Makna Implisit Kata Sake dalam Lirik Lagu Enka Nuraisyah 0906535605 Program Studi Jepang Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya
A. PENDAHULUAN Lagu adalah salah satu media untuk mengungkapkan perasaan seseorang. Di Jepang persebaran lagu tercatat sudah ada dari zaman Jepang Kuno dan pada zaman Heian (7941185) berubah bentuk menjadi puisi dan lagu-lagu rakyat (minyō) (Darsimah Mandah, dkk, 1992:23). Namun, setelah Barat masuk ke Jepang, lagu-lagu di Jepang menjadi sangat beragam. Lagu-lagu tersebut sangat banyak jenisnya dan diantara perkembangan jenis-jenis lagu tersebut, ada jenis lagu yang disebut dengan enka. Pada awal tahun 1960-an sampai awal tahun 1990-an, enka berkembang pesat dan menuju zaman keemasannya. Namun, pada saat awal tahun 1980-an, kepopuleran enka mulai menurun. Kejatuhan popularitas ini dikarenakan masyarakat Jepang sudah mulai menggemari lagu pop dan jazz yang mendapat pengaruh oleh Barat. Melodi dalam lagu enka zaman ini juga menerima pengaruh dari Barat, contohnya penggunaan alat musik piano dan biola, tetapi alat musik tradisional Jepang juga sering dipakai, seperti shakuhachi, taiko, dan shamisen (Roberson, James E. dan Suzuki Nobue, 2003:78).
Namun, tidak hanya dari penggunaan alat musik, teknik vokal dan dan tema lagu, ciri khas yang membedakan lagu enka dengan lagu-lagu lainnya adalah lebih menekankan pada makna lirik lagu dibanding musik latarnya, berbeda lagu pop yang lebih mengutamakan musik yang menarik dan mudah didengar, karena pada lagu enka belum banyak alat musik dan instrumen yang digunakan. Dalam industri musik di Jepang maupun di luar negeri, enka dikenal sebagai lagu khas Jepang (nihon no uta). Selain itu, enka juga dikenal sebagai ungkapan hati dan jiwa orang Jepang (nihonjin no kokoro) sehingga dianggap sebagai musik nasional (Yano, 2000: 60-61). Dalam lirik lagu enka, bisa diperhatikan bahwa kebanyakan lagu enka bertemakan cinta, kesedihan, kehilangan, perjalanan hidup, dan kematian (Fujie Linda, 1989:210). Salah satu hal yang menarik dari tema-tema tersebut adalah beberapa kata yang biasa terdapat di dalam judul lagu dan lirik enka, yaitu namida (air mata), sake, jinsei (kehidupan), koi (cinta), dan kigo (penanda musim). Salah satu kata yang digunakan dalam lagu enka adalah kata “sake”. Kata sake ini muncul pada lagu enka sekitar awal tahun 1930, ketika Koga Masao menjadi penulis lagu 1 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
yang sangat berpengaruh pada musik populer Jepang sebelum perang. Ia menulis lagu enka yang pertama kali menggunakan kata sake, yaitu “sake wa namida ka, tameiki ka?” (sake adalah air mata atau helaan nafas?). Setelah itu, munculah lagu-lagu yang menggunakan kata yang berasosiasi sake, seperti izakaya, sakaba, inshu, dan lain-lain (Fujie Linda, 1989: 204). Sake adalah sejenis minuman beralkohol khas Jepang yang berasal dari beras yang difermentasi. Sake sering juga disebut dengan anggur beras. Penyebaran sake di Jepang merata walaupun jenisnya berbeda-beda dan proses pembuatan sake sendiri sudah ada dalam catatan kojiki dan nihon shoki sekitar awal abad ke-8. Di Jepang, sake dikenal sebagai minuman nasional (Tsujita dan Llyod, 2002:57). Tetapi, orang Jepang menganggap sake lebih dari minuman alkohol biasa. Dalam kehidupan orang Jepang, sake mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan sehari-hari, seperti sebagai bahan makanan. Selain itu, orang Jepang biasanya meminum sake di saat senang dan di saat sedih, stres, sedang tertimpa masalah, capek sehabis bekerja dan banyak lagi. Sake diminum oleh banyak orang dan sake adalah minuman yang disukai oleh para sarariman (Nakamaki Hirochika, 2001:114).
Secara kultural, sake sering juga digunakan sebagai simbol pada matsuri. Matsuri merupakan bagian dari religi dalam agama Shinto (Danandjadja, 1997:164). Menurut Lawanda (2004:33), beberapa matsuri berasal dari upacara penanaman padi. Upacara ini bertujuan untuk mendamaikan hati para dewa dan roh-roh orang meninggal dengan memberi suguhan sake sebagai simbol dari pertanian sehingga hal tersebut dipercaya dapat menjamin kesuburan tanah mereka. Tidak hanya dalam matsuri saja, sake juga digunakan dalam acaraacara formal lainnya, seperti upacara pernikahan dan kematian. Dalam sastra, kata sake ini juga digunakan dalam karya sastra puisi klasik, seperti manyoushū dan haiku. Tidak hanya puisi Jepang yang menggunakan kata sake, lagu enka pun banyak yang menggunakan kata sake. Kata sake dalam lagu enka penting untuk diteliti dan menurut peneliti kata tersebut memiliki makna yang tersirat dan diduga mempunyai arti khusus dalam lirik lagu enka. Dalam penelitian ini, peneliti ingin meneliti lirik lagu enka yang menggunakan kata sake. Dalam penelitan ini, penulis ingin meneliti tentang lagu enka. Peneliti memilih topik lagu enka karena lagu enka sangatlah emosional dan tidak dapat diabaikan oleh masyarakat Jepang karena ciri enka yang sangat “Jepang” (Ei Rokusuke, Tsurumi Shunsuke, 1997:134.). Hal ini dapat
dilihat dari penggunaan alat musik, tema, teknik menyanyikan lagu enka, dan kata-kata yang digunakan dalam liriknya. Selain itu, enka juga tidak lekang oleh waktu karena hingga
2 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
sampai saat ini, enka masih disukai oleh orang Jepang, walaupun tidak sepopuler zaman dulu pada saat zaman keemasan enka pada tahun 1960an. Sebelum meneliti hal ini, peneliti mempunyai hipotesis bahwa kata sake dalam lirik lagu enka digunakan terbatas pada lagu yang bernuansakan kesedihan. Hal ini dikarenakan peneliti sering menemukan lagu enka yang memakai kata sake pada lagu yang bertemakan sedih. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui hal tersebut benar atau tidak. Permasalahan yang ada dalam penulisan ini adalah mengenai makna kata “sake” yang terkandung dalam lagu enka. Jangkauan dalam penelitian ini adalah lagu-lagu enka yang populer di Jepang yang memakai kata “sake” yang lirik lagunya ditulis oleh Ishimoto Miyuki dan dinyanyikan oleh Hibari Misora pada akhir tahun 1950 sampai akhir tahun 1970 Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan makna apa yang terkandung dari kata “sake” dalam lagu enka, sehingga dapat memberikan pemahaman yang mendalam mengenai makna lagu enka dalam tatanan sosial masyarakat Jepang melalui kata sake . Harapan penulis dengan menulis penelitian ini adalah dapat digunakan oleh penulis lain sebagai acuan dalam penelitian yang berhubungan dengan topik yang berkaitan dengan sake dan enka diteliti di kemudian hari. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode kualitatif dan kepustakaan yang mengacu pada buku-buku sumber dan internet. Dalam kajian ini, sumber datanya adalah karya sedangkan data penelitiannya adalah teks. Sejalan dengan uraian di atas, ciri-ciri terpenting metode kualitatif adalah memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai studi kultural. B. LANDASAN TEORI Penelitian terdahulu tentang enka sudah pernah dilakukan oleh Ariestyani Wahyu Permata Sari pada tahun 2007 dalam thesisnya yang berjudul “Analisis Metafora pada Lirik Lagu Enka dalam Besuto Hitto Daizenshu 2005”. Penelitian ini berfokus pada upaya menjelaskan budaya Jepang dengan menggunakan analisis metafora pada lirik lagu enka dalam Besuto Hitto Daizenshu 2005. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Analisis metafora dalam penelitian ini menggunakan teori metafora konsep Lakoff dan Johnson. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan metafora yang terdapat pada lirik lagu enka dan menemukan latar belakang penggunaan metafora tersebut. Sumber data yang digunakan adalah kumpulan lirik lagu enka yang terdapat dalam Besuto Hitto Daizenshu 2005 terbitan Boutique-sha tahun 2004 yang dipilih secara purposif berdasarkan tema yaitu rasa cinta dan kehilangan. Dan analisis terhadap lirik lagu enka dalam Besuto Hitto Daizenshu 2005, metafora yang ditemukan adalah sebagai berikut: “kehidupan adalah 3 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
perjalanan, penderitaan adalah jalan menanjak, penderitaan adalah hujan dan/atau angin, penderitaan adalah rasa dingin, penderitaan adalah barang bawaan, kebahagiaan adalah bunga mekar, kebahagiaan adalah matahari, kebahagiaan adalah musim semi, kebahagiaan adalah hari cerah, kesedihan adalah bunga gugur, cinta adalah bunga, harapan adalah hari esok, impian adalah bunga, jiwa adalah api, jiwa adalah entitas, kehidupan adalah entitas, kebahagiaan adalah entitas, ikatan hati adalah entitas, penderitaan adalah entitas, kesedihan adalah entitas, kesusahan adalah entitas, cinta adalah entitas, impian adalah entitas, harapan adalah entitas, dan hati adalah ruang. Dalam latar belakang penggunaan metafora tersebut terdapat hubungan dengan pengalaman orang Jepang dengan lingkungannya. Budaya Jepang yang terlihat dari latar belakang metafora tersebut adalah: 1) kedekatan orang Jepang dengan alam, 2) adanya sensitifitas “aware” dan 3) konsep ketidakkekalan “mujō”. B.1. TEORI MITOS ROLAND BARTHES Berdasarkan teori semiotika yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, ahli semiotika Roland Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah sistem tanda tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Pada sistem konotasi—atau sistem penandaan tingkat kedua—rantai penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi. Secara terperinci, Barthes dalam bukunya Mythology menjelaskan bahwa sistem signifikasi tanda terdiri atas relasi (R = relation) antara tanda (E = expression) dan maknanya (C = content). Sistem signifikasi tanda tersebut dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang disebut sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua yaitu sistem konotatif dan sistem metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat antara tanda dan maknanya, sedangkan dalam sistem konotatif terdapat perluasan atas signifikasi tanda (E) pada sistem denotatif. Sementara itu di dalam sistem metabahasa terhadap perluasan atas signifikasi makna (C) pada sistem denotatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa merupakan perluasan dari sistem denotatif (Roland Barthes, 2009:158-162).
Konotasi yang mantap dapat berkembang menjadi mitos, yaitu makna tersembunyi yang secara sadar disepakati oleh komunitas. Mitos yang mantap dapat berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu yang mendasari pemikiran sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar pandangan mereka dipengaruhi oleh ideologi tersebut (Roland Barthes, 2009:109). 4 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
Menurut Barthes, pada tingkat denotasi, bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi, bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi. Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi (Tommy Christony, 2004:94).
Hal ini bisa dilihat dalam gambar ini. Signifier
Signified
(penanda) 1
(petanda)1
Sign (tanda) 1 Signifier (penanda) 2
Signified (petanda) 2
Sign (tanda) 2
Contohnya saja, sebuah kata yaitu kaleng. Jika dianalisis melalui tabel di atas, signifier 1 adalah kata kaleng itu sendiri. Lalu, signified 1 adalah konsep dan sifat dari kata kaleng tersebut, misalnya kaleng adalah sesuatu yang keras, yang digunakan untuk membungkus makanan atau minuman. Kata kaleng dengan konsep-konsep itu membentuk sign tingkat pertama (denotasi) yang berisi kata kaleng dengan konsep-konsep tersebut. Selanjutnya, sign itu menjadi signifier pada tingkatan kedua. Jika kata kaleng digabungkan dengan kata surat, sehingga menjadi sebuah frase baru yaitu surat kaleng, frase ini menjadi signified tingkat kedua (konotasi). Surat kaleng di sini bukan berarti surat yang ditulis pada kaleng. Ada beberapa kemungkinan arti dari surat kaleng tersebut misalnya surat yang tidak diketahui siapa pengirimnya, atau bisa jadi berisi surat yang mengancam, karena sifat bahan dari kaleng sendiri sangat keras. Kata keras di sini bisa diartikan sebagai mengancam. Dalam penelitian ini telah diambil beberapa lagu enka yang akan dijadikan sampel penelitian. Dari 28 lagu enka yang populer yang ditulis oleh Ishimoto Miyuki dan dinyanyikan oleh Hibari Misora dari rentang waktu akhir tahun 50-an hingga akhir tahun 70an, ada 5 lagu yang mengandung kata sake di dalam liriknya. C. PEMBAHASAN C.1. Lagu Minato Machi Juusanban Chi
5 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
Lagu ini bercerita tentang kehidupan di sebuah kota pelabuhan di kawasan bernomor tiga belas. Pada awal lagu ini, bercerita tentang kapal yang pulang ke pelabuhan untuk mengakhiri perjalanan panjang mengarungi lautan. Subjek dalam lagu ini adalah “aku” yang menunggu kedatangan kekasih yang sepertinya sering pergi mengarungi lautan dan jarang bertemu. Dalam larik selanjutnya pada bait ini, terdapat kata sake. Minato no kurou wo gurasu no sake ni/ minna wasureru madorosu
sakaba/ aa minato machi
juusanbanchi Kerja keras di laut dituangkan dalam gelas sake dan diteguk habis, di sakaba (tempat minum sake) bagi para pelaut (untuk) melupakan seluruh perasaan yang ada. oh kota pelabuhan bernomor tiga belas
Dapat dilihat, dalam bagian ini terdapat kata sake. Sake dalam kehidupan sehari-hari, sering diminum oleh pekerja Jepang untuk mengekspresikan rasa puas ataupun rasa lelah setelah bekerja keras. Budaya Jepang mengasosiasikan sake sebagai bagian dari proses yang harus dibarengi dengan kegiatan pelepasan keletihan setelah kerja keras. Selain itu dalam lirik lagu ini juga terdapat kata madorosu sakaba (tempat minum sake bagi pelaut). Madorosu sakaba dalam larik tersebut dapat dimaknai sebagai tempat berkumpul bagi para pelaut untuk minum sake. Mereka kembali untuk bertemu orang yang disayangi setelah sekian lama tidak bertemu atau bisa juga sebagai tempat melepas lelah setelah bekerja keras di lautan. Jika dikaitkan dengan pernyataan “minna wasureru madorosu sakaba” yang ada pada larik selanjutnya. Hal ini dapat berarti madorosu sakaba tersebut adalah tempat untuk “melupakan semuanya”. Semuanya di sini bisa berarti rasa lelah, rasa rindu terhadap kampung halaman, dll. Pada bait kedua menggambarkan tokoh “aku” sudah lama tidak bertemu kekasih. Hal itu dapat dilihat dari penggalan larik pada bait kedua yaitu, “kimi to aruku mo hisashiburi”. Hal ini menunjukkan si aku yang sudah lama tidak berjalan bersama sang kekasih. Pada larik selanjutnya hanya menceritakan latar tempat dimana “aku” dan kekasihnya yang seorang pelaut berjalan bersama di jalan bebatuan pohon ginnan dan melintasi dermaga. Kemudian, pada bait terakhir ada larik yang berisi: Fune ga tsuku hi ni sakaseta hana wo/ fune ga deru yoru chirasu kaze/ namida koraete kanpai sureba / mado de naiteru mikazuki sama yo/ aa minato machi juusanban chi Bunga yang bermekaran di hari dimana kapal tiba, di malam kapal pergi bunga itu dirusak oleh angin. Jika kanpai (meminum sake bersama) sambil menahan tangis, lalu menangis di jendela yang berlatar bulan sabit, oh kota pelabuhan bernomor tiga belas.
6 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
Dua larik pertama dalam bait terakhir lagu ini mengungkapkan perasaan tokoh “aku” di saat kapal laut pulang dan saat kapal laut pergi. Untuk mengungkapkan perasaan itu, digunakan kata bunga. Bunga mempunyai konsep indah, cantik, harum. Kata bunga sering dipakai untuk mengungkapkan perasaan seseorang, seperti yang diketahui ada ungkapan “hati berbunga-bunga”. Ketika kapal laut tersebut kembali dari perjalanan, perasaannya diibaratkan bagaikan bunga yang bermekaran. Namun, ketika kapal laut tersebut sudah waktunya berangkat kembali, perasaan bergejolak yang diibaratkan bunga yang tadinya mekar, dirusak oleh angin. Lalu, dua larik berikutnya terdapat kata kanpai. Kata ini juga berasosiasi kepada sake karena biasanya kata kanpai digunakan oleh orang Jepang untuk mengawali minum. Larik ini menggambarkan tokoh “aku” yang minum sake bersama kekasihnya untuk terakhir kali, sebelum kekasihnya berangkat kembali untuk berlayar. Ketika tokoh “aku” minum sake dengan kekasihnya, ia menahan tangis, tetapi ketika kekasihnya sudah pergi berlayar kembali, ia menangis di jendela sambil memandangi kepergian kekasihnya berlatarkan bulan sabit yang meneranginya malam itu. Jika dilihat melalui teori Barthes, sake dalam lagu-lagu tersebut ada beberapa diantaranya memiliki makna konotasi. Hal itu bisa bisa dilihat dalam lagu-lagu di atas. Sake tidak hanya sekadar minuman dari beras khas Jepang yang mengandung alkohol. Dengan petanda konotatif yang ada di setiap lagu, sake memiliki arti yang lain. Dalam lagu minato machi juusanban chi pada bait pertama larik ketiga, sake dikonotasikan sebagai alat untuk melupakan semua perasaan para pelaut. Sake, jika diartikan secara denotasi, mempunyai konsep minuman asal Jepang yang terbuat dari beras (Aoki, 2003:4.). Minuman ini mempunyai rasa manis pahit yang digunakan untuk menghangatkan
tubuh. Namun, kata sake tersebut berubah maknanya, bukan sekadar hanya minuman saja, tetapi juga sebagai alat untuk melupakan semuanya, dalam hal ini melupakan rasa lelah setelah para pelaut bekerja dan rasa rindu terhadap orang yang dicintainya. Lalu, pada bait ketiga larik ketiga dalam lagu ini, terdapat kata kanpai. Kata ini masih berasosiasi pada sake, karena sudah jelas yang diminum tokoh “aku” dan kekasihnya adalah sake. Sake di sini dapat dikonotasikan sebagai lambang perpisahan dan untuk menyembunyikan kesedihan. Hal-hal yang mendukung ini terdapat pada larik itu sendiri dan larik selanjutnya. Tokoh “aku” menahan tangis sambil meminum sake bersama kekasihnya sebelum kekasihnya pergi berlayar lagi. C.2 Lagu Hibari no Senchou san
7 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
Lagu ini terdiri dari tiga bait yang setiap baitnya berisi enam larik dan untuk bait terakhir berisi lima larik. Pada bait pertama menceritakan tentang nakhoda kapal muda dan bersemangat yang sedang menjalankan kapal. Nahkoda dalam lagu ini digambarkan sebagai “oyako nidai no umi tsubame” (ayah-anak burung walet laut generasi kedua). Penulis mencoba memaknai hal ini sebagai nakhoda yang diumpamakan dengan burung walet. Burung walet dan nakhoda mempunyai persamaan yaitu sama-sama mengarungi lautan yang luas, namun akan kembali lagi ke sarangnya. Dalam hal ini, dikatakan bahwa seberapa jauh sang nakhoda berlayar, akhirnya pasti akan kembali juga ke kampung halamannya. Lalu, pada bait kedua, terdapat kata sake dalam larik ini: Sakaba da yo ano ko da yo gurasu da yo/ minna koishii mono bakari/ ikari wo maitara/ oi owakare da/ atsui mabuta ni senchou san wa/ kawaii omokage daite yuku (Sakaba) tempat minum sake, perempuan itu, gelas. Semua itu hal-hal yang disukai sang nakhoda. Ketika sudah waktunya menggulung jangkar, hal itu menandakan perpisahan. Di kelopak mata nakhoda yang panas karena menahan tangis, memeluk bayangan yang ia sukai itu.
Dalam larik ini pengarang lagu menempatkan asosiasi sakaba (tempat minum sake), perempuan dan gelas dalam baris yang sama. Jika diamati, sakaba dan perempuan dapat dimaknai sebagai tempat peraduan yang sama-sama menghibur para pelaut yang lelah setelah bekerja di lautan. Pemaknaan ini bukanlah pemaknaan mutlak, tetapi asosiasi semacam ini ditunjukkan baik oleh makna yang tersirat dalam kehidupan si pelaut maupun asosiasi kata yang saling melengkapi. Dikatakan juga pada larik selanjutnya, bahwa hal-hal tersebut (sake dan perempuan) adalah hal yang dicintai oleh sang nakhoda. Lalu, jika sang nakhoda pergi, hal yang dicintainya itu akan sangat dirindukan ketika ia berlayar. Bait terakhir dalam lagu ini menggambarkan nakhoda yang akan pergi lagi berlayar ke selatan. Ia mengucapkan selamat tingga kepada kampung halamannya yang berada di pesisir laut. Ia berseru kepada kampung halaman seakan kampung halaman itu adalah kawan yang akan ditinggal pergi. Dalam lagu ini, pada bait kedua larik pertama, ditemukan kata yang berasosiasi dengan sake. Kata-kata tersebut adalah tempat minum sake, perempuan dan gelas. Dapat dilihat di sini bahwa sake menunjukkan simbol kesenangan duniawi. Jika melihat larik selanjutnya, terdapat pernyataan bahwa hal-hal tersebut adalah semua hal yang disukai dan dirindukan oleh sang nakhoda karena selama ia berlayar, ia tidak bisa bertemu dengan perempuan dan meminum sake. C.3 Lagu Kanashii Sake
8 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
Lagu ini mengenai “aku” yang minum sake untuk berusaha melepas kesedihan karena berpisah dengan orang yang dicintainya. Dalam lagu ini banyak terdapat ungkapan langsung perasaan si tokoh utama yang meratapi kesedihannya. Selain itu tokoh utamanya seakan menggantungkan emosi dan perasaannya pada sake, padahal sake bukanlah makhluk hidup. Pada awal lagu, terdapat bait yang berisi: Hitori sakaba de nomu sake wa/ wakare namida no aji ga suru/ nonde sutetai omokage ga/ nomeba gurasu ni mata ukabu Sake, yang saya minum di sakaba (tempat minum sake) sendirian, mempunyai rasa air mata perpisahan. Saya minum karena ada bayangan yang ingin saya lupakan. Tetapi, semakin saya minum, bayangan tersebut malah teringat lagi.
Dari bait tersebut, dapat dikatakan bahwa tokoh “aku” dalam lagu ini sedang minum sake di sakaba sendirian dan merasakan air mata perpisahan. Air mata perpisahan di sini merajuk kepada “aku” yang sedih karena berpisah dengan orang yang dicintai. Ia minum sake ingin membuang bayangan masa lalunya dengan orang yang dicintainya tersebut, namun sebaliknya, semakin ia minum, di gelas sakenya ingatan itu terbayang lagi. Dalam bait selanjutnya, terdapat serifu atau ungkapan langsung (tidak dilagukan lewat nada) si tokoh utama dalam bentuk monolog. Serifu ini mengungkapkan tokoh utama yang berbicara pada dirinya sendiri, dimana perasaannya setelah berpisah dengan kekasihnya. Untuk menghilangkan bayangan kekasihnya yang masih teringat, ia memutuskan untuk minum sake. Dalam serifu ini, dikatakan oleh tokoh “aku” bahwa pada malam ini
sake
membiarkan dirinya untuk merasa sedih. Sake dipersonifikasikan sebagai makhluk hidup atau manusia oleh “aku”. “Aku” menceritakan kesedihannya dan berkeluh kesah kepada sake, padahal ia tahu sake adalah benda mati, tidak dapat mendengarkannya. Tokoh ini seakan mencari dukungan, walaupun datang dari botol sake agar dirinya terbebas dari keharusan menekan perasaan. Pada larik selanjutnya, dalam pikiran tokoh “aku” menganggap sake sedang melipur laranya (nagusameru) seakan mengucapkan “doushite doushite akirametara ii no akirametara ii no” kepadanya. Dan juga pada bait selanjutnya, terdapat larik: Sake yo kokoro ga aru naraba/ mune no nayami wo keshite kure/ yoeba kanashiku naru sake wa/ nonde naku no mo koi no tame Oh sake, jika masih ada perasaan itu, tolong hapuskan kesedihan hatiku. Kalau mabuk, sake yang membuat saya bersedih, saya minum dan menangis pun, hal itu demi cinta.
9 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
Sake dalam larik ini juga, setelah “aku” menceritakan kesedihannya, ia dimintai tolong untuk menghapuskan rasa sedih tokoh “aku”. Ia minum sake hingga mabuk dan menangis, meratapi cintanya yang sudah pergi. Lalu, dalam bait terakhir, terdapat larik ini: Hitoribocchi ga suki da yo to/ itta kokoro no ura de naku/ suki de soenai hito no yo wo/ naite urande yo ga fukeru “saya suka sendirian”, di balik perasaan saya yang berkata seperti itu, saya menangis. Karena saya menyukainya, saya menangisi dan mecaci maki dunia yang sekarang tanpa dirinya lagi sampai larut malam.
Dalam larik ini menceritakan tentang “aku” yang menyukai kesendirian, padahal dibalik perkataan itu, ia menangis karena merasa sepi ditinggal sang kekasih. Lalu ia mencaci maki dunia, dimana dunia yang akan dijalaninya tanpa kehadiran sang kekasih hingga larut malam. Dalam lagu ketiga yang berjudul kanashii sake ini, hampir di semua lariknya terdapat kata sake. Hal yang menarik yang dapat diamati pada lagu ini adalah tokoh “aku” yang menganggap seakan-akan sake adalah makhluk hidup. Sake di sini tidak hanya menunjukkan minuman tetapi juga bagi tokoh “aku” yang ditinggal oleh kekasihnya saat itu. Sake adalah tempat ia berkeluh kesah dan menceritakan kesedihannya. Larik-larik yang mendukung hal ini dapat dilihat ketika tokoh “aku” mengatakan bahwa sake membiarkannya sedih pada malam itu dan ia meminta sake untuk menyembuhkan kesedihannya setelah ditinggal sang kekasih C.4 Lagu Hibari Jingi Lagu ini terdiri dari tiga bait lagu dan tiga bait serifu yang ditempatkan berselangseling. Pada awal lagu ini diawali dengan serifu. Pada tersebut dapat diketahui bahwa tokoh “aku” tinggal di pesisir di wilayah Kantou (daerah Jepang timur) sejak ia lahir. Untuk lebih tepatnya, ia tinggal di daerah Yokohama. Larik ini menceritakan bahwa “aku” yang sejak lahir dibesarkan dengan mendengar lagu tidur yaitu peluit kapal. Lalu pada bait selanjutnya, menceritakan tentang “aku” yang membanggakan dirinya sebagai orang pesisir, dan dalam beberapa larik disebutkan sifat-sifat tokoh “aku” ini. Jika menerima kebaikan dari seseorang, di sini dikatakan bahwa tokoh “aku” pasti akan mengembalikannya. Hal ini terdapat sifat orang Jepang yaitu giri, yaitu kewajiban untuk membalas budi baik yang telah diterima. Setelah bait tersebut, diikuti serifu yang mempunyai maksud jika orang-orang yang tinggal di pinggir pantai tersebut bersinggungan lengan, hal itu sudah membentuk suatu
10 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
hubungan. Hubungan tersebut dapat dilihat pada larik selanjutnya yang menyatakan setelah kejadian tersebut, orang-orang tersebut saling berkenalan. Bait selanjutnya, berisi tentang “aku” yang menceritakan sifat-sifat yang dimilikinya sebagai orang pesisir. Dalam larik ini, digambarkan bahwa tokoh “aku” sedang berbicara kepada burung camar bahwa kalau mencoba membandingkan sifat giri, dalamnya laut pun terasa dangkal. Hal ini menyatakan sifat balas budinya sangatlah dalam sampai-sampai jika dibandingkan dengan laut, laut pun terasa dangkal. Setelah bait tersebut, terdapat serifu yang berisi bahwa jika ada pertemuan pasti ada perpisahan, dan hal itu adalah hal yang lumrah. Oleh karena itu, tokoh “aku” dalam lagu ini secara langsung mengatakan bahwa perpisahan bukanlah hal yang untuk ditangisi. Hal ini diungkapkan pada larik “abayo to wakarete ikimashou” yang berarti “ayo berpisah dan ucapkan sampai jumpa”. Setelah itu, “aku” mengatakan ia tidak ingin mengenang terusmenerus perpisahan tersebut. Pada bait terakhir, terdapat kata sake, yaitu: Marui sakazuki waratte kanshite/ sake ni chikatta kokoro iki/ ninjou ichirin hama sodachi/ kaketa shoubu nya shidemo katsu ga/ koi no koi no namida mo shitte iru Saya meneguk habis isi gelas sake sambil tertawa. Dengan segenap hati, saya berjanji kepada sake akan menaati lingkaran ninjou sebagai orang yang dibesarkan di pesisir. Dalam pertarungan, sampai mati pun saya akan menang, tetapi walau hidup itu keras, saya tetap mengerti air mata cinta.
Dalam larik ini, terdapat kata sake. Tokoh “aku” di sini berjanji kepada sake, bertekad untuk menjalani kehidupan seperti yang sudah ia katakan pada larik-larik sebelumnya. Dalam pertarungan pun, walau harus mati, ia tetap menang. Tetapi di sisi lain, walaupun ia merasa keras terhadap dirinya sendiri untuk melakukan tekadnya tersebut, tetapi bukan berarti tidak mempunyai hati. Ia tetap mengerti bagaimana kesedihan setelah ditinggal kekasihnya. Lalu pada lagu selanjutnya yaitu lagu hibari jingi ini, sake mempunyai makna konotasi yang lain. Pada lagu ini, sake dapat dianggap sebagai alat pengikat perjanjian yang dilakukan oleh tokoh “aku”. Hal ini terdapat dalam larik yang sama dimana terdapat kata sake di dalamnya, yaitu ketika tokoh “aku” berkata ia berjanji dengan segenap hati kepada sake untuk melaksanakan prinsip-prinsip kehidupan yang telah diterangkan di bait-bait sebelumnya. C.5 Lagu Fuyu no Kuchibiru Lagu ini terdiri dari tiga bait yang setiap baitnya berisikan lima larik. Pada awal lagu ini menceritakan tentang tokoh “aku” yang menunggu seseorang dalam kesendirian di tengah musim dingin yang menusuk. Hal ini terdapat dalam bait pertama yaitu:
11 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
Mado no garasu ni kuchidzukete/ yoru no mukou omokage sagasu/ kita no minato wa are mo you/ osake nondemo hitori de wa/ mune ni samusa ga shimi tooru Mencium kaca jendela/ mencari bayangan di kegelapan sana/ pelabuhan utara sedang tidak tenang/ walau minum sake sendirian pun/ dinginnya (malam itu) menusuk hati
Dalam larik tersebut diceritakan bahwa “aku” memandangi pelabuhan utara di malam hari di tengah badai dari kaca jendela. “Aku” mencari bayangan seseorang dalam gelapnya malam, sambil minum sake sendirian dengan maksud menghangatkan diri dan hatinya, tetapi jika melihat larik selanjutnya, ternyata dengan minum sake pun dinginnya malam itu tetap merasuk hatinya. Pada bait kedua, menceritakan bahwa “aku” yang ternyata diketahui berjenis kelamin perempuan, yang selalu memohon agar suatu saat dapat hidup bersama-sama dengan sang kekasih. Namun, ia kecewa dan merasa sedih karena pada saat itu, pelabuhan utara sedang badai salju lagi yang menyebabkan dermaga terkubur oleh salju. “Aku” pun melihat tidak ada kapal yang datang, yang berarti sang kekasih belum kunjung pulang. Lalu, bait terakhir ini masih melanjutkan bait yang sebelumnya. Bait ini menggambarkan tokoh “aku” yang pengharapan agar kekasihnya pulang sia-sia. Pada malam itu, dinginnya sangat menusuk sekali, ditambah lagi kekasihnya tidak kunjung pulang yang menambah sakit hatinya. Dinginnya malam itu juga menambah rindu di hatinya sampaisampai ia memohon bertemu dengan sang kekasih walaupun hanya di dalam mimpi saja. Selanjutnya pada lagu terakhir yaitu fuyu no kuchibiru ini, kata sake muncul pada bait pertama larik keempat. Di sini tokoh “aku” meminum sake untuk menghangatkan tubuhnya karena saat itu sedang musim dingin. Sake memang biasanya diminum oleh orang Jepang untuk menghangatkan badan, tetapi ada hal lain yang terdapat pada lagu ini. Tokoh “aku” dalam lagu ini meminum sake tidak bermaksud menghangatkan tubuhnya saja tetapi juga hatinya yang “dingin” karena sang kekasih belum kunjung pulang. D. Kesimpulan Dalam lima lagu yang telah dibahas di atas, terdapat kata sake dalam lirik lagu-lagu tersebut. Tetapi selain kata sake ada satu lagi kata yang sering muncul, yaitu kata yang berasosiasi dengan umi (laut), seperti minato, fune, tsubame, hatoba, dll. Empat dari lima lagu tersebut mempunyai latar belakang tempat di pelabuhan, pesisir dan dermaga. Kata sake dalam lirik lagu enka yang ditulis oleh Ishimoto Miyuki, jika dilihat melalui teori semiotika Roland Barthes, bukan berarti minuman khas Jepang yang terbuat dari beras. Terdapat arti lain dalam lirik lagu, yaitu:
12 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
1. Pada lagu minato machi juusanbanchi, sake mempunyai dua arti, yaitu sebagai alat pelepasan perasaan yang menumpuk, seperti rasa lelah, rasa rindu, dll. Selain itu, kata sake di bait terakhirnya dapat berarti sebagai lambang perpisahan dan sebagai penahan rasa sedih. 2. Dalam lagu kanashii sake, sake tidak hanya sebagai alat untuk melupakan rasa kesedihan yang dialami tokoh “aku”, tetapi juga sebagai tempat untuk mencurahkan isi hati. 3. Dalam lagu fuyu no kuchibiru, kata sake diminum oleh tokoh “aku” pada saat musim dingin, tidak hanya untuk menghangatkan badannya tetapi ia berharap sake dapat menghangatkan hatinya juga. 4. Pada lagu hibari no senchou san, sake mempunyai arti hal-hal yang dicintai oleh tokoh “aku” dan sebagai simbol kesenangan duniawi. 5. Dalam lagu hibari no jingi, kata sake digunakan sebagai perlambang pengikat perjanjian. Perjanjian di sini adalah tekad hidup dan tokoh “aku” berjanji akan melaksanakannya. Pada awalnya, peneliti memiliki hipotesis awal bahwa kata sake yang ada dalam lagu enka digunakan terbatas pada lagu yang bernuansa sedih. Tetapi jika dilihat dalam penelitian ini, kata sake tidak hanya digunakan dalam lagu yang bernuansa sedih, tetapi dari lima lagu yang dibahas dalam skripsi ini terdapat tiga lagu yang bernuansa kesedihan. Walaupun hipotesis tersebut tidak terbukti, namun data menunjukan bahwa jumlah lagu yang menggunakan kata sake yang bernuansa kesedihan lebih banyak dibandingkan lagu yang menggunakan kata sake dalam nuansa kegembiraan. Daftar Pustaka -
Aoki, Rocky, Nobu Mitsuhisa and Pierre A. Lehu. (2003). Sake: Water From Heaven. New York: Universe Publishing. Barthes, Roland. (2009). Mitologi. Yoyakarta: Kreasi Wacana. Barthes, Roland “Myth Today” dalam John Storey. (1994). Cultural Theory and Popular Culture. New York: Harvester Wheatsheet. Bignell, Jonathan. (1997). Media Semiotics: An Introduction. Manchester University Press. Christine, Reiko Yano. (2003). Tears of Longing: Nostalgia and the Nation in Japanese Popular Song. Harvard University Asia Center. Darsimah Mandah, Jonnie Hutabarat. (1992). Pengantar Kesustraan Jepang. Fujie, Linda. (1989). Popular Music dalam Power, Richard Gid and Hidetoshi Kato (ed). Handbook of Japanese Popular Culture. Westport: Greenwood Press. 13 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013
-
Haruhiko Kindaichi. (2002). Gakken Gendai Shin Kokugo Jiten. Tokyo: Gakken Kenkyuusha. - Fumio Koizumi. (1984). Kayoukyoku no Kouzou. Tokyo: Fuyukisha. - Manyoushuu jilid 1. (1979). Shogakukan. - Nakamaki Hirochika. (2001). Kaisha Jinruigaku. - Roberson, James E, and Suzuki, Nobue. (2003). Men and Masculinities in Contemporary Japan. - Shoesmith, B. Resfashioning Pop Music in Asia: Cosmopolitan Flows, Political Tempo, and Aesthetic Industries. Routledge. - Tansman, Alan. (1996). Mournful tears and sake: The Postwar myth of Hibari Misora. Honolulu: University of Hawaii Press - Tommy, Christony. (2004). Semiotika Budaya. Depok: PPKB Universitas Indonesia - Umesao Tadao, (et al). (1974). Nihonjin no Kokoro. Tokyo: Asahi Shinbunsha. Website: - Stanford Encyclopedia of Philosophy. Japanese Aesthetics. - http://sake.kokaratu.com/nihonsyu-04hanasi/04haiku-01.html. Diunduh pada tanggal 28 September 2012, pukul 14:25 WIB - http://www.jasrac.or.jp - http://jla-official.com/
14 Makna implisit..., Nuraisyah, FIB UI, 2013