MENJAGA DIRI DARI BAHAYA PLURALISME1 H. Wido Supraha, M.Si.2 Disampaikan dalam Khutbah Jum’at di Masjid al-Huda, Komplek Depok Mulya 3, Tanah Baru, Depok
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Majelis Ulama Indonesia dalam Munas-nya yang ke-VII, 25-29 Juli 2005 di Jakarta, telah menetapkan 11 fatwa. Di antara fatwa MUI tersebut terdapat fatwa tentang pluralisme agama, sekularisme, dan liberalism, yang sejak keluarnya fatwa tersebut, terus-menerus mendapatkan sorotan dan kecaman keras dari berbagai pihak yang selama ini sudah menyebarkan pahampaham yang diharamkan MUI tersebut. Bahkan sampai hari ini, cukup sering kita mendengar dukungan akan ‘pluralisme’ ini disampaikan oleh sebagian pemimpin kita dan lebih disayangkan lagi ada juga ormas Islam yang mendukung isme ini dan mencoba mencari definisi lain untuk membenarkannya. Semoga hal itu lebih karena kealfaannya dan atau ketidaktahuannya akan bahaya daripada isme ini, dan semoga kita semua segera tersadar untuk segera mengkoreksi kekeliruan dalam pemikiran beragama ini. Mereka yang menolak atas fatwa ini dan kemudian merendahkan kearifan para ulama kita yang telah menjalankan tugasnya membimbing umat ini agar tetap berada dalam koridor yang disyari’atkan Allah SWT, sebagian besar adalah mereka yang mendukung diterapkannya kebebasan di dalam mengembangkan ajaran-ajaran spiritual dan perilaku yang menyimpang tidak hanya dari ajaran agama-agama yang diakui dalam kehidupan bernegara di negeri kita, Al-ta’addudiyah al-diniyyah (religious pluralism). Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Jakarta: Perspektif, 2005, Cet. 1, hlm. 11 2 Mahasiswa Doktoral Tarbiyah Islamiyah Universitas Ibn Khaldun, Bogor. 3 33 3 1
akan tetapi lebih jauh pada kebebasan perilaku manusia yang keluar dari fitrah-nya. Mereka ini mengawal kebebasan tumbuhnya ajaran seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Anand Khrisna, dan mendukung penuh tumbuhnya kebebasan perilaku tanpa norma seperti homoseksual dengan berlindung di bawah Hak Asasi Manusia (HAM). Apakah tidak ada Hak Asasi Tuhan? Baru-baru ini kita mendengar telah semakin beraninya komunitas pendukung kebebasan menunjukkan taringnya dengan menggelar sebuah Konferensi Internasional Regional Asia ke-4, 26-28 Maret 2010 di kota Surabaya, di dalam wadah ILGA (International lesbian, gay, bisexual, transgender dan intersect association). Alhamdulillah, kerjasama aparat kepolisan dan Forum Umat Islam di daerah tersebut mampu membatalkan acara tersebut secara damai, dan kita sebagai Umat Islam harus segera tersadar untuk tetap menjalankan salah satu fungsi utama kita, amar ma’ruf nahyi munkar, dan meningkatkan kapasitas intelektual kita sehingga tidak mudah untuk teracuni dengan pemikiran-pemikiran nyeleneh, dan lebih lanjut segera tersadar bahwa ini baru sebagian kecil dari upaya komunitas pecinta kebebasan berfikir dan berperilaku yang telah mengorganisir dirinya secara terencana bahkan membangun jaringan skala internasional. Inilah sebenarnya satu bentuk terorisme gaya baru, yang melakukan teror atas kedamaian kehidupan beragama. Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Pluralisme agama adalah suatu paham (isme) yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Maka dalam hal ini, istilah pluralisme harus dibedakan dengan pluralitas, karena pluralitas agama adalah sebuah keniscayaan, sebuah kenyataan bahwa di Negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. Istilah pluralisme juga harus dibedakan secara jelas dengan kata toleransi, karena toleransi tidak dalam kerangka mencampuradukkan kebenaran antar agama, akan tetapi saling tenggang rasa, saling menghargai pendapat yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri dan kemudian dapat melahirkan kerjasama antar umat beragama dengan tetap mempertahankan kebenaran yang diyakini oleh setiap umat beragama, karena hal itu masuk dalam wilayah keyakinan (tauhid). Begitupun dengan karakteristik keunikan cara beribadah setiap umat beragama yang tidak bisa dipersamakan sebagaimana usaha sebagian kelompok untuk memadukannya dalam bentuk perayaan bersama hari besar agama ataupun do’a bersama, yang sesungguhnya menjadi hal-hal yang tidak perlu untuk diseragamkan karena memang pada hakikatnya telah berbeda, sebagaimana ungkapan Prof. Dr. Quraish Shihab di dalam tafsirnya, “Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. 4 Fatwa yang dikeluarkan MUI sesungguhnya telah lebih dahulu didahului oleh agama-agama lain. Sebagai contoh, sejak tahun 2001 paham ini sudah dikecam oleh Vatikan, dengan mengeluarkan keputusan “Dominus Jesus”, dimana Vatikan selain menolak paham pluralisme agama, juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantar keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Tokoh Rohaniawan Katolik yang kita kenal, Romo Frans Magnis Suseno, juga menegaskan penolakannya atas pluralisme agama, karena menurut beliau hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling 4
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 1, Jakarta: Lentera Hati, 2006, Cet. VII , hlm. 216.
menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, baru kita bersedia saling menerima. Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh identitas masingmasing yang tidak sama. Bagi umat Islam, kita meyakini bahwa ajaran kita yang suci dan lurus ini adalah jalan keselamatan untuk kehidupan kita di dunia dan di akhirat, sebagaimana Quraish Shihab pun telah mengingatkan, “Memang banyak agama yang dikenal oleh manusia, tetapi yang ini, yakni yang intinya adalah penyerahan diri secara mutlak kepada-Nya, itulah yang direstui dan dipilih oleh-Nya. Karena itu maka janganlah kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri kepada-Nya yakni memeluk agama Islam. Pesan ini berarti kamu jangan meninggalkan agama itu walau sesaat pun. Sehingga dengan demikian, kapanpun saatnya kematian datang kepada kamu, kamu semua tetap menganutnya.”5
Demikian penafsiran beliau pada ayat, dalam Surat al-Baqarah ayat 132,
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Sesungguhnya Islam telah memiliki aturan yang lengkap terkait pola hubungan antara manusia dan Tuhan, berikut hubungan antar manusia. Maka mencari dan menyusun aturan sendiri dengan versi buatan manusia pasti akan memiliki banyak kekurangan dikarenakan akal manusia yang juga penuh keterbatasan atas ruang dan waktu. Sebagaimana Hak Asasi Manusia sesungguhnya bukanlah aturan yang harus diterima oleh umat Islam mentah-mentah, tanpa melakukan penyaringan dan analisa yang cermat. Sebagai contoh di dalam pasal 16 ayat 1 dari Universal Declaration of Human Right, berbunyi, “Pria dan wanita dewasa, tanpa dibatasi oleh ras, kebangsaan, atau agama, memiliki hak untuk kawin dan membangun suatu keluarga. Mereka memiliki hak-hak sama perihal perkawinan, selama dalam perkawinan dan sesudah dibatalkannya perkawinan.” Atas pasal ini, Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengeluarkan memorandum penolakannya. Bahkan salah seorang ulama besar Indonesia, Prof. Dr. HAMKA (Buya HAMKA) dalam tulisannya yang berjudul “Perbandingan antara Ham Deklarasi PBB dan Islam” mencatatkan sikap tegasnya, “Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah “Islam statistik”. Saya seorang Islam yang sadar. Dan Islam yang saya pelajari dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam tetapi syariatnya tidak saya jalankan atau saya bekukan.” Alhamdulillah, sampai hari ini, secara formal, pemikiran ‘liberal’ yang salah satu agendanya memasukkan paham pluralisme ini hingga ke jantung kekuatan umat Islam masih belum mendapatkan sambutan positif di kalangan organisasi masa Islam. Nahdhatul ‘Ulama (NU) misalkan, dalam Muktamar ke-32 di Makassar kemarin mematok syarat yang tegas dalam tata tertib pemilihan Ketua NU (pasal 22 ayat 3) tidak boleh berasal dari Jaringan Islam Liberal, karena bertentangan dengan prinsip ahlus sunnah wal jama’ah. Demikian dengan Muhammadiyah yang sampai hari ini tidak memberi ruang yang luas untuk berkembangnya pemikiran-pemikiran yang akan merusak tatanan agama yang sudah mapan ini. Namun, kewaspadaan kita tentu perlu terus ditingkatkan karena paham ini masuk ke Indonesia dan gencar dimasyarakatkan oleh beberapa kalangan intelektual Muslim dan didukung penuh lembaga swadaya asing seperti Asia Foundation dan sejenisnya. 5
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 1, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2006, hlm. 331.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Sesungguhnya tidak ada satupun pemikiran dan pendapat yang bebas akan nilai (value free), akan tetapi semuanya akan terkait dan sarat dengan nilai (value laden). Sebagai umat Islam, hendaknya setiap pemikiran dan pendapat kita harus berpijak pada nilai-nilai Al-Qur’an dan AsSunnah. Standar kebenaran telah kita miliki dan dengannya kita diperintahkan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dimana konsep ini tidak dimiliki Barat, bahkan konsep individualis dan relativis yang berkembang di Barat akan memandang konsep amar ma’ruf nahi munkar’ sebagai bentuk kejahatan yang tidak disukai masyarakat. Dalam hal ini saya mengutip Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, yang mengutip satu ungkapan dari Hudzaifah bin al-Yaman, “Akan datang suatu zaman, ketika bangkai keledai akan lebih mereka sukai daripada seorang mukmin yang biasa melakukan amar ma’ruf nahi munkar.” Ibn Mas’ud juga menjelaskan Tafsir al-Ma’idah ayat 105 dengan menyebutkan akan datang suatu zaman dimana orang yang melakukan amar makruf nahi munkar akan dibenci dan dikecam. Demikian khutbah ini saya sampaikan dengan meyakini bahwa kemungkaran terbesar adalah kemungkaran dalam bidang akidah, dank arena masalah ini bukanlah masalah yang sederhana. Maka hendaknya umat Islam yang mukallaf dan memiliki kemampuan, berlomba-lomba dalam melakukan amar m’aruf nahi munkar, khususnya dalam hal ini mencegah tersebar lebih luasnya paham pluralisme agama.
Khutbah ke-2
Ya Allah, ampunilah kaum mukminin dan mukminat, muslimin dan muslimat, perbaikilah di antara mereka, lembutkanlah hati mereka dan jadikanlah hati mereka keimanan dan hikmah, kokohkanlah mereka atas agama Rasul-Mu SAW, berikanlah mereka agar mampu menunaikan janji yang telah Engkau buat dengan mereka, menangkan mereka atas musuh-Mu dan musuh mereka, wahai Ilah yang hak jadikanlah kami termasuk dari mereka.
Ya Allah, perbaikilah sikap keagamaan kami sebab agama adalah benteng urusan kami, perbaikilah dunia kami sebagai tempat penghidupan kami, perbaikilah akhirat kami sebagai tempat kembali kami. Jadikanlah kehidupan kami di dunia sebagai tambahan bagi setiap kebaikan. Jadikanlah kematian kami sebagai tempat istirahat bagi kami dari setiap keburukan.
Ya Allah, jadikanlah kami mencintai keimanan dan hiasilah keimanan tersebut dalam hati kami. Dan jadikanlah kami membenci kekufuruan, kefasikan dan kemaksiatan dan jadikanlah kami termasuk orang yang mendapat petunjuk.
Ya Allah, muliakanlah Islam dan umat Islam, hinakanlah syirik dan orang-orang musyrik, hancurkanlah musuh agama, jadikan keburukan melingkari mereka, wahai Rabb alam semesta. Ya Allah, cerai beraikan persatuan dan kekuatan mereka, siksalah mereka, sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu, wahai Rabb alam semesta.
Ya Allah, cerai beraikan persatuan dan kekuatan mereka, siksalah mereka, sesungguhnya Engkau berkuasa atas segala sesuatu, wahai Rabb alam semesta.
[email protected]