Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 NEGARA KEBANGSAAN INDONESIA KONSTRUKSI DIALEKTIKA KOMUNIKASI POLITIK Emrus Sihombing Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPH Karawaci
[email protected] Abstract All social reality is a product of the social construction of the communication between humans as social actors. Likewise, the nation-state cannot be separated from relationships in a human community. From the perspective of critical social studies and the concept of perspective intersubjectivity (qualitative), humans are social actors and not reactors. Social actors are not only individuals, but can also form organizations, social classes, or nations. Nation-state is a product of interaction through communication between participants. The Indonesian archipelago is inhabited by a wide variety of ethnic groups, and communication between actors construct the social reality of the country. As a result, the "founder" (social actor) had agreed to formulate Indonesia as a nation-state. Nationality of a country as a social reality is a dialectic construction of communication between political actors. However, the doctrine of the nation-state is not permanent. This paper will discuss and elaborate how dialectic construction happens as the interplay of relationships, in order to "win" a particular social reality in Indonesia. Relationship raises the dialectic interplay of political communication, which can be either an agreement or a political conflict in a variety of political actions which ultimately construct the shape of the state. Key Words: social actor, social reality, social construction Abstrak Semua realitas sosial merupakan produk konstruksi sosial dari proses komunikasi antar manusia sebagai aktor sosial. Demikian juga bentuk negara kebangsaan tidak lepas dari hasil relasi komunikasi, dalam suatu komunitas manusia. Dari perspektif kajian sosial kritis, manusia adalah aktor bukan reaktor sosial. Sehubungan dengan itu, manusia dipandang sebagai partisipan dalam suatu proses komunikasi dan sebagai aktor sosial menjadi konsep sentral dari perspektif intersubyektifity (kualitatif). Aktor sosial tidak hanya sebagai individu, tetapi bisa juga berwujud organisasi, kelas sosial tertentu, atau bangsa, sehingga tindakan aktor pun dapat berupa perilaku individu atau kolektivitas. Negara kebangsaan merupakan produk interaksi melalui tindakan komunikasi antar partisipan komunikasi. Sehubungan dengan itu, Indonesia sebagai negeri kepulauan dihuni berbagai macam suku bangsa, melakukan relasi komunikasi antar aktor membangun realitas sosial negara kebangsaan. Hasilnya, para “pendiri” (aktor sosial) bangsa sepakat merumuskan Indonesia sebagai negara kebangsaan. Bukan negara keagamaan, atau bentuk lainnya. Negara kebangsaan sebagai realitas sosial, merupakan konstruksi dialektika komunikasi antar aktor politik. Namun, doktrin negara kebangsaan bukanlah produk pamanen, selalu cair. Dalam tulisan ini akan dibahas dan dielaborasi bagaimana senatiasa terjadi dialektika antara bentuk negara kebangsaan dengan bentuk negara di luar negara kebangsaan sebagai proses hubungan saling pengaruh, tarik menarik dalam rangka “memenangkan” realitas sosial tertentu di Indonesia. Hubungan saling pengaruh tersebut menimbulkan dialektika komunikasi politik, yang dapat berwujud kesepakatan atau konflik politik dalam berbagai tindakan politik yang akhirnya mengkonstruksi bentuk negara kebangsaan atau menolak negara kebangsaan. Kata Kunci: aktor sosial, realitas sosial, konstruksi sosial 79
Emrus Sihombing : Negara Kebangsaan Indonesia Konstruksi … A.
Pendahuluan Indonesia negara kepulauan dihuni berbagai suku bangsa. Melalui proses interaksi
komunikasi intensif dan sangat lama, para pendiri bangsa sepakat merumuskan bahwa Indonesia menganut sistem negara kebangsaan. Bukan negara di luar kebangsaan seperti keagamaan, atau bentuk lainnya. Indonesia sebagai negara kebangsaan terus mengalami proses politik. Dinamika dialektika proses politik di Indonesia mengalami pasang surut. Kadang sesaat stabil, kadang juga bergejolak. Mulai dari pra kemerdekaan, kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan tindakan radikal masih tetap terjadi. Belum ada tanda-tanda berakhirnya tindakan radikal yang dapat menelan korban, terutama rakyat tak berdosa itu. Kadang kebijkan dan perilaku pemerintah pun seakan gamang bertindak tegas dan belum berani memberikan garansi keamanan bagi setiap warga dari aksi teroris, kekerasan atau radikal. Dari dulu hingga kini rasa keamanan penduduk Indonesia masih terus terusik di negeri pertiwi ini. Keselamatan masyarakat berada pada situasi tidak pasti. Gerakan-gerakan teroris dan tindakan ormas anarkhis masih jamak terjadi. Ancaman bom masih dapat membayangi kehidupan keseharian warga kita. Alokasi penyebaran bom sangat acak. Sebagai tindakan teror atau kekerasan, tak seorang pun tahu pasti kapan dan dimana ancaman muncul. Ini semua bermuara terkonstruksinya anti tesis dari negara kebangsaan. Jika melihat kilas balik perjalanan sejarah bangsa Indonesia, aksi kekerasan acapkali dimotori organisasi radikal dan teroris berlangsung cukup lama. Tindakan kekerasan dapat mengguncang rasa kebagsaan bagi rakyat Indonesia. Dampaknya, dapat mengganggu semua kehidupan sosial, seperti politik, ekonomi, budaya, keamanan, kunjungan wisata dan terutama menjadi ancaman serius terhadap bentuk negara Indonesia, negara kebangsaan. Konsekuensinya, energi bangsa terkuras hanya untuk menanggulangi aktivitas radikalisme. Program peningkatan kesejahteraan rakyat terbengkalai. Akibat lanjut, dapat mengancam dan meruntuhkan NKRI, dan boleh jadi memunculkan ideologi baru di Indonesia. Misalnya, ideologi keagamaan dengan bentuk negara seperti negara keagaamaan tertentu di Indonesia. Realitas menunjukkan, perilaku teroris maupun kekerasan merusak sarana publik dan dapat menelan nyawa manusia. Sekejap rakyat atau aparat polisi bisa menjadi korban luka parah atau meninggal pada hitungan detik. Hak azasi hidup seseorang tercabut seketika dengan mudah oleh ulah segelintir orang tak bertangungjawab. Gerakan radikal ini, sebagai proses komunikasi politik yang dirancang oleh para teroris, misalnya, tentu mempunyai
80
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 agenda politik jangka panjang, terutama mengubah Indonesia menjadi bentuk lain. Bisa jadi membentuk negara agama yang radikal. Yang pasti tujuannya, mengubah konstruksi Negara Kebangsaan Republik Indonesia. Kenyataan menunjukkan, sekalipun kerja keras Polri menghentikan aksi teroris telah, sedang dan terus dilakukan, namun tindakan radikal masih tetap berlangsung. Eskalasi kekerasan politik, sebagai tindakan komunikasi politik, tetap berlangsung. Penyebaran bom yang terjadi di Indonesia beberapa waktu, misalnya,
sudah tidak segmented. Tempat
keramaian menjadi inceran utama. Bahkan, teroris merambah sasaran lebih luas. Lihat saja rumah ibadah - Mesjid dan Gereja - yang mereka sebut digunakan oleh para kafir, sudah menjadi target utama ledakan bom. Karena itu, tak terhindarkan setiap orang, apapun latar belakangnya, berpeluang menjadi korban radikalisme. Penyebaran dan peledakan bom di berbagai tempat public yang pernah terjadi di Indonesia dapat mengacaukan keamanan dan sekaligus menelan sebanyak mungkin korban manusia. Rasa keamanan warga menjadi sulit terwujud. Ini sebagai bukti, eksistensi komunikasi politik yang digelorakan teroris masih tetap berpotensi terjadi di republik ini. Akankah realitas ketidakamanan warga di negara yang demokrasi, pluralis, kebangsaan, ramah, toleran, cinta damai dan menyepakati landasan Bhinneka Tunggal Ika ini terus eksis? Jika realitas itu terjadi, negara telah gagal melindungi segenap warga negara. Eksistensi negara antara ada dan tiada. Negara kebangsaan bisa terancam. Bentuk negara di luar kebangsaan bisa muncul. Intensitas tindakan radikalisme mengguncang rasa keamanan menimbulkan rasa curiga antar warga semakin meningkat. Efek lanjut, tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan mengelola keamanan negara, utamanya kepada institusi kepolisisan. Legitimasi pemerintah, cepat atau lambat, digerogoti secara sistemik sebagai dampak aksi radikalisme. Pada titik tertentu, kepercayaan rakyat terhadap pemangku kekuasaan negara semakin memudar, sebagai proses pembusukan rasa kebangsaan. Diperburuk lagi dengan semaraknya pejabat publik melakukan korupsi menggerogoti keuangan negara. Hal itu menjadi pendorong turunnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Kondisi patologi sosial tersebut sebagai fenomena reciprokal, yaitu tumbuhnya radikalisme di negeri ini sebagai produk dari interaksi sosial melalui relasi komunikasi politik antar partisipan yang dapat membetuk realitas sosial baru yang bisa jadi bertujuan menolak negara kebangsaan.
81
Emrus Sihombing : Negara Kebangsaan Indonesia Konstruksi … B.
Pembahasan
B.1.
Konstruksi Realitas Setiap proses sosial yang terjadi di seluruh belahan dunia menunjukkan, termasuk
mengkonstruksi negara kebangsaan, memandang manusia menjadi sentral semua peristiwa sosial. Sebab, manusia memiliki otonomi rasio dalam usaha memahami kehidupannya. Manusia mempunyai kompetensi dan kemandirian bereksistensi secara aktif mewujudkan kehendanya dalam suatu lingkungan sosial atau negara. Dengan demikian, manusia sebagai penentu dan berkuasa atas realitas. Hal ini sejalan dengan pemikiran kritis, sebagai era subyektivitas, yang mendorong gerakan humanisme, suatu gerakan melepaskan diri dari belenggu kekuasaan agama. Gerakan ini mengajarkan manusia memiliki kebebasan dan berkuasa penuh atas eksistensinya sendiri serta masa depannya.1 Analisis terhadap manusia sebagai pusat realitas, membuat para ilmuwan mengkaji manusia dari berbagai perspektif untuk mengungkap nilai dan makna dari setiap tindakan sosial manusia melalui telaah kualitatif. Pendekatan fenomenologi, misalnya, sebagai upaya yang dilakukan para ilmuwan memahami secara kualitatif terhadap manusia. Salah satu pelopornya adalah Edmund Husserl.2 Husserl sebagaimana dikutip Abidin berpandangan, manusia pada prinsipnya makhluk berkesadaran. Melalui aktivitas kesadarannya, manusia mampu mengatasi dirinya dan menciptakan dunia khas bagi dirinya. Oleh karena itu, suatu teritorial geografis tertentu bisa saja berbentuk negara kebangsaan atau di luar negara kebangsaan. Misalnya, adanya gerakan pembentukan negara agama. Lebih lanjut Hamersma3 mengemukakan hasil pemikiran Husserl tentang kesadaran yang dimiliki oleh manusia. Salah satu yang muncul sebagai hasil fenomenologi Husserl ialah perhatian baru untuk intensionalitas kesadaran. Kesadaran manusia tidak dapat dibayangkan tanpa suatu yang disadari. Supaya ada kesadaran memang diandaikan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek, bahwa subyek ini terbuka untuk obyek-obyek, dan bahwa ada obyek-obyek.
1
Zainal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hal. 26 2 Ibid., hal.141 3 Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 117
82
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 Oleh
karena
itu,
kesadaran
selalu
terarah
kepada
obyek-obyek,
disebut
“intensionalitas”. Bahasa Latin disebut intendere, artinya “menuju ke”. Jadi, tidak tepat mengatakan bahwa kesadaran “mempunyai
intensionalitas”. Kesadaran itu justru
intensionalitas. Entah kita sungguh-sungguh melihat suatu pemandangan, entah hanya mengira melihat pemandangan itu, bila kita masih tetap menyadari perbedaan antara kedua kemungkinan ini maka kita tetap menyadari “sesuatu”.4 Untuk mengungkap tentang kesadaran manusia adalah dengan pendekatan fenomenologi. Analisis fenomenologis, menurut Mulyana,5 adalah mengkonstruksi dunia kehidupan manusia “sebenarnya” dalam bentuk yang mereka alami sendiri. Realitas dunia tersebut bersifat intersubjektif dalam arti bahwa anggota masyarakat berbagi persepsi dasar mengenai dunia yang mereka internalisasikan melalui sosialisasi dan memungkinkan mereka melakukan interaksi atau komunikasi, termasuk komunikasi politik. Itu semua untuk mengkonsgruksi lingkungan sosial yang mereka kehendaki bersama seperti membentuk negara kebangsaan atau kontra negara kebangsaan.6 Oleh karena itu, manusia memiliki subyektifitas memandang dunia sekitarnya sesuai dengan kesadarannya. Dengan kesadarannya, manusia mampu mengelola tindakannya, sehingga tidak begitu saja menerima stimuli yang datang dari luar.7 Terkait dengan kesadaran yang dimiliki manusia, Dewey, sebagaimana ditulis kembali oleh Veeger,8 mengemukakan, pikiran manusia bukanlah sebagai fotocopy dunia luar, melainkan sebagai hasil tindakan manusia sendiri. Manusia selalu terlibat aktif dalam proses pengenalan. Ia mendapatkan kesadarannya pada hal-hal yang ada di luar dirinya. Dalam proses aktif ini pikiran manusia tidak hanya berperan menjadi “instrument” atau sarana bertindak, tetapi menjadi bagian sikap kelakukan manusia. Teori pengenalan ini menghasilkan suatu citra manusia yang dinamis, antideterministik, dan penuh optimisme.9 Dengan demikian, manusia tidak secara prinsipil menerima begitu saja pengetahuan dari luar, tetapi secara aktif dan dinamis membentuk sendiri pengetahuan dan kelakuannya.
4
Ibid. Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 63 6 Ibid. 7 Ibid. 8 K.J. Veeger, Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial Ata Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 221 9 Ibid. 5
83
Emrus Sihombing : Negara Kebangsaan Indonesia Konstruksi … Lingkungan hidup dan situasinya tidak mendeterminir manusia, tetapi merupakan kondisikondisi yang saling berkaitan menentukan sikap.10 Oleh karena itu, aktor sosial, termasuk para politik, sebagai individu mampu berpikir dengan kesadarannya secara bebas berdasarkan konsep dirinya. Mereka tidak hanya sekedar mau menerima apa adanya pendapat-pendapat yang berasal dari lingkungan di mana mereka berada, tetapi juga mampu memberi kritik sesuai dengan sikap yang diambil berdasarkan pertimbangan kesadaran murni yang penuh. Hal tersebut sejalan dengan yang ditegaskan Schutz11 bahwa para aktor sosial menafsirkan sifat realitas yang relevan dengan kepentingan mereka.
B.2.
Ideologi Produk Dialektika Radikalisme merupakan tindakan komunikasi politik. Sebagai tindakan politik,
radikalisme mempunyai agenda ideologi tertentu. Jadi, ada usaha menggantikan ideologi yang sudah “mapan” dengan ideologi “baru”. Dengan demikian, ideologi merupakan produk dalektika komunikasi dari para partisipan dalam suatu territorial wilayah suatu negara. Ideologi kebangsaan, misalnya, melalui radikalisme berganti menjadi ideologi baru, seperti ideologi ke-agama-an. Ideologi baru ini membawa seperangkat sistem ketatanegaraan yang berbeda dari ideologi yang sebelumnya, melalui proses pembiasaan. Sistem kekuasaan dan pemerintahan berubah. Pemegang kekuasaan pun pasti “pendatang baru”. Dalam suatu sistem sosial, termasuk system kenegaraan, selalu memiliki suatu ideologi. Dengan kata lain, suatu sistem sosial mempunyai ideologi yang disepakati melalui interaksi komunikasi sosial yang sangat panjang. Ideologi sebagai produk kesepakatan sosial melalui proses komunikasi dapat ditelusuri melalui awal lahirnya istilah ideologi. Istilah “ideologi” dipopulerkan filosof Perancis, Antoine Destutt de Tracy (1796),12 pada masa revolusi Perancis. Artinya, “ilmu tentang ide-ide” yang mengkaji tentang asal usul, evolusi, dan hakekat ide.13
10
Ibid. Deddy Mulyana, op. cit., hal. 62 12 Jorge Larrain, Konsep Ideologi, Penerjemah Ryadi Gunawan (Yogyakarta: LKPSM, 1996) 13 Reo M. Cristenson, dkk, Ideologies and Modern Politics (New York: Dodd, Mead & Company, 1971), hal. 34; John B. Thompson, Kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis Tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa. Alih bahasa Haqqul Yaqin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), hal. 51; Ibid., hal. 7 11
84
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 Definisi ideologi dikemukakan oleh banyak pakar dari berbagai perspektif mereka. Raymond Williams sebagaimana dikutip James Lull14 mengemukakan ideologi sebagai “himpunan ide-ide yang muncul dari seperangkat kepentingan material tertentu atau, secara lebih luas, dari sebuah kelas atau kelompok tertentu”. Reo M. Cristenson, dkk mendefinisikan ideologi is a belief system that explains and justifies a preferred political order for society, either existing or proposed, and offers a strategy ( processes, institusional arrangements, program ) for its attinment.15 Sedangkan menurut Magnis-Susena sebagaimana dikutip Alex Sobur16 ideologi dianggap sebagai sistem berpikir yang sudah terkena distorsi, entah disadari, entah tidak. Biasanya “ideologi” sekaligus dilihat sebagai sarana kelas atau kelompok yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya secara tidak wajar. James Lull17 mengatakan, dalam pengertian yang paling umum dan lunak, ideologi adalah pikiran yang terorganisir, yakni nilai, orientasi, dan kecenderungan yang saling melengkapi sehingga membentuk perspektifperspektif ide yang diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Dengan demikian, ideologi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem nilai yang terbentuk melalui interaksi sosial yang dapat merupakan sistem kepercayaan sebagai landasan bagi anggota sistem sosial (individu atau kelompok) melakukan suatu tindakan sosial dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, ideologi sebagai suatu kesepakatan sosial dan menjadi perekat suatu sistem sosial. Jadi, ideologi sebagai produk dari konstruksi social melalui proses komunikasi antar partisipan komunikasi dalam suatu lingkungan social tertentu. Namun dalam tataran implementasi ideologi, terdapat dua pendekatan yang saling berbeda. Alex Sobur18 menyimpulkan pendapat Jorge Larrain, istilah ideologi mempunyai dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai kelompok sosial tertentu membela dan memajukan kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif, ideologi merupakan kesadaran palsu. Dengan ideologi dapat melakukan “penipuan” dengan memanipulasi pemahaman 14
James Lull, Media, Komunikasi, Kebudayaam, Suatu Pendekatan Global. Alih Bahasa, A. Setiawan Abadi (Jakarta: Obor Indonesia, 1998), hal. 3 15 Reo M. Cristenson, dkk, op. cit., hal. 5 16 Alex Sobur, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 62 17 James Lull, op. cit., hal. 1-2 18 Alex Sobur, op. cit., hal. 61
85
Emrus Sihombing : Negara Kebangsaan Indonesia Konstruksi … manusia terhadp realitas sosial. Artinya, bisa terjadi ideologi yang satu menjadi kontra ideologi lain. Selanjutnya, John B. Thompson19 mengemukakan, konsep ideologi dapat digunakan merujuk cara bagaimana makna digunakan, dalam hal tertentu, untuk membangun dan mempertahankan relasi kekuasaan yang secara sistematis bersifat disebut sebagai “relasi dominasi”. Ideologi, secara luas dinyatakan, adalah makna yang digunakan untuk kekuasaan. Karena itu, masih menurut John B. Thompson, studi ideologi masyarakat menginvestigasi cara-cara bagaimana makna dikonstruk dan disampaikan melalui bentukbentuk symbol dalam jenisnya yang bervariasi, dari ungkapan bahasa sehari-hari hingga citra dan teks yang kompleks; ideologi mensyaratkan kita untuk menginvestigasi konteks sosial tempat diterapkan dan disebarkannya bentuk-bentuk symbol; dan ideologi menuntut kita mempertanyakan apakah, demikian juga bagaimana, makna yang dimobilisir bentuk-bentuk symbol digunakan, dalam kontekss tertentu, untuk membangun dan mempertahankan relasi dominasi. Lebih lanjut John B. Thompson20 mengemukakan, ideologi adalah sebuah sistem representasi yang berusaha mempertahankan keberadaan relasi kelas dominant melalui indvidu yang selalu berorientasi pada masa lalunya daripada masa depan, atau pada citra dan ide yang menyebunyikan relasi kelas dan berusaha mengelak dari kejaran kolektif perubahan sosial. Oleh karena itu, ideologi menurut John B. Thompson,21 sangat memperhatikan caracara bagaimana bentuk-bentuk symbol saling-menyilang dengan relasi kekuasaan. Memperhatikan cara ketika makna dikerahkan dalam dunia sosial dan diarahkan untuk mendukung individu atau kelompok yang menduduki posisi kekuasaan. Jika fokus ini didefinisikan secara lebih tajam: mempelajari ideologi berarti mempelajari cara-cara bagaimana makna diarahkan untuk membangun dan mempertahankan relasi dominasi. Dengan demikian, ideologi sebagai produk proses sosial dengan menggunakan komunikasi politik menciptakan makna tertentu pada seperangkat simbol yang disepakati sebagai ideologi sekelompok sosial tertentu, atau suatu negara. Dengan demikian, ideologi suatu negara dapat berupa kebangsaan atau doktrin keagamaan tertentu.
19
John B. Thompson, op. cit., hal. 19 Ibid., hal. 51 21 Ibid., hal. 90 20
86
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 Realitas tersebut menunjukkan bahwa ideologi sangat cair dan dapat berubah dan bahkan berganti. Hubungan saling pengaruh antar ideologi menjadi hal yang wajar dari perspektif komunikasi. Lihat saja saling pengaruh antara ideologi demokrasi dengan komunisme. Atau atas dasar ajaran keagamaan tertentu.
B.3.
Kebangsaan Sangat Cair Negara Kebangsaan sebagai produk interaksi melalui komunikasi antar aktor sosial
sangat cair. Dengan demikian, negara kebangsaan dapat dimodifikasi, berubah dan bahkan bisa berganti. Sebab, semua masyarakat adalah aktor sosial. Manusia yang terlibat dalam proses komunikasi dipandang sebagai partisipan bukan komunikator dan komunikan. Sebagai aktor sosial, setiap manusia mempunyai kehendak bebas, cita-cita, perasaan, kreatif dan sebagainya. Karena itu, aktor merupakan konsep sentral dalam kajian ilmu sosial. Ritzer22 mengemukakan batasan tentang konsep aktor, bahwa konsep agen atau aktor pada umumnya merujuk kepada tingkat mikro, atau aktor manusia individual, konsep ini pun dapat merujuk kepada kolektivitas aktor yang bertindak. Jadi, aktor dapat berupa individu, organisasi, kelas sosial tertentu, atau bangsa. Pada karya lainnya Ritzer23 menjelaskan, bahwa aktor adalah manusia yang melakukan tindakan sosial yang bertujuan menanamkan secara simbolis “sesuatu”, “identitas”, hubungan, dan penyajian kemampuan sekumpulan jaringan di dalam bermacammacam jaringan yang lain kepada manusia lain. Kemudian Ritzer24 menguraikan, tindakan sosial terjadi ketika adanya intervensi pikiran diantara suatu stimulus, seorang aktor dan respon mereka selanjutnya. Stimulus merupakan simbol yang ditangkap oleh aktor dari luar dirinya. Jadi, menurut pandangan bahwa setiap individu merupakan aktor terhadap stimuli yang diterimanya, bukan reaktor yang memandang bahwa perilaku manusia semata-mata sebagai reaksi dari stimuli yang diterimanya. Dengan demikian, tindakan manusia merupakan tindakan yang disengaja dan bermakna dalam hubungannya dengan manusia lain. Terkait dengan itu, Weber25
22
George Ritzer-Douglas J. Goddman, Teori Sosial Modern, Edisi Keenam. (Jakarta:Prenada Media, 2005), hal. 506 23 Ibid., hal. 1 24 Ibid., hal. 2 25 Deddy Mulyana, op. cit., hal. 61
Alih Bahasa Alimandan
87
Emrus Sihombing : Negara Kebangsaan Indonesia Konstruksi … mengatakan, tindakan sosial merupakan perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan sosial, demikian Weber26 melanjutkan merupakan perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan di sini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut. Tindakan bermakna sosial sejauh, berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan oleh individu atau kumpulan individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya. Sehubungan dengan itu, negara kebangsaan pun menjadi produk interakasi melalui tindakan komunikasi antar partisipan komunikasi.
B.4.
Mengukuhkan Kebangsaan Oleh karena ideologi sebagai realitas yang cair, usaha mengukuhkan ideologi yang
sudah eksis - Pancasil, NKR, kebangsaan dan bhinnekatunggalika - perlu digelorakan melalui strtategi komunikasi politik agar tidak ada kesempatan sedetik dan sejengkal wilayah Indonesia dijadikan tempat tindakan radikal yang mengusik keamanan warga yang tujuan akhirnya adalah mematahkan Indonesia sebagai negara kebangsaan. Untuk itu, diperlukan gerakan semesta dengan menyatukan seluruh kekuatan bangsa Indonesia menghadapi berbagai aksi radikalisme dalam bentuk dan motif apapun. Untuk mencegah, menyangkal dan menghentikan kesemenaan teroris sangat perlu digelorakan rasa kebangsaan dengan gerakan semesta mengubah radikalisasi menjadi deradikalisasi (pluralisme-kebersamaan).27 Semua kekuatan bangsa dioptimalisasi membatasi ruang gerak perilaku anarkis baik yang “dibungkus” seolah-olah membela kebenaran atau menegakkan doktrin kepercayaan tertentu. Karena itu, tidak ada pilihan bagi bangsa Indonesia, kecuali merapatkan barisan dan bergandengan tangan dengan satu bahasa dan tindakan menolak teroris. Jadi, jangan sampai ada perbedaan pandangan memberi ruang bagi gerakan radikal di bumi pertiwi ini. Ketika teroris melakukan bom bunuh diri di suatu rumah ibadah agama tertentu, misalnya, sangat kurang elok jika ada tokoh masyarakat, terutama elit politik, merespon dengan mengatakan bahwa tindakan tersebut sebagai usaha memecah belah antar umat dari suatu agama tertentu. Pandangan semacam itu, dari perspektif hermeneutik, mengandung 26 27
Ibid. Emrus, “Hentikan Radikalisme degnan Gerakan Semesta”, Suara Pembaruan, 5 Mei 2011, hal. 4
88
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 makna seolah tidak memberikan dukungan penuh menghentikan aksi teroris apapun motifnya. Namun beda maknanya jika para elit mengatakan, teroris harus ditolak, dikutuk, dihadapi dan dihentikan, apapun motif dengan kekuatan semesta bangsa. Sembari memberikan dukungan (baik moral dan informasi) secara penuh kepada aparat keamanan, khususnya kepolisian kita, menyingkap dan menghentikan semua aksi teroris. Pandangan kedua ini lebih tegas menolak radikalisme dalam bentuk dan motif apapun. Karena itu, menghentikan tindakan teroris, perbedaan pandangan politik, nilai dan kepentingan sesaat dan sempit mutlak harus dikesampingkan. Sekaligus menyatukan pikiran dan gerakan menolak berbagai manuver politik yang biasanya dilakukan secara laten. Ruang dan gerak teroris dapat diminimalisasi. Akhirnya dapat dihentikan. Sehubungan dengan itu, kekuatan bangsa harus bersatu padu mentawarkan ideologi, ajaran dan tindakan teroris, baik yang dilakukan perorangan, organisasi kemasyarakatan tertentu, maupun gerakan bawah tanah. Sehingga, secara natural rakyat mempunyai kemandirian menolak radikalisme dan tindakan cuci otak yang masih masif terjadi saat ini. Pada konstruksi sosial semacam itu, teroris mnejadi “gerah” dan akhirnya hengkang dari Indonesia karena frustasi, sebagaimana yang dilakukan oleh negara tetangga kita. Untuk menjangkarkan hal tersebut bagi segenap warga Indonesia, gerakan semesta harus dimulai dari unit sosial yang paling mikro, seperti keluarga, RT, kelompok kecil diskusi ke-agama-an hingga organisasi sosial yang lebih makro, seperti lembaga pertahanan keamanan negara. Bila perlu, pemerintah harus berani membuat kebijakan agar Tentara Nasional Indonesia (TNI) berperan aktif melawan terorisme. Namun yang berada di garda paling depan tetap pemangku kekuasaan negara yaitu legislatif, eksekutif dan judikatif. Ketiganya harus sejalan dan sinergi. Tidak saling berseberangan dan menyalahkan menghadapi teroris. Peran legislatif tidak hanya membuat regulasi, tetapi jauh lebih baik memberikan dukungan politik penuh kepada aparat keamanan menangani teroris. Eksekutif di bawah koordinasi presiden melakukan deteksi dini, bertindak tegas dan cepat agar teroris tidak sempat melakukan aksinya. Meminimalkan atau kalau boleh tidak menimbulkan korban manusia. Sedangkan judikatif memberikan sanksi efek jera bagi pelaku teroris yang dapat menjadi rujukan juridisprodensi keputusan pengadilan berikutnya.
89
Emrus Sihombing : Negara Kebangsaan Indonesia Konstruksi … Karena itu, gerakan semesta tidak sebatas slogan. Namun, menjadi kekuatan real, tumbuh dan berkembang pada setiap denyut kehidupan sosial. Untuk merealisasikan hal tersebut, menjadi sangat urgen menyusun dan melakukan strategi komunikasi berkelanjutan membangun realitas sosial untuk mengkonstruksi makna dan kesadaran bagi seluruh warga tentang antara lain, bahwa Negara Indonesia adalah negara kebangsaan bukan negara agama. Selain itu, membentuk peta kognisi pada setiap warga bahwa Negara Kebangsaan Indonesia berdasarkan Pancasila dipastikan sejalan dengan ajaran agama apapun yang dianut oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, tindakan saling mengkafirkan, apalagi mengkafirkan orang tua sendiri tidak terjadi lagi. Yakinlah.
B.5.
Menggerus Rasa Kebangsaan Sebagaimana uraian di atas, negara kebangsaan sebagai produk sosial, maka suburnya
kontra kebangsaan
juga sebagai hasil dari interaksi sosial karena negara tidak mampu
mengurus negara kebangsaan, sehingga menimbulkan berbagai masalah dalam suatu negara. Atau disebut sebagai patologi sosial. Disadari atau tidak, dialektika berbagai konflik komunikasi politik yang berlangsung dari sejak dulu sampai saat ini di Indonesia menjadi persemaian yang subur muncul dan berkembangnya virus ganas menggerus eksistensi wujud negara kebangsaan. Tampaknya berbagai patologi sosial yang masih terus berlangsung di Indonesia sudah sangat kronis. Negara ini selalu dirundung berbagai masalah. Cilakanya, patologi sosial tersebut justru tumbuh dan berkembang pada lembaga-lembaga negara, yang seharusnya berfungsi menjaga, merawat dan mengobati penyakit sosial, termasuk membasmi virus yang merusak rasa kebangsaan. Korupsi berjemaah, misalnya, yang terjadi di semua lembaga negara dan instansi pemerintah tidak asing lagi di Indonesia. Para elit politik di partai pun menjadi bagian dari patalogi sosial. Partai dan elit politik belum berfungsi maksimal sebagai solusi bagi Indonesia. Kenyataan menunjukkan, banyak elit politik menjadi virus bagi republik ini. Republik ini memikul beban berat akibat perilaku politisi koruptif. Kalau lah kita sebagai anak bangsa melihat dengan mata hati tak akan tega menyaksikan perjalanan kehidupan bangsa Indonesia yang masih tetap dari derita ke derita.
90
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 Ibu Pertiwi seakan menangis tersendu-sendu meneteskan air mata menahan rasa sakit. Negeri ini sudah ibarat orang sakit kronis. Jangankan berjalan, berdiripun sudah tak mampu. Seolah bangsa ini berbaring di bale-bale anyaman bambu lapuk sebagai simbol ketakberdayaan fisik dan ketidak mampuan keluar dari cengkraman “virus” patologi sosial, seperti
korupsi yang tetap merajalela.
Padahal, bangsa ini dikaruniai Tuhan dengan
melimbah sumberdaya alam. Virus korupsi telah menyebar ke semua sendi kehidupan sosial, baik secara horizontal maupun vertikal.28 Buktinya, begitu masifnya penyimpangan terjadi pada semua lembaga negara. Fakta tak terbantahkan berbicara, korupsi tidak hanya terjadi pada rana eksekutif sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana program kesejahteraan rakyat, tetapi aparat lembaga penegak hukum yang seharusnya berfungsi sebagai "juri" malah turut korupsi, mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai dengan hakim di pengadilan sekalipun memutuskan atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Sangat ironis. Karena itu, tidak asing lagi di negeri seribu pulau ini aparat hukum bisa “dibeli”. Seakan tak mau kalah, anggota DPR yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan terhadap eksekutif dan kepada penegak hukum, juga ikut serta “menggelorakan” korupsi keuangan negara. Ditambah lagi tekuaknya dugaan mafia anggaran di DPR. Bahkan sederetan anggota DPR (sudah tak sedikit) diduga atau terlibat tindak pidana korupsi. Cilakanya, para pelakunya berasal dari beberapa partai besar. Bahkan ada politisi dari Partai Demokrat (PD) sebagai partai pemenang pemilu, yang sudah menduduki jabatan publik di eksekutif dan legislatif ikut serta terlibat dugaan atau tindak pidana korupsi. Kenyataan ini menunjukkan, partai dan anggota DPR menjadi bagian sumber masalah korupsi bangsa ini. Padahal, seharusnya partai menjadi solusi dari karut maruknya penanganan korupsi di Indonesia. Kehadiran partai sangat dibutuhkan melakukan pengawasan agar republik ini terhindar dari ancaman kebangkrutan sebagai akibat keganasan kolaborasi aparat birokrasi dengan politisi koruptif melakukan "pencurian" uang rakyat. Oleh karena itu, tidak heran kehidupan politisi koruptif sangat mewah. Buktinya, bandingkan kekayaan materi dan gaya hidup para elit politik sebelum, sedang dan sesudah menduduki jabatan publik. Seringkali menjadi pertanyaan publik, bukankah gaya hidup dan kekayaan mereka jauh lebih mewah dari gaji dan penghasilan resmi? Dari mana kemewahan
Emrus, ”Bukan Salah SBY Semata”, Suara Pembaruan, Januari 2011, hal. 4
28
91
Emrus Sihombing : Negara Kebangsaan Indonesia Konstruksi … itu diperoleh? Atau bisa saja belum terbongkar karena garda kekuasaan masih melindungi mereka. Namun melihat realitas politik pragmatis yang diperankan oleh para aktor politik dan partai yang sedang terjadi di Indonesia saat ini dapat memunculkan keraguan dan pertanyaan, sudahkah partai menjadi solusi penuntasan korupsi bagi negeri ini? Jawabnya masih belum. Padahal, sesungguhnya partai pasti dapat menjadi bagian dari solusi pemberantasan korupsi, sepanjang ada ideliasme, kemauan politik semua aktor politik dan partai membersihkan diri dari praktek korupsi serta tidak mempraktekkan perilaku politik transaksional yang pragmatis. Idealnya, gerakan “sembuh” dari patologi sosial harus dimotori partai yang sedang berkuasa. Sayangnya, justru ada kader partai pemenang pemilu terlibat dugaan dan atau korupsi. Lagi-lagi, partai belum menjadi solusi bagi negeri ini. Partai menjadi bagian dari masalah di Indonesia sudah berlangsung lama. Ketika masuk ke zaman kemerdekaan, bangsa ini menaruh harapan besar terjadi perbaikan kehidupan rakyat. Namun, gejolak sosial dan politik silih berganti memperebutkan kursi kekuasaan. Persaingan politik antar partai semakin terbuka. Seperti terjadi perang “saudara”. Agenda kesejahteraan rakyat tertinggal. Partai menjadi alat dan kenderaan meraih kekuasaan bagi para aktor politik. Gejolak politik semakin memanas, puncaknya yang dikenal sebagai “ Gerakan, 30 September” yang melibatkan kekuatan politik masyarakat dan militer. Disengaja atau tidak, konflik politik yang genting tersebut sangat kondusif melahirkan pemimpin dari kekuatan militer. Pada saat itu muncul pemerintahan rezim Orde Baru (Orba) di bawah pimpinan Jenderal Suharto. Ia memobilisasi kekuatan militer meredam gejolak politik selama rezim Orba berlangsung. Pelanggaran hak azasi menjadi tak terhindarkan. Dalam perjalanan rezim Orba, praktek kekuasaan semakin menguat. Demokrasi dipasung. Pemilu sebagai “topeng” demokrasi. Otoritarian mewarnai semua kebijakan politik dan penyelenggaraan pemerintahan. Partai menjadi alat legitimasi kebijakan pemerintahan otoriter. Semua partai “milik” pemerintah. Pada saat itu, DPR menjadi “stempel” pemerintah. Partai pun menjadi bagian masalah, bukan bagian dari solusi bagi negeri ini. Pada rezim Orba, sistem pemerintahan mendorong kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) pada berbagai aspek kehidupan sosial untuk kepentingan orang yang ada pada lingkaran kekuasaan. Akibatnya, KKN melahirkan sekelompok kecil warga negara yang menikmati kemewahan di tengah kemelaratan puluhan juta rakyat Indonesia. Partai tidak
92
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 memiliki kuasa melakukan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah. Posisi partai sangatsangat tak berdaya. Partai dipecundang oleh kekuasaan eksekutif. Harapan peningkatan kesejahteraan rakyat sirna. Sepanjang perjalanan rezim Orba, perilaku KKN semakin menggurita. Karena itu, gerakan penolakan terhadap Orba semakin masif. Kekuatan rakyat muncul diberbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia dengan agenda menurunkan kekuasaan dengan membawa isu perubahan melalui reformasi total terhadap seluruh penyelenggaraan negara. Rezim otoritarian pun runtuh. Reformasi memberikan angin segar mewujudkan keberpihakan kepada masyarakat yang selama ini tertindas baik secara politik mapun ekonomi. Namun apa daya, sepuluh tahun lebih reformasi, masih lebih dari 30 juta penduduk Indonesia miskin. Kebutuhan pangan pun belum terpenuhi. Jutaan rakyat sakit karena kekurangan gizi dan sangat rendahnya standart fasilitas kehidupan. Sepertinya derita rakyat tanpa akhir. Penderitaan rakyat tersebut sangat ironi di tengah kemewahan para politisi koruptif. Sementara partai belum melakukan tindakan tegas kepada kader yang diduga atau terlibat korupsi. Ini menunjukkan semakin jelas bahwa partai belum menjadi solusi bagi bangsa, utamanya memberantas korupsi. Bahkan sebaliknya, ada kader partai (sudah banyak) menjadi bagian dari jaringan korupsi. Anehnya pimpinan partai seakan melindungi kader dengan mengemukakan azas praduga tak bersalah. Publik menjadi bertanya. Ada apa dengan pimpinan partai? Ataukah pimpinan partai sudah “terpenjara” oleh kadernya sendiri? Padahal, pimpinan partai lebih leluasa menggali, menganalisa dan menyimpulkan apakah kadernya melakukan korupsi. Sebenarnya, pimpinan partai dapat membongkar sandiwara politik yang dilakukan oleh para kadernya melalui pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini mampu mengungkap hakekat sesungguhnya di balik perilaku politisi koruptif. Cepat atau lambat, suka tidak suka, patologi sosial tersebut sebagai salah satu dari “segudang” masalah di Indonesia yang dapat mendorong kondisi lahir nya kontra negara kebangsaan di Indonesia, seperti adanya usaha para aktor politik tertentu yang menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia (NII).
93
Emrus Sihombing : Negara Kebangsaan Indonesia Konstruksi … C.
Kesimpulan Negara Kebangsaan, maupun bentuk lain di luar negara kebangsaan, NII misalnya,
sebagai realitas sosial, merupakan konstruksi dialektika sosial melalui relasi komunikasi politik. Manusia pusat dari realitas sosial, memiliki otonomi rasio memahami kehidupan, mempunyai kompetensi dan kemandirian bereksistensi secara aktif. Manusia adalah aktor sosial yang mempunyai kehendak bebas, cita-cita, perasaan, kreatif dan sebagainya. Ideologi sebagai konstruksi komunikasi juga sangat cair, dapat berubah atau berganti. Usaha mengukuhkan ideologi perlu digelorakan melalui strtategi komunikasi politik agar tidak ada kesempatan sedetik dan sejengkal wilayah Indonesia dijadikan tempat tindakan radikal yang mengusik keamanan warga yang tujuan akhirnya adalah mematahkan Indonesia sebagai negara kebangsaan. Dialektika konflik komunikasi politik yang berlangsung dari sejak dulu sampai saat ini di Indonesia menjadi persemaian subur muncul dan berkembangnya virus ganas yang dapat menggerogoti wujud negara kebangsaan. Indonsia sedang dirundung berbagai patologi sosial yang tumbuh dan berkembang pada lembaga-lembaga negara yang merusak rasa kebangsaan, seperti perilaku korupsi yang tetap masif di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Zainal. Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002 Bertens, K. Filsafat Barat Dalam Abad XX, Jilid I. Jakarta: Gramedia, 1981 Cristenson, Reo M. Ideologies and Modern Politics. New York: Dodd, Mead & Company, 1971 Goddman, George Ritzer-Douglas J.. Teori Sosial Modern. Edisi Keenam. Alih Bahasa Alimandan. Jakarta:Prenada Media, 2005 Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia, 1983 Larrain, Jorge. Konsep Ideologi. Penerjemah Ryadi Gunawan. Yogyakarta: LKPSM, 1996 Lull, James. Media, Komunikasi, Kebudayaam, Suatu Pendekatan Global. Alih Bahasa, A. Setiawan Abadi. Jakarta: Obor Indonesia, 1998 Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001
94
Law Review Volume XIV, No. 1 – Juli 2014 Sobur, Alex. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001 Thompson, John B. Kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis Tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa. Alih bahasa Haqqul Yaqin. Yogyakarta:IRCiSoD, 2004
Veeger, K.J. Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993 Artikel Emrus. ”Hentikan Radikalisme degnan Gerakan Semesta”. Suara Pembaruan. 5 Mei 2011 _____. ”Bukan Salah SBY Semata”. Suara Pembaruan. Januari 2011
95