MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN BEKERJA (STUDI KASUS MAKNA PERKAWINAN BAGI PEREMPUAN LAJANG YANG BEKERJA DI KECAMATAN SUKOHARJO)
Skripsi
Oleh: Nuraini Dewi Masithoh K8405003
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya setiap makhluk hidup memiliki kodrat yang harus dijalankan, tidak terkecuali manusia. Kodrat merupakan kekuasaan Tuhan yang meliputi sesuatu hal yang melekat pada diri manusia, baik itu berupa hukum alam maupun sifat bawaan yang dimiliki oleh manusia. Dengan adanya kodrat Toety Nurhadi ( 1991 :122 ) mengatakan, “ manusia akan terjebak dalam keadaan baku yang tidak bisa diubah”. Secara alamiah dan biologis, kodrat membagi manusia dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Masing-masing jenis kelamin akan memiliki implikasi yang berbeda-beda. Perempuan memiliki kodrat menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui, yang semua kemampuan ini tidak dimiliki oleh laki-laki. Sedangkan kodrat yang didefinisikan secara sosial, mengandung arti bahwa manusia harus menjalani serangkaian tahapan kehidupan, yang disebut sebagai siklus kehidupan. Siklus kehidupan manusia dimulai dari masa bayi, beralih ke masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, hingga akhirnya masuk pada kehidupan keluarga. Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam hubungan sosial masyarakat. Keluarga terbentuk dari adanya suatu tahapan dari siklus hidup manusia yaitu perkawinan. Perkawinan menurut Siany Liestysari ( 2007 : 122 ) diartikan sebagai “ penyatuan antara dua pihak yang berbeda kelamin yakni antara laki-laki dan perempuan”. Proses penyatuan ini, jika dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka akan berhubungan dengan kehidupan seksual dan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Koentjaraningrat( 1985 ; 90 ) mengatakan, “ perkawinan akan menyebabkan seorang laki-laki dan perempuan dalam pengertian masyarakat tidak dapat bersetubuh dengan sembarang lelaki atau perempuan lain” . Selanjutnya Henry ( 1997 : 197 ) mengatakan
“
3
perkawinan menjadi sebuah kesatuan (union) yang dimasuki oleh laki-laki dan perempuan dan berharap untuk membagi bagian utama dari kehidupan mereka bersama-sama”. Dari dua pengertian tersebut maka secara implisit akan memberikan makna bahwa dengan adanya perkawinan akan memberikan pembedaan peran ( hak dan kewajiban ) baik bagi laki-laki atau perempuan. Dalam masyarakat Jawa kultur pembagian peranan antara laki-laki dan perempuan akan semakin kental terasa meskipun di berbagai kultur masyarakat yang lain juga demikian halnya. Perkawinan menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih dominan. Sedangkan perempuan, sebagai seorang istri harus berada dalam ranah domestik yang kedudukannya lebih rendah dari laki-laki. Seorang laki-laki berperan sebagai kepala keluarga—seperti yang digariskan dalam budaya Jawa dan agama serta aturan pemerintah, sementara seorang
istri berperan
sebagai ibu rumah tangga, dengan berbagai aktivitas domestik yang dilimpahkan kepadanya. Membincang kembali tentang perkawinan maka pada konteks tahun 1970-an, mayoritas perkawinan Jawa dilaksanakan
segera sesudah anak
perempuan mengalami haidnya yang pertama. Secara kultural para perempuan tersebut memiliki beban untuk menikah dan mempunyai anak. Perkawinan tersebut biasanya diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Orang tualah yang mencarikan bakal jodoh dan menentukan hari pernikahan. Sehingga tidak heran jika banyak perempuan kita yang telah memiliki status sebagai seorang istri ratarata pada saat berumur 16-17 tahun. Namun hal ini berbeda konteksnya bagi lakilaki, dalam keluarga Jawa memberikan kebebasan dan izin bagi para anak lakilakinya untuk menikah sampai mereka telah merasa siap baik secara sosial maupun material., yaitu ketika mereka telah mampu menyangga sebuah keluarga dengan layak. Geertz (1982:81) menjelaskan, “perkawinan pada masyarakat Jawa yang bersifat parental tersebut tidak hanya dilihat dari kerangka organisasi kekeluargaan semata-mata, tetapi lebih dari itu dilihat dari struktur ekonomi dan gengsi”. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar pengertian perkawinan yang dipandang secara konvensional. Artinya bahwa perkawinan dilakukan sebagai
4
salah satu life cycle yang pasti dilalui oleh setiap manusia. Setiap individu harus melalui tahapan perkawinan ketika mereka menginjak dewasa. Perkawinan ditekankan sebagai bentuk kewajaran yang harus dilakukan oleh setiap manusia dan dijadikan sebagai kewajiban sosial bukan hak kebebasan individu. Perkawinan semacam ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat yang bersifat tradisional ataupun pedesaan bahkan juga di masyarakat perkotaan. Ketika perempuan sudah memasuki institusi perkawinan, maka kewajiban mutlak yang melekat pada dirinya adalah menjadi seorang ibu rumah tangga dengan sederet pekerjaan domestik yang mulai menanti. Kewajiban untuk menjadi ibu rumah tangga ini, erat kaitannya dengan kekalahan perempuan atas laki-laki dalam kepemilikan harta pribadi (privat property). Awalnya pekerjaan domestik perempuan seperti meramu, memasak dan mengasuh anak adalah pekerjaan yag memiliki posisi lebih tinggi dari laki-laki. Namun setelah berkembangnya pertanian dan perdagangan laki-laki memiliki posisi yang lebih kuat dengan kemampuan mereka untuk menukarkan hasil buruan mereka dengan hasil pertanian yang lainnya. Sejak itulah laki-laki meganggap bahwa lembaga perkawinan sebagai tempat untuk melindungi property yang dimilikinya. Pekerjaan domestik yang dilimpahkan pada perempuan, menjadi suatu bagian yang tidak memiliki arti penting lagi. Inilah yang mengawali posisi perempuan selalu berada di bawah bayang-bayang lelaki. Dikatakan oleh Ayu Ratih (2002 : 47) pekerjaan domestik yang melilit perempuan, ketika mulai masuk pada jenjang perkawinan ini dalam konstruksi masyarakat telah dianggap sebagai kontrak sosial yang seolah tidak memberikan kesempatan pada perempuan untuk memiliki sebuah pilihan, karena hal tersebut selalu dibumbui atas nama kewajiban. Tidak mengikuti aturan sosial ini merupakan suatu hal yang tabu dan di luar kebiasaan. Salah-salah akan dicap melanggar aturan agama dan tak layak mendapat predikat istri solehah. Perempuan harus selalu berteman dengan berbagai perkerjaan domestik mulai dari memasak, mencuci, mengurus rumah tangga, megurus suami, mengurus anak, yang semuanya akan mengikat badan, hati dan pikiran perempuan ke rumah sejak ia bangun pagi hingga malam hari.
5
Di Indonesia, keadaan tersebut seolah dipertegas dan dilegalkan oleh peraturan undang-undang yang berlaku. Dalam UU perkawinan no 1 Tahun 1974 dengan jelas dikatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, yang memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tangga. Ini menunjukkan bahwa betapa undang-undang telah ikut berperan dalam melegalkan budaya patriarki dalam hubungan keluarga dan dalam masyarakat. Perempuan dibentuk sebagai pribadi yang berada dalam kekuatan laki-laki. Dan hal ini dibenarkan oleh hukum kita, maka implikasinya perempuan harus berada di bawah bayang kuasa laki-laki. Apabila ini tidak dilakukan, maka perempuan kita dianggap melanggar kaidah atau aturan. Namun seiring berjalannya waktu, modernitas dan berbagai hal lainnya membawa babak baru dalam kehidupan manusia. Modernisasi, menunjuk pada suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan fungsional. Berbagai perubahan pun muncul mengikuti perkembangan proses modernisasi tersebut. Perubahan tersebut meliputi cara berfikir dan cara berperilaku yang semuanya mengerucut pada adanya perubahan pada kebudayaan manusia. Dalam konteks masyarakat Jawa, maka salah satu perubahan itu terlihat dari masuknya perempuan ke dalam sektor publik yakni bekerja. Banyak perempuan bekerja dalam berbagai sektor, baik formal ataupun informal. Pendidikan dianggap sebagai salah satu hal yang berpengaruh positif pada terbukanya ruang bagi partisipasi perempuan adalam meningkatkan kesempatan kerja. Banyak perempuan yang mulai memasuki jenjang pendidikan tingkat SLTA bahkan ada pula yang mencapai gelar sarjana. Bekerja pun menjadi tujuan mereka dalam upaya merampungkan pendidikannya. Perkembangan ini erat pula kaitannya dengan makin dikenalnya ide dan pemikiran feminisme pada perempuan. Feminisme berangkat dari kesadaran dan keinginan perempuan untuk bebas dalam kultur patriarki yang selama ini menjerat mereka. Kamla Bhasin
6
(1995 : 5) mendefinisikan, “ feminisme adalah perjuangan untuk mencapai kesederajatan / kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di dalam maupun di luar rumah tangga”. Kenyataan inilah kemudian membawa keinginan perempuan untuk menuntut dan berjuang demi “persamaan” agar tercipta keadilan dalam kehidupan masyarakat, termasuk halnya keadilan dalam ruang publik dan ruang kerja. Dengan masuknya perempuan pada dunia kerja, maka akan membuka peluang karir serta posisi yang lebih sesuai bagi perempuan. Konsep bekerja jika ditelaah lebih jauh memiliki makna yang luas. Definisi bekerja secara umum adalah usaha mencapai tujuan. Adapun secara ekonomi, definisi bekerja adalah kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan barang atau jasa baik untuk digunakan sendiri maupun untuk mendapatkan suatu imbalan. Jadi, ada prinsip pertukaran dalam hal ini. Namun, bekerja sesungguhnya bukan sekadar pertukaran ekonomi. Bekerja itu dalam arti yang sangat mendasar adalah kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk mempertahankan hidup seseorang atau sekelompok orang dalam suatu lingkungan tertentu dimana melalui kegiatan tersebut mereka dapat menemukan jati diri (eksistensi) mereka. Bekerja dengan demikian, bukan sekadar untuk mengubah lingkungan fisik atau suatu bahan baku menjadi barang material yang dikonsumsi sendiri atau oleh orang lain lalu dipertukarkan dengan imbalan ekonomi - demikian pula bukan sekadar memberikan jasa untuk mendapatkan imbalan - melainkan merupakan bagian dari untuk mendapatkan harkat kemanusiaannya (http://www.bkkbn.go.id/print.php?tid=2&rid=225). Hal ini sejalan seperti yang terjadi pada perempuan masa kini. Bekerja bagi perempuan, bukan hanya sekedar mencari tambahan penghasilan berupa uang dan berbagai materi lainnya, tapi mereka memanfaatkan kerja juga sebagai ajang aktualisasi atas kemampuan diri mereka. Ketika para perempuan bekerja dalam sektor domestik, komentar miring sebagai seorang “pengangguran”, akan senantiasa mendatangi mereka. Ini dikarenakan pekerjaan domestik tidak menghasilkan suatu hasil material atau uang. Namun sebaliknya bila menghasilkan uang dalam sektor publik maka pelakunya dianggap bekerja. Hal ini
7
dikarenakan pemahaman bahwa kerja upahan dalam sektor publik dianggap sebagai kerja produktif yang notabene lebih bernilai daripada kerja yang bukan upahan.Buktinya para pembantu rumah tangga (PRT), yang aktivitasnya sama seperti yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga, justru dianggap bekerja, karena mereka menghasilkan uang atau penghasilan
secara material.
(http://www.bkkbn.go.id/print.php?tid=2&rid=225) Masuknya perempuan dalam ruang kerja publik membuka wacana baru dalam pemikiran mereka. Hal ini membawa dampak pula pada pergeseran persepsi tentang makna perkawinan. Perkawinan dimaknai sebagai hak kebebasan individu. Bagi perempuan lajang kita, perkawinan menjadi sebuah kontrak sosial, yang mengharuskan terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak, tanpa ada intervensi dari pihak lain. Para perempuan lajang yang notabene perempuan yang memiliki otonomi dan kuasa penuh atas dirinya sendiri (Wiwik Sushartami, 2002 ; 29), menganggap perkawinan adalah sebuah pilihan rasional, personal dan tidak ditentukan oleh masyarakat. Dengan demikian sistem perjodohan yang dilakukan oleh orang tua menjadi hal yang tidak relevan lagi , karena setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan dan memilih pendamping hidupnya. Konstruksi masyarakat tentang stigma perawan tua tak laku mulai bergeser. Dahulu ketika perempuan memilih untuk menunda pernikahan di usia yang sudah mapan, maka akan muncul stereotipe bahwa perempuan tersebut tidak laku, turun pasaran , ataupun perawan tua. Yang terjadi kemudian banyak di antara mereka yang memutuskan untuk menikah tanpa pertimbangan yang matang, namun sekedar mengikuti keharusan sosial yang berlaku. Mereka mengikat komitmen bukan karena keinginan atau menemukan pasangan yang tepat, tapi kondisi budaya, agama dan lingkungan sekitar membuat perempuan tersebut wajib memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan. Budaya menikah muda juga mulai bergeser. Menurut Terrence Hull yang melakukan riset di beberapa kota besar di Indonesia pada tahun 1970-an, angka pernikahan bagi perempuan di Indonesia dilakukan ketika menginjak usia 16-19 tahun, pada tahun 2005 banyak perempuan yang menikah pada akhir umur 30 tahun. Tercatat 51,4 % perempuan Indonesia yang berumur 25-29 memilih
8
untuk menunda perkawinanya. Jadi makin banyak prosentase perempuan Indonesia yang menikah pada usia yang cukup mapan, baik dai segi karir maupun pendidikan dan materi. Dari sinilah muncul pemaknaan dan definisi tentang perkawinan. Bagi perempuan, perkawinan tidak hanya dipandang dari segi kebutuhan secara kultural, namun lebih dari itu perkawinan mulai dimaknai secara sosial maupun ekonomis. Diperlukan berbagai pertimbangan bagi perempuan hingga akhirnya memtuskan untuk melakukan perkawinan. Semakin majunya tingkat pendidikan, terbukanya peluang kerja ekonomis untuk perempuan, semakin lancarnya arus informasi dan komunikasi membuat kehidupan manusia mengalami perubahan. Semakin tinggi usia perkawinan dan fenomena perempuan bekerja/ berkarier merupakan satu dari sekian banyak gejala bahwa perkawinan pun menjadi sesuatu yang bisa dinegosiasikan khususnya oleh perempuan
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka akan diambil rumusan masalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana makna perkawinan bagi perempuan lajang (bekerja) ?
2.
Mengapa para perempuan lajang (bekerja) menunda usia perkawinannya ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui makna perkawinan bagi perempuan lajang yang bekerja.
2.
Untuk
mengetahui
perkawinannya.
alasan
para
perempuan
lajang
menunda
usia
9
D. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperluas wawasan tentang kajian dalam ilmu sosiologi dan antropologi.
2.
Manfaat Praktis a) Untuk memberikan gambaran tentang makna dan fungsi perkawinan bagi b) Dapat
perempuan masa kini. memberikan
masukan
atau
sumbangan
terhadap
kajian
antropologi dalam pola kekerabatan (perkawinan) pada umumnya, dan memahami persoalan sosial budaya yang terkait fenomena perkawinan. 3.
Manfaat Metodologis Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan penelitian selanjutnya yang lebih mendalam
10
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Perkawinan Secara sosial manusia memiliki kodrat berupa rangkaian atau tingkattingkat hidup tertentu. Koenjaraningrat (1992 : 192) menyatakan bahwa tingkattingkat sepanjang hidup individu ini dalam kitab antropologi sering disebut sebagai stages along the life-cycle. Life cycle ( siklus kehidupan ) adalah serangkaian tahapan yang harus dilalui manusia dimulai dari masa bayi, beralih ke masa kanak-kanak, masa remaja, adolescent, masa dewasa, hingga akhirnya masuk pada kehidupan keluarga. Asumsinya perkembangan dan pertumbuhan ini akan menjadikan manusia sebagai seorang sosok yang utuh atau sempurna yaitu utuh secara pertumbuhan biologis, sosial dan juga utuh secara psikologis atau utuh kepribadiannya. Perkembangan siklus kehidupan manusia ini menurut Khairudin (1985 : 10) mencapai titik puncaknya pada saat setiap individu membentuk suatu keluarga dimana institusi tersebut merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk dari suatu organisasi terbatas dan mempunyai ukuran minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Keluarga menurut Gertz (1982 : 58) terbentuk dari adanya suatu tahapan siklus hidup manusia, yaitu perkawinan. Sementara itu perkawinan dapat didefinisikan dari berbagai macam perspektif atau sudut pandang. Menurut UU Perkawinan No 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Ini definisi perkawinan yang dipandang dari agama islam, diman selanjutnya perkawinan dipandang sebagai jalan yang alami bagi
9
11
perempuan dan laki-laki. Selanjutnya menurut Suryani dan Bagus JL (2007 ; 5 ) mendefinisikan bahwa,“ Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang. Hubungan ini mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan nonformal yang dibentuk atas kemauan bersama secara sungguh-sungguh yang hanya mengikat kedua pihak tersebut”. Dari sudut pandang kaum fungsionalisme, perkawinan jelas dipandang sebagai bagian dari rangkaian siklus hidup manusia. Lebih lanjut, Koentjaraningrat (1992 : 193) menjelaskan bahwa,“ perkawinan adalah suatu peralihan terpenting pada life cycle semua manusia di seluruh dunia, saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat berkeluarga”. Jadi perkawinan menjadi bagian kehidupan manusia dari proses peralihan masa remaja menuju tingkatan keluarga, yang selanjutnya akan membentuk kesatuan hidup bersama. Dalam hubungannya dengan kehidupan bersama ini, dijelaskan oleh Gough (1959 : ) perkawinan lantas dimaknai sebagai struktur yang memproduksi, memelihara dan mengembangkan anak, untuk dapat menjadi anggota dari masyarakat. Perkawinan menjadi tempat
dimana
ditetapkannya legitimasi anak sebagai anggota yang bisa diterima oleh masyarakat. Dari sudut pandang kaum strukturalisme, perkawinan dapat dilihat dari makna yang timbul di dalamnya akibat pengaruh dari unsur-unsur budaya yang berkembang dalam masyarakat. Perkawinan dikatakan sebagai bagian dari proses pertukaran. Ini berarti perkawinan dijelaskan Henry (1997 ; 198) sebagai berikut “in the section on exchange, marriage is one means of maintaning communication between peoples, whether it be friendly or hostile”. (dalam konteks pertukaran, perkawinan adalah satu tujuan dari pemeliharaan komunikasi di antara manusia apakah itu persahabatan atau permusuhan). Di sini lebih lanjut, Levi Strauss menjelaskan bahwa dalam perkawinan tersebut terdapat suatu bentuk komunikasi antar kelompok kekerabatan, di mana wanita merupakan wahana bagi berlangsungnya proses komunikasi tersebut. Menurut Ahimsa Putra dalam Siany Indria L (2003 : 49) menjelaskan bahwa
12
perspektif tersebut dapat dilihat bahwa suatu perkawinan dapat dikatakan sebagai persatuan bukan antara laki-laki dan perempuan, tetapi laki-laki dan laki-laki. Hal ini disebabkan karena setelah menikah si wanita akan tinggal bersama suaminya, dan dalam kerangka teori Levi Strauss wanitalah yang dianggap sebagi sesuatu yang dipertukarkan, dan melalui pertukaran inilah terjadi persatuan antara pria dan wanita. Dikatakan oleh Siany Indria L (2003 : 49) melalui proses pertukaran yang terjadi dalam perkawinan tersebut, maka akan terbentuk suatu komunitas baru yang anggotanya berasal dari kedua belah pihak. Dalam proses pertukaran tersebut kita akan mengenal konsep dowry, sebagai sesuatu yang harus ada dalam perkawinan. Dowry atau mas kawin dianggap sebagai perantara yang bersifat material maupun non material, sebagai bentuk pertukaran atau gift. Artinya pemberian mas kawin dalam perkawinan bisa berbentuk pemberian berupa materi atau uang, namun demikian juga bisa berbentuk barang dan hal lainnya. Yang terpenting di sini adalah segala bentuk pemberian tersebut diberikan sebagai bentuk pemberian yang bersifat simbolik yang berarti akan terbentuk komunikasi yang lebih internal dari kedua belah pihak ( laki-laki dan perempuan ataupun keluarga dari pihak perempuan dan laki-laki ). Dikatakan oleh Geertz (1983: 58) di dalam kultur masyarakat Jawa, perkawinan menjadi sebuah tanda terbentuknya sebuah somah baru di mana anak segera akan memisahkan diri, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, lepas dari kelompok orang tua dan membentuk sebuah basis untuk sebuah rumah tangga baru Di sini pengertian perkawinan menurut Geertz (1982 : 58) lebih ditekankan pada keadaan dimana seseorang memiliki kelompok kecil baru dengan beban ekonomi yang lepas dari orang tua ataupun kelompoknya. Namun demikian bukan berarti mereka terlepas dari hubungan kekerabatan atau kelompoknya, tetapi dengan adanya perkawinan maka akan terjadi pelebaran menyamping tali ikatan antara dua kelompok himpunan yang tak bersaudara, atau pengukuhan keanggotaan dalam suatu kelompok endogam bersama. Anggota keluarga besar masing-masing pihak tetap memberikan dukungan, sumbangan, bantuan,
13
kesaksian sesuai dengan kekhususan hubungannya dengan pasangan suami istri yang baru tersebut. 2. Perkawinan Dalam Konsep Feminisme Perkawinan bisa dipandang dari berbagai sudut atau berbagai pengertian yang berbeda-beda. Salah satunya adalah pandangan yang dikemukakan oleh kaum feminis, perkawinan dipandang dari sudut pandang kaum perempuan dengan berbagai bentuk pertimbangan yang bersifat kultural maupun sosial. Feminisme menurut Kamla Bhasin (1995 : 5) diartikan sebagai , “ perjuangan untuk mencapai kesederajatan / kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya baik di dalam maupun di luar rumah tangga.” Bagi kaum feminis perkawinan dikaji dari berbagai aspek seperti; perkawinan sebagai tempat di mana kategori-kategori gender direproduksi; sebagai tempat dimana terdapat pembagian kerja secara seksual dan subordinasi perempuan serta sebagai model bagi pelembagaan sosial lainnya yang berkaitan dengan norma seksual ( Anonim , 2002 ; 127 ). Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa perkawinan menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan biologis atau nafsu seksual bagi kaum laki-laki. Dikatakan oleh Subiantoro ( 2002 : 9) bahwa dalam hal ini perempuan dinikahi sebagai objek seks laki-laki dalam rangka menghasilkan keturunan. Dalam konteks inilah perempuan akan memasuki wilayah kontrol atas seksualitas yang menjadi bidang subordinasi perempuan dengan mewajibkan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai dengan kebutuhan dan keinginan lakilaki. Konsep ini sebenarnya erat kaitannya dengan bagaimana subordinasi pada perempuan pada ranah perkawinan itu dimulai., yaitu berhubungan dengan pembagian kerja seksual yang menyertai proses perkawinan tersebut. Dalam kaitanya dengan pembagian kerja secara seksual, dapat dilihat bahwa perkawinan menjadi suatu proses yang akan membentuk struktur pembagian kerja yang didasarkan atas pembagian gender yang mana akan memunculkan berbagai aktivitas sosial yang mengharuskan masing-masing pihak terlibat di dalamnya. Perempuan akan menjadi objek yang memiliki posisi yang
14
subordinat dibanding laki-laki. Hal ini dapat terlihat dari berbagai aktivitas rumah tangga. Subordinasi perempuan dalam pembagian aktivitas kerja rumah tangga, berkaita erat dengan pengertian perkawinan yang masih kental dengan budaya patriarki. Menurut Engles perkawinan merupakan konsep yang masih kental dengan ideologi patriarki, yang belum bisa memecahkan masalah keterpurukan nasib bagi perempuan (Veny, 2002 ; 114 ). Hal ini terlihat dalam sistem “mas kawin ”, yang dianggap sebagai pembayaran cash yang menimbulkan konsekuensi seolah perempuan “dibeli” oleh laki-laki. Dalam kondisi demikian, perempuan seolah harus selalu berada dalam bayang-bayang laki-laki. Perkembangan ajaran Budha seperti yang tertuang dalam kitab Anggutara Nikaya IV, 265 dalam Venny, 2002 ; 115 misalnya, menggambarkan bahwa dalam perkawinan istri berkewajiban memenuhi syarat menjadi istri yang sempurna. Seperti ; bangun pagi lebih dulu dari suami, pergi tidur setelah suami tidur, selalu mematuhi perintah suami, selalu bersikap ramah dan sopan, serta mulutnya hanya keluar kata-kata ramah . Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa perkawinan menempatkan perempuan pada posisi lebih subordinat dari laki-laki. Dan perempuan memiliki suatu kewajiban secara kultural terhadap laki-laki. Kewajiban-kewajiban inilah yang lantas menempatkan perempuan pada putaran aktivitas domestik, yang membuat mereka harus menerima ini sebagai suatu kewajiban sosial. Berbagai kewajiban sosial tersebut tumbuh sebagai bagian dari adanya pembagian aktivitas dan ruang kerja secara seksual. Laki-laki diidentikkan dengan seseorang yang memiliki kuasa yang lebih tinggi, dimana hal ini terkait dengan privat property, dan perempuan harus berkutat dalam aktivitas domestik dan aktivitas sosial yang disusun dan di atur oleh laki-laki. Lebih lanjut, dalam hubungannya dengan perkawinan, dijelaskan oleh Subiantoro (2002 : 10). perempuan akan terjebak pada kuasa yang diciptakan kaum laki-laki. Salah satu contohnya bahwa pekawinan dilakukan sebagi imbas dari mitos “cinderella compleks”. Dalam mitos ini, diperlihatkan bahwa perempuan mendambakan seorang “pangeran” untuk mempersunting dirinya. Para
15
perempuan dalam rasionalitasnya selalu mendambakan laki-laki yang diyakini sebagai seorang pangeran yang diimpikan dengan segala kesempurnaan baik itu secara sosial, fisik maupun ekonomi, yang akhirnya akan memberikan kebahagiaan dalam hidupnya. Pada posisi ini, perempuan akan pasrah untuk diperlakukan apa saja demi pangeran yang didambakannya. Ini akan membawa dampak munculnya pengertian bahwa perempuan tidak berarti apa-apa tanpa kehadiran laki-laki. Budaya patriarki pun mulai berkoalisi dengan mitos tersebut, sehingga menyebabkan makin bertahannya konsep tersebut Selain itu secara kultural, dijelaskan oleh Subiantoro ( 2002 : 11) perkawinan dilakukan perempuan untuk menghindari mitos “perawan tua”. Bagi perempuan di Indonesia khususnya pada konteks masyarakat Jawa,
menikah
adalah hal yang sarat dengan berbagai nilai yang telah lama dikondisikan dengan budaya patriarki. Kondisi budaya, agama dan pengaruh lingkungan sekitar membuat perenpuan wajib memasuki jenjang dalam lembaga perkawinan. Karena jika hal ini tidak dilakukan, maka akan muncul labeling sebagai “perawan tua”. Banyak orang tua menginginkan anak perempuannya segera menikah, agar mereka tidak dianggap sebagai perawan tua. Sedikit saja perempuan tersebut terlambat menikah pada usia yang diyakini pantas untuk menikah, maka akan berkembang mitos, bahwa perempuan tersebut tidak akan mendapat suami dan akhirnya menjadi perawan tua Koentjaraningrat (1992 : 192)menjelaskan bahwa dalam prakteknya, perkawinan bukan hanya berfungsi sebagai pengatur perilaku sex, tetapi perkawinan juga berfungsi secara sosial dalam kehidupan kebudayaan dan masyarakat manusia. Perkawinan akan memberikan perlindungan, hak dan kewajiban kepada hasil persetubuhan yaitu anak-anak. Selanjutnya, perkawinan juga akan memenuhi kebutuhan hidup manusia yang berhubungan dengan teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta, akan gengsi dan perwujudan berbagai kelas sosial dalam masyarakat, serta memelihara hubungan baik antara berbagai kelompok kekerabatan.
16
3. Makna Perkawinan Dari berbagai pandangan dan pengertian tentang perkawinan tersebut di atas, maka perkawinan menjadi suatu hal yang memiliki makna luas bukan sekedar sebagai bentuk penyatuan antara dua belah pihak yang melakukan perkawinan. Lebih dari itu dalam proses penyatuan antara dua orang individu yang akan membentuk suatu relasi sosial baru bagi keduanya, yang akan berpengaruh pada perubahan dan pembagian peran dalam masing-masing aktivitas yang timbul dalam perkawinan. Perkawinan lantas menjadi bagian dari hubungan sosial manusia dalam masyarakat, yang terjadi atas dasar berbagai kepentingan dan tujuan, yang didasarkan atas berbagai pertimbangan yang bersifat personal, yang tak lupa diikuti pertimbangan-pertimbangan yang bersifat sosial . Berbagai kepentingan dan tujuan tersebut dapat terwujud tergantung dari sudut mana masing-masing pihak menentukan makna serta esensi perkawinan itu sendiri. Dalam masyarakat kita berkembang 2 makna umum tentang perkawinan, yaitu perkawinan dengan makna konvesional dan perkawinan yang bermakna sebagai pilihan rasional ( modern). Dari sudut pandang perempuan, perkawinan menjadi sebuah konsep yang menimbulkan berbagai konsekuensi sosial, yang menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus dilaksanakan. Baik itu kewajiban yang dipandang dari sudut ekonomi, sosial, politik maupun ikatan kultural. Ini yang menandai perkawinan dalam arti atau makna konvensional. Perkawinan menurut Henry (1999 : 197) adalah ,“ sebagai sebuah penyatuan yang dimasuki oleh seorang perempuan dan laki-laki dengan harapan dapat membagi kehidupan secara bersama”. Perkawinan menjadi kerangka atau dasar untuk dua orang individu menjalani aktivitas hidup bersama. Artinya yang terpenting dalam perkawinan adalah membentuk hubungan atau penyatuan antara laki-laki dan perempuan. Perkawinan dalam makna konvensional ini, biasanya dilakukan oleh masyarakat yang memiliki pola pikir dan pola tindak yang masih tradisional.
17
Hal ini terlihat pada konteks masyarakat Jawa pada tahun 1970-an misalnya, dimana perempuan memiliki kewajiban untuk menikah tepat setelah mereka memasuki masa dewasa secara biologi yaitu setelah mengalami haidnya yang pertama. Perkawinan oleh Geertz (1982 : 59) dijelaskan sebagai bagian dari siklus yang harus dilalui manusia untuk tahapan hidup selanjutnya. Sistem perjodohan pun tak ayal menjadi pilihan yang digunakan untuk mengikuti tekanan kultural atas perkawinan tersebut. Kebanyakan perkawinan diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Orang tualah yang mencarikan bakal jodoh dan memutuskan hari perkawinan, terutama apabila perkawinan pertama untuk anak mereka. Barangkali kebanyakan gadis Jawa telah kawin setidaknya untuk waktu yang singkat pada saat kira-kira berumur 16-17 tahun. Sedikit sekali yang tidak pernah menikah sama sekali. Perjodohan merupakan tindakan sosial konvensional yang berlaku di banyak negara di dunia ini. Perkawinan di sini adalah perjodohan antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan oleh pihak lain, tapi biasanya oleh kedua orang tua mereka. Dalam memilih jodoh, orang tua biasanya akan mempertimbangkan dari sudut bibit, bebet atau bobot dari masing-masing pihak, sehingga diharapkan jodoh yang dipilihkan untuk anak akan tepat dan dapat memberikan kebahagiaan bagi anak secara material maupun sosial. Perkawinan yang dilakukan dengan mempertimbangkan tiga “B” inilah yang seringkali dianggap ideal pada sebagian besar masyarakat Jawa pada konteks tahun 1970-an. Dijelaskan oleh Ahimsa Putra ( 2006 : 411-412) dari sudut bibit, jodoh dipilih dengan melihat asal-usul dari pihak yang dijodohkan, bagaimana latar belakang keluarga dan keturunannya. Dalam masyarakat Jawa yang diutamakan pula adalah bagaimana memilih bibit yang sehat, yang artinya calon jodoh tidak berasal dari keluarga yang salah seorang anggotanya “cacat” misalnya memiliki penyakit keturunan maupun penyakit jiwa. Sedangkan dari pengertian bebet, mengacu ada harta kekayaan. Pihak keluarga yang ingin menikah biasnya akan memperhatikan juga tingkat ekonomi keluarga atau orang tua calon suami atau istri. Pertimbangan faktor ekonomi calon jodoh ini lebih kuat terlihat pada pihak perempuan, karena biasanya setelah menikah si perempuan akan tinggal di tempat
18
suami atau mengikuti suami . Yang terkahir dilihat dari segi bobot. Bobot secara harfiah berarti “beratnya”. Bobot ini berrati status sosial atau kualitas yang dimiliki oleh seorang individu, yang di masa lalu itu berrati kebangsawanan seseorang. Kini bobot biasanya dikaitkan dengan pendidikan atau jabtan seseorang. Sekitar tahun 1970 sistem perjodohan ini banyak terjadi pada masyarakat di Indonesia. Prosentasi perempuan yang belum menikah di usia tersebut masih berkisar 62,6 %, berbeda dengan tahun 2005 yang angkanya terus naik hingga mencapai 90, 8 %. Jadi awalnya pernikahan bagi anak yang berusia 15-19 tahun adalah hal yang memang wajar dan menjadi kehendak masyarakat. ( Badan Pusat Statistik, 2006 ) Selanjutnya dalam pengertian perkawinan secara konvensional tersebut, perempuan tidak memiliki banyak kesempatan untuk memilih dan menyampaikan pilihan lagi. Dalam hal ini, perkawinan menjadi bentuk kewajiban bagi perempuan, dan menjadi sebuah pilihan bagi laki-laki. Sistem perjodohanpun biasanya lebih banyak diterima oleh perempuan daripada laki-laki. Laki-laki, diberikan kebebasan untuk tidak segera menikah sampai dia benar-benar siap untuk membentuk sebuah keluarga. Umumnya para orang tua menunggu sang anak untuk akhirnya siap menikah dan menyampaikannya pada orang tua (Geertz, 1982 ; 60) . Pembedaan pandangan dan makna dalam perkawinan inilah yang kadang menyebabkan perempuan, tak kuasa memaknai perkawinan sesuai dengan keinginan atau makna secara pribadi, melainkan lebih pada mengikuti berbagai tuntutan dan aturan sosial masyarakat. Dijelaskan oleh Sofia Kartika ( 2002 : 60 ) bahwa ketika perempuan tidak segera menikah pada usia yang “tepat” menurut budaya masyarakat (yaitu setelah masa haidnya yang pertama), lingkungan yang akan memberikan label “perawan tua”, akan memberikan pengaruhnya yang lebih signifikan daripada laki-laki yang diberi label dengan “perjaka tua”. Realita yang terjadi dalam masyarakat inilah yang kemudian membuat perempuan lebih cepat ingin menikah. Karena untuk menghindari berbagai macam hal yang tentunya tidak diinginkan
19
oleh masyarakat. Mereka setidaknya akan segera memikirkan perkawinan, menciptakan keluarga yang bahagia dan memiliki anak. Ayu Ratih ( 2002 : 47 ) menjelaskan bahwa ketika perempuan masuk dalam lembaga perkawinan serangkaian tugas telah menanti. Mulai dari melahirkan, mengurus anak, suami dan rumah tangga, sudah menanti. Hal ini harus diterima sebagai sesuatu yang semestinya. Sesuatu yang alamiah dan bersifat semestinya ini kemudian menjadi mitos yang didukung oleh wacana yang dikuasai oleh laki-laki. Mitos itupun kemudian diterima dan didukung oleh struktur sosial-budaya dan pengorganisasian dalam suatu masyarakat. Umumnya tanpa disadari tugas-tugas tersebut akan mengikat badan, hati dan pikiran perempuan ke rumah sejak ia bangun hingga malam hari. Perkawinan dalam makna dan pengertian konvensional ini secara keseluruhan dilakukan dengan berbagai tujuan dan dilatar belakangi berbagai hal, salah satunya adalah pandangan yang bersifat ekonomis.
Dari sisi ekonomis
dijelaskan oleh Subiantoro ( 2002 : 10 ), terjadi kasus perkawinan dilakukan atas dasar perjodohan yang dilakukan oleh orang tua. Dalam kisah Siti Nurbaya, akan jelas terlihat bagaimana perempuan tidak memiliki kekuatan untuk membebaskan diri atau membela diri dalam tradisi patriarki yang sangat kental. . Perjodohan ini, menjadi sebuah tradisi yang harus dijalankan sebagai sesuatu yang “lumrah” dan kodrati. Apabila terjadi penolakan atas perjodohan ini, diyakini akan mendatangkan aib yang akan mencelakan kesejahteraan keluarga. Perjodohan inipun biasanya dilakukan dengan laki-laki yang dianggap memiliki kecukupan secara material maupun memiliki kedudukan yang kuat secara sosial. Ini akan menciptakan keuntungan secara ekonomis bagi keluarga pihak perempuan. Secara konvensional perkawinan memiliki makna yang berdasarkan pada suatu konsep tentang kewajiban harus yang dilalui oleh manusia (dalam hal ini kita berbicara tentang perempuan lajang), dan dilakukan atas dasar hal-hal yang berhubungan dengan tuntutan sosial kemasyarakatan. Umumnya perkawinan dilakukan berdasar pada patokan usia tertentu dengan ketentuan pemilihan jodoh yang sesuai dengan keinginan orang tua maupun masyarakat. Ketika berhasil dan
20
telah melalui hal tersebut dengan baik, maka mereka akan dianggap menjadi anggota masyarakat secara sempurna. Selain makna secara konvensional, kita juga mengenal makna perkawinan secara rasional. Secara rasional, perkawinan diartikan sebagai proses yang dilalui individu atas dasar pilihan atau kriteria tertentu. Bagi para perempuan lajang, yang notabene memiliki otonomi dan kekuasaan yang luas terhadap dirinya, memaknai perkawinan tak lagi secara konvensional, tetapi perkawinan dimaknai dari sudut pandang kebebasan individu. Perkawinan dalam hal ini lebih dimaknai sebagai kontrak sosial yang mensyaratkan adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak tanpa ada intervensi dari pihak lain. Perkawinan pada makna ini dijadikan sebagai sebuah pilihan rasional atau hak setiap individu dan bukan merupakan kewajiban sosial dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, menurut Siany Liestyasari ( 2003 : 124 ) perjodohan yang dirancang orang tua sudah tidak relevan lagi, namun setiap individu berhak untuk menentukan pasangan hidup sendiri. Perlu adanya berbagai macam pertimbangan yang dianggap rasional bagi perempuan, untuk akhirnya dapat memilih seseorang menjadi pasangan hidup, sesuai dengan yang diinginkannya. Baik itu pertimbangan yang didasarkan pada kriteria secara material, emosional, maupun sosial. “Schooling and work not only offer socially legitimate alternatives to marriage for women, ……but they also are instrumental in motivating young men and womn to emulate a wetern conceptualization f marriage in terms of self- selection of spouses and more nuclear, conjugal, and egalitri marital relationsip.” (pendidikan dan pekerjaan tidak hanya menawarkan kepada para wanita alternatif pernikahan yang dapat diterima secara sosial…namun juga memotivasi para pria dan wanita muda untuk menerapkan konsep pernikahan ala barat dalam hal menyeleksi sendiri pasangan, juga dalam hal hubungan pernikahan yang lebih seimbang) (Malhotra, 1997:437) Pertimbangan-pertimbangan
yang
diambil
dalam
memutuskan
perkawinan, didasarkan pada anggapan bahwa perkawinan adalah pilihan individual dari setiap manusia, oleh sebab itu mereka berhak untuk memilih pasangan sesuai dengan prinsip-prinsip hidup yang menjadi pegangan mereka. Lebih lanjut Mahotra ( 1997 : 437) menjelaskan bahwa, “…….marriage becomes
21
a more individualized process, to be entered into for love or self-fulfillment rather than for traditional family concern” (…pernikahan menjadi proses yang lebih individual, berdasarkan cinta atau pemenuhan kebutuhan pribadi, dan bukan urusan keluarga).” Pelaksanaan perkawinan yang didasarkan atas keputusan masing-masing pihak, tidak lagi melibatkan hal-hal yang berhubungan denagn pertimbangan keluarga, seperti layaknya perkawinan yang dilaksanakan pada masyarakat tradisional. Hal-hal yang bersifat esensial tetap menjadi keputusan pihak yang akan menjalankan perkawinan. Dalam hubungan perkawinan tersebut terciptalah privatisasi perkawinan. Perkawinan dalam cara pandang ini menjadi upacara pribadi yang tak harus diperhatikan dan dihormati secara khusus oleh publik. Hubungan perkawinan pun hanya menjadi hubungan mitra (partner) daripada hubungan suami-istri. Bahkan Hillary Clinton (dalam Suryani dan Lesmana, 2007 : 8 ). pernah mengatakan; “ saya belajar sejak lama bahwa hanya ada dua orang yang penting dalam perkawinan, yaitu kedua orang yang menikah tersebut”. Ini kembali mempertegas bahwa perkawinan sebagai sebuah pilihan yang rasional, perkawinan menjadi bagian yang dikonstruksi oleh kedua belah pihak yang melakukan perkawinan. Segala keputusan yang berhubungan dengan perkawinan menjadi kuasa masingmasing pihak, dan ketika perkawinan itu terjadi maka segala proses dan keputusan yang terjadi di dalamnya merupakan keputusan bersama antara dua pihak tersebut. Segala bentuk pemaknaan tentang perkawinan secara rasional ini berkembang mengikuti arus perubahan zaman kearah yang lebih modern. Menurut Huntington (dalam Mansour Fakih 2007 ; 32 ), “ modernisasi merupakan proses yang bersifat revolusioner ( perubahan cepat dari tradisi ke modern ) , kompleks ( melalui berbagai cara sistematik ) , global ( akan mempengaruhi semua manusia ), bertahap ( melalui langka-langkah ), hegemonisasi , convergency dan progresif. Modernisasi terjadi suatu proses perubahan yang direncanakan dimana melibatkan semua kondisi, nilai-nilai sosial maupun kebudayaan secara integratif.” Modernisasi juga mulai memasuki kancah pemikiran para perempuan kita. Para perempuan kita mulai berupaya untuk mencoba mengubah tradisi tentang berbagai
22
sistem yang menunjukkan ketiadkadilan bagi mereka dengan berbagai orientasi nilai yang lebih rasional dengan berbasis pada keadilan. Ini membawa wacana baru dalam kajian mengenai perempuan dan berbagai realita sosial yang menyertainya, yang dikenal sebagai feminisme. Feminisme sesungguhnya bukan ajaran yang menanamkan kebencian pada kaum lelaki. Feminisme juga bukan gerakan pemberontakan terhadap laki-laki dalam upaya melawan pranata sosial yang ada. Namun lebih dari itu, feminisme memiliki kajian yang sarat akan nilai-nilai keadilan. Menurut Kamla Bhasin dan Khan ( 1999 : 9) “feminisme adalah perjuangan untuk mecapai kesederajatan / kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga”. Feminisme mengantarkan persamaan bagi perempuan, demi menciptakan keadilan dalam masyarakat baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Menilik dari apa yang ada dalam kajian feminisme, perempuan selalu berada dalam bayang-bayang lelaki, karena erat kaitannya dengan kultur patriarki yang terlanjur melembaga di negara ini. Dalam setiap urusan publik, perempuan dibatasi oleh kondisi yang dibedakan atas konstruksi yang dinamakan gender. Perbedaan gender akan melahirkan peran gender yang mengkonstruksi perempuan secara biologis seperti kemampuan hamil, melahirkan, menyusui dengan peran gender seperti merawat, mengasuh dan mendidik anak. Awalnya ini menjadi bahasan yang tidak menimbulkan masalah, namun yang lantas menjadi masalah adalah ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender tersebut. Marginalisasi perempuan ini terjadi mulai dari kehidupan rumah tangga, masyarakat maupun negara, yang banyak membuat berbagai kebijakan yang seolah menganggap perempuan menjadi kaum yang tidak penting. Hal ini diperkeruh lagi, dengan makin dibatasinya gerak atau aktivitas perempuan dalam berbagai sektor. Sektor ekonomi, keluarga, maupun kancah sosial dan politik. Namun perubahan yang dilandasakan pada gerakan feminisme mulai membawa babak baru dalam kehidupan banyak perempuan. Makin terbukanya pikiran dan pandangan mereka tentang berbagai aktivitas hidup, membuat perempuan pun mulai banyak yang memasuki ruang publik. Ruang publik
23
memungkinkan masing-masing individu untuk menunjukkan eksitensi diri dalam kehidupan masyarakat. Para perempuan pun mulai banyak yang memasuki dunia kerja atau karir. Hal ini erat kaitannya dengan makin tinggi pula pendidikan yang dapat mereka miliki untuk akhirnya dapat memperoleh jenjang karir dan kerja yang sesuai dengan potensi mereka masing-masing. Jenjang karir dan pendidikan yang cukup tinggi, memberikan pengaruh yang cukup besar daam berbagai aktivitas hidup mereka, salah satunya adalah ketika mereka memikirkan perkawinan.
4. Perempuan Lajang Perkawinan tidak lagi ditentukan atas dasar hal-hal yasng berbau kutural, yang menyangkut usia maupun keinginan masyarakat.Hal ini tentu tidak akan sesuai lagi, karena modernisasi makin membuka pemikiran manusia bahwa perkawinan adalah perkara yang sangat esensial, yang tidak hanya dapat dilakukan untuk mengikuti kewajiban.
Bagi perempuan lajang di Indonesia
perkawinan telah menjadi bagian dari pola hidup yasng penting, rasional dan bersifat personal. Inilah yang lantas menyebabkan perkawinan menjadi suatu hal yang membutuhkan pertimbangan dari berbagai sudut. Perkawinan bukan hanya dilakukan untuk mengikuti patokan usia wajib menikah yang terlanjur membudaya dalam masyarakat, yaitu ketika perempuan sudah memasuki masa haidnya yang pertama. Bagi perempuan lajang di Indonesia dijelaskan oleh Sushartami (2002:36) ,pertimbangan tersebut menjadi sangat mutlak, karena perempuan lajang adalah perempuan yang notabene memiliki kekuasaan penuh atas dirinya sendiri Jadi setiap keputusan dan berbagai pertimbangan yang menyangkut hidupnya membutuhkan suatu pemikiran atas dasar kajian yang rasional dan personal. Berbicara mengenai perempuan lajang, tentu akan menjadi suatu wacana yang berbeda ketika kita membicarakan dengan perempuan menikah. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi sosial, moral, ekonomis dan politis yang masih sangat kental dan terasa dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Suhartami (2002 : 36-
24
37) menyebutkan bahwa definisi tentang perempuan lajang menampilkan satu fenomena bahwa perempuan lajang menjadi simbol yang kuat atas modernitas yang aktif, yang memiliki image sebagai perempuan yang menggambarkan berbagai identitas perempuan Indonesia modern. Ada berbagai pandangan atau definisi yang menggambarkan tentang perempuan lajang. Cargan dan Melko (1982 : 18) menyatakan “perempuan lajang seringkali diidentikkan dengan perawan tua yang tidak mendapat laki-laki karena dia tidak atraktif, dan tidak memiliki kemampuan untuk mendapat laki-laki karena dia memiliki pendidikan tinggi, ambisius dan biasanya memiliki karir atau pekerjaan yang mapan”. Di sini dapat terlihat pengertian bahwa perempuan lajang mempresentasikan dirinya secara aktif, sehingga mereka dapat memiliki dan memperoleh bidang-bidang kegiatan publik yang cukup baik atau bisa dikatakan mapan. Mereka memiliki pertimbangan sediri dan berpikir atas dasar kepentingan personal, sehingga apa yang mereka inginkan dapat tercapai secara maksimal. Stein (1981), menjelaskan bahwa kategori dari perempuan lajang ini ada 2, yaitu lajang atau dasar keinginan sendiri (secara sengaja dan tidak sengaja) dan lajang secara permanen (sementara dan tetap). Perempuan yang sengaja melajang sementara (voluntary temporary singles) terdiri dari orang-orang yang lajang (belum menikah atau sudah pernah menikah), mereka masih membuka diri untuk menikah tapi hal tersebut bukan menjadi prioritas utama, melainkan yang diutamakan adalah pendidikan, karir, politik maupun pengembangan dirinya. Perempuan yang sengaja melajang seterusnya (voluntary stables singles) terdiri dari perempuan lajang yang sengaja tidak ingin menikah atau melakukan perkawinan . Sedangkan perempuan yang tidak sengaja melajang sementara (involuntary temporary singles) adalah perempuan lajang yang belum menikah tapi mereka menginginkan perkawinan dan berupaya untuk menemukan pasangan yang tepat. Dan yang terakhir adalah Perempuan yang tidak sengaja melajang seterusnya (involuntary stables singles) adalah perempuan lajang yang berusia tua yang ingin menikah tapi belum menemukan pasangan yang tepat dan pasrah menerima status singlenya.
25
5. Makna Kerja Bagi Perempuan Berbicara mengenai perempuan lajang, tentunya erat kaitannya dengan kerja dan peluang karir yang senantiasa melingkupi aktivitas mereka. Perempuan lajang umumnya memang memiliki prioritas utama dalam pendidikan dan dunia kerja. Kedua hal tersebut menjadi sangat penting bagi mereka untuk membentuk eksistensi diri dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menjadi penting karena perempuan lajang memiliki pola pikir yang lebih modern. Kerja memiliki berbagai makna dan pengertian, yang dibedakan atas berbagai konsep. Bekerja menurut Burman dan Wallman (1979 : 2, dalam Moore, 1998 : 83 ) bukan hanya berkaitan dengan persoalan apa yang dilakukan orang, karena setiap definisi harus mengikutsertakan kondisi-kondisi tempat kerja itu dilakukan, dan nilai atau harga sosialnya dalam konteks budaya tertentu Menurut Karl Marx, bekerja merupakan aktivitas yang sangat hakiki bagi manusia. Bekerja adalah aktivitas yang menjadi sarana bagi manusia untuk menciptakan eksistensi dirinya. Timboel Siregar ( 2003 : 78-79 ) menjelaskan bahwa bekerja pada dasarnya adalah wadah aktivitas yang memungkinkan manusia mengekspresikan segala gagasannya, kebebasan manusia berkreasi, sarana, menciptakan produk, dan pembentuk jaringan sosial. Manusia eksis bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain. Selain itu Nash ( 1984 : 45 ) menjelaskan, “ bekerja diartikan sebagai aktivitas
tertentu
yang
berhubungan
dengan
cara
memproduksi
atau
mengkonsumsi barang dan jasa. Jadi bekerja berhubungan dengan usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan sosial dalam hubungannya dengan penghargaan diri dan bagaimna orang memandang terhadap dirinya”. Usaha untuk memenuhi kebutuhan akan harga diri dan aktualisasi diri juga merupakan rangkaian dari usaha pemenuhan kebutuhan fisik, yag lebih banyak dikaitkan dengan kebutuhan ekonomi.
26
Bekerja dimaknai berdasarkan masing-masing pihak, dalam konteks kajian yang berbeda-beda pula. Bagi perempuan lajang , yang merupakan fokus penelitian kali ini bekerja memiliki makna, pengertian dan konsep tertentu. Konsep bekerja menjadi bagian penting yang membentuk fungsi dan peran mereka dalam masyarakat. Berbagai aktvitas kerja bagi perempuan lajang Di Indonesia , setidaknya telah membawa pengaruh besar dalam memaknai dan memperbincangkan berbagai aktivitas hidup, termasuk halnya dengan perkawinan. Berbicara mengenai wilayah kerja bagi perempuan, Engels (1992 :149) menjelaskan awalnya perempuan memiki wilayah / ruang kerja yang penting dalam aktivitas kehidupan. Awalnya laki-laki dan perempuan memiliki posisi kerja yang sejajar, bahkan bisa dikatakan perempuan lebih banyak memiliki andil yang besar dalam kerja rumah tangga. Laki-laki bertugas untuk berburu, meramu, dan mengumpulkan makanan. Sedangkan peremuan berkutat dalam aktivitas domestiknya mulai dari mengurus kebutuhan rumah tangga sampai pada mengelola hasil buruan laki-laki. Nilai kerja bagi keduanya memiliki posisi yang seimbang, walaupun dalam wilayah yang terpisah. Bagi perempuan, walaupun aktivitas kerjanya tidak menghasilkan keuntungan secara material, namun nilai kerjanya terap diakui oleh kaum pria atau masyarakat luas Namun hal ini mengalami perubahan, ketika mulai terjadi kepemilikan pribadi (privat property) dan berkembangnya keluarga monogamy, yang kemudian mengubah kedudukan kaum wanta dalam masyarakat, dan hal inilah sebagi tanda awal kekalahan perempuan atas laki-laki. Keadaan ini terus berlanjut hingga sekarang. Ketika perempuan bekerja dalam aktivitas domestik, mereka dianggap tidak bekerja karena mereka tidak memiliki nilai kerja berupa penghasilan secara material. Secara konvesional, Moore (1998:83) menjelaskan bahwa makna kerja berhubungan dengan kerja upahan di luar rumah sedangkan kerja yag berhubungan dengan aktivitas domestik tidak diakui. Pekerjaan seperti mencuci, memasak, mengasuh anak, melayai suami, tidak dianggap sebagai satu kerja produktif walaupun secara nyata mereka telah melakukan berbagai aktivitas yang menguras dan mengeluarkan banyak tenaga.
27
Saat ini, dengan makin terbukanya ruang publik bagi perempuan, mereka pun mulai mendapatkan kesempatan untuk memasuki berbagai wilayah kerja. Awalnya, perempuan masuk dalam wilayah kerja, secara umum terdorong untuk mencari nafkah karena tuntutan ekonomi keluarga. Saat penghasilan suami belum dapat mencukupi kebutuhan keluarga yang terus meningkat, dan tidak seimbang dengan pendapatan riil yang tidak ikut meningkat. Hal ini lebih banyak terjadi pada lapisan masyarakat bawah. Namun yang terjadi pada perempuan kini, bekerja bukan semata-mata diorientasikan untuk mencari tambahan dana secara ekonomis, namun lebih dari itu bekerja sebagai bentuk aktualisasi diri, mencari afiliasi diri dan wadah untuk sosialisasi. Bekerja memberikan pengaruh dan berbagai babak baru dalam kehidupan perempuan. Perempuan telah mulai memasuki ruang publik yang lebih luas yang pada awalnya hanya dikuasi oleh kaum laki-laki. Bekerja bagi perempuan menjadi bagian yang penting dalam menciptakan berbagai keputusan hidupnya. Hal ini sessuai dengan yang dijelaskan Molo (1993 : 91) bahwa “bekerja memiliki status sebagai junior partner. Dalam tingkatan ini, hak-hak instrumental perempuan meningkat, yang selanjutnya meningkatkan otoritas perempuan dalam pengambilan keputusan.” Seperti yang dijelaskan oleh Molo dengan masuknya perempuan dalam kerja produktif (aktivitas dalam ruang publik),
mereka memiliki kesempatan
untuk mengembangkan potensi atau kemampuan diri, pada tingkatan tertentu. Hal ini turut andil dalam meningkatakn pola piker, pola tindak maupun pola tingkah laku yang berpengaruh dalam akivitas hidup, yang berhubungan dengan aktualisasi diri maupun berhubungan dengan hal-hal yang bersifat pribadi,/ personal, salah satunya adalah perkawinan. Perempuan lajang dengan pendidikan dan tingkatan kerja yang tinggi tentu akan memaknai perkawinan secara lebih luas, sebagai bagian dari pola pikir yang rasional. Umumnya mereka memiliki berbagai kriteria dan pandangan tertentu sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Terkadang hal inilah yang kemudian menyulut anggapan bahwa perempuan lajang kita banyak yang menunda perkawinan. Menurut Jones (2004), proporsi kenaikan angka perempuan
28
yang belum menikah pada usia 30-40 tahun, disebabkan makin tingginya kesempatan pendidikan dan makin terbukanya ruang kerja bagi perempuan, terutama dalam sektor-sektor publik yang selama ini menjadi kuasa laki-laki.
B. Kerangka Berpikir
Perkawinan merupakan salah satu praktek budaya, yang berada dalam siklus hidup manusia yang dikonstruksi sebagai landasan munculnya hubungan keluarga. Perkawinan meletakkan perempuan dan laki-laki dalam suatu ikatan yang legal, dan memunculkan hak dan kewajiban antara keduanya. Hal ini, akan mengakibatkan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam institusi rumah tangga tersebut. Perkawinan dalam konteks tahun 1970-an awalnya dimaknai secara konvensional .Perkawinan dimaknai sebagai kewajiban (khususnya bagi para perempuan), yang dilakukan untuk mengikuti perkembangan siklus hidup manusia, sebagai bagian dari kultur yang berkembang dalam masyarakat. Konsekuensinya adalah para perempuan harus memikirkan perkawinan segera sesudah ia dinyatakan dewasa secara alamiah, yaitu sesudah mengalami haidnya yang pertama. Perkawinan banyak dilakukan dengan sistem perjodohan, untuk menemukan pasangan yang ideal menurut masyarakat. . Namun perubahan terjadi dalam kehidupan manusia. Perubahan ini merujuk pada penciptaan nilai baru, yang terjadi karena adanya pengetahuan dan wacana baru dalam ruang berpikir manusia. Hal ini akan berdampak pada perubahan perilaku, cara pandang maupun sikap manusia. Sama halnya dengan perkawinan bagi perempuan. Perkawinan tidak lagi dipandang sebagai kewajiban secara kultural, tetapi perkawinan menjadi suatu pilihan yang bersifat personal dan rasional, yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang akan melakukan perkawinan. Agaknya hal inilah yang banyak menghinggapi pemikiran perempuan lajang di Indonesia. Perempuan lajang yang memiliki keaktifan atas dirinya
29
sendiri memandang perkawinan secara rasional yang bisa terjadi karena berbagai faktor, bukan karena tuntutan kultural. Pendidikan dan ruang kerja yang terbuka lebar bagi banyak perempuan lajang, kian membuka pemikiran mereka. Perkawinan menjadi perkara yang penting namun bukan menjadi prioritas utama. Kerja dan karir untuk menunjukkan eksistesi mereka dalam ruang publik menjadi hal yang lebih penting. Perkawinan menjadi bagian dari pola hidup yang dapat diperbincangkan dengan berbagai kesepakatan bersama antara kedua belah pihak yang melakukan perkawinan, walaupun tak dapat menutup mata komunikasi dan hubungan kekerabatan antara keluarga keduanya akan mempengaruhi pola hubungan selanjutnnya.
30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Dalam setiap penelitian diperlukan adanya metodologi penelitian, yang digunakan dalam rangka pengumpulan data yang dapat mendukung dan menjadi sasaran dari tujuan penelitian. Menurut Y Slamet ( 2002 : 25) “ metodologi adalah filsafat dari proses penelitian, yang mencakup asumsi-asumsi dan nilainilai yang merupakan jalan berfikir (rationale) bagi penelitian dan standar atau ukuran yang dipakai untuk meninterpretasikan data dan memperoleh kesimpulan”. Dengan demikian, metodologi adalah proses penelitian yang digunakan mulai dari perumusan masalah, kerangka teori yang dipakai, pengumpulan data, pengujian hipotesis sampai pada penarikan kesimpulan. Sedangkan pengertian penelitian sebagai suatu usaha untuk mempelajari suatu problem atau permasalahan secara sistematik dan objektif dengan maksud menarik prinsip-prinsip umum menurut Theodorson dalam Y Slamet ( 2006 : 1). Dalam prosesnya, berbagai penelitian sosial tersebut dilakukan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan pengumpulan data untuk memudahkan dalam menjawab berbagai aspek kemasyarakatan yang menjadi bahan kajian atau permasalahan. Jadi, secara umum menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2003 : 18) metodologi penelitian adalah “ cara melakuan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Pendapat tersebut mengandung arti bahwa metodologi penelitian merupakan cara dan upaya yang ditempuh oleh seorang peneliti untuk mencapai tujuan penelitiannya , dengan menggunakan metode atau paradigma ilmiah”.
31
A. Tempat Dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian yang mengambil judul “Makna Perkawinan Bagi Perempuan Bekerja ” ini, dilakukan di Kecamatan Sukoharjo. Lokasi tersebut dipilih karena memiliki kriteria yang tepat untuk menemukan informan yang akan dijadikan sebagai sumber penelitian, yaitu perempuan lajang yang bekerja pada berbagai aktivitas ruang publik. Berdasarkan data yang dihimpun dari KUA Kecamatan Sukoharjo, pada awal tahun 2005, lebih dari 70% perempuan menikah pada usia 20-25 tahun. Perubahan ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun 1970-an. Menurut data yang terdapat di KUA, rata-rata usia “normal” bagi perempuan untuk menikah maksimal berusia 25 tahun, namun akhir-akhir ini banyak perempuanperempuan yang berusia hampir 30 tahun yang baru melaksanakan perkawinan. Kriteria tersebut lah yang digunakan sebagai salah satu dasar pemilihan lokasi.
2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan setelah mendapatkan ijin penelitian dari pihak yang terkait diantaranya Program, Dekan, Rektor, Bapeda, Kesbanglinmas, dan Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dalam hal ini adalah di bawah Departemen Agama. Penelitian diawali dengan penyusunan proposal sampai pada penulisan laporan akhir. Waktu penelitian dilakukan mulai pada bulan November 2008 sampai dengan bulan Desember 2009.
32
No 1. 2. 3.
4.
Kegiatan
Nov ‘08
Des ‘08
Jan Feb ‘09 ‘09
Bulan Mar Apr ‘09 ‘09
Mei ‘09
Jun ‘09
Jul’09 Des ‘09
Penyusunan proposal Desain Penelitian Pengumpulan data dan analisis data Penyusunan laporan B. Bentuk Dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Berdasarkan
masalah
yang
diajukan
dalam
penelitian untuk
menemukan makna perkawinan bagi perempuan lajang yang bekerja,
maka
bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, dengan bentuk penelitian study kasus terpancang tunggal. Gorman dan Clayton dalam Santana (2007 ; 28) menjelaskan “ penelitian kualitatif adalah meaning of event dari apa yang diamati penulis. Laporannya berisi amatan berbagai kejadian dan interaksi yang diamati langsung penulis dari tempat kejadian. Tujuan akhir dari penelitian kualitatif adalah untuk memahami apa yang dipelajari dari perspektif itu sendiri dari sudut pandang kejadiannya itu sendiri”. Jadi menurut Santana ( 2007 : 81 ) dalam penelitian kualitatif tidak hanya sekedar untuk mendiskripsikan suatu peristiwa atau masalah, tetapi juga partisipasi penulis dalam rangka memaknai berbagai peristiwa memiliki peranan penting. Penulisan ilmiah secara kualitatif bertujuan hendak mendalami pemahamnnya mengenai sebuah topik, yang telah ditemukannya. Analisis penulisan ini bukan berdasar pemikiran yang berbentuk judgmental dan perspektif, melainkan melalui pemaknaan temuan-temuan pemaknaan dari
33
kehidupan dan segala kejadiannya. Penelitian kualitatif ini berusaha untuk menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi teliti dan penuh nuansa yang lebih berharga daripada sekedar pernyataan kuantitatif ataupun frekuensi dalam bentuk angka. Dari penjelasan tersebut, maka dalam penelitian ini dipilih jenis penelitian kualitatif karena dalam penelitian kualitatif proses untuk memperoleh makna digali lebih luas, sehingga diperoleh makna yang dalam. Sesuai dengan sifatnya, penelitian kualitatif ini bersifat holistic, jadi memandang suatu masalah sebagai sebuah kesatuan dari proses sosial. Dalam masalah keputusan menikah ataupun menemukan makna perkawinan, teknik kualitatif akan lebih mudah digunakan karena didalamnya terdapat berbagai proses interpretative secara lebih dalam, yang berusaha untuk menjawab hakekat dari realitas yang tebentuk secara sosial. ( Cassirer, 1985 ; Berger & Luckmann, 1991 ). Dari berbagai proses tersebut, maka dapat diungkap informasi kualitatif dengan mendeskripsikan secara cermat dan penuh makna berharga. Maka dari itu dengan proses kualitatif ini diharapkan dapat ditemukan makna dan definisi perkawinan dari sudut pandang perempuan lajang yang bekerja,. Dari hasil penelitian ini dianalisis secara diskriptif dan diintepretasikan, sehingga akan terjaring makna sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian.
2. Strategi Penelitian Strategi penelitian ini adalah studi kasus terpancang. Studi kasus menurut Schramm dalam Yin 1981 adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan atau menginterpretasikan suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural, tanpa adanya intervensi dari pihak luar. Mulyana (2003 ; 201 )menjelaskan, “ studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagi aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial “. Jadi dalam studi kasus yang terpenting adalah bagaimana menyajikan pandangan subjektif dari peneliti. Hal ini dapat dilakukan atau dapat dicapai dengan menggunakan metode wawancara, pengamatan, telaah dokumen atau survei.
34
Dalam penelitian ini, menggunakan studi kasus tentang makna perkawinan bagi perempuan lajang (karir), dipilih 6 informan untuk mewakili dan mengungkapkan jawaban tentang bagaimana keputusan para perempuan lajang (karir) tersebut dalam menentukan perkawinan, serta menjelaskan makna perkawinan itu sendiri. Studi kasus dipilih karena dengan menggunakan studi kasus maka peneliti dapat menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti ( yaitu para perempuan lajang yang bekerja ), lewat berbagai metode yang beraneka seperi ; wawancara, pengamatan langsung, penelaah dokumen, ataupun survey. Dengan studi kasus ini dapat mempelajari semaksimal mungkin seorang individu yang menjadi informan atau responden, yang dapat memberikan pandangan yang lengkap mengenai masalah yang diteliti, yang dalam hal ini adalah masalah perkawinan. Ini akan membawa dampak pada data yang diperoleh lebih nyata dan dalam, sehingga dari data tersebut dapat dimaknai secara lebih luas, dan menghasilkan gambaran permasalahan yang tampak lebih jelas.
C. Sumber Data Dalam penelitian, data memiliki peranan penting untuk menentukan ketepatan dan kebenaran tujuan penelitian dari informasi yang diperoleh. Menurut Slamet (2006 ; 164) data didefinisikan , “data merupakan bahan mentah yang masih harus diolah, dimana data tersebut dipilih dari berbagai hal yang relevan dan dianggap penting dalam penelitian”. Data atau informasi yang diperoleh dari penelitian digali dari berbagai sumber data. Dalam penelitian ini, menggunakan sumber data yaitu berasal dari informan-informan yang menjadi objek penelitian, yaitu para perempuan lajang di Sukoharjo yang bekerja di berbagai sektor publik. Menurut Spradley (2007 : 39 ) “ informan adalah sumber informasi atau secara harfiah informan menjadi guru bagi etnografer “. Seorang informan , menurut HB Sutopo (2002 : 50), memiliki peranan penting bukan hanya sekedar memberikan tanggapan pada apa yang diminta peneliti, tetapi ia bisa lebih memiliki arah dan selera dalam menyajikan informasi. Maka dari itu, dalam penelitian ini dipilihlah informan yang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan penelitian. Dalam memilih informan yang baik, Spradley (1997 : 61) menjelaskan
35
ada 5 syarat minimal yang harus dipenuhi dalam memilih informan yang baik, yaitu : 1) Enkulturasi penuh, 2) Keterlibatan langsung, 3) Suasana budaya yang tidak dikenal, 4) Waktu yang cukup, dan 5) Non-analisis. Informan atau narasumber yang dipilih dalam penelitian kali ini adalah a. para perempuan lajang yang berusia minimal 25 tahun. . Ini disesuaikan dengan angka perkawinan yang dianggap wajar bagi perempuan pada masyarakat Jawa yaitu ketika menginjak masa haidnya yang pertama. Dan para perempuan yang memasuki usia minimal 25 tahun disinyalir merupakan usia yang rentan segera menikah, sehingga bagi mereka yang belum menikah pada usia tersebut tentu memiliki berbagai alasan yang mendasar. b. perempuan yang bekerja dalam berbagai aktivitas sektor publik, yang dibatasi pada aktivitas kerja kantor dan sejenisnya. Artinya dipilih para perempuan lajang yang bekerja pada berbagai sektor pelayanan publik yang ditempatkan dalam aktivitas kerja formal. Ini dikarenakan pengaruh kerja dan hubungan dengan teman kerja dalam aktivitas kantor, tentu akan mmberikan pengaruh dan pandangan yang baru dan berbeda bagi para perempuan lajang tersebut dalam memutuskan atau membincangkan perkawinan. c.
perempuan yang memiliki tingkat pendidikan minimal Strata 1. Karena jenjang S1 merupakan jenjang paling awal dari sekolah tinggi, dimana mahasiswa memiliki berbagai ilmu dan pandangan baru yang tingkatannya lebih tinggi, sehingga dengan demikian akan berpegaruh pula dalam proses hidup kedepannya. Data yang diperoleh selain berasal dari informan, juga diperoleh dari
dokumen atau arsip. Menurut Sugiyono (2005 : 82) , “dokumen merupakan cacatan peristiwa yang sudah berlalu”. Lebih lanjut HB Sutopo (2002 : 54) menjelaskan bahwa “ dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang bergayutan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu”. Dokumen ini bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini adalah arsip serta data mengenai angka / usia pernkawinan pada perempuan lajang di daerah Sukoharjo , dari tahun
36
1970-an sampai pada tahun 2000an, yang diperoleh di Kantor Urusan Agama (KUA). Pengumpulan data melalui Kantor Urusan Agama ini dipilih untuk memudahkan dalam membandingkan dan mengetahui tingkat atau angka usia perkawinan pada perempuan di Sukoharjo dari tahun ke tahun. Di KUA telah disediakan data yang tertulis secara jelas, angka dan waktu pelaksanaan perkawinan pada masyarakat di Sukoharjo. Jadi dengan demikian akan diperoleh angka atau perhitungan yang riil tentang usia perkawinan pada kebanyakan perempuan di Sukoharjo.
D. Teknik Pengumpulan Data Kegiatan pengumpulan data merupaka bagian yang penting dalam setiap penelitian. Dalam penelitian kualitatif, data penelitian bukan sebagai alat dasar pembuktian tetapi sebagai modal dasar bagi pemahaman, sehingga proses pengumpulan data akan lebih lentur dan dinamis ( HB Sutopo, 2001 : 47). Dalam penelitian kualitatifm dikenal beberapa teknik pengumpulan data : 1. Wawancara, yaitu cara yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui kegiatan interaksi sosial antara peneliti dan yang diteliti, melalui kegiatan tanya jawab ( Y Slamet, 2006 : 101). wawancara kepada informan. Sedangkan Mulyana (2003 :180) menjelaskan bahwa wawancara adalah bentuk komunikasi antra dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu 2. Observasi / Pegamatan ( secara langsung ), adalah teknik pengumpulan data yang bersifat non verbal, biasanya berupa studi lapangan di mana peneliti berperan sebagai pengamat. 3. Dokumentasi, pengumpulan data yang dilakukan menelaah dokumen, arsip yang berhubungan dengan peristiwa atau masalah. Umumnya berupa catatan yang berharga bagi pemahaman suatu peristiwa. Mencatat dokumen menurut Yin bukan hanya sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat.( Sutopo, 2002 : 69-70)
37
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara dan dokumentasi. Wawancara dipilih karena untuk memperoleh informasi langsung kepada responden-respondn, melalui proses komunikasi lewat tanya jawab. Lebih lanjut, Susan Stainback dalam Soegiyono (2005 : 72) menjelaskan bahwa interviewing provide the researcher a means to gain a deeper understanding of
how the participant interpret a situation or
phenomenon than can be gained through observation alone. Jadi, dengan wawancara maka peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, di mana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi. Dalam penelitian tentang makna perkawinan bagi perempuan lajang ini, teknik wawancara dipilih karena akan memudahkan dalam pengumpulan data pada para informan. Guna mendukung agar data yang diperoleh memiliki makna yang lebih dalam dan lebih luas maka dipilih wawancara secara tak terstruktur atau dikenal pula dengan wawancara mendalam. Soegiono ( 2005 : 74) menjelaskan bahwa , “ wawancara tidak berstuktur adalah wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan”. Wawancara jenis ini menurut Mulyana bersifat lebih luwes, susunan pertanyaan dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, yang disesaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik sosial budaya responden yang di hadapi. Sehingga suasana ynag terjadi dalam proses wawancara tidak berjalan kaku dan formal, dan memudahkan informan mengeluarkan argumen dan pendapatnya secara lebih terbuka.
E. Teknik Cuplikan Atau Sampling Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Teknik sampling atau cuplikan merupakan bentuk khusus atau proses bagi pemusatan atau pemilihan dalam penelitian yang mengarah pada seleksi. Fokus teknik cuplikan dalam kualitatif ini lebih bersifat selektif. Peneliti mendasarkan pada
38
landasan kaitan teori yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik empiris yang dihadapi ( HB Sutopo, 2002 : 55-54). Dalam penelitian ini, menggunakan teknik sampling, purposive sampling. Sugiyono ( 2005 : 54 ) menjelaskan bahwa , “ purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan menggunakan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini , misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi situasi sosial yang diteliti “.
F. Validitas Data Untuk mengetahi tingkat keabsahan data yang berhasil dikumpulkan maka, dalam penelitian kualitatif perlu diadakan pengukuran atau pengujian validitas data. Dalam penelitian kualitatif, Sogiono (2006 : 119) menyatakan bahwa untuk mengetahui valid tidaknya data atau temuan di lapangan , yang dilihat adalah tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Yang perlu diingat bahwa dalam penelitian kualitatif, kebenaran realitas data tidak bersifat tunggal tetapi bersifat jamak dan tergantung pada konstruksi manusia, dibentuk dalam diri seseorang sebagai hasil proses mental tiap individu dengan berbagai latar belakangnya. Trianggulasi dalam penelitian kualitatif dibedakan atas 4 jenis : 1. Trianggulasi Data ( trianggulasi sumber ) Trianggulasi sumber adalah untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. ( Sugiyono, 2005 : 127) 2. Trianggulasi Metode Trianggulasi jenis ini dilakukan oleh seorang peneliti dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda (HB Sutopo, 2002 : 80 ) 3. Trianggulasi Peneliti
39
Trianggulasi adalah hasil penelitian baik data ataupun kesimpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti ( HB Sutopo, 2002 : 81 ) 4. Trianggulasi Teori Trianggulasi ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. ( HB Sutopo, 2002 : 82 ) Dalam penelitian ini, validitas data diperoleh melalui model trianggulasi sumber dan menggunakan bahan referensi guna mendukung data yang telah terkumpul agar dapat diuji kebenarannya. Trianggulasi sumber menurut Sugiyono (2005 : 125) dijelaskan sebagai, teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila peneliti melaukan pengumpulan data dengan trianggulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus mernguji kredibilitas data. Trianggulasi ini didasari oleh pola pikir
fenomenologi yang
bersifat
multiperspektif. Artinya untuk menarik simpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang. Trianggulasi sumber dipilih karena data yang sudah diperolah yang berasal dari sumber data yang beragam, yang sifatnya sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya. Dengan demikian apa yang diperoleh dari satu sumber bisa dibandingkan dengan data sejenis yang dipeoleh dari sumber lain yang berbeda. Untuk mengetahui validitas data dengan mengggunakan teknik ini, dapat dilakukan dengan : 1. membandingkan hasil wawancara antara satu informan dengan informan lain tentang makna perkawinan dalam pandangan mereka. 2. membandingkan hasil wawancara dengan data yang diperoleh di KUA tentang angka perkawinan pada masyarakat sukoharjo Selain trianggulasi validitas data juga dapat diperoleh atau diketahui dari menggunakan bahan referensi. Sugiyono (2005 : 128) menjelaskan bahwa “ bahan referensi di sini adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti”. Contohnya hasil wawancara perlu didukung dengan
40
rekaman wawancara. Oleh karena itu dalam penelitian kali ini, disertakan pula rekaman hasil wawancara untuk mendukung validitas data dan sebagai dokumen yang sifatnya autentik.
G. Analisis Data Sugiyono (2005 : 89) menjelaskan bahwa, “ analisis data adalah proses mencari data dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain”. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Miles dan Huberman dalam Sugiyono ( 2005 : 91) mengemukakan bahwa, “ aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas”. Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing / verification. Langkah langkah analisisnya dapat ditunjukkan sebagai berikut, yaitu analisis data model interaktif. Data collection
Data display
Data reduction Conclusion: drawing / verifying
41
Gambar 2. Analisis Data Kualitatif Menurut Milles Dan Huberman
a. Reduksi data Mereduksi
data
berarti
merangkum,
memilih
hal-hal
yang
pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan. Dalam mereduksi data, setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai. Reduksi data ini merupakan proses berfikir sensitif yang memerlukan kecerdasan dan keluasan dan kedalaman wawasaaan yang tinggi., sehingga peneliti dapat mereduksi data-data yan memiliki nilai temuan dan pengembangan teori yan signifikan. (Sugiyono, 2005 : 92-93) b. Data Display (penyajian data) Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles dan Huberman menyatakan, “the most frequent form of display data for qualitative research data in the past has been narrative text”. Artinya yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. ”(Sugiyono, 2005 : 95) c. Conclusion Drawing / verification Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles Dan Hubermaan adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan berikutnya.
42
d. Penarikan Kesimpulan / Verifikasinya Dari proses penarikan kesimpulan, maka peneliti akan mengerti pola atau hubungan sebab akibat dari permasalahan yang diteliti. Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan tersebut harus diverifikasi agar cukup mantap dan benar-benar dapat dipertanggung jawabkan secara sosial maupun keabsahannya.
H. Prosedur Penelitian Adapun langkah-langkah penelitian menurut HB Sutopo (2002 : 187190), yang terdiri dari berbagai alur kegiatan mulai dari tahap persiapan, pengumpulan data, analisis data dan penyusunan laporan penelitian, dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut : 1. Persiapan a. Menyusun proposal yang dimulai dengan proses pengajuan judul kepada dosen pembimbing. b. Mengurus berbagi perijinan yang diperlukan, baik itu perijinan yang berasal dari FKIP maupun perijinan yang berhubungan dengan instansi masyarakat (KUA) c. Menentukan lokasi dan menentukan informan yang dijadikan sumber informasi d. Menyiapkan instrumen penelitian 2. Pengumpulan Data a. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dan membuat catatan dari dokumen atau arsip. b. Membuat field note atau cacatatan lapangan dan menyajikannya dalam transkrip hasil wawancara. 3. Analisis Data a. Menentukan analisis data yang meliputi tahap reduksi data, penyajian data, verifikasi dan penarikan kesimpulan. b. Mengembangkan hasil intepretasi data dengan analisis lanjut kemudian disesuaikan dengan hasil temuan dilapangan.
43
4. Penyusunan Laporan Penelitian a. Penyusunan laporan awal b. Review laporan c. Perbaikan laporan dan disusun sebagai laporan akhir
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Diskripsi Lokasi Penelitian Sukoharjo merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini berada pada jarak 10 Km dari Kota Surakarta. Kabupaten ini memiliki luas area sekitar 444,666 km persegi, dengan batas wilayah yang diapit oleh 6 ( enam ) kabupaten. Yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kota Surakarta dan Kabupaten Karanganyar, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Gunung kidul ( Provinsi DIY ) dan Kabupaten Wonogiri, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten. Sukoharjo merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk cukup tinggi. Terhitung pada tahun 2007 terdapat 831.613 jiwa dengan pembagian jumlah penduduk laki-laki sebanyak 411.340 ( 49,46%) dan penduduk perempuan sebesar 420.273 ( 50,54 %). Sehingga tidak heran, dengan kepadatan penduduk demikian, Sukoharjo menjadi salah satu daerah sub urban di Surakarta dengan potensi pengembangan wilayah yang cukup potensial. Bahkan beberapa daerah di Sukoharjo pun telah menjadi bagian dari pusat pengembangan pemerintah Kodya Surakarta yang mendatangkan income baik dari segi material maupun sumber daya manusia dan sumber daya alam. Sebagai daerah sub urban yang notabene merupakan daerah pinggiran Surakarta, beberapa daerah di Kabupaten Sukoharjo menjadi pusat pengembangan
44
pemerintah Kodya Surakarta karena daerah ini menjadi batas peralihan antara pola hidup modern dan tradisional. Hal ini terkait dengan tingginya sektor perkembangan ekonomi dan industri. Data di Disperindagkop ( tahun 2007) menjelaskan bahwa jumlah pabrik di Sukoharjo saat ini sebanyak 15.690 unit. Sektor Industri yang paling berkembang adalah industri tekstil dan sentra-sentra kerajinan yang ada di Sukoharjo, seperti mebel, rotan, kaca dan lainnya. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa Sukoharjo memiliki potensi dan pengembangan kerja yang cukup baik. Saat ini Kabupaten Sukoharjo memiliki potensi yang sangat besar di bidang industri dan perdagangan yaitu mencapai 31 persen, angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan potensi pertanian yang hanya mencapai angka di bawah 13 persen.. Menurut data yang dihimpun dari DP4 ( tahun 2008 ), jumlah tenaga kerja di bidang industri di Sukoharjo tercatat 326.893 orang laki-laki dan 339.592 orang perempuan. Namun untuk posisi-posisi pegawai negeri masih tetap didominasi oleh kaum laki-laki. Dari 9701 jumlah pegawai di Sukoharjo, terdapat 5334 Laki-laki dan 4367 tenaga perempuan. Dapat terlihat bahwa jumlah tenaga kerja perempuan di bidang industri dan pabrik jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dikarenakan upah dari tenaga kerja perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Selain itu banyak sekali para ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam UMK ( Usaha Menengah Kecil ) mendirikan berbagai jenis atau bidang industri rumah tangga yang dapat menunjang perekonomian. Tenaga kerja terampil yang menduduki berbagai posisi kerja merupakan potensi sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan dalam berbagai hal pembangunan, sehingga untuk mendapatkan tenaga kerja yang terampil ini tidak lupa terkait pula dengan pendidikan. Di Kabupaten Sukoharjo sendiri, menurut data yang terdapat di Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo tahun 2007 lulusan terbanyak di duduki lulusan SLTA dengan jumlah pekerja terbaanyak di bidang industri. Guna meningkatkan potensi dan kualitas dalam bidang pendidikan, pemerintah Kabupaten Sukoharjo, menyelenggarakan sekolah gratis bagi pelajar
45
sampai tingkat SLTA terhitung mulai tahun 2006. Dari pemberian sekolah gratis ini, pemerintah mengharapkan partisipasi yang lebih besar dari masyarakat untuk dapat memiliki peluang kerja yang lebih tinggi. Bagi perempuan tentu saja ini membawa iklim yang lebih positif. Karena dengan demikian kesempatan para perempuan di Sukoharjo untuk mendapatkan pendidikan dan kerja yang baik bisa terpenuhi. Dari data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukoharjo tahun 2007, beberapa posisi bidang kerja didominasi oleh perempuan misalnya saja pada bidang industri ataupun jasa. Ini menunjukkan bahwa geliat posisi perempuan dalam berbagai ruang publik yang vital di Sukoharjo makin terlihat. Hal ini juga didukung dengan data yang menunjukkan bahwa perempuan memiliki tingkat kelulusan di bidang pendidikan ( strata 1 ) yang lebih tinggi dari laki-laki. Terdapat 145 lulusan lakilaki dan 350 lulusan perempuan. Sukoharjo memiliki potensi yang cukup besar di bidang industri. Hal ini membuat minat kerja bagi masyarakatnya cukup tinggi, tak terkecuali bagi perempuan. Menurut data yang dilansir dari beberapa artikel yang berkenaan dengan wilayah Sukoharjo, posisi perempuan dalam sektor ekonomi sebenarnya sudah cukup berkembang dengan baik. Namun yang menjadi pangkal persoalan sekarang pemerintah masih kurang melibatkan perempuan dalam berbagai aktivitas dan keputusan pemerintahan. Hal ini mengakibatkan kurangnya keterlibatan perempuan dalam posisi pendidikan maupun hal-hal yang berkenaan dengan masalah-masalah krusial. Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah minat mereka tentang kerja dan kepentingan ekonomi sangat tinggi. Berbagai jaringan kerja perempuan banyak terbentuk di daerah Sukoharjo. Mulai dari pembentukan koperasi maupun UMKM, yang kesemuanya memiliki andil besar bagi pendapatan di Sukoharjo. Hal ini membawa dampak semakin tingginya kesadaran untuk meningkatkan kemandirian bagi kaum perempuan. Tidak hanya meliputi sektor ekonomi saja, hal ini akan berkelanjutan dan membawa dampak pada berbagai keputusan dan bersifat aktivitas sosial masyarakat.
46
Berpengaruh pula pada keputusan untuk melakukan perkawinan. Dari catatan KUA Kecamatan Sukoharjo pada tahun 1970-an, rata-rata usia perkawinan pada perempuan berkisar antara usia 16- 21 tahun dan untuk laki-laki berkisar antara usia 19-22 tahun.Misalnya saja pada tahun 1973, dari bulan Juli sampai bulan Agustus terhitung 23 kali jumlah perkawinan dengan usia perempuan 16 – 22 tahun dan laki-laki 19-23 atau 24 tahun. Tentu saja ini tak lepas dari status pendidikan atau pekerjaan yang mereka miliki. Umumnya untuk perempuan akan melakukan perkawinan begitu memasuki usia dewasa secara biologis ( setelah haidnya yang pertama ). Namun perubahan cara pikir yang dipengaruhi oleh kompleksitas kehidupan sosial dalam ruang kerja atau pendidikan memberikan perubahan yang cukup signifikan. Mulai awal tahun 2000 banyak perempuan yang menikah pada usia lebih dari 20 tahun bahkan ada yang mendekati 30 tahun. Pada tahun 2005 saja misalnya pada bulan Januari 20 kali jumlah perkawinan rata-rata usia perempuan adalah 26 dan 27 tahun ( kebanyakan perempuan kelahiran 1977, 1978 dan 1979 ). Namun demikian memang masih dijumpai perempuan berusia 24 atau 23 tahun yang sudah menikah. Perkara perkawinan lantas menjadi bagian dari kompleksitas hidup manusia yag tidak hanya dilakukan karena mengikuti siklus semata tetapi dilakukan dengan berbagai negosiasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari faktor sosial, mental maupun material.
B. Temuan Hasil Penelitian yang Dihubungkan dengan Kajian Teori
Persoalan perkawinan menjadi bagian dari praktek budaya yang memiliki beragam fungsi dan makna. Perkawinan menjadi suatu permasalahan yang kompleks dan membutuhkan berbagai analisa yang tepat untuk menemukan setiap makna dan sistem permasalahnnya, dari alasan dalam melakukan perkawinan sampai pada proses hidup baru yang terbentuk dari perkawinan Hal ini menjadi bahan perbincangan yang membutuhkan pemikiran dan pembahasan yang cukup detail. Dalam memutuskan untuk melakukan perkawinan tentu bukanlah keputusan yang mudah bagi seorang individu. Ada banyak tujuan dan berbagai
47
pertimbangan yang harus dipikirkan, sehingga akhirnya dapat sampai pada keputusan untuk melakukan perkawinan. Berbagai macam pertimbangan diberikan oleh seseorang sampai akhirnya dia memutuskan untuk melangsungkan perkawinannya atau menundanya. Dari hasil pembahasan yang terdapat dalam bab ini menjelaskan hasil wawancara dan pengamatan dari informan untuk menggali tentang persoalan bagaimana mereka memaknai perkawinan. Apakah yang menjadi pertimbangan dan alasan mereka (informan — perempuan lajang yang bekerja) menunda usia perkawinan. Ada 6 informan yang bersedia diwawancarai untuk membagi kisah dan cerita menyangkut persoalan tersebut, yaitu WT ( 26 tahun) , SR ( 26 tahun), FTR ( 27 tahun ), KK ( 39 tahun ), TY ( 26 tahun ) dan TR ( 25 Tahun ) .Dari jawaban para informan ini dapat memberikan gambaran tentang persoalan yang diajukan dalam penelitian ini. 1. Makna Perkawinan a. Makna Perkawinan Bagi Informan Perkawinan sebagai bagian dari kompleksitas budaya kehidupan masyarakat yang kemudian menjadi salah satu bagian dari siklus kehidupan manusia. Siklus hidup manusia menurut diartikan sebagai serangkaian tahapan yang harus dilalui manusia yakni berupa tingkatan-tingkatan dari hal-hal sederhana sampai pada proses hidup yang lebih kompleks (Koentjaraningrat,1992 : 192). Siklus hidup manusia akan mengalami puncaknya pada waktu manusia membentuk sebuah keluarga. Hal ini berarti manusia mengalami puncak aktivitas hidup waktu membentuk keluarga. Oleh karena itu keluarga menjadi bagian yang penting dan paling primer dalam hidup bermasyarakat. Keluarga terbentuk dari proses hidup yang diawali dengan adanya perkawinan ( Geertz, 1982:58). Perkawinan menjadi cikal bakal penyatuan dua orang dalam satu kesatuan yang disebut sebagai keluarga. Dalam kultur masyarakat Jawa (khususnya), perkawinan menjadi sebuah tanda terbentuknya kedewasaan anak untuk membentuk sebuah somah baru di mana anak segera akan memisahkan diri dengan orang tua, baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, untuk membentuk sebuah keluarga dalam rumah tangga baru. Pengertian
48
perkawinan lebih ditekankan pada terbentuknya kelompok kecil baru dengan beban ekonomi dan tempat tinggal yang lepas dari orang tuanya ( Geertz, 1983:58). Ada beberapa definisi tentang perkawinan yang diutarakan oleh para informan. Definisi masing-masing informan tentu saja berbeda sesuai dengan bagaimana cara mereka memandang perkawinan itu sendiri. Berdasarkan hasil wawancara maka ditemukan opini tentang perkawinan dari WT dan KK masingmasing berusia 26 tahun dan 39 tahun, yang memberikan pengertian bahwa perkawinan sebagai penyatuan antara dua orang individu yang akan membentuk suatu relasi sosial baru, yang merupakan suatu kesatuan personal yang disepakati bersama antara laki-laki dan perempuan secara sah. .Lebih lanjut WT menuturkan sebagai berikut “Perkawinan adalah suatu proses hidup bersama yang dilakukan secara legal antara laki-laki dan perempuan. ”( W/WT /19/04/09 ) Jawaban hampir serupa juga dikemukakan oleh KK ( 39 tahun ), sebagai berikut “ Perkawinan itu ya hubungan dua manusia antara laki-laki dan perempuan yang telah diikat oleh ikatan hukum perkawinan.” (W/KK/20/06/09) Dari komentar WT maupun KK, terlihat bahwa perkawinan adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan secara sah baik lahir maupun batin yang membutuhkan legalisasi/ legitimasi hukum tertentu, baik secara hukum negara maupun hukum agama. Hal ini sejalan yang dikatakan Suryani dan Bagus ( 2007 : 5) bahwa perkawinan sebagai hubungan ikatan lahir. Artinya bahwa perkawinan sebagai hubungan formal yang dibentuk oleh undang-undang atau legitimasi tertentu bagi keduanya dalam hubungan masyarakat. Legalisasi yang dimaksud adalah adanya keabsahan perkawinan dengan diperolehnya surat nikah yang tercatat di KUA tentang perkawinan kedua orang laki-laki dan perempuan, dan tersimpan sebagai arsip negara. Menurut WT dan KK, pelegalan semacam ini perlu dilakukan karena keabsahan dari suatu lembaga negara terhadap perkawinan tentu akan dapat digunakan untuk memperkuat status hubungan berdasarkan hukum serta hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan perkawinan (persoalan anak maupun harta) sehingga untuk kemudian hari tidak
49
menjadi masalah apabila terjadi sesuatu. Selain itu keabsahan tersebut juga menunjukkan eksistensi mereka dalam masyarakat sebagai pasangan yang sah. Legitimasi perkawinan sangat penting (dalam konteks perempuan) karena di dalamnya terdapat pola / ikatan-ikatan tertentu yang mengatur hubungan perkawinan tersebut. Dalam hubungannya dengan kepemilikan anak misalnya, legalitas perkawinan penting, seperti diungkapkan oleh Gough ( 1959) “ Perkawinan menjadi tempat dimana ditetapkannya legitimasi anak sebagai anggota yang bisa diterima oleh masyarakat “. Artinya dalam hubungan perkawinan tersebut, perkawinan sebagai struktur yang memproduksi , memelihara dan mengembangkan anak, untuk dapat menjadi anggota dari masyarakat, dan dapat diterima serta diakui sebagai anggota baru. Anak yang lahir dalam hubungan perkawinan yang sah akan mendapatkan jaminan hukum yang pasti, misalnya terakui dalam bentuk akte kelahiran. Namun sebaliknya, kedudukan atau posisi anak yang lahir di luar hubungan perkawinan
akan sangat
lemah.
Artinya
bahwa
salah satu
konsekuensinya adalah menjadi bahan pembicaraan masyarakat dan sulit untuk menentukan anak dari bapak siapa ( dalam masyarakat Jawa disebut anak Jaddah). Dalam berbagai kasus misalnya laki-laki tidak bisa dirtuntut pertanggung jawabannya jika tidak ada ikatan perkawinan. Artinya seorang perempuan yang hamil di luar pernikahan harus menanggung sendiri segala biaya yang dikeluarkan, tidak ada penuntutan terhadap si laki-laki ( Arivia, 2002 : 88). Ketika anak lahir diluar nikah, maka dalam akta kelahiran akan dicatat sebagai “anak luar nikah” atau anak tidak sah dan konsekuensinya anak hanya akan memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayah. Selain itu anak yang lahir di luar perkawinan yang sah secara hukum mengakibatkan anak tidak berhak atas nafkah, warisan, biaya kehidupan dan pendidikan dari ayahnya ( Musdah Mulia, 2006 : 76) Bagi perempuan perkawinan yang dilakukan secara sah menurut hukum negara, akan membuat mereka lebih merasa “aman” dalam menuntut dan melaksanakan hak dan kewajiban yang ada dalam perkawinan. Sebut saja, misalnya yang telah dijelaskan dalam UU Perkawinan pasal 30, 31 dan 32
50
menjelaskan hak-hak yang diterima istri (perempuan) walaupun memang tidak tertuliskan secara gamblang. Diantaranya adalah perkawinan berkaitan dengan posisi dan kedudukan istri yang sejajar dengan suami yang berimplikasi bahwa istri (perempuan) dalam rumah tangga memiliki posisi dan peran yang sama pentingnya, sehingga tidak ada salah satu yang mendominasi. Jika secara hukum tidak ada legitimasi hukum yang sah maka istri akan berada dalam posisi yang dirugikan baik secara hukum maupun secara hubungan sosial ( Musdah Mulia, 2006 : 76) . Dalam hubunganya dengan hukum, istri tidak dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki bukti hukum yang autentik. Akibatnya istri tidak berhak atas harta gono gini1 jika mungkin terjadi perceraian atau kematian. Sedangkan dalam dampak sosial, perempuan akan merasa sulit untuk melakukan sosialisasi di masyarakat, karena mungkin akan muncul anggapan sebagai istri simpanan atau hanya kumpul kebo2. Jawaban berbeda justru ditemukan dari informan yang lainnya, yang memandang bahwa perkawinan sebagai bagian dari proses penyatuan antara dua orang individu yang berbeda. Dalam hal ini perkawinan didefinisikan sebagai sebuah penyatuan yang dimasuki oleh seorang perempuan dan laki-laki dengan harapan dapat membagi kehidupan secara bersama ( Henry, 1999:197). Jadi perkawinan sebagai sarana atau tempat untuk menyatukan dua orang individu menjadi satu kesatuan hidup bersama dan membagi segala aktivitas hubungan perkawinan secara bersama. SR mengungkapkan definisi perkawinan sebagai berikut, “Marriage is combaining two person with another characteristic into one” (Perkawinan adalah
mengkombinasikan dua orang yang berbeda
karakteristik untuk menjadi satu)( W/SR/26/04/09). Sama halnya dengan SR, TR memberikan definisi tentang perkawinan sebagai bagian dari proses penyatuan dua individu pula. Lebih lanjut dia menyatakan, “ Perkawinan adalah ikatan yang menyatukan dua hati dan pikiran laki-laki dan perempuan supaya bisa membentuk keluarga sakinah. ”(W/TR/19/06/09)
1
Gono-gini Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama ( pasal 35 UU Perkawinan ) 2 Kumpul Kebo : tinggal serumah tanpa menikah ( Musdah Mulia, 2006 : 76)
51
Dari opini yang dikemukakan SR dan TR terlihat bahwa perkawinan sebagai proses yang dilakukan 2 orang bersama (laki-laki dan perempuan) dengan dua sifat, dua karakter dan dengan aktivitas hidup yang berbeda (kerja) untuk dapat menyatu dan hidup selaras dalam satu rumah tangga. Dalam hubungan perkawinan tersebut ada proses bersama yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Aktivitas atau proses bersama ini mengandung pengertian bahwa dua orang tersebut berada dalam satu ikatan rumah tangga yang membagi aktivitas sehari-hari secara bersama, mulai dari bangun pagi sampai malam hari khususnya mengerjakan pekerjaan rumah dan sama-sama bekerja, mengurus anak dan kebutuhan rumah tangga. Lebih lanjut konsep tentang proses hidup bersama ini diartikan hidup bersama secara hukum yang memungkinkan tinggal dalam satu atap bersama, membagi struktur pekerjaan rumah tangga ataupun pekerjaan di luar rumah secara bersama, serta proses bersama dalam mewujudkan keturunan ( anak-anak yang dihasilkan dari hubungan perkawinan ). Perkawinan dilakukan untuk membentuk kehidupan keluarga yang harmonis, dinamis, selaras, saling menghormati dan menghargai antara yang satu dengan yang lain. Menurut SR tidak ada keinginan untuk saling mengubah sifat mapun
karakterisik
dasar
masing-masing,
tapi
justru
berupaya
untuk
menyeimbangkan dan menyelaraskan hubungan dalam rangka menumbuhkan atau menciptakan kesatuan dalam hidup berumah tangga. Hal
ini
mengadung
arti
bahwa
adanya
hubungan
perkawinan
mengharapkan adanya kebersamaan untuk menghindari konflik sekecil apapun sehingga tidak akan terjadi silih pendapat yang akan mengganggu kehidupan perkawinan dan akan lebih mudah mewujudkan tujuan sebagai keluarga yang sakinah. Misalnya dengan cara saling mengerti perbedaan sifat atau karakter, mengerti akan pekerjaan dan profesi masing-masing. Pola hubungan yang seperti ini oleh Geertz dalam tatanan masyarakat Jawa sering disebut sebagai konsep harmoni sosial. Harmoni sosial ini sebagai salah satu nilai kejawen yang penting dalam hubungan keluarga. Geertz (1983 : 154 ) menjelaskan sebagai berikut “..determinasi untuk memelihara pernyataan sosial yang harmonis dengan memperkecil sebanyak-banyaknya pernyatan konflik sosial dan pribadi secara terbuka dalam bentuk apapun..........didasarkan pada
52
pandangan kejawen tentang keseimbangan emosional-statis emosionalsebagi nilai tertinggi“ Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh SR maupun TR menyiratkan suatu keadaan dimana dalam hubungan keluarga dibutuhkan adanya upaya atau hal-hal dalam rangka menciptakan keselarasan atau kedamaian pasangaan (suami istri) serta berupaya memperkecil terjadinya konflik atau pertengkaran. Masingmasing pihak (laki-laki dan perempuan) berupaya untuk menjalin komunikasi atau hubungan yang terbuka, sehingga setiap aktivitas rumah tangga (aktivitas seharihari, aktivitas hubungan personal, aktivitas hubungan sosial, aktivitas hubungan kerja) akan dapat berjalan secara selaras, seimbang, serasi, harmonis dan dinamis sehingga penuh kerukunan. Pola hubungan perkawinan yang menuntut adanya kehidupan yang harmonis dan penuh kerukunan juga disampaikan oleh responden yang ketiga, FTR sebagai berikut ,“ Suatu hal atau peristiwa yang harus dipikirkan matangmatang agar dalam perkawinan tersebut tidak seumur jagung dan tetap bertahan untuk selamanya menjadi keluarga yang harmonis, sakinah , mawadah dan warohmah. ”( W/FTR/17/05/09) Istilah tentang kerukunan dan keharmonisan di sini menurut SR, TR maupun FTR menjadi nilai yang penting dalam membina hubungan perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Kerukunan ini tidak hanya berhubungan dengan kegiatan yang saling membantu dan bekerja sama, tapi juga berupaya untuk mencoba menghindari perbedaan pendapat. Karena disadari atau tidak, diinginkan atau tidak dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan itu tentu tidak selalu terjadi secara sejalan. Seperi halnya yang diungkapkan oleh Anderson ( 2005 : 164 ) bahwa
“....they can also of trouble, conflict and sorrow “(...mereka-
perkawinan juga akan terdapat masalah, konflik maupun derita) .Maka kerukunan dalam konsep harmoni sosial ini juga mengupayakan untuk memperkecil dan menghindari
konflik
dalam
hubungan
perkawinan.
Selanjutnya
dalam
hubungannya dengan kerukunan / rukun, Geertz ( 1983 : 156 ) menjelaskan bahwa “ Istilah rukun......menyatakan adanya kesepakatan, adanya kebulatan suara dalam kelompok dalam hal cara dan tujuan, setidak tidaknya pada tindak tanduk lahiriah. Jika tidak terdapat pernyataan pendapat dan
53
perasaan berselisih yang terbuka, kelompok yang bersangkutan disebut rukun. ....rukun sebenarnya penampilan sebagaimana mestinya, tiadanya pertentangan antar pribadi secara terbuka “ Dengan adanya nilai-nilai kerukunan dalam mewujudkan harmoni sosial inilah maka perkawinan lantas akan dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa sudah terjadi kesepakatan dalam rangka mewujudkan nilai-nilai harmonis, serasi, seimbang Selain itu dengan adanya kerukunan dan upaya untuk menghindari konflik sekecil mungkin, maka diharapkan akan dapat membentuk hubungan keluarga sesuai dengan tujuan atau fungsi perkawinan dalam konsep mereka. Perkawinan berdasarkan uraian tersebut di atas,
dapat disimpulkan
bahwa makna perkawinan adalah sebagai suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri yang sah. Konsep-konsep tentang keabsahan ini menjadi penting ( khususnya bagi perempuan ) karena di dalamnya terdapat berbagai bentuk kepastian dan perlindungan hukum yang dapat memberikan jaminan secara kuat. Ini akan membawa implikasi juga pada diterimanya hubungan 2 orang manusia ( laki-laki dan perempuan ) untuk dapat menjalankan segala aktivitas hidup dalam satu atap bersama, tanpa terjadi berbagai konflik yang sifatnya bertentangan dengan nilai moral kemasyarakatan. Selanjutnya konsep perkawinan juga sebagai bentuk penyatuan secara personal, emosional antara laki-laki dan perempuan dalam upaya mewujudkan tujuan perkawinan serta dapat hidup bersama dengan damai, bahagia, sejahtera dan harmonis dalam suatu lembaga keluarga yang dibina atas dasar persamaan tanggung jawab dan kasih sayang. Hal ini memberikan arti bahwa dalam perkawinan juga harus terdapat negosiasi yang kuat dalam merencanakan atau menyadari berbagai kesepakatan bersama yang dibentuk untuk membina nilainilai harmonis dalam keluarga, baik itu secara finansial maupun emosional. Nilai harmoni secara finansial lebih ditekankan pada terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga baik itu kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Sedangkan harmonis secara emosional, lebih pada ikatan batin dalam menunjukkan atau membina perasaan cinta kasih dalam rangka memperkecil terjadinya konflik atau pertengkaran.
54
Perkawinan seperti yang diungkapkan oleh FTR tersebut juga berupaya mewujudkan pola atau hubungan yang sakinah, mawadah dan warohmah. Hal ini erat kaitannya dengan konsep perkawinan yang dipandang dari sudut suatu agama, dalam hal ini islam. Dalam islam perkawinan adalah institusi yang paling penting bagi komunitas manusia. Haifa (2002: 105 ) menjelaskan bahwa , “ pernikahan harus membawa maslahat , baik bagi suami atau istri, maupun masyarakat”. Hal ini berkaitan erat bahwa dalam islam perkawinan dilakukan untuk mewujudkan rumah tangga yang bisa menyenangkan bagi pasangan suami istri. b. Fungsi Perkawinan Bagi Informan Kembali pada persoalan mengenai pengertian perkawinan maka sebenarnya akan diperoleh berbagai pengertian dan makna yang dapat dianalisis dari sudut pandang berbeda. Artinya masing-masing definisi perkawinan yang diungkapkan informan menunjukkan arah pengertian yang berbeda tentang perkawinan dalam benak mereka ( WT, SR, FTR, KK,TR maupun TY ). Terlepas dari itu semua, pembicaraan mengenai perkawinan, tentu akan membawa pada kajian tentang fungsi perkawinan. Fungsi perkawinan memiliki implementasi terhadap manfaat atau tujuan yang ingin dicapai dari proses perkawinan tersebut. Ada berbagai anggapan ataupun asumsi yang diberikan masing-masng orang tentang fungsi dari perkawinan, tak terkecuali bagi keenam informan. Perkawinan memiliki fungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan dan mengaplikasikan kebutuhan emosional bersama yang berhubungan dengan aspekaspek kebutuhan pribadi, yang salah satunya berhubungan dengan kebutuhan akan rasa cinta dan kasih sayang. Ini nampaknya sama dengan fungsi perkawinan yang disampaikan oleh SR,“Yang pertama perkawinan sebagai tempat untuk mendapatkan kenyaman dan kasih sayang dari orang yang kita sayangi.” (W/ SR/26/04/09). Hal ini serupa dengan yang dikatakan Malhotra ( 1997 : 437) bahwa “…….marriage becomes a more individualized process, to be entered into for love or self-fulfillment
” (…perkawinan
menjadi proses yang lebih
individual, berdasarkan cinta atau pemenuhan kebutuhan pribadi...........)
55
Jadi dengan adanya perasaan cinta dan kasih sayang akan menjadi landasan dasar terjadinya perkawinan. Kebutuhan yang berhubungan dengan afeksi atau rasa cinta kasih menjadi bagian dari kebutuhan utama manusia. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh Maslow, yang menjelaskan berbagai macam kebutuhan manusia, yang disajikan dalam bentuk piramida kebutuhan manusia. Salah satunya adalah kebutuhan yang menyangkut pada rasa cinta kasih. Jadi kebutuhan ini berkaitan dengan penyeimbangan aspek spiritual. Selain itu perkawinan juga memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan biologis dalam memperoleh keturunan. Jawaban ini dapat ditemukan dari dua responden yaitu SR dan TY. SR mengatakan bahwa, “ Fungsi perkawinan yang kedua adalah untuk sarana meneruskan keturunan “ (W/ SR/26/04/09) TY memberikan jawaban yang hampir sepadan, “ Ya perkawinan itu untuk berkembang biak ( sambil tertawa). Eh..maksudku biar dapat keturunan “ (W/TY/20/06/09). Keturunan merupakan konsekuensi biologis dari adanya hubungan secara seksual antara laki-laki dan perempuan yang berimplikasi pada kehadiran seorang anak. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1992 : 192) menjelaskan, “ dari anak-anak yang dihasilkan dari proses persetubuhan tersebut, wajib diberikan perlindungan dan kasih sayang serta rasa aman”. Perkawinan menjadi tempat dimana ditetapkannya legitimasi anak sebagai anggota yang bisa diterima oleh masyarakat. Selain itu dengan hadirnya seorang anak, maka akan dapat meningkatkan dan mempererat hubungan berkeluarga antara pihak laki-laki dan perempuan. Sehingga, akan terjadi suatu pelebaran menyamping tali ikatan antara dua kelompok himpunan yang tak bersaudara, atau pengkuhan keanggotaan di dalam suatu kelompok endogam bersama. Lebih lanjut Geertz (1983: 58) menyatakan bahwa dari hasil hubungan yang melibatkan dua somah tersebut akan melahirkan cucu milik bersama, yang dapat mempererat keintiman atau kedekaatan hubungan kekerabatan. Ini menggambarkan bahwa dari anak hasil keturuanan tersebut dapat menjadi pengikat tali persaudaraan antara keluarga atau hubungan kekerabatan
56
( dari pihak laki-laki dan pihak perempuan ) sehingga akan memperluas jumlah anggota suatu kelompok kekerabatan. Hal ini juga dapat menjadi bagian dari upaya untuk mempertahankan eksistensi atau kedudukan suatu kelompok kekerabatan dalam masyarakat. Karena dengan adanya pewaris atau penerus maka akan tetap mempertahankan kedudukan kelompok dalam masyarakat, sekalipun nantinya generasi tua sudah tidak ada. Perkawinan juga berfungsi untuk dapat hidup bersama dengan orang yang kita sayang, dan mengungkapkan berbagai perasan secara legal, sehingga perkawinan digunakan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup lahir batin yang berhubungan dengan teman hidup. Yang berarti seseorang membutuhkan orang lain, dalam kesehariannya ( dalam konteks intim dan kontinue) . Hal ini berarti perkawinan merupakan bagian dari kebutuhan manusia dalam hubungannya dengan teman hidup ( Koentjaraningrat 1992 :192). Dalam hubungannya dengan teman hidup, seseorang akan memiliki kesempatan yang sah untuk tinggal dan melakukan aktivitas hidup bersama dengan aturan resmi yang berdasarkan hukum masyarakat maupun negara. Berdasarkan
hukum
artinya
tidak
ada
yang
akan
menyalahkan
atau
mempergunjingkan apa yang dilakukan seseorang dengan lawan jenisnya, karena sudah memiliki ikatan yang legal. Hal ini seperti yang dikatakan oleh WT dalam membicarakan fungsi perkawinan. “ piye ya, saya bingung kalau harus menjelaskan tujuan atau fungsi saya ne kawin. Saya bukan orang yang berplaning hidup jauh. Saya hanya orang yang suka berangan-angan. Jadi ne kawin ya tujuane apa ya………..pokoe tidak ada yang menyalahkan ne hidup bersama dengan orang yang aku mau.( Tujuan perkawinan itu bagi saya sangat sederhana saja yaitu dapat hidup bersama dengan orang yang kita suka)” ( W/WT/19/04/09 ) Jawaban hampir sama pun juga ditemukan dari FTR , “ Dari perkawinan itu nanti kita bisa hidup dengan suami, saling menghargai dan saling melengkapi satu sama lain “ ( W/FTR/ 17/05/09). Dengan melakukan perkawinan menurut WT dan FTR maka akan terjadi proses hidup dan tinggal bersama dalam satu atap, namun tidak memiliki konsekuensi yang negatif dari masyarakat, karena mereka telah mendapatkan pengakuan yang sah lewat perkawinan yang telah dilakukan.
57
Perkawinan sebagai suatu proses hidup yang ternyata dilakukan sesuai dengan fungsinya maing-masing. Hampir setiap informan memberikan jawaban yang berbeda. Ini berarti fungsi perkawinan dilihat dari konteks makna perkawinan menurut maing-masing orang. Dapat dilihat pula bahwa bagi informan, perkawinan berfungsi untuk menjaga kestabilan hidup yang nyaman dan penuh kasih sayang, dan memenuhi kebutuhan hidup bersama baik kebutuhan biologis ( akan datangnya keturunan ) maupun kebutuhan yang berhubungan dengan kelangsungan hidup selanjutnya.
c. Pandangan informan tentang perkawinan ideal Perkawinan berupaya untuk membentuk dan menciptakan suatu keadaan atau pola yang ideal yang sesuai dengan keinginan masing-masing pasangan. Dalam perkawinan, akan terbentuk suatu hubungan perkawinan(dalam keluarga) secara ideal yaitu terbentuknya hubungan yang harmonis dan dinamis dengan tercapainya kebutuhan hidup, yang menjadi tujuan dari perkawinan.
Sebagai
tujuan dari perkawinan, tentu masing-masing orang / pasangan berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai ideal tersebut. Pemberian definisi tentang perkawinan ideal ini berkenaan dengan berbagai konteks. Dari keenam informan WT, SR, FTR, TY, TR maupun KK memberikan gambaran yang hampir sepadan. Namun demikian TY maupun KK lebih memandang perkawinan ideal dari sudut agama yang mereka anut muslim. TY mengatakan, “Yo ideal menurutku lho..mbuh ne wong liyo. Ne menurutku perkawinan ideal ki akur sama pasangan, harmonis, kompak, selaras, mwadah dan warrohmah ( perkawinan ideal menurut saya adalah harmonis, kompak, selaras, mawadah dan warohmah terhadap pasangan)”.( TY/19/06/09). FTR memberikan gambaran tentang perkawinan ideal, yang hampir serupa, “ Perkawinan ideal itu, perkawinan yang harmonis, gak sering padu dan yang paling penting ki saling menerima kekurangan (Perkawinan ideal itu adalah perkawinan yang harmonis, tidak saling bertengkar dan saling menerima kekurangan masing-masing)“( FTR/17/05/09). Sedangkan KK menceritakan
58
gambaran perkawinan ideal sebagai berikut, “ Bagi saya perkawinan yang ideal itu ya perkawinan yang di dasari saling mencintai punya kesamaan tujuan dan tentu saja perkawinan yang seagama. “ ( KK/20/06/09) Ideal juga merujuk pada keinginan untuk membentuk keluarga yang harmonis. Hal yang demikian inilah yang dapat ditangkap dari jawaban ketiganya. Kembali konsep harmoni sosial yang mengemuka dalam hal ini, bahwa perkawinan berupaya mewujudkan kenyamanan dan keharmonisan keluarga untuk menciptakan kerukunan dan menghindari berbagai konflik yang mungkin timbul dalam hubungan perkawinan. Sedangkan SR dan WT memberikan gambaran yang sedikit berbeda tentang bagaimana konsep perkawinan ideal dalam benak mereka. SR menjelaskan sebagai berikut, “ Perkawinan ideal menurutku terjadi perkumpulan atau hidup bersama. Laki-laki dan perempuan tinggal dan hidup bersama, dari pagi sampai pagi lagi. Walaupun pada siang hari mereka bebas melakukan aktivitas apapun. Tapi istri harus sudah ada di rumah sebelum suami pulang dan mengurus rumah tangga serta menjamin kebutuhan jasmani maupun rohani anak terpenuhi. Selain itu terdpat aktivias sharing bersama, sehingga dapat berkumpul jadi satu.“ (SR/26/04/09 )
Sedangkan perkawinan ideal yang menjadi keinginan WT sebagai berikut “ Secara riil aku belum tau piye-piyene. Tapi aku pengen ne kawin aku bebas ngapa-ngapain, suamiku juga bebas ngapa-ngapain. Maksudnya bebas kerja atau melakukan apapun, tanpa ganggu dan merugikan lho ya, dasare ya sama kesepakatan tadi lho. Piye ya sing penting ki urip bareng sak omah, penak-penakan ae gitu …..( secara riil saya belum tahu perkawinan ideal itu seperti apa. Tapi ketika saya sudah menikah nanti saya ingin hubungan kami tidak saling mengganngu, tidak saling merugikan ) ”(WT/19/04/09)
Dalam konsep perkawinan ideal, SR dan WT juga sedikit banyak menggambarkan tentang bagaimana pembagian peran atau hak dan kewajiban antara laki-laki ( suami) dan perempuan ( istri ). Dalam membentuk perkawinan dengan konsekuensi hidup bersama antara 2 orang yang berbeda tentu bukan menjadi hal yang mudah. Apabila tidak bisa saling mengerti dan memahami posisi
59
dan tugas masing-masing bisa saja terjadi permasalahan. Oleh karena itu WT dan SR menyadari, dibutukan adanya kesapakatan dan keterbukaan menyangkut apa saja yang menjadi hak atau kewajiban antara keduanya. Hal ini perlu menjadi bahan perbincangan sebelum melakukan perkawinan, agar masing-masing mengetahui dan menyadari kekurangan dan kelebihannya serta posisi dan kedudukan mereka dalam perkawinan. Perjanjian atau kesepakatan ini menjadi penting bagi WT maupun SR. Pengertian
penting
di
sini
memiliki
makna
bahwa
dengan
memperhitungkan hal-hal yang menjadi resiko atau akibat dari perkawinan mereka. Tak mengherankan jika hal ini mendera pola pikir keduanya yang memang telah mulai terpengaruh oleh pola-pola hidup kekinian / modern. Modernitas menjadi salah satu hal yang membawa pola pikir ke arah rasional, dengan membentuk opini dan pertimbangan yang didasarkan pada landasan pikir yang berdasarkan akal / rasional. Ini dapat di lihat dari background pendidikan keduanya ( yang sama-sama memegang gelar S1), di mana pendidikan tinggi setidaknya menyumbang berbagai bentuk pemikiran yang berwawasan luas dan modern. Pendidikan atau sekolah dapat memberikan berbagai ilmu, pemahaman tentang berbagai cara berperilaku baru, dan berbagai aspirasi baru dalam rangka pengembangan pikir seseorang ke arah yang kompleks dan kearah modern (Caldwell,1982 ;Goode ,1963 ;Thornton & Lin, 1994). Dalam perkembangan hidup selanjutnya, dengan makin terbukanya ruang pendidikan yang tinggi ini perempuan lebih banyak memiliki kesempatan terbuka untuk berkutat dalam segala aktivitas publik ( kerja ). Ini tentu berbeda jika dipandang dengan konteks bagi perempuan pada tahun 1970-an ( pada masyarakat Jawa ). Perempuan tidak memiliki banyak pilihan ketika dia telah mulai menginjak masa dewasanya. Masa dewasa yang ditandai dengan haidnya yang pertama, mengharuskan bagi mereka memiliki tanggung jawab baru untuk segera mencari pasangan, memiliki suami dan memiliki anak dalam hubungan perkawinan.( Geertz, 1983 : 59). Pandangan Geertz tentang perkawinan masih sangat primitif dan tradisional yang tidak sesuai dengan perkembangan jaman saat ini, bahwa perempuan harus berada dalam aktivitas domestik yang kedudukan dan
60
posisinya sangat tegantung atau dibatasi oleh kuasa laki-laki.
Pola pikir dan
pengembangan diri mereka pun akan makin dibatasi oleh kultur tersebut. Namun realita sosial yang berkembang dalam masyarakat kita, mengikuti arus perubahan zaman. Modernisasipun lahir mengikuti perubahan tersebut. Menurut Huntington (dalam Mansour Fakih 2007 ; 32 ) modernisasi merupakan proses yang bersifat revolusioner ( perubahan cepat dari tradisi ke modern ) , kompleks ( melalui berbagai cara sistematik ) , global ( akan mempengaruhi semua manusia ), bertahap ( melalui langka-langkah ), hegemonisasi , convergency dan progresif. Modernisasi terjadi suatu proses perubahan yang direncanakan dimana melibatkan semua kondisi, nilai-nilai sosial maupun kebudayaan secara integratif. Modernisasi juga mulai memasuki kancah pemikiran para perempuan . Pemikiran mereka pun mulai terbuka dan berupaya untuk merubah sistem sesuai dengan perkembangan pemikiran mereka yang di dasarkan atas pertimbangan yang rasional. Membentuk suatu kesepakatan dalam perkawinan adalah mutlak keinginan dari masing-masing pasangan.Perjanjian perkawinan memang perlu dibuat, karena UU Perkawinan tidak mungkin mengatur secara detail tentang pembagian peran dan bagaimana pola perkawinan. Namun perjanjian perkawinan memang belum banyak terdapat dalam budaya kita. Perlu rambu-rambu, perjanjian-perjanjian, sebagai petunjuk arah nantinya, hingga perkawinan jadi ajeg, langgeng. Memang perlu perjanjian tentang harta, namun harus ditekankan dalam perjanjian berisikan komitmen agar perkawinan langgeng, bagaimana suami-istri saling menjaga kepercayaan, berkomunikasi, jujur. Perjanjian dalam perkawinan ini dapat juga diistilahkan sebagai bentuk negosiasi dalam perkawinan. Negosiasi adalah persetujuan aturan kontrak, transaksi atau persetujuan dengan saling membicarakan persoalan,dalam memecahkan masalah. Hubungan suami istri melibatkan negosiasi di mana terdapat diskusi bersama dengan pengaturan atau persetujuan hal-hal yang bersangkutan dengan perkawinan. Misalnya, pembagian kerja domestik, jumlah anak, pembelian rumah, mobil, pengaturan liburan, pengaturan hubungan seks, dan sebagainya.
61
Perjanjian dalam perkawinan menjadi penting, seperti halnya opini yang disampikan oleh WT berikut ini “…aku maune sebelum nikah harus buat kontrak atau perjanjian lebih dulu. Ya semacam perjanjian pra nikah gitu lah.Aku belum tau isi atau detailnya. Tapi garis besarnya ya soal pembagian aktivitas rumah tangga, harta sama anak kali ya..Jadi kalau ada masalah, tapi ya moga-moga gak……dapat diselesaikan dengan mudah. Dasare ya ..perjanjian tadi” ( W/WT/ 19/04/09) Hal ini juga hampir sejalan dikatakan ole SR “Ya buat semacam kesepakatan gitu. Koyo MOU ya( sambil tertawa ), tapi ya gak perlu formal-formal. Yang penting harus dibicarakan dahulu apa yang menjadi hak atau kewajiban masingmasing pihak. Jadi untuk kemudian hari gak timbul masalah.” (W/SR/26/04/09) Walaupun bagi sebagian orang perjanjian pra perkawinan menjadi hal yang penting, namun sebagaian orang tetap menganggap bahwa perjanjian dalam perkawinan itu bukan perkara yang harus dilakukan dalam perkawinan. Bagi mereka yang terpenting adalah komitmen bersama yang dimiliki oleh pasangan dengan tetap mempertahanakan prinsip pembagian peranan dalam rumah tangga serta mengutamakan pula tentang rasa saling pengertian. Setidaknya demikian yang dapat ditangkap dari apa yang diucapkan FTR , “ Tidak perlu ada perjanjian lah...nanti kesannya seperti ada tata tertib. Masa kawin ada tata tertib “ ( W/FTR/17/05/09). Dengan atau tanpa adanya perjanjian tertulis , dalam perkawinan tetap membutuhkan suatu komitmen bersama yang berhubungan dengan pembagian peranan atau posisi, serta hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perkawinan tersebut. Memahami hak dan kewajiban, posisi, peran, dan kedudukan dalam perkawinan memang menjadi hal penting agar nantinya setiap aktivitas rumah tangga, mulai aktivitas domestik, aktivitas kerja, maupun pengurusan anak, dapat dibagi secara adil. Implikasi dari adil di sini adalah tidak saling memberatkan salah satu pihak, dan keduanya dapat menjalankan tugas atau kewajiban dengan baik. Hak dan kewajiban ini pada umumnya, menyangkut pada pembagian aktvitas dan ruang kerja secara seksual. Laki-laki diidentikkan dengan seseorang
62
yang memiliki kuasa yang lebih tinggi, dimana hal ini terkait dengan privat property, dan perempuan harus berkutat dalam aktivitas domestik dan aktivitas sosial yang disusun dan diatur oleh laki-laki. Hal ini seolah turut pula dilegalkan oleh hukum yang berkembang di negara kita. Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974, yang mengatur tugas suami dan istri yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga, yang memiliki kewajiban untuk mengurus rumah tangga.perkawinan. Jadi kewajiban suami adalah mencari nafkah dan istri memiliki kewajiban mengurus semua aktivitas dan kebutuhan rumah tangga. Agaknya apa yang tertuang dalam undang-undang tersebut memang sedikit banyak hampir sejalan dengan pemikiran SR, FTR, KK maupun TR terkait hak dan kewajiban dalam perkawinan, “ Kewajiban seorang laki-laki dalam rumah tangga adalah working out home, mencari penghasilan dan nafkah untuk anak istri , sedangkan kewajiban seorang perempuan adalah mengurus rumah tangga dan mengurus anak. Karena anak akan menjadi seperti apa nantinya adalah tergantung dari didikan orang tua terutama ibu. Hak menjadi sesuatu yang mengikuti kewajiban yang dilakukan kedua belah pihak. “( W/SR/ 26/04/09) Sedangkan FTR menuturkan, “ Kewajiban laki-laki itu ya menafkahi kelaurga, dan hak nya ya dilayani istri. Kalau kewajiban istri adalah melayani sumai dan mengatur
rumah
tangga.
Ne
haknya
ya
dilindungi
suami
kayae.
”(W/FTR/17/05/09). KK memberikan penjelasan sebagai berikut , “ Ya kalau bicara tentang kewajiban setahu saya laki-laki ya wajibe mencukupi kebutuhan secara finansial, mengayomi dan melindungi anggota keluarsga, jadi imam lah....Ne istri wajibe ya melayani suami, trus apa ya...ndidik anak-anake no “(KK/ 20/06/09). Mencari nafkah adalah kewajiban seorang laki-laki, dimana laki-laki harus bertanggung jawab penuh memenuhi kebutuhan keluarganya. Sedangkan istri memiliki kewajiban penuh pada aktivitas rumah tangga, mulai dari urusan dapur, mencuci dan mengurus anak, dan memberikan pelayanan kepada suami. Semua aturan tersebut tertuang dalam undang-undang perkawinan, yang bisa ditemukan dalam buku nikah, sehingga seolah-olah sudah menginternal hampir di
63
seluruh kehidupan masyarakat, terutama bagi mereka yang masih memiliki pola serta pemikiran yang tradisional. Semua menjadi sebuah rutinitas yang harus dilakukan karena hal tersebut telah dibumbui atas nama kewajiban secara kultural, yang kemudian disebut sebagai kodrat ( sosial). Dalam aktivitas domestiknya perempuan lebih banyak tidak memperoleh ruang untuk memilih, karena semua dinamakan kewajiban oleh kultur patriarki. Hal ini erat kaitannya dengan sistem mas kawin yang berlaku dalam perkawinan. “mas kawin ”. Mas kawin ini yang dianggap sebagai pembayaran cash yang menimbulkan konsekuensi seolah perempuan “dibeli” oleh laki-laki. Dalam kondisi demikian, perempuan seolah harus selalu berada dalam bayang-bayang laki-laki (Veny, 2002 ; 114 ) Dan perempuan memiliki suatu kewajiban secara kultural terhadap laki-laki. Kewajiban-kewajiban inilah yang lantas menempatkan perempuan pada putaran aktivitas domestik, yang membuat mereka harus menerima ini sebagai suatu kewajiban sosial. Berbagai kewajiban sosial tersebut tumbuh sebagai bagian dari adanya pembagian aktivitas dan ruang kerja secara seksual. Laki-laki diidentikkan dengan seseorang yang memiliki kuasa yang lebih tinggi, dimana hal ini terkait dengan privat property, dan perempuan harus berkutat dalam aktivitas domestik dan aktivitas sosial yang disusun dan di atur oleh laki-laki. Namun pendapat SR, FTR, KK maupun TR justru berbeda dengan yang diungkapkan WT. Menurut WT, bahwa kewajiban itu sebenarya hanya menyangkut masalah yang sifatnya biologis, bukan hal-hal yang menyangkut pada masalah-masalah kodrat sosial. Dalam pandangan kaum feminis hal ini kerap disebut dengan peran gender yang dikonstruksi atas dasar perbedaan gender, yaitu perbedaan secara seksual antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki kewajiban secara permanen yang tidak bisa berubah sebagai ketentuan biologis yang disebut sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat ( Fakih, 2007 : 8) Kewajiban adalah sesuatu yang terjadi atas dasar kodrat dari Tuhan yang memang tidak bisa tergantikan secara sosial, dan bukan kultur yang diciptakan dan berkembang dalam masyarakat.. WT mengatakan pembagian hak dan kewajiban suami istri adalah sebagai berikut
64
“ seorang isri hanya memiliki kewajiban mengandung, melahirkan dan menyusui. Dan selanjutnya semua aktivitas hidup menjadi kewajiban dan hak bersama. Jadi ndak ada lho kewajiban bagi saya buat masak, nyuci. Lha ne suami bisa ya wis dikerjake sendiri. Saya juga bisa kerja, jadi bukan suami aja yang wajib kerja“(WT/19/04/09) Kewajiban istri untuk mengandung dan memiliki anak memang menjadi perkara biologis yang tidak bisa ditawar lagi. Secara biologis hanya perempuan yang memiliki rahim. Praktis hanya perempuan juga yang bisa mengandung dan melahirkan. Ketika berbicara pada konteks kewajiban memang hal ini akan terjadi demikian adanya. Namun terkait dengan kehamilan dan memiliki anak,WT lebih lanjut
menuturkan bahwa dalam perkawinan persoalan anak tetap menjadi
keputusan oleh keduanya ( laki-laki dan perempuan yang menjalani ). Secara eksplisit terlihat bahwa dalam perkawinan, kehamilan dan memiliki anak adalah perkara wajib bagi perempuan, namun semuanya itu dapat dinegosiasikan dan dapat ditentukan kapan atau tidak sama sekali memiliki anak. Memiliki anak, juga bagian dari keinginan untuk menghindari berbagai stereotipe yang mungkin terdengar buruk dari kehidupan sosial masyarakat. Masih kuatnya anggapan yang berkembang, bahwa perempuan yang tidak bisa hamil akan di cap sebagai perempuan yang tidak subur atau mandul. Ini tentu tidak hanya menimbulkan tekanan secara psikologis tapi juga akan mengganggu bagaimana proses sosialisasi dalam masyarakat. Konsepsi tentang perkawinan ideal ini, kemudian merujuk pula pada sosok lawan jenis yang tentu juga dianggap ideal, cocok atau pas untuk mewujudkan perkawinan yang sesuai dengan keinginan. Laki-laki yang dipilih untuk menjadi pasangan hidup tentu bukan dipilih laki-laki yang sembarangan. Tetapi dipilih laki-laki yang sesuai dengan apa yang menjadi keinginan mereka. Berbagai hal yang menyangkut kecocokan secara visi,misi, keinginan, cita-cita, pikiran ataupun kerja menjadi hal yang sedikit banyak memberikan pengaruh bagi keduanya dalam menentukan dengan siapa mereka melakukan perkawinan. Diakui ataupun tidak banyak perempuan yang masih banyak dipengarahi oleh mitos dalam ciderella kompleks. Dalam mitos ini, diperlihatkan bahwa perempuan mendambakan seorang “pangeran” untuk mempersunting dirinya. Para
65
perempuan dalam rasionalitasnya selalu mendambakan laki-laki yang diyakini sebagai seorang pangeran yang diimpikan dengan segala kesempurnaan baik itu secara sosial, fisik maupun ekonomi, yang akhirnya akan memberikan kebahagiaan dalam hidupnya (Subiantoro, 2002 : 11). Jadi tidak heran jika kemudian para perempuan selalu berupaya untuk mendapatkan laki-laki yang memang memiliki kriteria yang “sempurna “ baik secara material, emosional, maupun sosial. Ini kemudian memicu pemikiran para perempuan ( maupun laki-laki )untuk menyeleksi pasangan sesuai yang diinginkannya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Malhotra ( 1997 :437). “…………motivating young men and women to emulate a western conceptualization of marriage in terms of self- selection of spouses and more nuclear, conjugal, and egalitr marital relationsip.”……… memotivasi para pria dan wanita muda untuk menerapkan konsep pernikahan ala barat dalam hal menyeleksi sendiri pasangan, juga dalam hal hubungan pernikahan yang lebih seimbang) (Malhotra, 1997:437) Setiap orang berhak untuk memilih pasangan hidup yang sesuai dengan kriteria dan keinginananya. Dalam kajian agama Islam misalnya, juga terlihat bahwa perkawinan sebagai penyatuan dua orang dewasa yang didasari oleh kemauan bersama, maka persetujuan bersama antara kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan merupakan sebuah esensi untuk mewujudkan kehidupan perkawinan dalam keluarga ( Haifaa Jawad, 2002 : 17). Jadi tidak akan terjadi proses perjodohan yang seringkali masih terjadi pada masyarakat Jawa pada tahun 1970-an, dimana orang tua seringkali memilihkan jodoh kepada anaknya. Bahkan dijelaskan bahwa pada umumnya mereka (orang tua) memilihkan bakal jodoh untuk anaknya (Ahimsa Putra, 2006 : 411-412). Biasanya pasangan yang dpilihkan harus memenuhi krteria dari segi bibit, bebet maupun bobot. Memilih pasangan lewat perjodohan menurut sepertinya sudah tidak relevan lagi. Masing-masing orang berhak untuk memilih dan menentukan pasangan hidup yang sesuai dengan keinginannya. Apalagi saat ini zaman sudah semakin maju, hal-hal yang sifatnya tradisional telah mulai berubah dan begeser
66
kearah modern, yang menyertakan pemikiran yang lebih rasional. WT mengutarakan, “ memangnya ini jaman siti Nurbaya dik. Dijodohin……Lha memangnya tar yang mau kawin sapa, yang mau hidup bareng sapa? Bapak ibuku apa aku?( memangnya ini jaman siti nurbaya, dijodohin segala. Memangya nanti yang mau menikah dan hidup bersama siapa?bapak ibuku atau aku? ) “ (W/WT/19/04/09) Dalam kaitannya dengan sistem perjodohan ini SR menambahkan, “Kalau dulu mungkin banyak perjodohan. Karena waktu itu perkawinan lebih pada kepentingan ekonomis. Setelah siap reproduksi mereka harus cari suami. Kalau gak dapet-dapet ya di jodohke. Tapi ne sekarang ya beda. Kawin ya pake pertimbangan dewe. Gak perlu dijodohke ( tapi kalau sekarang ya berbeda. Menikah itu memakai pertimbangan sendiri. Tidak perlu dijodohkan)”. (W/SR/26/04/09) FTR pun tak surut ikut berkomentar pula tentang perjodohan “ Aku gak setuju sama perjodohan. Lha memange gak iso golek dewe. Lagian kalau dijodohke kan jamanya ibuk bapak dulu....( aku tidak setuju sama perjodohan. Memangnya tidak bisa mencari sendiri. Dijodohkan itu kan zamannya bapak ibu dulu ). ”(W/FTR/17/05/09) Pasangan yang dipilih setidaknya memiliki beberapa kecocokan sehingga dapat saling menyeimbangkan hubungan, ataupun bahkan memiliki perbedaan yang saling melengkapi dalam rangka menimbulkan keselarasan , keharmonisan dan kedinamisan dalam hubungan perkawinan. “Ideal menurutku , kalau laki-laki yang memiliki chemistry sama aku. Artinya ada sesuatu yang cocok dan pas gitu, yang bisa saling terima dan menyesuaikan. Trus cara berpikirnya paling gak kita harus sejalan, ya gak harus sama, tapi ada hal-hal yang hampir sama sudah cukup”.(W/SR/26/04/09) Ideal bukan hanya sekedar kesempurnaan secara fisik ataupun bukan meliputi kesamaan yang mereka miliki, justru sebaliknya dari berbagai perbedaan yang dimiliki masing-masing pasangan akan tercipta hubungan yang saling melengkapi, jadi alur hubunganya tidak hanya sekedar monoton saja. Masingmasing orang tentu memiliki cara berfikir atau idealisme yang berbeda, tapi justru dengan perbedaan itu dapat menjadi penyeimbang dan pelengkap.
67
“ Sifat kami berbeda sekali. Aku ini tipe yang emosian tinggi, cepet marah, sebaliknya dia sedikit lebih sabar dan bisa meredamkan emosiku. Kami memang berbeda tapi justru itulah uniknya kami bisa saling mengisi. Tapi kami juga punya kesamaan kok, sama-sama hobi liat film...”(W/ SR/26/04/09) Memiliki suami dengan kriteria yang diinginkan atau dianggap ideal juga diinginkan oleh WT, hal ini dapat diismak dari jawabnya “ Aku penginnya punya suami itu laki-laki yang pintar dan memiliki pengetahuan umum yang luas.. Trus laki-laki yang open minded terhadap segala perubahan dan perbedaan. Yang terakhir adalah……laki-laki tersebut dapat memposisikan saya sebagai teman hidupnya, bukan pria yang menguasai hidup saya.”(W/WT/19/04/09) Jawaban yang diungkapkan oleh WT tersebut memberikan banyak implikasi dan pemaknaan. Bahwa memilih pasangan hidup itu adalah tergantung dari bagaimana seorang menentukan seseorang yang sesuai dengan kenginannya, ada kecocokan yang tidak hanya keinginan dari segi fisik, tapi juga dari sisi emosional. Ini berarti hak utama atau keputusan mutlak tetap menjadi milik dari seseorang yang akan melakukan perkawinan. Dalam memilih pasangan hidup, juga tak lepas dari sifat atau karakteristik yang dimiliki pasangan yang memang sesuai dengan keinginan. Hal demikian dapat dilihat dari jawaban yang dikemukakan oleh FTR, “ Laki-laki ideal buat calon suami menurutku ki yang kerja keras dan bertanggung jawab. Kaya pacarku kae...dia itu pekerja keras banget, gak gampang nyerah. Selain itu ya harus tanggung jawab sama istri dan anak-anaknya itu.” (W/FTR/17/05/09) Sebagai kaum muda, proses pacaran dan berkenalan dengan lawan jenis telah beberapa kali mereka lakukan. Menurut SR, WT, FTR,TR maupun TY memiliki pacar dan kemudian membina hubungan yang disebut “pacaran” , perlu dilakukan agar dapat menyeleksi atau memilih pasangan yang sesuai dengan keinginan. Istilah pacaran 3 ini menjadi ajang untuk melakukan penjajakan (pengenalan sifat dan karakter, keluarga, kehidupan kerjanya atau sekolahnya) 3
Menurut KBBI (2002: 807), pacar adalah kekasih yang mempunyai hubungan berdasarkan cintakasih. Berpacaran adalah bercintaan; berkasih-kasihan [dengan sang pacar]
68
dari masing-masing pihak, untuk kemudian dipertimbangkan kelanjutan hubungan yang terjalin antara keduanya, yaitu meneruskan hubungan kearah perkawinan atau justru menghentikan hubungan. Saat ini SR memiliki teman dekat, yang telah menjalin komitmen dan hubungan selama 8 tahun. Mas AT, sebut saja demikian nama teman dekat SR, menurutnya adalah figur seorang teman dekat yang hampir ideal untuk diadikan sebagai suami. Hubungan yang mereka bina awalnya memang tidak mendapat restu dari orang tua, mengingat menurut orang tua keduanya saat itu masih sekolah dan kuliah. Namun hubungan tersebut akhirnya semakin bertambah dekat dan intim ketika keduanya telah sama-sama bekerja. SR pun tak sungkan membawa Mas AT untuk bertemu kedua orang tuanya, sekedar memperkenalkan tentang keluarganya. Sebaliknya SR pun telah beberapa kali pula bertandang ke rumah Mas AT untuk lebih mengenal keluarganya “ Dikenalke ibu bapak ….baru berani akhir-akhir ini. Dulu pacaran aja gak boleh. Paling kalau pas SMA ya ketemu di sekolah.Habis itu kuliah long distance, dia di Jogja aku di Solo, jarang ketemu malah hamper gak pernah. Komunikasi lewat Hape aja. Nah sekarang ibu bapak udah ngizinin ya aku lebih santé ngajak dia maen kerumah “ ( W/ SR/26/04/09 ) FTR pun demikian adanya“ Aku punya pacar sekarang.. Gak usah aku sebut namanya ya...aku serius sama dia. Aku 4 kali pacaran. Yang 3 cuma iseng, tapi ne yang ini yang serius. “(W/FTR/17/05/09) Dari apa yang diuturkan FTR, 4 kali dia membina hubungan dekat dengan laki-laki hanya satu orang lah yang dianggap serius. Artinya bahwa hubungannya dengan pacarnya yang sekarang memiliki konteks yang lebih dekat bahkan dikenalkan pada orang tua juga. Selain karena pacarnya sudah bekerja, waktu acaran yang cukup lama membuat FTR sampai sekarang tetap mempertahankan hubungan dan berharap hubungannya akan sampai pada tahap perkawinan. Jawaban yang diungkapkan oleh SR maupun FTR, disadari atau tidak, dalam memilih pasangan yang menurut mereka ideal tetap berpatokan pada
69
pakem yang seringkali digunakan pada masyarakat Jawa. Yaitu bibit, bebet dan bobot. Sedangkan cerita lain datang dari WT, KK dan TY. Saat ini WT tidak melakukan hubungan dengan siapapun, atau “jomlo”4. Beberapa kali dia pacaran akhirnya berakhir dan tidak dapat bertahan. Sampai saat ini dia tetap saja asik melajang dan belum memikirkan tentang teman dekat atau pun tentang calon suami. Teman dekat/ pacar yang menurutnya harus calon suami bukanlah orang yang harus ngoyo dicari. Tetapi dia akan datang sendiri, dan kalaupun pada akhirnya tidak ada dia merasa hal itu bukan masalah besar, karena dalam agamanya pun juga dijelaskan bahwa perkawinan itu tetap saja sunnah, bukan kewajiban. Dia mempercayai Tuhan sudah menetapkan jodoh untuk masingmasing orang. Dia mengatakan “ jika sampai ini saya belum ketemu orang yang pas, ya berarti saya belum ketemu jodoh saya , dan itu masih rahasia Tuhan. Ne ngoyo cari terus kapan kerjane, kapan cari duite,...”(W/WT/19/04/09) KK pun demikian adanya, Di usinya yang kini telah menginjak 39 tahun, dia belum memiliki laki-laki yang dianggap tepat untuk menjadi suaminya. Beberapa kali dia pacaran, tapi pun tidak dapat bertahan. Hingga kini di usianya yang kian matang, dia mulai sedikit lelah untuk mencari dan menemukan laki-laki yang diharapkan menjadi suaminya kelak. Dalam benaknya selalu terbersit pikiran positif, bahwa memang belum ketemu jodoh. KK menjelaskan, “ Sebagai perempuan normal saya juga pengen kawin. Tapi, belum ketemu yang cocok aja. Belum
ketemu
jodoh.
Ya
sudah...pasrah
sajalah.
Saya
punya
Allah...”(KK/20/06/09) “ Belum ketemu jodoh “ seringkali menjadi alasan klasik bagi banyak perempuan yang belum menikah. Hal ini sejalan dari apa yang dikatakan oleh Hull ( 2002 :8). “ the problem of marriages market is not lack of avalaible males, but the shortages of man who share theit value and expectation......When asked to describe the process of remaining single, none of them could give
70
clear answer. The most typical and spontaneous answer was I have not found my soulmate ( belum ketemu jodoh)”. Banyak perempuan yang akhirnya belum melakukan perkawinan pada usia 26 tahun ke atas, lebih dikarenakan belum menemukan laki-laki yang dianggap tepat atau sesuai dengan keinginan atau secara umum dikatakan belum ketemu jodoh. Di sadari atau tidak ungkapan seperti ini sebenarnya adalah ungkapan yang sifatnya riil. Artinya orang diajak untuk lebih berfikir terbuka bahwa Tuhan telah memberikan pasangan bagi siapa saja. Dan tinggal manusia menunggu saat yang tepat ditemukan dengan jodoh tersebut. Perkawinan secara langsung atau tidak langsung tetap menjadi keinginan semua orang, termasuk WT dan KK. Tetapi keduanya justru menunjukkan sikap yang lebih santai dan tidak terlalu ngoyo. Perkawinan itu perkara penting tetapi ada banyak hal yang lebih penting yang harus dilakukan yang akan menjadi pertimbangan dalam memutuskan untuk melakukan perkawinan atau dengan siapa melakukan perkawinan. Selain itu sikap percaya pada jodoh membuatnya selalu meyakini bahwa Tuhan pasti akan memberikan laki-laki yang tepat pada saat yang tepat juga suatu hari nanti “ Ibuku selalu bilang, manusia itu pasti punya jodo. Tapi kapan ketemunya, dimana ketemunya ya belum tau.Dan aku percaya banget itu. Ditunggu wae, wong udah dijamin Allah ada we kok. Ya usaha nyari sih….tapi ya ne gak dapet-dapet yo wis to.Sekarang mending cari temen yang banyak dulu ajalah…sapa tau nemu juga….. “(W/WT/19/04/09 ) Berbagai keputusan dan pertimbangan dalam melakukan perkawinan tentu tak lepas juga dari peran orang tua. Memang perkara perkawinan menjadi perkara individual yang menjadi urusan antara kedua belah pihak, mulai dari memilih pasangan, bagaimana kehidupan perkawinannya. Tetapi orang tua juga turut memberikan andil terutama dalam memberikan masukan yang biasanya berupa nasehat-nasehat yang berhubungan dengan perkawinan. SR berkata, “ Orang tua tidak ikut campur dengan siapa aku meh nikah. Tapi, orang tua tetep memberikan nasehat untuk mencari laki-laki yang bertanggung jawab pada anak istri dan beriman “ (W/SR/26/04/09 )
71
WT juga demikian adanya, dia menuturkan, “ Bapak ibu itu paling Cuma bilang. kalau cari suami ki yang penting pinter dan rajin sholate. Trus kata bapakku ya nk bisa gak usah dari keluarga yang kaya banget, tapi ya jangan yang miskin.
Yang sejajar
sama keluarga kita wae...paling cuma gitu-gitu
aja“(W/WT/19/04/09). KK pun tak luput dari nasehat-nasehat seputar perkawinan yang diberikan oleh orang tuanya, “ Orang tua selalu nasehati, kalau udah nikah nanti..saya harus manut mituhu sama suami saya. Biar perkawinannya ndak jadi masalah. “ ( W/KK/20/06/09) Orang tua memberikan berbagai masukan dan nasehat penting dalam perkawinan lebih pada konteks agar si anak mau belajar dari proses perkawinan yang telah mereka lalui. Berharap dapat berbagi pengalaman dan menularkan halhal yang positif dan mencoba menguraikan hal-hal yang negatif agar anak tidak mengulangi hal yang sama. Anak pun demikian juga, menilik dari perkawinan yang dilalui orang tuanya akan menimbulkan berbagai tanggapan, dan akhirnya mereka mulai mereka reka perkawinan nya kelak seperti apa, mulai mengadopsi nilai-nilai perkawinan orang tua yang menurut mereka sesuai dengan keinginan. Hal ini disadari benar oleh SR. Hubungan perkawinan orang tuanya sedikit banyak telah menginspirasi cara pikir dan cara pandangnya tentang perkawinan. Gambaran perkawinan dari orang tua, seolah memberikan suatu pembelajaran baru yang mmebuatnya ingin meniru/ mengikuti. SR berujar, “ Bapak ibu itu saling menghormati. Jarang berantem, walaupun sama-sama sibuk kerja....aku yo pengen kata gitu “ ( W/SR/26/04/09)] Ada beberapa bagian yang memang menjadi wacana anak untuk akhirnya di tiru. Tapi menilik dari proses perkawinan orang tua, kadang anak juga akan memiliki gagasan lain yang sifatnya tidak sejalan. Ini seperti apa yang diucapkan WT berikut , “ Bapak ibu itu sebenarnya penak hubungane. Aku seneng cara pembagian uange. Ibuku gak pernah di kasih nafkah bapak. Tapi mereka udah janjian. Uang bapak buat sekolah anak, uang ibu buat urusan rumah tangga. Tapi sing ra tak senengi kadang ne dirumah ibu kalahan sama bapak...”(W/WT/19/04/09)
72
Bagi WT, SR, FTR, KK, TR maupun TY perkawinan menjadi perkara penting dan sakral yang dilakukan pada saat yang tepat ( pada waktu dan keadaan yang pas ), dan hanya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal yang berhubungan dengan perkawinan itu sendiri. Pertimbangan ini didasari pada kenyataan bahwa perkawinan bukanlah perkara yang sederhana yang berhenti pada aktivitas penyatuan antara laki-laki dan perempuan dalam satu atap. Lebih dari itu perkawinan akan melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang bersifat sosial, yang membutuhkan adanya komitmen dan kesepakatan dari pihka yang akan melakukan perkawinan. Perkawinan bukan hanya berkenaan tentang kesiapan secara biologis, tetapi lebih dari itu, perkawinan juga harus dilandasi berbagai kesiapan yang berhubungan dengan materi maupun kesiapan secara psikis. Perkawinan memiliki makna yang lebih dalam, sehingga dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang harus dipikirikan secara maksimal atau matang. Dalam perkawinan membutuhkan negosiasi dan kesepakatan tertentu, sehingga akhirnya tujuan, makna dan fungsi perkawinan itu sendiri dapat terwujud. Pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan bersifat rasional, sehingga dapat dimengerti implikasi dari masingmasing tindakan, inilah yang kemudian di sebut sebagai perkawinan yang bermakna rasional. Perkawinan bermakna rasional akan merujuk pada pemaknaan yang lebih konkret bahwa dalam hal ini perkawinan lebih dimaknai sebagai kontrak sosial yang mensyaratkan adanya kesepakatan di antara kedua belah pihak tanpa ada intervensi dari pihak lain. Perkawinan pada makna ini dijadikan sebagai sebuah pilihan rasional atau hak setiap individu dan bukan merupakan kewajiban sosial dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, perjodohan yang dirancang orang tua sudah tidak relevan lagi, namun setiap individu berhak untuk menentukan pasangan hidup sendiri. ( Liestaysari, 2003 ; 124 ).
2. Penundaan usia perkawinan Dari data yang berhasil dihimpun dari KUA Kecamatan Sukoharjo sedikit banyak menunjukkan bahwa pada tahun 1970 perempuan memiliki rata-
73
rata usia perkawinan pada umur 16-20 tahun, sedangkan laki-laki melakukan perkawinan rata-rata diatas usia 20 tahun. Dari fakta yang terlihat ini memang menunjukkan bahwa awalnya memang dalam menentukan perkawinan menjadi suatu perkara yang cukup sederhana yaitu berdasarkan kesiapan secara usia. Bagi perempuan, dahulu pada konteks tahun 1970-an, faktor usia memang memiliki pengaruh yang cukup penting dalam menentukan kapan harus melakukan perkawinan. Ketika perempuan sudah memasuki masa siap reproduksi ( setelah haidnya yang pertama ) mereka akan dianggap telah siap memasuki jenjang perkawinan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Geertz ( 1982 : 59 ) bahwa gadis –gadis Jawa telah kawin setidaknya untuk waktu yang singkat pada saat kira-kira berumur 16-17 tahun. Sedikit sekali yang tidak pernah menikah sama sekali . Ini menunjukkan bahwa betapa banyak gadis-gadis yang berusia belasan tahun harus segera menerima keputusan kultural untuk melakukan perkawinan, karena dianggap telah memiliki kesiapan bereproduktif. Namun hal ini tentu berbeda dengan keadaan masyarakat sekarang ini. Mulai tahun 2000-2005 di Sukoharjo (dari data KUA Kecamatan Sukoharjo) keadaan mulai berubah. Yang awalnya rata-rata usia “normal” bagi perempuan untuk menikah maksimal berusia 25 tahun, namun akhir-akhir ini banyak perempuan-perempuan yang berusia hampir 30 tahun yang baru melaksanakan perkawinan. Bukti tersebut menunjukkan bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi pada sistem/ pola kehidupan masyarakat, menyebabkan perubahan cara pandang pula terhadap perkawinan. Mobilitas masyarakat Sukoharjo kian tinggi dan mulai majunya berbagai sektor publik membuat hal-hal yang dulu dianggap tabu secara kultural, kini telah dianggap lumrah. Pergeseran cara pandang, cara pikir maupun cara bersikap ini juga dipengaruhi oleh proses modernisasi yang berpengaruh signifikan pula pada kian meningkatknay mobilitas masyarakat Sukoharjo. Kemajuan ini dapat terlihat dari kian tingginya angka kerja dan angka pendidikan pada masyarakat. Terlebih lagi bagi kaum perempuan. Jumlah perempuan yang memasuki dunia kerja dan pendidikan pun semakin tinggi. Dengan demikian, Di Sukoharjo akan makin
74
banyak dijumpai perempuan yang bekerja pada berbagai sektor publik mulai dari instansi pemerintah, swasta maupun wiraswasta dan buruh. Dari data yang berhasil dihimpun, terbukanya kesempatan kerja dan pendidikan bagi kaum perempuan inilah yang ternyata menjadi faktor utama penundaan usia kawin bagi perempuan di Sukoharjo, walaupun memang masih ada beberapa faktor lain yang mendasari. Perkawinan kemudian tidak hanya dipandang dari kesiapan secara usia atau umur, melainkan kesiapan secara fisik, material maupun mental. Inilah bentuk pemaknaan baru dalam perkawinan bagi para perempuan. Pendidikan memang sedikit banyak akan mempengaruhi ruang hidup setiap manusia. Lewat tingginya penidikan, tentu saja orang akan diajak untuk berfikir lebih kompleks sehingga tingkat pengetahuan merekapun akan lebih luas. Selain itu lewat pendidikan dapat membuka ruang atau jalan bagi terpenuhinya suatu sistem kerja, karena memang pendidikan memiliki hubungan yang erat dengan kerja. Ini seperti yang diungkapkan oleh Jones ( 1993 : World Bank, 1995a) dalam Malhotra ( 1997 : 439) bahwa “ Third, the standard human capital argument is that eduacation can effect marriage timing by increasing employability through the additional skills or training it provides (standar pendapat rata-rata orang bahwa pendidikan dapat memberikan efek pada waktu perkawinan dengan meningkatnya kemampuan kerja melalui kemampuan atau tersedianya pelatihan) “. Ini mengandung arti bahwa dengan adanya pendidikan, maka kemampuan dan keterampilan seseoarang akan lebih meningkat dan makin memperluas kesempatan dalam dunia kerja. Selain itu kajian tentang pendidikan bagi para responden memberikan pengaruh secara sosial maupun secara akadaemis. Secara akademis pendidikan tentu saja mampu memberikan bekal ilmu dan pengetahuan bagi individu, sehingga mampu berwawasan luas yang dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang kerja atau aktivias hidup dalam masyarakat. Ini diakui oleh Mbak KK, “ Aku kuliah di UNNES. Perubahan habis kuliah ya tentu aja aku dapet banyak ilmu buat bekal ngajar sekarang. “(W/KK/20/06/09)
75
Sedangkan secara sosial, pendidikan juga mampu memberikan perubahan pada cara pandang, cara pikir, cara tingkah laku serta pola pergaulan dengan teman sejawat. Maksudnya dengan pendidikan seseorang akan mendapatkan pergaulan yang luas dengan komunitas yang lebih kompleks sehingga akan makin membuka wacana atau ruang pikir mereka.Apalagi dari keenam informan ini 4 di antaranya memperoleh pendidikan tingkat universitas di beberapa kota besar di Indonesia, seperti bandung, Jogjakarta dan Semarang. Secara langsung ataupun tidak langsung sebenarnya keberadaan atau lokasi dan pola wilayah tempat pendidikan ini juga akan membentuk suatu pola pikir baru yang tentunya memberikan pengaruh yang berbeda bahkan lebih kompleks dan modern.
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh WT, “ Temen-temenku itu sangat menyenangkan. Umume meraka dari kota besar. Jadi....ya sedikit banyak katut juga cara mereka bergaul, bicara, atau berpikir juga, lebih ceplas-ceplos. “(W/WT/19/04/09). Kerja dan pendidikan yang tinggi inilah yang disinyalir kuat menyebabkan perempuan lajang menunda perkawinan. WT, mengakui secara gamblang, bahwa saat ini dirinya memang menunda perkawinan. Ini dikarenakan masih banyak targer yang berhubungan dengan kerja dan aktivitas pendidikan yang masih ingin diraihnya. WT menyatakan,
“ Setiap orang mengiginkan
menikah. Aku pun juga gitu. Tapi untuk sekarang aku masih pengen sendiri, menikmati hidupku sendiri, dan aku masih belum ingin terikat siapapun. Lagian planingku juga masih banyak“ ( W/WT/19/04/09) Pendidikan dan kerja melingkupi aktivitas hidup masyarakat saat ini, baik bagi perempuan dan laki-laki. Khususnya bagi perempuan saat ini makin terbukanya ruang pendidikan pada posisi-posisi dalam ruang kerja. Ini salah satunya sebab modernitas cara berfikir mereka yang mulai juga terpengaruh oleh pola pikir feminisme. Feminisme sesungguhnya bukan ajaran yang menanamkan kebencian pada kaum lelaki. Feminisme juga bukan gerakan pemberontakan terhadap laki-laki dalam upaya melawan pranata sosial yang ada. Namun lebih
76
dari itu, feminisme memiliki kajian yang sarat akan nilai-nilai keadilan. Feminisme adalah perjuangan untuk mencapai kesederajatan / kesetaraan, harkat, serta kebebasan perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan dan tubuhnya, baik di dalam maupun di luar rumah tangga ( Bhasin dan Khan, 1999 : 9 ). Feminisme mengantarkan persamaan bagi perempuan, demi menciptakan keadilan dalam masyarakat baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Berbicara mengenai wilayah kerja bagi perempuan, awalnya perempuan memiki wilayah / ruang kerja yang penting dalam aktivitas kehidupan. Namun seiring dikenalnya budaya berburu, meramu dan mengumpulkan makanan, nilai kerja laki-laki memiliki posisi yang lebih dominan atau bisa dikatakan lebih tinggi. ( Engels, 1992 :149). Budaya patriarki pun kemudian berkembang subur, sampai saat ini. Namun untuk perkembangan saat ini, akar-akar budaya patriarki mulai disadari sebagai sesuatu yang tidak pada tempatnya. Artinya aktivitas patrarki makin dipersemit dengan makin tingginya keaktifan para perempuan ( perempuan lajang khususnya ) untuk ikut pula berkecimpung dalam ranah publik. Ini juga seperti yang dialami keenam informan. Beberapa dari mereka seperti WT, SR mapun FTR secara langsung atau tidak langsung memang memang mengakui bahwa perkawinan bukan menjadi prioritas utama, karena mereka menyadari pentingnya kerja bagi kehidupan mereka kedepannya. Dari apa yang disampaikan para responden kerja dimaknai sebagai aktivitas yang berhubungan dengan kegiatan untuk mencari dan memperoleh penghasilan utama berupa materi. Didalamnya tentu ada berbagai aktivitas produksi dan konsumsi yang membawa pengaruh pada terpenuhinya kebutuhan secara finansial. Ini berarti kerja sebagai aktivitas tertentu yang berhubungan dengan cara memproduksi atau mengkonsumsi barang dan jasa ( Nash, 1984 : 45). . Jadi dalam aktivitas kerja tersebut yang terpenting adalah bagaimana menghasilkan sesuatu atau hal ( barang maupun ilmu ) sebagai proses produksi untuk menghasilkan materi sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup ( konsumsi ). Namun demikian, tidak menolak kemungkinan pula, bahwa kerja tidak hanya dimaknai untuk memperoleh uang, tetapi kerja juga dapat
77
menjadi ajang untuk memenuhi kebutuhan akan kepuasan batin, serta menunjukkan eksistensi seseorang. Terkait dengan eksistensi diri ini, ini menunjukkan bahwa kerja akan menyangkut pula pada penilaian sosial terhadap seseorang atas pekerjaannya ( Moore , 1988:43),. Artinya bekerja dilakukan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan seseorang dari segi material saja, tapi bekerja juga dilakukan untuk menunjukkan keberadaan seseorang dalam suatu komunitas sosial tertentu. Dengan demikian akan mengundang persepsi orang terhadap apa yang dilakukan orang tersebut. Ini misalnya diuangkapkan oleh WT “ Kalau perempuan itu kerja kan dia jadi dianggap ada gitu lho dik. Jadi kalau nanti nikah dia kan tetep dianggap oleh suaminya. Ya intinya dengan kerja perempuan ki jadi terakui. Lagian kalau aku kerja semua orang jadi tau to aku bisa Bahasa Jepang, ada kepuasan juga dalam batin”(W/WT/19/04/09) Selanjutnya dari berbagai posisi ruang kerja yang dapat diraih oleh banyak perempuan saat ini, membawa perubahan pula pada sikap dan cara pikir mereka. Ini seperti yang diungkapkan oleh Greenhalgh, 1985 : Salaff, 1981 dalam Malhotra ( 1997:439 ) “ ...employement as an alternative that makes women more independent, ambitious, mobile, and free of family concern in moe modern setting “( pekerjaan sebgaai alternatif yang membuat wanita makin mandiri, ambisius, aktif, dan mampu menciptakan konsep keluarga nyaman yang modern). Jadi dengan kerja akan membawa dampak yang besar bagi para perempuan ( khususnya perempuan lajang ) lebih memiliki kebebasan berpendapat membentuk karakter dan sifat yang ambisius serta menjadikan seseorang memiliki jiwa yang aktif. Kenyamaman beke;luara dalam konsep yang lebih modern. Semua sikap ini, makin membuka angapan bahwa kerja sebagai bagian dari hal yang mampu membentuk individu yang mandiri dan memiliki kepercayaan tinggi atas kemampuannya, sehingga membawa dampak pada meningkatkan otoritas keputusan . Terkait dengan hal tersebut, “ bekerja memiliki status sebagai junior partner. Dalam tingkatan ini, hak-hak instrumental perempuan meningkat, yang selanjutnya meningkatkan otoritas perempuan dalam pengambilan keputusan” ( Molo, 1993 : 91). Jadi dengan bekerja, perempuan akan
78
lebih banyak memiliki kesempatan untuk mengembangkan otonomi bagi keputusan yang meyangkut diri sendiri, termasuk halnya tidak menutup kemungkinan pada keputusan untuk melakukan perkawinan. Berbagai kasus tentang penundaan perkawinan ini, awalnya hanya dapat kita temui di berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Medan maupun Jogjakarta. Namun ternyata daerah urban seperti halnya Sukoharjo pun memiliki “nasib” yang sama. Jones
( 2004 ; 16) dalam penelitiannya pada
sebagian besar perempuan di Asia Tenggara , memberikan pandangan, bahwa secara umum ada dua argumen yang menjadi alasan perempuan kita terkesan menunda perkawinan. “two argument to explain delays in marriages : one is that women have lost faith in marriage, and instead, give priority to career and independencee, and the second is taht women still want marriage, but because they potspone it too long for other priorities, they are later unable to find suitable men to marry” (ada dua argument yang menjelaskan penundaan perkawinan : pertama perempuan kehilangan waktu menikah karena mengutamakan karir dan yang kedua perempuan sebenarnya tetap ingin menikah, tetapi karena mereka lebih mengutamakan kepentingan lain dan belum menemukan laki-laki yang tepat untuk menikah) Jadi penundaan perkawinan pada perempuan terjadi karena makin meningkatnya aktivitas dan kesempatan kerja serta berbagai hal lain yang menyangkut kepentingan secara pendidikan maupun kesipaan secara material. Sehingga tidak dapat disangkal lagi, makin banyak perempuan yang akhirnya memiliki bermacam-macam alasan sampai akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan perkawinan. Kian hari, prosentase penundaan usia perkawinan bagi sebagian perempuan lajang di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Dimulai pada tahun 1971 prosentase perempuan yang belum menikah dari semua kelompok umur berjumlah sekitar 19,3 persen. Kemudian mengalami kenaikan prosentasenya pada tahun 1980 menjadi sebanyak 20,0 persen. Dan prosentase terbanyak terjadi pada tahun 2005 mengalami kenaikan yang cukup signifikan menjadi 23, 4 persen. Untuk prosentase kelompok umur terbesar yang menunda perkawinannya adalah 15-19 tahun.
79
Bagi perempuan lajang khususnya otoritas pertimbangan dan pemilihan pasangan akan terasa semakin kental. Tidak bisa dipungkiri seorang perempuan lajang memiliki otoritas yang kuat atas dirinya sendiri sehingga dengan siapa atau kapan dia akan melakukan perkawinan pun hal utama juga berdasarkan pada kemauannya. Perempuan lajang menurut Suhartami ( 2002 : 36-37 ) diidentikkan dengan perempuan yang aktif , simbol yang kuat atas modernitas yang aktif, yang memiliki image sebagai perempuan yang menggambarkan berbagai identitas perempuan Indonesia modern. Perkawinan menurut WT menjadi hal yang memang diinginkannya. Tapi untuk saat ini masih banyak hal yang harus dilakukan yang mungkin dapat dijadikan juga sebagai salah satu dasar atau pertimbangan dalam menentukan perkawinan. Selain itu ada semacam ketakutan baginya untuk “giving up freedom”, yaitu melepas kebebasan yang sudah terlanjur terbentuk sebagai sistem yang sangat baik dalam hidupnya. Sedangkan jawaban dengan nada berbeda muncul dari Mbak FTR maupun Mbak SR. Mbak SR dengan tegas mengatakan, “ Ya kalau menunda gaklah...tapi kalau banyak pertimbangan iya“ ( W/SR/26/04/09). Sedangkan menurut Mbak FTR, “ Gak nunda. Lha ngapa nunda selax tuwa. Aku masih hanya nunggu aku ma calon suamiku mapan kerja aja. “ ( W/FTR/17/05/09). Keputusan menikah akan segera dilakukan oleh Mbak SR dan Mbak FTR. Akhir tahun ini, keduanya merencanakan untuk mengakiri masa lajangnya. Bagi Mbak SR keputusan ini membutuhkan pemikiran yang cukup sulit dan cukup lama. Bukan karena pengaruh siapapun akhirnya dia memutuskan untuk menikah. Faktor utama yang mempengaruhi adalah faktor usia. Usia di sini bukan karena usianya yang dibilang sudah mapan dan pantas untuk menikah. Tetapi dia memertimbangkan soal reproduksi. “ untuk akhirnya memutuskan menikah bukan perkara mudah. Bagi perempuan usia 26 tahun adalah masa reproduksi yang tepat. Ya kalo habis nikah langsung dapat anak. Kalau enggak ? jadi njagani aja. Kan biar jarak sama anak enggak terlalu jauh. Kalau aku udah tua dan pensiun, trus anakku masih kecil yang mau ngasih makan trus sapa ?“ ( W/SR/26/04/09)
80
Pertimbangan yang dimaksud Mbak SR berkaitan dengan perkembangan kehidupan mendatang bagi dirinya dan anak-anaknya. Artinya pertimbangan dari segi usia dan bagaimana pemenuhan kebutuhan hidup bagi keluarga dan kesejahteraan bagi anak nantinya menjadi bahan pertimbangan untuk akhirnya menentukan perkawinan. Sedangkan untuk Mbak FTR, perkawinan pun tak pelak sudah menjadi agendanya tahun ini. Beberapa bulan lalu acara tunangan yang diyakini sebagai simbol ikatan awal pun sudah dilalui. Apalagi menurutnya calon suaminya pun sudah kerja matang, “ Lha gimana. Pacarku uda lulus kuliah. Gek malah cepet banget dadi PNS. Aku juga udah kerja. Trus nunggu apa meneh...ya modale lumayan udah ada lah”(W/FTR/17/05/09). Keputusan melajang memiliki konotasi yang dapat dimaknai secara berbeda-beda. Namun secara umum melajang berkaitan dengan bagaimana cara seseorang untuk mengatur dan menentukan hidupnya sendiri tanpa pengaruh dan pertimbangan dari orang lain. Kebanyakan dari perempuan lajang lebih memilih untuk menunda perkawinan, karena mereka lebih banyak memiliki waktu dan kesempatan untuk mempertimbangkan
hal-hal yang memang penting dalam
hubungannya dengan perkawinan. Mereka memiliki kekuasaan yang mutlak terhadap diri mereka sendiri, sehingga segala apa yang mereka lakukan memang menjadi keputusan yang harus dipikirkan matang oleh dirinya juga. Menjadi seorang lajang dengan status belum menikah pada usia yang memang dianggap normal dan pantas menikah, memberikan warna dan cerita yang berbeda dalam hubunganya dengan kehidupan sosial masyarakat. Manusia adalah makhluk sosial yang terlahir secara naluriah membutuhkan bantuan dan pertolongan orang lain. Sehingga tidak dapat dipungkiri kelangsungan hidup seseorang juga ditentukan bagaimana proses sosial yang terjadi dalam masyarakat. Masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang berada dalam suatu wilayah tertentu kadang memiliki segenap “aturan main”, yang lantas dimaknai sebagai aturan kultural. Untuk dapat diakui eksistensinya serta dianggap “wajar” dalam masyarakat, orang senantiasa harus mematuhi aturan-aturan kultural tersebut, agar
81
dia tetap dapat terakui dalam kelompoknya. Ini biasanya terjadi pada masyarakat yang masih memiliki pola pikir yang rasional. Ada berbagai aktivitas sosial, yang selalu dibungkus atas nama aturanaturan kultural, sama halnya dengan perkawinan. Perkawinan menjadi perkara yang memiliki kajian yang cukup pelik dalam masyarakat. Ada sejumlah aturan di dalamnya mulai dari menentukan kapan harus menikah, dengan siapa menikah, prosesi atau ritual dalam perkawinan itu sendiri sampai pada bagaimana proses hidup sesudah perkawinan tersebut banyak diliputi aturan-aturan kultural. Untuk di Sukoharjo sendiri, sebagai daerah yang terus mengalami perkembangan, tidak lepas dari perubahan sistem/pola-pola sosial masyarakatnya. Terdapat pula perbedaan atau perubahan dalam menentukan usia perkawinan. Berada dalam kawasan tempat tinggal yang cukup ramai dan cukup padat dengan berbagai aktivitas publik, tidak membuat masyarakat memiliki pandangan yang lebih
modern.
Termasuk dalam urusan
memutuskan untuk melakukan
perkawinan. Dari keenam responden memberikan pernyataan yang hampir sama. Kadang mereka mendapati pernyataan yang sedikit sumbang dari masyarakat atau keluarga sekitar. Seperti yang dikatakan oleh Mbak FTR, “ Ya gak ekstrim sih..paling ditanya kapan nikah??selak tua lho. Tapi ne aku yo bodo amat dik “ ( W/FTR/ 17/05/09). Rata-rata usia perkawinan di daerah mereka adalah 20 tahun bagi perempuan ataupun ketika sudah lulus kuliah, dan untuk laki-laki pada umur 23-24 tahun atau yang penting sudah bekerja. Ketika disinggung mengenai anggapan ataupun label miring yang mungkin dilontarkan pada keduanya sebagai perempuan tak laku atau perawaan tua karena belum melakukan perkawinan pada usia mendekati 30 tahun, dengan jujur keenam informan inipun mengatakan kadang memang merasa khawatir menanggapi label seperti itu. Apalagi semua orang mengamini anggapan bahwa perawan tua memiliki konotasi yang buruk, walaupun secara nyata tak selamanya seperti itu. Pelabelan tersebut nantinya juga tidak hanya mengusik kehidupan pribadinya saja, namun juga kehidupan keluarganya. Namun beruntunglah karena mereka berada ditengah keluarga yang selalu menghormati keputusan masingmasing anggota keluaraga lainnya. Awalnya menurut mereka orang tuanya juga
82
kadang memang ribut dan seringkali mencerca dengan pertanyaan yang sama “kapan kawin?”. Namun seiring berjalannya waktu mereka kemudian meyadari hal tersebut menjadi urusan pribadi yang tidak berhak diatur dan dicampuri orang lain. Bukan
hanya
karena
ingin
terbebas
dari
citra
negatif
masyarakat/pelabelan yag kurang menyenangkan, mereka harus mengikuti apa yang diinginkan masyarakat termasuk halnya dalam memutuskan untuk menikah atau tidak. Ada kalanya perlu juga untuk menutup telinga dan membiarkan orang merasa puas membicarakan apa yang menurut mereka lemah atau buruk tentang kita. Soal perkawinan adalah menjadi urusan yang sangat sensitif dan tidak berhak dicampuri oleh orang lain/masyarakat lain. Kadang kita juga perlu bersikap individual dan egois jika merasa apa yang kita lakukan memang terbaik untuk kita dan tidak mengganggu kemaslahatan orang lain/orang banyak. Perkawinan merupakan bagian dari kompleksitas budaya yang memiliki nilai dan fungsi yang beraneka. Baik itu mulai dari proses ritual dari perkawinan itu sendiri sampai pada proses yang berhubungan dengan kepentingan sosial. Perkawinan adalah bentuk ikatan atau penyatuan antara laki-laki dan perempuan yang menurut perkembangannya dapat dilakukan dengan negosiasi yang baik dari kedua belah pihak yang melakukan perkawinan. Bagi perempuan lajang di Sukoharjo, berbagai negosiasi dan kesepakatan ini yang utama adalah berkenaan dengan hubungan antara personal pelaku perkawinan walaupun memang hubungan antar keluarga juga menjadi bagian penting. Dengan adanya negosiasi ini lantas perkawinan dilakukan dengan berbagai pertimbangan yang matang. Bagi perempuan lajang yang bekerja di Sukoharajo, pertimbangan ini lebih ditekankan pada adanya kesiapan secara material ataupun kesiapan secara mental dan sosial. Sehingga perkawinan bukan hanya perkara penyatuan manusia secara biologis ketika sudah memasuki usia dewasa. Berbagai pertimbangan yang mengiringi pelaksanaan perkwinan ini lantas membuat para perempuan seolah menunda waktu perkawinan sampai mereka merasa sudah memiliki kesiapan secara penuh.
83
Hal ini dipengarauhi oleh perkembangan pemikiran para perempuan ke arah yag lebih kompleks. Modernktas dan feminisme secara tidak langsng membawa pengaruh dalam membuka pemikiran perempuan akan pentingnya berkecimpung dalam dunia kerja dan pendidikan. Lewat kerja dan pendidikan maka perempuan akan memiliki banyak pertimbangan dalam memutuskan perkawinan. Baik pertimbangan dari segi material, maupun hubungan personal dan sosial yang semuanya dilakukan dalam rangka mewujudkan fungsi dan tujuan perkawinan.
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dipadukan dengan analisis data pada bab sebelumnya, maka dalam penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Perkawinan menjadi bagian dari kompleksitas budaya manusia , yang menjadi bagian pula dari siklus hidup manusia. Sebagai bagian dari siklus hidup, perkawinan menjadi perkara krusial yang dilakukan dengan berbagai tujuan ataupun makna yang menyertai. Sama halnya dengan ( sebagian besar) perempuan lajang yang bekerja di wilayah kecamatan Sukoharjo. Perkawinan menjadi hal yang krusial yang dilakukan dengan pemikiran tertentu dan pemaknaan yang membutuhkan berbagai pertimbangan. Ada dua makna yang diutarakan oleh keenam responden dalam memaknai perkawinan : a. Perkawinan dimaknai sebagai penyatuan antara dua orang individu yang akan membentuk suatu relasi sosial baru,menjadi suatu kesatuan personal yang disepakati bersama antara laki-laki dan perempuan secara sah. Ini berarti bahwa perkawinan adalah hubungan antara laki-laki dan
84
perempuan secara sah baik lahir maupun batin yang membutuhkan legalisasi/ legitimasi hukum tertentu, baik secara hukum negara maupun hukum agama. Legalisasi yang dimaksud adalah adanya keabsahan perkawinan dengan diperolehnya surat nikah yang tercatat di KUA tentang perkawinan kedua orang laki-laki dan perempuan, dan tersimpan sebagai arsip negara. Legitimasi perkawinan sangat penting (dalam perempuan) karena di dalamnya terdapat pola /ikatan-ikatan tertentu yang mengatur hubungan perkawinan tersebut. Misalnya pengaturan tentang hak dan kewajiban suami istri, tentang pembagian harta bersama ataupun perkara keturunan hasil perkawinan ( anak).
b. Pengertian perkawinan didefinisikan sebagai sebuah penyatuan yang dimasuki oleh seorang perempuan dan laki-laki dengan harapan dapat membagi kehidupan secara bersama. Jadi perkawinan sebagai sarana atau tempat untuk menyatukan dua orang individu menjadi satu kesatuan hidup bersama dan membagi segala aktivitas hubungan perkawinan secara bersama. Hal ini mengadung arti bahwa adanya hubungan perkawinan mengharapkan adanya kebersamaan untuk menghindari konflik sekecil apapun sehingga tidak akan terjadi silih pendapat yang akan mengganggu kehidupan perkawinan dan akan lebih mudah mewujudkan tujuan yang diinginkan. 2
Makna dan definisi perkawinan mengalami perubahan, pergeseran atau perbedaan jika dibandingkan dengan kehidupan perempuan jaman dahulu ( dalam konteks tahun 1970-an). Perkawinan dilakukan segera ketika perempuan telah memasuki masa dewasa yang ditandai dengan haidnya yang pertama. Pada masa inilah perempuan dianggap telah siap secara reproduksi, walaupun memang secara material ataupun psikis terkadang belum siap. Namun keadaan ini mengalami perubahan. Ketika wacana tentang perempuan mulai mengemuka, pola pikir yang kian kompleks membuat para perempuan mulai berfikir rasional. Dengan demikian perkawinan dilakukan dengan
85
berbagai pertimbangan yang memang telah dipikir secara maksimal terlebih dahulu oleh pelakunya. Inilah mungkin salah satu hal yang menyebabkan perempuan lajang yang sudah bekerja dianggap menunda perkawinan. Setidaknya hal ini mereka lakukan karena beberapa hal ( atau pertimbangan ) : a. Mulai terbukanya pendidikan yang luas, membuat banyak perempuan yang akhirnya berlomba untuk memperoleh pendidikan tinggi, sampai pada tingkat sarjana. Ini dilakukan karena sebagai bagian dari aktualisasi diri dan proses untuk menemukan berbagai ilmu dan pengetahuan yang dapat menjadi bekal kehidupan di masa datang. Jadi tidak heran jika para informan telah menyelesaikan gelar strata satunya, bahkan ada beberapa dari mereka yang telah memulai pendidikan magisternya. Ini menunjukkan bahwa pendidikan menjadi salah satu hal yang kemudian dipikirkan sebelum akhirnya memikirkan perkawinan. b. Pekerjaan juga disinyalir sebagai hal yang menyebabkan penundaan perkawinan. Lewat pendidikan dan bekal keterampilan yang matang, mereka akan berusaha untuk menyalurkan berbagai keterampilannya agar memperoleh pekerjaan yang memang sesuai. Apalagi saat ini makin terbuka lebar kesempatan perempuan untuk bergerak dalam berbagai bidang usaha. Mereka meyakini bahwa bekerja sebagai bagian dari aktualisasi diri, disamping keinginan untuk memperoleh material. Ketika perempuan telah memiliki posisi tempat kerja yang stabil atau nyaman, maka akan terus terjadi keinginan untuk memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Fokus dan optimalisasi dalam dunia kerja ini yang menyebabkan mereka menganggap perkawinan bukan perkara yang sangat penting untuk dipikirkan. c. Belum menemukan pasangan atau jodoh yang tepat kadang juga menjadi alasan klise mengapa para perempuan lajang yang bekerja tersebut masih menunda perkawinan. Ketika pemikiran mereka berkembang maka keinginan untuk memperoleh pasangan yang ideal pun semakin tinggi. Akhirnya yang terjadi adalah mereka terus menyeleksi dan memilih
86
pasangan yang sesuai dengan keinginan mereka. Baik itu kemapanan secara material, maupun secara pekerjaan dan fisik. d. Kematangan atau kesiapan diri juga menjadi alasan perempuan lajang yang bekerja masih menunda perkawinan. Perkawinan bagi mereka tentu akan melibatkan emosi dan proses penyatuan dan penyeimbangan yang tidak mudah.. Sehingga persiapan secara mental atau persiapan secara batin untuk menyandang posisi atau dunia baru ketika melakukan perkawinan juga menjadi bahan pemikiran mereka sebelum akhirnya memutuskan untuk melakukan perkawinan.
B. Implikasi 1. Implikasi secara teoritis a. Menambah pengetahuan yang lebih mendalam tentang makna dan alasan bagi perempuan dalam melaksanakan perkawinan. Perkawinan menjadi hal yang dapat dinegosiasikan bersama oleh kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan. Bagi perempuan masa kini, perkawinan menjadi hal yang butuh pertimbangan yang matang, karena didalamnya terdapat proses atau hal-hal baru yang menjadi kesepakatan bersama. b. Menguji kebenaran serta memantapkan keberadaan teori-teori sosiologi dan antropologi terutama yang berkaitan dengan teori tentang perkawinan sebagai bagian dari kompleksitas budaya manusia. Yang selanjutnya tidak hanya dikaji masalah yang berhubungan dengan tradisi, melainkan faktor pendorong atau pelaksanaan perkawinan juga menjadi kajian yang penting dibahas. c. Dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti yang lain tentang berbagai hal yang terkait dengan kehidupan sosial masyarakat maupun tentang perkawinan. 2. Implikasi secara praktis
87
a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai wacana baru yang dapat dijadikan sebagai referensi dari berbagai wacana tentang perkawinan, yang dipandang dari perspektif perempuan. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam memecahkan berbagai permasalahan yang terkait dengan masalah perempuan, terutama berhubungan dengan keputusan dalam melakukan perkawinan. c. Memberikan stimulus pada masyarakat agar lebih bersikap peka dan kritis terhadap perubahan yang terjadi, sehingga setiap masalah baru yang muncul dari pergeseran budaya atau norma dapat ditanggapi dan disikapi tanpa perlawanan atau hal-hal yang negatif. d. Mengajak untuk bersikap lebih terbuka dalam menerima berbagai bentuk wacana baru yang terjadi dalam masyarakat.
C. Saran Dari hasil temuan dan analisis data di atas, ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai masukan, antara lain: 1. Bagi masyarakat a. Perkawinan hendaknya dipahami tujuan utamanya sehingga proses dalam perkawinan dan membentuk keluarga akan berjalan dengan baik kedepannya. b. Ketika akan melakukan perkawinan hendaknya dilakukan dengan berbagai pertimbangan mulai dari kesiapan secara materi maupun kesiapan secara mental. c. Orang tua hendaknya memberikan kesempatan bagi anak untuk menentukan sendiri pilihannya dalam menentukan pasangan hidupnya. 2. Bagi kalangan akademisi Bagi kalangan akademisi ketika mengkaji masalah sosial hendaknya lebih kritis dan memandang suatu fenomena dari berbagai sudut, sehingga tidak akan timbul subjekativitas dalam memaknai suatu fenomena sosial.
88