M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
STUDI KASUS ETNOARKEOLOGI PAPUA
Pernak-pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005-2009
M. Irfan Mahmud (Balai Arkeologi Jayapura)
Abstract There are only few places in the world which still have the analogy materials that could connect two far different era, and one of them is Papua. From the linguistics aspect, Papua has approximately 300 tribes, such as Dani, Asmat, Marind-Anim, Hattam, Ekagi, and Sentani. From those hundreds tribes, the ethnoarchaeological researches in Papua have explored some aspects of analogy-archaeology materials, such as: religion, totem and symbol, habitation, governmental system, and ethnicmusicology. Based on the past 5 years (2005-2009) research, it is turned out that the research programs which have the tendency on ethnoarchaeology reached 75% or 18 from 24, though the effort on bringing the ’analogy’ materials to be analyzed deeply (thick description) is still facing several problems, particularly on human resources, methodology, and planning socialization aspects. Therefore, the RIPAN research format review surely needs to be done so that in the future it could be applied by the archaeologists. Keywords: analogy materials, Ethnoarchaeological research, research format Latar Belakang Tahun 1960-an, Carol Kramer (1979) mencetuskan metode yang ditujukan untuk menjembatani ketidaktahuan kita sekarang tentang penjelasan peninggalan budaya masa lalu (artefak), baik makna maupun perilaku manusia pendukungnya. Metode yang dicetuskan Carol Kramer ia namakan etnoarkeologi; suatu “cara” yang digunakan arkeolog untuk memperoleh bahan analogi etnografis. Tujuannya, untuk membantu mengatasi sejumlah persoalan dalam interpretasi arkeologi sebagai analogi obyek atau aspek budaya sejenis yang masih hidup sampai sekarang.
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
39
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
Peran etnografi dalam kajian etnoarkeologi bukan hanya sebatas untuk membantu memahami nilai atau makna benda arkeologi, melainkan juga dapat digunakan untuk membantu menangani atau memecahkan masalah-masalah arkeologi. Adapun masalah-masalah arkeologi cukup beragam, tetapi secara umum meliputi tiga paradigma dasar, yakni: (1) menyusun sejarah-budaya; (2) merekonstruksi caracara hidup; dan (3) menggambarkan proses perubahan budaya (Gibbon, 1984: 8-9). Untuk bisa memahami kegunaan etnoarkeologi, maka kita perlu untuk mendudukan “cara” kajian ini dalam paradigma yang menjadi orientasi paradigma arkeologi. Bagi para penganut arkeologi pembaharuan (new archaeology) etnoarkeologi dipandang sebagai salah satu strategi untuk merekonstruksi cara-cara hidup. Lima tahun lalu (2004), ketika perumusan highlight, Balai Arkeologi Jayapura telah menetapkan kebijakan penelitian unggulan berbasis etnoarkeologi. Pilihan tersebut sangatlah pantas, karena disatu pihak Papua memiliki potensi etnologi sangat besar—sekitar 300-an suku—, sementara dilain pihak, kebutuhan arkeologi akan bahan analogi cukup banyak mengingat jarak waktu yang demikian lebar perlu dijembatani. Misalnya, apa makna lukisan dinding gua, goresan totem1 pada batu megalitik, bagaimana pembuatan dan fungsi serta makna kapak batu, bagaimana pola hidup masyarakat pertanian awal, dan sebagainya. Persoalannya, sejauhmana highlight yang dipilih dan ditugaskan kepada Balai Arkeologi Jayapura selama lima tahun terakhir dalam konteks pengembangan arkeologi nasional telah dijalankan dan seberapa capaian hasil bahan analogi etnografis melalui metode studi etnoarkeologi, sekurang-kurangnya dalam lingkup isu arkeologi Papua. Tulisan ini pertama-tama akan menggambarkan ikhtisar pokok-pokok hasil penelitian etnoarkeologi di Papua selama lima tahun terakhir. Lalu, mencoba mendiskusikan pemahaman etnoarkeologi yang juga masih terus diperbincangkan diantara peneliti yang dihantui pertanyaan apakah mereka telah berada pada rel kajian yang benar? Tentu saja dalam banyak kendala dan hambatan, perlu pula didiskusikan prospek dan tantangan penelitian etnoarkeologi ke depan, setidaknya dalam jangka menengah lima tahun berikutnya (2010-2014). 1 Biasanya, totem berupa binatang, baik yang bisa dimakan atau tidak berbahaya maupun yang berbahaya dan ditakuti; kadang-kadang totem adalah suatu jenis tanaman atau kekuatan alam (hujan, air yang mempunyai hubungan khusus dengan keseluruhan klan tersebut. Totem, terutama adalah nenek moyang atau leluhur dari suku tersebut, juga roh penjaga atau roh pelindung mereka; ia mengirimkan wakilnya dan, meskipun ia sendiri berbahaya, totem kemudian mengenali dan menyelamatkan anak keturunannya (Freud, 2002: 3-4).
40
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
Totem, Ritual dan Cara Hidup di Papua Tiga tahun lalu suatu tim penelitian menuju Lembah Baliem dengan membawa dua masalah pokok: bagaimana bentuk-bentuk religi masyarakat Dani?; dan, sejauhmana pengaruh religi dalam kehidupan masyarakat Dani? (Tim Penelitian, 2006:3). Setelah meneliti sistem komunitas Suku Dani di Kurulu, mereka pulang membawa catatan budaya sangat banyak, tetapi sangat asyik menulis etnografi dan lupa menggambarkan hubungan tingkah-laku dan material budaya. Asumsi-asumsi sebagaimana yang dibutuhkan dalam interpretasi arkeologi belum digali lebih fokus2, karena masalah yang dirumuskan masih bertendensi antropologis daripada etnoarkeologi. Implikasinya, Suku Dani yang memiliki beberapa material budaya penting sebagai satu kesatuan sistem hanya berhenti pada taraf ideologi dan sosial sebagaimana rumusan masalahnya. Padahal, dalam laporan kita menemukan highlight religi yang menarik dari sisi arkeologi dan tidak tergali maksimal, yaitu beliung persegi (Ye). Suku Dani di Lembah Baliem sebenarnya masih menghormati Ye (kapak, beliung persegi sebagai kaneke3, yaitu benda sakral yang dipercaya dapat memberikan kekuatan dan perlindungan dalam kehidupan sehari-hari. Kaneke merupakan batu keramat sebagai simbol yang merepresentasikan roh leluhur Suku Dani. Kaneke dianggap sebagai manifestasi tubuh raksasa yang dilahirkan seorang ibu tunggal yang dibunuh oleh saudara-saudaranya sendiri. Tubuh raksasa dipenggal-penggal kemudian terbagi-bagi dengan saling berebut. Bagian-bagian potongan itu kemudian mengalami perubahan wujud menjadi batu sakral yang diyakini dapat mendatangkan berkat, seperti dapat memberi kesuburan tanaman dan memperkembangbiakkan ternak babi. Batu ini disimpan di khakok dalam honai. (Tim Penelitian, 2006: 19-20).Dalam praktek upacara pemujaan terhadap Walhowak dan arwah nenek moyang, beliung persegi menjadi alat penghubung dengan dunia gaib. Mereka sangat hormat dan takut terhadap Ye, sehingga hanya orang tertentu saja yang boleh membuka, melihat dan memegangnya. Di masa lalu, Ye disimpan pada 2 Rumusan masalah yang bertendensi antropologis, juga masih kelihatan pada penelitian “Religi Masa Lampau Etnik Biak di Kabupaten Biak Numfor”, yaitu bagaimana bentuk-bentuk religi orang Biak pada masa lampau; konsep apa yang melatarbelakangi (Lihat, Djami, 2006: 2). Dari rumusan masalah, tampaknya pintu masuk yang digunakan bukan material budaya, melainkan sistem ideologi suku yang diteliti. 3 Dalam kategori Whiteman, kepercayaan Suku Dani termasuk agama “bio-kosmik” yang memandang batu atau juga obyek lain bukan benda mati, melainkan sebagai sesuatu yang bergerak, hidup, dan dapat berkomunikasi dengan manusia (Alua, 2006:14-15).
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
41
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
honai khusus yang juga dianggap suci dan hanya dibuka ketika akan digunakan pada upacara pemujaan arwah nenek moyang4. Suku Marind-Anim demikian halnya Suku Dani memanfaatkan artefak dalam upacara, meskipun dengan makna berbeda. Suku Marind-Anim di Kampung Imbuti Distrik Okaba Kabupaten Merauke, sampai sekarang masih menggunakan fosil kerang dan kapak batu dalam upacara dema. Fosil kerang (moluska) dihadirkan sesuai klen5 dalam upacara dema sebagai suatu simbol pengharapan agar kekuatan dan sifatnya dapat terinternalisasikan dan bermanfaat untuk kepentingan mereka6. Fosil kerang dihubungkan dengan mitologi asal-usul marga/klen Mahuse, Kaize, dan Gepze. Relevansi etnografi untuk arkeologi, salah satunya terletak pada upaya pencarian mitos atau cerita tentang Amus, ibu marga klen Marind-Anim yang konon dibunuh orang Melap yang sebelum meninggal mengeluarkan kerang/siput (awahet) yang diakuinya sebagai anak kandung. Sementara kapak batu selalu harus disertakan dalam upacara dema karena sangat bermakna bagi kelangsungan hidup sebagai peralatan pokok mereka untuk memotong, menebang dan membelah. Mereka percaya, kesakralan upacara dema akan berkurang tanpa kapak batu (Mene, 2008: 26-41). Di Biak, upacara keagamaan sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan. Bahkan mereka memiliki pandangan ‘ngo wor ba ido neri ngo mar’ yang berarti “tanpa upacara, kami akan mati”7. Orang Biak yakin, roh leluhur memiliki 4 Sejak masuknya agama Kristen di Lembah Baliem telah terjadi tranformasi budaya, salah satunya adalah perubahan tradisi penyimpanan benda-benda pusaka (tugi, kaneke, tunggan) dan sisa rangka perang (abwarek) yang sebelumnya disimpan di honai dipindahkan ke tempat-tempat yang tersembunyi, yakni gua-gua yang disakralkan. Kejadian ini menggambarkan perubahan fungsi honai/silimo sebagai pusat religi berpindah ke gua-gua yang merupakan tempat pemukiman awal masyarakat Baliem. 5 Suku Marind-Anim percaya, mereka berasal dari empat dewa pendiri, yaitu Geb, Mahu, Aramemb, dan Brangai. Mereka memiliki 12 kelompok klen yang disebut fatri (yahun), yaitu: Gebze, Mahuze, Bragaize, Ndiken, Aramembrik, Basik-basik, Keize, Wakaburik, Zone, Yormend, Kidup, dan Samsakai (Mene, 2008: 11-18) 6 Siput (awahet) dari spesiel moluska lainnya juga diberikan oleh paman (saudara ibu) kepada anak laki-laki yang disaksikan oleh ibunya sebagai lambang kedewasaan. Setiap klen memiliki lambang masing-masing yang membedakan dari klen lain dalam Suku Marind-Anim. Dalam upacara dema, lambang klen dihadirkan yang mewakilkan kekuatan, sifat dan mitos asal-usul mereka. Untuk kapak batu merupakan keharusan semua klen untuk menyertakannya dalam upacara dema. (Komunikasi Personal, Bau Mene, 1 Oktober 2009). 7 Dari seluruh upacara lingkaran hidup, peti mati berbentuk perahu dan patung rohnya, serta perlakuan masyarakat terhadap jazad keluarga dan bekal-kuburnya menjadi highlight yang dapat membuka cakrawala mengenai penjelasan masalah “kendaraan dan pemujaan roh leluhur” di masa lalu. Ketika salah-satu anggota keluarga meninggal, rasa duka diekspresikan dengan melantumkan nyanyian ratapan (kakakes kayob) yang berkisah tentang hidup si mati dan menyematkan tanda-mata berupa benda-benda milik si mati. Sebagian dari benda-benda milik si mati yang berkasta tinggi dihancurkan untuk diletakkan di atas pusara, agar menyertainya di alamnya; sebagian lainnya menjadi warisan untuk dikenang. Mayat dimasukkan ke dalam peti atau batang pohon yang menyerupai perahu dan dibungkus tikar empat lapis. Biasanya, disertakan pinang dan tembakau. Mayat dibungkus dalam keadaan kaki yang dilipat dan terikat dengan tujuan untuk mencegah mayat menendang klennya untuk ikut serta ke alam maut; mata ditutup untuk mencegah pandangan si mati memanggil dan membawa anggota klennya ke dunia bawah. Peti
42
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
kekuatan sakti atau suci, sehingga mereka membuat patung roh (amfianir karwar) sebagai media menghadirkan leluhur pada saat melaksanakan ritual/upacara. Mereka juga menggambarkan roh leluhur di tempat-tempat sakral, seperti penguburan. Di gua penguburan Kufrai dan Gua Yembukem misalnya, mereka juga memahatkan lukisan patung karwar (roh orang mati) dan ular pada dindingnya. Patung dan lukisan karwar (roh orang mati) mereka jadikan media untuk menjalin hubungan dengan roh orang mati. Mereka menyakini bahwa karwar dapat menghubungkan manusia dengan leluhurnya agar senantiasa memberi perlindungan, kekuatan, dan menolong dalam menghadapi kesulitan hidup (Djami, 2006:1--14). Di Biak, upacara keagamaan/adat senantiasa diiringi alat musik dan nyanyian, bahkan beberapa diantaranya menjadi elemen komunikasi penting dalam kehidupan sehari-hari. Diduga musik dan alatnya telah dikenal sejak masa prasejarah sebagai bagian dari sistem kesenian yang terus berkembang hingga saat ini. Alat musik yang diduga berasal dari warisan masa prasejarah meliputi: tifa, sandip, yoket akiyuk, triton, parui, sekasas, dan songger (suling)8 . Di Biak, tifa menjadi simbol kebersamaan yang dipakai mengiringi lagu dan tarian dalam pesta adat (munara), disamping dibunyikan ketika berhasil dalam berburu dan memulai atau menutup suatu acara. Sandip yang menghasilkan bunyi ritmis digunakan untuk upacara randan (pemujaan fan nanggi). Triton sebagai alat musik dari kulit kerang yang pada masa lalu dibunyikan sebagai tanda untuk berkumpul atau menyatakan bahwa telah terjadi sesuatu guna menghimpun kekuatan. Alat musik yoket akiyuk merupakan alat musik bambu yang suaranya dihasilkan dengan cara memukul yang di masa lalu digunakan untuk menidurkan anak. Sementara sekasas merupakan alat musik dari tempurung kelapa yang digunakan untuk memanggil Hiu. Parui merupakan alat musik pada kaki penari yang terbuat dari kulit kerang yang dijalin berbentuk gelang. Bunyi musik bagi orang Biak merupakan suatu tanda yang berkaitan dengan undangan pesta, pemujaan, penghimpun kekuatan, ungkapan kemenangan, ratapan, dan keberhasilan berburu (Tim Penelitian, 2007:19-37). Berburu merupakan aktivitas sehari-hari orang Papua. Dalam berburu mereka menggunakan sejumlah peralatan yang terbuat dari kayu. Orang Waropen misalnya, dalam berburu menggunakan tombak (naiwirada), panah (kana) dan busur kemudian dibawa ke ceruk-ceruk karang atau dikuburkan dalam tanah dengan posisi kepala di sebelah barat (posisi matahari terbenam), agar pada saat matahari terbit dapat bangkit dan melihat matahari. Pada bagian kepala dan kaki ditancapkan dua bilah papan yang berfungsi sebagai dayung untuk si mati.(Lihat, Djami, 2006: 7--8). 8 Selain musik yang mulai berkembang pada masa prasejarah, diidentifikasi pula alat musik masa sejarah akibat pengaruh Islam dan kolonial, seperti stem, bas, dan suling bambu (Tim Penelitian, 2007: 37).
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
43
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
(kanggiwa), dan jerat (dide), kadang-kadang juga perangkap lubang. Tombak terbuat dari kayu dan matanya dari bambu atau batang sagu yang ditajamkan. Tombak digunakan untuk melumpuhkan buruan dari jarak dekat dengan cara mengintai pada daerah sasaran. Untuk melumpuhkan sasaran buruan dari jarak jauh, mereka menggunakan panah dan busur yang terbuat dari bambu dengan ujung diruncingkan serta busur dari rotan. Babi, burung maleo, dan tikus tanah sering pula ditangkap dengan menggunakan jerat (dide) yang terbuat dari rotan, kayu dan bambu. Caranya, jerat (dide) diletakkan pada jalur yang sering dilewati binatang atau menggiring buruan dengan menggunakan anjing menuju lokasi dimana jerat dipasang (Maryone dan Djami, 2007:31-32). Tidak menutup kemungkinan alat yang berasal dari kayu dan bambu sudah dibuat sejak masa paleolitik, namun dikarenakan sifat dari kayu yang tidak tahan lama, sehingga alat kayu tersebut hancur dimakan usia. Setelah mengenal tempat tinggal, manusia mulai bercocok tanam dengan menggunakan alat-alat sederhana yang terbuat dari batu, tulang binatang, dan juga kayu ataupun bambu (Poesponegoro, 1993:135). Eksplorasi mengenai cara membuat alat kayu dan bambu perlu dilakukan terus pada berbagai suku di Papua, sehingga gambaran budaya materi dalam konteks system dapat semakin memberi dukungan maksimal penjelasan masalah arkeologis. Peralatan kayu dan bambu, bukan hanya digunakan dalam berburu, melainkan juga dalam mengolah sagu, mencari ikan dan bercocok tanam. Pemanfaatan kayu dan bambu pada suku-suku yang masih hidup sederhana ini memberi gambaran kemungkinan pembuatan dan pola tingkah laku penggunaan alat-alat yang sama pada masa prasejarah, terutama pada wilayah yang potensi alamnya tidak menyediakan bahan baku batu berkualitas. Di Papua, informasi alat batu mikrolit masih terbatas, baru diketahui dari penggalian J. Roder tahun 1937 di Gua Dudumunir, Pulau Arguni yang menemukan flekes, alat penggaruk (scrapers), dan sbuah mata panah/tombak (Koentjaraningrat, 1963:40). Sedangkan pada daratan yang sama, sudah banyak ditemukan alat serpih di Kosipe dan Teluk Huon, Papua New Guinea. Fenomena ini mungkin berkaitan dengan karakter daratan Papua yang memiliki rawa-rawa sangat luas di hampir semua wilayahnya, ditumbuhi hutan nipa atau hutan bakau dan hutan dataran rendah, bahkan Teluk Bintuni terkenal sebagai rawa bakau terluas di dunia (Muller, 2008:18-19). Kalaupun budaya kapak batu atau beliung berkembang luas, juga disebabkan daya dukung ratusan sungai kecil sampai besar yang menyediakan bahan baku kualitas tinggi.
44
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
Untuk daerah lembah yang berawa-rawa, suku Ekagi sebagaimana orang Papua pada umumnya membuat lahan perladangan dalam bedeng-bedeng luas dan tinggi, agar tidak terendam air dan hasilnya lebih baik. Mereka masih menggunakan kapak batu (maumi) dalam pembukaan ladang dengan sistem tebas-bakar untuk memotong atau membelah kayu. Kayu yang sudah dibelah dengan kapak di daerah lembah langsung dipakai untuk memagari lahan yang akan ditanami. Penanaman diawali dengan upacara emomeni (memberi darah) dengan tujuan meminta izin pada roh tanah (makitiya) dengan mengorbankan kuskus, tikus tanah dan lain-lain. Tanah yang akan ditanami terlebih dahulu dibuat bedeng kecil dengan menggunakan sekop kayu (patau/jadan). Untuk menanam petatas (nota) atau keladi (nomo), tanah dicungkil dengan tugal (piyama wadii/wadii), yaitu alat dari kayu yang ujungnya runcing. Masa menunggu panen dipakai untuk membersihkan rumput. Pada saat panen, mereka mengadakan perjamuan dengan mengundang sanak keluarga disertai acara bakar batu (barapen) (Prasetyo dan Djami, 2006:52-58). Orang Papua hidup dalam suatu kantong pemukiman yang terpisah dengan tegas dengan suku-suku lain oleh benteng-benteng alam yang sulit ditembus berupa hutan lebat, gunung tinggi, dan sungai–sungai lebar. Pemukiman Suku Hattam di Manokwari misalnya, sangat jarang dengan rumah-rumah panggung bertiang banyak berbentuk persegi dari bahan-bahan alam --tiang dan lantai dari kayu, dinding kulit kayu mou, atap daun pandan hutan-- yang akan dibakar jika salah seorang keluarga meninggal (Mene, 2006:69-72). Umumnya rumah dibangun secara gotong-royong pada daerah lembah-lembah subur dataran tinggi atau tepian pantai dan danau dengan pemukiman di atas air untuk mengatasi kerasnya alam berupa wabah malaria (Muller, 2008:53), serangan binatang buas ataupun musuh. Rumah merupakan tempat yang suci, sehingga hampir semua aktivitas sehari-hari dilakukan di luar rumah, terutama di ladang. Pola hidup perladangan Suku Ekagi jauh lebih sederhana. Secara umum perladangan suku Ekagi dapat memberikan informasi dalam memandang polemik tentang pertanian awal di Asia Tenggara dan Pasifik9. Dari sisi religi tampak bahwa 9 Polemik yang berkembang pada satu pihak diwakili Bellwood (2000), melihat pertanian awal dimulai dengan penanaman buah dan umbi-umbian mendahului biji-bijian oleh suatu komunitas pengumpul makanan (gatherer) yang memiliki sumberdaya banyak dan waktu luang. Pandangan lainnya oleh McCorriston dan Hole (1991) melihat bahwa pertanian muncul justru sebagai reaksi terhadap tekanan demografis sumberdaya maupun perubahan musim yang tidak menentu atau lingkungan yang mengakibatkan ketersediaan sumberdaya yang berubah (Prasetyo dan Djami, 2006:54).
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
45
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
dalam kehidupan sederhana, upacara, perwujudan, totem dan simbol memiliki kedudukan sangat penting dalam mengatur tatanan masyarakat; hal ini dalam banyak temuan arkeologi membutuhkan analogi. Dalam upacara mereka, seni telah menjadi hal penting, bukan hanya seni lukis dan pahat, melainkan juga seni musik terutama pada suku-suku pantai atau kepulauan seperti di Sorong, Biak dan Sentani. Mereka juga menggunakan alat-alat prasejarah dalam banyak upacara, seperti kapak batu, fosil kerang dan lain-lain. Hal ini membuka perspektif tentang fungsi kapak yang bukan hanya sebagai alat memotong dan membelah, tetapi juga arkeolog dapat mempertimbangkan fungsi lain seperti: alat tukar, “bayar kepala”, mas kawin, dan bahkan terkait dengan totem. Perjalanan menelusuri suku-suku Papua dapat dirumuskan bahwa mereka pemuja totem, hidup sederhana, bahkan sebagian besar diantara mengalami kehidupan layaknya zaman batu. Mereka masih hidup dalam tahap kebudayaan mitis menurut tahapan kebudayaan van Paursen (1988). Masalahnya kemudian, apakah penelitian yang dilakukan sudah berada pada rel etnoarkeologi yang sesungguhnya, sesuai tugas yang diemban dalam RIPAN (Rencana Induk Penelitian Arkeologi Nasional)? Seberapa tinggi tingkat pencapaiannya menurut target RIPAN? Hal inilah yang akan didiskusikan berikut ini sebagai bahan evaluasi. Etnoarkeologi Papua, Sudahkah di Relnya? Setelah lima tahun menjadi pilihan kajian unggulan (highlight) di Papua, sudah saat etnoarkeologi ditinjau, apakah penelitian yang dilaksanakan telah sungguhsungguh sudah berada di rel RIPAN dan apakah sungguh-sungguh merupakan penerapan pendekatan etnoarkeologi? Sejauh ini pemahaman etnoarkeologi memang merupakan kendala tersendiri bagi beberapa peneliti yang berlatarbelakang disiplin non-arkeologi10. Sebagai studi perbatasan, peluang penelitian etnoarkeologi dilatarbelakangi perumusan masalah sebagaimana umumnya dilakukan antropolog cukup besar. Dalam operasionalisasinya, perumusan masalah bertendensi antropologi banyak membuat peneliti lalai memperhatikan “cara” pendekatan etnoarkeologi yang menuntut penjelasan hubungan “materi budaya” dengan cara-cara hidup” dalam konteks sejarah-kebudayaannya. Hal itu menyebabkan beberapa laporan masih 10 Balai Arkeologi Jayapura mempunyai 4 orang peneliti yang berlatarbelakang antropologi dan 6 orang berlatarbelakang arkeologi. Pekerjaan rumah tentu saja mengubah paradigma kerja yang biasa mereka lakukan sebagai seorang antropologi.
46
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
dominan memuat catatan etnografi sebagaimana lazimnya dikerjakan oleh antropolog. Karena itu, eksplorasi pustaka arkeologi dalam rancangan penelitian perlu dilakukan lebih baik lagi di masa datang, terutama dalam penjelajahan masalah etnoarkeologi. Sebagai studi perbatasan antara arkeologi dan etnografi, etnoarkeologi sangat memerlukan pemahaman epistemologi dalam operasionalisasinya, agar sesuai substansi ide dasarnya. Di sini perlu diketahui perbedaannya dari sisi pengertian serta perspektif epistemologinya (obyek material dan obyek formal) yang membedakan etnoarkeolog dengan antropolog. Karena itu, perlu diketahui apa itu etnografi dan arkeologi untuk pada akhirnya menuju pemahaman etnoarkeologi. Secara harafiah, etnografi berarti tulisan atau laporan tentang other cultures, yang ditulis oleh antropolog berdasarkan catatan lapangan11. Tujuan utama penelitian etnografi, yaitu untuk mendeskripsikan dan membangun struktur sosial dan budaya12 suatu masyarakat, bukan terfokus pada hal-ikhwal yang berhubungan dengan sejarahkebudayaan suatu komunitas13. Ciri khas dari metode penelitian etnografi adalah sifatnya yang holistik-integratif, deskripsi yang dalam (thick description), dan analisis kualitataif dalam rangka mendapatkan pandangan-pandangan masyarakat yang diteliti. Ciri itu dibangun melalui teknik pengumpulan data dalam bentuk wawancara dan observasi-partisipasi yang dilakukan dalam jangka waktu yang relatif lama, ---bukan kunjungan singkat dengan kuesioner seperti dalam penelitian survei. Sementara arkeologi adalah ilmu yang mempelajari budaya manusia masa lalu melalui jejak peninggalannya (budaya materi). Budaya materi bukan hanya dipandang sebagai sesuatu yang mati, tetapi merupakan satu bagian yang terorganisir dalam “tubuh budaya”, dia punya makna dan nilai karena pernah “hidup” di tengah masyarakat, dan setelah ditinggalkan ia “hidup kembali” di tengah
11 Etno seringkali pula diartikan etnis atau sukubangsa. Namun perlu dicatat bahwa saat ini etnografi tidak hanya dibatasi pada studi tentang other cultures atau tentang masyarakat kecil yang terisolasi dan hidup dengan teknologi sederhana, melainkan etnografi telah menjadi alat yang fundamental untuk memahami masyarakat kita sendiri dan masyarakat multikultural di mana pun. Karenanya, etnografi juga bisa diartikan sebagai sebuah metode penelitian. Penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia masyarakat secara timbal-balik: tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi lebih dari itu etnografi berarti pula belajar dari masyarakat. 12 Budaya didefinisikan sebagai the way of life suatu masyarakat. Budaya bukanlah suatu fenomena material: budaya tidak terdiri atas benda-benda, manusia, perilaku, atau emosi, melainkan sebuah pengorganisasian dari hal-hal tersebut. 13 Metode etnografi modern yang dipelopori oleh A.R. Radclffe-Brown dan B. Malinowski muncul pada dasawarsa 1915-1925 menekankan pada studi pandangan hidup masyarakat yang diteliti melalui pemetaan pikiran manusia, bukan pada sejarah kebudayaannya (lihat Marzali, 2002).
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
47
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
masyarakat sekarang14. Dalam konteks pandangan arkeologi pembaharuan itulah pendekatan etnoarkeologi dilahirkan pada tahun 1960an sebagai salah satu kajian yang mempelajari dan menggunakan data etnografi untuk menangani atau membantu memecahkan masalah-masalah interpretasi artefak15. Menurut penggagasnya, Carol Kramer, etnoarkeologi mengkaji aspek-aspek tingkah laku manusia masa kini dari perspektif arkeologi. Artinya, etnoarkeologi merupakan penggunaan analogi secara teoritis yang dihasilkan dari observasi masa kini untuk membantu di dalam interpretasi tentang proses dan kejadian masa lalu. Etnoarkeolog, menurut Kramer, mencoba secara sitematis menemukan hubungan-hubungan antara tingkah laku dan budaya materi yang seringkali tidak terungkap oleh etnolog, dan memastikan bagaimana pola tingkah laku hasil pengamatannya itu dapat digunakan untuk menjelaskan tinggalan arkeologi yang mungkin ditemukan (Kramer, 1979:1-3). Etnoarkeologi merupakan pendekatan yang mencoba untuk menentukan bagaimana tingkah laku yang nampak dapat direfleksikan di dalam peninggalan yang dapat ditemukan oleh arkeolog (Kramer, 1982)16. Jadi kemasan penelitian etnoarkeologi Balar Jayapura sebagaimana perencanaan highlight harusnya diarahkan untuk memberikan contoh interpretasi atau dirumuskan sebagai sebuah model atau asumsi-asumsi yang bias digunakan untuk menangani masalah-masalah arkeologi. Sejak tahun 2005, Balai Arkeologi Jayapura telah berusaha melaksanakan highlight penelitian (riset unggulan) sesuai RIPAN (Rencana Induk Penelitian Arkeologi Nasional). Tetapi dalam perjalanannya kemudian terjadi banyak kendala 14 Beberapa arkeolog yang menganut paham arkeologi pembaharuan (new-arcaheology) juga melihat bahwa budaya tidak hanya sebagai gagasan atau norma-norma, melainkan memandangnya sebagai upaya ekstrasomatis manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Budaya adalah sistem yang kompleks, yang melibatkan hubungan terpadu antara manusia, benda, dan lingkungannya. Budaya itu sendiri mewujud dalam bentuk tatanan sistematis dari ketiga unsur utamanya, yaitu subsistem teknologis-fungsional, sosial, dan ideal. Karenanya, budaya bendawi lalu dianggap sebagai perangkat 15 Di sini tampak kebutuhan arkeologi akan metode etnografi, antara lain untuk memahami bagaimana suatu benda memiliki makna dan nilai di mata masyarakat, dan bagaimana sebuah benda itu berfungsi. Perlu diingat bahwa inti dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari masyarakat yang ingin kita pahami, yang terekspresikan melalui bahasa (mitos, dongeng) dan perbuatan (tabu, upacara, perilaku keseharian, dan lain-lain). 16 Sebagai perbandingan pandangan Carol Kramer (1979, 1982), lihat pula beberapa pendapat ahli arkeologi mengenai perumusan definisi etnoarkeologi. (1) Menurut Schiffer (1978), etnoarkeologi adalah studi mengenai budaya materi dalam konteks sistem untuk memperoleh informasi, baik secara khusus maupun umum, yang dapat digunakan dalam penelitian arkeologi. (2) Orme (1981: 22-23) merumuskan etnoarkeologi sebagai studi terhadap komunitas yang masih hidup yang dipandang sebagai data arkeologi yang nantinya akan mereka tinggalkan, beserta tingkah laku yang tergambar dalam komunitas itu. (3) Mundardjito (1981) mendefinisikan sebagai Cabang disiplin arkeologi yang berusaha mempelajari dan menggunakan etnografi untuk menangani masalah-masalah arkeologi. (4) Stanislawski (1982) memandang etnoarkeologi sebagai kumpulan data etnografi asli yang dapat membantu interpretasi arkeologi. (5) Sedangkan Colin dan Paul Bahn (1991) mengatakan etnoarkeologi ialah studi yang mencakup penggunaan maupun makna artefak, bangunan, dan struktur-struktur masa kini dalam suatu masyarakat yang masih hidup, dan bagaimana barang-barang itu tergabung dalam catatan arkeologi.
48
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
sdalam pelaksanaan RIPAN, antara laini: SDM, peralatan, perubahan kebijakan (a.l. pemotongan anggaran, otonomi khusus), dan perhatian dalam highlight dalam perencanaan program. Hal itu terlihat dari masih banyaknya target perencanaan RIPAN yang belum sesuai dengan program penelitian yang dilaksanakan dari tahun 2005-2009. Bahkan, sebagian program penelitian Balar Jayapura (Tahun 2005-2009) belum dilaksanakan sistematis sesuai agenda perencanaan highlight RIPAN (lihat tabel pada lampiran 1). Secara kuantitas, tingkat pencapaian penelitian Balar Jayapura selama lima tahun terakhir 92% atau 23 kegiatan dari 25 penelitian yang direncanakan dalam RIPAN, terdistribusi pada 15 kabupaten atau sekitar 44% dari 34 kabupaten/kota di wilayah kerja. Dari aspek implementasi riset unggulan etnoarkeologi dengan sejumlah kekurangannya sudah cukup berusaha berjalan di relnya. Dari 23 penelitian yang dilaksanakan, 18 kegiatan (75%) diantaranya besifat kajian etnoarkeologi. Sementara, kegiatan penelitian non target yang terlaksana cukup tinggi, yakni mencapai 25% atau 5 kegiatan selama 5 tahun pelaksanaan RIPAN. Catatan penting lainnya bahwa 23 penelitian yang dilaksanakan kebanyakan belum didasarkan pada strategi memenuhi tahapan layer tema utama RIPAN: migrasi, kontak budaya, adaptasi, proses diversivikasi budaya, dan integrasi budaya (Anonim, 2004:36). Umumnya dilaksanakan secara monolit dengan tema-tema yang arbiter, sehingga jika ditelaah studi etnoarkeologi Papua cenderung pada layer adaptasi dan tumbuhnya budaya lokal saja, yaitu 89% atau 16 dari 18 peneltian etnoarkeologi. Belum tercapainya target maksimal (100%) etnoarkeologi disebabkan selama 3 tahun pertama pelaksanaan RIPAN jumlah peneliti belum memadai, bahkan pada tahun I Balar Jayapura belum memiliki peneliti, hanya 3 orang teknisi (Anonim, 2004:27). Kendala lainnya, alokasi dana penelitian yang belum berimbang dengan kebutuhan nyata di lapangan (terutama mahalnya transportasi dan akomodasi), dan sumber pustaka yang sangat terbatas. Selain itu, tingkat pencapaian hanya 75% etnoarkeologi juga disebabkan munculnya minat peneliti terhadap suatu masalah yang ternyata juga dipandang penting sesuai kebutuhan lokal, diantaranya kebutuhan informasi penelitian tentang situs dari pemerintah daerah atau lembaga terkait. Karena itu, RIPAN 2010-2014 nampaknya perlu dikembangkan secara proporsional, 75% etnoarkeologi dan 25% arkeologi murni.
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
49
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
Prospek dan Tantangan Sekarang, sudah sepatutnya orang memandang Papua dari sudut yang berbeda, bukan dari sisi kemampuan teknologi tinggi, melainkan potensi budaya yang mereka miliki. Papua memiliki budaya yang sangat beragam dan kompleks ---kurang lebih 300-an suku---, masih hidup layaknya zaman batu dengan ritual-ritual kompleks, dan tergolong kelompok pertama yang mempraktekkan sistem pertanian mula-mula yang sangat unggul dan efisien, jauh sebelum pertanian di Jawa dikenal (Muller, 2008:1). Dari jumlah itu, baru sebagian kecil yang telah diteliti. Ini merupakan aset yang memiliki prospek sangat besar dalam kajian etnoarkeologi yang perlu terus dikembangkan, meski dalam proporsi yang tetap memberi tempat kajian arkeologi murni: penelitian pada situs-situs prasejarah, masa islam dan kolonial yang juga bertebaran di hampir seluruh wilayah Papua. Proporsi penelitian arkeologi murni dibutuhkan untuk menegaskan asumsiasumsi yang dibangun dari studi etnografi. Misalnya, berdasarkan bukti linguistik di Papua, diduga orang Austronesia menetap kepulauan Bismarck sekitar 1000 tahun yang lalu, dan kemungkinan pula di Pulau Biak dan Yapen, namun bukti-bukti arkeologisnya belum digali secara sistematis (Muller, 2008: 49-52). Suku-suku di Papua juga banyak mewariskan kebudayaan dan teknologi sederhana, seperti ornament-ornamen, peralatan hidup dari kerang, alat batu dan kayu. Diantara ornament dan peralatan sangat banyak potensial menjawab masalah arkeologi, terutama masa prasejarah. Masa prasejarah Papua cukup dinamis dan banyak masih jelas jejak rekamnya pada suku-suku yang hidup sekarang. Dengan kekayaan potensi situs dan suku-sukunya, Papua memperlihatkan prospek penelitian etnoarkeologi dalam merumuskan asumsi atau hipotesis, seperti cara kerja “bandul”: sekarang—lampau—sekarang. Saat ini, arkeolog dapat menyaksikan langsung kapak batu dibuat, digunakan, dan disikap suatu suku Papua; lalu pada saat yang sama dapat bergerak ke situs menemukan artefak sejenis, sekaligus membuat analogi untuk menjawab masalah penelitiannya. Begitu pula jika punya waktu ke Kampung Ifale, kita dapat menyaksikan lukisan motif asli Sentani (Yoniki) dan binatang mitologi dibuat dan dijelaskan maknanya sebagaimana pada tiang rumah-rumah tradisional berdasarkan tradisi folklore yang kuat, lalu dengan perahu boat kira-kira satu jam bisa masuk ke alam masa lampau di situs Tutari, sehingga memungkinkan arkeolog membuka ruang interpretasi luas dan mengambarkan secara mendalam lukisan yang sama pada batu megalitik. Perjalanan
50
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
seperti “mesin waktu” ini sebenarnya bisa dilakukan oleh J. Roder (1937) dengan baik setelah penemuan alat mikrolit di Gua Dudumunir seandainya etnoarkeologi sudah tercetus, karena sampai tahun 1960—1970an banyak suku di Pengunungan Tengah masih membuat flekes sebagai alat penggaruk, pisau, penajam ujung mata panah dan lain-lain, seperti masyarakat Tapiro, Utakwa, dan Pesechem (Koentjaraningrat, 1963: 41-42). Peluang studi etnoarkeologi cukup menjanjikan juga berdasarkan fakta bahwa sampai sekarang jejak artefak migran awal yang menginjakkan kaki di Papua masih sangat sedikit ditemukan, sementara potensi budaya, bahasa, dan ciri ras cukup jelas terpatri pada suku-suku di pantai maupun pedalaman sebagai petunjuk awal (masa kini) menelusuri sampai ke masa 50.000 tahun yang lalu ketika gelombang pertama mereka tiba di Teluk Huon, pesisir utara New Guinea. Letak geografisnya juga mengisyaratkan prospek kajian asimilasi kebudayaan ras Austronesia dan ras Melanesia yang tidak banyak daerah di Indonesia memilikinya. Gambaran ini memperlihatkan prospek yang luas penelitian etnoarkeologi di Papua dan menantang untuk membuat perencanaan yang sistematis, karena menurut Patty Jo Watson (1979: 227-229) hanya dengan melalui etnografi kita dapat memahami masa lampau.Masa prasejarah Papua cukup dinamis dan banyak masih jelas jejak- rekamnya pada suku-suku yang hidup sekarang. Dengan kekayaan potensi situs dan masih minimnya kajian etnoarkeologi di wilayah Papua Barat dibandingkan Papua New Guinea merupakan tantangan tersendiri bagi peneliti arkeologi di Balar. Keluhan banyak ilmuan yang berminat meneliti sejarah-kebudayaan Papua ialah minimnya referensi yang dapat dijadikan petunjuk awal, bahan perumusan masalah, membuat hipotesis dan lain sebagainya. Pada bagian lain, setiap orang menelusuri Papua, justru Papua New Guinea memiliki kepustakaan yang lengkap dan deskripsi yang lebih jelas. Keluhan ini salah satunya diutarakan oleh Kal Muller (2008: 73) ketika mencari bahan untuk menulis pola perdagangan pesisir—dataran tinggi Papua. Balai Arkeologi Jayapura sesungguhnya telah berupaya menjawab tantangan minimnya bahan etnoarkeologi Papua Barat dalam lima tahun terakhir (2004-2009) dengan menetapkan sebagai highlight. Akan tetapi, kurangnya SDM dalam tiga tahun highlight berjalan, menyebabkan perkembangan studi belum menggembirakan. Disamping itu, kebanyakan peneliti masih membutuhkan pemahaman metodologi
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
51
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
dalam penelitian etnoarkeologi, sehingga tidak terjebak dalam studi etnografi: bahwa arah kajian etnoarkeologi bukan hanya sebatas memperoleh data, melainkan berupaya menghasilkan model dan asumsi-asumsi arkeologis. Tantangan fisik yang dihadapi dalam mengembangkan kajian etnoarkeologi Papua berkaitan dengan kondisi alam dan hambatan geografis. Umumnya suku-suku yang sangat sederhana dan kurang bersentuhan dengan pola hidup modern berada di lokasi-lokasi sulit dijangkau. Orang yang akan menuju ke lokasi memerlukan waktu perjalanan panjang, sulit, dan biaya mahal. Hampir semua lokasi yang dituju oleh peneliti membutuhkan waktu lebih dari dua hari dengan transport dan biaya yang sering tidak pasti (non-reguler). Banyak lokasi juga tidak memiliki kepastian keamanan, terutama suku-suku yang masih jauh dari kontak dunia luar.
Penutup Papua merupakan salah satu ladang etnoarkeologi terluas di Indonesia. Papua memiliki ratusan suku yang masih hidup dekat dengan pola manusia prasejarah pada masa kini (kontemporer) yang memungkinkan arkeolog untuk mendefinisikan secara sistematis hubungan antara tingkah laku manusia dengan budaya materi dan persebarannya, sehingga dapat dijadikan bahan untuk memecahkan masalah-masalah dalam penelitian arkeologi. Masalah arkeologi yang potensial ditemukan analognya di Papua dapat berdimensi religi, pola perilaku terhadap material budaya (totem, simbol atau perwujudan) sampai teknologi yang paling sederhana. Orang Papua pada dasarnya memiliki sistem kepercayaan yang berpusat pada roh nenek moyang, baik dalam bentuk totem maupun patung perwujudan. Banyak diantara mereka masih hidup dalam pola yang sederhana, seperti berburu, meramu, dan berocok tanam sederhana. Dalam berburu, banyak diantara suku-suku pedalaman masih menggunakan peralatan kayu dan bambu. Teknologi batu juga masih banyak yang mewariskan untuk berbagai kebutuhan. Di Suku Dani, kapak batu bukan hanya untuk alat keperluan sehari-hari, melainkan memiliki berbagai fungsi, yaitu: (i) sebagai kaneke yang berkaitan dengan upacara perang; (ii) alat pembayaran “kepala”; (iii) alat pemotong disebut jagha. Bahkan sampai sekarang di banyak suku Papua, kapak lonjong masih digunakan sebagai mas kawin dalam perkawinan adat.
52
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
Data etnoarkeologi tentang peninggalan tradisi prasejarah serta data tentang etnografi yang berkaitan dengan adat-istiadat masyarakat pada masa lalu yang masih berlanjut hingga sekarang sudah cukup memperlihatkan hasil selama lima tahun terakhir (2005-2009) ini. Data etnoarkeologi yang diperoleh dari 18 lokasi masih sangat sedikit dibandingkan 300an potensi suku lainnya yang belum disentuh di wilayah Papua. Oleh karena itu, pokok kajian etnoarkeologi masih memiliki prospek yang luas, meski harus dengan berbagai upaya pembenahan renstra, pola kerja penelitian, rumusan topik dan masalah penelitian. Sejauh ini masih diperlukan pengembangan kualitas SDM dan penajaman-penajaman topik etnoarkeologi yang sungguh-sungguh didasari pemecahan masalah arkeologi. Tentu juga, perlu dibenahi konsistensi laporan memberikan rekomendasi tindak-lanjut dan rekomendasi pelestarian kepada instansi terkait sebagaimana diamanatkan RIPAN (Anonim, 2004:42-43). Dalam perencanaan penelitian (restra jangka menengah), pola penelitian perlu dibedakan atas tiga: penelitian strategis, tematis, dan eksploratif. Pembagian ranah penelitian ini ditujukan agar dalam jangka waktu tertentu Balar Jayapura sudah memiliki data arkeologi dan etnoarkeologi dari semua kabupaten/kota. Para peneliti juga perlu membuat road map penelitian jangka menengah yang berbasis kawasan dengan mengacu pada “Rencana Induk Penelitian Arkeologi Nasional” (RIPAN) yang ditetapkan secara nasional. Road map dilandasi tahapan layer tema utama RIPAN: migrasi, kontak budaya, adaptasi, proses diversivikasi budaya, dan integrasi budaya dan wawasan nasional. Dengan demikian, hasil-hasilnya dapat membentuk “peta arkeologi nusantara” yang lengkap dan terus berkembang sesuai tema utama RIPAN serta dapat diakses semua UPT dan juga publik. Untuk mencapai tingkat kinerja semaksimal mungkin, diperlukan produk kebijakan arkeologi nasional yang memberi dukungan pengembangan arkeologi di daerah yang segera perlu disosialisasikan, seperti Standar Pelayanan Minimal (SPM). Jika pelatihan teknis tidak dimungkinkan lagi, peneliti (terutama yang muda) juga perlu dibekali panduan teknis bekerja di lapangan, utamanya tema-tema khusus.
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
53
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
Tabel Evaluasi Target Perencanaan highlight RIPAN Balar Jayapura, Jangka Pendek dan Menengah (2005-2009) No
Tahun
1
2005
Target RIPAN a. b. c. d.
e.
2
2006
a. b.
c. d. e. 3
2007
a. b. c. d. e.
54
Pelaksanaan RIPAN
Religi masa lampau etnik papua di Wamena Religi masa lampau etnik Papua di Biak Numfor Musikologi arkeologi etnik Papua di Sorong Sistem kepercayaan masa lampau Suku MarindAnim di Distrik Okaba, Merauke Sistem kepercayaan masa lampau etnik Papua di Distrik Kokas, Fak-fak
a.
Resistensi budaya neolitik pada masyarakat tradisional di Wamena Resistensi budaya neolitik pada masyarakat tradisional pada suku Ekagi, Paniai; Hunian masyarakat prasejarah di Kab. Manokwari Hunian masyarakat prasejarah di Kab. Biak Numfor Musikologi arkeologi di Kab. Biak Numfor
a.
Sistem mata-pencaharian etnik Papua di Wamena Sistem mata pencaharian etnik Papua di Yapen Waropen; Musikologi arkeologi di Kab. Manokwari Hunian masyarakat prasejarah di Kab. Jayapura Sistem kepercayaan masa lampau etnik Papua di Inanwatan, Sorong
a.
b.
b. c.
b. c. d.
Non Target
Kehidupan sosial-budaya di wil. Suku Marind-Anim, Kab. Merauke; Sistem kepercayaan Masyarakat di Distrik Kokas, Fak-Fak
a.
Persebaran situs gua di Distrik Kokas, Fakfak;
Musikoarkeologi di wilayah Sorong; Hunian masyarakat Suku Hattam di Manokwari; Resistensi budaya neolitik pada masy. tradisional pada suku Ekagi, Paniai
a. Penelitian Religi Suku Dani di Distrik Kurulu, Kab. Jayawijaya; b. Religi masa lampau Etnik Biak.
Musikologi Arkeologi di Kabupaten Biak Sistem bercocok Tanam di Wamena Sistem mata pencaharian etnik Papua di Yapen Waropen Sistem kepercayaan masyarakat Inanwatan di Sorong Selatan
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
4
2008
a. b. c. d. e.
5
2009
a. b. c. d. e.
Sistem bercocok tanam masyarakat tradisional di Kab. Paniai Sistem bercocok tanam masyarakat tradisional di Kab. Nabire Musikologi arkeologi di Kab. Yapen Waropen Hunian masyarakat prasejarah di Kab. Fak-Fak Hunian masyarakat prasejarah di Kab. Sarmi
a. Sistem Kepercayaan etnik Marind-Anim di Okaba, Merauke
Penelitian Seni Cadas di Kab. Kaimana b. Sistem penguburan Masa Lampau di Kab. Supiori
Sistem kepercayaan masa lampau etnik Papua di Kab. Waegeo; Migrasi keturunan etnis Tionghoa di Kab. Sarmi Syiar Islam di Babo, Kab. Bintuni; Musikologi arkeologi etnis Papua di Kab. Jayapura Syiar Islam di Misool, Kab. Sorong.
a.
Masuknya Agama Kristen di Mansinam, Manokwari; b. Sistem Penguburan Gua di Biak Numfor; c. Migrasi Keturunan Cina di Serui, Kabupaten Yapen Kepulauan;
a. Totem dan Simbol pada Suku Asmat; b. Pemukiman kolonial di Boven Digul; d. Seni Cadas di Kab. FakFak; c. Tradisi Alat Tulang di kab. Tolikara e. Penelitian arkeologi, pemukiman masa lampau di Kab. Raja Ampat;
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
a.
55
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
Daftar Pustaka Alua, Agus A. 2006. Karakteristik Dasar Agama-Agama Melanesia. Jayapura: STFT Fajar Timur. Anonim. 2004. Rancangan Induk Penelitian Arkeologi Nasional. Jakarta: Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional. Djami, Erlin N.I. 2006. “Penelitian Arkeologi, Religi Masa Lampau Biak, Di Kabupaten Biak-Numfor”, dalam Berita Penelitian Arkeologi, Vol. IV, No. 1 Nopember 2006. Jayapura. Balai Arkeologi Jayapura. Hlm. 1-20. Ferdinandus, P.E.J. dan Amurwani Putri. 2006. “Musikoarkeologi di Wilayah Sorong”, dalam Berita Penelitian Arkeologi, Vol. IV No. 1 Nopember 2006. Jayapura. Balai Arkeologi Jayapura. Hlm. 76-90. Freud, Sigmund. 2002. Totem dan Tabu. Cet.2. Yogyakarta: Jendela. Gibbon, Guy. 1984. Anthropology Archaeology. New York: Columbia University Press Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar. 1963. Penduduk Irian Barat. Jakarta: Penerbit Universitas. Maryone, Rini dan Erlin N.I. Djami. 2007. “Sistem Mata Pencaharian Etnis Waropen di Distrik Urei-Faisei dan Distrik Waropen Bawah”. Jayapura: Balai Arkeologi Jayapura (Laporan Penelitian). Marzali, Amri. 2002. “Ilmu Antropologi Terapan bagi Indonesia yang Sedang Membangun”. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar FISIP-UI. Depok, 2002. Mene, Bau. 2006. “Pemukiman Suku Hattam di Kabupaten Manokwari”. dalam Berita Penelitian Arkeologi, Vol. IV, No. 1 Nopember 2006. Jayapura. Balai Arkeologi Jayapura.hlm. 59—75. --------------. 2008. “Sistem Kepercayaan Etnik Marind-Anim di Distrik Okaba, Kabupaten Merauke” (laporan penelitian). Jayapura: Balai Arkeologi Jayapura.
56
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
Mundardjito. 1981. “Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di Indonesia, dalam Majalah Arkeologi, Th. IV No. 1. Jakarta: Fak. Sastra UI. Muller, Kal. 2008. Mengenal Papua. Daisy World Books. Paursen, van. 1988. Strategi Kebudayaan. Cet. 1. Yogyakarta: Kanisius. Poesponegoro, Marwati Djoenoed et al. 1993. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: PN Balai Pustaka. Prasetyo, Bagyo dan Erlin N.I. Djami. 2006. “Resistensi Budaya Neolitik pada Suku Ekagi di Kabupaten Paniai”, dalam Berita Penelitian Arkeologi, Vol. IV, No. 1 Nopember 2006. Balai Arkeologi Jayapura. Hlm. 40-58. Schiffer, Michael B. 1978. “Methodological Issues in Ethnoarchaeology” dalam Richard A. Gould (ed). Explorations in Ethnoarchaeology. Albuquerque: University of New Mexico. Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soejono, R.P. 1963. Prehistori Irian Barat, dalam Penduduk Irian Barat. Jakarta: PT. Penerbitan Universitas. Tim Penelitian. 2006. “Religi Suku Dani di Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya”. Jayapura: Balai Arkeologi Jayapura. Tim Penelitian. 2007a. “Musikologi Arkeologi di Wilayah Biak”. Jayapura: Balai Arkeologi Jayapura. Tim Penelitian. 2007b. “Sistem Kepercayaan Masa Lampau Masyarakat Inanwatan, di Distrik Inanwatan, Kabupaten Sorong Selatan”. Jayapura: Balai Arkeologi Jayapura. Watson, Patty Jo & Carol Kramer. 1979. Ethno-Archaeology. New York: Columbia University Press. Yuniarti, Fandri & Chris Verdiansyah (ed). 2007. Ekspedisi Tanah Papua. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
57
M. Irfan Mahmud, Pernak – Pernik Penelitian Etnoarkeologi di Papua 2005 – 2009
Yuwono, J. Susetyo Edy. 1997. “Etnoarkeologi Pasca-Prosesual: Prospek dan Kendala Penerapannya di Indonesia”. Berkala Artefak, No. 17, Edisi 1. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
58
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009