Makmue Gampong Kareuna Dame Dukungan untuk Masyarakat yang Terkena Dampak Konflik Evaluasi Eksternal, Juni 2009 Aceh, Indonesia
TIM EVALUASI EKSTERNAL Scott Cunliffe (Ketua Tim)
[email protected] Juni 2009,
Laporan Evaluasi Eksternal dari: Dukungan Canadian International Developmen Agency (CIDA) untuk Proyek Komunitas yang Terkena Dampak Konflik atau Makmue Gampong Kareuna Dame
Proyek yang diimplementasikan oleh International Organization for Migration (IOM) Dari Januari 2007 sampai Juni 2009 di Aceh, Indonesia
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
2
DAFTAR ISI 1.
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 4
2.
RINGKASAN EKSEKUTIF........................................................................................... 5
3.
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ...................................................................... 9
4.
TUJUAN-TUJUAN KHUSUS PROYEK DAN EVALUASI..................................... 10
5.
URAIAN PROYEK ....................................................................................................... 11
6.
METODOLOGI EVALUASI ....................................................................................... 12
7.
TEMUAN........................................................................................................................ 15
7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 7.7. 7.8 7.9
Sumbangan Eksternal .................................................................................................................. 15 Masukan Pemangku Kepentingan ...............................................................................................17 Proses Demokratis.......................................................................................................................23 Proyek Fisik................................................................................................................................. 27 Pemilihan Proyek Fisik ............................................................................................................... 28 Proyek Fisik Terpilih................................................................................................................... 29 Implementasi Proyek Fisik ......................................................................................................... 32 Kegiatan-kegiatan Proyek Fisik dan Dampaknya ....................................................................... 34 Perbandingan Fase I dan Fase II ................................................................................................. 39
8.
KESIMPULAN DAN HIKMAH YANG DIDAPAT .................................................. 43
8.1 8.2 8.3 8.4
Konsolidasi Perdamaian .............................................................................................................. 43 Capaian-capaian dari Tujuan-tujuan Khusus .............................................................................. 44 Ketepatan Waktu dan Efisiensi ................................................................................................... 46 Keberlanjutan dan Pelembagaan ................................................................................................. 46
9.
REKOMENDASI........................................................................................................... 49
Lampiran: A. Syarat Rujukan (TOR) Evaluasi Eksternal B. Plan Rencana Kerja Evaluasi Eksternal C. Daftar Desa yang Dievaluasi D. Kuesioner FGD Evaluasi Eksternal
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
3
1.
PENDAHULUAN
Dukungan CIDA untuk Proyek Komunitas yang Terkena Dampak Konflik adalah sebuah respon terhadap akhir dari konflik bersenjata antara negara Indonesia dengan gerakan separatis yang dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang berkembang di sebagian besar wilayah Aceh mulai dari tahun 1976 sampai tahun 2005. Pada tahun 2007, BRA mengestimasikan bahwa 33.000 orang terbunuh selama 29 tahun konflik tersebut. Ribuan lebih orang, kebanyakan dari mereka adalah orang sipil tanpa senjata, telah terluka secara fisik dan / atau mental. Survai bersama tahun 2007 antara IOM dan Harvard Medical School menyingkapkan bahwa banyak orang terus menderita karena trauma terkait konflik. Banyak yang lainnya mengungsi atau mengalami kerugian materil. Konflik berakhir pada bulan Agustus 2005 ketika para perwakilan dari GAM dan Pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepakatan setelah 5 putaran negosiasi di Helsinki, Finlandia. Nota Kesepakatan ini, yang membentuk kesepakatan pembagian kekuasaan antara Aceh dan Jakarta, meminta GAM untuk di-demobilisasi dan para anggotanya direintegrasikan ke dalam masyarakat. Nota Kesepakatan ini juga menyaksikan pembebasan semua anggota GAM yang ditahan atau dipenjara oleh Indonesia. Sebuah badan khusus, BRA, dibentuk untuk mengawasi reintegrasi dan kompensasi para pejuang GAM dan juga para korban konflik. Program KDP dari pemerintah Indonesia juga dibentuk di Aceh untuk membantu komunitas-komunitas yang terkena dampak konflik dengan proyek-proyek pembangunan desa. Banyak lembaga-lembaga internasional juga merasakan kebutuhan untuk membantu lebih jauh komunitas-komunitas paska konflik, khususnya di daerahdaerah yang padat konflik dan/atau padat mantan pejuang GAM dan tahanan yang sudah diberi pengampunan (amnesti). CIDA, EU, JICA, UNDP dan USAID pada tahun 2007 semuanya telah memulai pendanaan proyek-proyek pembangunan masyarakat yang menyasar komunitas-komunitas yang terkena dampak konflik. Pengimplementasian proyek CIDA, yang secara umum menjadi dikenal dengan bahasa Acehnya ‘Makmue Gampong Kereuna Dame’ (MKGD, yang artinya Kemakmuran Desa karena Perdamaian), dimulai pada bulan Januari 2007. CIDA-MKGD diimplementasikan oleh IOM Banda Aceh yang bekerja dalam kemitraan dengan pemerintah Indonesia lewat PNPM Mandiri (sebelumnya disebut KDP). Selama MKGD berlangsung, staf lapangan IOM memonitor kegiatan dan melaporkannya ke Tim Manajemen Proyek di Banda Aceh. IOM juga menjalankan beberapa asesmen evaluasi internal (berdasarkan pada FGD (Focus Group Discussion) dan wawancara yang dijalankan di desa-desa sampel). CIDA juga memonitor perkembangan-perkembangan proyek melalui sebuah kelompok konsultan swasta. Menjelang berakhirnya proyek pada bulan Maret 2009, IOM memerlukan dijalankannya sebuah evaluasi eksternal terhadap proyek tersebut. Evaluasi Eksternal memulai kerjanya dalam mengevaluasi proyek CIDA-MKGD pada akhir April 2009. Kerja ini selesai pada awal Juni 2009. Evaluasi yang dijalankan mencakup bidang yang luas, membuat asesmen luas terhadap semua masukan yang diumpankan ke dalam proyek, selain juga capaian dan keluaran yang tercatat, terutama di 40 desa yang dikunjungi oleh Tim Evaluasi. Laporan ini adalah hasil dari proses evaluasi ekstensif yang dijalankan lebih dari enam minggu oleh tim evaluator eksternal mulai akhir April sampai awal Juni 2009. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk secara kuantitatif maupun kualitatif menilai relevansi, efisiensi, afektivitas, dampak dan/atau keberlanjutan dari masukan-masukan yang disediakan oleh para pemangku kepentingan dan temuantemuan yang diketahui dengan pasti dari diskusi-diskusi dengan para penerima manfaat dan pemangku kepentingan, selain juga ketepatan dari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi proses MGKD. Laporan ini juga adalah hasil dari proses partisipatoris, yang diuntungkan oleh wawasan, waktu dan enerji dari banyak individu. Para evaluator ingin menyampaikan terimakasih kepada semua pihak di Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen dan Jakarta yang begitu ramahnya menyumbang dengan informasi dan wawasan-wawasan kritis. Terimakasih khusus disampaikan untuk Tamara Soukotta, Andre Taufan, Dede Riyadi dan Meutia atas kerja mereka yang tak henti-hentinya dalam menjalankan FGD dan wawancara di seluruh Aceh, dan juga untuk Paul Greening dan tim manajemen proyek MGKD di Banda Aceh atas dukungan mereka yang
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
4
banyak sekali dengan memberikan bantuan dokumentasi dan logistik selain juga pengalamanpengalaman mereka selama proses MGKD. Tim berharap bahwa laporan ini sedianya akan bermanfaat bagi mereka semua yang menjadi bagian dalam membuat MGKD terjadi, mereka yang akan terus memperkuat pembangunan masyarakat di Aceh di masa depan dan kepada pihak-pihak lain yang bekerja di komunitas-komunitas paska konflik di Aceh dan di luar Aceh.
2.
RINGKASAN EKSEKUTIF
Hampir empat tahun sejak penandatanganan perjanjian perdamaian Helsinki yang mengakhiri konflik yang nyaris 30 tahun lamanya di Aceh. Konsolidasi perdamaian ini adalah proses yang panjang dan terus menerus yang akan membutuhkan berbagai intervensi dari aktor-aktor provinsi, nasional dan internasional. Proyek MGKD adalah salah satu dari intervensi besar pertama untuk menangani komunitas-komunitas yang terkena dampak konflik. Selama durasi proyek ini, para laki-laki dan perempuan dari hampir 400 komunitas mendapatkan manfaat langsung dari intervensi ini. Banyak komunitas lainnya merasakan manfaat tidak langsung dari bantuan MGKD. Lebih lanjut lagi, pengalaman dan kapasitas PNPM, sebagai mitra utama MGKD, diperkuat melalui upaya kolaboratif untuk memfasilitasi dan mengimplementasikan hibah keuangan yang disediakan untuk setiap komunitas. PNPM sekarang berada dalam kondisi yang meningkat untuk meneruskan kegiatan-kegiatannya dalam pembangunan pedesaan yang bersifat bottom-up (dari bawah ke atas) di seluruh Aceh. Laporan ini adalah hasil dari evaluasi eksternal enam-minggu yang dijalankan pada saat proyek ini mendekati akhir pada pertengahan tahun 2009. Temuan-temuan, hikmah-hikmah dan rekomendasirekomendasi adalah hasil kelompok-kelompok diskusi terfokus (FGD) dan wawancara intensif yang diselenggarakan di 40 dari 396 desa sasaran MGKD. 25 dari desa yang dievaluasi menerima bantuan pada Fase I proyek, dan yang 15 sisanya menerima bantuan pada Fase II. Tim Evaluasi juga mewawancara para pemangku kepentingan kunci dari proyek dan menjalankan analisa meja terhadap laporan-laporan, dokumen-dokumen dan alat-alat proyek. Temuan-temuan Utama: 1. MGKD adalah sebuah keberhasilan, yang secara efektif memberikan dividen perdamaian seketika untuk memperkuat dan merangsang pembangunan sosial-ekonomi melalui infrastruktur dan penghasil pendapatan masyarakat yang diperkuat bagi banyak anggota masyarakat di komunitaskomunitas yang terkena dampak konflik. 2. MGKD membantu reintegrasi para mantan pejuang dan tahanan yang diberi pengampunan ke dalam komunitas-komunitas dengan memperkuat kohesi sosial di desa-desa melalui proyekproyek pembangunan masyarakat. 3. MGKD memperkuat peran para perempuan di dalam komunitas-komunitas, meningkatkan partisipasi mereka dan memberikan mereka suara yang sama dalam perencanaan desa, selain juga memberdayakan mereka untuk mengimplementasikan proyek mereka sendiri dan bekerja beriring dengan para laki-laki. 4. Di beberapa desa, proses demokrasi, integrasi sosial dan kondisi ekonomi semuanya diperkuat. Di sebagian besar desa-desa, dampak MGKD lebih memperkuat satu dari indikator di atas daripada yang indikator-indikator lainnya. 5. Sumbangan terkuat dalam penguatan kohesi sosial adalah dampak dari praktek-praktek dan prinsip-prinsip demokrasi dalam partisipasi proyek masyarakat, perencanaan dan implementasi proyek masyarakat serta manajemen desa. Meski dividen-perdamaian ekonomi ditemukan di
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
5
hampir semua dari 40 desa yang dievaluasi, tingkat penguatan dalam aspek ini secara umum tidak sesignifikan dampak dari prinsip-prinsip demokrasi dan integrasi sosial. 6. Elemen paling lemah dari MGKD adalah kualitas dari isu lingkungan yang dipertimbangkan dan ditangani selama tahap-tahap perencanaan dan seleksi proyek fisik. Tim ini menemukan bahwa hanya sejumlah terbatas isu-isu lingkungan yang ditangani oleh daftar negatif, dan kapasitas staf lapangan dalam memfasilitasi penilaian bernuansa lingkungan atas proyek-proyek juga sangat terbatas. Kendati demikian, penggunaan daftar negatif sudah memberikan beberapa pengetahuan lingkungan dasar bagi para penerima manfaat dan memastikan bahwa isu-isu ini didiskusikan dan ‘kebijakan tidak merusak (do no harm policy)’ dari proyek dipatuhi. 7. Halangan utama yang mencegah tercapainya tingkat efisiensi dan keefektifan yang lebih tinggi lagi adalah rendahnya kapasitas staf lapangan (terutama para Fasilitator Desa) dalam memfasilitasi dan secara kreatif menyumbang pada pengimplementasian proyek, pembatasan waktu untuk pengimplementasian setiap fase proyek, terbatasnya hibah yang tersedia untuk setiap desa, dan ambisiusnya jumlah desa sasaran, terutama pada Fase I. Ambisiusnya jumlah desa sasaran dan terbatasnya hibah proyek yang ada untuk setiap desa memberikan beban kelembagaan dalam pemobilisasian sumber daya manusia; terbatasnya durasi waktu dari setiap proyek masyarakat tidak memungkinkan terjadinya partisipasi maksimal selain juga perencanaan dan seleksi proyek fisik secara mendalam. Harap disimak, tidak semua halangan tersebut ada di semua desa. Beberapa masalah kecil dalam keuangan internal (pada saat-saat akhir di Fase 2) juga secara kelembagaan membebani PMT (Proyect Management Team atau Tim Manajemen Proyek ) 8. Selain itu, di beberapa desa kondisi-kondisi eksternal yang buruk juga membuat hambatan untuk tingkat penguatan yang dicapai yang lebih tinggi lagi. Contohnya, rendahnya kapasitas para penerima manfaat untuk secara efektif menyumbang pada proyek-proyek desa mereka, perubahan dalam kepemimpinan desa, stereotip gender yang berakar mendalam, ketidaksetaraan gender dan perubahan demografi menyebabkan kesulitan dan, dalam beberapa kasus, rintangan-rintangan yang tidak bisa dihindari bagi IOM. 9. Tim Evaluasi menemukan bahwa rintangan-rintangan yang sama, baik rintangan eksternal dan rintangan terhadap proyek, nyata terlihat dalam kedua fase proyek ini. Kendati demikian, desadesa yang berkinerja rendah ternyata ditemukan pada Fase I, terutama di desa-desa yang terkena Tsunami di Aceh Jaya, di mana retensi dan ketidakefisienan kinerja staf IOM mengurangi keefektifan proyek. Pada saat yang sama, beberapa faktor eksternal juga memainkan peran dalam merendahkan tingkat dampak di Aceh Jaya. Beberapa indikator rendahnya kinerja TA (Technical Assistant atau Asisten Teknis) juga nyata terlihat di beberapa desa di kabupaten Bireuen pada Fase I. 10. Kegiatan tambahan yang paling efektif adalah Pelatihan Kepemimpinan Kaum Perempuan, yang dijalankan di 12 desa pada Fase II. 11. Meski terlalu dini untuk menilai prospek jangka menengah dan panjang untuk keberlanjutan, MGKD telah meletakkan pondasi untuk keberlanjutan praktek-praktek demokrasi dan upayaupaya masa depan lembaga-lembaga pemangku kepentingan. Prospek keberlanjutan dari proyekproyek fisik tergantung pada tingkat motivasi dan komitmen di masing-masing desa, selain juga kondisi-kondisi eksternal yang menguntungkan. Hikmah yang diambil: 1.
KETEPATAN WAKTU: dari permulaan, MGKD adalah sebuah proyek dampak cepat dan sekaligus proyek pembangunan masyarakat. Yang pertama, menuntut waktu yang terbatas sedangkan yang belakangan menuntut waktu yang agak lama. Ketegangan antara dua tuntutan waktu yang saling berlawanan membatasi tingkat penguatan yang sedianya dapat dicapai pada CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
6
hal-hal yang terkait dengan proyek dampak cepat. Meski durasinya yang terbatas, kendati demikian MGKD membuat sumbangan substansil pada penguatan kohesi sosial, partisipasi dan perencanaan yang demokratis. 2.
KUANTITAS vs KUALITAS: Dengan halangan waktu proyek sebagai latar belakang, jumlah dari desa-desa sasaran juga sangat ambisius. Kemudian ada juga ketegangan antara kuantitasa dan kualitas selama proyek berlangsung. Prospek tingkat efisiensi dan keefektifan yang lebih tinggi mungkin bisa diperkuat jika seandainya total jumlah uang, ditambah dengan periode waktu yang diperpanjang, disebar ke lebih sedikit desa. Skenario sedemikian mungkin akan memungkinkan untuk masukan-masukan IOM dimaksimalkan di seluruh tingkat – penstafan, pelatihan, fasilitasi, monitoring, evaluasi, dsj.
3.
BATASAN PADA TUJUAN-TUJUAN KHUSUS: Pemrioritasan tujuan-tujuan khusus dalam pembangunan paska-koflik juga penting. Untuk mencapai hasil atau keluaran yang diinginkan secara maksimum, sejumlah tujuan-tujuan khusus proyek sebetulnya bisa dibatasi, dengan kata lain, kita tidak dapat meliput semua isu-isu yang saling bersinggungan (cross-cutting) secara efektif jika sumber daya yang memadai tidak disediakan. Contohnya, proyek memberi waktu dan sumber daya (masukan) yang lebih banyak pada keadilan gender dibandingkan dengan yang diberikan pada kesadaran lingkungan. Dengan demikian capaian dan dampak dari kegiatankegiatan masing-masing berkaitan dengan jumlah masukan yang dialokasikan.
4.
EFISIENSI: Salah satu bahan utama untuk proyek sosial yang berhasil adalah pemobilisasian sumber daya manusia secara efektif dan konsisten. Sebagaimana halnya dalam banyak kasus paska-konflik, terbukti sulit untuk memobilisasi sepenuhnya staf lengkap yang kompeten, berkomitmen dan bermotivasi. Meski konsistensi staf ditemukan pada manajer proyek dan Tim Manajemen Proyek yang selalu hadir, tetapi ada pergantian yang tinggi pada Asisten Teknis dalam Fase I. Kemudian ada beberapa kekurangan dalam fasilitasi dan implementasi.
Rekomendasi-rekomendasi ke depan 7.1 IOM harus terus mendorong monitoring dan memperkuat lebih lanjut dampak dan keberlanjutan dari proyek-proyek fisik dan praktek-praktek MGKD. Hal ini dapat dicapai dengan mensuplai data yang akurat dan tepat tentang kesuksesan, kegagalan, peluang dan tantangan di masing-masing desa, yang jumlah totalnya 398 desa, kepada para pemangku kepentingan kunci, seperti misalnya proyek-proyek IOM lainnya dalam bidang pembangunan perdamaian (peace building), pihak berwenang di kabupaten dan kecamatan, PNPM serta organisasi-organisasi internasional dan lokal lainnya yang peduli dengan lokasi-lokasi atau isu-isu yang sama. 7.1 IOM dan CIDA harus mempertimbangkan untuk membuat proyek tindak lanjut untuk memperkuat lebih lanjut aspek-aspek yang secara potensil berkelanjutan dari MGKD. Proyek sedemikian tersebut sedianya akan terdiri dari tim kecil asisten teknis yang tujuan khususnya adalah untuk menyerahkan pengetahuan yang diperoleh dari 396 desa kepada para pemangku kepentingan kunci dan untuk bekerja sama dengan PNPM dan pemerintah daerah dalam tahaptahap perencanaan awal dan pengimplementasian proyek-proyek masyarakat barunya. Proyek ini juga dapa melakukan kunjungan-kunjungan tindak lanjut ke desa-desa MGKD untuk memperkuat lebih lanjut partisipasi mereka dalam proyek-proyek baru PNPM. 7.1 IOM dan CIDA harus mempertimbangkan perluasan pelatihan kepemimpinan perempuan di MGKD dan desa-desa lain dan/atau mengembangkan lebih lanjut proyek-proyek khusus perempuan di desa-desa yang memasukkan pelatihan kepemimpinan dan ketrampilanketrampilan lain yang diperlukan untuk memperkuat proyek mata pencaharian yang mereka pilih. 7.1 Untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat, PNPM harus mengintensifkan pelatihan, menambahkan manfaat-manfaat materil dan mendorong staf lapangannya untuk lebih kreatif
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
7
dalam fasilitasi mereka selanjutnya di proyek-proyek masyarakat. Mereka juga harus membuat standar pelatihan gender untuk semua fasilitator dan staf 7.1 CIDA harus berhati-hati ketika melakukan pemrograman dua isu utama yang saling bersinggungan tentang gender dan lingkungan dalam proyek-proyek paska-konflik yang akan datang. Isu-isu ini harus disisipkan jika secara langsung relevan dengan tujuan-tujuan khusus utama proyek dan jika sumber daya manusia dan keuangan tersedia.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
8
3.
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
CIDA
Canadian International Development Agency
GAM
Gerakan Aceh Merdeka
Geuchik
Kepala Desa
FD
Fasilitator Desa (relawan PNPM)
FGD
Focus Group Discussion (diskusi kelompok fokus)
FK
Fasilitator Kecamatan (Staf PNPM)
IOM
International Organization for Migration
KM
Kecamatan Manajer (PNPM tingkat kecamatan)
PL
Pendamping Lokal (staf PNPM)
PMT
Project Management Team (Tim Manajemen Proyek)
MGKD
Makmue Gampong Kareuna Dame (Kemakmuran Desa karena Perdamaian)
*PNPM
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
TA
Technical Assistant (Asisten Teknis – staf IOM)
UNDP
United Nations Development Program
*PNPM – Mandiri Daerah Tertinggal adalah sebuah prakarsa Pemerintah Indonesia yang diberi tugas untuk memfasilitasi proyekproyek pembangunan masyarakat di desa-desa yang terpinggirikan. Sebelumnya dikenal dengan sebutan Proyek Pembangunan Kecamatan.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
9
4.
TUJUAN-TUJUAN KHUSUS PROYEK DAN EVALUASI
[Berikut ini] adalah tujuan-tujuan khusus masing-masing dari Proyek MGKD dan Evaluasi Eksternal, sebagaimana tujuan-tujuan khusus yang diberikan di dalam Syarat Rujukan: Tujuan-tujuan Khusus Proyek MGKD 1) Memberikan dividen perdamaian seketika untuk memperkuat dan merangsang pembangunan sosial ekonomi di semua komunitas yang terkena dampak konflik. Kondisi-kondisi sosial ekonomi yang meningkat ini sedianya akan dicapai dengan cara infrastruktur dan penghasil pendapatan masyarakat yang diperkuat.
2) Melalui proses proyek, membantu kemulusan reintegrasi para mantan pejuang dan tahanan yang diampuni (diberi amnesti) ke dalam masyarakat. Kohesi sosial yang diperkuat ini sedianya akan dicapai melalui promosi proyek-proyek pembangunan masyarakat dan proses pembuatan keputusan kolektif. Capaian-capaian yang diharapkan dari MGKD 1) Kohesi sosial yang diperkuat melalui promosi proyek-proyek pembangunan masyarakat dan proses-proses pembuatan keputusan. 2) Kondisi-kondisi sosial ekonomi yang meningkat bagi para perempuan dan laki-laki melalui proyek-proyek penghasil pendapatan, infrastruktur dan masyarakat yang mana proyek-proyek tersebut segi keberlanjutan lingkungkannya diperkuat. Hasil-hasil keseluruhan yang diharapkan dari MGKD a) Partisipasi masyarakat yang terkena dampak konflik dalam perencanaan diperkuat dan bersifat adil gender. b) Proyek-proyek masyarakat berskala kecil dan juga proyek-proyek yang spesifik perempuan diselesaikan di 396 desa. c) Isu-isu lingkungan dipertimbangkan dan ditangani selama perencanaan proyek di tingkat desa.
Tujuan-tujuan Khusus Evaluasi Eksternal Mengevaluasi keseluruhan kinerja dan capaian proyek sampai saat ini, sesuai maksud tujuan dan tujuan-tujuan khusus proyek. Evaluasi ini khususnya akan mempertimbangkan tentang relevansi, kinerja dan keluaran dari implementasi proyek dan membuat beberapa rekomendasi untuk proyekproyek yang mirip di masa yang akan datang: Relevansi: mengevaluasi ketepatan dari maksud tujuan dan tujuan-tujuan khusus proyek, dalam kaitannya dengan dampak yang diharapkan dari proyek, kelompok-kelompok sasaran, serta para penerima manfaat langsung dan tidak langsung; Kinerja: Mengevaluasi keefektifan proyek (sampai sejauh mana proyek ini telah menghasilkan hasilhasil yang diinginkan); evaluasi efisiensi proyek (sampai sejauh mana sumber daya sudah dioptimalkan selama pengimplementasian proyek dan apakah proyek ini sudah mencapai tingkat hemat biaya yang memuaskan); ketepatan waktu (kelayakan dari perencanaan kegiatan-kegiatan); Keluaran & Capaian: Mengevaluasi dampak proyek dan potensi untuk keberlanjutan proyek fisik, sistem manajemen proyek serta proses-proses/prinsip-prinsip perencanaan dan manajemen yang demokratis. Melakukan penaksiran apakah sistem-sistem demokratis ini diambil oleh entitas-entitas pemerintahan. Evaluasi ini akan memberikan perhatian khusus pada dampak keseluruhan dari proyek dan sumbangannya pada konsolidasi perdamaian di provinsi yang terkena dampak konflik ini.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
10
5.
URAIAN PROYEK
Tujuan khusus utama MGKD adalah untuk membuat proyek-proyek pembangunan masyarakat untuk memberikan dividen perdamaian seketika demi memperkuat dan merangsang pembangunan sosial ekonomi semua perempuan dan laki-laki di komunitas-komunitas yang terkena dampak konflik, dan dalam gilirannya membantu kemulusan reintegrasi para mantan pejuang dan tahanan yang diberi pengampunan ke dalam masyarakat. MGKD mendukung rehabilitasi pelayanan masyarakat dan infrastruktur dasar melalui penyediaan proyek-proyek pembangunan masyarakat skala kecil dan dukungan mata pencaharian berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan yang diidentifikasikan oleh komunitas-komunitas. Karena para mantan pejuang GAM dan tahanan yang dibebaskan baru-baru ini kembali ke rumah, adalah penting untuk meletakkan suatu sistem yang memastikan bahwa komunitas-komunitas yang menyerap segera melihat, dan pada saat yang bersamaan, mendapatkan manfaat dari proses reintegrasi dan mencegah reaksi permusuhan dari komunitas-komunitas dan para korban konflik. Pendekatan ini ditujukan untuk membawa manfaat yang sama kepada komunitas-komunitas yang menyerap dan terkena dampak konflik dengan cara menyediakan bantuan rehabilitasi masyarakat langsung ke desa-desa. CIDA menyediakan hibah kecil sejumlah 73 juta rupiah untuk setiap desa dari 396 desa yang terseleksi. Dana tersebut digunakan untuk mendanai proyek-proyek penghasil pendapatan dan/atau sosial budaya yang direncanakan dan diimplementasikan secara demokratis, yang menyertakan banyak macam perempuan dan laki-laki, termasuk mantan pejuang GAM, tahanan GAM yang diberi amnesti/pengampunan, serta mereka para korban, pengungsi atau yang terkena dampak konflik. Sejumlah minimum 25 juta dari hibah yang bernilai 73 juta tersebut harus dialokasikan untuk proyek khusus untuk perempuan. Sisanya digunakan untuk proyek masyarakat yang sifatnya inklusif. Pada Fase II proyek, dana tambahan disediakan untuk seiap desa yang berpartisipasi. MGKD diimplementasikan oleh IOM Indonesia melalui kantornya yang di Banda Aceh. IOM membentuk Project Management Team (PM) diketuai oleh seorang Manajer Proyek (MP) yang berbasis di Banda Aceh dan menyewa TA (Asisten Teknis) untuk mendukung pengimplementasian proyek ini. Semua TA berbasis di tingkat kabupaten dan bertanggungjawab untuk mengawasi pengimplementasian di desa-desa yang ditunjuk dalam wilayah geografis yang dispesifikasikan. Untuk memiliki kehadiran yang permanen di setiap desa, maka IOM bekerja dalam kemitraan dengan badan pembangunan masyarakat pemerintah yang dikenal sebagai KDP. Di tengah jalan selama proses MGKD, KDP berubah menjadi organisasi baru yang dikenal sebagai PNPM Mandiri (selanjutnya disebut sebagai PNPM). Sebelum pengimplementasian proyek CIDA, KDP/PNPOM sudah memiliki kehadiran di desa-desa dan juga di tingkat kecamatan serta kabupaten. MGKD dibagi ke dalam dua fase. Selama Fase I, yang berlangsung dari Januari 2007 sampai Maret 2008, proyek-proyek diimplementasikan di 255 desa di tujuh kabupaten (Aceh Daya Barat, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, and Bireuen). Selama Fase II, yang berlangsung dari April 2008 sampai Maret 2009, 47 proyek diimplementasikan di tiga kabupaten (Aceh Selatan, Aceh Timur and Aceh Utara), yakni total sejumlah 141 desa untuk fase kedua. Untuk Fase I, desa-desa diidentifikasi dan diseleksi oleh staf IOM berdasarkan data dasar tentang jumlah mantan pejuang, tahanan yang diberi pengampunan , dan mereka yang mengungsi karena konflik. Pada Fase II, kriteria seleksi berubah, dengan tingkat konflik menjadi kriteria utama untuk seleksi. Di sini, seleksi final adalah keputusan kolektif yang dibuat oleh para pejabat pemerintah dan perwakilan masyarakat sipil di tingkat rapat kabupaten. Tiga bulan terakhir dari April sampai Juni 2009 adalah untuk demobilisasi proyek. Di setiap desa para perempuan dan laki-laki secara demokratis mengidentifikasikan, memilih, merencanakan, mengelola, memonitor dan memelihara proyek mereka sendiri. Untuk melakukan ini, semua desa mendapatkan dukungan sepanjang pengimplementasian proyek melalui pengorganisasioan kegiatan-kegiatan sosialiasi dan pengembangan kapasitas. Di setiap desa, satu orang perempuan dan satu orang laki-laki fasilitator desa (FD) PNPM yang dipilih oleh komunitas
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
11
membantu keseluruhan proses. TA, selain juga staf lapangan PNPM lainnya yang berbasis di kecamatan dan kabupatan memberikan fasilitasi dan dukungan teknis lebih lanjut kepada para FD dan penerima manfaat. Para penerima manfaat mengidentifikasikan kebutuhan mereka sendiri dan secara demokratis memilih proyek mereka sendiri dalam musyawarah yang difasilitasi oleh fasilitator desa (FD) PNPM, dan di mana memungkinkan, oleh staf IOM. Desa-desa mengangkat tim-tim manajemen dan pemeliharaan, yang menyertakan minimal satu perempuan per tim, untuk mengawasi pengimplementasian proyek-proyek mereka. Tim-tim desa menyiapkan proposal mereka sendiri, termasuk biaya keuangan, yang diverifikasi oleh PNPM dan staf IOM sebelum persetujuan diberikan untuk memulai proyek mereka. Tim-tim ini mencari, membeli dan/atau membangun aset proyek mereka sendiri, dengan masukan pemeliharaan dari FD, TA dan staf lapangan lainnya. MGKD berupaya agar semua proyek yang diseleksi adalah ramah lingkungan dengan cara menyediakan kuesioner negatif yang harus diisi sebelum persetujuan proyek diberikan. MGKD juga mengimplementasikan kegiatan-kegiatan tambahan lainnya untuk menambah kohesi sosial dan membangun kapasitas para staf lapangan dan penerima manfaat. Dalam kedua fase, konser perdamaian diselenggarakan di desa-desa terpilih. Pada Fase II, kegiatan-kegiatan tambahan termasuk kampanye kesadaran lingkungan, pelatihan lingkungan bagi staf lapangan, hibah tambahan senilai Rp. 16.125.000 per desa, proyek percontohan untuk kelompok-kelompok perempuan terpilih di 12 desa dan dana tambahan untuk desa-desa yang menderita kerusakan karena banjir selama pengimplementasian proyek-proyek desa.
6.
METODOLOGI EVALUASI
Sejalan dengan tujuan-tujuan khusus evaluasi eksternal dan usulan metodologi yang diuraikan dalam Syarat Rujukan (TOR) (lihat Lampiran A), metodologi tim evaluasi terdiri dari kegiatan-kegiatan berikut ini: tinjauan atas dokumen-dokumen yang terkait proyek; FGD dan wawancara mendalam dengan para penerima manfaat; wawancara mendalam dengan para pemangku kepentingan; asesmen kuantitatif dan kualitatif terhadap kedua fase proyek dan semua tahapan proyek, dari seleksi desa sampai ke penutupan proyek sampai ke pengukuran tingkat efisiensi dan keefektifan masukan dan hasil proyek. Tim evaluasi terdiri dari seorang ketua tim, seorang koordinator tim dan 3 evaluator. Kelima anggota tim ini semuanya memiliki ketrampilan wawancara dan pengumpulan data, pengalaman monitoring dan evaluasi, pengetahuan tentang manajemen dan pengimplementasian proyek di komunitaskomunitas paska-konflik, dan memiliki pengetahuan serta pengalaman dari penugasan sebelumnya di Aceh. Ketiga orang evaluator berasal dari berbagai daerah di Aceh, memungkinkan mereka mengerti dialek-dialek yang berbeda yang ditemukan di lapangan. Koordinator tim, dari Indonesia, memiliki empat tahun pengalaman kerja di Aceh dan pemahaman yang baik tentang orang-orang dan bahasa Aceh. Ketua tim berasal dari UK, memiliki pengalaman sepuluh tahun bekerja di wilayah Indonesia dan lancar berbahasa Indonesia. Kelima anggota tim mengambil bagian dalam Diskusi Kelompok Fokus (disingkat FGD) dan wawancara-wawancara yang dilakukan di lapangan serta pentabulasian temuan-temuan kuantitatif dan kualitatif. Ketua tim dan koordinator tim yang mengerjakan sebagian besar analisa data dan penulisan laporang, dengan masukan awal dari 3 evaluator lapangan. Minggu pertama kerja Tim dihabiskan untuk menganalisa semua dokumen yang terkait proyek yang diberikan oleh PMT di Banda Aceh. Dokumen-dokumen ini termasuk dokumen kerja, update dan laporan kemajuan, publikasi, pelatihan, kurikulum, dokumen perjanjian hibah serta bahan-bahan dan laporan monitoring & evaluasi internal. Selama periode ini, Tim juga mewawancarai PMT, membuat
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
12
kuesioner evaluasi (lihat Lampiran D) dan membuat janji pertemuan serta rencana logistik untuk kunjungan-kunjungan lapangan. Minggu kedua dan ketiga dari evaluasi ini dipergunakan untuk mengunjungi penerima manfaat sasaran di 40 desa. Jumlah ini kira-kira 10% dari total 396 desa MGKD. Kriteria yang dipertimbangkan untuk menyeleksi desa-desa ini adalah: distribusi merata desa-desa Fase I dan Fase II (25 desa dari Fase I dan 15 desa dari Fase II); penyertaan pedesaan, semi pedesaan dan desa-desa yang dekat dengan titik populasi utama; penyertaan beberapa desa fase II yang sudah mendapatkan pelatihan kepemimpinan perempuan; dan kemungkinan hambatan-hambatan waktu dan logistik yang mungkin dapat menghalangi Tim ini untuk memenuhi sasaran yang diharapkan, yakni 40 desa. Tim mengunjungi rata-rata empat desa setiap hari, dengan sekurang-kurangnya dua anggota tim mengunjungi satu desa. Anggota tim juga menggunakan waktu mewawancarai para TA (asisten teknis) IOM di tiga dari enam kabupatan yang dikunjungi. Waktu sisanya dihabiskan melakukan perjalanan dari desa sasaran ke desa sasaran yang lain, merencanakan kegiatan-kegiatan untuk harihari mendatang (mengkonfirmasikan janji bertemu dan ada tidaknya mereka yang akan ditemui tersebut) dan membuat tabulasi awal dari temuan-temuan. Di semua desa tim membuat perjanjian bertemu sebelumnya, biasanya dengan tokoh utama desa atau salah seorang FD yang tinggal di desa tersebut. Rata-rata jumlah penerima manfaat yang menghadiri FGD adalah 13 (tiga belas) orang. Di beberapa desa, sebanyak 30 (tiga puluh) orang menghadiri FGD, di sejumlah kehadiran hanya empat (4) atau lima (5) orang. Di desa-desa ini, Tim memilih untuk mengadakan wawancara terpisah dengan semua yang hadir. Karena ketatnya jadwal, maka Tim tidak bisa menetralkan/menegasikan keadaan-keadaan yang tidak terduga (misalnya perayaan atau pertemuan masyarakat) yang mengkompromikan jumlah yang hadir. Para penerima manfaat yang berpartisipasi dalam FGD termasuk perempuan, laki-laki, tokoh masyarakat, anggota tim pengimplementasian proyek, dan, di mana memungkinkan, mantan pejuang, tahanan yang diberi pengampunan (amnesty) serta korban konflik yang tinggal di desa. Di banyak desa, diadakan FGD dan/atau wawancara terpisah dengan perempuan penerima manfaat. Para FD juga berpartisipasi dalam FGD. Tim juga mengambil waktu untuk secara terpisah mewawancarai para FD. Kuesioner yang digunakan sebagai pedoman bagi tim evaluasi selama FGD di desa-desa yang dievaluasi terdiri dari 35 pertanyaan untuk 6 bagian seluruhnya. Beberapa pertanyaan menawarkan jawaban berganda kepada peserta, dan yang lainnya dirancang untuk mengetahui dengan pasti opini peserta tentang leboh dari satu faktor. Kuesioner fisik juga berisi jawaban-jawaban yang mungkin yang dapat digunakan oleh para evaluator untuk merangsang diskusi diantara para peserta. Dengan mempertimbangkan bahwa banyak penerima manfaat memiliki pendidikan terbatas, maka para evaluator menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, yang mana ketika diperlukan, diperkuat dengan penjelasan yang sedianya dengan mudah memungkinkan sebanyak mungkin peserta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Bagian kosong juga diberikan pada lembar kuesioner untuk memisahkan jawaban yang diberikan oleh perempuan dan laki-laki, sehingga temuan-temuan gender berbeda dapat ditabulasi dengan mudah. Bagian pertama kuesioner ditujukan untuk mengukur kualitas dan kuantitas masukan dan bantuan yang diberikan oleh para PD dan TA di setiap desa selama pengimplementasian proyek fisik di masing-masing desa tersebut. Bagian kedua berfokus pada capaian dan potensi untuk keberlanjutan proyek-proyek fisik. Bagian ketiga berfokus pada partisipasi demokratis para perempuan dan lakilaki, transparansi, kebebasan mengemukakan pendapat, dan mekanisme yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Bagian keempat dan kelima berfokus pada interaksi sosial dan persepsi keamanan di desa-desa. Bagian terakhir berfokus pada isu-isu lingkungan yang ditangani. Jumlah total dari wawancara mendalam yang dilakukan di setiap desa yang dievaluasi, sebagian tergantung pada kualitas jawaban yang diketahui secara pasti dari FGD-FGD. Di desa-desa di mana tingkat dan kualitas partisipasinya rendah selama FGD, Tim meluangkan waktu ekstra melakukan wawancara terpisah agar supaya kualitas temuan secara keseluruhan dari setiap desa seimbang. Di
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
13
desa-desa di mana Tim merasa bahwa kualitas temuan FGD tinggi, wawancara dibatasi pada orangorang kunci, seperti Kepala Desa, anggota tim implementasi, mantan pejuang dan FD. Kuesioner yang sama digunakan sebagai pedoman selama wawancara, tetapi pertanyaan tambahan [dipakai] yang dimaksudkan untuk mengetahui secara pasti wawasan dan pengalaman pribadi para peserta. Pertanyaan-pertanyaan tambahan dibuat khusus ke arah peran khusus dari responden atau peran FD selama proses. Tabulasi data kuantitatif yang diketahui secara pasti dari FGD dan wawancara lapangan dikumpulkan dan disusun, baik dalam bentuk elektronik maupun cetak. Sesudah itu persentase rata-rata untuk empat puluh desa semuanya, selain juga untuk perempuan, laki-laki dan kedua fase proyek berasal dari pertanyaan-pertanyaan yang dipakai. Begitu terkumpul dan tersusun, data diperiksa silang oleh seluruh Tim bersama-sama. Pertama-tama, dua set hasil tersebut diperiksa silang terhadap satu sama lain untuk konsistensi matematik. Kemudian diperiksa ulang kedua kalinya dengan menggunakan data pada kuesioner yang sudah diisi dan catatan-catatan yang dibuat oleh lapangan oleh setiap evaluator. Data kualitatif juga berasal dari kuesioner yang sudah diisi. Setiap evaluator membuat catatan di setiap akhir hari kerja, memberi komentar pada kekuatan dan kekurangan spesifik dari masukan, capaian dan kondisi-kondisi eksternal di masing-masing desa yang dikunjungi. Pada tahap ini, evaluator juga menyoroti komentar-komentar yang tajam menyentuh yang dibuat oleh setiap penerima manfaat dan FD. Pada saat kembali ke Banda Aceh, para evaluator menyusun data untuk setiap desa, menyoroti kekuatan dan kekurangan yang umum terjadi selain juga menyoroti desa-desa yang kinerjanya rendah dan tinggi. Pada saat kembali dari lapangan, Tim menjalankan wawancara lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan kunci, termasuk manajemen PNPM, staf CIDA dan PMT. Temuan-temuan dari wawancara tersebut kemudian dibandingkan dengan temuan-temuan yang diketahui secara pasti dari para penerima manfaat serta kondisi-kondisi eksternal prevalen untuk membuat kesimpulan akhir. Pada saat presentasi temuan-temuan awalnya, Tim mendapatkan masukan lebih lanjut yang berharga dari PMT, yang mana masukan ini dicantumkan dalam draf final laporan ini.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
14
7.
TEMUAN
Bab ini menguraikan temuan-temuan Tim Evaluasi dari analisa data yang dikumpulkan melalui FGDFGD, wawancara serta dokumen-dokumen proyek. Isu-isu yang dibahas termasuk kualitas dan kuantitas masukan yang diberikan; keluaran dan capaian proyek; keberhasilan yang diraih oleh maksud tujuan dan tujuan-tujuan khusus proyek; keberlanjutan dari hasil-hasil kunci dan potensi untuk pelembagaan pendekatan dan proses yang diperkenalkan di tingkat desa; dan perbedaan antara fase satu dan fase dua proyek. Bab ini dimulai dengan temuan-temuan pada sumbangan eksternal yang membantu maupun yang menghalangi proyek.
7.1
Sumbangan Eksternal
Seksi ini menjelaskan kondisi-kondisi eksternal dan dinamika-dinamika kunci yang mempengaruhi masukan, keluaran dan capaian proyek MGKD di desa-desa sasaran. Kapasitas Lokal dan Kohesi Di seluruh 40 desa yang dikunjungi, teramati berbagai macam tingkat pendidikan dan kapasitas yang sudah ada untuk memahami dan mengimplementasi proyek-proyek fisik. Karena seleksi desa-desa MGKD secara bijak didasarkan pada kriteria yang luas tentang beratnya konflik, maka tingkat pembangunan manusia yang sebelumnya ada bukan menjadi faktor seleksi. Tingkat pembangunan manusia adalah kondisi eksternal yang bagaimanapun juga memainkan peran dalam menentukan tingkat dampak yang bisa dicapai oleh desa. Tingkat-tingkat yang ada sebelumnya dari kohesi sosial juga memainkan peran dalam menentukan capaian dari proyek-proyek fisik. Contohnya di Payo Nan Gadang, Aceh Selatan, desa ini sudah membuat dua kolam mandi, satu untuk perempuan dan satu untuk laki-laki yang juga berfungsi sebagai tempat untuk diskusi informal tentang perencanaan desa. Menurutk Geuchik dan para perempuan di desa ini, banyak ide-ide bagus dimulai dari diskusi-diskusi kecil di kolam mandi tersebut. Moto desa, yang diukir di gerbang pintu masuk desa adalah…“desaku tanggung jawabku”. Di desa-desa seperti demikian, lebih mudah bagi proyek-proyek untuk berakar. Di desa-desa lain, lebih banyak waktu dan perhatian yang dibutuhkan agar sebuah proyek berhasil. Determinan lokal lainnya terhadap keluaran MGKD adalah kapasitas para FD desa, yang diseleksi oleh penduduk setempat. Sebagian besar FD dipilih karena masyarakat mempercayai mereka, bukan karena mereka memiliki kapasitas tertinggi dari kandidat-kandidat yang ada. Sebagaimana dapat diduga, di semua masyarakat paska konflik, kapasits FD untuk memahami tujuan-tujuan MGKD dan dinamika yang luas dari pembangunan masyarakat serta untuk secara kreatif memfasilitasi pertemuan-pertemuan adalah terbatas. Kendati demikian tingkat motivasi dan antusiasme yang tinggi dari mayoritas FD menyediakan basis yang baik untuk MGKD dan fasilitasi proyek PNPM yang akan datang. Disparitas Kabupaten Selama evaluasi, Tim menemukan bahwa ada berbagai macam faktor eksternal, yang mengakibatkan terjadinya disparitas masyarakat di seluruh tujuh kabupatan MGKD. Maka tingkat-tingkat antusiasme, pengertian dan dampak yang berbeda teramati. Di dua kabupaten di Pantai Barat – Aceh Jaya, Aceh Barat Daya – di mana Tsunami 2004 telah meluluh-lantakan komunitas-komunitas pesisir, prioritas desa MGKD adalah pemulihan Tsunami dan bukan pemulihan konflik. Di komunitas-komunitas ini, penduduk biasa berurusan dengan organisasiorganisasi yang menawarkan bantuan Tsunami dan tidak begitu melihat perbedaan antara proyekproyek pemulihan konflik (perdamaian) dan proyek-proyek pemulihan bencana (tsunami). Tingkat konflik dan jumlah mantan pejuang di daerah-daerah ini juga lebih rendah dibanding dengan daerahdaerah lainnya, dengan para responden yang sering kesulitan untuk mengingat nama dan jumlah para
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
15
mantan pejuang. Meski mereka masih tetap bersyukur dengan bantuan-bantuan yang diberikan, komunitas-komunitas ini tampak kurang apresiatif dan kurang termotivasi dibandingkan dengan desadesa yang tidak terpengaruh dampak Tsunami yang sama sekali tidak menerima dukungan atau sedikit menerima dukungan dari organisasi-organisasi lain sebelum kehadiran MGKD. Secara kontras, komunitas-komunitas MGKD yang tidak terpengaruh oleh Tsunami, di Bireuen, Aceh Utara dan Aceh Timur di Pantai Timur, bersama-sama dengan Aceh Selatan di Pantai Barat, secara keseluruhan lebih antusias terhadap bantuan pembangunan perdamaian dari IOM. Di satu sisi, bantuan adalah peluang yang jarang untuk dilewatkan, dan di sisi lain, tingkat konflik dan militansi pro-GAM di tiga kabupaten ini lebih tinggi dibanding di daerah-daerah yang terkena Tsunami yang dicakup oleh MGKD. Hal ini mengakibatkan apresiasi yang lebih besar terhadap prakarsa pemulihan konflik yang tampak pada semangat kolektif orang-orang dan bermacam-ragamnya proyek-proyek kreatif dan kolektif. (Sayangnya, kapasitas bantuan teknis yang ditawarkan di Aceh Jaya pada tahap awal Fase I juga memiliki dampak buruk pada tingkat dampak di sejumlah desa). Tim juga mengamati perbedaan tingkat dalam keterlibatan konflik yang pernah terjadi di semua kabupaten Proyek. Tingkat konflik yang lebih tinggi ditemukan di kabupatan-kabupaten yang terletak di Pantai Timur, di mana jumlah yang lebih besar dari keanggotaan GAM yang militan secara politis berasal. Dengan ditemukannya jumlah mantan pejuang GAM yang lebih besar dan tidak ada kegelisahan dengan pemulihan tsunami di daerah-daerah ini, maka tingkat keterlibatan dan kenangan akan konflik tertoreh lebih dalam dibandingkan dengan yang di Pantai Barat. Meski tingkat konflik di wilayah Lembah Kluet, Aceh Selatan juga mencatat tingginya tingkat konflik, banyak komunitas di sana tidak memiliki mantan pejugang, dilaporkan karena para mantan pejuang di Lembah ini sebagian besar dulunya berasal dari GAM dari kabupaten-kabupaten lainnya. Kendati demikian, meskipun tidak langsung terlibat dalam konflik, komunitas-komunitas korban ini memiliki kenangan yang menyakitkan tentang konflik dan [dengan demikian] memiliki kebutuhan segera dan mengapresiasi bantuan pembangunan perdamaian. Tim juga mengunjungi desa-desa yang tidak memiliki sisa mantan pejuang di desa-desa tersebut. Satu desa melaporkan bahwa para mantan pejuang pernah tinggal di desa, tetapi kembali ke kampung halaman mereka sejak terbentuknya perdamaian. Desadesa lain melaporkan bahwa desa mereka tidak mengalami konflik, tetapi terletak dekat dengan daerah di mana dulunya konflik bersenjata antara GAM dan militer Indonesia terjadi secara reguler. Politik Lokal Faktor eksternal lebih lanjut yang mempengaruhi dampak dan keberlanjutan proyek-proyek MGKD di beberapa desa yang dikunjungi oleh Tim adalah perubahan yang tidak bisa diduga dalam kepemimpinan lokal. Sebagaimana layaknya norma di semua kegiatan desa di seluruh Aceh, Geuchik (kepala desa) dan Sekdes (sekretaris desa) sering memainkan peran kunci dalam menentukan arah dari proyek MGKD. Kepala desa yang proaktif sering memudahkan fasilitasi proyek ini, sedangkan kepala desa yang kurang aktif atau kurang demokratis berarti lingkungan yang lebih menantang bagi para FD dan TA untuk beroperasi. Di sejumlah desa, perubahan dalam kepemimpinan desa sesudah penyelesaian proyek Fase I berarti prospek keberlanjutan dari proyek fisik hilang. Sama halnya dengan seleksi FD berbasis desa juga terkena aliran politik lokal. Ini kadang-kadang berakibat pada pengangkatan seorang fasilitator baru atau fasilitator yang terhubung secara politis. Proyek-proyek Desa Lainnya Secara umum, MGKD adalah satu-satunya proyek pemulihan konflik yang dibentuk di desa-desa yang diseleksi untuk evaluasi eksternal. Banyak penduduk desa yang terbukti adalah mantan pejuang atau korban konflik telah menerima kompensasi perorangan dari BRA, tetapi hanya segolongan kecil, jika ada, yang menjadi bagian dari proyek pembangunan perdamaian kolektif. Sebagaimana disebut di atas, banyak penduduk desa di daerah-daerah yang terkena Tsunami sudah menerima bantuan pemulihan, dan beberapa lainnya sudah memulai proses penerapan dan/atau seleksi untuk bantuan pembangunan PNPM dari pemerintah.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
16
Konsolidasi Perdamaian Faktor-faktor eksternal, yakni penandatanganan dan pengimplementasian Nota Kesepakatan antara GAM dan Pemerintah Indonesia pada bulan Agustus 2005, adalah juga alasan utama untuk pembangunan kembali perdamaian di desa-desa ini. Sejak itu, sumbangan eksternal lainnya (misalnya, demobilisasi, kompensasi untuk korban dan mantan pejuang, dan Tsunami) berfungsi untuk mengkonsolidasikan perdamaian di desa-desa. Sebagaimana akan dijelaskan pada bagian nanti tentang isu ini, sebagian besar penduduk desa tidak melihat diri mereka sebagai aktor dalam proses perdamaian, sebaliknya membandingkan periode paska konflik sebagai kesempatan untuk memperluas cakrawala sosial dan ekonomi mereka.
7.2
Masukan Pemangku Kepentingan
Bagian evaluasi yang ini menilai kualitas masukan yang diberikan oleh IOM dan PNPM, dan hubungan diantara dan antara sesama pemangku dan penerima manfaat MGKD yang kunci. Komentar lebih lanjut tentang masukan dan hubungan ditemukan lebih lanjut di bagian belakang laporan ini. Dukungan Teknis dan Manajemen Proyek Meski waktu dan uang menghalangi kuantitas dan kualitas masukan, Tim menemukan bahwa masukan-masukan yang diberikan melalui dukungan teknis dan manajemen proyek IOM adalah kreatif dan sangat efisien. Masukan teknis disampaikan melalui bermacam-macam pilihan untuk manual pelatihan, lokakarya, strategi dan alat implementasi, latihan-latihan monitoring dan evaluasi, selain juga manajemen administrasi dan keuangan. Tim manajemen IOM juga mendapatkan manfaat dengan memelihara secara konsisten relasi-relasi yang baik dengan para pemangku kepentingan kunci lainnya dalam proses ini. Bahkan sebetulnya, adalah jarang menemukan proyek-proyek di mana pihak-pihak utama yang bertanggungjawab dalam proyek (IOM, PNPM dan CIDA) tetap ada selama durasi proyek ini. Faktor tunggal ini yang membuat rasa saling percaya dan koordinasi informal yang baik untuk tumbuh antara donor dan para pengimplemen. Meski komentar-komentar lain tentang masukan teknis dapat ditemukan pada sisa bagian ini, dua temuan struktural dibahas berikut. Jumlah ambisius dari desa sasaran dan penerima manfaat – yakni proyek fisik yang selesai di 396 desa dalam waktu dua tahun – mengubah penekanan manajemen menuju kuantitas dan menjauh dari kualitas. Meskipun Tim menemukan bahwa baik kuantitas maupun tingkat kualitas di atas memuaskan ditemukan secara pasti di sebagian desa, arbitrator utama dari sasaran-sasaran ini (manajer proyek) harus mengarahkan banyak enerjinya ke yang pertama. Pada bagian awal Fase I, Manajer Proyek juga terhalangi oleh waktu, karena dia juga harus mengelola dana proyek MGKD terpisah yang didanai oleh donor lain, selain juga masalah retensi staf (lihat ‘Bantuan Teknis IOM’ di bawah). Pada Fase I, 255 desa CIDA dan tambahan 95 lagi desa UNDP-MGKD harus dikelola. Pada Fase II, hanya ada 141 desa CIDA. Selama sebagian besar proyek, tim manajemen tetap berada di dalam anggaran yang disetujui. Menjelang akhir proyek, hambatan-hambatan struktural internal kadang-kadang mencegah kemulusan eksekusi keuangan. Karena proyek ini diawasi oleh divisi keuangan IOM, maka ada beberapa penafsiran berbeda dan diskrepansi dalam pengertian tentang jumlah sumber daya keuangan yang tersedia. Kemudian ada beberapa salah hitung dan kelebihan pembelanjaan. Meskipun ketidakefisienan kelembagaan ini tidak mengganggu pengimplementasian proyek, hal ini berarti tim manajemen MGKD harus meluangkan waktu sangat banyak dalam isu-isu operasional. Waktu yang berharga ini pada akhir proyek seharusnya akan lebih bisa diluangkan secara efektif pada proses demobilisasi proyek-proyek. Yang terakhir, fluktuasi mata uang dan perbedaan kurs tukar antara
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
17
Dolar Kanada, Dolar Amerika dan Rupiah, menyebabkan perencanaan dan pembuatan anggaran menjadi sangat sulit. Bahan Pelatihan dan Bahan Bacaan (sumber pustaka) Sebelum memulai kerja mereka di desa-desa sasaran, semua staf lapangan mendapatkan pelatihan dari staf proyek IOM dan organisasi-organisasi mitra (LSM/Ornop). Pada Fase II pelatihan untuk para FD, FK dan PL dibatasi sampai satu hari. Ini termasuk pelatihan dalam fasilitasi teknis, prosedur operasi baku dikenal sebagai SOP (Standard Operating Procedures – prinsip, mekanisme, prosedur dan tanggungjawab), dan konsep-konsep gender dasar berfokus pada peningkatan partisipasi perempuan dan pengurangan diskriminasi. Isu-isu lingkungan yang terkait dengan penggunaan Daftar Negatif PNPM juga bagian dari kursus ini. Sebagian besar staf dan relawan PNPM sebelumnya sudah mendapatkan pelatihan tentang fasilitasi. Beberapa staf PNPM adalah rekrutan baru, yang disewa seiring dengan dimulainya proyek MGKD. Pada Fase II, pelatihan untuk para FD ditambah menjadi 3 hari. Satu hari dirancang untuk SOP MGKD, satu hari untuk pelatihan dasar tentang gender, dan hari ketiga untuk isu-isu lain, termasuk daftar negatif. Pada bulan Maret 2008, para TA mendapatkan 4 hari pelatihan pra-implementasi Fase II. Ini termasuk sosialisasi proyek, fasilitasi teknis, pelatihan SOP termasuk manajemen keuangan dan pelatihan dasar tentang gender. Dua lokakarya tambahan selama 5 hari dalam pengembangan kapasitas diselenggarakan pada bulan Juli 2008 dan Januari 2009 di Medan. Tim Evaluasi menemukan bahwa baik waktu maupun sumber daya membatasi baik kuantitas maupun kualitas dari pelatihan pra-implementasi yang diberikan kepada para FD. Ini bukanlah berarti hal yang buruk, karena kapasitas FD dan staf lapangan lainnya memerlukan mereka untuk belajar lebih banyak dibandingkan dengan yang mereka lakukan sebelumnya dalam waktu tersedia, yang juga terbatas, dengan kata lain, Tim menemukan bahwa ada plafon kaca untuk ke tingkat kinerja yang dapat diharapkan. Dengan demikian, periode pelatihan yang diperpanjang sedianya tidak diperlukan untuk menghasilkan kinerja yang meningkat. Bagi sebagian besar penyedia pelayanan langsung MGKD, proyek ini adalah langkah perkenalan pertama ke sebuah proses yang baru dan budaya penyampaian layanan yang sifatnya demokratis. Dalam keadaan yang menantang tersebut, antusiasme, kemauan untuk belajar dan kebanggaan pribadi dari para FD memungkinkan mereka untuk berkinerja secara mengagumkan. Kapasitas terbatas dari perempuan dan laki-laki yang tidak berpengalaman ini juga jauh menjelaskan hasil-hasil konsisten yang ditemukan oleh Tim selama dua fase proyek ini. Sumber-sumber bacaan dan alat-alat kunci, yang memberi dampak pada keluaran proyek, termasuk penggunaan daftar negatif dan daftar contoh dalam penyeleksian proyek-proyek fisik oleh komunitaskomunitas MGKD, papan pengumuman MGKD di desa-desa dan garis-garis pedomana pemeliharaan proyek. Selama pelatihan, para staf lapangan juga menerima bahan-bahan seperti bagan arus (flowchart) proyek, SOP proyek, dan garis pedoman gender untuk memandu mereka selama proses tersebut. Staf lapangan juga menerima formulir-formulir contoh untuk membantu desa-desa menyelesaikan proposal proyek, manajemen keuangan, konstruksi dan pemeliharaan. Relevansi dari beberapa alat-alat ini ditinjau di bagian temuan lainnya di bawah. Monitoring Internal dan Eksternal Selama proyek berlangsung, staf IOM menjalan sejumlah kegiatan monitoring dan evaluasi. Kegiatan pertama dijalankan pada bulan November 2007, berjudul ‘Monitoring of Project Progress and Impact of CIDA-MGKD (Monitoring Kemajuan Proyek dan Dampak CIDA-MGKD)’. Evaluasi ini didasarkan pada FGD yang dijalankan di 22% dari desa-desa Fase I. Ini dijalankan setelah pembayaran 75% pertama dari hibah. Kegiatan kedua dijalankan pada awal 2008, berjudul ‘Village
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
18
Focus Group Discussions: MGKD Phase 2 Pre-implementation Report (’ FGD Desa: Laporan PraImplementasi MGKD Fase II). Laporan ini berdasarkan pada kuesioner FGD di 18 desa di tiga kabupaten sasaran dalam Fase II. Petugas lapangan IOM di tingkat kabupaten melakukan FGD bersamaan dengan asesmen pai evaluasi sendiri. Tujuan dari latihan ini adalah untuk mensurvai dinamika sosial yang ada di komunitas-komunitas desa, termasuk tingkat interaksi sosial, normanorma masyarakat dan harapan penerima manfaat terhadap MGKD. Latihan ketiga dijalankan enam bulan sesudah Fase I selesai, pada bulan Maret 2008, dengan judul, ‘Evaluation Report: MGKDCIDA Phase 1 (Laporan Evaluasi: MGKD- CIDA Fase I)’. Laporan ini, berdasarkan pada kuesioner pilihan berganda, menilai dampak dari MGKD, tingkat kepuasaan penerima manfaat, dan keberlanjutan praktek-praktek demokratis yang diperkenalkan oleh proyek ini. Kuesioneer digunakan oleh TA proyek untuk mewawancara 260 penerima manfaat. Semua kegiatan diatas difokuskan pada monitoring kualitas dari keluaran MGKD yang diketahui secara pasti dari para penerima manfaat. Meski temuan-temuan memberikan foto sekilas yang baik tentang persepsi para penerima manfaat mengenai keluaran proyek, ketiga kegiatan monitoring tersebut sedikit memberikan atau mungkin tidak sama sekali terhadap kualitas dari masukan internal, seperti modul pelatihan staf, bahan bacaan/sumber pustaka dan bantuan teknis yang disediakan. Sebuah peluang juga terlewatkan untuk lebih lanjut membangun kapasitas staf PNPM, dengan cara melibatkan satu atau dua staf mereka dalam perancangan dan eksekusi asesmen-asesmen tersebut. Keterlibatan PNPM seharusnya dapat dijamin seandainya mereka menjadi bagian dari kesepakatan awal. Selain itu, semua staf lapangan memiliki alur dan mekanisme yang jelas untuk pelaporan kepada tim manajemen proyek (PMT) di Banda Aceh. Para FD mengirimkan laporan bulanan dari desa mereka ke FK yang kemudian melampirkannya pada laporan bulannnya untuk kemudian dilanjutkan ke TA yang bertanggungjawab (satu salinan juga dikirimkan kepada KM (Konsultan Manajemen) PNPM di tingkat kabupaten). Setiap TA kemudian akan menyusun ikhtisar bulanan mereka sendiri, melampirkannya ke laporan-laporan lainnya yang disusun dan mengirimkannya ke PMT di Banda Aceh. PMT juga menerima laporan monitoring harian dari kunjungan lapangan mereka ke desa-desa. Setiap TA akan meringkas laporan harian mereka dan mengirimkannya setiap minggu ke Banda Aceh. PMT menganalisa laporan-laporan yang disusun ini, memonitor kemajuan dan masalah di masing-masing desa. PMT membahas kebutuhan-kebutuhan masing-masing desa, membantu TA untuk menyelesaikan masalah-masalah besar secara kasus per kasus. PMT juga memiliki telekomunikasi yang baik dengan staf lapangan dan melakukan kunjungan teratur ke lapangan. Selama pelatihan pra-implementasi untuk Fase II, PMT memfasilitasi proses perenungan/pemikiran bersama tentang Fase I untuk para TA dan pemangku kepentingan lainnya. Proses perenungan ini menyumbang pada pengidentifikasian masalah-masalah umum dan hikmah yang didapt selama fase pertama proyek. Juga selama durasi proyek, sebuah perusahaan konsultan swasta dikontrak oleh CIDA untuk memonitor semua proyek mereka di Aceh yang memonitor MGKD tiga kali setahun. CIDA menginformasikan Tim bahwa selama proyek berlangsung, baik monitoring IOM maupun CIDA atas proyek ini menghasilkan umpan balik yang terpadu. Hasil-hasil dari FGD-FGD IOM dan evaluasi internal dengan desa-desa sasaran digabungkan dengan hasil-hasil monitoring CIDA sendiri menghasilkan satu set hikmah yang diterima dengan baik dan dilaksanakan oleh manajemen proyek. Tim menemukan bahwa kombinasi upaya-upaya monitoring dan evaluasi IOM dan CIDA menghasilkan berbagai macam hikmah yang dilaksanakan selama proyek ini adalah demi merangsang dampak dan keefektifan yang lebih besar. Kekuatan utama proses ini adalah dua dari pemangku kepentingan terlibat memberikan pengimbang yang memungkinkan kepentingan masing-masing dari kedua pemangku kepentingan disertakan dalam pemrograman yang direvisi. Kehadiran terus menerus staf TPM juga memampukan sejumlah besar pengetahuan kelembagaan tentang proyek ini terpelihara dan digunakan dalam analisa final untuk pengimplementasian Fase II. Ada satu kelemahan dalam upaya monitoring yang dilakukan TPM. Ini adalah tidak adanya sebuah mekanisme formal atau sistematis untuk mengumpulkan dan menganalisa data mingguan dan bulanan
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
19
yang dikirim dari lapangan. Mekanisme sedemikian ini sebetulnya dapat memungkinkan indikatorindikator kunci dan masalah-masalah kinerja dari keseluruhan proyek ini teridentifikasikan dan diumpankan pada hikmah-hikmah di akhir Fase I. Ini bukan berarti mengatakan bahwa mekanisme manajemen pengetahuan informal yang digunakan oleh PMT tidak efektif, tetapi seandainya ada sebuah mekanisme formal untuk mengumpulkan dan menyimpan data global, maka ini akan menambah ke kualitas yang lebih kokoh pada informasi yang ada. Sebaliknya, informasi yang ada malah terbatas pada data dari masing-masing desa. Kelemahan lebih lanjut dari evaluasi adalah tidak adanya mekanisme koordinasi formal (misalnya Panitia Pengarah atau Steering Committee Proyek), yang melibatkan perwakilan dari semua pemangku kepentingan kunci (CIDA, IOM dan PNPM) dan perwakilan dari staf lapangan selama proses tersebut. Sebuah Panitia Pengarah dibentuk pada Fase I, tetapi hanya bertemu sekali. Meski bukan bagian dari rencana kerja, Panitia Pengarah Fase II, termasuk IOM dan CIDA (tetapi tidak PNPM) bertemu secara teratur dan dibilang efektif, sehingga memungkinkan hasil-hasil dari berbagai kegiatan monitoring dibagi dan dievaluasi secara bersama-sama. Kehadiran terus menerus Panitia ini selama proses tersebut, dengan perwakilan dari semua pemangku kepentingan, mungkin memperkuat keefektifan ini lebih lanjut. Bantuan Teknis IOM Bagian ini mengangkat temuan-temuan umum tentang kapasitas dan kinerja dari masukan-masukan teknis yang diberikan oleh staf IOM di desa-desa sasaran (terutama Asisten Teknis atau TA). TA memiliki kehadiran yang tinggi di desa-desa sasaran. Banyak penerima manfaat mengatakan bahwa TA selalu mengunjungi desa-desa, beberapa ada yang mengatakan mereka sangat sering berkunjung dan beberapa lainnya mengatakan jarang. Dalam kebanyakan kasus, TA selalu ada pada titik-titik waktu kunci selama proses MGKD (sosialisasi, seleksi proyek, penulisan proposal, implementasi proyek, dsj) atau ketika dipanggil. Dalam banyak kasus, mereka hadir untuk 3 atau 4 hari pada saat memfasilitasi kegiatan-kegiatan kunci tersebut. Ada beberapa desa Fase I di mana penerima manfaat yang diwawancara tidak bisa mengingat IOM bekerja dalam program MGKD di desa mereka. Contohnya di Mon Mata, Aceh Jaya, para perempuan yang menghadiri FGD evaluasi berkata bahwa mereka tidak tahu bahwa IOM pernah sekali bekerja di desa mereka. Dari apa yang dapat diketahui dengan pasti, kasus unik ini sebagian dikarenakan rendahnya tingkat bantuan teknis berhadapan dengan politik lokal yang problematis dan perubahan baru-baru ini dalam kepemimpinan desa tersebut. Pada umumnya para TA yang diwawancarai oleh Tim antusias tentang peran mereka, tetapi kualitas bantuan tingkat tinggi kadang-kadang dikompromikan oleh kapasitas dan/atau komitmen para TA. Kadang-kadang tingkat pemahaman beberapa TA tentang proyek dan komitmen untuk belajar tampak terbatas, khususnya pada isu lingkungan, keadilan gender dan proses demokrasi (lihat kasus-kasus khusus di bagian belakang laporan ini). Pengaruh TA (dan FD) selama pemilihan proyek desa dan penggunaan daftar contoh proyek (lihat di bawah) tampak menuntun desa-desa ke proyek/kegiatan spesifik (misalnya, pelaminan dan teratak). Meski ada korelasi pasti antara beberapa item yang ada dalam daftar itu dan tingginya frekuensi pemilihan item-item tersebut oleh komunitas (khususnya oleh perempuan), banyak penerima manfaat memberikan kesaksian bahwa mereka memilihi itemitem ini karena tidak ada proyek lain yang mengijinkan mereka untuk memilih item-item tersebut dan pengadaan item sedemikian memungkinkan untuk bertambahnya sejumlah interaksi sosial dan budaya yang penting. Segolongan kecil penerima manfaat memberi kesaksian bahwa pilihan mereka dipengaruhi oleh daftar tersebut. Para TA mencatat bahwa kapasitas mereka untuk membantu sering dibatasi oleh waktu, logistik serta prosedur keamanan dan perjalanan IOM. Selama Fase I, para TA masing-masing bertanggungjawab atas rata-rata 24 desa. Pada Fase II, total rata-rata turun menjadi 10 desa per TA. Mengingat jarak banyak desa ke kantor proyek di kabupaten, maka tidak selalu mungkin bagi para TA untuk mengunjungi setiap desa setiap minggu, terutama selama Fase I. Pergantian TA yang tinggi selama
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
20
Fase I juga terbukti mengganggu, tetapi sulit untuk menghindari pengaruh, sebagaiman halnya terjadi di sebagian besar situasi paska-konflik. Pada saat ini banyak Di desa-desa yang dikunjungi ada disparitas nyata dalam kapasitas di antara desa-desa penerima manfaat. Oleh sebab itu TA dan PMT meluangkan waktu lebih banyak dengan para penerima manfaat yang rendah kapasitasnya ini. Tim evaluasi menemukan bahwa jika seandainya waktu dan logistik lebih menguntungkan, sumber daya lebih lanjut dapat sekiranya dialihkan ke desa-desa yang berprestasi rendah tersebut. Hubungan PNPM dengan MGKD Keterlibatan PNPM Mandiri Daerah Tertinggal dalam MGKD adalah fundamental untuk fasilitasi dan implementasi yang berhasil dari tujuan-tujuan khusus proyek. IOM dan PNPM bersama telah memberikan bagian besar layanan dan masukan ke dalam proyek ini. Dua relawan PNPM (Fasilitator Desa atau FD) yang dipilih oleh masing-masing desa merupakan titik singgung (interface) pemangku kepentingan/penerima manfaat utama dari proyek. Hubungan dan koordinasi Asisten Teknis (TA) IOM dengan para FD dan staf PNPM (FK & KM) di tingkat kecamatan juga kunci bagi fasilitasi dan implementasi yang mulus. Di Banda Aceh, hubungan antara IOM dan manajemen PNOM juga krusial. Lebih lanjut lagi, potensi untuk keberlanjutan proyek akan juga tergantung pada kerja baik yang terus menerus dari PNPM di desa-desa sasaran atau desa-desa lainnya di Aceh. Selama durasi proyek, hubungan PNPM dengan tim manajemen proyek IOM sangat baik. Kedua belah pihak tidak melaporkan adanya masalah apapun yang serius. Bahkan sesungguhnya hubungan, yang sangat beruntung dari jumlah mantan staf PNPM yang sengaja disewa oleh IOM, ternyata bersifat terbuka dan luwes bagi kedua belah pihak untuk bisa saling tukar informasi dan ide, selain juga menyelesaikan isu-ise baik melalui saluran formal maupun informal. Hubungan Operasional antara IOM & PNPM Kehadiran terus menerus, dan sikap saling menghormati antara Manajer Proyek IOM dan Kepala PNPM Aceh di sepanjang proses MGKD tidak dipungkiri memberikan dampak positif pada hubungan operasional dan masukan-masukan proyek yang diberikan. Tim juga mengamati bahwa mayoritas FD PNPM menikmati dan mengapreasi bantuan TA IOM, dengan tingkat koordinasi dan pertukaran informasi yang tinggi tentang perkembangan proyek-proyek fisik. Kepala PNPM berkata bahwa tautan yang paling lemah dalam hubungan operasional adalah antara para TA dan para FK. Beliau melaporkan bahwa meski tidak ada masalah besar diantara mereka, kekerapan pertemuan tidaklah memadai dan satu sama lain sering dibatasi oleh waktu dan komitmen-komitmen lainnya. Para FD perlu ditingkatkan di masa yang akan datang. PNPM saat ini sedang merekrut lebih banyak staf supaya ada satu asisten FK untuk setiap lima desa di Aceh (lihat bagian tentang keberlanjutan di bagian akhir laporan ini.) Fasilitasi PNPM Kehadiran: Setiap desa memilih dua FD (satu perempuan, satu laki-laki) untuk memfasilitasi proses MGKD. Sebagian besar FD dipilih sebagaimana masyarakat mempercayai mereka. Mayoritas FD tinggal di desa jadi mereka ada tersedia untuk memfasilitasi proyek. Kendati demikian, kehadiran FD berragam sifatnya. Beberapa selalu terlibat, sementara yang lainnya sering atau kadang-kadang terlibat (selalu berarti setiap hari). Di beberapa desa, pengaruh, kapasitas atau komitmen dari satu FD lebih tinggi dibanding yang satunya. Para FD perempuan sering ditemukan lebih efektif dibanding kolega laki-laki mereka. Kapasitas & Komitmen: Sebagian besar FD adalah rekrutan baru yang dipilih oleh desa mereka sendiri. Banyak dari mereka hanya memiliki tingkat pendidikan dan/atau pengalaman kerja formal yang rendah. Bagi sebagian besar FD, hal ini adalah pengalaman pertama mereka bekerja dengan mitra pembangunan dari luar, jadi, sebagaimana diduga, ditemukan kapasitas yang rendah untuk memahami dan memfasilitasi MGKD. Kendati demikian, sebagian besar FD antusias dan
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
21
berkomitmen pada peran mereka, walaupun sifatnya sukarela dan upahnya terbatas untuk menutupi biaya operasional. Namun, ada sejumlah FD yang tampak kurang dalam antusiasme mereka dan agak malas, kemungkinan dikarenakan kurangnya imbalan materil atas upaya-upaya mereka. Yang lainnya memiliki kerja dan tanggung jawab lain juga yang diurus. Kapasitas FD dari satu tempat ke tempat lain berragam. Di beberapa desa, para FD sangat bermotivasi, berani dan mampu (misalnya, FD perempuan di Seuneubok Barat dan Padang Meuria), sementara pada saat yang bersamaan ada FD yang memandang dirinya lebih pandai daripada orangorang, misalnya seorang FD laki-laki di Lhok Kuyun, Bireuen, yang memberitahu tim evaluasi untuk tidak bertanya pada para perempuan yang berdiri mengamati di luar tempat FGD, dia mengatakan pada evaluator “Jangan tanya sama ibu-ibu itu, mereka tidak tahu apa-apa soal program MGKD, IQ mereka rendah”. FD lainnya di Alue Peunawa, Aceh Barat Daya, tidak berhasil untuk mengingat kehadiran IOM, dan bertanya pada tim evaluasi. ‘Apa itu IOM?, Dari mana? Organisasi macam apa? Apa itu semacam makanan, atau apa?’. Mereka yang hadir (termasuk FD) mengakui bahwa mereka tahu ada dukungan untuk desa mereka, dan biasanya FD dan UPK adalah yang mengerti tentang dukungan tersebut, tetapi tetap FD tidak benar-benar mengerti maksud tujuan dari dukungan itu tadi. Yang terakhir, ada beberapa FD yang tampaknya distigmatisasi karena status sosial mereka, yang sayangnya mengurangi tingkat pengaruh mereka diantara masyarakat mereka. Contohnya, selama FGD evaluasi, beberapa FD enggan untuk mengungkapkan perasaan mereka di hadapan tokoh-tokoh masyarakat dan rekan sebaya mereka. Mereka jauh lebih ekspresif ketika diwawancara secara terpisah. Di dua desa yang dikunjungi, komunitas memilih untuk merotasi satu atau kedua FD mereka. Ini dilakukan karena sebagai akibat adanya perubahan dalam kepemimpinan desa atau sebagai cara egalitarian untuk menyebarkan kapasitas. Rotasi-rotasi sedemikian tersebut dapat berfungsi menambah ataupun mengurangi keefektifan. Hubungan Para Penerima Manfaat ke MGKD Para pemangku kepentingan MGKD menikmati hubungan ramah dengan para penerima manfaat proyek. Para penerima manfaat proyek yang ditemui oleh Tim sangat berterimakasih atas bantuan MGKD dan mayoritas dari mereka melaporkan tidak ada masalah dengan implementasi proyek. Kunjungan-kunjungan teratur dari asisten teknis (TA) dan staf proyek, bersamaan dengan pelatihan untuk para FD yang berbasis di desa memperkuat hubungan-hubungan tersebut. Hubungan Para Donor ke MGKD CIDA melaporkan bahwa hubungan kerja mereka baik dengan IOM dan PNPM sangat baik sepanjang durasi proyek. Mereka tidak melaporkan masalah apapun dengan pengimplementasian MGKD yang dilakukan oleh IOM. CIDA sangat memuji manajemen IOM atas proyek ini. Selain dari laporan-laporan yang disepakati tentang kemajuan-kemajuan proyek, CIDA menerima informasi tambahan tentang minat terhadap proyek yang mereka pikir berjalan ‘jauh melebihi’ norma dan membantu membuat donor berminat dan terlibat dalam proyek ini. Sebagai contoh, CIDA melaporkan tingginya entri dari anggota masyarakat MGKD di desa-desa MGKD dalam kompetisi esai tahunan mereka “Bagaimana proyek CIDA sudah membantu kehidupan anda?” CIDA melihat ini sebagai tanda kuatnya kehadiran IOM dan dampak positif MGKD di desadesa sasaran. Mereka juga mencatat ditambah sebagai ‘mitra’, staf proyek IOM selalu ikut serta dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemrograman CIDA {misalnya, dalam lokakarya strategi keluar (exit strategy)}. CIDA sangat menyadari tentang masalah retensi penstafan IOM selama Fase I MGKD, tetapi senang bahwa masalah-masalah tersebut terselesaikan dalam waktu yang singkat. Mereka mengakui bahwa sulit untuk mengelola dan mempertahankan staf dalam lingkungan-lingkungan paska-konflik.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
22
Staf CIDA di Kanada mengambil kendali dalam administrasi keuangan akun MGKD. CIDA menjelaskan bahwa tidak ada kejanggalan keuangan maupun administrasi selama proyek ini berlangsung, tetapi ada beberapa kesempatan di mana mereka harus menunggu klaim IOM. Bahkan sesungguhnya CIDA menyumbang 2 juta Dolar Kanada dana tambahan untuk proyek ini ketika mereka mengamati bahwa proyek ini telah menghasilkan dampak-dampak positif yang disampaikan secara tepat waktu. CIDA juga mencatat bahwa IOM memiliki sistem manajemen keuangan internal yang rumit, yang tidak mudah dipahami oleh CIDA (lihat bagian tentang Dukungan Teknis dan Manajemen Proyek di atas). Meski sistem ini menimbulkan sakit kepala pada kemulusan administrasi proyek ini, CIDA mencatat bahwa masalah-masalah tersebut diluar kendali Manajer Proyek MGKD. CIDA melihat PNPM adalah kunci, baik untuk pengimplementasian maupun untuk keberlanjutan ke depan proses-proses demokrasi dan proyek-proyek fisik MGKD. CIDA mencatat bahwa para FD dan FK PNPM sangat senang dengan pengalaman tambahan yang mereka peroleh selama keterlibatan mereka dengan MGKD. Selama kunjungan lapangan, para staf CIDA juga terkesan dengan koordinasi yang ada antara FD, FK dan TA. CIDA juga terkesan dengan produk-produk inovatif mereka, seperti misalnya filem-filem dan artikel-artikel yang dihasilkan IOM untuk mempromosikan MGKD.
7.3
Proses Demokratis
Salah satu pondasi MGKD adalah desakan terus menerus tentang penggunaan manajemen dan proses demokratis pada setiap tahap dari proyek-proyek fisik desa. Metoda bottom-up ini juga adalah bagian dari strategi PNPM ketika mengorganisir desa-desa untuk proyek-proyek pembangunan masyarakat. Proses demokraits yang diperkenalkan dalam MGKD adalah salah satu aspek yang paling berhasil dari proyek ini. Partisipasi Di sebagian besar desa-desa, musyawarah dihadiri oleh sejumlah besar masyarakat. Diagram pai di bawah ini menunjukkan bahwa 84% dari responden mengatakan bahwa sekurang-kurangnya 50 orang menghadiri musyawarah MGKD. 24% mengatakan sekurang-kurangnya 100 orang menghadiri. Harap disimak, bahwa secara rata-rata ada sekitar 120 sampai 150 KK di satu desa. Desa-desa yang lebih besar mengadakan pertemuan-pertemuan dusun sebelum berkumpul untuk musyawarah MGKD desa. Tim menemukan bahwa 63% penduduk desa mengatakan angka tersebut adalah peningkatan partisipasi secara umum dari keadaan musyawarah pra-MGKD. 36% berkata tidak ada peningkatan dalam kehadiran. 0% mengatakan partisipasi berkurang. Ketika ditanyai tentang angka kehadiran sebelum MGKD, para penerima manfaat mengatakan bahwa: 19% selalu hadir, 41% sering hadir, 8% kadang-kadang hadir, 19% hampir tidak pernah menghadiri, 3% tidak menghadiri. 38% dari perempuan berkata bahwa partisipasi kaum perempuan meningkat selama proyek MGKD.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
23
Disamping peningkatan dalam kehadiran, bermacam-macam anggota masyarakat ditemukan terlibat secara teratur dalam musyawarah MGKD (lihat tabel di bawah). 83% dari penerima manfaat berkata bahwa kepala desa dan tetua desa selalu hadir dalam musyawarah MGKD. 80% berkata bahwa baik perempuan maupun laki-laki hadir musyawarah tersebut. 75% laki-laki berkata bahwa mantan pejuang hadir dan 69% berkata bahwa tahanan politik yang diberi pengampunan hadir. Harap disimak, bahwa di beberapa desa Fase II, tidak ada mantan pejuang atau tahanan politik yang diberi pengampun karena ini bukan persyaratan pada Fase II. Alasan mengapa ada 10% penurunan rata-rata dalam jawaban dari para perempuan terhadap pertanyaan-pertanyaan ini adalah dikarenakan kurangnya pengetahuan dan kesadaran tentang kegiatan-kegiatan MGKD atas nama beberapa dari mereka yang menghadiri FGD-FGD evaluasi.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
24
Pembuatan Keputusan Proses pembuatan keputusan secara demokratis yang diperkenalkan oleh MGKD adalah salah satu capaian yang paling populer dan efektif dari proyek ini. Pada umumnya proses ini melibatkan diskusi yang lama dalam pertemuan-pertemuan desa, kemudian diikuti oleh keputusan konsensus atau oleh pengambilan suara secara terbuka atau rahasia. Sampai sejauh ini, sistem demokratis ini telah terbukti berkelanjutan, dengan 80% dari para penerima manfaat menyatakan bahwa keputusan desa terus dibuat dalam pertemuan-pertemuan terbuka. Di banyak desa, hal ini adalah fenomena baru. Di desa-desa di mana keputusan musyawarah sudah ada sebelum MGKD, fenomena ini diperkokoh dan diperkuat. Gadang di Aceh Selatan memiliki mekanisme pengambilan keputusan mereka sendiri yang sudah ada sebelumnya. Di desa ini, mereka menggunakan pengambilan suara terbuka (ditunjukkan dengan mengangkat tangan) untuk isu-isu umum dan tidak peka, dan pengambilan suara rahasia (kotak suara) untuk isu-isu yang peka. Sebagian besar desa melibatkan semua orang dalam proses pembuatan keputusan. Kendati demikian, ada segolongan kecil kasus di mana kepala desa, atau Geuchik, membuat keputusan (misalnya, di Batee Roo, Aceh Jaya). Seorang penduduk desa lainya menambahkan bahwa para kepala desa membuat keputusan dan kemudian memberitahukannya kepada penduduk. Ada juga beberapa kasus di mana dusun tidak sadar tentang proyek ini atau tidak terlibat dalam proses ini, yang menyebabkan beberapa kecemburuan dan mengurangi kohesi sosial.
Pada umumnya, MGKD telah meningkatkan partisipasi demokratis kaum perempuan dalam urusanurusan desa dan pembuatan keputusan di desa, selain juga memberdayakan mereka untuk merancang, mengimplementasikan dan memelihara proyek mereka sendiri. Peluang-peluang ini membangun kepercayaan diri perempuan untuk secara potensil membuat sumbangan lebih besar dengan basis yang lebih setara dengan kaum laki-laki di masa depan. Di beberapa desa, ketua desa laki-laki bersikap apresiatif secara terbuka terhadap bantuan MGKD untuk istri-istri mereka dan para perempuan desa, mengakui bahwa pemberdayaan perempuan adalah sumbangan yang penting bagi kemakmuran desa. Tetapi di beberapa desa, ada kekurangan partisipasi kaum perempaun dalam proses pembuatan keputusan untuk proyek-proyek masyarakat. Dalam kasuskasus ini, para laki-laki kunci, yang salah paham bahwa hibah masyarakat adalah untuk kaum laki
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
25
laki sedangkan perempuan sudah memiliki hibah mereka sendiri, mengesampingkan perempuan. Kesalahpahaman ini kadang-kadang tercermin dalam jenis proyek yang dipilih oleh masyarakat, seperti sarana olahraga, yang hanya digunakan semata-mata oleh laki-laki. Beberapa perempuan menghibur diri, bahwa sarana-sarana sedemikian menyediakan tempat bagi anak-anak mereka untuk bermain. Agenda siang hari untuk sebagian besar MGKD kadang-kadang mengesampingkan para penerima manfaat untuk hadir pada siang hari. Secara tradisi, musyawarah diselenggarakan petang hari, dan keluarnya MGKD dari norma ini kadang-kadang mengurangi terjadinya peningkatan partisipasi. Para penerima manfaat lainya berkata bahwa mereka sering tidak bisa berpartisipasi dalam kegiatankegiatan, yang bertabrakan dengan kegiatan pertanian musiman mereka (menanam, panen, dsj). Keputusan IOM untuk menyelenggarakan musyawarah terutama pada siang hari diambil untuk menegasikan musyarawarah malam yang terutama didominasi laki-laki.
Kebebasan Mengemukakan Pendapat
Para penerima manfaat sangat puas dengan tingkat kebebasan mengemukakan pendapat selama proses MGKD. 91% perempuan berkata bahwa mereka selalu diajak berunding dalam pertemuanpertemuan MGKD. Kendati demikian, hanya 65% perempuan yang berbicara dalam pertemuanpertemuan. 9% berkata bahwa mereka nyaris tidak pernah berbicara dan 12%-nya berkata mereka malu atau terlalu malas untuk berbicara. Para perempuan lebih percaya diri ketika tidak ada laki-laki yang hadri, dan dengan demikian sering memilih untuk menyuarakan opini mereka melalui perempaun lain yang memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi dari mereka atau yang lebih percaya diri. Fakta bahwa proses MGKD adalah hal yang baru bagi para perempuan (dan laki-laki) juga mencegah beberapa perempuan untuk berbicara secara terbuka. Tim menemukan bahwa selama FGD-FGD, norma-norma dan stereotip-stereotip gender yang ada sebelumnya terdapat di sebagaian
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
26
besar desa-desa. Ini biasanya berarti bahwa sebagian besar pertemuan terbuka ber-gender secara menguntungkan laki-laki. Kendati demikian, dalam sejumlah kesempatan, para perempuan mengambil posisi yang berlawanan dengan tokoh laki-laki di desa, tanpa menunjukkan rasa takut akan akibatnya. Di desa-desa lain, laki-laki mendominasi diskusi-diskusi awal tetapi diambil alih oleh perempuan, yang semakin percaya diri begitu FGD terus berlangsung. Hambatan kecil lainnya terhadap partisipasi demokratis dan kebebasan mengemukakan pendapat berakibat pada kurangnya informasi atau buruknya pemahaman tentang proses diantara para anggota masyarakat yang kurang pendidikan, yang mana mereka sedikit menyumbang ke dalam diskusidiskusi yang ada. Transparansi dan Akuntabilitas Tim menemukan bahwa aspek yang paling efisien dan efektif dari proses MGKD ini adalah transparansi dan akuntabilitas di mana baik para penerima manfaat dan pemangku kepentingan mendapatkan dividen. 22% dari para penerima manfaat dalam Fase I dan 30% dalam Fase II berkata bahwa ini adalah hal yang mereka pelajari paling banyak dari proyek ini. 18% lainnya berkata bahwa hal ini adalah aspek yang paling mereka sukai dari proyek ini. 74%-nya berkata bahwa proses keuangan dan akunting sangat transparan dan akuntabel. Hanya 1% berkata bahwa proses ini tidak jelas. 81% dari penerima manfaat Fase I berkata bahwa proses keuangan dan manajemen selalu jelas. Persentase ini meningkat menjadi 87% dalam Fase II. Transparansi dan akuntabilitas dipandang sebagai ‘budaya’ baru oleh para penerima manfaat yang memperkuat baik demokrasi maupun kohesi sosial. Praktek yang akuntabel diterapkan dalam komponen-komponen penyeleksian proyek, perencanaan, akunting dan pembuatan keputusan dari proyek ini. Prospek keberlanjutan memberikan pertanda bagus untuk masa depan. Kendati demikian, satu desa melawan arus ini, menunjukkan pengetahuan yang sedikit tentang proses Fase I. Mereka yang diwawancarai bahkan tidak sadar bahwa MGKD adalah proyek IOM.
7.4
Proyek Fisik
Kegiatan utama proyek MGKD adalah pembuatan proyek dan kegiatan infrastruktur atau sosial budaya (Proyek Fisik) di 396 desa di seluruh tujuh kabupaten di Aceh. Pada Fase I MGKD, proyek fisik dibuat di 255 desa di tujuh kabupaten, tersebar di seluruh 31 kecamatan. Pada Fase II MGKD, proyek fisik dibuat di 141 desa lainnya yang berada di tiga dari kabupaten-kabupaten sebelumnya, tersebar di 23 kecamatan. Setiap desa yang terseleksi diberi hibah senilai 73 juta rupiah, yang mana sekurang-kurangnya 25 juta rupiah diwajibkan untuk dialokasikan (earmark) untuk kegiatan/proyek yang akan diseleksi, dikelola dan dipelihara oleh perempuan (Proyek milik Perempuan). Sisanya adalah digunakan proyek/kegiatan yang akan diseleksi dan diimplementasikan baik oleh perempuan maupun laki-laki di desa tersebut (Proyek Masyarakat). Masyarakat sering memutuskan untuk memberikan lebih daripada 25 juta rupiah untuk proyek-proyek perempuan. Bagian ini mencatat temuan-temuan dari tiga tahapan utama proyek-proyek fisik. Tahapan-tahapan ini adalah: 1) pemilihan proyek secara demokratis; 2) pengimplementasian proyek (pembelian, konstruksi dan pemeliharaan), dan; 3) kegiatan sosial dan ekonomi sebagai akibat dari proyek-proyek tersebut. Bagian ini akan dimulai dengan temuan-temuan tentang kuantitas dan kualitas dari kebijakan dan praktek demokratis yang dikejar selama proses tersebut. Bagian-bagian lainnya berfokus pada tiga tahap dari siklus proyek dan bagian akhir menilai masukan dan keluaran yang berbeda dari Fase I dan Fase II proyek ini.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
27
7.5
Pemilihan Proyek Fisik
Pemilihan proyek masyarakat dan proyek perempuan di 396 desa sasaran adalah langkah awal yang krusial, sebagian karena menentukan arah lintasan atau trajektori dari capaian-capaian sosial dan ekonomi selain juga ketepatan dari kebijakan demokratis yang dikejar selama pengimplementasian proyek MGKD. Capaian dari proses demokratis ini terdiri dari berbagai macam proyek fisik, yang beberapa diantaranya diorientasikan untuk merangsang ekonomi desa, yang lainnya diorientasikan untuk meningkatkan kohesi sosial atau keamanan desa. Beberapa proyek diorientasikan untuk merangsang lebih dari salah satu yang di atas tersebut. Ragam terbesar dari proyek fisik ditemukan di seluruh proyek-proyek masyarakat. Proyek-proyek perempuan lebih terbatas dan seragam. Penyeleksian proyek-proyek juga penting, karena menentukan tingkat partisipasi di tingkat pengimplementasian serta jenis dan jumlah dari manfaat masyarakat yang mungkin, begitu atributatribut fisik proyek ada pada tempatnya. Sosialisasi Sebelum proses pengidentifikasian dan penyeleksian proyek, IOM menjalankan proses sosialisasi, menginformasikan para penduduk desa tentang tujuan-tujuan khusus serta proses dan capaian yang dimaksudkan dari MGKD. Secara keseluruhan, Tim menemukan bahwa tingkat sosialisasi yang memadai telah terjadi, dengan tingginya tingkat visibilitas (kemunculan) yang direkam. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut, Tim menemukan bahwa para penduduk desa memiliki persepsi yang berbeda mengenai apa yang ingin mereka ketahui dengan pasti dari MGKD. Ketika ditanya mengapa mereka memilih proyek, jumlah terbesar responden berkata bahwa pilihan mereka adalah berdasarkan kebutuhan (yakni, untuk secara umum meningkatkan kemakmuran). Sejumlah besar perempuan maupun laki-laki menyamakan pilihan mereka dengan kebutuhan ekonomi mereka. Lebih dari 20% perempuan melihat proyek MGKD sebagai peluang keadilan gender. Sejumlah besar perempuan maupun laki-laki menyadari bahwa proyek pilihan mereka adalah peluang untuk memperkuat kohesi sosial.
Saat Tim menggali lebih dalam tentang alasan-alasan untuk penyeleksian proyek, Tim menjadi sadar bahwa banyak kapasitas penerima manfaat untuk memahami tujuan-tujuan khusus MGKD adalah terbatas, dan banyak dari mereka hanya melihat ini sebagai ‘proyek’ untuk membangun kemakmuran mereka, bukan sebagai kegiatan pembangunan perdamaian. Kendati demikian, dalam sejumlah kasus para penerima manfaat memperlihatkan
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
28
pemahaman yang jelas tentang maksud tujuan pembangunan perdamaian dari MGKD dan mengarahkan proyek mereka sesuai dengan maksud tujuan tersebut (misalnya, Malaka di Aceh Selatan). Bahan-bahan bacaaan (sumber pustaka) Capaian dari proses penyeleksian proyek fisik tergantung sebagian pada kreatifitas dan bantuan yang diberikan oleh para FD dan TA. Dengan harapan merangsang beberapa ide kreatif untuk penyeleksian proyek, IOM membuat sebuah Daftar Contoh yang diberikan kepada para TA dan FD. Pada Fase I, dokumen ini mencatat contoh-contoh 26 jenis proyek yang cocok untuk dipertimbangkan. Pada Fase II, daftar diperpanjang untuk menyertakan 8 pertimbangan kreatif tambahan yang dipilih oleh desadesa pada Fase I. Idenya adalah para fasilitator pertemuan desa memegang daftar ini untuk mereka sendiri, sambil menawarkan sekumpulan usulan untuk merangsang diskusi musyawarah. Kendati demikian, Tim Evaluasi mempertimbangkan bahwa penggunaan daftar tersebut, beriringan dengan pertimbangan waktu dan keuangan, mungkin telah memainkan sebagian peran dalam mengorientasikan beberapa komunitas, terutama perempuan, untuk ke proyek-proyek spesifik, misalnya peralatan dapur, pelaminan dan teratak. Tim juga menemukan bahwa di satu kabupaten Fase I, Bireun, seluruh daftar sering diperlihatkan kepada semua mereka yang hadir dalam musyawarah. Daftar ini mungkin telah menghalangi para penerima manfaat untuk mempertimbangkan pilihanpilihan lain, sebagaimana dikatakan oleh seorang perempuan di Tanjong Bungong, Bireuen, ““kalau pilih di luar daftar payah lolosnya gak?” Di sini TA dan FD seharusnya tersedia membantu komunitas-komunitas untuk menyadari yang mana dari kebutuhan mereka yang sekiranya dapat ditampung oleh MGKD dan untuk menjelaskan dengan kreatif anggapan-anggapan gender, lingkungan, ekonomi dan sosial dari usulan pilihan mereka. Peran mereka bukanlah untuk memandu diskusi ke arah pilihan-pilihan spesifik. Alat pustaka lainnya yang digunakan selama proses penyeleksian adalah Daftar Negatif, yang diadopsi dari PNPM. Daftar ini, yang dipakai dengan cara mengajukan serangkaian pertanyaan kepada komunitas tentang seleksi proyek yang disukai, menimbulkan beberapa pembatas tertentu terhadap penyeleksian proyek-proyek fisik. Contohnya, kegiatan-kegiatan yang mendukung kegiatankegiatan polisi, militer dan politik, konstruksi atau kegiatan bangunan pemerintah atau keagamaan, buruh anak, semuanya dilarang. Sebagian besar pertanyaan yang diajukan ke komunitas-komunitas menanyakan apakah proyek yang diseleksi tidak ramah secara lingkungan. Sesungguhnya, masukan lingkungan utama dari proyek adalah penghindaran praktek-praktek yang tidak ramah yang ditentukan melalui kuesioner Daftar Negatif. Meski kegiatan ini bermaksud baik, hal ini hanya menekankan pada apa yang tidak dapat dilakukan oleh komunitas. Ini tidak secara otomatis mengetahui dengan pasti masalah-masalah lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Pertimbangan dan fasilitasi lingkungan yang lebih dalam adalah di luar jangkauan kapasitas para FD dan TA, dan juga di luar cakupan dari proyek ini.
7.6
Proyek Fisik Terpilih
Bagian temuan-temuan ini menguraikan sifat dari proyek-proyek fisik yang dipilih oleh komunitas dalam musyawarah MGKD. Tiga tabel berikut ini menunjukkan perincian berbeda dari proyekproyek yang dipilih oleh desa-desa MGKD. Di sebagian besar desa-desa, masyarakat atau perempuan memilih lebih dari satu proyek/kegiatan, masing-masingnya menaikkan jumlah total proyek jauh di luar jumlah total kelompok perempuan dan kelompok masyarakat. Tabel pertama menguraikan jenis proyek yang dipilih. Ada lebih banyak ragam dalam proyek yang dipilih secara kolektif oleh perempuan dan laki-laki di dalam Proyek Masyarakat (dalam warna biru), terdiri dari 20 infrastruktur dan 31 proyek sosial budaya. Perlu dicamkan, bahwa terbatasnya dana
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
29
yang ada untuk perempuan membatasi ragam proyek yang dapat mereka pilih, dengan demikian semua 60 Proyek Perempuan yang diamati (dalam warna merah) adalah aset sosial dan budaya.
Tabel kedua (di bawah) menunjukkan jenis proyek yang diseleksi di seluruh 40 desa yang dievaluasi. Proyek-proyek masyarakat yang digarisbawahi dengan warna biru menunjukkan seleksi kreatif dari berbagai macam proyek, yang mana beberapa diantaranya berfokus pada peningkatan hasil pertanian (misanya, irigasi dan traktor tangan), yang lainnya berfokus penyediaan bentuk-bentuk alternatif dari penghasil pendapatan (kolam ikan) atau peningkatan cara/sarana transportasi (misalnya, jalan dan lampu-lampu jalan), dan yang lainnya berfokus pada peningkatan interaksi masyarakat dengan menyediakan sarana olahraga yang lebih baik atau peralatan untuk acara-acara masyarakat (generator atau teratak).
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
30
Tabel ketiga (di bawah) menyoroti persentase dari setiap jenis proyek yang dipilih dalam 111 proyek terpilih di 40 desa yang dievaluasi (kolom warna biru), dan dalam 628 proyek yang dipilih di 255 desa Fase I (kolom warna merah) dan 478 proyek di 141 desa Fase II. Data untuk kolom merah dan biru dikumpulkan dari berkas-berkas PMT.
Foto di atas memperlihatkan dekorasi pelaminan MGKD siap untuk selamatan khitanan (kiri) dan teratak MGKD yang didirikan untuk pertemuan masyarakat (kanan).
Sebagaimana dapat dilihat dalam tabel kombinasi teratak, peralatan dapur dan pelaminan terdiri membentuk 61% dari semua proyek evaluasi, 57% dari semua proyek Fase I, dan 63% dari semua proyek Fase II. Meski teratak dipilih baik oleh kelompok perempuan dan masyarakat, kelompok perempuan hampir semuanya memilih peralatan dapur dan pelaminan. Kelompok masyarakat gabungan memilih proyek-proyek yang lebih luas macamnya, seperti misalnya sarana olahraga, jalan, saluran irigasi, traktor tangan dan generator.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
31
Teratak adalah proyek fisik yang paling populer dipilih. Dari 40 desa yang dikunjungi, 13 komunitas dan 13 kelompok perempuan memilih teratak, total 23%. Jumlah total yang tinggi ini konsisten di kedua fase proyek ini, dengan 18% dari desa-desa Fase I dan 24% dari desa-desa Fase II yang juga memilih teratak. Peralatan dapur adalah pilihan yang paling populer, dengan 24 kelompok perempuan atau 17% memilih pilihan ini di seluruh 40 kelompok yang dievaluasi. Ini jauh dibawah rata-rata untuk seluruh proyek, dengan 21% dan 26% membuat pilihan yang sama, masing-masing pada Fase I dan Fase II. Pilihan ketiga yang paling populer baik dalam proyek-proyek yang dievaluasi dan MGKD secara keseluruhan adalah pelaminan (21% dari kelompok perempuan yang dievaluasi, 18% dari Fase I dan 13% dari Fase II). Dalam proyek-proyek spesifik, para penerima manfaat memilih pilihan terbatas dari proyek-proyek sosial budaya yang tidak padat karya. Pemilihan yang sama terhadap proyek-proyek ini menegaskan perasaan Tim bahwa pilihan proyek perempuan sebagian besar dipengaruhi oleh Daftar Contoh. Satu teori alternatif tentang hal ini adalah proyek-proyek ini, yang merupakan cerminan yang wajar dari peran gender perempuan di dalam masyarakat, kegiatan-kegiatan proyeknya artinya akan memberdayakan perempuan untuk mengontorl proyek, karena laki-laki akan enggan untuk terlibat dalam kegiatan-kegaitan yang tidak maskulin, seperti memasak atau menyiapkan acara-acara sosial dengan memasang pelaminan yang umumnya dipakai untuk acara-acara khitanan atau pernikahan. Bahkan sebetulnya, 21% dari perempuan mengatakan bahwa mereka memilih proyek mereka karena sedianya akan memberdayakan mereka untuk lebih aktif dalam kehidupan masyarakat dan meringankan beban biasa mereka. Beberapa partisipan juga berkata bahwa MGKD hanya satusatunya proyek yang memungkinkan mereka membeli aset-aset sedemikian. Lebih lanjut lagi, kebanyakan perempuan sangat senang dengan sarana baru yang mereka terima dan peluang sosial ekonomi yang diciptakan oleh peralatan baru tersebut.
7.7.
Implementasi Proyek Fisik
Begitu komunitas-komunitas sudah memilih proyek fisik mereka, maka proses pengimplementasian dimulai. Proposal, Pembelian atau Konstruksi Langkah pertama dalam pengimplementasian ini adalah penulisan proposal yang diverifikasi oleh staf lapangan sebelum persetujuan final oleh PMT. Sebuah model contoh untuk proposal proyek disediakan melalui TA yang secara efektif membantu komunitas-komunitas menyerahkan proposal mereka sendiri, sebagaimana juga bantuan pribadi para FD dan TA yang tersedia untuk membantu para penduduk desa dengan tugas ini. 45% dari responden (banyak dari mereka adalah FD) berkata bahwa mereka sekarang mampu menulis proposal mereka sendiri (45% tidak begitu mampu). Para penerima manfaat juga puas dengan proses keuangan yang digunakan untuk melepaskan dana yang dialokasikan untuk para penerima manfaat. Dana dilepaskan dari tingkat kecamatan ke rekening bank MGKD. Penarikan uang ditandatangani oleh tiga anggota tim PNPM. Sampai 75% dana dilepaskan pertamanya, dan begitu komunitas mempertanggungjawabkan uang yang mereka belanjakan maka mereka bisa mengakses sisa dana. Pada saat menerima 75% dana, para penerima manfaat mulai mengimplementasikan proposal mereka dengan beberapa dari mereka memulai sebelum dana dilepaskan. Dari sudut pandang implementasi, dua jenis proyek diselekesi. Yang pertama adalah proyek-proyek yang membutuhkan pencarian, pembelian dan inspeksi atas alat-alat siap pakai, seperti pelaminan, bahan-bahan dapur, teratak, traktor tangan, peralatan olahraga, sound system dan genset. Yang kedua adalah proyek-proyek infrastruktur, yang membutuhkan perencanaan yang lebih ekstensfi sebelum konstruksi dapat dimulai. Proyek-proyek padat karya ini termasuk perbaikan jalan, rehabilitasi atau konstruksi sarana olahraga, dan konstruksi gedung masyarakat. Tim menemukan bahwa proyekproyek padat karya menciptakan rasa kepemilikan dan tanggung jawab masyarakat yang lebih besar
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
32
dibandingkan dengan peralatan yang siap pakai. Enerji komunitas ini memberikan pertanda baik untuk keberlanjutan dari proyek-proyek fisik ini. Mayoritas desa-desa memilih peralatan siap pakai. Pilihan atas proyek ini mempengaruhi jumlah waktu dan partisipasi demokratis yang diperlukan untuk mengimplementasikan proyek ini. Di mana tingkat partisipasi dalam pengimplementasian, pemeliharaan dan pengelolaan proyek-proyek siap pakai yang populer ini biasanya terbatas hanya pada sejumlah penerima manfaat. Kendati demikian, kekurangan ini biasanya dipertanggungjawabkan melalui praktek yang transparan dan akuntablel dan melalui manfaat bersama proyek ini. Sumbangan Sukarela 44% penerima manfaat berkata bahwa tenaga kerja sukarela disumbangkan pada pengimplementasian proyek ini. 11% berkata sumbangan bahan-bahan secara sukarela, dalam bentuk bahan mentah, tanah atau tunai, dilakukan. 30% berkata tidak ada sumbangan yang dilakukan di desa-desa mereka. Terbatasnya jumlah sumbangan bahan-bahan yang diberikan untuk proyek mencerminkan rendahnya situasi ekonomi dalam komunitas-komunitas. Dalam hal di mana sumbangan bahan-bahan dilakukan, ini sebagian besar adalah sumbangan perorangan yang berakibat pada penguatan terhadap prospek proyek untuk dampak dan keberlanjutan yang diperkuat. Sumbangan tenaga adalah umum dan terjadi dimana-mana. Mereka berfungsi untuk memperkuat rasa kepemilikan dan prospek untuk keberlanjutan. Pada Fase I, banyak penerima manfaat berpikir bahwa sumbangan hanya dalam bentuk uang dan bukan tenaga. Sebagaimana ditekankan dalam hikmah pada Fase II, ditegaskan bahwa tenaga dan penggunaan peralatan adalah juga sumbangan sukarela yang bisa berguna. Pemeliharaan Proyek
86% penerima manfaat berkata bahwa tim pemeliharaan proyek ini masih aktif di desa mereka. Di desa-desa ini yang membeli peralatan siap pakai, pemeliharaan adalah tugas sederhana yang berupa inspeksi peralatan setelah pemakaian dan menyimpannya di tempat aman. Proyek-proyek infrastruktur menuntut pemeliharaan bersama yang lebih teratur yang dikoordinasikan oleh tim pemeliharaan. Teratak yang dipasang, yang fotonya yang diperlihatkan di bawah ini, dibeli pada Fase I di desa Batee Roo, Aceh Jaya. Lubang-lubang yang ditemukan di kanopi menggambarkan arti penting pemeliharaan proyek untuk keberlanjutan proyek fisik. Tim pemeliharaan yang bertanggungjawab berkata bahwa mereka berencana untuk memperbaiki lubang-lubang tersebut. Ada sejumlah kasus di mana laki-laki memelihara proyek-proyek perempuan. Satu contoh adalah di Rambog Lop, di mana laki-laki yang mengelola teratak perempuan. Para perempuan mengklaim bahwa mereka tidak tahu tentang berapa uang sewa yang berhasil dibuat dan kemana uang tersebut pergi.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
33
Transparansi dan Akuntabilitas Satu aspek penting yang sangat memberi penekanan pada manajemen dan implementasi proyek adalah transparansi dan akuntabel. Pada sebagian besar kasus, setiap orang di desa, termasuk mereka yang tidak berpartisipasi dalam pertemuan, dapat mengakses informasi atau keputusan yang dibuat dalam pertemuan. Ada beberapa cara untuk mengkomunikasikan hasil-hasil pertemuan kepada seluruh masyarakat (melalui papan pengumuman MGKf atau di tempat-tempat usaha lainnya di desa, misalnya warung kopi, pengumuman di Mesjid, atau merujuk langsung ke anggota tim pemeliharaan). Sering laporan keuangan dibagi dan dimasukkan sebagai bagian agenda pertemuan-pertemuan masyarakat yang lainnya. Jumlah uang yang masuk ke rekening desa (atau kas kecil) dari penyewaan peralatan juga diberitakan ke orang-orang. Dalam satu kasus terpisah, ada kecurigaan penyalahgunaan uang yang muncul (misalnya, Babah Krueng di Bireuen), penduduk desa mengangkat kemungkinan bahwa uang MGKD masuk ke kantong seseorang. Di sini para penduduk desa berpikir bahwa ini terjadi karena tidak memadainya kontrol dari sta lapangan. Dalam dua kasus tidak terselesaikannya proyek (Mon Mata) atau tidak-dilanjutkannya proyek (Seuneubok Padang) ada kecurigaan terjadinya kemungkinan malpraktek oleh tokoh setempat. Kapasitas dan komitmen TA dan FD juga dipertanyakan dalam kasus-kasus ini. Begitu bahan-bahan proyek ini siap pakai, upacara syukuran adat diselenggarakan. Upacara-upcara ini memberikan legitimasi lokal terhadap proyek yang bersangkutan dan juga meletakkan rasa tanggung jawab masyarakat yang lebih besar ke dalam kegiatan-kegiatan terkait proyek yang terjadi sesudahnya. Pada saat yang sama, proyek ini diserahterimakan dari tim implementasi ke pejabat desa. Tim-tim implementasi ditanyai tentang proyek ini dan diminta untuk memberikan justifikasi apa yang sudah mereka beli, biaya, biaya bahan-bahan, dsj.
7.8
Kegiatan-kegiatan Proyek Fisik dan Dampaknya
Setiap jenis proyek fisik menghasilkan berbagai jenis dampak yang berbeda, dengan tingkat peluang dan manfaat yang berbeda untuk perempuan dan laki-laki di masing-masing komunitas. Bagian laporan yang ini melihat pada kegiatan-kegiatan masyarakat dan perempuan yang telah terjadi sejak dibentuknya proyek fisik di desa-desa sasaran, selain juga peluang dan tantangan yang muncul dalam mengetahui dengan pasti manfaat-manfaat sosial dan ekonomi dari kegiatan-kegiatan tersebut. Dalam kebanyakan kasus, desa-desa telah berhasil mengimplementasikan proyek mereka dan terus mendapatkan manfaat dari proyek tersebut baik secara sosial, ekonomi dan/atau kedua-duanya. Masalah-masalah yang diangkat oleh para penerima manfaat tentang proyek adalah teknis (17%), keuangan – hibah terlalu kecil (9%), keterbatasan waktu (6%) dan kurangnya partisipasi (6%). Mayoritas desa-desa melaporkan tidak ada masalah sama sekali. Keberlanjutan dari proyek-proyek fisik ini (yang dibahas di bagian akhir laporan ini) akan sebagian besar tergantung tingkat komitmen terhadap pemeliharaan ke depannya. Di beberapa desa, rasa kepemilikan dan komitmen lebih berakar dibanding dengan di beberap tempat. Durasi yang pendek dari proyek ini mengurangi jumlah perhatian yang diberikan terhadap proses yang sedianya dapat meningkatkan prospek keberlanjutan. Keberlanjutan akan juga tergantung pada kondisi-kondisi eksternal, seperti politik desa dan dukungan yang berlanjut terhadap pembangunan masyarakat yang sifatnya bottom-up. Sebagaimana yang diperlihatkan dalam tabel di Bagian tentang Pemilihan Proyek, pilihan paling populer untuk proyek adalah teratak, peralatan dapur dan pelaminan. Bagian pertama dari seksi ini berfokus pada capaian dari tiga pilihan ini. Sisanya, akan melihat pada jenis proyek fisik lainnya yang dievaluasi oleh Tim. Kebanyakan contoh-contoh yang disertakan di bawah ini menyoroti keberhasilan komunitas MGKD. Sejumlah kecil contoh lainnya menyoroti proyek-proyek yang problematis.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
34
Peralatan Dapur, Pelaminan dan Teratak Sebagaimana sudah dicatat, peralatan dapur, pelaminan dan teratak adalah proyek yang paling sangat populer di seluruh 396 desa MGKD, khususnya untuk proyek-proyek khusus perempuan. Meski popularitas tiga item ini menimbulkan pertanyaan tentan peran dari Daftar Contoh, dan kreatifitas FD, TA dan komunitas selama proses seleksi, item-item ini juga memberikan peluang bagi komunitas untuk menaikkan tingkat interaksi sosial dan budaya sambil juga meningkatkan penghasilan tambahan untuk masyarakat. Foto: Pelaminan gaya Aceh yang diatur untuk sebuah pesta pernikahan (kiri) dan peralatan dapur yang baru (kanan)
Dalam banyak kasus, ketersediaan peralatan dapur, pelaminan dan teratak untuk menyambut tamu berarti bahwa banyak anggota masyarakat mampu menyelenggarakan perayaan perkawinan, khitanan dan acara-acara sosial serta perayaan sosial dan budaya, sering mengundang sanak famili dan keluarga dari desa-desa lain. Pada acara-acara ini, orang-orang dapat berkumpul dan bersosialisasi secara leluasa, membangun tingkat kepercayaan dan solidaritas, dengan kata lain, meningkatkan kohesi sosial. Sebelum menerima peralatan ini, mayoritas penduduk tidak sanggup membayar harga tinggi untuk menyewa peralatan dalam jumlah besar dari pemasok swasta. Di desa-desa yang dievaluasi, peralatan ini disewakan dengan harga diskon kepada masyarakat desa yang ingin mengadakan acara sosial atau budaya. Biaya sewa untuk anggota masyarakat yang lebih miskin atau untuk penguburan sering ditiadakan. Tim pemeliharaan yang dipercayai untuk memelihara dan mengelola peralatan juga berusaha menyewakan peralata ke orang-orang dari desa-desa sekitar dengan harga yang lebih tinggi. Meski rata-rata jumlah yang diakumulasikan dari menyewakan peralatan sedemikian tidak cukup untuk memulai kegiatan-kegiatan usaha lainnya, pada umumnya cukup untuk membiaya pemeliharaan peralatan dan membayar upah yang sedikit kepada sejumlah kecil orang yang mengangkut peralatan dari dan ke lokasi dan memasangnya begitu sampai ke lokasi. Semua uang sisa yang ada biasanya disumbangkan ke rekening desa atau kas kecil. Kekurangan dari pemilihan peralatan sedemikian adalah manajemen dan pemeliharaan biasanya hanya melibatkan orang-orang dalam tim kecil. Konsekuensinya rasa kepemilikan masyarakat yang luas tidak berkembang sebagaimana yang terjadi dengan proyek-proyek yang lebih padat karya. Manfaat sosial dan ekonomi secara umum yang didapat masyarakat dari penyewaan peralatan acara muncul ketika mereka ingin menyelenggarakan atau menghadiri suatu acara. Selain itu, seluruh sisa waktu peralatan tersebut tersimpan dalam gudang desa yang terkunci atau rumah salah satu orang yang ditunjuk. Kekurangan lainnya yang diberitahukan oleh desa kepada Tim adalah hibah MGKD tidak cukup untuk membeli set lengkap peralatan dapur atau pelaminan. Ini berarti tuan rumah acara kadang-kadang harus menyewa peralatan lagi dari sumber lainnya. Set peralatan yang tidak lengkap juga mempersulit penyewaan peralatan ke luar desa. Dalam beberapa kasus, kekurangan ini disebabkan karena masyarakat memilih untuk membeli lebih dari sekedar peralatan pelaminan, menyisakan jumlah minimum yang tersedia untuk masing-masing pembelian.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
35
Perempuan yang terpilih diangkat untuk mengurus peralatan dapur dan pelaminan sangat diberdayakan, tetapi beberapa kelompok perempuan yang dipilih untuk membeli teratak dengan hibahnya kadang-kadang menemukan bahwa administrasi dan pemeliharaan peralatan yang berat sering jatuh ke tangan laki-laki. Sarana-sarana Masyarakat Lainnya Proyek fisik yang dipilih oleh seluruh komunitas dialokasikan sebagian besar dari total hibah yang diterima desa. Dana tambahan ini dan keterlibatan laki-laki memungkinkan lebih banyak ragam dibandingkan dengan yang dipilih oleh perempuan. Proyek-proeyk sedemikian menyertakan sarana masyarakat seperti gelanggang pemuda, sound system, bis sekolah, pusat pendidikan anak-anak, warung desa dan gudang. Desa Jarommah Mee di Bireuen memilih untuk membeli kendaraan pick-up bekas untuk digunakan sebagai bis sekolah. Meski ini memungkinkan banyak anak untuk melakukan perjalanan ke sekolah, bis ini merangkap sebagai lori untuk mengangkut panen ke pasar, selain juga berfungsi sebagai ambulan untuk mengangkut orang sakit dan perempuan melahirkan ke puskesmas setempat atau rumah sakit. Kendaraan berfungsi ganda ini, yang hanya mengenakan biaya kecil untuk menutupi ongkos bensin dan pemeliharaan, ditemukan berguna bagi banyak anggota masyarakat. Ini juga menghemat penghasilan anggota masyarakat yang membayar biaya minimal untuk pengangkutan. Di Jenggot Seungko di Bireuen, desa-desa memilih untuk membangun jamban umum demi mencegah orang-orang dari buang air kecil di sungai setempat. Ini adalah contoh baik dari pertimbangan lingkungan yang dimasukkan ke dalam perencanaan lingkungan.
Di Malaka, Aceh Selatan desa-desa memilih untuk membangun gelanggang pemuda dua-tingkat (lihat foto atas kiri). Lantai dasar digunakan untuk tempat pertemuan untuk mensosialisasikan dan mengorganisir acara-acara pemuda, untuk perempuan dan laki-laki serta untuk tim sepakbola desa. Lantai atas, dibangun karena ada sumbangan kayu dari sekdes, adalah asrama yang digunakan untuk laki-laki muda dari desa setiap malam. Meski proyek ini mendapatkan partisipasi sedikit, jika toh ada, dari perempuan, kepala desa sangat senang bahwa ini meningkatkan kegiatan bersama pemuda dan mengurangi ketakutan bahwa pemuda tergoda untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial yang negatif, di desa yang terkena dampak serius dari konflik. Kepala desa lainnya mengungkapkan keprihatinan yang mirip tentang pemuda ketika merujuk ke pilihan desa mereka untuk membangun sarana olahraga (lihat bawah). Karena gelanggang pemuda dibangun dengan tenaga kerja sukarela dan beberapa bahan sumbangan sukarela, pemuda menghemat sebagian hibah untuk membeli teratak, yang mereka sewakan ke anggota masyarakat lainnya. Mereka juga bangga dalam memelihar dan mengelola gelanggang mereka. Di Mersak, desa tetangga, Pusat Pendidikan Anak-anak dibangun (lihat foto kanan atas) di tanah yang disumbangkan oleh masyarakat. Pusat yang kecil ini digunakan di sore hari untuk mendidik anakanak ketika mereka pulang dari kelas pagi mereka di Sekolah Negeri. Pada malam hari , bangunan ini sering digunakan oleh orang dewasa untuk pertemuan desa.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
36
Desa Seuneubok Padang, Aceh Jaya membangun kiok desa, dengan rencana untuk membuka toko fotokopi di masa depan. Kendati demikian, masyarakat memberitahu Tim bahwa mereka tidak memiliki modal untuk memulai bisnis tersebut, dan mereka sudah menggunakan kios tersebut. Masyarakat pernah sekali menggunakan bangunan tersebut untuk menyelenggarakan pertemuan pemuda dan perempuan. Saat ini bangunan tersebut digunakan sebagai gudang. Tim bertanya pada orang-orang tentang kemungkinan menggunakan kios tersebut untuk menjual barang-barang kecil seperti makanan atau kerajinan tangan, tetapi mereka berkata bahwa mereka ingin bisnis yang lebih dipercaya yang memenuhi kebutuhan orang-orang, seperti toko fotokopi. Sarana dan Peralatan Olahraga Pilihan populer lainnya untuk komunitas adalah konstruksi atau rehabilitasi sarana sepak bola atau voli. Bagi banyak anggota masyarakat (laki-laki), memiliki sarana olahraga adalah urusan kebanggaan desa, yang akan memungkinkan mereka untuk bertanding, atau menjadi tuan rumah kompetisi antar desa. Acara-acara sedemikian jarang terjadi di sepanjang era konflik. Satu penerima manfaat mengutarakan bahwa memiliki sarana olahraga yang bagus akan mendorong lebih banyak kaum muda untuk bermain olahraga secara teratur di sore hari daripada ngebut dengan sepeda motor atau perilaku-perilaku nakal lainnya. Sarana olahraga dibangun yang dengan tenaga kerja sukarela juga membangkitkan rasa kepemilikan dan kebanggaan mereka yang menggunakannya. Contohnya lapangan sepakbola yang dibangun di Pante Geulima, Aceh Selatan sudah mewujudkan dampak sosial dan (dengan taraf yang lebih kecil) dampak ekonomi yang sangat berhasil. Standar sarana-sarana ini sekarang cukup tinggi untuk menarik kompetisi tingkat kecamatan ke lapangan, yang biasanya menarik kerumunan yang cukup besar, dan peluang untuk masyarakat menjual makanan dan minuman kepada peserta dan penonton. Pada sore-sore biasa, lapangan berfungsi sebagai tempat pertemuan sosial kaum muda dan anggota masyarakat lainnya, untuk menonton permainan.
Foto: Lapangan voli yang baru (kiri) dan lapangan bola yang tidak digunakan lagi (kanan)
Meski sebagian besar desa-desa dengan sarana olahraga yang dikunjungi oleh Tim meraskan dampak positif dari proyek ini, ada satu desa yang problematic. Di Mon Mata, Aceh Jaya, lapangan sepakbola yang seharusnya didirikan selama Fase II pada tahun 2008 tidak digunakan (lihat foto kanan atas). Desa-desa yang menghadiri FGD berkata bahwa ada masalah kepemimpinan desa di masa lalu, dan situasinya mulai membaik hanya setelah awal tahun 2009. Ada juga masalah kinerja dengan TA awal yang bertanggungjawab untuk daerah ini. Kendati demikian, masyarakat tidak sadar bahwa IOM pernah bekerja didesa tersebut dan mereka berpikir bahwa dana untuk lapangan dan pelaminan berasal dari organisasi bantuan yang lain (harap dicamkan, ini adalah desa yang menerima jumlah bantuan lebih dari rata-rata karena sangat terkena oleh Tsunami). Mereka menambahkan bahwa lapangan sepakbola yang tidak selesai tidak dapat dipakai karena banyak batu dan kerikil tajam di lapangan yang mungkin akan menyakiti anak-anak mereka. Para penduduk desa mencoba menutupi lapangan itu dengan pasir.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
37
Proyek-proyek Infrastruktur dan Pertanian Sebagian besar proyek fisik seperti perbaikan jalan, traktor tangan dan perbaikan irigasi menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat. Ketika manfaat ekonomi proyek dirasakan, maka rasa kepemilikan yang menguat dan pada gilirannya rasa tanggungjawab bersama untuk memelihara aset didapatkan.
Foto: Sebuah jalan MGKD sedang dalam konstruksi (kiri) dan traktor tangan yang baru (kanan)
Di desa Tanjong Bungong di Bireuen, para petani menghemat uangnya, karena mereka hanya perlu membayar pemeliharaan dan bahan bakar ketika mereka perlu menggunakan traktor tangan masyarakat. Mereka juga mempunyai pilihan untuk membayar biaya ini setelah panen. Mereka yang dipilih untuk mengoperasikan dan memelihara traktor juga mendapatkan manfaat dari proyek ini. Pemeliharaan dan perbaikan jalan adalah pilihan populer di banyak desa (5% dari desa yang dievaluasi, 9% desa-desa Fase I dan 6% desa-desa Fase II). Sementara jalan yang diperbaiki memberikan mobilitas yang lebih besar bagi komunitas untuk mengakses pasar, datang ke sekolah atau pergi bekerja, beberapa penerima manfaat, seperti mereka yang ada di Jarommah Baroue, Bieureun mengatakan bahwa jalan tersebut membuat mereka merasa aman. Dua komunitas lainnya, yang karena sebagian dari hibah mereka membeli beberapa lampu jalan, mencatat pengaruh psikologis yang sama. Contoh lebih lanjut tentang proyek kreatif adalah perahu/barga sungai yang dibangun di Alue Peunawa, Aceh Barat Daya (lihat foto kanan bawah). Proyek sederhan yang berguna ini memenuhi kebutuhan yang sangat penting dari masyarakat. Sebagai akibat dari kesanggupan mereka menyebrangi sungai, sekarang orang-orang memiliki kondisi ekonomi yang lebih baik karena mereka dapat mengakses pasar untuk menjual panen mereka. Karena perahu sungai sangat penting bagi mereka, rasa kepemilikan yang kuat berkembang, dengan banyak anggota masyarakat menyumbangkan uang untuk pemeliharaannya.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
38
Satu proyek lainnya yang layak dicatat dalam menghasilkan dampak sosial maupun ekonomi yang tinggi adalah sekumpulan kolam ikan yang dibangun di Glanggang Gampong di Bireuen (lihat foto kanan atas). Dengan tingginya tingkat partisipasi masyarakat selama pembangunan kolam ikan yang besar, rasa kepemilikan dan kebanggaan masyarakat yang kuat ditemukan. Kolam-kolam ikan ini, yang menjadi tempat bermacam-macam ikan air tawar, menghasilkan pendapatan tambahan bagi banyak anggota masyarakat. Kolam-kolam ini juga menarik minat orang-orang dari desa-desa tetangga, yang juga mendapatkan manfaat secara sosial maupun ekonomi. Satu dampak negatif proyek ini adalah pembabatan pohon bambu yang banyak jumlahnya untuk tempat kolam-kolam tersebut. Orang-orang yang berpartisipasi dalam FGD berkata mereka sudah melihat Daftar Contoh, tetapi memutuskan untuk memilih kolam ikan karena desa lain sudah memilih proyek yang tidak ada di daftar (proyek bis sekolah). Jadi mereka melihat tidak ada alasan untuk tidak membangun kolam ikan.
7.9
Perbandingan Fase I dan Fase II
Banyak perbedaan dalam pengimplementasian dua fase terpisah dari MGKD, termasuk proses yang berbeda untuk menyeleksi desa, rasio TA:desa yang berbeda, jumlah pelatihan FD & TA yang berbeda. Lebih lanjut lagi, pada Fase II, lebih banyak kegiatan tambahan seperti pelatihan lingkungan untuk staf lapangan, kampanye kesadaran lingkungan, dan diadakannya sebuah proyek percontohan untuk kelompok-kelompok perempuan yang terseleksi. Desa-desa Fase II juga menerima dana tambahan untuk memperkuat proyek-proyek mereka. Keputusan untuk mengadakan Fase II adalah hasil dari kepuasan donor dengan Fase I. Rencana awal untuk Fase II adalah untuk meliput 124 desa, tetapi jumlah total ini ditambah menjadi 141 desa setelah dana tambahan tersedia sesudah realokasi sumber daya yang dilakukan oleh PMT. Bagian ini memberikan ringkasan tentang kegiatan tambahan atau berbeda yang diselenggarakan pada Fase II dan sumbangan yang dibuat Fase II ini untuk keseluruhan kinerja proyek ini. Secara umum, Tim menemukan sejumlah kecil perbedaan kuantitatif antara dua fase tersebut. Contohnya:
91% penerima manfaat dari dua fase berkata bahwa para perempuan diajak berunding selama musyawarah 61% penerima manfaat dalam Fase I dan 69 penerima manfaat dalam Fase II berkata bahwa jumlah peserta yang menghadiri musyawarah MGKD meningkat sejak proyek ini. 80% penerima manfaat dalam Fase I dan 88% penerima manfaaat dalam Fase II berkata bahwa sekarang ini isu-isu masyarakat diselesaikan dalam sebuah musyawarah. 89% penerima manfaat dalam Fase I dan 90% penerima manfaat dalam Fase II berkata bahwa tim pemeliharaan proyek masih aktif. 81% penerima manfaat dalam Fase I berkata bahwa mekanisme keuangan yang digunakan MGKD sangat jelas. Persentase ini meningkat menjadi 87% pada Fase II. Jumlah proyek-proyek sosial dan ekonomi yang kreatif dan berhasil yang diamati pada Fase I adalah sama dengan Fase II. Penerapan dan kapasitas FD juga sangat mirip baik pada Fase I maupun Fase II.
Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil-hasil kuantitatif, keuntungan kinerja yang signifikan dibuat di sebagian besar desa-desa di kedua fase. Tim menemukan bahwa hambatan utama yang mencegah kenaikan signifikan dalam tingkat kinerja (efisiensi dan keefektifan) proyek pada fase kedua sebagian besar adalah hambatan yang sama yang ditemui pada fase pertama, yakni: rendahnya kapasitas staf lapangan (khususnya para FD) dalam memfasilitasi dan secara kreatif menyumbang pada pengimplementasian proyek; terbatasnya hibah yang tersedia di masing-masing desa; terbatasnya durasi waktu di setiap proyek masyarakat tidak memungkinkan untuk penyeleksian dan perencanaan proyek fisik secara mendalam dan partisipasi maksimal. Lebih lanjut lagi, di beberapa desa kondisi
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
39
kondis eksternal yang buruk juga membuat halangan untuk tercapainya penguatan yang bahkan lebih tinggi. Misalnya, rendahnya kapasitas penerima manfaat untuk secara efektif menyumbang pada proyek desa mereka, perubahan kepemimpinan desa, dan stereotip gender yang mengakar, ketidaksetaraan gender dan perubahan demografi menyebabkan kesulitan dan, dalam beberapa kasus, rintangan-rintangan yang tidak bisa dihindari bagi IOM. Sebagaimana terlihat pada bagian tentang proyek fisik, Tim juga menemukan sejumlah kecil desadesa yang berkinerja rendah yang dievaluasi ternyata ada pada Fase I, terutama di desa-desa yang terkena Tsunami di Aceh Jaya. Di sana IOM mengalami retensi dan ketidak-efisienan kinerja staf, yang mengurangi keefektifan proyek. saat yang sama, beberapa faktor eksternal juga memainkan peran dalam merendahkan tingkat dampak di Aceh Jaya. Beberapa indikator rendahnya kinerja TA (Technical Assistant atau Asisten Teknis) juga nyata terlihat di beberapa desa di kabupaten Bireuen pada Fase I. Penyeleksian Desa Salah satu langkah pertama dari siklus MGKD di dua fase adalah penyeleksian desa-desa sasaran. Pada Fase I, langkah pertama adalah mengidentifikasikan desa-desa sasaran yang mungkin, yang mana di desa-desa tersebut ada kehadiran mantan pejuang dan tahanan yang sudah diberi pengampunan dan/atau orang-orang yang secara resmi mengungsi karena konflik. Untuk memenuhi kriteria ini, maka digunakan data dasar dari Conflict Intensity Index Bank Dunia, analisa psikosial yang dibuat Harvard University yang didukung oleh IOM, dan daftar IOM-ICRS tentang mantan pejuang dan tahanan yang sudah diberi pengampunan. Pada tahap ini desa-desa yang tidak memiliki kehadiran PNPM tidak berhak untuk mendapatkan pertimbangan lebih lanjut. Daerah-daerah serta desa-desa Tsunami yang sudah menerima banyak bantuan juga tidak diperhitungkan. TA kemudian menjalankan asesmen verifikasi desa-desa yang diidentifikasi sampai titik ini. Berdasarkan pada verifikasi TA maka daftar jumlah desa yang mungkin dikurangi dan kemudian dikirim ke Banda Ace untuk keputusan final yang dibuat oleh PMT. Selain itu, pertimbangan dibuat untuk menghindari desa-desa yang dekat dengan desa-desa MGKD-UNDP yang sedang berlangsung. Pada Fase II, proses seleksi berubah, dengan seleksi final menjadi keputusan kolektif yang dibuat di pertemuan tingkat kabupaten, di mana para pejabat kabupaten, pejabat kecamatan, kepala-kepala dinas dan LSM/Ornop internasional, nasional dan setempat semuanya berpartisipasi. Sebelum pertemuan ini, kriteria yang membutuhkan kehadiran proyek PNPM dan ICRS serta daerah yang tinggi tingkat konfliknya berdasarkan pada survai data dasar ICRS digunakan untuk mengidentifikasikan sekitar 80 sampai 100 desa per kabupaten. Pertemuan tingkat kabupaten kemudian mengurangi desa sasaran menjadi total final 41 desa per kabupaten. Meski Tim menyambut metodologi seleksi desa yang lebih partisipatoris pada Fase II, dan khususnya buy-in yang didapat dari pemangku kepentingan dari pemerintah daerah dan masyarakat sipil, temuan yang didapatkan tim sendiri tidak menyiratkan adanya peningkatan kinerja yang besar disebabkan oleh perubahan ini. Selama periode kunjungan lapangannya Tim Evaluator mempertimbangkan bahwa beberapa data asal yang dikumpulkan untuk mengidentifikasi komunitas-komunitas yang terkena dampak bencana akhirnya dapat berubah. Pertimbangan ini dipikirkan karena di beberapa desa Fase I, mantan pejuang yang ditemukan di desa-desa yang dievaluasi jumlahnya benar-benar rendah. Perubahan dinamika sosial dan ekonomi mungkin menyebabkan beberapa mantan pejuang GAM pindah ke daerah-daerah yang prospek sosial dan ekonominya lebih besar. Pelatihan Kepemimpinan Perempuan Pada Fase II, dana tambahan diberikan untuk menjalankan WLT (Women Leadership Training – Pelatihan Kepemimpinan Perempuan) di 12 desa yang diseleksi (4 desa dari setiap kabupaten).
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
40
Karena keterbatasan waktu, IOM dengan bijaksana memutuskan untuk menyasar desa-desa yang sudah memiliki kelompok-kelompok perempuan. Dua perempuan dipilih oleh kelompok perempuan untuk menghadiri program pelatihan yang diberikan oleh suatu LSM/Ornop perempuan di Banda Aceh. Meski perempuan memilih perwakilan sesama perempuan, laki-laki dari desa juga dibolehkan untuk memberi masukan ke dalam keputusan. Ketika kembali ke komunitas mereka, para perempuan ini mengadakan pertemuan desa mingguan di mana mereka memimpin diskusi tentang sejumlah topik yang diperkenalkan kepada mereka saat pelatihan, seperti misalnya perempuan dan politk, perawatan ibu hamil dan menyusui serta kekerasan rumah tangga. Sambil melakukan ini mereka dibina oleh para pelatih dari KPI. Dari 5 desa WLT yang dikunjungi oleh Tim, tampak nyata bahwa pelatihan efektif dalam meningkatkan pemahaman perempuan tentang isu gender dalam berbagai topik yang difasilitasi selama pertemuan-pertemuan tersebut. Perempuan yang kembali dari pelatihan tersebut juga belajar untuk mengatur kegiatan-kegiatan mata pencaharian dengan lebih baik dan menciptakan rencana tindakan untuk kegiatan-kegiatan ke depan, memberikan pengalaman pelatihan mereka kepada anggota kelompok di desa mereka. Contohnya, pelatihan yang memperkuat rasa percaya diri para perempuan dalam menghasilkan dan memimpin partisipasi yang lebih luas dari para perempuan di komunitas mereka. Kelompok-kelompok WLT ini juga memperlihatkan kepanjang-akalan mereka dengan menyimpan subsidi panganan/jajanan untuk pertemuan untuk menyumbang pada pembentukan kegiatan penghasil pendapatan (misalnya di Seuneubok Barat, Aceh Timur di mana sebuah koperasi menjahit dibentuk dan koperasi kredit mikro di Pante Gelima, Aceh Selatan). Aspek baik lainnya dari WLT adalah pembinaan/bantuan intensif yang disediakan oleh LSM/Ornop yang memfasilitasi setelah pelatihan Banda Aceh. Sesi-sesi ini semakin memperkuat pelatihan awal dan memotivasi lebih lanjut kelompok-kelompok desa untuk memperkuat kegiatan mereka. Kelompokkelompok ini juga sudah dihubungkan dengan dinas-dinas pemerintah untuk meningkatkan keberlanjutan. Tim menemukan bahwa kegiatan-kegiatan WLT, meski terbatas di beberapa desa, memberikan dampak tambahan yang paling efektif dalam Fase II. Kegiatan Lingkungan Tambahan Selama bagian belakangan Fase II, poster, tas dan item-item lain untuk kesadaran lingkungan dibagikan ke desa-desa sasaran di desa-desa proyek. Kampanye terbatas ini menciptakan visibilitas tentang beberapa isu-isu lingkungan yang dasar. Pelatihan lingkungan juga diberikan kepada staf lapangan PNPM oleh satu LSM/Ornop setempat. Kinerja LSM/Ornop tersebut dilaporkan dibawah harapan karena hanya mengirimkan staf yunior mereka untuk melakukan pelatihan. Dari apa yang dapat dikumpulkan oleh Tim, pelatihan-pelatihan sangat terbatas baik isi dan bentuknya, sebagian besar berfokus pada penebangan hutan ilegal. Pelatihan ekologi yang lebih umum yang menyoroti bagaimana masalah-masalah umum saling berhubungan sebetulnya lebih efektif dalam menghadapi keprihatinan lingkungan yang lebih luas dari masyarakat daripada hanya berfokus pada satu isu saja. Meski bukan salah satu tujuan khusus utama dari MGKD, Tim merasa bahwa upaya-upaya tambahan untuk meningkatkan kesadaran lingkungan bersifat terbatas, kurang menginformasikan dan kecil potensinya untuk keberlanjutan. Mungkin akan lebih produktif jika seandainya dana tersebut digunakan untuk memperkuat element inti proyek. Pelatihan Tambahan Sebagaimana dibahas dalam bagian ini tentang masukan proyek, staf lapangan PNPM menerima dua hari tambahan pelatihan pra-implementasi. TA IOM juga menerima pelatihan pra-implementasi mendalam, yang termasuk perenungan tentang kinerja pada Fase II. Selain itu, para TA dan staf IOM lainnya juga menghadiri dua lokakarya pengembangan kapasitas lanjutan selama berlangsungnya Fase II. Tambahan Lainnya
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
41
Selama Fase II, fluktuasi mata uang yang menguntungkan memungkinkan untuk hibah tambahan senilai Rp. 16.125.000 untuk disumbangkan ke 141 desa yang berpartisipasi. Karena hibah ini ada di tengah-tengah proses, maka beberapa desa memutuskan untuk membuat tambahan ke proyek yang sudah ada, sementara desa-desa lainnya memasukkan proposal untuk kegiatan atau proyek yang baru. Juga selama Fase II, 15 desa yang sangat terkena dampak banjir diberi dana pemulihan tambahan untk membantu mereka memulai kembali proyek-proyek mereka. Kegiatan tambahan lainnya yang layak dicatat adalah Konser Perdamaian yang diselenggarakan oleh IOM di desa-desa proyek selama kedua fase. Pada Fase I, konser diselenggarakan di empat desa per kabupaten. Pada Fase II, konser diselenggarakan di 3 desa per kabupaten. Konser ini termasuk live music dan pertunjukan komedi berbasis pada tema pokok perdamaian. Konser-konser Fase II juga menyertakan penandatangan simbolis pakta perdamaian setempat oleh tokoh setempat dan anggota pasukan keamanan yang berbasis di daerah tersebut selain juga penanaman pohon perdamaian di desa tuan rumah. Meski Tim tidak meliput acara-acara ini dalam evaluasi mereka, bagaimanapun juga berfungsi memperkuat antusiasme komunitas terhadap proyek ini sambil memperkuat interaksi antar penduduk desa dan mereka yang datang dari luar desa.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
42
8. 8.1
KESIMPULAN DAN HIKMAH YANG DIDAPAT Konsolidasi Perdamaian
Bagi banyak desa-desa MGKD, konflik dan upaya-upaya terus menerus menuju konsolidasi perdamaian bukanlah isu mereka. Ini adalah isu-isu dari orang-orang politik di Jakarta dan Banda Aceh untuk diatasi. Banyak melihat diri mereka sebagai korban dari konflik orang lain dan menyambut peluang untuk melanjutkan kehidupan mereka. 98% dari penerima manfaat berkata bahwa desa mereka tenang dan damai sejak 2005/6. 65% berkata bahwa keamanan saat ini lebih baik dibanding sebelum proyek ini, tetapi sebagian besar yang tidak pasti tentang masa depan, mengatakan bahwa mereka berharap perdamaian akan langgeng, beberapa dari mereka menambahkan bahwa perdamaian tergantung pada elit politik (di Aceh dan Jakarta) dan hasil pemilu. Banyak penerima manfaat memandang MGKD sebagai proyek yang memperkuat kemakmuran desa. Sangat sedikit mengkaitkannya langsung dengan konsolidasi perdamaian. Bagi banyak orang, perdamaian berarti peningkatan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Bagi mereka satu dampak signifikan dari Nota Kesepakatan adalah mereka sekarang dapat bekerja dengan benar untuk mata pencaharian mereka dan membuat hubungan yang bebas tanpa ketakutan akan balasan kekerasan. Tujuan-tujuan khusus MGKD relevan untuk kebutuhan-kebutuhan ini, dengan dampak keseluruhan dan sumbangan proyek terhadap konsolidasi perdamaian di desa-desa yang terkena dampak konflik dapat diukur melalui kekuatan dari dari dampak ekonomi dan sosialnya. Dengan memperkuat kohesi sosial dan memperbaiki kondisi ekonomi orang-orang, MGKD meningkatkan kemungkinan orang-orang menolak konflik selanjutnya. Proses demokratis yang dikejar mengijinkan para penerima manfaat merasa bahwa pandangan dan masukan mereka dihargai, bahwa mereka memiliki peran dalam menentukan arah kemakmuran ekonomi dan sosial masyarakat mereka. Dividen ekonomi dari proyek-proyek fisik, meski hanya minimum, meringankan beban perjuangan sehari-hari beberapa komunitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, dan dalam banyak kasus, ini mengijinkan mereka untuk menjadi tuan rumah dan/atau menghadiri acaraacara sosial yang jarang terjadi di masa lalu. Interaksi sosial yang ditingkatkan menambah tingkat tanggung jawab, kepercayaan dan solidaritas di dalam komunitas, memperkuat kemauan masyarakat untuk melangkah maju meninggalkan hari-hari konflik. Sejumlah kepala desa berkata bahwa mereka senang karena desa-desa mereka memutuskan untuk memiliki proyek-proyek yang melibatkan lelaki muda (dan ex-pejuang) karena mereka memiliki keprihatinan yang sama bahwa banyak pemuda rentan terhadap keterlibatan dengan kegiatan-kegiatan anti-sosial. Lainnya mencatat bahwa konstruksi atau perbaikan jalan atau lampu jalan membuat populasi merasa lebih aman. Saat ini 93% laki-laki dan 60% perempuan berkata mereka merasa aman keluar malam hari. 40% berkata mereka memiliki relasi yang baik dengan pasukan keamanan. 76% berkata mereka tidak ada lagi intimidasi. Pos-pos keamanan desa sebagian besar tidak aktif tetapi aktif selama pemilu barubaru ini (di bawah penguasaan polisi). Di beberapa desa yang dikunjungi ada tanda-tanda trauma dari pengalaman sebelumnya dengan pasukan keamanan masih terlihat nyata, tetapi hanya 2% berkata mereka menghindari pasukan keamanan. Mayoritas yang besar dari penerima manfaat berkata bahwa relasi masyarakat mereka sangat baik. Mungkin ini adalah sebuah kesaksian terhadap perasaan mereka tentang konflik yang bukan urusan mereka, dan sekarang akhirnya selesai, maka masyarakat merasa bebas untuk melanjutkan relasi normal mereka. 72% dari penerima manfaat merasa bahwa relasi masyarakat sangat baik (21% berkata baik atau hanya biasa), dan 69% berkata relasi dengan desa-desa tetangga sangat baik (30% berkata baik). Bahkan sebetulnya banyak proyek menjangkau jauh di luar batas-batas desa mereka sendiri, berakibat pada penguatan interaksi dengan desa-desa lainnya (misalnya, melalui penyewaan peralatan desa atau menyediakan sarana olahraga yang sudah direhabilitasi).
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
43
8.2
Capaian-capaian dari Tujuan-tujuan Khusus
1. Dividen perdamaian seketika untuk meningkatkan kondisi-kondisi ekonomi Proyek-proyek fisik MGKD secara efektif memberikan dividen perdamaian seketika untuk memperkuat dan merangsang pembangunan ekonomi untuk perempuan dan laki-laki melalui proyekproyek infrastruktur dan penghasil pendapatan masyarakat. Meski ada dividen perdamaian ekonomi dirasakan di hampir semua desa yang dikunjungi oleh Tim, tidak banyak proyek-proyek fisik yang berakibat pada peningkatan ekonomi secara dramatis. Tergantung dari jenis proyek fisik, dividen ekonomi diperoleh melalui satu atau lebih cara-cara berikut ini: a) Peningkatan dalam penghasilan beberapa KK untuk pembayaran terbatas yang diterima sebagai ganti dari tenaga selama konstruksi proyek fisik; b) Peningkatan terbatas dalam penghasilan desa atau kelompok perempuan dari keuntungan kecil yang dibuat dari penyewaan peralatan (misalnya, dari teratak, pelaminan, peralatan dapur, traktor tangan); c) Peningkatan terbatas di penghasilan sejumlah KK dari pembayaran terbatas yang diterima untuk memelihara dan mengelola peralatan MGKD (misalnya, dari teratak, pelaminan atau peralatan dapur); d) An increase in several household incomes from operating MGKD equipment on a regular basis (e.g. from hand tractor, river barge, school bus); e) Kenaikan dalam penghasilan sejumlah KK dari pengoperasian peralatan MGKD secara teratur (misalnya, dari traktor tangan, perahu/barga sungai, bis sekolah); f) Kenaikan dalam penghasilan KK dari meningkatnya panen pertanian (misalnya, dari proyekproyek irigasi, kolam ikan dan benih); g) Pengurangan ongkos bagi KK melalui penyewaan peralatan dengan harga kurang atau cumacuman (misalnya, dengan menyewa teratak, pelaminan, dsj unutk acara-cara sosial budaya atau traktor tangan untuk pertanian); h) Pengurangan ongkos bagi KK akibat dari meningkatnya sarana pengangkutan (misalnya, proyek-proyek jalan, bis sekolah, perahu/barga sungai) i) Kenaikan penghasilan bagi sejumlah terbatas KK dari penjualan barang-barang di lokasi proyek MGKD (misalnya pedagang makanan dan minuman di lapangan bola atau lapangan voli); j) Tambahan penghasilan bagi sejumlah terbatas KK dari pembelian MGKD atas bahan-bahan dan peralatan (biasanya masuk ke pedagang dari luar desa) Tim merasa bahwa keuntungan ekonomi dari peralatan yang dapat disewa hanya cukup untuk menyokong biaya pemeliharaan dan operasional peralatan tersebut, dengan mengasumsikan bahwa peralatan tersebut dipelihara dan dikelola secara konsisten. Rata-rata proyek perempuan yang melibatkan penyewaan peralatan memperoleh keuntungan sekitar 1 juta rupiah per tahun. Terbatasnya besar hibah MGKD juga menghalangi potensi manfaat ekonomi dari proyek. Sejumlah anggota tim pemeliharaan mencatat bahwa hibah kecil yang tersedia tidak cukup uneuk membeli satu set peralatan lengkap, yang mengurangi prospek untuk menyewakannya ke desa-desa tetangga.
2. Meningkatnya Kohesi sosial dan bantuan terhadap kemulusan reintegrasi para mantan pejuang dan tahanan yang diberi pengampunan ke dalam masyarakat. Penguatan kohesi sosial adalah tujuan khusus utama dari proses MGKD ini. MGKD membantu pereintegrasian para mantan pejuang dan tahanan yang diberi pengampunan ke dalam masyarakat dengan cara memperkuat kohesi sosial masyarakat melalui proyek-proyek pembangunan yang partisipatoris.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
44
Semua aspek dari proyek masyarakat – partisipasi dan perencanaan demokratis, pemberdayaan ekonomi, dan keadilan gender – menyumbang pada penguatan kohesi sosial. Semua aspek yang menyumbang pada kohesi sosial meningkat di beberapa desa yang berkinerja tinggi. Di sebagian besar desa-desa, beberapa aspek lebih kuat daripada aspek lainnya. Di sejumlah kecil desa-desa, ada kekurangan dalam satu atau lebih aspek. Angka kesuksesan tergantung pada kombinasi dari penerapan masukan internal dari staf lapangan PNPM dan IOM, jenis proyek yang dipilih, penentuan waktu proses proyek serta kondisi-kondisi sosial dan politik yang menguntungkan. Untuk mengidentifikasikan angka kesuksesan, Tim mengukur tingkat kohesi sosial dengan cara menggunakan berbagai macam indikator, yang mana sebagian besar positif. 30% dari para penerima manfaat di Fase I dan 25% dari Fase II berkata bahwa kohesi sosial yang meningkat adalah perubahan yang paling terlihat yang mereka rasakan di desa-desa mereka sebagai akibat dari MGKD. 14% dari para penerima manfaat menyebutkan kohesi sosial sebagai alasan mengapa mereka memilih proyek mereka. Dalam kasus-kasus ini, kegiatan-kegiatan yang diseleksi telah secara berhasil memperkuat interaksi, kepercayaan dan solidaritas masyarakat, selain juga bertindak sebagai pengaruh imbangan (counter balance) untuk mencegah kaum muda rentan dari terlibat dalam perilaku anti-sosial. Tim menemukan bahwa sumbangan terbesar pada penguatan kohesi sosial di seluruh desa-desa sasaran adalah dampak dari partisipasi, perencanaan, pengimplementasian dan manajemen yang demokratis. Cara proyek dipilih, dipelihara dan dikelola secara transparan dan akuntabel adalah aspek yang paling populer dari proses ini. Partisipasi global, kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan memilih proyek juga sangat diapresiasi oleh sebagian besar komunitas. Proyek-proyek infrastruktur dan sosial budaya memperkuat kohesi sosial dalam berbagai cara, dimana yang pertama bersifat lebih padat karya dan partipatoris selama pengimplementasiannya dan yang belakang (proyek sosial budaya), tingkat partisipasi meningkat begitu sarana-sarana dipergunakan (misalnya, sarana olahraga, pelaminan dan teratak). Para penerima manfaat yang lain menjelaskan betapa proyek-proyek sadar keamanan menyumbang pada penguatan kohesi sosial (misalnya, proyek-proyek seperti jalan dan lampu-lampu jalan secara psikologis meningkatkan keselamatan lingkungan desa). Partisipasi yang diperkuat dari kaum perempuan dalam kegiatan-kegiatan masyarakat juga memperkuat kohesi sosial komunitas dengan mengurangi tingkat diskriminasi terhadap perempuan dan mengijinkan para perempuan dan laki-laki berpartisipasi secara sejajar dalam seluruh aspek dari siklus proyek. Hibah khusus perempuan juga mengurangi beban kewajiban sosial dan ekonomi perempuan, sambil memberdayakan mereka dengan peluang-peluang baru dan ketrampilan berorganisasi. Tim merasa bahwa sebetulnya kohesi sosial bisa diperkuat lebih jauh lagi jika seandainya proyekproyek yang diseleksi merangsang partisipasi yang lebih luas dan rasa kepemilikan yang lebih besar. Meski mengakui bahwa komunitas-komunitas bebas memilih proyek-proyeknya, mereka ingin proyek-proyek yang sudah siap pakai, yang merupakan 60% lebih dari semua proyek, mereka terutama sekali rendah dalam partisipasi. Terbatasnya keuntungan ekonomi dari proyek-proyek ini mengurangi potensi untuk menaikkan tingkat kohesi sosial. Ada beberapa kasus di mana buruknya tingkat partisipasi selama proyek telah menyebabkan kecemburuan dan gesekan di antara beberapa anggota masyarakat. Di banyak desa yang dikunjungi, tingkat interaksi yang ada sebelumnya sudah tinggi, dengan lebih dari 80% perempuan maupun laki-laki berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan seperti gotong-royong, olahraga, kelompok-kelompok pengajian, dan kelompok-kelompok kredit mikro. Interaksi sosial informal juga secara merata tinggi, dengan baiknya tingkat kepercayaan dan solidaritas antara para tetangga dan teman. Di desa-desa di mana kohesi sosial sudah ada sebelumnya, kedatangan proyek
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
45
ini, penambahan kegiatan-kegiatan yang dirangsang MGKD semakin memperkuat lebih lanjut interaksi sosial dan relasi yang baik di dalam komunitas dan dengan desa-desa tetangga mereka.
8.3
Ketepatan Waktu dan Efisiensi
KETEPATAN WAKTU: dari permulaan, MGKD adalah sebuah proyek dampak cepat dan sekaligus proyek pembangunan masyarakat. Yang pertama, menuntut waktu yang terbatas sedangkan yang belakangan menuntut waktu yang agak lama. Ketegangan antara dua tuntutan waktu yang saling berlawanan membatasi tingkat penguatan yang sedianya dapat dicapai pada hal-hal yang terkait dengan proyek dampak cepat. Meski durasinya yang terbatas, kendati demikian MGKD membuat sumbangan substansil pada penguatan kohesi sosial, partisipasi dan perencanaan yang demokratis. KUANTITAS vs KUALITAS: Dengan halangan waktu proyek sebagai latar belakang, jumlah dari desa-desa sasaran juga sangat ambisius. Kemudian ada juga ketegangan antara kuantitasa dan kualitas selama proyek berlangsung. Prospek tingkat efisiensi dan keefektifan yang lebih tinggi mungkin bisa diperkuat jika seandainya total jumlah uang, ditambah dengan periode waktu yang diperpanjang, disebar ke lebih sedikit desa. Skenario sedemikian mungkin akan memungkinkan untuk masukanmasukan IOM dimaksimalkan di seluruh tingkat – penstafan, pelatihan, fasilitasi, monitoring, evaluasi, dsj. BATASAN PADA TUJUAN-TUJUAN KHUSUS: Pemrioritasan tujuan-tujuan khusus dalam pembangunan paska-koflik juga penting. Untuk mencapai hasil atau keluaran yang diinginkan secara maksimum, sejumlah tujuan-tujuan khusus proyek sebetulnya bisa dibatasi, dengan kata lain, kita tidak dapat meliput semua isu-isu yang saling bersinggungan (cross-cutting) secara efektif jika sumber daya yang memadai tidak disediakan. Contohnya, proyek memberi waktu dan sumber daya (masukan) yang lebih banyak pada keadilan gender dibandingkan dengan yang diberikan pada kesadaran lingkungan. Dengan demikian capaian dan dampak dari kegiatan-kegiatan masing-masing berkaitan dengan jumlah masukan yang dialokasikan. EFISIENSI: Salah satu bahan utama untuk proyek sosial yang berhasil adalah pemobilisasian sumber daya manusia secara efektif dan konsisten. Sebagaimana halnya dalam banyak kasus paska-konflik, terbukti sulit untuk memobilisasi sepenuhnya staf lengkap yang kompeten, berkomitmen dan bermotivasi. Meski konsistensi staf ditemukan pada manajer proyek dan Tim Manajemen Proyek yang selalu hadir, tetapi ada pergantian yang tinggi pada Asisten Teknis dalam Fase I. Kemudian ada beberapa kekurangan dalam fasilitasi dan implementasi.
8.4
Keberlanjutan dan Pelembagaan
MGKD meletakan pondasi yang kokoh untuk keberlanjutan proyek-proyek fisik, praktek-praktek demokratis, dan keberlanjutan kelembagaan. Dengan kata lain, ada potensi tinggi untuk keberlanjutan. Untuk proyek-proyek fisik, pencapaian potensi ini sebagian tergantung pada tingkat motivasi dan komitmen para pemain kunci di masing-masing desa dan faktor-faktor eksternal yang menguntungkan. Di semua desa, kecuali dua desa dari 25 desa Fase I yang dikunjungi oleh Tim, proyek-proyek masyarakat telah memelihara dirinya sendiri selama setahun tanpa dukungan IOM. Semua proyek Fase II juga tetap aktif. Meski lebih sulit untuk mengukur, potensi untuk keberlanjutan proses dan prinsip manajemen yang demokratis adalah sangat tinggi. Akhirnya, kerja kemitraan IOM dengan PNPM telah memperkuat kapasitas yang terakhir dalam mengimplementasikan proyek-proyek pembangunannya yang dari atas ke bawah (bottom-up) di masa yang akan datang. Potensi-potensi kunci untuk masing-masing aspek ini diuraikan di bawah: Pada akhir proyek, dari bulan Maret sampai Juni 2009, IOM juga menjalankan serangkaian kegiatan untuk memperkuat lebih lanjut potensi MGKD untuk keberlanjutan. Kegiatan-kegiatan ini termasuk
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
46
pembuatan video dan buklet, presentasi-presentasi kepada para pemangku kepentingan, dan kegiatan monitoring final. 1. Proyek-proyek Fisik Sebagai aturan umum, rasa kepemilikan yang lebih besar tampak pada proyek-proyek padat karya, yang menarik partisipasi dan penggunaan yang luas. Proyek-proyek sedemikian, seperti pembetulan jalan, peningkatan irigasi, traktor tangan, perahu/barga sungai dan kolam ikan, lebih efisin, menguntungkan dan potensil sangat berkelanjutan karena manfaat langsung dan tidak langsungnya terlihat baik oleh komunitas tuan rumah maupun desa-desa tetangganya. Pendirian sarana-sarana olahraga juga merangsang tingginya penggunaan sehari-hari, antusiasme dan pemeliharaan sukarela dari para pengguna. Prospek proyek-proyek ini untuk keberlanjutan fisik tampak lebih tinggi daripada proyek-proyek acara sosial-budaya (misalnya pelaminan dan teratak) yang membutuhkan hanya sejumput orang untuk mengimplementasikan dan memeliharanya. Keberlanjutan dari peralatan acara lebih bergantung pada komitmen sejumlah kecil anggota dari tim pemeliharaan untuk menjalankan tugasnya secara efektif dalam suatu kurun waktu terus menerus. Upaya-upaya ekstra akan dibutuhkan untuk memperoleh keuntungan yang memadai untuk dapat melebihi daripada sekedar memelihara dan/atau menggantikan peralatan. Keberadaan terus menerus tim-tim pemeliharaan dan manajemen di hampir seluruh desa yang dikunjungi oleh Tim mengindikasikan dengan baik untuk adanya keberlanjutan dari aset-aset fisik yang dimiliki masyarakat. 2. Proses Demokratis Aspek terkuat MGKD adalah dampak dari kebijakan dan praktek demokrasi pada perencanaan, pengimplementasian dan manajemen proyek masyarakat. Praktek-praktek demokrasi disambut di mayoritas desa yang dikunjungi dan praktek-praktek ini memberikan pengontrol dan penyeimbang (check and balance) masyarakat terhadap manajemen, akunting, pemeliharaan dan kegiatan-kegiatan yang berasal dari aset-aset fisik MGKD. Disenjatai dengan ‘pengontrol dan penyeimbang’ ini, para penerima manfaat sekarang berada dalam posisi untuk menyumbang pada keberlanjutan dari kegiatan-kegiatan terkait MGKD, selain juga menyumbang pada proyek-proyek pembangunan masyarakat yang akan datang di desa mereka masing-masing. Proses-proses demokras ini juga meningkatkan interaksi sosial, solidaritas dan rasa percaya sesama desa. Dalam beberapa kasus, dampaknya satu langkah lebih jauh, yakni menimbulkan dampak gender positif ke dalam praktekpraktek rumah tangga, dengan kepala rumah tangga (laki-laki) mengapresiasi pemberdayaan yang diberikan kpada istri-istri mereka melalui MGKD. 3. Praktek-praktek Manajemen Kapasitas manajemen desa dari sebagian besar desa MGKD juga telah beruntung dari MGKD, dengan kelompok yang terdiri dari kepala desa, perempuan, mantan pejuang dan/atau fasilitator desa sekarang mampu untuk secara demokratis mengelola dan mengimplementasikan proyek-proyek yang akan datang. Fasilitator terpilih, orang-orang di manajemen dan pemeliharaan sekarang memiliki kemampuan penulisan proposal, akunting, pemeliharaan dan keorganisasian yang diperkuat, yang walaupun sulit untuk mengkuantitaskannya harus diperhitungkan sebagai ases tambahan masyarakat. Di desa-desa tertentu, praktek-praktek lama yang non-demokratis masih terjadi, khususnya di antara pemimpin laki-laki, tetapi konstituen mereka setidak-tidaknya memiliki selera partisipasi yang bottom-up, yang akan terus diperkuat secara kelembagaan oleh upaya-upaya pemerintah di masa depan.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
47
4. Pelembagaan Dari awal mulainya proyek, MGKD sadar akan kebutuhan untuk menyediakan sebuah platform yang sifatnya berkelanjutan untuk kelanjutan paska-proyek. Pencantuman praktek-praktek terbaik dan staf PNPM di dalam perencanaan dan pengimplementasian proyek adalah pondasi untuk kebutuhan tersebut. Kapasitas dari banyak PD-PNPM untuk secara kreatif memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan desa mereka tak dapat dipungkiri memang terbatas, namun motivasi mereka dan kepercayaan masyarakat memungkinkan mereka untuk mendapatkan pengalaman berharga untuk masa depan. Meski Tim tidak menemukan kasus apapun dalam kunjungan lapangan mereka yang singkat, staf PNPM melaporkan bahwa banyak kasus belakangan ini dimana para FD terpilih menjadi Kepala Desa; ini adalah testamen terhadap kerja bagus mereka dalam mengorganisir masyarakat mereka sebagai FD. Terlepas dari kapasitas dan pengalaman terbatas dari banyak staf lapangan PNPM, sinergi MGKD/PNPM harus dipandang sebagai langkah awal yang krusial untuk kapasitas jangka panjang baik PNPM maupun pemerintah daerah dalam mengimplementasikan pembangunan masyarakat yang sifatnya demokratis di seluruh Aceh. Bahkan sesungguhnya, begitu MGKD selesai sebuah peluang baru muncul bagi PNOM dan pemerintah daerah untuk memulai pengimplementasian tugas yang sedemikian tersebut. Pada pertengahan tahun 2009, PNPM dalam kemitraan dengan pemerintah provinsi dan pemerintah daerah akan mengimplementasikan sebuah proyek baru berjudul Bantuan Keuangan Peumakmue Gampong (Bantuan Keuangan Pemakmuran Kampung atau BKPG). Mirip dengan MGKD, proyek babru ini akan melihat hibah senilai Rp. 150 juta diberikan ke masing-masing desa dari semua 6000 desa plus di Aceh. Dua pertiga dari hibah ini berasal dari Pemerintah Provinsi Acceh dan sepertiganya dari masing-masing Pemerintah Daerah. Menyadari terbatasnya kapasitas sumber daya manusia yang ada untuk memfasilitasi proyek ini, maka PNPM sudah menambah stafnya sehingga akan ada satu asisten FK (Fasilitator Kecamatan) yang dialokasikan untuk setiap lima desa. Ini mungkin adalah hikmah yang diperoleh dari proses MGKD. Perencanaan BKPG sekarang adalah untuk membentuk sinergi antara para pemangku kepentingan agar desa-desa dapat membentuk satu rencana pembangunan, yang mana hibah BKPG dan bantuan dari proyek-proyek lain dapat dipertimbangkan secara bersama. Para perempuan dan laki-laki di komunitas-komunitas MGKd sekarang berada dalam posisi untuk sepenuhnya mengambil manfaat dari prakarsa baru ini dalam memperkuat proyek-proyek mereka yang sudah ada atau memulai proyek-proyek baru. Mereka juga akan memiliki peluang untuk memperkuat praktek-praktek manajemen demokratis yang diperkenalkan melalui MGKD. Pengalaman yang didapat dan kapasitas yang meningkat dari asisten teknis dan staf proyek IOM di sepanjang proses MGKD juga akan membawa sumbangan berharga bagi upaya-upaya mereka di masa yang akan datang dalam pembangunan masyarakat dan manajemen proyek.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
48
9. REKOMENDASI 1. IOM harus terus mendorong monitoring dan memperkuat lebih lanjut dampak dan keberlanjutan dari proyek-proyek fisik dan praktek-praktek MGKD. Hal ini dapat dicapai dengan mensuplai data yang akurat dan tepat tentang kesuksesan, kegagalan, peluang dan tantangan di masingmasing desa, yang jumlah totalnya 398 desa, kepada para pemangku kepentingan kunci, seperti misalnya proyek-proyek IOM lainnya dalam bidang pembangunan perdamaian (peace building), pihak berwenang di kabupaten dan kecamatan, PNPM serta organisasi-organisasi internasional dan lokal lainnya yang peduli dengan lokasi-lokasi atau isu-isu yang sama. 2. IOM dan CIDA harus mempertimbangkan untuk membuat proyek tindak lanjut untuk memperkuat lebih lanjut aspek-aspek yang secara potensil berkelanjutan dari MGKD. Proyek sedemikian tersebut sedianya akan terdiri dari tim kecil asisten teknis yang tujuan khususnya adalah untuk menyerahkan pengetahuan yang diperoleh dari 396 desa kepada para pemangku kepentingan kunci dan untuk bekerja sama dengan PNPM dan pemerintah daerah dalam tahaptahap perencanaan awal dan pengimplementasian proyek-proyek masyarakat barunya. Proyek ini juga dapa melakukan kunjungan-kunjungan tindak lanjut ke desa-desa MGKD untuk memperkuat lebih lanjut partisipasi mereka dalam proyek-proyek baru PNPM. 3. IOM dan CIDA harus mempertimbangkan perluasan pelatihan kepemimpinan perempuan di MGKD dan desa-desa lain dan/atau mengembangkan lebih lanjut proyek-proyek khusus perempuan di desa-desa yang memasukkan pelatihan kepemimpinan dan ketrampilan-ketrampilan lain yang diperlukan untuk memperkuat proyek mata pencaharian yang mereka pilih. 4. Untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat, PNPM harus mengintensifkan pelatihan, menambahkan manfaat-manfaat materil dan mendorong staf lapangannya untuk lebih kreatif dalam fasilitasi mereka selanjutnya di proyek-proyek masyarakat. Mereka juga harus membuat standar pelatihan gender untuk semua fasilitator dan staf. 5. CIDA harus berhati-hati ketika melakukan pemrograman dua isu utama yang saling bersinggungan tentang gender dan lingkungan dalam proyek-proyek paska-konflik yang akan datang. Isu-isu ini harus disisipkan jika secara langsung relevan dengan tujuan-tujuan khusus utama proyek dan jika sumber daya manusia dan keuangan tersedia.
CIDA-MGKD, LAPORAN EVALUASI EKSTERNAL JUNI 2009
49