UPAYA MENINGKATKAN PENYERAPAN DANA NON BELANJA PEGAWAI DIPA KEMENTERIAN/LEMBAGA1 Oleh: Peserta Diklatpim III Angkatan 22 Kelompok III Tahun 20082 PENDAHULUAN Mengawali tahun 2008, tepatnya tanggal 2 Januari 2008, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan bekerjasama dengan Sekretariat Negara mengorganisir penyerahan DIPA 2008 oleh presiden kepada para menteri/ketua lembaga sebagai Pengguna Anggaran, Menteri Keuangan sebagai Bendahara Negara dan para gubernur di Istana Negara. Dengan DIPA diterima lebih awal diharapkan pencairan dana dalam DIPA lebih cepat dilakukan. Pada kesempatan tersebut presiden meminta agar dalam implementasi anggaran dapat didukung oleh pengambil keputusan yang cakap dan bekerja dengan sungguh-sungguh dalam birokrasi yang jujur dan penuh dedikasi sejalan dengan semangat reformasi birokrasi serta menjauhkan diri dari segala kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Penyerahan DIPA di awal tahun dengan jumlah nilai belanja dalam APBN 2008 sebesar Rp.854,6 triliun atau meningkat sebesar 13,2% dari APBN 2007, menandai adanya perhatian pemerintah yang sangat besar atas penggunaan DIPA untuk menunjang pembangunan. Penggunaan anggaran negara tahun 2008 ini difokuskan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang diarahkan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Optimalisasi penggunaan anggaran belanja negara ini terkait erat dengan tugas pokok Direktorat Jenderal Perbendaharaan di bidang perbendaharaan negara. Dalam berbagai kesempatan, Menteri Keuangan menyoroti kinerja Departemen Keuangan terkait dengan optimalisasi penggunaan anggaran belanja negara, yaitu rendahnya tingkat penyerapan dana DIPA dan tidak meratanya penyerapan atau menumpuknya penyerapan dana DIPA di akhir tahun. Implikasi dari rendahnya penyerapan dana DIPA adalah berkurangnya fungsi stimulus fiskal dari APBN terhadap perekonomian nasional, padahal fungsi alokasi APBN terhadap pergerakan sektor riil di Indonesia cukup signifikan. Dari hal tersebut 1
Artikel ini merupakan ringkasan dari Kertas Kerja Kelompok Diklatpim III Angkatan 22 Anggota Kelompok: Muriyanto, Muhammad Zen, Unggul Kusalawan R., Rustam Efendi, Ragil Kuncoro, Hari Sunamto, Jahja Mahendra, Noviandi, Setiyanto. 2
1
dapat
ditegaskan bahwa pengeluaran
Kementerian/Lembaga
untuk
belanja
barang/jasa dalam rangka pelaksanaan tupoksi ataupun program-programnya, diperlukan untuk memberikan stimulans kepada perusahaan dalam melakukan produksi dan penyerapan tenaga kerja. Pada sisi lain, menumpuknya penyerapan dana DIPA pada akhir tahun akan berpotensi memberikan dampak inflatoir bagi perekonomian nasional. Komitmen
yang
besar
dari
pemerintah
terkait
dengan
optimalisasi
penggunaan dana DIPA dengan berbagai permasalahannya tersebut mendorong penulis untuk melakukan identifikasi masalah dan melakukan analisis untuk mendapatkan solusi terkait dengan rendahnya penyerapan dana DIPA. Tulisan ini mengambil lokus pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan sesuai dengan tugas dan fungsinya, serta mengambil fokus pada dana nonbelanja pegawai DIPA Kementrian/Lembaga. RUMUSAN MASALAH Pelaksanaan APBN 2007 diawali dengan pengesahan DIPA tahun 2007 pada bulan Desember 2006 dan penyerahan DIPA kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran pada awal tahun 2007. Berdasarkan data-data penggunaan anggaran APBN, penyerapan dana DIPA sepanjang tahun anggaran 2007 menunjukkan penyerapan yang tidak proporsional terhadap pagu dalam DIPA. Penyerapan dana semester I tahun 2007 menunjukkan bahwa penyerapan anggaran Kementerian Negara/Lembaga masih rendah, rata-rata hanya sebesar 24%. Penyerapan rendah pada awal tahun hingga semester I tersebut menjadi kecenderungan umum tahun-tahun sebelumnya dan menunjukan kurang efektifnya sistem pengelolaan keuangan negara. Realisasi belanja pusat sampai dengan akhir tahun 2007 menunjukkan angka sebesar 89,4% atau 20,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Data penyerapan akhir tahun ini menunjukkan lonjakan penyerapan DIPA pada semester II tahun 2007. Walaupun tingkat penyerapan ini telah mengalami kenaikan dari tahun 2005 yang hanya sebesar 60% dan tahun 2006 sebesar 82,4%, namun kinerja penyerapan tersebut masih menunjukan anggaran yang tidak terserap masih jauh di atas batas normal, yaitu 3%. Berdasarkan APBN 2007, alokasi belanja Kementrian dan Lembaga Negara pada APBN 2007 dari total alokasi Rp.258 triliun adalah belanja pegawai sebesar 2
Rp.63,9 triliun dan belanja nonpegawai sebesar Rp.194 triliun yang terdiri dari belanja barang sebesar Rp.71,5 triliun, belanja modal sebesar Rp.73,1 triliun, dan belanja sosial sebesar Rp.49,4 triliun. Belanja
pegawai
merupakan
jenis
belanja
yang
relatif
memiliki
kecenderungan penyerapan dana yang proporsional sepanjang tahun anggaran. Penyerapan rata-rata tiap bulan adalah 5%-7%. Kondisi penyerapan belanja pegawai yang proporsional tersebut menunjukkan bahwa mekanisme pembayaran maupun pencairan dana untuk belanja pegawai telah berjalan baik sesuai dengan perencanaan. Hal tersebut terkait dengan sebagian besar dana belanja pegawai digunakan untuk pembayaran gaji Pegawai Negeri Sipil yang merupakan pengeluaran nondiscretionary dan wajib dibayarkan secara berkala setiap bulan. Jenis belanja nonbelanja pegawai, penyerapan dana DIPA-nya mempunyai kecenderungan umum pemusatan pengeluaran pada akhir tahun anggaran. Penyerapan belanja barang sebenarnya secara rata-rata mengalami peningkatan sejak bulan Januari sampai dengan bulan Juli. Pada bulan Agustus sampai dengan Oktober, penyerapan belanja barang bahkan mengalami penurunan hingga 5%, sedangkan pada bulan November sampai dengan Desember, penyerapan belanja barang mengalami lonjakan yang cukup signifikan hingga di atas 20% dari pagu DIPA. Secara lengkap kecenderungan persentase (%) penyerapan dana pegawai dan nonbelanja pegawai DIPA K/L tahun 2007 per triwulan adalah sebagaimana tersaji pada Tabel 1 berikut. Tabel 1 Realisasi Penyerapan Dana Nonbelanja Pegawai DIPA Tahun 2007 No.
1
Jenis Belanja
Belanja Nonpegawai
Penyerapan Dana (%) TW I
TW II
TW III
TW IV
5,95
21,93
67,30
89,40
Secara grafis, kecenderungan perkembangan penyerapan dana dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut.
3
Gambar 1 Grafik Realisasi Penyerapan 90 80 70 60 Persentase 50 Realisasi 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
Triwulan
Kecenderungan lonjakan penyerapan dana pada akhir tahun anggaran sebagaimana pada belanja barang lebih drastis terjadi pada belanja modal. Sepanjang bulan pertama hingga akhir semester kedua, penyerapan belanja modal berkisar di bawah 7%. Namun pada bulan November hingga Desember, penyerapan belanja modal melonjak hingga 23% dari pagu DIPA. Kinerja penyerapan dana nonbelanja pegawai DIPA Kementrian/Lembaga dibandingkan tingkat kinerja yang direncanakan/ditargetkan untuk tahun 2007 ditunjukkan pada Tabel 2 berikut: Tabel 2 Tingkat Kinerja Sekarang dan Rencana/Target Tahun 2007 Kinerja
Indikator
Satuan
Kinerja Penyerapan Dana Nonbelanja
Tingkat
Pegawai DIPA K/L
Penyerapan
%
Tingkat Kinerja
Tingkat Kinerja
Sekarang
yang Direncanakan
89,4
100
Tabel 2 menunjukkan perbandingan antara tingkat kinerja penyerapan dana nonbelanja pegawai DIPA Kementrian/Lembaga tahun 2007 dengan rencana/target terlihat bahwa dari 100% target ideal penyerapan dana nonbelanja pegawai, Kementrian/Lembaga hanya berhasil menyerap anggaran sebesar 89,4%. Jumlah realisasi anggaran ini juga masih jauh di bawah batas normal penyerapan yaitu 97%.
4
Berdasarkan perbandingan tersebut menghasilkan rumusan masalah sebagai berikut: ”Rendahnya
Penyerapan
Dana
Nonbelanja
Pegawai
DIPA
Kementrian/Lembaga” ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH A. Analisis Masalah Berdasarkan pendapat para ahli/pakar yang lazim disebut professional judgement, pengamatan dan pengalaman penulis dalam keseharian kerja serta didukung data empiris, yang diyakini telah mempengaruhi realisasi penyerapan dana nonbelanja pegawai DIPA K/L diperoleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Beberapa faktor internal (strengths, weaknesses) dan eksternal (opportunities, threats) yang berpengaruh terhadap penyerapan dana nonbelanja pegawai DIPA K/L adalah sebagai berikut : 1. Faktor Internal a. Strengths 1)
Komitmen yang tinggi dari top management Dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengorganisasikan dan mengarahkan sumber daya yang ada guna tercapainya tujuan serta mempunyai komitmen terhadap visi dan misi organisasi. Menteri
Keuangan
sebagai
pimpinan
Dalam kaitan ini,
tertinggi
Departemen
Keuangan telah memberikan komitmen yang tinggi antara lain dengan penegasannya kepada K/L untuk melakukan penyerapan dana yang optimal. Selain itu dalam rapat pimpinan Departemen Keuangan, Menkeu telah memberikan dukungan baik secara eksplisit maupun implisit terhadap Ditjen Perbendaharaan melalui kebijakan-kebijakannya, antara lain dengan melakukan penataan ulang terhadap struktur organisasi Ditjen Perbendaharaan. Komitmen yang tinggi dari Top Management juga terlihat dari kebijakannya dalam menyediakan dana rata-rata sebesar Rp.18 triliun per bulan. Dari jumlah tersebut, Rp.7 triliun disediakan untuk 5
kebutuhan K/L dalam merealisasikan program dan kegiatannya, sedangkan sisanya Rp.11 triliun digunakan untuk menutupi kebutuhan Dana Aloksai Umum (DAU). 2) Tersebarnya unit kerja vertikal DJPBN. Salah satu asas yang berperan dalam keberhasilan organisasi mencapai tujuan adalah adanya pendelegasian kewenangan dan pembagian tugas sampai dengan hierarki terkecil. Secara struktural, organisasi Ditjen Perbendaharaan membawahi 30 Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia mulai dari Kanwil I Banda Aceh sampai dengan Kanwil XXX Jayapura, yang masing-masing membawahi KPPN sebagai pemberi pelayanan langsung kepada satker. Adapun jumlah KPPN di seluruh wilayah Indonesia sampai saat ini adalah 174 kantor, yang mempunyai tugas untuk memberikan pelayanan kepada satker di wilayah kerjanya. Tersebarnya unit vertikal tersebut menjadi kekuatan internal yang
mendukung
Ditjen
Perbendaharaan
dalam
optimalisasi
pengguliran dana/anggaran kepada satker Kementerian/Lembaga, terlebih lagi bahwa sampai dengan saat ini telah direalisasikan pembentukan KPPN Prima/Percontohan sebanyak 18 dari 30 yang direncanakan.
Dengan
adanya
KPPN
Prima/Percontohan
diharapkan agar pelayanan penyelesaian belanja nonpegawai yang semula diselesaikan dalam waktu 1 hari, akan dapat dipercepat menjadi kurang dari 1 jam. 3)
Sistem dan prosedur (sisdur) pencairan DIPA yang baik. Salah satu kekuatan yang dimiliki DJPBN adalah adanya sisdur pencairan DIPA yang baik. Indikasinya adalah bahwa sampai dengan tahun 2008 untuk ketiga kalinya (2006–2008), penyerahan DIPA kepada K/L dapat dilaksanakan secara tepat di awal tahun anggaran. Hal ini sangat penting, mengingat faktor ketepatan waktu mutlak diperhatikan agar tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak dapat
menjalankan
program
pembangunan,
yang
telah
direncanakan dengan baik dan matang. Dengan penyerahan ini diharapkan agar seluruh kegiatan yang telah direncanakan, dapat 6
mulai dilaksanakan sejak awal tahun anggaran dan dapat diselesaikan secara menyeluruh dan sempurna pada tahun anggaran tersebut. Faktor lain yang mendukung optimalisasi penyerapan DIPA adalah adanya sistem informasi ketentuan peraturan/perundangan terkait dengan mekanisme pelaksanaan anggaran yang bisa diunduh melalui internet. Melalui media ini diharapkan agar pihak internal dan eksternal dapat memanfaatkannya sehingga informasi terkini tentang pelaksanaan anggaran dapat diakses dan langsung diaplikasikan untuk memudahkan optimalisasi proses penyerapan anggaran. b. Weaknesses 1)
Keterbatasan kompetensi SDM Salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi
secara
signifikan
keberhasilan organisasi adalah terpenuhinya kompetensi sumber daya manusia (SDM), yang merupakan motor penggerak organisasi. Kebutuhan akan kompetensi SDM suatu organisasi selalu bergerak secara dinamis mengikuti perubahan lingkungan internal dan eksternal organisasi. Seiring dengan perubahan internal organisasi Ditjen Perbendaharaan dan dinamika lingkungan eksternal, sangat disadari
bahwa
kompetensi
SDM
DJPBN
terkendala
oleh
keterbatasan yang mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan sikap. Dari target untuk menyiapkan 30 KPPN Percontohan/Prima Indonesia,
sampai
saat
ini
Ditjen
Perbendaharaan
di baru
merealisasikan 18 KPPN. Sisanya sebanyak 12 KPPN akan direalisasikan setelah kebutuhan SDM yang kompeten terpenuhi. Perlu dijelaskan bahwa proses rekruitmen bagi calon Kepala Kantor, Kepala Seksi, dan staf KPPN Prima/Percontohan dilakukan melalui serangkaian seleksi yang mencakup kompetensi teknis (hard skill) yang meliputi ujian materi kebendaharaan umum negara dan pengetahuan dasar komputer, serta kompetensi teknis (soft skill) melalui psychometric test. Perlunya peningkatan kualitas, kompetensi, dan kuantitas SDM Ditjen Perbendaharaan untuk mengatasi kendala keterbatasan 7
SDM, menjadi salah satu butir yang direkomendasikan dalam penyelenggaraan rapimnas Ditjen Perbendaharaan tanggal 27-29 Februari 2008. Sampai dengan bulan September 2007, jumlah pegawai Ditjen Perbendaharaan adalah 11.901 orang dengan komposisi berdasarkan tingkat pendidikan sebagai berikut. Tabel 3 Pegawai Ditjen Perbendaharaan Menurut Tingkat Pendidikan No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentase
1
Sekolah Dasar
248
2.08
2
SMP
550
4.62
3
SMA
6245
52.47
4
D3/SM
1468
12.34
5
D4/S1
3171
26.64
6
S2
214
1.80
7
S3
5
0.04
Total
11901
100
Sumber : Biro Kepegawaian, Setjen, 2007. Dari tabel tersebut terlihat bahwa persentase terbesar pegawai Ditjen Perbendaharaan berdasarkan tingkat pendidikan berada pada tingkat SMA ke bawah (sebesar +60%), sedangkan pegawai dengan tingkat pendidikan D3 ke atas sebesar 40% dari total pegawai Ditjen Pebendaharaan. Untuk menyikapi hal tersebut, fokus kepada pengembangan kompetensi SDM merupakan hal yang bijak untuk dilakukan dalam rangka menjawab tantangan masyarakat akan pelayanan prima Ditjen Perbendaharaan. 2)
Koordinasi antara DJPBN dan DJA belum optimal Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja suatu organisasi adalah adanya koordinasi baik internal maupun eksternal. Terkait dengan hal tersebut, salah satu kelemahan internal yang melekat pada Ditjen Perbendaharaan adalah kurangnya koordinasi antara Ditjen Pebendaharaan dengan Ditjen Anggaran, khususnya dalam hal penyediaan data K/L yang tidak secara optimal melakukan
8
penyerapan anggaran. Apabila koordinasi ini dapat dilakukan dengan baik, maka Ditjen Anggaran dapat menindaklanjuti masukan dari Ditjen Perbendaharaan dengan memberikan informasi/teguran kepada K/L yang tidak melakukan penyerapan optimal. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya penyerapan dana nonbelanja pegawai DIPA K/L adalah DIPA yang tidak dapat langsung digunakan dan memerlukan revisi untuk dapat dicairkan. Prosedur revisi mencakup proses dan birokrasi yang diperlukan pada saat penyelesaian revisi, yang melibatkan Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan.
Dalam prosedur inilah koordinasi antara
dua unit tersebut masih belum optimal, yang terlihat dari tertundanya pencairan dana (sampai dengan 2 bulan). 3)
Sosialisasi terhadap K/L masih kurang Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya penyerapan dana adalah kurangnya pemahaman dari K/L terhadap mekanisme pelaksanaan anggaran. Secara internal, kurangnya pemahaman K/L disebabkan masih kurangnya sosialisasi yang diberikan oleh DJPBN terhadap
K/L.
Hal
ini
juga
sempat
mengemuka
saat
penyelenggaraan rapimnas Ditjen Perbendaharaan tanggal 27-29 Februari 2008. Rapimnas yang menghasilkan 7 kesepakatan, dalam satu butirnya antara lain merekomendasikan untuk meningkatkan sosialisasi dengan menyusun dan menyebarluaskan peraturan pelaksanaan revisi DIPA/dispensasi penggunaan anggaran serta pengaturan
penerimaan dan
pengeluaran
pada akhir tahun
anggaran sedini mungkin, sehingga tersedia cukup waktu bagi satker untuk memahami dan melaksanakan peraturan tersebut. Perlunya
peningkatan
pemahaman/sosialisasi
kepada
Kementerian/Lembaga juga menjadi salah satu bahan telaahan yang direkomendasikan dalam hasil evaluasi kinerja Departemen Keuangan
Tahun
meningkatkan
2007
kinerja
Ditjen
pelaksanaan anggaran. 2. Faktor Eksternal a.
(20-02-2008),
Opportunities 9
sebagai
Perbendahataan
upaya dari
untuk
sisi/aspek
1) Tuntutan DPR untuk optimalisasi penyerapan dana Salah satu peluang yang melekat pada DJPBN untuk meningkatkan kinerjanya adalah adanya tuntutan dari DPR untuk optimalisasi penyerapan dana. Menanggapi rendahnya penyerapan belanja K/L, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Ramson Siagian mengatakan
kondisi
tersebut
menunjukkan
ketidaksiapan
pemerintah dari sisi perencanaan. Yang bersangkutan meminta agar pemerintah
mengubah
kebiasaan
tersebut,
dan
segera
merealisasikan komitmennya mengoptimalkan penggunaan uang negara. Dalam kesempatan tersebut, fraksi PDIP mengemukakan bahwa ditengah-tengah buruknya iklim investasi dan perdagangan serta rendahnya daya beli masyarakat, maka peranan belanja pemerintah menjadi satu-satunya faktor untuk menggerakan roda perekonomian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataannya realisasi penyerapan anggaran sangat rendah seperti yang terjadi pada APBN Tahun 2005 maupun Tahun 2006, yang menunjukan lemahnya manajemen anggaran negara. Menurut fraksi tersebut, hal ini pula yang menyebabkan kesejahteraan rakyat semakin terpuruk. 2) Kebutuhan K/L untuk merealisasikan program dan kegiatannya Sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 21 tahun 2004 tentang Penyusunan
Rencana
Kerja
dan
Anggaran
Kementerian
Negara/Lembaga, bahwa penyusunan Pagu Indikatif untuk tahun anggaran depan, telah tersusun pada bulan April tahun anggaran berjalan. Pagu indikatif merupakan perkiraan pagu anggaran yang diberikan kepada Kementerian Negara/Lembaga untuk setiap program
sebagai
acuan
dalam
penyusunan
rencana
kerja
Kementerian Negara/Lembaga. Berdasarkan pagu indikatif tersebut Kementerian/Lembaga selanjutnya
menyusun
Rancangan
Rencana
Kerja
Kementerian/Lembaga. Kementerian Negara/Lembaga menyusun rencana kerja Kementerian Negara/Lembaga untuk tahun anggaran yang
sedang
disusun 10
dengan
mengacu
pada
prioritas
pembangunan nasional dan pagu indikatif yang ditetapkan dalam Surat
Edaran
Keuangan.
Bersama
Penyusunan
Menteri Renja
Perencanaan
dan
Menteri
Kementerian/Lembaga
pada
dasarnya mencerminkan kebutuhan akan : a. Program dan kegiatan yang mendukung pencapaian prioritas pembangunan
nasional
dan/atau
prioritas
Kementerian
Negara/Lembaga b. Kebutuhan anggaran yang bersifat mengikat c. Kebutuhan dana pendamping untuk kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan Pinjaman/Hibah Luar Negeri d. Kebutuhan anggaran untuk kegiatan lanjutan yang bersifat tahun jamak (multi years) e. Penyediaan dana untuk mendukung pelaksanaan inpres-inpres yang berkaitan dengan percepatan pemulihan pasca konflik di berbagai daerah. 3)
Potensi untuk mengembangkan sektor riil Salah satu peluang yang terkait dengan penyerapan dana adalah adanya potensi untuk mengembangkan sektor riil. Konsep ekonomi Keynesian
meyakini
bahwa
negara
dapat
menstimulasi
perekonomian melalui pengeluaran/belanja untuk menggeliatkan dan mengembangkan sektor riil dalam menciptakan agregate demand
yang
pada
gilirannya
akan
mampu
meningkatkan
pendapatan nasional. Dalam tataran praktis, belanja pemerintah menjadi salah faktor penting untuk menggerakan roda perekonomian khususnya sektor riil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Penyerapan dana yang optimal dari Kementerian/Lembaga, akan dapat segera disalurkan pada proyek-proyek strategis yang telah direncanakan yang pada akhirnya akan berdampak pada pengembangan sektor riil yang akan memberikan efek multiplier pada masyarakat sekitar. Menurut Budiono (15-08-2007), pengeluaran Kementerian/Lembaga untuk barang/jasa dalam rangka pelaksanaan tupoksi ataupun program-programnya
diperlukan
11
untuk
memberikan
stimulans
kepada perusahaan baik besar ataupun kecil untuk melakukan produksi dan penyerapan tenaga kerja. b.
Threats 1)
Rencana Kerja Anggaran K/L kurang akurat Salah satu faktor yang sangat penting dalam menjamin keberhasilan kinerja suatu organisasi, adalah adanya perencanaan yang akurat sebagai
pedoman
mengoperasionalkan bahwa
akurasi
dalam
mengimplementasikan
tugas-tugasnya.
RKA
dari
Kenyataan
K/L masih
kurang,
dan
menunjukkan sebagaimana
disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara dalam pidatonya saat penyerahan DIPA kepada K/L tanggal 2 Januari 2008. Pada kesempatan itu, Presiden meyatakan bahwa selama 3 tahun terakhir daya serap anggaran masih belum optimal, baik dari segi waktu yang cenderung terus tertunda hingga mendekati penutupan tahun anggaran, maupun dari segi total penggunaan pagu anggaran. Penyerapan anggaran di awal tahun anggaran, masih selalu sangat rendah, dan sampai dengan triwulan ketiga, rata-rata baru mencapai 50%. Banyaknya dokumen perencanaan anggaran yang tidak lengkap dan tidak tepat, bahkan sebelum dilaksanakan sudah perlu direvisi dan diperbaiki. Hal ini membuat tertundanya pelaksanaan anggaran, dan mengurangi kualitas pelaksanaan anggaran, termasuk pemaksaan kegiatan secara terburu-buru pada akhir tahun. Oleh karena itu, presiden meminta agar seluruh jajaran pemerintah pusat atau daerah sejak awal harus memperbaiki dokumen perencanaan anggaran agar lebih matang, baik, dan akurat. Terlebih lagi di tahun 2008, realisasi APBN sangat penting dan
strategis
karena
pemerintah
menargetkan
pertumbuhan
ekonomi 6,8%. Pernyataan tersebut memberikan indikasi bahwa terdapat ketidakakuratan dalam perencanaan kerja Kementerian/Lembaga. 2)
Pelaksanaan realisasi anggaran K/L terlambat
12
Salah satu ancaman eksternal yang menyebabkan rendahnya penyerapan dana K/L adalah keterlambatan K/L dalam mengajukan realisasi anggaran. Menurut Menteri Keuangan (27-12-2007), penyebab lambannya penyerapan anggaran pemerintah bukan karena lambannya penerimaan, namun lebih disebabkan ditolaknya pengajuan pencairan anggaran K/L karena kekuranglengkapan dokumen pada saat pengajuan. Pengembalian dokumen ini dengan sendirinya akan memicu terjadinya keterlambatan dalam realisasi anggaran, terlebih lagi secara umum K/L tidak secara cepat dan proaktif melakukan pengajuan kembali dokumen tersebut. Secara terpisah, Ketua Bappenas (17-12-2007) menyatakan bahwa keterlambatan realisasi anggaran disebabkan karena adanya keterlambatan pelaksanaan tender pada K/L. Selama ini K/L melakukan tender setelah DIPA cair, yang memicu penyerapan DIPA cenderung menumpuk pada akhir tahun. Dalam kesempatan itu, Kepala Bappenas meminta agar K/L dapat mengajukan tender pada
bulan
September-Oktober
setelah
anggaran
disetujui
sebagaimana telah dilakukan oleh Departemen PU. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan
Deputi
Bidang
Pendanaan
Pembangunan
Kemeneg PPN/Kepala Bappenas (17 Maret 2008) yang menyatakan bahwa penyerapan anggaran pada 2007 yang rendah sebagian besar terjadi akibat proses pengadaan barang dan jasa yang lambat termasuk penundaan proses pengadaan (procurement) di beberapa proyek karena penyesuaian ketentuan pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah. Lambatnya proses pengadaan itu, dipicu ketidaksiapan sumber daya manusia dan siklus penetapan dan pencairan
APBN
yang
tidak
sesuai
dengan
tahap-tahap
pelaksanaan proyek. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan yang mengemukakan bahwa minimnya realisasi penyerapan DIPA untuk tahun anggaran 2007 lebih disebabkan berlarut-larutnya proses lelang untuk melaksanakan program departemen, yang akhirnya berdampak pada terlambatnya realisasi penyerapan dana.
13
Faktor lain yang turut memicu keterlambatan realisasi penyerapan anggaran adalah terlambatnya K/L dalam menunjuk dan menetapkan pejabat perbendaharaan pada lingkup masingmasing.
Secara
umum
K/L
baru
menetapkan
pejabat
perbendaharaan setelah pencairan DIPA, yang memerlukan waktu yang cukup lama. 3)
Perubahan
kebijakan
pemerintah
pusat
yang
menghambat
penyerapan. Untuk mengefektifkan pengadaan barang dan jasa di Indonesia yang dinilai marak terjadi penggelembungan dana (mark up), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membentuk Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Pembentukan lembaga ini ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 106/ 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), yang ditandangani pada 6 Desember 2007. LKPP merupakan lembaga nondepartemen yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Selama ini kebijakan pengadaan
barang
dan
jasa
pemerintah
dikelola
Pusat
Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang dipimpin pejabat setingkat eselon dua di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dengan adanya Perpres No. 106/2007, LKPP menjadi satu-satunya lembaga pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan pengembangan barang dan jasa pemerintah. Ancaman yang dapat muncul adalah terkait dengan efektivitas kinerja LKPP mengingat bahwa Keppres 80/2003 yang selama ini dianggap menjadi kendala dalam penyerapan anggaran, belum direvisi terutama terhadap pasal yang multitafsir terutama tentang penunjukan langsung, sistem nilai lelang, dan lain-lain. Di satu sisi LKPP memang diperlukan untuk melakukan kontrol mengenai harga, mutu dalam pengadaan barang dan jasa agar tidak menimbulkan biaya tinggi. Akan tetapi keberadaan lembaga ini yang sentralistik, menurut pengamat ekonomi Aviliani (25-12-2007) akan
14
potensial menjadi birokrasi baru sehingga dapat menghambat penyerapan anggaran pembangunan. Analisis SWOT diawali dengan melakukan pembobotan terhadap faktor internal dan eksternal, yang mencakup kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman eksternal. Pembobotan dilakukan terhadap tingkat urgensi dari setiap faktor baik faktor internal maupun eksternal. Langkah berikut dari analisis SWOT adalah menetapkan nilai keterkaitan antarfaktor dan nilai dukungan sebagai basis untuk analisis besarnya Total Nilai Bobot (TNB). Tahapan berikutnya adalah menetapkan Faktor Kunci Keberhasilan (FKK). Dua Faktor Kunci Keberhasilan (FKK) yang menempati urutan tertinggi, yakni: 1. Strengths a. Komitmen yang tinggi dari top management (TNB = 2,73) b. Sisdur pencairan dana yang baik (TNB = 1,70) 2. Weaknesses a. Keterbatasan kompetensi SDM (TNB = 0,78) b. Sosialisasi terhadap K/L masih kurang (TNB = 0,44) 3. Opportunities a. Tuntutan DPR untuk optimalisasi penyerapan dana (TNB = 1,76) b. Kebutuhan K/L untuk merealisasikan program dan kegiatannya (TNB = 0,59) 4. Threats a. Rencana Kerja Anggaran – K/L kurang akurat (TNB = 1,77) b. Pelaksanaan realisasi anggaran K/L terlambat (TNB = 1,31) Dari hasil perhitungan di atas, dapat ditentukan posisi kekuatan organisasi dengan mengacu pada besarnya jumlah TNB masing-masing unsur SWOT. Dari total perhitungan diperoleh angka masing-masing : Strengths = 5,70; Weaknesses = 1,21; Opportunities = 2,67; Threats = 3,08. Mendasarkan diri pada total perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa posisi kekuatan organisasi berada pada Strengths-Threats (ST) yang berarti mengharuskan DJPBN untuk fokus pada jalur strategi diversifikasi. Posisi tersebut dapat dijelaskan dalam gambar berikut.
15
Gambar 4.1 Posisi Kekuatan Organisasi S = 5,70 4,49
X II
I
T = 3,08
O = 2,67
0 IV
III 0,41
W =1.21
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa X merupakan titik pertemuan antara S dan T yang diperoleh dengan menentukan angka selisih nominal antara TNB S dan W (5,70 – 1,21 = 4,49) serta TNB T dan O (3,08 – 2,67 = 0,41). Dengan demikian, strategi yang ditawarkan akan dilakukan dengan menggunakan kekuatan internal yang dimiliki (Strengths) yakni komitmen yang tingi dari top management dan sisdur pencairan DIPA yang baik, untuk mengatasi dan mereduksi ancaman eksternal (Threats) yakni rencana kerja anggaran K/L kurang akurat dan pelaksanaan realisasi anggaran K/L terlambat. B. Pemecahan Masalah Setelah
berhasil
menetapkan
posisi
kekuatan
organisasi,
analisis
pembahasan dilanjutkan dengan upaya pemecahan masalah yang mencakup : perumusan strategi, rencana kegiatan, dan prediksi kesulitan yang akan dihadapi serta cara untuk mengatasinya. Tahapan lanjut dari analisis SWOT adalah merumuskan strategi yang memadukan/menyinergikan faktor-faktor kunci keberhasilan yang tersaji dalam 16
masing-masing unsur-unsur SWOT di atas. Strategi yang akan dilakukan dapat dirangkum dalam diagram berikut. Diagram 1 Formulasi Strategi SWOT Faktor Internal
Strengths 1. Komitmen yang tinggi dari Top Management
Faktor Eksternal
2. Sisdur Pencairan DIPA yang baik
Opportunities 1. Tuntutan DPR
Strategi SO S1O1. Mengusulkan agenda di tingkat Menteri
penyerapan dana
untuk membahas
untuk merealisasilan
1. Keterbatasan kompetensi SDM 2. Sosialisasi terhadap K/L masih kurang
untuk optimalisasi 2. Kebutuhan K/L
Weaknesses
Strategi WO W1O1. Meningkatkan kualitas SDM W2O2. Melakukan
optimalisasi
sosialisasi tentang
penyerapan dana
optimalisasi
S1O2. Menyusun
program dan
mekanisme
kegiatannya
pemberitahuan
pencairan dana kepada K/L
perkembangan realisasi pencairan dana pada K/L secara periodik Threats 1. Rencana Kerja
Strategi ST S1T1. Mengusulkan
Strategi WT W1T1. Melakukan kerja
Anggaran – K/L
rumusan
sama pelatihan
kurang akurat
peningkatan kualitas
yang melibatkan
pembahasan DIPA
SDM DJPBN
realisasi anggaran
kepada Menteri
dengan K/L
K/L terlambat
Keuangan
2. Pelaksanaan
S1T2. Menyusun
W2T1. Melibatkan unit lain dalam
mekanisme
melaksanakan
monitoring
sosialisasi kepada
berkelanjutan terkait
K/L
17
dengan upaya optimalisasi pencairan dana S2T2. Merekomendasikan agar capaian realisasi anggaran tahun berjalan menjadi pertimbangan dalam pengguliran dana tahun berikutnya Mengacu pada hasil analisis posisi kekuatan organisasi DJPBN, maka strategi prioritas yang akan ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana kegiatan adalah strategi yang berada pada kuadran II (ST) dengan mengoptimalkan kekuatan untuk mengantisipasi ancaman eksternal. Rencana kegiatan merupakan jabaran rinci dari strategi terpilih (ST), yang terurai mulai dari kegiatan pesiapan, pelaksanaan, dan pengendalian. Adapun rencana yang disusun adalah sebagai berikut. Tabel 4.7 Strategi dan Rencana Kegiatan. SASARAN PRIORITAS
STRATEGI
Terwujudnya
Mengusulkan rumusan
Persiapan :
Peningkatan
peningkatan kualitas
1. Membentuk tim pengkaji kualitas
Penyerapan
pembahasan DIPA
DIPA
kepada Menteri
2. Mengiventarisir data/informasi yang
Dana Non Belanja Pegawai
RENCANA KEGIATAN
Keuangan
terkait dengan revisi DIPA 3. Menetapkan jadwal waktu
DIPA K/L
pembahasan 4. Mengidentifikasi penyebab rendahnya kualitas DIPA
18
5. Merumuskan masalah utama rendahnya kualitas DIPA Pelaksanaan : 1. Menyusun rumusan peningkatan kualitas pembahasan DIPA 2. Membahas dan mendiskusikan dengan pejabat terkait 3. Mengajukan usulan rumusan peningkatan kualitas pembahasan DIPA kepada Menteri Keuangan Pengendalian : 1. Monitoring progress usulan 2. Mengukur standar kemajuan kualitas pembahasan DIPA 3. Memberikan saran/rekomendasi perbaikan
Menyusun mekanisme
Persiapan :
monitoring
1. Membentuk tim penyusun
berkelanjutan terkait dengan upaya
mekanisme monitoring 2. Menginventarisir laporan/berkas
optimalisasi pencairan
realisasi optimalisasi pencairan dana
dana 3. Mengidentifikasi kesesuaian antara realisasi dan target 4. Melakukan telaahan terhadap hasil identifikasi
19
Pelaksanaan : 1. Membahas dan mendiskusikan dengan pejabat terkait tentang monitoring terhadap upaya optimalisasi pencairan dana 2. Menyusun mekanisme monitoring berkelanjutan terkait dengan upaya optimalisasi pencairan dana Pengendalian : 1. Memantau implementasi mekanisme monitoring 2. Menetapkan langkah-langkah korektif terhadap penyimpangan
Merekomendasikan
Persiapan :
agar capaian realisasi
1. Membentuk tim penyusun
anggaran tahun
2. Menginventarisir capaian realisasi
berjalan menjadi
anggaran dari K/L
pertimbangan dalam pengguliran
3. Melakukan analisis perbandingan
dana tahun berikutnya
dengan rencana/target 4. Mendata K/L yang memenuhi/tidak memenuhi target realisasi anggaran Pelaksanaan : 1. Menyusun konsep rekomendasi dengan melibatkan pejabat terkait 2. Membahas konsep tersebut dengan para pejabat terkait 3. Merekomendasikan agar capaian
20
realisasi anggaran tahun berjalan menjadi pertimbangan dalam pengguliran dana tahun berikutnya Pengendalian : 1. Menyusun standar kemajuan proses rekomendasi 2. Memantau perkembangan kemajuan rekomendasi 3. Melakukan koreksi terhadap penyimpangan standar kemajuan Strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a. Strategi S1T1 : Mengusulkan rumusan peningkatan kualitas pembahasan DIPA kepada Menteri Keuangan Strategi ini mempertemukan antara komitmen yang tinggi dari Top Management dengan kurangnya akurasi rencana kerja anggaran K/L yang menghasilkan strategi mengusulkan peningkatan kualitas pembahasan DIPA. Strategi ini disusun berdasarkan argumen bahwa salah satu kendala yang dihadapi adalah kurangnya akurasi rencana kerja anggaran K/L. Perlu dipahami bahwa penyusunan DIPA dalam paradigma baru pengelolaan keuangan negara, lebih menjadi wewenang Kementerian/Lembaga dibandingkan dengan model penyusunan DIP/DIK pada masa lalu. Terkait dengan hal tersebut, hambatan ini akan diminimalkan pada saat pembahasan DIPA yang melibatkan unit-unit terkait. Implementasi strategi ini, akan diawali dengan pembentukan tim pengkaji kualitas DIPA yang melibatkan Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Anggaran, dan Biro Keuangan – Setjen. Dalam tahap awal ini, akan dilakukan inventarisasi data/informasi terkait, penetapan jadwal pembahasan, yang akhirnya akan mengerucut pada rumusan masalah utama rendahnya kualitas DIPA. Pada tahap pelaksanaan awal akan dilakukan penyusunan alternatif pemecahan masalah, yang pembahasannya akan mengundang para pejabat terkait. Pembahasan akan memfokuskan diri pada mekanisme rumusan pemantauan aspek formulasi anggaran dan posting rincian belanja/pengeluaran yang tertuang dalam
21
DIPA K/L. Formulasi ini akan langsung mengetahui apabila terjadi ketidaksesuaian antara penempatan dengan kaidah belanja negara dan akuntansi pemerintah, yang memungkinkan
untuk
langsung
melakukan
koreksi
perbaikan
pada
saat
pembahasan DIPA. Setelah disepakati, selanjutnya rumusan peningkatan kualitas pembahasan DIPA diajukan kepada Menteri Keuangan. Tahap pengendalian akan mengagendakan jadwal monitoring progress usulan, pengukuran standar kemajuan, dan melakukan perbaikan terhadap penyimpangan. b. Strategi S1T2 : Menyusun mekanisme monitoring berkelanjutan terkait dengan upaya optimalisasi pencairan dana Strategi ini mempertemukan antara komitmen yang tinggi dari Top Management dengan terlambatnya pelaksanaan realisasi anggaran K/L yang menghasilkan strategi menyusun mekanisme monitoring berkelanjutan terkait dengan upaya optimalisasi pencairan dana. Strategi
ini
dilatarbelakangi
alasan
bahwa
untuk
mengantisipasi
keterlambatan K/L dalam merealisasikan anggaran, perlu disusun suatu mekanisme monitoring berkelanjutan sebagai tolok ukur kemajuan K/L dalam melakukan penyerapan dana. Sebagaimana layaknya proses perencanaan, tahap awal strategi ini akan dimulai dengan pembentukan tim penyusun mekanisme monitoring yang akan ditetapkan
oleh
Dirjen
Perbendaharaan.
Selanjutnya
tim
akan
melakukan
inventarisasi laporan/berkas realisasi optimalisasi pencairan dana, mengidentifikasi kesesuaian target dan realisasi, serta menelaah hasil identifikasi. Dalam tahap pelaksanaan akan dibahas dan didiskusikan mekanisme monitoring terhadap upaya optimalisasi pencairan dana, yang diakhiri dengan penyusunan mekanisme tersebut sebagai produk dari strategi ini.
Mekanisme ini
akan memadukan antara realisasi pencairan dana K/L dengan rencana/target anggaran yang sebelumnya telah disampaikan kepada Ditjen Perbendaharaan. Secara
periodik,
Ditjen
Perbendaharaan
akan
menyampaikan
informasi/pemberitahuan kemajuan realisasi capaian anggaran kepada K/L melalui surat resmi ataupun website yang dapat diakses secara cepat. Monitoring akan menampilkan capaian/realisasi K/L mulai dari tingkat pusat sampai daerah (unit
22
vertikal K/L), sebagai masukan bagi top management K/L atas kemajuan penyerapan dana dari unitnya. Tahap pengendalian akan melakukan pemantauan implementasi mekanisme monitoring
yang
dilengkapi
dengan
langkah-langkah
korektif
terhadap
penyimpangan. c. Strategi S2T2 : Merekomendasikan agar capaian realisasi anggaran tahun berjalan menjadi pertimbangan dalam pengguliran dana tahun berikutnya. Strategi ini mempertemukan antara sisdur pencairan DIPA yang baik dengan keterlambatan pelaksanaan realisasi anggaran K/L
yang menghasilkan strategi
untuk merekomendasikan agar capaian realisasi anggaran tahun berjalan menjadi pertimbangan dalam pengguliran dana tahun berikutnya. Strategi ini pada dasarnya merupakan bentuk reward and punishment, terhadap kinerja serapan dana/anggaran dari K/L. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan membentuk tim penyusun rekomendasi yang dilanjutkan dengan inventarisasi capaian realisasi anggaran dari K/L. Langkah berikutnya adalah dengan melakukan pendataan terhadap K/L yang memenuhi/tidak memenuhi target realisasi anggaran. Tahap pelaksanaan diawali dengan penyusunan konsep rekomendasi yang ditindaklanjuti
dengan
rekomendasi
kepada
Menteri
Keuangan
untuk
mempertimbangkan capaian realisasi anggaran tahun berjalan K/L terhadap besarnya pengguliran dana tahun berikutnya. Materi rekomendasi akan meliputi capaian/realisasi anggaran dari K/L, target/rencana tahun berjalan, dan persentase realisasi tahun berjalan,
Selain itu, konsep rekomendasi juga akan menyajikan
alasan/argumen dari K/L terkait tentang capaian realisasi tersebut. Konsep ini akan diakhiri dengan suatu rekomendasi kepada Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan anggaran secara proporsional kepada Kementerian/Lembaga yang tidak optimal dalam melakukan penyerapan. Tahap pengendalian pada strategi ini akan mencakup penyusunan standar kemajuan proses rekomendasi, memantau perkembangan kemajuan, dan tindakan korektif terhadap penyimpangan. Sebaik
apapun
suatu
formulasi
strategi,
tetap
akan
menyisakan
kekurangan/kelemahan di dalam implementasinya. Bagian ini akan menguraikan 23
perkiraan kesulitan yang dihadapi DJPBN dalam menerapkan strategi terpilih, yang dilanjutkan rumusan cara mengatasi kesulitan tersebut. Tabel 4 Perkiraan Kesulitan dan Strategi Mengatasinya. PERKIRAAN
CARA
KESULITAN
MENGATASINYA
Banyaknya jenis
Melibatkan DJA
Mengusulkan rumusan
kegiatan pada
dan K/L dalam
peningkatan kualitas
K/L yang dapat
membahas
pembahasan DIPA kepada
berdampak pada
kualifikasi
Menteri Keuangan
mispersepsi kualitas
kelayakan DIPA
NO.
STRATEGI
1
DIPA
Menyusun mekanisme
Adanya duplikasi
Mengajukan
tugas dan
konsep pembagian
terkait dengan upaya
kewenangan antar
tugas/kewenangan
optimalisasi pencairan
unit
dalam pelaksanaan
2 monitoring berkelanjutan
monitoring
dana
Merekomendasikan agar
Adanya resistensi
Melakukan
capaian realisasi
dan penentangan
sosialisasi dini
dari K/L
dengan pendekatan
3 anggaran tahun berjalan menjadi pertimbangan
persuasif
dlm pengguliran dana tahun berikutnya
24
SIMPULAN Tulisan ini disusun dengan tujuan untuk memecahkan masalah pokok berupa rendahnya penyerapan dana nonbelanja pegawai DIPA K/L. Rumusan ini didasari atas fakta bahwa penyerapan dana dari K/L sampai dengan tahun 2007 sebesar 89% dari rencana penyerapan sebesar 100 %. Dari penelaahan lingkungan internal berhasil diidentifikasikan 6 faktor yang terdiri dari 3 faktor strengths, dan 3 faktor merupakan unsur weaknesses. Penelaahan lingkungan eksternal juga berhasil mengidentifikasikan 6 faktor yang terbagi atas 3 faktor opportunities dan 3 faktor threats. Faktor-faktor kunci keberhasilan dapat ditentukan sebagai berikut: 1. Strengths a. Komitmen yang tinggi dari top management b. Sisdur pencairan dana yang baik 2. Weaknesses a. Keterbatasan kompetensi SDM b. Sosialisasi terhadap K/L masih kurang 3. Opportunities a. Tuntutan DPR untuk optimalisasi penyerapan dana b. Kebutuhan K/L untuk merealisasikan program dan kegiatannya 4. Threats a. Rencana Kerja Anggaran – K/L kurang akurat b. Pelaksanaan realisasi anggaran K/L terlambat Hasil analisis berikutnya memperlihatkan bahwa peta kekuatan organisasi berada dalam posisi kuadran II (ST), yang mengartikan bahwa DJPBN dapat memanfaatkan semua Strengths untuk mengantisipasi dan meminimalkan threats yang ada. Strategi prioritas yang diajukan adalah sinergi antara Strengths dengan Threats, yang menghasilkan rumusan sebagai berikut : 1.
Mengusulkan rumusan peningkatan kualitas pembahasan DIPA kepada Menteri Keuangan
2.
Menyusun
mekanisme
monitoring
optimalisasi pencairan dana
25
berkelanjutan
terkait
dengan
upaya
3.
Merekomendasikan agar capaian realisasi anggaran tahun berjalan menjadi pertimbangan dalam pengguliran dana tahun berikutnya Menyadari bahwa sebaik apapun suatu strategi akan memiliki kelemahan,
maka
direkomendasikan
beberapa
saran
yang
diyakini
dapat
mendukung
kelancaran strategi tersebut yakni : 1. Melibatkan DJA dan K/L dalam membahas kualifikasi kelayakan DIPA 2. Mengajukan konsep pembagian tugas/kewenangan dalam pelaksanaan monitoring 3. Melakukan sosialisasi dini dengan pendekatan persuasif, untuk mereduksi adanya resistensi terhadap rekomendasi pengguliran dana tahun berikutnya. DAFTAR PUSTAKA Majalah Treasury Indonesia, Edisi 04/2007. Sianipar JPG, Drs, MM, dan Entang, HM, Dr, MA, Dipl. Ed., Teknik-Teknik Analisis Manajemen, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2003 Tim Pusdiklat Pegawai, Pedoman Penyusunan Kertas Kerja Kelompok (KKK) Diklatpim Tingkat III, Pusdiklat Pegawai, Magelang, 2008. Tim Pusdiklat Pegawai, Pedoman Teknis Penulisan Kertas Kerja Diklatpim Tingkat III/IV, Pusdiklat Pegawai, Magelang, 2008. Beberapa definisi diunduh dari :www.perbendaharaan.co.id., www.wikipedia.org.id
Disusun ulang oleh: Hindri Asmoko Kasubbid Informasi dan Pelaporan Kinerja pada Pusdiklat Pengembangan SDM.
26