, T.A., Mariadas, K., Vijetha, P., Kumar, Y.P., Kumaraswamy, K., Pallavi, P., Sumalatha, B. 2010. Biosorption of Lead from Aqueous Solutions using Egg Shell Powder as Biosorbent: Equilibrium Modelling. International Journal of Biotechnology and Biochemistry. 6(6):911–920
Washil, A. dan Dewi, D.C. 2009. Penentuan Surfaktan Anionik Menggunakan Ekstraksi Sinergis Campuran Ion Assosiasi Malasit Hijau dan Metilen Biru Secara Spektrofotometri Tampak. Tersedia pada: ejournal.uinmalang.ac.id/index.php/Kimia/article/ download/1666/pdf_1. Diakses pada tanggal 30 agustus 2013 Wignyanto, Hidayat, N., dan Ariningrum, A. 2009. Bioremediasi Limbah Cair Sentra Industri Tempe Sanan Serta Perencanaan Unit Pengolahannya (Kajian Pengaturan Kecepatan Aerasi Dan Waktu Inkubasi). Jurnal Teknologi Pertanian. 10(2):123 –135 Wulan, P., Gozan, M., Anondho, W., Dianursanti, and Mahmud, S. 2006, Biodegradation Of Linear Alkyl Benzene Sulfonate By Bacterial Consortium. Proceedings of the 1st International Conference on Natural Resources Engineering & Technology 2006 Putrajaya, Malaysia. 104-111 Zulfikar, M.A., Mariske, E.D., and Djajanti, S.D. 2012. Adsorption of lignosulfonate compounds using powdered eggshell. Songklanakarin. J. Sci. Technol. 34 (3):309-316
Krithiga, G. and Sastry, T.P. 2011. Preparation and characterization of a novel bone graft composite containing bone ash and egg shell powder. Bull. Mater. Sci., (34):1, pp. 177–181 Otun, J.A., Oke, I.A., Olarinoye, N.O., Adie, D.B., and Okuofu. C.A. 2006. Adsorption Isotherms of Pb(II), Ni(II) and Cd (II) Ions onto Powdered Eggshell. J. Appl Sci. 6(11):2368-2376 257
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PEMANFAATAN LIMBAH AMPAS SUSU KEDELAI SEBAGAI BAHAN PELINDUNG PROBIOTIK L. acidophillus FNCC 0051 SELAMA DI SALURAN CERNA IN VITRO I.B. Agung Yogeswara1, N. W. Nursini1, dan I.G.A. Wita Kusumawati1 .Fakultas Ilmu Kesehatan, Sains Dan Teknologi Universitas Dhyana Pura, Tegal Jaya, Dalung, Bali, e-mail : [email protected], [email protected], [email protected]
1
ABSTRAK Pada proses pembuatan susu kedelai dihasilkan limbah padat berupa ampas kedelai. Ampas kedelai (okara) masih memiliki sifat fungsional seperti aktivitas antioksidan yang tinggi, kaya akan protein dan serat serta bersifat sebagai probiotik. Dalam pengembangan pangan probiotik, pemilihan bahan pelindung untuk mempertahankan viabilitas sel probiotik selama di saluran cerna sangat penting. Oleh karena itu dilakukanlah penelitian yang bertujuan untuk memanfaatkan limbah ampas susu kedelai sebagai bahan yang dapat mempertahankan viabilitas probiotik L. acidophillus FNCC 0051 selama berada di saluran cerna in vitro dan diamati viabilitasnya selama penyimpanan 35 hari pada suhu 50 C. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga kali pengulangan dengan variasi konsentrasi 1%, 3%, 5% dan kontrol. Hasil dari penelitian ini adalah, L. acidophillus FNCC 0051 memiliki viabilitas 9 log cfu/ml selama 35 hari penyimpanan. Konsentrasi okara 1% dan 3% memiliki ketahanan yang lebih baik dibanding 5% dengan viabilitas 0,48 log cfu/ml – 1,49 log cfu/ml selama 35 hari penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa okara dapat dimanfaatkan sebagai bahan pelindung dan mampu mempertahankan viabilitas probiotik L. acidophillus FNCC 0051 selama di saluran cerna. Kata kunci : limbah ampas susu kedelai, probiotik, saluran cerna in vitro PENDAHULUAN Susu kedelai merupakan salah satu pangan fungsional yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Susu kedelai dan produk berbasis kedelai lainnya merupakan sumber protein nabati yang baik, serat pangan, kandungan oligosakarida yang tinggi, memiliki kandungan vitamin dan mineral serta mampu menurunkan resiko penyakit jantung koroner, diabetes tipe 2, menurunkan resiko karsinogenesis, mengurangi gejala negatif akibat menopause dan meningkatkan kesehatan tulang ( Bedani et al.,2006; Chen et al., 2010). Penggunaan proses fermentasi pada susu kedelai oleh bakteri asam laktat akan meningkatkan rasa, tekstur dan efek kesehatan dari susu kedelai tersebut. Proses fermentasi susu kedelai juga mengurangi bau tengik dari sari kedelai dan mengurangi flatulensi serta gangguan perut yang diakibatkan oleh oligosakarida (stakiosa dan
raffinosa) yang terdapat pada susu kedelai (Saad et al., 2013). Proses pembuatan susu kedelai menghasilkan limbah padat berupa ampas kedelai yang jarang dikonsumsi oleh manusia sehingga memiliki nilai ekonomis yang rendah. Ampas kedelai atau disebut okara masih memiliki nilai gizi yang tinggi seperti kandungan protein, lemak, serat pangan, mineral, monosakarida dan oligosakarida. Okara mentah memiliki kandungan isoflavone sebesar 22% , sumber antioksidan yang potensial, bersifat prebiotik, menurunkan kadar kolesterol dan gula darah (Marazza et al.,2013; Fei lu et al., 2013). Menurut WHO (2001) probiotik adalah sel hidup yang dikonsumsi dalam jumlah tepat dapat memberikan efek kesehatan bagi inang. Bakteri probiotik mempunyai mekanisme untuk memperbaiki mikroflora saluran pencernaan sehingga dapat mengatasi masalah gangguan
258
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI pencernaan. Untuk dapat berfungsi sebagai probiotik, bakteri probiotik harus memenuhi persyaratan antara lain; berasal dari manusia, tidak bersifat patogen, toleran terhadap asam lambung dan garam empedu dan kemampuan untuk menempel dan mengkoloni usus minimal dalam jangka waktu pendek juga merupakan salah satu syarat dari galur probiotik untuk dapat memberikan manfaat sepenuhnya (Shortt, 1999). Pemilihan carier pada pengembangan produk probiotik sangat penting karena media carier tersebut akan mempengaruhi viabilitas bakteri probiotik selama di saluran pencernaan dan proses penyimpanan. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk mempertahankan viabilitas probiotik selama di saluran cerna seperti penambahan prebiotik, penambahan strain yeast yang dapat bersinergi dengan probiotik atau dengan penambahan matriks pangan (Su et al., 2007). Agar dapat dikonsumsi dalam waktu yang cukup lama maka probiotik harus memiliki viabilitas dan stabilitas yang tinggi selama penyimpanan dan di saluran cerna. Proses penyimpanan atau lama penyimpanan akan mempengaruhi viabilitas probiotik selama di saluran cerna. Pada penelitian sebelumnya (Yogeswara et al., 2013), bakteri probiotik L. acidophillus FNCC 0051 di dalam susu kedelai fermentasi menunjukkan penurunan sebesar 3 log cycle terhadap simulated gastric juice (pH 2,0 dan pepsin) selama 10 hari penyimpanan dengan suhu penyimpanan 50 C, sedangkan pada fase simulated intestinal juice (pH 8,0 dan garam empedu 1%) probiotik L. acidophillus mengalami penurunan 2 log cycle pada hari ke 10 penyimpanan. Sedangkan pada suhu penyimpanan 25 0 C kultur L. acidophillus FNCC 0051 tidak dapat bertahan pada simulated gastric juice dan simulated intestinal juice pada lama penyimpanan 10 hari. Penggunaan okara dan inulin yang dilakukan oleh Bedani et al., (2013) melaporkan bahwa penambahan okara (5 g/100 ml) dan inulin (3 g/ 100 ml) di dalam susu kedelai fermentasi dapat mempertahankan viabilitas dan stabilitas bakteri L. acidophillus dan Bifidobacterium animalis pada simulated gastrointestinal juice dan selama 28 hari penyimpanan. Informasi mengenai pemanfaatan okara serta konsentrasi okara yang digunakan pada susu kedelai fermentasi masih
ISBN:978-602-9138-68-9
terbatas di Indonesia, oleh karena itu masih perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui potensi okara untuk mempertahankan viabilitas dan stabilitas bakteri probiotik selama penyimpanan dan di saluran pencernaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan okara dengan berbagai konsentrasi pada susu kedelai fermentasi terhadap viabilitas bakteri L. acidophillus FNCC 0051 terhadap simulated gastrointestinal juice selama penyimpanan 35 hari. METODE PENELITIAN Bahan Bahan yang digunakan adalah kacang kedelai diperoleh dari pasar Badung, kultur L. acidophillus FNCC 0051 yang diperoleh dari PSPG UGM, NaCl 0,85% (Merck), de Man Ragosa Sharp broth (Oxoid), MRS Agar (Oxoid), pepsin (porcine gastric mucosa, sigma), garam empedu (oxoid), larutan saline 5%, susu skim, HCl 5 M, NaOH 1 M. Preparasi kultur bakteri L. acidophillus FNCC 0051 Kultur bakteri diambil dengan jarum ose (1 kali) lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi (pyrex) yang telah berisi 10 ml MRS dan diinkubasi pada suhu 370C selama 16-18 jam. Kultur bakteri dimasukkan ke dalam tabung mikro eppendorf, kemudian disentrifuse selama 20 menit dengan kecepatan 3500 rpm lalu dicuci dengan larutan fisiologis (NaCl 0,85%) setelah itu disentrifuse lagi, diresuspensi dengan larutan fisiologis dengan volume yang sama sebanyak 100 ml, kemudian divortex (Thermolyne) dan siap digunakan. Kultur yang siap digunakan kemudian diinokulasikan ke dalam sari kedelei terfermentasi. Sari kedelei kemudian difermentasi selama 10 jam pada suhu 430C. Pembuatan susu kedelai dan fermentasi susu kedelai Kedelai direndam selama 4 jam sampai kulit ari kedelai terlepas dari bijinya. Selanjutnya kedelai ditiriskan dan dimasukkan ke dalam air mendidih dan direbus selama 10 menit, kemudian ditiriskan kembali. Kedelai dihancurkan dalam blender sambil ditambah air hangat (70 – 800 C) dengan perbandingan 1 : 6. Penggilingan dilakukan selama 5 menit dengan kecepatan tinggi. Bubur tersebut diaduk dan disaring untuk
259
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI diambil filtratnya. filtrat yang diperoleh kemudian digunakan untuk pembuatan tepung okara. Proses pembuatan susu kedelai fermentasi mengikuti metode yang dilakukan oleh Jenie et al., (1996) dengan sedikit modifikasi. Kedalam susu kedelai ditambahkan tepung okara sebanyak 3 %, 5% dan 10% serta sukrosa 3%. Campuran diaduk merata, dipanaskan pada suhu 800 C selama 5 menit, kemudian ditambahkan gelatin sebanyak 0,3% w/v dan didinginkan hingga suhu mencapai 370 C. susu kedelai selanjutnya diinokulasi dengan kultur L. acidophillus FNCC 0051 sebanyak 10% kemudian diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam. Susu kedelai yang sudah selesai difermentasi kemudian dilanjutkan dengan penyimpanan pada suhu 50 C. Penyimpanan dilakukan selama 35 hari dan analisa mikrobiologi dilakukan pada hari ke 0, 7, 14, 21, 28 dan 35 hari. Analisa yang dilakukan adalah total bakteri asam laktat selama penyimpanan, ketahanan terhadap simulated gastrointenal juice yang meliputi ketahanan terhadap simulated gastric juice pH 2,0 selama 90 menit inkubasi, ketahanan terhadap simulated intestinal juice pH 8,0 selama 60 menit inkubasi dan pH susu kedelai fermentasi selama penyimpanan. Pembuatan tepung okara Pembuatan tepung okara mengikuti metode yang dilakukan oleh Bedani et al., (2013). Filtrat atau ampas yang diperoleh dari pembuatan susu kedelai dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 550 C selama 48 jam. Setelah kering, tepung okara kemudian dihaluskan menggunakan blender (Phillips) dan dilanjutkan dengan pengayakan (ukuran 60 mesh) sampai memperoleh butiran tepung okara yang halus. Tepung okara yang diperoleh kemudian ditambahkan pada susu kedelai fermentasi dengan berbagai konsentrasi (1%, 3%, 5%). Ketahanan terhadap Simulated Gastric Juice dan Simulated Intestinal Juice (Lian et al., 2003; Krasaekoopt et al., 2004) Uji ketahanan terhadap simulated gastric juice dilakukan dengan metode plate count. Ketahanan dilakukan dalam larutan saline
ISBN:978-602-9138-68-9
5% yang ditambahkan pepsin (3 g/l), 1, 25 M KCl, 0, 45 M NaHCO3, kemudian pH diatur menggunakan HCl 5 M sehingga pH media diperoleh 2,0. Kultur segar diinokulasi ke dalam simulated gastric juice (SGJ), selanjutnya diinkubasi pada suhu 370 C selama 90 menit. Setelah pengujian di SGJ kultur selanjutnya diuji secara berkesinambungan terhadap simulated intestinal juice. Uji ketahanan terhadap SIJ menggunakan konsentrasi garam empedu yang terbuat dari larutan KH2PO4 0,05 M dengan pH 8,2 ditambah garam empedu sebesar 0,5% dan pankreatin (1 mg/ml). Kultur bakteri asam laktat yang telah diinokulasikan ke dalam 10 ml SGJ steril kemudian diambil 1 ml dan diinokulasikan kembali ke 10 ml larutan SIJ steril yang memiliki konsentrasi 0,5%. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 370 C selama 1 jam. Jumlah bakteri yang tumbuh dihitung menggunakan Quebec Colony Counter (Quebec) Penentuan total bakteri asam laktat dan pH susu kedelai fermentasi Penentuan total bakteri asam laktat selama penyimpanan dilakukan menggunakan metode sebar pada media MRS agar. Dari setiap tiga seri tingkat pengenceran terakhir diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril (dilakukan duplo). Setelah media memadat, cawan dibalik dan diinkubasi pada suhu 370 C selama 24 – 48 jam. Jumlah bakteri dihitung dengan menggunakan Quebec Colony Counter. pH susu kedelai fermentasi dilakukan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi dengan buffer pH 4,0 dan pH 7,0. Nilai pH diukur sebanyak 3 kali ulangan. HASIL DAN PEMBAHASAN Total bakteri asam laktat dan pH susu kedelai fermentasi Jumlah bakteri asam laktat pada susu kedelai fermentasi tidak mengalami penurunan selama penyimpanan sampai hari ke 21 dengan suhu penyimpanan 50C. Pada awal penyimpanan jumlah bakteri asam laktat adalah 9,11 - 9,30 log cfu/ml dan pada akhir penyimpanan 9,509,77 log cfu/ml untuk semua perlakuan. Jumlah tersebut sudah memenuhi syarat sebagai probiotik, dimana jumlah minimal yang bakteri asam laktat pada susu terfermentasi adalah 10610 8 cfu/ml (Tamime and Robinson, 2002).
260
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Gambar total bakteri asam laktat dapat dilihat pada Gambar 1.
ISBN:978-602-9138-68-9
pH susu kedelai fermentasi selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2. pH susu kedelai fermentasi mengalami penurunan selama 35 hari pada penyimpanan 50 C. pH susu kedelai fermentasi mencapai 2,73 – 2,94 di akhir periode penyimpanan .
Gambar 1. Total probiotik L. acidophillus FNCC 0051 selama 35 hari penyimpanan Dari gambar 1 diatas dapat dilihat bahwa jumlah bakteri asam laktat pada susu kedelai fermentasi tanpa okara dan dengan penambahan okara tidak menunjukkan penurunan selama penyimpanan pada suhu 50 C sampai hari ke 21. Hal ini disebabkan bakteri asam laktat sudah mencapai fase statis selama penyimpanan. Penambahan okara juga memberikan viabilitas terhadap bakteri asam laktat selama penyimpanan. Bedani et al., (2013) melaporkan bahwa keberadaan komponen prebiotik inulin dan okara pada susu kedelai fermentasi dapat mempertahankan viabilitas probiotik B. animalis dan L. acidophillus selama penyimpanan.Viabilitas probiotik selama penyimpanan juga dapat ditingkatkan dengan penambahan prebiotik FOS sebanyak 1,5% pada yogurt dan dapat memperbaiki viabilitas probiotik sebesar 1,42 log cfu/ml selama empat minggu penyimpanan pada suhu 40 C (Capela et al., 2006). Beberapa studi melaporkan bahwa penggunaan kedelai dan produk kedelai dapat mempertahankan viabilitas probiotik. Donkor et al ., (2007) melaporkan bahwa viabilitas probiotik L. acidophillus L10, B. animalis subsp lactis B94 dan L. casei L26 diatas 8 log cfu/ml.Lebih lanjut dilaporkan bahwa suplementasi 2% inulin dan 1% raffinosa + 1% glukosa mampu meningkatkan viabilitasnya selama penyimpanan dan fermentasi susu kedelai. Hal ini membuktikan bahwa tepung okara dapat berfungsi sebagai prebiotik dan sinbiotik pada susu kedelai fermentasi berdasarkan populasi bakteri asam laktat yang tinggi selama 35 hari penyimpanan.
Gambar 2. pH susu kedelai fermentasi selama penyimpanan Penurunan pH susu kedelai fermentasi dikarenakan bakteri asam laktat menghasilkan asam – asam organik yang dihasilkan dari degradasi karbohidrat selama proses fermentasi. Bakteri asam laktat mampu menghidrolisa gula raffinosa dan stakiosa yang terdapat pada susu kedelai (Wang et al., 2009). Menurut Wang et al., (2009) pH susu kedelai fermentasi mengalami penurunan karena susu kedelai memiliki kemampuan buffer yang rendah yang disebabkan oleh sifat fisikokimia dan komposisi dari protein kedelai. Penurunan pH susu kedelai fermentasi diduga karena pengaruh penambahan tepung okara. Okara merupakan media pertumbuhan yang baik bagi beberapa strain bakteri asam laktat karena mengandung gula stakiosa dan raffinosa. Beberapa strain dari L. acidophillus dilaporkan memiliki kemampuan untuk memetabolisme oligosakarida selama fermentasi susu kedelai (Donkor et al., 2007). Hasil serupa dilaporkan oleh Bedani et al.,( 2013), suplementasi inulin dan okara pada susu kedelai fermentasi memberikan penurunan pH selama penyimpanan dingin mencapai 4,46 selama 28 hari penyimpanan. Ketahanan terhadap saluran cerna in vitro Salah satu syarat bakteri asam laktat sebagai probiotik adalah mampu bertahan pada pH rendah di lambung. Dalam hal ini adalah pengujian bakteri asam laktat selama di saluran
261
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI cerna dilakukan 2 fase yaitu terhadap simulated gastric juice pH 2.0 secara in vitro dan Simulated intestinal juice. Pengujian pada SGJ dilakukan selama 90 menit, pemilihan waktu tersebut berdasarkan lama transit minuman di lambung. Ketahanan bakteri asam laktat terhadap SGJ selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 3.
ISBN:978-602-9138-68-9
suatu mekanisme pertahanan untuk melindungi diri dari aktivitas racun tersebut. Pengujian pada SIJ dilakukan selama 60 menit inkubasi dengan konsentrasi garam empedu 0,5%. Ketahanan bakteri asam laktat terhadap garam empedu dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Ketahanan probiotik L. acidophillus FNCC 0051 terhadap SGJ selama penyimpanan. Data diperoleh setelah 60 menit inkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam Gambar 3. Ketahanan probiotik L. acidophillus FNCC 0051 terhadap SGJ selama penyimpanan. Data diperoleh setelah 90 menit inkubasi pada suhu 370 C selama 24 jam Pada gambar 3 diatas dapat dilihat bahwa viabilitas sel bakteri asam laktat terhadap SGJ selama penyimpanan mengalami penurunan 2 log cfu/ml pada sampel kontrol dan pada susu kedelai fermentasi okara mengalami penurunan 0,33 – 0,96 log cfu/ml sampai hari ke 21 penyimpanan. Secara keseluruhan ketahanan bakteri asam laktat terhadap SGJ relatif baik selama penyimpanan pada sampel kontrol maupun pada susu kedelai fermentasi okara. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan okara dapat melindungi sel bakteri asam laktat terhadap paparan pH rendah di lambung. Keberadaan komponen prebiotik pada makanan dapat mempertahankan atau meningkatkan viabilitas probiotik selama di saluran cerna sehingga akan memberikan efek kesehatan (Moustafa., et al 2010). Hal tersebut didukung oleh Moustafa et al.,(2010) yang melaporkan bahwa penambahan prebiotik inulin pada sirup maple dapat mempertahankan viabilitas probiotik B. lactis Bb12 dan L. rhamnosus GG sebesar 107 – 108 cfu/ml selama di simulasi cairan cerna dan penyimpanan pada suhu 40 C. Ketahanan terhadap garam empedu merupakan salah satu syarat penting untuk bakteri asam laktat yang akan digunakan sebagai probiotik. Asam empedu merupakan racun bagi sel hidup, oleh karena itu mikroba pada saluran pencernaan harus mempunyai
Pada gambar 4 diatas, penambahan tepung okara pada susu kedelai fermentasi dapat mempertahankan viabilitas probiotik L. acidophillus FNCC 0051 pada hari ke 0, 7 dan 14. Akan tetapi pada hari ke 21 sampai hari ke 35 populasi L. acidophillus FNCC 0051 menunjukkan penurunan 1,60 – 2,60 log cfu/ml. penurunan populasi ini masih dalam batas minimal yang dianjurkan untuk probiotik mencapai kolon (jumlah minimal probiotik adalah 106 cfu/ml). Menurut Antara (2009) enzim BSH merupakan enzim yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat yang mampu menghidrolisa garam empedu dan mengubah kemampuan fisikokimia yang dimiliki garam empedu, sehingga tidak toksik bagi bakteri tersebut. SIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah, penambahan tepung okara pada susu kedelai fermentasi mampu mempertahankan viabilitas probiotik L. acidophillus FNCC0051 selama penyimpanan dingin. Viabilitas L. acidophillus FNCC 0051 diatas 8 log cfu/ml dan populasi tersebut tidak dipengaruhi dengan penurunan pH dari susu kedelai fermentasi yang mencapai 3,70 – 2,94. Pada fase pengujian di simulated gastric juice pH 2,0 jumlah rata - rata populasi probiotik L. acidophillus FNCC 0051 adalah 7 log cfu/ml dan fase simulated intestinal juice diatas 6 log cfu/ml. Penelitian ini menunjukkan bahwa ampas susu kedelai (okara) memiliki potensi yang baik sebagai bahan pelindung pangan probiotik
262
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI sehingga akan meningkatkan nilai ekonomis dari okara tersebut. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai nilai gizi dan uji sensoris dari susu kedelai fermentasi yang disuplementasi oleh tepung okara. DAFTAR PUSTAKA Antara, N.S, I Nyoman Dibia, W.R Aryanta. 2009 Karakterisasi Bakteri Asam Laktat yang Diisolasi dari Susu Kuda Bima.Agritech. Vol 29 :1-8 Bedani, R., Rossi, A, E., Saad, S, M, I. 2013. Impact of inulin and okara on Lactobacillus acidophillus La-5 and Bifidobacterium animalis Bb-12 viability in a fermented soy product and probiotic survival under in vitro simulated gastrointestinal conditions. Food Microbiology. 34 : 382 – 389. Capela P, Hay TKC, Shah NP. 2006. Effect of cryoprotectants, prebiotics and microencapsulation on survival of probiotic organism in yogurt and freeze dried yogurt. Food Res Int. 39 : 203 - 211 Chen, H., Li- jun, Z., Bo, X., Rui, L., 2010. Effect of soybean oligosaccharides on blood lipid, glucose levels and antioxidant enzymes activity in high fat rats. Food Chemistry. 119: 1633-1636 Donkor, O, N., Henriksson, A., Vasiljevic, T., Shah, N, P., 2007. Alpha galactosidase and proteolytic activities of selected probiotic and dairy cultures in fermented soymilk. Food Chemistry. 104, 10 – 20 Fei Lu., Yang Liu., Bo Li., 2013. Okara dietary fiber and hypoglycemic effect of okara foods. Bioactive Carbohydrate and Dietary Fibre. 2, 126 – 132 Jenie, B. S. L., Candrasari, E. Y., dan Lilis nuraida. 1996. Aktivitas antimiikroba dari susu kedelai yang difermentasi oleh Lactobacillus casei. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 1 : 16 – 26 Krasaekoopt, W., Bhandari, B., and Deeth, H., 2004. The influence of coating materials on some properties of alginate beads and survivability of microencapsulated probiotic bacteria. International Dairy Journal 14, 737 : 743
ISBN:978-602-9138-68-9
Lian, Wen-Chian., Hung-Chi Hsiao, and ChengChun Chou. 2003. Viability of microencapsulation bifidobacteria in simulated gastric juice and bile solution. Int. J. Food. Microbiol,86 : 293-301. Marazza, J, A., LeBlanc, G, J., de Giori, G, S., Garro, M, S., 2013. Soymilk fermented with Lactobacillus rhamnosus CRL981 ameliorates hypergycemia, lipid profiles and increases antioxidant enzyme activities in diabetic mice. J. Functional Foods. Article in Press Moustafa Khalf., Dabour, N., Kheadr, E., and Fliss I., 2010. Viability of probiotic bacteria in maple sap products under storage and gastrointestinal conditions. Bioresource Technology. 101 : 7966 – 7972 Saad, S, M., Rossi, E, A., Vieira, D, S., Bedani, R., 2013. Tropical fruit pulps decreased probiotic survival to in vitro gastrointestinal stress in synbiotic soy yoghurt with okara during storage. LWT- Food Science and Technology. 1 – 8 Shortt, C. 1999. The probiotic century : historical and current perspective. Review Trends Food Science and Tech. 10 : 411 – 417 Su, P., Henriksson, A., Mitchell, H., 2007. Prebiotic enhances survival and prolong the retention period of specific probiotic inocula in an in vivo murine model. Journal of Applied Microbiology. 106, 2393 – 2400 Tamime, A.Y. dan R.K. Robinson. 2002. Yogurt Science and Technology. New York. CRC Press. p: 1-9. Wang, J., Guo, Z., Zhang, Q., Yan, L., Chen, W., Liu, X.M., Zhang, H.P., 2009. Fermentation characteristics and transit tolerance of probiotic L. casei Zhang in soymilk and bovine milk during storage. J. Dairy Sci. 92 : 2468 – 2476 Yogeswara, I, B, A., Wita, K, I, G, A., Nursini, N, W. 2013. Viabilitas probiotik Lactobacillus acidophillus FNCC 0051 pada susu kedelai terfermentasi selama proses penyimpanan. Hibah Penelitian Dosen Pemula
263
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
ISOLASI DAN KARAKTERISASI LIPASE DARI BAKTERI YANG DIISOLASI DARI TANAH TERKONTAMINASI MINYAK DI PASAR BANYUASRI SINGARAJA Ni Ketut Novi Purnamasari, Vivi Oviantari, dan I Putu Parwata Jurusan Analis Kimia FMIPA UNDIKSHA singaraja Bali ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri yang diperoleh dari tanah terkontaminasi minyak di Pasar Banyuasri Singaraja yang menunjukkan potensi penghasil lipase, dan (2) mengkarakterisasi lipase yang dihasilkan oleh bakteri yang telah diisolasi tersebut dilihat dari pH, suhu dan pelarut organik. Subjek dalam penelitian ini adalah bakteri yang diisolasi dari tanah terkontaminasi minyak yang diambil di Pasar Banyuasri Singaraja. Objek dalam penelitian ini adalah jenis bakteri serta karakteristik enzim lipase yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Tahap pengumpulan data dimulai dari isolasi dan identifikasi koloni dengan potensi lipolitik, isolasi dan uji aktivitas lipase dari isolat bakteri serta karakterisasi lipase. Aktivitas lipase diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koloni bakteri yang diisolasi dari tanah terkontaminasi minyak di Pasar Banyuasri Singaraja menunjukkan potensi menghasilkan lipase yang cukup baik dan termasuk dalam kelompok bakteri gram negatif dengan bentuk kokus. Lipase yang diisolasi dari bakteri tersebut menunjukkan aktivitas katalitik optimum pada pH 8 dan suhu 50oC. Lipase yang diperoleh sangat stabil pada pelarut organik metanol dan etanol sehingga, berpotensial dikembangkan sebagai biokatalis dalam produksi biodiesel. Kata kunci : Bakteri, Tanah Terkontaminasi Minyak, Lipase, Aktivitas Lipase, Pelarut Organik PENDAHULUAN Lipase (EC 3.1.1.3) merupakan kelompok enzim yang secara umum berfungsi dalam hidrolisis triasilgliserol (trigliserida) untuk menghasilkan asam lemak rantai panjang dan gliserol (Mingrui Yu et al., 2007). Enzim ini juga digunakan untuk hidrolisis triasilgliserol menjadi diasilgliserol dan asam lemak bebas. Belakangan ini penggunaan enzim lipase semakin meningkat karena aplikasinya yang semakin berkembang di dalam berbagai industri baik industri pangan maupun non pangan. Enzim lipase telah banyak dikenal memiliki cakupan aplikasi yang sangat luas dalam bidang bioteknologi seperti produksi pestisida, pengolahan limbah, industri makanan (pembuatan roti, keju), biosensor, detergen, untuk industri kulit, proses pembuatan kertas, dan industri oleokimia (memproduksi asam lemak dan turunannya). Lipase telah diisolasi dari hewan, tanaman dan mikroorganisme. Mikroorganisme penghasil lipase ditemukan dalam bermacam-macam habitat seperti limbah industri, pabrik pengolahan minyak sayur,
perusahaan susu, tanah yang terkontaminasi dengan minyak, makanan yang membusuk, dan timbunan kompos (Sharma et al., 2001). Produksi lipase secara komersial telah dilakukan di beberapa negara maju. Harga lipase impor relatif mahal, misalnya harga lipase dengan merk dagang Lipozyme IM, BIO-lipase, dan Lipolase mencapai 25 juta rupiah per kg (Putranto et al., 2006). Indonesia yang telah dikenal memiliki keanekaragaman hayati tinggi berpeluang besar mengembangkan produksi lipase dari mikroba lokal, yaitu salah satunya adalah bakteri. Keuntungan memproduksi enzim dari mikroba adalah produksi enzim dapat ditingkatkan dalam skala besar dalam ruangan yang relatif terbatas (Suhartono, 1989). Bakteri merupakan salah satu mikroba yang dapat menghasilkan enzim lipase, karena memiliki kemampuan hidup di berbagai lingkungan yang terdapat kandungan makanan atau nutrisi yang kompleks. Bakteri yang hidup dalam tanah terkontaminasi minyak memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan enzim lipase karena kandungan minyak pada tanah
264
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI tersebut adalah sumber substrat bagi enzim lipase. Beberapa penelitian terkait menunjukkan bahwa spesies bakteri Pseudomonas dan Staphylococcus yang diisolasi dari tanah terkontaminasi minyak palm memiliki potensi yang sangat besar sebagai penghasil lipase (Odu and Akujobi, 2012). Lipase yang dihasilkan menunjukkan aktivitas optimum pada pH 7 dan suhu 37oC. Sementara menurut Aly, et al. (2012) melaporkan dari 20 strain bakteri potensial yang diisolasi dari tanah terkontaminasi minyak di stasiun pengisian bahan bakar, satu strain yang termasuk spesies Streptomyces exfoliates adalah penghasil lipase terbaik. Lipase yang dihasilkan menunjukkan aktivitas maksimum pada pH awal 6,0 dengan suhu inkubasi 37oC. Oleh karena itu, optimasi aktivitas dari lipase yang dihasilkan dari bakteri dipengaruhi oleh suhu dan pH media yang digunakan pada pertumbuhan bakteri. Berdasarkan paparan tersebut, penelitian ini akan mengisolasi lipase dari bakteri yang hidup dalam tanah yang terkontaminasi minyak di Pasar Banyuasri Singaraja. Penelitian ini dirancang untuk memperoleh varian lipase yang unggul dari bakteri yang diisolasi dari tanah yang terkontaminasi minyak, sehingga dapat dikembangkan sebagai biokatalisator. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri yang diperoleh dari tanah terkontaminasi minyak di Pasar Banyuasri Singaraja yang menunjukan potensi penghasil lipase serta mengkarakterisasi lipase yang dihasilkan oleh bakteri yang telah diisolasi tersebut dilihat dari pH, suhu dan pelarut organik. METODE PENELITIAN Isolasi dan Identifikasi Koloni dengan Potensi Lipolitik Bakteri dari koloni yang menunjukkan potensi lipolitik diisolasi/dipisahkan untuk memperoleh isolat tunggal. Isolasi dilakukan mengikuti prosedur yang dikemukakan oleh Prescott (2002). Koloni dengan potensi lipolitik diinokulasi dalam media Luria Bertani (LB) cair dengan komposisi pepton 0,5%, ekstrak yeast 0,5%, NaCl 0,5%, dan akuades. Inokulum yang tumbuh diencerkan (102, 104, dan 10 6 kali), kemudian dipindahkan dengan teknik sebar (spread) pada media LB padat dengan komposisi
ISBN:978-602-9138-68-9
pepton 0,5%, ekstrak yeast 0,5%, NaCl 0,5%, CaCl2 0,05%, bacto agar 2% yang mengandung suspensi substrat dengan komposisi akuades, tween 80, minyak olive dan indikator warna rhodamin B. Koloni yang tumbuh pada media LB padat dengan tingkat kepadatan paling rendah masing-masing dipindahkan ke media LB padat dengan komposisi sama melalui teknik gores (streake) empat kuadran. Streake empat kuadran diulangi sebanyak empat kali, masingmasing koloni hasil streake terakhir kemudian diuji potensi lipolitiknya. Koloni hasil pemisahan yang masih menunjukkan potensi lipolitik kemudian dipisahkan kembali dengan langkah yang sama untuk meyakinkan diperolehnya isolat tunggal. Isolat tunggal yang diperoleh diidentifikasi untuk mengetahui jenis/strain bakteri melalui uji morfologi, dalam penelitian ini dilakukan dengan uji pewarnaan Gram. Isolasi dan Uji Aktivitas Lipase dari Isolat Tunggal Isolasi/produksi lipase dimulai dengan pembuatan starter. Satu ose kultur isolat tunggal ditumbuhkan dalam 10 mL media starter dengan komposisi pepton 0,5%, ekstrak yeast 0,5% dan NaCl 0,5%, diinkubasi dalam inkubator lalu dikocok menggunakan shaker dengan kecepatan 150 rpm selama 24 jam. Sebanyak 0,1% starter dipindahkan ke dalam media produksi lipase (pepton 0,5%, ekstrak yeast 0,5% dan NaCl 0,5%), kemudian diinkubasi dalam inkubator lalu dikocok menggunakan shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 37oC selama +24 jam (sampai mencapai Optical Density optimum untuk produksi lipase) (Kumar et al., 2005 modifikasi). Inokulum kemudian disentrifugasi dengan kecepatan setara 10.000 x g (gravitasi) pada suhu 4oC selama 35 menit, supernatan yang mengandung lipase dipisahkan dari pellet sel. Aktivitas lipase diuji menggunakan teknik spektrofotometri seperti yang dikemukakan oleh Lee et al., 1999. Substrat yang digunakan adalah p-nitrofenil palmitat (pNPP) yang dilarutkan dalam asetonitril dengan konsentrasi 10 mM. Emulsi substrat dibuat dengan mencampurkan larutan pNPP dengan buffer pH tertentu yang mengandung etanol dengan perbandingan 1:95:4 (v/v/v). Sebanyak 105 μL larutan enzim ditambahkan ke dalam 3000 μL emulsi substrat, kemudian diinkubasi pada suhu tertentu selama waktu tertentu
265
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI (menit). Suhu inkubasi, pH buffer serta waktu inkubasi dioptimasi terlebih dahulu dengan metode pengukuran kontinyu dengan mengamati peningkatan produk reaksi terhadap waktu inkubasi. Aktivitas lipase diukur berdasarkan perubahan absorbansi pada panjang gelombang 405 nm yang menunjukkan pelepasan senyawa p-nitrofenol (pNP) dari substrat pNPP. Data absorbansi kemudian dikonversi menjadi kadar pNP (μmol) dengan cara interpolasi ke kurva standar. Standar yang digunakan adalah senyawa p-nitrofenol dengan seri konsentrasi 2-14 μg/mL yang diukur absorbansinya pada panjang gelombang 405 nm. Aktivitas lipase dinyatakan dalam satuan unit/mL yang didefinisikan sebagai μmol produk (p-nitrofenol) yang dihasilkan oleh lipase per menit per mL enzim. Penentuan pH dan Suhu Optimum Aktivitas Lipase Penentuan pH optimum aktivitas lipase dilakukan pada suhu 37oC menggunakan buffer dengan rentang pH dari 4-10. Pengukuran aktivitas lipase dilakukan sesuai prosedur yang dikemukakan oleh Lee et al. (1999). Suhu optimum lipase ditentukan dengan mengukur aktivitas enzim pada berbagai suhu dalam rentang 27oC –80oC. Campuran reaksi diinkubasi pada suhu tertentu dalam water bath, dan aktivitas lipase diukur mengikuti prosedur yang dikemukakan oleh Lee et al. (1999). Stabilitas Lipase terhadap Pelarut Organik Stabilitas lipase terhadap pelarut organik ditentukan dengan menginkubasi enzim dalam pelarut organik dengan perbandingan pelarut organik terhadap larutan enzim sebesar 1:1. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 60 menit (Abdul Rahman et al., 2010). Aktivitas lipase kemudian diukur menggunakan prosedur yang dikemukakan oleh Lee et al. (1999). Sebagai kontrol digunakan akuades untuk menggantikan pelarut organik, stabilitas lipase terhadap pelarut organik dinyatakan dalam bentuk aktivitas relatif terhadap kontrol. Pelarut organik yang digunakan meliputi: metanol dan etanol. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Koloni dengan Potensi Lipolitik Enzim lipase yang dihasilkan oleh bakteri yang hidup dalam tanah terkontaminasi minyak memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan
ISBN:978-602-9138-68-9
enzim lipase karena kandungan minyak pada tanah tersebut adalah sumber substrat bagi enzim lipase. Enzim ini digunakan untuk memecah lemak menjadi komponen asam lemak, yang sangat dibutuhkan dalam metabolisme mikroorganisme yang bersangkutan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa koloni bakteri yang diperoleh dari tanah terkontaminasi minyak di Pasar Banyuasri Singaraja memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan lipase (Gambar 1). Hal ini dibuktikan dengan adanya perpendaran berwarna merah kekuningan di sekitar koloni yang terjadi akibat reaksi antara Rhodamin B dengan asam lemak yang dihasilkan dari kerja enzim lipase membentuk kompleks dan berpendar (Kauker and Jaeger, 1987). Semakin besar diameter pendaran semakin banyak enzim lipase yang dihasilkan oleh bakteri. Koloni dari bakteri yang menunjukkan potensi lipolitik diidentifikasi jenis Gramnya. Identifikasi dilakukan dengan pewarnaan Gram. Dengan metode pewarnaan Gram, bakteri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif berdasarkan reaksi atau sifat bakteri terhadap pewarna tersebut. Reaksi atau sifat bakteri tersebut ditentukan oleh komposisi dinding selnya.
Gambar 1. Koloni dengan Potensi Menghasilkan Lipase. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, isolat bakteri yang diperoleh dari tanah yang terkontaminasi minyak di Pasar Banyuasri merupakan bakteri Gram negatif. Hal tersebut terlihat dari hasil pengamatan di bawah mikroskop warna sel bakteri adalah merah muda. Dinding sel bakteri Gram negatif tidak dapat mempertahankan warna kristal violet dan ikut meluruh pada penambahan alkohol sehingga pada dinding sel bakteri terikat warna safranin dan terlihat sel bakteri berwarna merah muda. Bentuk dari sel bakteri adalah kokus (Gambar 2).
266
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
Lipase yang dihasilkan oleh isolat bakteri kemudian diisolasi dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 35 menit. Supernatan yang diperoleh merupakan ekstrak kasar lipase (lihat Gambar 4).
Gambar 2. Hasil Pewarnaan Gram Sel Bakteri Isolat Tunggal yang Diamati di Bawah Mikroskop Hasil Produksi dan Isolasi Lipase dari Isolat Bakteri Produksi lipase dari isolat bakteri diawali dengan pembuatan kurva pertumbuhan bakteri. Pertumbuhan bakteri dalam suatu medium mengalami beberapa fase, yakni fase adaptasi (fase lag), fase pertumbuhan awal, fase logaritmik (fase eksponensial), fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan statis, fase menuju kematian, dan fase kematian (Fardiaz, 1993). Pembuatan kurva pertumbuhan bakteri bertujuan untuk mengetahui waktu inkubasi yang menghasilkan lipase dengan jumlah terbaik. Lipase umumnya dihasilkan pada akhir fase logaritma (Fardiaz, 1993). Berdasarkan hasil penelitian seperti yang ditampilkan pada Gambar 3, pertumbuhan bakteri meningkat drastis pada waktu inkubasi 8 sampai 12 jam (fase eksponensial). Jadi produksi lipase terbaik tercapai pada akhir fase eksponensial yaitu dalam hal ini pada waktu inkubasi 12 jam. Produksi lipase terus menurun ketika pertumbuhan bakteri mencapai fase stasioner. Lipase diproduksi dalam media produksi lipase dengan komposisi (pepton 0,5%, yeast 0,5%, NaCl 0,5%) dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 12 jam (sesuai dengan waktu inkubasi terbaik produksi lipase).
Gambar 4. Ekstrak Kasar Lipase Aktivitas Lipase pada Variasi pH pH merupakan faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas enzim. Kebanyakan enzim tidak aktif pada nilai pH yang ekstrim. Hal tersebut dapat disebabkan oleh nilai pH yang ekstrim dapat merusak protein yang merupakan komponen penyusun enzim (Rachma, 2006). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pH lingkungan berpengaruh terhadap aktivitas lipase (Gambar 5). Pada pH 4 sampai 6 aktivitas belum menunjukkan peningkatan yang signifikan, sedangkan pada pH 6 sampai pH 8 aktivitas lipase mengalami peningkatan, namun menurun pada pH 9 sampai 10. Pada pH 5 juga terjadi penurunan aktivitas lipase jika dibandingkan dengan pH 4, namun tidak signifikan. Hal tersebut terjadi karena kemungkinan adanya varian lipase yang dihasilkan oleh bakteri lebih dari satu.
Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Bakteri Isolat Tunggal
Gambar 5. Aktivitas Lipase pada Variasi pH 267
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Berdasarkan hasil penelitian, pH optimum lipase adalah 8 dengan nilai aktivitas sebesar 0,194 U/mL (Gambar 5). Fojan et al., 2000 menyatakan secara umum aktivitas optimum lipase terjadi pada kisaran pH 6 sampai 8. Aktivitas lipase pada pH di bawah dan di atas pH 8 menurun. Pada kondisi pH optimum, gugus pemberi dan penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim mempunyai struktur tiga dimensi yang paling sesuai dengan substrat sehingga dapat mengikat substrat dengan tepat, membentuk kompleks enzim-substrat dan menghasilkan produk secara maksimum (Page, 1989). Aktivitas lipase di luar pH optimum rendah karena di luar pH optimum konsentrasi ion hidrogen berubah dari konsentrasi optimum, aktivitas enzim secara progresif hilang sampai pada akhirnya enzim menjadi tidak fungsional. Aktivitas enzim yang menurun terjadi karena perubahan pH yang disebabkan oleh berubahnya keadaan ion substrat dan enzim. Perubahan tersebut dapat terjadi pada residu asam amino yang berfungsi untuk mempertahankan struktur tersier dan kuartener enzim aktif. Selain itu, pH di luar nilai optimum menurunkan efektifitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim substrat (Yusriah, 2013). pH yang ekstrim dapat menyebabkan enzim mengalami denaturasi. Pada pH rendah, enzim terprotonasi dan kehilangan muatan negatifnya, sedangkan pada pH tinggi, substrat terionisasi sehingga kehilangan muatan positifnya (Page, 1989). Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Mukesh Kumar, et al. (2012) yang berhasil mengisolasi lipase dari Bacillus sp. yang diperoleh dari limbah minyak di industri penyempurnaan minyak Kaleeswari, Chennai, Tamil Nadu. Lipase yang diperoleh menunjukkan aktivitas optimum pada pH 8,0. Aktivitas Lipase pada Variasi Suhu Aktivitas lipase juga dipengaruhi oleh suhu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu lingkungan berpengaruh terhadap aktivitas lipase (Gambar 6). Pada suhu 30oC sampai 50oC aktivitas lipase mengalami peningkatan, namun menurun pada suhu 60oC sampai 80oC. Pada suhu 30oC juga terjadi penurunan aktivitas lipase jika dibandingkan dengan suhu 27 oC. Hal tersebut terjadi karena kemungkinan adanya varian lipase yang lebih dari satu yang dihasilkan oleh bakteri.
ISBN:978-602-9138-68-9
Gambar 6. Aktivitas Lipase pada Variasi Suhu Berdasarkan hasil penelitian, suhu optimum lipase adalah 50°C dengan nilai aktivitas sebesar 0,179 U/mL (Gambar 6). Menurut Gupta, et al. (2004) lipase yang diisolasi dari bakteri memiliki suhu optimum pada kisaran 30-60 o C. Aktivitas enzim meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan menurun setelah mencapai suhu optimum. Aktivitas enzim terhadap suhu dipengaruhi oleh energi kinetik enzim dan substrat untuk saling bertumbukan. Meningkatnya suhu menyebabkan energi kinetik meningkat. Pada suhu rendah, tumbukan yang terjadi antara enzim dengan substrat intensitasnya masih rendah sehingga kompleks enzim-substrat yang terbentuk sedikit dan produk yang dihasilkan juga sedikit. Peningkatan suhu sampai suhu optimum meningkatkan tumbukan yang terjadi antara enzim dengan substrat sehingga aktivitas enzim juga meningkat. Pada suhu optimum, tumbukan antara enzim dengan substrat sangat efektif sehingga kompleks enzim-substrat semakin mudah terbentuk dan produk yang dihasilkan juga meningkat. Peningkatan suhu di atas suhu optimum menyebabkan aktivitas enzim menurun. Hal ini karena enzim terdenaturasi sehingga terjadi perubahan struktur tiga dimensi enzim yang menyebabkan substrat sukar berikatan dengan sisi aktif enzim akibatnya aktivitas enzim menurun (Sadikin, 2002). Aktivitas Lipase pada Pelarut Organik Uji pengaruh pelarut organik terhadap aktivitas lipase dilakukan pada suhu optimum 50°C dan pH optimum 8. Pelarut organik yang digunakan adalah etanol dan metanol karena pelarut tersebut digunakan dalam produksi biodiesel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas lipase paling tinggi dalam pelarut organik etanol. Penambahan pelarut organik
268
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI metanol menghasilkan aktivitas yang lebih rendah dari pada pelarut organik etanol sedangkan, aktivitas lipase pada penambahan akuades paling rendah, seperti ditampilkan pada Gambar 7
Gambar 7. Aktivitas Lipase Setelah Diinkubasi pada Pelarut Organik Pelarut organik polar seperti metanol atau etanol umumnya memberikan efek negatif pada aktivitas lipase karena pelarut tersebut dapat menarik lapisan air di sekitarnya enzim, sehingga menurunkan fungsi katalitiknya. Namun, lipase yang diperoleh dalam penelitian ini, sangat stabil dalam pelarut organik polar seperti metanol dan etanol. Aktivitas lipase yang diperoleh bahkan meningkat setelah enzim diinkubasi selama satu jam dari pelarut metanol dan etanol. Hal ini menunjukkan bahwa enzim mampu mempertahankan lapisan air di permukaan molekul enzim sehingga konformasi protein tetap utuh selama proses katalitik. Kemampuan enzim untuk mempertahankan lapisan air permukaannya terjadi kemungkinan karena permukaan protein enzim ini mengandung banyak residu polar dan bermuatan yang berinteraksi kuat dengan molekul air (Parwata et al., 2014). Perlakuan pelarut metanol dan etanol terhadap lipase dapat mengoptimalkan struktur molekul dan sisi aktif enzim untuk proses katalisis. Oleh karena itu, lipase yang diperoleh dari penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam reaksi sintesis organik, seperti sintesis ester dan trans-esterifikasi dalam produksi biodiesel. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa koloni bakteri yang diisolasi dari tanah terkontaminasi
ISBN:978-602-9138-68-9
minyak di Pasar Banyuasri Singaraja menunjukkan potensi penghasil lipase yang cukup baik. Isolat bakteri termasuk kelompok bakteri Gram negatif dengan bentuk kokus. Karakteristik enzim lipase yang dihasilkan oleh isolat bakteri dari tanah yang terkontaminasi minyak di Pasar Banyuasri Singaraja menunjukkan aktivitas katalitik optimum pada pH 8 dan suhu 50 o C. Enzim lipase yang diperoleh sangat stabil pada pelarut organik metanol dan etanol sehingga sangat potensial dikembangkan sebagai biokatalis dalam produksi biodiesel. Saran Saran-saran yang dapat diajukan berdasarkan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memurnikan ekstrak kasar lipase dan menentukan karakteristik biokimianya. 2. Peneliti yang berminat untuk melakukan penelitian sejenis sebaiknya memperbanyak variasi pelarut organik. DAFTAR PUSTAKA Abdul Rahman, R. N. Z. R., Kamarudin, N. H. A., Yunus, J., Salleh, A. B., Basri, M., 2010. Expression of an Organic Solvent Stable Lipase From Staphylococcus epidermidis AT2. International Journal of Molecular Science, Volume 11 (hlm. 3195-3208). Aly, M. M.,, Tork, S., Al-Garni, S. M., and Nawar, L., 2012. Production of lipase from genetically improved Streptomyces exfoliates LP10 isolated from oilcontaminated soil. African Journal of Microbiology Research, Volume 6, Nomor 6 (hlm. 1125-1137). Fardiaz, S. 1993. Mikrobiologi Pangan, Jilid 1. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fojan, P., Jonson, P. H., Petersen, M. T. N. and Petersen, S. B. 2000. What distinguishes an esterase from a lipase: a novel structural approach. Biochimie. Volume 82 (hlm. 1033-1041). Gupta, R., N. Gupta, and P. Rathi. 2004. Bacterial Lipases an Overview of Production, Purification and Biochemical Properties. Appl. Microbiology. Biotechnology. Volume 64, (hlm. 763-781).
269
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Kouker, G. and Jaeger, K. E. 1987. Specific and Sensitive Plate Assay for Bacterial Lipases, Applied and Environmental Microbiology, Volume 53 (hlm. 211213). Kumar, S., Kokon, K., Upadhyang, A., Kanwar, S.S., and Gupta, R. 2005. Production, Purification and Characterization of Lipase from Thermophilic and Alkaliphilic Bacillus coagulan BTS-3, Protein Expression and Purification, Volume 41 (hlm. 38-44). Lee, D., Koh, Y., Kim, K., Kim, B., Choi, H., Kim, D., Suhartono, M. T. and Pyun, Y. 1999. Isolation and Characterization of Thermophilic Lipase from Bacillus thermoleovorans ID-1, FEMS Microbiology Letters, Volume 179 (hlm. 393-400). Mingrui Yu, Shaowei Qin, Tianwei Tan. 2007. Purification and Characterization of The Extracellular Lipase Lip2 from Yarrowia lipoliytica. Process Biochemistry, Volume 42 (hlm. 384-391). Mukesh Kumar, D.J., Rejitha, R., Devika, S., Balakumaran M.D.A., Immaculate nancy rebecca and Kalaichelvan, P.T. 2012. Production, optimization and purification of lipase from Bacillus sp. MPTK 912 isolated from oil mill effluent. Adv. Appl. Sci. Res, Volume 3, Nomor 2 (hlm. 930-938). Odu, N.N., and Akujobi, C.O., 2012. Potential Production of Lipases by Pseudomonas and Staphylococcus Species Isolated from Palm Oil Contaminated Tropical Soil. Cancer Biology, Volume 2, Nomor 2 (hlm. 45-49). Page, D. S. 1989. Prinsip-Prinsip Biokimia. Jakarta: Erlangga. Parwata, I Putu and I Nyoman Sukarta. 2013. Isolasi dan Karakterisasi Lipase Stabil Pelarut Organik dari Bakteri Isolat Tanah Terkontaminasi Minyak di Pasar Tradisional Singaraja. Laporan Penelitian (tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan Ganesha. Parwata, I Putu, 2012. Isolasi dan Karakterisasi Lipase Stabil Pelarut Organik dari Pseudomonas stutzeri Isolat Kawah
ISBN:978-602-9138-68-9
Lumpur “Bledug Kuwu” Purwodadi Jawa Tengah. Tesis. ITB: Bandung. Parwata, I Putu, Mukhamad Asyari and Rukman Hertadi. 2014. Organic Solvent-Stable Lipase from Moderate Halophilic Bacteria Pseudomonas stutzeri Isolated from the Mud Crater of Bleduk Kuwu, Central Java, Indonesia. Journal of Pure and Applied Microbiology. Volume 8, Nomor 1 (hlm.31-40). Prescott, H. 2002. Laboratory Exercises in Microbiology (Fifth Edition), The McGraw-Hill Companies. Putranto, A.R., Santoso, D. Tri-Panji, Suharyanto, and Budiani, A. 2006. Karakterisasi Gen Penyandi Lipase dari Kapang Rhizopus oryzae dan Absidia corymbifera. Menara Perkebunan, Volume 74, Nomor 1 (hlm. 23-32). Sadikin, M. 2002. Biokimia Enzim. Jakarta: Widya Medika. Sharma, R., Chisti, Y., and Banerjee, U. C., 2001. Production, Purification, Characterization, and Application of Lipases, Biotechnology Advances, Volume 19 (hlm. 627-662). Suhartono, M.T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. (hlm. 172-220). Yusriah and Nengah Dwianita K. 2013. Pengaruh pH dan Suhu Terhadap Aktivitas Protease Penicillium sp. Jurnal Sains dan Seni Pomits. Volume 2, Nomor 1 (hlm. 2337-3520).
270
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PEMBERIAN VITAMIN C MEMPERTAHANKAN PROSES SPERMATOGENESIS DAN JUMLAH SEL LEYDIG PADA MENCIT (Mus musculus) YANG MENDAPAT PAPARAN ASAP ROKOK A.A. Ayu Putri Permatasari Program Studi Biologi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Sains dan Teknologi, Universitas Dhyana Pura BALI, Indonesia, email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin C pada proses spermatogenesis dan jumlah sel Leydig pada mencit yang mendapat paparan asap rokok. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan randomized pretest-postest control group design. Sampel berupa mencit jantan strain Balb-C, umur 3 bulan dengan kisaran berat badan 20 s.d. 35 gram sebanyak 72 ekor. Mencit dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok kontrol (tanpa paparan asap rokok), kelompok perlakuan I (paparan asap rokok), dan kelompok perlakuan II (paparan asap rokok dan pemberian vitamin C), masing-masing kelompok terdiri atas 24 ekor mencit. Perlakuan diberikan selama 35 hari. Sebelum perlakuan, 12 ekor mencit diambil dari setiap kelompok untuk pre-test dengan pembuatan preparat mikroskopis testis, pemeriksaan jumlah sel-sel spermatogenik dan jumlah sel Leydig. Sisanya sebanyak 12 ekor mencit digunakan untuk post-test atau setelah 35 hari perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan jumlah sel-sel spermatogenik dan sel Leydig ditemukan menurun (p<0,05) pada kelompok yang diberi paparan asap rokok, akan tetapi setelah diberi vitamin C terjadi peningkatan. Disimpulkan bahwa paparan asap rokok dapat menurunkan jumlah sel-sel spermatogenik dan sel Leydig mencit tetapi dapat dipulihkan dengan pemberian vitamin C. Kata kunci: Sel-sel spermatogenik, sel Leydig, paparan asap rokok, vitamin C PENDAHULUAN Kemampuan reproduksi sangat terkait dengan kemampuan seorang pria untuk menghasilkan spermatozoa yang berkualitas. Berbagai faktor dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas spermatozoa yang akan mengganggu proses spermatogenesis dan secara tidak langsung akan mengganggu sistem reproduksi. Salah satu hal yang dapat mengganggu kesehatan reproduksi adalah dengan merokok. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan penyebab kematian10% penduduk dunia. Pada tahun 2030, atau bahkan mungkin lebih cepat dari itu, satu dari enam manusia akan meninggal akibat kebiasaan merokok dan mereka akan kehilangan 20 s.d. 25 tahun umurnya (Aditama, 2003). Hubungan antara rokok
dengan kemampuan reproduksi sangat terkait dengan kemampuan seorang pria untuk menghasilkan spermatozoa yang berkualitas. Dalam sebatang rokok terdapat partikel kimia yang bersifat racun bagi tubuh, dan partikel tersebut dapat masuk ke dalam darah dan melalui darah diteruskan ke dalam testis, sehingga mengganggu perkembangan spermatozoa dan kualitas spermatozoa akan menurun seperti jumlah spermatozoa berkurang, gerakannya menjadi lambat, dan bentuknya abnormal (Anonim, 2005). Bindar (2000) menyatakan bahwa asap rokok yang merupakan hasil pembakaran dari rokok telah diketahui mengandung banyak bahan kimia berbahaya selain nikotin, tar dan nitrosamin, ditemukan juga bahan karsinogen dan mutagen seperti polonium, benzo(a) pyrene, dimethyl benz(a) anthracen,
271
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dimethylnitrosamine, dan napthalane. Sedangkan gas CO2, -H2O, NOx, SOx, dan CO merupakan senyawa asap rokok yang terbentuk dari reaksi asap rokok dan O2. Merkuri, timbal dan cadmium juga ditemukan dalam asap rokok. Nikotin pada rokok dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem organ tubuh, salah satunya adalah sistem reproduksi yaitu spermatogenesis. Spermatogenesis merupakan urutan kejadian pada perkembangan spermatozoa dari spermatogonia (Wang, 2000). Menurut hasil penelitian Sukmaningsih (2003), mencit jantan yang terpapar asap rokok selama 40 hari mengalami gangguan reproduksi yaitu terhambatnya proses spermatogenesis dan tingkah laku seksualnya. Berbagai faktor seperti pola makan dan gaya hidup seperti merokok dapat mempengaruhi kemampuan bereaksi terhadap rangsangan seksual. Berbagai nutrisi dapat meningkatkan gairah dan respon seks, salah satunya adalah vitamin C yang merupakan antioksidan, senyawa ini larut dalam air dan merupakan bagian sistem pertahanan tubuh terhadap senyawa oksigen reaktif dalam plasma dan sel (Winarsi, 2007). Menurut Acharya, et al. (2007) bahwa pemberian vitamin C dan E pada mencit menunjukkan adanya perbaikan spermatogenesis, peningkatan jumlah spermatozoa, dan penurunan jumlah spermatozoa yang abnormal pada tikus yang diberi paparan cadmium (Cd). Pemberian suplemen asam askorbat pada tikus dapat menurunkan level peroksidasi lipid, meningkatkan konsentrasi spermatozoa dan level testosteron pada plasma secara signifikan (Sanmez, et al., 2005). Selain itu pemberian asam askorbat (vitamin C) melindungi spermatozoa manusia dari kerusakan endogen DNA oksidatif terutama pada populasi perokok yang memiliki kadar asam askorbat yang rendah (Zavos et al., 2000). Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin C secara oral terhadap tubulus seminiferus mencit dan jumlah sel Leydig sebanyak 72 ekor mencit jantan dewasa strain Balb C, usia 3 bulan, berat badan 20-35 gram, dibagi tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari 24 ekor yaitu kelompok yang tanpa perlakuan (K1), kelompok yang hanya mendapat paparan asap rokok selama 35 hari (KII), dan kelompok yang
ISBN:978-602-9138-68-9
mendapat paparan asap rokok dengan pemberian vitamin C sebanyak 50 mg/kgBB 1 x sehari selama 35 hari (KIII). Berdasarkan hasil penelitian bahwa pemberian vitamin C dapat mempertahankan jumlah sel-sel spermatogenik dan jumlah sel Leydig daripada yang tidak diberi vitamin C pada mencit yang mendapat paparan asap rokok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan vitamin C dalam mempertahankan jumlah sel-sel spermatogenik dan jumlah sel Leydig pada mencit yang diberi paparan asap rokok. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan Pretest-postest Control Group Design (Cohen et al; 2007). Perlakuan terdiri atas tiga kelompok yaitu: kelompok kontrol yang diberikan aquabidest steril secara intramuscular selama 35 hari kelompok I yang diberikan paparan asap rokok selama 35 hari, dan kelompok II diberikan paparan asap rokok dan vitamin C dosis 50mg/ kgBB selama 35 hari. Variabel yang diukur meliputi jumlah spermatogonium A, spermatosit pakhiten, spermatid 7, spermatid 16 dan sel Leydig. Pengukuran dilakukan di awal (pretest) dan di akhir penelitian (postest). Hewan Percobaan dan Perlakuan Mencit jantan strain Balb-C, sehat, berumur 3 bulan dengan berat badan 20 s.d. 35 gram sebanyak 72 ekor digunakan dalam penelitian ini. Mencit dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, masing-masing terdiri atas 24 ekor mencit, yaitu; kelompok kontrol, kelompok I, dan kelompok II. Kelompok kontrol hanya diberikan aquabidest steril secara intramuscular, kelompok I diberikan paparan asap rokok, dan kelompok II diberikan paparan asap rokok dan vitamin C dosis 50mg/kgBB. Perlakuan dilakukan selama 35 hari. Dua belas ekor mencit dari masing-masing kelompok dikorbankan pada saat pretest, dan 12 lagi dikorbankan saat postest atau setelah 35 hari perlakuan. Sebelum diberikan perlakuan mencit diaklimatisasi selama 7 hari di tempat penelitian untuk penyesuaian dengan lingkungan. Mencit dipelihara dalam kandang berukuran panjang 25
272
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
cm, dan tinggi 15 cm kemudian diberi makan konsentrat dan minum secara ad libitum. Rokok kretek (Djisamsoe) dengan kadar nikotin 0,8 mg dan tar 11 mg digunakan dalam penelitian ini. Pada saat pemaparan asap rokok, kandang ditutup dengan plastik dan dibuatkan dua lubang yaitu satu lubang untuk memasukkan rokok ke dalam kandang dan satu lagi sebagai aliran udara. Pangkal rokok dihubungkan selang dengan diameter yang sama dengan diameter rokok agar rokok tetap menyala. Pemaparan dilakukan selama ± 15 menit untuk satu ekor mencit dengan satu batang rokok. Pada kelompok III, setelah satu jam paparan asap rokok kemudian diberikan vitamin C secara oral dengan dosis 50mg/kgBB yang dilarutkan dalam 0,5 ml aquadest steril. Mencit kelompok pretest maupun postest dikorbankan dengan menggunakan eter kemudian dibedah dan dibuat preparat histopatologi testisnya untuk diamati jumlah spermatogonium A, spermatosit pakhiten, spermatid 7, spermatid 16 dan sel Leydig. Preparat dibuat menggunakan metode parafin dengan pewarnaan hematoxylin-eosin.
Table 1. menunjukkan bahwa jumlah spermatogonium A pada kelompok kontrol (sebelum perlakuan) adalah 366,83 ± 5,81 dan sesudah perlakuan adalah 368,33 ± 5,31 dengan nilai t = 1,11 dan nilai p = 0,29. Kelompok paparan rokok (sebelum perlakuan) adalah 369,42 ± 5,19 dan sesudah perlakuan 363,08 ± 5,14 dengan nilai t = 3,72 dan nilai p = 0,00 dan kelompok paparan rokok dan vitamin C (sebelum perlakuan) adalah 364,00 ± 4,51 dan sesudah perlakuan adalah 367,33 ± 3,62 dengan nilai t =1,97 dan nilai p = 0,07. Analisis kemaknaan dengan uji Paired t-test menunjukkan bahwa jumlah spermatogonium A sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelompok paparan asap rokok adalah berbeda bermakna, kelompok kontrol dan kelompok paparan asap rokok dan vitamin C tidak berbeda secara bermakna (table 2).
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara statistic. Data yang menyebar normal dan varian sama dilanjutkan dengan uji Paired t - test pada selang kepercayaan 95 %.
Tabel 3. Jumlah Rata-Rata Sel Spermatosit Primer Pada Tiap Kelompok kelompok sebelum sesudah t kontrol 466,58±4,94 467,08±4,58 0,45 I 464,00±2,83 220,17±6,05 107,1 II 463,17±3,01 465,83±3,24 2,00
HASIL PENELITIAN PEMBAHASAN
DAN
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan jumlah rerata sel spermatogenik dan sel Leydig pada kelompok yang menerima perlakuan paparan asap rokok dan terjadi peningkatan kembali pada kelompok II yang diberikan vitamin C, seperti disajikan pada tabel 1; 3; 5; 7, dan tabel 9.
Tabel 1. Jumlah rata-rata Sel spermatogonium A tiap kelompok Kelompok Sebelum Sesudah t Kontrol 366,83± 5,81 368,33± 5,31 1,11 I 369,42± 5,19 363,08±5,14 3,72 II 364,00± 4,51 367,33±3,62 -1,97
p 0,29 0,00 0,07
Tabel 2. Hasil analisis komparasi (t-paired) sel spermatogonium A Kelompok beda rerata p Interpretasi kontrol dan I 5,25 0,01 berbeda bermakna kontrol dan II 1,00 0,61 tidak bermakna I dan II -4,25 0,03 berbeda bermakna
p 0,66 0,00 0,07
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa jumlah spermatosit primer, kelompok kontrol (sebelum perlakuan) adalah 466,58±4,94 dan sesudah perlakuan adalah 467,08±4,58 dengan nilai t =0,45 dan nilai p = 0,66. Kelompok paparan rokok (sebelum perlakuan) adalah 464,00 ± 2,83 dan sesudah perlakuan 220,17 ± 6,05 dengan nilai t = 107,14 dan nilai p = 0,00 dan kelompok paparan rokok dan vitamin C (sebelum perlakuan) adalah 463,17 ± 3,01 dan sesudah perlakuan adalah 465,83 ± 3,24 dengan nilai t = 2,00 dan nilai p = 0,07. Analisis kemaknaan dengan uji Paired t-test menunjukkan bahwa jumlah spermatosit primer sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelompok kontrol dan kelompok paparan asap rokok dan vitamin C adalah tidak berbeda bermakna sedangkan kelompok paparan asap rokok berbeda secara bermakna (table 4).
273
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Tabel 4. Hasil Analisis Komparasi (t-paired) Sel Spermatosit Primer Kelompok beda rerata p interpretasi kontrol dan I 246,91 0,00 berbeda bermakna 1,25 0,52 tidak bermakna kontrol dan II I dan II -245,66 0,00 berbeda bermakna Tabel 5. Jumlah Rata-Rata Spermatid 7 Pada Tiap Kelompok Kelompok sebelum sesudah t Kontrol 800,50±14,55 803,42±11,18 -1,44 I 791,33±12,91 416,08±9,29 104,2 II 798,33±8,04 796,17±9,88 0,68
p 0,17 0,00 0,50
Tabel 5 diatas menunjukkan bahwa jumlah spermatid 7, kelompok kontrol (sebelum perlakuan) adalah 800,50±14,55 dan sesudah perlakuan adalah 803,42±11,18 dengan nilai t =1,44 dan nilai p = 0,17. Kelompok paparan rokok (sebelum perlakuan) adalah 791,33 ± 12,91 dan sesudah perlakuan 416,08 ± 9,29 dengan nilai t = 104,25 dan nilai p = 0,00 dan kelompok paparan asap rokok dan vitamin C (sebelum perlakuan) adalah 798,33 ± 8,04 dan sesudah perlakuan adalah 796,17 ± 9,88 dengan nilai t = 0,68 dan nilai p = 0,50. Analisis kemaknaan dengan uji Paired t-test menunjukkan bahwa jumlah spermatid 7 sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelompok kontrol dan kelompok paparan asap rokok dan vitamin C adalah tidak berbeda bermakna, sedangkan kelompok paparan asap rokok berbeda secara bermakna(table 6). Tabel 6 Hasil Analisis Komparasi (t-paired) Spermatid 7 Kelompok beda rerata p Interpretasi Kontrol dan I 387,33 0,00 berbeda bermakna Kontrol dan II 7,25 0,09 tidak bermakna I dan II -380,08 0,00 berbeda bermakna
Tabel 7 Jumlah Rata-Rata Spermatid 16 pada Tiap Kelompok kelompok sebelum sesudah t Kontrol 475,92±3,08 475,25±3,72 0,83 I 475,58±3,18 179,17±6,58 151,25 II 475,50±2,81 479,08±6,43 -1,80
p 0,42 0,00 0,09
Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa jumlah spermatid 16, kelompok kontrol (sebelum perlakuan) adalah 475,92± 3,08 dan sesudah perlakuan adalah 475,25±3,72 dengan nilai t =0,83 dan nilai p = 0,42. Kelompok paparan rokok (sebelum perlakuan) adalah 475,58 ± 3,18 dan sesudah perlakuan 179,17 ± 6,58 dengan nilai t = 151,25 dan nilai p = 0,00 dan kelompok paparan asap rokok dan vitamin C (sebelum perlakuan) adalah 475,50 ± 2,81 dan sesudah
ISBN:978-602-9138-68-9
perlakuan adalah 479,08 ± 6,43 dengan nilai t = 1,80 dan nilai p = 0,09. Analisis kemaknaan dengan uji Paired t-test menunjukkan bahwa jumlah spermatid 16 sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelompok kontrol dan kelompok paparan asap rokok dan vitamin C adalah tidak berbeda bermakna, sedangkan kelompok paparan asap rokok, kelompok paparan asap rokok adalah berbeda secara bermakna (tabel 8). Tabel 8 Hasil Analisis Komparasi (t-paired) Spermatid 16 kelompok beda rerata p Interpretasi Kontrol dan I 296,08 0,00 berbeda bermakna Kontrol dan II 3,83 0,11 tidak bermakna I dan II 299,91 0,00 berbeda bermakna Tabel 9 Jumlah Rata-Rata Sel Leydig Pada Tiap Kelompok Kelompok sebelum sesudah t Kontrol 47,33±3,11 44,92±4,03 1,57 I 44,75±2,80 20,17±3,69 26,81 II 45,83±4,20 48,25±5,22 1,47
p 0,14 0,00 0,16
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa jumlah sel Leydig kelompok kontrol (sebelum perlakuan) adalah 47,33±3,11 dan sesudah perlakuan adalah 44,92±4,03 dengan nilai t = 1,57 dan nilai p = 0,14. Kelompok paparan rokok (sebelum perlakuan) adalah 44,75 ± 2,80 dan sesudah perlakuan 20,17 ± 3,69 dengan nilai t = 26,81 dan nilai p = 0,00 dan kelompok paparan asap rokok dan vitamin C (sebelum perlakuan) adalah 45,83 ± 4,20 dan sesudah perlakuan adalah 48,25 ± 5,22 dengan nilai t = 1,47 dan nilai p = 0,16. Analisis kemaknaan dengan uji Paired t-test menunjukkan bahwa jumlah sel Leydig sebelum dan sesudah diberikan perlakuan pada kelompok kontrol dan kelompok paparan asap rokok dan vitamin C adalah tidak berbeda bermakna, sedangkan kelompok paparan asap rokok berbeda secara bermakna (table 10). Tabel 10 Hasil Analisis Komparasi (t-paired) Sel Leydig Kelompok beda rerata p interpretasi Kontrol dan I 24,75 0,00 berbeda bermakna Kontrol dan II 3,33 0,70 tidak bermakna I dan II -28,08 0,00 berbeda bermakna
Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian dan analisisnya, perlakuan dengan pemberian paparan asap rokok, paparan asap rokok dan
274
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI vitamin C pada mencit jantan (Mus musculus) selama 35 hari menunjukkan adanya penurunan jumlah sel-sel spermatogenik pada mencit yang meliputi spermatogonium A, spermatosit primer, spermatid 7, spermatid 16 dan sel Leydig. Spermatogonium A sebelum perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna, ditunjukkan dengan p = 0,051, setelah perlakuan paparan asap rokok menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna, p = 0,011 , sedangkan perlakuan paparan asap rokok dan vitamin C menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,610. Spermatosit primer sebelum perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna yaitu p = 0,078, setelah perlakuan paparan asap rokok menunjukkan perbedaan yang bermakna, p =0,00, sedangkan perlakuan paparan asap rokok dan vitamin C menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,52, dibandingkan dengan kontrol. Spermatid 7 sebelum perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, p = 0,171, setelah perlakuan paparan asap rokok menunjukkan perbedaan yang bermakna, p = 0,00. Sedangkan setelah perlakuan paparan asap rokok dan vitamin C menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dengan nilai p= 0,09. Spermatid 16 sebelum perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, p =0,939, setelah perlakuan paparan asap rokok menunjukkan perbedaan yang bermakna, p = 0,00. Sedangkan perlakuan dengan paparan asap rokok dan vitamin C menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,11. Sel Leydig sebelum perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna, p = 0,194, setelah perlakuan paparan asap rokok sel Leydig menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p= 0,00, sedangkan perlakuan asap rokok dan vitamin C menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dengan nilai p= 0,70. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian vitamin C memberikan efek yang sangat bermakna terhadap mencit yang diberi paparan asap rokok. Jumlah spermatogonium A pada kelompok kontrol, kelompok paparan asap rokok dan kelompok vitamin C sebelum diberikan perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna,.
ISBN:978-602-9138-68-9
Jumlah spermatogonium A, jumlah spermatosit primer pakhiten, spermatid 7, spermatid 16 dan jumlah sel Leydig pada kelompok paparan asap rokok menunjukkan perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol, sedangkan pada kelompok paparan asap rokok dan vitamin C menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan jumlah spermatogonium A, jumlah spermatosit primer pakhiten, spermatid 7, spermatid 16 dan jumlah sel Leydig pada kelompok paparan asap rokok dan vitamin C menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap kelompok paparan asap rokok. Dari hasil penelitian, perlakuan asap rokok menyebabkan terjadinya gangguan spermatogenesis dalam tubulus seminiferus. Hal ini dapat dilihat dengan menurunnya jumlah spermatogonium A, spermatosit primer pakhiten, spermatid 7, spermatid 16 dan jumlah sel Leydig secara bermakna. Penurunan jumlah sel-sel spermatogonium disebabkan karena adanya gangguan pada proses spermatogenesis yaitu hambatan terhadap sekresi FSH (Follicle Stimulating Hormone). FSH berfungsi mempertahankan spermatogenesis dengan cara meningkatkan daya tahan spermatogonia dari pengaruh luar. Pengaruh FSH pada spermatogonia bersifat langsung karena spermatogonia mempunyai reseptor terhadap FSH (Sherwood,2001 ; Ganong 2002). Menurut Sherwood (2001), FSH berperanan penting pada tahap awal perkembangan spermatogenik yaitu sel spermatogonium A dan spermatosit primer. FSH mempengaruhi aktivitas mitosis dan proliferasi sel spermatogonia serta menunjang tahap pematangan termasuk reduksi meiosis dari spermatosit. Pada penelitian ini, paparan asap rokok menyebabkan terjadinya penurunan jumlah sel spermatosit pakhiten. Menurut Stillman (2006), spermatosit sangat sensitif terhadap pengaruh luar dan cenderung mengalami kerusakan setelah profase meiosis pertama khususnya pada tahap pakhiten yaitu pada saat terjadinya pindah silang antara kromosom yang homolog. Sel spermatosit yang mengalami kerusakan akan degenerasi dan difagositosis oleh sel Sertoli yang menyebabkan jumlah sel spermatosit pakhiten akan berkurang.
275
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Penurunan jumlah sel spermatosit pakhiten menyebabkan sel spermatosit yang mengalami meiosis kedua menjadi spermatid juga menurun, dalam hal ini menyebabkan jumlah sel spermatid 7 dan spermatid 16 juga menurun. Selain itu, dalam penelitian ini terjadi penurunan jumlah sel Leydig secara bermakna. Penurunan ini disebabkan karena terjadinya degenerasi sel Leydig oleh pengaruh zat-zat kimia toksik yang terdapat pada asap rokok. Selain itu paparan asap rokok yang mengandung logam yaitu kadmium dan nikel menyebabkan terjadinya gangguan aktivitas enzim adenilsiklase pada membran sel Leydig yang mengakibatkan terhambatnya sintesis hormon testosteron (Anita, 2010). Rokok merupakan salah satu penyebab pembentukan radikal bebas. Apabila radikal bebas tidak dihentikan maka akan merusak membran sel mitokondria. Sel mitokondria merupakan penghasil ATP yang diperlukan untuk konversi testosteron dalam sel Leydig dalam proses spermatogenesis. Bila mitokondria terganggu atau rusak maka proses spermatogenesis akan mengalami gangguan. Menurut Agarwal et al. (2005), pemberian senyawa PAH dapat menyebabkan atropi testis, menghambat spermatogenesis, dan merusak spermatologi spermatozoa pada mencit. Terhambatnya sintesis hormon testosteron akan menghambat proses spermatogenesis. Pada penelitian ini dilakukan pemberian antioksidan berupa vitamin C. Vitamin C merupakan antioksidan yang secara terus menerus akan bertindak sebagai scavenger terhadap radikal bebas yang terbentuk sehingga dimungkinkan tidak terjadi gangguan keutuhan dan fungsi sel. Pemberian antioksidan ini bertujuan untuk memulihkan kembali jumlah selsel spermatogenik dan jumlah sel Leydig yang telah terpapar asap rokok selama 35 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok mencit yang terpapar asap rokok dan vitamin C mengalami peningkatan jumlah sel secara bermakna dibandingkan dengan kelompok mencit yang diberi paparan asap rokok. Shu (2007) menyatakan bahwa radikal bebas dari phyrethroid dapat menyebabkan kerusakan membran mitokondria sel Leydig, kerusakannya berupa membran sel mitokondria yang tidak berpasangan. Selain itu, radikal bebas
ISBN:978-602-9138-68-9
dari phyrethroid dapat mengganggu biosintesis testosteron dengan cara mengurangi pengiriman kolesterol ke mitokondria, serta menurunkan konversi kolesterol menjadi pregnenolone yang dikatalisis oleh cytochrome P450 side-chain cleavage (P450scc) yang menyebabkan menurunnya produksi testosteron. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak radikal bebas dari asap rokok dibutuhkan zat yang mampu meredam radikal bebas seperti antioksidan. Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak dengan cara menyumbangkan elektron hidrogen kepada radikal bebas untuk menjadi radikal bebas stabil yang sifatnya tidak merusak. Antioksidan yang digunakan dalam penelitian ini adalah vitamin C. Kelompok yang diberi antioksidan vitamin C menunjukkan adanya peningkatan jumlah selsel spermatogenik dan sel Leydig. Hal ini sesuai dengan Pavlovic et al (2005) menyatakan bahwa vitamin C mempunyai kemampuan mengubah vitamin C yang bersifat reaktif menjadi vitamin C yang stabil. Pemberian vitamin C mampu meningkatkan kembali jumlah sel-sel spermatogenik dan jumlah sel Leydig. Vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang mampu meredam dampak negatif dari oksidan, dalam hal ini yang menjadi oksidan berasal dari paparan asap rokok. Sebagai antioksidan, vitamin C akan menyumbangkan elektronnya pada senyawa yang bersifat oksidan sehingga terbentuknya senyawa oksidan tersebut bisa dihambat, dan mengurangi kerusakan sel-sel spermatogenik dan sel Leydig. Vitamin C merupakan senyawa antioksidan non enzimatis yang dapat diperoleh dari komponen non nutrisi dan komponen nutrisi yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan. Kerja sistem antioksidan non enzimatis yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau menangkap radikal bebas itu menjadi radikal yang lebih stabil, sehingga radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler (Winarsi, 2007). Vitamin C berfungsi menangkal radikal bebas dengan cara menetralisir pengaruh asap rokok didalam sitosol karena vitamin C mempunyai kelarutan yang tinggi di dalam air.
276
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Pada hasil penelitian, jumlah sel-sel spermatogenik yaitu spermatogoniumA, spermatosit primer, spermatid 7 dan spermatid 16 dan jumlah sel Leydig pada kelompok yang diberi vitamin C berbeda bermakna bila dibandingkan dengan kelompok yang diberi paparan asap rokok, dan tidak berbeda bermakna dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa vitamin C dapat berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas dari asap rokok, dan jumlah sel-sel spermatogenik dan sel Leydig dapat kembali normal seperti pada kelompok kontrol. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian pemberian vitamin C pada mencit yang diberi paparan asap rokok selama 35 hari didapatkan simpulan sebagai berikut: 1. Pemberian vitamin C dapat mempertahankan proses spermatogenesis pada mencit yang mendapat paparan asap rokok, yaitu jumlah spermatogonium A pada kelompok perlakuan sebanding dengan jumlah spermatogonium A pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah spermatogonium A meningkat dengan pemberian vitamin C apabila dibandingkan dengan jumlah spermatogonium A pada perlakuan asap rokok. 2. Pemberian vitamin C dapat mempertahankan proses spermatogenesis pada mencit yang mendapat paparan asap rokok, yaitu jumlah spermatosit primer pada kelompok perlakuan sebanding dengan jumlah spermatosit primer pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah spermatosit primer meningkat dengan pemberian vitamin C apabila dibandingkan dengan jumlah spermatosit primer pada perlakuan asap rokok. 3. Pemberian vitamin C dapat mempertahankan proses spermatogenesis pada mencit yang mendapat paparan asap rokok, yaitu jumlah spermatid 7 pada kelompok perlakuan sebanding dengan jumlah spermatid 7 pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah spermatid 7 meningkat dengan pemberian vitamin C apabila dibandingkan dengan
ISBN:978-602-9138-68-9
jumlah spermatid 7 pada perlakuan asap rokok. 4. Pemberian vitamin C dapat mempertahankan proses spermatogenesis pada mencit yang mendapat paparan asap rokok, yaitu jumlah spermatid 16 pada kelompok perlakuan sebanding dengan jumlah spermatid 16 pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah spermatid 16 meningkat dengan pemberian vitamin C apabila dibandingkan dengan jumlah spermatid 16 pada perlakuan asap rokok. 5. Pemberian vitamin C dapat mempertahankan jumlah sel Leydig pada mencit yang mendapat paparan asap rokok, yaitu jumlah sel Leydig pada kelompok perlakuan sebanding dengan jumlah sel Leydig pada kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah sel Leydig meningkat dengan pemberian vitamin C apabila dibandingkan dengan jumlah sel Leydig pada perlakuan asap rokok. Saran Sebagai saran dalam penelitian ini adalah : 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin C pada mencit yang mendapat paparan asap rokok terhadap kadar testosteron 2. Pemberian vitamin C sudah memberikan efek yang baik terhadap paparan asap rokok yang mengganggu spermatogenesis dan jumlah sel Leydig, sehingga konsumsi vitamin C sangat dianjurkan sebagai antioksidan dalam tubuh. DAFTAR PUSTAKA Acharya, U.R., Mishra, M., Patro, J., Panda, M.K. 2007. Effect of Vitamin E and C on Spermatogenesis in Mice Exposed to Cadmium. P.G Department of Zoology, Berhampur University, Berhampur, Orissa, 760007, India. Aditama, T. Y. 2003. Rokok dan Impotensi. [cited 2006 Nov 18]. Available from: http:/ /www.dinkes.kebumen.co.id/ Agarwal, A., Prabakaran. 2005. Oxidative Stress and Antioxidants in Male Infertility. Iranian Journal of Reproductive Medicine. p:3 (1):1-8
277
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Anita, N. 2010. Perubahan Sebaran Stadia Epitel Seminiferus, Penurunan Jumlah Sel-sel Spermatogenik dan Kadar Hormon Testosteron Total Mencit (Mus musculus L.), galur ddy yang diberi asap rokok kretek. Universitas Negeri Surakarta. Anonim. 2005. Rokok Turunkan Kualitas Spermatozoa. [cited 2007 Nov 20]. Biofarmasi. Jakarta. Bindar, Y. 2000. Ekonomi, Rokok dan Konsekuensinya. Jurusan Teknik Kimia ITB. Bandung. Ganong, W.F. 2002. Fisiologi Kedokteran. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta Gartner, L. And Hiatt. J. 2002. Color Text Book of Histology. Second Edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia London New York St.Louis Sydney Toronto. Guyton, A. C and Hall, JE. 1997. Text Book of Medical Phisiology. Philadelphia: Pensylvania, WB. Saunder Company. Leeson, R. et al. 2002. Buku Ajar Histologi (Text Book of Histology). Edisi V. Jakarta: EGC. Mostafa T., Tawadrous G., Roaia M.M., Amer M.K., Kader R.A., Aziz A. 2006. Effect of Smoking on Seminal Plasma Ascorbic Acid in Infertile and Fertile Males. Andrologia 38:221-4. Muhilal. 2001. Pemahaman konsep radikal bebas dalam meningkatkan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010: Penentuan status antioksidan bahan alam-produk pangan in vitro: Peranan suplementasi antioksidan terhadap kesehatan. Seminar nasional dan lokakarya. Bandung. Unpad. Pangkahila, W. 2001. Bahagia Tanpa Gangguan Fungsi Seksual. Penerbit Buku Kompas. Pavlovic, V. et al. 2005. Antioxidant and Prooxidant Effect of Ascorbic Acid. Acta Medica Medianae. 44 (1):65-69. Price. A., P.W. Lucas and P.J.Lea. 2000. Age Dependent Damage and Glutathione Metabolism in Ozone Fumigated Barley: a Leaf Section Approach. Dalam Journal of Experimental Botany. 41:1309-1317 Priyanto, D. 2009. Mandiri Belajar SPSS (Statistical Product and Service Solution). Untuk Analisis Data & Uji Statistik. MediaKom. Jakarta. Purnomo, A. 2010. Anatomi Fisiologi Saluran Reproduksi Pria. [cited 25 Desember 2010].
ISBN:978-602-9138-68-9
Available from: http: //arispurnomo.com/ anatomi-fisio-saluran-reproduksi-pria. Sanmez M.,Tark G., Yace A. 2005. The Effect of Ascorbic Acid Supplementation on Sperm Quality, Lipid Peroxidation and Testosteron Levels of Male Wistar rats. Journal of Allergy and Clinical Immunology. 63:206372. Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed. 2. Jakarta. Shu_Yun, Z. et al. 2007. Permethrin May Disrupt Testosterone Biosynthesis via Mithocondrial Membrane Damage of Leydig Cells in Adult Male Mouse. The Endocrine Society. Volume: 148. page: 3941-3949. Soleh, M. 2009. Kandungan Rokok. [cited 2009 Sept 17]. Available from: http:// muhammadsoleh.blogspot.com/2009/01/ kandungan-rokok-ini-pasti-bukan.html Sukmaningsih, K. Sg, A,.A. 2003. Paparan Asap Rokok Menghambat Spermatogenesis dan Perilaku Seksual Mencit Jantan (Mus musculus Strain Balb C.). (tesis). Program Pascasarjana Program Studi Kedokteran Reproduksi Universitas Udayana. Denpasar Wang, M. 2000. Nicotine The Masked Killer. B180 Med Lab The University of Lowa. Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Penerbit Kanisius. Jakarta Zavos, P.M., Zarmaokupis-Zavos, P.N. 2000. Impact of Cigarette Smoking on Human Reproduction: Its Effect on Male and Female Fecundity.Technology, Vol.6.pp 916.
278
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
KUALITAS AIR MINUM DI INSTALASI PENGOLAHAN AIR UNIT NYANYI PDAM TABANAN BERDASARKAN MPN COLIFORM DAN Escherichia coli I Wayan Suarda Program Studi Biologi FMIPA UNHI Denpasar, Jl. Sangalangit, Tembau, Penatih, Denpasar, e-mail; [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas air sebelum dan sesudah pengolahan di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Unit Nyanyi PDAM Tabanan berdasarkan MPN Coliform dan Escherichia coli. Kualitas air hasil pengolahan dibandingkan dengan baku mutu kualitas air berdasarkan Peraturan Gubernur Bali Nomor: 8 tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Kelas I sampai dengan IV. Sampel diambil pada air sungai, bak penampungan setelah penyaringan sampah, bak air baku kimia, bak filtrasi, bak reservoir, Rumah konsumen terdekat, rumah konsumen tengah, dan rumah konsumen terjauh. Pengujian MPN Coliform dan Escherichia coli dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Panureksa Utama Denpasar. Penelitian dilakukan dari bulan Februari sampai bulan Juni 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa air yang diolah oleh IPA unit Nyanyi PDAM Tabanan tidak mengandung MPN Coliform dan E. coli. Hal ini berarti bahwa air hasil pengolahan dapat dinyatakan baik dari segi bakteriologis sehingga digunakan sebagai air minum. Penelitian ini juga menemukan bahwa penurunan kandungan Coliform paling banyak terjadi setelah penyaringan sampah organik. Kata kunci :
Air minum , PDAM Tabanan, Coliform, Escherichia coli.
PENDAHULUAN Air merupakan sarana utama untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi air juga merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan penyakit terutama penyakit perut sehingga kualitas air perlu dijaga. Kualitas air bersih ditentukan oleh parameter fisik, kimiawi dan biologis. Parameter ini mutlak dipenuhi agar air layak dikonsumsi atau digunakan dalam keperluan sehari-hari. Secara sederhana air yang bersih adalah air yang tidak berbau, tidak berasa serta tidak berwarna. Bau dan rasa yang tidak memenuhi standar kesehatan dapat disebabkan berbagai hal, baik secara biologis maupun kimiawi. Makhluk hidup yang tinggal dalam air mampu menimbulkan rasa dan bau yang tidak mengenakkan. Warna yang terdapat pada air juga sangat dipengaruhi oleh zat-zat yang terlarut didalamnya. Tingkat Kekeruhan air merupakan sifat yang dapat dengan mudah diamati dan dinilai. Semakin beragam dan banyak jumlah zat yang terlarut, sifat kekeruhan air semakin terlihat.
Namun demikian, pencemaran oleh zatzat terlarut dalam air terkadang tidak diikuti oleh perubahan sifat fisik air tersebut sehingga dapat saja air yang sudah tidak layak konsumsi masih saja terlihat jernih. Disamping itu, air minum tidak boleh mengandung bakteri pathogen serta bakteri golongan coli sampai batas tertentu. Bakteri golongan Coli ini berasal dari usus besar (feses) dan tanah. Bakteri patogen yang mungkin ada dalam air antara lain adalah: Bakteri typhsum, Vibrio colerae, Bakteri dysentriae, Entamoeba hystolitica, Bakteri enteritis (penyakit perut). Air yang mengandung golongan Coli dianggap telah berkontaminasi dengan kotoran manusia, atau hewan berdarah panas lainnya. Dengan demikian dalam pemeriksaan bakteriologi bakteri golongan Coli dapat digunakan sebagai indikator adanya pencemaran (Kusnaedi (2010). Instalasi Pengolahan Air Unit Nyanyi PDAM Tabanan memanfaatkan air Sungai Yeh Sungi sebagai sumber air baku. Air sungai tersebut sering keruh dan kotor. Air sungai
279
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI tersebut juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk keperluan sehari-hari seperti MCK (mandi, mencuci, kakus) sehingga berpeluang terjadinya pencemaran. Hal ini tentunya cukup berbahaya bagi kesehatan konsumen yang menggunakan air IPA unit Nyanyi, PDAM Tabanan. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu dilakukan pemantauan terhadap kualitas air tersebut, baik sebelum maupun sesudah pengolahan di IPA Unit Nyanyi berdasarkan MPN Coliform dan Escherichia coli.
No 1 2
3 4 5 6
7
METODE PENELITIAN Instalasi Pengolahan Air (IPA) unit Nyanyi menggunakan sumber air sungai yeh Sungi. Air sungai kemudian melewati proses penyaringan sampah-sampah dan masuk ke dalam bak penampungan, selanjutnya melewati beberapa tahap proses kimiawi untuk menghilangkan sedimen serta membunuh kuman. Selanjutnya melewati proses filtrasi dan ditampung dalam bak filtasi dan kemudian dipompa ke bak reservoir yang bertempat di Desa Pandak. Bak ini berfungsi sebagai bak penampungan akhir proses pengolahan air yang bersih dan sudah siap didistribusikan. Pada bak ini air diberikan gas klor kembali sebanyak 1 kg/jam untuk desinfeksi akhir sebelum distribusi ke konsumen. Pengambilan sampel dilakukan pada lokasi; 1) air sungai, 2) bak penampungan setelah penyaringan sampah, 3) bak air baku kimia, 4) bak filtrasi, 5) bak reservoir, 6) Rumah konsumen terdekat, 7) rumah konsumen tengah, dan 8) rumah konsumen terjauh. Sampel diambil dua kali yakni minggu I dan minggu II sebanyak 500 ml. Pemeriksaan Coliform dan Escherichia coli menggunakan metode MPN dan dikerjakan di Laboratorium kesehatan masyarakat Panureksa Utama Denpasar. Penelitian dilakukan dari bulan Februari sampai bulan Juni 2014 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Jumlah MPN Coliform dan Escherichia coli air sebelum dan sesudah pengolahan di IPA Unit Nyanyi PDAM Tabanan disajikan pada Tabel 1.
8
ISBN:978-602-9138-68-9
Tabel 1. Kandungan Rata-Rata MPN Coliform dan E. Coli Air Sebelum dan Sesudah Pengolahan di IPA Unit Nyanyi PDAM Tabanan MPN Coliform/100 Pergub Bali No. 8 Escherichia coli mL Th. 2007 Sampel Rata- Coliform E. I II Rata- I II rata rata coli Air Hilir Sungai 72 39 55,5 0 0 0 500 50 Yeh Sungi Air Sungai Setelah 65 33 49,0 0 0 0 500 50 Penyaringan sampah Air Baku kimia 6 4 5,0 0 0 0 500 50 Air Bak Filtrasi 0 0 0 0 0 0 0 0 Air Reservoar 0 0 0 0 0 0 0 0 Rumah Pelanggan 0 0 0 0 0 0 0 0 Terdekat Rumah Pelanggan 0 0 0 0 0 0 0 0 Menengah Rumah Pelanggan 0 0 0 0 0 0 0 0 Terjauh
Hasil pemeriksaan MPN Coliform dan Escherichia coli menunjukkan yaitu untuk bakteri Coliform pada pengambilan sampel minggu I hanya ditemukan pada sampel air hilir Sungai Yeh Sungi yaitu 72 sel per 100 ml, air Sungai setelah penyaringan 65 sel per 100 ml, air baku primer 6 sel per 100 ml. Minggu II menunjukkan hasil yaitu sampel air hilir Sungai yeh Sungi 39 sel per 100 ml, air sungai setelah penyaringan menjadi 33 sel per 100 ml, air baku primer menjadi 4 sel per 100. Sementara itu, pemeriksaan E. coli pada minggu I dan II menunjukkan bahwa semua sampel tidak terdapat bakteri E. coli. Setelah melalui beberapa tahap pengolahan di IPA unit Nyanyi, air Sungai yeh Sungi yang mula-mula mengandung nilai Coliform sebanyak rata-rata 55,5 sel / 100 ml menjadi bebas Coliform. Setelah dilakukan penyaringan sampah-sampah sebelum masuk IPA unit Nyanyi kandungan Coliform berkurang sebanyak 48,12 %. Kandungan Coliform setelah filtrasi baku kimia menjadi bebas Coliform saat dilakukan tahapan klorinasi dan setelah melewati pompa baku primer. Setelah proses klorinasi pada tahap awal dilanjutkan proses koagulasi dan aerasi untuk menurunkan kadar BOD dan COD pada air baku kemudian dilanjutkan dengan proses pengendapan (Suharto, 2011) . Dari hasil penelitian diketahui bahwa air hasil olahan IPA unit Nyanyi ditambahkan gas klor kembali sebanyak 1 kg/jam untuk desinfeksi selama melalui jalur distribusi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa air hasil olahan IPA unit Nyanyi cukup sehat dari segi bakteriologis untuk
280
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai air minum karena dari hasil penelitian diketahui tidak mengandung Coliform dan E. coli baik pada air hasil olahan IPA maupun setelah distribusi.. Hal ini mungkin disebabkan karena sudah baiknya sistem pengolahan yang dimiliki serta bagusnya perawatan instalasi yang dilakukan oleh IPA unit Nyanyi. Klorinasi merupakan salah satu bentuk pengolahan air yang bertujuan untuk membunuh kuman dan mengoksidasi bahan-bahan kimia dalam air. Klorinasi adalah proses pemberian klorin ke dalam air yang telah menjalani proses filtrasi dan merupakan langkah yang maju dalam proses purifikasi air. Senyawa-senyawa klor yang umum digunakan dalam proses klorinasi, antara lain, gas klorin, senyawa hipoklorit, klor dioksida, bromin klorida, dihidroisosianurat dan kloramin (Suharto, 2011). Berdasarkan teori tersebut mengenai penurunan koliform dan E. coli setelah proses penyaringan sampah tentunya tidak akan ada terjadi penghambatan perkembangbiakan bakteri jika hanya dilakukan penyaringan tanpa pembunuhan bakteri secara klorinasi. Namun demikian penurunan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, air Sungai yeh Sungi tidak memiliki media yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri Coliform, misalnya sampah-sampah organik yang dipisahkan dari air oleh penyaringan. Kedua, bakteri Coliform termasuk mikroorganisme aerob atau anaerob fakultatif, aliran air sungai yeh Sungi ini dapat mengurangi kadar Oksigen terlarut (DO). Sementara itu Coliform adalah organisme yang aerob yang memerlukan kadar oksigen yang lebih tinggi terutama pada kepadatan populasi Coliform yang tinggi. Hasil penyaringan sampah yang dilakukan, Coliform yang tinggal hanya sebesar 8,02 % relatif terhadap Coliform yang ditemukan di air sungai. Hal ini mengindikasikan bahwa sampah organik merupakan media bagi pertumbuhan bakteri Coliform. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengolahan dengan klorinasi hanya memberi sumbangan yang sangat kecil terhadap proses produksi air bersih (bebas Coliform) di IPA unit Nyanyi.
ISBN:978-602-9138-68-9
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Proses pengolahan air pada IPA unit Nyanyi mampu menurunkan kandungan Coliform dan E. coli dibawah nilai ambang batas baku mutu sehingga air tersebut layak sebagai air minum. Prose penyaringan sampah organik mampu menurunkan kandungan bakteri hingga 48,12 % tanpa klorinasi sebelum masuk ke instalasi pengolahan air. Saran Perlu upaya pemantauan yang dilakukan secara terus menerus oleh pihak PDAM Tabanan unit Nyanyi untuk tetap mempertahankan kualitas air. Walaupun kandungan Coliform dan E. coli dibawah nilai ambang batas baku mutu tetapi konsumen harus tetap memasak air sebelum dikonsumsi. DAFTAR PUSTAKA Kusnaedi. 2010. Mengolah Air Kotor Untuk Air Minum. Penebar Swadaya. Bekasi Suharto, IGN. 2011. Limbah Kimia Dalam Pencemaran Udara dan Air. Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Peraturan Gubernur Bali Nomor: 8 tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Kelas I sampai dengan IV. Denpasar
281
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PENGARUH SUHU DAN KELEMBABAN RELATIF UDARA TERHADAP PENAMPILAN FISIK DALAM OLAHRAGA I Nengah Sandi Program Studi Magister Fisiologi Olahraga Universitas Udayana, Jl. PB. Sudirman Denpasar, Bali ABSTRAK Lingkungan fisik adalah faktor lingkungan yang bersentuhan atau berhubungan langsung dengan tubuh seorang dalam melakukan aktivitas atau olahraga. Lingkungan ini menyangkut suhu panas dan dingin, kelembaban relatif udara, ketinggian tempat, kecepatan angin, dan pencahayaan. Lingkungan fisik terutama suhu dan kelembaban udara yang tidak bersahabat yaitu suhu dan kelembaban tinggi sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengeluaran keringat pada saat olahraga. Pengeluaran keringat yang berlebih ini sangat mempengaruhi penampilan fisik dalam berolahraga dan dapat menyebabkan sengatan panas yang berefek negatif terhadap kesehatan. Oleh karena itu penggantian cairan dan elektrolit secukupnya perlu dilakukan saat olahraga atau berkompetisi agar tidak terjadi dehidrasi, yang bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi tubuh sehingga penampilan fisik tetap optimal dan olahraga aman dilakukan dalam waktu lama. Kata kunci: suhu dan kelembaban relatif udara, aktivitas fisik, penampilan fisik, dehidrasi. PENDAHULUAN Lingkungan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam berolahraga. Lingkungan ini menyangkut: suhu lingkungan, kelembaban relatif udara, ketinggian tempat, dan lain-lain (Powers & Howley, 2009; Birch dkk., 2005). Lingkungan dalam olahraga berupa lingkungan fisik, biologis, kimia, dan sosial. Untuk dapat aktivitas secara optimal, asfek lingkungan harus diperhatikan dan diperkenalkan sehingga seseorang terbiasa bekerja dalam lingkungan tersebut (Adiputra, 2010). Suhu lingkungan dan kelembaban relatif udara merupakan hal terpenting yang mempengaruhi penampilan dalam olahraga sehingga harus betul-betul diperhatikan (Giriwijoyo, (2007). Suhu lingkungan dan kelembaban relatif udara yang tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke kulit dan berefek terhadap pengurangan aliran darah ke otot (FPOK, 2010). Dalam aktivitas fisik termasuk olahraga, tubuh selalu menghasilkan panas. Panas yang dihasilkan harus segera dikeluarkan dari dalam tubuh melalui cairan tubuh, akibatnya
cairan tubuh dan elektrolit berkurang. Kehilangan cairan tubuh dan elektrolit pada saat berolahraga menyebabkan dehirasi yang dapat mengganggu penampilan fisik dalam olahraga (Wilmore, dkk., 2008). Cairan tubuh adalah cairan suspensi dari sel tubuh yang berfungsi mengangkut nutrisi baik karbohidrat, vitamin, dan mineral serta O2 ke sel-sel tubuh yang membutuhkannya. Cairan tubuh juga sebagai pengangkut produk samping metabolisme, dan beberapa fungsi lainnya (Irianto, 2010). Kehilangan cairan tubuh yang berlebihan dapat berakibat fatal terhadap kinerja fungsi tubuh, yang tentunya harus segera dikembalikan ke tingkat sebelumnya (rehidrasi). Kehilangan cairan tubuh ini dapat mempengaruhi penampilan fisik, memperberat kerja jantung, dan dapat menyebabkan kematian (Departmen of Healt Statistik and Informatics World Health Organization, 2011). Pada saat berolahraga diharapkan minum air secukupnya dengan jumlah disesuaikan dengan cairan tubuh yang hilang. Intensitas latihan yang lebih tinggi meningkatkan pengeluaran keringat. Begitu juga sebaliknya, intensitas latihan yang rentah pengeluaran
282
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI keringat akan menurun. Tidak cukup hanya air putih yang diminum apabila berolahraga dalam waktu yang lama, akan tetapi perlu minuman olahraga dengan tambahan glukose dan garam (UNICEF, 2012). Kehilangan cairan tubuh sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan terutama suhu dan kelembaban udara relatif. Tulisan ini akan membahas secara komprehensif pengaruh suhu dan kelembabann udara relatif terhadap penampilan fisik dalam olahraga. PEMBAHASAN Suhu, Kelembaban Udara dan Pengaturan Suhu Tubuh Suhu merupakan suatu bentuk energi yang dapat berpindah dari suhu yang lebih tinggi ke suhu yang lebih redah (Gabriel, 2013). Suhu lingkungan adalah tingkat panasnya udara di suatu tempat yang dinyatakan dalam derajat celcius (oC). Suhu tertinggi biasanya pada pukul 13-14 siang dan terendah pada pukul 04.0005.00 pagi (Kanginan, 2000). Cuaca dingin mempengaruhi penampilan fisik dalam berolahraga, walaupun pengaruhnya lebih kecil dibandingkan dengan cuaca panas. Walaupun demikian tetap juga beresiko, apalagi kompetisi dilakukan dalam cuaca yang sangat dingin, sehingga pengetahuan terhadap respon tubuh perlu diketahui dan harus berlatih dalam cuaca dingin agar aman dan berhasil (Pate dkk, 1993). Kelembaban relatif udara adalah kandungan uap air di dalam udara yang dapat diukur dengan higrometer dalam satuan %. Kelembaban relatif udara berubah berbanding terbalik dengan perubahan suhu udara, yaitu bila udara dingin maka kelembaban meningkat dan bila udara panas maka kelembaban menurun. Pendinginan udara sampai lebih kecil dari 5oC, menyebabkan terjadinya kelebihan uap air dalam udara dan akhirnya mengembun (Kanginan, 2000). Akan tetapi terjadi sebaliknya pada ruangan ber-AC. Makin tinggi suhu ruangan berAC maka kelembaban relatif udara semakin tinggi, dan makin rendah suhunya, maka kelembabannya semakin rendah (Gabriel, 2013). Suhu tubuh akan disesuaikan dengan suhu lingkungan agar tubuh selalu dalam keadaan homeostasis. Pengaturan suhu tubuh (regulasi termal) adalah suatu pengaturan secara kompleks dari fisiologis tubuh di mana terjadi keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas sehingga suhu tubuh dapat
ISBN:978-602-9138-68-9
dipertahankan secara konstan (Ganong, 2012). Pengaturan suhu tubuh dilakukan oleh hipotalamus, yaitu organ tubuh yang terletak di dasar ventrikel otak ke-3. Hipotalamus juga berfungsi mengintegrasikan informasi dari bagian tubuh yang lain yang kemudian menanggapinya untuk menyimpan atau membuang panas. Kerja dari sistem ini tergantung dari karakteristik lingkungan, di mana respon tubuh bisa berupa kontriksi ataupun dilatasi pembuluh darah ke kulit dan dapat juga berupa menggigil atau berkeringat (Gabriel, 2012). Dengan demikian hipotalamus dapat dianggap sebagai thermostat yang berfungsi meningkatkan dan menurunkan suhu tubuh. Apabila informasi dari reseftor panas yang berasal dari bagian tubuh menunjukkan adanya peningkatan suhu dari yang semestinya, maka akan timbuls infuls eferen dari bagian anterior hipotalamus yang akan mengaktifkan mekanisme pembuangan panas dengan terbentuknya vasodilatasi pembuluh darah ke kulit dan akhirnya kelenjar keringat aktif (Guyton dan Hall, 2012). Apabila informasi gabungan dari reseftor panas menunjukkan adanya penurunan suhu tubuh dari yang semestinya, maka hipotalamus mengaktifkan mekanisme penyimpanan panas dengan diikuti terjadinya vasokontriksi pembuluh darah ke kulit dan diikuti oleh menggigil (Cameron, 2012); Ganong, 2012; Kusnanik dkk., 2011; Pate dkk., 1993). Kondisi lingkungan terutama suhu dan kelembaban udara relatif akan sengat berpengaruh terhadap kehilangan cairan tubuh sehingga akan mempengaruhi penampilan fisik dalam olahraga. Kehilangan cairan tubuh adalah kehilangan cairan yang berlangsung melalui evavorasi dari traktus respiratori dan difusi melalui kulit. Kehilangan cairan tubuh melalui traktus respiratorius berkisar antara 300-400 mL/hari dengan rata-rata 350 mL/hari dengan menjenuhkan udara melalui pengembunan dengan tekanan uap sekitar 47 mmHg dan cairan secara terus-menerus hilang melalui respirasi. Kehilangan cairan melalui keringat kurang lebih 300-400 mL/hari. Ketika cuaca dingin ekstrim, tekanan atmosfir menurun, menyebabkan kehilangan cairan melalui respirasi meningkat yang menimbulkan saluran pernapasan kering (Guyton dan Hall, 2012).
283
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Kehilangan cairan tubuh melalui keringat sangat bervariasi, tergantung dari jenis aktivitas fisik dan faktor lingkungan. Kehilangan cairan ini berkisar 100 mL/hari dan dapat meningkat sampai 1-2 liter/jam yang dapat mempercepat menurunnya volume cairan tubuh. Kehilangan cairan tubuh melalui fises sangat sedikit dalam keadaan tubuh normal yaitu berkisar 100 mL/hari dan dapat meningkat beberapa kali pada pasien diare. Kehilangan cairan tubuh melalui ginjal yaitu lewat urin yang jumlahnya bervariasi, yang tergantung dari asupan cairan dan elektrolit ke dalam tubuh. Volume urin dapat berkurang 0,5 liter perhari pada orang dehidrasi dan dapat mencapai 20 liter perhari pada orang yang minum banyak air. Juga terjadi pada beberapa elektrolit tubuh seperti natrium, kalium, dan klorida (Guyton dan Hall, 2012). Tingginya produksi panas karena aktifitas fisik perlu diimbangi dengan kecepatan pembuangan panas kelingkungan. Pertukaran panas dari tubuh kelingkungan dapat melalui beberapa cara diantaranya adalah; radiasi, konduksi, konfeksi, dan evaporasi (Gabriel, 2012; Giriwijoyo, 2007; Cameron dkk, 2012). Radiasi adalah transfer energi panas dari permukaan tubuh ke lingkungan tanpa mengalami kontak dari ke dua objek tersebut. Besarnya energi radiasi sama dengan konstanta Plank dikalikan dengan frekuensi radiasi. Dituliskan E = nhf, di mana E adalah energy radiasi, n adalah bilangan bulat, h adalah tetapan Plank, dan f adalah frekuensi radiasi. Pakaian yang berwarna terang lebih sedikit menyerap panas dari pada yang berwarna gelap. Perubahan sikap tubuh dari berdiri ke duduk menyebabkan permukaan radiasi berkurang sebesar 10-15 %. Konduksi adalah perpindahan panas dari permukaan tubuh ke lingkungan yang mempunyai suhu lebih rendah. Kecepatan perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan tergantung dari perbedaan suhu antara kulit dan lingkungan. Pembuangan panas secara konduksi hanya meliputi bagian kecil dari seluruh pertukaran panas tubuh dengan lingkungan. Air yang merupakan konduktor panas yang lebih baik dari pada udara, menyebabkan kehilangan panas dalam air lebih cepat dari pada dalam udara. Konveksi adalah perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan dimana zat perantara
ISBN:978-602-9138-68-9
ikut berpindah, yang disebabkan karena massa jenis udara panas lebih ringan dibandingkan dengan udara dingin. Perpindahan panas ini dapat terjadi karena angin mengalir melewati tubuh. Hal ini terjadi bila terkena aliran angin dari kipas angin atau bila tubuh bergerak terhadap udara atau air, misalnya bersepeda, ski atau berenang, atau berada dalam air yang mengalir. Evaporasi adalah cara terpenting pembuangan panas selama olahraga dalam iklim apapun. Peristiwa ini terjadi bila keringat berubah dari cair menjadi uap dan untuk ini diambil panas dari tubuh. Bila pengeluaran keringat untuk pembuangan panas dalam kondisi panas tidak terjadi, maka suhu inti tubuh saat latihan berat meningkat dari 37 menjadi 40oC dalam waktu 20 menit. Oleh karena evaporasi sangat berkurang bila kelembaban tinggi, maka tingkat stress suhu lebih tinggi pada iklim panas dan lembab dari pada dalam panas dan kering. Pada lingkungan yang panas dan lembab, keringat tampak bercucuran, karena tidak semua keringat yang disekresikan dapat diuapkan, tetapi pada lingkungan yang panas dan kering, keringat tidak tampak bercucuran karena semua keringat yang dhasilkan, segera diuapkan. Pembuangan panas melalui radiasi, konduksi dan konveksi menjadi sulit, tetapi udara yang kering memudahkan penguapan keringat (Gabriel, 2012: Kanginan, 2000). Kondisi panas dan lembab atau kondisi tropis, biasanya suhu lingkungan tidak lebih dari 35oC, akan tetapi oleh karena kelembabannya tinggi di Indonesia antara 65-97% pembuangan panas melalui evaporasi keringat menjadi kurang efektif dan keringat menetes dari kulit tanpa menguap (FPOK, 2010). Skala yang berguna untuk menilai tingkat kenyamanan lingkungan adalah index WBGT (wet bulb-globe-temperature index). Index ini menggabungkan menjadi satu nilai: dampak radiasi matahari dan bumi, suhu udara lingkungan, kelembaban dan kecepatan udara. Index WBGT (di luar ruangan) = 0.7 suhu bola basah + 0.2 suhu bola hitam + 0.1 suhu bola kering (FPOK, 2010). Indeks WBGT ini untuk menilai tingkat latihan yang dapat dilakukan dalam kondisi panas, demi keselamatan atlet. Pada berbagai olahraga indeks WBGT yang dianjurkan mencapai 25 oC, dan olahraga dianggap tidak aman bila index WBGT
284
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI mencapai 28oC bagi yang tidak terlatih atau belum beraklimatisasi. Untuk kegiatan dengan tingkat aktivitas yang tinggi seperti lari jarak jauh diharapkan tidak dilakukan bila index WBGT > 28oC (Giriwijoyo, 2007). Di samping itu, karakteristik individu juga erat kaitannya dengan pengaturan suhu tubuh. Karakteristik individu menyangkut bentuk tubuh, komposisi tubuh, umur, dan kelamin. Bentuk tubuh yang berkaitan dengan toleransi panas adalah rasio luas permukaan tubuh terhadap massa tubuh. Anak usia pubertas dapat mempunyai rasio sampai 50% lebih besar daripada laki-laki dewasa dengan ukuran sedang, sedangkan pada wanita dengan ukuran sedang, nilai itu dapat mencapai 10% lebih besar. Tetapi terdapat perbedaan individual yang luas dalam rasio luas permukaan/massa tubuh. Mereka yang mempunyai bentuk tubuh ramping (ectomorph) mempunayi rasio lebih tinggi dari pada yang muscular (mesomorph) atau yang gemuk (endomorph). Bila bekerja dengan beban yang sama, orang yang lebih besar akan membentuk panas lebih banyak dari pada yang lebih ramping per satuan luas permukaan tubuhnya. Karena itu pada kondisi yang panas dan lembab yang menyebabkan pembuangan panas menjadi sulit, maka orang yang lebih besar akan menimbun panas, sedangkan yang lebih kecil dapat mempertahankan keseimbangan panas dengan lebih mudah. Komposisi tubuh. Respon ini dikaitkan pada panas jenis jaringan lemak jauh lebih rendah dari pada jaringan tanpa lemak. Dengan demikian muatan panas per satuan massa orang gemuk meningkatkan suhu tubuh lebih tinggi daripada orang kurus. Di sampan itu daya tahan kardiovaskular orang gemuk lebih rendah daripada orang kurus, sehingga kemampuan terhadap panas pada orang gemuk lebih besar (Gabriel, 2012). Umur. Bila berolahraga di tempat panas, orang yang lebih tua menunjukkan suhu rektal yang lebih tinggi dari pada orang muda, perbedaan ini menyebabkan meningkat pada suhu lingkungan lebih tinggi dan meningkatnya durasi pemaparan. FPOK (2010) melaporkan bahwa laki-laki muda (20-30 th) menguapkan lebih banyak keringat per satu derajat peningkatan suhu rektal dan mempunyai suhu kulit yang lebih rendah dari pada orang tua (45-
ISBN:978-602-9138-68-9
70 th). Hal ini disebabkan karena pada orang muda terjadi pengeluaran keringat yang lebih awal sehingga mengurangi keperluannya untuk meningkatkan aliran darah pada kulit untuk membuang panas, dan karena itu mengurangi kemampuan peredaran darah yang terjadi selama bekerja di tempat panas (Gabriel, 2012). Jenis kelamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita kurang toleran dibandingkan dengan laki-laki untuk beraktivitas di tempat panas oleh karena tingkat pengeluaran keringat yang lebih rendah, akan tetapi wanita lebih diuntungkan karena cairan tubuh lebih dihemat (Cameron dkk., 2012). Pengaruh Tekanan panas (Heat Stress) Pada Manusia Tekanan panas (Heat Stress) yang mengenai tubuh mengakibatkan berbagai permasalahan kesehatan hingga kematian. Kematian para atlet yang disebabkan karena latihan atau pertandingan di tempat panas ekstrim disebabkan karena sistem mekanisme pengaturan suhu tubuh tidak mampu dalam melindungi tubuh terhadap perubahan cuaca tersebut, sehingga diperlukanlah adaptasi dalam waktu dalam waktu pendek dan lebih lama yang disebut dengan aklimatisasi (Kusnanik dkk, 2011). Ada beberapa kelainan patologi tubuh yang diakibatkan oleh terpaan panas dan kelembaban udara yang tinggi di antaranya adalah (Giriwijoyo, 2007: Arief, 2012): 1. Heat syncope (pingsan panas) adalah ganggunan induksi panas yang lebih serius. Ciri dari gangguan ini adalah pening dan pingsan akibat berolahraga dalam lingkungan panas pada waktu yang cukup lama. Kejadian ini ditimbulkan dengan adanya vasodilatasi sistemik berlebihan. 2. Heat cramp (kejang panas). Gejala dari penyakit ini adalah rasa nyeri dan kejang pada kaki, tangan dan abdomen serta keringat. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan cairan dan garam selama olahraga berat di lingkungan panas. Olahraga dalam waktu lama dapat mengeluarkan banyak garam yang keluar bersamaan dengan keringat yang hanya diganti dengan air putih. 3. Heat exhaustion (kelelahan panas) merupakan reaksi dari seluruh tubuh
285
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI terhadap terpaan panas dalam waktu berjam-jam atau berhari-hari diakibatkan oleh berkurangnya cairan tubuh. Kondisi ini terjadi jika jumlah keringat yang dikeluarkan melebihi air yang diminum selama terkena panas. Gejalanya adalah keringat sangat banyak, kulit pucat, lemah, pening, mual, napas pendek dan cepat, pusing dan pingsan. Suhu tubuh berkisar antara (37°C - 40°C). 4. Heat stroke adalah penyakit gangguan panas yang mengancam nyawa yang berkaitan dengan aktivitas pada ruangan yang panas dan lembab. Penyakit ini dapat menyebabkan koma dan kematian. Gejala dari penyakit ini adalah detak jantung cepat, suhu tubuh tinggi sekitar 40 oC atau lebih, kulit kering dan tampak kebiruan atau kemerahan, Tidak ada keringat di tubuh korban, pening, menggigil, mual, pusing, kebingungan dan pingsan. Suhu tubuh harus dijaga tetap berada pada rentang normal yang bertujuan agar seluruh organ tubuh dapat bekerja dengan optimal. Sistem metabolisme tubuh secara alami dapat menjaga suhu tubuh dengan keluarnya keringat, menggigil dan meningkatkan/mengurangi aliran darah pada kulit. Untuk pengaturan suhu tubuh secara eksternal ada beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu: suhu udara, kelembaban udara, kecepatan udara, pakaian, aktivitas fisik, radiasi panas dari berbagai sumber panas dan lamanya waktu terpaan panas (Arif, 2012: Gabriel, 2012). Volume cairan, suhu cairan, dan kandungan cairan juga perlu diperhatikan untuk mempertahankan penampilan tetap maksimal dalam berolahraga. Dianjurkan minum air secara berkala 15-20 menit sebanyak 150-200 mL walau air yang lebih banyak cendrung keluar lebih cepat dari lambung dibandingkan dengan jumlah yang lebih sedikit, namun masuknya air dalam jumlah besar ke dalam lambung dapat membatasi pernafasan serta menyebabkan rasa mual. Pada cuaca yang lebih dingin, jumlah tersebut diminum tiap 25-30 menit sudah dapat mengimbangi hilangnya cairan tubuh (FPOK, 2010).
ISBN:978-602-9138-68-9
Cairan dingin dengan temperature 510 o C lebih cepat meninggalkan lambung sehingga lebih dianjurkan untuk diminum saat olahraga. Kadar zat-zat terlarut misalnya elektrolit dan glukosa juga menentukan kecepatan pengosongan lambung. Minuman yang pekat lebih lambat meninggalkan lambung dari pada yang lebih encer (Giriwijoyo, 2007). Kadar glukosa rendah hanya memberikan energi yang sangat sedikit, dan agar karbohidrat dapat diperoleh dalam jumlah yang mencukupi, diperlukan minum banyak, yang dapat menggangu penampilan. Oleh karena itu dipergunakan polimer glukosa, sehingga keseimbangan air dan glukosa yang dikonsumsi dapat disesuaikan. Penambahan air dan garam perlu dilakukan untuk mengembalikan kadar elektrolit pada saat olahraga. Dengan demikian jarang terjadi defisiensi selama olahraga yang berlangsung dalam waktu yang panjang yaitu berkisar antara 2-3 jam. (FPOK, 2010). SIMPULAN DAN SARAN Setiap aktivitas fisik, tubuh selalu mengeluarkan panas yang besarnya tergantung dari intensitas dan lama latihan. Panas yang dihasilkan, harus segera dikeluarakan agar penampilan fisik tetap berjalan dengan baik dan tidak berakibat fatal terhadap kesehatan. Pengeluaran suhu tubuh ke lingkungan sekitar melalui keringat dapat menurunkan cairan tubuh. Berkurangnya cairan tubuh ini, harus segera dikembalikan dengan minum sejumlah air yang disesuaikan dengan cairan yang keluar. Dengan minum air yang cukup pada olahraga daya tahan dengan kandungan glukose dan mineral yang telah berkurang konsentrasinya karena keluar bersama keringat sangat dibutuhkan, sehingga penampilan fisik akan terjaga dan latihan aman dilakukan dalam waktu yang lebih lama. DAFTAR PUSTAKA Adiputra, N. 2010. Aspek Sosio-Budaya yang Berpengaruh Terhadap Prestasi Atlet. Disampaikan pada Seminar Nasional pada Guru, Mahasiswa IKIP PGRI Denpasar di Amlapura tanggal 05 Januari 2010. Arief, L. M. 2012. Monitoring Lingkungan Kerja Tekanan Panas/Heat Stress.
286
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Jakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan PSKM Peminatan K3 Universitas Esa Unggul. Birch, K., McLaren, D., George, K. 2005. Exercise Fhysiology. Taylor and Pracis: Garland Science/BIOS Scientific Publishers. Cameron, J.R., Skrofonick, J.G., Grant, R.M. 2012. Fisika Tubuh Manusia. Edisi Kedua. Jakarta: CV. Sagung Seto. Department of Health Statistics and Informatics World Organization. 2011. Data Sources and Methods. Geneva. FPOK, 2010. Modul IV Stress Lingkungan. Bandung: Fakultas Pendidikan Olahraga Jurusan Pendidikan Olahraga. Gabriel, J.F., 2012. Fisika Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gabriel, J.F., 2013. Fisika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Hipokrates. Ganong, W.F. 2008. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Giriwijoyo, S. 2007. Ilmu Faal Olahraga: Fungsi Tubuh Manusia pada Olahraga. Edisi Ketujuh. Bandung: Fakultas Ilmu Olahraga. Guyton, A.C., Hall, J.E. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi Kesebelas.
ISBN:978-602-9138-68-9
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Irianto, K. 2010. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. Bandung: Yrama Widya. Kanginan, M. 2000. Fisika 2000 Untuk SMU Kelas 2. Jakarta: Erlangga. Kusnanik, N. W., Nasution, J., Hartono, S. 2011. Dasar-dasar Fisiologi Olahraga. Surabaya: Unesa Univercity Press. Pate, R. R., McClenaghan, B., Rotella, R. 1993. Dasar-dasar Ilmiah Kepelatihan. Semarang: IKIP Semarang Press. Powers, S.K., Howley, E.T. 2009. Exercise Physiology: Theory and Application to Fitness and Performance. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill. Pyke, F.S., Sutton, J.R. 1992. Textbook of Science and Medicine in Sport. Blackwell Scientific Publications. UNICEF. 2012. Oral Rehydration Salts (ORS): A New Reduced Osmolarity Formulation. [cited 2013 Dec. 05]. Available from: http// rehidrate.org.ncbi.nlm.nih.gov/. Wilmore, J.H., Costill D.L., Kenney, W.L. 2008. Physiology of Sport and Exercise, 4th Eds. Champaign: Human Kinetics.
287
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
PENURUNAN JUMLAH SEL SPERMATOGENIK SETELAH PEMBERIAN ALKOHOL PERORAL SECARA KRONIS PADA TIKUS PUTIH (Rattus sp. ) Ni Wayan Sukma Antari*, A.A.S.A. Sukmaningsih, dan Ni Made Suaniti Jurusan Biologi, FMIPA, Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali,. *e-mail: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian alkohol terhadap penurunan sel spermatogenik tikus putih (Rattus sp). Sebanyak 20 ekor tikus putih umur 3 bulan diambil secara acak dan dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kontrol dan perlakuan. Kelompok kontrol diberikan aquades dan kelompok perlakuan diberikan alkohol dengan dosis 20% secara oral/ekor/hari selama 48 hari. Setelah perlakuan dilakukan pembedahan untuk pembuatan sediaan mikroanatomi testis. Pengamatan dilakukan pada tubulus seminiferus tingkat VII dan VIII yang meliputi penghitungan jumlah spermatogonia, spermatosit, spermatid, serta menghitung sel Leydig, diameter tubulus, berat badan dan berat testis. Hasil penelitian menunjukkan adanya gangguan terhadap spermatogenesis setelah pemberian alkohol. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis mikroskopis menggunakan uji t. Jumlah sel spermatogenik mengalami penurunan yang nyata (p<0,05), tetapi tidak terjadi penurunan yang nyata (p>0,05) pada berat testis, dan berat badan tikus putih jantan (Rattus sp). Kata kunci : Alkohol, Rattus sp, Sel Spermatogenik PENDAHULUAN Di masa modern ini, alkohol merupakan minuman yang sangat tidak asing lagi dikalangan masyarakat umum. Kebiasaan masyarakat mengkonsumsi alkohol selain dapat memberikan kenikmatan bagi seseorang, jika dikonsumsi dengan dosis yang tepat, dapat mengurangi resiko penyakit jantung, dan sebagai anti kanker bila diminum secara teratur. Satu setengah gelas bir per hari dapat meningkatkan sensitivitas insulin, mengurangi resiko diabetes dan batu ginjal. Selain itu protein di dalam bir mampu melindungi otak atau ancaman Alzheimer dan serangan kanker payudara pada wanita (Alit, 2012). Namun alkohol jika dikonsumsi secara berlebih dapat menimbulkan dampak buruk bagi si peminum (Darmono, 2000). Alkohol adalah senyawa kimia yang terdiri dari atom karbon, hidrogen, dan oksigen, dengan atom oksigen dalam bentuk OH. Berdasarkan rumus kimianya, alkohol dibedakan atas etanol (etil alkohol), metanol (metil alkohol), dan propanol (propil alkohol). Substansi alkohol yang biasa diminum adalah golongan etanol atau
etil alkohol dengan rumus kimia CH3CH2OH (Sutarni, 2007). Kadar alkohol dalam minuman keras harus memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan Menteri Kesehatan RI Nomor 151/A/SK/V/81 dan Nomor 86/Menkes/Per/IV/77. Secara umum senyawa alkohol mempunyai beberapat sifat yaitu; mudah terbakar, dan mudah bercampur dengan air. Kandungan alkohol pada setiap minuman pun bervariasi yaitu pada bir umumnya mengandung alkohol 3,5% sampai 5 %, wine mengandung alkohol 10%-14%, fortified wine mengandung alkohol 14-20 % sedangkan whisky, vodka mengandung 40 % alkohol. Sedangkan untuk kandungan etanolnya digolongkan menjadi tiga bagian yaitu: golongan A (Bir, 1-5%), golongan B (Wine/anggur, 15-20%), golongan C (whisky, brandy, genever, arak, gin, rum, dan vodka, 2055%) (Anneahira, 2009). Konsumsi alkohol dalam jangka panjang menimbulkan berbagai jenis penyakit
288
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI diantaranya, gagal ginjal, kanker hati, gangguan pencernaan atau terjadinya pendarahan pada saluran pencernaan seperti di usus, gangguan sistem kardiovaskular, menekan fungsi otak, merusak pankreas (Lordbroken, 2011). Pada sistem reproduksi, konsumsi alkohol secara berlebih dalam jangka waktu yang panjang dapat mengakibatkan menurunnya produksi hormon testosteron sehingga mengganggu produksi sperma dan proses spermatogenesis. Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus, proses ini mencakup pematangan sel epitel germinal melalui proses pembelahan dan diferensiasi sel, yang bertujuan untuk membentuk sperma fungsional (Sugiri, 1988). Dalam satu siklus spermatogenesis pada tikus ada 14 tahap epithel seminiferus. Setiap tahap tersebut didasarkan atas perkembangan spermatid, yang terdiri dari 19 stadium perkembangan yang dinamakan step of spermiogenesis (Clermont, 1968; Leblond, 1952). Proses spermatogenesis terdiri dari 3 tahapan yaitu: (1) Proliferasi, (2) Miosis, (3) Spermiogenesis. Proliferasi, pada tahapan ini spermatogonia mengalami pembelahan beberapa kali sehingga menghasilkan spermatogonia tipe A dan spermatogonia tipe B.Spermatogonia tipe A akan mengalami pembelahan dan membentuk spermatogonia intermediet yang selanjutnya akan membelah menjadi spermatogonia tipe B. Spermatogonia tipe B akan mengalami pembelahan mitosis dan membentuk spermatosit primer (Gilbert, 1995). Fase meiosis terdiri dari dua tahap yaitu meiosis I dan II yang masing-masing terdiri dari fase profase, metafase, anafase, dan telofase. Profase pada meiosis I meliputi leptoten, zigoten, pakhiten, diploten, dan diakinesis. Meiosis I berakhir dengan terbentuknya spermatosit sekunder yang selanjutnya akan mengalami meiosis II dan berakhir dengan pembentukan spermatid (Wright, 1991). Spermiogenesis pada tikus terdiri dari 4 fase yaitu fase golgi, fase cap (fase tutup), faseakrosom dan fase pematangan atau maturasi, yang dibagi menjadi 19 tahapan. (Clermont, 1968; Leblond, 1952).Hasil akhir berupa empat spermatozoa (sperma) matang. Ketika spermatid dibentuk pertama kali, spermatid memiliki bentuk seperti sel-sel epitel. Namun, setelah
ISBN:978-602-9138-68-9
spermatid mulai memanjang menjadi sperma, akan terlihat bentuk yang terdiri dari kepala dan ekor. Berdasarkan hal tersebut telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian alkohol terhadap spermatogenesis pada tikus sebagai hewan uji METODE PENELITIAN Dua puluh ekor tikus jantan usia 3 bulan dengan berat badan 150-200 gram dikelompokan menjadi 2 kelompok yaitu: kelompok kontrol yang diberikan aquades dan kelompok perlakuan diberikan alkohol 20%. Perlakuan diberikan secara oral sebanyak 1mL/ekor/hari selama 48 hari dengan cara disonde. Tikus diberi pakan berupa kensentrat dan air minum secara ad libitum. Pada hari ke-49 tikus dibedah dan diambil testisnya selanjutnya ditimbang untuk mengetahui beratnya. Testis kemudian dimasukan ke dalam wadah kaca yang telah berisi larutan fiksatif yaitu formalin buffer untuk mengawetkan elemen organ testis agar tidak berubah bentuk dan fungsinya. Sediaan mikroanatomi testis untuk pengamatan sel-sel spermatogenik dibuat menggunakan metode paraffin. Larutan fiksatif berupa formalin buffer 1%. Proses pewarnaan menggunakan Hematoxilin- Eosin. Pengamatan dilakukan dengan menghitung berat badan awal dan berat badan akhir, berat testis setelah dibedah pada akhir perlakuan, penghitungan jumlah sel-sel spermatogenik tingkat VII dan VIII pada Tubulus Simeniferus dimana sayatan yang diamati adalah sayatan tubulus berbentuk bulat yang terdiri dari : Spermatogonia, Spermatosit pakiten, Spermatid, dan Jumlah sel Leydig diantara Tubulus Simeniferus. Hasil pengamatan spermatogenesis diuji dengan menggunakan uji t. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian alkohol dengan dosis 20% memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada setiap variabel pengamatan berat badan, berat testis, sel-sel spermatogenik, sel Leydig dan diameter tubulus tikus putih (Rattus sp), seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Sedangkan gambaran mikroanatomi tubulus seminiferus ditampilkan pada gambar 1.
289
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
a
b
Gambar 1. Penampang sayatan melintang tubulus seminiferus tikus putih (Rattus sp).(A) kelompok kontrol, (B) kelompok perlakuan. (1) Spermatogonia, (2) Spermatosit, (3) Spermatid, (4) Sel Leydig, (5) Lumen Tubulus Seminiferus
Berdasarkan analisis dengan uji t mengenai nilai beda rata-rata berat badan, berat testis, sel-sel spermatogenik, sel Leydig dan diameter tubulus kelompok kontrol dan
ISBN:978-602-9138-68-9
perlakuan menunjukkan bahwa pemberian alkohol menyebabkan penurunan berat badan dan berat testis secara tidak nyata (p>0,05), tetapi terjadi penurunan jumlah secara nyata (p<0,05) pada sel-sel spermatogenik, jumlah sel Leydig dan diameter tubulus (tabel 1). Hasil penelitian berat badan tikus awal dan setelah perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Berat badan tikus awal dan setelah perlakuan pada kelompok kontrol mengalami peningkatan, sedangkan pada kelompok perlakuan mengalami penurunan berat badan (tabel 1). Menurut Ricostrada (2011) seorang alkoholik akan melupakan makan jika sedang mengkonsumsi alkohol, jika alkohol dikonsumsi secara berkala dengan dosis yang tinggi menyebabkan terjadinya malnutrisi, yaitu penurunan asupan nutrisi di dalam tubuh sehingga menyebabkan terjadinya penurunan berat badan yang berkala, disebutkan juga konsumsi alkohol memiliki efek terhadap pelepasan hormon pertumbuhan (GH) (Gilbert, 1995). Hormon pertumbuhan merupakan substansi dalam tubuh yang berperan penting untuk membangun otot, merangsang pertumbuhan sel, serta mengembangkan dan mempercepat pertumbuhan tulang yang optimal. Hormon pertumbuhan lebih banyak diproduksi pada saat tidur (terutama di jam tidur lebih awal). Pada penelitian ini diduga alkohol
mengganggu waktu tidur alami yang beresiko menurunkan jumlah hormon pertumbuhan sekitar 70% dari normalnya (Sherwood, 2001).
290
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Hasil penelitian pada berat testis tikus putih (Rattus sp) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata setelah diuji secara statistik, tetapi jika dilihat dari pengukuran berat testis secara manual, berat testis mengalami penurunan (tabel 1). Penyusutan testis biasanya terjadi jika hormon testosteron mengalami ganggguan, diduga gangguan terhadap hormon tostesteron diakibatkan dari konsumsi alkohol dengan dosis akut yang mengakibatkan terjadinya penumpukan senyawa asetaldehida di dalam tubuh. Penumpukan senyawa asetaldehida ini akibat dari tidak mampunya enzim Aldehid Dehidrogenase (ALDH) untuk mengubah asetaldehida menjadi asetat yang tidak bersifat toksik. Tingginya jumlah senyawa asetaldehida yang bersifat toksik dapat meningkatkan jumlah radikal bebas didalam tubuh (Valko et al., 2006 dalam Kristina Simanjuntak, 2007). Hal inilah yang diduga sebagai pemicu terjadinya gangguan pada hipotalamus, sehingga menghambat hipofisis anterior untuk mensekresikan Luteinizing Hormon (LH) dan Folikel Stimulating Hormon (FSH)(Rees, 2005). Sekresi LH dan FSH diatur oleh hormon pelepas Gonadotropin (GnRH) kedua hormon ini mencapai testis dengan aliran darah di dalam tubuh (Rees, 2005). LH berfungsi merangsang produksi dan sekresi testosteron oleh sel interstisial Leydig (Ganong, 1988). Sementara FSH berpengaruh langsung terhadap sel sertoli dalam tubulus seminiferus. FSH merangsang sel sertoli untuk mensekresikan Androgen Binding Protein (ABP). ABP merupakan glikoprotein pengikat androgen yang bersama FSH akan disekresikan kedalam tubulus seminiferus (Sukmaningsih, 2009). Sekresi ABP oleh selselsertoli di bawah pengawasan FSH dan testosteron, akan berperan untuk menjaga hormon testoteron dalam tubulus seminiferus yang akan digunakandalam spermatogenesis (Junquiera, 1997). Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa sel spermatogonium mengalami penurunan setelah diberikan alkohol dengan dosis 20% secara oral selama 48 hari. Diduga penurunan jumlah sel spermatogonium dalam penelitian ini disebabkan adanya senyawa hasil dari metabolisme alkohol yaitu asetaldehida yang meningkatkan radikal bebas di dalam tubuh. Menurut penelitian yang dilakuakan oleh Suaniti et al. (2012) mengenai kerusakan hati
ISBN:978-602-9138-68-9
akibat keracunan alkohol berulang pada tikus wistar menunjukan alkohol yang diberikan pada tikus selama 1 minggu dengan dosis 5% tidak memberikan pengaruh pada sel hati, tetapi tikus yang diberikan alkohol 20% menunjukan adanya kerusakan pada sel hati yang meluas. Hal ini membuktikan bahwa alkohol dengan dosis 20% dapat menurunkan fungsi hati didalam tubuh, tidak hanya fungsi hati, senyawa yang terkandung didalam alkohol yaitu asetaldehida juga dapat mempengaruhi sel-sel spermatogenik. Menurut Zakhari (2006) senyawa asetaldehida dihasilkan dari jalur sitosol yang merupakan bagian dari jalur metabolisme alkohol. Jalur sitosol merupakan proses oksidasi dengan melibatkan Alkohol Dehidrogenase (ADH) yang terjadi di dalam hepar. Metabolisme alkohol oleh ADH akan menghasilkan senyawa asetaldehida. Senyawa ini merupakan produk yang sangat reaktif dan sangat toksik terhadap tubuh sehingga menyebabkan kerusakan beberapa jaringan atau sel. Senyawa asetaldehida oleh ALDH akan diubah menjadi asam asetat, jika metabolisme alkohol meningkat dan ALDH tidak mampu mengubah asetaldehida menjadi asam asetat, maka asetaldehida akan mengalami penumpukan di dalam tubuh sehingga akan mengakibatkan peningkatan radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekulyang memiliki elektron yang tidakberpasangan pada orbit terluamya, sehingga bersifat reaktif, tidak stabil, dan cenderung berikatan dengan senyawa lain untuk membentuk molekul yang stabil (Valko et al., 2006 dalam Kristina Simanjuntak, 2007). Diduga radikal bebas yang meningkat didalam tubuh mengganggu proses pembelahan sel-sel germinal dari spermatogenesis awal yang menyebabkan banyaknya sel spermatogonium tidak berhasil mengalami proliferasi ke tahap selanjutnya (Turner, 1988). Pada tahap Proliferasi, spermatogonium mengalami pembelahan sehingga menghasilkan spermatogonium tipe A dan spermatogonium tipe B. Spermatogonium tipe A akan mengalami pembelahan dan membentuk spermatogonium intermediet yang selanjutnya akan membelah menjadi spermatogonium tipe B. Spermatogonium tipe B akan mengalami pembelahan mitosis dan membentuk spermatosit primer, (Gilbert, 1995). Meningkatnya radikal bebas akan mengakibatkan terjadinya stres
291
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI oksidatif. Stres oksidatif biasanya terjadi bila jumlah radikal bebas dalam tubuh lebih tinggi dari jumlah antioksidan (Valko et al., 2006 dalam Kristina Simanjuntak, 2007). Stress oksidatif yang terjadi pada sel akan menyebabkan terjadinya apoptosis yaitu kematian pada sel sehingga sel-sel spermatogonium yang rusak akan difagositosis oleh sel sertoli. Penurunan jumlah sel-sel spermatogenik terjadi pada stadium meiosis. Seperti diketahui FSH berpengaruh terhadap pembelahan meiosis (Zhang, 2003). Pada pembelahan meiosis ini, yaitu pada stadium pakiten profase I berlangsung proses pindah silang (“Crossing over”) yang rentan terhadap faktor luar. Sel spermatosit primer yang merupakan hasil deferensiasi sel spermatogonium B akan memasuki tahap profase dari pembelahan meiosis I. dalam tahap ini sel melewati fase leptoten, zigoten, pakhiten, diploten dan diakinesis. Sebelum mencapai fase pakithen toksikan yang dalam hal ini adalah radikal bebas akan menghambat fase leptoten dan zigoten sehingga mengakibatkan menurunnya jumlah spermatosit pada tahap pakhiten (Sukmaningsih, 2009). Menurut Johnson dan Everitt (1988) spermatosit primer pada stadium ini mudah sekali mengalami kerusakan khususnya pada stadium pakhiten, yaitu saat terjadi pindah silang (“Crossing over”) sehingga peluang terjadinya gangguan pada susunan kromosom spermatosit primer karena pengaruh faktor hormonal seperti penurunan FSH sangat besar sekali, sehingga jumlah sel-sel spermatosit yang dihasilkan menjadi menurun, jika pembelahan sel spermatosit terganggu maka pembelahan dari spermatosit menjadi spermatid akan terganggu. Penurunan jumlah spermatid kemungkinan juga disebabkan oleh menurunnya kadar hormon testosteron dan FSH sehingga menggangu proses meiosis, menurunnya kadar testosteron menghambat profase pada meiosis I yang meliputi fase: leptoten, zigoten, pakhiten, diploten, dan diakinesis (Sherwood, 2001). Dalam hal ini radikal bebas yang bersifat toksik mengganggu stimulasi testosteron pada tahap diakinesis, yaitu saat dimulainya pembelahan metafase. Pada tahap meiosis I berakhir dengan terbentuknya spermatosit sekunder yang selanjutnya akan mengalami meiosis II dan
ISBN:978-602-9138-68-9
berakhir dengan pembentukan spermatid (Wright, 1991) mengingat bahwa spermatosit primer pada stadium meiosis I dan II mudah sekali mengalami kerusakan, sehingga menyebabkan sel-sel yang rusak akan di fagositosis oleh sel sertoli (Johnson, 1988). Pengamatan jumlah sel Leydig menunjukan perbedaan yang nyata. Penurunan jumlah sel Leydig diduga akibat dari radikal bebas yang menghambat pertumbuhan dari sel Leydig. Radikal bebas memiliki elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya sehingga bersifat reaktif untuk bereaksi dengan molekul lain. Radikal bebas dapat merusak makromolekul seperti merusak lipid membran sel, DNA, dan protein yang menyebabkan terjadinya stres oksidatif pada sel (Valko et al., 2006 dalam Kristina Simanjuntak, 2007). Hal inilah yang menyebabkan terganggunya perkembangan dari sel Leydig. Terganggunya perkembangan dari sel Leydig mengakibatkan menurunnya hormon testosteron sehingga menyebabkan kadar testosteron dalam tubulus seminiferus menjadi rendah. Hormon testosteron disintesis oleh enzim yang terdapat di dalam mitokondria dan retikulum endoplasma halus dari sel Leydig (Junquiera,1997). Di dalam tubulus seminiferus perkembangan dari sel Leydig dipengaruhi oleh LH yang dihasilkan oleh hipofisis anterior (Geneser, 1994). jika sel Leydig mengalami penurunan maka ini menjadi indikator menurunnya daya rangsang LH dari hipofisis anterior dipengaruhi oleh radikal bebas yang meningkat didalam tubuh. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian alkohol dengan dosis 20% selama 48 hari secara kronis menyebabkan penurunan jumlah sel-sel spermatogenik secara nyata (p < 0,05). Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh alkohol terhadap patologi sistem reproduksi dengan hewan uji lain.
292
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI DAFTAR PUSTAKA Anneahira. 2009. Pengertian Minuman Keras (Alkohol). Available at: http:// www.anneahira.com/pengertianminuman-keras.htm. Opened: 08.09.2012 Clermont, Y. and B. Obregon. 1968. Reexamination of Spermatogonial Renewal The Rat by of Seminiferous Tubulus Mounted “in toto”, Am J. Anat., 122, : 237-47 Ganong, W. F., 1991, Fisiologi kedokteran, penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Gilbert, S.F. 1985. Developmental Reproductive Biology. Sunderland: Sinauere Associates Inc. Johnson, M and B. Everitt. 1988. Essential Reproduction. Blackwell Scientific Publications. London Junqueira, L.C., and J. Carneiro. 1997. Histologi Dasar Edisi 8. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Kristina, S. 2007. Radikal Bebas Dari SenyawaToksik Karbon Tetraklorida(CCL4). Jurnal Bina Widya. Vol 18 (1): 7-31. Lordbroken. 2011. Alkohol dan Metabolisme. Available at: http:// lordbroken.wordpress.com/2011/02/ 12/alkohol-dan-bahayanyametabolisme. Opened : 08.09.2012 Leblond, C. P., and Y. Clermont. 1952. Definition of Stages of The Seminiferous Epithelium in The Rat. Annual of the New York Academy of Science 55:548-557 Ricostrada. 2011, Efek Alkohol Pada Tubuh Manusia, resources http:// www.ricostrada.com/kesehatan/efekalkohol-pada-organ-tubuh-manusia. Diakses: 08.02.2012 Suaniti, N. M., A.A.G. S. Djelantik., I. K Suastika., and I. N. M. Astawa. 2012. Kerusakan Hati Akibat Keracunan Alkohol Berulang pada Tikus Wistar.. Jurnal Veteriner. Vol. 13 (2): 199-204. Sukmaningsih, A.A.SG.A. 2009. Penurunan Jumlah Spermatosit Pakiten Dan
ISBN:978-602-9138-68-9
Spermatid Tubulus Seminiferus Testis Pada mencit (Mus musculus) Yang Dipaparkan Asap Rokok. Jurnal Biologi. Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana. Vol. XIII (2): 31-35. Sutarni S. 2007. Sari Neurotoksikologi. Pustaka Cendikia Press. Yogyakarta Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Turner, C. D. dan J. D. Bagnara. 1988. Endokrinologi Umum. Edisi ke-6. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. Valko M, et aI, 2006, Free radical metal and antioxidant in oxidative stress inducced cancer,J.Chem-BioI. Rusia, edisi 160,p. 1-40. Wright, H. 1991. Effect of Alcohol on the Male Reproductive System. Alcohol Health & Research World, Spring. Zakhari S. 2006. Overview: How is Alkohol Metabolized by the Body? National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism (NIAAA) 5635Fisher Lane.MSC 9304 Bethesda. Zhang, F. P., T. Pakarainen., M. Poutanen., J. Toppari., and Huhtaniemi. 2003. The Low Gonadotropin-Independent Constitutive Production of Testicular Testosterone is Sufficient to Maintain Spermatogenesis. PNAS. November 11, 2003. Vol. 100. No. 23. 13692-13697.
293
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
AKTIVITAS OLAHRAGA DI LINGKUNGAN PANAS Kunjung Ashadi Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, e-mail: [email protected] ABSTRAK Pelaksanaan aktivitas olahraga mampu meningkatkan metabolisme tubuh hingga 20 kali lipat dibanding aktivitas normal. Saat olahraga berlangsung, terjadi peningkatan respon fisiologis tubuh akibat peningkatan stress dalam tubuh dan stress yang berasal dari lingkungan sekitar. Olahraga di lingkungan panas telah terbukti meningkatkan resiko gangguan fungsi tubuh hingga level terburuk yaitu kematian seseorang. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang baik tentang resiko yang ditimbulkan akibat berolahraga di lingkungan panas dan upaya tepat penanggulangan cedera panas sehingga tujuan olahraga dapat tercapai secara optimal dengan meminimalkan resiko gangguan fisiologis tubuh individu. Kata kunci: olahraga, stress lingkungan, cedera panas, gangguan fisiologis. PENDAHULUAN Pada saat pelaksanaan aktivitas olahraga maka terjadi perubahan respon fisiologis yang dilakukan oleh tubuh agar tetap tercapai upaya homeostatis. Dengan adanya peningkatan beban kerja atau aktivitas fisik maka menuntut pula peningkatan metabolisme dalam tubuh agar aktivitas tersebut dapat berjalan dengan baik. Dengan adanya peningkatan metabolisme dalam tubuh maka terjadi peningkatan kebutuhan energi dan cara pelepasan panas. Respon fisiologis yang dilakukan oleh tubuh di antaranya mempercepat denyut jantung sehingga energi yang dikirimkan dapat dikirimkan dan digunakan secepat mungkin untuk aktivitas olahraga. Selain itu juga melalui mekanisme pelepasan panas melalui berkeringat serta respon fisiologis lainnya. Pelaksanaan aktivitas olahraga meningkatkan respon fisiologis akibat peningkatan beban atau stress yang dialami oleh tubuh. Stress yang berasal dari dalam tubuh tubuh diantaranya peningkatan beban kerja otot, kerja jantung, peningkatan jumlah kebutuhan energi serta panas. Tubuh manusia telah dirancang sedemikian rupa oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga dapat terjadi proses penyesuaian respon fisiologis sehingga tetap terjadi keseimbangan yang baik tanpa ada gangguan dalam tubuh yang sering kali disebut sebagai homeostasis. Menurut Giriwijoyo dan
Sidik (2012) gangguan homeostasis dalam tubuh dapat mengganggu penampilan fisik/prestasi olahragawan. Telah diketahui sebelumnya bahwa terjadi stress yang berasal dari dalam tubuh (inner stress) saat pelaksanan aktivitas olahraga. Selain inner stress, terdapat pula beban yang dialami tubuh akibat lingkungan sekitar. Hal ini dapat disebut sebagai outer stress atau beban yang berasal dari luar tubuh. Contoh stress lingkungan adalah suhu udara yang panas dan kelembaban udara yang tinggi. Dengan adanya outer stress yang tinggi tersebut menyebabkan tubuh bekerja sangat keras untuk mencapai upaya homeostasis. Dalam beberapa kasus, tubuh gagal melakukan proses homeostasis akibat stress lingkungan yang sangat ekstrim hingga terjadi kematian olahragawan. Masalah yang muncul adalah seringkali olahragawan profesional dituntut untuk bertanding atau berlomba pada beragam kota, daerah, serta negara yang berbeda dari waktu ke waktu. Untuk mencapai prestasi puncak maka tidak ada kata lain bahwa atlet harus menampilkan performa terbaiknya. Hal ini tentu meningkatkan inner stress secara signifikan. Pada sisi yang lain, dengan bertanding atau berlomba di lingkungan kota, daerah atau negara yang baru maka tubuh perlu melakukan proses adaptasi. Hal ini merupakan outer stress yang pada akhirnya menambah peningkatan inner 294
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI stress. Salah satu contoh nyata adalah pada kejuaraan tenis Australia terbuka 2014 banyak atlet mengalami kejang otot dan muntah akibat suhu udara mencapai 42 derajat celcius (Barir, 2014). Contoh lain adalah kekalahan Lei Chong Wei di final kejuaraan dunia bulutangkis. Menurut pelatih Lei Chong Wei udara panas akibat AC yang dimatikan panitia pada game ke dua membuat pemain mengalami kesulitan bernafas akibat kekurangan oksigen. Selain itu akibat suhu yang tinggi menyebabkan Lei Chong Wei mengalami kejang otot dan dehidrasi sehingga tidak mampu melanjutkan pertandingan (Muliawan, 2013). Pertanyaan yang muncul adalah “bagaimana cara agar atlet dapat dapat menampilkan performa olahraga secara optimal meskipun pada sisi yang lain terdapat bayangan gangguan homeostasis akibat peningkatan inner dan outer stress?”. Hal ini sangat penting untuk dibahas sebab hasil pencapaian prestasi akan tidak bermakna sempurna saat terjadi korban jiwa akibat aktivitas olahraga tersebut. PEMBAHASAN 1. Peningkatan respon fisiologis tubuh saat berolahraga Saat aktivitas olahraga berlangsung maka terdapat perubahan pada sistem fisiologis tubuh manusia. Perubahan tersebut terjadi pada sistem kerja otot, sistem kardiovaskuler, sistem pernafasan dan mekanisme pembuangan panas. Saat aktivitas olahraga dilaksanakan maka terjadi perubahan metabolisme tubuh meningkat hingga 20 kali lipat dibanding aktivitas normal. Contoh perubahan pada sistem otot yaitu ambilan glukosa dari darah oleh otot rangka yang sedang berkontraksi dapat meningkat 3040 kali, yaitu dari 0.1 mmol/men pada waktu istirahat menjadi 3-4 mmol/men, tergantung pada intensitas dan durasi latihannya (Katz et al 1986, Wahren 1977 dalam Giriwijoyo, 2007). Untuk mendukung kebutuhan ambilan glukosa dari darah maka sistem kardiovaskuler melakukan respon dengan meningkatkan denyut jantung dan curah jantung. Pada olahraga maksimal curah jantung meningkat dari 5 liter/ menit menjadi 20-25 liter/menit (Giriwijoyo dan Sidik, 2012). Respon yang diberikan oleh sistem pernafasan adalah dengan mempercepat frekuensi nafas karena peningkatan kebutuhan oksigen dan pelepasan
ISBN:978-602-9138-68-9
karbondioksida.Konsumsi oksigen meningkat dari 5,7 saat duduk meningkat menjadi 21 saat pelaksanaan olahraga tenis (Wiarto, 2013). Respon pelepasan panas yang dilakukan oleh tubuh adalah dengan mengalirkan panas melalui pembuluh darah untuk dibawa ke permukaan kulit sehingga terjadi proses evaporasi. Proses pelepasan panas untuk menstabilkan suhu tubuh merupakan hal yang penting untuk mengurangi resiko cedera panas. 2. Cedera panas Menurut Giriwijoyo (2007) disebutkan bahwa cedera yang diakibatkan oleh lingkungan panas dapat dibagi menjadi empat, yaitu: a. Kejang panas (Heat cramps) Heat cramps atau kejang panas merupakan cedera yang paling ringan serta banyak terjadi pada lingkungan yang panas akibat suhu udara dan kelembaban udara yang tinggi. Kejadian kejang panas sering kali terjadi pada kelompok otot besar seperti quadriceps dan hamstring (Gatorade, 2014). Hal ini ditandai dengan rasa kaku dan sukar digerakkan pada kelompok besar yang aktif. Umumnya kejang panas diakibatkan karena kekurangan garam yang hilang bersama banyaknya keringat yang dikeluarkan oleh tubuh. Selain karena kekurangan garam, kejang otot sering terjadi akibat rendahnya kadar kalium dalam tubuh (Mirkin dan Hoffman, 1984). Contoh terbaru yang terjadi pada piala dunia Brazil 2014 pada pertandingan Italia melawan Inggris pada fase penyisihan grup yang dimenangkan Italia dengan skor 2-1, yaitu beberapa pemain Inggris mengalami kejang panas pada babak kedua. Suhu udara 38 derajat celciusdan kelembaban mencapai 80% di Manaus, Brazil tersebut menyebabkan pemain rentan cedera panas (jpnn, 2014).Kejang panas dapat disembuhkan dengan mengistirahatkan penderita pada tempat yang teduh serta memberikannya asupan garam, baik melalui minuman ataupun makanan. b. Pingsan panas (Heat syncope) Level cedera yang lebih tinggi dari heat cramps adalah pingsan panas. Heat syncope merupakan kejadian individu kehilangan kesadaran untuk sementara waktu akibat stress lingkungan panas yang berat. Hal ini terjadi karena banyaknya penimbunan darah di vena-
295
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI vena yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi (Giriwijoyo, 2007). Penanggulangan pingsan akibat lingkungan panas yaitu dengan membaringkan penderita pada ruangan yang sejuk dan dingin, meninggikan kakinya dengan ketinggian lebih tinggi dari posisi kepala serta memberikannya minum saat individu tersebut sadar kembali. c. Kelelahan panas (Heat exhaustion) Heat exhaustion merupakan level cedera panas yang lebih berat dibandingkan pingsan panas. Pada tahap ini penderita mengalami gangguan fisik seperti sakit kepala, mual suhu tubuh meningkat dan denyut nadi berdetak lebih cepat. Kelelahan panas apabila diabaikan maka dapat meningkat pada tahap yang paling berat, yaitu kegawatan panas.Untuk mencegah terjadinya kegawatan panas maka penderita perlu diberikan cairan intra vena dan kompres dingin pada seluruh tubuhnya. d. Kegawatan panas (Heat stroke) Kegawatan panas merupakan kelanjutan kejadian dari kelelahan panas. Cedera panas ini merupakan jenis cedera yang paling berbahaya sebab dapat menyebabkan kematian pada penderitanya. Salah satu contoh atlet yang meninggal dunia akibat heat stroke adalah Korey Stringer. Atlet football Amerika serikat tersebut meninggal akibat suhu inti tubuhnya mencapai 42 derajat celcius(Kusnanik, 2011). 3.
Upaya pencegahan cedera panas pada aktivitas olahraga Terdapat sebuah pepatah yang sangat bijak “mencegah lebih baik daripada mengobati”. Pepatah ini juga berlaku sangat tepat dalam kaitan antara resiko cedera akibat lingkungan panas dan aktivitas olahraga. Menurut Gatorade (2014) disebutkan bahwa selain karena faktor lingkungan, suhu dan kelembaban yang tinggi, cedera panas pada olahraga dapat dipicu oleh faktor pendukung lainnya yaitu kurangnya cairan tubuh dan pemilihan bahan pakaian yang kurang tepat. Strategi yang tepat dalam kaitan olahraga dan pencegahan cedera panas tentu sangat dibutuhkan untuk mencapai prestasi optimal tanpa mengorbankan kesehatan olahragawan. Berikut di bawah ini merupakan tips yang dapat dilakukan untuk mengurangi
ISBN:978-602-9138-68-9
resiko terjadinya cedera panas saat aktivitas olahraga, yaitu: a. Memilih bahan pakaian yang mampu melakukan sirkulasi udara dengan baik b. Pilih warna pakaian yang cerah yang cenderung memantulkan panas c. Hindari pemakaian pakaian berlapislapis d. Hindari olahraga di luar ruangan (outdoor) antara pukul 10.00 s.d 15.00 wib e. Minum tanpa menunggu haus saat berolahraga f. Lakukan proses aklimatisasi atau penyesuaian dengan lingkungan baru secara cukup 4.
Penggunaan teknologi sebagai upaya meminimalkan resiko cedera panas dan menjaga performa olahraga
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan sangat cepat. Hal ini membawa dampak yang positif bagi dunia olahraga, khususnya pada olahraga prestasi. Para olahragawan dituntut untuk tetap dapat menampilkan performa olahraga terbaiknya meskipun berada pada daerah dengan suhu udara dan kelembaban yang tinggi. Hal ini merupakan tantangan bagi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjawab permasalahan di atas. Produsen perlengkapan olahraga papan atas seperti Adidas (climacool), Nike (dry fit) dan (play dry) Reebok berlomba-lomba mengembangkan pakaian olahraga yang “breathable” atau melakukan sirkulasi udara dengan baik sehingga panas yang terkumpul pada area pakaian dapat lepas ke atmosfer secara maksimal dan digantikan dengan udara baru yang lebih dingin. Produk tersebut muncul dalam bentuk kaos, topi, celana, kaos kaki dan juga sepatu olahraga. Selain pemilihan bahan yang breatable, produsen perlengkapan olahraga juga memilih desain kaos tidak secara sembarangan. Hal ini dilakukan melalui pemetaan persebaran keringat dalam tubuh manusia (body mapping). Dengan adanya body mapping dan penggunaan bahan berkualitas tepat maka hal ini mampu mengurangi jumlah keringat yang dikeluarkan sehingga membantu sangat atlet untuk tetap menjaga performa mereka.
296
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Contoh lain adalah penggunaan cooling gloves. Sarung tangan pendingin ini telah terbukti menurunkan suhu tubuh, mempercepat fase pemulihan tubuh. Penelitian yang dilakukan olah peneliti universitas Stanford Amerika Serikat menunjukkan bahwa cooling gloves mampu bekerja lebih baik dari steroid (McClurre, 2012). Pada pelaksanaan piala dunia Brazil 2014, tim Italia mampu terbebas dari gangguan kejang otot karena penggunaan cooling gloves. Hal ini berbanding terbalik dengan tim Inggris yang menolak penggunaan cooling gloves dengan alasan tidak cukup waktu untuk membuktikan manfaat alat tersebut (Winter, 2014). Fakta pada pertandingan tersebut adalah Italia menang melawan Inggris dengan skor 2-1 dimana pada babak kedua beberapa pemain Inggris mengalami kejang otot akibat lingkungan yang panas. Teknologi untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada atlet telah dikembangan dengan baik oleh produsen minuman olahraga Gatorade. Dengan bekerjasama dengan tim sepakbola putra Brazil pada piala dunia 2014, Gatorade melakukan penelitian selama dua tahun untuk menemukan teknologi sensor pendeteksi seberapa banyak atlet minum cairan yang dikoneksikan melalui jaringan internet yang terhubung dengan program komputer. Dengan adanya teknologi ini, pelatih dan staf pelatih tim Brazil selalu mengetahui kondisi cairan tubuh pada para atletnya sehingga mengurangi resiko dehidrasi yang dapat menurunkan performa olahraga. SIMPULAN Olahragawan selalu dituntut untuk mampu menampilkan performa olahraga terbaik dalam berbagai lingkungan pertandingan/ perlombaan. Selain harus mampu mengatasi inner stress, atlet juga harus mampu mengatasi outer stress lingkungan panas, khususnya akibat suhu dan kelembaban udara yang tinggi. Oleh sebab itu, aplikasi nyata ilmu pengetahuan dan teknologi dalam cabang olahraga sangat vital untuk dilakukan karena hal ini dapat mendukung pencapaian performa olahraga terbaik dengan meminimalkan resiko cedera olahraga yang diakibatkan lingkungan panas. SARAN Berdasarkan paparan di atas maka diberikan saran sebagai berikut:
ISBN:978-602-9138-68-9
a. Atlet dan pelatih sebaiknya memilih perlengkapan olahraga dengan jenis bahan dan desain “breathable” dan berwarna yang terang. b. Peneliti olahraga Indonesia sebaiknya mengembangkan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan cooling glovesdan botol pendeteksi dehidrasi. DAFTAR PUSTAKA Barir, M. 2014. Petenis di Australia Terbuka Kram dan Muntah Akibat Cuaca Panas, (online), (http://m.tribunnews.com/sport/ 2014/01/17/petenis-di-australia-terbukakram-dan-muntah-akibat-cuaca-panas) diakses 17 agustus 2014. Gatorade, 2014. Beat the Heat Safety Kit. US. Giriwijoyo, HYS. 2007. Ilmu Faal Olahraga (fungsi tubuh manusia pada olahraga). Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Giriwijoyo, HYS., & Sidik, DZ. 2012. Ilmu Faal Olahraga (Fisiologi Olahraga). Bandung : PT Remaja Rosdakarya. JPNN. 2014. Ancaman Dehidrasi di Piala Dunia 2014, (online), (http://www.jpnn.com/read/ 2014/06/12/239797/Ancaman-Dehirasi-diPiala-Dunia-2014-) diakses 17 agustus 2014. Kusnanik, NW dkk. 2011. Fisiologi Olahraga. Surabaya : Unesa Universit Press. McClurre. 2012. Cooling Glove Research, (online), (http://news.stanford.edu/news/ 2012/august/cooling-glove-research082912.html) diakses 17 agustus 2014. Mirkin, G., & Hoffman, M. 1984. Kesehatan Olahraga. Jakarta : PT Grafidian Jaya. Muliawan, T. 2013.Lee Chong Wei Kalah Malaysia Salahkan Panitia, (online), (http:/ /www.bolanews.com/brazil/read/raket/ b u l u . t a n g k i s / 4 7 2 9 0 lee.chong.wei.kalah.malaysia.salahkan.panitia)diakses 17 agustus 2014. Wiarto, G. 2013. Fisiologi dan Olah Raga. Yogyakarta : Graha Ilmu. Winter, H. 2014. FA Acknowledging Importance Of Futsal as A Development Tool In Wake Of Englands Early World Cup Departure, (online), (http://www.telegraph.co.uk/sport/ football/teams/england/10952439/FAacknowledging-importance-of-futsal-as-adevelopment-tool-in-wake-of-Englandsearly-World-Cup-departure.html) diakses pada 17 agustus 2014.
297
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
STRUKTUR HISTOLOGI HATI MENCIT (Mus musculus L.) SETELAH PERLAKUAN MONOSODIUM GLUTAMAT (MSG) Ni Gusti Ayu Manik Ermayanti, Dwi Ariani Yulihastuti, dan Ni Wayan Sudatri Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran e-mail: [email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui struktur histologi hati mencit (Mus musculus L.) setelah perlakuan monosodium glutamat (MSG). Hewan uji adalah 32 ekor mencit jantan yang berumur tiga bulan dengan berat badan 25 s.d. 35 gram. Hewan uji dibagi secara acak menjadi 4 perlakuan variasi dosis MSG yaitu 0 mg/gbb atau kontrol (M0); 1,5 mg/gbb (M1) ; 3 mg/ gbb (M2), dan 4,5 mg/gbb (M3). Masing-masing kelompok terdiri atas 8 ekor hewan uji sebagai ulangan. Perlakuan MSG dalam aquades diberikan secara oral dengan spet injeksi yang jarumnya diganti dengan kanul. Sehari setelah perlakuan berakhir, berat badan hewan ditimbang dan mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher dan selanjutnya dibedah kemudian hati diambil untuk dibuat sediaan histologi hati dengan metode parafin. Data yang diperoleh merupakan data kualitatif yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan dianalisis secara deskriptif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa struktur histologi hati mencit pada kelompok kontrol (M0) tampak normal sedangkan pada kelompok perlakuan M1, M2, dan M3 tampak struktur histologi hati mencit mulai mengalami perubahan. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa perlakuan dengan MSG dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada struktur histologi hati mencit sehingga dapat menimbulkan gejala patologis berupa degenerasi dan nekrosis. Kata kunci: monosodium glutamat, hati, degenerasi, nekrosis
PENDAHULUAN Penyedap rasa banyak digunakan pada pengolahan makanan, salah satu penyedap rasa yang paling banyak digunakan masyarakat adalah MSG (Monosodium Glutamat). Monosodium glutamat adalah garam sodium dari asam glutamat yang berbentuk butiran putih mirip garam (Ardyanto, 2004). MSG dibuat melalui proses fermentasi dari bahan dasar pati (gandum) dan gula molases (tetes tebu) (Anggara, 2000), dan telah dikonsumsi secara luas di seluruh dunia sebagai penambah rasa makanan, penyedap masakan, dan untuk merangsang selera makan. Beberapa negara industri menetapkan konsumsi MSG yang masih bisa ditolerir
sebesar 0,3 s.d. 1g. Akan tetapi, jumlah ini sulit diketahui secara pasti karena kini banyak produsen enggan menuliskannya pada setiap kemasan. Kadar dalam masakan yang kita masak sehari-hari pun sulit diketahui secara pasti, sehingga banyak orang yang sama sekali tidak menyadari ketika sudah mengkonsumsi MSG dalam jumlah berlebih. Jumlah yang dikatagorikan melampui batas bila konsumsi MSG mencapai 3 g/kgbb/hari (Anonim, 2011). Menurut Eweka dan Om’inibohs (2008) pemberian MSG pada dosis 3 dan 6 g/gbb pada tikus dewasa secara oral selama 14 hari berturutturut dapat menyebabkan dilatasi vena sentral, lisis eritrosit, kerusakan hepatosit secara akut, nekrosis hemoragi sentrilobular, atrofi, serta degenerasi sel-sel hati 298
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Walaupun telah dilaporkan mengenai pengaruh pemberian MSG dengan dosis dan cara yang berbeda-beda pada hati, serta kontroversinya tentang batas aman penggunaan MSG namun belum ada laporan mengenai pengaruh MSG per oral dengan perlakuan variasi dosis 1,5 ; 3 ; dan 4,5 mg/ gbb/hari selama 35 hari terhadap hati mencit. Maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui struktur histologi hati mencit setelah perlakuan monosodium glutamat (MSG). METODE PENELITIAN Hewan uji berupa mencit jantan berumur 3 bulan dengan berat badan 25 s.d. 35 g sebanyak 32 ekor. Hewan uji dibagi secara acak menjadi 4 perlakuan dosis, yaitu 0 mg/gbb (M0, sebagai kontrol hanya diberikan aquades) ; 1,5 mg/gbb (M1) ; 3 mg/gbb (M2), dan 4,5 mg/gbb (M3). Masing-masing kelompok terdiri atas 8 ekor hewan uji sebagai ulangan. Perlakuan MSG dalam aquades diberikan secara oral dengan spet injeksi yang jarumnya diganti dengan kanul. Perlakuan diberikan satu kali setiap hari selama 35 hari dengan volume 0,2 mL. Sehari setelah perlakuan berakhir, berat badan hewan ditimbang dan mencit dikorbankan dengan cara dislokasi leher dan selanjutnya dibedah kemudian hati diambil untuk dibuat sediaan histologi hati dengan metode parafin dan pewarnaan Hematoxylin-Eosin. Untuk pengamatan struktur histologi hati mencit maka dilakukan pengamatan terhadap 2 irisan melintang pada sediaan histologi hati dan setiap irisan dipilh 3 lobulus sehingga terdapat 6 lobulus untuk masing-masing hewan uji sedangkan jumlah total untuk maing-masing kelompok terdapat 48 lobulus yang diamati. Pengamatan ditekankan pada perubahan struktur histologi hati meliputi degenerasi bengkak keruh, degenerasi hidrofik, dan degenerasi lemak sampai nekrosis. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Pengamatan nekrosis dilakukan dengan cara memberikan penilaian terhadap luas nekrosis selsel hati di dalam lobulus dengan melakukan skorsing dengan gradasi dari 0, +, ++, dan +++ dan membagi 3 area antara vena sentralis dan trigonum porta sehingga dapat mewakili area seluruh lobulus. Gradasi 0 bila tidak tampak
ISBN:978-602-9138-68-9
nekrosis sel hati, gradasi + yaitu bila luas nekrosis sel hati disekitar vena sentralis meliputi 1/3 lobulus, gradasi ++ bila mencapai 2/3 luas lobulus, gradasi +++ menunjukkan kerusakan pada seluruh lobules. Hasil pengamatan yang diperoleh merupakan data kualitatif. Data kualitatif ditampilkan dalam bentuk gambar dan dianalisis secara deskriptif yaitu dengan membandingkan gambaran struktur histologi hati setelah perlakuan MSG dengan kelompok tanpa perlakuan (kontrol) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan struktur histologi hati mencit (Mus musculus L.) yang diberi perlakuan monosodium glutamat jika dibandingkan dengan kelompok kontrol akan terlihat perbedaan yang cukup jelas. Hal ini, dapat ditunjukkan dengan semakin besar dosis MSG yang diberikan akan menyebabkan semakin meluasnya kerusakan yang terjadi pada lobulus hati mencit. Berikut ini akan disajikan hasil pengamatan berupa gambaran struktur histologi hati mencit yang paling mewakili untuk masing-masing kelompok.
Gambar 1 Struktur histologi hati mencit kontrol (M0), dosis 1,5 mg/gbb (M1), dosis 3 mg/gbb (M2), dosis 4,5 mg/gbb (M3). Pewarnaan: HE. Perbesaran: 400x. (1) Degenerasi bengkak keruh (2) Degerasi hidrofik (3) Degerasi lemak (4) Nekrosis
299
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI
ISBN:978-602-9138-68-9
Pengamatan struktur histologi hati mencit pada kelompok M0 (kontrol) menunjukkan bahwa hati tampak normal terdiri atas lobulus dengan vena sentralis terletak di pusat setiap lobulus. Terlihat jelas pula susunan hepatositnya tersususn radier dan berbentuk poligonal, serta tampak sel yang bermitosis, sinusoid tersusun teratur yang dilapisi oleh sel-sel Kupffer. Sitoplasma homogen, inti terletak di tengah dan granula tersebar merata sedangkan pada kelompok perlakuan (M1, M2, dan M3) struktur histologi hati mencit mulai mengalami perubahan. Pada pengamatan struktur histologi hati mencit untuk kelompok M1 yang diberi MSG dosis 1,5 mg/gbb/hari menunjukkan hepatosit dengan batas antara sel yang satu dan yang lain masih tampak jelas. Sinusoid masih tersusun teratur. Belum tampak adanya kerusakan yang berarti atau kerusakan yang ditimbulkan masih dalam tingkat ringan karena tampak adanya degenerasi bengkak keruh dalam jumlah kecil
Kerusakan ini terlihat pada daerah dekat vena sentralis. Pada pengamatan struktur histologi hati mencit untuk kelompok M3 yang diberi MSG dosis 4,5 mg/gbb/hari menunjukkan kedudukan hepatosit terlihat tidak tersusun radier mengelilingi vena sentralis, batas antara sel yang satu dan yang lain semakin tidak jelas (difus), serta ukuran sel tidak sama. Selain itu, degenerasi bengkak keruh dan degenerasi hidrofik terlihat lebih banyak jumlahnya bila dibandingkan kelompok M2. Perubahan yang lebih signifikan adalah mulai terjadinya degenerasi lemak dan pada kelompok ini mulai terlihat adanya kerusakan sel yang menjurus pada nekrosis. Pengamatan nekrosis dilakukan dengan cara memberikan penilaian terhadap luas area nekrosis sel-sel hati di dalam lobulus dengan melakukan skorsing seperti ditampilkan pada Tabel 1.
dan belum tampak adanya degenerasi hidrofik dan degenerasi lemak. Pada pengamatan struktur histologi hati mencit untuk kelompok M2 yang diberi MSG dosis 3 mg/gbb/hari menunjukkan bahwa kedudukan hepatosit terlihat tidak tersusun radier mengelilingi vena sentralis, batas antara sel yang satu dan yang lain mulai tidak jelas. Susunan sinusoid mulai tidak teratur. Pada kelompok ini, jumlah sel yang mengalami degenerasi bengkak keruh meningkat jumlahnya sedangkan degenerasi hidrofik mulai tampak tetapi masih dalam jumlah yang kecil dan belum tampak adanya degerasi lemak.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa jumlah total lobulus yang diamati untuk kelompok M3 ratarata hanya terdapat dua lobulus yang mempunyai nilai ++ (2/3 luas lobulus yang nekrosis), 10 lobulus mempunyai nilai + (1/3 luas lobulus yang nekrosis) dan lobulus sisanya mempunyai nilai 0 (tidak tampak nekrosis hepatosit) sedangkan gradasi +++ yang menunjukkan nekrosis pada seluruh lobulus pada penelitian ini belum tampak. Berdasarkan hasil pengamatan seperti yang diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa sel-sel hati mencit yang diberi perlakuan monosodium glutamat (MSG) tampak mengalami kerusakan. Jenis kerusakan yang ditimbulkan akibat pemberian MSG pada hati mencit adalah degenerasi dan nekrosis. 300
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI Degenerasi yang dapat diamati adalah degenerasi bengkak keruh, degenerasi hidrofik, dan degerasi lemak, sedangkan terjadinya nekrosis dapat diamati dengan adanya inti yang mengalami piknosis, karyoreksis, dan karyolisis. Menurut Sukawan (2008) semua asam glutamat yang dimakan dari bahan makanan hanya 4% yang ke luar dari tubuh dan sisanya disimpan sementara di dalam hati sebagai protein/enzim, sedangkan hati mempunyai kemampuan terbatas memetabolisme asam glutamat menjadi metabolit lain karena itu apabila kadar glutamat melebihi kemampuan kapasitas hati untuk memetabolismenya maka kadar glutamat plasma akan meningkat dan diduga inilah yang menyebabkan kerusakan atau cedera pada sel hati. Luasnya kerusakan yang terjadi pada lobulus hati berbeda-beda pada tiap kelompok sesuai dengan besarnya dosis MSG yang diberikan. Degenerasi yang terjadi pada penelitian ini yaitu pada kelompok M1, M2 dan M3 diduga karena adanya gangguan transport aktif Na+ (pompa ion Na+) yang melintasi membran sel maupun membran organel intraseluler. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2010) menunjukkan bahwa pemberian MSG 4 mg/gbb/hari secara intraperitoneal pada mencit selama 30 hari dapat menyebabkan degenerasi sel-sel hati mencit. Menurut Price dan Wilson (2003) pembengkakan sel terjadi karena muatan elektrolit di luar dan di dalam sel berada dalam keadaan tidak seimbang. Ketidakstabilan sel dalam memompa ion Na + ke luar dari sel menyebabkan peningkatan masuknya cairan dari ekstraseluler ke dalam sel sehingga sel tidak memompa ion natrium yang cukup dan mengakibatkan sel mengalami pembengkakan dan gangguan ini disebut degenerasi bengkak keruh Selanjutnya, menurut Spector (1993) degenerasi bengkak keruh dapat berlanjut menjadi degenerasi hidrofik. Di sini pembengkakan tidak hanya terjadi pada organel intraseluler saja, tetapi air juga sudah mengumpul pada rongga sel. Sedangkan menurut Agungpriyono dkk., (2008) degenerasi hidrofik merupakan respon awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik Terjadinya degenerasi bengkak keruh dan degenerasi hidrofik sangat berbeda dengan struktur jaringan
ISBN:978-602-9138-68-9
hati yang normal yang menunjukkan hepatosit terlihat jelas, inti bulat letaknya sentralis dan sinusoid tampak jelas, dan vena sentralis sebagai pusat lobulus tampak berbentuk bundar dan kosong. Berdasarkan hal tersebut, maka terjadinya degenerasi hidrofik pada penelitian ini diduga merupakan tahap lanjut dari degenerasi bengkak keruh. Pada penelitian ini juga terdapat adanya degenerasi lemak yang terlihat pada daerah dekat vena sentralis. Adanya degenerasi lemak pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh peningkatan peroksida lipid sehingga mengganggu sintesis protein yang menyebabkan penumpukan trigliserida yang akhirnya menjadi degenerasi lemak seperti yang terlihat dalam penelitian ini. Menurut Chouldhary dkk., (1996) pemberian MSG dengan dosis 4 hingga 8 mg/g berat badan pada tikus jantan secara subkutan selama 6 hari berturut-turut dapat meningkatkan peroksida lipid di dalam mikrosom hati. Selanjutnya menuut Spector (1993) peningkatan peroksida lipid membran sel dapat mengganggu sintesis protein sehingga mengakibatkan akumulasi lemak netral (trigliserida) pada hati karena tidak dapat diubah menjadi lipoprotein akibatnya terjadi degenerasi lemak Hal ini, sesuai dengsan pendapat yang dikatakan oleh Sumining dkk., (1986) bahwa pemberian MSG dapat menyebabkan terjadinya perlemakan ringan. Lebih lanjut menurut Price dan Wilson (2003) degenerasi bengkak keruh, degenerasi hidrofik, dan degenerasi perlemakan bersifat reversibel/non letal dan apabila pemberian zat toksik dihentikan maka sel akan kembali normal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eweka dan Om’inibohs (2008) MSG dapat menyebabkan gangguan fungsi hati dan menurut Sander (2004) salah satu fungsi hati adalah sebagai organ detoksifikasi. Dengan demikian apabila pemberian MSG tidak berlanjut maka sel dapat kembali normal, namun jika pengaruh MSG berlangsung lama maka sel tidak dapat mentolerir kerusakan yang diakibatkan oleh zat toksik tersebut dan bila kerusakan berlanjut yang terjadi pada akhirnya adalah kematian sel (nekrosis). Kerusakan ini sudah permanen, tidak dapat pulih seperti semula. Nekrosis adalah lanjutan degenerasi dan tidak reversibel, sebab nekrosis sel hati ialah rusaknya susunan enzim daripada sel. Tampaknya fragmen sel atau sel hati nekrotik
301
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI tanpa pulasan inti atau tidak tampaknya sel disertai reaksi radang, kolaps, atau bendungan rangka inti dengan eritrosit (Susanti dkk., 2002). Demikian juga pada penelitian ini, didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa perlakuan dosis MSG 4,5 mg/gbb (M3) dapat menyebabkan sel hati mengalami nekrosis dan nekrosis pada penelitian ini ditandai dengan adanya piknosis, karyoreksis, dan karyolisis. Menurut Price dan Wilson (2003) piknosis ditandai dengan inti menyusut, memiliki batas yang tidak teratur, dan berwarna gelap, karyoreksis ditandai dengan initi hancur dan membentuk fragmen-fragmen materi kromatin yang tersebar dalam sel, dan karyolisis dicirikan dengan inti sel menghilang. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Ortiz dkk., (2006) yang menunjukkan bahwa MSG dapat menyebabkan edema, degenerasi, dan nekrosis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eweka dan Om’inibohs (2008) pemberian MSG pada dosis 3 dan 6 g/gbb pada tikus dewasa secara oral selama 14 hari berturut-turut dapat menyebabkan dilatasi vena sentral, lisis eritrosit, kerusakan hepatosit secara akut, dan nekrosis hemoragi sentrilobular. Lebih lanjut menurut hasil penelitian dari Oka dkk., (1974) menunjukkan bahwa pemberian MSG dalam air minum dengan dosis 1%, 5%, dan 10% selam 37 hari dapat menyebaban beberapa inti sel menjadi kabur pada sejumlah sel hati tikus putih. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlakuan dosis MSG 4,5 mg/gbb (M3) pada penelitian ini merupakan dosis yang dapat menyebabkan kerusakan hati ke arah nekrosis. Nekrosis terjadi di daerah dekat sentrilobular (vena sentralis) dan belum tampak nekrosis pada seluruh lobulus dan nekrosis yang terjadi dalam tingkatan yang ringan karena masih dijumpai selsel yang normal dan sel yang bermitosis. SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan dengan MSG dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada struktur histologi hati mencit sehingga dapat menimbulkan gejala patologis berupa degenerasi dan nekrosis. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengamatan gambaran kondisi darah yaitu menghitung jumlah sel darah merah dan sel darah putih.
ISBN:978-602-9138-68-9
DAFTAR PUSTAKA Agungpriyono, D.R., E.Rahayu, Pratiwi. 2008. Uji Toksikopatologi Hati dan Ginjal Mencit pada Pemberian Ekstrak Pauh Kijang (Irvingia malayana Oliv ex A. Benn). Majalah Farmasi Indonesia 19(4):172-177. Anggara, U. 2000. Aditif Makanan dan Obatobatan. Pusat Penyelidikan Racun Negara (USM ) Jurnal Kedokteran Malaysia. 2(4):19-23. Anonim. 2010. Kontroversi Bahaya Efek Samping MSG, [Online], Available: “http://majalahkesehatan.com” [8.1.2012]. Anonim. 2011. Telisik MSG: Monosodium Glutamat dalam Penyedap Rasa, [Online], Av a i l a b l e : ” h t t p : / / h e r b a l albarokah.blogspot.com”. [8.1.2012]. Ardyanto, T.D. 2004. MSG dan Kesehatan: Sejarah, Efek, dan Kontroversinya. Jurnal Inovasi. 1(XVI):52-56. Ariens, E.J., E. Mutschler, A.M. Simonis. 1986. Pengantar Toksikologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Choudhary, P., V.B.T. Malik, S. Puri, P. Ahluwalia. 1996. Studies on the Effects of Monosodium Glutamate on Hepatic Mikrosomal Lipid Peroxidation, Calcium, Ascorbic Acid and Glutathione and Its Dependent Enzymes in Adult Male Mice. Toxicology Letter. 89(1):71-76. Eweka, A.O., F.A.E. Om’iniabohs. 2008. Histological Studies of the Effects of Monosodium Glutamate on the Liver of Adult Wistar Rats. Journal of Gastroenterology. 6(2):1-9. Junqueira, L.C., J. Carneiro, dan R.O. Kelly. 1995. Basic Histology. Appleton dan Lange Stanford. Oka K., N Suwa, L. Nishimori. 1974. Influence of the Excessive Intake of Monosodium L- Glutamate on the Growth and Liver of Albino Rats. Acta Med Nagasaki. 18:2634. Ortiz, G.G., O.K. Bitzer-Quintero, C.B. Zárate, S. Rodríguez-Reynoso, F. Larios-Arceo, I.E. Velázquez-Brizuela, F. PachecoMoisés, S.A. Rosales-Corral. 2006. Monosodium Glutamate-Induced Damage
302
Prosiding Seminar Nasional Prodi Biologi F. MIPA UNHI in Liver and Kidney: a Morphological and Biochemical Approach. Biomedicine and Pharmacotherapy 60(2):86-91. Price,S.A., L.M. Wilson. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit . Ed.6. Vol.1,2. Kedokteran EGC. Sander, M.A. 2004. Atlas Berwarna Patologi Anatomi. P.T. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sadaryun, E., Wahyuni L. A., Julianto W. 1995. Perubahan Makroskopis dan Mikroskopis Hati serta Peningkatan Kadar SGPT/ SGOT Akibat Pemberian Etanol Dosis Tinggi pada Tikus. MKB 27(4):139-143. Sherwood, L. 1996. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Kedokteran EGC. Simanjuntak, L. 2010. Pengaruh Pemberian Vitamin C terhadap Gambaran Histologis Hati Mencit (Mus musculus L.) yang Dipapari Monosodium Glutamate. Tesis Biomedik Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara Medan.
ISBN:978-602-9138-68-9
Spector, W.G. 1993. Pengantar Patologi Umum. Ed 3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Susanti, R., Nuryanto, S.I.O. Salisia. 2002. Intoksikasi Tetrachlorodibenzo-p-Dioxin (TCDD):II. Efek terhadap Histopatologis Hati, Ginjal, dan Paru Tikus Putih (Rattus norvegicus). UGM 1:29-36. Suntoro, S. H. 1983. Metode Pewarnan (Histologi & Histokimia). Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Sumining, S. Wisnu, D.S. Sutrisno. 1986. Mempelajari Distribusi dan Pengaruh Monosodium Glutamat pada Tikus. Medika 7:603-608. Sukawan, U.Y. 2008. Efek Toksik Monosodium Glutamat (MSG) pada Binatang Percobaan. Sutisning 3:306-314. Tambayong, J. 2007. Pengaruh Pemberian Monosodium Glutamat Per Oral terhadap Gambaran Histologik Hati Tikus Putih Strain LMR. Medicinus Jurnal Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 1(1):2-6.
303