Pengaruh Sosiodemografi dan Kondisi Lingkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Unit Wilayah Kerja Puskesmas Tegal Gundil, Kota Bogor Tahun 2014 Latif Hidayat, Laila Fitria Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat, satu diantaranya terjadi di unit wilayah kerja Puskesmas Tegal Gundil dengan IR 13,5 per 10.000 penduduk pada tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sosiodemografi dan kondisi lingkungan dengan kejadian DBD di wilayah tersebut tahun 2014. Rancangan penelitian menggunakan desain case control dengan jumlah sampel 64 orang. Populasi penelitian adalah masyarakat yang tinggal di Kelurahan Tegal Gundil dan Bantarjati. Data primer didapat dengan melakukan wawancara langsung mengenai DBD dan observasi kondisi lingkungan responden. Hasil analisis bivariat menunjukan terdapat hubungan antara umur sebagai faktor sosiodemografi dengan kejadian DBD dengan OR 3,40. Kondisi lingkungan yang berhubungan dengan kejadian DBD yaitu keberadaan jentik dengan OR 4,59 dan breeding place dengan OR 16,24. Hasil analisis multivariat menunjukan adanya hubungan antara pengetahuan, keberadaan jentik dan breeding place dengan OR 2,80. Variabel breeding place merupakan faktor paling dominan terhadap kejadian DBD. Kata Kunci: Breeding Place; Demam Berdarah Dengue; Keberadaan Jentik; Pengetahuan; Umur
The Effect of Sociodemography and Environment Condition Toward Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Phenomenon in Puskesmas Tegal Gundil Working Unit Area, Bogor year of 2014 Abstract Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is an environtment-centered plague and also a society health problem. From many cases, one happened in Puskesmas Tegal Gundil Working Unit Area with the IR 13,5 per 10.000 people in 2013. This reseach is aimed to discover the relationship between sociodemography and the environment condition of DHF case in that area in 2014. The research design used case control with 64 sample of participants. The population of the research is the community member who live and stay in Kelurahan Tegal Gundil and Bantarjati. The primary data is gained by conducting direct interview about DHF and observation to the respondence's environment condition. The result from bivariat analysis shows correlation between age, as a factor of sociodemography, with DHF case, by OR 3,40. Environment condition which links to the DHF case is the existence of mosquito larva, with OR 4,59 and OR 16,24 of breeding place. The result from multivarite analysis shows the relationship between, knowledge, the existence of mosquito larva, and breeding place with OR 2,80. Breeding place variable is the most dominantly influential to the DHF case. Keywords: Breeding place; Dengue Hemorrhagic Fever; Mosquito larva; Knowledge; Age
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
Pendahuluan Indonesia merupakan daerah tropis yang cenderung memiliki kerentanan munculnya berbagai sumber penyakit berbasis lingkungan yang salah satu faktornya dipengaruhi oleh kondisi iklim suatu daerah. Salah satu penyakit berbasis lingkungan yang terjadi di masyarakat adalah adanya Demam Berdarah Dengue (DBD). Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Virus DBD dan ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk (Aedes aegypti atau Ae albopictus) yang terinfeksi virus Dengue. DBD telah muncul sebagai masalah kesehatan masyarakat internasional pada abad 21 yang banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa kasus DBD semakin bertambah didunia. menurut WHO (2000) antara tahun 1975-1995 terdeteksi di 102 negara dari lima wilayah WHO, yaitu 20 negara di Afrika, 42 negara di Amerika, 7 negara di Asia Tenggara, 4 negara di Timur Tengah dan 29 negara di Pasifik Barat (Depkes RI, 2003). Negara-negara di kawasan Asia Tenggara antara tahun 1985-1996 telah berkembang menjadi wilayah hiperendemis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya Sejak dikenal di Indonesia pada tahun 1968, jumlah kasus dan penyebaran DBD cenderung meningkat. Kejadian Luar Biasa DBD di Indonesia yang terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan IR=35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2%. Awal 2004 sejak Januari sampai Mei, KLB DBD mencapai hingga 64.000 (IR=29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian sebanyak 724 orang (CFR=1,1%) hingga pada akhirnya pemerintah menetapkan bahwa pada tanggal 24 Februari 2004 terdapat 12 provinsi yang dikategorikan sebagai provinsi KLB DBD yaitu seluruh provinsi di pulau Jawa, NAD, Bali, Kalsel, Sulsel, NTB dan NTT (Depkes RI, 2007). Kota Bogor sebagai salah satu kota administratif yang terdapat di Propinsi Jawa Barat memiliki tingkat kasus kejadian DBD yang cukup tinggi setiap tahunnya. IR DBD di Kota Bogor tahun 2011 mencapai 63 kasus per 100.000 penduduk, pada tahun yang sama IR DBD di Indonesia mencapai 27,67 kasus per 100.000 penduduk dan di Jawa Barat mencapai 31,87 kasus per 100.000 penduduk (Depkes, 2011). Munculnya KLB/wabah DBD secara teoritis disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang tidak memiliki pola tertentu, mobilitas penduduk yang tinggi, sistem pengelolaan limbah padat berupa wadah yang dapat menjadi tempat penampungan air seperti kaleng bekas, ban bekas, kulit buah dan lain-lain yang tidak saniter dan sarana penyediaan air bersih yang tidak memadai, berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk-nyamuk, kurangnya sistem pengamatan nyamuk yang efektif, meningkatnya pergerakan dan penyebaran virus dengue,
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
perkembangan hiperendemisitas dan melemahnya infrastruktur kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2003). Berdasarkan uraian hasil laporan kejadian kasus dan kematian DBD di Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2013, unit wilayah kerja Puskesmas Tegal Gundil, Kota Bogor memiliki catatan kasus DBD tertinggi dibandingkan dengan unit wilayah puskesmas lainnya di Kota Bogor. Data terakhir yang tercatat diketahui bahwa selama tahun 2013 terdapat kasus kejadian DBD dengan jumlah 70 kasus (IR=135 per 100.000 penduduk). Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis tingginya kejadian DBD di unit wilayah
Puskesmas Tegal Gundil Kota Bogor dengan melihat bagaimana pengaruh dari sosiodemografi dan kondisi lingkungan di wilayah tersebut.
Tinjauan Teoritis Penyakit DBD adalah suatu penyakit demam yang disertai dengan adanya gejala seperti pendarahan dari lubang dubur, hidung atau adanya tanda-tanda pendarahan yang dapat terlihat di bawah kulit, berupa bintik-bintik merah yang terjadi secara sporadis dan epidemis. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. WHO menjelaskan dikenal adanya penyakit Demam Dengue (DD), yaitu penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengan gejala-gejala seperti sakit kepala, sakit pada sendi, tulang dan otot (WHO, 1997). Sedangkan Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit demam akut disertai dengan manifestasi perdarahan bertendensi menimbulkan syok dan dapat menyebabkan kematian, umunya menyerang pada anak , 15 tahun, namun tidak tertutup kemungkinan menyerang orang dewasa. Terdapat empat manifestasi klinis utama yang menunjukkan DBD, yaitu demam tinggi, fenomena perdarahan, sering dengan hepatomegali dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah. Tanda-tanda penyakit ini adalah demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah, lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda-tanda pendarahan (Depkes RI, 2003). Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropoda Borne Virus (Arboviroses). Dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe yang lain tersebut. Keempat serotipe virus
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinis yang berat. Serotipe DEN-3 berasal dari Asia, ditemukan pada populasi dengan tingkat imun rendah dengan tingkat penyebaran yang tinggi, meski sudah diketahui sejak 300 tahun yang lalu penanggulangannya belum juga tuntas. (Depkes RI,2007). Beberapa faktor resiko host/pejamu yang mempengaruhi penularan DBD pada manusia adalah umur, mobilitas penduduk, pendidikan, dan pengetahuan. Umur adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus dengue. selama tahun 19681973 kurang lebih 95% kasus DBD menyerang anak-anak di bawah 15 tahun. Lebih banyak golongan umur kurang dari 15 tahun berarti peluang untuk sakit DBD lebih besar. Mobilitas penduduk memudahkan penularan DBD dari satu tempat ke tempat lain. Kualitas perumahan, jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk rumah, bahan bangunan akan mempengaruhi penularan. Bila suatu rumah terdapat nyamuk penular maka akan menularkan penyakit pada orang yang tinggal di rumah tersebut atau di rumah sekitarnya yang berada dalam jarak terbang nyamuk dan orang-orang yang berkunjung ke rumah itu. Pendidikan, akan mempengaruhi cara berfikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan (Depkes RI, 2002). Eksistensi nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun lingkungan biologik. Lingkungan merupakan tempat interaksi vektor penular penyakit DBD dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DBD. Adapun faktor lingkungan fisik yang terkait dalam penularan DBD, yaitu macam dan Kondisi Tempat Penampungan Air (TPA) seperti penampungan air rumah tangga, tempat umum binatang peliharaan, vas bunga, kaleng dan ban bekas. Tempat penampungan air merupakan media yang cukup disukai oleh Aedes aegypti untuk berkembangbiak, agar tidak terjadi penularan maka perlu dijaga kualitasnya dengan cara menutup TPA sehingga nyamuk tidak dapat masuk dan bertelur, cara lain untuk mencegah DBD adalah menguras TPA minimal seminggu sekali sehingga nyamuk belum sempat berubah menjadi pupa yang akan berkembang menjadi nyamuk dan siap menjadi penular bagi DBD (Sandra, 2010).
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode studi survei analitik dengan desain penelitian case control
yaitu suatu rancangan studi epidemiologi yang berguna untuk mengetahui dan
mempelajari hubungan antara pajanan dan faktor risiko dengan kejadian penyakit. Cara
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
membandingkan kelompok kasus dengan kelompok harus dengan kelompok kontrol menggunakan pendekatan retropektive, mengidentifikasi efek kesehatan dan faktor risiko yang ada atau terjadi pada waktu yang lalu. Penelitian ini dilaksanakan di unit wilayah kerja Puskesmas Tegal Gundil yang memiliki dua wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Tegal Gundil dan Kelurahan Bantarjati, Kota Bogor pada bulan Februari hingga April 2014. Populasi penelitian adalah seluruh penduduk yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Tegal Gundil Kota Bogor, yaitu Kelurahan Tegal Gundil dan Kelurahan Bantarjati pada bulan Januari hingga April 2014. Sampel penelitian ini terdiri dari kasus dan non kasus (kontrol) dengan jumlah sampel minimal 72 orang. Sampel kasus adalah penderita yang dinyatakan positif menderita DBD dengan hasil pemeriksaan klinis dan laboratoris pada bulan Januari hingga April 2014 di unit wilayah Puskesmas Tegal Gundil Kota Bogor, sedangkan sampel non kasus adalah bukan penderita DBD yang tidak mengalami gejala klinis DBD seperti: demam, manisfestasi perdarahan, dll yang diketahui melalui observasi dan wawancara langsung. Sampel non kasus merupakan tetangga terdekat di tempat tinggal kasus yang diambil mulai dari tetangga sebelah kanan searah jarum jam. Sampel yang diambil menggunakan kriteria eksklusi yaitu responden yang tidak tinggal di Kelurahan Tegal Gundil dan Kelurahan Bantarjati, pindah alamat keluar kota atau meninggal dunia maka responden tersebut digantikan dengan responden terpilih lainnya. Data primer diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan pengukuran secara langsung terhadap responden yang terpilih sebagai sampel, sedangkan data sekunder diperoleh dari data laporan kasus dan profil Puskesmas Tegal Gundil. Wawancara dilakukan dengan cara mengunjungi langsung rumah kasus dan kontrol yang terpilih pada saat setelah ada pelaporan kasus dan tercatat di puskesmas setempat, bila penderita berumur ≤ 15 tahun maka wawancara dilakukan terhadap orang tua atau keluarga penderita yang berusia ˃15 tahun. Hal ini juga dilakukan sama terhadap sampel non kasus. Observasi dilakukan dengan mengamati langsung keadaan lingkungan rumah responden seperti ketersediaan tutup TPA, keberadaan jentik, breeding place, kondisi rumah (warna cat dinding, ventilasi, pencahayaan) dan jarak antar rumah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa laporan data kasus kejadian DBD dari Puskesmas Tegal Gundil, kuesioner, ceklist observasi serta lux meter untuk pengukuran langsung pencahayaan di dalam rumah responden. Analisis data yang digunakan dalam penelitian yaitu, analisis univariat untuk gambaran distribusi frekuensi, analisis bivariat untuk melihat hubungan antara dua variabel dan analisis multivariat untuk melihat hubungan yang paling berpengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen.
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
Hasil Penelitian Penelitian ini mengambil variabel berdasarkan faktor resiko keadaan sosiodemografi dan faktor resiko kondisi lingkungan dengan jumlah 10 variabel yang berhubungan dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas tegal Gundil tahun 2014. Faktor resiko sosiodemografi terdiri dari 4 variabel, yaitu umur, pendidikan, pengetahuan dan mobilisasi. Sedangkan faktor resiko kondisi lingkungan terdiri dari 6 variabel, yaitu frekuensi pengurasan TPA, ketersediaan tutup TPA, keberadaan jentik, breeding place, kondisi rumah, dan jarak antar rumah. Untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas (independen) dengan variabel terikat (dependen) maka dilakukan analisis bivariat dan multivariat. Sosiodemografi Dari penelitian didapatkan hasil terhadap variabel-variabel faktor sosiodemografi yang diuji dan diperoleh nilai p serta OR yaitu sebagai berikut: Tabel 1. Hubungan Sosiodemografi Dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tegal Gundil Tahun 2014 Variabel
Kategori
Kejadian DBD Kasus Kontrol n=32 % n=32 % 17 53,1 8 25 15 46,9 24 75
CI (95%) OR
Nilai p
Lower
Upper
3,40
1,179
9,808
0,039
Umur
< 15 Tahun ≥ 15 Tahun
Pendidikan
Rendah Tinggi
17 15
53,1 46,9
12 20
37,5 62,5
1,89
0,697
5,120
0,315
Pengetahuan
Kurang Baik
12 20
37,5 62,5
19 13
59,4 40,6
0,41
0,150
1,121
0,133
Mobilisasi
Ya Tidak
11 21
34,4 65,6
11 21
34,4 65,6
1,00
0,356
2,806
1,000
Hasil penelitian yang didapatkan pada tabel 1 menunjukan bahwa pada kelompok umur <15 tahun diperoleh OR 3,40 (CI 95%: 1,179 - 9,808) yang artinya bahwa responden berumur <15 tahun beresiko 3,40 kali menderita DBD dibandingkan dengan responden yang berumur ≥ 15 Tahun dan hubungan tersebut signifikan. Variabel pendidikan responden diperoleh OR 1,89 (CI 95%: 0,697 - 5,120) yang artinya bahwa responden dengan tingkat pendidikan rendah beresiko 1,89 kali menderita DBD dibandingkan dengan responden dengan pendidikan tinggi, namun hubungan tersebut tidak signifikan. Variabel pengetahuan DBD yang dianalisis diperoleh OR 0,41 (CI 95%: 0,150-1,121) yang artinya bahwa responden dengan tingkat pengetahuan DBD kurang dari rata-rata beresiko 0,41 kali menderita DBD dibandingkan dengan responden yang berpengetahuan DBD diatas rata-rata, namun hubungan tersebut tidak signifikan. Hasil penelitian untuk variabel mobilisasi responden diperoleh OR
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
1,00 (CI 95%: 0,356 - 2,806) yang artinya bahwa tidak terdapat perbedaan resiko antara responden yang bermobilisasi dengan yang tidak bermobilisasi, dan hubungan tersebut tidak signifikan.
Kondisi Lingkungan Dari penelitian didapatkan hasil terhadap variabel-variabel faktor kondisi lingkungan yang diuji dan diperoleh nilai p serta OR sebagai berikut: Tabel 2. Hubungan Kondisi Lingkungan Dengan Kejadian DBD di Wilayah Kerja Puskesmas Tegal Gundil Tahun 2014 Variabel
Kategori
Kejadian DBD Kasus Kontrol n=32 % n=32 % 11 34,4 7 21,9 21 65,6 25 78,1
Frekuensi Pengurasan TPA
<1 Kali Seminggu ≥1 Kali Seminggu
Ketersediaan Tutup TPA
Tidak Tertutup Tertutup
27 5
84,4 15,6
26 6
Keberadaan Jentik
Ada Tidak
18 14
56,3 43,7
Breeding Place
Ada Tidak
31 1
Kondisi Rumah
Kurang Baik Baik
Jarak Antar Rumah
≤ 5 Meter > 5 Meter
CI (95%) OR
Upper
Nilai p
1,87
0,616
5,683
0,405
81,3 18,7
1,25
0,339
4,588
1,000
7 25
21,9 78,1
4,59
1,542
13,671
0,010
96,9 3,1
21 11
65,6 34,4
16,24
1,948
135,382
0,003
25 7
78,1 21,9
23 9
71,9 28,1
1,40
0.448
4,363
0,774
12 20
37,5 62,5
11 21
34,4 65,6
1,15
0,412
3,183
1,000
Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel frekuensi pengurasan TPA diperoleh OR 1,87 (CI 95%: 0,616 - 5,683) yang artinya bahwa responden yang menguras TPA <1 kali seminggu beresiko 1,87 kali menderita DBD dibandingkan dengan responden yang menguras TPA ≥1 kali seminggu, namun hubungan tersebut tidak signifikan. Variabel ketersediaan tutup TPA dari penelitian didapatkan OR 1,25 (CI 95%: 0,339 4,588) yang artinya bahwa responden yang tidak tersedia tutup pada TPA beresiko 1,25 kali menderita DBD dibandingkan dengan responden yang tersedia tutup pada TPA, namun hubungan tersebut tidak signifikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel keberadaan jentik dari analisis diperoleh OR 4,59 (CI 95%: 1,542 - 13,671). Hasil ini menjelaskan bahwa responden yang dilingkungan rumahnya terdapat jentik beresiko 4,59 kali menderita DBD daripada responden yang tidak terdapat jentik di lingkungan rumahnya dan hubungan tersebut signifikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel breeding place dari analisis diperoleh OR 16,24 (CI 95%: 1,948 - 135,382). Hasil ini menjelaskan bahwa responden yang dilingkungan
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
rumahnya terdapat breeding place beresiko 16,24 kali menderita DBD daripada responden yang tidak terdapat breeding place di lingkungan rumahnya dan hubungan tersebut signifikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa variabel kondisi rumah diperoleh OR 1,40 (CI 95%: 0,448 – 4,363) yang artinya bahwa responden dengan kondisi rumah kurang baik beresiko 1,40 kali menderita DBD dibandingkan dengan responden yang memiliki kondisi rumah baik, namun hubungan tersebut tidak signifikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada variabel jarak antar rumah diperoleh OR 1,15 (CI 95%: 0,412 – 3,183) yang artinya bahwa responden yang jarak antar rumahnya dengan rumah terdekat ≤5 meter beresiko 1,15 kali menderita DBD dibandingkan dengan responden yang memiliki jarak antar rumah dengan rumah terdekat >5 meter, namun hubungan tersebut tidak signifikan. Faktor Paling Dominan Untuk mengetahui hubungan semua variabel secara bersama-sama dengan kejadian DBD, maka dilakukan analisis multivariat. Karena jenis variabel independen dan dependen yang digunakan adalah kategorik maka analisis yang digunakan yaitu uji regresi logistik ganda dengan model prediksi. Dari analisis ini dapat diketahui faktor resiko yang paling dominan dengan kejadian DBD adalah sebagai berikut: No. 1. 2. 3.
Tabel 3. Hasil Akhir Multivariat Regresi Logistik CI 95% Variabel B OR Lower Upper Pengetahuan -1,665 0,189 0,049 0,736 Keberadaan Jentik 1,900 6,685 1,681 26,584 Breeding Place 2,823 16,819 1,676 168,788 Konstanta -0,682 0,506
Nilai p 0,016 0,007 0,016 0,188
Hasil yang didapatkan dari 10 variabel yang diteliti ternyata terdapat 3 variabel yang memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian DBD yaitu pengetahuan, keberadaan jentik dan breeding place. Faktor yang paling dominan adalah breeding place, artinya responden yang di lingkungan rumahnya terdapat breeding place memiliki resiko 16,819 kali lebih tinggi untuk mengalami DBD dibandingkan responden yang tidak terdapat breeding place di lingkungan rumahnya. Adapun persamaan fit model determinan dari hasil regresi logistik ganda pada tahap multivariat tersebut adalah sebagai berikut: Logit (kejadian DBD) = -0,682 + (-1,665 (pengetahuan)) + 1,900 (keberadaan jentik) + 2,823 (breedeng place)
Berdasarkan persamaan di atas, maka dapat dibuat perhitungan probabilitas atau resiko seseorang untuk menderita DBD. Probabilitas kelompok kasus (P1) kejadian DBD bila
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
seseorang berpengetahuan DBD kurang dari rata-rata, terdapat jentik di lingkungan rumah dan terdapat tumpukan barang yang berpotensi sebagai breedeng place: ( )
[
(
( ))
( )
( )]
Artinya, bila seseorang dengan pengetahuan DBD kurang dari rata-rata, terdapat jentik di lingkungan rumah dan terdapat tumpukan barang yang berpotensi sebagai breedeng place maka akan memiliki probabilitas untuk menderita DBD sebesar 91%. Sedangkan probabilitas untuk kelompok kontrol (P0) kejadian DBD bila seseorang berpengetahuan DBD baik (lebih dari rata-rata), tidak terdapat jentik di lingkungan rumah dan tidak terdapat tumpukan barang yang berpotensi sebagai breedeng place, yaitu: ( )
[
(
( ))
( )
( )]
Artinya, bila seseorang dengan pengetahuan DBD baik (lebih dari rata-rata), tidak terdapat jentik di lingkungan rumah dan tidak terdapat tumpukan barang yang berpotensi sebagai breedeng place maka akan memiliki probabilitas untuk menderita DBD sebesar 33%. Besar resiko dari kedua kelompok tersebut adalah:
Artinya, bila seseorang dengan pengetahuan kurang dari rata-rata, terdapat jentik di lingkungan rumah dan terdapat tumpukan barang yang berpotensi sebagai breedeng place maka akan memiliki resiko 2,8 kali menderita DBD dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki faktor resiko tersebut.
Pembahasan Sosiodemografi Hasil penelitian yang didapatkan pada analisis bivariat menunjukan bahwa variabel umur berhubungan signifikan terhadap kejadian DBD dengan OR = 3,40 (CI 95%: 1,179 9,808). Artinya, seseorang yang berusia <15 tahun beresiko 3,40 kali menderita DBD dibandingkan dengan responden yang berumur ≥ 15 Tahun. Dalam hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah kasus DBD yang menyerang responden berusia <15 tahun berjumlah 17 orang atau sebesar 53,1%. Umur adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus dengue. Semua golongan umur dapat terserang virus dengue, meskipun baru berumur beberapa hari setelah lahir. Saat pertama kali terjadi epidemik dengue di Gorontalo kebanyakan anak-anak berumur 1-5 tahun. Di Indonesia, Filipina dan Malaysia pada awal
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
tahun terjadi epidemik DBD penyakit yang disebabkan oleh virus dengue tersebut menyerang terutama pada anak-anak berumur antara 5-9 tahun, dan selama tahun 1968-1973 kurang lebih 95% kasus DBD menyerang anak-anak di bawah 15 tahun. Lebih banyak golongan umur kurang dari 15 tahun berarti peluang untuk sakit DBD lebih besar (Depkes RI, 2002). Faktor resiko umur terhadap kejadian DBD dapat dimungkinkan karena daya tahan tubuh anak yang cenderung lebih rentan dibandingkan dengan orang dewasa. DBD sebagai penyakit yang disebabkan oleh virus maka akan menyerang sistem imun tubuh manusia. Aktivitas anak-anak lebih banyak berada di luar rumah pada siang hari dan sore, dimana penularan DBD dapat terjadi di tempat-tempat umum dan salah satu tempat yang potensial adalah sekolah. Nyamuk Aedes aegypti banyak terdapat di daerah pemukiman dan sekolah karena pada kedua lokasi inilah sering terdapat media hidupnya. Hasil penelitian untuk variabel pendidikan responden menjelaskan bahwa responden yang memiliki tingkat pendidikan rendah (<SLTA) memiliki resiko sebesar 1,89 kali dibandingkan dengan responden berpendidikan tinggi (≥ SLTA), akan tetapi hubungan tersebut signifikan. Pendidikan secara teoritis memiliki resiko terhadap kejadian DBD, akan tetapi pada penelitian tidak didapatkan hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian DBD. Pada beberapa penelitian juga diperoleh hasil yang sama dengan dengan penelitian ini, dimana Sitorus (2005) menjelaskan bahwa di Kota Medan pendidikan tidak memiliki perbedaan kemungkinan resiko terkena DBD pada tingkat pendidikan rendah dan tinggi. Masyarakat yang berpendidikan tinggi diharapkan lebih banyak tahu informasi tentang cara dan upaya pencegahan terjadinya DBD terhadap dirinya dan keluarga dari berbagai sumber dan media. Pendidikan akan mempengaruhi cara berfikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan. Faktor pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka wawasan yang dimilikinya akan semakin luas sehingga pengetahuan pun akan meningkat (Depkes RI, 2002). Pengetahuan DBD menunjukan bahwa responden yang memiliki pengetahuan DBD kurang dari rata-rata memiliki resiko sebesar 0,41 kali dibandingkan dengan responden berpengetahuan DBD baik, atau dapat dikatakan bahwa seseorang yang berpengetahuan DBD diatas rata-rata memiliki resiko 2,44 kali lebih tinggi untuk mengalami DBD dibandingkan dengan seseorang yang berpengetahuan DBD dibawah rata-rata. Akan tetapi hubungan tersebut tidak signifikan dengan kejadian DBD. Dari hasil terlihat bahwa pada responden pada kelompok kasus sebagian besar memiliki pengetahuan yang baik mengenai informasi dan pencegahan DBD. Hasil ini dapat terjadi karena meskipun banyak responden yang berpengetahuan baik, namun mereka belum memiliki kesadaran yang tinggi untuk melakukan
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
langsung (praktek langsung) tindakan pencegahan dan pemberantasan DBD di daerahnya, sehingga tingkat kejadian DBD masih tinggi. Pengetahuan yang baik akan menjadi dasar bagi seseorang untuk bertingkah laku yang benar sesuai dengan apa yang didapatkannya. Dalam hal ini, pada beberapa penelitian didapatkan bahwa menurut Suryani (2011) seseorang yang berpengetahuan DBD kurang mempunyai resiko terkena DBD sebesar 1,89 kali dibandingkan dengan seseorang yang berpengetahuan DBD baik. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan tindakan penginderaaan terhadap suatu objek tertentu. Orang akan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) apabila ia tahu apa tujuan dan manfaatnya bagi kesehatan dan keluarganya serta apa bahayanya jika tidak melakukan PSN tersebut. Mobilisasi responden yang diteliti menunjukan tidak memiliki resiko terhadap kejadian DBD, selain itu, berdasarkan hasil uji hipotesis, menjelaskan bahwa faktor mobilisasi tidak berhubungan secara siginifikan terhadap kejadian DBD. Menurut Depkes (2002), Mobilitas penduduk memudahkan penularan DBD dari satu tempat ke tempat lain, dimana pertumbuhan penduduk yang tidak melalui pola tertentu, urbanisasi yang tidak terkontrol, mobilitas penduduk yang tinggi merupakan penyebab munculnya KLB/wabah DBD. Secara epidemiologi penyakit DBD merupakan salah satu penyakit menular yang penularannya relatif tinggi karena kepadatan penduduk, mobilisasi yang tinggi serta dipengaruhi ada tidaknya tempat perindukan nyamuk penular DBD. Mobilitas yang tinggi antara lain disebabkan oleh perpindahan atau perjalanan masyarakat keluar daerahnya, antara lain adalah karena alasan lokasi pendidikan atau lokasi pekerjaan. Soegijanto (2003) mengatakan bahwa salah satu penyebab DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah kemajuan teknologi dalam bidang transportasi disertai mobilitas penduduk yang cepat memudahkan penyebaran sumber penular dari satu kota ke kota lain. Kondisi Lingkungan Hasil penelitian untuk variabel frekuensi pengurasan TPA menunjukan bahwa responden yang menguras TPA <1 kali seminggu beresiko 1,87 kali dibandingkan dengan responden yang menguras TPA ≥1 kali seminggu. Akan tetapi berdasarkan hasil uji hipotesis, menjelaskan bahwa frekuensi pengurasan TPA tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian DBD. Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa sebagian besar kasus memiliki perilaku yang baik terhadap pengurasan TPA. Variabel frekuensi pengurasan TPA dalam penelitian ini hanya melihat terhadap jenis TPA yang berada di dalam lingkungan rumah, sedangkan TPA di lingkungan luar rumah dari berbagai jenis kontainer yang juga merupakan
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
faktor lingkungan fisik beresiko terhadap kejadian DBD tidak dimasukan ke dalam variabel penelitian. Untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti sehingga DBD dapat dicegah atau dikurang maka pemerintah menggalakan program PSN dikenal dengan cara “3M” yang salah satunya yaitu menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air seminggu sekali. Walaupun pembersihan bak mandi dan TPA dilakukan teratur, pembersihan hanya sekedar mengganti air tanpa menyikat bak kamar mandi dan dinding TPA. Akibat cara pembersihan yang salah ini, telur nyamuk Aedes aegypti tetap melekat dan tetap dapat melanjutkan siklus hidupnya. Penelitian terhadap ketersediaan tutup TPA dilihat dari ada atau tidaknya tutup pada TPA. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa responden yang tidak tersedia tutup pada TPA di lingkungan rumahnya beresiko 1,25 kali dibandingkan dengan responden yang tersedia tutup pada TPA. Akan tetapi berdasarkan hasil uji hipotesis, menjelaskan ketersediaan tutup TPA tidak beresiko secara signifikan terhadap kejadian. Hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian yang dilakukan Usman (2002) di Lampung menunjukan bahwa responden yang tidak menutup TPA yang dimiliki berpeluang untuk terkena DBD 2,76 kali dibandingkan dengan responden yang menutup TPA. Tersedianya tutup pada TPA akan menghambat Aedes aegypti untuk masuk ke dalam TPA meletakan telurnya. Oleh karena itu perlu disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat ada tidaknya tutup pada TPA sangat penting terhadap munculnya kejadian DBD. Hasil penelitian untuk variabel keberadaan jentik menunjukan bahwa responden yang terdapat jentik di lingkungan rumahnya beresiko 4,59 kali dibandingkan dengan responden yang tidak terdapat jentik di lingkungan rumahnya. Hasil uji hipotesis, menjelaskan keberadaan jentik memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian DBD. Penelitian ini bertolak belakang dengan data yang didapatkan dari Puskesmas Tegal Gundil, dimana pada laporan profil kesehatan puskesmas tahun 2013 tercatat Angka Bebas Jentik (ABJ) dari total rumah yang diperiksa mencapai 94%. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan jentik secara berkala setiap minggu bekerjasama dengan Jumantik (Juru Pemantau Jentik) dari masing-masing kelurahan sebagai tindakan pemantauan perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Keberadaan jentik merupakan pemicu meningkatnya kepadatan vektor Aedes aegypti yang akan menyebabkan kasus DBD semakin meningkat, sehingga tindakan PSN harus rutin dilaksanakan setiap minggu. Stadium jentik nyamuk Aedes aegypti berlangsung 6-8 hari, selama stadium ini jentik atau larva beraktivitas mencari makan dengan memangsa zat renik yang terkandung di dalam air penampungan, bila kita menjumpai adannya jentik pada tempat penampungan air artinya tempat tersebut jarang mendapat perhatian manusia. Untuk itu perlu
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
dilakukan upaya pemberantasan jentik yang dikenal dengan PSN dapat dilakukan dengan cara kimia, biologi dan fisik. Cara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida). Cara biologi dapat dengan memelihara ikan pemakan jentik seperti ikan kepala timah, ikan gupi. Cara fisik dapat dilakukan dengan kegiatan “3M” (Menguras, Menutup, Mengubur) pada TPA di lingkungan rumah (Depkes, 2005). Penelitian yang dilakukan terhadap observasi ada atau tidaknya breeding place adalah observasi dari dari ada atau tidaknya tumpukan barang (TPA untuk keperluan sehari-hari dan bukan untuk keperluan sehari-hari) di lingkungan luar rumah. Hasil yang diperoleh menjelaskan bahwa responden yang terdapat breeding place di lingkungan rumahnya beresiko 16,24 kali dibandingkan dengan responden yang tidak terdapat breeding place di lingkungan rumahnya dengan. Hasil uji hipotesis, menjelaskan keberadaan breeding place memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian DBD. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa kaleng bekas, ban bekas, plastik dan barang-barang TPA bukan untuk keperluan sehari-hari lainnya dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap bertambahnya jentik Aedes aegypti otomatis membuka peluang terhadap kejadian DBD (Soeroso,2000). Hasil penelitian untuk variabel kondisi rumah tidak menunjukan hubungan yang signifikan dengan kejadian DBD. Menurut Haryanto dkk (1989) dalam Roose (2008) dijelaskan bahwa tempat-tempat gelap, lembab dan sedikit angin merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap beristirahat selama menunggu waktu bertelur. Kualitas perumahan, jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk rumah, bahan bangunan akan mempengaruhi penularan. Bila suatu rumah terdapat nyamuk penular maka akan menularkan penyakit pada orang yang tinggal di rumah tersebut atau di rumah sekitarnya yang berada dalam jarak terbang nyamuk dan orang-orang yang berkunjung ke rumah itu (Depkes RI, 2002). Jarak antar rumah dari hasil penelitian yang diperoleh tidak menujukan hubungan yang signifikan terhadap kejadian DBD. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Roose (2008) di Lampung dimana dalam penelitiannya dijelaskan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jarak rumah dengan kejadian DBD. Seseorang yang memiliki jarak antar rumah ≤ 5 meter beresiko 1,79 kali dibandingkan dengan seseorang yang memiliki jarak antar rumah > 5 meter. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kualitas perumahan, jarak antar rumah akan mempengaruhi penularan. Bila suatu rumah terdapat nyamuk penular maka akan menularkan penyakit pada orang yang tinggal di rumah tersebut atau di rumah sekitarnya yang berada dalam jarak terbang nyamuk dan orang-orang yang
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
berkunjung ke rumah itu (Depkes RI, 2002). Menurut Haryanto dkk (1989) dalam Roose (2008) dijelaskan bahwa jarak antara rumah mempengaruhi penyebaran nyamuk dari satu rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak rumah semakin mudah nyamuk menyebar ke rumah terdekat tersebut. Faktor Paling Dominan Hasil yang didapatkan dari 10 variabel yang diteliti ternyata terdapat 3 variabel yang memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian DBD yaitu pengetahuan, keberadaan jentik dan breeding place. Besar resiko dari kelompok kasus dan non kasus yaitu dengan OR sebesar 2,8, artinya bila seseorang dengan pengetahuan kurang dari rata-rata, terdapat jentik di lingkungan rumah dan terdapat tumpukan barang yang berpotensi sebagai breedeng place maka akan memiliki resiko 2,8 kali menderita DBD dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki faktor resiko tersebut. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan tindakan penginderaaan terhadap suatu objek tertentu. Orang akan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) apabila ia tahu apa tujuan dan manfaatnya bagi kesehatan dan keluarganya serta apa bahayanya jika tidak melakukan PSN tersebut (Notoatmodjo, 2007). Faktor keberadaan jentik dari hasil analisis regresi logistik menjelaskan bahwa responden yang terdapat jentik di lingkungan rumahnya beresiko 6,68 kali dibandingkan dengan responden yang tidak terdapat jentik di lingkungan rumahnya. Faktor breeding place merupakan variabel yang paling dominan dari hasil penelitian ini, dimana responden yang terdapat breeding place di lingkungan rumahnya beresiko 16,819 kali menderita daripada yang tidak yang terdapat breeding place di lingkungan rumahnya. Faktor keberadaan breeding place menunjukan nilai Exp (B) atau OR tertinggi dari hasil multivariat ini, sehingga variabel ini merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Tegal Gundil Tahun 2014. Keberadaan breeding place di lingkungan rumah akan memicu sebagai TPA yang sangat disenangi Aedes aegypti untuk berkembangbiak, sehingga faktor ini akan ikut mempengaruhi meningkatnya kepadatan jentik dan kepadatan vektor Aedes aegypti sebagai penyebab DBD. Pada umumnya breeding place di lingkungan luar rumah merupakan jenis TPA bukan untuk keperluan sehari-hari, sehingga keberadaanya sering menjadi terabaikan untuk diperhatikan kebersihannya. Dengan demikian, perlu sosialiasi lebih mendalam mengenai gerakan PSN melalui cara “3M” agar masyarakat lebih menyadari faktor resiko lain yang biasanya bukan menjadi perhatian utama dalam menggalakan pemeliharaan kebersihan lingkungan.
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
Kesimpulan Dari hasil penilitian yang dilakikan dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor sosiodemografi yang memiliki hubungan terhadap kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Tegal Gundil tahun 2014 yaitu variabel umur. Terdapat perbedaan resiko antara responden berumur < 15 tahun dan ≥ 15 tahun untuk menderita DBD. Sedangkan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah keberadaan jentik dan ada tidaknya breeding place di lingkungan rumah. Secara multivariat dari 10 variabel yang diteliti didapatkan bahwa faktor yang paling dominan terhadap kejadian DBD adalah keberadaan breeding place di lingkungan rumah.
Saran Secara individu kepada masyarakat agar lebih meningkatkan kesadaran dalam menjaga TPA agar tidak dijadikan sebagai tempat breeding place bagi vektor DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti baik di dalam maupun di luar rumah. Tokoh masyarakat atau kader yang berperan dalam memberikan informasi dan penyuluhan kepada warga tentang DBD agar lebih bertindak informatif dan respontif kemudian menggerakan kembali gerakan kerja bakti seperti Jum’at Bersih secara berkala setiap minggu untuk meningkatkan sanitasi dan higieni lingkungan. Bagi Puskesmas Tegal Gundil diharapkan dapat meningkatkan promosi kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit DBD sehingga masyarakat memiliki kesadaran yang lebih terhadap penyakit DBD. Perbaikan manajemen program PJB perlu ditingkatkan menjadi lebih efektif dan intensif. Promosi PSN perlu difokuskan agar tidak hanya menguras atau membersihkan TPA di dalam rumah, tetapi juga dengan memperhatikan ada atau tidaknya barang-barang bekas seperti kaleng bekas, wadah plastik bekas, ban bekas, botol bekas dan lain-lain yang berpotensi breeding place di lingkungan luar rumah. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah terutama SD dan SLTP untuk pelaksanaan kegiatan berupa gerakan sekolah bersih secara rutin terutama untuk pelaksanaan PSN. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bogor diharapkan mampu meningkatkan kerjasama antara dinas dengan puskesmas, khususnya dalam bidang pencegahan dan pemberasantasan DBD melalui lintas sektor dengan program pendidikan dan pelatihan rutin tahunan guna meningkatkan kemampuan kerja petugas yang terdidik dan terlatih. Diperlukan dukungan terhadap
kebijakan-kebijakan
puskesmas
yang
berkaitan
dengan
pencegahan
dan
pemberantasan DBD, seperti pemeriksaan jentik berkala (PJB) dengan meningkatkan jumlah
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
sumber daya tenaga agar pelaksanaan PJB dapat berjalan efektif dan memberikan hasil yang akurat serta tindakan cepat dan tepat dalam mewabahnya KLB DBD.
Daftar Referensi Achmadi, U. F. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Depkes RI. 2002. Pedoman Survei Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Dirjen PPM-PL. Depkes RI. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Dirjen PPM-PL. Depkes RI.2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Dirjen PPM-PL. Depkes RI. 2007. Pencegahan dan pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Dirjen PPM-PL. Depkes RI.. 2011. Indonesia Prakarsai Pengendalian DBD http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1542. Diakses tanggal 2013.
di ASEAN. 29 Desember
Dinas Kesehatan Kota Bogor. 2012. Dengue Tahun 2010. Bogor.
Distribusi Kasus dan Kematian Demam Berdarah
Dinas Kesehatan Kota Bogor. 2013. Dengue Tahun 2010. Bogor.
Distribusi Kasus dan Kematian Demam Berdarah
Gregory F. H, Mn; Michael S.Kramer,Mn; Ralph I. Hornita, MD (2009). Case control study. A practical review for the children. Akses di www.jama.com Haryanto, B, dkk. 1989. Berbagai Aspek Demam Berdarah Dengue dan Penanggulangannya. Pusat Penelitian Lembaga Penelitian UI. Jakarta. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta Roose, A. 2008. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru Tahun 2008. Tesis, Program Pascasarjana Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Sumatera Utara, Medan. Sandra, M. I. 2010. Hubungan Karakteristik Individu dan Kondisi Tempat Penampungan Air (TPA) dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Pabuaran Kecamatan Cibinong Tahun 2010. Skripsi, Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia, Depok. Sitorus. 2005. Strategi Pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD) Melalui Pendekatan Faktor Risiko di Kota Medan. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Soegijanto.2003. Demam Berdarah Dengue: Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Surabaya: Airlangga University Press. Soeroso, T. 2000. Perkembangan DBD, Epidemiologi dan Pemberantasannya di Indonesia. Jakarta.
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014
Suryani. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Lubang Buaya Kecamatan Cipayung Jakarta Timur Tahun 2010 – Maret 2011. Skripsi, Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan Universitas Indonesia, Depok. Usman, S. 2002. Faktor Risiko yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah di Kota Bandar Lampung Tahun 2002. Tesis, Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. WHO. 2009.Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241547871_eng.pdf?ua=1. Diakses tanggal 6 Januari 2014.
Pengaruh sosiodemografi..., Latif Hidayat, FKM UI, 2014