PEREMPUAN PIDATO PERKAWINAN
Arswendo Atmowiloto
JUANITA, 30-an tahun, dalarn busana untuk pesta perkawinan, menjelang memberikan pidato pada perkawinan yang lumayan meriah.
Akhirnya, dan akhirnya, cita-cita saya sampai juga. Hari ini apa yang sudah saya harapkan sejak kecil, saya cita-citakan, saya impikan, saya dambakan, terjadi juga. Akhirnya! Pakai kata akhirnya, karena semula serasa mustahil. Padahal cita-cita saya ini sederhana. Ingin menjadi pemidato dalam sebuah resepsi perkawinan. Lho kan sederhana. Sederhana saja banget nget-nget. Waktu kecil teman-teman kalau ditanya apa cita-citanya, menjawab ; ingin jadi dokter, ingin jadi badut, ingin jadi ibu rumah tangga yang baik, ingin jadi lurah, ingin jadi orang yang berguna, ingin.... Yang untuk saya aneh. Semua itu : jadi dokter, jadi iatri, jadi badut, tak usah menjadi cita-cita pasti kesampaian kalau mau. Apa susahnya jadi dokter. Asal ada beaya, rajin kuliah maksudnya mengisi absen, syukur baik sama dosen, pasti lulus tak ada sulitnya sama sekali, karena bisa dipelajari. Diulang-ulang, akhirnya pasti lulus. Tapi waktu itu saya yang dianggap aneh, karena saya mengatakan : ingin berdiri di pesta perkawinan, memberi pidato pada pengantin. Guru SD saya, orang Batak yang sudah lama makan asinan, suka pecel, kaget. Katanya (DIALEK BATAK)" Apa pula kau ini. Mana ada di dunia ini pemberi nasehat perkawinan seorang perempuan? Kamu cari penyakit. Masih mending kamu jadi kernet bia, atau tukang tambal ban di pinggir jalan. Masih bisa diterima, walau kurang pantas. Ayak-ayak wae neng. Pamali. Ora ilok. Ora pantes babar blas."
Ketika naik ke kelas empat, ada pertanyaan yang sama. (NADANYA LEBIH RENDAH) Kayaknya pak guru dan bu guru tak punya keahlian bertanya. (KEMBALI KE NADA SEMULA) Kali ini bu guru dari Jawa, saya nggak tahu jawanya itu Tegal atau Surabaya. Bu Guru tidak kaget, karena nada suaranya kayak menyanyi (MENIRUKAN GAYA/LOGAT DAERAH) O, Allah duk genduk mbok aja neka-neka. Dadi uwong kuwi sakmadya bae. Yang artinya adalah ; jangan aneh¬aneh, sederhana saja. Seperti yang lain.
Sewaktu SMP, niatan itu makin kuat. Bahkan akhirnya saya dibujuk ibu saya tak pernah memaksa, tapi juara membujuk, mau ikut kursus menjahit, tata boga, serta tata rias yang diadakan di kampung. Ini pendidikan kewanitaan. Alasan ibu agar saya feminin, tidak seperti sekarang sukanya main bola sepak, main layang-layang, dan kalau berkelahi pasti Awan menangis. Saya mau karena ini ada kaitannya dengan pengantin. lyalah. Masak tidak. Di manapun juga pengantin pasti dirias. Gelandangan yang ditangkap kemudian diauruh kawin massal juga dirias. Anak kecil yang dipaksa kawin juga dirias. Tentu saja, tanaman alias pohon yang batangnya manis, juga dirias, diarak dalam perkawinan sebelum digiling. Saya pikir ini mendekatkan dengan cita-cita. Prestasi saya di sekolah not bad lah. Nggak bodo-bodo akiat, tapi juga nggak pintar-pintar akiat. Soalnya susah kelihatan menonjol dan menjadi paling pintar, karena nilainya seluruh peserta kursus 60 dan 70. Pembimbingnya malas kali. Tapi baik, karena dengan nilai itu bisa lulus dapat sertifikat. Meskipun nggak jelas apakah sertifikat ini ada gunanya atau tidak.
Saya rajin. Sangat rajin. Bahkan bukan hari kursus saja saya masuk. Karena ada sahabat, seorang yang dipanggil Sri yang ikut kursus menari. Saya sendiri heran, zaman sekarang kok masih ada orang tua memberi nama anaknya Sri. Hidungnya mancung, matanya belok, gerakannya lembut, suaranya lirih, menyapa dengan hati. (MENIRUKAN GAYA, SUARA SRI) "Juanita, Juanita, kamu lapar atau tidak? (KEMBALI KE GAYA JUANITA) Emang kenapa cengeng? (SUARA SRI) Kalau kamu lapar, yuk kita makan berdua. Ada yang jual bakso, enak di pengkolan." (KEMBALI KE JUANITA) Makan ya makan saja sendiri. (MENIRUKAN) Ya sudah saya tunggu kamu lapar. Juanita, Juanita, kalau kamu lapar ngomong ya? Kiati nggak kalian. Masih ada orang sebaik dia. Nurut lagi. Kalau saya riasSri memang model saya terus dalam kursus-- ia menikkiati. Bahkan bisa tertidur. (SUARA SRI) Saya merasa aman kamu rias. Saya nyaman bersamamu, Juanita. Lebai memang. Tapi saya sayang, terutama karena senyumnya maniiiiiia sekali..Sri perempuan sempurna kalau ukurannya ibu saya. Sri juga setuju banget dengan cita-cita saya : (SUARA SRI) Juanita, Juanita kamu membangkitkan keberanian dalam diri saya untuk menetapkan pilihan. Terima kasih Juanita. Saya berharap bertemu selamanya dengan Sri. Tapi selesai kursus, saya tak tahu dia ke mana, dan ngapain. Sedih juga. Saya sering membayangkan diam-diam kulitnya yang halus, senyumnya yang tulus, dan gerak lakunya yang bagus. (MENGHELA NAPAS PANJANG. TERCENLING LAMA. MEMBAYANGKAN SRI. TERSENYUM SENDIRI)
SELESAI SMA-- saya percepat saja ceritanya karena itu masa-masa yang sangat membooooosaaaankan. Tak ada sahabat, tak punya duit banyak, tak punya pacar. Yang banyak malah omelan baik dari bapak, ibu, paman, tante yang selalu menemukan kekurangan saya. Kurang dandanlah, kurang femininlah, kurang bisa ramah. Senyum saja , saya ini diaalahkan. Kata mereka senyum saya menambah judes. Pakai bra saja kata mereka, asal pasang saja. (MENIRUKAN) Perlahaaan Nita. Kasar banget sih. Ya mereka memanggil saya Nita biar lebih perempuan.
Selesai SMA, saya ikut bekerja. Melamar sebagai sales. Diterima saya kira semua yang melamar diterima, karena perusahaan kosmetik untuk pria itu butuh gadis yang mau dibayar murah setiap hari untuk transport dan uang makan.Tak ada gaji bulanan atau mingguan. Hari ini bekerja dibayar. Hari ini tidak bekerja, ya melongo. Plus kalau barangnya laku. Lumayan dari pada nganggur dan diomeli. Pakai seragam tapi harus dicicil, dipotong kalau barang dagangan laku. Diberi intruksi, diajari bermanis-manis. Harus tahan godaan, karena pembelinya pria. Membeli atau tidak para pria ini memang sok jantan. Gayanya kayak ayam jago yang memanggil betina sambil notoli'tanah, padahal nggak ada makanan. Atau kayak anjing jantan di musim kawin, mau nyosor terus, mau mengendus dengan lubang hidung mekar. Seperti kunang-kunang jantan yang main tubruk cahaya-padahal yang bercahaya itu puntung rokok.
Ini yang saya alami. Di dekat parkiran yang tak teratur, saya menjajakan dengan muka manis. Ada seorang yang ganjen, gayanya tengil. Langsung merangsek, dan menarik tangan saya. Saya bilang : Jangan Pak. Eeee dia malah menyeringai, (MENIRUKAN SUARA COWOK) Jangan panggil Pak, panggil Ooom. (SUARA JUANITA) Jangan Oom. (SUARA COWOK) Nah gitu... sini saya borong semua barangmu. Dia menarik tangan saya, memeluk, dadanya digesergeserkan ke payuDara saya, wajahnya di dekatkan ke wajah saya. Sudah gitu tangannya kurang kerjaan, nggratil merabai dada. Saya sih tidak terangsang, juga tidak punya perasaan apa-apa. Cuma saja, wajahnya menjijikkan. Seolah wajah pemenang, kumianya seperti bergerak¬gerak, tawanya merendahkan banget.
Pantatnya
dipepet-pepetkan
terus
digoyangkan.
(MEMPERAGAKAN)
Saya kesal, terhina, jijik. Saya tonjok, duk gitu. Sekali. Benar hanya sekali. Entah kena dagu, entah kena pipi. Dianya jatuh menggelepar seperti orang saraf. Berkelojotan. Matanya mendelik. Susah bernapas. Kayak apa itu, apa namanya kalau ayan... epilepsy... tapi bukan. Kata orang-orang pukulan saya mengenai jakunnya. Telak. Pantas dia susah bernapas. Saya ditarik ramairamai, tidak terlalu diaalahkan sih. Tapi akibatnya saya dipecat sebagai sales promotion girls, seragam ditarik-padahal saya sudah menyicil. Saya mengiya saja, sebab takut katanya ada yang melaporkan ke polisi. Tuduhannya penganiyaan. (MENINGGI) Penganian dari mana? Saya yang dianiaya. (TURUN KE SEMULA) Ya sudah. Nggak bakat.
Menurut cerita, pria itu jakunnya copot dan tertelan. Saya senang mendengarnya, dan sejak itu saya memang membenci jakun. Simbol kejantanan karena mempunyai lebih dari yang dimiliki perempuan.
Saya juga pernah bekerja di salon. Aman siiih, tak mungkin berantem. Karena salonnya khusus untuk ibu-ibu. Saya merendahkan diri mencuci rambut, memotong kuku saya belum boleh memotong rambut. Paling jauh menghitamkan rambut. Lumayan, dapat makan siang, kadang diberi tips tidak langsung ke saya, tapi dapat bagian juga. Tapi saya pikir tidak tahan juga mendengar omongan yang aneh-aneh, cerita lucu menggelikan tentang seks, selingkuh, cara bersetubuh, dan lebih dari itu saya tak akan maju karena kalah sama banci yang sumpah lebih luwes; lebih mengiya dan pendengar yang baiiiiik sekali. Dan selalu bisa memuji, rambut yang botak pun dibilang tambah tebal, setiap yang datang dibilang tambah kurus, dan mempunyai cerita sebagian benar, sebagian besar ditambah tentang ibu-ibu yang lain yang jorok. Jorok karena celana dalamnya bau. Lebih bau dari ketek.
(MENGHELA NAPAS LAMA. TERCENUNG) Saya mundur. Sebab utamanya mungkin karena saya terkenang Sri yang lembut, yang baik. (TEGAS) Sudahlah.
Saya pernah bekerja kantoran, karena jasa baik dan lobi ayah. Bukan jabatan penting atau agak penting. Staf pemasaran, magang dulu. Kerjanya lumayan kadang sampai malam namanya juga pemasaran. Termasuk cepat
karena kemudian banyak ditugaskan keluar daerah. Lumayan lagi karena dapat tambahan uang makan, walau kadang naik pesawat tapi tidurnya di rumah agen, atau kalau di hotel berempat. Sebenarnya tak a pa, juga kalau dimarahi, diauruh tiba-tiba padahal minggu, atau menemui orang yang tak jelas. Tak jelas siapa, tapi saya harus memberikan uang, tanpa tanda terima. Lalu diomeli dari perusahaan karena katanya saya cerewet. Dan ini berkalikali dan makan hati. Saya hanya terima uang makan, eee mereka malah senyum-tawa terima banyak amplop. Ya sudahlah. Saya kira itu risiko pekerjaan. Tapi melihat kawan-kawan yang hampir semua dipacari bos atau kepala bagian, saya jadi mikir apa harus begini ini suasana sebuah kantor. Saya memilih keluar dan ketika bagian personalia yang juga punya pacar di bagian saya, saya jawab saja :"Karena tak ada satupun yang menjadikan saya gendaknya." Ayah tak sempat memarahi, karena saat itu mulai beranteman dengan ibu. Kali ini lebih hebat, karena katanya ayah punya anak dari selingkuhannya. Hampir dua. Satu sudah lahir, satunya masih dalam kandungan. Ayah dan ibu selalu dalam suasana bermusuhan, kecuali dalam satu hal : memarahi saya.
Ini terutama karena saya masih setia pada cita-cita, ingin menjadi pemidato pada pesta perkawinan. Kata ayah (MENIRUKAN) : Kamu sudah gila Ju. Kata Ibu (MENIRUKAN IBU) Tak pernah kusangka anakku gila. Kata saya : Di mana salah saya? Saya hanya ingin berpidato pada pesta perkawinan. Kata ayah (MENIRUKAN) : Kamu itu perempuan.
Kata Ibu (MENIRUKAN) Perempuan belum pernah ada member wejangan, member ular-ular pada perkawinan. Belum pernah dan tidak akan pernah ada. Kata Ayah (MENIRUKAN) ; Kenapa kamu bercita-cita seperti itu? Kata IBU (MENIRUKAN) Apa alasannya? Ayah Ibu, mempunyai cita-cita tidak selalu harus ada alasannya. Kalau saya bilang ingin jadi polwan, apakah harus ada hubungannya paman atau tante, atau siapa juga menjadi polisi. Saya ingin itu, dan tak merasa bersalah. Kata Ayah : SALAH BESAR JU Kata Ibu (MENIRUKAN) Dosa besar Bapak Ibu kalau saya bercita-cita jadi imam di masjid atau di gereja, bolehlah disebut salah besar atau berdosa. Tapi kalau cuma memberi sambutan saat perkawinan kan buaan dosa...
Sejak itu kami jarang berbicara. Juga jarang saling mendengarkan. Agak lama baru kemudian Ayah Ibu bersatu pendapat ketika bertanya : Kapan kamu nikah Juanita? Saya bisa cuek. Tapi lama-lama kesemutan juga telinga ini. Karena selalu diulang, disindirkan, dibicarakan dengan siapa saja. Saya makin risi. Saya sudah katakan, Ibu adalah perayu yang hebat. Diplomasinya dahsyat. Lembut, membalut, membuat saya bertekuk lutut. Inilah yang dikatakan Ibu (MENIRUKAN) Nita anak gadis Ibu yang cantik. Kalau kamu ingin mewujudkan keinginanmu menjadi pemidato di pesta perkawinan, kamu harus kawin. Karena tak pernah ada pemberi wejangan itu masih lajang: Tak pernah ada.
Itulah Ibu. Sakti dalam mempengaruhi. Dan memang tak ada pemidato yang masih bujang, masih layang, masih jomblo. Bagaimana mungkin orang mau percaya kalau yang menggurui itu belum punya pengalaman sama sekali?
Saya menyerah. Saya pasrah. Saya berserah. Kalau memang harus mempunyai suami, yaaaa ini harga yang harus kubayar. Demi cita-cita, demi keinginan terdalam. Tapi ternyata tidak mudah. Buaaaanyaaak sekali laki¬laki di dunia, tapi sulit menemukan yang mau jadi suami. Atau yang cocok jadi suami. Saya tidak mekiatok standar tinggi. Kalau ada yang mau, cukuplah. Kalau mencari yang agak mapan, hampir selalu sudah berkeluarga. Kalau mencari yang lajang, kayaknya bakal cepat tua karena mengurusi soal ekonomi. Saking paniknya saya pernah ngajak nikah tukang ojek yang biasa mengantar saya. Oranya lumayan, meski tubuhnya bau sinar matahari dan jaketnya tak pernah ganti
-
Bang, mau nggak nikahi saya
(MENIRUKAN SUARA ABANG OJEK) Nggak non, terima kasih..
-
Apa saya kurang cantik?
(SUARA ABANG) ; Non Nita cantik, pantatnya bulat, dadanya besar, bisa hidup sendiri, nggak banyak menuntut.
-
Lalu kenapa Abang menolak?
(MENIRUKAN SUARA ABANG) Nggak Non. Saya sudah punya anak, sudah punya iatri. Iatri saya sudah kempot tidak sekenyal Non tapi yaaa namanya iatri.
-
Saya jadi iatri kedua.
(MENIRUKAN SUARA ABANG) YAAA BISAAA. Tapi saya ndak mau Non. Selama ini saya kebahagiaan dan ketentraman itu yang bisa saya berikan kepada iatri saya. Penghasilan saya pas-pasan, tak membuat iatri bangga atau bahagia. Selain karena saya setia. Biarlah itu tetap dirasakan.
•
Saya terharu. Saya menangis. Ingin rasanya mencium abang ojek yang waras ini. Saya kagum padanya. Bagaimana seorang yang punya iatri kempot, menolak. yang kenyal, karena itu merusak kebahagiaan iatrinya? Mudah-mudahan masih ada lelaki seperti ini dan masih lajang-atau duda, dan saya sempat ketemu. Amin.
•
Tapi keadaan saya sesungguhnya makin berat. Ibu makin bertubi-tubi menyuruh saya segera menikah. Segera.segera.segera. saya jengkel, lalu bilang ke Ayah: "Yah, saya akan memberi izin ayah menikah lagi, dengan yang lama itu atau yang baru, kalau saya diberi kesempatan pidato di perkawinan ayah." Sejak itu Ibu tak mendesak saya lagi. (LEMBUT) Maaf ya buuuu. Maafkan putrimu yang lancang. (TERDENGAR
SUARA
RAMAI.
PERCAKAPAN
DALAM PESTA PERNIKAHAN. RAMAI, BERISIK)
ORANG-ORANG
•
Pesta pernikahan sudah mulai. Dan saya harus siap-siap. Tebak siapa yang rela mengundang saya sebagai pemidato? Siapa? Saya sendiri? Salah. Orang itu adalah Sri. Sri sahabat saya yang pintar menari, yang senyumnya manis dan sensual. Sri makin menunjukkan keperempuanan yang sempurna. Dadanya berisi, wajahnya ayu, lembut, gerak geriknya terjaga. Kami bertemu lagi lewat face book. Lalu bertemu beneran di kedai kopi tubruk, tempatnya bekerja. Sri langsung tanya. (SUARA SRI YANG LEMBUT) Juanita, Juanita apakah kamu masih ingin memberi ular-ular saat perkawinan? Saya jawab masih. Lalu dia bilang (SUARA SRI, TETAP TERJAGA) Saya akan mewujudkan. Saya akan kawin, dan kamu yang memberi pidato. -
Memang kamu mau kawin sama siapa Sri?
-
(SUARA SRI) Tidak pentinglah. Kalau kamu mau kawin, perlu alasan.
Apakah itu cinta, atau untuk hidup bahagia, atau karena kelaziman. Alasan saya kawin, agar kamu bisa pidato -
Kamu kawin sama siapa?
-
(SUARA SRI) kawin sama siapa saja, pasti ada yang mau. Saya kan cakep.
Juanita, Juanita tadinya saya ogah kawin. Tak menemukan alasan untuk kawin. Akhirnya saya tahu alasan kuat. Agar kamu berpidato. Persahabatan adalah alasan yang berharga. .
(SUARA MAKIN JELAS. SAMAR TERDENGAR MEMPERSILAHKAN JUANITA MEMBERI PETUAH) •
(MENGHELA NAPAS, MENGHAPUS AIR MATA) Akhirnya.;. Akhirnya saya bisa berpidato untuk pengantin. Saya tak tahu harus memberi nasehat apa. Mungkin juga tak terlalu perlu. Dalam perhelatan perkawinan, pidato selalu diadakan, walau sebenarnya tak pernah didengar..Siapa yang mau mendengarkan? Pengantinnya juga ogah, para tamu apa lagi. Semua punya kesibukan sendiri, pengalaman sendiri. Seperti basa basi. Ah, tak apalah. Bukankah perkawinan juga basa basi yang harus ada?
(MAJU, BERSIAP, MEMBUKA TEKS, MENGANGGUK KE HADIRIN)
•
Perkawinan adalah... (SUARA GEMRENGGENG BERDENGUNG MAKIN KERAS, KERAS, PERCAKAPAN ORANG-ORANG. GERAK SAYA DI PANGGUNG TANPA SUARA. SUARA ATMOSFER YANG MAKIN MENINGGI)
Selesai