UNIVERSITAS INDONESIA KERUSUHAN ANTI CINA DI KOTA GARUT TAHUN 1963
DISERTASI Diajukan untuk memperoleh gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Ilmu Sejarah di bawah bimbingan Dr.Mohammad Iskandar (Promotor) dan Dr.Priyanto Wibowo (Kopromotor)
Oleh : Asep Achmad Hidayat 0806401992
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM PASCA SARJANA ILMU SEJARAH 2014
Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA KERUSUHAN ANTI CINA DI KOTA GARUT TAHUN 1963
DISERTASI
Oleh : Asep Achmad Hidayat 0806401992
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM PASCA SARJANA ILMU SEJARAH 2014
Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
HALAMAN LEMBAR PERSETUJUAN Disertasi ini disetujui untuk diujikan pada ujian Promosi Program Doktor Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Promotor
Kopromotor
Dr.Mohammad Iskandar
Dr.Priyanto Wibowo
iii Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
HALAMAN PENGESAHAN
Disertasi ini di ajukan : Nama : Asep Achmad Hidayat N.P.M : 0806401992 Program Studi : Ilmu Sejarah Judul : Kerusuhan Anti Cina di Garut Tahun 1963 Telah berhasil di pertahankan di depan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian dari persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor Humaniora pada Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia DEWAN PENGUJI Promotor
: Dr. Mohammad Iskandar
Kopromotor
: Dr. Priyanto Wibowo
Tim Penguji
: Dr. Yuda B Tangkilisan (Ketua) Prof. Dr. Maswadi Rauf (Anggota) Dr. Mumuh Muhsin Z (Anggota) Dr. R. Tuty Nur Mutia (Anggota) Dr. Bondan Kanumoyoso (Anggota)
iv Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
UCAPAN TERIMA KASIH Atas karunia, pertolongan, kasih sayang, dan berkat Allah Swt, saya dapat menyelesaikan disertasi ini, seabagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Doktor pada Program Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Sudah tentu saya menyadari, disertasi ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan berbagai pihak, baik institusi maupun perorangan. Saya juga menyadari betul banyak kekurangan yang terdapat pada diri saya sehubungan dengan latar belakang studi saya sebelumnya. Latar belakang S1 saya adalah Sastra Arab, sedangkan S2 saya adalah Studi Masyarakat Islam (Sosiologi Agama). Sudah tentu dasar keilmuan sejarah saya sebelumnya sangat kurang. Namun berkat bantuan semua pihak akhirnya saya bisa menyelesaikan disertasi ini.
Pada
kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu proses penulisan disertasi saya. Pada kesempatan pertama, saya mengucapkan terima kasih kepada yang kami hormati dan cintai Dr.Mohammad Iskandar selaku promotor penulis, dan Dr. Priyanto Wibowo, selaku ko-promotor, yang dalam kesibukannya, telah banyak memberikan bimbingan dan pandangan mengenai berbagai teori yang dapat digunakan dalam mengungkap permasalahan yang saya tulis, dan memberikan bekal yang sangat dalam bagaimana sikap kritis dan teliti yang harus dimiliki bagi peneliti. Berkat arahan dan ketelitiannya dalam membaca disertasi, kata demi kata, kalimat demi kalimat, menjadi kebanggaan tersendiri bagi penulis sebagai mahasiswanya. Semoga ilmu pengetahuan yang diberikan kepada penulis dari Bapak berdua, dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan penulis, terutama dalam ilmu sejarah. Sekali lagi saya haturkan terimakasih yang sebesarbesarnya, semoga Allah Swt membalasnya dengan berlipat ganda pahala dan rahmat-Nya. Amien. Selanjutnya penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Maswardi Rauf yang sejak ujian kualifikasi telah memberikan arahan dan bimbingan yang sangat berharga demi perbaikan disertasi ini. Dengan
v Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
kesabaran, ketelitian, keramahannya, saya sangat berkesan. Beliau telah mengingatkan, membimbing, dan memberikan masukan kepada
saya demi
perbaikan disertasi ini. Sekali lagi Prof. Saya ucapkan terimakasih, jazakallahu khairon katsiro, semoga Bapak senantiasa diberkahi Allah Swt, sehat selalu, dan dipanjangkan usianya. Amiin Terimakasih juga saya sampaikan kepada Dr. Anhar Gonggong, selaku penguji pada ujian kualifikasi dan usulan penelitian, yang dengan ketelitiannya telah mengingatkan penulis bahwa ilmu sejarah itu adalah mencari hal yang unik. Sungguh dari beliau saya baru tahu tentang keunikan ilmu sejarah dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lainnya. Terimakasih saya ucapkan atas perhatian penuh baik dalam kritik maupun masukan yang sangat berarti bagi perbaikan disertasi ini. Kepada almarhumah Dr.Magdalia, selaku penguji pada ujian kualifikasi dan seminar hasil, saya ucapkan terima kasih atas kritikan, masukan, dan arahan serta motivasi bagi selesainya disertasi ini. Semoga amal ibadah ibu diterima Allah Swt dan menjadi penerang di alam barzah. Dari penulis sebagai mahasiswanya hanya bisa mengucapkan do’a yang diajarkan oleh Nabi Saw : “Allahummagfirlaha war hamha wa’afiha wafu’anha...waj ‘al qobroha raudhutan min riyadhilzannah, Ya Allah semoga Engkau mengampuni dosa dan kesalahannya,
mengasihinya,
memaafkannya...dan
jadikanlah
kuburannya
sebagai taman dari taman surga”.Amiin. Kepada Prof. Peter Carey, selaku penguji pada seminar hasil, saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas masukan dan arahannya. Semoga semua masukan dan arahannya bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahu penulis di masa yang akan datang. Rasa terima kasih saya haturkan pula kepada Dr. Priyanto Wibowo, dan Dr.Bondan Kanumayoso selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Ilmu Sejarah yang selalu memberikan motivasi tak pernah lelah untuk segera menyelesaikan disertasi ini, di sela-sela penulis mengalami kegelisahan akibat problem yang penulis hadapi.
vi Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kepada doktor muda, Dr. Bondan Kanumayoso, Dr. Yuda B.Tangkilisan, dan Dr. R.Tuty Nur Mutia, yang telah banyak memberikan masukan, baik secara tekinis penulisan, maupun subtansi isi disertasi ini, saya juga menghaturkan banyak terimakasih. Dari Bapak-bapak, dan Ibu saya banya belajar untuk menjadi sejarawan yang baik. Terimakasih, jazakallah khairan katsiro atas segala kebaikannya. Kepada Dr. Mumuh Muhsin Z, guru saya ketika menempuh S1 Sastra Arab di IAIN Bandung, di sela-sela kesibukannya sebagai dosen dan PD I Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Pajajaran, telah meluangkan waktunya untuk mendampingi penulisan dalam ujian pra-promosi dan memberikan masukan yang berharga bagi perbaikan disertasi ini, saya ucapkan jazakallahu khairan katsiro, terimakasih yang sebesar-besarnya. Allahumma surna fi jumrotil khatmat auliya wa qutbil maktum abul Abbas. Amiin. Kepada mendiang Prof. Dr.R.Z.Leirissa yang telah membuka cakrawala pengetahuan penulis tentang ilmu sejarah. Selama satu semester, meskipun dalam waktu yang singkat, namun banyak ilmu yang didapat oleh penulis, banyak wawasan baru bagi pengembangan ilmu sejarah yang penulis miliki. Semoga ilmu yang diberikannya bermanfaat banyak dan menjadi bekal bagi pengembangan penulis selanjutnya. Saya juga mengucapkan banyak terimakasih kepada Prof.Dr. Nurhadi Magetsari, Prof.Dr. Beni H. Hoed, Prof.Dr. Toeti Herati Nurhadi, Prof.Dr.Melani Budianta, yang telah memberikan wawasan tentang ilmu pengetahun budaya pada semester satu. Semoga ilmu yang diberikan kepada penulis bermanfaat dan berkah bagi kehidupan penulis. Kepada Prof.Dr.H.Agus Salim Mansur, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora yang telah memberi ijin kepada penulis untuk mengikuti program Doktor di Falultas Ilmu Pengetahuan Budayua Universitas Indonesia, juga haturkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Kepada teman sejawat saya di jurusan Peradaban Islam (SPI) Uneversitas Islam Negeri (UIN) Bandung, saya juga ucapkan terimaksaih atas dukungannya yang sangat berharga. Diantaranya kepada Dr.Adingkusdiana, Dr.Ajid Thohir,
vii Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Dr.Setia Gumilar, Dr.H.Sulasman, Syamsudin, MAg. Sekali lagi saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya. Begitu juga saya ucapkan terimakasih atas dukungannya yang sangat besar kepada rekan-rekan di STIKES Karsa Husada Garut. Di antaranya kepada Bapak DrHc.H.Amas, Drs.H.Saefuddin, H.Engkus, MKes, Elang Athoillah, Mkes, Karnoto, Skes,MSi, Dede, Skes, Wulan, Skes, Tanti, Skes, Esa, Mkes, Wahyudin, Mkes, Tini, Skes, Iwan,Mkes, dan Dr.Dian. Kepada rekan-rekan DPP SI Indonesia, DPW SI Indonesia Jawa Barat, DPC Syarikat Islam Indonesia (SI Indonesia) Kabupaten Garut, saya juga menghaturkan terimakasih dan dukungannya untuk segera menyelesaikan S3 di Universitas Indonesia. Kemudian, secara pribadi saya memohon maaf kepada para santri dan jama’ah di Pesantren Zawiyah At-Tijaniyah Darussufi Garut telah banyak ditinggalkan selama saya menempuh kuliah S3 di Universitas Indonesia, juga saya ucapkan jazakallohu khairan katsira atas do’a-do’anya yang senantiasa panjatkan kepada Allah Swt untuk kesuksesan penulis di dalam menempuh S3 di Universitas Indonesia. Kepada rekan-rekan seperjuangan saya di program Doktor, Dr. Suharto, Luki Mulyadi, M.Hum, Zainudin Daulay, M.Hum, dan Dra, Ari, M.Hum, saya secara khusus mengucapkan banyak terimakasih atas dorongan dan motivasi selama mengikuti program S3 ini. Tidak
ketinggalan,
saya
juga
mengucapkan
terimakasih
kepada
Mbak.Wiwi, selaku Staf.Departemen Ilmu Sejarah yang telah memberikan informasi dan membantu saya dalam masalah administrasi. Tidak lupa kepada Ibunda Siti Aminah, ayahanda Ajengan Dadang, ayahanda Toat Suryana, dan ayahanda KH.Saepudin Nugraha almarhum, selaku mertua dan sekaligus guru politik saya. Kepada mereka ini saya ucapakan terimakasih atas segala pengorbanannya, semoga Allah membalas dengan berlipat ganda, dan dimudahkannya hisaban nanti di yaumal qiyamah. Amiin. Terakhir kepada istri dan anak-anak tercinta yang selalu mendorong dan memotivasi di kala penulis berada dalam kebimbangan dan kegelisahan antara
viii Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
harus menyelesaikan S3 dan fokus pada pekerjaan. Mereka tetap memotivasi penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan disertasi ini. Semoga Allah Swt, sang penguasa jagat raya, senantiasa memberikan perlindungan dan inayah-Nya kepada kita semua.Amiin. Akhirnya, hanya do’a yang dapat bisa penulis haturkan, semoga semua pihak yang terlibat dalam penulisan disertasi ini mendapat ridha, pahala, dan pertolongan Allah Swt nanti di alam akhirat. Amiin.
ix Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
ABSTRAK Asep Achmad Hidayat, Kerusuhan Anti Cina di Kota Garut Tahun 1963, di bawah bimbingan Dr. Mohammad Iskandar dan Dr. Priyanto Wibowo. Fokus kajian ini adalah kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada 17-18 Mei 1963. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kerusuhan tersebut. Adapun merode yang digunakan adalah metode sejarah, yang meliputi empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Teori yang digunakan untuk mengetahui faktor determinan dari peristiwa kerusuhan itu adalah teori Colective Behavior dari Neil J. Smelser yang menyatakan bahwa suatu perilaku kolektif ditentukan oleh enam determinan penting, yaitu structutural conduciveness, structural strain, growth and spread of generalized belief, the precipitating factor, mobilization of participant for action, dan lack social control. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada 17-18 Mei 1963 tidak hanya ditentukan oleh faktor kesenjangan sosial, tapi ditentukan oleh beberapa faktor determinan sebagaimana dijelaskan dalam teori Neil J. Smelser, termasuk di dalamnya dukungan jaringan kultural dan ideologi. Kemudian dari hasil penelitian disertai ini ditemukan pula mengenai keterlibatan anggota DI/NII dalam peristiwa kerusuhan anti Cina tersebut. Selanjutnya, peristiwa kerusuhan anti Cina tersebut oleh masyarakat Garut lebih dikemal dengan sebutan “beset Cina”.
Kata Kunci : Kerusuhan, anti Cina, Mei 1963
x Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
ABSTRACT . Asep Ahmad Hidayat: The Riot of Rasist, Anti-Chinese Happened in the Towns of Garut in 1963, di bawah bimbingan Dr. Mohammad Iskandar dan Dr. Priyanto Wibowo The main focus of this study is rasist, anti-chinese riot in the towns of Garut on May 17-18, 1963. This research is aimed at knowing factors causing such a riot happened. The method used is a historical method consisting four stages: heurestic, critic, intepretation, and historiography. The theory used for analyzing the determinant factors of the riot is Neil J. Smelser’s collective behaviour, confirming that a collective behaviour is constructed by six major-determinant elements: structural conduciveness, structural strain, growth and spread of general belief, the participating factor, mobilization of the participants for action, and lack of social control. The result of the research shows that the rasist, anti-chinese riot in the towns of Garut is not only determined by the social gap factor but also by some determinant factors as explained in Neil J. Smelse’s theory, including the cultural and ideological support. Later on, the members of DI/NII, based on the research data, got involved in sucu an event in Garut. In meanwhile, it is known more as Beset Cina for the people of Garut. Keywords : Riots Racist , anti- Chinese , May 1963
xi Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
DAFTAR ISI Hal LEMBAR PERSETJUAN ..................................................................................... iii DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii UCAPAN TERIMA KASIH .................................. Error! Bookmark not defined. ABSTRAK ............................................................. Error! Bookmark not defined. BAB I PENDAHULUAN ................................................. Error! Bookmark not defined. 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan .................. Error! Bookmark not defined. 1.2. Rumusan Masalah ........................................... Error! Bookmark not defined. 1.3. Ruang Lingkup Penelitian............................... Error! Bookmark not defined. 1.4. Manfaat dan Tujuan Penelitian ....................... Error! Bookmark not defined. 1.5. Konsep Dasar .................................................. Error! Bookmark not defined. 1.6. Sumber Yang Digunakan ................................ Error! Bookmark not defined. 1.7. Kajian Pustaka ................................................ Error! Bookmark not defined. 1.8. Metodologi dan Teori ..................................... Error! Bookmark not defined. 1.9. Sistematika Penulisan ..................................... Error! Bookmark not defined. BAB II TINJAUAN UMUM DAERAH GARUT SEBAGAI DAERAH PERISTIWA Error! Bookmark not defined. 2.1. Kondisi Geografis Kabupaten Garut ............... Error! Bookmark not defined. 2.2. Perubahan Ruang Kabupaten Garut ................ Error! Bookmark not defined. 2.2.1. Asal Usul Nama Garut.............................. Error! Bookmark not defined. 2.2.2. Sejarah Kabupten Garut ........................... Error! Bookmark not defined. 2.2.3. Perkembangan Fisik Kota......................... Error! Bookmark not defined. 2.2.4. Penduduk Kabupaten Garut ...................... Error! Bookmark not defined. 2.2.5. Perekonomian ........................................... Error! Bookmark not defined. 2.2.6. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Garut ......... Error! Bookmark not defined. 2.2.7. Kondisi Sosial Politik ............................... Error! Bookmark not defined. BAB III KEHIDUPAN ETNIS CINA DI KOTA GARUT 1963 ...... Error! Bookmark not defined. 3.1. Sekilas Sejarah Awal Kedatangan Etnis Cina di Kota Garut .................. Error! Bookmark not defined. 3.2. Pemukiman Etnis Cina di Kota Garut ............. Error! Bookmark not defined. 3.3. Kehidupan Sosial Ekonomi, Pendidikan dan Kebudayaan .. Error! Bookmark not defined. 3.3.1. Kehidupan Sosial Ekonomi ...................... Error! Bookmark not defined. 3.3.2. Pendidikan dan Kebudayaan .................... Error! Bookmark not defined.
xii Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
3.3.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Etnis Cina........... Error! Bookmark not defined. BAB IV SENTIMEN ANTI CINA DI LINGKUNGAN ORANG SUNDA SEBELUM TERJADI KERUSUHAN MEI 1963 . Error! Bookmark not defined. 4.1. Akar Sentimen Anti Cina : Warisan Masa Kolonial dan Revolusi Fisik Error! Bookmark not defined. 4.2. Sentimen Anti Cina Karena Faktor Ekonomi : Orang Cina Menguasai Sektor Perdagangan dan Usaha Transportasi .... Error! Bookmark not defined. 4.3. Sentimen Anti Cina : Sebagai Akibat Dari Sterotipe yang Berkembang Error! Bookmark not defined. 4.4. Keresahan Umum di Daerah Pedesaan ........... Error! Bookmark not defined. 4.5. Sentimen Anti Cina Karena Masalah Pembauran ......... Error! Bookmark not defined. BAB V PECAHNYA KERUSUHAN RASIALIS ANTI CINA .. Error! Bookmark not defined. 5.1. Kebangkitan Keagamaan di Kalangan Aktivis Muda Islam Error! Bookmark not defined. 5.2. Gerakan 10 Mei di Bandung dan Tersebarnya Slogan “Beset Cina”...... Error! Bookmark not defined. 5.3. Persiapan dan Pertemuan Sebelum Gerakan Dimulai ... Error! Bookmark not defined. 5.4. Peran Kiai dan Keterlibatan Anggota DI/NII Lokal Garut .. Error! Bookmark not defined. 5.5. Jalannya Peristiwa ........................................... Error! Bookmark not defined. 5.6.Tuduhan Soekarno dan PKI ............................. Error! Bookmark not defined. BAB VI .................................................................. Error! Bookmark not defined. PENUTUP ............................................................. Error! Bookmark not defined. Daftar Rujukan ....................................................... Error! Bookmark not defined. Lampiran 1 ........................................................................................... : Daftar Foto Error! Bookmark not defined. Lampiran 2 : Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 1958 Error! Bookmark not defined. Lampiran 3 ................................................................................ : PP.10.Tahun 1959 Error! Bookmark not defined.
xiii Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Permasalahan Masalah rawan yang merupakan konsekuensi dari kebinekaan masyarakat Indonesia adalah masalah SARA (Suku, Agama, dan Ras). Istilah ini merupakan salah satu konsep yang digagas oleh pemerintah Orde Baru, yang berhubungan erat dengan kerukunan beragama dalam rangka stabilitas nasional agar pembangunan tetap berjalan. Kebutuhan akan suatu masa yang stabil yang dapat menjamin pelaksanaan pembangunan ekonomi merupakan komitmen dasar formal yang ditegakkan Orde Baru. Salah satu masalah SARA yang muncul adalah masalah rasialisme. Masalah rasialisme tersebut cukup serius, terbukti dengan adanya sejumlah tindakan kekerasan, bentrokan fisik, dan serangkaian tindakan ekstrim lainnya. Peristiwa-peristiwa itu adalah kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta tahun 1998, pengusiran kaum transmigran asal Jawa di tanah Aceh tahun 2003, konflik antara etnis Dayak dan Madura Desember 1996 dan Januari 1997, dan kerusuhan Sambas antara entis Melayu yang dibantu etnis Dayak terhadap etnis Madura 24 Juni 2011. Sebenarnya peristiwa rasialis tersebut bukan merupakan hal yang baru adanya, sebelum era reformasi telah banyak muncul tindakan rasialis di negeri ini. Salah satunya adalah peristiwa kerusuhan anti Cina pada Mei 1963 di Jawa Barat. Gerakan anti Cina dimulai di pengadilan negeri Cirebon yang bersidang mengadili seorang pemuda (pelajar) peribumi, putra Dr. Murad (seorang aktifis PSI) yang menjadi tertuduh dalam kecelakaan lalu lintas di Jalan Raya Gronggongan, pinggiran kota Cirebon. Dalam kecelakaan tersebut putra Dr. Murad menabrak seorang pemuda keturunan Cina yang kemudian meninggal dunia.1 Putusan hakim yang menunda putusan tertuduh tidak memuaskan keluarga korban dan teman-temannya. Hal ini
berdampak menjadi percekcokan dan
1
Duta Masyarakat, 6 Mei 1963.
1 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
perkelahian di halaman pengadilan antara pemuda pelajar Indonesia asli (pribumi) melawan sejumlah pemuda keturunan Cina yang berakhir dengan kekalahan kelompok pemuda Indonesia asli. Dengan tidak diduga-duga pada hari berikutnya, yaitu tanggal 27 Maret 1963, timbul aksi pembalasan dari kelompok pribumi terhadap etnis Cina yang dilakukan oleh rakyat dalam jumlah yang cukup besar. Mereka datang merusak toko-toko dan rumah-rumah penduduk milik orang-orang Cina serta membakar berpuluh-puluh kendaraan yang ada. Kerusuhan ini meluas sampai kota Tegal pada 5-6 Mei 1963.2 Pada 10 Mei 1963, kekerasan anti Cina itu menjalar ke Kota Bandung. Aksi kekerasan anti Cina tersebut diawali dengan perkelahian di kampus ITB antara seorang mahasiswa keturunan Cina dengan seorang mahasiswa pribumi. Kemudian dipelopori mahasiswa ITB dan Universitas Pajajaran, dimulailah aksi massa pengrusakan toko-toko, rumah tinggal, dan kendaraan milik orang Cina di kota Bandung.3 Dari kota Bandung aksi kerusuhan rasialis anti Cina dalam waktu yang relatif singkat mengalir ke kota-kota lainnya di Jawa Barat, yaitu di Sumedang pada tanggal 11 Mei 1963, di Bogor dan Cipayung pada tanggal 15-16 Mei 1963, di Tasik dan Singaparna pada tanggal 17 Mei 1963, di Garut pada tanggal 17-18 Mei 1963, dan di Sukabumi serta Cibadak pada tanggal 18-20 Mei 1963.4 Walaupun peristiwa kerusuhan tersebut terjadi dalam bulan yang sama dan masih di daerah Jawa Barat, tapi jika ditarik garis lurus di seluruh daerah kejadian, termasuk di Kota Garut, secara teoritis memiliki kekhasan masing-masing. Kekhasannya terletak pada faktor-faktor kondisional masing-masing daerah yang mendorong meletusnya kerusuhan tersebut. Di Bandung, misalnya, kerusuhan anti Cina digerakkan oleh tokoh-tokoh mahasiswa seperti Siswono Yudohusodo (mahasiswa
ITB
yang
juga
aktivis
Gerakan
Mahasiswa
Nasional
Indonesia/GMNI), Dedi Krishna (mahasiswa Kimia Teknik ITB dan anggota Persatuan Mahasiswa Bandung/PMB), Abdul Qoyum Tjandranegara (mahasiswa Kimia Teknik ITB), Muslimin Nasution (mahasiswa Mesin ITB), Parlin 2
Duta Masyarakat, 6 Mei 1963 . Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta : Eksa. Ttth), halaman 806 4 Warta Bhakti, 26 Mei 1963. 3
2 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Mangunsong (mahasiswa Universitas Padjadjaran/Unpad), Soeripto (mahasiswa Unpad sekaligus aktivis Gerakan Mahasiswa Sosialis/Gemsos) dan Rahman Tolleng (aktivis mahasiswa yang juga kader Partai Sosialis Indonesia/PSI). Munculnya kerusuhan ini dimulai dari perkelahian kelompok mahasiswa Tionghoa dengan kelompok mahasiswa pribumi di dalam memperebutkan kursi kuliah di ITB.5 Sementara itu pemicu munculnya kerusuhan anti Cina di Sukabumi pada 18-20 Mei 1963 adalah aktivitas solidaritas masyarakat Sukaraja terhadap terbunuhnya mahasiswa asal Sukaraja di Bogor oleh pemuda keturunan Cina.6 Kerusuhuan anti Cina di Sukabumi ini mula-mula terjadi di Kota Sukabumi (Kota Madya) pada tanggal 18 dan 19 Mei 1963, kemudian meluas ke Desa Cibadak pada tanggal 20 Mei 1963.7 Di Garut kerusuhan anti Cina terjadi di pusat kota, yaitu di wilayah Kecamatan Garut Kota8. Kerusuhan tersebut tidak meluas ke desa-desa di Kabupaten Garut. Hal ini diduga oleh letak pemukiman etnis Cina Garut yang tidak menyebar di ke desa-desa, tetapi lebih terkonsentrasi di pusat kota (sekitar Pengkolan), yakni Jl. Ahmad Yani, Jl. Ciledug, Jl. Siliwangi, Jl. Cikuray, Jl. Pasar Baru, Jl. Mandalagiri, Ciwalen, dan Jl. Guntur. Mereka berhasil menjadi pedagang kaya yang membuat kehidupan mereka nampak eksklusif di mata kaum pribumi. Mereka
tidak
membaur
dengan
orang-orang
pribumi,
sehingga
tidak
mengherankan apabila pusat kota di sekitar Pengkolan merupakan “Pecinan” di Kota Garut. Keberhasilan mereka dalam bidang perdagangan, disadari atau tidak, mereka telah menunjukkan kemewahan hidupnya, bila diukur dengan kondisi kehidupan ekonomi masyarakat pribumi pada umumnya. Sikap dan prilaku orang-orang Cina yang nampak eksklusif di mata kaum pribumi dan kehidupan yang mewah seperti itu akhirnya mengakibatkan hubungan sosial antara mereka dengan kaum pribumi kurang begitu harmonis, masih terbentuk steoretipe-steoretipe kuat tentang orang-orang Cina di Kota 5
Tabulasi Data Peristiwa Kerusuhan Mei 1963, Kasie Intel Kodim 016/Garut tahun 1963 Selo Soemardjan, Gerakan Mei 1963 di Sukabumi, (Bandung : Eresco, 1963), halaaman 17 7 Pikiran Rakyat, 23 Mei 1963 8 Pikiran Rakyat, 20 Mei 1963 6
3 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Garut. Sebaliknya orang-orang Cina menumbuhkan stereotipe tertentu tentang kaum pribumi (khususnya orang Sunda) meskipun tidak atau jarang dilontarkan secara terbuka, kecuali dalam kasus-kasus tertentu seperti orang Sunda itu adalah orang kuno, pemalas, dan bodoh.9 Steoretipe orang Cina dalam masyarakat pribumi (khususnya orang Sunda) di Garut disebutkan sebagai memiliki sikap eksklusif, angkuh, egoistis, balaga (over acting dan sombong), dan materilistik. Sementara itu steoretipe orang Sunda dalam pandangan umum orang-orang Cina adalah sebagai orang miskin, tradisional, bodoh, malas, dan suka minta-minta. Islam adalah agamanya orang Sunda, karena itu Islam merupakan agamanya orang miskin, bodoh dan tradisional.10 Selanjutnya, gerakan kerusuhan anti Cina di Garut pada 17-18 Mei 1963 adalah digerakkan oleh para pemuda dan pelajar aktivis organisasi kepemudaan Islam seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Anshor (Pemuda NU), Pemuda aktivis Muhamadiyah, Serikat Pelajar Muslimin Indonesia (SEPMI), dan Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Kabupaten Garut.11 Sementara itu pelaku utama dari gerakan kerusuhan tersebut adalah para pelajar, pemuda, dan santri yang didatangkan dari luar kota Garut, yaitu dari Malangbong, Cibatu, Limbangan, Leles, Wanaraja, Cilawu, Tarogong, Bayongbong dan Samarang.12 Pada waktu itu kota Garut, terutama daerah Pengkolan (Pecinan) dikepung dari
9
Wawancara dengan Tong Liang Ciang/Amung (Ketua INTI, keluarga korban dan saksi sejarah, 74 tahun) dan dengan Lie Kiat Teng/Nana/Kakek Me Hoa (keluarga Korban, 75 tahun) pada tanggal 4 Februari 2010. Diperkuat wawancara dengan H. Suyud (Ketua PITI Garut, 74 tahun) pada tanggal 29 Maret 2010. 10 Wawancara dengan H. Suyud (Ketua PITI Garut, 74 tahun), Kusmayadi (70 tahun, pengurus PITI Garut, tahun) dan wawancara dengan Ajum (72 tahun , muslim keturunan Cina) pada tanggal 29 Maret 2010 11 Wawancara dengan Amir Syarifudin (75 tahun) pada tanggal 6 Januari 2010, dengan Giom Suarsono(74 tahun) dan Misbah (72 tahun) pada tanggal 14 Januari 2010. Ketiganya merupakan pelaku kerusuhan pada tanggal 17-18 Mei 1963 di Garut. Amir Syarifuddin dangan Giom Suarsono merupakan aktifis PII Kabupaten Garut di era tahun 1960-an. Amir Syarifudin adalah salah seorang pendiri PII Kabupaten Garut bersama-sama dengan KH. Miskun dan Utomo Danenjaya, yaitu salah seorang penggerak kerusuhan rasilais anti Cina di Kota Garut pada tanggal 17-18 Mei 1963. 12 Dari kota Garut daerah-daerah tersebut berjarak 7 sampai dengan 40 km. Daerah yang paling jauh adalah daerah Malangbong kurang lebih berjarak 40 km dari Kota Garut, arah utara.
4 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
semua arah. Mereka datang dengan berjalan kaki, naik truk dan naik keretaapi jurusan Cibatu-Cikajang. Fenomena menarik dalam peristiwa kerusuhan tersebut adalah berupa adanya seruan “peuncit si babah. peuncit si akew” (Sunda, artinya sembelih si babah dan sembelih si akew). Kata “babah” digunakan oleh orang Sunda untuk menyebut orang Cina laki-laki yang sudah tua usianya. Kata “akew” adalah sebutan orang Sunda untuk orang Cina laki-laki yang usianya masih muda, dan kadangkala dipanggil juga dengan panggilan “engko”. Sedangkan sebutan atau panggilan yang digunakan oleh orang Sunda untuk orang Cina perempuan adalah kata “encik” untuk perempuan Cina tua dan “amoy” untuk perempuan Cina muda. Istilah peuncit (sembelih atau gorok) merupakan “kata” yang pernah digunakan oleh orang-orang Darul Islam (DI/TII) di daerah Garut untuk menteror orang-orang yang tidak mendukung berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Praktik “peuncit” atau menyembelih memang pernah dilakukan oleh oknum DI/TII terhadap orang-orang yang dianggap memusuhi perjuangan mereka. Salah satu tempat yang pernah dijadikan lokasi penyembelihan oleh oknum DI/TII terhadap orang-orang yang dianggap musuh adalah “Legok Cenang”, yaitu salah satu lembah di daerah Cibunar, Tarogong Kidul, Garut. Jaraknya kurang lebih tiga kilometer dari Kota Garut arah Selatan.13 Seruan “peuncit si babah, peuncit si akew” tersebut diteriakkan secara verbal oleh para pelaku kerusuhan dengan suara lantang dan keras di sepanjang jalan yang dilalui serta ketika mereka melakukan pengrusakan harta benda milik orang-orang Cina di Kota Garut. Dengan demikian, dalam peristiwa kerusuhan anti Cina di Garut 1963 tersebut, disinyalir adanya keterlibatan orang-orang DI/NII daerah Garut. Realitas ini menunjukkan kekhasan peristiwa kerusuhan anti Cina di Garut 1963 yang membedakan dengan daerah lainnya di Jawa Barat .14
13
Wawancara dengan Sumpena (85 tahun, keturunan DI/TII Cibunar Tarogong Kidul Garut), Siradz (88 tahun, mantan anggota Hizbullah Dipenogoro) dan Mualim Engkun ( 88 tahun, tokoh PSII Tarogong Kidul Garut), Suhaeli (91 tahun, mantan anggota DI/TII daerah Patrol Tarogong Kidul Garut), Ny.Nanah (86 tahun, mantan anggota DI/TII) pada tanggal 17 April 2008. 14 Wawancara dengan Misbah (73 tahun), pelaku dan penggerak kerusuhan anti Cina di Garut 1963, pada tanggal 23 Agustus 2011, dengan Tien Liep Kie ( 71 tahun, korban kerusuhan) pada
5 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Selain itu, jaringan yang digunakan oleh para aktivis organisasi kepemudaan Islam untuk menggerakkan dan mendatangkan massa ke kota Garut adalah lembaga pesantren dengan menggunakan kepemimpinan kharismatik para kiai di masing-masing daerah di luar kota Garut.15 Kekhasan lainnya adalah berupa pembiaran oleh pihak keamanan (TNI dan Polisi) serta sikap pasifnya orang-orang Cina dalam peristiwa tersebut. Mereka tidak melakukan perlawanan, karena mereka sebelumnya sudah mengetahui akan terjadinya kerusuhan dari pengurus organisasi Chunghua Chunghui Kabupaten Garut.16 Untuk itu mereka telah mempercayakan pengamanannya
kepada
pihak
keamanan
melalui
organisasi
Chunghua
Chunghui.17 Sikap demikian menyebabkan masa aksi selama dua hari (tanggal 17 dan 18 Mei) bertindak leluasa untuk melakukan aksinya.18 Berpijak pada realitas tersebut, maka perlu diketahui jawaban dari pertanyaan berikut ini: Bagaimana pola hubungan etnis Cina dan etnis Sunda di Kabupaten Garut? Jawaban dari pertanyaan ini sangat penting untuk bisa memahami bagaimana keterkaitan faktor tersebut dalam peristiwa kerusuhan anti Cina di Garut pada 17 dan 18 Mei 1963, karena sebagaimana dinyatakan Witanto, bahwa kekerasan terhadap etnis Cina di Indonesia tidak bisa serta merta timbul karena sentimen etnis. Menurutnya, salah satu faktor mendorong munculnya konflik dan kekerasan tersebut adalah pola pemukiman etnis Cina.19
tanggal 12 Desember 2011, dan diperkuat oleh Mukarom (73 tahun, mantan Komandemen Wilayah Tujuh DI-Fisabilillah ) pada tanggal 21 Desember 2011. 15 Wawancara denganb Misbah (73 tahun), Rukman (72 tahun, pelaku), Adnan (72 tahun, pelaku) pada tanggal 23 Agustus dan 121 September 2011. 16 Wawancara dengan Tong Liang Ciang/Amung (Ketua INTI, keluarga korban dan saksi sejarah, 74 th) dan dengan Lie Kiat Teng/Nana/Kakek Me Hoa (keluarga Korban, 75 th) pada tanggal 4 Februari 2010. 17 Wawancara dengan Tong Liang Ciang/Amung (Ketua INTI, keluarga korban dan saksi sejarah, 74 th), Lie Kiat Teng/Nana/Kakek Me Hoa (keluarga korban, 75 th) , dan dengan Encang (76 tahun, korban kerusuhan) pada tanggal 4 Februari 2010. 18 Wawancara dengan Maman (70 tahun, pelaku kerusuhan), Latifah (70 tahun, pelaku kerusuhan),Yayah (69 tahun, pelaku kerusuhan), Memed (73 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 15 Maret 2010. 19 Eddy .Witanto, Mengapa Pemukiman Mereka dijarah: Kajian Historis Pemukiman Etnis Cina di Indonesia” dalam I.Wibowo, Harga yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2004), halaman 26
6 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Permasalahan lainnya adalah apa yang terjadi sebelum kerusuhuan anti Cina Mei 1963 di Jawa Barat, khususnya di Garut, yaitu dari tahun 1948 hingga 1962. Antara tahun 1948 hingga 1962, di Jawa Barat pada umumnya dan di Garut pada khususnya, telah terjadi beberapa peristiwa penting yang berkaitan erat dengan kehidupan sosial politik dan keagamaan. Pertama, selama tiga belas tahun yaitu sejak
1949 sampai 1962, di Jawa Barat terjadi pemberontakan Darul
Islam/DI Kartosuwiryo. Gerakan DI/TII ini berpengaruh kuat di Priangan Timur, di kabupaten-kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.20 Dengan demikian muncul suatu pertanyaan : Apakah anggota DI/NII terlibat dalam peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut? Kedua, sebelum terjadi gerakan kerusuhan anti Cina bulan Mei 1963, di Jawa Barat pada umumnya dan di Garut khususnya, pernah terjadi pengusiran orang-orang Cina dari daerah pedesaan. Menurut Pramoedya Anata Toer, tindakan ini sebagai akibat dari diberlakukannya PP-10/1959, yang berisi larangan bagi orang-orang asing (terutama ditujukan kepada orang-orang Cina) untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedesaan, yaitu di luar ibukota daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang berlaku sejak 1 Januari 1960. Pada waktu itu banyak orangorang Cina yang dianggap berstatus dwikewarganegaraan, sehingga oleh pihak militer
banyak
di
antara
mereka
dipaksa
meninggalkan
tempat
kediamannya.21Akibatnya, menurut Mely G Tan, sepanjang tahun 1960 sekitar 136.000 orang Cina migrasi ke RRC dan Hongkong.22 Uraian tersebut menunjukkan bahwa daerah Garut pada tahun 1960-an merupakan salah satu daerah yang tidak stabil di bidang politik. Untuk itu sangat relevan diketahui kondisi politik daerah Garut sebelum dan menjelang terjadinya gerakan kerusuhan anti Cina pada 17 dan 18 Mei 1963. Faktor kondisional ini sangat penting untuk diketahui, selain mencari keterhubungan antara peristiwa kerusuhan anti Cina dengan faktor-faktor politik dan ideologi, juga karena ada 20
C.Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta : Grafiti, 1993), Cet.Ke-1, h. 87-102 Pramoedya Anata Toer, Rasialisme Anti-Tionghoa dan Percobaan Menjawabnya, dalam Yusiu Liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina Sebuah Intisari, (Jakarta :Jambatan, 2000), Cet. Ke-1. halaman .xvii 22 Mely G.Tan, Ethnic Chinese in Indonesia, dalam Etnis Tionghoa di Indonesia, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008), Cet.Ke-1.halaman 12 21
7 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tuduhan dari Soekarno, Baperki, PKI, dan kelompok lainnya bahwa peristiwa kerusuhan bulan Mei 1963 itu merupakan peristiwa rasialis kontra revolusioner yang didalangi dan direkayasa oleh sisa-sisa Masyumi dan dan PSI (Partai Sosialis Indonesia).23 Dalam pidatonya pada 19 Mei 1963 di depan Kongres Wanita Indonesia di Gelora Senayan, Soekarno menyatakan bahwa kaum kontra revolusioner termasuk sisa-sisa pemberontak PRRI/Permesta dan partai-partai terlarang Masyumi dan PSI yang bertanggung jawab atas peristiwa rasialis ini.24 Tujuan dari aksi kekerasan ini adalah untuk mencemarkan nama baik Indonesia dan dirinya sebagai presiden di dunia internasional.25
1.2. Rumusan Masalah Bertolak dari uraian yang telah diuraikan dalam paragrap-paragrap sebelumnya, muncul pertanyaan mengapa kondusifitas struktural mendorong terjadinya kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada 17-18 Mei 1963. Dengan demikian masalah utama penelitian ini adalah faktor penyebab munculnya kerusuhan rasialis anti Cina di Kota Garut. Analisis akan dikaitkan dengan melihat kondisi sosial ekonomi, politik, kultural lokal dan bagaimana kehidupan sosial etnis Cina di Kota Garut sebelum terjadinya kerusuhan pada Mei 1963. Sehubungan dengan ini akan dilihat pula bagaiman pola hubungan antara entis Cina dan entis Sunda sehingga menimbulkan konflik laten di antara kedua kelompok masyarakat tersebut yang akhirnya berujung pada kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada Mei 1963. Analisa tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat Garut dilakukan sebagai upaya untuk mencari jawab mengenai hubungan erat antara kesenjangan “PresidenSoekarno : Ganyang Rasialisme”, dalam Harian Rakyat 20 Mei 1963, “Lawan Kontra Revolusi” dalam Merdeka 27 Mei 1963, Warta Bakti 19 Mei 1963. Lihat juga Siauw Giok Thjan : Lima Jaman : Perjuangan Integrasi Wajar, (Jakarta : Yayasan Teratai, 1981), Cet. Ke-1, halaman 324-325 24 “Presiden Soekarno: Ganyang rasialisme”, dalam Harian Rakyat 20 Mei 1963, diperkuat wawancara dengan Tong Liang Ciang (74 tahun) , dan Lie Kiat Teng (75 tahun) pada tanggal 29 Maret 2010 di Garut 25 “Presiden Soekarno: Ganyang rasialisme”, dalam Harian Rakyat 20 Mei 1963. Lihat juga “Amanat Sukarno Pada Kongres Wanita Indonesia: Djangan Masuk Perangkap Kontra Revolusi!, Departemen Penerangan R.I (Penerbitan Chusus), Djakarta, 1963. 23
8 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
sosial dan kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada 17-18 Mei 1963. Dalam konteks ini kesenjangan sosial diasumsikan sebagai salah satu penyebab munculnya gerakan anti Cina di Kota Garut. Asumsi penulis ini didasarkan pada kesimpulan umum hasil penelitian Selo Soemardjan mengenai kerusuhan anti Cina di Kota Sukabumi. Didasarkan pada kasus kerusuhan anti Cina di Sukabumi, Selo Soemardjan menyimpulkan secara umum bahwa penyebab utama terjadinya kerusuhan anti Cina di Jawa Barat adalah kesenjangan sosial dan ketidakpuasaan kaum pribumi terhadap kelompok etnis Cina. Masalahnya apakah kesimpulan Selo Soemardjan tersebut berlaku untuk kasus kerusuhan anti Cina di Kota Garut? Garut dan Sukabumi merupakan daerah yang berada di Priangan. Namun secara geografis kedua daerah peristiwa tersebut sangat berjauhan. Kota Sukabumi berada di wilayah Priangan Barat, sedangkan Kota Garut berada di wilayah Priangan Timur. Daerah Garut bersama dua daerah lainnya di Priangan Timur yaitu Tasik Malaya dan Ciamis adalah daerah yang mendapat pengaruh kuat dari pemberontakan DI/TII selama tiga belas tahun, antara tahun 1949-1962. Sementara itu daerah Sukabumi merupakan salah satu daerah yang tidak begitu kuat mendapat pengaruh dari gerakan DI/TII.26 Masalah yang muncul selanjutnya adalah apakah terdapat faktor-faktor lain yang mendorong munculnya kerusuhan rasialis anti Cina di Kota Garut pada 17-18 Mei 1963. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor politik dan kultural. Diketahui bahwa sebelum meletusnya gerakan kerusuhan rasialis anti Cina, Garut merupakan salah satu daerah yang kondisi politiknya tidak stabil karena adanya pemberontakan DI/TII. Ketidakstabilan kondisi politik Garut juga dipengaruhi oleh
konstalasi
politik
nasional
selama
masa
demokrasi
parlementer.
Pertentangan ideologi di tingkat nasional antara PKI dan Masyumi berpengaruh juga terhadap kondisi sosial politik di daearah ini. Memasuki tahun 1960-an, terutama setelah dibubarkannya Masyumi oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1960 melalui Kepres No.200/1960, konflik ideologi antara kelompok pendukung Masyumi dan PKI di Kota Garut terus berlangsung. Sementara itu 26
C.Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Op.Cit. halaman 139.
9 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
kelompok pendukung Masyumi seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) berpandangan bahwa mayoritas orang Cina di Kota Garut adalah pendukung PKI. Masalahnya kemudian adalah apakah gerakan anti Cina yang dilakukan kelompok PII dan GPII dilatar belakangi oleh pertentangan ideologi? Pertanyaan ini relevan dengan tuduhann Soekarno, PKI, dan Baperki bahwa peristiwa kerusuhan bulan Mei 1963 di Jawa Barat merupakan peristiwa rasialis kontra revolusioner yang didalangi dan direkayasa oleh sisa-sisa Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia. Ada sejumlah pertanyaan yang akan diajukan berdasarkan permasalahan di atas : 1. Benarkah kesenjangan sosial yang menjadi pendorong gerakan anti Cina di Kota Garut? Apakah terdapat faktor-faktor lainnya? 2. Benarkah mantan aktivis Masyumi dan PSI yang menggerakkan kerusuhan anti Cina di Kota Garut?
1.3. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup “peristiwa kerusuhan anti Cina” di Kota Garut pada tanggal 17-18 Mei 1963. Ruang lingkup penelitian ini terdiri dari lingkup permasalan, lingkup spasial dan lingkup temporal. Uraian lingkup permasalahan bukan hanya ditujukan pada peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut 1963, tetapi juga pada sebab musabab terjadinya peristiwa kerusuhan tersebut dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat Cina di Kota Garut. Lingkup spasial dalam penelitian ini mencakup wilayah Kabupaten Garut. Pembatasan ini dilakukan dengan alasan yang jelas, yaitu penelitian ini akan lebih bermanfaat jika terbatas pada suatu daerah saja, yang lebih jelas batas-batasnya secara geografis dan kultural. Tujuannya adalah untuk memberikan batasan yang jelas mengenai latar belakang sosial kultural dari permasalahannya, dan untuk menghubungkan peristiwa gerakan kerusuhan anti Cina sebagai prilaku kolektif dengan kondisi-kondisi sosial, kultural, politik, ekonomi, dan keagamaan di Garut.
10 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Lingkup ketiga adalah lingkup temporal. Penelitian ini menempatkan fokus pada Mei 1963. Namun untuk mengetahui kontiunitas dengan peristiwaperistiwa sebelumnya, maka penelitian ini akan di mulai tahun 1960 dengan pertimbangan bahwa pada tahun 1960 untuk pertama kalinya terjadi pengusiran keturunan Cina di Jawa Barat (termasuk Garut) sebagai ekses dari PP-10/1959 yang berisi tentang larangan bagi orang-orang asing untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960. Dengan dilaksanakannnya PP10 itu, puluhan ribu orang Cina terpaksa harus meninggalkan tempat usaha dan kediamannya di daearah pedalaman. Semua orang Cina dianggap semuanya berstatus dwikewarganegaraan atau asing, sehingga oleh pihak militer mereka dipaksa meninggalkan kediamannya.27 Sementara itu akhir Mei tahun 1963 digunakan sebagai titik akhir dalam penelitian ini dengan pertimbangan pada bulan Mei 1963 terjadinya gerakan kerusuhan anti Cina hampir di seluruh kota-kota di Jawa Barat, bahkan sampai ke Jawa Tengah, Jogyakarta dan Jawa Timur. Peristiwa kerusuhan selama bulan Mei tersebut dikenal dengan sebutan “Kerusuhan 10 Mei”. Lingkup temporal pada akhir Mei 1963 dimaksudkan untuk mengetahui tentang dampak dari peristiwa kerusuhan tersebut terhadap kehidupan kelompok etnis Cina dan kelompok sosial lainnya di Kota Garut.
1.4. Manfaat dan Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua manfaat : 1. Manfaat praktis. Dengan manfaat ini dimaksudkan bahwa penelitian ini diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan kajian bagi Pemerintah Daerah Garut dalam menentukan program pembangunan sosial politik masyarakat Garut yang multikultural dan multiras. 2. Manfaat akademis. Diharapkan hasil studi ini dapat dijadikan titik tolak penelitian lainnya yang sejenis, dan bisa memberikan pandangan baru mengenai sebab musabab terjadinya suatu kerusuhan rasialis di suatu daerah tertentu. Di 27
Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Elkasa), halaman 793
11 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
samping itu, penelitian ini diharapkan bisa memberikn manfaat bagi penggalian lebih jauh sumber-sumber data mengenai peristiwa gerakan kerusuhan anti Cina Mei 1963 di Jawa Barat. Adapun tujuan penelitian ini adalah tidak hanya untuk melukiskan apa yang terjadi dan kapan, melainkan juga bagaimana dan apa sebabnya hal itu terjadi. Persoalan-persoalan itu jelas mengacu kepada masalah-masalah sebabmusabab atau faktor-faktor kondisional.
1.5. Konsep Dasar Ada beberapa istilah yang secara intensif digunakan dalam disertasi ini. Masing-masing istilah tersebut dengan pengertian yang digunakannya, yaitu : 1.Kelompok Etnis Sunda Kelompok etnis Sunda yang dimaksud dalam disertasi ini adalah seluruh penduduk yang terlahir, merasa dan mengakui sebagai orang Sunda. 28 Secara empirik kelompok ini mencakup mayoritas yang bertempat tinggal di Kabupaten Garut di wilayah Poropinsi Jawa Barat. 2. Kelompok Etnis Cina Ada banyak sebutan yang diberikan terhadap etnis keturunan Cina di Indonesia. Dede Oetomo, misalnya, mengidentifikasi istilah peranakan, baba dan Tionghoa, yang digunakan untuk menunjuk keturunan perpaduan antara laki-laki Cina imigran yang datang ke Indonesia (daerah Hindia Belanda) sebelum akhir abad ke-19 perempuan lokal atau perempuan yang terlahir dari hubungan demikian.29 Secara, kultural peranakan atau baba telah mengadopsi sejumlah unsur lokal. Sedangkan kategori lain dari Cina Indonesia adalah “totok”, yaitu imigran yang datang setelah pergantian abad. Budaya “totok” menunjukkan agar kecinaan mereka lebih nyata. Menurut Purcell, Etnis Cina ialah “seluruh imigran Cina dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari 28
Edi Eka Jati, Sejarah Lokal Jawa Barat, (Bandung : Internusa, 1992), Cet.Ke-1.halaman 13 Dede Oetomo, Penggunaan dan Fungsi Bahasa Jawa pada golongan Etnis Tionghoa,(Yogyakarta : Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1985), halaman 53 29
12 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
kewarganegaraan, bahasa yang melingkupi budaya Cina, mereka yang memandang dirinya sebagai “Cina” atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan Cina perantauan lain atau dengan Tiongkok secara sosial atau lainnya, tanpa memandang kebangsaan, bahasa atau kaitan erat dengan budaya Cina”.30 Definisi ini tidak jauh berbeda seperti yang digunakan oleh Leo Suryadinata. Ia menggunakan istilah “Cina-Indonesia” untuk merujuk pada etnis Cina di Indonesia yang memiliki nama keluarga, marga, tanpa memandang kewarganegaraannya.31 Istilah Cina dalam bahasa Indonesia memang memiliki beberapa konotasi. Untuk menghapus konotasi yang negatif, istilah ini dalam pers Indonesia sekitar 1950-an diubah menjadi “Tionghoa” (sesuai ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk merujuk kepada orang Cina, dan “Tiongkok” untuk “negara Cina”.32 Pada tahun 1965, berdasarkan gagasan Seminar Angkatan Darat, diputuskan untuk kembali kepada istilah “Cina”. Intruksi ABRI ini didukung orang-orang Cina yang anti komunis seperti Yunus Yahya dan Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (BAKOM-PKB).33 Dalam disertasi ini digunakan istilah “Cina”, yang terdiri dari Cina totok maupun keturunan, baik yang bertempat tinggal menetap atau sekedar menjalankan usaha berdagang di Kabupaten Garut. Secara empirik, kelompok etnis keturunan Cina ini merupakan minoritas yang bertempat tinggal atau menjalankan usahanya di Kota Garut yang terdiri dari Cina Hokian dan Cina Khek. 3. Kerusuhan Mengikuti pendapat Selo Soemardjan “kerusuhan” adalah suatu gerakan bersama yang agresif dari suatu masyarakat. Masih menurut Selo Soemardjan, gerakan ini akan muncul di tengah-tengah masyarakat apabila 1) masyarakat itu
Victor Purcell,, The Chinese in Southeast Asia, London, 1965, Dalam Yusiu Liem, “Prangsaka Terhadap Etnis Cina”, (Jakarta : Jambatan, 2000), halaman xxix 31 Yusiu Liem, Ibid 32 Ibid 33 Ibid 30
13 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
dalam waktu yang lama mengalami frustasi sebagai akibat perasaan tidak puas karena kebutuhannya yang medasar tidak terpenuhi; 2) masyarakat merasa tersinggung atau dirugikan keyakinannya, baik merupakan agama maupun dalam wujud ideologi, yang telah melembaga dalam kehidupan masyarakat itu; 3) ada tindakan atau ancaman dari luar terhadap institusi yang tertanam di dalam masyaraka itu; 4) masyarakat itu diperlakukan tidak adil; dan 5) masyarakat itu merasa tersinggung dalam suatu bidang sensitif (sensitive area) dalam kebudayaannya.34
1.6. Sumber Yang Digunakan Sumber-sumber yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi sumbersumber tertulis yang tergolong primer dan sumber lisan. Sumber tertulis berupa dokumen pemerintah Provinsi Jawa Barat, Tabulasi Data Kasi Intel Kodam III/Siliwangi tahun 1963, Tabulasi Data Kasi Intel Korem 02/Tarumanagara 1963, dan Tabulasi Data Kasi Intel Kodim 016/Garut tahun 1963. Dokumen-dokumen tersebut tersimpan di Kasie Intel Kodam III/Siliwangi, Kasie Intel Korem 02/Tarumanagara, Kasie Intel Kodim 016/Garut, dan di Kearsipan Daerah Kabupaten serta Dinas Pariwasata dan Budaya Kabupaten Garut; yang di antaranya berupa dokumen tentang sebaran penduduk Garut menurut kecamatan, kewarganegaraan dan jenis, kelamin, jenis mata pencaharian pada tahun 1960-an, Catatan hasil Sidang Pleno DPRGR-Garut bulan Juni 1963. Dokumen lain yang digunakan adalah berasal dari khasanah Arsip Nasional RI, yaitu satu bundel “Amanat Presiden Soekarno Pada Kongres Wanita Indonesia : “Djangan Masuk Perangkap Kontra Revolusi, Departemen Penerangan RI (Penerbitan Khusus), Jakarta tahun 1963 Kemudian ditambahkan pula arsip tambahan berupa satu bundel Arsip Desa kota Kulon (tersimpan di Kelurahan Kota Kulon Garut) tahun 1960-1963 dan satu bundel Arsip Kota Wetan (tersimpan di Kelurahan Kota Wetan) tahun 1962-1963.
34
Selo Soemardjan, Gerakan 10 Mei di Sukabumi, halaman 34
14 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Sumber primer lainnya adalah berupa surat kabar dan majalah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, koleksi Perpustakaan Pikiran Rakyat, dan koleksi Perpustakaan Konferensi Asia Afrika Bandung. Beberapa surat kabar sezaman diantaranya Pikiran Rakyat tahun 1963, Warta Bakti (Sin Po) tahun 1963, Harian Rakyat tahun 1963, Harian Abadi tahun 1959-1963, Kedaulatan Rakyat tahun 1963, Harian Merdeka tahun1959-1963, Sulindo tahun 1963, Duta Masyarakat tahun 1959-1963, Antara tahun 1963, dan Harian Umum tahun 1963. Selain itu digunakan pula Majalah dan Koran The Garoet-Express and Tourist Guide Geillustreerd Weekblad, N.V.A.C.Nix & Co 1923-1933 yang tersimpan di Lantai Delapan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Kemudian, untuk melengkapi data yang ada, dilakukan juga wawancara dengan para pelaku dan penggerak utama kerusuhan anti Cina 1963 dan para korban kerusuhan dari golongan Cina serta para saksi sejarah. Hasil wawancara tersebut kemudian ditranskripkan dalam bentuk dokumen.
1.7. Kajian Pustaka Tidak bisa dipungkiri bahwa kajian tentang keberadaan etnis Cina di Indonesia telah banyak dilakukan. Bahkan tidak sedikit dari kajian itu yang sudah diterbitkan. Ini menunjukkan bahwa fenomena etnis Cina di Indonesia telah merangsang begitu banyak kajian, baik kajian lapangan maupun kepustakaan. Menurut Mely G.Tan terus berlangsungnya minat kajian terhadap etnis Cina di Indonesia dan Asia Tenggara karena peran penting mereka dalam bidang ekonomi dan politik. Karena itu, kebanyakan kajian diarahkan pada dua bidang tersebut.35Walaupun demikian, dalam “Ethnic Chinese in Indonesia”, Mely G.Tan juga menunjukkan bahwa minat kajian terhadap dimensi sosial dan kultural etnis Cina juga mendapat cukup perhatian. Di dalam kumpulan tulisannya itu, Mely G.Tan membahas beberapa persoalan menyangkut keberadaan etnis Cina di Indonesia dilihat dari dimensi sosial politik dan ekonomi, kultural dan agama, serta hubungan minoritas dan mayoritas di Indonesia. 35
Mely G.Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), Cet.Ke-1. halaman 5-6
15 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Edi P.Witanto dalam “Mengapa Pemukiman Mereka Dijarah : Kajian Historis Pemukiman Etnis Cina di Indonesia” dengan cara memadukan pendekatan analisis ruang dan posisi etnis Cina dalam masyarakat Indonesia telah menjelaskan mengenai sebabnya mengapa sering terjadi kekerasan terhadap etnis Cina di Indonesia36. Dalam penelitiannya tersebut Witanto menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap etnis Cina di Indonesia, tidak bisa serta merta timbul karena sentimen etnis. Salah satu faktor pendorong munculnya konflik dan kekerasan tersebut adalah pola pemukiman. Pola pemukiman yang berubah menjadi model sosio-ekonomi yang eksklusif
telah menimbulkan citra negatif
kelompok
bermodal (Cina). Di lain pihak, kondisi perkotaan yang semakin parah telah memberikan tekanan tersendiri bagi kota secara umum. Akibatnya sentimen terhadap etnis Cina yang dikelompokkan sebagai kelompok bermodal yang selama ini tersembunyi, mengemuka karena kelompok bermodal dianggap kelompok yang tidak terkena imbasnya dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa kali. Sebuah kajian kualitatif pendekatan Antropologi dilakukan Harry Purwanto berjudul “Orang Cina Khek dari Singkawang“ oleh Harry Purwanto telah memberi gambaran yang cukup jelas mengenai asal usul orang Cina di Indonesia yang ternyata berasal dari dua propinsi, yaitu Guandong dan Fujian. Selain itu dibahas juga mengenai alasan mengapa orang “Cina” masih sulit diterima sepenuhnya oleh orang ‘Indonesia’. Penulis menghubungkan dengan orientasi sejumlah orang “Cina” yang masih sangat kuat pada negeri leluhurnya serta pandangan merendahkan mereka terhadap suku-suku lain di Indonesia. Sikap ini menghalangi mereka untuk berasimilasi dengan penduduk setempat.37 Selanjutnya penelitian yang berhubungan erat dengan peristiwa kerusuhan anti Cina di Jawa Barat pada Mei tahun 1963, Selo Soemardjan telah mengambil lokasi penelitian di Sukabumi. Laporan hasil penelitian tersebut diberi judul “Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi”. Melalui penelitiannya itu Selo Soemardjan Edi P.Witanto, “Mengaa Pemukiman Mereka Dijarah : Kajian Historis Pemukiman Etnis Cina di Indonesia”, dalam I. Wibowo, Harga Yang Harus Dibayar : Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, (Jakarta : Garamedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000), halaman 26 37 Harry Purwanto, Cina Khek dari Singkawang, Depok : Komunitas Bambu, 2005 36
16 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
menjelaskan tentang sebab musabab terjadinya gerakan kerusuhan anti Cina di Sukabumi pada 18-19 Mei 1963. Ia menyimpulkan bahwa penyebab utama terjadinya kerusuhan anti Cina di Sukabumi khususnya dan di Jawa Barat pada umumnya adalah sebagai akibat kesenjangan sosial dan ketidakpuasaan kaum pribumi terhadap kelompok etnis Cina.38 Kesimpulan dari Selo Soemardjan tersebut perlu untuk dibuktikan, apakah kesimpulan ini berlaku jika dikaitkan dengan peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada 17-18 Mei 1963, di mana Kota Garut dan Kota Sukabumi merupakan dua kota yang sama-sama berada di wilayah Priangan. Alasan lainnya mengapa kesimpulan dari Selo Soemardjan tersebut perlu untuk dibuktikan melalui penelitian di Kota Garut karena ada kesimpulan yang berbeda dari Soekarno dan PKI. Menurut Soekarno dan PKI kaum kontra revolusioner termasuk sisa-sisa pemberontak PRRI/Permesta dan partai-partai terlarang Masyumi dan PSI merupakan kelompok yang bertanggung jawab atas peristiwa kerusuhan rasialis anti Cina di Jawa Barat pada Mei tahun 1963. Dengan demikian, studi ini memiliki perbedaan dengan penelitianpenelitian tersebut. Salah satu perbedaannya adalah metode dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini. Sebagai salah satu kajian sejarah, penelitian ini menggunakan metodologi struktural dengan pendekatan multidisiplin. Sementara itu penelitian-penelitian yang sepintas telah diuraikan di atas merupakan kajian Sosiologi dan Antropologi. Untuk itu secara teoritis akan ditemukan perbedaan hasil atau kesimpulan antara penelitian disertasi ini dengan penelitian-penelitian tersebut.
1.8. Metodologi dan Teori Fokus penelitian ini adalah peristiwa gerakan kerusuhan anti Cina di Garut pada 17-18 Mei 1963. Meskipun fokus penelitiannya adalah gerakan kerusuhan anti Cina di Garut pada 17-18 Mei 1963, namun peristiwa ini tidak terlepas dari adanya tindakan manusia dalam struktur masyarakat. Sedangkan setiap tindakan manusia (human action), tidak dapat dipungkiri, senantiasa terjadi dalam kerangka 38
Selo Soemardjan, Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi, Bandung : Eresco,1963
17 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
struktur tertentu. Artinya, dipolakan berdasarkan norma atau nilai seperti terendap dalam adat istiadat, kebiasaan, hukum, etos dan lain sebagainya.39 Dengan demikian strukturlah yang bertanggung jawab atas tindakan manusia.40 Berpijak pada alur logika di atas, maka untuk memberikan deskripsi dan eksplanasi historis yang memadai, metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktural. Metodologi struktural melihat masyarakat sebagai totalitas yang berhubungan satu sama lain sebagai struktur dengan aturan-aturan yang berlaku dan mempunyai suatu dinamika dalam dirinya. Dipandang dari metodologi struktural sesungguhnya kausalitas dapat dikembalikan kepada kondisi-kondisi atau struktur yang menciptakan situasi tertentu di mana ada kecenderungan kuat ke arah terjadinya suatu peristiwa. Dengan kata lain, kondisi atau struktur sebagai kausalitas, berdasarkan perspektif struktural
banyak
dipakai
konsep
kecenderungan
struktural
(structural
conduciveness), yaitu totalitas struktur ekonomis, sosial, politik, dan kultural yang menciptakan “kemasakan situasi” menjelang terjadinya peristiwa. Dengan metodologi ini, fokus akan diletakkan pada saling hubungan antara individu, tindakan dan struktur yang ada untuk menjelaskan sebab dan akibat dari perubahan struktural.41 Sementara itu, untuk mengetahui faktor penyebab peristiwa kerusuhan rasialis anti Cina di Kota Garut, akan digunakan teori Colective Behavior dari Neil J. Smelser. Dalam hal ini “kerusuhan” diartikan sebagai perilaku kolektif. Menurut Smelser, munculnya perilaku kolektif disebabkan adanya sesuatu yang salah dalam lingkungan sosial. Beberapa elemen dari lingkungan sosial itu disebutnya sebagai the important determinants of collective behavior.42 39
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta : Gramedia, 1993). Cet.Ke-1.halaman 232 40 Menurut Merton pengaruh struktur atau lembaga begitu sangat kuat terhadap prilaku seseorang di dalam masyarakat. Dalam “Social Structure and Anomie (1938”, Merton berusaha menunjukkan bagaimana sejumlah struktur sosial memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga mereka lebih menunjukkan kelakuan non-konformis ketimbang konformis. 41 Metodologi Struktural dalam sejarah pada awalnya dikembangkan oleh mazhab Annales di Prancis sebagai pengaruh dari “strukturalisme” Ferdinand de Saussure. 42 Smelser, Neil, J, The Theory of Collective Behavior, (London : Routledge & Keegan Paul Publishing, 1970), halaman 15
18 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Menurut Neil J.Smelser, suatu perilaku kolektif ditentukan oleh enam determinan penting. Keenam determinan itu adalah structural conduciveness, yaitu suatu kondisi struktural yang mendukung atau mengakibatkan lahirnya gejolak sosial seperti kondisi ekonomi, politik dan kultural. Kedua, structural strain (ketegangan struktural), yaitu ketegangan struktural yang muncul dan mendorong munculnya suatu perilaku kolektif. Ketegangan struktural merupakan hasil kristalisasi dari kondisi struktural. Ketegangan struktural yang dimaksud adalah berupa konflik laten yang secara langsung mengakibatkan ketegangan-ketgegangan struktural. Penyebabnya bisa berupa kesenjangan sosial dalam bidang ekonomi atau karena konflik politik dan budaya yang mengakibatkan ketegangan antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya. Ketiga, growth and spread of generalized belief (pertumbuhan dan menyebarnya keyakinan umum). Artinya, sebelum suatu perilaku kolektif muncul, para perilaku kolektif terlebih dahulu memiliki pandangan dan keyakinan umum yang sama mengenai sumber ancaman, landasan berpikir, dan jalan keluar dari ancaman tersebut. Kecemburuan sosial merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketegangan struktural. Salah satu bentuk kecemburuan yang nampak adalah perasaan ikut memiliki sumber kehidupan ekonomi, namun perasaan tersebut tidak memiliki kesempatan untuk menikmatinya. Kelompok lain yang dipandang orang lain, justru mendapatkan kesempatan untuk menikmatinya. Begitu juga menyebarnya suatu ajaran tertentu atau ideologi dari kelompok lain adalah salah satu sumber ketegangan struktural di dalam suatu kelompok sosial. Sebabnya, ajaran atau ideologi tersebut dianggap akan mengancam keberadaan ideologi atau ajaran yang dianut kelompok sosial lainnya. Dalam konteks ini, menyebarnya ideologi komunis di beberapa desa di daerah Garut dan banyaknya orang Cina yang mendukung ideologi tersebut telah dianggap sebagai ancaman bagi kaum pribumi yang berideologi Islam. Keempat, the precipitating factor (faktor pemercepat), yaitu suatu peristiwa dramatis atau desas-desus yang mempercepat munculnya perilaku kolektif. Faktor pemercepat dari kerusuhan rasialis anti Cina di Kota Garut Mei
19 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
1963 adalah peristiwa kerusuhan rasialis anti Cina di Kota Bandung pada 10 Mei 1963, di mana setelah itu munculnya selebaran dan propaganda dari mahasiswa Bandung untuk melakukan aksi serupa seperti yang telah mereka lakukan di Kota Bandung. Selain itu, dipercepat juga oleh tersebarnya berita tentang adanya seorang pemuda pribumi yang sedang mengidap penyakit jiwa (gila) ditembak oleh seorang pemuda Tionghoa dengan menggunakan “bedil mimis” (senapan angin) tepat mengena kepala pemuda pribumi tersebut. Kelima, mobilization of participant for action, yaitu mobilisasi untuk bertindak. Mobilisasi tindakan merupakan penentu penting dalam suatu tindakan perilaku kolektif. Pada saat terjadi kerusuhan rasialis anti Cina di Kota Garut Mei 1963, organisasi ormas kepemudaan Islam dan pesantren dengan kepemimipinan kharismatik kiainya memiliki peran yang strategis, yaitu sebagai mobilisasi dan penyalur massa. Keenam, penentu penting dalam perilaku kolektif selanjutnya adalah berupa pelaksanaan kontrol sosial. Menurut Smelser (1962), kontrol sosial ini bisa dilakukan pada saat akan terjadi perilaku kolektif maupun pada saat peristiwa itu sedang terjadi.43 Adanya pertemuan-pertemuan yang dilakukan para aktifis ormas kepemudaan Islam yang membicarakan persiapan aksi kerusuhan anti Cina di Kota Garut menunjukkan kurangnya pemerintah daerah melakukan kontrol sosial (lack of social control) terhadap pertemuan-pertemuan tersebut. Kurangnya kontrol sosial dari pihak pemerintah ini pula yang membuka peluang bagi terjadinya perilaku kolektif dalam bentuk kerusuhan rasialis anti Cina. Metode sejarah digunakan terutama dalam proses pengumpulan, pemilihan, pemilahan (heuristik) serta kritik data. Tahapan selanjutnya adalah melakukan interpretasi. Melalui proses interpretasi, makna informasi dalam data diambil dan menjadi dasar bagi rekonstruksi, sebagai fakta sejarah. Untuk menemukan fakta, sejarawan memerlukan bantuan dalam melakukan interpretasi. Bantuan tersebut berasal dari bidang ilmu lain seperti Sosiologi, Ekonomi, Ilmu Politik, dan Antropologi.
43
Smelser, Ibid, halaman 15-16
20 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pendekatan sosiologis diperlukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan sosial yang terjadi pada rentang waktu 1959-1963 dan terutama sebelum dan menjelang terjadinya peistiwa gerakan kerusuhan anti Cina di Garut pada 17-18 Mei 1963. Pendekatan sosiologis juga akan digunakan untuk menjelaskan pola hubungan antara etnis Cina dan etnis Sunda dalam masyarakat Garut. Disini akan digunakan pendekatan interaksi sosial menurut Simmel. Dalam rangkaian proposisinnya, Simmel menegaskan konflik sebagai suatu variabel yang menampilkan derajat intesitas interaksi. Menurutnya semakin tinggi derajat keterlibatan emosional pihak yang terlibat dalam suatu konflik, maka semakin kuat kecenderungannya untuk mengarah pada kekerasan, dan semakin suatu meningkat derajat solidaritas internal dalam masing-masing kelompok. Pendekatan antropologi diperlukan untuk mengungkap aspek kultural etnis Cina dan Sunda dalam masyarakat Garut. Dalam konteks Indonesia, perbedaan kultural antaretnik yang relatif besar memang masih ditemukan, termasuk antara etnis Sunda dan Cina di Kota Garut pada tahun 1960-an. Selanjutnya setiap kebudayaan pada dasarnya hampir selalu memiliki sifat etnosentris, tidak terkecuali budaya Sunda dan Cina. Menurut Harold R. Isacs,44 kepercayaan melekat terhadap keunggulan bangsa Han dan pandangan mereka yang menganggap orang-orang non-Cina sebagai orang biadab merupakan ciri-ciri terkenal dan dasar pandangan orang Cina terhadap diri mereka sendiri. Sementara itu penduduk keturunan Cina telah dilihat oleh sebagian etnis Sunda (termasuk Jawa) sebagai orang luar (out group), tetapi juga menempatkan diri mereka sebagai orang luar. Badan-badan usaha milik etnis Cina dinilai tidak pernah mempercayakan jabatan-jabatan puncak manejemen kepada tenaga profesional yang bukan etnis Cina. Demikian pula, perkawinan campuran antara Cina dan orang Sunda jarang terjadi, terutama antara pria Sunda dengan wanita Cina. Dengan demikian, baik dalam segi sistem ekonomi maupun dalam sistem sosial budaya, secara umum etnis Cina di Kota Garut tampak terpisah dari masyarakat lingkungan sekitarnya. Dilihat dari gejala-gejala seperti ini, tidak 44
Harold R.Isaacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis : Identitas Kelompok dan Perubahan Politik, (Jakarta :Yayasan Obor Indonesia, 1993), halaman 76
21 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
mengherankan bila hubungan antara etnis Sunda dengan etnis Cina seperti “api dalam sekam”. Menurut Ignas Kleden, permusuhan dan kekerasan terhadap sebuah kelompok etnis, seperti yang terjadi pada kelompok etnis Cina, tidak pernah bersifat murni etnis. Hubungan antar etnis baru menimbulkan permusuhan dan kekerasan kalau perbedaan antaretnis yang satu dengan etnis yang lain disertai juga dominasi politik atau pun ekonomi oleh yang satu terhadap etnis yang lain.45 Dengan demikian, interpretasi terhadap data yang sudah didapat mengenai peristiwa kerusuhan anti Cina di Garut pada 17-18 Mei 1963 memerlukan juga pendekatan dari ilmu politik dan ilmu ekonomi. Dengan cara seperti ini maka pendekatan multidimensional benar-benar dilakukan dalam penelitian ini. Fakta-fakta yang telah ditemukan akan dirangkai dan disintesakan. Tujuannya adalah untuk menemukan suatu kesatuan yang utuh dari fakta-fakta terpisah hasil interpretasi atas setiap data. Proses dimaksudkan untuk mengetahui saling keterkaitan atara peristiwa yang satu dan peristiwa yang lain. Tanpa adanya keterkaitan ini, masing-masing fakta hanya akan merupakan bentuk argumen yang saling terlepas dan tidak pasti.46 Hasil dari rangkain dan sintesa fakta ini kemudian dituliskan dalam bentuk rekonstruksi sejarah.
1.9. Sistematika Penulisan Studi ini, didasarkan atas hipotesa bahwa gerakan kerusuhan anti Cina, yang pada hakikatnya merupakan gerakan sosial, bisa diperkirakan mempunyai hubungan yang khusus dengan kondisi-kondisi ekonomi, politik, kultural dan agama di dalam masyarakat. Studi ini akan ditulis berdasarkan metode sejarah, terdiri atas enam bab. Bab pertama sebagai pendahuluan mencakup latar belakang dan permasalahan penelitian, batasan penelitian (spasial, temporal dan tematis), kajian pustaka, sumber-sumber yang digunakan, metodologi dan teori, dan sistematika penulisan. 45 Ignas Kleden, “Stratifikasi Etnis dan Diskriminasi”, dalam Moch.Sa’dun M, ed, Pri-Non-Pri : Mencari Format Baru Pembauran, (Jakarta : CIDES, 1999), halaman 152 46 Uberto Eco, Interpretation and Overinterpretation, (Melbourne, Cambridge Univ.Press, 1996), halaman 39
22 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Bab kedua mencakup suatu deskripsi kondisi umum daerah Garut sebagai daerah peristiwa. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai kondisi geografis yang berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial ekonomi dan kultural masyarakat Garut. Kemudian setelah itu akan dijelaskan pula mengenai kehidupan sosial ekonomi dan kultural masyarakat Gaut. Persoalan ini penting untuk dijelaskan sebagai upaya melihat kondisi struktur masyarakat Garut sebelum terjadi kerusuhan anti Cina 17-18 Mie 1963. Karena persoalan kondisi struktur dianggap penting dalam penelitian ini, maka selanjutnya akan dijelaskan pula mengenai kondisi kehidupan keagamaan masyarakat Garut pada tahun 1960-an serta bagaimana pengaruh keagamaan terhadap gejolak politik lokal. Dampak umum ketidakstabilan politik dan semangat keagaman dalam periode 1960-1963 di Garut akan merupakan pokok perhatian dalam bab dua. Adanya kebijakan politik pemerintahan Soekarno selama periode tersebut telah menimbulkan suatu situasi politik nasional yang semakin tidak stabil. Situasi ini tercermin dalam aksi-aksi masa yang silih berganti dan konflik ideologi antar golongan yang semakin mencuat ke permukaan. Konflik manifest politik aliran antar kelompok yang dilatar belakangi ideologi nasionalisme sekular, sosialisme komunis dan agama dalam periode tersebut semakin kentara. Salah satu dampak dari kondisi tersebut adalah berupa munculnya gerakan kerusuhan anti Cina. Sebagai upaya lanjutan dari penjelasan mengenai kondusifitas struktural masyarakat Garut, maka dalam bab tiga akan disajaikan suatu deskripsi tentang kondisi sosial kultural etnis Cina dan pola hubungan sosial mereka dengan kelompok etnis lainnya dalam masyarakat Garut. Di sini digambarkan pula mengenai demografi etnis Cina, pemukiman ertnis Cina, kehidupan sosial ekonomi dan nilai-nilai budaya yang dianut
Cina Garut. Deskripsi tentang
kehidupan sosial ekonomi masyarakat Cina merupakan pembahasan yang sangat penting dalam bab ini. Pembahasan ini didasarkan pada hipotesis mengenai salah satu penyebab munculnya gerakan kerusuhan Mei 1963 adalah sebagai akibat kesenjangan sosial dan ketidakpuasaan masyarakat pribumi terhadap etnis Cina, terutama dalam masalah ekonomi. Secara ekonomi kegiatan seseorang atau kelompok dapat dibedakan menjadi kegiatan konsumsi, kegiatan produksi dan
23 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
kegiatan penukaran. Dalam bidang konsumsi rasa tidak puas dapat timbul pada seseorang jikalau orang yang bersangkutan tidak mampu memenuhi kebutuhan. Rasa tidak puas dalam bidang produksi akan timbul jika seorang pengusaha mendapat rintangan-rintangan yang tidak mungkin diatasi. Sedangkan dalam bidang pemasaran rasa tidak puas akan muncul jika pemasaran dari hasil produksi dimonopoli oleh sekelompok orang. Dalam bab empat akan diuraikan secara analitik mengenai akar sentimen anti Cina di lingkungan orang Sunda sebelum terjadi kerusuhan rasialis 17-18 Mei 1963. Pembahasannya mencakup sentimen anti Cina sebagai warisan masa kolonial dan revolusi fisik, karena faktor ekonomi, dan akan dijelaskan pula mengenai stereotip-stereotip kultur Cina serta masalah asimilasi masyarakat Cina Garut. Dalam studi mengenai konflik sosial sebagai salah satu aspek utama gerakan sosial, diharuskan memberi perhatian kepada peranan yang menentukan yang dimainkan oleh elite agama, oleh karena golongan ini terdiri dari kaum ulama yang berbasis di pesantren-pesantren dengan semangat keagamaannya (jihad) yang cenderung konsisten dan senantiasa menentang terhadap ajaranajaran atau ideologi yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Semangat jihad senantiasa digunakan untuk membangkitkan perlawanan atau aksi-aksi sosial terhadap ancaman-ancaman dari luar yang merongrong keefektifan norma-norma tradisional. Karena itu dalam bab kelima ini akan dideskripsikan mengenai semangat jihad di kalangan masyarakat Islam dalam menentang keberadaan etnis Cina sebagai yang dipersepsikan kelompok kafir yang harus diperangi. Selain itu akan disajikan pula suatu laporan tuturan mengenai peristiwaperistiwa terpenting (dan yang lebih khusus rangkaian aksi anti Cina di Jawa Barat) yang mendahului peristiwa gerakan kerusuhan anti Cina di Garut pada 1718 Mei 1963, termasuk dari tahap pendahuluan untuk mengobarkan semangat massa anti Cina sampai kepada tahap formal persiapan yang sesungguhnya, keresahan umum dan agitasi yang meningkat di kalangan pemuda pelajar.
24 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Selanjutnya, dalam bab ini juga akan dilukiskan mengenai peristiwa kerusuhan anti Cina di Garut pada 17-18 Mei 1963 yang sebenarnya. Peristiwa kerusuhan terjadi di daerah “Pengkolan" atau pusat kota, yaitu daerah Jalan Raya Siliwangi, Jalan Raya Ahmad Yani, Jalan Raya Ciledug, Jalan Raya Cikuray, Jalan Raya Mandalagiri (Pasar Darekdok), Jalan raya Pasar Baru, dan Jalan Raya Guntur. Di sini perlu diselidiki apa yang menjadi sasaran aksi masa tersebut. Adakah korban dalam peristiwa tersebut? Dan bagaimana dampaknya bagi kehidupan etnis Cina di Kota Garut? Kemudian bagaimana dampaknya bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Garut? Bab keenam merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan hasil penelitian saran akademis atau teoritis, saran pragmatis yang ditujukan kepada Pemerintah Daerah II Garut.
25 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
BAB II TINJAUAN UMUM KONDISI GARUT SEBAGAI DAERAH PERISTIWA
2.1. Kondisi Geografis Kabupaten Garut Dalam
catatan
Ensiklopedia
Hindia
Belanda
(Encyclopedie
van
Nederlands) tahun 1917 disebutkan, bahwa Kabupaten Garut merupakan daerah Priangan yang sangat kaya dan subur, indah dan mengagumkan. Ia merupakan daerah terindah di Pulau Jawa dengan iklim sejuk dan nyaman. Keadaan alamnya sangat indah dan banyak dikunjungi orang asing terutama dari Batavia.47 Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6º56'49'' - 7 º45'00'' Lintang Selatan dan 107º25'8'' - 108º7'30'' Bujur Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 306.519 ha (3.065,19 km²). Sebelah utara Kabupaten Garut berbatasan langsung dengan Kabupaten Sumedang, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya. Secara fisiografis, Kabupaten Garut dibagi menjadi dua bagian. Pertama, bagian utara termasuk zona tengah (zone defresi) yang merupakan bagian Tenggara Zona Bandung. Posisi bagian ini merupakan wilayah paling selatan dari zona tengah, yang secara morfologis dapat dibagi atas satuan yang lebih detail yaitu daerah dataran tinggi dan daerah pegunungan. Daerah dataran tinggi
47
dapat
Encyclopedie van Nederlandsche-Indie, Tweede Druk Eerste Deel, S-Gravenchage Martinus Nijhoff, Leiden, 1917, halaman 740-741
26 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Peta I.1. Peta Kabupaten Garut
Sumber : Garut Dalam Angka 2010
dibedakan atas 1) dataran Garut sekitar 700 m dari permukaan laut, 2) dataran Leles sekitar 600-650 m dari permukaan laut, dan 3) dataran Balubur Limbangan sekitar 500-550 dari permukaan laut. Sedangkan deretan pegunungan dapat dibedakan atas tiga deretan, yaitu 1) deretan gunung-gunung di sebelah barat (Gunung Papandayan, Gunung Kendang, Gunung Perahu, Gunung Rakutak, Gunung Guntur, Gunung Masigit, dan Gunung Mandalagiri), 2) deretan gununggunung di sebelah timur (Gunung Tilu, Gunung Culabadak, Gunung Cupu, Gunung Karacak, Gunung Galunggung, Gunung Talagabodas, dan Gunung Sadakeling), dan 3) gunung-gunung yang seakan-akan berdiri sendiri (Gn. Cikuray di sebelah selatan kota Garut, Gunung Kaledong dan Gunung Haruman di sebelah utara kota Garut).
27 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kedua, Zona pegunungan selatan yang miring dengan arah Utara-Selatan. Daerah ini merupakan bagian Timur dari Pangalengan, makin ke Selatan makin rendah. Batas antara zona Selatan dan zona Tengah merupakan escapment yang telah tertimbun di bawah gunung api muda, misalnya Gunung Api Papandayan dan Gunung Api Cikuray. Beberapa puncak (peaks) yang terdapat di bagian Selatan ini di antaranya adalah : Puncak Daun (1.603), Puncak Kali (1.430 m), Gunung Mandalagiri (1.813 m), Gunung Kaledong (1.102 m), Gunung Gender (1.555 m), Gunung Ragas (1.150 m), Gunung Kendang (1.292 m), Gunung Kasur (903 m), Gunung Lawang (935 m), dan Gunung Batusuraga (134 m). Jika dilihat dari aspek topografi, secara keseluruhan keadaan topografi Kabupaten Garut dapat dibedakan atas dua bagian yaitu Garut Utara dan Garut Selatan. Garut Utara terdiri dari dataran-dataran tinggi yang merupakan tanah pesawahan yang terluas di wilayah Kabupaten Garut. Dan umumnya terdiri dari dataran tinggi disertai pegunungan-pegunungan dan bukit-bukit yang keadaannya sangat kritis, karena keadaannya yang tandus terutama di sepanjang Sungai Cimanuk. Dataran yang paling tinggi adalah Bayongbong dan Cikajang, dan daearah yang paling rendah adalah daerah Malangbong dan Balubur Limbangan. Daerah Garut Selatan adalah daerah yang sebagian besar permukaannya terdiri dari tanah yang kemiringannya relatif curam. Makin ke selatan makin curam dan dialiri 12 buah sungai ke arah selatan, yang sangat penting artinya bagi pembangunan sektor pertanian. Corak alam di daerah sebelah selatan ini diwarnai oleh iklim Samudra Indonesia dengan segenap alam dan keindahan pantainya. Kabupaten Garut adalah salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki iklim tropis basah (humid tropical climate), di mana menurut hasil studi data skunder, iklim dan cuaca itu dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu pola sirkulasi angin musiman (monsoonal circulation pattem), topografi regional yang bergunung-gunung di bagian tengah Jawa Barat, dan elevasi topografi dengan curah hujan rata-rata setiap tahun berkisar antara 2.589 mm dengan bulan basah sembilan bulan berturut-turut dan bulan kering berkisar tiga sampai empat
28 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
bulan
berturut-turut, sedangkan di sekelilingnya terdapat daerah pengunungan dengan ketinggian mencapai 3.500-4.000 meter di atas permukaan laut dengan variasi temperatur bulanan berkisar antara 240C - 270 C.48
2.2. Perubahan Ruang Kabupaten Garut 2.2.1. Asal Usul Nama Garut Sampai hari ini hanya ada satu versi mengenai asal-usul nama garut, yaitu versi yang menyatakan bahwa kata “garut" berasal dari kata kakarut, yang artinya tergores. Pendapat ini ada dalam “Sejarah Garut Dari Masa Ke Masa”, sebuah tulisan singkat karya Sulaiman Anggapraja yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah II Garut tanpa tahun penerbitan.49 Istilah tersebut muncul ketika Bupati Limbangan
Adipati Adiwidjaya
(1813-1831) melakukan pencarian tempat yang cocok untuk ibu kota kabupaten. Pada awalnya Bupati Limbangan Adipati Adiwidjaya menemukan sebuah tempat yang dianggap cocok untuk ibu kota kabupaten, yaitu Kampung Cimurah, sekitar lima kilo meter sebelah Timur Kota Garut. Namun, di tempat tersebut sulit untuk mendapatkan air bersih maka Kampung Cimurah dibatalkan untuk menjadi ibukota kabupaten. Sampai sekarang tempat itu disebut “Kampung Pidayeuheun”. Kata “dayeuh” berasal dari bahasa Sunda yang artinya “kota”. Sedangkan kata “pidayeuheun” artinya suatu tempat yang semula akan dijadikan kota baru, namun tidak jadi dilakukan. Karena di kampung “Pidayeuheun” sulit ditemukan sumber mata air, selanjutnya Bupati Limbangan Adiwijaya melanjutkan pencariannya ke arah barat dari Kampung Pidayeuheun. Kurang lebih lima kilometer ditemukanlah sebuah tempat yang cocok untuk dijadikan ibu kota. Lokasi tersebut tanahnya datar dan cukup luas, subur dan terdapat mata air yang airnya terus mengalir ke Sungai Cimanuk. Selain itu, tempat ini memiliki pemandangan yang sangat indah karena letaknya dikelilingi gunung-gunung; di sebelah selatan Gunung Papandayan dan
48
Laporan Pertanggungan Jawab (LPJ) Bupati Garut 2010, halaman 8 Sulaiman Anggapraja, Sejarah Garut dari Masa ke Masa, (Garut : Pemerintah Daerah Tingkat II Garut, t.t), halaman 7.
49
29 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Gunung Cikuray, di sebelah barat Gunung Putri, di sebelah utara Gunung Guntur dan Gunung Haruman, di sebelah timur Gunung Talaga Bodas, Gunung Karacak, dan Gunung Galunggung. Ketiga gunung yang terakhir ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Tasik Malaya. Ketika Bupati Adipati Adiwijaya mencari tempat “mata air” (talaga kecil yang tertutup semak belukar berduri (marantha), salah seorang dari rombongan bupati ada yang tergores tangannya oleh rumput berduri hingga berdarah. Tergores dalam bahasa Sunda disebut “kakarut”. Peristiwa tergoresnya itu disaksikan oleh seorang Belanda, yang ketika melihat tangan salah seorang berdarah, ia bertanya, “Mengapa berdarah?” Orang yang tergores itu menjawab: “kakarut”. Orang Belanda itu meniru ucapan “kakarut” dengan ucapan kurang pasih berbunyi: “gagarut”. Ucapan “gagarut” dari seorang Belanda tersebut mengilhami salah seorang pegawai Bupati Adipati Adiwidjaya untuk menyebut rumput berduri itu dengan sebutan “Ki Garut”, dan telaganya dinamakan Ci Garut. Kata “ci” dalam Bahasa Sunda merupakan kependekan dari kata “cai” yang artinya “air”. Lokasi Ci Garut ini sekarang ditempati SMPN-1, SMPN-2 Garut (Jl.Ahmad Yani) dan Denpom (Jl. Veteran) yang sampai saat ini tanahnya cukup menyimpan air bersih.50 Daerah di sekitar “Ci Garut” selanjutnya diberi nama “Garut”. Ternyata cetusan “Garut” ini direstui Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya yang menamakan tempat untuk ibu kota Kabupaten Limbangan dengan sebutan Garut.
2.2.2. Sejarah Kabupaten Garut Sejarah Kabupaten Garut berawal dari pembubaran Kabupaten Limbangan dan Sukapura pada tahun 1811 oleh Daendels dengan alasan produksi kopi dari daerah Limbangan menurun hingga titik paling rendah dan bupatinya menolak 50
Lihat Lembaran Daerah Kabupaten Garut Daerah Tingkat II Garut, No.3 Tahun 1982 Seri D No.2, Kearsipan Daerah II Garut, 1982, halaman 2.
30 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
perintah menanam nila (indigo). Pada tanggal 2 Maret 1811, daerah bekas Kabupaten Limbangan, yaitu Wanakerta dan Wanaraja digabungkan ke Kabupaten Parakanmuncang. Sedangkan daerah bekas kabupaten Sukapura digabungkan ke Kabupaten Bandung, Cianjur dan Sumedang.51 Pada tanggal 16 Pebruari 1813, Raffles sebagai Letnan Gubernur di Indonesia, mengeluarkan surat keputusan mengenai pembentukan kembali Kabupaten Limbangan.52 Dengan dibentuk kembali Kabupaten Limbangan Raffles juga harus membentuk kembali Kabupaten Sukapura dengan maksud meningkatakan
kelancaran,
dayaguna
dan
hasilguna
penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Pembentukan dua kabupaten baru tersebut dengan jalan terlebih dahulu membubarkan kabupaten Parakanmuncang. Kebijakan Raffles tersebut adalah sebagai upaya mencari solusi dari kesulitan penyelenggaraan pemerintahan di daerah setelah dibubarkannya Kabupaten Limbangan dan Sukapura ole Jenderal Daendels tahun 1811 dalam konteks reorganisasi dan hervorming. Reorganisasi dan hervorming yang telah dilakukan Gubernur Jenderal Daendels tersebut mungkin bermanfaat bagi usaha untuk meningkatkan keuntungan yang diperoleh dari produksi kopi, tapi bagi penyelenggaraan
pemerintahan
di
daerah
reorganisasi
tersebut
ternyata
menimbulkan kesulitan dan hambatan. Oleh karena itu, Raffles segera mengadakan reorganisasi dan hervorming lagi dengan alasan dan landasan untuk meningkatkan
dayaguna
dan
hasilguna
penyelenggaraan
pemerintahan.53
Reorganisasi dan hervorming itu adalah pembentukan kabupaten baru bernama Limbangan dengan ibu kota Garut ( yang pada waktu itu dicanangkan di daerah Suci). Peristiwa pembentukan kembali Kabupaten Limbangan pada tahun 1813 tersebut pada dasarnya merupakan sejarah awal kabupaten Garut. Karena, meskipun nama-nama kabupaten yang baru dibentuk itu sama dengan nama
51
Sulaiman Anggapradja, Sejarah Garut dari Masa ke Masa, Ibid, halaman 5-6; dan Bayu Surianingrat, Pustaka Kabupatian i Bhumi Limbangan Dong Garut, Bandung, 1985, halaman 187. 52 Ibid 53 Bayu Surianingrat, Pustaka Kabupaten i Bumi Limbangan Dong Garut, Ibid, halaman 190-191
31 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
kabupaten yang dihapuskan pada masa Daendels, yaitu Limbangan dan Sukapura. Namun dua kabupaten baru tersebut adalah berlainan. Secara yuridis formal dua kabupaten itu bukan atau tidak merupakan kelanjutan kabupaten lama. Orang yang membentuk, luas wilayahnya, bupati maupun alasan, landasan, maksud dan tujuan bahkan ibu kotanya adalah berbeda. Secara yuridis formal dan “staatkunding” (tata negara, tata pemerintahan) maka pembentukan Kabupaten Limbangan dan Sukapura itu merupakan pembentukan kabupaten baru dan penghapusan kabupaten lama merupakan akhir kabupaten tersebut. Segala sesuatunya adalah berbeda dan baru, yang sama hanya nama kabupaten saja mungkin nama tersebut sudah dikenal di kalangan pemerintah Hindia Belanda atau penggunaan nama yang sama itu sekedar untuk mempermudah. Demikian sebagaimana dikatakan Tumenggung Aria Adipati Kusumaningrat (bupati Cianjur 1832-1862) berikut : “Later werd hij overgeplaatst naar pas gesticht land te Garut, groundgebied Limbangan, tot Rgent daarvan” (Kemudian ia (Adiwijaya) dipindahkan ke wilayah yang baru saja dibentuk di Garut, daerah Limbangan, menjadi bupati di sana).54 Pada awalnya Kabupaten Limbangan baru bentukan Raffles tersebut ibu kotanya di Suci, yaitu suatu kampung di sebelah Timur Kota Garut yang sekarang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Karangpawitan. Namun karena Suci menurut penilaian Bupati Limbangan Adipati Adiwidjaya (1813-1831) tidak cocok untuk dijadikan ibu kota kabupaten, maka ibu kota Kabupaten Limbangan dipindahkan ke daerah Garut. Pada tanggal 1 Juli 1913, berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal tanggal 7 Mei 1913 No.60.LN, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dengan ibu kotanya Garut.55 Kabupaten Garut pada waktu itu meliputi sembilan distrik yaitu Garut, Bayombong, Cibatu, Tarogong, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk.56
54
Ibid, halaman 194 Staatsblad Van Nederlandsch-Indie No.356: Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie van 7 Mei 1913 No.60 56 Bayu Surianingrat, Op.Cit, halaman 217-218 55
32 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pada tanggal 15 September 1813 diletakkan batu pertama untuk membangun sarana dan prasarana ibukota, yaitu tempat tinggal, kantor, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, penjara, dan alun-alun.57 Di depan pendopo atau antara alun-alun Garut dan pendopo terdapat babancong (panggung permanen) yang berfungsi sebagai tempat untuk berpidato bupati atau para pejabat pemerintah lainnya di depan khalayak ramai. Setelah tempat-tempat tersebut selesai dibangun, maka ibu kota Kabupaten Limbangan dipindahkan dari Suci ke Garut sekitar tahun 1821.58. Pada bulan Agustus 1831 Adipati Adiwijaya wafat, dimakamkan di Kampung Cipeujeuh, lima ratus meter sebelah Selatan Pendopo Kabupaten Garut. Karenanya ia sering disebut sebagai Dalem Cipeujeuh. Penggantinya adalah putranya sendiri, yaitu Raden Jayanegara. Ketika itu ia sedang menjadi Patih Kabupaten Limbangan. Setelah menjadi bupati ia memakai gelar Tumeggung Kusumadinata.59 Kepemimpinan Tumenggung Kusumadinata tidak begitu lama, karena pada tahun 1833 ia mengajukan permohonan untuk menjadi bupati Sumedang. Sedangkan bupati Limbangan-Garut diserahkan kepada menantunya Raden Jayaningrat dengan gelar Adipati Aria Surianatakusumah (1833-1871).60 Pada masa kepemimpinan Adiwijaya dan Surianatakusumah, terdapat beberapa peristiwa penting yang berkaitan langsung dengan Kabupaten Limbangan-Garut. Pertama, dengan surat keputusan Gubernur Jenderal van den Bosch tanggal 18 Oktober 1831, Kabupaten Sukapura, yang dibubarkan oleh Gubernur Jenderal van der Capellen pada tahun 1821, dibentuk kembali dan distrik-distrik yang dimasukkan ke dalam Kabupaten Limbangan dikembalikan ke Kabupaten Sukapura. Kedua, pada tahun 1866 wilayah Asisten Residen
57
Lihat Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Garut, No.3 Tahun 1982 Seri D No.2, halaman 5. Lihat juga Kunto Sofianto, Garoet Kota Intan, (Bandung : Alqaprint Jatinangor, 2001), Cet.Ke-1, halaman 10 58 Kunto Sofianto, Garoet Kota Intan, (Bandung: Alqaprit Jatinangor, 2001), Cet.Ke-1, halaman 11 59 Bayu Surianingrat, Pustaka Kabupaten i Bumi Limbangan Dong Garut, Loc.Cit, halaman 221 60 Ibid
33 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Limbangan-Garut dipisahkan dari wilayah Asisten Residen Sumedang. Wilayah Limbangan-Garut kemudian menjadi Onder-Afdeling dengan seorang Asisten tersendiri. Ketiga, sejak tahun 1849 sebutan “Cutak” sejak Zaman VOC untuk onderdistrik diganti dengan sebutan Wedana.61 Setelah Adipati Aria Surianatakusumah (1833-1871) mangkat, maka pengganti Bupati Limbangan-Garut adalah
Adipati Wiratanudatar VIII. Ia
memerintah Limbangan-Garut cukup lama yaitu dari 1871 hingga 1919.62 Pada masa kepemimpinan Adipati Wiratanudatar VIII inilah nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut dengan ibu kotanya Kota Garut. Perubahan nama kabupaten tersebut didasarkan pada keputusan Gubernur Jenderal tanggal 7 Mei 1913 No. 60 LN.63 Selain
perubahan
nama
kabupaten,
pada
masa
kepemimpinan
Wiratanudatar VIII, terdapat beberapa peristiwa penting lainnya yang berkaitan erat dengan pertumbuhan dan perkembangan daerah Garut sebagai kabupaten. Pertama, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 12 Maret 1893 LN no.83 Sukabarang sebgai onderdistrik yang diperintah oleh wedana dibawah distrik Wanakerta diganti namanya menjadi Cibatu. Onderdistrik yang diperintah oleh wedana biasanya adalah onderdistrik yang menjadi ibu kota. Sukabarang adalah ibu kota distrik Wanakerta. Kedua, berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal 1 September 1901 No.4, LN.No.327 ditentukan batas Afdeling dan Onder-Afdeling berbentuk batas teritorial.64 Implikasinya adalah wilayah-wilayah yang terletak di dalam batas-batas Afdeling harus menjadi wilayah kabupaten. Dengan demikian, maka distrik Batuwangi, Kandangwesi dan Nagara (Pamengpeuk) yang semula merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Sukapura menjadi bagian wilayah Kabupaten Limbangan. Timbanganten, Cikembulan, Cisewu dan Balubur Limbangan yang tadinya masuk Kabupaten Bandung
61
Ibid, halaman 209 Sulaiman Anggapradja, Sejarah Garut dari Masa ke Masa, Op.Cit, halaman 114; dan “Kapan Nama Garut Diabadikan Jadi Nama Kabupaten”, Pikiran Rakyat, 20 September 1978. 63 Lihat Staatsblad Van Nederlandsch-Indie No.356: Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie van 7 Mei 1913 No.60 64 Bayu Surianingrat, Pustaka Kabupaten i Bumi Limbangan Dong Garut, Op.Cit, halaman 1991 62
34 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
menjadi wilayah Kabupaten Limbangan. Begitu juga, onderdistrik Malangbong dan Lewo menjadi wilayah kabupaten Limbangan.65 Kemudian berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 7 Mei 1913 No.60 LN ditetapkan tidak ada lagi onderdistrik yang diperintah oleh Wedana. Wedana hanya memerintah distrik. Selanjutnya onderdistrik yang diperintah Wedana menjadi distrik. Perubahan ini bersamaan dengan berubahnya nama kabupaten dari Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut yang meliputi distrik-distrik : 1) Garut, 2) Bayongbong, 3) Cibatu, 4) Tarogong, 5) Leles, 6) Balubur-Limbangan, 7) Cikajang, 8) Bungbulang, dan 9) Pameungpeuk.66 Sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, seluruh kabupaten yang terletak di Priangan disebut Residentie Preanger Regentschappen. Dan berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tahun 1923,
karesidenan Priangan
dibagi menjadi tiga, yaitu 1) West-Priangan (Priangan Barat) yang meliputi Sukabumi, Cianjur dan Sumedang; 2) Midden-Priangan (Priangan Tengah) yang meliputi kabupaten Bandung dan Sumedang; 3) Oost-Priangan (Priangan Timur) yang meliputi Kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.67 Namun pembagian wilayah Priangan menjadi Priangan Barat, Priangan Tengah, dan Priangan Timur hanya berlangsung delapan tahun, sesuai dengan keputusan Gubernur Jenderal 15 Oktober 1931 no.16 LN, no 425 dirubah lagi menjadi
1) Residensi Bantam (meliputi kabupaten Pandeglang, Lebak dan
Serang); 2) Residensi Batavia (meliputi kabupaten Batvia, Karawang, dan Meesterkornelis); 3) Residensi Buitenzorg (meliputi kabupaten Buitenzorg, Sukabumi dan Cianjur); 4) Residensi Priangan (meliputi kabupaten Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis); 5) Residensi Cirebon meliputi kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan.68
65
Ibid Ibid 67 Lihat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat, (Bandung : Pemda I Jawa Barat, 1993), halaman 306 68 Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat,Ibid, halaman 307 66
35 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Delapan tahun setelah turun keputusan Gubernur Jenderal yang membagi lima karesidenan, pada tahun 1939 muncul keputusan Gubernur Jenderal tanggal 8 Januari 1939 No.3 LN No.17 yang berisi tentang penghapusan distrik dan onderdistrik dan penggantian nama wilayah Kabupaten Garut, yaitu 1) distrik Balubur Limbangan dihapus menjadi onderdistrik atau “Kecamatan Balubur Limbangan termasuk distrik Lelles; 2) Onderdistrik Sadang, Lewo, Banjarwangi, Nangkaruka, Cibaregbeg dihapuskan dan dimasukkan ke dalam onderdistrik yang berbatasan;
dan
3) Nama onderdistrik “Nangkapait” diganti menjadi
“Sukawening” dan onderdistrik “Bojong Salam” menjadi Banyuresmi.69 Nama Sukawening dan Banyuresmi, pada masa pemerintahan sekarang menjadi nama kecamatan. Kecamatan Sukawening berada di daerah bagian Timur Kota Garut, pada tahun 1963 daerah ini merupakan bagian dari Kecamatan Wanaraja. Dengan demikian, Kabupaten Garut meliputi distrik-distrik sebagai berikut : 1) Distrik Garut, 2) Distrik Bayongbong, 3) Distrik Tarogong, 4) Distrik Cibatu, 5) Distrik Leles, 6) Distrik Cikajang, 7) Distrik Bungbulang, dan 8) Distrik Pameungpeuk. Sedangkan Onderdistriknya atau kecamatan berjumlah
dua
puluh
tiga
onderdistrik
(kecamatan)
hingga
adalah
runtuhnya
pemerintahan Hindia Belanda tahun 1942. Kedua puluh tiga onderdistrik itu adalah: 1) Garut, 2) Karangpawitan, 3) Wanaraja, 4) Bayongbong,
5) Cilawu, 6)
Cisurupan,
10)
7)
Tarogong,
8)
Banyuresmi,
9)
Samarang,
Cibatu,
11) Malangbong, 12) Sukawening, 13) Leles, 14) Kadungora, 15) Balubur Limbangan, 16) Cikajang, 17) Singajaya,
18) Bungbulang,
19) Cisewu,
20) Pakenjeng, 21) Pameungpeuk, 22) Cisompet, dan 23) Cikelet. Peristiwa menyerahnya Pemerintah Hindia Belanda kepada tentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati Subang, Jawa Barat, maka berakhirlah pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Selanjutnya Jepang menguasai seluruh tanah jajahan hindia Belanda. Tanggal 7 Maret 1942 Lembang sebagai benteng Belanda di Bandung jatuh ke tangan tentara Jepang, maka praktis Kota Bandung pun dapat dikuasai oleh tentara Jepang. Setelah kota Bandung dapat diduduki 69
Sulaiman Anggapradja, Sejarah Garut dari Masa ke Masa, halaman 171
36 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tentara Jepang, kemudian tentara Jepang menduduki seluruh kota di Jawa Barat. Pasukan tentara Jepang masuk ke kota Garut diperkirakan pada pertengahan bulan Maret 1942 melalui Stasiun Kereta Api Kota Garut, stasiun Cibatu, Perkebunan Pangalengan, dan melalui jalan raya Tarogong dengan memakai kendaraan bermotor, sepeda dan berjalan kaki. Setelah menguasai Kota Garut, Tentara Jepang kemudian mengambil alih semua instansi, perusahaan, dan perkebunan Belanda, baik yang ada di dalam kota maupun di luar kota seperti Waspada dan Miramare. Dan untuk mencegah kekosongan
dalam
pemertintahan,
maka
Pemerintah
Tentara
Jepang
mengeluarkan pasal 3 Osamu Seirei (UU Osamu) 1942 No.1 . Berdasarkan Undang-Undang Osamu 1942 itu, ditentukan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum, dan UU dari pemerintah yang terdahulu (Pemerintah Hindia Belanda) tetap berlaku untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan tata aturan pemerintahan tentara Jepang.70 Dilihat dari isi peraturannya, Undang-Undang tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Tentara Jepang masih mengakui dan mempergunakan struktur pemerintahan tradisional warisan Hindia Belanda. Hanya istilah saja yang berbeda, yaitu Muh. Moesa Suria Karta Legawa sebagai bupati disebut dengan sebut “Kenco Musa” yang tetap diberi wewenang untuk mengurus rakyatnya atas pengawasan Pemerintah Tentara Jepang.71 Demikian pula para pemimpin di bawah “kenco” (bupati) seperti wedana menjadi “gunco”, camat menjadi sonco, kepala desa menjadi gunco. Mereka tetap diakui kekuasaan atas daerahnya untuk menjaga kestabilan pemerintahan. Pemerintah Tentara Jepang mengharapkan bahwa dengan menggunakan struktur pemerintahan tradisional, mereka tetap akan membantu
Jepang
dalam
menghadapi
Perang
Asia
Timur
Raya
dan
mempermudah komunikasi antara pemimpin dengan rakyat yang nantinya berfungsi sebagai alat propaganda Jepang.72
70
Bayu Surianingrat, Sejarah Pemerintahan di Indonesia Babak Hindia Belanda dan Jepang, (Jakarta : Dewa Ruci Press, 1981), cet. Ke-1. Lihat jugaKunto Sofianto, Op.Cit.halaman 67 71 Kunto Sofianto, Garut Kota Intan, Op.Cit, halaman 68 72 Ibid, halaman 69
37 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Setelah cukup stabil, kemudian Pemerintah Tentara Jepang mengeluarkan UU No.27 tentang peraturan pemerintah daerah dan UU No.28 tentang aturan pemerintah “syu” dan “tokubetsusyi” maka susunan pemerintah daerah yang berlaku pada masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda mengalami perubahan. Perubahan itu berupa dihapuskannya “dewan perwakilan rakyat daerah” (regentschap/stadgsgemeente raad), “dewan pemerintah daerah” (college van burgemeesteren wethou-derrs). Selain itu, pemerintah tentara Jepang mengeluarkan UU Osame Seirei No.13 tanggal 29 April 1943 untuk menentukan bolehnya pemerintah tingkat daerah (ken) membuat peraturan tentang cara membuat dan mengenakan pajak, uang sewa, upah, uang wajib, dan mengawasi harta kekayaan pemerintah tingkat daearah (ken). Akan tetapi peraturan-peraturan mengenai pekerjaan “ken” itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini karena Pemerintah Tentara Jepang pada masa itu lebih mencurahkan perhatiannya untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya. Karena itu, Muh. Musa sebagai “kenco” (bupati) Garut menentang kebijakan Pemerintah Tentara Jepang. Akibatnya ia diturunkan dari jabatan bupati dan dijadikan tahanan rumah oleh tentara Jepang. Sebagai gantinya adalah Endung Suriaputra (1944-1945). Namun ia pun menjabat bupati tidak lama, sebab beberapa bulan kemudian di tahun 1945, tanpa alasan yang jelas dia diganti oleh Rd. kalih Wiramihardja.73 Memasuki zaman kemerdekaan tahun 1945, sesuai dengan intruksi yang digariskan oleh pemerintah pusat dan setelah Komite Nasional Daerah (KNID) wilayah Priangan terbentuk, pada tanggal 2 September 1945 diadakan pertemuan secara simultan di lima kabupaten, yaitu di Kabupaten Bandung, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, dan Ciamis, guna membentuk Komite Nasional Daerah (KNID) masing-masing.74 Komite Nasional Daerah (KNID) adalah berfungsi sebagai badan legislatife di daerah dengan dipimpin oleh kepala daerah. KNID Garut pada waktu
73 74
Dokumen PSII-Cabang Garut, koleksi pribadi K.H.Sirad, aktifis PSII, halaman 102 Ibid, halaman 103
38 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
itu beranggotakan tujuh orang, yaitu K.H. Musadad, Yusuf Taojiri, Dana Atmaja (PSII),
Surawijaya
(Paguyuban
Pasundan),
Wira
(PKI),
Muh.
Fazri
(Muhamadiyah), dan Ganda Atmaja (PSI). Berdasarkan pengangkatan pusat dan KNID Garut, maka Raden Kalih Wiriamihardja diangkat menjadi Bupati Garut. Raden Kalih Wiriamihardja memerintah selama tiga tahun, karena setelah Agresi Belanda I tanggal 21 Juli 1947, NICA (Netherlands Indies Civil Administration) mengangkat Tumenggung Agus Padmanagara sebagai Bupati Kabupaten Garut (1948-1949). Dan selang beberapa bulan ia diganti oleh Tumenggung Kartahudaya (1949-1950), yaitu setelah beberapa bulan Garut menjadi bagian Negara Pasundan.75 Pada tanggal 11 Maret 1950 Negara Pasundan dibubarkan dan seluruh wilayahnya dikembalikan kepada Republik Indonesia, maka Garut pun menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Pembubaran ini didasarkan pada keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS), No.113 tahun 1950. Selanjutnya, berdasarkan pengangkatan dan persetujuan Pemerintah Pusat, Raden Mohamad Sabri Kartosomantri diangkat Bupati Garut yang memerintah dari tahun 1950 sampai 1955. Kemudian berdasarkan Pemilu pertama tahun 1955, Raden Mohamad Noh Kartanegara terpilih sebagai Bupati Kabupaten Garut (1955-1959). Setelah menjabat lima tahun Mohamad Noh Kartanegara diganti Gahara Wijaya Suria (1959-1966). Pada masa pemerintahan Gahara Wijaya Suria inilah peristiwa kerusuhan anti Cina melutus di Kota Garut pada 17-18 Mei 1963. Dalam perkembangan selanjutnya, Kabupaten Garut tumbuh dan mengalami perubahan dalam berbagai bidang. Seiring dengan bertambahnya waktu berbagai dinamika dalam kehidupan masyarakat terus berlangsung, baik yang diharapkan maupun yang tidak sehingga perubahan terus terjadi di semua sektor. Semenjak mangkatnya Bupati Gahara Wijaya, sampai saat ini periode reformasi Kabupaten Garut telah diperintah oleh 24 Bupati dari kalangan militer maupun sipil.76
75 76
Ibid, halaman 104 Lihat Potret Bupati Garut dari Masa ke Masa, Dokumen Pemerintah Daerah II Garut.
39 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
2.2.3. Perkembangan Fisik Kota Semenjak dibukanya Kota Garut oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1813 menunjukkan bahwa Kota Garut pada waktu itu merupakan kota pegunungan
yang terpencil, sebuah lembah yang dikelilingi gunung-gunung.
Sampai dengan tahun 1906 wilayah kota yang cukup ramai pada waktu itu adalah sebelah timur dari Jalan Ciwalen ke arah barat sampai Jalan Pasar Baru, sebelah utara dari Jalan Guntur ke arah selatan sampai Jalan Talaga Bodas (sekarang Jalan Ahmad Yani). Di sekitar persimpangan Jalan Talaga Bodas dan Jalan Ciledug (Jl.KH.Mustafa Kamil) merupakan pusat kota Garut yang disebut Pengkolan (Bahasa Sunda, artinya Tikungan atau Belokan).77 Menurut Kunto Sofianto perkembangan fisik kota Garut dari awal hingga tahun 1960-an mengikuti tiga pola perkembangan, yaitu linier, konsentris, dan inti berganda.78 Perkembangan secara linier terjadi antara 1813-1920. Pada masa itu setelah dibukanya kota Garut banyak didirikan bangunan-bangunan oleh Pemerintah
Kolonial
Belanda
berhubungan
erat
dengan
kepentingan
pemerintahan, investasi dalam usaha perkebunan. Pengelompokan pemukiman penduduk terutama berlokasi di sekitar Alun-alun Garut dan memanjang ke arah timur di sepanjang Jalan Societeit Straat (sekarang Jl.Ahmad Yani).79 Perkembangan kota Garut selanjutnya berubah dari linier menjadi konsentris, yaitu Central Bussiness District (CBD) merupakan pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat aktifitas, terjadi antara 1920-1940. Perubahan terjadi ditandai dengan berdirinya berbagai fasilitas kota seperti stasion kereta api, kantor pos, apotik, sekolahsekolah, hotel-hotel, pertokoan, dan pasar. Setelah dibangunnya berbagai fasilitas tersebut kota Garut tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga pusat pendidikan, perekonomian, dan tempat pariwisata.80
77
Buku Kenang-Kenangan Reuni Sekolah Chung Hua Chung Hui tahun 2007, halaman 8 Kunto Sofianto, Loc.Cit. halaman 11 79 Ibid,halaman 12 80 Menurut Teori Konsentris (Burgess,1925) Daerah Pusat Kegiatan (DPK) atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, 78
40 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Perkembangan Kota Garut antara 1940-1960, lanjut Kunto, cenderung mengikuti teori inti berganda atau pusat berganda. Menurut teori ini Daerah Pusat Kegiatan (DPK) atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu “growing points”. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan. Dalam teori pusat berganda terdapat banyak Daerah Pusat Kegiatan (DPK) atau Central Bussiness District (CBD) dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar. Perkembangan Kota Garut terus bergulir mengikuti perkembangan zona perdagangan,
pendidikan,
pemukiman
dan
pertumbuhan
penduduk.
Perkembangan paling mencolok dalam pertumbuhan fisik di kota Garut adalah diakibatkan oleh pertambahan pemukiman penduduk yang terus meningkat sejak zaman Kemerdekaan RI 1945 sampai Reformasi. Kepadatan pemukiman itu bukan hanya di pusat kota saja, yaitu di Jalan Ahmad Yani dan Alun-alun tetapi juga menyebar di daerah-daerah yang dekat dengan pusat kota, terutama wilayah Desa Kota Kulon dan Desa Kota Wetan. Kepadatan pemukiman penduduk terus meningkat pada masa pemberontakan DI/TII 1949-1962. Pada waktu itu banyak pengungsi yang datang dan menetap tinggal Kota Garut. Para pengungsi tersebut datang dari berbagai daerah di luar Kota Garut karena mendapat gangguan dari gerombolan DI/TII. Mereka menyebar di seluruh penjuru Kota Garut meminta perlindungan dari pihak pemerintah Republik Indonesia. Sebagai akibat datangnya para pengungsi dari daerah-daerah yang masih termasuk wilayah Kabupaten Garut seperti Limbangan, Malangbong, Cibatu, Wanaraja, Samarang, Bayongbong, Cikajang, Bungbulang dan Pameungpeuk, maka tanah-tanah kosong di wilayah Kota Garut berubah menjadi pemukiman penduduk baru seperti Sukadana, Sirah Situ, Babakan Adria, Paledang, Gunung yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
41 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Lumbung, Dayeuh Handap, Loji, Sindang Heula, Pajagalan, Bentar, Cibeulik, dan Babakan Cianjur. Selain karena faktor pengungsi dari luar kota, meningkatnya pemukiman di Kota Garut juga diakibatkan oleh meningkatnya jumlah penduduk Kota Garut secara alamiah. Ditambah pula banyaknya pendatang dari daerah lain, baik dari daerah kecamatan di Kabupaten Garut maupun dari kota-kota lain turut pula memadati pemukiman di Kota Garut. Mereka datang ke Kota Garut umumnya bermaksud menikmati fasilitas kota seperti pekerjaan dan pendidikan. Para pendatang dari kota-kota lain umumnya menjadi pedagang kecil seperti jamu gendong dan tukang baso dari Solo serta tukang kriditan barang dari Tasikmalaya. Lingkungan pemukiman baru tersebut selain memadati pusat kota, juga mulai tumbuh memadati pinggiran jalan regional menuju Bandung dan Tasikmalaya dan jalan subregional menuju daerah-daerah kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu Jalan menuju Samarang, Bayongbong, Cisurupan, Cikajang, Banyuresmi dan Cibatu. Akibatnya dari pertubuhan pemukiman ini membentuk pola finger City.81 Di dalam pola pemukiman seperti ini tumbuh pula pertokaan dan warung, pertukangan, dan home industry. Semenjak dibukanya banyak jalan baru di sekitar kota Garut pada zaman Bupati Taufik Hidyat )1983-1988( dan dipindahkannya pusat pemerintahan daerah dari wilayah Garut Kota ke wilayah Tarogong Kidul pada zaman Bupati Toharudin Gani (1993-1998), maka perkembangan fisik kota mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Pusat keramaian kota tidak lagi bertumpu di Pengkolan (Jalan Ahmad Yani, Jl.Ciledug, dan Jl. Siliwangi ) tetapi meluas ke daerah-daerah kecamatan yang berdekatan dengan Kecamatan Garut Kota, yaitu Kecamatan Tarogong Kidul dan Kecamatan Tarogong Kaler di sebelah Barat dan Utara, dan meluas ke daerah Kecamatan Karangpawitan sebelah Timur Garut Kota. Sesuai dengan perkembangan dan perencanaan tata kota Garut, maka zona-zona pendidikan dan pemerintahan tidak lagi berada di Kecamatan Garut 81
Rencana Garis Besar Tata Kota Garut I Tahun 1974-2000, Pemerintah Daerah II Garut, halaman 192. Juga lihat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah 2005-2005 Kabupaten Garut.
42 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kota.82 Zona pendidikan berangsur-angsur pindah ke daerah Tarogong Kaler. Begitu juga perkantoran banyak yang pindah dari Garut Kota ke daerah Tarogong Kaler dan Tarogong Kidul. Kantor Pengadilan Negeri dan Kaporles, Kantor Pengadilan Agama dan Lembaga Pemasyarakatan (yang semula berada di depan Alun-alun) pindah ke daearah Tarogong Kaler. Begitu juga sentra-sentra oleh-oleh (pertokoan yang menjual khas oleh-oleh Garut) yang tadinya hanya berada di daerah Jl.Ahmad Yani dan Jl. Ciledug, secara alamiah dan bertahap memenuhi sepanjang jalan regional menuju Bandung di daerah kawasan Tarogong Kaler. Karena semakin bertambahnya jumlah pemukiman di Kabupaten Garut, yaitu berupa munculnya kompleks perumahan-perumahan baru di daerah Garut Kota, Karangpawitan, Tarogong Kidul dan Tarogong Kaler, ditambah pula belum adanya tata ruang yang dikeluarkan Pemerintah Daerah II Garut, maka perkembangan Kota Garut semenjak tahun 2003 sampai tahun 2010 tidak tertata secara rapi. Salah satunya tidak rapinya tata kelola kota adalah penataan wilayah perkotaan yang tidak memiliki lahan terbuka hijau dan penataan saluran air atau drainase yang baik. Bahkan banyak rumah warga di perkotaan yang didirikan di daerah terlarang seperti rumah-rumah yang didirikan di bantaran Sungai Cikendi dan Sungai Cimanuk.83
2.2.4. Penduduk Kabupaten Garut
Seiring dengan perubahan dan perkembangan daerah administrasi, penduduk Kota Garut pun terus bertambah. Menurut catatan Encyclopedie van Nederlanndsch-Indie, jumlah penduduk Kota Garut pada tahun 1915 adalah 15.000 orang.84 Lima belas tahun kemudian, yakni tahun 1930, penduduk Kota Garut berjumlah 33.612 orang, yang terdiri dari bangsa bumiputra 31.373 orang,
82
Ibid Harian Tenpo, “Tanpa Rencana Tata Ruang Kota Garut Amburadul,” 27 Oktober 2010 84 Encyclopedie van Nederlandsch-Indie, Tweede Druk Eerste Deel, S-Gravenhage Martinus Nijhoff, Leiden, 1917, halaman 740. Lihat juga Bayu Surianingrat, Pustaka Kabupaten i Bhumi Limbangan Dong Garut, Loc.Cit, halaman 235-236 83
43 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
bangsa Eropa 454 orang, Cina 1.683 orang, dan Timur Asing lainnya (Arab, India, dan Jepang) 102 orang.85 Berdasarkan data tersebut menunjukkan penduduk Garut sejak semula dihuni oleh kelompok pribumi yang merupakan etnis Sunda. Sulit untuk mendapatkan data yang rinci mengenai asal usul etnis Sunda Garut berdasarkan daerah asalnya, karena sensus yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda hanya mengelompokkan
penduduk Garut berdasarkan etnis secara global.
Akibanya keragaman suku dan asal usul daerah yang lebih spesifik tidak dapat ditelusuri lebih jauh. Walaupun didominasi oleh etnis Sunda, sejak semula Kabupaten Garut telah terbentuk dari masyarakat yang majemuk atau masyarakat plural (plural society). Furnival menjelaskan bahwa ciri khusus dari zaman kolonial umumnya adalah terdapat kumpulan penduduk yang terdiri dari etnis yang berbeda-beda dan bertempat tinggal secara terpisah satu sama lainnya tanpa kemauan bersama, kecuali dibawah kemauan politik kolonial yang sangat diskriminatif.86 Orang Eropa merupakan kelompok penduduk yang umumnya adalah orang-orang Belanda yang datang ke Garut pada abad ke-19 ketika Kabupaten Limbangan dibentuk kembali. Sekitar pertengahan abad ke-19, mereka membuka perkebunan swasta di daerah Gunung Papandayan, Giriawas, Cisaruni, Cikajang, dan Darajat.87 Kemudian di antara tahun 1900-1928 mereka bersama orang-orang Inggris, Italia, Jerman dan Cina membuka perkebunan karet dan teh di daerah Cilawu, Cisurupan, Cikajang, Pakenjeng, Cisompet, Pamengpeuk dan Cikelet.88 Di antara orang Belanda yang membangun perkebunan dan pertanian di daerah Garut adalah K.F.Holle. Ia datang ke daerah Garut sekitar tahun 1843 M
85
Volkstelling 1930, Deel I Inheemsche Bevolking van West Java : Census of 1930 in Netherlands India Volume I Native Population in West-Java, Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, Landsdrukkeriji, Batavia, 1933, halaman 115. Lihat juga Kunto Sofianto, Garoet Kota Intan, Op.Cit, halaman 17. 86 J.S. Furnivall, Netherlands Indie : A Study of Plural Economy, (New York : Fordham University Press, 1957), halaman 122 87 Sulaiman Anggapradja, Sejarah Garut dari Masa ke Masa, Loc.Cit, halaman 135-136 88 Sulaiman Anggapradja, Ibid, halaman 149-150
44 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
membuka perkebunan teh, kina, karet di Waspada (sekarang masuk wilayah Kecamatan Cikajang), Panembong (sekarang Bayongbong), seluas 552,6098 ha.89 Orang-orang Cina dan Timur Asing lainnya seperti orang Arab dan India (Pakistan) datang ke kota Garut dalam waktu yang berbeda. Orang Cina dan Arab datang ke Kota Garut pada abad ke-19. Orang Cina mulai tinggal di Kota Garut pada kira-kira pada tahun 1838 di daerah sekitar Sukaregang Hilir berdampingan dekat dengan kampung Ciwalen90, yaitu kira-kira lima ratus meter dari daerah Pengkolan. Sedangkan orang India (Pakistan) datang ke Kota Garut pada abad ke20. Diperkirakan orang-orang India datang ke Kota Garut sekitar tahun 1920-an.91 Dalam perkembangan selanjutnya pluralitas penduduk Garut terus bergulir sesuai dengan perubahan zaman dan kemajuan daerah Garut. Orang Cina merupakan penduduk minoritas terbesar di Kabupaten Garut. Memasuki tahun 1960-an jumlah penduduk etnis Cina di Kota Garut diperkirakan sekitar tujuh ribu orang, yang terdiri dari Cina totok dan kaum peranakan yang lahir dan dibesarkan di Kota Garut.92 Meskipun banyaknya orang Cina yang migrasi ke Singapura, Hongkong, RRC, Taiwan dan daerah-daerah lainnya di Indonesia, terutama setelah diberlakukannya PP.No.10 tahun 1959 pada tahun 1960 dan peristiwa kekerasan anti Cina yang terjadi pada 17-18 Mei 1963. Posisi orang Cina tetap merupakan kelompok minoritas terbesar di Kabupaten Garut sampai tahun 1987. Menurut data Statistik Propinsi Jawa Barat jumlah orang Cina di Garut mencapai 1.977 jiwa yang terdiri dari 1.030 laki-laki dan 947 perempuan.93 Bahkan jika dibandingkan dengan jumlah orang Cina di seluruh kabupaten di Jawa Barat pada waktu itu, jumlah orang Cina di Garut merupakan kelompok terbesar, sedikit dibawah jumlah orang Cina di Kota Madya Bogor yang berjumlah 2.102 jiwa.94
89
Ibid, halaman 136-137 Ibid, halaman 137 91 J.Z.van Dyck, Garoet en Omstreken Zwerftoch ten door De Preanger, (G.Kolft & Co, Batavia Weltevreden, 1922), halaman 64 92 Tabulasi Data Kasi I Kodim 016 Garut tahun 1964, diperkuat oleh Ten Liep Kie ( 72 tahun, Korban Kerusuhan) pada tanggal 12 Desember 2012, Tong Liang Chiang (76 tahun, Korban ) pada tanggal 17 Desember 2012. 93 Lihat Jawa Barat Dalam Angka 1987, halaman 27 94 Ibid, halaman 27 90
45 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
2.2.5. Perekonomian Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sektor pertanian merupakan mata pencaharian pokok penduduk bumiputra (pribumi). Hal ini disebabkan tingkat pendidikan masyarakat pada waktu itu sangat rendah sehingga tidak memungkinkan untuk bekerja di sektor lainnya seperti pada bidang pemerintahan dan perdagangan. Selain itu, ditunjang juga oleh kondisi geografis Kabupaten Garut yang sangat cocok untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Kabupaten Garut adalah salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki iklim tropis basah (humid tropical climate) yang dipengaruhi oleh pola sirkulasi angin musiman, topografi regional yang bergunung-gunung dan elevasi topografi dengan curah hujan rata-rata setiap tahun berkisar antara 2.589 mm dengan bulan basah sembilan bulan berturut-turut dan bulan kering berkisar tiga bulan berturut-turut. Dengan kondisi geografis seperti ini, dimana curah hujan cukup tinggi, dan ditunjang dengan banyaknya aliran sungai yang bermuara ke pantai Utara dan pantai Selatan Jawa maka sebagian besar dari luas wilayah Kabupaten Garut dipergunakan untuk lahan pertanian. Pertanian yang utama adalah menanam padi (Sunda, padi = pare). Alat pertanian yang digunakan relatif masih sederhana, yaitu menggunakan cangkul (Sunda, cangkul = pacul), bajak kerbau. Alat-alat tersebut biasanya digunakan oleh kaum laki-laki, sedangkan kaum wanita melakukann pekerjaan menuai, menanam, dan menyiang. Di samping bertani, penduduk pribumi juga berternak seperti berternak kambing, kerbau, ayam, klinci dan yang lainnya. Usaha berternak yang dilakukan penduduk pribumi itu hanyalah sampingan, bukan untuk dijual. Ayam atau kambing dipelihara untuk kebutuhan makan daging pada acaraacara tertentu. Sedangkan kerbau dipelihara untuk membantu pekerjaan membajak sawah (Sunda : ngagaru). Perubahan mata pencaharian di kalangan penduduk bumiputra (pribumi) mulai terjadi setelah datangnya para pendatang dari luar Kota Garut sekitar awal tahun 1900-an yang akhirnya menetap dan melakukan usaha dagang di Kota
46 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Garut,95 yaitu dari Cirebon, Pekalongan, Kudus, Solo dan negeri Cina. Perubahan juga terjadi setelah orang-orang Eropa membuka perkebunan yang diimbangi dengan pembukaan hotel-hotel seperti Hotel Papandayan (foto no 1), Vila Dolce, Belvedere, Van Hengel, dan hotel Malayu.96 Selanjutnya pada tahun 1933 dibuka pabrik tenun bernama Preanger Bont Weverij atau Pabrik Tenun Garut (PTG).97 Jumlah pegawai di pabrik tenun tersebut sejak tahun 1933 sampai 1948 adalah berjumlah 1500 orang berasal dari Kota Garut dan daerah-daerah di luar Kota Garut seperti Tarogong, Samarang, Wanaraja, dan Leles. Meskipun terdapat perubahan seperti telah dijelaskan di atas, namun jika dilihat dari struktur ekonomi yang berkembang sektor pertanian merupkan sektor yang dominan dalam perekonomian Kabupaten Garut. Hal ini dapat dimengerti karena sektor pertanian dengan pengelolaan yang cenderung masih tradisional, tidak tergantung pada bahan inpor dan berbasis teknologi sederhana merupakan usaha yang banyak digeluti oleh masyarakat Garut. Dari sisi penciptaan nilai tambah, kecepatan sektor ini dalam menciptakan nilai tambah sangatlah lambat dibandingkan dengan sektor lainnya terutama industri manufaktur, sehingga tidaklah mengherankan jika pertumbuhan ekonomi Kabupaten Garut cenderung sangat lamban.98 Aktifitas pertanian yang dilakukan sebagian besar penduduk Garut, sejak zaman kolonial Belanda adalah bercocok tanam padi. Sedangkan yang lainnya adalah bercocok tanam palawaja (sayur mayur, umbi-umbian dan buah-buahan). Daerah pesawahan yang terluas berada di wilayah Garut Utara dan Tengah, meliputi kecamatan Malangbong, Limbangan, Lewi Goong, Leles, Kadungora, Cibatu, Banyuresmi, Tarogong, Bayongbong, Wanaraja, dan Karangpawitan. Sedangkan daerah penghasil palawija terkonsentrasi di daerah Cikajang dan 95
Diantaranya adalah Haji Iton dari Cirebon. Ia sukses sebagai pengusaha dodol, dan mendirikan Pabrik Dodol Piknik di Jalan Pasundan. 96 Pada masa Revolusi, Hotel Melayu pernah dijadikan markas laskar Hizbullah dan Sabilillah. Lihat, Asep Achmad Hidayat, Peranan Kaum Tijaniyin Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, Lemlit UIN Bandung, 2009, halaman 25 97 Sekarang Menjadi pusat perbelanjaan BIC Garut dan Ramayana, berlokasi di Jalan Guntur. 98 Indikator Makro Kabupaten Garut Tahun 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Garut, halaman 26-27
47 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Samarang. Kedua daerah tersebut pada era Reformasi dipecah menjadi dua wilayah administratif yaitu Kecamatan Cikajang, Cisurupan, Samarang dan Pasirwangi. Memasuki tahun 1960-an, sektor pertanian tetap merupakan mata pencaharian utama penduduk pribumi terutama di daerah pedesaan. Karena itu ketika tahun 1960-an muncul berita yang merebak di tengah-tengah masyarakat Garut, khususnya kaum tani, bahwa banyak orang Cina Hoakiau (Cina Perantauan) dari Kota Garut yang telah membeli lahan pertanian sawah dan lahan “palawija” di daerah-daerah basis pertanian seperti Wanaraja, Cilawu dan Cikajang maka suasana masyarakat Garut pada waktu itu diliputi keresahan dan kekhawatiran serta kebencian yang sangat mendalam terhadap orang-orang Cina yang berada di Kota Garut. Kebanyakan tanah pertanian seperti sawah dan ladang yang dibeli oleh orang-orang Cina pada waktu itu adalah tanah-tanah pertanian milik para petani kecil yang pemiliknya terlilit hutang rentenir keturunan Tionghoa.99 Sementara itu orang pribumi yang bergerak di sektor lain pada waktu itu sangat sedikit jumlahnya. Kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh di Pabrik Tenun Garut (PTG), berdagang, guru, tentara, dan polisi, pelayan toko, dan buruh di beberapa pabrik kecil milik orang-orang Cina di Kota Garut. Khusus untuk bidang perdagangan, terutama pertokoan dan pasar, mendapat saingan ketat dari orang-orang Cina di Kota Garut. Pada umumnya kaum pribumi hanya menjadi pedagang kecil seperti warung dan pedagang keliling. Orang pribumi yang bergerak di bidang pertokoan pada tahun 1963 hanya satu orang yaitu pemilik toko PKS (pakaian) di Jalan Cikuray.
Begitu juga
pedagang pasar di Pasar Guntur Garut, orang-orang pribumi mendapat saingan ketat dari para pedagang Cina. Mereka tidak hanya menguasai perdagangan bahan-bahan pokok seperti beras, minyak sayur, terigu, dan ikan asin, mereka juga menguasai lapak-lapak (jongko) dan kios yang strategis seperti lapak-lapak atau
99
Achmad Zacky Siradj, Jendela Masa Depan, Pengkaderan, Kaum Terpelajar dan Kebangsaan, (Jakarta : Aliansi Kebangsaan, 2013), Cet.Ke-1, halaman 31
48 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
jongko yang berjejer di depan Jalan Guntur dan Jalan Pasar Baru. 100 Bahkan komuditas khas Garut, yaitu buah kesemek dari Cikajang, juga tidak luput dari penguasaan orang-orang Cina. Perdagangan buah kesemek, baik buah yang masih segar maupun selenya, dikuasai sepenuhnya oleh orang-orang Cina Ciwalen (sekitar Klenteng Garut). Buah tersebut diangkut dari Cikajang menggunakan kereta api jurusan Garut-Cikajang dan selanjutnya didistribusikan untuk dijual di daerah Garut itu sendiri dan daerah lainnya di luar Kota Garut, terutama didistribusikan untuk dijual di Kota Bandung dan Jakarta.101 Di Kota Garut upah minimum yang diperoleh oleh seorang buruh Pabrik Tenun Garut (PTG) yang teratur pada tahun 1960-an adalah Rp.20,00 setiap hari. Sebagian dari mereka menerima lebih dari upah tersebut. Informasi yang diperoleh dari Endang (76 tahun) mantan pegawai Pabrik Tenun Garut (PTG) menyebutkan bahwa sebagian besar dari para pegawai tersebut menerima antara Rp.15,00 dan Rp.20,00 setiap hari selesai bekerja.102 Upah tersebut didapatkan setelah bekerja selama tujuh jam setiap harinya. Selain mendapatkan upah berupa uang, para pekerja di PTG juga mendapatkan jatah beras dan jaminan sosial seperti perawatan apabila mereka sakit. Namun bagi para pekerja di pabrik-pabrik kecil milik orang Cina, jaminan sosial tidak didapatkan. Bahkan upah per hari yang didapatkan mereka adalah dibawah upah minimun yang diberlakukan di PTG. Pada umumnya para pekerja yang bekerja di beberapa pabrik milik orang Cina seperti di pabrik tapioka, tahu dan tempe, pabrik sereh wangi dan teh, mereka hanya mendapat upah sebesar Rp.14,00 sampai dengan Rp.17,00. Karena itulah jika waktu musim tanam sawah dan panen datang (macul/mencangkul, ngawaluku/meratakan tanah dengan 100
Wawancara dengan Emed (69 tahun, mantan pegawai PTG) pada tanggal 12 Februari 2009, Endang (77 tahun, mantan pegawai PTG) dan Enen (70 tahun, mantan pegawai PTG Garut) pada tanggal 5 Oktober 201, dan Ahman (87 tahun, mantan mantri pasar tahun 1960-an) pada tanggal 19 Agustus 2012 M. 101 Wawancara dengan Ahman (89 tahun, mantan mantri pasar tahun 1960-an), Maman (74 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 18 Maret 2014, dan wawancara dengan Jojo (74 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 17 Maret. 102 Wawancara dengan Emed (69 tahun, mantan pegawai PTG Garut) pada tanggal 12 Februari 2009, Endang (76 tahun, mantan pegawai PTG ) pada tanggal 5 Oktober 2011, dan wawancara dengan Ahin (78 tahun, mantan pegawai tapioka milik orang Cina di Jl. Ciwalen Garut) pada tanggal 18 Oktober 2011 M
49 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
bantuan kerbau, tandur/menanam padi, dan panen) para pekerja pribumi yang bekerja di pabrik-pabrik milik orang Cina kebanyakan memilih cuti untuk bekerja menjadi buruh macul (mencangkul) di kampungnya masing-masing. Sebabnya adalah upah yang diberikan pada lapangan pertanian adalah lebih besar jika dibandingkan dengan upah yang didapatkan di pabrik milik orang Cina. Tukang cangkul (Sunda, cangkul = macul) mendapat upah 2 liter beras dan dua kali makan, tukang weluku (Sunda, weluku = ngawaluku) mendapat jatah dua kali makan dan uang sebesar Rp.25,00. Sedangkan lamanya waktu yang digunakan untuk bekerja hanya empat jam setiap harinya. Selanjutnya, upah buruh kasar yang bekerja di perkebunan-perkebunan seperti di Giriawas Cikajang dan Cisaruni adalah berkisar antara Rp.15, 00 sampai dengan Rp.17,00 setiap harinya. Disamping itu mereka mendapat jatah beras sebanyak 15 liter setiap bulannya. Untuk menutupi kekurangan pendapatannya, mereka melakukan kerja lembur, atau berladang di tanah-tanah milik orang kaya.103 Jika dihubungkan dengan kebutuhan pokok mereka, maka upah buruh tersebut jauh dari mencukupi untuk kehidupan sehari-hari. Pada waktu itu harga beras di Pasaran berkisar antara Rp.7,00 sampai dengan Rp.8.00 per satu kilo gram atau Rp.700,00 sampai 800,00 per 100 Kg (Kwintal). Harga beras setiap 100 Kg (Kwintal) di pasaran bebas adalah sebagai berikut : beras USA Rp.730,00, beras Burma Rp.750,00, beras Cianjur II Rp.860,00, Beras-Slip Rp.850,00, BGA Rp.760,00, beras MA Rp.745,00.104 Harga bahan pokok lainnya juga sangat mahal pada waktu itu. Minyak kelapa atau minyak sayur, misalnya, harganya jauh melambung dari harga beras. Satu canting harga minyak kelapa (minyak sayur) di daerah Garut pada waktu itu mencapai tiga ringgit (3ringgit). Satu ringgit (1 ringgit) setara dengan Rp.2,5,00. Satu canting sama dengan ¼ kg. Jadi, harga satu kilo gram (1kg) minyak kelapa
103
Wawancara dengan Iim (76 tahun, mantan pegawai perkebunan teh Giriawas Cikajang Garut), Inon (76 tahun), mantan pegawai perkebunan teh Giriawas Cikajang Garut), dan dengan Dedi (77 tahun, mantan imploye perkebunan teh Dayeuh Manggung Garut) pada tanggal 20 Oktober 2011. 104 “Harga Beras Di Pasaran Naik Rp.30 Sekwintal”, dalam Merdeka, edisi 7 Mei 1963
50 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
atau minyak sayur pada waktu mencapai Rp.30,00.105 Harga satu canting minyak tanah (minyak lantung) seharga satu ringgit atau setara dengan Rp.2,5, 00. Untuk satu canting minyak tanah (minyak lantung) pada waktu itu setara dengan satu liter.106 Selain mahal harganya, untuk mendapatkan beras dan minyak tanah atau minyak lantung pada waktu itu sangat sulit. “Terkadang harus ngantri (Sunda : ngantay) berjam jam, karena memang kedua barang tersebut sangat sulit di dapat di pasaran”. Demikian kata Asep Mulyana.107 Menurut penuturan Ajum Sutisna (73 tahun, pelaku kerusuhan), Asep Hasbullah (73 tahun, pelaku kerusuhan, dan Maman (74 tahun, pelaku kerusuhan), bahawa dalam tahun 1963 tidak sedikit di antara penduduk pribumi dan keluarganya yang hanya mampu memakan “Nasi Bulgur”108, yaitu sejenis nasi yang dinanak dari beras bulgur. Beras “bulgur”adalah beras yang dicampur dengan bahan “oyek”, yaitu sejenis bahan makanan yang terbuat dari singkong yang dikeringkan dan ditumbuk dalam ukuran kecil. Kemudian apabila dibandingkan dengan nilai uang sekarang Rp.1,00 sebanding dengan nilai uang sebesar Rp.1000,00. Jika upam minimum buruh itu rata-rata Rp.15,00 per hari, maka nilainya sebanding dengan Rp.15.000,00 per hari. Sedangkan harga beras sekarang ini mencapai Rp.8000,00 sampai Rp.9000, 00. Sudah tentu, dengan upah atau gaji sebesar itu, jangankan kebutuhan sandang (pakaian) dan papan (rumah), untuk makan saja tidak akan mencukupi. Karena itu, sebagaimana dituturkan Maman (74 tahun, pelaku sejarah), Asep Mulyana (75 tahun, saksi sejarah), Mak Isah Oleh (102 tahun, saksi sejarah), dan Ajum Sutisna (73 tahun, pelaku sejarah), bahwa tidak sedikit di antara orang pribumi pada waktu itu, terutama di daerah pedesaan, yang menanak nasi dari bahan beras yang dicampur dengan jagung atau oyek.109 Sedangkan lakuk pauknya adalah lalab
105
Wawancara dengan Asep Mulyana (75 tahun, saksi sejarah), Ajum Sutisna (73 tahun, pelaku kerusuhan), Asep Hasbullah (73 tahun, pelaku kerusuhan), dan dengan Maman (74 tahun, kerusuhan) pada tanggal 18 Maret 2014 di Garut. 106 Ibid 107 Ibid 108 Ibid. 109 Ibid
51 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
rumbah, yaitu sayuran yang didapat dari halaman rumah atau pinggir-pinggir sungai seperti daun paku, bayam liar, kangkung liar, dan rumput sintrong.
2. 2.6. Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Garut Meskipun sejak awal berdirinya Kabupaten Garut merupakan salah satu wilayah kolonial yang memiliki ciri plural dengan penduduk yang berasal dari berbagai etnis, namun dipandang dari segi jumlah, penduduk Kabupaten Garut mayoritas dihuni oleh etnis Sunda. Pada tahun 1930 jumlah etnis Sunda di Garut mencapai 663.705 jiwa atau 97% dari jumlah keseluruhan. Selebihnya adalah orang Jawa, Betawi, Cina, Arab, India dan orang Eropa.110 Dengan demikian, adalah logis jika kehidupan masyarakat Garut sangat dipengaruhi oleh sistem sosial dan budaya Sunda. Menurut Dadang Kahmad budaya Sunda adalah budaya religius, sebagai konsekuensi logis dari pandangan hidup orang Sunda yang didasarkan pada ajaran Islam.111 Masyarakat Sunda Garut merupakan masyarakat Sunda Priangan. Secara umum sikap dan prilakunya tidak jauh berbeda dengan Sunda Priangan lainnya seperti Cianjur dan Sukabumi. Mengenai betapa besarnya pengaruh agama Islam dalam masyarakat Sunda Priangan, termasuk masyarakat Garut, adalah sebagaimana terbaca dalam laporan serah terima jabatan Residen Priangan Oosthout. Ia mengatakan bahwa orang Sunda lebih bersemangat dan teguh dalam beragama ketimbang orang Jawa.112 Bagaimana pengaruh ajaran Islam begitu kuat dalam kehidupan masyarakat Garut adalah sebagaimana tercermin dalam ungkapan pribahasa yang sering didengar dalam kehiduapan sehari-hari, dan telah berabad lamanya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ada banyak contoh yang dapat menunjukkan klaim ini, misalnya dingin pinasti anyar pinanggih (sudah
110
Volkstelling 1930 Deel I : Inheemsche Bevolking van West Java, 1933, halaman 152-159 Dadang Kahmad, Agama Islam Dalam Perkembangan Budaya Sunda, (Pusat Penjuaminan Mutu UIN Bandung, 2009), halaman 2 112 Memorie van Overgave (MvO) dari G. Oosthout tanggal 4 November 1907,h. 9, ARA dalam Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, (Yogyakarta : Matabangsa, 2001), Cet.Ke-1, halaman 56 111
52 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
dipastikan dari ajalinya dan bertemu di alam dunia yang baru)113, puasa manggih lebaran (puasa menemukan lebaran), mulih ka jati mulang ka asal (pulang ke hadirat Allah), rejeki tara pahili, bagja teu paala-ala (rizki itu Allah yang menentukan, manusia hanya berusaha),114 ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salogak (hidup rukun dengan sesama), sapapahit samamanis (sependeritaan sepenanggungan),115 dan lainnya. Pengaruh ajaran Islam terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Garut juga terlihat dalam tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Garut seperti tradisi selamatan, pupujian, dan wiridan. Tradisi selamatan adalah tradisi kumpulan orang banyak yang diselenggarakan dalam waktu-waktu tertentu oleh masyarakat Garut khususnya, dan masyarakat Sunda pada umumnya. Aktifitasnya adalah berupa upacara selamatan untuk seluruh keluarga atau kampung dengan cara menggelar doa bersama. Biasanya dipimpin oleh seorang tokoh agama atau tokoh masyarakat yang dituakan. Pupujian ialah senandung yang berisi tentang nasihat-nasihat agama untuk kaum Muslimin. Pupujian biasanya disenandungkan dalam irama tertentu, baik menggunakan bahasa Arab maupun bahasa Sunda. Disenandungkan pada saat sebelum shalat fardu (menunggu jamaah berkumpul) seperti :
Man taraka shalatan homsin Mantaroka muta’amidan Fa jaza uhum fa jaza uhum Jahannam khalidin fiha Saha jalma nu tinggal kana solat Pengaruh ajaran “ taqdir dan qodo” yang dikembangkan teologi al-As’ariayah atau ahl-sunnah wal-jamaah, yang banyak dianut oleh Islam Asia Tenggara. 114 Pengaruh ajaran “al-kasab” (kewajiban berusaha, ikhtiar) dari teologi al-As’ariyah dan alMaturidhiyah yang dikembangkan oleh para ulama penganut mazhab ahl-sunnah wal-jama’ah dan para penganut mazhab fiqh Syafi’iyah. 115 Merupakan pengejawantahan dari Hadits Nabi Saw bahwa “mukmin dengan mukmin itu saudara, maka berdamailah dengan mereka” (HR.Bukhori) dan hadits yang berbunyi bahwa “mukmin itu bagaikan satu tubuh, karena itu kalau salah satu anggota tubuh terasa sakit maka seluruhnya akan merasakan” (Hr.Bukhori, dan Muslim). Lebih lanjut, lihat Usep Romli tentang “Pengaruh Islam terhadap Orang Sunda”, makalah dalam “Seminar Islam Sunda” (UIN SGD Bandung, Maret 2008). 113
53 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Lima waktu tur dihaja Mangka dibales, mangka dibales Dilanggengkeun di jahannam (Artinya: Siapa saja yang meninggalkan sholat lima waktu, Meninggalkan dengan sengaja, maka akan dibalas, maka akan dibalas, dimasukkan ke dalam neraka jahannam)
Berbagai jenis pupujian semacam itu dapat didengar setiap hari di tengahtengah masyarakat Garut yang dilantunkan dari mesjid-mesjid atau surau-surau sebelum shalat fardu dilaksanakan. Paling sering lagu pupujian tersebut dilantunkan oleh kaum Muslim sebelum melaksanakan shalat magrib di mesjid dan surau. Sedangkan wiridan dilakukan terutama setelah shalat sunat maghrib, dan shalat shubuh. Berisi bacaan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir, disambung dengan bacaan terdiri dari potongan ayat-ayat Qur’an (terkenal dengan sebutan ayat 5, ayat 7 dan ayat 15). Dibunyikan dengan suara keras, dalam irama tertentu, secara berjamaah atau bersama-sama. Tradisi keagamaan tersebut di era enam puluhan sampai tahun tujupuluhan bukan hanya dilaksanakan oleh para penduduk pedesaan tapi juga oleh para penduduk yang berada di dalam dan di pinggiran kota Garut seperti di daerah Kampung Ciwalen, Sukaregang, Sindangheula, Sedahurip, Maktal, Sanding, Dayeuh Handap, Leuwi Daun, Kaum Lebak, Pakuon, Ciawi Tali, Panyingkiran, Sedahurif, Cikaracak, Paledang, Kondang Rege, Haur Panggung, Sukaregang, Bentar Hilir dan Kampung Bentar Girang.116 Besarnya nuansa Islam dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Garut juga dapat dilihat dari banyaknya lembaga pesantren, mesjid dan tajug atau langgar. Dalam tahun 1960-an di seluruh kecamatan Kabupaten Garut sudah terdapat mesjid agung yang aktifitas kemakmurannya dikelola oleh pemerintah
116
Wawancara dengan KH. Dadang Badruzaman (74 tahun, pimpinan Ponpes Darul Mukarom Rancamaya Garut) pada tanggal 4 Maret 2010, wawancara dengan KH.Ohan (71 tahun, pimpinan Ponpes Al-Hasanah Cigentur Pasirwangi Garut) dan KH. Oban (72 tahun, Dewan Guru Ponpes Al-Hasanah) pada tanggal 9 Maret 2010, dan dengan Maman (70 tahun, pelaku aksi Mei 1963) pada tanggal 12 Januari 2011
54 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
daerah dan menjadi sarana silaturahim antar mesjid jami dan majlis ta’lim di masingh-masing kecamatan. Tajug atau langgar, adalah sejenis mushola yang dibangun oleh perorangan. Ia banyak dijumpai di hampir seluruh kampung, terutama di wilayahwilayah yang jauh dari jangkauan penduduk seperti daerah pesawahan atau ladang rakyat. Fungsinya, selain sebagai tempat peristirahatan setelah selesai bekerja di sawah atau di ladang, juga berfungsi sebagai tempat ibadah, terutama sholat lima waktu.117 Terkadang berfungsi sebagai tempat peristirahatan sementara bagi para penjalan kaki. Biasanya sebelum melepas lelah berupa tidur-tiduran terlentang terlebih dahulu mereka melaksanakan sholat lima waktu, terutama sholat dhuhur atau sholat ashar. Adapun pondok pesantren pada tahun 1960-an hampir tersebar di setiap kecamatan. Diantara pondok pesantren yang terkenal di daerah Garut pada masa itu adalah Pondok Pesantren Al-Falah Biru pimpinan KH. Badruzaman, Pondok Pesantren Al-Huda pimpinan KH.Sirad, Pondok Pesantren Keresek Cibatu, Pondok Pesantren An-Nur Malangbong, Pondok Pesantren Kudang Limbangan, Pondok Pesantren Cipari Sukawening, Pondok Pesantren Darussalam Wanaraja pimpinan KH.Yusuf Taojiri, Pondok Pesantren Faozan Bayongbong, Pondok Pesantren Hidayatul Faizin Pimpinan KH. Siradz, Pesantren al-Qur.an Kudang Limbangan, Pondok Pesantren Ciasem di Cibatu, dan Pondok Pesantren Urug Pimpinan KH.Bakri118. Pondok pesantren bukanlah semacam sekolah atau madrasah, walaupun dalam lingkungan pesantren sekarang ini telah banyak pula didirikan unit-unit klasikal dan kursus-kursus. Berbeda dengan sekolah, pesantren mempunyai kepemimpinan, ciri-ciri khusus dan semacam kepribadian yang diwarnai oleh karakteristik pribadi sang kiai, bahkan juga aliran keagamaan tertentu yang dianut. 117
Wawancara dengan KH. Dadang Badruzaman (74 tahun, pimpinan Ponpes Darul Mukarom Rancamaya Garut) pada tanggal 4 Maret 2010, wawancara dengan KH.Ohan ( 71 tahun, pimpinan Ponpes Al-Hasanah Cigentur Pasirwangi Garut) dan KH. Oban (72 tahun, Dewan Guru Ponpes Al-Hasanah) pada tanggal 9 Maret 2010. 118 Diktat Sejarah Perkembangan Pesantren Urug Bayombong, (Garut : Pesantren Urug Bayombong, 1986), Cet. Ke-1. Halaman 23. Diperkuat Wawancara dengan KH. Dadang Badruzaman (77 tahun, Pimpinan Ponpes Darul Mukarom Rancamaya Garut) pada tanggal 27 Februari 2013.
55 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pesantren juga bukan semata-mata merupakan lembaga pendidikan, melainkan juga dapat dinilai sebagai lembaga kemasyarakatan, dalam arti memiliki pranata tersendiri yang memiliki hubungan fungsionil dengan masyarakat dan hubungan tata nilai dengan kultur masyarakat, khususnya yang berada dalam lingkungan pengaruhnya. Melalui kegiatan para kiai yang melakukan tabligh (menyampaikan ajaran) dan penerangan agama, dalam acara-acara periodik atau dalam kesempatan memperingati hari-hari besar Islam serta dalam pengajian-pengajian yang disebut majlis ta’lim, pesantren merupakan salah satu bentuk lembaga komunikasi yang efektif dalam masyarakat tradisionil yang sebagian besar tidak mengenal koran, majalah atau malah juga radio, di samping lembaga pesantren ini secara
tetap
dan
pokok
merupakan
lembaga
pendidikan
agama
dan
kemasyarakatan. Karena itu jika ada informasi baru yang disampaikan oleh pesantren melalui kegiatan tabligh para kiainya, maka informasi itu langsung diserap oleh masyarakat. Dihubungkan dengan informasi tentang keberadaan dan kehidupan etnis Cina di Kota Garut yang disampaikan pesantren melalui tabligh para kiainya sudah tentu akan diterima secara penuh oleh masyarakat pada waktu itu. Menurut KH. Ma’sum (85 tahun), KH.Saeputaman (78 tahun), dan KH.Dadang Badruzaman (77 tahun), secara formal di Pondok Pesantren tidak pernah diajarkan mengenai permusuhan dan kebencian terhadap etnis lain maupun kebudayaan atau keyakinan yang berbeda dengan orang Sunda. Di Pesantren hanya diajarkan mengenai ilmu-ilmu agama secara umum. Akan tetapi, ajaranajaran yang dianggap bertentangan dengan akidah (keyakinan Islam) dan syari’ah (hukum Iskam, pen) sering diuraikan oleh para kiai di depan para santri maupun jama’ah umum setiap kali ada pengajian. Kepentingannya adalah untuk menjaga keyakinan ummat dan memurnikan ajaran Islam dari ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Pada waktu itu, para kiai sering mencontohkan keyakinan atau praktik ibadah orang-orang non-Muslim sebagai hal yang bertentangan dengan keyakinan dan ajaran Islam, termasuk keyakinan dan praktik ibadah orang-orang Cina di Klenteng Hok Liong Bio di Jl.
56 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Guntur, di mana orang-orang Cina meyakini banyak dewa dan tidak menyembah Allah Swt.119 Dari segi budaya, pada dasarnya kelompok etnis yang ada di Kabupaten Garut yang beragama Islam sangat mudah membaur dengan kelompok pribumi. Etnis Padang, Jawa, Arab, Pakistan, maupun pendatang lainnya yang beragama Islam dengan mudah melebur ke dalam tradisi masyarakat Sunda melalui hubungan-hubungan sosial dan keagamaan. Dalam kehidupan sehari-harinya orang Arab dan Pakistan telah bergaul erat dan berbaur dengan orang pribumi. Berkat keluwesan dalam sikap hidupnya maka kehadirannnya di Kota Garut tidak dianggap sebagai orang asing. Mereka dapat diterima secara baik oleh kaum pribumi, karena mereka dipandang tidak menutup diri dalam pergaulan kesehariannya. Perbedaan yang mencolok baru terlihat pada kelompok etnis Cina, ketika secara budaya adat istiadat serta agama, etnis Cina masih mampu menjaga dan menjalankan sesuai dengan adat istiadat leluhur mereka serta tinggal mengelompok di daerah Pengkolan dan sekitarnya seperti di kampung Ciwalen dan Jl. Guntur. Mereka memiliki kuburan dan sekolah sendiri yang terpisah dari penduduk pribumi sehingga dikesani tertutup, tidak mau begaul dan membaur dengan penduduk pribumi. Karena kehidupannya seperti itu, maka tidak aneh keberadaan etnis Cina di Kota Garut masih dianggap orang asing oleh kaum pribumi. Bahkan sebagian besar orang pribumi memandang orang-orang Cina seperti halnya orang Belanda, mereka datang hanya untuk mengeruk kekayaan bangsa Indonesia, mengambil untung sebesar-besarnya untuk kepentingan mereka sendiri. Banyak orang pribumi yang memandang keberadaan orang Cina di Kota Garut itu tidak lebih dari tanaman benalu (Sunda : mangandeuh) yang harus dimusnahkan dari bumi Indonesia.
Persoalan ini akan dijelaskan dalam
pembahasan selanjutnya.
119
Wawancara degan sumber lisan (ketiga informan) pada tanggal 27 Februari 2013.
57 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
2. 2.7. Kondisi Sosial Politik Garut, seperti juga daerah lainnya di Jawa Barat, dalam tahun 1950-1965, merupakan daerah yang instabilitas politiknya sangat tinggi. Kondisi seperti ini bukan hanya sebagai akibat dari kondisi kehidupan politik nasional, yang oleh Boland disebutnya sebagai sangat ruwet dan kabur, tapi juga sebagai akibat dari gejolak politik lokal itu sendiri. Sepanjang tahun 1949-1962, daerah Jawa Barat terutama daerah Priangan Timur disibukkan oleh gerakan pemberontakan DI/TII. Disamping itu, sebagaimana dikatakan Hiroko Horikoshi, Garut seperti juga daerah lainnya di Jawa Barat selama tahun 1950-an dan paroh pertama tahun 1960-an, merupakan wilayah yang dilanda perpecahan atau permusuhan antara kaum komunis dengan koalisi Tentara Muslim (Tentara Islam Indonesia/TII) yang mengakibatkan kerusuhan-kerusuhan sosial yang luas di daerah tersebut.120 Di Kabupaten Garut, pasukan DI/TII terpusat di daerah ketinggian, seperti daerah sekitar Gunung Guntur (daerah Samarang dan Tarogong)121, Leles dan Kadungora, Balubur Libangan, Cibatu, Malangbong, dan di sekitar gunung Cikuray (daerah Cikajang dan Banjarwangi). Darul Islam menyebut daerah ini daerah suffah, yang menyatakan bahwa di sini merupakan daerah suci yang telah dibersihkan dari musuh dan menjadi pangkalan untuk melakukan serangan ke kota Garut.122 Selain itu ada juga daerah yang sebagian wilayahnya berada dalam pengaruh dan kendali DI/TII, yaitu sebagian kecil daerah Tarogong (seperti Kampung Paku Haji Cibunar dan Patrol)123, Pasirwangi (khususnya kampung Pasir Kiamis)124, Banyuresmi (Kampung Babakan Cibuyutan dan Kampung 120
Hiroko Horikoshi, Kiyai dan Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M, 1987), Cet. Ke-1. halaman 12 Gunung Guntur merupakan daerah operasi DI/TII pimpinan Haji Saman dari Pangkalan Tarogong Kaler. Wawancara dengan KH. Saeputamam (77 tahun, anggota DI/NII, pelaku gerakan anti Cina Mei 1963) pada tanggal 28 Juni 2012 122 C.Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, (Jakarta : Pustaka Grafiti, 1993), Cet.ke-1, halalaman 93 123 Kampung Paku Haji merupakan salah satu kampung yang sampai hari ini masih seteril dihuni oleh anggota DI/NII. Kampung ini berada di Desa Cibunar, Kecamatan Tarogong Kidul, Garut. Letaknya kurang lebih tujuh kilo meter dari ibu kota kabupaten. Sedangkan penulis sendiri bertempat tinggal tidak jauh dari Kampung Paku Haji, masih satu desa dengan tempat tinggal penulis, arahnya ke arah barat, kurang lebih satu kilo meter jarak tempuhnya. 124 Pasir Kiamis adalah salah satu daerah pelarian dan persembunyian Aceng Kurnia di era tahun 1980-an. Daerah ini berada di ketinggian Gunung Papandayan dan Gunung Darajat. Lihat Asep 121
58 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Cikukuk)125, sebagian kecil daerah Leuwi Goong dan Cibiuk, sebagian kecil daerah Kadungora, Bungbulang (khususnya Kampung Nangkaruka) dan sebagian kecil daerah Wanaraja (terutama Cipari, Suakwening, dan Karangtengah).126 Di kalangan TNI dan juga beberapa sejarawan Indonesia, munculnya gerakan DI/TII di Jawa Barat, ditafsirkan sebagai akibat ditandatanganinya persetujuan “Renvile” yang antara lain berisi kesediaan pihak RI untuk menarik tentaranya dari kantong-kantong grilya di Jawa Barat berhijrah ke Jogyakarta.127 Dalam waktu dua bulan pemerintah RI berhasil menarik anggota TNI sejumlah 35.000 orang di belakang garis demarkasi. Akan tetapai sebanyak 4000 orang anggota pasukan Hizbullah dan Sabilillah di Jawa Barat tidak mau mentaati perintah hijrah ke Jogjakarta. Pada bulan Maret 1948, pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang tetap tinggal di Jawa Barat membentuk gerakan DI/TII. Selanjutnya pada 7 Agustus 1949, Negara Islam Indonesia (NII) diproklamasikan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo di daerah Priangan Timur.128 Akan tetapi ada penafsiran lain, terutama di kalangan anggota DI/TII dan kelompok yang simpati terhadap perjuangan DI/TII, yang menyatakan bahwa munculnya gerakan DI/TII dan lahirnya NII pada dasarnya merupakan jawaban atas kepemimpinan Soekarno yang cenderung berpihak kepada kelompok komunis dan penolakan Soekarno terhadap syari’at Islam dalam Konstitusi negara.129
Ahmad Hidayat, Gerakan Tarekat Tijaniyah, (Bandung: Lemlit UIN bandung, 2012), halaman 112 125 Dua kampung ini merupakan kampung asal dua tokoh DI/TII. Kampung Cibuyutan merupakan kampung asal Aceng Kurnia, salah seorang ajudan Imam Karto Suwiryo. Kampung Cikukuk merupakan kampung istri H.Afandi, mantan Bupati DI/TII Kabupaten Garut. 126 Daerah Sukawening, Cipari dan Karang Tengah sebenarnya merupakan basis PSII. Sedangkan orang-orang DI/TII di daerah ini, adalah berasal dari kelompok PSII yang tetap mendukung politik hijrah. Wawancara dengan Aban Yusuf (89 tahun, tokoh PSII), Sirad ( 87, tokoh PSII), dan Ahmad Marko (91 tahun, mantan Komandan Batalion Hizbullah) pada tanggal 11 April 2009. 127 Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat, Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI-Angkatan Darat, (Bandung : Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat, 1972), Cet.ke-1, halaman 236-237 128 Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat, Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI-Angkatan Darat, Ibid, halaman 238 129 Wawancara dengan Aban Yusuf (90 tahun, mantan anggota Hizbullah dan anggota DI) pada tanggal 12 September 2011 dan diperkuat oleh Mukarom (74 tahun mantan Ketua Komandemen NII Wilayah VII, pelaku gerakan anti Cina 1963, mantan aktifis PII 1962-1972) pada tanggal 11 Desember 2012
59 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Kartosuwiryo sendiri sebagai Imam NII dalam surat rahasianya kepada Soekarno dengan tembusan kepada Perdana Menteri Natsir pada tangga 22 Oktober 1950. Surat rahasia tersebut berisi pernyataan tentang kegembiraannya Kartosuwiryo bahwa Republik Indonesia telah mengambil keputusan untuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan keputusan ini, harus diadakan pilihan antara blok Amerika dan blok Rusia. Oleh karena itu kebijaksanaan (politik luar negeri) Indonesia yang bersifat netral itu harus ditinggalkan dan diganti dengan arah yang bersifat antikomunis. Begitulah ia mendesak agar secepatnya diakhiri pengaruh komunis di Indonesia. Di lain pihak, katanya, nasionalisme bukanlah ideologi yang setarap dengan Islam dan komunisme, lagi pula ideologi ini tidak akan mampu menyelamatkan Indonesia. Oleh karena itu, mereka harus memilih: Islam atau komunisme. Menurut Kartosuwiryo, Indonesia hanya akan dapat diselamatkan jika Islam menjadi dasar pemerintahan dan Negara ; dengan kata lain, jika Indonesia mengubah sifatnya dari suatu “Negara nasional” menjadi suatu Negara Islam.130 Kemudian pada tanggal 17 Februari 1951, Kartosuwiryo mengirimkan sepucuk surat rahasia yang kedua kepada Presiden Soekarno, juga dengan tembusan kepada Perdana Menteri Natsir. Kartosuwiryo ingin memperjelas dan menambah beberapa hal yang tersebut dalam suratnya yang pertama. Dalam suratnya yang keduanya ini, Kartosuwiryo mengajak sekali lagi untuk menumpas komunisme di Indonesia. Mengenai proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) yang dilakukannya pada tanggal 7 Agustus 1949, ia menjelaskan bahwa pada dasarnya proklamasi itu merupakan hak suci Umat Islam Indonesia, tetapi dapat diadakan perundingan mengenai masalah-masalah praktis tentang wilayah dan batas-batas negara ini. Jika pemerintah RI bersedia mengakui secara resmi keabsahan proklamasi NII, ia dapat memberikan jaminan bahwah Republik akan mempunyai sahabat sehidup semati (yaitu NII) terhadap setiap jenis bahaya dari luar atau dalam perbatasannya. Hal ini secara khusus berlaku terhadap 130
Lihat Surat Rahasia NII dalam B.J.Bolan, Pergumulan Islam di Indonesia, Op.Cit. halalaman 250-261
60 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
komunisme, yang semakin lama semakin membahayakan negara dan bangsa Indonesia, seperti juga membahayakan seluruh dunia yang demokratis lainnya. Namun, jia hal ini tidak disepakati, Kartosuwiryo tidak dapat ikut bertanggung jawab tehadap nasib negara dan bangsa Indonesia baik di depan Mahkamah Sejarah maupun di depan Mahkamah Tuhan.131 Karena penentangannya terhadap Komunisme di Indonesia itulah, pada awal-awal berdirinya sampai tahun 1955, banyak dari kalangan ulama atau santri dalam kategori Geertz di daerah Garut yang bersimpati dan mendukung Darul Islam. Meskipun mereka tidak bergabung dengan Darul Islam secara langsung, namun mereka tetap simpati terhadap Darul Islam. Mereka itulah yang menggabungkan dirinya pada Masyumi dan PSII. Diantaranya KH. Badruzaman (ia pernah diangkat sebagai Hakim NII oleh Kartosuwiryo), KH. Khudori, KH.Abdul Malik, KH.Junaidi dari Cibatu, KH.Bakri dari Pesantren Urug Bayombong, KH. Annur dari Pesantren Annur Malangbong, KH. Izuddin dari Cipanas Tarogong, KH. Solihin dari Ciasem, dewan guru Pesantren Cipari Wanaraja, dan beberapa pesantren kecil yang ada di Garut pada waktu itu.132 Sementara itu KH. Yusuf Taojiri, pada awalnya menentang Darul Islam, namun di akhir hayatnya ia membenarkan terhadap apa yang dilakukan oleh Kartosuwiryo.133 Namun informasi ini perlu diteliti lebih lanjut, karena secara resmi sampai akhir hayatnya KH. Yusuf Taojiri tidak pernah menyatakan dukungannya kepada gerakan DI/TII. Kiai Yusuf Taojiri, justru mendirikan kumpulan “Darussalam”, sebagai anti tesis terhadap gerakan DI/TII. Bahkan ia termasuk Kiai yang menentang gerakan
DI/TII, sehingga masjid dan
pesantrennya di Cipari pernah digranat oleh sekelompok pasukan DI/TII. 134 131
Ibid, halaman 261-267 Wawancara dengan Aban Yusuf (90 tahun , mantan anggota Hizbullah dan anggota DI) pada tanggal 12 September 2011 dan diperkuat oleh Mukarom (74 tahun, mantan Ketua Komandemen NII KW-VII dan pelaku gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 11 Desember 2012 dan Misbah pada tanggal 5 April 2012 133 Wawancara dengan Adnan (73 tahun, aktifis PII, santri Ponpes Urug Bayombong, pelaku gerakan anti Cina 1963), Endik (74 tahun, aktifis PII dan pelaku gerakan anti Cina 1963), Rukman (74 tahunh, aktifis PII tahun 1960-an, pelaku gerakan Mei 1963, santri Pesantren Urug Bayombong) pada tanggal 4 Mei 2011 134 Nurbaiti, Sejarah Perjuangan KH.Yusuf Taojiri, (Skripsi), Fakultas Adab, IAIN SGD, 1992, halam 42 132
61 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Gerakan pemberontakan DI/TII mulai surut setelah tertangkapnya Kartosuwiryo sebagai Imam NII pada tanggal 4 Juni 1962. Menurut Karl. D. Jackson akhir kematian DI/TII dipercepat oleh tiga faktor. Petama, keberhasilan pemerintah Republik dalam menawarkan amnesti bagi anggota DI/TII secara terus menerus dan dalam beberapa hal kelompok DI/TII mendapat tawaran kemungkinan diintegrasikan ke dalam struktur sipil dan pemerintahan. Faktor kedua, adalah keberhasilan taktik “pagar betis” yang dikembangkan pemerintah Republik. Menurut bekas para perwira Darul Islam, pagar betis itu secara psikologis mematahkan semangat dan sekaligus secara militer efektif. Para komandan Darul Islam mengatakan betapa sukarnya menembak orang-orang yang tak ikut berperang dan tidak bersenjata, terutama jika korban-korban itu “kaum muslimin yang baik”.135 Faktor ketiga, adalah keadaan politik di tingkat nasioal dan perkembangan militer yang berubah pada awal tahun 1960-an. Pada tahun 1960 partai politik yang paling bersimpati pada konsep negara Islam, Masyumi, dibubarkan Presiden Soekarno setelah pemberontakanPRRI/Permesta di Sumatera dan Sulawesi. Masyumi di tahun 1950-an begitu kuat dalam pemerintahan senantiasa enggan mempergunakan kekuatan militer yang maksimal terhadap gerakan DI/TII. Dan kepudarannya memungkinkan TNI melaksanakan operasi-operasi menindas terhadap Darul Islam tanpa diganggu kekuatan partai politik.136 Pembubaran Masyumi pada waktu itu bersamaan dengan pembubaran Partai Sosialis Indonesia (PSI) berdasarkan Pen-Pres No : 7/1960 pada 17 Agustus 1960. Pen-Pres No : 7/1960 ini berisi tentang pembubaran Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai partai politik. Selain itu Pen-Pres No : 7/1960 itu berisi tentang pembatasan jumlah partai politik menjadi sepuluh partai, yaitu PNI, NU, PKI, Parkindo, Partai Katolik, Murba, Partindo, PSII, Perti dan IPKI. Selanjutnya dalam Pen-Pres tersebut ditentukan juga bahwa semua partai politik
135
Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, dan Pemberontakan Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta : Grafiti, 1990), Cet.Ke-1, halamana 26-27 136 Ibid, halaman 27
62 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
diwajibkan mencantumkan dalam masing-masing anggaran dasarnya, Pancasila sebagai dasar negara.137 Meskipun gerakan pemberontakan DI/TII secara formal sudah berakhir pada tahun 1962 dan partai Masyumi dibubarkan pada tahun 1960, namun gejolak politik di tingkal lokal, khususnya di Kabupaten Garut terus berlangsung. Gejolak politik itu berupa pertentangan ideologi antara kelompok pendukung ideologi Islam dan kelompok pendukung kiri (Komunisme). Sejak 1960 sampai dengan 1965 konflik politik aliran (terutama antara Islam dan Komunisme) tidak hanya bersifat laten tetapi juga terkadang muncul dalam bentuk manifest seperti bentrokan antara kelompok Pemuda Rakyat
dan kelompok Pelajar Islam
Indonesia (PII).138 Pemuda Rakyat adalah organisasi kepemudaan “onderbouw” PKI. Sedangkan PII, bersama dengan HMI dan GPI merupakan organisasi kepemudaan independen. Tetapi secara kultural dan ideologi ketiga organisasi ini sangat dekat dengan Masyumi. Bahkan dalam momen-momen tertentu ketiga organisasi ini lebih menegaskan sebagai “onderbouw” Masyumi.139 Di Kabupaten Garut, secara kultural dan ideologi organisasi PII selain dekat dengan Masyumi juga dekat dengan Darul Islam/NII. Sejak didirikannya pada tahun 1960 sampai tahun 1970-an, anggota PII Kabupaten Garut berasal dari daerah perkotaan (Garut Kota dan Tarogong) dan dari daerah pedesaan, yaitu berasal dari Garut Timur (Wanaraja, Karangpawitan dan Sukawening), Garut Utara (Cibatu, Kadungora, LeLes, Limbangan, Malangbong, Banyuresmi dan Cibiuk) dan Garut Selatan (Bayongbong, Cisurupan, Banjarwangi, dan Bungbulang). Mayoritas anggota PII perkotaan secara kultural dan ideologi sangat dekat dengan Masyumi karena secara langsung mereka mendapat pembinaan dari kader-kader Masyumi seperti K.H.As’ari (tokoh Masyumi Garut), Anwar Suhaeimi (anggota PUI dan Masyumi asal Majalengka), dan KH.Isa Anshori, 137
Asep Achmad Hidayat, Konflik Dalam Masyumi (1947-1950), (Bandung : Pusat Penelitian IAIN Badung, 1996), halaman 40-45. Lihat JugaBenny G.Setiono, Tionhoa Dalam Pusaran Politik, (Jakarta : Ekasa, 1993), Cet.Ke-1, halaman 788. 138 Wawancara dengan Adnan (73 tahun, pelaku), Endik (74 tahun, pelaku), Rukman (74 tahun, pelaku) pada tanggal 4 Mei 2011, dan wawancara dengan Misbah (75 tahun, pelaku) pada tanggal 17 Januari 2013. 139 Lihat M.Rusli Karim, Dinamika Islam Di Indonesia: Suatu Tinjaun Sosial dan Politik, (Yogyakerta : Hanindita, 1985), Cet.Ke-1, halaman 94
63 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tokoh Masyumi Jawa Barat. Pendiri PII kabupaten Garut sendiri, yaitu KH.Miskun, selain ia seorang kader Muhamadiyah juga merupakan salah seorang kader muda Masyumi Kabupaten Garut.140 Sementara itu anggota PII yang berasal dari daerah pedesaan, khususnya dari Garut Timur, Selatan dan Utara, lebih banyak dipengaruhi oleh pemahaman aktifis Darul Islam/NII dan PSII.141 Hal ini selain karena daerah tersebut merupakan salah satu basis Darul Islam (DI/NII) seperti Malangbong, Limbangan, Kersamanah, Leles, Nangkaruka, Wanaraja dan Sukawening; juga karena mayoritas anggota PII dari daerah tersebut merupakan anak cucu anggota Darul Islam/NII.142 Pada waktu itu anggota PII Kabupaten Garut, bukan hanya terdiri dari siswa (SMP dan SMA), santri dan pemuda, tetapi banyak juga orang dewasa yang menjadi anggota PII, terutama anggota PII yang berasal dari Wanaraja, Cipari dan Sukawening. Pada umumnya anggota PII di tiga daerah ini merupakan murid dan jama’ahnya KH.Yusuf Taojiri dari Pesantren Darussalam. Bahkan berkat PII itulah konflik antara KH.Yusuf Taojiri (Wanaraja) dan para kiyai dari Cipari (pendukung Darul Islam dan PSII) dapat diakhiri.143 Karena secara kultural dan ideologi orang-orang PII Kabupaten Garut sangat dekat dengan Masyumi dan Darul Islam, maka kebencian mereka terhadap kelompok Cina bukan hanya karena faktor kecemburuan sosial, tapi juga karena faktor ideologi. Karena itu, tidaklah aneh jika kelompok masa PII inilah yang paling depan menyerukan gerakan anti Cina di Kabupaten Garut.
140
Wawancara dengan Giom Suarsono (77 tahun, mantan aktifis PII Garut, ketua KAPPI dan pelaku gerakan anti Cina 1963) dan dengan Amir Syarifudin (78 tahun, salah seorang pendiri PII Kabupaten Garut, dan pelaku gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 17 Januari 2013. 141 Wawancara dengan para aktifis PII tahun 1960-an, yaitu dengan Amir Syarifudin, Misbah, Giom Suarsono, Kawakibi, Yati Sukarna ND, Ai Rohmah, Endang Rahmat, Endik, Adnan, Anshorullah , pada tanggal 16 Maret 2012. 142 Wawancara dengan Misbah (75 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963, cucu seorang anggota DI/TII dari Cipari Garut), Giom Suarsono (77 tahun, mantan aktifis PII Garut, ketua KAPPI dan pelaku gerakan anti Cina 1963), Ade Jamhur (76 tahun, Pelaku gerakan anti Cina, putra KH.Afandi /mantan Bupati DI Garut, anggota PII Garut tahun 1960-an) pada tanggal 17 Januari 2013. 143 Wawancara dengan Giom Suarsono (76 tahun, mantan aktiis PII) dan Misbah (74 tahun,mantan aktifis PII) pada tanggal 16 Maret 2012
64 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Orang-orang Cina di Kota Garut pada waktu itu dipandang oleh para aktifis Islam (khususnya PII) sebagai pendukung ideologi komunis. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya toko-toko mereka yang dipasangi lambang palu arit dan banyak diantara mereka yang menjadi anggota Baperki. Selain itu, orang-orang Cina di Kota Garut senantiasa merayakan ulang tahun kemerderkaan RRC. Mereka merayakan secara besar-besaran dan mewah. Seluruh toko dan rumah miilik orang Cina di Kota Garut dipenuhi dengan hiasan warna terang dan merah serta bendera RRC di samping bendera merah putih.144 Dengan berdasar pada uraian di atas, jelaslah bahwa gejolak politik lokal juga mempengaruhi terhadap munculnya kerusuhan anti Cina di Garut pada tahun 1963. Pengaruh dari gejolak politik tingkat lokal ini terletak pada kondisi masyarakat Garut itu sendiri, dimana selama hampir 13 tahun masyarakat Garut berada dalam tekanan psikologis sebagai akibat dari pemberontakan DI/TII. Daerah Garut, juga Tasikmalaya merupakan daerah yang menderita sangat berat akibat pemberontakan tersebut. Kondisi seperti ini diperparah pula oleh kondisi sosial ekonomi dan politik nasional yang tidak menentu sejak 1955 smpai 1965. Kondisi sosial politik dan ekonomi seperti itu pada akhirnya menimbulkan rasa kekecewaan yang mendalam dan berujung pada perasaan frustasi. Kemudian berubah menjadi agresi yang apabila digerakkan akan meledak menjadi sebuah kerusuhan. Selain itu, pengaruh utama dari gejolak politik yang ditimbulkan oleh pemberontakan Darul Islam dan pertentangan ideologi yang diwakili oleh Masyumi dan PKI, menimbulkan semangat “jihad” di kalangan aktifis ormas kepemudaan untuk membendung pengaruh ideologi komunis di daerah Garut. Sedangkan keberadaan komunis di daerah Garut sangat didukung oleh orangorang Cina yang bergabung dalam Baperki. Mereka memberikan dukungan kepada PKI, baik secara ideologis maupun material.145 144
Hanya Toko Ekbau di Jl. Ahmad Yani dan Babah Bongkok di Jl. Ckuray yang orientasi ideologi politiknya pada Republik Cina (Cina Taipai), karena itu kedua toko tersebut pada kerusuhan anti Cina Mei 1963 terhindar dari perusakan masa. 145 Wawancara dengan Giom Suarsono (76 tahun, akitifis PII tahun 1960-an, pelaku gerakan anti Cina), Misbah (74 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963), Amir Syaripudin (77 tahun, aktifis PII dan pelaku gerakan anti Cina 1963) , Saeputamam ( 77 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963,
65 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Akan tetapi, harus disebutkan di sini, meskipun orientasi politik mayoritas Cina Garut pada waktu itu pada Cina RRC dan mendukung PKI. Namun ada juga di antara mereka yang orientasi politiknya berkiblat pada Cina Taiwan (Taipei) seperti keluarga Toko N dan keluarga Yu Lian Ki. Bagaimana kuatnya pengaruh Darul Islam/NII terhadap gerakan kerusuhan anti Cina di Garut pada Mei 1963, selanjutnya secara khusus akan dijelaskan dalam bab V bersama peran kiai dan lembaga pesantren.
aktifis Pemuda Muslim-PSII, Imam DI/NII 2008 Jawa Barat), Ayun (74 tahun, saksi sejarah) , Kawakibi (75 tahun, pelaku gerakan anti Cina, aktifis PII 1960-an), dan Endang Rahmat (76 tahun, aktifis PII dan PSII, pelaku gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 16 Maret 2012.
66 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
BAB III KEHIDUPAN ETNIS CINA DI KOTA GARUT 1963
3.1. Sekilas Sejarah Awal Kedatangan Etnis Cina di Kota Garut Etnis Cina merupakan kelompok minoritas terbesar di Indonesia. Menurut William G. Skiner jumlah orang Cina di Indonesia pada tahun 1961 diperkirakan mencapai 2,46 juta orang atau kurang lebih dari 2,5 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu.146 Kemudian kapan mulai datangnya orang-orang Cina ke tanah Jawa? Sudah menjadi pendapat umum di kalangan ahli sejarah, bahwa sebelum kolonisasi Barat di Asia Tenggara, khususnya di Jawa, orang Cina (Tionghoa) telah bermigrasi ke wilayah ini dalam jumlah kecil. Migrasi besar-besaran orang Cina ke tanah Jawa hanya terjadi setelah kedatangan orang Barat. Faktor pendorong mereka datang ke tanah Jawa adalah kelaparan dan pergolakan di Cina, dan faktor penarik yaitu eksploitasi ekonomi oleh orang Barat di Asia Tenggara telah menyebabkan timbulnya arus masuk Cina perantauan secara besar-besaran ke wilayah ini. Menurut Wang Gungwu selama berabad-abad orang Cina telah menjadi penduduk sementara di kawasan Asia Tenggara. Pengalaman orang Cina (Tionghoa) di kawasan ini oleh Gungwu diklasifikasikan menjadi empat tahap migrasi warga Cina,
yaitu dimulai pada abad ke-19 dengan negara-negara
kolonial transisional atau masa semikolonial setelah revolusi industri di Eropa.147 Tahap selanjutnya adalah negara-negara bangsa yang baru lahir pada paruh kedua abad ke-20, dan kemudian timbul prospek remigrasi ke negara-negara migran
146
William G.Skinner, The Chinese Minority, dalam Ruth T.McVey (ed), Indonesia, (New Haven : Southeast Asia Study, Yale University, 1963), halaman 97 147 Pada abad ke-19 para emigran Cina makin bertambah besar. Pada masa tersebut para perantau ini tidak terbatas hanya kaum laki-lakinya saja akan tetapi juga kaum wanitanya, bahkan dengan seluruh keluarganya. Dengan demikian jumlah orang Cina perantauan ini makin banyak dan proses asimilasi yang tadinya sering dilakukan oleh orang-orang Cina perantauan ini, menjadi kurang dan bahkan akhirnya menutup diri dan membentuk kelompok tersendiri lengkap dengan kehidupan tradisionalnya. Lihat Hidayat Z.M, Masyarakat Dan Kebudayaan Cina Indonesia, (Bandung : Tarsito : 1993), Cet.Ke-1, halaman 53-54
67 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Amerika dan Australia; dan paling akhir perpanjangan waktu bermukim sebagai bagian dari globalisasi migrasi.148 Secara historis diduga orang Cina yang datang ke wilayah Jawa Barat (Priangan) yang dapat diketahui identitasnya terjadi pada abad 15 Masehi. Dalam perjalanan pulang dari India ke negerinya, Fa Hien, seorang pendeta Budha dari Cina, terdampar di Kerajaan Tarumanagara, Jawa Barat, dan di daerah ini ia menyebarkan agama Budhisme sebelum bertolak ke Cina tahun 422 M. 149Namun, kedatangan orang-orang Cina ke tanah Jawa untuk kemudian menetap baru terjadi beberapa abad kemudian (abad belasan), seiring dengan dan kebijakan orang Belanda (VOC) mengenai kependudukan di Indonesia. Selanjutnya migrasi orang-orang Cina lebih besar lagi terjadi pada abadabad selanjutnya, yaitu pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Migrasi orang Cina (Tionghoa) ke Indonesia secara besar-besaran, mencapai puncaknya pada abad ke-19 M dan permulaan abad ke-20 M.150 Menurut Skinner dalam periode ini telah ada migrasi kaum wanita Cina ke tanah Jawa. Migrasi wanita Cina itu bertalian dengan fasilitas penggunaan kapal api dan rendahnya biaya pengangkutan.151 Sampai abad pertengahan ke-19 suku Hokian
merupakan “dominant
groups”. Mereka ini termasuk yang pandai berdagang. Berdasarkan angka pada bulan Nopember 1920, jumlah orang Cina di Indonesia seluruhnya ada 809.647 orang, yang terdiri dari 518.355 laki-laki dan 291.292 wanitanya. Dari jumlah tersebut 384.218 orang tinggal di berbagai kota di pulau Jawa dan sisanya tinggal di luar pulau Jawa.152 Menurut Djie Ting Liat jumlah orang Cina di Jawa bertambah baik karena kelebihan kelahiran maupun karena migrasi dari negeri
Wang Gungwu, “Sojourning : The Chinese Experience in Southeast Asia”, Asian Culture, No.18 , 1994, h.57-66. Lihat juga Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, (Jakarta : LP3ES, 1999), Cet.Ke-1, halaman 13-15. 149 Gronoveldt, 1960, dalam Edi S. Eka Djati, Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), (Jakarta : Pustaka Jaya, 1995), Cet.ke-1, halaman 42 150 Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, Second Edition, (Kuala Lumpur, Oxford University Press, 1981), halaman 465 151 Sumanto Al-Qurtuby, Arus Cina Islam Jawa, (Jogjakarta : Ahimskarya Press, 2003), Cet.Ke-2, halaman 256 152 Hidayat Z.M, Masyarakat Dan Kebudayaan Cina Indonesia, Op.Cit, halaman 67 148
68 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Cina (Tiongkok). Penduduk Cina di Jawa dari tahun 1920 hingga tahun 1930 bertambah 52%.153 Menurut hasil penelitian Hari Poerwanto154, secara garis besar, terdapat perbedaan konsentrasi pemukiman di kalangan orang Cina di Pulau Jawa dan Madura, dibandingkan dengan mereka yang bermukim di luar Pulau Jawa dan Madura. Di Pulau Jawa dan Madura, umumnya mereka menetap di perkotaan, sedangkan di luar Pulau Jawa dan Madura umumnya mereka menetap di pedesaan. Untuk lebih jelas, mari kita lihat tabel I berikut. Tabel I di bawah menunjukkan tidak terjadi perubahan konsentrasi pemukiman pada tahun 1930 dan 1961. Demikian pula orang Cina di Kalimantan Barat, selama tiga dasawarsa mereka tidak mengalami perubahan apapun.
Tabel I : Distribusi Lokasi Tempat Tinggal Orang Cina di Indonesia Tahun 1930 dan Tahun 1961 1930 Kota (%)
1961 Desa (%)
Kota (%)
Desa (%)
Jawa dan Madura
58
41,3
54,4
41,6
Luar Jawa dan Madura
31,0
69,0
39,5
60,5
Kalimantan Barat
21,2
78,8
21,2
78,8
Sumber : Volkstelling, 1930, dan Sensus Penduduk 1961, Dalam Hari Poerwanto : Orang Cina Khek, h.54
Migrasi etnis Cina ke daerah Priangan diperkirakan terjadi pada akhir abad ke-19, sebagai dampak dibukanya jalur kereta api di daerah tersebut. Pembukaan dan pembangunan jalan kereta api di daerah Priangan pada waktu itu Djie Ting Liat, “De economische positie der Chineezen of Java” (Makalah pada kongres Chunghua Chunghui di Jakarta, 14-17 April 1933) dalam Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi orang-orang Cinas di Jawa Suatu Studi Ekonomi, (Jakarta : Gramedia, 1995), Cet.Ke-1. halaman 73 154 Hari Poerwanto, Orang Cina Khek Dari Singkawang, (Depok : Komunitas Bambu, 2005), Cet. Ke-1, halaman 54 153
69 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
banyak melibatkan tenaga kerja. Tenaga kerja yang terlibat meliputi tiga kelompok yaitu orang pribumi, Cina dan Eropa.155 Pembangunan jalan kereta api di Priangan pun mengakibatkan jumlah kedatangan orang Cina semakin bertambah. Mereka berdatangan terutama di kota-kota kabupaten, seperti di Bandung, Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Sukabumi.156Kepentingan kedatangan mereka lebih banyak berhubungan dengan perdagangan.157 Selain itu, kedatangan imigran-imigran Cina di daerah Priangan seperti Bandung, Sumedang, Cianjur, Sukabumi, Garut, Tasikmalaya dan Ciamis; adalah sebagai akibat dikeluarkannya izin pemukiman bagi etnis Cina di daerah Priangan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1872.158 Para imigran Cina tersebut terdiri dari suku Hokian, Teo Chiu dan Hakka yang berasal dari wilayah Fuchian dan Kantung. Suku Hokian memilih pekerjaan berdagang, sedangkan suku Teo Chiu dan Hakka memilih pekerjaan sebagai tukang dan buruh tani di daerah perkebunan.159 Adapun perkembangan jumlah orang Cina di Priangan sejak abad ke-19 Masehi adalah sebagaimana ditampilkan dalam tabel II. Tabel II menunjukkan bahwa perkembangan jumlah orang Cina di tanah Priangan sejak tahun 1815 hingga 1930 mengalami peningkatan cukup besar. Salah satu sebabnya para imigran Cina pada akhir abad ke-19 tertarik oleh cepatnya perkembangan Kota Batavia dan dibukanya daerah Priangan (Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis) untuk para pedagang Cina. Pemukiman etnis Cina di daerah Priangan mendapat izin dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada
155
Agus Mulyana, Melintas Pegunungan, Pendataran, Hingga Rawa-rawa : Pembangunan Jalan Kereta Api di Priangan 1878-1924, Ringkasan Disertasi, FIB-Universitas Indonesia, 2005, halaman 1. 156 Agus Mulyana, Kuli dan Anemer; Keterlibatan Orang Cina Dalam Pembangunan Jalan Kereta Api di Priangan (1878-1924), Makalah, Disampaikan dalam Konferensi Nasional Sejarah Ke VIII, Direktorat Sejarah dan Nilai Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jakarta 13-16 November 2006, halaman 13 157 Ibid. 158 G. William Skiner, “Golongan Minoritas Tionghoa” , dalam Mely G.Tan (editor), Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia : Suatu Masalah Kesatuan Bangsa, (Jakarta: Gramedia, 1981), Cet.Ke-1, halaman 5-6 159 Ibid
70 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tahun 1872.
160
Ditunjang pula dengan dibuka dan dibangunnya jaur kereta api
yang melintasi pegunungan, dataran, dan rawa-rawa di daerah Priangan pada 1878-1924 sehingga memudahkan akses lalulintas dari Batavia ke daerah pedalaman Priangan.161 Untuk lebih jelas lihatlah Tabel II berikut ini.
Tabel II : Perkembangan Jumlah Orang Cina Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, dan Cirebon Wilayah
1815
1920
1930
Banten
628
4.545
7.823
Jakarta
52.394
97.870
149.225
Bogor
2.633
24.748
37.577
180
14.093
33.003
2.343
26.495
32.090
Priangan Cirebon
Sumber : Volkestelling 1930, dan 1936. Di Kota Garut sendiri, jika merujuk pada peta pemukiman yang dibuat oleh Pemerintah Kolonial Belanda (lihat Peta III,1), orang-orang Cina telah berada sejak tahun 1895.162 Bahkan jika didasarkan pada bukti fisik, yaitu Klenteng Hok Liong Bio di Jl. Guntur (berdampingan dengan Pasar Baru) (Foto 67), yang didirikan pada tahun 1838, maka orang-orang Cina sudah ada sejak tahun didirikannya klenteng tersebut. Pemukiman kelompok etnis Cina pada masa itu terletak di sekitar Sukaregang Hilir berdampingan dekat dengan Ciwalen. Pemukiman etnis Cina memang dibuat secara terpisah oleh Pemerintah Kolonial Belanda, agar tidak terjadi kesatuan politis di dalam masyarakat Garut.
160
Ibid Agus Mulyana, Melintas Pegunungan, Pendataran, Hingga Rawa-rawa : Pembangunan Jalan Kereta Api di Priangan 1878-1924, Op. Cit. Halaman 1 162 Kaart van de Kota Garoet in het jaar 1895 dalam Kunto Sofianto, Garoet Kota Intan, Sejarah Lokal Kota Garut Sejak Zaman Kolonial Belanda Hingga Masa Kemerdekaan, (Bandung : alQoprint Jatinangor, 2001), Cet.Ke-1, halaman 178-179 161
71 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pemukiman yang terletak di Sukaregang Hilir nampak terpisah dari pemukiman kaum bumi putra sehingga terkesan mengelompok.
Peta III.1 Peta Pemukiman Etnis Cina 1895
Sumber : Kaart van de Kota Garoet in het jaar 1895.
72 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kemudian mulai tahun 1920-an dan 1930-an mereka berangsur pindah ke daerah Pengkolan, yaitu Jalan Talaga Bodas (sekarang Jalan Ahmad Yani) dan Jalan Ciledug. Perpindahan itu selain karena pada tahun 1914 dan 1915 peraturan surat jalan tahun 1816 dihapuskan oleh Pemerintah Belanda dan muncul peraturan tahun 1854 yang mengharuskan semua orang Cina tinggal di daerah dan kota tertentu,163 juga karena pemukiman mereka tidak bisa menampung lagi penduduknya akibat pertambahan jumlah penduduk. Dengan demikian, memasuki pertengahan abad ke-20, yaitu sekitar tahun 1930-an orang-orang Cina di Kota Garut telah mengalami perkembangan yang cukup pesat sebagaimana di daerah Priangan lainnya. Jika merujuk pada tabel 2 tentang perkembangan Cina di daerah Priangan pada tahun 1930 (Bandung, Sumedang, Garut, Tasik Malaya dan Ciamis), maka dapat diperkirakan orangorang Cina di Kota Garut pada tahun itu mencapai ribuan jiwa. Menurut Lin Tien Se, jumlah orang Cina yang tinggal di Kota Garut (terutama di daerah sekitar Pengkolan) dalam tahun 1930 diperkirakan mencapai dua ribu orang lebih. Perkiraan ini didasarkan pada jumlah keluarga (kepala keluarga) etnis Cina pada waktu itu berjumlah 503 kepala keluarga.164 Selain itu, terdapat pula orang-orang Cina yang telah lama tinggal di kota Garut sejak abad ke-19. Hal ini dapat kita lihat dari bukti-bukti fisik berupa kelenteng dan kuburan Cina di Gugunungan dan Santiong. Di kuburan Santiong, misalnya, ditemukan dua kuburan Cina yang diduga suami istri. Salah satu dari dua kuburan Cina tersebut bertuliskan tahun 1879 (Foto 54). Dan ditemukan pula sebuah kuburan
Cina bernama Tjhie Hway Sing, atau lebih dikenal dengan
sebutan Babah Gobang.165 Di tengah-tengah batu nisan tersebut ditemukan tulisan berbahasa Cina dan Indonesia yang menyebutkan bahwa Tjhie Hway Sing atau
163
Ibid, halaman xiv Lin Tien Se, Ringkasan Sejarah Perkembangan Sekolah Tionghoa Garut (1907-1966), makalah, dalam buku Reuni Sekolah Tionghoa Garut, alih bahasa Tang Leng Ing dan Wu Chuin Niang, tahun 2002. 165 Gobang artinya golok besar. Namun sebutan “gobang” bukan dimaksud dengan pedang atau golok, tetapi istilah yang merujuk pada pengertian satuan uang logam, yang disebutnya satu gobong. Ia disebut Babah Gobang karena banyak duit dari hasil usahanya di Jl. Ciledug. 164
73 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Babah Gobang meninggal tanggal 19-1-1934 (Foto52,53,dan 55). Tjhie Hway Sing atau Babah Gobang adalah salah satu keluarga Cina yang tinggal di Jl. Ciledug sejak tahun 1878 M.166
3.2. Pemukiman Etnis Cina di Kota Garut Semenjak perpindahannya orang-orang Cina dari daerah Ciwalen ke daerah Pengkolan, yaitu sekitar Jl. Talaga Bodas (Jl.Ahmad Yani) dan Jl. Ciledug, secara berangsur-angsur daerah tersebut berubah menjadi kawasan Pecinan di Kota Garut. Kawasan tersebut selanjutnya mengalami perkembangan dari masa ke masa. Beberapa perubahan terjadi pada kawasan itu, antara lain berupa perubahan fungsi dari hunian menjadi kawasan perdagangan yang ditandai dengan banyaknya rumah toko, dan semakin luasnya kawasan hunian. Pola pemukiman etnis Cina di daerah Pengkolan menggunakan pola pusat kota, dan termasuk salah satu Pecinan yang berada di kota pedalaman.
Hal ini dimungkinkan karena
adanya pengaruh kondisi sosial politik, ekonomi dan budaya. Pengaruhnya secara berturut-turut berupa pemadatan kawasan, orientasi pengembangan pemukiman yang berpusat pada pasar dan munculnya rumah toko, serta perubahan filosofi dengan tidak digunakannya prinsip feng shui pada kawasan. Orientasi dan tata masa bangunan pada kawasan Pecinan Pengkolan Kota Garut tidak menggunakan kaidah feng shui sebagai pertimbangan prencanaannya,167 melainkan rancangan pemerintah kolonial sebagai kawasan hunian bagi masyarakat Cina yang kemudian bergeser fungsinya menjadi kawasan dagang yang ramai. Orientasi yang ada akhirnya berujung pada kegiatan dagang yang ada pada kawasan Pecinan Pengkolan Kota Garut ini yang nampak pada barisan bangunan ruko yang berderet di sepanjang Jl. Ahmad Yani, Jl. Ciledug, Jl. Cikuray, Jl. Pasar Baru, Jl.
166 Wawancara dengan Wang Hoa ( 91 tahun, generasi kedua Keluarga Babah Gobang), dan dengan Tian Lam (86 tahun, adik Wang Hoa) pada tanggal 7 Oktober 2010 di Garut. 167 Feng Shui didasari oleh gagasan kuno bahwa manusia harus hidup selaras dengan kosmos dan menyejajarkan aturan-aturan yang menentukan terjaganya harmoni-harmoni kosmis itu, khususnya aturan-aturan pembangunan rumah atau klenteng.
74 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Mandalagiri, Jl. Guntur, dan Jl. Ciwalen atau Jl. Nyonya Liangkeng (Foto 47,48,49,50,51,70 dan 71). Seperti halnya pecinan di kota lainnya, Pecinan Pengkolan Kota Garut memiliki elemen-elemen seperti klenteng, pasar, ruko, sekolah, dan akses jalan masuk kawasan. Sesuai dengan adat istiadat yang lazim dilakukan oleh para pendatang dari Cina, bahwa di mana pun mereka merantau, orang Cina akan mendirikan tempat ibadah yang dianggap keramat. Pada Pecinan Pengkolan Kota Garut hanya ada satu klenteng tua yaitu Klenteng Hok Liong Bio di persimpangan Jl. Guntur dan Jl. Ciwalen (Jl.Nyoya Liang Keng). Posisinya berdampingan rapat dengan Pasar Garut (Foto 67). Pendirian klenteng ini nampaknya tidak menggunakan dasar-dasar feng shui dan pertimbangan ekololgis tertentu seperti menghadap ke gunung atau sungai yang biasanya tempat-tempat tersebut diyakini orang-orang Cina sebagai tempat yang mempunyai energi vital yang baik, tetapi lebih didasarkan pada kepentingan pragmatis sesuai dengan aktifitas perdagangan dan pemukiman yang tidak jauh letaknya dari bangunan klenteng. Berdasarkan posisinya, Klenteng Hok Liong Bio tersebut merupakan klenteng lingkungan (neighborhood temple) dan sekaligus klenteng jalan masuk (locality access temple) karena letaknya berada di ujung persimpangan Jl. Guntur dan Jl. Ciwalen sehingga dapat dilihat oleh siapa saja. Selain itu, klenteng ini menjadi pusat kegiatan peribadatan dan perlindungan masyarakat Cina di lingkungan tersebut. Klenteng Hok Liong Bio menjadi tempat beribadat orang Cina di Kota Garut secara turun temurun memuja Kwan Im Teng atau Kwam Im. Keberadaan Klenteng Hok Liong Bio sebagai satu-satunya klenteng bagi etnis Cina yang tinggal di Kota Garut adalah fenomena yang menarik. Klenteng Hok Liong Bio merupakan tempat untuk melakukan sembahyang terhadap dewa atau leluhur yang mereka puja menunjukkan bahwa mayoritas etnis Cina di Kota Garut memiliki leluhur yang sama. Ini berbeda dengan etnis Cina yang tinggal di beberapa kota di Indonesia, misalnya di Semarang ditemukan banyak klenteng yang masingmasing memiliki spesifik tersendiri dengan leluhur dan dewa yang berbeda pula.
75 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Dilihat dari posisinya, Pecinan Pengkolan Garut berada di tengah-tengah kota (lihat daerah yang diarsir dalam Peta III, 2, halaman 77). Bentuknya melingkar, mengikuti arah Jalan Raya. Ahmad Yani (Talaga Bodas, pada masa Kolonial),
Jalan Mandalagiri, Jalan Raya Guntur dan Jalan Ny. Liangkeng
(JL.Ciwalen). Mayoritas bangunan di kawasan itu berbentuk rumah toko (ruko) yang menjual berbagai kebutuhan, terutama bahan pokok, pakaian dan elektronik. Ini menunjukkan bahwa orang Cina selalu memiliki pola tata ruang pemukiman yang strategis, karena itu perkampungan Cina cenderung merupakan area perdagangan yang ideal jika dikaitkan dengan letak dan pola jalannya. Sementara itu pemukiman pribumi, berada di daerah pinggiran wilayah tersebut seperti Kampung Sindang Heula dan Kampung Bentar berada di pinggiran sebelah Utara Jalan Guntur berdanpingan langsung dengan pemukiman etnis Cina, Kampung Ciwalen dan Bentar Hilir berada di pinggiran Jalan Ny. Liangkeng (Ciwalen) di sebelah selatan, dan Kampung Sisir berada di pinggiran Jalan Ahmad Yani di sebelah selatan dan di sebelah timur Jalan Ciledug. Dalam Peta III, 2, posisi tempat tinggal pribumi adalah di luar yang diarsir, kecuali arah sebelah barat itu merupakan daerah perkantoran milik pemerintah daerah Garut dan pemerintah Provinsi Jawa Barat. . Rumah-rumah tempat tinggal penduduk pribumi pada tahun 1960-an, umumnya berupa rumah “panggung”, yaitu rumah yang bahan bangunannya terbuat dari kayu dan bambu yang bentuknya sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari bahan anyaman bambu yang disusun mengikuti motif atau corak tertentu menyerupai kain batik. Sedangkan lantainya terbuat dari bahan kayu atau papan yang dihaluskan. Tidak sedikit juga rumah panggung itu lantainya terbuat dari bahan bambu yang dibelah menjadi dua bagian.168
168 Disebut rumah panggung, karena pondasinya berupa empat atau lima tiang yang ditancapkan ke dalam tanah. Biasanya tiang tersebut terbuat dari batu atau kayu besar. Di bawah kolong rumah panggung sering ditemukan kandang ayam , terutma di bawah kolong rumah bagian dapur.
76 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Peta III.2 Pemukiman Etnis Cina di Kota Garut tahun 1960-an
Sumber : Penelusuran Langsung Penulis Ke Lapangan
Berdasarkan pada peta III.2 di atas, menunjukkan pemukiman etnis Cina di Kota Garut pada tahun 1960-an menempati posisi strategis wilayah perdagangan, yang merupakan pusat Kota Garut. Pola pemukimannya berbentuk melingkar menguasai sepenuhnya area perkotaan, kecuali pusat pemerintahan yang berada di sebelah barat pusat Kota Garut (Fotto 2,8,45,66,68,69). Wilayah perkotaan tersebut sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang Cina. Menurut penulis ini merupakan salah satu kekhasan pola pemukiman Cina di Kota Garut, yaitu menguasai pusat kota dan pusat perdagangan.
77 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Sementara itu orang-orang pribumi hanya menempati daerah pinggiran. Hal ini karena orang-orang pribumi kalah bersaing dengan orang-orang Cina dalam mendapatkan kawasan tersebut, terutama ketika pada masa revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, di mana orang-orang pribumi meninggalkan daerah tersebut sesuai dengan intruksi pemerintah RI untuk mengungsi ke daerah selatan Kota Garut. Sementara orang-orang Cina tidak mengungsi dan justru membeli rumah-rumah milik pribumi di kawasan tersebut. Kemudian, rumahrumah tersebut dijadikan ruko milik mereka.169 Salah satu ciri khas daerah Pecinan adalah kepadatannya yang sangat tinggi. Adanya ruko merupakan ide pemecahan yang sangat cerdik untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Ruko merupakan perpaduan antara tempat bisnis di lantai bawah dan tempat tinggal di lantai atas. Bangunan tersebut membuat suatu kemungkinan kombinasi dari kepadatan yang tinggi dan intensitas dari kegiatan ekonomi di daerah Pecinan.170 Bentuk dasar dari ruko di daeah Pecinan Pengkolan Kota Garut dindingnya terbuat dari bata dan atapnya berbentuk perisai dari genting. Setiap unit dasar mempunyai lebar tiga sampai enam meter, dan panjangnya kurang lebih lima sampai delapan kali lebarnya. Umumnya dibuat bertingkat, lantai atas sebagai tempat tinggal dan lantai bawah sebagai tempat berdagang. Denah bangunan berbentuk persegi panjang, dengan menghadap ke jalan raya dan memanjang ke belakang. Pada setiap unit ruko terdapat satu atau dua meter trotoar sebagai transisi antara bagian ruko dan jalan raya. Setiap lima atau sepuluh rumah toko terdapat jalan-jalan atau gang-gang yang menghubungkan antara jalan raya dengan jalan sekunder. Gang-gang ini hanya bisa dilewati pejalan kaki, speda, dan speda motor seperti gang Lio dan gang Cibelik din JL.Ahmad Yani.
169
Wawancara dengan Ahmad Marko (95 tahun, Komandan Bataliyon Hizbullah tahun 1945) pada tanggal 7 Oktober 2008, dan wawancara dengan Aban Yusuf (90 tahun, Ketua Kompi Hizbullah) pada tanggal 12 Oktober 2011, dan wawancara dengan Rd. Somantri (91 tahun, mantan anggota Hizbullah) pada tanggal 13 Oktober 2011. 170 Khol (1984) yang banyak mengunjungi kota-kota pelabuhan (kota bawah) di Guandong dan Fujian serta daerah pecinan di kota-kota pantai Asia Tenggara mengatakan bahwa ruko merupkan “landmark” di kota-kota tersebut. Lihat David G. Khol, Chinese Architecture in the Straits Settlements and Western Malaya : Temple, Kongsis and Houses,(Kuala Lumpur : Heinemen Asia, 1984), halaman 24-36
78 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pertokoan utama terdapat di Jl. Ahmad Yani, Jl. Mandalagiri, Jl. Pasar Baru, dan Jl. Guntur. Pasar Garut berada di tengah-tengan pemukiman etnis Cina, yaitu Pasar Garut, Pasar Darekdok, dan Pasar Baru. Pasar Garut terletak di Jl. Guntur, berdampingan dengan Klenteng Hok Ling Bio dan Pasar Baru. Sedangkan posisi Pasar Baru memanjang dari arah selatan ke utara di sepanjang aliran sungai Cikendi. Pasar Garut maupun Pasar Baru merupakan pasar yang ada sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda. Keduanya dibangun pada abad ke-19 Masehi. Pasar Garut atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pasar Guntur, sejak zaman Reformasi diubah menjadi Garut Plaza. Bangunan-bangunan yang memiliki tingkat komersial paling tinggi berada di Jl. Ahmad Yani yang merupakan pusat pertokoan. Selanjutnya pertokoan di Jl. Pasar Baru, Jl. Mandalagiri dan pertokoan di sekitar pasar Garut di Jl. Guntur. Bangunan-bangunan yang terletak di Jl. Ciwalen tingkat komersilnya rendah dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang berada di Jl. Ahmad Yani, Jl. Pasar Baru, Jl. Mandalagiri dan Jl. Guntur. Bangunan-bangunan di daerah tersebut lebih digunakan sebagai tempat tinggal daripada bisnis. Bangunan-bangunan tersebut lebih terkesan sederhana namun ada juga bangunan yang mendapat pengaruh Eropa. Elemen terpenting lainnya dari Pecinan Pengkolan Garut adalah sekolah Cina. Sekolah Cina Garut terletak di Jl. Lio (sekarang Jl. Gunung Payung) dibawah Yayasan Tiang Seng Hui. Sekolah ini didirikan pada 10 Desember 1907 di Jl. Ahmad Yani, tepatnya di atas tanah yang sekarang dijadikan lahan Asia Depstor. Kemudian pindah ke Jl. Lio (Jl. Gunung Payung) pada tahun 1909 Masehi. Pada tahun 1966 sekolah ini diambil secara paksa oleh KAPPI/KAMI dan diserahkan kepada pemerintah daerah Garut. Oleh Pemerintah Daerah Garut sekolah Tionghoa tersebut dibubarkan dan dialih fungsikan menjadi SMPN 5 Garut dan SD Ciwalen (Foto 17,18,19). Selanjutnya, jika dilihat dari perspektif pola perkembangan pemukiman, Pecinan Pengkolan Garut dapat dikategorikan sebagai model pemukiman “inti”, yaitu pemukiman etnik komunal. Pemukiman tersebut memiliki karakteristik
79 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
sosial budaya dan agama yang berbeda dengan pemukiman-pemukiman lainnya. Pola pemukimannya mengelompok dan terpisah dari pemukiman pribumi. Salah satu penyebab terjadinya pengelompokkan etnis Cina di Kota Garut, di mana pemukiman mereka terpisah dari pemukiman pribumi adalah kebijakan pemerintahan zaman kolonial yang memisahkan pemukiman kulit putih dengan kulit berwarna. Di sebelah barat pemukiman etnis Cina, yaitu di seputar alun-alun Garut, Jalan Bank, Jalan Veteran, Jalan Siliwangi, Jalan Pramuka dan seputar kawasan Pabrik Tenun Garut (PTG) (Fotto 11) dihuni oleh orang-orang Eropa terutama bangsa Belanda. Khusus, di Jalan Bank dan Jalan Pramuka terdapat tiga bangunan gereja yang dibangun sejak zaman pemerintah Belanda, yaitu Greja Katolik di Jl. Bank dan dua bangunan Gereja Adven di Jl. Bank dan Jalan Pramuka. Bangunan Gereja Adven di JL. Pramuka, persis berada di antara belokan Jl. Bank dan Jl. Pramuka, gereja tersebut sekarang dialih fungsikan sebagai kantor Kecamatan Garut Kota. Selain di sebelah barat Pecinan Pengkolan, orang-orang Eropa terutama Belanda juga mendiami daerah di sebelah timur Pecinan Pengkolan, yaitu di sepanjang Jalan Bratayuda dan daerah Talun dihuni oleh tentara Belanda dan orang-orang Eropa lainnya. Realitas tersebut dapat kita lihat dari banyaknya bangunan-bangunan peninggalan Belanda di kedua kawasan tersebut (Foto 3,4,7,8, 9, 11, 66,68,dan 69 ). Berdasarkan gambaran tersebut, maka posisi Pecinan Pengkolan Garut berada di tengah-tengah antara pemukiman Belanda dan pemukiman pribumi. Bentuk pemukiman entis Cina di Kota Garut tersebut dapat digambarkan sebagaimana digambarkan dalam gambar pemukiman etnis Cina di halaman 81.
80 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
*Gambar Pola Pemukiman etnis Cina di Kota Garut tahun 1960-an dibuat berdasarkan Peta III.2 dan penulusuran langsung penulis pada lokasi penelitian. Seperti juga di kota lainnya di Indonesia, pada masa kolonial pecinan merupakan bagian dari politik segregasi etnis pemerintah Belanda yang membagi masyarakat ke dalam tiga golongan etnis, yaitu bangsa Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Politik segregasi etnis ini telah dijalankan sejak 1672 Masehi dengan cara memberlakukan sistem officieren atau kapiten, yaitu pengangkatan pimpinan pemukiman dengan pangkat kapten. Kemudian disusul dengan memberlakukan peraturan pembatasan pemukiman (wijkenstelsel) pada tahun 1841-1915 dan passenstelsel (peraturan pas jalan) pada tahun 1863, berbagai perlakuan hukum dan sosial, hingga aturan dalam penampilan pribadi seperti model pakaian dan potong rambut.171 Semua ini mengakibatkan proses asimilasi dengan kaum pribumi menjadi terhambat. Posisi masyarakat etnis Cina ditempatkan di tengah-
Mely G.Tan (ed), “Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1981), Cet.Ke1, halaman 5.
171
81 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tengah sistem eksploitasi kolonial sehingga tercipta kecemburuan dan kemarahan golongan pribumi yang merasa dieksploitasi. Sementara pejabat Tionghoa yang dirangkul oleh Belanda menempatkan diri mereka sebagai kaum Eropa dengan gaya hidup elite. Selain faktor politik kolonial, segregasi itu juga tercipta karena faktor ekonomis. Seperti diketahui, hampir sebagian besar pemukiman Cina di Indonesia dibentuk akibat proses aktifitas perdagangan. Begitu juga pemukiman etnis Cina di Pengkolan Garut. Pemukiman ini berkembang mengikuti jalur jalan utama kota Garut, dimana tempat tersebut merupakan tempat yang sangat strategis untuk usaha dagang karena berada di tengah-tengah kota. Dengan menempati jalur utama tersebut usaha orang-orang Cina di Kota Garut mengalami perkembangan yang cukup pesat. Memasuki era tahun 1950-an sampai 1960-an usaha mereka di bidang perdagangan menunjukkan kestabilan sehingga tingkat ekonomi dan kesejehteraan juga meningkat. Perbedaan tingkat ekonomi dan kesejahteraan mereka dengan kaum pribumi lambat laun menimbulkan segregasi spasial kawasan pemukiman. Pada kawasan dengan tingkat ekonomi yang berbeda tersebut, maka kesempatan orang-orang Cina di Kota Garut untuk berintegrasi dengan kaum pribumi menjadi semakin berkurang. Kondisi seperti ini memunculkan kesan atau persepsi di kalangan pribumi bahwa orang-orang Cina bersikap eksklusif, tidak mau bergaul dengan kaum pribumi.172 Dengan berpijak pada uraian di atas, menunjukkan bahwa pemukiman etnis Cina yang mengelompok merupakan salah satu faktor pendorong munculnya kekerasan pada Mei 1963. Pola pemukiman yang berubah menjadi model sosioekonomi yang eksklusif telah menimbulkan citra negatif kelompok etnis Cina. Di lain pihak, kondisi ekonomi Indonesia yang begitu buruk telah memberikan tekanan tersendiri bagi masyarakat secara umum. Akibatnya sentimen terhadap etnis Cina yang dikelompokkan sebagai kelompok yang tidak terkena imbasnya dari krisis ekonomi muncul ke permukaan.
172
Wawancara dengan Ponpon (75 tahun, penduduk Kmpung Ciwalen), dan dengan Mukhtar Gazali (89 tahun, penduduk Bentar Hilir) pada tanggal 21 Juni 2012
82 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
3.3. Kehidupan Sosial Ekonomi, Pendidikan dan Kebudayaan. 3.3.1. Kehidupan Sosial Ekonomi Seperti sudah dijelaskan bahwa orang-orang Cina di Kota Garut pada awalnya menempati pemukiman yang telah disediakan oleh Belanda, yaitu di daerah Ciwalen. Kemudian pada tahun 1920-an dan 1930-an mereka berangsur pindah ke daerah Pengkolan, sekitar Jl. Talaga Bodas (Jl. Ahmad Yani) dan Jl. Ciledug. Alasan utama perpindahan mereka ke daerah Pengkolan adalah mencari tempat yang strategis guna menyambung hidup sebagai pedagang dan karena diberlakukannya peraturan tahun 1854 mengenai keharusan semua orang Cina tinggal di daerah dan kota tertentu. Setelah mereka pindah ke daerah Pengkolan usaha mereka di bidang perdagangan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Mereka mengusai daerah-daerah strategis di sepanjang jalan utama. Salah satu faktor yang secara tidak langsung mendukung perkembngan ekonomi kelompok etnis Cina di Kota Garut adalah peraturan atau kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1854 tentang peraturan yang mengharuskan semua orang Cina tinggal di daerah dan kota tertentu (wijkenstelsel) dan diberlakukannya Undang-Undang Agraria tahun 1870, yang melarang orang-orang bukan bumi putra untuk memiliki tanah pertanian.173 Sudah tentu undang-undang agraria tersebut membatasi orang-orang Cina di Hindia Belanda untuk memiliki tanah secara lebih leluasa. Mereka hanya bisa membeli tanah di daerah perkotaan dengan syarat mendapat izin dari pemerintah setempat. Kedua peraturan atau kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda tersebut memberikan dampak secara tidak langsung terhadap keberadaan dan aktifitas kelompok etnis Cina di Kota Garut. Pertama, menyebabkan terkonsentrasinya kelompok etnis Cina di daerah Pengkolan, yaitu daerah perkotaan yang sangat dekat dengan pusat pemerintahan. Kedua, dengan diberlakukannya UndangUndang Agraria tahun 1870 membuat kelompok etnis Cina memilih usaha di bidang perdagangan karena tidak memungkinkannya mereka bekerja di bidang 173
Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang Cina di Jawa Suatu Studi Ekonomi, (Jakarta; Gramedia, 1995), Cet. Ke-1. halaman 73
83 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pertanian. Menurut Undang-Undang Agraria tahun 1870 tersebut orang-orang Cina dilarang berkecimpung dalam pertanian (kecil) sehingga sejak saat itu terbataslah lapangan kerja mereka. Untuk pertanian besar-besaran (agrobisnis) dan industri biasanya orang-orang Cina tidak mempunyai modal yang diperlukan, sedangkan untuk jabatan-jabatan pemerintah pada umumnya mereka tidak mudah diterima. Ketiga, kedua peraturan tersebut memberikan dampak pada kelompok etnis Cina untuk lebih leluasa bergerak dalam bidang perdagangan dan mengembangkannya sebagai mata pencaharian utama mereka. Usaha kelompok etnis Cina di bidang perdagangan di Kota Garut mengalami perkembangan
yang sangat pesat setelah mereka mendapat hak
istimewa dari Pemerintah Kolonial Belanda berupa penunjukannya sebagai pemasok barang (leveransir) bagi kebutuhan perkebunan-perkebunan milik orang Eropa (terutama milik Belanda) yang berada di luar Kota Garut seperti perkebunan teh Giriawas di Cikajang, perkebunan coklat dan karet di Cisompet dan Pameungpeuk. Diantara toko Cina yang mendapat hak istimewa tersebut adalah Toko Ek Bouw di Jl. Ahmad Yani milik Thio Tiang Tjin, Toko Jakarta (Zman Belanda dikenal dengan Toko Batavia) milik Tan Tiang Tjin, Toko Khoe Pek Goan, dan toko milik Joe Si Eng di derah Cikajang. Toko Jakarta menyediakan beras dan peralatan olah raga, Toko Khoe Pek Goan menyediakan roti dan kue yang disenangi orang-orang Eropa, Toko Ek Bouw menyediakan berbagai barang pokok untuk kebutuhan sehari-hari seperti minyak, tepung, daging, gula, dan garam, sedangkan toko Joe Si Eng khusus menyediakan beras dan teh.174 Sementara itu, toko-toko Cina yang tidak memiliki hak istimewa sebagai leveransir barang keperluan perkebunan, menjual berbagai macam keperluan masyarakat Garut. Toko-toko milik Cina Khek umumnya menjual ikan asin, beras dan minyak, sedangkan toko-toko milik Cina Hokian menjual barang-barang kelontongan, kain, pakaian, perhiasan, dan barang elektronik. Toko Bandung, misalnya, di Jl. Chneessche voor Straat, milik Yo Hong Gan menjual bahan 174
Lihat transkrip wawancara Kunto Sofianto dengan Siauw (63 tahun) pada tanggal 29 Juli 1996 di Garut. Diperkuat wawancara dengan Aban Yusuf (90 thun, mantan Ketua KompiHizbullah), dan dengan Momod (90 th, mantan anggota pasukan Hizbullah) pada tanggal 12 Oktober 2011
84 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pakaian, kain, dan sebagai penyalur kain sarung cap Padi produksi Preanger Bont Weverij di Majalaya.175 Pemberian hak istimewa dari Pemerintah Kolonial Belanda kepada orangorang Cina sebagai leveransir tersebut menimbulkan ketidaksenangan di kalangan pribumi, karena selain merasa diperlakuan tidak adil, juga keberhasilan orangorang Cina dalam bidang perdagangan menciptakan kesenjangan ekonomi yang besar. Sementara itu, bidang usaha kaum pribumi kebanyakan hanya mengandalkan pertanian. Sudah tentu kondisi semacam ini menimbulkan ketimpangan penghasilan yang sangat besar antara orang-orang Cina dan orang pribumi. Ketidaksenangan kaum pribumi terhadap orang-orang Cina di Kota Garut juga disebabkan kecenderungan mereka mengisolir diri dari kehidupan masyarakat pribumi. Hal itu nampak jelas dari pola pemukiman orang-orang Cina yang mengelompok. Kehidupan itu kemudian diperkuat oleh proses perkawinan yang hanya berlangsung di antara kelompok mereka sendiri, nilai-nilai tradisi yang dianut, dan orientasi ke negeri leluhur yang sangat kuat. Setelah Indonesia merdeka, usaha orang Cina di bidang perdagangan menunjukan kestabilannya. Memasuki tahun 1960-an usaha mereka semakin meningkat. Mereka yang sudah berdagang sejak zaman Kolonial Belanda, terutama yang menjadi leveransir tetap menunjukkan kemajuannya. Mereka menguasai pusat perdagangan di Kota Garut (di sekitar Pengkolan) yakni di Jl. A.Yani, Jl.Siliwangi, Jl. Ciledug, Jl. Cikuray, Jl. Mandalagiri, Jl. Pasar Baru, dan Jl. Guntur. Jenis barang yang dijual di Jl. A. Yani, Jl. Cikuray, Jl. Ciledug, dan Jl. Siliwangi adalah bahan sandang, pakaian, perhiasan, arloji, dan barang elektronik. Sementara jenis barang yang dijual di sepanjang Jl. Mandalagiri, Jl. Pasar Baru, dan Jl. Guntur adalah bahan pokok sehari-hari seperti beras, minyak, ikan asin, terigu, barang kelontongan dan sebagainya. Selain usaha dagang, orang-orang Cina di Kota Garut, juga ada yang berusaha di bidang lain seperti angkutan, mengelola pabrik tenun di Ciwalen dan di Jl. Ahmad Yani, pabrik aci di Jl. Ciledug dan Bratayuda, pabrik Coklat di Jl. 175
Kunto Sofianto, Ibid
85 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Cimanuk, pabrik sabun di Jl. Ciledug, pabrik minyak wangi sereh di daerah pinggiran Karangpawitan dan Samarang, dan penggilingan padi di daerah Sukaregang.176 Usaha orang-orang Cina di bidang perdagangan bukan hanya terpusat di daerah Pengkolan, banyak juga diantara mereka yang sukses menjadi pedagang eceran di daerah pedesaan, yaitu di daerah Cikajang, Bayombong, Leles, Kadungora, Cihuni (Wanaraja), Pameungpeuk, dan Cibatu. Meskipun ada di antara orang-orang Cina yang bekerja di luar sektor perdagangan atau bisnis lainnya, namun pada umumnya mereka bermata pencaharian sebagai pedagang dan bisnis lainnya. Orang Cina yang bekerja di luar sektor perdagangan jumlahnya hanya sedikit, yaitu sebagai dokter dan guru sekolah. Chan Kun Lim (Chadrasyah), misalnya, adalah satu-satunya orang Cina di Kota Garut yang menjadi dokter. Ia membuka praktek di Jl. Ahmad Yani sejak tahun 1960. Orang-orang Cina yang bekerja sebagai guru diantaranya adalah Yo Liang Kie, Tjhi Atjun Pin, Lim Kiam She, Go Kim Tjian, dan Tien Liep Kie. Mereka pada umumnya mengajar di sekolah Cina THHK, Pin Ming, Daya Susila, dan Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK).177 Sebetulnya, sejak Indonesia merdeka terdapat beberapa orang Cina keturunan yang berkeinginan menjadi pegawai negeri, TNI dan polisi. Namun karena situasi politik di Kota Garut pada waktu itu tidak memungkinkan, maka mereka lebih memilih pekerjaan sebagai pedagang. Dengan memilih pekerjaan sebagai pedagang, orang-orang Cina di Kota Garut lebih fokus pada pekerjaannya sehingga pada akhirnya mereka menguasai sektor tersebut. Keberhasilan orang-orang Cina di bidang usaha perdagangan di Kota Garut sebenarnya bukan hanya karena pengaruh dari kebijakan pemerintah pada masa kolonial Belanda, juga karena tidak ada saingan dari penduduk pribumi terutama pada masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia dan keuletan mereka di bidang usaha tersebut sebagai warisan dari orang tuanya. 176
Wawancara dengan Chan Kum Lim (Chandrasyah, 89 tahun) dan dengan Tien Liep Kie (76 tahun) pada tanggal 20 Januari 2012, diperkuat oleh Aang (78 tahun, anggota pengaman kerusuhan Mei 1963, mantan pegawai Kejaksaan Garut), wawancara, tanggal 21 Maret 2012 177 Ibid
86 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Keberhasilan orang-orang Cina menjadi pedagang kaya membuat kehidupan mereka nampak eksklusif di mata penduduk pribumi. Mereka tidak mau bergaul dengan masyarakat sekitarnya, waktunya habis dipakai untuk berdagang sejak pukul 6.00 pagi sampai pukul 22.00 WIB. Mereka juga sibuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.178 Tidak mengherankan apabila pusat kota di sekitar Pengkolan merupakan “pecinan” di Kota Garut. Menonjolnya kekayaan mereka bisa dilihat dengan materi yang dimilikinya, seperti rumahrumah dan toko-toko permanen atau memiliki kendaraan roda dua dan roda empat. Disadari atau tidak, mereka telah menunjukkan kemewahan hidupnya, bila diukur dengan kondisi kehidupan ekonomi masyarakat pribumi umumnya. Kondisi seperti ini menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan penduduk pribumi. Kecemburuan itu selanjutnya memunculkan kebencian yang mendalam di kalangan penduduk pribumi dan akhirnya menimbulkan konflik laten antara penduduk pribumi dan kelompok etnis Cina di Kota Garut. Mengenai persoalan ini secara khusus akan dijelaskan dalam bab selanjutnya.
3.3.2. Pendidikan dan Kebudayaan Setelah dijalankannya politik etis pada tahun 1901179, sekolah swasta di Kota Garut mulai bermunculan. Diantaranya adalah sekolah swasta milik kelompok etnis Cina,
yang didirikan pada tahun 1907 dibawah naungan
organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau Rumah Perkumpulan Tionghoa.180 Awalnya sekolah ini menggunakan bahasa Mingnan Hokian. Kemudian pada bulan Februari 1907 didirikan Sekolah Cina Garut (Yahua) dengan menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar. Sekolah ini merupakan sekolah dasar pertama yang didirikan oleh kelompok etnis Cina di Kota Garut. 178
Wawancara dengan Ahman (87 tahun, mantan pegawai Pasar Garut) pada tanggal 27 Maret 2012 M., dan Haji Popon (74 tahun, warga penduduk Bentar Hilir, kampung dekat pemukiman orang-orang Cina Garut) pada 23 Februari 2012. 179 Nama tersebut pertama kali dipergunakan oleh P.B. Brooshooft dalam bukunya yang berjudul “De etische koers in de koloniale politik (jalan etis dalam politik kolonial” pada tahun 1901. 180 Orang Cina Garut lebih menyukai sebutan “Yahua” untuk sekolah Tionghoa yang berada di Jl. Gunung Payung (Jl.Lio) dan di Jl. Ahmad Yani (Jl. Talaga Bodas), tepatnya berdampingan dengan Bioskop Chunghua atau Sumbersari.
87 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Para perintis berdirinya sekolah Cina tersebut terdiri dari sembilan belas orang, yaitu Poa Kian Lip, Yang Hung Yen, Liang Achan, Chung A Chi, Lo Sung Ho, Chen Chin Chie, Chen Kang San, Yang A Cit, Peng Ying Ho, Liang A Hoa, Chang Peng Chen, Lie Ang Jin, Chang You Chung, Lauw O Teng, Yang Chien Pie, Chi Hoay Seng, Tan Tiang Chin, Tjan Kim Pu, dan Yap Bun Pian.181 Pada tanggal 10 Desember 1907 Sekolah Cina Garut (Yahua) memperoleh izin formal dari Pemerintah Kolonial Belanda. Pada waktu itu yang menjadi Wykmesster adalah Lauw O Teng, dan wakilnya Tjan Kim Pu. Alamat sekolah di Jl. Talaga Bodas (sekrang Jl. A.Yani), yaitu tepatnya di persimpangan Jl. Ahmad Yani dan Jl. Bratayuda. Sekarang tempat tersebut dijadikan Asia Depstor (Foto 19). Jumlah orang Cina di Kota Garut terus bertambah dari waktu ke waktu, dengan sendirinya anak-anak yang mau bersekolah pun meningkat, sedangkan tempat bangunan tidak mencukupi. Untuk itu pada tahun 1909 Sekolah Tionghoa (Yahua) pindah ke Jl. Lio (sekarang Jl. Gunung Payung) (Foto17,18). Mata pelajaran yang diberikan membaca, menulis, mengarang, menghitung, ilmu alam, bahasa mandarin, dan sejarah Cina. Bahasa pengantar di sekolah itu adalah bahasa Cina, Bahasa Belanda tidak diajarkan di sekolah ini. Karena itu bagi anak-anak Cina yang berminat mempelajari bahasa Belanda harus mengikuti kursus Bahasa Belanda di Jl. Lio atau mereka masuk sekolah Christelijk Hollandsch Idlandshe Chineeshe Scholen (CHICS) di Talun (Jl. Bratayuda) dan Europeesche Lagere Scholen (ELS) di sebelah Timur alun-alun Garut182. Sekolah CHICS didirikan pada tahun 1908 masehi sebagai bentuk perbaikan dari kebijakan Pemerintah Kolonial terhadap keberadaan etnis Cina di Hinda Belanda. Sedangkan ELS didirikan lebih dulu daripada CHICS, yaitu pada tahun 1870 Masehi. Sekolah yang satu ini diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa, Timur Asing (Cina, Turki), dan anak-anak “menak” priyayi.183
181
Seratus Tahun Yahua, Buku Kenang-Kenangan THHK, 200, halaman 5 Ibid, halaman 8 183 Ibid, halaman 9 182
88 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
atau
Pada awalnya pihak sekolah tidak memungut bayaran bahkan secara gratis memberi peralatan belajar dan memberikan beasiswa kepada dua orang siswa untuk belajar di Universiats Chinan dan Universitas Chi Mei Hokian. Memasuki tahun 1932 pihak sekolah mulai memungut bayaran dari siswa sebesar 5 Ketip sampai 2 Perak. Hal ini dilakukan untuk mengatasi kendala keuangan yang dirasakan pihak sekolah pada waktu itu. Mengandalkan keuangan dari para pedagang Tionghoa (etnis Cina) Garut dirasa sudah tidak memadai lagi karena lesunya perekonomian akibat dari Perang Dunia kesatu. Dengan cara memungut bayaran tersebut kendala keuangan dapat ditangani. Di bawah pimpinan Wykmeester Lie Swi Chung, antara tahun 19331941 perkembangan sekolah Cina (Yahua) Garut mengalami perkembangan sangat pesat. Ketika Jepang menduduki kota Garut (1942-1945), sekolah-sekolah yang ada di Kota Garut warisan Kolonial Belanda dibubarkan. Sekolah Cina diizinkan dibuka kembali dengan nama “Huachiao Kuoming Suesiao”. Anak-anak dari kelompok etnis Cina yang tadinya belajar di sekolah Belanda seperti HIS, ELS, CHICS dan Volkschool pindah ke Sekolah Cina. Dengan demikian jumlah siswa di sekolah Cina meningkat drastis. Untuk memenuhi ruang klas maka dengan izin tentara Jepang pihak organisasi “Huachiao Chunghui” meminjam ruang Sekolah Belanda di Jl. Talun (Jl Bratayuda) dan Jl. Bank untuk dijadikan cabang Sekolah Cina.184 Ketika terjadi pendudukan tentara Belanda di Kota Garut (1947-1948), kondisi pendidikan mengalami keadaan yang tidak menentu, karena penduduk pribumi, orang Arab dan Pakistan meninggalkan Kota Garut. Mereka mengungsi dan bergabung dengan para pejuang di kantong-kantong gerilya di daerah Selatan Kota Garut (Cilawu, Bayombong, Cikajang, dan Bungbulang). Para pelajar pun yang berusia 14 tahun ke atas banyak yang meninggalkan bangku sekolah untuk bergabung dengan laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah dan Sabilillah serta laskar yang lainnya.185
184
Ibid, halaman 10 Wawancara dengan Aban Yusuf (90 th, mantan ketua Kompi Hizbullah) , dan dengan Momod (90 th, mantan anggota Hizbullah) pada tanggal 12 Oktober 2011. 185
89 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Bagi orang-orang Cina kelangsungan pendidikan selama pendudukan tentara Belanda di Kota Garut tidak ada masalah, karena mereka tidak ikut mengungsi ke luar Kota Garut. Sekolah Cina THHK di Jl. Gunung Payung (Lio) justru lebih berkembang lagi. Bahkan sebagian orang Cina yang mencintai dan bisa bahasa Belanda berhasil mendirikan Sekolah Rakyat Partikulir di Jl. Ciledug (sekarang dipakai PKPN Garut). Kurikulum yang diterapkan di sekolah ini hampir sama dengan Sekolah Christelijk Hollandsch Indlandsche Chineesche School (CHICS) zaman Kolonial di Talun, dimana bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda. Sekolah Rakyat Partikulir ini merupakan cikal bakal Sekolah Dasar dan SMP Daya Susila. Pada tahun 1950 sekolah ini pindah ke Jl. Ahmad Yani (sekarang depan SMPN 1 dan SMPN 2 Garut) (Foto
14). Sekolah ini juga
merupakan sekolah campuran antara orang Cina dan kaum pribumi terutama berasal dari kelompok menengah ke atas, seperti anak bupati atau anak pengusaha kaya. Setelah berakhirnya pendudukan Tentara Belanda, sekolah Cina di Jl. Gunung Payung (THHK) terus mengembangkan diri, sekolah ini tidak hanya menyelenggarakan pendidikan dasar, juga menyediakan klas privat bagi para remaja dan pemuda yang ingin mempelajari bahasa Mandarin dan kebudayaan Cina. Sesuai dengan tuntuntan masyarakat Cina di Kota Garut, pada tahun 1952 Yayasan Yahua membuka sekolah THHK tingkat SMP di Jl. Ahmad Yani untuk menampung mereka yang ingin melanjutkan ke sekolah tingkat menengah pertama. Sekolah baru ini dibangun di atas lahan bekas pabrik tembakau. Semenjak waktu itu sekolah Cina disingkat menjadi “Yahua”. Lahan sekolah ini cukup luas, ruang kelas belajar terdiri dari enam buah bangunan, satu asrama guru dan satu lapangan basket serta lapangan olah raga lainnya. Karena cukup luasnya lahan tersebut, para siswa dan bahkan para pemuda lainnya dari kelompok etnis Cina di Kota Garut, biasa melakukan aktifitas olah raga seperti loncat jauh, loncat tinggi, lempar lembing, voly ball, bulu tangkis, lari, dan bola basket. Di dalam ruang tertutup terdapat meja pingpong, catur, ruang membaca koran dan majalah.
90 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kegiatan para pemuda kelompok etnis Cina yang terpisah dari penduduk pribumi tersebut terus berlangsung sampai tahun 1966.186 Masih di lahan tersebut, kemudian dibangun Bioskop Chunghua Chunghui berdampingan dengan Sekolah SMP THHK di sebelah barat. Gagasan dibangunnya bioskop tersebut adalah untuk membantu biaya penyelenggaraan pendidikan bagi sekolah Cina THHK (Yahua) yang berada di Jl. Gunung Payung dan Jl. Ahmad Yani. Pada tanggal 8 Oktober 1954 Bioskop Chunghua Chunghui mulai membuka usaha, hari pertama film yang diputar adalah film Indonesia berjudul “Antara Tugas dan Cinta”. Pimpinan direktur bioskop pada waktu itu dijabat oleh Mak Yauw Seng sampai tahun 1966.187 Keuntungan dari usaha bioskop ini digunakan bagi biaya pendidikan sekolah THHK, terutama digunakan untuk kesejahteraan para pengajar dan karyawan sekolah. Karena tidak mendapat izin dari pemerintah, selanjutnya bioskop ini diubah namanya menjadi bioskop “Sumbersari”. Ketika terjadi perbedaan ideologi di kalangan orang-orang Cina, di Kota Garut pada tahun 1950 muncul sekolah Cina Ping Min. Sekolah ini terletak di daerah Ciwalen, yang terdiri dari sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Sekarang, bangunan sekolah tersebut digunakan oleh Sekolah Dasar (SD) Ciwalen.188 Orientasi ideologi antara sekolah Cina Ping Min (di Ciwalen) dan sekolah Cina THHK (Yahua) berbeda satu dengan yang lainnya. Sekolah THHK lebih berorientasi pada Cina RRC yang komunis. Sedangkan sekolang Ping Min berorientasi pada Cina Taipei (Taiwan). Sebagai akibat dari perbedaan ideologi, maka antara sekolah Cina Ping Min dan sekolah Cina THHK selalu bersaing dan tidak pernah akur satu sama lain.189
186
Buku Kenang-Kenangan Alumni THHK, Op.Cit, halaman 10 Ibid, halaman 10-11 188 Selain sekolah Ping Ming, pada tahun 1963 sudah eksis sekolah campuran Cina dan pribumi bernama Daya Susila di Jl. Ahmad Yani dan sekolah SMP Yos Sudarso di Jl. Bank. Sekolah Daya Susila dikelola oleh kelompok etnis Cina yang orientasi politiknya bersimpati pada Qu Min Dang (Cina Taipai), sedangkan Yos Sudarso didirikan oleh pihak Gereja Katolik Garut. 189 Buku Kenang-kenangan Alumni Sekolah THHK, Loc. Cit, halaman 12 187
91 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pada tahun 1958, sekolah Cina Ping Min ditutup pemerintah Indonesia, karena pemberontakan daerah PRRI/Permesta di Sumatra Barat dan Sulawesi, persenjataannya disokong Cina Taiwan.190 Sebagai akibat dibubarkannya sekolah Cina Ping Min ini maka seluruh siswanya pindah ke sekolah Cina THHK (Yahua). Dengan demikian sekolah Cina THHK (Yahua) sangat diuntungkan oleh situasi tersebut, sehingga sekolah THHK (Yahua) mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada tahun 1963 jumlah siswa di sekolah Cina THHK (Yahua) kurang lebih mencapai 1500 dengan jumlah pengajar 124 orang.191 Orang-orang Cina yang ingin melanjutkan ke sekolah tingkat menengah atas (SLTA/SMA/SMU) harus ke kota lain seperti Bandung, Jakarta dan Jogjakarta, karena di Kota Garut tidak ada sekolah khusus tingkat SLTA (SMA/SMU) bagi orang-orang Cina. Meskipun sejak tahun 1960 telah ada sekolah umum seperti SMAN Garut di Jl. Ciawi Tali dan Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) di Jl. Bank, namun kebanyakan orang-orang Cina tidak berminat memasukkan anak-anaknya ke sekolah tersebut, karena sekolah itu merupakan sekolah umum yang bisa menampung orang Cina maupun pribumi. Setelah peristiwa kudeta G 30 S/PKI, sekolah Cina THHK (Yahua) dan Bioskop Chunghua Chunghui ditutup pemerintah Indonesia. Peristiwa itu terjadi pada hari Senin tanggal 14 Maret 1966, sekelompok pemuda pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam kesatuan aksi KAPPI/KAMI mengatasnamakan pemerintah secara paksa mengambil alih sekolah Cina THHK (Yahua) dan Bioskop Chunghua Chunghui (Bioskop Sumbersari). Seluruh isi peralatan dan isi sekolah lainnya disita. Alasannya, karena pengurus Chunghua Chunghui Garut menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orientasi politiknya pada Cina RRC192. Sekolah Cina THHK di Jl. Gunung Payung sekarang dipakai oleh Sekolah Menengah Pertama (SMPN V Garut), sedangkan sekolah Cina THHK di 190
Buku Alumni Sekolah Yahua I, Garut, t.th, halaman 15 Wawancara deng an Tien Liep Kie (mantan guru Sekolah THHK) pada tanggal 7 Maret 2012, T’jong Tjip Sin (81 tahun, keluarga Toko Ek Bouw Garut) pada tanggal 19 April 2012, dan wawancara dengan Lati Wan (79 tahun, pedagang Cina di Jl. Mandalagiri) pada tanggal 21 Juni 2012 192 Wawancara dengan Misbah, Rukman, Adnan (tiga pelaku gerakan anti Cina Mei 1963), pada tanggal 23 Agustus dan tanggal 21 September 2010, dengan Yati Sukarna ND (eksponen 66) pada tanggal 3 Januari 2012 191
92 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Jl. Ahmad Yani dipakai oleh Sekolah Menengah Pertama (SMPN IV Garut). Demikian pula sekretariat perkumpulan Chunghua Chunghui di Jl. Ciledug diambil alih oleh KAPPI/KAMI dan kemudian dijadikan gedung Pusat Koperasi Pegawai Negeri (PKPN) Garut, sedangkan gedung bioskop Chunghua Chunghui (Bioskop Sumbersari) diserahkan kepada Korem 062 Tarumanagara dan Kodim 0611 Garut. Selanjutnya bangunan dan tanah tersebut diklaim sebagai aset milik Korem 062 Tarumanagara (Foto 21 dan 22). Mengenai keagamaan orang-orang Cina sejak kedatangannya di Kota Garut sampai tahun 1960-an belum menunjukkan perubahan yang berarti. Setelah peristiwa G 30 S/PKI 1965, terjadi perubahan, terutama di kalangan generasi mudanya. Mereka yang sebelumnya mengikuti kepercayaan orang tuanya, beralih menjadi penganut agama Kristen, Katolik dan Islam. Perubuhan ini selain karena kesadaran mereka sendiri, juga karena kepercayaan tradisional Cina pada masa itu tidak termasuk agama yang diakui oleh pemerintah sehingga mereka khawatir dianggap sebagai orang yang tidak mempunyai agama (atheis). Setelah Kemerdekaan RI sampai tahun 1960-an, kepercayaan orang-orang Cina di Kota Garut pada umumnya menganut dua kepercayaan, yaitu kepercayaan yang bersumber pada agama formal dan agama baur. Yang dimaksud dengan sebutan agama formal dalam tulisan ini adalah agama yang jelas sumber ajarannya atau kitab sucinya, pembawa ajarannya, dan tempat peribadatannya. Agama formal yang dianut oleh orang-orang Cina di Kota Garut pada tahun 1960-an adalah agama Budha, Taoisme dan Kong Hu Cu. Kemudian yang dimaksud agama baur, adalah agama yang ajarannya sudah bercampur dengan kepercayaan animisme dan dinamisme yang berasal dari kepercayaan lokal asal mereka datang dan tempat tujuan. Mereka mempercayai banyak dewa. Semua dewa-dewa ini terpampang di dalam Klenteng Hok Liong Bio dalam bentuk patung, lengkap dengan asesoris lainnya (Foto, 58,59,61, 62,64 ). Patung Hok Tek Ceng Sien (Dewa bumi), patung Chay Chen Kong (Dewa Keberuntungan), dan patung Ma Cho Po (Dewa Keselamatan), terpampang di ruang Toa Pek Kong. Patung Koan Kong (Dewa Keadilan dan Kebenaran), dan patung Lam Kek Sian Kong (Dewa Kesehatan atau Panjang Umur).
93 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Selain memuja dewa-dewa Cina, mereka juga memuja Prabu Siliwangi dan Embah Djugo (Fotto 63) . Prabu Siliwangi adalah seorang raja Pajajaran yang sangat masyhur kegagahannya. Mereka mempercayai bahwa Prabu Siliwangi yang sudah meninggal dunia itu dapat melindungi dan memberi keberkahan dalam hidupnya.193 Sementara itu Embah Djugo dipercayai sebagi “ruh” orang gagah yang bisa memberi rizki. Ia bersemayam di Gunung Kawi Cirebon.194 Kepercayaan dan praktik peribadatan orang-orang Cina yang politeis itu tentu sangat bertentangan dengan kepercayaan (theology) yang dianut kaum pribumi yang monoteis, yang mana ajaran teologinya berpedoman pada ajaran Islam. Dalam pandangan kaum pribumi (orang Sunda) kepercayaan yang dianut dan peribadatan yang dilaksanakan orang-orang Cina adalah sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Penyembahan terhadap banyak dewa dan pemujaan terhadap arwah Prabu Siliwangi dan Embah Djugo sangat dilarang dalam ajaran Islam. Orang pribumi menyebutnya sebagai perbuatan syirik, yaitu menyekutukan Tuhan Yang Maha Esa. Praktik semacam ini dinilai oleh orang pribumi (orang Sunda pada umumnya) sebagai perbuatan nista dan dosa. Memang di dalam Klenteng Hok Liong Bio di Jl. Guntur terdapat patung dan gambar harimau Prabu Siliwangi (Foto 60) yang dihormati oleh masyarakat Kota Garut
atau Sunda umumnya sebagai raja agung pada masa Kerajaan
Pajajaran. Namun dalam tata cara “penghormatannya” antara orang Cina dan masyarakat Kota Garut jauh berbeda. Masyarakat Kota Garut tetap menghormati Prabu Siliwangi dalam batas-batas tertentu. Ia dihormati hanya sebagai mantan raja Pajajaran, tidak dipuja-puja atau disembah-sembah dengan cara memberi sesajen (Sunda, sesajen = sasajen) terus menerus seperti di kelenteng Hok Liong Bio. Sesajen ialah ritual penyembahan terhadap sesuatu yang supranatural atau gaib melalui penyajian makanan, minuman, rokok, atau barang-barang tertentu sesuai dengan kepercayaan yang dianut suatu kelompok masyarakat. Bagi kaum 193
Wawancara dengan Peng Wan (71 tahun, Pengurus Klenteng Garut) pada tanggal 27 Februari 2013 dan dengan Ten Liep Kie (73 tahun, Penganut Budhisme Garut), Amung (77 tahun, aktifis Klenteng Garut ) pada tanggal 28 Februari 2013 194 Wawancara dengan Peng Wan (71 tahun, Pengurus Klenteng Garut), Amung (77 tahun) pada tanggal 28 Februari 2013, dan Atji En En (84 tahun, aktifis Klenteng Garut) pada tanggal 3 Maret 2013.
94 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pribumi yang percaya atau yang sedang “ngelmu” yaitu orang yang sedang mendalam ilmu mistis atau ilmu kebatinan, memang ada yang pergi berziarah ke tempat tilem-nya (menghilangnya) Prabu Siliwangi di daerah Hutan Sancang Pameungpeuk (sekarang menjadi Kecamatan Cibalong). Praktik semacam ini pun dianggap oleh sebagian besar orang pribumi sebagai hal yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya karena meminta selain kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu orang pribumi, terutama penduduk sekitar Pengkolan seperti Kampung Bentar Hilir, Ciwalen, Sindanghela, Sukaregang, Pajagalan dan Panyingkiran menyebut orang-orang Cina dengan julukan si penyembah patekong dan berhala.195 Penyembah patekong artinya penyembah patung, sedangkan penyembah berhala artinya penyembah binatang. Dua ungkapan ini merupakan ungkapam pertentangan dan sekaligus pemisahan diri dengan kelompok lain. Dalam pengertian ini orang-orang Cina di Kota Garut dipandang oleh kaum pribumi sebagai “liyan” (others) atau orang lain, baik ditinjau dari aspek fisik, ruhani, maupun budaya. Bagi penganut filsafat eksistensialisme, “liyan” adalah orang yang dianggap mengancam dunianya.196 Dalam bahasa kaum pribumi di Kota Garut atau Sunda umumnya, pengertian “liyan” ini sebanding dengan makna kata “deungeun”, yaitu kata yang merujuk pada pengertian “asing” atau bukan keluarga dan kerabat.197 Pengertian semacam ini seperti tercermin dalam ungkapan “hirup sagebrug bari teu kawin mah atuh kabiasaan urang
195
Wawancara dengan Hjh.Popon (74 tahun, Penduduk Kampung Bentar Hilir) dan dengan Hjh Ai Maskanah (75 tahun, Penduduk Kampung Bentar Hilir) pada tanggal 27 Februari 2013. Diperkuat oleh KH. Dadang Badruzaman (77 tahun, Saksi Sejarah, Pimpinan Pondok Pesantren Rancamaya Tarogong Garut) pada tanggal 28 Februari 2013.
Dari zaman ke zaman “liyan” identik dengan orang yang disingkirkan, orang yang tak dikehendaki, dan berada di luar peradaban. Dalam pengertian ini Sartre mendeklarasikan ungkapan “hell is the other” yang mengagungkan eksistensi diri. Ini bukan berarti menolak keberadaan orang lain bahkan melenyapkannya, tapi seorang eksistensialis merangkai dunianya sendiri tanpa harus diganggu orang lain. Selama orang tidak mengganggu duniaku, aku juga tidak mengganggu duniamu.
196
197
Budi Rahayu Tansyah, Kamus Lengkap Sunda-Indonesia, (Bandung : Pustaka Setia, 1996), Cet.Ke-1, halaman 72
95 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
“deungeun” (artinya : hidup bersama tanpa melalui pernikahan itu merupakan kebiasaan orang asing).198 Seperti etnis Cina di kota lainnya di Indonesia, pada tahun 1960-an, orangorang Cina di Kota Garut, masih memegang teguh tradisi sembahyang kepada roh leluhur. Sembahyang kepada roh leluhur dilakukan, baik secara individu kepada leluhur keluarga maupun secara komunal di lingkungan marga. Sembahyang terhadap roh nenek moyang atau leluhur yang sudah wafat merupakan salah satu bagian penting dari kebudayaan Cina. Banyak etnis Cina khususnya generasi tua mempercayai bahwa roh nenek moyang atau leluhur yang sudah meninggal dunia dapat melindungi keturunannya dari malapetaka dan memberkahkan rizki bagi keturunannya. Seringkali sembahyang kepada leluhur ini dilakukan oleh anggota keluarga, baik secara perorangan maupun secara bersama-sama dalam satu keluarga. Untuk menghormati arwah nenek moyang, setiap tanggal malam Imlek, tepatnya pukul 12.00 atau pada pagi hari, orang-orang Cina di Kota Garut menyalakan dupa dan bersembahyang untuk nenek moyang. Seluruh anggota keluarga Cina berkumpul bersama melakukan soja, yaitu kepalan tangan kiri menggenggam kepala tangan kanan, sementara kedua ibu jarinya tegak, menandakan kedua orang tua wajib dijunjung tinggi dan dihormati. Bersama dengan praktik soja, mereka mengucapkan sin chu kiong hie, yang artinya selamat tahun baru Imlek. Selain itu, mereka juga mengucapkan “semoga panjang umur dan berbahagia selalu”, thiam hok thiam siu. Praktik soja dan menyalakan dupa ini, juga dilakukan oleh sebagian etnis Cina di Kota Garut pada pukul enam pagi tanggal 15 Imlek dengan cara membungkukkan badan dan menghadap ke arah sebelah timur. Arah hadap ke sebelah timur dalam melakukan soja ini dimungkinkan sebagai perwujudan penghormatan terhadap nenek moyang mereka dan tanah leluhurnya. Kebanyakan praktik seperti ini dilakukan oleh orang-orang Cina generasi tua.
198
Tatang Sumarsono, Maher Basa Sunda (Pangdeudeul Pangajaran Basa Sunda), (Bandung : Geger Sunten, 1995), Cet.Ke-1, .halaman 176
96 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Dalam kebudayaan Cina sembahyang kepada roh leluhur merupakan ajaran leluhur yang mengharuskan keturunannya untuk selalu menghormati orang tua (xiau), baik kepada orang tua yang sudah meninggal dunia maupun kepada orang tua yang masih hidup. Konsep xiau mengajarkan keturunan Cina untuk menghormati leluhurnya dengan cara melakukan pemeliharaan terhadap abu dan makam leluhur.199 Dalam ajaran religius Cina dipahami bahwa orang tua yang sudah meninggal dunia harus tetap dirawat kuburannya karena diyakini orang tua tersebut masih hidup di dunia lain. Orang tua yang telah meninggal dunia, juga diyakini akan selalu melindungi keluarga dan kerabat yang ditinggalkan, sehingga jika tidak dikremasi, maka orang Cina cenderung mencari kuburan di tempat yang tinggi seperti bukit dan yang lainnya. Mereka meyakini bahwa bukit merupakan tempat yang keramat, tempat arwah leluhur mereka tinggal, diibaratkan “Ying” sebagai kebalikan dari alam “Yang” pemukiman.200 Konsep Yin-Yang merupakan suatu konsepsi pandangan hidup Taoisme yang bersifat universal. Konsep YinYang menyatakan bahwa segala realitas di alam semesta mempunyai dua aspek yang berpasangan. Yin-Yang meliputi seluruh realitas seperti dingin-panas, gelapterang, lemah kuat, dalam luar, pria-wanita, dan seterusnya. Yin-Yang merangkul satu sama lain dalam keselarasan, dan perpaduan keduanya dan menghasilkan segala sesuatu yang ada201. Dengan demikian bukit tempat kuburan orang Cina dipandang berdasarkan konsep Yin-Yang sebagai harmonisasi antara alam dunia dan alam arwah. Pemakaman atau kuburan milik orang Cina di Kota Garut adalah berada di dataran tinggi atau daerah berbukit di luar kota, yaitu di daerah Gugunungan Desa Margawati dan Desa Santiong Karangpawitan. Jarak kedua makam tersebut kurang lebih tiga kilo meter dari Kota Garut. Kedua kuburan tersebut sangat
199
Ernawati, Cina Padang Dalam Arus Dinamika Masyarakat Minangkabau 1945-2006, (Disertasi Program Studi Sejarah Pascasarjana, FIB-UI, 2011), halaman 137 200 Ernawati, Ibid, halaman 138 201 Sachiko Murata, The Tao of Islam, (New York : State University of New York Press, 1992), halaman 25-26
97 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
mewah, dan berada terpisah dari kuburan pribumi yang terkesan sederhana (Foto 52,53,54,5). Penempatan kuburan Cina di daerah Gugunungan dan Santiong Karangpawitan pada dasarnya merupakan adaptasi prinsip-prinsip kosmologis terhadap situasi geografis, dimana mereka tinggal. Orang-orang Cina yang tinggal di daerah dataran rendah seperti kota-kota pesisir, maka adapatasi kosmologis kuburan Cina biasanya ditempatkan di daerah berbukit dan sekaligus menghadap ke arah laut. Fenomena ini bisa kita lihat pada kuburan-kuburan Cina di Kota Jakarta, Padang, dan Semarang. Hal lain yang berhubungan erat dengan kebudayan Cina di Kota Garut adalah perayaan tahun baru Imlek dan cap go meh. Khusus untuk perayaan tahun baru Imlek, orang pribumi (Sunda) menyebutnya dengan sebutan lebaran Cina atau pabaru Cina. Biasanya setiap kali dirayakan tahun baru Imlek atau lebaran Cina pada siang atau sore harinya muncul hujan besar yang disertai angin puyuh (angin beliung) sehingga penduduk pribumi jarang yang keluar rumah karena merasa ketakutan. Terhadap penomena alam tersebut mayoritas penduduk pribumi menafsirkannya sebagai suka cita setan dan jurig atau siluman. Istilah “jurig” dan “siluman” di kalangan orang Sunda merujuk pada pengertian hantu atau sejenis makhluk halus lainnya. Sedangkan orang Cina terhadap penomena alam tersebut meyakininya sebagai tanda diterimanya do’a-do’a mereka, dan sekaligus merupakan tanda akan mendapatkan rizki yang banyak dan melimpah di kemudian hari.202 Sementara itu, dalam merayakan tahun baru Imlek dan cap go meh, banyak di antara orang-orang Cina di Kota Garut yang meliburkan diri selama satu minggu atau dua minggu setelah tibanya Imlek. Selama itu mereka tidak melakukan kegiatan lain seperti berdagang atau pekerjaan lainnya. Kegiatan belajar mengajar di sekolah Cina THHK pun diliburkan.203 Hal itu dilakukan, 202
Wawancara dengan Popon ( 81 tahun, penduduk Ciwalen, dekat Klenteng Hok Liong Bio) pada tanggal 21 Juni, diperkuat oleh Muhtar Gazali (89 tahun) penduduk Kampung Bentar Hilir pada tanggal 21 Juni 2012 , dan Ahman (87 tahun, mantan mantri Pasar Guntur/Garut tahun 19601967), pada tanggal 24 Juni 2012. 203 Wawancara dengan Chen Yung Siang (85 tahun), Tang Eng Goan (87 tahun), Liem Ai (80 tahun) pada tanggal 12 Desember 2011.
98 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
selain agar bisa bersembahyang kepada leluhur bersama sanak keluarga, juga dijadikan ajang silaturahmi terutama dengan keluarga yang datang dari luar kota seperti Bandung, Cirebon, Solo, Jogja, dan Jakarta.204 Pada saat itu orang tua, ayah dan ibu, nenek dan kakek, paman dan bibi, bahkan tetangga memberikan hadiah kepada anak-anak berupa ang pau, yaitu amplop berwarna merah berisi uang.205 Terkadang orang-orang pribumi pun mendapatkan ang pau tersebut, khususnya para pembantu yang sudah lama bekerja. Ada juga orang Cina yang membagikan dodol yang terbuat dari beras dan gula merah kepada orang pribumi di sekitarnya, yaitu orang-orang pribumi yang tinggal di Kampung Ciwalen dan Sukaregang. Penduduk pribumi menyebutnya “dodol cina” atau kue ranjang. Sebutan ini untuk membedakan dodol cina dengan dodol garut, yang diproduksi oleh Pabrik Piknik di Jl. Pasundan dan Pabrik Sarinah di Jl. Ciledug. Kedua perusahaan dodol ini merupakan perusahaan milik orang Jawa asal Cirebon. Memasuki malam ke-15 dari datangnya Imlek, orang-orang Cina di Kota Garut biasanya sibuk mempersiapkan perayaan cap go meh.206 Cap go artinya lima belas, meh artinya malam. Pada saat datangnya malam perayaan cap go meh itu, meja abu tempat upacara sembahyang kembali dihiasi dupa dan tiga jenis daging yang terdiri dari daging ayam, daging babi, dan ikan bandeng. Pesta perayaan cap go meh ini sangat meriah. Pada masa kolonial, pesta itu meriah daripada upacara penyambutan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina.207 Begitu juga perayaan cap go meh di tahun 1963, orang-orang Cina merayakannya sangat meriah. Selama dua belas hari penuh Kelenteng Hok Liong Bio menyelenggarakan 204
Ibid Ibid 206 Penduduk Pribumi (Sunda) menyebut perayaan cap go meh dengan sebutan hari “Patekong”, karena memang pada waktu dikeluarkan patung-patung dari ruang Toa Pek Kong dari dalam Klenteng Hok Liong Bio. 207 Wawancara dengan Momod ((90 tahun, mantan Hizbullah) pada tanggal 15 Juni 2012. Lihat juga hasil wawancara Kunto Sofianto dengan Ahmad Marko (Almarhum), mantan ketua batalion Hizbullah, pada tanggal 3 September 1996, diperkuat wawancara dengan Mukhtar Gazali (89 tahun, penduduk Bentar Hilir) pada tanggal 21 Juni 2012. Mengenai perayaan Cap Go Meh pada masa kolonial Belanda ini Mely G Tan menyebutnya sebagai sesuatu yang sangat meriah yang tidak ditemukan lagi setelah Indonesia merdeka. Perayaan Cap Go Meh di Jakarta menurutnya dirayakan di daerah Glodok berupa pawai-pawaian yang sangat meriah dan dihadiri oleh semua lapisan masyarakat. Bahkan menurut Mely G Tan perayaan Cap Go Meh di luar Jakarta seperti di Bogor, Cianjur, Bandung dan Garut dirayakan lebih meriah dibandingkan dengan perayaan Cap Go Meh di Jakarta. Lihat, Abu Baqir Zein, Loc. Cit, halaman 74-75 205
99 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
hiburan berupa pementasan wayang golek yang sengaja didatangkan dari Kota Bandung.208 Bangunan-bangunan yang berjejer di sepanjang Jl. Ahmad Yani, Jl.Ciwalen (Nyonya Liang Keng), Jl. Guntur, Jl. Ciledug, Jl. Cikuray dan Jl. Mandalagiri pada waktu itu dipenuhi berbagai hiasan berwarna cerah terutama warna merah yang merupakan ciri khas warna yang disukai etnis Cina. Perayaan cap go meh pada waktu itu jatuh pada tanggal 10 Februari, empat hari lebih awal dari perayaan cap go meh di Kota Sukabumi yang jatuh pada tanggal 21 (ji it Meh) atau bertepatan dengan 14 Februari 1963. Sedangkan orang pribumi (khususnya orang Sunda) pada waktu itu sedang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan sehingga perayaan cap go meh tersebut dirasa mengganggu kekhusuan ibadah puasa.209 Perayaan cap go meh di Kota Garut pada waktu itu, juga dimeriahkan dengan bunyi petasan di hampir setiap rumah di sekitar daerah Pengkolan (yaitu di Jl.Ahmad Yani dan Jl.Ciledug). Selain itu dimeriahkan pula dengan atraksi barongsay dan permainan naga (liong) serta upacara menggotong patung-patung Toa Pek Kong, yaitu patung Hok Tek Ceng, Ma Co Po dan patung Chay Chen Kong. Patung-patung tersebut dianggap jelmaan dewa yang diutus untuk memberi dan mengabulkan setiap permintaan manusia. Oleh karena itu, banyak orang Cina yang
berebut
menggotong
patung-patung
itu,
dengan
harapan
dapat
keberuntungan. Sedangkan orang pribumi hanya menonton di sepanjang jalan. Perayaan tersebut dianggapnya sebagai hiburan yang murah meriah. Atraksi barongsay dan permainan liong dimulai di depan kelenteng di Jl. Guntur, kemudian bergerak ke Jl. Sukaregang, terus melingkar masuk Jl.Talun (Bratayuda), Jl.Cimaragas, Jl. Ciledug (Pengkolan), Jl. Ahmad Yani, Jl. Cimanuk, dan masuk kembali ke Jl. Guntur, kemudian berhenti di depan Klenteng Hok Liong Bio. Begitu juga upacara menggotong patung-patung Toa Pek Kong.
208
Wawancara dengan Popon ( 81 tahun, penduduk Ciwalen, dekat Klenteng Hok Liong Bio) pada tanggal 21 Juni, diperkuat oleh Muhtar Gazali (89 tahun) penduduk Kampung Bentar Hilir pada tanggal 21 Juni 2012, dan Ahman (87 tahun, mantan mantri Pasar Guntur/Garut tahun 1960-1967) pada tanggal 24 Juni 2012 209 Ibid
100 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Setelah berada di depan Klenteng, patung-patung itu kemudian dikembalikan lagi pada tempatnya semula di dalam klenteng.210 Empat belas hari setelah perayaan cap go meh, 25 Februari 1963, kaum muslim merayakan hari raya idul fitri. Seperti diketahui bahwa setiap malam hari raya idul fitri (malam lebaran) kaum muslim di tatar Sunda biasanya meramaikan hari raya tersebut dengan melantunkan takbir (mengucapkan lafad Allah dan Laa Ilaah Illallah) serta diiringi dengan menabuh “dulag” (bedug) di setiap mesjid dan langgar. Kadang-kadang diiringi dengan membunyikan “lodong”, yaitu sepotong bambu atau kayu “bagedor” yang diisi dengan mercon dari “karbit” dan air. Apabila disulut dengan api maka “lodong” tersebut mengeluarkan suara menggelegar seperti suara meriam. Entah dari mana asalnya, secara spontan, tidak diketahui oleh pihak keamanan sebelumnya (polisi), sekelompok pemuda kurang lebih seratus orang melakukan pawai dulag di daerah Pengkolan dengan membawa lodong yang setiap kali dibunyikan senantiasa diarahkan pada rumah-rumah (toko) milik orang Cina. Selama berpawai “dulag-dulag” yang dibunyikan dibawa beramai-ramai, maju-mundur seperti orang Cina membawa patung oray-orayan (ular) “liong” (naga) dan diiringi dengan suara sorak sorai gemuruh yang menakutkan.211 Suasana seperti ini orang-orang Cina tidak berani keluar karena merasa ketakutan. Namun pawai dulag tersebut tidak menimbulkan kerusuhan karena sekitar jam sembilan malam kelompok pemuda tersebut pergi dari daerah Pengkolan.212
3.3.3. Kebijakan Pemerintah Terhadap Etnis Cina Ketika Indonesia telah merebut kemerdekaan politiknya dari pemerintah Belanda, perasaan nasionalisme Cina di kalangan mayarakat Cina-Indonesia yang berpendidikan Cina masih kuat. Harian Sin Po (Xin Bao), dalam editorialnya sebelum dibuka konferensi Meja Mundar tahun 1949 di Belanda, mengingatkan
210
Ibid Ibid 212 Wawancara dengan Tong Liang Ciang (74 tahun), Lie Kiat Teng (75 tahun) pada tanggal 4 Februari 2010. Diperkuat oleh Tien Liep Kie (71 tahun) , Chen Yung Siang (82 tahun), dan Tang Cien Niang (75 tahun) pada tanggal 12 Desember 2011. 211
101 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
kedua pemerintah untuk memberikan tempat kepada orang Cina Indonesia sebagai minoritas dalam Indonesia merdeka. Pada saat itu, Sin Po masih menganggap masyarakat Cina Indonesia sebagai sebuah kelompok yang homogen dan menyebut mereka sebagai Hoakiau (Cina Perantauan) bukan Hoaren (orang Cina atau etnis Cina).213 Dengan demikian Sin Po menganggap masyarakat CinaIndonesia sebagai warga negara RRC. Sebenarnya mengenai status kewarganegaraan etnis Cina di Indonesia, pemerintah RI telah melaksanakan kebijakan yang lebih liberal terhadap Cina peranakan, yang menurut undang-undang Belanda, adalah warga negara Belanda. Berdasarkan pasal 5 persetujuan pembagian kewarganegaraan antara Kerajaan Nerderland dan RIS warga negara Belanda ini secara otomatis mendapat kewarganegaraan Indonesia, jika mereka tidak mengambil langkah-langkah untuk menanggalkannya. Namun kebijakan ini tidak dapat menyelesaikan permasalahan status kewarganegaraan Cina peranakan di Indonesia. Karena warga negara Belanda ini, pada waktu yang sama diklaim Pemerintah Cina sebagai warga negara
mereka,
karena
berdasarkan
Undang-Undang
kewarganegaraan
Kuomintang (Republik Cina) dan komunis (Republik Rakyat Cina), semua Cina perantauan adalah warga negara Cina. Baik Republik Cina maupun RRC, klaim tersebut didasarkan pada Undang-Undang kewarganegaraan di negara Cina tertanggal 5 Februari 1929, yang menyatakan bahwa semua orang Cina dimanapun mereka dilahirkan, asalkan ia lahir dari ayah atau ibu berstatus warga negara Cina, ia tetap dianggap sebagai warga Negara Cina.214 Untuk mempercepat proses penyelesaian masalah status kewarganegaraan Cina peranakan di Indonesia, pemerintah RI mengeluarkan PP No.1 tahun 1950. Melalui PP.No.1. 1950 tersebut pemerintah RI memberikan hak memilih dan hak menolak kewarganegaraan Indonesia bagi orang-orang yang ketika penyerahan kaula negara Kerajaan Belanda masih belum jelas statusnya.215 213
Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, (Jakarta : LP3S, 2005), Cet.Ke-1, halaman 135 214 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, (Jakarta : LP3ES, 1999), Cet. Ke1, halaman 14-15. 215 BAKIN, Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia, Buku 2, (Jakarta : Badan Koordinasi Masalah Cina-BAKIN, 1980), halaman 63-67
102 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Sementara itu pemerintah RRC menyatakan siap untuk mengakui kewarganegaraan asing etnis Cina, jika negara bersangkutan menandatangani perjanjian dwikewarganegaraan dengan negara Cina (RRC). Pada 22 April 1955 perjanjian dwikewarganegaraan ditandatangani oleh Cho En Lai dan Mr. Soenario mewakili RI-RRC. Perjanjian dwikwarganegaraan ini selanjutnya dituangkan dalam UU No.2/1958 pada tanggal 11 Januari, yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman G.A. Maengkom dan disahkan oleh Presiden Soekarno.216 Untuk melaksanakan perjanjian dwikewarganegaraan tersebut selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia mengutus Menteri Luar Negeri Dr.Subadrio ke RRC
pada bulan Oktober 1959. Dalam kunjungannya tersebut telah dicapai
persetujuan dengan Pemerintah RRC mengenai dwikewarganegaraan dan persoalan Cina Perantauan (Hoakiau) di Indonesia. Dalam pembicaraannya antara Dr. Subadrio selaku Menlu RI dan Chen Yi selaku Menlu RRC, disebutkan bahwa pihak RRC bersedia menampung orang-orang Cina perantauan yang hendak kembali ke RRC.217 Berdasarkan perjanjian dwikewarganegaraan yang disepakati antara RI dan RRC tersebut orang-orang Cina peranakan di Indonesia diberi kebebasan memilih sebagai warga negara Indonesia atau negara Cina (RRC). Etnis Cina yang tidak termasuk dalam kategori ini hanya dapat menjadi warga negara Indonesia melalui naturalisasi yang ditetapkan berdasarkan akta kewarganegaraan tahun 1958. Namun mayoritas orang Cina di Indonesia pada saat itu lebih berpegang pada kebangsaan Cina sesuai azas Ius Sanguinis dan menolak kebangsaan Indonesia. Departemen Kehakiman Indonesia pada waktu itu mencatat bahwa 390.000 orang
216
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1958 ini terdiri dari tiga pasal. Pasal 1 berupa pernyataan singkat tentang perjanjian antara RI dan RRT mengenai soal dwikwarganegaraan tertanggal 22 April 1955 dan pertukaran nota antara Perdana Menteri Ali Sastroamidjoyo dan Perdana Menteri Chou En Lai tertanggal Peking 3 Juni 1955. Pasal 2 berisi pernyataan mengenai tanggal berlakunya perjanjian dwikwarganegaraan antara RI dan RRT. Pasal 3 berisi tentang mulai berlakunya undang-undang tersebut. Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1958 Tentang Peraturan Antara Republik Indonesia dan Republik Tiongkok Mengenai Soal Dwikwarganegaraan tanggal 11 Januari 1958 (Jakarta), Sumber : LN 1958/5 217 “Indonesia Tidak Akan Tinggalkan Politik Yang Dijalankan Selama ini Dalam Melaksanakan Persetujuan dengan RRT”, dalam Merdeka, Edisi Kamis 22 Oktober 1959
103 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Cina di Indonesia menolak kewarganegaraan Indonesia sehingga 1,1 juta orang dari 2,1 juta orang Cina di Indonesia berkewarganegaraan asing.218 Empat tahun setelah ditandatangi perjanjian dwikewarganegaraan, pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Presiden Indonesia No.10 tahun 1959 atau yang lebih terkenal dengan sebutan PP-10. Peraturan ini berisi larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing (terutama perusahaan milik orang Cina) diluar ibu kota Daerah Swatantra tingkat I dan tingkat II serta Karesidenan. Sebenarnya PP.No.10. tahun 1959 ini merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Perdagangan Kabinet Djuanda yang dijabat Rachmat Moeljomiseno. Peraturan tersebut dikeluarkan pada Mei 1959, berisi larangan bagi orang asing untuk tinggal dan berdagang di daerah pedalaman. Ketika peraturan ini diterbitkan, langsung ditentang oleh Siauw Giok Tjhan di DPR. Ia menyatakan bahwa peratura semacam ini tidak bisa dikeluarkan oleh seorang mentri, melainkan harus merupakan sebuah undang-undang yang disahkan oleh DPR.219 Adapun yang dimaksud dengan “perusahaan perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing” dalam PP-10 tahun 1959 tersebut ialah perusahaanperusahaan yang dikenakan larangan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan tanggal 14 Mei 1959 No.2933/M, yaitu 1) perusahaan-perusahaan yang mencari keuntungan dari pembelian dan penjualan barang tanpa mengadakan perubahan teknis pada barang itu; 2) perusahaan-perusahaan yang melakukan perdagangan penyebaran, yaitu yang menjadi penghubung terakhir untuk menyampaikan barang-barang langsung kepada konsumen; 3) perusahaanperusahaan perdagangan pengumpulan, yaitu membeli barang-barang dari produsen-produsen
kecil
untuk
diteruskan
kepada
alat-alat
perantara
selanjutnya.220 Selanjutnya berdasarkan peraturan tersebut perusahaan-perusahaan kecil dan eceran milik orang asing yang berada di luar ibu kota Daerah Swatantra 218
David Mozingo, The Sino-Indonesian Dual Nationality Treaty, Asia Survey, Desember 1961, halaman 25 219 Benny G.Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran politik, Op.Cit, halaman 792 220 Lihat Bab I (Definisi Perusahaan Perdagangan Kecil/Eceran), pasal 1, PP.10. 1959
104 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tingkat I dan tingkat II harus sudah tutup selambat-lambatnya pada tanggal 1 Januari 1960 dengan catatan bahwa terhitung mulai tanggal berlakunya Peraturan Presiden ini diambil langkah-langkah likuidasi.221 Namun, ketentuan tersebut tidak berarti bahwa orang-orang asing yang bersangkutan harus meninggalkan tempat tinggalnya, kecuali kalau Penguasa Perang Daerah memiliki pertimbangan keamanan.222 Dalam praktiknya “orang asing” yang tercantum dalam Bab II pasal 2 ayat 2 ini terbatas hanya pada orang Cina perantauan (Hoakiau) karena dari 86.000 pedagang kecil dan eceran asing yang terdaptar, sembilan puluh persen adalah orang Cina perantauan (Hoakiau). Ketika peraturan ini diterapkan, sekitar 25.000 lebih warung milik pedagang asing yang umumnya milik orang Cina (Hoakiau) terkena PP.No.10 tahun 1959.223 Menurut Fathamsyah, anggota DPRD Swantantra I Kalimantan Timur, dikeluarkannya PP.No.10 tahun 1959 disambut gembira oleh rakyat. Dengan dikeluarkannya PP.No.10 tahun 1959 tersebut diharapkan perekonomian rakyat tidak dimonopoli oleh orang Cina. Demikian ungkap Fathamsyah dalam perbincangannya dengan “Antara” pada 20 Desember 1959.224 Masih menurut Fathamsyah, bahwa perekonomian rakyat di daerahnya mulai dari pedagangpedagang hasil bumi di pedalaman sampai dengan para importir ikan kering pada waktu itu dikuasai oleh pedagang asing Cina. Ia mencontohkan kasus Samarinda, bahwa 90% eksportir hasil bumi dan ikan laut di daerah tersebut dipegang oleh para pedagang Cina asing.225 Penuturan Fathamsyah tersebut senada dengan apa yang diungkapkan Assat Datuk Mudo, seorang pengacara dan politisi yang kemudian menjadi pengusaha, dalam pidatonya pada Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia 221
Lihat PP.10. 1959 Bab II , Pasal 2, ayat 1 tentang Likwidasi Perusahaan Perdagangan Kecil/Eceran Asing. 222 Lihat PP.10.1959 Bab II, Pasal 2, ayat 2 tentang Likwidasi Perusahaan Perdagangan Kecil/Eceran Asing. Lihat Juga “Peraturan Presiden No.10/1959 : Larangan Bagi Usaha Pedagang Kecil Asing”, dalam Merdeka, Edisi 19 November 1959. 223 Prabudi Said, “ Penduduk Cina Dipulangkan “ dalam Berita Peristiwa 6o Tahun Waspada , (Medan : Prakarsa Abadi Pres, 2006), Cet.Ke-1, halaman 39 224 “Perekonomian Rakyat di Kalimantan Timur Dimonopoli Pedagang-Pedagang Tionghoa”, dalam Merdeka, Edisi Rabu 23 Desember 1959. 225 Ibid
105 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pada tanggal 19 Maret 1956.226 Assat berpendapat bahwa selama ekonomi nasional tidak berada di tangan orang pribumi (asli, native), tidaklah mungkin untuk menyehatkannya.227 Dalam pidatonya itu Assat menyatakan bahwa orang-orang Cina merupakan kelompok eksklusif menolak masuknya orang-orang lain, terutama dalam bidang ekonomi, mereka begitu eksklusif
sehingga dalam praktiknya
bersikap monopolistis. “Jangan bayangkan ada warung Padang atau yang lain seperti sekarang, semua dikuasai orang Cina”. Demikian ungkap Assat.228 Dari pernyataan kedua tokoh nasional tersebut menunjukkan bahwa pada era 1950-an aktifitas perekonomian bangsa Indonesia didominasi oleh Cina perantauan (Hoakiau). Semua itu, kata Subadrio, sebagai hasil dari praktik segala manipulasi yang mereka lakukan, sehingga mereka berhasil memegang kekuasaan penghidupan ekonomi
bangsa Indonesia.229 Dalam kasus ini Subadrio
mencontohkan mengenai monopoli orang Cina Hoakiau dalam perdagangan ikan asin. Menurutnya “ikan asin” merupakan makanan penting bagi rakyat Indonesia, tapi dengan berbagai macam manipulasi pedagang-pedagang Cina Hoakiau maka ikan asin itu hilang dari pasaran. Padahal pemerintah, tegas Subadrio, mengetahui benar bahwa jumlah persediaan ikan asin cukup besar jumlahnya.230 Dengan
demikian
berdasarkan
realitas
di
atas,
bahwa
tujuan
dikeluarkannya PP.No.10 tahun 1959 itu adalah sebagai bentuk usaha pemerintah untuk menyehatkan perekonomian nasional melalui Indonesianisasi usaha-usaha perdagangan kecil dan eceran milik bangsa asing. Juga, untuk menjaga agar kepentingan dan penghidupan sebagian besar dari bangsa Indonesia terlindungi dari praktek-praktek kelompok yang ingin mengeruk keuntungan dan kekayaan atas dasar kemelaratan sebagian besar bangsa Indonesia.231 Lihat “Peraturan Yang Menggusur Tionghoa”, Majalah Tempo Edisi 13-19 Agustus 2007, halaman 94-95 227 Ibid, halaman 95 228 Ibid, halaman 96 229 “Pemerintah Indonesia Menolak Protes RRT : Manupulasi Golongan Hoakiau Mengacau Stabiliteit Ekonomi Indonesia (Bangsa Indonesia Cukup Sabar Sekalipun Pernah Ada Organisasi Poh An Tui)”, dalam Merdeka, Edisi Desember 1959. 230 Ibid, halaman 1 231 Ibid, halaman 1 226
106 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Konsep Indonesianisasi usaha-usaha perdagangan kecil dan eceran milik bangsa asing sebagaimana tercantum dalam PP.No.10 tahun 1959 itu juga disetujui oleh tiga anggota DPR keturutanan Cina. Ketiga anggota DPR keturunan Cina itu adalah Tjung Tin Jan, Tan Kiem Liong, dan Lie Pe Yu. Dalam komprensi persnya tanggal 20 November 1959 sebagaimana dimuat dalam Harian Merdeka,232 mereka menyatakan pendapatnya sebagai berikut : 1. Menyetujui politik pemerintah, bahwa perekonomian di Indonesia harus dalam tangan warganegara sendiri, maka mereka menunjang sepenuhnya Peraturan Presiden No.10/1959 mengenaai pedagang kecil dan eceran asing. 2. Mengharapkan
kepada
Pemerintah
agar
perjanjian
dwikewarganegaraan Soenaryo-Chou En Lai segera dilaksanakan, atau jika tidak mungkin, mendesak kepada Pemerintah agar perjanjian dwikewarganegaraan Soenaryo-Chou En Lai diabaikan saja, dan penentuan kewarganegaraan Indonesia hanya didasarkan pada UndangUndang Republik Indonesia semata. 3. Bahwa mereka bertiga yang telah memilih kewarganegaraan Indonesia tidak menganggap lagi bahwa mereka adalah warga negara RRC maupun warga negara Taiwan. Pernyataan tersebut dibuat didasarkan pada pemikiran bahwa mereka sebagai golongan warga negara Indonesia keturunan Cina merasa perlu menyatakan pendiriaannya sehubungan dengan semakin memburuknya hubungan diplomatik antara RI dan RRC pada waktu itu.233 Pendapat ketiga anggota DPR keturunan Cina itu mendapat dukungan dari Partai Indonesia (Partindo) yang menyatakan bahwa PP.No.10 tahun 1959 itu sejalan dengan komunike bersama Menlu RI, Subadrio, dan Menlu RRC, Chen Yi, serta sesuai dengan Manifesto Politik Presiden Soekarno. “Dengan dialihkannya hak dan tempat perusahaan-perusahaan perdagangan kecil dan eceran milik orang asing ke lembaga-lembaga koperasi, maka akan dapat dihindarkan bentuk-bentuk “Tiga Anggota DPR WNI Keturunan Tionghoa Tentang Pedagang-Pedagang Asing”, dalam Merdeka, Edisi 22 November 1959 233 Ibid. 232
107 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
individualisme dan liberalisme ekonomi yang dikecam oleh Manifesto Politik Presiden Soekarno”.234 Demikian tegas Partindo. Walaupun tidak menentang, Polit Biro Central Partai Komunis Indonesia (PKI) berpendapat lain mengenai dikeluarkannya PP.No.10 tahun 1959 itu . Partai kiri ini menyatakan, bahwa merupakan hak sepenuhnya Pemerintah Republik Indonesia untuk mengeluarkan peraturan mengenai orang asing di Indonesia. Polit Biro Central PKI juga berpendapat bahwa larangan terhadap pedagang kecil dan eceran milik orang asing seperti tercantum dalam PP.No.10 itu bukan berarti orang asing yang bersangkutan harus meninggalkan tempat tinggalnya. 235 Namun, menurut Polit Biro Central PKI, PP.No.10 tahun 1959 itu memiliki kelemahan yang serius. Pertama, di dalam PP.10 itu ditemukan masih adanya ruang pintu belakang bagi Penguasa Perang Daerah (Peperda) untuk memaksa mengusir orang asing dari tempat tinggalnya dengan alasan keamanan. Kedua, dalam PP.No.10 ini tidak dicantumkan secara jelas mengenai kemungkinan bisa atau tidaknya perusahaan perdagangan kecil milik asing itu dialihkan menjadi lapangan produksi dengan disertai ketentuan mengenai surat izin pendiriannya.236 Meskipun PP.No.10. tahun 1959 dimaksudkan untuk menyehatkan perekonomian nasional, namun peraturan ini menimbulkan ketegangan diplomatik antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina (RRC). Dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri RI, Subadrio, dengan Duta Besar RRC untuk Indonesia, Huang Chen, pemerintah RRC meminta peninjauan kembali peraturan tersebut sehari setelah diterbitkan.237 Namun permintaan itu ditolak pemerintah Republik Indonesia.238 Selanjutnya, di depan sidang parlemen Subadrio menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan PP.No.10 tahun 1959 itu tidak ditemukan unsur-unsur gerakan anti Cina, melainkan pelaksanaan PP.No.10 itu merupakan dimulainya “PP.10 Sejalan Komunike Subadrio dan Chen Yi (PKI Melihat Kelemahan-Kelemahan Yang Serius)”, dalam Merdeka, Edisi 24 November 1959 235 Ibid 236 Ibid 237 Prabudi Said, “ Penduduk Cina Dipulangkan “ dalam Berita Peristiwa 6o Tahun Waspada , (Medan : Prakarsa Abadi Pres, 2006), Cet.Ke-1, Op.Cit, h.39. Lihat juga “Pemerintah RI Tinjau Soal Tionhoa Dari Dua Segi”, dalam Merdeka, Edisi 18 November 1959 238 Prabudi Said, Ibid, halaman 39 234
108 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
nasionalisasi dan sosialisasi di bidang ekonomi serta merupakan bagian pelaksanaan revolusi Indonesia.239 Masih menurut Subadrio, bahwa dalam nasionalisasi tersebut, PP. No.10 memerintahkan agar usaha-usaha pedagang kecil dan eceran milik orang asing yang berada di luar ibu kota Daerah Swatantra tingkat I dan tingkat II harus ditutup dan pedagang itu hanya boleh tinggal di tempat tinggalnya. Sementara itu tempat berjualan selama ini tidak dibenarkan untuk dipergunakan lagi sebagai tempat usaha perdagangan dan semua barang jualan yang berada di tempat tersebut harus diserahkan kepada koperasi.240 Mendengar penjelasan Subadrio tersebut pemerintah RRC menjadi berang, pada tanggal 10 Desember 1959 radio Peking menyiarkan ajakannya kepada Cina perantauan (Hoakiau) untuk kembali ke hangatan ibu pertiwi. Sementara itu Harian Partai Komunis Cina, Jen Min Jin Pao (Harian Rakyat) dan tiga harian lainnya yang terbit di Peking serta “Hsinhua” (kantor berita resmi RRC) pada tanggal 12 Desember 1959 memuat surat protes Menlu RRC, Chen Yi, kepada Menlu RI dan “background material” mengenai peristiwa warga negara RRC di Indonesia.241 Dalam “background material” itu dimuat mengenai bantahan RRC terhadap pernyataan Menlu RI, Subadrio, dalam konferensi persnya pada tanggal 18 November 1959 yang menyatakan bahwa Duta besar RRC untuk Indonesia, Huang Chen, akan membantu pelaksanaan pemindahan orang-orang Cina perantauan (Hoakiau) dari pedesaan ke ibu kota Daerah Swantantra Tingkat II atau Kabupaten.242 Selain memuat bantahan Menlu RRC, Chen Yi, Harian Jen Min Jin Pao juga menuduh bahwa dibalik munculnya PP.No.10. tahun 1959 ada kekuatankekuatan tertentu yang berpengaruh di Indonesia yang tidak menyukai persahabatan RI dan RRC dengan cara menggunakan peraturan pemerintah RI untuk melarang aktifitas perdagangan kecil dan eceran orang-orang Hoakiau 239
Prabudi Said, Ibid, halaman 39 Prabudi Said, Ibid, halaman 40 241 “Pers Peking Kobarkan Kampanye Anti Indonesia”, dalam Merdeka, Edisi Senin 14 Desember 1959. 242 Lihat “Duta Besar RRC Huang Chen Akan Bantu Pelaksanaan Pemindahan Orang Tionhoa”, dalam Merdeka, Edisi 18 November 1959 240
109 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
(Cina perantauan) di pedesaan dengan cara memaksa mereka mengungsi dan mencabut mata pencahariannya serta dipukuli sekeras-kerasnya. Tetapi mereka tidak berani mengacungkan jarinya terhadap monopoli modal kaum imperialis. Karena itu, tulis Harian Men Jin Pao dalam tajuk rencananya, 630 juta rakyat RRC tidak akan diam diri menyaksikan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap orang-orang Cina perantauan di Indonesia.243 Tuduhan-tuduhan dari Menlu RRC itu ditolak secara keras oleh Menlu RI, Subadrio. Dalam nota balasannya, ia membantah tuduhan Chen Yi yang menyatakan bahwa Hoakiau-Hoakiau di Indonesia diperlakukan secara kejam sebagai musuh negara Indonesia. Subadrio mengatakan : “Sayang sekali, bahwa kemauan, sikap dan tindakan baik dari bangsa Indonesia itu tidak mendapat jawaban secara setimpal oleh golongan Hoakiau itu. Sebaliknya dengan menghalalkan segala hukum-hukum keadilan atau prikemanusiaan, mereka dengan segala manipulasi berhasil memegang kekuasaan dalam penghidupan ekonomi bangsa Indonesia”.244 Ketegangan antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina (RRC) itu tidak berlarut-larut karena nampaknya RRC menyadari peran strategis Indonesia di Asia Tenggara. Dalam sejarah Indonesia pada kurun 1960-1963 tercatat beberapa kali kerusuhan anti Cina, namun RRC tidak menanggapinya secara emosional. RRC bahkan menganggap itu sebagai urusan dalam negeri Indonesia yang tidak luput dari rongrongan kaum imperalis.245
Pada tanggal 24 Desember 1959 Menlu RRC, Chen Yi, menyampaikan surat kepada Menlu RI, Subadrio, mengusulkan untuk melakukan perundingan antara kedua negara di dalam memecahkan persoalan Cina perantaun (Hoakiau) di Indonesia. Dikatakan juga dalam surat Chen Yi tersebut, bahwa pemerintah RRC tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.246
243
Harian Merdeka, Ibid, halaman 1 “Manipulasi Golongan Hoakiau Mengacau Stabiliteit Ekonomi Indonesia (Bangsa Indonesia Cukup Sabar Sekalipun Pernah Ada Organisasi Poh An Tui)”, dalam Merdeka, Edisi 14 Desember 1959 245 Tuty Enoch Muas, “Hubungan Indonesia Cina: Secara Historis Dinamis”, dalam I Wibowo & Syamsul Hadi (Editor), Merangkul Cina, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2009), Cet.Ke-1, halaman 29 246 “Sebaliknya Minta Segera Berunding Mengenai Dwikwarganegaraan”, dalam Merdeka, Edisi 26 Desember 1959 244
110 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Sebagai akibat dilaksanakannnya PP. No.10 tahun 1959, puluhan ribu orang Cina harus meninggalkan tempat usaha dan kediamannya di daerah pedalaman. Di beberapa tempat penerapannya dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer. Di Cibadak, penerapan peraturan ini menimbulkan kerusuhan rasialis Cibadak. Sementara itu di Cimahi Bandung peristiwa pengusiran orangorang Cina menimbulkan korban, di mana dua orang perempuan Cina tertembak mati. Akan tetapi, Harian Waspada berpendapat lain, bahwa secara umum pelaksanaan PP.No.10 tahun 1959 berjalan lancar.247 Namun di beberapa daerah wilayah Indonesia, seperti Bandung dan Medan, ditemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pedagang asing Cina yang menyulitkan pelaksanaan PP. No 10 tahun 1959 sehingga sempat menimbulkan gejolak. Salah satu sebabnya adalah banyak orang-orang Cina perantauan (Hoakiau) yang berdagang di daerah pedesaan mendapat hasutan dari pihak konsulat RRC untuk menolak pelaksanaan PP.10. 1959 sehingga menimbulkan gejolak di dalam masyarakat.248 Salah satunya adalah peristiwa Ciranjang dan Cipanas Cianjur Jawa Barat. Dalam peristiwa ini, seorang konsulat RRC bernama Ho An telah menghasut penduduk Cina perantauan (Hoakiau) untuk tidak mematuhi penerapan PP. No.10 sehingga mereka tidak mau menutup dan meninggalkan tempat usahanya. Karena itu Peperda (Penguasa Perang Daerah) Jawa Barat selain mempersilakan Konsulat Ho An untuk segera meninggalkan daerah Resimen VIII Jawa Barat, juga mengintruksikan kepada semua Pelaksana Kuasa Perang (PKP) untuk mempersilakan semua pejabat RRC yang ada di Jawa Barat meninggalkan daerah tersebut dan supaya tidak memperkenankan para pejabat itu memasuki daerah hukum Swatantra I Jawa Barat sampai intruksi tersebut dicabut kembali.249 Prabudi Said, “ Penduduk Cina Dipulangkan “ dalam Berita Peristiwa 6o Tahun Waspada, Op.Cit, halaman 39 248 “Para Pejabat Perwakilan RRC Tidak Diperkenankan Masuk Ke Jawa barat”, dalam Merdeka, Edisi 21 November 1959. 249 Selain mengeluarkan intruksi kepada semua Pelaksana Kuasa Perang (PKP) daerah Jawa Barat, Peperda Swatantra I Jawa Barat mengeluarkan dan menetapkan Keputusan nomor Kpts 84/11/PPD/1959 tentang larangan bagi semua anggota Kedutaan Besar RRC untuk masuk atau berada di dearah Swatantra I Jawa Barat. Lihat “Anggota Kedutaan RRC Dalam Waktu 24 Jam Harus Tinggalkan Jabar” dalam Merdeka, Edisi 23 November 1959 247
111 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Selain itu, banyak diantara Hoakiau yang mencoba melakukan praktik spekulasi dengan mengosongkan tokonya. Setelah itu mereka melakukan penimbunan barang dagangannya untuk selanjutnya dinaikkan harganya secara sepihak. Di Sumatra Utara, misalnya, Tim Operasi Pengawasan Ekonomi untuk pelaksanaan PP.10 tahun 1959 telah menemukan 200 gudang di Medan yang menimbun bahan sandang dan pangan. Untuk itu pihak Tim Operasi Pengawasan Ekonomi Sumatra Utara memberikan hukuman badan kepada mereka.250 Isu persetujuan perjanjian dwikewarganegaraan dan Peraturan Presiden (PP) Nomor 10 Tahun 1959 mewarnai perpolitikan Indonesia pada tahun 1960-an, diiringi dengan berbagai gejolak yang ditimbulkannya. Akumulasi permasalahan orang Cina di Indonesia mencapai titik puncak dalam bentuk polemik terbuka, yang kadang-kadang disertai peristiwa berdarah. Polemik asimilasi yang berlangsung secara terbuka di majalah Star Weekly pada awal dasawarsa 1960-an merupakan anti klimaks permasalahan Cina di Indonesia. Pengelompok aliran politik dan aspirasi mereka semakin muncul ke permukaan. Di Garut, isu persetujuan perjanjian dwikewarganegaraan pada awal 1960an telah memunculkan tafsiran umum di kalangan masyarakat pribumi bahwa orang Cina merupakan orang asing yang tinggal di Indonesia, mereka sama dengan orang Belanda. Mereka hidup menjadi “mangandeuh” orang Sunda.251 Mangandeuh artinya “parasit” atau “benalu” dalam tanaman induk.252 Istilah ini muncul sebagai ungkapan rasa tidak senang karena dianggap mengganggu kehidupan seseorang atau kelompok sosial. Sementara itu, pelaksanaan PP-10 tahun 1959 telah memberi kesan umum pada masayarakat Garut, bahwa Soekarno dan militer (TNI) menyetujui atas pengusiran orang-orang Cina Hoakiau dari bumi Indonesia karena mereka adalah penjajah di bidang ekonomi. Peristiwa penutupan warung Cina di pedesaan dan pemindahan mereka dari pedesaan ke ibu kota Swatantra II (kabupaten) 250
Ibid Wawncara dengan Misbah (72 tahun, pelaku sejarah), Amir Syarifudin (75 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 14 Januari 2010, dan wawancara dengan Deden ( 73 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 5 April 2012 252 Budi Rahayu Tamsyah, Kamus Lengkap Sunda-Indonesia, (Bandung : Pustaka Setia, 1996), Cet. Ke-1, halaman 164 251
112 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
berdasarkan PP.No.10 tahun 1959 itu masyarakat Garut menyebutnya sebagai “beset Cina hiji”.253 Beset atau “dibeset” artinya dikuliti atau diduduki. Ini semakna dengan ungkapan “dina jaman revolusi, dayeuh Yogya kungsi beset ku tentara RI, najan ukur jam-jaman”. Ungkapan ini jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia secara leterlek adalah semakna dengan ungkapan “pada masa revolusi, kota Jogjakarta pernah diduduki tentara RI, walaupun dalam waktu beberapa jam”. Sementara itu kata “hiji” artinya “satu”. Dengan demikian pengertian “beset Cina hiji” mengandung pengertian mengusir dan menduduki tempat usaha dan tempat tinggal milik orang-orang Cina di daerah pedesaan di Kabupaten Garut. Peristiwa “beset Cina hiji” atau peristiwa penerapan PP.No.10 tahun 1959 itu terjadi pada bulan Januari tahun 1960 di beberapa daerah kecamatan di Kabupaten Garut. Di antaranya di daerah kecamatan Cikajang, Bayombong, Wanaraja, Cibatu dan Leles. Pada waktu itu penutupan warung milik Cina dilakukan oleh pihak tentara dan dibantu kelompok masyarakat, terutama kaum pemuda. Dalam peristiwa “beset Cina hiji” ini banyak penduduk pribumi merasa diuntungkan karena mereka bisa membeli barang-barang berharga milik orang Cina seperti kursi rotan, meja, ranjang, kasur, dan lemari pakaian dari kayu jati. Barang-barang tersebut dijual secara murah oleh orang-orang Cina yang akan meninggalkan tempat usaha perdagangannya itu. Sedangkan warung-warung milik mereka ada yang dijual, ada juga yang dititipkan kepada orang pribumi untuk digunakan oleh orang pribumi sementara waktu sebelum laku dijual.254 Dalam perkembangan selanjutnya kesan tersebut menjadi anggapan umum bahwa orang-orang Cina harus diusir karena menjajah ekonomi Indonesia. Anggapan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa dengan diberlakukannya PP.10 tahun 1959, justru menyebabkan kegiatan usaha orang Cina di Kota Garut semakin meningkat, karena usaha mereka terkonsentrasi di pusat-pusat 253
Wawancara dengan KH. Ohan Burhan (79 tahun, pelaku beset Cina hiji, dan kerusuhan anti Cina Mei 1963), Misbah (73 tahun, pelaku sejarah), dan Amir Syarifudin (76 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 3 Januarai 2011 254 Wawancara dengan KH. Ohan Burhan (79 tahun, pelaku beset Cina hiji, dan kerusuhan anti Cina Mei 1963), Misbah (73 tahun, pelaku sejarah), Amir Syarifudin (76 tahun, pelaku sejarah), dan KH. Maksum (81 tahun, pelaku beset Cina hiji) pada tanggal 3 Januarai 2011
113 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
perdagangan. Pada tahun 1960-an usaha mereka tetap menunjukkan kestabilan. Mereka menguasai daerah pertokoan di daerah Pengkolan, dan mengusai jongkojongko strategis di halaman muka Pasar Guntur Garut.255
255
Wawancara dengan Misbah (72 tahun, pelaku sejarah), Amir Syarifudin (75 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 14 Januari 2010, dan wawancara dengan Deden ( 73 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 5 April 2012
114 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
BAB IV SENTIMEN ANTI CINA DI LINGKUNGAN ORANG SUNDA SEBELUM TERJADI KERUSUHAN MEI 1963
Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai sebab-sebab mengapa terjadi sentimen anti Cina di kalangan penduduk pribumi, terutama kelompok etnis Sunda sebagai penduduk mayoritas di Kabupaten Garut. Persoalan ini penting untuk dijelaskan dalam disertasi ini, untuk melihat sejauh mana korelasinya atau keterhubungan dan pengaruhnya terhadap munculnya kerusuhan anti Cina pada Mei 1963 di Kota Garut. Pemaparan singkat akan disajikan dalam bentuk beberapa sub bab pemaparan sesuai dengan fakta yang ditemukan.
4.1. Akar Sentimen Anti Cina : Warisan Masa Kolonial dan Revolusi Fisik Menurut Ong Hok Ham, segala sesuatu tentang masyarakat Cina di Indonesia khususnya di Jawa dan di beberapa daerah lainnya, bentuk prilaku dan sikap anti Cina, adalah berakar pada zaman kolonial Belanda.256Semua ini sebagai akibat dari kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda yang cenderung rasialis. Van Gulik mengenai kedudukan orang-orang Cina di Indonesia (khususnya di Jawa) melukiskan, bahwa pada umumnya keadaan orang-orang Cina hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan tidak baik. Menurut Gulik, orangorang Cina disamaratakan dengan orang pribumi; jika ada aliran dalam kebijaksanaan pemerintah yang ingin mengurangi kedudukan orang pribumi maka dengan demikian orang-orang Cina itu juga akan menderita. Akan tetapi, lanjut Gulik, jika di pihak lain cara pandang yang lebih etis berulang kali menang maka orang-orang Cina segera ditunjuk sebagai pengisap penduduk dan penyumbat
256
Ong Hok Ham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina : Sejarah Etnis Cina di Indonesia, ( Depok : Komunitas Bambu, 2008), Cet.Ke-1. halaman 1.
115 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
perdagangan orang pribumi, dan juga hal ini membuat orang-orang Cina bernasib buruk di mata pribumi.257 Pada pertengahan abad ke-19 M, suatu konsep Nederlandschap (Kebangsaan Belanda) dirumuskan dalam undang-undang pokok Belanda. Konsep ini memandang orang Belanda, keturunan Belanda, pribumi dan orang Asia yang lahir di Hindia Belanda (Cina dan Arab) sebagai Nederlander (berkebangsaan Belanda). Tetapi “kebangsaan” ini tidak berarti apa-apa bagi golongan pribumi dan bagi orang Asia yang lahir di Hindia Belanda, karena tidak disertai oleh hak sama sebagaimana didapat oleh orang Belanda. Orang pribumi dan Asia yang lahir di Hindia Belanda dalam beberapa kasus diberi status sama, biasanya kurang menguntungkan “kebangsaan”
dibanding
dengan
Belanda.
Satu-satunya
manfaat
dari
ini tampak apabila mereka pergi, maka sebagai Nederlander,
berhak atas perlindungan dari para pejabat konsulat Belanda. Tetapi pada tahun 1892 orang Asia yang dilahirkan di Hindia Belanda ditetapkan sebagai Ingezetenen (penduduk) dan Niet-Nederlander (bukan Nederlander). Penetapan ini tidak berpengaruh apa-apa di Hindia Belanda tetapi menyebabkan kedudukan mereka di luar negeri tidak menentu.258 Sekalipun terdapat sebagian orang Cina peranakan yang terasimilasi ke dalam masyarakat setempat, mereka masih tetap terpisah dari golongan-golongan ras lainnya, terutama sebagai akibat dari struktur masyarakat kolonial dan politik pecah belah Belanda. Pada waktu itu berdasarkan Regering Reglement (Peraturan Pemerintah) 1907 terdapat tiga lapisan ras yang besar di Hindia Belanda, yaitu golongan Eropa yang menduduki tempat teratas, golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen, terutama Cina) di tengah, dan golongan pribumi (Inlanders) di lapisan bawah. Sampai kira-kira tahun 1910, setiap golongan ras ditetapkan tinggal di masing-masing kampung sehingga ada kampung Cina, Arab, Bugis, Melayu dan lain-lain. Pembatasan mobilitas badaniah, bagi golongan Timur Asing seperti Cina dipertegas dengan diberlakukannya peraturan surat jalan R.H.Gulik, Chineezen in Nederlandsch-Indie, (Winkler Prins’Anlgemeene Encyclopaedie, Jilid 5), halaman 60-61 258 Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan Jawa, ( Jakarta :Pustaka Sinar Harapan, 1986), Cet.Ke-1, halaman 41 257
116 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
(passenstelsel) pada tahun 1816 dan sistem pas jalan dan perkampungan (wijkenstelsel) pada tahun 1854. Melalui dua peraturan tersebut orang-orang Cina harus memperoleh izin apabila hendak berpergian dari satu kampung ke kampung yang lainnya dan mengharuskan semua orang Cina tinggal di kawasan dan kota tertentu. Dalam hal-hal yang berkenaan dengan masalah-masalah hukum, orang Cina bersama-sama dengan golongan Timur Asing lainnya (seperti Arab dan Jepang), dikelompokkan bersama-sama dengan lapisan pribumi. Mereka diadili di Pengadilan Polisi (Politiero) untuk pelanggaran kriminal kecil-kecil, dan di Pengadilan Pribumi (Landraad) untuk pelanggaran-pelanggaran berat. Pengadilan Polisi dianggap sebagai sewenang-wenang oleh orang Cina sedangkan Pengadilan Pribumi sebagai bertingkat lebih rendah. Keluhan orang-orang Cina menjadi-jadi, pertama-tama dengan diumumkannya Undang-undang Agraria (1870) yang melarang orang Cina dan golongan nonpribumi lainnya untuk memiliki tanah pertanian baru dan, kedua sikap acuh tak acuh Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pendidikan anak-anak mereka. Orang-orang Cina mengeluh karena mereka digolongkan sama seperti orang pribumi dan karena itu diberi status lebih rendah di pengadilan, namun mereka dikenal pembatasan-pembatasan tertentu yang tidak dikenalkan pada penduduk pribumi.259 Keluhan orang Cina mencapai puncaknya menjelang akhir abad ke-19 ketika pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Politik Etis yang menyerang kekuatan ekonomi dari orang Cina. Sistem surat jalan dan sistem penetapan zona diterapkan dengan ketat dan usul-usul diterima bagi penghapusan sistem sewa pajak (pacht), suatu sumber pendapatan penting bagi orang Cina di Jawa. Desasdesus juga beredar bahwa pemerintah akan membuka bank-bank desa, dengan demikian bertentangan dengan kepentingan orang Cina yang membungakan uang.260 Kekalahan Cina dalam perang dengan Jepang pada tahun 1895 dan penghinaan yang dialami pada tahun 1900 dengan masuknya tentara sekutu ke 259 260
Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa, Ibid, halaman 22 Ibid, halaman 22-23
117 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Peking, mengakibatkan timbulnya gerakan nasional di Cina dan gerakan ini pada tahun 1911 berhasil menjatuhkan Dinasti Ching yang korup itu. Gerakan itu pada tahun 1900 menjalar ke tanah Jawa. Kebangkitan nasional ini dengan mudah dapat mempengaruhi orang-orang Cina di Jawa karena mereka pada waktu itu merasa mengalami perlakuan tidak adil dari Pemerintah Hindia Belanda. Mereka tidak
mempunyai
hak
politik
sehingga
tidak
dapat
memperjuangkan
kepentingannya dalam perundang-undangan. Menurut Fromberg para pemimpin kelompok Cina dengan demikian tidak mempunyai pengaruh di dalam pemerintahan. Mereka hanya ditunjuk belaka berdasarkan hak petisi menghadapi birokrasi.261 Semua perlakuan yang dialami orang-orang Cina di Jawa, memunculkan kesadaran bahwa mereka harus sepenuhnya bergantung pada diri sendiri. Harapan mereka satu-satunya dipancangkan pada penggabungan dengan negeri leluhur yang beremansipasi dan aspirasi ini tidak ditolak oleh pemerintah Cina, bahkan didorongnya. Gerakan yang timbul karenanya dinamakan apa yang disebut Gerakan Cina Raya. Pers Cina Melayu berkembang menjadi organ menyuarakan keluhan-keluhan orang-orang Cina,262 misalnya Li Po (1901) di Sukabumi, Chabar Perniagaan (1903) di Batavia, dan Pewarta Soerabaia (1902) di Surabaya. Gerakan Cina Raya ini berkembang dengan pesat, dan pada tahun 1907 dan 1908 Saing Hwee (Kamar Dagang Cina) telah berdiri di berbagai daerah di tanah Jawa. Kaum peranakan Cina dan totok memegang pimpinan bersama-sama, tetapi jumlah kaum totok tampaknya mengungguli jumlah Cina peranakan. Masih pada tahun 1907
T’ung-meng Hui, yaitu himpunan orang-orang Cina yang
disumpah bersama “partai revolusioner Sun Yat Sen membentuk cabangnya di Batavia. Cabang ini selanjutnya mengubah namanya menjadi Chi-nan she, yang bertujuan untuk menyebarkan luaskan doktrin-doktrin revolusioner.263 Terhadap gerakan Cina tersebut pemerintah Hindia Belanda merasa khawatir akan terus berkembang yang bertujuan ke arah pemisahan total orang261
Liem Twan Djie, Op.Cit, halaman 45-46 Ibid, halaman 46 263 Leo Suryadinata, Op.Cit, halaman 23 262
118 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
orang Cina yang sudah bermukim turun-temurun di Hindia Belanda dari ikatan kenegaraan. Berbagai macam perbaikan diadakan dalam waktu yang singkat. Pada tahun 1908 didirikan apa yang dinamakan Hollandsch Chineesche Scholen, pada tahun 1910 orang-orang Timur Asing diizinkan dengan bebas bermukim di ibu kota-ibu kota provinsi, keresidenan, kabupaten, kewedanaan atau kecamatan dan di tempat-tempat pasar tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah provinsi. Pada tahun1916 dihapuskan penggunaan pas jalan, dan pada tahun 1918 terjadi penghapusan menyeluruh atas paksaan tinggal di kampung tertentu. Memasuki awal abad ke-20 hubungan antara perdagangan besar-besaran orang Eropa (khususnya Belanda) dan perdagangan perantara orang Cina juga menjadi lebih baik.264 Implikasinya adalah perdagangan orang-orang Cina mengalami kemajuan yang sangat pesat hampir di seluruh kota di Indonesia. Di Kota Garut, usaha perdagangan kelompok etnis Cina semakin berkembang setelah Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan berupa hak istimewa penunjukan leveransir (pemasok barang) untuk perusahaanperusahan Eropa, terutama perkebunan-perkebunan milik Belanda yang berada di luar Kota Garut (lihat pembahasan Bab III). Pemberian hak istimewa berupa penunjukan leveransir (pemasok barang) oleh Pemerintahan Hindia Belanda itu telah menimbulkan kecemburuan di kalangan
penduduk
pribumi.
Kecemburuan
itu
timbul
karena
merasa
“dianaktirikan” di negerinya sendiri oleh Pemerintah Hindia Belanda. Padahal orang Cina bukan merupakan penduduk asli, mereka itu pendatang dari negeri jauh. Pada akhirnya kecemburaan tersebut menimbulkan ketidaksenangan dan kebencian di kalangan penduduk pribumi terhadap keberadaan etnis Cina di Kota Garut. Ketidaksenangan tersebut juga timbul karena kesuksesan orang-orang Cina dalam bidang perdagangan yang akhirnya menciptakan kesenjangan ekonomi yang besar antara kelompok etnis Cina dan kaum pribumi. Ditambah pula dengan adanya hak-hak dan peranan yang istimewa dalam perdagangan tersebut, orangorang Cina di Kota Garut cenderung mengisolir diri dari kehidupan masyarakat
264
Liem Twan Djie, Loc Cit, halaman 46
119 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pribumi. Kecenderungan itu dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk memperkuat monopoli mereka dalam bidang perdagangan. Pada masa Revolusi Fisik (1945-1949) kebencian dan sentimen anti Cina di kalangan penduduk pribumi muncul kembali. Hal ini berhubungan erat dengan sikap orang-orang Cina di Kota Garut dalam menghadapi Kemerdekaan Republik Indonesia.265 Ketika awal-awal proklamasi kemerdekaan RI, orang-orang Cina di Kota Garut menyokong perjuangan Republik Indonesia, namun ketika terjadi agresi Bealanda pada tahun 1947 dan 1948, di mana Belanda berhasil menduduki Kota Garut, mereka justru berbalik memihak Belanda. Ciri-ciri ini antara lain mereka tidak mau mengungsi ke luar Kota Garut sebagaimana diintruksikan Pemerintah Daerah Republik Indonesia, yaitu di Perkebunan Waspada dan Juliana di daerah Cikajang. Bahkan Ketua Chunghua Chunghui, The Goan Ho, meminta kepada Pemerintah Daerah RI agar para pengungsi Cina yang ada di daerah tersebut dikembalikan ke Kota Garut.266 Permintaan ini dilakukan dengan alasan bahwa sarana dan parasarana di tempat pengungsian tersebut tidak memenuhi dan juga keamanan mereka dikhawatirkan. Sikap dan prilaku orang-orang Cina tersebut menimbulkan kesan di kalangan penduduk pribumi bahwa mereka tidak memiliki pendirian, siapa saja yang berkuasa mereka akan meminta perlindungan serta melakukan kerjasama. Bagi mereka siapa pun yang berkuasa di Indonesia tidak menjadi soal, yang
265
Menurut Donald E.Willmott, pada masa sekitar revolusi Kemerdekaan RI orang-orang Cina di Indonesia secara garis besar dapat dibagi ke dalam empat kelompok. Pertama, kelompok yang bersikap netral, yaitu para pemilik toko dan pedagang kecil. Kedua, orang-orang Cina yang pro Belanda, yakni mereka yang mau bekerjasama dengan pihak Belanda, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang militer. Ketiga, sejumlah kecil orang Cina yang memihak ke RI, yakni mereka yang ikut dalam perjuangan seperti menembus blokade musuh atau membantu makanan bagi pasukan gerilya. Keempat, orang-orang Cina yang merugikan pihak RI maupun Belanda, yaitu mereka yang menimbun barang-barang yang diperlukan oleh kedua belah pihak dan melakukan pedagang gelap. Lihat Donald E.Willmott, The National Status of the Chinese in Indonesia 1900-1958, Cornell University, Modern Indonesia Project Asia Program Departemen of Far Eastern Studies, Ithaca New York, 1961, halaman 21 266 Wawancara dengan Ust. Sirad (88 tahun, mantan anggota Hizbullah Diponogoro) pada tanggal 14 April 2008 dan wawancara dengan Aban Yusuf (90 tahun, mantan ketua Kompi HizbullahSabilillah) pada tanggal 12 Oktober 2011 dan wawancara dengan Rd. Somantri (91 tahun, mantan anggota Hibullah) pada tanggal 6 Oktober 2011.
120 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
penting selamat dan berhasil mencari keuntungan.267 Mereka justru memanfaatkan situasi yang tidak menentu akibat revolusi untuk menarik keuntungan. Banyak di antara orang-orang Cina
pada waktu itu yang menimbun barang-barang dan
melakukan perdagangan gelap di Kota Garut. Kegiatan orang-orang Cina ini menimbulkan kebencian di kalangan penduduk pribumi, karena mereka dianggap tidak peduli sama sekali terhadap penderitaan rakyat yang serba kesusahan. Kebencian penduduk pribumi terhadap orang-orang Cina, terutama para pejuang kemerdekaan, semakin memuncak setelah mereka membentuk organisasi Poh An Tui (ada yang menuliskannya Pao An Tui) yang artinya “pasukan keamanan lingkungan Cina”. Anggota dari organisasi ini dilatih kemiliteran dan dipersenjatai oleh pihak tentara Belanda. Organisasi Poh An Tui ini merupakan organisasi bentukan tentara Sekutu dan NICA di Indonesia.268 Mereka ditugaskan untuk melindungi wilayah pecinan dari perampok. Poh An Tui sebenarnya ada di Jawa dan Sumatra. Namun lantaran dianggap catatan hitam, tidak banyak dokumen yang mengungkapkannya. Di Jawa, rekaman keberadaan Poh An Tui samar-samar. Namun, bayangannya dapat dilihat dari reaksi kaum pejuang Kemerdekaan RI di Nganjuk, Jawa Timur, sekitar tahun 1945 akhir. Pada waktu itu semua pria Tionghoa (Cina) yang berusia di atas 21 tahun (batas usia termuda anggota pasukan Poh An Tui) dikumpulkan dalam gudang lalu dibakar. Orang yang masih hidup dan berusaha keluar, ditembak para pejuang Kemerdekaan RI.269 Menurut Baqir Zein, catatan yang agak lengkap tentang Poh An Tui adalah Poh An Tui yang dibentuk oleh komandan pasukan Inggris, Jenderal Ted Kelly di Medan, Sumatra Utara. Jenderal Ted Kelly telah melatih dan mempersenjatai sekitar 110 pemuda Tionghoa di bawah komandan Liem Seng. Mereka tidak hanya menjadi mata-mata bagi tentara sekutu, tetapi juga melakukan operasi militer. Antara lain, sekitar tahun 1947, Lim Seng dan pasukannya menyerbu 267
Sikap dan prilaku orang Cina semacam itu, penduduk pribumi di Kota Garut menyebutnya sebagai “mangandeuh” , yaitu sejenis rumput yang suka menempel di pohon-pohon tertentu dan sekaligus menjadi benalu pohon itu. 268 Abdul Baqir Zein, Etnis Cina Dalam Potret Pembauran di Indonesia, (Jakarta : Prestasi, 2000), Cet. Ke-1, halaman 10-11 269 Ibid, halaman 10
121 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Bagansiapi-api, ia bersama pasukannya itu meneror dan menembaki penduduk Bagansiapi-api.270 Seperti juga di Medan, semula organisasi Poh An Tui ini bertujuan untuk melindungi orang-orang Cina dari gangguan keamanan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun dalam perkembangan selanjutnya organisasi keamanan Cina itu berfungsi membantu dan mempertahankan pasukan Belanda dari serangan kaum gerilyawan yang berbasis di daerah pinggiran Kota Garut seperti Cilawu, Karangpawitan, Wanaraja, Limbangan, Tarogong, dan Bojong Salam. Mereka oleh tentara Belanda ditugaskan untuk melindungi wilayah pemukiman Cina di daerah sekitar Pengkolan dari “ekstrimis” dan “anjing Soekarno”.271 Selain itu, anggota dari organisasi Poh An Tui tersebut, ada yang dijadikan mata-mata pihak Belanda untuk mengintai keadaan kaum grilyawan di daerah basisnya. Mereka masuk ke desa-desa atau kampung yang dianggap menjadi basis para grilyawan dan “raja bedug”.272 Bedug atau dulag adalah tambur besar yang fungsinya untuk memberitahu waktu datangnya sholat lima waktu dan kadang sering digunakan untuk pesta hari raya idul fitri sebagai alat pawai “dulag” berkeliling kampung dengan diiringi “takbir” (menyebut Allahu Akbar). Sebutan “raja bedug” diberikan oleh pihak Belanda kepada para kiai atau ajengan (tokoh agama Islam) yang mendukung perjuangan kemerdekaan RI. Dikatakan demikian karena memang mesjid-mesjid yang dikelola oleh kiai atau ajengan senantiasa dilengkapi oleh “bedug” atau “dulag”. Penggunaan “bedug” atau dulag pada waktu itu adalah sebagai akibat belum adanya teknologi pengeras suara seperti sekarang ini.
270
Ibid, halaman 11 Wawancara dengan Ust. Sirad (88 tahun, mantan anggota Hizbullah Diponogoro, dan veteran kemerdekaan RI) pada tanggal 14 April 2008 dan wawancara dengan Aban Yusuf (90 tahun, mantan ketua Kompi Hizbullah-Sabilillah) dan Iskandar (87 tahun, Veteran Kemerdekaan RI) pada tanggal pada tanggal 12 Oktober 2011. 272 Bedug atau dulag adalah sejenis tambur besar yang disimpan di mesjid atau di mushola yang berfungsi untuk memberitahu masyarakat umum tentang datangnya waktu sholat. Istilah raja bedug adalah istilah yang diberikan Belanda bagi para kiai yang membantu perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Diantara Kiai yang mendapa gelar raja bedug pada masa Revolusi Fisik adalah KH.Badrujaman dari Pesantren Al-Falah Biru. 271
122 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Orang-orang Cina yang dijadikan mata-mata oleh pihak tentara Belanda tersebut biasanya berpura-pura menjadi pedagang keliling dari satu kampung ke kampung yang lainnya seperti pedagang telor ayam kampung dan yang lainnya.273 Dengan adanya organisasi Poh An Tui tersebut, banyak gerilyawan Republik yang tertangkap dan disiksa oleh pihak Belanda. Diantara tokoh-tokoh Poh An Tui tersebut pada tahun 1963 masih hidup di Kota Garut dalam keadaan hidup senang, mewah dan aman. Bahkan mereka sangat akrab dengan beberapa oknum pejabat daerah di Kota Garut.274
4.2. Sentimen Anti Cina Karena Faktor Ekonomi : Orang Cina Menguasai Sektor Perdagangan dan Transportasi Memasuki tahun 1960-an usaha orang-orang Cina di bidang perdagangan, baik orang Cina yang ditunjuk sebagai leveransir (pemasok barang) keperluan perkebunan pada zaman Hindia Belanda maupun orang Cina yang tidak ditunjuk sebagai leveransir, mengalami kemajuan yang sangat pesat. Mereka menguasai pusat perdagangan di Kota Garut, terutama di daerah Pengkolan (Jl. Ahmad Yani, Jl. Mandalagiri, Jl.Pasar Baru, Jl.Ciwalen, Jl.Siliwangi dan Jl. Ciledug). Adapun barang dagangan yang dijual belikan pada waktu itu terdiri dari bahan pokok dasar seperti beras, minyak, terigu, ikan asin, dan barang keperluan sehari-hari lainnya. Jenis barang dagangan ini banyak dijajakan oleh toko-toko dan jongko atau kios pasar milik orang Cina di sepanjang Jl. Mandalagiri dan Jl. Guntur. Sedangkan toko-toko milik orang Cina yang berada di Jl. Ahmad Yani, Jl. Ciledug, Jl. Pasar Baru, dan Jl. Ciwalen (Nyonya Liang Keng) menjual barang 273
Pernah suatu waktu, seorang mata-mata Belanda dari organisasi Poh An Tui yang berpura-pura menjadi pedagang telor masuk ke daerah Kampung Pangkalan Kaler Tarogong untuk memamati laskar Hizbullah pimpinan Saman ibn Salam tertangkap basah oleh Saman itu sendiri. Orang Cina itu akhirnya dipenggal kepalanya oleh Saman ibn Salam karena telah membocorkan kedudukan pasukan grilyawan yang ada di Kampung Dukuh, Cipanas, dan Al-Falah Biru. Wawancara dengan Raden Somantri (92 tahun, mantan anggota pasukan Hizbullah) dan Iskandar (87 tahun, Veteran Kemerdekaan Republik Indonesia) di Samarang Garut, pada tanggal 12 Oktober 2011, dan dengan Aban Yusuf (91 tahun, mantan pejuang Hizbullah) pada tanggal 15 Maret 2012. 274 Wawancara dengan KH.Cecep Safutamam ( 76 tahun, pelaku gerakan anti Cina di Kota Garut) pada tanggal 19 Juli 2011 di Cipanas Tarogong Kaler, wawancara dengan Ayun (73 tahun, saksi sejarah) pada tanggal 9 Maret 2012, diperkuat oleh Aban Yusuf (91 tahun, mantan pejuang Hisbullah) pada tanggal tanggal 15 Maret 2012 di Cisurupan Garut dan Raden Somantri (92 tahun, mantan pejuang Hizbullah) di Samarang Garut, pada tanggal 3 April 2012
123 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
dagangan berupa bahan bangunan, arloji atau jam dinding, alat-alat elektronik, kain, pakaian, kelontongan, dan barang-barang perhiasan. Menurut penuturan Tien Liep Kie, mantan guru sekolah Tionghoa (Yahua) Garut dan pedagang berbagai jenis jam dinding di Jl. Ahmad Yani, bahwa seluruh daerah Pengkolan dan sekitarnya pada tahun 1963 dipenuhi oleh toko dan jongko milik etnis Cina. Di sepanjang Jl. Ahmad Yani (mulai dari persimpangan Jl. Cikuray dan Jl. Ahmad Yani) memanjang sampai Sukaregang pada waktu itu dipenuhi oleh toko-toko milik orang Cina. Pada waktu itu, lanjut Tien Liep Kie, sangat jarang toko milik pribumi atau orang India dan Arab, kecuali toko “PKS” yaitu toko pakaian di Jl. Cikuray adalah satu-satunya toko milik orang pribumi, toko Bombay di Jl. Ahmad Yani milik orang Pakistan dan toko Kitab (ABC, AlAzhar, dan Kamus) milik orang Arab Hadralmaut di Jl.Pasar Baru.275 Selain menguasai bidang perdagangan, orang-orang Cina juga menguasai atau bisnis lainnya seperti perusahaan transportasi, pabrik tenun, pabrik sabun, pabrik aci, pabrik kerupuk, pabrik coklat, pabrik tahu, pabrik kecap, pabrik teh rakyat, pabrik sereh wangi dan lainnya. Bukan hanya di daerah Pengkolan (pusat aktifitas perdagangan Kota Garut), tapi juga di daerah pinggiran kota seperti di Jalan Cikuray dan Jl. Gantur di sekitar daerah Kampung Bentar Hilir terdapat pula tokok-toko milik orang Cina yang cukup besar dan menjual berbagai macam keperluan masyarakat. Di Jalan Cikuray, tepatnya di belokan antara Jl. Cikuray dan Jl. Gedung Jangkung ada toko besar milik Babah Bongkok, selain toko-toko kecil lainnya milik orang Cina. Sedangkan di Jalan Guntur di sekitar daerah Bentar Hilir, kurang lebih satu kilo meter jaraknya dari daerah Pengkolan, berdiri toko besar milik Kibi yang menguasai perdagangan kebutuhan bahan-bahan pokok seperti beras, terigu, minyak sayur, ikan asin, gula dan lainnya.276
275 Wawancara dengan Tien Liep Kie (72 tahun, Korban Kerusuhan), Mei Ling (71 tahun, Korban Kerusuhan), dan Tj’jong Tjap Sin (72 tahun) pada tanggal 12 Desember 2011 276 Wawancara dengan salah seorang keturunan Chen Tie Sen (72 tahun, tidak mau disebutkan namanya) pada tanggal 12 Desember 2011. Diperkuat oleh Tj’jong Tjap Sin (72 tahun) dan Tien Lipe Kie (72 tahun, Korban Kerusuhan) pada tanggal 13 Desember 2011.
124 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Untuk lebih jelas, lihatlah tabel III mengenai jenis-jenis perusahaan yang dimiliki orang Cina di Kota Garut di bawah ini. Data ini diambil dari Harian Pikiran Rakyat bulan Mei 1963 dan sumber lisan.277 Tabel III* Jenis Perusahaan Milik Orang Cina di Kota Garut 1963 No
Nama Jenis Perusahaan
Jumlah
1
Pabrik Aci
2 buah
2
Pabrik Tenun
9 buah
3
Pabrik Coklat
1 buah
4
Pabrik Sabun Nansen
1 buah
5
Pabrik Kecap
2 buah
6
Pabrik Tahu
4 buah
7
Pabrik Roti
2 buah
8
Pabrik Kerupuk
2 buah
9
Perusahaan Angkutan Jurusan Bandung Garut
27 buah
Subur Ban – Bunce 10
Perusahaan Angkutan Jurusan Bandung Garut
32 buah
Subur Ban – Ahong 11
Perusahaan Angkutan Barang/Truk Oni
20 buah
12
Penggilingan Padi/Pabrik Beras
11 buah
13
Penggerajian Kayu
19 buah
14
Pabrik Minyak Sereh Wangi
47 buah
15
Pabrik Enteh
3 buah
16
Pabrik Sele buah Kesemek *Sumber : Diolah dari Harian Pikiran Rakyat 17 Mei 1963 dan Sumber Lisan.
Perusahaan-perusahaan tersebut semuanya berada di dalam kota dan daerah pinggiran kota. Pabrik Aci berada di Jl. Ahmad Yani dan Jl. Bratayuda 277
Pikiran Rakyat, edisi 1 Juni 1963, dan Wawancara dengan Endang (80 tahun, mantan pegawai Pabrik Tenun PTG) dan dengan Juju (79 tahun, mantan sopir Subur Ban) pada tanggal 4 Agustus 2012
125 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
(Talun), pabrik coklat di Jl. Cimanuk, pabrik tenun di Jl.Ciledug, pabrik tahu di Jl. Ciledug dan Ciwalen, pabrik kecap di Jl. Pasar Baru, Pabrik Roti di Jl. Siliwangi dan penggilingan padi di daerah Sumbersari dan Sukaregang. Sementara itu perusahaan mobil angkutan transfortasi berada di Jl. Ahmad Yani dan daerah Maktal, yaitu di daerah pinggiran Kota Garut arah selatan. Diantara orang Cina yang bergerak di bidang usaha transportasi adalah Ahong, Oni, dan Bunce yang memiliki puluhan mobil Subur Ban (Op Let), dan mobil Truk.278 Sebenarnya terdapat beberapa perusahaan milik pribumi, yaitu perusahaan dodol dan pabrik tenun. Perusahaan dodol milik pribumi pada masa itu adalah perusahaan Dodol Piknik milik Hj. Iton dan Dodol Kursinah milik keluarga Hj. Sirad. Namun kedua pemilik perusahaan dodol tersebut bukanlah orang asli Garut, melainkan orang Jawa. Haji Iton berasal dari Cirebon, sedangkan Hj. Sirad berasal dari Kudus. Hanya ada satu perusahan milik pribumi asli Garut, yaitu perusahaan pabrik tenun milik Adang di Sukaregang. Perusahaan ini pun mendapat saingan berat dari perusahaan tenun milik Acin, seorang Cina,
di Jl. Ahmad Yani,
sehingga pabrik tenun milik orang pribumi itu tidak begitu berkembang.279 Pada umumnya keberhasilan para pedagang Cina di Kota Garut menjadi pedagang kaya dan sukses adalah karena kosongnya golongan menengah pribumi. Hal penting lainnya, yang juga menunjang terhadap suksesnya orangorang Cina dalam usaha perdagangan adalah mereka dapat menempati posisi strategi di pusat kota sebagai pusat bisnis, yang diperoleh sejak tahun 1930-an dan dimantapkan saat pendudukan tentara Belanda tahun 1947-1948, di mana sebagian besar masyarakat Kota Garut sedang mengungsi ke luar kota. Keberhasilan mereka juga ditunjang oleh motivasi yang tinggi untuk mendapatkan kekayaan sebanyak-banyaknya sebagai bekal pulang nanti ke negeri Tiongkok. Karena itu mereka memiliki etos kerja yang tinggi dan keuletan dalam
278
Wawancara dengan Juju (79 tahun, mantan sopir Subur Ban milik Bunce), Sofyan (76 tahun, saksi sejarah) pada tanggal 4 Agustus 2012 dan diperkuat oleh Aang ( 72 tahun, mantan tim pengaman kerusuhan Mei 1966 dari Kejaksaan Negeri Garut) pada tanggal 8 Agustus 2012 di Pangkalan Tarogong Kaler Garut. 279 Wawancara dengan Endang (80 tahun, mantan pegawai Pabrik Tenun PTG) dan dengan Juju (79 tahun, mantan sopir Subur Ban) pada tanggal 4 Agustus 2012. Diperkuat oleh Ahman (87 tahun, mantan pegawai Pasar Garut) pada tanggal 19 Agustus 2012 M.
126 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
menggeluti dunia perdagangan. Keahliannya dalam usaha ini merupakan warisan yang diperoleh dari didikan lingkungan keluarganya. Rata-rata anak muda etnis Cina telah diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk menggeluti usaha perdagangan semenjak usia dini. Realitas ini seperti dituturkan Nency Wijaya, seorang keturunan Cina asal Garut yang sukses menjadi pedagang di Jakarta. Menurutnya ia sejak kecil harus membantu orang tua berjualan kain dan batik di Jl. Pasar Baru Garut. Di rumah, kata Nency, diajarkan oleh orang tuanya untuk hidup rajin dan hemat, ulet dan berani mengatasi kesulitan, dan tidak boleh merugikan orang lain dalam berjual beli seperti menjual kain dua meter jangan dikurangi ukurannya menjadi 190 cm.280 Keberhasilan mereka dalam usaha dagang, juga ditunjang oleh landasan strateginya yang sangat berlainan dengan strategi yang dikembangkan orang pribumi, Arab dan Pakistan. Dengan demikian, memberikan kemungkinan bagi mereka untuk mendapatkan kemajuan dan keuntungan dalam usahanya. Keberhasilan
orang-orang
Cina
menguasai
sektor
perdagangan,
transportasi dan usaha lainnya, membuat sebagian besar penduduk pribumi merasa tidak senang akan keberadaan mereka di Kota Garut. Ketidaksenangan itu bukan hanya karena kecemburuan sosial atas keberhasilan yang diraih orangorang Cina, tapi juga sebagian dari penduduk pribumi yang bergerak dalam bidang perdagangan merasa mendapat saingan dari mereka. Hal ini selain orang Cina di Kota Garut jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan orangorang Arab dan Pakistan, juga karena mereka menguasai pusat-pusat perdagangan yang berada di Kota Garut. Ketidaksenangan
penduduk
pribumi
terhadap
orang-orang
Cina
disebabkan juga oleh kehidupan mereka begitu mewah. Sikap hidup mewah mereka dapat dilihat dari materi yang dimilikinya seperti rumah-rumah dan tokotoko permanen, kendaraan roda dua dan empat. Disadari atau tidak, mereka telah menunjukkan kemewahan hidupnya, jika diukur dengan kondisi sosial ekonomi penduduk pribumi umumnya pada waktu itu, di mana mata pencaharian pokok 280
Wawancara dengan Nency Wijaya (67 tahun, keturunan Cina Garut) pada tanggal 25 April 2013 di Jakarta. Diperkuat oleh Mei Ling (73 tahun) , Char Lie Itjang (72 tahun) dan Chung Ken (73 tahun) pada tanggal 13 September 2013
127 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
penduduk peribumi bertumpu pada sektor pertanian, terutama sebagai buruh tani yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Rumah-rumah tempat tinggal mereka pun pada umumnya masih sangat sederhana, terbuat dari bahan kayu dan dinding anyaman bilik bambu, yaitu sejenis anyaman dari bahan bambu untuk dinding rumah281Kondisi seperti ini akhirnya bagi masyarakat pribumi yang “kurang sadar” menimbulkan ketidaksenangan dan sentimen yang berlebihan. Suasana semacam ini kemudian menjadi suasana umum di kalangan penduduk pribumi pada tahun 1960-an.282
4.3. Sentimen Anti Cina: Sebagai Akibat Stereotip Yang Berkembang Dalam
hubungan
mayoritas-minoritas,
faktor
yang
menghambat
terciptanya asimilasi adalah diskriminasi dan prasangka. Menurut Schermerhom, prasangka atau prejudice merupakan jawaban yang muncul dari berbagai situasi, yaitu situasi sejarah, ekonomi atau politik. Gordon W. Allport mengartikan prasangka (prejudice) sebagai “a feeling favorable or unfavorable, toward a person or thing, prior to, or not based on, actual experience”, yaitu perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan, terhadap seseorang atau sesuatu, sebelum, atau tidak berdasarkan, pengalaman yang aktual.283 Pencerminan prasangka, dapat muncul dalam bentuk stereotip. Artinya prasangka dan stereotip mewakili pengertian yang sama.284 Stereotip sering diartikan sebagai seperangkat penilaian dari kelompok lain dalam hubungannya dengan ingroup dalam situasinya terkini. Stereotip juga bisa diartikan sebagai gambaran tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi individu atau golongan lain yang yang bercorak negatif akibat tidak lengkapnya
281
Bilik adalah nama dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu dengan motif dan corak tertentu. 282 Wawancara dengan Misbah (74 tahun, pelaku kerusuhan Mei 1963), Maman (72 tahun, pelaku kerusuhan Mei 1963) dan Ayun ( 73 tahun, mantan guru SMPN-1 Garut, saksi sejarah), Suryana (74 tahun, saksi sejarah), dan Enen (72 tahun, saksi sejarah) pada tanggal 9 Maret 2012 283 Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, (Depok : Komunitas Bambu, 2005), Cet.Ke-1. halaman 10 284 Ibid
128 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
informasi dan sifatnya subjektif, di mana penilaian-penilaian
mengandung
penyederhanaan dan pemukulrataan secara berlebihan.285 Di Kota Garut dalam tahun 1960-an, apabila mau diakui, pola hubungan sosial antara masyarakat Cina dan kaum pribumi atau orang Sunda kurang begitu harmonis, masih terbentuk stereotip-stereotip kuat tentang orang Cina di Indonesia. Sebaliknya orang Cina menumbuhkan stereotip tertentu tentang orang Sunda meskipun jarang dilontarkan secara terbuka. Stereotip orang Cina dalam masyarakat bumi putra (khususnya orang Sunda) di Garut disebutkan sebagai memiliki sikap tertutup, angkuh, egoistis, materialistik, dan balaga (pamer dan sombong). Sedangkan stereotip orang Sunda dalam pandangan umum orang Cina adalah sebagai orang miskin, tradisional, bodoh, malas, dan suka minta-minta. Islam adalah agamanya orang Sunda, karena itu Islam merupakan agamanya orang miskin, bodoh dan tradisional.286 Stereotip-stereotip seperti itulah diantaranya yang menimbulkan semakin tumbuhnya rasa benci dan sentimen orang Sunda terhadap orang Cina di Kota Garut. Mulai kapan munculnya stereotip-stereotip tersebut, sulit ditentukan. Namun secara teoritis, stereotip terbentuk berdasarkan suatu anggapan umum yang sudah ada sebelumnya kemudian diperkuat oleh pengamatan pribadi secara sepintas dan biasanya berkonotasi negatif. Pengamatan ini hanya melihat sisi luarnya saja tanpa mengetahui latar belakang sikap dan prilaku yang membentuknya. Sehingga stereotip bisa menimbulkan fanatisme dan kecurigaan, yang akhirnya akan semakin menutup diri masing-masing kelompok dan memperkuat stereotip itu sendiri. Stereotip manusia Cina sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu memiliki sikap tertutup, angkuh, egoistis, dan materialistis. Tapi kadang-kadang,
285
Andreas, Padede dkk, Antara Prasangka dan Realita, Telaah Kritis Wacana Anti Cina di Indonesia, (Jakarta:Pustaka Inspirasi, 2002), Cet.Ke-1, h, 7-13. Lihat Juga McGarty, Craig; Yzerbyt, Vincent Y.; Spears, Russel (2002). "Social, cultural and cognitive factors in stereotype formation". Stereotypes as explanations: The formation of meaningful beliefs about social groups. Cambridge: Cambridge University Press. pp. 1–15. ISBN 978-0-521-80047-1 286 Wawancara dengan H.Suyud (74 tahun, Mantan Ketua PITI Garut), Kusmayadi (70 tahun, pengurus PITI Garut) , Iyah (74 tahun, muslim keurunan Cina), dan Ajum (72 tahun , muslim keturunan Cina) pada tanggal 29 Maret 2010
129 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
menunjukkan sikap ramah, murah hati, rajin, ulet, namun juga dengan mudah menghambur-hamburkan materi, suka berpesta pora dan berspekulasi. Sikap ini tampaknya seperti muncul secara bergantian, tidak menentu dan berdiri sendiri. Sehingga orang yang belum mengenalnya akan sulit menangkap sikap dan sifat manusia Cina dan akan mudah dilihat segi negatifnya, bahkan sementara orang menganggapnya sebagai sikap rasional sebagai suatu eksploitasi. Padahal sifat itu muncul secara spontan dari alam bawah sadar yang secara kultural berasal dari akar budayanya yang tunggal yang memiliki makna tertentu yang akan mudah dipahami. Bila ditelusuri stereotip-stereotip di atas ternyata saling berkaitan, memiliki akar budayanya yang tunggal pada sistem kepercayaannya. Salah satunya adalah mengenai “hakekat hidup” yang bersumber dari filsafat Konfusius. Filsafat ini pada umumnya disebut “filsafat mengenai dunia ini” (the wordly philosophy), yang bersifat realis-optimis. Filsafat ini banyak diajarkan oleh Konfusius, yang membicarakan tentang tugas manusia sehari-hari dalam melaksanakan hubungannya dengan pihak lain, dan tidak membicarakan tentang surga atau neraka, dan juga akhirat. Ini tampak pada jawaban Konfusius ketika ditanya oleh seorang muridnya mengenai arti “mati”. Ia menjawab, “bagaimana engkau hendak memahami arti mati kalau arti hidup saja belum engkau pahami?. Konfusius lebih menekankan untuk dapat mengisi hidup di dunia ini, bukan dunia yang lain. Ajaran ini mendorong manusia Cina memiliki sikap optimis dan keyakinan diri yang tinggi. Dalam beberapa kasus optimisme dan keyakinan diri memberi kesan manusia Cina memiliki sifat ulet dan rajin. Pada sisi yang lain tampak keras, angkuh, pelit, bahkan superior. Untuk kasus Garut, kesan tersebut ditunjukkan oleh otang-orang Cina dalam hidup kesehariannya di daerah Pengkolan yang menguasai bidang usaha perdagangan. Bahkan setelah diberlakukannnya PP.10 tahun 1959 pada tahun 1960, di mana
orang-orang Cina harus meninggalkan daerah pedesaan dan
meninggalkan usahanya sebagai pedagang eceran. Dengan diberlakukannya peraturan ini justru memperkokoh posisi mereka sebagai pedagang di pusat Kota Garut. Dengan keuletan dan keras dalam pendiriannya mereka berhasil menguasai
130 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pusat-pusat perdagangan. Keberhasilannya sebagai pedagang kaya menampilkan kesan di kalangan penduduk pribumi sebagai yang angkuh dan pelit, karena mereka tidak mau membaur dengan masyarakat di sekitarnya. Ditambah pula mereka sering melontarkan kata-kata kasar kepada kaum pribumi. Misalnya sering dijumpai para majikan Cina melontarkan kata-kata “sia” atau “deuleu” dalam pembicaraannya dengan para buruh. Kata “sia” (Sunda, sia = kamu, Jawa = Siro, sira), “deule” (Sunda, deuleu = lihat); merupakan bahasa yang sangat kasar dan mengandung nada penghinaan. Kata-kata semacam ini sangat tabu bagi orang Sunda untuk diucapkan, kecuali pada suasana perkelahian dan kemarahan yang memuncak. Ajaran lainnya yang sangat berkaitan erat dengan stereotip kultur Cina, baik secara langsung maupun tidak, adalah tentang moralitas keluarga. Ia merupakan ajaran yang cukup mencolok dalam kebudayaan Cina. Ajaran ini ada pada Konfusianisme. Beberapa diantaranya adalah menyebutkan bahwa ada lima hal yang bisa menunjukkan rasa bakti anak kepada orang tua. Pertama, seorang anak harus menunjukkan rasa hormat kepada orang tua. Kedua, dalam menghibur orang tua seorang anak harus dapat menyenangkannya. Ketiga, saat orang tua sakit ia harus diliputi rasa cemas. Keempat, dalam masa berkabung ia harus dapat menunjukkan rasa duka citanya yang mendalam. Kelima, dalam mengadakan upacara ia harus dapat menyelenggarakan secara meriah. Apabila dilaksanakan, kelima poins tersebut merupakan tugas yang tidak ringan. Dalam hal menyenangkan orang tua dan penyelenggaraan upacara secara meriah, orang harus menyimpan materi secara cukup. Di sini awal mula stereotip manusia Cina untuk materialistis. Perwujudan materi secara real menjadi tuntutan mitos rasa bakti anak kepada orang tua. Semakin besar upacara diselenggarakan akan semakin mengharumkan nama baik orang tua dan akan membuat lebih dekat dengan Tuhan. Jadi, ada dorongan khusus yang membuat orang Cina materialistik (dan kerja) sebagai the inner wordly escetism. Di Garut, ketika orang-orang Cina mendapat hak-hak dan peranan istimewa pada masa kolonial Belanda, mereka cenderung mengisolir diri (tertutup) dari kehidupan masyarakat bumiputra. Sikap seperti ini berlangsung sampai tahun 1960-an. Hal itu nampak dari pola
131 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pemukiman mereka yang mengelompok di sekitar Pengkolan, yakni di Jl. Ahmad Yani, Ciwalen, Jl. Guntur, Jl. Mandalagiri, Jl.Ciledug, Jl. Cikuray, dan Jl. Siliwangi. Kehidupan mereka mewah dengan pasilitas yang dimilikinya seperti rumah dan toko-toko permanen, kendaraan roda dua dan kendaran roda empat. Di era enam puluhan, kehidupan semacam itu sangat mewah manakala dibandingkan dengan kehidupan orang pribumi yang mayoritas tinggal di daerah pedesaan dengan mata pencaharian bertani. Bahkan kebanyakan dari kaum pribumi pada waktu itu adalah sebagai buruh tani yang penghasilannya sangat minimal. Sedangkan orang pribumi yang tinggal di kota kebanyakan bermata pencaharian sebagai tukang beca, pelayan toko, dan buruh di Pabrik Tenun Garut (PTG) dan di beberapa pabrik milik orang Cina. Kecenderungan orang-orang Cina mengisolir dari dari kehidupan masyarakat pribumi dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk memperkuat monopoli mereka dalam bidang perdagangan sehingga didapatkan kekayaan sebanyak mungkin. Kesan kehidupan yang tertutup itu diperkuat oleh proses perkawinan yang hanya berlangsung di antara kelompok mereka sendiri, nilai dan tradisi dagang yang merupakan sifat bawaan, dan tradisi kekeluargaan yang sangat kuat sebagai alat pemersatu di antara mereka. Sebagai tindak lanjut dari rasa hormat anak kepada orang tua berkembang pula rasa cinta dan hormat kepada leluhurnya. Kebiasaan berbakti kepada leluhur ini oleh Konfusius diberikan bentuknya yang tetap, yaitu bentuk-bentuk pemujaan kepada leluhur. Karena itu diyakini oleh orang-orang Cina, jika ada yang meninggalkan tanah leluhurnya maka dianggap sebagai anak murtad dan tidak berbakti terhadap leluhur, sebagai pengganti keberadaan mereka terhadap tanah leluhur, tradisi sembahyang dan pembuatan kuburan yang megah menjadi sarana ungkapan bakti, baik kepada leluhur sebagai nenek moyang mereka maupun kepada tanah leluhur sebagai daerah asal mereka. Ungkapan bakti ini diaktualkan dalam pembuatan kuburan yang sangat megah di daerah Gugunungan dan Santiong, yang jika dibandingkan dengan kuburan milik pribumi sangat jauh perbedaannya. Kuburan-kuburan orang pribumi dibuat sangat sederhana, hanya terbuat dari onggokan tanah dan bebatuan.
132 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Selain di dalam keluarga, tradisi sembahyang kepada leluhur juga dilestarikan di perkumpulan marga, dan di Klenteng Hok Liong Bio di Jl. Guntur yang letaknya berdampingan dengan Pasar Garut (sekarang menjadi Garut Plaza). Sembahyang kepada leluhur di Klenteng Hok Liong Bio dilakukan setiap satu minggu sekali dan pada perayaan tahun baru Imlek (orang pribumi menyebutnya dengan sebutan Pabaru Cina), yang dirayakan setiap tanggal 1 bulan ke-1 menurut kalender Cina. Pelaksanaan upacaranya sangat meriah dan mewah. Ini dilakukan sebagai perwujudan penghormatan mereka terhadap orang tua dan leluhur mereka.287 Pelaksanaan upacara sembahyang kepada leluhur yang begitu meriah dan mewah dengan menghabiskan biaya yang cukup besar pada setiap perayaan Imlek, dan pembuatan kuburan yang mewah dikesani oleh penduduk pribumi sebagai sikap angkuh, tertutup, materialistis dan ingin berbeda dengan kaum pribumi. Kesan ini diperkuat dengan adanya perayaan Cap Gomeh yang dilaksanakan secara besar-besaran justru di saat penduduk pribumi yang umumnya beragama Islam sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Kesan ini selanjutnya menimbulkan kecemburuan sosial dan ketidaksenangan kaum pribumi terhadap kelompok etnis Cina,288 karena dianggap orang-orang Cina itu tidak menghargai kaum Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Fenomena ini diperlihatkan oleh penduduk pribumi di sekitar pinggiran Kota Garut dengan mengarak dulag dan lodong pada malam idul fitri, yaitu pada 25 Februari 1963, empat belas hari setelah perayaan cap go meh dilaksanakan. Lodong artinya meriam terbuat dari bambu atau pohon bagedor, yang diisi dengan merecon karbit, jika disulut dengan api akan keluar suara dentuman seperti suara meriam atau granat. Pada waktu itu sekelompok pemuda mengarak dulag mengelilingi
287
Setelah peristiwa kerusuhan anti Cina pada Mei 1963 dan gerakan pembubaran PKI oleh KAPPI/KAMMI upacara-upacara Cina seperti Imlek dan Cap Gomeh dilaksanakan tidak dengan cara meriah dan mewah. Kemudian pada masa Reformasi perayaan Imlek dan Cap Gomeh kembali dirayakan secara meriah bahkan melibatkan suku Sunda, terutama anak-anak yatim piatu. 288 Wawancara dengan H. Suyud (74 tahun, eksponen 66), Ai Maskanah (71 tahun, pelaku gerakann anti Cina 1963), Misbah (74 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963), Saefutamam (77 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963), Maman (72 tahun , pelaku gerakan anti Cina) , pada tanggal 9 Maret 2012.
133 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
daerah Pengkolan, dan membunyikan “lodong” diarahkan pada rumah dan toko milik orang Cina. Ketidaksenangan kaum pribumi terhadap kelompok etnis Cina di Kota Garut juga timbul karena upacara “dana pati” yang diselenggarakan bersama perayaan tahun Imlek. Selain menggunakan ungkapan “dana pati”, orang-orang Cina di Kota Garut menyebutnya sebagai “qurbannya orang Tionghoa” untuk upacara ini. “Dana” artinya biaya atau harta, “pati” artinya kematian. Upacara ini bertujuan agar orang yang sudah meninggal dunia ditempatkan di tempat yang baik di sisi Tuhan. Praktek dari upacara ini adalah berupa pembagian “gantingan” (gantungan kecil) berisi beras dan daging babi yang dilemparkan secara langsung dari panggung upacara kepada kerumunan orang pribumi yang sedang menonton perayaan Imlek.289 Biasanya perayaan Imlek ini dilaksanakan di depan bangunan Klenteng Hok Liong Bio di Jl. Guntur selama tujuh hari tujuh malam.290
4.4. Keresahan Umum di Daerah Pedesaan Sebelum terjadi kerusuhan anti Cina pada 17-18 Mei 1963, kondisi masyarakat Garut, terutama penduduk yang tinggal di daerah pedesaan, diliputi perasaan frustasi dan keresahan yang bersifat umum. Penyebab utama munculnya rasa frustasi tersebut adalah faktor ekonomi yang dirasakan sangat membebani kehidupan mereka. Seperti diketahui, Indonesia 47 tahun yang lalu di tahun 1960 merupakan negara dengan keadaan ekonomi sehari-hari yang amat buruk. Kebutuhan makan dan minum sehari-hari naik dua kali lipat dari setahun sebelumnya, dan dibandingkan dengan tahun 1950-an, kenaikannya adalah lima sampai sepuluh kali lipat. Beras bukan saja mengalami kenaikan harga terus menerus setiap hari,
289
Wawancara dengan Ahman ( 87 tahun, saksi sejarah, mantan pegawai Pasar Guntur ), Hj.Popon (74 tahun, saksi sejarah, pendudu Jl. Guntur), Momod (89 tahun, saksi sejarah, mantan pedagang ikan di Pasar Guntur tahun 1959-1971) pada tanggal 23 Februari 2012, Misbah ( 74 tahun, perlaku gerakan anti Cina 1963), Saefutamam ( 77 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963), dan KH. Dadang Badruzaman ( tahun, saksi sejarah, pimpinan Ponpes Darul Mukarom Rancamaya) pada tanggal 21 Juni 2012 290 Wawancara dengan Ahman (87 tahun, saksi sejarah, mantan pegawai Pasar Guntur), Hj. Popon (74 tahun, saksi sejarah, penduduk Jl. Guntur) dan Momod (89 tahun, saksi sejarah, mantan pedagang ikan di Pasar Guntur Garut tahun 1959-1971) pada tanggal 23 Februari 2012.
134 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tetapi seringkali juga langka. Untuk mengisi kekosongan, pemerintahan Soekarno mengimpor beras, antara lain dari Republik Rakyat Cina (RRC), namun kualitasnya sangat buruk. Minyak tanah (di Garut: disebut minyak lantung) di tahun 1960-an sangat langka. Pada masa itu, di seluruh Indonesia, demikian pula di Bandung dan Garut, untuk memperoleh minyak tanah (minyak lantung) tigaempat liter, masyarakat harus mengantri di RT-RT dengan membawa kartu keluarga. Keadaan ini berlangsung dengan tingkat lebih parah lagi hingga tahun 1964, 1965 dann 1966.291 Begitu juga caranya untuk memperoleh gula, tepung terigu dan juga bahan sandang berupa kain cita dan kain dril buatan RRC sangat susah didapatkan. Di toko-toko, kalau ada, barang-barang itu sangat mahal dan berat untuk dijangkau oleh masyarakat yang pada waktu bersamaan pendapatannya makin tak berarti, tenggelam oleh inflasi. Kenaikan upah yang tiga kali lipat pun tak berharga oleh kenaikan harga kebutuhan pokok yang naik sepuluh kali lipat292. Untuk mengatasi kondisi perekonomian Negara seperti itu, dalam suatu pidato di Istana Negara pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno mengumumkan langkah-langkah sebagai usaha untuk menanggulangi persoalan ekonomi nasional, yang dikenal sebagai Deklarasi Ekonomi (Dekon). Dekon ini kemudian menjadi dasar pembangunan perekonomian jangka pendek.293 Sebagai salah satu pelaksanaan dari Dekon tersebut dikeluarkan peraturan mengenai ekspor impor dan pengendalian harga-harga barang di pasaran. Namun peratutan tersebut dalam pelaksanaannya ternyata tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi, sebaliknya malahan memperberat beban hidup rakyat dengan meningkatnya harga dan tarif. Pada waktu itu pertumbuhan ekonomi berjalan lambat, angka pertumbuhan ekonomi lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi potensial. Pertumbuhan ekonomi nasional pada waktu itu kurang dari 3% per
291
Wawancara dengann Aang (72 tahun saksi sejarah), Ayun (74 tahun, saksi sejarah), Giom Suarsono (76 tahun, pelaku sejarah), Gurnadin (74 tahun, pelaku sejarah), Maman (72 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 14 Januari 2012, Neneng Latifah ( 70 tahun, pelaku sejarah), Sasa (81 tahun, saksi sejarah) pada tanggal 2 Maret 2012 292 Ibid 293 30 Tahun Indonesia Merdeka 1950-1964, Sekretariat Negara Republik Indonesia,Cetakan Ketujuh, 1986, halaman 227.
135 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tahun. Sedangkan harga barang naik sampai 400% pada 1961-1963. Di lain pihak jumlah peredaran uang di masyarakat dan tingkat inflasi terus meningkat.294 Dalam kondisi perekonomian semacam itu, pada umumnya orang-orang Cina yang sejak zaman Belanda menguasai mata rantai perekonomian tidak terkena dampak oleh kondisi itu. Mereka justru semakin mengusai perekonomian Indonesia, karena memang kebanyakan dari mereka memiliki modal yang cukup dan menguasai jaringan perekonomian Indonesia sejak zaman kolonial. Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, golongan Tionghoa (Cina) yang pada tahun 1860 berjumlah sekitar 222.000, dan meningkat menjadi 563.000 pada tahun 1905, yang sekitar dua pertiganya tinggal di Jawa, telah tumbuh menjadi golongan feodal baru, kapitalis pedagang (merchant capital) yang menguasai perdagangan eceran, bahkan juga perdagangan besar yang memiliki hubungan dengan produsen dan konsumen di pedesaan maunpun dunia luar desa, ke daerah-daerah lain.295 Sementara itu, khususnya di Kota Garut, dalam keadaan ekonomi Indonesia seperti yang telah diuraikan di atas, orang-orang Cina tidak begitu merasakan kesulitan ekonomi seperti kebanyakan penduduk pribumi. Kondisi seperti itu akhirnya menibulkan ketidak sukaan sebagian besar kaum pribumi terhadap mereka. Di kalangan pribumi ada yang memandang kelompok etnis Cina kurang berasimilasi, sombong dan angkuh, menganggap rendah orang Indonesia asli, materialistis, balaga (sombong dan over acting), hidupnya terlalu mewah dan sangat mencolok di tengah-tengah masyarakat pribumi yang sedang kesusahan dengan cara berpakaian bagus, memakai kendaraan roda empat atau bersepeda motor pergi ke sekolah dan tempat-tempat rekreasi seperti Cipanas dan Situ Bagendit.296 Singkatnya mereka dianggap oleh penduduk pribumi terlalu banyak menghambur-hamburkan uang. Sementara kebanyakan orang sedang berada dalam kesusahan. Kemudian dalam keadaan susahnya untuk memperoleh barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, minyak kelapa (minyak sayur), minyak tanah 294
Ibid, halaman 227 Dawam Rahardjo, Intektual Inteligensi Dan Perilaku Politik Bangsa, Risalah Cendikiawan Muslim, (Bandung : Mizan, 1993), Cet.Ke-1, halaman 237 296 Ibid, halaman 238 295
136 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
(minyak lantung); orang-orang Cina justru menguasai perdagangan tersebut. Diantaranya toko sembako dikuasai oleh Kibi di Jalan Guntur dan Namlung di Jl.Mandalagiri Garut. Daun teh kering dikuasai oleh Hohong (Cina keturunan Belanda) di Jl.Pasar Baru, beras dikuasai oleh orang Cina daerah Ciwalen, Kopi oleh keluarga Ek Bou, buah kesemek (buah khas Cikajang Garut) dan selenya dikuasai oleh orang-orang Cina kawasan Klenteng di Jl.Guntur.297 Dalam kondisi ekonomi seperti itu, timbul kekecewaan yang mendalam secara vertikal kepada pemerintah yang tidak mampu mengatasi permasalahan tersebut, dan secara horizontal mereka sangat kecewa terhadap sikap dan prilaku orang-orang Cina di Kota Garut. Selanjutnya, secara khusus harus disebutkan di sini, kekecewaan terhadap orang-orang Cina itu semakin menguat setelah tersebar berita sejak tahun 1962-an bahwa banyak di antara mereka yang telah mulai masuk kampung untuk membeli tanah-tanah pertanian seperti di daerah Cihuni, Wanaraja, Sukawening dan Cikajang.298 Pembeliannya tidak secara langsung atas nama orang Cina, melainkan atas nama orang pribumi yang sudah disogok dengan uang dan pekerjaan. Berita ini telah menimbulkan keresahan umum di kalangan masyarakat pribumi, khususnya penduduk pedesaan yang mata pencaharian pokoknya bertumpu pada bidang pertanian. Adanya isu tersebut diperkuat oleh pemberitaan yang disampaikan oleh Munting,299 seorang Cina muslim, yang memberitahukan kepada orang-orang DI/NII tentang jumlah orang Cina di Kota Garut yang telah menguasai lahan pertanian palawija di daerah Cikajang dan Cilawu. Menurut data yang disampaikan Munting, bahwa lahan pertanian palawija di daerah Cikajang hampir 297
Wawancara dengan Jojo (74 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 17 Maret 2014 di Bandung. Diperkuat oleh Asep Hasbullah (73 tahun, pelaku kerusuhan ), Maman (74 tahun, pelaku kerusuhan), dan Ajum Sutisna (73 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 18 Maret 2014 298 Wawncara dengan Misbah (74 tahun, pelaku sejarah), Amir Syarifudin (77 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 14 Januari 2010, dan dengan Momod (90 tahun, saksi sejarah, mantan Hizbullah Sukawening- Cibatu) dan Neneng Latifah pada tanggal 2 Maret 2012 299 Munting adalah seorang Cina Muslim yang sangat simpati dan membantu perjuangan DI/TII daerah Gunung Guntur pimpinan Saman ibn Salam. Ia pernah dipenjara oleh Pemerintah RI karena dianngap telah membantu logistik DI/TII wilayah Gunung Guntur. Wawancara dengan , Cecep Saeputamam (77 tahun, pelaku Gerakan anti Cina, anggota DI/NII), Ade Rahmat Afandi (76 tahun, anak mantan Bupati DI Garut Selatan, Haji Afandi, saksi sejarah), dan Sopiandi (81 tahun, mantan DI/TII wilayah Gunung Guntur) pada tanggal 27 Juni 2112.
137 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
setengahnya dikuasai oleh orang-orang Cina dari Kota Garut. Begitu juga lahan pertanian palawija di daerah Cilawu dan Karangpawitan.300 Selain itu, banyak juga orang Cina yang membeli tanah sawah di daerah Karangpawitan, Cihuni Wanaraja, dan Cibatu sehingga banyak petani yang resah akibat perbuatan itu. Para petani di daerah tersebut pada umumnya merasa mendapat saingan dan sekaligus khawatir jika kemudian hari lahan pesawahan di daerah itu jatuh ke tangan orang-orang Cina sehingga mereka tidak lagi memiliki mata
pencaharian
yang secara
turun
temurun
diwariskan
dari
nenek
moyangnya.301 Kekecewaan dan keresahan umum sebagai akibat dari sikap dan prilaku orang-orang Cina tersebut akhirnya menimbulkan perasaan “ngewa tur ceuceub” dan “ijid” di hati sebagian besar penduduk pribumi. Ngewa artinya perasaan benci atau tidak suka yang diakibatkan oleh sebab-sebab khusus.302 Ceuceub, artinya kebencian yang sangat dalam dan tidak bisa diperbaiki lagi. Sebabnya bisa karena “sikap” dan “prilaku” yang tidak sesuai dengan norma yang ada atau karena menyakitkan hati, atau juga karena iri hati dan jengkel. Sedangkan kata “ijid” pengertiannya hampir sama pengertiannya dengan kata “ceceub”, yaitu kebencian yang sangat303. Di kalangan penduduk pribumi, di Kota Garut, pada waktu itu (1960-1966) tersebar ucapan “urang dahar tulang, manehna dahar daging (kita makan tulang, mereka makan dagingnya)”. Ucapan ini tidak hanya terdengar di kalangan rakyat biasa tapi juga di kalangan para pejabat daerah.304 Kemudian, mengapa pada masa kolonial Belanda ketidaksukaan tersebut tidak mendorong munculnya kerusuhan anti Cina? Penulis menduga ada beberapa sebab yang bisa dijadikan alasan mengapa tidak muncul kerusuhan anti Cina pada 300
Wawancara dengan Saeputamam (77 tahun, mantan anggota DI) dan dengan Ade Rahmat Afandi (76 tahun, anak mantan Bupati DI Garut Selatan, Haji Afandi, saksi sejarah) pada tanggal 27 Juni 2012. Diperkuat oleh H.Lili ( 81 tahun, mantan anggota DI/TII, saudara Aceng Kurnia) dan Iran ( 82 tahun, mantan anggota DI) pada tanggal 29 Juni 2012. 301 Wawancara dengan Misbah (74 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963), Saeputamam (77 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 27 Juni 2012 dan dengan Kawakibi (75 tahun, pelaku gerakan anti Cina, eksponen 66, mantan aktifis PII tahun 1962-1972) pada tanggal 2 Juli 2012 302 Budi Rahayu Tamsyah, Kamus Lengkap Sunda-Indonesia, (Bandung : Pustaka Setia, 1996), Cet.Ke-1, .halam 78 303 Budi Rahayu, Ibid, halaman 106. 304 Op.cit.halaman 106
138 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
waktu itu. Pertama, setelah peristiwa pemberontakan Haji Hasan Arif 7 Juli 1919 banyak para aktifis pergerakan, terutama orang-orang SI, yang ditangkap pemerintah kolonial sehingga tidak adanya penggagas dan penggerak aksi kolektif.305 Kedua, antara tahun 1925-1930 orang pribumi memfokuskan perhatiannya pada aksi-aksi menentang kebijakan Verponding, yaitu peraturan pajak yang dirasa menekan rakyat dan dianggap suatu pemerasan.306 Ketiga, sejak tahun 1933 sampai jatuhnya pemerintahan kolonial Belanda pada 1942, para kiai yang kritis banyak ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda karena penentangannya terhadap
Bupati RA.Suria Kartalegawa sehingga kosongnya
penggerak aksi kolektif di Kota Garut pada masa itu.307 Keempat, kontrol politik pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu sangat kuat terhadap kemungkinan besar munculnya aksi-aksi kolektif yang digerakkan kaum pribumi.
4.5. Sentimen Anti Cina Karena Masalah Pembauran Seperti sudah disinggung dalam bab tiga bahwa isu persetujuan perjanjian dwikewarganegaraan dan Peraturan Presiden (PP) Nomor 10 Tahun 1959 mewarnai perpolitikan Indonesia pada tahun 1960-an, diiringi dengan berbagai gejolak yang ditimbulkannya. Akumulasi permasalahan orang Cina di Indonesia mencapai titik puncak dalam bentuk polemik terbuka. Polemik antar tokoh Cina keturunan mengenai asimilasi (pembauran) yang berlangsung secara terbuka di majalah Star Weekly pada awal 1960-an merupakan anti klimaks permasalahan Cina di Indonesia. Pengelompokan dan aspirasi Cina keturunan di Indonesia semakin nampak ke permukaan pada waktu itu. Polemik terbuka antara Cina keturunan pendukung gagasan asimilasi (pembauran) dan kelompok Cina keturunan pendukung integrasi di majalah Star Weekly pada awal 1960-an itu berlangsung beberapa episode. Beberapa tokoh
305
Diantara yang ditangkap pada waktu itu adalah KH. Mustafa Kamil, aktifis SI/PSII, karena dianggap terlibat dalam munculnya pemberontakan Cimareme. Lihat Oking Achmad Djami’at, Tinjauan Sejarah Tentang Perjuangan K.H. Mustofa Kamil di Daerah Garut Hingga Akhir tahun 1945, (Skripsi Jurusan Sejarah IKIP Bandung, 1968), halaman 74-105. 306 Warjita, KH. Mustafa Kamil Bapak Pejuang Garut, (Pemerintah Kabupaten Garut Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2007), halaman 24-25 307 Ibid, halaman 25
139 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Cina keturanan yang terlibat dalam polemik terbuka itu adalah Yap Thiam Hien dan Siauw Giok Tjhan mewakili kelompok Baperki, Ong Hok Ham dan Tjung Tin Jan mewakili kelompok pembauran. Polemik terbuka mengenai “asimilasi” tersebut terjadi setelah munculnya gerakan asimilasi oleh sepuluh tokoh Cina keturunan di dalam merespons PP.10 tahun 1959 di satu pihak dan sikap masyarakat Cina itu sendiri di dalam menentukan pilihan kewarganegaraan Indonesia di lain pihak.308 Pada tanggal 21 Maret 1960, sepuluh tokoh Cina keturunan menandatangani piagam asimilasi sebagai jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi Cina Indonesia pada waktu itu. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya jalan keluar untuk menghilangkan diskriminasi adalah dengan melakukan asimilasai (pembauran) secara total. Sepuluh orang tersebut adalah Lauw Chuan Tho (Yunus Yahya), Ong Hok Ham, Kwee Hwat Djien, Tjung Tin Jan, Tjia Djie Siong, Tan Bian Seng, dan Tantekhian.309 Proses asimilasi yang diinginkan oleh kelompok sepuluh ini adalah pembauran keturunan Cina Indonesia ke dalam tubuh bangsa Indonesia sehingga tidak didapatkan lagi golongan Cina yang eksklusif. Mereka berpendapat sebaiknya orang Cina Indonesia sebagai individu, melakukan penyatuan diri dengan suku asli Indonesia dalam segala lapangan kehidupan. Dengan demikian diharapkan sifat-sifat eksklusif orang-orang Cina keturunan (Tionghoa) Indonesia yang telah ada sejak zaman kolonial dapat berangsur-angsur hilang.310 Dalam surat-suratnya mengenai Tionghoa dengan judul “Tiga Terapi Untuk Menyembuhkan Penyakit Diskriminasi Rasial” yang diterbitkan dalam majalah Star Weekly berturut-turut tanggal 16 April, 30 April dan 21 Mei 1960, Yap Thiam Hien mengeritik “formula asimilasi” atau pembauran yang diajukan oleh “Kelompok Sepuluh” itu, dan menolak “formula Komunis” yang diusulkan
308
Yap Thiam Hien, Terapi I : Terapi Siauw Giok Tjhan, dalam Majalah Star Weekly, tanggal 16 April 1960 309 Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, (Depok : Komunitas Bambu, 2005), xii 310 Yunus Yahya, Masalah Tionghoa di Indonesia, Asimilasi VS Integrasi, (Jakarta : Penerbit Lembaga Pengkajian Pemaburan, tth), halaman 18-19
140 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
oleh Siauw Giok Tjhan serta mengajukan “formula Kristen” sebagai jalan keluar bagi permasalahan masyarakat keturunan Cina di Indonesia.311 Menurut Yap Thiam Hien pembauran dapat dilaksanakan dengan cara menghilangkan prasangka dan jaminan hak-hak azasi manusia. Akarnya ada pada masalah minoritas. Masalah minoritas ini menurut Yap Thiam Hien pada hakikatnya merupakan masalah manusia itu sendiri (the probleme of man), yaitu bagaimana manusia memandang dan memperlakukan sesama manusia. Bukan struktur yang salah, bukan perbedaan-perbedaan fisik atau budaya yang salah melainkan manusia sendirikah yang salah.312 Meskipun ia sama-sama pengurus Baperki, Yap Thiam Hien tidak menyetujui pemikiran Siauw Giok Thjan, bahkan ia mengkritik habis-habisan pemikiran Siauw Giok Thjan itu. Menurut Siauw Giok Thjan diskriminasi rasial hanya bisa lenyap dari masyarakat Indonesia, jika struktur masyarakat Indonesia yang feodalistis, kolonialistis dan kapitalistis dirombak dan dirubah menjadi masyarakat komunis. Pemikiran ini menurut Yap Thiam Hien hanyalah sebuah ramalan tentang apakah dan kapankah golongan komunis akan berhasil menguasai masyarakat dan negara Indonesia. Tentu saja ramalan ini, kata Yap Thiam Hien, sangat sulit untuk diterima.313 Terhadap pemikiran kelompok penandatangan piagam asimilasi atau lebih dikenal dengan sebutan kelompok sepuluh, Yap Thiam Hein pun mengkritiknya secara habis-habisan. Kelompok sepuluh berpendapat bahwa masalah minoritas di Indonesia pada waktu itu hanya bisa diselesaikan melalui jalan asimilasi atau pembauran secara total dalam segala lapangan. Menurut Yap Thiam Hien pemikiran ini benar, tapi masalah minoritas juga dapat diselesaikan dengan caracara lain seperti melalui penegakan hukum dan kebijakan yang menciptakan hubungan harmonis antar berbagai kelompok ras. Yap Thiam Hein sangat berkeberatan terhadap terapi asimilasi ini, ia menuduh bahwa terapi asimilasi kelompok sepuluh ini menginginkan suatu “nivellering” (menjadi sama) dari kebudayaan suku-suku dan golongan-golongan rasial dengan menyamaratakan 311
Leo Suryadinata, Op.Cit.halaman 157 Star Weekly, 16 April 1960 313 Ibid 312
141 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
ciri-cirinya yang khusus. Jika nasionalisme dianut secara salah, kata Yap Thiam Hien, akan timbul ekstrimisme yang memaksa suatu “uniformering” seperti yang dipraktikkan oleh Hitler dan negara-negara totaliter.314 Selanjutnya melalui tulisannya itu Yap Thiam Hien menawarkan lima terapi untuk menyelesaikan permaslahan yang sedang dihadapi masyarakat Cina di Indonesia,315 yang olehnya masalah itu ditafsirkan sebagai bentuk-bentuk diskriminasi rasial. Kelima terapi itu adalah : 1. Bukan “brain-washing” melainkan “heart-cleansing” 2. Bukan perubahan struktur masyarakat melainkan perubahan “mensbeschouwing”, yang materialistis dan homo-centris menjadi christocentris. 3. Bukan penghapusan perbedaan-perbedaan fisik atau kultural, melainkan penghapusan prasangka, egoisme dan hipokrisi. 4. Supaya tidak lagi menjadi “dominant group” melainkan “dienende elite”. 5. Bukan retooling of man, tetapi rebirth of man in Yesus Christ, dan caracara lain. Pada April 1960, Siauw Giok Thjan menurunkan tulisannya dalam bentuk surat sebagai jawaban atas kritikan Yap Thiam Hien. Surat jawaban dari Siauw Giok Thjan itu diterbitkan dalam majalah yang sama, yaitu Star Weekly pada tanggal 23 April. Dalam suratnya itu Siauw Giok Thjan balik membantah bahwa “formula komunis” yang ditawarkan berasal dari Presiden Soekarno. Bahkan ia menyebut Yap Thiam Hien sebagai pengikut terbaik pemikiran Mac Carthyisme, yang menurutnya di Amerika Serikat sendiri ditentang oleh Partai Demokrat dan para aktivis hak asasi manusia. Dalam suratnya itu, Siauw Giok Thjan menyampaikan enam butir argumentasi sebagai bantahan atas pemikiran Yap Thian Hien yang diterbitkan majalah Star Weekly satu minggu sebelum surat ini diterbitkan. Di bawah ini merupakan enam butir pemikiran Siaw Giok Thjan sebagaimana disajikan Leo Suryadinata dalam“Pemikiran Politik Etnis Tionhoa Indonesia 1900-2002” halaman 172.316
314
Ibid Ibid 316 Leo Suryadinata, Loc.Cit, halaman 172-174 315
142 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Menurut Siauw Giok Thjan, untuk menilai pemikiran Yap Thiam Hein perlu diperhatikan beberapa realitas sebagai berikut : 1. Masyarakat adil makmur yang saya anjurkan untuk diperjuangkan lebih cepat adalah masyarakat adil dan makmur, sesuai dengan anjuran masyarakat adil makmur Presiden Soekarno untuk mengakhiri sistem manusia menindas manusia. Oleh Presiden Soekarno masyarakat adil dan makmur juga dinamakan masyarakat sosialis ala Indonesia. 2. Pikiran Presiden Soekarno tentang pembangunan masyarakat adil dan makmur itu diperjelas dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959, diumumkan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia, yang wajib ditaati oleh semua warga negara Republik Indonesia. 3. Setelah manifesto Politik RI disahkan sebagai garis-garis besar haluan negara, tampak bahwa pendukung Manifesto Politik RI tidak terbatas pada orang-orang Komunis saja atau orang-orang yang di mata saudara Yap adalah orang-orang Komunis, tetapi juga warganegara yang ingin melihat dipercepatnya perwujudan jiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam hubungan ini patut diperhatikan, bahwa rumusan perincian Manifesto Politik RI yang disetujui dengan suara bulat dalam sidang DPA, disetujui pula oleh tokoh-tokoh Parkindo, Partai Katolik, Monsigneur Padmaseputra (wakil agama Katholik), serta wakil-wakil partai Islam seperti NU, PSII, PERTI dan Saudara Sugriwa sebagai wakil agama Hindu Bali. 4. Mengingat luasnya dukungan pada Manifesto Politik RI dan dengan pembentukan Front Nasional akan diusahakan kebulatan tekad nasional untuk mempercepat perwujudan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan jiwa Proklamasi 17 Agustus 1945, maka perwujudan masyarakat adil dan makmur dapat dilaksanakan dalam waktu lebih singkat daripada yang diduga. Pertentangan yang digambarkan oleh saudara Yap hanya terdapat dalam pikiran saudara Yap sendiri, karena warga negara Indonesia yang nonkomunis ternyata tidak menentang, malahan selama ini menyatakan kesediaan membentuk masyarakat adil dan makmur, seperti terbukti dari pernyataan yang ikut mendukung Manifesto Politik RI.
143 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
5. Memang, hingga saat ini tidak seorang sarjana ilmu masyarakat pun yang dapat menyangkal, bahwa penyelesaian golongan minoritas di Uni Soviet dan RRC telah mencapai tingkat ideal. Tidak sedikit sarjana Amerika Serikat yang anti-komunis terpaksa mengakui kenyataan tersebut. 6. Komperensi pleno Baperki yang baru dilangsungkan
di Batu pun
membenarkan pandangan, bahwa pembentukan masyarakat adil dan makmur seperti digariskan dalam Manifesto Politik RI akan menjamin penyelesaian golongan kecil dengan bijaksana dan hapusnya praktikpraktik diskriminasi rasial, karena seperti ditegaskan oleh Presiden Soekarno, dengan terbentuknya masyarakat adil dan makmur akan berakhir sistem manusia menindas manusia (explotation de l’home par l’homme), yang akan mengakhiri dalih (alasan) buat menggencet golongan yang hendak didiskriminasikan. “Jadi menerima pikiran saya tentang cara menyelesaian masalah golongan kecil berarti ikut aktif memperjuangkan pelaksanaan Manifesto Politik RI yang setelah dinyatakan menjadi garis-garis besar haluan negara, wajib ditaati oleh setiap warga negara Indonesia”. Demikian akhir tulisa Siauw Giok Tjhan. Tulisan Yap Thiam Hien terebut selanjutnya ditanggapi oleh Tjung Tin Jan, seorang Cina keturunan pendukung gerakan asimilasi asal Bangka, melalui sebuah tulisan yang diterbitkan di majalah Star Weekly tanggal 25 Juni 1960. Dalam tulisannya itu Tjung Tin Jan menyimpulkan bahwa tulisan Yap Thiam Hien itu terlalu mengeneralisir persoalan-persoalan minoritas, seoalah-olah hanya ada satu macam persoalan minoritas saja, oleh karena itu kesimpulannya pun salah. Hal ini karena persoalan minoritas rasial tidak selalu sama antara satu negara dengan negara lainnya. Di Indonesia golongan Tionghoa tidak dieksklusifkan oleh masyarakat Indonesia menyangkut tempat tinggal, sekolah, perkumpulan,
malahan
sebagian
golongan
Tionghoa
justru
yang
mengeksklusifkan diri.317 Menurut Tjung Tin Jan konsep yang diajukan Yap Thiam Hien mengenai “dominant group” yang diambil dari Louis Wirth hanya cocok diterapkan di 317
Tjung Tin Jan, Indonesia Bukan Amerika, Star Weekly, 25 Juni 1960
144 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Amerika Serikat, tidak untuk kasus Indonesia. Di Amerika Serikat memang ada “dominant group” yaitu kulit putih yang memiliki kedudukan sosial politik, dan ekonomi lebih tinggi daripada minoritas Negro. Orang-orang Negro dipisahkan dari masyarakat orang kulit putih berdasarkan prasangka orang kulit putih, yang menganggap mereka lebih baik dan lebih unggul daripada orang Negro. Orang kulit putih menganggap bangsa Negro rendah, mereka tidak mau hidup bersamasama dengan bangsa Negro.318 Konsep “dominant group” ini menurut Tjung Tin Jan tidak tepat untuk diterapkan pada permasalahan minoritas keturunan Cina di Indonesia. Memang benar, kata Tjung Tin Jan, pada zaman kolonial Belanda ada keangkuhan dari “dominant group” orang kulit putih. Akan tetapi diskriminasi sekarang pada zaman Indonesia merdeka, lanjut Tjung Tin Jan, bukan karena keangkuhan keturunan semacam itu dari pihak “dominant group” yaitu apa yang dinamakan pihak “asli”. Diskriminasi sekarang di Indonesia merdeka, semata-mata merupakan kelanjutan dari alam pikiran dari zaman kolonial, ketika masyarakat Indonesia dibagi-bagi ke dalam golongan-golongan dan suku-suku. “Jadi diskriminasi tidak berdiri sendiri, melainkan akibat dari struktur masyarakat kolonial”. Tegas Tjun Tin Tjan.319 Dalam pandangan Tjun Tin Tjan, diskriminasi rasial akan lenyap jika golongan dan golonganisme itu hilang dan ini memerlukan goodwill dari kedua belah
pihak,
orang
keturunan
Tionghoa
dan
pihak
“asli”
Indonesia.
Menyelesaikan masalah minoritas Tionghoa di Indonesia, menurut Tjun Tin Jan, merupakan “a two way process”, karena itu kedua belah pihak harus berbuat.320 Dan ia pun yakin, bahwa dengan gerakan “asimilasi” prasangka dan diskriminasi akan hilang dengan sendirinya. Karena itu kritikan terhadap kelompok sepuluh dari Yap Thiam Hien adalah tidak tepat. Kritikan ini tepatnya dialamatkan kepada Hitler yang mempertahankan “Arviers van het zuiverste ras”, ia sangat kontra asimilasi. Demikian kata Tjun Tin Tjan, menutup tulisannya.321 318
Ibid Ibid 320 Ibid 321 Ibid 319
145 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kurang lebih enam bulan setelah peristiwa konflik terbuka mengenai “asimilasi” di majalah Star Weekly, piagam asimilasi kembali dikeluarkan oleh tiga puluh orang keturunan Cina dari berbagai kota di Jawa. Piagam asimilasi ini dikeluarkan dalam sebuah acara Seminar Kesadaran Nasional di Bandungan, Ambarawa tanggal 13-15 Januari 1961. Inti utama dari isi piagam asimilasi di Bandungan ini menegaskan bahwa syarat mutlak untuk mencapai satu bangsa dengan masyarakat yang adil dan makmur serta Negara Indonesia yang kuat dan penuh dinamika sehingga dapat melaksanakan peranannya di dunia internasional sesuai
dengan
panggilan
zaman,
maka
proses
asimilasi
merupakan
pengejawantahan (manifestasi) cita-cita tersebut.322 Kemudian, yang dimaksud dengan asimilasi dalam piagam tersebut adalah proses penggabungan golongan-golongan yang mempunyai sikap mental, adat kebiasaan dan pernyataan-pernyataan kebudayaan yang berbeda-beda menjadi satu kebulatan sosiologis yang harmonis dan bermakna, yaitu bangsa Indonesia.323 Mengenai hubungannya dengan masalah warga negara Indonesia “keturunan Cina”, piagam asimilasi tersebut sekali lagi menegaskan bahwa “asimilasi” berarti masuk dan diterimanya orang seorang keurunan Cina ke dalam tubuh bangsa Indonesia tunggal sedemikian rupa sehingga akhirnya golongannya semula yang khas tidak ada lagi. Konsekuensinya, seperti ditegaskan lebih lanjut dalam piagam tersebut, bahwa bagi orang keturunan Cina yang menerima kewarganegaraan Indonesia adalah harus bertekad untuk mengabdi kepada Nusa dan Bangsa Indonesia dengan seluruh jiwa dan raga serta menyatukan diri dengan rakyat Indonesia secara keseluruhan sebagai orang Indonesia yang sejati dan patriotik.324 Konsekuensi selanjutnya, menurut piagam tersebut, orang-orang keturunan Cina harus meninggalkan golongan keturunannya dan tidak akan mempertahankan golongan keturunannya itu.325
322
Departemen Penerangan RI, Asimilasi Dalam Rangka Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta, 1964, h.8-9. Lihat juga, Yunus Yahya, Masalah Tionghoa di Indonesia, Asimilasi VS Integrasi, Op.Cit, halaman 134 323 Departemen Penerangan RI, Ibid, halaman 8-9 324 Ibid, halaman 8-9 325 Ibid, halaman 9
146 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Berdasarkan uraian dari rangkaian peristiwa mengenai gerakan asimilasi yang dilakukan beberapa tokoh keturunan Cina Indonesia dan polemik di dalamnya mengenai permasalahan tersebut menunjukkan adanya gejala umum belum membaurnya kelompok keturunan Cina dengan kelompok pribumi di Indonesia pada tahun 1960-an. Kesan eksklusifitas keturunan Cina di mata orang pribumi yang ada sejak zaman Belanda pada waktu itu masih tetap berkembang. Sedangkan kaum pribumi sendiri, sebagian besar dari mereka masih menyimpan berbagai prasangka negatif mengenai sikap dan prilaku orang-orang keturunan Cina di Indonesia. Kondisi ini mengakibatkan belum bisa meleburnya kedua kelompok sosial tersebut ke dalam satu kelompok sosial. Analisa ini bukan hanya didasarkan pada fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, juga terdapat fakta-fakta lain yang mendukung terhadap kesimpulan tersebut. Selo Soemardjan, misalnya, dalam sebuah penelitian mengenai “Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi” menjelaskan bahwa meskipun kelompok sosial keturunan Cina (Tionghoa) dalam keseluruhannya dan kelompok sosial Indonesia asli saling memerlukan satu sama lain di Kota Sukabumi, namun kedua kelompok sosial tersebut masih tetap mempertahankan diri dan belum tampak gejala-gejala yang kuat kearah peleburan menjadi satu kelompok sosial.326 Menurut Selo Soemardjan kondisi tersebut disebabkan oleh empat faktor327, yaitu : 1. Adanya perbedaan ciri-ciri fisik, meskipun perbedaan ini makin berkurang karena kedua kelompok itu hidup bersama dalam satu daerah. 2. Perbedaan mengenai kebudayaan dan keyakinan (terutama agama) di antara kedua kelompok sosial tersebut. 3. Adanya perasaan unggul dari masing-masing kebudayaan kedua kelompok. 4. Adanya perbedaan pendirian dari kedua kelompok sosial tersebut dalam masalah perjuangan nasional, baik pada masa penjajahan Belanda, maupun pada masa Revolusi melawan pendudukan tentara Belanda. 326 327
Selo Soemardjan, Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi, (Bandung : Eresco, tth), halaman 43 Ibid, halaman 43-44
147 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Tidak hanya Selo Soemardjan yang menyatakan bahwa perilaku kelompok sosial keturunan Cina pada tahun 1963 itu masih tetap memperlihatkan eksklusifitasnya. Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) di bawah pimpinan Sindhunatha mengeluarkan selebaran berisi pernyataan bahwa peristiwa kerusuhan Mei 1963 di Jawa Barat adalah disebabkan oleh perilaku keturunan Cina yang eksklusif dan suka memamerkan kemewahan.328 Sementara itu, Menteri Muda Sosial Mulyadi Joyomartono pada tanggal 29 Desember 1959 telah mengeluarkan sebuah pernyataan yang isinya berhubungan erat dengan sikap dan prilaku orang Cina keturunan di Indonesia. Ia menyatakan bahwa WNI keturunan Cina harus diretul sesuai dengan jiwa Indonesia. Ditegaskannya, bahwa warga negara Indonesia keturunan Cina dilahirkan di Indonesia, maka tingkah laku mereka harus sama dengan warga negara lainnya, jiwanya harus diretul sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yaitu gotong royong.329 Pernyataan Mentri Muda Sosial itu disampaikan pada acara “Kursus Bimbingan Sosial” bagi warga negara keturunan Cina yang diselenggarakan di Temanggung Jawa Tengah pada tanggal 29 Desember 1959. Kursus ini dilaksanakan sebagai upaya pemerintah di dalam menumbuhkan kesadaran masyarakat keturunan Cina di Indonesia untuk melakukan pembauran secara total dengan masyarakat pribumi dalam bingkai negara Indonesia merdeka.330 Mengenai nama warga negara Indonesia keturunan Cina Menteri Muda Sosial menyarankan nama-nama Cina diganti dengan nama Indonesia. Misalnya, nama “Ong” diganti dengan nama “Onggowasita” dan Angraini. Singkatnya, menurut Mentri Muda Sosial, Mulyadi Joyomartono, orang-orang keturunan Cina di Indonesia harus menyesuaikan dengan kepribadian bangsa Indonesia dalam tiga hal yaitu dalam harta kekayaan, ahli waris, dan prilaku.331 Berdasarkan uraian di atas, harus dikatakan sekali lagi, bahwa nampaknya persoalan pembauran etnis Cina dengan kaum pribumi, terutama di kota-kota di 328
Beni G.Setiono, Op.Cit, halaman 808 “Jiwa WNI Keturunan Tionghoa Harus diretul”, dalam Merdeka, Edisi 30 Desember 1959 330 Ibid 331 Ibid 329
148 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pulau Jawa, merupakan permasalahan yang cukup serius pada tahun enam puluhan. Di kota Garut, yaitu lokasi penelitian disertasi ini, permasalahan pembauran antara etnis Cina dengan etnis yang lainnya (Sunda, Arab, dan Pakistan) merupakan permasalahan yang cukup pelik. Bagaimna pun juga gaya hidup kelompok etnis Cina di Kota Garut sangat berlainan dengan golongan etnis lainnya, seperti kelompok pribumi (etnis Sunda), Arab, dan Pakistan. Meskipun sudah lebih dari dua generasi dilahirkan di Kota Garut dan sudah terikat oleh tempat kelahirannya, namun sikap hidup mereka masih tetap eksklusif sehingga harapan pembauran di antara sesama warga Kota Garut sangat sulit untuk diwujudkan.332 Dalam pandangan kaum pribumi (etnis Sunda) kedudukan etnis Cina di Kota Garut pada umumnya masih dianggap sebagai orang asing. Salah satu faktornya adalah kurang membaurnya mereka dengan kaum pribumi. Kesan kurang membaurnya etnis Cina di Kota Garut dalam kehidupan sehari-hari memunculkan ketidak sukaan di sebagian bersar penduduk pribumi. Ini berbeda dengan orang Arab dan Pakistan. Dalam kehidupan sehariharinya mereka telah bergaul erat dan berbaur dengan kaum pribumi. Berkat keluwesannya dalam bergaul maka kehadirannya di Kota Garut tidak dianggap sebagai orang asing. Mereka dapat diterima oleh kaum pribumi, karena mereka dianggap tidak menutup diri dalam segala hal.333 Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pembauran antara etnis Cina dan penduduk pribumi kurang begitu berjalan. Pertama, faktor agama dan adat istiadat atau sosial budaya. Faktor agama dan adat istiadat atau sosial budaya, dalam proses pembauran antara etnis Cina dan etnis Sunda di Kota Garut memegang peranan yang sangat penting. Faktor agama dan adat istiadat tidak hanya merupakan penghalang proses pembauran tersebut, tetapi juga secara tidak langsung telah dijadikan sebagai “garis pemisah” (border line) antara suku Sunda (khususnya Sunda Priangan) dengan etnis Cina.
332
Kunto Sofianto, Garut Kota Intan, Lok.Cit, halaman 134 Lihat Kunto Sofianto, Kehidupan Kelompok Etnis Cina, Arab, dan Pakistan di Kota Garut 1950-1990, (Bandung : Lembaga Penelitian UNPAD, 1991), halaman 22-26
333
149 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Memang, bagi orang Sunda dan sebagian besar kelompok etnis di Indonesia. Orang asing, sperti Cina yang sudah tinggal dan bermukim bergenerasi, tetap dianggap orang asing, kecuali apabila mereka telah memeluk Islam atau Kristen. Bagi orang Cina yang telah masuk Islam, tidak harus kehilangan identitas etnisnya. Komunitas muslim keturunan Cina pada akhirnya akan menjadi satu “komunitas muslim” saja dan bukan “komunitas dengan sebuah masjid Cina” yang terpisah. Bagi orang Sunda Priangan, seperti penulis sendiri menyaksikan di tahun delapan puluh tujuhan di Kota Garut, kepindahan orang Cina kepada agama Islam dilihat sebagai pembauran yang tuntas.334 Fenemona seperti ini bisa juga dilihat pada kasus masuknya Munting menjadi seorang Muslim pada tahun 1961. Ia adalah seorang keturunan Cina di Kota Garut. Sebab dia masuk Islam, bukan hanya diangkat menjadi menantu oleh H.Sujadi di Cikajang, tapi juga ia sangat dekat dengan para aktifis gerakan Islam.335. Akan tetapi di sisi lain, khususnya tahun 1960-an, etnis Cina di Kota Garut menunjukkann hal yang sama, sebagai kelompok masyarakat pendatang, orang Cina tetap terpisah dan tersendiri, di samping karena kedudukan mereka yang dikokohkan oleh pemerintah kolonial sebagai pemegang monopoli perdagangan menengah336, juga karena faktor budaya dan agama. Seperti sudah dijelaskan sepintas dalam bab dua pada pembahasan mengenai “kehidupan sosial budaya masyarakat Garut” dan pada bab tiga mengenai “kehidupan etnis Cina di Kota Garut”, bahwa pada dasarnya masingmasing etnis yang ada di Kabupaten Garut mengembangkan budaya sesuai dengan
334
Pada waktu itu penulis berumur 19 tahun, sudah menjadi mahasiswa IAIN Bandung dan sempat membantu pembinaan orang-orang Cina yang masuk Islam di Kota Garut melalui organisasi PITI atas permintaan H.Suyud sebagai ketua PITI Kabupaten Garut pada waktu itu. 335 Wawancara dengan KH.Saefutamam, ( 77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslim Garut, Imam DI/NII hasil munas di Bogor 2008) pada tanggal 21 Juni 2012, dan wawancara dengan Ade Jamhur (75 tahun, pelaku sejarah, putra mantan Bupati DI Garut, KH.Afandi) pada tanggal 28 Juni 2012 di Garut. Diperkuat oleh Iji Abdurahman (78 tahun, pelaku sejarah, anggota DI/NII) pada tanggal 3 September 2013. 336 Menurut Dawam Rahardjo, jumlah orang Cina di Indonesia mencapai 563.000 pada tahun 1905, yang sekitar dua pertiganya tinggal di Jawa, telah tumbuh menjadi golongan feodal baru, kapitalis pedagang yang menguasai perdagangan eceran, bahkan juga perdagangan besar yang memiliki hubungan dengan produsen dan konsumen di pedesaan maupun dunia luar pedesaan. Lihat, Dawam Rahardjo, “Islam, Mendayung di Antara Dua Karang : Sosialisme dan Kapitalisme”, dalam majalah Prisma, No. Ekstra, 1984
150 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
etnis mereka. Etnis Padang, Jawa, Arab, Pakistan, maupun pendatang lainnya yang beragama Islam dengan mudah melebur ke dalam tradisi masyarakat Sunda melalui hubungan-hubungan sosial dan keagamaan. Perbedaan yang sedikit mencolok terlihat pada kelompok etnis Cina, ketika secara budaya adat istiadat serta agama, etnis Cina masih mampu menjaga dan menjalankan sesuai dengan adat istiadat leluhur mereka serta tinggal mengelompok di daerah Pengkolan dan sekiktarnya. Meminjam istilah Harold R. Isaacs,337 kepercayaan melekat terhadap keunggulan bangsa Han dan orientasi pada tanah leluhur merupakan ciri-ciri terkenal dan dasar pandangan orang Cina terhadap diri mereka sendiri. Kecenderungan orang-orang Cina seperti yang dilukiskan Issacs tersebut juga nampak jelas pada kehidupan masyarakat Cina di Kota Garut tahun 1960-an. Sikap dan prilku mereka yang dianggap merendahkan orang pribumi tercermin dalam pandangan mereka bahwa orang Sunda itu miskin, bodoh, malas, agama Islam adalah agama orang bodoh, dan ungkapan sehari-hari yang sangat kasar terhadap pegawai mereka seperti kata deuleu (artinya; lihat) dan sia/elu (lihat pembahasan tentang stereotip). Sementara itu, kuatnya orientasi mereka pada tanah leluhur tidak hanya terlihat dalam adat istidat mereka sehari-hari, juga tercermin dalam pemasangan bendera RRC di setiap rumah, sekolah dan peringatan HUT RRC yang senantiasa dirayakan setiap tahunnya (Fotto 18, 30, 31, dan 32). Pemasangan bendera RRC di setiap rumah, sekolah dan peringatan HUT RRC tersebut menunjukkan bahwa kesetaan mereka terhadap tanah leluhur (negara RRC) mengalahkan kesetiaan mereka terhadap negara Indonesia. Selanjutnya, kepercayaan orang-orang Cina di Kota Garut pada umumnya menganut kepercayaan tradisional yang telah dianut turun temurun di mana ajarannya sudah bercampur dengan kepercayaan animisme dan dinamisme yang berasal dari kepercayaan lokal asal mereka datang dan tempat tujuan. Mereka mempercayai banyak dewa. Semua dewa-dewa ini terpampang di dalam Klenteng Hok Liong Bio dalam bentuk patung, lengkap dengan asesoris lainnya. 337
Harold R. Isaacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis : Indentitas Kelompok dan Perubahan Politik, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1993), halaman 76
151 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kepercayaan yang telah dianut turun temurun itu telah ikut andil mempertebal perasaan yang selalu mengagungkan kultur nenek moyangnya dan sekaligus mengarahkannya kepada sikap untuk senantiasa berorientasi kepada budaya leluhurnya di daratan Cina. Memang, orang-orang Cina di Kota Garut, selain menganut kepercayaan tradisional mereka juga memuja Parabu Siliwangi yang dihormati masyarakat Kota Garut
atau Sunda umumnya sebagai raja agung pada masa Kerajaan
Pajajaran. Namun dalam tata cara “penghormatannya” antara orang Cina dan masyarakat Garut jauh berbeda. Masyarakat Garut tetap menghormati Prabu Siliwangi dalam batas-batas tertentu. Ia dihormati hanya sebagai mantan raja Pajajaran, tidak dipuja-puja atau disembah-sembah dengan cara memberi sesajen (Sunda : sasajen) terus menerus seperti di kelenteng Hok Liong Bio di Jl. Guntur (Lihat Pembahasan Bab III). Dalam masalah pendidikan, pada tahun 1960-an, orang-orang Cina memiliki sekolah tersendiri, yaitu sekolah Cina Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau sekolah Chunghua. Sekolah SD Cina Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) pada waktu itu berada di Jl. Gunung Payung (Lio) dan SMP THHK atau SMP Chunghua Chunghui di Jl Ahmad Yani. Orientasi politik kedua lembaga pendidik ini berpihak kepada Cina RRC. Begitu juga orientasi kurikulum pendidikan dari dua lembaga pendidikan ini sangat berorientasi pada Cina RRC. Hal ini dapat dilihat dari jumlah mata pelajaran yang disajikan oleh kedua sekolah ini. Dari dua puluh delapan mata pelajaran yang disajikan terdapat tujuh mata pelajaran kepribadian yang berorientasi pada Cina RRC, yaitu bahasa Tionghoa, sejarah Tionghoa, mengarang bahasa Tionghoa, menulis harus huruf Han Zi, dan budi pekerti (Fotto 25 dan 26). Pada waktu itu sedikit sekali anak-anak Cina yang memasuki sekolah campuran Sekolah Dasar (SD) Daya Susila dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Daya Susila, SMP Yos Sudarso dan Sekolah Menengah Atas Katolik (SMAK) di Jl. Brata Yuda. Kebanyakan anak-anak muda yang belajar di sekolah ini adalah anak-anak muda pribumi, terutama dari suku Sunda dan Jawa.
152 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Meskipun di antara anak-anak muda mereka ada yang sekolah di sekolah campuran seperti di SMP Daya Susila di Jl. Ahmad Yani dan SMP Yos Sudarso di Jl. Bank serta di Sekolah Menengah Atas (SMAK) di Jl. Bratayuda, namun pergaulan mereka dengan orang pribumi hanya terbatas di sekolah saja. Pernikahan campur pun di antara anak muda keturunan Cina dan anak muda dari kelompok bumi putra jarang terjadi. Boleh dikatakan bahwa sebelum tahun 1960an tidak ada perkawinan campuran antara orang Cina dengan kaum pribumi. Perkawinan campur antara orang Cina dan kaum pribumi dalam tahun 1960-an hanya terjadi satu kali, yaitu pernikahan Munting (Cina keturunan muslim) dengan putri H.Sujadi di Cikajang.338 Dalam sistem perkawinan di kalangan orang Cina, orang tua memiliki wewenang yang sangat menentukan dalam pemilihan jodoh bagi anak-anaknya. Alasannya, terutama masih berpegang kepada asal-usul keturunan, dan masih ada anggapan bahwa mereka masih mempunyai status yang lebih tinggi daripada orang-orang pribumi, terutama orang Sunda339. Selain sekolah yang terpisah dengan sekolah anak-anak kaum pribumi, kelompok etnis Cina pun memiliki kuburan tersendiri yang terpisah dari kuburan kaum pribumi, yaitu kuburan Cina di Kampung Gugunungan di daerah Margawati Kecamatan Garut Kota dan kuburan Cina di Santiong Kecamatan Karangpawitan. Kuburan tersebut terkesan mewah karena terbuat dari batu bata yang kokoh dengan ukuran yang besar (Foto 54,55). Ini berbeda dengan kuburan kaum pribumi, seperti di Cipeujeuh Dayeh Handap, Pasir Pogor, Paledang, Bratayuda, dan Sumbersari yang terkesan sangat sederhana. Kuburan kaum pribumi umumnya terbuat dari onggokan tanah dan batu-batuan biasa. Faktor kedua, faktor pola pemukiman etnis Cina yang mengelompok dan terpisah dari pemukiman kelompok pribumi. Seperti diketahui, hampir sebagian besar pemukiman Cina di Indonesia dibentuk akibat proses aktifitas perdagangan. Begitu juga pemukiman etnis Cina di daerah Pengkolan Garut. Pemukiman ini 338
Wawancara dengan H.Suyud (77 tahun, mantan ketua PITI Garut), Chung Ken (73 tahun) pada tanggal 13 September 2013. Diperkuat wawancara dengan KH.Saefutamam (78 tahun, pelaku kerusuhan anti Cina) pada tanggal 16 September 2013. 339 Wawancara dengan H.Suyud (77 tahun, mantan ketua PITI Garut), Mei Ling (73 tahun, saksi sejarah, aktifis Gereja Pasundan Garut), Chung Ken (73 tahun, saksi sejarah, aktifis Gereja Katolik Garut) di Garut pada tanggal 13 September 2013.
153 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
berkembang mengikuti jalur jalan utama kota Garut, dimana tempat tersebut merupakan tempat yang sangat strategis untuk usaha dagang karena berada di tengah-tengah kota. Dengan menempati jalur utama tersebut usaha orang-orang Cina di Kota Garut mengalami perkembangan yang cukup pesat. Memasuki era tahun 1950-an sampai 1960-an usaha mereka di bidang perdagangan menunjukkan kestabilan sehingga tingkat ekonomi dan kesejehteraan juga meningkat. Perbedaan tingkat ekonomi dan kesejahteraan mereka dengan kaum pribumi lambat laun menimbulkan segregasi spasial kawasan pemukiman. Pada kawasan dengan tingkat ekonomi yang berbeda tersebut, maka kesempatan orang-orang Cina di Kota Garut untuk berintegrasi dengan kaum pribumi menjadi semakin berkurang. Pemukiman tersebut memiliki karakteristik sosial budaya dan agama yang berbeda dengan pemukiman pribumi. Faktor ketiga, adalah kesibukan kelompok etnis Cina dalam usaha perdagangan. Seperti sudah diuraikan dalam bab tiga bahwa etnis Cina di Kota Garuta selain menganut kepercayaan baur, yaitu kepercayaan yang sudah bercampur dengan anisme dan dinamisme lokal asal mereka dan tempat tujuan. Mereka juga menganut ajaran San Wei Yi (San=tiga, Wei = kepercayaan, Yi=satu), yaitu ajaran yang bersumber dari ajaran Kon Fu Cu, Taoisme dan Budhisme, yang selanjutnya menjadi satu ajaran. Ajaran tersebut menekankan bahwa manusia harus mengarahkan perhatiannya kepada masalah keduniawian di masa kini. Sebenarnya ajaran ini sudah ada pada ajaran Konfusiunisme. Menurut Konfusius “kekayaan dan kedudukan, adalah yang diinginkan orang, jika didapatkan dengan cara tak wajar, tidak akan bertahan, ia seperti awan mengambang”. Karena itu kata Konfusius perkayalah orang-orang agar menjadi sejahtera, setelah itu ajari mereka tentang moral”.340 Ajaran ini nampaknya telah mempengaruhi mental dan sikap hidup orang Cina di Kota Garut untuk bersikap materialistis dan sekaligus sungguh-sungguh untuk memupuk harta benda. Dengan demikian hidupnya habis untuk mencari dunia, tampak menghiraukan lingkungan sekitarnya. Untuk kasus Cina Garut, mereka sibuk berdagang dari pagi Usman Arifin (orang Cina Keturunan di Indonesia), “Konfusianisme dan Etika Bisnis”, makalah disampaikan dalam seminar sehari “Konfusianisme dan Etika Bisnis”, Departeman Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahguan Budaya (FIB) Universitas Indonesia pada tanggal 25 April 2013 340
154 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
sampai malam, sehingga kurang memiliki waktu untuk bergaul dengan masyarakat di sekitarnya. Dalam tahun 1960-an, pada umumnya orang-orang Cina di Kota Garut membuka tokonya pada pukul 6.00 pagi dan menutupnya pada pukul 22.00.341 Tapi ada juga dari mereka yang pergi ke Pasar Baru pada jam tiga malam untuk melakukan transaksi perdagangan sampai pagi hari. Biasanya mereka pulang dari pasar jam 7.00 pagi. Kemudian setelah itu mereka membuka tokonya pada jam 8.00 atau jam 9.00 pagi dan tutup pada jam 22.00 malam. Di Pasar Baru mereka biasanya menjual barang-barang pokok seperti beras, minyak, terigu dan ikan asin. Sedangkan di Jl.Pasar Baru atau di Jl.Ahmad Yani dan Jl.Ciledug mereka menjual kain dan barang-barang elektronik.342.
341
Wawancara dengan Latiwan (75 tahun, Cina Keturunan, Pedagang di Jl.mandalagri), Tjing Tjiap Sin (76 tahun, Keluraga Toko Ekbow) pada tanggal 21 Juni 2012 di Garut, dan dengan Nancy Wijaya (67 tahun, Ketua PINTI, salah seorang keturunan Cina Garut yang sukses menjadi pedagang, tinggal di Jakarta) pada tanggal 25 April 2013 di Jakarta. 342 Wawancara dengan Ahman ( 87 tahun, saksi sejarah, mantan pegawai Pasar Guntur ), Hj.Popon (74 tahun, saksi sejarah, penduduk Jl. Guntur), Momod (89 tahun, saksi sejarah, mantan pedagang ikan di Pasar Guntur tahun 1959-1971) pada tanggal 23 Februari 2012.
155 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
BAB V PECAHNYA KERUSUHAN ANTI CINA Inti uraian dalam bab ini adalah uraian tentang kronologi peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada tanggal 17- 18 Mei 1963. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pertemuan-pertemuan para aktifis ormas kepemudaan sebelum terjadi kerusuhan. Di dalamnya meliputi gagasan dan persiapan gerakan anti Cina dimulai serta seruan dan mobilisasi massa. Namun sebelum terjadi kerusuhan di Kota Garut, terlebih dahulu terjadi kerusuhan yang serupa di daerah lainnya seperti di Cirebon, Kuningan, Tegal, dan Bandung. Bahkan setelah peristiwa kerusuhan anti Cina pada 10 Mei di Kota Bandung kerusuhan itu mengalir ke daerah-daerah lainnya di Jawa Barat, seperti Sumedang, Tasik Malaya, Cianjur, Cipayung-Bogor, Cibadak dan Kota Sukabumi. Dari rangkaian peristiwa tersebut menunjukkan adanya gejala umum anti Cina di kalangan penduduk pribumi (khususnya etnis Sunda) di sebagian besar wilayah Jawa Barat. Untuk itu sangat perlu diuraikan secara deskriftif mengenai peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Bandung pada 10 Mei 1963 dan bagaimana pengaruhnya terhadap munculnya kerusuhan yang serupa di daerah lainnya di Jawa Barat. Permasalahan ini perlu diangkat dalam disertasi ini sebagai upaya mencari tahu tentang keterkaitan peristiwa Garut dengan peristiwa sebelumnya sehingga kontruksi yang dilakukan mengenai peristiwa Garut menjadi kaya dan tidak terlihat kering. Selanjutnya, Garut sebagaiman daerah Priangan pada umumnya, seperti Sukabumi,
Cianjur,
dan
Tasikmalaya,
adalah
merupakan
daerah
yang
perkembangan pesantrennya cukup pesat. Dengan demikian jumlah kiai pun di daerah ini termasuk
cukup banyak dan berperan besar dalam kehidupan
keagamaan masyarakat. Karena itu adalah logis jika dalam penelitian ini diuraikan mengenai sejauh mana peran kiai dan pesantren dalam peristiwa kerusuhan anti Cina di Garut pada Mei 1963, di mana masyarakat umum menyebutnya sebagai “beset Cina dua”.
156 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Meskipun gerakan DI/TII pada tahun 1962 mulai surut dan turun gunung setelah tertangkapnya Kartosuwiryo, namun pengikut-pengikutnya tetap masih ada di beberapa daerah basis. Bahkan sampai laporan ini dibuat, organisasi DI/NII masih tetap ada di daerah Garut dalam dua faksi, yaitu DI/NII Fi Sabilillah dan DI/NII Fillah. Kemudian berdasarkan fakta-fakta yang penulis temukan bahwa adanya sebagian anggota DI/NII pada waktu itu terlibat dalam gerakan kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada Mei 1963. Untuk itu perlu diketahui bagaimana dan mengapa mereka terlibat dalam gerakan tersebut. Terakhir, dalam bab ini akan dijelaskan pula mengenai dampak kerusuhan anti Cina terhadap kehidupan sosial masyarakat Garut dan perubahan prilaku etnis Cina setelah peristiwa tersebut.
5.1. Kebangkitan Keagamaan di Kalangan Aktivis Muda Islam Jauh sebelum terjadinya kerusuhuan anti Cina sebagai bentuk prilaku kolektif mengikut pemikiran J.Neil Semelser atau aksi kolektif menurut kategori Charles Tilly, di daerah Garut telah terjadi gerakan reformis atau pembaharuan yang dilakukan para kiai dan tokoh pergerakan Islam pada waktu itu. Gerakan dan pemikiran pembaharuan dari para kiai tersebut selanjutnya telah mempengaruhi banyak pemikiran dan membangkitkan semangat keagamaan para aktifis muda Islam di tahun 1960-an. Menurut Mohammad Iskandar gerakan reformis itu dilakukan oleh para kiai yang dikenal sebagai orang Syarekat Islam (SI). Ide-ide pembaharuan yang disampaikan para kiai itu bukan hanya masalah praktek keagamaan, tetapi juga dipergunakan untuk mengangkat isu-isu politis. Untuk kasus ini, Mohammad Iskandar mencontohkan mengenai gerakan reformis yang dilakukan Kiai Haji Adara’i dari Pesantren Nangkapait, Cilame, ia telah menggunakan hadis Nabi yang berbunyi “Kullu bid’atin dholalah, wakullu dholalatin fin-naar” (setiap yang baru dalam urusan agama adalah sesat, dan setiap yang sesat adalah neraka) sebagai fatwanya mengeani masalah fajak. Menurutnya pajeg, herendiensten, dan
157 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
semua peraturan pemerintah kolonial wajib ditolak, karena semuanya merupakan masalah baru dalam agama.343 Fatwa dari Kiai Haji Adra’i dari Pesantren Nagkapait, Cilame itu kemudian disebarkan oleh para pimpinan SI lokal ke kampung-kampung dan desa-desa di wilayah Garut. Hal-hal seperti inilah antara lain yang kemudian mendorong munculnya peristiwa Cimareme atau dikenal juga dengan peristiwa gerakan radikal SI afdeling B, yaitu peristiwa penolakannya Kiai Haji Hasan Arif dari Cimareme, Banyuresmi, untuk menjual padi miliknya sebanyak 42 pikul (kuintal) kepada pihak pemerintah. Akibat dari penolakannya itu, pada tanggal 7 Juli 1919, Kiai Haji Hasan Arif beserta keluarganya dikepung dan ditembak mati oleh tentara Belanda di bawah pimpinan residen dan bupati Garut.344 Pihak pemerintah kolonial Belanda menganggap peristiwa Cimareme itu digerakkan oleh Syarikat Islam sehingga banyak tokoh Syarikat Islam Garut, terutama para kiai dan para santri yang ditangkap dan dipenjarakan di daerah Garut. Ada juga di antara mereka yang dipenjarakan di luar Garut dan dibuang keluar Pulau Jawa seperti di Sawah Lunto, Balikpapan, dan Medan. Diantaranya Kiai Haji Mustafa Kamil ditangkap dan dipenjara selama dua tahun, dari tahun 1919 sampai tahun 1921.345 Sebagai akibat lanjutan dari peristiwa Cimareme tersebut kurang lebih 70% dari anggota Syarikat Islam Garut yang terdiri dari para kiai pekauman dan pesantren-pesantren menyatakan keluar dari SI dan mengembalikan kartu anggotanya melalui lurah masing-masing. Sisanya terdiri dari para pedagang, suadagar dan hartawan, meskipun tidak menyatakan keluar dari SI, tetapi menghentikan aktifitasnya. Mereka lebih tertarik mendirikan Muhamadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Diantaranya adalah H. M. Djamhari, salah seorang anggota SI merintis berdirinya Muhammadiyah di Garut pada awal tahun 1922, sedangkan Sukantawijaya (salah seorang tokoh SI) mendirikan Persatuan Islam
343
Mohammad Iskadar, Para Pengemban Amanah, Op.Cit. halaman 147 Ibid, halaman 148 345 “Sajarah Perjuangan PSII Garut, Naskah Alit”, (Garut : Syarikat Islam Indonesia Cabang Garut, tth), halaman 16 344
158 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
(Persis) Cabang Garut pada tahun (1929), setelah ia menyatakan keluar dari Syarikat Islam.346 Dengan banyaknya anggota SI yang keluar kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah dan Persis, maka kelompok yang menamakan dirinya sebagai reformis semakin menguat posisinya di tengah-tengah masyarakat. Semenjak itu pemikiran kaum Muslim di daerah Garut mulai terpolarisasi pada dua pemikiran, yaitu kelompok tradisional dan kelompok reformis. Sebenarnya jauh sebelum munculnya organisasi Muhammadiyah dan Persis, di tubuh internal SI itu sendiri telah muncul pemikiran-pemikiran keagamaan sebagaimana disampaikan oleh kelompok Muhammadiyah dan Persis, yaitu kelompok Majlis Ahli Sunnah Cilame (MASC), Wanaraja, Garut. Kelompok ini muncul setelah SI Garut berubah nama menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929 di bawah pimpinan KH. Mustafa Kamil dari daerah Ciledug.347 Di antara para kiai aktifis PSII pendukung Majlis Ahli Sunnah Cilame (MASC) tersebut adalah Kiai Haji Muhammad Zakaria, Kiai Haji Yusuf Taojiri, Kiai Haji Muhammad Anwar Sanusi, Kiai Haji Romli, Kiai Haji Abdul Qohar, Kiai Haji Muhammad Bakri, Kiai Haji Fatah dan Sukantawijaya. 348 Inti pemikiran dari para kiai ini adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan kelompok Muhammadiayah dan Persis, yaitu seruannya tentang kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Seperti halnya Persis, Majlis Ahli Sunnah Cilame (MASC) juga berkembang menjadi satu organisasi yang agresif, terutama di wilayah Priangan dan Bogor. Para mubalig dan da’inya sering mendatangi desa-desa dan kampungkampung untuk menyampaikan pemikirannya pada ummat Islam. Menurut uraian historis Mohammad Iskandar, jika dibandingkan dengan Persis, pengaruh Majlis Ahli Sunnah Cilame (MASC) lebih cepat tersebar ke daerah pedesaan Priangan, bahkan sampai ke Bogor, Karawang dan Jakarta (Batavia pada waktu itu). Hal ini karena Majlis Ahli Sunnah Cilame (MASC) dalam menyampaikan pemikirannya 346
Ibid, halaman 17-18 Ibid, halaman 18 348 Mohammad Iskandar, Loc.Cit, halaman 171. Lihat juga “Sajarah Perjuangan PSII, Naskah Alit”, halaman 17 347
159 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
lebih banyak menggunakan bahasa Sunda, yang lebih akrab dan mudah dicerna masyarakat daerah-daerah tersebut.349 Pendapat Mohammad Iskandar tersebut bukan hanya sesuai dengan fakta di lapangan, tapi juga menunjukkan betapa tidak sedikitnya peran orang-orang SI/PSII di Jawa Barat dalam membantu penyebaran paham Persis di daerah tersebut di kemudian hari. Banyak ditemukan di daerah asal basis SI/PSII yang masyarakatnya menjadi anggota Persis seperti di daerah Majalaya, Paseh Bandung,
Situ Ahsan Bandung, Cibuyutan Bayuresmi Garut, Rancabogo
Tarogong Garut, Kampung Dukuh Tarogong Garut, Bayombong Garut, Kampung Ancol dan Cibunar di Kecamatan Tarogong Kidul Garut, daerah Cidatar dan Pakenjeng Garut.350 Inti pemikiran dari
Majlis Ahli Sunnah Cilame (MASC) tersebut
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan kelompok Persis dan Muhammadiyah, yaitu menyerukan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw serta melarang taklid terhadap imam madzhab. Dalam menyampaikan pahamnya, MASC seperti halnya Persis melakukan kritikan dan kecaman terhadap para kiai dan santri yang menganut madzhab tertentu. Mereka juga mengkritik penggunaan kitab kuning, seperti kitab
Safinatunnajah, Tizan Daruri,
Sulamuttaofik,351 dan yang lainnya. Akan tetapi seruan-seruan yang disampaikan MASC tersebut
telah
menimbulkan perpecahan di kalangan kiai, ulama, dan santri. Mereka terkotakkotak dalam organisasi Persis, Muhammadiyah, Ulama Cap Jangkar, Jamiatul
349
Mohammad Iskandar, Ibid, halaman 172 Wawancara dengan Ust Siradz (88 tahun, tokoh PSII) dan KH. Adin Saepudin Nugraha (75 tahun, tokoh PSII), di Koropeak Garut Kotapada tanggal 7 Mei 2010. Khusus untuk KH.Adin Saepudin Nugraha, ia merupakan salah seorang murid KH.Abdurahman, tokoh awal Persis Pajagalan dan kakak kelas KH.Aceng Zakaria, salah seorang tokoh Persis masa sekarang. Diperkuat dengan penelusuran penulis ke lapangan pada tahun 2011 sampai tahun 2012. 351 Ketiga kitab tersebut merupakan karya orsinil Syeikh Nawawi al-Bantani, ulama Banten Abad ke-18 Masehi, yang telah mendapat penghargaan dari Universitas Al-Azhar Mesir pada waktu itu sebagai ulama besar dari tanah Jawa. Ia banyak mengarang kitab, yang telah dijadikan rujukan ulama-ulama lain di Kawasan Afrika Utara, Asia Tengah dan Asia Barat. Salah satu karya monementalnya adalah Tafsir al-Munir. Syeikh Nawawi al-Bantani dimakamkan di kompleks pemakaman Ma’la di Makah al-Mukaromah berdampingan dekat dengan makam Syeik Jabal alGaruti, Muadzin Mesjid Bilal. 350
160 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Mutin, dan Jamiatul Hasanah.352 Untuk mengatasi gejala perpecahan di kalangan para ulama tersebut, maka KH. Mustafa Kamil dan KH. Badruzaman dari PSII menyatukan mereka dalam sebuah perkumpulan yang diberi nama al-Muwafaqoh pada tahun 933. Al-Muwafaqoh artinya tempat mufakat atau kesepakatan. Perkumpulan al-Muwafaqoh ini selanjutnya dipimpin oleh KH.Badruzaman dari Pesantren al-Falah Biru dan sekretarisnya dipegang oleh H. Anwar Sanus (tokoh PSII) dari Jl. Ciledug Garut.353 Program utama perkumpulan al-Muwafaqah adalah melakukan pertemuan rutin antar ulama dan tokoh agama dari berbagai organisasi seperti Muhamadiyah, NU, Persis dan PSII. Dalam pertemuan tersebut dimusyawarahkan persoalanpersoalan seputar pemahaman keagamaan yang menjadi perselisihan di antara mereka sehingga persatuan antar ummat Islam tetap terjaga.354 Kegiatan alMuwafaqah ini berhenti setelah Garut diduduki oleh Tentara Jepang pada 1942.355 Namun kegiatan internal organisasi Islam terus berjalan perlahan sesuai dengan program masing-masing. Memasuki
tahun
1960-an
organisasi-organisasi
Islam
seperti
Muhamadiyah, NU, dan Persis menunjukkan perkembangan yang cukup pesat di Kabupaten Garut, terutama setelah Masyumi dibubarkan. Para eksponen Masyumi pada waktu itu bersikap passif dalam dunia politik. Mereka tetap menjadi anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), sebagian kecil di antara mereka memperkuat Persis dan sebagian besar masuk menjadi anggota Muhammadiyah. Sedangkan PUI tidak seperti di Sukabumi dan Majalengka, di Kabupaten Garut pada waktu itu belum mempertlihatkan pengaruhnya, baru pada tahun 1970-an PUI masuk ke daerah Garut dengan mendirikan sekolah di Sukaregang dan Pamempeuk. Di Sukabumi sebaliknya, PUI menjadi organisasi Islam yang banyak menampung para eksponen Masyumi sehingga organisasi ini merupakan organisasi yang sangat berpengaruh di Sukabumi pada waktu itu.356 “Sajarah Perjuangan PSII, Naskah Alit”, Op.Cit, halaman 16-18 Warjita, KH. Mustafa Kamil Bapak Pejuang Garut, Op.Cit, halaman 27 354 Ikyan Badruzaman, Pemikiran dan Perjuangan KH.Badruzaman, (Garut : Zawiyah Tijaniyah Garut, 2007), Cet.Ke-1, halaman 27 355 Ibid, halaman 28 356 Selo Soemardjan, Loc.Cit, halaman 121 352 353
161 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kehadiran organisasi-organisasi Islam tersebut telah memberikan andil cukup besar terhadap peningkatan kegiatan keagamaan kaum muda Islam. Dalam tahun 1963 banyak di antara mereka yang aktif dalam organisasi kepemudaan Islam seperti Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Pelajar Islam Indonesia (PII), Pemuda Muslimin Indonesia (organisasi kepemudaan onderbouw PSII), Gerakan Pemuda Anshor (organisasi kepemudaan onderbouw NU), Pemuda Muhamadiyah, Pandu Syarikat Islam Afdeling (Pandu SIAP), Hizbun Waton (Pandu Muhamadiyah), dan Syarikat Pelajar Muslimin Indonesia (Sepmi, underbouw PSII).357 Muncul dan semaraknya organisasi kepemudaan Islam tersebut tidak terlepas dari peran para tokoh organisasi Islam pada masa itu. Kelahiran dan kemunculannya organisasi-organisasi kepemudaan tersebut pada dasarnya merupakan inisiatif dari masing-masing tokoh organisasi induk seperti Pemuda Muslimin (PMI) kemunculannya karena inisiatif tokoh-tokoh PSII pada waktu itu. Begitu juga organisasi Pemuda Muhammadiyah, Organisasi Pemuda Anshor dan Banser. Tidak hanya organisasi kepemudaan Islam onderbouw masing-masing organisasi yang mendapat sokongan dari para tokoh organisasi Islam pada waktu itu, tapi juga organisasi kepemudaan yang independen seperti Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) bukan hanya didirikan oleh orang-orang Masyumi dan Muhammadiyah, tapi juga orang-orang DI/NII. Begitu juga Pelajar Islam Indonesia (PII), berdirinya organisasi ini di Kabupaten Garut diinisiasi oleh para aktifis Masyumi, PSII dan Muhammadiyah serta mendapat dukungan secara tidak langsung dari para aktifis DI/NII di daerah tersebut, yaitu berupa dukungan moral. Selain itu, banyak pula dari anak cucu dan kaum kerabat anggota DI/NII yang menjadi anggota dan pengurus PII Kabupaten 357
Wawancara dengan Misbah (72 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), Amir Syarifudin (75 tahun, pelaku sejarah, pendiri PII Kabupaten Garut) , Giom Suarsono (74 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an, mantan ketua KAPPI GARUT) pada tanggal 14 Januari 2010, dan wawancara dengan Deden (73 tahun, pelaku sejarah, aktifis Pemuda Muslim) dan KH.Saefutamam (77 tahun, pelaku sejarah, aktifis Pemuda Muslim1960-an) pada tanggal 5 April 2012
162 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Garut dalam periode 1960-1970, terutama anggota dan pengurus PII di daerah Garut Utara, Timur dan Garut Selatan358 Organisasi Pelajar Islan Indonesia (PII) Kabupaten Garut didirikan pada tahun 1960 oleh Miskun Assyatibi, Amir Syarifudin, Utomo Danenjaya, dan Anwar Suheimi. Miskun Assyatibi adalah kader muda Muahamadiyah dan sekaligus aktifis Masyumi. Pada masa Orde Baru Miskun atau KH. Miskun merupakan tokoh utama Muhammadiyah di Kabupaten Garut, ia pendiri dan sekaligus pembina Pesantren Darul Arqom Muhammadiyah. Amir Syarifudin adalah salah seorang anak pengurus PSII Kabupaten Garut asal Kuningan, yang selanjutnya ia mengembangkan organisasi Nahdatul Ulama Kabupaten Garut di masa Orde Baru. Sedangkan Utomo Danenjaya dan Anwar Suheimi, keduanya merupakan Guru SMPN-1 Garut. Utomo Danenjaya berasal dari Haur Koneng Kuningan, ia merupakan anak salah seorang tokoh Masyumi Kuningan. Sedangkan Anwar Suheimi, berasal dari Majalengka, seorang anak tokoh PUI dan sekaligus aktifis Masyumi. Ia selanjutnya menikahi putri H.Uju, seorang anggota Masyumi dari unsur Muhmmadiyah, dan sekaligus pengusaha pribumi asli Garut. Keluarga Haji Uju Sendiri pada waktu itu lebih dikenal dengan sebutan keluarga “Hikmah”, karena ia memiliki sebuah perusahaan pakaian dan makanan yang diberi nama CV.Hikmah.359 Sementara itu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), meskipun organisasi mahasiswa Islam ini memiliki sejumlah anggota di Kota Garut, namun organisasi ini pada tahun 1960-an tidak begitu populer di kalangan masyarakat. Hal ini karena jumlah mahasiswa di Kabupaten Garut pada waktu itu sedikit sekali. Sebetulnya pada tahun 1963 di Kota Garut sudah ada perguruan tinggi, yaitu Fakultas Ekonomi (Fekon) cabang Universitas Pajajaran Bandung, IKIP Cabang Garut, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) cabang Bandung, dan Perguruan Tinggi Da’wah Islam (PTDI). Akan tetapi keberadaan perguruan tinggi itu tidak lama, karena selain tidak mempunyai bangunan sendiri, juga peminatnya 358
Wawancara dengan Misbah (72 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), Amir Syarifudin (75 tahun, pelaku sejarah, pendiri PII Kabupaten Garut) pada tanggal 14 Januari 2010, dan wawancara dengan Deden ( 73 tahun, pelaku sejarah, aktifis Pemuda Muslim) pada tanggal 5 April 2012 359 Ibid
163 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
sedikit.360 Diduga para mahasiswa Garut lebih memilih untuk meneruskan ke kota lain, terutama Bandung agar supaya wawasannya lebih luas. Kembali kepada uraian mengenai organisasi kepemudaan Islam. Muncul dan berkembangnya organisasi kepemudaan Islam pada tahun 1960-an itu dapat ditapsirkan sebagai meningkatnya kegiatan keagamaan di kalangan kaum muda Islam. Dengan kata lain pada waktu itu menunjukkan adanya kebangkitan kembali agama di kalangan aktifis ormas kepemudaan Islam. Fenomena tersebut dapat kita lihat dari kecenderungan yang dominan di kalangan aktifis muda Islam pada waktu itu, yaitu adanya keyakinan yang kuat bahwa masyarakat harus ditata di atas landasan Qur’an dan Sunnah Nabi.361 Ini berarti bahwa nilai-nilai, ketentuan-ketentuan, dan peraturan yang terkandung dalam Qur’an dan Sunnah Nabi harus dijunjung tinggi dalam rangka mengembangkan
bidang-bidang
politik,
ekonomi,
budaya,
hukum,
dan
pemerintahan. Dasar keyakinan ini sebenarnya sudah ada pada organisasi DI/NII dan pemikiran partai-partai Islam dalam sidang Majlis Konstituante (November 1956 – Juni 1959) mengenai dasar negara.362 Dengan demikian “bangkit kembali” (resurgence) dalam kasus ini adalah suatu gejala yang pernah terjadi sebelumnya. Pada dataran aktuliatas, pandangan terhadap Islam seperti ini telah terungkap dalam berbagai cara. Barangkali yang paling jelas adalah penolakan mereka terhadap kebiasaan-kebiasaan yang dianggap bertentangan dengan nilainilai Islam seperti berjudi, minuman keras, dan dansa dansi. Lebih luas lagi penolakan mereka terhadap ideologi komunis dan penentangan mereka terhadap penguasaan ekonomi oleh orang-orang Cina Hoakiau yang dipandang sebagai dominasi orang kafir atas orang Islam. Mengenai masalah ini akan dibahas lebih dalam pembahasan selanjutnya.
Lihat “Perjuangan dan Pemikiran KH. Anwar Musaddad”, (Bandung : IAIN SGD Bandunng, 1986), halaman 71-105 361 Ibid, halaman 104 362 Dalam Qanun Azasi Negara Islam Indonesia (NII), bab I, pasal 1, ayat 3, disebutrkan bahwa “negara menjamin berlakunya Syari’at Islam di dalam kalangan kaum Muslimin”. Lihat Qanun Azasi NII dalam Karl D.Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan : Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1990), Cet.Ke-1, halaman 341 360
164 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Ciri lain dari kebangkitan kembali agama di kalangan aktifis muda Islam pada tahun 1960-an adalah bangkitnya semangat “jihad” di kalangan mereka untuk memperjuangkan ideologi Islam dan menentang berkembangnya ideologiideologi di luar ideologi Islam. Pada tingkat yang lebih khusus, semangat “jihad “ ini terungkap dalam penentangan dan penolakan mereka terhadap ideologi Komunisme di Indonesia. Semua organisasi kepemudaan Islam di Kota Garut pada waktu itu menolak berkembangnya ideologi Komunisme. Untuk itu mereka sering melakukan pertemuan-pertemuan antar organisasi kepemudaan Islam sebagai upaya menyatukan persepsi dan kekuatan untuk menghambat penyebaran ideologi Komunisme di daerah Garut.363 Untuk kasus tersebut, maka kembangkitan kembali (resurgence) di kalangan aktifis ormas kepemudaan Islam dapat diartikan sebagai tantangan, bahkan ancaman bagi mereka yang berpaham lain. Menurut Chandra Muzaffar tidak sedikit muslim yang beranggapan bahwa dengan memilih Islam sebagai alternatif berarti harus berhadapan dengan sistem sosial lain. Kelompok-kelompok di luar, termasuk mereka yang merasa ditantang tampaknya menganggap kebangkitan keagamaan di lingkungan muslim sebagai ancaman bagi kedudukan mereka. Atas dasar inilah, kebangkitan mencerminkan realitas aktual dari persepsi kedua belah pihak.364 Satu aspek lagi menyangkut kebangkitan kembali agama di kalangan aktifis muda Islam di Garut dalam tahun 1960-an adalah berupa semaraknya berbagai kajian tentang leadershif dan politik Islam yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi kepemudaan Islam. Bentuk kajiannya berupa kursus-kursus
363
Wawancara dengan KH.Saeputamam (77 tahun, pelaku sejarah, aktifis Pemuda Muslim), Giom Suarsono (76 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), Misbah (74 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), dan Amir Syarifudin (77 tahun, pelaku sejarah, pendiri PII Kabupaten Garut) pada tanggal 25 Agustus 2012. 364 Chandra Muzaffar, “Kebangkitan Islam, Suatu Pandangan Global”, dalam Harun Nasution & Azyumardi Azra (penyunting), Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985), Cet.Ke-1, halaman 70-71
165 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
kepemimpinan dan ideolgi Islam365, trining centre, basic trining sampai advan trining, coucing instruktur, tablig akbar dan kajian-kajian lainnya.366 Masing-masing organisasi kepemudaan Islam pada waktu itu memiliki markasnya tersendiri untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Para aktifis Pemuda Muhammadiyah biasanya melakukan latihan kepemimpinan dan politik Islam di Mesjid Lio, Jl. Gunung Payung, berdekatan dengan pemukiman orang Cina. Pemuda Muslimin Indonesia dan Sepmi melaksanakan kegiatannya di Sekretariat PSII di Jl. Dayeuh Handap dan di Mesjid PSII (sekarang menjadi mesjid perintis kemerdekaan) di Jl. Ciledeug. Gerakan Pemuda Anshor (GP.Anshor dan Banser) melaksanakan training center-nya di Mesjid PSII di Jl. Ciledug, terkadang bersama-sama dengan Pemuda Muslimin Indonesia. Sedangkan traning center yang dilakukan Pelajar Islam Indonesia (PII) dilaksanakan sepenuhnya selama satu bulan di Pesantren Darussalam, pimpinan KH. Yusuf Taojiri, Wanaraja Garut.367 Adapun nara sumber atau pemateri dalam kegiatan-kegiatan tersebut diambil dari para Kiai aktifis organisasi politik dan pergerakan lainnya, seperti KH, Yusuf Taojiri dari PSII sekaligus orang Masyumi, KH.Badruzaman dari PSII (pernah menjadi hakim DI/TII) dan sekaligus orang Masyumi, KH. Fajri dari Muhammadiyah sekaligus orang Masyumi, KH. Ijuddin (PSII dan sekaligus orang DI/NII), KH. Bakri orang Masyumi, KH.Khudhori orang PSII, dan ditambah dengan para pimpinan dan pengurus organisasi Islam daerah Garut.368 Selain mendapatkan pencerahan pemikiran dari para tokoh pergerakan Islam Garut, mereka juga mendapatkan pencerahan pemikiran dari beberapa tokoh nasional seperti Anwar Cokroaminoto (putra HOS.Cokroaminoto), Aruji 365
Istilah kursus merupakan istilah kajian yang digunakan oleh SI/PSII dengan organisasi frontnya. Kajian ini biasanya dilaksanakan secara rutin, mingguan atau bulanan. 366 Wawancara dengan KH.Saeputamam (77 tahun, pelaku sejarah, aktifis Pemuda Muslim), Giom Suarsono (76 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), Misbah (74 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), dan Amir Syarifudin (77 tahun, pelaku sejarah, pendiri PII Kabupaten Garut) pada tanggal 23 Agustus 2012, dan dengan Utomo Danenjaya (78 tahun, pendiri PII Kabupaten Garut, dan pelaku sejarah gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 25 Agustus 2012 di Garut. 367 Ibid 368 Wawancara dengan KH.Saeputamam (77 tahun, pelaku sejarah, aktifis Pemuda Muslim), Giom Suarsono (76 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), Misbah (74 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), dan Amir Syarifudin (77 tahun, pelaku sejarah, pendiri PII Kabupaten Garut), dan dengan Basyir (75 tahun, aktifis PII Kabupaten Garut) pada tanggal 25 Agustus 2012 di Garut.
166 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kartawinata (DPP PSII), dan KH.Isa Anshori (Masyumi). Anwar Cokroaminoto dan Aruji Kartawinata didatangkan oleh organisasi PSII dan Pemuda Muslimin Indonesia (PMI), sedangkan KH.Isa Anshori didatangkan oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) daerah Garut. Bahkan menurut penuturan Lili (73 tahun), salah seorang aktifis PII Kabupaten Garut pada tahun 1960-an dan sebelumnya merupakan salah seorang murid KH. Ahmad Sanusi dari Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi, bahwa para aktifis muda Islam (terutama PII) sering mendatangi KH.Isa Anshori di Jl.Kemir Bandung dan KH.Ahmad Sanusi di Gunung Puyuh Sukabumi untuk mendapatkan pencerahan pemikiran mengenai pemikiran politik Islam.369 Khusus untuk Aruji Kartawinata dan KH.Isa Anshori, mengapa mereka sering datang ke Kota Garut menyampaikan gagasan-gagasan politiknya di tengah-tengah aktifis muda Islam. Ada beberapa dugaan, selain karena memang mereka itu diundang oleh organisasi kepemudaan Islam seperti PII dan PMI. Kedua tokoh nasional ini pun memiliki hubungan yang erat dengan para tokoh pergerakan lokal di Kota Garut, karena daerah Garut merupakan salah satu daerah basis PSII dan Masyumi. Aruji Kartawinata adalah mantan ketua PSII Garut dan mantan pimpinan redaksi “Benteng Rakyat”, salah satu koran PSII di daerah Priangan Timur tahun 1934-1942.370 Selain itu, kedua tokoh nasional ini memiliki hubungan kekerabatan dengan orang Garut. KH.Isa Anshori, misalnya, ia memiliki hubungan darah (saudara) dengan tokoh lokal, yaitu KH.Ayub dari Babakansalawi Tarogong.371 Sedangkan Aruji Kartawinata, adalah seorang asli Garut. Ia dilahirkan dan
369
Mengenai pemikiran dan perjuangan KH. Ahmad Sanusi dibahas secara komprehensif oleh Mohammad Iskandar dalam karyanya “Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa barat 19001950” yang diterbitkan oleh Matabangsa Jogjakarta. Tulisan ini cukup lengkap dibandingkan dengan karya Hiroko Horokoshi : “Kiyai dan Perubahan Sosial”. Selanjutnya karya lain mengenai Kehidupan dan Perjuangan KH.Ahmad Sanusi yang cukup lengkap adalah tulisan Sulasman berjudul “Perjuangan KH.Ahmad Sanusi, Dari Pesantren Menuju Parlementer” diterbitkan oleh Sunan Gunung Djati Pres, 2008. 370 Edidsi koran “Benteng Rakyat” secara lengkap ada di Perpustakaan Nasional Lantai VIII 371 Wawancara dengan Ny, Hasanah (69 tahun) dan Ny.Eis (67 tahun), keduanya merupakan anak KH.Ayub, pada tanggal 27 Februari 2011.
167 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
dibesarkan di daerah Cikajang Garut sebelum akhirnya ia hijrah ke Jakarta karena menjadi pengurus Dewan Pimpinan Pusat PSII di Jl.Matraman.372 Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa “kebangkitan kembali agama” di kalangan aktifis muda Islam pada tahun 1960-an ditentukan oleh beberapa faktor. Pertama, secara tidak langsung adanya pengaruh dari gerakan pembaharuan yang digulirkan secara terus menerus oleh para aktifis organisasi Islam, terutama PSII, Muhamadiyah dan Persis. Dalam tahun 1960-an para tokoh dari organisasi tersebut terus menerus memberikan pencerahan terhadap generasi muda Islam melalui kursus-kursus yang diselenggarakan oleh organisasi kepemudaan Islam. Meskipun belum begitu banyak pengikutnya di daerah Garut, orang-orang Persis atau yang sepaham dengan pemikiran Persis tetap melakukan penyebaran pemikirannya melalui PSII dan Masyumi (sebelum partai yang terakhir ini dibubarkan 1960) seperti apa yang dilakukan KH.Isa Anshori, selain merupakan tokoh Masyumi Jawa Barat, ia pun salah satu penggerak Persis Jawa Barat bersama-sama dengan Mohammad Natsir. Kedua, semakin menguatnya pengaruh PKI dalam pemerintahan rezim Soekarno dan gagalnya partai-partai Islam dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam sidang Majlis Konstituante secara tidak langsung mempengaruhi pemikiran para aktifis muda Islam pada waktu itu, bahwa Islam harus tetap diperjuangkan sebagai sistem yang berlaku dalam tatanan masyarakat Indonesia. Kekalahan-kekalahan politik yang dialami oleh pihak Islam dalam pergumulannya dengan kekuatan-kekuatan politik nasionalis dan komunis telah dijadikan alasan para aktifis muda Islam untuk menyebarkan semangat “jihad” di kalangan mereka dan sekaligus menangkal perkembangan ideologi Komunisme di Indonesia. Fenomena ini bisa dilihat dalam perkembangan selanjutnya, setelah terjadinya kerusuhan anti Cina pada 17-18 Mei 1963 para aktifis muda Islam, terutama yang tergabung dalam organisasi PII, GPII, dan HMI terus melakukan agitasi anti komunis di daerah Garut. Puncaknya, adalah berupa aksi-aksi yang dilakukan KAPPI dan KAMMI setelah meletusnya peristiwa G30/SPKI 1965. 372
Wawancara dengan Ust Siradz (88 tahun, tokoh SI/PSII) dan KH. Halim (76 tahun, tokoh SI/PSII), KH.Aaan Mustafa Kamil (88 thaun, tokoh SI/PSII) 7 Mei 2010
168 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Dalam aksi-aksi tersebut bukan hanya orang-orang PKI yang menjadi sasaran, tapi orang-orang Cina pun tidak luput dari sasaran amuk masa karena diduga terlibat sebagai anggota PKI.373 Selain itu, munculnya semangat kebangkitan kembali agama di kalangan aktifis muda Islam di Garut dalam tahun 1960-an, diduga sebagai implikasi dari banyaknya doktrin-doktrin keagamaan yang revivalisme, yang diterima oleh mereka dari para tokoh Islam, baik lokal maupun nasional sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Revivalisme, menurut Chandra Muzaffar mengandung makna keinginan untuk menghidupkan kembali apa yang sudah dan pernah dilakukan Nabi Saw, jargon utamanya adalah kembali kepada Qur’an dan Sunnah Nabi (cara hidup Nabi). Diduga, tidak hanya doktrin-doktrin agama yang revivalisme, tapi sekaligus radikal sebagaimana yang dianut orang-orang DI/NII. Dengan berpijak pada uraian di atas, latar belakang keagamaan aktifis muda Islam sebagai kelompok yang mengambil inisiatif dalam gerakan kerusuhan anti Cina Mei 1963 di Kota Garut adalah kelompok Islam yang sedang dilanda semangat keagamaan yang panatis, terutama semangat “jihad” yang digelorakan oleh para tokoh Islam. Dengan demikian, semangat keagamaan ini menjadi semacam amunisi kuat dan terpendam, yang akhirnya mewujud dalam suatu gerakan protes dalam tahun-tahun selanjutnya, yaitu gerakan kerusuhan anti Cina 17-18 Mei 1963 dan gerakan penumpasan PKI setelah munculnya peristiwa G30S/PKI 1965. Atau jika mengambil teori prilaku kolektif Neil J. Smelser, suasana kebangkitan kembali agama (terutama keyakinan “jihad”) di kalangan aktifis muda Islam merupakan growth and spread of a generalized believe, yaitu berkembang dan menyebarnya keyakinan umum sebagai salah satu faktor munculnya suatu prilaku kolektif dalam masyarakat.
373
Sukarna ND (pelaku sejarah), Memoria Aksi KAPPI di Garut 1966, Makalah, disampaikan dalam diskusi KBA PII pada tanggal 4 Mei 1998
169 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
5.2. Gerakan 10 Mei dan Tersebarnya Slogan “Beset Cina” Beberapa bulan sebelum terjadinya kerusuhan anti Cina tanggal 17-18 Mei pada tanggal 27 Maret 1963, di Cirebon terjadi kerusuhan yang serupa. Peristiwa itu dimulai di pengadilan negeri Cirebon yang bersidang mengadili seorang pemuda (pelajar) peribumi, putra Dr. Murad (seorang aktifis PSI) yang menjadi tertuduh dalam kecelakaan lalu lintas di Jalan Raya Gronggongan, pinggiran kota Cirebon. Dalam kecelakaan tersebut putra Dr. Murad menabrak seorang pemuda keturunan Cina yang kemudian meninggal dunia. Pada tanggal 27 Maret 1963 di Pengadilan Negeri Cirebon dilangsungkan sidang ke-4 mengenai kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pemuda pribumi, putra Dr. Murad, yang mengakibatkan seorang pemuda keturunan Cina meninggal. Ketika hakim (keturunan Cina) memutuskan untuk menunda persidangan tersebut, maka terjadi kegaduhan di luar ruangan sidang, di mana berkumpul sekelompok pemuda Cina dan sekelompok pemuda pribumi. Pemuda Cina pada waktu itu berteriak-teriak menuntut hakim agar terdakwa dijatuhi hukuman mati seketika itu juga. Rupanya putusan hakim yang menunda putusan tertuduh itu tidak memuaskan keluarga korban dan teman-temannya. Kemudian timbul perkelahian antara dua kelompok pemuda tersebut, di mana pemuda Cina sudah siap dengan berbagai senjata tajam. Pemuda pribumi yang semakin bertambah jumlahnya mengadakan pembalasan dengan menyerang dan merusak toko-toko milik orang Cina di mana pemuda-pemuda Cina tersebut bersembunyi. Selain merusak toko-toko milik orang Cina mereka juga membakar mobil-mobil yang dijumpainya. Peristiwa kerusuhan tersebut dalam tempo kurang lebih setengah jam sudah dapat dihentikan oleh pihak Polisi dan TNI.374 Aksi kerusuhan tersebut kemudian meluas ke daerah lain dalam waktu yang berdekatan. Pada tanggal 29 Maret terjadi kerusuhan di daerah Sindanglaut Cirebon, kemudian menyusul kerusuhan yang serupa di daerah Kuningan dan Palimanan pada tanggal 30 Maret serta di Blambangan pada tanggal 31 Maret. Kemudian pada tanggal 1 April kembali terjadi kerusuhan di daerah Jatiwangi Hartanto, “Masalah Hubungan Antara Golongan Minoritas Tionghoa dan Mayoritas Asli di Indonesia’, dalam Selo Soemardjan, Op.Cit, halaman 203 374
170 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Majalengka, Plered dan Jombang. Selang satu bulan dari peristiwa kerusuhan di daerah tersebut, kembali terjadi kerusuhan anti Cina di daerah Tegal pada tanggal 5 Mei, di daerah Pagongan pada 6 Mei dan di daerah Slawi pada tanggal 7 Mei.375 Semua kerusuhan tersebut mengandung unsur yang sama, yaitu pengrusakan barang-barang milik orang Cina. Pemegang peranan utama dalam peristiwa-peristiwa tersebut adalah kelompok pemuda (pelajar dan mahasiswa) kemudian dilanjutkan oleh atau bersama-sama dengan masa rakyat. Di Tegal aksi kerusuhan dipicu oleh perkelahian antara seorang buruh pribumi dengan seorang majikan Cina, yang kemudian meluas menjadi kerusuhan anti Cina. Kerugian yang diderita akibat pristiwa tersebut ditaksir mencapai Rp.650 juta.376 Beberapa hari setelah kerusuhan anti Cina di Tegal, Pagongan dan Slawi, kerusuhan anti Cina kembali meletus di Kota Bandung pada 10 Mei 1963. Kerusuhan anti Cina tersebut diawali dengan perkelahian di kampus ITB antara seorang mahasiswa keturunan Cina dengan seorang mahasiswa pribumi yang disebabkan terjadinya senggolan sepeda motor. Kemudian dipelopori mahasiswa ITB dan Universitas Pajajaran, dimulailah aksi massa pengrusakan toko-toko, rumah tinggal dan kendaraan milik semua orang Cina di kota Bandung. Kerusuhan anti Cina itu dimulai dari daerah Tegalega, ratusan toko, rumah tinggal dan kendaraan bermotor milik etnis Cina menjadi korban pengrusakan massa. Kemudian kerusuhan meluas ke kawasan lainnya di Kota Bandung. Kawasan Dago, Jl. Braga, Jl. Merdeka, Jl.Asia Afrika hingga Jl.Oto Iskandar Dinata (Otista), di mana kawasan tersebut banyak dihuni etnis Cina, menjadi sasaran amuk masa. Peristiwa tersebut menimbulkan kerugian yang besar di pihak etnis Cina. Sebanyak dua rumah tempat tinggal rusak berat dan 500 buah toko milik orang Cina rusak terkena lemparan batu, 63 buah mobil dan 54 sepeda motor milik orang Cina habis dibakar serta 5 buah televisi terbakar dan rusak. Dari jumlah kendaraan yang terbakar terdapat 3 buah mobil “Mercedes”, sebuah
375
Ibid, halaman 204 “Akibat “Peristiwa” Pengrusakan di Jawa Barat Amat Menyedihkan” dalam Harian Warta Bakti, 26 Mei (Minggu) 1963
376
171 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
“Impala”, 7 buah “Fiat”, 3 buah bus dan puluhan motor merk Vesva, Suzuki, dan Honda.377 Penggerak utama kerusuhan rasialis anti Cina pada 10 Mei 1963 itu adalah para tokoh mahasiswa Bandung yang tergabung dalam organisasi Persatuan Mahasiswa Bandung (PMB) seperti Siswono Yudohusodo (mahasiswa ITB), Dedi Krishna (mahasiswa Kimia Teknik ITB asal Cirebon dan tokoh Persatuan Mahasiswa Bandung/PMB), Abdul Qoyum Tjandranegara (mahasiswa Kimia Teknik ITB), Tari Pradeksa (mahasiswa asal Cirebon dan anggota PMB ), Muslimin Nasution (mahasiswa Mesin ITB), Parlin Mangunsong (mahasiswa Universitas Padjadjaran/Unpad), Soeripto (mahasiswa Unpad sekaligus aktivis organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis/Gemsos) dan Rahman Tolleng (aktivis mahasiswa yang juga kader Partai Sosialis Indonesia/PSI).378 Menurut pengakuan Dedi Krishna dan Tari Pradeksa dan pengakuan beberapa mahasiswa asal Cirebon, pemacu utama mereka untuk mengambil peranan dalam kerusuhan anti Cina 10 Mei 1963 di Bandung adalah peristiwa kerusuhan anti Cina tanggal 27 Maret 1963 di Cirebon dan sekitarnya, seperti Kuningan dan Palimanan. Sedangkan Siswono Yudhohusodo (mahasiswa ITB yang juga aktifis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia/GMNI) dengan terus terang mengakui keterlibatan dirinya dan kawan-kawannya dalam peristiwa tersebut karena dorongan sentimen anti Cina.379 Akan tetapi, dilihat dari siapa yang menggerakkannya, maka dalam peristiwa tersebut dapat dianalisis sebagai peristiwa yang mengandung dimensi politik sehingga membesar dan meluas serta bermakna politis yang mengusik rezim Soekarno. Secara politis, peristiwa 10 Mei 1963 itu mendapat sofistikasi (alasan argumentatif) sebagai gerakan penolakan masyarakat terhadap peranan politik Baperki yang bergandengan dengan PKI dan serangan terhadap kedekatan politik Soekarno dengan Peking (RRC). Analisis ini didasarkan pada fakta yang menunjukkan bahwa orang-orang Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan organisasi 377 “Sikap TNI Berkenaan Dengan Peristiwa Bandung : Tidak Boleh Tinggal Diam Meskipun SOB Sudah Dicabut”, dalam Warta Bhakti, 13 Mei 1963. 378 Tabulasi Data Peristiwa Kerusuhan Mei 1963, Kasi Intel Kodim 016/Garut 379 Tabulasi Data Peristiwa Me 1963, Kasi Intel Kodim 016/Garut.
172 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
ekstra kanan anti komunis ikut berperan dalam peristiwa tersebut. Sebut saja Soeripto dan kawan-kawannya dari Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos Bandung), Parlin Mangungsong dan Rahman Toleng (aktifis PSI), Awan Karmawan Burhan (tokoh mahasiswa dan Ketua Corpus Studiosorum Bandungense), dan Djoko Sudibjo (mahasiswa ITB asli Jawa, aktifis Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia/PMKRI). Kelimanya
merupakan aktifis anti komunis dan anti Soekarno. PMKRI dan Corpus Studiosorum Bandungense, merupakan dua organisasi kanan rival bagi organisasi ekstra kiri (PKI). Kedua organisasi tersebut bergabung dalam Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Konsulat Bandung380 Kelompok inilah yang juga menyebarkan “isu” bahwa Guntur Soekarno Putra mendukung gerakan Mei 1963, sehingga sempat muncul keraguan bertindak di kalangan Perwira Kodam Siliwangi.381 Karena keterlibatannya organisasi PPMI konsulat Bandung dalam peristiwa tersebut, Pimpinan pusat PPMI di Jakarta, Bambang Kusnohadi yang juga Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) membekukan PPMI Konsulat Bandung dan menyerukan agar seluruh mahasiswa Indonesia menjaga keutuhan dan persatuan revolusioner.382Sedangkan Presidium Majlis Mahasiswa Indonesia (MMI), yaitu sebuah wadah nasional yang menghimpun institusi-institusi
student
goverment
intra
kampus
seperti
dewan-dewan
mahasiswa dan senat-senat mahasiswa, mengeluarkan sebuah instruksi kepada semua Komisariat Daerah Majlis Mahasiswa Indonesia (MMI) di seluruh Indonesia dan semua Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. Instruksi itu ditandatangani oleh ketua presidium, Supolo Prawotohadikusumo dan sekretaris jedral, Hasan Ry383, berisi dua point, yaitu : 1. Mengambil tindakan-tindakan yang tegas untuk mencegah terulangnya serta menjalarnya peristiwa yang tersebut di atas di daerah masing380
Tabulasi Data Peristiwa Mei 1963 , Kasie Intel Kodim 016/Garut Tabulasi Data Peristiwa Mei1963, Kasie Intel Kodim 016/Garut 382 “PPMI Menyerukan : Jaga Keutuhan Persatuan Revolusioner Kita”, dalam Warta Bakti, Minggu 12 Mei 1963. 383 “Fakta Backgroud Peristiwa-Peristiwa Tegal Bandung Disampaikan Kepada Wampa Khusus”, dalam Warta Bhakti, Senin 13 Mei 1963. 381
173 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
masing, yang dapat merosotkan martabat Mahasiswa Indonesia pada umumnya. Dalam hal ini supaya mengadakan hubungannya yang seerat-eratnya dengan alat-alat negara setempat. Waspada akan kemungkinan
ditungganginya
peristiwa-peristiwa
tersebut
oleh
anasir/oknum-oknum tertentu untuk kepentingan ideologi mereka serta hendak menyelewengkan ideologi Pancasila. 2. Diingat akan “Panitia Dharma Bakti” yang oleh sidang presidium Paripurna Majlis Mahasiswa Indonesia di Bandung telah ditetapkan sebagai kode kehormatan Mahasiswa Indonesia. Seruan atau intruksi yang serupa,384 juga dikeluarkan Presidium Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) kepada seluruh anggotanya melalui Korda-Korda DPT di seluruh Indonesia. Nampaknya seruan ini sebagai upaya pencegahan anggotanya agar tidak terlibat dalam kerusuhan anti Cina seperti yang telah dilakukan Siswono Yudohusodo. Seruan tersebut berisi himbauan kepada seluruh anggota GMNI supaya: 1. Ikut menjaga keterlibatan dan ketentraman masyarakat bersama-sama dengan
organisasi-organisasi
mahasiswa
lainnya
untuk
mengkonsolidasi kemenangan-kemenangan yang telah tercapai yaitu pulihnya keamanan, kembalinya Irian Barat dan hapusnya SOB. 2. Tidak ikut melibatkan diri ke dalam aksi-aksi seperti peristiwa tersebut di atas, dan hendaknya menyalurkan segala aktifitas secara organisatoris. Tindakan PPMI pusat membekukan PPMI konsulat Bandung itu dibalas oleh
mahasiswa
Bandung dengan
membentuk
Majlis
Permusyawaratan
Mahasiswa Indonesia (Mapemi).385 Di dalam Majlis Permusyawaratan Mahasiswa Indonesia (Mapemi) itu bergabung beberapa organisasi mahasiswa, yaitu Majlis Mahasiswa Bandung (MMI), PPMI Konsulat Bandung, Ikatan Mahasiswa
384
Ibid Wawancara dengan Utomo Danenjaya (78 tahun, pendiri PII Kabupaten Garut, dan pelaku sejarah gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 25 Agustus 2012 di Garut, Jojo Sukarjo (71 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII) di Bandung pada tanggal 22 April 2013, dan dengan Giom Suarsono (74 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 14 Januari 2010. 385
174 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Bandung (IMABA) pimpinan Letnan Dua jalur Wamil, Mangaradja Odjak Edwar Siagian.386Dengan demikian Mapemi merupakan organisasi pertama dalam sejarah kemahasiswaan di Indonesia yang menghimpun organisasi-organisasi mahasiswa intra dan organisasi-organisasi ekstra. Pola ini dipakai pula kelak dalam membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada tahun 1966 setelah meletusnya peristiwa G30S/PKI 1965. Untuk mencegah terjadinya kerusuhan kembali di Kota Bandung, pihak Kodam Siliwangi memberlakukan kota Bandung dalam keadaan darurat dan berbahaya selama dua hari serta diberlakukan jam malam. Kemudian keadaan tersebut dicabut kembali pada tanggal 14 Mei 1963387. Selain itu, Dewan Kurator ITB dan Universitas Pajajaran mengadakan rapat gabungan pada tanggal 12 Mei 1963 dipimpin Rektor ITB Ir. Ukar Barata Kusuma dengan dihadiri oleh Gubernur Jawa Barat Mashudi, jaksa, beberapa perwira Tinggi ABRI dan Yap Tjwan Beng perwakilan tokoh etnis Cina. Rapat gabungan tersebut menghasilkan keputusan berupa kesepakatan bersama untuk mencegah jangan sampai peristiwa serupa terulang kembali, dan harus diusahakan agar hubungan antara mahasiswa pribumi dan mahasiswa etnis Cina berlangsung harmonis dengan menyadarkan mereka bahwa mereka semua adalah anggota satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Kemudian atas anjuran Gubernur Jawa Barat Mashudi, Yap Tjwan Bing, dan Siauw Giok Tjhan agar rapat tersebut menulis surat kepada Presiden Soekarno yang berisi himbauan kepada pemerintah pusat agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.388Sejumlah anggota DPR yang berasal dari etnis Cina pun telah menyampaikan persoalan ini pada rapat praksi masing-masing agar dibicarakan dalam rapat-rapat DPR. Diantara anggota DPR
386
Ibid “Sikap TNI Berkenaan Dengan Peristiwan Bandung, Tidak Boleh Tinggal Diam, Meskipun SOB Sudah Dicabut”, dalam Warta Bhakti, Senin,13 Mei 1963. Lihat juga “Pemerintah Sesalkan Terjadinya Peristiwa Jateng dan Jabar”, dalam Warta Bhakti, Minggu, 12 Mei 1963. Lebih lanjut, lihat “Jam Malam di Bandung dicabut”, dalam Harian Warta Bhakti, Selasa, 14 Mei 1963 388 Yap Tjwan Bing, Meretas Jalan Kemerdekaan, Ontobiografi Seorang Pejuang Kemerdekaan, (Jakarta : Gramedia, 1988), Cet.Ke-1, halaman 79 387
175 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tersebut adalah Yap Tjwan Bing dari PNI dan Tjung Ting Jan dari Partai Katolik.389 Sebagai akibat dari peristiwa 10 Mei itu beberapa aktifis mahasiswa yang kebanyakan aktifis Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) organisasi kepemudaan di bawah naungan Partai Sosialis Indonesia (PSI) ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah rezim Soekarna. Diantaranya adalah Dedi Krishna tokoh PMB ditahan selama enam tahun, Siswono Yudohusodo, Muslim Nasution dan Qoyum Tjandranegara masing-masing ditahan selama tiga tahun, Tari Pradeksa, Theo Pietez dan Soeripto masing-masing dipenjara selama empat tahun, dan Iwan Zoechra dipenjara selama dua tahun. Sedangkan Rahman Toleng, aktifis PSI, anti komunis dan anti Soekarno, ia menjadi buronan yang panjang sampai ia muncul ke permukaan setelah peristiwa 30S/PKI/1965.390 Rapat gabungan Dewan Kurator ITB dan Unpad yang dihadiri Gubernur Jawa Barat dan beberapa perwira Tinggi TNI dari Kodam Siliwangi telah dilakukan, surat imbauan kepada Presiden Soekarno telah disampaikan, imbauan PPMI dan GMNI kepada seluruh mahasiswa Indonesia pun telah ditempuh; namun kerusuhan yang serupa di kota-kota lain di Jawa Barat tidak bisa dicegah. Beberapa hari setelah peristiwa kerusuhan 10 Mei di Kota Bandung, pecah juga kerusuhan yang sama di kota-kota lainnya di Jawa Barat, yaitu di Sumedang pada tanggal 11 Mei 1963, di Bogor dan Cipayung pada tanggal 15-16 Mei 1963, di Tasik dan Singaparna pada tanggal 17 Mei 1963, di Garut pada tanggal 17-18 Mei 1963, di Cianjur pada tanggal 19 Mei 1963, di Cibadak dan Kota Praja Sukabumi
pada tanggal 18-20 Mei 1963. Daerah yang paling parah akibat
kerusuhan tersebut adalah Kota Sukabumi, Cianjur dan Garut.391 Di Kota Praja Sukabumi dan Cibadak sebanyak 98 buah kendaraan bermotor habis dibakar yang terdiri dari 52 truk, 20 oplet, 12 sedan, 7 bus, 4 jeep, 389
Yap Tjwan Bing, Ibid, halaman 78 Wawancara dengan Utomo Danenjaya (78 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII) pada tanggal 25 Agustus 2012 di Garut. Lihat juga Budi Setiawan, Andi Jauhari, Rahmad Nasution, dan Unggul Tri Ratomo, Menguak Tabir Perjuangan Suripto, (Jakarta : Aksara Karunia, 2001), Cet. Ke-1, h, 22. Selanjutnya lihat “Polisi diperintahkan bertindak Tegasa”, dalam Warta Bhakti, Rabu, 15 Mei 1963. 391 “Kerusakan-Kerusakan Terjadi Juga di Sukabumi, Cibadak dan Lain-Lain Tempat Lagi”, dalam Duta Masyarakat, 21 Mei 1963. 390
176 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
1 buah mobil pick-up dan 2 sepeda motor. Kerusakan lainnya adalah sebanyak empat buah pabrik milik etnis Cina dibakar habis, yaitu 1 buah pabrik tenun, 1 buah pabrik kertas, 1 buah pabrik tapioka dan 1 buah pabrik teh. Juga 46 buah toko habis dibakar dan 16 buah rumah tinggal hancur dilempari massa kerusuhan. Di Cianjur sebanyak 137 kendaraan bermotor habis dibakar oleh massa kerusuhan yang terdiri dari 28 buah truk, 57 oplet, 30 sedan, 3 bus, 4 mobil tangki minyak kelapa, 4 pick-up, dan 11 sepeda motor. Kendaraan lainnya yang rusak akibat kerusuhan tersebut adalah 35 buah becak dan sebanyak 167 sepeda hangus terbakar. Sedangkan toko dan rumah tempat tinggal, masing-masing 316 buah toko dan 114 buah rumah tempat tinggal rusak dilempari massa kerusuhan.392 Di Kota Garut, kerusuhan anti Cina pecah pada hari Jum’at tanggal 17 Mei dan Sabtu tanggal 18 Mei 1963 di sepanjang Jl.Ahmad Yani, Jl.Guntur, Jl.Mandalagiri, Jl.Pasarbaru, dan Jl.Ciledug. Masyarakat Garut menyebut kawasan tersebut dengan sebutan Pengkolan (Indonesia : belokan), karena memang pusat utama kawasan tersebut berada percis di belokan Jl.Ahmad Yani dan Jl.Ciledug. Sebelum pecahnya kerusuhan anti Cina pada tanggal 17-18 Mei, di kalangan masyarakat telah menyebar luas sebuah slogan, yaitu suatu kalimat pendek yang mencolok dan mudah diingat oleh masyarakat. Slogan itu berbunyi “beset Cina”. Kata beset atau dibeset seperti sudah dijelaskan secara leksikal dalam bab III mengandung arti dikuliti atau diduduki. Ini semakna dengan ungkapan “dina jaman revolusi, dayeuh Yogya kungsi beset ku tentara RI, najan ukur jam-jaman”. Artinya, “pada jaman revolusi kemerdekaan kota Yogyakarta diduduki oleh tentara RI, meskipun beberapa jam”. Slogan tersebut muncul di tengah-tengah masyarakat Garut sebelum kelompok aktifis muda Islam mengambil inisiatif melakukan mobilisasi massa untuk kepentingan gerakan anti Cina pada 17-18 Mei 1963. Tersebar luasnya slogan tersebut tidak diketahui asal mulanya. Beberapa informan yang penulis wawancarai, baik para pelaku maupun saksi sejarah seperti Utomo Danenjaya (79 tahun), Giom Suarsono (77 tahun), Jojo (70 tahun), Misbah (75 tahun), Maman 392 “Akibat “Peristiwa” Pengrusakan di Jawa Barat Amat Menyedihkan”, dalam Warta Bhakti, Minggu, 26 Mei 1963. Lihat juga “Kerusakan-Kerusakan Terjadi Juga di Sukabumi, Cibadak dan Lain-Lain Tempat Lagi”, dalam Duta Masyarakat, 21 Mei 1963
177 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
(73 tahun), Saeputamam (78 tahun), Ahman (88 tahun), Endang (81 tahun) dan para pelaku serta saksi sejarah lainnya, menyatakan bahwa slogan “beset Cina” itu adanya tidak diketahui dari mana asalnya, tetapi sudah menyebar di kalangan masyarakat luas. Bahasa ini merupakan bahasa rakyat yang berkembang pada masa itu sebagai bentuk ungkapan kemarahan pada suatu komunal yang tidak disukai393. Penulis menduga munculnya slogan “beset Cina” itu merupakan pengaruh secara tidak langsung dari peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Bandug, Cirebon dan daerah-daerah lainnya. Berita mengenai peristiwa-peristiwa kerusuhan itu telah sampai secara luas di tengah-tengah masyarakat Garut. Sampainya berita tersebut tidak hanya melalui pemberitaan surat kabar atau media elektronik (RRI Bandung) tetapi juga karena adanya berita secara berantai dari mulut ke mulut terutama melalui para sopir angkutan transportasi jurusan Bandung Garut, mahasiswa dan orang yang mencari rijki di Kota Bandung seperti para pedagang di alun-alun Bandung dan terminal Kebon Kalapa.394Selain itu, tersebarnya berita mengenai adanya gerakan anti Cina di Kota Bandung,
juga karena adanya
propaganda yang disampaikan dalam bentuk selebaran anonim dan resmi. Diantara sekian selebaran yang berseliweran pada waktu itu adalah selebaran propaganda yang disampaikan oleh kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai sektor C/Gerakan Mahasiswa Bandung.395 Inti selebaran tersebut mengajak masyarakat di luar Bandung untuk melakukan gerakan pengusiran orang-orang Cina dari daerahnya masing-masing. “Merdeka!. Berdasarkan peristiwa tgl 10 Mei 1963, dengan ini kami Revolusioner sektor Bandung menyerukan agar Saudara di-Daerah-daerah segera memperkuat
393
Wawancara dengan Jojo (71 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII, salah seorang cucu tokoh DI Banyuresmi, KH.Masduki) pada tanggal 22 April 2013, dan wawancara dengan Misbah (75 tahun, pelaku sejarah), dan dengan Ahman (88 tahun, saksi sejarah) pada tanggal 26 April 2013. 394 Wawancara dengan KH.Saeputamam (77 tahun, pelaku sejarah, aktifis Pemuda Muslim), Giom Suarsono (76 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), Misbah (74 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), dan Amir Syarifudin (77 tahun, pelaku sejarah, pendiri PII Kabupaten Garut) pada tanggal 25 Agustus 2012, dan dengan Ahman (88 tahun, Saksi Sejarah Mantan Pegawai Pasar Guntur Garut) pada tanggal 27 Agustus 2012 395 Catatan pribadi (Memor) Misbah tahun 1963-1966. Mengenai surat selebaran semacam itu juga dijelaskan oleh Selo Soemardjan dalam “Gerakan 10 Mei di Sukabumi”, halaman 221-222
178 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
kewaspadaan dan melaksanakan perintah tersebut”396. Demikian bunyi awal surat selebaran itu. Selanjutnya disebutkan beberapa rincian ajakan sebagai berikut : 1. Segera membentuk pasukan pertahanan secara serentak pemuda dan rakyat. 2. Pasukan tersebut segera bergerak untuk menghancurkan Cina baik materil maupun in-materil. 3. Cina adalah bahaya kuning bagi Indonesia, kapitalis, yang banyak mengisap darah Indonesia. 4. Imperialisme Cina adalah lebih jahat daripada Imperialisme Belanda. 5. Usir semua Cina di daerah Saudara secara serentak. 6. Bagi yang menjadi buruh Cina bersiap-siaplah untuk menerkam secara serentak dan menghancurkan harta kekayaan mereka dari Bumi Indonesia. 7. Bila Cina menyerang dengan perlawanan
fisik segeralah habiskan
nyawanya. 8. Ajaklah alat-alat negara agar mereka difihak kita sehingga kita ada difihak yang menang. 9. Seranglah Cina setiap ada kesempatan. 10. Awasilah gerak-gerik lawan kita, baik Cina itu sendiri, maupun bangsa Indonesia Pro-Cina. 11. Amanat penderitaan sekarang sedang dikobarkan oleh Cina bersamasama dengan Bandit-bandit Bangsa Indonesia yang menjelma OKBOKI-OKM. 12. Jangan dibiarkan rakyat menderita, jangan dibiarkan rakyat miskin. 13. Oleh karena Saudara itu adalah sebagian dari tenaga Revolusioner maka dengan jalan membakar, menghancurkan kekayaan Cina dengan maksud tidak menghendaki memiliki kekayaan mereka. 14. Hati-hati dan waspadalah dengan kekuatan mereka, sebab sewaktuwaktu mereka akan menyerang kita.
396
Ibid
179 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
15. Sekali lagi kami serukan pada tenaga Revolusioner agar dalam waktu se-singkat-singkatnya menghancurkan, merusakkan kekayaan bangsa Indonesia yang telah digarong oleh mereka secara halus dan gasaklah mereka habis-habisan. Selamat berjuang semoga usaha kita berhasil.
Selanjutnya peristiwa gerakan rasialis anti Cina di Kota Bandung dan kotakota lainnya dimaknai sebagai “beset Cina” oleh masyarakat Garut. Ungkapan “beset Cina” merupakan kalimat yang pendek, mudah dimengerti dan diingat oleh orang banyak. Istilah “beset” merupakan ungkapan atau bahasa sehari-hari (ordinary language) yang sangat akrab dengan kehidupan orang Sunda. Kata ini berhubungan erat dengan pekerjaan menguliti hewan yang sudah disembelih, atau membedah suatu barang seperti karung goni dan lainnya. Ungkapan seperti itu biasanya dipakai sebagai bahasa “propaganda” untuk melahirkan suatu gerakan protes. Dalam konteks ini kalimat “beset Cina” mempunyai nilai yang fokus, berisi nilai-nilai intimidatif dan nilai-nilai tindakan akhir yang menistakan. Kita pernah mendengar ungkapan-ungkapan seperti “ganyang Malaysia” dari Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1962, bubarkan PKI, turunkan harga pada waktu terjadi gerakan pembubaran PKI oleh KAPPI/KAMMI tahun 1966, dan “turunkan Suharto” pada masa gerakan reformasi 1998. Semua itu merupakan kalimatkalimat pendek yang sangat mudah diingat dan mengandung makna suatu tindakan. Begitu juga kalimat “beset Cina”, secara leksikal mengandung pengertian “menguliti Cina”, tapi sebenarnya kalimat tersebut mengandung makna tindakan untuk melakukan gerakan pengusiran etnis Cina di Indonesia. Menurut Ludwig Wittgenstein (1889-1954) suatu ungkapan atau bahasa sehari-hari (ordinary language) akan mengandung makna banyak dan luas sesuai dengan permainan kalimat yang digunakannya. Artinya, makna sebuah kata bergantung penggunaannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat bergantung penggunaannya dalam bahasa.397 Sebuah ungkapan atau proposisi, selanjutnya 397
Asep Achmad Hidayat, Filsafat Bahasa, Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, (Bandung : Rosdakarya, 2006), Cet.Ke-1, halaman 76
180 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
menurut Wittgenstein, adalah menggambarkan suatu realitas, jika kita memahami proposisi itu berarti kita mengetahui bentuk-bentuk peristiwa yang dihadirkan melalui proposisi tersebut. Pandangan ini menganggap adanya hubungan yang mutlak antara bahasa dengan dunia fakta, atau, meminjam pemikiran Bertrand Russell (1872-1972), adanya kesepadanan (isomorfi) antara dunia bahasa dan dunia realitas.398 Dengan berpijak pada teori tersebut ungkapan “beset Cina” dapat diartikan sebagai suatu “gerakan pengusiran Cina” di Indonesia karena dianggap sebagai penjajah seperti tercermin dalam selebaran di atas. Makna ini sesuai dengan fakta historis, bahwa memang sejak bulan April sampai bulan Mei tahun 1963 sedang merebak gerakan protes anti Cina di berbagai daerah seperti di Cirebon, Tegal, Solo, dan Bandung. Secara kronologis peristiwa kerusuhan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel IV : Kronologi Kerusuhan Anti Cina di Indonesia tahun 1963* Tanggal dan Tahun Peristiwa
Lokasi/Tempat Peristiwa
27 Maret 1963 30 Maret 1963 31 Maret 1963 1 April 1963 5 Mei 1963 6 Mei 1963 7 Mei 1963 10 Mei 1963 11 Mei 1963 11-13 Mei 1963 15-16 Mei 1963 16 Mei 1963 17 Mei 1963 18 Mei 1963
Sindanglaut Cirebon Jabar Kuningan dan Palimanan Cirebon Blambangan Jati Wangi, Plered dan Jombang Tegal Jawa Tengah Pagongan Slawi Bandung Sumedang Solo Kota Bogor Cipayung Bogor Garut, Singaparna, Tasikmalaya Garut, Surabaya, Malang, Medan
398
Asep Achmad Hidayat, Ibid, h.52. Lihat juga Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Jakarta : Rajawali Pers, 1987), Cet.Ke-1, halaman 54.
181 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
19 Mei 1963 20 Mei 1963 21-22 Mei 1963
Cianjur, Cibadak, Kota Sukabumi Kota Sukabumi Jogjakarta.
*Sumber : Diolah dari Duta Masyarakat, Warta Bhakti, Merdeka, Harian Umum, dan Pikiran Rakyat, Maret - Mei1963 Dalam perkembangan selanjutnya istilah “beset Cina” digunakan oleh kelompok aktifis ormas kepemudaan Islam, terutama PII, dalam meraih simpati massa untuk melakukan gerakan anti Cina pada tanggal 17-18 Mei di Kota Garut.399 Istilah ini digunakan beberapa hari sebelum gerakan anti Cina dimulai dengan cara melakukan propaganda ke sekolah-sekolah dan ke daerah-daerah basis PII seperti Urug dan Purbasana Bayombong, Bojong salam Banyuresmi, Wanaraja, Malambong dan Tarogong. Begitu juga kelompok Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan PII. Para aktifis organisasi Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) menggunakan istilah “beset Cina” untuk melakukan mobilisasi ke daerah-daerah basis seperti Wanaraja, Sukawening,
Bayombong,
Banjarwangi
Singajaya,
Bayuresmi,
Cidatar
Cibiuk,
Cisurupan,
Nangkaruka
Samarang,
dan
Bumbulang, Kadungora.
Penggunaan istilah tersebut juga mendapat dukungan dari para pemuda aktifis Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang kebanyakan berasal dari daerah Ciatel dan Pasar Kemis Tarogong400 Penggunaan slogan “beset Cina” oleh para aktivis organisasi kepemudaan ormas Islam itu nampaknya cukup efektif menarik simpati masyarakat untuk ikut terlibat dalam gerakan anti Cina pada tanggal 17-18 Mei 1963. Ini terbukti dengan adanya dukungan massa yang tidak hanya terdiri dari kaum pelajar, tetapi juga para pemuda dan para santri serta massa umum yang didatangkan dari daerahdaerah pedesaan di luar kota Garut seperti Bayombong, Wanaraja, Malangbong, Tarogong, Samarang, Cilawu, Cikajang dan Banyuresmi.401 399
Wawancara dengkjan Jojo (71 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII, salah seorang cucu tokoh DI Banyuresmi, KH.Masduki) pada tanggal 22 April 2013, dan wawancara dengan Endik (76 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII), dan Adnan (75 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII Garut Selatan) pada tanggal 27 April 2013 400 Ibid 401 Ibid
182 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Faktor penyebabnya, bukan hanya faktor bahasa yang pendek dan singkat serta mudah diingat dari slogan itu, tapi memang pada waktu itu dalam pikiran mayoritas
penduduk
Penyebabnya,
pribumi
sudah
mengendap
istilah
“beset
Cina”.
karena ketidaksenangan mereka terhadap etnis Cina karena
dominasinya dalam bidang perdagangan.
Ketidaksenangan itu juga muncul
karena diduga banyak orang Cina di Kota Garut yang mendukung ideologi komunis (PKI) dan orientasi politiknya pada Cina RRC. Salah satu buktinya kebanyakan orang Cina di Kota Garut mendukung ideologi komunis adalah adanya upacara peringatan besar-besaran yang dilakukan oleh mereka setiap tiba hari ulang tahun RRC (Fotto 30,31,32). Sedangkan penduduk Garut, terutama orang Sunda, hanya sedikit yang mendukung ideologi komunis. Bahkan bisa dikatakan, masyarakat Garut pada waktu itu lebih banyak dipengaruhi oleh warna ideologi DI/NII dan Masyumi karena pengaruh para kiai yang membinanya, terutama di daerah pedesaan seperti daerah Malambong, Leles, Kadungora, Banyuresmi,
Limbangan,
Wanaraja,
Cikajang,
Bayombong,
Bumbulang,
Singajaya, dan Samarang.
5.3. Persiapan dan Pertemuan Sebelum Gerakan Dimulai Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok yang mengambil inisiatif dalam gerakan kerusuhan anti Cina di Garut Mei 1963 adalah kelompok pemuda dan pelajar. Mereka itu merupakan aktifis ormas kepemudaan dan pelajar seperti Pelajar Islam Indonesia (PII), Syarikat Pelajar Muslimin atau Sepmi (onderbouw PSII),
Pemuda NU (Anshor), Pemuda Muhamadiyah, Pemuda
Muslimin Indonesia (onderbouw PSII), dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Tokoh-tokoh aktifis ormas kepemudaan tersebut diantaranya adalah Misbah (PII Wanaraja), Asa (PII Wanaraja), Ii Hartono (Pemuda NU Tarogong), Anas Musa (pemuda NU), Mahdi (pemuda NU Garut Kota),
Aceng (PII
Leuwigoong), Iday (PII Tarogong), Endang Taufik (PII), Sudirman (PII), Rukman (PII), Aaa Sumirsa (PII), Raden Abdullah (pemuda PSII Kadungora), Saeputamam (pemuda PSII Tarogong), Sobur (Pemuda PSII dan PII Sukawening
183 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Wanaraja), Hamzah Munawar (pemuda NU Garut Kota), Nurodin (PII Leles), Jojo (PII Banyuresmi), Suwardi (PII Garut Kota), Mamak Zein (PII Banyuresmi), Agus Nurdin (PII Bayombong), dan Gaos Hamdani (PII Garut Kota). Secara rutin mereka sering mengadakan pertemuan di bawah pohon beringin (Sunda : Caringin), atau di bawah babancong (panggung permanen untuk pidato resmi) di belakang alun-alun Kota Garut, depan rumah dinas bupati Garut (Fotto 4, dan 15). Terkadang pula pertemuan tersebut dilakukan di dalam mesjid Agung Garut (Fotto 10). Yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut adalah meliputi kondisi politik dan ekonomi Indonesia, gagasan “Daulah Islam” (negara Islam), perkembangan ideologi komunis, perkembangan gerakan pemuda pelajar dan mahasiswa di daerah lain, dan keberadaan kelompok etnis Cina di Indonesia. Di antara para pemuda tersebut, ada yang merupakan anak cucu keturunan tokoh DI/TII, seperti Jojo, Misbah, Saefutamam, Ii Hartono dan Agus Nurdin. Jojo adalah salah seorang cucu tokoh DI/TII Banyuresmi, yaitu KH.Masduki, salah seorang kiai yang sangat dekat dengan Raden Enoh (kakak Ibrahim Aji, panglima TNI). Raden Enoh adalah salah seorang panglima perang DI/TII asal Cinunuk Wanaraja. Misbah adalah cucu dari tokoh DI/TII Pinggir Sari Cipari Wanaraja. Saefutamam merupakan cucu KH.Ijuddin (Kiai DI dari Cipanas Tarogong). Ii Hartonom merupakan anak Haji Saman (Panglima DI/TII Gunung Guntur) dari Kampung Pangkalan Kaler, Kecamatan Tarogong (7 km dari Kota Garut arah utara).402 Sedangkan Agus Nurdin adalah keponakan KH.Bakri dari Pesantren Urug Bayombong, salah seorang kiai Masyumi dan simpatisan DI/TII. KH.Bakri memiliki hubungan kekerabatan dengan Kiai Haji Afandi dari Purbasana Bayombong, yaitu tokoh DI/TII yang pernah menjabat sebagai bupati DI/TII Garut Selatan pada tahun 1952. Kemudian ia diangkat oleh Karto Suwiryo,
402
Wawancara dengan Mukarom (73 tahun, mantan ketua komandemen NII KW-VII, pelaku gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 11 Desember 2011, dan dengan Lili (76 tahun, mantan anggotaDI/TII, saksi sejarah) pada tanggal 17 Desember 2011. Diperkuat wawancara dengan KH.Saefutamam, ( 77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslim Garut, Imam DI/NII hasil munas di Bogor 2008) pada tanggal 21 Juni 2012, dan wawancara dengan Ade Jamhur (72 tahun, pelaku sejarah, putra mantan Bupati DI Garut, KH.Afandi) pada tanggal 28 Juni 2012 di Garut.
184 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
sebagai tangan kanannya bersama dengan Aceng Kurnia dari Babakan Cibuyutan Banyuresmi Garut.403 Selain di alun-alun Garut, mereka juga sering mengunjungi tokoh-tokoh pergerakan dan para kiai untuk mendiskusikan berbagai hal seputar kondisi politik Indonesia. Tidak hanya mengunjungi para tokoh dan kiai daerah, tapi juga mereka sering berkunjung kepada tokoh-tokoh nasional seperti KH.Isa Anshori di Jl.Kemir Bandung, Aruji Kartawinata di Jakarta, dan bahkan beberapa kali pernah mengunjungi KH.Ahmad Sanusi di Gunung Puyuh Sukabumi. Selain karena memang di Pesantren Gunung Puyuh bayak santri dan pemuda yang menjadi anggota PII, tapi juga karena kedektan KH.Yusuf Taojiri dengan KH.Ahmad Sanusi. KH.Yusuf Taojiri adalah salah seorang Kiai dari Wanaraja Garut yang sering diminta nasihat oleh para aktifis ormas kepemudaan Islam pada waktu itu. Dari sekian kiai dan tokoh pergerakan Islam daerah yang sering dikunjungi oleh para aktifis muda Islam itu adalah adalah KH. Yusuf Taojiri (dari Pesantren Darussalam
Wanaraja),
KH.Badruzaman
(dari
Pesantren
Al-Falah
Biru
Tarogong), KH.Annur Malangbong, KH.Bakri (dari Pesantren Urug Bayombong), KH.Junaedi (dari Cibatu), KH. Ijudin (Cipanas Tarogong), KH. Solihin (dari Pesantren Asem Cibatu), Kiai Pesantren Babakan Loa, dan Hj. As’ari (seorang tokoh Masyumi) di Jl. Cikuray Garut.404 Beberapa hari setelah terjadinya kerusuhan rasialis anti Cina di Cirebon pada 27 Maret 1963 dan kerusuhan rasialis anti Cina di Bandung pada 10 Mei 1963. Para aktifis ormas kepemudaan tersebut secara intens melakukan pertemuan untuk mempersiapkan gerakan anti Cina di Garut seperti juga di daerah lainnya. Pada tanggal 13 Mei 1963, tepatnya pada malam hari, mereka melakukan pertemuan di Gedung DPRD Kabupaten Garut, di Jl. Kiansantang. Dalam pertemuan tersebut hadir dua tokoh Pelajar Islam Indonesia (PII) Kabupaten Garut, yaitu Anwar Suhaemi dan Utomo Danenjaya. Anwar Suhaemi dan Utomo Danenjaya adalah dua orang guru SMPN-1 Garut, keduanya memiliki hubungan yang erat dengan Isa Anshori, tokoh Masyumi Jawa Barat. Kedekatannya Anwar 403
Ibid. Oleh KH. Yusuf Taojiri kelompok pemuda ini disebut sebgai “Si Asrek”, artinya kelompok yang selalu menjelajah daerah-daerah tertentu. 404
185 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Suhaemi dan Utomo Danenjaya dengan Isa Anshori karena aktifitasnya mereka dalam organisasi PII Daerah Garut. Sedangkan pengurus wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat pada waktu itu dijabat oleh Endang Saefudin Anshori, salah seorang putra KH.Isa Anshori. Selain itu, baik Anwar maupun Utomo keduanya merupakan kader muda Musyumi Jawa Barat. Mereka sering datang ke Jl. Kemir Bandung untuk meminta nasihat dan pandangan politik KH.Isa Anshori. Biasanya mereka datang ke Jl.Kemir setelah terlebih dahulu melakukan pertemuan antar pimpinan PII Jawa Barat di Jl.Lodaya Bandung.405 Posisi Anwar Suhaemi dalam pertemuan tersebut adalah sebagai pemberi pencerahan seputar pentingya “revolusi sosial” untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur di bawah naungan Islam. Jenis revolusi ini penting dilakukan setelah gagalnya perjuangan Darul Islam dan setelah Masyumi dibubarkan. Demikian kata Anwar. Ia juga menekankan bahwa Indonesia sekarang ini secara ideologi telah dikuasai oleh Komunisme. Sedangkan ekonomi dikuasai oleh orang Cina, oarang Cina di Koata Garut banyak yang mendukung ideologi komunis. Karena itu, kata Anwar, kita perlu melakukan revolusi sosial. “Dan itu merupakan bagian dari “jihad” seorang muslim yang baik dan taat, sesuai dengan hadist Nabi Saw “mut syahidan ao isy kariman, mati syahid atau hidup mulia”. Demikian kata Anwar Suhaemi406 Hasil pertemuan di gedung DPRD Garut tersebut adalah berupa kesepakatan bersama antara tokoh aktivis ormas kepemudaan untuk melakukan gerakan anti Cina di Kota Garut pada tanggal 17 Mei 1963.
Disepakatinya
gerakan anti Cina pada tanggal 17 Mei, karena tanggal 17 Mei bertepatan dengan hari Jum’at, di mana kebanyakan orang jarang berpergian jauh, tidak pergi ke sawah atau ke kebun sehingga mobilisasi massa akan mudah dilakukan. 405
Di jaman Orde Baru Utomo Danenjaya bersama Nurkholis Majid mendirikan Paramadina sebagai perwujudan dari gagasan pembeharuan yang dikembangkan Nurkholis Majid dan Usep Fatuddin. Wawancara dengan Lili (72 tahun, pelaku gerakan anti Cina Garut, aktifis PII), Giom Suarsono (76 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), Misbah (74 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII 1960-an), dan Amir Syarifudin (77 tahun, pelaku sejarah, pendiri PII Kabupaten Garut) pada tanggal 23 Agustus 2012, dan dengan Utomo Danenjaya (78 tahun, pendiri PII Kabupaten Garut, dan pelaku sejarah gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 25 Agustus 2012 di Garut. 406 Wawancara dengan Misbah(74 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963) , Saefutmaam (77 tahun, pelaku sejarah, aktifis Pemuda Muslimin Indonesia) pada tanggal 16 Maret 2012, diperkuat oleh Ai Rohmah (73 tahun, mantan Istri Anwar Suhaemi) pada tanggal 18 Maret 2012.
186 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Selanjutnya selama tiga hari berturut-turut mereka melakukan pertemuan di CV. Hikmah di Jl. Muhamadiyah Garut, di rumah H.Asa’ari (tokoh Masyumi Garut) di Jl. Cikuray, dan di CV. Papandayan di Jl. Ranggalawi. Orang yang hadir dalam pertemuan-pertemuan tersebut tidak hanya para aktifis organisasi kepemudaan Islam, tapi juga beberapa anggota DI/NII dan eksponen Masyumi, beberapa orang aktifis Pemuda Sosialis, dan beberapa pengusaha pribumi seperti direktur PT Asas di Jl.Bank dan direktur CV.Papandayan di Jl.Ranggalawe dan Iming, pemilik perusahaan Penjahit Pantas.407 Pertemuan di CV. Hikmah, yaitu perusahaan milik mertua Anwar Suhaemi, selain membahas tentang persiapan untuk melakukan gerakan anti Cina, tapi dibahas pula mengenai selebaran dan pamlet-pamlet yang banyak ditempel di gedung-gedung sekolah, bioskop, toko-toko milik etnis Cina dan beredar secara berantai dari satu orang kepada orang yang lainnya.408 Pada pokoknya selebaran dan pamlet-pamlet tersebut menggerakkan pemuda pelajar dan kelompok lain di Kota Garut untuk melakukan gerakan yang sama seperti yang telah dilakukan di kota-kota lain di Jawa Barat. Dikatakan dalam selebaran tersebut bahwa orang Cina merupkan penjajah diam-diam. Selebaran tersebut berupa selebaran anonim, tidak ada nama penyusun dan pengirim. Isinya sebagai berikut : “Kepada semua yang berjiwa pemuda, baik pelajar atau bukan, berdagang, karyawan, buruh, tani, militer, polisi, bahkan ulama, guru dan semua golongan apa saja bersatulah engkau. Derap langkah sudah terdengar. Ambil senjatamu, carilah pimpinanmu!!.Kita satu tujuan, gabungkan dirimu dalam satu barisan. Jangan jadi penghalang, jangan jadi manusia banci. Ayo mari sama-sama mendobrak ketidak beresan, gempur apa yang berbau asing. Kita paksa mereka supaya menjadi orang Indonesia benarbenar. Jangan hanya dimulut saja. Nayatakan perang kepada warganegara bunglon (londok), yang untuk menyelamatkan tindak-tanduk perbuatan kotornya. Mereka adalah penjajah diam-diam. Nyatakan perang kepada warganegara yang hanya minta hak saja tapi tidak tahu kewajibannya, Nyatakan perang kepada tukang-tukang suap dan penerima suap. Kita seret dan gantung mereka. Ayo pemuda-pemuda busungkan dadamu, maju 407
Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963, aktifis PII), KH.Saefutamam (76 tahun, pelaku gerakan kerusuhan anti Cina 1963, aktifis Pemuda Muslimin Indonesia) dan dengan M.Kawakibi (74 tahun, cucu tokoh DI.TII Cibeurem Banyuresmi, dan aktifis PII) pada tanggal 23 Agustus 2011 408 Selebaran ini berisi enam belas poin, yang intinya ajakan untuk menghancurkan dan mengusir orang Cina yang dianggapnya telah banyak mengisap darah Indonesia.
187 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
terus, jangan mundur, kita tidak sendirian. Rawe-rawe rantas malangmalang putung, dobrak apa-apa menolak! Sikat mereka yang menghianat. Ganyang mereka yang menghalang! Kita pasti menang. Hidup bangsa Indonesia yang punya harga diri!!!!409 Selain berupa selebaran, terdapat juga propaganda dari beberapa mahasiswa Bandung yang datang ke sekolah-sekolah dan sekretariat organisasi kepemudaan Islam yang menyatakan bahwa jika
para pemuda Garut tidak
melakukan gerakan anti Cina, maka layak mendapat julukan sebagai pemuda “peuyeum”. Kata peuyeum artinya “tape”, yaitu sebuah makanan permentasi khas Sunda. Jenis makanan ini terbuat dari singkong dan terasa lembek jika diraba. Sebutan “pemuda peuyeum” dilontarkan oleh beberapa mahasiswa Bandung asal Garut secara berantai dari mulut ke mulut sehingga akhirnya sampai di telinga para aktivis muda Islam410. Mendengar ucapan semacam ini, para aktivis ormas kepemudaan Islam merasa malu. Karena itu mereka ingin membuktikan bahwa mereka bukan pemuda “peyeum”, yaitu pemuda yang lembek mentalnya atau penakut, dan tidak punya keberanian untuk menentang dominasi etnis Cina dalam bidang perdagangan di Indonesia. Kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan tersebut berupa perlunya melakukan mobilisasi massa melalui pembentukan koordinator aksi di masingmasing daerah kecamatan dan perlunya dibuat selebaran singkat untuk mengajak masyarakat umum melakukan gerakan “beset Cina”. Penggunaan istilah ini mulamula diusulkan Rukman, salah seorang aktivis PII, yang hadir dalam pertemuan tersebut. Karena dianggap logis, maka penggunaan istilah “beset Cina” untuk gerakan 17 Mei 1963 akhirnya disepakati bersama.411
409
Diambil dari sebagian isi selebaran dalam catatan pribadi (memor) Misbah 1963-1966. Diperkuat wawancara dengan KH.Saefutamam, ( 77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslim Garut) pada tanggal 21 Juni 2012 di Garut 410 Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku gerakan anti Cina, aktifis PII, Cucu anggota DI/TII Pinggir Sari Cipari) pada tanggal 23 Agustus 2011 dan Wawancara dengan Maman (72 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 5 Januari 2010, dengan Amir Syarifudin (75 tahun, pendiri PII di Kabupaten Garut 1961 teman akrab Utomo, penggerak kerusuhan 1963) pada tanggal 6 Januari 2010, dan dengan Jojo (68 th , pelaku sejarah) pada tanggal 9 Januari 2010. Diperkuat oleh Anda (74 tahunh, pelaku, pemuda Asrama Siliwangi 200 meter dari lokasi peristiwa) pada tanggal 9 April 2014. 411 Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963, aktifis PII), KH.Saefutamam (76 tahun, pelaku gerakan kerusuhan anti Cina 1963, aktifis Pemuda Muslimin
188 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Beberapa koordinator masing-masing daerah untuk kepentingan mobilisasi massa itu diserahkan kepada aktivis ormas kepemudaan Islam masing-masing daerah. Untuk daerah Tarogong dan Samarang diserahkan kepada Saeputamam (dari Pemuda Muslim), Ii Hartono (PII) dan Iday (PII) dibantu oleh beberapa orang pemuda PSI,
khususnya keluarga Raden Bubu dari Ciatel Tarogong.
Untuk memobilisasi massa dari daerah Kadungora, Leles, Cibiuk dan sekitarnya diserahkan kepada Raden Abdullah dari Pemuda Muslimin Indonesia (Pemuda PSII). Untuk daerah Malambong dan sekitarnya dipegang oleh Amir Hamzah (PII dari Pesantren An-Nur), Zaffar (PII Malambong dari Pesantren An-Nur), Teten (PII dari Galmasi). Untuk memobilisasi massa dari daerah Cibatu ditunjuk Endah dari PII sekaligus mantan aktifis Masyumi, dan untuk daearah Sukawening dipegang oleh Sobur dari PII dan kader muda PSII Garut Timur. Daerah Wanaraja, dan Karangpawitan dipegang oleh Aef (anggota Brigade PII), Rizal (anggota Brigade PII) (keduanya merupakan putra dari KH.Yusuf Taojiri), dan Misbah (PII). Untuk daerah Banyuresmi, Leuwigoong dan sekitarnya dipegang oleh M.Kawakibi (PII), Mamak Zein (PII), dan Giom Suarsono (PII). Sedangkan untuk Garut Selatan meliputi Bayombong, Cisurupan, Cikajang, Bumbulang, dan Singajaya dipegang oleh Agus Nurdin (PII), KH.Burhan (PII, putra bungsu KH.Bakri dari Pesantren Urug Bayombong), dan kelurga besar KH.Afandi dari Purbasana Bayombong.412 Sementara itu untuk keperluan pembuatan selebaran diserahkan kepada Rukman (aktifis PII). Pada waktu itu Rukman membuat selebaran dalam bahasa Sunda dengan penggunaan bahasa yang sangat sederhana dan singkat. Isi selebaran tersebut berbunyi sebagai berikut : “Dulur-dulur urang sadayana, mangga urang nantukeun kahirupan urang sadaya. Sabab kahirupan ekonomi urang dikuasai ku Cina (asing). Cina = Komunis”413 Indonesia) dan dengan M.Kawakibi (74 tahun, pelaku sejarah, cucu tokoh DI.TII Cibeurem Banyuresmi, dan aktifis PII) pada tanggal 23 Agustus 2011 412 Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku, aktifis PII) dan dengan KH.Saefutamam (76 tahun, pelaku) pada tanggal 23 Agustus 2011. Diperkuat oleh M.Kawakibi (74 tahun, pelaku) pada tanggal 23 Agustus 2011 di Cibeureum Banyuresmi Garut. 413 Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku, aktifis PII), KH.Saefutamam (76 tahun, pelaku) pada tanggal 23 Agustus 2011 di Garut. Diperkuat oleh M.Kawakibi (74 tahun, pelaku) pada
189 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Jika diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia kata-kata tersebut mengandung makna seperti ini : “Saudara-saudara semuanya, mari kita menentukan nasib diri kita sendiri, sebab kehidupan ekonomi kita sudah dikuasai oleh etnis Cina. Cia = Komunis” Selanjutnya selebaran tersebut disebarkan di kalangan siswa sekolah dan masyarakat pedesaan; terutama masyarakat yang berada di daerah basis Darul Islam, PSII dan Masyumi. Alasannya, bahwa daerah-daerah tersebut sangat mudah untuk dimobilisasi karena sudah memiliki semangat “jihad” yang kuat414. Jadi, berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, terdapat dua kesimpulan yang bisa diambil. Kesimpulan pertama menunjukkan bahwa peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Bandung pada 10 Mei 1963 telah berpengaruh besar terhadap suasana masyarakat (terutama kelompok pemuda dan pelajar) sebelum terjadinya gerakan “beset Cina” atau kerusuhan anti Cina di Kota Garut tanggal 17-18 Mei 1963. Peristiwa 10 Mei di Kota Bandung tersebut merupakan faktor pemercepat terjadinya kerusuhan anti Cina di Kota Garut tanggal 17-18 Mei 1963. Faktor ini didorong oleh banyaknya propaganda yang dilakukan mahasiswa Bandung terhadap para pemuda dan pelajar untuk melakukan aksi yang sama seperti yang mereka lakukan. Gerakan propaganda tersebut dilakukan baik dengan mengirim surat-surat berantai, selebaran anonim, pemasangan pamflet-pamflet, maupun secara langsung mendatangi
dan
menghasut para pelajar sekolah menengah atas seperti pada pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Garut, Sekolah Teknologi Menengah (STM) Negeri Garut, Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Negeri Garut, Pendidikan Guru Agama (PGA) Muhammadiyah dan Pendidikan Guru Agama (PGA) Negeri Garut. Dikatakan oleh para mahasiswa Bandung, jika para pelajar Garut tidak ikut dalam aksi pengusiran orang-orang Cina atau gerakan “beset Cina” maka mereka akan memperoleh kesulitan-kesulitan nantinya jika akan tanggal 23 Agustus 2011, dan diperkuat oleh Giom Suarsono (75 tahun, pelaku, aktifis PII) pada tanggal 26 Agustus 2011 di Tarogong Garut. 414 Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku, aktifis PII) dan dengan KH.Saefutamam (76 tahun, pelaku) pada tanggal 23 Agustus 2011. Diperkuat oleh M.Kawakibi (74 tahun, pelaku) pada tanggal 23 Agustus 2011 di Cibeureum Banyuresmi Garut
190 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
masuk meneruskan kuliah di Perguruan Tinggi Bandung, terutama di UNPAD dan ITB.415 Selain faktor tersebut juga terdapat tiga faktor lainnya yang mempercepat peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut. Pertama, peristiwa terbunuhnya seorang pemuda pribumi pengidap penyakit “gila” (depresi akut) karena ditembak bedil mimis atau senapan angin tepat mengena kepalanya oleh seorang pemuda Cina di Jl.Ahmad Yani pada Selasa sore tanggal 14 Mei 1963. Yang kedua adalah adanya berita yang menyebar di tengah-tengah masyarakat umum bahwa di Jl. Pasar Baru telah terjadi peristiwa pemerkosaan seorang pembantu perempuan asal Karangpawitan oleh seorang babah. Istilah “babah” merupakan sebutan bagi seorang Cina laki-laki yang sudah berumur tua. Kapan terjadinya peristiwa tersebut tidak ada petunjuk yang jelas, namun berita tentang pemerkosaan tersebut telah menyebar di kalangan pelajar SMP dan SLTA seperti SMA, STM dan PGA sehari sebelum peristiwa kerusuhan anti Cina 17 Mei 1963.416 Sedangkan pemicu atau faktor yang mempercepat ketiga, sebagaimana dituturkan oleh Maman (74 tahun, pelaku kerusuhan), adanya peristiwa pemukulan terhadap seorang pemuda pribumi bernama Ridwan (salah seorang anggota perkumpulan Pencak Silat Ranggalawe) oleh Hengki satu hari sebelum peristiwa kerusuhan anti Cina. Hengki adalah ketua perkumpulan Karate Wanara Kurda, yaitu suatu perkumpulan Karate Cina Garut yang berlokasi di Jl.Cikuray. Peristiwa pemukulan tersebut mendapat simpati dari perkumpulan Pencak Silat lainnya yang ada di daerah Garut sehingga menumbuhkan solidaritas di antara mereka untuk segera melakukan pembalasan. Diantara perkumpulan Pencak Silat itu adalah perkumpulan Pencak Silat Panunggangan pimpinan Aki Dinta, perkumpulan Pencak Silat Jaya Raga, perkumpulan Pencak Silat Cipanas Tarogong, perkumpulan Pencak Silat Sukaregang (pimpinan Toha), perkumpulan Pencak Silat Wanaraja (pimpinan Aep, anaknya KH.Yusuf Taojiri), perkumpulan Pencak Silat di Jl.Muhamadiyah (pimpinan Den Uba), perkumpulan Pencak Silat 415 Wawancara dengan Suyud (75 tahun, saksi sejarah) pada tanggal 20 Agustus 2011. Diperkuat oleh Misbah (73 tahun, pelaku) pada tanggal 23 Agustus 2011. 416 Wawancara dengan Maman (72 tahun, pelaku sejarah), Atjun ( 72 tahun, seorang Cina Muslim, saksi sejarah), Asep Abdullah (73 tahun, saksi sejarah) pada tanggal 8 Januari 2012
191 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Ciwalen pimpinan Toha, dan perkumpulan Pencak Silat Samarang (pimpinan Aceng).417 Ada juga berita hasutan yang diterima secara luas oleh masyarakat Garut terutama para pemuda dan pelajar tentang kedatangan Guntur Sukarno, yang akan memimpin aksi anti Cina di Kota Garut. Isu ini begitu meluas dan meresap di kalangan masyarakat hingga beberapa informan anonim memberi keterangan kepada para pelajar, bahwa Guntur Sukarno Putra
sekarang sudah ada di
Tasikmalaya. Guntur Sukarno Putra akan datang melalui Jalan Ciledug setelah terlebih dahulu memimpin aksi di Kota Tasikmalaya dan Singaparna. Ia akan datang dari Tasikmalaya dengan pengawalan polisi yang mobilnya membunyikan sirene langsung ke daerah Pengkolan.418 Pengkolan adalah daerah Kota Garut yang banyak dihuni etnis Cina dan sekaligus merupakan pusat pertokoan di Kota Garut. Posisinya persis antara belokan Jl.Ahmad Yani dan Jl. Ciledug sehingga daerah ini lebih dikenal oleh masyarakat Garut dengan sebutan Pengkolan, artinya belokan pertigaan. Kesimpulan kedua, menunjukkan bahwa kontrol politik dari pihak pemerintah daerah Garut dan aparat keamanan pada waktu itu tidak begitu berjalan secara mestinya. Hal ini terbukti dengan leluasanya para pemuda dan pelajar melakukan gerakan “beset Cina” pada tanggal 17-18 Mei 1963 di Kota Garut, di mana sebelumnya para aktivis ormas kepemudaan Islam melakukan pertemuan-pertemuan yang intens guna kepentingan mobilisasi massa. Padahal pada tanggal 12 Mei di Kota Garut telah diadakan pertemuan untuk mengantisifasi terjadinya kerusuhan anti Cina sebagai akibat dari pengaruh peristiwa Bandung. Pada waktu itu pertemuan dihadiri oleh Bupati Garut, Kepala Polisi Resort, Komandan Kodim Garut, Kepala Kejaksaan, Pimpinan organisasi
417
Wawancara dengan Maman (74 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 18 Maret 2014. Diperkuat oleh Iyo (75 tahun, pelaku kerusuhan) , Jejen (74 tahun,pelaku kerusuhan), Agus Saebani (74 tahun, pelaku kerusuhan) di Garut pada tanggal 21 Maret 2014. Nda (74 tahun, pelaku kerusuhan, pemuda Siliwangi) pada tanggal 9 April 2014. 418 Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963, aktifis PII) pada tanggal 23 Agustus 2011, Jojo (71 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII Garut) pada tanggal 22 April 2013 di Bandung, dan dengan Lili (73 tahun, pelaku gerakan anti Cina, aktifis PII Garut) pada 17 April 2013
192 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Chunghua Chunghui, Ketua BAPERKI, pengusaha Tionghoa, dan tokoh-tokoh Tionghoa lainnya. Semuanya berjumlah enam belas orang. Dalam pertemuan atau rapat tersebut pihak pemerintah daerah Garut dan pihak keamanan (alat negara) mengemukakan bahwa dengan adanya aksi terhadap golongan Cina di kota-kota lain, hendaknya orang-orang Cina di Kota Garut bersikap tenang, karena pemerintah daerah dan pihak keamanan akan menjamin keamanan mereka.419 Dalam rapat itu, pemerintah dan pihak keamanan juga memperingatkan andaikata tenjadi tindakan pengrusakan seperti di kota-kota lain maka kelompok Tionghoa tidak melakukan perlawanan. Ditambahkan dalam rapat tersebut pihak pemerintah akan menjamin, peristiwa itu tidak akan terjadi di Kota Garut. Pihak pemerintah Garut juga meminta kepada kelompok Cina untuk membatasi diri, tidak berpoya-poya, dan jangan menonjolkan kemewahan, terutama para pemuda Cina untuk mengurangi sikap yang dapat menimbulkan ketegangan dengan para pemuda asli seperti dalam mengendari mobil dan motor atau sepeda kumbang jangan terlalu kencang dan dalam bentuk rombongan yang besar sehingga menimbulkan suara gaduh.420 Dengan adanya penerangan dalam rapat tersebut maka kelompok Cina merasa terjamin keamanannya, mereka juga memperingatkan kepada para pemudanya agar mengurangi sikap dan prilakunya yang dapat menimbulkan ketegangan di antara mereka dengan pemuda pribumi. Sejumlah orang Cina yang masih ragu dan khawatir atau sangsi akan jaminan dari pihak pemerintah dalam rapat tersebut, lalu menitipkan mobilnya pada pejabat tinggi Garut421. Namun ada juga yang menyimpannya di daerah Pusat Latihan Perang (PLP) TNI di daerah Citiis dekat kaki Gunung Guntur dan di Kampung Babakan Cibuyutan yaitu kampung Aceng Kurnia (tokoh DI/TII), salah satu daerah basis DI/TII di Kecamatan Banyuresmi. Mobil-mobil tersebut kebanyakan mobil Oplet atau
419
Wawancara dengan Tong Liang Ciang/Amung (Ketua INTI, keluarga korban dan saksi sejarah, 74 th) dan dengan Lie Kiat Teng/Nana/Kakek Me Hoa (keluarga Korban, 75 th) pada tanggal 4 Februari 2010 420 Ibid 421 Ibid
193 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Subur Ban yang dititipkan kepada para sopir kepercayaannya dari penduduk pribumi.422 Meskipun rapat antisipasi terjadinya kerusuhan yang serupa telah dilaksanakan, tetap saja kerusuhan anti Cina terjadi di Kota Garut. Realitas ini, sekali lagi, menunjukkan betapa lemahnya kontrol politik pemerintah daerah dan aparat keamanan pada waktu itu. Meskipun bukan satu-satunya faktor pendorong munculnya kerusuhan anti Cina, namun setidak-tidaknya realiatas politik ini memberikan andil terhadap munculnya kerusuhan anti Cina pada 17-18 Mei 1963 di Kota Garut. Tidak hanya seperti itu, betapa lemahnya kontrol politik pemerintah daerah pada waktu itu dapat dilihat dari peristiwa leluasanya para aktivis ormas kepemudaan Islam melakukan pertemuan di Gedung DPRD di Jl. Kiansantang. Menurut penuturan Misbah (75 tahun, pelaku sejarah) bisa digunakannya gedung DPRD di Jl.Kiansantang untuk kepentingan persiapan gerakan “beset Cina” pada tanggal 13 Mei 1963 itu adalah sebagai hasil lobi Kholid (putra KH.Yusuf Taojiri) kepada pengurus gedung. Karena memang Kholid pada waktu itu merupakan salah seorang anggota DPRD Kabupaten Garut.423
5.4. Peran Kiai dan Keterlibatan Anggota DI/NII Lokal Garut Sebagai lembaga yang sudah sangat tua usianya, pesantren tidak hanya mengajarkan pengetahuan dasar tentang Islam akan tetapi juga memberikan latihan dalam cara hidup dan cara berpikir orang Islam. Ketaatan yang mutlak kepada kiai, satu disiplin yang keras dalam kehidupan sehari-hari, dan persamaan serta persaudaraan di kalangan para santri merupakan hal-hal yang esensial dalam kehidupan pesantren. Dengan karakternya yang khas inilah, maka posisi kiai dan
422
Wawancara dengan Tong Liang Ciang/Amung (Ketua INTI, keluarga korban dan saksi sejarah, 74 th) dan dengan Lie Kiat Teng/Nana/Kakek Me Hoa (keluarga Korban, 75 th) pada tanggal 4 Februari 2010, dan wawancara dengan Juju (79 tahun, mantan sopir Subur Ban) pada tanggal 4 Agustus 2012. Diperkuat oleh Aang (73 tahun, mantan tim pengaman kerusuhan Mei 1963 Kejaksaan Negeri Garut) pada tanggal 12 April 2013 423 Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963, aktifis PII), pada tanggal 23 Agustus 2011. Diperkuat oleh Endik (76 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII), dan Adnan (75 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII Garut Selatan) pada tanggal 27 April 2013.
194 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pesantren di tengah-tengah masyarakat Indonesia menempati posisi yang sangat penting. Menurut Clifford Geertz, seorang guru di suatu pondok pesantren dan setiap sarjana dalam ilmu keislaman dapat disebut kiai.424 Pendapat Geertz, yang terkenal dengan teorinya mengenai varian santri, abangan, dan priyayi dalam masyarakat Jawa itu, secara sepintas telah menunjukkan tentang kekurangankekurangannya. Dalam realitasnya, tidak setiap guru dalam pesantren, sekalipun guru agama, dapat disebut kiai. Bisa saja ia merupakan “lurah santri” atau pimpinan para santri yang diberi kepercayaan oleh kiainya untuk mengajarkan ilmu agama pada santri yuniornya. Bisa juga, dia itu guru penca silat, yang dipercayai oleh kiai untuk mengajarkan keahliannya kepada para santri. Banyak syarat yang harus ditambahkan pada seorang guru di pesantren untuk dapat disebut
kiai,
antara
lain
dari
segi
ilmu,
kualitas
kepribadian
atau
kepemimpinannya, ketaatannya pada agama, dan pengabdiannya yang penuh kepada masyarakat. Demikian pula tidak setiap ahli ilmu keislaman dapat memperoleh gelar kiai. Seorang sarjana agama dari IAIN, misalnya, atau doktor ilmu agama, keduanya tidak kurang pengetahuan tentang ilmu-ilmu keislaman, tetapi belum tentu mendapat gelar kiai. Tetapi, jika kedua ilmuwan tersebut mengabdikan dirinya dalam pendidikan pesantren, gelar kiai akan datang dari masyarakat sebagai pengakuan akan kedudukan mereka dan peranannya dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman. Dalam usahanya menjelaskan siapa itu kiai, Steenbrink, seorang sarjana Belanda tentang Islam di Indonesia, merasa perlu untuk membandingkan kiai, dalam posisi yang bertentangan dengan penghulu. Ia menurunkan pendapat sejarahwan Australia, Peter Carey, tentang pemimpin agama pada zaman Perang Diponegoro (1825-1830). Katanya : “Kerap kali terjadi persaingan sengit antara guru agama yang independen (kiai) dengan santri keraton atau mereka yang menduduki jabatan resmi”. Snouck Hurgronje, juga mengatakan adanya “jurang pemisah”, yang menurut kenyataan sekarang, masih memisahkan para penghulu
424
Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java, The Free Press, N.Y, halaman 134.
195 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
dan kawan-kawannya dari para kiai dan kawan-kawannya pada akhir abad ke-19,” seperti dikutip oleh Steenbrink.425 Penghulu adalah pejabat resmi di lingkungan pemerintah kolonial Belanda yang diangkat oleh Gubernur Jenderal atau atas namanya, sesudah melalui pencalonan dari Bupati dan mendapat persetujuan dari Residen.426 Sedangkan kiai, selalu bersifat swasta dan berdikari. Pengetahuan mereka di bidang agama lebih mendalam dan cara hidup mereka lebih dipercaya oleh rakyat.427 Secara umum pengertian kiai dapat diartikan sebagai pendiri atau pemimpin sebuah pesantren, sebagai muslim “terpelajar” yang telah membaktikan hidupnya “demi Tuhannya” serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam.428 Pengertian kia seperti ini yang digunakan dalam tulisan ini, karena memang sekarang sebutan kiai tidak hanya diberikan kepada pemimpin pesantren termasuk juga kepada pimpinan ormas Islam atau mubalig kondang yang dihormati oleh masyarakat. Selanjutnya, sebagai lembaga yang sudah sangat tua usianya, pesantren tidak hanya mengajarkan pengetahuan dasar tentang Islam akan tetapi juga memberikan latihan dalam cara hidup dan cara berpikir orang Islam. Ketaatan yang mutlak kepada kiai, satu disiplin yang keras dalam kehidupan sehari-hari, dan persamaan serta persaudaraan di kalangan para santri merupakan hal-hal yang esensial dalam kehidupan pesantren. Dengan karakternya yang khas inilah, maka posisi kiai dan pesantren di tengah-tengah masyarakat Indonesia menempati posisi yang sangat penting. Seperti di daerah Priangan pada umumnya, di Garut posisi kiai dan pesantren begitu kuat dalam kehidupan masyarakat. Pada tahun 1960-an di Garut terdapat beberapa pesantren besar yang muridnya bukan hanya ratusan tetapi ada yang mencapai ribuan. Diantaranya adalah Pesantren Keresek di Cibatu, Pesantren Annur di Malangbong, Pesantren Al-Falah Biru di Tarogong, Pesantren Urug di 425
Dr. Karel A.Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), Cet.Ke-1, Op.Cit, halaman160 426 Ibid 427 Ibid 428 M.Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung : Mizan, 1993), Cet.Ke-1, halaman 172
196 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Bayombong, Pesantren Cipari di Cipari Sukawening, Pesantren Faozan di Bayombong, dan Pesantren Darussalam di Wanaraja.429 Sesuai dengan kecenderungan ideologi politik para kiainya, pesantrenpesantren tersebut secara kultural dan ideologi dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok pesantren, yaitu pesantren pendukung ideologi Masyumi seperti Pesantren Darussalam, pendukung Masyumi dan sekaligus simpatisan Darul Islam seperti Pesantren Urug Bayombong dan Pesantren Al-Falah Biru juga Pesantren Annur Malangbong, pendukung PSII dan sekaligus Darul Islam seperti Pesantren Cipari dan Pesantren Ciasem Cibatu, dan yang terakhir adalah pesantren yang secara kultural maupun ideologi lebih dekat kepada Nahdhatul Ulama (NU), yaitu Pesantren Faozan Bayombong. Pesantren-pesantren tersebut bukan hanya kuat pengaruhnya di tengahtengan masyarakat, tetapi juga memiliki jaringan antara satu pesantren dengan pesantren yang lainnya. Selain itu kadang dijumpai satu pesantren yang besar memiliki jaringan dengan pesantren-pesantren kecil sebagai binaannya yang jumlahnya mencapai ratusan buah. Jalinan yang erat antar pesantren tersebut diikat oleh hubungan antara “guru” dan “murid” dan juga “ajaran” atau ilmu yang dikembankannya. Contohnya adalah antara Pesantren Al-Falah Biru pimpinan KH.Badruzaman
dan
Pesantren
Cimuncang
Samarang.
Kiai
Pesantren
Cimuncang, yaitu KH. Komarudin, adalah salah satu murid KH.Badruzaman. Selain itu, baik Pesantren Al-Falah Biru maupun Pesantren Cimuncang Samarang, merupakan kedua pesantren yang sama-sama mengembangkan ajaran “Tarekat Tijaniyah” dan mayoritas santrinya merupakan aktifis PSII/SI Kabupaten Garut. Satu hal yang perlu disampaikan dalam studi ini bahwa banyak diantara para kiai yang mendukung gerakan “beset Cina”. Meskipun mereka tidak terjun langsung ke lapangan, mereka memberikan andil yang cukup besar. Selain memberikan dukungan moral, mereka juga menyediakan masa untuk terjun langsung bersama para pelajar dan mahasiswa. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengeluarkan biaya untuk kepentingan aksi seperti makan dan minum. Hal 429
Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 23 Agustus 2011. Diperkuat oleh Adnan (75 tahun, pelaku sejarah) , Endik (76 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 27 April 2013
197 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
ini seperti dilakukan oleh KH.Fajri dari Muhammadiyah dan
KH.Sofiyan
Munawar dari NU. Ada juga kiai yang terjun langsung ke lapangan, melakukan pengawasan dari jarak yang agak jauh dari massa aksi, seperti yang dilakukan oleh KH.Izuddin dari Cipanas Tarogong.430 Dari sekian kiai yang mendukung gerakan ‘beset Cina” itu adalah KH.Izudin dari Tarogong, KH. Komarudin dari Cimuncang Samarang, KH.Maksum dari Ciucing Singajaya, KH. Annur dari Malangbong, KH. Junaidi dari Cibatu, KH, Yusuf Taojiri dari Wanaraja, KH. Solihin dari Sukawening, KH.Hasan dari Pesantren Keresek Cibatu, KH.Tajuddin dari Samarang, KH.Abbas dari Wanaraja, KH.Iki Masduki dari Sukawening, KH.Badrutamam dari Sukawening, Tuan Muhammad dari Cidatar Cisurupan, Mak Emin dari Pesantren Cipari Sukawening, KH. Fudholi dari Sukawening, KH.Fajri dari Muhammadiyah, KH. Sofiyan Munawar dari NU, KH.Salafan dari Limbangan, KH.Harun dari Pesantren Nangoh Bayombong, KH. Masduki dari Cikarokrok Banyuresmi dan KH.Bakri dari Bayombong431. Menurut pandangan para kiai yang setuju dengan gerakan tersebut, bahwa gerakan pengusiran orang Cina atau “beset Cina” dari Indonesia merupakan perbuatan “jihad”, karena mereka telah membahayakan agama dan negara. Mereka telah membuat rakyat Indonesia miskin, dan merupakan pendukung utama ideolologi komunis.432 Untuk memperkuat pendapatnya itu, banyak diantara kiai yang mengambil dalil-dalil dari al-Qur’an dan Hadist Nabi. KH.Izuddin, misalnya, telah mengambil al-Qur’an Surat Ashshaff ayat 10-12 yang berbunyi :“Yaa ayyuhalladziina amanu hal adullukum ‘alaa tijaarotin tunjiikum min ‘adzabin 430
Wawancara dengan KH.Saefutamam, ( 77 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 21 Juni 2012, dan wawancara dengan Ade Jamhur (72 tahun, pelaku sejarah, putra mantan Bupati DI Garut, KH.Afandi) pada tanggal 28 Juni 2012, dan wawancara dengan M.Kawakibi (74 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 23 Agustus 2011 431 Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku gerakan anti Cina, aktifis PII, Cucu anggota DI/TII Pinggir Sari Cipari) pada tanggal 23 Agustus 2011, wawancara dengan KH. Saeputamam (77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslim Garut) pada tanggal 21 Juni 2012, dan wawancara dengan Lili Suhaeli (73 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII) pada 17 April 2013. 432 Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku gerakan anti Cina, aktifis PII, Cucu anggota DI/TII Pinggir Sari Cipari) pada tanggal 23 Agustus 2011 dan dengan KH. Saeputamam (77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslim Garut) pada tanggal 21 Juni 2012.
198 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
aliim, tukminuna billahi wa rasuulihi watujahidu fi sabilillahi biamwalikum wanfusikum dzaalikum khairul lakum in kuntum ta’alamuun, yagfir lakum dzunuubakum yudkhilkum jannatin tajrii min tahtihal anhaau wamasaakina thoyyibatan fi jannati ‘adnin, dzalikal fauzul ‘adziim”.433Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari siksa yang pedih, (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasulnya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn.Itulah keberuntungan yang besar”. Selain menggunakan dalil tersebut, KH,Ijuddin, untuk membangkitkan rasa “jihad” di kalangan aktifis muda Islam, telah menggunakan al-Qur;an Surat Al-Rad ayat 11434, yang berbunyi : “innalloha laa yugoyyiruma bi qaumin hatta yugoyyiruma bi anfusihim”. Yang artinya : “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka itu mengubah dirinya sendiri” Lain dengan KH. Ijuddin, untuk membangkitkan semangat “jihad” di kalangan aktifis muda Islam, KH.Yusuf Taojiri telah menggunakan Qur’an Surat An-Nur ayat 55, yang berbunyi : “Wa ‘adallahul ladziina amanuu minkum wa ‘amilusshaalihaati layastakhlifannahum fil ardhi kamaa istakhlafal ladziina min qoblihim....”435. Yang artinya : “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan oarng yang mengerjakan amal shalih, bahwa sesungguhnya ia akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa...” Sebenarnya ayat-ayat al-Qur’an tersebut, seperti juga ayat-ayat dari kitab suci agama bukan Islam, adalah bersifat netral tergantung siapa yang
433
Wawancara dengan KH.Saefutamam ( 77 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 21 Juni 2012. Diperkuat oleh M.Kawakibi (75 tahun, pelaku sejarah), Maman Abdrurahman (72 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII) pada tanggal 12 April 2012, dan dengan Jojo (71 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 22 April 2013. 434 Ibid. 435 Ibid
199 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
menafsirkannya. Ayat-ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan rasialisme, bahkan al-Qur’an sendiri menentang rasialisme seperti dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Hujurat, yang artinya, “hai manusia sesunggunya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal” (Q.S.Al-Hujurat/49 : 13). Penafsiran tersebut sesuai dengan ijtihad (cara berpikir) atau daya upaya pemikiran para kiai pada waktu itu. Sebuah pemikiran tidak hanya dipengaruhi oleh kecenderungan pribadi dan pengalamannya, tapi juga dipengaruhi oleh situasi yang mengitarinya. Situasi politik pada waktu itu berada dalam situasi yang tidak stabil, gejolak politik nasional mewarnai kondisi sosial politik di daerah, di mana pertentangan ideologi antara kubu Islam dan sekuler yang diwakili kelompok nasionalis dan komunis begitu kentara muncul ke permukaan. Penafsiran “jihad” yang dikemukakan oleh KH.Izuddin maupun KH.Yusuf Taojir dalam ayat al-Qur’an yang telah disebutkan di atas adalah sangat dipengaruhi oleh cara pandang kedua kiai tersebut tentang etnis Cina yang harus dimusuhi karena mayoritas dari mereka mendukung ideologi komunis dan mendominasi bidang perdagangan serta hidup mewah di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang kebanyakan sedang berada dalam kesusahan. Pada dasarnya penafsiran semacam ini merupakan bentuk protes terhadap kondisi sosial politik yang dipandang tidak menguntungkan kehidupan agama dan penganutnya. Atau, sebagai bentuk kepanikan dan kekecewaan terhadap situasi politik pada masa itu, yang dipandang tidak menguntungkan bagi ummat Islam. Cara penafsiran terhadap beberapa ayat al-Qur’an yang telah disebutkan di atas nampaknya mendapat pengaruh dari cara penafsiran orang-orang PSII, DI dan Masyumi, terutama al-Qur’an Surat Ashshof ayat 10-12 dan Qur’an Surat AnNur ayat 55. Hal ini karena memang KH.Izuddin sendiri merupakan kader PSII kelompok
hijrah,
kemudian
mendukung
gerakan
DI/TII
pada
jaman
Kartosuwiryo. Sedangkan KH.Yusuf Taojiri merupakan salah satu pengurus
200 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Dewan Partai Syarikat Islam Indonesian (PSII) Cabang Garut periode jihad atau kepengurusan antara tahun 1934 dan tahun 1938.436 Ayat-ayat al-Qur’an yang disampaikan oleh kedua kiai tersebut pernah beberapa kali disuguhkan oleh HOS Cokroaminoto di dalam tafsir “Program azas dan Program Tandhim (perlawanan) PSII” sejak tahun 1927. Ketiga ayat alQur’an itu tercantum dalam bab dua dan bab tiga dari tafsir “Program azas dan Tandhim (perlawanan) PSII” mengenai “kemerdekaan ummat” dan “sifat pemerintahan (staat)”.437 Dalam penjelasannya HOS Cokroaminoto menyatakan bahwa dengan “jihad” yang sungguh-sungguh bangsa Indonesia akan dapat mencapai “kemerdekaan sejati” karena itu memang merupakan sunnatullah yang sudah dijanjikan Allah Swt, bahwa setiap kepemimpinan akan diganti oleh kepemimpinan yang lainnya, dan setiap yang berkuasa akan diganti oleh yang berkuasa selanjutnya. Ini sangat tergantung pada sejauh mana daya upaya yang dilakukan oleh suatu kaum untuk merubah dirinya sendiri.438 Yang dimaksud dengan kemerdekaan sejati oleh HOS Cokroaminoto bukan hanya kemerdekaan dalam bidang politik, tetapi dalam segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya kemerdekaan di bidang hukum dan ekonomi. Kemerdekaan di bidang ekonomi yang dikehendaki adalah terbebasnya penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh orang asing di Indonesia.439 Seperti sudah disinggung di atas, bahwa para kiai yang setuju dengan gerakan “beset Cina” di Kota Garut tidak hanya memberikan dukungan moral, tapi juga
melakukan mobilisasi massa dari daerahnya masing-masing.
Kebanyakan kiai yang mendukung gerakan “beset Cina” itu adalah para kiai simpatisan “medok” Darul Islam (DI).440 Medok artinya kental atau lekat. Simpatisan medok DI, artinya simpatisan kental terhadap pemikiran dan gerakan DI/TII. 436
Hiroko Horikoshi, Kiyai dan Perubahan Sosial, Op.Cit. halaman 85 HOS Omar Cokroaminoto, Tafsir Program Azas dan Program Tandhim, (Jakarta : DPP PSII, 1934), Cet.Ke-2, halaman 20-25 438 Ibid 439 HOS Cokroaminoto, Sosialisme Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1964), halaman 23 440 Wawancara dengan KH.Saefutamam (77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Garut, anggota DI/NII) pada tanggal 21 Juni 2012, dan Jojo (71 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII Garut) pada tanggal 22 April 2013 di Bandung. 437
201 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Diantara kiai yang terjun langsung menggerakkan massanya adalah KH.Izuddin dari Cipanas Tarogong. Ia merupakan kiai pendukung gerakan DI/TII pada masa kepemimpinan Kartosuwiryo yang tidak hijrah ke gunung tetapi tetap tinggal di daerah Cipanas dengan kamuflase menjadi anggota Masyumi.441 KH.Izuddin menggerakan massa bersama Saefutammam (77 tahun, pelaku sejarah) dari daerah Tarogong dan sekitarnya. Daerah basis DI/NII dari Samarang, terutama daerah Pasir Kiamis dan sekitarnya (daerah ini sekarang masuk Kecamatan Pasirwangi) , digerakkan dan dipimpin langsung oleh KH. Tajuddin (DI/NII) dan dibantu oleh Endy Muslih (kader muda DI/NII), Kiai Ajengan Komar (PSII) dari Pesantren Cimuncang Samarang, dan Jaja Mujadi (PSII). Daerah basis DI/NII Banyuresmi digerakkan oleh Ajengan Iyang (tokoh DI/NII dan PSII) dari Babakan Cibuyutan, dan oleh keluarga Hj.Affandi (mantan Bupati DI) dari Kampung Cikukuk. Daerah basis DI/NII Garut Selatan, khususnya daerah Bayombong, Cinisti, Cidatar, Cisurupan, Cigedug, Cibuluh, Cikajang, Singajaya, Banjarwangi, dan Bungbulang (Nangkaruka) digerakkan oleh Tuan Muhammad (PSII), Kiai Ajengan Maksum (Masyumi, simpatisan medok DI/TII) dari Pesantren Ciucing Singajaya dan KH.Harun (anggota DI/TII) dari Pesantren Nangoh Bayombong. Untuk daerah basis DI/NII Garut Timur dan Utara, yang meliputi Wanaraja, Sukawening, Cipari, Karangtengah, Malambong dan Cibatu digerakkan oleh KH. Badrutamam (Masyumi, simpatisan medok DI/TII), KH.Fudholi (PSII, simpatisan medok DI/TII), KH.Junaedi (Masyumi,simpatisan medok DI/TII) dari Cibatu, KH.Solihin (PSII, simpatisan medok DI/TII) dari Ciasem dan KH. Hasan (simpatisan medok DI/TII) dari Pesantren Keresek Cibatu. Sedangkan daerah basis DI/NII daerah Utara sebelah barat, yang meliputi Leles, Kadungora, Cibiuk dan Leuwigoong digerakkan oleh aktifis muda PSII, yaitu Raden Abdullah dan Tabrani.442
441
Wawancara dengan KH.Saefutamam (77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Garut, anggota DI/NII) pada tanggal 21 Juni 2012, Jojo (71 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 22 April 2013, M.Kawakibi (75 tahunh, pelaku sejarah, cucu DI/TII Banyuresmi) pada tanggal 27 April 2012. 442 Ibid
202 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Para kiai tersebut banyak yang terjun langsung ke lapangan mendampingi murid-muridnya. Mereka membawa kantong “kaneron”, yaitu sejenis kantong yang terbuat dari bahan-bahan sederhana seperti “karung goni”. Kantong kaneron itu berisi makanan lontong dan sejenis makanan lainnya. Ada juga diantara Kiai DI/NII yang membawa pistol, yang disimpan di dalam kantong kaneron tersebut dengan cara ditutupi oleh makanan. Namun senjata tersebut tidak sempat digunakan, karena memang tujuannya hanya untuk tindakan preventif (jaga-jaga) dari serangan balik orang-orang Cina.443 Selain bertujuan mendampingi murid-muridnya, alasan para kiai tersebut terjun langsung ke lapangan, tujuannya agar kelompok aksi tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syari’at seperti menjarah barang-barang milik orang Cina untuk dibawa ke rumah, atau melakukan pembunuhan dan pemerkosaan wanita-wanita etnis Cina444. Dalam prakteknya memang tidak terjadi perbuatan-perbuatan seperti itu karena kelompok aksi pada waktu itu masih menghormati titah dan nasehat para kiai. Sementara itu menurut penuturan Misbah (pelaku utama gerakan anti Cina) sebelum dilaksanakan aksi, banyak anggota muda DI/NII yang hadir pada forum-forum pertemuan, di mana di dalam pertemuan-pertemuan itu dibahas mengenai persiapan gerakan “beset Cina” di Kota Garut. Orang-orang DI/NII pada waktu itu mengusulkan agar orang-orang Cina yang ada di Kota Garut, terutama tokoh-tokohnya, diculik dan “dipeuncit” (Sunda : disembelih atau digorok) dengan golok yang tajam secara bergiliran. Menurut orang-orang Darul Islam, orang Cina di Kota Garut adalah termasuk kategori “kafir harbi”. Alasannya, orang-orang Cina telah bersekongkol dengan PKI mengembangkan ideologi komunis dan menjajah bangsa Indonesia di bidang ekonomi. Kelompok etnis Cina, menurut pemahaman orang-orang Darul Islam (DI/NII) lebih berbahaya daripada penjajah Belanda.445 443
Ibid Ibid 445 Wawancara dengan Mukarom (73 tahun, mantan ketua komandemen NII KW-VII, pelaku gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 11 Desember 2011, dan dengan Hj. Lili (76 tahun, mantan anggotaDI/TII, saksi sejarah) pada tanggal 17 Desember 2011. Diperkuat wawancara dengan KH.Saefutamam, ( 77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslim Garut, anggota DI/NII) 444
203 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pandangan orang-orang DI/NII lokal mengenai orang Cina (terutama Hoakiau) Garut sebagai penjajah di bidang ekonomi (sehingga harus diperangi) tidak hanya didasarkan pada penglihatannya secara lahir yang muncul ke permukaan, di mana orang-orang Cina Hoakiau mengusai mata rantai perdagangan dan usaha lainnya, tetapi didorong pula oleh informasi yang disampaikan “Munting”, seorang Cina Muslim simpatisan medok DI/NII, yang mengatakan bahwa orang-orang Cina Hoakiau telah menguasai tanah pertanian di daerah
Cikajang,
Cihuni
Wanaraja,
Cibatu,
dan
Karangpawatin.
Cara
pembeliannya tidak atas nama orang Cina tapi atas nama orang pribumi yang dipercaya oleh mereka. Perbuatan orang-orang Cina Hoakiau itu dipandang oleh orang-orang DI/NII sebagai perbuatan yang merugikan dan mengancam perekonomian masyarakat muslim di masa yang akan datang, terutama masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan, yang merupakan basis utama organisasi DI/NII. Karena itu dalam pandangan orang-orang DI/NII mereka harus diusir, mereka tidak berhak menguasai tanah dan penghidupan orang Indonesia. Orang Cina adalah termasuk “kafir harbi” yang harus diperangi oleh kaum muslim sebagai pewaris kepemimpinan (khalifah) Allah di muka bumi. Orangorang DI/NII beragumentasi dengan ayat yang telah dipergunakan oleh KH.Yusus Taujiri, yang berbunyi “Wa ‘adallahul ladziina amanuu minkum wa ‘amilusshaalihaati layastakhlifannahum fil ardhi...(“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang yang mengerjakan amal shalih, bahwa sesungguhnya ia akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi”).446 Istilah “kafir harbi” yang digunakan oleh orang-orang DI/NII itu merujuk pada pengertian orang-orang kafir yang harus diperangi karena memang mereka memusuhi orang Islam. Di dalam Fiqih Siyasah, yaitu kajian hukum Islam tentang pada tanggal 21 Juni 2012, dan wawancara dengan Ade Jamhur (72 tahun, pelaku sejarah, putra mantan Bupati DI Garut, KH.Afandi) pada tanggal 28 Juni 2012 di Garut. 446 Wawancara dengan Mukarom (73 tahun, mantan ketua komandemen NII KW-VII, pelaku gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 11 Desember 2011, dan dengan Hj. Lili (76 tahun, mantan anggotaDI/TII, saksi sejarah) pada tanggal 17 Desember 2011. Diperkuat wawancara dengan KH.Saefutamam, ( 77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslim Garut, anggota DI/NII), pada tanggal 21 Juni 2012, dan wawancara dengan Ade Jamhur (72 tahun, pelaku sejarah, putra mantan Bupati DI Garut, KH.Afandi) pada tanggal 28 Juni 2012 di Garut.
204 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
politik, orang kafir dibagi menjadi empat jenis, yaitu kafir dzimmi, kafir mu’ahad, kafir musta’nam, dan kafir harbi.447 Kafir dzimmi atau dikenal juga dengan sebutan ahludzdzimah atau ahlulu-aman. Dzimmah artinya aman atau janji. Kafir dzimmi adalah orang kafir (non-Muslim) yang menjadi warga negara dari Negara Islam (addaulah Islamiyah), yang telah mendapat keamanan dari pihak muslim atau orang kafir yang telah mendapatkan janji dari ummat Islam atas keamanan jiwa, keluarga, hartanya, jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, jaminan atas kehormatan dan harga diri mereka, jaminan dari berbagai macam gangguan, dan jaminan untuk melaksanakan keyakinannya di wilayah negeri muslim. Karena itu mereka haram untuk dibunuh dan diperangi.448Kafir mu’ahad, ialah orang-orang kafir (non-Muslim) yang telah melakukan perjanjian dan kesepakatan dengan kaum muslim untuk tidak melakukan peperangan. Orang kafir ini pun haram dibunuh atau diperangi sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat antara kedua belah pihak. Kafir musta’man, ialah orang kafir (non-Muslim) yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslim atau sebagian kaum muslim. Mereka tidak boleh dibunuh atau diperangi sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.449 Istilah kafir harbi selanjutnya dalam ilmu fiqh (kajian hukum Islam) dibagi menjadi dua jenis, yaitu kafir harbi hukuman, atau kafir secara de jure (secara hukum). Jenis orang kafir ini halal untuk dibunuh sebagaimana mereka memiliki hak untuk membunuh muslimin. Hubungan mereka dengan kaum muslim terletak pada hubungan bunuh membunuh di dalam wilayah konflik. Kedua, kafir harbi muharibin fi’lan, yaitu negara kafir yang secara de facto sedang memerangi kaum muslimin, maka negara Islam tidak boleh melakukan hubungan apa pun kecuali perang fi sabilillah. Seorang kafir harbi muharibin fi’lan tidak memperoleh
Lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairiyyi, Minhajul Muslim: Kitab aqa’id wa adab wa akhlaq wa ibadaat wa mu’amalat, (Beirut : Maktabah al-Ulum wal Hukmi al-Munawwaroh, 2003), Cet. Ke1, halaman 265-270. Lebih lanjut lihat Ibn Qayyim, Al-Ahkam Ahlu adzdzimmah, Darul Ilmi Malayin, tth, h. 107 448 Ibid 449 Ibid 447
205 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
jaminan keamanan, kecuali jika ia datang ke daulah Islamiyah (negara Islam) untuk mendengarkan isi kitab al-Qur’an.450 Konsep kafir harbi tersebut oleh DI/TII telah diinterpretasikan pada konsep wilayah teritorial perang Tentara Islam Indonesia (TII) setelah diproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949. Dalam periode pemberontakannya antara 1949-1962, DI/TII telah membagi wilayah pada dua bagian, yaitu “daar Islam” atau “darul Islami”atau “darul Islam” dan darul harbi. Kata “daar” adalah sebuah kata berasal dari bahasa Arab, artinya “wilayah” atau “daerah”. Daar Islam atau “darul Islami” (wilayah Islam) adalah wilayah aman yang berada dalam kontrol Negara Islam Indonesia (NII) dan Tentara Islam Indonesia (TII). Sedangkan “darul harbi” (daerah atau wilayah yang harus diperangi) ialah daerah perang yang berada dalam kontrol pemerintahan Republik Indonesia, yang sehari-harinya berada dalam kontrol keamanan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Untuk daerah Garut, wilayah tersebut adalah daerah perkotaan, yaitu sekitar alun-alaun Garut dan Pengkolan. Daerah perkotaan ini sepenuhnya dikuasai oleh Tentara Nasional Indonesia.451 Di Kabupaten Garut, wilayah kekuasaan Darul Islam antara tahun 1950 dan 1957 berada di daerah ketinggian, seperti daerah sekitar Gunung Guntur mendekati Leles, Balubur Limbangan, Cibatu, Malambong, sekitar Gunung Galunggung mendekati daerah Sukawening, Karangtengah dan sekitarnya, Wanaraja, dan sekitar Gunung Cikuray mendekati daerah Cikajang, Cisurupan dan sekitarnya, Singajaya dan Bumbulang.452 Dari uraian singkat mengenai konsep “kafir harbi” yang digunakan anggota DI/NII tersebut memberikan gambaran bahwa keterlibatan mereka dalam kerusuhan anti Cina di Kota Garut tanggal 17-18 Mei 1963 itu didorong oleh pandangan mereka sendiri terhadap etnis Cina sebagai kelompok “kafir harbi”, yaitu kelompok “non-muslim” yang layak diperangi. 450
Ibid, h. 272 Wawancara KH.Saefutamam, ( 77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslim Garut, anggota DI/NII) pada tanggal 21 Juni 2012, dan wawancara dengan Ade Jamhur (72 tahun, pelaku sejarah, putra mantan Bupati DI Garut, KH.Afandi) pada tanggal 28 Juni 2012 di Garut, Junaidi (84 tahun, anggota DI/TII Babakan Jambe Tarogong Garut) pada tanggal 18 Mei 2012. 452 C.Van Dijk, Darul Islam, Op.Cit, halaman 93 451
206 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pandangan DI/NII tersebut didasarkan pada dua penilaian orang-orang DI/NII mengenai sikap dan prilaku etnis Cina. Pertama, orang-orang Cina di Kota Garut telah dipandang oleh orang-orang DI/NII sebagai pendukung ideologi Komunisme, menguasai mata rantai perekonomian di Kota Garut dan hidup mewah di tengah-tengah masyarakat Garut yang pada umumnya sedang ditimpa kesulitan ekonomi. Pandangan seperti ini muncul, terutama pandangannya mengenai orang Cina sebagai pendukung ideologi Komunisme, karena memang mayoritas etnis Cina di Kota Garut memperlihat dukungannya secara terangterangan pada ideologi Komunisme melalui organisasi BAPERKI dan selalu merayakan Hari Jadi Republik Rakyat Cina (RRC) di Kota Garut secara besarbesaran. Setiap peringatan tersebut dilakukan seluruh bangunan di daerah Pengkolan ( pusat perdagangan di Kota Garut) penuh dihiasi dengan warna merah dan pintu-pintunya ditandai dengan lambang palu arit. Mereka melakukan karnapal dari sekolah Chung Hwa Hwee di Jl. Gunung Payung menuju Jl. Ahmad Yani disertai dengan tabuhan dramben dan tarian-tarian tertentu (Fotto 30,31.32, 34). Kedua, orang-orang Cina telah dipandang oleh orang-orang DI/NII sebagai kelompok pertama yang menyebabkan terjadinya pemindahan pemilikan tanah dari para petani kecil kepada para petani besar dan orang-orang Cina sendiri menjelang kemerdekaan yang berhutang pada rentenir keturunan Tionghoa. Setelah kemerdekaan para petani kecil itu harus tetap membayar hutanghurtangnya pada rentenir Tionghoa. Bahkan ketika terjadi pendudukan Belanda atas Kota Garut, banyak bangunan pertokan miliki pribumi di daerah Pengkolan yang terpaksa dijual kepada orang-orang Cina karena memang terlilit hutang kepada rentenir Tionghoa.453 Dengan demikian, keterlibatan anggota DI/NII dalam peristiwa kerusuhan anti Cina atau masyarakat Garut mengenalnya dengan sebutan “beset Cina” tidak hanya didorong oleh faktor ideologi, tetapi juga didorong oleh faktor ekonomi. Pendapat ini dibenarkan oleh KH.Saefutamam (pelaku kerusuhan, aktifis muda DI/NII), bahwa tujuan para kiai dan anggota DI/NII mendukung gerakan “beset 453
Ahmad Zacky Siradi, Op.Cit, halaman 31
207 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Cina dua” di Kota Garut pada Mei 1963 tidak hanya karena faktor ideologi, tapi juga bertujuan penguasaan perdagangan oleh orang-orang pribumi yang nota bene beragama Islam.454 Menurut penuturan Mukarom, mantan Ketua Komandemen NII Wilayah VII, keterlibatan anggota DI/NII dalam gerakan anti Cina atau “beset Cina” di Kota Garut adalah bersifat lokalistik, bukan merupakan perintah Imam secara langsung karena imam atau pimpinan DI/NII pada waktu itu dipegang oleh Kahar Muzakar
secara
otomatis
sampai
tahun
1965.455.
Sedangkan
menurut
KH.Saefutamam, keterlibatan anggota DI/NII dalam peristiwa tersebut atas saran dan izin dari Aceng Kurnia, yaitu tangan kanan Imam NII, Karto Suwiryo. Pada waktu itu Aceng Kurnia masih tetap aktif menghimpun kekuatan DI/TII dan tidak menyerahkan diri pada pihak TNI seperti yang telah dilakukan oleh Adah Zaelani dan tokoh DI/TII yang lainnya456. Masih menurut penuturan Mukarom, orang-orang DI/NII yang diturunkan pada waktu itu adalah jumlahnya sedikit dan hanya terdiri dari kader muda NII. Mereka didatangkan dari daerah basis seperti daerah Malangbong, Singajaya, Banjarwangi, Cikajang, Limbangan, Kersamanah, Cibatu, Cibuyutan Banyuresmi, Cikukuk, Cigeduk, Cibuluh, Nangkaruka, Purbasana dan Urug Bayombong, Sukawening, Karangtengah, Kadungora, Cibiuk, Leuwigoong, dan Pasir Kiamis Samarang.457 Adapun peran yang dilakukan orang-orang Darul Islam dalam gerakan “beset Cina” tersebut adalah sebagai komando lapangan, pendamping aksi dan
454
Wawancara dengan KH.Saefutamam, ( 77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslim Garut, anggota DI/NII) pada tanggal 21 Juni 2012, dan wawancara dengan Ade Jamhur (72 tahun, pelaku sejarah, putra mantan Bupati DI Garut, KH.Afandi) pada tanggal 28 Juni 2012 di Garut. 455 Wawancara dengan Mukarom (73 tahun, mantan ketua komandemen NII KW-VII, pelaku gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 11 Desember 2011, dan dengan Hj. Lili (76 tahun, mantan anggotaDI/TII, saksi sejarah) pada tanggal 17 Desember 2011. Diperkuat wawancara dengan KH.Saefutamam, ( 77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslim Garut, Imam DI/NII hasil munas di Bogor 2008) pada tanggal 21 Juni 2012, dan wawancara dengan Ade Jamhur (72 tahun, pelaku sejarah, putra mantan Bupati DI Garut, KH.Afandi) pada tanggal 28 Juni 2012 di Garut. 456 Ibid 457 Pasir Kiamis merupakan daerah persembunyian terakhir Aceng Kurnia, tangan kanannya Kartosuwiryo, sebelum ia ditangkap di daerah Banjar-Ciamis tahun 1980-an. Sekarang, daerah Pasir Kiamis termasuk bagian dari Kecamatan Pasirwangi Garut.
208 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
agitator untuk mempengaruhi masyarakat umum. Hal ini, karena orang-orang Darul Islam lebih memiliki pengalaman dibandingkan dengan aktifis gerakan Islam lainnya di dalam menghadapi aparat keamanan (pihak tentara dan polisi).458 Selama di perjalanan menuju Kota Garut, orang-orang Darul Islam/NII melakukan agitasi mengajak masyarakat untuk bergabung melakukan gerakan anti Cina di Kota Garut. Mereka menyerukan, “beset Cina”, “babah gempur”, “akew usir”, “komunis peuncit”.459 Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya “orang Cina gempur dan usir, orang komunis sembelih (gorok).460
5.6. Jalannya Peristiwa. Gerakan kerusuhan anti Cina atau “beset Cina” pecah sekitar pukul 10.15 WIB pada hari Jum’at tanggal 17 Mei 1963 di pusat Kota Garut, yaitu di seputar daerah Pengkolan.461 Para pelaku utama, atau kelompok yang mengambil inisiatif dalam gerakan kerusuhan tersebut adalah para pelajar, pemuda dan kaum santri yang didatangkan dari daerah Bayongbong, Wanaraja, Sukawening, Cibatu, Kadungora, Tarogong, Leles, Limbangan, Cilawu, Cibiuk, Cigedug, Nangkaruka, Singajaya, Banjarwangi, Banyuresmi, Leuwigoong, Samarang, dan Malangbong seperti tergambar dalam peta V.1 di halaman 215. Kemudian setelah itu secara spontan adalah masyarakat umum yang kebetulan sedang berada di lokasi kerusuhan. Mereka umumnya orang-orang yang sedang dan akan berbelanja di daerah “Pengkolan” atau hanya sekedar jalanjalan. Kebanyakan dari mereka berasal dari
pinggiran Kota Garut seperti
Ciawitali, Karangpawitan, Talun, Tarogong dan yang lainnya. Diantara mereka juga terdapat abang-abang becak yang kebetulan sedang mangkal di daerah
458
Wawancara dengan Mukarom (73 tahun, anggota DI/NII, pelaku gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 12 Desember, dan dengan KH. Safutamam (77 tahun, pelaku gerakan anti Cina 1963) Ceng Agus Kurnia (74 tahun, kerabat Aceng Kunia) tanggal 28 Juni 2012. 459 Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku dan penggerak kerusuhan anti Cina di Garut 1963), pada tanggal 23 Agustus 2011, Ten Liep Kie (72 tahun, Korban Kerusuhan) pada tanggal 12 Desember 2011, dan diperkuat oleh Mukarom (73 tahun, Mantan Komandemen Wilayah Tujuh DI-Fisabilillah ) pada tanggal 21 Desember 2011. 460 Istilah “babah” ditunjukkan pada orang Cina yang sudah tua, sedangkan “akew” sebutan yang bernada ejekan dan sinis orang Sunda terhadap orang Cina. 461 “Garut Rusak Juga”, dalam Harian Duta Masyarakat, Sabtu, 18 Mei 1963.
209 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pengkolan seputar Jl.Ahmad Yani dan Jl.Ciledug. Bahkan ada juga di antara mereka yang berstatus sebagai preman.462 Peta V.1 Peta Basis Massa Kerusuhan Anti Cina di Kota Garut 1963
*Peta dibuat berdasarkan data wawancara dan penulusuran langsung penulis ke lapangan. Daerah Yang diarsir merupakan basis massa kerusuhan Mei 1963 di Kota Garut. Siswa-siswa tersebut berasal dari SMPN-1 Garut, SMP Cokroaminoto Garut, SMP Muhamadiyah, SMEP Garut, ST Garut, SMP PGRI Tarogong, SMP Pasundan (PARKI), PGAN Garut, PGA Muhamadiyah, SPG Garut, SMA Garut, SMEAN Garut, STM Nergeri Garut, dan ditambah dengan sekolah-sekolah dasar yang dekat dengan lokasi kerusuhan seperti SD Pakuwon dan SD Ranggalawe.
462 Wawancara dengan Maman (72 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 5 Januari 2010, dengan Amir Syarifudin (75 tahun, pendiri PII di Kabupaten Garut 1961 teman akrab Utomo/penggerak kerusuhan 1963, dan saksi sejarah) pada tanggal 6 Januari 2010, dan dengan Jojo (70 th , pelaku sejarah) pada tanggal 9 Januari 2010.
210 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Mereka digerakkan oleh orang-orang PII dan beberapa guru yang simpati dengan gerakan tersebut. Sebelum melakukan aksi pengrusakan rumah dan toko-toko milik etnis Cina massa aksi yang terdiri dari kelompok pelajar SLTA, SMP, dan SD mulamula berkumpul di Jalan Siliwangi Garut. Dari Jalan Siliwangi mereka bergerak menuju Jalan Ahmad Yani atau lebih dikenal Pengkolan yang merupakan pusat pertokoan. Dari Jalan Ahmad Yani massa kemudian bergerak menuju Jl.Ciledug. Di sini mereka melakukan pelemparan toko-toko milik orang Cina dan mengeluarkan barang-barang milik orang Cina. Dari Jl.Ciledug massa kembali menuju Jl.Ahmad Yani
kemudian menuju Jl.Pasar Baru, Sukaregang,
JL.Mandalagiri, dan berakhir di Jl.Guntur atau Pasar Darekdok.463 Aksi pengrusakan terhadap rumah dan toko-toko milik orang Cina di Kota Garut dimulai kira-kira pada pukul sepuluh pagi kurang. Aksi permulaan berupa pelemparan batu kepada rumah-rumah dan toko-toko milik orang-orang Cina yang hanya menimbulkan kerusakan kecil saja. Namun pada tahap selanjutnya, kirakira pada pukul 10.15. pagi dimulai lagi aksi pengrusakan terhadap barang-barang dagangan, barang rumah tangga, rumah dan toko serta pembakaran kendaraan milik orang-orang Cina, yang terbatas pada barang-barang mewah saja, dilakukan oleh para pemuda yang datang dari daerah Garut Timur (Wanaraja, Sukawening dan sekitarnya), Garut Barat (Samarang dan Tarogong) dan Garut Selatan (Bayombong, Cikajang, Cigedug, Cibuluh dan Singajaya). Pengrusakan yang mulai dilakukan di sepanjang jalan raya Ahmad Yani, Jl.Ciledug, Jl.Mandalagiri, dan Jl,Guntur itu pada kurang lebih jam 14.00 sudah meluas ke seluruh bagian kota. Pada waktu itu daerah sekitar Pengkolan, yaitu Jl.Ciledug, Jl.Ahmad Yani, Jl.Mandalagiri, Jl.Cikuray, Jl.Guntur, dan Jl.Ny.Liangkeng (Ciawalen dan Sukaregan) dikepung massa dari berbagai arah seperti dapat dilihat dalam peta V.2 berikut.
463
Wawancara dengan Maman (72 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 5 Januari 2010, dengan Amir Syarifudin (75 tahun, pendiri PII di Kabupaten Garut 1961 teman akrab Utomo/penggerak kerusuhan 1963, dan saksi sejarah) pada tanggal 6 Januari 2010, dan dengan Jojo (70 th , pelaku gerakan anti Cina 1963) pada tanggal 9 Januari 2010, dan diperkuat oleh Tong Liang Ciang (Ketua INTI dan saksi sejarah, 74 th) pada tanggal 4 Februari 2010
211 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Peta V.2 Peta Pengepungan daerah Pengkolan (Pemukiman Cina Garut) oleh massa aksi dari berbagai arah
*Sumber : Diolah dari sumber lisan dan Peta V.1. : Arah pengepungan massa aksi
Mulai saat itu, aksi pengrusakan tidak lagi dilakukan oleh kaum pelajar, melainkan juga oleh massa rakyat yang tindakannya lebih mengganas, tidak hanya melempari rumah-rumah dan toko-toko tapi juga membakar barang-barang milik orang-orang Cina. Pada kira-kira jam 17.30 gerakan mulai mereda dan sejak pukul 20.00 berlaku jam malam sampai jam 6.00 pagi. Pada keesokan harinya, Sabtu tanggal 18 Mei 1963, kira-kira jam 9.00 pagi aksi pengrusakan kembali pecah. Pada hari kedua ini bukan hanya pemuda, pelajar dan mahasiswa yang mengambil peranan utama, melainkan massa rakyat. Aksi pengrusakan dimulai oleh rombongan orang-orang yang datang dari Wanaraja dan Bayombong, kemudian
212 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
berkembang menjadi massa aksi yang lebih besar. Diantara mereka ada yang membawa kayu gelondongan dari pohon kelapa untuk mendobrak pintu-pintu toko yang terbuat dari teralis besi.464 Pada waktu itu rumah-rumah milik orang Cina menjadi sasaran kemarahan massa, yang terutama dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa, pemuda, santri, tukang beca, preman, rakyat umum, penganggur dan orang iseng atau hanya sekedar ikut-ikutan, terpengaruh oleh suasana yang terjadi pada waktu itu. Pada peristiwa ini orang-orang Cina bersifat pasif, tidak melakukan perlawanan dan pembalasan, karena mereka sudah tahu akan terjadi kerusuhan dari pimpinan organisasi Chunghua Chunghui Kabupaten Garut. Orang-orang Cina di Kota Garut pada waktu melalui organisasi Chunghua Chunghui
mempercayakan
pengamanan mereka kepada pihak alat negara (TNI dan polisi resort Garut).465 Tidak hanya rumah dan toko milik etnis Cina yang dirusak dengan cara dilempar batu dan dipukul-pukul dengan kayu atau barang-barang keras lainnya. Kelompok massa aksi pun mengeluarkan barang-barang dagangan seperti kain, baju, pakaian, barang-barang elektronik, kursi, mesin jait, lemari, bahan-bahan pokok (minyak kelapa, mie, terigu, terasi, ikan asin), kendaran roda dua (motor, sepeda), beca, dan barang-barang lainnya. Barang-barang tersebut kemudian dibakar. Mereka juga membakar kendaraan-kendaran roda empat milik etnis Cina yang diparkir di pinggir jalan seperti truk, oplet, sedan, jeep, pick-up, dan sepeda motor.466 Setelah merusak rumah, toko, barang-barang dagangan dan kendaraan milik etnis Cina, selanjutnya massa melakukan pengrusakan terhadap barangbarang produksi seperti pabrik aci, pabrik tenun, pabrik tahu, dan pabrik minyak 464
Wawancara dengan Misbah (73 tahun, pelaku gerakan anti Cina, aktifis PII, Cucu anggota DI/TII Pinggir Sari Cipari) pada tanggal 23 Agustus 2011, wawancara dengan KH. Saeputamam (77 tahun, pelaku sejarah, mantan ketua Pemuda Muslim Garut) pada tanggal 21 Juni 2012, dan wawancara dengan Lili Suhaeli (73 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII) pada 17 April 2013. 465 Wawancara dengan Tong Liang Ciang/Amung (Ketua INTI, keluarga korban dan saksi sejarah, 74 th) dan dengan Lie Kiat Teng/Nana/Kakek Me Hoa (keluarga Korban, 75 th) pada tanggal 4 Februari 2010. Diperkuat oleh Chan Kum Lim (83 tahun) pada tanggal 26 Juli 2012 di Garut. 466 Wawancara dengan Maman (72 tahun, pelaku kerusuhan), Latifah (70 tahun, pelaku kerusuhan), Yayah (70 tahun, pelaku kerusuhan), Memed ( 74 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 15 Maret 2010, diperkuat oleh Ming Ming (71 tahun, Korban Kerusuhan) pada tanggal 15 Desember 2011. Diperkuat oleh Lili Suhaeli (73 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII) pada 17 April 2013
213 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
sereh wangi.467 Pabrik minyak sereh wangi milik etnis Cina kebanyakan berada di daerah Karang Pawitan, Samarang dan Citiis. Pabrik minyak sereh wangi yang dirusak hanya pabrik-pabrik minyak sereh wangi yang berada di daerah Karangpawitan, karena memang letaknya tidak jauh dari Kota Garut dan dilewati oleh massa aksi dari Garut Timur seperti massa aksi dari daerah Karangpawitan, Wanaraja, Cibatu, dan Sukawening. Sedangkan pabrik-pabrik minyak sereh wangi yang berada di daerah Samarang dan Citiis Tarogong tidak sempat dirusak karena lokasinya jauh dari daerah perkotaan.468 Pada waktu itu banyak di antara penduduk asli (pribumi) yang beranggapan bahwa tidak dikatakan “patriot”, “heroik”, atau tidak berjasa kepada masyarakat jika tidak mengambil bagian dalam aksi “beset Cina” tersebut dan bertindak kepada etnis Cina seperti halnya kepada Belanda pada masa revolusi fisik. Karena anggapan itulah maka banyak tukang becak secara beramai-ramai membakar becak milik orang Cina (tokenya) meskipun mereka terpaksa menganggur, buruh-buruh toko ikut merusak toko-toko majikannya, bahkan ada juga sopir truk yang membakar truk yang dikendarainya karena teringat olehnya bahwa truk tersebut merupakan milik orang Cina. Sikap anti Cina semakin meledak setelah mereka menemukan di dalam rumah-rumah orang Cina terdapat barang-barang timbunan keperluan hidup yang sukar dicari di pasaran seperti beras, terigu, gula pasir, minyak lantung, dan minyak kelapa. Sikap pasif atau tidak melakukan perlawanan yang diambil oleh orangorang Cina, menyebabkan masa aksi selama dua hari, yaitu tanggal 17 dan 18 Mei bertindak leluasa untuk melakukan aksinya.469 Sementara itu oknum TNI yang berada di lapangan sepertinya membiarkan aksi perusakan tersebut, bahkan dalam kasus-kasus tertentu sering menunjukkan tempat-tempat atau toko-toko yang “Her-ordening kekuatan fisik : Demonstran merusak alat produksi”, dalam Duta Masyarakat, edisi Selasa, 21 Mei 1963. 468 Wawancara dengan Maman (72 tahun, pelaku kerusuhan), Latifah (70 tahun, pelaku kerusuhan),Yayah (70 tahun, pelaku kerusuhan), Memed ( 74 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 15 Maret 2010, diperkuat oleh Ming Ming (71 tahun, Korban Kerusuhan) pada tanggal 15 Desember 2011. Diperkuat oleh Lili Suhaeli (73 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII) pada 17 April 2013 469 “Bupati Kepala Garut Menyerukan : Hati-hati Jangan Kena Provokasi Jangan Menarik Keuntungan”, dalam Pikiran Rakyat, edisi 28 Mei 1963 467
214 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
belum dirusak oleh massa aksi. Mereka pura-pura menembakkan senjata ke atas menghalau massa aksi, tapi sebenarnya menunjukkan toko-toko atau rumahrumah milik orang Cina yang belum dirusak.470 Realitas ini dibenarkan oleh Ming Ming (salah seorang korban kerusuhan), bahwa ia menyaksikan di balik jendela beberapa oknum TNI dan beberapa tetangga dekatnya dari golongan pribumi menunjukkan toko-toko milik orang Cina yang belum dirusak oleh massa aksi. Setelah itu mereka pura-pura baik kepada orang-orang Tionghoa (Cina) setelah aksi kerusuhan berhenti pada keesokan harinya.471 Pada peristiwa kerusuhan tersebut tidak terdapat korban jiwa, karena memang orang-orang Cina bersifat pasif. Kerusakan akibat peristiwa ini adalah kendaraan bermotor 90 buah, sepeda 206 buah, becak 77 buah, rumah 119 buah, toko 215 buah, pabrik tenun 9 buah, pabrik aci 2 buah, 2 buah gudang, pabrik coklat 1 buah, dan kerusakan-kerusakan lainnya berupa barang-barang mewah dan pabrik minyak sereh wangi milik etnis Cina.472 Sementara itu menurut keterangan harian Duta Masyarakat dalam peristiwa kerusuhan tersebut terdapat 12 orang dari pelaku aksi dan 2 orang anggota TNI yang menderita luka-luka. Mereka yang luka-luka tersebut dirawat di Rumah Sakit Garut.473 Selain itu, 44 buah kendaran roda empat telah menjadi sasaran pengrusakan dan pembakaran yang terdiri dari 15 truk, 20 oplet (subur ban), 3 sedan, 3 mobil power, dan sisanya mobil jeep dan mobil pick-up.474 Sikap pasif yang diambil oleh orang-orang Cina dalam peristiwa tersebut, bukan hanya karena mereka sudah tahu akan terjadinya kerusuhan yang serupa seperti di kota-kota lainnya di Jawa Barat. Karena memang mereka sudah diberi 470
Wawancara dengan Maman (72 tahun, pelaku kerusuhan), Latifah (70 tahun, pelaku kerusuhan),Yayah (70 tahun, pelaku kerusuhan), Memed ( 74 tahun, pelaku kerusuhan) pada tanggal 15 Maret 2010, diperkuat oleh Ming Ming (71 tahun, Korban Kerusuhan) pada tanggal 15 Desember 2011 471 Wawancara dengan Ming Ming (71 tahun, seorang Cina keturunan, pedagang kain di Jl.Pasar Baru, Korban Kerusuhan) pada tanggal 15 Desember 2011. Diperkuat oleh Cham Kum Lim (83 tahun) pada tanggal 26 Juli 2012, dan Atji En (85 tahun, pedagang alat-alat sekolah) dan pada tanggal 10 April 2014. 472 Dari Sidang DPRD GR Daerah Tingkat II Garut : Peristiwa 17 Mei di Garut menampar Muka Sendiri? Lk.3500 buruh Kini Djadi Nganggur” dalam Pikiran Rakyat, edisi 1 Juni 1963. Dan lihat juga Pikiran Rakyat, 28 Mei 1963 473 Duta Masyarakat, Op.Cit, halaman .3 474 Ibid, halaman 3
215 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
sinyal oleh pihak Catur Tunggal (Pemerintah Daerah, TNI, Kepolisian dan Kejaksaan)
pada rapat pertemuan antara tokoh-tokoh mereka (Baperki dan
Chunghua Chunghui) dan Catur Tunggal pada 12 Mei di Pendopo Garut serta diberi pesan untuk tidak melakukan perlawanan. Sikap pasif itu juga sebagai akibat banyaknya massa yang melakukan pengrusakan terhadap aset-aset mereka, yang tidak hanya terdiri pemuda dan masyarakat umum, tapi juga terdapat kaum wanita dan anak-anak usia SMP dan Sekolah Dasar (Sekolah Rakyat). Menurut tokoh-tokoh Cina Garut pada waktu itu, jika dilakukan perlawanan maka akan terjadi korban jiwa cukup banyak dari kedua belah pihak, terutama dari kalangan anak-anak dan kaum wanita, baik anak-anak muda dari golongan Tionghoa maupun pribumi.475 Mengenai banyaknya anak-anak muda dan kaum wanita yang terlibat dalam peristiwa kerusuhan tersebut, Gubernur Jawa Barat Masyhudi menyerukan agar menyelamatkan jiwa tunas muda dan sendi kehidupan ekonomi masyarakat. Seruan tersebut dikemukakan pada pertemuan dengan para wartawan di Bandung pada Sabtu malam, tanggal 18 Mei 1963, setelah ia melakukan kunjungan ke daerah Tasikmalaya dan Garut pada siang harinya, di mana pada waktu itu di Kota Garut pengrusakan terhadap toko-toko dan rumah-rumah milik orang Cina masih terus berlangsung.476 Menurut penilaian Gubernur Jawa Barat Masyhudi peristiwa yang terjadi di Kota Garut menunjukkan gejala-gejala yang lebih luas daripada isu demonstrasi anti Cina dengan pengrusakan sedan dan barang-barang lux saja, tapi juga terjadi pengrusakan terhadap alat-alat produksi yang dilakukan oleh berbagai jenis usia dan berbagai macam orang yang didatangkan dari luar kota (daerah pedesaan).477 Karena itu kata Gubernur, untuk memulihkan keadaan dan mencegah pengrusakan
475
Wawancara dengan Tong Liang Ciang/Amung (74 tahun, Ketua INTI, keluarga korban dan saksi sejarah) dan dengan Lie Kiat Teng/Nana/Kakek Me Hoa ( 75 tahun, keluarga Korban) pada tanggal 4 Februari 2010 dan Wawancara deng Tien Liep Kie (72 tahun, Korban Kerusuhan) pada tanggal 12 Desember 2011 dan dengan Tj’ong Tjap Sin (73 tahun, keluarga Toko Ek Bouw Garut) pada tanggal 20 April 2012 476 “Kita Harus Selamatkan Jiwa Tunas Muda dan Sendi-sendi Kehidupan Ekonomi, Evaluasi Gubernur Jabar Tentang Peristiwa di Tasik dan Garut”, dalam Duta Masyarakat, edisi Minggu, 19 Mei 1963. 477 Ibid, halaman 4
216 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
lanjutan di daerah Garut, maka sangat perlu mengadakan “her-odening” (penataan ulang, pen) kekuataan-kekuatan fisik, yaitu alat-alat negara (TNI dan polisi) yang ditugaskan untuk memeriksa orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa tersebut dan memisahkan mana kelompok orang yang hanya sekedar ikut-ikutan seperti anak-anak dan kaum wanita, dan mana kelompok orang yang benar-benar terlibat dalam peristiwa tersebut.478 Sementara itu, berhubungan dengan kejadian tersebut, bupati Garut Gahara Widjajasoerja telah mengeluarkan seruan yang ditujukan kepada seluruh masyarakat Garut agar membantu pemerintah menjaga ketentraman umum dan menghindarkan segala bentuk provokasi serta mentaati segala ketentuan dan petunjuk dari alat negara (TNI dan polisi) untuk menjaga ketentraman umum. Sedangkan kepada para pedagang diserukan agar tidak menyalahgunakan peristiwa ini untuk menarik keuntungan diri sendiri, yang tidak memperdulikan penderiataan dan kepentingan orang banyak.479 Senada dengan seruan bupati Garut, pengurus Front Nasional Daerah Tingkat II Garut
mengajak kepada segenap partai politik, organisasi massa,
organisasi pemuda, organisasi pelajar, organisasi wanita, dan masyarakat umum untuk berusaha membantu sepenuhnya kegiatan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Tingkat II Garut dalam memulihkan kembali ketertiban dan keamanan umum, juga tetap memperkuat kewaspadaan nasional demi keselamatan negara dan bangsa pada umumnya serta masyarakat Garut pada khususnya.480 Selain melakukan seruan kepada masyarakat umum untuk tetap menjaga ketentramaan dan ketenangan, pemerintah daerah Garut juga mengajak kepada para pemuda Tionghoa untuk tidak melakukan pembalasan, dan pemerintah sangat menyesalkan terjadinya peristiwa tersebut. Padahal, seperti dikatakan juru bicara Pemerintah Daerah Tingkat II Garut Mochammad Dana Atmaja, bahwa sebelum terjadi peristiwa tersebut telah dilakukan usaha-usaha pencegahan melalui petemuan-pertemuan dengan wakil-wakil pemuda dan pelajar, di mana 478
Ibid, halaman 4 “Bupati Kepala Garut Menyerukan : Hati-hati Jangan Kena Provokasi Jangan Menarik Keuntungan”, dalam Pikiran Rakyat, edisi 28 Mei 1963 480 Ibid 479
217 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pada waktu itu disepakati untuk tidak melakukan kerusuhan anti Tionghoa (Cina) sebagaimana terjadi di kora-kota lain di Jawa Barat. ‘Tetapi insiden tersebut pada hari Jum’at tidak bisa dihindarkan dan berakhir Sabtu tanggal 18 Mei”. Demikan dikatakan Mochammad Danna Atmaja mewakili Pemerintah Daerah Tingkat II Garut dalam Konprensi persnya pada tanggal 27 Mei 1963 di Garut.481 Selanjutnya, sebagai hasil kesepakatan antara Pemerintah Daerah Tingkat II Garut dengan kelompok masyarakat Tionghoa dalam suatu pertemuan yang diadakan di halaman gedung sekolah Chunghua Chunghui di Jl. Gunung Payung para pemuda Tionghoa di hadapan para pejabat pemerintah daerah dan pengurus Front Nasional Daerah Tingkat II Garut menyatakan kesediaannya untuk membantu ketertiban umum, tidak akan melakuka pembalasan, dan tidak memiliki rasa dendam. Para pemuda Tionghoa bersepakat untuk mengembalikan peristiwa tersebut dengan perbuatan dan budi yang baik sesuai dengan ajaran Kong Fu Cu.482 Gerakan “beset Cina” yang dilakukan oleh para pemuda, pelajar, santri dibawah kendali para aktifis ormas kepemudaan Islam (PII, Sepmi, Pemuda Muslimin Indonesia) dan masyarakat umum pada Jum’at tanggal 17 dan berakhir pada Sabtu tanggal 18 Mei 1963 itu telah memberikan dampak langsung terhadap lumpuhnya perekonmian di Kota Garut. Aktifitas perdagangan di daerah Pengkolan (pusat kota), Jl.Pasar Baru, Jl. Mandalagiri, Jl.Ciledug, Jl.Siliwangi dan Jl.Cikuray lumpuh total selama empat minggu. Pada waktu itu seluruh toko di daerah Pengkolan tutup, begitu juga jongko-jongko (lapak) milik orang Cina di Pasar Garut juga tutup, tidak melakukan aktifitas perdagangan.483 Dampak ekonomis dari peristiwa kerusuhan anti Cina atau “beset Cina” itu bukan hanya dirasakan oleh orang-orang Cina saja, tetapi juga kelompok masyarakat lainnya. Selama kurang lebih empat minggu setelah peristiwa itu, suasana kehidupan ekonomi di Kota Garut menjadi lumpuh, 3.500 buruh telah
481
Ibid Ibid 483 Wawancara dengan Ahman (87 tahun, mantan pegawai pasar Garut/Guntur) pada tanggal 23 Februari 2012. Diperkuat oleh Tong Liang Chiang (76 tahun) dan The Keng Hock (76 tahun) pada tanggal 23 Februari 2012. 482
218 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
kehilangan pekerjaannya karena perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja seperti pabrik tenun, pabrik aci dan pabrik minyak sereh wangi rusak.484 Demikian pula di tempat-tempat transportasi umum kelihatan sepi. Suasana baru pulih kembali setelah kurang lebih tiga bulan. Toko-toko dan jongko milik orang Cina mulai buka melakukan aktifitas perdagangannya, begitu juga beberapa pabrik milik orang Cina mulai beroprasi seperti pabrik tenun milik Acin di Sukaregang dan yang lainnya. Namun orang-orang Cina pada waktu itu masih dihinggapi rasa takut dan kecurigaan terhadap orang-orang pribumi yang datang dari luar kota, terutama terhadap orang-orang pribumi yang berasal dari daerah Wanaraja, Cikajang, Bungbulang dan Cibatu.485 Dampak lainnya dari peristiwa tersebut, banyak orang Cina yang tidak merasa betah tinggal lagi di Kota Garut. Pada umumnya mereka diliputi rasa trauma dan takut dibunuh. Setelah terjadinya peristiwa kerusuhan Mei 1963, di kalangan orang Cina menyebar “isu” yang menyatakan bahwa orang-orang Cina yang ada di Kota Garut akan “dipeuncit” (disembelih atau digorok) secara bergiliran oleh orang-orang pribumi. Akibatnya banyak orang Cina yang pulang ke RRC, Hongkong, Taiwan dan migrasi ke daerah lain di Indonesia seperti ke Kota Jakarta, Jawa Tengah, dan Lampung. Bahkan ada juga yang pindah ke Singapura.486 Sedangkan orang-orang Cina yang tidak migrasi atau eksodus ke RRC, mereka bersikap menutup diri, enggan berbaur dengan kaum pribumi. Mereka bersikap depensif dan melakukan dukungan kuat secara materil kepada PKI melalui Baperki. Karena dukungannya itulah, maka pada peristiwa kudeta G30SPKI, mereka menjadi sasaran kemarahan KAPPI/KAMMI. Banyak diantara 484 Pikiran Rakyat, Ibid, halaman 2. Dan “Dari Sidang DPRD GR Daerah Tingkat II Garut : Peristiwa 17 Mei di Garut menampar Muka Sendiri? Lk.3500 buruh Kini Djadi Nganggur” dalam Harian Pikiran Rakyat, edisi 1 Juni 1963 485 Kunto Sofianto, Garoet Kota Intan, (Bandung: Al-qaprint Jatinangor, 2001), Cet. Ke-1, halaman 138-139. Diperkuat wawancara dengan The Keng Hock (75 tahun, saksi sejarah), tanggal 12 Maret 2011, dan wawancara dengan dengan Ahman ( 87 tahun, saksi sejarah, mantan pegawai Pasar Guntur ), Hj.Popon (74 tahun, saksi sejarah, penduduk Kampung Bentar, Jl. Guntur), Momod (90 tahun, saksi sejarah, mantan pedagang ikan di Pasar Guntur tahun 19591971) pada tanggal 23 Februari 2012. 486 Wawancara deng Tien Liep Kie (72 tahun, Korban Kerusuhan) pada tanggal 12 Desember 2011 dan dengan Tj’ong Tjap Sin (73 tahun, keluarga toko Ek Bouw Garut), dan Chung Ken (72 tahun) pada tanggal 20 April 2012
219 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tokok-toko milik Cina yang menjadi sasaran amuk masa. Sejak peristiwa rasialis anti Cina (1963) dan peristiwa kudeta G30SPKI (1965), mereka merasa adanya permusuhan dari kaum pribumi sehingga mereka selalu merasa tidak aman dan terancam apabila hendak bergaul dengan kaum pribumi. Dengan adanya perasaan tidak aman dan terancam, mereka selalu meminta perlindungan kepada para elite penguasa, terutama kepada pihak TNI dan Polisi, dengan imbalan tertentu.
5.7. Tuduhan Soekarno dan PKI Peristiwa kerusuhan anti Cina di Jawa Barat, termasuk di Kota Garut, pada Mei 1963 tersebut telah menimbulkan rekasi dan kecaman yang sangat keras dari Presiden Soekarno, PKI dan kelompok kiri lainnya. PKI menuduh bahwa peristiwa kerusuhan anti Cina tersebut merupakan peristiwa rasialis kontra revolusioner yang didalangi oleh sisa-sisa Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Demikian juga Baperki mempunyai pandangan yang sama. Anggota Baperki dan Partindo yang dikirim ke Cirebon untuk melakukan penyelidikan mengenai sebab-sebab terjadinya kerusuhan tersebut menuduh bahwa kerusuhan ini direkayasa oleh para aktivis PSI dan Masyumi. Dalam laporannya tersebut mereka menyimpulkan bahwa para aktivis PSI dan Masyumi menggunakan isi pidato Presiden Soekarno pada upacara penyambutan kunjungan Presiden RRC, Liu Shao Chi, sebagai sinyal bahwa etnis Tionghoa merupakan musuh Islam. Di dalam pidatonya itu Soekarno mengucapkan terima kasih kepada pemerintah RRC yang telah membantu pemerintah RI dalam menumpas pemberontakan PRRI/Permesta.487 Presiden Soekarno di depan peserta Kongres Wanita Indonesia di Glora Senayan Jakarta pada tanggal 19 Mei 1963 telah mengeluarkan kecaman yang sangat keras terhadap peristiwa kerusuhan anti Cina di Jawa Barat tersebut. Dalam pidatonya Presiden Soekarno menyatakan : “Soekarno, dengan dia punya pemerintah, dengan dia punya kawankawan, anti Malaysia, padahal Malaysia itu adalah”, kata mereka, “untuk membendung Tionghoa”, ya, Malaysia itu sebetulnya adalah untuk 487
Siaum Giok Tjhan, Lima Jaman : Perwujudan Integrasi Wajar, (Jakarta : Yayasan Teratai, 1981), Cet.Ke-1, halaman 325.
220 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
membendung Tionghoa, saudara-saudara, dan untuk mengepung kita, jebul Soekarno anti Malaysia. “Baik sekarang Rakyat Indonesia dihasut agar supaya membuktikan, bahwa Rakyat Indonesia benci sama Tionghoa, supaya Soekarno juga benci kepada Tionghoa, supaya Soekarno pro Malaysia atau setidaknya dia ditelanjangi di muka umum, bahwa dia punya politik anti Malaysia tidak didukung oleh rakyat Indonesia”. “........., Saudara-saudara, berporoskan Nasakom, baru sosialisme bisa datang. Bukan dengan membakar auto, bukan dengan membakar truck, bukan dengan melempari jendela, bukan dengan memecahkan kaca-kaca di jalan Braga atau jalan Sukabumi atau jalan di Bogor, tidak! Dan ingatlah, saudara-saudara rasialis, nama Republik Indonesia jatuh sama sekali dengan perbuatan-perbuatan yang demikian itu. .........Sebab ini, saudarasaudara, jangan kira ini hanya kaum kontra revolusioner bangsa Indonesia saja yang berbuat demikian itu, tidak, subversi asing saudara-saudara, ikut di dalam hal ini. Orang-orang kaum kontra-revolusioner bekas PSI, bekas Masyumi, bekas PRRI, bekas Permesta bersama-sama, saudara-saudara, dengan subversi asing dari luar menjalankan hal yang demikian itu”488 Seperti terlihat dalam pidatonya itu, Soekarno secara gamblang menyatakan bahwa peristiwa kerusuhan anti Cina di Jawa Barat bulan Mei 1963 tersebut merupakan gerakan kontra revolusi yang digerakkan oleh sisa-sisa pemberontak PRRI/Permesta dan aktifis partai-partai terlarang Masyumi dan PSI. Sementara itu DN.Aidit, Ketua CC.Partai Komunis Indonesia (PKI), dalam pidatonya yang disampaikan dalam upacara peringatan hari ulang tahun PKI ke 43 di Senayan Jakarta pada 26 Mei 1963 menyatakan bahwa peristiwa kerusuhan anti Cina di Jawa Barat merupkan tindakan politik tiga anti, yaitu anti Soekarno, anti Tionghoa, dan anti PKI. Oleh karena itu, kata Aidit, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Presiden Soekarno bahwa gerakan kontra revolusioner ini didalangi oleh bekas-bekas Masyumi, PSI, PRRI/Permesta dan elemen Kuomintang serta pro Malaysia.489 Lebih lanjut, Aidit mengemukakan akan adanya tanda-tanda dari politik tiga anti dari gerakan kerusuhan anti Cina itu, bahwa politik anti Soekarno nampak jelas dari tindakan-tindakan kelompok aksi massa untuk mensabotase 488
Lihat, Amanat Presiden Soekarno Pada Kongres Wanita Indonesia : Jangan Masuk Prangkap Kontra Revolusi! (Jakarta : Departemen Penerangan RI, Penerbitan Khusus,1963). Lihat Juga, Presiden : Ganyang Rasialisme, dalam Harian Rakyat, 28 Mei 1963. 489 DN.Aidit, Tiga Anti : Anti Soekarno, Tionghoa dan Komunis adalah Gerakan-Gerakan dan Tindakan Kontra-Revolusioner, dalam Merdeka, 27 Mei 1963.
221 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pelaksanaan Deklarasi Ekonomi dengan cara menghancurkan alat-alat produksi, alat-alat transportasi dan distribusi. Dengan demikian, kata Aidit, kaum kontra revolusioner tidak suka melihat rezim Soekarno berhasil melaksanakan progrram sandang dan pangan. “Dengan merusak ekonomi, mereka membuat rakyat menjadi lebih sengsara, dan dengan keadaan sengsara itu mereka kira akan lebih mudah mengajak rakyat untuk menentang “Rezim Soekarno”. Tegas Aidit490 Dikatakan juga oleh DN.Aidit, bahwa politik “anti Tionghoa” adalah politik rasialis, juga nampak dengan jelas. Mereka, lanjut Aidit, mau mempraktekkan “American way of life” model Alabama, di mana rasialisme di kobar-kobarkan. Mereka sebenarnya, menurut DN. Aidit, tidak hanya menghadapi Presiden Soekarno, Tionghoa atau Komunis, tetapi mereka menghadapi seluruh nasion yang mengutuk perbuatan mereka.491 Tidak hanya Soekarno dan PKI yang menuduh sisa Masyumi dan PSI berada di balik kerusuhan anti Cina tersebut, tapi juga Komite Perdamaian Indonesia (KPI) telah mengeluarkan pernyataan yang sama. Dalam sebuah pernyataannya yang ditandangani oleh Ir. Setiadi Reskoprodjo pada 26 Mei 1963, Komite Perdamaian Indonesia membenarkan pidato Soekarno yang menyatakan bahwa peristiwa kerusuhan tersebut telah ditunggangi oleh anasir-anasir bekas PSI, Masyumi, dan PRRI/Permesta yang dikendalikan oleh kelompok subversif imperialis seperti kelompok Tengku Abdurahman dari Malaysia.492 Dilihat dari pernyataan-pernyataan tersebut, baik Soekarno maupun PKI dan kelompok kiri lainnya, menuduh lawan-lawan politiknya (terutama Masyumi dan PSI) sebagai kelompok yang bertanggung jawab atas terjadinya kerusuhan anti Cina di Jawa Barat. Dengan demikian, menurut pendapat penulis, Soekarno dan PKI telah menggunakan peristiwa kerusuhan anti Cina di Jawa Barat sebagai alat agitasi untuk meraih dukungan massa dan menyudutkan lawan-lawan politiknya, terutama kelompok Masyumi. Dihubungkan dengan peristiwa kerusuhan rasialis anti Cina di Kota Garut pada tanggal 17-18 Mei 1963 pernyataan atau tuduhan Soekarno dan PKI tersebut 490
DN.Aidit, Ibid, halaman 2 Ibid, halaman 2 492 Lawan Kontra Revolusi, dalam Merdeka, 27 Mei 1963. 491
222 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tidak terbukti kebenarannya. Secara kelembagaan Masyumi dan PSI pada waktu itu sudah dibubarkan. Penggerak kerusuhan anti Cina di Kota Garut, bukan para mantan aktivis Masyumi dan PSI, tapi para aktivis ormas kepemudaan Islam seperti Misbah, Anwar Suhaimi, Utomo Danenjaya, Raden Abdullah, dan Saeputamam. Mereka itu merupakan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Pemudan Muslimin Indonesia (PMI). Memang secara personal terdapat beberapa mantan aktivis Masyumi yang mendukung penuh secara moral terhadap gerakan anti Cina atau “beset Cina” yang digerakkan oleh para tokoh aktivis ormas kepemudaan Islam tersebut. Namun mereka tidak terlibat langsung di lapangan, apalagi menggerakkannya. Diantara tokoh Masyumi yang mendukung gerakan anti Cina tersebut adalah H.As’ari (tokoh Masyumi Garut), KH.Fajri (tokoh Muhammadiyah dan sekaligus tokoh Masyumi Garut), KH.Bakri (Kiai Masyumi Garut dan simpatisan DI/TII), KH.Badruzaman (Kiai Masyumi dan simpatisan DI/TII), KH.Yusuf Taojiri (Kiai Masyumi), dan mantan kader muda Masyumi, Anwar Suhaemi (tokoh PII) dan Utomo Danenjaya (tokoh PII). Seperti sudah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya (lihat pembahasan sub bahasan 5.4) bahwa yang mendukung dalam kerusuhan tersebut tidak hanya para tokoh Masyumi, tapi juga tokoh-tokoh DI/NII daerah Garut seperti KH.Izuddin
dari
Cipanas
Tarogong,
KH.Tajuddin
dari
Pasir
Wangi,
KH.Saeputamam dari Cipanas Tarogong, Mukarom dari Karangpawitan, Iji Abdurahman dari Karangpawitan, Endy Muslih dari Pasir Wangi Samarang, Ajengan Iyang dari Banyuresmi, KH.Harun dari Singajaya, KH.Hasan dari Ciasem Cibatu, dan yang lainnya. Berbeda dengan para mantan aktivis Masyumi, para tokoh DI/NII tersebut tidak hanya mendukung secara moral gerakan anti Cina di Kota Garut. Mereka juga ikut menggerakkan massa dari masing-masing daerah. Mereka pun terjun langsung ke lapangan, mendampingi massa aksi (lihat pembahasan 5.4). Dengan demikian penggerak kerusuhan anti Cina di Kota Garut adalah para aktivis ormas kepemudaan Islam dan para tokoh DI/NII, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
223 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Setelah Soekarno mengeluarkan kecaman yang sangat keras terhadap peristiwa kerusuhan anti Cina di Jawa Barat, dalam waktu beberapa hari kondisi kota di Jawa Barat yang dilanda kerusuhan kembali tenang. Nampaknya pernyataan Soekarno
tersebut
memberikan
dampak psikologis
terhadap
masyarakat umum untuk tidak melakukan aksi kerusuhan yang serupa. Dampak lain dari pernyataan Soekarno tersebut adalah munculnya ketidak raguan dari pihak keamanan (TNI dan Polisi) untuk menangkap penggerak utama kerusuhan Mei 1963. Dalam peristiwa kerusuhan 10 Mei 1963 di Kota Bandung, misalnya, para mahasiswa pelaku kerusuhan telah ditangkap dan dijatuhi hukuman. Dedi Krisna dijatuhi hukuman selama enam tahun penjara, Iwan Zoechra dijatuhi hukuman empat tahun penjara, dan diurutan selanjutnya dengan hukuman tiga tahun penjara adalah Siswono Judohusodo, Muslim Nasution, Qoyum Tjandranegara, Joko Santoso, Tari Pradeksa, dan Theo Pieterz, Soeripto.493 Di Kota Garut sendiri, meskipun tidak diproses di pengadilan, para pelaku kerusuhan 17-18 Mei 1963 ditangkap dan ditahan di kantor Kodim Garut, di kantor Kepolisian Garut, dan di kantor Kejaksaaan Garut. Di antaranya Misbah, Saeputamam, Raden Abdullah, Ii Hartono, dan Endih Muslih di tahan kantor Kodim Garut selama satu bulan. Selama satu bulan itu mereka mendapat indoktrinasi yang intensif mengenai kebutuhan asimilasi dan tindakan untuk membatasi kegiatan yang mungkin menumbuhkan rasa kebencian di antara sesama anak bangsa.494 Sementara itu, orang-orang PSI yang terlibat secara tidak langsung dalam kerusuhan anti Cina di Kota Garut hanya keluarga Den Bubu dari Ciatel Tarogong. Karena memang organisasi PSI di daerah Garut pada waktu itu tidak begitu berkembang sehingga anggota dan simpatisan partai ini sedikit jumlahnya. Menurut penuturan Jojo Sukarjo (pelaku sejarah), Misbah (pelaku sejarah) dan
493
Tabulasi Data Peristiwa Mei 1963, Kasi Intel Kodim 016/Garut. Wawancara dengan Misbah (754tahun, pelaku), Saeputamam (77 tahun, pelaku), Mukarom (73 tahun, pelaku) pada tanggal 2 Juli 2012, dan wawancara dengan Tarman (78 tahun, pelaku) pada tanggal 3 Juli 2012 494
224 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
diperkuat oleh KH.Saeputamam (pelaku sejarah) bahwa orang-orang PSI hanya terkonsentrasi di daerah Ciatel Tarogong.495 Adapun pernyataan DN.Aidit yang menyatakan bahwa gerakan kerusuhan rasialias anti Cina itu selain didalangi oleh sisa-sisa Masyumi dan PSI, juga oleh elemen-elemen Kuomintang. Pernyataan yang terakhir ini tidak terbukti, karena orang-orang Cina yang pro Kuomintang atau orang Cina yang orientasi politiknya mendukung Cina Taiwan benar-benar tidak terlibat dalam peristiwa kerusuhan tersebut. Namun terdapat pakta lain yang menunjukkan orang-orang Cina pro Kuomintang tidak menjadi target sasaran aksi masa pada waktu itu. Mereka justru mendapat perlindungan beberapa kiai Garut seperti Kiai Yusuf Taojiri yang melindungi Babah Bongkok di Jl.Cikuray dan Babah Chan di daerah Wanaraja. Selain karena keduanya meminta perlindungan kepada Kiai Yusuf Taojiri, keduanya juga dikenal masyarakat pribumi sebagai orang Cina yang anti Komunis dan ramah terhadap orang-orang pribumi. Toko dan rumah kedua orang Cina ini tidak dirusak massa aksi.496 Selain itu terdapat beberapa ruko, rumah tempat tinggal, bangunan sekolah dan tempat ibadah milik orang-orang Cina yang pro Taiwan tidak dirusak oleh masa aksi seperti Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Daya Susila di Jl. Ahmad Yani (depan SMPN 1 Garut), Toko EN di Jl. Ahmad Yani, Toko Aneka (Yu Lian Ki) di Jl.Ahmad Yani, Toko Ekbow di Jl.Ahmad Yani, rumah milik Dr. Lie Kie Teng, Sekolah SMP Katolik Yos Sudarso di.Jl.Bank, SD Yos Sudarso di Jl.Ahmad Yani, Gereja Katolik di Jl. Bank, Gereja Adven di Jl.Pramuka, Gereja Pasundan di Jl. Bratayuda, dan Toko Teng Bo di Jalan Raya Kadungora.497
495
Wawancara dengan Jojo (71 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII, salah seorang cucu tokoh DI/TII Banyuresmi, KH.Masduki) pada tanggal 22 April 2013, wawancara dengan Misbah (75 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 26 April 2013, dan wawancara dengan KH.Saeputamam (78 tahun pelaku sejarah) pada tanggal 4 April 2013. 496 Ibid 497 Wawancara dengan Jojo (71 tahun, pelaku sejarah, aktifis PII, salah seorang cucu tokoh DI/TII Banyuresmi, KH.Masduki) pada tanggal 22 April 2013, wawancara dengan Misbah (75 tahun, pelaku sejarah) pada tanggal 26 April 2013, dan wawancara dengan KH.Saeputamam (78 tahun pelaku sejarah) pada tanggal 4 April 2013, wawancara dengan Chung Ken (74 tahun, korban kerusuhan) dan dengan Atji En (85 tahun, pemilki Toko EN) pada tanggal 10 April 2014.
225 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
BAB VI
PENUTUP Di dalam bab-bab terdahulu telah dicoba memberikan penjelasan mengenai seluruh latar belakang dan semua faktor yang mendorong munculnya kerusuhan rasialis anti Cina di Garut pada 17-18 Mei 1963. Penjelasan itu menunjukkan bahwa, ditinjau sebagai aksi sosial, kerusuhan anti Cina di Kota Garut itu ditentukan oleh banyak faktor, seperti halnya semua fenomena sosial. Peristiwa itu dapat ditempatkan dalam konteks sosial budaya, ekonomi, politik dan bahkan agama. Untuk memperoleh suatu pemahaman yang jelas mengenai peristiwa itu, kita harus memperhitungkan keanekaragaman faktor-faktor yang terlibat dan variabel-variabel yang saling tergantung satu sama lain. Akan kelirulah apabila menganggap bahwa satu variabel saja relevan. Analisis mengenai keseluruhan faktor yang bekerja di dalam situasi sosial di Garut pada tahun 1960-an dilakukan untuk dapat memahami secara lebih memadai kondisikondisi yang telah melahirkan gerakan kerusuhan itu. Seperti telah ditunjukkan, interaksi di antara faktor-faktor itu telah mempercepat tumbuhnya semacam dorongan struktural bagi pecahnya kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada 17-18 Mei 1963. Salah satu faktor yang mendorong timbulnya kerusuhan anti Cina di Kota Garut adalah berupa kebencian yang mendalam dari orang-orang pribumi terhadap kelompok etnis Cina di Kota Garut. Akar-akar kebencian itu sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, yaitu ketika Pemerintah Belanda memperkuat posisi orang Cina dalam perdagangan dengan memberikan hak istimewa berupa penunjukan leveransir (pemasok barang) untuk perkebunan-perkebunan asing (terutama perkebunan milik orang Belanda ) yang berada di luar kota Garut. Pemberian hak istimewa berupa penunjukan sebagai pemasok barang untuk keperluan perkebunan-perkebunan milik orang Belanda
tersebut telah
menimbulkan kecemburuan di kalangan penduduk pribumi karena merasa dianaktirikan di negerinya sendiri oleh Pemerintah Hindia Belanda.
226 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Kemudian kebencian itu muncul kembali pada masa revolusi fisik, di mana ketika Belanda menduduki Kota Garut sejak tahun 1947-1949, mereka memihak kepada Belanda dengan cara mendirikan organisasi Pau An Tui (pasukan keamanan lingkungan Cina), yang anggota-anggotanya dilatih kemiliteran dan dipersenjatai guna memperkuat pertahanan pasukan Belanda dan melindungi keselamatan orang-orang Cina. Memasuki tahun 1960-an, sentimen anti Cina di kalangan pribumi semakin meningkat. Sentimen tersebut muncul sebagai akibat kecemburuan sosial orangorang pribumi terhadap etnis Cina yang menguasai pusat perdagangan di Kota Garut. Selain menguasai pertokoan dan jongko (lapak) pasar yang strategis (di Jl.Guntur dan Mandalagiri), mereka juga menguasai bidang usaha lain seperti perusahaan angkutan, pabrik tenun, pabrik aci, pabrik coklat, pabrik sabun, pabrik kecap, pabrik teh rakyat, pabrik tahu, dan pabrik minyak sereh wangi. Sentimen anti Cina juga muncul disebabkan kehidupan mereka begitu mewah di mata masyarakat pribumi. Sikap hidup mewah mereka dapat dilihat dari materi yang dimilikinya seperti rumah-rumah dan toko-toko permanen, kendaraan roda dua dan roda empat. Disadari atau tidak, pada waktu itu orang-orang Cina di Kota Garut telah menunjukkan kemewahan hidupnya, jika diukur dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat pribumi yang umumnya berada dalam kesusahan. Sentimen anti Cina di kalangan penduduk pribumi juga dipicu oleh berkembangnya stereotip-stereotip. Stereotip orang Cina yang berkembang dalam masyarakat pribumi (khususnya orang Sunda) di daerah Garut disebutkan sebagai memiliki sikap tertutup, angkuh, egoistis, sombong, tidak mau membaur, dan balaga (pamer dan sombong). Sedangkan stereotip orang Sunda dalam pandangan umum orang Cina adalah sebagai orang miskin, tradisional, bodoh, malas, dan suka-suka minta. Selain karena faktor-faktor tersebut, sentimen anti Cina juga muncul di kalangan penduduk pribumi, terutama para mantan aktivis Masyumi, SI/PSII, DI/NII, dan para aktivis ormas kepemudaan Islam seperti PII dan Pemuda Muslim, karena faktor ideologi politik. Pada waktu itu mayoritas orang-orang Cina di Kota Garut dipandang mendukung ideologi komunis, terutama komunis
227 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
RRC. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya toko-toko mereka yang dipasangi lambang palu arit di depan pintunya dan banyak juga di antara mereka yang menjadi anggota Baperki. Faktor-faktor kondisional tersebut akhirnya menimbulkan ketegangan antara pihak pribumi dan orang-orang Cina di Kota Garut. Ketegangan itu semakin meruncing bukan hanya faktor kesenjangan sosial antara orang-orang Cina dan penduduk pribumi. Ketegangan tersebut juga diperkuat oleh praktek upacara “dana pati” atau “qurban orang Tionghoa” yang dilakukan orang-orang Cina dalam perayaan tahun Imlek. Upacara “dana pati” yang isinya berupa gantingan daging babi dan beras yang dibagikan-dibagikan dengan cara dilemparkan pada kerumunan orang yang sedang menonton perayaan Imlek telah ditafsirkan oleh penduduk pribumi, terutama kalangan santri dalam katagori Clifford Geerts, sebagai bentuk penghinaan terhadap keyakinan dan ajaran Islam. Selanjutnya ketegangan antara penduduk pribumi dan orang-orang Cina semakin menguat setelah munculnya berita di tengah-tengah masyarakat bahwa orangorang Cina di Kota Garut banyak yang telah membeli tanah pertanian (sawah dan palawija) di daerah pedesaan seperti di daerah Cihuni, Wanaraja, Sukawening, Cibatu, Cilawu dan Cikajang. Timbulnya ketegangan antara penduduk pribumi dan orang-orang Cina di Kota Garut pada tahun 1963, juga didorong oleh kondisi sosial politik lokal. Tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun gerakan DI/TII di Jawa Barat secara formal telah berakhir pada 1962 dan Masyumi dibubarkan pada 1960, namun gejolak politik lokal terus berlangsung sebagai akibat dari kondisi politik nasional yang carut marut. Pertentangan ideologi antara kelompok Islam dan kelompok pendukung komunis terus berlangsung sampai di tingkat daerah. Kondisi seperti ini sejak tahun 1955 sampai tahun 1965 di daerah Garut terus berlangsung sehingga
orang-orang Cina di Kota Garut yang sebagian besar orientasi
politiknya mendukung RRC menjadi sasaran gerakan anti komunis yang didukung oleh orang-orang DI/NII dan mantan aktivis partai Masyumi serta para aktivis ormas kepemudaan Islam seperti Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Pemuda Muslimin Indonesia (PMI).
228 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Faktor ketiga yang mendorong munculnya peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada 17-18 Mei 1963 adalah tumbuh dan berkembangnya keyakinan umum (growth and spread of generalized belief) di tengah-tengah masyarakat. Secara umum, keyakinan (belief) yang tumbuh dan berkembang di kalangan penduduk pribumi adalah bahwa orang-orang Cina Hoakiau merupakan musuh bersama karena telah menjajah ekonomi Indonesia dan pendukung ideologi komunis, terutama komunis RRC. Orang Cina Hoakiau di Kota Garut telah menguasai dan memonopoli usaha perdagangan, usaha transfortasi dan usaha lainnya seperti pabrik tenun, pabrik aci, dan sereh wangi. Karena itu mereka harus diusir dari bumi Indonesia. Keyakinan semacam itu dipertebal oleh seruan “jihad” yang
digelorakan oleh
para kia simpatisan medok DI/NII, mantan aktivis
Masyumi dan beberapa kiai pimpinan pondok pesantren yang menganggap bahwa orang-orang Cina sebagai “kafir harbi”, yaitu kafir yang layak diperangi karena mendukung ideologi komunis dan menjajah ekonomi Indonesia. Seruan ini disambut oleh kelompok aktivis muda Islam yang sedang mengalami kebangkitan religius di tengah-tengah gejolak politik dan kondisi ekonomi yang tidak stabil. Terjadinya peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut tanggal 17-18 Mei 1963 juga dipercepat oleh peristiwa terbunuhnya seorang pengidap “depresi” (orang gila) pribumi yang ditembak kepalanya dengan menggunakan senapan angin (bedil mimis) oleh seorang Tionghoa di Jl.Ahmad Yani dan peristiwa pemukulan salah seorang aktivis perkumpulan Pencak Silat oleh pimpinan perkumpulan karate Wanara Kurda milik orang Cina. Selain itu, pecahnya kerusuhan anti Cina di Kota Garut juga dipercepat oleh adanya sebuah berita yang menyebar dan
propaganda dari mahasiswa
Bandung. Yang pertama adalah berupa berita yang menyebar di tengah-tengah masyarakat yang menyatakan bahawa seorang pembantu asal Karangpawitan di JL. Pasarbaru telah diperkosa oleh seorang “babah”, yaitu seorang Cina yang sudah berumur tua. Sedangkan propaganda dari mahasiswa adalah berupa ajakan untuk melakukan aksi anti Cina seperti yang telah mereka lakukan di Kota Bandung pada tanggal 10 Mei 1963. Ajakan tersebut secara khusus ditujukan kepada pemuda dan pelajar Kota Garut. Jika kaum pelajar di Kota Garut tidak
229 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
melakukan aksi yang sama seperti mereka lakukan di Kota Bandung maka mereka tidak akan diterima kuliah di Universitas Pajajaran dan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Sedangkan jika para pemuda Garut tidak juga melakukan aksinya menentang keberadaan orang-orang Cina di Kota Garut, maka pemuda Garut pantas mendapat julukan “pemuda peuyeum”. Peuyeum, artinya salah satu jenis “tape” yang terbuat dari singkong. Faktor kelima yang turut menentukan terjadinya kerusuhan anti Cina di Kota Garut adalah mobilisasi partisipan. Seperti sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa setelah meletusnya peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Bandung pada 10 Mei 1963 para pemuda aktivis ormas kepemudaan Islam di Kota Garut telah melakukan pertemuan-pertemuan intens untuk melakukan gerakan yang sama seperti yang telah dilakukan para mahasiswa Bandung. Strategi mobilisasi yang ditempuh pada waktu itu berupa : 1) meyakinkan kepada para pemuda dan pelajar Kota Garut bahwa orang-orang Cina Hoakiau merupakan musuh bersama yang layak diusir dari bumi Indonesia, 2) meminta dukungan dari para kiai, para mantan aktivis Masyumi dan anggota DI/NII kabupaten Garut, 3) membentuk koordinator penggerak massa di masingmasing daerah kecamatan, 4) melakukan propaganda dan ajakan melalui selebaran dalam bentuk pamflet-pamflet dalam bahasa Sunda, 5) mendatangkan massa santri dari Kecamatan Wanaraja dan Bayombong, dan 6) memperkuat basis dukungan yang sudah didapat dari ormas kepemudaan dan pelajar seperti Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII). Penentu penting keenam terjadinya kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada tanggal 17-18 Mei 1963 adalah berupa pelaksanaan kontrol sosial. Adanya pertemuan-pertemuan yang dilakukan para aktifis ormas kepemudaan Islam di Kota Garut sebelum pecahnya kerusuhan menunjukkan kurangnya pemerintah daerah dan pihak keamanan (TNI dan Polisi) melakukan kontrol sosial (lack of social control). Pertemuan-pertemuan tersebut dilaksanakan secara intens dan berkelanjutan di Gedung DPRD Garut di JL. Kiansantang, di CV.Asas di Jl.Bank, di CV. Papandayan di Jl. Ranggalawe, di CV.Hikmah di Jl.Muhammadiyah, dan rumah H.As’ari (tokoh Masyumi) di Jl. Cikuray. Kurangnya kontrol dari pihak
230 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
pemerintah dan keamanan ini pula yang melancarkan jalannya peristiwa kerusuhan rasialis anti Cina di Kota Garut. Berdasarkan temuan tersebut, menunjukkan bahwa seluruh determinan penyebab terjadinya kerusuhan rasialis anti Cina di Kota Garut 17-18 Mei 1963 yang didasarkan pada teori prilaku kolektif Smelser dapat diterapkan. Adapun hasil temuan Selo Soemarjan di Sukabumi yang menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya kerusuhan anti Cina di Kota Sukabumi pada Mei 1963 adalah berupa kesenjangan sosial antara penduduk pribumi dan orangorang Cina. Temuan Selo Soemarjan tersebut dapat dibuktikan dalam studi ini. Akan tetapi faktor tersebut bukan merupakan satu-satunya penyebab dalam peristiwa kerusuhan anti Cina di Garut, terdapat faktor determinan lainnya seperti yang telah dijelaskan di atas. Sementara itu pernyataan Soekarno dan PKI yang menuduh bahwa kerusuhan rasialis anti Cina di Jawa Barat merupakan peristiwa kaum rasialis kontra revolusioner (kontra progresif) yang didalangi oleh sisia Masyumi dan PSI, adalah tidak terbukti untuk kasus Garut. Secara personal memang ada beberapa tokoh mantan aktivis Masyumi yang mendukung gerakan tersebut, tetapi mereka tidak menggerakkan atau mendalangi peristiwa tersebut. Peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada Mei 1963 itu digerakkan oleh para tokoh aktivis ormas kepemudaan Islam dan anggota DI/NII daerah Garut. Begitu juga mantan aktivis PSI, tidak terlibat dalam menggerakkan peristiwa tersebut. Hal ini karena para aktivis PSI di daerah Garut tidak begitu banyak, mayoritas dari mereka berada di Kampung Ciateul Tarogong, terutama keluarga Haji Bubu dan beberapa guru sekolah SMP dan SMA di Kota Garut. Temuan lainnya dari penelitian disertasi ini meliputi tiga temuan. Pertama, studi tentang kerusuhan anti Cina di Kota Garut telah menemukan adanya dukungan jaringan dalam proses terjadinya prilaku kolektif. Dalam studi ini ditemukan dua bentuk dukungan jaringan yang membantu terjadinya prilaku kolektif dalam bentuk kerusuhan anti Cina di Kota Garut yaitu berupa dukungan jaringan “kultural” dan “ideologi”. Bentuk dukungan jaringan yang pertama dapat dilihat dari dukungan jaringan antar pesantren dan kiai. Hubungan pesantren
231 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
dengan pesantren lainnya adalah hubungan kultural antara guru dan murid serta hubungan kultural karena kesamaan ajaran yang disampaikan antar masingmasing pesantren. Sedangkan bentuk dukungan jaringan yang kedua terbentuk karena kesamaan ideologi seperti antara ideologi yang dianut oleh Masyumi, DI/NII dan PSII yang ketiganya sama-sama menganut ideologi politik Islam. Begitu juga antara organisasi PII, Sepmi, dan Pemuda Muslimin. Ketiga organisasi pelajar dan kepemudaan tersebut sama-sama menganut ideologi Islam.498Pemuda Muslimin dan Sepmi merupakan organisasi underbouw PSII. Sedangkan PII secara kultural dan ideologi sangat dekat dengan Masyumi. Bahkan dalam momen-momen tertentu organisasi ini lebih menegaskan sebagai “underbouw” Masyumi. Kedua, dalam peristiwa kerusuhan tersebut ditemukan adanya dukungan para kiai pimpinan pesantren secara moral, material dan bahkan dukungan massa. Fakta ini menunjukkan bahwa kiai/ulama sebagaimana dikatakan oleh Geertz dan Mohammad Iskandar bahwa kiai memiliki posisi dan peran yang sangat besar di tengah-tengah masyarakat. Menurut Geertz peran kiai/ulama sebagai culturtal broker menjadikan posisi kiai menjadi besar dan kharismatik di tengah-tengah masyarakat. Pendapat Geertz ini mendapat tanggapan dari para ilmuwan sosial lainnya, seperti halnya yang dikemukakan oleh Mohammad Iskandar, ia mengungkapkan bahwa besarnya posisi kiai/ulama bukan ditentukan oleh perannya sebagai cultural broker, tetapi ajengan atau kiai yang sudah naik haji, memilki pesantren dengan puluhan atau ratusan bahkan ribuan santri atau jama’ah pengajian rutinan dan mempunyai kompetensi yang cermat dalam membaca pikiran masyarakat sekitarnya menjadi kiai/ulama meraih posisi yang besar. Menurut temuan penulis, besarnya posisi kiai/ulama seperti diungkapkan oleh Geertz dan Mohammad Iskandar, juga ditentukan oleh kepemimpinan kharismatik yang dimililikinya dan kemampuan menggerakkan massa untuk kepentingan tertentu, paling tidak yang terjadi di Kabupaten Garut di era tahun 1960-an. 498
Lihat Anggaran Dasar PII dan Sepmi, dan juga lihat Pedoman Dasar Pemuda Muslimin Indonesia (PMI). PII merupakan organisasi pelajar yang sangat dekat dengan orang-orang Masyumi, sedangkan Sepmi dan Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) merupakan organisasi front di bawah naungan SI/PSII.
232 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Temuan lainnya yang ketiga dari studi di Kota Garut ini adalah ditemukannya slogan “beset Cina” di tengah-tengah masyarakat sebelum pecahnya kerusuhan rasialis anti Cina tanggal 17-18 Mei 1963. Slogan “beset Cina” bukan hanya telah digunakan oleh para aktivis muda Islam untuk meraih simpati massa tapi juga telah menjadi ingatan kolektif masyarakat Garut. Mereka pada umumnya membedakan peristiwa tersebut dengan peristiwa gerakan KAPPI/KAMMI setelah peristiwa G30 S/PKI (1965). Untuk peristiwa terakhir ini masyarakat Garut menyebutnya dengan sebutan “baledog Cina” atau lempari Cina. Istilah “beset Cina” yang secara harfiah mengandung pengertian “menguliti Cina” atau “menduduki”, ternyata memiliki makna dan implikasi yang lebih luas dari sekedar menguliti dan menduduki. Menurut temuan penulis istilah “beset Cina” yang telah digunakan para aktivis muda Islam untuk meraih simpati dan dukungan massa dalam gerakan anti Cina pada Mei 1963 tersebut tidak hanya mengandung pengertian menguliti atau menduduki tapi juga telah mengandung pengertian “tindakan mengusir Cina” dalam bentuk kerusuhan anti Cina di Kota Garut. Paling tidak pengertian seperti ini berlaku dalam peristiwa kerusuhan anti Cina di Kota Garut pada tanggal 17-18 Mei tahun 1963. Selanjutnya temuan-temuan dari penelitian ini hanyalah merupakan rangkaian akhir dari penelitian yang pembahasannya dibatasi oleh ruang dan waktu. Karena itu sudah tentu masih banyak persoalan-persoalan yang belum dibahas secara akademis mengenai kehidupan orang-orang Cina di Kota Garut sebagai kelompok minoritas. Sebut saja bagaimana kehidupan orang-orang Cina di Kota Garut di era Orde Baru dan Reformasi. Ini juga akan sangat menarik untuk dibahas secara akademis. Selama kurun tersebut, berdasarkan pengamatan penulis langsung di lapangan terdapat perubahan-perubahan kehidupan sosial budaya, politik dan ekonomi orang-orang Cina di Kota Garut. Banyak di antara mereka yang tidak lagi memegang tradisi leluhur secara ketat karena sudah masuk agama Kristen dan Islam. Fenomena ini terlihat terang di kalangan kaum muda Cina di Kota Garut. Dalam tahun 1987, misalnya, penulis menyaksikan langsung
233 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
banyaknya kaum muda Cina yang pindah agama. Mulanya mereka memeluk agama Keristen dan Budha kemudian mereka memeluk agama Islam. Sementara itu dilihat dari segi pergaulan atau interaksi sosial antara kelompok Cina dan kelompok pribumi (terutama etnis Sunda) juga mengalami perubahan. Semenjak tahun 1987, cukup banyak di antara kaum muda Cina, baik laki-laki maupun perempuan, yang menikah dengan kaum muda pribumi. Mereka tidak lagi tinggal di daerah Pengkolan (pusat Kota) tetapi membaur di tengahtengan masyarakat pribumi, bahkan ada juga di antara mereka yang tinggal di daerah pedesaan berbaur langsung dengan masyarakat pribumi. Salah satu fenomena yang menarik dari kehidupan orang-orang Cina yang sudah memeluk agama Islam dan menikah dengan orang-orang Sunda di daerah Garut adalah berupa hilangnya identitas kecinaan berubah menjadi orang Sunda, baik dilihat dari segi penampilan sehari-hari maupun budaya yang mereka praktikkan. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemda dan Kemenag Garut. Nama Cina mereka dihilangkan menjadi nama Sunda seperti A’ah jadi Aan, Icang menjadi Encang, Char Lie menjadi Lili, dan lainnya. Dilihat dari aspek sosial ekonomi dan politik, kehidupan sosial etnis Cina di Kota Garut, juga mengalami perubahan terutama setelah Reformasi. Aktifitas kehidupan mereka tidak hanya berdagang, tapi juga ada yang aktif di beberapa partai politik seperti di PDIP, GOLKAR, dan yang lainnya. Suasana kawasan pertokoan di Pengkolan pun sudah ada perubahan. Pada tahun 1960-an dominasi orang-orang Cina di kawasan perdagangan ini begitu kuat, orang Sunda atau pribumi yang memiliki toko di daerah tersebut hanya seorang yaitu toko PKS (toko pakaian) di Jalan Raya Cikuray, mulai tahun 1990-an banyak orang-orang Sunda yang memiliki toko di daerah Pengkolan, terutama di sepanjang Jalan Raya Ahmad Yani. Kebanyakan orang pribumi yang memiliki toko di pusat perdagangan Kota Garut tersebut adalah para aktivis dan simpatisan Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan keturunan aktivis SI/PSII. Berdasarkan fenomena tersebut maka penulis menyarankan secara akademis bahwa hasil penelitian dari disertasi ini dapat dijadikan pijakan awal
234 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
bagi para ilmuwan lainnya yang berminat untuk melakukan studi mengenai kehidupan etnis Cina di Kota Garut. Selanjutnya bagi Pemerintah Daerah Garut diharapkan kajian dari disertasi ini dapat menambah khazanah kepustakaan bagi sejarah sosial Garut yang sampai hari ini masih jarang ditemukan.
235 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
DAFTAR RUJUKAN A. Arsip 1. ANRI Agenda Nomor 12414/15, dalam lampiran, Besluit 15 September 1915 No.4, Koleksi Algemeen Secretarie. Algemen Verslag Van Residentie Preanger Regentschappen Over Het Jaar 1883, 1884, 1890, dan 1891, dalam Arsip Keresidenan Priangan Nomor 7/10, 7/11, 7/4, 6/16. Staatsblad van Nederlandsch-Indie No.356 : Besluit van den GouverneurGeneraal van Nederlandsch-Indie van 7 Mei 1913, No.60 Staatsblad van Nederlandsch-Indie1935, No.43 : Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie van 4 Februari 1924 Staatsblad van Nederlandsch-Indie1935, No.104 : Besluit van Gouverneurden Generaal van Nederlandsch-Indie van 12 Maart 1935, No.17 Volkstelling 1930 Deel I Inheemsche Bevolking van West Java : Census of 1930 In Netherlands India Volume I Native Population in West-Java, Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, Landsdrukkerij, 1933, Batavia. 2. Kearsipan Daerah Jawa Barat dan Kab. Garut Penduduk Menurut Ketjamatan, Kewarganegaraan dan Djenis Kelamin, Tabel.1, Propinsi Djawa Barat, Kabupaten Garut. Tabulasi Data peristiwa kerusuhan Mei 1963 di Priangan Timur Kasie Intel Korem 02/Tarumanagara Tabulasi Data peristiwa kerusuhan Mei 1963 di Garut Kasie Intel Kodim 016/Garut. Lembaran Daerah Tingkat II Garut, No.3. Tahun 1982, Seri D. No.2.Kearsipan Pemda Garut. Rencana Tata Kota Garut Kompilasi Data 1, Pemda Garut di bagian Humas Kabupaten Garut. Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Garut, No.3 Tahun 1982, Seri D, No.2.Pemda Garut di bagian Humas Kabupaten Garut. Arsip Desa Kota Kulon tahun 1960-1965 , di Kelurahan Kota Kulon, Kecamatan Garut Kota Arsip Desa Kota Wetan tahun 1960-1970, di Kelurahan Kota Wetan, Kecamatan Garut Kota
236 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
B. Sumber yang telah dipublikasikan Amanat Presiden Sukarno Pada Kongres Wanita Indonesia: Djangan Masuk Perangkap Kontra Revolusi!, Departemen Penerangan R.I. (Penerbitan Chusus), Djakarta, 1963
B. Artikel dan Berita Surat Kabar “Hadapi Masalah Tionghoa Djangan Dengan Sentimen”,dalam Merdeka , Edisi Sabtu 4 April 1959 “Indonesianisasi Usaha-Usaha di Ketjamatan dan Kewedanaan Bukan Berarti Nasionalisasi dan Bukan Peniadaan Modal asing”, dalam Merdeka, Edisi 23 Mei 1959 “Tiongkok, Nasionalisi Akan Tetap Membantah Putusan Dari I.O.C”, dalam Merdeka, Edisi 9 Juni 1959 “Pelanggaran2 Sekolah2 Nasional Asal Asing”, dalam Merdeka, Edisi 10 September 1959 “Tidak Ada Ketegangan Dalam Hubungan RI-RRT”, dalam Merdeka, Edisi 5 Oktober 1959 Dr.Subandrio, “Tentang Komunike Bersama Indonesia dan RRT”, dalam Merdeka, Edisi 22 Oktober 1959 “Kartu Penduduk masih Terus Dapat Diminta Dikeluarkan”, dalam Merdeka, Edisi 5 Nopember. “Hubungan Indonesia dan RRT (Induk Karangan)”, dalam Merdeka, Edisi Kamis 18 Nopember1959. “Duta Besar RRT Huang Chen Akan Bantu Pelaksanaan Pemindahan Orang Tionghoa”, dalam Merdeka, Edisi 18 Nopember 1959 “Pernyataan Duta Besar Huang Chen Berakibat yang sangat Serius (Utjapanutjapan Petugas Kedutaan Besar RRT Dianggap Provokatif)”, dalam Merdeka, Edisi Jumat 19 Nopember 1959i “Peraturan Presiden No.10/1959: Larangan Bagi Usaha-usaha Pedagang Ketjil Asing”, dalam Merdeka, Edisi Jumat 19 Nopember “Huang Chen (Induk Karangan), dalam Merdeka, Edisi 20 Nopember 1959 “Para Pedjabat Perwakilan RRT, Tidak Diperkenankan Masuk Djawa Barat”, dalam Merdeka, Edisi Sabtu 21 Nopember 1959 “DB. Huang Chen: Penjelasan Atas Dasar Komunike Bersama, dalam Merdeka, Edisi Sabtu 21 Nopember 1959 “Bandung Kota Tertutup”, dalam Merdeka, Edisi Sabtu 21 Nopember 1959 “Pedagang-Pedagang Etjeran Asing Ditjegah ke Djakarta”, dalam Merdeka, Edisi Sabtu 21 Nopember 1959
237 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
“DB.Huang Chen: Penjelasan Atas Dasar Komunike Bersama”, dalam Merdeka, Edisi Minggu 22 Nopember 1959 “Anggota-anggota Kedutaan RRT Dalam Waktu 24 Djam Harus Tinggalkan Djabar”, dalam Merdeka, Edisi Senin 23 Nopember 1959 “54 Pedagang Surabaja Ditahan Polisi”, dalam Merdeka, Edisi Senin 23 Nopember 1959 “Pemerintah Harapkan T’hoa Perantauan Bantu Lantjarkan Pelaksanaan P.P.No.10”, dalam Merdeka, Edisi Selasa 24 Nopember 1959 Kolonel Kosasih, “Kita Tidak Anti Bangsa Asing”, dalam Merdeka, Edisi 30 Nopember 1959 “Pemerintah Indonesia Menolak Protes RRT (Manipulasi Golongan Hoakian Mengancam Stabiliteit Ekonomi Indonesia)”, dalam Merdeka, Edisi 14 Desember 1959 “Sikap RRT Mengandung Benih-benih Bahaya yang Patut Diawasi Dengan Seksama”, dalam Merdeka, Edisi 15 Desember 1959 “Larangan Lindungi W.N.Asing”, dalam Merdeka, Edisi 15 Desember 1959 “Funksi Warung Asing di Djabar Dapat Ditampung”,dalam Merdeka, Edisi 16 Desember 1959 “Menghitung Untung Desember 1959
Rugi (Induk Karangan)”, dalam Merdeka, Edisi 17
“Kepulangan 1000 Buruh Tambang ke RRT Tak Pengaruhi Produksi Timah Indonesia (Tak Ada Hubungannja Dg Pelaksanaan P.P.No.10)”, dalam Merdeka,Selasa 22 Desember 1959 “Perekonomian Rakyat di Kalimantan Timur Dimonopoli Pedagang-Pedagang Tionghoa (Rakyat Sambut Gembira Pelaksanaan P.P.10.59)”, dalam Merdeka, Edisi Rabu 23 Desember “Harapan RI Kepada RRT”, dalam Merdeka, Edisi Rabu 23 Desember 1959 D. Bassa Pulungan, “Tindakan Nasionalisasi dan Sosialisasi Dalam Rangka Ekonomi Terpimpin (Dasar-dasar Kooperasi menjwai Perekonomian Raktjat)’, dalam Merdeka, Edisi Jumat 25 Desember 1959 “Chen Yi Tolak Protes Subandrio, Sebaliknya Minta Segera Berunding Mengenai Dwikwarganegaraan”, dalam Merdeka, Edisi Sabtu 26 Desember 1959 “Pemindahan Pedagang-pedagang Asing Dulu, Baru Bitjara Dwikwarganegaraan”, dalam Merdeka, Edisi Senin 28 Desember 1959
Soal
“Djiwa WNI Keturunan Tionghoa Harus Diretul”, dalam Merdeka, Edisi Rabu 30 Desember 1959
238 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
“Daerah Jawa Timur Dinyatakan Tertutup Bagi Semua Orang Asing (Peperda Laksanakan P.P.10.Dengan Tjara Diam)”, dalam Merdeka, Edisi 31 Desember 1959 “Pemerintah Sesalkan Terjadinya “Peristiwa Jateng dan Jabar”, dalam Warta Bakti, Edisi Minggu 12 Mei 1963. “Untuk Mencegah Terulangnya Peristiwa di Djateng dan Djabar (Pendukung Manifesto Politik PKI), dalam Warta Bakti, Edisi Minggu 12 Mei 1963. “PPMI Menyerukan Jaga Keutuhan Persatuan Revolusiner Kita, dalam Warta Bakti, Edisi Minggu 12 Mei 1963 “Sikap TNI Berkenaan Dengan Peristiwa Bandung Tidak Boleh Tinggal Diam Meskipun SOB Sudah Dicabut, dalam Warta Bakti, Edisi Senin 13 Mei 1963 “Fakta Backgground Peristiwa-Peristiwa Tegal Bandung disampaikan Kepada Wampa Chusus”, daalam Warta Bakti, Edisi Senin 13 Mei 1963. “Presiden Beri Petunjuk Cara-cara mengatasi dan menghadapi Peristiwa Bandung dan lain-lain, dalam Warta Bakti, Edisi Selasa 14 Mei 1963. “Jam Malam di Bandung dicabut, dalam Warta Bakti, Edisi Selasa14 Mei 1963. “Intruksi Menteri PTIP berkenaan dengan Peristiwa Bandung”, dalam Warta Bakti, Edisi Selasa 14 Mei 1963 “Sudah 200 orang ditahan, Polisi diperintahkan bertindak tegas”, dalam Warta Bakti, Edisi Rabu 15 Mei 1963 “Jangan Mudah Terpengaruh Tiupan-Tiupan Sentimen, dalama Warta Bakti, Edisi Jum’at 17 Mei 1963 “Pengrusakan-Pengrusakan di Bogor dilaporkan ke Istana”, dalam Warta Bakti, Edisi Sabtu 18 Mei 1963 “Peristiwa Tjirebon, Tegal Dan Bandung Menjalar ke Tjithurug, Polisi Mulai Ambil Tindakan Tegas, Jang Lakukan Pengrusakan di Bogor dan Tasikmalaya Ditangkapi”, dalam Duta Masjarakat, Edisi Sabtu 18 Mei 1963 “Garut Rusak Djuga”, dalam Duta Masjarakat, Edisi Minggu 19 Mei 1963 “Rasialisme adalah Gerakan Kontra Revolusi, dalam Warta Bakti, Edisi Minggu 19 Mei 1963 “Presiden Soekarno : Subversi Asing Ikut Dalam Pengatjauan-Pengatjauan Rasialis”, dalam Harian Rakyat, Edisi Minggu 19 Mei 1963. “Keterangan Pers Ketua CC. PKI. D.N.Aidit : Bung Karno dan Rakjat Lebih Kuat Bersatu dan Lebih Kuat”, dalam Harian Rakyat, Edisi Minggu 19 Mei 1963. “Presiden Soekarno : Ganjang Rasialisme”, dalam Harian Rakyat, Edisi Minggu 20 Mei 1963
239 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
“Bekerjalah seperti Biasa dan Tetap Tenang, dalam Warta Bakti, Edisi Selasa 21 Mei 1963 “Kita Harus Selamatkan Djiwa Tunas Muda Dan Sendi2 Kehidupan Ekonomi, Evaluasi Gubernur Djabar Tentang Peristiwa Di Tasik dan Garut” dalam Duta Masjarakat, Edisi Selasa 21 Mei 1963 “Garut & Tasik Riots More Destructive”, Say Governor Mashudi, dalam Antara, Edisi Selasa 21 Mei 1963 “Demonstran Merusak Alat Produksi’, dalam Duta Masjarakat, Edisi Selasa 21 Mei 1963 “Fakta Background Peristiwa Tegal Bandung Disampaikan Kepada Wampa Khusus”, dalam Warta Bhakti, Senin 13 Mei 1963 “Pengrusakan2 Terjadi Djuga Di Sukabumi, Tjibadak Dan Lain2 Tempat Lagi”, dalam Duta Masjarakat, Edisi Selasa 21 Mei 1963 “Sekitar Peristiwa “10 Mei” Bandung (Penjelasan Kapten CKH.Supolo)”, dalam Merdeka, Edisi Selasa 21 Mei 1963 “Komisi Pembangunan C.MPRS menghendaki: Presiden Supaya Segera Beri Intruksi Kepada Alat Negara Untuk Atasi Gerakan Pengrusakan, dalam Warta Bakti, Edisi Rabu 22 Mei 1963 “Anti Manipol”, dalam Merdeka, Edisi Sabtu 25 Mei 1963 “Lawan Kontra Revolusi”, dalam Merdeka, Edisi Sabtu 25 Mei 1963 “Akibat Peristiwa Pengrusakan di Jawa Barat Amat menyedihkan”, dalam Warta Bakti, Edisi Minggu 26 Mei 1963. DN. Aidit, “Anti Soekarno, Tionghoa dan Komunis Adalah Gerakan-Gerakan dan Tindakan Kontra Revolusioner”, dalam Merdeka, Edisi Senin 27 Mei 1963 “Bupati Kepada Garut : Hati-hati Djangan Kena Provokasi Djangan Menarik Keuntungan, Tionghoa akan Balas Dengan Baik”, dalam Pikiran Rakyat, Edisi Selasa 28 Mei 1963 “Dari Sidang DPRD-GR DT II Garut: Peristiwa 17 Mei di Garut Menampar Muka Sendiri? LK 3500 Buruh Kini djadi Nganggur”, dalam Pikiran Rakyat”, Edisi 1 Juni 1963 “Kabupaten Garoet Tempo Doeloe”, dalam Bandung Pos,1978 C. Majalah dan Koran - Harian Pikiran Rakyat, Edisi April-Desember 1959 - Harian Warta Bakti, Edisi April-Desembe 1959 - Harian Warta Bakti, Edisi Mei-Juni 1963 - Harian Merdeka, Edisi Maret-Desember 1959 - Harian Pikiran Rakyat, Edisi Mei-Juni 1963
240 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
-
Duta Masyarakat,Edisi April-Juni 1963 Harian Rakyat, Edisi Mei 1963 Harian Umum, Edisi Mei 1963 Antara, Edisi Mei 1963 Harian Abadi, Edisi Mei-Juni 1963 The Garoet Express, 1922-1923
D. Sumber Lisan Amir Syarifudin (75 tahun, saksi sejarah dan pendiri PII Garut 1960), Wawancara, tanggal 4 Januari 2010 di Garut. Ahin (78 tahun, saksi sejarah), Wawancara pada tanggal 18 Oktober 2011. Adnan (75 tahun, pelaku, aktifis PII Garut, eksponen Angkatan 66), Wawancara, tanggal 25 Februari 2013 Aban Yusuf (90 tahun, saksi sejarah, mantan anggota Hizbullah dan anggota DI/TII), Wawancara, tanggal 12 Oktober 2011 di Garut Amung (77 tahun, korban kerusuhan), Wawancara pada tanggal 3 Maret 2013 Anshorullah (73 tahun, saksi sejarah, aktivis PII Garut 1960-1966), Wawancara, tanggal 14 Januari 2010 di Garut Ayun (73, saksi sejarah, mantan Guru SMPN-1 Garut di Jl.Ahmad Yani Garut), Wawancara, tanggal 9 Maret 2012 di Garut Aang (72 tahun, saksi sejarah, mantan tim pengaman kerusuhan Mei 1963 dari Kejaksaan Negeri Garut), Wawancara, tanggal 21 Maret 2012 di Garut Atji En (85 tahun, saksi sejarah, pemilik toko EN Garut), Wawancara pada tanggal 10 April 2014 Anda (74 tahun, pelaku), Wawancara pada tanggal 9 April 2014 Ahman (87 tahun, saksi sejarah), Wawancara pada tanggal 23 Februari 2012 Ajum (73 tahun, pelaku), Wawancara pada 18 Maret 2014 Ade Jamhur (72 tahun, pelaku) , Wawancara pada tanggal 28 Juni 2012 Chung Ken (71 tahun, korban kerusuhan, Pedagang di Jl.Ciwalen Garut), Wawancara, tanggal 29 Februari 2010 di Garut Chen Yung Siang (82 tahun, korban), Wawancara pada tanggal 12 Desember 2011 Cham Kum Liem (83 tahun, saksi sejarah), Wawancara, tanggal 20 Januari 2012 di Garut. Chu Ming (71 tahun, korban, pedagang di Jl. Cimanuk Garut), Wawancara, tanggal 24 April 2012 di Garut Char Lie (70 tahun, korban kerusuhan, Pedagang di Jl. Pasar Baru Garut), Wawancara, tanggal 26 Desember 2011 di Garut Deden (73 tahun, pelaku), Wawancara pada tanggal 5 April 2012 Endik (73 tahun, pelaku, aktivis PII Garut), Wawancara, tanggal 25 Februari 2010 di Garut Giom Suarsono (74 tahun, pelaku, tokoh PII Garut, dan Ketua KAPPI), Wawancara, tanggal 14 Januari 2010 di Garut Hasan (69 thun, pelaku, aktivis SEPMI Garut), Wawancara, tanggal 6 Juli 2010 Halim, KH (76 tahun, saksi sejarah), Wawancara pada tangga 7 Mei 2010
241 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Imid (80 tahun, mantan Guru PGA Muhamadiyah Garut), Wawancara, tanggal 5 Januari 2012 di Garut Iyo (74 tahun, pelaku), Wawancara pada tanggal 21 Maret 2014 Isung (76 tahun korban kerusuhan, pedagang di Jl.Ahmad Yani Garut), Wawancara, tanggal 13 September 2011 di Garut Jojo Sukardjo (70 tahun, pelaku, anggota PII), Wawancara, tanggal 4 Januari 2010 di Garut. Latifah (70 tahun, pelaku kerusuhan), Wawancara, tanggal 15 Maret 2010 di Garut Lili (74 tahun, saksi sejarah, mantan Anggota DI/TII), Wawancara, tanggal 17 Desember 2011 di Garut Latiwan (75 tahun, korban kerusuhan), Wawancara, tanggal 21 Juni 2012 Misbah (72 tahun, pelaku, tokoh PII Garut), Wawancara, tanggal 14 Januari 2010 di Garut. Maman (70 tahun, pelaku kerusuhan), Wawancara, tanggal 5 Januari 2010 di Garut Ming Ming (71 tahun, korban kerusuhan, Pedagang di Jl.Pasar Baru Garut), Wawancara, tanggal 9 Oktober 2011 di Garut Mei Ling (73 tahun, saksi sejarah), Wawancara, tanggal 13 September 2013 Mukarom (73 tahun, pelaku, aktivis PII, mantan Komendemen NII Wilayah VII), Wawancara, tanggal 17 Desember 2011 di Garut M.Kawakibi (74 tahun, pelaku), Wawancara pada tanggal 23 Agustus 2011 Me Hoa (75 tahun, korban kerusuhan, pedagang di Jl.Ahmad Yani Garut), Wawancara, tanggal 4 Februari 2010 di Garut Momod (89 tahun, saksi sejarah), Wawancara pada tanggal 23 Februari Muhtar Gazali (89 tahun, saksi sejarah), Wawancara pada tanggal 21 Juni 2012 Peng Wan (70 tahun, saksi sejarah, pengurus Kelenteng Garut), Wawancara, tanggal 23 Nopember 2011 di Garut Popon (74 tahun,saksi sejarah), Wawancara pada tanggal 22 Februari 2012 Sasa (81 tahun, saksi sejarah), Wawancara pada 2 Maret 2012 Sinti Sen (76 tahun korban kerusuhan, pedagang di Jl.Ahmad Yani Garut), Wawancara, tanggal 7 April 2011 di Garut Siradz (88 tahun, mantan anggota Hizbullah Diponegoro), Wawancara, tanggal 14 April 2008 Suyud (74 tahun, saksi sejarah, ketua PITI Garut), Wawancara, tanggal 29 Maret 2010 Tarman (77 tahun, pelaku), Wawancara pada tanggal 21 Maret 2011 Tang Cien Niang (75 tahun, korban kerusuhan), Wawancara pada tanggal 12 Desember 2011 Tong Liang Tjiang (74 tahun, korban kerusuhan, ketua INTI Garut), Wawancara, tanggal 4 Februari 2010 di Garut. The Keng Hock (74 tahun, korban kerusuhan, pedagang di Pasar Baru Garut), Wawancara, tanggal 12 Maret 2010 di Garut Tien Liep Kie (73 tahun, korban kerusuhan, pedagang Arloji di Jl.Ahmad Yani Garut), Wawancara, tanggal 20 Januari 2012 di Garut.
242 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Tj’ong Tjap Sin (70 tahun, korban kerusuhan, pedagang di Jl.Ahmad Yani Garut), Wawancara, tanggal 20 April 2012 Tjing Tjiap Sin (76 tahun, saksi sejarah), Wawancara, tanggal 21 Juni 2012 Utomo Danenjaya (78 tahun, pelaku), Wawancara pada tanggal 25 Agustus 2012 Yayat Rukhiyat (69 tahun, saksi sejarah, aktivis SEPMI 1962), Wawancara, tanggal 8 Januari 2010 di Garut. Yayah (70 tahun, pelaku kerusuhan), Wawancara, tanggal 15 Maret 2010 di Garut Yosep Juanda (72 tahun, saksi sejarah, aktivis PII Garut), Wawancara, tanggal 4 Januari 2010 di Garut. Yati Sukarna ND (70 tahun, pelaku, anggota PII, eksponen Angkatan 66), Wawancara, tanggal 4 Januari 2010 di Garut.
E. Catatan Pribadi Saksi dan Pelaku Sejarah Catatan Pribadi Ust.Sirazd (tokoh PSII Garut) tentang Perjuangan Ummat Islam di Garut dari tahun 1945-1998. Catatan Pribadi Misbah (pelaku sejarah) tentang aktifitasnya di PII sejak tahun 1963 sampai tahun 1966.
F. Buku, Disertasi dan Makalah 1. Buku Abdullah, Taufik dan Absdurachman Surjomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historigrafi, Arah dan Perspektif, Kerjasama Gramedia, YIIS dan Leknas LIPI, 1985 Abdullah, Taufik, “Ke Arah Sejarah Pemikiran Islam di Asia Tenggara: Sebuah Pelancongan Bibliografis”, dalam Jurnal Sejarah: Pemikiran rekontruksi, Persepsi, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan Gramedia , Jakarta, 1994 Abu Bakar Jabir al-Jazairiyyi, Minhajul Muslim : Kitab aqa’id wa adab wa akhlaq wa ibadaat wa mu’amalat, Maktabah al-Ulum wal Hukmi alMunawwaroh, Beirut, 2203 Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, Prestasi Insan Indonesia, Jakarta, 2000 Achmad Habib, Konflik Antara Etnik Di Pedesaan, Pasang Surut Hubungan Cina-Jawa, Lkiss, Jogjakarta, 2004 Ahmad Zacky Siradj, Jendela Masa Depan, Pengkaderan, Kaum Terpelajar dan Kebangsaan, Aliansi Kebangsaan, Jakarta, 2013 Andreas Padede dkk, Antara Prasangka dan Realita, Telaah Kritis Wacana Anti Cina di Indonesia, Pustaka Inspirasi, Jakarta, 2002 Anne Booth, Sejarah Ekonomi Indonesia, alih bahasa Joebhaar, LP3ES, Jakarta, 1988 Anne Booth dan Peter McCawley, Ekonomi Orde Baru, alih bahasa Boediono, LP3ES, Jakarta, 1982 Asep Achmad Hidayat, Filsafat Bahasa,Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, Rosdakarya, Bandung, 2006 ___________________, Konflik Dalam Masyumi (1947-1950), Pusat Penelitian IAIN Bandung, Bandung, 1996 243 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
___________________, Gerakan Tarekat Tijaniyah Di Jawa Barat : Rekonstruksi Ajaran Tasawuf dan Perkembangan Tarekat Syeikh Ahmad Tijani di Garut 1935-1949, Lembaga Penelitian UIN Bandung, Bandung, 2012 Azyumardi Azra, Perkembangan Modern Dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1985 Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Elkasa, Jakarta, tth. Bayu Surianingrat, Pustaka Kabupaten i Bhumi Limbangan Dong Garut, Bandung 1985 Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Garut, Indikator Makro Kabupaten Garut Tahun 2010, Garut 2010 Budi Rahayu, Kamus Lengkap Bahasa Sunda-Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 1996 BAKIN, Pedoman Penyelesaian Masalah Cina di Indonesia, Buku 2, Badan Koordinasi Masalah Cina, BAKIN, Jakarta, 1980 Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, 1978 C. A. Coppel, Indonesian Chinese ini crisis, Oxford University Press, Kuala Lumpur ,1983 C.A. Coppel, Studying ethnic Chinese in Indonesia, Singapore Society of Asian Studies, Singapore ,2002 Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa, Mizan, Bandung, 1993 DPC Syarikat Islam Indonesia, Sejarah Perjuangan PSII Garut, Naskah Alit, tth Dede Oetomo, Penggunaan dan Fungsi Bahasa Jawa pada golongan Etnis Tionghoa, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Yogyakarta, 1985 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1988. Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat, Cuplikan Sejarah Perjuangan TNIAngkatan Darat, Dinas Sejarah Militer TNI-Angkatan Darat, Bandung, 1972 Edi Eka Jati, Sejarah Lokal Jawa Barat, Internusa, Bandung, 1992 Gunawan, “Reaksi Subjektif Terhadap Kata Cina dan Tionghoa : Pendekatan Sosiologi Bahasa”, dalam I. Wibowo, Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalaha Cina, Gramedia, Jakarta, 1999. Hari Poerwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang, Komunitas Bambu, Depok, 2005 Harold R.Issacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis : Identitas Kelompok dan Perubahan Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993 Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Penerbit Ombak, Jogyakarta, 2007 Hidayat, Z.M, Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia, Tarsito, Bandung, 1993 Horoko Horikoshi, Kiyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987 HOS Omar Tjokroaminoto, Tafsir Program Azas dan Program Tandhim, DPPPSII, Jakarta, 1934 ______________________, Sosialisme Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1964
244 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
I.Wibowo, Harga Yang Harus Dibayar: Sketsa Pergulatan Etnis Cina di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2001 -------------, Merangkul Cina: Hubungan Indonesia Cina Pasca-Soeharto, Gramedia, Jakarta, 2009 ________, Retrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina, Gramedia, Jakarta, 1999. Ibnu Qayyim, Al-Ahkam Ahlu adzdimmah, Darul Ilmu Malayin, Beirut, tth Ikyan Badruzaman, Pemikiran dan Perjuangan KH. Badruzaman, Zawiyah Tijaniyah, Garut, 2007 IAIN SGD Bandung, Perjuangan dan Pemikiran KH.Anwar Musaddad, IAIN SGD Bandung, 1986 Karal D.Jacson, Kewibawaan Tradisional, Islam, dan Pemberontakan, Kasus Darul Islam Jawa Barat, Grafiti, Jakarta, 1990 Kunto Sofianto, Garoet Kota Intan: Sejarah Lokal Kota Garut Sejak Zaman Kolonial Belanda Hingga Masa Kemerdekaan, Alqoprin Jatinagor, Sumedang, 2001 ____________, Kehidupan Kelompok Etnis Cina, Arab, dan Pakistan di Kota Garut 1950-1990, Unpad, Bandung, 1991 Karel A.Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19, Bulan Bintang, Jakarta 1984 Leo Suryadinata, Eminent Indonesian Chinese : Biographical Sketches, Gunung Agung Singapore, Singapore, 1981 Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa, LP3ES, Jakarta, 1999 Leo Suryadinata, Politik Peranakan di Jawa, Pustakan Sinar Harapan, Jakarta,1986 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2002 Melly G. Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta ,2008 Liem Twan Djie, Perdagangan Perantara Distribusi Orang-orang Cina di Jawa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995 M. Rusli Karim, Dinamika Islam di Indonesia : Suatu Tinjauan Sosial dan Politik, Hanindita, Yogyakarta, 1985 M. Iskandar, Para Pengemban Amanah (Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950), Matabangsa, Yogyakarta, 2001. Onghokham, Anti Cina Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina : Sejarah Etnis Cina di Indonesia, Komunitas Bambu, Depok, 2008. _________, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Komunitas Bambu, Depok, 2005 P. Harioyono, Kultur Cina dan Jawa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993 Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, alih bahasa oleh Alimandan, Prenada Media Group, Jakarta, 2004. Panitia Silaturahmi ke-2 Yayasan Keluarga Normaalschool 1982. Buku Kenangkenangan Bekas Siswa Normaalschool Seluruh Jawa Barat dan DKI Jakarta Tanggal 14 Maret 1981
245 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Panitia Silarahmi ke-1 Yayasan Yahua 2002, Buku Kenang-Kenangan Alumni Sekolah Chunghua Chunghui , Garut, 2002 _____________________________________, Buku Kenang-Kenangan Alumni Sekolah Chunghua Chunghui, Garut, 2007 _____________________________________, Buku Kenang-Kenangan Alumni Sekolah Chunghua Chunghui, Garut, 2008 Pemda Garut, Rencana Garis Besar Tata Kota Garut I Tahun 1974-2000, tt. Ridwan Saidi, Pemuda Islam Dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, Rajawali, Jakarta, 1984 Siswono Yudo Husodo, Warga Baru: Kasus Cina di Indonesia, Yayasan Padamu Negeri, Jakarta, 1985 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993 Selo Soemardjan, Gerakan Mei 1963 di Sukabumi, Erisco, Bandung, 1963) Siaum Giok Tjhan, Lima Jaman : Perwujudan Integrasi Wajar, Yayasan Teratai, Jakarta, 1981 Sumanto Al-Qurthubi, Arus Cina Islam Jawa, Ahimskarya Press, Jogjakarta, 2003 Neil J.Smelser, The Theory of Collective Behavior, Routledge & Keegan Paul Publishing, London, 1970. Sulaiman Anggapradja, Sejarah Garut dari Masa ke Masa, Pemda DT II Garut, tth. Sachiko Murata, The Tao of Islam, State University of New York Press, New York, 1992 Tatang Sumarsono, Maher Basa Sunda (Pangdeudeul Pangajaran Basa Sunda), Geger Sunten, Bandung, 1995 Uberto Eco, Interpretation and Overinterpretation, Cambridege Univ.Press, Melbourne, 1996 Van Dijk, C, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1983 Yohannes Theodorus Vermeulen, Tionghoa Di Batavia dan Hura-Hara 1740, alih bahasa oleh Gatot Triwira, Komunitas Bambu, Depok, 2010. Yozar Anwar, Protes Kaum Muda, Variasi Jaya, Jakarta, 1982 Yusiu Liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina : Sebuah Intisari, Jambatan, Jakarta, 2000 Yunus Yahya, Masalah Tionghoa di Indonesia, Asimilasi VS Integrasi, Penerbit Lembaga Pengkajian Pembauran, Jakarta, tth, Willmott, Donald Earl, The Chinese of Semarang – A Changing Minority Community in Indonesia, Cornell University Press, Ithaca and London, 1970 Warjita, KH.Mustafa Kamil Bapak Pejuang Garut, Pemerintah Kabupaten Garut Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Garut, 2007
246 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
2. Disertasi Agus Mulyana, Melintasi Pegunungan, Pendataran, Hingga Rawa-rawa; Pembangunan Kereta Api di Priangan 1878-1924, Program Studi Sejarah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Tahun 2005 Ernawati, Cina Padang Dalam Arus Dinamika Masyarakat Minangkabau 19452006, Program Studi Sejarah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Tahun 2011 Gian Kartasasmita, Peristiwa Mei 1998 : Penelitian Tentang Kekerasan Terhadap Etnis Tionghoa di Kawasan Glodok, Jakarta Barat, Program Studi Sejarah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Tahun 2011 3.Makalah Agus Mulyana, Kuli dan Anemer : Keterlibatan Orang Cina Dalam Pembangunan Jalan Kereta Api di Priangan (1878-1924), Disajikan dalam “Konferensi Nasional Sejarah Ke VIII, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jakarta, 13-16 November 2006. Sukarna ND, Memoria Aksi KAPPI di Garut 1966, Disajikan dalam diskusi Keluarga Besar Alumni Pelajar Islam Indonesia (KBA PII) pada tanggal 4 Mei 1998. Usman Arifin, Konfusianisme dan Etika Bisnis, Disajikan dalam “Seminar Sehari, Departemen Studi Cina, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Indonesia, pada tanggal 25 April 2013
247 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Lampiran 1
Foto 1
Sumber
: Hotel Papandayan pada masa Kolonial, pada tahun 1930-an. Berlokasi di Jl. Ranggalawe, 75 meter arah selatan dari Pemukiman etnis Cina di daerah Pengkolan. Sekarang berubah nama menjadi Hotel Pamili. : Kunto Sofianto
248 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 2
Sumber
: Toegoe di Alun-alun Garut pada tahun 1960-an, terletak di sebelah barat Pengkolan (pusat kota dan pusat perdagangan). Di bawah pepohonan dekat tugu alun-alun tersebut para aktifis pemuda sering bertemu untuk membicarakan persiapan gerakan beset Cina. : Kunto Sofianto
249 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 3
Sumber
: Jalan Rumah Sakit pada masa Kolonial, merupakan salah satu daerah pinggiran Kota Garut, jaraknya kurang lebih satu kilo meter dari Pengkolan, daerah peristiwa kerusuhan anti Cina 17-18 Mei 1963 : Kunto Sofianto
250 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 4
Sumber
: Rumah Tinggal Bupati dan Pendopo pada masa Kolonial di sebelah barat Pengkolan (daerah pemukiman etnis Cina), berhadapan langsung dengan alun-alun Garut. : Kunto Sofianto
251 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 5 Sumber
: Jalan Pasar Baru (salah satu tempat aktifitas Berdagang Cina Garut ) pada masa kolonial : Pemda II Garut
252 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 6
Sumber
: Suasana Jalan Talaga Bodas (Pengkolan, Sekarang : Jl. A.Yanin, salah satu lokasi pertokaan milik orang-orang Cina Pada masa Kolonial ) : Kunto Sofianto
Keterangan: Sebelum menjadi Jalan Talaga Bodas dan Jalan Ahmad Yani, pada awal abad ke20 jalan tersebut disebut “Societeit Straat, lihat Kaart van De Kota Garut in het Jaar 1895
253 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
: Jalan Stasion-Road to the Station-Garoet pada masa Kolonial (merupakan daerah pemukiman Belanda, berjarak 40 meter dari pemukiman orang-orang Cina), sekarang menjadi Jl.Veteran. Sumber : Kunto Sofianto
Foto 7
254 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 8
Sumber
: Kantor Goebernoer pada tahun 1960-an, salah satu bangunan peninggalan kolonial Belanda, letaknya bersembrangan dengan Pendopo Kabupaten Garut, di sebelah barat Pengkolan : Kunto Sofianto
255 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 9 Sumber
: Chif Bisnis Street, 1924, salah satu jalan menuju Pengkolan : Arsip Daerah Kabupaten Garut
256 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 10 Sumber
: Mesjid Agung Garut, 1900-1926 : Arsip Daerah II Garut
257 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 11 Sumber
: Pabrik Tenun Garut (PTG) pada tahun 1960-an, sekarang Pusat Belanja Ramayana : Pusat Informatika Garut
258 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 12
Sumber
: Lokomotip uap dibuat tahun 1924, difoto di station Cibatu Garut sekitar tahun 1980-an oleh turis Belanda. Locomotive uap CC 5012 Mallet saat itu melayani jurusan Cibatu-Garut-Cikajang. Kereta api ini salah satu kendaraan yang digunakan masa aksi 1963 dari daerah Malangbong, Cikajang, dan Cibatu : http/arumsekartaji,files.wordpres.com/2011
259 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 8
Sumber
: Kereta api uap trayek Cibatu-Garut-Cikajang sedang melintas saat hendak masuk stasiun Cikajang Garut, alat transportasi yang digunakan kelompok masa aksi 1963 dari Malangbong, Cibatu, dan Cikajang : http/arumsekartaji,files.wordpres.com/2011
260 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 12 : Stasion Cibatu, Lokomotif Pak Sngok tahun 1960-an. Sumber : http/arumsekartaji, files.wordpres.com/2011
261 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 14 Sumber
: SD/SMP Daya Susila 1960-1980-an, salah satu sekolah keturunan Cina Garut pro-Taiwan : Koleksi Charlie
262 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 15 Sumber
: Alun-alun Garut tahun 1960-an : Blogs, Unpad.
263 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 16 Sumber
: Guru-guru Sekolah Rakyat Daya Susila 1960-an : Koleksi Charlie & Icang
264 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 17 Sumber
: Sekolah Tionghoa Garut tahun 1959-1963 : Koleksi Charlie
265 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 18 Sumber
: Sekolah Tionghoa Garut tahun 1960-an di Jl. Gunung Payung : Koleksi Tien Liep Kie
266 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 19 Sumber
: Sekolah Tionghoa tahun 1907, di Jl. Ahmad Yani : Koleksi Tien Liep Kie
267 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 21 Sumber
: Bioskop Chunghua (Sumber Sari) tahun 1960-an di Jl.A.Yani : Koleksi Tien Liep Kie
268 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 22 Sumber
: Biskop Sumbersari tahun 1967, di Jl.Ahmad Yani : Koleksi Tien Liep Kie
Keterangan: Sebelumnya adalah Bioskop Chunghua, kemudian setelah ditutup oleh KAPPI/KAMMI tahun 1966 dan diambil alih oleh Korem Garut, bioskop tersebut dirubah namanya menjadi “Sumbersari”.
269 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 23 Sumber
: Foto Bersama Guru Sekolah THKK Garut 1960 : Koleksi Tien Liep Kie
270 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Fotto 24 : Foto bersama siswa sekolah Tionhoa tahun 1962 Sumber : Koleksi Tien Liep Kie
271 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Jl.Utama Kota Garut tahun 1936 : http://wikipedia.0rg/w/index.php/ dan dinas informatika Sumber Kabupaten Garut.
272 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 25 Sumber
: Daftar Nilai Sekolah Tionghoa tahun 1959 : Koleksi Tien Liep Kie
273 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Fotto 26 Sumber `
: Daftar Nilai Sekolah Tionghoa (THKK) Garut 1959 : Koleksi Tien Liep Kie
274 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 27 Sumber
: Siswa THKK sedang Senam Pagi tahun 1962 : Koleksi Tien Liep Kie
275 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 28 Sumber
: Kegiatan Kepanduan Sekolah THKK Garut tahun 1962 : Koleksi Tien Liep Kie
276 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 29 Sumber
: Foto Bersama Murid dan Guru Sekolah THKK Garut 1963 : Koleksi Tien Liep Kie
277 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 30 Sumber
: Tarian Siswa Sekolah THKK dalam Memperingati HUT RRC 1962 : Koleksi Charlie
278 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 31 Sumber
: Tarian Siswa Sekolah THKK Garut Dalam Memperingati HUT RRC 1962 : Koleksi Tien Liep Kie
279 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 32 Sumber
: Tarian Siswa Sekolah THKK dalam Memperingati HUT RRC 1962 : Koleksi Charlie
280 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 33 Sumber
: Karnaval Anak-anak Muda Tionghoa Dalam HUT RRC 1962 : Koleksi Charlie
281 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 34 Sumber
: Tarian memperingati HUT RRC tahun 1962 : Koleksi Tien Liep Kie
282 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 35 Sumber
: Karnaval orang Tionghoa merayakan HUT RRC 1962 : Koleksi Tien Liep Kie
283 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 36 Sumber
: Tarian Bersama anak-anak muda Tionghoa tahun 1962 : Koleksi Tien Liep Kie
284 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 37 Sumber
: Paduan Suara Siswa THKK tahun 1962 : Koleksi Tien Liep Kie
285 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 39 Sumber
: Orang-Orang Tionghoa Garut Sedang Latihan Wala di Alun-alun Garut tahun 1962 : Koleksi Charlie
286 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 40 Sumber
: Kerusaakan akibat aksi rasialis anti Cina 1963 di Jl. Guntur : Koleksi Sulaiman Anggapradja dan Kunto Sofianto
287 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 41 Sumber
: Kerusakan akibat anti Cina di Pasar Darekdok 1963 : Koleksi Sulaiman Anggapradja dan Kunto Sofianto
288 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 42 Sumber
: Kerusakan akibat anti Cina (1963) di Jl. Ahmad Yani : Koleksi Sulaiman Anggapradja dan Kunto Sofianto
289 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 43 Sumber
: Aksi rasialis anti-Cina tanggal 17 dan 18 Mei 1963 di Jl.Ciledug dan Jl. Ahmad Yani. : Koleksi Sulaiman Anggapradja dan Kunto Sofianto
290 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 44
Sumber
: Presiden Soekarno sedang memeriksa bariasan pengibar bendera tahun 1962 di depan Pendopo, dekat Babancong Alun-alun Garut (tempat pertemuan rutin aktifis ormas kepemudaan Islam, penggerak kerusuhan Mei 1961). : Kunto Sofianto
291 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 45
Sumber
: Presiden Soekarno sedang berpidato di atas Babancong Alun-alun Garut 1959 (tempat rutin kelompok pemuda aktifis ormas kepemudaan Islam, penggerak kerusuhan Mei 1961), di sebelah barat pusat kota (Pengkolan). : Koleksi Kunto Sofianto
292 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 46 Sumber
: Foto bersama siswa THKK (Chunghua) dengan Guru 1960 : Koleksi Charlie
293 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 47 Sumber
: Bangunan Warna Biru adalah Toko Chentok di Pengkolan (Jl.A.Yani/Jl.Ciledug), toko ini sudah ada sejak tahun 1950 : Koleksi Pribadi
294 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 48 Sumber
: Salah toko milik orang Cina di Jl. A.Yani, sudah ada sejak 1960-an : Koleksi pribadi
295 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 49 Sumber
: Salah satu bangunan toko milik orang Cina sejak tahun 1960 di Jl. Mandalagiri. : Koleksi Pribadi
296 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 50 Sumber
: Bangunan milik Nyonya Liangkeng di Jl. Liangkeng (Ciwalen) yang berada sejak tahun 1956 : Koleksi pribadi
297 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 51 Sumber
: Bangunan toko Peninggalan milik Ny.Liangkeng : Koleksi pribadi
298 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 52 Sumber
: Makam Tjie Hway Sing 1934 di Santiong : Koleksi pribadi
299 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 53 Sumber
: Makam Tjhie Hway Sing 1934 di Santiong : Koleksi Pribadi
300 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 54 Sumber
: Kuburan Cina Santiong Sejak Jaman Kolonial : Koleksi pribadi
301 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 55 Sumber
: Kuburan Cina di Santiong Sejak Jaman Kolonial : Koleksi Pribadi
302 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 56 Sumber
: Ruangan tengah Klenteng Garut : Koleksi pribadi
303 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 57 Sumber
: Ruangan Tengan Klenteng Garut : Koleksi pribadi
304 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 58 Sumber
: Patung Kwan im di salah satu ruangan Klenteng Garut : Koleksi pribadi
305 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 59 Sumber
: Patekong Dewa Rezeki di ruangan Klenteng Garut : Koleksi pribadi
306 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 60 Sumber
: Patung Maung Siliwangi di dalam altar Kelenteng Garut, salah satu pengaruh kepercayaan lokal terhadap orang Cina : Koleksi pribadi
307 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 61 : Patekong Ma Cho Pho di altar Klenteng Garut Sumber : Koleksi pribadi
308 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 62 : Patekong Dewa Lam Kek Siang Kong Sumber : Koleksi pribadi
309 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 63 Sumber
: Sesajen pada embah Djugo, salah satu pengaruh kepercayaan lokal : Koleksi pribadi
310 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 64 : Salah satu ruang altar klenteng Garut Sumber: Koleksi pribadi
311 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 65 : Foto Budha Sidarta Gautama di salah satu altar Klenteng Garut Sumber : Koleksi pribadi
312 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 66
:
Sumber :
Bangunan Peninggalan Belanda di Jl.Pramuka, sebelah utara alun-alun Garut, dan sebelah barat pemukiman Cina, sekarang kantor Kecamatan Garut Kota Koleksi pribadi
313 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 67 Sumber
: Bangunan Kelenteng Hok Liong Bio, di Jl.Guntur. : Koleksi pribadi
314 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 68 Sumber
: Bangunan peninggalan Belanda, di Jl.Bank, sebelah barat pemukiman Cina (Pengkolan, pusat kota) : Koleksi pribadi
315 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 69 Sumber
: Bangunan Peninggalan Belanda, di sebelah barat pusat kota. : Koleksi pribadi
316 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 70 Sumber
: Toko milik Ny Liang Keng, Di Jl.Nyonya Liangkeng (Ciwalen) : Koleksi pribadi
317 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 71 Sumber
: Bangunan Ruko Peninggalan orang-orang Cina pada zaman Orla Di Jl.Guntur : Koleksi pribadi
318 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Foto 72 : Gambar aksi anti Cina di Priangan 1963 Sumber : Warta Bhakti
319 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Lampiran 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1958 Tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia Dan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Soal Dwikewarganegaraan : Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 2 TAHUN 1958 (2/1958) Tanggal: 11 JANUARI 1958 (JAKARTA) Sumber: LN 1958/5 Tentang: PERSETUJUAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MENGENAI SOAL DWIKEWARGANEGARAAN Indeks: REPUBLIK INDONESIA. REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK. DWIKEWARGANEGARAAN. Presiden Republik Indonesia, Menimbang : Bahwa perlu perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok mengenai soal dwikewarganegaraan disetujui dengan undang-undang. Mengingat : a. Pasal XIV perjanjian tersebut b. Pasal-pasal 89 dan 120 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. c. Undang-undang REFR DOCNM="57uu029">No.29 tahun 1957 (Lembaran-Negara tahun 1957 No.101). Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERSETUJUAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK MENGENAI SOAL DWIKEWARGANEGARAAN. Pasal 1. Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok mengenai soal dwikewarganegaraan
320 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
tertanggal 22 April 1955, termasuk pertukaran nota antara Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Perdana Menteri Chou En Lai tertanggal Peking 3 Juni 1955, yang salinannya dilampirkan pada undangundang ini, dengan ini disetujui. Pasal 2. Perjanjian tersebut di atas mulai berlaku pada tanggal penukaran surat-surat pengesahan yang akan dilangsungkan di Peking. Pasal 3. Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 1958 Pejabat Presiden Republik Indonesia ttd. SARTONO Menteri Luar Negeri, ttd. SUBANDRIO. Diundangkan pada tanggal 27 Januari 1958. MENTERI KEHAKIMAN, ttd. G.A. MAENGKOM. Sesuai dengan yang asli, SEKRETARIS PRESIDEN.
321 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Lampiran 3
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan Indonesianisasi usaha-usaha perdagangan pada umumnja dan sosialisasi aparatur distribusi pada chususnja, sesuai dengan program perkembangan usaha-usaha nasional dan dengan program Kabinet Kerdja dianggap perlu menetapkan peraturan tentang usaha-usaha perdagangan ketjil/etjeran bangsa asing; b. bahwa perlu diambil langkah-langkah jang konkrit kearah pelaksanaan politik, sebagaimana digariskan dalam Amanat Presiden pada hari peringatan ulang-tahun ke-XIV Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1959, mengenai dimobilisirnja modal dan tenaga jang bertjorak progressif dan jang akan diikutsertakan dilapangan pembangunan; Mengingat: 1. 2. 3. 4.
pasal 4 ajat (1) Undang-undang Dasar; Bedrijfsreglementerings-Ordonnantie 1934; Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1957; Surat Keputusan Bersama Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan No. 2077/M/Perind.⁄2430/M/Perdag. tanggal 3 September 1957; 5. Undang-undang No. 79 tahun 1958; 6. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 2933/M tanggal 14 Mei 1959; 7. Pengumuman Pemerintah No. 1 tanggal 2 September 1959; Mendengar: Musjawarah Kabinet Kerdja pada tanggal 3 Nopember 1959; Memutuskan: Menetapkan:
322 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Peraturan Presiden tentang larangan bagi usaha perdagangan ketjil dan etjeran jang bersifat asing diluar ibukota Daerah Swatantra tingkat I dan II serta Kares B A B I. DEFINISI PERUSAHAAN PERDAGANGAN KETJIL/ETJERAN ASING. Pasal 1. Jang dimaksud dengan "perusahaan perdagangan ketjil dan etjeran jang bersifat asing" dalam peraturan Presiden ini ialah perusahaan-perusahaan jang dikenakan larangan berdasar Surat Keputusan Menteri Perdagangan tanggal 14 Mei 1959 No. 2933/M, jaitu perusahaan-perusahaan jang: 1. mentjari keuntungan dari pembelian dan pendjualan barang tanpa mengadakan perobahan teknis pada barang itu; 2. melakukan perdagangan penjebaran, jaitu mendjadi penghubung terachir untuk menjampaikan barang-barang langsung kepada konsumen; 3. melakukan perdagangan pengumpulan, jaitu membeli barang-barang dari produsen-produsen ketjil untuk diteruskan kepada alat-alat perantara selandjutnja; jang: a. tidak dimiliki oleh warganegara Indonesia, b. berbadan hukum atau berbentuk hukum lain, jang seorang atau beberapa orang pemegang sahamnja atau pesertanja bukan warganegara Indonesia, dengan pengertian bahwa perusahaan-perusahaan jang memberi djasa dengan menerima pembajaran diketjualikan dari ketentuan tersebut diatas.
B A B II. LIKWIDASI PERUSAHAAN PERDAGANGAN KETJIL/ETJERAN ASING. Pasal 2. Perusahaan-perusahaan perdagangan ketjil dan etjeran jang bersifat asing jang terkena larangan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan tanggal 14 Mei 1959 No. 2933/M sudah harus tutup selambat-lambatnja pada tanggal 1 Djanuari 1960, dengan tjatatan: 1. bahwa terhitung mulai tanggal berlakunja Peraturan Presiden ini diambil langkah-langkah kearah likwidasi perusahaan-perusahaan termaksud; 2. bahwa ketentuan tersebut tidak berarti bahwa orang-orang asing jang bersangkutan harus meninggalkan tempat tinggalnja, ketjuali kalau
323 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Penguasa Perang Daerah berhubung dengan keadaan keamanan menetapkannja. Pasal 3. Kepada perusahaan-perusahaan termaksud pada pasal 2 diberi ganti kerugian, jang djumlahnja ditetapkan dengan mengingat kelaziman setempat oleh suatu panitia, jang dibentuk oleh Kepala Daerah tingkat II (Bupati) jang bersangkutan dan jang terdiri dari Assisten-Wedana jang bersangkutan sebagai ketua, BODM setempat dan orang-orang jang ditundjuk oleh Djawatan Perdagangan Dalam Negeri dari Departemen Perdagangan dan Djawatan Kooperasi dari Departemen Transmigrasi, Kooperasi dan Pembangunan Masjarakat Desa atau oleh instansiinstansi didaerah jang dikuasakan oleh kedua Djawatan tersebut sebagai anggota. Pasal 4. (1) Ganti kerugian termaksud pada pasal 3 diberikan kepada perusahaanperusahaan tersebut pada pasal 2 dalam bentuk: a. uang tunai; ataupun: b. pindjaman. (2) Djumlah uang tunai dan pindjaman tersebut pada ajat (1) pasal ini ditetapkan dengan mengingat modal perusahaan tersebut pada pasal 2, baik jang berupa uang, maupun barang-dagangan, bangunan dan kekajaan lainnja, jang setjara sukarela dapat dipergunakan oleh organisasi jang ditundjuk untuk meneruskan usaha dagang ketjil dan etjeran setempat. (3) Pindjaman termaksud pada ajat (1) dan (2) pasal ini diperkenankan untuk djangka waktu selambat-lambatnja satu tahun dan dengan bunga sebanjakbanjaknja 9% setahun, segala sesuatu menurut pedoman-pedoman jang diberikan oleh Djawatan Kooperasi.
B A B III. PEMINDAHAN HAK DAN TEMPAT PERUSAHAAN-PERUSAHAAN PERDAGANGAN KETJIL/ETJERAN ASING. Pasal 5. Pemindahan hak perusahaan-perusahaan termaksud pada pasal 2 kepada pengusaha-pengusaha nasional atau pemindahan tempat dagang ketjil dan etjeran oleh perusahaan-perusahaan termaksud pada pasal 2 ketempat baru harus dilakukan dengan idjin Djawatan Perdagangan Dalam Negeri.
324 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pasal 6. Jang diperkenankan menerima pemindahan hak dan jang ditundjuk mengisi tempat dagang ketjil dan etjeran jang terluang termaksud pada pasal 5 ialah pengusaha-pengusaha nasional jang menjusun organisasinja atas dasar kooperasi. Pasal 7. Usaha dibidang kooperasi guna menanmpung pekerdjaan-pekerdjaan termaksud pada pasal 6 dilakukan dengan djalan sebagai berikut: a. mempergunakan kooperasi jang telah ada; b. menjusun kooperasi baru dimana belum ada kooperasi; c. mengorganisir warung-warung/toko-toko jang telah ada menjadi kooperasi; d. mengadakan pilot project per-toko-an di ketjamatan, jang achirnja harus diselenggarakan oleh suatu organisasi kooperasi. Pasal 8. (1) Djikalau sesuatu tempat belum terdapat suatu kooperasi, maka, sambil menunggu terbentuknja organisasi tersebut, Assisten-Wedana dengan bantuan BODM membentuk suatu panitia, jang terdiri dari Kepala desa jang bersangkutan sebagai ketua dan dua atau beberapa orang penduduk desanja sebagai anggotaanggota, untuk menerima pemindahan hak dan/atau meneruskan usaha dagang ketjil dan etjeran termaksud pada pasal-pasal 5 dan 6. (2) Segera sesudah terbentuk suatu kooperasi, maka panitia termaksud pada ajat (1) pasal ini menjerahkan pekerdjaanja kepada organisasi tersebut, sedang panitia sendiri kemudian dibubarkan oleh Assisten Wedana jang bersangkutan. Pasal 9. (1) Tenaga-tenaga dari perusahaan-perusahaan termaksud pada pasal 2 jang telah ditutup sedapat-dapatnja diturut-sertakan setjata sukarela sebagai pegawai dalam organisasi-organisasi setempat termaksud pada pasal-pasal 6, 7 dan 8. (2) Penampungan tenaga-tenaga termaksud pada ajat (1) pasal ini dilaksanakan setjara bidjaksana dengan memperhatikan segi-segi peri-kemanusiaan. (3) Dalam melaksanakan usaha tersebut pada ajat-ajat jang terdahulu pasal ini harus dihindarkan perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan jang dapat mengeruhkan suasana didaerah-daerah jang bersangkutan. Pasal 10.
325 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Pedagang-pedagang besar dan pedagang-pedagang perantara diwadjibkan setjara berangsur-angsur sebelum tanggal 1 Djanuari 1960 menghentikan penjaluran barang-barang kepada perusahaan-perusahaan termaksud pada pasal 2 dan memindahkannja kepada pengusaha-pengusaha nasional setempat termaksud pada pasal-pasal 6, 7 dan 8.
B A B IV. KETENTUAN-KETENTUAN PELAKSANAAN. Pasal 11. (1) Menteri Muda Perdagangan dimana perlu bersama-sama dengan Menteri Muda Transmigrasi/Kooperasi/Pembangunan Masjarakat Desa mengatur lebih landjut pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Presiden ini, dan berhak mengadakan peraturan-peraturan chusus untuk daerah-daerah jang dipandang perlu. (2) Instansi Penerangan Pemerintah memberikan penerangan seluas-luasnja guna menjadarkan Rakjat akan kepentingan melakukan usaha dagang ketjil dan etjeran setempat dengan berkooperasi.
B A B V. KETENTUAN PENUTUP. Pasal 12. Peraturan Presiden ini dinamakan "PERATURAN PEDAGANG KETJIL DAN ETJERAN" atau dengan singkat "P.P.K.E.", jang mulai berlaku pada hari ditetapkannja dan mempunjai daja-surut sampai tanggal 10 Djuli 1959. Agar supaja setiap orang mengetahuinja, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatan dalam Lebaran-Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Djakarta pada tanggal 16-11-1959. Presiden Republik Indonesia, SOEKARNO.
326 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.
Diundangkan di Djakarta pada tanggal 16-11-1959. Menteri Muda Kehakiman, SAHARDJO.
327 Kerusuhan anti..., Asep Achmad Didayat, FIB UI, 2015.